STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAWASAN GUNUNG BUNDER TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
IRWANI GUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Irwani Gustina NIM P052120031
RINGKASAN IRWANI GUSTINA. Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan YULIUS HERO. Pengelolaan wisata berbasis masyarakat ialah wisata dimana masyarakat lokal memiliki kendali yang kuat atas pengelolaan kegiatan wisata dan sebagai hasilnya manfaat dapat dirasakan oleh masyarakat. Setiap masyarakat menghadapi hambatan yang berbeda dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat. Pengelolaan wisata berbasis masyarakat merupakan salah satu metode pengembangan masyarakat. Faktor pengembangan masyarakat tersebut, yaitu: (1) Faktor sosial; (2) Faktor budaya; (3) Faktor ekonomi; (4) Faktor lingkungan; dan (5) Faktor politik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat dan merumuskan formulasi pengembangan wisata berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengembangan wisata berkelanjutan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis korelasi untuk menguji hubungan antara faktor satu dengan faktor yang lain. Langkah selanjutnya adalah menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan formulasi strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder. Hasil penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara faktor sosial dengan faktor lingkungan dan faktor sosial dengan ekonomi. Berdasarkan analisis SWOT, kawasan Gunung Bunder berada pada kuadran pertama diagram kartesius dengan strategi pengelolaan yang disarankan adalah strategi SO (StrenghsOpportunities). Langkah yang dapat dirumuskan dalam menggunakan kekuatan dan memanfaatkan peluang yaitu (1) Meningkatkan promosi wisata kepada calon pengunjung yang menyukai kegiatan di alam; (2) Membuat organisasi pengelola wisata dengan partisipasi aktif masyarakat; dan (3) Memanfaatkan potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan sebagai tempat persinggahan. Kata kunci: pengelolaan wisata berbasis masyarakat, faktor pengembangan masyarakat, kawasan Gunung Bunder.
SUMMARY IRWANI GUSTINA. Strategy for Development of Community Based Tourism in Gunung Bunder Area of Gunung Halimun Salak National Park. Supervised by RINEKSO SOEKMADI and YULIUS HERO. Community Based Tourism (CBT) is a form of tourism where the local community has substantial control over, and involvement in its development and management, and a major proportion of the benefits remain within the community. Every community face different obstacles in the development of CBT. CBT is intended as a tool for community development and environmental conservation. Five factors of community development are (1) social factors; (2) cultural factors; (3) economic factors; (4) environment factors; and (5) political factors. The aim of this research was to analyze development factors of CBT and to formulate the development of CBT to realize a sustainable tourism development. Data processed with correlation analysis to examine the correlation between factors. Next step is SWOT analysis to get a tourism development strategy. The results showed a significant relationship between social factorsenvironment factors and social factors-economic factors. Based on SWOT analysis, Gunung Bunder Area of Gunung Halimun National Park is located in the first quadrant cartesian diagram with suggested management strategy is SO (Strenghs-Opportunities) strategy. Strategy that can be formulated by using strenghs and take advantage from opportunities is (1) Increase tourism promotion to potential visitors who enjoy activities in nature; (2) Establish tourism management organization with active community participation; and (3) Utilize the potential along the road to the Gunung Bunder area as a stopover. Keywords: community based tourism, community development factors, Gunung Bunder Area.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAWASAN GUNUNG BUNDER TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
IRWANI GUSTINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rachmad Hermawan, MScF
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak Nama : Irwani Gustina NIM : P052120031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF Ketua
Dr Ir Yulius Hero, MScF Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah wisata berbasis masyarakat, dengan judul Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Terima kasih yang tiada terkira penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScF selaku pembimbing yang senantiasa memberikan arahan dan dukungan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih selaku ketua sidang serta Bapak Dr Ir Rachmad Hermawan, MScF selaku penguji luar komisi atas segala arahannya. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruf staf Resort Salak II Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pemerintah Desa Gunung Bunder 2, dan volunteer Gunung Bunder atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan selama penelitian. Terima kasih juga kepada rekan-rekan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan angkatan 2012 atas kebersamaannya. Jadda Muthiah yang senantiasa membantu dan meluangkan waktunya. Tak terkecuali, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, Nugroho Ari Setiawan, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Irwani Gustina
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................................... 2 Tujuan .............................................................................................................. 4 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 4 Alat dan Obyek Penelitian ............................................................................... 4 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 4 Jenis Data yang Dikumpulkan ......................................................................... 4 Kerangka Pikir Penelitian ................................................................................ 5 Metode Pengumpulan Data .............................................................................. 5 Metode Analisis Data ....................................................................................... 8 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 10 Wisata di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak ........................................................................................................................ 10 Pengelolaan Wisata di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak ................................................................................................ 14 Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak ............................................................................................................... 19 Faktor Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder ............................................................................................................ 21 Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder ............................................................................................................ 24 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 31 Simpulan ........................................................................................................ 31 Saran .............................................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 32 LAMPIRAN ......................................................................................................... 35 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 43
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tujuan penelitian, data yang dibutuhkan, metode pengumpulan dan analisis data 6 Tabel 2 Klasifikasi nilai akhir faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat 8 Tabel 3 Matrik SWOT 10 Tabel 4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Gunung Bunder 2 tahun 2014 20 Tabel 5 Jumlah rumah tangga menurut sektor pekerjaan di Desa Gunung Bunder 2 tahun 2014 20 Tabel 6 Faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder 23 Tabel 7 Matriks internal kawasan Gunung Bunder (IFAS) 25 Tabel 8 Matriks ekternal kawasan Gunung Bunder (EFAS) 26 Tabel 9 Matriks SWOT strategi SO (Strenghs-Opportunities) 28
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 5 Gambar 2 Jumlah kunjungan wisata alam GSE-TNGHS tahun 2010-2012 (Disbudpar Kabupaten Bogor 2012) 10 Gambar 3 Bumi perkemahan Gunung Bunder 11 Gambar 4 Curug Cihurang 12 Gambar 5 Kawah Ratu 13 14 Gambar 6 Curug Ngumpet II Gambar 7 Hubungan antar lembaga dalam pengelolaan kawasan Gunung Bunder sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS 16 Gambar 8 Sebaran volunteer menurut jenis kelamin 17 Gambar 9 Sebaran volunteer menurut kelompok umur 17 Gambar 10 Sebaran volunteer menurut tingkat pendidikan 18 Gambar 11 Sebaran volunteer menurut pekerjaan sampingan 18 Gambar 12 Sebaran volunteer menurut keikutsertaan pelatihan 19 Gambar 13 Diagram kartesius analisis SWOT kawasan Gunung Bunder 27 Gambar 14 Pemandangan sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan Gunung Bunder 31
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder
36
Lampiran 2 Hasil uji korelasi faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat 40 Lampiran 3 Perhitungan analisis SWOT 41
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan wisata di tahun 2014 terlihat dengan jumlah wisatawan internasional (wisatawan yang menginap) yang meningkat sebesar 4.4% dengan kenaikan sebesar 48 juta dibanding tahun 2013. Jumlah ini mencapai rekor baru, yaitu sebesar 1.14 juta jiwa. Pertumbuhan kunjungan diikuti dengan pendapatan wisata internasional dengan pendapatan mencapai 1.25 milyar US$ (937 milyar euro) di tahun 2014, terjadi peningkatan 3.7% saat ini (dengan memperhitungkan tingkat fluktuasi dan inflasi) (UNWTO 2015). Jumlah wisatawan nusantara selama tahun 2013 mencapai 55.51 juta atau meningkat 0.99% dibandingkan tahun 2012, sedangkan pengeluaran wisatawan tahun 2013 mencapai 38.65 trilliun rupiah atau meningkat 0.98% dibandingkan tahun 2012 (tidak memperhitungkan inflasi). Jumlah wisatawan nusantara selama semester I tahun 2014 adalah 25.94 juta, dengan pengeluaran wisatawan sebesar 22.09 triliun rupiah. Kondisi tersebut memperlihatkan peningkatan baik dari jumlah wisatawan maupun pengeluarannya (Kementerian Pariwisata 2014). Kontribusi wisata terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari jumlah wisatawan yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Selain itu terlihat dari penerimaan devisa pariwisata yang mengalami kenaikan sebesar 8.17% dibandingkan tahun 2012 lalu (Kementerian Pariwisata 2014). Wisata juga berkontribusi untuk sektor kehutanan hal ini terlihat dari jumlah wisatawan yang bekunjung ke kawasan hutan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke taman nasional pada tahun 2014 sebanyak 2.440.071 jiwa dan taman wisata alam sebanyak 3.589.485 jiwa (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015). Wisata berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan dari level akar rumput, dengan mengikutsertakan penduduk lokal pada mata rantai wisata dan pembinaan pendidikan, keterampilan dan pengelolaan lokal. Pelayanan berbasis masyarakat yang dibangun melalui interaksi, wisata membuka kesempatan untuk tenaga kerja, mata pencaharian yang berkelanjutan dan bisnis yang menguntungkan di level lokal (UNWTO 2015). WWF (2001) mendefinisikan pengelolaan wisata berbasis masyarakat sebagai wisata dimana masyarakat lokal memiliki kendali yang kuat atas pengelolaan kegiatan wisata dan sebagai hasilnya manfaat dapat dirasakan oleh masyarakat. Pendekatan pengelolaan wisata berbasis masyarakat mengidentifikasi perlunya peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal dan konservasi sumberdaya tersebut (Scheyvens 1999). Sehingga pariwisata berbasis masyarakat dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Byrd et al. 2009; Tanaya & Rudiarto 2014). Konsep pengelolaan wisata berbasis masyarakat muncul pertama kali sekitar tahun 1970-an akibat adanya kritikan atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh wisata massal. Konsep ini mendapatkan perhatian lebih pada tahun 2000, ketika Bank Dunia (World Bank) mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan pengelolaan wisata berbasis masyarakat. Pengelolaan wisata berbasis masyarakat akan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam
2
perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan, sehingga dengan demikian akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Setiap masyarakat menghadapi hambatan yang berbeda dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat. Hambatan yang terjadi di beberapa kawasan wisata di Indonesia yaitu belum adanya struktur organisasi yang potensial untuk pengambilan keputusan (Ekowati 2005), sarana dan prasarana pengelolaan yang tidak memadai (Maharani 2009; Qomariah 2009; Astuti 2010), kurangnya kemampuan pelaku wisata (Ekowati 2005; Qomariah 2009), penguasaan seni budaya tradisional yang semakin berkurang (Ekowati 2005), pendidikan masyarakat yang masih rendah (Qomariah 2009), terpecahnya masyarakat dalam golongan-golongan (Ekowati 2005), masih lemahnya keterampilan manajemen lokal terutama manajemen keuangan (Ekowati 2005; Astuti 2010), kemampuan modal masyarakat untuk membuka usaha masih rendah (Qomariah 2009), akses pemasaran terbatas (Ekowati 2005; Astuti 2010), aksesibilitas yang sulit (Maharani 2009; Qomariah 2009). Pernyataan ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Braun (2008) dimana hambatan yang sering muncul di negara berkembang yaitu sumberdaya dan infrastruktur yang tidak memadai, serta akses pasar yang buruk. Kurangnya pendanaan merupakan masalah kronis yang terlihat dalam pengembangan wisata terutama di negara berkembang (Choi & Sirakaya 2006). Dana yang tidak mencukupi dapat menutup kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pelatihan yang dibutuhkan yang mana mengakibatkan kurangnya kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola wisata sehingga menghambat suksesnya pengelolaan wisata berbasis masyarakat (Cooper 2004). Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan yang pengelolaannya dibantu oleh masyarakat. Disinilah penelitian ini penting dilakukan untuk mencari faktor-faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat dan merumuskan strategi pengembangan wisata yang berkelanjutan di kawasan Gunung Bunder tersebut.
