TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Kinerja Secara etimologi kinerja atau prestasi kerja berasal dari kata performance. Kata tersebut digunakan untuk menyebutkan hasil pekerjaan yang telah dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti prestasi belajar berarti hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau prestasi dalam bidang lainnya. Istilah kinerja mulai populer setelah digunakan dalam ilmu manajemen, yang didefinisikan dengan istilah hasil kerja, prestasi kerja dan performance. Menurut (The Sriber Bantam English Dictionary 1979, diacu dalam Prawirosentono 2008: 1), menyatakan bahwa: “to perform“ mempunyai beberapa “entries” sebagai berikut: (1) to do or carry out; executive, (2) to discharge or fulfill, as a vow, (3) to party, as a character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument, (5) to execute or complete on undertaking, (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do what is expected of person or machine”. Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai berikut: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, dan (3) kemampuan kerja. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Senada dengan Samsudin, Gibson et al. (1994) mengemukakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada batasan waktu tertentu. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas atau pencapaian tujuan ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki individu atau organisasi dalam kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel 1993). Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi tanggungjawab seseorang atau kinerja yang optimal, harus didukung oleh ketersediaan sarana atau fasilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan dorongan atau motivasi yang kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Gilbert et al. (1982) dalam artikelnya Behavior Engineering Model, memberikan penekanan bahwa kinerja dipengaruhi oleh keterampilan dan pengetahuan tentang data dan
9
informasi, kapasitas peralatan yang digunakan dan motif insentif yang diberikan. Menurut Gilbert, keterampilan dan pengetahuan tersimpan dalam benak atau pemikiran individu, sedangkan data dan informasi berada di luar internal individu tetapi tersimpan dalam eksternal manusia, seperti alat bantu kerja (komputer), petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), atau sistem yang online. Ketersediaan dan kelayakan fungsi dari peralatan memberikan pengaruh terhadap kinerja seseorang. Boselie et al. (2001) dan Lusthaus (2002) memiliki argumen yang melengkapi beberapa pendapat sebelumnya. Boselie et al. (2001) menyampaikan bahwa peningkatan kinerja berhubungan dengan motivasi, retensi, iklim sosial dan kebijakan perusahaan; sedangkan Lusthaus (2002) menyatakan bahwa kinerja berhubungan dengan kapasitas organisasi, motivasi dan lingkungan organisasi. Berdasarkan pendapat kedua pakar ini terlihat bahwa kinerja tidak hanya ditentukan oleh motivasi dan kemampuan yang harus dimiliki oleh pegawai, tetapi ditentukan juga oleh situasi dan kondisi lingkungan tempat bekerja, hubungan sosial, komitmen antara karyawan dan pimpinan serta kerjasama antara semua yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Robbins (2003) menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan (ability), motivasi (motivations) dan peluang (opportunity), sehingga fungsi kinerja dapat diilustrasikan = f (A x M x O). Robbins berpendapat bahwa untuk meraih kinerja yang tinggi dibutuhkan kemampuan yang baik dan semangat bekerja yang tinggi, namun kedua hal itu saja tidak cukup, masih dibutuhkan satu hal lain, yaitu kesempatan. Jika kesempatan atau peluang tidak ada maka kemampuan dan motivasi yang tinggi belum cukup untuk menghasilkan kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, kinerja yang tinggi akan terwujud apabila ada kemampuan yang memadai, didorong oleh motivasi yang kuat, dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencoba dan melakukan yang sebenarnya. Hasibuan (2007: 34) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurur Rivai (2005: 309), kinerja adalah perilaku
10
nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Schermerhorn
et
al.
(1994) mengilustrasikan
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan peningkatkan kinerja disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja (Schermerhorn et al. 1994)
Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mangkunegara, faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain: (1) Faktor kemampuan. Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya; dan (2) Faktor motivasi. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha
mencapai
potensi
kerja
secara
maksimal.
David
McCleland
(Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan
11
sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja dengan predikat terpuji. Ada enam karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu: (1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi; (2) Berani mengambil risiko; (3) Memiliki tujuan yang realistis; (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan; (5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan; dan (6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Schermerhorn et al. (1994) menyampaikan bahwa kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan. Kinerja mengandung dua komponen penting, yaitu: (1) Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya; dan (2) Produktivitas kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome). Meager (2009) menyampaikan bahwa kualitas pekerjaan yang dibutuhkan dunia kerja ditentukan oleh keterampilan yang ditunjang oleh pelatihan. Hal senada disampaikan oleh Park (2010) menyatakan bahwa suksesnya pekerja tergantung dari peluang, motivasi bekerja yang tinggi dan belajar secara kontinu. Skibba dan Tan (2002) menyampaikan bahwa tingkat kinerja dalam organisasi dipengaruhi oleh faktor kepribadian, keaktifan, kemampuan pemimpin dan harga diri terutama dalam konteks sosial. Pendapat Skibba dan Tan tersebut, diperkuat oleh Kazmi et al. (2006) mengatakan bahwa prestasi kerja atau kinerja dipengaruhi tingkat stres yang dialami oleh pekerja yang bersangkutan. Beberapa pendapat yang disampaikan oleh pakar-pakar terakhir tersebut, menunjukkan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh peran pemimpin, ciri individu yang bersangkutan (kemampuan, prakarsa dan inisiatif) untuk menyelesaikan pekerjaan, jenis dan kualitas pekerjaan, keberanian dalam mengambil risiko, tingkat stres, tingkat beban pekerjaan, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kompetensi melalui belajar baik secara formal maupun non formal. Penilaian Kinerja Dalam rangka melacak kemajuan kinerja, mengidentifikasi kendala, dan memberi informasi dalam suatu organisasi, diperlukan adanya komunikasi kinerja
12
yang berlangsung terus menerus sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Terkait dengan itu, alasan sebenarnya mengelola kinerja adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas serta merancang bangun kesuksesan bagi setiap pekerja. Berkaitan
dengan
hal
tersebut
Bernardin
dan
Russell
(1993)
mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah a way of measuring the contribution of individuals to their organization. Hasibuan (2007: 88) memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan, dengan demikian, penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi. Gomes (2003:135) berpendapat bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memberikan reward kinerja sebelumnya (to reward past performance,) memotivasi demi perbaikan kinerja pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement) dan informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas tertentu. Berdasarkan ketiga pendapat dari Bernardin dan Russell, Gomes dan Hasibuan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap organisasi mutlak melakukan penilaian untuk mengetahui kinerja yang dicapai oleh setiap pegawai, apakah telah sesuai atau tidak dengan harapan organisasi. Rivai (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja adalah proses mengumpulkan informasi mengenai kinerja ternilai yang didokumentasikan secara formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil. Pengukuran kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk mengarahkan upaya karyawan melalui serangkaian prioritas yang diinginkan. Simamora (2004:338) menyebutkan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan. Bocci (2004) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja adalah seberapa baik organisasi dikelola dan seberapa besar manfaat yang didapatkan oleh
13
stakeholder. Senada dengan Bocci, Westin (2005) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja dilakukan mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program (proses), layanan yang dilakukan (output) dan hasil pelaksanaan program. Syarif (1991: 72) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengukur hasil kerja yang dicapai oleh para pekerja dan dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi yang diminta guna mengetahui sampai di mana keterampilan telah dicapai. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses untuk mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kriteria Penilaian Kinerja Terkait dengan penilaian kinerja ini, Bernardin dan Russell (1993:383) mengungkapkan terdapat enam kriteria pokok yang dapat dipakai untuk mengukur kinerja, yaitu: (1) Quality, sejauh mana kesempurnaan dari hasil yang telah diperoleh, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum; (2) Quantity, berapa jumlah yang didapatkan; (3) Timeliness, sejauh mana waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Cost effectiveness, efesiensi dalam penggunaan sumber daya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal; (5) Need for supervision, sejauh mana dibutuhkan pengawasan untuk mendapatkan kualitas yang baik; dan (6) Interpersonal impact, sejauh mana pekerjaan dapat memberikan dampak pada kebutuhan personal. Robbins (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tolok ukur kinerja individu yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu. State of Missouri Office of Administration Division of Personnel, menyatakan bahwa penilaian kinerja dilakukan melalui lima komponen, yaitu: (1) pengetahuan tentang pekerjaan, (2) kualitas kerja, (3) situasional, (4) inisiatif atau prakarsa, dan (5) kepercayaan diri. Koontz et al. (2004) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja pegawai antara lain: (1) Inteligensia: berhubungan dengan kemampuan untuk mengerti kesadaran mental; (2) Pertimbangan: berhubungan dengan sikap membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya; (3) Inisiatif: berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; (4) Kekuatan: berhubungan dengan kekuatan moril yang dimiliki; (5) Kepemimpinan:
14
berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak; (6) Keberanian moril: berhubungan dengan sifat mental yang membuat seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai hati nurani; (7) Kerjasama: berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama; (8) Kesetiaan: berhubungan dengan kesesuaian, kesetiaan, dan kelanggengan; (9) Keteguhan: berhubungan dengan upaya mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan; (10) Reaksi terhadap keadaan darurat: berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga; (11) Daya tahan: berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun; (12) Kerajinan: berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya; dan (13) Penampilan dan kerapihan diri serta pakaian: berhubungan dengan harga diri, kelengkapan seragam, dan kerapihan penampilan. Untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes (2003:142) mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat perhatian dalam mengukur kinerja antara lain: (1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; (2) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya; (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya; (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul; (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota organisasi; (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan; (7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya;
dan
(8)
Personal
qualities,
yaitu
menyangkut
kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi. Stewart (1987: 283) memberikan pedoman penilaian kinerja yang didasarkan pada: (1) Kepribadian, antara lain: dorongan, kesetiaan dan integritas; (2) Pekerjaan, antara lain: akurasi, kejelasan, dan kemampuan analitis; dan (3) Ketepatan sasaran. Mangkunegara (2007: 70) menjelaskan penilaian pekerjaan berdasarkan kriteria: (1) Kualitas pribadi, karakteristik atau sifat-sifat pribadi
15
seperti: kepercayaan, kreativitas, kemampuan verbal dan kemampuan memimpin; dan (2) Pekerjaan yang berhubungan dengan tingkah laku antara lain: kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan dan keterampilan yang dimiliki. Hasibuan (2007: 91) menjelaskan rambu-rambu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menilai suatu pekerjaan seorang karyawan atau individu antara lain: (1) Harus jujur, objektif, adil dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang unsur-unsur yang dinilai sehingga dapat melihat fakta secara realitas; (2) Penilaian harus didasarkan benar atau salah, sehingga terhindari rasa suka atau tidak suka (like or dislike); (3) Penilai harus memiliki authority formal, sehingga hasil penilaian dapat dilaksanakan dengan baik; (4) Penilai harus menguasai pekerjaan secara detail, sehingga hasil penilaian dapat dipertanggungjawabkan secara formal; dan (5) Penilai harus memiliki keimanan dan kejujuran yang tangguh. Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja harus didasarkan pada kriteria atau pedoman yang berlaku secara universal dan dirasakan adil oleh semua orang. Penilaian tersebut harus obyektif, reliabel, jujur, adil dan sesuai dengan kondisi dan situasi (timebond), serta tidak didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka. Penelitian tentang Kinerja Penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2009) menemukan bahwa tingkat kinerja petani pemandu sebagai penyuluh swadaya di Jawa Barat tergolong rendah, hal ini disebabkan tidak ada penghargaan baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Temuan Effendy tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2008), yang menemukan bahwa kapasitas atau kemampuan kinerja petani termasuk kategori rendah dalam melakukan penerapan inovasi baru. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesesuaian inovasi, kebutuhan nyata petani, kepemilikan aset, keterkaitan dengan tradisi dan pengaruh kepemimpinan masyarakat setempat. Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh petani dalam menerapkan sistem agroforestri di lahan kritis. Kinerja petani tersebut seperti: hasil usaha atau tingkat pendapatan, persentase
16
lahan yang ditanami, persentase tegakan yang tumbuh sehat, keragaman jenis bahan pangan dan terjadinya aksesibilitas jaringan sistem bisnis agroforestri. Sumber pendapatan petani berasal dari hasil tanaman semusim antara lain: palawija, jagung, sayuran, padi, ketela, dan pisang. Hasil tanaman keras seperti: mangga, durian, rambutan, pete, jati, mahoni dan kelapa. Persentase lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, terutama tanaman tahunan/pokok dan sela, baik pada lahan milik, sewa, sakap dan pesanggem. Sejalan dengan persentase luas lahan yang ditanami sistem agroforestri, kinerja petani dapat dilihat melalui persentase tegakan yang tumbuh dengan sehat. Selain itu, dapat dilihat pula dari keragaman jenis pangan. Keragaman jenis bahan pangan yang bervariasi dapat membantu mencegah terjadinya bencana kelaparan pada musim paceklik karena masyarakat dapat mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras. Terjalinnya akses jaringan bisnis sistem agroforestri dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat pengembangan sistem agroforestri. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pengertian Agroforestri Istilah kehutanan sosial pertama kali dikenal pada tahun 1978 pada waktu Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta dengan sebutan Forest for People. Implementasi kehutanan sosial di Indonesia dimulai tahun 1986 (Awang 2003). Kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah delapan tahun kongres berlangsung. Arti kehutanan sosial dan kehutanan masyarakat, pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kehutanan bernama Westoby pada tahun 1968 dengan istilah social forestry. Penerapan perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan di Indonesia menggunakan istilah yang bermacam-macam (Suharjito et al. 2000 dan Awang 2003), antara lain: community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm forestry (FF) dan agroforestry (AG). Penerapan istilah-istilah tersebut disesuaikan dengan kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya saling mengisi dan melengkapi. Hal yang sama dengan definisi agroforestri juga bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu penggunanya. Teori dan konsep agroforestri yang mendasari penelitian ini, adalah: ICRAF (1977); King dan Chandler (1978); Lundgren dan Raintree (1982); Nair
