BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini menjelaskan mengenai teori penerimaan diri ibu tiri yang sejalan dengan fokus penelitian yaitu penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan oleh Jersild (1963). Teori mengenai ibu tiri, pengasuhan ibu tiri di dalam keluarga, dan anak tunarungu juga akan diuraikan. A. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya tanpa memandang dirinya secara irasional atau tidak masuk akal (Jersild dalam Hurlock 1978). Menurut Maslow (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) penerimaan diri adalah sikap positif terhadap dirinya sendiri, individu dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Individu tersebut bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta 33
bebas dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Menurut Jersild (1963), individu yang memiliki penerimaan diri akan berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Hal ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. Jersild (1963) mengemukakan individu yang memiliki penerimaan diri, akan memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk melakukan hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri maupun orang lain. Individu akan menggunakan kemampuan yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Selain itu, individu juga bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya dan orang lain. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah sikap positif individu terhadap dirinya sendiri, dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, menerima keadaan dirinya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut serta memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain serta dapat memandang kelemahan serta kekuatan dalam dirinya dan orang lain dengan lebih baik.
34
2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri Jersild (1963) mengemukakan beberapa aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut : a. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, berarti dia sudah dapat mengenali dirinya sendiri, dapat berpikir lebih realistik tentang penampilannya dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Bagaimana seorang individu mempersepsikan dirinya dengan baik, bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, mempunyai pandangan yang positif mengenai kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya. Menurutnya, merupakan hal yang sia-sia jika energinya hanya dipakai untuk berusaha menjadi sesuatu yang tidak baik, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri di depan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, tidak hanya berdiam diri dengan kemampuan yang dimilikinya, namun akan menggunakan bakat ataupun kelebihan yang dimilikinya dengan lebih baik dan leluasa. Individu juga dapat menilai kelemahan dan kekuatan orang lain dengan lebih baik pula.
35
c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri Menurut Adler (dalam Hall dan Lindzey, 1978), perasaan inferior adalah rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara subjektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Perasaan inferior yang muncul ini, berasal dari dalam diri (internal) dan dari lingkungan (eksternal) individu. Inferioritas merupakan perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri, atau munculnya kecenderungan untuk merasa kurang dan rendah diri. Seorang individu yang terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infeority complex, adalah seorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri yang baik dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. Individu yang memiliki rasa inferior, akan membuat dirinya menjadi menolak atau menarik diri dari lingkungan sosialnya (Jersild, 1963). d. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, dimana hal ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadap dirinya. Hal yang penting dalam penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari 36
pengalaman
dan
meninjau
kembali
sikapnya
yang
terdahulu
untuk
memperbaiki diri. e. Keseimbangan antara “real self”dan“ideal self” Tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena setiap orang memiliki real self dan ideal self di dalam dirinya. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal dan frustrasi (Hurlock, 1978). Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang dapat mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik. Agar individu dapat menyesuaikan ideal self dan real self-nya, maka individu harus mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan atau real self yang diinginkannya tidak tercapai. f. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain dengan baik Seorang
individu
yang
menyayangi
dirinya,
maka
akan
lebih
memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain. Apabila seorang individu tidak menyukai dirinya, maka akan lebih memungkinkan bagi dirinya untuk tidak menyukai orang lain. Adanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain adalah ciri individu yang memiliki penerimaan diri yang baik. Oleh karena itu, hal tersebut dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. 37
g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang individu telah menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang telah memiliki penerimaan diri, akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, maka individu akan semakin mampu untuk terlihat percaya diri dalam interaksi sosialnya dengan orang lain. h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup Individu dengan penerimaan diri yang baik, mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Namun, terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. i. Kejujuran dalam menerima diri Individu dengan penerimaan diri yang baik tidak harus selalu berbudi baik, namun memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya. Individu ini dapat secara terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas, ragu, dan bimbang tanpa harus memanipulasi diri menjadi orang lain.
