ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
ERNEST JULIYANTO PANDIANGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2017 Ernest Juliyanto Pandiangan A156140074
RINGKASAN ERNEST JULIYANTO PANDIANGAN. Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan OMO RUSDIANA. Fungsi utama dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya. Sebagai Taman Nasional, TNGL memiliki kebijakan pengelolaan yang didasarkan pada sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, rimba, rehabilitasi, penggunaan tradisional, pemanfaatan dan zona- zona lainnya. Peningkatan jumlah penduduk memberikan tekanan terhadap keberadaan kawasan TNGL dan menyebabkan perubahan penutupan/penggunaan lahan di kawasan TNGL dan zona penyangganya. Penelitian yang dilaksanakan dari bulan April 2015 sampai dengan Desember 2015 ini dilaksanakan di kawasan TNGL dan daerah penyangganya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk menganalisis perubahan penutupan/penggunaan lahan pada tahun 1996, 2005 dan 2014; (2) untuk menganalisis hubungan antara indeks tekanan penduduk dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan; dan (3) untuk menyusun arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan yang mendukung pengelolaan TNGL. Metode yang dilakukan untuk mengetahui penutupan/penggunaan lahan serta perubahannya secara cepat adalah menggunakan teknik penginderaan jauh yaitu dengan menggunakan citra satelit Landsat beberapa titik tahun. Data ini kemudian dilakukan overlay dengan peta zonasi yang telah ada dan juga dilakukan overlay dengan RTRW Propinsi Aceh dan Sumatera Utara. Selain itu juga dilakukan analisis tekanan penduduk untuk mengetahui pengaruh tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan TNGL. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 8 (delapan) jenis penutupan/ penggunaan lahan yang ada di kawasan TNGL dan daerah penyangganya. Luasan terbesar pada periode 1996 hingga 2014 adalah adalah hutan (88.25%), rumput/semak belukar (5.66%) dan pertanian lahan kering (3.18%). Hasil analisis perubahan menunjukan bahwa penyusutan penutupan/penggunaan lahan paling tinggi terjadi pada hutan pada periode tahun 1996-2005 dan periode 2005-2014. Pada periode tahun 1996-2005 peningkatan penutupan/penggunaan lahan paling tinggi terjadi pada pertanian lahan kering, sedangkan untuk periode tahun 20052014 peningkatan penutupan/penggunaan lahan paling tinggi terjadi pada rumput/semak belukar. Pada periode ini juga terjadi peningkatan luasan perkebunan yang sangat drastis dibandingkan periode 1996-2005. Berdasarkan perhitungan indeks tekanan penduduk terhadap 206 desa yang terdapat di sekitar maupun di dalam kawasan TNGL didapatkan bahwa sebanyak 109 desa memiliki tekanan terhadap keberadaan kawasan yang ditunjukkan dengan nilai indeks tekanan penduduk > 1. Overlay antara desa yang memiliki indeks tekanan penduduk > 1 dengan penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 terlihat bahwa 98 desa merupakan wilayah yang penutupan/penggunaan lahan sudah didominasi oleh perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah.
Arahan pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan serta rekomendasi untuk mendukung pengelolaan TNGL dilakukan dengan penetapan Model Desa Konservasi (MDK), revisi zonasi pengelolaan TNGL dan pemulihan ekosistem kawasan TNGL. Kata kunci: indeks tekanan penduduk, perubahan penutupan/penggunaan lahan, taman nasional gunung leuser.
SUMMARY ERNEST JULIYANTO PANDIANGAN. Land cover/Land use change analysis in supporting the management of Gunung Leuser National Park. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and OMO RUSDIANA. The main purpose of Gunung Leuser National Park (GLNP) is to protect and preserve its biodiversity resources. As a National Park, the GLNP have a management policy based on a zoning system, which consists of a core zone, the wilderness, the rehabilitation, the traditional use, the utilization and other zones. Increasing population provide pressure on the existence of GLNP and cause land cover /land use changes in GLNP and its buffer zone. The study, conducted from April 2015 until December 2015, was held in the GLNP and buffer zone. The purpose of this study are: (1) to analyse land cover/land use change in 1996, 2005 and 2014; (2) to analyse the relationship between population pressure index toward land cover/land use change; and (3) to provide direction and recommendations to control land cover/land use that supporting the GLNP’s management. The method used to determine the land cover/land use and its changes quickly is remote sensing techniques by using Landsat satellite imagery from several years of data acquisition. Then, those data was overlaid with existing zoning maps and also overlaid with the spatial plan of Aceh and North Sumatra province. In addition, an analysis of the population pressure conducted to determine the effect of population pressure on the GLNP existence. The results showed that there were eight (8) types of land cover/land use in the GLNP and its buffer zone. The largest area in the period 1996 to 2014 is forests (88,25%), grass/shrub (5,66%) and dry land agriculture (3,18%). The analysis of the land cover/land use change showed that the highest decrease of land use occurred in the forest for the period from 1996 to 2005 and from 2005 to 2014. On the contrary, in the period from 1996 to 2005 occured highest increase in the land use of dry land agriculture, while for the period from 2005 to 2014 occured in the grass/shrub. In this period is identified also the increase of plantation area drastically compared to the period 1996-2005. Based on the calculation of the population pressure index toward 206 villages located around and inside TNGL found that 109 villages have pressure to the existence of the region, that is indicated by population pressure index value > 1. Overlay between the village that have population pressure index > 1 with land cover/land use 2014 showed that 98 villages were a region where land cover / land use has been dominated by plantations, dryland agriculture and paddy. Direction to control land cover/land use and recomendations to support management of the GLNP is conducted by determination of the Conservation Village Model (MDK), revision of zoning for the GLNP’s management and ecosystem restoration of the GLNP. Keywords: gunung leuser national park, land cover/land use change, population pressure index.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
ERNEST JULIYANTO PANDIANGAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah perubahan penutupan/penggunaan lahan, dengan judul Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Dr Ir Muhammad Ardiansyah dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc.F.Trop selaku pembimbing atas segala motivasi, arahan dan saran mulai dari tahap awal hingga akhir penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr Ir Ernan Rustiadi selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, serta Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Dr Ir Muhammad Buce Saleh MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan yang berharga demi kesempurnaan tesis ini. yang telah banyak memberi saran. 4. Kepala Pusbindiklatren BAPPENAS beserta jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis. 5. Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti Tugas Belajar. 6. Kepala Balai Besar TNGL beserta staf TNGL atas bantuan data dan informasinya. 7. Istriku tercinta Novita Magdalena Ompusunggu dan kedua putri kecilku Jequiline Sylvana Elisabeth Pandiangan dan Bellvania Margareth Josephin Pandiangan atas doa, cinta, kasih sayang, kesabaran dan senantiasa memberikan dukungan selama menjalani studi ini. 8. Kedua orangtua T Pandiangan dan R Manalu serta ibu mertua B Simanjuntak dan seluruh keluarga yang selalu mencurahkan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 9. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Kelas Khusus Bappenas dan Kelas Reguler tahun 2014 serta seluruh pihak yang berkontribusi dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam dirinya, akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Horas. Bogor, Maret 2017 Ernest Juliyanto Pandiangan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 3 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA
8
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Analisis Data
16 16 16 17
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Karakteristik Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Letak Geografis dan Administrasi Kependudukan Perekonomian
21 21 25 26 27 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Penutupan/penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga 28 Kesesuaian Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dengan zonasi dan RPTN 35 Kesesuaian Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga dengan RTRWP 37 Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga 38 Analisis Tekanan Penduduk Terhadap Keberadaan Kawasan TN 41 Arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan 44 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
53 53 54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
57
RIWAYAT HIDUP
72
DAFTAR TABEL 1 Luas Kerusakan Kawasan TNGL 2 Pertambahan Jumlah Penduduk di sekitar SPTN VI Wilayah Besitang 3 Matriks Hubungan antara Tujuan, Jenis Data Sumber Data, Metode Analisis dan Output 4 Contoh Matriks Transformasi Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 5 Kelas Ketinggian Tempat TNGL dan Penyangga 6 Kelas Lereng TNGL dan Penyangga 7 Klasifikasi Tanah di TNGL dan Daerah Penyangga 8 Kondisi Kependudukan Kabupaten di Sekitar TNGL 9 Komoditas Daerah penyangga TNGL 10 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) 11 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) 12 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) 13 Penutupan/Penggunaan Lahan pada Indikasi Zonasi TNGL (Ha) 14 Penutupan/penggunaan Lahan menurut Pembagian Pola Ruang RTRWP berdasarkan SK Penetapan Kawasan TNGL 2014 15 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996-2005 16 Matriks Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode Tahun 1996 - 2005 17 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005-2014 18 Matriks Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode Tahun 2005-2014 19 Matriks Arahan dan Rekomendasi Pengendalian Perubahan 20 Kegiatan Desa Binaaan/MDK Balai Besar TNGL 21 Kriteria Zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 22 Arahan Revisi Zonasi TNGL 23 Arahan Pemulihan Ekosistem pada TNGL
2 4 17 20 22 23 24 27 28 29 30 31 36 37 38 39 40 41 45 46 49 50 52
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bagan Alir Kerangka Pemikiran Peta Lokasi Penelitian Peta Topografi TNGL dan penyangganya Peta Lereng TNGL dan penyangganya Peta Tanah TNGL dan penyangganya Peta Administrasi Lokasi Penelitian Peta Citra dan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996 Peta Citra dan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005 Peta Citra dan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014
7 16 22 23 25 27 32 33 34
10 Peta Kesesuaian Indikasi Zonasi dengan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014 11 Peta Kesesuaian Pola Ruang berdasarkan Penetapan Kawasan TNGL dengan Penutupan/penggunaan Lahan Tahun 2014 12 Peta Desa dengan Tekanan Penduduk terhadap Kawasan TNGL 13 Zonasi Pengelolaan TNGL periode 2009-2014 14 Arahan Revisi Zonasi TNGL 15 Rekomendasi Pemulihan Ekosistem
36 38 43 48 50 52
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kunci Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Penyangga Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 1996 Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 2005 Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 2014 Perhitungan ITP berdasarkan SK Penetapan Kawasan TNGL 2014 Uji Akurasi Klasifikasi Penutupan/penggunaan Lahan
59 63 64 65 66 71
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Leuser yang biasa disingkat dengan nama TNGL adalah salah satu kawasan hutan konservasi yang termasuk sebagai kawasan pelestarian alam berbentuk taman nasional dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan ini merupakan satu dari 51 (lima puluh satu) taman nasional yang sudah ada di Indonesia dengan luas 828 279.49 ha. TN ini terletak di dua propinsi yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara yang penetapannya melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6589/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 622 924.35 ha di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh dan juga SK nomor 4039/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 205 355.14 ha di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara TNGL seperti halnya taman nasional lainnya berfungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat penting bagi keberadaan beberapa spesies lambang/kebanggaan (flagship species). Ekosistem kawasan ini sangat unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi karena terdiri dari tipe ekosistem hutan pantai dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Hampir seluruh kawasan ini ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Pada kawasan ini terdapat tumbuhan yang termasuk langka dan memiliki ke-khas-an yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmania altifrons), bunga raflesia (Rafflesia atjehensis dan R. micropylosa) serta Rhizantes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, juga terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik. Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di TN ini antara lain mawas atau yang lebih dikenal dengan nama orangutan sumatera (Pongo abelii), siamang (Hylobates syndactylus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak sumatera (Dicherorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Capicornis sumatrensis) dan banyak lagi lainnya. Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat penting bagi keberadaan beberapa spesies lambang/kebanggaan menjadikan TNGL diakui memiliki nilai penting secara internasional. Pengakuan ini diwujudkan dengan pemberian predikat dan penghargaan kepada TNGL yaitu ASEAN Heritage Park, World Heritage Site dan Biosphere Reserve (Tim Pokja Penanganan Perambahan Ditjen PHKA, 2010). Luasnya kawasan taman nasional ini serta tingginya keanekaragaman hayati dan fungsi yang terdapat di dalamnya merupakan aset sumber daya yang sangat penting. Beukering et al. (2003) telah menghitung akumulasi Nilai Ekonomik Total dari kawasan TNGL dan daerah penyangganya yang dikenal dengan nama Kawasan Ekosistem Leuser pada periode tahun 2000-2030 dengan menggunakan model
2 simulasi dinamik dengan 3 (tiga) skenario. Hasilnya menunjukkan bahwa akumulasi Nilai Ekonomik Total pada “skenario deforestasi” sebesar US$ 7,0 milyar, “skenario konservasi” sebesar US$ 9,5 milyar, dan “skenario penggunaan selektif” sebesar US$ 9,1 milyar. Kenyataan bahwa kawasan TNGL memiliki luasan yang besar juga mengakibatkan kawasan ini sangat rentan mengalami gangguan dan permasalahan terutama gangguan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Hal ini diakibatkan tingginya ketergantungan masyarakat di sekitarnya terhadap kawasan TNGL dan pengamanan kawasan menjadi lebih sulit karena luas kawasan yang tidak sebanding dengan jumlah petugas. Kondisi sekarang ini, kawasan TNGL mengalami perubahan bentuk dan luasan kawasan akibat dari adanya proses pengukuhan kawasan dari sebelumnya berupa proses penunjukan kawasan pada tahun 1997 ke proses penetapan kawasan tahun 2014 dimana menjadikan luas kawasan TNGL ini menjadi berkurang. Selain itu, kawasan TNGL juga mengalami perubahan penutupan/penggunaan lahan dari kondisi aslinya. Purwanto (2015) menyebutkan bahwa sejarah awal terjadinya perubahan ini adalah sejak adanya permasalahan konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini menimbulkan adanya sejumlah warga pengungsi yang terusir dari daerah konflik dan masuk ke dalam kawasan taman nasional ini. Alasan kemanusiaan pada awalnya menyebabkan pengungsi yang masuk ini tidak mendapat tantangan dari pihak pengelola yang dalam hal ini adalah Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Akan tetapi seiring dengan perkembangan waktu, jumlah manusia yang masuk ke dalam kawasan semakin bertambah dan beragam. Aktivitas yang dilakukan pun semakin meluas, dimana semula hanya untuk menjadikan sedikit lahan tersebut menjadi pemukiman sementara perlahan mulai berubah menjadi lahan untuk pemukiman, pertanian dan perkebunan dengan skala yang semakin besar. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan dalam kawasan yang kemungkinan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi kawasan sebagai kawasan pelestarian alam. Luas kerusakan kawasan TNGL disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Luas Kerusakan Kawasan TNGL No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
BPTN SPTN Wilayah Wilayah I/Tapak Tuan I (Blang Pidie) I/Tapak Tuan II (Kluet Utara) II/Kutacane III (Blangkejeren) II/Kutacane IV (Badar) III/Stabat V (Bahorok) III/Stabat VI (Besitang) Luas total
Luas (ha) 71 218 175 584 247 673 388 281 86 107 125 829 1 094 692
Panjang Batas (km) 51 212 176 196 281 105 1 022
Luas Kerusakan (ha) 67 1 504 3 030 10 289 985 3 894 19 769
Sumber: Luas lahan rusak/terbuka didasarkan perhitungan perubahan penutupan hutan 1990 – 2000 (WCS, 2007 dalam Wiratno, 2007) Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak pengelola dan juga berbagai pihak yang perduli dengan kawasan TNGL ini demi menjaga kelestarian dan fungsi kawasan ini agar terjaga, mulai dari upaya persuasif hingga upaya represif. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut belum banyak mengatasi semua permasalahan yang terjadi. Hasil penelitian Subhan (2010) menunjukkan hingga tahun 2009 luas
3 kerusakan hutan TNGL di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah IV Besitang mencapai 7 435 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kerusakan kawasan di SPTN IV Besitang dari semula 3 894 ha di tahun 1990-2000 menjadi 7 435 ha di tahun 2009. Kerusakan kawasan TNGL di SPTN yang lain juga diindikasikan mengalami peningkatan yang sama seperti halnya di SPTN Wilayah IV Besitang. Pola ruang di sekitar kawasan TNGL dalam RTRW Propinsi Aceh dan Sumatera Utara berupa kawasan lindung ataupun kawasan budidaya. Bentuk pola ruang ini memberikan berpengaruh tidak langsung terhadap kelestarian kawasan. Kawasan budidaya yang berbatasan langsung dengan TNGL akan memicu adanya aktivitas manusia di sekitar taman nasional yang kemudian terdorong masuk ke kawasan. Kawasan lindung lainnya yang berbatasan dengan kawasan TNGL akan menjadi daerah penyangga yang menjaga kawasan ini dari adanya aktivitas dan gangguan manusia yang masuk ke dalam kawasan. Perubahan penutupan/penggunaan lahan pada suatu kawasan dapat terjadi secara alami maupun non alami. Perubahan secara non alami adalah perubahan yang tejadi akibat pengaruh campur tangan manusia dan paling sering terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan. Verburg et al. (2002) menyebutkan penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti demografi (tekanan penduduk) faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor kelembagaan, faktor budaya dan faktor biofisik. Warlina (2007) menyebutkan penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, kebijakan (policy), institusi, budaya dan biofisik. Untuk mengetahui kondisi penutupan/penggunaan lahan pada suatu kawasan maka harus dilakukan kajian berupa analisis penutupan/penggunaan lahan pada satu titik waktu yang ingin diketahui, sedangkan untuk mengetahui perubahan penutupan/penggunaan lahan pada suatu kawasan dilakukan dengan analisis pada beberapa titik waktu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan analisis penutupan/penggunaan lahan yang ada pada kawasan TNGL dan perubahan penutupan/penggunaan lahan terkini. Selain itu, juga perlu dilakukan analisis tekanan penduduk sebagai salah satu faktor pendorong yang meyebabkan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan. Analisis yang dilakukan kemudian akan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun arahan dan rekomendasi untuk mendukung pengelolaan TNGL.
Perumusan Masalah Kebutuhan akan lahan merupakan kebutuhan dasar yang dimiliki setiap individu manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia memerlukan lahan yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah dan juga sebagai tempat melakukan aktivitas lainnya. Jumlah penduduk yang meningkat dan aktivitas ekonomi berbasis lahan yang dilakukannya dalam pemenuhan kebutuhan hidup memberikan pengaruh terhadap konsekuensi kebutuhan lahan akan semakin meningkat.
