13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Wisata Pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Suwantoro (1997) menyatakan pada hakikatnya pariwisata merupakan suatu proses bepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya dengan tujuan mencari sesuatu yang baru yang tidak ada di tempat asalnya. Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Fandeli (2002) menyatakan bahwa pariwisata minat khusus dapat terfokus kepada : · Aspek budaya : Wisata terfokus perhatiannya pada tarian, musik, seni, kerajinan, arsitektur, pola tradisi masyarakat, aktivitas ekonomi yang spesifik, arkeologi dan sejarah. · Aspek alam
: Wisatawan dapat terfokus perhatiannya pada flora, fauna,
geologi, taman nasional, hutan, sungai, danau, pantai, laut serta perilaku ekosistem tertentu. Sedangkan Gunn (1994) mendefinisikan wisata sebagai suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa tinggal dan bekerja, selama tinggal di tempat tujuan tersebut melakukan kegiatan dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasikan kebutuhan. Bentuk-bentuk wisata menurut Gunn (1994) dikembangkan dan direncanakan sebagai berikut: 1. Kepemilikan (ownership) atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor yaitu badan pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial.
14
2. Sumberdaya (resource) yaitu alam (natural), atau budaya (culture). 3. Perjalanan wisata/lama tinggal. 4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor). 5. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary). 6. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung intensif, semi intensif dan ekstensif. Gunn (1994) menyatakan suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan dan perkotaan, keadaan kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang lebih tenang dan alami, sedangkan perkotaan menyediakan atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Fennell (1999) sependapat dengan Gunn (1994), bahwa suatu atraksi merupakan alasan terkuat untuk adanya suatu kegiatan wisata dan merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman (experience) wisatawan. Atraksi selain karena keunikan dari suatu tapak juga karena keberadaannya dalam suatu ruang spasial. Secara umum atraksi suatu wisata berupa kebudayaan dan sumberdaya alam. Atraksi budaya suatu kawasan wisata dapat menjadi atraksi utama ataupun atraksi penunjang. 2.2. Ekowisata Fandeli (2002) menjelaskan ekowisata sebagai suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Pada hakekatnya juga merupakan suatu konsep pengembangan wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi
15
dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Sementara dalam PP RI No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona TN, Tahura, TWA, ekowisata sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam. Damanik dan Weber (2006) mendefinisikan ekowisata dari tiga perspektif yakni sebagai : (1) produk, merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. (2) pasar, merupakan perjalanan yang diarahkan pada upayaupaya pelestarian lingkungan dan (3) pendekatan pengembangan, merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.
Kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut. Ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan (Linberg dan Hawkins 1995). Beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya ekowisata yaitu: 1) Ramah lingkungan; dampak yang rendah, mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan, perlindungan landscape termasuk pemandangan alam dan ekosistem alami. 2) Community based; membuka peluang kerja dan berusaha serta pembangunan ekonomi masyarakat lokal (local community economic development). 3) Sensitive secara budaya; terintegrasinya budaya lokal akibat aktivitas wisata yang berjalan yang akan memberikan manfaat terhadap wilayah akibat kunjungan. 4) Viable secara ekonomi; memberikan manfaat finansial yang besar bagi pengelola dan masyarakat setempat (lokal).
16
Dalam pelaksanaannya, dikenal lima prinsip ekowisata yaitu: 1) Nature based; produk dan program berdasarkan kondisi alami 2) Ecologically sustainable; manajemen dan pelaksanaan berkelanjutan 3) Environmentally educative; pendidikan lingkungan bagi pengelola, masyarakat lokal dan pengunjung 4) Local community based; bermanfaat bagi masyarakat lokal 5) Ecotourist based; kepuasan bagi pengunjung Gunn (1994) menjelaskan, pengembangan sustainable tourism adalah perubahan yang positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial, tempat masyarakat dan kehidupan sosialnya berada. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi masyarakat. Tujuan dari sustainable tourism adalah: 1. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa wisata dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan ekonomi. 2. Untuk mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan. 3. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal. 4. Untuk memberikan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung. 5. Untuk mempertahankan kualitas lingkungan. Damanik dan Weber (2006) menyebutkan beberapa prinsip ekowisata yang dapat diidentifikasikan dari beberapa definisi ekowisata di atas, yaitu: 1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan ekowisata. 2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisatawan lainnya. 3) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif
bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi objek dan daya tarik wisata.
