KAJIAN KONFLIK LAHAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)
ANA DAIRIANA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
KAJIAN KONFLIK LAHAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ANA DAIRIANA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN ANA DAIRIANA. Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara) Dibimbing Oleh HARIADI KARTODIHARDJO
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu sumber penyokong kehidupan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Laju perkembangan penduduk yang signifikan dan berkembangnya tanaman kakao yang memiliki harga tinggi menambah pemanfaatan lahan yang pada akhirnya mengurangi luasan hutan. Di lain pihak, pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariannya, maupun dari luasan wilayah yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Diterbitkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh secara nyata memberi warna baru dalam pengelolaan TNGL, dibentuknya Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) yang hampir sama perannya dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) membuat proses administrasi dan koordinasi menjadi sulit. Adapun isu penyebab konflik yang terjadi di kawasan TNGL adalah pemantapan kawasan, perambahan kawasan, lemahnya koordinasi antar lembaga, lemahnya kesadaran dan ekonomi masyarakat sekitar hutan serta konflik sosial yang berkepanjangan. Wujud konflik 23% tertutup, 60% telah mencuat kepermukaan dan 17% konflik telah terbuka. Penyebab konflik lahan 43% disebabkan pembukaan lahan penanaman tanaman kakao yang kini sedang ditekuni masyarakat desa hutan. Penyelesaian konflik lahan yang terjadi di kawasan TNGL 50% dilakukan dengan cara mediasi, hal ini dikarenakan masyarakat masih menjunjung tinggi musyawarah dan prinsip kekeluargaan. Dalam menangani konflik pihak yang dilibatkan 76% adalah aparat keamanan seperti TNI dan POLRI, hal ini dikarenakan pengaruh dari konflik sosial yang terjadi di kawasan Aceh yang berlangsung pada kurun waktu yang lama.
Kata kunci : (Konflik, pembukaan lahan dan taman nasional)
SUMMARY ANA DAIRIANA. Review of Land Conflict in the Gunung Leuser National Park (Case Study Lawe Mamas and Jambur Lak-lak Village STPN Region IV Badar BPTN Region II Kutacane Southeast Aceh) under supervisiour of HARIADI KARTODIHARDJO Gunung Leuser National Park (TNGL) is one source of life support to accomplish the needs of the community. The rate of significant population growth and development of the cocoa plant that has a high price increase of land use which caused reduced the forest area. On the other hand, managers have an obligation to maintain the forest area in terms of sustainability, as well as the extent of areas which impact on the conflict between forest managers and the people living surrounding the forest. Publication of Act N0 11 of 2006 on Acehnese government actually gives a new color in TNGL management, the establishment of the Leuser Ecosystem Management Agency (BP-KEL), a similar role with the Great Hall of the Gunung Leuser National Park (BBTNGL) makes the administration and coordination becomes difficult. The issue of conflicts in TNGL region is related to forest demarcation, encroachment areas, lack of coordination between agencies, lack of awareness and economic of community around the forest as well as a protracted social conflict. Being conflicts closed 23%, 60% have been sticking surface and 17% had an open conflict. The problem of land conflicts caused by land clearing in 43% cacao tree planting is now being occupied forest villagers. Settlement of land conflicts that occurred in the area TNGL 50% done by mediation, this caused by society is still high to support deliberation and the principle of kinship. In dealing with the conflict parties in involve 76% is the security forces such as military and police was caused influence of social conflicts that occurred in the area of Aceh which took place in a long time. Keywords: (Conflict, encroachment areas and national parks)
Judul Penelitian
: Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)
Nama
: Ana Dairiana
NIM
: E14060346
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS NIP. 19580424 198303 1 005
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara)” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.
Bogor, Februari 2011
Ana Dairiana NRP. E14060346
KATA PENGANTAR Segala puji dan sembah penulis panjatkan atas berkat dan belas kasih Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara) dengan sangat baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS yang telah memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Bunda dan ayah tercinta serta kedua adik penulis, juga keluarga besar yang penuh kesabaran selalu memberikan motivasi dan doanya kepada penulis. 3. Bapak Ir. Harijoko SP,MM, Pak Buana, Pak Sabar, bang Zulvan, beserta segenap karyawan dan pekerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah banyak membantu dalam penelitian sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan lancar. 4. Sahabat penulis Nur Illiyyina S, Desna, Eri Suhesti, Resty mayatirama, Ana Yu, Anggi putri, Kiki Amelia dan Mika Asri yang selalu ada dan memberikan dukungan pada penulis. 5. Teman-teman di Departemen Manajemen Hutan angkatan 43 (khususnya,Siffa R, Andi R, Iffah, Elisda, Luffi, Andre, Danesh, Linda Z, Suke, Anita sopiana, Adnan, Candra, Januar, Sentot, Dian O, Aris, Ifki, Kristanto, Hania, Dolla, Andin, Uci, Wulan dan Chika), teman teman di wisma Mega 1, teman-teman di PF Fahutan, kalian semua adalah motivator dan sahabat terbaik bagi penulis. 6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ana Dairiana, lahir pada Tanggal 07 Juni 1988 di Palembang. Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Sutarjo Munthe dan Ibu Sainah. Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis adalah SDN 1 Kutacane, dengan tahun kelulusan 2000 kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Kutacane, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA Negeri 1 Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara dengan tahun kelulusan 2006. Pada Tahun 2006 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dengan kurikulum MayorMinor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan organisasi di kampus, antara lain adalah anggota Divisi Sekertariat Agria Swara, Anggota Divisi Hublu (Hubungan Luar) Forest Management Student Club (FMSC), Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan keagamaan sebagai koordinator Acara Persekutuan Fakultas Kehutanan periode 2008, penulis juga bergabung dalam komisi literatur Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden Jawa Tengah tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan BKPH Tanggeung, KPH Cianjur, Jawa Barat tahun 2009. Selanjutnya penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. INHUTANI II Pontianak, Kalimantan Barat selama 2 bulan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara)” di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................................ DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 1.3 Tujuan.............................................................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 2.1 Masyarakat Desa Hutan ................................................................................ 2.2 Konflik ............................................................................................................ 2.3 Karakteristik Koflik dan Mekanisme Penyelesaian .................................. 2.4 Taman Nasional ............................................................................................. III METODOLOGI ........................................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 3.2 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 3.3 Alat dan Objek Penelitian ............................................................................. 3.4 Metode P engumpulan data .......................................................................... 3.5 Jenis Data ........................................................................................................ 3.5.1 Data Pokok ............................................................................................ 3.5.2 Data Penunjang ...................................................................................... 3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................... 4.1 Sejarah Kawasan ............................................................................................ 4.2 Kondisi Umum Kawasan .............................................................................. 4.2.1 Letak Administrasi ................................................................................ 4.2.1 Letak Geografi ....................................................................................... 4.2.1 Iklim ........................................................................................................ 4.2.1 Kondisi Tanah ........................................................................................ 4.2.1 Topografi ................................................................................................ 4.2.1 Sosial Kemasyarakatan Penduduk....................................................... V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 5.1 Karateristik Masyarakat Desa ...................................................................... 5.1.1 Kondisi Lahan dan pemanfaatanya ....................................................
