TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Keberlanjutan merupakan kata yang digunakan secara luas dalam program pembangunan. Menurut World Commision on Environment and Development (Brundtland Commision) (1987 diacu dalam Mitchell et al. 1997), pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Darusman (1993) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah terjaganya faktor-faktor produksi dan konsumsi sumberdaya alam dari kerusakan, oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara optimal dengan memperhatikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan kepentingan antar generasi. Reijntjes et al. (1999) menyatakan bahwa keberlanjutan dapat diartikan menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Sinukaban et al. (2001) lebih tegas menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memusatkan perhatian pada pemberdayaan ekonomi rakyat atau masyarakat dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya (Reijntjes et al. 1999). Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa makna berkelanjutan dalam pembangunan bidang pertanian menyangkut dua komponen penting yaitu kelestarian ekonomi masyarakat dan lingkungan.
Banyak pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli tentang pertanian berkelanjutan,
diantaranya
dikemukakan oleh : 1. US Society of Agronomy (1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.
13 2. TAC/CGIAR (1988 diacu dalam Reijntjes et al. 1999), mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. 3. Reijntjes et al. (1999), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. 4. Mugnisyah (2001), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan mengandung pengertian bahwa teknologi budidaya yang digunakan memungkinkan lahan yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau hewan yang memuaskan
tanpa
menimbulkan
kerusakan
lahan
tersebut
sehingga
produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem produksi pertanian itu sendiri. Pengertian yang lebih terbuka dikemukakan oleh Gips (1986 diacu dalam Reijntjes et al. 1999), pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika mencakup halhal berikut: 1. Mantap secara ekologis, berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan, serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis. Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomasa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin, serta mampu mencegah pencemaran. 2. Bisa berlanjut secara ekonomis, berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usahatani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan risiko.
14 3. Adil, berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hakhak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik dilapangan maupun di dalam masyarakat. 4. Manusiawi, berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara. 5. Luwes, berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini bukan hanya pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial budaya. Selanjutnya menurut Adnyana (2001), pertanian berkelanjutan mengandung berbagai pengertian yaitu : (1) Berkelanjutan sebagai suatu strategi pengembangan, (2) Berkelanjutan sebagai suatu kemampuan untuk mencapai sasaran, dan (3) Berkelanjutan sebagai suatu upaya untuk melanjutkan suatu kegiatan. Dalam konteks kemampuan untuk mencapai sasaran, sistem usaha pertanian berkelanjutan mengandung pengertian bahwa dalam jangka panjang sistem tersebut harus mampu: (1) Mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan, (2) Mampu menyediakan insentif sosial dan ekonomi bagi semua pelaku dalam sistem produksi, (3) Mampu berproduksi cukup dan setiap penduduk memiliki akses terhadap produk yang dihasilkan. Sedangkan dalam konteks kemampuan untuk melanjutkan suatu sistem produksi, pengembangan usaha pertanian berkelanjutan apabila sistem tersebut tetap pada domain dari penggunaan sumberdaya lahan lintas waktu dan terus menerus mampu memberi dukungan pada tingkat produksi tertentu yang memberikan keuntungan ekonomi bagi pelakunya (commercial) dan kecukupan pangan penduduk (subsistence).
15 Pertanian berkelanjutan juga mencerminkan (1) Keberhasilan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia, (2) Kelestarian sumberdaya dan lingkungan dapat dipertahankan, produktivitas dapat dipertahankan sekalipun di bawah cekaman lingkungan biofisik maupun sosialekonomi (Conway 1985, diacu dalam Adnyana 2001). Oleh karena itu pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan produktivitas maupun produksi agregat lintas waktu, juga pada saat bersamaan harus mampu melindungi dan melestarikan sumberdaya pertanian untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. FAO dan UNEP (1999), menyatakan bahwa pendekatan
pertanian
berkelanjutan adalah efisiensi, resiliensi, dan pemerataan pendapatan. Thrupp (1996), mengemukakan bahwa unsur-unsur pendekatan pertanian berkelanjutan terdiri dari praktik-praktik ekologi (kebutuhan lingkungan yang didasarkan pada prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial, kesehatan, dan kesejahteraan penduduk), dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi, dan bernuansa teknologi). Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa pengertian dan pendekatan tentang pembangunan pertanian berkelanjutan telah cukup mapan. Namun indikator keberlanjutan yang terdiri dari banyak aspek masih sangat beragam. Lal (1991, diacu dalam Adnyana 2001) mengajukan konsep bahwa keberlanjutan merupakan suatu fungsi dari: (1) Output per unit input pada tingkat produktivitas atau laba per kapita yang optimal, (2) Output per unit sumberdaya yang paling terbatas atau sumberdaya yang paling sulit pulih, dan (3) Tingkat output minimal yang paling aman terhadap kelestarian sumberdaya. Secara konsisten Sinukaban (1991, 1994, 1999, dan 2005) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara layak dan terus menerus serta penerapan agroteknologi yang acceptable dan replicable. Berdasarkan definisi tersebut maka indikator pertanian berkelanjutan adalah : 1. Pendapatan masyarakat cukup tinggi 2. Agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan degradasi pada lahan yang dikelola, dan
16 3. Teknologi yang diterapkan harus dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) oleh masyarakat petani. Khusus bagi pembangunan pertanian lahan kering yang berkelanjutan, Sinukaban (1995) menyatakan dalam perencanaan usahatani perlu dilakukan beberapa tahapan yang meliputi : (1) melakukan evaluasi potensi fisik lahan, (2) mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan, (3) melakukan prediksi erosi, (4) melakukan analisis ekonomi usahatani, dan (5) mempertimbangkan aspek sosial. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah atau kawasan yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran air di bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisah topografi, yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Linsley et al. 1989). Arsyad et al. (1985) menyebutkan bahwa secara operasional DAS didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama pada sungai tersebut. Selanjutnya menurut Undang-undang Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004). Untuk kajian institusi, definisi DAS menurut Kartodihardjo et al. (2004) adalah, DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat. Pengelolaan DAS adalah upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam DAS secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu yang
17 tidak terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin, serta diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban 1999). Di dalam pengelolaan DAS, DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan antara wilayah hulu dan hilir, karena adanya interdependensi.
