TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas (2004)
mengatakan
pembangunan
kawasan
adalah
usaha
untuk
mengembangkan dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), masyarakat ( social system), dan lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya ( ecosystem). Setiap sistem ini memiliki tujuannya masing-masing. Secara umum, tujuan dari pengembangan kawasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya;
2.
Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;
3.
Mengurangi
tingkat
kemiskinan
melalui
peningkatan
pendapatan
masyarakat; 4.
Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah;
5.
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah.
6.
Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan berkelanjutan. Selanjutnya
ditambahkan
pengembangan
kawasan
dilaksanakan
berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan arah kebijakan ekonomi nasional, yaitu: 1.
Mengembangkan
sistem
ekonomi
kerakyatan
yang
bertumpu
pada
mekanisme pasar yang berkeadilan. 2.
Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global, sesuai dengan kemajuan
teknologi,
dengan
membangun
keunggulan
kompetitif
berdasarkan kompetensi produk unggulan di setiap daerah. 3.
Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi, agar mampu bekerjasama secara efektif, efisien dan berdaya saing global.
4.
Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan dan hortikultura, kelembagaan, dan budaya lokal.
5.
Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para pelakunya sesuai dengan semangat otonomi daerah.
8 6.
Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat daerah, khususnya para petaninya, dengan kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak.
7.
Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh kegiatan pembangunan di daerah. Kepedulian untuk menjaga kelestarian lingkungan telah sampai pada
pemikiran yang berkelanjutan. World Commission on Environment and Development
(WECD)
pada
tahun
1987
mendefinisikan
pembangunan
berkelanjutan sebagai suatu proses pembangunan yang dilandasi oleh semangat pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan teknologi dan perubahan
kelembagaan
yang
dilakukan
secara
harmonis
dan
amat
memperhatikan potensi pada saat ini dan dimasa yang akan datang dalam pemenuhan aspirasi masyarakat (Mitchell et al. 2007). Salim dalam Handoyo (2001) mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan dengan manusia dalam pembangunan. Ide-ide pokok yang mendasari konsep itu adalah: (1) proses pembangunan mesti berlanjut, terus menerus, ditopang oleh sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan manusia berkembang secara
berlanjut.
(2)
sumber
alam
memiliki
ambang
batas,
dimana
penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. (3) kualitas lingkungan
berkorelasi
dengan
kualitas
hidup.
(4)
pola
pembangunan
sumberdaya alam kini seharusnya menutup kemungkinan pilihan lain dimasa depan. (5) pembangunan berkelanjutan mengandalkan solidaritas trangenerasi, dimana pembangunan itu memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Yoeti et al. (2006), di sektor kepariwisataan, pembangunan maupun pengembangan industri wisata juga harus didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pengembangan pariwisata diharapkan dapat memberikan keuntungan substansial baik bagi masyarakat luas maupun penduduk setempat, berupa : 1.
Memperbaiki infrastruktur,
2.
Alih ilmu pengetahuan dan teknologi,
3.
Kesempatan kerja dan bisnis,
4.
Tambahan pendapatan,
9 5.
Pasar baru untuk produk-produk lokal (cenderamata, makanan, garmen, kesenian)
6.
Kepedulian terhadap pelestarian lingkungan baik alam, sosial, budaya maupun artefak warisan atau peninggalan-peninggalan,
7.
Pendidikan dan,
8.
Mobilitas serta perubahan sosial. McIntyre (1993) dalam Yoeti et al. (2006) menyatakan bahwa sejak 1993
WTO telah mengisyaratkan perlunya pengembangan pariwisata berkelanjutan yang didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang kini telah diterima secara luas sebagai suatu pendekatan yang esensial untuk semua tipe pembangunan termasuk pariwisata. Pembangunan berkelanjutan menunjuk pada pembangunan
tanpa
penurunan
dan
pemusnahan
dari
sumber-sumber
kepariwisataan, karena pengembangan pariwisata tidak dapat dibatasi oleh waktu, geografis, maupun sosial budaya. Pariwisata merupakan sebuah kompleksitas internasional yang membawa berbagai dampak positif maupun negatif terhadap berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain secara simultan dan berkelanjutan. Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. jika pariwisata ditujukan untuk kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk wisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa wisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak
sama. Banyak
ekowisata yang mungkin tidak
berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati. Menurut Simonds (1983) lanskap adalah bentang alam yang memilki karakteristik tertentu, dapat dinikmati oleh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu dengan harmonis dan alami antara komponen-komponennya. Pemandangan alam dengan elemen penyususun lanskap alami maupun buatan seperti bentukan alam, vegetasi, kehidupan alam liar, formasi batuan ataupun bangunan mampu membentuk karakter lanskap yang menarik dan dapat menjadi ciri khas bagi suatu kawasan. Karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan
10
dapat menjadi unsur yang mendukung pengembangan kawasan wisata alam. Selanjutnya berdasarkan Porteus (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam,
yang
selanjutnya
mengapresiasinya.