4 Dalam ilmu perencanaan wilayah, dipahami bahwa perubahan suatu bentuk pemanfaatan dan penggunaan lahan tertentu menjadi jenis pemanfaatan dan penggunaan lainnya memiliki kecenderungan ke arah pemanfaatan dan penggunaan lahan yang dirasa memberikan nilai ekonomi paling tinggi bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini dapat terlihat dari kecenderungan banyak pihak untuk melakukan konversi lahan yang statusnya hutan menjadi bentuk penggunaan lahan yang bukan hutan seperti menjadi lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan pemukiman maupun menjadi penggunaan lahan lainnya. Demikian juga halnya di kawasan konservasi TNGL dimana terjadi perubahan penggunaan lahan yang merubah jenis penggunaan /penutupan lahan yang seharusnya sebagai hutan bervegetasi menjadi pertanian lahan kering, perkebunan kelapa sawit, karet ataupun pemukiman. Perubahan ini akan berdampak pada keberadaan zona inti dan zona lain yang ada di kawasan konservasi TNGL. Analisis penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL dan daerah penyangga serta analisis perubahannya ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kondisi penutupan/penggunaan lahan yang ada pada beberapa waktu dan juga pola-pola perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi antar periode waktu tersebut. Dengan diketahuinya kondisi dan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan akan dapat disusun arahan dan rekomendasi untuk pengelolaan TNGL dengan mempertimbangkan hasil analisis-analisis yang dilakukan. Untuk melakukan analisis ini maka diperlukan data mengenai kondisi penutupan/penggunaan lahan di kawasan TNGL pada beberapa titik tahun yang didapat melalui citra satelit Landsat yang telah di interpretasi menjadi peta penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL dan daerah penyangganya. Banyak faktor yang mendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan di kawasan ini. Jumlah penduduk dan persentase penduduk yang berprofesi sebagai petani yang tidak didukung dengan luasan lahan pertanian yang tersedia di sekitar kawasan TNGL merupakan beberapa faktor pendorong yang mempercepat terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan. Kondisi ini akhirnya menjadikan tekanan penduduk terhadap kawasan menjadi meningkat. Untuk melihat tekanan penduduk terhadap kawasan TNGL ini dapat dilakukan melalui pendekatan analisis indeks tekanan penduduk. Penelitian WCS (2007) dalam Wiratno (2007) dan Subhan (2010) menunjukkan peningkatan jumlah lahan rusak/terbuka di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) VI Wilayah Besitang dari tahun 1990-2000 seluas 3 894 ha menjadi 7 435 ha di tahun 2009. Hal ini erat kaitannya dengan bertambahnya jumlah penduduk di kecamatan yang ada di sekitar SPTN VI Wilayah Besitang. Pertambahan penduduk di 3 (tiga) kecamatan di sekitar SPTN VI Wilayah Besitang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pertambahan Jumlah Penduduk di sekitar SPTN VI Wilayah Besitang No
1 2 3
Kabupaten
Langkat Langkat Langkat
Kecamatan
Besitang Sei Lepan Batang Serangan
Luas (km2) 720,74 280,68 899,38
Jumlah Penduduk (2001) 49 114 49 296 32 924
Jumlah Penduduk (2005) 60 785 50 068 36 158
Angka Pertambahan Penduduk 11 671 772 3 234
Sumber: Data jumlah penduduk tahun 2001 dari BPS Kabupaten Langkat (2002). Data jumlah penduduk tahun 2005 dari BPS Kabupaten Langkat (2006).
5 Dengan mengetahui penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL dan juga pola perubahan penutupan/penggunaan lahan serta kondisi tekanan penduduk sekitar kawasan terhadap keberadaan kawasan TNGL maka akan dapat dibuat arahan dan rekomendasi kebijakan untuk mendukung pengelolaan kawasan TNGL untuk tahun-tahun yang akan datang. Hasil arahan dan rekomendasi ini kemudian diharapkan akan dapat diimplementasikan dasar bentuk program dan perencanaan pengelolaan TNGL ke depannya. Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan di atas, pertanyaan penelitian yang timbul pada kawasan TNGL yaitu : 1. Bagaimana jenis penutupan/penggunaan lahan dan perubahan penggunan/penutupan lahan di Kawasan TNGL dan penyangganya dan pola perubahannya dari tahun 1996 ke 2014? 2. Bagaimana hubungan faktor tekanan penduduk dengan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan di Kawasan TNGL? 3. Bagaimana arahan dan rekomendasi kebijakan yang dapat dibuat untuk mendukung pengelolaan TNGL?
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Tujuan dilaksanakan penelitian ini yaitu: Menganalisis perubahan dan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan pada tahun 1996, 2005 dan 2014. Menganalisis hubungan antara indeks tekanan penduduk dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi. Menyusun arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan yang mendukung pengelolaan TN Gunung Leuser.
Manfaat Penelitian 1. 2.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: Masukan kepada pemerintah daerah dan pengelola TNGL dalam mengendalikan perubahan penutupan/penggunaan lahan di wilayah tersebut; Masukan bagi pengelola TNGL dalam penyusunan revisi Rencana Pengelolaan dan zonasi Taman Nasional dan masukan dalam pengembangan wilayah di sekitar TNGL yang berkelanjutan dan mendukung dalam pengelolaan TN Gunung Leuser; Memperkaya pengetahuan tentang pola-pola perubahan penutupan/penggunaan lahan serta tekanan penduduk sebagai faktor penyebabnya.
Kerangka Pemikiran TNGL merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjung budidaya, pariwisata dan rekreasi.
6 Terbagi kedalam 8 (delapan) zonasi berdasarkan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang TNGL periode 2010 – 2019 yaitu zona inti, rimba, pemanfaatan, rehabilitasi, religi, khusus, abu-abu dan tradisional. Tiap zona yang ada memiliki bentuk pengelolaan dan perlakuan yang berbeda-beda sehingga penentuan zonasi di taman nasional harus sesuai kriteria berdasarkan kondisi dan karakteristik wilayahnya. Kawasan TNGL secara administrasi terletak di 2 (dua) propinsi yaitu Aceh dan Sumatera Utara sehingga dalam pengelolaannya Balai Besar TNGL perlu untuk berkoordinasi dengan kedua pemerintah daerah propinsi tersebut. Harapannya adalah dalam penyusunan RTRWP, pemerintah daerah baik Propinsi Aceh maupun Propinsi Sumatera Utara mempertimbangkan keberadaan kawasan TNGL tersebut dalam pola ruang, sehingga pola ruang yang disusun propinsi tidak memberikan dampak negatif terhadap keberadaan kawasan. Dampak negatif pola ruang yang mungkin terjadi apabila tidak mempertimbangkan keberadaan dan kelestarian kawasan adalah terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL. Secara skematis kerangka pemikiran diilustrasikan dalam bagan alir pada Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian ini adalah perubahan penutupan/penggunaan lahan pada suatu wilayah seperti halnya kawasan TNGL dan penyangga dapat diketahui dengan terlebih dahulu mengidentifikasi dan menganalisis penutupan/penggunaan lahan pada beberapa titik tahun yang didapatkan dari data citra satelit. Penutupan/penggunaan lahan antar periode tahun dilakukan perbandingan dengan cara overlay antar periode tahun sehingga dapat diketahui pola-pola perubahan penutupan/penggunaan. Semakin banyak titik tahun penutupan/penggunaan lahan yang dibandingkan maka semakin detil pola perubahan penutupan/penggunaan yang dapat diketahui. Penutupan/penggunaan lahan yang ada kemudian dibandingkan dengan zonasi yang di kawasan TNGL sehingga akan menghasilkan data kesesuaian penutupan/penggunaan lahan dengan zonasi. Data ini akan dapat memberikan informasi mengenai penutupan/penggunaan lahan pada suatu zona tertentu apakah sudah sesuai dengan kriteria zonasi berdasarkan peraturan yang berlaku ataupun sudah sesuai dengan zonasi yang direncakan. Penunjukan zonasi suatu taman nasional yang sesuai dengan kriteria yang seharusnya akan mewujudkan pengelolaan yang efektif dan efisien. Penutupan/penggunaan lahan yang ada juga dibandingkan dengan pola ruang Propinsi Aceh dan Sumatera Utara sehingga akan menghasilkan data kesesuaian penutupan/penggunaan lahan dengan pola ruang. Pola ruang merupakan pengaturan ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam upaya mengatur penggunaan ruang secara optimal dan berkelanjutan. Data ini akan dapat memberikan informasi mengenai penutupan/penggunaan lahan yang ada apakah sudah sesuai dengan pola ruang tertentu yang sudah ditetapkan. Selain itu dengan data ini akan dapat dilihat pengaruh pengaturan pola ruang yang telah ditetapkan terhadap kondisi kawasan TNGL. Penutupan/penggunaan lahan yang ada juga dibandingkan dengan hasil analisis tekanan penduduk sekitar kawasan TNGL. Analisis tekanan penduduk secara umum merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kecenderungan masyarakat suatu wilayah untuk memperluas lahan pertanian. Suatu wilayah yang memiliki kecenderungan untuk memperluas lahan pertanian maka akan mendesak
7 wilayah potensial lain yang sebelumnya bukan lahan pertanian untuk dijadikan lahan pertanian. Dengan membandingkan hasil analisis tekanan penduduk dengan penutupan/penggunaan lahan akan dapat dilihat apakah wilayah yang teridentifikasi sebagai wilayah yang memberikan tekanan penduduk memang merupakan wilayah yang penutupan/penggunaan lahannya berupa lahan pertanian. Berdasarkan kesesuaian penutupan/penggunaan lahan dengan zonasi yang telah ada dan juga kesesuaian penutupan/penggunaan lahan dengan pola ruang berdasarkan RTRW Propinsi Aceh dan Sumatera Utara maka akan dapat dibuat arahan mengenai perlu tidaknya dilakukan revisi zonasi Pengelolaan yang ada di kawasan TNGL. Hal ini dikarenakan tiap zona yang ada memiliki bentuk pengelolaan dan perlakuan yang berbeda-beda sehingga penentuan zonasi di TN harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik wilayahnya. Kondisi dan karakteristik wilayah zonasi ini seharusnya juga didukung dengan kondisi dan karakteristik wilayah di sekitar TN sehingga akan timbul pengelolaan yang lebih baik dan saling mendukung. Akan tetapi secara kenyataan tidak semua wilayah yang berbatasan ini memiliki pola ruang yang mendukung pengelolaan TNGL, sehingga terjadi perubahan penutupan/penggunaan lahan pada kawasan TNGL. Perubahan penutupan/penggunaan yang tidak mendukung pengelolaan kawasan TNGL ini merupakan ancaman terjadinya kerusakan fungsi dan ekologi kawasan.
Proses Overlay Hasil yang diharapkan
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Untuk kawasan TNGL yang telah mengalami kerusakan fungsi dan ekologi akan dapat diarahkan sebagai lokasi untuk dilakukannya pemulihan ekosistem. Selain itu berdasarkan perhitungan indeks tekanan penduduk yang menghasilkan desa-desa
8 yang memiliki kecenderungan untuk menekan keberadaan kawasan TNGL dapat dibuat arahan sebagai lokasi target dilakukannya model desa konservasi ataupun desa binaan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefenisikan Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman nasional memiliki peranan yang penting dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. IUCN (1984) mendefinisikan taman nasional adalah wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras secara lingkungan dan budaya. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 menjabarkan fungsi utama dari taman nasional sebagai berikut: 1. Fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, rekreasi dan pariwisata. Taman nasional memiliki batasan yang jelas dalam hal intensitas penggunaan kawasan oleh manusia yang dapat ditoleransi oleh kawasan perlindungan tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menyebutkan kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional yaitu: a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
9 Kriteria zona pengelolaan taman nasional diatur tersendiri melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Kriteria zona pengelolaan dibuat sebagai acuan dalam penataan kawasan guna terwujudnya pengelolaan yang efektif dan efisien. Zona Pengelolaan pada taman nasional terdiri atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan seperti zona perlindungan bahari, zona tradional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan/atau zona khusus. Penetapan zona pengelolaan pada suatu taman nasional menjadi dasar penyusunan rencana pengelolaan taman nasional. Kriteria zona pengelolaan taman nasional dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Kriteri Zona Inti, meliputi: 1) memiliki ekosistem atau merupakan perwakilan tipe ekosistem atau fenomena/gejala alam dan formasi geologi yang masih asli dan alami; 2) merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota target dan/atau merupakan area dengan keragaman jenis yang tinggi; 3) merupakan lokasi tempat kawin dan bersarang satwa target dan/atau tempat berpijah dan pembesaran satwa/biota target; dan/atau 4) tempat singgah satwa migran secara periodik. b. Kriteria Zona Rimba/Perlindungan Bahari, meliputi: 1) merupakan daerah sebaran tumbuhan dan daerah jelajah satwa serta perkembangbiakan jenis target; 2) berbatasan dengan zona inti dan atau zona pemanfaatan/batas fungsi; 3) merupakan lokasi tempat kawin/berpijah dan pembesaran satwa/biota target; 4) memiliki ekosistem yang masih asli dan alami; dan/atau 5) masih ditemukan tumbuhan dan satwa/biota utama dalam jumlah yang cukup. c. Kriteria Zona Pemanfaatan, meliputi: 1) merupakan wilayah yang memiliki keindahan alam/daya tarik alam atau nilai sejarah dan/atau wilayah dengan aksesibilitas yang mampu mendukung aktivitas pemanfaatan; 2) merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana antara lain untuk menunjang pemanfaatan dan pengelolaan; 3) bukan merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota utama; 4) bukan merupakan areal dengan keragaman jenis yang tinggi; dan/atau 5) terdapat potensi jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan. d. Kriteria Zona Tradisional merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional masyarakat secara turun-temurun. e. Kriteria Zona Rehabilitasi merupakan wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem. f. Kriteria Zona Religi, Budaya dan Sejarah merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilainilai budaya atau sejarah. g. Kriteria Zona Khusus, meliputi:
10 1) terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan; 2) merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai TN; dan/atau 3) memenuhi kriteria sebagai wilayah pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan yang keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan.
Kawasan TNGL Kawasan TNGL berada pada posisi 02056’ – 04003’ LU dan 96055’ – 98030’ BT dengan luas wilayah mencapai 828 279.49 ha. Secara administrasi wilayah kawasan TNGL meliputi: 1) Propinsi Aceh yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Lues dan Aceh Barat Daya (622 924.35 ha); dan 2) Propinsi Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat dan Karo (205 355.14 ha). Kawasan TNGL adalah salah satu dari bentang lahan yang luas yang paling kaya dari hutan-hujan tropis di dunia. Bentang lahan yang terbentang dari pantai Lautan India hingga ke arah Selat Malaka, dan terdiri dari hutan dataran rendah, padang rumput, rawa air tawar, lembah/celah dan beberapa gunung api. TNGL merupakan salah satu kawasan bersama-sama dengan TN. Kerinci Seblat dan TN. Bukit Barisan Selatan yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai daftar warisan dunia yang dikenal dengan nama Tropical Rainforest Heritage of Sumatra. Berdasarkan kerjasama Indonesia-Malaysia, juga ditetapkan sebagai “Sister Park” dengan Taman Negara National Park di Malaysia. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Hampir seluruh kawasan ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun (BBTNGL, 2012). Sejarah terbentuknya kawasan TNGL dimulai dari penunjukan kawasan ini sebagai kawasan konservasi dengan status suaka margasatwa tahun 1935-1936 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah era kemerdekaan TNGL bersama 4 (empat) TN lainnya yaitu TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo ditunjuk melalui SK Menteri Pertanian nomor 811/Kpts-Um/II/1980 dengan luas 792 675 ha. Kemudian Menteri Kehutanan mengeluarkan SK nomor 276/Kpts-VI/1997 yang menyebutkan luas TNGL menjadi 1 094 692 ha, dimana SK yang dikeluarkan Menteri Kehutanan ini tidak disertai dengan klausul pencabutan SK nomor 811 tahun 1980 tersebut. Akibatnya terdapat 2 (dua) surat keputusan tentang penunjukan TNGL dengan luas yang berbeda dan menjadi polemik dalam pengelolaan dan pemahaman oleh para pihak di lapangan. Tahun 2013 Menteri Kehutanan kembali mengeluarkan SK nomor 941/Menhut-II/2013 tentang penunjukan TNGL yang mengacu kepada SK nomor 811 tahun 1980. Putusan Mahkamah Agung yang mensyaratkan pengukuhan suatu kawasan hutan berkekuatan hukum apabila telah sampai pada tahapan pengukuhan berupa penetapan kawasan mendorong Kementerian Kehutanan untuk menetapkan semua kawasan hutan yang ada. Demikian juga halnya dengan kawasan TNGL yang oleh Menteri Kehutanan melalui Ditjen Planologi Kehutanan menetapkan kawasan TNGL melalui SK nomor 6589/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 622 924.35 ha di
11 Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh dan juga SK nomor 4039/MenhutVII/KUH/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 205 355.14 ha di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan pengelolaan saat ini, Balai Besar TNGL masih mengacu kepada SK nomor 276/Kpts-VI/1997 (SK Penunjukan kawasan TNGL). Hal ini terlihat dari Rencana Pengelolaan Jangka Panjang TNGL periode 2010 – 2019 masih menggunakan SK tersebut. Pembagian zonasi pengelolaan TNGL dan pembagian wilayah resort pengelolaan juga masih berpedoman terhadap SK tahun 1997 tersebut dan sedang dalam proses revisi mengacu kepada SK Penetapan Kawasan TNGL. Sejarah dan Perkembangan Penetapan Kawasan TNGL Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 44 tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dan juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62 tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 44 tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan merupakan aturan perundangan yang mengatur tentang tahapan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan diartikan sebagai rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan. Tahapan pengukuhan suatu kawasan hutan dimulai dari tahapan: 1. Penujukan kawasan hutan dengan Keputusan Menteri; 2. Pelaksanaan tata batas kawasan hutan; 3. Pembuatan Berita Acara Tata Batas kawasan hutan yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas atau pejabat yang berwenang; dan 4. Penetapan kawasan hutan dengan Keputusan Menteri. Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri maka yang digunakan sebagai acuan kawasan hutan adalah penunjukan kawasan hutan. Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri, telah ditata batas dan berita acara tata batas kawasan hutan telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas, maka yang digunakan sebagai acuan kawasan hutan adalah berita acara tata batas yang telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas. Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri, telah ditata batas, berita acara tata batas kawasan hutan telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas dan berita acara tata batas telah disahkan oleh Menteri, maka yang digunakan sebagai acuan kawasan hutan adalah berita acara tata batas yang telah disahkan oleh Menteri. Dalam hal suatu areal telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri, telah ditata batas, berita acara tata batas kawasan hutan telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas, berita acara tata batas telah disahkan oleh Menteri dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri, maka yang digunakan sebagai acuan kawasan hutan adalah Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan. Sejarah dan perkembangan penetapan Kawasan TNGL berdasarkan tahapan pengukuhan kawasan hutan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kawasan ini telah pada tahapan final kukuhnya suatu kawasan hutan. Kawasan TNGL telah ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan status sebagai taman nasional melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6589/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 622
12 924.35 ha di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh dan juga Nomor 4039/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang Penetapan kawasan hutan sebagian TNGL seluas 205 355.14 ha di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
Penggunaan dan Penutupan Lahan Dalam kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan dan pengelolaan suatu kawasan perlu terlebih dahulu mengetahui tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan dari kawasan tersebut. Penggunaan lahan dan penutupan lahan merupakan dua istilah yang berbeda. Lillesand dan Kiefer (1990) mendefenisikan penutupan lahan sebagai jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi dan penggunaan lahan sebagai kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Hal yang sama juga diungkapkan Rustiadi et al. (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan lahan dan penutupan lahan memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda, dimana istilah penutupan lahan lebih bernuansa fisik sedangkan penggunaan lahan menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan/penggunaaan lahan oleh manusia. Pada saat ini, tehnologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah digunakan untuk mengetahui penutupan/penggunaan lahan pada suatu wilayah kajian. Data-data tutupan lahan berupa data citra satelit yang mudah didapat dan bebas untuk diakses juga menjadi pemicu penggunaan penginderaan jauh dan SIG semakin menjadi pilihan untuk mengetahui penutupan/penggunaan lahan suatu wilayah. Menurut Barus dan Wiradisatra (2000) aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Meshesha et al. (2016) dalam penelitiannya di daerah aliran sungai Beressa di sebelah utara tengah dataran tinggi Ethiopia juga menggunakan SIG dan penginderaan jauh dalam menganalisis perubahan dinamik penggunaan lahan dan penutupan lahan di wilayah tersebut dari tahun 1984 sampai tahun 2015. Dengan menggunakan citra Landsat yang diunduh dari situs USGS, mereka menggunakan citra Landsat 5 dan Landsat 8 pada path/row 168/53 dengan resolusi spasial 30 m yang diakuisisi pada tanggal 17 Desember 1984, 25 Januari 1999 dan 23 Desember 2015. Semua citra diubah kedalam sistem UTM (Universal Transfer Mercator) dengan georeferensi yang dipakai adalah WGS-84. Untuk klasifikasi citra Landsat dilakukan dengan klasifikasi terbimbing memakai software ERDAS. Awalnya dibuat 250 unit contoh (training area) terlebih dahulu untuk menghasilkan kelas penutupan lahan tematik. Dihasilkan 6 kelas penggunaan dan penutupan lahan pada wilayah penelitiannya pada 3 (tiga) titik tahun yaitu tahun 1984, 1999 dan 2015. Kelas penggunaan dan penutupan lahan ini kemudian dihitung luasannya pada tiaptiap tahun, kemudian dilakukan overlay antar titik tahun untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada periode 1984-1999, 1999-2015 dan periode 19842015. Sedikit berbeda dengan metode di atas, Ramadhani (2014) menggunakan citra Landsat 8 pada path/row 129/58 dengan menggunakan sistem koordinat WGS 1984 UTM zona 47N untuk menghasilkan tutupan lahan tahun 2014. Perbedaannya
13 adalah dalam menghasilkan kelas penggunaan lahan, Ramadhani (2014) melakukan klasifikasi dengan menggunakan metode digitasi layar. Metode digitasi layar ini biasanya digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam melakukan klasifikasi penutupan/penggunaan lahan pada suatu wilayah. Melalui digitasi layar ini dihasilkan 7 (tujuh) jenis tutupan lahan pada hasil penelitiannya.
Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Rustiadi et al. (2011) menyatakan pentingnya melakukan evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan lahan dan penutupan lahan (land use dan land cover) untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Liu et al. (2009) menyebutkan bahwa perubahan penggunaan dan penutupan lahan selalu menyebabkan konsekuensi ekologis, seperti kehilangan biodiversitas/keanekaragaman hayati dan menurunkan daya dukung ekologi. Pengetahuan tentang penggunaan dan penutupan lahan merupakan komponen penting dalam memahami interaksi kegiatan manusia dengan lingkungan sehingga dengan demikian perlu untuk dapat mensimulasikan perubahan yang terjadi (Prakasam, 2010). Pengamatan empiris Prakasam menunjukkan adanya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Taluk Kodaikanal, India selama periode 40 tahun (tahun 1969 sampai dengan tahun 2008). Klasifikasi penggunaan lahan dan tutupan lahan dilakukan melalui survei dan melalui analisis citra satelit Landsat 4 dan Landsat 5 wilayah Taluk Kodaikanal, India. Software GIS digunakan untuk menyiapkan peta tematik. Pengamatan lapangan juga dilakukan untuk memeriksa ketepatan klasifikasi.
Faktor Penyebab Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Verburg et al. (2002) menyatakan perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan merupakan hasil dari berbagai proses interaksi. Setiap proses berjalan melalui rentang skala dalam ruang dan waktu. Proses ini dipicu oleh satu atau lebih variabel yang dipengaruhi keterlibatan aksi agen perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan. Faktor-faktor pendorong termasuk demografi (tekanan penduduk) faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor kelembagaan, faktor budaya dan faktor biofisik. Keseluruhan faktor ini mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dengan cara yang berbeda-beda. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Warlina (2007) yang menyebutkan penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, kebijakan (policy), institusi, budaya dan biofisik. Analisa perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan penggunaan lahan (land use) dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dan perubahan penggunaan lahan. Lambin et al. (2003) membuat 5 (lima) tipologi penyebab terjadinya perubahan penggunaan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku.
14 Ramadhani (2014) yang melakukan penelitian analisis deforestasi di kawasan TNGL menyebutkan faktor pendorong utama perubahan tutupan hutan primer adalah jarak ke jalan dan jarak ke sungai, dimana semakin dekat dengan jalan dan semakin jauh dari sungai maka perubahan hutan primer semakin tinggi. Hutan sekunder perubahannya didorong oleh faktor jarak ke pemukiman dan kepadatan penduduk, dimana semakin dekat dengan pemukiman dan semakin tinggi kepadatan penduduk maka terjadinya perubahan hutan sekunder semakin tinggi. Faktor pendorong yang mempengaruhi perubahan perkebunan adalah jarak ke pemukiman, kepadatan penduduk dan jarak ke sungai, dimana semakin jauh dari pemukiman, semakin kecil kepadatan penduduk dan dekat dengan sungai maka perubahan perkebunan semakin tinggi. Faktor pendorong utama untuk perubahan tutupan lahan berupa pertanian adalah jarak ke sungai dimana semakin dekat dengan sungai berubahnya pertanian menjadi jenis penggunaan yang lain semakin tinggi.
Tekanan Penduduk Terhadap Keberadaan Kawasan Taman Nasional Tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan Taman Nasional dilakukan dengan menggunakan Indeks Tekanan Penduduk semua desa yang ada di sekitar maupun di dalam kawasan taman nasional. Indeks tekanan penduduk sendiri didapatkan dari perpaduan beberapa faktor yaitu luas lahan minimal per petani untuk dapat hidup, jumlah penduduk, proporsi petani dalam populasi, tingkat pertumbuhan penduduk dan total luas lahan pertanian yang sudah ada maupun yang potensial tersedia. Adanya tekanan penduduk terhadap kawasan lindung seperti halnya pada taman nasional di suatu daerah, salah satunya disebabkan lahan pertanian di daerah tersebut tidak cukup untuk mendukung kehidupan penduduk pada tingkat yang dianggap layak, sehingga penduduk berusaha untuk mendapatkan tambahan pendapatan antara lain dengan membuka lahan baru (UML, 2005). Indeks tekanan penduduk dihitung dengan menggunakan persamaan nilai Indeks Tekanan Penduduk dengan satuan analisis wilayah desa (Soemarwoto, 1985), sebagai berikut :
Dimana : = Indeks tekanan penduduk PPt Zt = Luas lahan minimal per petani untuk dapat hidup (ha/orang) P0 = Jumlah penduduk pada t0 (jiwa) Ft = Proporsi petani dalam populasi r = Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun t = Rentang waktu dalam tahun = Total luas lahan pertanian (ha) Lt Nilai indeks tekanan penduduk merupakan faktor yang mendorong penduduk untuk melakukan perluasan lahan. Nilai ini baru berarti jika nilainya lebih besar dari 1 (satu).
15 Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN (2011) menyebutkan ada beberapa dampak dari tingginya tekanan penduduk berdasarkan nilai indeks tekanan penduduk dalam satu wilayah yaitu: 1. Memungkinkan penduduk untuk melakukan perluasan lahan pertanian atau berupaya untuk mendapatkan lahan pertanian baru untuk mendukung kehidupan yang dipandang layak, sesuai dengan standar hidup yang diinginkan ataupun untuk survival. 2. Memungkinkan penduduk akan melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan yang memberikan dampak negatif terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan. 3. Mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk petani di daerah yang bersangkutan. 4. Memungkinkan keluarnya tenaga kerja dari sektor pertanian ke lapanganlapangan usaha di sektor non-pertanian 5. Tidak hanya berdampak terhadap daerah pertanian-pedesaan yang bersangkutan, tetapi juga melalui gerak (mobilitas) penduduk, meningkatnya arus urbanisasi akan berdampak pada daerah perkotaan.
Hasil Penelitian Terdahulu Ramadhani (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Analysis of Deforestation and Forest Sustainability using scenario – based land allocation modelling, a case study at Gunung Leuser National Park (GNLP) in Langkat Regency, North Sumatra Province, Indonesia menyimpulkan telah terjadi perubahan penutupan/penggunaan lahan yang sangat tinggi antar tipe tutupan/penggunaan lahan di TNGL. Untuk tutupan lahan berupa hutan primer dan pertanian pada periode tahun 2000 ke 2014 mengalami penurunan luas sebesar 12,38% dan 1,03%, sedangkan untuk tutupan lahan berupa perkebunan, semak belukar dan hutan sekunder mengalami peningkatan luas sebesar 0,08%, 3,94% dan 9,40%. Adapun total deforestasi di TNGL yang terletak di Kabupaten Langkat dari tahun 2000 ke 2014 sebesar 5 991 hektar (0,22 % per tahun). Faktor pendorong yang mempengaruhi deforestasi di TNGL di Kabupaten Langkat adalah jarak ke pemukiman, kepadatan penduduk, jarak ke jalan, dan jarak ke sungai. Berdasarkan hasil penelitiannya terlihat bahwa yang paling berpengaruh terhadap faktor pendorong adalah jarak ke jalan dan kepadatan penduduk. Secara spesifik berdasarkan hasil regresi logistik, faktor pendorong utama perubahan tutupan hutan primer adalah jarak ke jalan, sementara untuk hutan sekunder perubahan didorong oleh faktor jarak ke pemukiman. Jarak ke sungai menjadi faktor pendorong utama untuk perubahan tutupan lahan berupa pertanian, perkebunan dan semak belukar. Faktor pendorong yang mempengaruhi tutupan lahan berupa areal terbangun adalah kepadatan penduduk. Nurwijayanto (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung dalam rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian tersebut salah satu tujuannya adalah mengetahui adanya indikasi tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan lindung di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan hasil analisis tekanan penduduk, bahwa dari 403 desa di Kabupaten Deli Serdang, terdapat 312 desa yang memiliki nilai tekanan penduduk
16 > 1 yang berpotensi untuk mendorong penduduk dalam melakukan perluasan lahan pertanian dalam kawasan lindung.
3
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan TNGL dan juga di daerah penyangganya yang ada di Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang ada di kedua propinsi tersebut (Gambar 2). Kawasan TNGL memiliki luas 828 279 ha dimana seluas 622 924 ha terdapat di Propinsi Aceh dan 205 355 ha terdapat di Propinsi Sumatera Utara (berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6589/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 dan SK nomor 4039/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Mei 2014). Pelaksanaan penelitian dimulai pada April 2015 sampai dengan Desember 2015.
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat tahun 1995, 1996, 1997, 2003, 2005 dan 2014 pada scene path 129 row 57, path 129 row 58, path 130 row 57 dan path 130 row 58, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000, Peta Administrasi Skala 1 : 25.000, Peta Tanah, Peta Lereng, Peta
17 Elevasi, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara Skala 1 : 250.000, Dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Leuser dan data Potensi Desa (Podes). Alat yang digunakan adalah perangkat penerima GPS, kamera digital dan perangkat komputer yang dilengkapi dengan software : ArcGIS, Google Earth, dan Microsoft Office.
Prosedur Analisis Data Prosedur analisis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) tahapan yaitu tahapan analisis perubahan dan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan, tahapan analisis hubungan antara tekanan penduduk dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan dan tahapan penyusunan arahan dan rekomendasi. Tahap analisis perubahan dan pola perubahan penutupan/ penggunaan lahan mencakup analisis penutupan/penggunaan lahan dan analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan. Tahap analisis hubungan antara tekanan penduduk dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan analisis indeks tekanan penduduk yang dihubungkan dengan output tujuan analisis 1. Untuk tahap penyusunan arahan dan rekomendasi dilakukan dengan melihat hasil dari tahap 1 dan 2 dengan kondisi pengelolaan TNGL sekarang. Adapun matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, metode analisis dan output disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Matriks Hubungan antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis dan Output No
Tujuan
Jenis Data
1.
Analisis perubahan dan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1996, 2005 dan 2014.
Citra Landsat Multitemporal
2.
Analisis hubungan antara indeks tekanan penduduk dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan
3.
Menyusun arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan yang mendukung pengelolaan TN Gunung Leuser
Data PODES tahun 2008 Propinsi Aceh dan Sumatera Utara Peta Penggunaan Lahan tahun 2014 Peta Penggunaan Lahan tahun 2014 Peta Zonasi dan dokumen RPTN Peta Pola Ruang Indeks Tekanan Penduduk
Sumber Data Download dari USGS Earth Explorer
Metode Analisis Interpretasi Citra didukung dengan pemeriksaan lapang Overlay Deskriptif
BPS Output tujuan 1
Overlay Deskriptif
Output tujuan 1 Output tujuan 2 BBTNGL Bappeda Propinsi
Overlay Analisis
Output Peta dan data penggunaan lahan tahun 1996, 2005 dan 2014 Peta dan data perubahan penggunaan lahan periode 1996-2005 dan 2005-2014 Desa dengan indeks tekanan penduduk >1
Arahan dan rekomendasi untuk mendukung pengelolaan TNGL
18 Analisis Penutupan/Penggunaan Lahan a.
Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan
Data yang digunakan untuk analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan terdiri atas citra satelit multitemporal sebanyak 4 scene untuk setiap liputan tahun. Hal ini dikarenakan wilayah yang menjadi lokasi penelitian sangat luas dan terliputi dalam 4 scene citra satelit. Untuk menggambarkan penutupan/penggunaan lahan tahun 1996 digunakan Citra Landsat 5 Tahun 1995, 1996, dan 1997. Penggambaran penutupan/penggunaan lahan tahun 1996 menggunakan 3 tahun yang berbeda ini dikarenakan citra yang tersedia pada lokasi penelitian tidak lengkap, sehingga diambil pendekatan melalui citra pada tahun yang berdekatan dengan tahun 1996. Untuk menggambarkan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 digunakan Citra Landsat 7 Tahun 2005 yang ditambal dengan menggunakan citra Landsat tahun 2003 pada scene path dan row yang sama. Penambalan dilakukan karena pada citra Landsat 7 tahun 2005 ada gangguan stripping akibat rusaknya sensor satelit Landsat 7. Dari 4 scene citra tahun 2005 yang ada 3 citra mengalami kerusakan berupa citra yang bergaris-garis. Untuk menggambarkan penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 digunakan Citra Landsat 8 OLI TIRS tahun 2014. Proses stacking terhadap semua band dengan resolusi yang sama dan memotong citra sesuai polygon batas lokasi penelitian. Citra Landsat multitemporal yang dipakai di download dari USGS Earth Explorer. Interpretasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan menggunakan unsur interpretasi rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan (spasial arrangement) obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain). Kombinasi citra Landsat yang digunakan adalah kombinasi yang memiliki informasi terbaik dalam klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dalam hal ini menggunakan kombinasi komposit band RGB 5-4-3 dan 6-5-4. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan cara digitasi layar seperti yang biasa dipergunakan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. b.
Pengujian Hasil Interpretasi
Pengujian kualitas hasil interpretasi penutupan/penggunaan lahan dengan melakukan pengecekan lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaran, ketepatan atau kenyataan di lapangan. Verifikasi dilakukan dengan memeriksa penutupan/penggunaan lahan pada wilayah yang dijadikan sebagai contoh. Dalam hal ini dilakukan dengan pengecekan lapangan dan juga melalui bantuan Google Earth sebagai citra referensi dengan menentukan beberapa titik pada hasil klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dan dibandingkan dengan citra Google Earth. Validasi yang sering digunakan untuk menguji kualitas hasil interpretasi berbasis data penginderaan jauh ini adalah overall accuracy dan kappa accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission (diagonal) sedangkan kappa accuracy sudah mempertimbangkan commission dan omission. Hal ini menyebabkan nilai overall accuracy memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan
19 dengan kappa accuracy. Nilai overall accuracy menunjukkan tingkat kebenaran citra hasil klasifikasi berdasarkan interpretasi Selain itu, melalui pengujian hasil interpretasi juga akan didapat yang disebut dengan producer’s accuracy dan user’s accuracy yang menunjukkan tingkat akurasi dari sisi pengamatan yang berbeda. Producer’s accuracy adalah probabilitas/peluang rata-rata (%) suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan secara rata-rata menunjukkan seberapa baik setiap kelas di lapangan telah diklasifikasi. User’s accuracy adalah probabilitas/peluang rata-rata (%) suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi, secara aktual mewakili kelas kelas tersebut di lapangan (Hermawan 2008). Adapun rumus kappa accuracy adalah sebagai berikut (Jensen, 1986) : N ∑ri=1 Xii - ∑ri=1 (Xit *Xti) Kappa Accuracy = N2 - ∑ri (Xit *Xti) Dimana: Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X it : jumlah pixel dalam baris ke-i Xti : jumlah pixel dalam kolom ke-i N : banyaknya pixel dalam contoh r : Jumlah tipe penggunaan lahan Pengujian hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy diatas 85 % (Jensen, 1986). Analisis Perubahan Penutupan/penggunaan Lahan Tumpang tindih hasil interpretasi yang dilakukan pada citra Landsat tahun 1996, 2005 dan 2014 yaitu peta penutupan/penggunaan lahan tahun 1996, 2005 dan 2014 yang telah didukung pengecekan lapang akan menghasilkan peta perubahan penutupan/penggunaan lahan pada selang waktu tersebut. Analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1996, 2005 dan 2014 akan menghasilkan matriks transformasi perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan contoh matriks disajikan pada Tabel 4. Melalui matriks transformasi ini akan terlihat kelas penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan maupun peningkatan luasan. Selain itu, akan didapatkan juga pola perubahan penutupan/penggunaan lahan antara tahun 1996, 2005 dan 2014 pada lokasi kajian. Dengan mendapatkan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan ini akan didapat informasi kecenderungan suatu penutupan/penggunaan lahan berubah menjadi bentuk penutupan/penggunaan lahan tertentu. Matriks transformasi juga dapat menggambarkan penambahan dan pengurangan penutupan/penggunaan suatu kelas lahan disumbang dari penutupan/penggunaan jenis lahan apa saja, sehingga dengan matriks transformasi ini akan dapat dijelaskan yang mempengaruhi pola-pola yang terbentuk dalam kawasan TNGL.
20 Tabel 4 Contoh Matriks Transformasi Perubahan Penutupan/penggunaan Lahan
Keterangan: : Tidak Berubah
: Berubah
Analisis Tekanan Penduduk Analisis tekanan penduduk dilakukan dengan menghitung nilai indeks tekanan penduduk tiap-tiap desa yang ada di sekitar maupun di dalam TNGL. Indeks tekanan penduduk sendiri didapatkan dari perpaduan beberapa faktor yaitu luas lahan minimal per petani untuk dapat hidup, jumlah penduduk, proporsi petani dalam populasi, tingkat pertumbuhan penduduk dan total luas lahan pertanian yang sudah ada maupun yang potensial tersedia. Desa-desa yang ada di dalam maupun di sekitar TNGL didapatkan dari peta administrasi desa yang dioverlaykan dengan peta kawasan TNGL. Desa-desa yang berbatasan langsung ataupun yang keseluruhannya terdapat di dalam TNGL diidentifikasi sebagai desa yang kemungkinan memiliki potensi tekanan penduduk. Melalui data PODES tahun 2008 diambil data-data yang diperlukan untuk perhitungan indeks tekanan penduduk dari desa yang teridentifikasi tersebut. Data yang dipergunakan adalah data jumlah penduduk, data proporsi petani dalam populasi. Untuk data luas lahan minimal per petani untuk dapat hidup diambil dari hasil penelitian UML (2005) yang menyatakan luasan minimal per petani untuk dapat hidup yaitu seluas 0,75 Ha. Untuk data tingkat pertumbuhan penduduk diambil dari tingkat pertumbuhan penduduk per provinsi baik Provinsi Aceh maupun Provinsi Sumatera Utara. Data luasan lahan potensial tersedia untuk lahan pertanian didapat dengan cara hasil overlay desa-desa dengan kawasan TNGL, dimana luasan desa yang berada di luar kawasan TNGL merupakan luasan lahan potensial sebagai lahan pertanian. Untuk wilayah desa yang sebagian ataupun keseluruhan wilayahnya berada di dalam kawasan TNGL otomatis berarti tidak potensial sebagai lahan pertanian karena telah merupakan kawasan TNGL.
