TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan (1999) menetapkan kebijaksanaan pembangunan dan pengelolaan taman nasional sebagai berikut: 1.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayti dan ekosistemnya.
2.
Taman Nasional dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
3.
Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Zona inti adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan pengunjung, dan zona lain adalah zona di luar tertentu seperti zona rimba dan zona pemanfaatan tradisional.
4.
Kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan taman nasional meliputi penelitian dan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak mengurangi fungsi pokok dari kawasan taman nasional tersebut.
5.
Kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat dikembangkan secara terbatas pada zona pemanfaatan taman nasional, serta pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan pariwisata alam kepada BUMN/BUMD atau swasta atau 8
koperasi selama jangka waktu tiga puluh tahun untuk penyediaan sarana dan prasarana pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional berdasarkan Rencana Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional. 6.
Pembangunan dan pengelolaan taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan serta saling terkait dan menunjang dengan kepentingan pembangunan wilayah di sekitarnya (Integrated Conservation and Development Program), sehingga mampu menjamin upaya konservasi sumber daya alam hayati dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
7.
Kewenangan pembangunan dan pengelolaan di dalam kawasan Taman Nasional sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan.
Sementara itu kegiatan pembangunan dan
pengelolaan di luar kawasan taman nasional dan berkaitan dengan kepentingan masyarakat berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Dinas/Instansi terkait.
Aktifitas yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional Masyarakat boleh melakukan aktifitas di taman nasional sepanjang sesuai dengan tujuan umum yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 3, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Selanjutnya,
aktifitas masyarakat yang dilakukan juga harus sesuai dengan fungsi taman nasional yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 4 yaitu, a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan kawasan hutan ditegaskan kembali dalam UU No. 41 tahun 1999 Pasal 24 dan PP 34 tahun 2002 Pasal 16 yang menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan 9
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Lebih lanjut dijelaskan tentang pemanfaatan apa saja yang boleh dilakukan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 26 yang boleh dilakukan adalah pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Selanjutnya UU No. 5 tahun 1990 Pasal 31 menambahkan kegiatan lain yang boleh dilakukan di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yaitu kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam dan harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Khusus untuk kegiatan wisata, UU No. 5 tahun 1990 Pasal 34 (3) menjelaskan bahwa di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
Untuk
kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. Di sisi lain, ada pula kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan taman nasional, seperti disebutkan dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 33, yaitu: 1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. 2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. 3. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
10
Secara lebih detail, kegiatan yang boleh dilakukan dan dilarang di dalam kawasan taman nasional diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan (Tabel 2). Tabel 2. Kegiatan yang dilarang dan boleh dilakukan di Taman Nasional No. 1 2 3 4
Kegiatan Menanam tanaman pangan Menanam pohon
Dilarang/tidak Dilarang
Pemukiman Penebangan pohon untuk komersial Pengambilan herba dan kayu bakar
dilarang dilarang
Tidak
Keterangan PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2)
PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 5 tidak PP 68 thn 1998 Pasal 49, 21, 22, 23, 50, 25, 28, 23, 51, 25, 26, 27, 28, 23 6 Berburu dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 7 Menangkap ikan dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 8 Berkemah tidak • UU No. 5 thn 1990 Pasal 34 • PP 16 thn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a) • PP 68 thn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23 9 Koleksi ilmiah dengan ijin tidak • UU RI No.5 Thn 1990 Pasal 1 (14), Pasal 30 • PP 68 thn 1998 Pasal 39, 40. 41, 48 (1, 2), 21, 22, 23 10 Pengelolaan habitat tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 11 Introduksi non-eksotik tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 12 Pengambilan rotan dan Dilarang/kasuistik PP 68 thn 1998 Pasal 44 kayu dengan ijin Ayat 3 13 Eksplorasi mineral tidak PP 68 thn 1998 Pasal 39, 40, 41, 49, 59, 51 tujuan penelitian. 14 Pengendalian margasatwa Tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 15 Pemanfaatan oleh Tidak • UU No. 5 thn 1990 Pasal pengunjung 34 • PP 16 thn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a) • PP 68 thn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23 16 Introduksi eksotik dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) Sumber : Sumardja, et al. 1984; UU No. 5/ 1990; PP No. 68/1998; dan PP No. 16/1994 11
Konflik Pemanfaatan Lahan di Kawasan Taman Nasional Fazriyas (1998) menyebutkan bahwa program penanganan perladangan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat melalui relokasi para peladang kurang berhasil karena petani peladang yang direlokasi banyak kembali menggarap lahan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat. Mereka menggarap lahan menjadi kebun/ladang dan bahkan menjadi pemukiman, sehingga mengakibatkan sering terjadinya benturan antara pengelola TN Kerinci Seblat dengan masyarakat. Beberapa alasan petani kembali menggarap lahan di dalam kawasan adalah: •
Petani merasa terpaksa untuk melakukan perladangan karena tidak memiliki lahan usaha tani di luar TN Kerinci Seblat. Kalaupun ada sangat kecil.
