10 TINJAUAN PUSTAKA
Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Dari lima spesies badak di seluruh dunia, badak jawa merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan hanya di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon Banten. Pada tahun 1999 survei menyatakan keberadaan badak jawa di Vietnam dengan jumlah delapan ekor (Polet et al. 1999), namun saat ini populasi tersebut sudah dinyatakan punah (IRF-WWF 2011). Dengan punahnya populasi badak jawa di Vietnam pada tahun 2011, maka keberlangsungan hidup spesies ini hanya bergantung pada populasi yang ada di Ujung Kulon. Ujung Kulon merupakan kawasan lindung yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1990 dan diberi status sebagai situs warisan dunia (World heritage site) oleh UNESCO di tahun 1992. Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luasan 120,000 hektar yang terdiri dari kawasan darat dan laut, dan 30,000 hektar dari luasan ini merupakan semenanjung yang dihuni oleh badak jawa. Habitat badak di semenanjung Ujung Kulon ini sebagian besar merupakan dataran dengan tingkat kelerengan yang rendah dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi mulai dari hutan bakau, hutan rawa pantai, hutan pantai, hutan sekunder, dan hutan primer (Hommel 1987). Perbatasan antara hutan sekunder dan hutan primer merupakan area yang sangat disukai oleh badak karena area tersebut biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak. Hommel (1987) juga menyebutkan bahwa tipologi tanah di semenanjung Ujung Kulon ini terdiri dari jenis tanah litosol yang memiliki kemampuan untuk menampung air dan menjadikan daerah ini banyak dipenuhi oleh genangan-genangan air yang digunakan sebagai kubangan oleh banyak satwa, termasuk badak jawa. Sebagai suatu kawasan lindung dengan status Taman Nasional, Ujung Kulon merupakan tempat perlindungan satwa sekaligus tempat penelitian yang bersifat ilmiah maupun edukasi.
Kegiatan wisata yang bertanggung jawab (eko-wisata)
merupakan salah satu kegiatan yang diterapkan di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memberikan manfaat ekonomis maupun edukasi kepada masyarakat luas. Untuk memastikan bahwa konservasi badak jawa dapat berjalan selaras dengan penelitian dan wisata, maka pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon dibagi menjadi tiga seksi konservasi dengan pembagian zonasi (zona inti, rimba,
11 pemanfaatan tradisional, dan zona khusus) dengan pengelolaan berbasis resort agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing seksi dan zona tersebut.
Informasi Umum tentang Badak Jawa Badak jawa pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Desmarest di tahun 1822 dan dikategorikan sebagai spesies Rhinoceros sondaicus (Corbett & Hill 1992) dan merupakan merupakan salah satu spesies langka yang dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah. Menurut Lekagul & McNeely (1977) taksonomi badak Jawa diklasifikasikan sebagai berikut:
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub-filum
: Vertebrata
Super kelas
: Gnathostomata
Kelas
: Mamalia
Super Ordo
: Mesaxonia
Ordo
: Perissodactyla
Super famili
: Rhinocerotidae
Famili
: Rhinocerotidae
Genus
: Rhinoceros Linnaeus, 1758
Spesies
: Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822
Hoogerwerf (1970) menyebutkan bahwa badak Jawa dewasa memiliki ukuran tinggi (dari telapak hingga bahu): 169-175 cm dan panjang badan (dari moncong hingga ujung ekor): 392 cm, dan berat tubuh pada kisaran 2.280 kg. Dibandingkan dengan badak hitam afrika (Diceros bicornis), badak putih afrika (Ceratoterium simum) dan badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa merupakan badak yang tergolong berukuran kecil namun masih lebih besar bila dibandingkan dengan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak jawa memiliki tampilan sebagaimana disajikan dalam Gambar 2 di bawah ini.
12
Gambar 2. Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia – Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2003). Di masa lampau badak jawa menghadapi tekanan berupa perburuan dan gangguan langsung dari masyarakat karena waktu itu mereka dianggap sebagai “hama” yang mengganggu lahan perkebunan masyarakat.
Hal ini terjadi karena
badak jawa memiliki preferensi makanan yang merupakan tumbuhan semak dan perdu yang banyak ditemukan di lahan pertanian masyarakat.
Badak jawa yang
dahulu tersebar di pulau Jawa, Sumatera, bahkan sampai ke Indocina populasinya makin terdesak dan badak jawa terakhir di pulau Sumatera ditembak mati di Palembang sekitar tahun 1920an dan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon ditembak di daerah Garut pada tahun 1930an. Sejak itu, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten dan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Namun, populasi badak jawa di Vietnam telah dinyatakan punah pada pertengahan tahun 2010 sehingga nasib keberlangsungan spesies ini hanya ada pada populasi di Indonesia. Walaupun perburuan sudah tidak ada lagi, saat ini populasi badak Jawa masih menghadapi tantangan yang dapat membahayakan kehidupan mereka. Sebagaimana dihadapi oleh berbagai spesies badak di seluruh dunia, badak Jawa juga menghadapi risiko infeksi penyakit dan/atau gangguan kesehatan baik yang diakibatkan oleh agen infeksius maupun non-infeksius. Fisiologi dan kesehatan pada spesies badak ini adalah aspek yang belum banyak dipelajari sampai saat ini. Walaupun telah ada beberapa individu badak yang pernah dipindahkan dari alam dan ditempatkan di kebun binatang sekitar tahun 1800an (Newton 1874; Rookmaaker 1982; Rookmaaker 2005, Reynolds 1961), belum pernah ada catatan mengenai
13 kerentanan satwa ini terhadap cekaman dan risiko kematian akibat tekanan dan/atau proses pemindahannya dari habitat alami. Ilmu biomedis hewan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari aspek fisiologis, kesehatan, dan juga kemungkinan perlakuan untuk mencegah gangguan kesehatan pada spesies langka ini. Penelitian dititik beratkan pada kajian tingkat stres, toksisitas, dan analisis risiko akibat asupan nutrisi dan konsumsi jenis pakan alami tertentu bagi badak jawa yang tersedia di habitatnya. Sebagai hewan yang hidup liar, badak jawa sangat bergantung pada ketersediaan pakan di habitatnya, oleh karena itu, disamping perburuan, faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pakan merupakan penyebab kepunahan satwa ini dari berbagai habitat historisnya seperti di Borneo (Cranbrook & Piper 2007), Kamboja (Poole & Duckworth 2005), Malaysia (Kloss 1927), dan juga di Pulau Jawa (Scheltema 1912; Walcott 1914). Sejak tahun 60an pemantauan badak sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak dengan menggunakan metode yang sederhana seperti penghitungan jejak, penggunaan kamera dan video otomatis, sampai metode yang lebih rumit yaitu telaah genetika, jenis, dan komposisi pakan dari feses. Identifikasi individu badak dengan kamera otomatis juga memungkinkan penghitungan estimasi jumlah individu dengan metode mark-recapture, analisis komposisi populasi, nisbah kelamin, dan juga perhitungan untuk menduga pertumbuhan populasi dengan adanya kelahiran individuindividu baru (Hariyadi et al. 2008).
Secara holistik, interaksi badak dengan
komponen lainnya dalam ekosistem juga telah dipelajari. Berdasarkan salah satu kajian yang pernah dilakukan diperoleh data bahwa ada persaingan ruang antara banteng (Bos javanicus) dan badak yang mengakibatkan keterbatasan akses badak ke daerah-daerah tertentu (YMR 2002).
Kajian palatabilitas tumbuhan pakan yang
dilakukan oleh berbagai peneliti yang menginventarisir sekitar 94 jenis tumbuhan yang menjadi konsumsi harian badak jawa, namun kajian lain menunjukkan bahwa pertumbuhan dan dominasi sejenis palma (Arenga obtusifolia) mengancam ketersediaan jenis-jenis tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak tersebut (Putro 1997; YMR 2004).
Jika antara hasil pengamatan dan penelitian terdahulu
dibandingkan dengan keberhasilan badak jawa untuk bertahan hidup sampai saat ini, badak jawa dikenal sebagai satwa yang tangguh dan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jumlah populasi yang sangat sedikit. Diet utama yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan semak memberi nutrisi yang memadai untuk bertahan dari berbagai tekanan, termasuk juga tekanan dari penyakit. Berdasarkan
14 penggalian informasi dari masyarakat di sekitar zona penyangga Taman Nasional Ujung Kulon, berbagai jenis tumbuhan pakan badak telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, antipiretika, antiseptik, dan juga sebagai obat untuk memperlancar proses persalinan.
Jenis-jenis Cekaman Berdasarkan rentang waktu pemaparannya, cekaman dapat dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: cekaman akut yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dalam hitungan detik sampai sekitar 60 menit (Figueiredo et al. 2003) dan cekaman kronis yang berulang setiap hari selama 5 hari (Melia & Duman 1991) sampai waktu yang lebih lama (mingguan, bulanan, tahunan) seperti yang dialami oleh badak di kebun binatang yang mengalami cekaman kronis akibat pengandangan dan kunjungan wisatawan (Carlstead & Brown 2005). Kedua jenis cekaman ini memberikan respons berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya peningkatak sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Selain profil hormon dari kelas glukokortikoid, Davis et al. (2008) menyatakan bahwa profil hematologi khususnya netrofil dan limfosit merupakan indikator akan adanya cekaman pada hewan-hewan vertebrata.
Cekaman Akut Cekaman akut menimbulkan respons yang spesifik berupa aktifitas pada aksis HPA (Hipotalamus-pituitari-adrenal korteks) yang berujung pada sekresi hormon glukokortikoid (Figuireido et al. 2003). Cekaman akut juga memicu sistem kekebalan tubuh untuk bekerja lebih baik dengan cara mendistribusikan lekosit dari darah ke kulit seperti yang ditunjukkan Dhabhar (2000). Mekanisme ini merupakan kerja hormon cekaman serupa dengan mekanisme bertahan atau lari (fight or flight) yang terjadi saat terjadi cekaman akut dan berpotensi untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, terutama yang masuk melalui jaringan perifer seperti kulit. Selain distribusi lekosit, reaksi sistem pertahanan tubuh terhadap cekaman akut juga termasuk distribusi sel Natural Killer (NK) yang senyawa kimianya berfungsi sebagai
15 pembunuh bagi agen-agen asing yang masuk ke dalam tubuh.
