Analisis
ISSN 1410 - 3729
PARIWISATA MERETAS PARIWISATA BERKELANJUTAN Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tinggalan Arkeologi yang Berkelanjutan di Bali Ni Made Oka Karini
Mengoptimalkan Pengelolaan Limbah Menuju Pariwisata Berkelanjutan pada Kawasan Wisata di Bali I Wayan Pugra & I Ketut Suja
Dekontruksi Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan di Bali I Wayan Suardana
Diterbitkan Oleh :
VOL. 11, NO. 1, 2011
Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
DIPUBLIKASIKAN OLEH FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. SUSUNAN PENGURUS JURNAL ANALISIS PARIWISATA Penanggung Jawab Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Penasehat Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) Ketua Dewan Penyunting Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si. Penyunting Ahli (Mitra Bestari) ▪ Prof. Adnyana Manuaba, ▪ Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D. M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF. Universitas Gajah Mada Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc. ▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Universitas Udayana Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS. ▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch Universitas Udayana University of North London ▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS. ▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd. Universitas Udayana Young San University – Korsel. ▪ Dr. Hans-Henje Hild SES Bonn – Germany Penyunting Pelaksana ▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si. ▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par. ▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc. ▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par. Tata Usaha dan Pemasaran ▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ Wayan Sudarma, SH. ▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ I Gusti Putu Setiawan, SH. ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798 E-mail :
[email protected] Cover Depan Analisis Pariwisata : Desa Petulu, Ubud, Gianyar, Bali (Kusuma, 2008) © Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2011
VOL. 11, NO. 1, 2011
PENGANTAR REDAKSI ANALISIS PARIWISATA
Harus diakui pariwisata sudah banyak memberikan manfaat ekonomi bagi suatu daerah seperti Bali. Terlebih Bali yang sudah terkenal hingga ke mancanegara dengan berbagai julukan dari yang eksotis hingga fantastis. Bali merupakan destinasi utama pariwisata di Indonesia dan bahkan di dunia. Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena memiliki daya tarik adat-istiadat, tradisi maupun destinasi wisata yang beraneka ragam. Permasalahannya adalah ketika pariwisata tidak berkembang secara merata dan terjadinya persaingan kompetitif pasar pariwisata dunia. Menyikapi permasalahan tersebut banyak alasan yang sering dijadikan kambing hitam. Mulai dari kebijakan, infrastruktur, teknologi, lingkungan hingga sumber daya manusia. Betapa sulitnya memang mewujudkan destinasi wisata berlandaskan kepada pariwisata berkelanjutan. Entah pariwisata berkelanjutan sebagai konsep, teori atau bahkan aplikasi hingga saat ini pariwisata berkelanjutan tetap menjadi tantangan bagi komponen pariwisata lokal, regional, nasional bahkan mungkin di tingkat internasional. Berdasarkan fakta-fakta tersebut Redaksi Analisis Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud, memilih topik “Meretas Pariwisata Berkelanjutan” sebagai upaya menyampaikan kepada publik melalui perspektif akademis seperti apa permasalahan pariwisata berkelanjutan di lapangan dan bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya mulai dari konsep, teori hingga aplikasinya. Sebagai penulis pertama diberikan kesempatan kepada Ni Made Oka Karini yang berjudul Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tinggalan Arkeologi. Dilanjutkan I Wayan Pugra dan I Ketut Suja berjudul Mengoptimalkan Pengolahan Limbah Menuju Pariwisata Berkelanjutan pada Kawasan Wisata Bali. Sebagai penulis ketiga adalah I Wayan Suardana dengan judul Dekontruksi Kebijakan Pembangunan Pariwisata yang Berkelanjutan di Bali. Pergulatan Otentisitas dan Komodifikasi dalam Parwisata Budaya menjadi judul tulisan dari Ni Made Ariani. Tidak ketinggalan dari sudut pandang ideologi, Ida Bagus Ketut Astina menulis Paham Nasionalisme sebagai Perekat Integrasi Bangsa Khususnya bagi Generasi Muda. Sementara itu I Made Darma Oka, I Nyoman Winia dan Ida Ayu Ketut Sumawidari bersama-sama menulis Eksistensi Multimedia dalam Pembelajaran Materi Tata Hidangan, pada Program Studi Perhotelan PNB, dan I Made Sendra yang berusaha mengulas filosofi pariwisata lewat tulisannya berjudul The Tri Hita Karana Philosophy As a Model of Rural Tourism Development in Bali. Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Lasiana di Kota Kupang, NTT adalah sumbangan pemikiran dari I Wayan Sonder. Empat judul terakhir adalah Studi Kelayakan Pendirian Tour and Travel di Bali (Studi Kasus Aspek Finansial PT. MMBC Sumanda Tour and Travel) dari I Gusti Putu Bagus Sastrawan Mananda, Dampak Pengeluaran Wisatawan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bali oleh Putu Anom dan Ida Ayu Arisya Leri, Persepsi Masyarakat Terhadap Tari Sang Hyang Perahu Dijadikan Daya Tarik Wisata di Desa Lembongan oleh Agus Muriawan Putra. Dan terakhir, Ni Ketut Arismayanti mengetengahkan Proses Komunikasi dalam Lingkungan Bisnis Tour Operator.
Denpasar, Juli 2011 Redaksi
VOL. 11, NO. 1, 2011
PERSYARATAN NASKAH UNTUK ANALISIS PARIWISATA 1.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
2.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan kepustakaan.
3.
Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4.
Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5.
Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6.
Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7.
Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8.
Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9.
Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina (1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut. a.
Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat terbit dan nama penerbit. Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press.
b.
Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan, inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan dan nama penerbit. McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c.
Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir. Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d.
Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu, alamat situs. Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html (Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu. 12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.
VOL. 11, NO. 1, 2011
DAFTAR ISI PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA TINGGALAN ARKEOLOGI YANG BERKELANJUTAN DI BALI _____________________________________________ Ni Made Oka Karini
(1 – 7)
MENGOPTIMALKAN PENGOLAHAN LIMBAH MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN PADA KAWASAN WISATA DI BALI _______________________________ I Wayan Pugra, I Ketut Suja
(8 – 15)
DEKONTRUKSI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI BALI _____________________________________________ I Wayan Suardana
(16 – 26)
PERGULATAN OTENTISITAS DAN KOMODIFIKASI DALAM PARIWISATA BUDAYA (Studi Kasus Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali) _____________________ Ni Made Ariani PAHAM NASIONALISME SEBAGAI PEREKAT INTEGRASI BANGSA KHUSUSNYA BAGI GENERASI MUDA ___________________________________________ Ida Bagus Ketut Astina EKSISTENSI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN MATERI TATA HIDANGAN PADA PROGRAM STUDI PERHOTELAN, POLITEKNIK NEGERI BALI __________________________________________________ I Made Darma Oka, I Nyoman Winia, Ida Ayu Ketut Sumawidari PENGEMBANGAN EKOWISATA DI BANJAR NYUH KUNING, DESA MAS, UBUD, GIANYAR, BALI DILIHAT DARI PRINSIP, DAN KRITERIA EKOWISATA BALI _____________________________________________ Agung Sri Sulistyawati
(27 – 40)
(41 – 48)
(49 – 55)
(56 – 65)
THE TRI HITA KARANA PHILOSOPHY AS A MODEL OF RURAL TOURISM DEVELOPMENT IN BALI ______________________________________ I Made Sendra
(66 – 75)
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PANTAI LASIANA DI KOTA KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR ____________________________________ I Wayan Sonder
(76 – 85)
STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN TOUR & TRAVEL DI BALI (Studi Kasus Aspek Finansial PT. MMBC Sumanda Tour & Travel) ___________________ I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda
(86 – 98)
DAMPAK PENGELUARAN WISATAWAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI BALI ____________________________________ I Putu Anom, Ida Ayu Arisya Leri
(99 – 108)
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TARI SANG HYANG PERAHU DIJADIKAN DAYA TARIK WISATA DI DESA LEMBONGAN, NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG ______________________________________ (109 –121) Agus Muriawan Putra PROSES KOMUNIKASI DALAM LINGKUNGAN BISNIS TOUR OPERATOR ________________________________________________________ (122 –136) Ni Ketut Arismayanti
VOL. 11, NO. 1, 2011
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 1
PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA TINGGALAN ARKEOLOGI YANG BERKELANJUTAN DI BALI Ni Made Oka Karini
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract The uniqueness of the culture of various tribes is a resource and a large capital for tourism development. By using culture as a tourist attraction means we can provide a different kinds experience for tourists. Development model of tourism in Bali is cultural tourism; this means that culture is the main factor that deserves consideration in tourism development, present and future. Archaeological heritage as a tourist attraction, of course, should have the right management system, so that one side can do to preserve the conservation of archaeological heritage while the other side can promote the archaeological heritage for tourism purposes. Management of tourism that had been done with top down model is not always right, various problems may arise in a society such as the seizure of profits, disputes over land rights, and other social conflicts, so engage the community in the management of archaeological heritage attraction is very important, in accordance with the principles of sustainable development. Management of archaeological heritage attractions can be done by the community from planning stage, implementation to monitoring based on a variety of applicable laws, and in cooperation with related institutions. Keywords: management, archaeological attraction, and community. I.
heritage,
sustainable
development,
PENDAHULUAN Peninggalan sejarah dan peninggalan purbakala, serta seni budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang multi cultural itu merupakan sumberdaya dan modal yang besar artinya bagi pengembangan kepariwisataan.Dengan memanfaatkan kebudayaan sebagai daya tarik wisata berarti kita dapat memberikan pengalaman yang berbeda kepada wisatawan. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Boniface (l995) bahwa tanpa dibedakan kebudayaan semua derah tujuan wisata di dunia akan tampak serupa; tanpa warisan budaya yang berbeda-beda, tempat-tempat di dunia tidak banyak dapat ditawarkan kepada wisatawan. Pengembangan pariwisata di Indonesia bertujuan untuk (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (b) meningkatkan kesejahtraan rakyat, (c) menghapus kemiskinan, (d) mengatasi pengangguran, (e) melestarikan alam, lingkungan, dan sumberdaya, (f) memajukan kebudayaan, (g) mengangkat citra bangsa, (h) memupuk rasa cinta tanah air, (i) memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan (j) mempererat persahabatan antar bangsa.(UU RI No.10 th 2009) Hal ini sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 32 secara fundamental
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 2
mengamanatkan agar dilakukan usaha untuk memajukan kebudayaan nasional. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adabbudaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Pemanfaatan kebudayaan sebagai daya tarik wisata memang sangat menjanjikan. World Tourism Organization (WTO) memprediksikan bahwa tahun 2020 wisata budaya akan merupakan salah satu diantara lima segmen pasar pariwisata dimasa yang akan datang. Kiranya patut diingat bahwa ada semacam kekhawatiran antara manajemen kebudayaan, termasuk juga alam dan kepariwisataan, dalam hal ini antara pariwisata, nilai budaya dan kelestarian benda cagar budaya (BCB). Dengan adanya kekhawatiran ini UNESCO menyambut pariwisata itu sebagai pedang bermata dua. Tentu pariwisata dapat mendorong tradisi hidup kembali, pemugaran, pemeliharaan situs dan bangunan disatu pihak, tetapi dipihak lain pariwisata yang dampak positif, disamping dampak negative, pembangunan pariwisata budaya itu memang tetap tak terkendali juga dapat menyebabkan dampak sebaliknya (Anom, 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengembangan pariwisata budaya, selain dampak positif yang ditimbulkan jugadampak negative seperti merendahkan budaya dan tradisi, komersialisasi budaya, merusak tradisi lokal, menjauhkan dan menghilangkan identitas budaya, hilangnya keaslian dan nilai-nilai sejarah, industrialisasi, hingga modernisasi, dapat merusak lingkungan tinggalan arkeologi, perselisihan hak atas tanah, meningkatnya perebutan keuntungan, konflik sosial, dan lain-lain. Pariwisata budaya adalah konsep pengembangan pariwisata di Bali. Itu berarti bahwa kebudayaan merupakan faktor utama yang patut dipertimbangkan dalam pengembangan pariwisata kini dan masa yang akan datang. Bali hanya dapat terlanjutkan jika kekaguman wisatawan juga dapat terlanjutkan dan kekaguman tersebut dapat terlanjutkan jika asset yang dimiliki Bali dapat terpelihara dengan baik (Mardani, 1992). Karena itu diperlukan suatu usaha untuk melestarikan dan mengembangkan asset yang dimiliki Bali, terutama tinggalan arkeologi yang dijadikan dayatarik wisata. Disinilah diperlukan pengelolaan yang benar disatu sisi dapat melakukan konservasi dan disisi lain dapat mempromosikan tinggalan arkeologi tersebut untuk tujuan pariwisata. Sehingga pengkajian terhadap pengelolaan daya tarik wisata tinggalan arkeologi yang berkelanjutan dalam pembangunan pariwisata sangat diperlukan. II.
PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Ada beberapa prinsip dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menurut Soumarwoto dalam Purba (2002), yaitu : a. Keadilan antar generasi, generasi sekarang menguasai sumber daya alam yang ada di bumi sebagai titipan untuk dipergunakan generasi mendatang. Keadaan demikian menuntut tanggung jawab kepada generasi sekarang untuk memelihara peninggalan (warisan) seperti halnya kita menikmati berbagai hak untuk menggunakan warisan bumi ini dari generasi sebelumnya. Elemen kunci dari prinsip ini adalah : (1) masyarakat antara satu generasi dengan generasi berikutnya adalah mitra, (2) generasi sekarang tidak membebankan eksternalitas pembangunan kepada generasi
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 3
selanjutnya, (3) setiap generasi mewarisi kekayaan sumber alam serta kualitas habitat yang kurang lebih ekuivalen secara fisik, ekologis, sosial, serta ekonomi. b. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). Merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan diantara satu atau sesame (single) generasi, termasuk didalamnya keberhasilan memenuhi kebutuhan kebutuhan dasar, atau tidak terdapatnya kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang pemenuhan kualitas hidup. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan fenomena, seperti : (1) beban dari permasalahan lingkungan dipikul oleh mereka (masyarakat) yang lemah (secara sosial ekonomi); (2) kemiskinan yang menimbulkan akibat degradasi lingkungan, (3) upaya-upaya perlindungan lingkungan dapat berakibat pada sektor tertentu pada masyarakat, namun disisi lain menguntungkan sektor lain, (4) tidak seluruh anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam pencegahan dini (precautionary principle). c. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle). Mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan tersebut. Dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh : (1) evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, (2) penilaian (assessment) dengan melakukan analisis resiko dengan menggunakan berbagai opsi (options) a. Prinsip perlindungan keaneka ragaman hayati (biodiversity conservation). Keanekaragaman yang kita miliki memberikan dan merupakan sumber kesejahtraan bagi umat manusia. Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) tentang keanekaragaman hayati perlu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan. b. Internalisasi biaya lingkungan mekanisme insentif. Pentingnya penekanan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan di mana penggunaan sumber daya alam (resource use) merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar. Gagasan dari prinsip ini adalah biaya lingkungan dan sosial harus diitegrasikan kedalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam. Sedangkan mekanisme insentif diantaranya berupa program peringkat kinerja yang dimaksudkan untuk mengubah prilaku dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat melalui publikasi kinerja industry secara periodic. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diinterpretasikan untuk mencakup tidak hanya berkelanjutan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, tetapi juga keberlanjutan sumberdaya budaya seperti nilai-nilai, legenda, dan upacara keagamaan. Kecuali itu pembangunan berkelanjutan juga mencakup keberlanjutan produksi dan keberlajutan kebudayaan itu sendiri. Jika kita melihat pariwisata budaya dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan, ada tiga unsur kunci yang harus dipertimbangkan : (1) kualitas pengalaman wisatawan (keunikan, keingintahuan, imajinasi), (2) kualitas sumberdaya budaya (integretas, kapasitas, pelestarian). (3) kualitas kehidupan penduduk lokal (integritas dalam masyarakat, keberlangsungan ekonomi, dampak sosial) (Schouten dalam Jaman 1999).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 4
III.
Daya Tarik Wisata Tinggalan Arkeologi di Bali Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan (UU RI No. 10 Tahun 2009). Tinggalan arkeologi adalah peninggalan dari masa lampau. Jadi yang dimaksud dengan daya tarik wisata tinggalan arkeologi di Bali adalah peninggalan kebudayaan masyarakat Bali dari masa lampau yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang dapat menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Terdapat tiga kepentingan pokok dalam pengelolaan tinggalan arkeologi, yaitu : (1) kepentingan akademik yang berkaitan dengan usaha penelitian ilmiah secara terus menerus; (2) kepentingan ideologi yang berkaitan dengan jati diri bangsa, dan (3) kepentingan ekonomi yang berkaitan dengan pariwisata (Cleere, 1989). Untuk kepentingan pariwisata, tinggalan arkeologi dengan keunikannya dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik untuk orang datang kesuatu tempat. Paket-paket tour yang ditawarkan di Bali oleh travel agent sebagian besar berkaitan dengan tinggalan arkeologi, seperti misalnya, Tirta Empul, Gunung Kawi, Tampak Siring, Goa Gajah, Penataran Sasih (Pejeng), Kerta Gosa (Klungkung), Pura Kehen, Pura Pucak Penulisan (Bangli), Pura Uluwatu, Pura Taman Ayun, Alas kedaton dalain-lain. Pemanfaatan tinggalan arkeologi sebagai dayatarik wisata di Bali sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah Bali dalam mengembangkan pariwisata yaitu pariwisata budaya. Boniface (1995) menyatakan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan cara hidupnya serta karyanya, teristimewa hasil karya pada jaman dahulu. Lim (1996) menyatakan pariwisata budaya dalam pengertian yang sempit menyangkut perpindahan orang semata-mata karena motivasi budaya. Dalam pengertian yang lebuh luas, semua perpindahan orang-orang dapat dianggap pariwisata budaya karena perpindahan itu bertujuan mempertinggi tingkat budaya seseorang dan memberikan pengetahuan dan pengalaman baru. Borley (1996) menyatakan bahwa pariwisata budaya dapat didifinisikan sebagai aktifitas yang memungkinkan orang to explore dan to experience cara hidup orang lain yang berbeda, yang merefleksikan adat istiadatnya, tradisi relegiusnya, dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam warisan budaya yang belum dikenal wisatawan. Secara normatif pariwisata budaya yang diterapkan di Bali tertuang dalam Perda No. 3 Tahun 1974 yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 3 tahun 1991 dimana dinyatakan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang dominan. Dalam konsep pengembangan pariwisata budaya di daerah Bali tersirat suatu cita-cita adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya meningkat secara selaras, serasi, dan seimbang. Pariwisata dan kebudayaan merupakan dua komponen yang saling terkait secara fungsional dengan konsekuensi saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Struktur kebudayaan Bali yang dibangun melalui integrasi antara agama dan tradisi, dilestarikan oleh nilai-nilai dasar, yaitu : agama, estetika, solidaritas dan keseimbangan. Struktur tersebut dikokohkan dan dimantapkan dengan dukungan system sosial yang mapan. Sistem sosial tersebut merupakan lembaga-lembaga tradisional yang berkembang baik dalam system kekerabatan masyarakat Bali, seperti desa adat, banjar, subak, sekeha, dan lain-lain (Setwilda Tingkat I Bali, 1998).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 5
Dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata budaya di Bali, peran lembaga adat sangat diperlukan, oleh karena merekalah pendukung dan penanggungjawab utama kebudayaan Bali. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Perda Bali No. 3 Tahun 1991). IV.
Pengelolaan Daya Tarik Tiggalan Arkeologi di Bali yang Berkelanjutan Selama ini pembangunan berlandaskan pada paradigma lama yang bersifat top down, kegiatan program pengelolaan ditentukan oleh pihak luar dari komunitas sosial tempat program pengelolaan dilaksanakan. Paradigma ini dikembangkan dengan asumsi bahwa warga komunitas bersangkutan dianggap tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan. Asumsi ini tidak selamanya benar, karena berbagai konflik sosial muncul. Seperti pengelolaan tinggalan arkeologi sebagai daya tarik wisata di Bali telah menimbulkan dampak positif maupun negatif. salah satu dampak negatif yang mengkhawatirkan adalah kompetisi untuk memproleh keuntungan di daya tarik wisata, sehingga sering menyebabkan terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu prinsip perencanaan pengelolaan harus lebih mengutamakan pelibatan masyarakat atau komunitas secara penuh. Pengelolaan oleh masyarakat secara penuh dapat menunjang paradigma baru yaitu prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif sebagai upaya untuk menemukenali berbagai kebutuhan, aspirasi, dan keadaan di komunitas tersebut. Jika pengelolaan telah dilakukan oleh masyarakat secara penuh, maka program itu menjadi lebih sesuai dengan kepentingan warga komunitas dan rasa pemilikan terhadap rogram tersebut akan dirasakan secara utuh oleh warga komunitas tersebut. Disamping itu ketrampilan yang mereka miliki sebagai local genious atau local knowledge tidak akan hilang bahkan terakomodasi dan dapat menjadi pengetahuan yang dapat dimiliki oleh sekalian warga masyarakat diluar komunitas bersangkutan. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, yaitu pembangunan pariwisata yang mengutamakan masyarakat. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dilakukan dalam rangka meningkatkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang bertumpu dan berpihak pada rakyat. Menurut Nasikun dalam Bagus (2006) pembangunan berbasis masyarakat mempunyai ciri-ciri, yaitu : 1. Memberikan peluang lebih besar bagi partisipasi masyarakat lokal untuk melibatkan diri dalam mengambil keputusan-keputusan dalam menikmati keuntungan perkembangan industry pariwisata, oleh karena itu lebih memberdayakan masyarakat. 2. Memiliki peluang lebih mampu mengembangkan objek-objek dan atraksi-atraksi wisata bersekala kecil, oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, sehingga menimbulkan dampak sosial ditrima oleh masyarakat. 3. Bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak memberikan dampak negatif. Di Bali peranan masyarakat (desa adat) dalam pembangunan pariwisata sesungguhnya telah tertuang dalam Perda No. 3 tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. Pada pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa penguasaan objek dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh lembaga adat (desa adat), badan usaha, atau perseorangan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 6
Selanjutnya dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan, pemerintah daerah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Pada ayat (2) disebutkan, dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah mengikut sertakan masyarakan dalam perencanaa, pelaksanaan, dan pengawasan. Tinggalan arkeologi di Bali adalah merupakam monumen hidup (living monument), dimana tinggalan arkeologi ini masih berfungsi sebagaimana mestinya dan masyarakat Bali dengan sistem kekerabatannya sebagai, masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu sudah tentu masyarakat Bali mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang dapat dipercaya untuk mengelola dayatarik tinggalan arkeologi tersebut. Pengelolaan tinggalan arkeologi sebagai daya tarik wisata oleh masyarakat dapat dilaksanakan dari tahap perencanaan seperti inventarisasi potensi, rencana pemeliharaan, publikasi sampai mendapatkan manfaat. Dalam pelaksanaan pengelolaan ini harus berpedoman dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, kebijakan pemerintah Propinsi Bali tentang pariwisata budaya dan lain-lain. Pengelolaan oleh masyarakat (desa adat) perlu memperhatikan beberapa hal seperti : (1) kesucian daya tarik (pura dengan tinggalan arkeologi di dalamnya) yang masih dihormati dan disakralkan, merupakan warisan leluhur yang mempunyai nilai seni, arsitektur dan religi cukup tinggi, (2) mengamankan tinggalan arkeologi tersebut dari pencurian, (3) desa adat harus tetap dapat memperhatikan daqn mempertahankan keaslian lingkungan dari industrialisasi pariwisata, (4) pemeliharaan tinggalan arkeologi harus selalu berhubungan dengan instansi terkait, (5) desa adat setempat hendaknya menyiapkan buku panduan daya tarik wisata (booklet). Pembuatan buku dapat bekerjasama dengan instansi terkait, seperti Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, (6) desa adat harus memahami pengetahuan kearkologian, seperti pengenalan terhadap nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Pengawasan dan evaluasi dari pengelolaannya dapat dilakukan oleh stakeholders, dalam hal ini termasuk masyarakat, pemerintah, dan pelaku pariwisata. Memperhatikan besarnya peran desa adat dalam mengorganasikan masyarakat di Bali dalam berbagai kegiatan, maka keberadaan desa adat perlu diberdayaan dalam rangka demokratisasi ekonomi berbasis masyarakat untuk menuju pengelolaan daya tarik wisata yang berkelanjutan. V.
PENUTUP Pembangunan pariwisata di Indonesia umumnya, di Bali khususnya, yang mengembangkan pariwisata budaya, dengan tinggalan arkeologi sebagai daya tariknya telah menimbulkan berbagai permasalahan baik yang bersifat positif maupun negatif dam pengeloaannya. Secara positif pembangunan pariwisata budaya di Bali mampu maningkatkan pendapatan pemerintah maupun masyarakat. Sebaliknya secara negatif pembangunan pariwisata ini sering menimbulkan berbagai konflik, salah satunya adalah yang cukup mengkhawatirkan adalah kompetisi memproleh keuntungan atas daya tarik, sehingga sering menimbulkan konflik sosial. Dengan paradigma baru yang berkembang yaitu pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan maka peranan masyarakat lokal dalam pengelolaan daya tarik wisata
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 7
tinggalan arkeologi menjadi penting, dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan sampai tahap pengawasan. Karena tinggalan arkeologi di Bali merupakan monument hidup (living monument) yang berada di lingkungan masyarakat (desa adat). Pengelolaan oleh masyarakat lokal menjadi penting karena masyarakat memiliki lokal knowledge sehingga dapat mengelola lebih tepat, dampak negatif yang ditimbulkan lebih sedikit, manfaat ekonomi lebih dapat dirasakan. KEPUSTAKAAN Anonim. 1991. Peraturan Daerah Bali tentang Pariwisata Budaya. ______. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pariwisata. Anom, IGN. 2001. Keragaman Kebudayaan Daerah Sebagai Potensi Pariwisata, Paper. Bonafice,P. 1995. Managing Quality Cultural Tourism. London: Roetledge Borley, L. 1996. “Heritage and Environment Management:The International Perspective. Wiendu Nuryanti (ed): Tourism and Cultural gGlobal Civilization In Change”. Jogjakarta: Gajahmada University. Cleere, H P. 1989. Archaeological Heritage in the modern world. London: Unwin Hyman. Jonny Purba. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jaman. 1999. “Kemitraan Lembaga Adat dan Pemerintah dalam Mengembangkan Pariwisata yang Berkelanjutan (Sebuah Tesis)”. Denpasar : Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Lim, Narzalina 1996. “The Private Sector: Its Role In Cultural Tourism. Dalam Nuryanti (ed): Tourism and Cultural Global Civilization in Change”. Yogjakarta: Gajahmada University Press. Mardani, NK. 1996. “Ecotorism dan Eco-Ethics. Dalam Majalah Ilmiah” Universitas Udayana, Pusat Penelitian Universitas Udayana.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 8
MENGOPTIMALKAN PENGOLAHAN LIMBAH MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN PADA KAWASAN WISATA DI BALI I Wayan Pugra I Ketut Suja Dosen Politeknik Negeri Bali Abstract This research is at one of hotel of exist in Area Wisata in Bali, as a mean to know the end result from model of wet farm waste processing made in, whether/what have fulfilled permanent quality of quality irrigate as according to PP No. 82 Year 2001. Since year 2000 in Bali have also develop the program Tri Hita Karana Awards and Accreditations (shortened with a Program of THK Awards) to hotel of exist in Bali. Where one of conditions which must be fulfilled by hotel party is problem process the recycle of industrial disposal or Water Treatment Recycle Process is one of condition which must be owned by industry which is with vision of environment. One of industry in Provinsi Bali capable to give the positive impact to economic growth ± 75%) is tourism industry. Beside as biggest contributor of original earnings of area (PAD), industrial of tourism also ditengarai as environmental and pencemar pest. industrial activity of Tourism will not be quit of [of] requirement will irrigate the. Water re-thrown environment without causing environmental contamination of itself. Result of analysis of parameter of quality of fisik, kimia and biology irrigate, either through in situ and also laboratory compared to by a value float the boundary of water quality destined byas area tourism Keywords: quality of water, waste, contamination. I.
LATAR BELAKANG Salah satu yang dihadapi Daerah Bali dalam mewujudkan pembangunan berkelanjuatan (sustainable) yang mencakup tiga lingkup kebijakan yaitu keberlanjutan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan budaya serta perlindungan lingkungan. Disamping itu permasalahan lingkungan yang semakin meluas dan kompleks dewasa ini, ditengarai bermula dari perencanaan pembangunan yang bias antara mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga terakumulasi menjadi krisis lingkungan berupa bencana lingkungan, peningkatan laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan. Sehingga, biaya dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh. Salah satu industri di Provinsi Bali yang mampu memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi (± 75%) adalah industri pariwisata (Darmawan, 2002). Ironisnya, di samping sebagai penyumbang terbesar pendapatan asli daerah (PAD), industri pariwisata juga ditengarai sebagai perusak dan pencemar lingkungan yang paling dominan di Provinsi Bali. Kegiatan industri pariwisata tidak akan terlepas dari
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 9
kebutuhan akan air. Air digunakan untuk kegiatan MCK, laundr, aktivitas dapur/ restoran dan aktivitas lainnya. Limbah domestik dari aktivitas industri pariwisata harus mengalami proses daur ulang sehingga dapat dimanfaatkan kembali, misalnya untuk penyiraman kebun, mengairi kolam ikan, sebagai salah satu penghematan penggunaan air, atau dibuang kembali kelingkungan tanpa menyebabkan pencemaran lingkungan (memenuhi baku mutu kualitas air sesuai dengan PP No. 82 Tahun 2001), dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sejak tahun 2000 di Bali sudah pula dikembangkan program Tri Hita Karana Awards and Accreditations (disingkat dengan sebuah Program THK Awards) terhadap hotel-hotel yang ada di Bali. Dimana salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak hotel adalah masalah proses daur ulang limbah industri atau Water Treatment Recycle Process adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh industri yang berwawasan lingkungan (Wardana, 1995). Hal ini dilaksanakan untuk mendorong pihak manajemen hotel menerapkan THK secara optimal, maka diharapkan tidak akan terjadi komflik di kalangan hotel atau antara hotel dengan masyarakat disekitarnya. Dengan demikian, diharapkan kegiatan hotel itu akan bisa terus berkelanjutan (sustainable). II. 2.1.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN DESAIN PENELITIAN Kerangka Pemikiran Menurut Sundstrom (1979), air limbah mempunyai sifat yang dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu : sifat fisik, kimia dan mikrobiologi. Maka dari itu dalam pengelolaan limbah domestik yang dibuang langsung ke perairan akan menyumbangkan bahan buangan yang memerlukan konsumsi oksigen untuk perobakannya oleh mikroorganisme. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya jumlah oksigen terlarut di dalam air dengan cepat yang akan mengganggu ekosistem yang hidup diperairan tersebut. Pengelolaan limbah domestik perlu dilakukan sebelum dibuang ke perairan supaya tidak mengganggu kehidupan perairan. Model lahan basah merupakan teknologi sederhana yang memerlukan biaya operasional dan pemasangan murah, serta mudah digunakan dan dapat diterapkan untuk mengolah air limbah buangan domestik. Untuk mengetahui efektivitas sistem lahan basah buatan dalam menurunkan bahan pencemar tersebut, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap penurunan beban pencemar dalam setiap tahap pengolahan. Hasil analisis parameter kualitas fisik,kimia dan biologi air, baik secara in situ maupun laboratorium dibandingkan dengan nilai ambang batas kualitas air yang diperuntukkan sebagai kawasan wisata, dan Penentuan Indek Pencemaran sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. 2.2.
Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan model lahan basah buatan. Air limbah hotel yang terdiri dari limbah WC, limbah dapur, limbah laundry akan dialirkan ke kolam A yang berisi kerikil dan pasir dan ditanami dengan tanaman air Phragmythes Australis, kemudian pada dasar kolam A air dialirkan ke kolam B yang berisi substrat yang sama dengan kolam A tetapi ditanami tanaman air yang lain yaitu Thype angustipolia, pada dasar kolam B air dialirkan ke kolam C (pengendap) untuk memisahkan sedimen yang
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 10
halus dari kolam air. Akhirnya air hasil olahan disimpan didalam kolam D yaitu kolam ikan.
Gambar 2.1. Model Lahan Basah Buatan Pangambilan sampel pada instalasi pengolahan air juga dilakukan pengulangan sebanyak dua kali yaitu sebelum masuknya limbah, kedua yaitu dan kedua pada bak penampungan air. Pengambilan sampel sama dengan model pertama. Ada delapan parameter kualitas air yang diukur dan dua parameter mikrobiologi, sehingga total ada sepuluh parameter kualitas air yang diukur. III. 3.1.
METODE PENELITIAN Variabel yang Diukur Variabel yang diukur dan peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Variabel yang Diukur dan Peralatan yang Digunakan No. A 1 2 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2
3.2.
Variabel Fisik Suhu TDS Kimia DO pH BOD5 COD NO3 NO2 Biologi E.Coli Coliform
Satuan
Paralatan
0
C Ppm
Thermometer Timbangan Analitik
ppm ppm ppm ppm ppm
DO meter pH meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
MPN/100 ml MPN/ 100 ml
Tabung Reaksi Tabung Reaksi
Cara Pengukuran Variabel Fair, at al, (1966) dalam Mardani, (1989) menyatakan bahwa pada suatu penelitian terhadap kualitas air, tidak semua parameter dari sifat-sifat air harus diteliti. Hal ini tergantung pada tujuan penelitian. Untuk analisis kualitas air dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara langsung di lokasi (in situ) dan cara pengawetan yang dilakukan di laboratorium induk, terutama untuk sifat-sifat air yang dapat bertahan lama dalam kondisi yang sudah diawetkan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 11
Parameter kualitas air yang sifatnya cepat berubah, harus langsung dilakukan pengukuran yaitu suhu dan pH. Sedangkan parameter kualitas air yang bisa diawetkan langsung dimasukkan ke dalam jerigen, botol gelap dan botol steril untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. 3.3. Metode Analisis 1. Metode Analisis Kualitas Air Dalam penelitian ini metode analisis kualitas air yang digunakan adalah sesuai dengan Tabel 3.2. Tabel 3.2. Metode Analisis Kualitas Air No. A 1 2 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2
Variabel Fisik Suhu TDS Kimia DO pH BOD5 COD NO3 NO2 Biologi E.Coli Coliform
Satuan
Metode analisis yang digunakan
0
C ppm
Pemuaian air raksa Gravimetri
ppm ppm ppm ppm ppm
Elektokimia dengan DO meter pH meter Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik
MPN MPN
Most Probably Number Most Probably Number
2. Metode Analisis Statistik Uji t untuk pengujian hipotesis selisih dua parameter rata-rata bila ukuran sampel kecil (n < 30) dan standar deviasi populasi tidak diketahui, tetapi dianggap sama (σ1 = σ2) dengan kriteria pengujian sebagai berikut : Hipotesis : Ho : μ = μo Ho : μ ≠ μo Nilai kritisnya adalah t (α,v). Tolak Ho bila t-hitung > t ((α/2, v). Nilai kritis dilihat dari tabel t dengan v = n1 + n2-2 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kaualitas air buangan pengolahan yang dimaksud adalah kondisi kandungan DO, pH, BOD5, COD, NO2, dan NO3 yang terkandung di dalam air tersebut. Dengan pengolahan limbah model lahan basah buatan pengambilan sampel pada instalasi pengolahan air juga dilakukan pengulangan sebanyak dua kali yaitu sebelum masuknya limbah, ke dua pada bak penampungan air. Hasil analisis sampel air yang telah diambil dapat dilihat pada Tabel 4.1
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 12
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Sebelum dan Sesudah Pengolahan Model Lahan Basah Buatan No. A 1 2 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2
Variabel Fisik Suhu TDS Kimia DO pH BOD5 COD NO3 NO2 Mikrobiologi E.Coli
Satuan
Sebelum Pengolahan
0
C ppm
27,75 255,30
20,18 225
ppm ppm ppm ppm ppm
1,47 7,00 313,43 233,63 18,59 0,47
4,00 7,87 81,15 50,77 1,5 0,18
925,000
6.000
34.500.000
310.000
MPN/ 100 ml MPN/ 100 ml
Coliform
Sesudah Pengolahan
Sumber : Hasil Penelitian, 2011. Hasil air buangan selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu air kelas dua, karena air buangan tersebut akan digunakan untuk kolam ikan dan menyiram tanaman. Baku mutu air kelas dua adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4.1.
Suhu dan TDS Hasil penelitian menunjukkan pada Gambar 4.1 bahwa sistem lahan basah buatan cukup efisien menurunkan kebutuhan oksigen Fisik Suhu 27% dan TDS 11,87%.
0C & ppm
Hasil Pengolahan Suhu & TDS 300 200 100 0 1
2 Jumlah Sampel
SUHU TDS
Gambar 4.1. Hasil pengolahan Suhu dan TDS
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 13
4.2.
DO dan pH Hasil analisis parameter kimia menunjukkan DO dan pH tidak melewati ambang batas baku mutu maksimum dan minimum untuk semua kelas air. 4.3.
COD5 dan BOD Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem lahan basah buatan cukup efisien menurunkan kebutuhan oksigen biologis (BOD). Efesiensi penurunan BOD5 mencapai rata-rata ± 74% dan COD sebanyak ± 78%. Menurut Kadlec dan Knight (1996), mekanisme penurunan BOD dan COD di lahan basah buatan adalah sebagai berikut : tanaman Typha sp dan Phragmythes Australis sp. yang tumbuh dilahan basah berperan mensuplai oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan buangan organik dan limbah domestik. Oksigen tersebut diperoleh dari hasil fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman air tersebut yang kemudian ditransformasikan melalui akar tanaman ke dalam air. Hasil pengolahan BOD5 & COD 400
ppm
300 bod
200
cod
100 0 1 2 Jum lah Sam pel
Gambar 4.2. Penurunan COD5 dan BOD 4.4.
NO2 dan NO3 Parameter NO2 terjadi penurunan ± 65,70% tetapi dari hasil pengolahan parameter melewati ambang batas baku mutu untuk kriteria mutu air kelas I,II,III, dimana kadar parameter NO2 0,18 ppm, sedangkan kriteria baku mutu air kelas I,II dan III sebesar 0,06 ppm. Sedangkan NO3 tidak melewati baku mutu semua kelas air. 20
Hasil Pengolahan NO3 & NO2
ppm
15 10
NO 3
5
NO 2
0 1Jumlah Sampel2
Gambar 4.3. Penurunan NO3 dan NO2
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 14
4.5.
T-Test dengan SPPS Perbandingan kandungan kimia sampel air model lahan basah buatan antara sebelum dan sesudah pengolahan dengan menggunakan uji-t diperoleh bahwa nilai rata-rata kandungan air antara sebelum dan sesudah pengolahan tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi 5%. Namun jika menggunakan tingkat signifikansi 20% antara sebelum dan sesudah pengolahan adalah berbeda nyata. Ini Menunjukkan bahwa setelah pengolahan terjadi penurunan kandungan kimia. Misal BOD5 turun dari 313.43 ppm menurun menjadi 81,15 ppm. COD menurun dari 233.63 ppm menjadi 50.77 ppm. NO3 turun dari 18,59 menjadi 1,5, dan NO2 menurun dari 0,47 ppm menjadi 0,18 ppm. Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
X1
95.7650
6
140.13758
57.21093
X2
24.2450
6
33.81188
13.80364
Paired Samples Correlations N Pair 1
X1 & X2
Correlation
6
Sig.
.990
.000
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Pair 1
V. 5.1.
X1-X2
71.52000
Std. Deviation
106.77118
Std. Error Mean
43.58915
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-40.52948
183.56948
t
1.641
df
5
Sig.(2tailed)
0.162
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Kualitas air limbah hotel yang diolah dengan menggunakan Lahan Basah Buatan memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari segi tempat Lahan Basah Buatan memerlukan tempat yang agak luas, tetapi dari segi lingkungan model ini sangat bagus dikembangkan, karena dia mempunyai dua fungsi (1) sebagai pengolah limbah (2) sebagai taman dan tempat pembuangan limbah. Kualitas air limbah Hotel dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 1995 belum melewati ambang batas, tetapi satu parameter. yang telah melewati ambang batas yaitu NO2 dari kelas air I, II dan III, dimana termasuk tercemar ringan. 2. Dari Model Lahan Basah Buatan sangat bagus karena bisa menurunkan variabel Fisik, Kimia dan Biologi rata-rata 35%.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 15
5.2.
SARAN Berdasarkan simpulan tersebut diatas dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Proses pengolahan air limbah di hotel perlu dipantau secara terus menerus untuk mendapatkan hasil pengolahan yang lebih baik, terutama pada proses-proses sebagaimana mestinya. 2. Memanfaatan model pengolahan limbah harus menggunakan model yang tepat, sehingga mempunyai peran ganda. KEPUSTAKAAN Anonim. Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. _______ . Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Kualitas Air _______ . Pencemaran dan Kualitas Air (www.bppt.co.id). Ardana, IPG. 2003. Kumpulan Istilah Lingkungan. Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana. Darmawan. 2002. Pengaruh Industri Pariwisata Terhadap Ekonomi Bali. Bali Post. 22 Oktober, hal: 2, Kol. 4. Husin, YA. 1988. Penentuan Analisis Sifat Fisika-Kimia Air. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Institut Teknologi Bogor, Bogor. Kadlec. RH. and RL. dan Knight. 1996. Treatment Wetlands. CRC Press : Boca Raton. Odum. 1976. Ecological Guidelines for Tropical Coastal Development. International Union for Conservation of Nature and natural Resources. Margos. Windia, W. 2005. THK dan pariwisata berkelanjutan, dalam Buku Panduan THK Award and accreditation tahun 2005. Denpasar : Green Paradise. Wardana, 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Andi.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 16
DEKONTRUKSI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI BALI I Wayan Suardana
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Sustainable tourism development, as stated in the Charter of Sustainable Tourism (1995) is a development that could be supported by ecological as well as economically feasible, as well as ethics and social justice to the community. This means that sustainable development is integrated and organized efforts to develop the quality of life by regulating the supply, development, utilization and maintenance of resources in a sustainable manner. It can only be accomplished with a system of good governance which involves active participation and balanced between government, private, and community. Development of sustainable tourism in practice can not be done properly and sustainably. Many factors are found to be the problem, especially in the obscurity of terminology to indicators of sustainability. Apart from the problem and the challenge was not to be denied, until recently the concept of sustainable development is regarded as a “recipe” best tourism development. For that we need to pursue various measures in a holistic management and cooperation, collaboration and itegration with various sectors and interests. Keywords: sustainable, development, colaboration, integration, and tourism. I.
PENDAHULUAN Industri pariwisata lahir pada abad ke 19, saat dimana-mana negara-negara industri mengalami surplus penghasilan. Negara maju memberikan jaminan peningkatan pendapatan masyarakat yang lebih tinggi, distribusi pendapatan merata, perbaikan teknologi, transportasi, biaya liburan, dan penurunan biaya perjalanan. Kebijakan dan kondisi ini mengakibatkan tingkat perjalanan wisata di seluruh dunia meningkat pesat. Berbagai perusahaan dan pemilik modal pada masa revolusi industri mencari jalan untuk menyerap penghasilan dari peluang kebijakan yang disebut leisure. Sejalan dengan kebijakan tersebut muncul kemauan dari Bank Dunia, IATA (International Air Transport Association), SITA (Societe International Des Telecomunications Aeronaution), bank ekspor impor, IUTO (International Union of Travel Association) dan lembaga dunia lainnya untuk pengembangan pariwisata dan sekaligus membiayai proyek-proyek pariwisata, sehingga pariwisata berjalan dibawah kendali lembaga-lembaga dunia tersebut(Sondakh, 2010:6). Perkembangan pembangunan pariwisata dengan berbagai keberhasilannya, muncul sebuah terobosan kebijakan yang berskala internasional yang digagas oleh Amerika Serikat dan Inggris. Pariwisata dibawa dalam pembangunan dunia, dan kedepannya pariwisata diyakini sebagai instrumen non militer yang dapat mengatasi ketegangan dan ketidakstabilan politik akibat Perang Dunia II. Pariwisata digunakan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 17
sebagai penggerak utama dalam atmosfer perdamaian dunia dan menciptakan pengertian antar bangsa dan antar manusia melalui tindakan saling menghargai satu sama lainnya. Pariwisata internasional, dengan penekanan pada pemanfaatan sumber daya (alam dan budaya), menjadi pilihan yang menarik bagi pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Pariwisata merupakan industri yang ramah lingkungan dan bersih, tidak seperti sektor pembangunan yaitu manufaktur, pertambangan, dan kehutanan. Pada negara berkembang sumber daya alam dan budaya dianggap sebagai modal yang kurang intensif dan kurang kreatif dalam pembangunan sehingga lambat untuk menghasilkan pendapatan. Pariwisata terlihat memiliki potensi untuk menjadi kekuatan pendorong utama untuk pengembangan ekonomi karena efek multiplier yang besar dan potensi peningkatan ekonomi dan peluang pekerjaan bagi tenaga kerja tidak terampil dan setengah terampil. Dengan alasan tersebut sumber daya alam dan budaya yang terbatas dieksploitasi dan pariwisata menjadi sebuah sektor yang penting untuk diversifikasi ekonomi. Tahun 1962 jumlah wisatawan internasional ke negara berkembang mencapai 6 juta orang dan meningkat menjadi 40,2 juta orang pada tahun 1978. Dalam perkembangan pariwisata yang sangat pesat, pada tahun 1970-an menjadi jelas bahwa “industri tidak berasap” pariwisata tidak selembut pikiran pertama. Pada awal 1973, dampak negatif pariwisata mulai dipertimbangkan di negara-negara berkembang. Kritik ini dimulai pada awal pariwisata sebagai alat pembangunan yang berdampak pada ekonomi khususnya pada peningkatan devisa dan infrastruktur, tetapi mulai berdampak negatif pada sosial budaya masyarakat. Tahun 1980 pariwisata internasional tumbuh dengan pesat, berdampak negatif pada sosial budaya, lingkungan dan ekonomi negara-negara berkembang. Upaya awal yang dilakukan untuk menanggulangi dampak negatif pariwisata serangkaian inisiatif yang dilakukan oleh badan sektor publik yaitu dengan mengelola pariwisata melalui teknik pengelolaan pengunjung (visitor management). Inisiatif ini dirancang untuk memperbaiki dampak terburuk pariwisata dalam jangka pendek. Secara keseluruhan, ini adalah skala kecil, inisiatif lokal yang tidak berusaha mengubah sifat pariwisata secara keseluruhan (Swarbrooke, 1999:14-23). Berlatar belakang dari perkembangan pariwisata tersebut, maka banyak para akademisi, praktisi, dan pemerhati lingkungan melihat bahwa sumber daya yang dimiiki saat ini terbatas, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Hubungan lingkungan dan manusia sangat erat dan saling ketergantungan. Kehidupan manusia sangat ditentukan oleh lingkungan dan begitu sebaliknya, kualitas lingkungan ditentukan oleh manusia. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran tanah. Kerusakan hutan dan ekosistemnya kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri. Dari fenomena tersebut muncul usaha untuk melestarikan alam melalui pola pembanguan pariwisata yang berkelanjutan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 18
II.
PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN World Tourism and Travel Council (WTTC) bersama-sama dengan World Tourism Organization dan Earth Council menuangkan konsep pariwisata berkelanjutan dalam Agenda 21 untuk Industri Perjalanan dan Pariwisata. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah : “Pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan wilayah yang didatangi wisatawan (destinasi wisata) pada saat ini, sekaligus melindungi dan meningkatkan kesempatan di masa depan”. Pengertian tersebut mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural, berbagai proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan berbagai sistem pendukung kehidupan”. Produk-produk pariwisata berkelanjutan adalah produk-produk yang dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan, masyarakat dan budaya setempat sehingga mereka terus menerus menjadi penerima manfaat bukannya korban pembangunan pariwisata. Dari konsep tersebut, tersurat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan. Adapun prinsip dan sasaran yang ingin dicapai dari piagam tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pembangunan pariwisata harus berdasarkan kriteria keberlanjutan dapat didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat. 2. Pariwisata harus berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya dan manusia. 3. Pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. 4. Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan dan memperkuat bantuan, langsung atau tidak langsung, kepada proyek-proyek pariwisata yang berkontribusi kepada perbaikan kualitas lingkungan. 5. Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerjasama teknis dan bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan. 6. Promosi / dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. 7. Pemerintah harus mendukung dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk penelitian, diseminasi informasi dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan. 8. Penetapan kebijakan pariwisata berkelanjutan memerlukan dukungan dan sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan pengembangan program kerjasama internasional. Perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan tidak sesederhana dan selinier yang disampaikan di atas (Berno, 2001; Sparley, 2001; dan Hardy et all, 2002). Gagasan pembangunan berkelanjutan secara simultan dan sporadik telah ditanggapi sejak dini oleh berbagai pihak yang terkait dengan pariwisata di berbagai belahan dunia. Seperti yang dijabarkan pada prinsip-prinsip di atas, memang sangat sulit untuk dioperasionalkan. Menurut Nowforth and Munt (2009:11-45) menyarankan elemen yang harus diperhitungkan dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut. a)
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 19
Pemeliharaan keutuhan dan keragaman ekologi. b) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. c) Tetap memberikan pilihan yang terbuka pada generasi mendatang. d) Mengurangi ketidakadilan, dan e) Peningkatan kemandirian. Lebih lanjut Swarbrooke (1998; 158) menjelaskan pendekatan pembangunan berkelanjutan, memiliki tiga elemen kunci yang harus diperhatikan dalam pengembangan kepariwisataan yaitu sebagai berikut a. Quality of the experience (customers) b. Quality of the resources (cultural and natural environment) c. Quality of life (for the people) (Schouten 1992:35; WTO, 1999:254; Swarbrooke, 1998:158;). Lebih lanjut Bharuna (2009:121-128) memberikan batasan terhadap pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, diharapkan hubungan di antara tiga elemen pariwisata, yaitu masyarakat setempat, wisatawan, dan sumber daya dapat berjalan secara seimbang dan harmonis serta terjaga kualitasnya. Konsep pembangunan berkelanjutan juga sangat mewarnai pembangunan kepariwisataan, yang dikenal sebagai pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development). Sedangkan Eadington dan Smith (dalam Pitana, 1999:45 memberikan definisi sebagai berikut," forms of tourism that are consistent with natural, social and worth while interaction and shared experiences". Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai kalau pemanfaatan sumber daya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumber daya tersebut dan keterlibatan masyarakat lokal dianggap sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya pembangunan pariwisata berkelanjutan (Pitana, 1999; Soemarwoto, 2001: 200-202). Bisa dicermati dalam prinsip diatas, jelas ada tiga penekanan keberlanjutan yiatu aspek ekonomi, budaya dan lingkungan. Keberlanjutan distigmakan sebagai upaya pelestarian aset alam maupun budaya yang nilai ekonominya juga dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Stigma dan prinsip ini masih sangat umum tidak realistis dan pragmatis dapat dipraktekkan, yang pada akhirnya akan memiliki persepsi yang berbeda dari berbagai kepentingan yang berbeda. Misalnya, tidak ada batas waktu yang jelas, kapan dilaksanakan dan sampai kapan berkelanjutan. Lebih tegas lagi berapa generasi keberlanjutan itu harus dievaluasi (satu abad atau satu milenium). Ini sangat susah apabila tidak ada penjelasan yang menyatakan indikator tersebut dalam sebuah kerangka sistem yang jelas. Perdebatan berkelanjutan muncul pula pada operasional tingkat organisasi masyarakat, misalnya : rumah tangga, desa, kota atau kabupaten, propinsi, atau dunia global? Menurut Berno T and Bricher K, (2001:6) keputusan kritis pengembangan pariwisata dibuat di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Walaupun integrasi vertikan sudah tampak organisasai ini tetapi keputusan sering dibuat ekslusif tanpa konsultasi atau kolaborasi antar pusat dan daerah. Indikator lain yang sulit dijawab dalam berkelanjutan adalah sasaran dari keberlanjutan itu untuk siapa : semua manusia hidup sekarang, semua manusia yang pernah akan hidup, semua manusia hidup pada saat ini, semua makhluk hidup yang pernah akan hidup? Pertanyaan selanjutnya yang diperdebatkan adalah bawah kondisi yang bagaimana : untuk kapitalisme kontemporer transnasional, untuk masyarakat lokal atau hanya masyarakat pedalaman, atau untuk kepentingan beberapa kelompok? Dan yang terakhir perlu untuk dijawab adalah pembangunan berkelanjutan diukur dari aspek apa : pendapatan pribadi, kompleksitas sosial, produk nasional bruto, keberlangsungan sosial budaya, konsumsi individu, atau keanekaragaman hayati ekologi? Dalam tataran teori dan konsep pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang sangat ideal dan sangat terpuji, akan tetapi penuh dengan tantangan dan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 20
perlu terus dilakukan pengujian sehingga mampu membuat definisi lebih pada hal-hal yang praktis dan operasional. Pariwisata adalah suatu gejala atau fenomena yang sangat kompleks dan terjadi fragmentasi dimana peranan pariwisata dalam perekonomian global maupun nasional tidak sesuai dengan definisi klasik dari industri dan produk. Pariwisata memiliki sistem organisasi dan administrasi yang kompleks sedangkan pada sisi lain kebutuhan dari stakeholders saling bertentangan sehingga sangat menghambat pariwisata berkelanjutan. Mengingat konteks ini, Wall (1997:45) menyampaikan bagaimana pariwisata menjadi berkelanjutan/sustain, dan apa itu yang harus dipertahankan? Ini akan menjadi memperpanjang daftar pertanyaan tentang aplikasi pariwisata berkelanjutan tersebut. Perdebatan tentang pariwisata berkelanjutan juga harus dikritisi dari berbagai aspek salah satunya adah produknya. Pariwisata berkelanjutan tidak memiliki produk yang jelas, karena satu kesatuan dengan produk industri pariwisata sehingga muncul pertanyaan apanya yang harus dipertahankan dari produk tersebut. Produknya yang tetap/statis, sedangkan disitu ada manusia dan budaya yang bersifat dinamis atau permintaannya yang tetap dipertahankan. Untuk itu siapa yang harus bertanggung jawab dan harus memutuskan hal ini. Haruskah ada satu atau beberapa yang mempertahankan individu, komunitas, daerah atau negara; pengalaman bagi wisatawan, pendapatan untuk bisnis atau gaya hidup untuk penduduk; setiap perusahaan, sektor ekonomi atau ekonomi secara keseluruhan dan sistem produksi; kegiatan ekonomi, ekspresi budaya atau kondisi lingkungan? Haruskah semua perkembangan pariwisata yang ada dipertahankan atau itu lebih baik bahwa beberapa diizinkan untuk berubah dan diganti dengan kegiatan pariwisata yang lain? Kegiatan wisata baru ini orang akan dapat berbicara tentang pariwisata berkelanjutan meskipun bentuk pariwisata telah berubah dan bentuk baru mungkin tidak berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas? Semua hal yang di atas memang sangat sulit utuk ditentukan apalagi kalau ingin disamakan, tanpa ada yang dikorbankan. Akan tetapi bertitik tolak dari berbagai tantangan diatas, bukan tidak mungkin pariwisata berkelanjutan secara essensi dapat diterapkan untuk memberikan cerminan bagi pelaku pariwisata untuk tetap lebih bijaksana dalam pembangunan pariwisata. Berbagai dampak yang ditimbulkan dapat secara langsung maupun laten tetap berpegaruh pada lingkungan alam, budaya dan ekonomi dari wilayah tersebut. Kesadaran terhadap persoalan-persoalan lingkungan, social budaya dan ekonomi yang ditimbulkan oleh model pembangunan dan praktek kegiatan wisata yang massal mendorong beberapa pelaku pariwisata untuk membuat produk-produk yang lebih ramah lingkungan, sehingga muncul berbagai produk pariwisata bentuk baru seperti ecotourism, alternative tourism, appropriate tourism, culture tourism, adventure tourism, green tourism, soft tourism, wildlife tourism, communitiy-based tourism, dan lain sebagainya. Seperti diungkapkan Gunn (2002:80-87) bahwa pariwisata berkelanjutan seperti ecotourism masih populer dan tidak ambigu, karena dapat dipakai sebagai pengendalian sumber daya alam dari kegiatan manusia, dan pelestarian sosial budaya. Kasus ini terjadi di Australia isu-isu pariwisata berkelanjutan cenderung difokuskan pada isu lingkungan dan ekowisata (Hardy, et al, 2002:6). Akan tetapi menurut Breno dan Briker (2001:9), hal ini sebagai jawaban atas praktek pariwisata massal. Justru dengan penggunaan istilah tersebut membuat pariwisata berkelanjutan menjadi sangat kabur. Menurut Font, Xaxier and Skinner Elizabeth and Sanabria Ronald, (2003:1-13) pertukaran istilah ecotourism dengan pariwisata berkelanjutan, menampilkan pemahaman yang tidak memadai dari kedua istilah
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 21
karena tidak semua bentuk ecotourism yang berkelanjutan dan tidak semua pariwisata yang berkelanjutan terjadi di daerah-daerah alami. Hubungan antara pariwisata yang berkelanjutan dan ekowisata perlu dikritisi dan dievaluasi dan perlu diberikan pengakuan sesuai dengan prinsip masing-masing (Swarbrooke, 1999; WTO & UNEP, 2000). Pada aspek ini jelas bahwa dua hal tersebut berbeda. Ada penekanan pada lingkungan fisik/alam, tetapi berkelanjutan pada semua aspek lingkungan makro. Akan tetapi dalam realitasnya bahwa perkembangan pariwisata internasional mengalami laju pertumbuhan yang sangat tinggi akibat globalisasi dan perkembangan teknologi. Disebutkan dalam Breno dan Briker (2001:9) tahun 1999, terdapat lebih dari 664 juta pergerakan wisata internasional, dimana sekitar 80% dapat didefinisikan sebagai “pariwisata massal”. Wisatawan jenis ini yang telah menghidupkan pariwisata berkelanjutan, dan tidak bisa dikatakan bahwa pariwisata massal adalah pariwisata yang rendahan. Hal ini yang membuat dikotomi pariwisata berkelanjutan seolah-olah sebagai pariwisata lingkungan saja yang mengabaikan pada sektor lain. Masalah ini juga yang dapat menjadi tantangan dan menjauhkan perbedaan prinsip dari istilah pariwisata massal yaitu dengan persepsi pariwisata buruk, dan pariwisata alternatif yaitu dengan persepsi pariwisata yang baik. Untuk pariwisata berkelanjutan dan segala bentuk pariwisata (tidak hanya bentuk pariwisata alternatif) harus bergerak menuju tujuan keberlanjutan (Krippendorf, 1987; WTO & UNEP, 2000). Untuk menjamin mengoperasionalkan konsep berkelanjutan dan produk-produk yang ditawarkan industri pariwisata betul-betul ramah lingkungan dan mudah dikenali pasar, beberapa negara telah mengembangkan berbagai skema penilaian, sertifikasi dan akreditasi terhadap komponen produk wisata mulai dari daya tarik nasional, misalnya 1). Blue Flag untuk pantai, 2). Green Leaf, untuk akomodasi, 3). Green Suitcase, untuk biro perjalanan, 4). Green Globe (model akreditasi, 2001), untuk kawasan wisata dan destinasi. 5). Australia Ecotourism Asociation, 2000 dengan Sistem akreditasi ekowisata. III.
KERJASAMA, KOLABORASI, DAN INTEGRASI Keberadaan pariwisata berkelanjutan menjadi titik awal yang menentukan sistem manajemen dan tata kelola pariwisata pada tahap-tahap selanjutnya. Konsep pembangunan berkelanjutan terkait erat dengan pengelolaan lingkungan alam, terutama kawasan lindung, dan komunitas manusia yang terkait ekonomi, politik, dan budaya. Tujuan keberlanjutan membawa banyak arti (misalnya, redistribusi pendapatan, antargenerasi dan ekuitas intragenerational, pemeliharaan ekosistem, perawatan pilihan hidup, pemeliharaan sistem manusia-alam tangguh, dan redistribusi kekuasaan). Terlepas dari berbagai kelemahan dan tantangan dari konsep pariwisata berkelanjutan dan persepsi pelaku dari pariwisata dalam mengimplementasikannya, pariwisata berkelanjutan memiliki prinsip untuk mempertahankan industri (dari aspek ekonomi) dan produk (dari aspek budaya, dan lingkungan) secara utuh dan dapat dinikmati generasi pada masa datang. Menurut Mccool, Moisey, and Nickerson (2001:126) keberlanjutan dianalogkan dalam tiga sektor utama yaitu : (1) lembaga pengelolaan, yang tidak hanya memberikan kesempatan rekreasi di luar ruangan tetapi juga mengatur latar belakang pemandangan untuk pengembangan pariwisata, (2) industri pariwisata yang memfasilitasi banyak kesempatan rekreasi dan menyediakan tempat mendukung
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 22
penginapan, makan, dan transportasi jasa; dan (3) penduduk setempat, yang mendapatkan manfaat dari pembangunan pariwisata, tetapi yang mungkin juga membayar biaya tertentu yang berkaitan dengan dampak pada kualitas hidup, infrastruktur, dan jasa. Apabila pariwisata dipandang sebagai alat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, harus ada kesepakatan antara ketiga kelompok diatas, apa yang dapat dipertahankan serta tujuan yang jelas untuk mencapai hal tersebut. Tujuan dan indikator kemajuan harus jelas dan dibagi di antara tiga kelompok. Dalam konteks sosial yang dinamis, dalam upaya menentukan indikator yang harus dipertahankan akan terjadi interaksi antara semua stakeholders dari ketiga elemen tersebut. Interaksi juga harus memperhatikan cakupan level organisasi yaitu tingkat lokal, nasional dan internasional sehingga pengembangan pariwisata tetap memperhatikan budaya lokal maupun nasional dengan standarisasi internasional. Pariwisata adalah sebuah fenomena akibat perjalanan wisata yang merupakan satu sistem terpadu yang memiliki unsur saling terkait. Perubahan pada satu elemen akan sangat berpengaruh pada elemen yang lainnya. Hal ini menyimpulkan bahwa pariwisata berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik (Leiper, 1990; Swarbrooke, 1999). Tingginya tingkat kerjasama, kolaborasi dan integrasi yang diperlukan untuk mencapai pendekatan SHIP (sistemic, holistic, interdisiplineir, dan partisipatory) untuk pariwisata yang berkelanjutan pada setiap tingkat berarti sudah jelas. Namun tingkat kerjasama, sangat sulit dipahami. Setiap sektor melaksanakan fungsinya dengan baik dalam satu koordinasi kelembagaan. Pariwisata berkelanjutan dalam banyak hal tetap merupakan usaha untuk ajang kompetisi dan distribusi sumber daya yang terbatas, sehingga dalam hal ini, membutuhkan solusi politik. Adanya kesepakatan implementasi tolak ukur yang jelas dari pariwisata berkelanjutan dengan kebijakan dan instrumen yang tepat. Keseimbangan harus dicapai antara pariwisata dan kegiatan yang ada dan potensi lainnya. Kolaborasi antara sektor mungkin diperlukan untuk kepentingan kebaikan yang lebih besar untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (Wall, 1997). Kerjasama, kolaborasi, dan integrasi dari sektor ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dalam kasus destinasi wisata Bali dapat dijabarkan sebagai berikut : 3.1.
Kebijakan dalam Aspek Ekonomi Pariwisata sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi telah mampu menciptakan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, serta penguatan daya beli masyarakat. Untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan, strategi kebijakannya harus memiliki dua buah tujuan yakni harus memaksimalkan kontribusi dari sumber daya pariwisata yang telah terbukti mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi, dan berupaya mengembangkan potensi-potensi ekonomi baru yang belum tergali (Widyatedja, 2011; 28). Sistem terpadu lingkungan dan ekonomi menjadi entitas dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sejalan dengan ini, Hardy, et all (2002;2-3) merancang sistem akuntansi yang memasukkan isu-isu lingkungan dan sosial budaya menjadi sistem ekonomi ekologi yang holistik. Ekonomi ekologi yang mengawali pengintegrasian berbagai disiplin ilmu tentang pembangunan berkelanjutan. Implementasi pembangunan berkelanjutan menekankan pada dua strategi yang harus diwujudkan dalam peningkatan nilai ekonomi masyarakat, yaitu pertama menciptakan simbiosis mutualisme antara pariwisata, pertanian dan kelautan. Semua hasil pertanian dan kelautan yang diperoleh harus dikemas dan dipasarkan sesuai dengan standar bisnis internasional untuk menunjang keunikan pariwiata yang dimiliki.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 23
Sebaliknya kontruksi ekonomi harus diarahkan pada kesejahteraan petani dan nelayan yang termarginalisasi. Untuk mewujudkan ini harus dilakukan good corporate govermance usaha pariwisata yaitu transparansi, fase governance structure, proses dan governance outcome sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi pariwisata. Kedua, memanfaatkan peluang usaha pariwisata yang selama ini belum tergarap secara maksimal. Berbagai produk wisata seperti wisata religius, wisata konvensi, wisata alam, dan lainnya. Peluang ini sudah di dukung oleh adanya pergeseran pasar dari pola konsumsi massal ke wisata yang minat khusus dan berwawasan lingkungan. Pada sisi lain yang menjadi skala prioritas adalah mendorong peningkatan kualitas infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata. Apabila hal ini terealisasi, maka masa depan pariwisata akan memiliki daya saing ekonomi yang lebih baik dan memiliki posisi yang sejajar dengan pergaulan pariwisata internasional. Apalagi diperkuat dengan kombinasi bisnis modern, maka pariwisata tidak hanya mampu mempertahankan pasar tetapi, memelihara peluang dalam meningkatkan penetrasi pasar pariwisata akibat liberalisasi jasa. 3.2.
Kebijakan dalam Aspek Sosial Budaya Pariwisata telah menjadi sektor yang menyebabkan interaksi dan mobilitas masyarakat lokal dan dunia yang berakibat pada persentuhan dan percampuran budaya, antar etnik dan antarbangsa. Wisatawan datang dengan budaya yang notabena berbeda dengan budaya lokal. Hal ini menimbulkan patogen sosial dan kerawanan konflik. Untuk itu, penekanan dalam perspektif kebijakan publik harus bertujuan pada pembentukan ketahanan budaya, pemantapan integrasi sosial dan pemberdayaan masyarakat lokal. Perhatian terhadap aspek sosial budaya dalam pariwisata masih sangat rendah. Hal ini disebabkan berbagai ukuran atau indikator yang digunakan adalah performance indicator yang diukur secara statistik atau kuantitatif. Sementara itu sebagian dari isu sosial budaya bersifat kualitatif sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian cukup beralasan bahwa pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial budaya mengingat tidak adanya ukuran yang pasti dalam menemukan hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena sosial budaya tersebut. Adanya ketimpangan kondisi seperti di atas, perlu adanya kebijakan yang mewajibkan para pelaku usaha pariwisata memprioritaskan dan melestarikan keunikan budaya sekaligus optimalisasi peran masyarakat lokal. Peran masyarakat lokal tidak dapat diabaikan, justru dioptimalkan karena pada masyarakat melekat keunikan dan keragaman budaya dalam menciptakan identitas dan jati diri, sebagai bagian dari pengembangan pariwisata secara inklusif. Proses pemberdayaan bertujuan pula dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi dan spiritual sehingga mampu mencapai kemampuan intelektual masyarakat yang adil dan beradab. Kebijakan ini dapat diderivasi melalui pembuatan kebijakan pariwisata dengan membuat even pariwisata seperti festival dengan mengedepankan atraksi budaya yang dimiliki, dan melibatkan masyarakat internasional sebagai media promosi dan diplomasi antara masyarakat lokal dan dunia internasional. Kombinasi atau kolaborasi dari upaya diatas akan menjadi embrio bagi terbentuknya sebuah citra positif dan identitas pariwiata yang solid. Ini sangat krusial, yang mana keputusan perjalanan wisata ditentukan oleh citra dan identitas dari suatu daerah tujuan wisata. Selain itu dalam globalisasi penguatan kredibilitas pariwisata merupakan kolaborasi positif yang menjadi bagian dari
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 24
diplomasi pariwisata. Keberhasilan pelestarian budaya dalam pariwisata maka keberhasilan pada pembangunan berkelanjutan untuk masa yang akan datang. 3.3.
Kebijakan dalam Aspek Lingkungan Pengembangan konsep pariwisata berkelanjutan, para pelaku pariwisata (pemerintah, dan swasta) wajib mengedepankan gerakan pengendalian terhadap dampak merusak (detrimental effect) pariwisata. Pariwisata yang acapkali memanfaatkan lingkungan sebagai atraksi dan pembangunan, sudah selayaknya selalu memberi perhatian pada perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, demi kepentingan generasi yang akan datang. Perhatian terhadap eksistensi lingkungan hidup juga merupakan aktualisasi pengakuan terhadap nilai-nilai civil society. Strategi kebijakan pada aspek lingkungan hidup dapat bersifat preventif dan represif dengan melibatkan seluruh stakeholders dari pariwiata. Secara preventif, dilakukan dengan pembuatan cetak biru (blue print) standarisasi lingkungan hidup. Kebijakan ini menjadi pedoman, kreteria, prosedur teknis dan penetapan kinerja bagi pelaku pariwisata dalam mengelola dan mempertahankan eksistensi usaha pariwisata di masa depan, sekaligus mengedepankan perlindungan atau konservasi terhadap lingkungan hidup. Kebijakan yang menetapkan daerah konservasi alam seperti pantai, danau, hutan dan warisan budaya akan mampu mereduksi dampak negatif dari komersialisasi pariwisata. Kontruksi kebijakan ini akan membatasi kecenderungan alih fungsi lahan produktif menjadi kawasan aktivitas bisnis yang menyalahi tata letak dan tata ruang. Kebijakan preventif kalau tidak diikuti oleh kebijakan represif, akan siasia. Tindakan tegas dan tidak memihak terhadap pelaku pariwisata yang terbukti melawan hukum melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, harus dikedepankan. Upaya represif dapat bersifat administratif, yaitu peringatan, paksaan, serta pencabutan izin dari pemerintah, sedangkan untuk pelanggaran hukum berat dapat dilakukan dengan pidana. IV.
SIMPULAN Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan muncul dari pengakuan kedua kepentingan ekonomi yaitu dampak dan potensinya. Pariwisata dengan ruang lingkup yang begitu luas dan memiliki sifat yang unik justru menjadi masalah dalam menjawab dan memecahkan masalah pembangunan ini. Untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan umumnya mewakili pemikiran : (1) kepedulian pembangunan berkelanjutan, dengan berbagai tantangannya, (2) perhatian dengan dampak industri pariwisata. Hal ini berakibat pada asumsi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sebuah mitos dan bahwa tidak mungkin untuk mempromosikan pariwisata sementara pada saat yang sama menjaga lingkungan yang berkualitas baik. Yang pertama menerima pariwisata yang berpotensi merusak, dan bagaimanapun pariwisata akan terus menjadi fenomena global yang signifikan dengan dampaknya. Oleh karena itu, perlu ada beberapa strategi untuk mengembangkan pariwisata di berbarengan dengan lingkungan yang lebih luas. Strategi ini disesuaikan dengan wilayah dan kondisi demografis wilayah tersebut. Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang berdimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup sehingga memiliki keadilan tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi generasi yang akan datang. Dalam kontruksi ini, pariwisata harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki berbagai komponen yang berinteraksi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu dibutuhkan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 25
suatu sinergi kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pariwisata dengan pendekatan multisektor dan multidisiplin. Kerjasama, kolaborasi dan integrasi menjadi suatu keharusan dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Signifikansi pelaksanaan good and clean governance, solidaritas koordinasi dan konsolidasi antar sektor, sinkronisasi dan integrasi pelayanan dan sinergitas pemerintah dan masyarakat, menjadi satu lingkaran konsentrasi dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Konsep pariwisata berkelanjutan, sesulit dalam mengoperasikan, tetapi tetap menjadi pendorong pembanguan pariwisata dalam perspektif jangka panjang, dan memfasilitasi kerjasama dan kolaborasi antara stakeholder yang berbeda. Ini merupakan kemajuan yang berarti dalam mempertahankan pariwisata secara keseluruhan, serta kemajuan yang signifikan terhadap bentuk pariwisata yang mempertahankan dan memelihara atribut (sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi). Tak pelak segala bentuk pembangunan pariwisata hanya dapat dinilai berkelanjutan atau tidak berkelanjutan setelah melalui waktu yang panjang, dan itupun harus tetap kebutuhan saat ini diasumsikan sama pada masa itu. KEPUSTAKAAN Berno, Tracy and Bricher Kelly. 2001. “Susainable Tourism Development: The Long Road From Theory to Practice”. International Journal of Economic Development. March 3, 2001. pp. Bharuna S. Anak Agung Gede Djaja. 2009. “Pola Perencanaan dan Strategi Pembangunan Wisata Alam Berkelanjutan serta Berwawasan Lingkunngan”. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9. No 1. Februari 2009. Hal 121-128. Cooper, Chris. 2002. “Sustainability and Tourism Visions”. VII Congreso International del Clad Sobre la Reforma del Estado y de la Administracion Publica, Lisboa, Portugal. 8-11 Oct 2002. Davidson, TL. 1998. What are travel and tourism: Are they really an industry? In W.P. Theobold (Ed), Global tourism (pp, 22-28). Oxford: Dutterworth-Heinemann. Font, Xaxier and Skinner Elizabeth and Sanabria Ronald. 2003. “Sustainable Tourism and Ecotourism Certification: Raising Standars and Benefits”. Journal of Ecotourism Vol. 2. No.3, 2003. Garrod, B. & Fyall, A. 1998. Beyond the Rhetoric of Sustainable tourism? Tourism Mangement 19 (3). 199-212. Gunn, Clare A. 2002. Tourism Planning: Basics Consepts Cases. London : Routledge. Hall, Derek. 2000. “Sustainable Tourism Development and Transformation in Central and Eastern Europe”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 8 No 6. tahun 2000. Hardy Anne, Beeton Robert, J.S. Leonie Pearson. 2002. “Sustainable Tourism. An Overview of the Concept and Its Position in Relation to Conceptualisations of Tourism”. Journal of Sustainable Tourism. Vol. 10. No.6. Tahun 2002. Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, New York: Van Non Strand Reinhold. Krippendorf, J. 1987. The Holiday Makers: Understanding the impact of leisure and travel. London: Heinemann. Leiper, N. 1990. Tourism System (pp 1-40). Palmerston North: Departement of Management System, Massey University.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 26
Likorish, L.J & Jenkins, CL. 1997. An Introduction to Tourism. Oxford: ButterworthHeinemann. Jamal, Tazim B. 2004. “Virtual Ethics and Sustainable Tourism Pedagogy: Phroaesis, Principles, and Practice”. Journal of Sustainable Tourism, Vol 12, No 6 tahun 2004. Johnston J, Robert,. And Tyrrell, Timothy. 2005. “A Dynamic Model of Sustainable Tourism”. Journal of Travel Research, Vol 4, No 3. March 2005. Sage Publications. MC Cool Stephen F, Moisey, and Nickerson P. Norma. 2001. “What Should Tourism Sustain? The Disconnect with Industry Perceptions of Useful Indicators”. Journal of Travel Reserch. Vol 40. Nov 2001. Pp. 124-131. Moscardo, Gianna. 2007. “Sustainable Tourism Innovation: Challenging Basic Asumptions”. Tourism and Hospitality Research. Vol 8. No 1. Pp.14-24. Mowforth M and Munt I. 2009. Tourism and Sustainability. Development, Globalisation and New Tourism in The Third World. London and New York: Routledge. Neto, Frederico. 2003. “A New Approach to Sustainable Tourism Development: Moving Beyond Environmental Protection”. DESA Discussion Paper Series. United Nations. Nugroho, I, dan Dahuri. R.2004. Pembangunan Wilayah: perspektif ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jakarta : LP3ES. Pitana, I Gede. 1999. “Community Management dalam Pembangunan Pariwisata”. Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999. Denpasar : D4 Parwisata. The International Council for Local Environment Initiatives (ICLEI). 1999. Sustainable Tourism: A Local Authority Persfective. Paper for Departement of Economic and Social Affairs. 19-30 April 1999. New Yorks. Tyrrell, J, Timothy and Johnston, J. Robert. 2007. “Tourism Sustainability resiliency, and Dynamic: Toward a More Comprehensive Perspective. 2007”. Tourism Hospitality Research Vol 8. No 1. 2001 pp 14-24. Sharpley, R. 2000. Tourism and Sustainable development: Exploring the theoritical devide. Journal of Sustainable Development. Vol. 8 No 1. Pp 1-19. Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina Sondakh: Masa Depan Pariwisata Indonesia. Jakarta : Kesaint Blanc. Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Swarbrooke, J. 1999. Sustainable Tourism Management. Wallingford, UK:Cabi. Wall, G. 1997. Sustainable Tourism-Unsustainable Development. In S. Wahab & JJ. Pigram (eds)., Tourism, Development and Growth: The Challenge of Sustainable (pp. 33-49). London: Routledge. World Tourism Organization (WTO) 2000. Tourism highlights 2000. Madrid World Tourism Organization. World Tourism Organization (WTO) 1999. Tourism and Sustainable development: Report of Secretary General, United Nations Economic and Social Council, Commission on Sustainable Development, Seventh Session, 19-30 April 1999. Widiatedja, IGD. Parikesit. 2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Kontruksi Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi. Denpasar : Udayana University Press.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 27
PERGULATAN OTENTISITAS DAN KOMODIFIKASI DALAM PARIWISATA BUDAYA (Studi Kasus Desa Tenganan Pegeringsingan, Karangasem, Bali) Ni Made Ariani
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Tenganan village is one of the villages to develop tourism with cultural capital. Tourist visits to the various desires for fulfilling the needs and cultural modernization has affected the local culture. Sacred aesthetic values of the woven Geringsing, rejang, mekare-kare, and residential space when turistification, is a form of sacred and religious rituals treat all lowered in rank through the commodification. Commodification in tourism is an inevitability. This is something that must be addressed wisely, for refusing means negate the tourism sector. While tourism is an important part in the economy Tenganan society. Phenomena and problems of society is dynamic and creative Tenganan successfully metamorphoses in the process of modernization and traditionality. Local role (awig-awig) and regeneration pattern of consistent and sustainable fortify the culture of strong Tenganan mastery of capitalistic. Tenganan culture is still very strong cultural identity attached to Tenganan, concerns of cultural symbols are polluted is not true. Even with tourism was to strengthen cultural identity through identity Geringsing Tenganan who compete in globalization. Keywords: culture identity, commodification, culture industry, and cultural tourism. I.
PENDAHULUAN Pariwisata sebagai sebuah gejala ekonomi yang cenderung bersifat kontenporer, telah merubah aktivitas budaya menjadi aktivitas ekonomi yang tidak dapat dielakkan adalah sebuah komodifikasi (comodification) yang sempurna. Diskusi tentang autentisitas dan komodifikasi dalam literatur pariwisata menjadi isu sentral dalam mengekplorasi dampak sosial budaya pariwisata sejak Dean Mac Cannell mempublikasikan teks yang berpengaruh “The Tourist in 1976”. Meningkatnya pengaruh industri pariwisata, semakin mudahnya perjalanan, serta semakin luasnya tempat wisata yang dapat dikunjungi, menyebabkan semakin gencarnya debat dalam kaitannya dengan dampak pariwisata terhadap keaslian budaya. Perdebatan muncul tatkala cara pariwisata mempengaruhi otentisitas tempat dan budaya lokal. Serta hubungan antara tuan rumah dengan wisatawan dan pada produksi objek budaya dan even yang dikonsumsi oleh wisatawan. Tahun 2010, Indonesia sudah menerima kunjungan wisatawan mencapai 5,2 juta orang, dan daya saingnya masih dalam rata-rata ASEAN. Peningkatan angka kunjungan wisatawan ke Indonesaia tidak serta merta dapat mengingatkan bahwa pariwisata juga memiliki dampak sosial dan budaya pada destinasi. Penyumbang devisa dari sektor
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 28
pariwisata masih di dominasi oleh Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia. Bila dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia Bali tetap menjadi primadona wisata di dunia. Dengan pariwisata budaya sebagai paradoks pariwisata Bali, telah menjadikan sebagai tempat wisatawan untuk mencari sorga dunia, walaupun disadari bahwa dengan memanfaatkan budaya sebagai aset pariwisata, sudah tentu ancaman terhadap dampak negatif pariwisata sangat besar. Tetapi itulah pariwisata bagaikan buah simalakama, susah untuk ditentukan pilihan. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1969, pada awal perkembangan wisata di Bali, wisatawan asing yang berkunjung hanya 11.278 orang, pada tahun 2000, kunjungan sudah mencapai 1.412.839 orang. Pada tahun 2002 dan 2003 terjadi penurunan mencapai 993.029 orang akibat bom Bali I dan II. Pada tahun 2009 kembali meningkat mencapai 2.229.945 orang, dan tahun 2010 meningkat menjadi 2.493.058 orang atau meningkat 11,80% dari tahun sebelumnya, Dengan rata-rata lama tinggal antar 8-11 hari (Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2010). Berbagai kejadian dunia, seperti isu terorisme, kesehatan, politik, dan lain-lain merupakan suatu tantang bagi perkembangan pariwisata. Kelemahan-kelemahan ini semestinya telah lama membuka mata dan hati pemerintah untuk kemudian melakukan upaya yang selama ini dianggap sepele yakni keamanan dan counter isu yang proporsional. Kondisi industri pariwisata yang seperti ini mendorong sebagian masyarakat untuk memikirkan ulang berbagai dampak pariwisata untuk mendapatkan solusi terbaik bagi pariwisata Bali. Salah satu pemikiran ulang itu adalah ingin melihat dan menganalisis berbagai dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap budaya Bali. Pariwisata sebagai sebuah gejala ekonomi yang cenderung bersifat kontenporer, telah merubah aktivitas budaya menjadi aktivitas ekonomi yang tidak dapat dielakkan adalah sebuah komodifikasi (comodification) yang sempurna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam perkembangan pariwisata Bali. Sejumlah pakar banyak menggunakan istilah komersialisasai atau komoditisasi, padahal kalau dilihat dari harfiah bahasanya, kedua istilah tersebut hanya sebagian kecil dari aktivitas komodifikasi. Picard (1996) menggunakan istilah turistifikasi yaitu menjadikan masyarakat daerah tujuan wisata sebagai produk pariwisata yang dinikmati wisatawan. Sedangkan Menurut Inside Indonesia mengungkapkan istilah yang sering digunakan untuk pariwisata adalah McDonaldization and Disneyfication (Hollows dan Joanne, 2010:30; Richards, 1996:63). Fenomena komodifikasi sebagai akibat dari kebutuhan untuk menjual dan memenuhi kebutuhan wisatawan memang telah memasuki semua ranah wisata yang ada di Bali. Tidak ketinggalan adalah Desa Bali Aga yang notabena memiliki tradisi kuat dan ajeg dalam menjalankan budaya dan tradisinya. Kontak dengan budaya luar sebagai akibat dari kunjungan wiatawan mempengaruhi berbagai segi budaya mereka. Pada kondisi inilah akan terjadi pertentangan dari usaha pelestarian budaya sebagai identitas budaya dan komodifikasi sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi. Masyarakat Bali Aga sebagai masyarakat komunal yang patuh terhadap adat istiadat, dengan perkembangan pariwisata mau tidak mau harus ikut dalam persaingan dalam global village. Di Bali telah banyak desa bali kuno yamg menjadi daerah tujuan wisata dan berhasil dalam persaingan tersebut. Desa Penglipuran dan Desa Trunyan di Kabupaten Bangli, dan Desa Tenganan di Kabupaten Karangasem. Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai fenomena dari identitas budaya dan komodifikasi yang digabungkan dengan dan teori budaya populer di Desa Tenganan sebagai desa kuno
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 29
yang sejak tahun 1970 ikut dalam persaingan pariwisata dunia. Fakta-fakta yang diajukan adalah hasil observasi lapangan dan dipadukan dengan berbagai pendekatan dalam teori budaya populer dan komodifikasi dalam pariwisata. II. 2.1.
KAJIAN KONSEP DAN TEORI Identitas Budaya Dalam membicarakan konsep, kebijakan, dan strategi kebudayaan Tenganan ke depan terutama pada masa menghadapi era globalisasi, masalah identitas budaya harus betul-betul diperhatikan dan dikaji secara mendalam. Hal itu sangat perlu karena hingga saat ini masih terdapat kekurangpahaman dan “kekurangsadaran” sebagian orang tentang identitas budaya di tengah-tengah kemajemukan budaya bangsa kita. Dikotomi identitas etnik dan identitas nasional serta dikotomi identitas budaya Bali dan identitas budaya asing masih belum jelas dirumuskan. Globalisasi mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah bangsa, suku, etnis, agama, serta kebudayaan lain semakin berubah digantikan dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (2010), menyaksikan berbagai implikasi buruk yang diakibatkan seperti risiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman terhadap kultural dan nilai-nilai lokal, juga persepsi atas kedaulatan sebuah bangsa. Dalam ranah budaya “penyesuaian” globalisasi diartikan sebagai kemunculan interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya dari satu tempat lain. Dengan pengikisan budaya lokal oleh desakan global ini kemudian nilai kebudayaan yang sering diasumsi sebagai tata nilai sosial asli (tradisional) dan ini sering dianggap ancaman serius. Mungkin dengan perspektif lain, persoalan “pergantian” sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita perhatikan, sebab bagi sebuah kebudyaan asli, bukanlah hal yang final dan kita sakralkan. Tapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian integral arus (kepentingan) ekonomi-politik pemodal, maka persoalan seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosialkemanusiaan, melainkan justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara-cara mengkomodifikasikan segala hal. Komersialisasi tersebut bukanlah proses “pembejalaran” budaya yang di dalamnya berisikan tata nilai dan norma kemanusiaan melainkan sekadar tata nilai menikmati produk perdagangan. Kleden (1986) mendefinisikan kebudayaan sebagai dialektika antara ketegangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan reformasi. Dalam arti yang lebih luas, tanpa tradisi dan integrasi suatu kebudayaan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa reformasi atau tanpa disintegrasi kebudayaan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang, untuk memperbaharui diri, atau untuk menyesuaikan diri dengan paksaan perubahan sosial (social change coercion). Kebudayaan adalah roh/jiwa dari daerah tujuan wisata, tanpa adanya kebudayaan suatu daerah wisata akan berkurang daya tariknya. Jadi, budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas budaya” dibentuk oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “budaya”. Identitas dapat diartikan sebagai ciri, tanda atau jatidiri, sedangkan “budaya” dalam konteks ini berarti cipta, karsa dan rasa dari
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 30
manusia. Dengan demikian, identitas budaya dapat diartikan sebagai jati diri dari hasil kebuayaan itu sendiri atau kepribadian dari budaya itu sendiri. Dalam teori identitas Stuart Hall (1994), identitas merupakan sesuatu yang bersifat imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhannya. Identitas muncul bukan dari kepenuhannya yang berasal dari dalam diri, melainkan muncul akibat perasaan timpang yang diisi oleh kekuatan dari luar individu. Dorongan untuk menata ulang akan menjelma menjadi gerakan revitalisasi budaya yang memberikan makna baru pada budaya tersebut (Kaplan dan Manners, 2000:191). Dari beberapa definisi identitas budaya di atas, maka secara umum dapat disimpulkan hubungan antara kebudayaan dengan identitas. Kebudayaan merupakan sumber dari identitas yang ada dalam pribadi atau komunitas dan dieksteriorisasikan sebagai citra kepada yang lain serta diinteriorisasikan sebagai pandangan batin yang dihidupi sebagai penentu cara pandang realitas dan kehidupan. Kebudayaan Bali dikembangkan dan dilestarikan oleh orang Bali berdasarkan konsep kehidupan yang sebagian besar diperoleh dari keyakinan yang secara turun temurun. Konsep kehidupan tesebut, dikenal dengan konsep Tri Hita Karana, yaitu konsep kehidupan yang menekankan keseimbangan dalam melaksanakan kehidupan untuk mencari jati diri/identitas diri menurut keyakinan yang dianut. Konsep kehidupan ini dalam jangka waktu yang cukup panjang telah dapat memberikan suatu bentuk dari kebudayaan Bali, dengan dasar keyakinan, kedisiplinan, ketaatan dan keiklasan, menjadikan budaya ini eksis dan lestari ditengah kehidupan sosial masyarakat Bali yang kemudian dianggap unik oleh masyarakat luar Bali. Budaya adalah identitas suatu masyarakat, semakin tinggi kebudayaan yang dimilikinya semakin tinggi juga identitas yang dimilikinya dalam hal ini intelektual, spiritual dan sebagainya. 2.2.
Komodifikasi Proses industrialisasi pariwisata pada budaya dapat menyebabkan komodifikasi yang dibuktikan dengan munculnya budaya populer terkait pariwisata. Komodifikasi merupakan proses industrialisasi dan autputnya adalah bentuk budaya populer yang merupakan kombinasi budaya lokal dan budaya wisatawan. Untuk inputnya sangat jelas dari masyarakat dan budaya lokal. Komodifikasi dapat terjadi oleh karena adanya pemikiran-pemikiran untuk selalu berkreasi guna mengejar keuntungan atau ekonomi. Dari adanya komodifikasi memang telah memberikan kasanah kebudayaan baru bagi kebudayaan lokal. Tapi apakah kebudayaan hasil komodifikasi ini sesuai dengan jiwa dan identitas orang lokal? atau tidakkah hasil dari komodifikasi budaya tesebut malah akan menyamarkan identitas masyarakatnya?. Hal ini sulit untuk mendapat jawaban karena budaya bersifat abstrak serta memiliki nilai yang relative (rasa) bagi setiap orang. Komodifikasi menjadi perdebatan yang menarik di Bali, terkait dengan dengan jenis-jenis kebudayaan Bali yang telah terkomodifikasi oleh masyarakat pendukungnya. Surbakti (2008:19) berpandangan bahwa komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja (dengan penuh kesadaran dan perhitungan) sebagai komoditas. Proses modernisasi melalui pembangunan yang sangat kapitalistik atau membela kepentingan para pemodal dapat menyebabkan komodifikasi. Lebih tegas Barker (2004:408) menekankan bahwa komodifikasi merupakan proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas yang merupakan segala sesuatu yang memiliki tujuan utama untuk di jual. Lain halnya dengan pendapat Karl Marx dan George Simmel dalam Prasiasa (2010:47)
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 31
yang mengungkapkan bahwa komodifikasi terjadi akibat dari semangat untuk menciptakan keuntungan yang sebanyak banyaknya dari barang atau produk yang dijual. Sebagaimana dikemukakan Adorno dan Horkheimer (Strinati, 2009:108), industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas (maksudnya kalangan teknisi serta industriawan yang bekerja di pariwisata, dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan (making profits). Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Standardisasi berarti menetapkan kriteria tertentu yang memudahkan produk-produk industri budaya itu mudah dicerna oleh khalayaknya. Adapun masifikasi berarti memproduksi berbagai hasil budaya dalam jumlah massal agar dapat meraih pangsa pasar seluas-luasnya. Lebih jauh Ricards (1996) menyatakan bahwa budaya komodifikasi dilakukan dengan menciptakan artefak budaya tidak otentik, khusus dirancang untuk konsumsi wisatawan, dan beradaptasi mereka dengan kebutuhan wisatawan. Mereka diterima oleh banyak wisatawan sebagai budaya tradisional produk. Banyak orang berpendapat bahwa komodifikasi budaya adalah efek terburuk dari globalisasi pada budaya. Menghidupkan produk budaya otentik menjadi komoditas yang dikomersialkan untuk konsumsi wisatawan yang diambil dari produk-produk kualitas asli dan memiliki makna. Meskipun komoditisasi budaya tidak dapat dihindari, tidak selalu berarti buruk. Komodifikasi budaya dapat menjadi solusi untuk menghindari kerusakan budaya lokal. Dengan menjadi artefak budaya bagi wisatawan, produk lokal diakui dan nilai-nilai tradisional dapat ditingkatkan dan dipertahankan. Komoditisasi budaya dapat menjadi sarana pelestarian budaya, dengan ketentuan bahwa masyarakat lokal mempertahankan kontrol atas produk mereka (Richards, 1996). Untuk itu proses komodifikasi akan terjadi dari awal perencanaan atau produksi sampai pada konsumsi oleh wisatawan. Pada saat sebuah upacara agama ditawarkan pada wisatawan, pada saat itu telah terjadi komodifikasi yang di kemas sedemikian rupa sampai akhirnya dapat memuaskan wisatawan. Proses pertunjukkan ini akan disesuaikan dengan efesiensi dan efektivitas dari upacara tersebut. Belakangna ini pihak-pihak yang melakukan hal tersebut selalu melakukan alibi sebagai upaya pelesatarian. Hal inilah yang mengakibatkan adanya perebutan ruang-ruang yang secara ekonomis sangat menguntungkan, dan pihak lain yang menginginkan komodifikasi yang ingin melestarikan budaya. Pihak yang berwawasan ekonomi melalui pengembangan pariwisata berasumsi dapat mendatangkan keuntungan meskipun secara timbal balik akan digunakan untuk mempertahankan kelestariannya. Komodifiksi dalam dunia pariwisata tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, seperti pemodal pariwisata. Masyarakat lokal pun berpotensi dan sering melakukannya. Hanya karena masyarakat memiliki hak untuk mengkomodifikasi, sering tidak menjadi permasalahan. Sebaliknya akan terjadi penolakan ketika pemodal besar yang bukan masyarakat lokal melakukan komodifikasi terhadap budaya setempat. Jadi, masyarakat lokal sangat berpotensi untuk melakukan komodifikasi terhadap sumber daya budaya di desa tersebut.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 32
III. 3.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sekilas Desa Tenganan Desa Adat Tenganan PeGeringsingan terletak di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem, dengan jarak 17 km dari Kota Amlapura dan 76 km dari Kota Denpasar. Desa adalah desa tradisional atau Bali kuno/Bali Aga. Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik, televisi, air, telepon dan sarana hiburan lainnya masuk ke Desa Tenganan ini, tetapi rumah dan adat tetap dipertahankan seperti aslinya yang tetap eksotik. Adapun batas desa adalah sebelah barat Desa Ngis, sebelah utara adalah Desa Macang dan Bebandem, sebelah timur Desa Bungaya, Desa Asak, dan Desa Timrah, dan sebelah selatan adalah Desa Pasedahan. Pemukian desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu keluarga. Tiap-tiap deret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air. Ada tiga awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan upacara keagamaan atau adat. Sedangkan struktur pembagian tata ruang desa mengikuti konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-kelod (utara-selatan) yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh (timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang Tenganan Pegeringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah) dengan bhuwana agung (pekarangan desa). Perkampungan dikelilingi tembok seperti benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru. Orang Tenganan Pegeringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai Jaga Satru (berjaga dari serangan musuh). Desa Tenganan mempunyai luas area sekitar 1.0340 hektar. Desa Tenganan terdiri atas 3 banjar yaitu Banjar Kauh, Banjar Kangin dan Banjar Pande. Wilayah desa terdiri dari tiga bagian utama yaitu; komplek pemukiman, perkebunan, dan persawahan. Tahun 2010 jumlah penduduk Desa Tenganan mencapai 218 KK, dengan total penduduk mencapai 321 orang. Komposisi laki-laki adalah 159 dan perempuan 162. Sedangkan dari jumlah penduduk yang ada 239 atau 43,45% sudah mengenyam pendidikan, dengan sebaran 11,45% SD, SLTP 4,73%, 5,10% SMU dan 4,36 perguruan tinggi, sisanya tidak tamat SD (16,18%) dan belum sekolah mencapai 58,18%. Untuk usia produktif antar umur 25-54 mencapai 152 orang. Keadaan mata pencaharian masyarakat Tenganan adalah seebagian besar sebagai petani (75,31%), sebagai tukang bangunan (6,79%), pedagang (1,85%), seniman 5,56%, dan yang bekerja sebagao TNI/Polri sebanyak 8,20. Sebagai msyarakat komunal dan masyarakat agraris, warga Desa Tenganan tetap memiliki sawah dan perkebunan, tetapi saat ini banyak sawah yang dikerjakan oleh penyakap atau buruh dari desa lain. Untuk masyarakat Tenganan kegiatan utama yang dikerjakan adalah menenun, menganyam ata, mencari tuak untuk gula, menyurat lontar, membuat sapu lidi dari daun palm, dan kegiatan berdagang. Kegiatan ini merupakan kegiatan sambilan yang dikerjakan untuk mengisi waktu luang disamping kesibukan untuk upacara dan kerja desa. Sebagai desa kuno sistem kemasyarakat yang dianut masyarakat adalah sistem ulu apad yaitu senioritas yang menjadi tetua adat.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 33
3.2.