Tipe
dibutuhkan kesenangan lanskap
berdasarkan
dan
apresiasi
pendidikan untuk dibagi
menjadi
pegunungan (mountains), alam bebas (wildness), pedesaan (the middle landscape/rural), taman-taman (gardens) dan lanskap perkotaan (townscape). Dalam
ruang
lingkup
lanskap,
lanskap
berkelanjutan
umumnya
menggambarkan suatu lanskap yang mendukung kualitas lingkungan dan memelihara sumberdaya alami (Rodie dan Streich 2000). Pengertian Wisata Menurut Gunn (1994), wisata adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal ditujuan tersebut mereka melakukan kegiatan dan diciptakan fasilitas
untuk
mengakomodasi
kebutuhan
mereka.
sedangkan
menurut
Wangpaichitr (1995), wisata adalah kebutuhan manusia yang akan timbul apabila adanya kesiapan dari aspek fisik dan mental. Ditambahkan oleh Yoeti (2004), terdapat empat faktor utama yang berkaitan dengan wisata yaitu perjalanan dilakukan sementara waktu, dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, perjalanannya tidak bertujuan untuk bekerja tetapi semata-mata hanya untuk menjadi konsumen dari objek dan daya tarik wisata, berkaitan dengan tamasya atau rekreasi. Terdapat perbedaan antara wisata dengan rekreasi, perbedaan utama diantara keduanya yaitu bahwa rekreasi tidak membutuhkan adanya aktivitas perjalanan yang jauh; jarak perjalanan tidak jauh dari tempat tinggal dan tidak perlu meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Rekreasi dapat dilaksanakan didalam rumah maupun di luar rumah. Sedangkan aktivitas wisata membutuhkan adanya pergerakan orang untuk pergi dari lingkungan tempat tinggal atau rumah dan tinggal sementara pada lokasi yang berbeda untuk bersantai, beristirahat dan pemulihan diri (Mak 2004). Beberapa contoh wisata yang umum diketahui diantaranya yaitu wisata budaya dan wisata alam. Wisata budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumber budaya. Kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra-sejarah; tapak bersejarah; tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan; lokasi industri, pusat perbelanjaan dan pusat
11 bisnis; tempat pementasan kesenian, museum dan galeri; tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dari sumberdaya budaya antara lain dengan membuat interpretasi pengunjung dan melakukan kunjungan pada taman prasejarah dan preservasi, pusat kebudayaan, taman bersejarah, festival kebudayaan, festival pendidikan, pusat konvensi, pusat kesehatan, resor kebugaran, museum, tempat keagamaan dan lain sebagainya. Sedangkan wisata alam adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya alam yang terdiri dari lima bentukan dasar alam yaitu : air, perubahan topografi, flora, fauna, dan iklim Gunn (1994). Menurut Pitana dan Gayatri (2005), pada dasarnya wisata dimotivasi oleh empat kelompok besar yaitu : 1.
Motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis, antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan oleh raga, bersantai dan sebagainya.
2.
Motivasi budaya, yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah lain, termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek peninggalan budaya (monumen bersejarah)
3.
Motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi kerabat dan teman, melakukan jiarah.
4.
Motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi bahwa didaerah lain seseorang akan dapat lepas dari rutinitas yang menjemukan, dan memberikan kepuasan psikologis. Obyek dan Daya Tarik Wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong
kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata (Suwantoro 2004). Selanjutnya menurut Undang-undang nomor 9 tahun 1990 Obyek dan daya tarik wisata terdiri dari atas : 1. obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna ; 2. obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Pada pasal selanjutnya dikatakan bahwa Pemerintah menetapkan obyek dan daya tarik wisata dan mengatur tentang pembangunan obyek dan daya tarik
12 wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat obyek – obyek baru sebagai obyek dan daya tarik wisata dengan memperhatikan : 1.
kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya ;
2.
nilai – nilai agama, adat – istiadat, serta pandangan dan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat ;
3.
kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup ;
4.
kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri. Menurut lew (1987) dalam Pitana dan Gayatri (2005), atraksi merupakan
komponen penting dalam wisata, atas dasar tersebut maka lew menyarankan agar perhatian diberikan pada aspek pokok dari suatu atraksi, yaitu : 1.
