29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi 1.1 Batasan Persepsi Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi. Brian Fellows (dalam Mulyana 2005:168) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organism menerima dan menganalisis informasi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Gibson, dkk (1989) memberikan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek). Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda
30
meskipun objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu.
1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu: 1. Faktor internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, yang mencakup beberapa hal: a) Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang diperoleh ini akan mempengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap orang berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat berbeda. b) Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga
31
berbeda dan hal ini akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek. c) Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi. Perceptual vigilance merupakan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipe tertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat. d) Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya. e) Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas. f) Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi perilaku seseorang, mood ini menunjukkan bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat. 2. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari linkungan dan obyek-obyek yang terlibat didalamnya. Elemenelemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseorang merasakannya
32
atau
menerimanya.
Sementara
itu
faktor-faktor
eksternal
yang
mempengaruhi persepsi adalah : a) Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa semakin besrnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami. Bentuk ini akan mempengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk ukuran suatu obyek individu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya membentuk persepsi. b) Warna dari objek-objek. Objek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit. c) Keunikan
dan
kekontrasan
stimulus.
Stimulus
luar
yang
penampilannya dengan latar belakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian. d) Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna lebih bila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa mempengaruhi persepsi. e) Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadap obyek yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek yang diam.
33
B. Internet B.1 Konsep dan Perkembangan Internet Internet (kependekan dari interconnection-networking) secara harfiah ialah sistem global dari seluruh jaringan komputer yang saling terhubung menggunakan standar Internet Protocol Suite (TCP/IP) untuk menghubungkan pemakai komputer dari suatu negara ke negara lain di seluruh dunia, dimana di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi dari mulai yang statis hingga yang dinamis dan interaktif. Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), dimana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, untuk melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan. Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk keperluan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan.
34
Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, dimana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung, sehingga membuat ARPANET kesulitan untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk keperluan militer dan "ARPANET" baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. Terdapat dua bentuk akses Internet yang umum, yaitu dial-up, dan bandwidth. Di Indonesia, akses Internet dan penetrasi PC sudah cukup tinggi yaitu sekitar 42% dari akses internet melalui fasilitas Public Internet Access seperti warnet , cybercafe, hotspot dll. Tempat umum lainnya yang sering dipakai untuk akses internet adalah di kampus dan di kantor (http://id. wikipedia.org). Disamping menggunakan PC (Personal Computer), akses internet dapat melalui telepon genggam menggunakan fasilitas yang disebut GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (nirkabel) yang memiliki kecepatan koneksi
35
115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas seperti grafis dan multimedia. Internet saat ini dengan berbagai aplikasinya, seperti Web, VoIP, email
pada
dasarnya
merupakan
media
yang
digunakan
untuk
mengefisienkan proses komunikasi. Biagi (2010: 13) menyatakan bahwa media internet menjadi medium massa baru sekaligus sistem pengiriman yang terintegrasi bagi media tradisional cetak, audio dan video. Internet menghadirkan beragam informasi berupa teks, gambar, tabel, grafik, animasi, audio, video, dan sebagainya serta memberikan berbagai kemudahan untuk komunikasi yang interaktif yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok bahkan kelompok dengan kelompok. Kemudahan yang ditawarkan oleh internet kini semakin berkembang seiring perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam sehingga tidak menutup kemungkinan adanya penemuan-penemuan baru untuk memenuhi kebutuhan manusia.
B.2 Fungsi Internet Menurut DeWitt C. Reddick, (1976 dalam http://www.winkplace. com) fungsi utama media massa adalah untuk mengkomunikasikan kesemua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan pemikiran mereka. Laswell (dalam Rivers, dkk., 2008: 33-34) mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media massa pada budaya yaitu:
36
1. Fungsi pengawasan (Surveillance) Setiap masyarakat memiliki sejumlah penjaga yang menyajikan informasi dan penafsiran atas berbagai peristiwa. Penjaga ini juga memantau kondisi lingkungan dan mendeteksi berbagai ancaman dan masalah,
juga
berbagai
memberitahukannya
kepada
peluang warga
dan
dukungan,
masyarakat
agar
serta dapat
menyesuaikan diri. 2. Fungsi penghubungan (Communication) Dalam menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi suatu tantangan, masyarakat menggunakan sistem komunikasi sebagai sebuah
forum
atau
ajang
diskusi.
Komunikasi
pula
yang
memungkinkan segenap individu dan kelompok bertindak secara kompak sebagai sebuah masyarakat. 3.
Fungsi pentransferan budaya (Transmission) Masyarakat juga menggunakan sistem komunikasi sebagai guru yang menyampaikan warisan sosial (nilai-nilai dan norma) dari sesorang ke orang lain, atau bahkan dari generasi ke generasi.
4. Fungsi hiburan (Entertainment) Fungsi hiburan diperkenalkan oleh Charles Wright yang menegaskan pentingnya fungsi keempat yaitu sebagai sumber hiburan. Media massa digunakan sebagai sarana untuk penyaluran emosi, mengisi waktu luang, bersantai serta untuk melepaskan diri dari masalah sehari-hari.
37
C. Konsep Budaya Populer Untuk mendefinisikan budaya pop, kita perlu mendefinisikan istilah budaya terlebih dahulu. Koentjaraningrat (1982:5) berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud yaitu (1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya; (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia; (3) Wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia. William (dalam Storey 2003:2) memberikan tiga definisi tentang budaya. Pertama, budaya mengacu pada “suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, estetis”. Misalnya ketika kita bisa berbicara mengenai budaya Inggris dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis para filsuf agung, seniman, dan penyair-penyair besarnya. Kedua, budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu”. Jika kita membahas perkembangan Inggris dengan menggunakan definisi ini, berarti kita tidak hanya
memikirkan
faktor
intelektual
dan
estetis
saja,
tetapi
jugaperkembangan sastra, hiburan, olahraga dan upacara ritus religiusnya. Ketiga, budaya dapat merujuk pada “karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktifitas artistik”. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan
38
makna tertentu. Definisi ini mengacu pada produk-produk budaya misalnya puisi, novel, musik, drama dan sebagainya. Berdasarkan ketiga definisi tersebut, berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dan ketiga diatas. Makna kedua yaitu pandangan hidup tertentu, memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-praktik, seperti liburan ke pantai, penggunaan celana jeans, menonton konser musik merupakan contoh-contoh dari budaya hidup (lived cultures) atau bisa disebut sebagai praktik-praktik budaya. Makna ketiga yaitu praktik kebermaknaan, memungkinkan kita membahas tentang drama, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. Hal ini diperjelas dengan konsep kebudayaan menurut Stuart Hall (dalam McRobbie, 2011: 114-115) adalah arena pembelajaran yang sangat luas dan mungkin kita paling baik dalam belajar dan paling terbuka terhadap gagasan-gagasan ketika hambatan antar disiplin dan akademi dengan pengalaman hidup sehari-hari terhapus. Dalam memahami budaya populer, konsep ideologi menjadi bagian yang cukup penting. Turner (dalam Storey 2003:4) menyatakan bahwa ideologi merupakan “kategori konseptual paling penting dalam kajian budaya”. Ideologi dapat mempengaruhi eksistensi dan penyebaran budaya itu sendiri. Ideologi mencakup dimensi politik dan kekuasaan oleh sekelompok orang tertentu dengan tujuan tertentu dalam hal ini pemilik media dalam menyebarluaskan serta memberikan pemaknaan terhadap budaya kepada masyarakat tertentu.
