BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepemimpinan (Leadership)
1. Pengertian Kepemimpinan Matondang menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diinginkan sesuai dengan yang diinginkan. Sementara kepemimpinan adalah suatu proses yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi orang lain agar mau atau tidak melakukan sesuatu yang diinginkan. Terkait dengan hal tersebut gaya kepemimpinan adalah pola sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam proses mempengaruhi orang lain (Matondang, 2008, h.5). Hollander menyampaikan bahwa terdapat tiga elemen dalam kepemimpinan, yaitu : (1) leader; (2) follower, (3) situation yang ketiganya berinteraksi dalam suatu proses (dalam Matondang, 2008, h.5). Sementara itu Ivancevich dkk. menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain agar memudahkan pencapaian tujuan dari sebuah organisasi (Ivancevich dkk., 2005, h. 492). Bennis menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik pemimpin dari sebuah kelompok yang efektif, yaitu (dalam Ivancevich dkk., 2005, h. 492):
9
10
a. Memberikan pengarahan dan penjelasan kepada bawahan, maksudnya adalah selalu mengingatkan bawahannya mengenai apa yang penting dan apa yang mereka lakukan akan membuat perbedaan. b. Membangun kepercayaan. c. Memberikan dukungan dan pengambilan resiko, artinya bersikap proaktif dan bersedia untuk gagal dalam upaya meraih kesuksesan. d. Pemberi motivasi, baik yang bersifat nyata ataupun simbolis mereka mampu meyakinkan bahwa kesuksesan akan diraih. Harvard Business Essentials mendefinisikan pemimpin sebagai seseorang yang menampilkan sebuah visi masa depan dan kemudian mengembangkan strategistrategi logis dalam upaya merealisasikannya, serta memotivasi orang yang dipimpin untuk mengejar dan mencapai visi tersebut bahkan dalam menghadapi rintangan (Harvard Business Essentials, 2003, h. 46).
2.Situational Leadership (Fiedler’s Contingency Model) Fred Fiedler mengungkapkan dalam teori Fiedler’s contingency model membagi dua tipe pemimpin : (1) relationship-oriented, yaitu para pemimpin yang mengutamakan hubungan baik di dalam kelompok dalam proses mencapai tujuan; (2) task-oriented,
yaitu
para
pemimpin
yang
mengutamakan
tercapainya
(terselesaikannya) sebuah pekerjaan dalam proses mencapai tujuan / target (http://en.wikipedia.org/wiki/Leadership#Theories_of_leadership).
11
Lebih lanjut lagi dalam bukunya Ivancevich menjelaskan bahwa Fiedler’s Contingency Leadership Model menjelaskan bahwa pengkategorian kedua tipe kepemimpinan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1) Leader-member relations, kaitannya dengan tingkat keyakinan, kepercayaan dan rasa hormat bawahan terhadap atasan (baik—buruk); (2). Task structure, penjelasan mengenai apa yang harus dikerjakan oleh bawahan, bagaimana mereka mengerjakannya, kapan dan pada kondisi seperti apa harus dilakukan, serta pilihan apa yang mereka miliki (tinggi— rendah); (3). Position power, kekuatan yang melekat pada posisi kepemimpinan (kuat—lemah); untuk kemudian dikaitkan dengan situasi yang dialami oleh posisi pemimpin tersebut apakah bersifat menguntungkan atau tidak (Ivancevich dkk., 2005, h. 498).
Situation Leadermember relations Task structure Position power
Preferred leadership styles Very favorable situation
Situational Characteristics III IV V VI Good Good Poor Poor
I Good
II Good
High
High
Low
Low
High
Strong
Weak
Strong
Weak
Strong
Task-Oriented
VII Poor
VIII Poor
High
Low
Low
Weak
Strong
Weak
Relationship-Oriented
TaskOriented Very unfavorable situation
Gambar 2.1 Ringkasan Fiedler’s Situational Variables and Their Preferred Leadership styles (Ivancevich dkk., h. 499)
12
Berdasarkan hal tersebut Ivancevich dalam bukunya berpendapat bahwa efektifitas pemimpin dalam Fiedler’s contingency model ditentukan oleh interaksi antara lingkungan (faktor eksternal) dengan faktor kepribadian. Serta kualitas kepemimpinannya adalah harus memiliki kemampuan untuk merancang pekerjaan agar sesuai dengan tipe kepemimpinan (task-oriented atau relationship-oriented) (Ivancevich dkk., 2005, h. 498-499).