Identitas Budaya Tenganan Pegeringsingan Pariwisata telah berkembang di Desa Tenganan sejak tahun 1970-an. Kunjungan wisatawan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem, kunjungan wisatawan mancanegara ke Desa Tenganan tahun 2004-2009 masing-masing tahun 2004 sejumlah 28,014 orang, tahun 2005 meningkat 42, 588 orang, tahun 2006 karena isu flu burung kunjungan menurun 35,366 orang, tetapi tahun 2007 melonjak 44,316 orang dan tahun 2008 mencapai 53,170 orang. Wisatawan yang dominan berkunjung adalah wisatawan Perancis, Rusia dan Jepang, dengan rerata length of stay mencapai 2-4 jam per hari. Keunikan yang dimiliki Desa Tenganan sehingga menjadi salah satu daya tarik wisata yang harus dikunjungi, yaitu : 1. Pola perkampungan yang seragam yang bersifat linear. Keunikan Tenganan terasa ketika kita memasuki desa melewati salah satu pintu dari empat pintu yang ada. Batu kali ditata rapi di sepanjang jalan berundak. Rumah yang berada di sisi kiri kanan jalan mempunyai luas yang hampir sama dengan struktur yang sama untuk setiap rumah. Kerbau berwarna abu-abu berkeliaran dengan bebas di tempattempat umum, berjalan perlahan di dalam permukiman desa. 2. Struktur masyarakat yang bilateral yang berorientasi pada kolektif dan senioritas. Sistem yang diterapkan adalah sistem ulu apad. Pemerintahan adat bersifat kolektif. Ada tiga struktur utama pemimpin desa. Pertama disebut Luanan. Ini merupakan penasihat atau penglingsir desa yang diisi oleh keluarga yang memiliki nomor urut perkawinan 1-5. Luanan biasanya hadir ketika sudah selesainya persiapan rapat atau suatu acara. Struktur kedua yakni Bahan Roras. Posisi Bahan Roras ini terbagi menjadi dua yakni Bahan Duluan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 6-11 dan Bahan Tebenan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 12-17. Bahan Duluan merupakan pelaksana pemerintahan sehari-hari, perencana, pelaksana atau pucuk pimpinan. Pasangan keluarga nomor urut 6-7 disebut dengan nama Tamping Takon (tampi artinya “menerima” dan takon artinya “pertanyaan”) yang bertugas untuk menampung atau menjawab segala macam pertanyaan dari krama desa. Sementara keluarga dengan nomor urut 12-17 disebut dengan Bahan Tebenan. Tugasnya sebagai pembantu atau cadangan Keliang Desa. Hal menarik lainnya adalah perempuan Tenganan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kepemilikan lahan dan warisan, larangan menikah dengan orang dari luar desa. dan 3. Sistem ritual khusus dalam frekuensi yang tinggi dengan menyungguhkan perpaduan agama, seni dan solidaritas sosial. Setiap bulan/sasih terdapat upacara khusus yang disebut usaba di Desa Tenganan, yang dipusatkan di Bale Agung. Sistem kalender yang berbeda dengan penanggalan pada umumnya di Bali. Kesemuanya dengan berbagai ritual yang dijalankan merupakan salah satu cara untuk menerapkan dan mempertahankan konsep keseimbangan. 4. Tradisi mekare-kare setiap bulan Juni yaitu tradisi perang pandan dalam kontek ritual, nilai religius, semangat perjuangan dan uji ketangguhan fisik yang diiringi oleh gambelan tradisional selonding. 5. Seni kerajinan tenun ikat kain geringsing dengan design dan tata warna khas, serta memiliki bentuk, fungsi dan makna estetis yang tinggi. Kain ini dipakai pada waktu upacara dimana dipercaya dengan memakai kain ini akan terhindar dari penyakit. Kata Geringsing sendiri berasal dari bahasa Bali yaitu “gering” yang berarti penyakit keras dan “sing” berarti tidak. Budaya Tenganan sangat unik, semua
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 34
mengacu pada konsep keseimbangan. Filosofi ini ditandai dengan motif di atas kain Geringsing, tenun ikat ganda yang menggunakan pewarna alam yaitu warna merah dibuat dari “babakan” (kelopak pohon) kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) dicampur dengan akar pohon sunti, warna kuning dibuat dari minyak buah kemiri yang sudah berumur lama, kira-kira 1 tahun dicampur dengan air serbuk/abu kayu kemiri, dan warna hitam dibuat dari pohon Taum. Masyarakat Desa Tenganan telah terbiasa hidup dalam budaya dengan awig-awig dan melakukan ritual sesuai dengan petunjuk dari leluhur. Masyarakat dapat melakukan regenerasi budaya dengan masyarakat muda, karena masyarakat dari kecil sudah diikutkan dalam setiap tradisi keagamaan, sehingga masyarakat sudah menjadikan aktivitas sehari-hari tidak lepas dari agama dan tradisi yang harus di junjung tinggi. Pada sisi lain, ada tradisi menenun kain Geringsing yang hampir mengalami kepunahan, dengan pariwisata dapat berkembang dengan baik. Kerajinan menenun kain Geringsing ini merupakan usaha satu-satunya di Bali sampai kini yang hanya terdapat atau dikenal dikalangan masyarakat Desa Tenganan. Hasil kerajinan menenun ini oleh masyarakat setempat dijadikan pakaian adat dengan nilai religiusnya disamping mengandung juga nilai estetis, mode show, serta tata nilai ekonomis. Hasil tenunan dari Tenganan ini dinamakan kain tenun dobel ikat, dan merupakan satusatunya di Indonesia serta salah satu dari tiga lokasi di dunia selain di Jepang dan India. Berdasarkan fakta tersebut, apabila dikaji dari proses pembuatan dan bahan baku yang diperlukan, hal ini pula yang menyebabkan sebelum pariwisata berkembang di Desa Tenganan, masyarakat tidak melakukan produksi kain tenun secara massal. Bahkan jarang sekali yang mau membuat kain tenun Geringsing yang berukuran besar seperti untuk kain kamben atau sarung. Ukuran terkecil saja, sekitar 60x150 cm berharga Rp. 400.000,- hingga Rp. 500.000,- dengan waktu pengerjaan sekitar 3 minggu. Perkembangan pariwisata dan dijadikannya tenun Geringsing sebagai modal budaya ternyata berdampak positif pada perubahan sikap masyarakat yang kembali melakukan revitalisasi atau produksi kain Geringsing sebagai pemenuhan kebutuhan adat disamping kebutuhan wisatawan. Berbagai motif dan model bermunculan, saat ini terdapat 20 motif kain Geringsing, dan hanya 14 motif yang biasa dibuat masyarakat. Adapun jenis motifnya adalah Geringsing Lubeng (berfungsi sebagai saran upacara adat), yang terdiri Geringsing Lubeng Luhur, Geringsing Lubeng Petang Dasa dan Geringsing Lubeng Pat Likur, Geringsing Sanan Empeg (sebagai upacara manusa yadnya), Geringsing Cecempakan (berfungsi untuk busana adat) dengan jenis Petang Dasa (ukuran empat puluh), Geringsing Cecempakan Putri, Geringsing Cecempakan Pat Likur (ukuran 24 benang), Geringsing Isi (untuk dewa yadnya), Geringsing Wayang Kebo dan Geringsing Wayang Putri, dan Geringsing Batun Tuung. Ada juga motif-motif kuno kain Geringsing lainnya yang masih dikenal meliputi : Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai, Dinding Sigading, dan Talidandan. sedangkan untuk motif baru sesuai dengan pesanan tetapi tetap pada flora dan fauna. Dari fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tenganan secara sadar ataupun tidak sadar telah melakukan dialog budaya internasionalisasi dan tradisionalisasi. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas bahwa kebudayaan Tenganan ada yang berubah seperti tata ruang, kain yang pengerjaannya singkat dan motif kain sudah banyak, tetapi esensi dan nilai dari budaya Tenganan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 35
tetap kuat. Masyarakat Tenganan telah melakukan konversi atau oleh Clifford Greetz (dalam Muriawan, 2010) disebut dengan internal conversion, yang merupakan muara dari kombinasi rasionalisasi, orthodoxysasi, pragmatisasi, dan tradisionalisasi. Masyarakat Tenganan tetap menyadari bahwa proses ini adalah proses untuk menemukan identitas budaya yang sebenarnya. 3.3.
Komodifikasi dan Komersialisasi Budaya Di Desa Tenganan Pariwisata di Desa Tenganan sebagai aktivitas industri yang merupakan salah satu sektor dari ekonomi, yang memenuhi hasrat kebutuhan wisatawan dan masyarakat lokal tidak dapat terelakkan lagi sebagai komodifikasi. Komodifikasi akan berdampak pada dislokasi budaya, dimana atraksi budaya hanya untuk kepentingan bisnis pariwisata. Sedangkan proses pemeliharaan dan pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat terlupakan. Padahal budaya adalah modal pariwisata. Dalam dunia pariwisata komodifikasi telah terjadi dan merambah pada kebudayaan khususnya pada pemanfaatan simbol-simbol, seni, budaya, dan agama. Dengan memanfaatkan teknologi yang begitu canggih, komodifikasi sudah menjadi suatu ritual usaha ekonomi yang sempurna dengan memperhitungkan keuntungan maksimal. Komodifikasi sudah merambah pada seluruh sektor pariwisata dan sistem kapitalis pada umumnya dan memanfaatkan bangunan bersejarah, dan menurut Richards (1996:262) bahwa pariwisata budaya merupakan manifestasi dari komodifikasi kebudayaan. Secara positif masyarakat memperoleh manfaat ekonomi yang merangsang secara progresif kebudayaan Tenganan sehingga mengalami revitalisasi. Cooper, et all (2005:247) menyatakan bahwa ketika pembangunan pariwisata dilakukan, akan ada peningkatan infrastruktur dan perubahan budaya masyarakat lokal. Peningkatan kualitas hidup masyarakat terjadi akibat perubahan positif pada kebiasaan hidup yang di dukung oleh infrastruktur yang baik. Secara negatif unsur kebudayaan tertentu untuk konsumsi wisatawan terlihat dengan produksi secara massal, komersialisasi, materialisme, sehingga bergerak ke gejala distorsi dan beberapa bentuk masalah kebudayaan. Perkembangan pariwisata di Desa Adat Tenganan tidak terlepas dari adanya kunjungan wisatawan mancanegara akibat dari modernisasi. Proses modernisasi menimbulkan sistem pembangunan yang kapitalistik atau membela kepentingan modal. Kepentingan modal yang dapat menguntungkan hasrat manusia apat menyebabkan komodifikasi. Dalam kenyataannya Desa Adat Tenganan telah melakukan usaha-usaha ekonomi pariwisata sejak kedatangan wisatawan. Bangunan bersejarah telah dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kebutuhan wisatawan. Tidak ada lagi ruang dalam skala mikro di pekarangan rumah yang dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi dengan keluarga. Semua bangunan telah diisi dengan barang-barang dagangan/pajangan untuk dijual. Bagian tembok depan rumah ditutupi oleh berbagai kain dagangan. Jenis kerajinan yang dijual tidak dalam satu komoditi tetapi berbagai komoditi dengan berbagai ciri khas dan berasal dari daerah lain. Kondisi ini tidak ubahnya seperti pasar seni yang berada di rumah-rumah penduduk. Menurut pendapat beberapa wisatawan (guest comment), Desa Tenganan tidak seperti masa tahun 1980-an, banyak hal yang tidak lagi autentik, dan tidak lestari. Yang lebih parah ternyata ada perbedaan kondisi autentik dari Tenganan tidak ditemukan seperti yang di baca dalam media promosi di Indonesia dan luar negeri. Tata letak bangunan tidak dapat lagi dilihat secara jelas, akibat pajangan tadi, tidak kelihatan dimana posisi dapur, bale, dan merajan. Wisatawan masuk ke rumah,
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 36
melihat barang belanjaan, tidak bisa melihat rumah. Dengan alasan tidak ekonomis dan mengotori barang dagangan, rumah yang berlantai tanah, dilakukan betonisasi untuk efesiensi. Komunikasi atau interaksi wisatawan dan masyarakat lokal (host) tidak terjadi dengan baik. Wisatawan lebih banyak berkomunikasi dengan host ketika transaksi barang dagangan, bukan informasi tentang budaya Desa Tenganan atau pola perumahannya. Wisatawan masuk rumah penduduk, tidak ditunjukkan atau diberikan informasi pola perumahan, tetapi ditawarin barang souvernir, membuat prasi atau tulisan lontar. Dominasi inilah yang dapat merubah citra pariwisata Tenganan menjadi kurang baik akibat peranan ekonomis/komodifikasi. Karl Marx dalam Turner (1992:115-138) menegaskan bahwa spirit untuk mendapatkan keuntungan dari pariwisata merupakan suatu bentuk komodifikasi. Berpijak dari hal tersebut, maka pariwisata di Tenganan secara umum adalah kegiatan komodifikasi, karena secara utuh setiap kegiatan dan aktivitas dari masyarakat di Desa Tenganan telah menjadi sebuah komoditi yang dibeli oleh wisatawan selama mereka berkunjung. Tesis ini mungkin terlalu awal utuk diambil sebagai sebuah jawaban dari sebuah hipotesis. Tetapi, berawal dari sikap ramah masyarakat Tenganan, yang tercermin dalam sikap masyarakat yang terbuka dan merasa bangga jika seni budayanya ditonton orang lain, maka ketika wisatawan mengagumi seni budayanya yang dominan bernuansa religius mendorong mereka untuk menciptakan bentuk, rekayasa dari seni budaya asli untuk dipertontonkan sehingga disajikan khusus dan memperoleh keuntungan. Sebagai contoh bahwa Tenganan memiliki aktivitas ritual kegamaan yang sangat banyak berdasarkan sasih. Aktivitas ritual ini oleh pemeritah Kabupaten Karangasem dan beberapa hotel menjadikan aktivitas ritual ini sebagai paket wisata yang dapat ditonton oleh wisatawan. Secara umum aktivitas keagamaan ini tidak mengalami perubahan bentuk, fungsi dan makna. Nilai-nilai ritual dan adat dari acara keagamaan tersebut tetap di naungi oleh tradisi, dan tidak ada perubahan. Misalnya kegiatan mekare-kare/perang pandan, yang dilakukan setiap tahun sekali di Bale Agung. Dalam brosur atau famplet dari dinas pariwisata akan disebutkan bahwa Tenganan memiliki calender event, yang memiliki akivitas agama yang menarik untuk dikunjungi. Pada tenun Geringsing yang semula dibuat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam agama dan adat, saat ini dibuat untuk pemenuhan kebutuhan dan hasrat dari wisatawan. Menurut Ritzer (2010:566) proses Mcdonaldization dalam konsumsi Geringsing terjadi dengan jelas. Proses tenun Geringsing dilakukan selama 11,5 tahun dengan melalui berbagai proes penenunan. Pewarnaan merah ini sangat memerlukan waktu lama bisa 2 sampai 4 tahun karena proses pengeringannya membutuhkan waktu banyak. Itupun sudah dipercepat, dulu bisa memakan waktu hingga 10 tahun karena pengeringannya menggunakan angin bukan matahari demi menghasilkan warna merah yang lebih bagus. Berbagai ritual keagamaan dilakukan oleh masyarakat bila ingin melakukan penenunan. Dari pencelupan, pengeringan, pemintalan, sampai penenunan. Motivasi masyarakat lebih banyak sebagai unsur sosial dan yadnya yang dipersembahkan untuk leluhur. Akan tetapi berbeda, ketika kebutuhan akan kain Geringsing meningkat dan dipesan oleh wisatawan, para pengrajin mulai menunjukkan keangkuhannya dengan berbagai alasan terkait dengan rumitnya pembuatan kain Geringsing sampai pada taksu yang dimiliki. Tetapi kalau harga yang dikehendaki dapat dipenuhi, maka tanpa merasa berdosa kain yang diberikan dapat segera diperoleh dan mutunya masih rendah.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 37
Tidak jarang pula masyarakat menjajakan kain-kain dengan motif yang baru hasil dari kombinasi berbagai motif yang beredar di pasaran. Yang lebih menyedihkan adalah ada pula yang bersedia melayani pesanan Geringsing sesuai dengan motif dari wisatawan, yang penting sesuai dengan kontrak yang disepakati. Ini jelas unsur komersialisasi sebagai wujud laten yang dapat menghilangkan identitas budaya Tenganan. Komodifikasi dengan menyesuaikan kebutuhan wisatawan adalah wujud pergeseran pasar yang lebih mementingkan pasar dibandingkan keberlanjutan dari produk Tenganan. Pada bagian lain, tari-tarian sakral, dan komunitas masyarakat yang begitu tradisional, bagi wisatawan adalah sebuah objek yang sangat menarik. Kebiasaan masyarakat yang tidak memakai baju bagi laki-laki, dan serta kecantikan wanita Tenganan yang setiap hari menggunakan pakaian tradisional Geringsing membuat wisatawan tidak henti-hentinya melakukan pemotretan terhadap mereka. Bagi masyarakat hal tersebut adalah wajar, karena tidak ada yang dirugikan atau mereka tidak merasa terganggu. Bahkan ada yang senang merasa foto mereka bisa sampai di luar negeri dan itu adalah media promosi yang baik. Dalam konteks budaya, selalu ada yang dirugikan, bahwa wisatawan melakukan hal tersebut karena merasa telah membeli atau membayar untuk berkunjung ke desa tersebut. Walaupun diketahui bahwa Desa Adat Tenganan mengenakan retribusi masuk ke desa, tetapi hanya sukarela/punia. Wisatawan tidak mengerti hal tersebut, yang diketahui adalah mereka telah membayar sejumlah uang sebagai kompensasi dari itu dan meeka berhak mendapatkan kepuasan dari kunjungannya, dan pada aspek inilah sebenarnya telah terjadi komodifikasi terhadap aspek pawongan di Desa Tenganan. Dalam konsepsi Bourdieu (Peltonen dalam Sigala, 1997:81-92), modal budaya (culture capital) dan mampu ditransformasikan menjadi modal ekonomi (economic capital) dalam hal ini penting dalam kehidupan lokal yang begitu turistik pada saat ini. Naisbitt (1994) menyebutkan bahwa peristiwa yang seperti ini sebagai paradoks global, dimana telah terjadi kondisi paradoks yaitu semakin besar pengaruh globalisasi, semakin tinggi keinginan untuk menekuni lokalisasi, khususnya seni tradisional. Perpaduan dari pengaruh globalisasi dengan lokalisasi telah membentuk masyarakat yang memiliki kondisi glokalisasi. Masyarakat di Tenganan memiliki sikap mendua dalam aspek kehidupan seharihari kalau dilihat dari pendekatan budaya. Dualism ini pada hakekatnya merupakan dampak dari proses modifikasi yang muncul dari perubahan dan perkembangan pariwisata di Tenganan. Globalisasi telah membuat tata perekonomian masyarakat mengalami pergeseran yang drastis. Masyarakat Tenganan tidak lagi memilih sebagai petani sebagai mata pencaharian tetapi bekerja di sektor jasa. Masyarakat tidak lagi hanya menjaga tradisi, akan tetapi mengembangkan pola-pola kehidupan modern, seperti menghargai waktu, materialistis, berpandangan jauh ke depan. Selain masih bersifat komunal, mereka juga sudah mengenal kehidupan individualistis. Kehidupan spiritual dengan tradisi Bali Aga sudah ditambah dengan pengalaman baru yaitu kehidupan komersialisasi pariwisata. Makanya ada sifat, sikap, dan praktik baru, dalam konteks adat kehidupan Tenganan, tetapi kehidupan masyarakat tetap satu kesatuan adat yang tidak berubah/ajeg. IV.
SIMPULAN DAN SARAN Sakralnya nilai-nilai estetika dari kain tenun Geringsing, tarian rejang, dan ritual mekare-kare ketika dipariwisatakan (dituristifikasi), khususnya hasil tenun
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 38
Geringsing yang merupakan bentuk suguhan estetika sakral dan ritual keagamaan yang merupakan bentuk persembahan masyarakat pada Tuhan, maka semuanya diturunkan derajatnya melalui komodifikasi. Komodifikasi adalah fenomena posmodernisme dan menjadi bagian dalam poststrukturalisme. Dengan kata lain bahwa posmodernisme sebagai wilayah yang di dalamnya ada postrukturalisme dan komodifikasi budaya itu sendiri. Komodifikasi dalam pariwisata adalah sebuah keniscayaan. Dalam praktik sehari-hari komodifikasi telah masuk dalam kehidupan manusia, termasuk dalam keberlangsungan tata sosial adat Tenganan. Sebagai budaya posmodernisme, banyak produk pariwisata populer sebagai pertanda dari kedangkalan sebuah budaya. Hal itu pula dipakai sebagai simpulan bahwa semuanya merupakan dampak pariwisata. Ini adalah sesuatu yang harus disikapi secara bijaksana, karena menolak berarti meniadakan sektor pariwisata. Sedangkan pariwisata adalah bagian penting dalam perekonomian masyarakat Tenganan. Berdasarkan fenomena dan kearifan masyarakat Tenganan secara dinamis dan kreatif telah berhasil melakukan metamorphosis dalam proses modernisasi dan tradisionalisasi. Kalau dilihat dari kurun waktu yang panjang dan analisis bahwa kebudayaan Tenganan sudah berubah pada artefak luarnya, namun essensi budaya dan nilai adat tetap terjaga dengan baik. Peranan awig-awig dan pola regenerasi yang konsisten dan berkelanjutan membentengi budaya Tenganan dari kuatnya cengkraman kapitalistik. Temuan lapangan menunjukkan bahwa kebudayaan Tenganan sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas budaya Tenganan, kekhawatiran terhadap simbol-simbol budaya yang tercerai-berai dan dominan dikuasai oleh kapitalisis tidak benar. Bahkan dengan pariwisata ternyata menguatkan identitas budaya Tenganan melalui identitas Geringsing yang bersaing dalam derasnya globalisasi. Tentu saja dengan mengetahui ancaman dari pengembangan pariwisata budaya dalam derasnya kapitalisme, daya tarik wisata Tenganan harus dikelola dengan pengelolaan yang baik supaya tidak terjadi distorsi kebudayaan yang dimanfaatkan semata-mata untuk kepentingan pariwisata. Implementasinya dengan mengonstruksi dan menemukan kembali warisan budaya melalui pengepakan budaya, konservasi dan revitalisasi budaya yang melibatkan pemerintah daerah, seniman, budayawan dan masyarakat lokal pada proses reaktualisasi budaya supaya tidak mementingkan nilai ekonomis semata, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai warisan budaya yang ada. Bantuan pendanaan dari pemerintah sangat diperlukan untuk penambahan fasilitas maupun biaya perawatan peralatan yang telah ada. Perlu diingat dalam pengembangan kepariwisataan yang harus dikerjakan adalah membantu keberlangsungan kebudayaan lokal, apalagi ditengah ketergagapan kebudayaan global seperti sekarang. Dan yang paling penting untuk mencegah klaim oleh negara lain atas produk-produk kebudayaan daerah yang kita punyai, harus dilakukan komunikasi antara masyarakat pelaku kebudayaan dengan pemerintah untuk mendapatkan informasi tentang produk-produk budaya. Selanjutnya dilakukan pendataan dan pembuatan peta perjalanan serta informasi daya tarik wisata yang bermanfaat bagi wisatawan dan masyarakat lokal.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 39
KEPUSTAKAAN Ardika, dkk. 2003. Dampak Ekonomi Sosial dan Budaya Tragedi Peledakan Bom Terhadap Masyarakat Kuta dan Sekitarnya. (Hasil Penelitian) Denpasar: Kerjasama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata degan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Unud. Atmadja, Nengah Bawa. 2010 Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Barker, Chris. 2003. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terjemahan). Yogyakarta: Bentang Budaya. Bourdieu, P. 1997. The Forms of Capital, in: A. Halsey, H. Lauder, P. Brown & A. Stuart Wells (Eds.) Education: Culture, Economy and Society, Oxford: Oxford University Press. Burhanuddin, Yudhis M. 2008. Bali yang Hilang. Pendatang Islam dan Etnisitas di Bali. Yogyakarta: Kanisius. Cooper, C., Fletcher,J., Gilbert, D., and Wanhill, S. 2005. Tourism Priciple and Practice. England: Pearson Education Limited. Dean, Chuck Y. Gee. 1999. International Tourism: Global Persfektive. USA: University of Hawaii at Manoa. Fairclough, Norman. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. Geria I Wayan. 1989. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional dan Global. Denpasar: Upada Sastra. Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi. Dasar Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogykarta: Pustaka Pelajar. Hollows, Joanne. 2010. Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yoyakarta: Jalasutra. Kaplan, D. dan Manners, A.A. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kleden. Ignas. 1986. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES. Muriawan, Agus. 2008. “Identitas dan Komodifikasi Budaya Dalam Pariwisata Bali”, Majalah Analisis Pariwisata. Vol. 8, No. 2.2008 Naisbitt. J. 1994. Global Paradox (Terjemahan). Jakarta; Binapura Aksara. Nuryanti, Wiendu.1995. Tourism and Culture. Global Civilization in Change. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. O, Donnell. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. Picard, Michel. 1992. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta Selatan: KPG Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris dan Ecole francaise d”Extreme-Orient. Pitana, I Gde, dkk. 2001. Dampak Pariwisata Terhadap aspek Sosial Budaya Masyarakat Bali. (Hasil Penelitian). Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dan Universitas Udayana. Pringle, Robert. 2004. A Short History of Bali Indonesia”s Hindu Realm. Australia: Allen & UnwinRyan, C and. Aicken, M. 2005. Indigenous Tourism The Commodification and Management of Culture. Amsterdam: Elsevier Richards, Greg. (Ed). 1996. Cultural Tourism In Europe. The Netherlands: CAB International ______. (Ed). 2007. Cultural Tourism: Global and Local Perspectives. New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 40
Ritzer, G. and Goodman D.J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ryan, C and Aicken, M. 2005. Indigenous Tourism: The Commodification and Management of Culture. Amsterdam: Elsevier. Sigala, Mariana and Lestlie, D. 2005. International Cultural Tourism: Management, Implications and Cases. United Kingdom: Elservier Ltd. Soethama, Gde Aryantha. 2006. Bolak Balik Bali. Denpasar: Arti Foundation. Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina Sondakh: Perkembangan Pariwisata Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc. Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar Ruzz Media Storey, John. 1993. An Introduction Guide To Cultural Theory and Popular Culture. New York: Harverster Wheatshef. Supardan.D. 2009. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Surbakti, Asmyta. 2008. “Komodifikasi Budaya Populer dalam Pariwisata”, Majalah Analisis Pariwisata. Vol. 8, No. 2.2008 Sutjipta, Nyoman. 2005. Pariwisata Revolusi di Pulau Dewata. Denpasar: Univesitas Udayana. Suyanto, B dan Amal, K. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. Tim Tri Hita Karana Awards. 2007. Bali Is Bali Forever Ajeg Bali dalam Bingkai Tri Hita Karana. Denpasar : Bali Travel News dan Pemerintah Propinsi Bali. Turner, Bryan S. 1992. Max Weber; from History to Modernity. Kondon: Routledge.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 41
PAHAM NASIONALISME SEBAGAI PEREKAT INTEGRASI BANGSA KHUSUSNYA BAGI GENERASI MUDA Ida Bagus Ketut Astina
[email protected]. Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Nationalism is an ideology created and persisted by group of people in a country with one collective identity concept. Those community lives together has a role to sustain its country, a place for them to live. Nationalism is very substantial to be understood by young generation as they will carry on the spirit of nationalism in the future. Nowadays nationalism has its relevance with tourism, through visiting tourist destination in Indonesia, observing object, art and culture attraction. By doing so, the spirit of loving the nation and nationalism will appear simultaneously. Keywords: nationalism, spirit of nation. I.
PENDAHULUAN Nasionalisme merupakan paham kebangsaan, keberadaannya pada masa kini masih relevan dan perlu direvitalisasi atau dihidupkan kembali khususnya dikalangan generasi muda (pelajar dan mahasiswa) sehingga mampu melaksanakan prinsip prinsip dasar yang terdapat dalam etos nasionalisme. Mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepepentingan pribadi merupakan spirit nasionalisme sejati yang pernah dilakukan oleh para pelajar perintis kemerdekaan dengan penuh dedikasi dan semangat keihklasan dalam berkorban. Spirit tersebut perlu diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh generasi muda dan tulisan ini memberi gambaran relevansi nasionalisme sebagai penguat integrasi bangsa mengingat generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar di sekolah dan berbagai perguruan tinggi terdiri dari berbagai suku,ras, golongan, agama dan daerah di Indonesia maka wajar paham nasionalisme seabagai paham kebangsaan perlu diberikan guna menghindari ego kedaerahan atau etnisitas sempit yang muncul akhir-akhir ini. Apalagi di jaman globalisasi telah memberi dampak pemujaan terhadap kemewahan dan kemakmuran membentuk jiwa generasi muda apatis, permisif, hedonis dan konsumtif. Tidak adanya sekat terhadap gaya hidup daerah pedesaan dengan perkotaan, masyarakat bangsa dengan bangsa lainnya karena kecanggihan mass media, televisi, radio, internet, handphone yang semuanya mempercepat pengaruh gaya hidup dan penyebaran informasi. Kecanggihan teknologi otomotif dan dunia penerbangan telah mempersempit ruang hidup, memperpendek jarak sehingga mobilisasi manusia semakin meningkat. Akselerasi dari keinginan tersebut bermuara pada universal gaya hidup atau bersifat hibridasi kebudayaan (homoginisasi pop culture) ketika unsur kebudayaan terintegrasi ke dalam kebudayaan yang lain. Keseragaman gaya hidup dapat terlihat pada mode pakaian, jenis permainan, makanan dan minuman, atau food imperialism
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 42
seperti Coca Cola, KFC, Hard Rock, MTV dan Marlboro semakin dirasakan sebagai kebudayaan sendiri (Kartodirdjo, 1999:25, Abdullah, 2001:71). Bertitik tolak dari hal tersebut maka tulisan sederhana ini berusaha memberi pemahaman bukan sebagai doktrin yang membelenggu kebebasan berfikir pelajar dan mahasiswa tetapi mampu menjadi bahan dialog, komunikasi antar generasi dan dicari maknanya untuk dijadikan modal fikir dan berprilaku memajukan serta memperkuat ikatan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. II. 2.1.
PEMBAHASAN Nasionalisme sebagai Paham Kebangsaan Nasionalisme muncul sebagai tataran ide atau konsep kemudian berkembang mempengaruhi pola fakir pengikutnya direalisasikan dalam bentuk gerakan baik secara evolusioner maupun revolusioner. Nasionalisme dalam konteks kolonial dianggap sebagai counter ideology dari kolonialisme (anti kolonial). Berbeda dengan kelahiran nasionalisme di barat bahwa pada abad ke 19 nasionalisme berkembang bersamaan dengan kapitalisme dan industrialisme. Perjumpaan ini menimbulkan ekspansionisme berujud pada kolonialisme dan imperialisme. Paham ekspansionisme yang dianut telah menimbulkan hasrat besar untuk berlomba lomba menjarah dan merebut daerah jajahan terutama di benua Asia dan Afrika. Perebutan daerah jajahan disebabkan oleh kepentingan penguasaan bahan mentah untuk industri dan pemasaran hasil industri serta menjadikan daearah jajahan sebagai tempat penanaman modal. Sebagai contoh ekspansionisme dilakukan bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Jerman, Itali dan Jepang. (Kartodirdjo, 1999:13-14). Eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara membabi buta untuk memperkaya negaranya telah menjadikan bangsa Asia dan Afrika mengalami penderitaan, kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan. Penderitaan yang dialami dalam jangka waktu lama telah menimbulkan spirit baru meski dengan berbagai perbedaan untuk berusaha menghadapi kerakusan atau ketamakan kolonialisme dan imperialisme. Spirit tersebut adalah paham nasionalisme yang memiliki prinsip (1) kesatuan (unity) yakni mentransformasikan hal-hal polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi; (2) kebebasan (liberty) khususnya bagi negara jajahan yang berjuang membebaskan diri dari kolonialisme; (3) kesamaan (equality) bagian dari masyarakat demokratis merupakan antitese dari masyarakat kolonial yang bersifat diskriminatif dan otoriter; (4) kepribadian (identity) yang hilang karena negasi kaum kolonial dan (5) prestasi sangat diperlukan sebagai sumber inspirasi dan kebanggaan bagi negara bangsa (Kartodirdjo, 1999:1) Dalam perkembangan berikutnya, prinsip prinsip dasar tersebut telah merasuki relung pemikiran para terpelajar di negara negara jajahan lewat sentuhan pendidikan barat. Nasionalisme telah memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan atau kesetaraan, keadilan dan kemerdekaan (Lay, 2001:XLV). Anderson menilai paham nasionalisme yang mempengaruhi Asia Afrika telah menjelma menjadi negara bangsa setelah berakhirnya perang dunia ke II termasuk bangsa bangsa yang lahir dari perjuangan anti kolonial. Menurut Anderson munculnya nasionlisme dipengaruhi oleh pengalaman Amerika dan Eropa dan dibayangkan sebagai modular (model standar) serta pemakaian bahasanya seabagai warisan dari nasionalisme resmi imperialisme. Di beberapa daerah jajahan, karena kaum intelektual pribumi memegang peranan penting dalam menempa kesadaran nasional karena mereka
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 43
memahami beberapa bahasa penjajah serta memiliki akses terhadap budaya modern barat terutama akses model model nasionalisme., paham kebangsaan dan negara bangsa (nation state). Dengan kata lain nasionalisme anti kolonial dimungkinkan dan dibentuk oleh sejarah politik dan intelektual Eropa, nasionalisme di sini dikatakan sebagai wacana turunan suatu model pemberontakan intelektual karena kecakapan akibat hadiah bahasa atau gagasan dari penjajah (Anderson, 1999 dan Loomba, 2000:244). Argumentasi Anderson berkonvergensi dengan pemahaman standar lama tentang nasionalisme dalam dunia terjajah. Para sejarawan Inggris mengemukakan contoh bahwa orang orang India mempelajari gagasan gagasan mereka tentang kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri dari buku buku bahasa Inggris. Namun Partha Chatterjee (penulis India) mencoba meninggalkan paradigma yang melemahkan dan merendahkan semangat perjuangan dengan mencari proses pertukaran ideologis dan politis dalam penciptaan nasionalisme India yang disebutnya dengan saringan ideologis yakni nasionalisme India muncul dengan manjaring gagasan gagasan Eropa (Loomba, 2000:244-245). Seirama dengan proses lahirnya nasionalisme di Indonesia ada sedikit pengaruh dari proses gagasan Eropa yakni pendidikan dan politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Politik etis merupakan kebijakan resmi pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1901. Dengan diadakan pendidikan secara berangsur angsur muncul elite pribumi terpelajar yaitu priyayi baru. Sebagian dari mereka menarik pelajaran dari berbagai macam pergerakan untuk membebaskan diri dari kolonialisme dan mereka berharap mendambakan kemerdekaan Hindia (Miert, 2003:28). Sesuai dengan saran Snouck Hugronge yang menginginkan mengangkat masyarakat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan barat ternyata gagal dilaksanakan pemerintah Belanda. Sebagian besar orang Indonesia yang berpendidikan barat tidak memperoleh kedudukan ideal dan merasa pendidikan yang mereka miliki kurang dihargai. Akibat dari akumulasi kekecewaan, perendahan derajat dan penyimpangan kewenangan pekerjaan, kleompok ini kemudian muncul sebagai kekuatan utama yang memotivasi pergerakan kebangsaan (Kahin, 1995:64). Di samping pengaruh pendidikan tersebut nasionalisme Indonesia muncul sebagai akibat adanya kehendak untuk bersatu dan menurut BungKarno nasionalisme merupakan sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan bukan oleh nasib atau takdir. Nasionalisme tidak muncul begitu saja sebagai keharusan alamiah tetapi merupakan hasil perjuangan akibat dari sebuah pengalaman sejarah (Renan, 1994 dan Abdullah, 2001:49). Setiap jaman ditandai dengan adanya tuntutan dan tantangan tersendiri yang berpengaruh terhadap aktualisasi paham nasionalisme. Sejak Indonesia mengalami tantangan, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, paham nasionalisme dianggap sebagai faktor utama mempersatukan bangsa Indonesia. Paham kebangsaan (nasionalisme) terwujud dalam sumpah pemuda (1928) yang mengajarkan bahwa kemerdekaan sebagai bentuk kesadaran bangsa dapat tercapai jika didasari adanya persatuan. Nasionalisme Indonesia tidak berdasar atas persatuan kelahiran, suku, asal usul, keturunan, kedaerahan, ras atau keagamaan, tetapi didasarkan atas persamaan perasaan kebangsaan Indonesia serta kehendak untuk hidup bersatu secara bersama sama berjuang mencapai cita cita kebangsaan (Silalahi, 2002:5).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 44
2.2.
Nasionalisme sebagai Bentuk Kesadaran Berbangsa Berpijak dari konsep nasionalisme seabagai paham kebangsaan yang berpenciri kebebasan, kesatuan, kesamarataan, maka pembahasan masalah nasionalisme pada awal masa pergerakan nasional dapat difokuskan pada masalah kesadaran identitas pembentukan solidaritas melalui proses integrasi dan mobilisasi organisasi. Secara konstektual kesadaran berbangsa muncul pada awal abad ke-20 di saat ikatan tradisi dan diskriminasi sangat kuat membatasi ruang gerak masyarakat Indonesia. Reaksi terhadap situasi itu merupakan kesadaran untuk membebaskan diri dari tradisi dan gerakan melawan pengingkaran terhadap identitas Indonesia. Meskipun identitas baru yang dimunculkan masih bersifat etnosentrik, namun dapat berfungsi sebagai alat simbolis memupuk solidaritas kelompok terutama dikalangan pelajar sekaligus sebagai wahana memobilisasi pengikut dalam setiap gerakan (Kartodirdjo, 1993:3). Pertumbuhan nasionalisme dapat dilacak dari grakan gerakan kaum muda yakni para priyayi yang telah mengalami westernisasi dan para pedagang atau saudagar kelas menengah penganut agama islam. Ada beberapa perbedaan dalam melakukan gerakan namun secara umum cenderung mengandung unsur solidaritas berdasarkan persatuan Indonesia yag menjembatani berbagai daerah berbeda serta bercirikan elemen konflik dan beroposisi terhadap penjajah. Di samping elemen kedua gerakan tersebut tidak dapat dipungkiri peran orang orang Belanda khususnya Indo Eropa turut memperjuangkan kemerdekaan yang lebih besar dari negeri induk (Belanda) dan gerakannya dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan nasionalis. Memang ada indikasi orang Belanda terpecah menghadapi perjuangan dan tuntutan kemerdekaan Indonesia. Bagi golongan kolot reaksioner menginginkan masih tetap berpendirian (Hindia (Indonesia) merupakan bagian Belanda mereka anti terhadap pemikiran politik etis dan kelompok atau golongan yang membuka pemikiran dan gagasan agar orang Indonesia diberi kesempatan mencapai tingkat kemajuan yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan memerintah negerinya sendiri (Lubis, 1987:XL). Dikalangan bangsawan feodal terjadi ambigu disatu pihak mereka takut terhadap kuatnya gerakan nasionalisme dalam masyarakat yang tidak saja menunjukkan kekuatannya melawan dominasi kolonial juga otoritas tradisional mereka sendiri. Dipihak lain mereka ingin mengajegkan posisi tradisional yang hampir hilang dengan bersikap permisif dan moderat terhadap pemerintah Belanda (Wertheim, 1999:261). Kebangkitan nasional (1908) melalui manifesto politik (1925) dan sumpah pemuda (1928) meskipun masih dalam bentuk embrio, prinsip prinsip itu sudah hadir. Meskipun Budi Utomo belum dapat dianggap sebagai organisasi nasional dengan ideologi kesadaran akan kemerdekaan, kebebasan, kesamaan serta penemuan identitas dirinya (Kartodirdjo, 1993:16). Akira Nagazumi (1989) mengatakan bahwa lahirnya Budi Utomo sebagai gejolak awal kesadaran berbangsa yang mempengaruhi siswa stovia pada abad ke-20. Budi Utomo merupakan salah satu organisasi awal kebudayaan Jawa yang tumbuh menjadi gerakan penting dalam proses pembentukan nasionalisme Indonesia. Manifesto politik (1925) yang ditengarai belum banyak orang mengetahui atau merespon gerakannya justru merupakan suatu deklarasi idiologi nasionalisme yang sangat fundamental. Tokoh tokoh politik telah membuat pengkajian permasalahan masyarakat kolonial di Hindia Belanda disertai kritik mendasar mengenai azas azas kolonialisme dengan segala dampaknya. Adapun beberapa analisis kritiknya, yakni : (1) rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintahnya yang dipilih oleh mereka sendiri; (2) dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 45
dan (3) tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat tujuan perjuangan sulit tercapai (Kartodirdjo, 1999:28).Ketiga butir manifesto politik itu sudah mencakup konsep bangsa Indonesia, negara bangsa, demokrasi, unitarianisme, otonomi atau kemerdekaan. Pada prinsipnya paham nasionalisme sudah tercakup di dalamnya yakni unity, liberty dan equality. Manifesto politik memilki spirit menggugat inspirasi dan aspirasi generasi muda tidak hanya berjuang lewat pemikiran saja tetapi terjun ke dalam aksi gerakan nasionalisme dengan menunda hasil studinya. Sedangkan sumpah pemuda (1928) dapat dipahami sebagai melting pot strategis akan kesadaran sejarah bangsa. Peristiwa sumpah pemuda secara simbolik dianggap sebagai terpatrinya secara resmi kehendak akan bersatu (Abdullah, 1999:5).Dari ketiga elemen organisasi gerakan tersebut telah memotivasi dan membangkitkan semangat perjuangan serta kesadaran berbangsa bagi gerakan gerakan yang muncul kemudian mengusung paham nasionalisme sebagai pemersatu kekuatan atau gerakan.Gerakan gerakan perjuangan yang berdasarkan paham nasionalisme dan kesadaran berbangsa terus bermunculan dari generasi generasi muda baik pelajar, masyarakat perkotaan, petani, pedagang atau saudagar. Puncaknya dengan diproklamasikan kemerdekaan indonesia oleh Sukarno Hatta tidak dapat dianggap sebagai sebuah kejadian yang menyangkut kaum terpelajar maupun para elite saja tetapi secara simbolik lewat peristiwa 10 nopember yang diperingati sebagai hari pahlawan adalah sebuah pernyataan bahwa proklamasi kemerdekaan sesungguhnya mewakili aspirasi bangsa dan hari pahlawan merupakan bentuk pengakuan bahwa negara bangsa telah sah berdiri dan harus dipertahankan (Abdullah, 1999:2). 2.3.