39
Storey (2003: 10) membuat enam definisi mengenai budaya populer. Kata yang pertama dibahas adalah istilah populer. Williams memberikan empat makna yaitu banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, serta budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Ada satu titik yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kita bisa melihatnya dari lakunya penjualan buku novel atau larisnya film Harry Potter didunia. Kedua, dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Cara ketiga mendefinisikan budaya populer adalah menetapkannya sebagai “budaya massa”. Budaya populer diproduksi massa untuk konsumsi massa dengan audiensnya merupakan sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Budaya dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif serta dikonsumsi tanpa berpikir panjang dan tanpa perhitungan. Definisi keempat menyatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang berasal dari “rakyat”. Budaya pop adalah budaya otentik rakyat. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan budaya dari rakyat untuk rakyat. Definisi kelima menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara dimana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapat dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses “kepemimpinan”
40
intelektual dan moral. Pendekatan ini menganggap budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam pendekatan ini, budaya pop bukan merupakan budaya yang diberlakukan oleh teoritikus budaya massa ataupun muncul secara spontan dari bawah sebagai budaya oposisi seperti yang sudah ada dalam empat definisi budaya pop diatas. Namun, sebagai suatu lingkup tukar menukar keduanya akan berkaitan dalam hal perlawanan dan penyatuan (resistensi dan inkorporasi). Teks dan praktik budaya pop bergerak dalam apa yang oleh Gramsci disebut sebagai “keseimbangan kompromis”. Misalnya, liburan ke pantai dulu dianggap sebagai budaya para bangsawan dalan dalam tempo 100 tahun ia berubah menjadi budaya pop. Film Noir pada mulanya dilecehkan sebagai senima pop, tetapi dalam waktu 30 tahun berubah menjadi film seni. Definisi keenam budaya pop berasal dari pemikiran posmodernisme. Budaya postmodern adalah budaya yang tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan pop. Akibatnya postmodernis menyatakan sekarang “semua budaya adalah budaya postmodern”. Mereka juga mementang pembatasan tegas budaya pop dengan budaya massa. Mereka menegaskan bahwa sewmua budaya adalah budaya komersial. Mereka tidak peduli pada persoalan otentisitas budaya daerah yang perlu dipelihara dan dipertahankan sebagai utopia perbedaan. Satu contoh interpretasi komersial dan budaya (perbedaannya kabur) yang dinyatakan
41
sebagai gambaran budaya postmodern dapat ditemukan dalam hubungan antara TV komersial dengan musik pop. Dari keenam definisi yang dijelaskan oleh Storey di atas, terlihat bahwa budaya populer memiliki definisi, pemahaman serta pendekatan yang berbeda-beda sehingga menimbulkan berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat terhadap konsep budaya populer itu sendiri. Hal ini yang menjadikan budaya populer begitu kompleks. Pada tahun 1954, McLuhan memperkenalkan konsep global village yang berkaitan dengan kehadiran televisi sebagai medium komunikasi massa. Ia menyatakan bahwa dunia kini semakin menyusut. Dalam dunia yang saling terhubung, televisi dapat menghadirkan informasi langsung dari mana saja ke siapa saja. Hal ini menggambarkan keadaan dunia pada saat itu yang memanfaatkan televisi sebagai alat penyebaran informasi. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif manusia, seperti karya sastra besar, musik dan seni. Media juga memuat hal-hal yang lebih ringan yang merefleksikan kebudayaan dan memberi kontribusi terhadap hal-hal tersebut. Kebudayaan dalam bentuk kesenian secara besar dibagi menjadi dua yaitu “seni tinggi (high art)” merupakan karya seni yang membutuhkan selera tinggi dan cerdas untuk mengapresiasinya. Contohnya karya-karya musik seperti Beethoven, Mozart dan Kenny G, karya sastra besar serta lukisanlukisan dari maestro Picasso, dan sebagainya. Kedua yaitu “seni rendah (low art)” merupakan karya seni yang tidak memerlukan pemahaman yang tinggi
42
untuk menikmatinya. Misalnya komik, film Superman, musik pop, dan sebagainya. Perbedaan selera ini memicu perdebatan antara kedua penikmat seni tersebut berhubungan dengan media massa. Penikmat seni tinggi atau kubu elitis menyatakan bahwa media massa merusak masyarakat dengan menjadi kaki tangan selera rendah. Untuk mendeskripsikan selera rendah ini, kubu elite menggunakan istilah Jerman kitsch, yang diterjemahkan sebagai mengkilat atau rongsokan. Istilah ini menunjukkan kemuakan mereka. Sebaliknya kubu penikmat seni rendah atau kubu populis memandang tidak ada salahnya media massa melayani selera massa dalam masyarakat. Dalam sebuah esai tahun 1960, pengamat sosial Dwight Macdonald menyatakan bahwa semua seni populer adalah kitsch. Media massa, yang tergantung kepada audien yang besar demi kelangsungan hidup ekonominya. Analisis elite ini diberi kerangka yang lebih besar pada 1976 ketika sosiolog Herbert Gans mengkategorisasikan karya kultural berdasarkan garis sosioekonomi dan intelektual. Lebih lanjut Gans mengatakan bahwa musik klasik misalnya, umumnya menarik bagi orang-orang akademik, profesional dan orang kaya yang menikmati kerumitan dan kehalusan dalam seni hiburan yang disebut audien kultur atas (high-culture audience). Berikutnya adalah audien kultur menengah (middle-culture audience) yang minatnya tak terlalu abstrak. Audien kultur rendah (low-culture audience) adalah dari kalangan buruh pabrik dan pekerja rendahan yang lebih tertarik pada hal-hal dasar; yang
43
