II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Taman Nasional Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi yang dimaksud terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, serta zona lain sesuai dengan keperluan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri (Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011, suatu kawasan dapat ditunjuk sebagai kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria antara lain mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, mempunyai sumberdaya alam yang khas dan unik, memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam serta dapat dibagi ke dalam zona-zona pengelolaan sesuai ketentuan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional mengatur lebih lanjut mengenai zonasi taman nasional. Zonasi taman nasional disebutkan sebagai suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Pembagian zona taman nasional menurut Permenhut No.
P.56/Menhut-II/2006 adalah : 1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi
untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
8
2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. 4. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. 5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 7. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. 2.2. Tugas Pokok dan Fungsi Taman Nasional Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional maka tugas TN adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, TN menyelenggarakan fungsi : 1. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan TN. 2. Pengelolaan kawasan TN.
9
3. Penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan TN. 4. Pengendalian kebakaran hutan. 5. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 6. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 7. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan. 8. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TN. 9. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam. 10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. 2.3. Permasalahan Pengelolaan Pengelolaan kawasan konservasi menghadapi berbagai kendala, di samping berbagai peran dan manfaat yang dimilikinya.
Menurut McNeely (1995),
permasalahan kawasan konservasi berbeda-beda pada setiap negara, namun secara umum permasalahan penting pengelolaan kawasan konservasi adalah lemahnya dukungan nasional, konflik dengan masyarakat lokal, konflik dengan institusi pemerintah lainnya, manajemen yang lemah dan pendanaan yang lemah dan tidak terjamin. Kawasan konservasi memiliki sumber pendaaan dari anggaran negara namun anggaran yang dialokasikan untuk kawasan konservasi relatif sangat sedikit.
Bahkan, walaupun suatu kawasan konservasi mampu memberikan
kontribusi yang nyata bagi keuangan negara, hanya sebagian kecil saja dari dana tersebut yang dikembalikan untuk keperluan pengelolaan kawasan konservasi (McNeely 1995). Berdasarkan hasil studi, indikator kecukupan pendanaan, kestabilan pendanaan dan pengelolaan keuangan memiliki korelasi cukup tinggi terhadap efektivitas pengelolaan (Leverington et al. 2010). Permasalahan pengelolaan TN di Indonesia secara umum berkaitan erat dengan berbagai aspek seperti masalah kelembagaan, masalah kawasan, konflik kawasan, serta rendahnya komitmen para pihak dalam mendukung keberhasilan kegiatan konservasi (Kemenhut 2011a). Hasil survey cepat mengenai efektivitas pengelolaan TN di Indonesia, pada tahun 2010 sampai 2011 dengan metode Rapid Assesment on Protected Area Management-Management Effectiveness Tracking Tool (RAPPAM-METT) menunjukkan sebagian besar pengelolaan TN belum
10
berjalan efektif. Pengelolaan yang efektif hanya dicapai oleh lima Balai TN (BTN) dari 50 TN yang ada yaitu BTN Komodo, BTN Bali Barat, Balai Besar TN (BBTN) Bromo Tengger Semeru, BBTN Gunung Gede Pangrango dan BTN Way Kambas, sisanya sedang dan buruk. Faktor utama belum efektifnya pengelolaan TN terkait erat dengan keterbatasan SDM dan anggaran Pemerintah. 2.4. Perubahan Paradigma Pengelolaan Perubahan ekspektasi mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat di sekitar kawasan konservasi dilatarbelakangi dorongan situasi saat ini.
Situasi-situasi ini, yaitu 1) Perubahan nilai-nilai sosial pada
masyarakat yang mengakibatkan berubahnya harapan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam di TN; 2) Perubahan tatanan pemerintah dari sentralistik menjadi desentralistik dan otonomi; 3) Perubahan paradigma manajemen yang disebabkan menurunnya kemampuan pembiayaan kegiatan; dan 4) Semakin tingginya perhatian dunia internasional terhadap isu-isu sumberdaya alam dan lingkungan. Perubahan situasi ini berimplikasi pada tuntutan para pihak yang berkepentingan dan adaptasi pengelolaan TN.
Tuntutan untuk adaptasi
pengelolaan kawasan konservasi memunculkan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi (Santosa 2008). Tren pemanfaatan TN terus berkembang. Sebelumnya, konservasi hanya ditujukan untuk tujuan konservasi dan pengembangannya diprioritaskan kepada perlindungan dan pengawetan hidupan liar.
Dewasa ini pengembangannya
cenderung ke arah pemanfaatan lestari (Kemenhut 2011a).