Namun karena
DAS bagian hulu merupakan daerah recharge dan merupakan sumber air bagi daerah di bawahnya, maka perhatian yang cukup terhadap wilayah ini sangat diperlukan. Hulu DAS umumnya didominasi oleh penutupan vegetasi hutan. Jadi apabila hutan rusak maka fungsi hidrologis DAS juga dapat dipastikan akan rusak. Berkaitan dengan fungsi dan karakteristik DAS bagian hulu tersebut, maka pengelolaan Hulu DAS lebih dimanifestasikan dengan pengelolaan hutan. Pengelolaan DAS sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah, saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah : Erosi dan sedimentasi, banjir dan kekeringan, pencemaran air sungai, pengelolaan tidak terpadu, koordinasi yang lemah, institusi belum mantap, konflik antar sektor/kegiatan dan peraturan yang tumpang tindih (Dephut 2001; Brooks et al. 1990; dan Easter et al. 1986). Kondisi ini menyebabkan kerusakan DAS setiap tahun semakin meningkat jumlahnya, meskipun pengelolaan DAS terus dilakukan. Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS tersebut di atas mengharuskan berbagai pihak yang terlibat (stakeholders) untuk melakukan Langkah-langkah strategis dalam pengelolaan DAS secara terpadu.
Adapun
rencana pengelolaan DAS terpadu mengacu pada kaidah Satu DAS, satu rencana, dan satu pengelolaan (Hutabarat, 2008). Daerah aliran sungai dan aspek pertanian, merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Berbicara tentang DAS pasti akan berimplikasi terhadap bidang pertanian. Oleh karena itu agar DAS baik dan lestari dengan berbagai cirinya, maka pertanian yang ada di dalamnya juga harus berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan DAS, Sinukaban (1994) menyatakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah keberlanjutan (Sustainability) yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, dan erosi. Teknologi dimaksud adalah teknologi yang dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan yang dimilikinya tanpa intervensi dari
18 pihak luar, dan teknologi tersebut dapat direplikasi berdasarkan faktor-faktor sosial budaya itu sendiri. Salah satu upaya agar penggunaan sumberdaya lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan adalah menerapkan sistem pertanian konservasi.
Sistem pertanian
konservasi adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem usahatani yang sedang dilakukan, dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menekan bahaya erosi. Erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (Etol), sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu. Selanjutnya Sinukaban (1994) menyatakan bahwa sistem pertanian konservasi dicirikan oleh : 1. Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. 2. Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahatani yang dilakukan. 3. Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani setempat. 4. Komoditas pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima petani, dan laku di pasar. 5. Laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi, sehingga produksi yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara lestari, dan fungsi hidrologis terpelihara dengan baik. 6. Sistem penguasaan dan pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani. Penentuan alternatif pengelolaan tanah dan tanaman terkait dengan data tanah, data iklim, bentuk lahan, dan kondisi fisik lingkungan lainnya. Persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman menjadi penting, karena penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang lestari. Menurut Sinukaban (1994), perencanaan pengelolaan DAS yang baik tidak mengabaikan keberlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan serta memanfaatkan dan
19 mengembangkan sumberdaya yang ada sesuai dengan karakteristik DAS yang dikelola. Dalam praktiknya, pengelolaan suatu DAS harus berorientasi pada kaidahkaidah konservasi tanah dan air dengan mengembangkan pola usahatani yang sudah ada sambil mengintroduksi teknologi secara perlahan-lahan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, agar diperoleh suatu model usahatani yang spesifik lokasi. Model usahatani konservasi yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu erosi yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan Etol, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa batas waktu (sustainable). Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang bersifat spesifik lokasi sehingga tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan di tempat lain jika tidak sesuai. Penilaian kelas kemampuan dan kesesuaian lahan merupakan langkah strategis dalam perencanaan dan penilaian penggunaan lahan. penilaian ini akan diperoleh
Berdasarkan
zonasi atau pengelompokan lahan berdasarkan
karakter sumberdaya alamnya (iklim, tanah dan sifat fisik lingkungan) di setiap bidang lahan. Sehingga pengembangan pembangunan pertanian yang diterapkan akan dapat lestari. Jadi semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam DAS harus mempunyai tujuan untuk keberlanjutan. Untuk mencapai hal ini maka perlu diketahui hal-hal : (1) kondisi biofisik DAS, (2) evaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan, (3) ekonomi (pasar), (4) agroteknologi yang menjamin erosi rendah, dan (5) pengetahuan orang di dalam DAS dan sumberdaya lokal (Sinukaban 1995). Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan (performance) lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu. Tergantung pada tujuan evaluasi lahan, kegiatan evaluasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan.