Perumusan Masalah Peningkatan kesadaran masyarakat untuk kembali ke alam juga terjadi di sektor wisata. Wisatawan cenderung memiliki ketertarikan pada kawasan yang alami. Salah satu lokasi yang menjadi tujuan wisatawan adalah hutan. Hutan dan kekayaan sumberdaya hayatinya biasanya terlindungi di kawasan konservasi sehingga sekarang kunjungan ke kawasan konservasi, seperti taman nasional, meningkat. Kawasan taman nasional di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang dapat dijadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Taman nasional sebagai kawasan konservasi, merupakan ekosistem yang paling produktif, tanpa membutuhkan investasi, kawasan ini terus menerus menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan manusia dan berfungsi sebagai penyangga, seperti oksigen, plasma
3
nutfah, barier abrasi pulau, menyimpan dan mendistribusikan air tanah, memberikan nuansa keindahan, dan sebagainya. Pemanfaatan kawasan taman nasional melalui pengembangan potensi keanekaragaman hayati yang ada sebagai obyek daya tarik wisata dengan tetap mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder dalam kegiatan ekowisata merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam mengelola kawasan tersebut (Suriani & Razak 2011). Pada tahun 2012 telah ada 43 unit Taman Nasional Darat dengan luas 12.328.523,34 hektar, dan 7 unit Taman Nasional Laut dengan luas 4.043.541,30 hektar. Salah satu taman nasional darat adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015). Pada tahun 2003 kawasan Gunung Salak masuk ke dalam wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan N0. 175/Kpts-II/2003 Tanggal 10 Juni 2003. Saat ini dikenal dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan pengelolaan kawasan dilakukan oleh unit pengelola yakni Balai TNGHS. Perubahan status kawasan berpengaruh pula pada status pengelolaan yang selama ini dikelola oleh Perhutani maupun oleh Pemda. Batas dan luas definitif TNGHS ditentukan setelah diadakan pengukuran dan penataan batas di lapangan. Perubahan pengelolaan dari Perhutani maupun Pemda menjadi TNGHS adalah masalah baru dan dapat menghambat pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata selanjutnya (Ulfah 2007). Perum Perhutani sebagai pemilik hak pengelolaan hutan di RPH Gunung Bunder, BKPH Lewiliang KPH Bogor, melakukan pengembangan dan pengelolaan di sekitar Gunung Bunder di bidang pariwisata dan hasil hutan bukan kayu. Pada tahun 1988 mulai dibuka lokasi perkemahan, dikenal dengan nama Wana Wisata Gunung Bunder, obyek wisata yang dikembangkan diantaranya Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Cihurang, Curug Ciampea, Curug Ngumpet II, dan Curug Cipatat dan mengembangkan pula Wana Wisata Kawah Ratu dengan obyek Kawah Mati I dan II serta Situ Hyang. Karcis tanda masuk obyek wisata mulai diberlakukan pada tahun 2000, karcis tersebut telah disahkan dan dikenal pajak pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Pengelolaan WWGB masih terintegrasi dengan kegiatan pengelolaan hutan yang ditangani oleh RPH Gunung Bunder serta selanjutnya mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di bidang wisata (Ulfah 2007). Keindahan alam di kawasan Gunung Bunder menjadikan wisata berpotensi menjadi sebuah usaha berkelanjutan yang menjanjikan. Dalam mencapai usaha tersebut, masyarakat lokal harus mempunyai kesempatan untuk ikut dalam pengembangan wisata. Di satu sisi, usaha yang dilakukan harus adil dan menguntungkan masyarakat lokal. Di sisi lain, usaha wisata tersebut juga harus tetap menjaga kelestarian alam. Oleh karena itulah wisata berbasis masyarakat dilihat sebagai sebuah solusi guna terwujudnya pengembangan wisata yang berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder? 2. Strategi apa yang dapat diterapkan di kawasan Gunung Bunder guna terwujudnya pengembangan wisata yang berkelanjutan?
4
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat. Tujuan penelitian dibagi kembali menjadi dua yaitu: 1. Menganalisis faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat. 2. Merumuskan formulasi pengembangan wisata berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengembangan wisata berkelanjutan.
METODE PENELITIAN Alat dan Obyek Penelitian Alat yang digunakan adalah peta kawasan, kamera digital, tape recorder, panduan wawancara, dan alat tulis menulis. Obyek penelitian yaitu volunteer sebanyak 48 orang yang merupakan masyarakat Desa Gunung Bunder 2, Kepala Resort Salak II Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Wakil Kepala Resort Salak II Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kepala Desa Gunung Bunder 2, Kepala Volunteer, Tenaga Kerja Kontrak, Koordinator Obyek.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak terdiri dari beberapa obyek wisata yaitu Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Cihurang, Kawah Ratu, dan Curug Ngumpet II. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Maret-April 2016.
Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan meliputi variabel-variabel yang mempengaruhi pengembangan wisata berbasis masyarakat. Variabel tersebut adalah perkembangan kawasan Gunung Bunder, kelembagaan wisatanya, dan kondisi sosial ekonomi budaya politik dan lingkungan masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Data kepentingan dan kekuatan stakeholder dikumpulkan untuk mendukung tujuan formulasi pengembangan wisata berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengembangan wisata berkelanjutan.
5
Kerangka Pikir Penelitian Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan wisata yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan wisatanya. Pengelolaan wisata di kawasan perlu diidentifikasi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan masyarakat dalam wisata berbasis masyarakat dimana faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 5 (lima), yaitu (1) Faktor sosial; (2) Faktor budaya; (3) Faktor ekonomi; (4) Faktor lingkungan; dan (5) Faktor politik (REST 1997). Analisis Korelasi digunakan untuk menguji hubungan antara faktor satu dengan faktor yang lain. Setelah faktor pengembangan wisata dianalisis, langkah selanjutnya adalah menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan formulasi strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Kawasan Wisata Gunung Bunder
Permasalahan pengelolaan wisata di Kawasan Gunung Bunder (kebijakan, masyarakat, lingkungan)
Analisis SWOT
Sustainable Tourism (berdasarkan Community Instrument) (1) Faktor Sosial (2) Faktor Budaya (3) Faktor Ekonomi (4) Faktor Politik (5) Faktor Lingkungan
Strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan langsung di lapangan, wawancara, dan studi literatur. Pengelolaan wisata berbasis masyarakat merupakan salah satu metode pengembangan masyarakat. Untuk
6
melihat keberhasilannya perlu dilihat secara komprehensif dari lima faktor. Faktor pengembangan masyarakat tersebut, yaitu: (1) Faktor sosial; (2) Faktor budaya; (3) Faktor ekonomi; (4) Faktor lingkungan; dan (5) Faktor politik (REST 1997). Dengan rincian: 1. Faktor sosial, dengan indikator peningkatan kualitas hidup, peningkatan kebanggaan masyarakat, pembagian peran yang adil antara laki -laki perempuan, generasi muda dan tua, penguatan organisasi masyarakat. 2. Faktor budaya, dengan indikator berupa pendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, perkembangan pertukaran budaya, pembangunan melekat erat dalam budaya lokal. 3. Faktor ekonomi, dengan indikator berupa adanya dana untuk pengembangan masyarakat, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata, terciptanya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata. 4. Faktor lingkungan, dengan indikator pembelajaran daya dukung lingkungan, pengaturan pembuangan sampah, peningkatan kepedulian akan perlunya konservasi. 5. Faktor politik, dengan indikator peningkatan partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, penjaminan hakhak dalam pengelolaan sumber daya alam. Tabel 1 Tujuan penelitian, data yang dibutuhkan, metode pengumpulan dan analisis data No
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat
Data yang Dibutuhkan
Karakteristik responden • Jenis kelamin • Usia • Pendidikan • Pekerjaan • Pendapatan • Pengeluaran Faktor sosial • Struktur organisasi masyarakat; pembentukan, tokoh masyarakat dan peranannnya • Pembagian peran dan kerjasama; berdasarkan jenis kelamin, berdasarkan strata umur • Kualitas hidup masyarakat; pendapatan, pengeluaran, tempat tinggal • Kebanggaan masyarakat; kecintaan terhadap desa, terhadap kawasan, terhadap wisata
Metode Pengumpulan Data Wawancara dengan 48 volunteer kawasan Gunung Bunder (Sensus)
Metode Analisis Data Skor rata-rata setiap faktor Analisis Korelasi
7
No
Tujuan Penelitian
Data yang Dibutuhkan
Faktor budaya • Penerimaan terhadap budaya yang berbeda; bentuk, intensitas, reaksi • Pertukaran budaya; bentuk, intensitas, reaksi • Budaya lokal sebagai konsep dasar pembagunan; bentuk budaya, kaitan dengan pembangunan Faktor ekonomi • Dana untuk pengembangan masyarakat; bentuk, jumlah, kecukupan • Lapangan kerja di sektor pariwisata; langsung dan tidak langsung • Pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata; jumlah, kecukupan, kemerataan Faktor lingkungan • Daya dukung lingkungan; kesesuaian penggunaan kawasan • Pengaturan pembuangan sampah • Kepedulian akan perlunya konservasi; sikap, perilaku, pemahaman Faktor politik • Partisipasi pengelolaan sumber daya alam; pandangan, bentuk partisipasi, kesediaan, kesesuaian dengan harapan, kemerataan peran • Kekuasaan komunitas; pengakuan, pengesahan • Hak dalam pengelolaan sumber daya alam; pengakuan, pengesahan
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
8
No
Tujuan Penelitian
Data yang Dibutuhkan
2.
Merumuskan formulasi pengembangan wisata berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengembangan berkelanjutan
• Kekuatan dan kelemahan internal wisata • Peluang dan ancaman eksternal wisata
Metode Pengumpulan Data Wawancara dengan Kepala Resort Salak II TNGHS, Wakil Kepala Resort Salak II TNGHS, Kepala Desa Gunung Bunder 2, Kepala Volunteer, Tenaga Kerja Kontrak, Koordinator Obyek.
Metode Analisis Data Analisis SWOT
Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dijelaskan secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi dari setiap faktor yang mempengaruhi pengembangan wisata berbasis masyarakat. Masing- masing faktor dijumlahkan total skoringnya. Pada penelitian ini digunakan skala likert yang sudah dimodifikasi menjadi lima skala untuk mendapatkan skor (Lampiran 1). Nilai akhir menunjukkan total skor dari faktor. Klasifikasi akhir dikategorikan menjadi sangat baik, baik, cukup, buruk, dan sangat buruk (Tabel 2). Tabel 2 Klasifikasi nilai akhir faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat No 1. 2. 3. 4. 5.