•
Menganggap bahwa lahan tersebut telah lama digarap oleh para orang tua (warisan) sebelum adanya TN Kerinci Seblat.
•
Lahan yang dikelola telah jadi milik karena ladang dibeli dari pihak lain.
•
Untuk menambah pendapatan keluarga Permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan penduduk sekitar
kawasan menurut Soekmadi (1995) dalam Prabandari (2001) biasanya berupa (a) pemukiman penduduk di dalam kawasan, (b) penggunaan kawasan untuk kepentingan lain, (c) penggembalaan ternak dalam kawasan, dan (d) pengambilan/perburuan hasil hutan secara tidak terkendali. Selanjutnya Soekmadi (1995) dalam Prabandari (2001) menyebutkan tiga faktor utama yang menyebabkan interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi adalah (a) tingkat pendapatan penduduk sekitar kawasan yang umumnya di bawah standar layak hidup, (b) latar belakang pendidikan yang merupakan dasar pola pikir konservatif-produktif masih rendah, (c) rendahnya tingkat pemilikan/penguasaan lahan per kapita akibat sistem “bagi waris” dan pertanian kurang intensif. Muda (2005) memberi contoh konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TN Kelimutu di NTT. Sejak ditetapkan TN Kelimutu pada tahun 1997, konflik sering terjadi, seperti (a) klaim kepemilikan lahan oleh
12
masyarakat adat, (b) penyerobotan lahan, (c) penebangan liar, (d) perladangan berpindah, (e) kebakaran, (f) pembangunan jalan, dan (g) pencabutan pal batas. Mulyani (1997) menyatakan bahwa hambatan paling serius dalam pendirian suatu taman nasional dan kawasan konservasi pada umumnya adalah timbulnya konflik dengan penduduk lokal karena penduduk lokal yang umumnya tergolong miskin kehilangan akses atas sumberdaya hutan yang sebelumnya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebihlebih bila pemilikan tanah di dalam kawasan dikuasai oleh pemilikan adat (suku).
Undang-undang, peraturan, kegiatan patroli atau penataan batas
seringkali bukan merupakan penghalang bagi penduduk untuk melakukan aktifitasnya di dalam kawasan. Mulyani (1997) dalam penelitiannya di TN Siberut menyatakan bahwa sebanyak 73.33% responden telah mengetahui TN Siberut, namun kebanyakan (90.09%) tidak tahu tujuan taman nasional. Mereka beranggapan bahwa hutan yang sekarang statusnya menjadi taman nasional adalah merupakan hutan nenek moyang mereka yang boleh dimanfaatkan untuk kepentingan hidup (56.67%), merupakan tempat mata pencaharian mereka (36.67%) misal untuk mengumpulkan rotan, dan mempunyai fungsi perlindungan dan tata air (6.67%).
Oleh karena itu tidak heran apabila hampir semua responden
(96.67%) mengatakan perlu memelihara hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Dan apabila dilihat dari segi preferensi masyarakat, maka sebanyak 80% responden tidak mengingkan untuk meninggalkan tempat tinggalnya saat ini, walaupun sudah menjadi taman nasional.
Solusi yang Dilakukan Solusi yang dikembangkan di beberapa taman nasional pada umumnya bertujuan untuk mengalihkan tekanan masyarakat terhadap taman nasional atau mengurangi ketergantungan masyarakat ke dalam taman nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Prabandari (2001), yang menyatakan bahwa sebagai upaya untuk menjembatani kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi, pemerintah telah membuat program pembinaan daerah penyangga. Tujuan program ini adalah 13
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan di kawasan konservasi, dengan cara meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Muda (2005) memberi contoh solusi atas konflik di TN Kelimutu, yaitu (a) sosialisasi akan keberadaan dan fungsi taman nasional, (b) koordinasi dengan instansi terkait lainnya, (c) penyuluhan, (d) diselesaikan dengan sumpah adat dan pelaku membuat surat pernyataan, (e) pal batas ditanam kembali, (f) pembongkaran pondok milik petani, dan (g) barang temuan diselamatkan untuk diselesaikan lebih lanjut melalui proses hukum. Sementara itu, solusi yang dilakukan oleh pengelola TN Kerinci Seblat menurut Fazriyas (1998) adalah relokasi petani ke luar taman nasional. Namun mereka kembali lagi berladang di TN Kerinci Seblat. Solusi
lain
dilakukan
melalui
pendekatan
ICDP
(Integrated