17
4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. 5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. 6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik daerah tujuan wisata, dan 7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata. The Ecotourism Society diacu dalam Fandeli (2002) menyatakan ada delapan prinsip untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang bersifat ecological friendly dengan pembangunan berbasis kerakyatan. Delapan prinsip tersebut sebagai berikut : 1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya yang disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2) Pendidikan konservasi lingkungan, mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. 3) Pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. 4) Partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pengawasan. 5) Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat. 6) Menjaga keharmonisan dengan alam. 7) Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. 8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap Negara
18
2.3. Pengembangan Ekowisata Pengembangan Ekowisata di Indonesia, menurut Usman (1999) perlu mengikutsertakan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan. Konsep pengembangan wisata yang melibatkan atau mendasarkan kepada peran serta masyarakat, pada dasarnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang menjadi objek dan daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan bagi wisatawan. Denman (2001) menyebutkan syarat-syarat untuk menetapkan pengembangan bisnis ekowisata sebagai berikut: 1. Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman. 2. Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal. 3. Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada dalam komunitas lokal. 4. Keamanan pengunjung terjamin. 5. Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah terhadap pelayanan medis dan persediaan air bersih yang cukup. 6. Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut. Suprana (1997) diacu dalam Qomariah (2009) menyebutkan dalam pengembangan
wisata
memiliki
strategi
pengembangan
dan
program
pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), antara lain: 1. Strategi pengembangan ODTW Pengembangan potensi ODTW untuk menunjang tujuan pembangunan khususnya pengembangan pariwisata mencakup aspek-aspek perencanaan, pembangunan,
kelembagaan,
sarana
dan prasarana
dan
infrastruktur,
pengusahaan pariwisata, promosi dan pemasaran, pengelolaan kawasan, sosial budaya dan sosial ekonomi, penelitian pengembangan dan pendanaan. 2. Program pengembangan ODTW Pembangunan ODTW khususnya pengembangan ODTW dapat diwujudkan dengan
melaksanakan
kegiatan-kegiatan:
(a)
Inventarisasi
potensi,
pengembangan dan pemetaan ODTW, (b) Evaluasi dan penyempurnaan
19
kelembagaan pengelola ODTW, (c) Pengembangan dan pemantapan sistem pengelolaan ODTW, (d) Pengembangan sistem perencanaan, (e) Penelitian dan pengembangan manfaat, (f) Pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur, (g) Perencanaan dan penataan, (h) Pengembangan pengusahaan pariwisata dan (i) Pengembangan sumberdaya manusia. Muntasib et al. (2004) menyebutkan beberapa prinsip dasar pengembangan ekowisata, yaitu: 1) Berhubungan/kontak langsung dengan alam (touch with nature). 2) Pengalaman yang bermanfaat secara pribadi dan sosial. 3) Bukan wisata massal. 4) Program-programnya membuat tantangan fisik dan mental bagi wisatawan. 5) Interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat. 6) Adatif (menyesuaikan) terhadap kondisi akomodasi pedesaan. 7) Pengalaman lebih diutamakan dibanding kenyamanan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2003) menjelaskan dalam upaya pengembangan ekowisata akan berjalan dengan baik diperlukan perencanaan dan kebijaksanaan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konseptual ekowisata menekankan tiga prinsip dasar pengembangan, yaitu: 1. Prinsip konservasi yaitu pengembangan ekowisata atau ekoturisme harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam. 2. Prinsip partisipasi masyarakat adalah pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan. 3. Prinsip ekonomi yaitu pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat khususnya setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang berimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestaran lingkungan dan kepentingan semua pihak.