20 Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan (Land capability clasification) adalah penilaian
lahan
(komponen-komponen
lahan)
secara
sistematik
dan
pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad 2006). Klasifikasi kemampuan lahan adalah interpretasi yang didasarkan pada pengaruh gabungan unsur lahan seperti iklim dan sifat-sifat tanah yang permanen seperti ancaman kerusakan tanah, faktor pembatas penggunaan, kemampuan produksi dan syarat-syarat pengelolaan tanah. Lereng, tekstur tanah, kedalaman tanah, tingkat erosi tanah yang telah terjadi, permeabilitas tanah, kapasitas menahan air, jenis mineral liat adalah kualitas dan sifat-sifat lahan yang permanen. Vegetasi berupa pohonan, semak belukar atau rumput bukan sifat permanen lahan. Kandungan unsur hara, karena bukan sifat permanen dan mudah berubah, tidak dipergunakan sebagai kriteria klasifikasi pada tingkat kelas dan sub kelas, akan tetapi dipergunakan untuk pengelompokkan tingkat satuan kemampuan atau satuan pengelolaan. Keasaman tanah selama dalam batas-batas yang masih dapat ditoleransi tanaman tidak dipergunakan sebagai kriteria klasifikasi tingkat kelas dan sub kelas (Arsyad 2006). Klasifikasi kemampuan lahan merupakan upaya untuk mengevaluasi lahan untuk penggunaan tertentu. Pengelompokkan lahan ke dalam tingkat kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, yaitu kelas I sampai kelas VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VllI. Tanah kelas I sampai kelas IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohonpohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2006).
21 Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman. Jadi sub kelas adalah pengelompokkan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi dan iklim. Beberapa tanah terancam erosi jika tidak dilindungi, sedangkan lainnya secara alami selalu tergenang atau berkelebihan air yang harus didrainasekan agar dapat ditanami. Pengelompokan di dalam satuan kemampuan adalah pengelompokan tanahtanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan, sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternatif pengelolaan bagi tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang (sepuluh tahun) hasil yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan. Namun pada penelitian ini penilaian klasifikasi kemampuan lahan dibatasi hingga sub kelas. Secara ringkas kriteria klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor penghambat yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steel pada tahun 1943 dan Klingebiel dan Montgomery pada tahun 1973 (Arsyad 2006) disajikan pada Tabel 1, dan
kriteria masing-masing
faktor
penghambat disajikan pada
Lampiran 1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Klasifikasi kesesuaian lahan (Land suitability clasification) adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara mencocokkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lain yang dievaluasi.
22 Klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan bersifat kualitatif yaitu hanya didasarkan atas sifat fisik lahan, tanpa mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi. Analisis kesesuaian lahan dilakukan sampai tingkat Sub-kelas. Sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang
digunakan berdasarkan kerangka penilaian
kesesuaian lahan yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003). Tabel 1 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan Faktor penghambat/ Pembatas 1) 1. Lereng Permukaan 2. Kepekaan erosi 3. Tingkat erosi 4. Kedalaman tanah 5. Tekstur lapisan Atas 6. Tekstur lap. bawah 7. Permeabilitas
Kelas Kemampuan Lahan I A (l0) KE1,KE2 e0 k0 t1,t2, t3 sda P2,P3
8. Drainase 9. Kerikil/batuan 10. Ancaman banjir 11.Garam/salinitas (***)
Catatan: (1) = (*) = (**) = (***) =
d1 b0 O0 g0
II III IV V VI B (l1) C (l2) D (l3) A(l0) E (l4) KE3 KE4,KE5 KE6 (*) (*) e1 e2 e3 (**) e4 k1 k2 k2 (*) k3 t1,t2, t1,t2, t1,t2, (*) t1,t2, t3 t3,t4 t3,t4 t3,t4 sda sda sda (*) sda P2,P3 P2,P3 P2,P3 P1 (*) P4 P4 d2 d3 d4 d5 (**) b0 b1 b2 b3 (*) O1 O2 O3 O4 (**) g1 g2 (**) g3 g3
VII F (l5) (*) e5 (*) t1,t2, t3,t4 sda (*)
VIII G (l6) (*) (*) (*) t5
(**) (*) (**) (*)
d0 b4 (*) (*)
t5 P5
kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1. dapat mempunyai semberang sifat tidak berlaku umumnya terdapat di daerah beriklim kering
Sumber : Arsyad ( 2006) 1. Kerangka Penilaian Lahan Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: a. Tingkat Ordo, mencerminkan tingkat kesesuaian. b. Tingkat Kelas, mencerminkan tingkat kesesuaian di dalam ordo. c. Tingkat sub-kelas, mencerminkan jenis pembatas/kendala atau ukuran jenis perbaikan utama yang diperlukan dalam kelas. 2. Ordo Kesesuaian Lahan Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
23 3.
Kelas Kesesuaian Lahan Pada tingkap kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu : Lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan Sesuai Marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Kelas S1 : Sangat Sesuai Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 : Cukup Sesuai Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3 : Sesuai Marginal Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2.
Untuk mengatasi
faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan tersebut petani sulit mengatasinya. Kelas N : Tidak Sesuai Lahan tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi. 4. Sub Kelas Keadaan tingkatan dalam kelas kesesuian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat.
Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi
jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing sub kelas, kemungkinan kelas kesesuian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan masukan yang diperlukan.
