8
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Taman Nasional Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National Park) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata serta rekreasi. Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman nasional tersebut yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada tahun 2004. TNBBS ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dan merupakan habitat berbagai flora fauna langka dan hampir punah. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap. IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai sebuah kawasan baik darat maupun perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity) secara alami dan berkaitan dengan sumberdaya kultural serta dikelola secara legal atau untuk tujuan yang efektif (Borrini-Feyerabend, Kothari dan Oviedo 2004). Sedangkan konservasi adalah suatu upaya/tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dengan demikian, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dengan tetap memelihara kualitas, keanekaragaman dan kelangsungan ketersediaannya. Titik tolak konservasi sumberdaya alam adalah strategi konservasi dunia. Strategi ini meliputi aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan (perlindungan proses ekologis yang merupakan sistem penyangga kehidupan, karena sistem penyangga kehidupan harus dalam keadaan yang seimbang), pengawetan keanekagaman genetik dan pelestarian manfaat. Sebagai kawasan yang sebagian besar terdiri atas hutan, taman nasional mempunyai banyak fungsi. Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersama-sama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masing-masing harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial dan budaya. Mull (1995) diacu dalam Fandeli dan Muhammad (2005) mengemukakan konsep pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, dalam pasal 30 menyebutkan bahwa taman nasional mempunyai fungsi penting meliputi: (1) fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; dan (3) pemanfatan secara lestari sumber daya alam untuk kepentingan penelitian,
9
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi alam. Dengan demikian, taman nasional mempunyai fungsi memelihara keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Untuk dapat merealisasikan fungsi tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Zona lainnya tersebut dapat berupa zona rimba rehabilitasi, pemanfaatan tradisional dan pemanfaatan khusus. Secara konseptual, taman nasional harus mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem didalamnya. Pengelolaan secara lestari harus mempertimbangkan prinsip fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian pengelolaan TNBBS harus terintegrasi dengan pembangunan masyarakat di sekitarnya baik di daerah penyangga maupun enclave. Enclave adalah wilayah di dalam kawasan konservasi, biasanya masyarakat sudah tinggal atau menempati wilayah ini sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan daerah penyangga, secara harfiah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris buffer zone yang dapat diartikan sebagai suatu luasan areal yang dapat berfungsi sebagai suatu peredam terhadap suatu gangguan yang biasanya tidak menguntungkan terhadap sesuatu yang kita lindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan tersebut. Secara khusus, daerah penyangga adalah wilayah (darat maupun perairan yang berada di luar dan atau berbatasan dengan kawasan konservasi (baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas, maupun tanah yang dibebani hak seperti perkebunan rakyat, hak guna usaha perkebunan, perikanan, peternakan dan lain-lain, tanah bekas hak guna usaha, tanah adat/ulayat, tanah milik), yang diperuntukkan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan konservasi dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar ataupun dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan (Kemenhut 2011a). Dengan demikian, daerah penyangga dapat dimaknai sebagai suatu areal di luar kawasan konservasi (dalam hal ini TNBBS) yang dimaksudkan untuk perlindungan atau penyangga terhadap kawasan tersebut secara keseluruhan sehingga terhindar dari tekanan-tekanan yang mengakibatkan menurunnya kondisi dan potensi kawasan atau terganggunya ekosistem termasuk habitat satwa liar sehingga menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitar. Disamping itu, daerah penyangga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dari segi pengelolaan, daerah penyangga merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam pengelolaan taman nasional. Menurut PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, salah satu kewajiban pengelola pengelola adalah melakukan pembinaan fungsi daerah penyangga. Pembinaan tersebut meliputi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya
10
dan meningkatkan produktivitas lahan. Ironisnya masyarakat desa sekitar kawasan sebagai daerah penyangga justru menjadi pelaku perambahan dan tindak ilegal lain (illegal logging, perburuan flora fauna dilindungi dan lain sebagainya). Perambahan merupakan aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang/masyarakat yang melakukan kegiatan bermukim dan atau berusahatani di dalam kawasan hutan atau mengerjakan/ menduduki hutan negara. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Salah satu konsep pengelolaan yang diterapkan dalam mempertahankan keberadaan fungsi kawasan konservasi adalah dengan meminimalisasi interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pengelola kawasan konservasi karena dinilai memiliki dampak yang lebih kecil terhadap kerusakan ekosistem hutan. Pada kenyataannya konsep tersebut justru memiliki banyak kekurangan karena tertutupnya akses masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu dampaknya adalah masyarakat melakukan perambahan hutan/kawasan konservasi secara illegal yang berakibat pada semakin rusaknya kawasan hutan. Dengan berbagai konsep dan kondisi pengelolaan taman nasional tersebut, pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi dasar pijakan penting. Pergeseran paradigma tersebut diperlukan dengan salah satu pertimbangan bahwa saat ini pengelolaan kawasan pelestarian alam belum mampu mengadopsi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional (Kemenhut 2011a). Pada dasarnya keberhasilan pelestarian kawasan konservasi sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Gangguan terhadap kawasan konservasi akan berkurang bila kesejahteraan masyarakat sekitar sudah dapat dipenuhi dari hasil usaha diluar pemanfaatan hutan. Untuk itu, diperlukan solusi terhadap berkurangnya/ tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan atau kawasan konservasi, sebab masyarakat telah hidup di sekitar kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Masyarakat di Sekitar Kawasan TNBBS Masyarakat didefinisikan secara etimologis berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa community juga sering diartikan sebagai masyarakat dimana pengertiannya mengacu pada sekelompok manusia (Soekanto 1993 diacu dalam Hasim dan Remiswal 2009). Selanjutnya, Soekanto mengemukakan bahwa masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) hidup bersama dan saling berinteraksi; (2) dalam jangka waktu yang cukup lama (kontinuitas waktu); (3) memiliki rasa identitas yang kuat; dan (4) adanya adat istiadat yang mengikat semua warga norma-norma, hukum, serta
11
aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga. Dari keempat ciri tersebut masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Berdasarkan definisi tentang masyarakat di atas, terdapat dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Masyarakat di sekitar kawasan adalah masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan dapat berpengaruh pada kelestarian hutan (Dephut 2008). Pengertian masyarakat dengan kesatuan wilayah sebagai kategori utamanya dikenal dengan sebutan masyarakat setempat atau komunitas (Soekanto 1990 diacu dalam Patrakomala 2006). Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, pengertian masyarakat yang dimaksud merujuk pada masyarakat setempat/komunitas. Komunitas dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) di dalam dan di sekitar kawasan hutan TNBBS dengan batas-batas tertentu dalam lokalitas yang disebut desa/pekon.
