TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Gunung Leuser Bentang Alam Kawasan Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser luasnya adalah 2.600.000 hektar, meliputi: provinsi Nangroe Aceh Darussalam yaitu ± 2.255.577 Ha dan provinsi Sumatera Utara yaitu ± 384.294 Ha. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu taman nasional yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir. Berdasarkan kerjasama Indonesia-Malaysia, juga ditetapkan sebagai “Sister Park” dengan Taman Negara National Park di Malaysia. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Hampir seluruh kawasan ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun (TFCA Sumatera, 2010). Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, ekosistem di TNGL dibedakan menjadi: 1. Pantai dan Hutan Rawa Di belakang pantai di Kluet tumbuh pohon dari jenis Casuarina, di belakangnya ada hutan rawa. 2. Hutan Hujan Dataran Rendah Pada tanah yang kurang subur dan lereng yang agak curam di dominasi oleh pohon yang keras dari family Dipterocarpaceae dan pada lereng yang relatif datar serta tanah yang lebih subur dan di samping aliran sungai memiliki tanaman bambu yang besar, tanaman pencekik, durian, mangga,
Universitas Sumatera Utara
rambutan, citrus, dan tanaman eksotik seperti pungeh dan puntoh. Rafflesia dan Rhizantes hidup di lantai hutan ini. 3. Hutan Sub Montana (1000 – 1500 mdpl) Pepohonan lebih kecil dan padat, lebih banyak cahaya yang masuk. 4. Hutan Pegunungan (> 1500 mdpl) Tipe tanah yang ada bersifat asam yang ditumbuhi oleh flora seperti anggrek, Rhododendron, semak-semak dan tanaman yang bermacammacam warna. 5. Sub Alphine (> 2000 mdpl) Didominasi oleh tanaman bunga dan tumbuhan obat. (TFCA Sumatera, 2010). Di masa lalu, fungsi hidrologis hutan sempat menjadi topik diskusi yang hangat. Kelompok yang berpegang pada teori spon (sponge theory) menyatakan bahwa hutan melalui akar pohon, seresah, dan tanah mampu menyimpan air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Pada proses pengkonversian tutupan hutan, fungsi ”spon” pada hutan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air tahunan cenderung meningkat karena tidak ada atau berkurangnya jumlah air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika tutupan hutan yang dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan masih dapat dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar. Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total, jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya sehingga pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air sangat terbatas (Narendra, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Alih Fungsi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan terus berlanjut dengan laju yang sangat cepat. Setiap menitnya hutan alam seluas enam kali lapangan sepak bola rusak atau berubah menjadi peruntukan lain. Bank Dunia menaksir bahwa hutan alam dataran rendah Sumatera habis pada tahun 2005 dan menyusul Kalimantan pada tahun 2010. Data terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 2,83 juta ha per tahun (Dephut, 2005). Kondisi hutan Indonesia yang diindikasikan dari luas penutupannya menunjukkan gambaran yang makin memprihatinkan. Sejalan dengan konversi hingga kini desakan untuk perluasan kebun sawit makin kuat. Minyak sawit mentah (CPO) menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah utama pengembangan kelapa sawit. Pada tahun 2003, dari kurang lebih 5,25 juta ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit, sekitar 19 % ada di Kalimantan dan 72% di Sumatera. Perluasan areal tanaman ini dimulai sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967 dan mulai meningkat kejayaannya pada tahun 1990-an. Dari luas 105.808 ha pada tahun 1967, areal perkebunan kelapa sawit berkembang menjadi 5,59 juta ha pada tahun 2005. Diprediksi perluasan perkebunan kelapa sawit masih akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020 (FWI, 2008). Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi hutan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 19821999 adalah 4,1 juta ha. Dari angka ini menurut penelitian lainnya 1,8 juta ha
Universitas Sumatera Utara
hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1999-2000 (ISAI, 2007). Bahan Organik Beberapa tahun terakhir terjadi penebangan pepohonan besar-besaran dan serentak di hutan maupun perkebunan baik secara legal maupun ilegal (penjarahan). Akibatnya sama saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama. Pada musim kemarau terik matahari mengenai permukaan tanah secara langsung, akibatnya terjadi percepatan proses-proses reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada yang menghalangi sehingga memukul tanah secara langsung, berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya aliran air dipermukaan, dan sekaligus mengangkut partikel tanah serta bahan lain termasuk bahan organik (Widianto, dkk, 2001). Kandungan bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanahtanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya menyebabkan struktur tanah menjadi mantap sehingga tahan terhadap erosi. Kandungan bahan organik yang kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi (Hardjowigeno, 2003). Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation berasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar organisme
Universitas Sumatera Utara
tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat ditentukan oleh sumber dan susunannya, oleh kelancaran dekomposisinya, serta hasil dekomposisi itu sendiri (Hakim, dkk, 1986). Tahap akhir hasil dekomposisi bahan organik adalah : (1) senyawa resisten berupa humus, (2) senyawa sederhana berupa CO 2 dan air, serta unsur hara tersedia seperti nitrat, dan lain-lain. Hasil akhir berupa gas CO 2 jika terakumulasi dapat bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang meskipun asam lemah, namun jika terakumulasi akan terurai menjadi HCO 3 - + H+ yang memasamkan tanah (Hanafiah, 2005). Biasanya, perubahan besar terjadi bila tanah asli baik hutan maupun prairi, dibuka untuk ditanami. Biasanya penurunan kadar organik dan nitrogen berlangsung secara berangsur-angsur. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau didapatkan pada tanah yang sudah dibuka kandungan bahan organik jauh lebih rendah, mungkin 30 sampai 60% bila dibandingkan dengan tanah asli (Buckman and Brady, 1982). Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik
Universitas Sumatera Utara
dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak
agregat
tanah
dan
menyebabkan
terjadinya
pemadatan
tanah
(Marpaung, 2009). Bahan organik berperan dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah. Peranannya terhadap perbaikan sifat fisik menyangkut pemeliharaan struktur tanah dengan stabilitas agregat yang tinggi, memperbaiki distribusi ukuran pori dan kapasitas tanah menyimpan air (water holding capacity), serta meningkatkan daya retensi air. Adapun peranan bahan organik terhadap perbaikan sifat kimia, diantaranya menyangkut peningkatan kapasitas tukar kation atau cation exchange capacity (CEC), dan pelepasan unsur N, P, S dan unsur-unsur hara mikro dalam proses mineralisasinya. Disamping itu, bahan organik dapat mengimmobilisasi bahan-bahan kimia buatan yang diberikan ke tanah sehingga tidak memberi dampak merugikan terhadap pertumbuhan tanaman, mengkomplek logam-logam berat sehingga mengurangi tingkat pencemaran terhadap tanah dan air tanah, serta meningkatkan kapasitas sangga (buffer capacity) tanah. Bahan organik tanah merupakan indikator kunci kualitas tanah, baik untuk fungsi pertanian (produksi dan ekonomi) maupun fungsi lingkungan. Kandungan bahan organik tanah merupakan penentu aktivitas biologi tanah. Jumlah, keragaman dan aktivitas fauna dan mikrobia tanah secara langsung berhubungan dengan bahan organik. Agregasi dan kestabilan struktur tanah meningkat dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah (Nurmi, 2005). Perubahan status bahan organik suatu tanah yang akhirnya akan mengubah sifat fisika tanahnya terjadi akibat alih fungsi lahan. Hal ini bukan saja disebabkan oleh berubahnya jenis dan jumlah sumber bahan organik yang masuk kedalam
Universitas Sumatera Utara
tanah, tetapi dengan pengolahan tanah juga mengakibatkan meningkatnya oksidasi bahan organik tanah. Terdekomposisinya bahan organik tanah menyebabkan berkurangnya kandungan bahan organik tanah (Yulnafatmawita, dkk., 2007). Tekstur Tanah Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah- tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003). Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit meyerap (menahan) air dan unsur hara. Oleh karena itu, fungsi utama fraksi pasir adalah sebagai penyokong tanah yang disekelilingnya terdapat partikel-partikel debu dan liat yang lebih aktif. Tanahtanah bertekstur liat, karena lebih halus memiliki luas permukaan yang lebih besar. Butir-butir liat memperlihatkan luas permukaan yang besar. Di dalam tanah, molekul-molekul air mengelilingi partikel-partikel liat membentuk selaput tipis (film) sehingga jumlah liat akan menentukan kapasitas memegang air dalam tanah (Sarief, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Tekstur tanah sebagai faktor abiotik merupakan faktor
penting yang
mempengaruhi distribusi mineral, retensi bahan organik, biomassa mikroba dan sifat tanah lainnya (Scott and Robert, 2006). Makin kecil ukuran separat berarti makin banyak jumlah dan makin luas permukaannya per satuan bobot tanah, yang menunjukkan makin padatnya partikel-partikel per satuan volume tanah. Hal ini berarti makin banyak ukuran pori mikro yang terbentuk, sebaliknya jika ukuran separat makin besar. Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro (disebut lebih poreus), tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) (agak poreus), sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro (kecil) atau tidak poreus. Hal ini berbanding terbalik dengan luas permukaan yang terbentuk, luas permukaan mencerminkan luas situs yang dapat bersentuhan dengan air, energi atau bahan lain, sehingga makin dominan fraksi pasir akan makin kecil daya menahan tanah terhadap ketiga material ini, dan sebaliknya jika liat yang dominan (Hanafiah, 2005). Sifat-sifat bahan induk masih tetap terlihat bahkan pada tanah daerah humid yang telah mengalami pelapukan sangat lanjut, misalnya tanah-tanah yang bertekstur pasir adalah akibat dari kandungan pasir yang tinggi dari bahan induk (Hardjowigeno, 2003). pH (Potensial Hidrogen) Menurut Hardjowigeno (2003) pentingnya pH tanah untuk diketahui adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar
Universitas Sumatera Utara
netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Ca. Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali, tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain, seperti ketersediaan fosfor, status kation-kation basa, status kation atau unsur racun, dsb. pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas kemasaman, bukan ukuran total masam yang ada ditanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu, seperti tanah liat berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau kemasaman yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang berpasir. Tanah yang mampu menahan kemasaman tersebut dikenal sebagai tanah yang berpenyangga baik (well buffer soil) (Mukhlis, 2007). Reaksi tanah sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Pada reaksi tanah yang netral, yaitu pH 6,5-7,5, maka unsur hara tersedia dalam jumlah yang cukup banyak (optimal). Pada pH tanah kurang dari 6,0 maka ketersediaan unsur-unsur fosfor, kalium, belerang, kalsium, magnesium dan molibdenum menurun dengan cepat. Sedangkan pH tanah lebih besar dari 8,0 akan menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi, mangan, borium, tembaga dan seng ketersediannya relatif jadi sedikit (Sarief, 1986). Nitrogen Total Tanah Nitrogen yang didapat dari tanah diusahakan dari bahan-bahan seperti sisa tanaman, pupuk kandang, pupuk buatan, dan garam amonium dan nitrat yang
Universitas Sumatera Utara
diendapkan. Lagipula ada fiksasi nitrogen atmosfir yang diusahakan oleh mikroorganisme tanah tertentu. Hilangnya dari tanah disebabkan oleh tanaman yang dipanen dan diangkut, drainase, erosi, dan hilang sebagai gas dalam bentuk unsur dan amoniak (Buckman and Brady, 1982). Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5% bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein. Unsur ini bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat volatilisasi (gas N 2 ) maupun lewat perlindian (NO 3 -). Di atmosfer unsur N merupakan unsur dominan karena merupakan 80% dari gas yang ada, tetapi bentuk gas ini tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pemanfaatannya hanya dapat dilakukan lewat bantuan mikrobia pengikatnya (fiksasi), yang mengubah bentuk N 2 menjadi ammonium (NH 4 +) yang tersedia bagi tanaman, baik lewat mekanisme simbiotik maupun non simbiotik (Hanafiah, 2005). Sejumlah besar nitrogen dalam tanah berada dalam bentuk organik. Dengan demikian dekomposisi nitrogen merupkan sumber utama nitrogen tanah, disamping juga dapat berasal dari air hujan dan irigasi. Dekomposisi merupakan proses kimia yang menghasilkan N dalam bentuk ammonium dan dioksidasi lagi menjadi nitrat. Proses dekomposisi hingga menjadi nitrat dapat digambarkan sebagai berikut: N-organik-----►Amonium-----►Nitrit----►Nitrat ◄-------------►◄--------------(protein, NH 4 + NO 2 NO 3 - Dekomposisi Nitrifikasi asan amino) dan aminofikasi Proses dekomposisi ini dilkukan oleh jasad renik yang peka lingkungan. Jika bahan organik yang secara relatif mengandung lebih banyak C dari N