24 Kualitas lahan yang dipilih sebagai kriteria oleh Djaenudin et al. (2003) adalah temperatur, ketersedian air, ketersediaan oksigen, media perakaran, gambut, retensi hara, toksisitas, sodisitas, bahaya sulfidik, bahaya erosi, bahaya banjir, dan penyiapan lahan. Karakteristik lahan yang digunakan meliputi: temperatur udara, ketinggian tempat, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, KTK liat, KB, pH H20, C-organik, salinitas, alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan dipermukaan, dan singkapan batuan. Usahatani Kopi Komoditas kopi di Indonesia mempunyai peranan penting, baik sebagai sumber devisa maupun sebagai penunjang perekonomian rakyat. Indonesia telah dikenal sebagai penghasil dan pengekspor kopi robusta terbesar ketiga di dunia (Tondok 1999). Areal kopi Indonesia pada tahun 2000 meliputi 1.140.159 ha dengan total produksi mencapai 510.998 ton. Dari areal tersebut 1.054.834 ha (95%) merupakan perkebunan rakyat dengan produksi sebesar 466.274 ton ( 95%) dan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar (Ditjen Perkebunan 2000). Jenis tanaman kopi yang diusahakan di Indonesia didominasi jenis robusta, yaitu sebesar 93%, yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sentra utama Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, D.I. Aceh, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur (Tondok 1999). Provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu disebut sebagai "Segitiga emas" sentra produksi kopi Indonesia (Kurniawan 1999). Lampung sebagai sentra produksi kopi robusta terbesar nomor dua setelah Sumatera Selatan, mempunyai total areal pertanaman seluas 137.700 ha dengan total produksi 63.680 ton per tahun. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu sentra produksi kopi di Provinsi Lampung, pada tahun 2007 luas pertanaman kopi di daerah ini mencapai 52.379,20 ha dengan produksi mencapai 29.831,48 ton. Di Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Pulau Panggung memiliki areal pertanaman kopi terluas yaitu 9.099 ha dengan produksi sebesar 3.589,65 ton (BPS Kabupaten Tanggamus 2007).
25 Persyaratan tumbuh kopi robusta berdasarkan kriteria kesesuaian lahan (Djaenudin et al. 2003), adalah kopi robusta tumbuh dan berproduksi pada kisaran suhu 19 sampai 32oC. Curah hujan 2000 sampai 3000 mm/tahun, memerlukan periode kering pada saat pembungaan. Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim paling besar pengaruhnya terhadap produksi tanaman kopi (Nur 2000). Bukan hanya menyangkut jumlah, distribusi hujan dalam satu tahun juga merupakan faktor produksi yang harus diperhatikan. Soenardjo (1975) dan Pujianto (1998) mengemukakan bahwa kondisi curah hujan yang ideal untuk tanaman kopi adalah tersedianya sembilan bulan basah dan tiga bulan kering. Curah hujan yang kurang akibat musim kemarau panjang menyebabkan penurunan produksi dan kematian tanaman muda, karena tanaman kopi khususnya kopi robusta merupakan tanaman yang peka terbadap cekaman kekeringan (Abdoellah 1997). Kopi robusta biasanya mulai menunjukkan gejala cekaman air apabila terjadi bulan kering lebih dari lima bulan berturut-turut. Curah hujan berlebihan pada musim hujan menimbulkan dampak sama buruknya terhadap produksi kopi, karena dapat meningkatkan kerontokan buah dan dapat menggagalkan persarian bunga apabila hujan turun saat mekar (Nur 2000). Tanaman kopi robusta dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kedalamannya minimum 50 cm, tekstur liat sampai lempung berliat, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase baik, subur, reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5-7,0 yang optimum antara 5,3-6,0. Potensi produksi kopi robusta yang diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen untuk skala komersial adalah 1,0-2,0 ton/ha sedangkan untuk perkebunan rakyat 0,5-1,2 ton/ha (Djaenudin et al. 2003). Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan pada suatu tempat lain (Arsyad 2006). Proses erosi terjadi melalui penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan (Meyer et al. 1991; Utomo 1987; dan Foth 1978). Di alam terdapat dua penyebab
26 utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropik basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh berarti (Arsyad 2006). Beasley (1972) dan Hudson (1976) berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisik yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikan partikel tanah (splash), menyebabkan
gejolak
(turbulence)
pada
limpasan
permukaan,
serta
menghanyutkan partikel tanah. Erosi tanah (soil erosion) terjadi melalui dua proses yakni proses penghancuran partikel-partikel tanah (detachment) dan proses pengangkutan (transport) partikel-partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat hujan (rain) dan aliran permukaan (run off) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain curah hujan (intensitas, diameter, lama dan jumlah hujan), karakteristik tanah (sifat fisik), penutupan lahan (land cover), kemiringan lereng, panjang lereng dan sebagainya (Wischmeier dan Smith 1978). Faktorfaktor tersebut satu sama lain bekerja secara simultan dalam mempengaruhi erosi. Kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas. Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses yakni: (1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3) penghancuran (scour) oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran permukaan.
Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel
tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka seluruh partikel-partikel yang terpercik akibat curah hujan akan terdeposisi di permukaan tanah.
Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel-
partikel yang terdeposisi tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawah. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub proses di atas, yakni : (1) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran
27 permukaan; (2) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan (3) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan. Morgan dan Rickson (1995) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut terjadi sebagai berikut : Kemungkinan pertama; penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 < proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang tererosi lebih rendah dari kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, akibatnya semua material yang tererosi akan terangkut ke tempat lain. Kemungkinan ini terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) tinggi; (2) permukaan tanah miring (berlereng), (3) kapasitas infiltrasi tanah rendah sehingga aliran permukaan besar; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran kecil sehingga walaupun aliran permukaan besar, tetapi kemampuannya untuk menggerus (scour) rendah. Kemungkinan kedua; penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 > proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang tererosi melebihi kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, akibatnya sebagian dari material yang tererosi akan terangkut ke tempat lain sebagian lagi akan terdeposisi di permukaan tanah. Kemungkinan ini terjadi karena beberapa faktor : (1) kepekaan tanah terhadap erosi (KE) rendah, (2) permukaan tanah datar, (3) kapasitas infiltrasi tanah besar sehingga aliran permukaan kecil; (4) partikel tanah yang dihancurkan berukuran besar sehingga kemampuan aliran permukaan untuk melakukan proses penggerusan juga besar. Kemungkinan ketiga; penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan (proses 1 + 3 = proses 2 + 4). Kemungkinan ini berarti bahwa jumlah material yang dihancurkan sama dengan kapasitas angkut (carrying capacity) hujan dan aliran permukaan, sehingga material tersebut semuanya akan terangkut walaupun proses pengangkutannya akan berjalan relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan kemungkinan pertama.
