TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kinerja Pengertian Kinerja Kata kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang dalam bahasa Indonesia seringkali juga diterjemahkan dengan unjuk kerja, hasil karya, pelaksanaan kerja maupun hasil pelaksanaan kerja. Beach (Putti, 1990) menyebutkan kinerja adalah: “a systematic evaluation on an individual employee regarding his/her performance on his/her job and his/her potentials for development.” Jadi, kinerja adalah penilaian sistematis atas diri pegawai terkait dengan prestasinya dan potensinya yang dapat dikembangkan. Belows (Putti, 1990) mengemukakan definisi senada, dengan menambahkan bahwa penilaian tersebut dilakukan oleh pihak atasan atau pihak lain yang diberi tugas melakukan penilaian. Dikemukakannya, kinerja adalah : “evaluation on the value of an individual employee for his/her organization conducted by his/her superior or by someone in position to evaluate his/her performance.” Menurut Amstrong dan Baron (1998:15), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Menurut Bernadin dan Russell (Sulistiyani dan Rosidah, 2003:223), kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan (2001:34) menyatakan, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Gibson, et al., (1996:70) menyebutkan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam penelitian ini, kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas penyuluh KB sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan.
14
Penilaian Kinerja Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa, penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap pekerjaannya. Esensinya, supervisor dan karyawan secara formal melakukan evaluasi terus menerus. Kebanyakan mereka mengacu pada prestasi kerja sebelumnya dan mengevaluasi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika kinerja atau prestasi kerja tidak memenuhi syarat, maka manajer atau supervisor harus mengambil tindakan, demikian juga apabila prestasi kerjanya bagus maka perilakunya perlu dipertahankan. Penilaian kinerja dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Menurut Ruky (2006:20-21), tujuannya adalah: (1) meningkatkan prestasi kerja seseorang dengan memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan, (2) merangsang minat dalam pengembangan pribadi agar meningkatkan hasil karya dan prestasi serta potensi laten dengan cara memberikan umpan balik tentang prestasi yang bersangkutan, (3) membantu menyusun program pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, dan (4) sebagai pertimbangan obyektif dalam sistem penghargaan (reward -punishment). Melakukan penilaian kinerja akan bemanfaat untuk memperoleh umpan balik atas kinerja, identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, penghargaan, dan evaluasi pencapaian tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2001:300), memberikan informasi sebagai pertimbangan untuk promosi dan penetapan gaji dan memberikan peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan (Dessler, 1997:2-3), dan membantu menilai perkembangan seorang dalam melaksanakan tugasnya (Mckirchy, 2004:10). Penilaian kinerja juga bermanfaat untuk: (1) penyesuaian dalam kompensasi, (2) perbaikan kinerja, (3) kebutuhan latihan dan pengembangan, (4) pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian, dan perencanaan tenaga kerja, dan (5) membantu diagnosis terhadap kesalahan dalam disain pegawai (Sulistiyani dan Rosidah, 2003:225). Dalam konteks organisasi, penilaian kinerja juga sangat membantu pimpinan mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat maupun program-program organisasi secara menyeluruh (Ruky, 2006:22-23).
15
Dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia, menurut Ruky (2006:22-23) beberapa manfaat penilaian kinerja terutama dalam: (1) penyusunan program pelatihan dan pengembangan karyawan; karena dengan penilaian kinerja akan teridentifikasi pelatihan tambahan yang masih diperlukan untuk membantu tercapai standar prestasi yang ditetapkan, (2) penyusunan program suksesi dan kaderisasi; karena dengan catatan (record) kinerja dapat mengetahui potensi untuk dikembangkan kariernya, dan (3) pembinaan karyawan; karena dengan penilaian kinerja dapat diketahui hambatan-hambatan untuk meningkatkan prestasinya. Dalam konteks perilaku, penilaian kinerja membantu mengidentifikasi faktor yang membentuk pola perilaku yang menjadi ciri individu, sehingga berguna untuk mengomunikasikan ikhwal mengapa individu berperilaku dan bertindak dengan cara-cara tertentu (Hersey dan Blanchard, 1982:10). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sangat dibutuhkan tidak saja bagi pengembangan organisasi, melainkan juga bagi individu yang bersangkutan. Bagi organisasi publik, kinerja pegawai yang tinggi di samping meningkatkan kinerja organisasi, juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Jadi, penilaian terhadap kinerja Penyuluh KB dan Kader KB diharapkan akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (khususnya pada pasangan usia subur/PUS) untuk berperilaku KB menuju terwujudnya keluarga berkualitas. Cara Menilai Kinerja Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau kriteria. Putti (1990:41-59) memilah metode penilaian kinerja berdasarkan konsep Input–Process–Output.
Metode penilaian berorientasi input disebut person
centered approach. Metode ini bersifat individual yang menekankan pada penilaian ciri-ciri atau karakteristik kepribadian seperti; kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut bukanlah sebagai prestasi, tetapi lebih tepat disebut persyaratan atau karakteristik yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga akhirnya mempunyai prestasi yang bagus.
16
Pada metode yang memfokuskan penilaiannya pada proses (disebut job centered approach), yang menjadi tolok ukurnya adalah tanggung jawab dan persyaratan. Prestasi diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku serta tanggung jawabnya. Dengan kata lain, penilaian masih tetap difokuskan langsung pada kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya. Jadi cara ini merupakan pergeseran fokus penilaian dari input ke proses. Adapun cara yang ketiga yaitu yang berbasis pencapaian hasil individu (result oriented performance), yang memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai (output). Menurut Ainsworth et al., (2002:15) pengukuran kinerja menggunakan skala dua faktor, yakni skala hasil dan skala usaha, di mana ukuran ini memfokuskan pada: (1) produktivitas; yang mempertimbangkan ukuran seperti volume dan hasil kerja, (2) biaya; yang diperlukan bagi manusia, pemrosesan, dan bahan mentah, (3)
mutu; yaitu hasil yang dapat diterima, kedekatan dengan
spesifikasi, tingkat apkiran (produk yang tidak mendekati standar), dan standar yang terpenuhi, (4) kepuasan pelanggan, apakah ditemukan keluhan atau pujian, dan tingkat kepuasan, dan (5) tenggat waktu, mencapai tenggat waktu dan jadwal yang disepakati. Menurut Klinger dan Nalbandian (1985:229), fokus penilaian kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: (1) penilaian berdasarkan hasil akhir (resultbased performance), yakni penilaian yang didasarkan pada pencapaian tujuan atau hasil akhir (end result); (2) penilaian berdasarkan perilaku (behavior-based performance), yang memfokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals), bukan pada hasil akhir; dan (3) penilaian berdasarkan pendapat (judgment based performance), yang melakukan penilaian dengan menggunakan peringkat penilaian: sangat bagus – sangat tidak bagus (rating method) dan pengurutan: dari paling baik – paling buruk (ranking method). Menurut K-State Cooperative Extension Service (Khalil et al., 2008), ukuran kinerja bagi penyuluh dapat dicapai melalui dimensi: (1) kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3) keterikatan pada jadwal kerja, (4) alokasi kerja, (5) sikap dan ketenangan, dan (6) kepuasan organisasi dan pelanggan. Terziovski dan Dean (Khalil et al,. 2008) menyatakan bahwa peningkatan/pengembangan kualitas kerja mengacu pada dimensi yang paling efektif dalam memengaruhi kinerja pegawai.
17
Dari uraian di atas dapat dirangkum
bahwa penilaian kinerja dapat
dilakukan dari aspek input-proses-output ataupun dari aspek hasil dan usaha. Dalam penyuluhan publik, penilaiannya relatif lebih sulit, karena harus mencakup berbagai aspek, baik kualitas maupun kuantitas pelayanan. Ringkasan Kinerja adalah tingkat keberhasilan pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kinerja menjadi cermin tingkat mana hasil kerja pegawai sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penilaian kinerja menjadi bahan pertimbangan bagi organisasi untuk memberikan penghargaan maupun sanksi (rewardpunishment), pembinaan, serta menetapkan standar/patokan perilaku. Adapun bagi pegawai, akan memberikan umpan balik dalam upaya penyempurnaan tugas. Penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek sikap dan perilaku, input-prosesoutput, ataupun skala hasil dan usaha. Dalam penyuluhan publik, penilaiannya relatif lebih sulit, karena mencakup berbagai aspek, baik kualitas maupun kuantitas pelayanan.
Faktor-faktor yang Memengarui Kinerja Keberhasilan pelaksanaan tugas pegawai sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Menurut Ainswort et al., (2002:4), kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi. Artinya, kinerja adalah hasil akhir dari kemampuan dan keinginan seseorang. Jadi, model kinerja adalah: P (performance) = f (A(ability), M(otivation)). Menurut Robbins (1996), kinerja tidak saja ditentukan oleh kedua faktor tersebut, melainkan juga oleh kesempatan (opportunity). Jadi, kinerja adalah fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), atau kinerja = ƒ (A, M, O). Kesempatan merujuk pada tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menghambat. Untuk itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.
18
Senada dengan pendapat di atas, Sulistiyani dan Rosidah (2003:223) menyebutkan bahwa kinerja adalah kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Lorsch dan Laurence (Wibowo, 2007:75) menyatakan bahwa kinerja adalah fungsi dari atribut individu, organisasi dan lingkungan, sehingga dirumuskan sebagai: kinerja = f (atribut individu, organisasi, lingkungan). Hersey dan Blanchard (1982:53) merumuskan tujuh faktor yang memengaruhi kinerja yang dirumuskan dengan akronim ”ACHIEVE”, yakni: pengetahuan dan keterampilan (Ability), pemahaman atau persepsi (Clarity), dukungan organisasi (Help), motivasi atau kemauan (Incentive), bimbingan dan umpan balik kinerja (Evaluation), validitas (legal personal practice), dan dukungan lingkungan (environment fit). Atmosoeprapto (2001:65) merinci beberapa aspek yang berhubungan dengan kinerja, antara lain: kemampuan (competence) merupakan fungsi dari pengetahuan dan keterampilan. Commitment adalah pengaruh atas confidence dan motivation. Confidence ialah rasa keyakinan diri seseorang mampu melakukan tugas dengan baik tanpa banyak diawasi. Adapun motivation adalah minat atau antusias seseorang untuk melakukan suatu tugas dengan baik. Ainsworth et al., (2002:17) lebih jauh menguraikan bahwa kinerja ditentukan beberapa faktor yakni: kejelasan peran (role clarity), kompetensi (competence), lingkungan (environment), nilai-nilai (values), kecenderungan (preferences), dan penghargaan (reward), yang dirumuskan: P = (Rc, C, E, V, Pf, Rw). Gibson et al., (1996:70) menyebutkan bahwa faktor pengaruh kinerja individu: (1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi, (2) faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja, dan (3) faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem penghargaan. Dari beberapa pendapat di atas dapat dirangkum bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor inernal berupa kompetensi kerja dan motivasi kerja serta faktor luar berupa lingkungan. Berikut ini ditampilkan teori tersebut.
19
Kompetensi Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kinerja adalah kompetensi. Menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakteristik/ sifat dasar seseorang yang berhubungan dengan kinerja yang efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan atau situasi. Jadi, kompetensi adalah bagian dari kepribadian seseorang yang terletak di bagian dalam dan bersifat kekal serta dapat memprediksikan perilaku dalam berbagai situasi dan tugas pekerjaan. Kompetensi mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, menggeneralisasikan berbagai situasi serta berlaku untuk waktu yang lama. Karakteristik kompetensi ini terdiri dari lima tipe yakni: motive (motif), traits (bakat/bawaan), self-concept (konsep diri), knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan). Sumardjo
(2006)
menyebutkan
bahwa
kompetensi
merupakan
kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. Winconsin Cooperative Extension (Maddy, 2002) menyebutkan bahwa kompetensi adalah kuantitas pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang mencukupi untuk menyelesaikan tugas-tugas atau tujuan tertentu. Maddy (2002) yang mengadaptasi North Carolina Cooperative Extension menyebutkan 11 kompetensi inti dasar yang perlu dimiliki penyuluh
yakni: (1)
aksi sosial, (2) apresiasi keragaman budaya, (3) penyusunan program penyuluhan, (4) pemanfaatan sumberdaya lokal, (5) pengelolaan informasi, (6) relasi interpersonal, (7) pengetahuan tentang penyuluhan, (8) kepemimpinan, (9) manajemen organisasi, (10) profesionalisme, dan (11) bidang keahlian. Kompetensi aksi sosial adalah kemampuan mengidentifikasi dan memantau variabel-variabel dan isu-isu yang penting bagi kekuatan komunitas (misalnya: demografi, ekonomi, pelayanan masyarakat, lingkungan dll) serta kemampuan menggunakan dan menerapkan peubah-peubah ini untuk menentukan prioritas, perencanaan dan pengiriman program. Kompetensi keragaman budaya adalah adanya kesadaran, komitmen dan kemampuan untuk memadukan perbedaan persepsi budaya, asumsi, norma, kepercayaan dan nilai yang saling berbeda. Kompetensi penyusunan program penyuluhan adalah kemampuan merencanakan,
mendisain,
menerapkan,
mengevaluasi,
20
memertanggungjawabkan dan memasarkan program pendidikan penyuluhan yang signifikan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup kelayan/klien. Kompetensi pemanfaatan sumberdaya lokal adalah kemampuan mengenali, memahami dan memfasilitasi kesempatan-kesempatan dan menghubungkan sumberdaya-sumberdaya penting bagi kebutuhan-kebutuhan individu-individu dan komunitas. Kompetensi pengelolaan informasi dan pendidikan adalah penguasaan keterampilan komunikasi (tertulis dan lisan), penerapan teknologi dan pengiriman metode-metode yang mendorong program-program pendidikan dan mengantarkan perilaku. Kompetensi relasi interpersonal adalah kemampuan berinteraksi dengan berbagai individu dan kelompok yang berbeda untuk menciptakan kemitraan, jejaring dan sistem kemanusiaan yang dinamis. Kompetensi pengetahuan tentang penyuluhan adalah
pemahaman tentang sejarah, filosofi dan sifat dasar
penyuluhan. Kompetensi kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi secara positif berbagai individu dan kelompok yang luas. Kompetensi
manajemen
organisasi
merujuk
pada
kemampuan
membentuk/menentukan struktur dan proses organisasi, mengembangkan dan memantau sumberdaya serta memimpin perubahan untuk mencapai hasil-hasil pendidikan secara efektif dan efisien. Kompetensi profesional adalah demonstrasi perilaku yang merefleksikan tingkat kinerja yang tinggi, etika kerja yang kuat dan komitmen untuk meneruskan pendidikan serta mencapai misi, visi dan tujuan penyuluhan. Adapun kompetensi di bidang keahlian adalah kemampuan dalam disiplin ilmu, penelitian, kerangka ilmu, atau keahlian teknis yang mendorong efektivitas individu dan organisasi. Penyuluhan
adalah
proses
pengubahan
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan menuju ke arah kehidupan yang lebih baik. Di bidang KB, perubahan perilakunya tampak dari keluarga yang memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan,
informasi
kependudukan
kelembagaan dan jejaring KB.
