II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kepemimpinan 2.1.1 Batasan Kepemimpinan Dessler (1997) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu fungsi dari manajemen sumberdaya manusia yaitu membuat orang lain menyelesaikan pekerjaan, mempertahankan semangat kerja, dan memotivasi bawahan. Kepemimpinan dibutuhkan karena adanya keterbatasan dan kelebihan tertentu pada manusia. Kepemimpinan menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi suatu organisasi karena kepemimpinan merupakan suatu aktivitas yang utama dalam mencapai tujuan organisasi. Sementara Hasibuan (2005) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin untuk mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerjasama dan produktif dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam bentuk yang hampir berbeda, Davis dan Newstrom (1993) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior – Human Behavior at Work menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses dalam mempengaruhi dan memberi dukungan kepada orang lain untuk bekerja dengan antusias dalam mencapai tujuan. Siagian (2004) menyatakan kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal tersebut tidak disenangi. Kepemimpinan menurut Yukl (1998) adalah suatu proses dalam
mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa bagi para
pengikut, pilihan dari sasaran bagi kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk
mencapai
sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan team work, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok dan organisasi. Konsep lain yang sering dihubungkan dengan kepemimpinan adalah kuasa atau power. Dalam perjalanannya, semua pemimpin akan
selalu berhadapan dengan kekuasaan. Ketika kepemimpinan berbicara tentang proses mempengaruhi, berbeda halnya dengan kuasa yang berbicara tentang potensi seorang pemimpin untuk mempengaruhi. Kuasa merupakan sumberdaya yang memungkinkan pemimpin menimbulkan kepatuhan dari atau pengaruh atas orang lain. Kuasa adalah sesuatu yang juga berbeda dengan otoritas, karena otoritas didelegasikan oleh tingkatan manajemen yang lebih tinggi. French dan Raven dalam Kreitner dan Kinicky (1991) dalam bukunya
Organizational
Behavior
menguraikan
lima
skema
pengelompokan yang popular terkait dengan sumber kuasa tersebut. Masing-masing skema melibatkan pendekatan yang berbeda-beda untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan situasinya. Kelima skema tersebut adalah: 1. Reward power, didasari atas persepsi bawahan bahwa pemimpin memiliki
kemampuan
dan
sumberdaya
untuk
memberikan
penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. 2. Coercive power, didasari atas persepsi bawahan bahwa pemimpin memiliki kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan pemimpinnya. Skema ini memberikan pengaruh negatif bagi pihak yang menerimanya. 3. Legitimate power, didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kuasa untuk mempengaruhi dikarenakan otoritas yang dimilikinya. Otoritas tersebut berhubungan dengan posisi atau jabatan. Semakin tinggi posisi yang dimiliki seorang pemimpin, maka demikian pula kuasa yang dimilikinya. 4. Referent power, didasarkan pada identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin memiliki kuasa untuk mempengaruhi dikarenakan karakteristik pribadi, reputasi atau kharisma yang dimiliki dan dikagumi oleh para bawahannya. 5. Expert power, didasarkan pada persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki keterampilan, pengetahuan yang
kemudian menjadi kompetensinya dan dibutuhkan oleh orang lain, serta mempunyai keahlian dalam bidangnya. 2.1.2 Teori-teori Kepemimpinan Robbins (2003) dalam bukunya Organizational Behavior menguraikan teori-teori kepemimpinan yang dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu teori sifat (trait theories), teori perilaku (behavioral theories), dan teori kontingensi (contingency theories). Teori kontingensi kemudian dibagi lagi menjadi lima yaitu model Fiedler, teori situasional Hersey dan Blanchard, teori Leader-Member Exchange, teori Path-Goal, serta model Leader-Participation. 1. Teori Sifat atau Trait Theories Trait
theories
adalah
teori
yang
mempertimbangkan
karakteristik dan kualitas kepribadian yang kemudian digunakan untuk membedakan para pemimpin dari yang bukan pemimpin. Media menjadi salah satu pihak yang meyakini teori ini ketika mereka mengidentifikasi orang-orang seperti Margaret Thatcher, Nelson Mandela, dan Steve Jobs pendiri Apple sebagai pemimpin serta
mendeskripsikan
mereka
dalam
istilah-istilah
seperti
charismatic, enthusiastic, dan courageous. Teori tersebut memiliki keterbatasan pada empat hal. Pertama, tidak ada sifat-sifat atau traits universal yang mampu memprediksi kepemimpinan dalam semua situasi, sebaliknya traits hanya berlaku untuk situasi-situasi tertentu. Kedua, traits memprediksi perilaku lebih pada situasi atau lingkungan yang lemah dimana tidak adanya norma perilaku yang kuat, tidak diberikannya insentif yang kuat untuk tipe perilaku tertentu, serta tidak adanya pengharapan yang pasti seperti perilaku yang bagaimana yang akan mendapatkan hukuman dan penghargaan. Ketiga, bukti-bukti yang tidak jelas dalam membedakan akibat dari penyebab. Dan yang keempat, traits hanya mampu bekerja dengan baik dalam memprediksi munculnya kepemimpinan namun tidak bisa membedakan antara pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
2. Teori Perilaku atau Behavioral Theories Behavioral theories merupakan teori yang mengajukan bahwa perilaku tertentu membedakan para pemimpin dari yang bukan
pemimpin.