Kemungkinan ketiga ini secara
28 alamiah mencerminkan suatu kondisi keseimbangan (equilibrium) antara proses penghancuran dan proses pengangkutan baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan. Arsyad (2006) menjelaskan bahwa di daerah beriklim tropik basah, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi tanah.
Proses erosi oleh air
merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : (1) menghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dispersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan (Th); dan (2) penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut (Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah.
Secara skematis proses
terjadinya erosi disajikan pada Gambar 3. Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung dari hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas tanah menyimpan air. Kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin curam dan makin panjangnya lereng permukaan tanah. Dh
Th
Di
Butir-Butir Tanah yg lepas
l
Ti
Kapasitas Angkut Air
(Dh + Di) < atau > (Th + Ti)
Tanah Tererosi Gambar 3 Skema Proses Terjadinya Erosi Tanah Sumber : Arsyad (2006) Pada tanah-tanah berlereng, lebih dari separuh partikel tanah yang mengalami proses penghancuran oleh butir-butir hujan akan terangkut ke bawah
29 bukit (downhill). Pada sebagian besar daerah, erosi percikan (splash) dan erosi lembar merupakan bentuk erosi yang dominan. Jika terjadi curah hujan tinggi dan aliran permukaan besar, maka bentuk erosi yang dominan adalah erosi parit (gully) dengan kedalaman berkisar antara 1–100 m. Pada kondisi seperti ini maka air dan tanah dalam jumlah yang banyak akan hilang (Lal dan Stewart 1990 diacu dalam Pimentel et al. 1995). Tumbuh-tumbuhan di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi, serta daya angkut aliran air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuhtumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak. Meningkatnya aliran permukaan, karena berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya sisa-sisa tanaman yang kembali ke tanah, akibatnya
erosi akan semakin besar.
Oleh karena erosi
berkaitan dengan aliran permukaan, maka dengan meningkatnya aliran permukaan, erosi juga meningkat (Arsyad 2006). Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah.
Morgan (1979)
mengemukakan bahwa terjadinya erosi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah : Curah hujan, limpasan permukaan (aliran permukaan), jenis tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.
Secara ringkas Baver (1959) menyatakan bahwa erosi
merupakan hasil interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan tindakan manusia, yang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan deskriptif berikut : E = f ( i, r, v, t, m ) yang bermakna, E : Erosi, yang merupakan fungsi dari faktor, i : Iklim, r : Relief atau topografi, v : Vegetasi, t : Tanah, dan m : Manusia. Secara keseluruhan faktor-faktor ini bersama-sama menentukan besar atau laju erosi yang akan terjadi.
30 Tanah yang tererosi dari lokasi asalnya akan selalu diendapkan pada tempat lain, yang kemudian menutup permukaan tempat pengendapan. Jarak tempuh partikel tanah yang tererosi tergantung pada ukuran, berat, bentuk, dan kecepatan alirannya (Morgan 1979). Tanah yang tererosi diendapkan di tempat-tempat yang kecepatan alirannya melambat atau tenang airnya, baik di sungai, saluran irigasi, waduk atau danau. Besarnya erosi dapat diukur langsung dilapangan di antaranya dengan menggunakan petak kecil atau diprediksi dengan menggunakan model. Model prediksi erosi yang umum digunakan saat ini adalah model parametrik. Model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan The Universal of Soil Loss Equation (USLE). USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng, dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman, dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan, atau yang sedang dipergunakan. Persamaan yang dipergunakan mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi ke dalam enam variabel utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik. USLE dikembangkan di National Run Off and Soil Loss Data Centre yang didirikan pada tahun 1954 oleh The science and education administration Amerika Serikat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue (Wischmeier dan Smith 1978). Persamaan USLE adalah : A=RKLSCP Keterangan : A R K L S C P
: : : : : : :
banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/th) faktor indeks (erosivitas) hujan faktor erodibilitas tanah faktor panjang lereng faktor kecuraman lereng faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
Model USLE
dalam perkembangannya oleh beberapa ahli dilakukan
modifikasi, di antaranya adalah RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) (Liu et al. 2000), dan USLE-M (modified) (Kinnell 2005). Namun dalam penelitian ini model USLE yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith
31 (1978) yang digunakan untuk menghitung besarnya erosi pada masing-masing satuan lahan dan tipe usahatani, karena USLE mempunyai keunggulan mudah diaplikasi, dapat diterapkan dimana saja (universal) dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat, dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbeda-beda, dan dapat pula digunakan untuk memilih Agroteknologi konservasi tanah dan air. Pengaruh Usahatani Kopi terhadap Erosi Berkurangnya penutupan lahan, baik tajuk maupun serasah
tanaman
menyebabkan terjadinya peningkatan daya rusak butir-butir hujan, sehingga tingkat bahaya erosi menjadi lebih tinggi.