dan
keluarga,
serta
penguatan
21
Sebagai pihak yang menjalankan tugas penyuluhan KB, seorang PKB harus memiliki sejumlah kompetensi yang harus terus disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat setempat. Agar memiliki sikap optimis dan percaya diri dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis yang terjadi serta berhasil meningkatkan kinerja, baik program maupun organisasi, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) harus memiliki profil seperti yang tergambar dalam penguasaan dan kemampuan berbagai aspek yakni: (1) aspek wawasan program, (2) aspek manajerial, (3) aspek kemampuan operasional, (4) aspek motivasi kerja, dan (5) aspek kepemimpinan (BKKBN, 2002:7-8). Kemampuan lainnya yang sangat diperlukan adalah berkomunikasi, yang dalam istilah BKKBN disebut Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE). Menurut Haryono Suyono (2009) yang mantan Kepala BKKBN, dalam menyukseskan program KB, selain pengembangan visi dan misi, perumusan strategi KIE menjadi sesuatu yang sangat urgen. Di bawah kepemimpinannya, pada era 1980 – 1990an, hampir semua penerbitan surat kabar, majalah, buku, dan lain-lain tidak pernah berhenti mewartakan KB. Demikian pula tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas lapangan KB dan kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) yang dibantu para juru penerang. Lambat laun masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal KB (bahkan
anti/menolak),
kemudian
berbalik
mendukung
dan
ikut
menyukseskannya. Sebagai salah satu jenis pelayanan publik, pernyuluhan KB harus memerhatikan kualitas pelayanan kepada masyarakat ini. Menurut Djoko Susanto (2004) kualitas pelayanan publik sangat tergantung dari sejauh mana petugas bersangkutan memiliki dan menguasai ilmu/trick berkaitan dengan tugas pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, atau dengan kata lain: sejauh mana ia menyadari dan memahami kompetensi yang seyogyanya ia memiliki dan kuasai saat ia melakukan pelayanan itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kompetensi dapat dibedakan menjadi kompetensi umum dan kompetensi inti. Kompetensi umum adalah jenis-jenis kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap penyuluh di bidang apapun, sedangkan kompetensi inti adalah jenis-jenis kemampuan yang
22
harus dimiliki oleh penyuluh di bidang tersebut. Dengan demikian, untuk kompetensi inti, tiap bidang penyuluhan berbeda. Berdasarkan telusur teori di atas, maka jenis-jenis kemampuan yang perlu dimiliki Penyuluh KB dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Maddy (2002) yang terdiri dari 11 jenis yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua. Kompetensi ke-1 hingga ke-10 termasuk jenis kompetensi umum yakni: (1) aksi sosial, (2) apresiasi keragaman budaya, (3) penyusunan program penyuluhan, (4) pemanfaatan sumberdaya lokal, (5) pengelolaan informasi (6) relasi interpersonal, (7) pengetahuan tentang penyuluhan, (8) kepemimpinan, (9) manajemen organisasi, dan (10) profesionalisme. Kompetensi ke-11 yakni bidang keahlian adalah kompetensi inti, yakni kompetensi selaku penyuluh KB. Motivasi Kerja Faktor lain yang memengaruhi kinerja adalah motivasi kerja. Motivasi berasal dari kata ”motif” atau kebutuhan, merupakan dorongan utama seseorang beraktivitas atau kekuatan dari dalam yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu (Hersey dan Blanchard, 1982). Motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan (Padmowihardjo, 1994:135). Menurut Callahan dan Clark (Mulyasa, 2003:112), motivasi juga berarti tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul dari diri seseorang ke suatu arah perilaku yang diawali oleh adanya kebutuhan yang belum terpuaskan, sehingga menimbulkan dorongan untuk mewujudkan keinginannya. Motivasi bisa berasal dari dalam (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) (Robbin, 1996). Motivasi ekstrinsik adalah rangsangan yang datang dari luar dirinya. Orang akan bekerja keras jika diberi hadiah atau insentif untuk bekerja baik. Di sini motivasi kerja tinggi karena mengharap suatu imbalan dari luar dirinya. Adapun motivasi intrinsik adalah motivasi yang datangnya dari dalam dirinya sendiri. Seseorang bekerja keras karena ia senang melakukan pekerjaan itu dan mengalami kepuasan kerja. Dalam hal ini, insentif terletak pada kepuasan melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Orang mengalami kepuasan kerja bila memunyai kebebasan dalam menentukan pekerjaan yang ingin dilakukan dan
23
dengan cara yang diinginkannya. Demikian pula, peranserta dan pelibatan diri tanpa paksaan akan meningkatkan motivasi kerja. Seorang pemimpin perlu menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri pekerja, sehingga mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri pekerja. Dengan cara ini, pekerja maupun masyarakat pengikut berprestasi lebih baik, produktivitas kerja yang tinggi, kepuasan kerja lebih besar dan lebih berkesempatan mewujudkan diri, yang selanjutnya dapat berprestasi dalam semua peran kehidupan secara lebih efektif (Davis dan Neswtrom, 1985). Setiap orang cenderung mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Menurut Davis dan Newstrom (1985:87), pola motivasi seseorang merupakan sikap yang memengaruhi cara orang-orang memandang pekerjaan dan menjalani kehidupan mereka. Menurut mereka, terdapat empat pola motivasi yang penting, yakni: pertama, prestasi (achievement motivation); yakni dorongan dalam diri seseorang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Pekerja yang berorientasi prestasi ditandai oleh bekerja keras dan memiliki kebanggaan pribadi atas prestasi yang dicapai. Bila seorang manajer, ia cenderung mempercayai bawahan, menerima gagasan secara terbuka, menetapkan tujuan yang tinggi, serta mendorong bawahan agar berprestasi. Kedua, afiliasi (affiliation motivation), adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Ciri pekerja ini adalah bekerja lebih baik bila mendapat pujian, memilih orang-orang sekeliling mereka, serta membina hubungan baik dalam pekerjaan. Ketiga, kompetensi (competence motivation), yakni dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan berusaha keras untuk inovatif. Keempat, kekuasaan (power motivation), yakni dorongan untuk memengaruhi orang dan mengubah situasi. Motivasi kerja seseorang dapat didorong melalui tujuh strategi yakni: (1) membangkitkan harapan, (2) menegakkan disiplin dan sanksi, (3) menimbulkan rasa menyenangkan, (4) memenuhi kebutuhan pegawai, (5) menempatkan pegawai sesuai dengan tujuan, (6) memperbaiki suasana kerja, dan (7) memberi penghargaan berbasis kinerja.
24
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan yang membuat seseorang mau melakukan sesuatu. Sumbernya dapat berasal dari diri orang tersebut (internal) maupun dari luar diri (eksternal). Dibandingkan
dengan
motivasi
eksternal,
motivasi
internal
lebih
sulit
ditumbuhkan, karena lebih mengandalkan dorongan yang semata-mata berasal dari dalam diri pekerja itu sendiri, tanpa tergantung faktor luar (insentif, penghargaan dan sebagainya). Oleh karenanya, motivasi inilah yang justru harus lebih ditumbuhkan oleh para pimpinan. Adapun aspek pendorong yang bersifat eksternal lebih dikaji sebagai bagian dari variabel lingkungan. Aspek motivasi yang dilihat adalah: dorongan untuk berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mengejar kekuasaan/pengaruh. Lingkungan Kemampuan seseorang tidak saja disebabkan oleh potensi yang ada dalam dirinya (faktor internal), tetapi juga oleh faktor di luar dirinya (faktor eksternal/lingkungan). Dalam artian ekologis, lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi perikehidupan. Lingkungan juga sebuah sistem yang utuh, kolektivitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, saling bergantung dan fungsional satu sama lain, sehingga membentuk suatu kesatuan ekosistem yang utuh (Purba, 2002:13). Lingkungan dapat digolongkan dalam lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan organisasi (Ainsworth et al., 2002:92). Lingkungan fisik adalah sumberdaya yang tersedia yang dapat memengaruhi kelancaran pekerjaan, seperti: alat, alat bantu teknologi, dan kondisi fisik (Robbins, 1996:86). Dalam kajian tentang kinerja PKB ini, yang dimaksud lingkungan fisik adalah ketersediaan dan kemudahan sarana dan prasarana yang dibutuhkan PKB untuk memerlancar pelaksanaan tugas-tugas mereka. Bentuknya dapat berupa ketersediaan bahan bacaan
dan audiovisual dari berbagai media
massa, program komputer dan internet serta dari hasil-hasil penelitian, sarana transportasi, sarana komunikasi, alat bantu peraga serta berbagai jenis alat kontrasepsi yang akan ”ditawarkan” kepada masyarakat.
25
Ketersediaan bahan bacaan dan audiovisual menunjukkan ketersediaan informasi. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), informasi dapat berupa: (1) informasi tentang hasil-hasil temuan yang dihasilkan oleh para peneliti (melalui para penyuluh) kepada masyarakat penggunanya, dan (2) umpan balik (baik berupa laporan keberhasilan maupun masalah yang dihadapi) dari penerapan hasil penelitian yang disampaikan masyarakat pengguna (melalui penyuluh kepada peneliti). Semakin banyak informasi yang dapat dipelajari, semakin tinggi pula pengetahuan dan kreativitas yang dihasilkan dari proses belajar tersebut, yang pada gilirannya mampu meningkatkan kinerjanya. Kinerja penyuluh juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana transportasi (umum, pribadi maupun milik dinas) dan sarana komunikasi (telepon dan atau hand phone/HP). Terlebih lagi jika wilayah kerjanya luas dan terpencil. Sarana lainnya adalah alat bantu peraga penyuluhan. Semakin lengkap dan beraneka (meskipun sederhana), akan memercepat tingkat penerimaan kelompok sasaran atas materi yang disuluhkan yang pada akhirnya akan memercepat pula tingkat pengadopsiannya. Lingkungan fisik lainnya adalah ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alokon). Berbagai dukungan fisik ini, apabila tersedia secara memadai, akan ikut meningkatkan kinerja penyuluh KB dalam menjalankan tugasnya. Begitupun sebaliknya. Di samping lingkungan fisik, lingkungan manusia (sosial) pun sangat menentukan kinerja penyuluh. Lingkungan sosial merupakan tempat terjadinya interaksi pada sekelompok orang atau individu yang secara sukarela menempati kawasan tertentu secara relatif permanen. Dalam penelitian ini, lingkungan sosial diartikan sebagai tingkat dukungan dari para tokoh agama, tokoh masyarakat dan para keluarga (khususnya Pasangan Usia Subur/PUS dan remaja yang menjadi sasaran program) terhadap keberadaan program KB dan khususnya para penyuluh KB. Pentingnya dukungan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut disebabkan nilai-nilai program KB sangat terkait dengan keyakinan masyarakat tentang agama dan budaya yang dianut. Untuk itu, agar inovasi program KB yang ingin disampaikan cepat diterima masyarakat, diperlukan pendekatan terhadap para tokoh agama dan tokoh masyarakat, agar misinya dapat disampaikan melalui ”bahasa agama” dan ”bahasa budaya” sesuai dengan keyakinan mereka.
26
Jenis lingkungan lainnya yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh adalah lingkungan organisasi di mana penyuluh bekerja. Hal ini disebabkan keberhasilan tugas-tugas PKB juga sangat ditentukan oleh sejauh mana dukungan organisasi terhadap mereka yang tergambar dalam struktur organisasinya. Menurut Robbins (1996:46), struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Margono Slamet (2003) juga mengemukakan bahwa struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi mengatur hubungan antar-orang dan antar-organisasi. Struktur organisasi merupakan keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini peubah struktur organisasi yang dikaji adalah: (1) besaran organisasi, (2) pengawasan, (3) struktur wewenang, (4) struktur komunikasi, (5) pola kepemimpinan, dan (6) sistem “reward and punishment.” Faktor ekternal lainnya yang dapat menentukan kinerja PKB adalah lembaga yang memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi PKB. Keberadaan lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman PKB tentang tugas pokok dan fungsinya, sehingga akan meningkatkan kompetensinya dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Diklat bagi PKB dapat diberikan oleh lembaga diklat kabupaten/kota, Balai Diklat KB yang menaungi beberapa kabupaten/kota, maupun Balai Diklat KB tingkat Provinsi. Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan adalah: (1) memerbaiki kinerja, (2) memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu memecahkan persoalan operasional, (5) memersiapkan karyawan untuk promosi, dan (6) memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan pengembangan keduanya penting karena merupakan cara yang digunakan organisasi untuk memertahankan, menjaga, memelihara dan meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai agar produktivitas kerjanya meningkat.
27
Program pendidikan dan pelatihan (diklat) menjadi semakin penting dan strategis seiring dengan perubahan lingkungan organisasi yang cepat dan semakin kompleks. Namun demikian, seringkali dijumpai sejumlah permasalahan berkaitan dengan pelatihan sebagaimana dikemukakan Rothwell (Departemen Pertanian, 1998) yakni: (1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang diberikan, (2) lemahnya dukungan manajemen, (3) pelatihan kadang tidak direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, dan (4) materi pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Aspek lingkungan lainnya yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh KB adalah dukungan politik/komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota. Aspek ini semakin penting dikaji setelah program KB didesentralisasikan ke kabupaten/kota yang membuat lembaga eksekutif dan legislatif menjadi sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan dan program di daerah. Peran mereka dalam menentukan bentuk kelembagaan, besarnya dana, sarana, fasilitas serta sumberdaya manusia beserta pengembangannya sangat menentukan eksistensi program KB yang akan berdampak pada kinerja PKB. Fenomena pasca otonomi daerah dan desentralisasi KB menunjukkan bervariasinya tingkat dukungan politik tersebut yang ditunjukkan dari bervariasinya bentuk kelembagaan KB (ada yang berdiri sendiri, namun kebanyakan digabung dengan urusan lain yang dipandang relevan). BKKBN (2006a) menyebutkan adanya enam variasi bentuk kelembagaan yakni: (1) Dinas utuh, (2) Dinas merger, (3) Dinas insert (diintegrasikan ke dalam Dinas lain), (4) Badan utuh, (5) Badan merger, dan (6) Kantor utuh. Dampak lainnya adalah terjadinya penurunan jumlah petugas lapangan yang menyebabkan banyak PKB yang bertambah wilayah binaannya. Hal ini berarti, bertambah pula beban tugas mereka. Untuk itulah, fenomena ini menarik dan perlu untuk dikaji. Ringkasan Kinerja penyuluh ditentukan oleh sejumlah faktor, baik internal berupa kompetensi dan motivasi, maupun aspek eksternal berupa kondisi lingkungan di mana mereka bekerja. Kesemua faktor ini diduga memengaruhi kinerja PKB
28
dalam menjalankan tugasnya. Semakin baik dan kondusif kondisi internal dan eksternalnya ini, akan semakin baik/tinggi pula kinerja mereka.