Sel-sel NK ini
berkurang di dalam darah dan paru-paru, namun jumlahnya tidak berkurang di limpa (Kanemi et al. 2005).
Cekaman Kronis Dhabhar (2000) menunjukkan bahwa cekaman kronis memberikan respons berupa pengurangan distribusi lekosit dari kulit kembali ke dalam darah, hal ini merupakan kebalikan dari respons yang ditunjukkan oleh adanya cekaman akut. Figuireido et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kronis juga menghasilkan respons berupa sensitisasi aksis HPA terhadap sumber cekaman (biasanya terjadi pada cekaman yang sama dan berulang). Sensitisasi seperti ini merupakan contoh bahwa cekaman kronis dapat memicu dan mempertahankan perubahan pada beberapa proses biokimia yang berujung pada implikasi klinis (Melia & Duman 1991). Perubahan parameter fungsi-fungsi hormonal, sistem pertahanan tubuh, metabolisme, dan sistem kardio vaskular akibat adanya cekaman kronis dapat dirumuskan menjadi sebuah indeks yang dikenal dengan indeks beban allostatic yang dapat menunjukkan kemungkinan cekaman kronis tersebut mendorong terjadinya penyakit (Juster et al. 2009).
Penyakit-penyakit pada Badak Selain suspect antraks pada kasus kematian badak jawa di tahun 1980an, informasi mengenai agen infeksius yang mengancam kehidupan badak jawa belum dapat diketahui dengan pasti. Salah satu telaah yang pernah dilakukan pada badak jawa adalah telaah endoparasit yang menemukan berbagai parasit cacing (Strongyloides spp, Bunostomum spp, Trichostrongylus spp, Fasciola spp, Schistosoma spp) dan protozoa (Balantidium spp, Entamoeba spp, Cryptosporidium spp, Cycloposthium spp) dalam feses badak (Tiuria et al. 2006).
Sebagai
pembanding, beberapa penyakit yang mungkin menyerang badak di populasi alaminya terdiri dari: penyakit darah (parasit protozoa Theileria sp dan Trypanosoma sp), penyakit infeksius (bakteri, fungi, virus), penyakit parasitik (helminth), penyakit reproduksi (brucellosis, vibriosis), luka, leptospirosis (Jessup et al. 1992), infeksi Cowdria
sp
(Kock
et
al.
1992),
dan
defisiensi
translokasi/pemindahan badak (Clausen 1981; Jonyo 2003).
nutrisi
dalam
kasus
16 Penyakit yang ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang lebih beragam dibandingkan dengan penyakit pada populasi alami dan ini mengakibatkan kerugian material bagi pengelola kebun binatang serta kerugian ekologis berupa berkurangnya jumlah badak akibat kematian. Hal ini disebabkan oleh stress dan kondisi habitat buatan manusia yang berbeda dengan habitat alami badak. Penyakit yang umum ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang antara lain: lingual abscess (Hatt et al. 2004), retak pada kuku, laminitis, chronic foot disease (Jacobsen 2005), lesio pada mata, katarak (Sanborn 1908), aneurism pada arteri koroner (Kock et al. 1991), hemolitik anemia (Jessup et al. 1992), degenerasi/nekrosa dengan fibrosis pada purkinje myokardial (Kock 1996), ulcer pada kornea (Gandolf et al. 1999), dermatitis eksudatif (Völlm et al. 2000), dan leukimia limfoblastik akut (Paglia & Radcliffe 2000). Dari beberapa catatan yang ada, dapat dilihat bahwa penyakit pada badak yang hidup liar berbeda dengan penyakit pada badak di kebun binatang. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada agen penyebab penyakit, lingkungan, dan juga kondisi fisiologis badak itu sendiri. Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak muncul jenis-jenis penyakit baru yang menginfeksi manusia maupun hewan termasuk satwa liar.
Beberapa contoh dari
patogen baru yang muncul adalah: Virus Hendra, Virus Nipah, dan Virus West Nile (Daszak et al. 2004). Bidang medis konservasi ini menjadi bagian penting dalam proses antisipasi penyakit yang dapat muncul dan menginfeksi populasi satwa liar. Infeksi penyakit pada satwa liar akan menambah rumit upaya konservasi beberapa spesies, karena infeksi penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan bahkan dapat meningkatkan risiko kepunahan pada spesies-spesies tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Deem et al. (2001), Wildlife Conservation Society (WCS) telah mengidentifikasi pentingnya bidang medis konservasi ini dan telah mempelopori prosedur pemantauan kesehatan pada beberapa spesies satwa liar seperti: Llama guanaco (Lama guanicoe) dan orangutan (Pongo pygmaeus).
Pengaruh Perubahan Iklim Iklim pada skala mikro memberikan pengaruh pada fisiologi hewan seperti dipelajari oleh Suprayogi et al. (2006) yang menunjukkan bahwa pola respirasi pada kambing sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara.
Pada skala global,
perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pada dinamika vegetasi akibat
17 meningkatnya kadar CO2 di atmosfir dan juga berubahnya keseimbangan air di dalam tanah (Huxman & Scott 2007).
Korelasi antara perubahan iklim dan dinamika
vegetasi ditunjukkan pula pada studi yang dilakukan oleh Williams et al. (2002) yang mempelajari perubahan vegetasi dan kondisi atmosferik pada zaman es. Perubahan struktur vegetasi ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi bagi badak jawa, satwa herbivora yang menggantungkan sumber pakan sepenuhnya dari vegetasi yang ada. Perubahan iklim menuju kekeringan seperti ini dapat mengakibatkan perubahan pada jenis-jenis tumbuhan dominan yang kemudian berpotensi pula untuk mengancam keberadaan jenis tumbuhan yang dibutuhkan oleh badak. Apabila jenis tumbuhan pakan badak berkurang akibat perubahan iklim seperti ini, maka defisit pakan akan dialami oleh badak sebagai konsekuensinya.
Salah satu contoh kepunahan
megaherbivora akibat perubahan iklim adalah kepunahan mammoth di Pulau Wrangle Siberia akibat hilangnya padang rumput serta berbagai tumbuhan yang menjadi bahan makanan mammoth di lokasi tersebut (Martin & Stuart, 1995). Pemodelan yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi untuk merubah semenanjung Ujung Kulon menjadi daerah yang lebih kering dengan ketersediaan air yang terbatas.
Pemodelan ini
menunjukkan bahwa ada risiko kekeringan yang dapat melanda habitat badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon akibat perubahan iklim.
Risiko
kekeringan merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat bahwa Cameron & Perdue (2005) menunjukkan cekaman kronik yang terjadi pada hewan coba dapat timbul akibat kekeringan atau kelangkaan air (water avoidance stress),
dengan
demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah ketersediaan air yang lebih sedikit pada musim kemarau akan memberikan suatu tekanan pada badak jawa. Tanah dan lumpur juga merupakan komponen penting di dalam ekosistem habitat badak karena dari komponen ini badak kerap memperoleh mineral untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sehari-hari. Seperti halnya ingesti pakan dan air, badak jawa memiliki kebiasaan untuk “memakan” lumpur (salt licking) sebelum dan/atau setelah berkubang sebagaimana yang diamati pada beberapa sesi pemantauan perilaku yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon (Data Taman Nasional Ujung Kulon & WWF 2010). Kualitas mineral serta kontaminasi yang ada pada tanah/lumpur juga berpotensi untuk memberikan dampak terhadap mekanisme peny rapan nutrien pada badak jawa.
18 Mekanisme fisiologis terhadap cekaman berupa kekeringan Ketersediaan air dan aktifitas berkubang pada badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan beberapa syarat penting untuk keberlangsungan hidup badak jawa di habitat alaminya di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Banyak peneliti badak terdahulu (Schenkel, Hoogerwerf, Van Strien, Sajudin, dan Setiawan) mencatat bahwa badak berkubang lebih dari satu kali dalam sehari dan ditambah dengan aktifitas berendam di sungai maupun di laut (pesisir pantai).
Termoregulasi Aktifitas berkubang ini erat kaitannya dengan upaya termoregulasi yang dilakukan badak untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) tubuh mereka. Termoregulasi merupakan suatu proses yang terkait dengan perilaku hewan untuk berusaha mempertahankan suhu tubuh yang optimal. Suhu yang terlalu tinggi akibat proses metabolisme ataupun suhu tubuh yang terlalu rendah akan mengkibatkan ketimpangan dalam berbagai proses fisiologi tubuh hewan (fungsi dan kinerja berbagai protein) yang akhirnya mendorong kondisi yang tidak seimbang dalam fisiologi hewan tersebut. Badak memiliki kulit berlipat dengan lapisan subkutan yang mengandung banyak pembuluh darah. Lipatan kulit dan pembuluh darah tersebut berfungsi dalam proses termoregulasi pada badak (Endo et al. 2009).
Kondisi kulit Kelembaban kulit pada badak menjamin kecukupan kadar air yang diperlukan untuk menjaga kulit agar dapat mempertahankan struktur dan berfungsi secara optimal. Struktur kulit badak (badak afrika) disajikan pada Gambar 3, sementara gambaran kulit yang tidak normal (mengalami lesio) disajikan pada Gambar 4. Kekurangan kadar air pada kulit dapat menyebabkan terjadinya lesio berupa retak/celah pada kulit akibat berkurangnya kelenturan kulit saat kelembaban tidak mencukupi. Baron (2006) menjelaskan bahwa lesio ini memberikan stimulasi pada reseptor syaraf pada permukaan kulit yang kemudian mengirimkan sinyal rasa nyeri akibat
terjadinya
perubahan
molekuler
meningkatnya sensitifitas neuron tersebut.
pada
neuron
yang
mengakibatkan
Sensitifitas neuron ini kemudian
menghantarkan sinyal rasa nyeri ke bagian hipotalamus pada otak.