Nasionalisme sebagai Penguat Integrasi Bangsa Meskipun Indonesia telah merdeka 66 tahun lalu namun pengertian dan penghayatan terhadap paham nasionalisme masih berkutat pada era nasionalisme pra kemerdekaan yang terfokus sederhana dan tunggal yakni menumbangkan rezim kolonial menjadi negara merdeka dan berdaulat. Namun setelah kemerdekaan tercapai tanggal 17 agustus 1945 riak riak disintegrasi bangsa terus bergolak dan berkeinginan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia seperti peristiwa Timor Timur yang sudah lepas menjadi negara merdeka, Aceh yang kemudian dapat dipersatukan lagi dan Papua yang tetap masih bergolak meski masih bersifat sporadis (Mahfudh, 1998:44). Peristiwa disintegrasi juga terjadi di beberapa belahan dunia sebagai akibat nasionalisme kurang berfungsi sebagai pemersatu, maka terjadi disintegrasi seperti yang terjadi di Libanon, Yugoslavia, bekas Uni Soviet dan Afghanistan. Dari contoh disintegrasi tersebut betapa urgennya masionalisme sebagai kekuatan pemersatu sehingga kolektivitas memiliki nilai tambah meningkat terhadap aset yang dimiliki. Pluralitas yang dijiwai komunalisme dan tidak berlandaskan ideologi nasional cenderung menimbulkan kekuatan destruktif dan disintegratif (Kartodirdjo, 1999:13). Nasionalisme Indonesia mulai terjebak tergerus dalam arus globalisasi dan kebangkitan etnisitas. Globalisasi terjadi sebagai akibat teknologi komunikasi berkembang pesat hingga di luar jangkauan imajinasi manusia, waktu menjadi sangat singkat, dunia menjadi menciut bahkan dikatakan bahwa era globalisasi merupakan the end of the nation state (Ohmae, 2002:3-5). Manusia bebas berhubungan satu dengan lainnya tanpa terikat pada batas batas teritorial dalam berkomunikasi. Bahkan kekuasaan negara tidak mampu lagi berdaya mengontrol, menguasai dan mengawasi warganya. Orang orang mulai mencari jati dirinya, pergeseran nilai nilai sosial budaya
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 46
juga terjadi pada kehidupan individual. Pengaruh globalisasi terhadap manusia Indonesia terutama generasi muda lebih bersifat individualis meski tidak menganut paham individualisme. Ketidak pedulian kaum muda terhadap kebudayaan sendiri dan lebih menyenangi kebudayaan asing merupakan salah satu indikasi lunturnya nasionalisme. Bila kebudayaan sudah terjajah asing lambat laun pola fikir masyarakat dan generasi muda mudah terpengaruh pihak luar. Di sinilah perlunya menghidupkan kembali peran nasionalisme sebagai benteng menghadapi globalisasi khususnya dampak ikutannya yakni materialisme, komersialisme, konsumerisme dan demoralisasi. Jika masyarakat Indonesia khususnya generasi muda tidak lagi memiliki idealisme atau nasionalisme maka dipastikan bahwa secara moral mereka tidak akan kuat menghadapi materialisme, hedonisme dan gejolak dekadensi moral (Kartodirdjo, 1999:75). Memang kemunculan generasi baru sering bersamaan dengan melunturnya kepercayaan atas keampuhan beberapa nilai dan kaidah lama dan mengembangkan gagasan gagasan baru karena itu paham nasionalisme tetap diperlukan. Sedangkan unsur etnisitas sudah mulai menggejala dengan penerapan otonomi daerah yang memunculkan raja raja kecil di daerah serta memunculkan ego kedaerahan yang menutup peluang bagi etnik lain yang ingin ikut bargabung berjuang memajukan daerah berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Sebenarnya orang Indonesia memiliki cita cita bersama yang sangat sederhana yaitu semua golongan dapat hidup rukun, mengembangkan diri tanpa merugikan golongan lain bahkan saling bantu sehingga dapat terwujud suatu tatanan masyarakat adil dan makmur. Dalam pergaulan hendaknya tidak ada lagi pemaksaan unsur aturan pergaulan terhadap orang lain yang memilki aturan aturan tersendiri. Hendaknya hubungan antar golongan diatur oleh aturan aturan nasional dan dalam berkomunikasi digunakan bahasa nasional. Di sini bukan berarti menafikan kultur yang telah dimiliki masing masing daerah atau melakukan penyeragaman. Perbedaan dapat dibenarkan asal tidak menimbulkan rasa kecil hati, rasa tertekan, rasa marah dan perasaan perasaan yang tidak bersifat mendukung bersama. Sebaliknya berusaha memperkuat faktor faktor yang mempersatukan kita sebagai suatu bangsa dengan merevitalisasi paham nasionalisme guna memperkuat integrasi bangsa. Mengakhiri tulisan ini sebagai closing statement sesuai dengan pendapat Poespowardoyo (1999) paham nasionalisme sebagai penguat integrasi bangsa hendaknya memuat nilai nilai esensial, yakni : (1) integrasi bangsa menuntut perlakuan persamaan hak bagi setiap warga negara di seluruh kepulauan Indonesia; (2) integrasi bangsa menuntut jaminan keadilan bagi setiap warga negara dan berlaku secara vertikal maupun horizontal; (3) integrasi bangsa menuntut dukungan peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara dan (4) integrasi bangsa menuntut sikap keterbukaan yang membuka perspektif luas dan kesempatan belajar lebih banyak dan mengembangkan potensi serta kekuatan bangsa, menumbuhkan sikap saling pengertian, saling menghormati, berdialog dan bekerjasama. III.
SIMPULAN Paham nasionalisme sebagai penguat integrasi bangsa memang sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia khususnya generasi muda yang merupakan penerus perjuangan bangsa. Kesadaran berbangsa dan benegara serta semangat perjuangan para pendahulu hendaknya dapat dijadikan motivasi dan mengambil hikmahnya dijadikan pedoman untuk bertindak dan berlaksana dalam kehidupan yang penuh tantangan dibandingkan dengan musuh nyata yang dihadapi gerasi terdahulu. Memang
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 47
globalisasi tidak selamanya berdampak negatif karena berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transfortasi melunturkan identitas etnis berbagai kelompok suku bangsa di Indonsia. Terjadinya interaksi dan saling memahami diantara berbagai suku bangsa semakin intens pada akhirnya akan berdampak memperkokoh identitas dan integrasi bangsa Indonesia. Dalam proses kebangkitan kembali Indonesia baru yang dilandasi paham nasionalisme perlu dihindari paham multinaturalisme yang menyatukan keberagaman menuju keseragaman. Di sini yang diperlukan dalam konteks masyarakat global ke depan adalah paham multicultural nationalism. Para penganut paham ini berkeinginan menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial dibingkai oleh nilai nilai kebersamaan, menghargai keberagaman suku, ras serta berkomitmen kesamaan antar kelompok dengan menggabungkan tujuan civic nationalism (menciptakan keadilan bagi setiap warga negara) dengan ethnocultural nationalism (menekankan pentingnya aspek komunalitas masyarakat berdasarkan kesamaan keturunan dan sosio kultural). KEPUSTAKAAN Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme & Sejarah. Bandung : CV. Satya Historika. _______.1999. ”Nasionalisme Indonesia Dari Asal Usul ke Prospek Masa Depan”, dalam Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 8. Jakarta : MSI bekerjasama dengan Arsip Nasional Indonesia. Anderson, Benedict. 1999. Komunitas-Komunitas Imajiner : renungan Tentang Asal usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Insist Press. Kahin, Geoge Mc. Turner. 1995. Nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Jakarta : UNS Press dan Pustaka Sinar harapan. Kartodirdjo, Sartono. 1999. Multi Dimensi Pembangunan Bangsa. Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta : Kanisius. _______.1999. Ideologi dan Teknologi Dalam Pembangunan Bangsa. Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio Kultural Jakarta : Pabelan Jayakarta. _______.1999. ”Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah”, dalam Sejarah, Rekonstruksi, Persepsi 8. Jakarta : MSI bekerjasama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia. _______.1993. Pembangunan Bangsa Tentang Nasiomalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta : Aditya Media. Lay, Cornelis. 2001. ”Nasionalisme Etnisitas Sebuah Pengantar”, dalam Sumartana (ed) Nasionalisme Etnisitas Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Loomba, Anis. 2000. Kolonialisme / Pascakolonialisme. Yogyakarta : Bentang Budaya. Lubis, Mochtar. 1987. ”Kata Pengantar”, dalam Bandet dan Brugmans. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Mahfudh, Sahal. 1999. ”Nasionalisme Adalah Komitmen Kebangsaan, dalam majalah Basement. Negara Bangsa vs Kekuatan Global. Bandung : Lembaga Perss Mahasiswa (LPM) Universitas Pasundan. Miert, Hans Van. 2003. Dengan semangat Berkobar Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Jakarta : Hasta Mitra dan Pustaka Utan Kayu.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 48
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Ohmae, Kenichi. 2002. Hancurnya Negara-bangsa bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas. Yogyakarta : Qalam. Poepowardoyo, Soerjanto. 1999. “Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan”, dalam Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 8. Jakarta : MSI bekerjasama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia. Renan, Ernest. 1994. Apakah Bangsa Itu?. (Quert ce Qunne Nation?). Bandung : Alumni. Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 49
EKSISTENSI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN MATERI TATA HIDANGAN PADA PROGRAM STUDI PERHOTELAN, POLITEKNIK NEGERI BALI I Made Darma Oka I Nyoman Winia Ida Ayu Ketut Sumawidari Dosen Politeknik Negeri Bali Abstract The multimedia”s application in study food and beverage service become more interesting, because the subject presented to the student by easier and provided with the good of static and also dynamic visualisation. Based to result analyse about multimedia”s existantion in study food and beverage service of Hotel Study Program at Bali State Polytechnic indicate that the exploiting multimedia in study food and beverage service hold the important role because the multimedia”s existention in study can support the efectifities of interest attainment in course of learning to teach. It is happened because multimedia containt the combination of text, graph, animation, voice, and video. This combination represent the union which is together present the information and content the lesson so that able to improve the motivation learning of students and improve the competencies are required. Keywords: existention, multimedia, competencies, food and beverages service. I.
PENDAHULUAN Kemampuan dalam memberikan pelayanan secara profesional kepada konsumen sangat menuntut kreativitas dan tetap memperhatikan standar mutu pelayanan dan kepuasan konsumen. Mahasiswa Program Studi Perhotelan Politeknik Negeri Bali sebagai calon staf pramusaji profesional pada industri perhotelan, dituntut untuk memiliki kemampuan yang berkualitas dalam melayani konsumen. Untuk meningkatkan kompetensi dalam rangka memuaskan konsumen, mahasiswa Proram Studi Perhotelan harus memiliki kemampuan kompetensi sesuai tuntutan dunia perhotelan yang semakin berkembang. Agar mampu menyiapkan calon staf pramusaji profesional, prestasi yang dicapai mahasiswa dalam perkuliahan Tata Hidangan seyogyanya pada tingkat sangat memuaskan. Dengan demikian lulusan mahasiswa Program Studi Perhotelan Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali memiliki kompetensi tinggi sehingga mampu bersaing secara kompetitif di pasar kerja. Standar kompetensi yang menjadi acuan dalam pembelajaran mata kuliah Tata Hidangan adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dalam bidang TIK yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. : Kep.239/Men/X/2004. Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 50
Mata kuliah Tata Hidangan merupakan mata kuliah core yang sangat menetukan kompetensi dari mahasiswa bersangkutan. Untuk itu perlu penerapan metode pembelajaran yang lebih efektif terhadap mahasiswa guna memperoleh hasil belajar yang optimal. Karakteristik perkuliahan Tata Hidangan semestinya lebih banyak menekankan attitude dan skill, daripada pengetahuan penalaran, dengan perbandingan teori 40% dan praktek 60%. Dalam proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting yaitu metode mengajar dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan (Arsyad, 2005). Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Media pembelajaran juga membantu siswa meningkatkan pemahaman materi yang disampaikan. Pemanfaatan teknologi multimedia dalam strategi pembelajaran menjadikan proses belajar mengajar lebih menarik. Multimedia adalah media yang mengkombinasikan antara teks, grafik, animasi, suara, dan video. Aplikasi multimedia dalam pembuatan modul Tata Hidangan akan menjadi lebih menarik, karena materi yang disajikan lebih mudah dipahami mahasiswa karena dilengkapi dengan visualisasi baik statik maupun dinamik. Berdasarkan paparan di atas, salah satu alternatif untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam melaksanakan tugas-tugasya adalah dengan mengembangkan modul Tata Hidangan berbasis multimedia sebagai media pembelajaran. Rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah eksistensi multimedia dalam pembelajaran materi Tata Hidangan pada Program Studi Perhotelan Politeknik Negeri Bali? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan eksistensi multimedia dalam pembelajaran materi Tata Hidangan pada Program Studi Perhotelan Politeknik Negeri Bali. Analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan memaparkan/menguraikan secara jelas dan gamblang tentang manfaat multimedia dalam pembelajaran Tata Hidangan II.
PEMBAHASAN Dewasa ini ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, proses pembelajaran tidak lagi dimonopoli oleh adanya kehadiran dosen di dalam kelas. Mahasiswa dapat belajar di mana saja dan kapan saja. Mahasiswa bisa belajar apa saja sesuai minat dan gaya belajar yang diinginkan. Blijleven (2004) menyebutkan bahwa “Multimedia cases intend to bridge the gap between theory and practice in teacher education. Interactive video as part of multimedia cases makes it possible for prospective teachers to learn form practice. Moreover, all kinds of information related to the interactive video are incorporated in the case and are available at the users” fingertips. Such a rich learning environment was, according to the results of an evaluation questionnaire, positively perceived by the participants in this study. The observation of the researchers during the session in which the participants worked with the multimedia case confirmed this finding”. Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan multimedia dalam proses pembelajaran, bermaksud untuk mengurangi kesenjangan antara teori dan praktek. Video interaktif sebagai bagian dari multimedia diharapkan mampu membatu dosen dalam mentranfer materi belajar praktek secara terstruktur. Lebih dari itu, semua jenis informasi yang berhubungan dengan video interaktif dapat dipadukan sesuai situasi kondisi pemakai.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 51
Lingkungan belajar yang kondusif, dapat mendukung peserta didik dalam memahami pelajaran secara positif. Sesuai hasil observasi peneliti, bahwa peserta didik akan lebih mudah memahami dengan menggunakan bantuan multimedia dalam proses belajar mengajar. Aplikasi teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikukum dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi dalam perangkat keras lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efesiensi dan efektivitas pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar, seperti penggunaan media. Pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar, akan tetapi saat ini telah banyak dikembangkan program pengajaran yang memadukan bahan ajar dengan media yang digunakan dalam bentuk kaset audio. Media memiliki kemampuan merangsang terjadinya proses belajar yang efektif dan efesien. Kemampuan tersebut adalah : (1) menghadirkan objek lingkungan sekitar ke dalam lingkungan belajar, (2) membuat konsep abstrak menjadi konkrit, (3) mampu menyamakan persepsi, (4) mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah dan jarak, dan (5) memvisualisasikan aplikasi pemecahan masalah suatu peralatan dan prosedur kerja serta cara penggunaan alat. Menurut Kemp & Dayton (Arsyad, 2005), media pembelajaran dapat memenuhi tiga fungsi utama, yaitu (1) memotivasi minat dan tindakan, (2) menyajikan informasi, dan (3) memberi instruksi. Media merupakan bagian integral dari proses belajar mengajar dan apapun media yang digunakan sasarannya akhirnya adalah untuk memudahkan belajar (Degeng, 2000). Media akan bermakna bila dalam pembuatannya diselaraskan dengan perubahan tingkah laku pebelajar sebagai pengguna media dan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Media dalam pemanfaatannya diharapkan dapat membantu pebelajar untuk belajar secara aktif karena adanya interaksi fisis dan kognitif. Dengan pembelajaran yang aktif dari pebelajar akan mempertahankan perhatian, meningkatkan prestasi, dan membentuk pengetahuan baru.Media dapat berperan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran, maka media itu disebut media pembelajaran. Pemilihan media dalam proses belajar mengajar sangat perlu mempertimbangkan beberapa prinsip, yaitu (1) sesuai tujuan yang ingin dicapai, (2) berdasarkan konsep yang sudah jelas, (3) karakteristik siswa, (4) gaya belajar siswa serta guru dan (5) harus sesuai dengan kondisi lingkungan, fasilitas dan waktu yang tersedia untuk kebutuhan pembelajaran (Sanjaya, 2008). Media pembelajaran yang memasukkan pengalaman-pengalaman konkrit, membantu pebelajar mengintegrasikan pengalaman sebelumnya dan merupakan fasilitas belajar untuk konsep-konsep abstrak. Bruner (Arsyad, 2005), menyebutkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (symbolic). Ketiga tingkat pengalaman ini saling berinteraksi dalam upaya memperolah pengalaman (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) yang baru. Pengalaman hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkrit), sampai kepada lambang verbal (abstrak). Pengalaman langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 52
Multimedia dapat mengkombinasikan suara, animasi dan gambar video secara bersamaan. Istilah multimedia mengacu pada penggunaan berbagai format media di dalam memberikan presentasi atau belajar mandiri. Beberapa contoh multimedia dalam pendidikan adalah dalam format videotapes, CD-ROM, DVD, Web, dan virtual reality. Tujuan dari penggunaan multimedia dalam pendidikan dan pelatihan adalah untuk menggiring pebelajar ke dalam pengalaman multisensori untuk promosi belajar (Smaldino, 2005). Secara keseluruhan, multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001), yaitu : 1. Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs). 2. Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dan lain-lain. 3. Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs). Beberapa ahli mengemukakan keuntungan dari penggunaan multimedia dalam pembelajaran : 1. Pembelajaran Aktif. Pembelajaran multimedia melibatkan pebelajar secara aktif, belajar melalui interaksi fisis dan kognitif. Pembelajaran aktif dapat mempertahankan perhatian, meningkatkan prestasi, dan membentuk pengetahuan baru (Oblinger, 1993). 2. Mendorong Eksplorasi. Program multimedia dapat membantu pebelajar mengembangkan model mental sebagai dasar untuk pembelajaran selanjutnya, membentuk lingkungan yang memungkinkan bagi pengajar dan pebelajar untuk melakukan eksplorasi, membantu pebelajar mengembangkan domain perspektifnya dan mengembangkan susunan pengetahuan terintegrasi yang membantu pebelajar mentransfer pengetahuan ke dalam bentuk yang komplit. 3. Motivasi. Teknologi dapat menginspirasikan pebelajar dengan membuat pembelajaran lebih interaktif dan relevan, sehingga pebelajar dapat menimati bekerja bersama teknologi dan karenanya dapat bekerja lebih lama dan ini merupakan keuntungan jangka panjang (Summer, 1990-91). 4. Pelibatan Multisensori. Beberapa pebelajar mempunyai gaya belajar yang berbeda. Dengan pembelajaran multimedia, pebelajar dapat melibatkan semua panca indranya dan mengembangkan gaya belajar yang disukainya (gaya belajar visual, audio, dan audio visual). Kompetensi yang dikembangkan dalam pembelajaran Tata Hidangan adalah keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian dan kerumitan dalam kehidupan seperti yang terjadi dalam era globalisasi ini. Kompetensi dasar ini merupakan standar yang ditetapkan secara nasional yang berisi tentang kerangka apa yang harus diketahui, dilakukan dan dimahirkan oleh siswa pada setiap tingkatan. Kecakapan hidup (life skill) seperti yang diharapkan, bukan hanya keterampilan standar yang hanya mengacu pada keterampilan untuk bekerja, akan tetapi lebih menekankan kepada menggali potensi mahasiswa yang dapat dikembangkan untuk hidup lebih survive yang meliputi : kecakapan mengenal diri (self awarness), kecakapan berpikir rasional (thingking skill),
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 53
kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademis (academic skill), dan kecakapan vokasional (vocational skill). Standar ini juga ditandai dengan pembentukan sistem nilai untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkepribadian dan beretos kerja, berpartisipasi aktif, demokratis dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Standar kompetensi diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang harus dimiliki oleh mahasiswa untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan. Standar kompetensi tidak berarti hanya kemampuan menyelesaikan suatu tugas, tetapi dilandasi pula bagaimana serta mengapa tugas itu dikerjakan. Dengan kata lain, standar kompetensi meliputi faktor-faktor yang mendukung seperti pengetahuan dan kemampuan untuk mengerjakan suatu tugas dalam kondisi normal di tempat kerja serta kemampuan mentransfer dan menerapkan kemampuan dan pengetahuan pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Standar kompetensi merupakan rumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas/pekerjaan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, sesuai dengan kriteria unjuk kerja yang dipersyaratkan. Kodefikasi standar kompetensi mengikuti aturan yang telah ditetapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. : KEP.239/MEN/X/2004 tentang tata Penetapan Standar Kompetensi Nasional Indonesia Sektor Pariwisata Sub Sektor Hotel dan Restoran. Aplikasi multimedia dalam proses belajar mengajar sangatlah penting untuk membantu meningkatkan pemahaman dan minat mahasiswa dalam mempelajari materi yang diajarkan. Hal ini dilakukan karena multimedia berisi kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video. Kombinasi ini merupakan kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan, dan isi pelajaran. Penggunaan teknologi multimedia untuk proses belajar mengajar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap motivasi belajar, prestasi dan sikap mahasiswa. Tata Hidangan merupakan mata kuliah core (inti) pada Program Studi Perhotelan, Politeknik Negeri Bali. Inti dari mata kuliah Tata Hidangan ini adalah membahas tentang teknik memberikan service (pelayanan) makanan dan minuman secara profesional kepada pelanggan. Pelayanan dimaksud meliputi pelayanan terhadap pelanggan mulai dari pelanggan memasuki areal restoran (welcoming the guest) sampai mereka meninggalkan restoran (thanking the guest). Terkait dengan hal tersebut, metode pembelajarannya harus benar-benar dikelola secara sistematik, holistik dan terpadu sehingga mampu menghasilkan lulusan yang berkompetensi tinggi. Mengingat begitu pentingnya peran mata kuliah Tata Hidangan pada Program Studi Perhotelan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa, maka profesionalisme dibidangnya merupakan faktor mutlak yang harus diperhatikan. Profesional tersebut harus didukung dengan self awarness, vocational skill, social skill, maupun media pembelajaran yang efektif. Aplikasi multimedia dalam proses pembelajaran mata kuliah Tata Hidangan mampu memberikan kontribusi yang sangat penting, diantaranya : (1) penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar, (2) pembelajaran yang diterapkan menjadi lebih menarik dan lebih interaktif, (3) waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek, (4) kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, (5) sikap positif mahasiswa terhadap meteri pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan, (6) peran dosen/instruktur berubah kearah yang positif, artinya
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 54
dosen tidak menempatkan diri sebagai satu-satunya sumber belajardan (7) proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan. Media pembelajaran yang memiliki kemampuan lebih baik dan lebih menarik diaplikasikan adalah media audiovisual, karena jenis media ini selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat seperti rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara dan sebagainya (Sanjaya, 2008). Pengemasan materi pelajaran melalui modul merupakan langkah efektif dalam meningkatkan prestasi dan kompetensi mahasiswa. Modul adalah satu kesatuan program yang lengkap, sehingga dapat dipelajari oleh siswa secara individual. Sebagai bahan pelajaran yang bersifat mandiri, maka materi pelajaran dikemas sedemikian rupa sehingga melalui modul mahasiswa dapat belajar secara mandiri tanpa terikat oleh waktu, tempat dan hal-hal lain diluar dirinya sendiri. Tahun ajaran 2007/2008 prestasi mahasiswa Program Studi Perhotelan Ploliteknik Negeri Bali dalam mata kuliah Tata Hidangan masih belum optimal. Prestasi mahasiswa yang memperoleh nilai sangat memuaskan masih di bawah 26% (Arsip Jurusan Pariwisata, 2008), sedangkan mata kuliah Tata Hidangan merupakan mata kuliah core yang sangat menetukan kompetensi dari mahasiswa bersangkutan. Hasil penelitian dari tes kemampuan awal mahasiswa Program Studi Perhotelan yang telah dinalisis menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam memahami materi Tata Hidangan rata-rata sebesar 71,18 (B). Angka ini masih perlu ditingkatkan, mengingat mata kuliah Tata Hidangan merupakan mata kuliah inti dalam menentukan tingkat atau kemampuan kompetensi yang dimiliki mahasiswa agar mereka mampu bersaing secara kompetitif di pasar kerja. Sedangkan nilai yang diharapkan mampu dicapai atau diraih oleh masing-masing individu mahasiswa kedepan adalah ≥ 80 (A). Hal ini mengindikasikan bahwa perlu penerapan strategi pembelajaran yang lebih efektif dan atraktif terhadap mahasiswa guna memperoleh hasil belajar yang optimal dengan mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dilihat dari tingkat kepuasan mahasiswa terhadap model pengajaran materi Tata Hidangan yang diterapkan, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan mahasiswa rata-rata sebesar 71,91%. Adapun rincian dari tingkat kepuasan tersebut sebagai berikut : (1) kemenarikan tampilan materil sebesar 67,45%, (2) kelengkapan materi 75,94%, (3) kejelasan isi materi 76,42%, (4) cukup operasional 76,89%, (5) ketepatan pemilihan media pembelajaran sebesar 66,04%, (6) ketepatan metode pembelajaran sebesar 67,45%, (7) strategi pembelajaran 66,51%, (8) mengarahkan belajar mahasiswa 75,94%, (9) mudah dipahami 71,70%, (10) memotivasi belajar mahasiswa 72,17%, dan (11) teknik evaluasi yang diterapkan dosen sebesar 74,53% Mengacu pada hasil tingkat kepuasan mahasiswa tersebut diatas, komponen penting yang perlu mendapat perhatian serius dalam pengembangan modul Tata Hidangan kedepan adalah ketepatan dalam memilih media pembelajaran, kemenarikan tampilan materi dalam proses pembelajaran, metode pembelajaran serta strategi pembelajaran sehingga mahasiswa lebih mudah dalam memahami materi Tata Hidangan yang diberikan dalam usaha meningkatkan kompetensinya. III.
PENUTUP Berdasarkan pembahasan tentang eksistensi multimedia dalam pembelajaran materi Tata Hidangan, bahwa pemanfaatan multimedia dalam pembelajaran materi
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 55
Tata Hidangan memegang peran penting mengingat eksistensi multimedia dalam pembelajaran dapat menunjang efektifitas pencapaian kompetensi dalam proses belajar mengajar. Hal ini dilakukan karena multimedia berisi kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video. Kombinasi ini merupakan kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan, dan isi pelajaran sehingga mampu meningkatkan motivasi belajar, serta kompetensi mahasiswa. Dengan demikian dapat disarankan bahwa perlu diterapkan pembelajaran berbasis multimedia bagi pengampu mata kuliah lainnya karena sudah terbukti dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran, kompetensi maupun motivasi belajar mahasiswa. KEPUSTAKAAN Arsyard. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Blijleven, P., Leanne J., Ellen V.D.B., 2004, Learning with Multimedia Cases: An Evaluation Study, Journal of Technology and Teacher Education, 12 (4): 491+ Degeng, I.N.S., 2000. Desain Pembelajaran; Menuju Pribadi Unggul Lewat Perbaikan Kualitas Pembelajarn di perguruan tinggi. Malang: LP3 UM. Smaldino, H, R., Shoron, E. & James, R.D., 2005. Instrutional Technology and Media for Learning. New Jersey : Person Merrill Prentice. Mayer, R. 2001. Multimedia Learning. Cambridge University Press, Cambrigde, UK. Oblinger, D. 1993. Multimedia in Instruction. Chapel Hill, NC: The Institute for Acaddemic Technology. Sanjaya, W., 2008, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta : Prenada Media Group. Summer, J.A. 1990-1991. Effect of Interactivity upon Student Achievement, Completion Intervals, and Affective Reception. Journal of Educational Technology System, 19(1): 53-57. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) No. : Kep.239/Men/X/2004, Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Sektor Pariwisata Subsektor Hotel dan Restoran, Jakarta : Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 56
PENGEMBANGAN EKOWISATA DI BANJAR NYUH KUNING, DESA MAS, UBUD, GIANYAR, BALI DILIHAT DARI PRINSIP, DAN KRITERIA EKOWISATA BALI Agung Sri Sulistyawati
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract The Objective of this study is to evaluate the ideal development of ecotourism at Nyuh kuning village, from the perspective of of the balinese ecotourism. the method of this study is by interview and observation, while data analysis is by qualitative descriptive method. If it is viewed from the nine principles and criteria of the balinese ecotourism concept point of view, then it is well accepted that nyuh kuning village has already met seven of the criteria”s, which include: the principle of introducing nature to tourists and thus enjoy and appreciate nature its self, optimize and sustain the participation in community development, respect for local beliefs and tradition, obligation to local law, development according to local needs, consistently delivering satisfaction to the consumer and managing development itself on the basis of the traditional Hindu Concept of Tri Hita Karana. Alternatives of the ideal development of ecotourism is to meet the two criteria which are not yet met. They are: the principle of the sense of having care and committed to the conservation of cultural heritage, and the principle of honest and accrete marketing. Keywords: nine principal and criteria of balinese ecotourism, evaluation and development. I.
PENDAHULUAN Secara geografis Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas termasuk wilayah Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, letak Banjar Nyuh Kuning ini adalah sangat strategis, karena berada pada jalur pariwisata, dan tepatnya berbatasan langsung dengan hutan Monkey Forest. Keberadaan Banjar Nyuh Kuning ini telah menjadi salah satu berwisata sekaligus tempat menginap bagi wisatawan yang mau berkunjung ke Ubud karena Banjar Nyuh Kuning memiliki suasana pedesaan yang sangat alami. Keberadaan wisatawan ini dapat berdampak baik maupun buruk bagi keberlangsungan sumber daya yang ada. Keberadaan lahan pertanian yang masih asri dan alami di Banjar Nyuh Kuning ini rentan akan alih fungsi lahan pertanian menjadi sarana penunjang kebutuhan wisata yang dikembangkan. Untuk atraksi wisata, sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Banjar Nyuh Kuning belum memiliki suatu paket wisata tersendiri, sehingga kebanyakan wisatawan yang datang hanya sebatas menginap pada sarana akomodasi yang tersedia, untuk paket wisata kebanyakan disediakan oleh pihak hotel
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 57
ataupun travel agent sendiri dan sebagian besar kegiatan paket wisata tersebut mengambil Ubud sebagai lokasi pelaksanaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengembangan ekowisata di Banjar Nyuh Kuning jika dilihat dari Prinsip dan Kriteria Ekowisata Bali, serta alternative pengembangan produk ekowisata yang ideal dikembangkan di Banjar Nyuh Kuning. II.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) observasi, Observasi dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara langsung untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi atau keadaan Banjar Nyuh Kuning.(2) Wawancara Mendalam, Data yang tidak bisa diperoleh melalui cara observasi diatasi melalui wawancara mendalam dengan informan kunci yang telah ditunjuk, pihak informan yaitu Kepala Desa dinas Nyuh Kuning, Bendesa Adat, tokoh masyarakat, masyarakat dan para pengelola pariwisata. III. 3.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Kepariwisataan di Banjar Nyuh Kuning Potensi adalah daya tarik, kekuatan, kesanggupan, yang mempunyai kemungkinan untuk di kembangkan. Banjar Nyuh Kuning memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Potensi-potensi tersebut bila mampu di kembangkang dana dikelola dengan baik, maka akan dapat menjadi sumber pendapatan desa, serta peluang kerja bagi masyarakat sekitarnya. Potensi-potensi wisata yang dimiliki oleh Banjar Nyuh Kuning, yang dapat menjadi daya tarik wisatawan yaitu berupa : Potensi Fisik 1. Suasana Perkampungan dan Perumahan Penduduk.yang masih asri Penataan perkampungan dengan ruas-ruas jalan desanya dan kekhasan pada bentuk pintu masuk pekarangan rumah (angkul-angkul) memberi impresi dan menambah kesan pedesaan yang lebih kental. 2. Panorama Persawahan, Banjar Nyuh Kuning memiliki panorama persawahan yang indah dan masih dikerjakan secara tradisional. 3. Bangunan Bersejarah, Banjar Nyuh Kuning memiliki banyak bangunan kuno berupa pura-pura dengan arsitektur yang khas. 4. Hutan Bambu, terdapat konservasi alam di desa ini adalah dengan adanya Bamboo Fondation sebagai pusat konservasi tanaman bambu. 5. Taman Hati, Meditasi dan Yoga. 6. Museum Pendet menyimpan hasil karya Wayan Pendetseniman asal Nyuh Kuning, berupa sedikitnya 80 patung ditambah 29 lukisan. 7. Bali Clasic Center (BCC). Potensi Non Fisik Potensi non fisik berupa potensi-potensi ekowisata yang intangible (tidak terlihat), namun dapat dirasakan. Sebagian besar potensi non fisik merupakan potensi yang tidak tampak, seperti sistem upacara keagamaan, pola hidup keseharian masyarakat, pola mata pencaharian, dapat dijadikan daya tarik wisatawan. Berikut
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 58
dijabarkan potensi ekowisata yang bersifat non fisik yang dimiliki Banjar Nyuh Kuning yang cocok untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata adalah : 1. Kerajinan Tradisional Membuat Patung 2. Keramahtamahan dan Sifat Gotong Royong Masyarakat. 3. Kegiatan Ritual Tradisional. 3.2.
Evaluasi Pengembangan Ekowisata di Banjar Nyuh Kuning Banjar Nyuh Kuning untuk dapat dijadikan sebagai sebuah daya tarik ekowisata harus dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui posisi dan keberadaannya sebelum merumuskan strategi pengembangannya lebih lanjut. Evaluasi Banjar Nyuh Kuning sebagai daya tarik ekowisata berdasarkan atas prinsip dan kriteria ekowisata Bali yang dihasilkan dalam Lokakarya Ekowisata Nasional pada tanggal 25 sampai dengan 26 Januari 2006. Adapun analisis prinsip dan kriteria ekowisata Bali dapat dijabarkan sebagai berikut : Tabel 3.1 Hasil Evaluasi Pengembangan Ekowisata di Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas Ubud No.
Kriteria
1
Prinsip memiliki kepedulian, komitmen dan tanggungjawab terhadap konservasi dan warisan budaya
2
Prinsip menyediakan pemahaman yang dapat memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaannya terhadap alam. Prinsip memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat
3
Kegiatan Dilaksanakan a. Penggunaan teknologi ramah lingkungan b. Melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya. Larangan berburu satwa yang ada dilingkungan banjar nyuh kuning terutama kera, Pemberian bantuan bibit bambu c. Memperhatikan keberadaan endemisitas. a. Menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai terkait dengan objek ekowisata b. Tersedianya akomodasi, restoran
a.
Memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan keahlian b. Memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek ekowisata. c. Melibatkan lembaga adat setempat
Kegiatan Belum Dilaksanakan a. Tercapainya keseimbangan manfaat lahan b. Pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata disesuaikan dengan daya dukung
a. Tidak adanya pemandu guide lokal
Hasil Kurang baik
Baik
Baik
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 59 4
Prinsip peka dan menghormati nilainilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat
5
Prinsip mentaati peraturan perundangundangan yang berlaku
6
Prinsip pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat
7
Prinsip secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen Prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggungjawab) Prinsip sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana
8
9
a. Pembangunan dan operasional disesuaikan dengan tata krama, norma setempat dan kearifan lokal b. Keberadaan dan kegiatan ekowisata tidak mengganggu aktifitas keagamaan masyarakat setempat a. Pengembangan sudah sesuai dengan arah kebijakan Kabupaten Gianyar b. Awig-awig desa yang dibuat sudah dilaksanakan dengan baik a. Selalu menjalin komunikasi dengan lembaga adat dalam pengembangan objek b. Melakukan rapat sebulan sekali guna membahas masalah serta adanya masukan dari masyarakat setempat a. Adanya fasilitas penunjang pariwisata b. Memberikan kuisioner sebagai umpan balik
Baik
Baik
Baik
a. Promosi hanya dilakukan dari mulut ke mulut b. Belum memaksimalkan produk ekowisata yang ada a. Upaya pelestarian alam (manusia dengan alam) b. Pelestarian budaya dan ritual keagamaan (manusia-tuhan) c. Keselarasan hubungan antar manusia (manusia-manusia)
Kurang baik
Baik
Sumber : Analisis Data Primer, 2009. Keterangan : Baik : melakukan 2(dua) kegiatan pada kolom (1), Kurang baik : tidak melakukan 2 (dua) kegiatan pada kolom (1) atau melakukan 2 (dua) kegiatan pada kolom 2 (dua)
Adapun analisis prinsip dan kriteria ekowisata Bali dapat dijabarkan sebagai berikut. 2. Prinsip memiliki kepedulian, komitmen dan tanggungjawab terhadap konservasi dan warisan budaya. Adapun kriteria dari prinsip ini adalah : a. Tercapainya keseimbangan manfaat lahan. Melihat kondisi di Banjar Nyuh Kuning, keseimbangan manfaat lahan belum dapat tercapai. Seperti pada hasil wawancara (2009), dimana Kepala Dusun Nyuh Kuning menyatakan bahwa luas wilayah Banjar Nyuh Kuning yang tidak begitu luas hanya 1,8 km² maka sebagian besar lahan yang ada di Banjar Nyuh Kuning dipergunakan untuk bangunan fisik 75% dan sisanya 25% untuk lahan pertanian, tempat suci dan lahan perkebunan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 60
b. Penggunaan teknologi ramah lingkungan. Dalam ekowisata penggunaan sumber daya lokal dalam pengadaan berbagai fasilitas dasar merupakan prasyarat utama, termasuk dalam akomodasi. Sumber daya lokal dalam konteks akomodasi adalah menggunakan fasilitas akomodasi yang dimiliki oleh orang-orang lokal. Prasyarat ini juga menuntut penggunaan sumber daya alam lainnya secara hemat dengan memperhatikan keseimbangan ekologis. Penyediaan kolam renang, misalnya tidak dianjurkan karena akan menggunakan sumber daya air secara berlebihan. Demikian pula penggunaan Air Conditioner (AC) sebaiknya dihindari, karena gas buangan AC dipahami dapat merusak keberadaan lapisan Ozone (O3) atmosfir. Dengan demikian akomodasi yang dipakai dalam pengelolaan ekowisata bukanlah akomodasi skala besar seperti hotel berbintang, melainkan cukup akomodasi dengan skala kecil, seperti bungalow dan penginapan. Dari kriteria ini Banjar Nyuh Kuning boleh dikatakan telah memenuhi. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan jika dilihat dari segi bangunan villa dan penginapan yang ada, design ruangannya lebih terbuka sehingga cahaya dan udara dengan mudah masuk kedalam, ini bisa dikatakan sebagai suatu penghematan energi karena dengan adanya cahaya dan udara dapat menghemat listrik dan AC. c. Pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata disesuaikan dengan daya dukung. Keberadaan seni patung dengan ciri khas pendetisme sebagai warisan budaya serta tempat suci (pura) yang disungsung masyarakat sekitar merupakan diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu objek pendukung dalam pengembangan Banjar Nyuh Kuning sebagai daya tarik ekowisata, dimana didalam kegiatan nantinya harus memperhatikan daya dukung. d. Melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya. Keberadaan Hutan Bambu, Musum Pendet dan tempat suci (pura) di Banjar Nyuh Kuning merupakan potensi utama dalam pengembangan Banjar Nyuh Kuning sebagai kegiatan ekowisata Penanaman pohon dan penghijauan yang telah dilakukan oleh masyarakat selama ini merupakan sebuah tindakan untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Banjar Nyuh Kuning. e. Memperhatikan keberadaan endemisitas. Kelestarian produk asli suatu daerah adalah faktor utama dalam pengembangan ekowisata. Selama ini produk asli (endemisitas) sudah dapat dijaga oleh masyarakat karena keberadaan produk asli yaitu seni patung yang memiliki ciri khas pendetisme masih tetap ada. 3. Prinsip menyediakan pemahaman yang dapat memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaannya terhadap alam. Kriteria prinsip ini antara lain : a. Menyediakan pramuwisata profesional dan berlisensi. Belum tersedianya pramuwisata prfesional dan berlisensi di dalam melayani tamu, karena masalah utama yang merupakan kelemahan pengembangan Banjar Nyuh Kuning adalah ketersediaanya sumber daya manusia yang mampu dalam industri pariwisata sehingga kriteria ini belum dapat dipenuhi oleh Banjar Nyuh Kuning. b. Menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai terkait dengan objek ekowisata.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 61
Kriteria ini sudah dapat dipenuhi oleh Banjar Nyuh Kuning. Adanya pelayanan akomodasi, restoran, cafe, dan artshop, internet serta wartel merupakan suatu peluang mendasar bagi pengembangan Banjar Nyuh Kuning sebagai daya tarik ekowisata. 4. Prinsip memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat. Kriteria prinsip ini adalah sebagai berikut. a. Memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan keahlian. Dengan adanya fasilitas penunjang kepariwisataan di Banjar Nyuh Kuning hal ini memberikan peluang bagi masyarakat sekitar untuk bekerja di sektor pariwisata. Jadi tenaga kerja lokal sudah dimaanfaatkan secara intensif. Kedepannya diharapkan akan menuju ke arah pengelolaan yang berbasis partisipasi masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Dusun Banjar Nyuh Kuning, yaitu sesuai dengan peraturan dan perareman Desa Pekraman Nyuh Kuning No. 01 Tahun 2004 Pasal 4g yg menyatakan bagi para investor yang menanamkan modalnya di Banjar nyuh kuning didalam pengelolaanya diwajibkan memperkerjakan masyarakat lokal sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. b. Memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek ekowisata. Dari hasil observasi, pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek sudah dilaksanakan. Villa yang ada sebagian besar terbuat dari bambu yang berasal dari hutan bambu Kerajinan penduduk setempat seperti kerajinan patung yang terdapat di Banjar Nyuh Kuning yang dijual kepada wisatawan merupakan produk lokal setempat. c. Melibatkan lembaga adat setempat Di dalam pengembangan ekowisata di Banjar nyuh kuning nantinya akan melibatkan lembaga adat, hal ini telah dilakukan dengan mengundang para tokoh-tokoh masyarakat melalui FGD (Focus Group Discussion) untuk berdiskusi mengenai faktor-faktor pendukung serta kelemahan didalam mengembangkan produk ekowisata kedepannya. 5. Prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Adapun kriteria prinsip ini adalah : a. Pembangunan dan operasional disesuaikan dengan tata krama, norma setempat dan kearifan lokal. Dari hasil observasi dan wawancara dengan beberapa penduduk setempat, pembangunan fasilitas kepariwisataan tidak bertentangan dengan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Pengembangan kepariwisataan selama ini menyesuaikan dengan kebiasaan dan tradisi masyarakat di Banjar Nyuh Kuning yang diutarakan oleh Bendesa Adat Banjar Nyuh Kuning, yaitu selama ini tidak ada permasalahan dalam pengembangan pariwisata jika ditinjau dari tata krama dan adat istiadat yang berlaku disini. Terdapat beberapa aturan yang harus diikuti oleh wisatawan dan para investor jika mau tinggal ataupun menanamkan modalnya di Banjar Nyuh Kuning. Seperti menaati peraturan desa, ikut menjaga kebersihan dan keamanan desa dengan membayar iuran tiap bulan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan mereka semua mematuhi aturan. b. Keberadaan dan kegiatan ekowisata tidak mengganggu aktifitas keagamaan masyarakat setempat.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 62
Karena keberadaan Banjar Nyuh Kuning belum berkembang saat ini, maka kegiatan yang dilakukan wisatawan tidak mengganggu aktifitas keagamaan masyarakat setempat. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu wisatawan bernama Gill Marais yang telah 19 tahun menetap di Banjar Nyuh Kuning (Hasil wawancara, 2009), bahwa ”saya tidak pernah menganggap aktifitas keagamaan masayarakat sebagai suatu yang aneh melainkan aktifitas keagamaan itu merupakan suatu yang unik bagi saya dan saya selalu ikut berpartisipasi dalam semua kegiatan upacara agama yang ada di banjar Nyuh Kuning Walaupun kerap dimintakan beberapa sumbangan yg harus diberikan oleh orang asing yang tinggal di Desa Nyuh kuning tapi wisatawan mengetahui dengan pasti alur penggunaan uang sumbangan tersebut, seperti misalnya untuk pembangunan pura dan lainnya”. 6. Prinsip mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriterianya adalah sebagai berikut : a. Mentaati undang-undang dan perangkat peraturan lainnya yang terkait. Pengembangan Banjar Nyuh Kuning tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pengembangan Banjar Nyuh Kuning telah sesuai dengan arah kebijakan kepariwisataan Kabupaten Gianyar yang mengarah pada pengembangan potensi alam dan budaya. b. Mentaati awig-awig desa setempat. Seperti halnya kriteria poin 5a diatas, kriteria ini juga telah dipenuhi oleh Banjar Nyuh Kuning. Awig-awig, tata krama dan tradisi masyarakat setempat selalu diperhatikan dalam pengembangan Banjar Nyuh Kuning. Tidak adanya keluhan dari masyarakat setempat terhadap perkembangan kepariwisataan selama ini merupakan bukti lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bendesa Adat Banjar Nyuh Kuning (Hasil wawancara, 2009), yaitu “pengelolaan kepariwisataan di Banjar Nyuh Kuning tidak terdapat permasalahan berarti. Tidak terdapat pelanggaran awig-awig atau aturan adat lainnya yang serius”. 7. Prinsip pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat. Kriteria prinsip ini adalah : a. Pembangunan perlu mendapat persetujuan masyarakat dan lembaga adat. Menurut hasil kuiesioner awal pengembangan Banjar Nyuh Kuning sebagai kegiatan ekowisata telah mendapat persetujuan masyarakat setempat. Proses FGD (Fokus Group Discussion) diskusi mengenai kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman, juga telah dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pengambilan keputusan tentang produk ekowisata yang akan dikembangkan telah dilakukan musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat. b. Menjalin komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat dan lembaga adat setempat dalam pengembangan objek. Bendesa Adat mengungkapkan (Hasil wawancara, 2009), komunikasi dan koordinasi telah terlaksana dan tetap terjaga kepada stakeholder di Banjar Nyuh Kuning. 8. Prinsip secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen. Yang termasuk kriteria prinsip ini antara lain : b. Menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan prima dan memuaskan kepada konsumen.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 63
Adanya sarana dan prasarana pariwisata yang mendukung sehingga pelayanan prima dan pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan sudah dapat diterapkan oleh Banjar Nyuh Kuning. c. Menyediakan media untuk memperoleh umpan balik dari konsumen. Kriteria ini sudah dapat dipenuhi oleh Banjar Nyuh Kuning. Karena beberapa hotel dan villa sudah menyediakan semacam kuesioner tentang kepuasan pelayanan yang telah mereka berikan hal ini merupakan suatu sarana atau media untuk memperoleh umpan balik dari wisatawan. Dengan adanya fasilitas pendukung menyebabkan length of stay wisatawan meningkat, sehingga didapatkan umpan balik yang nantinya dapat memberikan masukan bagi pengembangan kepariwisataan Banjar Nyuh Kuning kedepannya. 9. Prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab). Adapun yang termasuk kriteria prinsip ini adalah : Materi pemasaran harus akurat, jelas dan berkualitas serta materi pemasaran yang jujur dan harus sesuai dengan kenyataan.belu dilakukan karena berdasarkan hasil wawancara kebanyakan wisatawan yang datang dan menginap di banjar nyuh kuning mendapatkan informasi dari teman mereka. Dan kurangnya pengembangan produk ekowisata di banjar nyuh kuning sehingga mereka cenderung memilih Ubud atau tempat lain untuk melakukan aktifitas. 10. Prinsip sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Kriteria prinsip ini antara lain : c. Memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan). Hubungan masyarakat di Banjar nyuh Kuning dengan pencipta-nya sebagaimana ditunjukkan oleh unsur parhyangan dalam Tri Hita Karana sudah berjalan dengan baik. Keberadaan pura khayangan tiga (Desa, Puseh dan Dalem) bukan sekedar bangunan tanpa makna, melainkan ritualitas masyarakat sangat tergantung terhadap keberadaan pura ini yang tercermin dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara (2009) dengan Kepala Dusun Nyuh Kuning, bahwa “masyarakat disini sangat religius, mereka selalu tangkil (datang untuk sembahyang) pada saat piodalan (upacara di pura)”. d. Memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan). Hubungan antar sesama manusia pada masyarakat objek penelitian sudah berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dalam kehidupan masyarakat yang harmonis tanpa diiringi oleh konflik yang berarti. Ini dibuktikan oleh rendahnya tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat e. Memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan (palemahan) Hubungan masyarakat di Banjar Nyuh Kuning seperti tertuang dalam unsur palemahan dalam Tri Hita Karana boleh dikatakan berjalan dengan baik. Tidak adanya pencemaran lingkungan dan perusakan alam yang berarti merupakan contoh harmonisnya hubungan ini. Kehidupan sosial ritual masyarakat yang tetap menjaga tradisi upacara Tumpek Ngatag atau upacara terhadap tumbuhtumbuhan dan upacara pecaruan untuk menjaga keseimbangan alam merupakan bukti lainnya.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 64
3.3.