Keluarga sebagai Wahana Pengembangan Sumberdaya Manusia Di Indonesia, definisi keluarga dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pasal 1 ayat 6. Disebutkan, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Definisi tersebut lebih menekankan kepada komposisi keluarga. Menurut Pitts (Boss et al., 1993), pengertian yang lebih komprehensif diberikan kaum fungsionalis (penganut teori struktural-fungsional) dengan memandang keluarga sebagai struktur yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya, serta untuk memelihara masyarakat yang lebih luas. Pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas dalam lingkungan yang sehat. Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (UU Nomor 52 Tahun 2009 pasal 1 ayat 7). Pentingnya
pembangunan
keluarga
disebabkan
keluarga
memiliki
sejumlah fungsi strategis. Dalam setiap masyarakat, keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial. Keluarga adalah wadah yang sejak dini para warga masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-peranan dalam dunia orang dewasa. Begitu pentingnya arti keluarga menyebabkan Ihromi (1999) berpendapat bahwa hanya berkat keluarga kita menjadi manusia. Menurut Mead (Ihromi, 1999), keluarga merupakan lembaga yang paling kuat daya tahannya. Berfungsinya keluarga dengan baik merupakan prasyarat mutlak bagi kelangsungan suatu masyarakat, karena di dalam keluargalah suatu generasi baru memperoleh nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan harapan masyarakat.
29
Keluarga merupakan sumber yang paling penting dalam menciptakan modal sosial (social capital), yang merupakan prasyarat bagi terciptanya masyarakat madani (civil society) (Fukuyama, 1999). Menurut de Tocqueville (Fukuyama, 1999), tanpa modal sosial, tidak akan ada masyarakat madani, dan tanpa masyarakat madani tidak akan ada demokrasi. Menurut Margono Slamet (Rahmat Pambudy dan Andriyono, 2001), masyarakat madani dicirikan oleh berdaulat,
modern,
komunikatif,
adaptif
terhadap
perubahan,
memiliki
keswadayaan yang tinggi, menerima keragaman, selalu mengembangkan diri, tahu hal-hal yang dibutuhkan dan cara mendapatkannya, berani mengambil keputusan, dan lain-lain. Menurut Rich (1997) dan Popov et al., (1997), keluarga harus menjadi wahana pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (mega skills) dan kebajikan-kebajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembangkan keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain, termasuk sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pernah merancang program yang menjadikan keluarga sebagai wahana pengembangan SDM (Myers, 1992). Menurut Bennett (Ratna Megawangi, 2000), keluarga merupakan departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang orisinil dan paling efektif. Ketidakmampuan institusi ini melakukan pengembangan nilai-nilai positif dan keterampilan-keterampilan unggul tidak akan mampu digantikan institusi lain. BKKBN (1992) merumuskan konsep “8 fungsi keluarga” yakni: fungsi keagamaan, sosial, budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan.
Fungsi keluarga lainnya
(United Nation, 1993) adalah: pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Menurut Bronfenbrenner (Myers, 1992), sejak dulu keluarga menjadi wahana pembentukan karakter dan keterampilan dasar manusia. Sabda Nabi Muhammad saw. bahwa rumahku adalah syurgaku sejalan dengan dan sangat boleh jadi menjadi sandaran filosofis dari garis pemikiran ini. Secara lebih
30
operasional, landasan ini kemudian diterjemahkan menjadi paradigma keluarga wahana (“family as cradle for future generation”) oleh Perserikatan Bangsabangsa (1992). Gagasan dasarnya adalah “keluarga yang tangguh dan produktif sangat penting bagi masa depan dunia; ia merupakan wahana bagi generasi mendatang.” Dari uraian di atas tampak betapa penting dan strategisnya fungsi keluarga dalam pengembangan sumberdaya manusia. Dengan demikian, pembangunan keluarga menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Karena keluarga adalah inti dari suatu masyarakat dan bangsa, keberhasilan pengembangan SDM keluarga tersebut akan meningkatkan kualitas keluarga tersebut dan pada akhirnya akan memerkokoh pilar masyarakat dan bangsa. Keluarga merupakan inti dari sebuah masyarakat. Dengan demikian, sebuah keluarga yang berkualitas, akan menghasilkan sebuah masyarakat yang berkualitas pula yang pada akhirnya akan membentuk sebuah negara yang kuat. Di samping itu, keluarga juga identik dengan masyarakat, karena di dalam keluarga juga terdapat unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat seperti anggota, struktur dan sistem nilai. Yang termasuk anggota keluarga adalah ayah, ibu, anak dan atau anggota keluarga lainnya seperti saudara, kakek, nenek dan pembantu rumah tangga. Keluarga akan dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang pada umumnya adalah suami/ayah. Masing-masing pihak memiliki tugas dan kewajiban yang untuk itu harus saling menghormati. Jadi, diperlukan aturan main yang perlu dirumuskan secara bersama. Dengan demikian, membangun sebuah keluarga dapat diibaratkan dengan membangun masyarakat. Nyerere (Djoko Susanto, 2003) menyatakan bahwa pembangunan masyarakat (community development) akan
memberikan dampak positif bagi
pemenuhan berbagai kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan akan harga diri dan martabatnya, jika anggota-anggota masyarakat diposisikan sebagai pelaku-pelaku (actors) atau subyek pembangunan, bukan sebagai obyek atau “sasaran/target” pembangunan semata-mata. Dengan demikian, pembangunan keluarga akan berhasil apabila setiap anggota keluarga dianggap sebagai subyek yang dipenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini adalah kebutuhan akan harga diri dan martabat. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini terpenuhi, akan tercipta sebuah
31
keluarga yang harmonis, saling menghormati dan dapat mengatasi segala permasalahan secara demokratis. Di samping itu, sebagai miniatur sebuah masyarakat, di dalam sebuah keluarga juga perlu membentuk “masyarakat madani” (civil society), yang menurut Djoko Susanto (2003) adalah “sebuah masyarakat yang dicirikan oleh: modern, berdaulat, komunikatif, adaptif terhadap lingkungan, swadaya tinggi, menerima berbagai perbedaan pandangan berdasarkan suku, ras, agama dan jender dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.” Salah satu komponen penting dari upaya pencapaian suatu kondisi masyarakat madani adalah tumbuh dan berkembangnya modal sosial (social capital) yang kental, di mana salah satu faktor terpentingnya adalah adanya keterpercayaan (trust) di dalam struktur masyarakat. Senge et al., (1999) menyebutkan bahwa modal sosial adalah pengertian abstrak namun rasional karena landasan utamanya adalah akal-budi manusia dan system thinking. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri dari individuindividu yang bersifat unit mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan “transaksi” sosial sehingga terwujud struktur sosial. Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah keluarga juga perlu
mengembangkan
sebuah
“modal
sosial”
yang
didasarkan
atas
kepercayaan/trust di antara anggota keluarga, baik antara suami-istri, antara orangtua dengan anak-anak serta di antara anak-anak itu sendiri. Berbagai kasus kekerasan dalam keluarga baik yang dilakukan terhadap pasangan (pada umumnya korbannya adalah istri) dan ataupun kepada anak, baik yang bersifat fisik, psikis maupun ekonomi (penelantaran), menunjukkan tidak dihormatinya harga diri dan martabat mereka serta tidak adanya trust di antara mereka. Pada akhirnya, kondisi ini akan menurunkan kualitas keluarga. Mengingat keluarga adalah inti dari masyarakat, maka hal ini berarti pula akan menurunkan kualitas suatu masyarakat dan berarti menurunkan pula kualitas sebuah bangsa. Untuk itulah, agar pembangunan keluarga perlu terus dikembangkan. Ringkasan Pembangunan keluarga bertujuan membentuk keluarga berkualitas yakni yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat,
32
maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan ini penting disebabkan keluarga adalah inti dari sebuah masyarakat. Di samping itu, keluarga juga memiliki sejumlah fungsi strategis yang tidak tergantikan oleh institusi lainnya. Berjalannya fungsi-fungsi ini pada akhirnya akan memerkuat pondasi sebuah masyarakat dan bangsa.
Penyuluhan Pengertian Penyuluhan Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata “suluh” yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal kata ini dimaksudkan agar penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang menyukainya, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang yang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri (Asngari, 2001). Mengutip pendapat Padmanagara, Slamet (Yustina dan Sudradjat, 2003) mengartikan penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya
memerbaiki/meningkatkan
kesejahteraannya
sendiri
serta
masyarakatnya. Lebih lanjut dijelaskan, pendidikan seringkali dikacaukan dengan penerangan. Padahal yang sebenarnya pendidikan berarti usaha mengubah perilaku. Dalam pendidikan memang termasuk pemberian berbagai macam informasi dan mungkin juga mengajarkan beberapa pengetahuan yang bersifat teori, tetapi tujuan akhir dari pendidikan adalah adanya perubahan perilaku atau munculnya suatu perilaku baru seperti yang dikehendaki. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah kegiatan mendidik masyarakat yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar menjadi mau dan mampu meningkatkan kualitas hidup.
33
Falsafah Penyuluhan Asngari (2003) menyebutkan tujuh prinsip atau filosofi yang harus dipegang dalam menerapkan kegiatan penyuluhan. Pertama, falsafah mendidik. Dalam proses mendidik klien tidak bisa dengan paksaan yang justru akan menyebabkan klien merasa terpaksa menjalankan hal-hal yang diinginkan penyuluh, tetapi dengan sabar mendidiknya sehingga klien menjadi terbiasa. Kedua, falsafah pentingnya individu. Hal ini disebabkan potensi pribadi setiap individu sangat besar untuk berkembang dan dikembangkan. Ketiga, falsafah demokrasi. Demokrasi adalah dasar martabat seseorang, melalui kebebasan dan keterbukaan informasi seseorang dapat menemukan sendiri jalan yang terbaik, dan dengan demokrasi seseorang akan mencapai tingkatan intelektual, kebebasan, dan tanggungjawab. Keempat, falsafah bekerja bersama, seperti ajaran Ki Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” yang mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa dalam proses belajar untuk mengembangkan usaha bagi dirinya. Kelima, falsafah “membantu klien membantu dirinya sendiri.” Keenam, falsafah berkelanjutan. Semua hal di dunia berkembang, sehingga penyuluhan harus mengikuti perkembangan tersebut, baik dalam hal materi yang disajikan, cara penyajian, maupun alat bantu penyajian. Ketujuh, falsafah “membakar sampah” secara tradisional. Intinya adalah dalam penyuluhan perlu pendekatan klien potensial untuk perubahan dan perlunya kesabaran menunggu perkembangan klien. Pada pendekatan individu berarti perlu kesabaran menunggu perkembangan individu, dan pada pendekatan kelompok berarti bahwa antaranggota kelompok akan saling mempengaruhi. Untuk mengubah perilaku, terdapat berbagai pendekatan yaitu: (1) kewajiban atau pemaksaan, (2) pertukaran, (3) pemberian saran, (4) memengaruhi pengetahuan dan sikap klien (petani), (5) manipulasi, (6) penyediaan sarana, (7) pemberian jasa, dan (8) mengubah struktur sosial ekonomi klien/petani (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sesuai dengan falsafah penyuluhan, pendekatan yang paling tepat dalam penyuluhan adalah pendekatan memengaruhi pengetahuan dan sikap klien, karena menyiratkan unsur “menolong seseorang untuk menolong dirinya sendiri.”
34
Artinya,
peran
penyuluh
hanya
sebatas memberikan
motivasi
ataupun
memfasilitasi dengan informasi, wawasan, pengetahuan dan lain sebagainya. Fasilitas ini digunakan klien untuk membantu memecahkan masalah dalam keluarganya. Mengapa masyarakat seringkali sulit diajak melakukan perubahan yang justru akan meningkatkan kualitas hidup mereka? Menurut Lippitt et al., (1958), terdapat sejumlah situasi yang menyebabkan masyarakat resisten terhadap perubahan, yaitu: (1) ketika tujuan perubahan tidak jelas, (2) ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, (3) ketika seruan tidak didasarkan pada alasan personal, (4) ketika norma dan kebiasaan masyarakat tidak diindahkan, (5) ketika komunikasi untuk berubah sangat jelek, (6) ketika ada rasa takut gagal, (7) ketika biaya terlalu mahal atau tidak sebanding dengan manfaatnya, dan (8) ketika situasi yang ada sudah cukup memuaskan. Untuk itulah, seorang penyuluh atau agen pembaharuan perlu melakukan pendekatan yang lebih intensif pada masyarakat kelompok sasaran, agar bisa tergali dengan jelas “kondisi psikologis” yang mereka rasakan mereka. Metode Penyuluhan Penyuluhan adalah proses penyampaian pesan-pesan/inovasi agar terjadi perubahan perilaku menuju yang diinginkan dari kelompok sasaran tersebut. Dalam penyuluhan kesehatan (Gordon, 1989), agar komunikasinya dapat berjalan baik, maka pesan yang disampaikan harus berkaitan dengan: (1) tingkatan resiko, (2) kepercayaan klien tentang perilaku yang direkomendasikan, (3) apa yang akan disampaikan, (4) klien sehubungan dengan lingkungan sosial dan fisik, dan (5) harus berada dalam pertimbangan keuntungan dan biaya yang minim. Terdapat tiga metode agar pesan penyuluhan mampu mengubah perilaku kelompok sasaran, yakni: secara perorangan, kelompok, dan massal. Masingmasing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Yang penting adalah metode yang digunakan tepat sasaran, tepat waktu, dan murah.
Menurut
Wiriaatmadja (1977), metode penyuluhan yang baik adalah yang: sesuai dengan keadaan sasaran, cukup dalam jumlah dan mutu, tepat mengenai sasaran dan waktunya, pesan mudah diterima dan dimengerti, dan biayanya murah.