i ix xi vi
vii 1 1 2 3 3 4 4 4 5 8 10 10 12 12 12 12 13 14 14
16 16 17 17 17 17 18 18 18 21 21 22
5.2 Permasalahan dan Isu-isu Stategis............................................................... 5.2.2 Perambahan Kawasan TNGL .............................................................. 5.2.3 Koordinasi Antar Lembaga .................................................................. 5.2.4 Kesadaran dan Ekonomi Masyarakat sekitar Hutan ......................... 5.2.5 Konflik Sosial yang berkepanjangan .................................................. 5.3 Wujud Konflik di desa Lawe mamas dan desa Jambur Lak-lak ............. 5.4 Penyebab konflik yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Lauser ............................................................................................................. 5.5 Efektifitas Penyelesaian Konflik ................................................................. 5.6 Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi pihak TNGL ........................... 5.6.1 Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat ....................................... 5.6.2 Tingkatkan Peran Para Ketua Adat dan Pemuka Agama ................. 5.6.3 Kerjasama Intensif Dengan Aparat Penegak Hukum ....................... VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 6.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 6.2 Saran ................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... LAMPIRAN .................................................................................................
22 23 25 27 28 28 30 32 33 33 34 34
36 36 36
37 38
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Tenik Pengumpulan data......................................................................
13
2.
Pertumbuhan penduduk Aceh Tenggara menurut kecamatan tahun 2006-2008 ..............................................................................................
18
Disribusi luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara .............................
18
4.
Karakteristik masyarakat desa .............................................................
21
5.
Kondisi lahan dan pemanfaatannya .....................................................
22
6.
Jumlah kasus perambahan perambahan hutan yang dirambah terpantau selama bulan Maret 2009 disekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues ...................
23
7.
Wujud Konflik di desa Lawe Mamas dan desa Jambur Laklak ...........
28
8.
Penyebab konflik lahan ........................................................................
30
9.
Mekanisme penyelesaian konflik .........................................................
32
10.
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian Konflik...................
33
3.
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan TNGL ..............................
11
2.
Lokasi penelitian ..................................................................................
16
3.
Kebun Coklat/kakao di kawasan TNGL ..............................................
23
4.
Jembatan lumpe ...................................................................................
24
5.
Pembakaran kawasan TNGL ...............................................................
25
6.
Stakeholder yang berperan di TNGL ...................................................
27
7.
Areal taman nasional yang dibakar ......................................................
30
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Peta pembagian wilayah kerja BBTNGL .............................................
39
2.
Dokumentasi Penelitian .......................................................................
40
3.
Undang-Undang Penunjukan TNGL....................................................
42
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalah hidup yang pada akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya (Fuad dan Maskanah 2000). Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka
kematian
dan
perkembangan
infrastruktur
yang
pesat
sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan lahan yang pada akhirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariannya maupun dari luasan wilayahnya yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat itu sendiri, adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (Fuad dan Maskanah 2000). Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu sumber penyokong kehidupan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat pinggir hutan sehari-hari. Ketergantungan yang sangat tinggi terlihat dari pemanfaat jasa hutan secara langsung misalnya pengambilan kayu bakar, jasa ekowisata, perolehan air bersih dan lain-lain dan manfaat tidak langsung berupa supply udara bersih, pemberi kesejukan dan keindahan masyarakat pinggir hutan (BBTNGL 2010) Namun seiring dengan berkembangnya zaman, manusia juga berlomba dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga menimbulkan konflik demi berbagai kepentingan pribadi. Akan tetapi perlu dicatat bawa konflik tidaklah selalu berkonotasi kurang baik. Konflik, dalam banyak hal dapat membantu kita dalam mengidentifikasi permasalahan apabila suatu proses atau prosedur mengalami jalan buntu (Mitchell et al. 2000). Hanya dengan keterbukaan seperti
inilah penyelesaian konflik dapat diupayakan dengan mengembangkan aspek positif dari konflik dan dalam waktu bersamaan mencoba untuk mengurangi dampak negatifnya (Wulan et al. 2004). 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan tanaman perkebunan mengakibatkan peningkatan perambahan hutan. Meningkatnya jumlah penduduk Aceh Tenggara dalam beberapa tahun ini semakin meningkatkan kebutuhan mereka akan lahan baik itu untuk bertani/berkebun atau untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Perkembangan tanaman kakao/coklat yang memiliki harga yang tinggi juga meningkatkan minat masyarakat dalam melakukan alih fungsi lahan pertanian bahkan aksi pembukaan lahan baru terus meningkat hingga sampai ke dalam kawasan taman nasional yang pada akhirnya menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pengelola. Seperti yang diutarakan Fuad dan Maskanah (2000) yang mengatakan pada akhirnya konflik diekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan sendiri, baik yang berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam, penebangan tegakan pohon secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyerobotan lahan hutan, maupun bentuk-bentuk destruktif lainnya. 2. Sistem pengawasan dan pengelolaan hutan oleh negara yang memberikan tanggung jawab kepada Pengelola TNGL di bawah jaminan Kementrian Kehutanan dalam kegiatan pengawasan dan pengelolaan sehingga lestari. Tanggung jawab ini tidaklah mudah mengingat dinamika pertumbuhan baik manusia dan kebutuhan yang terus meningkat. Lebih lanjut Wirajardjo dalam Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan melakukan kontrol kepada pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya mementingkan pada satu pihak tertentu.
3. Peran stakeholder yaitu Pengelola TNGL, Pemerintah, LSM atau perusahaan yang
memanfaatkan
jasa
kehutanan
memberikan
pengaruh
dalam
keberlangsungan kelestarian TNGL kerena tidak jarang juga mengambil keuntungan baik luasan lahan maupun menjadi mediator dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dan pengelola TNGL. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui isu, wujud dan penyebab konflik lahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. b. Mengetahui efektivitas penyelesaian konflik lahan. c. Memberikan masukan kepada pihak taman nasional dalam penyelesaian masalah konflik lahan. 1.4 Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi masyarakat sekitar hutan sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan kehutanan. b. Bagi instansi pendidikan, dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik ataupun penelitian serupa lainnya. c. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam pemecahan masalah yang terkait dengan konflik lahan yang sedang terjadi di TNGL. d. Bagi individu, penelitian ini dapat menumbuhkan semangat untuk menemukan ide-ide kreatif berkaitan dengan penyelesaian konflik lahan.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Hutan berperan penting dalam dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarakat sangat tergantung pada hutan. Bahkan menurut Tokede et al. (2005) hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak- anaknya sebagai pengikat hubungan sosial antar suku dan antar marga dalam suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayainya. Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal di kawasan hutan maupun yang memanfaatkan hutan dalam mencukupkan kehidupannaya. Redfield (1982) dalam bukunya yag berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit sekali mendapat pengaruh dari kelas atas. Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan masyarakat (khususnya di sekitar hutan) alam.