pendidikan, status, dan pendapatannya lebih rendah; dan yang selera medianya condong ke film-film kung fu, komik, musik dangdut, dan tabloid gosip. Seni tinggi yang disukai oleh kubu elite secara umum dapat dilihat berdasarkan kompleksitas tematik dan teknisnya serta orisinalitasnya. Seni tinggi sering bersifat individualistik karena penciptanya, entah itu novelis aatu produser televisi, telah mengeksplorasi isu-isu dengan cara baru sering dengan metode baru dan berbeda. Bahkan ketika ia merupakan kerja kolaboratif, sebuah karya seni tinggi tetap berbeda. Seni tinggi membutuhkan audien yang “canggih” untuk mengapresiasinya secara penuh. Seringkali seni tinggi mengandung nilai abadi makna dan mutunya bertahan melewati arus zaman. Kecanggihan yang membuat orang bisa mengapresiasi kerumitan musik, puisi dan pertunjukan yang hebat terkadang disebut high brow (selera tinggi). Istilah ini berasal dari gagasan bahwa seseorang harus punya daya intelektual besar untuk memperbaiki mutu seleranya dan seseorang yang berselera tinggi harus mengakomodasi kecerdasan itu. Orang berselra tinggi umumnya adalah, seperti dikatakan Gans, orang yang tertarik pada isu-isu yang dengannya masyarakat mendefinisan diri, dan mereka ini mencari literatur dan kisah drama tentang konflik yang inhern dalam kondisi manusia dan tentang konflik antara manusia dan masyarakat. Middle brow adalah selera menengah, yakni mengenali beberapa nilai artistik tetapi tanpa level pemahaman yang tinggi. Ada ketertarikan pada aksi
44
ketimbang abstraksi. Dalam term sosioekonomi, kelompok middle brow menyukai penggambaran media yang mendukung status quo mereka dan nilai-nilai diri mereka. Low brow adalah selera rendah yakni menikmati seni tanpa menggunakan pemahaman dan pemikiran yang rumit. Tidak perlu banyak kepandaian untuk memahami kepahlawanan Superman atau Spiderman dalam komik maupun filmnya. Seni pop selalu punya pembela dikalangan intelektual. Meski suara revisionism seni pop ini biasanya tenggelam ditengah riuhnya ejekan. Akan tetapi, pada 1965 esais Susan Sontag menulis artikel yang berpengaruh, “On Culture And The New Sensebility”, yang mendorong banyak pendukung elitis meninjau kembali seni pop ini. Seni pop yang evokatif. Sontag menunjukkan bahwa seni pop bisa mengangkat isu-isu serius, seperti yang dilakukan seni tinggi. Sontag segera dipuji sebagai pahlawan intelektualisme pop. Seni pop sebagai perekat sosial. Akibatnya, Sontag mengajak orang untuk tidak memandang seni dalam kontinum elitis-populis yang berbeda. Nilai artistik, katanya, bisa ditemukan hamper dimana saja. Istilah camp beredar luas pada 1960-an dikalangan elitis yang dipengaruhi oleh Sontag. Orang-orang berselera tinggi ini mulai menemukan daya tarik tersendiri dalam seni pop. Media massa yang menjadi sarana bagi orang untuk menikmati karya Andy Warhole dan Batman menjadi diakui lebih luas sebagai perekat sosial- kemasyarakatan.
45
Pandangan revisionis Susan Sontag berbarengan dengan munculnya pandangan dari banyak ahli sejarah media massa yang menyatakan bahwa media telah membantu menyatukan masyarakat, bukan membagi-baginya. Para sejarawan ini menunjukkan bahwa pada 1840-an, buku dan majalah berdistribusi nasional telah memberi rujukan bersama bagi warga Amerika yang beragam latar belakang dan wilayahnya. Radio melakukan hal yang serupa bahkan secara lebih efektif pada 1940-an. Kemudian langkah ini dilanjutkan televisi. Ringkasnya, media massa merupakan penyetor produksi kultural yang memberi kontribusi pada kohesi sosial entah itu seni tinggi maupun rendah. Seni tinggi sebagai seni populer. Meski kitsch masih mendominasi dalam acara media, ia tidak seluruhnya kosong dari isi yang substansial. Seni tinggi dalam perkembangannya bisa menarik perhatian orang dari hampir semua lapisan sosioekonomi dan seni tinggi tidak selalu kalah oleh seni rendah di media. Kini seni tinggi pun dapat menjadi populer seperti seni rendah yang ditayangkan oleh media. Dalam perkembangannya saat ini, budaya populer tak hanya berasal dari seni rendah tetapi juga dari seni tinggi. Budaya populer dulunya merupakan seni rendah yang disebarluaskan melalui media massa kini seni tinggi pun dapat menjadi budaya populer. Batas antara seni tinggi dan seni rendah kini semakin kabur, sehingga mulai sulit membedakan antara kedua budaya tersebut.
46
Budaya populer dalam masyarakat saat ini berkontradiksi dengan sumbernya. Di satu pihak, budaya tersebut diindustrialisasi-komoditaskomoditasnya dihasilkan dan didistribusikan oleh industri yang dimotivasi oleh
keuntungan
yang
hanya
mengikuti
kepentingan-kepentingan
ekonominya sendiri. Namun, dipihak lain budaya tersebut adalah budaya masyarakat baik seni tinggi maupun seni rendah. Sementara itu, kepentingan masyarakatlah dan bukan kepentingan industri – seperti dibuktikan oleh sejumlah film, piringan hitam, dan produkproduk lain yang diubah oleh masyarakat menjadi kegagalan-kegagalan yang mahal. Untuk dikategorikan ke dalam budaya populer, suatu komoditas juga harus membawa kepentingan-kepentingan masyarakat. Budaya populer bukanlah konsumsi, hal tersebut merupakan budaya – proses aktif memunculkan dan menyirkulasikan pelbagai makna dan kepuasan dalam suatu sistem sosial. Budaya, meskipun diindustrialisasi, tidak pernah dapat dideskripsikan secara memadai dalam kaitannya dengan jual-beli komoditas. Menurut Fiske (2011: 25) budaya adalah proses yang hidup dan aktif yang berkembang dan diterapkan hanya dari dalam. Pada kenyataannya, berbagai ketakutan pada perumus teori budaya massa tidak muncul dalam praktik karena budaya massa merupakan sebuah kontradiksi istilah sehingga hal tersebut tidak terjadi. Budaya homogeni yang diproduksi secara eksternal tidak dapat dijual dalam keadaan siap pakai pada massa: budaya benar-benar tidak bekerja seperti itu. Masyarakat juga tidak bertindak atau hidup seperti massa. Budaya populer dibuat oleh masyarakat, tidak dihasilkan oleh industri
47
budaya. Hal yang dapat dilakukan oleh indutri-industri budaya hanya menghasilkan repertoar teks atau sumber daya budaya bagi pelbagai formasi masyarakat untuk digunakan atau ditolak dalam proses yang sedang berlanjut dalam menghasilkan budaya populer mereka. Budaya populer terutama haruslah relevan dengan situasi sosial terkini di masyarakat tersebut. Budaya populer dibuat oleh orang-orang dan bukan diterapkan kepada mereka Hal tersebut berasal dari dalam, dari bawah, bukan dari atas.
