II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Persepsi Berkaitan dengan persepsi dalam tulisan ini mencakup pengertian
persepsi, tahapan persepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, prinsip umum persepsi seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
2.1.1
Pengertian persepsi Dalam memahami persepsi maka harus mengetahui kunci persepsi terlebih
dahulu. Pada dasarnya pemahaman tentang persepsi terletak pada pengenalan yang merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap sesuatu, dan bukan suatu pencatatan terhadap situasi (Thoha, 2004). Persepsi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan sikap karena persepsi merupakan kognitif sikap, dimana persepsi bias dikatakan sebagai tanggapan seseorang terhadap yang dilihat, didengar, dirasakan, dan yang dialaminya yang menghasilkan suatu proses dan proses itu menghasilkan suatu pendapat atau pandangan terhadap suatu objek. Selain itu persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Tanggapan yang diberikan bersifat personal dimana tanggapan satu orang akan berbeda dengan orang-orang yang lainnya. Persepsi adalah proses menerima informasi atas stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran pisikologis (Van Den Ban dan Hawkins, 1999). Menyatakan persepsi itu dapat dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu prilaku kususnya pisikologi, istilah ini dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat dam merasakan sesuatu (Duncan dalam Thoha, 2004). Swastha dan Handoko (2000) persepsi adalah suatu proses dimana manusia menyadari menginterpretasikan aspek lingkungannya atau sebagai proses penerimaan dari adanya rangsangan (simuli) di dalam lingkungan internal dan eksternal yang bersifat aktif. Ruch (dalam Triyanto 2006), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan
7
8
bermakna pada suatu situasi tertentu. Desiderato (dalam Rakhmat 2001) persepsi adalah pengalaman tentang objek, pariwisata, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan atau dengan kata lain memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Sunarto (2003) persepsi adalah suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna kepada lingkungan, apa yang di persepsikan orang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Dalam hal ini petani petani akan selalu membentuk gambaran atas kesan tertentu terhadap fenomena lingkungannya. Secara langsung gambaran atau kesan tersebut akan mempengaruhi sikap dan prilaku mereka dalam memutuskan dan menentukan aktivitasnya. Krech (dalam Thoha, 2004) persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dengan kenyataan. Dengan kata lain proses persepsi dapat menambah, dan mengurangi kejadian senyatanya yang diinderakan oleh seseorang. Robbins (2003) menambahkan bahwa persepsi merupakan proses yang digunakan individu untuk mengorganisasi dan menafsirkan kesan inderawi mereka untuk member makna kepada lingkungannya. Sesuai dengan uraian di atas secara umum persepsi merupakan pandangan seseorang terhadap rangsangan yang diterimanya. Persepsi sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk menekuni suatu pekerjaan.
2.1.2
Tahapan persepsi Dalam proses menentukan pembentukan suatu persepsi terdapat beberapa
tahapan. Menurut Mulyana (2005) tahapan tersebut sebagai berikut. 1. Tahap menerima rangsangan : tahap ini merupakan tahap dimana seseorang mulai menerima sesuatu, baik itu informasi atau suatu motifasi, dimana dalam penerimaannya ini bias lewat media maupun secara langsung. 2. Tahap menyeleksi rangsangan : tahap ini seseorang akan mulai menyeleksi, memilah-milah rangsangan yang dating padanya. Tehap ini seseorang akan mulai bias mencari dan menentukan berbagai rangsangan dengan berbagai sifatnya.
9
3. Tahap pengorganisasian : pada tahap ini seseorang akan mulai mengelompokkan rangsangan yang dating padanya, ia akan mulai memecahkan rangsangan. 4. Tahap penafsiran : dalam tahap ini telah terjadi gambaran-gambaran yang akan ia lakukan atau tindakan yang akan ia laksanakan. Di sini terjadi penfsiran-penfsiran terhadap rangsangan yang di terimanya. 5. Tahap pengecekan : dalam tahap ini seseorang akan mengecek ulang, apakah benar yang telah dilakukannya dalam tahap pengorganisasian, dan apakan penafsiran yang dilakukan bias dilakukan. 6. Tahap reaksi : dalam tahap ini merupakan tahap akhir dimana seseorang sudah melakukan reaksi atau tahap terhadap rangsang yang ia terima selama ini. Dari tahapan tersebut akan memunculkan suatu persepsi seseorang, yang tentunya persepsi yang dimiliki mempunyai dasar yang kuat, sehingga persepsi tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
2.1.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Robbins (2003) menuturkan terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam
membentuk dan kadang memutar balik persepsi. Faktor-faktor ini dapat berada dalam pihak pelaku persepsi, dalam obyek atau target yang dipersepsikan dan dalam konteks situasi di mana persepsi itu dibuat.
Faktor dalam diri seseorang
yang mempengaruhi proses seleksi persepsi, yaitu sikap, motiv, kepentingan, pengalaman dan pengharapan. Karakteristik-karakteristik target yang akan diamati dapat mempengaruhi sesuatu yang dipersepsikan. Faktor-faktor tersebut, yaitu hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan. Sedangkan faktor dalam situasi yang mempengaruhi persepsi, yaitu waktu, keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial.
10
2.1.4
Prinsip umum persepsi Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) ada lima prinsip umum dalam
persepsi, sebagai berikut. 1. Relativitas : persepsi seseorang bersifat relatif, walaupun suatu objek yang dipersepsikan tidak dapat diperkirakan dengan tepat, tetapi setidaknya dapat dikatakan melebihi yang lainnya. 2. Selektivitas : persepsi bersifat selektif, tergantung pada faktor fisik dan psikologi seseorang. Panca indera menerima stimulasi dari sekelilingnya dengan melihat objek, mendengar, mencium, dan sebagainya, tergantung kapasitas dengan memproses informasi karena tidak semua stimuli dapat ditangkap oleh panca indera. 3. Organisasi : persepsi bersifat terorganisasi, karena persepsi merupakan susunan pengalaman yang dapat memberikan arti dan makna dalam bentuk pesan. 4. Arah : dalam hal ini penataan arah pesan sangat penting, karena untuk mengurangi tafsiran yang diberikan stimuli, dan agar panca indera dapat menangkap poin-poin penting dari pesan. 5. Perbedaan Kognitif : persepsi seseorang bisa berlainan satu dengan yang lainnya dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan yang kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor kepribadian, tingkat keterbukaan, sikap, pengetahuan dan lainlain.