Alternatif Pola Pengembangan Ekowisata yang Ideal Alternatif pola pengembangan ideal yang dapat penulis tawarkan adalah dengan memenuhi beberapa kriteria yang belum dapat dipenuhi dari hasil evaluasi pengembangan ekowisata sesuai dengan sembilan prinsip pengembangannya. Pengelola Banjar Nyuh Kuning dapat merancang program-program agar kriteria yang belum dipenuhi dapat berjalan dengan baik nantinya adapun upaya yang dapat dilakukan yaitu : 1. Untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sebaiknya dibuatkan peraturan desa untuk melarang masyarakatnya menjual tanah, ini pun dilakukan harus sesuai dengan kesepakatan antar masyarakat dan lembaga adat. 2. Pengaturan jumlah pengunjung terkait daya tampung dan daya dukung kawasan, sehingga dengan adanya pembatasan jumlah pengunjung maka akan dapat melindungi kemapuan sumber daya yang ada. Pengaturan informasi seperti papan penunjuk kawasan dan informasi lainnya sehingga dapat memudahkan pengunjung untuk mendapatkan informasi yang jelas dan akurat. 3. Dengan pemasaran yang jujur dan bertanggungjawab program ekowisata yang ada di sekitar kawasan dapat di pasarkan. Pemberdayaan masyarkat lokal sebagai staf dapat diupayakan dengan melatih keterampilan yang dibutuhkan sehingga mampu dan sesuai dengan yang diharapkan seperti menjadi guide lokal untuk memandu wisatawan serta memberikan peluang kepada petani dan pengrajin sekitar untuk menjual langsung produk yang dimiliki dengan membeli hasil pertanian atau kerajinan mereka dengan harga yang wajar. IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan 1. Jika dilihat dari sembilan prinsip dan kriteria ekowisata Bali, Banjar Nyuh Kuning telah memenuhi sebagain besar prinsip sesuai dengan lokakarya ekowisata sebali, dengan terpenuhinya 7 kriteria, yaitu : prinsip menyediakan pemahaman yang dapat memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaannya terhadap alam, prinsip memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat, prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, prinsip mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, prinsip pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat, prinsip secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen, prinsip sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. 2. Alternatif pola pengembangan ekowisata yang ideal yang dapat dilakukan yaitu dengan memenuhi dua kriteria tambahan yang belum dipenuhi, yaitu : Prinsip memiliki kepedulian, komitmen dan tanggungjawab terhadap konservasi dan warisan budaya dan Prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggungjawab). 4.2.
Saran Dengan dipenuhinya tujuh prinsip dan kriteria ekowisata Bali, maka pihak pengelola ekowisata di Banjar Nyuh kuning dapat mengembangkan ekowisata dengan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 65
memenuhi prinsip dan kriteria yang belum terpenuhi, yaitu : prinsip memiliki kepedulian, komitmen dan tanggungjawab terhadap konservasi dan warisan budaya dan prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggungjawab). Selain itu dengan membuat aturan tertulis mengenai pelarangan pencemaran dan perusakan lingkungan oleh pengunjung dan pemberdayaan masyarakat secara optimal dalam mendukung program comunity based tourism. KEPUSTAKAAN Anonim. 2007. Prinsip dan Kriteria Ekowisata Bali. Hasil Lokakarya Nasional Ekowisata. 25 s/d 26 Januari 2006. Diktat Mata Kuliah Pariwisata Alternatif. Program Magister (S2) Kajian Pariwisata Universitas Udayana Angkatan 2007. Bungin, Burhan.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada Jakarta. Dalem, AAGR. 2002. Ekowisata : Konsep dan Implementasinya di Bali. Jurnal Ilmiah Dinamika Kebudayaan Vol !V No.3. Denpasar.LPM Universitas Udayana. Wood, Megan Epler.2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. United Nation Publication. World Tourism Organization (WTO). 2004. Tourism and Poverty Alleviation Recommendations for Action. Madrd, Spain.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 66
THE TRI HITA KARANA PHILOSOPHY AS A MODEL OF RURAL TOURISM DEVELOPMENT IN BALI I Made Sendra Lecturer of Tourism Faculty, Udayana University Abstract Bali has been familiar with the idea of sustainable development before the declaration of agenda 21 Rio de Janairo in 1992 which is considered to be the point of origins of world model of sustainable development. Bali is one tourist destination in Indonesia which clearly formulates the vision of tourism development with cultural insight, which is endowed by Hindhu religion and based on tri hita karana philosophy. This philosophy became the basis of harmonious interaction pattern between the human being and environment, i.e. spiritual, social and physical environment. The harmonious and balanced relationship is convinced to bring benefit to the prosperity of human life both physically and spiritually. In relation to the development of tourism with the cultural insight, the existence of traditional village which is called desa pakraman have to be maintained based on tri hita karana philosophy as a model of rural tourism development in Bali. The tri hita karana philosophy is considered to be used as the referential framework in developing tourism in Bali. Through the concept of tourism development with the insight of tri hita karana, it is expected that tourism can provide positive and harmoniuos advantages for the economical welfare, cultural sustainability and local environment. Keywords: tri hita karana, rural tourism. I.
THE PHILOSOPHY OF HARMONIOUS TRI HITA KARANA Balinese culture ispired by the Hindhu religion has the concept of tri hita karana which has the meaning of “three causes of prosperity” (tri means three; hita means prosperous; and karana means cause), consisting of parahyangan (spiritual environment), pawongan (social environment) and palemahan (natural environment). These three elements (parahyangan, pawongan and palemahan) constitute an inseparable unity. The harmonious and balanced relationship among the three elements is thought to be able to bring useful benefit for spiritual and material prosperity of the people. On the contrary, unbalanced relationship or relationship focusing on certain aspect is thought to be able threaten human life prosperity. Basically, the concept of tri hita karana contains the notion of human adaptation pattern to their environment. Every human in the world in the effort to maintain his/her life always interact with his/her environment. Such environment includes the spiritual, social and natural environment. In this adaptation, human have a set of knowledge models which are used selectively to consider the environment. The tri hita karana is a knowledge model teaching humans to maintain harmonious
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 67
relationship and adaptive to environments in various dimension of space and time. It contain universal values for the sake human life and universe prosperity. Parahyangan aspect is an expression of human relationship with his spiritual environment as well as reflection of human essence as homo religio, namely as a human having conviction on supreme power or supernatural power. As one of the effort to reach life prosperity, human always try to maintain a harmonious interaction with the spiritual environment. Interaction process between human and the spiritual environment has produced various form of religious system. The existence of religious system has been realized as important thing for the spiritual needs of human being, since life which only runs after physical prosperity without being balanced by spiritual prosperity will throw human being to the darkness. Pawongan aspect is an expression of human relationship with similar creature as well as a reflection of human essence as social creature. It is impossible for a human being to live a lone, however he/she always interact with other human being and become part of their social system. To attaint of prosperous life, one human being must always maintain harmonious relationship with other human being. In the effort, social institution is necessary to manage and guarantee the existence of harmonious relationship among human being. Pawongan aspect reflects a high appreciate to human values, human right and peace among human being. Palemahan aspect is an expression of human relationship with natural environment. To attaint prosperity, human being always try to maintain harmonious interaction with the natural environment. Human arrogance in the form of excessive natural resources exploitation without considering its conservation is a form of inharmonious interaction with the environment. Sooner or later, this will threaten human prosperity. To maintain harmonious relationship between a human and his natural environment, various form of institution as control mechanism to the utilization of natural resources are created. Those institution area reflection of ecological wisdom. II.
THE ACTUALIZATION OF TRI HITA KARANA PHILOSOPHY ON TRADITIONAL VILLAGE (DESA PAKRAMAN) IN BALI Desa pakraman (pakraman village) formerly called desa adat as a unit of regulated community in Bali province, that functions as a traditional unit to be capable in maintaining the traditional Hindhu custom, strongly tied with three main temple called kahyangan tiga or kahyangan desa. Since the New Province Constitution No.3/2001, regarding traditional village, the name of desa adat was then changed into desa pakraman, and banjar adat (traditional sub village) changed in to banjar pakraman. Banjar pakraman is a tradisional sub-village inhabited by a group of people in a community who are belong to pakraman village. Pakraman village is a unit of traditional legal community in the Bali Province, having a unity of tradition and rules of communication among the life of Hindhu community hereditary in kahyangan tiga or kahyangan desa, binding with a certain area and property as well as having the right to manage their own household. A pakraman village is sometimes considered of only one banjar pakraman while others consisted of few banjar pakraman. Committee members of pakraman village are called prajuru desa who are headed by a leader called bendesa, assisted by
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 68
petajuh (vice-head), penyarikan (secretary), and juru raksa (treasure). Like pakraman village, banjar pakraman also has a committee members called prajuru banjar headed by a sub-village leader (kelihan banjar) and assisted by petajuh (vice-head), penyarikan (secretary) and juru raksa (treasure). In the notion of pakraman village, three main elements are clearly reflected with the basically the element of tri hita karana. Those elements are (1) the element of parahyangan, in the form of three main temples referred to as kahyangan tiga or other temples having similar function as kahyangan tiga; (2) the element of pawongan which consists of the krama desa or village members, and (3) the element of palemahan which consist of environment or physical area. To attain prosperity life (jagadhita), every traditional village shall try to maintain a harmonious and balanced relationship with the aspect of parahyangan, pawongan and palemahan. The relationship are put in order in the form of regulation called awig-awig of traditional village, containing norms having their function as control mechanism to human relationship with spiritual, social, and physical environment. Regarding that above matters, the traditional awig-awig generally contains three main aspects, namely, (1) the norms that manage the human relation to the spiritual environment called sukerta tata agama. (2) the norms that manage human relationship with human in their social environment called sukerta tata pawongan; (3) the norms that manage the relationship between human and the physical environment called sukerta tata palemahan. Awig-awig is a set of law made by pakraman village or other village or organization, like irrigation organization, youth organization etc. Awig-awig, as a set of traditional laws that organize the living structure in desa pakraman, is also completed by customary law sanction known as pamidanda, so that awig-awig strictly obeyed. The Balinese community considers environment as a system containing natural and supernatural characteristics. In relation to this view point, based on the view of Balinese culture it is known the real environment or sekala and the unreal environment or niskala. In managing the environment, human must pay attention to the balance of sekala and niskala elements. It is related to the philosophy of Balinese Hindhu emphasizing that the key for success in utilizing the environment is to attaint the goal based on how far they can create balance or consider the aspects of sekala and niskala (Eiseman,1988:128). In relation to the environmental image of the Balinese community, local traditional village wisdom is found to function as a control mechanism to natural resource management. This traditional village wisdom is often hidden in the conception of belief which is implied in the mythos and ritual ceremonies practices huge ecological benefit are implied namely, as control mechanism to effective environmental management.The Balinese community who residing at the traditional tourism village such as, village of Sangeh (Badung), Kukuh (Tabanan), Petulu (Gianyar), Tenganan PeGeringsingan (Karangasem) always take care of the existence of local forest as a holly place of Gods protecting their life. The community residing surround that area are afraid of disturbing flora and fauna as well as other natural resources, as they believe that, the God always pay attention to them, and give punishment to any body who dares to destroy the existence of the forest. A similar view is also applicable for other natural resources, such as, spring, rivers, seas, lakes and mountains are considered as holly areas. In
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 69
various places, the role of traditional village in controlling the utilization of environmental resources tends to be more than the role of formal institutions. Local traditional village wisdom is also reflected in the concept of zone which considered mountains as upper course of zone (head) having holy or sacred value. Based on the above concept, the mountainous area spread over in the middle of Bali is an area which is considered holly and as ulu or head both for Northern Bali as well as Southern Bali. Along the area there are holly places in term of important temples in Bali, such as, Pulaki temple, Batukaru temple, Petali temple, Ulun Danu temple, Pucak Mangu temple, Pucak Tedung Temple, Besakih temple, and so forth. III.
THE DEVELOPMENT OF RURAL TOURISM BASED ON LOCAL WISDOM “TRI HITA KARANA” The approach of conglomeration in tourism development with the issues of economical growth often chases away local traditional wisdom which has been well maintained for generations. The local community as legal owner of the local resources often became to be marginalization, so that the quality of life tend to decrease. The development with up-down paradigm needs local community participation in various phases of development, therefore the tourism development management is really done by those who live in the area and their life is influences by development or what is referred as local community based on resource management or community based management. There are three basis proposed by Korten why community management is very important as a basic design for development. First, the existence of traditional local community can not be treated as similar. Different local situation also needs different management and only local people will understand their local condition. Second, the existence of local village resources which have traditionally been managed by local people from generation to generation. The experience of managing local resources that have been inherited for generation generally produce a knowledge of management. To take over of this management will cause offense to local community, and as a result, the local people tend to be apathetic to undertake the development. Third, local accountability management which is undertaken by local people is usually more accountable as anything done by natural resources will affect their life. The management by other parties or outsource management often contains no moral approach to the local people, so that the local people feel that they have no moral accountability to the development. The Balinese community usually have oriented to manage the development in the village based on local wisdom, such as, tri hita karana. Accordingly, the development of rural tourism could take a good advantage from the local wisdom philosophy. The vision of rural tourism development is to authorize or empower the local people to manage the economic resources in the village. In this vision the local wisdom tri hita karana philosophy is very strongly committed to sustainable tourism development in the village, such as ecology, economy, social, culture and religion. Cultural tourism is the identity of tourism development in Bali, basically reflect the image of local wisdom. The cultural reference in on rural tourism development covers its philosophical foundation, value system, life attitude and the institution of pakraman village influenced by Hindhu religion. On account of tourism globalization,
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 70
the rural community are touched with global culture has emerged to the phenomena of disequilibrium, disorientation, dehumanization in various segments of social life. The social problem that come to the fore, such as, gambling, prostitution, injustice, social conflict, which are aggravated by consumerism, exploitation and moral decadence. Therefore, it is necessary to rearrange the conceptual framework to develop the rural tourism in Bali. The framework is called the model of tourism development based on local wisdom as a basis for the sustainable tourism development in the village. This is holistically synergize among five field that become the pillars of development, such as, natural environment, economy, physic, HRD and culture with the influence of religion. In formulating the model of rural tourism development, it is important to consider it from the perspective of das sollen and das seins. From das sollen perspective, the rural community has own root in reference of Balinese culture. The cultural reference of rural society covers its philosophical foundation; value system, life attitude and the institution of desa pakraman influenced by Hindhuism constitute the core configuration. Due to the fact that tourism globalization, the rural community became more open and dynamic, the cultural reference became diverse. From das seins prespective, tourist development in the rural society has given job opportunity and accordingly increasing in income, however, it has brought an attitude of consumptive materialism, hedonism, instant mental and distortion of morality and spiritually. The gap between das sollen and das seins has brought implication that there are complex problems, such as, (1) the category of ideas (value) which includes: distortion of value, materialistic and instant attitude and consumer behavior; (2) the social category consist of poverty, unemployment, low disciple, violence and conflict; (3) the physical category include the damage of natural environment. One illustration of the harmonious and paradoxical phenomenon which is evoked by tourism globalization illustrated on the bellow chart. No.
Category
Das sollen
1
Basic Value
Religiosity Balance Human dignity
2
Instrumental value
3
Praxis value
Tri hita karana Awig-awig Local genius Ancestor worship. Tolerance among the rural society Environmental conservation.
Das Seins Harmony Religious belief Tolerance Appreciation Tri mandala Family rules Policy Religious ceremony. Cooperation. Conservation of natural resources.
Paradox Symbol trivialization Suspicion Violence Chaotic Conflict Pollution
Source: Wirawan and Yoshihara (2005:29). According to the Balinese point of view, culture is a living asset integrated with the element of art, language, traditional institution, tradition, religion. Religion has the potential power to give spirit to manage the social, culture and physical environment. The concept of sustainable development is very applicable to put and arrange the rural tourism development in order. According to the World Commission on
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 71
Environment and Development (WCED) (Stephen Britton,1987), said that the sustainable development is “development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs”. On tourism terminology the sustainable development has the meaning as the form of tourism that are consistent with natural, social and community values and which allow host and guest to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experiences. Furthermore, according to World Tourism Organization (Pitana,2006:30) explained that, the sustainable development in tourism have to take care to sustain three thing, such as, (a) ecological sustainability; (b) social and cultural sustainability; (c) economic sustainability not only for present generation but also for future generation. Social and culture sustainability could be utilized as format of rural tourism development, that control over an action should rest with people who will bear the major force of its consequences. (David Korten,1986:85). It is must be that people participation in development to maintain the socio cultural and natural resources in the village, as Woodly (1993) said that “local participation is prerequisite for sustainable tourism”. Now days, the successful at tourism development tend to be measured by the growth oriented development, so that the government is indifferent to the local people participation. The government have resulted in programs that undermine the inherent capacity of people to meet their need, leaving them dependent on centrally subsidized bureaucratic which also absorb vast resources without being responsible to local needs. David Korten (1986:xix) point out that, “not the bureaucracy and the centrally mandated project and programs, but rather than the community itself: its needs, its capacity and ultimately its own control over both its resources and density. There are many evidence of the government failure on manage the development without involving the local people participation. In many cases the local people received passively the government”s development that make them dependent excessively. This is because, the government applied classical modernization theory with the rationalization concept, in managing the local resources so that it ignored the capability and local wisdom. In other word, the government underestimated and capacity of the systems by which people have learned through long and often difficult experience to manage locally available resources. This participation is correlated to give the local people more control over their own local resources. To empower the local people has become a trendy discourse recently, is connected to transform the centralistic authority paradigm in to decentralization (autonomy) paradigm. As Pitana (2000), said that empowerment is “a process or an effort to improve the capability of local people, in order to they can identify the problem, the potency of local resources, analyze the various weakness, opportunity and threat; furthermore they can plan and arrange the development in the village. The purpose of people empowerment is to improve the local community autonomy having capability to plan and carry out the established program, and evaluate or monitor it as well as, and increase the prosperity of the people eventually. The concept of empowerment have three components, i.e. (a) enabling setting is to strength the situation and condition on local level, so that the people can do an effort or activity; (b) empowering local community is to improve knowledge and skill through human resources development by education and training, so that they have capability
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 72
to utilize the situation; (c) socio-political support. Without social political supporting the development can not endure well. In increasing the participation of local community in rural tourism development, there are two applicable approach called “Rapid Rural Appraisal (RPA)” and “Participatory Rural Appraisal (PRA)”. Chambers (1992) said that there are many principles apply on RPA and PRA, such as, (a) reverse comprehension i.e. learn the rural community directly from the peripheral area, face to face contact to get local physical technical and social knowledge. (b) learning quickly and progressively through planned exploration by utilizing flexible method, improvisation, repeating and crosschecking, not following the blue print but adjusting accord with learning or comprehension process. The RPA and PRA approach on rural tourism development has emerged the local society based development which is contradicted to production based development. The following chart compare the dichotomy between the local society based development and the productive based development.
No.
Dimension
1
Logic
2
Goal
3
Economic System.
4.
Bureaucracy
5
Criterion.
6
Social technique.
The Production Based Development. Economic production. Exploitation and manipulation of natural resources. Maximize the flow of goods and service.
Conventional: Huge scale. Specialization. Investment. Comparative qualities. Global interdependency. Complex bureaucracy. Organizing the people on efficiency production unit in centralized supervision. Efficiency. Maximize the rate of productivity increasing. Command organization. The decision analyze method is positivistic and free of judgment. Improving of knowledge is based on functional perspective. Product system is defined on functionally. Set of equipment analyses do
The Local Society Based Development. Human-ecology. Utilize information resources and creative initiative. Improving the human potency (individu as an actor). Achieving the goal after considering the local differences and initiative. Autonomy. Local wisdom. Local society. Natural resources (human ecological system). Self-organization system existing on local scale community organization. The product value. Participation. The quality of labor environment. Autonomous organization. Individual role on decision maker with humane value scale. Improving of knowledge based on territory perspective. Product and achievement based on ecology frame i.e. involving human and capital as analysis process.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 73
not consider human and environment. Centralization. Dominated by the experts. Non consultation. Directed by officials having no responsibility on decision consequences.
7
Decision making
8
Technology Organization
Leaded by command system needs. Enforcement of the law. (c) Authority supervision is hold by manager.
9
Evaluation
Conventional evaluation: Conducted by the expert. Success indicator is evaluated with efficiency and output. Focused on scientific objecttive and there are gap between evaluator and participant, uniformity pattern, complex procedure, limited access on outcome.
Involving the community right in the process of decision making by putting the local needs and local wisdom in that. Controlling by the local community that their living is influenced by that decision. Self-organization learning system. The formal structure is mixed with the informal structure so that they are very adaptable. The information networking is built in the around local community. The social grouping is more permanent, such as, family, non-profit organization etc. Participant evaluation: Conducted by local communinity, project staff and facilitators. The local community identified the success indicator and output by themselves. Self-evaluation, simple method adapted from local wisdom, openly, and involving the local participant.
Source: Pitana (2006:45-46). IV. 4.1.
CONCLUSION AND RECOMMENDATION Conclusion The approach of conglomeration in tourism development with the issues of economical growth neglected local traditional wisdom. The local community became to be marginalization. The development with up-down paradigm needs local community participation in various phases of development, therefore the tourism development management have to manage by local community which is called community based tourism management. This participation is correlated to give the local people more control over their own local resources. To empower the local people is connected to transform the centralistic authority paradigm in to decentralization (autonomy) paradigm. Empowerment is a process or an effort to improve the capability of local people, in order to they can identify the problem, the potency of local resources, analyze the various weakness, opportunity and threat; furthermore they can plan and arrange the development in the village. The purpose of empowerment is to improve the local community autonomy having capability to plan and carry out the established program, and evaluate or monitor it as well as, and increase the prosperity of the people eventually. The
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 74
concept of empowerment have three components, i.e. (a) enabling setting is to strength the situation and condition on local level, so that the people can do an effort or activity; (b) empowering local community is to improve knowledge and skill through human resources development by education and training, so that they have capability to utilize the situation; (c) socio-political support. Without social political supporting the development can not endure well. The local community usually have oriented to manage the development in the village based on local wisdom, such as, tri hita karana. Accordingly, the development of rural tourism could take a good advantage from the local wisdom philosophy. The vision of rural tourism development is to authorize or empower the local people to manage the economic resources in the village. In this vision the local wisdom tri hita karana philosophy is very strongly committed to sustainable tourism development in the village, such as ecology, economy, social, culture and religion. The concept of sustainable development is very applicable to put and arrange the rural tourism development in order. The sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet their own needs. On tourism terminology the sustainable development has the meaning as the form of tourism that are consistent with natural, social and community values and which allow host and guest to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experiences. In other words, the sustainable development in tourism have to take care to sustain on three thing, such as, (a) ecological sustainability; (b) social and cultural sustainability; (c) economic sustainability not only for present generation but also for future generation. 4.2.
RECOMMENDATION Culture in broad sense is very significant in giving horizon and foundation for the development of sustainable in rural tourism related to the significant in term of religion, esthetics and harmony. Balinese culture in developing horizon and foundation also cover local genius and universal values as covered in the philosophy of Tri Hita Karana. REFRENCES Korten, David C. (ed.). 1986. Community Management: Asian Experience and Prespectives. Connecticut Kumarian Press. Britton, Stephen. 1987. Ambigious Alternative: Tourism in Small Developing Countries. Fiji. Woodly, A. 1993. “Tourism and Sustainable Development: The Community Perspective” in JG Nelson, R Butler and G Wall (ed.), Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing. Waterloo: Department of geography, University of Waterloo. Pitana, I Gede. 2000. Empowerment of Desa Adat in Bali. Paper dalam International Symposium Conserving Cultural Heritage for Sustainable Social, Economic and Tourism Development. Denpasar, 9-14 Juli 2000. ______ . 2006. Kepariwisataan Bali:Dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta: Puslitbang Kepariwisataan. Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 75
Robert, Chambers. 1992. PRA (Participatory Rural Appraisal). Memahami Desa Secara Partisipatif. Terjemahan dari Rural Appraisal: Rapid, Rilex & Particupatory. Kanisius. Wirawan, I Gede Putu and Naoki Yoshihara. 2005. The Possibility of Sustainable Cities and The Problems of International and Intellectual Exchange. Denpasar: Udayana University Press.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 76
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PANTAI LASIANA DI KOTA KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR I Wayan Sonder Dosen Akademi Pariwisata Kupang Abstract The Lasiana beach tourist area known for its beautiful natural scenery with white sand beaches. Based on the analysis of internal and external environment Lasiana beach tourist area is very potential to be developed. The program can be developed is a product development of marine tourism and cultural tourism as well as the arrangement of tourist facilities and infrastructure. The program is supported by the establishment of management institutions Lasiana beach tourist area and improvement of human resources of local communities. Promotion program conducted to increase tourist visits can be done through electronic media and cooperation with other tourism services industry. Keywords: development, strategy, tourist area, stakeholders. I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi telah mendorong perkembangan pariwisata di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pemerintah Indonesia meyakini pariwisata sebagai salah satu sektor yang dapat dikembangkan untuk mendukung kemajuan pembangunannya. Pembangunan pariwisata di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain : (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (b) meningkatkan kesejahteraan rakyat (c) menghapus kemiskinan, (d) mengatasi pengangguran, (e) melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, (f) memajukan kebudayaan, (g) mengangkat citra bangsa, (h) memupuk rasa cinta tanah air, (i) memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dan (j) mempererat persahabatan antarbangsa. Dengan demikian pembangunan pariwisata tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga untuk pelestarian sumber daya, kesatuan bangsa dan persahabatan antarbangsa. Dalam mencapai tujuan tersebut pembangunan pariwisata harus mempunyai sasaran yang jelas untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan pariwisata nasional maupun daerah. Adapun sasaran pembangunan kepariwisataan nasional seperti yang termuat dalam dokumen rencana strategis pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan nasional 2005 sampai 2009, yaitu : 1. Terwujudnya pariwisata nusantara yang dapat mendorong cinta tanah air. 2. Meningkatkan pemerataan dan keseimbangan pengembangan destinasi pariwisata yang sesuai dengan potensi daerah masing-masing. 3. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perekonomian nasional. 4. Meningkatnya produk pariwisata yang memiliki keunggulan kompetitif.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 77
5. Meningkatnya pelestarian lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Dalam mencapai rencana strategis tersebut perlu dikembangkan daerah-daerah tujuan wisata (tourist destinations) baru, selain mengoptimalkan daerah tujuan wisata yang telah berkembang. Perencanaan dan pengembangan destinasi wisata baru akan mendorong pemerataan pembangunan pariwisata yang diharapkan akan mampu mendukung perkembangan pembangunan perekonomian suatu daerah. Dalam rangka pemerataan, departemen kebudayaan dan pariwisata telah menetapkan lima daerah pariwisata unggulan baru, satu di antaranya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penetapan itu bertujuan menjadikan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai pintu gerbang Asia-Pasifik berbasis pariwisata, seni, dan budaya yang spesifik. Hal tersebut didukung dengan potensi alam dan keunikan budaya masyarakatnya seperti Taman Nasional Komodo, Danau Tiga Warna Kelimutu, tradisi Pasola dan lainnya. Kota Kupang sebagai pusat kota Provinsi Nusa Tenggara Timur juga mempunyai potensi daya tarik wisata baik potensi wisata alam maupun budaya. Pantai Lasiana merupakan potensi wisata alam yang berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Kupang. Pantai Lasiana yang terletak di Teluk Kupang dikenal sebagai pantai yang landai dengan ombak yang tenang serta pasir putihnya. Kawasan wisata Pantai Lasiana saat ini merupakan primadona bagi masyarakat Kupang untuk melakukan aktivitas rekreasi dan menikmati liburan. Pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana diharapkan akan dapat mendukung kemajuan kepariwisataan Kota Kupang khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur umumnya. Pengembangan tersebut juga diharapkan akan mendorong pembangunan ekonomi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat, memajukan kebudayaan masyarakat, pelestarian alam, lingkungan dan sumber daya lainnya di kawasan wisata Pantai Lasiana dan daerah sekitarnya. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi lingkungan internal dan eksternal kawasan wisata Pantai Lasiana? 2. Bagaimana strategi dan program pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana? II. 2.1.
KAJIAN PUSTAKA Pengembangan Pariwisata Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2005:538) mendefinisikan pengembangan sebagai suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna. Jadi pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi menarik dan lebih berkembang. Dalam hal ini pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan kawasan wisata atau objek wisata agar kawasan tersebut lebih maju dan memberi manfaat yang lebih baik. Menurut Suwantoro (2002:88-89) pengembangan adalah memajukan dan memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Lebih lanjut, Suwantoro memaparkan mengenai prinsip-prinsip pengembangan pariwisata berkelanjutan, yaitu : 1. Harus dibantu oleh proses perencanaan dan partisipasi masyarakat. 2. Harus ada kepastian, keseimbangan, adanya sasaran ekonomi, sosial budaya dan masyarakat.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 78
3. Hubungan antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola sedemikian rupa sehingga lingkungan lestari untuk jangka panjang. 4. Aktifitas pariwisata tidak boleh merusak dan menghasilkan dampak yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. 5. Pengembangan pariwisata tidak boleh tumbuh terlalu cepat dan berskala kecil atau sedang. 6. Pada lokasi harus ada keharmonisan antara hubungan wisatawan, tempat dan masyarakat setempat. 7. Keberhasilan pada setiap aktifitas tergantung pada keharmonisan antara pemerintah, masyarakat setempat dan industri pariwisata. 8. Pendidikan yang mengarah pada sosio kultural pada setiap tingkatan masyarakat yang berkaitan dengan aktifitas pariwisata, termasuk juga perilaku wisatawan harus serius diorganisasikan. 9. Peraturan perundang-undangan yang secara pasti melindungi budaya harus dikeluarkan dan dilaksanakan sekaligus merevitalisasinya. 10. Investor dan wisatawan harus dididik untuk menghormati kebiasaan, norma dan nilai setempat. Sedangkan hal-hal yang menimbulkan dampak negatif dihindarkan dan dampak positifnya dimanfaatkan. 2.2.
Kawasan Wisata Dalam Peraturan Pemerintah RI. No. 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan kawasan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Paturusi (2008:24) menyebutkan kawasan wisata masuk dalam kawasan tertentu, dimana kawasan tertentu merupakan kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan. Perda No. 9 Tahun 2005 tantang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur disebutkan kawasan wisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata (pasal 59 ayat 9). Dalam Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 1 menyebutkan yang dimaksud dengan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan keamanan. Selanjutnya pada pasal 14 ayat 1b dan penjelasannya, menyebutkan usaha kawasan wisata merupakan usaha yang kegiatannya membangun dan atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Kawasan wisata yang direncanakan dalam pengembangannya harus memperhatikan karakteristik kawasan tersebut baik karakteristik alam dan budaya yang menjadi potensi dalam pengembangannya. Paturusi (2008:91) menyebutkan bahwa dalam perencanaan kawasan wisata hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) pelestarian lingkungan khusus, seperti pantai, danau, kawasan arkeologi, kawasan yang disakralkan masyarakat setempat, termasuk lahan kritis yang terkendala dalam pengembangannya, (2) pemeliharaan panorama lingkungan sepanjang koridor menuju kawasan perencanaan, (3) pengelompokkan fasilitas dan kegiatan berdasarkan jenis kegiatan (pembedaan zona bising dan tenang) dan sifat kegiatan (privasi tinggi dan zona publik), (4) penempatan ruang akomodasi pada pemandangan yang menarik, (5) fasilitas hiburan dan komersial hendaknya
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 79
direncanakan memusat sehingga mudah dicapai oleh pengunjung, (6) pengawasan dan pembatasan pencapaian ke arah kawasan perencanaan untuk menghindari kemacetan lalu lintas, (7) jaringan sirkulasi internal yang efisien dan menarik, (8) adanya kawasan penyangga (zona hijau atau pemukiman) antara kawasan perencanaan dengan sekitarnya, (9) pertimbangan jaringan infrastruktur (penerangan, air bersih, telekomunikasi, air kotor, dan pengelolaan sampah), (10) rancangan arsitektur dan pertamanan yang menarik, (11) pertimbangan pemukiman bagi pekerja, (12) pentahapan pembangunan. III.
METODE PENELITIAN Data dalam penelitian baik data kualitatif maupun kuantitatif dikumpulkan dengan motode wawancara, angket, dokumentasi dan observasi. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan analisis SWOT yang dipergunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor internal dan eksternal Pantai Lasiana secara sistematis untuk merumuskan strategi yang selanjutnya dijadikan dasar dalam merancang program pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana. IV. 4.1.
PEMBAHASAN Gambaran Umum Kawasan Wisata Pantai Lasiana Arah kebijakan pembangunan pariwisata di Kota Kupang adalah untuk pengembangan dan pemanfaatan potensi-potensi wisata secara optimal, peningkatan manajemen pengelolaan pariwisata, peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang kepariwisataan. Salah satu potensi wisata yang ada di Kota Kupang adalah kawasan wisata Pantai Lasiana. Pembangunan pariwisata diarahkan pada pengembangan dan pemanfaatan potensi wisata secara maksimal, peningkatan manajemen pengelolaan pariwisata serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang kepariwisataan. Dalam pengembangan pariwisata ada beberapa permasalahan seperti : 1. Rendahnya pengelolaan daya tarik wisata potensial/unggulan. 2. Terbatasnya sarana dan prasarana pada daya tarik wisata yang ada. 3. Kurangnya event wisata atraktif yang bernuansa budaya. 4. Terbatasnya pemasaran potensi pariwisata Kota Kupang. 5. Terbatasnya sumber daya manusia profesional yang bergerak disektor pariwisata. Berdasarkan permasalahan tersebut pembangunan pariwisata Kota Kupang mempunyai sasaran pembangunan antara lain : 1. Peningkatan kualitas pengelolaan daya tarik wisata (alam, bahari dan budaya). 2. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan 30% setiap tahunnya. 3. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana pariwisata pada daya tarik wisata. 4. Peningkatan promosi potensi pariwisata pada event tingkat nasional dan internasional. 5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata. Pengembangan pariwisata di Kota Kupang telah didukung dengan berkembangnya industri pariwisata seperti jasa perhotelan, restoran dan usaha perjalanan. Industri perhotelan di Kota Kupang sampai tahun 2008 sebanyak 55 buah dengan jumlah kamar 1.157 yang terdiri dari hotel bintang III (2 buah), Bintang II (2 buah), Bintang I (3 buah) dan hotel melati 48 buah. Hotel bintang III yaitu Hotel Sasando dan Hotel Kristal yang jaraknya ±11 Km dari Pantai Lasiana. Jasa restoran yang
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 80
ada di Kota Kupang sebanyak 340 buah yang menyediakan jasa makanan dan minuman bagi wisatawan. Usaha jasa perjalanan yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan untuk melayani perjalanan wisatanya seperti travel agent juga telah ada di Kota Kupang. Jasa travel agent yang ada di Kota Kupang sebanyak 43 buah sampai tahun 2007. Kawasan wisata Pantai Lasiana terletak di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Jarak Kelurahan Lasiana dengan pusat pemerintahan kecamatan sejauh 6 Km, dengan pusat pemerintahan Kota Kupang sejauh 7 Km dan dengan pusat pemerintahan provinsi sejauh 10 km. Secara geografis Kelurahan Lasiana termasuk wilayah pesisir, daratannya berbukit dengan ketinggian dari permukaan laut ±150 Meter dengan suhu udara rata-rata 30˚C sampai 34˚C. Luas wilayah Kelurahan Lasiana sebesar 542,45 Ha. Kawasan wisata Pantai Lasiana mulai dibuka untuk umum sekitar tahun 1970-an, dan pada tahun 1986 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membangun berbagai fasilitas wisata seperti lopo-lopo, kolam renang, kantor pengelola, panggung hiburan, dan lainnya. Fasilitas wisata yang pernah dibangun pemerintah saat ini banyak yang mengalami kerusakan. Pemerintah Kota Kupang telah berupaya menata kembali kawasan wisata ini dengan membangun kios untuk para pedagang dan pembangunan lopo-lopo, namun belum maksimal. Hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pantai Lasiana. 4.2. Kondisi Lingkungan Internal dan Eksternal Kawasan wisata Pantai Lasiana 4.2.1. Lingkungan internal kawasan wisata Pantai Lasiana Pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana didasarkan pada faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki sebagai salah satu dasar dalam menyusun rencana maupun strategi pengembangan. Pengkajian kekuatan dan kelemahan yang ada melalui analisis lingkungan internal yang akan memberi informasi tentang kemampuan/modal secara internal kawasan untuk memanfaatkan dan atau mengatasi faktor-faktor eksternal dalam mencapai tujuan. Berdasarkan hasil pengumpulan data didapatkan beberapa faktor lingkungan internal baik yang berupa faktor-faktor kekuatan maupun kelemahan kawasan wisata Pantai Lasiana. Faktor-faktor kekuatan (Strenghts) kawasan wisata Pantai Lasiana meliputi : 1. Pantai berpasir putih dengan ombak yang tenang. Pantai Lasiana memiliki garis pantai yang panjang dengan pasir yang halus merupakan panorama alam yang indah menjadi daya tarik utama bagi wisatawan untuk berkunjung. 2. Disamping panorama tersebut, juga bisa dilihat panorama alam matahari terbenam (sunset) yang indah dan rindangnya pohon lontar menawarkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. 3. Mempunyai letak yang strategis dekat dengan Bandar Udara Eltari, pusat kota dan berada di jalur lintas Timor. Jalur lintas timor merupakan jalan utama yang menghubungkan kota Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan kota kabupaten lain di Pulau Timor dan menghubungkan Indonesia dengan Timor Leste. Letak ini akan memudahkan bagi masyarakat Kota Kupang dan sekitarnya untuk berkunjung, begitu juga bagi wisatawan asing yang datang melalui Bandara Eltari maupun yang datang lewat jalur darat. 4. Kehidupan sosial budaya masyarakat. Keunikan sosial budaya masyarakat Kelurahan Lasiana bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata sebagai pendukung potensi utama. Potensi sosial budaya tersebut seperti pemanfaatan tanaman lontar
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 81
menjadi berbagai barang kerajinan seperti alat musik sasando, pengolahan air yang disadap dari pohon lontar menjadi gula. 5. Adanya makanan tradisional. Salah satu daya tarik yang ada di Pantai Lasiana adalah makanan tradisional pisang gepe (pisang bakar). Dalam beberapa liputan acara televisi nasional dan komentar pengunjung di media elektronik lainnya, selalu menempatkan makanan tradisional ini sebagai ciri khas Pantai Lasiana. Sedangkan faktor-faktor kelemahan (Weaknesses) kawasan wisata Pantai Lasiana yang bisa mengurangi nilai kekuatan daya tarik Pantai Lasiana meliputi : 1. Terbatasnya atraksi wisata yang bisa dilakukan. Belum optimalnya pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana dalam mengemas berbagai atraksi wisata berdampak pada terbatasnya atraksi wisata yang ada. 2. Kurangnya sarana dan prasarana pariwisata, kebersihan serta kerapiannya yang dapat mengurangi daya tarik kawasan wisata Pantai Lasiana. 3. Lemahnya sumber daya manusia khususnya bidang pariwisata, sehingga pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana belum bisa optimal. 4. Kurangnya kesadaran masyarakat dan pengunjung dalam menjaga keasrian kawasan wisata Pantai Lasiana. 5. Kurangnya kegiatan promosi tentang kawasan wisata Pantai Lasiana, karena tidak adanya lembaga pengelola khusus kawasan. Saat ini kawasan wisata Pantai Lasiana dikelola oleh Pemerintah Kota Kupang yang tidak hanya mengelola satu daya tarik wisata saja. 4.2.2. Lingkungan eksternal kawasan wisata Pantai Lasiana. Lingkungan eksternal kawasan wisata Pantai Lasiana merupakan lingkungan luar kawasan yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan baik yang bersifat positif yakni mendorong maupun bersifat negatif yang mengancam pengembangannya. Lingkungan eksternal kawasan wisata Pantai Lasiana terdiri dari faktor peluang (Opportunities) yang bersifat positif dan faktor ancaman (Threats) yang bersifat negatif. Faktor-faktor peluang kawasan wisata Pantai Lasiana meliputi : 1. Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Faktor ini akan memberikan kemudahan dalam pencapaian kawasan oleh wisatawan dan kegiatan promosi bagi pengelola kawasan dalam mempromosikan kawasan wisata Pantai Lasiana. 2. Ditetapkannya Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai destinasi wisata unggulan dan sebagai pintu gerbang Asia-Pasifik oleh pemerintah pusat. Kebijakan pemerintah melalui kementerian pariwisata ini menunjukkan besarnya potensi wisata yang ada di daerah ini dan perhatian pemerintah pusat dalam mengembangkan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. 3. Otonomi daerah yang memberi peluang pada daerah untuk mengembangkan potensi wisata daerahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4. Adanya triangle relationship, kerjasama segitiga antara Kota Kupang dengan Kota Dilli (Timor Leste) dan Darwin (Australia). Kerjasama ini akan member peluang pada kunjungan wisatawan asing khususnya dari Australia dan Timor Leste. 5. Meningkatnya animo masyarakat untuk melalukan kegiatan wisata, khususnya masyarakat perkotaan bisa menjadi pangsa pasar lokal. Disamping faktor peluang yang mendukung pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana, juga menghadapi beberapa ancaman/tantangan (Threats) meliputi : 1. Krisis ekonomi global, yang berpengaruh pada kemampuan orang untuk melakukan perjalanan wisata. Faktor ekonomi sangat mempengaruhi kemampuan bagi calon
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 82
2. 3. 4. 5.
wisatawan baik wisatawan asing maupun wisatawan lokal dalam melakukan perjalanan wisata. Meningkatnya persaingan dengan daya tarik wisata lain, khususnya di Nusa Tenggara Timur, yang selama ini dikenal dengan daya tarik wisata Taman Nasional Komodo dan Danau Kelimutu. Pemanasan global yang berakibat pada meningginya permukaan air laut dan abrasi pantai. Kawasan wisata Pantai Lasiana yang menawarkan panorama alam pantai sebagai daya tarik utama akan sangat dipengaruhi oleh pemanasan global. Situasi sosial politik nasional dan daerah yang berakibat pada situasi keamanan yang kurang kondusif. Ancaman penyakit menular seperti : rabies dan flu babi yang melanda wilayah Indonesia secara global akan mempengaruhi kunjungan wisatawan.
4.2.3. Strategi dan Program Pengembangan Kawasan wisata Pantai Lasiana 1. Strategi pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana Berdasarkan hasil analisis IFAS (Internal Factors Analysis Summary) tampak posisi kawasan wisata Pantai Lasiana berada pada posisi yang sedang dengan total skor 2,960. Sedangkan hasil dari analisis EFAS (External Factors Analysis Summary) diperoleh nilai total skor 3,022 yang menunjukkan posisi kawasan wisata Pantai Lasiana berada pada posisi yang kuat. Dengan demikian perlu dilakukan strategi tumbuh (growth strategy) khususnya strategi tumbuh dan bina (grow and build) yaitu strategi pengembangan produk, pengembangan pemasaran dan penetrasi pasar. 2. Program pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana Program merupakan penjabaran suatu strategi kedalam suatu tindakan ataupun langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Program pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana juga merupakan penjabaran dari strategi alternatif yang telah dihasilkan dalam analisis SWOT. Program pengembangan tersebut terbagi dalam empat kelompok strategi pengembangan yaitu : a. Program berdasarkan strategi SO (Strengths Opportunities). Strategi dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang dimiliki kawasan wisata Pantai Lasiana untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang ada adalah strategi pengembangan produk kawasan wisata Pantai Lasiana dengan program antara lain : 1. Pengembangan produk wisata hendaknya selalu berpedoman pada prinsip berkelanjutan, sehingga tidak menimbulkan kerusakan terhadap sumber daya pariwisata tersebut. Berdasarkan karakteristik daya tarik wisata yang ada yang menjadi kekuatan kawasan ini, maka alternatif produk wisata yang dapat dikembangkan di kawasan wisata Pantai Lasiana yaitu : a) wisata bahari yang bisa dikembangkan di kawasan wisata Pantai Lasiana yaitu : wisata layar, memancing, menyelam (diving) dan snorkeling dan aktivitas wisata olah raga air (water sport), b) wisata budaya yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengembangan kawasan Pantai Lasiana antara lain : festival/ pertunjukan budaya masyarakat setempat ataupun event budaya tingkat daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengemasan aktivitas masyarakat dalam penyadapan pohon lontar dan proses pengolahannya menjadi gula merah, pembangunan rumah percontohan yang bercirikan arsitektur masing-masing daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 83
2. Menjaga dan melestarikan alam pantai dan ekosistemnya melalui kegiatan pelestarian dan konservasi tanaman bakau dan lainya. b. Program berdasarkan strategi ST (Strengths Threats). Program pengembangan berdasarkan strategi ST yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman adalah strategi peningkatan keamanan dan kenyamanan dalam pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana. Adapun programnya yaitu pembentukan satuan pengamanan kawasan wisata Pantai Lasiana yang dibentuk dengan melibatkan masyarakat setempat dengan memberdayakan satuan pengamanan yang sudah ada. Hal tersebut sangat penting mengingat di kawasan wisata Pantai Lasiana belum ada petugas keamanan yang manjaga, mengatur parkir kendaraan dan keamanan para pengunjung/wisatawan. c. Program berdasarkan strategi WO (Weaknesses Opportunities). Program ini didasarkan pada pemanfaatan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada dalam kawasan wisata Pantai Lasiana melalui strategi pengembangan sarana dan prasarana pokok maupun penunjang pariwisata di kawasan wisata Pantai Lasiana dan strategi pemasaran (promosi) kawasan, dengan program antara lain : 1. Program perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana wisata yang meliputi : a) perbaikan dan penataan prasarana jalan dan sarana transportasi menuju kawasan wisata Pantai Lasiana, b) perbaikan gapura pintu masuk dan papan nama kawasan, c) pembangunan menara pengawas untuk keamanan pengunjung Pantai Lasiana, d) pengembangan dan perbaikan sarana wisata, baik yang sudah pernah dibangun (lopo-lopo, home stay, kantor pengelola, kolam renang, tempat pemandian air bersih dan toilet) maupun dengan pembangunan fasilitas wisata baru. 2. Program promosi kawasan wisata Pantai Lasiana antara lain : a) promosi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (internet), b) peningkatan pangsa pasar dengan mengintensifkan kegiatan pemasaran seperti promosi pada negara yang selama ini menjadi pangsa pasar, c) melakukan kerjasama pemasaran dengan biro perjalanan wisata, akomodasi dan usaha jasa wisata terkait lainnya, d) pengadaan event atau festival budaya di kawasan wisata Pantai Lasiana, e) pembangunan pusat informasi pariwisata (Tourism Information Centre). d. Program berdasarkan strategi WT (Weaknesses Threats). Program ini didasarkan pada strategi yang bersifat defensif yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Adapun programnya antara lain : a) pembentukan lembaga pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata Pantai Lasiana, b) pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan pemahaman pentingnya pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana. Melalui pendidikan formal bisa dilakukan dengan mengirim perwakilan masyarakat, untuk mengikuti pendidikan pariwisata di dalam maupun di luar Kota Kupang. Sedangkan pendidikan informal dapat dilakukan dengan penyuluhan pariwisata bagi masyarakat baik dari pemerintah, usaha jasa wisata dan lembaga pendidikan, c) program pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata Pantai Lasiana.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 84
4.3.