19
Gambar 3. Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber: Munson et al. (1998).
20
Gambar 4. Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998). Kekurangan kadar air pada kulit mengakibatkan kondisi kulit kurang fleksibel/elastis sebagai stimulus bagi sekumpulan sel-sel syaraf yang dikenal dengan istilah neuron pada permukaan kulit yang berfungsi sebagai reseptor mekanis. Woolf & Mannion (1999) menjelaskan bahwa stimulus seperti ini mengakibatkan buka tutup kanal ion yang menyebabkan perubahan kadar ion Na++ dan Cl--pada lingkungan ekstrasel dan intrasel karena adanya aliran ion masuk ataupun keluar. Lebih lanjut Stuart et al. (1997) menjelasakan bahwa perbedaan ion seperti ini (depolarisasi) mengakibatkan terjadinya perubahan resting potential (-70 mV) menjadi action potential yang menjalar sepanjang neuron. Karena adanya insulasi myelin bagian akson pada sel neuron, maka “lompatan” elektrik action potential ini terjadi pada node of Ranvier yang tidak terlapisi oleh myelin. Node of Ranvier merupakan satu bagian dari jaringan syaraf vertebrata berbentuk nodus (simpul) yang tidak terlindungi oleh lapisan insulasi myelin sehingga memungkinkan bagi aliran ‘listrik’ ringan untuk melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya.
Lompatan elektrik seperti ini
memungkinkan action potential untuk menjalar sepanjang serabut syaraf (axon) menuju ujung neuron yang dikenal sebagai bagian pre synaptic. Bagian ini
21 mengandung rongga di dalam sel yang disebut vesikula berisi zat-zat kimia yang dikenal dengan istilah neurotransmitter yang terbentuk dari senyawa asam amino ataupun mono-amina. Sinapsis yang merupakan jembatan antar serabut syaraf dari sel syaraf perifer seperti ini terdapat di bagian dorsal horn pada tulang belakang atau di dalam sistem susunan syaraf pusat.
Action potential yang mencapai bagian ini
kemudian memicu pergerakan vesikula ke arah membran sel, peleburan vesikula pada membran yang mengakibatkan terlepasnya neurotransmitter ke celah synapse (synaptic cleft) untuk mempengaruhi kerja neuron berikut (neuron post-synaptic). Nyeri pada kulit akibat kekeringan berbeda dengan rasa nyeri akut yang memberikan stimulus dalam intensitas tinggi (seperti tusukan dan panas) yang ditanggapi oleh neuron A-delta, nyeri pada kulit akibat kekeringan terjadi pada neuron tipe C dalam intensitas rendah yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman pada badak, namun tidak cukup kuat untuk memicu refleks otot. Proses komunikasi antar neuron pada synapse tidak menimbulkan reaksi adrenergik yang mengakibatkan kontraksi otot, tapi menghantarkan signal nyeri dari saraf perifer ke susunan syaraf pusat dengan bantuan neurotransmitter (Woolf & Mannion 1999). Neurotransmitter asetilkolin pada neuron post-synapse melekat pada reseptor asetilkolin yang ada pada membran sel. Melekatnya asetilkolin menyebabkan terbukanya kanal ion Na++ yang mengakibatkan depolarisasi pada neuron pada susunan syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya action potential yang menjalar pada susunan syaraf pusat menuju sistem korteks pada otak (untuk persepsi) dan berlanjut ke sistem limbik (untuk respons). Pada sistem korteks, impulse dari syaraf pusat yang menghantarkan sinyal nyeri dari syaraf perifer bekerja pada bagian sebelum sambungan (pre-synapse) dengan mengeluarkan neurotransmitter (serotonin) yang berfungsi untuk merekam (proses memori) rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan yang terjadi pada bagian kulit. Dalam kondisi seperti ini, bila badak menemukan kubangan dan/atau sumber air untuk melembabkan kulitnya maka stimulus pada reseptor mekanis pada kulit akan berkurang. Sel reseptor akan kembali ke resting potential dan berhenti mengirimkan sinyal nyeri/ketidaknyamanan ke otak. Di otak, serotonin akan mempelajari asosiasi antara kegiatan berkubang atau berendam dengan hilangnya rasa ketidaknyamanan. Hal ini kemudian membentuk pola perilaku terkait dengan pengurangan rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada kulit dengan berkubang dan berendam. Selain serotonin, dalam proses interaksi yang rumit neurotransmitter dopamin bekerja dan
22 menimbulkan rasa nyaman sebagai bagian dari “imbalan” kegiatan berkubang dan berendam. Perilaku berkubang merupakan suatu dampak reflektif dari adanya nyeri (Bennet 1999) dan merupakan suatu tindakan mempertahankan diri (self preservation) yang difasilitasi oleh neurotransmitter dopamin dan serotonin pada otak. Dinamika
yang terjadi pada ekosistem habitat badak tidak selalu
memungkinkan badak untuk dapat segera menghilangkan rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan pada kulit. Selama musim kemarau curah hujan jauh berkurang dan menyebabkan berkurangnya sumber air untuk berkubang dan berendam. Dengan berkurangnya sumber air seperti ini, kemungkinan besar badak harus bertahan lebih lama dengan kondisi tidak nyaman akibat kekeringan pada kulit untuk waktu yang relatif lebih lama dibanding pada musim hujan. Rasa tidak nyaman ditambah dengan intensitas kerusakan pada kulit yang makin tinggi menyebabkan impuls nyeri juga makin meningkat intensitasnya disertai meningkatnya durasi dari stimulasi yang terjadi pada reseptor nyeri pada kulit. Kondisi seperti ini menyebabkan otak untuk bekerja menanggapi kondisi yang terjadi dengan aktifasi sistem noradrenergik pada otak yang memicu sekresi hormon norepinefrin (Morilak et al. 2005). Berbeda dengan penghantaran rasa nyeri dari reseptor pada kulit melalui syaraf perifer dan syaraf pusat menuju ke otak yang terjadi dalam waktu yang cepat (hitungan detik), maka dalam menanggapi intensitas serta durasi ketidaknyamanan kekeringan pada kulit stimulasi yang terjadi melewati suatu ambang batas yang kemudian memicu sel-sel neuron pada otak untuk mengeluarkan suatu respons yang berjalan lambat (dalam hitungan jam atau hari) melalui perantara peptida berupa hormon.
Dalam kondisi seperti ini sel-sel otak terpicu untuk memproduksi hormon
ACTH (Adrenocortocotrophic Hormone). Serotonin yang dikeluarkan oleh neuron pada sistem korteks menginduksi sekresi ACTH dengan melekat pada reseptor serotonergik pada membran sel (Bruni et al. 1982) serta mendorong aktifasi caraka Inositol triosfosfat (IP3) yang dihasilkan dari hidrolisis fosfatidil inositol pada membran sel. Aktifasi caraka IP3 mengakibatkan mobilisasi ion Ca++ dari retikulum endoplasmik serta badan golgi sebagai depo ion Ca di dalam sel yang bila digabung dengan kalmodulin akan mengaktifasi berbagai protein kinase yang akhirnya mengaktifasi berbagai fungsi enzim dan protein dengan fosforilasi (Berridge 1984). Kalmodulin dan ion Ca++ mendorong aktifasi kalcineurin, sebuah protein fosfatase yang bergantung pada kalmodulin dan ion Ca++ dan mengatur aktifitas kanal ion, neurotransmitter dan juga transkripsi hormon ACTH (Yakel et al. 1997). Sekresi
23 ACTH didorong juga dengan adanya hormon Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang melekat pada reseptor pada membran sel neuron pada bagian otak yang memproduksi ACTH. ACTH yang beredar di dalam darah mencapai target organnya yaitu kelenjar adrenal yang berada di daerah ginjal. Sebagai kelenjar endokrin, adrenal memiliki sel-sel yang bertugas untuk mentranskripsi hormon berupa protein adrenalin (epinephrin) dan juga glukokortokoid kortisol yang terkait erat dengan kondisi cekaman (stres).
ACTH melekat pada reseptor pada membran sel adrenal dan
berfungsi sebagai agonis yang memicu hidrolisis fosfatidil inositol menjadi IP3 (Jolles et al. 1980). IP3 kemudian memicu serangkaian reaksi yang terdiri dari: mobilisasi ion Ca++ (dari retikulum endoplasmik dan golgi) yang selanjutnya bersama calmodulin mengaktifasi protein calcineurin dengan fosforilasi yang berujung pada transkripsi, translasi dan sekresi hormon-hormon cekaman dari sel-sel kelenjar adrenal. Kortisol yang muncul akibat adanya cekaman, dan hormon tiroksin yang senatiasa dibutuhkan dalam kehidupan sel bekerja secara sinergis dalam memberikan keluaran berupa peningkatan metabolisme lipid (trigliserida) di hati untuk kemudian digunakan dalam proses glukoneogenesis yang terfasilitasi oleh meningkatnya aktifitas (ekspresi) berbagai enzim. Lipid yang terakumulasi kemudian mengalami lipolisis dan terurai menjadi asam lemak sebagai bahan baku dalam proses glukoneogenesis. Pada hierarki terkecil keseimbangan dalam sistem tubuh badak jawa berjalan pada tingkat seluler dengan terjaganya metabolisme sel untuk mempertahankan berbagai fungsi sel sebagai bagian dari jaringan, sistem, dan tingkat individu. Kondisi “lapar sel” merupakan kondisi dimana kebutuhan metabolisme sel tidak dapat terpenuhi dalam periode waktu yang cukup lama dan melampaui kemampuan sel untuk bertahan. Energi yang digunakan oleh sel untuk menjalankan fungsi normal berasal dari ATP yang disintesis dengan bantuan senyawa berenergi tingi NADH hasil reaksi kimia dalam siklus Kreb yang terjadi di mitokondria. Siklus Kreb memerlukan asupan substrat berupa gula yang berasal dari karbohidrat, protein, maupun lemak yang memasok reaksi-reaksi tertentu dalam siklus tersebut untuk memastikan siklus berjalan dan menghasilkan NADH dan air sebagai produknya. Kondisi “lapar” pada sel didefinisikan sebagai defisit berbagai senyawa yang dibutuhkan dalam metabolisme sel (glukosa) dan juga defisit dari berbagai growth factor, caraka yang
24 diperlukan dalam proses signalling untuk mendorong berbagai fungsi dan respons selular. Penelitian yang dilakukan Soto-Gamboa et al. (2009) menunjukkan adanya korelasi antara kadar ACTH dan kadar hormon kortisol di dalam darah. Selain itu, penelitian yang sama juga menunjukkan adanya korelasi antara kadar hormon kortisol dalam darah dengan kadar hormon kortisol beserta metabolitnya dalam feses. Wasser et al. (2000) menunjukkan bahwa metabolit hormon kortisol yang dapat ditemukan pada feses terdiri dari: kortisol, kortikosteron, 11-deoksikortisol, deoksikortikosteron, kortison, prednisolon, progesteron, dan prednison.
Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa kortikosteron merupakan metabolit yang lazim dijumpai pada berbagai jenis spesies.
Defisit Glukosa Monosakarida glukosa merupakan nutrien penting dalam metabolisme karena glukosa merupakan gula sederhana hasil dari pemecahan karbohidrat dalam metabolisme hewan dan merupakan sumber utama produksi NADH yang digunakan dalam sintesa ATP, kebutuhan energi di dalam sel. Penyerapan karbohidrat di dalam usus halus terjadi berkat bantuan protein khusus SGLT1 yang berfungsi sebagai cotransporter yang memerlukan ion Na+ dan glukosa untuk dapat menjadi pintu gerbang terserapnya karbohidrat di dalam usus yang berada pada dinding usus (Dyer et al. 2002). Lebih lanjut Mace et al. (2007) menjelaskan bahwa glukosa masuk ke dalam sel dari lingkungan ekstraseluler melalui protein transport khusus GLUT2 pada membran sel yang berfungsi sebagai kanal masuknya molekul glukosa ke dalam sel dengan bantuan Na. Tanpa adanya protein kanal ini, molekul glukosa yang tidak larut dalam lemak akan mengalami kesulitan untuk menembus membran sel dan masuk ke dalam lingkungan intrasel. Protein transpor ini bekerja secara sinergis dengan resptor insulin yang juga berada pada membran sel untuk membantu penyerapan molekul glukosa ke dalam sel. Hormon insulin sebagai caraka yang disekresikan oleh sel insula (sel β pada pankreas) berfungsi sebagai pemicu terbukanya GLUT2 untuk memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel. Pada sel paru glukosa merupakan substrat yang dapat mencegah kematian sel dengan meningkatkan produksi ATP (Allen & White 1998). Sel yang mengalami defisit glukosa ditandai dengan meningkatnya aktifitas dan produksi enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) di dalam sitosol seperti yang dinyatakan oleh Allen & White
25 (1998). Peningkatan aktifitas dan produksi enzim ini merupakan mekanisme internal sel untuk meningkatkan laju konversi piruvat menjadi laktat (atau sebaliknya) dan memastikan proses kimia dalam siklus Kreb dapat terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan sel.
Namun demikian, tanpa adanya glukosa, sel harus menggunakan
substrat lain yaitu lemak yang dirubah menjadi asam lemak dan Asetil-CoA, serta protein yang diurai menjadi asam amino yang dapat digunakan di dalam siklus Kreb. Defisit glukosa mengakibatkan
meningkatnya AMP di dalam sel yang
kemudian mendorong fosforilasi beberapa enzim dan mengaktifasi sejenis AMP kinase. AMP Kinase ini kemudian mendorong terjadinya pemisahan antar sel (sel detachments) yang ditandai dengan adanya protein G-aktin. Aktifitas AMP Kinase ini menghambat fosforilasi Focal Adhesion Kinase (FAK) yang berperan dalam perlekatan antar sel dan juga menghambat fosforilasi Protein Kinase C (Suzuki et al. 2003). Kondisi lapar sel (defisit glukosa di dalam sel) mengakibatkan menurunnya rasio ATP:AMP di dalam sel yang kemudian mendorong mekanisme metabolisme tubuh dan memobilisasi sel-sel lemak untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif. Mobilisasi dan penguraian lemak mengakibatkan kadar asam lemak bebas menjadi tinggi di dalam darah dan ekstrasel, dan asam lemak ini kemudian berfungsi sebagai caraka yang mengaktifasi reseptor α dengan bantuan peroxisome proliferator. Aktifasi reseptor ini kemudian mendorong ekspresi isoform dari piruvat dehidrogenase kinase (PDK4) yang kemudian menghambat aktifitas enzim kompleks piruvat dehidrogenase yang berakibat pada penumpukan asam laktat dan alanin sebagai bahan baku glukoneogenesis (Wu et al. 2001).
Mekanisme lainnya terjadi
dengan perlekatan antagonis Basilen Blue yang melekat pada reseptor P2 yang berperan sebagai reseptor bagi messenger yang memicu ekspresi dan keluarnya sitokrom c dari mitokondria dalam kondisi “lapar” glukosa.
Sitokrom c ini
mendorong peningkatan ekspresi Heat Shock Protein (HSP), enzim kaspase-2, GRP75 dan GRP-78 yang diatur oleh kadar glukosa. Dengan melekatnya antagonis pada reseptor P2, maka sitokrom c tidak keluar dari mitokondria dan peningkatan ekspresi protein dan enzim lainnya tidak terjadi (Cavaliere et al. 2001). Dalam kondisi lapar (defisit glukosa), sel dapat berhenti untuk berkembang (replikasi) dan bahkan dapat terdorong untuk mengalami apoptosis/kematian sel. Rasio ATP:AMP serta kadar glukosa yang rendah di dalam sel menyebabkan aktifasi reseptor “kematian sel” yang selanjutnya mengaktifasi enzim kaspase 8 dan
26 pengiriman signal untuk mematikan sel. Aktifasi reseptor “kematian sel” dihambat oleh aktifasi suatu kelas protein kinase ARK5 yang ekspresinya didorong oleh aktifasi protein Akt. Growth factors dan Fosfatidil inositol 3 kinase merupakan caraka yang diterima oleh protein Akt tersebut dan merupakan bagian dari mekanisme pertahanan hidup sel (Suzuki et al. 2003).
Lapar Serum Selain glukosa, sel juga membutuhkan berbagai pembawa pesan (caraka) untuk memastikan keberlangsungan hidup dan fungsi sel secara normal. Caraka ini terdiri dari berbagai senyawa seperti epidermal growth factor (EGF) maupun faktorfaktor pertumbuhan lainnya. Secara in vitro, kondisi lapar serum dapat diciptakan dengan menggunakan media pertumbuhan yang mengandung Fetal Calf Serum (FCS) atau Fetal Bovine Serum (FBS) sebagai nutrisi sel yang kandungannya dapat dikurangi untuk menciptakan kondisi lapar tersebut. Kondisi lapar serum pada sel dapat menimbulkan hambatan pada pertumbuhan bahkan kematian sel melalui berbagai mekanisme. Yamada et al. (1996) menunjukkan bahwa pengurangan nutrisi pada media pertumbuhan sel (medium Eagle termodifikasi) mengakibatkan aktifasi suatu reseptor yang dikenal sebagai AT2 (Angiotensin receptor) pada membran sel yang kemudian mendorong ekspresi dari protein angiotensin II yang mendorong defosforilasi pada kinase MAP (Mitogen-activated). Dengan defosforilasi seperti ini, enzim MAP kinase menjadi inaktif dan sel tidak dapat melakukan pembelahan (replikasi), dan dengan demikian kondisi lapar serum ini mengakibatkan hambatan pada pertumbuhan yang dapat berakhir dengan terjadinya apoptosis sel tersebut. Salah satu penyebab terjadinya hambatan pertumbuhan sel akibat lapar serum adalah tidak adanya faktor-faktor pertumbuhan (EGF dan Insulin-like Growth Factor) yang merupakan caraka yang diterima oleh reseptor EGF pada membran sel. Melekatnya EGF pada membran sel memicu serangkaian reaksi yang merupakan fosforilasi (aktifasi) berbagai enzim tertentu termasuk MAP kinase yang mendorong faktor transkripsi dan aktifasi protein adaptor Nck yang menghubungkan reseptor Tirosin kinase dengan Pak-1 yaitu suatu kinase serin-threonin yang berperan dalam pembentukan aktin dari sitoskeleton (Galisteo et al. 1996). Tanpa adanya faktor pertumbuhan (EGF) yang melekat pada reseptor yang ada di membran sel, maka proses pertumbuhan sel tidak dapat berjalan. Peranan reseptor tirosin kinase terlihat juga dari hasil penelitian Zeng et al. (2001) pada sel endothel HUVEC (Human
27 Umbilical Vein Endothel) yang berinteraksi dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). VEGF sebagai caraka melekat dan mengaktifasi dua jenis reseptor tirosin kinase pada membran sel yaitu: Flt-1 dan KDR yang memiliki mekanisme respons yang berbeda. Aktifasi reseptor KDR mendorong proliferasi sel, sementara aktifasi Flt-1 mendorong respons Fosfatidil Inositol yang bersifat sebagai inhibitor terhadap proliferasi yang dipicu oleh aktifasi reseptor KDR. Aktifasi KDR sendiri berujung pada mekanisme mobilisasi Ca+ intrasel, syarat bagi berbagai fungsi sel seperti pertumbuhan, transkripsi, dan juga kehidupan sel secara umum. Tidak adanya growth factor yang melekat pada reseptor dalam kondisi lapar serum mengakibatkan tidak adanya signal yang mendorong proliferasi sel dan/atau ekspresi protein-protein tertentu yang esensial dalam menjalankan fungsi sel yang dapat berujung pada kematian sel (Vaux & Korsmeyer 1999). Ketiadaan caraka seperti growth factor pada kondisi lapar serum tidak hanya mematikan beberapa proses seluler namun juga mengaktifasi ekspresi beberapa gen seperti gen sdr (starvation deprivation response) yang ekspresinya meningkat dalam kondisi lapar serum, namun menurun dengan adanya Epidermal growth factor-EGF (Gustincich & Schneider 1993) dan protein SRBC yang memiliki 43% kesamaan dengan sdr (Izumi et al. 1997). Protein SRBC dapat berikatan dengan protein kinase C dan memodifikasi (menghambat) fungsi PKC dalam perkembangan sel. Kondisi lapar serum juga dapat menstimulasi ekspresi ADP ribose sintetase yang menyebabkan tingginya kadar ADP-ribosa di dalam sel yang berujung pada fragmentasi DNA (Wielckens et al. 1983).
Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel Lapar sel mengakibatkan kondisi sel yang dapat berakibat pada kematian sel berupa apoptosis ataupun nekrosa yang didorong oleh berbagai caraka seperti Fas Ligand, Tumor Necrosing Factor (TnF) dan lain-lain yang memicu rangkaian reaksi yang berujung pada kematian sel.
Namun demikian, sel memiliki mekanisme
pertahanan hidup yang memungkinkan sel untuk menghambat reaksi berantai tadi dan mencegah kematian sel. Mekanisme pertahanan hidup sel ini dijelaskan oleh Suzuki et al. (2003) dan disajikan dalam Gambar 5. Berdasarkan diagram ini, maka ambang batas terjadinya kematian sel sangat ditentukan oleh kemampuan aktifitas enzim caspase-3 untuk memulai proses kematian sel. Aktifitas enzim ini juga dipengaruhi oleh aktifitas protein ARK5 yang menunjukkan bahwa peranan konsentrasi caraka
28 kematian sel dan juga caraka growth factor pemicu aktifitas ARK5 merupakan faktor penentu ambang batas kemampuan sel untuk bertahan hidup (mencegah kematian sel). Pemisahan sel (cell detachments) dan kematian sel didorong oleh melekatnya caraka kematian sel berupa TNF dan Fas Ligand. Ekspresi protein caspase yang merupakan komponen penting pemicu kematian sel dapat dihambat oleh aktifitas protein ARK5 yang diaktifasi melalui serangkaian reaksi yang diawali dengan melekatnya caraka berupa growh factor dan enzim kinase Fosfatidil Inositol 3 (PI3). Proses perbaikan sangat bergantung pada proses masuknya gula yang dibutuhkan oleh metabolisme sel ke dalam lingkungan intrasel. Proses ini dapat terjadi berkat adanya aktifitas protein GLUT2 dan SGLT 1 yang berperan dalam transport glukosa dengan bantuan ion Na+, serta protein GLUT5 yang berperan dalam transport fruktosa ke dalam sel (Harmon & Macleod 2001).
Setelah molekul
monosakarida masuk ke dalam lingkungan intrasel, maka aktifitas enzim heksokinase diperlukan untuk mengubah glukosa menjadi glukosa-6-fosfat melalui proses fosforilasi.
Pada hewan herbivora monosakarida yang didapat dari penguraian
polisakarida dari tumbuhan adalah fruktosa, oleh karena itu peranan protein transport GLUT5, GLUT2, dan berbagai enzim sangat diperlukan dalam proses transpor fruktosa ke dalam lingkungan intrasel serta merubah dan mengurai molekul fruktosa menjadi piruvat yang merupakan salah satu bahan baku yang diperlukan dalam siklus Krebs.
Selain interaksi ion-ion dan protein tertentu, dalam proses metabolisme
lainnya interaksi antar hormon merupakan kunci dari keseimbangan metabolisme karena hormon-hormon tersebut berinteraksi dan berfungsi sebagai pembawa pesan untuk memastikan proses perbaikan ataupun proses perkembangan sel dapat terus berlangsung. Hal ini terjadi dalam proses respons terhadap cekaman di mana hormon kortisol memainkan peran yang penting bagi hewan untuk bertahan dalam kondisi tersebut.
29 Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka Komunikasi antar sel dalam konteks lapar sel, kebutuhan hidup, dan kebutuhan sel untuk bertahan hidup difasilitasi oleh berbagai caraka berupa hormon seperti tiroksin (hormon tiroid – T4) dan hormon yang berhubungan dengan kondisi cekaman (adrenalin, kortisol). dalam
berbagai
proses
Hormon tiroid merupakan hormon yang berperan
metabolisme
terutama
yang
berhubungan
dengan
pertumbuhan. Hormon tiroid larut di dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel dan masuk ke dalam nukleus untuk mendorong transkripsi enzim-enzim yang bersifat oksidatif fosforilatif.
Enzim-enzim ini merupakan
komponen penting dalam pembentukan ATP, modal utama kehidupan sel dan menempatkan peranan hormon tiroksin sebagai suatu hormon yang esensial untuk kehidupan sel.
Gambar 5. Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar gula dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments), dan kematian sel. Sumber: Suzuki et al. (2003), Wu et al. (2001), dan Cavaliere et al. (2001).
Sementara itu kortisol merupakan hormon yang sekresinya diatur oleh corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipothalamus dan merupakan suatu respons terhadap cekaman metabolik seperti dalam kondisi lapar sel.
CRH
30 merupakan caraka yang melekat pada membran sel kelenjar adrenal memicu ekspresi dan sekresi hormon kortisol. Kortisol kemudian memainkan peranan penting dalam metabolisme lipid, suatu kondisi yang terpicu oleh kondisi lapar sel. Berbeda dengan tiroksin, hormon kortisol bukan merupakan kompenen esensial dalam kehidupan sel, melainkan bagian dari mekanisme yang diperlukan oleh sel untuk bertahan hidup dalam kondisi cekaman metabolik seperti kelaparan, keberadaan zat hepatotoksin, dan cekaman lainnya (Helen & Brindley 1978). Penelitian yang dilakukan oleh Garg & Chander (1997) menunjukkan tingginya kadar hormon kortisol pada plasma darah kerbau yang mengalami cekaman berupa torsio uteri.
Tingginya kadar hormon
kortisol diiringi dengan rendahnya kadar hormon tiroksin yang disebabkan oleh adanya efek inhibitori kortisol terhadap sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Keberadaan kortisol ini dikaitkan juga dengan adanya kondisi lapar akibat torsio uteri yang menyebabkan anoreksia pada hewan tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan pada hati tikus, Helen & Brindley (1978) menunjukkan bahwa kortisol mengakibatkan peningkatan pada biomasa liver, dan peningkatan trigliserida pada plasma darah. Peningkatan kadar trigliserida ini terjadi akibat peranan hormon kortisol dalam meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan esterifikasi asam lemak. Dalam penelitian yang sama hormon tiroksin juga berperan dalam peningkatan kadar trigliserida dalam darah dengan meningkatkan sintesa trigliserida dari gliserol fosfat. Kortisol juga memiliki peranan langsung maupun tidak langsung dalam meningkatkan aktifitas enzim fosfatida fosfohidrolase, enzim yang berperan dalam sintesa dan akumulasi trigliserida pada hati. Hormon kortisol –seperti yang ditunjukkan oleh Nessmith et al. (1983)memilki peranan dalam meningkatkan aktifitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase yang berperan dalam produksi NADPH suatu senyawa berenergi tinggi yang biasanya dihasilkan siklus Krebs. Kerja sinergi kortisol dan tiroksin menghasilkan keluaran berupa peningkatan aktifitas enzim yang disertai dengan peningkatan lipid pada hati. Bila bekerja sendirian tiroksin menghasilkan peningkatan lipid pada hati dan hanya menunjukkan peningkatan kecil pada aktifitas enzim, sementara kortisol sendiri hanya memberikan keluaran berupa peningkatan aktifitas enzim. Selain meningkatkan metabolisme lipid dalam kondisi lapar sel, kortisol dan tiroksin juga berperan dalam mendorong penguraian otot menjadi asam amino alanin, senyawa yang diperlukan untuk mempertahankan proses dalam siklus krebs saat kadar monosakarida menjadi
31 rendah dalam kondisi lapar sel. Sebaliknya, kedua hormon ini memiliki fungsi dalam meredam pelepasan asam amino glutamin dari sel otot tersebut (Karl et al. 1976). Interaksi antara sistem endokrin dengan sistem tanggap kebal telah dipelajari pada sistem endokrin hormon glukokortikoid (termasuk kortisol) yang memberikan pengaruh pada sistem tanggap kebal dengan berfungsi sebagai caraka untuk memicu perubahan pada fungsi sel-sel limfoid seperti sel T (Kelley 1988). Dalam keadaan lain hormon glukokortikoid memiliki kemampuan untuk memicu apoptosis pada sel leukimia yang berasal dari sel T dengan cara berperan dalam proses fragmentasi DNA (Bansal et al. 1991). Berbagai ancaman dan gangguan pada keseimbangan sel dapat terjadi akibat dorongan berbagai aspek seperti toksisitas, nutrisi, dan juga faktor cekaman yang kemudian memicu berbagai reaksi hormonal sebagai respon dan upaya sel untuk bertahan hidup. Salah satu ancaman yang mengancam kehidupan herbivora seperti badak adalah konsumsi antinutrisi yang bersifat toksin yang berasal dari tumbuhan jenis Lantana camara. Tumbuhan ini adalah salah satu jenis tumbuhan pakan badak yang mengandung toksin namun juga disukai oleh badak sebagai makanan sehari-hari dengan palatabilitas yang cukup tinggi.