Lal (1986) melaporkan hubungan
antara erosi dengan penebangan hutan, yaitu erosi dari suatu small catchment area di Guyana Perancis meningkat secara drastis setelah dilakukan penebangan hutan (deforestation). Hasil observasi yang dilakukan pada skala petak kecil juga menunjukkan bahwa penebangan vegetasi alami telah menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien run off 25-100 kali, sementara itu erosi meningkat pula sampai lebih dari 10 kali lipat (Roose 1986). Erosi yang dipercepat diakui secara luas sebagai suatu permasalahan global yang serius. United Nations Environmental Programme menyatakan bahwa produktivitas lahan seluas lebih kurang 20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol, atau menjadi tidak ekonomis disebabkan oleh erosi tanah atau degradasi yang disebabkan oleh erosi (Lal 1994). Dalam hubungannya dengan erosi sebagai faktor pembatas usahatani kopi pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40% dinyatakan tidak memenuhi persyaratan optimum untuk budidaya tanaman kopi (Hulupi 1999). Secara spesifik Djaenudin et al. (2003) menyatakan bahwa apabila drainase tanah tergolong cepat, maka lahan dengan kemiringan lebih dari 50% secara potensial dinyatakan tidak sesuai untuk tanaman kopi. Sedangkan bila drainase tanah tergolong terhambat, maka lahan dengan kemiringan lebih dari 30% secara potensial sudah dinyatakan tidak sesuai untuk ditanami kopi. Perkebunan kopi di Indonesia banyak diusahakan pada lahan dengan kemiringan agak curam sampai curam, maka erosi diduga sebagai penyebab
32 utama kemunduran kualitas lahan perkebunan kopi. Hasil penelitian di Jember Jawa Timur menunjukkan bahwa tanpa penerapan teknik konservasi tanah, laju erosi pada lahan usahatani kopi dengan kemiringan lereng 31% pada tahun pertama dan kedua tergolong tinggi, melebihi batas erosi yang masih dapat dibiarkan, namun pada tahun ketiga dan seterusnya laju erosi menurun secara drastis sampai di bawah batas erosi yang dapat dibiarkan (Tabel 2). Tabel 2
Pengaruh teras bangku dan tanaman penguat teras terhadap erosi pada perkebunan kopi di Jember (Jawa Timur) dengan lereng 31% dan curah hujan 2.768 mm/tahun dalam 4 tahun pertama sejak kopi ditanam
Perlakuan Kontrol (tanpa teras) Teras, tanpa tanaman penguat Teras+L. leucocephala Teras+V. conizoides Teras+ M. macrophyla
Tahun ke-1
Erosi ( ton/ha/tahun) Tahun ke-2 Tahun ke-3
25,80 1,51 3,03 1,90 0,33
17,75 1,17 1,19 0,61 0,88
a b b b b
a b b b b
0,55 0,35 0,28 0,28 0,21
a a a a a
Tahun ke-4 0,88 0,82 0,82 0,83 0,83
a a a a a
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Sumber : Pujianto (2001) Erosi yang terjadi pada tanah yang ditutupi kopi umur 16 tahun di Dusun Laksana, Kecamatan Sumberjaya 4,1-4,2 kali erosi yang terjadi pada hutan alami (Gintings 1982), namun demikian erosi yang terjadi masih tergolong rendah yaitu 1,27 ton/ha/6 bulan, dengan koefisien aliran permukaan sebesar 1,78%. Selanjutnya hasil penelitian Widianto et al. (2002) menunjukkan bahwa erosi yang terjadi pada lahan kopi umur 1 dan 3 tahun di Dusun Bodong jauh lebih tinggi dibanding erosi yang terjadi pada lahan hutan, erosi pada lahan kopi tersebut menurun dengan bertambahnya umur tanaman kopi (Gambar 4). Pada saat tanaman kopi masih muda, penutupan lahan oleh tajuk tanaman kopi masih sangat rendah dan sebagian besar petani umumnya melakukan penyiangan secara intensif, sehingga meningkatkan erosi. Hasil penelitian Afandi et al. (2002) di Kecamatan Sumberjaya, pada lahan dengan kemiringan 30% dengan tanaman kopi umur 2 tahun, menunjukkan bahwa apabila kebun
33
Hutan
kopi 1 th
kopi 3 th
kopi 7 th
kopi 10 th
Gambar 4 Erosi dari Hutan Alami dan Lahan Kopi dengan Berbagai Tingkat Umur Kopi di Dusun Bodong, Kecamatan Sumberjaya dengan Total Curah Hujan 458 mm. Sumber : Widianto et al. (2002) kopi disiang sampai bersih (clean weeding) maka tingkat erosi mencapai 22,7 ton/ha, jika kebun kopi ditutupi dengan rumput paspalum maka erosi yang terjadi dapat ditekan sampai 0,028 ton/ha, namun demikian keberadaan rumput paspalum menekan pertumbuhan kopi dan mengurangi produksi kopi. Salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan penyiangan secara parsial. Penyiangan yang dilakukan hanya di sekeliling tanaman kopi dengan diameter 1 m di bawah tajuk (ring weeding). Beberapa teknik konservasi telah terbukti efektif dalam menanggulangi erosi pada lahan usahatani kopi. Hasil penelitian Winaryo et al. (1999) menunjukkan bahwa penerapan teras bangku (dengan/tanpa penguat) pada lahan usahatani kopi berumur 3 tahun (kemiringan lereng 31%) mampu menurunkan volume limpasan permukaan, sedangkan yang berpengaruh nyata terhadap penurunan erosi adalah teras bangku dengan penguat. Pada areal kopi muda di Kolombia yang berlereng 45%, teras mampu menurunkan aliran permukaan menjadi 27%, dan erosi yang terjadi hanya 0,8% dari perlakuan tanpa teras (Arsyad 2006). Di Filipina, pada lereng 30-60% pada tahun kedua, teras menurunkan aliran permukaan 60% dan erosi 80% (Dana dan Siapno 1992). Mulsa juga terbukti efektif dalam menanggulangi masalah erosi pada lahan