Teori
tersebut
muncul
dikarenakan
ketidakmampuan teori sebelumnya dalam menggali bagian-bagian penting yang terdapat pada traits itu sendiri dan bersifat lebih mendalam. Perbedaan yang mendasar antara traits theories dan behavioral theories terletak pada asumsi yang mendasarinya. Jika trait theories valid, maka pemimpin tidak bisa diciptakan melainkan memang terlahir sebagai pemimpin. Sebaliknya jika terdapat perilaku spesifik yang mampu mengidentifikasi seorang pemimpin, maka kepemimpinan adalah sesuatu hal yang bisa diajarkan. 3. Teori Kontingensi atau Contingency Theories Memprediksi kesuksesan kepemimpinan lebih kompleks daripada mengelompokkan beberapa traits atau perilaku-perilaku yang disukai. Kegagalan peneliti dalam mendapatkan hasil yang konsisten mengarahkan untuk fokus pada pengaruh-pengaruh situasional. Teori tersebut kemudian dikelompokkan menjadi lima bagian pembahasan. Fred Fiedler menciptakan model kontingensi pertama yang komprehensif. Model tersebut menyatakan bahwa keberadaan grup-grup yang efektif bergantung pada kombinasi yang tepat antara gaya pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya dan sejauh mana situasi yang ada memberikan kontrol dan pengaruh bagi pemimpin. Sementara teori situasional Hersey dan Blanchard atau yang lebih dikenal dengan Situational Leadership Theory (SLT) merupakan teori kontingensi yang berfokus pada kesiapan para pengikut. Teori kontingensi berikutnya adalah teori LeaderMember Exchange (LMX) yang berpendapat bahwa bawahan yang termasuk dalam in-groups yang diciptakan oleh pemimpin akan memiliki tingkat performa yang lebih tinggi, pergantian lebih
sedikit, serta kepuasan kerja yang lebih besar dibandingkan bawahan yang termasuk pada out-groups. Berikutnya adalah teori Path-Goal yang berpendapat bahwa tugas pemimpin adalah memberikan pengajaran kepada bawahan dalam pencapaian tujuan dan menyediakan dukungan dan/atau arah yang penting untuk memastikan
bahwa
tujuan
mereka
selaras
dengan
tujuan
keseluruhan dari organisasi atau perusahaan. Teori kontingensi terakhir adalah model Leader-Participation yang merupakan teori kepemimpinan
yang
menyediakan
sejumlah
aturan
untuk
menjelaskan bentuk dan jumlah pembuatan keputusan partisipatif pada kondisi yang berbeda-beda. 2.1.3 Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah berbagai tingkah laku yang diterapkan
oleh
pemimpin
dalam
proses
mengarahkan
dan
mempengaruhi pekerja (Stoner dan Freeman, 1996). Menurut Hersey dan Blanchard (1982), gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang dilakukan oleh orang tersebut pada waktu berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dilihat oleh orang lain. Berdasarkan orientasinya, teori perilaku menekankan pada dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan (employee oriented). Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah
kepemimpinan
yang
menekankan
bahwa
tugas
harus
dilaksanakan dengan baik melalui pengarahan dan pengendalian secara ketat terhadap bawahan. Sedang kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan adalah kepemimpinan yang berfokus pada pemberian motivasi kepada bawahan dalam melaksanakan tugasnya dengan melibatkan bawahan tersebut dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tugasnya serta mengembangkan hubungan yang bersahabat, saling percaya, dan saling menghormati diantara anggota kelompok (Gitosudarmo dan Sudito, 2000).