20
Sedangkan dalam penerapannya, sebaiknya dapat mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu: 1. Prinsip edukasi yaitu pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap atau perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. 2. Prinsip wisata adalah pegembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata berkelanjutan. Fandeli dan Mukhlison (2000) menjelaskan suatu perencanaan akan menghasilkan pengembangan yang baik, bila dilaksanakan dengan pengenalan secara menyeluruh elemen-elemennya. Upaya menyajikan seluruh elemen ekowisata dapat didekati dengan elemen dan sistem pariwisata. Pada dasarnya setiap bentuk pengembangan pariwisata bertumpu pada dua elemen yaitu produk (destination) dan pasar wisata (market). Untuk dapat mengembangkan kedua aspek ini diperlukan upaya pemasaran dan menganut aspek perjalanan. Dalam pengembangannya, terutama pada tahapan perencanaan dan programming, perlu dilakukan upaya pembekalan dan pemberdayaan baik pada pihak-pihak yang ingin mengembangkan ekowisata dan masyarakat setempat. Selanjutnya pola pengembangannya berbeda dari satu tempat atau daerah yang lain. Hal ini disebabkan status dan kondisi masing-masing daerah berbeda-beda satu sama lain. 2.4. Penilaian Potensi Wisata Departemen Kehutanan (2007) menjelaskan pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata (ODTW). Keseluruhan potensi ODTW merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus sebagai media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Penilaian potensi ODTW dapat menggunakan kriteria standar yang telah ditetapkan, karena dalam pengembangan wisata perlu diketahui penawaran pariwisata yang berupa produk kepariwisataan.
21
Soekadijo (1996) menjelaskan potensi pariwisata dicirikan dengan adanya tiga komponen utama yang merupakan syarat untuk terbentuknya kegiatan pariwisata. Pertama adanya motif wisata, wisatawan akan berkunjung ke suatu tempat jika tempat tersebut terdapat kondisi yang sesuai dengan motif wisata. Kondisi yang sesuai dengan motif wisata tersebut merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. Daya tarik bagi wisatawan tersebut disebut atraksi wisata yang dapat berupa fasilitas olahraga, tempat hiburan, museum, peninggalan sejarah, pertunjukan kesenian dan sebagainya. Kedua yaitu adanya jasa wisata karena wisatawan selama dalam perjalanan tetap memerlukan kebutuhan hidup seperti kehidupan biasa di tempat asalnya. Kebutuhan makan, mandi, beristirahat atau tourist needs didapatkan dari jasa wisata. Jasa wisata ini dapat berupa rumah makan, hotel, sarana kesehatan, sarana komunikasi dan sebagainya. Ketiga adalah kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian menuju objek wisata (transferabilitas). Tanpa adanya kemudahan lalu lintas tersebut perjalanan wisata dari suatu tempat ke tempat lain sulit dilaksanakan. Segala sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata disebut sebagai modal atau sumberdaya kepariwisataan. Sumberdaya yang dapat menarik kedatangan wisatawan ada tiga yaitu alam, kebudayaan dan manusia itu sendiri. Departemen Kehutanan (2007) menjelaskan pariwisata sering juga dipersalahkan sebagai salah satu penyebab kerusakan daerah yang masih alami. Padahal penyebab kerusakan bukan karena pariwisata namun terlebih karena kurang pahamnya banyak orang tentang pariwisata dan bagaimana merencanakan pariwisata tersebut. Orang sering mengabaikan satu tahap penting yaitu melakukan penilaian seluruh potensi yang akan mendukung pengembangan pariwisata.
Penilaian juga dilakukan sebagai upaya bagi daerah yang akan
mengembangkan menjadi daerah tujuan wisata yang akan diketahui potensi pengembangannya. Pengelola maupun para pengembang pariwisata lainnya dapat memberikan justifikasi
kelayakan suatu daerah untuk dikembangkan serta
sekaligus menetapkan prioritas pengembangannya.
