UJI STANDAR KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL PADA PRINSIP KELESTARIAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)
ALLAN ROSEHAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional pada Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2010 Allan Rosehan NIM. E351080145
ABSTRACT ALLAN ROSEHAN. Test of National Park Management Performance Standard on The Principles of Socio Cultural Function Sustainability (Case Study: Mount Halimun-Salak National Park). Under Direction of ARZYANA SUNKAR and SAMBAS BASUNI. The current National Park management did not fully take into account the socio cultural benefits sustainability, particularly for indigenous communities. Therefore the park‘s performance achievement on the aspect of socio cultural needed to be assessed by using tested management standards. The research objectives were: (1) to measure the actual verifier and assess the indicators formulated by the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (Ditjen PHKA) and Bogor Agricultural University (IPB) in Mount Halimun Salak National Park (GHSNP), (2) to analyze the validity of management performance indicators of GHSNP (3) to measure the achievement of each indicator based on a minimum standard of performance, and (4) to formulate recommendations for improving management standards. The results showed that: (1) the actual value of management performance indicators for GHSNP was good for one indicator and fair for four indicators. There were four indicators that could not be measured and assessed because they were not applicable and were site specific, (2) eight of the nine indicators which have been tested in the field were valid, (3) the achievement of performance indicators for GHSNP management on the principle of sociocultural sustainability has achieved its minimum values and (4) the standard management of national park should be completed because field results showed that, there were difficulties measuring the verifiers and assessing the indicators. This research found that there were inconsistency on the terminology used in the standards, lack of operational definition, difficulty in using the norm, and verifier inappropriate with actual condition. Keywords: criteria, indicators, management standards, national parks, socio cultural
RINGKASAN ALLAN ROSEHAN. Uji Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional pada Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun salak). Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan SAMBAS BASUNI. Upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia diwujudkan dengan menetapkan kawasan-kawasan konservasi. Taman Nasional (TN) merupakan jenis kawasan konservasi dengan luasan terbesar, yaitu mencapai 16.347.757,64 ha atau 57,9% dari luas total seluruh kawasan konservasi yang ada (Dephut, 2008). Pada perkembangannya, pengelolaan kawasan konservasi termasuk TN dianggap terlalu mengedepankan aspek perlindungan dan pengawetan, sehingga memunculkan penilaian bahwa pengelolaan TN hanya terfokus pada upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati dan mengabaikan fungsi pemanfaatannya dalam rangka menjamin keberlangsungan manfaat sosial budaya bagi masyarakat khususnya masyarakat adat. Oleh karena itu, kelestarian fungsi sosial budaya dijadikan salah satu tolok ukur dalam menilai kinerja pengelolaan TN. Permasalahannya, belum ada standar kinerja pengelolaan TN yang teruji dan baku sebagai acuan untuk menilai kinerja TN di bidang sosial budaya. Bertolak dari hal tersebut, diperlukan suatu penelitian untuk mengujicoba standar kinerja pengelolaan TN yang dalam penelitian ini mengadaptasi standar kinerja yang telah dirumuskan oleh Ditjen PHKA dan IPB pada tahun 2004, khususnya pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur verifier dan menilai secara aktual indikator-indikator kinerja pengelolaan TN yang telah dirumuskan oleh Ditjen PHKA dan IPB pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam dalam kawasan di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS), (2) menganalisis validitas indikator-indikator kinerja pengelolaan TNGHS; (3) mengukur capaian kinerja setiap indikator pengelolaan TNGHS berdasarkan standar minimal kinerjanya dan (4) merekomendasikan perbaikan standar pengelolaan TN. Penelitian dilakukan di kawasan TN Gunung Halimun Salak, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Sukabumi pada bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pengukuran verifier dilakukan secara deskriptif. Penilaian indikator aktual dilakukan dengan mensintesis verifier pada tiap indikator agar dapat disimpulkan norma atau baku mutunya. Berdasarkan deskripsi norma hasil rumusan Ditjen PHKA dan IPB tersebut ditetapkan nilai kinerja indikator dengan skala intensitas baik sekali, baik, sedang, jelek dan jelek sekali. Validitas setiap indikator kinerja dalam penelitian ini dikonstruksikan berdasarkan kesesuaian indikator dengan kondisi obyektif di lapangan yang telah diukur dan dinilai sebelumnya. Analisis terhadap tingkat validitas indikator akan dilakukan secara deskriptif berdasarkan empat kategori yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, yaitu: kategori pertama: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan dan
mencerminkan hubungan; kategori kedua: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan namun tidak mencerminkan hubungan; kategori ketiga: indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya namun mencerminkan hubungan; dan kategori keempat, indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya dan tidak mencerminkan hubungan. Pengukuran capaian kinerja setiap indikator dilakukan untuk mengetahui tingkat pemenuhan standar minimal kinerjanya. Analisis capaian kinerja setiap indikator dilakukan dengan membandingkan Nilai Indikator Aktual setiap indikator dengan Nilai Baku Minimumnya sesuai tipologi TN. Apabila nilai indikator aktual kinerja pada suatu indikator lebih besar atau sama dengan nilai baku minimumnya, maka unit manajemen tersebut telah memenuhi standar minimal kinerja yang ditetapkan pada indikator tersebut, demikian berlaku sebaliknya. Rekomendasi perbaikan standar pengelolaan TN dirumuskan berdasarkan hasil pengujian di lapangan dan argumentasi yang merujuk pada peraturan perundangan dan literatur terkait seperti panduan (guidelines) tentang sejumlah metode penilaian keefektivan pengelolaan kawasan konservasi yang disusun oleh Leverington et al. (2008) dan acuan generic kriteria dan indikator CIFOR (Prabhu et al. 1999). Berdasarkan hasil pengukuran verifier dan penilaian indikator disimpulkan bahwa 1 indikator mempunyai Nilai Indikator Aktual (NIA) baik, yaitu indikator zonasi telah mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual, sedangkan 4 indikator lainnya mempunyai NIA sedang, yaitu: (1) indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (2) indikator tersedianya system manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dan TN, (3) indikator tersedianya tenaga professional di bidang sosial budaya dan (4) indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Empat indikator lainnya tidak dinilai karena berdasarkan pengujian di lapangan ditemui fakta adanya penggunaan istilah yang tidak tepat, kesulitan dalam menyimpulkan norma, dan ketersediaan data pengelolaan yang belum mampu memenuhi kebutuhan data untuk melakukan penilaian kinerja. Hasil pengujian validitas indikator menunjukkan bahwa 8 dari 9 indikator (90%) valid karena masuk pada kategori pertama (sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan dan mencerminkan hubungan dengan kriteria). Satu indikator yang disimpulkan tidak valid adalah indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Analisis capaian kinerja indikator menunjukkan bahwa 5 indikator yang dinilai memiliki Nilai Indikator Aktual (NIA) yang sama besar dengan Nilai Baku Minimum (NBM)-nya, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator yang dinilai telah memenuhi standar minimal kinerjanya. Hasil pengujian menghasilkan beberapa rekomendasi guna perbaikan standar pengelolaan TN sebagai berikut: (1) penyesuaian indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual menjadi ―Terkendalinya konflik pemanfaatan ruang di dalam kawasan untuk kegiatan ritual budaya‖, (2) pendeskripsian norma dengan skala yang lebih terukur untuk indikator yang memiliki parameter kuantitatif dan (3) penyesuaian verifier pada beberapa indikator, yaitu: (a) penambahan verifier ada/tidak konsultasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penetapan taman nasional pada indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Verifier ini penting mengingat akar konflik antara masyarakat dan taman nasional adalah
proses penetapan taman nasional yang top down dan hampir tidak pernah dikomunikasikan dengan masyarakat sehingga legitimasi taman nasional di secara de facto sangat lemah, (b) menambahkan verifier ―ada/tidak dokumentasi kearifan lokal masyarakat yang arif dalam pemanfaatan SDA di dalam kawasan‖ pada indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (c) menambahkan verifier ada/tidak dukungan pendanaan dari para pihak untuk menangani permasalahan sosial budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya dan (d) meniadakan verifier alokasi dana untuk mempertahankan situs/benda warisan budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Penerapan standar pengelolaan TN setidaknya memberikan implikasi bagi pengelolaan TNGHS dalam dua hal, yaitu: (1) intensitas pengelolaan dan sistem pengelolaan data, dan (2) adaptasi pengelolaan di bidang sosial budaya. Intensitas pengelolaan dan sistem pengelolaan data dapat ditindaklanjuti dengan langkahlangkah, yaitu: (1) mengakomodasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang dipersyaratkan dalam standar kinerja pengelolaan taman nasional yang belum pernah dilakukan taman nasional, misalnya identifikasi ekosistem unik dan pengujian pemanfaatan tradisional SDA oleh masyarakat adat, (2) meningkatkan intensitas kegiatan teknis di lapangan khususnya dalam pengelolaan spesies penting dan habitatnya, memperbaiki metode monitoring dan memperbanyak plotplot pengamatan untuk spesies-spesies penting, dan (3) melakukan pembenahan pada sistem pangkalan data yaitu dengan mengintegrasikan seluruh data hasil kegiatan teknis di lapangan yang masih terserak di tingkat resort, seksi dan balai, khususnya data hasil kegiatan monitoring spesies, data gangguan kawasan dan data penelitian agar menjadi database pada tingkat Kantor Balai. Adaptasi pada level manajemen dilakukan melalui: pertama, pengembangan struktur organisasi yang mampu mengatasi permasalahan sosial budaya. Jika memungkinkan ada penambahan struktur tersendiri dalam organisasi taman nasional yang fokus menangani permasalahan sosial budaya, sehingga kebijakan taman nasional di bidang sosial budaya dapat dijalankan oleh staf yang kompeten dibidangnya, menjadi rutinitas organisasi dan jelas mekanisme monitoring dan evaluasinya. kedua, peningkatan kompetensi staf di bidang sosial budaya. Merujuk pada Standar Kompetensi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Asia Tenggara yang disusun oleh Appleton et al. (2003) dari ARCBC, sebagian pengetahuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan keahlian staf di bidang sosial budaya belum terakomodir dalam berbagai jenis diklat yang pernah diikuti oleh staf TNGHS. Ini berarti perlunya terobosan dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan atau pengelola taman nasional untuk mengidentifikasi dan menyelenggarakan diklat yang terkait dengan bidang sosiologi dan antropologi budaya. Pada level operasional, penting dilakukan adaptasi terhadap perbedaan nilai (aturan main) dalam pemanfaatan SDA antara masyarakat dan pengelola taman nasional. Kata kunci: indikator, kriteria, sosial budaya, standar pengelolaan, taman nasional
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
UJI STANDAR KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL PADA PRINSIP KELESTARIAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)
ALLAN ROSEHAN
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Ir. Waldemar Hasiholan,M.Si
Judul Tugas Akhir
Nama NIM
: Uji Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional pada Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak) : Allan Rosehan : E351080145
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 27 Juli 2010
Tanggal Lulus: 16 Agustus 2010
PRAKATA
Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul ―Uji Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional pada Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)‖. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi, pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, IPB. Penelitian yang dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini bertujuan untuk menguji indikator-indikator kinerja pengelolaan taman nasional pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya khususnya kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalama kawasan. Kriteria dan Indikator-indikator tersebut telah dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementrian Kehutanan dan IPB pada tahun 2004, namun belum pernah diujicobakan di lapangan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam penyempurnaan rumusan standar kinerja pengelolaan kawasan konservasi dimaksud. . Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2010 Allan Rosehan
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada: (1) Departemen Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), yang telah memberikan izin dan kesempatan mengikuti pendidikan pada Program Magister Profesional Konservasi Keanekaragaman Hayati di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Tatang, M.M. selaku Kepala Balai Taman Nasional Sembilang yang telah memberikan dukungan selama penulis mengikuti pendidikan, (3) Ir. Istanto, M.Sc. selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian, (4) Dr. Ir. Bambang Suprianto, M.Sc. (Kasubdit Pemanfaatan Wisata Alam) atas izin, fasilitas dan masukan yang diberikan kepada penulis semasa menjabat Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, (5) Ir. Sumantri (Kepala Balai Taman Nasional Sebangau) yang terus memberikan arahan, dukungan dan motivasi semasa menjabat sebagai Kepala Balai Taman Nasional Sembilang, (6) Seluruh staf Balai Taman Nasional Sembilang dan staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak atas segala bantuannya dan (7) Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Magister Profesi KKH tahun 2008, Pak Sofwan, Mba Irma (Alm), Bi Uum dan Pak Udin atas kebersamaan, motivasi dan bantuannya, Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus juga disampaikan kepada Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. selaku ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. selaku anggota, atas curahan pemikiran, arahan, petunjuk dan saran serta kesabaran yang diberikan sehingga selesainya penyusunan tesis ini, serta kepada Ir. Waldemar Hasiholan, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Maria Iffah, S.P. dan putra-putriku tersayang Muhammad Dzikrie Sieff dan Siti Zahara Ulfa atas kesabaran, kasih sayang dan motivasinya selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. Kepada kedua orangtuaku tercinta,
kedua mertuaku aba dan ibu terkasih, kakak-kakak, kakak-kakak ipar dan adikadik ipar, para keponakan, keluarga besar dan seluruh Jama‘ah, terima kasih atas curahan doa dan dzikir yang tulus dan tiada putus. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih, semoga semua amal kebaikannya dibalas oleh Allah SWT. Apabila ada kesalahan dari penulis selama menyelesaikan tesis ini mohon kiranya dimaafkan. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjungkarang, Lampung pada tanggal 22 Februari 1976 dari ayah Muhammad Yamani (Alm.) dan ibu Suparyah. Penulis merupakan putra ketujuh dari tujuh bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tanjungkarang dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung (Unila) melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001 sampai dengan 2007 penulis bekerja pada Balai Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat dan sejak tahun 2007 hingga saat ini penulis bekerja pada Balai Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan, sebagai tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan karyasiswa dari Kementerian Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) pada Magister Profesi IPB, Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian mengenai ―Uji Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional pada Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)‖ di bawah bimbingan Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. sebagai Anggota.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii 1
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar belakang ..................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................. 1.3 Manfaat Penelitian ............................................................................... 1.4 Alur Pemikiran ....................................................................................
1 1 3 3 4
2
LANDASAN TEORITIS ...........................................................................
6
3
METODE PENELITIAN .......................................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................... 3.2 Metode Pengumpulan Data................................................................. 3.3 1 Jenis Data yang Dikumpulkan .................................................. 3.3.2 Teknik Pengumpulan Data........................................................ 3.3 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 3.4.1 Pengolahan Data ....................................................................... 3.4.1 Analisis Data ............................................................................. A. Pengukuran Verifier dan Penilaian Indikator ...................... B. Analisis Validitas Indikator................................................. B. Analisis Pengukuran Capaian Kinerja Indikator ................. C. Rumusan Perbaikan Standar Pengelolaan ........................... 3.4 Alat dan Bahan ................................................................................... 3.5 Definis Operasional Penelitian ...........................................................
11 11 12 12 12 13 13 16 16 16 20 21 21 21
4
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITAN ........................................ 4.1 Keadaan Umum Taman Nasional Gunung Halimun Salak ................ 4.1.1 Sejarah Kawasan ....................................................................... 4.1 2 Letak dan Luas Kawasan .......................................................... 4.1.3 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya ..................................... 4.2 Keadaan Umum Kasepuhan Ciptagelar .............................................. 4.2.1 Sejarah Kasepuhan.................................................................... 4.2.2 Letak, Luas dan Wilayah .......................................................... 4.2.3 Keadaan Fisik ........................................................................... 4.2.4 Keadaan Ekonomi dan Sosial Budaya ...................................... 4.2.5 Ketergantungan Terhadap TNGHS ......................................... 4.2.6 Konflik Kasepuhan dengan Taman Nasional ..........................
23 23 23 24 25 28 28 29 31 31 34 37
xiii
5
6
7
INDIKATOR DAN KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL ............................................................................................. 5.1 Pengukuran Verifier ........................................................................... 5.2 Penilaian Indikator Aktual ................................................................. 5.3 Validitas Indikator ............................................................................. 5.4 Capaian Kinerja Pengelolaan Taman Nasional .................................
38 38 83 84 86
IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR DI LAPANGAN ..................... 6.1 Implikasi Bagi Perbaikan Rumusan Standar Pengelolaan ................. 6.2 Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ...................................................................................
89 89 92
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 7.1 Simpulan ............................................................................................. 7.2 Saran ...................................................................................................
96 96 96
DAFTAR PUSTAKA..................................................................... ..........
98
LAMPIRAN ..................................................................... ........................ 103
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Jenis data dan informasi yang akan dikumpulkan pada setiap indikator ..... 14
2
Skala Intensitas Indikator pada kriteria tergalangnya hubungan ................ harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan ........ 17
3
Nilai Baku Minimum indikator pada tipologi D .......................................... 20
4
Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS ...................................... 23
5
Wilayah-wilayah administratif pemerintahan desa, kecamatan, dan kabupaten yang berada di sekitar TNGHS................................................... 24
6
Jenis tumbuhan dan ternak yang dibedakan berdasarkan pola usahatani masyarakat di kawasan ekosistem Halimun ................................................ 26
7
Daftar nama Sesepuh Girang serta pusat kekuasaannya .............................. 29
8
Komposisi penggunaan lahan di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi .. 30
9
Mata pencarian penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi ............ 32
10 Tingkat pendidikan penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi ...... 33 11 Jenis situs/benda/ruang untuk kegiatan budaya/ritual dalam kawasan TNGHS ....................................................................................................... 39 12 Kewenangan pusat dan daerah yang terkait pengelolaan situs cagar budaya di TNGHS ....................................................................................... 44 13 Jenis konflik ritual budaya antara masyarakat Kasepuhan dan TNGHS .... 46 14 Aktivitas budaya/ritual yang dilakukan Kasepuhan Ciptagelar ................... 48 15 Pemanfaatan aturan adat, hukum adat dan lembaga adat dalam perlindungan ekosistem alam TNGHS ....................................................... 50 16 Mekanisme hukum adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran dalam pemanfaatan ekosistem alam ............................................................ 52 17 Pembagian wilayah pengamanan hutan berdasarkan blok........................... 53 18 Gangguan kawasan di Resort Gunung Bodas, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sukabumi s/d Desember 2008 ....................................... 54 19 Kalender pertanian Kasepuhan ................................................................... 64 20 Peluang pemanfaatan SDA di dalam kawasan TNGHS .............................. 67 21 Perbedaan kriteria masyarakat TNGHS berdasarkan tipologinya .............. 70 22 Kompetensi pengelola dalam bidang sosial budaya berdasarkan rumusan standar kompetensi ARCBC (2003) ........................................................... 76 xv
23 Kesesuaian jenis diklat staf TNGHS dengan kompetensi yang dibutuhkan di bidang sosial budaya ............................................................ 77 24 Prediksi kebutuhan biaya pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGHS (2007—2010) ............................................................................................... 81 25 Nilai Indikator Aktual setiap indikator pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya ............................................................................................... 83 26 Validitas setiap indikator berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi obyektif TNGHS ......................................................................................... 86 27 Capaian kinerja indikator pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan ......................................................................................... 88
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Alur pemikiran penelitian .............................................................................
5
2
Model satelite kinerja organisasi...................................................................
7
3
Acuan generik K & I yang disesuaikan dengan kondisi lokal .....................
9
4
Peta lokasi penelitian .................................................................................... 11
5
Persentase mata pencarian utama masyarakat berdasarkan survey kampung JICA ............................................................................................. 26
6
Zonasi indikatif Taman Nasional Gunung Halimun Salak ........................... 41
7
Peta gangguan kawasan TNGHS .................................................................. 54
8
Peta sebaran spesies penting TNGHS .......................................................... 58
9
Grafik struktur umur Owa Jawa di Jalur Ciptarasa-Ciptagelar ................... 59
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Struktur organisasi Balai TNGHS berdasarkan SK Kepala Balai No. 320/Kpts/IV-T.13/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak ......................... 104 2 Struktur organisasi Kasepuhan Ciptagelar ................................................... 105
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia diwujudkan dengan menetapkan bentangan-bentangan alam tertentu, baik daratan maupun lautan
sebagai
kawasan-kawasan
konservasi.
Berdasarkan
data
statistik
Departemen Kehutanan tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi dengan luas 28.260.150, 56 ha. Taman Nasional (TN) merupakan jenis kawasan konservasi dengan luasan terbesar, yaitu mencapai 16.347.757,64 ha atau 57,9% dari luas total seluruh kawasan konservasi yang ada. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 (Pasal 5) mengamanatkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada perkembangannya, pengelolaan kawasan konservasi termasuk taman nasional dianggap terlalu mengedepankan aspek perlindungan dan pengawetan, sehingga pengelolaan taman nasional menjadi kurang adaptif dengan budaya lokal.dan tidak sejalan dengan paradigma pengelolaan taman nasional yang berkembang pada tingkat global, dimana pengelolaan taman nasional dituntut memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak (hasil World National Park Congres ke 5 tahun 2003 di Durban). Kondisi tersebut memunculkan penilaian bahwa pengelolaan taman nasional hanya terfokus pada upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati dan mengabaikan fungsi pemanfaatannya dalam rangka menjamin keberlangsungan manfaat sosial budaya bagi masyarakat khususnya masyarakat adat. Untuk memastikan kelestarian fungsi pemanfaatan taman nasional, penting dilakukan penilaian capaian kinerja taman nasional di bidang sosial budaya dengan menggunakan standar kinerja pengelolaan yang teruji. Sejumlah metode penilaian keefektivan pengelolaan kawasan konservasi telah mengakomodasi keberlangsungan manfaat sosial budaya bagi masyarakat
2 dalam aspek penilaiannya, sebut saja Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM), Management Effectiveness Tracking Tool (METT), Enhancing Our Heritage (EOH), West Indian Ocean Workbook dan Conservation Action Planning (Leverington et al. 2008). Sayangnya, metode penilaian tersebut bersifat umum untuk seluruh kawasan konservasi, padahal setiap kawasan konservasi memiliki kondisi dan situasi berbeda satu dengan lainnya dan oleh karenanya membutuhkan tingkat penilaian, pendekatan dan penekanan yang berbeda pula sehingga sistem penilaian global tidak sesuai untuk setiap situasi (Hockings et al. 2000). Bertolak dari kondisi tersebut, diperlukan sebuah standar yang teruji bagi kawasan konservasi di Indonesia khususnya taman nasional sebagai instrumen untuk mengevaluasi kinerjanya. Standar adalah ukuran yang secara eksplisit dibutuhkan dalam sebuah rencana dan pengelolaan. Standar ditentukan untuk menunjukkan pencapaian suatu keadaan yang diinginkan dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah rencana atau pengelolaan serta berkesesuaian dengan hukum, regulasi, dan kebijakan yang diberlakukan. Standar harus dapat diadaptasikan dan merupakan penilaian ukuran kinerja (Ditjen PHKA 2004). Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) dan
Institut
Pertanian
Bogor (IPB) pada
tahun
2004
telah
merumuskan sebuah Standar Kinerja Pengelolaan Taman Nasional. Standar kinerja pengelolaan tersebut terdiri atas empat prinsip, yaitu prinsip kemantapan kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi, dan kelestarian fungsi sosial budaya dan dilengkapi dengan seperangkat kriteria dan indikator. Prinsip kelestarian fungsi sosial budaya dalam standar ini diharapkan akan menjadi kaidah capaian kinerja pengelolaan taman nasional dalam menjamin keberlangsungan manfaat sosial budaya bagi masyarakat. Mengingat standar pengelolaan taman nasional belum teruji dan baku, maka diperlukan penelitian untuk mengujicoba standar dalam rangka melihat kesesuaiannya dengan kondisi obyektif di lapangan, khususnya prinsip kelestarian fungsi sosial budaya pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan.
3 Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana nilai indikator-indikator kinerja pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan berdasarkan rumusan standar kinerja yang disusun Ditjen PHKA dan IPB? 2. Bagaimana validitas indikator-indikator kinerja pengelolaan taman nasional yang dirumuskan? 3. Apakah capaian kinerja TNGHS pada tiap-tiap indikator telah memenuhi standar minimal kinerjanya? 4. Bagaimana standar pengelolaan taman nasional yang ada diperbaiki?
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengukur verifier dan menilai secara aktual indikator-indikator kinerja pengelolaan TN yang telah dirumuskan oleh Ditjen PHKA dan IPB pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam dalam kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). 2. Menganalisis validitas indikator-indikator kinerja pengelolaan TNGHS. 3. Mengukur capaian kinerja setiap indikator pengelolaan TNGHS berdasarkan standar minimal kinerjanya. 4. Merekomendasikan perbaikan standar pengelolaan taman nasional. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Memberikan bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam. 2. Memperkaya khasanah pengetahuan cara penilaian indikator kinerja pengelolaan taman nasional khususnya pada aspek sosial budaya. 3. Memberikan masukan dalam penyempurnaan rumusan standar kinerja pengelolaan kawasan konservasi.
