BAB II LANDASAN TEORI
A. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Penerimaan diri menurut Chaplin (2011) adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas dan bakat yang dimiliki sendiri serta pengakuan atas kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Sikap yang menerima diri diwujudkan dengan sikap yang mampu mengenali nilai diri sebagai pribadi. Penerimaan diri merupakan dasar dari sikap penghargaan diri dan perasaan nyaman pada diri sendiri terlepas dari kesalahan dan kelemahan. Tanpa penerimaan diri, individu tidak akan mampu menggunakan potensi secara penuh dalam kehidupan mereka. Menurut Cronbach (1953) penerimaan diri adalah karakteristik yang lebih dalam untuk beberapa penjelasan yang luas tentang alasan seseorang melakukan sesuatu seperti yang dia inginkan. Wenkart (1955) menjelaskan bahwa setiap pemikiran manusia atau gagasan secara fundamental didasarkan pada penerimaan dan diarahkan pula pada penerimaan. Penerimaan diri lebih mengarah pada sebuah tindakan dibandingkan dengan perasaan-perasaan yang abstrak dalam diri. Pada penerimaan diri individu akan mampu melakukan sesuatu hal, tetap bertahan pada dirinya, bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya, dan selalu berlatih untuk mencintai diri sendiri. Penerimaan diri adalah refleksi dari keyakinan yang didapat saat masa anak-anak dan remaja. Biasanya keyakinan
1
2
ini datang melalui anggapan individu terhadap dirinya sendiri. Keyakinan ini muncul atau diperoleh dari lingkungan di sekitar individu itu tinggal, dapat berupa keluarga, teman, dan lain sebagainya. Supratiknya (1995) juga menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah keadaan individu dengan peghargaan tertinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya, tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri reaksi diri terhadap orang lain. Menurut beberapa tokoh mengenai penerimaan diri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah sikap menghargai diri sendiri yang dimiliki individu untuk dapat menerima keadaan dirinya sendiri, memberikan toleransi terhadap kekurangan yang dia miliki dan mengoptimalkan kelebihannya, merasa pantas berada dalam lingkungannya, merasa dirinya setara dengan orang lain yang berada di sekitarnya, dapat beradaptasi dan hidup bersama dengan segala aspek yang ada mengenai dirinya. 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Diri Penerimaan diri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa tokoh
telah
menjelaskan
faktor-faktor
yang
memengaruhi
penerimaan diri. Menurut Hurlock (1978) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan diri seseorang, yaitu: a. Aspirasi Realistis Pandangan yang realistis terhadap diri dan memiliki keinginan atau ambisi yang mungkin untuk dicapai oleh diri
individu sendiri dapat
mempengaruhi penerimaan diri dari seseorang. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang harus mengurangi ambisi atau menentukan sasaran di bawah kemampuan mereka. sebaliknya, mereka harus menetapkan sasaran yang
3
berada di dalam batas kemampuan diri mereka. Hal ini tetap harus dilakukan meskipun batas kemampuan diri lebih rendah dari apa yang seseorang cita-citakan. b. Keberhasilan Kesempatan berhasil yang dimiliki individu akan lebih besar apabila individu tersebut memiliki tujuan yang realistis untuk dicapai oleh dirinya. Selain itu, agar seseorang memiliki sikap menerima dirinya, mereka harus mengembangkan faktor yang dapat meningkatkan keberhasilan agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal. Faktor peningkat keberhasilan
ini
mencakup
keberanian
mengambil
inisiatif
dan
meninggalkan kebiasaan menunggu perintah untuk melakukan sesuatu hal, teliti dan bersungguh-sungguh dalam hal apapun yang dilakukan, bekerjasama dan bersedia melakukan lebih dari semestinya. c. Wawasan diri Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta mengenal dan
menerima
kelemahan
serta
kekuatan
yang
dimiliki,
akan
meningkatkan penerimaan diri. Bertambahnya usia dan pengalaman sosial seseorang akan meningkatkan penilaian diri yang lebih akurat. d. Wawasan sosial Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat mereka dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan seseorang dapat memenuhi harapan sosial. Sebagai kontras, perbedaan mencolok antara pendapat orang lain dan pendapat seseorang tentang dirinya akan
4
menjurus ke dalam perilaku yang membuat orang lain kesal, dan menurunkan penilaian orang lain tentang dirinya. e. Konsep diri yang stabil Bila seseorang melihat dirinya dengan satu cara pada suatu kondisi tertentu dan melihat dirinya dengan satu cara lain dan pada suatu kondisi yang lain, terkadang hal ini akan memberi dua sisi keuntungan dan kerugian. Hal ini juga dapat menjadikan seseorang ambivalen tentang dirinya. Untuk mencapai konsep diri yang positif, salah satunya dapat dilakukan dengan membentuk dasar bayangan yang digunakan oleh seseorang untuk bercermin melihat tentang dirinya. Jersild (1963) juga menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi sesorang dalam menerima dirinya, yaitu: a. Usia Seseorang yang memiliki usia lebih matang akan dapat menerima dirinya dengan lebih baik dibanding dengan orang yang berusia jauh di bawahnya. b. Pendidikan Pendidikan
memengaruhi
tingkat
penerimaan
diri
seseorang.
Pendidikan mampu membantu seseorang mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan mendatangkan kepuasan apabila pendidikan semakin tinggi.