Lantana camara sebagai Sumber Bahan Toksin/Antinutrisi Sebagai satwa liar yang sepenuhnya tergantung pada ketersediaan pakan di alam, badak jawa memakan sekitar 27 famili tumbuhan pakan yang ada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf 1970). Dengan ketersediaan pakan yang ada saat ini, dan ditunjang dengan pengamatan visual menggunakan kamera otomatis pada kondisi fisik badak jawa yang dapat dilihat dalam kondisi normal (tidak kurus), tidak ada indikasi bahwa satwa ini untuk mengalami malnutrisi. Namun demikian, keracunan akibat konsumsi jenis pakan dan anti nutrisi tertentu merupakan salah satu ancaman yang mungkin terjadi pada satwa liar seperti badak jawa. Pengamatan yang dilakukan di lapangan selama lima tahun terakhir menunjukkan adanya jenis tumbuhan yang dapat mendominasi tumbuhan pakan yang tersedia bagi badak jawa. Jenis tumbuhan Lantana camara merupakan salah satu tumbuhan dengan kandungan zat lantaden yang dikenal telah mengakibatkan keracunan pada berbagai hewan ternak (Mandial 2006; Sharma 2006). Secara kualitatif berdasarkan frekuensi ragutan yang ditemukan dalam sensus badak di Taman Nasional Ujung Kulon, tumbuhan ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimakan oleh badak (Sriyanto et
32 al. 1995). Tumbuhan Lantana camara memiliki ciri khas berupa bunga berwarna cerah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi – WWF Indonesia (2004) Tumbuhan ini merupakan tumbuhan invasif yang memiliki daya tahan lebih tinggi dibandingkan dengan berbagai jenis tumbuhan lainnya, dan berpotensi untuk mengakibatkan ketidakseimbangan di dalam ekosistem (Sharma et al. 2005). Sharma (2006) menyebutkan bahwa ekstraksi dan identifikasi Lantaden A (C32H44O5) dan Lantaden B (C33H48O5) sebagai komponen hepatotoksin yang ditemukan dalam tumbuhan Lantana camara telah dilakukan sejak tahun 1948.
Lantaden diserap
melalui saluran pencernaan, namun penyerapan paling optimal terjadi di usus halus. Keracunan lantaden terjadi dalam dua tahap yaitu tahap saluran pencernaan saat toksin keluar setelah tumbuhan dicerna, dan toksin tersebut diserap masuk ke peredaran darah, diikuti dengan tahap hepatik, toksin masuk ke hati dan disertai timbulnya gejala-gejala klinis seperti anoreksia, jaundice, dan fotosensitifitas (Mandial 2006). Keracunan lantaden disebabkan oleh konsumsi tumbuhan Lantana camara tanpa memerlukan metabolisme perantara, dan mengakibatkan kerusakan pada hati (Pass et al. 1979). Konsumsi daun Lantana kering sebanyak 4 g/kg berat badan setiap hari pada ruminansia kecil (kambing) selama 6 hari berturut-turut menyebabkan stasis pada rumen yang merupakan akibat dari menurunnya impuls syaraf karena kerusakan pada hati (Pass et al. 1979). Selain lantaden, tumbuhan
33 Lantana cammara juga mengandung zat-zat antinutrisi dari golongan triterpenoid dan flavonoid (Nayak et al. 2008).
Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa Dalam kajian-kajian biomedis, penggunaan hewan model lazim dilakukan untuk menganalogikan respons biologis pada manusia.
Dalam bidang biomedis
hewan, konsep pemilihan hewan model dapat diterapkan untuk melakukan analogi sistem biologis pada satwa langka tanpa harus mengorbankan dan/atau mengancam kehidupan satwa langka tersebut. Kaidah-kaidah pemilihan hewan model meliputi: ketersediaan, kemudahan-kemudahan (perawatan, transportasi, perizinan), kemiripan fisiologis, efisiensi biaya, dan yang terpenting kemiripan respons hewan model dan badak jawa terhadap parameter-parameter nutrisi, dan hormon cekaman.
Badak Sumatera (Dicerorhinus bicornis) Secara kekerabatan, badak sumatera dan badak jawa berada dalam famili yang sama yaitu Rhinocerotidae. Hal ini memberikan potensi bagi badak sumatra untuk menjadi analog yang tepat untuk badak jawa. Badak sumatera hidup secara soliter di ekosistem hutan hujan tropis (Strien 1986) dengan pakan alami yang terdiri dari 31 genera tumbuhan dari 13 famili (Strien 1974). Sama halnya dengan badak jawa, badak sumatera juga merupakan browser yang meragut tumbuhan pakan menggunakan bibir bagian atas. Secara anatomis, semua spesies badak merupakan hewan monogastrik dengan sistem pencernaan yang mengandalkan fermentasi dan penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989). Penyakit-penyakit seperti: dermatitis dan kecacingan merupakan kasus-kasus yang pernah terjadi pada badak sumatra baik di alam maupun di penangkaran. Penyakit dan/atau gejala klinis seperti ini merupakan hal yang dapat terjadi pada semua spesies badak yang hidup liar, dan berpotensi pula untuk terjadi pada badak jawa.
Berdasarkan kekerabatan yang dekat, kesamaan
tipologi habitat, kemiripan komposisi pakan, dan juga kemiripan kerentanan terhadap penyakit dan/atau gejala klinis yang bersumber dari nutrisi dan cekaman, maka penggunaan badak sumatra sebagai model untuk badak jawa kemungkinan besar akan memberikan hasil yang akurat.
34 Badak India (Rhinoceros unicornis) Berdasarkan filogram pada gambar 7 dapat dilihat bahwa salah satu kerabat dekat dari badak jawa adalah badak India yang dikenal juga sebagai Greater OneHorned Rhinoceros.
Studi yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) telah
menghasilkan suatu data fisiologi pencernaan tentang tingkat retensi dan penyerapan air serta nutrisi yang terjadi pada spesies badak yang berada di penangkaran. Atas dasar kekerabatan yang dekat, dan juga banyaknya informasi yang telah digali dari spesies badak ini, maka badak india merupakan hewan model yang cukup tepat bagi badak jawa untuk mempelajari dan membandingkan beberapa aspek fisiologi dan perilaku.
Kuda (Equus caballus) Berdasarkan telaah genetika dengan membandingkan urutan gen r12S RNA pada DNA mitokondria, tapir dan kuda termasuk kerabat dekat badak (Fernando et al. 2005) sebagaimana disajikan dalam Gambar 7.
Sebagai herbivora monogastrik,
anatomi sistem pencernaan kuda dan badak memiliki kesamaan dengan adanya sekum (Fowler & Miller 2003) yang berfungsi sebagai reservoir tempat bakteri yang membantu penguraian selulosa (komponen utama tumbuhan) sebagai sumber polisakarida bagi herbivora monogastrik (Raven & Johnson 1989).
Demikian pula
dengan kebutuhan makronutrien dan mineral, kuda dan badak memiliki kesamaan dengan perbedaan pada kebutuhan vitamin yang larut dalam lemak (Fowler & Miller 2003). Penelitian digesti yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) pada badak india (Rhinoceros unicornis) menajamkan kemiripan fisiologi pencernaan badak dan kuda pada tingkat retensi dan absorpsi nutrisi. Kuda bukan merupakan satwa dilindungi dan sudah dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, oleh karena itu, induksi stres dan toksisitas dapat dilakukan pada kuda tanpa menimbulkan implikasi dan ancaman bagi kelestarian satwa yang dilindungi.
Penggunaan kuda sebagai
hewan model untuk badak memenuhi kaidah pemilihan hewan model untuk hewan (orphan). Salah satu hal penting yang perlu dicermati dalam perbandingan ini adalah fakta bahwa palatabilitas pakan badak tidak sama dengan kuda, oleh karena itu penggunaan kuda sebagai model pencernaan untuk badak memerlukan pembuatan formulasi pakan khusus (ransum) untuk menjamin palatabilitas tinggi dan kualitas nutrisi yang memadai untuk kuda.
35
Gambar 7. Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan variasi pada DNA 12S RNA. Angka menunjukkan kedekatan kekerabatan berdasarkan perhitungan parsimoni maksimum. Sumber: Fernando et al. (2005)
Kuda dan badak diklasifikasikan dalam ordo yang sama yaitu Perissodactyla (hewan berkuku ganjil) dengan berbagai persamaan anatomis dan fisiologis. Seperti halnya badak, kuda merupakan hewan herbivora yang monogastrik. Komposisi darah kuda dan badak mengandung asam amino tirosin dalam bentuk bebas di dalam sel darah merah, serta memiliki antioksidan yang tinggi. Kedua hal ini menyebabkan kuda dan badak memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan aktifitas, bertahan terhadap penyakit, serta untuk bertahan hidup di lingkungan yang berat (Harley et al. 2004). Uji coba dengan tikus menunjukkan bahwa tyrosin berperan sebagai peredam stres dengan mempengaruhi proses biokimia dalam hippokampus (Hao et al. 2001).