Aspek idiographic: mendekripsikan keunikan dari suatu lokasi, yang umumnya berasosiasi dengan wilayah yang kecil.
2.
Aspek Organisational : fokusnya adalah wilayah, kapasitas, dan struktur organisasi yang terkait.
3.
Aspek Cognitive : unsur informasi dan pelayanan, yang membuat seorang wisatawan benar-benar merasa sebagai wisatawan. Selanjutnya menurut Suwantoro (2004) bahwa dalam kedudukannya yang
sangat menentukan, maka daya tarik wisata harus dirancang dan dibangun/ dikelola secara profesional sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang. Membangun suatu objek wisata harus dirancang sedemikian rupa berdasarkan kriteria tertentu. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berdasarkan pada : 1.
adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih
2.
adanya aksebilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya
3.
adanya ciri khusus / spesifikasi yang bersifat langka
4.
adanya sarana / prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir
5.
objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan, dan sebagainya.
6.
objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.
13 Atraksi wisata merupakan elemen dasar yang terkait dengan pengalaman yang akan menentukan tingkat kepuasan wisatawan dalam mengunjungi atau melakukan kegiatan pada suatu areal wisata. Daya tarik suatu kawasan wisata sangat beragam dan umumnya merupakan hasil dari pengembangan dan pengelolaan dari keunikan kegiatan dan kawasannya. Jumlah dan distribusi atraksi yang terdapat di suatu tempat merupakan alasan dan faktor pendorong terkuat untuk melakukan suatu perjalanan wisata (Gunn 1994). Suplai atas penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level harga. Suplai wisata adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan karakteristik sosial ekonomi dengan sebaik mungkin yang dalam usaha wisata yaitu usaha yang dapat menyokong atraksi dan obyek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata (Jafari 2000). Prasarana wisata adalah sumber daya alam dan sumberdaya buatan manusia
yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannnya
didaerah tujuan wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan dan lain sebagainya. Untuk kesiapan obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi oleh wisatawan di daerah tujuan wisata tersebut perlu dibangun dengan disesuaikan dengan lokasi dan kondisi obyek wisata yang bersangkutan. Pembangunan prasarana wisata yang mempertimbangkan kondisi dan lokasi akan meningkatkan aksesibiltas suatu obyek wisata yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan daya tarik obyek wisata itu sendiri. Disamping berbagai kebutuhan yang telah disebutkan diatas, kebutuhan wisatawan yang lainnya juga perlu disediakan didaerah tujuan wisata, seperti bank, apotik, rumah sakit, pom bensin, pusat-pusat perbelanjaan dan sebagainya (Suwantoro 2004). Aksesibilitas yang mudah pada produk dan objek wisata merupakan salah satu faktor yang memicu seseorang untuk berwisata. Tidak seperti produk industri yang dapat diangkut ke pasar untuk di jual, jarang produk wisata yang bersifat mobil. Oleh sebab itu harus ada media yang menghubungkan wisatawan dengan produk tersebut, yakni akses yang dalam hal ini berupa infrastruktur transportasi. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata, mulai dari darat, laut sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan dan keslamatan. Moda
14 transportasi layak ditawarkan adalah angkutan penumpang tersebut berangkat ke dan tiba tepat waktu di obyek dan daya tarik wisata (ODTW), tentu saja dengan tingkat kenyamanan dan keselamatan yang standar (Damanik dan Weber 2006). Selanjutnya Suwantoro (2004) menjelaskan juga pentingnya sarana wisata yang merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Pembangunan sarana wisata didaerah tujuan wisata maupun di objek wisata tertentu harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Lebih dari itu selera pasarpun dapat menentukan tuntutan sarana yang dimaksud. Berbagai sarana wisata yang harus disediakan didaerah tujuan wisata ialah hotel, biro perjalanan, alat transportasi, restoran dan rumah makan serta sarana pendukung lainnya. Tak semua obyek wisata memerlukan sarana yang sama dan