Kecenderungan
tersebut semakin menguat setelah diselenggarakannya Kongres TN Sedunia ke-5 di Durban pada tahun 2003 yang menghasilkan kesepakatan bahwa setiap entitas kawasan konservasi harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan para pihak. 2.5. Pemanfaatan Taman Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 menyatakan bahwa TN dapat dimanfaatkan untuk kegiatan : a.
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
b.
Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam.
11
c.
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam.
d.
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
e.
Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
f.
Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan tradisional merupakan kegiatan pemungutan hasil hutan bukan
kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.
Kegiatan ini menjadi batasan bagi pengelola TN untuk
pemanfaatan barang dan jasa yang terdapat di TN. 2.6. Tipologi Barang dan Jasa Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan kembali berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai private goods, club goods, common pool goods, dan public goods (Ostrom 1977, diacu dalam Berge 2004) (Tabel 1). Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan, misalnya kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara
pemanfaatan,
pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Tabel 1 Tipologi barang dan jasa Jenis Sumberdaya
Pengguna Non-substractable
Substractable
Non-excludable
Public Goods
Common Pool Goods
Excludable
Club Goods
Private Goods
Sumber : (Ostrom 1977, diacu dalam Berge 2004), dimodifikasi.
Dalam setiap tipologi mengandung sifat yang melekat pada barang dan jasa tersebut. Sifat tersebut merupakan atribut yang sepatutnya disertakan ke dalam sifat-sifat lain dari barang dan jasa yang sedang dibicarakan. Terdapat dua faktor yang menentukan atribut tersebut, yaitu : 1. Sifat rivalitas (persaingan/ substraktif) atas barang dan jasa. Dalam hal ini apabila barang dan jasa dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai private goods
12
(misalnya, air kemasan, kayu, ikan, dan lain-lain (dll)) dan common pool goods (misalnya danau, sungai, dll). Sebaliknya apabila dimanfaatkan seseorang tetapi, dalam jangka pendek, tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai club goods (misalnya air dalam Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dll) dan public goods (misalnya udara, keamanan, dll). 2. Sifat dapat dipisahkan (excludability) pengguna barang dan jasa. Apabila pengguna barang dan jasa dapat dipisahkan satu dari yang lain, maka private goods dan club goods termasuk di dalamnya. Apabila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, maka common pool goods dan public goods masuk di dalamnya. Barang dan jasa common pool goods, dapat terjadi fenomena open access sebagaimana dalam public goods, apabila kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau penunggang gratis (free riders). Tipe barang dan jasa ini menurut IUCN (2000) dikategorikan berdasarkan sifat dapat dipisahkan (excludable) dan sifat pembagian (divisible) seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Tipologi barang dan jasa Non-excludable Excludable
Non-divisible
Divisible
Public
Common Pool
Toll Goods
Private
Sumber : IUCN (2000).
1. Public good adalah setiap barang dan jasa yang tidak dikecualikan/dipisahkan (non-excludable) dan tidak dibagikan (non-divisible) yang artinya bahwa barang dan jasa tersebut tersedia untuk masyarakat umum. Contoh public good adalah jasa hutan lindung, penyerapan karbon dan perlindungan habitat kritis. 2. Private good merupakan barang dan jasa yang bersifat dipisahkan (excludable) dan dapat dibagi (divisible) yang berarti bahwa setelah diberikan kepada seseorang maka hanya tersedia untuk individu tersebut. Contoh private good adalah berburu, memancing, berkemah dan hasil hutan non-kayu di mana setelah binatang diburu, ikan tertangkap, izin berkemah dialokasikan dan
13
produk hutan non kayu dipanen, tidak ada orang lain yang dapat menggunakannya. 3. Toll goods adalah barang dan jasa yang bersifat dapat dipisahkan (excludable) tetapi tidak dapat dibagi (non-divisibel) misalnya adalah tiket masuk kawasan di mana hanya yang membayar yang dapat masuk tetapi barang dan jasa tersebut tidak habis dibagi. 4. Common pool adalah barang dan jasa yang bersifat tidak dapat dipisahkan (non-excludable) tetapi dapat dibagi (divisible) contohnya adalah kolam renang di mana jika digunakan, maka orang lain tidak dapat menggunakan tetapi akses untuk mendapatkannya terbuka untuk siapapun. Contoh lainnya adalah jamur di hutan. Mengakses jamur terbuka bagi siapa saja yang melalui hutan, tetapi begitu dipanen oleh seorang individu maka tidak tersedia lagi untuk orang lain (IUCN 2000). 2.7. Taman Nasional Mandiri Menurut Hartono (2008a) TN Mandiri adalah TN yang mampu membiayai sebagian atau seluruh pelaksanaan tugas pokok di luar gaji dan kegiatan rutin lainnya dari penerimaan yang diperoleh dari pelaksanaan kegiatan tersebut dalam bentuk PNBP. TN Mandiri dengan definisi tersebut dapat dikategorikan sebagai Badan Layanan Umum (BLU). TN Mandiri harus merupakan TN Efektif (Kemenhut 2011). TN Efektif memiliki indikator sebagai berikut : 1.