Partisipasi para Pemangku Kepentingan Partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengembangan kawasan pariwisata Pantai Lasiana menunjukkan bahwa belum melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif. Pemerintah provinsi berpartisipasi secara umum dalam pengembangan pariwisata Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Daerah Kota Kupang merupakan stakeholder yang paling dominan berpartisipasi sebagai pengelola dan mempunyai tanggung jawab dalam pengembangannya. Partisipasi aktifnya seperti pembangunan kios, perbaikan lopo-lopo, pembangunan pemecah gelombang, konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat Kelurahan Lasiana dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam berjualan dan menjaga kebersihan kawasan oleh para pedagang, usaha penyewaan ban untuk berenang mengikuti penyuluhan sadar wisata, sapta pesona, dan kegiatan konservasi dalam proyek pengelolaan wilayah pesisir. Partisipasi usaha pariwisata yang aktif dilakukan oleh biro perjalanan wisata yang memasukkan Pantai Lasiana dalam produk wisatanya. Dalam mencapai tujuan pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana yang optimal, hendaknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, pihak swasta (usaha jasa wisata), akademisi maupun masyarakat setempat. Masyarakat setempat sangat perlu dilibatkan karena masyarakat setempat yang bersentuhan langsung dengan keberadaan kawasan wisata Pantai Lasiana dan dampak pengembangannya. Dengan melibatkan pemangku kepentingan dalam pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana akan memudahkan dalam pelaksanaan program pengembangan dan meminimalkan dampak negatifnya. V.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal kawasan wisata Pantai Lasiana sangat potensial untuk di kembangkan menjadi daya tarik wisata. Strategi umum dalam pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana sesuai dengan kondisi lingkungan internal dan eksternalnya adalah strategi tumbuh (growth strategy) khususnya strategi tumbuh dan bina (grow and build). Produk yang bisa dikembangkan di Pantai Lasiana seperti : wisata bahari (kano, mancing, perahu layar dan aktivitas olah raga lainnya), wisata budaya melalui pembangunan rumah percontohan dengan arsitektur local, pertunjukkan seni budaya daerah dan pengemasan aktivitas masyarakat dalam pengolahan air nira pohon aren menjadi gula merah. Program tersebut didukung dengan program pembentukan lembaga khusus pengembangan dan pengelola kawasan Pantai Lasiana supaya dapat melakukan pengembangan dan pengelolaan objek yang lebih optimal, dan usaha promosi yang lebih intensif. Program peningkatan sumber daya manusia masyarakat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana. Beberapa pemikiran yang bisa disarankan dalam pengembangann kawasan wisata Pantai Lasiana adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah Kota Kupang perlu meningkatkan sumber daya manusia masyarakat sekitar supaya mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan kawasan untuk mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. 2. Perlunya pembentukan badan pengelola khusus kawasan wisata Pantai Lasiana yang lebih memberdayakan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaannya.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 85
3. Dalam pengembangan kawasan wisata Pantai Lasiana hendaknya meningkatkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaannya secara optimal sesuai dengan peran masing-masing. KEPUSTAKAAN Anonim. 2003. Nota Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Pemerintah Kota Kupang Nomor: HK 10 Tahun 2003/ 23/Pemkot/2003 Tentang Pengelolaan Kawasan wisata Pantai Lasiana Kota Kupang. ______ . 2005. Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional 2005-2009. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan pariwisata ______ . 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. ______ . 2006. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006. Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang Tahun 2005-2015. ______ . 2008. Peraturan Daerah Kota Kupang No. 02 Tahun 2008. Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) Kota Kupang Tahun 2007-2012. ______ .2009. Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2009. tentang Kepariwisataan. Inskeep, E. 1991. Tourism Planning an Integrated and Suistainable Development approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Paturusi, S. A. 2008. Perencanaan Kawasan wisata. Denpasar: Udayana University Press. Pitana, I G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suwantoro, G.2002. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Swarbrooke, J. 1999. Sustainable Tourism Management. London: CABI Publishing. Umar, H. 2005. Strategic Management in Action. PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Yoeti, OA. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Prandnya Paramita.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 86
STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN TOUR & TRAVEL DI BALI (Studi Kasus Aspek Finansial PT. MMBC Sumanda Tour & Travel) I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Based on current tourism business development, travel agents have the tendency to sell the same product such as tour packages, airline and bus tickets, and therefore a specific market needed to enter this forum. MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) are the target of this company, PT. MMBC Sumanda Tour & Travel. Their main market is France, United Kingdom, Germany, Netherlands and Italy, which are also amongst the top 20 biggest market in Bali. Market potential can be calculated from the number of tourists visiting from those countries divided by the number of MICE travel agents which is only 5 of them out of 304 travel agents in Bali. The tourists who come to Bali with MICE are mainly from the age of 25 – 64 years old, male 55,21% and female 44,79% and working as professional, government employees, manager and company employees. From a marketing perspective, the average slices of the market which can be gained by PT. MMBC Sumanda Tour & Travel are 149 peoples in a year. According to competitor analysis this MICE company has a different market than the other PT. MMBC Tour & Travel franchises and also stronger relations with foreign Tour Operators especially in those countries, France, United Kingdom, Germany, Netherlands and Italy. MICE packages include flight tickets, hotel, transportation, meeting place, and Bali’s exotic tour for 8 hours and the commission from this package in between 1% - 20%. From a financial perspective, an initial investment around Rp. 1.191.732.580,-, the operational cash flow for 2011 at Rp 538.183.291, on 2012 at Rp. 512.827.649, on 2013 at Rp. 525.810.938, on 2014 at Rp. 519.492.329, on 2015 at Rp. 527.101.839 and terminal cash flow at Rp. 617.687.500 will result in a net present value (NPV) of Rp 985.728.862,- which is a positive result. IRR 39,73% bigger than the discount factor 13,08%, payback period is 3 year and 8 months. Based upon this calculation it can be summarised that the European MICE market has a potential benefit for the company and the business is viable. Keywords: tour & travel feasibility study, MICE, and cash flow.
I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sektor kepariwisataan merupakan salah satu sumber penerimaan keuangan suatu negara. Bagi bangsa Indonesia, sektor non migas ini semakin diharapkan peranannya untuk menutupi penerimaan dari sektor migas yang sifatnya mengelola sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui serta memperbesar penerimaan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 87
devisa negara maupun memperlancar proses pembangunan nasional. Pembangunan kepariwisataan diarahkan untuk mampu menggalakkan kegiatan ekonomi termasuk sektor lain yang terkait, seperti lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah Penurunan jumlah biro perjalanan wisata di Bali pada tahun 2010 sejumlah 322 buah atau 48%, hal ini disebabkan oleh banyaknya biro perjalanan wisata yang bangkrut sehingga tidak beroperasi. Biro perjalanan wisata yang merupakan tonggak awal di dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang ke Bali memerlukan tambahan biro perjalanan wisata yang memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali sehingga perlu dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap pendirian dari biro perjalanan wisata yang baru terutama dalam hal aspek finansial. Salah satu biro perjalanan wisata yang akan berdiri adalah PT. Medussa Multi Business Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel dimana perusahaan ini merupakan salah satu Biro Perjalanan yang memiliki beberapa unit bisnis antara lain perekrutan cabang dan agen diseluruh Indonesia, penjualan tiket pesawat domestik dan mancanegara, voucher hotel, paket wisata, biro iklan, percetakan, biro jasa, dan jasa kurir. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah menganalisis kelayakan pendirian PT. Medussa Multi Business Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali terutama dari aspek finansial.
II. 2.1.
KAJIAN PUSTAKA Pengertian Studi Kelayakan Proyek Menurut Husnan dan Muhamad (2000) menyatakan bahwa studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil. Pada umumnya studi kelayakan proyek akan menyangkut tiga aspek, yaitu : 1. Manfaat ekonomis proyek tersebut bagi proyek itu sendiri (sering juga disebut sebagai manfaat finansial). Yang berarti apakah proyek itu dipandang cukup menguntungkan apabila dibandingkan dengan risiko proyek tersebut. 2. Manfaat ekonomis proyek tersebut bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (sering juga disebut sebagai manfaat ekonomi nasional). Yang menunjukkan manfaat proyek tersebut bagi ekonomi makro suatu negara. 3. Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat sekitar proyek tersebut. Ini merupakan studi yang relatif paling sulit untuk dilakukan. Semakin sederhana proyek yang akan dilaksanakan, semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Bahkan banyak proyek-proyek investasi yang mungkin tidak pernah dilakukan studi kelayakan secara formal, tetapi ternyata kemudian terbukti berjalan dengan baik pula. Menurut Husnan dan Muhamad (2000), tujuan dilakukannya studi kelayakan adalah untuk menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan. Tentu saja studi kelayakan ini akan memakan biaya, tetapi biaya tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah besar. Sedangkan tujuan yang paling tepat dari pengambilan keputusan untuk melakukan investasi adalah untuk memaksimumkan nilai pasar modal sendiri (saham).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 88
2.2.
Aspek Menilai Kelayakan Investasi. Menurut Husnan (2000), untuk melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek-aspek apa saja yang akan dipelajari, walaupun belum ada kesepakatan tentang aspek apa saja yang perlu diteliti, tetapi pada umumnya penelitian akan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar, teknis keuangan, hukum dan ekonomi negara. Tergantung pada besar kecilnya dana yang tertanam dalam investasi tersebut, maka terkadang juga ditambah studi tentang dampak sosial. Analisis keuangan adalah kegiatan melakukan penilaian dan penentuan satuan rupiah terhadap aspek-aspek yang dianggap layak dari keputusan yang dibuat dalam tahapan analisis usaha (Sofyan, 2003). Tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek unuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan berkembang terus (Umar, 2001). Apabila diketahui ada faktor-faktor internal atau eksternal yang besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan proyek dalam menghasilkan penjualan dan keuntungan, perlu dikaji tingkat kepekaan (sensitivity analysis) proyek terhadap perubahan faktor-faktor tertentu itu. Contohnya adalah apabila harga jual produk mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan proyek bersaing di pasar, perlu dikaji pengaruh perubahan harga terhadap hasil penjualan, BEP (Break Event Point ), pendapatan, laba serta kemampuan proyek dalam memenuhi kewajiban keuangan kepada pihak ketiga. Sutoyo (2000) menyatakan bahwa guna memperoleh jumlah perkiraan permintaan yang lebih dapat dipercaya, diperlukan analisis kepekaan (sensitivity analysis) permintaan, terhadap perubahan faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jumlah atau pola permintaan produk. Dengan metode analisis kepekaan, disamping jurnlah perkiraan permintaan pertama, akan disusun pula perkiraan permintaan kedua, ketiga dan seterusnya sesuai dengan keperluan yang memasukkan pengaruh perubahan faktor tertentu. 2.3.
Pengertian Biro Perjalanan Wisata Biro perjalanan wisata merupakan salah satu komponen penting dalam bidang pariwisata karena biro perjalanan wisata secara tidak langsung ikut dalam mempromosikan kepariwisataan yang ada sehingga akan mampu menambah jumlah kunjungan wisatawan yang akhirnya akan berpengaruh terhadap peningkatan devisa Negara. Terdapat banyak definisi tentang usaha perjalanan wisata. Untuk kajian ini akan diambil batasan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 Kepmen Parpostel No. KM.10/PW-102/MPPT tentang ketentuan usaha Biro Perjalanan Wisata ditetapkan antara lain : 1. Biro Perjalanan Wisata adalah usaha yang merencanakan perjalanan wisata dan atau jasa pelayanan penyelenggara wisata. 2. Agen Perjalanan Wisata adalah usaha jasa perantara untuk menjual dan atau mengurus jasa untuk perjalanan wisata.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 89
3. Cabang Biro Perjalanan Wisata adalah unit usaha Biro Perjalanan Wisata yang berkedudukan di wilayah administratif yang sama dengan kantor pusatnya atau di wilayah administrasi lain yang melakukan kegiatan usaha kantor pusat. Ruang lingkup Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata sesuai dengan SK Dirjen Parpostel tahun 1988, ruang lingkup BPW dan APW adalah suatu perusahaan yang mengatur perjalanan orang-orang dari satu tempat ketempat lain. Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Tour Operator bila kegiatan utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan (planning) dan penyelenggaraan (arrangement) perjalanan wisata (tours) atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab sendiri dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut. Sedangkan kegiatan lain dapat dikatakan sebagai melengkapi saja untuk melancarkan kegiatan utamanya. 2.4.
MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) atau Wisata Konvensi Wisata konvensi mulai berkembang setelah keluar UU No.9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi No. KM 108/HM.703/MPPT.-91, merumuskan bahwa : Kongres, Konferensi atau Konvensi merupakan suatu kegiatan berupa pertemuan sekelompok orang (negarawan, usahawan, cendikiawan dan sebagainya) untuk membahas masalahmasalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Yoeti (2000) menyatakan bahwa MICE merupakan suatu rangkaian kegiatan, dimana pengusaha dan profesional berkumpul pada suatu tempat yang terkondisikan oleh suatu permasalahan, pembahasan dan kepentingan yang sama. III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Analisis Data 1. Analisis Aspek Keuangan Langkah-langkah analisis aspek keuangan antara lain : a. Menentukan kebutuhan dana investasi awal (initial investment), langkah yang dilakukan adalah dengan menghitung jumlah aktiva tetap, biaya pra operasi dan modal kerja. b. Pendapatan dan biaya penjualan, langkah yang dilakukan adalah dengan membuat paket wisata MICE terhadap wisatawan Perancis, Inggris, Belanda, Jerman dan Italia dengan mengalikan market share yang diperoleh oleh PT. MMBCSumanda Tour & Travel dan membaginya dalam beberapa jenis pendapatan dan biaya penjualan c. Menentukan proyeksi operational cash flow, langkah yang dilakukan adalah dari laporan rugi laba yang diperoleh dengan menambahkan laba bersih dengan depresiasi serta bunga sesudah pajak, sehingga diperoleh arus kas (sesudah pajak). d. Menentukan Terminal Cash Flow, untuk menentukan Terminal Cash Flow maka perlu diketahui cash flow nilai sisa (residu) dari proyek yang memiliki nilai sisa meskipun aktiva-aktiva tetapnya sudah memiliki nilai ekonomis lagi seperti tanah, bangunan dan modal kerja. e. Menentukan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 90
Cara yang dipergunakan antara lain : a. Menaksir aliran kas dengan memisahkan aliran kas yang terjadi karena keputusan investasi dan aliran kas yang terjadi karena keputusan pembelanjaan, maka formula yang dipergunakan adalah : Laba setelah pajak + penyusutan + bunga (1-tarif pajak). b. Menghitung biaya modal rata-rata tertimbang dengan menggunakan dasar setelah pajak. Biaya modal merupakan perkalian antara besarnya biaya modal dari masing-masing sumber pembelanjaan dengan proporsi dana yang digunakan. 2. Perhitungan NPV, IRR dan Payback Period a. Payback period Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali. Karena itu satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu seperti tahun, bulan. Apabila periode payback ini lebih pendek daripada yang diisyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan, sedangkan kalau lebih lama proyek ditolak dan dasar yang dipergunakan adalah aliran kas, bukan laba. (Husnan dan Suwarsono, 2000) b. Menghitung dengan model Net Present Value (NPV). c. Menghitung dengan model IRR. d. Untuk menentukan risiko investasi dengan analisis sensitivitas akan dicari dengan membandingkan ketiga kondisi yaitu pesimis, moderat dan optimis terhadap market size, market share, harga jual per unit, biaya variabel per unit dan biaya tetap, yang bertujuan untuk mengetahui variabel apa yang paling sensitif terhadap keberhasilan pendirian franchise PT. MMBC Sumanda Tour & Travel, jarak antara kategori optimis dan pesimis yang lebih kecil merupakan investasi berisiko rendah. IV. 4.1.
PEMBAHASAN Sejarah PT. MMBC Tour & Travel Pendirian PT. MMBC Tour & Travel ini dimulai pada tanggal 18 November 2007 ketika CV MBC (Multi Business Center) yang dipimpin oleh Zulkarnaini bekerjasama dengan PT. Marfa Wisata yang membawahi Marfa Tour & Travel yang dibentuk pada tahun 2004 yang dipimpin oleh Dr. Supriyantoro dan melakukan merger sehingga berganti nama menjadi PT. MMBC (Marfa Multi Business Center) dimana bisnis ini berfokus pada konsep keagenan Tour & Travel dengan menyiapkan sistem reservasi online yang merupakan pertama kali dilakukan oleh sebuah perusahaan biro perjalanan wisata di Indonesia. Pada bulan Maret 2008, PT. MMBC (Marfa Multi Business Center) berubah nama menjadi PT. Medussa Multi Business Center. PT. Medussa Multi Media Business Center (MMBC) sebagai perusahaan nasional dengan sistem keagenan telah memiliki 60 cabang dan 4750 agen perjalanan di seluruh Indonesia 4.2. Analisis Aspek Keuangan 1. Investasi Awal (Initial Cash Flow) Investasi awal terdiri dari aktiva tetap, investasi pra operasi adalah perijinan, konsultan dan biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum perusahaan ini beroperasi dan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 91
yang terakhir adalah investasi modal kerja dan perhitungan initial cash flow ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Perhitungan Initial Cash Flow Investasi Aktiva Tetap No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Aktiva Tetap Tanah Bangunan Furniture & Fixture Peralatan (Equipment) Landscaping Peralatan Kantor Kendaraan Jumlah
Biaya (Rp) 363.000.000 206.250.000 25.300.000 55.000.000 2.200.000 23.100.000 136.400.000 811.250.000
Investasi Pra Operasi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Perijinan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Ijin Investasi Dalam Negeri Ijin Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) Ijin Surat Keterangan Domisili Perusahaan Anggota Asosiasi ASITA Ijin Franchise PT. MMBC Awal Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Notaris Biaya Upah/Gaji Biaya Administrasi Biaya Pemasaran Biaya Bunga Selama Masa Konstruksi Jumlah
Biaya (Rp) 4.700.000 1.000.000 650.000 750.000 7.700.000 70.000.000 250.000 2.900.000 8.000.000 18.410.000 10.500.000 120.000.000 35.622.580 280.482.580
Investasi Modal Kerja No. 1
Uraian Modal Kerja Jumlah
No. 1 2 3
Jenis Aktiva Investasi Pra Operasi Investasi Modal Kerja Investasi Aktiva Tetap Total
Biaya (Rp) 100.000.000 100.000.000
Initial Cash Flow Biaya (Rp) 286.610.080 811.250.000 100.000.000 1.191.732.580
Biaya notaris tidak mempengaruhi kelayakan proyek karena merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pada waktu yang lampau. Biaya ini sudah dikeluarkan sebelum diambil keputusan untuk membangun proyek dan akan tercatat di neraca perusahaan sebagai harta lain-lain dan tidak perlu disusutkan (amortisasi). Total
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 92
investasi awal yang diperlukan oleh PT. MMBC Sumanda Tour & Travel adalah Rp 1.191.732.580,-. Biaya perijinan dimasukkan sebagai harta lain-lain yang dapat diamortisasikan karena cukup material dan berlaku untuk jangka panjang seperti contoh pada biaya ijin mendirikan bangunan (IMB), sedangkan biaya-biaya perijinan lainnya yang harus diperbaharui setiap tahunnya tidak perlu dimasukkan dalam perhitungan kelayakan proyek dan dikelompokkan sebagai biaya operasional perusahaan. 2. Sumber Dana Investasi PT. MMBC Sumanda Tour & Travel Pendanaan investasi harta tetap 60% berasal dari modal sendiri yang merupakan modal dari pemilik perusahaan dan 40% berasal dari pinjaman Bank BPR Luhur Damai di Tabanan yang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Pendanaan Investasi Harta Tetap Uraian Modal Sendiri Pinjaman Jumlah
Jumlah (Rp) 715.039.548 476.693.032 1.191.732.580
Porsi 60% 40% 100%
3. Operational Cash Flow Arus kas bersih dapat dicari dengan mengambil jumlah laba atau rugi kemudian ditambah dengan penyusutan dan atau amortisasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 4.3 diperoleh operational cash flow yang positif yang dipergunakan untuk mencari hasil dari net present value (NPV), payback period dan internal rate of return (IRR) dari perusahaan PT. MMBC Sumanda Tour & Travel. Tabel 4.3 Perhitungan Operational Cash Flow PT. MMBC Sumanda Tour & Travel (Rp. Ribu) Uraian Pendapatan Operasional Biaya Penjualan Laba Kotor Biaya Operasional Laba Sebelum Bunga dan Pajak Biaya Bunga Laba Sebelum Pajak Pajak Laba Bersih/Setelah Pajak Depresiasi & Amortisasi Bunga (1-t) Operational Cash Flow
2011 29.882.078 28.505.235 1.376.843 714.756
2012 31.488.651 30.130.542 1.358.108 732.244
2013 32.161.299 30.768.815 1.392.483 748.071
2014 32.135.105 30.736.861 1.398.244 762.858
2015 32.598.125 31.172.257 1.425.867 779.611
662.086 100.105 561.981 168.594 393.386 74.722 70.073 538.183
625.864 86.915 538.949 161.684 377.264 74.722 60.840 512.827
644.412 70.954 573.457 172.037 401.420 74.722 49.668 525.810
635.385 51.642 583.742 175.122 408.620 74.722 36.149 519.492
646.256 28.274 617.981 185.394 432.586 74.722 19.792 527.101
4. Terminal Cash Flow Perhitungan arus kas terminal (terminal cash flow), merupakan arus penerimaan kas yang berasal dari aktiva investasi pada akhir usia ekonomis proyek (nilai sisa), dalam hal ini aktiva tetap adalah 0 yang dapat dilihat pada Tabel 4.4. Kebutuhan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 93
dana adalah untuk membelanjai pembelian atau pengadaan harta tetap dan modal kerja. Pinjaman bank dapat berupa jangka panjang dan jangka pendek. Pinjaman jangka pendek (Jangka waktu pinjaman kurang dari satu tahun) akan digunakan untuk membelanjai modal kerja, sedangkan pinjaman jangka panjang akan digunakan untuk membeli harta tetap dan sebagian dapat pula digunakan untuk membelanjai kebutuhan dan modal kerja. Tabel 4.4 Perhitungan Terminal Cash Flow (Rp) Uraian Tanah Bangunan Modal Kerja Terminal Cash Flow
Jumlah 363.000.000 154.687.500 100.000.000 617.687.500
5. Biaya modal rata-rata tertimbang (WACC) Biaya modal untuk pembiayaan investasi dihitung berdasarkan biaya modal ratarata tertimbang pada Tabel 4.5. Dapat diketahui bahwa besarnya biaya modal ratarata tertimbang adalah 13,08% merupakan hal yang baik karena berada dibawah dari bunga pinjaman sebesar 21%. Tabel 4.5 Stuktur Modal dan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang (WACC) Uraian Modal Sendiri Pinjaman Jumlah
Jumlah (Rp) 715.039.548 476.693.032 1.191.732.580
Porsi 60% 40% 100%
Biaya Modal Setelah Pajak 12,00% 14,70%
WACC 7,20% 5,88% 13,08%
6. Perhitungan NPV, Payback Period dan IRR Berdasarkan data pada Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa NPV yang dihasilkan adalah positif dengan jumlah sebesar Rp 985.728.862 sehingga proyek kelayakan pendirian franchise PT. MMBC Sumanda Tour & Travel layak untuk didirikan di Bali. Sedangkan berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa periode pengembalian modal adalah selama 3 tahun dan 8 bulan dan dengan perhitungan trial and error pada Tabel 4.8, diperoleh discount factor adalah 39% dan 40% dengan IRR adalah 39,73% berada di atas WACC sebesar 13,08%, sehingga bisnis ini layak untuk dilanjutkan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 94
Tabel 4.6 Penghitungan NPV Tahun 0 2011 2012 2013 2014 2015 2015
Investasi Awal (Rp) 1.191.732.580
Proceeds (Rp)
PV Proceeds (Rp) (1.191.732.580) 475.931.456 401.051.211 363.640.475 317.713.698 285.079.201 334.045.400 985.728.862
DF (13,08%)
0 538.183.291 512.827.649 525.810.938 519.492.329 527.101.839 617.687.500
1,0000 0,8843 0,7820 0,6916 0,6116 0,5408 0,5408
NPV
Tabel 4.7 Perhitungan Payback Period Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Investasi Awal (Rp) 1.191.732.580
Proceeds (Rp) 0 538.183.291 512.827.649 525.810.938 519.492.329 527.101.839 617.687.500
Sisa Investasi (Rp) (1.191.732.580) (653.549.289) (140.721.640) 385.089.298
Payback period 3 tahun 8 bulan
Tabel 4.8 Penghitungan IRR Discount Factor 39% Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Investasi Awal (Rp) 1.191.732.580
Proceeds (Rp)
DF (39%)
0 538.183.291 512.827.649 525.810.938 519.492.329 1.144.789.339 NPV
0,7194 0,5176 0,3724 0,2679 0,1927
PV Proceeds (Rp) (1.191.732.580) 387.182.224 265.425.003 195.787.615 139.161.768 220.623.401 16.447.431
Discount Factor 40% Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Investasi Awal (Rp) 1.191.732.580
Proceeds (Rp) 0 538.183.291 512.827.649 525.810.938 519.492.329 1.144.789.339 NPV
DF (40%) 0,7143 0,5102 0,3644 0,2603 0,1859
PV Proceeds (Rp) (1.191.732.580) 384.416.636 261.646.760 191.622.062 135.228.116 212.855.756 (5.963.251)
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 95
7. Analisis Sensitivitas Disamping itu dalam menghitung peramalan jumlah wisatawan MICE yang bisa diperoleh oleh perusahaan ini, juga menggunakan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk meminimalisir unsur ketidakpastian dalam menghitung arus kas masuk dengan menggunakan pendapatan per unit, sehingga terdapat 3 (tiga) skenario yaitu pesimis, moderat dan optimis. Skenario moderat adalah skenario yang didasarkan pada peramalan yang sesuai dengan proyeksi peramalan di atas sedangkan skenario pesimis dan optimis adalah skenario berdasarkan probabilitas dimana untuk kondisi pesimis sebesar 0,20, moderat sebesar 0,40 dan optimis sebesar 0,2. Analisis sensitivitas terhadap pasar MICE PT. MMBC Sumanda Tour & Travel dilakukan untuk menganalisis sensitivitas yang didasarkan atas jumlah market share yang akan menjadi pendapatan per unit dan biaya operasional. Sensitivitas pasar kondisi optimis dilakukan dengan menambah 20% dari kondisi moderat dan untuk kondisi pesimis dengan menurunkan 20% dari kondisi moderat. Berdasarkan perhitungan, dapat diketahui bahwa probabilitas untuk pasar pesimis adalah turun sebesar 0,2, moderat sebesar 0,6 dan optimis naik sebesar 0,2. Analisis sensitivitas bertujuan untuk mencari variabel yang paling sensitif di antara variabel perubahan pendapatan per unit dan variabel biaya operasional terhadap penilaian kelayakan investasi dalam rencana pendirian PT. MMBC Sumanda Tour & Travel. Analisis ini berkaitan dengan perhitungan operational cash flow dari perusahaan ini selama 5 tahun ke depan dengan penetapan kondisi dalam 3 kategori yaitu pesimis, moderat, dan optimis dengan perhitungan probabilitas sebesar 20%. Penilaian analisis sensitivitas secara kuantitatif dilakukan dengan mengkondisikan pendapatan per unit dari PT. MMBC Sumanda Tour & Travel sebesar 80% (pesimis) dan 120% (optimis) dari pendapatan yang telah diproyeksikan sebelumnya yang kemudian dibandingkan untuk memperoleh variabel yang paling besar perubahannya terhadap penilaian investasi. Tabel 4.9 Sensitivitas NPV NPV Sensitivitas Pendapatan Sensitivitas Biaya Operasional
Pesimis 20%
Moderat
Optimis 20%
304.067.934
985.728.862
1.667.389.789
620.290.318
985.728.862
1.351.167.405
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa : 1. Pada kondisi optimis, apabila pendapatan dinaikkan 20% dibandingkan pada saat pendapatan kondisi 100% ( moderat), menghasilkan peningkatan persentase NPV sebesar 69,15% dan apabila biaya operasional diturunkan sebesar 20% akan menghasilkan kenaikan persentase NPV sebesar 37,07% 2. Pada kondisi pesimis, apabila pendapatan diturunkan 20% dibandingkan pada saat pendapatan kondisi 100% (moderat), menghasilkan penurunan perubahan persentase NPV sebesar -69,15% dan apabila biaya operasional dinaikkan sebesar 20% akan menghasilkan penurunan persentase NPV sebesar -37,07%
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 96
Berdasarkan penilaian di atas dapat diketahui bahwa variabel pendapatan per unit merupakan variabel yang paling sensitif dan sangat mempengaruhi penilaian kelayakan investasi dalam rencana pendirian biro perjalanan wisata karena dengan adanya perubahan naik atau turun sebesar 25% dari kondisi moderat akan menyebabkan perubahan lebih besar dari 25% yaitu 69,15% untuk kondisi optimis dan -69,15% untuk kondisi pesimis. Perubahan kenaikan dan penurunan terhadap biaya operasional sebesar 25% akan menyebabkan kondisi optimis sebesar 37,07% dan kondisi pesimis sebesar -37,07%, maka perlu diberikan perhatian khusus terhadap tingkat pendapatan per unit dari PT. MMBC Sumanda Tour & Travel sehingga memperoleh keuntungan yang maksimal dari target yang diberikan oleh perusahaan ini. V. 5.1.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil kelayakan investasi terhadap PT. MMBC Sumanda Tour & Travel dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Initial cash flow sebesar Rp. 1.191.732.580,- dengan operational cash flow pada tahun 2011 sebesar Rp. 538.183.291,-, tahun 2012 sebesar Rp. 512.827.649,-, tahun 2013 sebesar Rp. 525.810.938,-, tahun 2014 sebesar Rp. 519.492.329,-, tahun 2015 sebesar Rp. 527.101.839,-.dan Terminal Cash Flow sebesar Rp. 617.687.500,2. Sumber dana diperoleh dari modal sendiri sebesar 60% yaitu Rp. 715.039.548,- dan pinjaman bank sebesar 40% yaitu Rp. 476.693.032,- dengan biaya modal rata-rata tertimbang sebesar 13,08% 3. Nett Present Value sebesar Rp 985.728.862,- IRR sebesar 39,73% di atas WACC sebesar 13,08% dan Payback Period 3 tahun 8 bulan 4. Analisis sensivitas untuk NPV, Payback Period dan IRR yang pesimis, moderat dan optimis menyatakan bahwa variabel pendapatan operasional lebih sensitif dibandingkan dengan variabel biaya operasional. 5.2. SARAN 1. Bagi manajemen PT. MMBC Tour & Travel pusat hendaknya menggunakan standar kelayakan usaha untuk memastikan semua aspek telah diteliti dan hasil kelayakan menyatakan positif sehingga kelayakan dapat dilanjutkan. Peran manajemen sangat penting untuk menyeleksi penempatan cabang-cabang yang potensial meraih keuntungan yang signifikan. 2. Pemberian ijin pendirian cabang oleh PT. MMBC Tour & Travel hendaknya dibantu juga dengan pengajuan ijin usaha dimasing-masing daerah sehingga
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 97
KEPUSTAKAAN Brigham, E.F, Houston, J.F. 2001. Manajemen Keuangan. Buku 1 dan 2. Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga. Cowi. 2007. Feasibility study on Rail Baltica Railways. (online), (http ://ec.europa.eu/regional_policy/sources/docgener/evaluation.raibaltica.con cl_en). Haming, M, Basalamah S. 2003. Studi Kelayakan Investasi : Proyek dan Bisnis. Jakarta : PPM. Hinde. 2000. Terrace Bay Regional Gateway Development Feasibility Study. (online),(http ://www.terracebay.ca.uploads.documents/TerraceBayRegionalGateway DevelopmentFeasibilityStudy). Husnan, S dan Muhamad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta : UPP STIM YKPN. Husnan, S. 2000. Manajemen Keuangan : Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Panjang). Jilid 1 dan 2. Edisi Empat, Yogyakarta : BPFE. Pkf Consulting, 2006. Market Feasibility Study Proposed Hotel / Convention Center Facility Lancaster, Pennsylvania. (online), (http ://www.newslanc.com/document/pkffeasibility). Sartono, 2001. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat, Yogyakarta, BPFE. Satoto, R. 2005. Analisis Kelayakan Investasi Apotek Kimia Farma 82 Kartika Plaza Kuta Unit Bisnis Area Bali, PT. Kimia Farma Apotek (Persero), Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Semarajaya. 2006. Analisis Kelayakan Privatisasi Rumah Sakit Sanglah di Denpasar, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Sinar Grafika. 1983-2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No 7 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan . Sofyan, 2003. I. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu. Suratman, 2001. Studi Kelayakan Proyek – Teknik dan Prosedur Penyusunan Laporan, Edisi Pertama, Yogyakarta, J&J Learning. Suryawan dan Pujaastawa, 2009. Karakter Wisatawan Nusantara Ke Bali, Denpasar : Puslit Kebudayaan dan Kepariwisataan, UNUD bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Sutojo, S. 2002. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik & Kasus. Cetakan 2. Jakarta : Damar Mulia Pustaka. Sucipto, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis – Analisis Integratif dan Studi Kasus. Cetakan 1. Malang : Aditya Media. Syamsudin, 2002. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Ward, 2005. Feasibility Study for Pasific Ecotourism Association (PETA). (online), (http//www.sputh-pacific /travell /sPT.o /export /public /reports/ final_draft_PETA). Wijaya, B. 2009. Studi Kelayakan Investasi Penambahan Villa Pada PT. Bagus Agro Pelaga di Kabupaten Badung, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 98
Wirawan. 2003. Analisis Rencana Investasi pada Jaringan ”Shop & Ride” di Buleleng dan Jembrana, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan. Yangzom, Krug, dan Vogel, 2004. Bio Label Bhutan. How to Create Added Value for Farmers, Consumers and The Nature in Bhutan. Feasibility study and definition of a pilot project for establishing a Label on Organic Farming. (online), (http ://www.bhutan-switzerland.org./Feasibility_Study). Yoeti, 2006. Tours and Travel Management. Edisi Tujuh. Jakarta : PT. Prandnya Paramita.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 99
DAMPAK PENGELUARAN WISATAWAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI BALI I Putu Anom Ida Ayu Arisya Leri
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata unud Abstract Tourism is a significant contributor to foreign exchange. The highest expenditure spends by tourist in a destination, it can rise up level of income. Tourism has its synergic power as it has a strong connectivity towards other sectors and it’s become main component that supporting economic growth. The purpose of this research is to find out the impact on increases and decreases tourist expenditure towards economic growth in Bali. Based on increases and decreases consumption simulation, it can be seen that effect of rise up tourist consumption is 15% it can rising up Bali’s economical output growth 6,07%. While the impact by the reduction of tourist consumption is 10% it can degrading a whole Bali’s tourism growth with total 4,05%. The simulation shows that the government should design a policy to increase tourist expenditure in Bali. To gain this few steps need to be done for instance through promotion by targeting potential market based on market segmentation especially quality tourist. Another thing is by increasing tourist length of stay and repeater guest through rising up Bali’s quality product of tourism. Keywords: impact, tourist expenditure, and economy. I.
LATAR BELAKANG Pariwisata adalah suatu sektor yang sangat diandalkan karena merupakan penyumbang devisa yang cukup besar. Semakin banyak pengeluaran wisatawan yang dikeluarkan di tempat mereka berwisata, maka akan meningkatkan pendapatan bagi daerah tersebut. Dengan meningkatnya pendapatan daerah, maka dapat dibuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan sehingga akan mengurangi pengangguran. Sektor pariwisata merupakan multisektor yang mencakup berbagai kegiatan perekonomian. Keterkaitan sektor pariwisata dengan berbagai sektor ekonomi dapat mendorong laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut. Kegiatan pariwisata akan menimbulkan permintaan (demand) akan barang dan jasa sehingga akan merangsang pertumbuhan produksi. Semakin banyak permintaan wisatawan maupun industri pariwisata, maka akan dapat semakin membangunkan produktifitas sektor-sektor ekonomi. Menurut Akil (t.t:6), untuk mendukung pengembangan pariwisata, perlu adanya peningkatan keterkaitan fungsi pengembangan kegiatan pariwisata yang baik dengan sektor lainnya untuk memberikan nilai efisien yang tinggi dan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembangan pariwisata harus dikaitkan dengan pengembangan ekonomi nasional, wilayah dan lokal. Pada tingkat nasional sektor pariwisata harus berperan sebagai primer mover dan secara interaktif terkait dengan pengembangan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 100
sektor-sektor ekonomi. Selain itu, pengembangan pariwisata harus diupayakan dapat melibatkan seluruh stakeholder. Dalam konteks ini peran masyarakat terlibat dimulai sektor hulu (memberikan kegiatan produksi yang ekstraktif) sampai dengan kegiatan hilir (kegiatan produksi jasa). Peranan sektor pariwisata terhadap perekonomian di Provinsi Bali menjadi topik yang penting untuk dibahas. Sektor ini merupakan komponen utama pendukung pertumbuhan ekonomi. Melalui penelitian ini nantinya diharapkan dapat diketahui seberapa besar sektor pariwisata mampu menarik pertumbuhan perekonomian di Provinsi Bali. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak kenaikan dan penurunan konsumsi wisatawan terhadap pertumbuhan output sektor-sektor perekonomian di Provinsi Bali. II. 2.1.
KAJIAN PUSTAKA Konsep Pengeluaran Wisatawan Menurut Yoeti (2008:197) secara sederhana, konsumsi/pengeluaran wisatawan adalah barang dan jasa (goods and services) yang dibeli oleh wisatawan dalam rangka memenuhi kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan harapan (expectations) selama ia tinggal di DTW yang dikunjunginya. Pengeluaran wisatawan (tourist expenditures) pada suatu negara perlu dihitung dengan cermat. Kegunaan praktisnya adalah untuk mengetahui berapa besar devisa yang diperoleh dari industri pariwisata yang dikembangkan pada suatu negara tertentu. Pengeluaran wisatawan biasanya mencakup pada akomodasi hotel, bar dan restoran, transportasi lokal, tours atau sightseeing, cenderamata, dan keperluan-keperluan lainnya. Adapun komponen pengeluaran wisatawan sesuai dengan General Guideline For Developing The Tourism Satelite Account (WTO) dibedakan menjadi dua tipe yaitu pengeluaran konsumsi akhir wisatawan dan transfer sosial wisatawan. Pengeluaran konsumsi akhir wisatawan dapat berupa pengeluaran konsumsi yang dibayar secara tunai dan konsumsi dalam bentuk barang. Sementara itu, transfer sosial wisatawan dapat berupa social security, biaya konsultasi, jasa non pasar wisata. Prof. Dr. Salah wahab (dalam Yoeti, 2008:202) memberikan rincian distribusi pengeluaran wisatawan, dimana pada umumnya pengeluaran tersebut sebagian besar digunakan untuk keperluan akomodasi hotel dan keperluan makan-minum, sedangkan yang lainnya sangat bervariasi. 2.2.
Dampak Ekonomi Pariwisata Pariwisata merupakan kegiatan yang kompleks, bersifat multi sektoral dan terfragmentsikan, karena itu koordinasi antar berbagai sektor terkait melalui proses perencanaan yang tepat sangat penting artinya. Perencanaan juga diharapkan dapat membantu tercapainya kesesuaian (match) antara ekspektasi pasar dengan produk wisata yang dikembangkan tanpa harus mengorbankan kepentingan masing-masing pihak. Mengingat masa depan penuh perubahan, maka perencanaan diharapkan dapat mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan strategis yang dimaksud dan menghindari sejauh mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahanperubahan lingkungan tersebut (Suradnya, t.t : 2). Perkembangan suatu daerah tujuan wisata sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi daerahnya. Dengan majunya perekonomian daerah tersebut dan berkembangnya berbagai sektor yang ada di daerah sekitarnya, maka pembangunan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 101
sarana dan prasarana pariwisata pun akan semakin berkembang. Sehingga dapat meningkatan kenyamanan wisatawan. Demikian juga sebaliknya, pariwisata pun mampu mengangkat sektor-sektor ekonomi lainnya berkembang menjadi lebih baik. Kegiatan pariwisata akan menimbulkan permintaan (demand) akan barang dan jasa yang selanjutnya akan merangsang pertumbuhan produksi. Wisatawan yang datang berkunjung pada suatu Negara atau DTW merupakan sumber pendapatan (income generation) dan sekaligus juga berfungsi sebagai alat pemerataan (redistribution of income) bagi penduduk suatu Negara, sedikitnya bagi orang-orang dalam bisnis pariwisata di DTW yang dikunjungi (Yoeti, 2008:243). Menurut Clement (dalam Yoeti, 2008:248), setelah wisatawan datang pada suatu Negara atau DTW, mereka pasti akan membelanjakan dollarnya pada perusahaanperusahaan kelompok industri seperti : Accommodations, Food and Beverages, Purchases, Lokal Transportation, dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) selama mereka tinggal di daerah tersebut. Uang yang dibelanjakan oleh wisatawan itu, setelah dibelanjakan tidak berhenti beredar, akan tetapi berpindah dari satu tangan ke tangan orang lain atau dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Ini akan menciptakan keterkaitan berbagai sektor terhadap sektor pariwisata. Satu hal yang perlu diketahui bahwa penglipatgandaan (multiplier effect) yang terjadi tidak sama, akan tetapi bervariasi dari suatu sektor ke sektor lainnya. III. 3.1.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian dan Objek Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Bali yang didasarkan atas prtimbangan yaitu Provinsi Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang menjadi daerah tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Dengan berkembangnya pariwisata di Provinsi Bali diharapkan dapat menarik perkembangan berbagai sektor lainnya di luar sektor pariwisata. Dari penelitian ini, dapat dilihat seberapa besar pengeluaran wisatawan mampu menarik pertumbuhan perekonomian di Provinsi Bali. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat sebuah kebijakan bagi pemerintah setempat. 3.2.
Penentuan Sumber Data Adapun jenis data menurut sumbernya dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa referensi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti seperti Tabel Input-Output Peovinsi Bali 2007 yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik Bali. Lebih spesifik lagi, data tersebut adalah tabel input-output 55 x 55 sektor. Sedangkan data lainnya sebagai pendukung seperti data pengeluaran wisatawan, jumlah kunjungan wisatawan dan lainnya diambil dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 102
3.3. Definisi Operasional Variabel 1. Konsumsi/pengeluaran wisatawan dalam penelitian ini adalah barang dan jasa yang dibeli oleh wisatawan dalam rangka memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan selama ia tinggal di DTW yang dikunjunginya. 2. Permintaan akhir dalam penelitian ini adalah permintaan yang berasal dari konsumen akhir dan bukan digunakan sebagai suatu proses produksi. Permintaan akhir di sini terdiri dari konsumsi wisatawan, konsumsi pemerintah, investasi, perubahan stok, dan ekspor barang dan jasa. 3. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi perubahan dasar atas struktur sosial dan sikap masyarakat serta institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar percepatan pertumbuhan ekonomi, mengatasi kesenjangan pendapatan dan hasil-hasil pembangunan serta mengurangi kasus kemiskinan (Todaro, 2000:17). 3.4.
Instrumen Penelitian Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan mengambil data dari berbagai dokumentasi atau publikasi dari berbagai pihak yang berwenang dari instansi yang terkait seperti Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 3.5.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini akan menggunakan simulasi-simulasi dalam menentukan pertumbuhan perekonomian di Provinsi Bali akibat adanya fluktuasi pengeluaran wisatawan. Adapun yang dimaksud dengan simulasi adalah permainan angka-angka yang dalam hal ini adalah perubahan nilai variabel eksogen (final demand). Final demand atau sering disebut permintaan akhir terdiri dari Pengeluaran Wisatawan (C), Pengeluaran Pemerintah (G), Investasi Pariwisata (I), Impor (M), dan Perubahan Stok (R) (Miller, 1989). Dalam hal ini perubahan nilai input dapat dirumuskan sebagai berikut : X = (I–A)-1. F atau X = Ma.F Keterangan : X = Vektor dalam kolom input pada tabel input-output pariwisata (I–A)-1 = Matrik kebalikan dalam tabel input-output pariwisata F = Vektor dalam kolom total permintaan akhir Ma = Efek multiplier atau angka pengganda Skenario simulasi : 1. Peningkatan konsumsi wisatawan sebesar Perekonomian Bali sebesar 5%. 2. Penurunan konsumsi wisatawan sebesar Perekonomian Bali sebesar 5%.