D. Korean Wave Kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat Cina dan Asia Tenggara mulai akhir 1990-an. Istilah Hallyu atau Korean Wave diadopsi oleh media Cina setelah album musik pop Korea, HOT, dirilis di Cina. Serial drama TV Korea mulai diputar di Cina dan menyebar ke negaranegara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur Tengah. Pada saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik, drama dan film. Pemerintahan korea sendiri sangat mendukung dan memiliki peran dalam mewabahnya Korean wave. Hal ini menjadikan orang korea sendirilah yang harus menciptakan produk-produk media massanya sendiri. Selain itu dukungan dari pemerintah juga diwujudkan melalui berbagai event seni seperti festivalfestival film dan musik bertaraf internasional. Fenomena budaya pop (pop culture) Korea ini mempengaruhi tak hanya mempengaruhi minat dari khalayak namun dapat mempengaruhi gaya
48
hidup dari khalayak yang merupakan korean lover. Hal ini dapat dilihat dari gaya berpakaian, cara berbicara serta pola konsumsi dari seorang korean lover yang identik dengan pop culture Korea. Pengaruh budaya pop (pop culture) Korea terhadap korean lover ini berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan make-up yang minimalis dengan aksesoris lucu serta pakaian dengan warna yang cerah menjadi tren budaya pop Korea. Penggunaan istilah-istilah Korea seperti “Anyyeong haseyo” yang artinya apa kabar, “Saranghae” yang artinya saya mencintaimu, atau “Gamsahamnida” yang artinya terima kasih, saat ini banyak digunakan oleh para korean lover dalam percakapannya sehari-hari dengan sesama pecinta budaya Korea. Selain itu, pembelian pakaian, gadget dan alat-alat elektronik, makanan khas Korea hingga pernak-pernik dengan gambar artis-artis Korea juga menjadi pilihan yang saat ini diminati oleh khalayak luas terutama oleh korean lover.
D. 1. Sejarah Perfilman Korea Industri
film
Asia
secara
umum
bergerak
dinamis
dalam
perkembangannya. Sinema Korea adalah salah satu industri film Asia yang bergerak sangat pesat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Dilihat dari sejarahnya, film Korea beberapa kali mengalami masa sulit dalam perkembangannya sebelum menjadi seperti saat ini. Menurut data dari www.montase.blogspot.com perkembangan perfilman Korea dapat dibagi kedalam beberapa periode dari tahun 1919 hingga saat ini.
49
Masa Pendudukan Jepang The Righteous Revenge (Uirijeok Guto/1919) tercatat sebagai “film” Korea pertama yang diproduksi di masa pendudukan Jepang. Film ini diistilahkan “kino drama” karena film hanya berfungsi sebagai latar dalam pertunjukan. Salah satu film yang dianggap sebagai film panjang Korea pertama adalah Chunhyang-Jeon (1922), kelak menjadi cerita rakyat yang paling sering difilmkan. Salah satu sutradara paling berpengaruh pada masa ini adalah Na Un-kyu melalui film pentingnya, Arirang (1926). Film ini merupakan bentuk sikap penolakannya terhadap pendudukan Jepang yang menginspirasi para pembuat film lainnya hingga otoritas Jepang kelak semakin memperkuat sensornya. Memasuki era film bicara, tercatat film bicara pertama adalah Chunhyang-Jeon (1935) arahan Lee Myeong-woo yang produksinya dibantu pemerintah Jepang. Selama periode ini produksi film-film Korea meningkat demikian pesat. Un-kyu pada era ini memproduksi beberapa film penting seperti Kanggeonneo maeul (1935), dan Oh Mong-nyeo (1937). Setelah Jepang menginvasi Cina pada tahun 1937, industri film Korea berubah sepenuhnya menjadi mesin propaganda Jepang. Film-film barat yang dirilis mulai berkurang dan digantikan oleh film-film Jepang. Bahkan mulai tahun 1938, film-film Korea diproduksi langsung oleh pihak Jepang, dan puncaknya tahun 1942, film berbahasa Korea dilarang diproduksi sama sekali. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, selama sesaat industri film Korea bersuka cita dalam era kebebasan, seperti tercermin dalam film Chayu
50
Manse! (Viva Freedom!,1946). Namun kembali industri film Korea mengalami masa-masa sulit setelah pemisahan wilayah Utara-Selatan dan pecah perang sipil selama tahun 1950-1953. Selama tiga tahun ini tercatat hanya sedikit film Korea diproduksi dan nyaris semua film-film warisan masa silam musnah selama perang.
Era Emas Industi Film Korea Perang sipil melumpuhkan industri film di Korea dan sebagian besar peralatan produksi yang mereka miliki musnah. Setelah gencatan senjata tahun 1953, Presiden Korea Selatan, Rhee Syngman membebaskan pajak film-film Korea yang akan diproduksi dengan harapan industri dapat kembali pulih. Pihak asing pun turut mempercepat pulihnya industri dengan memberikan bantuan teknologi serta peralatan produksi. Kebangkitan sinema Korea ditandai melalui sukses film remake, Chunhyang-jeon (1955) arahan Lee Kyu-hwan yang ditonton lebih dari 200 ribu orang. Produksi film pun meningkat sangat tajam pada periode pertengahan 50-an hingga akhir 60-an, yang dianggap sebagai era kejayaan industri perfilman Korea. Sejak pertengahan dekade 50-an pada masa yang mulai kondusif ini bermunculan beberapa talenta berbakat, dan film-film Korea mulai mendapat perhatian internasional. Sutradara seperti Yu Hyon-mok dan Kang Dae-jin terpengaruh oleh gerakan neorealisme dan mengangkat tema sosial pasca perang serta modernisasi melalui film-film mereka, Aimless Bullet (1961) dan The Coachman (1961). The Coachman tercatat sebagai film Korea pertama
yang
meraih
penghargaan
bergengsi
dalam
festival
film
51
internasional.