Memiliki kelembagaan (organisasi pengelola) yang meliputi ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang cukup baik jumlah dan kualitas, memiliki sarana (perlindungan dan perpetaan) memadai, memiliki Tata Hubungan Kerja (internal dan eksternal) yang baik.
2.
Inventarisasi sumber daya hayati (SDH) yang meliputi ketersediaan data potensi SDH dan keberlanjutan program inventarisasi SDH.
3.
Rencana Pengelolaan TN (RPTN) yang meliputi adanya zonasi, desain tapak dan peta interpretasi.
4.
Kemantapan kawasan hutan yang meliputi penetapan kawasan TN dan pengakuan dari para pemangku kepentingan terhadap kawasan TN.
14
5.
Sistem monitoring dan pelaporan yang meliputi ketersediaan data hasil monitoring/pelaporan dan program monitoring dan pelaporan.
6.
Konflik masyarakat/tekanan terhadap kawasan TN yang meliputi adanya peta konflik, strategi penyelesaian konflik (Nota Kesepahaman, manajemen kolaborasi, relokasi, penegakan hukum dan penyuluhan) dan implementasi dan antisipasi konflik. Menurut Kemenhut (2011a) TN Mandiri didefinisikan sebagai TN Efektif
yang dapat menjamin fungsi ekologis dan sosial TN serta diperkuat dengan investasi pemerintah dan swasta untuk pemanfaatan jasa lingkungan (wisata alam, air, karbon dan penangkaran/budidaya satwa dan tumbuhan liar) yang dari usahanya diperoleh pendapatan paling tidak 80% untuk membiayai pengelolaan TN yang bersangkutan. Pencapaian hal tersebut memerlukan strategi peningkatan PNBP agar 80% biaya pengelolaan terpenuhi. 2.8.
Badan Layanan Umum
2.8.1. Definisi Badan Layanan Umum Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produkstivitas. 2.8.2. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. PPK-BLU
menggunakan
praktik
bisnis
yang
sehat
yaitu
proses
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. Instansi yang dapat menerapkan PPK-BLU adalah :
15
1.
Instansi yang langsung memberikan layanan kepada masyarakat (organic view).
2.
Memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
2.8.3. Mengapa Badan Layanan Umum Pemerintahan Indonesia memiliki banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui pola BLU. Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) / Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Satuan kerja (satker) yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan (Kemenkeu 2012). BLU diperlukan karena dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis yang sehat dan dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait. 2.8.4. Syarat Menjadi Badan Layanan Umum Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substansi, teknis dan administrasi. Persyaratan Substantif yaitu instansi pemerintah yang menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan : 1.
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
2.
Pengelolaan
wilayah/kawasan
tertentu
untuk
tujuan
meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau 3.
Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
16
Persyaratan Teknis, meliputi : 1.
Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangannya.
2.
Kinerja keuangan satuan kerja yang bersangkutan sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. Persyaratan Administratif, meliputi Pernyataan Kesanggupan untuk
Meningkatkan Kinerja,
Pola Tata Kelola, Rencana Strategis Bisnis, Laporan
Keuangan Pokok, Standar Pelayanan Minimal (SPM), Laporan Audit terakhir atau Pernyataan Bersedia untuk diaudit. Berdasarkan
hasil
penilaian
atas
persyaratan
tersebut,
Menteri
Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota dapat menentukan apakah suatu unit dapat ditetapkan sebagai BLU dengan satus BLU Penuh atau Bertahap, ataupun ditolak. Status BLU Penuh diberikan apabila seluruh persyaratan substantif, teknis dan administrasi telah dipenuhi dengan memuaskan. Status BLU Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan.