22
Pengembangan objek dan daya tarik wisata dapat berjalan efektif dan efisien, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan pariwisata dan ditetapkan skala prioritas dalam pelaksanaan pembangunan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007) menjelaskan skala prioritas pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata dapat dilakukan dengan menggunakan Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata (PPDTW). PPDTW adalah suatu alat untuk menganalisa suatu objek (lokasi) wisata alam dan budaya dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan gambaran kelayakan pengembangan suatu objek menjadi objek wisata. Penilaian terhadap objek dan daya tarik wisata sangat diperlukan untuk mempersiapkan kawasan sebagai destinasi pariwisata di masa datang. Suatu proses perencanaan yang terstruktur sangat penting agar perusakan terhadap sumber-sumber daya pariwisata dapat dihindari sedini mungkin. Salah satu tahapan dalam perencanaan yang runut (sistematis) dan selayaknya dilakukan adalah melaksanaan kajian awal pengembangan dengan melakukan penilaian (assesment) terhadap Objek dan Daya Tarik Wisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007). Pedoman penilaian daya tarik wisata (tourism assesment attraction guideline) dapat menjadi tuntunan bagi para pemangku kepentingan pariwisata melakukan penilaian kuantitatif secara cepat (quantitative rapid assessment) keadaan terkini suatu daya tarik pariwisata dan unsur-unsur lain yang membentuknya sebagai produk pariwisata. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2008) melakukan uji coba PPDTW di tiga lokasi yang berbeda sebagai upaya akhir untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi
daya
tarik
wisata
dalam
pengembangan suatu produk pariwisata dan melakukan penempatan (positioning) daya tarik pariwisata tersebut dalam skala prioritas pengembangan destinasi. Lokasi yang dipilih adalah Garut di propinsi Jawa Barat, Tana Toraja di Propinsi Sulawesi Selatan dan Palangka Raya di Propinsi Kalimantan Tengah. Beberapa unsur yang dinilai dalam kriteria PPDTW diantaranya daya tarik wisata, fasilitas
23
pariwisata, aksesibilitas, aspek masyarakat dan lingkungan, aspek pasar, pengelolaan dan pelayanan dan keterkaitan daya tarik wisata. 2.5. Ekowisata Berbasis Masyarakat Denman (2001) menjelaskan bahwa ekowisata berbasis masyarakat dapat membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Lebih dari itu ekowisata berbasis masyarakat mengambil dimensi sosial ekowisata sebagai suatu langkah lebih lanjut dengan mengembangkan bentuk ekowisata menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dan keterlibatan di dalamnya baik itu manajemen dan pengembangannya dan proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat. Beberapa syarat dasar dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adalah (Denman 2001) : 1. Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para pengunjung khusus atau bagi pengunjung yang lebih umum. 2. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah tertentu tanpa menimbulkan kerusakan. 3. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung. 4. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif. 5. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal. 6. Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata. Komunitas lokal yang terlibat dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat perlu memenuhi beberapa aspek yaitu: a. Kemampuan menjadi tuan rumah penginapan.
24
b. Keterampilan dasar Bahasa Inggris. c. Keterampilan komputer. d. Keterampilan pengelolaan keuangan. e. Keterampilan pemasaran. f. Keterbukaan terhadap pengunjung Dalam pengembangan ekowisata dengan melibatkan masyarakat lokal relatif mudah dilaksanakan karena memiliki beberapa keunikan, yaitu: 1. Jumlah wisatawan berskala kecil sehingga lebih mudah dikoordinir dan dampak yang akan ditimbulkan terhadap alam relatif kecil dibandingkan pariwisata massal. 2. Ekowisata berbasis masyarakat lokal memiliki peluang dalam mengembangkan atraksi-atraksi wisata yang berskala kecil sehingga dapat dikelola dan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal. 3. Dengan peluang yang dimiliki masyarakat lokal dalam mengembangkan objekobjek wisata yang ada di sekitarnya memberikan peluang lebih besar pula dalam partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. 4. Memberikan sustainability)
pemahaman serta
pentingnya
meningkatkan
keberlanjutan penghargaan
budaya
(cultural
wisatawan
terhadap