lengkap. Pengadaan sarana wisata tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan. Sarana wisata secara kuantitatif menunjuk pada jumlah sarana wisata yang harus di sediakan, dan secara kualitatif menunjuk pada mutu pelayanan yang diberikan dan yang tercermin pada kepuasan wisatawan yang memperoleh pelayanan. Dalam hubungannya dengan jenis dan mutu pelayanan sarana wisata di daerah tujuan wisata telah disusun sesuai standar wisata yang baku, baik secara nasional dan secara internasional, sehingga penyedia sarana wisata tinggal memilih atau menentukan jenis dan kualitas yang akan disediakan. Dalam penyediaan sarana wisata seperti sarana akomodasi penting bagi pelaku wisata indonesia untuk memperhatikan identitas lokal, seperti yang diutarakan oleh Pendit (2006), sesungguhnya tidaklah ada yang akan lebih senang dan puas daripada sang wisatawan sendiri apabila corak dan suasana dekor akomodasi di hotel-hotel di negeri yang di kunjungi adalah benar-benar khas dan menggambarkan situasi kepribadian bangsa Indonesia yang besar, serta arsitektural tradisional yang mempergunakan bahan bangunan setempat dalam wujud seni budaya daerah yang mencerminkan suasana lingkungan yang harmonis. Keunikan lokal ini sangat didambakan oleh setiap wisatawan yang datang berkunjung ke suatu daerah dimanapun tempat itu berada. Keragaman objek dan daya tarik wisata yang besar di Indonesia dapat menjadi salah satu keunggulan komparatif produk pariwisata di pasar internasional. Namun demikian harus diakui bahwa objek dan daya tarik wisata
15 secara faktual belum mampu memenuhi standar produk yang dapat dijual di pasar. Banyak objek dan daya tarik wisata yang hanya menawarkan objek apa adanya, dalam arti hampir tanpa kemasan dan tanpa target pasar yang jelas. Jelasnya keragaman objek dan daya tarik wisata tersebut hanya dapat memberikan keuntungan optimal apabila dikembangkan berdasarkan hasil-hasil perencanaan yang terukur. MacKinnon et al. (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung dan harus diperhatikan dalam perencanaannya adalah: 1.
Letak kawasan dekat, cukup dekat atau jauh terhadap bandara internasional atau pusat wisata
2.
Akses ke kawasan wisata tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha
3.
Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu
4.
Kemudahan dan terjaminnya untuk melihat atraksi atau satwa
5.
Keistimewaan/kekhasan dari kawasan
6.
Kedekatan dengan lokasi lain yang menarik bagi wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisata lain
7.
Sekitar kawasan memilki pemandangan sangat indah
8.
Tersedianya akomodasi yang memadai Menurut undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan,
kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Usaha kawasan pariwisata merupakan usaha yang kegiatannya membangun atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, penetapan suatu kawasan sebagai kawasan pariwisata dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan tata ruang kawasan dan berdasarkan rencana pengembangan kepariwisataan. Suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata, karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai (Gunn 1994) Kawasan wisata pada umumnya menempati ruang wilayah yang cukup luas seperti : Nusa Dua di Bali, Pulau Putri di Kepulauan Seribu. Pembangunan suatu kawasan adalah bagian dari tata ruang wilayah didaerah yang bersangkutan. Proporsi luas area kawasan wisata mungkin sekali sangat bermakna bagi daerah bersangkutan, sedemikian luas sehingga sangat menentukan dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan. Oleh karena itu,
16 pembangunan kawasan wisata harus dilakukan sangat berhati-hati
dengan
pertimbangan dan perhitungan cermat berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan. Suatu kawasan wisata dapat mencakup lebih dari satu wilayah pemerintahan, memiliki sejumlah daya tarik wisata yang menarik, mampu menawarkan beragam kegiatan pariwisata yang unik, memiliki akses yang tinggi dengan kawasan wisata lainnya (Warpani dan Warpani 2007). Suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek (Gunn, 1994) yaitu : 1.
Mempertahankan kelestarian lingkungannya
2.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
3.
Menjamin kepuasan pengunjung
4.
Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Perencanaan berorientasi kepada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan sebagai pengelolaan (Nurisyah 2000). Perencanaan bukanlah sekedar persiapan akan tetapi merupakan proses kegiatan yang secara terus menerus mewarnai dan mengikuti kegiatan sampai pada pencapaian tujuan. Perencanaan bahkan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi yang hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi perencanaan kegiatan selanjutnya (Suyitno 1999). Menurut Knudson (1980) perencanaan adalah mengumpulkan dan menginterpretasikan data, memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah, dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Perencanaan merupakan proses yang rasional untuk mencapai tujuan dan sasaran dimasa mendatang berdasarkan kemampuan sumberdaya alam yang ada serta pemanfaatannya secara efektif dan efisien (Sujarto 1985). Perencanaan lanskap yang baik harus melindungi badan air, dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan, dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan
17 suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai keindahan dan ekologi. Proses perencanaan lanskap secara umum dapat dibagi menjadi commision, riset, analisis, sintesis, konstruksi dan pelaksanaan. Commission merupakan suatu pertemuan antara perencana dan client untuk memperoleh kesepakatan mengenai tujuan proyek dan rencana yang akan di buat. Riset terdiri dari survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak, meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metoda. Kegiatan pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan (Simonds 1983). Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan pengunjung,
kawasan
pemerintah
wisata daerah,
untuk
mengakomodasikan
penduduk
atau
masyarakat
keinginan sekitar.
ditambahkan bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif minimal. Keberadaan suatu aset sumberdaya alam dan lingkungan memberi suatu wilayah kemampuan atau peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Penentuan kawasan wisata sangat erat dengan wilayah dari lokasi atraksi yang menjadi andalan utama tersebut, sehingga perlu dilakukan suatu cara untuk penetapannya. Perencanaan wisata sangat penting dilakukan karena saat ini dan dimasa depan akan terus terjadi pergeseran pasar wisata. Motif, minat, selera, tuntutan, dan perilaku wisatawan terus-menerus berubah dalam hal ini perlu direspon dengan tepat. Apalagi ketersediaan produk yang berkualitas akan semakin berkurang. Dengan perubahan seperti itu produk yang tidak inovatif jelas tidak akan laku, apalagi persaingan produk dan jasa
di pasar wisata cenderung
meningkat dengan derajat kualitas yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu perencanaan menjadi tindakan yang mutlak dilaksanakan. Perencanaan yang baik berarti menghasilkan suatu strategi peningkatan daya saing produk dan keuntungan ditingkat perusahaan atau pelaku wisata. Dalam perencanaan harus tergambar syarat-syarat apa yang harus dipenuhi dan fungsi-fungsi apa yang perlu dijalankan oleh para pelaku (Damanik dan Weber 2006). Gunn (1979) dalam Kelly (1998) mengatakan bahwa komponen struktural perencanaan wisata adalah permintaan dan suplai. Permintaan merupakan
18 besarnya permintaan oleh masyarakat untuk melakukan wisata, sedangkan suplai terdiri dari empat komponen yaitu transportasi, atraksi, pelayanan, informasi, dan promosi. Kelly (1998) menyatakan bahwa Elemen dasar yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah masyarakat lokal, pengunjung, dan daerah kunjungan. Masyarakat lokal selain harus dilibatkan sebagai bagian dari atraksi yang akan diberikan, juga harus diperhatikan privasi mereka. Kualitas para pengunjung lebih menjadi tolak ukur kesuksesan dari suatu daerah tujuan wisata dibanding dari kuantitas atau jumlah pengunjung. Daerah kunjungan harus memperhatikan atraksi dan pelayanan yang akan dapat meningkatkan pengalaman dan kepuasan pengunjung.
Pengunjung
Daerah Tujuan Wisata
Masyarakat Lokal
Gambar 2. Elemen Dasar dalam Perencanaan Wisata (Mason 2006) Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Namun kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis
padahal keindahan dan keaslian alam
merupakan modal utama. Oleh karena itu, perencanaan wisata
hendaknya
dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai
dampak
terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al. 2004). Perencanaan wisata hendaknya dapat memberikan pengalaman bagi pengunjung
yang
akan
bermanfaat,
memuaskan
dan
menyenangkan
pengunjung. Perencanaan bagi aktivitas wisata mengarah pada penyediaan fasilitas yang nyaman, aman dan baik bagi pengunjung, menambah kesenangan para pengunjung, tetapi tidak mengakibatkan dampak pada bagian-bagian yang signifikan atau karakteristik ekologi (ICOMOS, 1999). Ditambahkan oleh Inskeep (1991) perencanaan kontemporer melibatkan masyarakat dalam perencanaan
19 maupun dalam pengambilan keputusan . hal ini didasarkan pada konsep bahwa masyarakat yang tinggal di area wisata harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi perencanaan masa depan daerah itu serta untuk mengekpresikan pandangan mereka tentang masyarakat seperti apa yang mereka inginkan di masa yang akan datang, sehingga dapat memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi masyarakat atas pengembangan kawasan mereka. Damanik dan Weber (2006), menyarankan pada daerah-daerah agar perlu mengkaji ulang potensi wisata yang ada dan produk yang eksis dan kemudian melakukan perencanaan yang tepat tentang bagaimana potensi tersebut sebaiknya dikembangkan dan bagaimana produk yang telah ada dapat didesain untuk
memenuhi
kebutuhan
pasar.
