TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan Ekonomi Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005).
Selanjutnya Todaro (2000)
pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahanperubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga
nasional
sebagai
akselerator
pertumbuhan
ekonomi,
pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut. Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977) mendefinisikan
pembangunan
wilayah
yaitu
kemampuan
wilayah
yang
bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan (equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga programprogram pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 194013
an, Harrod (1948) dan Domar (1946) secara terpisah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Dimana pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang karena faktanya investasi saja tidak cukup. Secara implisit teori ini mengasumsikan adanya sikap-sikap yang sama antara negara berkembang dengan negara maju. Akan tetapi asumsi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, Indonesia misalnya, sangat kekurangan faktor-faktor komplementer yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan, kelembagaan dan faktor budaya yang kondusif bagi pembangunan (Todaro, 2000). Dalam perspektif demikian, oleh Hayami (2001) model Harrod-Domar yang diterapkan di negara berkembang berakhir pada jebakan keseimbangan ekonomi yang rendah (low equilibrium trap). Oleh karena itu model ini juga disebut sebagai model of low equilibrium trap. Dimana untuk melepaskan diri dari perangkap keseimbangan rendah menuju ekonomi berkelanjutan, perlu melalui mobilisasi tingkat tabungan yang tinggi, dimana tidak ada tabungan yang dihasilkan jika dibiarkan tergantung pada mekanisme pasar. Lompatan yang luar biasa dalam memobilisasikan tabungan dan investasi adalah “critical minimum effort” bagi ekonomi berpendapatan rendah. Model ini berimplikasi bahwa jika impor modal skala besar seperti yang dialami selama masa kolonial dipandang tidak berharga bagi ekonomi berkembang yang baru merdeka, maka tidak ada alternatif pembangunan lainnya kecuali memaksa masyarakatnya mengencangkan ikat pinggangnya (Hayami, 2001). Dalam perkembangan selanjutnya, teori pembangunan ekonomi diwarnai oleh model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow (1956) dan Swan (1956) dalam Hayami (2001) mengembangkan sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar dalam kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan 14
ekonomi. Perbedaannya terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y=AK, dimana A=1/c dan bersifat konstan; dan c=K/Y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi Neoclassical yakni Y= f (L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah Tenaga Kerja yang berada dalam tingkat teknologi T. Kontribusi
penting
dari
model
Solow-Swan
yaitu
terlihat
dari
kemampuannya dalam menjelaskan peranan perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut Solow-Swan model pertumbuhan pendapatan per kapita tidak bisa berkelanjutan tanpa disertai
kemajuan teknologi. Namun
demikian model ini masih sangat terbatas, karena mengasumsikan teknologi sebagai faktor eksogen. Determinan kemajuan teknologi belum bisa dijelaskan oleh model Solow-Swan. Oleh karena itu keterbatasan model Solow-Swan tersebut dilengkapi oleh endogenous growth model yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988). Pada model pertumbuhan endogenus, berusaha untuk menjelaskan mekanisme bagaimana pengetahuan baru tercipta melalui aktivitas ekonomi, sehingga meningkatkan skala ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa pengetahuan baru untuk memperbaiki ekonomi produksi terakumulasi sedikit demi sedikit melalui upaya-upaya individual perusahaan untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin dan pabrik lebih efisien dalam aktivitas investasinya dan pengetahuan sebagai barang publik. Sehingga dalam jangka panjang, keseluruhan desain yang ditemukan oleh semua perusahaan dalam suatu ekonomi akan menjadi stok pengetahuan yang dapat digunakan oleh perusahaan lainnya. Dan pada gilirannya, efisiensi produktif dari suatu perusahaan akan meningkat secara paralel dengan peningkatan pada total modal dan pengetahuan dalam ekonomi. Dari model pertumbuhan endogen tersebut maka dapat diambil intinya yaitu akumulasi kapital dalam bentuk tangible (berwujud, yakni kapital fisik) dan kapital dalam bentuk intangible (yakni pengetahuan dan ide-ide baru) serta bersama-sama dengan teknologi merupakan faktor penting sebagai determinan 15
pertumbuhan ekonomi (Hayami, 2001). Selanjutnya Hayami (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan sistem sosial perlu memperhatikan keterkaitan institutions (Rule), budaya (culture) faktor produksi dan teknologi. Dengan lain perkataan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan keterkaitan komponen tesebut. Kemudian
pada
teori
pembangunan
ekonomi
wilayah,
dalam
perkembangannya mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai determinan pembangunan ekonomi wilayah yang dikenal dengan teori Growth Machine Theory (GMT) dan The New Institutional Economics (NIE) Theory. Pada dua teori ini terlihat sudah memperhatikan peranan politik dan political institution dalam pembangunan ekonomi. Karena pemikiran local politicians dan perencana lokal akan secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan penentuan kebijakan pembangunan. Keterlibatan politik seperti langsung dalam penentuan kebijakan, peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik. Oleh karena itu dimensi politik dijadikan sebagai komponen penting yang perlu diperhatikan. The New Institutional Economics (NIE) berusaha memasukkan faktor kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan ekonomi. Proposisi yang dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan (institutional
change)
dan
penataan
kelembagaan
sebagai
infrastruktur
pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat) dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan
beban
biaya
tinggi
yang
diperlukan
untuk
memonitor
ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para pihak yang berinteraksi. North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori institutional adaptation and change yang berbasiskan pada asumsi-kerja bahwa 16
kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selalu hadir pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meningkat perlu di imbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk shortterm profits. Sementara Menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan (negara, daerah) dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan administrasi-politik yang secara operasional mampu men-generate keputusankeputusan dan aturan-aturan yang decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi kawasan tersebut. Artinya, “kekuatan pengaturan politik lokal” dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal. Dalam melihat pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsepkonsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja pada pertumbuhan regional titik penekanan analisisnya lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah dari satu tahun ke tahun berikutnya. Selain itu bila dikaitkan dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), maka dapat dilihat pertumbuhan neraca sektor produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam sistem dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat ditemukan lebih tinggi/lebih rendah dari pada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan regional maka pada sistem neraca sosial ekonomi dapat dijadikan instrumen untuk melihat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumah tangga di daerah. Mengacu pada Model Harrod-Domar yang menjelaskan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai dampak ganda yang dimiliki investasi, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan, 17
dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi (Kasliwal, 1995). Arsyad (1999) menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah adalah apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tertentu. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai rill atau di nyatakan
dalam
harga
konstan.
