3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida Pestisida banyak digunakan oleh petani dengan tujuan untuk mengendalikan atau membasmi organisme pengganggu yang merugikan kegiatan petani. Menurut Lodang (1994), penggunaan pestisida disamping dapat memberikan keuntungan juga padat menimbulkan kerugian. Keuntungan yang didapat antara lain (1) Dapat meningkatkan produksi pertanian dan hasil yang cepat, (2) Aplikasi di lapangan relatif mudah, (3) Dapat digunakan pada areal yang luas dalam waktu yang relatif singkat, (4) Dapat diaplikasikan setiap waktu dengan memperhatikan cuaca, (5) Dapat diperoleh dengan mudah, dan (6) Harga relatif murah dan memberikan keuntungan yang lebih. Sedangkan kerugian yang yang ditimbulkan adalah (1) Mempertinggi resistensi hama, (2) Membunuh makhluk lain yang bukan sasaran, (3) Gangguan toksik pada manusia bertambah sehubungan dengan bertambahnya volume dan intensitas penggunaan, (4) Produk pertanian akan mengandung residu pestisida yang akan mengancam kesehatan para konsumen, terutama petani dan keluarga, (5) Kontaminasi global akibat mobilitas yang tinggi, terutama oleh pestisida persisten, (6) Mengganggu keseimbangan dalam rantai makanan sehingga akan mengganggu ekosistem secara keseluruhan, (7) Bertambahnya risiko efek sinergik interaksi antara bermacam-macam pestisida, dan (8) Kemungkinan akan terjadi efek genetik jangka panjang akibat dosis sublethal pestisida persisten. Pencemaran pestisida terhadap sumberdaya dan lingkungan perairan akan mengakibatkan kematian hewan dan biota akuatik lainnya, penurunan produktifitas ikan budidaya serta penurunan kualitas perairan dan ikannya. Berkaitan dengan bahaya yang ditimbulkan oleh pestisida terhadap ikan, Komisi Pestisida (1983) dan Koesoemadinata (2003) dalam Yosmaniar (2009) mengklarifikasikan pestisida berdasarkan pada nilai LC50-96 jam seperti pada Tabel 1.
3
4
Tabel 1. Klasifikasi pestisida berdasarkan toksisitasnya terhadap ikan Tingkat
LC50-96 jam (mg/L)
Evaluasi Toksisitas
A
<1
Sangat tinggi
B
1 – 10
Tinggi
C
10 – 100
Sedang
D
> 100
rendah
2.2 Niklosamida Bahan aktif niklosamida termasuk moluskisida yang biasa digunakan petani untuk membasmi keong mas karena merupakan hama bagi padi. Niklosamida ini memiliki nama kimia 5-chloro-N-(2-chloro-4-nitrophenyl)-2-hydroxy benzamide
(IUPAC), termasuk dalam keluarga kimia halogenated mononitrobenzamide dengan rumus kimia C13H8Cl2N2O4 dengan struktur kimia seperti pada Gambar 1,
niklosamida murni (ethanolamine salt) terurai pada suhu 2080C, memiliki tekanan uap 9.9 x 10-9 mmHg pada suhu 250C dan densitas terbesar 1,59 g/cm3 pada suhu 22°C (EPA, 1999). Niklosamida ini pertama kali digunakan di Great Lake (Amerika Serikat) pada tahun 1953 untuk mengontrol ikan lamprey laut
(Petromyzon marinus) yang telah merugikan perikanan komerisal di sana (EPA, 1999). Di Indonesia, produk moluskisida yang berbahan aktif niklosamida adalah Snail Down. Berdasarkan Dani (2007) dari Sekretariat Jendral Departemen Pertanian, moluskisida yang yang berbahan aktif niklosamida ini termasuk racun bagi organ pernafasan.