Beberapa
hal
penting
yang
perlu
dipertimbangkan dalam perencanaan adalah sebagai berikut : 1.
Pengembangan produk wisata yang bernilai ekologi tinggi (green product)
2.
Seleksi kawasan wisata yang menawarkan keanekaragaman hayati (biodiversity)
3.
Pengabaian produk dan jasa yang banyak mengonsumsi energi dan yang menimbulkan limbah (polusi, kongesti dll)
4.
Penciptaan standarisasi dan sertifikasi produk wisata berbasis ekologi
5.
Pelatihan
dan
penguatan
kesadaran
lingkungan
dikalangan
warga
masyarakat 6.
Pelibatan penduduk lokal dalam kegiatan penyediaan dan pegelolaan jasa wisata
7.
Pengembangan kolaborasi manajemen trans-sektoral dalam pengembangan wisata. Aspek Biofisik dalam Perencanaan Kawasan Aspek lingkungan biofisik merupakan butir yang penting dalam menjaga
kualitas suatu kawasan wisata. Kondisi biofisik yang seimbang dan unik memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut (Suparmoko 1989).
20 Menurut Brooks (1988) ketika pertimbangan lingkungan di kaji pada awal perencanaan, maka keadaan lingkungan tersebut bukan hanya berguna dalam pengujian tetapi juga menjadi dasar bagi penilaian dan memberikan solusi bagi suatu masalah. Melalui penilaian terhadap kondisi lingkungan maka wilayah perencanaan dapat digambarkan menurut potensi pengembangannya, termasuk kawasan-kawasan yang memiliki potensi terkena bencana. Menurut Sumarwoto (2008), faktor biofisik
terkait erat dengan daya
dukung, lingkungan biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem akan sangat menentukan besar kecilnya daya dukung tempat wisata. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dan dapat cepat pulih dari kerusakan (sensitivitas rendah, resiliensi tinggi). Dalam pengembangan suatu kawasan wisata faktor kualitas lingkungan merupakan bagian yang sangat penting, karena kualitas lingkungan merupakan dasar dan pedoman untuk menapai tujuan pengelolaan lingkungan. Agar kita dapat mengelola lingkungan dengan baik, kita tidak saja perlu mengetahui apa saja yang tidak kita kehendaki, melainkan juga apa yang kita kehendaki. Dengan demikian kita dapat mengetahui kearah mana lingkungan itu akan kita kembangkan. Beberapa unsur dari lingkungan biofisik yang penting untuk diperhatikan dalam suatu perencanaan diantaranya, kemiringan lahan, kepekaan tanah, dan penutupan lahan. Topografi merupakan suatu kumpulan dari garis kontur. Topograpfi penting untuk dipahami, setiap perubahan pada kontur atau kemiringan akan mengurangi atau meningkatkan pola runoff air, meningkatkan atau mengurangi erosi dan sedimentasi, dan berpotensi mempengaruhi stabilitas suatu tapak. Kumpulan garis kontur juga menggambarkan karakteristik lain dari suatu lahan yaitu slope (kemiringan) menggambarkan kelerengan suatu lahan dan di nyatakan dalam persen. Suatu kelerengan di ekpresikan sebagai suatu persentase dari perbandingan kenaikan vertikal dan horisontal dalam jarak 100m. Tanah sangat penting karena merupakan tempat dimana diatasnya mahluk hidup tinggal dan struktur berdiri diatasnya, dalam hal ini tanah terkait dengan jenis, sifat dan unsur tanah itu sendiri. Kepekaan tanah menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan tapak dan penggunaan tapak yang sesuai bagi suatu rencana pengembangan (Brooks 1988).
21 Partisipasi Masyarakat dalam Mendukung Wisata Masyarakat disekitar lokasi wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat berjalan. Proses dan keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada, dimana pada masyarakat terdapat tujuh potensi bagi keterlibatannya (Nurisyah et al 2003) yaitu: 1.
Konsultasi atau pemikiran
2.
Sumbangan (barang uang)
3.
Sumbangan kerja dengan menggunakan tenaga setempat
4.
Waktu
5.
Aksi massa
6.
Pembangunan dalam kalangan keluarga atau masyarakat setempat
7.