35
Berbagai metode komunikasi dalam penyuluhan tersebut sudah seharusnya dipahami PKB dan kader KB, agar mereka dapat menentukan metode yang paling tepat untuk digunakan dalam suatu proses kegiatan penyuluhan. Ketepatan metode yang digunakan, akan mempercepat proses penerimaan informasi yang disampaikan,
sehingga
diharapkan
akan
mempercepat
pula
proses
pengadopsiannya. Penyuluhan sebagai Bentuk Pendidikan Orang Dewasa (POD) Penyuluhan adalah salah satu bentuk pendidikan orang dewasa (POD), karena pada umumnya sasaran penyuluhan adalah orang dewasa. Menurut Knowles (Lieb, 1991) karakteristik pelajar orang dewasa adalah: (1) orang dewasa adalah pribadi yang otonom (terbiasa mengatur diri-sendiri), (2) mempunyai pondasi pengalaman hidup dan pengetahuan, (3) berorientasi pada tujuan, (4) berorientasi pada hal-hal yang relevan dengan tujuan hidupnya, (5) menyukai halhal yang bersifat praktik/aplikatif, dan (6) minta dihargai. Untuk itu, Havighurst (1974) menyatakan bahwa program pembelajaran bagi orang dewasa harus disesuaikan dengan kebutuhan orang dewasa tersebut. Terdapat beberapa hal penting yang berkaitan dengan perencanaan pendidikan bagi orang dewasa yakni: (1) harus didasarkan pada kebutuhan orang dewasa tersebut, (2) tujuan belajarnya harus diidentifikasi sebelum kegiatan belajarnya dimulai, dan (3) suatu proses perencanaan program dengan beberapa modifikasi akan mencukupi keseluruhan program POD. Di samping itu, materi atau pesan yang akan disampaikan haruslah: (1) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
masyarakat
(bahasa
sehari-hari),
(2)
tidak
terlalu
sulit
dimengerti/dicerna oleh kelompok sasaran, (3) sebaiknya menggunakan alat peraga, dan (4) materi/pesan tersebut merupakan kebutuhan kelompok sasaran. Penyuluhan dari waktu ke waktu tetap dibutuhkan masyarakat karena pada setiap tahapan kehidupan manusia ada tugas, tanggung jawab, kebutuhan dan permasalahan yang unik. Untuk itu, mereka perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan tersebut, agar dapat menjalaninya dengan baik. Menurut Brim dan Wheeler (1967:18), terdapat tuntutan dan harapan yang baru ketika seseorang telah memasuki usia tertentu, karena hubungannya dengan kelompok-kelompok
36
masyarakat mulai berubah dan bertambah. Proses perkembangan dan deferensiasi berkaitan dengan kematangan fisik individu akan memperoleh tuntutan baru dengan status yang baru. Peningkatan tuntutan dalam kesesuaian umur atau pertumbuhan dapat dinyatakan sebagai tugas-tugas pengembangan. Havighurst (1974:2-5) menyebutkan bahwa tugas-tugas pengembangan adalah segala sesuatu yang harus dipelajari seseorang, sehingga dengannya dia dapat tumbuh
dan memiliki
kepuasan
dalam masyarakat.
Tugas-tugas
pengembangan adalah sebuah tugas yang ada pada periode tertentu hidup seseorang, yang apabila berhasil dilaksanakan atau dicapai, akan membuat seseorang dapat melaksanakan dan bahagia pada tugas perkembangan berikutnya. Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan ini akan berpengaruh pada ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan dalam masyarakat serta
kesulitan dalam
melaksanakan tugas perkembangan berikutnya. Keseluruhan tugas perkembangan ini harus dikuasai kalau seseorang ingin menjadi manusia yang baik dan berhasil (successful human being). Beberapa tugas perkembangan kelompok pemuda dapat dibagi menjadi dua fase penting. Pada umur 12-18 tahun, tugas pengembangannya antara lain: mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, mencari peran sosial pria dan wanita dan menerima keadaan fisiknya. Adapun pada umur 18-30 tahun, tugas pengembangannya adalah memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan untuk menikah, memulai untuk berkeluarga, mengasuh anak, mengelola rumah, mulai bekerja, mengambil tanggung jawab sebagai warganegara, mencari kelompok yang menyenangkan (Havighurst, 1974:5). Berdasarkan pendapat tersebut, seharusnya seseorang yang telah memasuki umur 18-30 tahun sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hal-hal yang terkait dengan persiapan memasuki kehidupan rumah tangga, agar dapat menjalaninya dengan baik. Akan tetapi, yang banyak terjadi adalah kebanyakan pemuda/pemudi belum memiliki pengetahuan dan keterampilan tersebut. Akibatnya adalah banyak keluarga yang tidak membuat/memiliki perencanaan keluarga yang baik tentang jumlah dan jarak kelahiran anak, pengasuhan dan pendidikan anak, ekonomi keluarga hingga perencanaan sosial.
37
Hal ini sangat beresiko pada terjadinya kasus ketidakharmonisan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga hingga sampai pada perceraian. Untuk itulah, setiap orang dewasa perlu terus-menerus melakukan proses pembelajaran diri. Menurut Winkel (1987), belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perubahan ini bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Adanya kemampuan belajar yang dimiliki manusia, akan menjadi bekal dasar sehingga dapat memperkaya diri dan mencapai taraf kebudayaan yang lebih tinggi. Suparno (2002:2-5)
menyebutkan bahwa belajar merupakan suatu
aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif permanen sebagai akibat dari upaya-upaya yang dilakukannya. Akibat belajar dapat mudah dilihat, tetapi ada juga yang sulit terlihat atau terukur. Belajar memunculkan perubahan perilaku yang berasal dari akibat penguatan-penguatan pada apa yang dilakukannya dalam bentuk reward system, ada juga sebagai akibat peniruan. Belajar adalah upaya memeroleh atau memerbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktek (van den Ban dan Hawkins, 1999:98). Dalam proses pembelajaran orang dewasa, peserta belajar adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Menurut Margono Slamet (2003:21), seseorang akan belajar bila dia tahu bahwa dengan belajar akan dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya meliputi: (1) kebutuhan akan kepastian atau keamanan dalam bidang ekonomi, sosial, psikologi dan spiritual, (2) kebutuhan akan pengalaman baru, minat baru, gagasan baru, dan cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu, (3) kebutuhan akan keakraban termasuk persahabatan, kebersamaan, keramah-tamahan, dan perasaan ikut memiliki, dan (4) kebutuhan akan pengakuan termasuk status, gengsi, prestasi dan penghargaan. Rogers (1969:163) menegaskan bahwa dengan lingkungan yang tepat, baik di lingkungan sosial maupun keluarga berupa arahan-arahan dan model positif, maka proses belajar mengarahkan seseorang menjadi pribadi yang mandiri (self reliant). Pembelajaran sendiri dapat dilihat dari kualitas seseorang dapat
38
mengarahkan diri, menginisiasi diri, dan kemampuan mengevaluasi sebagai hasilnya. Menurut Sheffield (1965), terdapat lima orientasi pembelajaran orang dewasa, yakni: (1) orientasi pembelajaran/pengetahuan, (2) orientasi tujuan pribadi, (3) orientasi tujuan masyarakat, (4) orientasi keinginan untuk bersosialisasi, dan (5) orientasi pemenuhan kebutuhan. Untuk
merealisasikan
kebutuhan-kebutuhan
membuat
keputusan,
mengembangkan sesuatu, menyelesaikan tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan pekerjaan, rumah, keluarga, olahraga atau hobi, umumnya banyak orang membuat atau melakukan suatu proyek belajar. Proyek belajar adalah serangkaian seri dari episode-episode yang saling berhubungan, kurang lebih dalam waktu tujuh jam. Sebuah Episode adalah periode waktu yang ditunjukkan untuk mengelompokkan atau membagi dalam tahapan dari aktivitas yang sama dan saling berhubungan dan tidak terputus oleh kegiatan lain (Tough, 1967:1). Terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan, antara lain: discovery learning, reception learning, assisted learning, experiental learning serta social learning. Pada model pembelajaran discovery Learning, menurut Brunner, model ini mendorong peserta belajar untuk belajar dengan diri sendiri dengan cara aktif untuk memiliki pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip atau konsep bagi mereka sendiri. Peserta didorong melakukan eksperimen sampai akhirnya dapat menemukan prinsip-prinsip yang terkait obyek yang telah diamati. Untuk model Reception learning, Ausabel yang memopulerkan model ini mengatakan bahwa peserta belajar juga membutuhkan motivasi eksternal untuk memelajari apa yang diajarkan, karena mereka tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dipelajari. Sebagaimana discovery learning, model ini juga memerlukan keaktivan peserta belajar, menekankan cara-cara agar pengetahuan yang sudah ada dapat menjadi bagian dari pengetahuan baru. Adapun model assisted learning merupakan proses pembelajaran dengan bantuan atau perantara. Di sini pengajar adalah seorang agen yang mampu membuat peserta belajar dapat menginternalisasi dan menguasai keterampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi.
39
Model experiential learning yang dikembangkan Kolb awal 1980-an ini menekankan pada pembelajaran holistik dimana pengalaman sangat berperan. Belajar merupakan proses peningkatan pengetahuan yang diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience). Pengetahuan merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Jadi, experiential learning dapat berarti tindakan untuk mencapai sesuai berdasarkan pengalaman yang terusmenerus berubah guna meningkatkan keefektifan hasil belajar (2008). Bandura (1977:7) dengan model social learning berasumsi bahwa belajar merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya yang diformulasikan: B (behavior) = f (P(person)
E(environment)). Jadi, perilaku yang dibentuk
sebagai hasil belajar tidak hanya ditentukan oleh faktor individu (internal), tetapi juga sangat terkait dengan situasi lingkungan tempat ia berada. Individu belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Kesemua model pembelajaran tersebut pada dasarnya dapat diterapkan dalam proses penyuluhan program KB. Prinsip dasar pada proses pembelajaran KB adalah bahwa sasaran utamanya pada umumnya adalah para orangtua yang sudah memiliki pengalaman dan permasalahan masing-masing. Untuk itu, para penyuluh harus mampu menangkap dan memahami permasalahan mereka serta membantu memberi alternatif pemecahannya. Sebagai contoh, jika ada pasangan yang usia istri belum cukup (di bawah 20 tahun) dan suami belum berpenghasilan tetap, maka solusi yang diberikan adalah agar mereka menunda kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi. Agar pemilihan alat/obat/metode kontrasepsinya tepat, mereka perlu mendapat informasi yang lengkap dan jelas. Dari uraian di atas, dapat dirangkum bahwa penyuluhan adalah bagian dari pendidikan untuk orang dewasa. Mengingat orang dewasa adalah kelompok masyarakat yang memiliki kriteria tertentu seperti sudah memiliki tujuan hidup, pengalaman dan penghasilan, maka proses pendidikannya harus disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan mereka. Agar fase kehidupan ini dapat dilalui dengan baik, maka sejak awal mereka sudah harus diberi pemahaman tentang tugas-tugas perkembangan ini. Untuk itulah, penyuluhan KB tidak saja ditujukan bagi kelompok masyarakat yang sudah berkeluarga ( Pasangan Usia
40
Subur), melainkan bahkan sejak remaja, dengan penekanan informasi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan masing-masing kelompok umur ini. Peran Penyuluh dalam Proses Penyuluhan Menurut Rogers (Totok Mardikanto, 1993:45), penyuluh adalah seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh sasaran penyuluhan untuk mengadopsi inovasi. Dengan demikian, peran penyuluh tidak hanya terbatas menyampaikan inovasi dan memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh sasaran penyuluhan, akan tetapi juga harus mampu menjembatani antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat sasaran. Kurt Lewin (Totok Mardikanto, 1993:46) menyebutkan tiga peran penyuluh yakni: (1) pencairan diri dengan masyarakat sasaran, (2) penggerakan masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan,
dan (3) pemantapan
hubungan dengan masyarakat sasaran. Agar lebih profesional, seorang penyuluh harus berperan sebagai: pembawa informasi, pendengar yang baik, motivator, fasilisator proses, agen penghubung, pembentuk kemampuan, guru keterampilan, pengelola program, pekerja kelompok, penjaga batas, promotor, pemimpin lokal, konsultan, protektor dan pembentuk lembaga. Karena membawa inovasi baru, penyuluh juga disebut sebagai agen perubahan. Menurut Lippitt et al., (1958:104-112) peranan agen pembaruan yang akan memberikan kontribusi pada proses perubahan adalah : (1) menjembatani dan
merangsang
relasi
baru
dalam
sistem
klien,
(2)
menceriterakan
pengalamannya dalam menyampaikan teknik-teknik baru, (3) menimbulkan kekuatan dari dalam, (4) menciptakan lingkungan yang khusus, dan
(5)
memberikan dukungan selama proses perubahan berlangsung. Menurut Mosher (Totok Mardikanto, 1993), peran penyuluh pertanian sebagai: (1) guru: mengubah perilaku masyarakat sasarannya, (2) penganalisis: mengamati berbagai keadaan, masalah-masalah dan kebutuhan masyarakat sasaran dan menganalisis alternatif pemecahan masalahnya, (3) penasehat: memberikan pertimbangan dalam memilih alternatif yang tepat, dan (4) organisator: mampu berhubungan baik dengan segenap lapisan masyarakat, menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, berinisiatif
41
bagi terciptanya perubahan dan dapat memobilisasi sumberdaya, mengarahkan dan membina kegiatan-kegiatan maupun mengembangkan kelembagaan yang efektif. Ringkasan Dari uraian di atas
dapat dirangkum
bahwa penyuluhan KB adalah
kegiatan mendidik keluarga agar menjadi mau, mampu, sanggup dan berswadaya memerbaiki/meningkatkan kesejahteraan mereka melalui perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak, umur melahirkan pertama dan terakhir, proses penanganan kelahiran, pengasuhan dan pendidikan anak serta pengembangan ekonomi keluarga agar dapat terwujud keluarga berkualitas. Terdapat tujuh prinsip atau filosofi yang harus pegangan para penyuluh yakni: falsafah mendidik, falsafah pentingnya ilmu, falsafah demokrasi, falsafah bekerja bersama, falsafah “membantu klien membantu dirinya sendiri”, dalsafah berkelanjutan dan falsafah “membakar sampah.” Terdapat tiga metode agar pesan penyuluhan mampu mengubah perilaku kelompok sasaran, yakni: secara perorangan, kelompok, dan massal.
Masing-masing metode ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Yang penting adalah metode yang digunakan tepat sasaran, tepat waktu, dan murah. Mengingat orang dewasa pada umumnya sudah memiliki tujuan hidup, pengalaman dan penghasilan, maka proses pendidikannya harus disesuaikan dengan permasalahan, kebutuhan dan tujuan mereka. Agar fase kehidupan ini dapat dilalui dengan baik, maka penyuluhan KB tidak saja perlu ditujukan bagi kelompok masyarakat yang sudah berkeluarga ( PUS), melainkan juga kepada kelompok remaja, dengan penekanan informasi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan masing-masing kelompok umur ini. Dalam proses tersebut, penyuluh memegang peranan
strategis dalam
proses penyuluhan yakni sebagai fasilitator, komunikator, analisator, organisator serta motivator yang menggerakkan kelompok sasaran agar tahu, mau dan mampu mengubah perilaku menuju kehidupan yang lebih baik/berkualitas.