36 Analogi Perbandingan Pemilihan hewan model sebagai pembanding untuk badak jawa dilakukan berdasarkan kesamaan-kesamaan fisiologis, anatomis, genetika, dan juga perilaku. Badak merupakan hewan monogastrik yang mengandalkan penguraian selulosa dari makanannya di sekum yang berada di bagian belakang (hindgut fermenter), dan oleh karena itu hewan model yang digunakan dalam kajian pakan harus juga merupakan hewan yang juga merupakan hindgut fermenter seperti badak. Clauss et al. (2005) menunjukkan bahwa kuda dan badak memiliki kemiripan dalam sistem pencernaan, termasuk karakteristik penyerapan nutrien. Kesamaan antar hewan model dipertegas dengan fakta bahwa hewan-hewan dalam ordo Perissodactyla (kuda dan badak) kerap menunjukkan gejala klinis yang serupa. Salah satu contoh kemiripan ini adalah gejala klinis yang dikenal dengan istilah kolik yang disebabkan oleh etiologi yang beragam (Chaffin & Cohen 1999), sementara kolik juga ditemukan pada kasus kematian badak di tahun 1982 (Strien 1982; WWF/IUCN 1982) dan kasus kematian di tahun 2003 di Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini menunjukkan bahwa secara klinis kedua spesies hewan ini memiliki persamaan, walaupun penyebab kolik pada kuda lebih banyak disebabkan karena faktor pemeliharaan, sementara risiko dan penyebab kolik pada badak yang hidup secara alami belum diketahui secara pasti sampai saat ini. Faktor komposisi pakan dan asupan antinutrisi pada hewan-hewan Perissodactyla merupakan aspek yang penting dan berpotensi untuk mengakibatkan perubahan fisiologis. Glade et al. (1984) dalam suatu eksperimen mencatat bahwa perubahan diet berupa komposisi kandungan energi dan protein mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol dalam serum yang merupakan karakteristik yang sama dengan respons hewan terhadap cekaman. Dalam aspek antinutrisi Sharma (2006) menyebutkan bahwa hepatotoksin lantaden dari Lantana camara dalam tingkat asupan tertentu dapat menyebabkan keracunan dengan gejala klinis berupa perubahan perilaku pada hewan ruminansia dan non-ruminansia termasuk kuda. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kuda merupakan hewan model responsif terhadap jenis-jenis cekaman yang dihadapi oleh badak di habitat alaminya terkait keterbatasan pakan dan air. Pemilihan kuda sebagai hewan model pembanding badak jawa untuk telaah diet dan dinamika hormon kortisol merupakan langkah yang logis dan dapat digunakan untuk memastikan bahwa keterbatasan pakan dan air
37 merupakan faktor cekaman yang memberikan respons berupa tingkat sekresi hormon kortisol dan perubahan perilaku akibat adanya cekaman tersebut. Tabel 1. Menunjukkan hasil studi komparatif berdasarkan informasi sekunder untuk menunjukkan kesesuaian penggunaan badak sumatra dan kuda sebagai hewan model untuk aspek medis konservasi badak jawa. Berdasarkan klaskifikasi ordo ketiga spesies hewan berada dalam ordo yang sama dengan sistem pencernaan yang sama (monogastrik dengan sekum).
Namun demikian kuda memiliki perbedaan
dengan badak dari aspek diet dan kebiasaan berkubang.
Tabel 1. Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang digunakan dalam penelitian (kuda dan badak sumatera). Hewan
Ordo
Diet
Sistem Pencernaan
Berkubang
Badak jawa
Perissodactyla
Semak (browsing)
Monogastrik
Ya
Badak sumatera
Perissodactyla
Semak (browsing)
Monogastrik
Ya
Badak india
Perissodactyla
Rumput dan semak
Monogastrik
Ya
Monogastrik
Tidak
(grazing)
Kuda
Perissodactyla
Rerumputan (grazing)
38 Daftar Pustaka
Allen CW, White CB,. 1998. Glucose modulates cell death due to normobaric hyproxic by maintaining cellular ATP. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 274:159-164 Bansal N, Houle A, Melnykovych G,. 1991. Apoptosis: mode of cell death induced in T Cell leukimia lines by dexamethasone and other agents. FASEB J. 5:211-216 Barja I, et al. 2007. Stress physiological response to tourist pressure in the wild population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and molecular biology. (104)3-5:136-142 Baron R. 2006. Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature clinical practice neurology. 2:95-106 Bennet RM,. 1999. Emerging Concepts in the Neurobiology of Chronic Pain: Evidence of Abnormal Sensory Processing in Fibromyalgia. Mayo Clin Proc;74:385-398 Berridge MJ,. 1984. Inositol Trisphosphate and Diacylglycerol as Second messengers. Biochem J 220: 345-360 Bruni JF, Hawkins RL, Yen SS,. 1982. Serotonergic Mechanism in the Control of Beta-endorphin and ACTH Release in Male Rats. Life Sci. 30(15): 12471254 Cameron HL, Perdue MH. 2005. Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function: Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology and experimental therapeutics Vol. 314, No. 1 Carlstead K, Brown JL,. 2005. Relationships between patterns of fecal corticoid excretion and behaviour, reproduction, and environemental factors in captive black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum) Rhinoceros. Zoo biology 24: 215-232 Cavaliere F, et al. 2001. Hypoglycaemia-induced cell death: features of neuroprotection by the P2 receptor antagonist basilen blue. Neurochemistry International Volume 38, Issue 3: 199-207 Chaffin MK, Cohen ND,. 1999. Diagnostic Assessment of Foals with Colic. Proceedings of the Annual Convention of the AAEP vol 45 Clausen B,. 1981. Survey For Trypanosomes in Black Rhinoceros (Diceros bicornis). Journal of Wildlife Diseases Vol. 17, No. 4, October, 1981
39 Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237 Corbett GB, Hill JE. 1992. The mammals of Indomalayan region: a systematic review. Natural History Museum Publications. Oxford University Press. Cranbrook E, Piper PJ,. 2007. Short Communications: Javan rhinoceros Rhinoceros sondaicus in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 2007 55(1): 217-220 Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD,. 2000. Emerging infectious diseases of wildlife –threats to biodiversity and humant health. Science 287: 443-449 Daszak P,. et al. 2004. Conservation Medicine and New Agenda for Newly Emerging Diseases. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1026: 1–11 Deem SL, et al. 2001. Conservation Medicine. Annals New York Academy of Sciences pp: 370-377 Dhabhar FS,. 2000. Acute stress enhances while chronic stress supresses skin immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of the New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation perspectives at the new millenium:876-893 Dyer J, et al. 2002. Molecular characterisation of carbohydrate digestion and absorption in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4):349358 Endo H, et al. 2009. The morphological basis of the armor-like folded skin of the greater Indian rhinoceros as a thermoregulator. Mammal study 34: 195-200 Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWFColumbia University Figueiredo HF, et al. 2003. Stress integration after acute and chronic predator stress: Differential activation of central stress circuitry and sensitization of th ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12): 5249-5258 Firdaus Y,. 2008. Laporan Climate Modelling. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Badak Jawa. WWF Indonesia – Program Iklim dan Energi Fowler ME, Miller RE,. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine 5 th edition. Saunder Publishing, St Louis Missouri. p: 559.
40 Galisteo ML, et al. 1996. The Adaptor protein Nck Links receptor tyrosine kinases with Serine-Threonin Kinase Pak1. The Journal of Biological Chemistry 271(35): 20997-2100 Gandolf AR, Willis AM, Blumer ES, Atkinson MW,. 1999. Management of a Melting Corneal Ulcer in a Greater One-horned Rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Proceedings American Associations of Zoo Veterinarians Garg SL, Chander S,. 1997. Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in Buffaloes with uterine Torsions. Buffalo Bullettin Vol 16(4): 75-76 Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ,. 1984. Hormonal Responses to High and Low Planes of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci 1984. 59:658665 Gustincich S, Schenider C,. 1993. Serum Deprivation Response Gene Is Induced by Serum Starvation but not by contact Inhibition. Cell Growth and Differentiation vol 4: 753-760 Hao S, Avraham Y, Bonne O, Berry EM,. 2001. Separation-induced body weight loss, impairment in alternation behavior, and autonomic tone: effects of tyrosine. Pharmacology Biochemistry and Behavior Volume 68, Issue 2 Hariyadi ARS, Santoso A, Setiawan R, Priambudi A,. 2008. Automatic Camera Survey for Monitoring Reproductive Pattern and Behaviour of Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Proceeding of the 3rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medicine and Conservation (AZWMC) Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B,. 2004. Red blood cell metabolism shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel role in general antioxidant metabolism. Animals and Environments. Proceedings of the Third International Conference of Comparative Physiology and Biochemistry. Pp 334-340 Harmon DL, MacLeod KR,. 2001. Glucose Uptake and Regulation By Intestinal Tissues: Implications and whole-body Energetics. J. Anim. Sci. 79(E. Suppl.):E59–E72 Harvell CD, et al. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296(5576):2158-2162 Hatt JM, Wenker C, Castell J, Clauss M,. 2004. Dietary dan Veterinary Management of a Lingual Abscess in a Geriatric Captive Black Rhino (Diceros bicornis) With Iron storage Disease. European Association of Zoo and Wildlife Veterinarians (EAZWV) 5 th Scientific Meeting. EbeltoftDenmark