2.2
Pengertian dan Pembagian Lapangan Kerja Menurut (BPS Provinsi Bali 2013) lapangan kerja adalah bidang atau
kegiatan dari usaha, perusahaan atau instansi. Adapun pembagian lapangan kerja ini, sebagai berikut. 1. Pertanian Tanam Pangan 2. Perkebunan 3. Perikanan 4. Perternakan 5. Pertanian Lainnya
11
6. Industri Pengolahan 7. Perdagangan 8. Jasa 9. Angkutan 10. Lainnya Selain itu seringkali dalam kepustakaan dan laporan-laporan yang membahas tentang perekonomian terdapat pembagian bidang atau kegiatan usaha ke dalam lima sektor, sebagai berikut. 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Industri 3. Sektor Perdagangan 4. Sektor Jasa 5. Sektor Angkutan dan Sektor Lainnya Dalam membahas tentang perkembangan struktur kesempatan kerja, ternyata lapangan kerja dibedakan menjadi lapangan kerja sektor pertanian dan lapangan kerja non pertanian. Pemisahan tersebut tidak lain disebabkan kedua sektor tersebut memiliki sifat yang sangat berbeda. Lapangan kerja di sektor pertanian seringkali dikaitkan dengan hal-hal tradisional yang ditandai dengan produktivitas rendah. Sedangkan lapangan kerja di sektor non pertanian sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat lebih moderen yang memiliki produktivitas dan pendapatan lebih tinggi.
2.3
Pengertian Petani dan Karakteristik Bekerja Sebagai Petani Dikemukakan oleh Wolf (dalam Sudarta, 2003) petani dibedakan menjadi
dua macam yaitu peasant (petani perdesaan) adalah orang desa yang berusaha dalam bercocok tanam dan berternak di pedesaan. Dan farmer (pengusaha pertanian atau agriculture entrepreneur) yaitu pengusaha pertanian yang berusaha untuk mengkombinasikan faktor-faktor produksi yang dibelinya dan mencari keuntungan dalam penjualan hasil. Dari kedua pengertian petani tersebut di Indonesia atau dalam bahasa Indonesia digabungkan menjadi petani saja tanpa ada perbedaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa petani merupakan orang desa yang
12
berusaha bercocok tanam dan berternak dengan mengkombinasikan faktor-faktor produksi guna mencari keuntungan. Pada umumnya di Bali merupakan petani penggarap, yang dibedakan menjadi : Petani penyakap dan petani pemilik-penggarap. Petani penyakap adalah petani yang menggarap lahan milik orang lain dengan system bagi hasil, hasil yang didapatkan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Petani pemilikpenggarap adalah petani yang memiliki lahan sekaligus mengerjakan lahan miliknya sendiri. Petani sering menampilkan diri sebagai pekerja dengan penampilan fisik yang keras dan kotor, sedangkan non pertanian menampilkan citra diri sebagai pekerja yang tidak mencurahkan tenaga fisik dan penampilan yang terkesan bersih dan rapi. Kondisi ini melahirkan pemikiran atas nilai sosial budaya yang memandang bahwa petani merupakan pekerjaan keras sedangkan non petani, apalagi pegawai negeri. Secara hasil memang yang didapat petani tidak lebih baik dari hasil yang di dapat non petani (Rahardja, 1996), akan tetapi bagi petani yang memang benar-benar maksimal bekerja di sektor pertanian, yang didukung dengan pengetahuan yang baik dan pengalaman, maka pendapatnya jauh lebih besar dibandingkan non pertanian.
2.4.
Pergeseran Tenaga Kerja Meskipun di Indonesia, sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja, namun seiring dengan percepatan proses industrialisasi, terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian . Tjonodronegoro (2005) mendefinisikan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian sebagai berukut : 1. Proporsi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian semakin berkurang, dan atau; 2. Tenaga kerja di bidang pertanian mencurahkan jam kerjanya di sektor pertanian berkurang dan mengalahkan kepada pekerja-pekerja lain di sektor non pertanian.
13
Menurut Soentoro (dalam Karsyono, 1984) sebab-sebab pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Tenaga kerja tersebut terlampar dari sektor pertanian karena jenuhnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. 2. Mereka ditarik oleh terbukanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian dengan iming-iming pendapatan yang lebih baik. Sedangkan menurut Mubyarto (1996), khususnya pada kalangan pemuda terdapat anggapan bahwa pekerjaan pada sektor pertanian adalah pekerjaan rendah, kurang bergengsi, kotor dan kumuh. Dengan berlanjutnya proses pembangunan
yang
membawa
semakin
lengkapnya
sarana
pendidikan,
transportasi, dan komunikasi, pemuda perdesaan juga mulai enggan untuk bekerja pada sektor pertanian. Secara umum sektor pertanian memiliki cabang-cabang sektor atau sub sektor yang membentuk sektor pertanian tersebut. Sub sektor tersebut adalah sub sektor tanaman pangan, sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor peternakan dan hasilnya, sub sektor kehutanan dan sub sektor perikanan. Pembagian sub sektor tersebut sama hal nya terkait definisi pertanian itu sendiri. Menurut BPS (2003), pertanian adalah semua kegiatan yang meliputi penyediaan komoditi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Semua kegiatan penyediaan tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan itu dilakukan secara sederhana, yang masih menggunakan peralatan tradisional. Berkaitan dengan uraian diatas penelitian ini berfokus pada sub sektor tanaman pangan. dalam hal ini penelitian bertujuan untuk mengetahui persepsi petani tanaman pangan kususnya pada lahan sawah yang menggunakan sistem subak. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Subak sebagai fenomena kebudayaan mempunyai tiga ciri yaitu, pertama sebagai sistem nilai budaya seperti nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan aturanaturan kusus. Sebagai contoh awig-awig subak merupakan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh masyarakat subak, yang dijadikan pedoman berprilaku untuk
14
mencapai ketertiban. Kedua, sebagai wujud sistem sosial yang merupakan pola aktivitas warga subak. Sebagai contoh kegiatan warga subak dalam menata irigasi, mengelola lahan, menanam bibit, memetik hasil panen, maupun melakukan upacara di pura subak., merupakan pola prilaku dan interaksi yang dilakukan secara berkesinambungan. Ketiga, sebagai wujud fisik, merupakan wujud yang kongkret, seperti jaringan irigasi, hamparan sawah, maupun bangunan perlengkapannya. Ketiga wujud subak terangkai dalam wujud kebudayaan, yang mengalami perubahan karena pengaruh pembangunan dan dinamika masyarakat. Komponen kebudayaan yang kongret lebih cepat berubah daripada komponen yang abstrak (Koentjaraninggrat dalam Sirtha, 2006). Oleh karena itu, komponen fisik mengalami perubahan paling cepat, yang diikuti oleh perubahan komponen sistem sosial, dan komponen nilai budaya atau norma-norma. Selengkapnya subak akan dibahas pada sub judul selanjutnya.