17
(2003); Huxley (1999); dan de Foresta et al. (2000). Untuk melengkapi konsep dan teori agroforestri tersebut disintesakan beberapa hasil penelitian sistem agroforestri yang dilakukan pada lahan kritis baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut ICRAF (Huxley 1999), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Senada dengan ICRAF, Nair (2003) menyatakan bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi, di mana tanaman keras berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan, dengan tujuan tertentu, dengan spasial atau berurutan yang di dalamnya terjadi interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan lingkungan. King
dan
Chandler
(Kartasubrata
2003)
mengemukakan
bahwa
agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman semusim, tanaman hutan dan atau ternak secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut De Foresta et al. (2000), agroforestri merupakan sistem teknologi penggunaan lahan di mana pepohonan berumur panjang (semak, palm, bambu dan kayu) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam petak yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu, sehingga terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya. Lundgren dan Raintree (1982) menyebutkan bahwa agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang
secara
terencana
dilaksanakan
pada
satu
unit
lahan
dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palm, bambu dan lainlain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk
18
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur: (1) Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (2) Penerapan teknologi; (3) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan; (4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu; dan (5) Ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Cornell dan Miller (2007) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria yaitu: (1) Structural basic, yaitu pengaturan dan penambahan jenis tanam akan menambah keanekaragaman hayati sehingga dapat meningkatkan ketahanan sistem hutan yang dibangun; (2) Functional basic, yaitu fungsi komponen species yang berkayu akan mampu meningkatkan jumlah produk dan menjadi pencegah terjadinya erosi, banjir, tanah longsor, tata air dan mengembalikan kesuburan tanah; (3) Social economical basic, yaitu sebagai salah satu penyedia sumber pangan alternatif sehingga dapat membantu mengentaskan kemiskinan; dan (4) Ecological basic, yaitu secara lingkungan membantu dalam mengatasi kekeringan sehingga alam menjadi lestari. Bentuk-bentuk Agroforestri Klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen yang membentuknya dibedakan sebagai berikut: (a) Sistem agrisilvopastur yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasilhasil pertanian dan kehutanan; (b) Sistem sylvopastoral yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak; (c) Sistem agrosylvopastora yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak; dan (d) Multiple purpose tree species (MPTS) yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak. Vergara (1982) membedakan sistem agroforestri sebagai berikut: penanaman pohon tepi, larikan berselang seling, jalur berselang seling, campuran
19
acak, perladangan berpindah, tumpang sari dan pekarangan. Nair (2003) mengelompokkan sistem agroforestri dalam kelompok besar yaitu: (1) Sistem agrisilvikultur terdiri dari: improved fellow (bera), taungya (tumpang sari), alley cropping/hedgrowt (tanaman lorong), multilayer tree garden (kebun hutan), planating crop combinations (kebun campuran), home garden (pekarangan rumah), shelterbelts and windbreaks (pemecah angin), live hedges (pagar hidup), dan fuelwood productions; dan (2) Sistem silvopastoral, yaitu tanaman dipadukan dengan hewan atau padang penggembalaan. De Foresta et al. (2000: 1-5) dan Lusiana et al. (2002: 2-5) membedakan agroforestri menjadi dua sistem yaitu: sistem agroforestri sederhana dan kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan salah satu tanaman semusim. biasanya tanaman yang dipadukan adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti: kopi, kakao, karet, kelapa, mangga, nangka, jati dan mahoni; sedangkan tanaman semusimnya antara lain: padi, jagung, kacang-kacangan, ubi kayu dan sayur-sayuran. Bentuk sistem agroforestri sederhana atau tumpang sari, telah lama dilaksanakan di Perhutani Ngantang Malang berupa tumpang sari antara kopi dan pinus. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang menanam banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon), baik sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Bentukbentuk agroforestri kompleks antara lain kebun dan hutan. Contoh agroforestri kompleks, antara lain: kebun campuran di Bogor, Ciamis, Wonosobo, Wonogiri; Repong Damar di Krui Lampung; Talun di Banten; Tembawang di Kalimantan Barat; dan Lembo di Kalimantan Timur. Bentuk sistem agroforestri yang telah diterapkan di Kabupaten Pati dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: bagian barat di bawah Gunung Muria yang memiliki lahan cukup subur, didominasi tanaman buah-buahan, kacang tanah, kopi, singkong, randu, tebu dan jati. Bagian selatan ke timur di sepanjang Pegunungan Kendeng yang lahannya sangat kritis dan menjadi hulu DAS Juana, didominasi tanaman jati, mahoni, mangga, singkong, jagung dan ternak.
20
Tujuan dan Fungsi Agroforestri Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memiliki tujuan antara lain: (1) Penghutanan kembali; (2) Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak; (3) Penyediaan kayu bangunan dan kayu bakar; (4) Mencegah migrasi penduduk ke kota; (5) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat; dan (6) Mengurangi pemanasan global. Menurut Huxley (1999) menyatakan bahwa fungsi sistem agroforestri adalah: (1) Mengontrol atau mengurangi erosi; (2) Memelihara bahan organik tanah; (3) Meningkatkan kondisi fisik tanah; (4) Menambah jumlah nitrogen dengan penanaman pohon yang dapat menfiksasi nitrogen; (5) Menyediakan hara mineral dalam tanah; (6) Membentuk sistem agroekologi; (7) Mengurangi kemasaman tanah; (8) Mereklamasi lahan; (9) Meningkatkan kesuburan tanah; (10) Meningkatkan aktivitas biologi tanah; (11) Adanya asosiasi mikoriza pada campuran pohon dan pertanian; (12) Meningkatkan penangkapan hujan, cahaya, hara mineral dan produksi biomasa; dan (13) Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, air dan hara mineral. von Moydell (1986) menyebutkan bahwa sistem agroforestri dapat membantu memecahkan masalah dalam: (1). Menjamin dan memperbaiki kebutuhan alternatif bahan pangan; (2) Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar; (3) Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan dan pertanian; (4) Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan sebagian besar masyarakatnya miskin; dan (5) Memelihara dan memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat, yaitu: mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, perbaikan tanah melalui fungsi
pohon. Shelterbelts, pohon pelindung (shade
trees), windbrake, pagar hidup (life fence), dan pengelolaan sumber air secara lebih baik.
21
Sistem Agroforestri sebagai Sistem Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun. Penanaman dapat dilakukan secara bergilir atau bergantian sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan lanskap lahan dengan memperhatikan konsep triple botton line benefite, yaitu lingkungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya) dan ekonomi (Arifin et al. 2009: 14). Sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Arifin et al. Tomas Hak et al. (2007) dan Mitchell et al. (2003) menyebutkan bahwa selain ketiga konsep tersebut yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah konsep institusional yang di dalamnya menyangkut partisipasi, pemberdayaan masyarakat dan kaum perempuan, serta penegakan hukum. Konsep institusional ini berperan dalam implementasi dari ketiga konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ekologi seyogyanya dilakukan berorientasi pada kepentingan konservasi lingkungan sehingga kondisi nyaman lingkungan dapat terjaga dengan baik. Penanaman tanaman pada lahan-lahan yang marginal diharapkan dapat mengembalikan fungsi lahan, mencegah longsor dan terjadi penyerapan air sehingga mencegah terjadinya erosi. Bahkan sistem agroforestri mampu memberikan sumbangan yang cukup besar dalam penyerapan karbon (rosot), dan menjaga kesegaran udara. MFP (2009) menyampaikan bahwa sistem agroforestri atau kebun campuran memberikan sumbangan rosot (penyerapan karbon) yang cukup efektif sehingga udara tidak tercemar polusi. Ditinjau dari sosial budaya, pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat baik secara rohani maupun jasmani. Pelaksanaan agroforestri harus memberikan sumbangan pada penyediaan bahan pangan alternatif sehingga masyarakat memiliki kecukupan atau keamanan pangan pada musim paceklik. Hasil penelitian di daerah kritis DAS Khlong Peed Thailand yang dilakukan oleh Wachrinrat dan Khlangsap (2007) menemukam bahwa sistem agroforestri dengan kebun campuran antara lain: kebun buah campuran, kebun nanas, kebun karet lebih diminati oleh masyarakat dibanding dengan tanaman monokultur sawit. Pranaji (2006) menemukan bahwa kondisi lahan kritis di sepanjang DAS Pemali Jratunsena memberikan sumbangan yang
22
sangat besar pada tingkat kemiskinan yang masif di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang kemudian dikelola dengan sistem agroekosistem. Matatula (2009) menjelaskan bahwa lahan-lahan kritis di Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang diperbaiki dengan menerapkan sistem agroforestri yang memadukan tanaman keras dengan hewan. Merem (2005) menjelaskan bahwa untuk membantu kehidupan masyarakat daratan Afrika yang memiliki lahan kering dan tandus, pengelolaan lahannya dilakukan dengan penerapan agroforestri yang memadukan tanaman berkayu dengan umbi-umbian. Ditinjau dari segi budaya, sistem agroforestri akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian adat yang ada di tempat tersebut dan bahkan jika agroforestri berhasil dengan baik dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, maka masyarakat tidak akan melakukan urbanisasi atau mencari penghidupan di kota. Awang (2003) mengemukakan bahwa repong damar di Krui Lampung mampu menjaga adat istiadat masyarakat setempat, karena keberhasilan repong damar hidupnya menjadi lebih baik sehingga mereka tidak meninggalkan daerahnya. Konsep ekonomi, sistem agroforestri memberikan nilai ekonomi yang bersifat subsisten, yaitu mencukupi untuk kebutuhan sendiri. Kondisi ini berhubungan erat dengan kepastian lahan garapan yang dimiliki oleh para petani. Selain kepastian lahan garapan, konsep ekonomi juga ditentukan oleh sistem pasar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roshetko et al. (2001) tentang sistem jalur pemasaran hasil wanatani di Provinsi Lampung, Roshetko dan Yulianti (2002) tentang jalur pemasaran hasil wanatani di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa sistem pemasaran hasil wanatani (agroforestri) tergantung dari pemintaan pasar dengan jalur yang cukup elastis terutama kayu. Konsep ekonomi pada sistem agroforestri, selain dilihat dari sistem pemasaran dapat juga dilihat dari imbal jasa lingkungan. Widada et al. (2006) dan Notohadiprawira (2006) mengemukakan bahwa imbal jasa lingkungan atau valuasi sumber daya alam dapat diukur dari pemanfaatan air yang dipakai oleh masyarakat untuk memasak, mandi dan mengolah lahan pertanian. ICRAF (2010) menyatakan bahwa sistem agroforestri memberikan sumbangan yang lebih luas, tidak hanya sekedar kebutuhan susbsisten tetapi memberikan sumbangan pada
23
kelestarian lingkungan, air dan kesuburan tanah yang dapat dinilai melalui imbal jasa lingkungan. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kemampuan (ability) merupakan suatu tenaga (daya kekuatan) yang dimiliki seseorang untuk melakukan perbuatan atau tindakan. Robbins (2003: 46) menyatakan bahwa kemampuan merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang yang dibawa sejak lahir atau hasil pelatihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakan. Lebih lanjut Robbins (2003) menyatakan bahwa kemampuan merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri merupakan kesanggupan petani untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam agroforestri. Kegiatan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri, antara lain: penyiapan lahan,
pemilihan
jenis
bibit/benih,
penanaman,
pemeliharaan
tanaman,
penganekaragaman tanaman, pemanenan, penegembangan pemasaran (Friday et al. 2000). Selain itu perlu diperhatikan pula pengembangan kelompok dan kerjasama untuk membangun jejaring kerja. Penyiapan lahan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum penanaman dimulai. Kegiatan penyiapan lahan meliputi: pembersihan gulma atau sisa tanaman, pemupukan awal, pembuatan drainase dan embung sederhana (Mulyana 1999; dan Wibisono 2005). Pemilihan jenis bibit/benih, disarankan bibit/benih unggul yang sesuai dengan kondisi lahan yang akan ditanami. Jenis bibit/benih dapat diambil dari generasi alam setempat maupun dari hasil persemaian dengan pohon induk yang sehat (Friday at el. 2000). Kegiatan penanaman antara lain: pembuatan jalur taman, jarak tanam, pelubangan, pengajiran, cara tanam, penyiraman dan waktu tanam (Friday et al. 2000). Pemeliharaan tanaman meliputi pendangiran, penyiangan, pemberantasan penyakit, pemangkasan/prunning dan penjarangan. Pemanenan dapat dilakukan pada masa panen (daur) atau disesuaikan kebutuhan “tebang butuh”. Kondisi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan petani. Pengembangan pemasaran, dilakukan petani bermitra dengan pengusaha atau pedagang besar.
24
Pengembangan kelompok dilakukan agar kemampuan petani meningkat dan mendapatkan pengalaman baru. Kegiatan pengembangan kelompok meliputi pembenahan
administrasi,
diversifikasi
usaha,
dan
mengikuti
berbagai
perlombaan yang diadakan oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah. Tingkat kerjasama dilakukan dengan antar petani, kelompok, penyuluh swadaya, penyuluh swasta dan lembaga sosial masyarakat. Motivasi Masyarakat dalam Mengelola Lahan Kritis Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Dalam kehidupan, motivasi memiliki peranan yang sangat penting sebab motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia sehingga mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Gibson et al. (1994) menyatakan bahwa motivasi memberikan kekuatankekuatan untuk bekerja dalam diri seseorang untuk memulai dan mengarahkan perilaku secara terus menerus. Pengertian motivasi tersebut mempunyai tiga hal penting yaitu: (1) arah perilaku untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, (2) kekuatan respon atau usaha untuk melakukan sesuatu, dan (3) kelangsungan berperilaku atau konsistensi. Robbins (2003:13) dan Timpe (1986) menyatakan bahwa tumbuhnya motivasi individu akibat dari interaksi individu dengan situasi yang ada di lingkungannya. Motivasi pada setiap individu berbeda-beda, tergantung dari individu yang bersangkutan dan situasi lingkungan yang berkembang. Motivasi merupakan proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan ketekunan individu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh individu yang bersangkutan. Tiga unsur kunci dari definisi motivasi tersebut adalah: intensitas, arah dan berlangsung lama. Intensitas terkait dengan seberapa keras usaha yang dilakukan oleh individu tersebut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Unsur intensitas memegang peran yang sangat penting dalam motivasi. Intensitas yang kuat atau tinggi jika tidak diarahkan maka tidak akan mencapai hasil yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, intensitas harus selalu dijaga dan diusahakan agar terarah secara baik agar motivasi memiliki dimensi keberlangsungan yang lama.