34 usahatani kopi. Seperti yang ditunjukkan oleh Winaryo et al. (1999) bahwa mulsa pada tanaman kopi dapat menurunkan erosi dari 69 ton/ha menjadi 20 ton/ha dalam tiga tahun. Hasil pengukuran erosi di Dusun Tepus dan Laksana, Kecamatan Sumber Jaya menunjukkan bahwa erosi pada lahan usahatani berbasis kopi (umur tiga tahun, kemiringan lereng lebih dari 50%) lebih kecil dari 2 ton/ha/tahun. Jumlah ini berada di bawah batas erosi yang diperbolehkan. Namun demikian pada kondisi curah hujan dan kemiringan lereng yang relatif sama dengan Tepus dan Laksana, erosi yang terjadi pada lahan usahatani kopi umur 3 tahun di Dusun Bodong, Kecamatan Sumberjaya, jauh lebih besar. Dalam jangka waktu 3 bulan, dengan jumlah hujan 458 mm, erosi yang terjadi telah mencapai 37 ton/ha (Widianto et al. 2002). Selanjutnya hasil penelitian Dariah (2004) menunjukkan bahwa sifat fisik tanah merupakan faktor dominan yang menentukan perbedaan tingkat erosi pada lahan usahatani kopi berlereng curam di Sumberjaya, Lampung Barat. Pada lahan kopi berumur 3 tahun dengan tanah berporositas tinggi (total pori > 65%, dengan proporsi pori makro/pori drainase cepat > 24% vol dan permeabilitas > 9 cm/jam) erosi yang terjadi < 2 ton/ha/tahun, namun pada tanah yang porositasnya rendah (total pori < 60%, dengan proporsi pori makro < 13% dan permeabilitas < 3 cm/jam) erosi yang terjadi mencapai 37 ton/ha dalam jangka waktu 3 bulan. Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan usahatani kopi khususnya pada saat tanaman kopi masih muda diharapkan dapat menekan laju erosi, sehingga degradasi lahan yang terjadi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan usahatani kopi dapat ditekan sekecil mungkin. Pilihan teknik konservasi tanah harus disesuaikan dengan keadaan setempat (bersifat spesifik lokasi), karena sesuai tidaknya pilihan teknik konservasi sangat ditentukan oleh faktor curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, lereng, dan vegetasi. Penerapan teknik konservasi yang murah dan mudah diterapkan adalah dengan melakukan penyiangan secara parsial (ring weeding atau strip weeding), penanaman tanaman penutup tanah, pembuatan rorak atau guludan searah kontur. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengkondisikan lahan tersebut mendekati kondisi hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam
35 tanaman buah-buahan, kayu-kayuan, atau tanaman legum multiguna di antara tanaman kopi, sehingga tercipta tajuk tanaman dengan berbagai strata (sistem multistrata). Tajuk yang bertingkat pada sistem ini menyebabkan terciptanya suatu sistem yang menyerupai hutan, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang langsung menerpa permukaan tanah. Hasil penelitian Hairiah et al. (2005) tentang aliran permukaan dan erosi pada hutan alam yang dibandingkan dengan sistem pertanaman kopi monokultur, agroforestri berbasis kopi, kopi dengan naungan Gliricidia, dan kopi dengan naungan Paraserianthes, menunjukkan bahwa kopi monokultur menyebabkan erosi yang paling tinggi, kemudian berturut-turut diikuti oleh agroforestri berbasis kopi, kopi dengan naungan Gliricidia, dan kopi dengan naungan Paraserianthes, dan erosi yang paling rendah disebabkan oleh hutan (Tabel 3). Tabel 3 Aliran Permukaan dan erosi pada berbagai sistem pertanaman berbasis kopi Sistem Penggunaan Lahan
Run off (mm)
Erosi (mm)
Hutan Agroforestri berbasis kopi Kopi dengan naungan Gliricidia Kopi dengan naungan Paraserianthes Kopi Monokultur
37,6 253,9 273,4 114,6 209,5
0,08 0,28 0,15 0,12 0,81
Catatan : Total curah hujan selama penelitian 1589 mm
Sumber : Hairiah et al. (2005) Selain penanaman tanaman pohon-pohonan (selain kopi), penanaman tanaman penutup tanah juga dapat dilakukan, dengan tujuan mempercepat penutupan permukaan tanah. Tanaman penutup tanah juga bermanfaat untuk mengurangi intensitas penyiangan, menyumbang unsur hara khususnya unsur N, dan menambah bahan organik tanah. Program Tujuan Ganda Program tujuan ganda (multi goal programming/goal programming) merupakan pengembangan dari linear programming yang diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Perbedaan utama antara program tujuan ganda dengan linear programming terletak pada struktur dan penggunaan
36 fungsi tujuan. Menurut Mulyono (1991), dalam program tujuan ganda, semua tujuan (satu atau lebih) digabung dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukkan suatu variabel simpangan dalam kendala tersebut untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan tercapai dan menggabung variabel simpangan (deviasi) dalam fungsi tujuan. Dalam linear programming tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi. Dalam program tujuan ganda tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan dari tujuan tertentu. Program tujuan ganda merupakan salah satu teknik penarikan keputusan multikriteria. Analisis optimalisasi pola usahatani berbasis kopi dengan program tujuan ganda ditujukan untuk memperoleh pola optimal usahatani berbasis kopi yang berkelanjutan untuk pengembangan pertanian lahan kering yang ada di DAS Sekampung Hulu. Model pola optimal lahan usahatani berbasis kopi dengan menerapkan agroteknologi konservasi ini dirumuskan melalui program tujuan ganda (Nasendi dan Anwar 1985), dengan tahapan sebagai berikut : 1. Penetapan target Pola optimal usahatani berbasis kopi yang disertai dengan agroteknologi harus mencapai sasaran (target) sebagai berikut : a. mengurangi besarnya erosi, dengan target erosi menjadi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat diperbolehkan. b. meningkatkan pendapatan, dengan target pendapatan dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. 2. Penetapan peubah dan parameter Peubah keputusan, fungsi kendala dan fungsi tujuan yang ditetapkan untuk memperoleh model pola optimal dan agroteknologi untuk usahatani berbasis kopi berdasarkan analisis tujuan ganda adalah : A. Peubah Keputusan