Status BLU
Bertahap berlaku paling lama 3 tahun. 2.9. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) Menurut Osborne et al. (1996) pemerintahan dan bisnis adalah lembaga yang berbeda secara mendasar. Pemerintah tidak bisa meraih efisiensi pasar seperti bisnis. Kenyataan bahwa pemerintah tidak dapat dijalankan seperti sebuah bisnis tentu saja tidak berarti bahwa pemerintah tidak bisa mewirausaha. Pemerintah yang berwirausaha dapat menjadi pemerintahan yang lebih baik namun membutuhkan keahlian yang lebih baik. Pemerintah bisa mengarahkan secara lebih efektif dan membiarkan orang lain lebih banyak mengayuh (melaksanakan) (Osborne et al. 1996). Mengarahkan akan sangat sulit jika energi dan otak yang terbaik dari suatu organisasi dipergunakan
untuk
mengayuh.
Pemerintah
yang
memfokuskan
pada
mengarahkan, secara aktif mereka membentuk masyarakat, negara dan bangsanya.
17
2.10. Pelayanan Publik Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara (Sinambela et al. 2008). Pada hakikatnya Negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak dan keseimbangan hak dan kewajiban. Pelayanan prima diharapkan mampu mendorong terciptanya sistem pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) yang berorientasi pada kepentingan publik sebagai tujuan utama. Good governance sendiri diartikan sebagai suatu proses yang mengorientasikan pemerintah pada distribusi kekuatan dan kewenangan yang merata dalam seluruh elemen masyarakat untuk dapat mempengaruhi keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan publik beserta seluruh upaya pembangunan politik, ekonomi, sosial, dam budaya mereka dalam sistem pemerintahan (Sinambela et al. 2008). 2.11. Beberapa Contoh BLU 2.11.1. Pendidikan dan Pelatihan Satuan kerja (satker) yang menerapkan PPK-BLU pada bidang pendidikan dan pelatihan per 15 Februari 2012 adalah sebanyak 62 satker meliputi beberapa perguruan tinggi dan lembaga pendidikan negeri. Adapun jenis layanan yang disediakan meliputi paket pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Dokter pada perguruan tinggi serta paket pelatihan sesuai dengan tupoksi satker masingmasing. Balai Besar Pengembangan Latihan kerja Luar Negeri dlh contoh satker yang menyediakan pelatihan bahasa, elektronik industri, fabrikasi, listrik dan lainnya dengan tarif tertentu (Kemenkeu
2012).
Fasilitas yang disediakan
diantaranya adalah ruangan kelas, fasilitas internet, pengajar yang professional dan lainnya.
Pada beberapa perguruan tinggi yang menerapkan BLU maka
Pemimpin Universitas atau Rektor bertanggungjawab terhadap penyiapan Rencana Strategis Bisnis dan Rencana Bisnis dan Anggaran.
18
2.11.2. Penelitian Satuan kerja (satker) yang menerapkan PPK-BLU pada bidang penelitian per 15 Desember 2011 adalah sebanyak 3 satker diantaranya adalah Balai Besar Industri Agro (BBIA) yang memiliki tupoksi penelitian, pengembangan, kerjasama, standarisasi, pengujian, sertifikasi dan pengembangan kompetensi industri agro dengan jenis layanan meliputi jasa pengujian (analisis proksimat, mikrobiologi, label nutrisi, dan lain-lain), jasa kalibrasi (kalibrasi massa, volume, suhu, optik), jasa riset (pengembangan produk dan proses, mengatasi permasalahan teknlogi, rekayasa dan rancang bangun peralatan industry agro, studi kelayakan usaha), jasa sertifikasi (sertikikasi Sistem Manajemen Mutu, sertifikasi produk, dan lainnya), jasa konsultasi (pemecahan masalah teknologi, penganekaragaman
produk,
perbaikan
produksi,
pengembangan
produk,
penggunaan bahan tambahan makanan, pendirian usaha). Fasilitas yang disediakan meliputi laboratorium analisis komoditi (LAK) yang melaksanakan uji yang telah terakreditasi oleh National Accreditation of Territory Agency (NATA) Australia dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) serta tersedia peneliti profesional yang berpengalaman. BBIA memiliki Kepala Seksi Pemasaran yang secara khusus menangani pemasaran produk dan layanannya. 2.11.3. Kesehatan Satker yang menerapkan PPK-BLU pada bidang kesehatan per 15 Februari 2012 adalah sebanyak 48 satker di antaranya adalah Rumah Sakit dan Balai Kesehatan Masyarakat.
Layanan yang diberikan berupa konsultasi dokter,
layanan rawat inap dan rawat jalan, tindakan gawat darurat, tindakan operasi dan lain-lain. Fasilitas yang tersedia antara lain ruang pemeriksaan, laboratorium, kamar rawatan, ruang ICU, ruang operasi dan tenaga medis professional. 2.12. Kesatuan Bisnis Mandiri Perusahaan Umum Kehutanan Negara (KBM Perum Perhutani) Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyelenggarakan kegiatan usaha pengelolaan hutan dan usaha-usaha lain yang dapat menunjang maksud dan tujuan perusahaan (Perhutani 2010).