Djojohadikusuma
(1994)
menjelaskan
pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam satu daerah. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdemensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Identifikasi pertumbuhan menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo, (1985) memiliki beberapa ciri, yaitu (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita dalam arti nyata (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkah, dan (3) pola persebaran penduduk. Selanjutnya
Sukirno
(1985)
melihat
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu (1) tanah dan kekayaan alam (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerja (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2000) komponenkomponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu : (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya alam (2) perkembangan penduduk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Pembangunan yang dilaksanakan disuatu daerah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region) tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah. Implikasinya bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread effect maupun trickling down effect yang memihak kepada masyarakat. 18
Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar wilayah. Lebih lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi penonton. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap pembangunan atau tingkat pertumbuhan suatu wilayah, sehingga kemampuan wilayah dalam mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun setengah jadi akan berbeda. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya (forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Menurut Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah antara lain : (1). Sifat Komoditas Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain. (2). Sifat Kelembagaan Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan terlihat berbeda jika 19
dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat. Pada umumnya yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah setempat selain profit, juga memperhatikan sosial budaya dan lingkungan. Selain itu tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input. Konsep
pembangunan
berkelanjutan
sudah
mulai
diadopsi
dalam
pelaksanaan pembangunan ekonomi dimana tujuan sosial, ekonomi dan ekologi dipertimbangkan dalam kerangka pembangunan. Menurut Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our Common Future dalam Gonarsyah, (2005) pembangunan berkelanjutan artinya memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Lebih jauh Serageldin (1996) menguraikan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan dalam tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni : (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta (3) tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Uraian yang dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa tujuan ganda efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai dengan memperlakukan keberlanjutan sebagai kendala. Artinya, masyarakat yang berpegang pada kedua tujuan tersebut akan membatasi diri untuk hanya mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang juga berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat (binding) atau tidak tergantung sekali kepada kemajuan sosial dan peningkatan (augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi, yang penting bagi kita adalah mempertimbangkan
kebijakan
yang
dapat
meningkatkan
kemungkinan
tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan (Gonarsyah, 2005). Pada Gambar 3 terlihat bahwa untuk menuju pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang bersinergi antar aspek politik, ekonomi dan manajemen, kelembagaan (sosial dan budaya), tata 20
ruang serta lingkungan. Dengan lain perkataan bahwa untuk mencapai pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka sejak dini diperlukan pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah, serta semua komponen pembangunan bahwa antar aspek seperti Gambar 3. memiliki peran yang tidak dapat diabaikan satu sama lain begitu saja.
Aspek Politik
Aspek Tata Ruang
Aspek Ekonomi & Manajemen
Aspel Lingkungan
Aspek kelembagaan (Sosial budaya)
Gambar 3. Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah Pendekatan makro yang hingga saat ini dipandang relevan untuk menelaah dampak atau keterkaitan antara sektor perekonomian wilayah adalah analisis Input-Output yang sekaligus merupakan pengembangan teori ”Keseimbangan umum Walras” (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam table I-O tersebut keadaan perekonomian wilayah diasumsikan berada dalam keseimbangan dalam artian jumlah penawaran komoditas sama dengan jumlah permintaan.
21
Alat analisis Input-Output (model I-O) pada hakekatnya dikembangkan untuk menganalisis dan mengukur hubungan-hubungan antar berbagai sektor produksi dan konsumsi dalam perekonomian regional. Ketergantungan antara sektor-sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui seperangkat persamaanpersamaan linier, serta karakteristik struktural direfleksikan oleh besaran koefisien persamaan yang bersangkutan. Hasil analisa Input-Output menunjukan sektor-sektor kunci (key sector) dalam perekonomian regional yang menjadi pertimbangan utama untuk dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan atau pembangunan ekonomi yang biasa diukur dengan nilai produk dosmestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Dosmestic Product (GDP) yang merupakan nilai pasar yang berlaku dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Penggunaan nilai PDRB ini penting dan sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh dari data wilayahnya. Dalam konteks nasional istilah yang digunakan pada akhirnya akan menjadi pendapatan wilayah dan untuk hal tersebut adalah Gross National Product (GNP). Jadi PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi (Rustiadi et al., 2005). Dengan demikian analisis Input-Output menitik beratkan analisis dan kajian tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan pembangunan sosial. Pembangunan sosial dapat mendorong pembangunan ekonomi terutama pembangunan sosial yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan sosial (Social Enforcement) melalui norma-norma sosial yang akan menciptakan keadaan ekonomi yang lebih efisien dari pada mekanisme pelaksanaan hukum yang eksplisit (Explicit Legal Enterforcement) (Anwar, 2005). Dalam analisis Input-Output dikaji tentang pendapatan, tenaga kerja kondisi riil pembangunan ekonomi, dan dampaknya terhadap kesempatan kerja. Dengan demikian analisis Input-Output yang menitikberatkan kajian kinerja pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan pembangunan sosial karena pembangunan ekonomi atau lebih tepat pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan bagi terciptanya pembangunan manusia, karena dengan pembangunan ekonomi 22