Kim
Ki-young memproduksi
salah
satu
film
Korea
berpengaruh, yaitu Housemaid (1960). Kemudian Shin Sang-ok dikenal melalui film-filmnya seperti A Flower in Hell (1958) dan The Houseguest and My Mother (1961). Film yang terakhir memenangkan penghargaan Film Terbaik dalam Asian Film Festival tahun 1962 dan memantapkan reputasi Sang-ong sebagai salah satu sutradara papan atas Korea. Sejak tahun 1962, pemerintah Korea juga mulai berusaha mengontrol industri film. Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi produksi film secara kuantitatif maupun substansial. Film-film yang diproduksi dan diimpor dibatasi melalui sistem kuota yang berakibat mengurangi jumlah studio produksi. Sensor film mulai bertambah ketat, terutama hal-hal yang terkait paham komunisme serta amoral. Sekalipun begitu tekanan dari kebijakan pemerintah tidak mengurangi minat penonton untuk membanjiri bioskop-bioskop dan film-film berkualitas pun secara kontinu semakin banyak diproduksi setidaknya hingga pertengahan dekade 70-an.
Era Kemunduran dan Kebangkitan Kontrol dan sensor pemerintah Korea Selatan terhadap industri film mencapai titik puncaknya pada pertengahan dekade 70-an. Sejak tahun 1973, pemerintah bahkan mulai campur tangan dengan memaksa para pembuat film untuk memasukkan ideologi pemerintah ke dalam film-film mereka. Popularitas televisi yang meningkat sejak akhir dekade lalu ditambah munculnya
film-film
pro-pemerintah
yang
kurang
disukai
publik
52
mengakibatkan jumlah penonton menurun drastis hingga akhir 70-an. Sekalipun begitu pada periode kelam ini muncul beberapa sineas muda berbakat seperti Im Kwon-taek (Deserted Widows,1973), Kim Ki-young (Insect Woman), Le Jang-ho (Hometown Stars, 1974), serta Ha Kil-jong (March of Fools, 1975). Pada tahun 1979-1980 terjadi beberapa peristiwa penting di Korea Selatan, yakni pembunuhan presiden Park Cung-he, Kudeta Duabelas Desember, hingga Pembantaian Gwangju yang kelak mengarahkan rakyat Korea ke era demokrasi yang lebih terbuka. Pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengurangi sensor serta kontrol terhadap industri film. Kebijakan penting dibuat oleh Presiden Roh Tae-Woo pada tahun 1988 yang menghilangkan campur tangan pemerintah terhadap tema politik di film. Para pembuat film mulai berani mengeksplorasi tema sosial dan politik dalam film-film mereka, salah satunya adalah Chilsu and Mansu (1988) arahan Park Kwang-soo yang memperlihatkan demonstrasi di jalanan pada klimaksnya.
Era Baru Sinema Korea Awal hingga pertengahan dekade 90-an, sekalipun kondisi mulai membaik bagi industri film namun film-film Korea masih belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebesar 80% lebih film-film yang diputar di bioskop-bioskop adalah film-film asal Hollywood dan Hongkong. Satu momen penting pada dekade ini adalah pada tahun 1992 melalui film Marriage Story yang mendapat sponsor dari perusahaan elektronik terkemuka, Samsung. Ketika terbukti sukses, perusahaan besar lainnya
53
mengikuti jejak yang sama. Film-film mulai diproduksi dengan biaya dan promosi yang lebih besar serta peralatan studio produksi yang lebih memadai. Perlahan tapi pasti, film-film Korea mulai bersaing dengan film-film luar, seperti The Gingko Bed (1996) arahan Kang Je-gyu, hingga puncaknya tahun 1999, ketika Samsung mendanai produksi film aksi thriller, Shiri (1999) arahan Kang yang memecahkan rekor sebagai film terlaris Korea pada masanya. Film ini pun juga laris di luar Korea sehingga para produser lokal mulai melirik pasar internasional. Fenomena Shiri ternyata hanyalah awal dari segalanya. Film-film domestik silih berganti menempati posisi pemuncak box office. Film tentang persahabatan empat anak, Friend garapan Kwak Kyung-taek memecahkan rekor Shiri di tahun 2001. Berlanjut film garapan Park Chan-wook berjudul Joint Security Area (JSA, 2000), lalu Silmido (2003) garapan Kang Woo-suk, disusul lagi oleh film perang Korea garapan Kang Je-gyu, Tae Guk Gi (2004), hingga terakhir film monster unik, The Host (2006) menjadi film terlaris sepanjang masa (sejauh ini) dengan rekor mencapai 13 juta penonton lebih. Beberapa film, seperti drama komedi remaja, My Sassy Girl (2001) selain sukses domestik merupakan film Korea yang paling sukses di pasar internasional. Film-film Korea bahkan juga mulai dirilis di Amerika, seperti Chunhyang (2000) dan Chihwaseon (Painted Fire, 2002). Sukses-sukses tersebut rupanya juga menarik perhatian Hollywood. Beberapa film-film populer mulai dibeli (hak remake) beberapa studio besar Hollywood untuk dibuat versi Amerika-nya. Film-film Korea seperti Il Mare
54
(The Lake House/AS) serta My Sassy Girl beberapa waktu lalu remake-nya telah dirilis. Film-film laris lainnya yang telah dibeli hak remake-nya oleh Hollwood antara lain, JSA, My Wife is a Gangster, Oldboy, hingga film horor psikologis, A Tale of Two Sister dibeli Dreamworks sebesar $2 juta. Di sisi lain juga bermunculan sineas-sineas berbakat yang film-film mereka sukses di berbagai ajang kompetisi internasional. Dipelopori oleh Oasis (2002) karya Lee Chang-dong yang sukses di Venice Film Festival. Kim Ki-duk dengan film-filmnya yang kontroversial mendapatkan perhatian internasional melalui Spring, summer, fall, winter... and spring (2002), Samaritan Girl (2004), serta 3-Iron (2004). Park Chan-wook dikenal melalui trilogi Vengeance-nya yang berjudul, Symphati for Mrs. Vengeance (2002), Old Boy (2003), dan Lady Vegeance (2005). Film Kontroversial, Old Boy selain sukses komersil juga sukses dalam Festival film Cannes serta mendapatkan banyak pujian dari kritikus dimana-dimana. Tak bisa dipungkiri, kini Korea menjadi salah satu industri perfilman terdepan dalam kancah perfilman Asia.
D. 2. Perkembangan Drama Korea di Indonesia Drama Korea merupakan awal dari mulainya Korean Wave di berbagai negara. Drama TV, merupakan salah satu dari produk utama Korean Wave yang dinikmati tidak hanya di Korea, namun juga di berbagai negara. Perusahaan-perusahaan TV Korea mengeluarkan biaya besar untuk memproduksi drama dan beberapa diantaranya yang mencetak kesuksesan, diekspor ke luar negeri.