3. Transformational Leadership Ivancevich dkk. menjelaskan bahwa transformational leadership adalah kepemimpinan dimana seorang pemimpin mampu memberikan motivasi bagi bawahannya untuk bekerja berdasarkan tujuan organisasi bukan hanya kepentingan pribadi dan untuk mencapai prestasi dan aktualisasi diri bukan hanya sekadar rasa aman (Ivancevich dkk., 2005, h. 511). Berdasarkan
sudut
pandang
transformational
leadership,
dengan
mengutarakan visinya seorang pemimpin mampu menstimulasi bawahannya untuk bekerja keras agar mencapai tujuan dari visi tersebut. Selain itu para pemimpin juga melakukan perubahan besar dalam organisasinya mulai dari misi, cara bekerja hingga manajemen sumber daya manusia dalam upaya mencapai visi yang telah diutarakan; seorang pemimpin yang transformasional akan merombak filosofi, sistem yang berlaku serta budaya organisasi secara menyeluruh (Ivancevich dkk., 2005, h. 512). Bass mengidentifikasikan bahwa terdapat lima faktor yang menggambarkan pemimpin yang transformasional, yaitu (dalam Ivancevich dkk., 2005, h. 512) :
13
a. Charisma, pemimpin mampu menanamkan nilai, rasa hormat, dan kebanggaan serta mampu mengartikulasikan visinya. b. Individual
attention,
pemimpin
memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan
bawahannya dan memberikan pekerjaan yang berarti sehingga bawahan dapat berkembang. c. Intellectual stimulation, pemimpin membantu bawahannya untuk berpikir secara rasional lebih mendalam bagaimana menelaah sebuah situasi— mendorong bawahan untuk kreatif. d. Contingent reward, pemimpin memberitahukan apa yang harus dilakukan oleh bawahan agar mereka dapat menerima reward yang mereka inginkan. e. Management by exception, para pemimpin memberikan keleluasaan bagi bawahan untuk mengerjakan pekerjaannya tanpa ada campur tangan, kecuali pekerjaan tersebut tidak selesai sampai dengan batas waktu yang ditentukan.
4. Gaya Kepemimpinan (Path-goal Leadership Model) Soekarso dkk. menjelaskan bahwa hakekat dari teori ini yaitu tugas utama pemimpin adalah membantu bawahan agar mampu mencapai tujuan serta memberikan dukungan dan pengarahan yang dianggap perlu guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran atau tujuan organisasi (Soekarso dkk., 2010, h. 143). Lebih lanjut Soekarso dkk. menjelaskan terdapat empat gaya kepemimpinan berdasarkan path-goal leadership model, yaitu (Soekarso dkk., 2010, h. 144) : a. Gaya direktif (pengarah), memfokuskan pada tugas (task centered). Subaspeknya terdiri dari :
14
•
Pemimpin menjelaskan mengenai apa yang diharapkan dari bawahannya.
•
Memberikan pedoman yang jelas dan terperinci.
•
Meminta bawahan agar mengikuti peraturan dan sistem prosedur organisasi.
•
Mengkoordinir waktu pekerjaan bawahan.
b. Gaya suportif (pendukung), memfokuskan pada hubungan interpersonal. Sub-aspeknya terdiri dari : •
Memperhatikan kebutuhan bawahan
•
Menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dengan memberi imbalan yang bersifat positif.
•
Menciptakan suasana kerja yang nyaman dan bersahabat.
c. Gaya partisipatif (peran serta), memfokuskan pada partisipasi bawahan. Sub-aspeknya terdiri dari : •
Melakukan
konsultasi
(melibatkan
bawahan)
dan
mempertimbangkan saran-saran dari bawahan. •
Bawahan merasa lebih puas karena dilibatkan dalam berbagai kegiatan termasuk pengambilan keputusan, sehingga merasa bertanggung jawab untuk mencapai tujuan.
•
Dengan melibatkan bawahan berarti dapat meningkatkan sense of belonging bawahan.
15
d. Gaya orientasi prestasi, memfokuskan pada orientasi “keberhasilan”, serta yakin dan percaya bahwa bawahan mampu mencapainya. Sub-aspeknya terdiri dari : •
Merancang dan menetapkan tugas atau tujuan yang menantang.
•
Mengupayakan
perbaikan-perbaikan
dan
mengutamakan
keunggulan kinerja. •
Memiliki keyakinan bahwa bawahan akan mampu mencapai standar yang tinggi.
B. Manajemen Strategis (Strategic Management) 1. Pengertian Manajemen Strategi David mengungkapkan bahwa manajemen strategi adalah seni dan pengetahuan tentang merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kinerja dari tiap-tiap divisi yang memungkinkan sebuah organisasi dapat mencapai tujuan / target (David, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bawa tujuan daripada manajemen strategi adalah untuk mengusahakan dan menciptakan kesempatan yang baru dan berbeda di masa mendatang (David, 2009). Dalam kenyataannya penerapan manajemen strategi jelas membutuhkan pelaku atau tokoh sentral pada sebuah organisasi yang memungkinkan proses penerapan manajemen strategi tersebut dapat terlaksana dengan baik, David menjelaskan bahwa tokoh sentral tersebut disebut sebagai strategist atau ahli strategi—seseorang yang paling bertanggung jawab mengenai kesuksesan atau
16
kegagalan dari sebuah organisasi (David, 2009). Mereka membantu perusahaan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyusun informasi-informasi yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan analisis peramalan model dan skenariobisnis, mengevaluasi kinerja korporat maupun divisi, melihat peluang pasar yang menjanjikan, mengidentifikasi ancaman serta mengembangkan rencana kerja yang kreatif (David, 2009). Menurut David selain strategist ada tujuh istilah kunci yang juga berkaitan dengan manajemen strategi yaitu (David, 2009) : a).