Kehidupan masyarakat yang
majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu, pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial,
maupun individu harus
tetap waspada terhadap terjadinya konflik yang mungkin terjadi, sehingga di perlukan kesadaran yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, karena kemajemukan yang terjadi tidak dapat dihindari dan di perlukan satu konsesus yang dapat bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali konflik (Muntakin dan Pasya 2003). 2.2 Konflik Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Sedang menurut Miall et al. (2002) Konflik adalah aspek interistik dan tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas, kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan
sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan adalah mungkin mengubah respon kebiasaan dan melakukan penentuan pilihan–pilihan tepat. Fuad dan Maskanah (2000) juga menyatakan bahwa konflik sumberdaya hutan yang sering terlihat (meskipun masih banyak pula yang tak terlihat) ada konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai pihak diluarnya yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Wulan et al. (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya. Konflik dapat dilihat dari berbagai perspektif, dalam konteks makro maupun mikro (Hadimulyo dalam Fuad & Maskanah
2000). Perspektif
mitologis-historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik (Scott, 1993 dalam Fuad dan Maskanah
2000) Faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan
dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional (Wulan et al. 2004). 2.3 Kerakteristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik (Mitchell et al. 2000). Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah
tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung atau taman nasional sering memaksa masyarakat untuk pindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung (Wulan et al. 2004) Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia (Fuad dan Maskanah 2000) bahwa : a. Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik , sebab konflik terdapat di alam dan hadir dalam kehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk diramalkan kapan datangya seperti cuaca. b. Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaian. c. Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara inheren. d. Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau keduanya dan mempunyai sifat mengikat. e. Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada strereotip, komunikasi yang payah, serat emosi, kurang informasi, dan salah informasi yang menciptakan konflik. f. Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reakdi-reaksi psikologis
memegang
peranan
emosional
yang
sangat
kuat
dalam
mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan psikologi seseorang. Budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik g. Konflik mengandung makna ”kaleindoskop”, konflik laksana drama yang dapat di analisa dengan memahami siapa, dimana, kapan, dan mengapa.
Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai konstruksi dan realita. h. Konflik memiliki ”daur hidup” dan “sifat-sifat
bawaan”, konflik dapat
bertranformasi, bertambah cepat, perlahan menghilang atau berubah. i. Konflik mengungah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemilir, seniman, politisi, psikolog dan ahli filsafat. Condliffe (1991) dalam Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik : a.
Lumping it Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersangkutan untuk menekan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan di abaikan (simpy ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
b. Advoidance or exit Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi dan psikologi. c. Coercion Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain. d. Negotiation Kedua pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. e. Conciliation Mengajak (dalam arti menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama
melihat
konflik
dengan
tujuan
untuk
menyelesaikan
persengketaan. f. Mediator Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihakpihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
g. Arbiretion Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua pihak sudah harus menetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. h. Adjudication Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang di harapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak bersengketa. Hal yang hampir sama juga diutarakan Mitchell et al. (2000) bahwa ada empat jenis pendekatan alternatif penyelesian konflik, yaitu konsultasi publik, negoisasi, mediasi dan arbitrasi. Konsultasi publik diartikan sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, serta merupakan alternatif disamping cara-cara melalui hukum, administrasi dan politis. Negoisasi melibatkan situasi dimana dua pihak atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam usaha untuk mencari isu-isu yang menyebabkan konflik antar mereka. Mediasi mempunyai karakteristik (bentuk khusus) dari negoisasi ditambah dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral (sebagai mediator). Pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan kesepakatan, akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan merumuskan persoalan, dengan tujuan untuk membantu pihak yang bersengketa agar bersepakat. Ketika arbitrasi dipilih, pihak ketiga terlibat. Tidak seperti mediasi, pihak ketiga yang terlibat dan bertindak sebagai arbitator mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan, yang mengikat ataupun tidak mengikat. 2.4 Taman Nasional Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi taman nasional adalah sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ngadiono 2004).
Menurut Mega (2009) hutan Aceh menjadi bagian dari paru-paru dunia yang salah satu kawasan lindungnya (Taman Nasional Gunung Leuser) oleh UNESCO menjadi World Heritage. Luas hutan Aceh mencapai 3,3 juta hektar hutan tutupan atau 60 % dari total luas wilayah Aceh 57.400 km2. Dengan luasan tersebut diperkirakan terdapat kandungan karbon sebesar 415 juta ton di dalamnya. Ini merupakan aset yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas ekosistem Aceh dan Indonesia, dan berdampak positif pada peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat Aceh. Menurut Riyanto (2005) Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam keberadaannya sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu penetapan Taman Nasional di suatu daerah mempunyai arti penting baik dari teknis maupun yuridis. Selain penyusunan rencana pengelolaan Taman Nasional serta perlindungan dan pengamanan kawasan, pemerintah segera membentuk unit pelaksanaan teknis (UPT) Taman Nasional di kawasan tersebut, sehingga jelas adanya tugas dan tanggung jawab dari pengelola (Riyanto 2005).
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Kehidupan masyarakat desa hutan saat ini dihadapkan pada permasalahan yang kompleks. Peningkatan angka kelahiran dan perkembangan tanaman kakao yang memiliki harga tinggi tentunya menggiurkan para petani untuk mengubah dan memperluas lahan perkebunannya menjadi permasalahan utama dalam penyerobotan tanah yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Luas wilayah Aceh Tenggara sebagian besar menjadi bagian dalam kawasan hutan konservasi yaitu seluas 280.160,94 ha atau 66,21% dari luas wilayah Aceh Tenggara
sementara untuk wilayah pemukiman, pertanian/perkebunan dan
aktifitas kehidupan hanya seluas 47.349,00 ha atau 11,19% (Dinas Kehutanan 2010). Kawasan TNGL memiliki potensi sumber daya yang tinggi meliputi sumber daya hayati dan non hayati. Potensi ini menarik para stakeholder yang memiliki perbedaan pengaruh dan kepentingan. Para stakeholder tersebut meliputi instansi pemerintah, oraganisasi non pemerintah, dan masyarakat sekitar hutan yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Tentunya pengaruh kepentingan ini akan menimbulkan konflik, timbulnya konflik tentu saja akan mempengaruhi suatu pengelolaan sumber daya hutan di TNGL. Identifikasi konflik atas stakeholder dilakukan berdasarkan isu konflik, penyebab konflik, dan wujud konflik. Kemudian proses identifikasi tersebut dianalisis sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan solusi dari konflik yang terjadi, yang pada akhirnya fungsi kelestarian sumberdaya alam yang ada di TNGL dapat lestari.
Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan di TNGL dapat dilihat pada gambar 1.