Mendirikan proyek yang di danai dari luar lingkungan masyarakat itu sendiri. Banyak alasan dapat untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan termasuk didalamnya dalam pengelolaan sumberdaya wisata seperti yang diutarakan oleh Mitchell et al. (2007), melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efktif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar jangkauan dunia ilmiah,(3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Peran serta masyarakat dapat ditumbuhkan dan digerakan melalui usahausaha penerangan serta pengembangan komunikasi sosial yang sehat, yang dilakukan melalui dialog yang luas dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas dan bertanggung jawab; baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antar golongan-golongan masyarakat itu sendiri. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta pandangan yang kuat agar pembangunan tetap memiliki gerak maju kedepan. Sebagai contoh; masyarakat didaerah tujuan wisata sangat mengharapkan terbinanya kelestarian usaha yang terkait dengan objek wisata dan kehidupan alam budaya mereka tidak menjadi rusak. Untuk itu
22 pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan sekitarnya secara langsung (Suwantoro 2004). Lebih lanjut Suwantoro (2004) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki dikalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya disekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata kearah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian, baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan objek wisata alam
adalah
kurangnya
kegiatan
yang
berkaitan
dengan
peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar kawasan objek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam wisata dan dalam menjaga kelestarian lingkungannya misalnya pengamanan kawasan, ketertiban dan
23 kebersihan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana, termasuk kebutuhan akomodasi (Suwantoro 2004). Metode Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Berkelanjutan Untuk dapat mengetahui potensi wisata di suatu daerah maka berbagai kemungkinan obyek wisata dan fasilitas-fasilitas penunjangnya di daerah tersebut
perlu
dievaluasi.
Secara
umum,
penilaian
dilakukan
dengan
memperhatikan adanya obyek-obyek wisata serta adanya atau kemungkinan dibangunnya fasilitas-fasilitas wisata. Penilaian secara kuantitatif sulit dilakukan karena penilaian terhadap hal-hal yang mempengaruhi daya tarik wisata seperti keindahan, menarik atau tidaknya suatu obyek dan lain-lain sangat tergantung dari orang perorang (Hardjowigeno 2001). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata berkelanjutan diantaranya dengan metode penilaian tourism attractiveness index (Smith 1989),
yaitu dengan menilai daya tarik suatu
kawasan wisata. Tahapan yang dilakukan yaitu dengan menetapkan suatu daftar atribut untuk mengkaji tingkat daya tarik suatu kawasan wisata, mengelompokan kriteria individu kedalam suatu kelompok kecil dari kategori utama misalnya atribut dan kategori : (1) faktor-faktor alam - (a) keindahan alam dan (b) iklim; (2) faktor-faktor sosial - (a) arsitektur, (b) festival,(c) atraksi budaya masyarakat lainnya;(3) faktor-faktor sejarah - (a) peninggalan masa lampau,(b) tempat suci keagamaan, (c) historical importances ;(4) sumberdaya untuk berbelanja dan rekreasi - (a) kesempatan untuk berolah raga, (b) museum,kebun binatang, aquarium, taman, (c) peluang untuk kebugaran dan relaksasi, (d) toko dan pusat perbelanjaan; dan (5) infrastruktur wisata - (a) jalan yang memadai, utility, pelayanan kesehatan dan, (b) fasilitas penginapan dan makan yang memadai. Tahap selanjutnya yaitu memilih pakar yang akan menilai bobot setiap kriteria, para pakar ini dapat dari biro perjalanan, perhotelan, penerbangan, akademisi dan pejabat pemerintah bidang pariwisata, menyampaikan cara penilaian kepada panelis( metode penilaian dikembangkan oleh Churchman, Ackoff, dan Arnoff (1975), dimana bobot penilaian setiap kriteria (Wi)berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Selanjutnya pakar melakukan penilaian, skor rata-rata setiap kriteria untuk setiap kawasan (Sij) dimana I adalah kriteria dan j adalah kawasan. Tahap terakhir, menjumlahkan setiap nilai kawasan (AijS), untuk memperoleh suatu ukuran tunggal dari tingkat daya tarik wisata setiap wilayah ( Aj).