Klasifikasi Nilai Sangat baik Baik Cukup Buruk Sangat buruk
Skor 4.21-5.00 3.41-4.20 2.61-3.40 1.81-2.60 1.00-1.80
Data selanjutnya diolah dengan analisis korelasi untuk menguji hubungan antara faktor satu dengan faktor yang lain. Analisis korelasi spearman adalah uji statistik yang ditujukan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel berskala ordinal. Asumsi uji korelasi spearman adalah: (1) Data tidak berdistribusi normal dan (2) Data diukur dalam skala ordinal. Rumus uji korelasi spearman:
9
Di mana:
Hipotesis: H0: data tidak saling berhubungan atau berkorelasi H1: data saling berhubungan atau berkorelasi Setelah faktor pengembangan wisata dianalisis, langkah selanjutnya adalah menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan formulasi strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder. Pendekatan strategi dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat menggunakan pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi. Sebelum dibuat matrik SWOT, terlebih dahulu ditentukan faktor strategi eksternal (EFAS) dan faktor strategi internal (IFAS) yang ditentukan dengan cara sebagai berikut (Rangkuti 2006): 1. Menyusun 5 sampai 10 kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman dalam kolom 1. 2. Masing-masing faktor dalam kolom 2 diberi bobot mulai dari 5 (sangat penting) sampai dengan 1 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap pengembangan wisata berbasis masyarakat. 3. Menghitung rating dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 5 (sangat baik) sampai dengan 1 (buruk) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap pengembangan wisata berbasis masyarakat. Variabel yang positif diberi nilai +1 sampai +5 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya. 4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 5,0 (sangat baik) sampai dengan 1,0 (di bawah rata-rata). 5. Memberikan komentar atau catatan pada kolom 5 tentang alasan pemilihan faktor-faktor tertentu dan bagaimana skor pembobotannya dihitung. 6. Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 sehingga diperoleh total skor pembobotan yang menunjukkan bagaimana unit analisis bereaksi terhadap faktor-faktor strategis baik eksternal maupun internalnya. Penyusunan faktor-faktor strategis internal dan eksternal dibuat dalam matrik SWOT. Matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2006).
10
Tabel 3 Matrik SWOT Faktor Internal (IFAS)
Kekuatan (S) Menentukan 5-10 faktor kekuatan internal
Kelemahan (W) Menentukan 5-10 faktor kelemahan internal
Peluang (O) Menentukan 5-10 faktor peluang eksternal
Strategi (S-O) Menghasilkan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi (W-O) Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Ancaman (T) Menentukan 5-10 faktor ancaman eksternal
Strategi (S-T) Menghasilkan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi (W-T) Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
Faktor Eksternal (EFAS)
HASIL DAN PEMBAHASAN Wisata di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan tujuan wisata yang banyak diminati pengunjung terlihat dari makin meningkatnya jumlah kunjungan dari tahun ke tahun (Gambar 2). Kawasan TNGHS yang berada di Kabupaten Bogor memiliki wisata alam berupa bumi perkemahan, kawah, pemandian air panas, dan air terjun yang kesemuanya mengandalkan keindahan dan kelestarian sumberdaya alam sebagai obyek wisata. pada akhir minggu dan hari libur sekolah maupun libur nasional obyek wisata ramai didatangi pengunjung. Letak strategis dan kemudahan akses menjadikan wisata alam TNGHS di Kabupaten Bogor menjadi pilihan banyak wisatawan untuk mengisi waktu luangnya dengan menikmati kesegaran dan keindahan alam (Ekayani et al. 2014).
Gambar 2 Jumlah kunjungan wisata alam GSE-TNGHS tahun 2010-2012 (Disbudpar Kabupaten Bogor 2012)
11
Kawasan Gunung Bunder merupakan salah satu kawasan di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Obyek wisata yang terdapat di kawasan Gunung Bunder terdiri dari empat lokasi, yaitu: (1) Bumi Perkemahan, (2) Curug Cihurang, (3) Kawah Ratu, dan (4) Curug Ngumpet II. 1. Bumi Perkemahan Bumi perkemahan berada pada ketinggian 830 mdpl seluas 7 ha dengan temperatur 18-23 oC. Kawasan ini mempunyai curah hujan 4.000 mm/tahun. Bumi perkemahan berada di bawah tegakan pinus dan rasamala teratur berjarak tanam 3 x 3 m yang telah berumur puluhan tahun serta mempunyai kemiringan 2-30%. Bumi perkemahan ini dekat dengan pintu gerbang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Bumi perkemahan ini diresmikan pada saat masih di bawah pengelolaan Perhutani tahun 1982 oleh Menteri Kehutanan yang menjabat saat itu. Potensi yang dimiliki bumi perkemahan ini ialah udara yang sejuk dengan pemandangan alam yang indah. Jarak tempuh untuk menuju ke lokasi ini ± 32 km dari jantung Kota Bogor dengan kondisi jalan beraspal baik hingga pintu gerbang obyek wisata Bumi Perkemahan Gunung Bunder. Obyek wisata ini dapat dicapai dari Kecamatan Cibungbulang (15 km), Ciampea (14 km), Cibinong (33 km), dan 60 km dari Rangkas Bitung. Untuk mencapai kawasan ini dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, karena kondisi jalan umumnya baik. Lokasi ini telah dilengkapi dengan beberapa fasilitas bagi pengunjung seperti toilet, mushola, warung, areal parkir, dan pusat informasi.
Gambar 3 Bumi perkemahan Gunung Bunder 2. Curug Cihurang Curug Cihurang merupakan obyek wisata setelah bumi perkemahan berjarak sekitar 2 km dari pintu gerbang. Curug Cihurang mempunyai ketinggian 10 m. Nama Cihurang diambil dari dari kata hurang yang artinya udang karena di curug ini dulunya banyak terdapat udang. Di depan curug terdapat pelataran rumput seluas 962 m2 yang bisa dimanfaatkan sebagai lokasi berkemah. Curug ini berjarak hanya 10 m dari jalan raya sehingga mencapai lokasi curug relatif tidak sulit. Jarak curug dengan pintu gerbang
12
kawasan Gunung Bunder sekitar ± 1.5 km. Sarana yang tersedia di curug ini adalah areal berkemah, shelter, toilet, mushola, areal parkir, warung, dan permainan anak-anak.
Gambar 4 Curug Cihurang 3. Kawah Ratu Kawah ini terletak di kaki Gunung Salak pada ketinggian 1.338 mdpl dengan suhu sekitar 10-20 oC. Kawah Ratu mempunyai luas sekitar 30 ha. Kawah Ratu sangat cocok untuk wisata petualangan alam terbuka. Daya tarik utama dari kawah ini adalah aktivitas geologisnya dimana sepanjang hari air di kawah ini selalu mendidih dan megeluarkan gas asam sulfat (H2S), baunya menyengat dan terkadang kawahnya mengeluarkan suara gemuruh sebagai akibat dari semburan uap air panas yang membentuk kabut. Sekitar kawah ini juga mengalir sungai sepanjang 1 km yang sering dipergunakan oleh pengunjung untuk berendam serta diyakini dapat mengobati berbagai penyakit. Kawah ini didominasi kelerengan dari landai sampai agak terjal dengan ketinggian 1025 – 1365 mdpl. Kelerengan 100 m dari pintu gerbang didominasi oleh kelerengan agak landai (5-10)%, 100 – 1000 m dari pintu gerbang didominasi oleh kelerengan agak terjal (15-30)%, 1000 – 3000 m dari pintu gerbang didominasi oleh kelerengan agak landai (5-10)%, 3000 – 4000 m dari pintu gerbang didominasi kelerengan agak landai (10-15)%.
13
Direktorat Vulkanologi mengklasifikasikan Gunung Salak sebagai gunung api tipe A. Kawahnya merupakan bukit yang di sebelah utara dan sebelah selatannya dibatasi anak sungai yang bermuara di Sungai Ci Kuluwung. Tembusan- tembusan solfatar dan fumarol terdapat mulai dari tepi anak sungai sampai ke puncak bukitnya. Di dekat puncak bukit terdapat dua tembusan fumarol yang menyemprotkan air sangat kuat. Sarana dan prasarana yang disediakan bagi wisatawan adalah areal berkemah, jogging track, toilet, dan areal parkir. Obyek wisata kawah ratu ini dapat dicapai dengan berjalan kaki selama lebih kurang 2 jam dengan jarak sekitar 4 km dari pintu gerbang. Kawah Ratu dapat ditempuh melalui: a. Bogor – Cibatok – Gunung Sari – Lokapurna – Curug Seribu – Kawah Ratu b. Bogor – Cemplang – Sukamaju – Pasarean – Pamijahan – Gunung Salak Endah – Gunung Bunder- Kawah Ratu c. Bogor – Taman Sari – Gunung Bunder – Kawah Ratu d. Sukabumi – Cidahu – Kawah Ratu
Gambar 5 Kawah Ratu 4. Curug Ngumpet II Curug ini terletak di lokasi gerbang menuju trek Kawah Ratu. Curug Ngumpet II mempunyai tinggi 20 meter, jatuhan dari curug ini membentuk kolam dengan ukuran 10 x 7,5 m. Curug ini dekat dengan jalan raya sekitar 30 meter. Pemberian nama ngumpet karena terletak tidak jauh dari tepi jalan akan tetapi tidak terlihat dan tidak terdengar suara gemuruh dari air terjun
14
tersebut. Dekat curug ini terdapat pelataran rumput seluas 600 m2 yang dapat dijadikan lokasi berkemah. Sarana yang tersedia di curug ini adalah areal berkemah, shelter, toilet, areal parkir, warung.