42
Program Keluarga Berencana Pengertian Keluarga Berencana Dalam kamus Barat pada umumnya, Family planning diartikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. The American Heritage (2007) menyebutkan bahwa KB adalah suatu program untuk mengatur jumlah dan jarak anak dalam keluarga melalui penggunaan kontrasepsi atau metode pengaturan kelahiran lainnya WHO (2011) menyebutkan bahwa family planning mengijinkan individuindividu dan pasangan mengantisipasi dan menjaga keinginan mereka tentang jumlah dan jarak anak serta waktu melahirkan. Upaya ini dicapai melalui penggunaan alat kontrasepsi modern dan perlakuan tentang “involuntary infertility.” Dalam konteks Indonesia, definisi family planning dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peranserta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Dalam buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN, 2004) disebutkan bahwa Program KB Nasional adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju keluarga berkualitas. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjabaran visi dan misi Pemerintah untuk kurun waktu 2004-2009, menyebutkan Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai
langkah
penting
dalam
mencapai
pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk
43
melalui keluarga berencana, serta pengembangan dan peningkatan kualitas penduduk melalui perwujudan keluarga kecil yang berkualitas (BKKBN, 2007:1). Menurut UU yang baru yakni UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Dari pengertian di atas, tampak bahwa istilah family planning dalam konteks Indonesia tidak sekedar bermakna “pengendalian penduduk” (birth control), melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya sebuah keluarga berkualitas. Dengan kata lain, konsep keluarga berencana lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep family planning yang berlaku di Barat. Program KB di Beberapa Negara Beberapa negara melaksanakan program KB dalam upaya mengurangi tingkat kelahiran dan mencegah ledakan penduduk. Di China, sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, program KB mulai benar-benar diterapkan tahun 1970-an. Program yang dicanangkan adalah: menunda perkawinan, menunda memunyai anak serta menjaga jarak kelahiran antar-anak. Slogannya adalah: satu anak itu baik, dua anak masih dapat diterima dan tiga anak itu terlalu banyak. Dengan menerapkan program KB, diperkirakan dapat menekan 300 juta kelahiran antara tahun 1970-1994 (Lie, 1998). Pada awalnya, masyarakat tradisional Cina lebih suka menikah muda, memunyai anak pada usia muda serta memunyai banyak anak. Mereka biasanya memunyai anak antara 5-6 orang. Dalam pandangan mereka, “lebih banyak anak berarti suatu kebahagiaan yang besar” (Lie, 1998). Dengan buruknya pelayanan kesehatan, bencana nasional serta periode perang yang panjang, populasi mereka diperkirakan akan meningkat dari 250 juta menjadi 500 juta dalam waktu 200 tahun. Namun, seiring dengan meningkatnya pelayanan kesehatan serta kemampuan mencukupi kebutuhan pangan, jumlah penduduk meledak antara tahun 1950 dan 1980. Jumlah penduduk meningkat dari 500 juga menjadi 1 miliar hanya dalam waktu 30 tahun.
44
Keterbatasan sumberdaya (termasuk lahan tanah dan air bersih) tidak mampu mendukung beban penduduk yang sangat berat. Banyak pakar percaya bahwa jumlah penduduk maksimal Cina yang optimal untuk meningkatkan perkembangan ekonomi adalah 700 juta hingga 1 miliar. Itulah sebabnya kemudian dilaksanakan program keluarga berencana. Tahun 1980-an, Pemerintah China mendorong kebijakan satu anak untuk satu keluarga untuk pasangan di wilayah kota. Adapun di pedesaan didorong mempunyai dua anak dengan jarak antar-anak sekitar 4 tahun. Pada tahun 1996 rata-rata jumlah anaknya dua anak. Alat kontrasepsi yang paling popular adalah IUD. Dibandingkan perempuan, tingkat partisipasi laki-laki masih jauh lebih kecil, hanya sekitar 20 persen. Di kalangan mereka, vasektomi merupakan alat kontrasepsi yang populer. Aborsi tidak digunakan sebagai metode kontrasepsi. Aborsi digunakan jika metode kontrasepsi gagal (sehingga pemakai hamil lagi), ataupun untuk kelahiran yang tidak diinginkan. Terdapat aturan yang menekankan dilakukannya aborsi yang aman. Untuk mengurangi jumlah aborsi, mulai difokuskan penelitian kontrasepsi dalam kondisi darurat. Preferensi pada anak laki-laki adalah bagian dari sistem nilai Confucian. Untuk itu, sejak 1949, banyak upaya dilakukan untuk mengatasi rendahnya status hukum perempuan, tetapi diskriminasi terhadap anak perempuan masih menjadi kendala. Meskipun secara formal disebutkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, sosial dan kehidupan keluarga, akan tetapi dalam kenyataannya beban kaum perempuan dalam program KB masih lebih berat. Tahun 1992, tingkat partisipasi KB mereka adalah 83,5 persen. Adapun sisanya adalah tingkat partisipasi laki-laki, yang berarti masih di bawah 20 persen. Alat kontrasepsi yang popular di kalangan laki-laki adalah vasektomi yang dipilih oleh sekitar 22,62 juta laki-laki. Kondisi ini tidak meningkat jauh. Partisipasi laki-laki dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks seperti sosial, ekonomi, politik dan terutama budaya. Kunci keberhasilan pelaksanaan KB mereka adalah pada tiga hal yang utama yakni: pendidikan, pelayanan regular dan penggunaan alat kontrasepsi.
45
Di India, program KB dimulai tahun 1950-an, tetapi belum optimal. Akhir 1960-an, barulah dilakukan program besar-besaran untuk menurunkan kelahiran dari 41 per 1000 menjadi 20-25 per 1000 pada pertengahan tahun 1970-an. Kebijakan Kependudukan Nasional yang diadopsi tahun 1976 menyatakan perlunya pengintegrasian antara program KB dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembuat kebijakan berasumsi bahwa ukuran/jumlah keluarga yang terlalu besar adalah bagian dari kemiskinan, sehingga harus dikikis dengan strategi terintegrasi. Untuk itu, pendidikan tentang kependudukan dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah (Wikipedia, 2010). Di Malaysia, Family Planning dimulai sekitar 1950. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil. Menurut survei tahun 1957, sebanyak 31 persen perempuan di kota dan dua persen di desa menggunakan alat tersebut. Saat ini, kebutuhannya adalah: melatih petugas kesehatan, menginformasikan dan memotivasi keluarga untuk menerima KB, melanjutkan program pendididikan, mereformasi hukum anti aborsi, serta mengintegrasikan pelayanan KB dengan pelayanan kesehatan. Sejak tahun 1960an, perubahan dalam pola kependudukan dan ekonomi telah secara nyata memengaruhi keluarga di Malaysia. Lebih dari empat dekade perkembangan
ekonomi,
modernisasi
dan
migrasi
telah
bersama-sama
memengaruhi ikatan keluarga dan berkontribusi terhadap struktur keluarga yang lebih terfragmentasi. Perubahan yang terkait adalah peningkatan angka harapan hidup (Subbiah, 1994; Tey, 1994). Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan ekonomi dan sosial. Di Banglades yang pada tahun 2003 menjadi negara terpadat terbanyak ke7 di dunia (sekitar 135 juta) yang hampir setengahnya miskin, program KB mulai dilaksanakan tahun 2003 dengan nama The Health Nutrition and Population Sector Program (HNPSP). Kebijakan program ini adalah meningkatkan jumlah petugas lapangan dan klinik-klinik pembantu yang menyediakan layanan KB serta kunjungan rumah ke rumah. Dengan program KB tersebut, Total Fertility Rate (TFR) di Bangladesh menurun dari 6,3 kelahiran per perempuan pada tahun 1970-1975 menjadi 3,3 pada tahun 2000. Namun demikian, di perkotaan rata-rata jumlah anaknya 2,5,
46
sedangkan di pedesaan masih 3,5. Prevalensi kontrasepsinya juga meningkat dari 8 persen pada pertengahan tahun 1970 menjadi 54 persen pada tahun 2000. Pil KB merupakan metode kontrasepsi yang paling populer (23 persen), disusul suntik (7,8 persen) dan steril (6,7 persen). Akan tetapi, usia menikah masih muda yakni 14-18 tahun untuk perempuan dan minimum 21 tahun untuk laki-laki. Adapun usia melahirkan pertama rata-rata adalah 19 tahun. Secara umum jumlah anak yang dianggap ideal menurut kaum perempuan adalah 2,5, sedangkan menurut laki-laki 2,4. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kaum laki-laki tidak lebih “pro natalis/pro kelahiran” dibandingkan perempuan (The Department of Family and Community Health, 2009). Di Iran, pada masa pemerintahan Khomeini program KB dilarang. Akan tetapi, sekarang sebaliknya, jika mempunyai lebih dari tiga anak, maka tidak mendapat pendidikan gratis dan subsidi rumah (A1-Qazzaz, 1998). Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan salah satu solusi bagi negara-negara “besar” dalam upaya mengendalikan penduduk. Program KB di Indonesia Telah dikemukakan bahwa program KB di Indonesia tidak sekedar bermakna “pengendalian penduduk” (birth control), melainkan diarahkan hingga terwujudnya sebuah keluarga berkualitas. Dengan kata lain, konsep keluarga berencana lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep family planning yang berlaku di Barat. Semenjak program KB dilaksanakan Pemerintah yang kemudian dibuatkan Surat Keputusan presiden No.33 tahun 1972 yang memertegas status BKKBN sebagai lembaga pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, program ini telah berhasil mengukir sejumlah prestasi. Pada era Orde Baru, penyuluhan KB telah berhasil mengubah norma “keluarga besar” (keluarga dengan banyak anak) menjadi “keluarga kecil” (keluarga dengan sedikit anak). Tingkat kesuburan (total fertility rate/TFR) turun dari 5,61 tahun 1971 menjadi 2,78 tahun 1999 (BKKBN online, 19 April 2009). Tahun 1987 Indonesia mendapat penghargaan Population Award yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang kependudukan dan KB. Selanjutnya, tahun 1994 United Nations for Population (UNFPA) –lembaga PBB untuk
47
kependudukan, menetapkan Indonesia sebagai salah satu dari empat negara Center of Excellence. Status ini merupakan pengakuan lembaga internasional atas keberhasilan dalam penyelenggaraan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) dan community participation program kependudukan dan KB. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu kiblat program KB bagi dunia internasional. Namun demikian, keberhasilan yang dicapai tersebut tidak lepas dari kritik terhadap kualitas pelayanannya. Pusat Studi Wanita Universitas Andalas dan PKBI Sumatera Utara (1995) menyatakan bahwa hingga saat ini, KB lebih menonjol sebagai upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, sehingga muncul sejumlah masalah. Pertama, pengguna jasa pelayanan kesehatan, dalam hal ini konsumen KB, masih tidak puas dengan pelayanan medis. Kedua, pengelola program kesehatan menghadapi kesulitan karena kesenjangan pandangan mengenai kesehatan dengan masyarakat luas. Kesenjangan ini meliputi hal-hal yang diidentifikasi sebagai kebutuhan belum tentu menjadi permintaan bagi masyarakat. Dari aspek konsumen, terkendala oleh keterbatasan pengetahuan tentang: tubuhnya sendiri, obat dan cara kerjanya, lembaga kesehatan dan mekanisme pelayanan, serta kebijakan kependudukan, kesehatan dan KB. Ringkasan Dari pengertian di atas, tampak bahwa istilah family planning dalam konteks Indonesia tidak sekedar bermakna “pengendalian penduduk” (birth control), melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya sebuah keluarga berkualitas. Dengan kata lain, konsep keluarga berencana lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep family planning yang berlaku di Barat. Berbagai fakta dan data menunjukkan manfaat program KB, baik dari aspek mikro (keluarga) maupun makro (masyarakat dan bangsa). Untuk itulah, maka program KB perlu digalakkan kembali agar mencegah munculnya keluargakeluarga yang tidak berkualitas yang hanya akan melahirkan “generasi berkualitas yang hilang” (lost of generations).
48
Berbagai negara berpenduduk padat, termasuk Indonesia, juga menerapkan program KB dalam upaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Di Indonesia program ini semula dianggap berhasil yang menjadikan Indonesia menjadi kiblat bagi negara-negara lain. Akan tetapi, semenjak diterapkannya desentralisasi KB, banyak kabupaten/kota memberikan komitmen yang rendah yang berdampak pada melemahnya penyuluhan KB. Akibatnya, jumlah penduduk kembali membengkak, terutama di kalangan keluarga miskin, yang membuat kualitas keluarga mereka semakin menurun. Pada akhirnya hal ini akan menurunkan kualitas masyarakat dan bangsa. Untuk mencegah berbagai dampak ikutan yang lebih besar dan kompleks inilah, maka penyuluhan KB harus kembali digalakkan.
Penyuluhan Keluarga Berencana Pengertian Penyuluhan KB Penyuluhan
KB
adalah
kegiatan
penyampaian
informasi
untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas. Adapun pelayanan KB adalah kegiatan pemberian
fasilitas kepada
keluarga
dan
masyarakat
untuk
memenuhi
kebutuhannya dalam mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN, 2004). Sasaran utama program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yakni suami istri di mana istri berusia 15-49 tahun karena mempunyai kemungkinan untuk hamil dan memiliki anak. Dengan demikian, PKB harus mampu memberikan informasi kepada mereka agar menjadi tahu, mau dan mampu merencanakan sendiri keluarganya agar berkualitas. Visi Program KB Nasional saat ini adalah terwujudnya “Keluarga Berkualitas 2015”. Adapun misinya sebagaimana tertuang dalam Renstra Program KB Nasional tahun 2005-2009 adalah: “Membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB” (BKKBN, 2006a).