Pemberdayaan Masyarakat Konsep dan pengertian Luasnya konteks pemberdayaan menjadikannya dipahami bervariasi dalam berbagai perspektif. Oleh karenanya, dalam literatur pemberdayaan yang baru, arti pemberdayaan mengarah pada diasumsikan dan bukan didefinisikan. Rappoport (1984) sebagaimana dirujuk oleh Page dan Czuba (1999) mengemukakan bahwa mudah untuk mendefinisikan pemberdayaan tetapi sulit untuk menentukannya dalam tindakan karena pada konteks berbeda akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula. Zimmerman (1984) sebagaimana dikutip oleh Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa mendefinisikan pemberdayaan secara tunggal dapat membuat upaya untuk mencapainya bertentangan dengan konsep pemberdayaan itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan sangat diperlukan, bagaimana menentukan pemahaman yang tepat akan tergantung pada orang-orang tertentu dan konteks yang terlibat (Bailey, 1992 dalam Page dan Czuba 1999). Pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Menurut Page dan Czuba (1999), secara umum, pemberdayaan adalah proses multi-dimensi sosial yang membantu orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Proses dalam hal ini adalah proses menumbuhkan daya, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, masyarakat mereka, dengan bekerja pada isu-isu yang mereka definisikan sebagai penting.
12
Dengan demikian, dalam pemberdayaan terdapat tiga komponen dasar untuk memahami pemberdayaan, yaitu multi-dimensi, sosial, dan proses. Multi-dimensi berarti pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan sebagainya serta terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti individu, kelompok, dan masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial, pemberdayaan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Pemberdayaan merupakan terjemahan empowerment yang secara harfiah berarti pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat (Huraerah 2008). Bertolak dari pengertian tersebut, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani 2004). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pengertian proses tersebut merujuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pantahapan upaya mengubah masyarakat menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (practice). Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan (Suharto 2009). Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan merujuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Lebih lanjut hal tersebut tercermin dari kemampuan beraspirasi, berpartisipasi, percaya diri, dan mandiri. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Moeljarto (1996) diacu dalam Yumi (2002) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek. Konsep pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk dapat mendapat akses dan kontrol sumber-sumber hidup yang penting (Riyanto 2005). Craig dan Mayo (1995) sebagaimana dikutip dalam Huraerah (2008) mengemukakan, bahwa konsep pemberdayaan berkaitan dengan kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Berkenaan dengan makna pemberdayaan maka inti pemberdayaan adalah pengembangan kapasitas kemampuan (enabling), penguatan daya (empowering), dan kemandirian (Winarni 1998 diacu dalam Sulistiyani 2004; Riyanto 2005). Sebagai proses perubahan perilaku, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus dan bertahap. Proses pemberdayaan tidaklah konstan, tetapi lebih pada keberlanjutan, pengembangan, dan melibatkan perubahan-perubahan dimana sasaran pemberdayaan tersebut dapat memperkuat dan melatih kemampuan untuk bertindak dan melakukan kontrol untuk hidup lebih baik bagi mereka dan masyarakat (Hur 2006). Pemberdayaan harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan simultan sampai ambang batas tercapainya keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan semua segmen yang diperintah (Priyatna 2009).
13
Sebagai sebuah proses terus-menerus, pemberdayaan melalui beberapa tahap (Sulistiyani 2004), meliputi: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi berupa wawasan kemampuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelekual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan daram proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Intervensi ditekankan pada kemampuan afektif untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Dengan demikian akan membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu dan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini partisipasi masyarakat masih pada tingkat yang rendah. Tahap ketiga merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan agar masyarakat mampu mandiri. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan dalam membentuk inisiatif, menciptakan kreasi dan inovasi di lingkungannya. Pada tahap ini masyarakat seringkali diposisikan sebagai subyek dan pemberdaya menjadi fasilitator. Sumodiningrat sebagaimana dirujuk dalam Sulistiyani (2004) mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mandiri tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tetap memerlukan perlindungan agar kemandirian tetap terpelihara dengan baik dan dengannya masyarakat dapat melakukan tindakan nyata. Hal tersebut menguatkan apa yang telah dikemukakan oleh Lippit, Watson dan Westley (1958) bahwa dalam tahap akhir suatu perubahan diperlukan stabilisasi perubahan. Dalam konteks ini stabilisasi perubahan diharapkan mampu membentuk perilaku positif masyarakat secara permanen. Dalam konteks pemberdayaan secara umum, terdapat bidang-bidang yang diperlukan (Ndraha 2003), antara lain : (1). Pemberdayaan politik, yang bertujuan meningkatkan bargainning position antara yang diperintah terhadap pemerintah yang dimaksudkan agar yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan pihak lain. (2). Pemberdayaan ekonomi, sebagai upaya meningkatkan kemampuan yang diperintah agar dapat berfungsi dengan baik. (3). Pemberdayaan sosial-budaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan (human utilization), dan perlakuan yang adil. (4). Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program pelestarian lingkungan, agar pihak yang diperintah dan lingkungannya mampu beradaptasi secara kondusif dan saling menguntungkan.
14
Dengan berbagai pengertian di atas maka pemberdayaan masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan suatu proses terus menerus, sistematis dan bertahap yang dalam jangka panjang bertujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat (pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakan) dalam akses timbal balik meningkatkan kesejahteraannya dan melestarikan kawasan. Dengan demikian, konteks ini melihat bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan yang membuatnya tegerak ingin melakukan suatu sikap dan memiliki ketrampilan serta motivasi dalam perilaku kemandirian yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan sesuai aturan maupun norma dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan mereka sekaligus kelestarian kawasan. Bagi pengelola, pemberdayaan ini merupakan upaya untuk memampukan masyarakat dalam mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki demi perbaikan mutu hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan. Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya (Suharto 2009). Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang bersadarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial/penyuluh/pendamping. Penyuluh/pendamping hadir sebagai agen perubahan yang membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, pendampingan merupakan interaksi dinamis antara masyarakat dan agen perubahan untuk secara bersama-sama menghadapi tantangan, antara lain: (1) merancang program perbaikan; (2) memobilisasi sumberdaya setempat; (3) memecahkan masalah; (4) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan; dan (5) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relavan dengan konteks pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Usman sebagaimana diacu dalam Huraerah (2008) mengemukakan sebagai upaya memperkuat community selfreliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan sebuah proses dimana didalamnya masyarakat perlu didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahannya, dan meningkatkan kemampuan serta strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Menurut Suharto (2009) terdapat 4 (empat) bidang tugas pendampingan yaitu pemungkinan (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Pemungkinan atau fasilitasi berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. berkaitan dengan fungsi ini, pendamping/penyuluh/fasilitator mempunyai tugas dengan menjadi model atau contoh, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah). Penguatan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif dalam memberikan masukan positif dan terarah berdasarkan pengetahuan dan
15
pengalamannya. Tugas tersebut berkaitan dengan memberikan informasi dan menyelenggarakan pelatihan dan berbagai tugas fungsi penguatan lainnya. Fungsi perlindungan berkaitan dengan interaksi pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat yang didampinginya. Pendamping bertugas mencari sumber-sumber melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja. Selain itu, fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pendamping sebagai konsultan, yaitu orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam pemecahan masalah, bukan hanya berupa pemberian saran tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh pemahaman masyarakat menjadi lebih baik mengenai pilihan-pilihan untuk mengidentifikasi prosedur dan tindakan yang diperlukan. Pendukungan mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis dan aplikatif sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. dalam hal ini, pendamping dituntut mampu tidak hanya menjadi manajer perubahan yang mengorganisasikan kelompok. lebih jauh, pendamping dituntut mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar seperti analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin hubungan, bernegosiasi, berkomunikasi serta mencari dan mengatur sumber dana. Pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi) Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Riyanto 2005), jadi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Dephut 2008). Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut 2011b). Konsep penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan ke arah partisipatif didasarkan pada beberapa landasan pemikiran, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Secara filosofis sumber daya alam hayati dan ekosistemnya wajib dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan azas konservasi sehingga setiap sumber daya alam hayati dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Secara sosiologis seluruh masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan konstitusi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. Dari segi yuridis Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
