9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional Taman Nasional merupakan kawasan konservasi yang menurut kategori protected area IUCN (1994) termasuk dalam kategori II. Pengertian taman nasional berdasarkan beberapa pustaka antara lain: a). Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi ((Sekditjen PHKA 2007b); b). Kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi objek rekreasi yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon et.al. 1993); c). Areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemukiman (pendudukan lahan oleh masyarakat); spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan yang tinggi (IUCN 1994). Berdasarkan definisi di atas, terdapat beberapa kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan pada taman nasional.
Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian
karena beberapa kegiatan mempunyai peluang tumpang tindih (overlap) ruang seperti pariwisata dan kegiatan budidaya walaupun harus dilakukan secara terbatas. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh lanjutan dari sisi ekonomis, budaya, maupun ekologis (lingkungan). Menurut
Alikodra
(1987)
tujuan
pengelolaan
taman
nasional
dikelompokkan menjadi empat aspek utama yaitu konservasi, penelitian, pendidikan dan kepariwisataan. Keempat aspek tersebut harus memperhatikan kepentingan masyarakat suku asli yang ada di dalam maupun di sekitar taman nasional. Dengan demikian maka sistem taman nasional memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan sistem kawasan konservasi lainnya yakni dibentuk untuk kepentingan masyarakat, konsep pelestarian didasarkan atas perlindungan ekosistem sehingga mampu menjamin eksistensi unsur-unsur pembentuknya dan dapat dimasuki oleh pengunjung sehingga pendidikan cinta
10
alam, kegiatan rekreasi dan fungsi-fungsi lainnya dapat dikembangkan secara efektif. Untuk mengakomodir aspek-aspek tersebut taman nasional dibagi ke dalam zona-zona. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona taman nasional terdiri dari (Dephut 2006): 1.
Zona inti,
2.
Zona rimba, zona perlidungan bahari untuk wilayah perairan.
3.
Zona pemanfaatan,
4.
Zona lain, antara lain (a) zona tradisional; (b) zona rehabilitasi; (c) zona religi, budaya dan sejarah; dan (d) zona khusus. Zona inti (core/sanctuary zone) merupakan bagian kawasan taman nasional
yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
Zona ini berfungsi sebagai tempat melindungi dan
berkembang biaknya satwa liar, tidak boleh dikunjungi oleh umum, kecuali dalam rangka penelitian dan tidak boleh ada bangunan apapun. Untuk menentukan zona inti ditetapkan kriteria zona inti yang mencakup: a.
Bagian dari taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekositemnya.
b.
Mempunyai formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.
c.
Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia.
d.
Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami.
e.
Mempunyai ciri khas potensinya
dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi. f.
Mempunyai komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekositemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang
dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Dapat dikembangkan sarana dan
11
prasarana untuk mendukung kegiatan pariwisata alam. Kriteria penetapan zona pemanfaatan, antara lain: a.
Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekositem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
b.
Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
c.
Kondisi lingkungan sekitar
mendukung upaya pengembangan pariwisata
alam. Zona rimba adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
Pada zona rimba dapat dilakukan perlindungan, pengawetan,
pembinaan flora dan fauna beserta habitatnya bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Kriteria penetapan zona rimba, antara lain: a.
Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi.
b.
Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan.
c.
Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Zona tradisional bagian taman nasional untuk kepentingan pemanfaatan
tradisonal oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami
kerusakan, sehingga perlu
dilakukan
kegiatan
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. Zona religi, budaya dan sejarah bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Zona khusus bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok masyarakat
dan atau sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum
wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
12
2.2. Paradigma Baru Kawasan Konservasi Menurut Phillips (2003) dalam Phillips (2004) terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan kawasan konservasi dimana paradigma baru muncul dikarenakan sering terjadi konflik sehubungan dengan kepemilikan tanah dan kebijakan ekonomi makro, konflik etnis dan politik, dan ketidakadilan kekuasaan di berbagai tingkatan. Paradigma baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Paradigma Baru Kawasan Konservasi (Protected Area). Paradigma Lama: Kawasan dilindung Didirikan sebagai unit terpisah Dikelola sebagai "pulau-pulau"
Dikelola secara reaktif dalam skala waktu pendek, dengan sedikit pelajaran dari pengalaman Tentang perlindungan aset alam dan lanskap yang ada - bukan tentang pemulihan nilai-nilai yang hilang Digunakan hanya untuk pengawetan (tidak untuk pemanfaatan yang produktif) dan perlindungan bentang alam (bukan pada fungsi ekositem) Didirikan dengan cara teknokratis
Dikelola oleh para ilmuwan alam dan ahli sumber daya alam Didirikan dan dikelola sebagai sarana untuk mengontrol kegiatan warga sekitar, tanpa memperhatikan kebutuhan mereka dan tanpa keterlibatan mereka. Dijalankan oleh pemerintah pusat
Dibiayai oleh wajib pajak Manfaat pengawetan dianggap jelas Manfaat terutama pengunjung dan wisatawan Dipandang terutama sebagai aset nasional
Paradigma Baru: Kawasan dilindung Direncanakan sebagai bagian dari sistem nasional, regional dan internasional Dikelola sebagai elemen jaringan (kawasan dilindungi, penyangga dan dihubungkan dengan koridor-koridor hijau. Dikelola secara adaptif, pada perspektif waktu yang lama, mengambil keuntungan dari terus-menerus belajar Tentang perlindungan tetapi juga pemulihan dan rehabilitasi, sehingga nilai-nilai yang hilang atau terkikis dapat pulih Didirikan untuk pengawetan tapi juga untuk ilmu pengetahuan, sosial ekonomi (termasuk perawatan dari pelayanan ekositem) dan tujuan budaya Didirikan melalui pertimbangan politik, membutuhkan sensitivitas, konsultasi dan pertimbangan yang cerdik Dikelola oleh individu multi-skilled, menerapkan pengetahuan lokal. Didirikan dan dikelola untuk kepentingan masyarakat setempat; sensitif terhadap keprihatinan masyarakat setempat (yang diberdayakan sebagai peserta dalam pengambilan keputusan) Dijalankan oleh banyak mitra (pemerintah, masyarakat setempat, kelompok adat, sektor swasta, LSM dan lain-lain) Dibiayai dari berbagai sumber dan mandiri Manfaat pengawetan dievaluasi dan dihitung Manfaat lebih banyak dirasakan oleh masyarakat lokal Dilihat sebagai kekayaan masyarakat dan juga sebagai aset nasional
Sumber: Phillips 2003 dalam Phillips 2004 Perubahan paradigma tersebut terutama pada pengelolaan kawasan, dimana menurut paradigma lama, masyarakat adat kurang dan hampir tidak diikutsertakan
13
dalam pengelolaan kawasan dan masyarakat tidak memiliki akses dan ruang dalam pemanfaatan sumber daya alam yang sebelumnya mereka
miliki.
Sedangkan pada paradigma baru, pengelolaan kawasan telah berorientasi pada sinergisitas keterlibatan multi stakeholders dan multi manfaat yang dapat diperoleh dari suatu kawasan konservasi dengan tetap mempertahankan fungsi perlindungan terhadap proses-proses ekologi yang esensial dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanakeragaman hayati (genetik, spesies, dan ekosistem), dan pemanfaatan secara lestari terhadap sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. 2.3. Masyarakat Hukum Adat Menurut ahli hukum adat Ter Haar, masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis) serta wilayah dan keturunan (teritorial-geneologis), dimana terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain. Selanjutnya secara internasional, Konvesi ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus (Phillips 2004). Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Papua disebutkan bahwa Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun.
Masyarakat
Adat Papua adalah warga
masyarakat suku asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya (RI 2001). World Parks Conggres IUCN ke 5 tahun 2003 menghasilkan 10 outcome (IUCN 2003), dimana hak-hak masyarakat adat terdapat pada outcome kelima. Disebutkan bahwa hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples), termasuk masyarakat adat berpindah (mobile indigenous peoples) dan masyarakat lokal
14
(local communities) dilindungi dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan konservasi biodiversitas. Tiga target utama pada outcome kelima, yaitu: 1. Main Target 8 – Semua kawasan dilindungi yang sudah ada dan akan datang didirikan dan dikelola sepenuhnya sesuai dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya. 2.