Hersey dan Blanchard (1982) dalam Situational Leadership Theory (SLT) membagi kecenderungan gaya kepemimpinan ke dalam empat dimensi yaitu: 1. Gaya Kepemimpinan Memberitahukan atau Telling Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan perilaku pemimpin yang tidak mempercayai bawahannya dan banyak memberikan instruksi kepada bawahan untuk melakukan segala sesuatu yang harus dilakukan tanpa memperhatikan kualitas hubungan antar pribadi dengan bawahannya. Dalam hal pegambilan keputusan, Siagian (2005) berpendapat bahwa seorang pemimpin yang menerapkan gaya ini akan bertindak sendiri dan memberitahukan pada bawahannya bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan hanya hanya berperan sebagai pelaksana karena mereka tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan. Newstrom dan Davis (1993) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan ini disebut juga dengan
gaya kepemimpinan
otokratik dimana dalam gaya tersebut pemimpin menjadi pusat kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan perwujudan rencana yang telah disusun, sedang para karyawan diminta untuk mengikuti keinginan dan kemauan manajemen. Sisi positif yang mungkin didapatkan manajemen terletak pada efisiensi karena dengan menerapkan gaya tersebut manajemen dapat merealisasikan rencana yang telah disusun dalam waktu yang lebih singkat. Sisi negatifnya adalah para karyawan akan merasa diperlakukan sebagai robot daripada sebagai seorang manusia. Pada akhirnya karyawan akan merasa tertekan dan frustrasi yang berakibat pada penurunan semangat dan prestasi kerja mereka. 2. Gaya Kepemimpinan Menjajakan atau Selling Gaya kepemimpinan tersebut diterapkan pada lingkungan subordinat dengan karakteristik kematangan berada diantara rendah sampai sedang dan memiliki kemauan untuk memikul tanggung
jawab. Dengan kata lain, subordinat tersebut memiliki keyakinan untuk melaksanakan suatu penugasan namun belum didukung keterampilan atau kemampuan yang relevan. Adaptasi pemimpin terhadap kondisi tersebut adalah memberikan perilaku direktif untuk melatih kemampuan dan suportif untuk memperkuat keyakinan dan antusias yang sebelumnya sudah dimiliki. Dalam penerapannya, perilaku direktif diindikasikan dengan adanya tuntutan tugas yang tinggi dari pimpinan dengan tetap memperhatikan kualitas hubungan dengan subordinat sehingga secara
psikologis
mampu
memberikan
penguatan
atau
empowerment. Tuntutan tugas tersebut merupakan sarana pelatihan untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan bawahan dalam penyelesaian tugas. Menurut Handoko (1995), inisiatif untuk menyelesaikan penugasan dalam gaya kepemimpinan selling berasal dari dedikasi para karyawan. 3. Gaya Kepemimpinan Mengikutsertakan atau Participating Gaya kepemimpinan tersebut bisa dikatakan berkebalikan dengan gaya kepemimpinan telling (otokratik) dikarenakan terjadinya desentralisasi otoritas. Gaya kepemimpinan tersebut ditandai dengan perilaku pemimpin yang lebih banyak memberikan fokus pada kualitas hubungan dibanding penyelesaian tugas. Pimpinan dan karyawan dalam gaya kepemimpin ini bersikap sebagai sebuah satu kesatuan unit sosial. Para pekerja diberi informasi mengenai kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Gaya ini juga memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
memberikan
saran
mengenai
bagaimana
sebaiknya
mewujudkan rencana yang telah disusun. Meski yang mengatur adalah manajemen, akan tetapi gaya tersebut menganggap para karyawan sebagai sumberdaya manusia yang mampu berkontribusi terhadap efektivitas realisasi rencana yang telah disusun. Resiko dari penerapan gaya kepemimpinan tersebut adalah dibutuhkannya waktu yang lebih lama. Untuk menghindarinya