Vision and mission statements adalah pernyataan mengenai apa sesungguhnya keinginan sebuah organisasi tersebut serta pernyataan mengenai penjabaran ruang lingkup serta tujuan dan perbedaan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya.
b).
External opportunities and threats adalah ancaman yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi
serta
kecenderungan
pola
persaingan
yang
akan
menjadi
menguntungkan atau merugikan organisasi tersebut. c).
Internal strengths and weaknesses adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam sebuah organisasi yang dapat dikontrol, apakah performanya sangat baik atau sebaliknya.
d).
Long-term objective sadalah hasil spesifik yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi yang berkaitan dengan misi organisasi tersebut dalam waktu yang lama.
17
e).
Strategies adalah sarana yang diupayakan agar long-term objectives dapat tercapai. Bentuk-bentuknya dapat berupa geographic expansion, diversification, acquisition,
product
development,
market
penetration,
retrenchment,
divestiture, liquidation dan joint venture. f).
Annual objectives adalah langkah-langkah atau tahapan-tahapan jangka pendek dari sebuah organisasi yang harus dicapai dalam rangka mencapai rencana jangka panjang.
g).
Policies adalah sarana penunjang yang dapat digunakan untuk mencapai annual objectives, bentuknya dapat meliputi panduan, peraturan, dan prosedur. Atau dengan kata lain Policies adalah pedoman-pedoman untuk pengambilan keputusan dan mengatasi situasi berulang atau rutin Penerapan manajemen strategis oleh sebuah organisasi dapat memberikan dua
keuntungan bagi organisasi tersebut, yaitu (David, 2009) : a). Keuntungan Finansial, dari sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan konsep manajemen strategi lebih untung (profit) dan sukses dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkan manajemen strategis. b). Keuntungan Non-finansial, dengan menerapkan manajemen strategis sebuah perusahaan akan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar perusahaan tersebut, seperti ancaman yang akan muncul, pemahaman yang lebih mendalam mengenai strategi yang dilakukan oleh pesaing, meningkatkan produktifitas karyawan, mengurangi resistensi terhadap perubahan.
18
2. Penerapan
Manajemen
Strategis
di
Organisasi
Pemerintahan dan Non-Profit David dalam bukunya menjelaskan bahwa penerapan manajemen strategis tidak hanya pada SBU atau perusahaan-perusahaan swasta yang berorientasi profit tetapi juga pada organisasi-organisasi non-profit bahkan pemerintahan, sperti pendidikan, pelayanan kesehatan, kementrian-kementrian dan lembaga-lembaga pemerintah dengan tujuan untuk menjadikan organisasi tersebut lebih efektif dan efisien (David, 2009). Pedoman-pedoman
penerapan
manajemen
strategis
pada
organisasi
pemerintahan (David, 2009) : a. Strategi-strategi harus dirundingkan terlebih dahulu. b. Pihak luar harus dilibatkan dalam proses penerapan manajemen strategis. c. Isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan sosial-politik harus diatasi dengan tepat. d. Strategi-strategi yang diterapkan harus memainkan peranan yang penting dan besar. e. Proses penerapan harus fleksibel untuk menghindari birokrasi yang tidak perlu. f. Strategi tidak selalu bisa dirahasiakan.
19
2.1. Matriks
TOWS
(Threats-Opportunities-Weaknesses-
Strengths) Sebuah tool analisis yang utama bagi seorang manajer yang dapat membantu mengembangkan penerapan strategi-strategi dengan memperhatikan faktor-faktor baik internal (Strengths dan Weaknesses) maupun eksternal (Threats dan Opportunities) (David, 2009). Selanjutnya menurut David Terdapat empat strategi yang dapat dikembangkan oleh seorang manajer dari TOWS matrix ini, yaitu (David, 2009) : a. Strategi SO (Strengths-Opportunities), menggunakan kekuatan internal yang dimiliki sebuah perusahaan untuk menfaatkan peluang yang berasal dari eksternal perusahaan. b. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), bertujuan untuk memperbaiki kelemahan yang dimiliki dengan melihat adanya peluang yang berasal dari eksternal perusahaan. c. Strategi ST (Strengths-Threats), menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman yang berasal dari eksternal perusahaan. d. Strategi WT (Weaknesses-Threats), tindakan preventif yang bertujuan untuk mengurangi kelemahan yang dimiliki perusahaan dan menghindari ancaman dari luar perusahaan.