5
c. Inteligensi Tingkat inteligensi yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi dalam penyelesaian tugas atau pekerjaan. Seseorang yang memiliki inteligensi lebih tinggi akan cenderung memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memberi kepuasan pada diri sendiri sehingga dapat menumbuhkan penerimaan diri pada dirinya . d. Keadaan fisik Sikap menerima diri pada remaja dipengaruhi oleh keadaan fisik yang ada pada dirinya. Hal ini berbeda dengan orang tua yang menjadikan keadaan fisiknya sebagai faktor yang tidak terlalu memengaruhi dalam sikap menerima terhadap dirinya. e. Pola asuh Pengaruh pola asuh atau orang tua memengaruhi seseorang atau anak dalam membentuk sikap penerimaan diri. Pola asuh yang bersifat demokratis akan lebih berpengaruh dalam penerimaan diri yang baik bagi seseorang. f. Dukungan sosial Lingkungan sosial yang baik dapat membantu seseorang memiliki sikap menerima diri. Dukungan dan pandangan sosial tentang individu akan menimbulkan konsep diri yang positif tentang diri mereka sendiri. Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan diri di atas, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri yang menjadi faktor utama dan
6
penting dalam penerimaan diri. Individu itu sendiri yang membentuk nilai, sikap, dan memunculkan penerimaan pada dirinya. Individu menerima dirinya melalui konsep diri positif yang individu bentuk dan olah sendiri berdasarkan pada informasi tentang dirinya yang tersedia di sekitar kehidupannya. 3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa penerimaan diri memiliki beberapa aspek yang ada di dalamnya, yaitu: a. Pembukaan diri Pembukaan diri ditunjukkan dengan sikap untuk membuka atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain secara sukarela. Penerimaan diri memiliki keterkaitan dengan pembukaan diri dalam tiga hal. Pertama, semakin besar penerimaan diri individu maka semakin besar pula pembukaan diri individu tersebut. Kedua, semakin besar pembukaan diri maka semakin besar penerimaan orang lain terhadap individu tersebut. Ketiga, semakin besar penerimaan orang lain maka akan membantu memunculkan penerimaan diri yang besar pula. b. Kesehatan psikologis Kesehatan psikologis individu akan mempengaruhi perasaan individu tersebut terhadap dirinya. Individu yang memiliki kesehatan psikologis yang baik akan memiliki perasaan positif terhadap dirinya sendiri seperti bahagia, memandang dirinya mampu, disenangi orang lain, diterima orang lain. Menerima diri juga membantu individu untuk berkembang dan tumbuh secara psikologis.
7
c. Penerimaan terhadap orang lain Sikap menerima diri akan mempengaruhi individu untuk menerima orang lain. Individu yang memiliki sikap penerimaan diri yang baik akan lebih bisa menerima orang lain dengan baik pula. Sebaliknya, jika individu tersebut tidak mampu menerima diri mereka sendiri dengan baik maka individu tersebut juga tidak akan mampu menerima orang lain dengan baik. Aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1953) yaitu: a. Percaya akan kemampuan yang ada dalam diri. Individu yang memiliki kepercayaan
terhadap
kemampuannya,
akan
mampu
menghadapi
persoalan atau keadaan yang dihadapinya. Rasa optimis yang muncul dalam menghadapi suatu hal akan ada pada orang yang mampu menerima dirinya dengan baik. b. Berani bertanggung jawab dan menerima segala konsekuensi dari tindakannya.
Setiap
tindakan
yang
dilakukan
akan
memberikan
konsekuensi pada individu yang melakukannya. Individu yang mampu menerima dirinya dengan baik akan berani bertanggung jawab dan menerima segala konsekuensi atas tindakan yang telah dilakukannya. c. Memiliki pendirian yang kuat. Individu yang mampu menerima dirinya dengan baik akan menjalani hidup atau melakukan sesuatu sesuai dengan prinsip atau pendirian yang telah dia tetapkan sendiri dibandingkan mengikuti standar yang ditetapkan oleh orang lain.
8
d. Menerima dirinya dan menganggap dirinya sama atau sederajat dengan orang lain. Seseorang yang mampu menerima dirinya dengan baik akan menyadari
bahwa
setiap
orang
tercipta
dengan
kelebihan
dan
kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu meyakini bahwa dirinya sama atau sederajat dengan orang lain. e. Tidak malu dan sadar tentang dirinya. Individu dengan penerimaan diri yang baik akan mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya tanpa merasa malu dan mampu mengekspresikan apa yang dirasakannya terhadap orang lain secara bijak. f. Menyadari keterbatasan atau kekurangan yang ada pada dirinya. Individu yang mampu menerima dirinya akan menyadari dan menerima apa yang menjadi keterbatasannya. Individu tersebut justru akan mengoptimalkan kelebihan yang ada pada dirinya dibandingkan menyesali kekurangan yang ada pada dirinya. g. Tidak berusaha mengingkari terhadap sifat-sifat mengenai kemanusiaan (perasaan, keinginan, kelebihan, kekurangan, dan kecakapan yang ada dalam diri). Individu yang mampu menerima dirinya akan mampu mengeksperikan dirinya, mengekspresikan perasaan, dan keinginannya dengan baik. Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh mengani aspek-aspek penerimaan diri di atas, penerimaan diri pada seseorang memiliki aspek yang saling terkait antara keadaan yang ada di dalam maupun di luar dari diri individu. Individu
9
yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki kerelaan dan kemampuan untuk membuka atau mengekspresikan pemikiran, perasaan terhadap orang lain mempengaruhi sikap individu tersebut dalam menerima dirinya sendiri dan menerima orang lain. Selain itu sikap menerima yang ada pada individu akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan psikologis individu tersebut. Penerimaan diri tidak hanya mempengaruhi kondisi internal individu saja namun juga mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan eksternalnya. 4. Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Penerimaan Diri Kurangnya penerimaan diridapat menciptakan ketidakpedulian atau pemberontakan yang negatif. Terdapat tiga tingkatan dalam sikap penerimaan diri. Ketiga tingkat tersebut saling berkaitan dan tidak mungkin untuk dipisahkan. Pertama, penerimaan diri sebagai bagian dari alam semesta. Kedua, penerimaan satu diri sebagai anggota organisasi manusia. Ketiga, penerimaan diri dalam diri sendiri. Menurut Matthews (1993) bagian dari penerimaan diri adalah pengungkapan diri dan siap terhadap risiko percaya bahwa orang lain akan menerima kita. Seseorang yang belajar menerima dirinya bahkan ketika ada kesalahan, biasanya akan menampilkan karakteristik dan perilaku tertentu seperti: a. Meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu dan bersedia untuk mempertahankan nilai atau prinsip tersebut bahkan ketika menghadapi pendapat dari kelompok yang kuat. Secara pribadi sudah merasa cukup
10
aman. Individu akan mengubah nilai atau prinsip tersebut jika pengalaman barunya dan bukti menunjukkan bahwa individu tersebut dalam kesalahan. b. Mampu bertindak atas penilaian terbaik terhadap individu tersebut tanpa merasa terlalu bersalah atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak setuju. c. Tidak
menghabiskan
waktu
yang
tidak
semestinya
untuk
mengkhawatirkan masa esok, masa lalu, atau saat ini. d. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk menangani masalah, bahkan dalam menghadapi kegagalan dan kemunduran yang dialami. e. Merasa sama dengan orang lain sebagai sebagai seorang indiviu, tidak tinggi atau lebih rendah. Hal ini terlepas dari perbedaan dalam kemampuan khusus, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadap dirinya. f. Meyakini bahwa dirinya adalah orang yang menarik dan bernilai untuk orang lain, setidaknya bagi mereka yang individu pilih untuk mengasosiasikan. g. Dapat menerima pujian tanpa kerendahan hati palsu dan memuji tanpa rasa bersalah. h. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasi dirinya. i. Mampu menerima ide dan mengakui kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, mulai dari marah untuk menjadi penuh kasih, dari yang sedih untuk menjadi bahagia, dari perasaan kebencian mendalam untuk merasa diterima secara mendalam.