Main Target 9 – Pengelolaan dari semua hal yang relevan dengan kawasan dilindungi melibatkan wakil-wakil yang dipilih oleh masyarakat adat, termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal, secara proporsional terhadap hak-hak dan kepentingan mereka, sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.
3.
Main Target 10 – Mekanisme partisipatif untuk restitusi wilayah tradisional masyarakat adat, yang digabungkan dalam kawasan dilindungi dengan pemberitahuan diawal dan tanpa paksaan, ditetapkan dan diimplementasikan sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 mengatur pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak (Sekditjen PHKA 2007a) : a.
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b.
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c.
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Keberadaan masyarakat hukum adat diakui apabila telah memenuhi unsur-
unsur sebagaimana penjelasan Pasal 67 ayat (1) yaitu pertama masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); kedua ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ketiga ada wilayah hukum adat yang jelas; keempat ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan kelima masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Penjelasan pasal 67
ayat
(2)
menyatakan
bahwa
peraturan
daerah
disusun
dengan
15
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarkat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity) dalam pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j dikatakan;… menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat suku asli (masyarakat adat) dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik semacam itu dan mendorong pembagian keuntungan yang dihasilkan secara adil dari pendayagunaan pengetahuan, inovasiinovasi dan praktik-praktik semacam itu. Selanjutnya dalam pasal 15 butir 4 dikatakan; Akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya) (RI 2004). 2.4. Penguasaan dan Pengelolan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat Adat Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat adat sering dikaitkan dengan kearifan tradisional. Pada perkembangan waktu kearifan tradisional mulai terkikis mengingat perubahan memiliki sifat dinamis. Menurut Keraf (2002) ada 5 penyebab kearifan tradisional mengalami erosi di dunia yaitu: a) terjadi proses desakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan tehnologi modern.
Alam yang dianggap oleh masyarakat adat
sebagai hal yang sakral dan menyimpan sejuta misteri yang sulit dijelaskan dengan akal sehingga masyarakat menghormati dan menjaganya dengan baik. Tingkat ilmu pengetahuan dan tehnologi alam dianggap sebagai obyek yang dapat dipilah-pilah dan dianalisis serta dijelaskan secara ilmiah, rasional, secara clara et distincta, b) Alam telah dinilai ekonomi sangat tinggi tidak lagi bernilai sakral, dengan nilai ekonomis tersebut, alam dapat dieksploitasi untuk memberikan manfaat ekonomis, c) Adanya dominasi filsafat dan etika barat yang bersumber dari Aristoteles dan paradigma ilmu pengetahuan
yang carteian yang telah
16
mengubur etika adat, yaitu manusia dianggap sebagai makluk sosial sehingga etika adat telah dilupakan oleh masyarakat modern, d) hilangnya keanekaragaman hayati, yang mengakibatkan semakin hilangnya kearifan lokal masyarakat, e) hilangnya hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian nilai yang dianggap sakral oleh masyarakat adat mulai terkikis oleh 5 hal tersebut dan mengancam keberadaan masyarakat adat. Masyarakat adat di wilayah Papua meyakini bahwa manusia dan alam yang mengisi kekuatan hidup bersama yang berasal dari Sang Pencipta yang berdiam di alam, dimana roh manusia akhirnya akan beristirahat. Kehidupan dipandang sebagai kekuatan yang fundamental. Upacara adat yang bersifat khusus pada umumnya dilakukan untuk memastikan kesinambungan kekuatan, kesuburan dan kesehatan komunitas.