25
Teori-teori yang mendasari motivasi dalam penelitian ini adalah: teori hierarkhi kebutuhan oleh Abraham Maslow (Robbins 2003), teori dua faktor oleh Frederick Herzberg (Gibson et al. 1994), dan teori kebutuhan David McClelland (Robbins 2003) yang dikaitkan dengan konsep belajar. Untuk melengkapi teoriteori motivasi tersebut disarikan beberapa penelitian yang berhubungan dengan motivasi antara lain: Lindner (1998), Awang (2003), Hafidah (2005), Yuniandra et al, (2007); Romansyah (2007), Dirgantara (2008), dan Khususyah (2009). Teori motivasi pertama kali lahir pada tahun 1950-an disampaikan oleh Abraham Maslow (Robbins 2003: 214-215). Teori kebutuhan hierarkhi Maslow ini kemudian mengilhami tumbuhnya teori-teori motivasi lainnya sebagai bentuk protes dan atau perbaikan dari teori kebutuhan Maslow. Lima jenjang hierarkhi kebutuhan Maslow yaitu: (1) Physiologi meliputi: rasa lapar, haus, perlindungan (papan dan sandang), seks dan kebutuhan jasmani yang lainnya; (2) Keamanan meliputi: keselamatan dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosional; (3) Sosial mencakup: kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, dan persahabatan; (4) Penghargaan mencakup faktor penghormatan diri seperti: harga diri, otonomi, dan prestasi. Penghormatan diri dari luar seperti: status, pengakuan dan perhatian; dan (5) Aktualisasi diri seperti: pertumbuhan dan pencapaian potensi diri. Dipandang dari teori motivasi, pemenuhan kebutuhan dimulai dari tingkat terendah (physiologi) sampai dengan yang tertinggi (aktualisasi diri). Jika pemenuhan kebutuhan secara substansial dari masing-masing tingkatan telah terpenuhi maka tidak ada lagi motivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selanjutnya, Maslow memisahkan hierarkhi kebutuhan menjadi dua yaitu: kebutuhan tingkat tinggi dan rendah. Kebutuhan tingkat tinggi, terdiri dari kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri pemenuhannya dilakukan secara internal oleh individu yang bersangkutan. Kebutuhan tingkat rendah, antara lain: upah, kontrak dan jaminan masa kerja dan dipenuhi secara eksternal. Teori motivasi selanjutnya adalah teori dua faktor dari Herzberg (Gibson et al. 1994: 107-108). Herzberg menjelaskan bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan setiap orang akan menentukan kesuksesan atau kegagalan dari pekerjaan yang dilakukan. Teori
26
motivasi ini memberikan penekanan pada kepuasan kinerja yang dilakukan oleh seseorang. Teori motivasi Herzberg ini dibedakan menjadi dua yaitu ekstrinsik dan instrinsik. Motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri atau sering disebut dengan hygiene factor seperti: upah, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur kerja, dan hubungan antar pribadi dalam pekerjaan. Motivasi instrinsik berasal dari dalam diri sehingga mampu menciptakan kondisi kerja yang terbaik. Faktorfaktor pemuas seperti: prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang. Teori dua faktor Herzberg mengabaikan kondisi lingkungan atau situasi. Kondisi lingkungan yang konduksif, aman dan nyaman akan memberikan suasana kerja yang menyenangkan. Terciptanya suasana kerja yang nyaman, tentunya membantu meningkatkan produktivitas, demikian juga sebaliknya kondisi atau situasi lingkungan yang tidak mendukung akan menurunkan semangat untuk bekerja sehingga stabilitas produksi tidak terjamin. Teori kebutuhan yang mendasari motivasi berikutnya adalah dari David Mc Clelland (Gibson et al. 1994: 111-113). Teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Mc Clelland dikaitkan dengan konsep belajar. Tiga teori kebutuhan David Mc Clelland yaitu: (1) Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), (2) Kebutuhan untuk afiliasi atau kelompok pertemanan (need for affiliation), dan (3) Kebutuhan untuk berkuasa (need for power). Berkaitan dengan konsep belajar, McClelland berpendapat bahwa jika seseorang memiliki tingkat prestasi rendah maka orang tersebut harus diberikan pelatihan atau pembelajaran yang lebih keras agar mendapatkan prestasi yang lebih tinggi sehingga motivasi orang tersebut tumbuh dengan kuat. Ciri-ciri orang yang memiliki motivasi kuat atau tinggi adalah: (1) Dirinya merupakan tujuan dari prestasi, (2) Menghindar dari tujuan yang mudah, (3) Menyukai balikan yang cepat dan efisien dari prestasi yang dicapai, dan (4) Bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah. Skinner (Robbins 2003) menyatakan bahwa peningkatan prestasi belajar dapat dilakukan dengan penguatan atau reinforcement sehingga menumbuhkan motivasi. David Mc Clelland (Mangkunegara 2007: 68) mengemukakan enam karakteristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yaitu: (1)
27
Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi, (2) Berani mengambil dan memikul risiko, (3) Memiliki tujuan realistik, (4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuan, (5) Memanfaatkan umpan balik yang konkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan, dan (6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. George M. Foster (1962) dalam bukunya Traditional Culture and Impact of Technological Change pada bagian Motivational Change menjelaskan bahwa motivasi berkaitan dengan situasi perubahan dan bukan hanya orang-orang yang merencanakan dan staf pekerja, tetapi semua orang yang terlibat dalam perubahan tersebut. Motivasi perubahan ditentukan oleh: keinginan untuk mendapatkan prestise atau status, keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, situasi kompetisi, pengakuan persahabatan, proses permainan, dan ajaran agama. Menurut Klocek (2008), motivasi merupakan penggerak dari belakang, pengaturan dan mengejar tujuan. Motivasi mengarahkan perilaku ke arah peningkatan, penurunan atau mempertahankan keadaan tertentu. Akibatnya orangorang termotivasi untuk meningkatkan atau mengembangkan hal-hal positif dan menghilangkan hal yang negatif. Akhirnya orang-orang termotivasi untuk mempertahankan kondisi status quo. Penelitian Motivasi Petani dalam Sistem Agroforestri. Setiap masyarakat berhak hidup layak, termasuk masyarakat yang berada di sekitar lahan kritis. Agar masyarakat yang bermukim pada lahan-lahan kritis dapat hidup layak, maka sistem pengelolaan lahan yang selama ini dilakukan harus diperbaiki, antara lain dengan penyiapan lahan, pembuatan embung dan penerapan sistem agroforestri. Arifin et al. (2009) dan Friday et al. (2000) menyatakan bahwa pengelolaan lahan kritis yang paling sesuai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Suharjito (2000) menjelaskan bahwa pengelolaan lahan kritis dengan agroforestri yang menerapkan pola pertanian berkelanjutan dapat menjamin kehidupan yang lebih baik. Temuan Suharjito di Desa Buniwangi Sukabumi menunjukkan bahwa produk hasil agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sosial dan komunal. Hasil temuan ini diperkuat oleh temuan Yuniandra et al. (2007), bahwa motivasi masyarakat di sekitar Gunung Cermai
28
melakukan pengelolaan lahan dengan sistem tumpang sari sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan pendapatan. Hal senada dikemukakan oleh Hafidah (2005), yang menemukan bahwa motivasi petani dalam mengelola Kahuma di areal hutan rakyat Kabupaten Muna didorong oleh motivasi untuk memenuhi pokok, luas garapan sempit, kemudahan dalam pemasaran dan peningkatan pendapatan. Tumbuhnya motivasi petani untuk mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri didorong untuk mendapatkan pendapatan yang lebih unggul. Meningkatnya pendapatan ini diperoleh melalui penganekaragaman tanaman, baik tanaman keras (kayu-kayuan) maupun tanaman semusim. Hasil penelitian Hayono (1996) di Kabupaten Wonosobo menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat dengan sistem tumpang sari dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, yaitu berasal dari tanaman pertanian untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan tanaman kayu sebagai tabungan yang dapat ditebang berdasarkan kebutuhan. Romansyah (2007) dan Dirgantara (2008) menemukan bahwa pengusahaan hutan rakyat dapat meningkatkan pendapat ekonomi keluarga, tetapi belum memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Hal senada dikemukakan oleh Khususyah (2009) bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan pola tumpang sari sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan untuk peningkatan pendapatan kontribusinya kecil. Awang (2003) yang melakukan penelitian tentang repong damar Krui Lampung, menemukan bahwa motivasi masyarakat mengelola repong damar didorong kebutuhan yang bersifat sosial budaya, yaitu masyarakat bangga terutama bagi orang tua mampu memberikan warisan kebun damar kepada anak-anaknya. Lindner (1998) menemukan bahwa motivasi karyawan bekerja dengan baik dan tekun sehingga dapat meningkatkan produktivitas terjadi karena dirangsang dengan kenaikan gaji, bonus dan promosi jabatan. Motivasi Petani dalam Menerapkan Sistem Agroforestri Penerapan hierarkhi kebutuhan Maslow pada petani yang mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri, kurang tepat karena pemenuhan kebutuhan petani sangat tergantung dari kondisinya. Petani yang memiliki status ekonomi
29
mapan tentu cara pemenuhan kebutuhannya berbeda dengan petani yang berstatus ekonomi lemah. Oleh karena itu, dalam memotivasi petani tidak tergantung dari satu teori motivasi saja, tetapi menggunakan beberapa teori motivasi yang relevan dengan kondisi petani yang bersangkutan. Pada umumnya petani yang mengelola lahan kritis hidup dalam kondisi subsisten, karena lahan cenderung sempit dan tidak subur sehingga hasilnya tidak surplus (dapat diperdagangkan). Petani termotivasi bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam kondisi yang demikian, petani berusaha untuk meningkatkan pendapatannya melalui penganekaragaman jenis tamanan atau komoditas, baik tanaman semusim atau tanaman tahunan. Penganekaragaman tanaman semusim diharapkan dapat memberikan sumbangan pada penyediaan kebutuhan pokok, sedangkan tanaman tahunan diharapkan dapat menjadi “tabungan tegak” yang sewaktu-waktu dimanfaatkan. Tercukupinya kebutuhan pokok dan tersedianya tabungan tegak merupakan suatu prestasi yang secara nyata dapat dilihat dan diberikan pengakuan oleh petani yang lain (Rabideau 2005), sehingga petani yang lain termotivasi untuk mengikutinya. Penerapan sistem agroforestri di lahan kritis dapat menciptakan peluang bagi para petani untuk dapat saling menukar pengalaman dan pengetahuan, terutama dalam pemilihan jenis tanaman. Untuk itu diperlukan komunikasi yang intensif yang kemudian berdampak pada intensitas hubungan sosial antar petani. Selain terjadi intensitas hubungan sosial yang lebih baik, dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memungkinkan terjadinya situasi kompetisi sehat untuk melakukan perubahan atau inovasi sehingga mendapat hasil yang lebih unggul (Foster 1962). Merujuk pada pengertian dan beberapa penelitian yang berhubungan dengan motivasi, maka yang dimaksud motivasi dalam penelitian ini adalah kekuatan yang mendorong petani dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk memenuhi kebutuhan pokok, pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis, intensitas hubungan sosial dan situasi kompetisi dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri.
30
Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kesempatan petani adalah situasi dan kondisi yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan kinerjanya. Kesempatan dapat berasal dari dalam atau dari luar lingkungan petani. Kesempatan yang berasal dari dalam lingkungan petani adalah luas lahan garapan yang menjadi hak kelola petani, sedangkan kesempatan dari luar lingkungan petani antara lain: sistem pemasaran, kebijakan insentif, peran institusi lokal, pengaruh kepemimpinan lokal dan peranan kelompok. Luas Lahan Garapan Sanders et al. (1999) mengemukakan bahwa kepastian kepemilikan lahan menjadi salah satu pengukit untuk mengembangkan hutan rakyat campuran atau agroforestri karena kegiatan agroforestri dengan menanam jenis tanaman keras berkayu membutuhkan waktu yang lama. Kondisi ini berdampak pada kepastian status lahan agar petani tidak menanggung risiko. Sadikin dan Samandawai (2007) mengemukakan bahwa kepastian kepemilikan lahan dalam pengembangan hutan rakyat harus dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat, karena kesalahan pemahaman dalam kepastian kepemilikan lahan akan menjadi sumber konflik antar masyarakat (land tenure). Senada dengan Sadikin dan Samandawai, Awang (2003) menjelaskan bahwa faktor utama terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan pihak pengelola HPH, Taman Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam adalah akibat tidak adanya kepastian kepemilikan lahan yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Luas lahan yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka tanaman yang dipilih cenderung monokultur, sedangkan petani yang lahan sempit lebih memilih menanam berbagai jenis tanaman (tumpang sari), agar dapat memenuhi kebutuhan subsistennya dan sekaligus mempunyai tabungan. Luas lahan garapan petani dapat berasal dari lahan milik sendiri, sewa atau membeli atau gadu dan menggarap lahan orang lain dengan sistem sakap. Ketiga sistem kepemilikan lahan ini akan memiliki pengaruh terhadap pengelolaannya, khususnya lahan yang digunakan untuk mengusahakan tanaman tahunan atau tanaman jangka panjang.
31
Kepastian Pasar Sistem Agroforestri Kepastian pasar merupakan salah satu kunci dalam pelaksanaan sistem agroforestri. Meskipun hasil agroforestri melimpah namun kalau kepastian pasar tidak berpihak pada petani, nasib petani akan tetap menderita, sehingga hal ini akan membunuh motivasi petani dalam mengelola lahannya dan membiarkan lahannya menjadi kritis kembali. Sanders et al. (1999) menjelaskan bahwa sistem pasar memegang peran penting dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Untuk menjamin terjadinya sistem pemasaran yang berpihak pada petani maka harus dibangun jaringan pemasaran yang dapat diakses oleh petani. Sistem pemasaran tersebut meliputi: aksesibilitas (jauh dekat) pasar, permintaan barang yang sesuai dengan pasaran, informasi harga pasar, ketersediaan barang hasil pertanian yang dipasarkan, dan keterlibatan pihak lain dalam pemasaran. Penny (1990: 33) menyebutkan bahwa sistem pemasaran menentukan semua harga komoditi dan sarana prasarana produksi yang dibutuhkan oleh petani yang bersifat luwes sesuai dengan penawaran dan permintaan. Arifin et al. (2009) menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan pasar akan sangat membantu pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Kedua infrastruktur tersebut sangat dibutuhkan oleh petani karena sistem agroforestri dilakukan pada lahan-lahan yang marginal dan biasanya terpencil. Pembangunan kedua infrastruktur tersebut memberikan dampak pada penekanan biaya distribusi produksi dan pemasaran. Dixie (2005) dan Taylor et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk menciptakan sistem pasar yang menguntungkan bagi petani kecil yang mengelola lahan-lahan kritis dan cenderung tempatnya jauh (marginal) yang dibutuhkan adalah: penyediaan angkutan transportasi murah (penyewaan angkutan secara berkelompok), penerapan teknologi lokal, penyediaan informasi pasar, penyediaan sarana transportasi, dan kebijakan pelarangan pembuatan ritelritel dekat petani. Tidak adanya infrastruktur untuk pemasaran, keterbatasan peralatan untuk penebangan dan pengangkutan, keterbatasan keterampilan dalam menebang dan mendesaknya kebutuhan, memaksa petani menjual hasil produk kayunya dengan harga yang murah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Tukan et al. (2000) yang menemukan bahwa produk kayu dipasarkan oleh petani dalam bentuk pohon
32
berdiri. Semedi (2006) menyatakan bahwa petani menjual kayu dalam bentuk gelondongan kepada pedangan/tengkulak, penjualan kayu dilakukan karena kebutuhan mendesak dan harus segera mendapatkan uang, tetapi petani yang telah memahami sistem pemasaran akan menjual produk kayunya dengan cara yang lebih menguntungkan. Hasil penelitian Priyadi (2010) menemukan bahwa petani menjual hasil produksinya bekerja sama dengan perusahaan kayu besar. Kebijakan Pemberian Insentif Insentif adalah pemberian dorongan atau bantuan yang berupa material maupun nonmaterial sehingga membangkitkan semangat seseorang untuk melakukan usahanya dengan lebih keras. Sundawati (2010) menjelaskan bahwa insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau stimulus, umumnya berasal institusi eksternal untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat agar bertindak atau mengadopsi suatu kegiatan atau program. Bentuk-bentuk insentif tersebut yaitu: (1) pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output yang lebih besar, (2) dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan, dan (3) isyarat (signal) positif bersifat meningkatkan motivasi dan mengindikasikan suatu tindakan. Insentif dibedakan menjadi dua yaitu: insentif langsung dan insentif tidak langsung. Insentif langsung seperti: bantuan dalam bentuk tunai (upah, hibah, subsidi, pinjaman lunak); dalam bentuk barang (bantuan pangan, sarana pertanian, ternak, bibit pohon); atau kombinasi tunai dan barang. Insentif tak langsung seperti: penyuluhan, bantuan teknis, pemasaran, pelatihan dan peringanan pajak. Uphoff (1986: 190) mengemukakan bahwa pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dalam memfasilitasi pembangunan secara keberlanjutan, perlu menyediakan insentif dalam bentuk pemberian bantuan antara lain: peringanan pajak dan pelatihan masyarakat yang dapat meningkatkan keterampilannya. Pemberian insentif dengan mengurangi pajak pada masyarakat yang melakukan
usaha
agroforestri
dapat
menumbuhkan
kinerja
masyarakat.
Pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan kondisi nyata dalam masyarakat menurut Popkin (1978) dan Scott (1976) dapat meningkatkan resistensi atau penolakan dan bahkan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan pengenaan pajak terhadap hasil hutan rakyat harus diimbangi
33
dengan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sanders et al. (1999) mengemukakan bahwa pengusahaan lahan kritis dengan sistem agroforestri merupakan usaha jangka panjang, membutuhkan perangsang terutama bantuan permodalan untuk menjamin kepastian usaha. Artinya bahwa fasilitas kredit murah dari pemerintah atau pihak lain sangat dibutuhkan dalam mengembangkan usaha yang membutuhkan waktu panjang dan kemungkinan risiko kegagalan sangat besar. Sejalan dengan Popkin, Scott dan Sanders, Bauman (2004) dalam artikelnya yang berjudul Free-Market Incentives for Innovation menjelaskan bahwa pemberian insentif sangat baik untuk pengembangan inovasiinovasi yang dapat menggerakkan pasar, karena insentif dapat berfungsi sebagai perlindungan dari usaha penerapan suatu inovasi. Peningkatan keterampilan melalui penyuluhan dan pelatihan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lahan kritis, terutama pemilihan rotasi atau pergiliran tanaman, pengolahan pasca panen dan pemasaran hasil usaha. Sanders et al. (1999) menjelaskan bahwa salah satu faktor pengungkit dalam membangun masyarakat khususnya dalam pengelolaan agroforestri adalah memberikan penyuluhan dan pelatihan yang intensif kepada masyarakat. Suharto (2005: 49) menyatakan bahwa pelatihan kepada masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengakses informasi, pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Riyanto (2005: 75-81) menyatakan bahwa proses pembelajaran masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan melalui simpul-simpul belajar dapat membuka ruang gerak bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengambil keputusan secara transparan, partisipatif dan akuntabel. JM. Nibbering (Sanders et al. 1999) menjelaskan bahwa untuk mengatasi degradasi lahan dan erosi di Pulau Jawa dilakukan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dengan memberikan insentif antara lain: bantuan bibit, pembentukan dan pembinaan kelompok tani, kredit, bantuan teknis dalam pemeliharaan dan pemanenan. Pemberian bantuan modal dalam bentuk kredit murah tanpa anggunan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui departemendepartemen terkait. Trend skema bantuan tersebut misalnya: Departemen Pertanian: pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP), FEATI, dan PNPM
34
Mandiri. Departemen Kehutanan melalui kelompok usaha produktif (KUP), kebun bibit rakyat (KBR) dan pelatihan teknis bagi masyarakat. Bentuk-bentuk bantuan atau insentif yang demikian dapat memberikan motivasi bagi masyarakat dalam mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri, apabila insentif tersebut sesuai dengan kebutuhan petani dan tepat sasaran. Peran Institusi Lokal Institusi
atau
kelembagaan
dapat
diartikan
sebagai
lembaga
kemasyarakatan (social institutions) atau pranata sosial. Institusi menunjuk pada adanya
unsur-unsur
yang
mengatur
pola
perilaku
warga
masyarakat.
Koentjaraningrat (2002) mengemukakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan atau hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan bermasyarakat. Bardhan (1989) mengemukakan bahwa institusi merupakan aturan-aturan sosial, kesepakatan (convension) dan elemen-elemen lain dari struktur kerja interaksional sosial. Menurut Manig (1993), institusi adalah sistem nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat, di mana aturan-aturan yang berlaku tersebut membatasi perilaku manusia yang menyimpang untuk membangun struktur sosial, ekonomi dan politik yang berkembang dalam masyarakat. North (1991) mengemukakan bahwa aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat dapat secara formal, informal dan penegakan hukum (low enforcement). Secara singkat, Yeager (1999) menjelaskan bahwa institusi merupakan aturan main (role of the game) yang berlaku dalam masyarakat. Institusi atau kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan bermasyarakat, setidak-tidaknya mengandung tiga komponen yaitu: (1) Batasan kewenangan (jurisdictions boundry); (2) Hak dan kewajiban (proferty right) yang ditentukan oleh hukum, adat, tradisi dan konsensus yang mengatur hubungan bermasyarakat; dan (3) Aturan representatif (role of representative) sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan. Berdasarkan keberadaannya institusi atau kelembagaan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek struktural dan kultural. Aspek struktural kelembagaan berupa organisasi/kelompok sosial merupakan wadah, tulang, ruang, dan rangka yang visual dan statis dari suatu kelembagaan. Aspek struktural, tersebut terdiri
35
dari: struktur umum, peran, hubungan antar peran (relation of role), kewenangan, kelembagaan, keanggotaan, klik atau tekanan (pressure), profile, dan pola kekuasaan. Aspek struktural kelembagaan ini disebut juga dengan perangkat keras (hardware) yaitu wadah yang menghasilkan seluruh orientasi dan gagasan yang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Aspek kultural kelembagaan (software) merupakan hal-hal yang lebih abstrak dan normatif yang menentukan jiwa suatu kelembagaan. Aspek kultural suatu kelembagaan meliputi: nilai, aturan, norma, kepercayaan, ide, gagasan, doktrin, keyakinan, kebutuhan dan orientasi. Aspek-aspek institusi sangat dibutuhkan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis seperti yang ada di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati. Aspek kultural yang berupa nilai-nilai, norma, adat istiadat dan budaya lokal (local wisdom) yang masih berlaku adalah budaya sambatan, wiwitan dan tali wangke. Sambatan merupakan budaya tukar menukar tenaga (bekerja tidak diupah), biasanya dilakukan pada waktu masa tanam dan mendirikan rumah. Wiwitan dilakukan petani pada waktu masa panen tiba. Budaya wiwitan ini mempunyai makna, bentuk rasa syukur petani kepada Allah SWT atas hasil panen yang telah diberikan, dan tali wangke merupakan hari nas atau hari tahun baru Islam tanggal satu Syuro. Pengaruh Kepemimpinan Lokal Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang tersebut dapat mengikutinya (Soekanto 2000, Gibson et al. 1994, Robbins 2003, Neuschell 2005 dan Margono 2009). Kepemimpinan berbeda dengan kekuasaan. Kepemimpinan kekuatannya pada pengaruh yang memungkinkan orang lain mengikuti secara sukarela, sedangkan kekuasaan adalah kekuatannya terletak pada kewenangan (otoritas) yang memaksa orang lain untuk melakukan perintahnya. Meskipun demikian, keduanya merupakan sumber kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain, yang didapatkan melalui: (1) kewenangan atau jabatan, (2) pengetahuan, dan (3) kepribadian. Kepemimpinan seseorang akan berhasil dengan baik, apabila pemimpin tersebut mempunyai pengetahuan dan pedoman tentang kepemimpinan, karena tanpa pedoman mustahil seorang pemimpin akan mendapakan kesuksesan. Menurut Kouzen dan Posner (1991), Maxwell (1995), Neuschel (2005: 46-49) dan
36
Margono (2009), pedoman yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: (1) memiliki visi; (2) disiplin; (3) memiliki kebijaksanaan yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai situasi; (4) memiliki keberanian; (5) bersikap rendah hati, kerendahan hati merupakan karakteristik terpenting dalam kehidupan seorang pemimpin, tidak sombong dan tidak adigang adigung adiguna tetapi harus andhap asor (Susetyo 2002); (6) mengambil keputusan, keputusan yang diambil harus didasarkan pada rasa keadilan; (7) mengembangkan persahabatan; (8) memahami situasi dan diplomasi; (9) mengembangkan kemampuan eksekutif
artinya harus mampu
menjalankan tugas utamanya; dan (10) memberikan kekuatan inspiratif yang mampu memberikan kekuatan berkembang bagi pengikutnya. Kepemimpinan masyarakat pedesaan dibedakan dalam dua bentuk yaitu pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal seperti: kepala desa dan perangkatnya, sedangkan pemimpin informal seperti: orang yang dituakan, tokoh masyarakat, pensiunan, guru, penyuluh atau mantan perangkat desa. Tipe kepemimpinan formal merupakan pemimpin yang memperoleh pengakuan atau hak/kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan kedudukannya, sedangkan tipe kepemimpinan informal merupakan pemimpin yang tidak memiliki jabatan, tetapi sumber kekuasaanya berasal dari kemampuan pribadinya. Peran pemimpin informal dalam pengelolaan lahan memberikan pengaruh yang sangat besar. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pemimpin informal dalam pengelolaan lahan antara lain: Nurhayati (2003) menyatakan bahwa peran tokoh masyarakat dan pemerintah setempat memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan hutan rakyat dan lahan-lahan kritis di Tanah Toraja. Suharjito dan Saputro (2008) menunjukkan bahwa kepemimpinan tokoh masyarakat sangat mempengaruhi pengelolaan hutan Kasepuhan di Banten Kidul. Suwignyo Utomo (2010) menjelaskan bahwa kepemimpinan kelompok tani memberikan pengaruh terhadap dinamika pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kuatnya pengaruh pemimpin informal dalam pengelolaan lahan kritis dengan menggunakan sistem agroforestri dengan penerapan teknologi dan inovasi. Menurut Rogers (2003), kuatnya pemimpin informal disebabkan oleh: (1) sering berhubungan dengan media massa, (2) mempunyai keterbukaan terhadap informasi, (3) sering
37
berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasinya besar, dan (5) status sosial ekonominya tinggi. Sejalan dengan konsep pemikiran Rogers tentang kuatnya pengaruh tokoh masyarakat sebagai opinion leaders, pengaruh pemimpin informal di perdesaan sangat ditentukan oleh kerelaan berkorban kesetiaan dan sifat kepanutannya. Sifat kepemimpinan yang demikian sangat dibutuhkan di Pulau Jawa, khususnya dalam mengelola lahan yang kritis seperti di Kabupaten Pati. Kartono (1982) dan Susetyo (2002) menyebutkan bahwa filosofi kepemimpinan masyarakat Jawa didasarkan pada sifat alam atau astabrata meliputi: (1) Bumi, harus mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama; (2) Api, harus mampu memberikan semangat dan motivasi untuk berbuat kebaikan, tidak rakus dan keji; (3) Air, pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, santun, tidak sombong dan tidak arogan; (4) Angin atau udara, memberikan hak hidup kepada masyarakat; (5) Matahari, harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat; (6) Bulan, harus mempunyai kelembutan yang menenteramkan, visioner, sifat arif dan bijaksana; (7) Bintang, harus dapat memberikan petunjuk dan jadi panutan; dan (8) Angkasa, harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Peranan Kelompok Tingkat efektivitas suatu kelompok dapat dilihat dari dinamika kelompok. Menurut pendekatan sosiologis dikenal ada sepuluh unsur dinamika kelompok (Margono 2003), yaitu: (1) tujuan (goal), (2) kepercayaan (belief), (3) sentimen (sentiment), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanction), (6) status peranan (role status), (7) kekuasaan (power), (8) jenjang (rank), (9) fasilitas (facility), dan (10) tekanan dan tegangan (stress and strain). Tujuan utama dalam berkelompok dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri adalah untuk mencapai tujuan bersama-sama. Tujuan kelompok tersebut harus sejalan dengan tujuan anggota kelompok, dengan demikian kelompok akan dinamis dan saling menjaga. Selain itu, manfaat berkelompok adalah membantu dalam memudahkan transfer pengalaman dan informasi. Oleh
38
karena itu, dengan berkelompok akan terjadi proses pembelajaran antar sesama anggota kelompok. Pengertian Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kurang berfungsi maksimal secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari sistem pengelolaan yang kurang tepat. Menurut Setiawan (1996), lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi, misalnya sengketa pemilikan lahan, sulitnya pemasaran hasil atau harga produksi yang sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar. Menurut Wahono (2002: 3), lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air, unsur produksi pertanian, atau unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Departemen Kehutanan (Dephut) (2009) mendefinisikan lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya, baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Selanjutnya Dephut memberikan kriteria lahan kritis sebagai berikut: (1) lahan kosong tidak produktif, (2) lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm, (3) lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi, (4) lahan kosong dan kemiringan lebih dari 15 persen, (5) lahan dengan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, (6) lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan, (7) lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 m, dan (8) lahan rawan bencana. Deptan (1991) mendefinisikan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak/kurang produktif dari segi pertanian karena pengelolaan dan penggunaannya
39
tidak atau kurang memperhatikan konservasi tanah. Sitorus (2009:23) mendefinisikan lahan kritis adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan lahan, kehilangan atau perubahan kenampakan (feature) lahan yang tidak dapat diganti. Dephutbun (2002) menetapkan sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan yaitu: (1) Fungsi kawasan hutan lindung. Tingkat kekritisan lahan ditentukan oleh tingkat penutupan lahan/penutupan tajuk, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengamanan lahan; (2) Fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan. Tingkat kekritisan ditentukan oleh tingkat penutupan lahan permanen, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengamanan lahan; dan (3) Fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Tingkat kekritisan ditentukan oleh kemampuan produktivitas lahan yang dikelola secara tradisional, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen pengelolaan, yaitu penerapan konservasi tanah untuk setiap lahan. Hakim (Angga et al. 2005) menyatakan bahwa ciri utama lahan kritis adalah berkesan gersang, muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Menurut Friday et al. (2000), lahan kritis alang-alang merupakan lahan yang memiliki pH tanah relatif rendah, mengalami pencucian tanah tinggi dan ditemukan rizoma dalam jumlah banyak sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan. Rahim (2006: 18-21) menyatakan bahwa penyebab terjadinya lahan kritis yaitu: (1) tekanan penduduk yang tinggi akan lahan, (2) perladangan berpindah, (3) padang penggembalaan yang berlebihan, (4) pengelolaan hutan yang tidak baik, dan (5) pembakaran yang tidak terkendali. Fujisaka dan Carrity (1989) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis yaitu lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara. Penilaian suatu lahan dikatakan kritis dilihat dari kemampuan lahan, untuk mengetahui kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya risiko ancaman dalam pemanfaatan lahan. Rahim (2006: 70-71) menghubungkan kelas kemampuan lahan dan risiko ancaman secara rinci pada Tabel 1.
40
Tabel 1. Kelas Kemampuan Lahan, Sifat, dan Risiko Ancaman Kelas
Topografi
Sifat Lahan
Risiko Ancaman
I
Hampir datar
Pengairan baik, mudah diolah, kemampuan Ancaman erosi kecil, tidak menahan air baik, subur, dan respon terancam banjir terhadap pupuk.
II
Lereng landai
Struktur tanah kurang baik, pengolahan harus hati-hati,
Ada ancaman erosi,terancam banjir
III
Lereng miring bergelombang
Untuk tanaman semusim tanahnya padas, kemampuan penahan air rendah.
Mudah tererosi
IV
Lereng miring dan Lapisan tanah tipis, kemampuan menahan Sangat mudah tererosi dan sering berbukit air rendah, tanaman semusim hanya sekali. banjir.
V
Datar
VI
Lereng agak curam Tanah berbatu-batu, mengandung garam natrium sangat tinggi
Erosi kuat, tidakcocok untuk pertanian.
VII
Lereng curam
Tanah berbatu, hanya untuk padang rumput
Erosi sangat kuat, perakaran sangat dangkal
VIII
Lereng sangat curam
Berbatu dan kemampuan menahan air sangat rendah
Tidak cocok untuk pertanian lebih sesuai dibiarkan (alami)
Tidak cocok untuk pertanian, tanahnya berbatu-batu atau berkerikil
Selalu tergenang air
Sumber: Rahim (2006), disadur
Masyarakat Sekitar Hutan Horton dan Hunt (1991: 58-59) menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok. Polak (1976: 212) dan Sudibyo (1998:50) menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu masyarakat perdesaan (rural) dan masyarakat perkotaan (urban), perbedaan yang cukup nyata di antara keduanya adalah pada kegiatan kekerabatan, budaya, jasa, dan ekonomi. Koentjaraningrat (2002: 146) menjelaskan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu identitas bersama. Menurut Koentjaraningrat, kesatuan suatu masyarakat memiliki ciri-ciri antara lain: adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga kota ataupun desa, suatu komunitas dalam waktu, dan suatu rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.
41
Struktur budaya masyarakat antara satu daerah dengan yang lainnya tidak sama. Sebagai contoh: Pada masyarakat Bali berlaku sistem kasta dan pada masyarakat Jawa berlaku campuran antara agama Islam dan Hindu. Klasifikasi masyarakat Jawa dibagi atas tiga sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial tersebut yaitu: (1) Abangan, dikaitkan dengan pesta-pesta ritual untuk berbagai makhluk halus dan jahat yang mengganggu dan menyengsarakan masyarakat; (2) Santri, penekanan pada pelaksanaan ajaran agama Islam dan syariatnya; dan (3) Priyayi, perwujudannya tampak dalam berbagai sistem simbol yang berkaitan dengan etiket, tari-tarian, dan berbagai bentuk kesenian, pakaian, dan bahasa (Geertz 1964). Struktur budaya masyarakat Kabupatan Pati cenderung mengikuti pola pembagian masyarakat yang dilakukan oleh Geertz. Secara garis besar struktur masyarakat Kabupaten Pati terbagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) Bagian utara, sebagian besar penganut priyayi, di mana masyarakatnya hidup di daerah pantai, dan terdapat berbagai macam kesenian sebagai simbol kebudayaan; (2) Bagian barat, sebagian besar sebagai santri yang berada di sekitar Gunung Muria; dan (3) Bagian selatan digolongkan sebagai masyarakat abangan. Kabupaten Pati bagian selatan berada di sekitar Pegunungan Kendeng, salah satu komunitas yang mendiami adalah “Komunitas Samin” yang mempunyai pola kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya (Sunaryo 2008). Selain tiga struktur pembagian masyarakat di Kabupaten Pati tersebut, juga berkembang ajaran-ajaran kejawen, yang bersifat mistik (de Jong 1976: 10-11) seperti: Pangesthu, Ilmu Sejati, Sapta Dharmo, Sumarah dan Perwathin. Masyarakat perdesaan sebagai suatu sistem sosial mempunyai subsistem sosial budaya yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok subsistem sosial budaya yang merupakan struktur dan proses dalam kehidupan bermasyarakat adalah: (1) Kepercayaan yang merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran (mutlak); (2) Perasaan dan pikiran, yakni suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun sosial; (3) Tujuan, yang merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai
42
dengan cara mengubah sesuatu atau mempertahankannya; (4) Kaidah atau norma yang merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas; (5) Kedudukan dan peranan; kedudukan (status) merupakan posisi-posisi tertentu secara vertikal, sedangkan peranan (role) adalah hak-hak dan kewajiban baik secara struktural maupun prosedural; (6) Pengawasan, merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat menaati normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat; (7) Sanksi, yakni persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu; (8) Fasilitas, merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, dan telah ditentukan terlebih dahulu; (9) Kelestarian dan kelangsungan hidup; dan (10) Keserasian antara kualitas kehidupan dengan kualitas lingkungan (Soekanto 2000: 482-483). Pada dasarnya, masyarakat selalu berada dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala perilaku anggota masyarakat senantiasa diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Pranata/lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting (Horton dan Hunt 1991). Pranata sosial pada hakikatnya tidak bersifat empirik sehingga unsur-unsurnya tidak dapat diamati dalam wujud fisik melainkan dapat diamati melalui konsep/konstruksi berpikir, dengan demikian, unsur-unsurnya bukan individu manusia (pelaksana fungsi) tetapi kedudukan para individu dan aturan tingkah laku (norma sosial). Tujuan dari pranata sosial adalah untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpelihara sekaligus agar kehidupan sosial warga masyarakat dapat berjalan tertib dan lancar sesuai kaidah yang berlaku. Masyarakat di sekitar hutan biasanya memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat, patuh terhadap norma atau budaya yang berlaku. Mereka hidup dalam suasana yang harmonis, namun sulit untuk menerima kehadiran orang yang belum dikenalnya dengan baik, tetapi, jika sudah kenal, masyarakat sekitar hutan akan mudah untuk diajak bekerjasama dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Karakteristik Petani Karakteristik petani adalah kondisi yang melekat pada individu petani, sehingga memiliki kemampuan untuk mengelola lahan kritis dengan sistem
43
agroforestri. Karakteristik petani ini diuraikan melalui beberapa peubah, yaitu: umur, pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pengalaman melaksanakan agroforetsri dan keterdedahan terhadap informasi. Umur Petani Kemampuan bekerja dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri dipengaruhi oleh tingkat umur. Dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri membutuhkan umur dalam taraf produktif karena beban pekerjaan masih bersifat intensif. Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa untuk menyerap paling banyak suatu teknologi inovasi adalah pada umur produktif, sedangkan umur tingkat lanjut lebih lamban. Soetrisno (1999) menyatakan bahwa umur rata-rata petani Indonesia cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya, dan petani yang berusia tua cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi teknologi. Menurut Padmowihardjo (1999: 36-37), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor psikologis dalam belajar. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait dengan fungsi kerja indera yang semuanya mempengaruhi daya belajar. Pada masa remaja, yaitu menjelang kedewasaan, perkembangan jauh lebih maju, walaupun tidak banyak terjadi perubahan intelektual. Salkind (1985: 31-32) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu ukuran perkembangan. Meskipun demikian, dalam perkembangannya terdapat perdebatan apakah umur berpengaruh terhadap perkembangan dan pencapaian kemampuan tertentu sebagai wujud perkembangan, di samping bahwa umur akan mencirikan suatu perkembangan tertentu. Hasil penelitian Schaie (Salkind 1985: 32), menemukan bahwa perbedaan umur menunjukkan perbedaan-perbedaan kematangan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu yang bersangkutan. Pendidikan Formal Pendidikan formal adalah pendidikan yang ditempuh melalui jalur formal. Jalur formal dalam pendidikan dimulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan umum, dan perguruan tinggi. Pendidikan formal petani
44
dihitung berdasarkan lama pendidikan petani bersekolah yang kemudian dikonversi dalam tingkatan sekolah (SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi). Padmowihardjo (1999: 18-19) menyatakan bahwa pengalaman belajar akan mempengaruhi proses belajar seseorang. Apabila seseorang pernah berpengalaman terhadap sesuatu hal yang kurang menyenangkan, apabila ia diberi kesempatan untuk belajar ia sudah mulai pesimis untuk berhasil, demikian juga sebaliknya, jika berhasil orang tersebut akan optimis dapat berhasil. Pengaturan hasil belajar yang tertata dengan baik sebagai hasil belajar akan membentuk suatu peta, yang disebut dengan peta kognitif. Terkait dengan interaksi dengan pengelolaan lingkungan khususnya dalam pengelolaan lahan. Sudjana (2004: 25) menjelaskan bahwa pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang dimiliki seseorang dari hasil belajar. Selanjutnya Robbins (2003) menyatakan bahwa pendidikan sebagai sarana dan prasarana untuk mempersiapkan perubahan perilaku yang lebih baik. Pendidikan Non-Formal Sumpeno (2004: 1-2) menjelaskan bahwa peningkatan kemampuan belajar tidak hanya dilakukan secara formal tetapi juga melalui pelatihan, lokakarya, kunjungan silang, magang, on the job training. Selain itu dapat dilakukan dengan cara pelatihan dan sekolah lapangan untuk masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan dari pelaksanaan pelatihan harus dibuat panduan latihan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Senada dengan Sumpeno, Davies (2005: 34-35) menjelaskan bahwa pelatihan dilakukan sebagai jawaban atas perubahan yang terjadi dan untuk memenuhi kebutuhan karena adanya masalah, tantangan atau tuntutan pengembangan. Mangkunegara (2007: 44) mendefinisikan pelatihan adalah usaha yang dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis agar pegawai dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Selanjutnya Hasibuan (2007: 72-73) menjelaskan pengembangan pegawai melalui dua kelompok kegiatan, baik secara informal maupun formal. Pengembangan secara informal adalah upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan diri dengan cara mempelajari buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan, sedangkan pengembangan secara formal adalah upaya peningkatan
45
kemampuan pegawai dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pengembangan secara formal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan pada masa yang akan datang. Pengalaman dalam Bertani Menurut Padmowihardjo (1999: 19), pengalaman seseorang merupakan suatu pengetahuan yang dialami orang tersebut dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada situasi berikutnya. Dalam mengelola usahataninya, petani banyak menggunakan sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan atau feeling (Tohir 1983:180). Menurut Lubis dan Endriatmo (1991: 67), beberapa cara bertani dari para pemuda berasal dari interaksi dengan orang tua. Pengalaman yang kurang menyenangkan dalam bekerja pada sektor ini berpengaruh terhadap pilihan untuk melanjutkan bertani sebagai suatu pilihan usaha. Pengalaman Melaksanakan Agroforestri Masyarakat telah berpengalaman dalam menerapkan sistem agroforestri yang dikenal dengan sistem tumpang sari atau sistem agroforestri sederhana (Friday et al. 2000). Sistem tumpang sari ini dilakukan oleh masyarakat pada lahan-lahan yang berada di sekitar rumah dan tanah garapan yang berbentuk tegalan atau ladang. Bentuk tumpang sari juga diterapkan oleh Perhutani dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Keterdedahan terhadap Informasi. Suatu komunikasi publik akan berhasil apabila publik sasaran terdedah oleh aktifitas komunikasi yang dilakukan perusahaan. Keterdedahan dipakai sebagai padanan kata media exposure yang umum dipakai dalam penelitian komunikasi melalui media massa. Keterdedahan berkaitan dengan aktifitas pencarian informasi berupa aktifitas mendengarkan, melihat, membaca, atau
46
secara lebih umum mengalami, dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media. Pemberian informasi kepada publik bertujuan untuk mengubah perilaku publik terhadap informasi yang diberikan yang meliputi perubahan atau peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap terhadap perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, keterdedahan publik sasaran perlu mendapatkan perhatian perusahaan melalui pemilihan model dan aktivitas komunikasi publik yang tepat, baik dengan melalui media massa maupun melalui komunikasi interpersonal. Sumardjo et al. (2010a) dalam bukunya Cyber Extension menjelaskan bahwa untuk mendukung revitalisasi penyuluhan pertanian dibutuhkan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang menyediakan berbagai informasi tentang kebutuhan petani antara lain: informasi pasar, input produksi dan trend konsumen. Sejalan dengan pemikiran Sumardjo tersebut, Margono (2003: 41) menjelaskan bahwa kebutuhan informasi petani bermacam-macam, oleh karena itu penyuluh harus
mampu
menyajikan
informasi
tersebut
secara
kafetaria
yang
dikombinasikan dengan kebutuhan penyuluhan yang relevan, sehingga petani akan memilih informasi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Dukungan Penyuluh dalam Penerapan Sistem Agroforestri Pada saat ini pengertian penyuluhan telah diartikan bermacam-macam sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan para pihak yang berkepentingan. Istilah-istilah yang bersumber pada pengertian penyuluhan yang berkembang dalam masyarakat antara lain: pemberdayaan masyarakat, pendampingan, advokasi, pekerja sosial dan lain sejenisnya. Namun, jika dicermati secara mendalam perilaku dan substansi yang disampaikan adalah penyuluhan. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kesempatan ini dipaparkan definisi penyuluhan menurut para pakar antara lain: Margono (2003), van den Ban dan Hawkins (1999), Asngari (2008) dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Definisi Penyuluhan Istilah-istilah penyuluhan yang digunakan oleh beberapa negara (Margono 2003, dan van den Ban dan Hawkins 1999) sebagai berikut: (1) voorlichting (Bahasa Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan Jerman) yang
47
mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3) fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan. Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Merujuk dari asal perkataan tersebut, dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, yang membutuhkan agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Asngari (2008: 3) mendefinisikan bahwa penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni menjadi orang yang makin moderen. Hal ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Makna orang moderen sebagaimana disebutkan oleh (Inkeles 1966, Inkeles dan Smith 1974, diacu dalam Asngari 2008: 3-4), adalah sebagai berikut: (1) Terbuka dan siap menerima perubahan (pembaruan): pengalaman baru, inovasi baru, penemuan baru yang lebih baik, pandangan baru, dan lain-lain; (2) Orientasinya realistik demokratis: berkecenderungan menerima pendapat lingkungan; (3) Berorientasi masa depan dan masa kini, dan bukannya masa silam; (4) Hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan; (5) Orang belajar menguasai lingkungan (tidak pasrah); (6) Rasa percaya diri tinggi/optimis (dunia di bawah kontrolnya); (7) Penghargaan pada pendapat orang lain (tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan); (8) Memberi nilai tinggi pada pendidikan formal (juga informal dan non-formal); (9) Percaya pada IPTEKS dan perkembangannya; dan (10) Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasinya. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya
48
lainnya, sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas, efesiensi usaha, pendapatan, kesejahteraannya, dan meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan”. Selanjutnya yang disebut dengan pelaku utama kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan adalah masyarakat di sekitar hutan, petani, nelayan, peternak dan pembudidaya ikan beserta keluarga intinya. Dalam undangundang tersebut, yang disebut penyuluh selain penyuluh PNS, juga ada penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Sedangkan penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. van den Ban dan Hawkins (1999) mendefinisikan bahwa penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga dapat membuat keputusan yang benar. Secara sistematis pengertian penyuluhan tersebut adalah proses yang: (1) Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) Membantu petani agar sadar terhadap
kemungkinan
timbulnya
masalah
dari
analisis
tersebut;
(3)
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani; (4) Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; (5) Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; (6) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan (7) Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Margono (2003) menjelaskan bahwa penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran; tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan
49
kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Selanjutnya Margono (2003: 60-67) menyebutkan bahwa paradigma baru penyuluhan pertanian merupakan perubahan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, tingkat lokal, tingkat daerah, nasional, regional maupun internasional, maka pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang situasi baru dan tantangan masa depan yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian. Paradigma baru ini bukan untuk mengubah prinsip-prinsip penyuluhan, tetapi diperlukan untuk mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru itu. Paradigma baru itu adalah sebagai berikut: (1) Jasa informasi: bertani adalah profesi para petani; (2) Lokalitas: akibat dari adanya desentralisasi dan otonomi daerah, penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerjanya masing-masing; (3) Berorientasi agribisnis: usahatani adalah bisnis, karena semua petani
melakukan
usahatani
dengan
motif
mendapatkan
keuntungan;
(4) Pendekatan kelompok: materi-materi penyuluhan pertanian disajikan kepada para petani tidak dengan pendekatan individual, tetapi melalui pendekatan kelompok, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang memerlukan pendekatan individual; (5) Fokus pada kepentingan petani; (6) Pendekatan humanistik-egaliter: agar berhasil baik, penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik dalam arti mereka dihadapi sebagai manusia yang memiliki kepentingan, kebutuhan, pendapat, pengalaman, kemampuan, harga diri, dan martabat; (7) Profesionalisme: arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula; (8) Akuntabilitas: maksud dari akuntabilitas atau pertanggungjawaban adalah bahwa setiap hal yang dilakukan dalam rangka penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar proses
50
dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan; dan (9) Memuaskan petani: apapun yang dilakukan dalam penyuluhan pertanian haruslah membuahkan rasa puas pada para petani yang bersangkutan. Falsafah Penyuluhan Pemahaman tentang falsafah sesuatu sangat penting sebagai dasar yang pengarah suatu kegiatan. Falsafah membawa kita pada suatu pemahaman yang mendasari atau menjadi landasan melaksanakan kegiatan yang lebih layak untuk mendapatkan hasil yang prima. Hasil kegiatan yang prima tersebut pada akhirnya akan memberikan kepuasan semua pihak, baik para agen pembaharuan atau penyuluh, masyarakat klien sebagai sasaran penyuluhan, maupun pihak-pihak lainnya Asngari (2008: 4-7) mengelompokkan falsafah penyuluhan menjadi tujuh macam yaitu: (1) Falsafah mendidik/pendidikan menekankan bahwa klien itu tidak "dipaksa-terpaksa dan terbiasa” tetapi pada pengembangan potensi individu manusia secara maksimal; (2) Falsafah pentingnya individu, sebab potensi individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan; (3) Falsafah demokrasi. Ide dasarnya adalah kepercayaan kepada martabat dan integritas manusia, dengan kecerdasannya dapat bertindak mandiri dan bertanggung jawab; (4) Falsafah bekerja bersama; (5) Falsafah “membantu klien membantu diri sendiri”; (6) Falsafah kontinu atau berkelanjutan, sesuai dengan era saat ini; dan (7) Falsafah "Membakar Sampah" (secara tradisional, baik individual maupun kelompok), artinya dalam memberikan penyuluhan harus dengan kesabaran tidak terburu-buru, dan disesuaikan dengan kondisi yang disuluh. Wiriaatmadja (1978: 22–23) menjelaskan bahwa falsafah penyuluhan mengacu pada falsafah pendidikan, karena penyuluhan adalah pendidikan luar sekolah. Falsafat pendidikan dibedakan menjadi tiga macam yaitu: (1) Idealisme adalah paham yang mementingkan kenyataan dalam pikiran dan kebenaran adalah mutlak adanya; (2) Pragmatisme adalah paham yang didasarkan pada pengalaman sehingga setiap orang mempunyai latar belakangnya masing-masing; dan (3) Realisme, paham yang menyatakan bahwa kenyataan itu terpisah dari orangnya, tetapi adanya di alam. Oleh karena itu, manusia harus menyesuaikan diri dengan
51
lingkungan alam sekitarnya. Dari ketiga falsafah pendidikan tersebut, kemudian dikombinasikan menjadi falsafah penyuluhan yaitu falsafah yang eklektik. Peranan Penyuluh Secara konvensional peran penyuluh hanya dibatasi untuk menyampaikan inovasi dan memberikan penerangan kepada masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, peran penyuluh tersebut kemudian berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat, artinya penyuluh berupaya untuk membantu memandirikan masyarakat sehingga masyarakat dapat memecahkan masalahnya dan dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan. Oleh karena itu, seorang penyuluh harus dapat menciptakan rasa kepercayaan dari masyarakat sehingga masyarakat dapat menerimannya. Menurut Lewin (Mardikanto 1996), terdapat tiga peran yang dilakukan oleh penyuluh: (1) Pencairan diri dengan masyarakat, (2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan, dan (3) Pemantapan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa peran penyuluh yang harus dilakukan adalah: (1) Membantu petani dapat melihat secara nyata permasalahannya sehingga dapat mengambil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut, (2) Membantu petani mengambil keputusan dengan cara memberikan alternatif pilihan-pilihan dengan mengembangkan wawasan petani dalam menentukan pilihan tersebut, (3) Menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh petani, dan (4) Membantu proses belajar antar petani yang sesuai dengan nilai dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat berubah. Sesuai dengan perkembangan informasi teknologi yang semakin maju, maka peran penyuluh adalah membantu masyarakat untuk memahami perkembangan informasi teknologi yang dibutuhkan. Mardikanto (2009) dan Najiyati et al. (2005: 116-119) menyatakan bahwa penyuluh dalam proses pemberdayaan berfungsi atau berperan sebagai: (1) Motivator yaitu para penyuluh membangkitkan motivasi dalam rangsangan yang memprakarsai pengenalan isu-isu yang berkembang dan keinginan masyarakat, agar masyarakat tergerak serta mempengaruhi melalui saran-saran yang diberikan; (2) Fasilitator yaitu para penyuluh harus mampu memberikan pelayanan kepada petani serta memfasilitasi setiap kegiatan petani, (3) Inspirator yaitu para
52
penyuluh membina dan memelihara hubungan dengan petani dalam rangka peningkatan pendapatan petani, (4) Mediator atau jembatan penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Penyuluh menjadi “duta” penyampai informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dan petani, dan (5) Analisator yaitu melakukan pengamatan keadaan (sumber daya alam, perilaku masyarakat, kemampuan dana dan kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat sasaran, melakukan analisis tentang alternatif pemecahan masalah. Sistem Penyuluhan Pada dewasa ini keberhasilan penyuluhan di berbagai bidang terasa mengalami kemunduran dibandingkan pada tahun 1980-an. Masyarakat pada umumnya merasakan penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tidak ada manfaaatnya lagi, sehingga masyarakat cenderung untuk mengembangkan sendiri kemampuannya atau mencari sumber pengetahuan yang bukan bersumber dari penyuluh. Kekurangtertarikan masyarakat terhadap penyuluh tentunya didasari oleh beberapa sebab, antara lain (Swanson 2008) orientasi penyuluhan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan permintaan pasar. Kondisi ini memicu di beberapa negara misalnya: Cina, Bangladesh, India dan Thailand mengubah orientasi sistem penyuluhannya, yang lebih difokuskan pada tingkat kabupaten (didesentralisasikan). Mardikanto (2009) mengemukan bahwa orientasi sistem penyuluhan pada saat ini sudah saatnya untuk dilakukan revitalisasi agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Mardikanto mensinyalir bahwa beberapa sumber kelemahan penyuluhan antara lain: (1) Penggunaan istilah penyuluhan yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang tidak memahami filosofi penyuluhan sehingga penyuluhan kehilangan “makna” yang sesungguhnya, (2) Profesionalisme penyuluh, dan (3) Unsur-unsur sistem penyuluhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agar penyuluhan dapat kembali berkenan di hati masyarakat dan menjadi sumber inspirasi pembangunan di masa yang akan datang, maka orientasi penyuluhan harus dibenahi dari hulu sampai hilir, tidak secara parsial tetapi secara holistik. Menurut Rivera (1996), ada enam point utama memperbaiki pelaksanaan penyuluhan yaitu: (1) Kerangka kebijakan pemerintah harus mendukung
53
kebutuhan penyuluhan, (2) Penyuluhan berfokus pada bidang sektoral, (3) Melibatkan semua kelembagaan yang mendukung penyuluhan, (4) Manajemen organisasi penyuluhan ditata dengan baik, (5) Partisipasi lokal dikembangkan, dan (6) Berorientasi pada kebutuhan petani. Margono (2003: 39-43) menjelaskan bahwa untuk menghadapi perubahan dan situasi baru, maka sistem penyuluhan ke depan harus: (1) Konfirmasi definisi penyuluhan pertanian, (2) Perwilayahan daerah penyuluhan, (3) Didasarkan pada hasil kajian lokal, (4) Penyuluhan disajikan dalam sistem kafetaria, (5) Pemanfaatan media massa yang lebih luas, (6) Pembinaan kelompok dinamis, dan (7) Fasilitasi kelompok-kelompok tani. Senada dengan Margono, Blum (2007) berpendapat bahwa orientasi penyuluhan harus diubah, sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Orientasi Kelembagaan Sistem Penyuluhan No
Dari
Ke
1.
Satu lembaga, sebagai penyedia layanan
Pluralistik, publik dan swasta sebagai penyedia layanan
2.
Penyuluhan sebagai tugas pemerintah
Peran dan tugas stakeholder (publik, swasta dan masyarakat sipil)
3.
Cakupan nasional oleh sektor publik
Sektoral yang didukung oleh kebutuhan pasar
4.
Terpusat
Desentralisasi
5.
Berfokus pada teknologi
Pemecahan masalah dan berorientasi pasar
6.
Pembangunan bidang pertanian
Pembangunan pertanian dan perdesaan
7.
Hirarkhi, garis komando
Horizontal, kolaboratif dan tim multidisplin
Sumber: Magdalena Blum, FAO Roma Workshop Skopje 2007
Blum (2007) mengemukakan bahwa pada saat ini globalisasi dunia telah mempengaruhi bidang pertanian. Sistem layanan penyuluhan yang dilakukan pada tahun 1990-an, sudah tidak relevan, tidak efisien, tidak efektif dan target yang ditetapkan tidak baik. Oleh karena itu sistem penyuluhan harus diubah menjadi pluralistik yang dapat dilakukan oleh publik, swasta dan masyarakat sipil, serta penyuluhan berorientasi pada permintaan pasar (Swanson 2008). Merunut pendapat para pakar tersebut, maka sistem penyuluhan sebagai bentuk dukungan penyuluh dalam penelitian ini adalah suatu rangkaian unsurunsur penyuluhan yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya sehingga proses penyuluhan memberikan manfaat yang dapat dirasakan oleh
54
masyarakat. Unsur-unsur yang mendukung terhadap intervensi penyuluhan dalam penelitian ini, yaitu: kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan, metode penyuluhan, materi penyuluhan, fasilitas penyuluhan, kelembagaan penyuluhan, intensitas penyuluhan, dan kerja sama penyuluhan. Kompetensi Penyuluh. Menurut Spencer dan Spencer (1993: 9), kompetensi adalah karakteristik yang mendasari perilaku seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya (an underlying characteristic's of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situation). Sebagai karakteristik individu yang melekat, kompetensi merupakan bagian dari kepribadian individu yang relatif dan stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari perilaku individu yang bersangkutan, di tempat kerja atau dalam berbagai situasi. Untuk itu kompetensi seseorang mengindikasikan kemampuan berperilaku seseorang dalam berbagai situasi yang cukup konsisten untuk suatu perioda waktu yang cukup panjang, dan bukan hal yang kebetulan semata. Kompetensi memiliki persyaratan yang dapat menduga yang secara empiris terbukti merupakan penyebab suatu keberhasilan. Palan (2007: 6) menyatakan kompetensi adalah kemampuan karakteristik seseorang yang didasarkan pada perilaku yang mengembangkan motif, kepribadian, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan dan keahlian yang dapat digunakan untuk ujuk kerja yang unggul. Menurut definisi ini, kompetensi merupakan karakteristik yang berbeda yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan unjuk kerja yang maksimal di tempat kerjanya. Kompetensi merupakan karakter dasar orang yang digambarkan dalam cara berperilaku dan berpikir, yang berlaku dalam cakupan waktu yang sangat luas. Spencer dan Spencer (1993: 9-11), Palan (2007: 8) dan Gordon (Mulyasa 2003: 39-40) menjelaskan bahwa dalam kompetensi setidak-tidaknya mencakup lima jenis karakteristik yaitu: (1) pengetahuan (knowledge), (2) keterampilan (skill), (3) nilai (values), (4) konsep diri (selft concept), dan (5) motif (motives). Sumardjo (2008: 88-90) mengemukakan lima jenis sumber kompetensi yang dikembangkan dalam penyuluhan yaitu: (1) Motif (motives) adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan; (2) Sifat bawaan (traits) adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak
55
mandiri yang membuat penyuluh berperilaku tertentu (secara otonom) dalam rnerespons sesuatu dengan cara tertentu; (3) Konsep diri (self-concept) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki penyuluh; (4) Pengetahuan (knowledge) adalah informasi yang dimiliki penyuluh untuk bidang tertentu (terkait dengan substansi inovasi, metoda, teknik, dan pendekatan, serta pengelolaan program penyuluhan yang sesuai dengan potensi, permasalahan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat); dan (5) Keterampilan (skills) adalah kemampuan penyuluh untuk melaksanakan suatu tugas baik secara fisik maupun mental. Menurut Spencer dan Spencer (Sumardjo 2008), menyatakan bahwa kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: (1) threshold, dan (2) differentiating. Threshold competencies merupakan karakteristik utama, yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Dalam konteks penyuluhan, keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah, dalam konteks penyuluh, menyangkut orientasi motivasi melaksanakan penyuluhan. Seorang penyuluh yang motivasinya mengembangkan kompetensi petani agar dapat meraih kesejahteraannya yang lebih tinggi, akan berkinerja lebih tinggi dibanding penyuluh yang motivasinya hanya sekadar melaksanakan tugas-tugas mencapai target produksi yang telah ditetapkan oleh atasannya. Senada dengan Spencer dan Spencer (1993) dan Sumardjo (2008), Ruky (2003:110) membagi kompetensi mejadi dua bagian, yaitu: (1) Kompetensi inti (core competencies) adalah kelompok kompetensi yang harus dimiliki oleh semua orang dalam organisasi. Contoh kelompok core competency: terfokus pada pelanggan, kesadaran bisnis, manajemen perubahan, orientasi pada prestasi atau output, komunikasi, kerjasama kelompok, kepemimpinan, mengembangkan orang lain, berpikir analitis, dan pemecahan masalah; dan (2) Kompetensi bidang (specific job competencies) adalah kompetensi yang diperlukan oleh setiap pejabat
56
struktural sesuai dengan bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kompetensi bidang merupakan karakteristik pribadi yang spesifik dengan bidang pekerjaan yang dilaksanakan serta pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang lebih bersifat teknis. Hasil penelitian yang berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki oleh penyuluh di berbagai tempat, antara lain: Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur, Bambang (2008) di Jawa Barat dan Huda (2010) di Universitas Terbuka, serta hasil penelitian perubahan perilaku penyuluh lainnya yaitu Subagio (2008) tentang kapasitas petani di Jawa Timur menunjukkan bahwa kompetensi para penyuluh rendah. Menurut Sumardjo (2008), rendahnya kompetensi penyuluh antara lain berkaitan dengan beberapa hal berikut ini: (1) Sejalan dengan implementasi otonomi daerah, komitmen pemerintah terhadap penyuluhan melemah. Pemerintah daerah di beberapa tempat kurang memiliki komitmen dukungan terhadap eksistensi dan pengembangan penyuluhan, sehingga kurang memperhatikan pengembangan kompetensi para penyuluh; (2) Kurangnya dukungan keberlanjutan pengembangan inovasi dari lembaga pelatihan bagi penyuluh yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan keterbatasan keinovatifan materi yang dibawakan oleh fasilitator dalam lembaga pelatihan yang bersangkutan terkait dengan kebutuhan pengembangan usahatani petani; (3) Kurangnya dukungan inovasi berkelanjutan bagi penyuluh yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengembangan usahatani dan pemenuhan kebutuhan petani setempat pada saat itu; (4) Perubahan paradigma pembangunan dari top down ke partisipatif yang kurang disertai upaya pemberdayaan penyuluh secara memadai ke arah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut; (5) Terdapat upaya peningkatan pendidikan formal pada penyuluh namun diduga kuat banyak di antaranya ditempuh melalui proses pembelajaran yang kurang bermutu terkait dengan peningkatan kualitas penyuluhan, karena terjebak pada tuntutan formalitas untuk penyesuaian ijazah dengan tingkatan jabatan fungsional penyuluh; (6) Kurang jelasnya hubungan antara kompetensi penyuluh dengan perkembangan jenjang karir dan insentif bagi perkembangan kompetensi penyuluh; dan (7) Belum adanya standar kompetensi bagi penyuluh, sehingga menjadi lemah dalam
57
pengembangan kompetensi secara sistematis oleh pihak terkait ataupun dalam rekruitmen tenaga penyuluhan. Kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dalam pengelolaan lahan kritis adalah: (1) Kompetensi dasar, meliputi komunikasi dialogis, membagun jejaring kerja dan pemeberdayaan masyarakat. Kompetensi inti meliputi: identifikasi wilayah, programa penyuluhan, metode, materi, pendekatan, media, evaluasi dan administrasi penyuluh. Selain itu terdapat pengembangan jurnalistik. Kompetensi substansi/spesialis meliputi: tugas pada bidang masing-masing yaitu konservasi, lindung dan produksi. Pendekatan Penyuluhan. Pendekatan merupakan rancangan langkahlangkah strategi atau taktik yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Blum (2007) mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan penyuluhan dilakukan dengan pendekatan meliputi: komoditas, produktivitas, pengolahan yang sempurna, pemasaran, dan membentuk suatu kelompok atau organisasi. Swanson (2008) dalam artikelnya Global Review of Good Agricultural and Advisory Services Practice mengemukakan bahwa pendekatan penyuluhan untuk dapat mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan harus memperhatikan empat hal yaitu: (1) Transfer teknologi terutama untuk kebutuhan pangan, (2) Pembangunan modal manusia yang difokuskan pada keterampilan rumah tangga, (3) Pengembangan modal sosial yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok usaha mulai hulu sampai dengan hilir, dan (4) Meningkatkan pendidikan petani agar mampu memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Axinn (1988) mengemukakan bahwa karakteristik pendekatan penyuluhan untuk mencapai tujuan yaitu: pendekatan umum, komoditi, latihan dan kunjungan, partisipatif, proyek, pembangunan usahatani, kerjasama pembiayaan, dan lembaga pendidikan. Penelitian di Afrika Timur yang dilakukan oleh Russell dan Franzel (2004) menunjukkan bahwa peningkatan usaha pertanian pada lahan kritis dilakukan dengan menggunakan pendekatan komoditas, pembentukan kelompok yang dibina secara terus menerus, dan penerapan teknologi yang tepat. Sejalan dengan Russell dan Franzel, Roy dan Rangnekar (2004) menemukan bahwa sistem pendekatan
58
penyuluhan yang dilakukan untuk petani peternak susu adalah dengan pendekatan partisipatif, kebutuhan lokal, teknologi tepat guna dan melibatkan kaum wanita. Mengacu pada pendapat tersebut, pendekatan penyuluhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang diturunkan dari atas atau top down dan partisipatif. Metode Penyuluhan. Metode penyuluhan adalah cara penyampaian materi (isi pesan) penyuluhan oleh penyuluh kepada petani beserta anggota keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung agar mereka tahu, mau dan mampu menggunakan inovasi baru (Adjid 2001 dan Mardikanto 2009). Prinsip-prinsip metode dan teknik penyuluhan: pengembangan untuk berpikir kreatif, tempat yang paling baik adalah di tempat kegiatan penerima manfaat, setiap individu terikat dengan lingkungan sosialnya, ciptakan hubungan yang akrab dengan penerima manfaat, dan merangsang terjadinya perubahan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode penyuluhan: (1) Sasaran suluh: pengetahuan, keterampilan dan sikap sasaran, sosial budaya, dan banyak sasaran yang akan dicapai; (2) Sumber daya penyuluhan: kompetensi penyuluh, materi, dan ketersediaan fasilitas; dan (3) Keadaan daerah: musim dan iklim, kondisi daerah. Mardikanto (2009) menyebutkan bahwa ragam metode dan teknik penyuluhan yang dapat dipilih untuk dapat diterapkan dapat didasarkan pada aspek-aspek: (1) Komunikasi, antara lain: langsung dan tidak langsung; (2) Psiko sosial, antara lain: massal, kelompok dan individu atau perorangan; dan (3) Panca indera, antara lain: penglihatan, pendengaran, atau kombinasi keduanya. Beberapa jenis metode penyuluhan pertanian yang dapat diterapkan: (1) Ceramah, merupakan suatu pertemuan untuk menyampaikan informasi sebanyakbanyaknya dalam waktu yang relatif cepat; (2) Demonstrasi, merupakan suatu metode penyuluhan di lapangan untuk memperlihatkan/membuktikan secara nyata tentang cara dan atau hasil penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti menguntungkan bagi petani; (3) Anjangsana, merupakan kunjungan yang terencana yang dilakukan oleh penyuluh ke rumah/tempat usaha petani tujuan menumbuhkan kepercayaaan diri petani dan keluarganya; (4) Kursus Tani, merupakan proses belajr mengajar yang khusus diperuntukan bagi petani dan keluarganya yang diselenggarakan secara sistematis, teratur dan dalam jangka
59
waktu tertentu; (5) Magang, merupakan proses belajar mengajar antar petani, di mana seorang petani belajar dari pengalaman kerjanya pada suatu usaha tani dalam keadaan sesungguhnya di lapangan dengan bimbingan petani yang berhasil menjalankan usahanya; (6) Mimbar Sarasehan merupakan forum konsultasi antar kelompok andalan (KTNA) dengan pihak pemerintah yang diselenggarakan secara periodik dan berkesinambungan; (7) Pameran merupakan usaha untuk memperhatikan atau mempertunjukan model, contoh, barang, peta, grafik, benda hidup; (8) Perlombaan merupakan kegiatan dengan aturan tertentu untuk menumbuhkan persaingan yang sehat antar petani untuk mencapai prestasi yang diinginkan secara maksimal; (9) Diskusi; (10) Temu Karya merupakan pertemuan antar petani untuk bertukar pikiran dan pengalaman serta belajar atau saling mengajarkan sesuatu ketrampilan dan pengetahuan untuk diterapkan; (11) Temu Lapang merupakan pertemuan antara petani dengan peneliti untuk saling tukar menukar informasi tentang tenologi yang dihasilkan oleh peneliti dan umpan baik dari petani; (12) Temu Tugas merupakan pertemuan berkala antara pengemban fungsi penyuluhan, penelitian pengaturan dan pelayanan dalam lingkup pertanian; (13) Temu Usaha merupakan pertemuan antara petani dengan pengusaha di bidang pertanian; (14) Widyawisata merupakan suatu perjalanan bersama yang dilakukan oleh kelompok tani, untuk belajar dengan melihat suatu penerapan teknologi dalam keadaan yang sesungguhnya; dan (15) Sekolah Lapang merupakan kegiatan pertemuan berkala yang dilakukan oleh sekelompok petani pada hamparan tertentu. Materi Penyuluhan. Materi penyuluhan adalah bahan yang akan disampaikan dalam penyuluhan yang disesuaikan dengan kebutuhan sasaran suluh. Sumber materi penyuluhan berasal dari hasil rekayasa penyuluh sendiri (Mardikanto 2009) atau yang berasal dari petani maju. Margono (2009) menjelaskan bahwa sumber materi penyuluhan harus ada hubungan sistem antara penyuluh, peneliti, petani, organsasi petani perguruan tinggi dan informasi pasar. Hal ini dibutuhkan agar bahan atau materi penyuluhan teruji secara kualitas dan sesuai dengan kebutuhan petani sebagai sasaran utama penyuluhan. Selanjutnya Blum (2007) menjelaskan bahwa materi penyuluhan sebaiknya mengacu pada komoditas permintaan pasar sehingga penyuluhan dapat diterima masyarakat.
