9
II
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan,
pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Wisata merupakan kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata (Anonim 1990). Obyek dan daya tarik wisata dapat berwujud masyarakat maju, keadaan alam, serta flora dan fauna. Pariwisata sebagai salah satu kegiatan perjalanan manusia memiliki tujuan untuk berekreasi. Pariwisata sebagai suatu aktifitas telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat. Perkembangan pariwisata semakin pesat seiring dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan politik. Menurut Putra (2008) membangun pariwisata memerlukan perencanaan yang matang, karena pariwisata disatu sisi merupakan suatu industri yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain bisa menimbulkan dampak negatif bila tidak dikelola dengan baik. Oleh sebab itu, menurut Sitorus (2004) peruntukan suatu lokasi untuk rekreasi perlu sebelumnya dievaluasi kesesuaiannya. Potensi obyek wisata merupakan segala sesuatu yang bila dikelola dengan baik akan menimbulkan suatu daya tarik wisata. Menurut Suryasih (2008) pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) harus memperhatikan komponen 4A (Attraction, Accessibility, Amenities, Ancillary) yang saling tergantung antara satu dengan yang lainnya, dimana suatu obyek wisata dikatakan menarik bila ditunjang adanya atraksi, aksesibilitas memadai, dilengkapi berbagai fasilitas yang dibutuhkan wisatawan, dan dikelola oleh pengelola yang profesional. Disamping itu, suatu ODTW yang ideal harus memenuhi tiga syarat dasar yaitu: something to see, something to do, dan something to buy. Syarat lain yang tidak kalah penting suatu ODTW adalah unik, spesifik, dan ditunjang oleh 7K
(Keamanan,
Ketertiban,
Kesejukan,
Keramahtamahan,
Kebersihan,
Keindahan, dan Kenangan). Berdasarkan konsep pembangunan pariwisata yang
10
berkelanjutan (Sustainable Development Tourism) pengelolaan suatu ODTW sebaiknya mempertimbangkan : 1. Penentuan zona (zoning) yaitu dengan menonjolkan obyek sentral sebagai tujuan utama disusul produk pendukung lainnya. 2. Dilakukan secara bertahap. 3. Mengacu pada konservasi alam dan budaya. 4. Berbasis pada masyarakat lokal (community based tourism) dimana suatu ODTW harus menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan budaya. 5. Program pendidikan bagi masyarakat dan pekerja pariwisata untuk pelayanan yang profesional. 6. Adanya pertukaran informasi antara masyarakat dan wisatawan terkait sosial budaya masing-masing. 7. Adanya evaluasi terhadap dampak positif dan negatif pariwisata (Suryasih, 2008). Keberhasilan pengelolaan suatu ODTW bisa dilihat berdasarkan tolok ukur antara lain : meningkatnya kunjungan wisatawan, lama tinggal (lenght of stay), dan kunjungan berulang-ulang (repeaters guest) (Suryasih 2008). Spillane (1991) menyatakan bahwa kemajuan pengembangan industri pariwisata sangat ditunjang oleh berbagai usaha yang dikelola secara terpadu antara lain : 1) promosi untuk memperkenalkan obyek wisata, 2) transportasi yang lancar, 3) kemudahan imigrasi atau birokrasi, 4) akomodasi yang menjamin penginapan yang nyaman, 5) pemandu wisata yang cakap, 6) penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin dan harga yang wajar, 7) pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik, 8) kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup. Mathieson dan Wall (1992) menyatakan peningkatan permintaan pariwisata disebabkan oleh : 1) pengembangan dan peningkatan agen perjalanan dan tour operation, 2) pengembangan dari alat-alat baru untuk menjual produk pariwisata, 3) pertumbuhan persewaan perjalanan udara.
11
2.2
Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan adalah konsep pengembangan
wilayah yang berbasis pertanian bertujuan untuk mempercepat pembangunan diperdesaan. Konsep ini lahir dilatarbelakangi oleh terjadinya ketimpangan pembangunan antara perdesaan dengan perkotaan (Rustiadi dan Hadi 2006), dan upaya membangun kemandirian perdesaan berdasarkan potensi yang dimiliki (Sitorus
2010).