55
Drama Korea adalah produk Korea pertama yang berhasil masuk menguasai pasar Indonesia. Drama Korean pertama hadir di layar kaca Indosiar pada tahun 2002 dengan drama Korea pertama berjudul Endless Love. Masuknya produk Korea lewat drama ini diawali dengan keberanian Indonesia yang melakukan liberalisasi pada tahun 1990-an. Selain itu, krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an membawa sebuah situasi di mana pembeli Asia lebih menyukai program acara Korea yang lebih murah. Korea menawarkan harga drama televisi lebih murah seperempat dari harga Jepang, dan sepersepuluh dari harga drama televisi Hong Kong di tahun 2000. Angka ekspor program televisi Korea meningkat secara dramatis, pada tahun 2007 mencapai US $ 150.950.000, dari US $ 12,7 juta pada tahun 1999. Hingga tahun 2011 terdapat sekitar 50 judul drama Korea telah tayang di layar kaca Indonesia (http://www.isi-dps.ac.id). Hingga saat ini terdapat lebih dari 75 drama Korea yang telah tayang di stasiun TV Indonesia sejak tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa popularitas drama Korea cukup tinggi di Indonesia. Alur cerita yang menarik, genre yang bervariasi, penampilan dan akting dari aktor dan aktris yang baik menjadi daya tarik tersendiri bagi drama Korea sehingga banyak menarik penonton dari berbagai negara. Saat ini minat penonton Indonesia terhadap drama dan aktris Korea semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sinetron Indonesia yang mengadopsi cerita dari drama Korea. Menurut data dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_adaptasi_sinetron per 1 Juli 2012, sekitar
56
51 judul drama Korea diadopsi oleh sinetron Indonesia. Bahkan saat ini telah diproduksi drama yang mengkolaborasikan antara aktris dan aktor Indonesia dengan Korea dan mendapat sambutan yang baik dari penikmat sinetron Indonesia. Drama Korea saat ini bukan hanya dapat dinikmati melalui media televisi namun kini dapat melalui media internet. Drama Korea dapat dengan mudah diunduh dari situs maupun blog yang menyediakan fasilitas tersebut sehingga memudahkan para korean lovers dalam mengakses drama Korea yang diinginkan.
D.3. Sejarah dan Perkembangan K-Pop di Indonesia K-pop, kepanjangannya Korean Pop ("Musik Pop Korea"), adalah jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Sumber aliran K-Pop sendiri biasanya berasal dari musik pop, hip-hop, R&B, urban , dance-pop, new jack swing, musik Korea, UK garage dan 2-step. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Kegandrungan akan musik K-Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan daripada Korean Wave di berbagai negara. Seiring dengan drama Korea yang semakin diterima publik Indonesia, muncul pula kegemaran akan grup musik pria (boyband) dan grup musik (girlband) seperti grup musik dari SM Entertainment, seperti TVXQ, Super Junior dan Girls’ Generation. Penyanyi Rain mulai dikenal lewat serial drama Full House yang ditayangkan di stasiun televisi Indonesia. Sejak itu, penggemar K-pop dan drama Korea mulai umum dijumpai.
57
Sejarah Musik Pop Korea Musik pop Korea pra-moderen pertama kali muncul pada tahun 1930an akibat masuknya musik pop Jepang yang juga turut memengaruhi unsurunsur awal musik pop di Korea. Penjajahan Jepang atas Korea juga membuat genre musik Korea tidak bisa berkembang dan hanya mengikuti perkembangan budaya pop Jepang pada saat itu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengaruh musik pop barat mulai masuk dengan banyaknya pertunjukkan musik yang diadakan oleh pangkalan militer Amerika Serikat di Korea Selatan. Musik Pop Korea awalnya terbagi menjadi genre yang berbeda-beda, pertama adalah genre "oldies" yang dipengaruhi musik barat dan populer di era 60-an. Pada tahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Yong-pil. Genre lain yang cukup digemari adalah musik Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang (http://www.koreaindo.net). Debut penampilan kelompok Seo Taiji and Boys di tahun 1992 menandakan awal mula musik pop moderen di Korea yang memberi warna baru dengan aliran musik rap, rock, techno Amerika. Suksesnya grup Seo Taiji and Boys diikuti grup musik lain seperti Panic, dan Deux. Tren musik ini turut melahirkan banyak grup musik dan musisi berkualitas lain hingga sekarang. Musik pop dekade 90-an cenderung beraliran dance dan hip hop. Pasar utamanya adalah remaja sehingga dekade ini muncul banyak grup “teen idol” yang sangat digilai seperti CLON, H.O.T, Sechs Kies, S.E.S, dan g.o.d.
58
Kebanyakan dari kelompok musik ini sudah bubar dan anggotanya bersolokarier. Pada tahun 2000-an pendatang-pendatang baru berbakat mulai bermunculan. Aliran musik R&B serta Hip-Hop yang berkiblat ke Amerika mencetak artis-artis semacam MC Mong, 1TYM, Rain, Big Bang yang cukup sukses di Korea dan luar negeri. Beberapa artis underground seperti Drunken Tiger, Tasha (Yoon Mi-rae) juga memopulerkan warna musik kulit hitam tersebut. Musik rock masih tetap digemari di Korea ditambah dengan kembalinya Seo Taiji yang bersolo karier menjadi musisi rock serta Yoon Do Hyun Band yang sering menyanyikan lagu-lagu tentang nasionalisme dan kecintaan terhadap negara. Musik techno memberi nuansa moderen yang tidak hanya disukai di Korea saja, penyanyi Lee Jung-hyun dan Kim Hyun-joong bahkan mendapat pengakuan di Cina dan Jepang. Musik balada masih tetap memiliki pendengar yang paling banyak di Korea. Musik balada Korea umumnya dikenal dengan lirik sedih tentang percintaan, seperti yang dibawakan oleh Baek Ji Young, KCM, SG Wannabe, dan sebagainya. Musik balada umumnya digemari karena sering dijadikan soundtrack drama-drama televisi terkenal seperti Winter Sonata, Sorry I Love You, Stairway to Heaven dan sebagainya. Berbagai artis Korea menangguk kesuksesan di dunia internasional seperti BoA yang menembus Jepang dan digemari di banyak negara. Kemudian artis-artis lain seperti Rain, Se7en, Shinhwa, Ryu Shi-won, dan sebagainya berlomba-lomba untuk menaklukkan pasar musik di Jepang. Rain
59
tercatat sebagai artis Asia pertama yang mengadakan konser internasional bertajuk Rainy Day 2005 Tour, di Madison Square Garden.