terjamin peningkatan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja (Rustiadi et al. 2005). Tabel I-O merupakan gambaran perekonomian suatu wilayah pada tahun tertentu secara makro dan menyeluruh (comprehensive) sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis dan dasar perencanaan ekonomi yang praktis dan bersifat kuantitatif. Salah satu keunggulan tabel tersebut adalah dapat menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan, baik partial, struktural, maupun global, karena untuk setiap kebijakan yang akan diambil, dapat pula diperhitungkan segala macam kemungkinan akibat/dampak yang akan terjadi, baik terhadap objek pembangunan itu sendiri maupun yang lain-lainnya. Dengan demikian sasaran pembangunan akan dapat dicapai relatif lebih tepat. Pandangan tersebut bertolak dari kenyataan bahwa tabel I-O merupakan suatu analisa matriks yang menunjukkan hubungan transaksi barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah, pada suatu periode tertentu, dan juga menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekonomi lainnya. Tabel tersebut sangat menonjolkan hubungan dan keterkaitan antar sektor produksi, antara input dan output, antara domestik dan impor. Demikian juga hubungan antara permintaan akhir. Tabel I-O yang menunjukkan dampak akibat bertambahnya satu unit permintaan akhir terhadap seluruh sektor disebut derajat kepekaan atau keterkaitan ke hilir atau keterkaitan kedepan (forward linkage). Sedang dampak yang diakibatkan satu unit permintaan masing-masing sektor terhadap output seluruh sektor disebut daya penyebaran atau keterkaitan kebelakang (backward linkage) hubungan ke bahan hulu. Apabila derajat kepekaan dan daya penyebaran ini dihitung indeksnya masing-masing, akan diperoleh forward linkage effect ratio dan backward linkage effect ratio. Indeks tersebut dapat dipakai untuk mengetahui sektor-sektor mana yang merupakan sektor kunci (key sector) dimana dalam perencanaan pembangunan ekonomi tentunya akan mendapat prioritas untuk dikembangkan. Keterkaitan perlu diperhatikan, karena setiap kasus dalam proses pembangunan saling mempengaruhi sehingga tingkat pertumbuhan suatu sektor ekonomi juga dipengaruhi sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak 23
langsung. Disamping keterkaitan intersektor dalam proses pembangunan perlu memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan lainnya antara lain keterkaitan spasial, keterkaitan lokasi dan produksi sebagaimana dikemukakan Williams dan Nilson (1980), Batten dan Roy 1982) dalam Rustiadi et al., keterkaitan
lokasi
dan
produksi
(2005). Konsep dasar
(Location-Production
Interaction/LPI)
mempertimbangkan tiga fenomena dalam suatu formulasi yang simultan, yakni : 1. Lokasi stock kapital fisik 2. Aktifitas produksi yang terjadi pada stock tersebut 3. Aliran-aliran berbagai aktifitas. Interaksi lokasi produksi tersebut di definisikan sebagai distribusi peluang (P
rs ijk
) dimana r adalah wilayah asal, i, aktifitas yang respon terhadap faktor-
faktor produksi/resproduksi (k) yang difasilitasi j dan s adalah wilayah tujuan. Sebagai contoh kita dapat menghubungkan teori lokasi perdagangan Ohlins (1993) dengan model interaksi produksi dari Input-Output Wilson (1970) dalam Rustiadi et al., (2005). Keterkaitan (linkage) yang juga berperan dalam proses pembangunan ekonomi adalah interaksi antar wilayah (interaksi spasial). Interaksi spasial merupakan suatu proses yang terjadi disuatu wilayah karena aktifitas yang dilakukan manusia di dalam/antar wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan antara lain mobilitas kerja, migrasi arus informasi dan arus komoditas. Analisis interaksi spasial mempelajari pergerakan komoditi, barang-barang, orang, informasi, dan lainnya antar titik-titik dalam ruang. Analisis yang popular digunakan untuk menduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri dikembangkan Aldelman dan Hirschman dalam Syafaat dan Mardianto (2002). Pandangan Adelman mengenai pengembangan sektor pertanian berbeda dengan Hirschman. Hirschman memandang sektor pertanian sebagai sektor yang pasif, sementara Adelman sebaliknya. Perbedaan pandangan itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci (leading sektor) dalam akselerasi pembangunan. Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci menurut pandangan 24
Adelman terlalu sempit karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan kebelakang yang jelas akan menempatkan sektor pertanian pada sektor inferior. Padahal kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Rangarajan (1982); Bell dan hazel (1980); Adelman (1984); Haggblade et al. (1991); Delgado et al. (1994); Bautista (1986); Capallo dan Mundlak (1982), menunjukkan bahwa keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara lebih menyeluruh mengenai keterkaitan kedua sektor tersebut. Oleh karena itu, maka kriteria yang diciptakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak mampu mengartikulasikan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri. Hasil penelitian Rangarajan dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa (a) semakin tinggi output sektor pertanian maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk komoditas bukan pangan (nonfood) dan pengeluaran untuk pakaian; (b) semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka semakin tinggi pula simpanan (savings) rumah tangga. Haggblade et al., dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menemukan bahwa sumbangan keterkaitan konsumsi berkisar 90-99 persen di Sierra Leon dan 71-83 persen di Malaysia, dan 56-68 persen di Oklahoma. Delgado et al. (1994) menemukan bahwa sumbangan keterkaitan konsumsi adalah 42 persen di Senegal, 70 persen di Niger, 93 persen di Burkina, dan 98 persen di Zambia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi keterkaitan sektor pertanian berada pada keterkaitan konsumsi dan investasi dimana kedua keterkaitan tersebut tidak dipunyai oleh sektor industri. Oleh karena itu kriteria penentuan sektor kunci perlu ditambah dengan keterkaitan konsumsi dan investasi. Dengan tiga kriteria keterkaitan, yaitu produk, konsumsi, dan investasi. Dengan demikian pertanian akan terpilih sebagai sektor kunci dalam akselerasi pembangunan ekonomi nasional. Keterkaitan melalui konsumsi berasal dari nilai tambah yang diperoleh dari suatu sektor digunakan untuk membeli produk industri lain dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Dengan kata lain, keterkaitan konsumsi merupakan penciptaan permintaan produk yang dihasilkan oleh berbagai industri. Adanya permintaan tersebut merupakan faktor utama 25