Gambar 6 Curug Ngumpet II
Pengelolaan Wisata di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kawasan Gunung Salak awalnya merupakan kawasan hutan yang berstatus hutan lindung dikenal dengan Hutan Lindung Gunung Salak (HL-GS) yang merupakan gabungan dari lima kelompok hutan yaitu hutan Gunung Salak Utara, Gunung Salak Selatan, Gunung Salak Nanggung, Gunung Kendang Kulon, dan Ciampea. Masing-masing kawasan tersebut telah memperoleh pengesahan tata batas pada tanggal 3 Mei 1941, 5 November 1906, 7 November 1934, 8 Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 92/Kpts/Um/8/1954 Tanggal 31 Agustus 1954. Kawasan ini dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (Ulfah 2007). Perum Perhutani sebagai pemilik hak pengelolaan hutan di RPH Gunung Bunder, BKPH Lewiliang KPH Bogor, melakukan pengembangan dan pengelolaan di sekitar Gunung Bunder di bidang pariwisata dan hasil hutan bukan kayu. Pada tahun 1988 mulai dibuka lokasi perkemahan, dikenal dengan nama Wana Wisata Gunung Bunder, obyek wisata yang dikembangkan diantaranya Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Cihurang, Curug Ciampea, Curug Ngumpet II, dan Curug Cipatat dan mengembangkan pula Wana Wisata Kawah Ratu dengan obyek Kawah Mati I dan II serta Situ Hyang. Karcis tanda masuk obyek wisata mulai diberlakukan pada tahun 2000, karcis tersebut telah disahkan dan dikenal pajak pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Pengelolaan WWGB masih terintegrasi dengan kegiatan pengelolaan hutan yang ditangani oleh RPH Gunung Bunder serta selanjutnya mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di bidang wisata dan direalisasikan dengan
15
membentuk Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) Gunung Bunder 2 serta bekerjasama dengan pemerintah Desa Gunung Bunder 2 (Ulfah 2007). Pada tahun 2003 kawasan Gunung Salak masuk ke dalam wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan N0. 175/Kpts-II/2003 Tanggal 10 Juni 2003. Saat ini dikenal dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan pengelolaan kawasan dilakukan oleh unit pengelola yakni Balai TNGHS. Menindaklanjuti SK Menteri Kehutanan tersebut, pihak Balai TNGHS mempunyai kepentingan dalam penetapan dan penataan batas kawasan taman nasional. Penataan batas merupakan tahapan awal sebelum akhirnya melakukan pengukuhan kawasan menjadi taman nasional. Pada tahap ini, TNGHS senantiasa melibatkan berbagai pihak baik pemerintah daerah, organisasi non pemerintah maupun masyarakat (Ulfah 2007). Obyek-obyek wisata yang terdapat di kawasan Gunung Bunder termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengelolaan obyekobyek wisata dilakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Perum Perhutani KPH Bogor. Untuk membantu pelaksanaan obyek wisata di lapangan, Perum Perhutani membentuk organisasi yang anggotanya berasal dari masyarakat setempat. Perum Perhutani merekrut masyarakat Desa Gunung Bunder 2 yang dulunya sering mengganggu kawasan dan juga atas permintaan masyarakat setempat yang mau turut serta mengelola kawasan. Dasar hukum PHBM adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/Dir/2001 Tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan SK Direksi Perum Perhutani No. 849/KPTS/Dir/1999 tentang Pengkajian Desa secara Partisipatif di Perum Perhutani. Kelompok masyarakat ini dinamakan Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) Gunung Bunder 2. Tujuan perekrutan ini adalah untuk mengurangi gangguan terhadap kawasan dan membantu pengelolaan obyek wisata di lapangan sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Tugas anggota KOMPEPAR tersebut antara lain menjadi penjaga pintu gerbang (ticket collector), menjaga kebersihan dan keamanan kawasan, menjadi pemandu wisata, dan lain sebagainya. Perum Perhutani juga memberikan sebagian dari pendapatan tiketnya untuk kas desa. Hubungan antar lembaga dalam pengelolaan kawasan (Gambar 7) merupakan gambaran umum peran dan kepentingan para pihak terkait pengelolaan kawasan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS. Sebelum perluasan Perum Perhutani, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bogor, Balai TNGHS dan masyarakat bermitra secara tidak langsung dalam pengelolaan kawasan. Perum Perhutani dan Disbudpar Kabupaten Bogor memiliki peranan dan mendapat manfaat dari kegiatan wisata, sedangkan masyarakat tidak memiliki peranan namun mendapat manfaat dari adanya kegiatan wisata. KOMPEPAR merupakan kelompok masyarakat yang dibentuk sebagai wadah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata alam, untuk kemudahan koordinasi dengan pihak pemilik kewenangan pengelolaan wisata alam tersebut. Balai TNGHS tidak memiliki peranan dan manfaat dari wisata alam, hanya mitra tidak langsung karena kawasannya berbatasan dengan kawasan Perum Perhutani (Ekayani et al. 2014).
16
: Sebelum TNGHS : Sesudah TNGHS : Mempunyai peran dam manfaat dalam pengelolaan : Mendapatkan manfaat dengan adanya keberadaan wisata : Di bawah koordinasi stakeholder terkait : Mitra kerja secara tidak langsung
Gambar 7 Hubungan antar lembaga dalam pengelolaan kawasan Gunung Bunder sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS Pada tahun 2007 sudah ada deklarasi kelompok desa sebanyak 35 orang yang bertujuan untuk konservasi hutan. Kelompok tersebut dinamakan Kelompok Kader Konservasi Alam. Pada saat kontrak Perum Perhutani untuk mengelola kawasan habis, Balai TNGHS merekrut masyarakat desa tersebut menjadi volunteer untuk membantu pengelolaan obyek wisata (25 orang tetap menjadi volunteer dan 10 orang menjadi Masyarakat Kawasan Konservasi (MKK) karena sudah terlanjur bertempat tinggal di kawasan TNGHS). Dalam pelaksanaan pengelolaan wisatanya, Balai TNGHS tidak melakukan koordinasi secara langsung dengan pihak pemerintah desa. Bentuk kooordinasi yang dilakukan masih sebatas pembuatan MOU (Memorandum of Understanding) mengenai keberadaaan kawasan taman nasional di wilayah desa tersebut. Para volunteer bertugas menjadi penjaga pintu gerbang tiket, serta menjaga kebersihan dan keamanan kawasan. Pihak taman nasional tidak memberikan gaji khusus untuk para volunteer tersebut. Volunteer mendapatkan penghasilan dari pengunjung yang dilayaninya. Setelah perluasan, tanggung jawab dan kewenangan kawasan tersebut beralih kepada Balai TNGHS. Balai TNGHS dan masyarakat merupakan pihak yang memiliki peranan dan manfaat dari kawasan, dimana hubungan keduanya adalah mitra tidak langsung. Kawasan Gunung Bunder dikelola oleh TNGHS dengan melibatkan masyarakat sebagai volunteer. Adapun KOMPEPAR yang sudah dibentuk pada waktu sebelum perluasan kawasan tidak jelas posisi dan peranannya. Beberapa masyarakat yang dulunya KOMPEPAR akhirnya bergabung menjadi volunteer. Akan tetapi pada saat awal mula pelaksanaan sempat terjadi konflik sehingga dibagi menjadi dua bagian pengelolaan yaitu volunteer yang dulunya KOMPEPAR mengelola Bumi Perkemahan sedangkan volunteer yang dibentuk oleh TNGHS mengelola pintu gerbang Kawah Ratu.
17
Pada tahun 2016 volunteer sudah bertambah menjadi 48 volunteer yang aktif mengelola pintu gerbang utama masuk kawasan, Curug Cihurang, Kawah Ratu, dan Curug Ngumpet II serta diketuai oleh Pak Joni yang merupakan mantan Kepala Desa Gunung Bunder 2. Terdapat 20 volunteer di gerbang pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 9 volunteer di Curug Cihurang, 11 volunteer di pendakian Kawah Ratu, dan 8 volunteer di Curug Ngumpet II. Volunteer melaksanakan tugasnya dalam tiga kelompok waktu di hari kerja dan semua kelompok bekerja sama pada akhir pekan.
Gambar 8 Sebaran volunteer menurut jenis kelamin Perbandingan volunteer menurut jenis kelamin didominasi oleh laki-laki dengan persentase 94% sebanyak 45 orang. Jumlah perempuan yang menjadi volunteer hanya 3 orang (6%) yang bertugas di Curug Cihurang 2 orang dan Curug Ngumpet 1 orang. Volunteer perempuan hanya bertugas pada akhir pekan saja dan berjaga di dalam loket pintu masuk curug. Mereka hanya bertugas pada akhir pekan karena di hari kerja satu orang bekerja sebagai bendahara desa dan dua orang lainnya menjaga warung di rumahnya.
Gambar 9 Sebaran volunteer menurut kelompok umur Persentase volunteer berdasarkan kelompok umurnya dapat dilihat pada Gambar 9. Masyarakat yang tergabung sebagai volunteer 98% tergolong dalam
18
kelompok umur produktif dengan kelompok umur paling banyak yaitu kelompok umur 26-35 tahun (31%). Hanya 2% dari volunteer yang berada pada kelompok umur tidak produktif yaitu kelompok umur 60+. Volunteer tersebut sudah bergabung pada tahun 2004 sebagai KOMPEPAR yang bekerja sama dengan Perum Perhutani.
Gambar 10 Sebaran volunteer menurut tingkat pendidikan Tingkat pendidikan volunteer didominasi oleh SD sebesar 38% (18 orang) disusul oleh SMP 33% (16 orang). Hal ini dikarenakan di Desa Gunung Bunder 2 hanya terdapat sarana pendidikan hanya sampai tingkat SD. Apabila yang mau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus ke desa sebelah sehingga tidak semua mau melanjutkan pendidikan selain juga karena kesulitan dana untuk sekolah.
Gambar 11 Sebaran volunteer menurut pekerjaan sampingan Volunteer selain menjalankan tugasnya sebagai penjaga pintu gerbang tiket, 52% bekerja di bidang lain yang tidak terkait dengan wisata di kawasan Gunung Bunder. Pekerjaan tersebut yaitu buruh tani, berkebun, beternak, membuka warung di rumah tempat tinggal, berdagang, ojek, dan bendahara desa. Sedangkan 30% volunteer bekerja di bidang yang terkait wisata yaitu menjadi guide dan penyewaan tenda dan perlengkapan lainnya bagi yang mau berkemah di kawasan
19
baik itu bumi perkemahan, Curug Cigurang, arah pendakian Kawah Ratu, maupun Curug Ngumpet. Sisanya sekitar 18% mengaku tidak memiliki pekerjaan lain selain menjadi penjaga gerbang tiket masuk.
Gambar 12 Sebaran volunteer menurut keikutsertaan pelatihan Volunteer yang tergabung sebanyak 56% telah mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pelatihan yang diberikan terkait dengan lingkungan baik itu flora maupun fauna, pemanduan wisata, dan SAR. Sebanyak 44% volunteer tidak pernah mengikuti pelatihan karena tidak berminat mengikuti pelatihan dan sebagian lainnya karena baru bergabung sehingga belum ada lagi pelatihan yang bisa diikuti.
Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kawasan Gunung Bunder dikelola oleh masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Jumlah penduduk Desa Gunung Bunder 2 pada tahun 2014 adalah 9.112 jiwa dengan 4.537 laki-laki (49.8%) dan 4.575 perempuan (50.2%) serta kepadatan penduduk 2.278 jiwa/ km2. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4. Identifikasi sumberdaya manusia berdasarkan klasifikasi umur berkaitan erat dengan identifikasi angkatan kerja dalam pengembangan wisata alam di kawasan. Komposisi usia produktif (13-60 tahun) lebih besar daripada usia tidak produktif (0-12 tahun dan 60 tahun ke atas) dimana kelompok usia produktif sebesar 72.99% dan usia tidak produktif 27.01%. Salah satu faktor yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam pengembagan wisata adalah tingkat pendidikan. Pada dasarnya, semakin tinggi pendidikan formal yang dicapai seseorang maka keinginan untuk terlibat akan semakin tinggi karena orang tersebut memiliki pemikiran dan kreativitas yang tinggi pula (Brahmantyo & Kusmayadi 1999). Pencatatan data dan informasi mengenai tingkat pendidikan di Desa Gunung Bunder 2 masih belum dilakukan dengan baik. Hal ini terlihat dengan tidak tersedianya data di Pamijahan dalam Angka maupun di kantor desa. Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat
20
desa sebagian besar penduduk desa tidak tamat sekolah dasar. Pencapaian tingkat pendidikan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan sarana pendidikan yang ada. Desa Gunung Bunder 2 hanya memiliki 3 sekolah dasar dan tidak memiliki sarana pendidikan yang lebih tinggi. Tabel 4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Gunung Bunder 2 tahun 2014 No
Umur
1. 0-4 2. 5-6 3. 7-12 4. 13-15 5. 16-18 6. 19-25 7. 26-35 8. 36-45 9. 46-50 10. 51-60 11. 60+ Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 729 548 886 741 584 1.119 973 1.184 798 1.252 298 9.112
Jumlah Penduduk (%) 8.00 6.01 9.72 8.13 6.41 12.30 10.70 13.00 8.76 13.70 3.27 100
Keterangan Usia Tidak Produktif
Usia Produktif
Usia Tidak Produktif
Sumber: Pamijahan dalam Angka 2015
Penduduk Desa Gunung Bunder 2 berdasarkan Pamijahan dalam Angka 2015 semua beragama islam (100%) sehingga perilaku sehari-hari semuanya berpedoman pada agama tersebut. Jumlah sarana peribadatan yang terdapat di desa yaitu 10 masjid dan 42 langgar. Mata pencaharian pokok penduduk bergerak di bidang pertanian, pertambangan, industri, jasa, dan lain-lain secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Terlihat pada tabel tersebut bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk adalah bertani. Tabel 5 Jumlah rumah tangga menurut sektor pekerjaan di Desa Gunung Bunder 2 tahun 2014 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Jenis Pekerjaan Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik Gas Air Kontruksi Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Lembaga Keuangan Lainnya Jasa-Jasa Lainnya Jumlah
Sumber: Pamijahan dalam Angka 2015
Jumlah Rumah Tangga 628 25 95 31 176 625 32 25 68 315 2.020
21
Banyak terjadi pengambil-alihan lahan di Desa Gunung Bunder 2. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat yang cenderung mengutamakan kebanggaan dibandingkan kebutuhan hidup. Jadi apabila mereka membutuhkan sesuatu atau melaksanakan pesta mereka akan menjual tanahnya untuk modal. Lahan yang telah dibeli oleh orang luar akan tetap digarap oleh masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Para penggarap tersebut ada yang mendapatkan upah menggarap dari pemilik lahan dan ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil.
Faktor Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Pengelolaan wisata berbasis masyarakat merupakan salah satu metode untuk pengembangan masyarakat. Untuk mengukur keberhasilannya perlu dilihat secara komprehensif dari beberapa faktor. Faktor pengembangan masyarakat tersebut, yaitu: (1) Faktor sosial; (2) Faktor budaya; (3) Faktor ekonomi; (4) Faktor lingkungan; dan (5) Faktor politik (REST 1997). 1. Faktor Sosial Balai TNGHS merekrut masyarakat Desa Gunung Bunder 2 menjadi volunteer untuk membantu pengelolaan obyek wisata. Dalam pelaksanaan pengelolaan wisatanya, Balai TNGHS tidak melakukan koordinasi secara langsung dengan pihak pemerintah desa. Bentuk kooordinasi yang dilakukan masih sebatas pembuatan MOU (Memorandum of Understanding) mengenai keberadaaan kawasan taman nasional di wilayah desa tersebut. Pada saat pembentukan terdapat 25 volunteer dengan satu ketua yang merupakan Kepala Desa Gunung Bunder 2 yang menjabat saat itu. Volunteer kawasan Gunung Bunder diketuai oleh satu orang yang merupakan mantan Kepala Desa Gunung Bunder 2. Saat ini terdapat 48 volunteer yang terlibat dalam pengembangan wisata di kawasan Gunung Bunder 2. Pembagian peran dan kerjasama dalam volunteer termasuk lemah. Perbandingan volunteer menurut jenis kelamin didominasi oleh laki-laki dengan persentase 94% sebanyak 45 orang. Jumlah perempuan yang menjadi volunteer hanya 3 orang (6%) yang bertugas di Curug Cihurang 2 orang dan Curug Ngumpet 1 orang. Tidak ada kecenderungan untuk menerima laki-laki lebih banyak dari perempuan. Tetapi sejak awal pembentukan jumlah perempuan yang mendaftar terbatas. Volunteer terbagi menjadi empat bagian berdasarkan pintu gerbang obyek wisata. Masing-masing gerbang masuk tidak bersinergi antara satu dengan lainnya. Volunteer bekerja sendiri-sendiri mengelola obyek wisata yang menjadi tanggung jawab mereka. Sampai tahun 2014 dilaksanakan penyegaran tiap tiga bulan sekali untuk saling mengenal dan bersinergi antara satu volunteer dengan volunteer lainnya, akan tetapi beberapa tahun terakhir sudah tidak diadakan lagi oleh pihak taman nasional dan volunteer tidak berinisiatif untuk mengadakan penyegaran itu sendiri.
22
Sebagian besar volunteer yang terlibat dalam pengelolaan wisata mengalami peningkatan kualitas hidup dikarenakan pendapatan yang dihasilkan cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan rumah tangganya. Sebagian kebutuhan lain dengan bekerja menjadi buruh tani, berkebun, beternak, membuka warung di rumah tempat tinggal, berdagang, ojek, dan bendahara desa pada saat tidak bertugas. Selain itu juga beberapa volunteer menjadi guide, menyewakan tenda dan perlengkapan lainnya bagi yang mau berkemah di kawasan baik itu bumi perkemahan, Curug Cigurang, arah pendakian Kawah Ratu, maupun Curug Ngumpet. Secara umum volunteer memiliki kebanggaan terhadap kawasan Gunung Bunder. Namun adanya perkembangan wisata di kawasan tidak membuat terjadinya peningkatan kebanggaan terhadap kawasan. Sebagian besar volunteer menyatakan kalau mereka sudah terbiasa dengan kawasan sehingga tidak ada hal khusus yang membuat mereka semakin bangga dengan kawasan Gunung Bunder. 2. Faktor Budaya Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan Gunung Bunder 2 terdiri dari masyarakat asli dan masyarakat pendatang, baik yang berasal dari desa sekitar maupun yang berasal dari kabupaten lain di Jawa Barat. Karakteristik masyarakat dipengaruhi oleh kondisi alam berupa alam pegunungan. Tradisi masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan sunda dan agama islam. Perubahan budaya terjadi relatif cepat disebabkan adanya perkembangan wisata di kawasan dan tidak adanya generasi muda yang meneruskan budaya yang ada seperti kecapi suling, angklung, wayang golek, dan pencak silat. Begitu juga dengan desa lain yang berada di sekitar kawasan sehingga tidak ada kegiatan apalagi organisasi terkait pertukaran budaya. Budaya juga tidak lagi menjadi dasar dalam konsep pembangunan desa. 3. Faktor Ekonomi Setelah terbentuknya volunteer, tidak ada lagi lapangan kerja baru yang terbentuk di kawasan. Warung yang berada di kawasan merupakan warung peninggalan pada masa pengelolaaan Perum Perhutani. Hal ini dikarenakan tidak boleh ada penambahan bangunan baru apalagi permanen di dalam kawasan taman nasional. Pendapatan masyarakat sebagai volunteer sebagian besar dapat memenuhi sebagian kebutuhan rumah tangga. Sebagian kebutuhan lainnya terpenuhi dengan bekerja selain sebagai volunteer. Dana untuk pengembangan masyarakat sudah tidak ada semenjak terjadi perubahan pengelola. Pada masa Perum Perhutani ada sharing sebesar 10% dari setiap karcis masuk yang akan diberikan kepada Desa Gunung Bunder II. Semenjak pengelolaan dipegang oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak, karcis masuk kawasan berupa PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang 100% disetor ke kas negara. PNBP tersebut akan turun kembali ke masyarakat secara tidak langsung melalui APBD
23
(Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang akan diturunkan ke desa setiap tahunnya. 4. Faktor Lingkungan Sebagian besar volunteer telah mengikuti pelatihan terkait lingkungan sehingga volunteer mengerti akan pentingnya kawasan baik dari segi flora, fauna, maupun konservasi. Selain itu volunteer diberikan pelatihan terkait guide untuk membimbing pengunjung dalam menikmati kawasan dan SAR untuk pertolongan pertama apabila ada pengunjung yang mengalami kecelakaan selama berwisata di kawasan. Volunteer juga mengerti akan pentingnya kebersihan lingkungan dari kawasan sehingga ada pengaturan pembuangan sampah yang dilakukan volunteer secara bergilir sehingga kawasan tetap lestari bersih dari sampah. Pelaksanaan pembersihan dari gerbang pintu masuk sampai Curug Ngumpet dilaksanakan setiap hari selasa. Sedangkan untuk masing-masing obyek selain dilaksanakan pada hari selasa juga dilaksanakan setelah ada yang berkemah di lokasi. 5. Faktor Politik Balai TNGHS merekrut masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dengan MoU antara kepala balai yang menjabat saat itu dengan kepala Desa Gunung Bunder 2 sehingga volunteer mendapatkan hak untuk mengelola kawasan dan obyek yang terdapat di dalamnya. Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 sebagian besar mau berpartispasi dalam pengelolaan wisata. Akan tetapi mekanisme pelibatan sebagai volunteer masih didasarkan pada hubungan dekat, baik berdasarkan hubungan saudara maupun teman sehingga tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan untuk terlibat. Selain itu juga ditentukan dengan kedekatan dengan tenaga kerja kontrak yang diberikan mandat oleh pihak Resort Salak II TNGHS. Penilaian faktor pengembangan masyarakat menunjukkan bahwa faktor budaya masuk dalam kategori sangat buruk dengan skor 1.09. Faktor ekonomi dengan skor 1.95 masuk dalem kategori buruk. Kategori cukup yaitu pada faktor sosial dan dan lingkungan dengan skor masing-masing yaitu 2.69 dan 2.81. Sedangkan faktor politik dengan skor 4.67 masuk dalam kategori sangat baik. Hasil dari perhitungan setiap faktor di kawasan Gunung Bunder dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder No 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor Faktor Sosial Faktor Budaya Faktor Ekonomi Faktor Lingkungan Faktor Politik
Skor 2.69 1.09 1.95 2.81 4.67
Kategori Cukup Sangat Buruk Buruk Cukup Sangat Baik
24
Berdasarkan analisis korelasi antar semua faktor maka nilai signifikansi yang lebih kecil dari alpa 5% adalah lingkungan-sosial dan ekonomi-sosial. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor sosial dengan faktor lingkungan dan faktor sosial dengan ekonomi. Nilai korelasi antara faktor sosial dengan lingkungan adalah 0.406 sedangkan faktor sosial dengan ekonomi adalah 0.419. Nilai yang positif ini berarti ada hubungan yang positif. Jika faktor sosial naik maka faktor ekonomi dan lingkungan akan naik, begitu juga sebaliknya jika faktor sosial turun maka faktor ekonomi dan lingkungan turun.
Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Gunung Bunder Pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder telah diidentifikasi melalui proses wawancara dan diskusi dengan pihak terkait pengelolaan wisata yaitu Kepala Resort Salak II TNGHS, Wakil Kepala Resort Salak II TNGHS, Kepala Desa Gunung Bunder 2, Kepala Volunteer, Tenaga Kerja Kontrak, dan Koordinator Obyek. Beberapa faktor pendukung yang berkaitan dalam
pengembangan wisata berbasis masyarakat, sebagai berikut: 1. Tingginya keterlibatan masyarakat sebagi pelaku wisata. 2. Keinginan masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengembangan potensi wisata di kawasan. 3. Masyarakat pelaku wisata telah mengikuti pelatihan terkait lingkungan dan wisata. 4. Keterbukaan masyarakat terhadap pengunjung. 5. Kawasan konservasi yang masih alami. 6. Kawasan mempunyai banyak obyek wisata baik itu tegakan hutan pinus, curug, dan kawah. 7. Akses menuju kawasan relatif mudah. 8. Kebijakan yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada badan hukum untuk mengelola wisata di kawasan konservasi. 9. Potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan yang cukup tinggi. 10. Minat pengunjung yang tinggi terhadap kawasan wisata alam. Sedangkan faktor-faktor yang merupakan kendala atau permasalahan dalam mengembangkan wisata berbasis masyarakat di kawasan ini adalah: 1. Latar belakang pendidikan masyarakat pengelola wisata yang masih rendah. 2. Belum ada badan hukum pengelola wisata. 3. Keterbatasan dana masyarakat untuk mengelola kawasan. 4. Perubahan budaya masyarakat. 5. Pembagian peran masyarakat pelaku wisata yang tidak rata. 6. Pengunjung yang tidak memahami bahwa kawasan merupakan kawasan konservasi. 7. Degradasi lingkungan.
25
8. Banyaknya wisata sejenis di Bogor selain di kawasan Gunung Bunder. 9. Banyaknya pungutan liar. Informasi yang berkaitan dengan faktor pendukung dan kendala yang terdapat dalam upaya mengembangkan wisata berbasis masyarakat di kawasan ini kemudian dirumuskan ke dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dianalisis untuk mendapatkan strategi yang dapat mendukung pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang terdapat pada kawasan Gunung Bunder untuk memberi arahan bagi strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan ini. Faktor internal adalah faktor dari dalam yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan (Tabel 7). Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor dari luar kawasan yang digambarkan melalui faktor peluang dan ancaman (Tabel 8). Tabel 7 Matriks internal kawasan Gunung Bunder (IFAS) Faktor Strategis Internal Kekuatan 1. Tingginya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku wisata 2. Keinginan masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengembangan potensi wisata di kawasan 3. Masyarakat pelaku wisata telah mengikuti pelatihan terkait lingkungan dan wisata 4. Keterbukaan masyarakat terhadap pengunjung Total Kelemahan 1. Latar belakang pendidikan masyarakat pengelola wisata rendah 2. Belum ada badan hukum pengelola wisata 3. Keterbatasan dana masyarakat untuk mengelola kawasan 4. Perubahan budaya masyarakat 5. Pembagian peran masyarakat pelaku wisata yang tidak rata Total Selisih
Rating
Bobot
Skor
3.33
0.23
0.75
4.33
0.33
1.41
3.17
0.19
0.59
4.00
0.26
1.05
1
3.80
4.00
0.26
1.05
3.33 3.67
0.21 0.19
0.70 0.69
3.33 3.33
0.18 0.16
0.60 0.53
1
3.57 0.23
Matriks internal kawasan Gunung Bunder merangkum rata-rata penilaian dari responden terhadap kekuatan dan kelemahan kawasan. Matriks tersebut menunjukkan bahwa kekuatan utama kawasan karena adanya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan potensi wisata di kawasan dengan skor 1.41. Sedangkan kekuatan terkecilnya ialah masyarakat pelaku wisata telah mengikuti pelatihan terkait lingkungan dan wisata dengan skor 0.59.
26
Kelemahan utama kawasan Gunung Bunder adalah latar belakang pendidikan masyarakat pengelola wisata rendah dengan skor 1.05. Sedangkan kelemahan terkecilnya yaitu pembagian peran masyarakat pelaku wisata yang tidak rata dengan skor 0.53. Selisih antara jumlah skor faktor kekuatan dengan faktor kelemahan adalah 0.23. Kawasan Gunung Bunder berada pada posisi positif internalnya. Tabel 8 Matriks ekternal kawasan Gunung Bunder (EFAS) Faktor Strategis Ekternal Peluang 1. Kawasan konservasi yang masih alami 2. Kawasan mempunyai banyak obyek wisata baik itu tegakan hutan pinus, curug, dan kawah 3. Akses menuju kawasan relatif mudah 4. Kebijakan yang membuka kesempatan seluasluasnya kepada badan hukum untuk mengelola wisata di kawasan konservasi 5. Potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan yang cukup tinggi 6. Minat pengunjung yang tinggi terhadap kawasan wisata alam Total Ancaman 1. Pengunjung yang tidak memahami bahwa kawasan merupakan kawasan konservasi 2. Degradasi lingkungan 3. Banyaknya wisata sejenis di Bogor selain di kawasan Gunung Bunder 4. Banyaknya pungutan liar Total Selisih
Rating
Bobot
Skor
4.50 4.50
0.21 0.18
0.96 0.79
4.33 3.17
0.19 0.13
0.83 0.41
2.33
0.13
0.30
4.00
0.16
0.64
1
3.93
3.50
0.25
0.89
3.00 2.50
0.27 0.21
0.81 0.52
3.67
0.27 1
0.99 3.20 0.73
Matriks eksternal kawasan Gunung Bunder menunjukkan bahwa peluang terbesar adalah kawasan konservasi yang masih alami dengan skor 0.96. Sedangkan peluang terkecilnya adalah potensi sepanjang jalan menuju kawasan yang cukup tinggi dengan skor 0.30. Faktor ancaman paling besar di kawasan Gunung Bunder adalah banyaknya pungutan liar dengan skor 0.99. Sedangkan ancaman yang paling kecil adalah banyaknya wisata sejenis di Bogor selain kawasan dengan skor 0.52. Selisih antara jumlah skor faktor peluang dan faktor ancaman adalah 0.73. Kawasan Gunung Bunder berada pada posisi positif pada lingkungan eksternalnya. Posisi strategis pengelolaan kawasan Gunung Bunder diperoleh dari selisih antara jumlah skor faktor kekuatan dengan faktor kelemahan sebagai kooordinat horizontal (sumbu X) dan selisih antara jumlah skor faktor peluang dengan faktor ancaman sebagai koordinat vertikal (sumbu Y). Posisi strategis ini tertera dalam model diagram kartesius yang telihat pada Gambar 13.
27
Gambar 13 Diagram kartesius analisis SWOT kawasan Gunung Bunder Analisis Strategi Pengembangan Wisata Berbasis Masyarakat Analisis SWOT akan memberikan alternatif strategi pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder. Keunggulan analisis ini adalah untuk memformulasikan strategi berdasarkan gabungan faktor internal dan eksternal. Empat strategi yang dapat menjadi pilihan yaitu strategi SO (StrenghsOpportunities), ST (Strenghs-Threats), WO (Weaknesses-Opportunities), dan WT (Weaknesses- Threats). Analisis ini menggunakan data dari matriks IFAS dan EFAS pada Tabel 7 dan Tabel 8. Kawasan Gunung Bunder berada pada kuadran pertama diagram kartesius dengan strategi pengelolaan yang disarankan adalah strategi SO (Tabel 9).
28
Tabel 9 Matriks SWOT strategi SO (Strenghs-Opportunities) Internal
Kekuatan 1. Tingginya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku wisata. 2. Keinginan masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengembangan potensi wisata di kawasan. 3. Masyarakat pelaku wisata telah mengikuti pelatihan terkait lingkungan. 4. Keterbukaan masyarakat terhadap pengunjung.
Peluang 1. Kawasan konservasi yang masih alami. 2. Kawasan mempunyai banyak obyek wisata baik itu tegakan hutan pinus, curug, dan kawah. 3. Akses menuju kawasan relatif mudah. 4. IPPA yang membuka kesempatan seluasluasnya kepada badan hukum untuk mengelola wisata di kawasan konservasi. 5. Potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan yang cukup tinggi. 6. Minat pengunjung yang tinggi terhadap kawasan wisata alam.
STRATEGI SO 1. Meningkatkan promosi wisata kepada calon pengunjung yang menyukai kegiatan di alam. 2. Membuat organisasi pengelola wisata dengan partisipasi aktif masyarakat. 3. Memanfaatkan potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan sebagai tempat persinggahan.
Ancaman 1. Pengunjung yang tidak memahami bahwa kawasan merupakan kawasan konservasi. 2. Degradasi lingkungan. 3. Banyaknya wisata sejenis di Bogor selain di kawasan Gunung Bunder. 4. Banyaknya pungutan liar.
STRATEGI ST 1. Melakukan sosialisasi tentang pemahaman kawasan konservasi. 2. Membuat papan interpretasi.
Eksternal
Kelemahan 1. Latar belakang pendidikan masyarakat pengelola wisata yang masih rendah. 2. Belum ada badan hukum pengelola wisata. 3. Keterbatasan dana masyarakat untuk mengelola kawasan. 4. Perubahan budaya masyarakat. 5. Pembagian peran masyarakat pelaku wisata yang tidak rata. STRATEGI WO 1. Meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat dengan melaksanakan pelatihan. 2. Membuat payung hukum untuk pengelola wisata. 3. Menghidupkan kembali budaya masyarakat.
STRATEGI WT 1. Menjaga kelestarian kawasan. 2. Menghidupkan kembali budaya masyarakat.