4 1.4 Alur Pemikiran Terintegrasinya pengelolaan taman nasional dengan kepentingan sosial budaya masyarakat khususnya masyarakat adat yang berada di dalam dan sekitar kawasan akan menggambarkan kinerja pengelolaan taman nasional dalam mempertahankan kelestarian fungsi sosial budayanya, yang salah satunya dicerminkan oleh kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan. Penilaian kinerja pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan didasarkan pada beberapa tolok ukur berupa indikator-indikator yang menggambarkan sifat-sifat atau kondisi sesungguhnya di lapangan. Indikator-indikator tersebut diadaptasi dari rumusan standar kinerja pengelolaan taman nasional yang disusun oleh Ditjen PHKA dan IPB pada tahun 2004. Nilai kinerja dari setiap indikator disebut sebagai nilai Indikator Aktual. Nilai ini ditetapkan dengan cara menyimpulkan norma (baku mutu) dari setiap indikator yang telah disintesis dari verifier-verifier yang telah diukur sebelumnya di lapangan. Nilai tiap indikator diklasifikasikan dalam lima skala intensitas, yaitu baik sekali, baik, sedang, jelek, atau jelek sekali. Mengingat indikator-indikator ini belum teruji di lapangan, maka penting untuk dilakukan analisis validitas indikator. Suatu indikator dikatakan valid apabila indikator dapat digunakan (workable) di lapangan. Ini artinya indikator yang dirumuskan sesuai dengan keadaan sesungguhnya (kondisi obyektifnya). Analisis validitas indikator dimaksudkan juga untuk mengidentifikasi kelemahan rumusan standar pengelolaan berdasarkan hasil ujicoba di lapangan dengan tujuan untuk memberikan input dalam penyempurnaan rumusan standar kinerja pengelolaan taman nasional. Indikator-indikator yang telah valid selanjutnya diukur tingkat capaian kinerjanya dengan cara membandingkan Nilai Indikator Aktual indikator dengan Nilai Baku Minimumnya.
5
Masyarakat Kasepuhan Prinsip Kelestarian fungsi sosial budaya Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kriteria Tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan SDA dalam kawasan
Rumusan standar pengelolaan TN (Ditjen PHKA dan IPB 2004)
Merumuskan rekomendasi perbaikan
Indikator-Indikator Indikator, verifier, norma: uji lapangan
Mengukur verifier Menilai indikator Usulan perbaikan kinerja
Baik sekali, baik, sedang, jelek, jelek sekali
Nilai Indikator Aktual
Indikator Valid Nilai Baku Minimum
Mengukur capaian standar kinerja indikator
Indikator belum memenuhi standar minimal kinerjanya Nilai Indikator Aktual < Nilai Baku Minimum
Indikator memenuhi standar minimal kinerjanya Nilai Indikator Aktual ≥ Nilai Baku Minimum
Gambar 1 Alur pemikiran penelitian
Indikator Tidak Valid 1. Sesuai kondisi obyektifnya dan relevan dgn kriteria 2. Sesuai kondisi obyektifnya namun tidak relevan 3. Tidak sesuai kondisi obyektifnya namun relevan 4. Tidak sesuai kondisi obyektifnya dan tidak relevan
6
BAB II LANDASAN TEORITIS
Salah satu alasan mendasar pendirian kawasan lindung adalah agar keberadaan kawasan tetap utuh selama-lamanya untuk melestarikan nilai-nilai biologi dan budaya yang dimilikinya (Hockings et al. 2000). Namun, di banyak negara berkembang, kawasan konservasi formal (cagar alam, suaka alam, taman nasional, cagar biosfer, hutan lindung) gagal mencapai tujuan pengelolaan sesuai dengan penetapannya karena mengadopsi konsep konservasi dan pencagaran berdasarkan budaya barat (a western-based) yang asing bagi budaya non-barat (Soedjito 2007). Pengakuan akan skala masalah yang dihadapi kawasan konservasi mendorong
timbulnya
kebutuhan
untuk
melakukan
penilaian
terhadap
pengelolaan kawasan dan juga kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai status dan efektivitas pengelolaan kawasan (Hockings et al. 2000). Evaluasi pengelolaan sangat bermanfaat untuk menilai perubahan dalam hal efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan memungkinkan untuk melakukan pengukuran dan penilaian kinerja pengelolaan. Pengukuran kinerja adalah proses penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, termasuk informasi mengenai efisiensi sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan barang/jasa, kualitas output yang dihasilkan, outcomes, dan efektifitas pelaksanaan dalam arti berapa kontribusi setiap kegiatan terhadap hasil tujuan yang tercapai (Ditjen PHKA 2004). Rivai dan Basri (2005) mendefinisikan kinerja sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja juga berarti serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut (Wibowo 2008). Hersey at al. (1996) dalam Wibowo (2008) menggambarkan hubungan kinerja dengan faktor yang mempengaruhi dalam bentuk Satelit Model sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.
7
Performance Structure Organisasi, Sistem Manajemen, Sistem Organisasi dan Fleksibilitas
Knowledge
Integration
Human Process Process Integration Nilai, sikap, norma, dan interaksi
Teknis Administratif, Proses Kemanusiaan dan Sistem
Non Human Process Process Integration
Strategic Positioning Pasar, kebijakan social, SDM dan perubahan lingkungan
Peralatan, pabrik, lingkungan kerja, teknologi, capital, dan dana
Gambar 2 Model satelite kinerja organisasi (Sumber: Hersey et al. 1996 dalam Wibowo 2008) Sebuah organisasi yang dibentuk memiliki tujuan yang merupakan penjabaran dari visi dan misi organisasi. Kinerja suatu organisasi dinilai dari pencapaian/target. Tujuan yang ada dapat menentukan/menilai ketercapaian tujuan berupa ukuran kinerja (Wibowo 2008). Penilaian kinerja (performance evaluation) merupakan: (1) alat yang paling baik untuk menentukan apakah individu telah memberikan hasil kerja yang memadai dan melaksanakan aktivitas kinerja sesuai dengan standar kinerja; (2) Suatu cara untuk penilaian kinerja dengan melakukan penilaian mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan; dan (3) alat yang baik untuk menganalisis kinerja karyawan dan membuat rekomendasi perbaikan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian kinerja, yaitu: (1) penetapan indikator kinerja yang akan diukur, harus memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik, yaitu: terikat pada tujuan program dan menggambarkan pencapaian hasil, terbatas pada hal-hal yang perlu mendapat prioritas, terpusat pada hal-hal yang vital dan penting bagi pengambilan keputusan, terkait dengan sistem pertanggungjawaban yang memperlihatkan hasil; (2) indikator kinerja yang ditetapkan harus menggambarkan hasil atau usaha
8 pencapaian hasil, merupakan indikator dalam kewenangannya, mempunyai dampak negatif yang rendah, digunakan untuk menghilangkan insentif yang sudah ada, ada pengganti atau manfaat yang lebih besar jika menghilangkan insentif dan penekanan indikator kinerja harus tetap mengacu pada visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan Rivai dan Basri (2005). Pendapat tentang persyaratan indikator kinerja yang baik ini cukup beragam, namun pada intinya mengedepankan efektivitasnya dalam menilai kinerja. Leverington et al. (2008); Stern (2006) merumuskan beberapa karakteristik dari indikator yang baik, yaitu: terukur (measurable), dipersepsikan sama sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi (Precise), terkait langsung dengan kriteria (relevant), dan tidak berubah-ubah setiap saat karenanya selalu dapat digunakan untuk mengukur sesuatu hal yang sama (consistent). Sejumlah metodologi penilaian kinerja untuk melihat keefektifan pengelolaan kawasan konservasi telah dikembangkan (Leverington et al. 2008), mulai dari sistem pemantauan secara detail sampai dengan sistem penilaian cepat (Rapid assessment) yang dikembangkan oleh World Wide Fund (WWF) for Nature untuk memprioritaskan kawasan-kawasan lindung yang sedang mengalami ancaman dalam suatu sistem kawasan konservasi. Sebagian metode yang dikembangkan berada diantara dua ekstrim ini dan dimaksudkan untuk menggambarkan secara cepat dan layak kekuatan dan kelemahan suatu kawasan konservasi. Setiap kawasan konservasi memiliki kondisi dan situasi berbeda satu dengan lainnya oleh karenanya membutuhkan tingkat penilaian, pendekatan dan penekanan yang berbeda pula sehingga sistem penilaian global tidak sesuai untuk setiap situasi (Hockings et al. 2000). Akan ada perbedaan besar dalam hal jumlah, waktu dan dana yang tersedia untuk melakukan penilaian di masing-masing kawasan yang berbeda di dunia dan isu yang dinilai cenderung akan berubah dari satu tempat dengan tempat yang lain. Pengalaman CIFOR dalam menyusun Acuan Generik Perangkat Kriteria dan Indikator (K & I) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa perangkat kriteria dan indikator yang disusun sebagai acuan yang bersifat umum terkadang sulit diterapkan pada kondisi yang spesifik lokasi, oleh karenanya harus dilakukan
9 terlebih dahulu penyesuaian terhadap kondisi lokal sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Acuan generik K & I yang disesuaikan dengan kondisi lokal (Sumber: CIFOR 1999) Bertolak dari kondisi tersebut, dapat dipahami bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, hendaknya memiliki rumusan standar kinerja bagi pengelolaan kawasan konservasi sesuai kondisi spesifiknya sebagai kaidah untuk mengevaluasi kinerjanya. Standar adalah ukuran yang secara eksplisit dibutuhkan dalam sebuah rencana dan pengelolaan. Standar ditentukan untuk menunjukkan pencapaian suatu keadaan yang diinginkan dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah rencana atau pengelolaan serta berkesesuaian dengan hukum, regulasi, dan kebijakan yang diberlakukan. Standar harus dapat diadaptasikan dan merupakan penilaian ukuran kinerja (Ditjen PHKA 2004). Standar kinerja merupakan pernyataan tentang situasi yang terjadi ketika segmen pekerjaan dikerjakan dengan cara yang efektif dan dapat diterima. Standar kinerja akan membantu manajer dan staf agar lebih mudah memonitor kinerja dan digunakan sebagai dasar evaluasi. Sebuah organisasi harus mempunyai standar kinerja yang jelas dan dapat diukur (Wibowo 2008). Standar kinerja yang efektif didasarkan pada pekerjaan yang tersedia, difahami, disetujui, spesifik dan terukur, berorientasi waktu, tertulis, terbuka untuk berubah (Wibowo 2008). Standar kinerja yang efektif dipengaruhi oleh delapan karakteristik, yaitu: (1) standar didasarkan pada pekerjaan, (2) standar
10 dapat dicapai, (3) standar dapat difahami, (4) standar disepakati, (5) standar spesifik dan sedapat mungkin terukur, (6) standar berorientasi waktu, (7) standar harus tertulis dan (8) standar dapat berubah (Kirckpatrick, 2006 dalam Wibowo 2008). Standar kinerja dapat dibangun melalui kajian best practices di tiap wilayah dan dapat diadaptasi dalam konteks kebutuhan yang lebih spesifik (Appleton et al. 2003). Standar kinerja kawasan konservasi yang baik memiliki 8 ciri, yaitu (1) Berguna dan relevan dalam peningkatan pengelolaan kawasan konservasi, (2) Logik dan sistematik, (3) Disusun berdasar indikator yang baik (measurable, precise, relevant dan consistent), (4) Akurat: menghasilkan kebenaran, objektif, konsisten dan terkini (up to date), (5) Methodologi secara praktek dapat diimplementasikan, (6) Methodologi merupakan bagian dari siklus pengelolaan yang efektif, terkait dengan tujuan dan kebijakan, (7) Methodologi hasil kerjasama, disusun dengan komunikasi yang baik, kerja tim dan partisipatif dan (8) Memberi manfaat positif, dapat dikomunikasikan dan dapat digunakan (Leverington et al. 2007; Hockings et al. 2006).
11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat. Pemilihan TNGHS didasarkan pada pertimbangan di dalam kawasan TNGHS terdapat masyarakat adat Kasepuhan yang memiliki keterikatan sosial budaya yang tinggi dengan sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional. Wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Kampung Kasepuhan di bagian selatan TNGHS yang termasuk ke dalam wilayah kerja Resort Gunung Bodas, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Sukabumi, yaitu Kampung Kasepuhan Ciptagelar yang secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Gambar 4).
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
12 Penentuan
lokasi
dilakukan
secara
sengaja
(purposive)
dengan
pertimbangan bahwa Kampung Kasepuhan Ciptagelar merepresentasikan masyarakat adat di dalam kawasan TNGHS dengan interaksi sosial budaya yang tinggi dengan kawasan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2009Februari 2010.
3.2 Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang telah diidentifikasi terlebih dahulu sebagai pengukur (verifier). Jenis data dan informasi yang dikumpulkan ditunjukkan pada Tabel 1. 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari beberapa literatur seperti dokumen rencana pengelolaan, statistik, laporan tahunan, laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) dan dokumen lain tentang keadaan pengelolaan TNGHS, laporan kondisi sosial budaya masyarakat dan dokumen pendukung lainnya, sedangkan data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan masyarakat dan pengelola TNGHS. Informan kunci dari masyarakat ditentukan dengan metode snowball melalui dua tahapan, yakni: (1) Pemilihan informan kunci (tokoh adat, kepala desa, dan kepala dusun) yang dianggap relevan dan memahami isu yang sedang diteliti; dan (2) pemilihan informan lanjutan (berdasarkan rekomendasi informan kunci sebelumnya) guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang ada. Sedangkan informan kunci dari pengelola TNGHS dipilih berdasarkan posisi dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan taman nasional, yaitu Kepala Balai, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III Sukabumi, Kepala Resort Gunung Bodas, Kepala Urusan Perencanaan, Kepala Urusan Perlindungan Hutan, Kepala Urusan Kepegawaian, Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Koordinator Polisi Kehutanan (POLHUT).
13 2. Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner Pengisian kuesioner oleh masyarakat dilakukan untuk mengetahui antara lain jenis-jenis pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNGHS dan interaksi masyarakat dengan petugas. Jumlah masyarakat yang dipilih sebagai responden sebanyak 55 orang, yang merupakan kepala keluarga, atau 10% dari total 547 kepala keluarga (KK) di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, yang meliputi 3 (tiga) Dusun, yaitu Dusun Sukamulya, Dusun Cipulus dan Dusun Situmurni. Responden diasumsikan memiliki kesamaan dalam hal pengetahuan terhadap taman nasional, keterlibatan dalam pengelolaan taman nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional. Pemilihan responden dilakukan dengan metode pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) dengan cara mengundi seluruh unit elementer yang telah disusun dalam daftar kerangka sampling (Singarimbun dan Effendi 1989). 3. Pengamatan (observation) terhadap kegiatan ritual/budaya dan pemanfaatan tradisional sumberdaya alam oleh masyarakat.
3.3 Pengolahan dan Analisis Data 3.3.1 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan metode pengelompokan Data. Data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan verifier masing-masing indikator dalam bentuk matriks. Faisal (2005) menyatakan bahwa matriks berfungsi sebagai daftar yang dapat secara ringkas menunjukkan cakupan data yang telah dikumpulkan untuk memudahkan menjelaskan dan menyimpulkan data.
14
Tabel 1 Jenis data dan informasi yang dikumpulkan pada setiap indikator Indikator Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual
Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Terlindunginya spesiesspesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Jenis data dan informasi yang dikumpulkan * 1. Benda/situs/ruang di dalam kawasan yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual: (macam, jumlah, lokasi, kondisi) 2. Upaya perlindungan yang dilakukan oleh unit manajemen terhadap benda/situs/ruang di dalam kawasan yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual: (macam kegiatan, keberadaan petugas/pos patroli, frekuensi kegiatan) 3. Pelibatan masyarakat dalam zonasi taman nasional: (jumlah yang terlibat, bentuk keterlibatan) 1. Konflik penggunaan ruang untuk kegiatan budaya/ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara lintas generasi: (macam kegiatan budaya/ritual di luar zona peruntukannya) 2. kesepakatan antara pihak unit manajemen dengan masyarakat terkait ruang untuk kegiatan budaya/ritual di luar zona peruntukkannya (macam kesepakatan, jumlah, isi, implementasi) 3. Mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan penggunaan ruang untuk kegiatan budaya/ritual: (macam, jumlah, implementasi, monitoring) 1. Ekosistem alam yang dikeramatkan/ditabukan oleh masyarakat: (tipe ekosistem, luas, lokasi, kondisi) 2. Proporsi luas ekosistem alam yang telah terdegradasi di dalam kawasan 3. Hukum adat atau kelembagaan lokal yang dimanfaatkan oleh pihak unit manajemen dalam bentuk pengelolaan bersama untuk melindungi ekosistem-ekosistem alam (bentuk kegiatan, lokasi, frekuensi) 4. Aturan-aturan hukum adat atau kelembagaan lokal yang dimanfaatkan oleh pihak unit manajemen dan tertuang dalam dokumen legal terkait dengan perlindungan ekosistem alam: (jumlah surat keputusan, isi, implementasi) 1. Ekosistem-ekosistem unik yang dikeramatkan/ditabukan oleh masyarakat: (tipe ekosistem unik, luas, lokasi, kondisi) 2. Pemanfaatan sumberdaya alam pada ekosistem unik: (bentuk kegiatan, intensitas kegiatan) 3. Aturan hukum adat atau kelembagaan lokal untuk melindungi ekosistem-ekosistem unik: (macam, jumlah, isi)) 4. Aturan-aturan hukum adat atau kelembagaan lokal yang dimanfaatkan oleh pihak unit manajemen dan tertuang di dalam dokumen legal terkait dengan perlindungan ekosistem unik: (jumlah SK, isi, implementasi) 5. Pengelolaan kawasan bersama antara kelembagaan lokal dengan pihak unit manajemen dalam perlindungan ekosistem unik di dalam kawasan taman nasional: (bentuk kegiatan, frekuensi, bukti dokumen) 1. Aturan-aturan hukum adat yang melindungi spesies-spesies penting dimanfaatkan taman nasional dalam bentuk pengelolaan bersama (bentuk kegiatan, lokasi, frekuensi) 2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan lembaga adat untuk konservasi spesies penting: (bentuk kegiatan, frekuensi, output)
Sumber BTNGHS BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat
Teknik Pengumpulan Data Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Kuesioner Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Kuesioner dan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen
BTNGHS, masyarakat masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat
Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Kuesioner dan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen
BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat
Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen
15
Lanjutan Tabel 1 Indikator Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal
Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya
Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosbud
Jenis data dan informasi yang dikumpulkan * 1. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat (jenis pemanfaatan, cara pengambilan, lokasi, frekuensi) 2. Kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam: (deskripsi bentuk-bentuk kearifan lokal) 3. Peluang yang diberikan oleh unit manajemen dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada kearifan tradisional (jenis-jenis pemanfaatan yang diperkenankan) 1. Kebijakan unit manajemen dalam menggalang hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam dalam kawasan 2. Mekanisme kerja terkait implementasi kebijakan dalam bidang sosial budaya: (identifikasi program kerja, SOP) 3. Kesesuaian struktur organisasi dengan kebutuhan operasional bidang sosial budaya: (bidang, kewenangan) 4. Ketersediaan SOP di bidang sosial budaya 1. Jumlah staf pengelola yang menangani bidang sosial budaya 2. Latar belakang staf pengelola terkait dengan sosial budaya: (pendidikan, suku, keterampilan, pengalaman di bidang sosial budaya) 3. Jumlah masyarakat setempat yang menjadi staf di taman nasional 4. Pengalaman menangani permasalahan di bidang sosial budaya 5. Kemampuan staf berkomunikasi dengan masyarakat
Sumber BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS, masyarakat BTNGHS
Teknik Pengumpulan Data
BTNGHS
Kuesioner, observasi, pengumpulan dokumen Kuesioner, wawancara mendalam Kuesioner dan wawancara mendalam Wawancara mendalam, pengumpulan dokumen Analisis dokumen
BTNGHS
Analisis dokumen
BTNGHS
Analisis dokumen Analisis dokumen
BTNGHS BTNGHS BTNGHS
Analisis dokumen Analisis dokumen Wawancara dan analisis dokumen Wawancara mendalam, Analisis dokumen analisis dokumen Wawancara mendalam , analisis dokumen
1. Alokasi dana untuk mempertahankan nilai warisan budaya: (sumber, jumlah tersedial)
BTNGHS
2. Anggaran dana untuk mitigasi masalah-masalah sosial budaya: (sumber, jumlah tersedia) 3. Kompensasi yang terkait dengan masalah-masalah sosial budaya: (sumber, jumlah tersedia)
BTNGHS BTNGHS
Keterangan: * Sebagian besar data dan informasi dimodifikasi dari verifier yang dirumuskan PHKA dan IPB (Ditjen PHKA, 2004).
16
3.3.2
Analisis Data
A. Pengukuran verifier dan Penilaian Indikator Pengukuran verifier dilakukan secara deskriptif. Penilaian indikator aktual dilakukan dengan mensintesis verifier pada tiap indikator agar dapat disimpulkan norma atau baku mutunya. Berdasarkan deskripsi norma hasil rumusan Ditjen PHKA dan IPB tersebut ditetapkan nilai kinerja indikator dengan skala intensitas baik sekali, baik, sedang, jelek dan jelek sekali (Tabel 2). Nilai yang diberikan pada setiap Indikator disebut sebagai Nilai Indikator Aktual.
B. Analisis Validitas Indikator Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang akan diukur (Singarimbun dan Effendi, 1989). Validitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan ukuran yang secara akurat menggambarkan konsep yang diteliti (Babbie 1998 dalam Pratiwi 2008). Validitas setiap indikator kinerja dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kesesuaian indikator dengan kondisi obyektif di lapangan yang telah diukur dan dinilai sebelumnya. Analisis terhadap tingkat validitas indikator akan dilakukan secara deskriptif berdasarkan 4 kategori yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, yaitu: kategori pertama: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan dan mencerminkan hubungan dengan kriteria; kategori kedua: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan namun tidak mencerminkan hubungan dengan kriteria; kategori ketiga: indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya namun mencerminkan hubungan dengan kriteria; dan kategori keempat, indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya dan tidak mencerminkan hubungan dengan kriteria.
17
Tabel 2 Skala Intensitas Indikator pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan INDIKATOR
NILAI
KETERANGAN
Zonasi telah mengakomodasi kan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi
Baik Sekali
Zonasi taman nasional sangat mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi.
Baik
Zonasi taman nasional agak sangat mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi namun masih ada situs/benda/ruang yang tidak penting belum diakomodir
Sedang
Zonasi taman nasional agak mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi namun masih ada situs/benda/ruang yang penting belum diakomodir
Jelek
Zonasi taman nasional agak tidak mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi karena masih banyak situs/benda/ruang yang penting belum diakomodir
Jelek Sekali
Zonasi taman nasional tidak mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi.
Baik Sekali
Tidak ada konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual
Baik
Ada konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual dengan intensitas yang relatif kecil
Sedang
Ada konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual dengan intensitas yang relatif sedang
Jelek
Ada konflik pemanfatan penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual dengan intensitas yang relatif agak besar
Jelek Sekali
Ada konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual dengan intensitas yang relatif besar
Baik Sekali
Ekosistem-ekosistem alam di dalam kawasan terlindungi dengan baik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal.
Baik
Ekosistem-ekosistem alam di dalam kawasan relatif terlindungi dengan baik karena masih ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang belum diterapkan oleh unit manajemen.
Sedang
Ekosistem-ekosistem alam di dalam kawasan relatif agak terganggu karena penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal masih banyak yang belum diterapkan oleh unit manajemen
Jelek
Ekosistem-ekosistem alam di dalam kawasan relatif terganggu karena sedikit sekali hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Jelek Sekali
Ekosistem-ekosistem alam di dalam kawasan sangat terganggu karena tidak ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual
Terlindunginya ekosistemekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
18
Lanjutan Tabel 2 INDIKATOR
NILAI
KETERANGAN
Terlindunginya ekosistemekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Baik Sekali
Ekosistem-ekosistem unit di dalam kawasan terlindungi dengan baik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal.
Baik
Ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan relatif terlindungi dengan baik karena masih ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang belum diterapkan oleh unit manajemen.
Sedang
Ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan relatif agak terganggu karena penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal masih banyak yang belum diterapkan oleh unit manajemen
Jelek
Ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan relatif terganggu karena sedikit sekali hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Jelek Sekali
Ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan sangat terganggu karena tidak ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Baik Sekali
Spesies-spesies penting di dalam kawasan terlindungi dengan baik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal.
Baik
Spesies-spesies penting di dalam kawasan relatif terlindungi dengan baik karena masih ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang belum diterapkan oleh unit manajemen.
Sedang
Spesies-spesies penting di dalam kawasan relatif agak terganggu karena penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal masih banyak yang belum diterapkan oleh unit manajemen
Jelek
Spesies-spesies penting di dalam kawasan relatif terganggu karena sedikit sekali hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Jelek Sekali
Spesies-spesies penting di dalam kawasan sangat terganggu karena tidak ada hukum adat dan kelembagaan lokal yang diterapkan oleh unit manajemen
Baik Sekali
Unit manajemen taman nasional sangat mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Baik
Unit manajemen taman nasional agak sangat mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Sedang
Unit manajemen taman nasional agak mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Jelek
Unit manajemen taman nasional agak tidak mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Jelek Sekali
Unit manajemen taman nasional tidak mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
19
Lanjutan Tabel 2 INDIKATOR
NILAI
KETERANGAN
Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Baik Sekali
Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP yang sangat sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Baik
Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP yang sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Sedang
Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP agak sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Jelek
Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP yang agak tidak sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Jelek Sekali
Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP yang tidak sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional
Baik Sekali
Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang sangat sesuai.
Baik
Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang sesuai.
Sedang
Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang agak sesuai.
Jelek
Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang agak tidak sesuai.
Jelek Sekali
Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang tidak sesuai.
Baik Sekali
untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang sangat memadai
Baik
untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang memadai
Sedang
untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang agak memadai
Jelek
untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang agak tidak memadai
Jelek Sekali
untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang tidak memadai
Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya
Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Sumber: Laporan Analisa Standar minimal pengelolaan kawasan konservasi (Ditjen PHKA, 2004).