21 Arahan dan Rekomendasi Arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan serta arahan dan rekomendasi untuk mendukung pengelolaan TNGL dilakukan dengan mempertimbangkan perubahan penutupan/penggunaan lahan, tekanan penduduk, pola ruang berdasarkan RTRW Propinsi dan peta penetapan kawasan TNGL. Rekomendasi dan arahan yang dibuat berupa penetapan desa target kegiatan Model Desa Konservasi (MDK), arahan revisi zonasi pengelolaan TNGL dan arahan pelaksanaan pemulihan ekosistem kawasan TNGL. Penetapan desa sekitar kawasan TNGL sebagai target kegiatan Model Desa Konservasi dengan pertimbangan desa-desa prioritas adalah desa yang memiliki indeks tekanan penduduk > 1. Dimana desa dengan indeks tekanan penduduk > 1 akan memiliki potensi untuk menekan keberadaan dan keamanan kawasan TNGL. Kegiatan MDK sendiri merupakan kegiatan yang dibuat oleh pihak pengelola untuk mengalihkan kegiatan ekonomi masyarakat desa sekitar agar tidak menekan keberadaan kawasan konservasi yang dilakukan dengan cara pemberian modal ekonomi untuk kegiatan masyarakat desa maupun dengan melakukan pelatihan dan bantuan kegiatan lainnya. Arahan revisi zonasi pengelolaan TNGL dibuat dengan memakai kriteria zona taman nasional yang berlaku sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 76 tahun 2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam serta menggunakan peta penetapan kawasan TNGL yang telah final. Arahan pelaksanaan pemulihan ekosistem kawasan TNGL dilakukan dengan membedakan kegiatan berupa rehabilitasi/restorasi dan mekanisme alam. Pembedaan dilakukan dengan melihat kondisi penutupan/penggunaan lahan tahun 2014, dimana untuk penutupan/penggunaan lahan di dalam kawasan yang sudah jauh berubah dari kondisi asli dan seharusnya dilakukan kegiatan rehabilitasi/restorasi sedangkan untuk penutupan/penggunaan lahan di dalam kawasan yang belum terlalu jauh berubah dilakukan mekanisme alam saja. Pembedaan kegiatan ini perlu dilakukan dalam rangka optimalisasi kegiatan pemulihan ekosistem yang memiliki keterbatasan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya pendanaan. Diharapkan dengan adanya pembedaan kegiatan pemulihan ekosistem ini maka pemulihan ekosistem yang akan direncanakan dan dilakukan oleh pengelola semakin cepat dan tepat sasaran.
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Karakteristik Wilayah Topografi Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL dan wilayah penyangganya memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3 000 mdpl. Puncak Leuser merupakan salah satu tempat di TNGL ini yang memiliki ketinggian > 3 000 mdpl tepatnya
22 adalah 3 119 mdpl. Mayoritas kawasan ini memiliki kelas ketinggian tempat antara 0 – 1 500 mdpl (63,50%). Tabel 5 Kelas Ketinggian Tempat TNGL dan Penyangga No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas Ketinggian Tempat 0-500 500 - 1000 1000 - 1500 1500 - 2000 2000 - 2500 2500 - 3000 > 3000 Total
Luas
%
200 041 199 000 228 688 191 384 111 098 52 298 6 036
20,24 20,13 23,13 19,36 11,24 5,29 0,61
988 545
100
Dari Gambar 3 dan Tabel 5 terlihat bahwa kelas ketinggian tempat paling rendah (0 – 500 m) di kawasan TNGL ini terletak di daerah yang berbatasan dengan daerah penyangganya. Berdasarkan topografi sangat wajar apabila kekayaan flora dan fauna yang dimiliki TNGL ini begitu melimpah. Kelas ketinggian tempat dengan rentang yang lebar seperti TNGL ini mengakibatkan terbentuknya tipe-tipe ekosistem yang beragam. Semakin beragam tipe ekosistem yang ada pada suatu kawasan maka akan mengakibatkan flora dan fauna yang ada dan hidup di kawasan tersebut akan semakin beragam pula.
Gambar 3 Peta Topografi TNGL dan penyangganya
23 Kelerengan Lahan Berdasarkan kelas kelerengan lahan hasil olahan berdasarkan data srtm 1 arc dengan resolusi 30 m yang diunduh dari www.usgs.glovis terlihat bahwa kawasan TNGL dan daerah penyangganya mayoritas termasuk daerah datar hingga landai (Tabel 6). Pada Gambar 4 terlihat bahwa daerah datar ditunjukkan melalui
Gambar 4 Peta Lereng TNGL dan penyangganya wilayah yang memiliki kelas lereng 0-8%, sedangkan daerah landai ditunjukkan melalui wilayah yang memiliki kelas lereng 8-15%. Tabel 6 Kelas Lereng TNGL dan Penyangga No
Kelas Lereng
1 2 3 4
0-8% 8 - 15% 15 - 25 % 25 - 40 %
5
> 40 % Total
Luas
%
442 506 435 439 106 919 3 554
44,76 44,05 10,82 0,36
127
0,01
988 545
100
Berdasarkan hasil kelas kelerengan terlihat bahwa kawasan TNGL dan penyangganya yang memiliki kelas kelerengan datar hingga landai terdapat di Kabupaten Langkat bagian timur laut dan Kabupaten Aceh Selatan bagian selatan. Tanah Berdasarkan taksonomi tanah USDA, jenis tanah di kawasan TNGL dan wilayah penyangganya cukup beragam yaitu sebanyak 11 klasifikasi tanah pada tingkatan great group. Great group Dystropepts merupakan jenis tanah yang paling
24 dominan yaitu sebanyak 81,58 % dari keseluruhan wilayah. Apabila tanah yang terdapat di kawasan TNGL dan wilayah penyangganya diklasifikasikan berdasarkan ordo maka dapat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) ordo yaitu sebagai berikut Ordo Entisol dengan great group Fluvaquents, Tropofluvents, Tropopsamments; Ordo Histosol dengan great group Tropohemists; Ordo Inceptisol dengan great group Dystropepts, Eutropepts, Hydrandepts, Tropaquepts; Ordo Mollisol dengan great group Rendolls; Ordo Ultisol dengan great group Paledults, Tropudults. Secara lengkap jenis klasifikasi tanah di kawasan TNGL dan wilayah penyangganya disajikan pada Gambar 5. Ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan alam perkembangan. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol. Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan pemupukan. Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah Entisol di Indonesia umumnya memberi hasil produksi padi (misalnya: Kerawang, Indramayu, delta Brantas), palawija, tebu (Surabaya). Ordo Histosol merupakan tanah-tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% atau lebih dari 30 %. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Organik atau Organosol. Tanah yang disebut sebagai tanah organosol ini tidak cocok dipakai sebagai lahan pertanian. Tabel 7 Klasifikasi Tanah di TNGL dan Daerah Penyangga No
Klasifikasi Tanah
Ordo
1
Dystropepts
2
Eutropepts
3
Fluvaquents
4
Hydrandepts
5
Paledults
6
Rendolls
Mollisol
7
Tropaquepts
Inceptisol
8
Tropofluvents
Entisol
9
Tropohemists
10 11
Luas (Ha)
%
Inceptisol
819 976
81,58
Inceptisol
7 154
0,71
Entisol
871
0,09
Inceptisol
602
0,06
Ultisol
593
0,06
56 069
5,58
6 890
0,69
378
0,04
Histosol
7 554
0,75
Tropopsamments
Entisol
5 801
0,58
Tropudults
Ultisol
99 262
9,88
1 005 150
100
Total
Ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Padanan namanya termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol atau Gleihumus. Tanah Inceptisol merupakan tanah yang masih berupa bahan induk dan belum matang. Terdapat disekitar lereng yang curam dan hutan dengan sedikit menggunakan sistem drainase agar tanah dapat diolah untuk pertanian. Tanah ini biasa ditanami palawija (jawa) dan juga berupa hutan/semak belukar (sumatera dan Kalimantan).
25
Gambar 5 Peta Tanah TNGL dan penyangganya Ordo Mollisol merupakan tanah dengan epipedon lebih dari 18 cm yang berwarna gelap (hitam), kandungan bahan organik lebih dari 1 %, kejenuhan basa lebih dari 50%. Padanan namanya adalah termasuk tanah Chernozem, Brunizem, dan Rendzina. Di Indonesia, mollisol umumnya ditemukan didaerah bukit kapur (sub ordo Rendoll), sehingga karena tanah bersolum dangkal penggunaannya cukup terbatas. Tanah ini terbentuk didaerah semi arid dan sub humid dan sangat kaya dengan bahan organik. Karena sifat tanah organik, jika terlalu kering tidak dapat lagi menyerap air sehingga jika ada hujan bahan organic ini akan terbawa oleh air aliran permukaan sehingga terjadilah erosi permukaan. Tanah ini mudah mengalami kekeringan karena perkolasi yang cepat, tanah ini hampir tidak berguna bagi pertanian, karena jeluk perakarannya terbatas dan banyak batu-batuan. Ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan namanya adalah termasuk tanah Podsolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu. Sebaiknya tanah ini dihutankan atau paling tidak cocok untuk perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan nanas. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Wilayah TNGL terletak pada 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Hal ini mengakibatkan rencana tata ruang wilayah TNGL diatur berdasarkan pada kedua RTRW Provinsi tersebut yakni RTRW Provinsi Aceh dan juga RTRW Provinsi Sumatera Utara. RTRW Provinsi Aceh yang masih berlaku saat ini diatur melalui Qanun Pemerintahan Provinsi Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh. Untuk RTRW Provinsi Sumatera Utara saat ini masih dalam tahapan revisi dikarenakan adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650-1650 tahun 2014 tentang evaluasi Ranperda
26 RTRW Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 – 2034. Hasil evaluasi tersebut mengamanatkan agar rencana Pola Ruang pada Ranperda RTRW Provinsi Sumatera Utara mempedomani Keputusan Menteri Kehutanan RI tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Ranperda RTRW Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 – 2034 sendiri merupakan perbaikan dari Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003 – 2018 dikarenakan masa berlaku RTRW yang hanya berlaku 15 (lima belas) tahun sedangkan di ketentuan seharusnya masa berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Kondisi saat ini, RTRW Sumatera Utara dalam tahap menunggu penandatanganan dan pengesahan Perda tentang RTRW Provinsi dikarenakan telah mendapatkan persetujuan substansi dari Kementerian PUPR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan dokumen RTRW Provinsi Aceh terlihat bahwa rencana pola ruang wilayah Aceh terdiri atas: a. Kawasan Lindung, dengan luas 2 938 579,68 Ha (49,91%) dan b. Kawasan Budidaya dengan luas 2 949 506,83 Ha (50,09%). Kawasan TNGL secara perencanaan tata ruang Provinsi Aceh telah diakomodir keberadaannya dengan dimasukkannya kawasan ini sebagai kawasan lindung berupa Taman Nasional Gunung Leuser Aceh (TNGLA) dengan luas sekitar 624 651 Ha, terletak di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Tamiang. Letak Geografis dan Administrasi Secara administrasi kawasan TNGL terletak di perbatasan 2 (dua) propinsi yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara dimana wilayah pengelolaannya meliputi 6 (enam) kabupaten (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Langkat dan Karo) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Sementara untuk daerah penyangga ataupun yang bersinggungan dengan TNGL terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Kota Subulussalam di Provinsi Aceh dan Kabupaten Langkat, Karo, Dairi dan Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Gayo Lues merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara. Kabupaten Aceh Tamiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur. Ketiga kabupaten tersebut dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kota Subulussalam merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007. Secara geografis kawasan dengan luas 828 279.49 ha ini berada pada koordinat 02056’ – 04003’ Lintang Utara dan 96055’ – 98030’ Bujur Timur. Kawasan ini terbentang sepanjang 128,9 km dari arah utara sampai selatan dan 183
27 km dari arah timur sampai ke barat yaitu dari pesisir timur sumatera hingga ke pantai barat sumatera yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Gambar 6 Peta Administrasi Lokasi Penelitian Kependudukan Jumlah penduduk pada 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang bersinggungan dan menjadi daerah penyangga wilayah pengelolaan kawasan TNGL pada tahun 1996 berjumlah 3 841 700 jiwa dan meningkat pada tahun 2005 menjadi sebanyak 3 901 192 jiwa. Jumlah penduduk tahun 2014 adalah sebanyak 4 638 318 jiwa. Data jumlah penduduk yang ditunjukkan pada Tabel 8 terlihat adanya data jumlah penduduk pada tahun 1996 dan 2005 yang tidak terisi. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut kabupaten yang dimaksud masih tergabung dengan kabupaten induknya sehingga jumlah penduduk masih terhitung pada kabupaten induk sebelum dimekarkan. Tabel 8 Kondisi Kependudukan Kabupaten di Sekitar TNGL No
Jumlah Penduduk Tahun
Kabupaten 1996
1
Aceh Selatan
2
Aceh Barat Daya
3
Aceh Tenggara
4
Gayo Lues
5
Aceh Tamiang
6
Subulusallam
7
Langkat
380 500 198 100
2005
2014
191 539
220 971
115 676
138 140
169 053
196 249
72 045
86 262
235 314
272 228 73 708
865 800
970 433
1 005 965
28 Tabel 8 (lanjutan) No
Jumlah Penduduk Tahun
Kabupaten 1996
2005
2014
8
Karo
277 800
316 207
382 622
9
Dairi
293 300
261 287
277 575
10
Deli Serdang
1 826 200
1 569 638
1 984 598
*)
**)
Total 3 841 700 3 901 192 4 638 318 Ket: *) : Jumlah total tanpa jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Subullusalam dan Jumlah Penduduk Kabupaten Deli Serdang merupakan jumlah sebelum dimekarkan. **) : Jumlah total tanpa jumlah penduduk Kota Subulusallam.
Perekonomian Berdasarkan data Podes Provinsi Sumatera Utara dan Aceh (2008) terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat desa yang terdapat di TNGL maupun sekitarnya (penyangga) mayoritas adalah bidang pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian masyarakat tersebut tergantung pada kondisi sumber daya alam yang ada pada wilayah tersebut. Tabel 9 Komoditas Daerah penyangga TNGL No
Nama Kabupaten
Jumlah Kecamatan
Jumlah Desa
Mata Pencaharian
Komoditas
1
Langkat
9 Kecamatan
28 Desa
Pertanian
Karet, sawit
2
Karo
6 Kecamatan
21 Desa
Pertanian
Padi, holtikultura
3
Deli Serdang
2 Kecamatan
3 Desa
Pertanian
Kakao
4
Dairi
3 Kecamatan
2 Desa
Pertanian
Palawija, padi, kopi
5
Aceh Tenggara
16 Kecamatan
90 Desa
Pertanian
Padi, palawija, karet, kakao
6
Subulussalam
1 Kecamatan
1 Desa
Pertanian
Sawit
7
Aceh Selatan
12 Kecamatan
22 Desa
Pertanian
Padi, palawija, holtikultura
8
Gayo Lues
8 Kecamatan
38 Desa
Pertanian
Padi, lainnya
9
Aceh Tamiang
2 Kecamatan
1 Desa
Pertanian
Sawit, karet
10
Aceh Barat Daya
4 Kecamatan
4 Desa
Pertanian
Padi, Palawija
Selain dari segi mata pencaharian yang mengandalkan sumber daya alam, terlihat juga bahwa mayoritas masyarakat desa tersebut juga masih mengandalkan kayu bakar sebagai bahan bakar utama, sedangkan sisanya sebagian kecil menggunakan minyak tanah.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga Penutupan/penggunaan lahan di TNGL beserta daerah penyangganya (buffer) terdiri dari 8 (delapan) kelas/jenis yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, rumput/semak belukar, sawah, tanah terbuka dan badan air.
29 Padang rumput dan semak belukar dijadikan satu kelas disebabkan keterbatasan penafsir dalam melakukan interpretasi citra Landsat yaitu kemampuan yang terbatas untuk dapat melihat perbedaan penampakan antara padang rumput dan semak belukar pada citra Landsat. Uji akurasi klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menggunakan menggunakan 100 titik uji dengan metode sebaran Stratified Random Sampling. Hasil dikonfirmasi berdasarkan pengecekan lapang (groundtruth) dan melalui citra resolusi sangat tinggi (Google Earth). Berdasarkan uji akurasi klasifikasi penutupan/penggunaan lahan melalui analisis matriks kesalahan (error matrix), diperoleh nilai Overall Accuracy dan Kappa Accuracy hasil interpretasi penggunaan lahan Tahun 2014 berturut-turut sebesar 91 % dan 0.74. Nilai akurasi tersebut termasuk dalam kategori sangat baik (very good agreement) sehingga hasil klasifikasi penggunaan lahan dapat dilanjutkan untuk analisis perubahan penggunaan lahan. Rustiadi et al. (2011) menyatakan pentingnya melakukan evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan lahan dan penutupan lahan (land use dan land cover) untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Dengan tergambarnya kondisi fisik secara aktual maka penataan suatu ruang yang terdiri dari perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang dapat memberikan hasil penataan ruang yang optimal. Tabel 10 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) No
Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 1996
1 2
Hutan Perkebunan
3 4
Permukiman Pertanian Lahan Kering
5 6
Rumput/ Semak Belukar Sawah
7 8
Tanah Terbuka Badan Air Total
Dalam TN (Ha)
Penyangga (Ha)
Luas Total (Ha)
%
797 874 287 0
120 310 7 129 6
918 184 7 416 6
91.35 0.74 0.00
5 310 22 748 83 2 197 629
23 637 19 873 3 109 1 275 687
28 947 42 621 3 192 3 472 1 316
2.88 4.24 0.32 0.35 0.13
829 128
176 026
1 005 154
100
Penutupan/penggunaan lahan TNGL beserta daerah penyangganya (buffer) Tahun 1996 didominasi hutan sebesar 91.35%, rumput/semak belukar sebesar 4.24% dan pertanian lahan kering sebesar 2.88% (Gambar 7). Penutupan/penggunaan lahan berupa hutan paling luas terdapat pada Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Langkat. Penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar paling luas terdapat pada Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Langkat. Penutupan/penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering paling luas terdapat pada Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan. Apabila diklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan selain dari hutan dan badan air sebagai lahan yang telah terdapat campur tangan manusia maka Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues merupakan
30 kabupaten dimana kawasan TNGL dan daerah penyangganya yang paling tinggi campur tangan manusianya. Penutupan/penggunaan lahan Tahun 2005 masih didominasi hutan sebesar 89.90%, rumput/semak belukar sebesar 4.73% dan pertanian lahan kering sebesar 3.77% (Gambar 8). Penutupan/penggunaan lahan berupa hutan paling luas terdapat pada Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Langkat. Penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar paling luas terdapat pada Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan. Penutupan/penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering paling luas terdapat pada Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan. Apabila diklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan selain dari hutan dan badan air sebagai lahan yang telah terdapat campur tangan manusia maka Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues merupakan kabupaten dimana kawasan TNGL dan daerah penyangganya yang paling tinggi campur tangan manusianya. Tabel 11 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) No
Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 2005
1
Hutan
2 3
Perkebunan Permukiman
4 5
Pertanian Lahan Kering Rumput/ Semak Belukar
6 7
Sawah Tanah Terbuka
8
Badan Air Total
Dalam TN (Ha)
Penyangga (Ha)
Luas Total (Ha)
%
789 100
114 513
903 613
89.90
565 6
7 757 77
8 322 83
0.83 0.01
9 170 26 928
28 756 20 576
37 926 47 504
3.77 4.73
4 2 750
2 427 1 216
2 431 3 966
0.24 0.39
605
704
1 309
0.13
828 523
175 322
1 005 154
100
Penutupan/penggunaan lahan pada Tahun 2014 masih didominasi hutan sebesar 88.25%, rumput/semak belukar sebesar 5.66% dan pertanian lahan kering sebesar 3.18% (Gambar 9). Terjadi peningkatan yang besar pada perkebunan menjadi 1.59%. Penutupan/penggunaan lahan berupa hutan paling luas terdapat pada Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Langkat. Penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar paling luas terdapat pada Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Tenggara. Penutupan/penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering paling luas terdapat pada Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Selatan. Apabila diklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan selain dari hutan dan badan air sebagai lahan yang telah terdapat campur tangan manusia maka Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Gayo Lues merupakan kabupaten dimana kawasan TNGL dan daerah penyangganya yang paling tinggi campur tangan manusianya.
31 Tabel 12 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014 di TNGL dan Daerah Penyangganya (Ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 2014
Dalam TN (Ha)
Penyangga (Ha)
Luas Total (Ha)
%
Hutan Perkebunan Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput/ Semak Belukar Sawah Tanah Terbuka Badan Air
776 058 2 023 17 13 240 31 819 470 4 946 555
110 963 13 911 224 18 742 25 032 4 737 1 821 596
887 021 15 934 241 31 982 56 851 5 207 6 767 1 151
88.25 1.59 0.02 3.18 5.66 0.52 0.67 0.11
Total
829 128
176 026
1 005 154
100
Tabel penutupan/penggunaan Lahan di TNGL dan daerah penyangganya Tahun 1996, 2005 dan 2014 menunjukkan bahwa terdapat penutupan/penggunaan lahan dalam TNGL yang tidak sesuai dengan seharusnya. Hal ini dapat dilihat dari kolom penutupan/penggunaan lahan dalam taman nasional. Sebagai kawasan dengan status taman nasional seharusnya jenis penutupan/penggunaan lahan seperti perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan sawah tidak boleh ada dalam taman nasional. Kembali pada defenisi dari taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli maka dapat dikatakan bahwa kondisi tersebut di atas dapat dikatakan bukan lagi ekosistem asli dari TNGL. Selain itu dari segi pemanfaatan, suatu taman nasional hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi bukan pada kegiatan yang bersifat penggunaan untuk menghasilkan produksi pertanian. Dari peta penutupan/penggunaan lahan tahun 1996,2005 dan 2014 terlihat bahwa persebaran jenis penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, rumput/semak belukar, sawah dan tanah terbuka umumnya terdapat pada bagian pinggir dari lokasi penelitian. Hal ini disebabkan status dan fungsi dari lahan yang berada pada bagian pinggir dari daerah penelitian tersebut yang sebagian besar sebagai kawasan budidaya ataupun statusnya bukan termasuk sebagai kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan campur tangan manusia pada wilayah tersebut menjadi semakin tinggi. Faktor adanya infrastruktur jalan juga mempengaruhi persebaran penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, rumput/semak belukar, sawah dan tanah terbuka. Hal ini terlihat pada peta penutupan/penggunaan lahan dimana pada bagian tengah lokasi penelitian yang merupakan infrastrukur jalan terlihat adanya persebaran penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, rumput/semak belukar, sawah dan tanah terbuka di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan. Hal ini akibat dari adanya infrastruktur berupa jalan akan memudahkan timbulnya campur tangan manusia pada wilayah tersebut.
Gambar 7 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996
32
Gambar 8 7 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005
33
Gambar 9 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014
34
35 Kesesuaian Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dengan zonasi dan RPTN Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefenisikan Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjung budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi dibuat sebagai alat untuk mengatur peruntukan kawasan dan juga tata kelola kawasan agar berjalan secara efektif dengan memperhatikan kondisi biofisik kawasan dan juga target perencanaan kawasan ke depan serta memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar TN serta pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Demikian juga halnya dengan RPTN (Rencana Pengelolaan Taman Nasional) yang merupakan kerangka kerja yang terencana dan terukur bagi pengelola dan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat digunakan sebagai instrumen pencapaian kinerja optimal bagi pengelolaan TNGL. RPTN sendiri juga memasukkan peta zonasi sebagai dasar dalam pembuatan kerangka kerja dan capaian kinerja optimal. Pembuatan RPTN dan penyusunan zonasi merupakan tanggung jawab dari UPT pengelola Taman Nasional yang dilakukan melalui kegiatan inventarisasi potensi kawasan, penataan kawasan dan penyusunan rencana pengelolaan. Pembagian zonasi pengelolaan kawasan TNGL saat ini masih mengacu kepada bentuk dan luasan kawasan TNGL berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 276/Kpts-II/1997 (berdasarkan SK penunjukan kawasan), sedangkan sejak tahun 2014 telah dilakukan proses penetapan kawasan TNGL dan menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan TNGL. Apabila peta zonasi yang ada tersebut diadopsi terhadap peta penetapan kawasan TNGL yang dilakukan dengan cara overlay antara peta zonasi dengan peta penetapan kawasan TNGL maka akan didapatkan peta indikasi zonasi yang artinya sebagai zonasi yang dapat dijadikan pedoman sementara sebelum dilakukannya revisi zonasi. Peta indikasi zonasi tersebut apabila dibandingkan dengan penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 akan menunjukkan kondisi penutupan/penggunaan lahan zonasi yang ada di TNGL berdasarkan SK penetapan kawasan TNGL. Berdasarkan Tabel 13 dan Gambar 10 terlihat bahwa indikasi zonasi belum mencerminkan peruntukan zonasi yang sesuai dengan kriteria seperti yang diatur dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam adalah zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi. Terdapat ketidaksesuaian kondisi penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 dengan peta indikasi zonasi yang telah dibuat. Ketidaksesuaian terlihat pada zona inti dan zona rimba yang seharusnya memiliki kondisi yang masih asli dan tanpa gangguan manusia telah terdapat penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, pertanian lahan kering, pemukiman dan sawah seluas 1 219 Ha (0.17 % dari luasan zona inti dan zona rimba). Selain itu juga pada zona rehabilitasi yang seharusnya adalah wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem terdapat penutupan/penggunaan lahan berupa hutan seluas 47 330 Ha
36 (62.42 % dari luasan zona rehabilitasi). Akibatnya dikhawatirkan apabila dilaksanakan program pemulihan ekosistem maka kegiatan pemulihan tidak tepat sasaran dan tidak optimal sedangkan kemampuan untuk melakukan kegiatan pemulihan ekosistem terbatas baik dari segi dana dan juga sumber daya manusianya. Tabel 13 Penutupan/Penggunaan Lahan pada Indikasi Zonasi TNGL (Ha) Kelas Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014 No
Luas Total
Zonasi BA
Ht
Pkb
Pkm
PLK
RSB
Sw
Tt
1
Abu-abu
24
2
-
3
-
615
-
-
644
2
Inti
76
667 258
34
-
867
15 525
1
2 248
686 009
3
Khusus
31
17
-
4
8
1 104
-
7
1 171
4
Pemanfaatan
161
8 615
36
-
495
923
-
157
10 387
5
Rehabilitasi
244
47 330
1 951
9
11 548
12 117
454
2 176
75 829
6
Religi
-
73
-
-
-
-
-
-
73
7
Rimba
4
48 989
-
-
317
1 527
-
356
51 193
8
Tradisional
15
3 751
-
-
-
-
-
-
3 766
555
776 035
2 021
16
13 235
31 811
455
4 944
829 072
Luas Total
Ket : BA : Badan Air Ht : Hutan Pkb : Perkebunan Pkm : Permukiman
PLK : Pertanian Lahan Kering RSB : Rumput/ Semak Belukar Sw : Sawah Tt : Tanah Terbuka
Mempertimbangkan ketidaksesuaian antara kondisi penutupan/penggunaan lahan dengan indikasi zonasi yang ada maka diperlukan revisi zona pengelolaan kawassan TNGL. Revisi zonasi harus dilakukan mengingat bahwa telah terjadinya
Gambar 10 Peta Kesesuaian Indikasi Zonasi dengan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014
37 perubahan bentuk dan luasan kawasan TNGL berdasarkan penetapan kawasan dan juga belum sesuainya indikasi zonasi dengan kriteria yang disebutkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Kesesuaian Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga dengan RTRWP Berdasarkan Pembagian Pola Ruang yang terdapat RTRW Provinsi Aceh dan RTRW Provinsi Sumatera Utara, terlihat bahwa penggunaan lahan yang ada pada tahun 2014 masih belum sinkron antara pola ruang dengan kondisi penutupan/penggunaan lahannya (ditunjukkan pada Tabel 14 dan Gambar 11). Hal ini terlihat dari masih adanya penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan sawah pada kawasan lindung. Tabel 14 Penutupan/penggunaan Lahan menurut Pembagian Pola Ruang RTRWP berdasarkan SK Penetapan Kawasan TNGL 2014 No
Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014
Pola Ruang Kaw. Budidaya Kaw. Lindung
Total
1 2 3
Badan Air Hutan Perkebunan
150 9 639 13 568
1 002 877 265 2 365
1 152 886 904 15 933
4 5 6 7 8
Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput/ Semak Belukar Sawah Tanah Terbuka
203 17 095 17 430 4 341 1 011
38 14 887 39 422 866 5 756
241 31 982 56 852 5 207 6 767
63 437
941 601
1 005 038
Total
Penutupan/Penggunaan lahan berupa perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan sawah pada kawasan lindung paling banyak terjadi di kawasan TNGL, terutama di kawasan TNGL yang berbatasan langsung dengan wilayah yang memiliki pola ruang berupa kawasan budidaya. Hal ini menggambarkan bahwa wilayah-wilayah di sekitar kawasan TNGL yang berbatasan dengan kawasan budidaya akan semakin rentan dengan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahannya menjadi perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan sawah.
38
Gambar 11 Peta Kesesuaian Pola Ruang berdasarkan Penetapan Kawasan TNGL dengan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2014 Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Daerah Penyangga Liu et al. (2009) menyebutkan bahwa perubahan penggunaan dan penutupan lahan selalu menyebabkan konsekuensi ekologis, seperti kehilangan biodiversitas/keanekaragaman hayati dan menurunkan daya dukung ekologi. Perubahan penggunaan lahan kawasan TNGL dan daerah penyangganya (buffer) periode Tahun 1996 – 2005 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 15 terjadi pada lahan seluas 30 678 (3.05% dari luas areal). Tabel 15 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1996-2005
No
Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan
Tahun 1996
1 2 3 4 5 6
Hutan Perkebunan Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput/ Semak Belukar Sawah
7 8
Tanah Terbuka Badan Air
Luas (Ha) 918 184 7 416 6 28 947 42 621 3 192 3 472 1 316
Total
1 005 154
Perubahan Luas
2005 % 91.35 0.74 0.00 2.88 4.24 0.32 0.35 0.13 100
Luas (Ha)
%
Luas (Ha)
%
903 613 8 322 83
89.90 0.83 0.01
-14 571 906 77
47.50 2.95 0.25
37 926 47 504 2 431 3 966
3.77 4.73 0.24 0.39
8 979 4 883 -761 494
29.27 15.92 2.48 1.61
1 309 1 005 154
0.13 100
-7
0.02
30 678
100
39 Penutupan/Penggunaan lahan yang mengalami penyusutan luas terjadi pada hutan, sawah dan badan air sedangkan peningkatan luas terjadi pada perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, rumput/ semak belukar dan tanah terbuka. Hutan merupakan jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas paling besar, sedangkan pertanian lahan kering merupakan jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas yang paling besar. Dengan menggunakan matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan periode tahun 1996-2005 akan memudahkan untuk melihat perubahan satu jenis penutupan/penggunaan lahan menjadi jenis penutupan/penggunaan lahan lainnya. Berdasarkan matriks perubahan terlihat bahwa hutan yang merupakan jenis penutupan/penggunaan lahan yang paling besar mengalami penyusutan luasan ternyata berubah menjadi jenis penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar dan juga pertanian lahan kering. Penyusutan luasan hutan menjadi rumput/semak belukar dan pertanian lahan kering ini paling banyak terjadi di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Tenggara. Tabel 16 Matriks Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode Tahun 1996 – 2005 Penutupan/Penggunaan Lahan 2005
Penutupan/Penggunaan Lahan 1996
BA
Ket:
BA
Ht
Pkb
Pkm
RSB
1 255
25
Ht
25
903 187
81
Pkb
2
2
6 979
3
3
2
1
457
23
28 261
801
37
5 454
18
923
Pkm PLK
6
RSB
1
Sw Tt
290
20 109
1
PLK
Sw
17
8
3 016 21
233
Tt 9
TOTAL 1
1 316
10 846
1 029
918 184
82
327
7 416 6
195 35 865 2 227 703
5
28 947
173
42 621
4
3 192
2 427
3 472
TOTAL 1 309 903 613 8 322 83 37 926 47 504 2 431 3 966 1 005 154 BA (Badan Air); Ht (Hutan); Pkb (Perkebunan); PLK (Pertanian Lahan Kering); RSB (Rumput/Semak Belukar); Sw (Sawah); Tt (Tanah Terbuka)
Pertanian lahan kering yang merupakan jenis penutupan/penggunaan lahan paling tinggi peningkatan luasnya berdasarkan matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan ternyata disumbang oleh perubahan jenis penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar dan hutan. Rumput/semak belukar sebagai penyumbang terbesar terhadap pertambahan luasan pertanian lahan kering pada periode ini, apabila dihubungkan dengan asal perubahannya dapat terlihat bahwa juga berasal dari penyusutan luasan hutan. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya bahwa penyumbang terbesar terhadap pertambahan luasan pertanian lahan kering pada periode 1996-2005 adalah penutupan/penggunaan lahan berupa hutan. Dari matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan periode 1996-2005 dan runtutan perubahan penutupan/penggunaan terlihat adanya pola perubahan dari hutan menjadi rumput/semak belukar dan terakhir menjadi pertanian lahan kering. Penambahan luasan penutupan/penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering ini paling banyak terjadi di Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan.
40 Tabel 17 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2005-2014
No
Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan
1
Hutan
2
Perkebunan
3
Permukiman
4
Tahun 2005 Luas (Ha)
Perubahan Luas 2014
%
Luas (Ha)
%
Luas (Ha)
%
903 613
89.90
887 021
88.25
-16592
36.56
8 322
0.83
15 934
1.59
7612
16.77
83
0.01
241
0.02
158
0.35
Pertanian Lahan Kering
37 926
3.77
31 982
3.18
-5944
13.10
5
Rumput/ Semak Belukar
47 504
4.73
56 851
5.66
9347
20.59
6
Sawah
2 431
0.24
5 207
0.52
2776
6.12
7
Tanah Terbuka
3 966
0.39
6 767
0.67
2801
6.17
8
Badan Air Total
1 309 1 005 154
0.13 100
1 151 1 005 154
0.11 100
-158 45388
0.35 100
Untuk periode Tahun 2005 – 2014 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 17 terjadi pada lahan seluas 45 388 (4.52% dari luas areal). Jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penyusutan luas terjadi pada hutan, pertanian lahan kering dan badan air sedangkan peningkatan luas terjadi pada perkebunan, permukiman, rumput/ semak belukar, sawah dan tanah terbuka. Hutan merupakan jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas paling besar, sedangkan rumput/semak belukar merupakan jenis penutupan/ penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas yang paling besar. Berdasarkan matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan periode tahun 2005-2014 terlihat bahwa hutan yang mengalami penyusutan luas paling besar berubah menjadi jenis penutupan/penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dan juga rumput/semak belukar. Penyusutan luasan hutan menjadi pertanian lahan kering dan rumput/semak belukar ini paling banyak terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Langkat. Penambahan luas paling besar yaitu pada rumput/semak belukar berdasarkan matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan disumbangkan oleh perubahan jenis penutupan/penggunaan lahan berupa hutan dan pertanian lahan kering. Pada periode 2005-2014 juga terdapat penambahan signifikan terhadap luasan perkebunan yang disumbangkan oleh perubahan pertanian lahan kering dan rumput/semak belukar menjadi perkebunan. Peningkatan signifikan ini terlihat pada periode 1996-2005 penambahan luasan perkebunan hanya sebesar 906 ha (2.95 % dari total perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi) sedangkan pada periode 2005-2014 penambahan luasan perkebunan sebesar 7 612 ha (16.77 % dari total perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi). Penambahan luasan perkebunan ini paling banyak terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Selatan. Dari matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan periode 2005-2014 dan runtutan perubahan penutupan/penggunaan terlihat adanya pola perubahan dari hutan menjadi rumput/semak belukar ataupun pertanian lahan kering dan kemudian rumput/semak belukar dan pertanian lahan kering ini berubah kembali menjadi perkebunan.
41 Tabel 18 Matriks Perubahan Penutupan/penggunaan Lahan Periode Tahun 2005 – 2014 Penutupan/Penggunaan Lahan 2014
Penutupan/Penggunaan Lahan 2005
BA BA
Pkb
Pkm
1 065
120
16
25
884 979
587
Pkb Pkm
Ht
PLK
RSB
Sw
Tt
TOTAL
60
25
21
2
1 309
7
7 328
6 862
297
3 528
903 613
7 804
10
10
348
150
8 322
1
81
1
83
PLK
23
438
5 278
54
23 211
6 002
RSB
16
1 224
1 501
35
1 151
42 888
Sw
10
2
265
51
94
Tt
12
258
482
3
128
725
197
2 161
3 966
1 151
887 021
15 934
241
31 982
56 851
5 207
6 767
1 005 154
TOTAL Ket:
Ht
2 679
241
37 926
4
685
47 504
2 009
2 431
BA (Badan Air); Ht (Hutan); Pkb (Perkebunan); PLK (Pertanian Lahan Kering); RSB (Rumput/Semak Belukar); Sw (Sawah); Tt (Tanah Terbuka)
Berdasarkan pengamatan pada 2 (dua) periode perubahan penutupan/penggunaan lahan yaitu periode tahun 1996-2005 dan periode tahun 2005-2014 telihat bahwa ada pola yang sama yang tejadi dan ada juga pola yang berbeda. Pola yang sama terjadi adalah jenis penutupan/penggunaan lahan yang selalu mengalami penyusutan luas adalah penutupan/penggunaan lahan berupa hutan dan selalu mengalami penyusutan luas paling besar. Perbedaan pola pada kedua periode tersebut terjadi pada jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan. Dimana pada periode tahun 1996-2005 jenis penutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas paling besar adalah pada jenis pertanian lahan kering, sedangkan pada periode tahun 2005-2014 terjadi peningkatan luas paling tinggi pada rumput/semak belukar dan juga terdapat peningkatan yang signifikan pada perkebunan. Peningkatan luasan signifikan terhadap penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan ini kemungkinan diakibatkan makin tertariknya masyarakat untuk membuka lahan menjadi perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit seperti yang terlihat pada beberapa lokasi di kawasan TNGL. Hal ini didukung dengan penyumbang terbesar pada penambahan luasan perkebunan ini adalah pertanian lahan kering. Artinya terjadi perubahan ketertarikan masyarakat dalam hal komoditas dalam pertanian, dimana yang sebelumnya berupa pertanian lahan kering berubah menjadi perkebunan. Mulyoutami et al. (2010) menyebutkan ketertarikan masyarakat ini dikarenakan adanya kemudahan yang didapat masyarakat apabila menanam lahan menjadi kelapa sawit dibandingkan komoditas lain yaitu: 1) adanya pendapatan teratur dari kepala sawit dan 2) pengelolaan kelapa sawit dirasa sangat mudah. Analisis Tekanan Penduduk Terhadap Keberadaan Kawasan TN Tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan Taman Nasional dilakukan dengan menggunakan Indeks Tekanan Penduduk dari semua desa yang ada di sekitar maupun di dalam kawasan taman nasional. Indeks tekanan penduduk sendiri didapatkan dari perpaduan beberapa faktor yaitu luas lahan minimal per petani
42 untuk dapat hidup, jumlah penduduk, proporsi petani dalam populasi, tingkat pertumbuhan penduduk dan total luas lahan pertanian yang sudah ada maupun yang potensial tersedia. Adanya tekanan penduduk terhadap kawasan lindung seperti halnya pada taman nasional di suatu daerah, salah satunya disebabkan lahan pertanian di daerah tersebut tidak cukup untuk mendukung kehidupan penduduk pada tingkat yang dianggap layak, sehingga penduduk berusaha untuk mendapatkan tambahan pendapatan antara lain dengan membuka lahan baru (UML, 2005). Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN (2011) menyebutkan ada beberapa dampak dari tingginya tekanan penduduk berdasarkan nilai indeks tekanan penduduk dalam satu wilayah yaitu: 1. Memungkinkan penduduk untuk melakukan perluasan lahan pertanian atau berupaya untuk mendapatkan lahan pertanian baru untuk mendukung kehidupan yang dipandang layak, sesuai dengan standar hidup yang diinginkan ataupun untuk survival. 2. Memungkinkan penduduk akan melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan yang memberikan dampak negatif terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan. 3. Mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk petani di daerah yang bersangkutan. 4. Memungkinkan keluarnya tenaga kerja dari sektor pertanian ke lapanganlapangan usaha di sektor non-pertanian. 5. Tidak hanya berdampak terhadap daerah pertanian-pedesaan yang bersangkutan, tetapi juga melalui gerak (mobilitas) penduduk, meningkatnya arus urbanisasi akan berdampak pada daerah perkotaan. Berdasarkan bentuk dan luasan TNGL hasil penetapan kawasan TNGL maka didapatkan 206 desa yang terdapat di sekitar maupun di dalam kawasan TNGL. Dari 206 desa tersebut terdapat 109 desa yang memiliki Indeks Tekanan Penduduk di atas 1, dimana desa tersebut memiliki kemungkinan penduduknya untuk melakukan perluasan lahan, kemungkinan penduduk melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan dan berdampak negatif dan kemungkinan dampak lainnya akibat dari tekanan penduduk (Gambar 12). Perbandingan kondisi penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 dengan indeks tekanan penduduk yang dilakukan dengan cara overlay didapatkan bahwa 98 Desa dari 109 desa yang memiliki indeks tekanan penduduk > 1 tersebut merupakan wilayah yang penutupan/penggunaan lahannya sudah didominasi oleh Perkebunan, Pertanian Lahan Kering dan Sawah. Berdasarkan wilayah administrasi kabupaten, berdasarkan perhitungan indeks tekanan penduduk di Kabupaten Aceh Tenggara terdapat 90 desa di sekitar maupun di dalam kawasan TNGL dimana 1 diantaranya berada di dalam kawasan TNGL yaitu Desa Simpur Jaya di Kecamatan Ketambe. Dari 90 desa tersebut, sebanyak 82 desa memiliki Indeks Tekanan Penduduk di atas 1. Kabupaten Gayo Lues terdapat sebanyak 38 desa yang berada di sekitar maupun di dalam kawasan TNGL, dimana 3 diantaranya berada di dalam kawasan TNGL yaitu Desa Meloak Aih Ilang, Desa Ramung Musara dan Desa Singah Mule di Kecamatan Putri Betung dan sebanyak 11 desa memiliki Indeks Tekanan Penduduk di atas 1. Untuk Kabupaten Langkat terdapat sebanyak 28 desa yang berada di sekitar kawasan TNGL dan sebanyak 5 desa memiliki Indeks Tekanan Penduduk di atas 1.
43 Kabupaten Aceh Selatan sebanyak 22 desa berada di sekitar kawasan TNGL dan sebanyak 4 desa memiliki Indeks Tekanan Penduduk di atas 1. Terdapat 4 (empat) desa yang berada di dalam kawasan TNGL berdasarkan
Gambar 12 Peta Desa dengan Tekanan Penduduk terhadap Kawasan TNGL SK Penetapan kawasan TNGL. Keempat desa ini terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues, tepatnya di sepanjang jalan yang membelah kawasan TNGL yang menghubungkan antar kedua kabupaten ini. Jalan ini merupakan bahagian dari proyek jalan yang dikenal dengan sebutan “Ladia Galaska”. Rinaldi (2006) menjelaskan Ladia Galaska (Lautan Hindia Gayo Lues Selat Malaka) adalah sebuah nama dari ruas jalan yang menghubungkan wilayah Aceh Bagian Barat (lautan Hindia), Bagian Tengah (Gayo Alas) dan Aceh Bagian Timur (Selat Malaka). Nama Ladia Galaska untuk pertama kali dicetuskan oleh Gubernur Abdullah Puteh pada tanggal 8 Agustus 2001 dalam rapat pimpinan daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan panjang ruas jalannya ± 454 km. Ruas jalan Ladia Galaska merupakan jalan lama yang sebahagian sudah ada sejak zaman Belanda. Jalan Ladia Galaska sudah diprogramkan peningkatannya oleh Pemerintah Daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sejak tahun 1990/1991 pada masa pemerintahan Gubernur Ibrahim Hasan yang pada waktu itu disebut dengan “Jalan Jaring Laba-laba/Sirip Ikan”. Pada masa pemerintahan Gubernur Syamsudin Mahmud peningkatan jalan ini kembali dilanjutkan melalui program “16 (enam belas) Ruas Jalan Tembus”. Pada tahun 1999, Gubernur Propinsi Nangroe Aceh Darussalam mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. 19 Tahun 1999 tentang Penyusunan Arahan Fungsi Hutan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi. Sesuai dengan Keputusan Gubernur tersebut, terdapat 3 (tiga) ruas jalan Ladia Galaska yang memotong kawasan TNGL maupun Kawasan Ekosistem Leuser yaitu sebagai berikut:
44 a. Ruas Jalan Jeuram – Beutong Ateuh – Takengon (± 128 km) b. Ruas Jalan Takengon – Ise-ise – Blang Kejeren (± 156 km) c. Ruas Jalan Blang Kejeren – Pinding – Lokop – Peureulak (± 170 km) Berdasarkan ruas jalan Ladia Galaska ini, keempat desa yang terdapat di dalam kawasan TNGL terdapat di sekitar ruas jalan yang menghubungkan antara Blang Kejeren – Pinding. Desa-desa yang terdapat di dalam kawasan TNGL secara otomatis akan menjadi desa yang memberikan tekanan terhadap kawasan TNGL (desa dengan ITP > 1) dikarenakan keberadaanya yang berada di dalam kawasan. Sehingga apabila ada penambahan penggunaan lahan sedikit saja baik itu untuk permukiman, perkebunan, pertanian lahan kering maupun penggunaan lahan lainnya yang bukan berupa hutan akan otomatis mengurangi fungsi dan luasan hutan yang ada di kawasan tersebut. Sehingga untuk desa-desa yang berada di dalam kawasan ini diharapkan perlu adanya solusi yang komprehensif baik itu relokasi penduduk desa tersebut keluar dari kawasan TNGL ataupun pembuatan zona tersendiri bagi desa-desa tersebut dengan syarat tidak akan menambah ataupun melakukan kegiatan yang akan mengganggu fungsi dan keberadaan kawasan TNGL. Arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan Penyusunan arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan TNGL dilakukan dengan analisis deskriptif yaitu melihat hasil perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi dalam wilayah TNGL dan menentukan beberapa asumsi dalam pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan. Selain itu, arahan kebijakan pengendalian perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan menelusuri kebijakan-kebijakan yang telah ada untuk mengendalikan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang dapat mendukung pengelolaan TNGL. Berdasarkan hubungan antara penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL dengan zonasi pengelolaan, pola ruang ataupun tekanan penduduk yang telah dilakukan analisisnya, dapat dibuat matriks arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan untuk mendukung pengelolaan TNGL. Arahan dan rekomendasi ini dilakukan dengan melihat kesesuaian antara penutupan/penggunaan lahan dengan zonasi dan pola ruang ataupun antara penutupan/penggunaan lahan dengan keberadaan tekanan penduduk terhadap kawasan TNGL. Pada wilayah TNGL yang antara penutupan/penggunaan lahannya sesuai dengan kriteria zonasi maka tidak perlu dilakukan revisi zonasi dan sebaliknya pada wilayah TNGL yang antara penutupan/penggunaan lahannya tidak sesuai dengan kriteria zonasi berdasarkan peraturan maka perlu dilakukan revisi zonasi. Contoh lain dari arahan dan rekomendasi yang dapat diterapkan adalah pada wilayah TNGL yang penutupan/penggunaan lahannya sesuai dengan kriteria zonasi dan pola ruang, akan tetapi terdapat tekanan penduduk berdasarkan analisis tekanan penduduk maka dapat dibuat arahan dan rekomendasi berupa pembentukan model desa konservasi sebagai upaya untuk mendukung pengelolaan TNGL. Beberapa arahan dan rekomendasi pengendalian perubahan untuk mendukung pengelolaan TNGL disajikan pada Tabel 19.
45 Tabel 19 Matriks Arahan dan Rekomendasi Pengendalian Perubahan Zonasi
Penutupan/ Penggunaan Lahan
Pola Ruang
Tekanan Penduduk Ada Tidak ada
Sesuai
Tidak sesuai
Sesuai
Tidak sesuai
˅
-
˅
-
˅
-
˅
-
˅
-
-
˅
-
˅
-
˅
˅
-
-
˅
-
˅
-
˅
Arahan dan Rekomendasi Model Desa Konservasi Pengelolaan berjalan sesuai yang semestinya Revisi Zonasi + Pemulihan Ekosistem + Model Desa Konservasi Revisi Zonasi + Pemulihan Ekosistem
Penjabaran arahan dan rekomendasi yang terdapat di dalam Tabel 19 dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Model Desa Konservasi
Berdasarkan nilai Indeks Tekanan Penduduk didapatkan desa yang berpotensi terjadinya perluasan penutupan/penggunaan lahan menjadi perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah. Oleh karena itu perlu dibuat skenario dan kebijakan yang dapat mengalihkan aktivitas ekonomi masyarakat yang bergerak dalam bidang perluasan penutupan/penggunaan lahan pertanian, perkebunan maupun sawah pada suatu wilayah dengan aktivitas yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa harus mengancam keberadaan dan pengelolaan TNGL. Model Desa Konservasi (MDK) merupakan salah satu bentuk skenario dan kebijakan yang dapat dibuat. MDK merupakan salah satu program Kementerian Kehutanan yang telah berlangsung sejak tahun 2006 yang dijadikan model dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan konservasi, dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya serta aspek lainnya, dan akan menjadi contoh dalam pemberdayaan di tempat lain. MDK dapat menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat, mengurangi ketergantungan terhadap kawasan konservasi dan berdampak positif terhadap perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan kawasan konservasi. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 67 tahun 2011 tentang Pedoman umum penggunaan belanja bantuan modal kerja dalam rangka pengembangan desa konservasi di daerah penyangga kawasan konservasi menyebutkan bahwa desa konservasi ditetapkan oleh kepala unit pelaksana teknis dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat melalui pengembangan desa konservasi serta memberdayakan kelompok masyarakat dengan pengembangan aktivitas atau usaha berbasis hayati sesuai potensi lokal. Untuk pelaksanaan pengembangan desa konservasi dilakukan dengan memberikan alternatif kegiatan kepada masyarakat berupa pemberian modal kerja pada usaha berupa penangkaran tumbuhan dan satwa, kegiatan budidaya dan jasa wisata alam. Ruang lingkup MDK sendiri terdiri dari Pemberdayaan Masyarakat Setempat, Penataan Ruang/Wilayah Pedesaan Berbasis Konservasi dan Pengembangan Ekonomi Pedesaan Yang Berbasis Konservasi. Untuk kriteria desa yang dapat dijadikan sebagai MDK adalah: 1) Desa yang berlokasi di sekitar/ di dalam kawasan konservasi; 2) Masyarakat mempunyai ketergantungan dengan Kawasan Konservasi;
46 3) Desa yang masyarakat nya miskin dan pendapatan rendah; 4) Desa yang mempunyai potensi SDA yang dapat dikembangkan di kawasan konservasi; 5) Desa yang dapat dijadikan contoh bagi desa lain; 6) Desa yang masyarakatnya berpendidikan rendah; 7) Bentuk kegiatan semaksimal mungkin berhubungan satu sama lain. Bentuk kegiatan semaksimal mungkin berhubungan dengan program kehutanan. Dari kriteria desa yang dapat dijadikan sebagai desa lokasi MDK, terutama kriteria 1 dan 2 tergambar dari hasil perhitungan analisis indeks tekanan penduduk. Hal ini dikarenakan desa-desa yang dilakukan perhitungan tekanan penduduknya adalah desa yang berada/berlokasi di sekitar maupun di dalam kawasan konservasi dan memiliki ketergantungan terhadap lahan terutama untuk lahan pertanian. Sehingga apabila lahan yang berada di luar kawasan TNGL yang dapat dijadikan lahan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya tidak cukup maka akan memacu masyarakat desa tersebut untuk mencari lahan-lahan baru terutama di kawasan TNGL yang berupa hutan. Hal ini dapat dilihat bahwa dari 3 periode tahun penutupan/penggunaan lahan di kawasan TNGL dan daerah penyangganya yang selalu mengalami penyusutan luas adalah kawasan yang penutupan/penggunaan lahannya berupa hutan. Balai Besar TNGL sebagai pengelola TNGL sampai saat telah memiliki 13 MDK (Tabel 20). Dari 13 MDK yang telah ditetapkan oleh pengelola apabila dihubungkan dengan indeks tekanan penduduk berdasarkan perhitungan ITP menggunakan peta penetapan kawasan TNGL tahun 2014 terlihat bahwa hanya 5 (lima) desa saja dari 13 (tiga belas) desa binaan/MDK yang merupakan desa yang memiliki indeks tekanan penduduk diatas 1 sedangkan 8 (delapan) desa lainnya memiliki indeks tekanan penduduk dibawah 1. Tabel 20 Kegiatan Desa Binaaan/MDK Balai Besar TNGL No
Desa Binaan/MDK
Kecamatan
Kabupaten
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
1
Namo Sialang
Batang Serangan
Langkat
Ekowisata
Kutambaru
Langkat
Ekowisata
Sei Bingei Kutambaru Kluet Selatan
Langkat Langkat Aceh Selatan
Penanaman Jabon Pertanian jahe, cabai Ekowisata
Blangkerango
Gayo Lues
Ekowisata
Ketambe
Aceh Tenggara
Bakongan
Aceh Selatan
Ternak Domba, Ikan, Ayam Peralatan Perikanan, Sewa Peralatan Pengantin dan Tenda Pesta
Kota Bahagia
Aceh Selatan
Sewa Peralatan Pegantin
Sei Lepan Darul Hasanah Putri Betung Darul Hasanah
Langkat Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Tenggara
Penggemukkan Sapi Penanaman MPTs Pengembangan Kebun Cokelat Budidaya Ikan
7
Kutagajah (marike) Telagah Sulkam Pasie Lembang Penosan Sepakat Lawe Aunan
8
Ujung Mangki
2 3 4 5 6
9 10 11 12 13
Seunebok Keranji Mekar Makmur Pulo Gadung Pintu Gayo Pulo Piku
Keterangan:
Desa Binaan/MDK yang memiliki ITP > 1
47 Hasil analisis indeks tekanan penduduk memperlihatkan 109 desa sebagai desa dengan indeks tekanan penduduk di atas 1 atau dengan kata lain memiliki potensi untuk menekan keberadaan kawasan TNGL. Untuk desa-desa tersebut perlu dilakukan upaya ataupun kegiatan yang akan dapat mengurangi potensi tekanan terhadap kawasan TNGL. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dalam hal penetapan lokasi desa binaan/MDK. Dimana diharapkan dengan ditetapkan desadesa tersebut sebagai lokasi desa binaan/MDK oleh pengelola maka ketergantungan mereka terhadap kawasan dalam hal mengubah penutupan/penggunaan kawasan TNGL dapat dikurangi. Selain itu, apabila ditetapkan sebagai desa binaan/MDK kesadartahuan masyarakat untuk menjaga keberadaan kawasan TNGL akan dapat ditingkatkan. Dengan adanya analisis tekanan penduduk ini diharapkan akan dapat membantu dalam penentuan lokasi desa binaan/MDK dikarenakan anggaran dan personil untuk melakukan program desa binaan ini tidak sebanding dengan jumlah desa yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan TNGL. Selain itu, dengan analisis tekanan penduduk ini juga maka dalam hal penentuan desa binaan/MDK oleh pengelola kawasan menjadi tepat sasaran karena ditujukan pada desa-desa yang memiliki potensi untuk menekan keberadaan kawasan TNGL itu sendiri. b. Revisi Zonasi TNGL Acuan dan Regulasi dalam penyusunan zonasi diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Berdasarkan regulasi tersebut disebutkan bahwa masa berlaku zona pengelolaan yang telah ditetapkan adalah 10 (sepuluh) tahun dan dapat dilakukan evaluasi. Kegiatan evaluasi zona pengelolaan taman nasional dilakukan secara periodik paling lama 10 (sepuluh) tahun. Untuk kondisi tertentu seperti perubahan kawasan, bencana alam, kebakaran hutan, serangan hama dan penyakit maka evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan unit pengelola. Hasil evaluasi yang dilakukan akan menjadi bahan usulan zona pengelolaan. Zonasi pengelolaan TNGL yang saat ini masih dijadikan acuan dan dipakai oleh pengelola adalah zonasi pengelolaan yang disusun untuk periode 2009 – 2014 (Gambar 13). Perubahan yang saat ini terjadi di kawasan TNGL mencakup 2 (dua) hal yaitu perubahan penutupan/penggunaan lahan dan perubahan bentuk dan luasan kawasan TNGL. Hal ini mengakibatkan perlu dilakukannya evaluasi zona pengelolaan TNGL agar tercapai pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Perubahan bentuk dan luasan kawasan TNGL berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 6589 tahun 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan sebagian TNGL seluas 622 924,35 Ha di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 4039 tahun 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan sebagian TNGL seluas 205 355,14 Ha di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Zonasi pengelolaan TNGL yang saat ini berlaku masih mengacu pada penunjukan kawasan TNGL melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 276 tahun 1999 dengan luas kawasan 1 094 692 Ha.
48
Gambar 13 Zonasi Pengelolaan TNGL periode 2009-2014 Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 yang kemudian dijabarkan melalui Petunjuk Teknis Aplikasi Model Analisa Spasial dalam pembuatan peta arahan pengelolaan kawasan konservasi dan pengintegrasian peta zona/blok pada skala 1:50 000 yang dikeluarkan oleh Sub Direktorat Inventarisasi dan Informasi Konservasi Alam Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 menyebutkan beberapa kriteria zonasi untuk Taman Nasional. Petunjuk Teknis tersebut juga menjabarkan kebutuhan data spasial untuk pembuatan zona pengelolaan Taman Nasional. Berkaitan dengan topik penelitian tentang penutupan/penggunaan lahan TNGL hasil analisis citra dan juga kebutuhan data spasial untuk pembuatan zona pengelolaan Taman Nasional maka hasil penelitian ini hanya dapat digunakan untuk pembuatan dan penentuan zona inti, zona rimba dan juga zona rehabilitasi pada kawasan TNGL. Sementara untuk zona-zona lainnya diperlukan data-data lainnya yang tidak berhubungan dengan penelitian ini. Sehingga yang menjadi fokus dalam pembuatan arahan revisi zonasi pengelolaan TNGL ini difokuskan pada ketiga zona yaitu zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi. Seperti halnya zona inti dan zona rimba yang dikriteriakan sebagai kawasan dengan ekosistem yang masih asli dan alami maka dihubungkan dengan kondisi penutupan/penggunaan lahan dapat dikatakan bahwa penutupan/penggunaan lahan berupa hutan adalah lokasi yang tepat. Selain itu, zona rimba juga menjadi zona pembatas antara zona inti atupun zona pemanfaatan dengan zona lainnya, artinya zona rimba menjadi pembatas zona inti dengan zona lainnya. Untuk zona rehabilitasi yang dikriteriakan sebagai wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem dapat diasumsikan bahwa penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, permukiman dan juga semak belukar adalah lokasi
49 yang tepat. Hal ini dikarenakan pada penutupan/penggunaan lahan tersebut perlu dilakukannya pemulihan ekosistem agar tercapai kembali ekosistem alaminya berupa hutan. Tabel 21 Kriteria Zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 76 tahun 2015 Nama Zona
Kriteria
Zona Inti
1.
Zona Rimba/Perlindungan Bahari
Zona Pemanfaatan
Zona Tradisional
Zona Rehabilitasi Zona Religi, Budaya dan Sejarah
Zona khusus
Memiliki ekosistem atau merupakan perwakilan tipe ekosistem atau fenomena/gejala alam dan formasi geologi yang masih asli dan alami; 2. Merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota target dan/atau merupakan area dengan keragaman jenis yang tinggi; 3. Merupakan lokasi tempat kawin dan bersarang satwa target dan/atau tempat berpijah dan pembesaran satwa/biota target; dan/atau 4. Tempat singgah satwa migran secara periodik. 1. Merupakan daerah sebaran tumbuhan dan daerah jelajah satwa serta perkembangbiakan jenis target; 2. Berbatasan dengan zona inti dan atau zona pemanfaatan/batas fungsi; 3. Merupakan lokasi tempat kawin/berpijah dan pembesaran satwa/biota target; 4. Memiliki ekosistem yang masih asli dan alami; dan/atau 5. Masih ditemukan tumbuhan dan satwa/biota utama dalam jumlah yang cukup. 1. Merupakan wilayah yang memiliki keindahan alam/daya tarik alam atau nilai sejarah dan/atau wilayah dengan aksesibilitas yang mampu mendukung aktivitas pemanfaatan; 2. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana antara lain untuk menunjang pemanfaatan dan pengelolaan; 3. Bukan merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota utama; 4. Bukan merupakan areal dengan keragaman jenis yang tinggi; dan/atau 5. Terdapat potensi jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan. Memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional masyarakat secara turun-temurun. Merupakan wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem. Merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 1. Terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan; 2. Merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai TN; dan/atau 3. Memenuhi kriteria sebagai wilayah pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan yang keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan.
50 Pembuatan zona inti dilakukan dengan menetapkan kawasan TNGL yang memiliki penutupan/penggunaan lahan berupa hutan dan badan air (penutupan/penggunaan lahan alami). Dari zona inti ini, kemudian dilakukan buffering terhadap zona inti yang menjadi zona rimba. Hal ini sesuai dengan kriteria bahwa zona rimba merupakan wilayah yang memiliki ekosistem alami seperti halnya zona inti dan berbatasan langsung dengan zona inti. Sedangkan untuk pembuatan zona rehabilitasi dilakukan dengan menetapkan kawasan TNGL yang memiliki penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, pertanian lahan kering, permukiman, rumput/semak belukar, sawah dan tanah terbuka (penutupan/penggunaan lahan non alami). Tabel 22 Arahan Revisi Zonasi TNGL No 1 2 3 4 5 6 7
Arahan Revisi Zonasi TNGL Zona Inti Zona Khusus Zona Pemanfaatan Zona Rehabilitasi Zona Religi Zona Rimba Zona Tradisional Luas
Luas 529 048 1 174 9 951 36 080 72 249 500 3 301 829 126
Dengan kriteria-kriteria yang telah disebutkan diatas, dilakukan pengolahan data dan menghasilkan arahan revisi zonasi TNGL (Tabel 22 dan Gambar 14). Berdasarkan kriteria dan kondisi penutupan/penggunaan lahan kawasan TNGL dibuat arahan revisi berupa pembuatan zonasi pengelolaan TNGL sebanyak 7 zona
Gambar 14 Arahan Revisi Zonasi TNGL
51 yaitu zona inti, zona khusus, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona religi, zona rimba dan zona tradisional. Arahan revisi zonasi pengelolaan TNGL yang dibuat utamanya pada zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi. Hal ini dikarenakan untuk kriteria zonasi lainnya dibutuhkan data-data tambahan yang tidak dicakup dalam analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan sehingga untuk zonasi lainnya masih menggunakan peta zonasi sebelumnya yang disesuaikan dengan peta penetapan kawasan TNGL. c.
Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Kawasan TNGL
Acuan dan regulasi terbaru dalam melaksanakan kegiatan pemulihan di kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Selain itu Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 12 tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan Jenis dalam rangka Pemulihan Ekosistem Daratan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 13 tahun 2015 tentang Pedoman Pemantauan dan Penilaian Keberhasilan Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dibuat sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Menteri Kehutanan tersebut. Pemulihan ekosistem yang dimaksud bertujuan untuk mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem kembali ke tingkat/kondisi aslinya ataupun kepada kondisi masa depan tertentu yang sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Pemulihan ekosistem yang dimaksud pada regulasi ini dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu melalui mekanisme alam, rehabilitasi ataupun restorasi. Mekanisme alam adalah suatu tindakan pemulihan terhadap ekosistem yang terindikasi mengalami penurunan fungsi melalui tindakan perlindungan terhadap kelangsungan proses alami, untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Rehabilitasi ekosistem adalah suatu tindakan pemulihan terhadap ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi badan air atau rehabilitasi bentang alam laut untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Restorasi ekosistem adalah suatu tindakan pemulihan terhadap ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut serta terganggunya status satwa liar, biota air, atau biota laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi badan air atau rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan habitat dan populasi untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Antara rehabilitasi dan restorasi hanya dibedakan dalam hal adanya satwa liar yang menjadi fokus perhatian dan target yang ingin dikelola. Sehingga apabila ingin menentukan kegiatan rehabilitasi atau restorasi yang harus dilakukan pada suatu lokasi yang ingin dipulihkan ekosistemnya haruslah dilakukan kajian mengenai persebaran satwa serta jenis satwa yang terdapat pada lokasi tersebut.
52 Tabel 23 Arahan Pemulihan Ekosistem pada TNGL No
Penutupan/Penggunaan Lahan
Arahan Pemulihan Ekosistem
Luas
Total
1 2
Perkebunan Permukiman
Rehabilitasi/Restorasi Rehabilitasi/Restorasi
2 023 17
3 4
Pertanian Lahan Kering Sawah
Rehabilitasi/Restorasi Rehabilitasi/Restorasi
13 240 470
5 6
Tanah Terbuka Rumput/ Semak Belukar
Rehabilitasi/Restorasi Mekanisme Alam
4 946 15 384
20 696 15 384
36 080
36 080
Total Pemulihan Ekosistem
Regulasi tersebut apabila dikaitkan dengan kondisi penutupan/penggunaan lahan dan perubahan penutupan lahan yang terdapat pada kawasan TNGL maka dapat dibuat arahan untuk mendukung pengelolaan kawasan melalui pemulihan ekosistem. Penutupan/Penggunaan lahan dalam kawasan TNGL yang perlu dilakukan pemulihan ekosistem adalah pada kawasan TNGL dengan penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, pemukiman, tanah terbuka dan rumput/semak belukar. Akan tetapi tidak semua penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar yang dilakukan pemulihan ekosistem. Hal ini dikarenakan penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar pada sebagian kawasan merupakan sebagai bentuk ekosistem asli (ekosistem klimaks) dan bukan merupakan bentuk kawasan yang perlu dipulihkan ekosistemnya. Untuk mengindikasikan penutupan/penggunaan lahan rumput/semak belukar yang perlu dilakukan pemulihan ekosistem ataupun tidak dapat dilakukan dengan melihat lokasi dari rumput/semak belukar tersebut berada. Pada penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar yang
Gambar 15 Rekomendasi Pemulihan Ekosistem
53 disekitarnya terdapat penutupan/penggunaan lahan yang tidak alami seperti halnya perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, pemukiman dan tanah terbuka dapat diindikasikan sebagai rumput/semak belukar yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan penutupan/penggunaan lahan dari ekosistem aslinya. Beda dengan rumput/semak belukar yang disekitarnya tidak terdapat perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, pemukiman dan tanah terbuka dapat diindikasikan sebagai penutupan/penggunaan lahan berupa rumput/semak belukar yang memang merupakan ekosistem alaminya. Penutupan/Penggunaan lahan berupa perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, pemukiman, tanah terbuka dapat dikatakan bahwa ekosistem yang yang ada telah rusak dan fungsinya telah berubah sehingga perlu dilakukan pemulihan ekosistem berupa rehabilitasi maupun restorasi. Untuk penutupan/penggunaan lahan berupa semak belukar dapat dikatakan telah mengalami penurunan fungsi ekosistemnya sehingga dapat dilakukan pemulihan ekosistem melalui mekanisme alam. Berdasarkan pembagian bentuk pemulihan ekosistem ini yang ditunjukkan pada Tabel 23 dan Gambar 15 terlihat bahwa arahan pemulihan kawasan TNGL dengan bentuk rehabilitasi/restorasi seluas 17 969 ha sedangkan dengan bentuk mekanisme alam seluas 15 384 ha. Pemilihan metode pemulihan ekosistem juga akan berpengaruh terhadap kebutuhan sumber daya manusia dan sumber daya biaya berupa anggaran dana yang dibutuhkan oleh unit pengelola. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem nomor 18 tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Pemulihan Ekosistem pada Kawasan yang Terdegradasi seluas 100 000 ha pada RPJM 2015 – 2019 disebutkan bahwa TN Gunung Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi yang menjadi target dilakukannya pemulihan ekosistem. Target pelaksanaan pemulihan ekosistem untuk tahun 2015 – 2019 di kawasan TNGL adalah seluas 9 130 ha yang anggarannya disediakan oleh Direktorat Kawasan Konservasi dan Sekretariat Direktorat Jenderal KSDAE Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat 8 (delapan) bentuk penutupan/penggunaan lahan di kawasan TNGL dan daerah penyangganya yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, rumput/semak belukar, sawah, tanah terbuka dan badan air. Bentuk penutupan/penggunaan lahan didominasi hutan, rumput/semak belukar dan pertanian lahan kering. Perubahan penutupan/penggunaan lahan periode 1996-2005 dan 2005-2014 menunjukkan penutupan/penggunaan lahan berupa hutan selalu mengalami penyusutan luas paling besar. Penambahan luas paling besar periode 1996-2005 adalah pertanian lahan kering yang untuk pada
54
2.
3.
periode 2005-2014 adalah rumput/semak belukar. Selain itu pada periode 2005-2014 terdapat penambahan luas yang signifikan terhadap perkebunan. Berdasarkan analisisi indeks tekanan penduduk terdapat 206 desa di dalam dan sekitar kawasan TNGL dimana 109 desa memiliki ITP > 1. Dari 109 desa dengan ITP > 1 didapatkan bahwa 98 desa memiliki penutupan/penggunaan lahan yang sudah didominasi oleh Perkebunan, Pertanian Lahan Kering dan Sawah Arahan dan skenario kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendukung pengelolaan TNGL adalah dengan membuat arahan revisi zonasi dan arahan pemulihan ekosistem berdasarkan kondisi penutupan/penggunaan lahan tahun 2014 serta membuat Model Desa Konservasi terhadap desa-desa yang memiliki potensi tekanan penduduk tinggi.
Saran Berdasarkan hasil penelitian perlu adanya peningkatan kerjasama yang lebih intensif antar stakeholder terutama dengan pemerintah daerah yang berpotensi sangat tinggi terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan dan juga berpotensi tinggi memiliki tekanan penduduk terhadap kawasan TNGL seperti Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Langkat, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Selatan. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan diantaranya adalah keikutsertaan pemerintah daerah dalam hal pembahasan dan penyusunan rencana pengelolaan TNGL ataupun sebaliknya keikutsertaan pengelola TNGL dalam pembahasan dan penyusunan RTRW Kabupaten/Kota maupun Provinsi yang bertujuan agar terakomodirnya keinginan dan harapan antar stakeholder tersebut. Selain itu juga dapat dilakukan kolaborasi kerjasama antara pemerintah daerah dan pengelola TNGL dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNGL.
55
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. 2002. Kabupaten Langkat dalam Angka 2001. Stabat (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. 2006. Kabupaten Langkat dalam Angka 2006. Stabat (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. [BBTNGL] Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. 2012. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Gunung Leuser Periode 2010 – 2019 Propinsi Aceh dan Sumatera Utara. Medan (ID): Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Beukering PJHV, Cesar HSJ, Janssen MA. 2003. Economic valuation of the Leuser National Park on Sumatra, Indonesia. Journal Ecological Economics 44: 43-/62. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN. 2011. Kajian Indeks Tekanan Penduduk Agraris. Jakarta (ID): Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN. Hermawan I. 2008. Deteksi perubahan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan Citra Landsat Multi Waktu [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1984. IUCN Protected area management categories. Switzerland (CH): IUCN. Jensen JR. 1986. Introductory digital image processing a remote sensing nd
Prespective. 2 Edition. USA: Prentice-Hall, Inc. Lambin EF, Geist H, Lepers E. 2003. Dynamics of land use and cover change in tropical regions. Annual Review of Environment and Resources 28: 205– 241. Lillesand MT, Kiefer RW. 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Terjemahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Liu M, Hu Y, Chang Y, He X, Zhang W. 2009. Land Use and Land Cover Change Analysis and Prediction in the Upper Reaches of the Minjiang River, China. Journal Environmental Management 43:899-907. Meshesha TW, Tripathi SK, Khare D. 2016. Analyses of land use and land cover change dynamics using GIS and remote sensing during 1984 and 2015 in the Beressa Watershed Northern Central Highland of Ethiopia. Journal Model Earth Syst. Environ. (2016)2:168 Mulyoutami E, van Noordwjik M, Sakuntaladewi N dan Agus F. 2010. Perubahan pola perladangan: pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. Bogor (ID):World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office.101p. Nurwijayanto E. 2008. Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung Dalam Rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang [Tesis]. Bogor
56 (ID): Program Studi Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prakasam C. 2010. Land use and land cover change detection through remote sensing approach: A case study of Kodaikanal taluk, Tamil nadu. International Journal of Geomatics and Geosciences 1 (2): 150-158. Purwanto E. 2015. Strategi Anti-Perambahan di Kawasan Warisan Hutan Tropis (TRHS): Menuju Paradigma Baru. Jakarta (ID):Tropenbos International Indonesia programme dan UNESCO. Ramadhani J. 2014. Analysis of Deforestation and Forest Sustainability Using Scenario-Based Land Allocation Modelling: A case study at Gunung Leuser National Park (GLNP) in Langkat Regency, North Sumatra Province, Indonesia [Tesis]. Enschede (NL): Faculty of Geo-Information Science and Earth Obsevation, University of Twente. Rinaldi Y. 2006. Amdal Pembangunan Jalan Ladia Galaska ditinjau dari Perspektif Hukum Lingkungan. Prosiding Seminar Program Pengembangan Diri (PPD) 2006 Bidang Ilmu Hukum. Forum HEDS, BKS PTN Wilayah Barat. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Soemarwoto O. 1985. A Qualitative of Population Pressure and It‘s Potential Use in Development Planning. Majalah Demografi Indonesia XII (24): 1-15. Subhan. 2010. Analisis Kerusakan Hutan di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang [Tesis]. Medan (ID): Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Tim Pokja Penanganan Perambahan Ditjen PHKA. 2010. Pedoman Monitoring Terpadu Penanganan Perambahan di KPA/KSA Tahun 2010. Jakarta (ID): Direktorat KK-Kementerian Kehutanan. [UML] Unit Manajemen Leuser. 2005. Arahan Penyusunan Ruang DAS Bahorok. Medan (ID). Verburg PH, Soepboer W, Veldkamp A, Limpiada R, Espaldon V, Mastura SSA. 2002. Modelling the spatial dynamics of regional land uses: The CLUE-S Model. Environmental Management. 30(3):391-405. Warlina. 2007. Model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan (studi kasus Kabupaten Bandung) [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiratno. 2007. Kembalikan Pengelolaan Taman Nasional ke Lapangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Dalam Rangka Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) di Banda Aceh tanggal 1-2 Oktober 2007. Banda Aceh (ID).
57
LAMPIRAN
58
59 Lampiran 1 Kunci Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan di TNGL dan Penyangga Hutan. Kenampakan vegetasi hutan pada citra berwarna hijau gelap dengan tekstur yang agak kasar dikarenakan tajuk pohon mempunyai ukuran bervariasi dengan pola yang tidak teratur. Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4)
Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Hutan Perkebunan. Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama 2 (dua) tahun. Vegetasi perkebunan pada citra terdapat beberapa dalam beberapa tampakan yaitu ada yang berwarna hijau tua bercampur dengan sedikit merah muda dan ada yang berwarna hijau muda dengan sedikit merah muda. Hal ini diakibatkan penampakan yang berbeda antara perkebunan yang vegetasinya sudah berumur tua dengan vegetasi yang masih baru tanam. Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4) Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Perkebunan Permukiman. Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Penggunaan lahan yang meliputi lingkungan permukiman dan bangunan permanen maupun semi permanen lainya, terpola secara teratur pada sepanjang jalan utama dan sebagian menyebar menyatu dengan lahan bervegetasi. Kenampakan pada citra ditunjukkan dengan warna merah muda.
60 Lampiran 1 (lanjutan) Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4)
Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Permukiman Pertanian Lahan Kering. Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering, terdiri atas areal perladangan dan huma. Kenampakan pada citra umumnya membentuk pola yang teratur dan jalur-jalur tanaman yang memanjang berwarna hijau dan merah muda. Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4) Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Pertanian Lahan Kering Rumput/ Semak Belukar. Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen yang tingkat kerapatannya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Semak belukar biasanya kawasan bekas pembukaan hutan di sekitar areal budidaya. Kenampakan belukar pada citra ditunjukkan dengan warna hijau terang dengan tekstur yang lebih halus dan pola yang tidak teratur.
61 Lampiran 1 (lanjutan) Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4)
Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Rumput/Semak Belukar Sawah. Areal pertanian yang digenangi air atau diberi air baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak maupun pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur pendek (padi). Pada citra, sawah fase air tampak berwarna biru tua dengan tekstur halus, sawah fase vegetatif berwarna hijau muda dengan tekstur halus, sawah fase generatif berwarna kuning dengan tekstur halus dan sawah fase bera berwarna ungu kemerahan dengan tekstur halus. Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4) Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Sawah Tanah Terbuka. Lahan tanpa penutupan vegetasi baik karena proses alami, semi alami atau akibat aktivitas manusia. Kelas penggunaan lahan ini termasuk lahan kosong, lahan terbuka bekas kebakaran, lahan bekas tambang, dan lahan terbuka untuk persiapan/ pembukaan lahan. Kenampakan pada citra terlihat berwarna merah muda.