16
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Berdasarkan ketiga landasan pemikiran tersebut di atas, dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat diperlukan suatu model pengelolaan masyarakat yang komprehensif dan berbasis ekosistem berkelanjutan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Kemenhut 2011b). Kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari sektor lain melalui program PNPM Mandiri dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi pada desa di dalam dan sekitar hutan konservasi, pemberian izin hutan kemasyarakatan, kemitraan serta pengelolaan hutan desa bagi masyarakat di sekitar hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan disekitar kawasan konservasi meliputi program sektor kehutanan dan di luar sektor kehutanan berupa integrasi dengan bidang lain seperti pertanian, perkebunan, pendidikan, jasa lingkungan dan sebagainya. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diarahkan untuk menjadikan masyarakat mempunyai aktivitas di luar kawasan konservasi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga akan mengurangi frekuensi aktivitas mereka di dalam kawasan. Pola pemberdayaan akan berbeda di setiap kawasan konservasi. Pengelolaan zonasi yang bijaksana dan mengakomodir kebutuhan masyarakat akan dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kawasan konservasi yang memiliki tingkat tekanan penduduk sangat kuat, dan tidak dimungkinkan untuk proses pengalihan aktivitas masyarakat. Selama ini pemberdayaan dimaknai sempit oleh berbagai pihak, sehingga pendekatan pemberdayaan diterjemahkan terbatas pada bantuan yang bersifat material (Herawati 2012). Menurut Slamet (2001) sebagaimana dikutip oleh Herawati (2012), pemberdayaan bukanlah konsep pembangunan ekonomi semata, namun juga sosial budaya dan politik. Dengan demikian indikator keberhasilannya bukan hanya tergantung pada ukuran material tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat kemanusiaan, kebebasan serta kemandirian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Pendekatan yang bersifat top down, sentralistik dan dengan komunikasi searah, memposisikan sasaran menjadi sebagai obyek hanya akan menjadi alat untuk mencapai target-target tertentu yang cenderung bias dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penerapan paradigma lama seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan sasaran, karena sasaran menjadi apatis, kurang inisiatif dan menunggu digerakkan oleh aparat, termasuk di dalamnya oleh penyuluh (Sumardjo 2012). Pendekatan perlu ditempuh dari yang semula dominatif menjadi alat pihak lain bergeser ke arah pendekatan yang sifatnya persuasif dan selanjutnya pendekatan pengembangan kemitraan sinergis. Salah satu pendekatan penting dalam pemberdayaan adalah pendidikan atau proses belajar baik yang bersifat formal maupun non formal. Konsep pemberdayaan harus mencerminkan paradigma baru, berubah dari konsep need
17
atau production oriented kepada konsep people centered, participatory, empowering dan sustainability (Chamber 1995 diacu dalam Herawati 2012). Pengalaman kegagalan pengelolaan hutan dengan pendekatan ‘tradisional’ menjadikan pengelolaan partisipasi atau manajemen hutan partisipatif menjadi elemen penting strategi pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan partisipatif dapat didefinisikan sebagai kolaborasi terstruktur antara pemerintah, komersial dan nonkomersial pengguna sumberdaya hutan, organisasi, kelompok masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai tujuan bersama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan (CANARI 2002). Pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan hutan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi sebenar-benarnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka kesejahteraan. Pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan untuk membangun kapasitas masyarakat sehingga mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan yang sesuai dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memandirikan masyarakat. Dalam prosesnya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran dalam memahami dan mengontrol lingkungan sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa merusaknya. Dengan demikian, pemberdayaan perlu dirancang untuk memberi kesempatan kepada masyarakat (dengan menganalisis kehidupan mereka untuk mengembangkan keterampilan yang dikehendaki) agar dapat mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Idealnya, pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan dikaitkan dengan beberapa hal berikut: (1) transformasi ekonomi menjadi masyarakat yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia; (2) pengembangan masyarakat melalui kekuatan sendiri yang cenderung menekankan pada prosesnya (daripada hanya penyelesaian suatu proyek); dan (3) kesempatan berpartisipasi secara penuh. Pendekatan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi didasarkan pada tujuan, prinsip, strategi dan kriteria sebagaimana tertuang dalam Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (Dephut, 2008). Tujuan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1) menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, sosial budaya; (2) meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; (3) mengaktualisasikan akses timbal balik partisipasi masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1). Prinsip pendekatan kelompok dengan menumbuhkembangkan kelompok produktif agar dinamis. (2). Prinsip keserasian, kelompok aktif terdiri dari warga yang saling mengenal, percaya serta memiliki kepentingan sama sehingga tumbuh kerja sama.
18
(3). Prinsip kepemimpinan dari diri mereka sendiri. Memberi kesempatan seluasluasnya kepada seluruh warga masyarakat untuk mengembangkan kepemimpinan di kalangan mereka sendiri (4). Prinsip pendekatan kemitraan, menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja yang bekerja bersama dan berperan setara dalam pengambilan keputusan. (5). Prinsip swadaya, menumbuhkembangkan kemandirian dan keswadayaan. (6). Prinsip belajar sambil bekerja, dirancang agar menjadi proses pembelajaran partisipatif, mengalami, menemukan cara dalam mengatasi masalah yang dihadapi. (7). Prinsip pendekatan keluarga, melibatkan peran aktif seluruh anggota keluarga dalam kesetaraan gender. (8). Dari masyarakat untuk masyarakat Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut 2008) menjelaskan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi meliputi: (1). Pengelolaan usaha berbasis sumberdaya hutan yang efisien. Hal ini dilakukan dengan mengintensifkan lahan pertanian masyarakat di luar kawasan, penggunaan pupuk organik, penerapan sistem agroforestry, mengembangkan potensi ekonomi selain pertanian/perkebunan yang mendukung peningkatan ekonomi masyarakat seperti wisata alam dan wirausaha. (2). Pemanfaatan, konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Pemanfaatan yang akan dilakukan difokuskan pada pemanfaatan kawasan hutan sebagai tempat wisata, pendidikan, penelitian dan penunjang budidaya. Pengembangan tanaman perkayuan dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber benih sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sedangkan upaya konservasi dan rehabilitasi kawasan akan mengembangkan partisipasi aktif masyarakat termasuk kelompok aktif, dalam kegiatan rehabilitasi kawasan. (3). Pelestarian nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal, berkaitan dengan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dilaksanakan dalam bentuk kemitraan dengan lembaga adat yang ada untuk mengembangkan potensi-yang dimiliki oleh desa setempat. (4). Memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Huraerah (2007) mengemukakan strategi pemberdayaan dari segi aras, yaitu: (1) aras mikro yang sering disebut task center aproach dimana pemberdayaan dilakukan terhadap sasaran secara individu melalui bimbingan, konseling untuk membimbing sasaran dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya; (2) aras mezzo, dimana pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok sasaran sebagai media intervensi dengan strategi menggunakan pelatihan, pendidikan, pengembangan dan dinamika kelompok untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan sasaran; dan (3) aras makro, dimana pemberdayaan diarahkan pada sisitem yang lebih luas dengan strategi perumusan kebijakan, perencanaan sosial, aksi sosial, pengorganisasian kelompok, dan manajemen konflik. Dalam aras makro, sasaran dipandang sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi dan permasalahan serta srategi untuk bertindak. Selanjutnya, kriteria pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
19
konservasi meliputi: (1) kesepahaman; (2) kelembagaan; (3) fasilitator; (4) pelatihan PRA; (5) pelaksanaan PRA; (6) peningkatan kapasitas SDM; (7) pengembangan usaha ekonomi produktif; (8) membangun kemitraan dan jejaring usaha; (9) monitoring dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan pemberdayaan antara lain berupa: (1) peningkatan kapasitas, dalam bentuk pelatihan masyarakat dalam bidang pengembangan usaha ekonomi produktif dan pelatihan-pelatihan lain yang diperlukan oleh masyarakat dengan atau tanpa melibatkan sektor lain berdasarkan rencana kegiatan yang telah diusulkan; (2) bantuan ekonomi, diberikan kepada kelembagaan desa dapat berupa, dana bergulir dan dana hibah; (3) penguatan kelembagaan, penguatan kelembagaan dapat berupa pelatihan kelompok masyarakat, lembaga desa sesuai kebutuhan program masing-masing sektor; (4) konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai program sektor kehutanan dan (5) bantuan bibit pohon, bantuan pembuatan atau pengadaan bibit pohon hutan, buah-buahan dan pohon ekonomis cepat tumbuh melalui program kebun bibit rakyat (KBR) dan program masing-masing sektor.