Kekuatan roh dalam adat berasal dari tanah dan
kepemilikan atas tanah memberikan kekuasaan bagi masyarakat hukum adat untuk memberlakukan adat untuk menjamin kemakmuran masyarakat (Bauw & Sugiono 2009) Wilayah adat Malind Anim berada di antara Sungai Bian dengan bidang dasar segitiga menempati wilayah pesisir sepanjang kurang lebih 30 km di sebelah timur Merauke, yaitu wilayah dimana pantai berpasir tidak dijumpai lagi menjadi area berlumpur sehingga area ini tidak dihuni, sampai Selat Muli atau Marianne di sebelah barat. Batas bagian barat segitiga membentang dari mulut Selat Muli ke bagian atas mencapai Sungai Bulaka terus ke atas mencapai Sungai Bian. Batas teritori di bagian ini sama dengan batas hutan hujan dan berliku kearah tenggara melintasi bagian atas mencapai Sungai Kumbe selanjutnya berbelok ke selatan dan memanjang ke timur mencapai bagian bawah Sungai Maro. Teritori Malind sangat jarang dihuni karena pola perjalanan perburuan tradisional, tetapi batasbatas diketahui dan selalu mengikuti sungai kecil atau jalan setapak di area dataran atau melintasi hutan (Verschueren 1970 dalam Kosmaryandi 2012). Masyarakat adat meyakini bahwa manusia merupakan bagian integral dari alam sehingga alam menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Dalam hal ini, antara sumber daya alam dan manusia terdapat interaksi yang saling mempengaruhi dan demikian halnya di antara komponen sumber daya alam juga terdapat interaksi yang saling mempengaruhi di antara
17
satu dengan lainnya. Masyarakat adat memiliki pandangan bahwa alam adalah sebagai sesuatu yang harus dijaga kelestarian dan keseimbangannya. Cara pandang terhadap kelestarian sumber daya alam tersebut menjadi dasar bagi tumbuhnya pengetahuan tradisional/lokal (traditional/indigenous knowledge) yang selanjutnya memunculkan sikap yang berupa kearifan tradisional. Gambaran cara pandang masyarakat adat terhadap sumber daya alam ini, diantaranya dapat dilihat dari bagaimana aturan-aturan adat masyarakat Malind Anim (Kosmaryandi 2012). Masyarakat Malind Anim mempercayai totem yang berhubungan mistik atau ritual dengan jenis tumbuhan dan
binatang tertentu, sehingga dalam
pemanfatan tumbuhan dan satwa tersebut dilakukan sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
Menurut WWF Region Sahul Papua (2006) masyarakat adat
Malind Anim memiliki beberapa totem pada marga-marga yang ada di dalamnya, seperti Marga Gebze memiliki totem waref (kangguru pohon), kayor (burung cendrawasih), yakop (kakatua putih), gawo (kura-kura leher panjang), kelapa dan kaloso (ikan arwana), Marga Kaize dengan totem kay (kasuari), yag (burung cenderawasih), parakulen (kuskus), ake (gambir), mengga (sagu pucuk merah) dan kees (kayu melaleuca), Marga Mahuze dengan totem da (sagu), nggus (kepiting besar), Marga Balagaize dengan totem qiu bob (buaya hitam), kidub (elang laut perut putih), Marga Samkakai dengan totem yano (kangguru dada putih), mborap (mambruk), kuskus, kura-kura dada putih, Marga Ndiken dengan totem dohisakir (cenderawasih merah), dohi bopti gau (kura-kura dada merah), aritil (sagu dahan panjang) dan Marga Basikbasik dengan totem basik (babi), gau (kura-kura leher pendek), kapiog (kakatua raja), sehingga mereka akan menjaga kelestarian bumi, tanah, batu, dan semua tumbuhan dan hewan yang bersimbiosis dengan totem. Dalam sistem pengolahan lahan (milah/mirav) masyarakat tidak mengenal jual beli lahan/tanah atau dirusak karena kehidupan manusia sangat tergantung pada tanah, sehingga jika tanah dirusak, maka manusia akan punah. Milah/mirav tidak diperjualbelikan walaupun ditempati oleh orang lain/anggota suku lain, sehingga milah/mirav tersebut tetap menjadi milik suku Malind Anim (Kosmaryandi 2012). Milah/mirav dikelola dalam pola kepemilikan keluarga
18
(famili) atau boan (marga) ataupun keluarga yang lebih besar anim/ihe/ize (satu kelompok genealogis teritorial). Boan makan (hak ulayat) diberi identitas dengan nama-nama tempat, binatang piaraan dan dalam lagu-lagu sakral, sehingga keberadaanya diketahui oleh setiap Malind Anim yang mengenal adatnya. Masyarakat
adat yang mendiami wilayah TNW adalah
bagian dari
masyarakat suku besar Malind Anim, dalam TNW terdapat 4 masyarakat suku asli yaitu Yeinan, Kanume, Marori Men Gey dan Malind Imbuti.