2.5
Subak Sistem irigasi di Bali ditata dengan menggunakan pola tradisional yang
dikenal dengan istilah subak. Fungsi subak yang utama adalah mengatur perairan untuk pertanian. Dalam menyelenggarakan tugas yang demikian, beberapa kegiatan masyarakat subak, antara lain menata jaringan irigasi, mengatur pembagian air, mengatur pengaliran pola tanam, dan melaksanakan kegiatan upacara (Sirtha, 2008). Mangunwijaya (dalam windia, 2006) menambahkan
subak pada
hakekatnya merupakan teknologi sepadan. Hal tersebut disebabkan sifat subak sesuai dengan prinsip-prinsip teknologi sepadan, yaitu (i) kegiatannya berdasarkan pada usaha swadaya dan tidak bergantung pada ahli, (ii) bersifat desentralisasi, (iii) kegiatannya berdasarkan pada kerjasama dan bukan pada persaingan, serta (iv) merupakan teknologi yang sadar dan bertanggungjawab sosial dan ekologis. Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, sistem subak sangat berperan terhadap kelestarian pekerjaan sektor pertanian, khususnya di Bali. Prinsip-prinsip tersebut mendorong sistem subak berkembang menjadi budaya masyarakat dalam bertani. Dalam pandangan Koentjaraningrat (1989), Interaksi antar individu
15
dengan keinginan dan tujuan yang sama tersebut pada akhirnya melahirkan kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi kebiasaan. Sistem subak yang telah menjadi budaya masyarakat terus mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya, unsur dan kegiatan ekonomi cukup banyak muncul dalam sistem subak yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu memperkuat keberdayaan subak dalam mengelola sistem irigasi sehingga pada akhirnya pengembangan sektor pertanian menjadi optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, terus dikembangkannya sistem subak oleh masyarakat menunjukkan sistem tersebut masih eksis hingga kini. Kegiatannya tetap merujuk pada prinsipprinsip teknologi sepadan, salah satunya yang menekankan pada kerjasama. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya perkembangan pekerjaan pertanian sistem subak tidak hanya didorong oleh peranan masyarakat subak namun ditopang pula oleh sarana dan prasarana serta lingkungan sekitar subak. Berdasarkan hal tersebut berikut akan dideskripsikan hubungan sistem subak dengan wujud kebudayaan, meliputi konsep pola pikir, sosial dan artefak (Koentjaraningrat, 1989).
2.5.1
Pola pikir Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau di foto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa pada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para
16
ahli antropologi menyebut sistem ini sebagai sistem budaya, atau cultural system (Koentjaraningrat, 2006). Berkaitan dengan hal tersebut, subak umumnya beranggapan bahwa bagaimana sebaiknya irigasi itu dapat dikelola agar mampu mencukupi kebutuhan air berbagai tanaman pada saat tanaman itu kekurangan air. Tanaman yang diairi tersebut adalah tanaman yang dibudidayakan di lahan sawah yang berupa tanaman padi dan palawija. Karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang umumnya curam, maka hal itu menyebabkan sumber air untuk suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh, dan kadang-kadang mereka harus membuat trowongan (anguan). Kondisi ini yang menyebabkan para petani tidak mampu bekerja sendiri-sendiri, dan mereka harus menghimpun diri dalam bentuk kelompok yang dikenal dengan sebutan organisasi subak. Mungkin karena air sangat bermanfaat bagi kehidupan dan sangat susah untuk mendapatkannya, termasuk mendapatkan irigasi air, maka air itu dianggap oleh masyarakat sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dicerminkan dengan dibangunnya pura tempat persembahyangan di kawasan subak, dan diselenggarakan upacara tertentu untuk menghormati keberadaan air tersebut. Pura adalah simbul kesaksian, agar di antara anggota subak tidak ada berbuat curang.menggunakan air di luar kesepakatan bersama adalah suatu pelanggaran. Upacara yang sangat terkenal adalah upacara magpag toyo (menjemput air) yang diselenggarakan oleh petani menjelang dilaksanakan kegiatan pengolahan tanah. Upacara magpak toyo juga mencerminkan suatu kegiatan bahwa air sebagai aset milik masyarakat yang penuh dengan ketidak pastian, harus dikelola dengan pendekatan kebersamaan. Air yang dipercaya sebagai ciptaan Tuhan, dan dipergunakan oleh banyak orang, diusahakan untuk didistribusikan secara proporsional kepada setiap petani anggota subak, yakni dengan ukuran tektek, sehingga air dapat dianggap telah didistribusikan secara adil. Petani pada umumnya sangat takut melanggar kesepakatan penggunaan air, karena takut pada akibat-akibat yang mungkin timbul yang dipercaya sebagai akibat kemurkaan Tuhan.
17
Karena sistem subak menganut system distribusi air secara proposional, maka resiko yang ada, harus ditanggung secara bersama-sama. Misalnya pada saat air irigasi sangat kecil, maka mereka akan kekurangan air secara bersama-sama. Petani memberi makna terhadap masalah kekurangan dan kecukupan air, dalam kaitan dengan kemungkinan keberhasilan pertanamannya. Oleh karenanya jadwal tanam dilaksanakan secara ketat, dan waktunya detetapkan dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan denda, dan di Subak Sungsung bahkan masih dikenakan sanksi berupa upacara tertentu. Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, maka air yang berlebihan dapat di buang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek/blok sawah milik petani. Sedangkan untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak di perkirakan, maka mereka melakukannya dengan cara-cara sebagai berikut (Windia, 2006). 1. Ada sistem saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam suatu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait, dan bahkan sepanjang Sungai Yeh Ho-Tabanan, pengeloloanya dilakukan oleh pemimpin Subakagung Yeh Ho. 2. Ada sistem pengelolahan areal pada kawasan subak yang bersangkutan (misalnya : golongan hulu-tengah-hilir, atau golongan hulu-hilir). 3. Ada sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumblah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama, dengan mempertimbangkan prioritas lahan di subak yang bersangkutan. 4. Ada sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu blok/komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya. 5. Ada peran pekaseh/pengurus dalam mengatur air irigasi pada saat debit air yang sangat kecil. Misalnya pada saat air sedang kecil, petani anggota subak tidak diperbolehkan ke sawah pada malam hari, dan selanjutnya pihak penguruslah yang bertugas mengatur ketersediaan air yang kecil itu pada malam hari, untuk didistribusikan kepada para anggotanya secara adil.
18
Adapun alasan petani untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang disebutkan di atas pada dasarnya adalah untuk memunculkan rasa kebersamaan, menghindari konflik, dan menjaga harmoni di kalangan mereka. Selaras dengan hal tersebut, ide-ide yang diterapkan pada subak umumnya berasal dari pemikiran yang disampaikan oleh seluruh warga subak dalam suatu media berupa rapat. Ide-ide tersebut ada yang dituangkan dalam bentuk suatu aturan. Pada subak terdapat dua jenis aturan, yaitu awig-awig dan pararem (Sirtha, 2008). Awig-awig subak merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh warga subak sendiri, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan, pararem merupakan hasil suatu peruman (putusan rapat) yang dirumuskan menjadi aturan subak. Berikut akan dipaparkan beberapa contoh pembentukan awig-awig dan perarem pada subak.
A.
Pembentukan Awig-Awig Subak Dibawah ini dipaparkan contoh proses pembentukan Awig-awig Subak
Dangin Umah, Pesedahan Yeh Wos Teben Desa Batubulan Kangin. Proses pembentukan awig-awig itu di awali pembentukan panitia kecil yang terdiri dari 20 orang yang dibagi di dalam tiga kelompok, yaitu kelompok parahyangan, yang bertugas untuk membahas tata agama, kelompok pawongan yang bertugas untuk membahas tata organisasi, dan kelompok palemahan yang bertugas untuk membahas tentang wilayah subak. Penyusunan awig-awig itu berpedoman pada awig-awig subak yang di terbitkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Panitia kecil setelah berhasil menyusun rancangan awig-awig subak, kemudian rancangan itu disampaikan dalam rapat ditandai oleh adanya tanya jawab antara warga subak dan panitia kecil. Setelah panitia menyetujui rancangan awig-awig subak tersebut, rapat subak lalu menetapkan hari baik untuk melaksanakan upacara pengesahan. Upacara pengesahan Awig-awig Subak Dangin Umah diselenggarakan pada hari jumat kliwon tanggal 1 januari 1993 bertempat di Jaba Ulun Carik Subak Dangin Umah. Dalam upacara itu dihadiri oleh warga subak juga pejabat pemerintah Kecamatan. Para penendatanganan pengesahan Awig-awig Subak
19
Dangin Umah adalah Pekaseh, Penyarikan, Patengen, Bendesa Adat Batuyang, Kepala Dusun/ Kelihan Dinas, Kepala Batubulan Kangin, Sedahan Yeh Wos Tamben dan Camat Sukawati. Materi Awig-awig Subak Dangin Umah terdiri dari : 8 (sarga), 15 bagian (indik), 36 pasal (pawos) dan 86 awat (wiwit). Bab I mengatur tentang nama dan wilayah subak. Bab II mengatur tentang dasar dan tujuan subak. Bab III mengatur tentang tata organisasi. Bab IV mengatur tentang agama. Bab V mengatur tentang tata persubakan. Bab VI mengatur tentang pelanggaran dan sanksi atau upaya pemulihan keseimbangan. Bab VII mengatur tentang perubahan awig-awig subak. Bab VIII tentang penutup. Materi awig-awig subak terdiri dari beberapa bagian, yaitu. Pertama, Aspek tata organisasi terdiri dari enam bagian, yaitu tentang warga, tentang pengurus, tentang rapat, tentang tentang kentongan, tentang milik atau kekayaan subak, dan tentang bahaya. Kedua, aspek persubakan, terdiri dari lima bagian yaitu tentang wilayah dan bangunan; pengairan; pola tanam; dan hama penyakit. Ketiga, aspek tata agama terdiri dari dua bagian, yaitu tentang bangunan suci dan upacara. Selain mengatur ketiga bagian kegiatan subak tersebut, awig-awig subak juga mengatur tentang pelanggaran dan sanksi atau upaya pemulihan keseimbangan. Awig-awig subak tertulis itu hanya mengatur pokok-pokoknya saja, sedangkan kepentingan masyarakat subak yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem.
B.
Pembentukan Pararem Rapat subak yang disebut dengan istilah sangkepan atau paruman atau
samua merupakan wadah musyawarah dan komunikasi antara pengurus dengan warga subak. Secara teknis rapat subak merupakan perwujudan dari demokrasi dalam suasana perdesaan kususnya di liungkungan subak. Rapat subak dilaksanakan secara periodik maupun secara khusus. Rapat periodik umumnya dilaksanakan setiap satu bulan sekali pada hari yang telah ditentukan. Sebagai contoh, Subak Lucuk Ujung mengadakan rapat setiap hari
20
tumpek atau sabtu kliwon (35 hari sekali) di Balai Subak Lucuk Ujung. Subak yang belum memiliki balai subak, rapat subak biasanya diselenggarakan di balai banjar. Dalam rapat subak terjadi interaksi dan komunikasi antara pengurus dengan warga subak tentang berbagai hal yang dipandang penting untuk dibicarakan atau dicarikan jalan pemecahannya. Dalam rapat yang bersifat periodik biasanya membicarakan tentang penetapan pola tanam gotong-royong memperbaiki sarana prasarana subak, maupun pelaksanaan upacara di pura subak.selain itu dibicarakan pula tentang kas subak, serta denda bagi warga subak
yang melakukan pelanggaran. Rapat kusus diadakan apabila terjadi sengketa yang memerlukan pemecahan segera. Mengenai penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemerintah, dilakukan dengan cara mengundang Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, Dinas Pertanian (PLL), dan instansi-instansi terkait lainnya. Sebagai contoh pelanggaran penggiliran pola tanam di Subak Kubur, diselesaikan dengan cara menyelenggarakan rapat khusus yang dihadiri oleh Kepala Desa, aparat pemerintah Kecamatan, dan aparat pemerintah Kabupaten. Dalam pertemuan periodik apabila warga subak tidak hadir dalam rapat akan dikenakan denda sejumblah uang tertent, seperti Subak Kubur menetapkan besarnya denda apabila tidak hadir dalam rapat periodik sebesar seratus rupiah, sedangkan di dalam rapat kusus besarnya denda bagi warga yang tidak hadir sebesar seribu rupiah. Melalui wadah komunikasi yang berupa rapat periodik dan rapat khusus, terwujud interaksi antara pengurus warga subak guna menangani masalah yang bersifat perseorangan maupun kelompok. Pelaksanaan rapat subak, kadang-kadang didahului dengan melakukan kegiatan gotong-royong, seperti dilakukan oleh subak Temoyang Kelod pada tanggal 14 maret 1994. Setelah masyarakat subak melakukan gotong-royong membersihkan jalan dan saluran air, kemudian dilangsungkan rapat subak di balai subak. Subak Temoyong Kelod terdiri dari tiga tempek, tempek Cemcem (81 KK), tempek Dau (90 KK), dan Bremana (73 KK). Ketiga tempek itu memiliki pekaseh petujuh masing-masing. Salah seorang pekaseh itu, yaitu Pekaseh
21
Tempek Dau diangkat sebagai ketua yang menjabat sebagai Pekaseh Subak Temoyong Kelod. Dalam rapat subak ketiga pekaseh duduk, ketua pekaseh duduk di tengahtengah, para pekaseh membawa daftar anggota masing-masing dan mencatat anggota subak yang tidak hadir dalam rapat tersebut. Acara rapat adalah membahas perencanaan pola tanam, pada saat itu padi sedang menguning dimana dalam waktu satu minggu lagi padi segera dipotong. Pekaseh menyampaikan pola tanam yang akan datang adalah menanam kedelai, mengingat subak telah menanam padi selama dua kali berturut-turut. Karena itu, warga subak supaya memulai bersiap-siap untuk menanam kedelai. Setelah pekaseh selesai menjelaskan perencanaan pola tanam, salah seorang amggota warga subak yang bernama IWB mengajukan usul “ apakah sebaiknya menanam padi sekali lagi, mengingat persediaan air mencukupi dan harga padi saat ini lebih tinggi dari pada harga kedelai”. Warga subak yang lain yang bernama IMK menanggapi usulan warga tersebut dengan mengatakan bahwa “pekaseh sebaiknya menegakkan awig-awig dengan tegas, Kalau pelaksanaan awig-awig sudah tidak tegas, nanti akan bertambah sulit untuk menyusunnya kembali, karena itu apabila telah tiba gilirannya menanam palawija hendaknya hal itu dilaksanakan secara konsekuen”. Pekaseh secara bijaksana menyampaikan jawabannya “bahwa awig-awig yang sudah dibuat dengan susah payah mestinya warga subak menaatinya. Apabila dipertimbangkan dengan seksama ternyata pola tanam yang telah berjalan, yaitu padi, padi, palawija sudah cocok dengan kondisi tanah sawah, dimana setelah sawah ditanami padi dua kali, kemudian dilakukan selingan dengan menanam palawija. Janganlah menghitung keuntungan sesaat dengan membandingkan harga padi yang lebih tinggi dengan harga kedelai dalam satu panen saja. Tetapi dipikirkan kehidupan kita seterusnya”. Jawaban pekaseh tersebut mendapat dukungan seluruh warga termasuk warga subak yang mengajukan usul merasa setuju dan menerima rencana pekaseh tersebut. Selanjutnya seorang warga subak yang bernama IKL mengajukan pertanyaan “kapan mulai menanam kedelai, mengingat padi yang sekarang sedang menguning dan segera akan dipotong.
22
Pengurus subak mencari hari baik berdasarkan kalender secara seksama. Akhirnya disepakati bahwa pada tanggal 23 maret 1994 pada hari Rabu ditetapkan sebagai hari memulai menanam kedelai. Setelah rencana pada pola tanam palawija disepakati oleh warga subak, maka pekaseh menutup rapat subak dengan menegaskan agar keputusan rapat itu dilaksanakan oleh seluruh warga subak. Hasil keputusan rapat itu merupakan pararem tentang perencanaan pola tanam palawija. Pararem itu mengikat seluruh warga subak dan menjadi pedoman untuk berprilaku. Kepatuhan warga subak kepada aturan subak merupakan tanda bagi kelancaran pelaksanaan kegiatan organisasi subak.
2.5.2
Sistem Sosial Wujud yang kedua dari kebudayan disebut sistem sosial atau social
system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial itu sendiri terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam satu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan (Koentjaraningrat, 2006). Berkaitan dengan hal tersebut, interaksi yang terjadi antarmanusia pada subak pada akhirnya untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapainya maka dibentuklah suatu organisasi sosial subak untuk mengelola irigasi yang tersedia, agar tercapai keberhasilan dalam bidang pertanian. Organisasi tersebut pada dasarnya berbentuk tim kerja yang berorientasi pada pencapaian keberhasilan tujuan (Kast dan Rosenzewig, 1979; Sudjadi, 1989 dalam Windia, 2006), berdasarkan pada asas-asas yang harus diemban oleh suatu organisasi yakni keadilan dan kebersamaan. Adapun tugas-tugas yang harus dicapai oleh organisasi subak dibawah pimpinan ketua/kelian subak (pekaseh) pada dasarnya sebagai berikut. 1. Merencanakan tujuan, dan sasaran kegiatan yang merupakan wujud dari pelaksanaan yang taat asas menurut aturan yang diberlakukan. 2. Menjelaskan tujuan dan sasaran kegiatan kepada anggota
23
3. Menyusun
kesepakatan
tindakan
pemecahan
permasalahan,
dan
pembagian tanggung jawab kepada seluruh anggota. 4. Memberdayakan anggota untuk dapat berperan-serta sesuai dengan tujuan dan sasaran kegiatan yang telah disepakati dapat tercapai dengan baik. Berkaitan dengan sistem sosial subak untuk mengatur penyediaan dan pengalokasian air (mengelola air irigasi) atas dasar kesesuaian dengan pola pikir di atas, maka subak membangun organisasinya sesuai dengan kebutuhan setempat. Misalnya pada daerah-daerah tertentu, ada seorang staf pengurus subak yang disebut dengan petilik, yang bertugas untuk secara rutin mengawasi alokasi dan distribusi air irigasi di kawasan tersebut. Peranan pengurus (pekaseh) subak, juga sangat penting. Keberhasilan subak, banyak ditentukan oleh kepemimpinan pekaseh subak yang bersangkutan. Sebab ia yang mengatur air irigasi pada saat kondisi air yang krisis, menetapkan hari baik untuk menanam tanaman tertentu (menentukan pola tanam dan jadwal tanam), merencanakan upacara tertentu (untuk memohon curahan hujan, memberantas hama penyakit tanaman, dan lain-lain). Selanjutnya dapat disebutkan bahwa ketua subak (pekaseh) bertugas untuk mengkordinasikan tugas-tugas ke luar (berhubungan aparat pemerintahan) dan ke dalam, yang dibantu oleh sekretaris, dan bendahara. Sedangkan kelian tempek (sub-subak) bertugas untuk mengkordinasikan tugas-tugas ke dalam (di wilayah masing-masing), dan tidak memiliki kewenangan berhubungan ke luar. Sementara itu peranan sedahan saat ini sudah semakin menyusut, dan hanya masih berfungsi dalam rangka pemungutan pajak (Pajak Bumi dan Bangunan). Sedangkan lembaga sedaham-agung kini digabungkan dalam struktur Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota, sehingga perhatiannya tidak bisa fokus untuk mengurus kepentingan subak. Akhir-akhir ini organisasi subak banyak berhubungan dengan Dinas Pekerjaan Umum, berkaitan dengan pembangunan fisik di subak yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut, pada awalnya sistem subak hanya mengelola air irigasi untuk kepentingan anggotanya. Namun dengan adanya kegiatan bersifat ekonomi, maka dalam perkembangannya sistem subak juga mengelola keuangan organisasi. Kegiatan ekonomi pada sistem subak diawali
24
dengan adanya proses jual beli air yang terjadi pada abad ke sembilan (Wardha,1989). Adapun uang yang dikelola subak antara lain berasal dari denda yang dipungut terhadap anggota yang melakukan pelanggaran, iuran anggota subak, pembayaran dari anggota pasif, dan uang hasil kontrak penggembala. (Sumerta, 1992 dan Sutawan dkk 1989). Dalam perkembangannya unur dan kegiatan ekonomi bermunculan pada sistem subak di bali yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain membentuk koprasi tani, melakukan simpan pinjam dan melakukan pinjaman di bank untuk pembangunan jaringan irigasi subak (Sutawan dkk, 1989 dan Sutawan, 2001).
2.5.3
Artefak/kebendaan Seperti disebutkan sebelumnya bahwa organisasi sosial seperti halnya
subak dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam pola pikir. Selanjutnya agar tujuan-tujuan itu tercapai, maka elemen-elemen yang ada dalam organisasi sosial tersebut masing-masing memiliki tanggung jawab agar fungsi-fungsi dari artefak yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya. Ketiga wujud dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia,
menghasilkan
benda-kenda
kebudayaan
fisiknya.
Sebaliknya,
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatanya, bahkan juga cara berpikirnya. Arif
(dalam Windia, 2006) mencatat bahwa sistem irigasi subak pada
dasarnya didisain dan dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras dengan lingkungannya. Adapun artefak yang dimanfaatkan oleh sistem subak di Bali pada dasarnya antara lain sebagai berikut. a. Bendung (empelan), yang lokasi pembangunannya dilakukan dengan musyawarah-mufakat oleh anggota subak yang bersangkutan. Pada awalnya penetapan lokasi dilakukan dengan mencoba-coba, sampai
25
akhirnya ditemukan lokasi yang tepat sesuai dengan kesepakatan. Lokasi bangunan bendung pada dasarnya (i) Pada kawasan tikungan sungai, sehingga dengan demikian bangunan sadap dari bendung tersebut dapat di tempatkan pada lokasi dengan kecepatan air yang paling tinggi, ada kekuatan sentrifugal, dan dengan sedimen yang paling minimal chow (dalam Windia, 2006). (ii) Pada kawasan sungai yang lokasinya paling dekat dengan hamparan sawah petani yang bersangkutan, sehingga saluran irigasi atau trowongan yang harus dibuat menjadi seminimal mungkin. Untuk kasus subak sungsang, sebelum mereka menemukan lokasi bending yang dimanfaatkan hingga saat ini, mereka pernah mencoba pembuatan bending sekitar 500 meter lebih dihulu dari bending yang di manfaatkan sekarang, dengan bangunan sederhana dan dengan bahan-bahan lokal. Seirama dengan perkembangan pembangunan nasional, maka bangunan bendung tersebut banyak yang diganti dengan semen, dan dengan kontruksi yang modern, dan permanen. Kondisi ini member pengaruh yang negatif terhadap aliran sungai ke hilir, sehingga mempengaruhi air yang dapat dimanfaatkan oleh anggota subak yang lain yang lokasinya lebih di hilir. Kondisi ini diatasi dengan dilakukannya pembentukan subak gede atau subak-agung yang mengkordinasikan subak-subak yang ada dalam satu wilayah sungai. Pintu sadap dibuat sebanding dengan luas areal sawah yang diairi, dan tidak dibuat lebih besar dari debit sungai, agar masih ada limpahan air untuk subak yang berada lebih di hilir. Sementara itu pada setiap lokasi bangunan bendung dibangun sebuah pura yang disebut dengan Pura Empelan, yang dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan upacara magpag toya. Sehingga dengan demikian pura inipun akan selalu diayom (dipelihara dan dibersihkan) secara rutin dan berkesinambungan oleh subak yang bersangkutan, menjelang dan pada saat pelaksanaan upacara. Dengan demikian terkesan adanya hubungan yang kuat antara kondisi pura dengan kinerja pengelolaan subak yang bersangkutan (Arif dalam Windia, 2006).
26
b. Saluran Irigasi (telabah) pada dasarnya merupakan saluran terbuka yang dimanfaatkan oleh subak yang bersangkutan untuk mengalirkan air irigasi hingga ke petak sawah petani anggota subak. Meskipun sungai-sungai di Bali pada umumnya sangat curam, dan dengan topografi yang bergelombang, maka sesuai dengan kemampuan teknis dan ekonomis dari para petani, maka mereka pertama-tama akan berusaha membuat saluran terbuka, yang dibangun ditepian tebing sungai. Kalau kiat yang dilakukan ini tidak membawa hasil yang optimal untuk mampu mengalirkan air irigasi sampai ke petak sawah, barulah mereka berfikir dan berusaha untuk membamgun trowongan air (aungan). Patut diketahui bahwa sehubungan dengan kondisi topografi Pulau Bali, maka saluran air irigasi suatu subak, sering mendapatkan suplensi tirisan air dari kawasan lain di sekitarnya, atau dari saluran drainasi kawasan subak di sekitarnya. Saluran dibuat dengan ukuran pembagian air yang proposional dengan percabangan numbak agar air yang mengalir dirasakan transparan dan trakuntabilitas. Sebagaimana diketahui bahwa setiap sistem subak di Bali kecuali memiliki saluran irigasi yang mengalirkan air irigasi ke petak sawah petani, mereka pun memiliki saluran drainasi untuk membuang air yang tidak dimanfaatkan lagi oleh petani. Sistem drainasi seperti itu dimiliki pula oleh setiap petani pada setiap blok/komplek sawah miliknya. Disamping itu merekapun masing-masing memiliki bangunan-bagi sadap (inlet) untuk memasok air irigasi ke setiap blok/komplek sawah miliknya. Sistem drainasi dimaksudkan pula untuk menambah pasok air untuk subak yang lebih di hilir, dan untuk memudahkan pelaksanaan diversifikasi tanaman, meski pada musim hujan. Selanjutnya karena topografi lahan yang bergelombang, maka petani juga membangun sistem pematah energi (petaku/energy dissipaters) pada saluran irigasi yang memiliki kemiringan tertentu. c. Trowongan (aungan) akan diusahakan untuk dibangun oleh petani bila mereka gagal memanfaatkan secara optimal keberadaan saluran irigasi yang terbuka. Seiring dengan maksud mereka untuk membangun
27
trowongan air, maka mereka akan mengkaji kembali lokasi bangunan bendung (empelan) yang ada sebelumnya, agar pembangunan trowongan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan lebih efisien. Dalam kaitan ini, mereka tidak segan-segan untuk melakukan konsultasi dengan pihak Dengan PU (Pekerja Umum). Dalam proses pembangunan trowongan, para ahli pembuat trowongan (undagi pengaung/tukang aungan) akan berusaha memilih lintasan trowongan pada lahan yang terdiri dari batu, batu padas, atau tanah yang diyakini cukup keras dan kuat untuk menyangga tanah yang ada di atas bangunan trowongan itu. Dengan demikian trowongan tidak perlu disemen. Tinggi trowongan dibuat sebanding dengan tinggi anggota subak setempat, agar pemeliharaan trowongan dapat dilakukan dengan leluasa dengan peralatan yang sederhana. Bagian atas trowongan dibuat melengkung, dengan tujuan untuk menjamin tetap adanya udara di atas permukaan air pada trowongan, sehingga trowongan tetap dalam kategori saluran terbuka. Kalau seandainya dalam proses pembuatan trowongan ditemukan lahan yang lembek, maka tukang aungan tidak segan-segan meninggalkan lokasi itu, dan mengalihkan pada lokasi lahan yang lain yang di nilainya lebih kuat. Kasus dalam pembuatan Subak Sungsang yang panjangnya 3,5 km harus dibuat dalam jangka waktu 10 tahun. Hal itu terjadi karena lintas trowongan 35% adalah batu, dan 65% adalah batu padas. Pernah pada suatu ketika pada saat pembuatan trowongan di Subak Sungsang, tercatat bahwa untuk menggali sepanjang satu meter harus digali selama satu bulan, yang dikerjakan oleh 12 orang pekerja. Selanjutnya dalam proses pembuatan trowongan, setiap sekitar 100-150 meter akan digali akses jalan masuk ke trowongan (calung) dan sekaligus sebagai jalan untuk pembuangan sisa-sisa galian, dan juga sebagai tempat masuknya udara segar ke trowongan. Kalau udara di dalam trowongan masih terasa panas, maka udara di dalam akan dipompa dengan bantuan dahan, dan daun tanaman.
28
Sebagai alat penerang dalam penggalian trowongan, digunakan lampu teplok dengan bahan bakar minyak kelapa. Sinar lampu teplok juga dimanfaatkan untuk memperkirakan lurus tidaknya arah
penggalian
trowongan tersebut. Lampu teplok dengan minyak kelapa dianggap jauh lebih ringan polusinya dibandingkan dengan minyak tanah, nyala apinya dianggap lebih kuat, dan lebih terang. Disamping nyala lampu teplok, gaung yang ditimbulkan pada saat penggalian pada dua arah, dimanfaatkan pula sebagai prakiraan oleh para tukang untuk dapat mempertemukan lubang trowongan yang sedang digali tersebut. d. Bangunan-bagi (tembuku) pada sistem subak, pada dasarnya dibangun dengan konsep proposional, sejak pada bangunan-bagi yang ada di hulu, hingga pada bangunan-bagi irigasi yang menuju pada petak sawah petani (tembuku pengalapan). Unut ukuran yang digunakan adalah tektek. Tektek adalah suatu unit air pada suatu subak, yang merupakan sistem bagi habis antara jumlah air yang masuk ke subak yang bersangkutan dengan jumlah luas areal sawah yang ada di subak yang bersangkutan. Ada juga subak di Bali, misalnya subak sungsang yang memodifikasi sistem tektek menjadi ukuran dengan sistem centimeter, namun pelaksanaannya tetap dalam koridor konsep proporsional. Bangunan-bagi pada jaringan tersier pada umumnya
dibuat
dengan
bahan
yang
tidak
permanen,
untuk
mempermudah proses pinjam meminjam air. Pada dasarnya konsep proporsional seperti ini, dan lokasi bangunan-bagi yang umumnya diletakkan lebih di hulu dari areal sawah, dianggap cukup sepadan pada kondisi petani yang memiliki pola pikir yang sederhana, serta dianggap dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas. Arif (dalam Windia, 2006) menyatakan bahwa untuk menerapkan sistem proporsional, maka diperlukan persyaratan antara lain, velositas air pada bangunan-bagi harus minimal, bentuk bangunan-bagi harus tegak lurus mengarah ke hilir (sistem numbak), dan bangunan-bagi itu tidak tenggelam pada saat aliran air irigasi yang maksimal. Semua persyaratan itu telah dipenuhi oleh sistem irigasi subak.