Model Desa Konservasi Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pada dasarnya MDK merupakan paket pemberdayaan ekonomi konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Dephut 2008). Filosofi kegiatan MDK dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar TNBBS adalah menuju kemandirian masyarakat sebingga upaya yang dilakukan dengan membantu masyarakat agar dapat mandiri. Hal ini dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat telah memiliki potensi/daya yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya (BTNBBS 2006b). Dengan demikian, kegiatan yang akan dilakukan mengarah pada tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam memahami keadaan, masalah yang dihadapi, alternatif pemecahan masalah serta prioritas alternatif yang dapat dilakukan. Pengembangan MDK sendiri merupakan upaya pemberdayaan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dalam MDK ini dapat dikembangkan usaha produktif sesuai karakteristik dan potensi yang ada, pengembangan kelembagaan seperti Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan, dan kelembagaan lokal yang telah ada. MDK bertujuan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam di desa secara berkelanjutan misalnya dengan mengusahakan pertanian organik serta pengembangan industri rumah tangga dan mendukung kelestarian TNBBS. Keseimbangan 3 (tiga) aspek tantangan pemberdayaan berupa profit, people dan planet diwujudkan dalam keseimbangan multidimensi prioritas dalam bidang kehutanan yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
20
Dari aspek ekologi, MDK bertujuan meningkatkan daya dukung kawasan dengan mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat sehingga masyarakat dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat untuk menambah pendapatan, potensi sumberdaya lokal dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan dari aspek sosial budaya, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK, dapat tercipta kehidupan masyarakat yang mendukung upaya bagi kesejahteraannnya sekaligus bagi upaya kelestarian kawasan.
Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat Efektifitas dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran dari upaya bersama, dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektifitas (Bernard dalam Gybson 1997 di acu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas dapat digunakan sebagai suatu alat untuk menilai efektif atau tidaknya suatu tindakan yang dapat dilihat dari: (1) kemampuan memecahkan masalah, keefektifan tindakan dapat diukur dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan dan hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi sebelum dan sesudah tindakan tersebut dilaksanakan dan seberapa besar kemampuan dalam mengatasi persoalan dan (2) pencapaian tujuan, efektifitas suatu tindakan dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dalam hal ini dapat dilihat dari hasil yang dapat dilihat secara nyata (Zulkaidi dalam Wahyuningsih 2005 dalam Sukmaniar 2007). Salah satu pola pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling efektif dalam rangka peningkatan partisipasi adalah melalui pendekatan dari dalam sumber daya (inner resources approach) dalam hal ini adalah masyarakat. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi fokus dan terarah pada pemenuhan dan pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki (Ross 1987 diacu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas pendekatan penyuluhan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dicirikan oleh: (1) meningkatkan kemampuan; (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan; (3) kebebasan memilih dan memutuskan; (4) membangkitkan kemandirian; dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan (Ndraha 1990). Nikkhah dan Redzuan (2009) mengemukakan bahwa keberlanjutan dan efektifitas pemberdayaan masyarakat salah satunya ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Lebih lanjut, Nikkhah dan Redzuan (2009) merumuskan hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan sebagaimana tabel berikut:
21
Tabel 1 Hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan Pendekatan 1. Top-down
Partisipasi Partisipasi sebagai sarana mencapai tujuan (statis, pasif dan dikontrol oleh pihak luar)
Level pemberdayaan Level pemberdayaan rendah
2. Partnership (cooperative)
Bekerjasama
3. Bottom-up
Partisipasi sebagai tujuan (aktif, (dinamis, active, memobilisasi diri)
Level pemberdayaan menengah Level pemberdayaan tinggi dan berkelanjutan
Selain partisipasi, efektifitas pemberdayaan masyarakat juga berkaitan erat dengan kemandirian. Salah satu dampak positif pemberdayaan adalah meningkatnya output dan kinerja dimana masyarakat mampu mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan individu dan kemudian melaksanakannya tanpa campur tangan orang lain yang berimbas pada semakin besarnya efektifitas (Priyatna 2009). Dengan demikian, sebagai kegiatan yang erat kaitannya dengan penyuluhan, pemberdayaan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut mencapai tujuannya yaitu perubahan perilaku, yang mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Dalam konteks pengelolaan hutan, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat diukur dengan adanya perilaku positif masyarakat berupa kemandirian dalam akses timbal balik peran (partisipasi) masyarakat dengan kelestarian kawasan. Jika masyarakat telah mandiri dengan adanya aktivitas pemberdayaan, kesejahteraannya meningkat dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan akan menurun sehingga tingkat ancaman terhadap kawasan konservasi akan berkurang. Partisipasi Partisipasi merupakan merupakan komponen vital dalam proses pemberdayaan masyarakat (Nikkhah dan Redzuan 2009). Dalam kaitannya dengan partisipasi, pemberdayaan masyarakat mempunyai 2 (dua) tujuan dasar, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat tersebut dalam prosesnya. Partisipasi masyarakat merupakan sebuah konsep yang kompleks, abstrak dan kontekstual sehingga tidak ada definisi baku atau pengertian yang seragam untuk menjelaskannya. Sanoff (2000) sebagaimana dirujuk dalam Patrakomala (2006) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat akan memiliki arti berbeda bagi orang yang berbeda bahkan orang yang sama dalam situasi berbeda, karena tergantung pada pokok persoalan, waktu dan latar politik dimana partisipasi terjadi. Cary (1995) sebagaimana dirujuk dalam Hasim dan Remiswal (2009) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah adanya kebersamaan atau saling memberikan sumbangan untuk kepentingan dan masalah bersama yang tumbuh dari perhatian masyarakat itu sendiri, sehingga, partisipasi merupakan hasil konsensus sosial warga masyarakat ke arah perubahan yang diharapkan. Sjaifudian (2002) mengemukakan bahwa partisipasi merupakan proses ketika masyarakat sebagai individu, kelompok sosial maupun organisasi mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakankebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian
22
partisipasi dipandang sebagai aktif proses di mana para peserta mengambil inisiatif dan tindakan di mana mereka melakukan kontrol yang efektif Nikkhah dan Redzuan 2009). Partisipasi relevan dalam semua aspek manajemen sumber daya (Brown dan Renard 2000). Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses yang: (1) memfasilitasi dialog antara semua pelaku; (2) memobilisasi dan memvalidasi pengetahuan dan keterampilan; (3) mendukung masyarakat dan lembaga-lembaga mereka untuk mengelola dan mengontrol penggunaan sumber daya; dan (4) berusaha untuk mencapai keberlanjutan, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan memelihara budaya integritas (Renard dan Pizzini 1994 diacu dalam Brown dan Renard 2000; Renard dan Krishnarayan 2000). Beberapa alasan yang mendasari pemikiran akan pentingnya partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam (Renard dan Krishnarayan 2000) diantaranya adalah: (1) Masyarakat sebagai pengguna sumberdaya merupakan sumber informasi penting mengenai aktifitas pemenuhan kebutuhan terkait ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat berkontribusi terhadap pengelolaan secara lestari. (2) Sistem tradisional dapat memberikan dasar yang baik untuk pengelolaan sumberdaya alam dalam hal ini hutan. (3) Masyarakat pengguna sumber daya cenderung mempunyai komitmen dalam melaksanakan keputusan dan peraturan ketika mereka memiliki kepentingan dan akses dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan. (4) Dalam konteks sosial budaya, ketika masyarakat terbatas dalam akses sumberdaya dalam kawasan konservasi, proses partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap integrasi sosial, artinya proses partisipatif dapat memperkuat tindakan kolektif dan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat. Paul (1987) sebagaimana diacu oleh Hikmat (2010) mengemukakan bahwa Bank Dunia percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif dalam upaya pemberdayaan untuk dapat menolong dirinya sendiri. Pandangan yang lebih jelas dikemukakan oleh Kotze (1987) sebagaimana diacu dalam Hikmat (2010), bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Pada kenyataannya banyak kegiatan yang seluruh pelaksanaannya berada dibawah pengawasan pelaksana pemberdayaan, sehingga masyarakat tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black 1983 diacu dalam Hikmat 2010). Salah satu strategi penting dalam pengelolaan kawasan berbasis sumberdaya adalah dengan partisipasi masyarakat lokal (Hidayat 1998). IUCN (2004) juga mengemukakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi partisipasi masyarakat merupakan kunci penting bagi keberhasilan konservasi karena penetapan kawasan selalu berdampak pada banyak kepentingan serta masyarakat. Dengan demikian, partisipasi merupakan konsep kunci dalam manajemen kawasan konservasi (Héritier 2010). Pentingnya partisipasi juga dikemukakan oleh Uphoff (1988) sebagaimana dirujuk oleh Yumi (2002) yang menyebutkan bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan
23
menyebabkan timbulnya pseudo participation (partisipasi semu). Uphoff menunjukkan pengalaman pembangunan pedesaan terpadu di Nepal, Ghana dan Mexico bahwa yang menjadi alasan utama buruknya pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan adalah kurangnya partisipasi masyarakat pada tahap awal perencanaan dan penyusunan program pembangunan. Masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan program, akibatnya masyarakat tidak merasa ikut memiliki, dan pada gilirannya tidak menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan mengembangkan pembangunan tersebut. Hutchison 1975 diacu dalam Asngari (2001), mengemukakan bahwa program pendidikan penyuluhan akan berhasil apabila mengikutsertakan secara langsung masyarakat dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Untuk dapat berperilaku tertentu terdapat dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Ndraha, 1990). Partisipasi dalam proses pembangunan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: (1) partisipasi pada tahap perencanaan. (2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, (3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan (4) partisipasi pada tahap penilaian hasil (Cohen, 1992 diacu dalam Hasim dan Remiswal, 2009). Lebih lanjut, beberapa tipe partisipasi untuk menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat adalah (James & Blamey 1999 dalam Héritier 2010; Pimbert 2003 diacu dalam IUCN 2004): (1). Partisipasi pasif/manipulatif, dengan karakteristik (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; (b) pemberitahuan sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; dan (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (2). Partisipasi informasi, masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses yang berjalan, dengan karakteristik: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan; (b) masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan memengaruhi proses penyelesaian; dan (c) akurasi hasil tidak dibahas bersama masyarakat. (3). Partisipasi melalui konsultasi, partisipasi ini dicirikan oleh: (a) masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi; (b) agen eksternal mendengarkan pandangan mereka dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; (c) masyarakat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan; dan (d) para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. (4). Partisipasi sumberdaya untuk insentif materil, banyak kegiatan pemberdayaan termasuk dalam kategori ini, yaitu dengan ciri: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, untuk mendapatkan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; (b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajarannya; dan (c) masyarakat tidak mempunyai peran untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang disediakan/diterima habis.