20
Gambar 2.2 TOWS Matrix (Sumber: David, 2009)
2.2. Matriks QSPM Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) merupakan teknik yang secara obyektif dapat menetapkan strategi alternatif yang diprioritaskan berdasarkan data kuantitatif. Sebagai suatu teknik, QSPM memerlukan good intuitive judgement (David, 2009). Langkah-langkah dalam menyusun QSPM adalah sebagai berikut (David, 2009) : a. Buatlah daftar faktor eksternal (kesempatan/ancaman) dan faktor internal (kekuatan/kelemahan) di sebelah kiri dari kolom matrik QSPM. b. Berilah bobot untuk setiap faktor eksternal dan internal. c. Analisis matrik yang sesuai dari langkah kedua dengan mengidentifikasikan strategi alternatif yang harus diimplementasikan. d. Berikan skor alternatif (SA) dengan rentang skor sebagai berikut : 1 = tidak memiliki daya tarik
21
2 = daya tariknya rendah 3 = daya tariknya sedang 4 = daya tariknya tinggi - = tidak memiliki dampak terhadap strategi alternatif e. Kalikan bobot dengan SA pada masing-masing faktor eksternal / internal pada setiap strategi. f. Jumlahkan seluruh skor SA Keterangan: SA
: Skor Atraktif
TSA
: Total Skor Atraktif
Skoring
:
• Faktor Internal
: 1 = kelemahan utama; 2 = kelemahan minor; 3 =
kekuatan kecil; 4 = kekuatan utama. • Faktor Eksternal
: 1 = respon perusahaan lemah; 2 = respon perusahaan
cukup; 3 = respon perusahaan di atas rata-rata; 4 = respon perusahaan sangat baik.
2.3.
Matriks Strategi Besar (Grand Strategy Matrix) Loren W. Kuzuhara & Ramon J. Aldag menjelaskan bahwa grand
strategy adalah susunan rencana luas dan menyeluruh yang dijadikan panduan bagi sebuah organisasi dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi (Kuzuhara
22
& Aldag, 2005). Selanjutnya Kuzuhara dkk. membagi tiga bentuk grand strategy yang dapat diimplementasikan oleh seorang pemimpin, yaitu (Kuzuhara & Aldag, 2005) : a) Growth strategy, biasanya digunakan oleh seorang pemimpin organisasi yang baru masuk ke dalam pasar / industri dengan tujuan untuk mendapatkan profit yang tinggi dan memperoleh peluang yang lebih besar di industri tersebut. b) Stability strategy, biasanya digunakan oleh seorang pemimpin ketika menghadapi sebuah kondisi dimana harus menjaga stabilitas market share perusahaan yang dipimpin. c) Retrenchment
strategy,
biasanya
digunakan
oleh
pemimpin
ketika
perusahaan yang dipimpin mengalami penurunan performanya dikarenakan oleh kelemahan yang berasal dari dalam perusahaan sendiri ataupun ancaman yang datang dari luar perusahaan. David menjelaskan bahwa grand strategy matrix menggunakan dua buah dimensi evaluasi sebagai dasar analisis strategi yaitu competitive position dan market growth (David, 2009). Selanjutnya berdasarkan dua dimensi evaluasi tersebut terdapat empat quadrant pengelompokan yang dilengkapi dengan pilihan strategi yang dapat diterapkan berdasarkan masing-masing quadrant tersebut, seperti (David, 2009):
23
a) Quadrant I, institusi yang berada pada posisi ini adalah institusi yang memiliki posisi strategis yang sempurna, karena berada dalam industri yang berkembang dengan cepat serta kemampuan bersaing yang dimilki oleh institusi tersebut kuat. Alternatif pilihan strategi yang tepat antara lain : pengembangan pasar, penetrasi pasar, pengembangan produk, diversifikasi usaha terpusat, dan sebagainya. b) Quadrant II, institusi yang berada dalam posisi ini perlu mengevaluasi cara mereka melakukan pendekatan terhadap kondisi pasar, karena walaupun industri mengalami peningkatan tetapi institusi tersebut tidak mampu bersaing dengan baik di dalam industri, sehingga institusi-institusi tersebut harus meninjau ulang pendekatan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan daya saing mereka. Alternatif pilihan strateginya antara lain : yang menjadi pertimbangan utama adalah menyusun strategi intensif untuk bersaing, kemudian pengembangan pasar, penetrasi pasar, pengembangan produk, divestasi, likuidasi, dan sebagainya. c) Quadrant III, institusi yang berada dalam posisi ini bersaing dalam sebuah industri yang bergerak dengan lambat dan memiliki posisi bersaing yang lemah, yang harus dilakukan oleh institusi yang berada dalam quadran ini adalah merubah secara drastis dan cepat untuk menghindari kebangkrutan dan kemungkinan buruk lainnya. Alternatif pilihan strateginya antara lain : pengurangan, diversifikasi terpusat, diversifikasi konglomerasi, divestasi, likuidasi, dan sebagainya.