11
j. Dapat benar-benar menikmati dirinya sendiridalam berbagai kegiatan yang melibatkan aktivitas bekerja, bermain, ekspresi diri yang kreatif, persahabatan, ataupun kemalasan. k. Peka terhadap kebutuhan orang lain, untuk diterima oleh adat sosial, dan khususnya pada gagasan bahwa ia tidak bisa menikmati dirinya sendiri dengan mengorbankan orang lain. Selain itu, Sheerer (dalam Cronbach, 1953) menjelaskan beberapa karakteristik lain yang menggambar individu dengan kemampuan penerimaan diri yang baik, yaitu: a. Memiliki
keyakinan
terhadap
kemampuan
yang
dimiliki
untuk
menghadapi kehidupan. b. Menganggap akan keberhargaan dirinya sebagai seorang individu yang sama dengan orang lain. c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang aneh; tidak mengharapkan orang lain menolak dirinya. d. Tidak malu atau memiliki kesadaran diri. e. Mengasumsikan tanggung jawab yang harus dilakukan atas perilakunya sendiri. f. Mengikuti standar yang ada pada dalam dirinya, bukan sesuai dengan standar yang berada di eksternal individu. g. Menerima celaan dan pujian secara objektif. h. Tidak menyalahkan diri sendiri atas segala kekurangan yang dimliki, dan tidak menolak segala kelebihan yang dimiliki individu.
12
i. Tidak menyalahkan diri sendiri atau menolak perasaan yang ada pada dirinya. Jersild (1963) mejelaskan beberapa karakteristik individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, yaitu: a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan Berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain adalah salah satu sikap yang ditunjukkan oleh individu yang memiliki penerimaan diri yang baik. individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain Individu yang memiliki penerimaan diri akan memandang dengan lebih baik tentang kelemahan dan kekuatan yang ada dalam dirinya. c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri Individu terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan inferiority complex. Inferiority complex merupakan seorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. d. Respon atas penolakan dan kritikan Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil himah dari kritikan tersebut.
13
e. Keseimbangan antara “real self” dan “ïdeal self” Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi yang benar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuannya individu mempersiapkan dalam konteks yang mungkin dicapai, untuk memastikan dirinya tidak ada kecewa saat nantinya. f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain Hal ini berarti apabila seseorang individu menyayangi dirinya, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain. g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seseorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu mampu untuk berbaik hati. h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup
14
Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yan dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. i. Aspek moral penerimaan diri Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan. j. Sikap terhadap penerimaan diri Menerima
diri
merupakan
hal
penting
dalam
kehidupan
seseorang.individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Cronbach (1953) juga berpandangan bahwa individu yang mampu menerima
diri
sendiri
akan
mengetahui
kelemahannya,
mengetahui
kesalahnnya yang bisa diperbaiki, belajar hidup bersama dengan orang lain, merasa dirinya pantas diterima walaupun memiliki keterbatasan, mampu melakukan apa yang dicita-citakan, dan mampu menerima dirinya tanpa perasaan bahwa dirinya sempurna. Berdasarkan pemaparan beberapa tokoh di atas mengenai kriteria individu yang dapat dikatakan dapat menerima diri, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri akan menyadari bahwa semua individu tidak
15
sempurna, termasuk dirinya yang memiliki keterbatasan. Individu yang memiliki penerimaan diri mampu berdamai dan menerima keterbatasan atau kekurangannya, memanfaatkan kelebihannya dalam kehidupan, memiliki prinsip yang teguh, memiliki harapan yang lebih baik terhadap masa depannya, mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dipilihnya.
B. Remaja Korban Pelecehan Seksual 1. Pengertian Remaja Korban Pelecehan Seksual Pengertian remaja berasal dari istilah adolescence yang berasal dari kata Latin (adolescere) yang memiliki arti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence saat ini memiliki arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980). Remaja menurut Santrock (2011) disebut sebagai suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa remaja. Remaja korban pelecehan seksual adalah remaja yang menjadi sasaran atau pihak yang dirugikan dalam tindak pelecehan seksual. Pelecehan seksual menurut para ahli adalah kontak atau interaksi yang terjadi antara korban dengan pelaku yang digunakan sebagai stimulus seksual pelaku atau orang lain yang memiliki kekuatan atau kendali terhadap korbannya (Chomaria, 2014). Mulyadi (Chomaria, 2014) menambahkan bahwa pelecehan seksual adalah segala tindakan yang melanggar kehormatan diri korban secara seksual,
16
termasuk di dalamnya pelecehan seksual secara fisik dan verbal. Pelecehan menyangkut harga diri dan kehormatan seseorang dengan sengaja serta pihak korban dalam posisi tidak berdaya atau di bawah tekanan. Menurut ILO (2011) pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan atau terintimidasi. Dengan kata lain pelecehan seksual dapat diartikan sebagai penyalahgunaan perilaku seksual, permintaan untuk bantuan seksual, pernyataan lisan atau fisik yang melakukan atau gerakan yang menggamarkan perbuatan seksual atau tindakan ke arah seksual yang tidak diinginkan. Tindakan yang tidak diinginkan adalah segala bentuk tindakan yang tidak diinginkan atau dikehendaki oleh korban. Perilaku yang tidak diinginkan ini dilihat dari sudut pandang korban yang mengalami tindakan pelecehan seksual. Tindakan yang tidak diinginkan memiliki ciri bahwa korban telah menjelaskan bahwa perilaku itu tidak diinginkan, korban merasa terhina, tersinggung atau terintimidasi akibat tindakan tersebut, pelaku menyadari bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan korbannya merasa terhina, tersinggung atau terintimidasi. Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, baik perempuan ataupun laki-laki. Delaney (2006) mengungkapkan bahwa dalam tindakan pelecehan seksual melibatkan pemaksaan terhadap korban untuk menjadi bagian dalam kegiatan seksual, termasuk korban mengetahui hal tersebut atau tidak. Korban
17