38
j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang. Individu yang memiliki penerimaan diri akan memandang dirinya secara positif dan apa adanya. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, bisa saja mengalami keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri dapat membangun kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasannya. Banyak hal dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna. Bagi seseorang individu yang menerima dirinya, akan lebih baik jika dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui aspek-aspek penerimaan diri, yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri. 3. Proses Penerimaan Diri Menurut Jersild (1963), adapun proses penerimaan diri seseorang yaitu bermula ketika individu sudah dapat mengenali dirinya sendiri, memiliki pandangan yang positif mengenai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya, serta 39
sudah dapat berpikir lebih realistik, maka individu tersebut sudah memiliki penerimaan diri yang baik. Selain itu, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang mampu mengatasi perasaan inferioritas yang muncul pada dirinya. Ketika individu tidak mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka akan mengganggu penilaian realistik atas dirinya. Kemudian, setelah individu tersebut mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka individu tersebut akan memiliki respon yang baik terhadap penilaian yang muncul mengenai dirinya. Individu mampu menerima kritikan serta dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut, dan mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang memiliki keseimbangan real self dan ideal self-nya, yaitu dengan mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya, sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan yang diinginkannya tidak tercapai. Selain itu, individu dengan penerimaan diri yang baik adalah individu yang menyayangi dirinya, menyukai dirinya yang sebenarnya tanpa harus menjadi orang lain, sehingga individu tersebut juga mudah untuk menerima atau menyukai orang lain. Oleh karena itu, hal tersebut dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Apabila seorang individu sudah dapat menerima dirinya, maka ia akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya,
40
maka individu akan semakin mampu untuk percaya diri dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya (Jersild, 1963). Setelah individu tersebut melalui beberapa proses diatas, maka individu akan dapat merasakan keleluasaan untuk menikmati hal-hal di dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa untuk menikmati sesuatu yang dilakukannya, namun juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Individu yang sudah memiliki penerimaan diri yang baik, dapat secara terbuka mengakui dirinya dengan apa adanya tanpa harus memanipulasi diri menjadi orang lain. Adapun proses akhir dari penerimaan diri, yaitu memiliki sikap yang baik terhadap penerimaan diri yang dimilikinya. Sikap tersebut dapat ditunjukkan dengan cara menghadapi kekurangan dan kelebihan dirinya di dalam perkembangan hidupnya. Individu dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang mampu melalui segala proses penerimaan diri diatas. Oleh karena itu Jersild (1963) mengatakan bahwa dalam menerima dirinya, maka seorang individu membutuhkan waktu untuk melalui segala aspek penerimaan diri. Hurlock (1978) juga menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan sosialnya. Kemudian Hurlock (1978) membagi dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori yaitu :
41
a. Dalam penyesuaian diri Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. b. Dalam penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaa diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian soail yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sihingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran 42
ideal self-nya, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan real self-nya. B. Ibu Tiri 1. Pengertian Ibu Tiri Kata ‘tiri’ memiliki definisi bukan darah daging sendiri. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung (Chumar, 2012). Kata ibu tiri menjadi hal yang menakutkan bagi anak-anak (Widiastuty, dalam Agnes 2010). Kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya disatu sisi, orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki (Bonkowski, dalam Agnes 2010). Berdasarkan pengertian diatas, ibu tiri adalah ibu non-biologis yang menggantikan ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung.