TNGL
KONFLIK
Stakeholder ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Isu Konflik
BBTNGL BP-KEL LSM Masyarakat sekitar kawasan Aparat Keamanan
Penyebab konflik
Wujud konflik
SOLUSI
Gambar 1 Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan TNGL.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Desa
Lawe
Mamas
Kecamatan
Darullhasanah dan Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara. Dengan selang waktu pengumpulan data kurang lebih satu bulan antara Juni – Juli 2010. 3.3 Alat dan Objek penelitian Penelitian ini memerlukan alat bantu seperti alat rekam, kuisioner, dan alat tulis lainnya sedangkan objek penilitian yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Lawe Mamas Kecamatan Darullhasanah dan Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara. 3.4 Metode pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan beberapa teknik berdasarkan jenis data yang dibutuhkan. a. Teknik observasi, yaitu dengan mengamati secara langsung pihak-pihak yang memungkinkan mengalami konflik lahan di kawasan TNGL. Mengecek pal batas kawasan kegiatan yang pernah dilakukan masing-masing stakeholder terkait dengan kawasan. b. Wawancara, yaitu wawancara responden dari pihak pemerintah, masyarakat sekitar TNGL, LSM dan pengelola TNGL. Wawancara dilakukan secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak kaku, dan informal. Hasil dari wawancara ini akan menjadi data primer. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 responden yang merupakan penduduk yang berbatasan dengan kawasan TNGL. c. Pencatatan mengenai data sekunder, berupa data demografi dan monografi yang berasal dari pihak pemerintahan daerah setempat. 3.5 Jenis Data Adapun jenis data-data yang dikumpulkan terdiri atas data pokok dan data penunjang yaitu :
3.5.1 Data Pokok Data yang diperoleh berdasarkan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan di TNGL melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi), wawancara mendalam dan studi pustaka dan literatur kemudian dijadikan sebagai data pokok dalam menganalisa data. Tabel 1 Tenik Pengumpulan data Jenis Data Pokok
Stakeholder Instansi pemerintah
Organisasi non pemerintah
Masyarakat sekitar kawasan TNGL
Penunjang
Stakeholder
Informasi yang dikumpulkan a. Sejarah kawasan TNGL b. Pengelolaan instansi c. Pengelolaan TNGL per jangka waktu d. Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait kawasan TNGL e. Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan instansi,dengan pihak luar maupun kawasan TNGL f. Upaya penyelesaian yang akan dan telah ditempuh dalam mengantisipasi permasalahan. a. Sejarah dan pengelolan organisasi b. Pengetahuan mengenai kawasan TNGL c. Interaksi dan kontribusi terhadap kawasan TNGL d. Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan kawasan TNGL e. Permasalahan dan kendala yang di hadapi dengan organisasi, dengan pihak luar maupun kawasan TNGL f. Upaya penyelesaian masalah yang telah dan akan di tempuh a. Informasi dan sejarah mengenai kawasan TNGL b. Sejarah keberadaan desa/dusun c. Interaksi terhadap kawasan TNGL d. Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam masyarakat, dengan pihak luar maupun kawasan TNGL e. Upaya penyelesaian yang telah dan akan di tempuh Demografi masyarakat desa/dusun kawasanTNGL, kondisi fisik dan biologi kawasan TNGL, informasi yang berkembang terkait dengan permasalahan dan kendala dalam pengelolaan TNGL dan informasi kelompok kerja pengelolaan SDH di TNGL
Metode pengumpulan data Wawancara responden dan studi pustaka dan literatur
Pengamatan langsung (observasi) wawancara dengan responden dan studi pustaka dan literatur
3.5.2
Data Penunjang Data untuk menunjang data pokok sehingga dapat menambah ketajaman
serta informasi dalam menganalisis data untuk menghasilkan tujuan penelitian. Data dapat diperoleh dari data umum dari pihak terkait serta studi literatur dan pustaka. 3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data Berdasarkan pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), bahwa analisis data kualitatif mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ketiga jalur analisis data tersebut menjadi acuan dalam tulisan ini. Penelitian ini sudah berada pada kondisi jenuh, yaitu saat peneliti menanyakan kepada informan yang diwawancarai tentang informasi lain yang direkomendasikan,
jawabannya
tetap
berkisar
pada
responden-responden
sebelumnya yang sudah penulis wawancarai. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara mendalam dengan responden serta dengan studi pustaka dan literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif tersebut. Analisis data kuantitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Analisis data dilakukan melalui analisis stakeholder untuk mendapatkan hasil substantif. Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari lapangan dengan meringkas dan menggolongkan. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga didapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif yaitu menyajikan data dengan menggunakan bagan dan tabel, untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan Leuser berasal dari kata Leusoh dari bahasa Gayo yang berarti “diselubungi awan“. Lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser berawal pada tahun 1920-an pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, melalui serangkaian proses penelitian dan eksplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn di Aceh. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung para tokoh masyarakat
untuk mendesak pemerintah kolonial Belanda agar
memberikan status kawasan konservasi (wildlife sanctuary) dan status perlindungan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpangkiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, kearah lembah Sungai Tripa dan rawa pantai Meulaboh di bagian utara (BBTNGL 2010). Secara yuridis formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007, saat ini pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementrian Kehutanan yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) (BBTNGL 2010).
4.2 Kondisi Umum Kawasan Kabupaten Aceh Tenggara berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Lauser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora termasuk tanaman langka Rafflesia atjehensis dan Johanestey smannia altifrons (pohon payung raksasa) serta Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka, dan dilindungi, dengan diameter 1,5 meter. Ada sekitar 130 jenis mamalia dengan hampir tiga perempatnya termasuk jenis langka (BBTNGL 2010).
Sumber : BBTNGL 2010
Gambar 2 Lokasi penelitian. Secara geografis, Kabupaten Aceh Tenggara terletak pada posisi 30 55' 23" –
40 16' 37" LU dan 960 43' 23"
–
980 10' 32" BT. Di sebelah utara berbatasan
dengan dengan Kabupaten Gayo Lues, di sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Provinsi Sumatera Utara, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Tenggara memiliki luas wilayah 4.231,41 km2 dengan jumlah penduduk 169.053 jiwa yang terdiri dari 11
kecamatan, 1 kelurahan, dan 249 Desa. Dengan luas wilayah 4.231,41 km2, 91,72 % diantaranya merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ( BBTNGL 2010). 4.2.1 Letak Administrasi Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser ( TNGL) terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. Berbatasan dengan 9 kabupaten yaitu Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi, dan Karo (BBTNGL 2010). 4.2.2 Letak Geografis Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelastarian alam, seluas 1.094.692 ha yang terletak di dua Provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 90º 35"- 98º30" BT dan 2º 50"- 4º 10" LU. Secara geografis, Kabupaten Aceh Tenggara terletak pada posisi 30 55' 23"
–
40 16' 37" LU dan
960 43' 23" – 980 10' 32" BT. Di sebelah utara berbatasan dengan dengan Kabupaten Gayo Lues, di sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Provinsi Sumatera Utara, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan (BBTNGL 2010). 4.2.3 Iklim Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dalam pengaruh inter-tropical convergence zone oleh karena itu sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk kedalam kategori klas A, yaitu wet and hot tropical rainforest climate. Dalam tipe iklim ini, temperature bulanan mencapai 18ºC dan curah hujan tahunan lebih besar dari pada evaporasi tahunan aktual. Suhu udara berkisar antara 150-320 Celsius (BBTNGL 2010).