pelecehan seksual digunakan sebagai objek pemuasan keinginan seksual pelaku. Kebutuhan seksual yang terkendali atau bahkan tidak terkendali sering digunakan sebagai alasan terjadinya kekerasan seksual. Tindakan pelecehan seksual melibatkan kontak fisik, termasuk seks penetratif seperti tindakan pemerkosaan atau seks non-penetratif dan mungkin tindakan yang tidak melibatkan kontak fisik antara pelaku dengan korbannya. Tindakan pelecehan seksual yang tidak melibatkan kontak fisik dapat berupa melibatkan korban untuk melihat, memproduksi, menjadikan korban sebagai bahan pembuatan produk pornografi atau bahkan mendorong korban untuk melakukan tindakan seksualitas yang tidak pantas. Oleh karena itu, korban yang disebut sebagi korban pelecehan seksual tidak hanya yang mengalami pemerkosaan atau sodomi namun juga yang dipergunakan sebagai objek yang berkenaan dengan kegiatan yang berbau seksual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja korban pelecehan seksual adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan dari anakanak menuju dewasa yang mengalami kontak atau interaksi dengan pelaku sebagai stimulus seksual pelaku atau orang lain yang memiliki kekuatan atau kendali terhadap korbannya. Tindakan pelecehan seksual tersebut tanpa disetujui, dikehendaki oleh remaja yang menjadi korban. 2. Bentuk-Bentuk Tindakan Pelecehan Seksual Pelecehan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk tindakan. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindakan pelecehan seksual adalah kontak fisik yang tidak pantas dan mengakibatkan korban melihat tindakan
18
seksual atau pornografi, menggunakan korban untuk membuat pornografi, atau memperlihatkan alat genital pelaku kepada korban. Chomaria (2014) menjelaskan bahwa tindakan pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk verbal dan fisik. Cakupan dari pelecehan seksual cukup luas, seperti perkataan jorok yang ditujukan kepada korban sehingga menyebabkan korban merasa malu, tersinggung, marah, sakit. Pelecehan seksual secara fisik dapat berupa tindakan mencowel, memegang, atau melakukan sentuhan-sentuhan yang tidak pantas. Sedangkan bentuk-bentuk pelecehan seksual menurut ILO (2011) adalah: a. Pelecehan fisik Pelecehan seksual secara fisik dapat berupa sentuhan yang tidak diinginkan dan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu. b. Pelecehan lisan Pelecehan seksaul secara lisan adalah ucapan verbal atau komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual. c. Pelecehan isyarat Pelecehan seksual dalam bentuk isyarat dapat berupa bahasa tubuh dana atau gerakan bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulangulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir.
19
d. Pelecehan tertulis atau gambar Pelecehan seksual secara tertulis atau gambar berupa menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan model komunikasi elektronik lainnya. e. Pelecehan psikologi atau emosional Pelecehan seksual dalam bentuk psiklogi atau emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus-menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual. Dengan penjelasan sebelumnya, bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat terjadi kontak secara langsung ataupun tidak terjadi kontak langsung antara pelaku dengan korban. Bentuk perilaku tidak harus hubungan seksual namun perilaku-perilaku lain yang berbau seksual dan tidak dikehendaki oleh korban dapat dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual. 3. Dampak Pelecehan Seksual Pelecehan seksual mempunyai dampak yang besar dalam keberlangsungan hidup korban. Korban pelecehan seksual akan mendapat berbagai macam dampak setelah mengalami tindak pelecehan seksual. Sulistyaningsih dan Faturohman (2002) mengungkapkan bahwa korban akan terkena dampak negatif baik itu secara sosial, fisik dan psikologis. Dampak fisik yang dapat dialami oleh korban dapat berupa kerusakan organ tubuh, korban memiliki kemungkinan terkena penyakit menular seksual (PMS), dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
20
Sulistyaningsih dan Faturohman (2002) menjelaskan bahwa korban pelecehan seksual memiliki kemungkinan mengalami stres setelah terjadi pelecehan seksual. Stres yang dialami korban dapat dibedakan menjadi stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi setelah terjadi pelecehan seksual seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Sedangkan stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban tidak memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan di lingkungannya, dan juga reaksi somantik seperti jantung berdebar dan berkeringat berlebihan. Kusumaningtyas, dkk (2013) mengungkapkan bahwa persepsi yang muncul pada diri korban terhadap tindak kekerasan yang dialaminya yakni korban menilai bahwa mereka sudah ternodai, kotor, berdosa, dan merasa malu
dengan
lingkungan
di
sekitarnya.
Pelecehan
seksual
dapat
mempengaruhi persepsi korban terhadap realita, pertumbuhan dan aktualisasi diri, relasi interpersonal, dan tujuan hidup dari korban. Sakalasastra dan Herdiana (2012) mengungkapkan korban pelecehan seksual akan mengalami dampak psikososial seperti adanya kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk hidup bebas, penilaian negatif pada diri sendiri dan kehidupan, perilaku seksual yang tidak wajar, penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol, serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
21
Pemaparan sebelumnya menjelaskan bahwa banyak sekali aspek-aspek kehidupan dari remaja yang terkena dampak negatif akibat pelecehan seksual. Dampak negatif yang muncul dapat berupa rasa sakit pada fisik korban, kehamilan, munculnya penerimaan diri yang buruk setelah mengalami pecehan seksual, dan gangguan psikologis lainnya seperti stres.
C. Penerimaan Diri Remaja yang Mengalami Pelecehan Seksual Remaja yang menjadi korban pelecehan seksual akan berada pada situasi terkekang dalam perasaan simpatik yang mendalam atau kronik (fase stres). Jika individu belum mampu meminimalkan tekanan akan terjadi manipulsi dalam aspek kognisi yang dapat berupa mengalihkan pada hal yang bersifat hiburan ataupun berupa penerimaan diri (Fuadi, 2011). Pratitis dan Hendriani (2013) menjelaskan bahwa penerimaan diri pada korban pelecehan seksual adalah fase untuk menerima kejadian yang telah dialami sebelumnya adalah takdir yang harus dihadapinya. Penerimaan diri pada korban pelecehan seksual dipengaruhi oleh pemahaman dari diri korban itu sendiri. Fuadi (2011) menjelaskan tentang dinamika psikologis pada remaja yang menjadi korban pelecehan seksual dari aspek kognisi. Aspek kognisi akan berpengaruh pada perasaan dan tindakan, perasaan dan tindakan akan mempengaruhi kondisi fisik remaja. Sistem kognisi yang negatif akan membuat individu memiliki pola pikir negatif yang diulang-ulang. Pengulangan pola pikir negatif ini akan menimbulkan keyakinan negatif pada diri korban dan terkunci atau dibekukan ke dalam sistem kognisi korban.