15% 10%
akan akan
meningkatkan
output
menurunkan
output
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 103
IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Simulasi I : Asumsi Kenaikan Konsumsi Wisatawan Sebesar 15% Dalam perkembangan ekonomi pariwisata, sangat berkaitan erat dengan konsumsi wisatawan, baik itu wisatawan domestik, wisatawan lokal, wisatawan mancanegara, biaya promosi untuk pengembangan pariwisata baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun pihak swasta, serta biaya investasi di bidang pariwisata. Seluruh komponen tersebut akan digunakan sebagai permintaan akhir dalam memperhitungkan dampak yang diakibatkan oleh konsumsi dalam bidang pariwisata terhadap output sektor-sektor lainnya. Pengeluaran wisatawan akan berdampak terhadap penciptaan nilai produksi barang dan jasa di berbagai sektor perekonomian, khususnya di sektor pariwisata. Perubahan dari permintaan akhir akan berpengaruh terhadap perubahan permintaan output. Semakin besar jumlah permintaan terhadap produk barang dan jasa maka output yang disediakan pun harus semakin banyak. Permintaan akhir dalam penelitian ini terdiri dari konsumsi wisatawan, konsumsi pemerintah, investasi, perubahan stok, dan ekspor (Manacika:2010). Untuk melihat simulasi dampak kenaikan konsumsi wisatawan terhadap output perekonomian Bali dapat dilihat dalam Tabel 4.1, dimana X menunjukkan output awal perekonomian Bali tanpa pengaruh adanya peningkatan konsumsi wisatawan, sedangkan X1 adalah output perekonomian Bali yang telah dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi wisatawan. Dalam hal ini, alokasi konsumsi pemerintah, investasi, perubahan stok, dan ekspor diasumsikan nilainya adalah tetap, hanya alokasi konsumsi wisatawan saja yang meningkat 15%. Untuk dampak kenaikan konsumsi wisatawan dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Berdasarkan data dalam Tabel 4.1, terlihat bahwa sektor hotel yang memiliki pengaruh paling banyak jika terjadi peningkatan konsumsi wisatawan sebanyak 15%. Sektor hotel mengalami peningkatan output sebesar Rp 753.731,14 juta atau sebesar 9,97% dari peningkatan konsumsi wisatawan tersebut. Sektor kedua yang mengalami peningkatan pertumbuhan output adalah sektor restoran. Jika diperhatikan, kontribusi kenaikan konsumsi wisatawan sebanyak 15% akan meningkatkan output sektor restoran sebanyak Rp 697.268,57 juta atau sebesar 8,83%. Namun jika dilihat secara keseluruhan, maka kenaikan konsumsi wisatawan sebanyak 15% akan meningkatkan pertumbuhan output perekonomian Bali sebesar Rp 4.756.579,63 juta atau sebesar 6,07%. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun tidak terjadi investasi atau pengeluaran pemerintah untuk pembangunan perekonomian serta tingkat ekspor dan perubahan stok relatif tetap, peningkatan dalam sektor pariwisata dalam hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan tingkat konsumsi wisatawan sudah cukup mampu dalam meningkatkan output perekonomian di Bali secara keseluruhan. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa pariwisata memiliki peran yang baik untuk mengembangkan perekonomian Bali. Untuk lebih meyakinkan hal tersebut, dapat dilihat simulasi dalam Tabel 4.2, dimana dalam kolom X1 menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah dan investasi meningkat 15% sedangkan faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Kemudian X2 menunjukkan terjadi peningkatan alokasi perubahan stok sebesar 15% dan faktorfaktor lainnya dianggap tetap. Untuk kolom X3 menunjukkan ekspor meningkat sebesar 15% dan faktor-faktor lainnya tetap.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 104
Tabel 4.1 Simulasi Dampak Kenaikan Konsumsi Wisatawan Terhadap Output Perekonomian Bali Dalam Tabel I-O Pariwisata Bali Tahun 2007 (Jutaan Rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Tanaman dan bahan pangan Perkebunan Peternakan dan perikanan Kehutanan Penggalian & pertambangan Industri makanan dan tembakau Barang tekstil Kayu dan hasil hutan Industri kertas Bahan kimia dan karet Industri pengolahan lainnya Listrik dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran, rumah makan, warung Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa pengangkutan Komunikasi, pos, dan giro Jasa keuangan Jasa persewaan Jasa lainnya Hiburan Jumlah
X 5.367.451,58 637.925,13 9.698.971,95 2.602,30 432.024,43 2.882.951,66 4.573.643,65 2.021.364,28 152.075,17 1.307.156,96 723.752,99 1.231.809,13 5.452.439,19 6.925.401,16 7.895.085,99 7.558.374,39 1.835.242,47 387.445,17 3.690.959,94 1.573.354,40 1.435.506,23 2.306.957,02 1.705.080,87 4.848.705,76 3.680.315,00 78.326.596,80
X1 5.611.437,35 676.544,58 10.336.758,95 2.718,47 435.606,68 3.046.138,68 4.974.026,10 2.154.323,27 162.977,28 1.413.867,83 757.218,65 1.279.886,60 5.497.450,65 7.205.196,47 8.592.354,56 8.312.105,53 1.969.375,83 402.155,89 4.033.708,86 1.665.489,89 1.548.623,09 2.421.809,54 1.733.496,64 4.904.146,50 3.945.758,50 83.083.176,43
X1-X 243.985,78 38.619,45 637.787,00 116,17 3.582,25 163.187,02 400.382,45 132.959,00 10.902,11 106.710,88 33.465,66 48.077,48 45.011,46 279.795,30 697.268,57 753.731,14 134.133,36 14.710,73 342.748,92 92.135,49 113.116,86 114.852,52 28.415,77 55.440,74 265.443,50 4.756.579,63
% 4,55 6,05 6,58 4,46 0,83 5,66 8,75 6,58 7,17 8,16 4,62 3,90 0,83 4,04 8,83 9,97 7,31 3,80 9,29 5,86 7,88 4,98 1,67 1,14 7,21 6,07
Sumber : Data Input-Output Pariwisata Bali 2007 (Data Diolah). Berdasarkan Tabel 4.2, terlihat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dan investasi sebesar 15% akan meningkatkan total output perekonomian Bali sebesar 2,77%. Sementara itu, peningkatan alokasi perubahan stok sebesar 15% akan meningkatkan total output perekonomian Bali sebesar 1,33%, sedangkan peningkatan alokasi ekspor sebesar 15% akan meningkatkan pertumbuhan output perekonomian Bali secara keseluruhan sebesar 4,82%. Nilai-nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan output perekonomian Bali akibat adanya peningkatan konsumsi wisatawan yaitu sebesar 6,07%. Dengan adanya perbandingan simulasi tersebut, akan lebih meyakinkan bahwa pertumbuhan output perekonomian Bali sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor pariwisata, dalam hal ini ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi wisatawan. Dengan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Bali akibat kenaikan konsumsi wisatawan, idealnya akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat Bali. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut dapat dilihat dari peningkatan konsumsi maupun pendidikan masyarakat di Bali. Konsumsi tersebut termasuk diantaranya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Contoh nyatanya dapat dilihat dari jumlah kendaraan di Bali yang semakin padat, bahkan di daerah pedesaan. Pendidikan masyarakat pun semakin meningkat. Dilihat dari peningkatan jumlah sarjana dan bahkan pasca sarjana. Ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat meningkat akibat multiplier yang ditimbulkan pariwisata. Dengan demikian, sebaiknya pemerintah lebih mendorong pembangunan industri pariwisata untuk memajukan perekonomian Bali.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 105
Tabel 4.2 Simulasi Dampak Kenaikan Pengeluaran Pemerintah dan Investasi (X1), Kenaikan Perubahan Stok (X2), Kenaikan Ekspor (X3) Terhadap Output Perekonomian Bali Dalam Tabel I-O Pariwisata Bali Tahun 2007 (Persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Tanaman dan bahan pangan Perkebunan Peternakan dan perikanan Kehutanan Penggalian & pertambangan Industri makanan dan tembakau Barang tekstil Kayu dan hasil hutan Industri kertas Bahan kimia dan karet Industri pengolahan lainnya Listrik dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran, rumah makan, warung Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa pengangkutan Komunikasi, pos, dan giro Jasa keuangan Jasa persewaan Jasa lainnya Hiburan
Total
X1 2,93 0,58 2,83 3,90 8,41 2,10 0,22 1,45 0,53 0,75 2,74 0,36 9,73 3,74 0,14 0,23 0,17 0,84 0,44 0,35 0,45 2,28 0,67 12,41 1,16 2,77
X2 3,10 2,52 2,26 2,16 1,22 1,65 0,18 2,72 2,60 1,23 2,06 1,04 1,34 1,79 0,19 0,26 0,17 2,37 0,44 1,74 0,83 3,27 4,12 0,50 0,30 1,33
X3 4,42 5,85 3,34 4,48 4,55 5,58 5,85 4,25 4,71 4,86 5,57 9,70 3,11 5,43 5,83 4,53 7,36 7,99 4,83 7,05 5,84 4,47 8,55 0,95 6,32 4,82
Sumber : Data Input-Output Pariwisata Bali, 2007 4.2.
Simulasi II : Asumsi Penurunan Konsumsi Wisatawan Sebesar 10% Simulasi dampak penurunan wisatawan dalam penelitian ini menunjukkan seberapa besar pengaruh penurunan konsumsi wisatawan terhadap pertumbuhan output perekonomian Bali. Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa penurunan konsumsi wisatawan sebanyak 10% akan menurunkan pertumbuhan output perekonomian Bali secara keseluruhan sebesar 4,05%. Sektor yang terpengaruh paling besar akibat adanya penurunan konsumsi wisatawan adalah sektor hotel yaitu menurun sebanyak Rp 502.487,43 juta atau sebesar 6,65%. Sektor kedua yang pertumbuhannya paling dipengaruhi oleh penurunan konsumsi wisatawan adalah sektor restoran. Sektor ini menurun sebanyak Rp 464.845,71 juta atau sebesar 5,89% akibat adanya penurunan konsumsi wisatawan sebanyak 10%. Sektor hotel dan restoran yang terkena dampak paling besar ini merupakan sektor yang termasuk dalam kelompok sektor pariwisata (Tabel. 4.3). Dalam simulasi ini, mewakili keadaan bilamana terjadi perekonomian krisis. Seperti yang kita ketahui, perkembangan pariwisata tidak selamanya berjalan lancar dan terus meningkat. Ada kalanya saat-saat dimana terjadi penurunan kunjungan wisatawan yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi wisatawan. Dalam simulasi ini
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 106
menunjukkan pertumbuhan output perekonomian Bali akan menurun sebesar 4,05% apabila terjadi penurunan konsumsi wisatawan sebesar 10%. Hal ini pernah terjadi saat adanya travel warning , dimana beberapa negara melarang warganya untuk berwisata ke Bali. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus jeli dalam mencari pemecahan masalahnya. Sebuah alternatif yang dapat dilakukan misalnya dengan meningkatkan ekspor barang kerajinan Bali. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan output perekonomian Bali. Meskipun nilainya kecil namun tidak menunjukkan penurunan output (Tabel 4.4). Tabel 4.3 Simulasi Dampak Penurunan Konsumsi Wisatawan Terhadap Output Perekonomian Bali Dalam Tabel I-O Pariwisata Bali Tahun 2007 (Jutaan Rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Tanaman dan bahan pangan Perkebunan Peternakan dan perikanan Kehutanan Penggalian & pertambangan Industri makanan dan tembakau Barang tekstil Kayu dan hasil hutan Industri kertas Bahan kimia dan karet Industri pengolahan lainnya Listrik dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran, rumah makan, warung Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa pengangkutan Komunikasi, pos, dan giro Jasa keuangan Jasa persewaan Jasa lainnya Hiburan
Jumlah
X 5.367.451,58 637.925,13 9.698.971,95 2.602,30 432.024,43 2.882.951,66 4.573.643,65 2.021.364,28 152.075,17 1.307.156,96 723.752,99 1.231.809,13 5.452.439,19 6.925.401,16 7.895.085,99 7.558.374,39 1.835.242,47 387.445,17 3.690.959,94 1.573.354,40 1.435.506,23 2.306.957,02 1.705.080,87 4.848.705,76 3.680.315,00 78.326.596,80
X1 5.204.794,39 612.178,82 9.273.780,62 2.524,85 429.636,26 2.774.160,32 4.306.722,02 1.932.724,95 144.807,09 1.236.016,37 701.442,55 1.199.757,47 5.422.431,55 6.738.870,96 7.430.240,28 7.055.886,96 1.745.820,23 377.638,01 3.462.460,66 1.511.930,74 1.360.094,99 2.230.388,67 1.686.137,02 4.811.745,26 3.503.352,66 75.155.543,71
X1-X -162.657,18 -25.746,30 -425.191,33 -77,45 -2.388,17 -108.791,34 -266.921,63 -88.639,33 -7.268,07 -71.140,59 -22.310,44 -32.051,65 -30.007,64 -186.530,20 -464.845,71 -502.487,43 -89.422,24 -9.807,15 -228.499,28 -61.423,66 -75.411,24 -76.568,35 -18.943,85 -36.960,49 -176.962,34 -3.171.053,09
Sumber : Data Input-Output Pariwisata Bali 2007, Data Diolah Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa penurunan konsumsi wisatawan sebesar 10%, dapat disiasati dengan meningkatkan ekspor sebesar 15% (kolom X1). Dengan demikian pertumbuhan output perekonomian Bali dapat meningkat sebesar 0,77%. Nilai tersebut tentunya akan lebih baik jika dibandingkan dengan membiarkan terjadinya penurunan konsumsi wisatawan tanpa usaha untuk meningkatkan alokasi pada elemen lainnya. Peningkatan ekspor barang dan jasa dipilih untuk meningkatkan pertumbuhan output perekonomian Bali dalam kondisi krisis, karena elemen ini yang dianggap paling mampu untuk bertahan. Pengeluaran pemerintah dan investasi dalam bidang
% -3,03 -4,04 -4,38 -2,98 -0,55 -3,77 -5,84 -4,39 -4,78 -5,44 -3,08 -2,60 -0,55 -2,69 -5,89 -6,65 -4,87 -2,53 -6,19 -3,90 -5,25 -3,32 -1,11 -0,76 -4,81 -4,05
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 107
pariwisata dianggap kurang tepat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan output karena elemen ini sangat dipengaruhi oleh konsumsi wisatawan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendukung pengusaha industri pariwisata untuk menggalakkan ekspor dalam kondisi perekonomian krisis. Dengan demikian, konsumsi wisatawan bukan satu-satunya sumber pertumbuhan output perekonomian. Namun, masih ada solusi lainnya yang dapat dilakukan dalam menjaga tingkat pertumbuhan output perekonomian Bali. Tabel 4.4 Simulasi Dampak Penurunan Konsumsi Wisatawan dan Peningkatan Ekspor Terhadap Output Perekonomian Bali Dalam Tabel I-O Pariwisata Bali Tahun 2007 (Persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Tanaman dan bahan pangan Perkebunan Peternakan dan perikanan Kehutanan Penggalian & pertambangan Industri makanan dan tembakau Barang tekstil Kayu dan hasil hutan Industri kertas Bahan kimia dan karet Industri pengolahan lainnya Listrik dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran, rumah makan, warung Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa pengangkutan Komunikasi, pos, dan giro Jasa keuangan Jasa persewaan Jasa lainnya Hiburan
Jumlah
X1 1,39 1,82 -1,05 1,51 3,99 1,81 0,01 -0,13 -0,07 -0,58 2,49 7,10 2,56 2,74 -0,06 -2,12 2,48 5,46 -1,36 3,15 0,59 1,15 7,43 0,19 1,52 0,77
Sumber : Data Input-Output Pariwisata Bali 2007, Data Diolah V. 5.1.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan simulasi kenaikan dan penurunan konsumsi wisatawan, terlihat bahwa dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan konsumsi wisatawan sebanyak 15% akan mampu meningkatkan pertumbuhan output perekonomian Bali sebesar 6,07%. Sementara itu, dampak yang ditimbulkan akibat penurunan konsumsi wisatawan sebanyak 10% akan menurunkan pertumbuhan output pariwisata Bali secara keseluruhan sebesar 4,05%.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 108
5.2.
Saran Untuk meningkatkan pengeluaran wisatawan perlu dilakukan beberapa langkah diantaranya promosi dengan menyasar pasar potensial berdasarkan segmentasi pasar terutama quality tourist. Kemudian dapat juga dilakukan dengan meningkatkan length of stay maupun repeater guest dengan cara meningkatkan kualitas produk pariwisata di Provinsi Bali. KEPUSTAKAAN Akil, Sjarifuddin. t.t. “Implementasi Kebijakan Sektoral dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dari Perspektif Penataan Ruang”. www.penataanruang.net/taru/Makalah/DirjenPR-pariwisata.pdf. Manacika, I Ketut. 2010. ”Dampak Pariwisata Terhadap Permintaan Output Sektor Pertanian di Provinsi Bali” (tesis). Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Suradnya, I Made. t.t. ”Analisis Faktor-faktor Daya Tarik Wisata Bali dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali”. http://ejournal.unud.ac.id/analisis-faktor-faktor-daya-tarik-wisata-bali-daninplikasinya-terhadap-perencanaan-pariwisata-daerah-bali.html. Denpasar. Todaro. 2000. Perkembangan Ekonomi, Edisi Kelima. Jakarta: Bumi Aksara. Yoeti, Oka. A. 2008. Ekonomi Pariwisata. Jakarta: Kompas. Miller, RE., Polenske, KR., Rose, AZ. 1989. Frontiers of Output-Input Analysis. Oxford : University Press.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 109
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TARI SANG HYANG PERAHU DIJADIKAN DAYA TARIK WISATA DI DESA LEMBONGAN, NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG Agus Muriawan Putra
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Regency of Klungkung also many local cultural heritage save which is have potency to made by interesting destinations, if managed and developed better. One of them is dance of Tari Sang Hyang Perahu had by society of Lembongan Village, Klungkung Regency. In this research will dig by perception of society to dance of Tari Sang Hyang Perahu made by interesting destinations in Lembongan Village, Klungkung Regency, so that culture had can preserve and developed and also can give benefit to cultural supporter society of itself. Method intake of sample and determination of informan which is used in this research is: (1) Purposive Sampling; (2) Quota Sampling. Technique analyse data which is utilized in this research is descriptive analysis technique qualitative. To analyse data which have been gathered to be to be made by category perception of society of Lembongan Village to dance of Tari Sang Hyang Perahu made by interesting destinations by using method measurement of attitude (scale of Likert) passing spreading of quesioner to society. In each raised question there are 5 (five) answer alternative choice owning different wight. Tari Sang Hyang Perahu referred as also Tari Sang Hyang Grodog. Tari Sang Hyang Perahu by generations very sacred by society of Lembongan Village. This matter is not quit of concept Tari Sang Hyang Perahu as repellent of army, disease epidemic and good of epidemic for the human being of epidemic and also for livestock. But, strarting year 1970 society of Lembongan Village little by little starts to forget Tari Sang Hyang Perahu. This Matter is caused by society of Lembongan Village have started to recognize the existence of sea grass conducting. Where grass conducting go out to sea this not many needing rain, so that they feel that have found the source of new production which more promising from farming and staging of Tari Sang Hyang Perahu also start to be forgotten. And in the end year 1984 Dance of Tari Sang Hyang Perahu sink is at all as swallowed by earth. The society of Lembongan Village alone there is desire to awaken again Tari Sang Hyang Perahu because representing cultural heritage of very society of rareness and sacred, only single in Lembongan Village alone. This matter, can be seen from perception of society as a whole about Tari Sang Hyang Perahu made by interesting destinations with mean 4,3 which is categorized by attitude scale very agree. Keywords: cultural heritage, forgotten culture, perception.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 110
I. 1.1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Industri pariwisata, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang akhirakhir ini tumbuh dengan pesatnya. Hampir setiap negara sedang berkembang seolaholah berlomba membangun kawasan wisata untuk menarik sebanyak mungkin wisatawan asing (wisman) berkunjung selama mungkin dan membelanjakan uang mereka sebanyak-banyaknya. Harapan negara-negara yang sedang berkembang itu bukan tanpa alasan. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri, semakin banyak pekerja yang dapat menyisihkan penghasilan mereka untuk berlibur dan melakukan perjalanan untuk menghilangkan ketegangan kerja sehari-hari. Demikian pula, meningkatnya kesejahteraan penduduk di negara maju berarti semakin panjang sisa hidup sesudah pensiun yang dapat mereka nikmati untuk melakukan perjalanan jauh mencari pengalaman dan kesenangan. Peluang tersebut telah merangsang banyak negara yang sedang berkembang untuk membangun industri pariwisata dalam upaya menjaring devisa yang mereka perlukan untuk membiayai pembangunan negeri masingmasing. Sesungguhnya industri pariwisata dewasa ini berkembang pesat berkat kemajuan industri pada umumnya. Dengan demikian, industri pariwisata itu seolaholah merupakan produk sampingan yang didukung dan mendukung perkembangan dunia industri. Semakin pesat perkembangan industri umum, semakin banyak orang yang mampu menyisihkan penghasilan dan semakin panjang waktu berlibur dengan jumlah uang belanja yang semakin besar. Di lain pihak, kegiatan pariwisata yang memerlukan sarana transportasi, akomodasi, katering maupun hiburan itu telah merangsang perkembangan berbagai industri yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan perjalanan untuk mencari kesenangan. Sementara itu, peluang untuk mengembangkan industri pariwisata itupun tidak tebatas pada negara maju yang memiliki keunggulan modal, organisasi, dan tenaga kerja terampil (money, management, and manpower), mengingat para wisatawan itu tidak terikat di negerinya masing-masing dalam mencari kesenangan. Industri pariwisata menjadi salah satu andalan usaha yang amat populer dan luas persebarannya di dunia ketiga. Dalam kenyataan, industri pariwisata memang tidak sulit untuk dikembangkan di negara yang sedang berkembang. Selain para pembelinya yang berdatangan untuk membelanjakan uang mereka, industri pariwisata juga tidak terikat oleh pembatasan kuota dan lain-lain persyaratan yang menghambat pengembangan dan pemasarannya. Walaupun pembangunan sarana dan prasarana fisik kepariwisataan amat mahal biayanya, para pemilik modal dan pengusaha dengan senang menawarkan jasa mereka untuk ikut membangun industri pariwisata. Akhirnya, pariwisata merupakan unsur terbesar dalam perkembangan industri dunia dewasa ini. Setiap tahun, lebih dari 270 juta wisatawan melakukan perjalanan ke luar negeri dan membelanjakan lebih dari 92 milliar dollar Amerika Serikat. Sejak tahun 1980, industri pariwisata berkembang dengan pesat sebagaimana tercermin pada pertambahan jumlah wisatawan yang mencapai 6% setiap tahunnya. Tidak diragukan lagi bahwa industri pariwisata sangat besar sumbangannya bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Industri pariwisata secara besar-besaran sangat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang terlibat. Sebaliknya, pesatnya pertumbuhan industri pariwisata tidak lepas dari perkembangan ekonomi dunia. Semakin sehat perekonomian dunia semakin banyak orang yang dapat menyisihkan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 111
penghasilan mereka untuk keperluan berlibur dan mencari kesenangan dengan melakukan perjalanan jauh. Kehadiran para wisatawan itu membuka peluang usaha dan bekerja di bidang pelayanan transportasi, akomodasi, dan katering, di samping industri hiburan yang sehat. Karena itu, industri pariwisata dapat menjadi sarana untuk meningkatkan penghasilan penduduk, membuka lebih banyak peluang kerja dan sarana pembinaan keseimbangan anggaran belanja negara yang bersangkutan. Demikian besarnya harapan yang “dijanjikan” industri pariwisata, sehingga seringkali orang melupakan persyaratan dan dampaknya. Pada umumnya, orang terpikat oleh kemudahan usaha menjaring keuntungan materi dan lupa akan dampaknya bagi lingkungan hidup dan kehidupan sosial budaya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan secara langsung maupun tak langsung. Apabila dicermati, di samping keuntungan materi yang dapat diraih, pesatnya perkembangan industri pariwisata seringkali menimbulkan berbagai tantangan baru yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Secara kategorial, tantangan baru meliputi sektor ekonomi, lingkungan hidup, dan lingkungan sosial. Tantangan di sektor ekonomi terikat dengan apakah sektor industri pariwisata itu mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Sampai berapa jauh penduduk setempat dapat ikut berperan serta secara aktif dan menikmati keuntungan dalam pembangunan industri pariwisata mengingat kesiapan perorangan maupun kelembagaannya (social adaptation). Tantangan di bidang lingkungan hidup menyangkut besarnya modal yang harus ditanam, sehingga mendorong pengusaha untuk mengejar keuntungan materi sebesar-besarnya. Adakah keuntungan materi itu seimbang dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Sedangkan tantangan sosial budaya menyangkut kesiapan penduduk untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dan berperan serta dalam kegiatan sebagai subjek dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi Propinsi Bali, sektor pariwisata telah lama menjad primadona penghasil devisa andalan. Sumbangan sektor pariwisata tehadap pendapatan daerah Bali dari tahun ke tahun terus meningkat mengungguli sektor-sektor lainnya. Dalam rangka pengembangan sektor kepariwisataan di Bali, Pemerintah Daerah Bali melalui Perda Nomor 3 Tahun 1974, menetapkan bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya adalah adalah salah satu jenis pariwisata yang dalam pengembangannya ditunjang oleh faktor kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu. Konsep ini dilandasi oleh proposisi bahwa kebudayaan berfungsi terhadap pariwisata menurut pola hubungan yang bersifat linier dan satu arah. Sejalan dengan gencarnya wacana mengenai konsep pembangunan berwawasan budaya dan lingkungan, dilakukan penyempurnaan terhadap Perda Nomor 3 tahun 1974 menjadi Perda Nomor 3 tahun 1991, yang menetapkan pariwisata budaya sebagai jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan, sehingga keduanya berkembang secara serasi, selaras, dan seimbang. Konsep ini dilandasi oleh proposisi bahwa kebudayaan dan pariwisata harus berada dalam pola hubungan interaktif yang bersifat dinamik dan progresif (Geriya, 1996). Konsep pembangunan pariwisata berwawasan budaya dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata sebagai fenomena modern mengandung sejumlah konsekuensi terhadap kebudayaan masyarakat lokal atau tuan rumah. Perkembangan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 112
pariwisata pada tingkat tertentu, di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga kerap menimbulkan ancaman bagi keberadaan budaya tuan rumah. Menyadari hal tersebut, maka konsep pengembangan pariwisata budaya hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi kebudayaan sebagai komoditas pariwisata semata, tetapi juga sebagai upaya pelestarian dan pemberdayaan kebudayaan lokal. Kebudayaan ini tumbuh dan berakar pada berbagai lembaga tradisonal yang bersifat sosial religius seperti desa adat dengan banjarnya. Lembaga tradisional ini merupakan pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali. Ini berarti maju mundurnya kebudayaan Bali sangat tergantung kepada dinamika lembaga ini. Oleh karena kebudayaan Bali tergantung pada lembaga tradisional, sedangkan pariwisata tergantung pada kebudayaan, maka hal ini langsung berarti bahwa pariwisata tergantung pada eksistensi lembaga tradisional tersebut. Kalau konsep pariwisata budaya dilaksanakan secara konsisten, maka lembaga tradisional seperti desa adat harus berperan secara aktif, termasuk aktif di dalam menikmati manfaat ekonomi pembangunan kepariwisataan. Bukti-bukti empiris sebagaimana terlihat dari hasil penelitian di berbagai desa adat menunjukkan bahwa sesungguhnya desa adat mempunyai potensi yang memadai untuk mengelola objek wisata yang ada di daerahnya. Kabupaten Klungkung salah satu dari sembilan kabupaten/kota di Bali memiliki potensi wisata yang sangat besar. Hal ini, perlu penanganan yang serius dan profesional. Di samping potensi alam yang dimiliki yang bisa dijadikan daya tarik wisata, Kabupaten Klungkung juga banyak menyimpan warisan budaya-budaya lokal yang berpotensi dijadikan daya tarik wisata, apabila dikelola dan dikembangkan dengan baik. Salah satunya adalah Tari Sang Hyang Perahu yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lembongan, Kabupaten Klungkung. Dalam penelitian ini akan digali persepsi masyarakat terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata di Desa Lembongan, Kabupaten Klungkung, sehingga budaya yang dimiliki bisa dilestarikan dan dikembangkan serta dapat memberikan manfaat kepada masyarakat pendukung budaya itu sendiri. Dengan mengacu pada permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata di Desa Lembongan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung”. II. 2.1.
KAJIAN PUSTAKA Tinjauan Tentang Persepsi Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”, menyebutkan bahwa: “persepsi merupakan proses fisik dan psikologis yang menyebabkan berbagai macam getaran dan tekanan yang diolah menjadi suatu susunan yang dipancarkan atau diproyeksi oleh individu menjadi suatu penggambaran tentang lingkungan dengan fokus yang paling menarik perhatian seorang individu. Seringkai juga diolah dalam suatu proses dengan akal yang diterimanya dan diproyeksikan oleh akal dan ditimbulkan kembali, sehingga kenangan atau penggambaran baru yang disebut apresiasi” (Koentjaraningrat, 1980:105). Sedangkan menurut Prof. Dr. Bimo Walgito dalam bukunya “Pengantar Psikologi Umum”, memberikan batasan persepsi adalah sebagai berikut: “persepsi merupakan suatu proses yang diawali oleh penginderaan, yaitu proses berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya, namun proses tersebut tidak berhenti
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 113
sampai di situ saja, namun selanjutnya terjadi proses psikologis, sehingga individu dapat menyadari apa yang dilihat, didengar, dan sebagainya” (Walgito, 1990: 53). Jadi, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu aktivitas individu untuk mengenal suatu objek melaui alat inderanya yang kemudian diteruskan ke otak, sehingga individu dapat memberikan tanggapan terhadap objek tersebut dengan sadar. 2.2.
Tinjauan Tentang Ritual Ritual adalah suatu bentuk upacara atau kepercayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Menurut Fox (1984) ritual adalah upacara korban pemulihan dan pemeliharaan keharmonisan hubungan dengan Tuhan, Leluhur, dan dengan Alam. Di dalamnya termasuk runtutan pemujaan dalam upacara untuk berkomunikasi dengan alam semesta, dengan Tuhan dalam konteks budaya suatu masyarakat keagamaan. Ritual juga merupakan pola prilaku penuh hiasan dan dilakukan berulang-ulang (pola manusia, kebanyakan prilaku kolektif yang dipolakan oleh budaya). Sering pula diartikan sebagai upacara keagamaan, yaitu prilaku penuh hiasan yang dipandang keramat (Koesing, 1991). Ritual dalam makna yang terbatas dan orisinil adalah sistem aktivitas konvensional (berdasarkan kesepakatan umum, seperti adat/kebiasaan) yang diteruskan turun-temurun secara tradisional. Ritual ini diyakini dapat mempertinggi survival suatu masyarakat atau kelompok yang tergantung pada lingkungan alam yang tidak pasti, masyarakat atau kelompok yang tidak melihat adanya pilihan lain, walaupun ada pilihan itu dihambat karena dianggap merupakan eksperimen klinis bagi seluruh anggota masyarakat atau kelompok tersebut (Takashi, 1997). 2.3.
Tinjauan Tentang Objek dan Daya Tarik Wisata Objek wisata adalah tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata untuk dikembangkan dan memiliki daya tarik, sehingga wisatawan mau berkunjung ke tempat tersebut. Menurut UU RI No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan Pasal 1 Ayat 6 menyatakan bahwa “objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang sasarannya adalah wisata”. Objek wisata diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik, sehingga orang mau berkunjung. Adapun hal-hal tersebut adalah : 1. Benda yang terdapat di alam semesta (nature amenities) berupa iklim, bentuk dan pemandangan alam, hutan belukar, flora dan fauna, pusat-pusat kesehatan, seperti sumber air panas dan sumber mineral. 2. Hasil cipta manusia. 3. Merupakan hasil peninggalan sejarah, kebudayaan, dan keagamaan. 4. Tata cara hidup bermasyarakat. 5. Adat-istiadat serta cara hidup masyarakat yang menarik untuk disaksikan yang merupakan salah satu sumber yang amat penting untuk ditawarkan kepada wisatawan (Yoeti, 1993).
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 114
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah tujuan wisata, yaitu: 1. Something to see Daerah atau tempat tersebut harus ada objek dan daya tarik wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain atau daya tarik khusus untuk dapat dilihat oleh wisatawan. 2. Something to do Bahwa di daerah tujuan wisata, wisatawan dapat melakukan sesuatu atau aktivitas, sehingga disediakan fasilitas rekreasi yang memadai. 3. Something to buy Objek dan daya tarik tersebut haruslah tersedia fasilitas belanja barang atau souvenir dan kerajinan rakyat, selain itu juga harus tersedia sarana-sarana pendukung, seperti rumah makan, penginapan, dan lain sebagainya. 2.4.
Tinjauan Tentang Masyarakat Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama manusia yang mempunyai ciriciri pokok, yaitu: (1) manusia hidup bersama, (2) bercampur atau bersama-sama untuk jangka waktu yang cukup lama, (3) menyadari bahwa mereka merupakan suatu kesatuan, (4) mematuhi norma-norma peraturan yang menjadi kesepakatan bersama, (5) menyadari bahwa mereka bersama-sama diikat oleh perasaan diantara para anggota satu dengan yang lainnya, (6) menghasilkan kebudayaan tertentu (Abdulsyani, 2002: 32). Menurut Koentjaraningrat (1996:131), masyarakat didefinisikan sebagai berikut: “merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adatistiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Melihat definisi tersebut di atas, maka tidak semua kesatuan manusia yang saling berinteraksi merupakan masyarakat. Oleh karena masyarakat harus memiliki ikatan/persyaratan khusus seperti tersebut di atas, maka makin besar dan kompleks masyarakat, makin banyak jumlah kelompok dan perkumpulan yang ada di dalamnya. Koentjaraningrat juga mengistilahkan masyarakat sebagai komunitas. Sifat dari komunitas adalah adanya wilayah, cinta (keterikatan) terhadap wilayah, serta keterikatan itu merupakan dasar dari perasaan patriotisme, nasionalisme, dan lainlain. 2.5.
Tinjauan Tentang Kebudayaan Kebudayaan memiliki pengertian keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180). Kebudayaan memiliki tiga wujud sebagai suatu sistem dari ide-ide dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Wujud kebudayaan tersebut terdiri dari: (1) wujud ideal yang memiliki sifat abstrak, tak dapat diraba atau difoto, (2) sistem sosial/prilaku merupakan sistem yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, serta berhubungan satu dengan yang lainnya, selalu menuntut polapola tertentu yang berdasarkan adat, tata kelakuan, sistem sosial bersifat konkret, dan (3) kebudayaan fisik yang sifatnya konkret dan berbentuk/hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto (Koentjaraningrat, 1991: 187-189). Salah satu dari wujud kebudayaan dalam wujud sistem sosial adalah warisan budaya (culture heritage) masa lalu akan tetap menjadi sumber inspirasi dari kesenian yang menjadi daya tarik bagi wisatawan (Naisbitt, 1995). Dengan kata lain, bahwa di
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 115
tengah-tengah arus globalisasi yang cenderung menimbulkan homogenitas kebudayaan masih diperlukan adanya keunikan dan autentitas kebudayaan lokal atau nasional yang dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan (Ardika, 1998). III. 3.1.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lembongan, Kabupaten Klungkung. Adapun alasan memilih Desa Lembongan sebagai lokasi penelitian karena sesuai dengan judul yang diangkat dalam penelitian ini bahwa di Desa Lembongan ada salah satu tarian sakral, yaitu Tari Sang Hyang Perahu yang sangat unik, sehingga perlu dilestarikan, dikelola, dan dikembangkan sebagai daya tarik budaya. Untuk itu, perlu diketahui persepsi masyarakat tentang permasalahan tersebut. 3.2.
Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel dan penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Purposive Sampling Yaitu cara pengambilan sampel yang didasarkan atas tujuan tertentu, yaitu tujuan untuk mengetahui sejarah Tari Sang Hyang Perahu, fungsi Tari Sang Hyang Perahu, tata cara mementaskan Tari Sang Hyang Perahu, syarat-syarat penari Tari Sang Hyang Perahu. Informan yang diambil adalah tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, rohaniwan, dan penari Tari Sang Hyang Perahu. 2. Quota Sampling Untuk mengambil sampel masyarakat digunakan metode quota, yaitu berdasarkan jatah yang telah ditentukan. Jumlah sampel yang ditetapkan untuk mengetahui persepsi masyarakat sebanyak 35 responden. Jumlah ini dianggap mewakili populasi yang ada di Desa Lembongan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. 3.3.
Metode Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara sebagai berikut : 1. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti. 2. Wawancara mendalam (guide interview), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara mendalam kepada informan dengan struktur informal, interview informal dapat dilakukan dalam konteks yang dianggap tepat, untuk memperoleh data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkalikali sesuai dengan keperluan peneliti tentang kejelasan yang dijelajahi (Sutopo, 1998). 3. Kuesioner, yaitu pengumpulan data dengan cara memberikan sejumlah daftar pertanyaan tertulis kepada responden, dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Lembongan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung untuk mengetahui persepsi mereka terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata. 4. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mengambil dari buku, literatur, dan brosur yang relevan dengan penelitian, serta hasil penelitian terdahulu yang masih ada hubungannya.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 116
5. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengambil foto di objek wisata dan mengambil foto tentang kegiatan/aktivitas yang dilakukan. 3.4.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memaparkan dan menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang dikumpulkan selama melakukan penelitian. Dari data yang telah ada akan disajikan pula dalam bentuk tabel (kuantitatif) untuk mempermudah dalam memahami dan kemudian akan dikualitatifkan lagi untuk memperoleh kesimpulan yang jelas (Suharsimi Arikunto, 1993: 209). Untuk menganalisis data yang sudah terkumpul dibuat kategori persepsi masyarakat Desa Lembongan terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata dengan menggunakan metode pengukuran sikap (skala Likert) melalui penyebaran kuesioner kepada masyarakat. Pada setiap pertanyaan yang diajukan terdapat 5 (lima) pilihan alternatif jawaban yang memiliki bobot yang berbeda. Metode pemberian skornya sebagai berikut : 1. Skor angka lima (5) diberikan, apabila responden memberikan tanggapan atau penilaian yang sangat diharapkan. 2. Skor angka empat (4) diberikan, apabila responden memberikan tanggapan atau penilaian yang diharapkan. 3. Skor angka tiga (3) diberikan, apabila responden memberikan tanggapan atau penilaian yang cukup diharapkan. 4. Skor angka dua (2) diberikan, apabila responden memberikan tanggapan atau penilaian yang tidak diharapkan. 5. Skor angka satu (1) diberikan, apabila responden memberikan tanggapan atau penilaian yang sangat tidak diharapkan. Selanjutnya skor dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan dijumlahkan sesuai dengan dimensi variabel, sehingga bisa diketahui tanggapan masyarakat Desa Lembongan terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata, baik menurut dimensi variabel maupun secara keseluruhan. Sesuai kategori nilai yang diberikan, yaitu 1 (satu) untuk nilai terendah, dan 5 (lima) untuk nilai tertinggi. Berdasarkan interval tersebut, maka dapat disusun kategori sikap masyarakat Desa Lembongan, seperti Tabel 3.1. Tabel 3.1. Skala Sikap Masyarakat Desa Lembongan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Sikap Sangat Setuju Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Skala Sikap Masyarakat Lembongan Skor 5 4 3 2 1
Sumber: Hasil Modifikasi Skala Likert (Y. Slamet, 1993: 19).
Kategori > 4,2 - < 5,00 > 3,4 - < 4,20 > 2,6 - < 3,40 > 1,8 - < 2,60 > 1,0 - < 1,80
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 117
IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Tari Sang Hyang Perahu Tari Sang Hyang Perahu disebut juga Tari Sang Hyang Grodog. Tari Sang Hyang Perahu secara turun-temurun sangat disakralkan oleh masyarakat Desa Lembongan. Hal ini, tidak terlepas dari konsep Tari Sang Hyang Perahu sebagai penolak bala (kegeringan), wabah penyakit, baik wabah untuk manusia maupun wabah untuk ternak. Kalau masyarakat Desa Lembongan pada saatnya Tari Sang Hyang Perahu dipentaskan tetapi tidak dipentaskan, maka muncullah berbagai bencana di Desa Lembongan, seperti munculnya berbagai wabah penyakit, terjadi kekeringan, dan sebaginya, sehingga masyarakat sangat mempercayai kesakralan Tari Sang Hyang Perahu. Mulai tahun 1970 masyarakat Desa Lembongan sedikit demi sedikit mulai melupakan Tari Sang Hyang Perahu. Hal ini, disebabkan karena masyarakat Desa Lembongan sudah mulai mengenal adanya budidaya rumput laut. Di mana budidaya rumput laut ini tidak banyak memerlukan hujan, sehingga mereka merasa bahwa sudah menemukan sumber penghasilan baru yang lebih menjanjikan dari bertani dan pementasan Tari Sang Hyang Perahu juga mulai dilupakan. Di samping itu, lafal-lafal lagu dalam Tari Sang Hyang Perahu tidak serta merta diturunkan pada generasi berikutnya, sehingga sedikit demi sedikit jarang yang dapat menghafalkan lafal-lafal tersebut, padahal bangkitnya “sensasi” dalam Tari Sang Hyang Perahu terletak pada lafal-lafal tersebut, hal ini juga menyebabkan Tari Sang Hyang Perahu mulai jarang dipentaskan. Mulai tahun 1984 Tari Sang Hyang Perahu sama sekali tidak pernah dipentaskan dan pada saat inilah Tari Sang Hyang Perahu/Tari Sang Hyang Grodog mulai tenggelam bagaikan ditelan bumi. Pementasan Tari Sang Hyang Perahu ini dilaksanakan pada Sasih Karo Penanggal Ping Pitu selama 8 (delapan) hari berturut-turut sampai Bulan Purnama. Sebelum Tari Sang Hyang Perahu dipentaskan ada prosesi yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu prosesi “pecaruan” yang dilakukan di Catus Pata (perempatan agung desa). Yang “ngemong” Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan hanya 4 (empat) banjar, yaitu Banjar Kaja, Banjar Kawan, Banjar Kelod, dan Banjar Kangin. Untuk Banjar Kangin, khusus menangani masalah upakaranya. Inti dari Tari Sang Hyang Perahu/Tari Sang Hyang Grodog adalah ornamen perahu/grodog yang terdiri dari dua jenis, yaitu perahu yang besar dan perahu yang kecil. Perahu yang besar berfungsi untuk menampung segala kelengkapan dalam Tari Sang Hyang Perahu, seperti sampat, Lingga Dewa-Dewi/Widyadara-Widyadari, joged (disimbulkan dengan sepasang ogoh-ogoh), jaran (kuda-kudaan), bubu, kebo (kerbaukerbauan), barong, kelor, dan sebagainya. Setelah perlengkapan tersebut siap, maka baru dinyanyikan lafal-lafal lagunya, sehingga penonton yang terpengaruh oleh lafallafal lagu tersebut akan berusaha mengangkat perahu yang berisi perlengkapan tersebut. Dalam hal ini penonton tadi tidak kesurupan tetapi ada makna pelampiasan emosi/stress yang dikeluarkan melalui media perahu tersebut, sehingga dengan kekuatan tersebut perahu akan dapat diangkat lalu dibanting ke tanah. Penonton/penari tadi akan merasa nyaman setelah dapat melakukan atraksi tersebut. Di dalam Tari Sang Hyang Perahu/Tari Sang Hyang Grodog ini ada konsep Tri Hita Karana atau keharmonisan jagat. Di mana, di dalan tarian tersebut ada hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 118
Esa, hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. 4.2.
Persepsi Masyarakat Terhadap Tari Sang Hyang Perahu Untuk membangkitkan kembali Tari Sang Hyang Perahu yang merupakan warisan budaya masyarakat Lembongan yang adiluhung diperlukan peranan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif serta persepsi masyarakat terhadap Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata di Desa Lembongan. Untuk mengetahui persepsi tersebut digunakan pengukuran skala sikap dan setiap skala sikap mempunyai skor yang berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.1. skala sikap masyarakat. Untuk mengetahui persepsi masyarakat, diajukan 5 buah pertanyaan dengan skor yang terendah adalah 1 X 5 = 5, dan skor tertinggi adalah 5 X 5 = 25. Sedangkan jumlah responden masyarakat yang dijadikan sampel adalah 35 orang. 1. Persepsi Masyarakat Apabila Tari Sang Hyang Perahu Di Desa Lembongan Dijadikan Daya Tarik Wisata Persepsi masyarakat apabila Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata, terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata sebanyak 16 orang atau 45,71% dan yang menyatakan setuju sebanyak 12 orang atau 34,29%. Sedangkan 7 orang atau 20% menyatakan keraguannya. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 149 dan nilai skor rata-rata adalah 4,3 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata. 2. Persepsi Masyarakat Apabila Suasana Sakral Dalam Proses Pelaksanaan Tari Sang Hyang Perahu Di Desa Lembongan Dijadikan Daya Tarik Wisata Persepsi masyarakat apabila suasana sakral dalam proses pelaksanaan Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila suasana sakral dalam proses pelaksanaan Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata sebanyak 10 orang atau 28,57% dan yang menyatakan setuju sebanyak 22 orang atau 62,86%. Sedangkan, 3 orang atau 8,57% menyatakan keraguannya. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 147 dan nilai skor rata-rata adalah 4,2 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila suasana sakral dalam proses pelaksanaan Tari Sang Hyang Perahu dijadikan daya tarik wisata. 3. Persepsi Masyarakat Apabila Potensi Seni, Seperti Seni Tabuh, Seni Suara, Seni Tari Dalam Tari Sang Hyang Perahu Di Desa Lembongan Dijadikan Daya Tarik Wisata Persepsi masyarakat apabila potensi seni, seperti seni tabuh, seni suara, seni tari dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata, terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila potensi seni, seperti seni tabuh, seni suara, seni tari dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata.sebanyak 17 orang atau 48,57% dan yang menyatakan setuju sebanyak 17 orang atau 48,57%. Sedangkan 1 orang atau 2,86%
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 119
menyatakan keraguannya. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 156 dan nilai skor rata-rata adalah 4,5 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila potensi seni, seperti seni tabuh, seni suara, seni tari dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata. 4 Persepsi Masyarakat Apabila Integrasi Sosial Dalam Tari Sang Hyang Perahu Di Desa Lembongan Dijadikan Daya Tarik Wisata Persepsi masyarakat apabila integrasi sosial dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata, terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila integrasi sosial dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata sebanyak 12 orang atau 34,29% dan yang menyatakan setuju sebanyak 20 orang atau 57,14%. Sedangkan, 3 orang atau 8,57% menyatakan keraguannya. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 149 dan nilai skor rata-rata adalah 4,3 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila integrasi sosial dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata. 5. Persepsi Masyarakat Apabila Potensi-Potensi Dalam Tari Sang Hyang Perahu Di Desa Lembongan Dijadikan Daya Tarik Wisata Persepsi masyarakat apabila potensi-potensi dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata, terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila potensi-potensi dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata sebanyak 13 orang atau 37,14% dan yang menyatakan setuju sebanyak 21 orang atau 60%. Sedangkan, 1 orang atau 2,86% menyatakan keraguannya. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 152 dan nilai skor rata-rata adalah 4,3 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila potensi-potensi dalam Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan dijadikan daya tarik wisata. Dari nilai skor rata-rata persepsi masyarakat tersebut dan dijumlahkan kemudian dirata-ratakan kembali, sehingga didapat nilai skor rata-rata secara keseluruhan adalah 4,3 yang dikategorikan dalam sikap sangat setuju. Hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat Lembongan menginginkan agar bangkitnya kembali Tari Sang Hyang Perahu yang merupakan warisan budaya turun-temurun masyarakat yang saat ini masih tenggelam. Apalagi ada perubahan paradigma di jaman globalisasi ini bahwa kecenderungan masyarakat menginginkan kembali hal-hal yang bersifat budaya masa lampau karena ada pemahaman kembali tentang “kawitan”. 4.3.
Upaya-Upaya Untuk Membangkitkan Kembali Tari Sang Hyang Perahu Mulai tahun 2004 Tari Sang Hyang Perahu merupakan agenda khusus yang dibicarakan pada paruman-paruman Desa Lembongan. Karena ada keinginan dari masyarakat untuk membangkitkan kembali Tari Sang Hyang Perahu yang merupakan Budaya Lembongan yang tidak dapat ditemukan di daerah lain. Upaya-upaya yang dilakukan, antara lain : 1. Tari Sang Hyang Perahu dimasukkan ke dalam “awig-awig desa”, di mana tari tersebut dikategorikan tari sakral dan menjadi “aci desa”, sehingga semua masyarakat Lembongan wajib untuk menghormati dan “nyungsung”.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 120
2. Gending-gending dalam Tari Sang Hyang Perahu mulai disosialisasikan dan dibentuk beberapa kelompok seni yang merupakan paguyuban budaya, sehingga lebih mudah untuk menyebarluaskannya. 3. Karena Tari Sang Hyang Perahu merupakan aci desa dan tarian sakral, maka masyarakat Lembongan wajib “ngayah” untuk Tari Sang Hyang Perahu. 4. Sebelumnya yang menyanyikan gending-gending dalam Tari Sang Hyang Perahu adalah ibu-ibu yang sudah tua tetapi sebagai langkah regenerasi, maka untuk membangkitkannya remaja-remaja putri sejak dini sudah disosialisasikan tentang gending-gending dalam Tari Sang Hyang Perahu. 5. Di dalam usaha membangkitkan kembali Tari Sang Hyang Perahu secara langsung difasilitasi oleh Desa Adat Lembongan. V. 5.1. 1.
2. 3. 4.
5.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari pemaparan tersebut, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: Pengaruh globalisasi terhadap budaya sangatlah dahsyat karena dapat menenggelamkan budaya masyarakat yang sangat disakralkan, sebagai contoh Tari Sang Hyang Perahu di Desa Lembongan yang mulai tenggelam sejak tahun 1984, sehingga hal ini menjadi pemikiran kita bersama untuk tetap melestarikan budaya yang kita miliki. Masyarakat Lembongan secara perlahan mulai menginginkan agar Tari Sang Hyang Perahu dibangkitkan kembali, sehingga mulai tahun 2004 diadakan beberapa usaha untuk membangkitkannya. Keinginan tersebut tercermin dari persepsi masyarakat Lembongan yang secara keseluruhan diperoleh skor rata-rata 4,3, di mana angka rata-rata tersebut merupakan kategori skala sikap sangat setuju. Upaya yang sangat signifikan dari masyarakat Lembongan untuk membangkitkan kembali Tari Sang Hyang Perahu dari tidur panjangnya (hibernasi) adalah dimasukkannya Tari Sang Hyang Perahu ke dalam “awig-awig desa” sebagai “aci desa”. Sekecil apapun budaya yang dimiliki masyarakat Bali merupakan kebanggaan kita bersama sebagai masyarakat Bali khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.