43
2. Penyesuaian dan Pengasuhan Ibu Tiri di dalam Keluarga Penilaian tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, sudah berkembang sejak jaman dahulu. Ketika seorang wanita menyandang status sebagai ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang negatif juga akan melekat pada wanita tersebut. Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Untuk dapat menyesuaikan diri dengan status ibu tiri tersebut, maka ibu tiri membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya seperti, suami, orang tua, maupun keluarga baru yang dimasukinya. Dukungan yang diberikan tersebut, dapat membuat ibu tiri merasa yakin dan percaya diri dalam menghadapi stereotype ataupun penilaian negatif yang muncul di masyarakat (Sfakianos, 2012). Awalnya, menjadi ibu tiri tentu memiliki kesulitan karena membutuhkan penyesuaian atau adaptasi ketika memasuki keluarga baru. Selain harus berupaya menyesuaikan diri dengan status ibu tiri yang dimilikinya, ibu tiri awalnya juga akan mengalami tantangan pengasuhan bagi suami maupun anak tirinya. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh ibu tiri disebabkan karena hubungan ibu tiri dan anak tirinya cukup lemah yang disebabkan sedikitnya interaksi sebelumnya yang dilakukan antara ibu tiri dan anak tirinya, sehingga hubungan emosional yang terjalin belum begitu baik. Oleh karena itu, untuk membangun hubungan dekat dan hubungan emosional yang baik, dibutuhkan kerjasama antara ibu tiri dengan ayah untuk mengasuh anak-anak mereka (Ron Deal, 2009). 44
Menemukan peran ibu tiri yang efektif merupakan suatu tantangan. Namun, dengan memiliki harapan yang positif dan strategi yang spesifik untuk membangun hubungan dengan anak tiri, maka akan terbentuk ikatan atau interaksi yang saling memuaskan. Melalui tahun pertama pernikahan, ibu tiri seharusnya mendekatkan diri dengan ikut terlibat dalam berbagai aktivitas keluarga baru dan anak tirinya. Aktivitas di dalam keluarga ini, akan mengurangi kekhawatiran anak-anak saat berkumpul dengan ibu tirinya serta dapat menjalin interaksi yang dekat dengan anak tirinya. Orang dewasa seringkali mengira bahwa cara mengetahui anak tirinya adalah dengan menghabiskan waktu secara personal dengan mereka. Namun, hal tersebut bukanlah cara efektif untuk membangun interaksi dengan anak tiri. Anak tiri pada umumnya lebih suka didekati oleh ibu tirinya, ketika ada ayah kandung bersamanya (Ron Deal, 2009). Ibu tiri awalnya akan merasa kebingungan dengan perannya untuk menetapkan batasan, mengajarkan nilai-nilai, dan menekankan konsekuensi pada anak tirinya. Pengasuhan anak adalah tugas kedua orang tua, baik ayah dan ibu tiri. Ayah dan ibu tiri harus berupaya berperan menjadi suatu tim dalam mengasuh anak. Kerjasama tersebut seperti berbagi keluh kesah bersama ketika anak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan keluarga. Ketika ayah angkat tangan dari tanggung jawab pengasuhan anak daripada ibu tiri, maka kondisi akan menjadi sulit. Dikarenakan kurangnya pengawasan dan kerja sama dengan ayah, maka tidak jarang ibu tiri mulai menetapkan batasan serta peraturan baru yang dibuatnya untuk anak tirinya. Untuk itu, kerjasama 45
yang melibatkan ayah dan ibu tiri adalah cara terbaik untuk mengasuh dan menjalin hubungan baik dengan anak tiri (Ron Deal, 2009). C. Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Tunarungu adalah istilah umum yang mencakup cacat pendengaran mulai dari yang ringan sampai sangat berat, sehingga mencakup anak-anak yang tuli dan mereka yang memiliki kesulitan dalam mendengar (Hallahan and Kauffman, 1988). Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli (deaf) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan, kurang dengar (hard of hearing) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Seseorang yang tuli (deaf) adalah seseorang dengan ketidakmampuan mendengar yang dapat menghalangi kesuksesan memproses informasi bahasa dari lawan bicara, dengan atau tanpa bantuan pendengaran. Orang yang mengalami