4.2.4 Kondisi Tanah Jenis tanah di kawasan TNGL cukup beragam dari jenis aluvial, andosol, komplek podsolik, podsolik coklat, podsolik merah kuning, latosol, litosol, komplek rensing, organosol, regosol, humus, tanah gambut, tanah sedimentasi dan tanah vulkanik (BBTNGL 2010). 4.2.5 Topografi Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40%. Pengunungan berbukit dan bergelombang, sebagaian kecil arealnya berupa dataran rendah. Terdapat sedikitnya terdapat 33 bukit atau gunung yang tercatat sedang puncak tertinggi TNGL, yaitu 3.149m dpl (BBTNGL 2010) 4.2.6 Sosial Kemasyarakatan Penduduk Masyarakat yang tinggal pada areal yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mayoritas adalah Suku Alas dan Gayo yang merupakan suku asli Aceh Tenggara. Kehidupan dijalankan dengan pola adat yang sangat erat, sistem kehidupan didominasi oleh pertanian. Melihat kondisi topografi yang berbukit dan jauhnya jarak dari ibukota propinsi penyebab wilayah ini terlambat mengalami pertumbuhan industri ataupun informasi. Sektor pertanian dan perkebunan adalah alat penunjang perekonomian yang didominasi oleh perdagangan. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah Aceh Tenggara termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi daerah ini adalah kopi, kakao dan hasil hutan. Tabel 2 Pertumbuhan penduduk Aceh Tenggara menurut kecamatan tahun 2006-2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Lawe alas Babul rahman Tanoh alas Lawe Sigala Babul makmur Semadam Leuser Bambel
2006
2007 12.210 7.510 4.175 17.333 11.656 10.285 3.403 15.105
2008 12.382 7.616 4.234 17.577 11.820 10.430 3.451 15.318
12.462 7.665 4.261 17.691 11.897 10.498 3.473 15.417
Tabel 2 lanjutan Bukit tusam 9.379 Lawe sumur 5.376 Babussalam 23.962 Lawe bulan 14.729 Badar 12.327 Darul hasanah 11.005 Ketambe 8.558 Deleng pokhisen 4.933 Jumlah 171.933 Sumber : BPS Kabupaten Aceh Tenggara (2010) 9 10 11 12 13 14 15 16
9.511 5.452 24.300 14.937 12.501 11.160 8.679 5.003 174.371
5.487 9.573 24.457 1.504 12.582 11.233 8.735 5.035 175.501
Pertumbahan masyarakat yang terus mengingkat dari tahun ke tahun juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan, baik itu untuk tempat tinggal dan areal pertanian disisi lain juga pembangunan yang terarah seiring perkembangan zaman juga membutuhkan lahan. Masyarakat desa hutan yang tinggal di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser masih mengangap hutan Gunung Leuser sebagai anugerah Tuhan, Oleh sebab itu bagi masyarakat awam sangat wajarlah memasuki kawasan Gunung Leuser untuk berkebun, berburu atau mengambil kekayaan yang ada di dalamnya untuk memenuhi kehidupan sehari hari. Tebel 3 Disribusi luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara. No 1 2 3 4
Kecamatan Bubussalam Lawe Bulan Badar Darul Hasanah
5 6 7 8 9 10 11
Bambel Lawe Alas Babul rahmah Bukit Tusam Semadam Lawe Sigala Babul makmur Jumlah
Luas (km2) 43,36 41,18 1.110,35 655,45
Jumlah penduduk 24.925 15.856 20.069 9.335
Jumlah Keluarga 4.712 3.099 4.281 1.845
48,15 977,45 1.159,08 42,29 35,34 67,58 51,18 4.231,41
22.251 15.595 9.856 9.515 11.532 17.426 13.318 169.409
4.404 3.107 1.969 2.001 2.407 3.809 2.979 34.613
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, 2006.
Pada tahun 2006 jumlah kepala keluarga di Kabupaten Aceh Tenggara adalah 34.613 keluarga, jumlah ini bertambah pada tahun 2008 yaitu sebesar 48.996 kepala keluarga (Kompas 2008). Meningkatnya jumlah keluarga akan menambah jumlah tanggungan dan jumlah kebutuhan yang harus di penuhi maka,
kebutuhan akan lahan pertanian dan perkebunan yang merupakan sumber utama mata pencarian juga akan meningkat. Cara pandang masyarakat desa hutan juga tidak banyak berubah walau hutan Gunung Leuser telah lama menjadi taman nasional, perkembangan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan tuntutan ekonomi dalam pemenuhan kehidupan tentunya membutuhkan suatu pemecahan yaitu pemanfaat lahan yang telah menjadi tradisi bagi mereka. Menggunakan lahan hutan yang ada di sekitar lingkungan mereka bukanlah hal yang salah, ini menjadi menarik ketika hutan yang berdekatan dengan wilayah mereka telah menjadi taman nasional yang bertumpu pada konsep konservasi yang mementingkan aspek pelestarian, pada umumnya masyarakat mengetahui tentang hal itu tetapi alasan kebutuhan hidup menjadi alasan penguat dari mereka. Sehingga untuk saat ini mudah di temukan kebun masyarakat di dalam Taman Nasional Gunung Leuser.
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Masyarakat Desa Penentuan responden masyarakat desa ditentukan berdasarkan pendekatan reputasional yaitu pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat desa seperti ketua adat, sesepuh desa, ulama, perangkat desa yang sedang menjabat dan masyarakat desa. Tabel 4 Karakteristik masyarakat desa No 1
2
3
4
Karakteristik Umur 17-25 tahun 25-50 tahun >50 tahun Total Pedidikan Formal Tidak sekolah SD atau Sederajat SMP atau Sederajat SMA atau Sederajat PT/akademi Total Pekerjaan Petani Wirausaha Tukang PNS Supir Total Tingkat Pendapatan < Rp. 500.000 Rp. 500.000 – 1.000.000 > Rp 1.000.000 Total
Frekuensi
Persentase (%) 4 17 9 30
13 57 30 100
2 5 9 13 1 30
7 17 30 43 3 100
19 3 3 3 2 30
63 10 10 10 7 100
3 19 8 30
10 63 27 100
Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk kelompok umur 25–50 tahun, pekerjaan utama responden sekitar 63% adalah petani yang menggarap lahan yang berbatasan dengan taman nasional. Penghasilan rata-rata responden Rp 500.000,00 - 1.000.000,00 perbulan. Berdasarkan hasil wawancara dari sisi ekonomi responden menggambarkan, bahwa kehadiran TNGL belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah kemiskinan masyarakat (BBTNGL 2010).