24 Model lain yang diutarakan oleh Kiemstedt (1967), diacu dalam Gunn (1994) adalah dengan melakukan pengukuran dan memetakan tiga set faktor untuk menetapkan area terbaik yang sesuai untuk pengembangan rekreasi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fisik, fasilitas yang tersedia, serta keadaan alam dan budaya dari suatu kawasan. Setiap set faktor di ringkas menjadi sebuah indeks daya tarik (index of attractivity). Prosesnya meliputi mengukur subkomponen yang berkaitan dengan lokasi dimana fungsi atraksi, nilai atraksi dari setiap peubah di hitung. Kemudian dilakukan overlay peta sehingga dapat dilihat area dengan kategori yang tertinggi dari semua komponen maka merupakan yang paling tinggi atraksinya dan selanjutnya ditetapkan untuk dikembangkan. Menurut Gunn (1994), dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi sering dipakai dalam perencanaan lanskap. Pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian. Salah satu prosedur kerja yang umum dilakukan dalam SIG adalah penumpang-tindihan beberapa peta untuk mencari suatu wilayah tertentu. Dalam pekerjaan perencanaan spasial dimana data-data disajikan dalam bentuk peta, pendekatan ini sangat biasa dilakukan. Tumpang susun bukan hanya menggabungkan garis yang terdapat pada dua atau tiga peta tersebut menjadi gabungan, karena hal ini hanya bagian kegiatan fisiknya, akan tetapi yang lebih penting menggali makna yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut ( Barus dan Wiradisastra 2000).
Sistem Informasi Geografis Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG) menurut Star (1990) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial dan juga nonspasial. SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan nonspasial, dan juga dapat melakukan operasi data. SIG dapat dilakukan secara manual maupun dengan cara otomatik yang menggunakan komputer digital. Lima elemen yang penting dalam SIG adalah cara perolehan
25 data, pra-proses, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan penghasilan produk. Menurut Aronof (1991), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisikan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisis data. Menurut Foote dan Lynch (1996) terdapat tiga hal penting yang berkaitan dengan SIG , yaitu : 1.
SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan
geo-reference
sebagai
dasar
utama
dalam
proses
penyimpanan dan akses informasi. 2.
SIG
merupakan
sebuah
teknologi
yang
terintegrasi,
karena
dapat
menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), Computer Aided Design (CAD) dan lainnya. 3.
SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. SIG tidak hanya berfungsi sebagai tools semata. Walaupun produk SIG
paling sering disajikan dalam bentuk peta, kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya melakukan analisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Di sinilah SIG menunjukan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood, dan fungsi konektifitas. Secara garis besar operasi overlay terdiri atas dua macam, yakni operasi manual overlay dan automated overlay. Operasi manual overlay dilakukan pada peta yang bersifat analog sedangkan automated overlay dilakukan pada peta digital yang di proses secara otomatis oleh komputer. Proses overlay ini dapat dilakukan baik untuk tipe data raster maupun vektor (Demers, 2003) Keandalan SIG yang terkait dengan operasi neighborhood adalah kemampuannya melakukan proses interpolasi terhadap data permukaan bumi
26 yang bertipe raster. Interpolasi merupakan suatu proses prediksi nilai-nilai yang tak diketahui menggunakan nilai-nilai yang diketahui pada lokasi tetanga terdekat (Aronoff 1993). Selain itu, SIG juga mampu membentuk garis-garis kontur untuk menggambarkan bentuk-bentuk permukaan seperti sekumpulan garis yang menghubungkan titik-titik nilai yang sama. Dalam peta topografi, garis-garis kontur tersebut menghubungkan titik-titik dengan nilai elevasi yang sama. Penelitian yang terkait wisata dengan menggunakan GIS sebagai alat analisis diantaranya dilakukan oleh Elly (2006) yaitu rencana pengembangan wisata bahari di kawasan perairan Teluk Lada, Banten dengan pendekatan system informasi geografis, dimana dilakukan perancangan database spasial sebagai dasar untuk membuat perencanaan pengembangan wisata bahari, membuat zonasi kegiatan wisata bahari. Analisis dilakukan terhadap aspek fisik oseanografi, sebaran terumbu karang dan jarak pantai. Hasil analisis menunjukan terdapat sejumlah kawasan perairan yang layak untuk kegiatan wisata bahari. Penelitian lainnya yang terkait dengan GIS dan penataan wisata dilakukan oleh Yusiana (2007) yaitu perencanaan lanskap wisata pesisir berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur dengan menilai kualitas lingkungan pesisir, potensi pengembangan kepariwisataan pesisir, serta tingkat akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kepariwisataan. Analisis potensi wisata pesisir menghasilkan tiga zona pengembangan wisata yaitu zona pengembangan tinggi, zona pengembangan sedang dan zona pengembangan rendah. Selanjutnya dihasilkan tata ruang wisata, jalur interpretasi wisata, dan program pengelolaan wisata berkelanjutan.