22
Pembentukan kepribadian dan penerimaan diri pada remaja dipengaruhi pula oleh lingkungan sekitarnya seperti keluarga. Menurut Stanik (dalam Matyja, 2014) menyatakan bahwa remaja yang memiliki penerimaan diri akan berada pada tahap kepribadian yang cukup stabil, memiliki self-esteem yang stabil secara relatif tiap individu terutama ketika membandingkan diri dengan orang lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matyja (2014) menjelaskan bahwa penerimaan diri pada remaja merupakan elemen yang penting dari aspek kesadaran diri serta memberi kemungkinan bagi remaja untuk membedakan dirinya dari lingkungan. Hal ini memungkinkan remaja untuk mengkritisi kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap persyaratan yang ada di lingkungannya. penerimaan diri pada remaja tidak hanya membantu remaja mengenali dirinya sendiri namun dapat mengarahkan perilau remaja dan menyadari atau merencanakan kehidupannya untuk lebih baik. Namun, untuk remaja korban pelecehan seksual yang tidak memiliki penerimaan diri yang baik dapat memunculkan perilaku maladaptif lainnya. Chomaria (2014) menjelaskan beberapa ciri-ciri dari remaja yang bersikap maladaptif setelah mengalami pelecehan seksual, yaitu: 1. Menampilkan perilaku yang merusak diri 2. Pikiran untuk bunuh diri Remaja merasa malu dan tidak berguna lagi. Dalam kondisi yang sangat putus asa, remaja korban pelecehan seksual dalam melakukan tindakan bunuh diri.
23
3. Gangguan makan Gangguan makan yang dialami korban dapat terjadi sebagai dampak stres korban setelah mengalami tindak pelecehan seksual. 4. Terlibat berbagai kenakalan remaja Remaja merasa tidak aman sehingga berusaha membentuk pertahanan diri dengan melakukan berbagai agresi. Kenakalan yang dilakukan umumnya merupakan usaha untuk membalas dendam atas apa yang telah dialami. 5. Melarikan diri dengan cara lari dari rumah, bolos sekolah, atau menggunakan narkoba. 6. Melakukan seks di luar nikah atau mlaah melacurkan diri sebagai bentuk balas dendam. 7. Mengalami kehamilan di luar nikah. 8. Mengalami seks yang menyimpang. 9. Mengalami frigiditas atau tidak bisa menjalankan fungsi sebagai istri karena trauma berat. 10. Merasa dirinya kotor sehingga tidak sedikit korban yang memutuskan tidak menikah karena takut suaminya tidak dapat menerima dirinya apa adanya. Berdasarkan penjelasan beberapa ahli di atas remaja yang mengalami pelecehan seksual akan terkena dampak baik fisik atau psikologis. Dampak psikologis berupa penerimaan diri yang buruk akibat penilaian terhadap dirinya sendiri yang dianggap kotor atau tidak berguna akan mempengaruhi bagaimana remaja tersebut berperilaku dan merencanakan kehidupannya setelah itu.
24
D. Pelatihan Konsep Diri 1. Pelatihan a. Pengertian Pelatihan Pelatihan, menurut Chaplin (2011), adalah seri sistematis kegiatan instruksi, praktik, pemeriksaan, ujian dan seterusnya yang digunakan pada seseorang yang sedang dilatih atau dididik. Pelatihan merupakan kegiatan yang sistematis, sehingga dalam melakukan pelatihan perlu dilakukan beberapa tahapan mulai dari persiapan sampai dengan proses pelaksanaan pelatihan. Samsudin (2005) menyatakan bahwa pelatihan merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan lebih bersifat filosofis dan teoritis, berbeda dengan pelatihan yang bersifat spesifik, praktis, dan segera. Spesifik berarti pelatihan berhubungan dengan sasaran materi yang dibutuhkan peserta, praktis dan segera berarti materi yang sudah dilatihkan dapat dipraktikan oleh peserta. Menurut Samsudin (2005) pelatihan pada umumnya dilakukan untuk memperbaiki perilaku atau keahlian dalam waktu yang relatif pendek (singkat). Sasaran pelatihan dan pengembangan harus mencerminkan perilaku dan kondisi yang diinginkan dan berfungsi sebagai standar perilaku yang baik. Isi program atau materi yang disampaikan kepada peserta diharapkan dapat efektif.
Prinsip-prinsip pembelajaran seperti
partisipatif, relevan, repetitif (pengulangan), pemindahan, dan adanya umban balik (feedback) dapat membantu isi program pelatihan menjadi efektif.
25
Berdasarkan beberapa pengertian dan penjelasan mengenai pelatihan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pelatihan adalah salah satu bentuk pendidikan yang disusun secara sistematis dengan tujuan dapat memberikan ilmu yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan peserta segera setelah selesai dilakukan pelatihan. b. Metode Pelatihan Stewart (1997) menejelaskan pelatihan merupakan suatu bentuk proses belajar yang menyerupai proses pemecahan masalah. Oleh karena itu, pelatihan yang didesain untuk memberikan semangat, dorongan, dan kemampuan pada proses belajar seharusnya didasarkan pada sebuah cara pendekatan pemecahan masalah. Pemecahan masalah pada proses belajar inilah yang menjadi dasar bahwa pelatihan yang baik adalah menggunakan proses belajar eksperiensial (experiential learnig).
Pengalamanpengalaman
Eksperimeneksperimen
Refleksirefleksi
Konsepkonsep
26
Gambar 1. Siklus proses belajar eksperiensial Proses belajar eksperiensial menjelaskan bahwa sebagian besar pengalaman belajar formal individu mengarahkan ke arah pemahaman dan penguasaan mengenai suatu pengetahuan, ide, dan konsep. Tujuan dari belajar eksperiensial adalah untuk memengaruhi peserta dalam tiga cara yang saling berkaitan dan dapat mengubah secara keseluruhan, yakni: 1) Mengubah struktur kognitif peserta 2) Memodifikasi sikap peserta 3) Memperluas pengetahuan peserta tentang keterampilan perilaku. Pelatihan ini melibatkan peserta secara langsung melalui aspek kognitif (pikiran), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik motorik). Melalui pedekatan proses belajar eksperiensial ini, diharapkan peserta dapat terlibat secara aktif dalam memahami suatu pengetahuan yang dipelajari untuk meningkatkan penerimaan diri. Kolb (dalam Stewart, 1997) mengusulkan empat gaya belajar berdasarkan siklus proses belajar eksperiensial. Setiap gaya adalah hasil dari kombinasi dua tahap yang berbeda dalam siklus proses belajar tersebut. gaya tersebut adalah: 1) Penyimpang (Diverger) Gaya ini mengombinasikan penekanan pada pengalaman konkret dan observasi refleksi. Gaya ini melibatkan pelaksanaan tugas-tigas dan kemudian memikirkan proses yang dilakukan serta hasil-hasil yang dicapai.
27
2) Pengasimilasi (Asimilator) Gaya
ini
mengombinasikan
observasi
reflektif
dan
konseptualisasi abstrak. Gaya ini melibatkan penggunaan data dan analisis dalam observasi reflektif untuk menggeneralisasikan dan menghasilkan teori-teori dan model-model yang mendalam untuk aplikasi yang lebih luas. 3) Penyatu (Converger) Gaya ini mengombinasikan konseptualisasi abstrak dan eksperiemn aktif. Gaya ini dikonsentrasikan pada aplikasi dan pengujian teori-teori dan prinsip-prinsip umum untuk mengatasi masalah-masalah dan situasi-situasi yang spesifik. 4) Akomodator Gaya ini mengombinasikan eksperimen aktif dan pengalamanpengalaman konkret. Ini merupakan gaya yang berorientasikan aksi dan tidak mementingkan proses pemikiran serta memfokuskan pada pengalaman dan menghasilkan hasil yang dapar dikerjakan. Lewin (dalam Johnson & Johnson, 1997) menjelaskan bahwa proses belajar eksperiensial memiliki beberapa prinsip, yaitu: 1) Belajar eksperiensial yang efektif akan memengaruhi struktur kognitif peserta (teori tindakan), sikap dan nilai-nilai, persepsi, dan pola perilaku.
28
2) Individu akan lebih percaya pada pengetahuan yang ditemukan sendiri daripada pengetahuan yang diberikan oleh orang lain. 3) Proses belajar aktif lebih efektif daripada proses belajar pasif. 4) Penerimaan teori tindakan, sikap, dan pola perilaku baru dibawakan oleh sejumlah sistem kognitif, afektif, perilaku yang harus berubah. 5) Informasi saja tidak cukup untuk mengubah teori tindakan, sikap, dan pola perilaku. 6) Diperlukan lebih dari pengalaman langsung untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. 7) Perubahan perilaku akan bersifat sementara hanya jika teori tindakan dan sikap dasar peserta berubah. 8) Perubahan dalam persepsi diri sendiri dan lingkungan sosial individu diperlukan sebelum perubahan dalam teori tindakan, sikap, dan pola perilaku. 9) Pembentukan sikap yang lebih mendukung, menerima, dan kepedulian lingkungan sosial terhadap kebebasan seseorang merupakan cara untuk bereksperimen dengan perilaku sikap dan teori tindakan yang baru. 10) Demi mencapai perubahan dalam pola perilaku, sikap, dan teori tindakan yang bersifat permanen baik individu maupun lingkungan sosial harus mau untuk berubah.
29
11) Lebih mudah untuk mengubah teori tindakan, sikap, dan pola perilaku dalam konteks kelompok daripada individu. 12) Seseorang akan menerima sistem baru teori tindakan, sikap, dan pola perilaku ketika menerima keanggotaan dalam kelompok baru. 2. Konsep Diri a. Pengertian Konsep Diri Diri adalah jumlah keseluruhan dari segala apa yang ada pada diri seseorang seperti tubuh, perilaku, pikiran, dan perasaan. Menurut Sobur (2003) konsep diri adalah apa yang terlintas dalam pikiran ketika seseorang berpikir tentang “saya”. Setiap orang dapat menciptakan tentang gambaran mental mengenai diri mereka, meskipun terkadang gambaran mental tersebut tidak realistik namun gambaran mental tersebut tetap milik orang tersebut dan akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku seseorang. Konsep diri menurut Chaplin (2011) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Secara singkat Myers (2012) mendefinisikan konsep diri sebagai jawaban-jawaban seseorang atas pertanyaan “siapa saya?”. Sobur (2003) mengatakan bahwa konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan akan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai gambaran tentang diri individu tersebut. Dengan kata lain konsep diri dapat dijelaskan sebagai kesadaran batin yang tetap mengenai pengalaman yang berhubungan dengan saya dan membedakan saya dengan yang bukan saya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
30
konsep diri adalah pandangan internal seseorang terhadap aspek atau keadaan yang ada dalam dirinya. b. Aspek-aspek dalam konsep diri Konsep diri memiliki beberapa aspek yang ada di dalamnya (Myers, 2012), yaitu: 1) Skema diri Skema adalah cetakan mental yang membuat seseorang dapat mengenali dunia mereka. Skema diri sebagai elemen dari konsep diri merupakan keyakinan-keyakinan tentang diri yang mengatur dan memandu pemrosesan informasi yang relevan dengan diri. Skema diri akan
mempengaruhi
seseorang
mempersepsi,
mengingat
dan
mengevaluasi diri mereka dan orang lain. Skema diri yang membentuk konsep diri akan membantu seseorang mengorganisasi dan mengingat kembali pengalaman-pengalaman seseorang. 2) Kemungkinan diri Konsep diri tidak hanya meliputi skema diri namun juga tentang kemungkinan diri (possible selves). Kemungkinan diri adalah gambaran tentang apa yang seseorang impikan atau takutkan mengenai dirinya di masa depan. 3) Cita diri Sobur (2003) menyatakan bahwa konsep diri erat kaitannya dengan cita diri. Cita diri merupakan apa yang seseorang inginkan dari dirinya, cita diri akan membantu seseorang dalam pembentukan konsep diri.