24
(5). Partisipasi fungsional, karakteristik partisipasi ini adalah: (a) masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dengan keterlibatan tidak hanya pada tahap awal siklus program atau perencanaan tetapi pada tahap setelah keputusan telah dibuat; (b) pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati; dan (c) pada awalnya kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator/pendamping) tetapi pada saatnya mampu mandiri. (6). Partisipasi interaktif, yaitu masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, dengan ciri: (a) masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; (b) mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; dan (c) masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka, sehingga mereka mempunyai peran dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan. (7). Self mobilization, dengan ciri (a) masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai yang mereka miliki; (b) masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga lain untuk mendapatkan bantuanbantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; dan (c) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada. Menurut Asia Development Bank (SDB) yang dirujuk oleh Huraerah (2008) tipe partisipasi tersebut disederhanakan menjadi 4 (empat) tingkat dari terendah sampai tertinggi, yaitu: (1) Partisipasi berbagi informasi, masyarakat mendapat informasi dari pelaksana program dan diajak untuk melaksanakan program tersebut. (2) Partisipasi konsultasi/umpan balik, masyarakat berpartisipasi dalam menyampaikan saran dan kritik sebelum keputusan ditetapkan, tetapi masyarakat tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Dalam tingkat ini, eksplorasi pandangan dan persepsi masyarakat tentang masalah lebih diutamakan, kemudian memberikan beberapa pilihan, memungkinkan adanya komentar-komentar. Poin penting dalam tingkat ini adalah diberikannya pilihan-pilihan dari pihak pelaksana program tentang kegiatan yang akan dilakukan, tetapi memberi peluang bagi pendapat masyarakat untuk diakomodir dalam rencana. (3) Partisipasi kolaborasi, masyarakat terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga peran masyarakat ini secara signifikan dapat mempengaruhi hasil keputusan. Memutuskan bersama berarti menerima ideide pihak lain dan kemudian mengambil pilihan-pilihan yang dibangun bersama seta bergerak secara bersama-sama pula. (4) Partisipasi kendali, masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengawasi secara langsung dan menolak keputusan yang telah ditetapkan dengan menggunakan prosedur dan indikator kinerja yang ditetapkan bersama-sama. Schmeer (1999) sebagaimana dirujuk oleh Patrakomala (2006) membagi tingkat partisipasi tersebut ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu non participation (bukan partisipasi), pseudo participation (partisipasi semu) dan genuine participation (partisipasi sesungguhnya). Non participation merupakan tingkat partisipasi terendah meliputi partisipasi manipulatif dan terapi. Partisipasi semu meliputi pemberian informasi, konsultasi dan penghargaan. Sedangkan partisipasi
25
sesungguhnya meliputi partisipasi kerjasama/kolaborasi, pendelegasian wewenang dan pengendalian oleh masyarakat. Selanjutnya, Sjaifudian (2002) memberikan kerangka untuk mengukur tingkat partisipasi, yaitu: (1) Tingkat partisipasi dikategorikan rendah, masyarakat hanya menyaksikan kegiatan yang dilakukan pemerintah dan atau pihak pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat dan meminta tanggapan atas kegiatan hanya untuk konfirmasi dan bukan persetujuan. (2) Tingkat partisipasi dikategorikan sedang, suara masyarakat yang berpartisipasi dalam forum terbatas pada tokoh masyarakat. (3) Tingkat partisipasi dikategorikan tinggi apabila masyarakat tidak hanya ikut dalam merumuskan program tetapi juga menentukan program mana yang akan dilakukan. Masyarakat sudah mampu memaksa pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan yang disepakati dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam program semakin luas dan kompleks. Berdasarkan berbagai teori di atas, untuk kepentingan pengukuran tingkat partisipasi dalam penelitian ini tingkat partisipasi dibagi menjadi 4 (empat tingkatan), yaitu: (1) Tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, apabila masyarakat berada dalam tipe partisipasi pasif/manipulatif dan atau hanya terlibat dalam kegiatan sosialisasi/informasi. (2) Tingkat partisipasi masyarakat rendah apabila masyarakat terlibat dalam serangkaian proses dialog/konsultasi dan atau dilibatkan dalam partisipasi sumberdaya. (3) Tingkat partisipasi masyarakat tinggi apabila masyarakat terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga peran masyarakat ini secara signifikan dapat mempengaruhi hasil keputusan (kolaborasi). (4) Tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi apabila masyarakat diberikan sebagian wewenang dalam pelaksanaan program (delegated power) dan atau pengendalian penuh atas semua kegiatan dan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah (citizen control) sehingga masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai yang mereka miliki dan mempunyai kendali atas sumberdaya yang ada (self mobilization). Kemandirian Pemberdayaan masyarakat bukan ditujukan bukan untuk membuat masyarakat semakin tergantung pada program, tetapi bertujuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik dan pada akhirnya akan membentuk masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai dengan kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat dalam memecahkan permasalahan sehari-hari dengan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik (Herawati 2012). Kemandirian merupakan proses yang berjalan secara terus-menerus. Konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Dalam konteks pembangunan, perilaku mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan, yaitu
26
apakah masyarakat menjadi lebih mandiri atau justru semakin bergantung. Pemberdayaan bukan untuk menjadikan masyarakat semakin tergantung pada program, tetapi untuk memandirikan agar membangun kemampuan dan memajukan diri ke arah yang lebih baik melalui partisipasi. Kemandirian merupakan suatu perilaku yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah untuk mencapai tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan bekerjasama. Kemandirian masyarakat ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat untuk pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki. Menurut Sulistiyani (2004), daya dimaksud terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif. Dengan demikian, untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumberdaya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afekif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material. Menurut Sumardjo (1999) dalam Sumardjo (2012), kemandirian masyarakat dapat diukur melalui 3 (tiga) perspektif, yaitu modern, efisien dan daya saing. Modern berarti masyarakat mampu aktif beradaptasi terhadap perubahan sosial dan fisikal di lingkungannya dengan perilaku aktual yang sesuai dan selaras dengan kondisi aktual. Adaptasi yang dimaksud bukan bersifat pasif dan evolutif menerima apa adanya dalam kondisi termarjinalkan karena ketidakberdayaan dan tergantung pada pihak lain, tetapi dalam arti aktif yaitu mampu melakukan perubahan kapasitas untuk akses terhadap sumberdaya yang berguna bagi peningkatan kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Kemampuan beradaptasi menurut Kusumanto et al., (2005) merupakan kemampuan untuk menanggapi secara aktif dan positif faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal. Berdasarkan hasil penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) yang dilakukan oleh Kusumanto et al., (2005), modal sosial (saling percaya, jejaring kerja, dan hubungan-hubungan sosial yang diperlukan orang untuk bekerja sama), dapat membentuk perilaku adaptif masyarakat. Selain itu, bahwa tingkat keterbukaan