: Luas lahan usahatani berbasis kopi ke-i yang menerapkan agroteknologi (tindakan) konservasi ke-j (Xij)
37 B. Fungsi Kendala 1. Kendala ril/sumberdaya a. Lahan
: Alokasi masing-masing luas lahan usahatani berbasis kopi Xij yang dibatasi oleh rata-rata luas lahan usahatani (b1)
∑X b. Tenaga Kerja
ij
≤ b1
X ij ≥ 0
: Alokasi masing-masing luas lahan usahatani berbasis kopi Xij yang dibatasi oleh rata-rata tenaga kerja petani (b2)
∑X c. Modal Usahatani
ij
≤ b2
X ij ≥ 0
: Alokasi masing-masing luas lahan usahatani berbasis kopi Xij yang dibatasi oleh rata-rata modal usahatani (b3)
∑X 2. Kendala tujuan
ij
≤ b3
X ij ≥ 0
:
a. Mengurangi jumlah erosi di lahan usahatani berbasis kopi ke-i dengan menerapkan agroteknologi ke-j (Xij)
∑E
−
ij
+
X ij + d 1 − d 1 = t1
Target t1: E ≤ Etol Tujuan : minimumkan d1b. Meningkatkan pendapatan petani dari lahan usahatani berbasis kopi ke-i dengan menerapkan agroteknologi ke-j (Xij). Target t2: P ≥ PKHL
∑P X ij
−
ij
+
+ d 2 − d 2 = t2
Tujuan : meminimumkan d2+ C. Fungsi tujuan : meminimumkan total simpangan (deviasi) dari lahan usahatani berbasis kopi ke-i dengan menerapkan agroteknologi ke-j (Xij), fungsi kendala tujuan ke-t (1. Erosi : Tujuan
38 minimumkan d1-; 2. Pendapatan : Tujuan meminimumkan d2+)
terhadap
target
yang
ditetapkan
(Target
Erosi:
E ≤ Etol dan Target Pendapatan : P ≥ PKHL). n
z = ∑ d i+ + d i− i =1
Keterangan : Xij b1 b2 b3 t1 t2 E Eij d1+ dan d1Etol P Pij PKHL Z i j k
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Luas lahan usahatani berbasis kopi ke-i dengan agroteknologi ke-j Rata-rata luas lahan usahatani berbasis kopi Xij Rata-rata tenaga kerja usahatani berbasis kopi Xij Rata-rata modal dalam usahatani berbasis kopi Xij Target erosi lebih kecil dari Etol Target pendapatan usahatani lebih besar dari KHL Jumlah erosi dari lahan usahatani berbasis kopi Erosi pada setiap lahan usahatani berbasis kopi Xij Deviasi positif dan negatif sasaran erosi Erosi yang dapat ditoleransi Pendapatan total dari semua lahan usahatani berbasis kopi Pendapatan pada masing-masing lahan usahatani berbasis kopi Xij Pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak Fungsi tujuan 1,2, ..... m 1,2, ..... n 1,2, …. l
Program tujuan ganda telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang, termasuk pengelolaan DAS. Ruslan (1989) menerapkan program tujuan ganda untuk studi penggunaan lahan berdasarkan kondisi fisik dan sosial ekonomi di DAS Peusangan Aceh. Tujuan studi ini adalah untuk memperoleh komposisi penggunaan lahan yang optimal, yang dapat menjamin kelestarian dan keseimbangan lingkungan, mengetahui dampak yang terjadi dari beberapa skenario kebijakan yang menghasilkan kemungkinan komposisi penggunaan lahan, baik bersifat fisik maupun sosial ekonomi. Untuk itu ditetapkan kendala sasaran berupa debit air sungai Peusangan, erosi tanah, dan pendapatan usahatani. Hasil penelitian memperlihatkan berbagai komposisi penggunaan lahan dan dampaknya terhadap pencapaian tujuan. Analisis permasalahan penggunaan lahan juga diteliti oleh Soemarno (1991) di DAS Konto Hulu Kabupaten Malang. Widaningsih (1991) melakukan studi optimasi penggunaan lahan agroforestri di DAS Cimanuk dengan kendala tujuan adalah luas lahan rata-rata per petani, erosi
39 tanah, produksi minimum yang dikonsumsi petani, pendapatan selama setahun, modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani. Selanjutnya Manik (1992) menggunakan program tujuan ganda untuk melakukan optimasi penggunaan lahan di DAS Way Seputih, Lampung Tengah. Model yang disusun menggunakan luas lahan di hulu DAS Way Seputih sebagai fungsi kendala ril. Sedangkan kendala tujuan terdiri dari tingkat erosi, aliran permukaan, ketersediaan tenaga kerja petani, serta pendapatan minimal per kapita petani. Analisis program tujuan ganda juga digunakan oleh Rachman (2000) untuk membuat model penggunaan lahan bagi pengembangan konservasi alam terpadu di Pulau Siberut Sumatera Barat. Kemudian Rauf (2004) menggunakan program tujuan ganda untuk mengkaji sistem agroforestri yang optimal di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam hal ini faktor kendala ril yang digunakan adalah
luas lahan yang dimiliki petani, dengan tujuan untuk
mengurangi laju erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani, memanfaatkan modal serta tenaga kerja yang dimiliki petani. Melalui analisis program tujuan ganda dapat diperoleh alokasi luas lahan optimal untuk setiap jenis tanaman yang dijadikan komponen dalam sistem agroforestri. Selanjutnya Marwah (2008) menggunakan analisis program tujuan ganda dalam optimalisasi pengelolaan sistem agroforestri untuk pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara.