106
VII. ANALISIS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
7.1. Identifikasi Pembiayaan TNGL Keberadaan TNGL disadari memiliki beraneka manfaat lamgsung dan manfaat tidak langsung pada masyarakat maupun ekosistem lingkungan. Untuk memenuhi kelestarian fungsi sosial ekonomi, pihak pemerintah melalui Departemen Kehutanan yaitu Direktorat Jenderal Taman Nasional sebagai pengelola TNGL secara rutin telah mengeluarkan dana pengusahaan agar Taman Nasional tetap lestari. Dana pengusahaan tersebut merupakan biaya-biaya bagi pembangunan sara maupun prasarana serta biaya petugas lapangan. Pada dasarnya, biaya pengusahaan TNGL dikelompokkan pada dua golongan yaitu : (1). Anggaran pembangunan, dan (2). Anggaran Rutin, yang meliputi segala pengeluaran yang disedikan untuk memelihara sarana fisik yang tersedia dan pengeluaran rutin untuk gaji pegawai. Sedangkan
anggaran
pembangunan
merupakan
anggaran
yang
dipersiapkan dan dipergunakan untuk membangun berbagai sarana fisik yang diperlukan di dalam kawasan taman nasional. Pengeluaran fisik tersebut diantaranya untuk membangun jalan dan lain-lain. Pada bagian pembangunan fisik ini biaya rutin dipergunakan untuk memelihara sarana fisik yang terhitung sejak pembangunan sarana fisik diselesaikan hingga April 1990 untuk seluruh lokasi TNGL telah dibangun gedung dan sarana fisik 513 buah, sarana jalan setapak 56 km, instalasi air dan jalan patroli 5,5 km. Seluruh bangunan gedung sarana dan prasarana tersebut tersebar pada beberapa wilayah Taman Nasional
107
yang meliputi Daerah Gunung Leuser bagian Barat, Tengah dan Timur. Lebih Jelas Lihat Tabel 18. Sumber dana pengusahaan Taman Nasional Gunung Leuser secara keseluruhan diperoleh dari dana pemerintah (merupakan investasi pemerintah). Selain itu bantuan keuangan juga diperoleh dari World Bank Iuran Hasil Hutan (IHH). Dana pengusahaan TNGL dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut menunjukan suatu pertanda bahwa keberadaan TNGL semakin dirasakan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan. Hal ini dapat diduga dari kerugian yang ditimbulkan bila keberadan Taman Nasional rusak. Tabel 19. Biaya Pembangunan TNGL No. Nama Daerah Total Biaya 1. Gunung Leuser Bagian Barat a. Tapak Air Dingin Rp. 65.170.000 b. Tapak Kluet Selatan Rp. 309.032.000 c. Stasiun Pengamatan Kluet Selatn Rp. 67.768.000 d. Stasiun Pengamatan Jambu Kluange Rp. 84.963.000 e. Stasiun Pengamatan Pucuk Lembang Rp. 84.968.000 2. Gunung Leuser Bagian Tengah a. Stasiun Penelitian Ketambe Rp. 318.012.000 b. Stasiun Penelitian Ketambe Rp. 81.968.000 c. Tapak Stasiun Pengamatan Lawe Gurah Rp. 340.968.000 3. Gunung Leuser Bagian Timur a. Tapak Bukit Lawang Bohorok Rp. 124.850.000 b. Tapak Sekundur, Besilang Rp. 134.814.000 c. Stasiun Penelitian Aras Napal. Sekundur Rp. 340.548.000 d. Stasiun Pengamatan Sekundur Rp. 49.890.000 4. Peralatan Komunikasi Rp. 93.968.000 5. Kantor dan Rumah Dinas Rp. 1.288.352.500 (Fasilitas Pengelola) Jumlah Rp. 3.382.352.500 Sumber : Desain Engineering Gunung Leuser, 1992.
Besarnya nilai kerugian kerusakan TNGL, dapat diketahui dari besarnya biaya pencegahan kerusakan, dari rencana pengembangan tahunan program
108
terpilih diperkirakan besarnya biaya seluruhnya adalah Rp. 444.420.000.000. Biaya ini secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel pengembangan tahunan. Tabel 20. Rencana Tahapan Pengembangan. No Rincian Program 1. Pembuatan tatabatas kawasan lindung Aceh Selatan 2. Penetapan hutan kemasyarakatan 3. Penyusunan rencana detail tata ruang daerah 4. Penyusunan rencana teknik tata ruang daerah 5. Study evaluasi lingkungan DAS singkil, kluet Kr. Baro, Kr. Susoh, dan Kr. Bakongan 6. Pembuatan saluran pengendali banjir dan peningkatan jaringan teknis bendungan irigasi 7. Reklamasi tanah tandus dan reporstrasi kawasan lindung yang rusak 8. Intensifikasi tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan 9. Pembuatan dan peningkatan jalan, jembatan dan gelombang Situlan 10. Mobil patroli dan operasional TNGL Barat Jumlah
Nilai Program Rp. 550.000.000 Rp. Rp. Rp. Rp.
110.000.000 120.000.000 120.000.000 550.000.000
Rp. 220.000.000.000 Rp.
550.000.000
Rp
2.200.000.000
Rp 220.000.000.000 Rp 220.000.000 Rp. 444.420.000.000
Sumber : Pemda Aceh Selatan, 2005 (diolah).
Dilihat dari besarnya prediksi pengeluaran untuk pengembangan kawasan TNGL, menunjukan bahwa keberadaan TNGL semakin strategis bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Memperhatikan perubahan dari tahun ke tahun, besarnya pengeluaran (biaya operasi) untuk pengamanan TNGL dari berbagai kerusakan yang dilakukan oleh perbuatan manusia yang kurang memiliki kesadaran dan tanggung jawab baik tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab secara fisik. Pada kawasan TNGL memerlukan banyak bangunan serba guna sebagai upaya pemeliharaan kawasan serta usaha membeikan peningkatan pelayanan pengunjung TNGL yang berasal dari dalam maupun manca negara. Selain itu di tapal batas kawasan banyak dibangun pos-pos jaga, shelter-shelter maupun rambu pengaman. Hal ini
109
sangat penting agar penduduk yang tinggal di daerah penyangga tidak memasuki kawasan lindung yang sudah disepakati. Pengamanan dengan bangunan fisik sangat penting karena selama ini terjadi tumpang tindih pemilikan lahan dan ketidakjelasan batas sehingga timbul perambahan hutan TNGL. Biaya Investasi rata-rata pengusahaan TNGL adalah sebesar Rp 1.341.071.505 sedangkan biaya operasionalnya sebesar Rp 2.428.062.754 setiap tahunnya. Selain itu dengan pengamanan yang menggunakan bangunan fisik para pengelola TNGL melakukan pengamanan dengan tenaga sumber daya manusia yaitu melakukan operasi-operasi tertentu pada situasi-situasi tertentu pula. Tujuan operasi ini sama dengan tujuan pembangunan fisik TNGL yaitu pengamanan kawasan dari pengrusakan dan perambahan. Besarnya biaya operasional ini dari tahun ketahun menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Untuk mengamankan kawasan lindung TNGL, pada posisi keasriannya sekarang digalakkan pembudidayaan tanaman hortikultura atau tanaman pohonpohon keras. Masyarakat digerakkan untuk menanami lahan-lahan garapannya dengan tanaman hortikultura tersebut. Besarnya dana untuk model ini terlihat dari alokasi THH. Dengan demikian untuk mengamankan kawasan lindung TNGL dari resiko pengrusakan yang merugikan masyarakat maupun ekosistemnya. Adapun bentuk-bentuk pengaman tersebut yaitu dengan pembangunan fisik, peningkatan personal operasional dan pengamanan dengan penanaman hortikultura. Dari ketiga model pengamanan tersebut dengan pendekatan analisa efektifitas biaya dapat diketahui bentuk pengamanan yang efektif dan yang relatif lebih tepat yang diperlukan oleh TNGL. Atau dengan istilah lain model pengamanan tidak intensif, pengamanan intensif dan pengamanan alamiah.
110
Besarnya nilai kerugian kerusakan TNGL, dapat diketahui dari besarnya biaya pencegahan kerusakan, dari rencana pengembangan tahunan program terpilih diperkirakan besarnya biaya seluruhnya Rp. 675.357.570.000. Biaya ini secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel pengembangan tahunan Tabel 20. Tabel 21. Rencana Pengembangan Tahunan No Rincian Program Nilai Program 1. Pembuatan tatabatas kawasan lindung aceh Rp. 835.500.000 selatan 2. Penetapan hutan kemasyarakatan Rp. 167.100.000 3. Penyusunan rencana detail tata ruang daerah Rp. 34.200.000 4. Penyusunan rencana teknik tata ruang daerah Rp. 334.200.000 5. Study evaluasi lingkungan DAS singkil, kluet Rp. 50.000.000 Kr. Baro, Kr. Susoh, dan Kr. Bakongan Pembuatan saluran pengendali banjir dan Rp. 334.200.000.000 6. peningkatan jaringan teknis bendungan irigasi Reklamasi tanah tandus dan reporstrasi Rp. 835.500.000 7. kawasan lindung yang rusak Intensifikasi tanaman pangan, perkebunan, Rp. 3.342.000.000 8. perikanan dan peternakan Pembuatan dan peningkatan jalan, jembatan dan Rp. 334.200.000.000 9. gelombang Situlan 10. Mobil patroli dan operasional TNGL Barat Rp. 334.200.000 Jumlah : Rp. 675.357.570.000 Sumber : Pemda Aceh Selatan, 2005 (diolah).
Dilihat dari besarnya prediksi pengeluaran untuk pengembangan kawasan TNGL, menunjukan bahwa keberadaan TNGL semakin strategis bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Memperhatikan perubahan dari tahun ke tahun, besarnya pengeluaran (biaya operasi) untuk pengamanan TNGL dari berbagai kerusakan yang dilkaukan oleh perbuatan manusia yang kurang memiliki kesadaran dan tanggung jawab baik tanggung jawab sosial maupun tanggung secara fisik. Pada kawasan TNGL memerlukan banyak bangunan serba guna sebagai upaya pemeliharaan kawasan serta usaha membeikan peningkatan pelayanan pengunjung TNGL yang berasal
111
dari dalam maupun manca negara. Selain itu di tapal batas kawasan banyak dibangun pos-pos jaga, shelter-shelter maupun rambu pengaman. Hal ini sangat penting agar penduduk yang tinggal di daerah penyangga tidak memasuki kawasan lindung yang sudah disepakati. Pengamanan dengan bangunan fisik sangat penting karena selama ini terjadi tumpang tindih pemilikan lahan dan ketidakjelasan batas sehingga timbul perambahan hutan TNGL. Selain itu dengan pengamanan yang menggunakan bangunan fisik para pengelola TNGL melakukan pengamanan dengan tenaga sumber daya manusia yaitu melakukan operasi-operasi tertentu pada situasi-situasi tertentu pula. Tujuan operasi ini sama dengan tujuan pembangunan fisik TNGL yaitu pengamanan kawasan dari pengrusakan dan perambahan. Besarnya biaya operasional ini dari tahun ketahun menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Untuk mengamankan kawasan lindung TNGL, pada posisi keasriannya sekarang digalakkan pembudidayaan tanaman hortikultura atau tanaman pohonpohon keras. Masyarakat digerakkan untuk menanami lahan-lahan garapannya dengan tanaman hortikultura tersebut. Besarnya dana untuk model ini terlihat dari alokasi THH. Dengan demikian untuk mengamankan kawasan lindung TNGL dari resiko pengrusakan yang merugikan masyarakat maupun ekosistemnya. Adapun bentuk-bentuk pengaman tersebut yaitu dengan pembangunan fisik, peningkatan personal operasional dan pengamanan dengan penanaman hortikultura. Dari ketiga model pengamanan tersebut dengan pendekatan analisa efektifitas biaya dapat diketahui bentuk pengamanan yang efektif dan yang relatif lebih tepat yang diperlukan oleh TNGL. Atau dengan istilah lain model pengamanan tidak intensif, pengamanan intensif dan pengamanan alamiah. Bentuk pengaman lainnya yaitu
112
dengan penanaman pohon-pohon. Pengaman ini untuk mencapai hasil yang lebih efektif diperkirakan memerlukan waktu 30 tahun. Tabel 22. Daftar Anggaran TNGL dari APBN, World Bank dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Th Anggaran 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993
APBN Rp. 42.000.000 Rp. 52.000.000 Rp. 89.720.000 Rp. 117.500.000 Rp. 135.250.000 Rp. 134.544.000 Rp. 149.955.000 Rp. 299.922.300 Rp. 89.791.135 Rp. 63.999.000 Rp. 239.867.000 Rp. 237.600.000 Rp. 277.618.000 Rp. 890.370.000
Rutin Rp. 11.083.000 Rp. 19.120.000 Rp. 21.632.000 Rp. 20.639.000 Rp. 23.554.000 Rp. 35.391.000 Rp. 87.269.260 Rp. 68.709.000 Rp. 93.596.000 Rp. 174.745.000 Rp. 132.876.000 Rp. 200.980.000 Rp. 262.475.000
BLN Rp. 196.463.008 Rp. 1.004.085 Rp. 116.750.000 Rp. 725.255.000 Rp. 177.390.000 Rp. 29.500.000 -
PSDH Rp. 10.700.000 Rp. 15.700.000 Rp. 10.080.000 Rp. 62.770.000 Rp. 72.235.000 Rp. 85.728.000 Rp. 81.902.000 Rp. 88.003.000 -
Sumber : Rencana Karya Lima Tahun TNGL, 1992.
Data dari tabel menerangkan bahwa dari tahun ke tahun besarnya dana yang disediakan untuk menjaga kelestarian TNGL semakin tinggi. Demikian pula perhatian dunia usaha pemegang HPH maupun Bank Dunia memperbesar bantuan keuangan dan bantuan teknis. Secara lebih rinci dari anggaran APBN 1979/1980 sebesar Rp. 42.000.000 meningkat menjadi Rp. 52.000.000 atau naik sebesar 19,23 persen di tahun anggaran 1980/1981. Pada tahun anggaran 1981/1982m meningkat lagi sebesar 32,20 persen. Kemudian tahun anggaran 1982/1983 mengalami kenaikan pula sebesar 32,64 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Sedangkan pada tahun 1983/1984 kenaikan hanya sebesar 1,49 persen. Tahun 1984/1985 terjadi penurunan sebesar 0,48 persen atau turun sebesar Rp. 656.000 yaitu dari Rp. 135.200.000 berkurang menjadi Rp. 134.544.000. Pada tahun anggaran 1985/1986 besarnya anggaran kembali mengalami kenaikan sebesar 10,27 persen dari tahun sebelumnya yaitu dari Rp. 134.544.000 menjadi Rp. 149.955.000. Tahun anggaran berikutnya yaitu tahun 1986/1987 terjadi kenaikan
113
yang cukup tajam yaitu sebesar 80,43 persen dari tahun sebelumnya atau kenaikan sebesar Rp. 148.967.300 dari Rp. 149.955.000 menjadi Rp 299.922.300. Namun peningkatan tesebut pada tahun berikutnya tidak terjadi, bahkan mengalami penurunan sebesar Rp. 210.131.115 yaitu turun dari Rp. 299.922.300 menjadi Rp. 89.791.185 pada tahun 1987/1988 atau turun sebesar 230 persen. Keadaan tahun 1988/1989 dimana biaya anggaran mengalami penurunan kembali dari Rp. 89.791.185 menjadi Rp. 63.999.000 atau turun sebesar 70,02 persen. Penurunan sedemikiain rupa diduga disebabkan keadaan perekonomian nasional yang mengalami kelesuan. Namun kekurangan tersebut terbantu oleh adanya suntikan dana dari PSDH yang cukup besar. Pada tahun anggaran 1989/1990 terjadi lonjakan kenaikan dari Rp. 63.999.000 menjadi Rp. 239.867.000 atau naik sebesar 374 persen. Kenaikan ini ditambah lagi dengan kenaikan dana dari PSDH sebesar Rp. 85.728.000 dan bantuan World Bank sebesar Rp. 725.255.000, sehingga pada periode tahun ini anggaran terbesar yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 1.165.340.000. Peningkatan ini terjadi karena besarnya harapan yang diberikan agar keberadaan TNGL lebih aman dari berbagai kerusakan. Pada tahun 1990/1991 dana yang dipergunakan turun dari tahun sebelumnya yaitu Rp. 2.267.000 atau sama dengan 9,9 persen. Sedangkan pada tahun 1991/1992 besarnya meningkat kembali dari Rp. 237.600.000 dari tahun sebelumnya menjadi Rp. 277.618.000 atau naik sebesar 6,8 persen. Untuk tahun 1992/1993 besarnya jumlah dana yang dialokasikan bagi pengamanan TNGL meningkat dari Rp. 277.618.000 menjadi Rp. 890.370.000 atau naik sebesar 220 persen dari tahun sebelumnya. Dari gambaran tersebut maka jelaslah bahwa untuk mempertahankan kawasan TNGL tetap pada keasllian dan keasriannya diperlukan
114
biaya yang cukup besar dari tahun ke tahun. Sebenarnya pengalokasian anggaran pengeluaran tersebut sangat strategis bila ditinjau dari segi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk membangun kawasan lindung tetap terpelihara maka peran serta berbagai lembaga perlu dilibatkan secara penuh baik swasta maupun lembaga internasional. Sehubungan dengan hal ini TNGL setiap tahun mendapat dukungan bantuan yang cukup besar terutama dari pemegang HPH (PSDH) serta bantuan dari luar negeri yaitu dari World Bank. Partisipasi nyata dari World Bank terungkap dengan nilai bantuan teknis maupun bantuan program dan dana sedangkan bantuan dari PSDH berupa dana saja. Secara lebih rinci besarnya bantuan kedua sumber tersebut adalah jumlah bantuan dari World Bank secara keseluruhan sebesar Rp.1.276.362.093. Sedangkan bantuan dari PSDH dari 1991-1992 secara keseluruhan berjumlah Rp. 427.118.000. Dari gambaran tersebut dana PSDH dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kenaikan tersebut bermula dari tahun 1981-1982 dari Rp. 10.700.000 meningkat menjadi Rp. 15.700.000 atau naik sebesar 46,72 persen. Sedangkan pada tahun 1983-1984 dan 1985/1986 dana dari PSDH mengalami kekosongan. Sedangkan pada tahun 1986/1987 besarnya dana dari PSDH mencapai Rp. 10.080.000 atau turun 35,79 persen lebih rendah dari tahun 1983/1984. Pada tahun 1987/1988 terjadi peningkatan tajam sebesar 522 persen. Untuk 1988/1989 terjadi peningkatan sebesar 16,17 persen. Tahun 1989/1990 dana PSDH juga meningkat sebesar 18,67 persen dari Rp. 72.235.000 menjadi Rp. 85.728.000. Tetapi kembali mengalami penurunan pada tahun 1990/1991 dari Rp 85.728.000 menjadi Rp 81.902.000 atau turun sebesar 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Hanya saja pada tahun 1991/1992 penurunan tidak terjadi bahkan
115
mengalami kenaikan sebesar 7,44 persen atau meningkat dari Rp. 31.902.000 menjadi Rp. 88.003.000. Dengan demikian jelas terlihat bahwa secara umum pada tahun pengamatan terakhir dana PSDH semakin besar disumbangkan bagi keperluan
upaya
pengamanan
penyelamatan
TNGL.
Adapun
rata-rata
kenaikannya sebesar 65,175 persen. Di sisi lain peran lembaga internasional seperti Bank Dunia juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikan ini menunjukkan besarnya perhatian dunia terhadap pemeliharaan sumber-sumber ekosistem dunia agar tetap terpelihara. Bantuan luar negeri ternyata lebih besar dibandingkan dengan bantuan dana dari PSDH. Secara lebih rinci peningkatan bantuan dana dari World Bank dapat dilihat dari Tabel di atas. Melalui tabel tersebut dapat dibaca bahwa bantuan luar negeri sudah dimulai sejak 1979/1980 dengan besar bantuan Rp. 196.463.008. dan bantuan tersebut mengalami penurunan yang drastis tahun 1980/1981 dengan besar hanya Rp. 1.004.085. Sejak tahun 1981-1989 terjadi kekosongan. Kekosongan tersebut mulai mengalir kembali pada tahun 1988/1989 dengan nilai bantuan sebesar Rp. 116.750.000. Seiring dengan gencarnya isu polusi udara secara internasional dan kebocoran lapisan ozon bantuan luar negeri meningkat sebesar Rp. 725.255.000. Tahun 1989-1990 meningkat sebesar 521 persen. Keadaan tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 1990-1991 bantuan luar negeri mengalami penurunan tajam menjadi Rp. 177.390.000 atau turun sebesar 303,84 persen dari tahun sebelumnya. Bantuan tersebut mengalami penurunan kembali pada tahun 1991-1992 dari Rp. 177.390.000 menjadi Rp. 29.500.000 atau trurun sebesar Rp. 147.890.000 dari tahun sebelumnya.
116
Dengan menganalisa gambaran data yang ada tersebut jelaslah kiranya bahwa untuk memelihara TNGL dari kerusakan sangat diperlukan biaya yang cukup besar dari tahun ke tahun. Besarnya anggaran yang dialokasikan bagi pengembangan TNGL ini sangat sesuai dengan nilai manfaat yang disumbangkan oleh TNGL pada masyarakat lokal, regional dan internasional. Besarnya dana yang dianggarkan setiap tahun untuk pengembangan kawasan lindung TNGL dapat dilihat dari rincian Rekapitulasi biaya pengusahaan TNGL dari tahun 1980/1981 hingga tahun 1989/1990. Tabel 23. Rekapitulasi Biaya Pengusahaan TNGL Tahun 1980/1981 hingga 1989/1990 Tahun
Biaya Investasi
Biaya Operasional
1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
13.498.000 5.073.400 15.998.000 16.037.800 15.531.850 274.816.642 171.208.075 41.185.720 18.000.000 37.228.470
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
24.991.700 59.106.372 31.842.000 74.419.068 106.422.203 106.422.203 287.902.062 187.436.060 112.561.210 112.561.210
Jumlah
Rp.
609.577.957
Rp.
1.103.664.888
Sumber: Laporan tahunan TNGL, 1990.
Upaya memelihara produk-produk bukan kayu dengan mempertahankan keasliannya untuk memberikan nilai perlindungan bagi kelangsungan produksi lahan persawahan yang terdapat di dusun Pamah Semelir seluas 10 ha dan pendayagunaan aliran sungai Bekulap menggerakkan generator listrik tenaga air yang mampu menerangi rumah penduduk sebanyak 44 kepala keluarga. Selain itu aliran sungai yang ada di Dusun Pamah Semelir sebagai sumber mata air bagi ribuan penduduk di desa Telagah. Dengan mengunakan penilaian perlindungan
117
nyata dapat dilihat dari keadaan sebelum bagian taman nasional mengalami longsor dan sesudah longsor. Hal ini dapat dilihat dari penilaian di Tabel 23. Dengan menggnakan cara penilaian penggunaan tak langsung (indirect Uses Valuation) dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan kawasan penyangga (buffer zone) pada kegiatan yang merubah atau berbeda dengan keaslian ekosistem telah menimbulkan kerugian-kerugian fisik sarana produksi maupun kerugian ekonomis berupa berkurangnya pendapatan masyarakat yang berhubungan dengan sarana yang tersedia bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar kawasan. Tabel 24. Kerugian Akibat Bencana Alam Proteksi Aset Sebelum Longsor
Kapasitas Produksi
Nilai *
I. Sawah Produktif 40 hektar Generator Listrik Tenaga Air Haller Rice Dedak Padi Rumah Huma Kolam ikan
1 x panen/ha 4000 kg=10 40 kk x Rp2000 = 80.000 64 ton x Rp 25/kg 64 ton x 0,08 x 100 5 x Rp70.000 2 x 400 kg x Rp3000
Rp 40 Rp 0.96 Rp 1.6 Rp 0.51 Rp 0.35 Rp 0.24
1 x panen/ha 4000 kg=133 18 kk x Rp1000 = 80.000 27,2 ton xR p 25/kg 27,2 ton x 0,08 x 100 5 rumah huma x 100000 2 kolam ikan x 200000 1 bendungan generator
Rp 34 Rp 0.21 Rp 0.66 Rp 0.21 Rp 0.50 Rp 0.4 Rp 1.2
Proteksi Aset Sesudah longsor II. Sawah Produktif 34 hektar Generator Listrik Tenaga Air Haller Rice Dedak Padi Rehabilitasi
* dalam jutaan rupiah
Dilihat dari segi kerugian produksi (lost Production) seluruh sawah dengan luas 40 ha memproduksi padi 160 ton dengan harga Rp 250/kg menghasilkan penerimaan bagi penduduk sebesar 40 juta. Setelah longsor luas sawah yang berproduksi hanya 34 ha dengan produksi 136 ton dengan nilai Rp 36 juta atau mengalami penurunan 8,5 persen yaitu sebesar Rp 4 juta. Huller Rice yang berfugsi untuk penggilingan padi digerakan oleh tenaga air (kincir air) setiap
118
tahun mampu menggiling 64 ton dengan upah gilingan per kilogram Rp 25 menghasilkan pendapatan sebesar Rp 960.000 namun dengan adanya longsor kemampuna produksi mengalami penurunan kapasitas. Penurunan produksi mencapai 27,2 ton per tahun sehingga penerimaan Rp 660.000 di sini kapasitas prodiksi menurun sebesar 43,3 persen dengan kerugian Rp 300.000. perolehan dedak padi sebagai keuntungan tambahan bagi pemilik huller rice setiap tahun memproduksi sebanyak 5120 kg dengan harga Rp 100/kg sehingga bernilai Rp 512.000 tetapi setelah terjadi longsor penerima dedak padi menjadi Rp 217.000 atau turun 40,8 persen dengan nilai kerugian sebesar 299.000. Dengan kalkulasi kehilangan atau kerugian produksi maka akibat dari rusaknnya sistem proteksi alamiah, total kerugian yang diterima adalah sebesar sebesar Rp 7.736.000. Selain itu dengan perhitungan rehabilitation cost sebelum longsor terdapat lima rumah huma senilai Rp 70.000/unit sehingga nilai keseluruhan menjadi Rp 350.000. Sedangkan untuk merehabilitasi kembali diperlukan Rp 500.000. Untuk memperbaiki kolam ikan yang rusak diperlukan biaya perbaikan sebesar Rp 400 ribu sedangkan untuk memperbaiki bendungan generator serta pembersihan dari endapan pasir diperlukan biaya sebesar Rp 1,2 juta. Dengan demikian jika nilai rehabilitasi dan nilai kerugian dianggap sebagai nilai kerugian keseluruhan maka akan diperoleh nilai kerugian murni sebesar Rp 9.838.000.
7.2. Identifikasi Manfaat TNGL 7.2.1. Sumber Produk Bukan Kayu Sebagai suatu kawasan yang masih asli (hutan primer) TNGL diisi oleh berbagai jenis flora dan fauna. Kekayan berbagai jenis flora meliputi tumbuhan
119
timber atau kayu langka seperti kayu kapur. Sedangkan banyak lagi jenis kayu yang digunakan untuk kepentingan pertukangan (kebutuhan rumah tangga). Fauna yang menghuni TNGL terdiri banyak jenis yan dilindungi secara Nasional karena kelangkaannya. Selain itu dari kawasan TNGL diperkaya oleh produk-produk bukan kayu yang memiliki suatu peran dan fungsi pada ekositem lingkungan secara global. Keberadan produk bukan kayu belum menjadi perhatian yang serius karena pemanfaatan hasil hutan hanya bertumpu pada hasil kayu dan tanaman yang dapat dijual belikan secara tradisional. Produk bukan kayu dihitung nilai manfaatnya dimana perhitungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
7.2.2. Pariwisata Keberadan TNGL pada saat ini bukan hanya merupakan kekayaan bangsa Indonesia tetapi telah menjadi milik bansa-bangsa di dunia.hal ini dapat terjadi karena TNGL merupakan satu kesatuan dari ekositem dunia. Oleh karena itu berbagai keunikan flora, fauna dan panorama yang asli merupakan produk yang tak ternilai harganya. Sejak disahkan menjadi kawasan konservasi, TNGL telah dikunjungi oleh berbagai penduduk mancanegara untuk keperluan ilmu pendidikan pengembangan kawasan TNGL sebagai pusat rehabilitasai Orang Utan, khususnya di Bahorok bukit Lawang. Jumlah pengunjung domestik dan manca negara dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Menrut hasil survey pada pengunjung TNGL terdiri atas 70% untuk berekreasai, 28% untuk tujuan widyawisata (pendidikan) dan dua persen untuk kepntingan penelitian dengan komposisi tersebut juga diramalkan bahwa peningkatan kunjungan wisata terlihat
120
dari kedatangan pengunjung sejumlah 113.092 untuk lebih lengkap lihat tabel Ramalan pengunjung TNGL berikut. Tabel 25. Ramalan pengunjung TNGL Tahun Jenis Pemgunjung Maksud Kunjungan Asing Domestik Rekreasi Pendidikan Penelitian 1985 3.150 22.518 17.187 7.187 513 1990 5.987 63.417 48.588 19.433 1.388 1995 8.824 104.268 79.164 31.666 2.262 2000 8.824 104.268 79.164 31.666 2.262 2005 8.824 104.268 79.164 31.666 2.262 Besarnya minat wisatawan asing dan domestik berwista ke TNGL memberikan dampak ekonomi yang cukup besar yaitu perolehan dari tiket masuk ke lokasi TNGL khusunya pusat rehabilitasi Orang Utan di bukit Lawang. Kawasan Dusun Bukit Semelir yang berbatasan langsung dengan tanah tinggi Karo memiliki keunggulan keindahan pemandangan, udara yang sejuk serta keaslian tanamantanaman hutan primer. Dengan keunggulan tersebut kawasan ini belum dikenal secara luas. Jumlah pengunjung domestik lebih banyak dari kalangan remaja yaitu anak-anak sekolah SLTP dan SLTA. Umumnya para pelajar memanfaatkan lokasi Pamah Semelir sebagai tempat berkemah. Sedangkan wisatawan asing yang datang ke lokasi ini perbulannya rata-rata masih sedikit yaitu enam sampai delapan orang. Kegiatan mereka lebih sering melakukan napak tilas dari bukit lawang ke tanah Karo. Oleh karena minimnya jumlah wisatawan yang datang ke Dusun Pamah Semelir ini berdampak negatif bagi pengusaha yang menyediakan kamar sewa kosong. Sepanjang tahun wisatawan yang datang hanya beristirahat untuk melepas lelah kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Dilihat dari kecilnya jumlah pengunjung domestik maupun manca negara ke kawasan Dusun Pamah Semelir karena daerah ini belum dijadikan pusat wisata. Jumlah
121
pengunjung terbesar lebih berpusat di pusat rehablitasi Orang Utan Bahorok. Perhitungan manfaat yang dihasilkan dari kegiatan pariwisata dalam hitungan yang digunakan untuk analisis manfaat-biaya diperlihatkan pada Lampiran 2.
7.2.3. Air Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan tangkapan air yang sangat besar. Air selain bermanfaat bagi masyarakat dapat pula mendatangkan bencana berupa banjir bandang atau tanah longsor jika kwasan tangkapan air mengalami kerusakan. Sumber air yang sangat besar di kawasan TNGL jika dihitung debit air perhari mencapai 1.296 meter kubik atau sama dengan 1.296.000 liter perhari. Jika penduduk menggunakan air bersih setiap hari 125 liter maka dapat dipenuhi kebutuhan bagi 10.368 penduduk.
Dan dengan
memberi harga per 125 liter sebesar Rp 836 maka nilai Rupiahnya sebesar Rp 8.667.648 /hari. Perhitungan lebih terperinci untuk analisis manfaat-biaya dijelaskan di dalam Lampiran 3.
7.3. Analisis Kelayakan Ekonomi 7.3.1. Analisis Manfaat-Biaya Metode analisis yang digunakan pada analisis ekonomi manfaat dan biaya adalah dengan mengitung Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit/Cost (Net B/C) yang dilakukan pada discount rate sesuai dengan suku bunga pasar (18 persen) dan discount rate apabila suku bunga disubsidi (yakni 10 persen dan 7 persen). Perhitungan dari analisis manfaat-biaya
122
diperlihatkan pada Lampiran 4 hingga 6, dan ringkasan hasil perhitungan tersebut disajikan pada Tabel 26. Terlihat pada Lampiran 4 bahwa di antara komponen manfaat yang terbesar adalah nilai produk bukan kayu, yang pada tahun pertama diestimasi sebesar Rp 82,60 milyar. Pada urutan berikutnya adalah pariwisata, yang pada tahun pertama diperkirakan mencapai Rp 4,31 milyar untuk pariwisata domestik dan Rp 0,43 milyar untuk pariwisata luar negeri, diikuti dengan air dengan besaran yang relatif kecil. Estimasi awal dari analisis arus manfaat dan arus biaya yang dilakukan untuk tingkat diskonto (discount rate) 18 persen menunjukkan bahwa nilai NPV negatif yakni -Rp 75.383.199.966 (Tabel 26). NPV yang negatif ini menunjukkan bahwa keberadaan TNGL dengan suku bunga pasar (tingkat diskonto 18 persen) tidak layak untuk dijalankan. Tingkat pengembalian internal (IRR) yang dihasilkan adalah sebesar 13,86 persen. Tingkat pengembalian internal ini menunjukkan bahwa ”proyek” akan memberikan tingkat pengembalian terhadap modal yang ditanamkan sebesar 13,86 persen, dimana nilai ini lebih rendah dari tingkat diskonto yang digunakan (18 persen). Hasil estimasi nilai Net B/C menunjukkan nilai yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,878. Angka hasil estimasi ini menunjukkan bahwa setiap pengeluaran sebesar satu rupiah maka akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 0,878. Hasil-hasil analisis ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan suku bunga pasar, maka TNGL tidak layak untuk dijalankan. Oleh sebab itu, apabila TNGL akan tetap dipertahankan, mengingat besarnya peranan yang dimilikinya termasuk kelestarian lingkungan, diperlukan subsidi suku bunga.
123
Tabel 26. Hasil Analisis Manfaat-Biaya TNGL Suku Bunga (Discount Rate) Suku Bunga Pasar (DR=18%) Suku Bunga Disubsidi (DR=10%) Suku Bunga Disubsidi (DR=7%)
NPV -75.383.199.966 96.853.434.058 196.622.495.384
NET B/C 0,878 1,141 1,275
IRR 13,86% 13,86% 13,86%
Estimasi analisis manfaat-biaya yang dilakukan dengan suku bunga yang disubsidi (tingkat diskonto 10 persen maupun 7 persen) menunjukkan bahwa nilai NPV menjadi positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR lebih besar dari tingkat diskonto (Tabel 26). Analisis manfaat-biaya yang dilakukan pada tingkat diskonto 10 persen, misalnya, dapat mendatangkan NPV sebesar Rp 96.853.434.058, Net B/C sebesar 1,141, dan IRR sebesar 13,86 persen. Nilai-nilai IRR untuk ketiga besaran tingkat diskonto sama besarnya karena, sesuai dengan teori, besaran IRR tidak tergantung pada tingkat diskonto. Besaran IRR akan berubah apabila ada perubahan items arus manfaat dan/atau arus biaya. Hasil-hasil analisis di atas menunjukkan bahwa pemberian subsidi suku bunga menyebabkan TNGL layak untuk dijalankan. 7.3.2. Analisis Sensitifitas Analisis sensitifitas yang dilakukan di sisi manfaat adalah jika terjadi penurunan pada nilai manfaat bukan kayu, yang merupakan komponen dominan dari arus manfaat; dan di sisi biaya yaitu jika terjadi kenaikan pada biaya operasional, yang merupakan elemen yang menentukan kelancaran operasional TNGL. Perubahan masing-masing parameter ini dilakukan secara individual maupun secara bersama-sama (kombinasi) untuk berbagai tingkat diskonto (18
124
persen, 10 persen, dan 7 persen). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai dengan 14, dan ringkasannya disajikan pada Tabel 27. Terlihat pada Tabel 27 bahwa dengan tingkat diskonto 18 persen (suku bunga pasar), semua perubahan yang terjadi (penurunan manfaat bukan kayu 20 persen maupun kenaikan biaya operasional 20 persen) menyebabkan pelaksanaan TNGL menjadi tidak layak (NPV negatif, net B/C lebih kecil dari satu, dan IRR lebih rendah dari tingkat diskonto). Kombinasi kedua perubahan tersebut tidak perlu dianalisis karena dapat dipastikan akan menyebabkan pelaksanaan TNGL semakin tidak layak.
Tabel 27. Hasil Analisis SensitifitasTNGL Uraian Suku Bunga Pasar (DF=18%) Manfaat Bukan Kayu Turun 20% Biaya Operasional Naik 20% Suku Bunga Disubsidi (DF=10%) Manfaat Bukan Kayu Turun 20% Biaya Operasional Naik 20% Manfaat Bukan Kayu Turun 20%, dan Biaya Operasional Naik 20% Suku Bunga Disubsidi (DF=7%) Manfaat Bukan Kayu Turun 20% Biaya Operasional Naik 20% Manfaat Bukan Kayu Turun 20%, dan Biaya Operasional Naik 20%
NPV
NET B/C
IRR
-179.144.352.776 -77.057.858.384
0,710 0,876
7,81% 13,76%
-52.661.170.529 94.311.333.113
0,923 1,137
7,81% 13,76%
-55.203.271.474
0,920
7,70%
22.039.238.690 193.602.444.212
1,031 1,269
7,81% 13,76%
19.019.187.518
1,026
7,70%
Apabila suku bunga disubsidi sedemikian rupa sehingga tingkat diskonto turun menjadi 10 persen, ternyata penurunan manfaat bukan kayu 20 persen menyebabkan TNGL masih belum layak dilaksanakan (NPV –Rp 52.661.170.529, Net B/C sebesar 0,923, dan IRR 7,81%). Adapun kenaikan biaya operasional 20 persen, dengan tingkat diskonto 10 persen, tidak merubah status kelayakan TNGL
125
karena NPV masih positif, Net B/C masih lebih besar dari satu, dan IRR masih lebih tinggi dari tingkat diskonto (Tabel 27). Akan tetapi, kombinasi kenaikan biaya operasional 20 persen dengan penurunan manfaat bukan kayu 20 persen menyebabkan bahwa TNGL tidak layak dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun suku bunganya sudah disubsidi, ”proyek” TNGL berisiko cukup tinggi untuk dijalankan, karena pengusahaannya menjadi tidak layak apabila ada gangguan penurunan arus manfaat bukan kayu. Oleh sebab itu, subsidi terhadap suku bunga yang diberikan harus lebih besar sehingga tingkat diskonto menjadi harus lebih rendah dari yang digunakan di atas. Dengan menggunakan tingkat diskonto 7 persen (atau diberikan subsidi suku bunga sebesar 18% - 7% = 11%), terlihat pada Tabel 27 bahwa apabila terjadi perubahan-perubahan seperti dikemukakan di atas, TNGL tetap layak dilaksanakan. Dengan demikian, agar manfaat ekonomi dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar TNGL dan konservasi TNGL sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik, maka pembiayaan TNGL perlu dilakukan dengan bantuan/subsidi suku bunga. Tanpa insentif ini, maka kemungkinan masyarakat sekitar TNGL tidak dapat memperoleh manfaat ekonomi yang memadai, dan kelestarian lingkungan TNGL pun akan terancam.