29
Strategi SO merupakan strategi pertumbuhan agresif dengan menggunakan kekuatan kawasan dan memanfaatkan peluang. Strategi agresif merupakan pilihan yang cocok jika dilihat dari posisi kawasan Gunung Bunder yang memiliki kekuatan dan peluang yang cukup besar. Langkah yang dapat dirumuskan dalam menggunakan kekuatan dan memanfaatkan peluang yaitu: 1. Meningkatkan promosi wisata kepada calon pengunjung yang menyukai kegiatan di alam. Dalam mengembangkan pemasaran, strategi pencitraan dan promosi untuk produk wisata sangat penting (WWF Indonesia 2009) melalui: (a) mengikuti kegiatan promosi dan pemasaran berskala internasioanl; (b) melakukan survei pasar secara berkala untuk mengetahui dinamika pasar; (c) mengidentifikasi target pasar untuk produk wisata yang dikembangkan; (d) menyelenggarakan promosi secara khusus (family trip, media trip, dan lain-lain); (e) membuka dan menjalin hubungan terbuka dengan pihak swasta dan mendorong adanya kesepakatan antara organisasi masyarakat dengan tour operator. Kawasan Gunung Bunder merupakan kawasan konservasi yang masih alami dengan banyak obyek wisata baik itu tegakan hutan pinus, curug maupun kawah. Selain itu aksesibilitas menuju kawasan termasuk mudah. Jarak tempuh ke kawasan dari jantung Kota Bogor ± 32 km dengan kondisi jalan beraspal baik hingga pintu gerbang kawasan. Budaya masyarakat Desa Gunung Bunder dipengaruhi oleh kebudayaan sunda dan agama islam. Budaya yang ada di kawasan ini seperti kecapi suling, angklung, wayang golek, dan pencak silat. Perubahan budaya terjadi sehingga diperlukan penggerak untuk menghidupkan kembali budaya masyarakat sehingga dapat menambah potensi kawasan. Kegiatan informasi dan promosi kawasan Gunung bunder perlu dilakukan secara lebih luas melalui berbagai media, tidak hanya dari mulut ke mulut, baik itu media cetak maupun media elektronik. Optimalisasi kegiatan promosi sebagai media informasi tersebut diperlukan tidak hanya untuk kepentingan memperkenalkan kawasan Gunung Bunder kepada masyarakat luas tetapi juga untuk kepentingan mempopulerkan kegiatan ekowisata sebagai salah satu aset yang dimiliki Kabupaten Bogor dalam kegiatan kepariwisataan. Promosi juga dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa kawasan merupakan kawasan konservasi yang harus dilindungi sehingga lingkungan kawasan Gunung Bunder tidak semakin terdegaradasi dengan adanya pengunjung yang tidak paham mengenai kawasan. Kegiatan promosi yang dapat dilakukan berupa: (a) Pembaharuan dan penyebaran leaflet, booklet, pamflet, sticker, film, poster, kalender dan lainlain; (b) Pemasangan billboard di luar kawasan tentang obyek dan daya tarik kawasan Gunung Bunder di tempat-tempat yang strategis dan dapat dengan mudah diketahui masyarakat luas; (c) Promosi melalui media cetak maupun media elektronik; (d) Pembaharuan informasi di website TNGHS; (e)
30
2.
3.
Menjalin kerjasama/kemitraan dengan biro-biro perjalanan yang ada di Bogor dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata; dan (f) Penyelenggaraan dan partisipasi dalam pameran dan even pariwisisata dalam pengembangan wisata. Membuat organisasi pengelola wisata dengan partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 sebagian besar mau berpartispasi dalam pengelolaan wisata. Akan tetapi mekanisme pelibatan sebagai volunteer masih didasarkan pada hubungan dekat, baik berdasarkan hubungan saudara maupun teman sehingga tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan untuk terlibat. Selain itu juga ditentukan dengan kedekatan dengan tenaga kerja kontrak yang diberikan mandat oleh pihak Resort Salak II TNGHS. Latar belakang pendidikan masyarakat pengelola wisata juga masih terbilang rendah didimonasi oleh lulusan sekolah dasar. Hal ini dikarenakan keterbatasan dana dan jenjang sekolah berikutnya tidak tersedia di Desa Gunung Bunder 2. Masyarakat dapat dibekali dengan pelatihan sehingga walaupun mempunyai latar belakang yang rendah tetapi dapat memahami kawasan Gunung Bunder baik dari segi lingkungannya maupun potensi wisatanya. Keberlanjutan pengelolaan wisata berbasis masyarakat tergantung pada partisipasi masyarakat dan hal tersebut dapat berlangsung bila ada manfaat nyata yang diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut (Adhikari 2001). Pengelolaan wisata di kawasan Gunung Bunder memerlukan payung hukum yang dapat mengarahkan pengembangan wisata berbasis masyarakat. Bentuk pengelolaan dengan pelibatan masyarakat sangat diutamakan dalam pengelolaan wisata kawasan Gunung Bunder dengan Balai TNGHS sebagai pendamping. Hal ini memudahkan Balai TNGHS dalam melakukan kontrol terhadap pengembangan dan pelaksanaan kegiatan wisata alam agar tidak membahayakan kelestarian kawasan. Skema ini memungkinkan untuk memperjelas pembagian kewenangan dari obyek wisata di kawasan. Kejelasan kewenangan akan membuat kejelasan aliran manfaat, tidak hanya kewenangan dan kewajiban. Hal ini akan mendorong para pelaku wisata untuk ikut menjaga kelestarian alam guna keberlanjutan kegiatan wisata (Ekayani et al. 2014). Memanfaatkan potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan sebagai tempat persinggahan. Kapasitas kegiatan wisata di kawasan dibatasi oleh daya dukung lingkungan sehingga tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak yang mengharapkan manfaat dari wisata di kawasan Gunung Bunder. Oleh karena itu perlu dikembangkan segmentasi wisata yang dapat dilakukan di luar kawasan (Ekayani et al. 2014). Kegiatan wisata dapat dibangun di Desa
31
Gunung Bunder 2 sehingga tidak semua terpusat di dalam kawasan sehingga masyarakat yang dapat merasakan manfaat wisata juga semakin banyak.
Gambar 14 Pemandangan sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan Gunung Bunder Mata pencaharian pokok penduduk Desa Gunung Bunder 2 di bidang pertanian. Sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan Gunung Bunder memiliki pemandangan yang tidak kalah dengan kawasan Gunung Bunder itu sendiri. Hamparan tanaman sepanjang jalan yang dimiliki masyarakat desa baik itu padi, singkong, maupun pisang menjadi daya tarik terutama untuk pengunjung yang berasal dari kota yang tidak setiap saat dapat melihat pemandangan tersebut. Posisi jalan yang berbukitbukit juga menambah keindahan pemandangan yang ada sehingga dapat dibuat tempat persinggahan untuk menikmati pemandangan yang ada sekaligus mengistirahatkan kendaraan dan pengunjung itu sendiri dari perjalanan sebelum mencapai kawasan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penilaian faktor pengembangan masyarakat menunjukkan bahwa faktor budaya masuk dalam kategori sangat buruk dengan skor 1.09. Faktor ekonomi dengan skor 1.95 masuk dalam kategori buruk. Kategori cukup yaitu pada faktor sosial dan dan lingkungan dengan skor masing-masing yaitu 2.69 dan 2.81. Sedangkan faktor politik dengan skor 4.67 masuk dalam kategori sangat baik. Ada hubungan signifikan antara faktor sosial dengan faktor lingkungan dan faktor sosial dengan ekonomi. Jika faktor sosial naik maka faktor ekonomi dan lingkungan akan naik, begitu juga sebaliknya jika faktor sosial turun maka faktor ekonomi dan lingkungan turun.
32
Kawasan Gunung Bunder berada pada kuadran pertama diagram kartesius dengan strategi pengelolaan yang disarankan adalah strategi SO (StrenghsOpportunities). Langkah yang dapat dirumuskan dalam menggunakan kekuatan dan memanfaatkan peluang yaitu (1) Meningkatkan promosi wisata kepada calon pengunjung yang menyukai kegiatan di alam; (2) Membuat organisasi pengelola wisata dengan partisipasi aktif masyarakat; dan (3) Memanfaatkan potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan sebagai tempat persinggahan.
Saran Mengoptimalkan pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder dengan menerapkan strategi pengembangan wisata berdasarkan analisis SWOT. Hal ini dapat dilakukan dengan: (1) Optimalisasi kegiatan promosi berupa pembaharuan dan penyebaran leaflet, booklet, pamflet, sticker, film, poster, kalender dan lain-lain, pemasangan billboard di luar kawasan tentang obyek dan daya tarik kawasan Gunung Bunder di tempat-tempat yang strategis dan dapat dengan mudah diketahui masyarakat luas, promosi melalui media cetak maupun media elektronik, pembaharuan informasi di website TNGHS, menjalin kerjasama/kemitraan dengan biro-biro perjalanan yang ada di Bogor dan pihakpihak lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata dan penyelenggaraan dan partisipasi dalam pameran dan even pariwisisata dalam pengembangan wisata; (2) Pembuatan payung hukum yang dapat mengarahkan pengembangan wisata berbasis masyarakat, pelibatan masyarakat sangat diutamakan dalam pengelolaan wisata kawasan Gunung Bunder dengan Balai TNGHS sebagai pendamping; dan (3) Membangun kegiatan wisata di Desa Gunung Bunder 2 sehingga tidak semua terpusat di dalam kawasan Gunung Bunder sehingga masyarakat yang dapat merasakan manfaat wisata juga semakin banyak.
DAFTAR PUSTAKA Adhikari JR. 2001. Community-based Natural Resource Management in Nepal with Reference to Community Forestry: A Gender Perspective. A Journal of the Environment 6 (7): 9-12. Astuti YD. 2010. Pemetaan Dampak Ekonomi Pariwisata dalam Penerapan Konsep Community Based Tourism (CBT) (Studi Kasus Desa Wisata Kebon Agung di Kabupaten Bantul) [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Merat. Brahmantyo H, Kusmayadi. 1999. Potensi dan Peluang Usaha dalam Pengembangan Pariwisata Gunung Salak Endah. Jurnal Ilmiah Pariwisata 4(2): 85-109. Braun J. 2008. Community-based Tourism in Northern Honduras: Opportunities and Barries. Manitoba (CA): University of Manitoba.
33
Byrd ET, Cardenas DA, Dregalla SE. 2009. Differences in Stakeholder Attitudes of Tourism Development and The Natural Environment. E-Review of Tourism Research 7(2): 39-51. Choi HC, Sirakaya E. 2006. Sustainability Indicators for Managing Community Tourism. Tourism 27: 1274-1289. Cooper G. 2004. Community Based Tourism Experiences in the Caribbean: Lessons and Key Consideration. Paper presented at the Caribbean Tourism Organization Sixth Annual Caribbean Conference on Sustainable Tourism Development: “Keeping the right balance – Land and Sea Encounters.” Havana, Cuba, April 27-30, 2004. Ekayani M, Nuva, Yasmin R, Shaffitri LR, Idris B. 2014. Taman Nasional Untuk Siapa? Tantangan Membangun Wisata Alam Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan 1 (1): 46-52. Ekowati D. 2005. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata (Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian Pariwisata. 2014. Statistik Profil Wisatawan Nusantara (Profil Penduduk Indonesia yang Melakukan Perjalanan). Jakarta (ID): Kementerian Pariwisata. Maharani R. 2009. Studi Potensi Lanskap Perdesaan untuk Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Qomariah L . 2009. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri (Studi Kasus Blok Rajegwesi SPTN I Sarongan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. [REST] The Responsible Ecological Social Tours. 1997. Community Based Tourism Handbook. Bangkok: The Responsible Ecological Social Tours (REST) Projects. Scheyvens R. 1999. Ecotourism and the Empowerment of Local Communities. Tourism Management 20: 245-249. Suriani NE, Razak MN. 2011. Pemetaan Potensi Ekowisata di Taman Nasional Baluran. Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 24(3): 251-260. Tanaya DR, Rudiarto I. 2014. Potensi Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Rawa Pening, Kabupaten Semarang. Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota 3(1): 71-81. Ulfah SM. 2007. Identifikasi Konflik dalam Pengelolaan Wisata di Kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [UNWTO] United Nations World Tourism Organization. 2015. Annual Report 2014. Madrid (ES): World Tourism Organization.