29
Bangunan-bagi dengan sistem numbak diterapkan pada sistem subak di Bali karena topografi Pulau Bali yang umumnya bergelombang. Meskipun sistem numbak tersebut telah dimanfaatkan secara efektif pada sistem subak di Bali, namun patut dicatat adanya beberapa kelemahan yang ada, yakni : i. Adanya kemungkinan kecepakatan air yang tidak sama pada bangunan-bagi tersebut, dan pada umumnya kecepakatan air di bagian tengah akan lebih tinggi dibandingan dengan di bagian tepi (Chow dalam Windia, 2006). Kondisi ini pada umumnya diantisipasi oleh para petani dengan memperlebar arus saluran irigasi pada lokasi tersebut menjadi relative sama, dan minimal. ii. Adanya kemungkinan tenggelamnya bangunan saluran irigasi pada saat-saat tertentu, yakni pada saat aliran irigasi yang maksimal. Hal ini diantisipasi oleh petani dengan membangun bangunan tertentu sedemikian rupa pada ambang bangunan-bagi yang relative lebar, sehingga selalu akan menjadi beda permukaan air yang masuk dan yang keluar dari bangunan-bagi tersebut. iii. Ada kemungkinan lahan yang dimanfaatken terlalu banyak, sehingga tampak tidak efisien. Namun lahan yang tersesa tersebut pada umumnya dimanfaatkan oleh petani untuk membangun pura (bedugul), sehingga dengan demikian pemanfaatan lahan yang tersisa tersebut menjadi efektif, dan tidak menimbulkan konflik. iv. Bila dibandingkan dengan bangunan-bagi sistem box yang dapat dimanfaatkan untuk sistem tanam bergilir, maka untuk saluran irigasi pada bangunan-bagi dengan sistem numbak relatif akan lebih lebar, namun tampaknya para petani pada sistem subak di Bali lebih mengutamakan konsep keadilan, dan kebersamaan sesuai dengan prinsip-prinsip nilai Tri Hita Karana, karena dengan sistem numbak mereka dapat menanam secara bersamaan. Kalau toh akhirnya terjadi kekurangan air, maka mereka mengantisipasinya dengan cara kebijakan saling pinjam air irigasi antar petani, atau antar subak.
30
Tampaknya para petani di Bali pada dasarnya lebih mengutamakan prinsip efektivitas dibandingkan dengan prinsip efisiensi. Pada zaman dahulu, bangunan-bagi itu dibuat dari bahan lokal (kayu,bambu, dan lain-lain) namun sekarang hamper sebagian besar terbuat dari batu dan semen. Namun demikian ukuran ambang air pada bangunan-bagi tetap tidak dirubah. Kalau ada perubahan-perubahan, yang sejarah subak di Bali pernah dilakukan oleh Departemen PU, maka petani tidak akan mau untuk memanfaatkannya. Kejadian seperti ini pernah terjadi di Subak Sungsang, dan pada sebagian besar subak di Bali yang pernah mendapatkan proyek jaringan tersier (Arif, 1999; Pusposutardjo, 1996; dan Sutawan dkk. 1989 dalam Windia, 2006). Bila petani yang lokasi sawahnya di hilir merasa kurang puas, mungkin karena disebabkan oleh prioritas tanah, saluran yang terlalu panjang, dan lain-lain, maka subak akan memberikan tambahan unit air (pelampias) kepada petani yang bersangkutan. Sebaliknya, karena keadaan topografi subak, dan sawah milik petani di suatu lokasi memungkinkan mendapatkan tambahan air (tirisan) dari kawasan subak sekitarnya, maka subak berhak mengurangi unit air yang seharusnya diperoleh. Semuanya itu dimaksudkan untuk menerapkan harmoni, dan rasa adil di kalangan subak yang bersangkutan, tergantung dari kesepakatan subak. Pembahasan diatas memberikan indikasi bahwa masalah artefak dan sistem subak tampaknya berperan penting , yang memungkinkan sitem irigasi dapat dikelola sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.
2.6
Kerangka Konsep Penelitian Perkembangan pekerjaan pertanian sistem subak akan mempengaruhi
persepsi pertanian perkotaan. Persepsi petani yang baik menandakan petani di perkotaan masih tetap memiliki sikap yang positif dan tetap memilih pekerjaan sektor pertanian sebagai mata pencahariannya, sebaliknya jika persepsi petani perkotaan buruk, menandakan pekerjaan sektor pertanian semakin ditinggalkan dan menjadi semakin tersisihkan oleh pekerjaan sektor non pertanian. Guna mengatasi hal tersebut dibutuhkan upaya yang intensif untuk meningkatkan kepercayaan penduduk terhadap pekerjaan di sektor pertanian.
31
Dalam hal ini pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan pekerjaan di sektor pertanian. Dengan adanya kebijakan tersebut tentunya dapat menjadi pertimbangan bagi penduduk untuk menekuni pekerjaan di sektor pertanian. Kendati demikian kiranya sangat diperlukan upaya membangkitkan niat generasi muda untuk melestarikan sistem subak. Tanpa adanya perubahan paradigma dari generasi muda sangat mustahil bagi subak untuk berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, maka jelas bahwa pola pikir petani merupakan hal penting bagi eksistensi pertanian sistem subak di perkotaan. Jika petani cenderung tetap berpersepsi negatif, maka sangat disayangkan upaya pelestarian sistem subak di Subak Anggabaya menjadi sia-sia sehingga akan berdampak negatif bagi regenerasi tenaga kerja di Subak Anggabaya. Atas dasar uraian tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani perkotaan terhadap aktivitas sistem subak (kasus di Subak Anggabaya Desa Penatih Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar) berdasarkan aspek pola pikir, sosial, dan artefak. Hasil dari persepsi petani tersebut diharapkan dapat memberikan rujukan atau rekomendasi kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan, khususnya kebijakan sektor pertanian guna mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Kerangka Konsep Penelitian secara terstruktur dapat dilihat pada Gambar 1.
32
Aktivitas Sistem Subak Di Subak Anggabaya Denpasar
Persepsi Petani
Wujud Kebudayaan
Pola Pikir
Sistem Sosial
Artefak
Analisis Data
Deskriptif/Kualitatif
Simpulan
Rekomendasi
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian (Persepsi Petani Perkotaan terhadap Aktivitas Sistem Subak di Subak Anggabaya)