disarankan agar manajemen membatasi saran-saran yang masuk agar keseluruhan perwujudan rencana yang telah disusun dapat diselesaikan dengan tepat waktu. 4. Gaya Kepemimpinan Mendelegasikan atau Delegating Gaya kepemimpinan tersebut ditandai dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dari pemimpin kepada bawahan untuk melakukan tugas sendiri dengan sedikit pengarahan yang berdampak pada mimimnya hubungan antar personalnya. Oleh Newstrom dan Davis dalam bukunya Organizational Behavior – Human Behavior at Work, gaya kepemimpinan delegating disebut juga dengan gaya kepemimpinan free-rein dimana manajemen pada dasarnya
memberikan
kesempatan
kepada
pegawai
untuk
merealisasikan rencana yang telah disusun dalam lingkup pekerjaan masing-masing. Gaya kepemimpinan tersebut juga memungkinkan para karyawan untuk melatih dan memotivasi diri mereka sendiri dikarenakan minimnya campur tangan pemimpin dalam setiap aktivitas. Manajemen yang menerapkan gaya kepemimpinan tersebut biasanya hanya memberikan pedoman umum mengenai bagaimana cara mewujudkan rencana. Tinggi hubungan dan rendah tugas
delegating
Rendah Tinggi
participatingg
Rendah hubungan dan rendah tugas
selling
Tinggi tugas dan rendah hubungan
Orientasi Tugas Sedang menuju tinggi
Sedang menuju rendah
Tinggi tugas dan tinggi hubungan
telling
Tinggi Rendah
Gambar 1. Gaya Kepemimpinan (Hersey dan Blanchard, 1982)
2.2. Konsep Budaya Organisasi 2.2.1 Pengertian Budaya Budaya adalah gabungan kompleks dari asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu (Stoner dan Freeman, 1996). Didalam budaya termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis mendasar yang mengandung suatu perintah. Terdapat sepuluh karakteristik penting yang dapat dipakai sebagai acuan esensial dalam mempermudah untuk memahami serta mengukur keberadaan budaya organisasi yaitu (Dharma dan Akib, 2004): 1. Inisiatif individu meliputi tingkat tanggung jawab, kebebasan dan kemandirian yang dimiliki individu. 2. Toleransi resiko meliputi tingkat pengambilan resiko, inovasi, dan keberanian individu. 3. Arahan meliputi kemampuan organisasi dalam menciptakan gerak terhadap sasaran dan harapan kerja. 4. Integrasi meliputi kemampuan organisasi dalam melakukan koordinasi seluruh unit menjadi satu kesatuan gerak. 5. Dukungan manajemen meliputi kemampuan jajaran manajemen dalam proses komunikasi, pembimbingan, dan memberikan dukungan terhadap anak buah. 6. Kontrol menunjukkan kapasitas aturan dan arahan supervisi mampu mengontrol perilaku anak buah. 7. Identitas menunjukkan seberapa kuat jati diri sosial organisasi dalam diri karyawan. 8. Sistem imbalan menunjukkan sejauh mana alokasi imbalan didasarkan atas kinerja. 9. Toleransi konflik meliputi kesempatan karyawan untuk dapat mengungkapkan konflik secara terbuka.
10. Pola komunikasi menunjukkan seberapa jauh komunikasi dibangun organisasi dalam membatasi hierarki secara formal. Publikasi organisasi berdasarkan pada sepuluh karakteristik tersebut akan memberikan gambaran mengenai budaya organisasi yang dianut. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk menyamakan pemahaman bahwa anggota organisasi merasa memiliki organisasinya dan mendorong anggota organisasi agar berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh organisasi. Tiap karakteristik tersebut bergerak pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan sepuluh karakteristik tersebut akan memperoleh gambaran majemuk budaya organisasi (Robbins, 2003). Menurut
Triguno
(2005),
langkah
pemimpin
dalam
melaksanakan budaya organisasi dimulai dari: 1. Memberi fokus yang sama dalam visi dan strategi. Karena kesamaan fokus tersebut merupakan perekat untuk mengendalikan pelaksanaan secara bersama dan memberikan dorongan bagi setiap orang untuk melakukan perubahan. Tanpa kesamaan fokus komitmen, sinergi dan semangat tidak akan menjadi kenyataan. 2. Melaksanakan
penyempurnaan.