5.2.
Saran Saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat Desa Lembongan hendaknya mulai sadar bahwa Bali merupakan daerah yang mempunyai nilai magis dan nilai religius sangat tinggi, untuk itu Tari Sang Hyang Perahu yang merupakan tarian sakral dan aset Lembongan mari kita bangkitkan dan pelihara sebagaimanamestinya. 2. Kepada pemuka-pemuka masyarakat Lembongan, baik adat maupun dinas sudah saatnya secara bersama untuk serius membangkitkan kembali Tari Sang Hyang Perahu yang merupakan tarian yang hanya ditemukan di Desa Lembongan sendiri, bagaimanapun caranya dan jangan menyerah dengan tantangan-tantangan yang muncul. 3. Kepada Pemerintah Kabupaten Klungkung agar menyisihkan sebagian pendapatan daerah untuk mendanai budaya-budaya masyarakat dan secara kontinyu tetap
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 121
meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk datang ke desa-desa memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang aset budaya yang dimiliki. 4. Seluruh komponen bangsa sudah saatnya berfikir menghadapi globalisasi tetapi jangan melupakan filter globalisasi tersebut, yaitu budaya dan agama. 5. Satukan visi dan misi kita karena kita mendiami pulau yang sama dan menghirup udara yang sama pula. KEPUSTAKAAN Anonim. Majalah Archipelago. 2007. Sumba Barat, “Sang Perawan”, Dari Barat Pulau Sandalwood. Jakarta. ______. 2006. Daftar Isian Potensi Desa. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri. ______. 2007. Kecamatan Nusa Penida Dalam Angka. Klungkung : Bappeda Dan Badan Pusat Statistik. Ardika, Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar : Pustaka Larasan. Budiyasa, I Ketut. 2004. Kumpulan Gending-Gending Sang Hyang Perahu/Grodog Desa Lembongan. Klungkung. Dinas Pariwisata Propinsi Bali. 2006. Data Objek dan Daya Tarik Wisata di Bali. Denpasar. Gelebet, Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen P & K Proyek Invetarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali. Geria, I Wayan. 1989. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, dan Global. Denpasar : Upada Sastra. Kusmayadi dan Sugiantoro. 2000. Metode Penelitian di Bidang Kepariwisataan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Masyarakat Nusa Ceningan. 2005. Usulan Pengelolaan Ruang dan Kawasan Nusa Ceningan. Klungkung. Moleong, Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Paeni, Mukhlis, dkk. 2006. Bali Bangkit Kembali. Unud–Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Pitana, I Gede. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar : The Works. Pitana, I Gede, dkk. 2000. Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud–Bappeda Propinsi Bali, Denpasar. Pitana, I Gede. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi Offset. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Umar, Husein. 2003. Strategic Management in Action. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sujarwa. 1999. Manusia dan Fenomena Budaya (Menuju Perspektif Moralitas Agama). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian Pariwisata. Yogyakarta : CV. Andi Offset. Yoeti, Oka. 1989. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita. Yoeti, Oka, dkk. 2006. Pariwisata Budaya (Masalah dan Solusinya). Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 122
PROSES KOMUNIKASI DALAM LINGKUNGAN BISNIS TOUR OPERATOR Ni Made Arismayanthi
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Tourism as a multi-sector industry produced by various companies such as travel agent or tour operator, airlines, transport, accommodation, restaurant, impresario, local tour operators, shopping centre, souvenir shop, bank, money changer, etc. Tour Operators serve as an intermediary who offers or sells products of other companies that are suppliers (who have actual products), such as: Airline Tickets, Taxis, Tourist Buses, Hotel Accommodation, Restaurants, Tourist Attraction (natural and cultural attraction). relationships and communication processes that occur between the Tour Operator with consumers (tourists), governments, corporations or other tourism industries as suppliers, competitors and similar companies as a business environment which is of the Tour Operator. So the main task of intermediaries is to establish a mutually beneficial relationship with these companies the tourism industry group, then packed tour package with a single product as a raw material which will form a variety of tour packages in accordance with the intended target market. Keywords: communication, relationships, tour operator, and tourism industry. I.
PENDAHULUAN Pariwisata memang diakui sebagai multisector industry dan sering terjadi sejumlah perusahaan terlibat langsung dalam pergerakan travel product dari produsen ke konsumen, seperti Principals, Wholesalers, Government Tourism Organizations, InBound Tourism Agents dan Retail Agent. Sektor lain yang terlibat langsung dalam pemindahan travel product kepada konsumen, tetapi mempunyai peranan penting dalam kontribusi prasarana kepariwisataan (tourism infrastruktur) yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: Tourist Organizations, Tourism Government Office, Academics, dan Researchers (Yoeti, 2003). Perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan secara langsung disebut sebagai industri pariwisata, sedangkan kumpulan dari produk bermacam-macam perusahaan tersebut disebut sebagai produk industri pariwisata (tourist industry’s product). Produk industri pariwisata tersebut merupakan kumpulan beberapa produk (product mix) yang dihasilkan oleh bermacam-macam perusahaan yang fungsi dan bentuk pelayanannya yang berbeda satu dengan lainnya. Bauran produk (product mix) oleh Biro Perjalanan Wisata (BPW) atau Tour Operator dijadikan sebagai bahan baku (raw materials) untuk menyusun paket wisata (package tour) yang akan ditawarkan kepada calon wisatawan.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 123
Perusahaan-perusahaan kelompok industri tersebut menghasilkan produk mereka masing-masing, seperti: Perusahaan Travel Agent atau Tour Operator menghasilkan produk berupa informasi atau paket wisata; Perusahaan Penerbangan menghasilkan produk seats dan pelayanan lainnya; Angkutan Wisata memberikan pelayanan transfer ke hotel dan dari atau ke Airport; Akomodasi menghasilkan produk kamar dan pelayanan lainnya; Restoran dan sejenisnya menghasilkan produk berupa makanan dan minuman, Impresariat menghasilkan produk berupa entertainment dan atraksi wisata; Local Tour Operator memberikan pelayanan city sightseeing atau city tour; Shopping Centre atau Mall menyediakan tempat untuk membeli souvenir; Bank atau Money Changer memberikan pelayanan penukaran valuta asing dan jenis industri lainnya yang menyediakan berbagai keperluan wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata. Jadi sebenarnya produk final industri pariwisata tidak lain adalah kumpulan dari bermacam-macam produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang memberi pelayanan secara langsung kepada wisatawan ketika melakukan perjalanan wisata. Kumpulan produk dari bermacam-macam perusahaan tersebut akhirnya dikemas oleh Tour Operator menjadi bermacam-macam paket wisata yang cocok dan sesuai dengan selera pasar. II.
PEMBAHASAN Dalam fungsinya sebagai Tour Operator minimal harus memiliki kegiatan usaha yang akhirnya merupakan produk yang akan ditawarkan kepada wisatawan, seperti: ticketing (domestik dan internasional), pelayanan reservasi kamar hotel (hotel reservations), pelayanan pengurusan dokumen perjalanan (passport, exit permit, visa, health certificate, etc), dan tour operation, yaitu kegiatan merencanakan, menyusun, mempromosikan dan menjual paket wisata. Dalam kegiatan operasinya, suatu Tour Operator tidak cukup hanya mengandalkan produk yang terbatas, apalagi untuk menyusun suatu paket wisata (package tours). Karenanya adalah merupakan keharusan untuk memanfaatkan produk industri pariwisata sebagai bahan bakunya dalam menyusun paket wisata yang akan ditawarkan pada wisatawan. Tour Operator berfungsi sebagai perantara (middleman) yang menawarkan atau menjual produk perusahaan lain yang merupakan supplier (yang memiliki produk yang sebenarnya), seperti: Airline Tickets, Taxis, Tourist Buses, Hotel Accommodation, Restauranta, Tourist Attraction (natural and cultural attraction). Dari hasil penjualan paket wisata, Tour Operator memperoleh pendapatan dalam bentuk komisi yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini juga tidak terlepas dari hubungan dan proses komunikasi yang terjadi antara Tour Operator dengan konsumen (wisatawan), pemerintah, perusahaan-perusahaan atau industri-industri pariwisata lainnya selaku supplier, maupun perusahaan sejenis sebagai pesaingnya yang merupakan lingkungan bisnis dari Tour Operator tersebut. Sulit rasanya menemukan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan komunikasi, apalagi kegiatan dalam industri pariwisata yang multisektoral. Komunikasi antar perusahaan-perusahaan atau industri-industri pariwisata maupun dengan institusi-institusi lainnya sangat diperlukan karena merupakan satu kesatuan aktivitas pariwisata yang harus dinikmati wisatawan ketika melakukan perjalanan wisata. Meski sudah ada kemajuan yang pesat dalam teknologi komunikasi dan informasi, namun komunikasi antar orang-orang tetap diperlukan. Komunikasi antara orang dengan orang
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 124
tidak tergantung dari teknologi, tetapi tergantung dari kekuatan dalam diri orang dan dalam lingkungannya, karena komunikasi adalah „proses‟ di dalam orang. Dalam proses komunikasi meliputi lima unsur pokok yang dapat diberi istilah sebagai berikut (Rachmawati, 2004) : 1. Komunikator, adalah seorang atau kelompok orang yang menyampaikan pikirannya atau perasaannya kepada orang lain. Komunikator dapat bertindak secara individual atau secara kolektif yang melembaga. 2. Pesan, atau message adalah lambang bermakna (meaningful symbols), yaitu lambang yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator. Meskipun demikian untuk lebih efektifnya komunikasi, lambang-lambang bahasa ditunjang oleh lambang-lambang lain, sehingga merupakan keterpaduan. 3. Komunikan, adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi sasaran komunikator, ketika ia menyampaikan pesannya. Sejumlah orang yang menjadi sasaran itu dapat merupakan kelompok kecil atau kelompok besar, bersifat homogen ataupun heterogen. 4. Media, adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Media digunakan dalam komunikasi apalagi berada di tempat yang jauh dari komunikator dan atau jumlahnya banyak. 5. Efek, adalah tanggapan, respons atau reaksi dari komunikan ketika ia atau mereka menerima pesan dari komunikator. Jadi efek adalah akibat dari proses komunikasi. Apabila efek itu diketahui oleh komunikator dalam arti kata, apabila tanggapan komunikan disampaikan olehnya kepada komunikator, maka itu dinamakan umpan balik atau arus balik atau feedback. Proses tersebut terdiri dari lima unsur, yaitu komunikator (communicator), pesan (messages), media (medium), komunikan (communicant), dan umpan balik (feedback). Informasi merupakan bahan Baku (raw materials) bagi suatu Tour Operator dan industri pariwisata lainnya. Adapun proses komunikasi dalam lingkungan bisnis Tour Operator dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Customer Behaviour Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan agar dapat sukses dalam persaingan adalah berusaha mencapai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Dengan demikian, setiap perusahaan harus mampu memahami perilaku konsumen pada pasar sasarannya, karena kelangsungan hidup perusahaan tersebut sebagai organisasi yang berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan para konsumen sangat tergantung pada perilaku konsumennya. Melalui pemahaman perilaku konsumen, pihak manajemen perusahaan Tour Operator dapat menyusun strategi dan program yang tepat dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada dan mengungguli para pesaingnya. Pemahaman terhadap perilaku konsumen bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi cukup sulit dan kompleks, khususnya disebabkan oleh banyaknya variabel yang mempengaruhi dan variabelvariabel tersebut cenderung saling berinteraksi. Inti pemasaran strategis modern terdiri dari atas tiga langkah pokok, yaitu segmentasi, penentuan pasar sasaran, dan positioning. Ketiga langkah ini sering disebut STP (Segmenting, Targeting, Positioning). Segmenting, yaitu mengidentifikasi dan membentuk kelompok pembeli yang terpisah-pisah yang mungkin membutuhkan produk atau bauran pemasaran tersendiri. Targeting, yaitu
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 125
tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki atau dilayani. Positioning, yaitu tindakan membangun dan mengkomunikasikan manfaat pokok yang istimewa dari produk di dalam pasar. Perilaku pasar konsumen dalam hal ini wisatawan, pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu : A. Budaya, faktor budaya memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap perilaku wisatawan. Peran budaya, sub-budaya, dan kelas sosial wisatawan sangatlah penting. B. Sosial, pada umumnya semua masyarakat memiliki strata sosial. Kelas sosial tidak hanya mencerminkan penghasilan, tetapi juga indikator lain, seperti pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. Perilaku wisatawan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status. C. Pribadi, keputusan membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakter tersebut adalah usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep-konsep diri wisatawan. D. Psikologis, pilihan pembelian wisatawan dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama, yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan dan pendirian. Semuanya ini dapat memberikan petunjuk kepada Tour Operator tentang bagaimana mencapai dan melayani pembeli secara lebih efektif. Setelah melakukan penelitian melalui beberapa cara untuk suatu tingkat kepuasan yang diinginkan, seseorang harus dapat memperkirakan alternatif lain, kemudian baru menentukan apakah akan melakukan pembelian atau tidak. Bila diputuskan membeli paket wisata, maka sebelum membeli calon wisatawan perlu dibuatkan keputusan seperti: 1) Memilih DTW yang akan dikunjungi (destination); 2) Berapa lama tour akan dilakukan (length of stay); 3) Akan menggunakan transportasi apa (transportation); 4) Berapa uang diperlukan (how much money to a spend); 5) Kapan tour dimulai (departure date); dan 6) Dengan siapa ikut tour tersebut (by whom accompany). Adapun dasar pertimbangan mengapa hal itu diambil oleh calon wisatawan, yaitu berdasarkan pengalaman masa lalu (past experiences), harapan (expectation), keluarga (family), kekuatan daya beli (spending capacity) atau pengaruh promosi yang kadang-kadang bersifat emosional. Biasanya calon wisatawan juga mempertimbangkan apakah akan menyiapkan perjalanan wisata sendiri atau seluruhnya diserahkan kepada Tour Operator yang dapat dipercaya. Ini sangat tergantung, apakah orang tersebut sudah pernah ke DTW tersebut sebelumnya, tetapi kalau belum lebih baik diserahkan kepada Tour Operator yang sudah berpengalaman. Dalam memilih pasar wisatawan, adalah penting untuk mengerti profil wisatawan dengan tujuan untuk menyediakan kebutuhan perjalanan mereka dan untuk menyusun program promosi yang efektif. Profil wisatawan merupakan karakteristik spesifik dari jenis-jenis wisatawan yang berbeda yang berhubungan erat dengan kebiasaan, permintaan dan kebutuhan mereka dalam melakukan perjalanan. Dalam hal membeli produk, kepuasan atau ketidakpuasan wisatawan akan mempengaruhi perilakunya dalam melakukan pembelian ulang, jika wisatawan merasa puas, ia akan memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang dan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 126
cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik tentang produk Tour Operator, oleh karena itu pembeli yang puas merupakan iklan yang terbaik bagi perusahaan. 2. Government Komunikasi dengan pemerintah sangat penting dilakukan oleh Tour Operator dalam hal permintaan izin ketika perusahaan mulai berdiri maupun dalam kegiatan operasional perusahaan Tour Operator. Sedangkan komunikasi dari Tour Operator kepada pemerintah atau negara dalam hal pembayaran pajak, sebagai akibat dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh Tour Operator. Berbagai peraturan juga dikeluarkan pemerintah untuk mengatur dan menjamin keberadaan serta kelangsungan usaha Tour Operator yang memiliki cakupan kegiatan usaha sangat luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Dalam bidang perjalanan dan pariwisata pemerintah memiliki dua pengaruh. Pertama, mereka menyusun struktur regulasi dari suatu industri dan kedua, mereka mengatur kegiatan pariwisata dalam negeri yang memberikan pertumbuhan ekonomi untuk masyarakat lokal dan ini dilaksanakan pada semua level pemerintahan, baik level nasional maupun daerah. Untuk dapat membantu pengembangan pariwisata sebagai suatu industri, suatu negara dapat mengambil berbagai langkah agar pengembangan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil efektif. Untuk itu pemerintah harus dapat menciptakan iklim investasi yang menarik, agar para investor tertarik menanamkan modalnya di sektor pariwisata melalui peraturan yang dapat menjamin stabilitas ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi pengembang pariwisata itu di negara yang bersangkutan. Situasi politik, kondisi sosial dan keamanan yang stabil, baik di negara asal wisatawan maupun di negara yang akan dikunjungi, biasanya menjadi faktor penentu bagi wisatawan, apakah akan melakukan perjalanan wisata atau tidak. Prof. Salah Wahab (1979 dalam Yoeti, 2003) mengatakan: “It is advisable that state aids to tourism be specified in legislation after create study of the economic conditions. Politic and economic stability is a basic requirement to stimulate investors in tourism. The preparation of a tourism development plan is a good indication of the sate’s readiness to assist and support the tourist industry”. Hubungan baik antar negara dapat pula dijadikan pedoman, apakah membawa rombongan wisatawan ke negara tersebut tidak akan mempengaruhi program perjalanan wisata yang sudah disusun jauh-jauh hari sebelumnya. 3. Banks and Financial Institutions Komunikasi dengan pihak bank dan institusi keuangan lainnya dilakukan oleh Tour Operator dalam hal pinjaman kredit, baik kerdit jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang untuk menjamin kelangsungan usahanya. Pada negaranegara berkembang (developing countries) badan usaha swasta yang bergerak dalam sektor pariwisata umumnya tidak memiliki modal yang kuat dan masih kurang pengalaman. Kebutuhan dana untuk pembangunan biasanya disediakan oleh bank-bank pemerintah, baik untuk modal investasi maupun untuk modal kerjanya. Namun kredit yang diberikan oleh bank-bank pemerintah itu sangat terbatas, di antara bank-bank pemerintah itu enggan memberikan kredit investasi untuk sektor pariwisata, karena beberapa hal berdasarkan pertimbangan perbankan, antara lain (Yoeti, 2003): 1) Pengembalian kredit relatif lama. Periode pelunasan yang
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 127
disepakati 15 tahun, sering dilakukan perpanjangan menjadi 20, 25 atau 30 tahun; 2) Jaminan yang diberikan pemohon kredit tidak memadai dan sumber pengembalian modal sangat tidak jelas, karena berfluktuasinya tingkat hunian hotel; 3) Diantara bank menilai SDM industri pariwisata belum professional, sehingga pemberian kredit dianggap beresiko tinggi; dan 4) Kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil. Pengalaman menunjukkan, pinjaman bank relatif kecil, tidak sesuai dengan kebutuhan pemohon kredit, oleh karena itu bank-bank pembangunan dan lembaga keuangan secara khusus didirikan untuk membantu kelancaran investasi industri pariwisata, namun itupun belum mampu menunjang program-program proyek besar, karenanya harapan satu-satunya adalah lembaga keuangan internasional. Menurut International Official of Travel Organization (IOUTO), lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi secara internasional dapat dibedakan: 1) Bank-bank yang beroperasi pada tingkat dunia (bank operating at the world level); 2) Bank-bank yang beroperasi dalam suatu kawasan yang terbatas (banks operating within a prescribed limit); 3) Bank-bank yang melayani kelompok kegiatan ekonomi tertentu (banks catering for a set economic level); dan 4) Bank-bank lain yang beroperasi secara internasional (others banks operating at the international level). Bank-bank yang masuk golongan tersebut hanya beberapa buah saja, tetapi kegiatan usahanya dapat memberikan fasilitas kredit untuk semua sektor ekonomi. Contohnya adalah: International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang kita kenal sebagai Bank Dunia (the World Bank) dan kedua adalah International Finance Corporation (IFC) dan yang ketiga adalah International Development Association (IDA). 4. Competitors Satu faktor yang dapat mempengaruhi operasi kegiatan Tour Operator adalah kondisi persaingan antara Tour Operator yang ada. Tour Operator perlu mencermati persaingan yang terjadi antara sesama Tour Operator yang ada di kotanya atau dimana cabang atau perwakilan berada. Siapa pesaing itu, apa saja kekuatannya, bentuk-bentuk produk dan pelayanan apa saja yang dapat diberikannya, kebijakan apa saja yang membuatnya menjadi unggul di pasar dan apa kelebihannya dibandingkan dengan Tour Operator jika, perlu mendapat perhatian untuk dipelajari dengan cermat. Mengetahui dan memahami persaingan yang terjadi antara sesama Tour Operator sangat penting kalau ingin tetap eksis dalam pasar. Dengan mempelajari selera pelanggan, produk, kualitas pelayanan atau kebijakan apa yang sesuai dengan selera pasar, maka suatu Tour Operator dapat menang dalam persaingan. Untuk dapat menyusun strategi yang tepat dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan analisis faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kegiatan operasional suatu Tour Operator. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses) suatu Tour Operator dalam menghadapi kesempatan-kesempatan (opportunities) dan ancaman-ancaman (threats) dari lingkungan usaha yang popular dikenal dengan analisis SWOT. A. Kekuatan (Strengths), suatu Tour Operator mempunyai kekuatan dibandingkan dengan Tour Operator lain, antara lain karena lokasi kantor yang strategis (convenience of location), karyawan yang profesional (staff knowledge and
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 128
expertise), kualitas pelayanan (quality of services), produk dengan banyak pilihan (product range) dan layout ruangan kantor yang menarik (office layout decoration). Kekuatan di bidang usaha didukung oleh jaringan kantor cabang di kota-kota lain di dalam negeri dan pada beberapa kota penting di luar negeri. Di bidang lain, misalnya dedikasi karyawan, disiplin yang baik, gedung-gedung kantor cabang cukup representatif dan sarana telekomunikasi relatif cukup memadai dan sangat mendukung perkembangan usaha. B. Kelemahan (Weaknesses), kelemahan dapat diartikan sebagai hal-hal yang dapat menimbulkan kesan negatif (negative image) terhadap perusahaan, sehingga dapat mendatangkan kerugian bagi perusahaan. Dibandingkan dengan Tour Operator lain, di bidang usaha lain terlihat: jenis produk yang ditawarkan kurang bervariasi, pelayanan yang diberikan dianggap lamban dan tidak kompetitif dan insentif khusus kepada pelanggan dianggap tidak menarik. Kelemahan lain mungkin dirasakan adalah kurang profesional, tidak terampil karena kurang pengalaman, dan selain itu tidak mempunyai kantor cabang di kota lain atau diluar negeri, SDM yang belum berpengalaman serta lokasi kantor yang terletak di gang yang sukar dilalui kendaraan, sehingga pelanggan banyak yang beralih kepada Tour Operator pesaing. C. Peluang (Opportunities), peluang bagi suatu Tour Operator sejalan dengan maraknya kegiatan pariwisata, baik di dalam negeri maupun diluar negeri termasuk pertumbuhan wisatawan global yang cukup tinggi memberikan peluang kepada Tour Operator selaku penyelenggara perjalanan wisata. Tingkat kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang dapat juga mempengaruhi orang-orang utnuk melakukan perjalanan wisata. Hal ini dapat dilihat dari indikator, sebagai berikut : Meningkatnya disposable income masyarakat di kawasan Asia Pasifik. Hak cuti karyawan semakin panjang, diperkirakan 3 minggu dalam satu tahun. Tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat majunya teknologi transportasi membuat jarak antara satu negara dengan negara lain semakin dekat dan mudah dikunjungi. Ekonomi yang stabil dan tingkat inflasi rendah. Pemberian tunjangan sosial semakin baik kepada karyawan dan para pensiunan. Tumbuhnya kelas menengah relatif cukup besar dalam piramida penduduk dunia. Semakin diakuinya hak-hak asasi manusia yang memberi kebebasan kepada orang-orang untuk melakukan perjalanan kemana yang disukainya dan hak untuk kembali ke negara asalnya. D. Ancaman (Threats), ancaman bagi suatu Tour Operator biasanya adalah mengenai persaingan yang semakin tajam di antara sesama Tour Operator atau karena adanya pendatang baru dalam pasar, meningkatnya biaya operasi tidak sebanding dengan pendapatan (revenue). Ancaman yang sangat dikhawatirkan adalah situasi dan kondisi keamanan dan kestabilan politik di negara-negara tujuan tempat kegiatan wisata Tour Operator tersebut.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 129
5. Climate Penawaran dalam industri pariwisata terkait dengan aktivitas yang dilakukan wisatawan di daerah tujuan wisatawan, berupa iklim atau cuaca adalah udara yang segar (mild) dan sinar matahari (sun shine) yang menjadi daya tarik suatu DTW untuk dikunjungi wisatawan. Permintaan akan perjalanan wisata juga ditentukan oleh musim ramai (peak season) atau musim sepi (off season). Musim ramai terjadi pada hari-hari libur, seperti libur sekolah atau libur akhir tahun, seperti natal dan tahun baru. pada musim ramai ini dapat dikatakan permintaan meningkat dibandingkan dengan hari-hari lain biasanya. Bukan hal itu saja yang menyebabkan musim ramai dan musim sepi, tetapi faktor musim juga sangat mempengaruhi permintaan untuk melakukan perjalanan wisata, seperti musim dingin di Eropa atau Amerika. Pada musim dingin, banyak penduduk Eropa berkunjung ke Spanyol atau membeli paket wisata ke Asia dan Timur Jauh, termasuk Bali. Sekarang ini, terutama di Eropa dan Amerika, ada segmen pasar yang ingin melihat dan meyaksikan DTW-DTW yang ramah lingkungan. Maksudnya, orang-orang yang berdiam dan tinggal di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa sudah bosan dengan lingkungan yang tercemar oleh limbah industri atau asap kendaraan perkotaan yang menyesakkan nafas. Hal tersebut sangat mempengaruhi lingkungan yang berimplikasi pada perubahan cuaca dan udara yang menjadi semakin panas di suatu DTW. Mereka ingin mencari DTW-DTW yang memberi perhatian terhadap lingkungan hidup dan mempunyai kemampuan mempertahankan keseimbangan alam dan budaya secara lebih harmonis, sehingga pariwisata dan lingkungan ibarat „ikan dengan air‟. Pariwisata (ikan) yang baik hanya dapat dikembangkan kalau lingkungan (air) terpelihara dengan baik. Itu pula sebabnya, mengapa akhir-akhir ini permintaan akan wisata berwawasan lingkungan (ecotourism) mulai banyak diminati wisatawan negara-negara industri. 6. Shareholders Wisatawan sebagai konsumen selama dalam perjalanan wisata yang dilakukannya selalu membutuhkan bermacam-macam pelayanan, seperti jasa transportasi, akomodasi, restoran, hiburan, Tour Operator, daya tarik dan atraksi wisata, toko cenderamata atau shopping center untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka yang bermacam-macam. Sebagai suatu produk industri pariwisata, semua bentuk pelayanan dan fasilitas yang diberikan agar dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan. Oleh karena itu, peran suatu Tour Operator sangat diperlukan untuk membina atau mengarahkan tiap unit usaha yang termasuk kelompok industri pariwisata. Dengan demikian suatu Tour Operator dapat memenuhi selera pelanggannya. Wisatawan merupakan konsumen yang memberikan kontribusi dalam bisnis Tour Operator, sehingga banyak perusahaan memfokuskan dan memprioritaskan aktivitas-aktivitas mereka untuk memuaskan para pelanggan mereka serta terusmenerus memantau kebutuhan dan harapan pelanggan mereka, juga mengimplementasikan berbagai program yang ditujukan untuk mendorong hubungan yang lebih baik dengan para pelanggan. Namun fokus yang terlalu kuat kepada pelanggan sering mengakibatkan terabainya kepentingan shareholders yang lain, yaitu pemegang saham dan karyawan. Seringkali perusahaan yang menjaga hubungan yang sangat baik dengan para pelanggannya tidak mampu menghasilkan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 130
keuntungan yang memadai, sehingga tidak dapat memuaskan para pemegang saham. Sebaliknya, ada banyak perusahaan yang memprioritaskan aktivitas-aktivitas yang memaksimumkan shareholders value. Salah satunya adalah Tour Operator, dimana shareholder tersebut ikut memberikan kontribusinya kepada perusahaan atau industri. Biasanya dalam perusahaan yang memaksimumkan shareholder, harus merampingkan organisasi, melakukan restrukturisasi, merekayasa ulang proses bisnis, melakukan sewa dalam rangka untuk mendorong produktivitas dan efisiensi. Seringkali usaha-usaha pemangkasan biaya ini memberikan dampak negatif terhadap karyawan mereka, karena perusahaan-perusahaan mau tidak mau kemudian terpaksa harus mem-PHK karyawan dalam jumlah yang besar dalam rangka perampingan dan efisiensi. Hal ini mungkin akan meningkatkan pendapatan, bahkan memuaskan konsumen dengan menghasilkan produk-produk lebih berkualitas dengan harga lebih murah, namun disisi lain akan dapat mengorbankan kepentingan karyawan mereka. 7. Media and Opinion Leaders Internet sebagai infrastruktur teknologi informasi baru, merupakan suatu jaringan komunikasi tanpa batas atau jaringan komputer pribadi besar yang terdiri atas jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung dan tersebar di seluruh dunia. Website merupakan salah satu fasilitas yang ada di internet dalam bentuk hypertext sebagai format database yang dapat di akses langsung dengan cara meng-klik kata atau gambar yang tampak untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Website dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana promosi yang digunakan sebagai alat pemasaran bagi suatu Tour Operator. Ini menunjukkan perkembangan penggunaan website sangat pesat sekali terutama di sektor bisnis. Industri pariwisata yang ada di daerah Bali sudah mulai menggunakan sistem komputerisasi melalui internet dengan situs web dalam memasarkan produk wisatanya. Hal ini diakibatkan adanya persaingan yang semakin ketat dan arus globalisasi. Sistem promosi dengan menggunakan website ini sangat banyak memberikan keuntungan, baik dilihat dari pihak konsumen (wisatawan) maupun dari pihak perusahaan (pelaku pariwisata). Dari pihak wisatawan, promosi dengan situs web dapat melakukan pemesanan kapan saja dan dari mana saja, tanpa menghadapi berbagai masalah yang tidak diinginkan, seperti: kemacetan lalu lintas, tempat parkir, antrian panjang, dan lain sebagainya. Wisatawan juga dapat memperoleh informasi dengan cepat dan lebih obyektif mengenai perusahaan, harga, fitur dan kualitas produk tanpa meninggalkan rumah atau kantor. Sedangkan dari pihak pelaku pariwisata, sistem promosi dengan website banyak juga memberikan keuntungan, dimana biaya yang dikeluarkan perusahaan lebih murah daripada harus mencetak katalog, brosur, dan biaya pengirimannya, serta dengan proses yang lebih cepat. Dengan website, perusahaan Tour Operator dapat meningkatkan penawaran produknya, mengganti dan menetapkan harga baru, serta deskripsi produk dengan cepat, sehingga web dapat menjadi media yang efektif dan efisien untuk pemasaran, periklanan dan penyebaran informasi mengenai produk dan jasa tertentu. Diharapkan penggunaan teknologi ini dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas dalan kegiatan usaha pariwisata. Selain itu, promosi dapat menggunakan
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 131
figur terkenal yang diidolakan konsumen yang menjadi target pasar Tour Operator tersebut, sehingga akan menjadi lebih mudah dalam mengkomunikasikannya dan menarik perhatian calon wisatawan. 8. Suppliers Supplier perjalanan memberikan kebutuhan pelayanan untuk wisatawan individu maupun kelompok ketika melakukan perjalanan wisata. Contoh pelayanan yang diberikan oleh Supplier yaitu perusahaan transportasi, pelayanan perjalanan wisata, akomodasi, dan banyak variasi pelayanan lainnya. Supplier perjalanan wisata dalam kegiatannya menggunakan teknologi, karena untuk memudahkan kegiatan operasinya dan dapat mendistribusikan produk dengan cepat ke tangan konsumen. Penawaran dalam bisnis usaha perjalanan wisata sebenarnya dilakukan oleh masing-masing perusahaan kelompok industri pariwisata yang kemudian dikemas oleh Tour Operator dalam bentuk paket wisata (package tour), seperti : transportasi (airline, cruise ship, train, buses, taxis, rent a car, etc); akomodasi (hotel, motel, apartment, caravan, camping site, etc); restoran (chinese food, padang food, fried chicken, mcdonald, etc); daya tarik wisata (natural resources or cultural resources); atraksi wisata (ramayana dance, kecak dance, barong dance, etc); dan hiburan (music, orchestra, theater, or film). Perusahaan-perusahaan ini tersebar di beberapa lokasi dalam suatu kawasan wisata atau juga disebut sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Bila suatu Tour Operator ingin menjual produk masing-masing perusahaan itu, maka ia harus membuat perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan. Dari hasil penjualan produk masing-masing perusahaan kelompok industri pariwisata itu, maka Tour Operator memperoleh komisi dari kegiatan penjualan produk tersebut. 9. Legal and Quasi-Legal Bodies Dalam sistem pariwisata, ada banyak aktor yang berperan dalam menggerakkan sistem. Aktor tersebut adalah insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum, insan pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu 1) Masyarakat, 2) Swasta, dan 3) Pemerintah. Yang termasuk masyarakat adalah masyarakat umum yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah dari berbagai sumberdaya yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat ini juga tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media masa. Masyarakat disini sebagai pendukung dan pemilik modal pariwisata, sedangkan swasta termasuk Tour Operator sebagai pelaku langsung pelayanan wisata dan pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator. Hubungan dan komunikasi yang terjadi antara ketiga aktor tersebut haruslah harmonis, selaras dan seimbang, serta masing-masing menerima manfaat dari kegiatan pariwisata tersebut. 10. Competitive Products Salah satu faktor yang menentukan sukses dari negara tertentu untuk menarik jumlah besar dari wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik adalah kemampuannya untuk “memberi” jenis pariwisata yang sangat diminati. Sebetulnya hal ini tergantung pada dasar sumber daya (resources base). Ada beberapa negara yang mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam bentuk iklim yang baik atau pantai yang indah. Selain itu, struktur biaya, kebijakan-
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 132
kebijakan pemerintah dan strategi-strategi pemasaran akan menentukan kemampuan negara-negara tertentu untuk memanfaatkan sumber daya pariwisata. Image bagi suatu DTW sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam produk (obyek dan atraksi wisata) yang tersedia di DTW yang bersangkutan. Image yang dimiliki oleh suatu DTW sangat mempengaruhi calon wisatawan untuk menentukan membeli paket wisata atau tidak membeli paket wisata yang ditawarkan oleh suatu Tour Operator. Tour Operator merupakan suatu perusahaan yang memperoleh pendapatan dan keuntungan dengan menawarkan dan menjual produk serta jasajasa pelayanan yang diberikannya kepada pelanggannya. Produk utama (core product) suatu Tour Operator adalah paket wisata itu sendiri. Pada dasarnya, suatu Tour Operator tidak memiliki produknya sendiri, melainkan lebih banyak mengemas produk mitra kerjanya menjadi seakan-akan produknya sendiri, setelah memberikan nilai tambah (added value), sehingga produk mitranya berubah menjadi produknya sendiri. Suatu paket wisata adalah kemasan dari beberapa produk perusahaan kelompok industri pariwisata, kemudian ditawarkan dalam suatu harga (all inclusive) dengan mengklaim sebagai produk Tour Operator itu sendiri. Oleh karena itu, produk yang dikemas oleh Tour Operator tidak hanya mempertahankan produk yang sudah ada dan menciptakan produk yang mampu bersaing, tetapi juga mengembangkan produk baru yang sesuai dengan selera wisatawan yang menjadi target pasar Tour Operator. Dalam bisnis Tour Operator lebih banyak dijual berdasarkan kepercayaan dan kepercayaan harus dimulai dari produk yang berkualitas dan juga ketepatan waktu, kalau waktu penyerahan produk tidak sesuai dengan permintaan, maka bagi pelanggan produk tersebut tidak berguna lagi. 11. Demographic Changes Demografik adalah suatu studi dari data statistik yang dapat memberikna gambaran tentang distribusi penduduk dan karakteristik penduduk. Baik pemerintah atau swasta menggunakan informasi demografik dalam pengambilan keputusan (decision making) tentang kebutuhan di waktu yang akan datang dan perencanaan yang dikehendaki. Orang pemasaran menggunakan informasi demografik untuk mengetahui serta mengerti kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) penduduk. Informasi demografik memberikan informasi tentang penduduk tertentu tersebar pada suatu wilayah, di kota, daerah urban, di desa atau di pegunungan, di pantai dan sebagainya. Informasi demografik juga menjelaskan tentang karekteristik penduduk pada suatu wilayah, seperti jenis kelamin, tua, muda, pendidikan, pendapatan, penduduk asli atau pendatang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mill dan Morison (1985 dalam Yoeti, 2003) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan menggunakan kriteria demografi dirasakan jauh lebih baik hasilnya, karena sangat bervariasi. Status dan penghasilan, pendidikan, jabatan, dan siklus kehidupan keluarga merupakan gabungan antara status perkawinan, umur, jumlah dan umur anak-anak. Penggunaan segmentasi geografi saat ini karena adanya tuntutan dari kondisi kepariwisataan. Perubahan cepat kondisi masyarakat membuat tidak mungkin hanya tergantung pada data demografi sebagai alat untuk menentukan strategi pemasaran, tetapi segmentasi demografi dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik wisatawan yang menjadi target pasar suatu Tour Operator.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 133
Di Australia, informasi semacam ini di data oleh The Australian Bureau of Statistic melalui suatu riset pemasaran profesional dengan melakukan penelitian khusus. Umur dan kelompok adalah dua faktor yang sering digunakan untuk melakukan segmentasi pasar dalam industri pariwisata. Sebagai contoh, Tour Companies and Resort sering menyusun paket wisata untuk keluarga dengan anak-anak, sedangkan segmen lain mengelompokkan pasar khusus orang-orang tua tanpa membawa anak dalam melakukan perjalanan wisata atau para pensiunan dengan istri atau sendirian. Umur atau struktur keluarga dapat mempengaruhi pilihan, melakukan perjalanan wisata atau tidak. Para ekskutif yang belum berkeluarga relatif lebih mudah menentukan pilihan untuk melakukan pembelian paket wisata daripada seorang staf yang mempunyai 2 atau 3 orang anak. Sedikitnya terdapat tiga kelompok orang-orang yang akan melakukan perjalanan wisata di waktu yang akan datang dengan pola pembelanjaan yang cukup berbeda satu dengan yang lain, seperti (Yoeti, 2003) : A. Kelompok Remaja, umur kelompok ini berkisar antara 18-34 tahun yang melakukan perjalanan baik secara sendiri-sendiri atau rombongan melalui organisasi remaja yang tumbuh di kota-kota besar dimana-mana. Diperkirakan kelompok ini akan mendominasi pasar out found di negara masing-masing di waktu yang akan datang. B. Kelompok Keluarga, kebanyakan keluarga memiliki anak paling banyak tiga orang. Bagi mereka yang tergolong menengah keatas, melakukan perjalanan wisata sudah merupakan kebutuhan. Di Indonesia, kita lihat mereka bukan hanya ke Bali, tetapi meneruskan perjalanan mereka ke Amerika yang didominasi oleh kelompok keluarga ini. Kelompok ini termasuk memiliki uang lebih, karena mereka memperoleh pendapatan berganda, karena suami dan istri bekerja mencari nafkah, sehingga memungkinkan mereka untuk menabung. Struktur keluarga dimasa yang akan datang diperkirakan akan mengalami perubahan karena semakin banyak wanita bekerja (single parent) dan semakin besarnya jumlah pasangan suami istri tanpa anak, termasuk mereka yang memilih hidup bersama. Semuanya akan memperngaruhi permintaan untuk melakukan perjalanan wisata di waktu yang akan datang. C. Kelompok Pensiunan, di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang, populasi ini termasuk orang yang diperkirakan paling cepat tumbuh di waktu yang akan datang. Mereka adalah orang-orang yang berumur 60 tahun ke atas, yaitu kelompok yang biasa disebut sebagai kelompok manula (manusia usia lanjut), yaitu mereka yang sedang menikmati pensiun dipercepat atau pensiun biasa dengan jaminan kesehatan serta jaminan hari tua yang memadai. Kelompok ini diperkirakan akan banyak yang mengambil pensiun dini sebagai akibat strukturisasi pasar kerja yang banyak dilakukan perusahaan besar dalam satu dekade terakhir. Pengaruhnya terhadap perjalanan wisata, mereka ini akan memiliki length of stay yang relatif lama, karena mereka tidak lagi terikat dari pekerjaan rutin mereka, oleh karena itu sangat ideal untuk dijadikan sebagai target pasar potensial. Jadi untuk menarik kelompok ini harus bisa mengetahui kebutuhan dan keinginan kelompok ini masing-masing, apalagi mereka ini tergolong secara relatif mempunyai banyak uang. Harus dicarikan produk yang sesuai dengan masing-masing kelompok tersebut dan wisata yang bersifat perluasan wawasan, wisata
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 134
petualangan (adventure tour) mencari pengalaman baru ke daerah-daerah terpencil yang memiliki seni budaya yang unik dan langka untuk kelompok remaja. 12. Agents and Distributors Tour Operator berfungsi sebagai perantara (middleman) yang tidak memiliki produk sendiri dan menawarkan atau menjual produk perusahaan-perusahaan lain yang termasuk kelompok industri pariwisata kepada wisatawan. Agar bisnisnya berjalan dengan baik, Tour Operator selalu berusaha untuk ditunjuk menjualkan produk mitra kerjanya, karena kalau berhasil menjual ia akan mendapat komisi dari mitra kerjanya tersebut. Produk yang ditawarkan antara lain : A. Ticketing, tidak mudah bagi suatu Tour Operator untuk ditunjuk menjadi agen penjualan tiket suatu maskapai penerbangan, karena syarat-syaratnya cukup berat, antara lain adalah memiliki kantor representatif pada lokasi yang mudah dicapai orang banyak; memiliki tenaga profesional, ahli dan terampil dalam pelayanan penjualan tiket, baik untuk domestik maupun penerbangan internasional; memiliki perlengkapan komunikasi mutakhir, seperti telepon, komputer, faks, dan sistem reservasi yang canggih; menunjukkan bukti volume penjualan yang pernah dilakukan selama ini; dan penyerahan uang jaminan dengan bukti deposito wajib pada bank tertentu. B. Selain itu, suatu Tour Operator harus menjadi agen dari Tour Operator yang sudah ditunjuk sebagai IATA‟s Agent. Dari penjualan tiket inilah Tour Operator memperoleh pendapatannya, yaitu komisi sebesar 7 % untuk tiket penerbangan domestik dan 9 % untuk penerbangan internasional. Biasanya 60 % dari pendapatan Tour Operator berasal dari komisi penjualan tiket. C. The Cruise Lines, setelah komisi penjulan tiket, pendapatan terbesar kedua bersumber dari pelayanan penjualan acara-acara kapal pesiar (the cruise line), khususnya yang terjadi di Amerika dan Singapura. Hampir 16 % pendapatan Tour Operator berasal dari kegiatan ini. D. Car Rental Business, menyewakan kendaraan untuk keperluan perjalanan wisata bagi calon wisatawan merupakan bisnis yang cukup menjanjikan bila ditekuni dengan baik. Di Amerika Serikat, hampir 8 % penghasilan suatu Tour Operator bersumber dari penyewaan bermacam-macam kendaraan, mulai dari taxi, limousine, coach bus, tourist bus, termasuk kapal kecil seperti yacht untuk pelayanan yang bersifat pribadi. Yang penting disini adalah bagaimana dapat ditunjuk sebagai agen dari bermacam-macam kendaraan itu. Kuncinya adalah membina kerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan angkutan wisata tersebut. E. Rail Travel, menjadi agen kereta api juga memberikan penghasilan memadai, selain dapat melengkapi pelayanan yang dapat diberikan kepada pelanggan, bisnis ini dapat memberikan 3 % dari hasil keseluruhan suatu Tour Operator kalau ditekuni dengan baik. F. Package Tour’s Agent, menjual paket-paket wisata (package tour) dari Tour Operator lain juga memberikan hasil jauh dari lumayan, kalau dikelola dengan baik dapat memberikan tambahan penghasilan sebesar 11 s/d 22 % dari penghasilan keseluruhannya. Bisnis semacam ini menghendaki ketrampilan tinggi dengan menggunakan teknologi canggih, bila tidak, informasi yang disampaikan dapat mengganggu kelancaran paket wisata yang dijual.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 135
Jadi tugas utama perantara adalah menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan-perusahaan kelompok industri pariwisata, kemudian mengemas paket wisata dengan menggunakan single product sebagai bahan baku (raw material) yang nantinya akan membentuk bermacam-macam paket wisata sesuai dengan target pasar yang dituju. Produk yang tidak terjual dapat menimbulkan kerugian pada perusahaan, dalam pemasaran dikenal dengan istilah perisable product. Kamar hotel yang tidak terjual pada malam tertentu atau tempat duduk (seats) di pesawat yang tidak penuh terisi, atau kursi pertunjukan yang tidak terjual habis akan menjadi perisable product. III.
SIMPULAN Produk pariwisata merupakan kumpulan dari bermacam-macam produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang memberi pelayanan secara langsung kepada wisatawan ketika melakukan perjalanan wisata. Kumpulan produk dari bermacam-macam perusahaan tersebut akhirnya dikemas oleh Tour Operator menjadi bermacam-macam paket wisata yang cocok dan sesuai dengan selera pasar. Tour Operator berperan sebagai perantara (middleman) yang menawarkan atau menjual produk perusahaan lain yang merupakan supplier (yang memiliki produk yang sebenarnya), seperti : Airline Tickets, Taxis, Tourist Buses, Hotel Accommodation, Restauranta, Tourist Attraction (natural and cultural attraction). Berdasarkan hasil penjualan paket wisata, Tour Operator memperoleh pendapatan dalam bentuk komisi yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Hubungan dan proses komunikasi informasi yang terjadi antara Tour Operator dengan lingkungan bisnisnya, seperti konsumen (wisatawan), pemerintah, perusahaan-perusahaan atau industriindustri pariwisata lainnya selaku supplier, maupun perusahaan sejenis sebagai pesaingnya sangat penting untuk dipelihara dan dijaga guna menumbuhkan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan-perusahaan kelompok industri pariwisata. KEPUSTAKAAN Damarjati, R.S. 2001. Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Foster, Douglas. 1987. Travel and Tourism Management. London: Macmillan Education Ltd. Indrajit, Richardus Eko. 2001. Pengantar Konsep Dasar Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Inkpen, Gary. 1998. Information Technology for Travel and Tourism. London: Addison Wesley Longman. Kotler, Phillip. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi Dan Kontrol. Jakarta: Prenhallindo. Kotler, Philip; John Bowen; dan James Makens. 1998. Marketing for Hospitality and Tourism. Second Edition. New York: Pentice Hall. Laudon, K. C. dan J. P. Laudon. 2002. Manajemen Information Systems Managing the Digital Firm. New Jersey: Prentice Hall International. Marpaung, Happy. 2000. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta.
Vol. 11 No. 1 Th. 2011, Hal. 136
Oetomo, Dharma. 2002. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Yogyakarta: Andi. Rachmawati, Ike Kusdyah. 2004. Manajemen Konsep-Konsep Dasar dan Pengantar Teori. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Sheldon, Pauline. 1996. Teknologi Informasi Dalam Dunia Pariwisata. Hawai: CAB Internasional. Swastha, Basu. 2000. Azas-Azas Marketing. Yogyakarta: Liberty. Yoeti, Oka A. 1997. Tours and Travel Management. Jakarta: Pradnya Paramita. ______. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Pradnya Paramita. ______. 2003. Tours and Travel Marketing. Jakarta: Pradnya Paramita.