Universitas Sumatera Utara
ditambahkan ke tanah maka proses tersebut akan terbalik. Karena ada sumber energi yang banyak, jasad renik akan menggunakan N yang ada untuk pertumbuhan. Dengan demikian, N diikat pada tubuh jasad renikdan N akan kurng tersedia di tanah (Hakim, dkk, 1986). Menurut Handayanto, dkk (1999) pelepasan N dari bahan organik tergantung pada sifat fisik, kimia bahan organik, kondisi lingkungan, dan komunitas organisme perombak. Terhambatnya pelepasan N mungkin disebabkan oleh tingginya rasio C/N bahan organik dan immobilisasi N mikrobia yang terikat. Saat immobilisasi, N tersedia yang ada sebelumnya di dalam tanah diambil mikroorganisme untuk mencukupi kebutuhannya, karena tidak tercukupi dari bahan organik yang dirombak sehingga keberadaan N tersedia tanah menjadi sangat sedikit bagi tanaman yang akan menyebabkan tanaman kekurangan N. Kehilangan Nitrogen dalam bentuk gas lebih besar daripada kehilangan yang disebabkan oleh pencucian. Kehilangan lain dapat juga berupa panen, tercuci bersama air drainase dan terfiksasi oleh mineral. Kehilangan N juga akan diperbesar lagi bila jumlah pupuk N yang diberikan ke dalam tanah cukup besar dengan keadaan tanah yang reduksi. Kehilangan N dari urea yang diberikan pada sawah yang keadaan airnya macak-macak akan lebih besar. Hilangnya N dari tanah juga disebabkan karena digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO 3 mudah dicuci oleh air hujan, banyak hujan sehingga N menjadi rendah dan tanah yang memilkiki tekstur pasir mudah melepaskan air sehingga N menjadi rendah daripada tanah liat (Hakim, dkk, 1986). Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak pula nitrogen organik yang mengalami mineralisai sehingga akumulasi nitrogen di dalam tanah semakin besar jumlahnya (Yulnafatmawita, dkk., 2007). Kapasitas Tukar Kation (KTK) Jumlah total kation yang dapat dipertukarkan dinyatakan dalam mg (milligram) per 100 g tanah (mg 100 g-1) kering oven sering disebut Cation Exchangeable Capacity (CEC). KTK merupakan jumlah muatan negatif tanah baik yang bersumber dari permukaan koloid anorganik (liat) maupun koloid organik
(humus)
yang
merupakan
situs
pertukaran
kation-kation
(Hanafiah, 2005). Besarnya KTK tanah tergantung kepada (1) tekstur tanah, (2) tipe mineral liat, dan (3) kandungan bahan organik. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur semakin halus maka KTK tanah akan semakin besar. Demikian juga pada kandungan bahan organik tanah, semakin tinggi bahan organik maka KTK tanah akan semakin tinggi. Jenis mineral liat sangat mempengaruhi KTK tanah, karena besarnya KTK dari masing-masing liat juga berbeda (Mukhlis, 2007). Kapasitas tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri antara lain (a) reaksi tanah (pH), (b) tekstur tanah atau jumlah liat, (c) jenis mineral liat, (d) bahan organik, dan (e) pengapuran dan pemupukan (Hakim, dkk, 1986). Kation-kation tersebut berikatan dengan permukaan koloid yang bermuatan negatif karena adanya daya menarik kation-kation tanah. Kekuatan
Universitas Sumatera Utara
ikatan antar muatan kation tinggi pada permukaan koloid dan menurun jika kation tersebut jauh jaraknya dari permukaan koloid (Hanafiah, 2005). Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H+ dan mungkin hidroksi-Al terikat kuat, sehingga sukar dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi-Al yang terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH) 3 . Dengan demikian terciptalah tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahanperubahan itu KTK pun meningkat (Hakim, dkk, 1986). Rasio C/N Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan kemudian terhadap tetanaman tergantung pada laju proses dekomposisinya. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai oksigen, serta reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K, dan S (Hanafiah, 2005). Fungsi biologis bahan organik tanah bagi mikroba tanah adalah sebagai sumber utama energi untuk aktivitas kehidupan dan berkembang biak. Pemberian bahan organik dengan rasio C/N tinggi akan memacu perkembangbiakan mikroba,
Universitas Sumatera Utara
memfiksasi beberapa unsur hara atau imobilisasi N yang bersifat sementara. Seiring dengan menurunnya rasio C/N tanah, sebagian mikroba akan mati, selanjutnya melalui proses perombakan unsur hara menjadi tersedia kembali (Sudiarto dan Gusmini, 2004).
Universitas Sumatera Utara