sosial, tingkat toleransi terhadap norma/aturan dan tingkat kepatuhan kepada pemimpin juga akan mendukung pembentukan perilaku adaptif masyarakat (Santosa 2004). Efisien mengandung makna masyarakat mencapai tujuannya dengan melakukan upaya-upaya atau dengan cara-cara yang tepat, sehingga mencapai hasil yang setinggi-tingginya dengan pengorbanan yang serendah-rendahnya. Pada masyarakat apatis efisiensi terjadi karena rekayasa pihak lain yang mendominasinya, sedangkan pada masyarakat yang berdaya, efisiensi tercapai atas upaya sendiri. Pada masyarakat mandiri efisiensi tersebut dicapai melalui insiasi diri dan perilaku antisipatif serta proaktif terhadap berbagai perubahan yang mungkin akan dihadapinya (Sumardjo 2012). Daya saing mengandung makna adanya nuansa mutu, kemampuan memenuhi komitmen dan kebutuhan atau harapan pihak lain. Daya saing antara lain dapat dicapai melalui langkah yang mempertimbangkan efisiensi (Sumardjo 2012). Pada masyarakat yang apatis, dapat dikatakan hampir tidak memiliki daya saing, kalaupun ada sangat rendah dan bahkan kurang berpikir kearah peningkatannya. Pada masyarakat berdaya sudah menyadari adanya daya saing, namun tidak menempatkannya sebagai kebutuhan penting, orientasi utamanya
27
adalah keswadayaan. Pada masyarakat mandiri, daya saing menjadi sesuatu yang ditempatkan sangat penting dan utama. Pendekatan pemberdayaan yang bersifat top down dimana masyarakat dianggap sebagai obyek terbukti tidak mampu memberdayakan masyarakat, masyarakat tidak menjadi mandiri tetapi justru tergantung pada program-program pemberdayaan. Idealnya pemberdayaan mampu mengubah sasaran baik secara individu, kelompok maupun masyarakat dari kondisi tidak berdaya ke kondisi berdaya dan bermuara pada kondisi mandiri (Sumardjo 2012). Masyarakat mandiri hanya akan terwujud apabila masyarakat tersebut berdaya, dan sulit diwujudkan pada masyarakat yang apatis. Pendekatan yang top down menghasilkan perilaku sasaran penyuluhan yang apatis, sedangkan pendekatan yang persuasif akan efektif menghasilkan keberdayaan, serta kemandirian cenderung efektif diwujudkan melalui pendekatan penyuluhan yang partisipatif, konvergen dan kemitraan sinergis (Sumardjo 2012). Menghadapi tantangan di masa depan, arah pemberdayaan harus mampu berperan strategis sehingga secara personal maupun sosial masyarakat mampu bermitra sinergis dan berkolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang seimbang antara aspek bisnis, kesejahteraan komunitas dan kelestarian lingkungan. Ketiga aspek ini kemudian dikenal dengan istilah Triple Bottom Line, yaitu profite, peole and planet (Elkington 1994 diacu dalam Sumardjo 2012). Keberhasilan pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan bukan hanya diukur dari kemajuan fisik dan ekonomi melainkan juga dari solidaritas sosial warganya yang tinggi sehingga mampu mengembangkan kerjasama spontan untuk kepentingan bersama (sosial budaya). Masyarakat desa hutan yang sejahtera adalah masyarakat yang mandiri dan mampu berfungsi meningkatkan kesejahteraannya, memelihara ketertiban sosial dan kelestarian lingkungannya (Effendi, Bangsawan dan Zahrul 2007). Ciri yang terlihat dari masyarakat mandiri dan fungsional adalah adanya kapasitas untuk mengembangkan dan menerapkan pengaturan-pengaturan yang arif dalam pengelolaan hutan (Andri 2002 dalam Effendi, Bangsawan dan Zahrul 2007). Idealnya seluruh kebijakan, program dan kegiatan disesuaikan dengan kondisi masyarakat baik fisik, teknis, sosial, budaya dan ekonomi. Masyarakat peserta program pemberdayaan hendaknya diberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dalam melakukan keseluruhan tahapan proses pemberdayaan, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan memanfaatkan keswadayaannya sehingga tidak menimbulkan ketergantungan kepada pihak-pihak lain. Filosofi pemberdayaan masyarakat dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan mengarah pada tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam memahami keadaan, masalah, alternatif pemecahan masalah serta prioritas alternatif yang dapat dilakukan. Dari berbagai penjelasan tersebut, untuk kepentingan penelitian ini, efektifitas pemberdayaan masyarakat sekitar hutan/kawasan konservasi dapat diukur dari kemandirian masyarakat dalam tiga aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi yang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia secara utuh (kognitif, afektif, psikomotorik) serta sumberdaya lain yang memungkinkan dan mendorong masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam prosesnya.
28
Konsep Perilaku Sebagaimana diuraikan bahwa proses pemberdayaan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah perilaku masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skills). Tidak ada definisi yang mengikat tentang perilaku manusia. Definisi perilaku berbeda akan berbeda tergantung dari sudut pandang yang menentukan (Nguyen et al. 2007). Ajzen dan Fishbein (1980) sebagaimana di acu dalam (Hernandez dan Monroe, 2000) mengemukakan bahwa dalam mendefinisikan perilaku perlu untuk mempertimbangkan 4 (empat) unsur, yaitu tindakan, target/sasaran, konteks dan waktu. Tindakan berkaitan dengan aksi yang dilakukan, target berkaitan dengan sasaran yang dapat mengacu pada orang maupun kelompok yang dipengaruhi oleh tindakan, konteks dalam hal ini adalah mengenai bagaimana tindakan dilakukan, dan waktu adalah kapan tindakan dilakukan. Perilaku merupakan tindakan paling dasar dan dalam konteks sederhana perilaku adalah apa yang orang lakukan (Hernandez dan Monroe 2000). Dibentuk rumit, terdiri dari proses pembuatan keputusan, dan terlibat dalam pratices mengambil tindakan. Matarasso dan Nguyen (2002) dalam Nguyen et al. (2007) mendefinisikan perilaku sebagai apa yang manusia lakukan berdasarkan kepentingan terbaik mereka dan berdasarkan nilai-nilai, sosial-ekonomi situasi serta faktor-faktor lain. Dengan demikian, perilaku merupakan tindakan yang dilakukan sebagai hasil dari kebiasaan dan atau keputusan secara sadar. Perilaku terdiri dari proses mental (kognisi, persepsi dan proses belajar), motivasi (kebutuhan, keinginan dan inspirasi), kepribadian (pembelajaran sosial) dan sikap, budaya (sebagai satu set pola perilaku), stratifikasi sosial dan pengaruh kelompok (Chisnall 2001 di acu dalam Nguyen et al. 2007). Sementara itu, para peneliti dalam studinya menekankan perilaku adalah bagaimana seseorang merespon dengan melihat, menggunakan dan memproses informasi dari suatu stimulus, sehingga teori perilaku berupaya menjelaskan mengapa dan bagaimana seseorang bertindak (Clarke 2008 di acu dalam Ozmete dan Hira 2011). Dalam konteks mempelajari perilaku manusia dan perubahan perilaku khususnya di bidang konservasi alam, hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku merupakan hal yang harus dipelajari (Nguyen et al. 2007). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notohatmodjo (2003) sebagaimana dikutip oleh Feriani (2009), perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang dalam bentuk tertutup, respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain; dan (2) Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu respon seseorang dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka, respon terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri, oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas (kompleks) termasuk kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa
29
perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Bloom, sebagaimana dikutip Notoatmodjo (2003) dalam Feriani (2009), perilaku dapat dibagi menjadi 3 (tiga) domain, meskipun tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Untuk kepentingan tujuan pendidikan, ketiga domain perilaku tersebut terbagi atas ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangan selanjutnya untuk kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur melalui pengetahuan, sikap dan tindakan. Perubahan perilaku dapat dianalisa dengan mengacu pada klasifilasi jenjang perubahan perilaku menurut Bloom (Dephut, 1996) sebagai berikut: Tabel 2 Klasifikasi jenjang perubahan perilaku Aspek Perilaku Pengetahuan