Conservation and Development Program). Menurut oleh Wells, Hanah dan Brandon (1992) komponen utama ICDP terdiri atas tiga, yaitu (a) pengelolaan taman nasional (inventarisasi dan monitoring sumberdaya biologi, patroli, penyediaan fasilitas, infrastruktur, penelitian, pendidikan konservasi), (b) kawasan penyangga (kegiatan yang mendatangkan keuntungan biologi dan sosial ekonomi), dan (c) pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar taman nasional (meningkatkan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja baru, penyediaan sumberdaya lain atau pelayanan sosial dan pengembangan wisata alam, pembangunan sarana jalan untuk penyediaan akses pasar. Kebijakan pemerintah pusat yang dinyatakan oleh Fathoni (2005) dalam Sarasehan Nasional Konservasi terkait dengan solusi atas konflik di taman nasional adalah mengembangkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan petugas taman nasional. Untuk itu akan dilakukan empat program yaitu (a) menyusun rencana detail pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga, (b) mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia yang profesional
untuk
melakukan
proses
pemberdayaan
masyarakat,
(c)
meningkatkan income dan kesejahteraan masyarakat di daerah penyangga, (d) meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi. 14
Mustafa (2002) menyatakan bahwa tercapainya resolusi konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi salah satunya ditandai dengan terbukanya ruang atau akses kepada komunitas-komunitas lokal di sekitar kawasan, atau dibukanya ruang partisipasi yang mengarah pada perbaikan taraf hidup komunitas. Adanya pengakuan hak kelola masyarakat untuk ikut mengelola kawasan bisa diukur dengan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam pengelolaan kawasan yang dalam perjalanan waktu jumlah individu dan kelompoknya semakin membesar. Mustafa (2002) memberi contoh resolusi konflik yang dilakukan di TN Meru Betiri Jawa Timur melalui kesepakatan aturan main yang diatur dalam perjanjian kerjasama antara pengelola TN Meru Betiri dengan masyarakat lokal. Kesepakatan tsb. cukup ditaati oleh masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh (a) pendekatan yang digunakan untuk tercapainya normanorma kontrak adalah partisipatif dengan melibatkan beragam stakeholders, (b) adanya harapan manfaat ke depan dari semua stakeholders yang terlibat dalam kesepakatan tersebut untuk mencapai kondisi yang lebih baik jika normanorma kontrak tersebut bisa tercapai, dan (c) adanya program pemberdayaan dari pihak pendamping yang berupaya agar tujuan membantu kehidupan ekonomi masyarakat miskin dan tujuan konservasi kepentingan ekologis yang berdimensi jangka panjang bisa berjalan selaras. Suraji (2003) yang melakukan penelitian Taman Hutan Raya Gunung Betung Lampung menyatakan bahwa keberadaan kebun campur dalam kawasan hutan tidak semata-mata kesalahan masyarakat, sebab masyarakat sudah ada sebelum berbagai kebijakan terhadap kawasan diberlakukan. Kenyatan bahwa Register 19 adalah Taman Hutan Raya perlu dijaga kelestariannya. pengelolaan
Pembatasan areal lahan garapan dengan kepastian ijin mampu
meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
dan
mempengaruhi pola perencanaan lahan yang dilakukan.
Kesenjangan antara Konflik dengan Solusi Konflik yang terjadi di kawasan taman nasional terutama menyangkut tentang
pemanfaatan
lahan,
seperti
untuk
perladangan,
pemukiman, 15
kepentingan adat, pembukaan jalan, dsb. Salah satu konflik yang menarik untuk menjadi masalah penelitian adalah konflik pemanfaatan lahan untuk kepentingan perladangan dalam rangka membangun agroforestri.
Banyak
contoh agroforestri yang dikemukakan menunjukkan adanya kesejalanan antara praktek agroforestri dengan asas-asas konservasi. Di sisi lain, pengembangan agroforestri menghadapi kendala ketidak jelasan hak akses, kelola, dan kontrol terhadap agroforestri yang dikembangkan. Oleh karena ketidak jelasan hakhak tsb. menyangkut masalah tenurial system, maka solusi utama yang harus dikembangkan adalah memperjelas hak-hak tsb. Sayangnya, masih sedikit sekali contoh-contoh penyelesaian konflik atas lahan di taman nasional, melalui penyusunan kesepakatan kerjasama yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat dan pengelola taman nasional. Pada umumnya solusi yang dilakukan adalah melalui pengembangan kegiatan ekonomi di luar taman nasional atau di zona penyangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap taman nasional.
Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan ada tiga hal yang melatari munculnya kebutuhan untuk bermitra, bekerja sama atau berkolaborasi dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia, yaitu: 1.