Dengan
perubahan
tersebut
organisasi akan mampu mempertahankan hidup dalam persaingan. Tanpa penyempurnaan masyarakat yang dilayani akan terasa semakin berat. 3. Merubah budaya. Pemimpin harus mampu merubah dirinya sendiri terlebih dahulu. Mereka mulai dengan mengidentifikasi bagaimana mereka memimpin organisasi dan apa yang harus berubah untuk mendukung visi yang mereka lihat. Pemimpin organisasi harus menerima tanggung jawab untuk perubahan budaya. 4. Perubahan akan terjadi secara bertahap sehingga memerlukan waktu untuk melakukannya. Belum tentu perubahan tersebut merubah sikap seseorang. Juga belum tentu perubahan sikap seseorang itu otomatis merubah perilakunya. Proses tersebut memerlukan upaya serius agar dapat dihayati, direnungkan,
diyakini, dan dibenarkan kemudian bersedia dengan ikhlas melaksanakannya. 5. Jangan membuat kesalahan dalam tahapan. Pimpinan harus bertangung jawab pada situasi setiap tahapan. Suatu kesalahan akan mengakibatkan kerugian seperti melemahkan semangat yang menyebabkan seseorang menjadi kecewa dan tidak percaya karena kepemimpinan yang keliru. 2.2.2 Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat, dan tindakan yang terwujud sebagai organisasi (Triguno, 2005). Schein dalam Moeljono (2003) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola dari suatu asumsi dasar yang dipelajari oleh kelompok atau organisasi selama proses pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan dalam rangka melakukan adaptasi dengan ligkungan eksternal dan melakukan integrasi internal yang selama ini telah terbukti efektif, sehingga dirasa perlu untuk diajarkan pada anggota baru sebagai cara memandang, berpikir, merasa, dan bertindak yang benar. Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa budaya organisasi mengendalikan interaksi antar anggota organisasi dan antara anggota dengan pihak-pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok, pesaing dan lain-lain. Robbins
(2003)
memberikan
tujuh
karakteristik
budaya
organisasi sebagai berikut: 1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 2. Perhatian terhadap rincian. Sejauh mana karyawan diharapkan memperlihatkan presisi, analisis, dan perhatian terhadap rincian.
3. Berorientasi kepada hasil. Sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4. Berorientasi kepada manusia. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil yang dicapai pada orang-orang dalam organisasi. 5. Berorientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan pada tim, bukan pada individu. 6. Agresif. Sejauh mana orang-orang tersebut agresif dan kompetitif. 7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan. Berdasarkan berbagai asumsi diatas, hal penting yang perlu ada dalam definisi budaya organisasi adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh orang dalam organisasi. Selain dipahami, seluruh jajaran meyakini sistem nilai-nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi (Robbins, 2003). Juga akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
organisasi
tersebut,
bagaimana
urusan
diselesaikan
didalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Kreitner dan Kinicky (1991) mendefinisikan budaya organisasi sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolis, dan cita-cita sosial yang ingin dicapai. Budaya organisasi merupakan nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas perusahaan, satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut merasakan, berpikir, dan bereaksi terhadap lingkungan yang berbeda. Sementara Mondy dalam Moeljono (2003) memberi definisi budaya organisasi sebagai sebuah sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma perilaku. Dapat juga diartikan bahwa budaya organisasi adalah sebuah
sistem informasi untuk mempertahankan dan mentransmisikan pengetahuan, kepercayaan, mitos-mitos, dan tingkah laku. Dari pengertian budaya organisasi yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang sudah ditetapkan. 2.2.3 Fungsi Budaya Organisasi Empat fungsi budaya organisasi menurut Kreitner dan Kinicky (1991) adalah: 1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya 2. Memudahkan komitmen kolektif 3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial 4. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya
Gambar 2. Fungsi Budaya Organisasi (Kreitner dan Kinicky, 1991) Dalam upaya pembentukan budaya organisasi dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan sosialisasi yaitu proses yang mengadaptasikan para karyawan pada budaya organisasi (Goldhar dan Barnet dalam Moeljono (2003). Proses sosialisasi terdiri dari tiga tahap, antara lain pra-kedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis.
Gambar 3 berikut meringkaskan bagaimana budaya suatu organisasi dibangun dan dipertahankan.