Jenjang (1) Mengetahui
(2) Memahami
(3) Menggunakan (4) Menganalisis (5) Memadukan (6) Mengevaluasi Sikap
(1) Menerima
(3) Menilai (4) Mengorganisir (5) Menghayati
Menyadari, kemauan untuk menerima Memperhatikan secara selektif Menanggapi dengan diam, kemauan menanggapi, menunjukkan kepuasannya Menerima, memilih nilai-nilai, menunjukkan kesepakatan Mengembangkan konsep, nilai-nilai Mengubah sikap, menunjukkan sikap yang mantap
(1) Menyadari (2) Menyiapkan (3) Mencoba-coba (4) Terbiasa (5) Terampil (6) Adaptasi (7) Mencipta
Membedakan rangsangan, memilih isyarat, Menjemahkan Siap mental, fisik, emosi diri Menirukan, mencoba dengan kesalahan Melakukan dengan benar Terampil dalam ketidakpastian, terampil secara otomatis Menggabungkan dengan ketrampilan lain Menciptakan ketrampilan baru
(2) Menanggapi
Keterampilan
Keterangan Mengetahui spesifikasi Mengetahui pengertian Mengetahui prinsip/teori Menerjemahkan sendiri Mengartikan Mengeksplorasi Menggunakan pengetahuan untuk kegiatan praktis dalam kehidupan sehari-hari Menganalisis unsur-unsur, hubungan, prinsip Dalam bentuk informasi, kegiatan, konsep Menilai pengertian, kegiatan
Sumber: Kibler et.al (1981) dalam Dephut (1996)
Pengetahuan (aspek kognitif) Pengetahuan adalah suatu daya didalam hidup manusia dan dengan pengetahuan manusia mengenali peristiwa dan permasalahan, menganalisa mengurai, mengadakan interpretasi serta menentukan pilihan-pilihan. Dengan pengetahuan, manusia dapat mempertahankan, mengembangkan dan membentuk sikap dan nilai hidup, menentukan pilihan serta tindakan yang akan dilakukan. Tanpa pengetahuan, individu ataupun masyarakat tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
30
Persepsi dan sikap (aspek afektif) Secord dan Backman (1994) sebagaimana dikutip Ritohardoyo (2006) mengemukakan bahwa persepsi masyarakat adalah suatu proses pembentukan kesan, pendapat ataupun perasaan terhadap suatu hal yang melibatkan penggunaan informasi secara terarah. Sejalan dengan konsep tersebut menurut Ritohardoyo (2006), secara garis besar pengertian persepsi adalah: (1) proses aktivitas seseorang dalam memberi kesan, menilai, berpendapat, memahami, menghayati, menginterpretasi dan mengevaluasi terhadap situasi berdasarkan informasi yang ditampilkan; dan (2) reaksi timbal balik yang dipengaruhi oleh diri perseptor, suatu hal yang dipersepsi dan situasi sosial yang melingkupinya sehingga dapat memberikan motivasi tatanan perilaku. Vietch dan Arkkelin (1995) mengemukakan bahwa persepsi merupakan dasar penilaian, sikap dan respon berupa perilaku terhadap lingkungan. Dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat di sekitar hutan, persepsi yang terdapat dalam diri individu masyarakat, kemudian membentuk sikap dan akhirnya akan dapat menimbulkan reaksi berupa perilaku masyarakat desa hutan terhadap lingkungannya, persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan taman nasional cenderung negatif, karena bagi mereka taman nasional hanya mampu memproduksi beragam aturan dan larangan atas masalah yang mereka hadapi (Qariah 2005). Diterapkannya suatu kawasan sebagai taman nasional secara tidak langsung mengurangi atau membatasi hak-hak masyarakat atas hutan. Hal inilah yang menjadi akar masalah berbagai konflik kepentingan antara masyarakat dan kawasan konservasi. Sikap diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Allfort dalam Assael (1984) sebagaimana dikutip oleh Widiyanta (2002) mendefinisikan sikap adalah keadaan siap (predisposisi) yang dipelajari untuk merespon objek tertentu yang secara konsisten mengarah pada arah yang mendukung (favorable) atau menolak (unfavorable). Dengan demikian sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial sebagaimana dikutip oleh Ali (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Dalam bagian lain, menurut Allport dalam Notoatmodjo sebagaimana dikutip oleh Ali (2003), menjelaskan 3 (tiga) komponen sikap, yaitu (a) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; (b) evaluasi emosional terhadap suatu objek; dan (c) kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Tindakan (aspek psikomotorik) Tindakan adalah adalah bentuk perilaku yang sudah nyata yaitu berupa perbuatan terhadap situasi rangsangan dari luar, misalnya keikutsertaan dalam
31
suatu kegiatan tertentu. Adanya pengetahuan dan persepti tidak secara otomatis mewujudkan suatu tindakan, oleh karena itu, menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan dukungan. Faktor yang mempengaruhi perilaku Dalam suatu pembentukan dan atau perubahan kemampuan individu atau masyarakat dalam membentuk pola perilaku tertentu akan dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu. Beberapa teori perilaku antara lain dari Kurt Lewin yang mengatakan bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon dari stimulus melainkan produk dari berbagi gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Gaya tersebut oleh Kurt Lewin dirumuskan dalam B: f ( P,E ) di mana behavior (perilaku) B adalah hasil interaksi antara person (diri orang) P dengan environment (lingkungan) E (Coghlan dan Jacobs 2005). Karakteristik individu saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Menurut Lewin, kasus perilaku individu tidak memiliki arti intrinsik, signifikansi mereka hanya bisa dinilai dari segi situasi di mana mereka terjadi. Terborg (1981) sebagaimana di acu dalam Coghlan dan Jacobs (2005) menunjukkan bahwa mempertimbangkan orang dan situasi sebagai penentu bersama memiliki relevansi untuk penelitian tentang perilaku. Faktor yang berhubungan dengan pembentukan perilaku manusia dikemukakan oleh Green diacu dalam Rintohardoyo (2006), yaitu: (1) faktor yang mempermudah (enabling factors) berupa karakteristik individu individu yaitu pendidikan, pekerjaan, strata sosial, dan sebagainya; (2) faktor yang mendukung/memberi kecenderungan (predisposing factors) yang terwujud dalam adat istiadat, pandangan hidup, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya; dan (3) faktor yang mendorong atau memperkuat (reinforcing faktors), misalnya penyuluhan, kelompok masyarakat, media massa, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Beberapa studi menyatakan bahwa karakteristik personal dan situasional mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku masyarakat. Faktor umur individu, pendidikan (Pasha dan Susanto 2009), budaya dan penyuluhan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam konservasi kawasan hutan (Soekadri 2000). Kondisi masyarakat di sekitar kawasan yang pada umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan kesejahteraan yang relatif rendah juga berkontribusi terhadap perilaku negatif masyarakat dalam konservasi (Soekadri 2000). Pendidikan sering diyakini sebagai langkah awal dalam meningkatkan perilaku positif masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional (Kideghesho, Roskaft, Kaltenborn 2007). Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnis dapat secara signifikan membentuk sikap masyarakat terhadap taman nasional (Mehta dan Heinen 2001; Jim dan Xu 2002; Cihar dan Stankova 2006; Alendorf 2007; dan Alendorf, Smith, Anderson 2007). Hal tersebut juga
32
dipengaruhi oleh oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumberdaya taman nasional (Badola 1998; Soto, Munthali, dan Breen 2001; Silori 2007), maupun pengetahuan masyarakat tentang taman nasional (Ormsby dan Kaplin 2005). Sementara itu hasil penelitian lain menyebutkan bahwa jumlah tanggungan dalam keluarga (Adiprasetyo et al. 2009; Pasha dan Susanto 2009), asal etnis, (Adiprasetyo et al. 2009), tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan masyarakat (Pasha dan Susanto 2009). Keanggotaan masyarakat dalam kelompok dan pelatihan juga berpengaruh terhadap tindakan masyarakat (Siswiyanti dan Ginting 2006; Guthiga 2008; Adiprasetyo et al. 2009; Brännlund, Sidibe, dan Gong 2009).