Wilayah
perdesaan
sebagai
pusat
kegiatan
pertanian
produktivitasnya terus menurun dan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi mengalami beban berlebihan dengan terjadinya urbanisasi yang berdampak pada masalah-masalah sosial, dimana keduanya memiliki hubungan yang saling melemahkan. Hubungan ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas wilayah (Rustiadi dan Hadi 2006). Agropolitan sebagi konsep yang berbasis pada pengembangan sistem kewilayahan memfasilitasi perkembangan kawasan perdesaan sehingga terjalin hubungan yang saling memperkuat antara perdesaan dengan perkotaan (Rustiadi et al. 2005). Pengembangan kawasan agropolitan adalah konsep pengembangan wilayah yang berbasis pertanian bertujuan untuk mempercepat pembangunan di perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut beberapa usaha yang perlu dilakukan yaitu dengan cara memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota yang telah diselaraskan dengan kondisi di perdesaan, memperluas hubungan sosial ekonomi dan politik, meningkatkan hubungan sosial masyarakat, menyeimbangkan pendapatan antar desa-kota dengan membuka lebih banyak lapangan kerja, dan menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya (Friedmann
dan Douglass
1976). Menurut Rustiadi dan Dardak (2008) pengembangan agropolitan merupakan pendekatan pengembangan kawasan pertanian perdesaan sebagai pusat pelayanan baru yang memiliki cakupan terbatas untuk pelayanan kebutuhan pertanian, dimana memungkinkan masyarakat sekitarnya mendapatkan pelayanan sarana produksi, jasa distribusi, maupun pelayanan sosial ekonomi sehingga masyarakat setempat tidak perlu lagi ke kota untuk mendapatkannya. Dalam pengembangan agropolitan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : 1. Pusat-pusat kegiatan utama
12
2. Sebaran kegiatan permukiman dan pertanian 3. Keterkaitan pusat-pusat kegiatan produksi dari hulu ke hilir 4. Orientasi pusat-pusat pemukiman 5. Orientasi hubungan keluar kawasan untuk pemasaran produksi pertanian Suatu wilayah dapat dijadikan agropolitan bila wilayah tersebut mampu memberikan pelayanan jasa-jasa yang mudah dan murah maupun dalam produksi dan pemasaran serta memiliki hinterland dengan kegiatan perekonomian utama dibidang agribisnis (Sitorus dan Nurwono 1998). Agropolitan sebagai konsep pembangunan terencana dan terintegrasi mempunyai beberapa sasaran yaitu : 1. Meningkatkan ekonomi wilayah 2. Meningkatkan pendapatan 3. Memperbaiki distribusi pendapatan 4. Meningkatkan aliran komoditi, barang, jasa dan modal 5. Memperbaiki dan memelihara kualitas sumber daya alam dan lingkungan 6. Meningkatkan fungsi dan efektivitas kelembagaan pemerintah maupun sosial di dalam wilayah Sektor-sektor pendukung agropolitan meliputi, infrastruktur fisik, pendidikan, sistem informasi, dan kelembagaan (Nugroho 2006). Menurut Rustiadi et al. (2005) pengembangan agropolitan sebagai konsep pembangunan wilayah dan perdesaan mempunyai beberapa tujuan, antara lain : 1. Menciptakan keberimbangan pembangunan perdesaan dengan perkotaan 2. Meningkatkan keterkaitan desa-kota yang bersinergi yaitu adanya hubungan saling memperkuat 3. Mengembangkan ekonomi dan lingkungan permukiman perdesaan berbasis aktivitas pertanian 4. Menciptakan pertumbuhan dan revitalisasi kota kecil 5. Memperluas basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan 6. Menciptakan kemandirian daerah 7. Mengurangi terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota 8. Melestarikan sumber daya alam dan lingkungan 9. Memanfaatkan lahan menurut kesesuaian dan kemampuannya dengan memperhatikan agroklimat
13