peningkatan permintaan investasi. Oleh karena itu keterkaitan konsumsi juga merupakan pencipta artikulasi antar sektor. Nilai tambah yang digunakan untuk konsumsi terdiri dari upah, laba, dan sewa. Dengan demikian semakin intensif penggunaan tenaga kerja suatu sektor maka semakin tinggi pula dampak terhadap keterkaitan konsumsinya. Hasil kajian Simatupang dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa semua sub sektor dalam lingkup sektor pertanian termasuk dalam kategori penyerapan tenaga kerja sedang sampai tinggi. Pangsa pengeluaran konsumsi rumah tangga pertanian sebesar 48.01 persen lebih tinggi dibanding rumah tangga non pertanian kota dan desa yang masing-masing sebesar 42.53 dan 30.63 persen. Elastisitas pengeluaran rumah tangga non pertanian untuk konsumsi makanan sedikit lebih rendah dibanding non makanan. Ini berarti bahwa dampak peningkatan pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi bagi rumah tangga pertanian lebih tinggi dari pada rumah tangga non pertanian. Implikasi dari kajian Simatupang tersebut adalah bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian sangat penting dalam pembangunan keterkaitan konsumsi. Peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian dapat ditempuh melalui pengembangan teknologi. Keterkaitan antar sub sektor pertanian dalam sektor pertanian telah terbukti di beberapa negara yang mengandalkan pertanian sebagai sektor andalan perekonomian nasionalnya seperti kasus Costa Rica (Celes dan Lizano, 1995); Colombia (Berry, 1995); India (Bhalla, 1995); kecuali kasus Filipina (Baustita, 1995) dimana sektor pertanian tidak mampu mendorong pertumbuhan sektor non pertanian. Dalam model ekonomi makro dikenal suatu terminologi yang disebut sebagai pengganda (multiplier) yang menjelaskan dampak yang terjadi terhadap variabel endogen (endogenous variable) akibat perubahan pada variabel eksogen (exogenous variable). Pengganda dimaksud, misalnya, pengganda pendapatan nasional yang dirumuskan sebagai 1/(1-MPC) dimana MPC = Marginal Propensity to Consume atau kecendrungan hasrat mengkonsumsi. Pengganda tersebut menjelaskan bahwa perubahan pendapatan nasional ditentukan oleh perubahan MPC; semakin besar MPC, maka semakin besar pendapatan nasional. 26
Dalam tabel I-O, pengganda demikian dapat juga diperoleh, tidak hanya merupakan satu besaran pengganda tetapi bahkan merupakan beberapa (sekelompok) besaran pengganda yang dinyatakan dalam bentuk matriks pengganda (multiplier matrix). Sama dengan pengganda pada model ekonomi makro yang telah dijelaskan diatas, matriks pengganda pada tabel I-O juga menjelaskan perubahan yang terjadi pada berbagai peubah endogen sebagai akibat perubahan pada suatu atau beberapa peubah eksogen. Matriks pengganda dalam tabel I-O digunakan untuk melakukan analisis dampak (impact analysis) seperti analisis dampak output, analisis dampak pendapatan, analisis dampak tenaga kerja, analisis dampak nilai tambah bruto, analisis impor dan analisis keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan). Dampak pengganda dapat diartikan sebagai suatu dampak yang terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi didalam negeri sebagai akibat dari adanya perubahan pada variabelvariabel eksogen perekonomian nasional. Salah satu keunggulan analisis dengan model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan antar sektor produksi. Hubungan ini dapat berupa (1) hubungan kedepan (forward linkage), adalah hubungan dengan sektor hilir; dan (2) hubungan kebelakang (backward linkage) yang hampir selalu merupakan hubungan dengan bahan mentah ataupun sektor hulu. Sejauh ini pemanfaatan analisis Input-Output cenderung mengedepankan analisis kuadran I dan III sehingga hanya mampu memberikan informasi hubungan langsung antara sektor dan hubungan pasar namun tidak mampu memberikan penjelasan dan pemahaman keterkaitan yang bersifat kelembagaan. Oleh karena itu model Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan suatu model yang dapat melihat keterkaitan kelembagaan dalam suatu perekonomian wilayah. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) pertama kali diperkenalkan oleh Richard Stone dkk. (Cambride University) yang memformulasikan System for National Account atau SNA di Inggris. Model ini telah banyak dibuat dan digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai salah satu alat dalam 27
menentukan berbagai kebijakan pembangunan nasionalnya. Sebagai contoh Pyatt dan Roe (1978) telah menggunakan model SAM untuk merencanakan pembangunan Sri Langka. Kemudian Mc Carthy dan Taylor (1980) menggunakan model SAM dalam perencanaan kebijaksanaan pangan di Pakistan. Eckaus (1981) menerapkan SAM untuk analisis distribusi pendapatan di Mesir, dan Keuning dan Thoebecke (1992) menggunakan model SAM untuk melihat dampak keterbatasan anggaran pemerintah Indonesia akibat turunnya harga minyak bumi pertengahan tahun 1980-an terhadap distribusi pendapatan beberapa golongan masyarakat. Pengalaman yang diperoleh oleh banyak negara yang mengaplikasikan strategi pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya pendapatan nasional, akan tetapi disuatu sisi memunculkan masalah lain yang cukup serius, diantaranya adalah masalah distribusi pendapatan yang tidak merata dan pengangguran. Berdasarkan pengalaman tersebut, banyak negara mulai memperhatikan di samping masalah peningkatan pendapatan, tetapi juga masalah pemerataan pendapatan dan ketenagakerjaan dalam perencanaan pembangunan. Beberapa konsepsi telah direkomendasikan oleh para ahli untuk dapat memantau masalah pemerataan pendapatan dan permasalahan pengangguran. Untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan, saat ini telah berkembang teori Indeks Gini (Gini Index), Ukuran Bank Dunia ataupun dengan menggunakan Kurva Lorenz. Sedangkan permasalahan pengangguran dapat dipantau dengan menggunakan
ukuran
Unemployment
Rate,
yaitu
suatu
ukuran
yang
membandingkan jumlah penduduk yang menganggur dengan mereka yang bekerja. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) merupakan salah satu cara yang lain yang digunakan untuk memantau permasalahan pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan di suatu daerah. Sistem ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai distribusi pendapatan dan permasalahan pengangguran secara komprehensif sehingga memudahkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Secara umum SNSE merupakan pendekatan terbaik bagi kerangka perhitungan
28
keseimbangan umum perekonomian yang tersedia bagi para peneliti ekonomi dan sosial (Thorbecke, 1985). Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah sebuah neraca ekonomi masukan ganda tradisional berbentuk matrik partisi yang mencatat segala transaksi ekonomi antara agen, terutama sekali antara sektor-sektor di dalam blok produksi, sektor-sektor di dalam blok institusi (termasuk di dalamnya rumah tangga), dan sektor-sektor di dalam blok produksi di suatu perekonomian (Pyatt dan Roe, 1978). Selain itu SNSE juga merupakan suatu sistem pendataan yang baik karena: (1) SNSE merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu perekonomian untuk suatu kurun waktu tertentu. Dengan demikian, SNSE dapat dengan mudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; dan (2) SNSE memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah dan juga memberikan gambaran tentang kemiskinan dan distribusi pendapatan masyarakat. Disamping itu SNSE juga merupakan alat analisa yang penting karena: (1) analisa yang menggunakan SNSE dapat menunjukkan dengan baik dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat. Dengan demikian, dapat diketahui dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan; dan (2) analisa yang menggunakan SNSE juga masih tergolong relatif sederhana. Dengan demikian, penerapannya dapat dilakukan dengan mudah dalam mendukung sistem perencanaan dan pengambilan kebijakan daerah (Daryanto, A dan Hafizrianda, 2010). Pada prinsipnya, SNSE dibentuk atas dasar dua pilar utama: (1) Sebagai suatu sistem kerangka data yang bersifat modular yang dapat menghubungkan variabel-variabel ataupun subsistem-subsistem yang terdapat didalamnya secara terpadu. (2) Sebagai suatu sistem klasifikasi data yang konsisten dan konfrehensif, sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis ekonomi-sosial terutama yang berkaitan
dengan
pertumbuhan
ekonomi,
distribusi
pendapatan
dan
ketenagakerjaan.