Masyarakat
suku asli di TNW saat ini tersebar di 9 kampung, yaitu kampung Kuler, Onggaya, Tomer, Tomerau, Kondo, Wasur, Rawa Biru, Yanggandur dan Sota. Kampung tersebut dibangun pemerintah dengan tujuan untuk memudahkan proses-proses pembangunan dalam administrasi pemerintahan kampung yang lebih terintegrasi. 2.5. Konsep Property Rights Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih besar. Terkait dengan sumber daya alam, hak properti memainkan peranan dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan.
Sebagai
hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumber daya lainnya. Oleh karena itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara sosial di antara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan mereka (Bromley 1998). Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan, hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan. McCay & Acheson (1987); Bromley (1989); Hanna et al. (1995) dalam Kassa (2009) mengklasifikasi hak properti dan kewajibannya menjadi empat tipe rezim. Sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
19
Tabel 2 Tipe Hak Properti dan Kewajiban. No. 1
Hak Kepemilikan
Pemilik
Private property
perorangan
Common property Kelompok
Hak Kepemilikan
Kewajiban Pemilik
Kepemilikan, perorangan, Menghindari pemanfaatan pemiliknya dengan mudah yang tidak dapat diterima untuk mengakses dan secara sosial mengontrol pemanfaatan sumber daya Tidak melibatkan mereka di luar kelompok
Pemeliharaan, Pemanfaatan sumber daya terbatas sesuai dengan batasan-batasan yang ada
3
State property
Negara
Memanfaatkan sumber Pemanfaatan untuk tujuan daya sesuai dengan aturan sosial
4
Open access (nonproperty)
Tidak ada pemiliknya
Diperebutkan
Tidak ada
Sumber: McCay & Acheson (1987); Bromley (1989); Hanna et al. (1995) dalam Kassa (2009).
Private property merupakan suatu kebijakan preskriptif untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan di bawah suatu kondisi yang open access atau common property (Cheung & Demsetz dalam Pearce & Warford
1990).
Private property mewajibkan pemberian nama
kepemilikan individu, jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan kelompoknya dan berkewajiban memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada (McCay & Acheson 1987; Stevenson 1991).
Rezim seperti ini seringkali diimplementasikan untuk
sumber daya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom 1990). State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Di
20
bawah rezim open access, pengambil manfaat tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumber daya atau membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan perorangan (Hanna et al. 1995). Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan kepemilikan misalnya ketika sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti, keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai untuk diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990). 2.6. Interaksi Sosial Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa interaksi merupakan hal saling melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi; antar hubungan (Depdikbud 1996).
Sedangkan
Menurut Koentjaraningrat (1985) interaksi
adalah suatu proses timbal balik antara organisme, individu dengan individu lainnya
atau antara populasi dengan populasi
yang lain.
Di satu pihak
memberikan aksi dan di pihak lain memberikan reaksinya. Pada dasarnya proses ini terjadi karena adanya kebutuhan. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan dan orang perseorangan, antara perseorangan dan kelompok dan antara kelompok dan kelompok (Depdikbud 1996). Soekanto (2005) mengutip defenisi Gillin dan Gillin, menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok, maupun antara individu dengan kelompok.