24
d) Quadrant IV, institusi yang berada pada quadran ini memiliki posisi bersaing yang kuat namun mereka berada dalam industri yang lambat berkembang. Mereka memiliki kemampuan untuk mencetuskan upaya diversifikasi di area yang menjanjikan untuk berkembang, biasanya karakteristik institusi yang berada di quadran ini adalah tingkat cash flow yang tinggi serta kebutuhan berkembang dari internal yang terbatas. Alternatif pilihan strateginya antara lain : diversifikasi terpusat, diversifikasi konglomerasi, joint ventures. Ringkasannya terdapat dalam bagan di bawah ini :
Gambar 2.3 Grand Strategy Matrix (Sumber: David, 2009)
25
C. Manajemen Perubahan (Change Management) 1. Pengertian Manajemen Perubahan Manajemen perubahan adalah sebuah proses sistematis mengenai penerapan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terlibat dan mengalami dampak dari proses tersebut (Wibowo, 2006, h. 37). Selanjutnya Wibowo menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam manajemen perubahan pertama, mengidentifikasi subjek (orang) yang akan terkena dampak dari perubahan tersebut dan yang mungkin menolak perubahan; kedua, menelusuri sumber, tipe dan tingkat resistensi yang akan muncul terhadap proses perubahan tersebut; ketiga, merancang strategi yang efektif dan tepat dalam upaya mengurangi resistensi tersebut (Wibowo, 2006, h. 37). Conner menjelaskan bahwa terdapat lima posisi dan peran yang terlibat dan bertanggung jawab dalam manajemen perubahan, yaitu (1) sponsor, individu atau kelompok yang berwenang dan otoritas untuk memberi persetujuan atau legitimasi perubahan tersebut; (2) agent, individu atau kelompok yang memiliki tanggung jawab penuh dalam proses perubahan; (3) target, individu atau kelompok yang harus berubah; (4) advocate, individu atau kelompok yang memiliki gagasan untuk perubahan tetapi tidak memiliki wewenang untuk menyetujui atau bahkan tanggung jawab untuk melakukan perubahan; (5) stakeholders, sekelompok individu yang terlibat dalam proses perubahan termasuk sponsor, agen perubahan, target dan advocate (dalam Wibowo, 2006, h. 39).
26
2. Tipe-tipe Perubahan Harvard Business Essentials menjelaskan organisasi biasanya bereaksi terhadap tantangan-tantangan yang berasal dari munculnya teknologi-teknologi baru, pesaing baru, pasar yang baru, serta tuntutan untuk meningkatkan kinerja melalui beberapa bentuk program rencana (Harvard Business Essentials, 2003, h. 8). Tiaptiap program rencana tersebut dirancang untuk mengatasi masalah yang muncul dan meningkatkan kinerja organisasi tersebut. Harvard Business Essentials membagi program-program rencana tersebut menjadi sebagai berikut : a. Structural Change, program rencana ini memperlakukan organisasi sebagai sebuah bagian fungsional. Selama proses program rencana ini berjalan jajaran top management dibantu oleh konsultan berusaha untuk menyusun ulang bagian-bagian fungsional tersebut untuk meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. b. Cost Cutting, program rencana ini memfokuskan pada penghapusan kegiatankegiatan yang tidak penting atau cara-cara lain yang dapat mengurangi biaya operasional. c. Process Change, program rencana ini memfokuskan pada membuat alternatifalternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan. Program rencana ini biasanya bertujuan untuk membuat proses kerja lebih cepat, efektif, reliabel, dan/atau lebih irit biaya. d. Cultural Change, program rencana ini memfokuskan pada sisi kemanusiaan dari sebuah organisasi, maksudnya adalah merubah cara menjalin hubungan
27
antara manajemen dan karyawan dalam sebuah organisasi (Harvard Business Essentials, 2003, h. 9).
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Menurut
Ivancevich
dalam
bukunya
Organizational
Behavior
and
Management mengungkapkan bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya perubahan, yaitu (Ivancevich, 2005, h. 590) : 1. Eksternal Kekuatan-kekuatan yang bersumber dari lingkungan luar organisasi yang dapat mempengaruhi kondisi di dalam organisasi. Sub-faktor yang paling besar berpengaruh dari faktor eksternal adalah pertama kekuatan ekonomi, seperti kondisi pasar, tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang asing, dan strategi harga pesaing. Kedua adalah teknologi, perkembangan pengetahuan menghasilkan teknologi-teknologi baru yang dapat diaplikasikan untuk hampir seluruh bidang bisnis dan secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kerja bahkan kondisi sosial. Ketiga, perubahan kondisi sosial dan politik, maksudnya adalah keterkaitan antara pemerintah dan pelaku bisnis semakin erat dikarenakan pemberlakuan peraturan-peraturan (ketat / tidak ketat). 2. Internal Kekuatan-kekuatan yang bersumber dari dalam organisasi tersebut sendiri, biasanya berkaitan dengan permasalahan proses, seperti pengambilan keputusan yang tidak tepat, komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, tugas-tugas dan
28
tanggung jawab tidak dilaksanakan; dan perilaku di dalam lingkungan kerja, seperti moral kerja, kehadiran dan turnover pekerja. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Wibowo membagi dua faktor besar yang menjadi sumber terjadinya perubahan, yaitu (Wibowo, 2006, h. 47): 1. Faktor Eksternal Seluruh hal yang menjadi sumber dari terjadinya sebuah perubahan yang berasal dari luar organisasi, sehingga sulit untuk dikendalikan—organisasi harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di luar organisasi, yaitu : politik dunia, karakteristik demografis, kejutan ekonomi, peraturan pemerintah, kecenderungan sosial, kemajuan teknologi, perubahan pasar, persaingan semakin efektif, pelanggan semakin banyak tuntutan, privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut, dan pemegang saham minta lebih banyak nilai. 2. Faktor Internal Hal-hal yang berasal dari dalam organisasi yang dirasakan menjadi kebutuhan dan menjadi pendorong dari terjadinya perubahan dengan tujuan untuk pengembangan organisasi, yaitu : perubahan ukuran dan struktur organisasi, perubahan dalam sistem administrasi, pengenalan teknologi baru, perubahan dalam produk dan/atau jasa, sifat tenaga kerja, problem dan prospek SDM serta perilaku dan keputusan manajerial.