20
C. Analisis Pengukuran Capaian Kinerja Indikator Pengukuran capaian kinerja setiap indikator kelestarian fungsi sosial budaya dilakukan untuk mengetahui tingkat pemenuhan standar minimal kinerjanya. Capaian kinerja setiap indikator diketahui dengan membandingkan Nilai Indikator Aktual setiap indikator dengan Nilai baku Minimumnya sesuai tipologi taman nasional. Tipologi akan berpengaruh terhadap pencapaian nilai baku minimum untuk setiap indikator. Merujuk pada kriteria penetapan tipologi Ditjen PHKA (2004), maka TNGHS masuk dalam klasifikasi Tipologi D, yaitu Tipologi dengan pengelolaan kolaborasi antara unit manajemen taman nasional (UMTN) dengan beberapa pemerintah daerah (Kabupaten) dan masyarakat dengan orientasi ekonomi menghasilkan jasa. Nilai baku minimum setiap indikator untuk Tipologi TNGHS yaitu Tipologi D disajikan pada Tabel 3. Apabila nilai indikator aktual kinerja pada suatu indikator lebih besar atau sama dengan nilai baku minimumnya, maka unit manajemen tersebut telah memenuhi standar minimum kinerja yang ditetapkan pada indikator tersebut, demikian berlaku sebaliknya. Tabel 3 Nilai Baku Minimum indikator pada tipologi D No
Indikator
1. Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi 2. Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual 3. Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal 4. Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal 5. Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal 6. Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. 7. Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN 8. Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya 9. Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Nilai Baku Minimum Baik Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Sumber: Dimodifikasi dari Laporan Analisa Standar Minimal Pengelolaan Kawasan Konservasi (Ditjen PHKA, 2004).
21
Jika terdapat indikator yang belum mencapai standar minimal kinerjanya, maka selanjutnya dilakukan analisis kesenjangan (Gap Analysis). Analisis kesenjangan dilakukan secara deskriptif dengan cara mengidentifikasi faktorfaktor yang menyebabkan kinerja (performance) indikator aktual belum mencapai kinerja
potensinya.
Analisis
kesenjangan
berguna
untuk
merumuskan
rekomendasi perbaikan yang tepat kepada pihak pengelola taman nasional. D. Rumusan Perbaikan Standar Pengelolaan Taman Nasional Penyusunan rumusan perbaikan standar pengelolaan taman nasional diawali dengan menganalisis secara deskriptif kualitatif kelemahan indikator, norma dan verifier berdasarkan hasil pengujian di lapangan dan argumentasi yang merujuk pada peraturan perundangan dan literatur terkait seperti panduan (guidelines) tentang metode penilaian keefektivan pengelolaan kawasan konservasi yang disusun oleh Leverington et al. (2008) dan acuan generic kriteria dan indikator CIFOR (Prabhu et al. 1999). Berdasarkan kelemahan yang ditemukan, selanjutnya dirumuskan perbaikan terhadap standar pengelolaan TN.
3.4 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator-indikator, kuesioner, peta zonasi TNGHS, dan peta tematik kawasan TNGHS. Peralatan yang digunakan adalah kamera dan alat tulis. 3.5 Definisi Operasional Penelitian 1. Kelestarian fungsi sosial budaya adalah terjaminnya fungsi taman nasional untuk keberlangsungan manfaat sosial maupun budaya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan serta tatanan pranata sosial yang diterima dan berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat. 2. Stándar adalah ukuran yang secara eksplisit dibutuhkan dalam sebuah rencana dan pengelolaan. Standar ditentukan untuk menunjukkan pencapaian suatu keadaan yang diinginkan dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah rencana atau pengelolaan serta berkesesuaian dengan hukum, regulasi, dan kebijakan
22
yang diberlakukan. Standar harus dapat diadaptasikan dan merupakan penilaian ukuran kinerja. 3. Prinsip: adalah suatu aturan atau asas fundamental yang mendasari pola berpikir atau bertindak. Prinsip ini menjadi dasar dalam menyusun dan mengembangkan kriteria, indikator dan pengukur. 4. Kriteria adalah adalah suatu prinsip atau standar yang digunakan untuk menilai sesuatu. Kriteria merupakan suatu alat atau media, dimana dengan alat atau media tersebut dapat diketahui apakah suatu unit manajemen telah melaksanakan atau tidak prinsip-prinsip pengelolaan. 5. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan komponen khusus dari suatu kriteria, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria-kriteria pengelolaan. 6. Norma adalah nilai acuan, tolok ukur, atau baku mutu dari suatu indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian atau bahan pembanding. Dengan adanya norma ini, maka indikator, kriteria dan prinsip merupakan suatu instrumen penilaian yang terukur dan dapat diuji keabsahannya. 7. Verifier adalah sekumpulan data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan memudahkan penilaian terhadap suatu indikator.
23
BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) telah dikelola sejak masa penjajahan Belanda tahun 1924 – 1934 dengan luas 39.941 ha dan memiliki status hutan lindung di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda. Hutan Lindung Gunung Halimun diubah statusnya menjadi Cagar Alam sejak 1935-1992, dengan beberapa unit pengelola yang berbeda, hingga kemudian menjadi taman nasional pada tahun 1992 dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). TNGH kemudian diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tepatnya pada tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 ha. Ringkasan sejarah pengelolaan TNGHS terlihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS. Tahun 1924 – 1934 1935 – 1961 1961 – 1978 1979 – 1990
1990 – 1992 1992 – 1997
1997 - 2003 2003 – 2006
Kejadian Status sebagai Hutan Lindung di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dengan luas mencakup 39,941 hektar Status Cagar Alam Gunung Halimun di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Djawa Barat Status Cagar Alam Gunung Halimun di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat Status Cagar Alam Gunung Halimun seluas 40.000 hektar di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I Status Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (SK. Menhut No. 282/Kpts-II/1992) Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun (SK. Menhut No. 185/Kpts-II/1997) Status Taman Nasional Gunung Halimun – Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasonal Gunung Halimun (SK. Menhut No. 175/KptsII/2003)
Sumber: Draft Akademik Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026
24
4.1.2 Letak dan Luas Kawasan Secara geografis TNGHS terletak pada 1060 21‘ BT - 1060 38‘ BT dan diantara 60 37‘ LS - 60 51‘ LS di bagian barat daya Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, luas kawasan TNGHS adalah 113.357 ha. Secara administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Tabel 5) meliputi tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari kabupaten Lebak) dan 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS dan 29 kampung lain berada di sekitar perbatasan kawasan. Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakatnya yang berada di dalam dan berinteraksi langsung dengan kawasan TNGHS merupakan situasi yang berpotensi mendukung ataupun menghambat kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Tabel 5 Wilayah-wilayah administratif pemerintahan desa, kecamatan dan kabupaten yang berada di sekitar kawasan TNGHS. Kabupaten
Sukabumi
Bogor
Wilayah Administratif yang Memiliki Kawasan Hutan TNGHS Kecamatan Cicurug Cidahu Parakan Salak Kalapanunggal Cikidang Cisolok Cikakak Kabandungan
Desa Cisaat ,Tenjolaya, Kutajaya, Pasawahan Girijaya, Cidahu Sukatani, Parakansalak Gunung Endut, Pulosari Cikiray, Mekarnangka, Gunung Malang Karangpapak, Sirnaresmi Cimaja, Cileungsing, Margalaksana, Sirnarasa Mekarjaya, Kabandungan, Cipeuteuy, Cihamerang, Cianaga
Sukajaya
Kiarasari, Cisarua, Kiarapandak, Pasirmadang, Cileuksa, Sukamulih. Jugalajaya, Pangradin, Curug. Malasari, Bantarkaret, Curugbitung, Cisarua. Puraseda, Purasari. Gn. Picung, Cibunian, Gn. Sari, Ciasihan, Gn. Bunder 2. Tapos I, Gn. Malang. Tamansari, Sukajadi, Sukaluyu Cipelang, Sukaharja, Tajurhalang, Cijeruk
Jasinga Nanggung Leuwiliang Pamijahan Tenjolaya Tamansari Cijeruk
25
Lanjutan Tabel 5 Wilayah Administratif yang Memiliki Kawasan Hutan TNGHS
Kabupaten
Kecamatan Cigombong Cipanas Muncang Sobang Sajira Lebak
Leuwidamar Cijaku Panggarangan Bayah Cibeber
Desa Pasirjaya, Tugujaya. Cipanas, Luhurjaya, Banjaririgasi, Ciladaeun, Lebakgedong, Banjarsari, Lebaksitu, Lebaksangka Pasirnangka, Karang Combong, Cikarang Cirompang,Sobang, Hariang, Cilebang, Sukajaya,Majasari, Sukamaju, Citujah, Sindanglaya, Ciparay Leuwicoo, Ciminyak, Maraya, Pasirhaur, Girilaya, Jayapura, Giriharja Kanekes Cikate Gununggede, Sogong, Jatake Cisuren Cihambali, Mekarsari, Hegarmanah, Neglasari, Kujang Jaya, Sirnagalih, Cikadu, Cisungsang, Kujang Sari, Situmulya, Citorek, Ciusul, Ciparay
Sumber : Draft Akademik Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026
4.1.3 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya A. Penduduk Berdasarkan Buku Rencana Pengelolaan Lima Tahunan TNGHS 2007— 2011, secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari ke-108 desa tersebut terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey GHSNP-MP JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS dengan jumlah penduduk sebesar 99.782 jiwa yang menyebar di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Sukabumi dan Bogor, Propinsi Jawa Barat. B. Mata Pencaharian Masyarakat di kawasan Halimun pada umumnya sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam terutama padi yang ditanam di huma dan sawah. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil survey yang dilakukan GHSNP-MP JICA pada tahun 2005 terhadap 314 kampung di dalam dan sekitar kawasan TNGHS (Gambar 5), yaitu sebanyak 86% masyarakatnya memiliki mata
26
pencaharian sebagai petani. Selain bertani sebagai mata pencaharian utama, penduduk juga mempunyai perkerjaan sampingan sebagai pengrajin, pedagang, penjahit, buruh, pegawai negeri dan bekerja di sektor informal perkotaan.
Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat Berdasarkan Survey Kampung Buruh Perkebunan 4%
Lainnya 5%
Buruh Tani 5%
Bertani 86%
Bertani
Buruh Tani
Buruh Perkebunan
Lainnya
Gambar 5. Persentase mata pencaharian utama masyarakat berdasarkan survey kampung JICA (Sumber: GHSNP-MP JICA 2006)
Berdasarkan masa panennya, komoditi yang ditanam oleh petani dapat dikategorikan menjadi tanaman semusim seperti padi, ketela pohon, sayur-mayur; tanaman jangka menengah seperti kopi, sengon dan tanaman jangka panjang seperti pete, durian, mangga dan sebagainya (Tabel 6). Tabel 6 Jenis tumbuhan dan ternak yang dibedakan berdasarkan pola usaha tani masyarakat di kawasan ekosistem Halimun No. 1.
Pola Usaha Tani Pekarangan (Pakarangan)
Jenis Tanaman Pepaya, pisang, kelapa, buah-buahan Ternak: ayam, itik, kambing, ikan
2.
Kebun (Kebon)
Sayuran: Cabe, terong, jagung, bakung, kacang, labu, singkong, the. Obat-obatan : kunyit, sirih, koneng gede, kapulaga, jahe, lempuyang. Buah : pisang, aren, kelapa, petai, kopi, cengkeh.
3.
Huma
Padi, padi tumpangsari dengan jagung, pisang, singkong, ubi jalar. Jenis padi putih : pare tering putih dan teumpey bodas Jenis padi merah : Maringgey, Beureum batu, Jamudin, banteng, Beureum Geulis, padi Ranji. Jenis padi ketan : Semarang dan Ketan Merah.
27
Lanjutan Tabel 6 No. 4.
Pola Usaha Tani Sawah
Jenis Tanaman Varietas Padi Putih : Raja Denok, padi Jambu, Angsana, Nemol, Sri Gunting, Raja Wesi, Pare Cinde, Cere gelas, Cere laung, Rogol. Varietas Padi Merah : Tering Beureum, Beureum Kui, Jidah/Saidah, Cere Merah Varietas Padi Ketan Putih : Cikur, Beledug, Bilatung, Alean, Lepok. Varietas padi Ketan Hitam : Ketan Rantai, Nangka Beureum.
5.
Kebun (Dudukuhan)
Pisang, Nangka, Cempedak, Manggis, Duku, Durian, Mangga, jambu, Rambutan, Pepaya, Petai, Jengkol, Melinjo, Kopi, Cengkeh, Kecapi, Pala, Jeruk, Belimbing, Alpukat, Lada,Mengkudu, Duku, Salam, Angsana, Picung, Huni, Timbul.
6.
Kebon Kayu
Sengon, Afrika, Bambu, Mahoni, Puspa, Pinus, Karet, Jati, Rasamala, Meranti.
Sumber : Laporan RMI 2003 dalam Balai TNGHS (2008)
C. Kebudayaan Tradisional Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS bisa dibedakan menjadi dua kategori yaitu masyarakat adat dan non adat. Masyarakat adat yang tinggal di kawasan TNGHS merupakan penganut tradisi kasepuhan; suatu tradisi masyarakat yang bertumpu pada ekoreligi padi (Adimihardja 1992). Masyarakat kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam padi yang ditanam di huma dan sawah. Padi memiliki nilai sakral karena dipercaya sebagai jelmaan Dewi Padi atau Nyai Pohaci. Dari kesakralan tersebut, kegiatan bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan. Komunitas kasepuhan yang ada di TNGHS diantaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cisitu, Cisungsang, Ciusul, Cibedug, Citorek, Urug, Cicarucub, Bayah dan Giri Jaya. Tiap komunitas kasepuhan dipimpin oleh seorang ‖sesepuh‖ yang biasa dipanggil dengan sebutan abah, olot atau ama. Perbedaan antara masyarakat kasepuhan dan non-kasepuhan terletak pada tiga hal, yaitu sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial dan religi. Masyarakat kasepuhan mengembangkan sistem pertanian yang ―dual‖, yaitu sawah dan ladang (ngahuma) sekaligus, tetapi hanya diperbolehkan melakukan penanaman padisawah setahun sekali. Sementara masyarakat non-kasepuhan boleh melakukan penanaman padi-sawah lebih dari sekali. Dari segi organisasi sosial, masyarakat
28
kasepuhan mengenal suatu sistem politik lokal yang menempatkan suatu kelompok elit turun-temurun untuk memimpin kasepuhan dengan pembagian hak dan kewajiban yang cukup kompleks. Sedangkan dari sisi religi, walaupun secara legal menganut agama islam, tetapi unsur sinkretik dengan ―agama lokal‖ yang pre-Hindu masih cukup kuat. Hal ini berpengaruh terhadap sistem waris dan sistem hukum Islam lainnya yang dipahami oleh masyarakat kasepuhan. 4.2 Keadaan Umum Kasepuhan Ciptagelar 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Asal mula masyarakat Kasepuhan di kawasan TNGHS dapat ditelusuri dari sejarah kerajaan Sunda Hindu Pakuan-Pajajaran kurang lebih 600-an tahun yang lalu, bala tentara Kesultanan Banten menyerang kerajaan Sunda Hindu Pakuan-Pajajaran yang berpusat di daerah Bogor sekarang. Terbatasnya sumber sejarah mengenai asal mula kelompok kasepuhan ini, menurut
Adimihardja
(1991) menyebabkan sejarah lisan dan folklore berkembang dengan variasi penceritaan yang berbeda-beda. Berdasarkan penuturan Abah Anom yang dikutip dari Nurjanah (2006), masyarakat kasepuhan diyakini berasal dari suatu daerah di Bogor yang bernama Guradog. Mereka mengakui masih memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat yang berkedudukan di Bogor, yaitu Pakuan Pajajaran yang membawa misi untuk mengembangkan Sang Hyang Dewi Sri, yaitu mengembangkan padi (Nurjanah, 2006). Hal tersebut ditunjukkan dalam berbagai cerita rakyat maupun pantun yang menggambarkan masa itu. Raja yang dimaksud di sini adalah Prabu Siliwangi yang dalam Wawacan Sulanjana dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang raja pertama yang menganjurkan rakyatnya untuk berani. Batara Guru melalui Ki Bagawan memerintahkan Prabu Siliwangi untuk menanam berbagai jenis padi-padian di seluruh kawasan kekeuasaanya. Berbagai jenis padi-padian itu bersumber dari bagian-bagian tubuh mayat Dewi Sri Pohaci (Adimiharja, 1992). Mengutip catatan pada buku milik Abah Ugi, Sesepuh Girang Kasepuhan Ciptagelar saat ini, pusat kekuasaan atau kampung gede telah mengalami sejumlah perpindahan, meliputi wilayah Bogor, Banten, dan Sukabumi (Tabel 7).
29
Tabel menunjukkan, bahwa Sesepuh Girang yang mulai dicatat namanya adalah Aki Buyut Rembang Kuning, yang memilih pusat kekuasaan di Lebak Binong Banten namun tidak diketahui dengan pasti tahun kekuasaannya. Sampai saat ini telah tercatat 11 nama Sesepuh Girang yang memimpin Kasepuhan Ciptagelar dan sejak tahun 2001 hingga saat ini pusat kekuasaan atau kampung gede berada di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Tabel 7 Daftar nama Sesepuh Girang serta pusat kekuasaannya No
Sesepuh Girang
1. 2. 3.
* * * Aki Buyut Rembang Kuning Aki Buyut Ros Aki Buyut Gondo
Tahun Kekuasaan * * * * 1381—1556 1556—1729
4. 5. 6.
Aki Buyut Kayon Aki Buyut Santaiyan Aki Buyut Arikin
1729—1797 1797—1832 1832—1895
7.
Aki Buyut Jasiun
1895—1937
8. 9.
Aki Rusdi Abah Ardjo
10.
Abah Anom
11.
Abah Ugi
1937—1960 1960—1972 1972—1980 1980—1982 1982—1984 1984—2001 2001—2006 2006sekarang
Pusat Kekuasaan/Kampung Gede Sendi, Bogor Kaduluhur, Bogor Guradog Kaler, Banten Lebak Binong, Banten Cipatat, Urug, Bogor Pasir Gombong, Banten Ciear, Banten Cimanaul, Majaleuwiruruh, Banten Bongkok, Banten Cibeber, Banten Pasir Talaga, Priangan Lebak Larang, Banten Lebak Binong, Banten Pasir Talaga, Priangan Tegallumbu, Cingabeui, Banten Cicadas, Priangan Bojong Cisono, Banten Cicemet, Priangan Cikaret Priangan (Sukabumi) Cikaret Priangan (Sukabumi) Ciganas, Sirnarasa (Sukabumi) Linggarjati, Cisarua (Sukabumi) Linggarjati, Cisarua, Sukabumi Ciptarasa, Sukabumi Ciptagelar, Sukabumi Ciptagelar, Sukabumi
Ket: *tidak diketahui Sumber: Catatan pada buku milik Abah Ugi
4.2.2 Letak, Luas, dan Wilayah Kasepuhan Ciptagelar secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
30
Wilayah utaranya berbatasan dengan Desa Sirnagalih (Banten), Kecamatan Cibeber; wilayah timur dengan Desa Cihamerang Kecamatan Kelapa Nunggal, Kabupaten Sukabumi; wilayah selatan dengan Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi; dan wilayah barat dengan Dusun Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan Ciptagelar diapit oleh aliran sungai besar dan sedang sebagai batas alam, yaitu S. Cibarengkok, S. Cikaret, S. Cipulus, S. Cikupa, S. Cisuren, S. Cisono, dan S. Cibareno. Secara geografis Kasepuhan Ciptagelar terletak antara koordinat S 06o 47‘ 10,4‖; BT 106o 29‘ 52‖ di ketinggian 1200 mdpl. Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu kasepuhan dari 3 (tiga) kasepuhan yang berpusat di Desa Sirna Resmi, selain Kasepuhan Sinar Resmi dan Kasepuhan Cipta Mulya. Luas seluruh wilayah Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi adalah 1500 ha dengan komposisi penggunaan lahan terbesar berupa areal persawahan (Tabel 8). Tabel 8 Komposisi penggunaan lahan di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi No. 1. 2.
3.
Penggunaan Lahan Tanah basah/sawah Tanah darat/kering a. Pemukiman b. Perladangan c. Tegalan d. Talun Kehutanan Total luas lahan
Proporsi (%) 32,18 8,42 6,44 24,75 17,33 10,89 100
Sumber: Data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, 2008 (Kodir, 2009)
Wilayah Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi terbagi atas 3 dusun, yaitu Dusun Situmurni, Dusun Cipulus dan Dusun Sukamulya. Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar berpusat di Dusun Sukamulya tepatnya di Kampung Ciptagelar. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdiri atas 16 kampung (lembur) yang letaknya tersebar, baik secara mengelompok maupun dipisahkan oleh kelompok sawah, pekarangan, tegalan, atau talun. Kampung dan areal pertanian tersebut terbagi dalam 3 Rukun Warga (RW) dan 11 Rukun Kampung (RK) yang
31
dalam istilah masyarakat juga sering disebut Rukun Tetangga/kepala dusun atau kemandoran (Kodir, 2009).
4.2.3 Keadaan Fisik Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi umumnya berupa daerah perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 1000-1200 mdpl. Topografi lahannya sebagian besar miring (60 derajat) dengan kelerengan curam (lebih dari 50%). Tanah di wilayah ini terdiri dari jenis: (1) latosol coklat kekuningan; (2) latosol coklat; (3) latosol coklat kemerahan; (4) latosol merah kekuningan; (5) latosol merah; (6) asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan; (7) asosiasi latosol coklat kemerahan dan litosol; (8) asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat; (9) asosiasi latosol merah kekuningan dan litosol. Kedalaman tanahnya sebagian besar lebih dari 90 cm (terutama di areal kehutanan) dan selebihnya antara 60-90 cm. Tanahnya sebagian besar bertekstur sedang dan sebagian kecil bertekstur halus liat. Curah hujan di wilayah ini lebih dari 4.000 mm, dan dilalui oleh beberapa aliran sungai besar dan kecil antara lain: S. Cibarengkot, S. Cikaret, S. Cipulus, S. Cikupa, S. Cisuren, S. Cisono, dan S. Cibareno (Data Potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi tahun 2008). Klasifikasi tutupan lahan di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi berdasarkan data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi tahun 2008 terdiri atas: leuweung (hutan alam), kintir (hutan tanaman), huma (ladang), jami (bekas huma yang ditinggalkan kurang dari setahun; umumnya berupa jukut (rumput), reuma (bekas huma yang ditinggalkan lebih dari setahun; umumnya berupa semak belukar), sawah darat (tadah hujan), talun, kebun cengkeh, kebun semusim (umbi-sayur-buah), tegalan (legal awi atau legal jukut), sampalan (tempat penggembalaan kerbau), leuweung sirah cai (hutan lindung khusus mata air), balong (kolam ikan) dan lembur (pemukiman). 4.2.4 Keadaan ekonomi dan sosial budaya Berdasarkan Data Potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi tahun 2008, penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi berjumlah 2100 orang dengan 547 kepala keluarga dan komposisi menurut jenis kelamin adalah 1116 :
32
984. Penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi umumnya adalah penduduk asli (warga kasepuhan) dan hanya sebagian kecil yang merupakan pendatang.
Penduduk
Kasepuhan
Ciptagelar
dapat
dikatakan
sangat
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian jika merujuk pada statistik bahwa 77,63% penduduknya berprofesi sebagai petani. Profesi lain yang cukup banyak dilakukan warga adalah sebagai buruh dan tukang/jasa selain aktivitas lain seperti perdagangan, buruh tani, dan pegawai (Tabel 9). Sawah bagi mereka sangat penting, mengingat Kasepuhan menyelenggarakan pesta panen tahunan (Seren Taun) setiap tahunnya. Hasil utama pertanian adalah padi yang sebagian besar digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Hasil pertanian lain yang penting dan menghasilkan uang tunai antara lain bunga cengkeh, buah-buahan, ternak domba, serta produk olahan berupa anyaman bambu dan gula kawung (Kodir, 2009). Tabel 9 Mata pencarian penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Mata Pencarian/Profesi Bertani Buruh Tukang/jasa Berdagang Buruh tani Pegawai/Karyawan Pegawai Negeri Wiraswasta TNI/Polri Jumlah
Proporsi (%) 77,63 13,61 4,62 1,59 1,30 0,36 0,47 0,41 100
Sumber: Data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, 2008 (Kodir, 2009)
Tingkat pendidikan di desa ini tergolong sangat rendah, mengingat 95,26% penduduknya hanya tamat sekolah dasar (Tabel 10) dan hanya 0,24% saja yang sempat mengenyam bangku perguruan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan diduga karena ketiadaan biaya dan jauhnya sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk bersekolah di tingkat SLTP dan SLTA, anakanak di Kasepuhan Cipatgelar harus melanjutkannya di wilayah Sirnagalih Banten dan Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi.
33
Tabel 10 Tingkat pendidikan penduduk Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA Pesantren Akademi Perguruan Tinggi Kursus/Keterampilan Jumlah
Proporsi (%) 95,26 3,62 0,41 0,24 0,47 100
Sumber: Data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi, 2008 (Kodir, 2009)
Dari sisi religi, penduduk Kasepuhan Ciptagelar seluruhnya beragama islam, namun unsur sinkretik dengan ―agama lokal‖ yang pre-Hindu masih cukup kuat. Sebagian besar masih memegang teguh kepercayaan terhadap leluhur (Karuhun) dan Dewi Padi (Dewi Sri atau Nyi Sri Pohaci). Adat memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar, terutama ritual yang terkait dengan kegiatan pertanian. Meskipun kukuh menerapkan aturan adat, Kasepuhan Ciptagelar terbuka dan beradaptasi dengan modernisasi. Sejumlah teknologi yang sebelumnya merupakan pantangan, saat ini telah menjadi istrumen penting dalam kehidupan mereka. Sebut saja teknologi turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau disebut mikro hydro dan sarana komunikasi. Kasepuhan Ciptagelar telah memiliki pemancar radio ―Komunitas Adat Kasepuhan Ciptagelar‖ dan stasiun TV Ciptagelar yang mampu mengudara setiap hari pada jam-jam tertentu. Stasiun radio dan TV yang berdiri sekitar tahun 2009 ini diberi nama Radio Televisi Komunitas Adat Kasepuhan Ciptagelar (awalnya bernama Swara Ciptagelar). Radio komunitas didirikan untuk mengembangkan adat budaya dan ragam kesenian sunda, seperti kesenian wayang golek klasik sunda dan dog dog lojor. Siaran radio dikelola 2 orang warga lokal yang telah mendapat pendidikan penyiaran di Bandung, mengudara pada malam hari dengan 2 segmen, yaitu pada pukul 18.00—20.00 WIB dengan segmen budaya lokal dan pukul 20.00—10.00 WIB dengan segmen hiburan berupa pemutaran lagu-lagu Pop Indonesia. Siaran disampaikan dalam bahasa sunda.