29
Sekitar akhir tahun 1930-an para ahli statistik dan perencanaan pembangunan menyusun suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat mengabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan yang selama ini disusun secara terpisah-pisah dan berdiri sendiri (partial), seperti ukuranukuran pendapatan, produksi, konsumsi, dan sebagainya. Dalam suatu kerangka dasar neraca ekonomi nasional (national accounting framework). Kerangka statistik diharapkan mampu memperhatikan keterkaitan antara variabel-vaiabel sosial ekonomi, sehingga kinerja perekonomian secara nasional atau regional dapat dijelaskan secara simultan. Sistem Neraca Sosial Ekonomi merupakan suatu kerangka data yang disusun dalam bentuk matriks yang merangkum berbagai variabel sosial ekonomi secara kompak dan terintegrasi sehingga dapat memberikan gambaran keragaan perekonomian suatu daerah pada suatu waktu tertentu, seperti produk domestik regional, distribusi pendapatan, dan tenaga kerja. Salah satu pendekatan (model) yang selama ini diangap memadai dalam melihat integrasi kinerja perekonomian adalah analisis dengan mengunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Proses pembuatan sistem ini mempunyai kelebihan, yaitu: (1) sebagai suatu sistem data yang menyeluruh, konsisten dan lengkap sehingga dapat menangkap keterkaitan antar pelaku ekonomi di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, (2) mampu menganalisis dampak kebijakan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, kemiskinan, dan distribusi pendapatan, dan (3) sebagai suatu alat analisis yang sederhana dan komprehensif. Menurut Thorbecke (1985), Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dapat digunakan untuk menyusun perencanaan pembangunan, dengan cara mensimulasi, neraca eksogen terhadap perubahan neraca endogen. Model perencanaan pembangunan yang didasarkan pada kerangka SNSE akan memberikan saransaran, yaitu : (1) perlakuan perubahan struktural, terutama yang berhubungan dengan perubahan dalam distribusi asset dan dalam menghasilkan distribusi pendapatan faktor dan institusi, (2) perlakuan sektor-sektor informal, terutama yang berhubungan dengan tingkat dan kriteria klasifikasi yang merinci aktifitas produksi, (3) penggabungan beberapa dimensi regional, dan (4) perlakuan kebutuhan dasar, pengukuran dan identifikasi kemiskinan sesuai dengan klasifikasi rumah tangga. 30
Konsep Kebocoran Wilayah Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah Dilihat dari unsur kata “kebocoran wilayah” terdiri dari dua unsur kata yaitu “kebocoran” dan “wilayah”. Kata kebocoran oleh beberapa ahli didefinisikan, seperti Doeksen dan Charles (1969), diartikan sebagai jumlah perubahan total output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak terhitung pada suatu wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebagai akibat kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran pembelian barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya dimana pada kegiatan pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan pendapatan bagi masyarakat dan wilayah. Selain itu dalam model dasar arus melingkar pendapatan nasional (circular flow of national income model), semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dibelanjakan untuk konsumsi sekarang. Dalam model arus melingkar pendapatan yang diperluas, sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga ditabung, sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dibelanjakan untuk barang dan jasa yang di impor. Pada kondisi seperti ini tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor (imports) merupakan penarikan atau “kebocoran” arus pembelanjaan pendapatan (Bendavid, 1991). Sedangkan Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa dalam ekonomi terbuka kecil, kebocoran didefenisikan adanya tambahan impor produk jika permintaan akhir untuk output meningkat sebesar satu unit. Sedangkan Rada dan Taylor (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand pada perubahan investasi, ekspor dan belanja pemerintah, yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Kemudian “kata wilayah” menurut konsep nomenklatur kewilayahan seperti “kawasan”, “daerah”, “regional”, ”area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis, 31
banyak dipergunakan, dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya, walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Rustiadi et al,. 2005). Namun demikian secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur atara istilah wilayah, kawasan, dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Dengan demikian ”wilayah” dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi. Selain itu Anwar (2004) menjelaskan bahwa kegiatan pembangunan yang menggunakan teknologi padat modal serta kurang memanfaatkan tenaga kerja lokal berpotensi menciptakan kebocoran wilayah, hal ini karena multiplier yang ditimbulkan tidak dapat ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah. Dari berbagai konsep dan pendefinisian kata kebocoran dan wilayah, maka dapat diartikan bahwa ”kebocoran wilayah” merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Isu-Isu Kebocoran Wilayah Dalam bidang ekonomi regional isu-isu tentang kebocoran wilayah merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan seperti Rustiadi et al. (2005) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan yaitu perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), terutama dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya, baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005) maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan 32
bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita (pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah. Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa
dalam
pembangunan
ekonomi
wilayah,
multiplikasi
pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep di atas sehingga dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah. Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah. Beberapa ahli melihat beberapa penyebab terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) diantaranya karena adanya international dan interregional 33
demonstration effect, yaitu adanya sifat masyarakat tertinggal yang cenderung mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Artinya wilayahwilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutunya "lebih baik" sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut, dan pada akhirnya sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya melainkan mendorong terjadi kebocoran wilayah (Anwar, 2004). Kemudian Rustiadi et al. (2005) juga menjelaskan bahwa beberapa kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya yakni: (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “menghambat” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (back-wash effects); (b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “mendorong” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti: (1) aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) aliran kekuasaan (power). Berlangsung aliran bahan baku/mentah berupa sumberdaya alam seperti kayu, ikan, serta berbagai produk pertanian dan hasil ekstraksi sumberdaya alam yang dialirkan ke perkotaan untuk diolah (processing) guna menghasilkan produkproduk olahan. Pada tahap awal memang diyakini memiliki nilai tambah, dan proses masih dapat dianggap netral (tidak merugikan) jika: (1) pusat-pusat pengolahan di perkotaan merupakan lokasi-lokasi yang memiliki locational rent terbaik untuk kegiatan-kegiatan pengolahan, (2) proses ekstraksi sumberdaya alam di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan (tidak menyebabkan degradasi atau kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup), serta (3) diiringi dengan terjadinya peningkatan produktivitas di perdesaan. Sedangkan pada saat perdesaan dan kawasan hinterland ditinggalkan oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga produktivitas perdesaan menjadi stagnan atau lebih rendah dibandingkan perkotaan.
34
Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses "brain-drain" dalam arti mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia perdesaan akibat mengalirnya sumberdaya manusia berkualitas ke kawasan perkotaan disatu sisi, dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengolahan yang menghasilkan nilai tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasan perdesaan menyebabkan masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan di kawasan perdesaan bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi demikian berarti desa mengalami "kebocoran". Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena: (1) Sifat komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) Sifat kelembagaan, yaitu menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian sehingga terjadinya kebocoran wilayah maka multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah. 35