10. Mengupayakan komoditas dan produk olahan pertanian unggulan sebagai sektor basis 11. Peningkatan sistem perekonomian secara skala maupun cakupan (economic of scale dan economic of scope) dengan didukung oleh jumlah penduduk dan luas kawasan (biasanya dalam radius 3-10 km, mencakup beberapa desa sampai gabungan satu hingga 3 kecamatan) 12. Menyediakan sarana dan prasarana permukiman mendekati standar perkotaan serta sarana dan prasarana produksi yang memadai untuk masyarakat lokal. Ditinjau dari aspek tata ruang, secara umum struktur hierarki sistem kota-kota agropolitan terdiri dari: (1) orde paling tinggi sebagai kota tani utama dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar, (2) orde kedua sebagai pusat distrik agropolitan, dan (3) orde ketiga sebagai pusat satuan kawasan pertanian (Sitorus 2011). Isu-isu strategis yang menjadi permasalahan utama dalam pengembangan agropolitan dilihat dari kelembagaan, masih lemahnya sistem pengelolaan sehingga banyak sarana dan prasarana yang disediakan menjadi mubasir, masyarakat kurang mendapat perhatian terhadap akses sumber daya baik menyangkut lahan, air maupun finansial. Dilihat dari sisi masyarakat, masih kurangnya partisipasi masyarakat dan sumber daya manusia yang kurang memadai. Isu lainnya, masih lemahnya sistem tata niaga yang berdampak pada tingginya fluktuasi harga, belum berkembangnya industri pengolahan. Dilihat dari sisi tata ruang, dimana masih rendahnya pemahaman tentang kawasan agropolitan, penataan ruang yang kurang sesuai, dan lemahnya keterkaitan kawasan agropolitan dengan kota-kota disekitarnya. 2.3
Perencanaan Pengembangan Wilayah dengan Memadukan Kegiatan Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata Konsep perencanaan pengembangan wilayah yang memadukan kegiatan
sektor pertanian dan sektor pariwisata, atau meletakkan sektor tersier di sektor primer dimana konsep ini lebih dikenal dengan agrowisata. Menurut Vipriyanti (1996) pengembangan agrowisata merupakan usaha agar dampak positif pariwisata bisa dinikmati oleh masyarakat pedesaan. Pengembangan tersebut
14
diharapkan mampu mengurangi kesenjangan antara pembangunan perkotaan dengan perdesaan melalui transformasi ketenagakerjaan, sosial budaya, dan diharapkan pula adanya penerimaan insentif bagi petani sehingga menimbulkan rangsangan bagi petani untuk tetap menjaga pertaniannya dan mencegah terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Agrowisata secara definisi menurut Wicks dan Merrett (2003) bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, berdasarkan perspektif pertanian, agrowisata merupakan keterpaduan dua unsur yang komplek yaitu industri pertanian dan perjalanan/wisata untuk membuka pasar baru yang menguntungkan dari produksi pertanian dan jasa. Agropolitan sebagai pusat usaha pertanian memiliki hubungan sebagai pertanian alternatif, memberikan nilai tambah produksi, pemasaran produk pertanian secara langsung, dan mengembangkan masyarakat perdesaan. Kedua, dilihat dari perspektif pariwisata, bagaimana menjual barang dan jasa untuk wisatawan dan bukan untuk pasar lokal. Melalui pemasaran, promosi, dan menyediakan sistem distribusi untuk produksi pertanian dalam satu pasar lokal, ketika wisatawan sebagai pembeli maupun calon pembeli yang tertarik berada jauh dari tempat pemasaran, merupakan sebuah tantangan bagi pengusaha agrowisata. Pembangunan agrowisata dapat menjadi tujuan wisata yang lengkap, seperti menyediakan atraksi sebagai pendukung dalam satu paket tujuan wisata. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan biofisik wilayah yang sangat beragam, bila dilakukan pengelolaan dengan benar akan mampu menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi pertanian mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dengan keunikan dan keragamannya yang bernilai tinggi memiliki potensi yang besar dikembangkan sebagai agrowisata.
2.4 Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian Ini Penelitian-penelitian mengenai kepariwisataan baik itu wisata alam (ekowisata) maupun agrowisata telah banyak dilakukan. Pamulardi (2006) dalam tesisnya menggali potensi agrowisata berwawasan lingkungan di Desa Wisata Tingkir Lor Salatiga. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif, dalam merumuskan model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan dikaji
15
berdasarkan the seven steps of planning. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Kelurahan Tingkir Lor memiliki potensi untuk dibangun dan dikembangkan sebagai lokasi agrowisata berwawasan lingkungan, sekaligus mengembangkan Desa Wisata Tingkir yang pada saat ini masih belum dapat disebut sebagai tempat tujuan wisata. 2) Masyarakat mendukung pembangunan obyek wisata di Desa Wisata Tingkir dengan konsep agrowisata berwawasan lingkungan. 3) Berdasarkan pendekatan the seven steps of planning, maka model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan di Desa Wisata Tingkir adalah dengan mengembangkan budidaya agro sebagai obyek (atraksi). Aryanto (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan” melakukan penelitian dengan menganalisis potensi penawaran dan permintaan wisata di TNBBS, menganalisis kebijakan pengelolaan TNBBS dan kebijakan kepariwisataan daerah serta merumuskan strategi pengembangan pariwisata alam di TNBBS. Penelitian ini dilakukan di Sukaraja Atas dan Kubuperahu dengan menggunakan metode survei dan analisis deskriptif, analisis terhadap kebijakan, analisis daerah operasional obyek wisata alam dan atraksi, dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNBBS khususnya obyek wisata alam dari Sukaraja Atas dan Kubuperahu memiliki potensi berkembangnya sumber daya wisata alam yang besar. Permintaan untuk wisata alam di Sukaraja Atas dan Kubuperahu masih relatif rendah, tetapi kedua lokasi memiliki potensi permintaan yang menguntungkan. Obyek wisata alam dan atraksi dari kedua lokasi (Sukaraja Atas dan Kubuperahu) pada kategori sedang. Berdasarkan analisis SWOT, juga dirumuskan beberapa strategi untuk pengembangan pariwisata alam di Sukaraja Atas dan Kubuperahu. Yang et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Agro-tourism enterprises as a form of multi-functional urban agriculture for peri-urban development in China” menyatakan bahwa daerah pinggiran kota yang cepat tumbuh di China berada di bawah tekanan besar dari tuntutan lahan ekspansi perkotaan, mengakibatkan hilangnya tanah yang subur, kerusakan lingkungan dan pengucilan sosial masyarakat desa. Pada perkembangan terbaru, terbangun perusahaan-perusahaan agrowisata di daerah pinggiran kota sebagai bentuk
16
pertanian kota komersial, menawarkan cara untuk mempromosikan pembangunan perkotaan dengan pedesaan yang terintegrasi dan dapat menangkal beberapa dampak negatif dari urbanisasi. Hasil penelitian ini menganalisis kinerja perusahaan agrowisata skala besar, Xiedao Green Resort di Beijing, selama periode 2004-2008. Model bisnis yang menggabungkan produksi pertanian dan jasa pariwisata serta membina hubungan permintaan-penawaran antara daerah perkotaan dan pedesaan. Perusahaan ini menawarkan cara untuk meningkatkan kualitas produk pertanian dan jasa, sedangkan pengembangan beberapa fungsi agrowisata yang memiliki manfaat yang lebih luas secara ekonomi, lingkungan dan sosial, menciptakan peluang untuk pembangunan kota-desa terpadu dan berkelanjutan. Vipriyanti (1996) dalam tesisnya yang berjudul “Dampak Pengembangan Agrowisata Terhadap Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat di Kabupaten Karangasem, Bali” menganalisis dampak pengembangan agrowisata terhadap ekonomi dan kelembagaan masyarakat karangasem, pola permintaan wisatawan terhadap kawasan wisata agro, serta peubah wilayah yang mempengaruhi prospek perkembangan wilayah tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan peran pertanian cukup penting dalam perekonomian wilayah Karangasem. Nilai keterkaitan sektor agrowisata baik langsung maupun tidak langsung terhadap sektor lainnya sangat tinggi. Hasil analisis kelembagaan menunjukkan bahwa pengembangan agrowisata cenderung mempengaruhi dinamika kelembagaan menjadi lebih baik di daerah pengembangan tersebut.