5.1.1 Kondisi Lahan dan Pemanfaatannya Tabel 5 Kondisi lahan dan pemanfaatannya No 1
2
Kondisi lahan Kondisi lahan Terpusat Menyebar Total Pemanfaatan lahan Berkebun Membuka sawah Bangunan rumah Bangunan usaha/Kios Berternak Total
Frekuensi
Persentase (100%) 16 14 30
53 47 100
13 6 6 3 2 30
43 20 20 10 7 100
Sumber : Data primer hasil wawancara (2010)
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa kondisi lahan oleh responden 53% terpusat pada suatu areal, namun 47% responden memiliki lahan yang menyebar di beberapa tempat, luas lahan yang dimiliki responden berkisar 0.5-2 ha. Sebagian besar responden, yaitu 43% memanfaatkan lahan untuk perkebunan kakao/coklat yang sedang menjadi tanaman utama masyarakat karena harga kakao yang tinggi, 20% untuk membuka sawah dan 20% untuk mendirikan bangunan seperti rumah dan pertokoan, sebagian kecil responden memanfaatkan lahan untuk peternakan. 5.2 Permasalahan dan Isu isu Startegis 5.2.1
Kemantapan Kawasan TNGL Konsekuensi dari ditunjuknya TNGL sebagai taman nasional model adalah
pada tahun 2009 sudah dilakukannya pembatasan wilayah secara keseluruhan atau temu-gelang (BBTNGL 2010). Penetapan kawasan ini harus dikawal sehingga proses negoisasi/klarifikasi hak-hak masyarakat di tingkat lapangan dapat dijamin terlaksana1.Terkhusus wilayah Aceh Tenggara mengingat lahan masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dominan masyarakat awam tidak mengetahui batasan yang dibuat2, masyarakat yang tinggal berbatasan/di dalam 1
Wawancara dengan Bapak Buana Kepala SPTN VI Badar, tanggal 9 Juni 2010 di Kantor BTNGL Kutacane. 2 Wawancara dengan Bapak Ahmad warga Desa Jambur Lak-lak, tanggal 17 Juni 2010 di Desa Jambur Lak-lak
kawasan taman nasional adalah masyarakat yang marjinal, yang penuh kesederhanaan yang mereka tahu adalah bagaimana cara untuk hidup di tengah keterbatasan dan kemiskinan3. Jadi masyarakat tidak tahu/ tidak mau tahu tentang batasan wilayah yang menurut mereka juga membatasi pendapatan mereka3 5.2.2 Perambahan kawasan Perambahan di kawasan Aceh Tenggara lebih mengarah pada penanaman tanaman subsisten dan tanaman pangan serta tanaman perkebunan (cash crop) dan telah sampai pada upaya penguasaan lahan dan telah terjadi jual beli lahan (BBTNGL 2010). Perambahan kawasan terjadi mengingat TNGL merupakan kawasan yang luas namun dengan pegawasan yang belum optimal. Jumlah kasus perambahan yang berhasil dipantau selama Maret 2009 adalah sebanyak 18 kasus untuk wilayah Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Dengan jumlah kasus tersebut, luas hutan yang dibuka diperkirakan mencapai 45,5 hektar (Nababan 2009). Tabel 6 Jumlah kasus perambahan hutan dan luas hutan yang dirambah terpantau selama bulan Maret 2009 di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues. No
Kabupaten/Kota
1
Aceh Tenggara
2
Jumlah Kasus
Luas Hutan dibuka (ha) 5
14
Gayo Lues
13
31,5
Total
18
45,5
Sumber : Laporan Kegiatan staf Mobile Conservasion Unit (MUC) Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues Maret 2009
Gambar 3 Kebun coklat/kakao di kawasan TNGL. 3
Wawancara dengan Bapak Azanuddin Bagian Reboisasi Dinas Kehutanan Aceh Tenggara. Tanggal 7 Juni 2010. Di Kantor Dinas Kehutanan
Saat ini masyarakat petani Aceh Tenggara sedang mengalami “demam” menanam coklat/kakao. Harga kakao yang tinggi tentunya menarik hati para petani, akibatnya semua lahan, baik itu kepemilikan mereka sendiri atau pun lahan hasil rambahan dimanfaatkan untuk mengembangkan jenis tanaman ini, bahkan masyarakat berani mengubah sawah menjadi kebun kakao, komoditi seperti kopi dan kemiri ada juga yang diubah menjadi tanaman kakao4. Ini merupakan relita yang juga didapati dalam areal Taman Nasional Gunung Leuser seperti yang terlihat pada Gambar 3. Masyarakat berani melakukan perambahan di kawasan taman nasional yang merupakan kawasan yang di peruntukkan sebagai kawasan konservasi1. Proses perambahan dilakukan meski memiliki sanksi hukum yang tegas dan medan tempat dilakukannya perambahan juga berbahaya kerena berada di kawasan yang terjal dan harus melewati sungai yang tidak dilengkapi dengan jembatan sebagai sarana penyeberangan yang aman, para perambah dan okmum yang sengaja dibayar5. Sebagai penanam kakao hanya melewati jembatan yang disebut lumpe (Gambar 4) .
Gambar 4 Jembatan lumpe.
Perambahan dilakukan dengan cara membakar dengan luasan mencapai 3 ha per-Oknum4 seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Setelah kawasan tersebut dibakar kemudian areal itu dijadikan lahan perkebun kakao yang dikelola 4 )
Wawancara dengan Bapak Sabar Penanggung Jawab Sektor Gurah Ketambe, tanggal 10 Juni, di Ketambe 5 ) Wawancara dengan Bapak Abdurrani, Kepala Desa Jambur Lak-lak, tanggal 15 Juni 2010, di Desa Jambur Lak-lak
bukan oleh pemilik tetapi mempekerjakan orang lain6. Pembayaran selama mengelola lahan, mulai dari penanaman, pemeliharaan tanaman sampai pemanenan dilakukan dengan sistem pembagian hasil saat musim panen7.
Gambar 5 Pembakaran Kawasan TNGL. Pembakaran kawasan taman nasional secara umum bukanlah kesalahan masyarakat saja, karena fakta di lapangan menyatakan bahwa sampai saat ini umumnya masyarakat desa mengangap bahwa Leuser merupakan anugerah Tuhan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja8. Perkembangan dunia yang lebih mengutamakan aspek ekonomi menjadi alasan terselubung oknum masyarakat dalam membuka lahan hingga sampai ke dalam kawasan taman nasional. 5.2.3 Koordinasi Antar Lembaga Kurangnya koordinasi dan sinergitas program antara pihak kehutanan khususnya balai besar TNGL dan aparat penegak hukum juga merupakan sumber masalah. Selain itu kurangnya sinergitas dan integrasi program kegiatan antara instansi perencanaan daerah dan pusat dalam pembangunan infrasuktur tanpa pelibatan pemangku kawasan konservasi seringkali menimbulkan konflik lapangan antara Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DIRJEN PHKA) dan instansi lain.
6
Wawancara dengan Bapak Awalludin Kepala Desa Lawe Mamas. tanggal 20 Juni 2010, di Desa Lawe Mamas 7 Wawancara dengan Bapak Ardin Sekertaris Desa Jambur Lak-lak, tanggal 20 Juni 2010 di Desa Jambur lak-lak 8 Wawancara dengan Bapak Banta Imam Desa Jambur Lak-lak, tanggal 15 Juni 2010 di Desa Jambur Lak-lak
Penegakan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pementapan kawasan taman nasional. Efektifitas penegakan hukum sangat ditentukan oleh efektifitas kerja staff penegak hukum di internal Balai Besar Taman Nasional dan juga dipengaruhi oleh kinerja jajaran penegak hukum di luar Balai Besar Taman Nasional, yaitu pihak Polres, Kejaksaan, dan Pengadilan9. Rendahnya upaya penegakan hukum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, belum efektifnya koordinasi antara penegak hukum, masih rendahnya pemahaman terhadap aspek dan proses hukum, pentingnya pembentukan wadah atau forum penegak hukum di tingkat kabupaten dan belum optimalnya pendampingan bantuan hukum (lawyer) (BBTNGL 2010). Gunung Leuser memiliki daya tarik yang tinggi sehingga memanggil para stakeholder untuk turut ambil bagian di dalamnya. Bila BBTNGL memiliki tugas yang langsung berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Kementrian Kehutanan. Sejak akhir Tahun 2006, ada perkembangan menarik dalam dunia konservasi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), yaitu terbentuknya Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) Wilayah Aceh. Kehadiran BPKEL untuk mengelola dan meningkatkan manfaat kawasan ekosistem leuser (KEL) Aceh, bagi kesejahteraan rakyat tentu harus ditanggapi secara positif10. Tujuan mulia itu tentu juga harus dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khusususnya di bidang kehutanan dan konservasi9. Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, atau komisi dengan persetujuan DPRD NAD, kecuali yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tata cara pembentukan lembaga/badan/komisi tersebut harus diatur di dalam Qanun Aceh (setara Peraturan Daerah). LSM juga berperan penting dalam perkembangan TNGL bahkan Yayasan Leuser Internasional (YLI) merupakan LSM yang menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di wilayah ini. Untuk saat ini stakeholder yang berperan di TNGL dapat dilihat dari gambar berikut
9 Wawancara dengan Bapak Idham Penanggung Jawab Yayasan Leuser Internasional (YLI), 10
tanggal 8 Juni 2010 di Sekretariat YLI Badar. Wawancara dengan Bapak Anil Ketua LSM STIAPILA, tanggal 17 Juni 2010 di Sekretariat STIAPILA.
BBTNGL
BP‐KEL
TNGL
Masyarakat desa hutan
LSM
Gambar 6 Stakeholder yang berperan di TNGL.
Faktor penghambat yang menyebabkan lemahnya koordinasi antara pihak terjadi karena belum ada wadah dan mekanisme
koordinasi yang disepakati
antara pihak9. Masing masing lembaga masih terpaku pada tugas pokok dan fungsi masing-masing. Akibat dari lemahnya koordinasi para pihak, penyelesaian isu-isu penting yang berkembang di dalam kawasan TNGL seperti perambahan kawasan, illegal loging, pemukiman, pertumbuhan penduduk, degradasi sumberdaya alam serta rendahnya pendapataan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitra TNGL tidak tertangani dengan baik, padahal isu-isu tersebut hanya bisa diselesaikan dengan kolaborasi para pihak terkait 3. 5.2.4 Kesadaran dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Kondisi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TNGL masih berada di bawah garis kemiskinan (35%) (BBTNGL 2010). Kehadiran TNGL secara nyata di lapangan belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan dan peningkatan pendapat asli daerah (PAD) Seiring dengan paradigma otonomi daerah, permasalahan terbatasnya penguasaan lahan oleh masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, lahan yang tidak subur, teknologi yang minim, modal terbatas, pandangan usaha jangka pendek yang dalam waktu cepat dapat menghasilkan uang, dan pendampingan dari pihak pemerintah serta LSM yang lemah merupakan situasi nyata saat ini di lapangan. Di sisi lain, kearifan lokal tentang penggunaan sumberdaya, semangat kebersamaan dan gotong royong, serta kebiasaan
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan merupakan aspek positif dalam berkehidupan di tengah masyarakat yang marjinal yang dapat diambil sebagai faktor kekuatan dalam pengelolaan kawasan (BBTNGL 2010). 5.2.5 Koflik Sosial yang berkepenjangan Kondisi Politik yang bergulir di Wilayah Nangroe Aceh Darusalam yang terjadi selama beberapa dekade juga mempengaruhi kondisi Leuser yang sebagian besar berada pada wilayah Aceh Tenggara. Puncak dari segala konflik berlangsung pada tahun 1998 pada saat itu wilayah Leuser tidak terkelola dengan baik karena berada pada keadaan yang mencekam karena dijadikan sebagai tempat pertempuran pihak yang bertikai11. Ketika konflik reda baik pengelola ataupun LSM belum mengetahui keadaan yang berubah dan saat itu ternyata dimanfaatkan oleh oknum masyarakat dan mengklaim luasan tanah sebagai kepemilikan pribadi6 yang kemudian ditanami tanaman perkebunan dan atau dijual kepada pihak lain. 5.3 Wujud konflik lahan Menurut Wijardjo (1998) dalam Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest). Tabel 7 Wujud konflik di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak Wujud Konflik
Frekuensi
Persentase(100%)
Tertutup
7
23
Mencuat
18
60
Terbuka
5
17
Jumlah
30
100
Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencuat sebesar 60%. Masyarakat yang tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional mengetahui konflik yang terjadi hanya 17% 11
Wawancara dengan Bapak Kamat, Kepala Urusan Desa Jambur Lak-lak 25 Juni 2010 Desa Jambur Lak-lak
konflik tersebut terbuka dan sampai keranah hukum. Jumlah 23% bukanlah persentase yang kecil untuk diabaikan penyelesaian/kesepakatan adalah jawaban agar hal-hal seperti ini tidak terulang. Menurut wujudnya konflik yang terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tertutup dalam waktu yang sangat lama, hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam jenis konflik hingga tidak terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah TNGL. Hal senada dikatakan Fuad dan Maskanah (2000) bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanantekanan yag tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutup kutup konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun. Situasi politik yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuka lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pada saat itu kawasan taman nasional menjadi basis pertempuran antara pihak bersenjata12. Sejak itu areal kawasan taman nasional tidak dihuni dan tidak dikelola dengan baik. Pasca konflik berlangsung, ada rencana perdamaian yang dilakukan oleh kedua pihak,
pada masa perdamaian inilah terjadi
pengambilan keuntungan oleh orang tertentu, kawasan taman nasional yang tanpa pengelolaan dijadikan lahan pribadi untuk tujuan perkebunan. Situasi konflik dikatakan mencuat jika masing-masing pihak yang berselisih mulai mengetahui adanya perselisihan dan kebanyakan permasalahnnya jelas namun proses penyelesaian masalahnya belum dilakukan. Konflik di TNGL mulai mencuat ketika hadirnya LSM. Kehadiran LSM memberikan wacana baru kepada masyarakat, dari segi wawasan, mereka memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi dalam artian proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya alam. Meski potensi konflik terbuka hanya 17% ini dikarenakan masing masing pihak mencoba menghindari benturan fisik satu sama lain, meski telah ada tindakan nyata berupa penangkapan para pembakar lahan oleh petugas kepolisian. Dalam mengkonversi hutan masyarakat membuka hutan dengan cara dibakar, ini 12 )
Wawancara dengan Bapak ST Mangarahon Manerjer Ketambe, tanggal 16 Juni 2010, di Ketambe
merupakan cara yang “murah meriah“ yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola luasan tanah yang diklaim atas kepemilikan mereka untuk dijadikan areal perkebunan1. Pembakaran areal taman nasional (Gambar 7) bukan perkara yang ringan karena sumberdaya baik itu flora dan fauna dalam mengalami gangguan karena habitat mereka dirusak.