3.1
Pendekatan Manajemen Perubahan Menurut Harvard Business Essentials terdapat dua pendekatan mengenai
perubahan yang terjadi di sebuah organisasi yang dibedakan berdasarkan
29
tujuannya, yaitu peningkatan ekonomi jangka pendek dan peningkatan kemampuan organisasi. Kedua tujuan tersebut dapat diterjemahkan oleh Michael Beer dan Nitin Nohria ke dalam teori yang mereka sebut sebagai Teori O dan Teori E untuk menjabarkan mengenai dua tujuan utama tersebut (Harvard Business Essentials, 2003, h. 10). Perubahan dalam Teori E diartikan sebagai perubahan yang mengacu pada upaya untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham, yang bertolak ukur pada meningkatnya cash flow dan harga saham tersebut (Harvard Business Essentials, 2003, h. 10). Sementara itu dalam Teori O perubahan diartikan sebagai perubahan yang mengacu pada perkembangan budaya organisasi yaitu budaya organisasi yang mendukung adanya proses belajar dan berdasarkan kepada kinerja karyawan yang baik (Harvard Business Essentials, 2003, h. 10).
4. Kotter Eight Stage Change Process John P. Kotter mengemukakan sebuah teori mengenai model perubahan yang terdiri dari delapan tahapan proses perubahan, yaitu (dalam Wibowo, 2006, h. 92): a) Establishing A Sense of Urgency (membangun/menumbuhkan rasa urgensi), melakukan identifikasi terhadap kondisi dan situasi baik internal maupun eksternal dengan mendiskusikan krisis atau potensi krisis atau peluang besar sehingga dapat menyimpulkan diperlukannya sebuah perubahan. b) Creating
the
Guiding
Coalition
(menciptakan
koalisi
pembimbing/pengarahan), membentuk kelompok kerja yang dapat terdiri dari
30
lintas divisi, fungsi dan tingkatan yang akan memiliki kekuasaan yang cukup untuk memimpin perubahan. Fungsinya adalah untuk merumuskan kebijakankebijakan yang dapat dijadikan arah bagi proses perubahan. c) Developing A Vision and Strategy (merumuskan/membangun visi dan strategi), dengan menciptakan visi dan strategi yang jelas diharapkan organisasi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Visi berfungsi sebagai pengarah dan strategi berfungsi sebagai action plan dalam proses perubahan. Tentu saja syaratnya adalah visi dan strategi yang dirumuskan dan ditetapkan tersebut harus diketahui dan dijalankan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses perubahan. d) Communicating The Change Vision (mengkomunikasikan visi perubahan), mengkomunikasikan visi dan strategi perubahan pada pihak yang terlibat dalam proses perubahan secara terus menerus dengan menggunakan setiap kesempatan yang ada dengan tujuan agar visi perubahan tersebut dapat dipahami dan didukung oleh semua pihak dan dapat mempengaruhi sikap karyawan untuk bersedia menyesuaikan diri terhadap perubahan. e) Empowering Broad-Based Action (pemberdayaan pekerja untuk aksi secara luas), melakukan perubahan struktur, sistem dan mekanisme agar sesuai dengan visi perubahan dengan tujuan untuk menghilangkan potensi-potensi yang dapat menjadi rintangan perubahan. Memberikan dorongan kepada pekerja untuk berani melakukan tindakan yang kreatif, mengambil resiko dan melakukan tindakan non-konservatif.