kebudayaan lokal. Definisi Community Based Ecotourism (CBE), menurut Muallisin (2007) adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan budaya, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang masyarakat dan tata cara hidup masyarakat lokal (local way of life). Dengan demikan, CBE sangat berbeda dengan pariwisata massa (mass tourism). CBE merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal. CBE bukanlah bisnis wisata yang bertujuan untuk memaksimalkan profil bagi para investor. CBE lebih terkait dengan dampak pariwisata bagi masyarakat dan sumber daya lingkungan (environmental
25
resources). CBE lahir dari strategi pengembangan masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal. Konsep CBE mempunyai prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai tool of community development bagi masyarakat lokal, (Muallisin 2007) yakni: a. Mengakui, mendukung dan mempromosikan pariwisata yang dimiliki masyarakat, b. Melibatkan anggota masyarakat sejak awal pada setiap aspek c. Mempromosikan kebanggaan masyarakat d. Meningkatkan kualitas hidup e. Menjamin keberlanjutan lingkungan f. Memelihara karakter dan budaya lokal yang unik g. Membantu mengembangkan cross-cultural learning h. Menghormati perbedaan-perbedaan kultural dan kehormatan manusia i. Mendistribusikan keuntungan secara adil di antara anggota masyarakat j. Menyumbang presentase yang ditentukan bagi income proyek masyarakat Dalam pengembangan CBE, WTO (2004) dan INDECON (2008) menjabarkan menjadi beberapa kriteria yang dapat dilakukan pembobotan karena masing-masing kriteria dan subkriteria memiliki dampak dan tingkat kepentingan yang berbeda dan akan berubah berdasarkan waktu. Masing-masing kriteria penilaian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2001) selanjutnya dilakukan nilai peringkat (skor) dan hasil penilaian dari pengembangan CBE dapat dilakukan analisis spasial. 2.6. Partisipasi Masyarakat Lokal Masyarakat sebagai salah satu unsur penting dibutuhkan keterlibatannya secara langsung dalam penataan kawasan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada. Suwantoro (1997) menyatakan, masyarakat di sekitar objek dan daya tarik wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam
26
memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan, oleh karena itu penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk mau berperan serta dalam pembangunan (Suwantoro 1997). Ife dan Frank (2008) mengemukakan beberapa keadaan atau kondisi seseorang akan berpartisipasi yaitu: 1) Jika kegiatan tersebut penting bagi orang tersebut. 2) Seseorang merasa bahwa tindakan yang akan dilakukan membuat suatu perubahan. 3) Seseorang merasa diakui dan dihargai. 4) Terdapat kesempatan untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif tersebut masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya alam di sekitar kawasan objek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian (Suwantoro 1997).
27
Beberapa kriteria dalam kegiatan pelibatan masyarakat adalah : 1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata. 2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dan peran aktif dalam kegiatan ekowisata. 3. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan. 4. Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang menunjang pengembangan wisata. 5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya. 6. Meningkatkan pendapatan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Partisipasi tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait langsung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekomonian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Suwantoro (1997) menyebutkan, partisipasi masyarakat sekitar kawasan objek wisata dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar kawasan objek wisata, antara lain: · Jasa penginapan (homestay) · Penyediaan/usaha warung makan dan minuman · Penyediaan/toko souvenir/cinderamata dari daerah tersebut · Jasa pemandu/penunjuk jalan · Fotografi
28
· Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan objek wisata alam adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan objek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan berbasis masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda dengan ko-manajemen maupun pengelolaan berbasis negara. Tabel 1 Karakteristik Pengelolaan Berbasis Masyarakat Karakteristik Penerapan Spasial Pihak otoritas utama Pihak bertanggung jawab Tingkat partisipasi Durasi kegiatan Keluwesan pengelolaan
Investasi finansial dan sumberdaya manusia
Kelangsungan usaha Orientasi prosedural
Orientasi aspek legal Orientasi resolusi konflik