34
4.2.5 Ketergantungan Terhadap TNGHS Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap TNGHS, mengingat komunitas ini bermukim di dalam kawasan. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan hutan dan lahan sekitarnya dalam berbagai cara, yaitu berupa huma/ladang (Swidden cultivation), sawah (rice growing), kebun (garden), kebun-talun (mixed garden), dan talun (mixed-forest) (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Kuatnya interaksi masyarakat Kasepuhan dengan kawasan TNGHS terkait dengan mitologi Kasepuhan yang menggambarkan wilayah Pegunungan Halimun dan sekitarnya merupakan suatu wilayah hidup (life space) secara tradisional, sehingga berbagai kelompok Kasepuhan menata ruang di kawasan hutan secara tradisional dengan pembagian: leuweung kolot (hutan tua), leuweung titipan (hutan keramat), leuweung sampalan (hutan alang-alang/tempat penggembalaan), dan leuweng cadangan (hutan cadangan) (TNGHS 2008). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memanfaatkan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS. Setidaknya ada tujuh jenis pemanfaatan sumberdaya alam TNGHS, yaitu: 1. Pengambilan kayu untuk kayu bakar Pengambilan kayu bakar diperlukan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan tidak untuk dijual. Kayu umumnya diperoleh dari kebun atau talun yang mereka tanami sendiri dengan tanaman yang mudah tumbuh, seperti Cengkeh (Eugenia aromatica), sengon (Paraserianthes falcataria), afrika (Maesopsis eminii), dan manii (Maisopsis eminii). Selain dari talun terkadang warga juga mengambil kayu bakar di hutan terdekat dengan pemukiman. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemanfaatan pohon untuk kayu bakar umumnya dilakukan dengan menebang dahan dan rantingnya, sebagian lagi mengumpulkan dahan dan ranting pohon yang telah jatuh ke tanah, namun ditemui juga warga kasepuhan yang memanfaatkan kayu bakar dengan memotong pohon seluruhnya. Pengambilan kayu bakar ini menurut sebagian besar warga dilakukan rata-rata 2-3 hari sekali. 2. Pengambilan kayu untuk bahan bangunan rumah, kandang, dan pagar Umumnya pengambilan kayu di hutan untuk bahan bangunan, kandang, dan pagar dipenuhi dari talun dan kebun, yang ditanami sendiri dengan jenis-jenis
35
tanaman yang mudah tumbuh seperti sengon dan afrika. Namun sejumlah warga masih mengambil kayu di hutan titipan dengan alasan jenis kayu-kayu yang tersedia di kebun atau talun tidak tahan lama/mudah lapuk dan berukuran kecil. Namun warga mengambil kayu secukupnya untuk bahan bangunan dan tidak ada yang diperjualbelikan. Jenis kayu bangunan yang mereka tebang di hutan titipan antara lain jenis puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa), Suren (Toona
chinensis),
Saninten,
Pasang
(Lithocarpus
spp.)
dan
Keruing
(Dipterocarpus sp), Kibima (Podocarpus blumei) dan Kiputri (Podocarpus imbricatus). 3. Pengambilan bambu dan rotan Pengambilan bambu seperti bambu tali (Gygantochloa apus) dan bambu buluh (Schyzostachyum brachycladium) diperlukan sebagai bahan kerajinan, lantayan (jemuran), bahan bangunan rumah dan kandang. Sementara pengambilan rotan, seperti jenis rotan cacing, rotan teretes (Calamus oglomus) berguna untuk membuat kaneron (tas perlengkapan petani), serta pucuk rotan untuk upacara adat nganyaran. Bambu dan rotan terdapat di kebun atau talun, namun untuk bahan kerajinan tangan umumnya diambil dari hutan dengan alasan jenis tanaman ini lebih besar dibandingkan yang ditanam di kebun atau talun. 4. Pengambilan tumbuhan untuk kepentingan ritual budaya. Masyarakat kasepuhan masih kental dengan tradisi adat, beragam ritual budaya dilaksanakan hampir sepanjang tahun. Oleh karena itu beberapa jenis tumbuhan diperlukan untuk kelengkapannya, sebut saja patat (Phrynium pubenerve BI.) dan tepus (Ettingera coccinea (Blume) S. Sakai & Nagam) untuk acara seren taun, kemudian rende (Staurogyneelongata Kuntze), cente (Lantana camara L), singres (Centella asiatica (L) Urb.) dan panglay.
Bagian yang
dimanfaatkan adalah daun, bunga, getah, umbi dan tunas. 5. Pengambilan tumbuhan untuk obat tradisional Masyarakat kasepuhan telah sejak lama memanfaatkan tumbuhan obat dari dalam kawasan TNGHS. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan Unocal Geothermal of Indonesia Ltd. dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB pada
36
tahun 2003, ditemukan tumbuhan obat sebanyak 117 jenis dari 60 famili di kawasan TNGHS. Pengambilan tumbuhan obat diperlukan sebagai bahan baku pembuatan obat-obat tradisional. Tumbuhan obat ini cukup banyak tersedia di kebun talun milik warga kasepuhan dengan pemanfaatan pada bagian umbi, akar, batang, daun dan pucuknya.
Adapun
jenis-jenisnya
antara
lain:
jawerkotok
(Plectranthus
scutellarioides (L) R.Br.), Honje (Nicolaia speciosa (BI) Horan), Babadotan (Eupatorium odoratum L.), Ki Beling (Sericocalyx crispus (L) Bremek), Sedaguri (Sida rhombifolia L.), Harendong (Melastoma malabathricum L.), Ki Hiang (Albizia procera (Roxb.) Benth), Rende (staurogyneelogata Kuntze), Paci Kerak (Conyza sumatrensis (Retz) Walker), dan Babanjaran (Eupatorium inulifolium Kunth). Mengutip penelitian Kodir (2009), di kebun talun Kasepuhan Ciptagelar teridentifikasi 99 spesies tumbuhan dan 59 jenis diantaranya menurut pengetahuan lokal masyarakat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional. 6. Perburuan satwa untuk kepentingan ritual budaya Warga Kasepuhan Ciptagelar melaksanakan perburuan satwa pada waktuwaktu tertentu, namun bukan untuk diperdagangkan, melainkan terkait ritual budaya. Pertama, Kegiatan berburu babi yang akan merusak tanaman padi menjelang
panen,
tujuannya
hanya
untuk
mengusir
babi
dan
bukan
membunuhnya. Kedua, berburu Kijang/Mencek (Muntiacus muntjak) sebagai rangkaian acara seren taun yang dilaksanakan setiap tahun. Namun menurut sesepuh adat kasepuhan, keberadaan mencek lebih bersifat simbolik dan dapat digantikan oleh spesies lain seperti kerbau. Meskipun demikian, secara ritual perburuan untuk mendapatkan mencek wajib dilakukan oleh tiap-tiap kelompok di kampung adat, karena hal tersebut dulu dilakukan oleh para leluhur. 7. Pemanfaatan hijauan untuk pakan ternak Sebagian warga kasepuhan menanam tanaman rumput-rumputan (Pallinia sp, Calliandra sp) di lahan milik.
Namun, agar ternak mereka terjaga dari
berbagai jenis penyakit, pakan ternak ini dikombinasikan dengan jenis tanaman lain yang ada di hutan taman nasional seperti Macarang rhizoides, Coelochne
37
infirma, Mussaenda frondosa, dan Ficus sp. Pengambilan hijauan untuk pakan ternak ini dilakukan setiap hari. 4.2.6 Konflik Kasepuhan dengan Taman Nasional Belum jelasnya status Kampung Ciptagelar beserta ruang kelola adatnya di dalam kawasan TNGHS memicu konflik dengan pengelola. Pembukaan Kampung gede pada tahun 2001 ini secara aturan legal formal adalah bentuk perambahan kawasan (encroachment), namun dalam sistem nilai masyarakat Kasepuhan adalah bagian dari budaya dan perintah (tatali paranti karuhun). secara harfiah tatali paranti karuhun adalah filosofi hidup yang bermakna mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun. Perpindahan lokasi akan terus berlangsung hingga mereka berhasil menemukan suatu tempat yang dalam mitologi mereka disebut lebak sampayan atau lebak ngampar yang apabila hal itu terjadi mereka akan mencapai kehidupan yang makmur (Wahyuni 2004). Dasar klaim pemerintah atas wilayah adat didasari pada kebijakan agraria yang menyebutkan bahwa lahan yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya maka lahan tersebut menjadi domain negara (Harsono 2005). Meskipun pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, namun hak tersebut hanya diberikan jika ada pengakuan dari pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Asumsi hukum seperti ini jelas bertentangan dengan kesadaran hukum yang dimengerti masyarakat. Wilayah adat bagi masyarakat Kasepuhan adalah lahan milik yang dikelola bersama dimana statusnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kolektif anggota masyarakat (resources tenure).
38
BAB V INDIKATOR DAN KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Pada Bab ini akan dideskripsikan hasil pengukuran dan penilaian indikator kinerja kelestarian fungsi sosial budaya TNGHS, validitas indikator dan capaian kinerja pengelolaan pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam. Ada sembilan indikator yang akan dinilai, yaitu: (1) zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual, (3) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (4) terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (5) terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (6) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (7) tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (8) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya, dan (9) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya. Kesembilan indikator tersebut mewakili aspek manajemen kawasan, manajemen sumberdaya alam dan manajemen kelembagaan.
5.1 Pengukuran Verifier Indikator 1: Zonasi telah mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual Indikator ini mengandung pengertian bahwa akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi harus dipertimbangkan dalam penetapan zonasi taman nasional. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik sosial dan mempertahankan budaya/ritual yang telah berjalan di masyarakat secara lintas generasi.
39
Verifier 1: Keberadaan Situs/benda/ruang di dalam kawasan untuk kegiatan Budaya/ritual oleh masyarakat Berdasarkan lampiran zonasi indikatif pada Buku Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026, kemudian hasil wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian Kasepuhan Ciptagelar, diketahui sejumlah lokasi situs/benda/ruang di dalam kawasan TNGHS yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan budaya/ritual (Tabel 11). Situs/benda/ruang tersebut dihormati masyarakat karena memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat lokal yang masih bertahan hingga saat ini dan dimanfaatkan untuk kegiatan budaya atau ritual terkait bidang keagamaan (religi) dan penyelenggaraan upacara adat terkait siklus pertanian dan siklus kehidupan manusia. Tabel 11 Jenis situs/benda/ruang untuk kegiatan budaya/ritual dalam kawasan TNGHS Situs*/Benda/Ruang
Kegiatan Ritual Budaya terkait ritual pertanian/seren taun (Lepas Nadzar, ziarah, Jiwa Usik, Carek)
Lokasi Desa Citorek
Status Pengelolaan Mandiri oleh Kasepuhan Cibedug & pemkab Lebak
Sumber Informasi Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Situs Kosala
Situs megalitik ini memiliki ikatan tradisi dengan masyarakat Baduy.
Desa Lebak Gedong
Mandiri oleh masyarakat Baduy
Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Makam di Puncak Gunung Salak
terkait ritual pertanian/seren taun (Ziarah) dan mitos sejarah kekuasaan Sunda Kuno
Puncak Salak I
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan Giri Jaya
Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Makam bekas Sesepuh Girang (Abah Anom)
Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan
Kampung Ciptagelar
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan
Wawancara dan pengamatan di lapangan
Kampung Gede Ciptagelar
Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan
Kampung Ciptagelar
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan
Wawancara dan pengamatan di lapangan
Situs Cibedug
40
Verifier 2: Situs/benda/ruang yang diakomodir dalam zonasi TNGHS Akses masyarakat atas berbagai pemanfaatan ruang di dalam kawasan taman nasional diakomodir dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Untuk menjamin akses dan hak masyarakat dalam kegiatan ritual budaya, pengelola telah menetapkan 3 situs di dalam kawasan ke dalam zona religi, budaya dan sejarah, yaitu situs Cibedug (Kasepuhan Cibedug), situs Kosala di Desa Lebak Gedong (Baduy) dan makam keramat di puncak Gunung Salak (Kasepuhan Giri Jaya). Bentuk kegiatan dan pemanfaatan di zona religi, budaya dan sosial berdasarkan Pasal 7 ayat 5 Permenhut No. 56 tahun 2006 meliputi: (1) perlindungan dan pengamanan, (2) pemanfaatan pariwisata, penelitian, pendidikan dan religi, (3) penyelenggaraan upacara adat dan (4) pemeliharaan situs, budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada. Berdasarkan teori hak kepemilikan (property right) menurut Schlager dan Ostrom (1992), masyarakat dapat mengimplementasikan hak mereka dalam zona religi, budaya dan sejarah pada tingkatan hak mengakses dan memanfaatkan (access and withdrawal) hingga hak kelola (management) melalui kegiatan perlindungan dan pemeliharaan. Hak milik atau property rights merupakan hak yang
dimiliki
oleh
individu,
masyarakat,
negara
atas
sumberdaya
(asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Property right merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North and Douglas 1990). Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Fakta di lokasi penelitian menunjukkan, bahwa selain 3 situs di atas, Kampung Gede Ciptagelar adalah central point penyelenggaraan berbagai upacara adat, baik terkait siklus pertanian, keagamaan, atau pun terkait siklus kehidupan. Di pusat Kampung Gede Ciptagelar terdapat benda/bangunan budaya yang
41
menjadi elemen penting dalam rangkaian upacara adat seperti imah rurukan, imah gede, leuit si jimat (lumbung keramat), saung lisung, ajeng wayang Golek, ajeng jipeng/topeng, ajeng siaran, dan pasanggrahan. Kegiatan budaya/ritual ini dilaksanakan pada berbagai landskap seperti pemukiman, sawah, dan makam. Untuk mengakomodir aktifitas sosial budaya dan ritualnya, Kampung Ciptagelar beserta lahan garapan ditetapkan sebagai zona tradisional yang menurut pasal 1 ayat 7 Permenhut 56 tahun 2006 didefinisikan sebagai bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Penetapan ini menjamin keberlangsung budaya Kasepuhan Ciptagelar, utamanya yang terkait dengan siklus pertanian yaitu bercocok tanam padi. Bagi masyarakat Kasepuhan, padi memiliki nilai sakral karena dipercaya sebagai jelmaan Dewi Padi atau Nyai Pohaci. Dari kesakralan tersebut, kegiatan bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan.
Gambar 6 Zonasi indikatif Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Sumber: Balai TNGHS 2008)
42
Verifier 3: Partisipasi masyarakat dalam penetapan benda/situs/ruang dalam zonasi Partisipasi masyarakat dalam zonasi diakomodasi oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 Pasal 19 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyebutkan ―Dalam rangka zonasi taman nasional, Pemerintah menumbuh kembangkan peranserta masyarakat”. Lebih lanjut, pada pasal 2 menyebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional dapat diwujudkan dalam bentuk, yaitu: (a) memberi saran, informasi dan pertimbangan; (b) memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi; (c) melakukan pengawasan kegiatan zonasi; dan (d) ikut menjaga dan memelihara zonasi. Menurut Pratiwi (2008), ada tiga variabel untuk mengukur partisipasi masyarakat, yaitu: (1) karakteristik masyarakat, (2) level keterlibatan masyarakat, dan (3) inisiatif partisipasi. Secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan semua unsur masyarakat pada semua level partisipasi dan inisiatif partisipasi sebaiknya berasal dari masyarakat. Menurut pengelola, penetapan zona telah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat. Berdasarkan verifikasi kepada masyarakat, diketahui sebanyak 67% responden mengaku pernah terlibat dalam penetapan zonasi TNGHS yang hingga saat ini prosesnya masih berjalan. Adapun bentuk partisipasinya adalah mengikuti rapat sosialisasi zonasi di tingkat kampong (52%), terlibat dalam validasi/groundcheck di lapangan (10%) dan menghadiri konsultasi publik di Balai TNGHS (5%). Pasal 19 ayat 1 Permenhut No. 56 tahun 2006, secara tersirat mengatur partisipasi masyarakat dalam proses penetapan hanya sebatas memberi saran, berbagi informasi, pertimbangan, proses nominal (sebagai pekerja/buruh) dan konsultasi (ikut dalam
berbagai konsultasi publik, FGD, lokakarya dan
sebagainya). Idealnya partisipasi masyarakat mencapai level pengambilan keputusan, sehingga partisipasi lebih lanjut oleh masyarakat akan dilandasi ikatan emosional yang kuat dengan taman nasional. Verifier 4: Perlindungan unit manajemen terhadap situs/benda/ruang untuk ritual/budaya Lokasi-lokasi yang ditetapkan dalam zona religi, budaya dan sosial belum seluruhnya mendapat pengelolaan yang intensif. Perlindungan dan pemeliharaan
43
situs oleh BTNGHS baru sebatas monitoring atau pengecekan lokasi dan kondisi situs. Pengecekan situs dilakukan setiap bulannya sebagai salah satu aktivitas survey partisipatif yang dilakukan oleh setiap resort. Pengecekan lokasi situs juga dilakukan ketika petugas melakukan patroli dan kegiatan pengaman hutan swakarsa (Pamhut Swakarsa) bersama masyarakat. Pengelolaan situs (perlindungan dan pemeliharaan) telah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dan menjadi tugas juru Kemit Kasepuhan atau pun atas fasilitasi oleh pemerintah daerah sebagaimana halnya Candi Cibedug yang berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depertemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Kabupaten
Lebak
No.
2999/101.3.12/J/1986 telah ditetapkan sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak. Pengelolaan situs untuk ritual budaya berpedoman pada ketentuan tentang penanganan benda cagar budaya sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pada Bab V, pasal 18, ayat 3 yang berbunyi: ―Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah‖. Dari ketentuan dan peraturan tersebut maka dalam pengolahan perlindungan dan pemeliharaan situs beserta benda cagar budayanya secara teknis dilakukan berdasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 pasal 23 ayat (1) ―perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran; ayat (2) ―Untuk kepentingan perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan; ayat (3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistim pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan‖. Untuk lokasi situs yang pengelolaannya telah menjadi kewenangan Pemerintah daerah, hal penting yang harus dilakukan pengelola taman nasional adalah mensinergikan pengelolaannya dengan instansi terkait berdasarkan kewenangan masing-masing. Sinergi dalam pengelolaan ini penting mengingat kewenangan ini akan berdampak langsung atau pun tidak langsung terhadap
44
kawasan taman nasional termasuk masyarakat Kasepuhan yang bermukim di dalamnya (Tabel 12). Tabel 12 Kewenangan instansi pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan situs cagar budaya di TNGHS No.
1.
Instansi terkait Pusat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
2.
Propinsi Dinas Pariwisata
3.
Kabupaten Dinas Pariwisata
Regulasi
Kepentingan
Dampak terhadap TN
Keppres No. 101 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan susunan organisasi dan tata kerja menteri negara
Berwenang dalam menetapkan kawasan pariwisata, obyek dan daya tarik wisata, persyaratan zoning, pencarian, pemanfaatan, system pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya persyaratan penelitian arkeologi
Tidak Langsung
Keppres No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depdikbud, Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J/1986 yang menetapkan Candi Cibedug sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak
Pembinaan dan pengelolaan obyek wisata daerah (contoh candi Cibedug dan kampung Ciptarasa, Ciptagelar yang masuk dalam peta kawasan wisata unggulan di Kabupaten Sukabumi)
Langsung
Keppres No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depdikbud, Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J/1986 yang menetapkan Candi Cibedug sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak
Pembinaan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata daerah; PAD
Langsung
Sumber: dimodifikasi dari Pratiwi (2008)
Indikator 2: Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual Indikator ini mengandung pengertian bahwa perencanaan dan implementasi pemanfaatan kawasan harus dirancang dengan memperoleh kesepakatan para pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang akan mengganggu kelestarian kawasan beserta ekologis taman nasional pada masa yang akan datang.
45
Untuk itu semua hal yang berkaitan dengan yang diperbolehkan maupun yang dilarang untuk dimanfaatkan harus ditetapkan secara jelas. Selanjutnya juga harus ada mekanisme penyelesaian konflik yang timbul (manajemen konflik) dari penggunaan kawasan oleh masyarakat untuk kegiatan budaya/ritual.
Verifier 1. Konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan Budaya/Ritual Konflik antara masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan TNGHS berawal dari penguasaan lahan di dalam kawasan TNGHS oleh masyarakat Kasepuhan yang dianggap sebagai bentuk perambahan (encroachment) dan pemukiman liar dmengingat kawasan TNGHS adalah kawasan milik Negara (state property). Perbedaan sistem nilai dalam mengelola sumberdaya hutan ini kemudian berdampak pada munculnya berbagai konflik budaya. Bagi masyarakat Kasepuhan, hutan dipandang milik bersama (common goods) dimana semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses sumberdaya alam seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Di sisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan (property right). Dasar klaim pemerintah atas wilayah adat didasari pada kebijakan agraria yang menyebutkan bahwa lahan yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya maka lahan tersebut menjadi domain negara (Harsono 2005). Meskipun pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, namun hak tersebut hanya diberikan jika ada pengakuan dari pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Asumsi hukum seperti ini jelas bertentangan dengan kesadaran hukum yang dimengerti masyarakat. Wilayah
adat bagi masyarakat Kasepuhan adalah lahan milik yang dikelola
bersama dimana statusnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kolektif anggota masyarakat (resources tenure). Dengan status hutan ulayat (wewengkon) yang masih menjadi domain Negara maka konflik ritual budaya akan terus berlangsung (Tabel 13). Budaya perpindahan kampung gede misalnya. Perpindahan kampung gede, secara aturan legal formal adalah bentuk perambahan (encroachment), namun dalam sistem
46
nilai masyarakat Kasepuhan adalah bagian dari budaya dan perintah (tatali paranti karuhun). Secara harfiah tatali paranti karuhun adalah filosofi hidup yang bermakna mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun. Perpindahan lokasi akan terus berlangsung hingga mereka berhasil menemukan suatu tempat yang dalam mitologi mereka disebut lebak sampayan atau lebak ngampar yang apabila hal itu terjadi mereka akan mencapai kehidupan yang makmur (Wahyuni, 2004). Tabel 13 Jenis konflik ritual budaya antara masyarakat Kasepuhan dan TNGHS Kegiatan ritual budaya Perpindahan kampung gege
Sistem nilai masyarakat
Perburuan kijang/Mencek (Muntiacus muntjak) di hutan titipan
Ritual penting dalam rangkaian upacara Seren Taun . wajib dilakukan karena dulu dilakukan juga oleh leluhur. Saat ini lebih bersifat simbolik karena dapat digantikan kerbau
Ziarah ke makam karuhun/ leluhur di hutan titipan/zona rimba
Ritual ziarah adalah manifestasi kesadaran bahwa dalam kehidupan saat ini mereka tetap merupakan bagian dari arwah nenek moyangnya Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta.
Penyelenggaraan berbagai ritual adat di Kampung Gede Ciptagelar yang diakomodir dalam zona tradisional
Perintah leluhur (tatali paranti karuhun) dalam bentuk wangsit, sampai ditemukannya lokasi lebak sampayan atau lebak ngampar
Aturan legal formal Negara Pembukaan kampung adalah kegiatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merupakan bentuk perambahan, sehingga melanggar UU 41/1999 Pasal 50 ayat 3 Perburuan di taman nasional tidak dibenarkan menurut PP No.13 tahun 94, meskipun untuk keperluan adat dan menggunakan senjata tradisional.
Gap Kebijakan
Berdasarkan Permenhut No. 56 tahun 2006 penyelenggaraan upacara religi dilakukan pada zona ritual budaya. Berdasarkan Permenhut No. 56 tahun 2006 penyelenggaraan upacara religi dilakukan pada zona ritual budaya.
Sda
Belum ada kejelasan status wewengkon Kasepuhan Ciptagelar. PEMDA belum menerbitkan PERDA pengakuan masyarakat hukum adat.
Sda
Sda
Jika merujuk pada tahapan konflik yang dikembangkan oleh Fuad dan Maskanah (2000), model konflik BTNGHS dengan masyarakat Kasepuhan dalam pemanfaatan kawasan dapat dijelaskan berdasarkan tiga tahapan konflik, yaitu: konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik
47
laten adalah konflik yang sifatnya tersembunyi (tidak muncul ke permukaan) dan dicirikan oleh tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke permukaan. Konflik laten antara pemerintah dan masyarakat kasepuhan dapat dilihat dari konflik kepentingan dan perbedaan sistem nilai dalam mengelola hutan (Pratiwi, 2008). Lebih lanjut menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik mencuat adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan dan permasalahannya telah jelas tapi penyelesaiannya belum berkembang. Sedangkan, konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin telah bernegosiasi atau mungkin pula buntu. Konflik pemanfaatan kawasan antara TNGHS dan masyarakat Kasepuhan telah menuju tahapan konflik yang terbuka (termanifestasikan). Hal ini dapat teridentifikasi dalam wawancara dengan pihak TNGHS dan masyarakat yang kerap mengasosiasikan dirinya dengan istilah ―kita‖ dan ―mereka‖. Sementara aliansi yang dilakukan masyarakat dapat dilihat dengan terbentuknya Persatuan Adat Banten Kidul dan Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa BaratBanten (FKMHJJB) yang difasilitasi LSM. Sementara BTNGHS mecoba mencari dukungan dari tenaga ahli, akademisi dan praktisi untuk menyelesaikan persoalan budaya perpindahan kampung gede ke hutan cadangan karena alasan ―wangsit‖.
Verifier 2:
Mekanisme penyelesaian konflik terkait dengan penggunaan ruang untuk kegiatan budaya/ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara lintas generasi.