34
[WTO] World Tourism Organization. 2008. Tourism and Community Development – Asian Practices. Madrid (ES): World Tourism Organization. [WWF] World Wide Fund for Nature. 2001. Guidelines for Community-Based Ecoutourism Development. Ledbury (UK): The Tourism Company.
35
LAMPIRAN
36
No
Variabel Buruk
Nilai Cukup
Baik
Sangat baik
Ada, disusun sendiri, tidak jelas Pembagian peran tidak rata, kerjasama lemah 35-50% volunteer meningkat kualitas hidupnya
Ada, disusun sendiri, jelas Pembagian peran rata, kerjasama lemah 50-75% volunteer meningkat kualitas hidupnya
Ada, disusun bersama, tidak jelas Pembagian peran tidak rata, kerjasama kuat 76-90% volunteer meningkat kualitas hidupnya
Ada, disusun bersama, jelas Pembagian peran rata, kerjasama kuat >90% volunteer meningkat kualitas hidupnya
Kebanggaan terhadap kawasan menurun
Tidak ada peningkatan kebanggaan terhadap kawasan
Sebagian generasi memiliki peningkatan kebanggaan terhadap kawasan
Seluruh generasi memiliki kebanggaan terhadap kawasan tetapi hanya sebagian yang meningkat
Seluruh generasi memiliki peningkatan kebanggaan terhadap kawasan
Tidak ada
Ada kegiatan
Ada kegiatan, ada organisasi
Ada kegiatan, ada aturan main
Ada organisasi, ada aturan main, ada kegiatan
Sangat buruk Sosial 1. Struktur dan aturan main organisasi 2. Pembagian peran dan kerjasama 3.
Peningkatan kualitas hidup masyarakat
4.
Peningkatan kebanggaan masyarakat
Budaya 1. Pendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda
36
Lampiran 1 Faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Bunder
Tidak ada Tidak ada pembagian peran dan kerjasama <35% volunteer meningkat kualitas hidupnya
37
2.
Perkembangan pertukaran budaya
Tidak ada
Ada pertukaran budaya, sedikit yang berpartisipasi, frekuensi kegiatan jarang
Ada pertukaran budaya, sedikit yang berpartisipasi, frekuensi kegiatan sering
Ada pertukaran budaya, banyak yang berpartisipasi, frekuensi kegiatan jarang
Budaya lokal digunakan sebagai dasar dalam konsep pembangunan Ekonomi 1. Dana untuk pengembangan masyarakat
Tidak ada
Penataan desa
Penataan desa, adat kebiasaan
Penataan desa, penataan wisata
Tidak ada dana untuk pengembangan masyarakat
<5% dana wisata digunakan untuk pengembangan masyarakat
5-7% dana wisata digunakan untuk pengembangan masyarakat
8-10% dana wisata digunakan untuk pengembangan masyarakat
>10% dana wisata digunakan untuk pengembangan masyarakat
2.
Terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata
Tidak ada lapangan pekerjaan yang tercipta
Terciptanya <5 lapangan pekerjaan baru
Terciptanya 5-7 lapangan pekerjaan baru
Terciptanya 8-10 lapangan pekerjaan baru
Terciptanya >10 lapangan pekerjaan baru
3.
Terciptanya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata
Tidak ada pendapatan yang tercipta dari sektor pariwisata
Terciptanya pendapatan masyarakat yang mencukupi sebagian kebutuhan individu
Terciptanya pendapatan masyarakat yang mencukupi semua kebutuhan individu
Terciptanya pendapatan masyarakat yang mencukupi sebagian kebutuhan rumah tangga
Terciptanya pendapatan masyarakat yang mencukupi semua kebutuhan rumah tangga
3.
Ada pertukaran budaya, banyak yang berpartisipasi, frekuensi kegiatan sering Penataan desa, penataan wisata, adat kebiasaan
37
38
2.
Pengaturan pembuangan sampah
3.
Peningkatan kepedulian akan perlunya konservasi Politik 1. Peningkatan partisipasi dari penduduk lokal
2.
Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas
38
Lingkungan 1. Pembelanjaran daya dukung lingkungan
Masyarakat tidak mengetahui, tidak memahami, dan tidak menerapkan batas daya dukung lingkungan
Masyarakat mengetahui batas daya dukung lingkungan
Masyarakat mengetahui, memahami tapi tidak menerapkan batas daya dukung lingkungan
Masyarakat menerapkan batas daya dukung lingkungan
Masyarakat mengetahui, memahami dan menerapkan batas daya dukung lingkungan
Tidak ada
Ada implementasi
Ada organisasi, ada implementasi
Ada aturan main, ada implementasi
Tidak ada
Ada implementasi
Ada organisasi, ada implementasi
Ada aturan main, ada implementasi
Ada organisasi, ada aturan main, ada implementasi Ada organisasi, ada aturan main, ada implementasi
Masyarakat tidak berpartispasi dalam pengelolaan wisata Tidak ada pengakuan
<5% masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan wisata
5-8% masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan wisata Ada pengakuan informal dari sebagian besar (>50%) masyarakat
8-10% masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan wisata Ada legitimasi/ pengesahan dari pimpinan dan masyarakat secara lisan
Ada pengakuan informal dari beberapa orang (<50%) masyarakat
>10% masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan wisata Ada legitimasi/ pengesahan dari pimpinan dan masyarakat secara tertulis
39
3.
Penjaminan hak-hak dalam pengelolaan sumber daya alam
Tidak ada pengakuan
Ada pengakuan informal dari beberapa orang (<50%) masyarakat
Ada pengakuan informal dari sebagian besar (>50%) masyarakat
Ada legitimasi/ pengesahan dari pimpinan dan masyarakat secara lisan
Ada legitimasi/ pengesahan dari pimpinan dan masyarakat secara tertulis
39
40
Lampiran 2 Hasil uji korelasi faktor pengembangan wisata berbasis masyarakat Hipotesis H0: tidak ada hubungan H1: ada hubungan yang signifikan Tolak H0 jika nilai signifikansi lebih kecil dari alpha 5%. Correlations sosial Spearman's
sosial
rho
Correlation Coefficient
budaya
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
ekonomi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
lingkungan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N politik
.226
.419**
.406**
.
.
.123
.003
.004
.
48
48
48
48
48
.226
1.000
.209
.127
.
.123
.
.154
.389
.
48
48
48
48
48
.419**
.209
1.000
.072
.
.003
.154
.
.628
.
48
48
48
48
48
.406**
.127
.072
1.000
.
.004
.389
.628
.
.
48
48
48
48
48
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
48
48
48
48
48
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
politik
1.000
Sig. (2-tailed) N
budaya ekonomi lingkungan
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
41
Lampiran 3 Perhitungan analisis SWOT Faktor Strategis Internal Kekuatan Tingginya keterlibatan masyarakat 1. sebagai pelaku wisata Keinginan masyarakat untuk 2. berpatisipasi dalam pengembangan potensi wisata di kawasan Masyarakat pelaku wisata telah 3. mengikuti pelatihan terkait lingkungan dan wisata Keterbukaan masyarakat terhadap 4. pengunjung
Karesort
Wakaresort
Kades
Kavolunteer
TKK
KoorObyek
Bobot
Nilai
Skor
4
0,23
3,33
0,75
5
5
0,33
4,33
1,41
3
4
4
0,19
3,17
0,59
4
4
4
0,26
4
1,05
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
3
3
3
3
2
3
3
3
3
4
4
5
4
4
4
5
5
3
4
4
4
2
3
2
3
2
3
3
3
2
3
4
3
4
4
4
4
4
3
1 Kelemahan Latar belakang pendidikan masyarakat 1. pengelola wisata rendah Belum ada badan hukum pengelola 2. wisata Keterbatasan dana masyarakat untuk 3. mengelola kawasan 4. Perubahan budaya masyarakat Pembagian peran masyarakat pelaku 5 wisata yang tidak rata
3,8
4
4
4
4
5
5
4
4
4
3
4
4
0,26
4
1,05
5
4
4
4
2
3
4
3
2
3
3
3
0,21
3,33
0,7
2
4
2
4
4
3
4
3
3
4
3
4
0,19
3,67
0,69
2
3
2
3
5
5
3
3
2
3
3
3
0,18
3,33
0,6
2
3
2
3
4
4
3
4
1
3
3
3
0,16
3,33
0,53
1
3,57
41
42
42
Lampiran 3 Perhitungan Analisis SWOT (Lanjutan) Faktor Strategis Ekternal Peluang 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kawasan konservasi yang masih alami Kawasan mempunyai banyak obyek wisata baik itu tegakan hutan pinus, curug, dan kawah Akses menuju kawasan relatif mudah Kebijakan yang membuka kesempatan seluasluasnya kepada badan hukum untuk mengelola wisata di kawasan konservasi Potensi sepanjang jalan masuk Desa Gunung Bunder 2 menuju kawasan yang cukup tinggi Minat pengunjung yang tinggi terhadap kawasan wisata alam
Karesort
Wakaresort
Kades
Kavolunteer
TKK
KoorObyek
Bobot
Nilai
Skor
5
0,21
4,5
0,96
4
5
0,18
4,5
0,79
4
3
4
0,19
4,33
0,83
2
3
2
3
0,13
3,17
0,41
3
2
2
2
2
0,13
2,33
0,3
5
4
4
3
4
0,16
4
0,64
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
Bobot
Nilai
5
5
4
4
5
5
4
4
5
4
5
4
4
5
5
3
4
3
4
4
5
4
5
4
4
5
5
4
4
5
5
3
4
3
1
3
3
4
4
2
5
2
2
3
2
2
3
2
4
5
4
5
1 Ancaman Pengunjung yang tidak memahami bahwa 1. kawasan merupakan kawasan konservasi 2. Degradasi lingkungan Banyaknya wisata sejenis di Bogor selain di 3. Kawasan Gunung Bunder 4. Banyaknya pungutan liar
3,93
4
4
4
4
2
4
2
3
2
3
2
3
0,25
3,5
0,89
3
3
3
3
4
3
3
3
2
3
2
3
0,27
3
0,81
2
2
2
2
1
2
1
2
5
5
2
2
0,21
2,5
0,52
3
4
3
3
1
3
3
4
4
4
3
4
0,27
3,67
0,99
1
3,2
43
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Palembang pada tanggal 21 Agustus 1988, putri kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak M. Teguh SH dan Ibu Erlina SH. Penulis memiliki satu kakak yaitu Irwandi Teguh dan mempunyai dua adik yaitu Irmansyah Teguh dan Irfandi Teguh. Penulis memiliki suami yaitu Nugroho Ari Setiawan, SE. Penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) pada tahun 2005 melalui jalur SPMB dan menyelesaikan pendidikan S1 tersebut pada tahun 2010. Penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada tahun 2012. Penulis pernah bekerja di Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) EQUATOR pada tahun 2011 sampai tahun 2014.