K-Pop di Indonesia Kesuksesan drama Korea di Indonesia membuat musik pop Korea menjadi lebih mudah diterima masyarakat Indonesia karena wajah dan bahasa yang sering terlihat di stasiun-stasiun TV seperti Indosiar, RCTI, ANTV, dan sebagainya. Tren musik K-Pop mulai terlihat sejak 2006. Saat itu groupgroup seperti Shinhwa, TVXQ, Super Junior, SS501 mampu merebut hati fans Indonesia. Konser para artis Korea pun mulai banyak diadakan di Indonesia. Demam K-Pop juga dapat dilihat dari jumlah fans K-Pop di Indonesia yang sangat banyak. Penyebutan sangat banyak bisa dilihat dari kemunculan beberapa kelompok penggemar yang tumbuh, terutama di dunia maya. Sejak tahun 2010, fans K-Pop di Indonesia mulai terlihat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan fans, baik dunia maya dilihat dari bermunculan banyak forum atau komunitas fans grup Indonesia dan juga dunia nyata dilihat dari banyak
diadakannya
gathering-gathering
fandom
penyayi
Korea.
(http://www.mediaindonesia.com) Selain fans dari penyanyi Korea yang semakin berkembang ini, Korean Wave ini juga nampak dari perubahan minat aliran musik di tanah air dari genre melayu seperti ST12, Hijau Daun dan sebagainya perlahan-lahan beralih ke genre musik K-Pop. Pada tahun 2010, boyband dan girlband mulai mewarnai musik di Indonesia antara lain SM*SH dan 7icon. Setelah itu
60
banyak bermunculan grup musik yang mengikuti jejak SM*SH dan 7icon antara lain Cherrybelle, Hitz, Princess, XO-IX dan masih banyak lagi. Merebaknya Korean Wave di Indonesia ini disambut baik oleh para artis Korea tersebut. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya artis Korea yang mengadakan konser musik di Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut data dari http://deviandamadyaputri.blogspot.com/ di tahun 2012 tercatat kurang lebih 10 artis Korea yang akan dan telah mengadakan konser di Indonesia antara lain Super Junior, Big Bang, U-Kiss dan MBLAQ.
E. Kelompok Khalayak/Audiens Kelompok adalah suatu kolektif yang terdiri atas berbagai organisme dimana eksistensi semua anggota sangat penting untuk memuaskan berbagai kebutuhan individu. Artinya, kelompok merupakan suatu alat untuk mendapatkan berbagai kebutuhan individu. Individu menjadi milik kelompok karena mereka mendapatkan berbagai kepuasan sebaik mungkin melalui organisasi yang tidak dengan mudah mereka dapatkan melalui cara lainnya (Cartwright & Zander, 1971: 20). Selanjutnya menurut Wekley dan Yulk (1977 dalam http://rianddhika.blogspot.com) mengemukakan bahwa kelompok merupakan suatu kumpulan orang yang berinteraksi satu sama lain secara teratur dalam suatu periode tertentu, dan merasakan adanya ketergantungan diantara mereka dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan bersama. Menurut Charles Pavvit dan Ellen Curtis (1990) sebuah kelompok dibentuk umumnya dengan tujuan produktivitas dan/atau moral. Produktivitas
61
merujuk pada pembentukan kelompok dalam rangka menyelesaikan tugas tertentu. Sedangkan moral merujuk pada pembentukan kelompok dalam rangka memenuhi kebutuhan anggota akan tujuan pribadi dan sosial seperti dukungan, perhatian dan hiburan antar pribadi. Kelompok dapat dibedakan berdasarkan berbagai klasifikasi salah satunya yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer ditandai dengan adanya interaksi antar anggota yang terjalin lebih intensif, lebih erat, dan lebih akrab. Kelompok primer ini sering disebut juga dengan kelompok “face to face”, karena para anggota kelompok sering berdialog dan bertatap muka karenanya mereka saling mengenal lebih dekat dan lebih akrab.
Sifat
interaksi
dalam
kelompok-kelompok
priomer
bercorak
kekeluargaaan dan lebih berdasarkan pada simpati. Pada kelompok primer pembagian kerja atau pembagian tugas tidak dilakukan secara terpaksa, karena lebih dititik beratkan atas dasar rasa simpati dan secara sukarela. Contoh dari kelompok primer antara lain: keluarga, rukun tetangga, kelompok belajar, dan lain sebagainya. Kelompok sekunder merupakan kelompok yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu didasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya tidak begitu langgeng. Pada kelompok sekunder ini, diantara kelompok, terdapat hubungan tak langsung, formal, dan kurang bersifat kekeluargaan. Diantara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya bahkan tidak saling mengenal, dan tidak akrab, sifatnyapun tidak permanen.
62
Para anggota menerima pembagian kerja/pembagian tugas atas dasar kemapuan, dan kelihatan tertentu disamping dituntut adanya dedikasi. Adanya pembagian seperti ini diperlukan untuk mencapai target dan tujuan tertentu yang telah ditetapkan dalam program-program yang sudah disepakati bersama. Contoh dari kelompok sekunder adalah: partai politik, perhimpunan serikat kerja, organisasi profesi, kelompok penggemar dan sebagainya. Kelompok penggemar dapat digolongkan dalam kelompok sekunder. Kelompok penggemar merupakan kumpulan individu-individu yang memiliki hobi, minat atau kesukaan yang sama terhadap sesuatu hal maupun seseorang. Kelompok penggemar biasanya memiliki jumlah anggota yang banyak dan terbentuk dalam kurun waktu tertentu dan sulit untuk di generalisasikan. Menurut Fiske (2011: 27) loyalitas-loyalitas populer ini susah untuk dimengerti, sulit untuk ditarik pada sebuah generalisasi, dan sulit untuk dikaji karena terbetuk dari orang-orang yang ada didalamnya dengan konteks spesifik pada waktu yang spesifik pula. Loyalitas-loyalitas tersebut berbasis pada konteks dan waktu, dan tidak dihasilkan oleh struktur. Loyalitasloyalitas tersebut adalah persoalan praktik, bukan persoalan struktur. Kelompok penggemar atau disebut dengan fandom. McQuail (2011:197) berpendapat bahwa fandom dibentuk oleh penggemar itu sendiri, ketika mereka mengasosiasikan satu sama lain dan mengungkapkan ketertarikan mereka secara public (kaos, fanzine, gaya dan semacamnya).