31
f) Generating Short Term Wins (membangkitkan prestasi jangka pendek), menyusun dan merancang rencana untuk meningkatkan kinerja sebagai hasil dari perubahan/kemenangan yang dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek, pekerja/individu yang memungkinkan tercapainya prestasi tersebut perlu diberi pengakuan dan penghargaan. Tujuannya adalah untuk meyakinkan bahwa visi dan strategi yang telah ditetapkan dan dijalankan benar. g) Consolidating Gains and Producing More Change (mengkonsolidasikan hasil dan menghasilkan perubahan yang lebih besar), melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membuat proses perubahan tersebut menjadi semakin besar dengan cara menggunakan peningkatan kredibilitas untuk mengubah semua sistem, struktur dan kebijakan yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan perubahan. Merekrut, mempromosikan dan mengembangkan orang-orang yang dinilai mampu mengimplementasikan visi perubahan dan peremajaan proses perubahan dengan melaksanakan proyek, tema dan agen perubahan yang baru. h) Anchoring New Approaches In The Culture (menanamkan pendekatan baru dalam budaya), sebagai tahap akhir dari delapan tahapan perubahan yang artinya seluruh hasil dari proses perubahan yang telah dilakukan dijadikan sebagai budaya kerja yang baru dengan menciptakan kinerja yang lebih baik contohnya
dengan
berorientasi
pada
pelanggan
dan
produktivitas,
kepemimpinan yang lebih baik, serta manajemen yang lebih efektif, memberikan makna hubungan yang lebih baik antara perilaku baru dan
32
keberhasilan organisasi serta mengembangkan berbagai sarana dan cara untuk memastikan perkembangan kepemimpinan dan suksesi.
5. Agents Of Change Cathy Perme berpendapat bahwa yang seharusnya dilakukan oleh seorang agen perubahan pada saat proses perubahan sedang berlangsung adalah (Perme, 1999): a) Mampu mengenali situasi yang dihadapi dan mempunyai persepsi yang jeli serta mampu mempengaruhi situasi tersebut. b) Memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap kemampuan dirinya, jelas mengenai nilai-nilai yang mereka miliki, mereka mengerti motivasi pribadi, dan mereka tahu bagaimana membangun koalisi dan meminta bantuan. c) Mampu mengedepankan tercapainya tujuan bersama (organisasi) dan mengesampingkan ego pribadi. d) Membangun energi, konsensus dan menjadi pemersatu bukan memecah belah dan mengalahkan. Memfokuskan pada membangun kepercayaan dan membantu orang lain untuk menghilangkan persepsi-persepsi dan keyakinankeyakinan yang dapat membebani/membatasi masa depan mereka. Wibowo membagi keterampilan pemimpin perubahan menjadi tiga, yaitu (Wibowo, 2006, h. 120): a) Imajinasi untuk melakukan inovasi, untuk mendorong terciptanya suasana yang inovatif seorang pemimpin harus mampu mengembangkan konsep,
33
gagasan,
model,
dan
aplikasi
teknologi
yang
dapat
membedakan
organisasinya dengan organisasi yang lain. b) Profesionalisme untuk mewujudkan kinerja, pemimpin mengupayakan kompetensi pribadi (bawahan) dan organisasional dengan cara mengadakan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja. c) Keterbukaan untuk berkolaborasi, menjalin hubungan dengan mitra yang mampu
mendukung
perluasan
pencapaian
organisasi,
meningkatkan
bargaining position, dan meningkatkan semangat kerja. Ivancevich menjelaskan mengenai change agent adalah sebagai seseorang yang bertindak sebagai pencetus perubahan dan dapat berasal dari luar contohnya konsultan (pihak ketiga) yang hanya ada di dalam organisasi selama proses perubahan berlangsung atau dalam organisasi seperti manajer atau individu yang mengetahui tentang permasalahn yang dihadapi oleh organisasi dan diharapkan serta dianggap mampu untuk membawa perubahan besar di dalam organisasi (Ivancevich, 2005, h. 583). Pemberdayaan menurut Wibowo adalah suatu proses dimana pekerja diberikan otoritas dan keleluasaan yang berlebih dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka.Dengan pemberdayaan dapat mewujudkan pergeseran kekuasaan kepada sekelompok pekerja yang diperbolehkan untuk membuat keputusan sendiri (Wibowo, 2006, h. 160).