Kepala Balai TNGHS dalam rapat pembahasan zonasi dengan NGO/LSM pada tanggal 23 Desember 2009, menyatakan bahwa kebijakan TNGHS sebagai mekanisme penyelesaian konflik keruangan adalah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) zona secara partisipatif, beserta regulasi zonanya. Regulasi zona pada intinya berisi aturan mengenai berbagai aktivitas yang diizinkan dan dilarang, termasuk pengaturan akses, pemanfaatan dan kontrol pada di setiap zona. Regulasi zonasi akan disusun secara partisipatif oleh Balai TNGHS dan para pihak dan diwujudkan dalam kontrak sosial/MoU. Penetapan RTRK merupakan kebijakan transisi mengenai eksistensi masyarakat adat sampai dengan terbitnya peraturan daerah (Perda), mengingat
48
selama ini pemerintah daerah bersikap pasif terhadap status masyarakat adat Kasepuhan, padahal masalah kejelasan status ini merupakan kewenangan Pemda. Berdasarkan wawancara dan penelurusan literatur, BTGHS berharap pemda segera memberikan sikap dalam hal pengakuan masyarakat adat di wilayahnya, hal ini diperlukan untuk memperjelas status lahan yang akan berimplikasi pada penyelesaian konflik lainnya seperti tata batas dan akses masyarakat. Meskipun RTRK ini masih dalam proses penetapan, berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa secara umum TNGHS telah memberikan akses untuk berbagai kegiatan budaya/upacara adat/ritual di dalam kawasan. Kegiatan budaya/ritual dapat dilaksanakan oleh masyarakat tanpa hambatan, baik yang dilaksanakan pada areal situs yang ditetapkan pada zona religi, budaya dan sosial, ataupun yang diselenggarakan di Kampung Kasepuhan yang ditetapkan pada zona tradisional (Tabel 14). Tabel 14 Aktivitas budaya/ritual yang dilakukan Kasepuhan Ciptagelar Jenis Upacara
Nama Upacara
Keterangan
Upacara yang berhubungan dengan siklus pertanian
Ngaseuk Sapangjadian Mapak Pare Beukah Prah-Prahan Mipit Nyimur/nyebor Nganyaran Tengah Bulan Ngasah Seren taun
Saat penanaman benih padi Saat padi baru tumbuh Saat bulir padi mulai berisi Saat sebelum panen Saat sebelum panen Saat setelah panen Saat memakan nasi hasil penen terbaru Setiap pertengahan bulan Bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Puncak dari siklus pertanian yang merupakan upacara adat terbesar
Upacara yang berhubungan dengan siklus hidup
Nurunkeun
Saat usia kehamilan mencapai 3, 5, dan 9 bulan Upacara menurunkan anak ke tanah pada usia 3 hari Upacara sunatan untuk anak perempuan ketika berusia 2 tahun dan untuk anak lakilaki ketika dianggap telah besar
Mahinum Nyepitan/Nyundatan
Upacara yang berhubungan dengan keagamaan
Nikahan Pindahan Sidkah Mulud Sidkah Ruwah Lebaran puasa Lebaran haji
Sumber: Nurjanah (2006)
Saat pernikahan Saat akan menempati rumah baru Saat Maulud Nabi Muhammad SAW Bertepatan dengan Isra‘ Mi‘raj Muhammad SAW Hari Raya Idul Fitri Hari Raya Idul Adha
Nabi
49
Menurut Adiwibowo et al (2008), kesepakatan pemberian akses dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu: pertama, memberikan pengakuan kepada kemampuan masyarakat untuk ―mengatur diri sendiri‖ (self control) termasuk mengelola sumber daya alam di sekitarnya (termasuk dalam kawasan Taman Nasional) yang secara tradisi telah melembaga. Kedua, ―mengatur dan mengendalikan‖ (command and control) akses masyarakat kepada kawasan Taman Nasional (Adiwibowo et al, 2008). Berdasarkan kedua opsi tersebut disarankan agar BTNGHS menggunakan opsi kesepakatan yang kedua, mengingat wilayah kelola adat Kasepuhan Ciptagelar belum ditetapkan berdasarkan Perda dan model kesepakatan dengan mengakui akses masyarakat ke taman nasional tidak dapat diterapkan sepenuhnya di taman nasional karena secara implisit dipandang melanggar UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Mengingat semakin banyak kunjungan masyarakat luar ke Kampung Ciptagelar dengan tujuan wisata budaya dan religi (seren taun, ziarah), pendidikan, penelitian, photography dan sebagainya, maka tindakan command and control atas akses perlu dilakukan, misalnya melalui kesepakatan pengaturan jalur akses agar lalu-lalang manusia terkonsentrasi pada jalur tertentu. Selain itu penting untuk memastikan bahwa pengunjung mematuhi aturan yang ditentukan dalam arti tidak merusak/mencemari lingkunagn sekitarnya dan tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan perubahan prilaku pada satwa yang hidup di dalam kawasan. Indikator 3: Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika kelembagaan adat mendukung upaya perlindungan ekosis-tem-ekosistem alam, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat.
50
Verifier 1: Pemanfaatan aturan adat, hukum adat dan lembaga adat dalam perlindungan ekosistem alam Berdasarkan wawancara dan studi literatur, diketahui bahwa terdapat sejumlah aturan adat, hukum adat dan lembaga adat di Kasepuhan yang dapat dimanfaatkan dalam perlindungan alam TNGHS (Tabel 15). Misalkan saja aturan adat terkait larangan untuk menebang pohon di dekat sumber mata air (sirah cai) dan larangan untuk membuka hutan tutupan untuk lahan garapan dan lembur/pemukiman atau pun untuk kepentingan lainnya. Tabel 15 Pemanfaatan aturan adat, hukum adat dam lembaga adat dalam perlindungan ekosistem alam TNGHS Kelembaga an adat 1. Pola ruang Hutan tutupan (Leuweung Kolot)
Hutan titipan (Leuweung Titipan/ Cadangan)
Hutan Garapan (Leuweung sampalan)
Uraian aturan adat, hukum adat dan lembaga adat
Pemanfataan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan
Untuk masuk ke hutan tutupan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Tidak boleh dibuka untuk kepentingan lahan garapan dan embur/pemukiman. Tidak boleh menebang pohon, apalagi di dekat sumber mata air (sirah cai) Hanya boleh mengambil hasil hutan bukan kayu seperti buah, daun dan akar
Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat Sesuai aturan umum (UU, PP)
-
-
-
Untuk masuk ke hutan titipan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Tidak boleh memanfaatkan kayu untuk diperjualbelikan, kecuali untuk membuat rumah dan pembangunan sarana kepentingan umum Pemanfaatan hutan titipan harus melalui musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan atau jika ada wangsit/ Ilapat
Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
-
Tidak sesuai PP 6/2007, PP 68/98
Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
Pemanfaatan lahan garapan berdasarkan hasil musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan Tidak boleh menggarap pada lahan yang terdapat sumber mata air
Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat Sesuai aturan umum (UU, PP)
-
Dilarang menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama maupun pemerintah
-
-
Ket.
51
Lanjutan Tabel 15 Kelembaga an adat
Uraian aturan adat, hukum adat dan lembaga adat
2. Hukum Adat Sanksi atas Sanksi pribadi: Kabendon (kualat) perusakan ekosistem alam Sanksi umum: teguran, pengusiran, hukum Negara
Pemanfataan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
Pasukan Pamhut
-
Ket.
-
3. Lembaga Adat Rorokan Kepamukan
Bertugas menjaga rumah Sesepuh Girang, keamanan lingkungan
Ket: *Pengakuan aturan adat oleh unit manajemen didasarkan pada peraturan formal pemanfaatan ruang di zona inti, rimba dan tradisional yang menjadi analogi masing-masing leuweung
Tabel 15 menunjukkan bahwa pemanfaatan aturan adat Kasepuhan diadopsi oleh pengelola sepanjang menyangkut komunitas adat dan aturan tersebut sesuai dengan aturan umum perundang-undangan. Ada beberapa aturan adat yang tidak diadopsi oleh TNGHS karena sistem nilai dalam pengelolaan SDA yang masih berbeda dimana Kasepuhan menetapkan aturan adat berdasarkan perintah leluhur dan kesepakatan kolektif sementara TNGHS mengacu kepada aturan formal perundang-undangan, namun secara umum aturan yang dibuat oleh Balai TNGHS dan Kasepuhan mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan ekosistem alam. Sangat baik jika ke depan TNGHS dan Kasepuhan dapat membuat kesepakatan tertulis mengenai kerjasama perlindungan ekosistem alam, misalnya melalui kegiatan: (1) monitoring bersama penerapan aturan/ hukum adat tentang perlindungan alam, dan (2) memperkuat kapasitas Kasepuhan dalam mendukung kebijakan TNGHS meminimisasi kesempatan prilaku eksploitasi hutan dari luar komunitas yang tidak bertanggungjawab (free rider). Hukum adat Kasepuhan juga dimanfaatkan oleh pengelola dalam
mendukung perlindungan ekosistem alam. Ada dua jenis hukum bagi warga Kasepuhan yang merusak ekosistem alam, yaitu hukum yang menyangkut dengan pribadi dan hukum yang menyangkut kepentingan umum. Hukum yang menyangkut pribadi menggunakan mekanisme sanksi ‗kabendon‘. Yaitu setiap kesalahan yang dilakukan oleh individu ditanggung oleh dirinya sendiri. Segala
52
bentuk pelanggaran terhadap peraturan-peraturan adat diterima sebagai kesalahan pribadi dengan mekanisme hukum tanpa melibatkan peradilan adat, melainkan diserahkan pada individu. Dalam hal ini mereka percaya bahwa bila seseorang melanggar peraturan adat maka kemalangan akan menimpa mereka sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggarannya. Kemalangan tersebut dapat berupa sakit parah, terkena gigitan ular atau diterkam harimau. Selain itu juga ada sanksi sosial berupa pengucilan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Adapun dalam hal pelanggaran yang merugikan kepentingan umum diselesaikan melalui peradilan adat yang dipimpin langsung oleh sesepuh. Penentuan mekanisme sanksi ini disesuaikan dengan intensitas pelanggaran yang dilakukan seperti terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Mekanisme hukum adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran dalam pemanfaatan ekosistem alam No
Intensitas Pelanggaran
Sanksi
1. 2. 3.
1 kali 2 kali 3 kali
4.
Lebih dari 3 kali
Pemberian teguran I Pemberian teguran II Pengusiran dan pencabutan hak dan kewajiban sebagai Incu Putu Diserahkan kepada institusi hukum (kepolisian
Sumber: Wawancara dengan juru kemit Kasepuhan Ciptagelar
Selain memanfaatkan aturan-aturan adat dan hukum adat Kasepuhan, BTNGHS telah memanfaatkan salah satu perangkat adat Kesepuhan, yaitu Rorokan Kepamukan/Bebenteng/Pangkemit atau sering disebut sebagai Pasukan Kemit sebagai pasukan pengamanan hutan swakarsa (Pamhut Swakarsa). Pasukan Kemit mempunyai tugas khusus menjaga hutan adat dan seluruh hutan di Gunung Halimun secara umum beranggotakan warga kasepuhan yang tersebar di berbagai daerah. Pelaksanaan pengamanan hutan dilaksanakan secara rutin setiap minggunya, yaitu pada hari jum‘at dan hari minggu, melibatkan 200 sampai dengan 300 orang dari warga kasepuhan yang tersebar di berbagai kampung yang ditunjuk oleh Sesepuh Girang.
53
Tabel 17 Pembagian wilayah pengamanan hutan berdasarkan Blok Nama Blok Blok Ciptagelar Blok Ciptarasa Blok Cisuren Blok Cicadas
Wilayah Hutan Cikarancang, Ciptagelar, Cipulus, Situmurni, Pondok Injuk, Situpangumisan Datar Ciawitali, Datar Gombong, Datar Manggu Pasir Ipis, Gunung Bodas, Gunung Batu, Kawung Gintung Batu Mangit, Batu Munaral, Cisodong
Sumber: Wawancara dengan juru kemit Kasepuhan Ciptagelar Operasional Pamhut swakarsa ini menurut Ki Karma (Juru Kemit Kasepuhan Ciptagelar) secara umum bersifat mandiri meskipun terkadang ada bantuan pendanaan dari Balai TNGHS. Pendanaan Pamhut Swakarsa TNGHS bersumber dari anggaran DIPA 29 dengan bentuk kegiatan berupa operasi Pamhut Swakarsa dan pembinaan Pamhut Swakarsa.
Verifier 2: Tingkat kerusakan ekosistem alam Pemanfaatan sebagian besar aspek kelembagaan adat pada kenyataannya tidak berbanding lurus dengan terlindunginya ekosistem alam TNGHS. Selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2004 terjadi penurunan tutupan hutan alam di Desa Sirnaresmi yaitu 3.581,31 ha pada tahun 1989 menjadi 2.804,09 ha pada tahun 1994 atau terjadi penurunan 21,7% (Prasetyo dan Setiawan 2006). Sebagian aturan adat Kasepuhan turut berkontribusi atas kerusakan SDA di dalam kawasan TNGHS karena memperkenankan perpindahan kampung gede dengan membuka hutan titipan/cadangan meskipun hanya didasarkan wangsit atau ilapat yang diterima oleh Sesepuh Girang. Aturan adat juga memperbolehkan pengambilan kayu untuk rumah dan sarana kepentingan umum di hutan titipan. Fenomena ini seolah menegaskan pernyataan Owen et al. (2002) bahwa tidak semua masyarakat lokal dan masyarakat adat handal dalam mengelola lingkungannya. Gangguan kawasan sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7, disebabkan oleh aktivitas masyarakat baik dalam bentuk pemanfaatan tradisional seperti pengambilan kayu bakar, kayu bangunan, dan hasil hutan lainnya atau pun karena kegiatan pembalakan liar, perambahan dan penambangan emas.
54
Penurunan hutan alam Desa Sirnaresmi 21,7% (Prasetyo dan Setiawan, 2006).
Gambar 7 Peta gangguan kawasan TNGHS (Sumber: Data base Balai TNGHS tahun 2009) Berdasarkan data statistik TNGHS sampai dengan bulan desember tahun 2008, kerusakan ekosistem alam di wilayah Resort Gunung Bodas sebagian besar disebabkan oleh perambahan yang mencapai luasan 2415,47 hektar (Tabel 18). Gangguan lainnya adalah kegiatan penebangan liar dan penambangan emas tanpa ijin dengan skala relatif kecil. Tabel 18. Gangguan Kawasan di Resort Gunung Bodas, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sukabumi s/d Desember 2008 Jenis gangguan Penebangan liar Penambangan emas tanpa ijin Perambahan
Ha
Volume Batang
M3
Ket.
0,2
197 -
5,67 -
2415,47
-
-
Sumber: Buku Statistik Balai TNGHS tahun 2008 (data diolah)
Kayu olahan Pelaku sudah keluar
55
Indikator 4:
Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika hukum adat dan kelembagaan lokal mendukung upaya perlindungan ekosistem-ekosistem unik, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara terminologi unik berarti tersendiri dalam bentuk dan jenisnya, lain daripada yang lain, tidak punya persamaan dengan yang lain, khusus dan tidak umum. Pengertian-pengertian di atas senada
dengan Poerwadarminta (1976) yang mengartikan unik sebagai hanya satusatunya; tidak ada duanya; tidak ada bandingannya; dan tidak ada yang menyamainya. Ratcliffe (1997) dalam MacKinnon (1990) memberikan pengertian bahwa suatu kawasan mungkin unik karena bioma yang diwakilinya tidak cukup terwakili dalam sistem nasional atau memperlihatkan proses alam yang khas. Contohnya Danau Malawi Unik karena mempunyai endemik ikan ―Cichlidae‖ sebagai akibat spesiasi yang cepat. Contoh lain ekosistem unik sebagaimana dikutip dari Tomascik dan A.J Mah (1994) adalah pulau karang Kakaban dekat Derawan Kalimantan Timur, yang membentuk laguna berukuran kecil (390 ha), kedalaman sekitar 11 meter, dengan ekologi serta proses yang tidak lazim (Indrawan et al. 2007). Fakta
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
pengelola
tidak
dapat
menunjukkan adanya ekosistem unik TNGHS berdasarkan pada dokumen akademik hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan tidak pernah ada program identifikasi ekosistem unik dalam rencana pengelolaan TNGHS. Indikator 5: Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika hukum adat dan kelembagaan lokal mendukung upaya perlindungan spesies-spesies penting
56
(spesies flagship/endemik/dilindungi/langka), pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat. Verifier 1: Pemanfaatan aturan adat dan hukum adat dalam perlindungan spesies penting Merujuk pada Buku Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026, spesies penting TNGHS didefinisikan sebagai: (1) spesies kunci selain memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem juga merupakan indikator untuk menilai kondisi ekosistem hutan; dan (2) spesies yang terancam punah. Mclaren dan Peterson (1994) dalam Indrawan et al. (2007) mengartikan spesies kunci sebagai spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik melalui aktivitasnya. Spesies kunci dapat menentukan kemampuan sejumlah besar spesies untuk bertahan hidup. Sedangkan spesies (satwa dan tumbuhan) yang terancam punah adalah spesies yang populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena pengaruh dan ekosistemnya (Pasal 20 ayat 2 UU No. 5 tahun 1990). Berpedoman pada dokumen laporan tahunan Balai TNGHS tahun 2006, 2007 dan 2008, terindikasi tiga spesies yang mendapat prioritas pengelolaan melalui kegiatan monitoring populasi dan habitat, yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch) dan macan tutul (Panthera pardus). Elang Jawa merupakan spesies kunci bagi TNGHS yang dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990, PP No. 7 dan PP No 8. Tahun 1999 dan termasuk kategori CITES lampiran 2. Elang Jawa berdasarkan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993 merupakan lambang satwa terancam punah (Balai TNGHS 2008). Owa Jawa tergolong primata endemik yang langka dan terancam punah serta penyebarannya sangat terbatas hanya di Pulau Jawa, yaitu di daerah Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah bagian Barat. Berdasarkan hasil survey antara tahun 1994—2002, Nijman (2006) memperkirakan bahwa jumlah total owa jawa yang menyebar di alam berkisar 4100—4500 individu. Populasi owa jawa
57
tersebut tersebar pada 29 areal hutan yang terletak di wilayah propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Propinsi Banten. Gunung Halimun yang terletak dalam TNGHS merupakan salah satu dari empat lokasi owa jawa dengan ukuran populasi terbesar yaitu lebih dari 800 individu. Tiga wilayah penyebarannya yaitu Gunung Simpang, Gununung Dieng dan TN Ujung Kulon memiliki populasi berkisar antara 500—600 individu. Menurut Rinaldi (2003), jumlah individu owa jawa di TNGHS berkisar antara 456—1149 individu.
Sementara Iskandar (2007)
memperkirakan ukuran populasi owa jawa di TNGHS sebesar 2318 hingga 2695 individu. Dengan ukuran populasi relatif kecil (< 5000 individu) tersebut, owa jawa telah dimasukkan dalam red list IUCN dengan status Critically Endangered. Selain itu owa jawa juga masuk dalam Appendix 1 CITES. Macan tutul merupakan jenis mamalia penting yang menjadi spesies kunci (Suyanto 2002; Harahap dan Sakaguci 2002). Macan Tutul telah ditetapkan sebagai simbol fauna propinsi Jawa Barat (BPLHD Propinsi Jawa Barat, 2006 dalam Balai TNGHS 2008). Kasepuhan tidak memiliki aturan adat yang secara khusus mengatur perlindungan ketiga spesies penting TNGHS. Warga Kasepuhan hanya mengetahui aturan adat tentang pelarangan menggunakan spesies pohon Rasamala (Altingia excelsa) yang bukan termasuk spesies penting TNGHS. Menurut pengelola, mereka telah melibatkan masyarakat adat dalam monitoring spesies penting yaitu dengan merekrut perangkat adat Kasepuhan (Pasukan Kemit) sebagai Pasukan Pengamanan Hutan Swakarsa (Pamhut Swakarsa) yang salah satu tugasnya memantau tindakan ilegal di dalam kawasan termasuk kegiatan perburuan liar. Masyarakat adat Kasepuhan juga dilibatkan dalam kegiatan monitoring khusus spesies Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul di sepanjang jalur Ciptarasa dan Ciptagelar. Verifier 2: Tingkat gangguan terhadap spesies penting TNGHS Disebutkan dalam beberapa dokumen perencanaan TNGHS terjadi gangguan terhadap spesies pentingnya yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch) dan macan tutul (Panthera pardus) akibat aktivitas manusia di dalam kawasan, seperti pengambilan kayu bakar, pembalakan liar dan perambahan. Berdasarkan peta sebaran spesies penting TNGHS (Gambar 8), owa
58
jawa (Hylobates moloch) adalah spesies penting yang banyak dijumpai di sepanjang jalur Ciptarasa-Ciptagelar yang termasuk dalam wilayah ulayat adat Kasepuhan Ciptagelar.
Gambar 8
Peta sebaran spesies penting TNGHS (Sumber: Data base Balai TNGHS tahun 2009
Balai TNGHS telah secara rutin melakukan monitoring umum dan monitoring khusus spesies penting di jalur Ciptarasa-Ciptagelar. Monitoring umum dilakukan melalui patroli rutin oleh petugas resort minimal 2 minggu sekali, sedangkan patroli khusus dilakukan setiap tahun pada 3 lokasi yaitu jalur Ciptarasa-Ciptagelar, Cisoka dan Cikaniki. Menurut pengelola, monitoring umum dan khusus dilakukan dengan melibatkan masyarakat Kasepuhan. Selama kegiatan monitoring didapatkan data jumlah spesies, struktur umur, aktivitas spesies, data spesies lain yang dijumpai dan deskripsi kondisi habitat.
59
Monitoring Khusus
Monitoring Khusus Owa Jawa Struktur Umur Owa Jawa (Pengamatan di Jalur Ciptarasa-Ciptagelar)
.
2009
Tahun
2008
Anak Rem
2007
Dew
2006 0
10
20
30
40
50
Jumlah Individu
Gambar 9 Grafik struktur umur Owa Jawa di jalur Ciptarasa-Ciptagelar (Sumber: Diolah dari laporan hasil monitoring khusus Owa Jawa 2006—2009) Grafik pada Gambar 9 menunjukkan, struktur umur populasi owa jawa di sepanjang jalur Ciptarasa-Ciptagelar yang termasuk dalam wilayah ulayat Kasepuhan
Ciptagelar
belum
mampu
menggambarkan
dugaan
tingkat
keterlindungan spesies penting TNGHS (khususnya owa jawa) sebagai dampak dari pemanfaatan kelembagaan adat. Data kegiatan monitoring khusus Owa Jawa di jalur pengamatan Ciptarasa-Ciptagelar, wilayah kerja Resort gunung Bodas sangat berfluktuasi sehingga sulit disimpulkan. Diduga kualitas data monitoring umum dan khusus ini disebabkan karena kurangnya intensitas sampling. Data hasil monitoring umum kurang dapat dipertanggungjawabkan untuk menduga populasi dan lebih tepat digunakan sebagai informasi habitat indikatif dari tiga spesies penting. Selain data series dugaan populasi ini, tidak ada data lain yang dapat menunjukkan tingkat gangguan spesies penting seperti catatan perburuan liar dan konflik antara manusia dengan spesies penting TNGHS. Hasil verifikasi di lapangan menunjukkan bahwa 57% responden mengaku pernah melakukan
60
perburuan di dalam kawasan TNGHS, namun bukan untuk berburu ketiga spesies penting dimaksud. Kegiatan perburuan mereka lakukan hanya untuk kepentingan upacara adat (seren taun) dan berburu satwa untuk dikonsumsi atau sekadar untuk kesenangan. Menurut salah seorang staf TNGHS, masyarakat pernah menangkap owa jawa dan elang jawa dengan maksud dipelihara untuk kesenangan, namun kemudian dikembalikan setelah mendapat penyuluhan dari petugas. Indikator 6: Berkembangnya pemanfaatan SDA berbasis kearifan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam taman nasional sejauh dapat diidentifikasi dan di verifikasi keberhasilannya, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Verifier 1: Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan sebagai hasil interaksi dan pengamatan secara terus-menerus terhadap fenomena alam dalam waktu yang panjang (Mitchel et al. 2000; Zakaria 1994). Kearifan lokal biasanya terkait dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat dan didukung oleh pranata yang lahir dari kesepakatan komunitas (Reichel-Dolmatoff 1996 dalam Indrawan et al. 2007). Menurut Arman (2006), kearifan lokal mempunyai 5 prinsip pokok, yaitu: (1) sebuah cara terbaik (menurut kriteria lokal dan kriteria ilmiah), (2) asli (berkembang sejak lama di lokasi tersebut), (3) unik (berbeda dengan tempat lain), (4) essensial (bernilai penting) dan (5) berkaitan dengan kegiatan tertentu. Cara terbaik tersebut adalah cara yang hemat bahan, hemat tenaga, hasil optimal dan menimbulkan dampak negatif yang minimum. Berdasarkan teori di atas dan merujuk pada sejumlah penelitian tentang Kasepuhan
Ciptagelar
seperti
penelitian
bidang
anthropologi
(Kusnaka
Adimihardja 1992), penelitian etika lingkungan (Ichsan 2009), dan penelitian kearifan tradisional (Nugraheni dan Adiwinata 2002) serta wawancara dan pengamatan di lapangan, diidentifikasi sejumlah kearifan lokal masyarakat sebagai berikut:
61
1. Pemanfaatan lahan berdasarkan klasifikasi tata guna lahan Kasepuhan mengklasifikasikan tata guna lahan hutan menjadi 3, yaitu: (1) leuweung tutupan (hutan alam, hutan tua, hutan primer); (2) leuweung titipan (hutan cadangan, hutan sekunder); dan (3) leuweung sampalan (lahan garapan, kawasan budidaya). Ichsan (2009), menggambarkan cara pandang masyarakat dalam mempersepsikan hutan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor pertimbangan, yaitu: faktor biofisik lingkungan, faktor pengaruh ketua adat dalam mempersepsi dan mengkategori peruntukan tata guna lahan, dan faktor dorongan adaptasi terhadap kebutuhan hidup dan keselarasan lingkungan.
Pemanfaatan SDA di hutan tutupan Leuweung tutupan dikalangan masyarakat dikenal juga dengan istilah leuweung kolot atau leuweung geledegan yang diyakini sangat angker dan akan berdampak negatif terhadap pengganggunya. Secara etimologi leuweung berarti hutan dan tutupan mengandung 2 makna, yaitu: (1) bermakna tertutup tidak boleh dijamah, didatangi apalagi dieksploitasi; dan (2) bermakna penyangga, pelindung dan pendukung. Leuweung tutupan dipersepsi oleh masyarakat adat sebagai hutan primer yang lebat, ditumbuhi berbagai jenis tanaman, baik pohon besar atau pun kecil, pepohonannya rimbun, kerapatan pohon sangat tinggi dan terdapat berbagai jenis satwa liar, serta merupakan sumber mata air (Sirah Cai) yang tidak boleh dijamah, didatangi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Leuweung kolot dan leuweung titipan merupakan kawasan yang telah diamanatkan oleh para sesepuh untuk tidak diganggu. Untuk masuk ke kawasan tersebut anggota msyarakat adat Kasepuhan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Bila diketahui maksud dan tujuannya baik, restu akan diberikan oleh sesepuh. Restu itu sangat penting bagi mereka karena mereka percaya dengan restu dari sesepuh keselamatan lahir batin dapat terjamin selama melakukan aktifitas di hutan. Sebelum mereka ke hutan biasanya sesepuh akan memberikan panglay dan membakar kemenyan. Di Leuweung Kolot terdapat beberapa mata air yang mengalir dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan sehari-harinya. Keberadaan mata air ini juga yang menjadikan kawasan ini sangat diminimalisir
62
pemanfaatannya, bahkan cenderung tidak bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan hanya berupa pengambilan hasil hutan bukan kayu secara terbatas seperti buah, daun dan akar. Hutan tutupan sama sekali tidak boleh dibuka untuk kepentingan lahan garapan dan lembur/ pemukiman.
Pemanfaatan SDA di hutan titipan Leuweung titipa/ leuweung cadangan adalah klasifikasi ruang berupa hutan alam, hutan sekunder, talun, atau kebun yang digunakan sangat terbatas dengan ijin dari sesepuh girang atau ketua adat. Adat kasepuhan mengatur pemanfaatan hutan ini dan melembagakan kepada masyarakat bahwa hutan titipan harus dipertahankan kelestariannya. Penggunaan hutan ini diperkenankan jika sesepuh girang telah menerima wangsit atau ilapat dari karuhun (nenek moyang). Penggunaan leuweung titipan apabila lahan di leuweung sampalan sudah tidak mencukupi kehidupannya. Leuweung titipan ini mempunyai batas-batas yang jelas, dengan begitu daerah leuweung titipan tidak akan bertambah luas. Incu putu tidak dapat menentukan tempat dan luasan leuweung cadangan dengan semena-mena. Setiap ada incu-putu yang membutuhkan lahan akan senantiasa berhubungan dengan perangkat adat. Perangkat adat memutuskan segala sesuatunya dengan musyawarah. Dalam penentuan luasan bagi anggota kelompoknya mereka mempunyai pedoman ”saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa” (sedikit harus cukup, banyak harus bersisa). Hal ini mengandung pengertian bahwa tidak ada patokan tertentu dalam penentuan luasan, namun prinsip yang digunakan berdasarkan kebutuhan. Di leuweung titipan ini kayu bisa dimanfaatkan dengan batasanbatasan tertentu. Diantaranya adalah bahwa pemanfaatan kayu hanya untuk kepentingan umum saja, tidak untuk kepentingan pribadi. Selain itu juga adanya pembatasan dalam kuantitas pemanfaatan kayu. Bilamana ada mata air di sekitar Leuweung cadangan maka pohon-pohon di sekitar kawasan mata air tersebut terlarang untuk dimanfaatkan. Begitu juga lahan di sekitar kawasan tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk garapan maupun pemukiman.
63
Pemanfaatan SDA di hutan garapan 1. Pertanian padi sawah Pola pertanian sawah merupakan adaptasi dari perladangan berpindah, mengingat ada pembatasan bahkan larangan pembukaan hutan untuk perladangan. Tanah bekas ladang yang biasanya dibiarkan dan ditinggalkan agar terjadi suksesi secara alamiah, sekarang dicetak menjadi sawah tadah hujan atau pun sawah pengairan apabila didekatnya ada aliran air yang dapat dimanfaatkan. Adapun patokan untuk menggarap sawah dan upacara adatnya masih didasarkan pada pola perhitungan waktu bagi pertanian ladang (Nugraheni dan Winata 2002). Masyarakat kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam padi. Ketergantungan ini tidak hanya dalam konteks dalam pemenuhan pangan, lebih dari itu bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan. Padi diyakini masyarakat Kasepuhan memiliki nilai sakral karena merupakan personifikasi dari Dewi Sri/Dewi Padi atau Nyai Pohaci, sehingga cara pemeliharaan dan penanganannya harus hati-hati sejak menanam, panen dan menjadi nasi lengkap dengan berbagai upacara adat yang menyertainya yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT dan penghormatan kepada Nyai Pohaci. Padi bagi masyarakat adalah terlarang untuk dijual, hanya untuk kebutuhan subsisten ataupun dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Menanam padi merupakan kegiatan yang sangat penting dan suci sifatnya Dalam melakukan proses bercocok tanam, Kasepuhan memiliki patokan waktu musim tanam yang dihitung berdasarkan pedoman astronomi, yaitu berdasarkan rasi bintang atau planet tertentu dan peredaran bulan mengelilingi bumi seperti terlihat pada Tabel 19. Perhitungan ini berbeda dengan kalender masehi yang lazim digunakan sehari-hari. Di Kasepuhan terdapat pembantu Sesepuh Girang yang menjabat sebagai dukun tani yang tugasnya menghitung waktu yang sesuai tahapan dalam bertani. Kearifan dalam pengelolaan lahan sawah terlihat dari pola penanaman padi yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Menurut warga, selain untuk memutus siklus hama, pola tanam ini dimaksudkan agar tidak ada eksploitasi berlebihan terhadap tanah sebagai sumber daya alam utama. Selain aturan pola
64
tanam, warga Kasepuhan juga tidak diperkenankan untuk menggarap sawah pada lahan yang diketahui terdapat sumber mata air. Tabel 19 Kalender pertanian Kasepuhan Simbol
Gejala Astronomi
Kegiatan pertanian
Tanggal Kerti kana beusi tanggal kidang turun kujang
Bintang Kerti atau Bintang Tujuh mulai muncul di ufuk barat
Kidang ngarangsang ti wetan, Kerti ngarangsang ti kulon atau kidang kerti pahaurephaeurep Kerti mudun, Kidang matang mencreng di tengah langit Kidang medang turun Kungkang
Bintang Kidang merembang dari arah timur dan bintang Kerti dari arah barat, sehingga posisi kedua bintang berhadapan
Mempersiapkan alat untuk bertani, misalnya mempertajam kujang (seperti sabit) Tanda musim kemarau panjang, tanda saatnya membakar ranting dan daun (Ngahuru)
Kidang Kerti ka kulon
Kalender Islam Bulan Haji/ Dzul Hijjah
Kalender Masehi Maret
Bulan Muharram
April
Kedua bintang menjadi sangat terang
Saat mulai menanam padi (ngaseuk) tiba
Bulan Muharram/ Syafar
Mei
Kalau kedua bintang mulai surut, hilang dari pandangan kita
Saat datang hama walang sangit (Kungkang)
Bulan Rajab/ Syaban
Oktober/ November
Kedua bintang bergerak kearah barat
Tanda datangnya musim hujan
Bulan Hapit/ Rayagung
Februari/ Maret
Sumber: Nugraheni dan winata (2002)
2. Pengelolaan kebun dan talun Kebun adalah perkembangan lebih lanjut dari tanah bekas ladang yang dekat dengan pemukiman. Di lahan kebun, ditanami dengan tanaman untuk kepentingan dapur (sayuran), tanaman obat, dan tanaman keras yang buah atau daunnya dapat dijadikan makanan pohon pisang dan rambutan. Pemeliharaan kebun biasanya dilakukan para wanita dewasa dan anak-anak. Sementara talun adalah kebun yang terletak agak jauh dari perkampungan, biasanya di bukit-bukit. Jenis tanamannya biasanya tanaman musiman dan tanaman tahunan seperti duren, petai, cengkeh sehingga membentuk hutan buatan. Di talun ini biasanya tumbuh juga belukar dan tumbuhan liar lainnya sehingga membentuk system agroforestry tradisional. Kodir (2009) menemukan setidaknya 99 spesies tumbuhan yang terdapat di berbagai talun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diantaranya kelapa, aren, jengkol, jawerkotok dan kapol, durian, dadap, papaya, jeruk, cengkeh, petai,
65
alpukat, melinjo dan nangka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, tanaman keras di kebun dan talun dimanfaatkan juga untuk kayu bakar dan konstruksi rumah. Aturan umum yang ditetapkan Kasepuhan dalam pengelolaan lahan kebun dan talun ini adalah larangan untuk menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama maupun pemerintah.
2. Pelarangan Penggunaan Pohon Rasamala (Altingia excelsa) Aturan adat melarang penggunaan pohon Rasamala (Altingia excelsa) untuk bahan bangunan baik rumah penduduk atau rumah adat. Pohon rasamala dominan hidup pada ekosistem hutan dataran tinggi di kawasan TNGHS yaitu zona sub-montana (1.000 – 1.500 m dpl.) dan zona montana (1.500 – 1.800 Tipe m.dpl.). Pohon ini hanya diperkenankan diambil kayunya untuk membuat tempat peristirahatan (saung), diambil daunnya untuk lalapan dan diambil bibitnya untuk ditanam. Meskipun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kayu Rasamala kerap digunakan warga sebagai bahan bangunan rumah, kandang, kayu bakar, mereka beralasan bahwa pengambilannya dilakukan di kebun atau talun yang ditanami sendiri. Kabendon/kualat didapat jika kayu Rasamala tersebut diambil dari hutan tutupan atau hutan adat yang dikeramatkan untuk diperjualbelikan. Sesuai keterangan dari sesepuh adat dan masyarakat, tidak diketahui dengan pasti sejarah atau legenda yang dapat menjelaskan alasan pelarangan tersebut.
Larangan ini hanya diyakini masyarakat sebagai perintah karuhun
(leluhur) yang harus dijalankan, karena menurut leluhur belum saatnya bagi masyarakat kasepuhan untuk menggunakan kayu dari pohon rasamala. Pelanggaran atas perintah ini akan memberikan dampak berat kepada pelakunya seperti kebakaran dan kerusakan bangunan. Hal ini tentu berdampak positif bagi kelestarian spesies ini.
Dengan tajuk tinggi yang dapat mencapai 30-45 m,
Rasamala akan membantu melindungi tanah di dalam hutan dari erosi dan juga menjadi tempat hidup bagi satwa seperti Owa Jawa, Surili, dan berbagai jenis burung. 3. Pelarangan Menjual Hasil Hutan Aturan adat kasepuhan melarang warganya untuk menjual hasil hutan seperti rotan, kayu, bambu dan sebagainya yang diambil dari hutan titipan. Izin
66
dari sesepuh girang untuk mengambil hasil hutan dari hutan titipan hanya untuk kepentingan adat atau pun untuk kebutuhan rumah tangga yang tidak dapat dipenuhi dari hutan sampalan, seperti untuk keperluan bahan bangunan, alat-alat memasak, kerajinan tangan, pagar dan sebagainya. Warga masih meyakini bahwa pelanggaran terhadap larangan ini akan mendatangkan kabendon (kualat) berupa kerugian yang cukup besar dan tidak akan mendatangkan keuntungan apa-apa. Verifier 2: Peluang yang diberikan oleh unit manajemen dalam pemanfaatan SDA berbasiskan kearifan lokal Sesuai dengan pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, taman nasional dikelola dengan sistem zonasi, maka pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan berdasarkan penataan zonasi. Guna mendukung kepentingan pemanfaatan oleh masyarakat setempat akan hasil hutan non kayu dikembangkan adanya zona tradisional dan zona khusus. Dalam peta zonasi indikatif TNGHS, zona tradisional ini adalah kampung kasepuhan yang ada di TNGHS. Asumsinya kasepuhan merupakan masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam (Balai TNGHS 2008). Bentuk-bentuk pemanfaatan taman nasional oleh masyarakat dapat berupa: (1) pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi tanpa merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti pemanfaatan wisata alam, pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan, dan lain-lain (PP No. 68 tahun 1998 pasal 50); (2) pemanfaatan kawasan sebagai sumber plasma nutfah dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, dimana selanjutnya plasma nutfah tersebut dimanfaatkan, dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan konservasi, seperti antara lain untuk budidaya tanaman, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias dan lain-lain. Namun demikian pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar harus dilakukan dengan menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya (UU No. 5 tahun 1990, penjelasan pasal 36 ayat 1); (3) Kegiatan penelitian dan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998; dan (4) pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan konservasi, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah, dan lain-lain.
67
Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi (Penjelasan umum PP No. 68 tahun 1998). Pengelola TNGHS memberikan peluang pemanfaatan tradisional (Tabel 20) hanyalah untuk pemanfaatan SDA dalam kawasan berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau mempertahankan kebutuhan hidup atau pemenuhan kebutuhan ritual/spiritual masyarakat yang terkait dengan tradisi masyarakat seperti rempah-rempah, madu, getah, nira, jamur, pakis, buah saninten, buah canar, daun patat, daun tepus, reundeu lalapan, dan sebagainya, namun kegiatan ini hanya boleh dilakukan penduduk setempat dengan tidak menebang, memotong, dan membakar, dan memusnahkan pohon. Hal ini sejalan dengan kriteria zona tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 Permenhut Nomor 56 tahun 2006, yaitu zona tradisional ditetapkan pada kawasan yang memiliki potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 dalam penjelasan umumnya menggarisbawahi bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu dilakukan dengan tidak merusak fungsi utama kawasan konservasi. Tabel 20 Peluang pemanfaatan SDA di dalam kawasan TNGHS No.
Jenis pemanfaatan tradisional SDA berbasis kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar
1.
Kegiatan budidaya padi sawah di leuweng sampalan
√
-
2.
Budidaya kebun dan talun di leuweung sampalan untuk kebutuhan subsisten Pengumpulan buah, daun, nira, umbi untuk keperluan konsumsi di kebun/talun Pengumpulan kulit kayu, daun, bunga, akar untuk obat di kebun/talun yang ditanami sendiri Pengumpulan buah, biji, daun, tunas, bunga untuk ritual budaya di kebun/talun yang ditanami sendiri Pengumpulan buah, umbi untuk keperluan konsumsi di hutan tutupan/titipan Pengumpulan daun, tunas, akar untuk obat di hutan tutupan/titipan
√
-
√
-
√
-
√
-
-
√
-
√
3. 4. 5. 6. 7.
Kebijakan TN Boleh Tidak
68
Lanjutan Tabel 20. No.
Jenis pemanfaatan tradisional SDA berbasis kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar
8.
Pengumpulan daun, tunas, akar untuk ritual budaya di hutan tutupan/titipan Pemungutan kayu mati untuk kayu bakar di kebun/talun dan hutan tutupan/titipan Penggembalaan satwa di leuweung sampalan
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18.
19. 20.
Pembakaran lahan sebagai bagian dari proses ―ngahuma‖ di leuweung sampalan Pemotongan rumput/ijuk/ kirey sebagai bahan atap di kebun/talun dan hutan Pengumpulan tanaman hias (paku-pakuan, anggrek dan lainlain) di hutan Pengumpulan hasil bambu dan rotan di hutan Penebangan pohon untuk kayu bakar dengan golok dan alat sejenis di hutan kebun/talun Penebangan pohon untuk kayu bakar dengan golok dan alat sejenis di hutan titipan Penebangan pohon secara selektif dengan golok atau alat sejenis untuk kepentingan membuat rumah dan sarana kepentingan umum di kebun/talun Penebangan pohon secara selektif dengan golok atau alat sejenis untuk kepentingan membuat rumah dan sarana kepentingan umum di hutan titipan Perburuan satwa untuk keperluan ritual budaya di hutan Pembukaan areal baru dari hutan titipan untuk lembur, sawah, huma, kebon/ dudukuhan dengan ijin sesepuh adat
Kebijakan TN Boleh Tidak -
√
√
-
-
√
-
√
-
√
-
√
-
√ √
-
√
-
√
-
√
-
√ √
Keterangan: 1. Kebijakan boleh dan tidak boleh dari pengelola TNGHS didasarkan pada aturan normatif (PP 68/1998, UU 41/1999, UU 5/1990 dan permenhut 56/2006). Boleh dengan teknik pemanfaatan sesuai perundangan yang berlaku, yaitu tidak menebang, memotong, dan membakar, dan memusnahkan pohon. 2. Budidaya di leuweng garapan seperti butir 1 dan 2 dibolehkan pada zona tradisional dengan regulasi yang akan disepakati bersama
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan masyarakat dan petugas TNGHS. Indikator 7: Sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional Indikator ini mengandung pengertian bahwa untuk menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional dibutuhkan sistem manajemen yang kredibel.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesinambungan
antara kebijakan dan tindakan operasional, serta monitoring dan evaluasi dalam oganisasi yang menangani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional.
69
Verifier 1: kebijakan dalam menggalang hubungan yang harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam Berdasarkan pasal 36 PP No. 68/1998, Kawasan Taman Nasional dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan. Rencana pengelolaan kawasan Taman Nasional tersebut disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Kajian aspek sosial budaya salah satunya dapat didekati melalui pengklasifikasian tipologi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Pembagian tipologi masyarakat dapat dilakukan melalui penelurusan sejarah sebagai landasan penentuan zonasi dan mempertimbangkan akses masyarakat atas kawasan. Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Manfaat tersebut dapat bersifat legal dan ilegal. Legal akses terbentuk ketika kemampuan para aktor dalam mengakses manfaat atas sumberdaya berkesesuaian dengan peraturan, kesepakatan, dan adat kebiasaan yang pada saat ini disebut sebagai milik (property) (MacPherson, 1978 dalam Peluso 2003). Secara umum, taman nasional membagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dalam 2 tipologi besar, yaitu masyarakat adat dan non adat. Namun karakteristik masyarakat non adat ini tentu dapat diperluas. Sebagai contoh, TNGHS membagi masyarakat dalam 4 tipologi, yaitu: (1) masyarakat adat Kasepuhan yang bertumpu pada ekoreligi padi, (2) masyarakat non adat, yaitu masyarakat eks buruh perkebunan belanda, (3) masyarakat non adat, yaitu masyarakat PHBM eks perum perhutani, dan (4) masyarakat pendatang baru (euphoria reformasi 1998—2000) dan pendatang musiman pelaku pembalakan liar dan pertambangan liar (free rider). Perbedaan kriteria masyarakat berdasarkan kriteria keberadaan tokoh, wilayah, hukum, komunitas dan pengakuan TNGHS atas eksistensi masyarakat ditunjukkan pada Tabel 21. Perbedaan antara masyarakat kasepuhan dan non-kasepuhan terletak pada tiga hal, yaitu sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial dan religi. Masyarakat kasepuhan mengembangkan sistem pertanian yang ―dual‖, yaitu sawah dan ladang (ngahuma) sekaligus, tetapi hanya diperbolehkan melakukan penanaman padi-sawah setahun sekali. Sementara masyarakat non-kasepuhan
70
boleh melakukan penanaman padi-sawah lebih dari sekali. Dari segi organisasi sosial, masyarakat kasepuhan mengenal suatu sistem politik lokal yang menempatkan suatu kelompok elit turun-temurun untuk memimpin kasepuhan dengan pembagian hak dan kewajiban yang cukup kompleks. Sedangkan dari sisi religi, walaupun secara legal menganut agama Islam, tetapi unsur sinkretik dengan ―agama lokal‖ yang pre-Hindu masih cukup kuat. Hal ini berpengaruh terhadap sistem waris dan sistem hukum Islam lainnya yang dipahami oleh masyarakat kasepuhan. Tabel 21 Perbedaan kriteria masyarakat di TNGHS berdasar tipologinya No.
1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria
Tokoh Wilayah Hukum Komunitas Pengakuan TNGHS atas eksistensi masyarakat
Masyarakat Kasepuhan √ √ Adat √ √
Masyarakat Non Kasepuhan √ √ Desa/Negara √ √
Masyarakat pendatang (free rider) -
Sumber: Supriyanto dan Ekariyono (2007)
Berdasarkan keempat tipologi tersebut, TNGHS menerapkan kebijakan yang berbeda untuk setiap tipologinya. Pertama, tipologi masyarakat adat Kasepuhan yang memiliki kesejarahan yang panjang dan interaksi sosial budaya yang kuat dengan kawasan diperkenankan tetap berada di dalam kawasan dengan tetap mempertahankan aspek kelestarian hutan dan selanjutnya keberadaannya akan diperkuat dengan mendorong terbitnya peraturan daerah (PERDA) tentang masyarakat hukum adat. Kedua, tipologi masyarakat buruh perkebunan belanda diperkenankan berada di sekitar kawasan hutan sampai dengan izin usahanya habis. Ketiga, tipologi masyarakat PHBM eks perum perhutani diperkenankan berada di sekitar kawasan hingga periode tertentu, artinya setelah sosial ekonominya kuat dan tidak lagi bergantung pada kawasan TNGHS, mereka harus keluar dari kawasan, dan keempat, masyarakat pendatang dan free rider tidak diperkenankan masuk dan berada di dalam kawasan TNGHS (Presentasi Kepala Balai pada kuliah umum pada tanggal 28 Oktober 2008).
71
Kepala Balai TNGHS dalam bukunya Strategi Rekonstruksi Sosial dan konservasi (2007), menuliskan bahwa kebijakan yang akan diterapkan pada tipologi masyarakat adat dan masyarakat non adat yang telah hidup turun temurun di dalam kawasan adalah kebijakan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, dengan tiga strategi, yaitu: (1) penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan; (2) pemulihan kawasan bersama masyarakat; dan (3) pengembangan ekonomi masyarakat. Verifier 2: Implementasi Program Kerja untuk mewujudkan Kebijakan Kebijakan dan strategi menggalang hubungan yang harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam diimplementasikan dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lima Tahunan (RPTNL) serta dirincikan lagi dalam program kerja TNGHS. Strategi pertama, penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, pada RPTNL TNGHS 2007— 2011 dituangkan dalam program: (1) penetapan zonasi, dan sosialisasi RTRK serta regulasinya; dan (2) penyusunan, validasi dan penetapan regulasi zona. Program dalam RPTNL ini telah diimplementasikan dalam rencana kinerja tahunan (RKA-KL), dalam bentuk kegiatan penataan zonasi (penyusunan rencana zonasi dan regulasinya serta validasi/groundcheck zonasi) dan telah terlaksana pada tahun 2007 dan 2008 (LAKIP TNGHS tahun 2007 dan 2008). Ditargetkan pada tahun 2009, 2010 dan 2011 zonasi TNGHS telah ditetapkan dan rencana tata ruang kesepakatan disosialisasikan. Strategi kedua, pemulihan kawasan bersama masyarakat, pada RPTNL TNGHS 2007—2011 dituangkan dalam program pemulihan ekosistem secara berkelanjutan. Program ini telah diimplementasikan dalam bentuk kegiatan reahabilitasi/restorasi di areal terdegradasi bersama multipihak, dengan sumber pendanaan DIPA tahun 2007, pendanaan JICA, dan sebagian besar merupakan swadaya masyarakat. Kegiatan Restorasi/rehabilitasi di TNGHS sampai dengan tahun 2008 telah dilaksanakan di 12 lokasi di 3 Resort dengan total Areal yang telah direhabilitasi/restorasi seluas 20 ha di seksi wilayah Lebak, 29 ha di wilayah Bogor dan 171 ha di wilayah Sukabumi, dengan jenis puspa, huru, pasang, aren, rasamala, sungkai, dan Gemini (Laporan Tahunan BTNGHS tahun 2008).