49
Yang dimaksud keluarga dengan anak ideal adalah keluarga yang dapat merencanakan kehidupan berkeluarga dengan baik dan penuh tanggung jawab. Keluarga sehat adalah keluarga yang tidak saja sehat secara jasmani, tetapi juga sehat secara rohani dan sosial. Kondisi ini terutama berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi, anak dan reproduksi (remaja), sehingga mereka terhindar dari penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Keluarga berpendidikan adalah keluarga yang mempunyai pengetahuan yang luas, termasuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan KB, menjaga kehamilan dan persalinan yang aman, pengasuhan dan tumbuh kembang anak, peningkatan kualitas lingkungan keluarga, anggota keluarganya terbebas dari buta huruf, menyekolahkan anaknya sekurang-kurangnya hingga (wajib belajar) sembilan tahun, serta memberikan kesempatan belajar yang sama kepada anakanaknya tanpa membedakan jenis kelamin. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memunyai hubungan serasi, selaras dan seimbang antar-anggotanya dan antara keluarga dan masyarakat serta lingkungan. Keluarga berketahanan adalah keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, baik secara fisik maupun psikis mental spiritual, guna hidup mandiri serta mampu mengembangkan diri dan anggota keluarganya untuk hidup harmoni, sejahtera lahir dan batin. Adapun keluarga yang terpenuhi hak-hak reproduksinya adalah yang dapat mengakses dan memahami tentang seluk-beluk kesehatan reproduksi secara jujur dan lengkap, serta mampu memeroleh layanan KB dan kesehatan reproduksi sesuai kebutuhannya. Dengan demikian, program KB bukan sekedar masalah “pemasangan alat kontrasepsi” semata, melainkan adalah sebuah perencanaan keluarga agar menghasilkan keluarga yang berkualitas. Karena sifatnya yang berorientasi jangka panjang dan fungsi keluarga yang menjadi pilar masyarakat, maka tujuan ini perlu dirancang sejak awal pembentukan sebuah keluarga.
50
Bagi sebagian keluarga, keputusan merencanakan jumlah dan jarak kelahiran antar-anak dengan menggunakan alat/obat/metode kontrasepsi “modern” masih bersifat sensitif, karena terkait dengan sistem nilai, baik agama maupun budaya. Di samping itu, juga terkait dengan nilai tentang anak. Menurut Sugiri Syarief (2007:61), umat Islam –yang merupakan penduduk mayoritas- tidak perlu khawatir tentang kehalalan KB. Karena mayoritas ulama membolehkan KB. Mayoritas Ulama sepakat bahwa KB yang dibolehkan syari’at adalah usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-istri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB di sini mempunyai arti sama dengan tanzhim al nasl (pengaturan kelahiran). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl, bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (ta’qim) dan aborsi (isqath al-haml wa al ijhadl), maka KB tidak dilarang. KB dalam batas pengertian di atas sudah difatwakan, baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga keislaman tingkat nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian/batasan ini sudah hampir menjadi Ijma’ Ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. KB juga diterima oleh agama-agama lain (Katolik, Kristen, Hindu dan Budha), sebagaimana tampak dalam serial buku panduan KB dari perspektif agama yang diterbitkan BKKBN (2007b). Di dalam program KB dikenal istilah Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). KIE adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB (Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan - BKKBN, 2007:39). KIE yang responsif gender adalah salah satu pendekatan dalam komunikasi yang bertujuan memercepat perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Ini diukur dari berbagai saluran komunikasi, di mana penyampaian dan penerimaan pesannya memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan.
51
Tujuannya adalah: (1) mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-laki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, (3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya kebijakan/program/peraturan yang responsif gender. Caranya adalah dengan melalui lima tahap yakni: (1) analisis situasi, (2) desain strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba bahan dan produksi, (4) pelatihan dan monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi. Perlunya KIE terutama bagi perempuan disebabkan banyak dari mereka (terlebih lagi yang kurang berpendidikan dan tinggal di pedesaan) yang masih belum terlalu (atau bahkan tidak sama sekali) paham tentang hal-hal penting yang terkait dengan kesehatan mereka. Hal ini akan mengganggu keberlangsungan keluarga secara optimal. Jenis komunikasi lain yang sering digunakan dalam program KB adalah konseling. Konseling adalah proses di mana seseorang membantu orang lain dalam membuat keputusan atau mencari jalan untuk mengatasi masalah, melalui pemahaman tentang fakta-fakta dan perasaan-perasaan yang terlibat di dalamnya (BKKBN, 2006b). Suatu hubungan konseling berpedoman pada pandangan bahwa pengambilan keputusan adalah tanggung jawab klien. Sedangkan pada pemberian nasehat, si pemberi nasehat berperan seakan ia seorang “ahli” dan memikul tanggung jawab lebih besar terhadap tingkah laku/tindakan klien. Persamaannya, keduanya mengandung unsur pemberian informasi yang tepat. Untuk menjadi komunikator yang efektif, perlu memahami 12 langkah sebagai berikut: (1) deskripsikan pesan dengan jelas, (2) peka terhadap sikap klien mengenai masalah yang disampaikan, (3) peka terhadap sikap klien terhadap komunikator, (4) menyesuaikan cara penyampaian pesan dengan karakteristik penerima pesan, (5) berusaha menempatkan diri pada posisi penerima pesan, (6) pesan disampaikan dengan ringkas dan sederhana, (7) pesan diberikan secara bertahap dan sistematis, (8) ulangi hal-hal yang penting dan ingin ditekankan, (9) berikan contoh-contoh konkret, (10) kaitkan suatu ide dengan hal yang sudah diketahui penerima pesan, (11) kemukakan ide-ide penting terlebih dahulu, jangan
52
tenggelam ke dalam detil-detil, dan (12) hindari situasi bising yang mengganggu (BKKBN, 2006b). Secara ringkas, langkah-langkah konseling dapat dijelaskan dengan akronim “SATU TUJU” yang “SA”= beri salam kepada klien (menciptakan hubungan), “T” = tanyakan kepada klien untuk menjajagi pengetahuan, perasaan dan kebutuhannya tentang kontrasepsi, “U” = uraikan (menyediakan informasi) tentang alat/cara KB yang ingin diketahui klien, “TU”= bantu klien menyocokkan alat/cara KB dengan keadaan dan kebutuhannya, “J”= jelaskan lebih rinci alat/cara KB yang dipilih/akan dipakai klien, dan “U”= kunjungan ulang klien atau rujuk ke tempat pelayanan lain bila diperlukan (BKKBN, 2006b). Berbagai jenis komunikasi tersebut, diharapkan dapat diterapkan oleh penyuluh dan kader agar dapat memercepat terjadinya peningkatan pengetahuan tentang KB di kalangan kelompok sasaran (terutama yang sosial ekonominya rendah). Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh sikap yang positif terhadap KB dan pada akhirnya secara sadar bersedia menerapkan nilai-nilai ber-KB. Pentingnya Penyuluhan KB Beberapa penelitian berikut ini semakin menguatkan perlu dan pentingnya penyuluhan KB dan keluarga. Penelitian Utsman (2002) terhadap Wanita Usia Subur (WUS) keluarga pra sejahtera di desa-desa tertinggal di Kabupaten Karanganyar- Jawa Tengah, menyimpulkan tidak konsistennya pengetahuan dan perilaku mereka tentang usia kawin pertama, usia melahirkan terakhir, jumlah anak ideal, perawatan kehamilan, pemberian makan bayi serta jarak kehamilan ideal. Perilaku reproduksi sehat cenderung dimiliki oleh mereka yang berpendidikan tinggi, memiliki jenis pekerjaan tertentu serta memanfaatkan berbagai jenis media massa. Triyono dan Uminastuti (2002) yang mengkaji 64 wanita berkeluarga di Kota Palangkaraya menemukan bahwa hanya sepertiga (30,8 persen) yang memahami dengan benar pengertian dan fungsi “reproduksi.”
Lebih dari
setengahnya (73,1 persen) mengaku malu untuk menanyakan atau membicara halhal terkait dengan organ reproduksi dan hubungan seksual kepada orang lain (termasuk dengan sesama perempuan).
53
Hasil penelitian Siti Amanah et al., (2009) di Kabupaten Bogor misalnya, menemukan adanya kasus di salah satu desa penelitian yang warganya tidak memiliki pengetahuan mengenai alat kontrasepsi selain suntik. Itulah sebabnya alat KB ini menjadi alat KB yang dominan dipilih untuk menjarangkan kelahiran. Masih diperlukannya penyuluhan KB dan keluarga tampak juga dari hasil analisis terhadap data SDKI 2007 (Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi– BKKBN, 2004). Pada pertanyaan pengetahuan tentang HIV/AIDS misalnya, informasi tentang AIDS lebih banyak dimiliki wanita umur 20-29 tahun, wanita berstatus kawin, wanita yang tinggal di perkotaan dan wanita berpendidikan tinggi. Adapun mereka di luar kelompok itu, kurang memilikinya. Hal inipun terjadi di kalangan laki-laki, bahkan dengan prosentase yang rata-rata lebih tinggi. Kesertaan ber-KB tidak terlepas dari berbagai faktor. Chaudhary (1994) menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi, norma-norma budaya serta sistem nilai dan kepercayaan memengaruhi perilaku orang tentang formasi dan preferensi keluarga. Dalam hal ini, tingkat pendidikan juga memegang peranan. Pendapat tersebut diperkuat beberapa penelitian lain. Kajian Utomo et al., (2006) tentang data Survei Demografi Jakarta tahun 1982 menemukan bahwa faktor terkuatnya adalah pendidikan, disusul jumlah anak lahir hidup, frekuensi terekspos media massa dan usia. Beberapa
penelitian
perubahan perilaku.
membuktikan
pentingnya
pendidikan
dalam
Studi komparatif di India misalnya (Wikipedia, 2010)
menunjukkan bahwa peningkatan angka melek huruf di kalangan perempuan sangat berhubungan dengan penurunan tingkat kelahiran. Tingkat pendidikan perempuan (walaupun mungkin tidak bekerja) sangat menentukan tingkat penggunaan kontrasepsi. Kajian Vural et al., (1999), di Turki juga menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan bagi suami istri semakin meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran. Kajian Susanto dan Utsman (1995) menggambarkan lemahnya perilaku reproduksi sehat pada masyarakat berpendidikan rendah yang tampak dari kurang diperhatikannya imunisasi anak, rendahnya partisipasi dalam program KB serta kurangnya perhatian pada gizi keluarga. Adapun penelitian pada masyarakat yang lebih berpendidikan (Utsman, 2002) membuktikan sebaliknya. Dengan demikian
54
terlihat jelas keterkaitan pengetahuan dengan perilaku, termasuk perilaku reproduksi sehat. Yusra (2002) yang mengaji 50 wanita nelayan di Kotamadya Padang menyimpulkan adanya pengaruh pengetahuan gizi pada perilaku gizi lainnya. Rendahnya perilaku gizi wanita nelayan menyebabkan rendahnya status gizi balita nelayan. Status gizi balita nelayan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan besar keluarga juga memengaruhi pengetahuan mereka tentang gizi dan kesehatan. Monalisa (2003) menyimpulkan bahwa pendidikan formal dan informal turut menjadi peubah yang menentukan efektivitas penyuluhan Gerakan Sayang Ibu/GSI di dua kelurahan di Kota Bogor. Kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan KB & Kesehatan Reproduksi- BKKBN (2004) dalam Analisis Lanjut SDKI 2002-2003 menyimpulkan bahwa pendidikan berhubungan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Herien Puspitawati (2006) juga menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan orangtua berhubungan erat dengan perilaku kenakalan remaja. Keterkaitan antara pengetahuan dengan perilaku WUS dalam ber-KB tersebut sejalan dengan teori adopsi inovasi Rogers (1983) di mana pada dasarnya sebelum mengadopsi inovasi atau sebelum berperilaku biasanya diawali dari adanya pengetahuan, kemudian persuasi, penentuan sikap, berperilaku dan konfirmasi. Kabir et al., (2007) yang mengaji Survei kelahiran Bangladesh tahun 1989 menunjukkan bahwa faktor pengaruhnya adalah status perempuan. Di samping itu, tampak bahwa semakin tinggi kasus kematian bayi, semakin tinggi pula tingkat fertilitasnya. Banyaknya anak, terutama di kalangan keluarga miskin, juga dapat disebabkan adanya persepsi tentang “nilai” yang terkandung pada anak. Rani et al., (2003) menyatakan bahwa di India dan kebanyakan negara berkembang, anak (apapun jenis kelaminnya) mempunyai dua nilai ekonomi, yakni sebagai pekerja keluarga yang dapat membantu ekonomi keluarga serta sebagai penopang orangtua di kala sudah tua. Untuk itulah, kebanyakan dari mereka mempunyai
55
anak banyak. Pendapat ini diperkuat Hoffman (1988), Trommsdorff, Zeng & Tardif (2002) dalam Zheng et al., (2004) yang menyebutkan bahwa kebanyakan orang termotivasi untuk mengasuh dan mendidik anak untuk alasan kenyamanan ekonomi dan sosial. Banyaknya anak juga dapat disebabkan adanya preferensi orangtua terhadap jenis kelamin anak tertentu yang dianggap memiliki “nilai” lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin lainnya. Kajian Zafar di India (2002) menunjukkan bahwa preferensi terhadap anak laki-laki disebabkan mereka dianggap memunyai keuntungan, baik secara ekonomi maupun sosial. Anak laki-laki dianggap lebih mampu berkontribusi bagi perekonomian keluarga, memunyai status sosial lebih tinggi serta mempunyai tingkat ketergantungan kepada orangtua yang lebih rendah dibandingkan anak perempuan. Adanya keinginan mempunyai anak laki-laki menyebabkan tingkat prevalensi terhadap kontrasepsi menjadi rendah. Untuk itu, disarankan agar nilai tentang anak laki-laki seharusnya “diturunkan” agar membuat program KB sukses (Zafar, 2002). Kajian Hussain et al., (2007) terhadap keluarga Kristen di wilayah perkotaan di Faisalabad Pakistan, membuktikan hal ini. Sebaliknya, di Nusa Tenggara Timur (NTT), anak perempuan memiliki nilai
yang
lebih
tinggi.
Banyak
memiliki
anak
perempuan
dianggap
menguntungkan, karena mahar yang akan diterima saat si anak menikah akan besar. Adapun anak laki-laki akan menjadi penopang kehidupan di masa mendatang (Azahari, 2009). Jumlah anak berhubungan dengan kemiskinan (Tampubolon, 2009). Hubungan pertama, kesuburan dapat menyebabkan kemiskinan bila lebih banyak anak menyebabkan sumberdaya yang tersedia untuk setiap anak menjadi berkurang. Sumberdaya yang tersedia, seperti uang dan perawatan serta perhatian orangtua yang diperlukan untuk pemupukan sumberdaya insani (human capital) menjadi terbagi kecil-kecil, yang pada akhirnya menyebabkan bati atau manfaat pemupukan modal insani juga kecil. Pendapat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin rendah kesertaan ber-KB. Hal ini diperkuat oleh Suroso Dasar (2010), seorang aktivis penulis bidang KB di Jawa Barat, yang
56
menyebutkan bahwa semakin baik tingkat kesertaan KB di suatu kabupaten/kota, maka semakin rendah tingkat kemiskinannya, dan begitupun sebaliknya. Jawa Barat yang penduduknya sangat padat dapat menjadi salah satu gambaran riilnya. Namun demikian, menurut Tampubolon (2009), kemiskinan juga dapat berhubungan positif dengan jumlah anak. Dikatakannya, kemiskinan dalam kondisi resiko tinggi seperti di negara berkembang bisa mendorong orangtua untuk secara rasional berjaga-jaga secara berlebihan dengan memerbanyak anak. Jadi, kemiskinan menyebabkan kesuburan tinggi. Harapan orangtua adalah dengan memunyai banyak anak, orangtua akan terlindung oleh anak ketika resiko yang dikhawatirkan tersebut terjadi, misalnya kemarau berkepanjangan di masa tua. Resiko yang tampak di sini meliputi resiko gangguan kesehatan, resiko kehilangan pekerjaan, resiko keuangan, serta resiko lingkungan seperti kemarau, banjir dan tsunami. Penyuluhan KB juga perlu memerhatikan dan melibatkan para suami. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketidaktahuan para suami tentang KB menyebabkan tingkat partisipasi mereka (baik secara langsung dengan cara menjadi akseptor maupun secara tidak langsung dengan cara mendukung istri untuk ber-KB) menjadi rendah. Hal ini ditemukan Imroni et al. (2009) yang mengaji para ibu yang menggunakan metode implant di desa Parit, Kecamatan Indralaya
Utara
Kabupaten
Ogan.