Pengelolaan taman nasional yang cenderung soliter telah menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Rata-rata pengelola di lapangan
menjustifikasi buruknya prestasi pengelolaan kawasan dengan alasan keterbatasaan dan kekurangan sumberdaya (man, money, materials, methods) sehingga sangat tidak mungkin untuk membangun dan mengoperasikan sebuah bentuk pengelolaan yang ideal. Dari alasan ini, muncul kebutuhan dari pengelola untuk membangun jaringan kerjasama agar kendala kekurangan sumberdaya tersebut dapat diatasi melalui kontribusi pihak-pihak lain. 2.
Konflik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir banyak terjadi karena dirangsang oleh meningkatnya kecerdasan dan keberanian arus bawah 16
untuk memperjuangkan harapan-harapannya, yang pada akhirnya direspon oleh pengelola dengan membuka ruang-ruang akses dan peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Dari situasi ini kebutuhan tentang kemitraan atau kolaborasi mulai dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi alat peredam konflik. 3.
Falsafah pengetahuan pengelolaan sumberdaya alam menyebutkan bahwa informasi dan pengetahuan sumberdaya ekosistem tidak didominasi oleh satu pihak saja tetapi tersebar di berbagai pihak. Pengetahuan ini terutama dimiliki oleh masyarakat yang telah lama hidup di dalam dan di sekitar kawasan, para professional yang membawa pesan-pesan ilmiahnya, pengelola yang telah berpengalaman tentang masalah-masala pengelolaan, dan lain-lain.
Idealnya, dalam sebuah manajemen sumberdaya alam,
kelengkapan informasi dan pengetahuan tentang aset dan aspek-aspek lain yang mempengaruhinya adalah sangat vital, sehingga perlu ada proses penggabungan pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan cara mengajak para pihak pemegang pengetahuan untuk sama-sama terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, sumberdaya alam selalu menjadi property yang disengketakan karena banyak pihak yang bergantung pada kemanfaatannya. 4.
Pengetahuan dan teori pengelolaan sumberdaya milik publik sangat memesankan pentingnya kemitraan, walaupun bentuknya nanti akan bermacam-macam, tergantung situasi dan kondisi setiap lapangan yang berbeda-beda. Posisi konflik di dalam pengetahuan tersebut tidak lebih dari
sekedar
implikasi
atas
tidak
terpraktekkannya
pesan-pesan
pengetahuan tentang keharusan untuk bekerjasama antar pemegang pengetahuan dan pemangku kepentingan. Holling (1978) dan Lee (1993) dalam Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan agar setiap aksi pengelolaan memperhatikan dua dimensi penting, yaitu dimensi pengelolaan adaptif dan dimensi politik. Dimensi pengelolaan adaptif mengharuskan kemitraan dalam pengelolaan berjalan layaknya uji coba yang dilakukan secara terus-menerus dan mengandalkan perubahan dan pengalaman-pengalaman baru yang muncul selama proses berlangsung sebagai 17
aset untuk memperbaiki perjalanan selanjutnya. Sementara dimensi politik mengharuskan segala keputusan yang diambil dalam kerangka pengelolaan adaptif didasari oleh kesepakatan-kesepakatan banyak pihak yang terlibat melalui analisis bersama terhadap berbagai faktor dan gejala-gejala baru yang muncul.
Dimensi politik juga menjaga agar tidak ada kesenjangan antara
unsur-unsur legal dengan situasi aktualnya. Sebenarnya gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah berjalan sebelum tahun 2005. Dalam Saresehan Nasional Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia yang diadakan pada bulan Agustus 2005, telah diidentifikasi 47 gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional yang terdistribusi pada 37 kawasan Taman Nasional (Nugroho, 2005). Sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah memulai inisiatif Taman Nasional Model, dengan kolaborasi sebagai salah satu komponen utama dari Taman Nasional Model (Fathoni, 2005). Namun demikian, kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional masih dianggap tidak optimal karena alasan-alasan (1) belum terencana secara komprehensif walaupun telah tersusun Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, (2) kolaborasi yang efektif dan efisien dalam pengelolaan Taman Nasional belum dipahami oleh pengelola maupun para pihak yang lain, (3) belum didasarkan pada collaborative planning sehingga setiap pihak berpikir dan bekerja berdasarkan institusinya masing-masing, (4) sumberdaya yang meliputi “4m” yaitu man (sumberdaya manusia), money (anggaran/dana), material (peralatan), dan method (metode/cara) selain belum memadai juga sangat tidak terintegrasi dengan baik .
Perlu digaris bawahi bahwa sumberdaya yang
dibutuhkan tersebut tidak seluruhnya dimiliki oleh Departemen Kehutanan, tetapi tersebar di berbagai pihak seperti LSM, penyandang dana, Pemerintah Daerah, dan bahkan swasta. Oleh karena itu kemitraan atau kolaborasi adalah keniscayaan dalam inisiasi Taman Nasional Model (Fathoni, 2005).
18