72
Strategi ketiga, pengembangan ekonomi masyarakat, pada RPTNL TNGHS 2007—2011 dituangkan dalam program pengembangan kampung konservasi. Program ini diimplementasikan dalam RKAKL berupa kegiatan Model Kampung Konservasi (MKK), yaitu peningkatan pendapatan masyarakat kampung konservasi bersama pemerintah daerah dan lembaga lain. Pada DIPA tahun 2007, kegiatan MKK berupa peningkatan income generate berupa bantuan usaha ekonomi konstruksi di 9 desa di 3 wilayah seksi pengelolaan taman nasional. Insentif untuk pemberdayaan masyarakat dalam program MKK ini digalang TNGHS dengan program sistem dukungan untuk masyarakat hulu (SISDUK) yang pendanaannya bersumber dari mitra dan pemerintah daerah (70%) dan masyarakat (30%). SISDUK adalah bagian dari program MKK TNGHS. Pada tahun 2008 sebagai pilot project penyandang dana adalah JICA diberikan kepada 3 desa. Rencana tahun 2009 dan 2010 mendapat pendanaan dari pemkab Sukabumi melalui MoU No. 0660/PS.28.A-Huk/2007 dan No. 0888/IVT.13/KH/2007. Verifier 3: kesesuaian struktur organisasi Struktur organisasi taman nasional diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, yaitu terdiri atas Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Tipe A dan B, serta Struktur organisasi Balai Taman Nasional Tipe A dan B. Balai TNGHS termasuk Balai Taman Nasional dengan klasifikasi Tipe A yang di pimpin oleh 1 orang Kepala Balai Eselon III dan membawahi 4 Jabatan Eselon IV yaitu : Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala SPTN Wilayah I Lebak, Kepala SPTN Wilayah II Bogor, dan Kepala SPTN Wilayah III Sukabumi Struktur organisasi Balai TNGHS (Lihat di Lampiran 1) menunjukkan bahwa formasi jabatan yang tersedia dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya terdiri atas: (1) Pejabat struktural, (2) Pejabat non struktural, dan (3) Pejabat fungsional (PEH dan Polhut). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, taman nasional mempunyai tugas pokok melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan
73
ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Sedangkan dalam melaksanakan tugas pokoknya, Balai Taman Nasional menyelenggarakan fungsi : 1. Penataan zonasi, Penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan Taman Nasional; 2. Pengelolaan kawasan Taman Nasional; 3. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional; 4. Pengendalian kebakaran hutan; 5. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; 6. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 7. Kerjasama
pengembangan
konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya serta pengembangan kemitraan 8. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional 9. Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam 10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Struktur organisasi Balai TNGHS saat ini belum memadai untuk mengatasi seluruh permasalahan yang dihadapi (LAKIP Balai TNGHS 2008 2009). Perubahan struktur organisasi dibutuhkan untuk mewadahi peran para pihak (lembaga kemitraan) yang secara spesifik mampu menjalankan program yang direncanakan dalam RPTN 2007—2026, termasuk di bidang sosial budaya. Kebutuhan struktural Balai TNGHS antara lain Kepala Bagian Koordinasi, Kepala Bidang Perencanaan, dan Kepala Bidang Kerjasama dan Hubungan masyarakat. Verifier 4: prosedur Kerja/Standard Operational Procedure (SOP) Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI)-nya para staf Balai TNGHS dibekali dengan pedoman kerja berupa SOP (Standard Operasional Prosedur) atau prosedur tetap. SOP adalah standar pedoman kerja yang mendukung implementasi kebijakan. Sampai dengan penelitian dilaksanakan, Balai TNGHS telah memiliki 11 (sebelas) SOP, yaitu: (1) SOP kegiatan perlindungan hutan dan penanggulangan kebakaran hutan; (2) SOP penggunaan dan pengamanan senjata api; (3) SOP penggunaan alat komunikasi; (4) SOP patroli; (5) SOP izin memasuki kawasan taman nasional; (6) SOP izin
74
pengambilan atau penangkapan specimen tumbuhan dan satwaliar; (7) SOP pendakian; (8) SOP protokol dan pengelolaan data dan informasi; (9) SOP penyusunan rancangan dan laporan kegiatan; (10) SOP tata persuratan dinas; dan (11) SOP penggunaan dan pengembalian kendaraan dinas (Balai TNGHS 2008). Memperhatikan sejumlah SOP di atas, kiranya BTNGHS masih membutuhkan beberapa pedoman kerja (SOP) untuk memperkuat implementasi kebijakan dan strategi TNGHS dalam menggalang hubungan harmonis antara budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam, misalnya SOP
terkait
pemberdayaan masyarakat, SOP terkait penyelesaian konflik dengan masyarakat, SOP rehabilitasi/restorasi, dan SOP kerjasama antar lembaga. Indikator 8. Tersedianya tenaga professional di bidang sosial budaya Indikator ini mengandung pengertian bahwa Sistem manajemen di bidang sosial budaya akan berfungsi dengan baik apabila didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Verifier 1: jumlah staf pengelola yang menangani bidang sosial budaya Untuk memenuhi kebutuhan SDM profesional di bidang sosial budaya, diperlukan perencanaan dan analisis kebutuhan jabatan yang tepat. Sistem penentuan sumberdaya manusia di taman nasional belum mengacu kepada perencanaan dan analisis jabatan, namun hanya mendasarkan usulan pengelola taman nasional (Riyanto, 2005). Berdasarkan analisis terhadap tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) pegawai TNGHS pada masing-masing jabatan, disimpulkan bahwa staf pada kelompok jabatan fungsional (Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Polisi Kehutanan (POLHUT) dan Penyuluh kehutanan) mempunyai keterkaitan langsung dengan tugas-tugas di bidang sosial budaya. Namun, berdasarkan wawancara dengan Koordinator PEH dan Koordinator Polisi Kehutanan Balai TNGHS, tidak ada pejabat fungsional yang secara khusus ditunjuk langsung untuk menangani permasalahan sosial budaya melalui SK Kepala Balai, peran ini lebih banyak dijalankan oleh staf fungsional yang berada di resort-resort. Aspek sosial budaya sedikit banyak melekat pada uraian tugas pejabat fungsional.
Memperhatikan lampiran
Keputusan Menteri Pendayagunaan
75
Aparatur Negara No. 54/KEP/M.PAN/ 7/2003 tanggal 2 Juli 2003 tentang Jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka kreditnya, terdapat beberapa uraian tugas yang akan terkait dengan aspek sosial budaya, antara lain pembinaan daerah penyangga, pendidikan lingkungan, atraksi wisata/ecotourism, dan penataan zonasi. Kemudian diperkuat oleh uraian tugas POLHUT terkait penyuluhan dalam bidang perlindungan dan pengamanan dan pembinaan kelembagaan pengamanan hutan di tingkat komunitas. Sedangkan uraian tugas penyuluh kehutanan yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tanggal 3 Desember 2002 tentang Jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya, terkait dengan penyadartahuan dan pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan statistik BTNGHS tahun 2008, jumlah pejabat fungsional PEH, Polhut dan penyuluh sampai dengan akhir tahun 2008 berjumlah 64 orang, masing-masing 18 orang PEH, 45 orang POLHUT, dan 2 orang penyuluh. Seluruh staf fungsional ini didistribusikan di kantor balai (diperbantukan untuk pekerjaan non struktural) sebanyak 12 orang, Stasiun Penelitian Cikaniki 2 orang, dan sisanya sebanyak 50 orang tersebar pada 3 kantor seksi dan 14 resort. Jumlah pegawai fungsional pada masing-masing resort berkisar 2-3 orang, sementara kebutuhan Balai TNGHS untuk mengelola kawasan secara optimal, menurut analisis kebutuhan pegawai BTNGHS adalah minimal 5-6 staf di setiap resort.
Verifier 2: Latar belakang Pendidikan staf terkait dengan bidang sosial budaya Berdasarkan statistik BTNGHS tahun 2008, diketahui sebagian besar staf fungsional TNGHS yaitu sebanyak 50 orang (78%) berpendidikan SLTA, 2 orang sarjana muda (3%) dan sisanya 12 orang atau 19% berlatar belakang pendidikan sarjana, yaitu sarjana kehutanan, pertanian, hukum dan sains. Jika merujuk pada standar kompetensi staf pada kawasan konservasi yang dirumuskan ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation (ARCBC) tahun 2003, kualifikasi pendidikan staf TNGHS tergolong cukup memadai. ARCBC mensyaratkan pendidikan minimal untuk staf pada level 2 (setara untuk POLHUT, PEH,
76
Penyuluh) adalah SLTP dan SLTA. Sedangkan untuk level 3 (setara dengan Kepala Seksi) minimum berpendidikan SLTA dan Sarjana Muda (D3).
Verifier 3: Kesesuaian jenis pendidikan dan pelatihan di bidang sosial budaya yang diikuti oleh Staf Berdasarkan rumusan standar kompetensi bagi staf pada kawasan konservasi oleh ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation (ARCBC) pada tahun 2003, ditetapkan beberapa jenis keahlian umum dan khusus yang harus dimiliki staf pada setiap levelnya (Tabel 22). Tabel 22
Kompetensi pengelola dalam bidang sosial budaya berdasarkan rumusan standar kompetensi ARCBC (2003)
Jenis Keahlian
Keahlian Umum 1. Melakukan supervisi masyarakat berbasis sosial budaya dan pemanfaatan sumberdaya dan survey lapangan menggunakan teknikteknik dasar 2. Melakukan stakeholder analysis 3. Melakukan perencanaan dan supervisi dan fasilitasi kegiatan pengumpulan informasi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Keahlian Khusus 1. Melakukan Penilaian ethnografi dan warisan budaya dan Monitoring program 2. Mengembangkan penelitian sosial ekonomi budaya dan monitoring program 3. Mengembangkan metodologi survey sosial ekonomi budaya dan monitoring program 4. Melaksanakan analisis ekonomi
Petugas lapangan (PEH/ POLHUT/ Penyuluh)
Level Kepala Seksi/
Kepala Bidang Perlindungan
√
√ √
√ √
√ √
√ √ √ √
Untuk meningkatkan kompetensi staf dalam bidang sosial budaya, setiap tahun Balai TNGHS mengirimkan pegawai untuk mengikuti beragam pendidikan dan pelatihan, training dan sejenisnya, baik di dalam atau pun luar negeri. Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta
77
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Menurut Appleton et al (2003) kompetensi seseorang lebih ditentukan dan dibentuk oleh pembelajaran dan pelatihan yang dialaminya. Berdasarkan analisis dokumen statistik Balai TNGHS sampai dengan tahun 2008 terdapat sejumlah pendidikan dan pelatihan yang pernah diiukuti oleh staf Balai TNGHS dan beberapa diantaranya terkait dengan peningkatan kapasitas staf pada aspek pengelolaan sosial budaya masyarakat, seperti PRA/RRA, penyuluhan kehutanan, komunikasi, pendidikan lingkungan, pengembangan kelembagaan
masyarakat
sekitar
hutan
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Kesesuaian jenis-jenis pendidikan dan pelatihan yang diikuti staf BTNGHS dengan standar kompetensi yang dirumuskan ARCBC khususnya di bidang sosial budaya ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Kesesuaian jenis diklat staf BTNGHS dengan Kompetensi yang dibutuhkan di bidang sosial budaya No. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi kompetensi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Pengetahuan tentang kearifan tradisional, adat istiadat dan kepemimpinan masyarakat lokal Keterampilan dasar wawancara Pengumpulan dan pencatatan data Penyadartahuan gender dan kebudayaan Teknik Analisis Stakeholder Teknik dan Metodologi penelitian Teknik partisipasi (PRA/RRA) Teknik pengumpulan informasi dari masyarakat Teknik Komunikasi dan hubungan masyarakat Penyadartahuan terkait isu gender, kebudayaan dan sensitivitas etnis Statistika dan teknik penyajiannya Teknik dan pendekatan penelitian* Pengetahuan tahap lanjut tentang pembangunan sosial dan pedesaan* Ilmu ekonomi* Teknik analisis data* Jumlah
Pengetahuan Pernah diperoleh Staf TNGHS dari Diklat yang diikuti Ya Tidak √ √
-
√ √ √ -
√ √ √ √
√ -
√ √
√ -
√
6
8
Catatan: * Keahlian khusus pada level 4 (Kepala Seksi Pengelolaan TN)
Sumber: Dianalisis dari statistik BTNGHS 2008 dan wawancara
78
Tabel 23 menunjukkan, bahwa sebagian pengetahuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan keahlian staf di bidang sosial budaya belum terakomodir dalam berbagai jenis diklat yang pernah diikuti oleh staf TNGHS. Hal tersebut disebabkan masih sedikit jenis pendidikan dan pelatihan yang khusus terkait dengan bidang sosial budaya masyarakat lokal. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pilihan yang mungkin dilakukan oleh BTNGHS adalah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan secara mandiri khususnya terkait masalah sosial budaya atau mengusulkan penambahan sarjana di bidang sosial seperti sarjana Sosiologi dan Antropologi Budaya. Menurut Wiratno et al. (2004), disiplin ilmu antropologi, sosiologi, etnologi, agrologi, perencanaan rural dan lokal, fasilitator komunitas, organisator komunitas, spesialis komunikasi, dan psikologi dibutuhkan oleh taman nasional dalam menyusun perencanaan lintas disiplin di bidang sosial budaya/sosiologi konservasi berbasis komunitas. Verifier 4: Jumlah masyarakat setempat yang menjadi staf taman nasional Mekanisme perekrutan pegawai (PNS) taman nasional sepenuhnya menjadi wewenang Departemen Kehutanan, namun unit manajemen taman nasional dapat merekrut masyarakat setempat sebagai tenaga honor/kontrak/upah atau petugas lapangan. Menurut catatan dalam Laporan Bulanan Balai TNGHS tahun 2008, sampai dengan tahun 2008, Balai TNGHS memiliki 7 orang pegawai yang direkrut dari masyarakat setempat, namun bukan sebagai staf yang berstatus PNS, masing-masing 3 orang pegawai honor dan 4 orang pegawai upah atau kontrak. Alternatif pemberdayaan masyarakat lokal yang dilakukan Balai TNGHS adalah dengan merekrut dan membina sebanyak mungkin kader konservasi di setiap kampung. Sampai dengan bulan desember 2008, kader konservasi TNGHS berjumlah 131 orang. Berdasarkan kerangka pengembangan kelembagaan taman nasional (Institutional Development Framework/IDF) yang dirumuskan oleh Natural Resources Management Program, idealnya taman nasional memiliki staf lokal lebih dari 70% dan lebih dari 25% nya merupakan suku asli. Menurut pendapat MacKinnon (1993) sebaiknya penjaga taman nasional diambil dari penduduk setempat, karena ancaman terhadap keutuhan taman nasional sebagian besar datang dari luar. Penggunaan staf dari luar untuk mengawasi penduduk asli tidak
79
efektif, karena tidak akan cukup mempunyai kekuatan atau jasa baik penduduk untuk mengusir pelanggar dari luar. Verifier 5: Pengalaman menangani bidang sosial budaya Analisis laporan triwulan kepegawaian Balai TNGHS tahun 2009, menunjukkan bahwa rata-rata petugas lapangan (PEH dan POLHUT) yang bertugas di Resort mempunyai pengalaman kerja di atas 7 tahun, ini menunjukkan mereka cukup berpengalaman di bidang sosial budaya. Petugas lapangan ini bahkan telah mendampingi pemberdayaan masyarakat sejak Balai TNGHS belum mengalami perluasan dan saat itu masih bernama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) pada tahun 1997. Sebagian besar masyarakat Kasepuhan Ciptagelar (82% responden) mengenal petugas TNGHS karena kerap melakukan kegiatan bersama seperti pengembangan
usaha
ekonomi
masyarakat,
PAM
swakarsa,
patroli,
rehabilitasi/restorasi, dan fasilitasi Model Kampung Konservasi (MKK) sebagai Field Officer (FO). Namun umumnya tidak mengetahui dengan pasti tugas staf TNGHS di lapangan. Verifier 6: kemampuan staf dalam berkomunikasi dengan masyarakat Komunikasi merupakan aspek terpenting dalam aktivitas manajerial. Tanpa komunikasi yang baik, lingkungan organisasi menjadi beku dan statis dan dengan pihak luar akan terpencil. Menurut Lewis (1987), komunikasi merupakan pertukaran pesan yang menghasilkan derajat kesamaan makna antara si pengirim dan si penerima. Jadi seseorang akan merubah sikap pendapatnya atau perilaku orang lain apabila komunikasinya memang komunikatif dengan syarat keduanya mengerti bahasa yang digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Untuk memverifikasi kemampuan petugas Balai TNGHS dalam berkomunikasi dengan masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah dengan melihat pemahaman masyarakat terhadap pesan atau makna yang disampaikan oleh petugas TNGHS ketika menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat. Sebanyak 68% responden menyatakan mengerti pesan yang disampaikan petugas TNGHS 17% responden tidak mengerti dan 15% menyatakan tidak tau. Menurut
80
responden, 78% petugas TNGHS menggunakan bahasa daerah setempat ketika berkomunikasi dengan masyarakat, 17% menggunakan campuran bahasa daerah dan bahasa Indonesia, sedangkan sisanya 5% petugas TNGHS berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Hasil tersebut dapat dimaklumi, mengingat sebagian besar (90%) petugas TNGHS, berdasarkan analisis dokumen laporan triwulan kepegawaian 2009, berasal dari Propinsi Jawa Barat dan sekitarnya, sehingga dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah setempat.
Indikator 9: Tersedianya Alokasi Dana untuk Menangani Permasalahan Sosbud Verifier 1. Kompensasi yang terkait dengan masalah-masalah sosial budaya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pada pasal 68 ayat 3 menegaskan bahwa masyarakat sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya, kompensasi ini diwujudkan unit pengelola taman nasional dalam bentuk bantuan ekonomi pembinaan daerah penyangga. Secara rutin dianggarkan dana pemberdayaan masyarakat berupa bantuan usaha ekonomi untuk pembinaan daerah penyangga dan program MKK. sejak tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun 2007 telah diberikan bantuan kepada 34 kampung di 3 seksi wilayah Banten, Bogor dan Sukabumi. Untuk mengidentifikasi Kebutuhan pendanaan BTNGHS di bidang sosial budaya, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengacu pada kebutuhan biaya untuk mengimplementasikan kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi 4 tipologi masyarakat di dalam dan sekitar TNGHS, yaitu: (1) kebijakan konservasi dan membangun kesejahteraan masyarakat; dan (2) kebijakan meminimisasi kesempatan perilaku free riding. Kebijakan pertama dapat diturunkan menjadi 3 strategi: pertama, penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan; kedua, pemulihan kawasan bersama masyarakat; dan ketiga, pengembangan ekonomi masyarakat. Sementara, kebijakan kedua diturunkan dengan 3 strategi, yaitu: pertama, peningkatan kapasitas masyarakat; kedua, aksi kolektif menolak free rider; dan ketiga, penyelesaian konflik. Mengutip tulisan
81
Kepala Balai TNGHS, Bambang Supriyanto, dan Willy Ekariyono (2007), untuk mengimplementasikan kebijakan dan strategi tersebut selama 5 tahun (2007-2011) diproyeksikan dana sebesar 9,415 milyar (Tabel 24) atau kurang lebih 1,88 Milyar per tahunnya. Tabel 24 Prediksi kebutuhan biaya pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGHS (2007—2011) No.
Strategi/kegiatan
I.
Kebijakan membangun ksejahteraan masyarakat Strategi penyelesaian konflik (Rencana Tata Ruang Kesepakatan) dan penguatan kelembagaan 1.1 Rencana tata ruang kesepakatan - Penetapan zona untuk tujuan sosial budaya 1.2 Pemanfaatan ruang - Penyusunan, validasi dan penetapan regulasi zona untuk tujuan sosial budaya yang didukung para pihak - Sosialisasi RTRK dan regulasinya yang didukung para pihak Strategi pemulihan kawasan bersama masyarakat Strategi pengembangan ekonomi masyarakat
1
2. 3. II. 1. 2.
Kebijakan minimisasi prilaku free riding Strategi peningkatan kapasitas masyarakat Strategi aksi kolektif menolak free rider
Sumber dana
Unit
Jumlah Dana
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
100 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
100 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
200 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort 3 Seksi, 14 Resort
1,875 milyar
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort 3 Seksi, 14 Resort
920 juta
Jumlah total
5,8 milyar
420 juta 9,415 Milyar
Kebutuhan rata-rata per tahun
1,88 Milyar
Sumber: Dimodifikasi dari Supriyanto dan Ekariyono (2007) Untuk membandingkan prediksi kebutuhan anggaran/tahun di bidang sosial budaya tersebut dengan ketersediaannya pada Balai TNGHS, penelitian ini akan menganalisis alokasi anggaran yang bersumber dari DIPA 29 pada tahun anggaran 2008 sebesar Rp 7.859.434.000,-.
Berdasarkan struktur pendanaan
BTNGHS yang berasal dari DIPA 29 tahun anggaran 2008, alokasi pendanaan
82
terbesar ada pada pos gaji, operasional perkantoran, pengadaan sarana prasarana, dan perencanaan program yang mencapai Rp 4.403.299.000,- (56,03%), pengamanan kawasan hutan Rp 1.140.000.000,- (14,5%), pengelolaan taman nasional model Rp 1.747.140.000,- (22,22%), pengendalian kebakaran hutan Rp 241.300.000,- (3,07%), pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya Rp 219.000.000,- (2,79%), dan pengembangan jasa lingkungan dan pariwisata alam Rp 108.695.000,- (1,38%). Dengan
mengikuti
kerangka
prediksi
alokasi
dana
sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 24, teridentifikasi alokasi anggaran untuk mengatasi permasalahan sosial budaya TNGHS sebesar Rp 834.075.000,-. Angka ini dialokasikan pada kegiatan
pemberdayaan masyarakat, penataan zonasi,
pengembangan pemanfaatan wisata alam, penyuluhan/pendidikan lingkungan dan pengamanan hutan bersama masyarakat (PAMHUT Swakarsa, pembinaan PAMHUT Swakarsa, patroli bersama masyarakat, survey partisipatif). Ini berarti BTNGHS hanya mampu memenuhi 44,37% saja dari kebutuhan anggaran 1,88 Milyar per tahunnya untuk mengatasi permasalahan di bidang sosial budaya. Verifier 2. Alokasi dana untuk mempertahankan nilai warisan budaya Balai
TNGHS
tidak
pernah
mengalokasikan
anggaran
untuk
mempertahankan nilai warisan budaya, meskipun zonasi mengakomodir pemanfaatan untuk kegiatan religi, penyelenggaraan upacara adat, dan pemeliharaan situs, budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada, mengingat peran ini secara lintas generasi telah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat adat atau pun atas fasilitasi pemerintah daerah melalui kebijakan pengembangan pelestarian kebudayaan daerah/cagar budaya, termasuk yang berada di dalam dan sekitar TNGHS. Contohnya Situs Cibedug ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan pengelolaannya diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Lebak berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 101 tahun 2001 dan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J /1986.
83
5.2 Penilaian Indikator Aktual Berdasarkan hasil pengukuran verifier pada setiap indikator dapat disimpulkan Nilai Indikator Aktual untuk setiap indikator (Tabel 25). Tabel 25 menunjukkan bahwa satu indikator mempunyai Nilai Indikator Aktual (NIA) baik, yaitu indikator zonasi telah mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual. Empat indikator lainnya mempunyai NIA sedang, yaitu: (1) indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (2) indikator tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dan taman nasional, (3) indikator tersedianya tenaga professional di bidang sosial budaya dan (4) indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan di bidang sosial budaya. Tabel 25 Nilai Indikator Aktual setiap indikator pada prinsip kelestarian sosial budaya Indikator
Norma
Indikator 1
zonasi taman nasional agak sangat mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi. Unit manajemen taman nasional agak mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP agak sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang agak sesuai. untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang agak memadai
Indikator 2 Indikator 3 Indikator 4 Indikator 5 Indikator 6
Indikator 7
Indikator 8 Indikator 9
Nilai Indikator Aktual Baik
Tidak dinilai Tidak dinilai Tidak dinilai Tidak dinilai Sedang
Sedang
Sedang Sedang
Tabel 25 juga menunjukkan bahwa terdapat empat indikator yang tidak dinilai yaitu indikator 2, 3, 4 dan 5, yaitu masing-masing indikator terkendalinya konflik
penggunaan
kawasan
untuk
kegiatan
budaya/ritual,
indikator
terlindunginya ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, indikator terlindunginya ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan
84
kelembagaan lokal dan indikator terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal. Indikator-indikator tersebut tidak dinilai karena berdasarkan pengujian di lapangan ditemui fakta adanya penggunaan istilah yang tidak tepat, kesulitan dalam menyimpulkan norma, dan ketersediaan data pengelolaan yang belum mampu memenuhi kebutuhan data untuk melakukan penilaian kinerja. 5.3 Validitas Indikator Validitas menunjukkan sejauhmana suatu alat atau metode dapat mengukur apa yang ingin diukurnya (Singarimbun dan Efendi 1989; Sugiyono 2009). Validitas setiap indikator yang dirumuskan pada standar pengelolaan taman nasional dalam penelitian ini dikonstruksikan berdasarkan empat kategori kesesuaian yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, yaitu kategori pertama: indikator dapat digunakan sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan dan mencerminkan hubungan; kategori kedua: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan namun tidak mencerminkan hubungan; kategori ketiga: indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya namun mencerminkan hubungan; dan kategori keempat, indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya dan tidak mencerminkan hubungan. Berdasarkan hasil pengukuran dan penilaian terhadap 9 indikator kinerja kelestarian fungsi sosial budaya TNGHS (Tabel 26), disimpulkan bahwa sebanyak 8 indikator dapat dinyatakan valid karena masuk pada kategori pertama (sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan dan mencerminkan hubungan dengan kriteria) dan hanya 1 indikator yang tidak valid karena masuk pada kategori ketiga (tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan meskipun mencerminkan hubungan dengan kriteria). Delapan indikator yang valid tersebut masing-masing yaitu: (1) zonasi telah
mengakomodasikan
akses
masyarakat
untuk
melakukan
kegiatan
budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (3) terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (4) terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan
85
hukum adat dan kelembagaan lokal, (5) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (6) Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (7) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya, dan (8) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya. Adapun satu indikator yang disimpulkan tidak valid, yaitu indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan dinyatakan tidak valid karena tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan akibat penggunaan istilah yang tidak tepat. Kemudian diketahui pula adanya inkonsistensi penggunaan istilah. Indikator memakai istilah penggunaan kawasan, sedangkan verifiernya memakai istilah penggunaan ruang dan pengertian indikator menggunakan istilah pemanfaatan kawasan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 Pasal 1 ayat 18, penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan diluar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2006 Pasal 1 ayat 5, pemanfaatan kawasan didefinisikan sebagai kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Di sisi lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/2006 menggunakan istilah pemanfaatan ruang dan bukan penggunaan ruang sebagaimana disebutkan dalam verifier. Penggunaan kawasan hutan menurut pasal 38 ayat 1 dan 2 UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 72 ayat 2 UU No. 34 tahun 2002 hanya dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi (tidak termasuk taman nasional) sehingga tidak tepat digunakan. Pemanfaatan kawasan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional (PP No. 6 tahun 2007 pasal 18). Pemanfaatan ruang adalah istilah yang paling tepat digunakan dalam indikator ini dan konsisten dengan indikator pertama dalam konteks zonasi.