Ditemukannya
faktor
yang
terbukti
memengaruhi tingkat penggunaan implant ibu-ibu tersebut adalah sikap mereka pada metode implant serta dukungan suami. Kesadaran perlunya melibatkan laki-laki/suami dalam urusan KB juga ditemui di Malawi. Rendahnya tingkat partisipasi KB dan tingginya kehamilan beresiko ternyata disebabkan karena tidak dilibatkannya para suami dalam penyuluhan. Padahal, merekalah pengambil keputusan dalam keluarga, termasuk penentuan jumlah anak (Kishindo, 1994). Adapun kajian di Turkey menunjukkan bahwa pelibatan laki-laki/suami dalam urusan KB (khususnya penentuan jumlah anak dan metode kontrasepsi yang akan digunakan) serta peningkatan pendidikan suami terbukti meningkatkan partisipasi laki-laki dalam ber-KB (Vural, 1999).
57
Para suami yang telah dapat keluar dari sekat-sekat tradisional yang memisahkan secara kaku antara “pekerjaan publik” (yang biasanya dianggap menjadi satu-satunya kewajiban laki-laki) dengan “pekerjaan domestik” (yang menjadi tugas tradisional perempuan) sebetulnya akan merasakan dan memberi banyak manfaat. Manfaat ini tidak saja akan dirasakan oleh diri mereka dan keluarga mereka, melainkan juga masyarakat sekitar. Kauppinen-Toropainen dan Lammi (Williams, 1993:100) menunjukkan bahwa laki-laki yang “tidak tradisional” biasanya menerima dukungan dan semangat dari kolega perempuan mereka. Perempuan cenderung menyambut baik laki-laki yang masuk ke jenis pekerjaan perempuan, karena mereka percaya bahwa hal ini dapat mempertinggi status, prestise dan –yang mereka harapkanupah bagi profesi tersebut. Sikap-sikap yang mendukung ini membantu memudahkan laki-laki dalam beradaptasi ke “dunia perempuan.” Data di Kabupaten Bogor misalnya (BPPKB Kabupaten Bogor, 2009) menunjukkan bahwa jumlah peserta KB Aktif pria yang dihitung dari perbandingan jumlah peserta KB MOP dan kondom terhadap total peserta KB Aktif untuk bulan Juni 2009 tercatat sebanyak 9482 atau 1,59 persen dari total Peserta KB Aktif (PA). Untuk kabupaten Cianjur, data tahun 2006 menyebutkan bahwa total peserta KB aktif menggunakan kondom sebanyak 297 orang yang berarti 0,10 persen dari total PA. Agar terjadi perubahan perilaku ber-KB, juga perlu didukung dengan tersedianya berbagai sumber informasi. Hasil Analisis Lanjut SDKI 2002-2003 tentang pengetahuan dan persepsi tentang AIDS dan PMS lainnya
(Pusat
Penelitian dan Pengembangan KB dan Kesehatan Reproduksi– BKKBN, 2004:18) menyebutkan bahwa jumlah perempuan yang tidak mengetahui HIV/AIDS adalah hampir separuh dari jumlah perempuan berstatus kawin (43,9 persen). Adapun yang tahu sebanyak 56,1 persen. Sebagian besar berumur 40-49 tahun ( 55,6 persen), disusul umur 15-19 tahun (47,8 persen). Hal ini mungkin diakibatkan terbatasnya akses informasi kepada kedua kelompok umur tersebut. Kajian Dayana (2004) juga menyimpulkan bahwa pada masyarakat Batak Toba pendatang, perilaku mereka tentang keluarga kecil semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya sumber informasi yang diterima, yang
58
membuat pemahaman mereka akan tujuan dan manfaat KB menjadi semakin menyeluruh, sehingga segera memutuskan untuk mendukung program tersebut. Dari beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa masih ada persepsi yang tidak tepat tentang anak (terutama terjadi di kalangan keluarga miskin) serta kurangnya dukungan lingkungan (laki-laki/suami, masyarakat serta pengelola program) menyebabkan masih perlunya dilakukan penyuluhan KB. Meningkatnya jumlah penduduk miskin yang memiliki anak banyak setelah era desentralisasi KB, menunjukkan lemahnya penyuluhan KB dan untuk itu perlu ditingkatkan kembali. Penyuluhan KB tidak berhenti pada tujuan untuk perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak saja, melainkan harus terus berlanjut pada tahap berikutnya yang tantangannya justru semakin berat. Setelah melahirkan, orangtua masih memiliki serangkaian tugas dan kewajiban yakni mendidik dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang serta menerapkan hak-hak anak lainnya (pendidikan, kesehatan, pengembangan potensi dan lainnya). Banyak bukti menunjukkan adanya hubungan positif antara pengasuhan dengan tumbuhkembang anak pada tahap-tahap berikutnya, terutama remaja dan dewasa. Konsep
tumbuhkembang
merupakan
perpaduan
antara
konsep
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih mudah diamati dan dapat langsung diukur daripada perkembangan (Satoto, 1990). Status gizi dijadikan peubah proxy pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang dikembangkan lebih mudah diaplikasikan. Salah satu alat ukur yang umum digunakan adalah indeks antropometri, seperti berat badan menurut umur atau BB/U, panjang badan menurut umur atau PB/U dan berat badan menurut tinggi badan atau BB/TB. Konsep perkembangan lebih rumit lagi. Ia merujuk pada perubahan kompleksitas dan fungsi. Dalam proses tumbuhkembang anak, Myers (1992) mengukuhkan peran sinergis antara aspek psikososial, gizi dan kesehatan yang merupakan satu kesatuan tumbuhkembang anak. Wallender (1989) menambahkan bahwa kompetensi sosial dan emosional pada anak-anak akan mengurangi resiko perilaku negatif seperti mengunsumsi alkohol dan penggunaan narkoba. Kompetensi sosial dan emosional yang baik dalam masa anak-anak akan meningkatkan kesehatan sepanjang siklus hidupnya.
59
Sebuah keluarga yang berkualitas dapat ikut menekan terjadinya berbagai kasus kenakalan remaja. Disebutkan Kartono (1986), kehidupan keluarga yang tidak harmonis, baik karena perceraian, pertengkaran maupun karena orangtuanya hidup terpisah menyebabkan anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Pengasuhan dan komunikasi yang tidak seimbang antara ayah dan ibu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan fisik (sandang, pangan dan pemeliharaan kesehatan) serta kebutuhan kasih sayang anak remaja (bonding dan kualitas hubungan). Hal ini pada akhirnya menyebabkan tidak tercapainya outcome remaja dengan baik seperti prestasi kerja dan kepercayaan diri. Syakrani (2004) yang mengaji pengaruh pola “keayahbundaan” pada tumbuhkembang anak di etnik Madura dan Banjar menemukan bahwa orangtua di kedua etnik tersebut belum memiliki sumberdaya yang diperlukan untuk menjadikan
keluarga
mereka
sebagai
wadah
pengembangan
potensi
tumbuhkembang anak mereka. Hal ini dikhawatirkan akan melahirkan sebuah generasi yang tidak berkualitas. Herien Puspitawati (2006) yang mengkaji 550 pelajar SMK-TI yang mayoritas laki-laki dan 112 pelajar SMU yang secara purposif semuanya perempuan berumur 15-22 tahun di Kota Bogor menyimpulkan bahwa tekanan ekonomi keluarga berpengaruh secara nyata tidak langsung terhadap perilaku kenakalan remaja melalui pengasuhan yang dilakukan orangtuanya. Perilaku agresif dan kenakalan remaja yang tinggi dipengaruhi secara tidak langsung oleh komunikasi orangtua dan remaja yang rendah serta oleh keterikatan dengan teman yang tinggi. Kajian Sri Tjahyorini Sugiharto (2007) tentang anak jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta menunjukkan bahwa latar belakang keluarga merupakan faktor penentu utama pada perilaku anak jalanan. Pengaruh keluarga lebih dominan dibandingkan pengaruh lingkungan. Hal ini menunjukkan pentingnya keluarga yang berkualitas untuk dapat menghasilkan keturunan yang berkualitas. Schumm dengan “schumm’s model”-nya menyebutkan pentingnya enam aspek yang berinterelasi dalam membentuk ketahanan keluarga yakni: orientasi agama, apresiasi, komitmen terhadap anggota keluarga, waktu kebersamaan, komunikasi dan penanggulangan masalah. Orientasi agama ditempatkan sebagai
60
aspek yang melandasi kelima aspek ketahanan keluarga lainnya (Krysan et al., 1990 dalam Euis Sunarti, 2001). Euis Sunarti (2001) menyimpulkan bahwa ukuran ketahanan keluarga yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik, ketahanan psikologis dan ketahanan sosial. Sebuah keluarga yang “berketahanan” dan tangguh, juga berarti keluarga yang mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pasal 13 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (1) diskriminatif, (2) eksproitasi (baik ekonomi maupun seksual), (3) penelantaran, (4) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, (5) ketidakadilan, dan (6) perlakuan salah lainnya. Bagi orangtua yang melanggarnya, dikenakan pemberatan hukuman. Dengan telah diundang-undangkannya perlindungan anak, maka menjadi kewajiban setiap orangtua untuk mengetahui, memahami dan dapat menerapkan semua hal yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian hal ini berarti bahwa penyuluhan KB pada akhirnya tidak sebatas pada upaya perencanaan kelahiran anak (jumlah dan jarak antar-anak, usia ibu untuk mulai dan berhenti mengandung serta proses kelahirannya), melainkan berlanjut pada proses pengasuhan dan pendidikan anak hingga ketahanan keluarga. Dengan demikian, keputusan pasangan untuk membina rumah tangga membutuhkan suatu kesiapan yang serius, tidak saja kematangan fisik, melainkan juga kekuatan mental serta pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya perencanaan keluarga agar terwujud keluarga berkualitas. Untuk itulah, penyuluhan KB tetap perlu dan penting dilakukan. Sasaran penyuluhan KB tidak saja kepada para PUS, melainkan –bahkan harus sudah dimulai kepada- para remaja yang merupakan “calon-calon orangtua.” Dengan demikian, pada saat memasuki kehidupan rumah tangga, mereka benar-
61
benar telah memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup, sehingga dapat memasuki setiap tahapan tugas-tugas perkembangan mereka dengan optimal. Ringkasan Penyuluhan KB adalah penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas. Adapun pelayanan KB adalah kegiatan pemberian fasilitas kepada keluarga dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan keluarga berkualitas. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka visi Program KB Nasional saat ini adalah terwujudnya “Keluarga Berkualitas 2015.” Adapun misinya adalah membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan,
informasi
kependudukan
dan
keluarga,
serta
penguatan
kelembagaan dan jejaring KB. Upaya mewujudkan hal tersebut seringkali terkendala oleh pemahaman tentang sistem nilai budaya dan agama yang kurang mendukung. Padahal, telah disepakati bahwa program KB selaras dan tidak bertentangan dengan pandangan agama apapun. Untuk itu, seharusnya para tokoh agama dan tokoh masyarakat harus berperan aktif dalam memberikan pendidikan ini kepada masyarakat. Berbagai penelitian baik di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan banyaknya faktor yang memengaruhi perilaku ber-KB yakni tingkat pendidikan, akses informasi, relasi suami-istri dan pandangan tentang nilai anak. Untuk itulah, penyuluhan KB perlu terus dilakukan kepada semua khalayak, baik perempuan maupun laki-laki. Melalui proses KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) dan konseling yang berkeadilan gender ini diharapkan akan tumbuh saling kerjasama di antara perempuan dan laki-laki dalam upaya mewujudkan keluarga berkualitas dan sekaligus berkeadilan gender.