62 Lampiran 1 (lanjutan) Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4)
Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Tanah Terbuka Badan Air. Semua kenampakan air berupa danau, waduk dan sungai. Pada citra ditunjukkan berwarna biru gelap dengan tekstur halus. Komposit Band (5-4-3 / 6-5-4) Kondisi di Lapangan
Gambar Kenampakan Badan Air
63 Lampiran 2 Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 1996
64 Lampiran 3 Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 2005
65 Lampiran 4 Citra Landsat Kawasan TNGL dan Daerah Penyangga Tahun 2014
66 Lampiran 5 Perhitungan ITP berdasarkan SK Penetapan Kawasan TNGL 2014
NO
Nama Desa
Luas Lahan Pertanian Untuk Hidup Layak (Ha/org)
Persentase Keluarga Pertanian (%)
Jlh Penduduk (2008)
Rata-rata Pertumbuhan Penduduk (%)
Luas Lahan Tersedia
ITP
KABUPATEN LANGKAT 1
NAMU SIALANG
0,75
0,4
5058
1,22
5978,62
0,273
2
SEI MUSAM
0,75
0,7
4449
1,22
6406,91
0,392
3
SEI SERDANG
0,75
0,68
4635
1,22
5952,69
0,427
4
BUKIT MAS
0,75
0,85
6750
1,22
6555,47
0,706
5
BUKIT SELAMAT
0,75
0,85
5652
1,22
6217,01
0,623
6
PIR ADB BESITANG
0,75
0,87
2657
1,22
1393,36
1,338
7
SEKOCI
0,75
0,8
4138
1,22
3615,90
0,738
8
BATU JONG JONG
0,75
0,95
1546
1,22
1457,82
0,813
9
BUKIT LAWANG
0,75
0,87
2062
1,22
1754,00
0,825
10
LAU DAMAK
0,75
0,9
1869
1,22
3831,03
0,354
11
SAMPE RAYA
0,75
0,8
2535
1,22
2379,29
0,688
12
TIMBANG JAYA
0,75
0,85
2862
1,22
598,64
3,278
13
TIMBANG LAWAN
0,75
0,95
3634
1,22
2058,86
1,353
14
UJUNG BANDAR
0,75
0,86
1903
1,22
2296,11
0,575
15
GARUNGGANG
0,75
0,99
1677
1,22
3711,04
0,361
16
KAPERAS
0,75
0,85
733
1,22
3409,00
0,147
17
KUTA GAJAH
0,75
0,7
2449
1,22
850,08
1,627
18
RAMPAH
0,75
0,75
1033
1,22
2649,69
0,236
19
SULKAM
0,75
0,55
812
1,22
1218,83
0,296
20
ADIN TENGAH
0,75
0,75
1603
1,22
2011,76
0,482
21
UJUNG BANDAR
0,75
0,75
1683
1,22
3253,44
0,313
22
SAWIT HULU
0,75
0,92
3625
1,22
7404,73
0,363
23
BELINTENG
0,75
0,9
3931
1,22
6754,32
0,422
24
RUMAH GALUH
0,75
0,82
2237
1,22
3587,90
0,412
25
TANJUNG GUNUNG
0,75
0,88
1880
1,22
2379,42
0,561
26
TELAGAH
0,75
0,93
2810
1,22
2594,59
0,812
27
HARAPAN MAJU
0,75
0,8
4812
1,22
1402,95
2,213
28
MEKAR MAKMUR
0,75
0,72
3709
1,22
6956,90
0,310
KABUPATEN KARO 1
AMBURIDI
0,75
0,98
394
1,22
1568,02
0,199
2
JINABUN
0,75
0,95
1348
1,22
1246,68
0,829
3
KUTA MALE
0,75
0,95
552
1,22
2341,52
0,181
4
KUTABULUH GUGUNG
0,75
0,9
427
1,22
1218,75
0,254
5
LAU BULUH
0,75
0,9
1000
1,22
1287,15
0,564
6
RIH TENGAH
0,75
0,98
348
1,22
3264,53
0,084
7
KUTA MBELIN
0,75
0,95
1001
1,22
1775,77
0,432
67 Lampiran 5 (lanjutan) 8
KUTA PENGKIH
0,75
0,99
1255
1,22
4617,28
0,217
9
LAU PAKAM
0,75
0,78
3491
1,22
5220,49
0,421
10
LAU PENGULU
0,75
0,9
988
1,22
5727,06
0,125
11
RIMO BUNGA
0,75
0,96
253
1,22
1774,15
0,110
12
TANJUNG PAMAH
0,75
0,98
617
1,22
3398,14
0,144
13
JARANGUDA
0,75
0,7
1570
1,22
475,31
1,865
14
MERDEKA
0,75
0,95
1742
1,22
430,98
3,097
15
UJUNG TERAN
0,75
0,98
656
1,22
329,12
1,576
16
GUNG PINTO
0,75
0,98
656
1,22
333,54
1,555
17
KEBAYAKEN
0,75
0,95
389
1,22
182,29
1,635
18
KUTA GUGUNG
0,75
0,9
790
1,22
3926,67
0,146
19
KUTA MBELIN
0,75
0,95
1001
1,22
276,02
2,779
20
NDESKATI
0,75
0,98
712
1,22
485,75
1,159
21
KUTA KEPAR
0,75
0,98
244
1,22
6968,65
0,028
KABUPATEN DAIRI 1
LAU NJUHAR
0,75
0,98
1548
1,22
3886,50
0,315
2
LIANG JERING
0,75
0,98
764
1,22
4189,99
0,144
KABUPATEN DELI SERDANG 1
SUKA MAKMUR
0,75
0,85
1648
1,22
4115,33
0,275
2
BANDAR BARU
0,75
0,45
3613
1,22
2892,79
0,453
3
UJUNG DELENG
0,75
0,95
246
1,22
793,15
0,238
KABUPATEN ACEH TENGGARA 1
MUARA SITULEN
0,75
0,95
1033
2,06
423,47
1,964
2
ALUR BANING
0,75
0,98
355
2,06
165,05
1,787
3
ALUR BARU
0,75
0,97
247
2,06
476,63
0,426
4
LAWE MALUN
0,75
0,98
709
2,06
352,27
1,672
5
LUMBAN TUA
0,75
0,98
335
2,06
29,77
9,347
6
PENGUHAPAN
0,75
0,98
450
2,06
412,31
0,907
7
PERDAMEAN
0,75
0,96
232
2,06
76,64
2,463
8
PINGGAN MBLANG
0,75
0,96
445
2,06
18,24
19,852
9
SALIM PIPIT
0,75
0,97
381
2,06
503,79
0,622
10
TUAH MESADE
0,75
0,98
305
2,06
38,48
6,584
11
UKIR DELENG
0,75
0,97
270
2,06
37,83
5,868
12
BATU MBERONG
0,75
0,95
419
2,06
25,01
13,490
13
KUMBANG INDAH
0,75
0,1
1693
2,06
77,74
1,846
14
PERANGINAN
0,75
0,95
1573
2,06
135,00
9,382
15
BUNTUL KENDAWI
0,75
0,95
398
2,06
26,46
12,112
16
DARUL MAKMUR
0,75
0,99
340
2,06
43,64
6,538
17
GULO
0,75
0,95
500
2,06
33,98
11,849
18
ISTIQOMAH
0,75
0,99
400
2,06
27,29
12,299
19
KHOTAN JAYA
0,75
0,9
250
2,06
21,57
8,842
20
KITE MERANGGUN
0,75
0,9
430
2,06
53,19
6,167
21
KUNING ABADI
0,75
0,9
238
2,06
77,92
2,330
68 Lampiran 5 (lanjutan) 22
KUTA UJUNG
0,75
0,7
485
2,06
49,80
5,778
23
KUTE RAMBE
0,75
0,75
707
2,06
29,72
15,123
24
LAWE PINIS
0,75
0,95
242
2,06
27,32
7,133
25
LAWE STUL
0,75
0,98
360
2,06
34,76
8,603
26
MAKMUR JAYA
0,75
0,98
328
2,06
71,55
3,808
27
PULO GADUNG
0,75
0,99
300
2,06
58,57
4,298
28
PULO PIKU
0,75
0,99
1079
2,06
37,77
23,972
29
RAMBUNG JAYA
0,75
0,7
512
2,06
154,71
1,964
30
RAMBUNG TELDAK
0,75
0,75
750
2,06
161,39
2,954
31
SERIMUDA
0,75
0,9
550
2,06
33,53
12,513
32
TANJUNG AMAN
0,75
0,9
565
2,06
9,44
45,658
33
TANJUNG BARU
0,75
0,7
525
2,06
117,07
2,661
34
TANJUNG LAMA
0,75
0,9
593
2,06
15,33
29,509
35
TANJUNG LEUSER
0,75
0,98
341
2,06
13,51
20,966
36
TERUTUNG KUTE
0,75
0,8
730
2,06
23,51
21,055
37
UJUNG BARU
0,75
0,7
725
2,06
36,67
11,731
38
AUNAN SEPAKAT
0,75
0,95
342
2,06
119,77
2,299
39
BENER BERPAPAH
0,75
0,99
374
2,06
65,47
4,794
40
BINTANG BENER
0,75
0,99
318
2,06
40,95
6,516
41
BUKIT BARU
0,75
0,99
318
2,06
77,85
3,428
42
DATUK PINDING
0,75
0,9
317
2,06
41,12
5,881
43
DELENG DAMAR
0,75
0,75
325
2,06
13,72
15,059
44
JAMBUR LAK LAK
0,75
0,98
408
2,06
24,39
13,895
45
JATI SARA
0,75
0,99
311
2,06
33,67
7,751
46
JONGAR
0,75
0,95
720
2,06
24,29
23,868
47
KATI MAJU
0,75
0,98
325
2,06
78,35
3,446
48
KAYU MENTANGUR
0,75
0,95
408
2,06
60,75
5,408
49
KETAMBE
0,75
0,95
500
2,06
244,95
1,644
50
LAWE AUNAN
0,75
0,95
878
2,06
39,03
18,114
51
LAWE BERINGIN
0,75
0,85
223
2,06
137,96
1,165
52
LAWE GEKH GEKH
0,75
0,75
187
2,06
51,34
2,315
53
LAWE MENGKUDU
0,75
0,98
717
2,06
44,53
13,375
54
LAWE PENANGGALAN
0,75
0,95
820
2,06
42,45
15,554
55
LAWE SEMBEKAN
0,75
0,85
367
2,06
24,17
10,940
56
LEUSER
0,75
0,96
558
2,06
21,59
21,030
57
PENUNGKUNEN
0,75
0,99
321
2,06
53,87
5,000
58
PENYEBRANGAN CINGKAM
0,75
0,96
399
2,06
14,49
22,406
59
RUMAH BUNDAR
0,75
0,98
225
2,06
99,58
1,877
60
SIMPANG III JONGAR
0,75
0,7
470
2,06
29,31
9,514
61
SIMPUR JAYA
0,75
0,99
382
2,06
0,00
~
62
SUKA RIMBUN
0,75
0,98
400
2,06
42,13
7,887
63
BINTANG ALGA MUSARA
0,75
0,98
200
2,06
42,38
3,920
64
BUN BUN INDAH
0,75
0,99
374
2,06
167,44
1,874
69 Lampiran 5 (lanjutan) 65
BUNBUN ALAS
0,75
0,99
255
2,06
114,75
1,865
66
KOMPAS
0,75
0,99
255
67
KUTE HAKHAPEN
0,75
0,99
197
2,06
17,19
12,448
2,06
150,84
1,096
68
LAWE SEKHAKUT
0,75
0,99
105
2,06
141,79
0,621
69
PERMATA MUSARA
0,75
0,99
360
2,06
648,77
0,466
70
TUAH KERINE
71
UKHAT PESELUK
0,75
0,99
172
2,06
670,66
0,215
0,75
0,99
126
2,06
45,29
2,335
72
BATU HAMPARAN
0,75
0,95
280
2,06
142,22
1,585
73
DELENG KUKUSEN
0,75
0,95
362
2,06
113,70
2,564
74
KUBU
0,75
0,95
574
2,06
64,39
7,178
75
KUTA BATU I
0,75
0,95
753
2,06
92,35
6,566
76
LAWE KONGKIR
0,75
0,8
280
2,06
136,70
1,389
77
LAWE KONGKIR HILIR
0,75
0,85
490
2,06
174,56
2,022
78
LAWE LUBANG INDAH
0,75
0,92
351
2,06
114,62
2,388
79
LAWE SEMPILANG
0,75
0,9
365
2,06
318,53
0,874
80
PASIR NUNANG
0,75
0,9
657
2,06
150,89
3,322
81
PINTU KHIMBE
0,75
0,85
362
2,06
291,92
0,893
82
PRAPAT BATU NUNGGUL
0,75
0,7
740
2,06
117,45
3,738
83
RIH MBELANG
0,75
0,8
600
2,06
106,64
3,815
84
ALUR LANGSAT
0,75
0,98
315
2,06
49,27
5,311
85
KUTE MEJILE
0,75
0,98
320
2,06
70,28
3,782
86
LAWE TUNGKAL
0,75
0,98
460
2,06
35,68
10,709
87
RAMBAH SAYANG
0,75
0,98
469
2,06
42,09
9,256
88
RUMAH LUAR
0,75
0,98
345
2,06
43,14
6,643
89
SALIM PINIM II
0,75
0,98
179
2,06
42,08
3,533
90
SETAMBUL JAYA
0,75
0,98
361
2,06
46,12
6,502
KABUPATEN ACEH SELATAN 1
ALUR DUA MAS
0,75
0,85
1114
2,06
2238,74
0,359
2
BEUTONG
0,75
0,6
255
2,06
786,39
0,165
3
BUKIT GADING
0,75
0,6
1225
2,06
590,83
1,054
4
JAMBO KEUPOK
0,75
0,8
1320
2,06
962,19
0,930
5
KMP DRIEN
0,75
0,98
373
2,06
1172,61
0,264
6
SENEUBOK ALUR BULAH
0,75
0,8
367
2,06
4712,69
0,053
7
SEUNEBOK KERANJI
0,75
0,95
419
2,06
2905,60
0,116
8
UJUNG GUNONG RAYEK
0,75
0,95
304
2,06
1425,19
0,172
9
UJUNG MANGKI
0,75
0,25
689
2,06
951,99
0,153
10
UJUNG PADANG
0,75
0,65
501
2,06
1738,85
0,159
11
INDRA DAMAI
0,75
0,99
1656
2,06
954,15
1,456
12
PASI LEMBANG
0,75
0,8
1165
2,06
2334,13
0,338
13
UJUNG PADANG
0,75
0,99
374
2,06
230,23
1,363
14
ALUR KEJRUN
0,75
0,99
386
2,06
43223,17
0,007
15
DURIAN KAWAN
0,75
0,87
1329
2,06
902,01
1,086
16
LAWE SAWAH
0,75
0,86
2027
2,06
6501,90
0,227
70 Lampiran 5 (lanjutan) 17
PUCUK LEMBANG
0,75
0,94
880
2,06
15572,32
0,045
18
SAPIK
0,75
0,8
2080
2,06
1491,84
0,945
19
PISANG
0,75
0,8
1245
2,06
3213,58
0,263
20
PEULOKAN
0,75
0,8
1470
2,06
2379,77
0,419
21
GUNUNG ROTAN
0,75
0,9
1312
2,06
4932,45
0,203
22
JAMBO PAPEUN
0,75
0,85
1668
2,06
29499,21
0,041
KABUPATEN GAYO LUES 1
AKUL
0,75
0,9
1128
2,06
4714,01
0,183
2
KETUKAH
0,75
0,9
410
2,06
4564,74
0,069
3
PENOSAN SEPAKAT
0,75
0,95
906
2,06
3753,75
0,194
4
TINGKEM
0,75
0,98
228
2,06
4142,56
0,046
5
AKANG SIWAH
0,75
0,98
340
2,06
1897,55
0,149
6
BENER BARU
0,75
0,98
738
2,06
566,00
1,083
7
KUTE BUKIT
0,75
0,98
742
2,06
1630,20
0,378
8
TETINGI
0,75
0,99
281
2,06
4053,46
0,058
9
AGUSEN
0,75
0,95
517
2,06
4396,54
0,095
10
PALOK
0,75
0,9
786
2,06
2575,60
0,233
11
BLANGTEMUNG
0,75
0,98
548
2,06
6721,01
0,068
12
BENER
0,75
0,97
642
2,06
1319,41
0,400
13
BERANANG
0,75
0,98
618
2,06
2116,01
0,243
14
CIKE
0,75
0,98
275
2,06
1302,03
0,175
15
KONG PALUH
0,75
0,95
232
2,06
1938,31
0,096
16
EKAN
0,75
0,95
463
2,06
11648,91
0,032
17
PEPALAH
0,75
0,95
259
2,06
10943,93
0,019
18
PERTIK
0,75
0,95
662
2,06
24530,11
0,022
19
PINTU RIME
0,75
0,95
485
2,06
7744,06
0,050
20
URING
0,75
0,9
653
2,06
8217,78
0,061
21
GUMPANG LEMPUH
0,75
0,95
559
2,06
448,88
1,003
22
GUMPANG PEKAN
0,75
0,85
656
2,06
303,45
1,558
23
JERET ONOM
0,75
0,95
286
2,06
390,54
0,590
24
KUTE LENGAT SEPAKAT
0,75
0,98
531
2,06
103,01
4,282
25
MARPUNGE
0,75
0,95
481
2,06
199,41
1,942
26
MELOAK AIH ILANG
0,75
0,98
470
2,06
0,46
848,713
27
MELOAK SEPAKAT
0,75
0,97
347
2,06
229,89
1,241
28
PINTU GAYO
0,75
0,98
349
2,06
280,30
1,034
29
PUNGKE JAYA
0,75
0,98
396
2,06
0,00
30
PUTRI BETUNG
0,75
0,95
532
2,06
472,05
31
RAMUNG MUSARA
0,75
0,9
751
2,06
0,00
32
SINGAH MULE
0,75
0,98
834
2,06
0,00
33
UNING PUNE
0,75
0,95
537
2,06
342,85
1,261
34
BERHUT
0,75
0,98
280
2,06
2625,60
0,089
35
BUKUT
0,75
0,98
361
2,06
4991,76
0,060
36
LESTARI
0,75
0,98
203
2,06
2661,27
0,063
~ 0,907 ~ ~
71 Lampiran 5 (lanjutan) 37
PADANG
0,75
0,98
695
2,06
3974,31
0,145
38
TERLIS
0,75
0,98
373
2,06
3605,71
0,086
0,75
0,67
8025
2,06
31009,86
0,147
0,75
0,85
271
2,06
8972,21
0,022
KABUPATEN ACEH TAMIANG 1
TENGGULUN KOTA SUBULUSALLAM
1
PASIR BELO
Lampiran 6 Uji Akurasi Klasifikasi Penutupan/penggunaan Lahan No
Reference Data
Clasified Data BA
Htn
Pkb
Pkm
Total
PLK
RSB
Sw
Tt
1
Badan Air
1
0
0
0
0
0
0
0
1
2
Hutan
0
76
3
0
1
5
0
0
85
3
Perkebunan
0
0
2
0
0
0
0
0
2
4
Permukiman
0
0
0
1
0
0
0
0
1
5
Pertanian Lahan Kering
0
0
0
0
3
0
0
0
3
6
Rumput/ Semak Belukar
0
0
0
0
0
6
0
0
6
7
Sawah
0
0
0
0
0
0
1
0
1
8
Tanah Terbuka
0
0
0
0
0
0
0
1
1
Total
1
76
5
1
4
11
1
1
100
Pkb
Pkm
BA
Htn
PLK
RSB
Sw
Tt
Prods. Accuracy
100%
100%
40%
100%
75%
54,54%
100%
100%
Users Accuracy
100%
89,41%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
Overall Accuracy
91%
Kappa Statistics
0.74
72
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 2 Juli 1983 dari Ayah yang bernama T. Pandiangan dan Ibu yang bernama R. Manalu. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Santa Maria Tarutung pada tahun 1995. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan menengah di SMPN 2 Tarutung (lulus Tahun 1998) dan SMUN 1 Tarutung (lulus tahun 2001). Penulis menempuh pendidikan sarjana mulai tahun 2001 sampai 2007 pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor dengan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut). Lulus dari pendidikan sarjana penulis kemudian bekerja di PT. PEC-Tech Services Indonesia yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai Forestry Engineering dari tahun 2007 sampai tahun 2010. Penulis kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai tahun 2010 pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Sumatera Utara dengan jabatan terakhir sebagai Fungsional Umum Pengendali Ekosistem Hutan. Pada tahun 2014, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang S2 yang dibiayai oleh Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bagian dari tesis ini sedang dalam proses penerbitan pada Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota dengan judul “Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pengelolaan TNGL“. Penulis menetap di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara, menikah tahun 2011 dengan Novita Magdalena Ompusunggu, S.Pd dan telah dikarunia 2 (dua) orang anak perempuan yang bernama Jequiline Sylvana Elisabeth Pandiangan dan Bellvania Margareth Josephine Pandiangan.