Gambar 3. Pembentukan Budaya Organisasi (Robbins, 2003) Menurut Robbins (2003) sosialisasi budaya kepada karyawan dapat dilaksanakan dengan beberapa cara yang dinilai berhasil yaitu melalui: 1. Cerita. Cerita-cerita ini khususnya berisi dongeng suatu peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran peraturan, sukses dari miskin ke kaya, pengurangan angkatan kerja, lokasi karyawan, reaksi terhadap kesalahan masa lalu, dan mengatasi masalah organisasi. 2. Ritual. Merupakan deretan berulang dari sebuah kegiatan yang mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, tujuan apakah yang paling penting, orang-orang manakah yang penting dan mana yang dapat dikorbankan. 3. Lambang materi. Lambang materi mengantarkan kepada para karyawan
mengenai
siapa
yang
penting,
sejauh
mana
egalitarianisme yang diinginkan oleh eksekutif puncak, dan ketepatan jenis perilaku yang dimunculkan. 4. Bahasa. Banyak organisasi dan unit didalam organisasi yang menggunakan bahasa sebagai suatu cara untuk mengadakan identifikasi anggota suatu budaya atau anak budaya. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu dan dengan berbuat seperti itu, hal ini membantu melestarikannya.
Kesuksesan perusahaan dalam mensosialisasikan budaya kepada karyawan dan kemampuannya untuk menjaganya melalui lima pilar mekanisme penopang budaya (kepemimpinan, sistem perekrutan, sistem
imbalan,
peraturan
dan
kebijakan,
pelatihan
dan
pengembangan) akan membuat perusahaan secara konsisten dan persisten mengajar pencapaian misi dan strategi jangka panjangnya (Rumengan, 2002). Menurut Muluk (1998) budaya organisasi bagaikan pedang bermata dua bagi organisasi. Ia mampu menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi, tetapi dapat pula menjadi faktor utama kegagalan organisasi. Oleh karenanya tepat sekali bila Kotter dan Hasket dalam Muluk (1998) membedakan budaya organisasi menjadi budaya kuat dan budaya lemah. Organisasi yang memiliki budaya kuat dapat dipastikan beranggotakan para individu yang bermotivasi dan berkomitmen tinggi. Dengan demikian budaya organisasi yang kuat merupakan alat kendali perilaku manusia yang efektif sekaligus efisien.
Sementara
budaya
organisasi
lemah
tidak
mampu
mengidentifikasi diri mereka dengan tujuan organisasi dan bekerja bersama-sama mencapai tujuan tersebut. 2.2.4 Pengembangan Budaya Organisasi Mengembangkan dan memelihara budaya organisasi dalam suatu perusahaan mengalami beberapa tahapan yaitu perusahaan terdahulu menciptakan dan mengimplementasikan visi dan strategi bisnis yang cocok dengan lingkungan binis sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Pada saat pembentukan budaya organisasi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai yaitu perusahaan ingin sukses dengan cara menekankan pada pimpinan betapa pentingnya konstitusi dan kepemimpinan dalam meraih kesuksesan. Maka salah satu langkah yang dilakukan adalah menumbuhkan budaya organisasi yang kuat pada perusahaan. Setelah budaya organisasi yang tercipta kuat maka seorang pemimpin dapat mempertahankannya melalui berbagai cara, misalnya melalui cerita, logo perusahaan, perayaan. Gambar 4
menunjukkan bagaimana pengembangan budaya organisasi dilakukan oleh perusahaan.
Gambar 4. Mengembangkan dan Memelihara Budaya Organisasi (Kreitner dan Kinicky, 1991) 2.3. Analisis Regresi Linier 2.3.1 Analisis Regresi Linier Sederhana Analisis regresi linier digunakan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). Adapun bentuk analisis regresi linier yang digunakan untuk melihat hubungan satu variabel independen terhadap variabel dependen adalah analisis regresi linier sederhana. Dalam Umar (2005) disebutkan bahwa jika terdapat data dari dua variabel independen X dan variabel dependen Y, maka nilai Y akan dihitung berdasarkan nilai X yang diketahui dengan rumus: Y = a ± bX .................................................................................. (1) Keterangan: Y = variabel dependen X = variabel independen
a = nilai koefisien konstanta b = koefisien regresi + atau - = tanda yang menunjukan arah hubungan antara Y dan X. Nilai a dihitung dengan rumus: ................................................................ (2) Nilai b dihitung dengan rumus: ................................................................. (3) Keterangan: Y = variabel dependen X = variabel independen n = jumlah data 2.3.2 Analisis Regresi Linier Berganda Untuk melihat hubungan antara variabel independen yang berjumlah lebih dari satu yang mempengaruhi satu variabel dependen, maka analisis regresi linier yang digunakan adalah analisis regresi linier
berganda.