31
Dari uraian aspek konsep diri menurut Myers (2012) di atas maka aspek dalam konsep diri yang sangat penting adalah membentuk gambaran diri individu yang diproses dalam mental individu tersebut, harapan dan keinginan di masa depan untu diri individu juga akan berpengaruh dalam konsep diri individu. c. Tingkatan dalam Konsep Diri Pudjijogyanti ( dalam Sobur, 2003 ) menyusun hierarki mengenai konsep diri, yaitu: 1) Tingkatan pertama adalah konsep diri global, yaitu arus kesadaran dari seluruh keunikan individu. Untuk menanggapi diri secara keseluruhan dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu: a) Konsep diri yang disadari. Konsep diri yang disadari merupakan pandangan individu mengenai kemampuannya, statusnya, dan perannya. b) Aku sosial atau aku menurut orang lain. Merupakan pandangan individu tentang cara orang lain memandang atau menilai individu tersebut. c) Aku ideal. Berupa harapan tentang diri individu untuk di masa yang akan datang, aku ideal merupakan aspirasi setiap individu. 2) Tingkatan kedua pada hierarki konsep diri adalah konsep diri mayor, yaitu cara individu memahami aspek sosial, fisik, dan akademis dirinya.
32
3) Tingkatan ketiga adalah konsep diri spesifik, merupakan cara individu dalam memahami dirinya terhadap setiap jenis kegiatan dalam aspek akademis, sosial maupun fisik. Konsep diri global lebih susah diubah dibandingkan dengan konsep diri mayor dan spesifik. Hal itu terjadi karena dalam konsep diri global berisi keyakinan individu dalam memahami dirinya secara utuh sedangkan konsep diri mayor dan spesifik adalah keyakinan invidu dalam memahami bagian-bagian dari dari individu. Dengan demikian, konsep diri memiliki tingkatan yang dimulai dari konsep diri yang bersifat luas, mulai menyempit dan semakin spesifik menjadi konsep diri individu itu sendiri. d. Perkembangan Konsep Diri Konsep diri tersusun dari berbagai tahapan, tahapan dasar yang disebut konsep diri primer dan tahap selanjutnya yang disebut konsep diri sekunder. Konsep diri primer yaitu konsep yang terbentuk atas dasar pengalaman individu terhadap lingkungan terdekatnya. Sedangkan konsep diri sekunder banyak ditentukan oleh konsep primer yang terbentuk sebelumnya. Pudjijogyanti (dalam Sobur, 2003) membagi dua komponen dalam konsep diri. Komponen pertama adalah komponen kognitif yang merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya dan bersifat objektif. Komponen kognitif akan memberikan gambaran tentang diri dan kemudian membentuk citra diri. Komponen kedua adalah komponen afektif, dalam komponen afektif individu akan menilai diri mereka sendiri
33
dan bersifat subjektif. Penilaian individu tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance) dan penghargaan diri (selfesteem). Menurut Hurlock (1980) konsep diri telah muncul sejak masa kanakkanak. Konsep diri akan berkembang mengikuti fase-fase perkembangan yang dilalui seseorang. Menurut Atkinson, dkk (2010) tugas utama yang dihadapi remaja adalah membenruk identitas individualitas, untuk menemukan jawaban “Siapa saya?” dan “Kemana saya akan pergi?”. Proses ini juga melibatkan perasaan tentang kompetensi dan harga diri. Walaupun perkembangan konsep diri dimulai pada awal masa anak-anak dan terus berlangsung seumur hidup, masa remaja adalah periode yang kritis. Perubahan kepribadian yang terjadi saat remaja, menjadikan kebanyakan remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian yang ideal dan digunakan untuk menilai kepribadian remaja itu sendiri. Tidak banyak remaja yang berhasil mencapai standar kepribadian yang ideal ini, dan ketidak berhasailan ini menjadikan remaja ingin mengubah kepribadian mereka. Hal tersebut merupakan tugas yang sulit karena pola kepribadian yang sudah terbentuk sejak kanak-kanak sudah mulai stabil dan cenderung menetap sepanjang hidupnya dengan hanya sedikit perbaikan yang terjadi. Perubahan yang terjadi karena pertambahan usia lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif, artinya sifat-sifat yang diinginkan akan diperkuat dan sifat-sifat yang tidak diinginkan akan diperlemah. Alasan lain yang
34
menyebabkan perubahan kepribadian menjadi tugas yang sulit adalah kondisi-kondisi yang membentuk kepribadian berada di luar pengendalian remaja. Kondisi-kondisi tersebut merupakan hasil dari lingkungan tempat tinggal remaja dan akan terus menerus mempengaruhi konsep diri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep diri telah terbentuk sejak individu masih berada pada fase kanak-kanak. Pembentukan dan perkembangn konsep diri melalui dua tahapan yaitu primer dan sekunder. Keduanya dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungannya. 3. Pelatihan Konsep Diri Pelatihan konsep diri merupakan suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir guna membantu individu untuk membentuk penilaian diri yang positif sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mampu menuju hidup yang lebih berkualitas dan penuh penerimaan terhadap keadaan yang ada pada dirinya. Pelatihan ini mengunakan cara-cara penegembangan konsep diri dari King (dalam Sobur, 2003) sebagai dasar perancangan pelatihan. Adapun caracara pengembangan konsep diri yang digunakan dalam pelatihan ini adalah sebagai berikut: a. Saya sebagaimana saya (me as I am) Merupakan saya yang realistis, nyata, yang sebenarnya. Untuk ini, hanya Tuhan yang tahu saya yang sebenarnya, karena seseorang tidak bisa mengetahui diri kita secara benar, lengkap, tepat, dan objektif. b. Saya sebagaimana yang saya pikir tentang saya (me as I think I am)
35
Pandangan individu tentang dirinya sendiri. Melihat berbagai gambaran mengenai berbagai aspek tentang diri sendiri, sebagai sebuah fisik tersusun dalam suatu struktur, namun ini bukan suatu yang asli atau riil. Ini adalah pendapat seorang individu tentang dirinya sendiri, dan pendapat itu bukan fakta. c. Saya sebagaimana orang lain berpikir tentang saya (me as others think I am) Individu berpikir tentang pandangan orang lain tentang dirinya. Jadi, individu sebagi apa yang ada dalam pikiran orang yang memandang diri individu tersebut. Oleh karena itu, bukan tentang individu yang hakiki, tetapi tentang individu menurut pandangan orang lain terhadap individu tersebut. d. Saya sebagaimana yang saya pikir tentang orang lain memandang saya (me as I think others think I am) Individu mempunyai kesan bahwa pandangan orang lain terhadap individu tersebut adalah seperti yang ada dalam pikiran individu tersebut. jadi, seolah-olah individu mengetahui tentang pandangan orang lain tersebut. e. Saya seperti yang saya pikir tentang saya yang seharusnya (me as I think I ought to be) Individu seperti yang individu pikir seharusnya terjadi pada dirinya. Jadi, seharusnya individu tersebut menjadi apa. Ini adalah gambaran ego yang ideal tentang apa yang seharusnya dikerjakan oleh individu tersebut.