Tujuan akhir
Sumber informasi pengelolaan
Berbasis Masyarakat Lokasi spesifik (kecil) Struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal Komunal; badan pengambilan keputusan lokal Tinggi pada tataran lokal Proses awal cepat; proses pengambilan keputusan lambat Daya penyesuaian tinggi; sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal Menggunakan sumberdaya manusia lokal; pengeluaran finansial moderat sampai rendah; anggaran fleksibel Jangka pendek, bila tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan Berfokus pada dampak jangka pendek; didisain hanya untuk lokasi-lokasi spesifik; sanksi moral Kontrol sumberdaya secara de facto; hak properti komunal atau properti swasta Salah satu pihak ada yang dikalahkan; akomodatif, kompetisi, kekuatan politik; sanksi hukum lokal Revitalisasi atau mempertahankan status-quo penguasaan sumberdaya lokal; demokratisasi politik pengelolaan sumberdaya tingkat lokal Pengetahuan lokal
Sumber : Komite PPA-MFP, Yayasan WWF-Indonesia 2006 diacu dalam Ristiyanti 2008
29
Karakteristik yang mendasar dari ekowisata berbasis masyarakat adalah bahwa kualitas sumberdaya alam dan kebudayaan setempat terjaga dan jika memungkinkan ditingkatkan oleh pengunjung (Denman 2001). Sudiyono (2008) menjelaskan pembangunan/pengembangan ekowisata dituntut untuk memberdayakan masyarakat desa, dengan menyeimbangkan nilainilai lingkungan dan budaya setempat. Keuntungan dari wisata harus dinikmati oleh masyarakat, dan masyarakat turut berpartisipasi sebagai pelaku, sehingga kemitraan dengan antar pihak perlu dibangun/difasilitasi seperti tour operator, pemandu dan pemasarannya. Model pengembangan pariwisata yang diharapkan adalah Community Based Ecotourism (CBE). Elemen dasar dalam pengelolaan CBE yaitu : · Aktivitas dan pelayanan dikembangkan melalui proses “Bottom Up” dan anggota masyarakat aktif berpartisipasi. · Dikelola oleh pengurus terpilih yang mewakili masyarakat desa/kelompok bukan individu. · Penekanan pada pemanfaatan sumber-sumber daya lokal (alam, budaya, SDM). · Proyek-proyek ke desa harus mampu mendorong masyarakat, dan bertujuan untuk mengembangkan ekonomi desa, lingkungan sosial dan budaya agar dapat berkelanjutan. · CBE sebagai pusat untuk berinteraksi antar tamu dengan tuan rumah baik pengetahuan/pengalaman tentang budaya dan lingkungan. Proses pengembangan CBE yang dikenal dengan istilah desa wisata juga dikaitkan oleh adanya hubungan antara produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat dengan permintaan pasar. Banyak produk-produk yang dihasilkan oleh desa wisata yang apabila dikelola dan difasilitasi managemen terpadu akan memiliki nilai daya tarik dan berdaya saing tinggi, bahkan dapat melahirkan sebuah brand desa. Dalam pengembangan desa wisata terdapat unique selling point yang akan memiliki daya tarik kuat untuk menarik kunjungan wisatawan (Sudiyono 2008). Dalam membangun ekowisata berbasis masyarakat adalah adanya dukungan antar pihak secara sinergi, secara terpadu memandang bahwa
30
pariwisata bukan sekedar tujuan tetapi alat untuk meraih tujuan pembangunan mensejahterakan masyarakat. Beberapa keuntungan dari desa wisata antara lain : · Desa sebagai sumber pendapatan dan peningkatan ekonomi masyarakat. · Desa sebagai sumber/penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja. · Mencengah urbanisasi. · Peningkatan peran gender. · Peningkatan kualitas lingkungan. Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat di dalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksesan produk
wisata.
Muallisin
(2007)
menyebutkan
panduan
model
bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni : a. Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident) b. Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal c. Pelibatan penduduk lokal dalam industri d. Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan e. Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas f. Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal g. Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh. Poin-poin di atas merupakan ringkasan dari community approach. Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga masyarakat tidak hanya dapat menikmati keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki. Pada Tahun 1990-an, seiring dengan pengembangan interest dalam mengembangkan produk pariwisata yang berkesinambungan,
kebutuhan untuk menggunakan bentuk
partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensi bagi pencapaian pariwisata yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang berkualitas.