62
Pelaksana Penyuluhan KB Penyuluhan KB dilaksanakan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Mereka adalah para pegawai negeri sipil baik yang berstatus sebagai penyuluh fungsional (yang disebut dengan Penyuluh KB/PKB) maupun bukan fungsional (yang disebut Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB). Mengingat keterbatasan jumlah PKB/PLKB yang tidak seimbang dengan luas wilayah dan jumlah kelompok sasaran, maka dalam program KB, dikembangkan konsep “Kader KB”, yakni kelompok masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu tugas penyuluhan dan pelayanan PKB. Berikut ini ulasannya. Penyuluh KB (PKB) Keberhasilan penyuluhan KB pada periode awal pelaksanaannya tidak terlepas dari peran petugas lapangannya. Petugas Lapangan KB (PLKB) adalah tenaga penyuluh yang sejak awal perkembangan program KB telah sangat berjasa. Seiring dengan berkembangnya program, tugas mereka pun semakin berat. Tidak hanya mencari akseptor, tetapi juga harus melakukan pencatatan pelaporan, pendistribusian alat kontrasepsi ulangan, kegiatan gizi keluarga dan sebagainya. Atas jasa tersebut, pada tahun 1981, mereka dijadikan Pegawai Negeri Sipil. Tahun 1988, status mereka dinaikkan menjadi pejabat fungsional. Bagi mereka yang tidak memenuhi persyarakat pendidikan, tidak bisa beralih menjadi tenaga fungsional, akan tetapi tetap memiliki tugas penyuluhan dan pelayanan KB. Keputusan
Menteri
KEP/120/M.PAN/9/2004
Pendayagunaan
tentang
Jabatan
Aparatur
Fungsional
Negara
Nomor:
Penyuluh
Keluarga
Berencana dan Angka Kreditnya (BKKBN, 2004:3) menyebutkan bahwa Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan pengembangan Keluarga Berencana Nasional. Dengan kata lain, PKB
adalah PLKB yang
berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN, 2002:3). Tugas pokok mereka adalah (1) melakukan penyuluhan KB Nasional dan (2) memberikan pelayanan KB. Kegiatan penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
63
keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas. Sedangkan pelayanan KB adalah pemberian fasilitas kepada keluarga dan masyarakat guna memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan keluarga berkualitas. Tugas memberikan penyuluhan KB Nasional meliputi: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan dan pembinaan generasi muda. Adapun tugas pelayanan KB mencakup: persiapan pelayanan, pelaksanaan pelayanan dan pengembangan model pelayanan. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa PKB adalah Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai tenaga fungsional dengan tugas utama melakukan penyuluhan dan pelayanan KB. Dalam menjalankan tugasnya, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal. Motivasi kerja dapat memengaruhi pelaksanaan kerja PKB. Kajian Alfikri (2009) tentang kinerja Ajun Penyuluh KB di DKI dan kajian di Kabupaten Jember (Dwiyantono, 2008) membuktikan hal tersebut. Adapun motivasi kerja PLKB dipengaruhi aspek finansial, disusul aspek afiliasi sosial, pengembangan karir, sarana kerja dan aspek tugas (Siregar, 2004). Dalam penyuluhan pertanian misalnya, beberapa kajian (antara lain Teddy Rachmat Muliady, 2009; Nani Suhanda, 2008; Bestina et al., 2006) juga menunjukkan pengaruh motivasi kerja pada kinerja penyuluh. Demikian halnya di bidang kepegawaian, antara lain ditemukan Marlingga (2009) yang mengkaji karyawan PT Garuda Indonesia Branch Office Semarang. Kinerja penyuluh KB juga dapat dipengaruhi kompetensi mereka (Alfikri, 2009). Salah satunya adalah kemampuan relasi interpersonal, yakni dalam mengadvokasi para pemimpin informal di lingkungan kerjanya, baik para tokoh agama serta tokoh masyarakat (Ketua RW, Ketua RT, pimpinan media massa lokal/radio dan surat kabar, tokoh pemuda dan sebagainya). Dengan memahami setting sosial setempat, akan dipahami pula sistem nilai dan budaya setempat, sehingga dapat menentukan pendekatan yang tepat dalam memberikan penyuluhan. Penelitian ini senada dengan temuan David (2008) dalam penelitiannya di Ibadan Metropolis, Nigeria. Bentuk kompetensi lainnya yang berpengaruh adalah profesionalisme (Dwiyantono, 2008).
64
Hasil Notulen Video Conference (VICON) Layanan Informasi Program Pemberdayaan dan Pembelajaran Jarak Jauh bagi PKB/PLKB (VICON LIP4) tanggal
4 Februari 2010 (BKKBN, 2010) juga
menekankan sejumlah
kemampuan yang perlu dimiliki PLKB/PKB. Kemampuan tersebut adalah: pertama, kemampuan berkomunikasi, antara lain kemampuan: berkomunikasi dalam format wawan-muka (wawancara bertatap muka), kelompok, dan massa; menjelaskan anatomi fisiologi alat-alat reproduksi untuk KRR/PKBR dan alat/obat reproduksi, serta melakukan trik-trik komunikasi dan menerjemahkannya ke dalam program/kegiatan dengan bahasa yang akrab dengan khalayak setempat. Kedua, kemampuan bekerja dengan data (servis), terdiri dari: kemampuan mengumpulkan,
mengolah,
menyajikan
dan
memanfaatkan
data
kependudukan/keluarga/demograsi dan kesertaan ber-KB, data wilayah dan potensi wilayah, data tokoh masyarakat dan kondisi sosial budaya. Ketiga, kemampuan membangun jaringan/koordinasi (pengendalian program), terdiri dari: kemampuan membangun jaringan dan koordinasi dengan berbagai pihak, mengembangkan jaringan dengan tomas, toga dan LSOM; mengembangkan berbagai institusi Poktan/Kelompok Kegiatan, serta menjadi event organizer (EO) di tingkat akar rumput. Adanya pengaruh kompetensi pada kinerja penyuluh juga ditemukan dalam beberapa penelitian di bidang pertanian (Teddy Rachmat Muliady, 2009; Lukman Effendy, 2009; dan Supriyanto, 2006). Temuan ini juga sejalan dengan temuan Khalil et al., (2008) di Iran dan Tiraieyari (2009) di Malaysia. Faktor lain yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh adalah faktor eksternal/lingkungan. Penelitian Lukman Effendy (2009) yang mengaji penyuluh pertanian menunjukkan hal tersebut. Adapun ciri karakteristik lingkungan dalam penelitiannya tersebut adalah ketersediaan teknologi lokal dan adanya persepsi positif dari masyarakat atas peran petani pemandu (petandu). Berbagai temuan tersebut semakin membuktikan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi, perlu diperhatikan faktor-faktor lain, baik yang berasal dari internal diri penyuluh itu sendiri (seperti karakteristik individu, kompetensi dan motivasi), maupun faktor lingkungan seperti dukungan masyarakat dan dukungan program. Untuk itulah, penelitian ini memfokuskan pada kajian tentang faktor-
65
faktor pengaruh kinerja PKB di tiga wilayah di Provinsi Jawa Barat, agar dapat diketahui faktor-faktor yang dipastikan memengaruhi dan perlu ditingkatkan. Kader KB Kader KB dikenal juga dengan nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP). Mereka adalah anggota masyarakat yang secara sukarela membantu pelaksanaan program KB. Mereka yang menjalankan tugas di tingkat desa tergabung dalam Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT dikenal dengan kelompokkelompok akseptor. Kader KB lahir beriringan dengan kelahiran program KB. Pada waktu itu – tahun 1970- pendekatan yang digunakan adalah community-based service delivery guna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat perdesaan. Pelayanan ulang alat kontrasepsi, mencakup pil dan kondom, dilakukan oleh masyarakat di bawah pengawasan PLKB dan Puskesmas. Tempat pelayanan ulangnya diberi nama Pos KB (Haryono Suyono et al., dalam Herartri, 2008). Berawal dari pendekatan community-based tersebut, program KB kemudian menjadikan community participation atau peran serta masyarakat sebagai kebijakan utama. Kebijakan peranserta masyarakat ditegaskan dalam UU no. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dalam Grand Strategy program KB juga dicantumkan peran serta masyarakat sebagai strategi yang utama, dengan sasaran setiap desa/kelurahan memiliki PPKBD. Data bulan Januari 2008 menunjukkan di seluruh Indonesia terdapat 84.695 PPKBD, berarti sasaran tersebut telah tercapai karena di tiap desa/kelurahan rata-rata terdapat 1.5 PPKBD (Direktorat Pelaporan & Statistik, 2008, dalam Herartri, 2008). Fungsi PPKBD kemudian dianggap sebagai ”perpanjangan tangan” PLKB di tingkat desa/ kelurahan. Dalam pedoman dicantumkan: ”PLKB/PKB memerlukan peran serta institusi masyarakat untuk membantu pelaksanaan berbagai
kegiatan
Gerakan
Keluarga
Berencana
Nasional
di
tingkat
desa/kelurahan ke bawah. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan, dibina dan dikembangkan PPKBD” (BKKBN, 1999:5). Karena fungsi PPKBD adalah seba-
66
gai ”perpanjangan tangan” PLKB, maka fungsi PPKBD mengalami perubahan seiring dengan peningkatan fungsi PLKB. Dalam pedoman yang dikeluarkan pada tahun 2001, nampaknya fungsi PPKBD dikembalikan lagi sebagai organisasi pengelola program KB di desa, bukan sekadar ”pembantu” atau ”perpanjangan tangan” PLKB. Dalam pedoman tersebut dinyatakan PPKBD adalah ”organisasi pengelola dan pembina kegiatan program KB di desa yang berperan mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, menyelenggarakan kegiatan, membina, mengembangkan dan sebagainya.” Peran PPKBD juga mencakup membina poktan (kelompok kegiatan) yang merupakan “wadah sekaligus pelaksana kegiatan-kegiatan substantif program KB yang telah direncanakan [oleh PPKBD] tersebut” (BKKBN, 2001:17). Walaupun mengalami perkembangan fungsi, pedoman mengenai peran yang harus dilaksanakan oleh PPKBD masih belum diubah, yaitu 6 peran yang terdiri dari: pertama, pengorganisasian: membentuk kepengurusan PPKBD, SubPKBD, dan Kelompok KB, serta membentuk Pokjanis KB tingkat desa. Kedua, pertemuan rutin: untuk melakukan up-dating data, membahas perencanaan dan
evaluasi kegiatan, serta pembinaan. Pertemuan dilakukan antar-pengurus
IMP maupun antara pengurus IMP dengan PLKB atau petugas sektor terkait. Ketiga, KIE dan konseling: mencakup substansi KB-KR dan KS-PK. Keempat, Pencatatan dan pendataan: memanfaatkan data untuk pelayanan dan pembinaan di wilayahnya. Kelima, Pelayanan kegiatan: mencakup pelayanan KB-KR dan KSPK. Keenam, Upaya kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan: mencakup kemandirian dalam aspek dana dan substansi kegiatan. Namun demikian, kajian Herartri (2008) menyimpulkan bahwa belum seluruh PPKBD (Pos Pembantu KB Desa) mampu melaksanakan keenam peran tersebut. Faktor penghambat utamanya adalah minimnya fasilitasi dan dukungan operasional. Tidak ada program pelatihan yang terstruktur, sehingga mereka tidak mempunyai gambaran utuh mengenai peran IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan). Peran yang dilaksanakan hanya sebatas yang diperintahkan oleh PLKB. Utomo et al., (2006) melalui kajiannya selama tahun 1997-1998 di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta menemukan besarnya peran Kader KB. Mereka
bertugas memromosikan KB, mengadakan pertemuan, menyediakan
67
informasi, mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan kredit, mengumpulkan data serta membantu aktivitas sosial lainnya. Tantangan kerja para PKB dan kader KB semakin berat seiring dengan menurunnya dukungan media massa. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan menurunnya peranan berbagai media massa dalam menginformasikan KB. Tahun 2002/2003, terdapat 52,0 persen perempuan pernah kawin yang dalam waktu satu bulan sebelum wawancara pernah mendengar/melihat pesan KB dari radio/TV/koran/majalah/poster/pamphlet. Adapun pada SDKI 2007, menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN online, 30 Maret 2009). Di samping itu, juga karena tingkat pengetahuan para tokoh agama tentang KB masih belum mendalam (BKKBN online, 17 Februari 2008). Sebagai tenaga sukarela yang tidak digaji dan tidak tercantum dalam struktur formal lembaga, mereka sangat rentan DO (drop out/ berhenti). Kajian Yuwono (2000) di dua kecamatan di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah menunjukkan dua penyebab utama DO kader posyandu yakni: usia (terutama jika telah lebih dari 50 tahun) dan “masa kerja” (terutama jika lebih dari 10 tahun). Widiastuti (2006) menemukan bahwa partisipasi kader tidak berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang posyandu, lama kerja menjadi kader, jam kerja kader, pemberian insentif, jumlah kader, ketersediaan alat dan bahan, seleksi, pembinaan, ketersediaan alat dan bahan serta frekuensi pertemuan kader. Kajian Dyah Retna Puspita (2000) pada sepuluh kader Posyandu di Ciputat secara intensif menemukan bahwa sebagian besar dari mereka tetap bertahan menjadi kader pada saat terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan ekonomi rumah tangga mereka juga terganggu dan beban tugas dari Puskesmas juga bertambah. Hal ini disebabkan adanya dorongan internal yang beraspek keyakinan agama (yakni untuk mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Esa)
serta
mendapat “manfaat sosial” seperti dianggap sebagai tokoh masyarakat, bertambah lingkungan pergaulan dan wawasan pengetahuan. Namun demikian, rendahnya penghargaan materi dan sifat hubungan kerja yang cenderung menempatkan mereka sebagai “bawahan” petugas Puskesmas dan PLKB diakui seringkali menurunkan semangat kerja mereka.
68
Puspasari
(2002)
menyimpulkan
bahwa
kinerja
kader
Posyandu
dipengaruhi sejumlah faktor seperti: rendahnya tingkat partisipasi pengguna posyandu, terbatasnya dana untuk makanan tambahan bagi balita yang ditimbang, terbatasnya sarana dan prasarana serta tidak adanya imbalan. Faktor lainnya adalah kurangnya supervisi dari petugas kelurahan dan kecamatan. Beberapa kajian di atas menunjukkan besarnya peran kader dan sekaligus kendala yang menghambat kinerja mereka. Besarnya peran kader kesehatan juga diakui dan diterapkan oleh negara-negara di Afrika, terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan negara tidak dapat menyediakan (bahkan mengurangi) tenaga-tenaga medis (Dovlo, 2004). Kader juga sangat berperan dalam program KB di China (Unescap, 2001). Kader pedesaan juga berperan di Botswana (Fortmann, 1983). Kinerja mereka dipengaruhi oleh kualitas pesan dan program tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah: jumlah dan kontinuitas personal, perekrutan, training awal serta dukungan lapangan seperti rumah, transport, supervisi serta reward dan insentif, alokasi waktu, komunikasi dengan kader, kerjasama di antara kader serta tingkat keterlibatan masyarakat setempat. Dalam penyuluhan pertanian, dikenal istilah petani pemandu (petandu). Kajian Lukman Effendy (2009) menunjukkan bahwa kinerja mereka juga dipengaruhi banyak faktor, yakni kompetensi dalam memberikan penanggulangan hama terpadu (PHT), karakteristik lingkungan dan dinamika belajar. Selanjutnya, kinerja mereka berpengaruh positif pada perilaku petani, meski hanya sebesar 6 persen. Uraian di atas menunjukkan besarnya peran kader dalam proses penyuluhan KB dan kesehatan beserta kendala yang mereka hadapi. Untuk itulah, penelitian ini bermaksud mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi kinerja kader KB, agar kinerja mereka tetap terjaga dan bahkan meningkat. Ringkasan Para penyuluh KB menempati posisi strategis dalam proses penyuluhan KB. Mereka adalah PKB yang merupakan Pegawai Negeri Sipil yang sebagian besar berstatus tenaga fungsional. Karena keterbatasan tenaga dan dana, pelaksanaan tugas mereka dibantu Kader KB, yakni masyarakat setempat yang
69
secara sukarela bersedia membantu. Karena bersifat sukarela, maka keberadaan mereka tidak masuk ke dalam struktur formal lembaga, sehingga tidak digaji dan tidak memiliki jenjang karir. Akibatnya, mereka rentan DO. Untuk itulah, para penyuluh formal (PKB/PLKB) perlu terus membina mereka agar tetap aktif membantu. Caranya dapat berupa pemberian pelatihan dan insentif, penyediaan sarana dan prasaranan kerja, serta hubungan kerja yang setara dan saling menghargai.