36
dalam hal ini, ada interrelasi sesuatu yang ada di luar diri individu, yang masuk ke dalam diri individu. Jadi gambaran yang ada dalam pikiran seseorang adalah kumpulan apa yang sudah diinternalisasikan terhadap dirinya sebagai hasil dari adanya interaksi dengan orang lain f. Saya sebagaimana yang saya pikir menurut saya tentang apa yang menjadi seharusnya saya (me as I think measure up to what I think ought to be) Individu berpikir bahwa individu harus menjadi sesuatu. Hal ini seperti harapan atau yang dicita-citakan oleh individu sesuai dengan kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Penerapan proses belajar eksperiensial pada pelatihan konsep diri menggunakan pelatihan sebagai berikut: a. Metode ceramah dan diskusi Metode ini merupakan pertemuan yang bersifat formal yang menjadi tempat pembahasan tentang sesuatu materi yang penting. Ceramah merupakan suatu metode penyampaian materi atau informasi yang mengandung pengetahuan baru untuk peserta pelatihan. Sedangkan metode diskusi ditekankan untuk membahas materi yang terorganisasi dan melibatkan peran serta secara aktif untuk membahas materi yang menjadi pokok bahasan diskusi. b. Metode studi kasus Metode ini merupakan uraian tertulis atau secara lisan mengenai masalah atau keadaan selama waktu tertentu ataupun masalah yang berupa dugaan sementara. Dalam metode studi kasus ini, peserta diminta untuk
37
melakukan
identifikasi
masalah-masalah
dan
merekomendasikan
pemecahan masalah dari kasus atau keadaan yang diberikan. c. Metode roleplay Metode roleplay akan mengondisikan peserta untuk memainkan suatu peran atau suatu kesan. Selama peserta memainkan suatu peran, dua orang peserta atau lebih akan diberikan peran tersendiri untuk dimainkan untuk menjelaskan situasi yang diperankan sesuai dengan konteks tersebut. d. Simulasi dan permainan Simulasi dan permainan dapat membantu peserta unutuk menguji seberapa insting dan perasaan peserta untuk mengamati perbedaan anatara pikiran peserta dan perilaku peserta yang sebenarnya pada suatu situasi. e. Metode pelatihan lainnya seperti sharing, menggunakan alat bantu video, dan latihan.
E. Pengaruh Pelatihan Konsep Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri pada Remaja Korban Pelecehan Seksual di Yayasan KAKAK Surakarta Pengertian pengaruh dalam penelitian ini adalah terdapat peningkatan penerimaan diri yang ditimbulkan melalui pelatihan keterampilan dalam mengembangkan konsep diri yang positif pada remaja yang menjadi korban pelecehan seksual. Untuk melihat pengaruh dalam penelitian ini akan membandingkan skor rata-rata tingkat penerimaan diri subjek sebelum diberikan pelatihan dengan skor rata-rata subjek setelah diberikan pelatihan konsep diri. Apabila skor rata-rata tingkat penerimaan diri subjek setelah diberikan pelatihan
38
lebih tinggi dibandingkan dengan skor sebelum diberikan pelatihan, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan konsep diri memiliki pengaruh dalam meningkatkan penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual. Remaja korban pelecehan seksual adalah remaja yang mengalami pengalaman buruk dalam kehidupannya. Anggapan-anggapan yang ada di lingkungan sekitar, anggapan remaja terhadap dirinya sendiri bahwa seseorang yang pernah menjadi korban pelecehan seksual bahwa akan menjadi pribadi yang tidak berguna, tidak berhaga dan memiliki nilai yang buruk di masyarakat menimbulkan dampak psikologis yang cukup besar untuk kehidupan remaja korban pelecehan seksual. Kondisi psikologis yang terguncang setelah remaja mengalami pelecehan seksual dapat memengaruhi cara remaja berpikir dan bersikap pada lingkungan. Tidak jarang jika remaja akan menarik diri, merasa rendah diri, merasa bersalah karena pelecehan seksual yang tela dialaminya. Mengenali diri sendiri dengan pandangan positif dapat memunculkan sikap dan cara berpikir remaja terhadap dirinya dan memengaruhi perilakunya dengan lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan penilitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk (1998) bahwa pengenalan diri dapat meningkatkan penerimaan diri dan harga diri remaja. Pelatihan konsep diri dilakukan untuk membantu remaja melihat dan mengenali dirinya secara positif. Remaja dapat menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya serta sanggup menerima dan menoleransi kekurangannya dan mengoptimallkan kelebihannya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mengaktualisasi diri. Handayani, dkk (1998) telah menunjukkan adanya pengaruh yang positif antara kemampuan individu mengenali konsep dirinya dengan
39
sikapnya yang menerima diri sendiri. Muharomi (2012) juga menunjukkan melalui penelitiannya bahwa konsep diri dapat memengaruhi seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Dari beberapa paparan sebelumnya, konsep diri memiliki dampak positif terhadap cara berpikir dan berperilaku seseorang. Memberikan pelatihan konsep diri terhadap remaja korban pelecehan seksual berarti mengenalkan metode-metode pembentukan konsep diri yang positif yang didasarkan pada konsep dasar dari konsep diri. Kemampuan menciptakan konsep diri positif akan membantu seseorang mengenali dirinya secara lebih dalam dan menilai dirinya sebagai individu yang bernilai positif. Pada remaja korban pelecehan seksual kemampuan membentuk konsep diri akan membantu memunculkan pemikiran dan sikap positif terhadap dirinya, menerima keadaan dirinya, memaklumi kekurang yang dimiliki dan mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki. Kemampuan keadaan menerima diri sendiri juga mampu membantu remaja untuk beradaptasi dan mengaktualisasi diri.
F. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disusun sebuah kerangka pemikiran yang menggambarkan bahwa tingkat penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual dapat mengalami peningkatan melalui pemberian intervensi psikologis berupa pelatihan konsep diri. Oleh karena itu, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
40
Remaja korban pelecehan seksual Pelatihan konsep diri Stigma negatif mengenai korban pelecehan seksual
Penerimaan diri rendah dan sedang diukur dengan skala penerimaan diri
Peningkatan skor penerimaan diri
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
G. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terdapat pengaruh pelatihan konsep diri terhadap peningkatan penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual.