BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Persepsi Sebuah proses internal yang dinamakan persepsi, yang bermanfaat sebagai sebuah alat penyaring (filter) dan sebagai metode untuk mengorganisasi stimuli yang memungkinkan kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi tersebut menyediakan mekanisme melalui seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti. Akibatnya adalah bahwa kita lebih dapat memahami gambaran mengenai lingkungan yang diwakili oleh stimuli tersebut (Winardi, 2002). Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh seseorang di dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman (Thoha, 1980). Salah satu alasan mengapa persepsi demikian penting dalam hal menafsirkan keadaan sekeliling kita adalah bahwa kita masing-masing mempersepsi, tetapi mempersepsi secara berbeda, apa yang dimaksud dengan sebuah situasi ideal. Persepsi merupakan sebuah proses yang hampir bersifat otomatik, dan ia bekerja dengan cara yang hampir serupa pada masing-masing individu, tetapi sekalipun demikian secara tipikal menghasilkan persepsi-persepsi yang berbeda-beda. Kita dapat memperluas pandangan tentang persepsi sebagai mekanisme melalui stimuli lingkungan (termasuk di dalamnya upaya-
10
upaya komunikasi), hingga dicapai kesimpulan bahwa persepsi teramat penting bagi pemahaman dan terbentuknya perilaku. Seseorang individu tidak bereaksi atau berperilaku dengan cara tertentu, karena situasi yang terdapat di sekitarnya, melainkan karena apa yang terlihat olehnya, atau apa yang diyakini olehnya tentang situasi tersebut. Agar seseorang dapat menyadari dan dapat melakukan persepsi ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi, yaitu : a). Adanya objek yang dipersepsi. Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai indera dan dapat datang dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima (sensoris) tapi berfungsi sebagai reseptor. b). Adanya indera atau reseptor, yaitu sebagai alat untuk menerima stimulus. c). Diperlukan adanya perhatian sebagai langkah awal menuju persepsi. Jika rangsangan merupakan faktor eksternal dalam proses pengamatan maka faktor individu merupakan faktor internal. Menghadapi rangsangan dari luar itu seseorang bersikap selektif untuk menentukan rangsangan mana yang akan diperhatikan sehingga menimbulkan kesadaran. Melalui proses selektif terhadap suatu rangsangan, seseorang dapat mempunyai tanggapan atau pendapat tentang objek tertentu. Dalam hal ini persepsi dapat diukur dari proses memberikan nilai terhadap objek tertentu dari orang tersebut.
11
B. Tinjauan tentang Nilai Anak
Beberapa batasan mengenai nilai yang dikemukakan oleh Nicholas Roscher dalam Srisoeprapto (1998) sebagai berikut : (1) Suatu benda atau
barang
yang
memiliki
nilai
atau
bernilai,
apabila
orang
menginginkannya kemudian berusaha atau menambah keinginan untuk memilikinya, (2) Nilai adalah sesuatu yang mampu menimbulkan penghargaan, (3) Nilai adalah dorongan untuk memperhatikan objek, kualitas atau keadaan yang dapat memuaskan keinginan, (4) Nilai merupakan suatu objek dari setiap keinginan, (5) Nilai adalah harapan atau setiap keinginan atau dipilih oleh seseorang, kadang-kadang dalam praktek apa yang diinginkan oleh seseorang, dan (6) Nilai adalah konsep, eksplisit atau implisit, yang berbeda dari setiap orang atau kelompok, keinginan mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan perbuatan. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu konsep yang di dalamnya terdapat ide, gagasan yang mengandung kebenaran yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta dihargai dan dipelihara. Dengan demikian, nilai mengandung harapan atau keinginan yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Mengenai nilai anak bagi orang tua juga sekaligus menentukan pilihan, apakah ia harus memiliki anak atau tidak. Bila ingin memiliki anak berapa jumlah yang diinginkan?
12
Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua. Ekonomi kependudukan mikro, yaitu dari sudut pandangan orang tua atau dari satuan keluarga telah menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama seperti mobil, rumah, televisi dan sebagainya, yang dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang lama. Setiap orang (dalam hal ini orang tua), telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih antara berbagai barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan.
Dengan
pendekatan
ini
sulit
diterangkan
mengapa
meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan, orang tua ingin agar anaknya bependidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990). Dasar pemikiran yang utama dari teori transisi demografi adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka
13
keinginan mempunyai anak lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi (Robinson dalam Lucas dkk, 1990). Teori ekonomi fertilitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per keluarga di antaranya adalah berapa banyak kelahiran yang dapat dipertahankan hidup (survive). Tekanan yang utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang diinginkannya. Perhitungan-perhitungan demikian itu tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis (Caldwell, 1983). Menurut Robinson (1983) ada tiga macam tipe kegunaan anak yakni : 1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya sebagai sumber hiburan. 2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang menambah pendapatan keluarga. 3. Kegunaan
yang
diperoleh
dari
anak
sebagai
ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya.
sumber
14
Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktivaekonomi. Orang tua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990). Bila anak dianggap sebagai barang konsumsi yang tahan lama atau barang investasi, maka perlu dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi anak menurut Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu : 1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan dan perawatan kesehatan anak. 2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja. Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan ini juga merupakan biaya aternatif.
15
Pembicaraan
tentang
beban
dan
manfaat
ekonomi
anak
seharusnya tidak boleh membuat kita menutup mata kepada kenyataan bahwa tidak seorang pun yang pandangannya ekonomi melulu. Perasaan cinta kasih, kebutuhan akan keluarga normal dan sebagainya, juga harus dipertimbangkan. Bahkan para ahli ekonomi tahu akan hal ini meskipun kadang-kadang
cenderung
tidak
memperdulikannya.
Dari
semua
pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak atau besar keluarga yang akan dimiliki, seseorang akan dipengaruhi oleh daya guna (utility) yang diberikan oleh anak-anaknya. Bagi ahli ekonomi daya guna hampir sama dengan kepuasan. Menurut Judith Blake dalam Robinson (1983) mengatakan masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normative, jika kaum miskin mempunyai anak lebih banyak dari pada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pronatalis dari pada kaum kaya. Karena menggunakan
fertilitas ukuran
tidak ekonomi,
dapat
hanya
keuntungan
diterangkan dan
kerugian
dengan ‘bukan
ekonomi’, kiranya juga perlu dihitung. Nilai anak dapat diartikan sebagai ‘koleksi benda-benda bagus’ yang diperoleh orang tua karena mempunyai anak (Espenshade dalam Lucas dkk, 1990). Hoffman dan Hoffman dalam Lucas dkk (1990) menghasilkan suatu sistem nilai yang meliputi sembilan kategori, yakni delapan nilai bukan ekonomi (misalnya status kedewasaan,
16
imortalitas, kebahagiaan, kreativitas) dan satu nilai yang menyangkut manfaat ekonomi. Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari kerangka kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial dan ekonomi, serta “beban” karena mempunyai anak (Fawcett, 1986). Di beberapa negara, termasuk Indonesia, umumnya anak laki-laki mempunyai arti khusus sehingga anak lelaki paling banyak dipilih. Orang tua dari golongan menengah lebih memilih anak perempuan yang dapat menjadi kawan bagi ibu. Perbedaan tanggapan yang relatif kecil antara suami dan istri ada hubungannya dengan peranan mereka dan pembagian tugas dalam keluarga. Misalnya, wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak, mempunyai lingkungan kehidupan sosial yang lebih sempit, menitikberatkan anak sebagai teman dan kebutuhan emosional serta fisik dari pengasuhan anak. Di lain pihak, agaknya para suami lebih mementingkan kebutuhan akan keturunan untuk melanjutkan garis keluarga dan lebih prihatin terhadap biaya anak (Oppong, 1983). Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin
17
tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada citacita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan
anak
berkualitas
di
tengah
kondisi
keuangan
atau
pendapatan yang terbatas. Menurut Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel lain. Seorang dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi tentu saja dapat mempertimbangkan berapa keuntungan finansial yang diperoleh seorang anak dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkannya. Hubungan antara pendidikan dan nilai anak juga terlihat pada diri wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, bukan saja semakin rasional, akan tetapi semakin besar peluangnya untuk memasuki pasar kerja. Sementara itu waktu bagi seorang wanita yang bekerja sangat sedikit, dengan demikian untuk mengasuh dan membesarkan anak semakin berkurang. Itulah sebabnya nilai anak baginya mungkin berbeda
18
dengan wanita kebanyakan, terutama yang tidak berpeluang untuk bekerja di luar rumah (peran publik). Demikianlah pula dengan penghasilan, berkorelasi pula dengan nilai anak. Korelasi di sini bisa positif bisa pula negatif. Menurut Bellante dan Jackson (1990) anak-anak memberikan utilitas dan jasa pelayanan yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak
dianggap
sebagai
sumber
tenaga
kerja
dan
sumber
pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat disimpan di kemudian hari.
Hal
tersebut merupakan hubungan positif antara
penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan yang tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun. Selanjutnya terdapat perbedaan pula antara usia, usia kawin pertama dan kondisi pemukiman terhadap persepsi nilai anak.
Hasil
Survai Prevalensi Indonesia 1987 menunjukkan bahwa berdasarkan perbedaan umur dan daerah, terdapat range yang cukup besar dalam jumlah anak yang diinginkan. Apabila diambil kelompok umur 25-29 tahun sebagai pedoman kasar, yakni kelompok umur yang relatif muda, golongan muda ini masih mempunyai jumlah anak ideal (anak yang
19
diinginkan) yang cukup tinggi, yakni 3,1 di Jawa, di luar Jawa dan Bali malah sebesar 3,6. Selanjutnya, penduduk perkotaan mempunyai jumlah anak ideal lebih rendah daripada penduduk pedesaan dan pesisir (Singarimbun, 1996). Orang tua di desa lebih menitikberatkan manfaat ekonomi dan kegunaan praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anakanak, sedangkan orang tua di kota (terutama yang berpendidikan tinggi) menekankan aspek emosional dan psikologisnya (Bongaarts, 1983).
Kategori Nilai Anak Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini, dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil. Keempat kategori nilai anak tersebut meliputi sebagai berikut : A. Nilai Positif Umum (Manfaat) 1. Manfaat Emosional Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat bagi orang tuanya. 2. Manfaat Ekonomi dan Ketenangan
20
Anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka dapat megerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang) 3. Pengembangan Diri Memelihara anak adalah suatu ”pengalaman belajar” bagi orang tua. Anak membuat orang tuanya lebih matang, lebih bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang telah menikah tidak selalu dapat diterima
sebagai
orang
dewasa
dan
anggota
masyarakat
sepenuhnya. 4. Mengenali Anak Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan dari mengawasi anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka halhal baru. Mereka bangga kalau bisa memenuhi kebutuhan anakanaknya. 5. Kerukunan dan Penerus Keluarga Anak membantu memperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.
21
B. Nilai Negatif Umum (Biaya) 1. Biaya Emosional Orang tua sangat mengkhawatirkan anak-anaknya, terutama tentang perilaku anak-anaknya, keamanan dan kesehatan mereka. Dengan adanya anak-anak, rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-kadang anak-anak itu menjengkelkan. 2. Biaya Ekonomi Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan dan pakaian anak-anak dapat besar. 3. Keterbatasan dan Biaya Alternatif Setelah mempunyai anak, kebebasan orang tua berkurang. 4. Kebutuhan Fisik Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang diperlukan untuk mengasuh anak. Orang tua mungkin lebih lelah. 5. Pengorbanan Kehidupan Pribadi Suami Istri Waktu untuk dinikmati oleh orang tua sendiri berkurang dan orang tua berdebat tentang pengasuhan anak. C. Nilai Keluarga Besar (alasan mempunyai keluarga “Besar”) 1. Hubungan Sanak Saudara Anak membutuhkan kakak dan adik (sebaliknya anak tunggal dimanjakan dan kesepian).
22
2. Pilihan Jenis Kelamin Mungkin orang tua mempunyai keinginan khusus untuk seorang anak lelaki atau anak perempuan, atau suatu kombinasi tertentu. Orang tua ingin paling tidak mempunyai satu anak dari masingmasing jenis kelamin atau jumlah yang sama dari kedua jenis kelamin. 3. Kelangsungan Hidup Anak Orang tua membutuhkan banyak anak untuk menjamin agar beberapa akan hidup terus sampai dewasa dan membantu mereka pada masa tua. D. Nilai Keluarga Kecil (alasan mempunyai keluarga “Kecil”) 1. Kesehatan Ibu Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu. 2. Beban Masyarakat Dunia ini menjadi terlalu padat. Terlalu banyak anak sudah merupakan beban bagi masyarakat.
Sebagai barang ekonomi, anak-anak mengandung suatu arus keuntungan atau utilitas bagi orang tua mereka. Orang tua juga mengeluarkan biaya dalam memiliki dan membesarkan anak-anak mereka. Dalam memutuskan untuk memiliki seorang anak, berapa jumlah anak yang diinginkan, orang tua diasumsikan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan
yang
diharapkan
dari
memiliki
anak-anak
23
dibandingkan secara relatif dengan biaya-biaya yang diperkirakan akan dikeluarkan. Terutama sekali, keuntungan yang diberikan anak-anak telah menurun sedangkan biayanya telah meningkat.
C. Tinjauan tentang Wanita Peran wanita dapat dilihat dari tiga perspektif dalam kaitannya dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga dan partisipan pembangunan atau pekerja pencari nafkah (Hubeis dalam Achmad, 1994) : 1) Peran tradisi. Sering juga disebut peran domestik menjadi urusan wanita. Semua pekerjaan rumah dari membersihkan rumah, memasak, mencuci, merawat/mengasuh anak dan masih banyak lainnya yang berkaitan dengan rumah tangga. Wanita sebaiknya di rumah saja agar semua urusan menjadi terselesaikan dengan baik. 2) Peran transisi, yang terjadi khususnya di daerah pertanian, wanita sudah terbiasa bekerja di lahan pertanian keluarga, bila di kota bekerja di usaha keluarga. 3) Peran kontemporer. Jika seorang wanita hanya memiliki peran di luar rumah tangga saat ini masih disebut wanita kontemporer atau wanita karir. Biasanya mereka memilih hidup tidak menikah dan mencari nafkah sendiri. Ini terdapat di kota-kota besar.
Moser (1986) telah melakukan penelitian selama lima tahun yang berkaitan dengan peran wanita dalam pembangunan di Dunia Ketiga,
24
karena peran wanita dan pria berbeda maka keperluan mereka berbeda pula. Dekade Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Wanita (1976-1985) telah
berperan penting
dalam
mengangkat
dan
menyebarluaskan
pentingnya peran wanita dalam pembangunan sosial ekonomi di negara dan masyarakat. Suatu
kerangka
konseptual
mengenai
peranan
wanita dan
perubahan demografi, termasuk fertilitas dan pengaturannya, oleh Oppong (1983) membagi peran-peran wanita ke dalam tujuh kategori, yaitu : peran sebagai ibu (maternal), pasangan kawin (conjugal), domestik, pekerjaan (occupational), kerabat, masyarakat dan peran individu. Teori ekonomi
mengenai
fertilitas
juga
mengasumsikan
bahwa
waktu
pemeliharaan anak sebagian besar disediakan oleh para ibu. Diasumsikan bahwa
ada
pilihan
utama
bagi
wanita
antara
kegiatan-kegiatan
ekonomi/pekerjaan dan kegiatan sebagai orang tua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mueller dalam Oppong (1983), perhatian yang sedikit terutama ditujukan pada kemungkinan bahwa waktu untuk pekerjaanpekerjaan rumah tangga dan waktu luang jadi berkurang dengan adanya waktu untuk memelihara anak, demikian juga sebaliknya. Menurut
Koentjaraningrat
(1982)
salah
satu
variabel
yang
berpengaruh dalam fertilitas adalah partisipasi angkatan kerja wanita, dengan asumsi bahwa semakin tinggi partisipasi angkatan kerja wanita, maka semakin rendah pula fertilitasnya. Dalam hubungan ini Bakir (1984)
25
mengemukakan ada berbagai pendapat mengenai sifat hubungan antara fertilitas dan angkatan kerja, yaitu : 1) Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau konflik antara fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama yaitu sebagai istri dan ibu serta fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Oleh karena itu orang beranggapan bahwa meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di luar rumah dapat digunakan sebagai salah satu kebijaksanaan di bidang kependudukan yang mendukung program KB untuk menurunkan fertilitas. 2) Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan kausal yang bersifat timbal balik, di mana satu sama lain saling
mempengaruhi.
Berbagai
penelitian
di
negara
maju
menunjukkan bahwa hubungan antara fertilitas dan angkatan kerja wanita bersifat negatif. Ini berarti wanita yang bekerja cenderung mempunyai anak lebih sedikit dan lebih aktif menggunakan kontrasepsi jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Sebaliknya, di negara-negara berkembang hubungan negatif ini hanya ditemukan pada pekerjaan di sektor modern atau formal di daerah perkotaan. Sedangkan pada pekerjaan di sektor informal di daerah perkotaan maupun di pedesaan marginal, fertilitas wanita yang tidak bekerja tidak berbeda dengan mereka yang bekerja.
26
Bahkan di beberapa negara berkembang wanita yang bekerja di sektor pertanian di daerah pedesaan ternyata mempunyai anak lebih banyak dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.
Menurut Goldscheider dalam Ibrahim (1997) terdapat hubungan yang positif antara pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan dengan fertilitas. Hal ini diamati dari dua kecenderungan yang saling berbeda yaitu: 1) Kenaikan fertilitas suatu kelompok karena berstatus lebih tinggi dan perubahan keinginan kelompok tersebut untuk memiliki keluarga lebih besar, dan 2) Penurunan fertilitas dari kelompok berstatus lebih rendah karena mereka semakin ekspansif dan sukses dalam menggunakan alat kontrasepsi.
Pendapat Goldscheider berbeda dengan hasil penelitian berikut. Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan negatif antara pekerjaan wanita dengan fertilitas. Wanita yang bekerja di luar rumah cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus rumah tangga mempunyai anak lebih banyak. Selain pekerjaan, pendidikan juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fertilitas. Dapat dikatakan bahwa kenaikan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan akan
27
mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan adanya keluarga besar.
D. Tinjauan tentang Permintaan Anak Ada tiga faktor penting dalam teori mikroekonomi yang menjadi penentu permintaan akan anak : 1) nilai anak; 2) waktu dan materi yang tersedia; dan 3) opportunity cost anak. (Oppong, 1983). Teori
fertilitas
mengasumsikan
bahwa
permintaan
untuk
mendapatkan sejumlah anak ditentukan oleh preferensi keluarga itu sendiri atas jumlah anak yang dianggap ideal (biasanya yang lebih mereka inginkan adalah anak laki-laki). Anak, bagi masyarakat miskin, dipandang sebagai investasi ekonomi yang nantinya diharapkan akan mendatangkan suatu “hasil” baik dalam bentuk tambahan tenaga kerja maupun sebagai sampiran finansial orang tua di masa usia lanjut. Menurut Kuznets bahwa penduduk di negara-negara berkembang mudah sekali beranak pinak karena kondisi sosial dan ekonomi (Todaro, 2000). Selain faktor sosial ekonomi, antara lain pendidikan dan penghasilan, dijumpai pula faktor penentu yang bersifat kultural dan psikologis yang sangat mempengaruhi keputusan keluarga dalam menentukan jumlah anak sehingga dua atau tiga anak yang pertama harus dianggap sebagai “barang konsumsi” yang tingkat permintaannya tidaklah begitu responsif. Atau, dengan kata lain dua atau tiga orang anak harus dipunyai oleh setiap keluarga, terlepas dari berapa pun harga relatifnya.
28
Menurut Todaro (2000), mekanisme penentuan jumlah anak yang terkandung dalam teori ekonomi fertilitas berlaku di negara-negara berkembang khusus untuk anak-anak tambahan (marginal children), atau anak keempat dan seterusnya, yang secara umum dianggap sebagai suatu bentuk investasi. Dalam memutuskan perlu tidaknya tambahan anak, para orang tua diasumsikan akan selalu memperhitungkan untung ruginya secara ekonomis. Bentuk keuntungan utama yang paling diharapkan adalah pendapatan yang diperkirakan dapat dihasilkan dari tenaga kerja si anak bila ia bekerja di kebun atau sawah keluarga, serta jaminan keuangan bagi ayah dan ibu dihari tua. Dilain pihak ada dua bentuk utama kerugian atau biaya yang senantiasa diperhitungkan. Yang pertama adalah biaya oportunitas berupa waktu sang ibu yang habis untuk memelihara si anak sehingga ia tidak sempat melakukan kegiatankegiatan lain yang produktif. Adapun yang kedua adalah biaya pendidikan anak (baik biaya aktual maupun biaya oportunitas). Di sini orang tua menghadapi dilema. Jika anaknya sedikit, maka mereka bisa disekolahkan sampai setinggi mungkin sehingga potensi mereka untuk mencetak penghasilan akan tinggi. Ini berarti kepentingan jangka panjang akan terjamin, sedangkan kepentingan jangka pendek terhadap anak harus dilupakan. Di lain pihak, jika anak mereka banyak, maka mereka bisa memperoleh tambahan tenaga kerja yang berarti. Namun, kemungkinan untuk menyekolahkan mereka sampai setinggi-tingginya agak mustahil sehingga masing-masing anak mungkin hanya akan menerima pendidikan
29
dasar saja. Akibatnya, potensi mereka sebagai pencetak penghasilan yang potensial di masa mendatang tidak bisa terlalu diharapkan. Itu berarti kepentingan jangka panjang harus dikorbankan. Teori perilaku konsumen konvensional mengasumsikan bahwa seorang individu berdasarkan selera atau preferensi tertentu atau serangkaian
barang,
kepuasannya
atas
akan
barang
selalu atau
jasa,
berusaha yang
memaksimumkan
disesuaikan
dengan
keterbatasan pendapatannya ataupun harga relatif dari barang/jasa tersebut. Apabila teori ini diaplikasikan terhadap analisis fertilitas, maka dalam hal ini anak dapat dianggap sebagai suatu barang konsumsi. Dengan demikian, penentuan tingkat fertilitas keluarga atau “tingkat permintaan akan anak”, merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen (dalam hal ini keluarga) di mana pilihan itu sendiri harus diperoleh dengan mengorbankan pilihan (barang) yang lain (Todaro, 2000). Menurut Easterlin dalam Robinson (1983) bahwa permintaan akan anak sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang seperti agama, kondisi pemukiman, pendidikan, umur dan tipe keluarga. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap-sikap fertilitas yang berdasarkan atas karakteristik tersebut di atas. Demikian juga dengan pendapatan, pendapatan yang lebih besar cenderung menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi. Pendapatan tertinggi oleh kebanyakan keluarga dikonsepsikan
berdasarkan
atas
perbandingan
dengan
tingkat
30
pendapatan orang tua atau pendapatan keluarga sekitarnya (pergaulan). Suatu variasi lain yang dikemukakan oleh Turchi. Ia berpendapat bahwa pendapatan mempunyai pengaruh negatif terhadap fertilitas. Dalam pernyataan Easterlin baru-baru ini mengenai “kerangka ekonomi dalam analisa fertilitas”, mengungkapkan bahwa pembentukan kemampuan potensial dari anak tergantung pada fertilitas alami dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa. Fertilitas alami tergantung pada antara lain pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, serta praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat maka akan terjadi perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor biologis lainnya. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai akan anak dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
31
E. Kerangka Pikir
Ada beberapa faktor penting dalam teori mikroekonomi yang menjadi penentu permintaan akan anak yaitu dipengaruhi oleh faktorfaktor diantaranya adalah pendidikan, penghasilan, umur perkawinan pertama, status kerja serta kematian bayi/balita.