Dalam
Simamora
(2005)
disebutkan
bahwa
penghitungan analisis regresi linier berganda untuk i variabel dilakukan berdasarkan rumus sebagai berikut: ........................ (4) Keterangan: Y = variabel dependen X1, X2, X3, …,Xi = variabel independen a, b1, b2, b3, …,bi = koefisien regresi berganda a = nilai Y apabila X1 = X2 = … = Xi bi = besarnya kenaikan/penurunan Y dalam satuan jika Xi naik/turun satu satuan dan Xi konstan. + atau - = tanda yang menunjukan arah hubungan antara Y dan Xi. Nilai koefisien a dan b dapat diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil ataupun matriks, dapat juga menggunakan software statistik.
2.3.3 Uji-F dan Uji-t Uji-F dilakukan untuk melihat apakah terjadi pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen secara keseluruhan (simultan). Sedangkan uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen atau tidak. Uji-t biasa disebut uji pengaruh secara parsial, karena dapat melihat hubungan satu variabel independen terhadap variabel dependennya sementara variabel independen lainnya delam keadaan tetap (Sudarmanto, 2005). Uji-F dan uji-t dilakukan dengan bantuan software SPSS Data Editor versi 14.0. Uji-F diketahui dengan melihat nilai signifikansi F apakah lebih besar dari alpha yang ditetapkan atau tidak. Sedangkan uji-t dilakukan dengan melihat signifikansi t-hitung yang diperoleh untuk kemudian dibandingkan dengan alpha yang ditetapkan. Alpha yang dimaksud merupakan nilai batas kesalahan yang diperbolehkan. 2.4. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Anzalnaa (2003) menganalisis hubungan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala bagian unit produksi dan pemasaran pupuk kompos PT Sang Hyang Seri, yaitu gaya kepemimpinan delegatif-konsultatif. Hubungan gaya kepemimpinan delegatif-konsultatif yang signifikan dengan kemampuan kerja bawahan adalah melaksanakan tugas atau pekerjaan pencapaian target dan keinginan untuk meningkatkan kemampuan. Adapun saran yang diberikan bagi perusahaan adalah pimpinan diharapkan dapat mengkombinasikan gaya kepemimpinan delegatif yang selama ini dominan diterapkan dengan gaya kepemimpinan partisipatif untuk dapat memperbaiki kualitas hubungan dengan bawahan. Indraswari (2005) menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap pemberdayaan karyawan PT Indonesia Power. Gaya kepemimpinan yang ada di PT Indonesia Power adalah gaya kepemimpinan birokratis (Beureaucratic Style). Pemimpin di PT Indonesia Power sangat menekankan kepada ketaatan prosedur dan peraturan dari organisasi serta lebih mengutamakan prosedur yang rinci dalam melakukan suatu pekerjaan. Hasil
penelitian
menunjukkan
variabel
gaya
kepemimpinan
hanya
dapat
menjelaskan variabel pemberdayaan karyawan sebanyak 3,9 persen. Sisanya sebanyak 96,1 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya. Kemudian hasilnya juga menunjukkan gaya kepemimpinan tidak mempengaruhi pemberdayaan karyawan di PT Indonesia Power secara signifikan. Bambang (2009) menganalisis hubungan budaya organisasi dan peran pemimpin terhadap pemberdayaan karyawan di PT Arkonin. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dan peran pemimpin secara simultan terhadap pemberdayaan karyawan PT Arkonin namun tergolong lemah. Secara parsial, peran pemimpin berpengaruh positif pada pemberdayaan sementara budaya organisasi tidak demikian. Peran pemimpin di dalam perusahaan ini sangat berpengaruh dalam baik buruknya pemberdayaan karyawan yang pada akhirnya akan menentukan hasil dari kinerja yang diharapkan untuk mencapai tujuan perusahaan. Saran yang diberikan bagi perusahaan adalah budaya organisasi dalam perusahaan perlu disosialisasikan lebih baik oleh pemimpin kepada seluruh karyawan agar tercipta suatu pemahaman bersama dari nilai-nilai yang dianut dalam perusahaan yang menentukan identitas perusahaan.