34
6. Penolakan Perubahan (Resistance to Change) Connor mengungkapkan bahwa proses perubahan pada sebuah organisasi cenderung akan mengalami penolakan—terdapat beberapa hal yang mendasari terjadinya hal tersebut, seperti (dalam Yukl, 2006): a. Lack of trust (kurang percaya) Alasan mendasar terjadinya penolakan terhadap perubahan adalah tidak ada rasa percaya kepada pelaku perubahan tersebut sendiri. Rasa tidak percaya dapat memperluas dampak terjadinya penolakan yang bersumber dari faktorfaktor lain. b. Belief that change is not necessary (merasa bahwa tidak perlu ada perubahan) Penolakan akan adanya perubahan pada sebuah organisasi akan semakin kuat jika apa yang berlaku atau diterapkan saat ini terbukti berhasil di masa lalu dan tidak ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa adanya permasalahan yang serius dari hal tersebut sehingga diperlukan adanya perubahan yang mendasar. c. Belief that the change is not feasible (merasa bahwa perubahan tidak memungkinkan untuk dilakukan) Perubahan yang diusulkan untuk menghadapi permsalahan yang terjadi di sebuah organisasi dianggap tidak memungkinkan untuk diterapkan maka biasanya akan terjadi penolakan. d. Economic threats (ancaman perekonomian) Walaupun perubahan yang akan dilakukan dapat menguntungkan perusahaan secara menyeluruh tetapi jika dapat mengancam karir, keamanan dan
35
kenyamanan bekerja seperti komputerisasi (mengganti manusia dengan mesin/ teknologi) maka akan terjadi penolakan. e. Relative high cost (biaya yang tinggi) Diperlukan adanya perhitungan yang tepat dan akurat sehingga perubahan yang tentu saja akan menambah biaya tersebut dapat diimbangi dengan benefit yang akan diperoleh nantinya. f. Fear of personal failure (takut akan kegagalan pribadi) Perubahan yang diusulkan akan cenderung diterima jika perubahan-perubahan tersebut disertai dengan adanya bimbingan dan panduan demi keberhasilan secara menyeluruh. g. Loss of status and power (kehilangan status dan kekuasaan) Perubahan yang terjadi di sebuah organisasi tentu saja akan berdampak terhadap berubahnya struktur organisasi, jabatan dan individu yang menjabat—dapat menimbulkan penolakan. h. Threat to values and ideals (ancaman terhadap nilai dan idealisme) Perubahan yang diterapkan akan mengalami penolakan jika tidak sesuai dengan nilai dan idealisme yang berlaku di organisasi tersebut, terlebih jika nilai dan idealisme tersebut sudah menjadi sebuah kebudayaan. i. Resentment of interference (penolakan terhadap gangguan) Adanya keengganan untuk menerima perintah atau diatur oleh orang lain.
36
D. Budaya Organisasi (Organizational Culture) 1. Pengertian Budaya Organisasi McShane dan Von Glinow menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah pola dasar mengenai nilai-nilai bersama dan asumsi yang mengatur cara karyawan dalam sebuah organisasi berpikir dan bertindak dalam menghadapi masalah dan peluang. Lebih lanjut McShane dan Von Glinow menyebutkan bahwa budaya organisasi juga menjelaskan mengenai hal-hal yang penting dan tidak penting di dalam sebuah organisasi dan akan mengarahkan setiap anggota organisasi untuk berlaku dengan benar dalam mengerjakan pekerjaan (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 460).
2. Elemen-elemen Budaya Organisasi McShane dan Von Glinow menjelaskan bahwa budaya organisasi terdiri dari sejumlah elemen-elemen baik yang dapat diamati maupun tidak. Artifacts, yaitu simbol-simbol atau tanda-tanda yang dapat diamati dari sebuah budaya organisasi yang berlaku yaitu terdiri dari, (1) cerita/kisah baik sukses maupun gagal dari perjalanan sebuah organisasi, (2) ritual dan perayaan, ritual yaitu kegiatan sehari-hari dalam sebuah organisasi yang terprogram yang dapat menampilkan budaya dari organisasi tersebut, sementara perayaan adalah kegiatan terencana yang diadakan khusus untuk memberikan penghargaan, (3) bahasa perusahaan, yaitu cara berkomunikasi di dalam sebuah organisasi baik dalam menyapa rekan kerja, pelanggan, maupun mengkomunikasikan budaya yang berlaku, (4) struktur fisik dan simbol-simbol, yaitu bentuk-bentuk, ukuran, lokasi dan usia gedung atau bangunan
37
dan isi di dalamnya merefleksikan dan mempengaruhi budaya sebuah organisasi (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 463). Nilai-nilai dan asumsi menurut McShane dan Von Glinow merupakan elemen dari budaya organisasi yang tidak dapat diamati terdiri dari : a) Nilai-nilai bersama, terdiri dari keyakinan-keyakinan yang disadari serta evaluasi mengenai baik atau buruk dan benar atau salah. b) Asumsi bersama, terdiri dari keyakinan-keyakinan dan persepsi-persepsi yang diyakini secara tidak sadar (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 460).
3. Fungsi Budaya Organisasi McShane dan Von Glinow menjelaskan dampak dari budaya organisasi adalah tergantung pada kekuatan dari budaya itu sendiri maksudnya adalah seberapa besar/kuat dan mendalamnya para anggota organisasi menanamkan nilai dan asumsi dominan yang berlaku di sebuah organisasi (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 466). Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi kesuksesan sebuah organisasi, hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh McShane dan Von Glinow yang menjelaskan bahwa budaya organisasi memiliki tiga fungsi penting, yaitu sebagai (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 466) : a) Sistem kontrol, budaya organisasi adalah sebuah bentuk kontrol sosial yang tertanam dan mampu mempengaruhi keputusan dan perilaku anggota organisasi.
38
b) Perekat sosial, budaya organisasi adalah perekat yang dapat menyatukan anggota-anggota organisasi dan membuat mereka merasa sebagai bagian dari perjalanan organisasi. c) Menyadarkan, budaya organisasi membantu anggota organisasi dalam proses menyadari dan memahami apa yang terjadi di dalam organisasi dan mengapa hal tersebut terjadi, serta membantu anggota organisasi menyadari apa yang diharapkan organisasi dari mereka.