Selain itu, dalam
kaitannya dengan permintaan anak, maka variabel penting yang ikut dibahas adalah persepsi nilai anak. Persepsi nilai yang tinggi terhadap anak membuat orang tua memutuskan memiliki banyak anak, begitupun sebaliknya persepsi nilai yang rendah terhadap anak akan mempengaruhi keputusan orang tua untuk sedikit bahkan tidak ingin memiliki anak. Dalam kerangka pikir ini, penulis mencoba melihat pola hubungan atau perbedaan antara pendidikan, penghasilan, usia perkawinan pertama, dan status kerja serta kematian bayi/balita dengan persepsi nilai anak. Selain itu, variabel yang dianggap penting yang juga dianalisis yang berkaitan dengan analisis permintaan dan persepsi nilai anak adalah variabel latar belakang responden (umur, agama, status migrasi) dan tempat tinggal. Teori ekonomi mengenai fertilitas mengasumsikan bahwa waktu pemeliharaan anak sebagian besar disediakan oleh para ibu, oleh karena itu wanita (ibu) menjadi fokus yang penting dalam penelitian ini.
Pemeliharaan anak dianggap menjadi tanggung jawab utama
ibu. Sementara adanya penambahan alokasi waktu di luar rumah
32
tangga terutama untuk aktivitas ekonomi, akan mengurangi peran ibu dalam rumah tangga. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian digambarkan sebagai berikut : Variabel Sosial Ekonomi :
Variabel Latar Belakang : Variabel Kontrol : Kondisi Pemukiman
Umur Agama Status Migrasi
Pendidikan Penghasilan Umur Perkawinan Pertama Status Kerja Kematian Bayi/Balita
Persepsi Nilai Anak
Permintaan Anak
F. Hipotesis
Berdasarkan teori dan kerangka pikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
33
1.
Ada perbedaan persepsi nilai anak antara wanita pasangan usia muda yang bertempat tinggal di pemukiman kumuh dengan tidak kumuh.
2.
Ada perbedaan persepsi nilai anak antara wanita pasangan usia muda yang beragama Islam, Kristen dengan Hindu/Budha.
3.
Ada perbedaan persepsi nilai anak antara wanita pasangan usia muda yang melakukan migrasi dengan tidak migrasi.
4.
Ada perbedaan persepsi nilai anak antara wanita pasangan usia muda yang bekerja dengan tidak bekerja.
5.
Ada perbedaan persepsi nilai anak antara wanita pasangan usia muda yang pernah mengalami kematian bayi/balita dengan tidak pernah mengalami kematian bayi/balita.
6.
Ada hubungan negatif antara umur, pendidikan, penghasilan, dan umur perkawinan pertama dengan persepsi nilai anak pada wanita pasangan usia muda.
7.
Ada perbedaan permintaan anak antara wanita pasangan usia muda yang bertempat tinggal di pemukiman kumuh dengan tidak kumuh.
8.
Ada perbedaan permintaan anak antara wanita pasangan usia muda yang beragama Islam, Kristen dengan Hindu/Budha.
9.
Ada perbedaan permintaan anak antara wanita pasangan usia muda yang melakukan migrasi dengan tidak migrasi.
34
10.
Ada perbedaan permintaan anak antara wanita pasangan usia muda yang bekerja dengan tidak bekerja.
11.
Ada perbedaan permintaan anak antara wanita pasangan usia muda yang pernah mengalami kematian bayi/balita dengan tidak pernah mengalami kematian bayi/balita.
12.
Ada hubungan negatif antara umur, pendidikan, penghasilan, dan umur perkawinan pertama dengan permintaan anak pada wanita pasangan usia muda.