21
Soekanto (2005) menyatakan bahwa interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh invidu atau kelompok lain. Makna yang diterima direspon untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui gerak dari fisikal organisme, misalnya melalui pembicaraan, gerak dan isyarat. Sedangkan kontak tidak langsung adalah lewat tulisan atau bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh seperti telepon, chatting, dan sebagainya. Setelah terjadi kontak langsung muncul komunikasi. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu timbul apabila seorang individu memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Dalam tafsiran itu seseorang lalu mewujudkan perilaku dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain. Dalam kehidupan bersama setiap individu dengan individu lainnya harus mengadakan komunikasi. Komunikasi merupakan alat utama bagi sesama individu untuk saling kenal dan bekerja sama serta mengadakan kontak fisik dan non fisik secara langsung maupun tidak langsung. 2.6.1. Interaksi Sosial Ekonomi Damsar (2011) interaksi ekonomi merupakan hubungan antara produksi, distribusi dan transaksi, yang dalam sosiologi disebut sebagai teori pertukaran. Sosiologi ekonomi didefinisikan dengan 2 cara. didefinisikan
sebagai sebuah
Pertama, sosiologi ekonomi
kajian yang mempelajari
hubungan antara
masyarakat yang didalamnya terjadi interaksi sosial dengan ekonomi, hal ini dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya bagaimana ekonomi mempengaruhi masyarakat; kedua, sosiologi ekonomi didefinisikan sebagai pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena ekonomi . Randall (1987) dalam Kassa (2009) menyatakan bahwa ekonomi sebagai suatu sistem organisasional merupakan sistem yang mengorganisasikan produksi barang dan jasa serta pendistribusiannya. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan sistem alam (atmosfir, geosfir, hidrosfer dan biosfer) dan
22
sistem sosial yaitu sistem aturan, adat istiadat, tradisi dan jaringan komunikasi yang memberikan pedoman atau kendala serta saluran interaksi antar manusia. 2.6.2. Interaksi Sosial Budaya Koentjaraningrat (1985) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kehidupan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut maka interaksi
budaya merupakan interaksi yang berhubungan dengan tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah laku bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Soekanto (2005) tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu : 1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata alat-alat produksi, transpor dan sebagainya) ; 2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya); 3) Sistem
kemasyarakatan
(sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem
hukum, sistem perkawinan); 4) Bahasa (lisan maupun tertulis); 5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); 6) Sistem pengetahuan; 7) Religi (sistem kepercayaan). Menurut Suparlan P 1994 dalam Djoht (2002) struktur kebudayaan Papua bersifat longgar.
Orang Papua merupakan improvisator kebudayaan yaitu
mengambil alih unsur-unsur
kebudayaan dan menyatukannya dengan
kebudayaan sendiri tanpa memikirkan untuk mengitegrasikannya dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya secara menyeluruh. Kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi antara masyarakat Papua dan masyarakat pendatang.
23
2.6.3. Interaksi Sosial Ekologi Ekologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya Interaksi antara masyarakat dan kawasan dibutuhkan agar masyarakat mengetahui dan merasakan secara langsung manfaat dari kawasan. Salah satu yang menjadi penyebab kesadaran masyarakat yang rendah terhadap perlindungan kawasan konservasi adalah keterbatasan pengetahuan mengenai berbagai manfaat jangka panjang kawasan dan sumber dayanya (Wiratno et al. 2004). Interaksi manusia dengan lingkungan alamnya termasuk kawasan hutan dapat dikaji berdasarkan persepsi dari masyarakat tersebut yang ditunjukan melalui perilaku dan tindakan dalam pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan daya dukungnya. Semakin intensif suatu masyarakat memanfaatkan kawasan hutan tersebut maka interaksinya semakin tinggi (Kamakaula 2004). Bentuk interaksi antara masyarakat dengan sumber daya alam
dapat
dikatakan sama untuk setiap kawasan yaitu pemanfaatan terhadap sumber daya berupa buah-buahan, satwa, kayu bakar, tanaman obat dan lain-lain.
Interaksi
ini terjadi karena adanya faktor kebutuhan manusia untuk pemenuhan kebutuhan dasar dari manusia atau masyarakat tersebut. Knowies & Wareing (1976) dalam Kamakaula (2004) menyatakan bahwa manusia selain berinteraksi dengan lingkungannya, juga menjadikan lingkungan sebagai sumber aspirasinya. Dengan demikian jika manusia menempati suatu tempat dalam jangka waktu yang lama, maka akan menjadi bagian/komponen dari ekosistem yang sama. Perubahan yang dilakukannya pada lingkungan alam juga akan mengubah ekosistemnya.