31
Getz dan Jamal (1994) diacu dalam Muallisin (2007) menyatakan perlunya upaya mengembangkan pondasi teoritis pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata. Selain itu perlu menganalisis watak dan tujuan dari model
kolaborasi (collaboration)
yang
berbeda
dari
model
kerjasama
(cooperation). Kolaborasi sebagai “sebuah proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan dengan pariwisata (Getz dan Jamal 1994 diacu dalam Muallisin 2007). Proses kolaborasi meliputi : (1) Problem setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu; (2) Direction setting dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum; (3) Strukturisasi dan implementasikan dan (4) Institusionalisasi. Pelaksanaan CBE dapat berhasil dengan baik, ada elemen-elemen CBE yang harus diperhatikan, yakni : a. Sumberdaya alam dan budaya, b. Organisasi-organisasi masyarakat, c. Manajemen, d. Pembelajaran (learning). Pembelajaran disini bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host community) dan tamu (guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas. 2.7. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta, tetapi merupakan alat analisis (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial hampir di semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG diantaranya bidang kehutanan,
perikanan,
pertanian,
pariwisata,
lingkungan,
perkotaan dan
transportasi (Jaya 2002). Berdasarkan tujuan dalam pengembangan kawasan wisata dan rekreasi, maka
SIG
juga
berperan
dalam
mengkarakteristikan
sumberdaya,
32
mengidentifikasi kesesuaian yang potensial dan mengidentifikasikan konflik antar tujuan-tujuan tersebut. Proses identifikasi potensi kawasan untuk tujuan wisata melalui SIG dapat dilakukan dengan cara menumpangsusunkan (overlay) petapeta tematik yang memuat karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya terhadap peta-peta yang memuat persyaratan (kriteria) dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan. Slow (1993) menyatakan proses SIG dalam identifikasi memerlukan data masukan yang disusun dalam bentuk format digital yang tersimpan dalam layerlayer peta dan basis data tabular. Proses pengelolaan basis data (data base management system) dan analisis keruangan merupakan proses komunikasi dalam pengambilan keputusan untuk suatu tujuan pemanfaatan ruang. Keunikan SIG dibandingkan
dengan
sistem
pengelolaan
basis
data
lainnya
adalah
kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial dan non spasial secara bersama-sama. SIG merupakan alat analitik yang mampu memecahkan masalahmasalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Kemampuan SIG dalam membantu pengambilan keputusan sangat bergantung pada kualitas database yang menyusun sebuah sistem informasi. SIG yang baik adalah SIG yang powerfull artinya SIG yang dilengkapi dengan kelengkapan, keakuratan dan ketelitian database yang digunakan dalam setiap analisis spasial (Gunawan 1998 diacu dalam Kusumoarto 2006). Fungsi dasar SIG dapat dilihat pada Tabel 2.
33
Tabel 2 Fungsi Dasar SIG dalam Melakukan Analisis Ruang No 1
Kelompok Fungsi manipulasi data
2
Pembentukan data
3
Pengambilan data (data extraction)
4
Perbandingan (comparison)
5
Interpretasi
6
Hitungan
Fungsi Klasifikasi data Generalisasi (disolving, merging, line smoothing) Interpolasi Koreksi distorsi (rubber sheeting) Proyeksi Data titik, garis, poligon Koridor/buffer Gridding Pencarian kembali data (search and identification) Pengukuran (jarak, luas, volume) Pemotongan dan overlay (point in polygon, polygon on polygon) Proximity (shortes route, nearest neighbour) Connectivity (route) Penentuan lokasi optimum Suitability Hitungan statistik
Aplikasi SIG dengan analisis layer tematik dapat memprediksikan hasil kondisi tersebut, membandingkan, dan mengidentifikasi beberapa skenario yang tidak mungkin sekalipun. Dengan tujuan pemanfaatan ruang dalam hal ini untuk menilai potensi objek dan daya tarik wisata biasanya menghasilkan sejumlah pilihan yang mudah (Slow 1993). Jaya (2009) menyatakan pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. Model builder merupakan salah satu pemodelan spasial yang merekam semua proses yang terlibat seperti pembuatan buffer maupun overlay dari beberapa theme yang diperlukan untuk mengkonversi data input menjadi peta output. Model yang dibangun dapat berupa model sederhana maupun model kompleks. Satu input dapat diproses dengan berbagai tujuan untuk menghasilkan output yang berbeda (Jaya 2009). Model builder mempunyai keunggulan diantaranya proses analisis yang cepat dan fleksibel dengan kerangka berpikir atau skema alur pikir jelas serta secara teknis tidak memerlukan operasi fisik yang memerlukan banyak memori (Jaya 2009).