Pengukuran Kebocoran Wilayah Beberapa literatur menjelaskan bahwa untuk melakukan identifikasi tentang kebocoran wilayah dalam perspektif ekonomi wilayah dapat digunakan pendekatan analisis model Input-Output, sebagaimana digunakan Doeksen dan Charles (1969); Bendavid (1991); Reis dan Rua (2006). Dalam melakukan pendeteksian kebocoran wilayah Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan dapat diidentifikasi dari aspek multiplier output, dan multiplier income. Sedangkan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari besar kecilnya komponen input antara yang berasal dari impor, termasuk juga pembelian yang dilakukan di luar wilayah. Selain itu Rada dan Lance (2006) menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi aggregat demand ketika terjadinya perubahan dalam injeksi investasi, ekspor dan belanja pemerintah. Kemudian Rodriguez dan Kroijer (2008) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi pengeluaran lokal kaitannya dengan desentralisasi fiskal. Landesmann dan Robert (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari derajat integrasi pasar modal (FDI, tenaga kerja asing). Sun (2007) menjelaskan Kebocoran dapat dilihat dari besar kecilnya rasio barang impor. Sedangkan Christopher dan Bryan (1994) dalam Jaya (2009). menjelaskan kebocoran dapat ditandai oleh besarnya aspek tabungan (saving), pajak (taxation) dan besarnya belanja input impor, namun tidak meningkatkan pendapatan wilayah. Kemudian menurut Reis dan Rua (2006) kebocoran wilayah dapat dilihat dari kebocoran ke belakang (backward leakage) dan kebocoran ke depan (forward leakage). Untuk mengidentifikasi kebocoran ke depan dapat digunakan nilai koefisien kebocoran sektor (Reis dan Rua, 2006) yaitu analog dengan pengukuran keterkaitan sektor yang ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata koefisien sektor yang terboboti pada backward leakage atau forward leakage. Skema pembobotan pada impor, dan secara alami pada barang impor i tidak harus sama dengan impor sektor produksi. Untuk memboboti backward leakage yaitu menggunakan barang impor. Sedangkan untuk forward leakage digunakan sektor impor. Misalkan l j adalah jumlah elemen pada kolom ke-j dari matrik Am(I - Ad)-1 dan li* yaitu jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I– A*d)-1A*m. 36
Selanjutnya Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa di Oklahoma secara umum daerah yang memiliki tingkat keterkaitan sektor ekonomi yang rendah, merupakan daerah yang mengalami kebocoran yang tinggi. Demikian juga daerah yang memiliki keterkaitan sektor ekonomi yang tinggi, karena daerahnya memiliki tingkat pengeluaran impor yang lebih besar, maka daerah tersebut juga memiliki tingkat kebocoran yang tinggi. Sedangkan hasil penelitian Reis dan Rua (2006) menunjukkan bahwa kebocoran wilayah sektor jasa di Portugal lebih rendah dibandingkan dengan kebocoran sektor lainnya, dan multiplier effect sektor akan lebih tinggi jika keterkaitan menyebar dalam perekonomian serta berdampak pada rendahnya kebocoran wilayah. Dari berbagai konsep tentang pengukuran kebocoran wilayah maka dapat diartikan bahwa untuk mendeteksi indikasi, potensi dan dampak kebocoran wilayah, maka dapat diidentifikasi dengan memperhatikan (i) koefisien keterkaitan sektor ke depan dan koefisien keterkaitan ke belakang pada model input output; yaitu semakin kecil nilai koefisien keterkaitan sektor maka semakin besar potensi terjadinya kebocoran wilayah, dan begitu juga sebaliknya semakin kuat keterkaitan antar sektor maka semakin kecil terjadinya kebocoran wilayah (ii) rasio input dan impor; yaitu semakin besar input impor yang digunakan dalam proses produksi maka semakin besar terjadinya potensi kebocoran wilayah, (iii) rasio permintaan antara dengan ekspor; yaitu semakin kecil permintaan antara dibandingkan dengan ekspor menunjukkan kecilnya nilai tambah yang diperoleh suatu wilayah atau semakin besarnya potensi kebocoran yang terjadi (iv) Dalam konteks sistem agribinis, dominan nilai tambah yang dimanfaatkan atau mengalir ke wilayah lain, menciptakan potensi kebocoran wilayah. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Strategi pembangunan yang menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi menganggap bahwa kesejahteraan masarakat dapat ditingkatkan dengan cepat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan para ahli (seperti Adelman dan Morris, 1973; Wei, 1983), pada suatu sisi strategi pertumbuhan ekonomi memang memberikan dampak pendapatan per kapita, tetapi pada sisi lain ternyata meninggalkan 37
masalah lain, seperti kemiskinan. Dan juga pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok masyarakat yang menjadi bertambah buruk (wose off) dalam hal kondisi sosial ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain; dan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau golongan masyarakat. Dengan demikian, prestasi pembanguanan suatu negara atau wilayah belum cukup diukur oleh peningkatan pendapatan per kapita tetapi perlu juga untuk mengetahui bagaimana pendapatan nasional (regional) didistribusikan kepada berbagai golongan masyarakat. Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah juga mempunyai hubungan dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonomi wilayah. Suatu wilayah yang terbentuk dengan sumberdaya alam yang subur, maka penduduk yang tinggal disekitar wilayah tersebut dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau meningkatkan penghasilan atau pendapatan. Sebaliknya, ada suatu wilayah yang merupakan kawasan yang kurang subur sehingga tidak memungkinkan masyarakat di sekitar kawasan untuk dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan mereka sehingga mereka menjadi miskin. Oleh karena itu disuatu sisi, kemiskinan dapat disebabkan kondisi wilayah secara fisik (kondisi alam). Tetapi dapat juga terjadi bahwa di sekitar suatu wilayah yang subur ternyata terdapat penduduk yang miskin. Keadaan ini dapat terjadi karena : (i) sumberdaya alam di sekitar wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal, (ii) penduduk disekitar wilayah tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (seperti keterampilan, modal dsb) untuk dapat mengelola sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan mereka, dan (iii) sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional leakages). Pengertian dan Penyebab Kemiskinan Secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan 38
kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK, 2006 dan Syahyuti, 2006). Selanjutnya pada RPJM Nasional kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan
kehidupan
yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan) wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004) dalam Susanto (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok
orang,
tidak
mampu
memenuhi
hak-hak
dasarnya
untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu 39
bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. Menurut Sumodiningrat (2005), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccesibility). 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS (2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan
keputusan,
sedangkan
kemiskinan
identitas
terjadi
karena
dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio-kultural yang ada. 40
Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri (proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Mas’oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata. Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain : a.
Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan dan menyuburkan.
b.
Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
c.
Population growth; perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deret hitung.
d.
Recources management and the environment; adanya unsur kesalahan manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e.
Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam, misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara
terus
menerus.
41
f.
The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g.
Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h.
Exploitatif
intermediation;
keberadaan
penolong
menjadi
penodong,
seperti rentenir (lintah darat). i.
Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j.
Internatinal
processes;
bekerjanya
sistem-sistem
internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin. Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki (Suryawati, 2005), yaitu: a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah
dibandingkan
masyarakat
perkotaan
(tingkat
masih
pendidikan,
keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan. d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
42
Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun, 2003) : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. 2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan 3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian. Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain; (i) kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang bias perkotaan dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak adanya tata kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance). Sumodiningrat (2005) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan absolut, adalah apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum 43
(basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih
rendah
dibandingkan
dengan
pendapatan
masyarakat
sekitarnya.
Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumber daya alam dan daerah terpencil), dan (c) rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (c) bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Ukuran Kemiskinan Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS, 2008) yaitu: 1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. Data kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk menyalurkan BLT. Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama 44
kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya. Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara 2 100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air
minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging,
ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga. 2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila memenuhi kriteria berikut (BPS, 2008) : a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1.00 per kapita per hari (BPS, 2008). Menurut Darwis dan Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan berdasarkan tingkat produksi, misalnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan kegiatan
produksi
tanpa
memperhatikan
pemenuhan
kebutuhan
hidup.