60
Hubungan sistem sumber penyuluhan juga dijelaskan oleh Sumardjo (1999) dan Puspadi (2002), yang memberikan penekanan pada hubungan sumber materi penyuluhan yang mengacu pada sistem agribisnis agar terjadi penyuluhan yang berkesinambungan dan memihak kepada kepentingan petani. Penekanan kesinambungan dapat dilakukan dengan perbaikan kurikulum yang digunakan untuk pendidikan dan pelatihan (diklat) serta pendidikan formal atau perguruan tinggi (Sumardjo 2010). Fasilitas Penyuluhan. Untuk memperlancar kegiatan penyuluhan dibutuhkan fasilitas penyuluhan. Mardikanto (2009) membedakan fasilitas penyuluhan menjadi dua yaitu: (1) Alat bantu menyuluh, dan (2) Alat peraga penyuluh. Alat bantu menyuluh adalah alat-alat atau perlengkapan yang dibutuhkan seorang penyuluh untuk memperlancar proses penyuluhan. Alat-alat bantu menyuluh, meliputi: kurikulum, lembar persiapan menyuluh, papan tulis atau tempel, alat tulis, perlengkapan ruangan, proyektor, dan alat transportasi. Alat peraga penyuluhan adalah alat bantu yang digunakan untuk memudahkan materi yang disuluhkan diterima oleh peserta suluh meliputi: benda nyata, barang cetakan, gambar yang diproyeksikan, dan gambar yang digrafikkan. Kelembagaan Penyuluhan. Kelembagaan atau institusi dapat dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Arti sempit, kelembagaan sering diwujudkan dalam bentuk kelompok ataupun organisasi, sedangkan kelembagaan dalam arti luas yaitu tata nilai, norma, budaya atau aturan main (Mardikanto 2009: 157). Kelembagaan penyuluhan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006, Bab V Pasal 8, menjelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan terdiri atas: (1) Penyuluh yang dilakukan oleh pemerintah: (a) Kelembagaan di tingkat pusat berbentuk Badan Penyuluhan, (b) Kelembagaan di tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan, (c) Kelembagaan di tingkat kabupaten/kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan, dan (d) Kelembagaan di tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan; (2) Kelembagaan penyuluhan swasta disesuaikan dengan sektor masing-masing yaitu: pertanian, perikanan dan kehutanan; dan (3) Kelembagaan penyuluhan swadaya di tingkat desa yaitu: kelompok tani. Margono (2009) mengemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan lebih ditekankan pada sistem hubungan kinerja penyuluhan dari tingkat pusat hingga
61
sampai ke sasaran utama penyuluhan (petani). Hubungan sistem kinerja ini dibuat dalam bentuk standard operasional procedure (SOP) dengan melibatkan stakeholder yaitu: lembaga diklat, penelitian, perguruan tinggi, organisasi petani dan pelaku agribisnis. SOP sebagai aturan kelembagaan harus disusun dengan baik dan aturan tersebut berfokus kepada kepentingan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Selain itu kelembagaan juga menangani masalah budgeting atau anggaran yang layak sesuai dengan kebutuhan penyuluh. Intensitas Penyuluhan. Intensitas penyuluhan adalah frekuensi penyuluh melakukan kunjungan atau penyuluhan kepada sasaran penyuluhan (masyarakat atau petani). Intensitas penyuluhan dapat dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan petani. Semakin sering penyuluh melakukan penyuluhan maka penyuluh akan semakin dikenal masyarakat, sehingga materi suluhnya dapat dipahami oleh petani. Demikian sebaliknya, semakin jarang atau bahkan tidak pernah melakukan penyuluhan, maka penyuluh akan dijauhi oleh masyarakat. Kerjasama Penyuluhan. Pelaksanaan penyuluhan dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah (penyuluh PNS), penyuluh swasta atau penyuluh swadaya (petani maju). Pelaksanaan penyuluh dapat dilakukan secara bersama atau antar lembaga penyuluhan pemerintah dengan organisasi penyuluhan swasta ataupun petani yang telah berhasil dengan baik. van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa petani akan lebih baik belajar dengan petani, artinya yang menjadi penyuluh adalah petani juga. Keberhasilan petani belajar dengan petani lebih tinggi, karena bahasa yang digunakan oleh petani yang maju lebih mudah dipahami jika dibandingkan bahasa penyuluh. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Effendy (2009) yang menemukan bahwa kontak tani dapat memberikan penyuluhan yang efektif di Jawa Barat. Kerjasama penyuluhan juga dapat dilakukan dengan pihak swasta atau perusahaan dalam skema kegiatan corporate social responsibility (CSR). Dalam program CSR dapat dilakukan penyuluhan secara efektif dengan pendekatan komoditi yang dijadikan sebagai sumber bahan baku dari perusahaan. Program kegiatan CSR yang dilakukan Unilever di Jawa Barat, Newmont di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan PT. Freeport di Papua, melakukan program pengembangan masyarakat bekerjasama dengan para penyuluh (Susanto 2009).
62
Hasil Penelitian yang telah Dilakukan dan State of the Art Pada bagian ini disintesakan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan yang berasal dari disertasi dan jurnal, di mana penelitian-penelitian tersebut sejenis dengan penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebaruan atau novelty penelitian ini. Tabel 3. Eksplor Penelitian dan Bentuk Analisisnya No. 1.
2.
3.
Nama Peneliti Suwignyo Utomo
Nandang Priadi
Sabarudi
Sumber Disertasi, 2009
Disertasi, 2010
Jurnal, 2010
Aspek yang Diteliti Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pendekatan kelompok
Kelembagaan Kemitraan Industri Pengelolaan Kayu Bersama Rakyat dalam Rangka Membangun Hutan di Jawa
Kebijakan Pengembangan Wanaternak Nasional yang Berkelanjutan
Metode Penelitian
Temuan/Kontribusi
Lokasi: KPH Pekalongan, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih
- Dinamika kelompok masih rendah - Keberdayaan petani masih rendah
Metode: Kuantitatif dengan Survei,
- Partisipasi petani masih rendah
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Strategi penyuluhan: dukungan lingkungan, kepemimpinan kelompok, potensi petani
Lokasi: SukarajaTasikmalaya, Bawang-Batang, Krucil-Purbalingga
- Kelembagaan KIBARHUT memiliki perbedaan dalam kontrak
Metode: Kuantitatif dengan survei
- Kinerja kelembagaan terbukti efektif
Analisis: untuk financial NPV, B/C Ratio dan IRR; kebijakan dengan policy analysis matrix (PAM)
- Pemasaran kayu KIBARHUT banyak saluran
Lokasi: NTB dan NTT
- Pengembangan wanaternak dilakukan dalam koridor hutan lestari
Metode: Kualitatif, studi literatur
- Wanaternak telah dilakukan petani dalam skala kecil
Analisis: deskriftif
- Manajemen wanaternak berkelanjutan masih diupayakan
- Hak kepemilikan pelaku KIBARHUT belum merupakan suatu jamainan
63
Tabel 3. Lanjutan No.
Nama Peneliti
4.
BT. Permono dan Bondan W.
Sumber Jurnal, 2009
Aspek yang Diteliti
Metodologi
Strategi Adaptasi Petani Agroforestri di Sekitar Hutan Penelitian Benakat Sumatera Selatan
Lokasi: Desa Suban Ulu, Kec. Talang Ubi, Muara Enim
- Tingkat kehidupan petani miskin,
Metode: kualitatif, dengan sensus.
- Strategi untuk mempertahankan hidup dengan pinjaman, menjual asset, memperkerjakan anak, dan urbanisasi
Analisis: Deskriftif
5.
Rachman E dan Sylviani
Jurnal, 2006
Konsepsi Rehabilitasi Lahan Kritis di Jawa Barat
Lokasi: DAS Cisadane dan Ciujung Metode: Kualitatif, dengan RRA Analisis: deskriptif
Temuan/ Kontribusi
- Petani pada blok agroforestri mencari penghasilan ke luar,
- Meluasnya lahan kritis di Jawa Barat akibat dari faktor ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum dan moral - Rehabilitasi lahan kritis telah dijadikan gerakan nasional dan regional.
6.
7.
Lukman Effendy
Yumi
Disertasi, 2009
Disertasi, 2011
Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat
Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
Lokasi: Cianjur, Bandung, Cirebon, Bandung, Subang, Sumedang, Indramayu, Kuningan
- Faktor utama berpengaruh terhadap kinerja adalah kompetensi PHT, karakteristik lingkungan dan dinamika belajar
Metode: kuantitatif dengan survei
- Kinerja petandu berdampak positif pada perilaku petani
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Derajat hubungan antar faktor PHT, karakteristik lingkungan dan dinamika cukup kuat.
Lokasi: Gunung Kidul, Yogyakarta
- Intensitas belajar petani masih rendah
Metode: kuantitatif dengan survei
- Perlaku petani HRL sertifikasi berbeda nyata dengan yang tidak bersertifikasi
64
Tabel 3. Lanjutan No.
8.
9.
10.
Nama Peneliti
Adi Riyanto Suprayitno
Bambang Dipokusumo
Sumarlan
Sumber
Disertasi, 2011
Disertasi, 2011
Sasaran Kegiatan ini
Aspek yang Diteliti
Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat
Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis Pegunungan Kendeng Pati.
Metodologi
Temuan/ Kontribusi
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Aspek kelembagaan yang berperan dalam pembelajaran adalah kelembagaan masyarakat dan pendukung pembelajaran
Lokasi: Maros, Sulawesi Selatan
- Tingkat partisipasi masih rendah dan bersifat parsial - Partisipasi berdampak positif terhadap keberlanjutan hutan kemiri rakyat
Metode: kuantitatif dengan survei
Analisis: structural equation modeling (SEM)
- Model partisipasi dibangun melalui: motivasi dan kemampuan petani
Lokasi: Pulau Lombok
- Kebijakan pengelolaan HKm Pemda Kabupaten bertentangan dengan Provinsi
Metode: kuantitatif, dengan survei Analisis: Regresi logistic, AHP dan ISM
- Partisipasi masyarakat berhubungan kondisi ekologi. - Model agroforestri gaharu sebagai bentuk pengelolaan HKm berkelanjutan
Lokasi: Kabupaten Pati-Jawa Tengah
- Kinerja petani
Metode: kuantitatif, dengan survei Analisis: biplot, korelasi dan SEM
- Dukungan penyuluhan - Keberlanjutan penerapan sistem agroforestri - Faktor-faktor penentu kinerja petani - Strategi penyuluhan yang tepat.