kesulitan
mendengar
adalah
orang
yang
secara
umum
menggunakan alat bantu mendengar, dengan sisa pendengaran yang cukup
46
untuk memproses informasi bahasa dari lawan bicaranya (Hallahan and Kauffman, 1988). Gangguan pendengaran (hearing impairment) adalah istilah umum yang melibatkan gangguan pada alat indera pendengaran yaitu telinga dari ringan sampai sangat berat, yang mencakup anak-anak yang sulit mendengar (hard of hearing) dan tuli (deaf). Seseorang yang tuli (deaf), tidak bisa menggunakan pendengarannya untuk memahami pembicaraan, meskipun dia mungkin mendengar beberapa suara (Heward, 1996). 2. Faktor Penyebab Ketunarunguan Menurut S.C. Brown (dalam Heward, 1996) ada 4 penyebab tuli (deaf) dan gangguan pendengaran yang berat pada anak-anak yang membutuhkan perhatian, yaitu : a. Maternal rubella, dikenal juga dengan cacar Jerman. Maternal rubella merupakan symptom ringan yang juga menyebabkan tuli (deaf), gangguan penglihatan dan macam-macam gangguan serius pada perkembangan anak-anak yang terjadi pada ibu hamil selama trimester pertama. b. Heredity. Selain karena maternal rubella, penyebab utama gangguan pendengaran adalah faktor keturunan. Bukti yang kuat menyebutkan bahwa gangguan pendengaran diturunkan dari beberapa keluarga.
47
c. Prematurity and complications of pregnancy. Ini adalah faktor yang meningkatkan resiko tuli (deaf) dan gangguan lainnya. Komplikasi pada kehamilan menimbulkan bermacam-macam penyebab. d. Meningitis. Adapun penyebab utama gangguan pendengaran adalah meningitis. Meningitis adalah bakteri atau infeksi virus yang bisa menyebabkan efek lain, merusak alat-alat pendengaran di dalam telinga. Gangguan pendengaran juga disebabkan otitis media, yaitu infeksi atau peradangan pada telinga tengah. Jika tidak diobati, maka akan menimbulkan penumpukan cairan dan gendang telinga pecah, dimana menyebabkan gangguan pendengaran secara permanen. Cara yang paling umum untuk mengklasifikasikan penyebab gangguan pendengaran adalah berdasarkan lokasi dari masalah dalam mekanisme pendengaran. Ada 3 klasifikasi utama, yaitu conductive hearing losses, sensorineural hearing losses, dan mixed hearing losses (Heward, 1996): a. Conductive hearing losses berasal dari kelainan atau komplikasi pada telinga luar atau tengah. Conductive hearing losses mengacu pada gangguan yang mengganggu dengan pengalihan suara di sepanjang jalur konduktif dari telinga. Penumpukan
lilin
yang
berlebihan
pada
saluran
pendengaran
dapat
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, seperti penyakit yang dapat meninggalkan cairan atau puing-puing. Sebuah gangguan pendengaran juga dapat disebabkan jika gendang telinga atau ossicles tidak bergerak dengan benar. 48
b. Sensorineural hearing losses mengacu pada kerusakan serat saraf pendengaran atau mekanisme sensitif di telinga bagian dalam. Sensorineural impairments melibatkan masalah pada perbatasan telinga dalam. Sensorineural loss diindikasikan jika udara dan tulang hampir setengahnya abnormal. c. Mixed hearing losses adalah kerusakan pendengaran yang merupakan gabungan antara conductive hearing losses dan sensorineural hearing losses. 3. Klasifikasi Anak Tunarungu Gangguan pendengaran individu biasanya digambarkan dengan istilah slight, mild, moderate, severe dan profound tergantung pada tingkat pendengaran rata-rata dalam desibel, seluruh frekuensi yang paling penting untuk memahami pembicaraan (500 sampai 2000 Hz). Adapun klasifikasi derajat pendengaran menurut Heward (1996), yaitu : a. Slight loss, hanya mampu mendengar suara mulai 27 sampai 40 dB. Anak yang mengalami slight loss memiliki pendengaran yang samar dan jauh. Kemampuan mendengar masih baik karena berada pada batas antara penderngaran normal dan kekurangan pendengaran taraf ringan. Tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan. Sedikit mengalami kesulitan ketika ia berinteraksi dengan orang lain yang berbicara dengan suara samar dan jauh.