Perhitungan garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan rumah tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan karena kesulitan untuk memperoleh data pendapatan rumah tangga yang akurat. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka garis kemiskinan ditentukan dengan pendekatan
45
pengeluaran yang digunakan sebagai proksi atau perkiraan pendapatan rumah tangga. Garis kemiskinan yang dipergunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang setara dengan 2 100 kalori per kapita ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran sebagai dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya telah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati kondisi kehidupan masyarakat yang sesungguhnya karena pengeluaran pokok di luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). Berdasarkan garis kemiskinan yang dipergunakan, dapat dihitung jumlah penduduk miskin di suatu wilayah. Garis kemiskinan dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan, dimana garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai dengan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di kedua wilayah tersebut. Garis kemiskinan juga berubah dari tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan tingkat harga kebutuhan pokok masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004). Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan dalam studistudi empiris adalah sebagai berikut (Yudhoyono dan Harniati, 2004; Nanga, 2006; dan Foster et al., 1984): 1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut poverty headcount index, yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. 2. Depth of poverty, yang menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi 46
jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 3. Severity of poverty, yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu asiomatic approach dan stochastic dominance. Pendekatan yang sering digunakan dalam studi-studi empiris adalah pendekatan pertama dengan tiga alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, dan (3) Gini coefficien Rumus GE dapat dituliskan sebagai berikut:
1 GE (α ) = 2 α −α
1 n yi α ∑ − 1 ……………………………............(2.1) n i =1 y
dimana: n adalah jumlah individu (orang) di dalam sampel, yi adalah pendapatan dari individu (1, 2, n), dan y = (1/n) yi adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 sampai. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan dari semua individu di dalam sampel sama) dan berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter mengukur besarnya perbedaan antar pendapatan dari kelompok yang berbeda di dalam distribusi tersebut. Dari persamaan (2.1) di atas, dapat diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson sebagai berikut: 1 n yi 1−ε A = 1 − ∑ n i =1 y
1− ε
………………………………………......….(2.2) 47
dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), semakin tinggi nilai ε maka semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Alat ukur ketiga yang sering digunakan dalam setiap studi empiris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan sebagai berikut: n
G = 1 − ∑ Pi{F * (Yi) + F * (Yi − 1)} …………………………...........…(2.3) i =1
dimana: G adalah nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi= 1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, dan F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada pada selang 0 sampai 1. Apabila rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang sempurna (setiap orang mendapat porsi dari pendapatan yang sama). Apabila rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan kata lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. Dengan menggunakan grafik, rasio Gini dapat digambarkan dengan Kurva Lorenz seperti yang disajikan pada Gambar 4. Koefisien Gini adalah rasio antara daerah di dalam grafik yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 450 dari titik 0 sumbu Y dan X) terhadap daerah segitiga antara garis kemerataan dan sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 450, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
48
Sumber: Tambunan (2001)
Gambar 4. Rasio Gini dan Kurva Lorenz Foster et al. (1984) mengemukakan suatu ukuran atau indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: α
1 N g ( p; z ) P ( z; a ) = ∑ ,α ≥ 0 .......................................................(2.4) N i =1 z
dimana: g(p;z) = distribusi dari poverty gaps z
= garis kemiskinan (poverty line)
Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai, dapat dilihat pada Gambar 5, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;) dari masing-masing individu dengan tingkat kemiskinan p yang berbeda. Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh [g(p;z)/z]. Untuk = 0, kontribusinya adalah 1 untuk yang miskin dan 0 untuk yang kaya (yang mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. 49
Untuk =1 kontribusi seseorang pada tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yang dinormalkan adalah yang berada pada daerah di bawah g(p;z)/z. Demikian juga untuk nilai yang lebih besar, misalnya kontribusi untuk P(z;=3) dari individu-individu pada tingkat kemiskinan p adalah (g(p;z)/z)3, sehingga rata-rata kemiskinan P(z;=3) adalah area yang berada di bawah kurva (g(p;z)/z)3.
Sumber: Foster et al. (1984)
Gambar 5. Poverty Gaps dan FGT Indeks Duclos dan Araar (2004) memperkenalkan dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu standar hidup dari masyarakat dimana pendapatan menjadi acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan dan garis kemiskinan menjadi poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang menganalisis tentang kelapa telah banyak dilakukan namun penelitian yang dilakukan masih bersifat parsial dan belum dilakukan secara komperensif. Dari berbagai penelitian yang telah dilaksanakan dapat dilihat perkembangannya antara lain : Tarigan (2003) meneliti tentang Pengembangan Usaha Tani Kelapa Berbasis Pendapatan Melalui Penerapan Teknologi yang Berwawasan Pengurangan Kemiskinan Petani Kelapa di Indonesia, Sumarti (2003) Dinamika Kesejahteraan Petani Kelapa dan Strategi Pengembangan Kelapa Rakyat, Mahmud (2003) Pemberdayaan Petani Kelapa dengan Sistem Usahatani Kelapa Terpadu, Aris (2003) Analisis Pengembagan Agribisnis Kelapa 50
Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir, Kuswari (2005) Pengembangan Agribisnis Kelapa dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Luntunhan (2006) Peningkatan Pendapatan Komunitas Petani Kelapa Melalui Inovasi Teknologi di Desa Sei Arah Kabupaten Indragiri Hilir. Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka untuk mengisi keterbatasan penelitian/kajian tersebut dalam aspek sosial ekonomi masyarakat kaitannya dengan pembangunan wilayah, maka peneliti tertarik untuk melakukan perluasan penelitian tentang kelapa dengan menggunakan pendekatan model analisis sosial ekonomi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), guna melihat lebih luas dampak dari pengembangan kelapa terhadap distribuasi pendapatan, tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, serta keterkaitannya dengan institusi pembangunan ekonomi wilayah baik masyarakat, pemerintah maupun swasta. Guna mendapatkan hasil yang komprehensif maka Model SNSE yang akan digunakan. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan perluasan dan penyempurnaan dari Model Input-Output. Untuk kasus Indonesia penggunaan model tersebut hingga dewasa ini masih relatif terbatas. Ditinjau dari perkembangan studi-studi yang mengunakan kerangka analisis tersebut antara lain seperti Sastrowiharjo (1989) menggunakan model Input-Output untuk mengetahui pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Hasil studinya menemukan bahwa proses pertumbuahan perekonomian Provinsi Jambi ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, Investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya tidak ditentukan oleh sistem produksi itu sendiri, tetapi ditentukan oleh faktorfaktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur perekonomian Provinsi Jambi tahun 1984 mengalami perubahan yang berbeda, yaitu kelompok sektor pertanian pada tahun 1978 memberikan sumbangan terhadap PDRB 53.46 persen, dan pada tahun 1984 turun menjadi sebesar 44.46 persen.
51
Selanjutnya Sembiring (1995) menggunakan model Input-Output dalam mengakaji peran agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hasil studinya menemukan bahwa sektor agroindustri penyumbang terbesar terhadap output dan ekspor, masing-masing sebesar 26.30 persen dan 33.90 persen, tetapi sektor ini juga pengimpor terbesar, yaitu sebesar 45.00 persen untuk proses produksinya, sehingga terjadi defisit terbesar yaitu 34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan kesempatan kerja masih rendah dibanding dengan sektor pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja di sektor agroindustri relatif jauh lebih tinggi (Rp. 11.88 juta/orang/tahun). Sedangkan sektor pertanian (Rp. 1.61 juta/orang/tahun). Selain itu ditemukan sektor agroindusti belum jadi sektor utama (the leading sector) tetapi termasuk sebagai salah satu sektor utama (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara tahun 1990. Arief (1993) model input output adalah keseimbangan di dalam masingmasing sektor produksinya. Di dalam tabel input output banyak sektor sama dengan banyak komoditi.