Dalam
melaksanakan kegiatan usaha pengelolaan hutan dan usaha-usaha lain tersebut
19
perlu dilakukan secara efektif, efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan. Wilayah kerja perusahaan terbagi menjadi 3 Unit dengan 57 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan perusahaan, Perum Perhutani didukung pula oleh 13 Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM), satuan kerja perencanaan sumberdaya hutan (SDH) yang terdiri dari 13 Seksi Perencanaan Hutan (SPH), dengan rincian sebagai berikut : 1.
Unit I Jawa Tengah terdiri dari : 20 KPH ; 2 KBM Pemasaran; 2 KBM Industri Kayu; 1 KBM Industri Non Kayu; 1 KBM Agroforestry dan 1 KBM Jasa Lingkungan dan Produksi lainnya serta 4 SPH ; seluas 630.720 Ha.
2.
Unit II Jawa Timur terdiri dari: 23 KPH ; 3 KBM Pemasaran; 1 KBM Industri Kayu; 1 KBM Industri Non Kayu; 1 KBM Agroforestry dan 1 KBM Jasa Lingkungan dan Produksi lainnya serta 5 SPH ; seluas 1.126.958 Ha.
3.
Unit III Jawa Barat dan Banten terdiri dari:14 KPH ; 1 KBM Pemasaran; 1 KBM Industri Kayu Non Kayu; 1 KBM Agroforestry, Ekologi dan Jasa Lingkungan (AEJ) serta 4 SPH ; seluas 684.423 Ha. Selain itu Perum Perhutani juga memiliki satuan kerja pendukung yaitu Kantor Pusat, 3 Kantor Unit, 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) SDH, 1 Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) SDM dan 3 Kantor Biro Perencanaan. Satuan organisasi yang berada di bawah kantor unit adalah KPH (Kesatuan
Pemangkuan Hutan).
KPH dipimpin oleh seorang Administrator/Kepala
Kesatuan Pemangkuan Hutan (Adm/KKPH) yang bertugas menyususn rencana pengelolaan hutan serta rencana kerja dan anggaran, memimpin penyelenggaraan aktivitas pengelolaan sumberdaya hutan, melaksanakan tata laksana administrasi dan pembukuan perusahaan, melaksanakan pembinaan SDM di wilayah KPH, melaksanakan pembinaan masyarakat, memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Satuan organisasi lainnya di bawah kantor unit adalah KBM yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengelolaan usaha bisnis perusahaan secara mandiri untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 1080/Kpts/Dir/2011 tentang Struktur Organisasi Perum Perhutani maka pada kantor unit terdiri dari beberapa KBM
20
tergantung pada jenis usaha yang akan dikembangkan meliputi KBM Kayu, KBM Industri Hasil Hutan Non Kayu, KBM Jasa Lingkungan dan Produksi Lainnya, KBM Agroforestry, KBM Perdagangan (Trading) dan KBM Industri Kayu. Masing-masing KBM dipimpin oleh seorang General Manager dan membawahi seorang Kepala Tata Usaha dan beberapa orang Manager. KBM pada masing-masing unit dibentuk guna lebih memfokuskan serta mendukung kegiatan pemasaran hasil hutan secara maksimal yang berfokus kepada pelayanan pelanggan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.
Struktur Organisasi
Kantor Pusat dan Kantor Unit Perhutani dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Beberapa produk dan layanan yang dihasilkan Perum Perhutani adalah sustainable product (kayu olahan dan kayu bundar), produk kimia hutan (gondorukem, terpentin, minyak kayu putih, kopal, lak, minyak ylang-ylang) ekoturisme, flora dan fauna, produk pangan dan kesehatan (madu Perhutani, madu Wanajava, Air Perhutani, minuman madu Perhutani), benih dan bibit (jati plus Perhutani), Forestry Training and Development (paket training dan konsultasi bisnis kehutanan), Clean Energy (mikro hydro) dan zona komersial (area pameran, papan reklame, tower, penyewaaan gedung pertemuan dan sebagainya). Fasilitas yang tersedia untuk mendukung usahanya adalah sarana dan prasarana gedung dan obyek wisata, outlet pemasaran, pabrik produk kimia hutan, pabrik produk pangan dan kesehatan dan lainnya serta tenaga yang profesional dan handal.