63
F. Teori Uses and Gratifications Teori Uses and Gratification
yang dikemukakan oleh Blumler,
Gurevitch dan Katz ini menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna media menjadi bagian yang aktif dalam proses komunikasi yang terjadi serta berorientasi pada tujuannya dalam media yang digunakannya. Pengguna media dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain. Teori Uses and Gratification menggunakan pendekatan ini berfokus terhadap audiens. Teori ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana audiens memilih media yang mereka inginkan. Audiens / khalayak yang secara aktif memilih dan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda – beda di dalam mengkonsumsi media. Wright (dalam McQuail 2011: 174) memandang media sebagai pelayan atas kebutuhan masyarakat yang beragam – misalnya untuk kohesi, keberlangsungan budaya, kontrol sosial dan peredaran yang luas dari segala jenis informasi public. Hal ini, pada gilirannya mengandaikan bahwa individu juga menggunakan media untuk tujuan yang berkaitan, misalnya panduan pribadi, relaksasi, penyesuaian, informasi, dan pembentukan identitas.
64
Menurut Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch, uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada audiensnya (http://id.wikipedia.org). Pada
awalnya
menurut
Blumler
(dalam
http://zulfiifani.wordpress.com) teori ini ditujukan untuk penelitian media yang berbasis kepada media dan komunikasi massa. Akan tetapi di masa kini, teori ini juga telah digunakan untuk meneliti penggunaan internet (Flanagin dan Metzer pada tahun 2001), ponsel (Ozcan dan Kocak, 2003), blog (Li, 2005), world wide web (Kaye dan Johnson, 2002), dsb. Menurut Blumler dan Katz (1974, dalam Fiske, 2007:213-214) beberapa asumsi mendasar dari uses and gratifications adalah sebagai berikut: 1. Khalayak itu aktif. Khalayak bukanlah penerima yang pasif atas apa pun yang media siarkan. Khalayak memilih dan menggunakan isi program. 2. Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan programprogramnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya. 3. Media bukanlah satu-satunya sumber pemuasan kebutuhan. 4. Orang bisa atau dibuat bisa menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasus-kasus tertentu.
65
5. Pertimbangan nilai tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah. Semisal, tidaklah relevan untuk menyatakan program-program infotainment itu sampah, bila ternyata ditonton oleh sekian juta penonton. Beberapa motif kebutuhan yang menyebabkan khalayak menggunakan media menurut McQuail (dalam Miller, 2002:244) adalah information (kebutuhan akan informasi dari lingkungan sekitar), personal identity (kebutuhan untuk menonjolkan sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang), integration and social interaction (dorongan untuk menggunakan media dalam rangka melanggengkan hubungan dengan individu lain) dan entertainment (kebutuhan untuk melepaskan diri dari ketegangan dan menghibur diri. Gratification Category Information
Examples • Belajar, maupun belajar secara otodidak. • Meningkatkan kesadaran akan keamanan melalui pengetahuan. • Mencari tahu peristiwa yang sedang terjadi di sekeliling, maupun di tingkat nasional maupun global. Personal Identity • Mencari model/teladan dalam berperilaku. • Mencari penguatan kepribadian. • Mendalami sosok orang lain secara lebih mendalam. Integration and Social• Mengidentifikasi diri dengan orang lain dan Interaction menguatkan rasa saling memiliki. • Menghubungkan diri dengan keluarga, kawan maupun masyarakat. • Mencari rekan untuk berkomunikasi/bercakapcakap dan berinteraksi. Entertainment • Melepaskan diri dari permasalahan (eskapisme). • Mengistirahatkan tubuh dan pikiran. • Mengisi waktu luang. Gambar 2.1 Motif Kebutuhan McQuail
66
Adapun proses internal yang dialami oleh seorang khalayak dalam mencari gratifikasi (kepuasan) dari media adalah sebagai berikut (Kim & Rubin, 1997 dalam Miller, 2002:244-245): Pertama, seorang khalayak akan melakukan proses seleksi (selectivity). Gratifikasi yang diinginkannya akan disesuaikan dengan media yang akan digunakannya. Kedua, selanjutnya yang dilakukan adalah proses memperhatikan (attention). Ketiga, proses terakhir adalah proses keterlibatan (involvement). Pada proses ini seorang khalayak akan terlibat lebih dalam secara personal dengan media tersebut, bahkan juga memiliki “hubungan spesial” dengan karakter media tersebut. Proses ini seringkali juga disebut sebagai “para-social interaction”. Katz, Blumler dan Gurevitch (1974, dalam Baran & Davis, 2009:241242) juga menjelaskan adanya situasi sosial yang membuat seorang pengguna membutuhkan media, antara lain: 1. Situasi sosial dapat melahirkan tekanan dan konflik, ketika itu konsumsi media bisa jadi adalah obat untuk keluar dari tekanan tersebut. 2. Situasi sosial dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terus mencari informasi yang ditawarkan pada media. 3. Situasi sosial dapat membatasi peluang untuk berinteraksi di dunia nyata, di situlah media dapat berfungsi sebagai suplemen atau bahkan menggantikan kehidupan nyata tersebut. 4. Situasi sosial seringkali melahirkan nilai-nilai sosial tertentu. Pemenuhan kepuasan dari nilai-nilai tersebut dapat difasilitasi oleh konsumsi media tertentu.
67
5. Situasi sosial dapat membuat pengguna semakin akrab dengan media. Kedekatan pengguna dengan media beserta isinya, dimaksudkan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam kelompok-kelompok tertentu.
G. Teori Dependensi Media Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFluer (1976), yang memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini berangkat dari sifat masyarakat modern, dimana media massa dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar. Sejalan dengan teori Uses And Gratification, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Model ini memperlihatkan bahwa individu
68
bergantung pada media untuk pemenuhan kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka tidak bergantung pada banyak media dengan porsi yang sama besar (http://id.wikipedia.org/). Menurut Ball-Rokeach dan DeFleur (dalam Littlejohn & Foss, 2011: 428) Besarnya ketergantungan seseorang pada media ditentukan dari dua hal. Pertama, seseorang akan menjadi lebih bergantung pada media yang memenuhi beberapa kebutuhan daripada media yang hanya sedikit memuaskan saja. Untuk kelompok manapun, beberapa fungsi ini lebih penting dari yang lain, dan ketergantungan seseorang pada informasi dari sebuah media meningkat ketika media tersebut memberikan informasi yang lebih penting bagi orang tersebut. Sumber ketergantungan yang kedua adalah stabilitas sosial. Ketika perubahan sosial dan konflik meningkat, intuisi, keyakinan, dan kegiatan yang sudah terbentuk mulai ditentang, mendorong adanya penilaian ulang dan mungkin pilihan-pilihan baru yang terkait dengan konsumsi media. Pada saatsaat tersebut ketergantungan seseorang akan informasi pada media akan meningkat. Sebaliknya, semakin stabil keadaannya, ketergantungan seseorang pada media akan menurun.