Walaupun tabel input output disusun secara rinci,
namun tabel Input-Output hanya memperlihatkan keseimbangan total antara produksi dan konsumsi, tanpa melihat aspek sosial yang akan terjadi dalam perekonomian. Sebagai contoh model input output tidak mencakup aspek distribusi pendapatan sebab dalam model ini rumah tangga hanya dianggap sebagai satu aktor (tidak dibedakan menurut lapisan sosial ekonominya). Keterbatasan yang dihadapi oleh model input output tersebut dapat diperluas dengan menggunakan model sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). SNSE semula dirintis oleh Richard Stone dan kawan-kawannya dari Cambridge University of England. SNSE, merupakan gabungan berbagai ukuran ekonomi yang semula terpisah-pisah. Ia merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terintegrasi untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian satu negara dan keterkaitan antara variabel sosial dan ekonomi pada waktu tertentu. Berbeda dengan dua model sebelumnya, SNSE melihat keseimbangan umum dengan mengutamakan pemerataan struktur produksi, distribusi pendapatan dan konsumsi.
52
Selanjutnya Narapalasingam (1985) menggunakan Social Accounting Matrix/SAM untuk menganalisis perekonomian Sri Lanka 1970. Webster (1985) menggunakan Social Accounting Matrix untuk menganalisis perekonomian Swaziland tahun 1971-1972. Sedangkan Greenfield (1985) mengunakan Social Accounting Matrix untuk perekonomian Bostwana tahun 1974-1975 dalam Pyatt and Round (1985). Sedangkan Budiyanti dan Schreiner (1991) menerapkan Social Accounting Matrix terhadap data PATANAS 1988. Hasil analisisnya diperoleh bahwa Social Accounting Matrix bermanfaat dalam menganalisis sumber-sumber dan distribusi pendapatan antar sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerahdaerah produksi, buruh tani, dan tenaga kerja wanita. Khan dan Thorbecke (1989) menggunakan kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi dalam menganalisis dampak langsung dan tidak langsung pilihan teknologi terhadap distribusi pendapatan, jumlah pendapatan, komposisi output dan kesempatan kerja di Indonesia. Dalam enam sektor yang spesifik dampak dari distribusi teknologi dilihat dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi secara terpisah dengan menggunakan model fixed price multiplier, diperoleh gambaran tentang pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang lebih sensitif dalam mengadopsi teknologi baru. Secara teoritis, Sistem Neraca Sosial Ekonomi dapat digunakan sebagai alat analisis wilayah yang lebih kecil. Sementara aplikasinya diperkenalkan oleh Lewis dan Thorbecke (1992) dengan contoh kasus Kota Kutus, Kenya. Seperti halnya pada SNSE sebelumnya dalam studi tersebut neraca di klasifikasikan atas: aktivitas produksi, faktor produksi, dan institusi yang di dalamnya tercakup rumah tangga, kapital dan rest of the world. Namun dalam konteks ini rest of the world yang dimaksud adalah seluruh wilayah ekonomi di luar Kota Kutus maupun di luar Kenya. Selanjutnya Sutomo (1995) menerapakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi untuk menganalisis Ekonomi untuk Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu hasil studinya yakni distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga di kedua Provinsi Riau dan NTT berada dalam keadaan timpang, hal tersebut ditunjukkan oleh indeks gini di kedua provinis tersebut melebihi 0.50 53
sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital menunjukkan bahwa proses produksi di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki insentif tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja sebesar 0.68 lebih besar dari pada kapital 0.32. Namun di Provinis Riau terjadi sebaliknya yakni insentif kapital yaitu koefisien kapital sebesar 0.52 lebih besar dari pada tenaga kerja 0.48. Ini berarti bahwa masing-masing provinsi tersebut peningkatan penggunaan tenaga kerja dan kapital memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah. Kemudian Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan Wagner (1999) dalam meneliti peranan kunjungan wisata asing terhadap perekonomian wilayah di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga jenis multiplier yakni : type I, type II, dan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Output multiplier type I digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktifitas atau matrik antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter, dan extra group. Sedangkan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi selain dapat menjelaskan dampak dan yang ditunjukkan oleh multiplier type II, juga menggambarkan pembayaran modal terhadap rumah tangga. Nilai multiplier yang dihasilkan untuk type II lebih besar nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi, nilainya lebih besar dibandingkan dengan type II. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa secara umum sektor yang paling besar dipengaruhi oleh besarnya kunjungan wisata asing adalah rumah tangga perdesaan yang menghasilkan output kerajinan dengan input lokal. Mereka banyak memperoleh manfaat yang lebih besar dari kedatangan wisatawan asing dengan mendapatkan dollar yang lebih besar dari produk yang dihasilkannya. Selanjutnya Antara (1999) hasil penelitiannya menunjukkan produksi tanaman pangan menimbulkan effek pengganda, peningkatan produksi padi berperan besar dalam meningkatkan permintaan produk-produk industri alat angkutan. Peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi sebesar 15 persen, berdampak menumbuhkan perekonomian Bali sebesar 0.05 persen, pendapatan rumah tangga 0.05 persen, sektor produksi 0.09 persen dan khususnya sektor produksi pertanian 0.10 persen. Pembangunan ekonomi Bali
54
memprioritaskan tiga sektor utama yaitu pertanian, pariwisata dan industri kecil telah menunjukkan hasil yang relatif baik. Sedangkan Manaf (2000) menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia tahun 1995 untuk meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani melalui analisis alur struktur atau structural path analysis (SPA). SPA ini digunakan untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan pengaruh paling kecil justru diterima oleh rumah tangga petani pemilik lahan luas 0.5-1.0 hektar, itupun setelah melalui faktor produksi modal. Selanjutnya Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan oleh Sinha et al. (2000) dalam melakukan analisis rumah tangga baik formal maupun informal. Studi tersebut melakukan simulasi kebijakan peningkatan ekspor tekstil, baik yang formal maupun informal dengan menggunakan analisis multiplier. Hasil simulasi menunjukkan bahwa faktor produksi di sektor formal terlihat lebih merasakan dampak apabila naiknya ekspor tekstil tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan pendapatan yang tinggi. Dampak peningkatan ekspor juga banyak dirasakan oleh sektor rumah tangga di sektor formal dibandingkan dengan rumah tangga sektor informal. Nielsen (2002) telah berhasil membangun Sistem Neraca Sosial Ekonomi di negara Vietnam tahun 1996 dan 1997 dalam kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Neilsen mengelompokkan sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan di negara vietnam menjadi delapan sektor produksi pertanian, dua sektor jasa pertanian dan tiga belas sektor agroindustri. Sementara itu, Bautista (2000) juga telah membangun model Sistem Neraca Sosial Ekonomi untuk wilayah Vietnam pusat yang terdiri dari 25 sektor produksi, 4 kelompok rumah tangga, 2 kelompok perusahaan, dan pemerintah, modal, serta neraca luar negeri, masingmasing satu kelompok. Studi yang dilakukan oleh Bautista terhadap perekonomian Vietnam pusat dengan analisis multiplier dengan kesimpulan bahwa nilai multiplier baik gross output, value added, maupun pendapatan rumah 55
tangga terutama keluarga di sektor pertanian selalu lebih besar dibanding dengan sektor pertambangan dan industri pengolahan. Berdasarkan hasil penelitiannya Bautista merekomendasikan untuk menerapkan pembangunan berbasis pertanian di Vietnam Pusat.
56