49
b. Mild loss, hanya mampu mendengar suara mulai 41 hinga 55 dB. Anak yang mild loss, dapat memahami percakapan pada jarak 3 sampai 5 kaki (tatap muka). Namun, ia bisa kehilangan sebanyak 50% dari diskusi kelas jika suara samar. Ia juga memiliki kosakata yang terbatas dan berbicara tidak sesuai dengan tata bahasa. c. Moderate loss, hanya mampu mendengar suara mulai 56 hingga 70 dB. Anak yang mengalami moderate loss, hanya dapat memahami percakapan keras serta cenderung memiliki gangguan bicara, cenderung memiliki kesulitan dalam penggunaan bahasa dan pemahaman, serta memiliki kosakata yang terbatas. d. Severe loss, hanya mampu mendengar suara mulai 71 hingga 90 dB. Anak yang mengalami severe loss, dapat mendengar suara-suara keras sekitar 1 kaki dari telinga. Kemungkinan individu mampu membedakan vokal tetapi tidak semua konsonan. Kosakata dan bahasa yang dimilikinya mungkin terganggu atau memburuk. Jika individu kehilangan pendengaran sebelum usia 1 tahun, maka kosakata dan bahasa tidak mungkin untuk berkembang secara spontan. e. Profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih. Anak yang mengalami profound loss mungkin mendengar beberapa suara keras tapi getaran indra lebih sensitif. Individu juga memiliki kosakata dan bahasa yang mungkin terganggu atau memburuk sehingga akan mengganggu proses komunikasi dan interaksi sosialnya dengan orang lain. Berdasarkan klasifikasi anak tunarungu diatas, maka slight loss hanya mampu mendengar suara mulai 27 sampai 40 dB; mild loss, hanya mampu 50
mendengar suara mulai 41 hinga 55 dB; moderate loss, hanya mampu mendengar suara mulai 56 hingga 70 dB; severe loss, hanya mampu mendengar suara mulai 71 hingga 90 dB; dan profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih. 4. Hambatan dalam Mengasuh Anak Tunarungu Mengasuh dan merawat anak adalah sebuah tantangan tersendiri bagi orang tua. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anakanaknya. Peran yang saling melengkapi dalam mengasuh anak, membantu anak untuk mengembangkan identitas dirinya. Oleh karena itu, ayah dan ibu harus memiliki tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya dapat tumbuh dengan optimal. Namun, ketika ayah dan ibu mendapat karunia untuk membesarkan anak tunarungu, maka situasi yang dihadapi akan sedikit berbeda dengan keluarga pada umumnya (Rahmhita, 2011). Ketika mengasuh anak tunarungu, hal yang terpenting bagi orang tua yaitu harus mengetahui pola perkembangan anak tersebut. Selanjutnya, setelah orang tua mengetahui kondisi perkembangan anak dari ahli medis yang menanganinya, maka orang tua bisa menyesuaikan gaya pengasuhan yang dilakukan terhadap anak tunarungu (Rahmhita, 2011). Pada dasarnya untuk merawat dan mengasuh anak tunarungu, tidak dibutuhkan sebuah ilmu akademik yang khusus. Hal yang paling utama dilakukan adalah dengan memiliki kesabaran yang tinggi, mengingat anak tunarungu memiliki karakteristik yang berbeda dari anak normal lainnya karena kerusakan pada indera pendengarannya. Umumnya, hambatan yang paling 51
sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Tidak sedikit orang tua yang memiliki anak tunarungu, menitipkan anak mereka ke lembaga sosial yang bergerak di bidang tersebut. Hal tersebut dikarenakan orang tua tidak mengetahui cara mengasuh anak tunarungu karena hambatan komunikasi yang dialami oleh anak tersebut. Meski tidak sepenuhnya salah, namun cara seperti ini juga tidak tepat untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya, pendidikan terbaik bagi anak tunarungu adalah pendidikan yang berasal dari rumah, yaitu keluarga. (Anne, 2009). Adapun hambatan yang umumnya dialami orang tua ketika mengasuh anak tunarungu yaitu keterbatasan komunikasi. Hambatan komunikasi yang dialami oleh anak tunarungu, membuat orang tua yang mengasuhnya mengalami kesulitan dalam memahami keinginan, ide-ide serta harapan dari anak tunarungu tersebut. Namun, keterbatasan bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu dapat dibantu dengan metode pengajaran bahasa seperti, speechreading (membaca gerakan bibir lawan bicara), cued speech (isyarat gerakan tangan) dan menggunakan alat bantu dengar (Ashman & Elkinds, 1994). Selain itu, orang tua ataupun pengasuh anak tunarungu harus mampu membimbing anak untuk dapat membangkitkan kepercayaan dirinya, sehingga anak tidak merasa cemas ketika berinteraksi dengan lingkungan sebayanya. Lingkungan sosial anak, juga merupakan faktor penting dalam membentuk perilaku anak tunarungu. Oleh 52
karena itu, sebaiknya lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon positif terhadap perilaku anak tunarungu (Heward, 1996). D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Orang tua yang mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, maka ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahabbati (2009) mengenai penerimaan dan kesiapan pola asuh ibu terhadap anak berkebutuhan khusus, menunjukkan hasil bahwa orang tua kandung akan memiliki sikap dan respon yang berbeda-beda dalam menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Fase penerimaan tersebut ditandai dengan perasaan terkejut (shock), ketidakpercayaan, denial (penolakan atau penyangkalan), bargaining (tawar-menawar) hingga fase depresi. Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera yaitu tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali (Hallahan and Kauffman, 1988). Anak tunarungu umumnya membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya keterbatasan pendengaran yang dialaminya (Heward, 1996). Adanya kondisi keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, maka anak tunarungu cenderung akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya (Mangunsong, 2009). Jika 53
dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak tunanetra, yang masih mampu berkomunikasi untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak normal pada umumnya (Soemantri, 2006). Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika ibu tiri mengasuh anak yang tunarungu. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Selain itu, ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung (Chumar, 2012). Kata ibu tiri, memiliki penilaian tersendiri di masyarakat. Ketika mendengar kata ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang kejam seakan muncul dipikiran kita (Rahmayani, 2010). Penilaian tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, sudah berkembang sejak jaman dahulu. Pandangan negatif pada ibu tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat (Swari, 2012). Ketika seorang wanita menyandang status sebagai ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang negatif juga akan melekat pada wanita tersebut (Swari, 2012).
54
Munculnya stereotype atau penilaian negatif tentang karakteristik ibu tiri di masyarakat, membuat wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Adanya fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan suaminya, maka menjadi suatu masalah tersendiri bagi wanita yang menyandang status sebagai ibu tiri. Kondisi akan menjadi sulit ketika ibu tiri memiliki anak tiri yang tunarungu. Menerima status sebagai ibu tiri saja sudah membutuhkan proses, apalagi ketika ia harus dihadapkan pada kondisi pengasuhan anak tiri yang mengalami tunarungu. Berkaitan dengan kompleksitas dalam upaya penanganan dan pengasuhan anak tunarungu tersebut, maka proses penerimaan diri ibu tiri tentu akan menjadi lebih sulit. Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut (Jersild, dalam Hurlock 1978). Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya (Jersild, 1963). Penerimaan diri yang baik pada ibu tiri, yaitu ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri bukanlah hal yang negatif. Ia juga tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut. Jersild (1963) menjelaskan bahwa pada dasarnya penerimaan diri adalah sebuah proses. Hal tersebut dijelaskannya melalui sepuluh aspek penerimaan diri, yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap
55
kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri (Jersild, 1963). Menurut Jersild (1963), setelah individu tersebut mampu melalui berbagai aspek penerimaan diri dengan baik, maka ia akan memiliki penerimaan diri yang baik pula. Oleh karena itu, Jersild (1963) mengatakan bahwa individu membutuhkan waktu dalam menerima dirinya. Berdasarkan hasil penelitian Melati (2013), mengenai penerimaan diri ibu yang memiliki anak tunanetra, menyatakan bahwa seorang ibu membutuhkan waktu untuk menerima kondisi anaknya yang tunanetra dan menjalani hidup sebagai seorang ibu yang memiliki anak tunanetra. Kondisi ini juga dialami oleh ibu tiri yang memiliki anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunarungu. Adanya berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, membuat ibu tiri membutuhkan waktu untuk berupaya menerima dirinya dengan status tersebut. Penelitian lain juga dilakukan oleh Ramanda (2008), tentang dinamika penerimaan diri ibu terhadap anak tunagrahita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini, mampu untuk mencapai tahap penyesuaian dan penerimaan terhadap anak tunagrahita. Namun, dalam proses penerimaan diri tersebut tidak mudah untuk dicapai. Setiap subjek pada penelitian ini, memiliki
56
kekhasan masing-masing dalam proses penerimaan diri dan membutuhkan waktu tertentu dalam pencapaian proses penerimaan diri. Ibu tiri juga harus memiliki keyakinan akan standar-standar terhadap dirinya. Agar tidak terpaku pada pada pendapat atau penilaian orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya (Jersild, 1963). Proses penerimaan diri pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, merupakan proses yang dijalani untuk menerima dirinya dengan segala kompleksitas dan hambatan yang dihadapinya. Oleh karena itu, ibu tiri memiliki caranya tersendiri untuk dapat menerima dirinya dengan status tersebut di dalam hidupnya (Sfakianos, 2012).
57
E. Paradigma Teoritis Gambar 1. Paradigma Teoritis
Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu
Tunarungu
Ibu Tiri Penilaian Negatif Ibu Tiri (Swari, 2012)
Penilaian Anak Tunarungu (Heward, 1996)
Kejam kepada anak suaminya Jahat kepada anak suaminya Tidak sayang kepada anak suaminya
Memiliki keterbatasan komunikasi Memiliki perbedaan emosi, perilaku dengan anak normal pada umumnya Membutuhkan perhatian dan pelayanan khusus
Berupaya Menyesuaikan dan Menerima Diri
Aspek-Aspek Penerimaan Diri (Jersild, 1963) a. Persepsi mengenali diri & sikap thdp penampilan b. Sikap thdp kelemahan & kekuatan diri sendiri & org lain c. Perasaan inferioritas sbg gejala penolakan diri d. Respon atas penolakan & kritikan e. Keseimbangan antara “real self” &“ideal self” f. Memiliki penerimaan diri & penerimaan orang lain g. Penerimaan diri, menuruti kehendak & menonjolkan diri h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup i. Kejujuran dalam penerimaan diri j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri
Penerimaan Diri 58
F. Paradigma Berpikir Gambar 2. Paradigma Berpikir
Cerai Mati
Menikah Kembali
Istri
Suami
Istri
Mengasuh Menjadi Ibu Tiri
Anak
Anak Berkebutuhan Khusus
Permasalahan
Tunarungu
- Penilaian negatif mengenai status ibu tiri - Memiliki status sebagai ibu tiri - Memiliki anak tiri yang tunarungu
Keterangan Gambar : : Cerai, karena meninggal, sakit atau cerai hidup : Status Ibu Tiri
59