Gambar 1. Struktur kimia niklosamida
5
2.3 Pengaruh Racun terhadap Tingkah Laku Ikan Perubahan atau ketidakstabilan dari faktor lingkungan seperti dengan adanya pencemaran pestisida dapat menyebabkan abnormalitas respon fisiologis dan stres pada ikan. General Adaptive Syndrome (GAS) merupakan rangkaian perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi yang terjadi pada ikan akibat stres (Effendi, 2004). Tiga gejala GAS yang dapat teridentifikasi yaitu : 1. Reaksi akan adanya bahaya seperti mencoba menghindari stres 2. Menahan (resistance), ikan mencoba bertahan dari stress dengan cara adaptasi fisiologi tubuhnya 3. Kelelahan (exhausted), ikan kelelahan karena tidak dapat beradaptasi Tingkah laku ikan yang tidak normal dapat mengindikasikan media atau air tempat ikan berada mengandung racun. Menurut Ramesh dan Muniswamy (2009), tingkah laku ikan yang mengindikasikan media mengandung racun adalah sekresi lendir yang berlebih dimana lendir ini berfungsi untuk mengurangi kontak langsung antara kulit dengan racun, ikan yang awalnya sering berenang secara bebas lalu tiba-tiba menyendiri dengan menyandar di pinggir akuarium, kehilangan keseimbangan dan terlihat lemas saat berenang yang disebabkan terhambatnya kegiatan system saraf dan otot oleh racun, dan ikan yang selalu ingin berada di permukaan sambil mengambil nafas yang kemungkinan disebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen ikan atau terganggunya organ pernafasan ikan. Ikan yang berenang menuju ke dasar yang disebabkan media beracun dan tidak lama kemudian mati, dianggap ikan tersebut gagal atau tidak sanggup bertahan hidup dalam media yang beracun. Bagi ikan yang bertahan hidup, disebabkan tubuh ikan sudah terbiasa dengan media yang beracun atau konsentrasi racunnya terlalu rendah buat ikan tersebut. Untuk menambahkan, menurut Ram et., al (2009) ikan yang ke permukaan untuk bernafas adalah upaya ikan untuk menghindari bernafas di dalam air yang beracun. Penurunan gerakan operkulum ikan yang lingkungannya terkena racun mungkin merupakan respon ikan untuk mengurangi penyerapan racun melalui insang. Hal ini menyebabkan pengurangan konsumsi rata-rata oksigen ikan. Pengurangan konsumsi oksigen ikan mas (Cyprinus carpio) juga dilaporkan oleh Boeck et., al (1995) setelah paparan subletal tembaga dan oleh Chen dan Yang
6
(2007) setelah paparan antimony klorida di dalam penelitian Ram et., al (2009). Sedangkan gerakan ikan yang aneh atau abnormal disebabkan oleh kurangnya koordinasi system syaraf dan otot yang mungkin disebabkan terakumulasinya acetylcholine di dalam synaptic dan neuromuscular junctions. Perubahan warna tubuh ikan dari putih keperakan menjadi putih pucat disebabkan oleh gangguan fungsi pituitary tercermin oleh penurunan jumlah dan ukuran dari chromatophore dan kandungan pigmennya (Ram, N. R, et., al, 2001 dalam Ram et., al, 2009). Perubahan warna tubuh juga telah diamati dalam Cyprinus carpio setelah terkena HgCl (Masud, et., al, 2005 dalam Ram et., al, 2009)
2.4 Pengaruh Kualitas Air terhadap Racun Suhu sangat penting karena tidak hanya mempengaruhi aktivitas metabolik, tingkah laku, dan pemaparan polutan (bahan pencemar), tetapi juga dapat mengubah keadaan fisika dan kimia dari polutan (Mason, 1981). Sehingga suhu mempunyai efek yang besar terhadap toksisitas racun ke ikan. Secara umum, toksisitas dari polutan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu (Mason, 1981). Suhu berpengaruh secara langsung terhadap faktor-faktor seperti aktivitas enzim, tingkat metabolisme maupun kadar oksigen. Tingkat penyerapan racun dapat lebih tinggi dengan adanya kenaikan suhu (Macek, 1969 dalam Arianti, 2002). Sejumlah polutan menjadi lebih toksik pada konsentrasi oksigen yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan tingkat respirasi sehingga racun yang terekspos terhadap tubuh hewan juga semakin besar (Mason, 1981). Penurunan konsentrasi oksigen dan meningkatnya konsentrasi karbondioksida dapat menyebabkan stres pada ikan. Hal tersebut akan menyebabkan system kekebalan tubuh ikan menjadi turun, dengan demikian akan mempengaruhi toksisitas racun terhadap ikan. Bahan polutan cenderung lebih beracun pada air dengan kesadahan rendah pada nilai pH yang stabil. Sedangkan kesadahan yang tinggi cenderung menurunkan toksisitas dari racun dalam tiap nilai pH (Mason, 1981). Boyd (1990) menyatakan bahwa keberadaan amoniak akan dapat mereduksi masukan oksigen ke dalam tubuh ikan. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya
7
insang. Rendahnya oksigen di dalam tubuh ikan akan meningkatkan toksisitas racun terhadap ikan (Arianti, 2002).