Ketidaktepatan penggunaan istilah akan memberikan
implikasi yang berbeda terhadap jenis konflik dan skala intensitas konflik dalam kegiatan budaya/ritual.
86
Tabel 26
Validitas setiap indikator berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi obyektif TNGHS
Indikator
Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui pemanfaatan kelembagaan adat Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui pemanfaatan kelembagaan adat Terlindunginya spesiesspesies penting melalui pemanfaatan kelembagaan adat Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Analisis validitas Indikator Sesuai kondisi obyektif Mendi TNGHS cerminkan hubungan Ya Tidak Ya Tidak Ada Situs/benda/ √ ruang di TNGHS untuk kegiatan ritual/budaya
-
Ada kelembagaan adat (aturan adat, hukum adat dan organisasi adat) Ekosistem unik diduga ada, namun pengelola tidak dapat menunjukkan keberadaannya Ada kelembagaan adat (aturan adat, hukum adat dan organisasi adat) Ada kearifan tradisional masyarakat Kasepuhan TNGHS memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP) Ada staf dengan tugas terkait dengan permasalahan sosial budaya Ada alokasi anggaran yang terkait dengan permasalahan sosial budaya)
KeSimpulan
Indikator Valid
√
-
-
√
-
-
√
-
Indikator valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
Penggunaan istilah tidak tepat
Indikator tidak valid untuk digunakan Indikator Valid
5.4 Capaian Kinerja Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan kinerja bertujuan untuk mendapatkan efek perubahan positif dalam budaya, proses dan sistem organisasi. Pengelolaan kinerja menyediakan
87
kerangka untuk: (1) menolong manajer menetapkan kebersetujuan dalam menilai kinerja pencapaian tujuan, (2) membuat alokasi dan prioritas sumberdaya yang dimiliki, (3) memberikan keterangan yang diperlukan bagi manajer mengenai kebutuhan akan perlunya perubahan dalam kebijakan atau arah program yang sesuai dengan tujuan dan (4) mendistribusikan hasil penilaian kinerja dalam mencapai tujuan. Pengukuran atau penilaian kinerja pengelolaan taman nasional adalah proses penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, termasuk informasi mengenai efisiensi sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan barang/jasa, kualitas output yang dihasilkan, outcomes, dan efektifitas pelaksanaan dalam arti besar kontribusi setiap kegiatan terhadap hasil tujuan yang tercapai (Ditjen PHKA 2004). Rivai dan Basri (2005) mendefinisikan kinerja sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja juga berarti serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut (Wibowo 2007). Pengukuran capaian kinerja setiap indikator kelestarian fungsi sosial budaya dilakukan untuk mengetahui apakah setiap indikator telah memenuhi standar minimal kinerjanya dengan membandingkan antara Nilai Indikator Aktual dan Nilai Baku Minimumnya sebagaimana terlihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27 diketahui bahwa lima indikator pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan telah memenuhi Nilai Baku Minimumnya dengan kata lain telah mencapai standar minimal kinerjanya, yaitu: (1) zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (3) tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (4) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya dan (5) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya.
88
Empat indikator lainnya tidak diketahui capaian kinerjanya karena tidak dinilai, yaitu: (1) Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual indikator, (2) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal,
(3) indikator terlindunginya
spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal dan (4) Indikator terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal. Tabel 27 Capaian Kinerja indikator pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan (Tipologi D) No Indikator
Nilai Indikator Aktual
Nilai Baku Minimu m*
1
Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual
Baik
Baik
Standar minimal kinerja terpenuhi (ya/tidak) Ya
2
Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual
Tidak dinilai
Baik
-
3
Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
4
Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
5
Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
6
Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Sedang
Sedang
Ya
7
Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN
Sedang
Sedang
Ya
8
Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya
Sedang
Sedang
Ya
9
Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Sedang
Sedang
Ya
Keterangan: *Nilai Baku Minimum diadaptasi dari Laporan Analisa Standar Minimal Pengelolaan Kawasan Konservasi (Ditjen PHKA, 2004).
89
BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN
Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat sosial maupun budaya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan serta tatanan pranata sosial yang diterima dan berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat (Ditjen PHKA 2004). Pada praktiknya di lapangan, masih ditemui kesulitan dalam penerapan standar pengelolaan. Berdasarkan hasil pengujian di lapangan diketahui bahwa kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena kelemahan alat, namun juga disebabkan oleh ketidakmampuan unit manajemen dalam memenuhi kebutuhan data yang diperlukan untuk penilaian kinerja. Hasil pengujian standar pengelolaan taman nasional setidaknya memberi implikasi pada dua hal, yaitu perbaikan rumusan standar pengelolaan dan perbaikan kinerja pengelolaan TNGHS. 6.1 Implikasi bagi perbaikan rumusan standar pengelolaan Standar pengelolaan taman nasional yang dirumuskan Ditjen PHKA dan IPB pada praktiknya masih memerlukan penyempurnaan karena masih dijumpai beberapa indikator yang sulit untuk diukur dan dinilai. Beberapa kelemahan standar pengelolaan yang dapat diidentifikasi berdasarkan hasil pengujian di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Masih ada inkonsistensi istilah antara indikator, verifier dan pengertiannya pada indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual (merujuk pada UU No. 41/1999, PP No. 34/2002, PP No. 6/2007 dan Permenhut No. 56/2006). Kesalahan dalam pemilihan istilah berpotensi menyebabkan kesalahan dalam menilai indikator (Leverington et al. 2008). 2. Terdapat bias dalam penilaian indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. Indikator ini pada kenyataan di lapangan sulit untuk dinilai secara obyektif karena: pertama, ada sistem nilai yang bertolak belakang antara pengelola dan masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Nilai didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1992) sebagai konsepsi mengenai apa yang bernilai bagi kelompok masyarakat tertentu. Bagi
90
masyarakat Kasepuhan, hutan dipandang milik bersama (common goods) dimana semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses sumberdaya alam seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Di sisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan (property right). Kedua, belum ada kaidah yang baku untuk melakukan penilaian kinerja taman nasional dalam mengakomodasi berkembangnya kearifan lokal, selain merujuk pada peraturan perundangan formal. 3. Indikator terlindunginya ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal sulit untuk dinilai karena pada kenyataannya pemanfaatan kelembagaan adat tidak selalu berkorelasi dengan kelestarian ekosistem alam. Meskipun kelembagaan adat berperan besar dalam pelestarian ekosistem alam, namun menurut Owen et al. (2002) harus diakui juga bahwa pada kenyataannya tidak semua masyarakat lokal/adat handal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya.
Kasus Kasepuhan Ciptagelar
menunjukkan bahwa sebagian aturan adat justru tidak bersesuaian dengan aturan umum yang berlaku dan turut berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem alam. Contohnya aturan adat memperbolehkan membuka hutan titipan (leuweung titipan) yang notabene berada di dalam kawasan TNGHS untuk pemukiman dan lahan garapan jika sesepuh girang mendapatkan wangsit/ilapat dari leluhur (karuhun) untuk melakukan perpindahan Kampung Gede. Asep (2000) menduga bahwa perpindahan ini didasari atas tujuan untuk mengurangi tekanan populasi, menciptakan pola persebaran penduduk yang merata dan mendukung terpeliharanya keutuhan wilayah serta meningkatkan integritas dan loyalitas karena adanya pemerataan akses masyarakat terhadap pemimpinnya. 4. Belum ada definisi operasional yang jelas dan baku terhadap beberapa istilah teknis sehingga objek dapat diinterpretasi secara berbeda, misalnya obyek ekosistem unik dan obyek spesies penting. Menurut Leverington et al. (2008) salah satu syarat dari indikator yang baik adalah dipersepsikan sama sehingga tidak menyebabkan kesalahan interpretasi (Precise).
91
Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, direkomendasikan beberapa perbaikan sebagai berikut: 1. Penyesuaian indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual menjadi ―Terkendalinya konflik pemanfaatan ruang di dalam kawasan untuk kegiatan ritual budaya‖. Istilah penggunaan kawasan hutan menurut pasal 38 ayat 1 dan 2 UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 72 ayat 2 UU No. 34 tahun 2002 hanya dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi (tidak termasuk TN). Pemanfaatan ruang adalah istilah yang lebih tepat digunakan karena konsisten dengan indikator pertama terkait zonasi. 2. Pendeskripsian norma dengan skala yang lebih terukur untuk indikator yang memiliki parameter kuantitatif. Pendeskripsian secara kuantitatif akan memudahkan penilaian terhadap indikator. Pada penelitian ini salah satu indikator yang dapat dikuantifikasi adalah indikator tersedianya alokasi anggaran untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Pada indikator ini dapat digunakan sistem rating 0%-100%, yaitu ketersediaan alokasi anggaran 0% untuk skala intensitas jelek sekali; 25% jelek; 50% sedang; 75% baik dan 100% baik sekali. Sistem rating ini salah satunya diterapkan pada metode CAPAS Scorecard Evaluation (Corrales, 2004). 3. Penyesuaian verifier pada indikator sebagai berikut: a. Penambahan verifier ada/tidak proses konsultasi dan pelibatan masyarakat dalam penetapan taman nasional pada indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Verifier ini penting mengingat akar konflik antara masyarakat dan taman nasional adalah proses penetapan taman nasional yang top down dan hampir tidak pernah dikomunikasikan dengan masyarakat sehingga legitimasi taman nasional di secara de facto sangat lemah. Contohnya kebijakan perluasan TNGHS tahun 2003 melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/KptsII/2003 tanggal 10 Juni 2003. Menguatnya pengakuan internasional atas keberadaan masyarakat lokal/adat hendaknya menjadi pertimbangan penting agar kebijakan penetapan taman nasional tidak kontraproduktif dengan kecenderungan global. Salah satu hak masyarakat adat yang terus digaungkan oleh Forest People Programmes (2006) adalah tentang free,
92
prior, informad, Consent (FPIC), yaitu hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek investasi dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain hak masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka. b. Menambahkan verifier ―ada/tidak dokumentasi pemanfaatan tradisional oleh masyarakat dalam pemanfaatan SDA yang arif‖ pada indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. c. Menambahkan verifier ada/tidak dukungan pendanaan dari para pihak untuk menangani permasalahan sosial budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. d. Meniadakan verifier alokasi dana untuk perlindungan dan pemeliharaan situs/benda warisan budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Pada kenyataannya struktur anggaran Kementrian Kehutanan (DIPA 29 dan DIPA 69) tidak mengalokasikan pos anggaran terkait dengan hal tersebut dan selama ini masyarakat secara mandiri telah melakukan perlindungan dan pemeliharaan terhadap situs/benda warisan budaya. Selain itu, beberapa situs/benda warisan budaya di dalam dan sekitar TNGHS telah dikelola oleh pemerintah kabupaten karena ditetapkan sebagai cagar budaya. 6.2 Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak A. Intensitas Pengelolaan dan Sistem Pengelolaan Data Penilaian kinerja membutuhkan data dan ketersediaan informasi yang memadai karena menjadi landasan untuk melakukan penilaian terhadap hasil dan capaian pengelolaan taman nasional sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (MacKinnon 1990). Idealnya setiap taman nasional mampu menyediakan kebutuhan data dan informasi pengelolaan pada semua prinsip, namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Bahkan menurut Hockings at al. (2000), banyak negara tidak memiliki sumber informasi terpusat dalam pengelola kawasan konservasi
93
sehingga mengalami kesulitan dalam mengukur dan menilai keefektifan pengelolaannya. Berdasarkan pengujian di lapangan diketahui bahwa unit manajemen TNGHS belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan data untuk penilaian kinerja pengelolaan, seperti dokumentasi keberadaan ekosistem unik, data series dugaan populasi spesies penting yang memadai dan mekanisme untuk melakukan verifikasi kearifan lokal yang teruji. Ketidakmampuan menyediakan data secara memadai ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) kegiatan tidak pernah direncanakan dan diprogramkan, (2) intensitas kegiatan masih rendah terutama pada pengelolaan populasi spesies penting dan habitatnya dan (3) data pengelolaan tersedia namun masih terserak pada tingkat resort, seksi dan balai. Data-data ini belum terintegrasi dalam pangkalan data (database) di tingkat balai. Jika standar pengelolaan ini diterapkan sebagai standar penilaian kinerja yang baku, maka implikasinya pengelola taman nasional adalah sebagai berikut: (1) mengakomodasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang dipersyaratkan dalam standar kinerja pengelolaan taman nasional yang belum pernah dilakukan taman nasional, misalnya identifikasi ekosistem unik dan pengujian pemanfaatan tradisional SDA oleh masyarakat adat, (2) meningkatkan intensitas kegiatan teknis di lapangan khususnya dalam pengelolaan spesies penting dan habitatnya, memperbaiki metode monitoring dan memperbanyak plot-plot pengamatan untuk spesies-spesies penting, dan (3) melakukan pembenahan pada sistem pangkalan data yaitu dengan mengintegrasikan seluruh data hasil kegiatan teknis di lapangan yang masih terserak di tingkat resort, seksi dan balai, khususnya data hasil kegiatan monitoring spesies, data gangguan kawasan dan data penelitian agar menjadi database pada tingkat Kantor Balai. B. Adaptasi Kebijakan Pengelolaan di Bidang Sosial Budaya Adaptasi pengelolaan diartikan sebagai upaya perbaikan kebijakan yang dilakukan secara terus menerus berdasarkan pengalaman terbaik di lapangan (Stankey et al. 2005). Adaptasi kebijakan di bidang sosial budaya dilakukan dengan melakukan perbaikan pada level manajemen dan level operasional yang lebih kontekstual dengan kondisi sosial budaya lokal.
94
Adaptasi
pada
level
manajemen
dilakukan
melalui:
pertama,
pengembangan struktur organisasi yang mampu mengatasi permasalahan sosial budaya. Jika memungkinkan ada penambahan struktur tersendiri dalam organisasi taman nasional yang fokus menangani permasalahan sosial budaya, sehingga kebijakan taman nasional di bidang sosial budaya dapat dijalankan oleh staf yang kompeten dibidangnya, menjadi rutinitas organisasi dan jelas mekanisme monitoring dan evaluasinya. kedua, peningkatan kompetensi staf di bidang sosial budaya. Merujuk pada Standar Kompetensi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Asia Tenggara yang disusun oleh Appleton et al. (2003) dari ARCBC, sebagian pengetahuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan keahlian staf di bidang sosial budaya belum terakomodir dalam berbagai jenis diklat yang pernah diikuti oleh staf TNGHS. Ini berarti perlunya terobosan dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan atau pengelola taman nasional untuk mengidentifikasi dan menyelenggarakan diklat yang terkait dengan bidang sosiologi dan antropologi budaya. Pada level operasional, penting dilakukan adaptasi terhadap perbedaan nilai (aturan main) dalam pemanfaatan SDA antara masyarakat dan pengelola taman nasional. Perbedaan sistem nilai ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, namun harus terus diantisipasi, misalnya melalui berbagai inisiatif penyusunan kesepakatan konservasi dengan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA sebagaimana yang pernah dilakukan oleh BTNGHS dengan masyarakat Sukagalih dalam pemanfaatan lahan garapan di zona pemanfaatan khusus tradisional. Khusus untuk masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, tidak tertutup kemungkinan untuk diberikan hak kelola hutan adat dengan catatan Kasepuhan tidak lagi melakukan tradisi perpindahan Kampung Gede dengan dalih wangsit. Hal ini mengingat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih memenuhi unsurunsur masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 pada penjelasan pasal 67 ayat 1, yaitu: (1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, (3) ada wilayah hukum adat yang jelas, (4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati dan (5) masih
95
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk mendapatkan hak kelola hutan adatnya, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar terlebih dahulu harus memperoleh pengakuan melalui Peraturan Daerah (Perda) sebagai masyarakat hukum adat. Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait (Penjelasan pasal 67 ayat 2 UU No. 41 tahun 1999).
96
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 1. Nilai indikator aktual kinerja pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan bernilai baik pada satu indikator dan sedang pada empat indikator. Empat indikator sisanya tidak dinilai karena masih ditemui penggunaan istilah yang tidak tepat, kesulitan dalam menyimpulkan norma dan keterbatasan data pengelolaan. 2. Delapan dari sembilan indikator (90%) yang diujicobakan valid karena sesuai dengan kondisi objektifnya dan mencerminkan hubungan dengan kriteria. 3. Berdasarkan rumusan standar pengelolaan taman nasional, capaian kinerja indikator-indikator pengelolaan taman nasional Gunung Halimun Salak pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya yang dapat dinilai telah memenuhi standar minimal kinerjanya. 4. Rumusan standar pengelolaan taman nasional masih harus disempurnakan karena pada kenyataannya di lapangan masih ada ditemukan kesulitan dalam pengukuran verifier dan penilaian indikator. Kesulitan tersebut disebabkan inkonsitensi dalam penggunaan istilah, ketiadaan definisi operasional, deskripsi norma (baku mutu) masih lemah secara operasional dan masih ada verifier yang kurang sesuai dengan kondisi obyektifnya. Kesulitan penilaian juga disebabkan oleh unit manajemen yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan data pengelolaan untuk penilaian kinerja khususnya pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya.
7.2 Saran Mengingat rumusan standar pengelolaan taman nasional bersifat umum untuk semua taman nasional di Indonesia, sebaiknya dilakukan pengujian serupa pada sejumlah taman nasional lain dengan karakteristik yang berbeda khususnya
97
taman nasional dengan ekosistem lautan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk merekomendasikan hal-hal yang bersifat khusus, misalnya pertimbangan untuk penyusunan standar pengelolaan berdasarkan beberapa tipologi taman nasional.
98
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja K. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung. Penerbit Tarsito. Adiwibowo S, Sunito S, Savitri LA, Shohibuddin, Sjaf S, Purwandari H, Doni, Yusuf M. 2008. Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. Sajogyo Institute dan Gunung Halimun-Salak National Park Management Project JICA. Bogor Appleton MR, Texon GI and Uriarte MT. 2003. Competence Standards for Protected Area Jobs in South East Asia. ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation, Los Baños, Philippines. 104pp. Asep. 2000. Kesatuan Adat Banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Thesis Pascasarjana. Bogor: IPB. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2008a. Buku Standar Operating Prosedur/SOP/Prosedur Tetap Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2008b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2007—2026. Draft Akademik. Kabandungan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2008c. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2007—2026. Kabandungan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2008d. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2007—2011. Kabandungan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2009a. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2008. Kabandungan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2009b. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2008. Kabandungan. Sukabumi. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2009c. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun 2008. Kabandungan. Sukabumi.
99
Corrales L. 2004. Manual for Rapid Evaluation of Management Effectiveness in Marine Protected Areas. PROARCA, USAID, TNC, Guatemala. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. [Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2007. Jakarta. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2004. Analisa Standar Minimal Pengelolaan Kawasan Konservasi. Laporan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Faisal S. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Jakarta. Forest Peoples Programme. 2006. Free, Prior and Informed Consent. A Field Guide for Activists. Working Draft. England. Fuad HF dan Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Pustaka Latin. GHSNP-MP JICA. 2006. Survey Kampung di wilayah SKW I Lebak, SKW II Bogor, dan SKW III Sukabumi. GHSNP-MP JICA. Bogor. Harmita D. 2009. Model Kampung Konservasi (MKK): Saling Percaya dan Menghargai Persfektif yang Berbeda. Gunung Halimun Salak National park Manajemen Project-JICA. Kabandungan. Harsono B. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan kesepuluh. Jakarta: Djambatan.
100
Hockings M, Stolton S, Leverington F, Dudley N and Courrau J. 2006. Evaluating Effectiveness: A Framework for Assessing Management Effectiveness of Protected Areas. 2nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Hockings M, Stolton S, and Dudley N. 2000. Assessing Effectiveness: a Framework for Assessing Management Effectiveness of Protected Areas. Switzerland: IUCN. Ihsan IM. 2009. Etika Lingkungan Masyarakat Adat Kasepuhan di Dalam Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Inspirasi Taoisme. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Indrawan M, Primack RC, dan Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 625 hlm. Iskandar E, 2007. Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khalil B. 2009. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kodir. 2009. Keanekaragaman dan Bioprospek Jenis Tanaman dalam Sistem Kebun Talun di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasi. Koentjaraningrat. 1992. Bunga Rampai Kebudayaan, Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mentalitas
dan
Leverington F, Hocking M, Pavese H, Costa KL, Courrau J. 2008. Management Effectiveness Evaluation in Protected Areas-A Global Study. University of Queensland, Gatton, TNC, WWF, IUCN-WCPA. Australia. MacKinnon JK, Child G, Thorsell J. 1990. Managing of Protected Areas in The Tropics. Hari Harsono Amir, penerjemah: Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nijman V. 2006. In-situ and ex-situ status of Java Gibbon and The Role of Zoos in Conservation of The Species. Contributions to Zoology 75 (3/4): 161— 168. North and Douglas C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. New York. USA.
101
Nugraheni E dan winata A. 2002. Kearifan Tradisional Masyarakat Kasepuhan Halimun Ditinjau Dari Aspek Kelestarian Lingkungan. Laporan Penelitian. Pusat Studi Indonesia. Lembaga Penelitian-Universitas Terbuka. Jakarta. Nurjanah A. 2006. Studi Landskap Budaya Kampung Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi dan Upaya Pelestariannya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Owen J, Lynch and Harwell EY. 2002. Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik. Menuju Sebuah Paradigma Baru Bagi Keadilan Lingkungan Hidup dan Kepentingan Nasional di Indonesia. Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. Prabhu R, Colfer C and Dudley R. 1999. Guidelines for Developing, Testing, and Selecting Criteria and Indicators for Sustainable Forest Management. CIFOR. Prasetyo LB dan Setiawan Y. 2006. Land Use dan Land Cover Change Gunung Halimun-Salak National Park 1989-2004. JICA and Ministry of Forestry Indonesia: Management Plan Project. Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata Untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Halimun Salak. Disertasi Pasca Sarjana IPB. Bogor. Peluso NL. (2003). A Theory of Access. Rural Sociology Society Volume 68 hal. 153-181 Rinaldi D. 2003. The Study of Java Gibbon (Hylobates moloch Audebert) in Gunung Halimun Salak National Park (Distribution, Population and Behavior). Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia. XI. 30-48. Rivai V dan Basri AFM. 2005. Performance appraisal: Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor. Schlager and Ostrom. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics: 249-262.
102
Singarimbun M. dan Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES. Soedjito H. 2007. Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Laporan Lokakarya. Komite Nasional MAB Indonesia–LIPI. Jakarta. Stankey GH, Clark RN, Bormann BT. 2005. Adaptive management of natural resources: theory, concepts, and management institu-tions. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-654. Portland, OR: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. Stern MJ. 2006. Measuring Conservation Effectiveness in The Marine Environment. A Report for Review of Evaluation Techniques and Recommendations for Moving Forward. The Nature Conservancy. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfa Beta Bandung. Supriyanto B dan Ekariyono W. 2007. Lima Strategi Rekonstruksi Sosial dan Konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Bogor. Tim K & I CIFOR. 1999. Acuan Generik Kriteria dan Indikator CIFOR. Penerbit Center for International Forestry Research. Wahyuni Y. 2004. Studi Pengembangan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Sebagai Objek Wisata Budaya di Taman Nasional Gunung Halimun. Program Diploma Ekowisata, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation, PILI-NGO Movement. 338 hlm. Yogaswara H. 1991. Respons Komunitas Kasepuhan Ciptarasa terhadap Aktivitas Malik Jarami di desa Sirnarasa, Sukabumi. Skripsi. Jurusan Antropologi, UNPAD. Bandung. Zakaria Y. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Laporan Studi Pustaka tentang Beberapa Kasus Konflik Kepentingan Masyarakat Tradisional dalam Kebijaksanaan Pembangunan Sektor Kehutanan Indonesia. WALHI. Jakarta: v + 127 hlm.
103
LAMPIRAN
103
Lampiran 1. Struktur Organisasi Balai TN Gunung Halimun Salak Berdasarkan SK Kepala Balai No. 320/Kpts/IV-T.13/Peg/2007 Tanggal 30 Maret 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kepala Balai Kepala Sub Bagian Tata Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Lebak 1. Sub Seksi Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan 2. Sub Seksi Kerjasama, Humas, Pemanfaatan dan Pengawetan 3. Sub Seksi Perlindungan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Resort Gn. Bongkok
Resort Cisoka
Resort Gn. Bedil
Urusan Umum Urusan Kepegawaian Urusan Keuangan Urusan Perencanaan, Data Evaluasi dan Pelaporan Urusan Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Urusan Bina Cinta Alam, Kader Konservasi dan Pusat Penelitian Cikaniki Urusan Perlindungan dan Kebakaran Hutan
Seksi Pengelolaan TN Wilayah II Bogor 1. Sub Seksi Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan 2. Sub Seksi Kerjasama, Humas, Pemanfaatan dan Pengawetan 3. Sub Seksi Perlindungan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Resort Cibedug
Resort Gn. Resort Gn. Resort Gn. Talaga Kencana Botol
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
Seksi Pengelolaan TN Wilayah III Sukabumi 1. Sub Seksi Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan 2. Sub Seksi Kerjasama, Humas, Pemanfaatan dan Pengawetan 3. Sub Seksi Perlindungan dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Resort Gn. Resort Gn. Resort Gn. Butak Salak I Salak II
Resort Resort Gn. Kawah Ratu Kendeng
Resort Cimantaja
Resort Gn. Bodas
104
Lampiran 2. Struktur Organisasi Kasepuhan Ciptagelar
SESEPUH
Rorokan Pakakas
Rorokan Pamakayaan
Rorokan Paraji
Rorokan Paninggaran
Rorokan Jero
Rorokan Kepenghuluan
Rorokan Panahaban
Sesepuh Lembur 568 kampung kecil dalam 360 kampung besar
Rorokan Kedukunan
Rorokan Ngebas
Rorokan Bengkong
Rorokan Tatabeuhan