II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemenelemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan ekologis dalam suatu hubungan yang sinergis. Oleh karena itu, makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis. Konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula. Clark
dan
Dickson
(2003)
berpendapat
bahwa
walaupun
isu-isu
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut, Daly (1990) memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu : 1) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield); 2) laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal), dan 3) untuk sumberdaya
tidak
terbarukan
(non-renewable
resources),
laju
deplesi
sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Tiga kriteria ini menurut Adrianto (2004) ideal dan lebih bersifat normatif, namun dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Indonesia, ketiganya menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi norma bagi setiap pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
10
2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan laut di wilayah ini terjadi sangat kuat. Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah “suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland), pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang memberikan
habitat
penting
bagi
beberapa
spesies
laut;
c).
Memiliki
keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove, pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e). Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan, transportasi laut dan rekreasi wisata. Wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Sudah sejak lama wilayah pesisir dengan segala potensinya dimanfaatkan oleh manusia, terutama dalam bidang perekonomian. Wilayah ini juga merupakan kawasan tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan yang paling intensif. Wilayah pesisir ini, selain potensial untuk kegiatan pembangunan juga rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan dan perekonomian itu, baik yang berlangsung di wilayah pesisir itu sendiri maupun yang berlangsung di laut
ataupun
kawasan
atasnya
(daratan).
Berbagai
bukti
pengrusakan
11
sumberdaya darat dan laut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk terhadap
wilayah
pesisir
dengan
berbagai
dampaknya
semakin
besar.
Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini (Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000). Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu dilakukan sebagai bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia. Pemikiran
pembangunan
berwawasan
lingkungan
secara
terpadu
dan
berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang dapat
ditimbulkannya.
Hal
ini
dikarenakan
pembangunan
berkelanjutan
merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri et al. 1996).
2.3. Pengelolaan Perikanan Budidaya Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai “raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy). Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Selain itu terdapat beberapa jenis kegiatan budidaya perikanan lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan
12
budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumbersumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan. Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam kerangka agrowisata. Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendayagunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002). Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan.
2.4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan lingkungan dan sosial. Pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya adalah belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolok ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan
13
lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proporsional (Ristianto 2003). Adrianto
(2004)
mengemukakan
pertumbuhan
ekonomi
memiliki
keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steadystate economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability corridors). Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan di atas, Adrianto (2004) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi. Oleh karena itu, pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh mainstream Ecological Economics yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan time-frame yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Selanjutnya
dengan
mengubah
paradigma
dan
cara
pandang
pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma sustainability sciences.
14
2.5. Ecological Input-Output Menurut Rustiadi et al. (2004) model Input-Output telah dikenal semenjak jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibriumnya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas. Puncak perkembangan Tabel Input-Output yang mencapai bentuk yang mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang dikembangkan oleh Leontief (1966). Tujuan Leontief mengembangkan tabel input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini Analisis Input-Output telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan
perekonomian
nasional,
wilayah
dan
antar
wilayah,
serta
dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian (Rustiadi et al. 2004). Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output (I-O) konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang berupa limbah atau permasalahan lingkungan/ekologi seperti pencemaran CO, CO2, SOx dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi. Prinsip analisis yang digunakan sama dengan prinsip pada analisis dasar, dimana dengan mengasumsikan koefisien konstan, maka dampak perubahan permintaan akhir pada produksi berbagai sektor (termasuk produksi limbah) akan
15
bisa diprediksi. Karena model ini mencakup komoditi ekologi seperti air dan tanah yang dimasukkan sebagai input, maka dapat diprediksi dampak perubahan permintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan (KMNLH dan BPS 2000). Bentuk umum tabel ecological input-output yang memperhitungkan dampak lingkungan adalah dengan menambahkan beberapa kolom pada sisi kanan tabel input-output standar yang mencerminkan output berupa produk sampingan ekonomi yang dalam hal ini eksternalitas dan degradasi yang terjadi terhadap lingkungan. Di samping itu dengan menambahkan baris pada sisi bawah yang menggambarkan input berupa variabel sumberdaya (lingkungan) yang dapat memberikan masukan bagi kegiatan ekonomi. Format tabel input-output terdiri dari suatu kerangka matrik berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lengkap, maka Tabel 1 menyajikan format tabel ecological input-output. Tabel 1 Struktur Tabel Ecological Input-Output Alokasi Output
j
…
n
X11 … … … Xi1 … … … Xn1
… … … … … … … … …
X1j … … … Xij … … … Xnj
… … … … … … … … …
X1n … … … Xin … … … Xnn
L1
…
Lj
…
Ln
Nilai Tambah Lain
V1
…
Vj
…
Vn
Impor
M1
…
Mj
…
Mn
Total Input Ecological Commodity Inputs
I1
…
Ij
…
In
R1
…
Ri
…
Rn
Sektor Produksi
Input Antara
Susunan Input 1 . . . i . . . n
Upah dan gaji Rumah Tangga
Ekspor
…
Stok
1
Pembentukan Modal Tetap
Sektor Produksi
Konsumsi Pemerintah
Permintaan Akhir Konsumsi Rumah Tangga
Permintaan Antara
Total Output
RT1 … … … RTi … … … RTn
KP1 … … … KPi … … … KPn
PM1 … … … PMi … … … PMn
S1 … … … Si … … … Sn
E1 … … … Ei … … … En
O1 … … … Oi … … … On
Ecological Commodity Outputs
N1 … … … Ni … … … Nn
2.6. Ecological Footprint Sachs (2003), diacu dalam Anielski (2005) mengatakan bahwa : “The world is no longer divided by the ideologies of ‘left’ and ‘right,’ but by those who accept ecological limits and those who don’t.” (“Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’
16
dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis dan mereka yang tidak”). Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain diperlukan suatu pendekatan. Salah satu konsep pendekatan yang coba ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan dan alat perencanaan untuk keberlanjutan pembangunan. Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Selain itu menurut Anielski (2005) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria ekologis minimum untuk keberlanjutan. Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, TPA dan lain-lain (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological footprint diri kita. Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah, atau negara. Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan nasi kita. Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang
17
khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah, perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang secara ekologis telah ”terdegradasi” karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga meningkat (Palmer 1999). Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint. Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998), analisis ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut. Wackernagel dan Yount (1998) menjelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana. Pertama, kita dapat menelusuri banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan kebanyakan
populasi
tersebut
menghasilkan
buangan.
Kedua,
bahwa
sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan. Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatannya masih di dalam kemampuan alam melakukan regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.