41 Helen PG, Brindley DN,. 1978. The Effects of Cortisol, Corticotropin, and thyroxine on the synthesis of Glycerolipids and on Phospatidae Phophohydrolase activity in Rat Liver. Biochem J. 176: 777-784 Hommel PWFM, 1987. Landscape ecology of Ujung Kulon (West java). Disertasi universitas Wageningen, Belanda. Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon the land of the last javan rhinoceros. E.J. brills. Leiden, Netherlands Huxman TE, Scott RL., 2007. Climate Change, Water Dynamics, and Landscape Water Balance. Southwest Hydrology. January-February IRF-WWF. 2011. Vietnam’s javan rhino now extinct. WWW.panda.org. [9 Juni 2012] Izumi Y, et al. 1997. A protein Kinase Cδ binding Protein SRBC whose expression is Induced by Serum Starvation. The Journal of Biological Chemistry Vol 272(11): 7381-7389 Jacobsen J,. 2005. A Review of Rhino Foot Problem. Fort Worth Zoo Jessup DA, et al. 1992. Retrospective Evaluation of Leptospirosis In Free-ranging and Captive Black Rhinoceros (Diceros bicornis) by Microscopic Agglutination Titers dan Fluorescence Antibody Testing. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4): 401-408 Juster RP, McEwen BS, Lupien SJ. 2009. Allostatic load biomarkers of chronic stress and impact on helath and cognition. Neuroscience and biobehavioural reviews: 1-15 Jolles J, et al. 1980. Modulation of brain Phosphoinotiside metabolism by ACTHsensitive Protein Phosporylation. Nature vol 289: 623-625 Jonyo JF,. 2005. Doctoring Rhinos: Diseases seen in Kenya Kanemi O, et al. 2005. Acute stress reduces intraprenchymal lung natural killer cells via beta-adrenergic stimulation. Clinical experimental immunology 139(1): 25-34 Karl IE, Garber AJ, Kipnis DM,. 1976. Alanine and Glutamine Sythesis and Release from Skeletal Muscle. The Journal of biological Chemistry 251(3): 844-850 Kelley KW,. 1998. Cross-talk between the Immune and Endocrine Systems, J Anim Sci. 66:2095-2108 Kloss CB,. 1927. Further records of the one-horned rhinoceros in the Malay States. Journ. Fed. Malay States Mus. XIII, 1927
42 Kock N, et al. 1991. Coronary Artery Aneurism In Two Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 22(3): 355-358 Kock ND, et al. 1992. Serological Evidence for Cowdria Ruminantium Infection in Free-ranging Black (Diceros bicornis) dan White (Ceratotherium simum) Rhinoceroses in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4): 409-413 Kock ND,. 1996. Myocardial Purkinje Degeneration and Necrosis with Fibrosis in Free-Ranging Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of Wildlife Diseases, :32(2), 1996, pp :367-369 Lekagul , McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbhath Co. Bangkok Mace OJ, Afflek J, Patel N, Kellet GL,. 2007. Sweet taste recpetors in rats small intestines stimulate glucose absorption through apical GLUT2. Journal of Physiology 582.1:379-392 Mandial RK, 2006. An Insight into the Toxicological and Medicinal Properties of Lantana camara plant. College of Veterinary and Animal Science Palampur Himachal Pradesh Martin PS, Stuart AJ,. 1995. Mammoth extinction: two continents and Wrangel island. Radiocarbon Volume 37 no.1: 7-10. McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantanapoisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313 Melia KL, Duman RS,. 1991. Involvement of corticotropin –releasing factor in chronic stress regulation of the brain noradrenergic system. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. Vol 88: 8382-8386 Neurobiology Menargues A, Urios V, Mauri M,. 2008. Welfare assessments of captive asian elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis) using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): 305-312 Morilak DA, et al. 2005. Role of brain norepinephrine to behavioural response to stress. Progress in neuro-psychopharmacology & biological psychiatry 29:1214-1224. Munson L, Koehler JW, Wikonson JE, Miller RE,. 1998. Vesicular and Ulcerative Dermatopathy resembling Superficial Necrotic Dermatitis in Captive Black Rhinoceroses (Diceros bicornis). Vet Pathol 35: 31-42 Nayak BS, Raju SS, Rasumbhag A. 2008. Investigation of wound healing activity of Lantana Camara L. In Sprague dawley Rats using burn wound model. International Journal of Applied Research in Natural Products Vol 1(1): 1519
43 Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD,. 1983. Interaction of Glucocorticoid and thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: 22602265 Newton FRS,. March 17 1874. The Secretary on Addition to the menagerie.
PHKA. 2007. Strategi dan rencana aksi konservasi badak Indonesia. Direktorat jendral Perlindungan hutan dan kelestarian Alam, kementerian kehutanan Republik Indonesia. Paglia DE, Radcliffe RW,. 2000. Anthracycline Cardiotoxicity in a Black Rhinoceros (Diceros bicornis): Evidence for Impaired Antioxidant Capacity Compounded by Iron Overload. Vet Pathol 37:86–88 Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ,. 1979. Lantaden A toxicity in sheep. A model for cholestasis. Pathology. 1979 Jan;11(1):89-94 Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia. Polet G, et al. 1999. The javan rhinos, Rhinoceros sondaicus annamiticus, of Cat Tien National Park, Vietnam: Current status and management implications. Pachyderm 27:34-48 Poole CM, Duckworth JW,. 2005. A documented 20th century record of Javan rhino Rhinoceros sondaicus from Cambodia. Mammalia 69(3-4): 443-444 Pough FH, Heisser JB, McFarland WN,. 1989. Vertebrate Life – 3rd edition. MacMillan Publishing Company, New York p: 744 Putro HR,. 1997. Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 : Hal.17-40 Raven PH, Johnson GB,. 1989. Biology – Second Edition. Times Mirror/Mosby College Publishing. St Louis Missouri. p: 981 Reynolds RJ, 1961. Javan Rhino in The Berlin zoo. International Zoo news 8(3): June –July 1961 Rookmaaker K,. 2005. A Javan Rhinoceros, Rhinoceros sondaicus,in Bali in 1839. Zool Garten N. F. 75 (2005) 2, 5. 129-131 Rookmaaker LC, 1982. The type locality of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Sonderdrudre aus Zeitschrifl f. Siugetierkunde Bd. 47 (1982), H. 6, S. 381-382 Sanborn ER,. 1908. Interesting Animal Surgery. Zoological Society Bullettin no 30. 1908
44
Scheltema JF,. 1912. Peeps at Many lands – Java. Adam & Charles Black. London Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME,. 2007. Serum cortisol and thyroxine concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10: 1534-1539 Sharma S, Sharma O, Singh B, Bhat TK,. 2000. Biotransformation of lantadenes, the pentacyclic triterpenoid hepatotoxins of lantana plant, in guinea pig. Toxicon 38(9): 1191-1202 Sharma GP, Ragubhanshi AS, Singh JS,. 2005. Lantana invasion: an overview. Weed biology and management (5)4: 157-165 Sharma OP, 2006. An Overview of the Research on the Hepatotoxic Plant Lantana Camara. Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA,. 2009. Validation of a radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology 311A:496-503 Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium Strien NJ,. 1974. Dicerorhinus sumatrensis (Fisher). The Sumatran or two-horned Asiatic rhinoceros: a study of literature. Medelebingen Landbouwwhogeschool, Wageningen, Netherland Strien NJ, 1982. Report on short mission to Ujung Kulon National Park, Java Indonesia inconnectionwith the reported deaths of the five Javan rhinos. Laporan kegiatan WWF. Strien NJ,. 1986. The Sumatran rhinoceros – Dicerorhinus sumatrensis (Fischer, 1814) – in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia: its distribution, ecology, and conservation. Verlag Paul Parey, Hamburg Stuart G, Nelson S, Sakmann B, Hausser M,.1997. Action potential initiation and backpropagation in neurons of the mammalian CNS. Trends in neuroscience 20:125-131 Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto. 2006. Physiological Status of Sheep Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone. Supporting papers Proceedings of the 4th ISTAP “Animal Production and Sustainable Agriculture in the Tropic”. Faculty of Animal Science, Gajah Mada University.
45 Suzuki A, et al. 2003. Induction of cell–cell detachment during glucose starvation through F-actin conversion by SNARK, the fourth member of the AMPactivated protein kinase catalytic subunit family. Biochemical and Biophysical Research Communications Volume 311(1): 156-161 Suzuki A, et al. 2003. ARK5 suppresses the cell death induced by nutrient starvation and death receptors via inhibition of caspase 8 activation, but not by chemotherapeutic agents or UV irradiation. Oncogene 22: 6177–6182 Tiuria R, et al. 2006. Identification of endoparasites from faeces of Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Proceedings of AZWMP 2006 Chulalongkorn Uni. Fac. Of Vet. Sc., Bangkok, Thailand Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M,. 2002. Remote assessment of stress in white rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine 33(3): 214-221 Vaux DL, Korsmeyer SJ,. 1999. Cell Death in Development. Cell vol 96: 245-254 Völlm J, et al. 2000. A case of extended exsudative dermatitis in an Indian rhino. European Association of zoo and wildlife veterinarians (EAZWV) Paris, France: 205-208 Walcott AS,. 1914. Java and Her Neighbours. A Traveler’s note in Java, Celebes, the Molluccas, and Sumatra. GP Putnams and Sons. The knickerbockers press. New York & London Wasser SK, et al. 2000. A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative endocrinology 120:260-275 Wielckens K, et al. 1983. Stimulation of Poly(ADP-ribosyl)ation during Erlich Ascites Tumor Cell “Starvation” and Suppression of Concomitant DNA Fragmentation by Benzamide. The Journal of Biological Chemistry Vol 258(7): 4098-4104 Williams JW, et al. 2002. Rapid and widespread vegetation responses to past climate change in the North Atlantic region. Geology vol 30; no. 11; p. 971–974 Woolf CJ, Mannion RJ,. 1999. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanism, and management. Lancet 353:1959-64 Wu P, Peters JM, Harris RA,. 2001. Adaptive Increase in Pyruvate Dehydrogenase Kinase 4 During Starvation is mediated by Peroxisome Proliferator-activated Receptor α. Biochemical and Biophysical Research Communication. 287(2): 391-396
46 WWF-IUCN. 1982. Mystery of Dead Javan rhinos. The Environmentalist vol. 2 no. 3 Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ,. 1996. Angiotensi type II receptor mediates programmed cell death. Proc Acad Sci. USA. Cell Biology Vol 93: 156-160 Yakel JL, et al. 1997. Calcineurin regulation of synaptic function: from ion channels to transmitter release and gene transcription. Trends in Pharmacological Sciences. Volume 18, Issue 4: 124-134 YMR [Yayasan Mitra Rhino]. 2004. Implementasi monitoring habitat badak jawa dengan menekan laju invasi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional Ujung Kulon. PHKA-WWF-YMR Zeng H, Dvorak HF, Mukhopadhyay D,. 2001. Vascular Permeability Factor (VPF)/Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Receptor-1 Downmodulates VPF/VEGF Receptor-2-mediated Endothelial Cell Proliferation, but Not Migration, through Phosphatidylinositol 3-Kinase-dependent Pathways. The Journal of Biological Chemistry 270(29): 26969-26979