Gambar 7 Areal taman nasional yang dibakar Peristiwa yang sangat menarik akhir–akhir ini adalah jual beli lahan di areal kawasan Taman Nasioanal Gunung Leuser, tidak ada ijin atau surat pernyataan resmi dari pihak tertentu yang berwenang pada kawasan4 namun ada hal yang sangat menarik ketika ada okmun yang menganggap sebagai pemilik lahan di kawasan Gunung Leuser menjual kawasan taman nasional yang diklaim sebagai miliknya4 Tentu saja ini hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan pembahasan Balai Besar Taman Nasional Gunung leuser. 5.4 Penyebab Konflik Lahan Yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Lauser. Tabel 8 Penyebab konflik lahan di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak Penyebab konflik
Frekuensi
Pembukaan lahan di kawasan TNGL untuk penanaman illegal Klaim hak kepemilikan
Persentase (%) 13
43
5
17
Jual beli kawasan
4
13
Kebakaran hutan
6
20
Illegal Logging
2
7
30
100
TOTAL Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Berdasarkan Tabel 8, pandangan responden mengenai penyebab konflik yang terjadi di kawasan TNGL menunjukkan bahwa 43% penyebab konflik yang
terjadi di kawasanan Gunung Leuser adalah pembukaan lahan untuk penanaman illegal di kawasan taman nasional dan 17% menyatakan bawah jenis konflik yang terjadi adalah klaim hak kepemilikan, kebakaran hutan sebesar 20%, selain itu jual beli kawasan hutan taman nasional 13% dari konflik yang terjadi, dan illegal logging juga menghiasi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser. Secara umum konflik yang terjadi di kawasan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah muncul sejak Tahun 1976 dengan munculnya organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4yaitu sebuah organisasi yang menghendaki wilayah NAD keluar dari bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sempat menimbulkan konflik yang membatasi perkembangan ekonomi, informasi dan teknologi, masyarakat Aceh secara keseluruhan. Ini juga yang melatar belakangi terjadinya konflik di kawasan TNGL yang ternyata setelah ditelusuri disebabkan oleh hal yang berbeda-beda. Pada konflik penanaman illegal masih dilatar belakangi krisis ekonomi dan konflik sosial yang telah terjadi sejak tahun 1976 hingga puncaknya pada tahun 1998. Saat konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Aceh secara keseluruhan TNGL tidak dikelola hingga kondisi kondusif. Pada saat kondisi sudah dikatakan aman sementara pihak pengelola dalam hal ini BTNGL belum aktif bertugas kembali saat inilah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam taman coklat di kawasan TNGL. Latar belakang konflik klaim hak kepemilikan dikarenakan masyarakat mengangap lahan taman nasonal yang mereka kelola adalah lahan milik mereka4, meski tanpa surat resmi masyarakat dapat menjual lahan tersebut. Sementara lahan tersebut bagian dari kawasan TNGL yang di peruntukkan untuk kelestarian. Konflik pembakaran kawasan TNGL disebabkan saat oknum masyarakat ingin membuka perkebunan di kawasan TNGL, biasanya mereka membakar kawasan hutan terlebih dahulu, saat lahan siap penanaman kemudian dilaksanakan4. Meski kasus illegal logging sudah berkurang namun ini tetap menimbulkan konflik bagi masyarakat.
5.5 Efektivitas Penyelesaian Konflik
Karakteristik masyarakat Alas sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Meskipun kondisi topografi yang berbukit-bukit dan jauh dari pusat informasi dan teknologi, tetapi tetap membuat masyarakat merasa nyaman tinggal di kawasan ini dari generasi ke generasi dibanding merantau ke daerah lain karena wilayah Aceh Tenggara memiliki lahan yang subur. Ini menjadi menarik ketika pengelola, aparat penegak hukum dan pelaku bertemu yang secara tidak langsung adalah saudara dan tentu saja persoalan yang ada juga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Proses seperti ini terus berlangsung yang tentunya hutan semakin mengalami kerusakan. Tabel 9 Mekanisme penyelesaian konflik No 1
Mekanisme penyelesaian konflik Advoidance or exit
2
Mediasi
3
Negoisasi Total
Frekuensi
Persentase(%) 7
23
15
50
8
27
30
100
Sumber : Data primer hasil wawancara
Penyelesaian konflik selama ini dilakukan dengan cara mediasi (50%) yang melibatkan para aparat pemerintah seperti TNI dan polisi sebagai mediator. Pelibatan aparat keamanan karena dikenal tegas dalam menjalankan tugasnya terlebih pasca darurat militer dan konflik bersenjata yag terjadi beberapa tahun lalu. Konflik lahan yang terjadi juga dapat diselesaikan dengan negoisasi (27%) yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penyelesaian namun secara Advoidance or exit atau membiarkan masalah itu berlalu begitu saja tanpa penyelesaian (23%). Jika dibiarkan persoalan ini akan terus berlarut larut dan suatu saat akan nampak ke permukaan yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang lebih besar.
Tabel 10 Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian Konflik
No
Pihak yang di libatkan
Frekuensi
Presentase (100%)
1
Pemuka Agama
3
10
2
BBTNGL/POLHUT
2
7
3
TNI/POLRI
23
76
4
Dinas Kehutanan
0
0
5
LSM
2
7
Total
30
100%
Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik sebanyak 76% adalah TNI/POLRI, ini tidak terlepas dari latar belakang Aceh secara keseluruhan yag merupakan daerah pasca konflik. Tentunya peran TNI/POLRI sangat dekat dengan masyarakat hingga sampai saat ini masyarakat masih mengandalkan TNI/POLRI. Responden juga mengungkapkan peran pemuka agama sebesar 10% dalam penyelesaian konflik dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) sebesar 7% dan LSM 7%. Responden mengharapkan penyelesaian konflik harus didasarkan pada kepribadian masyarakat setempat khususnya masyarakat aceh Tenggara yang didominasi suku asli Alas dan Gayo yang pola kehidupan mereka adalah kekeluargaan. Maka teguran kesalahan baiknya dilakukan dengan kekeluargaan agar masyarakat tidak merasa dipojokkan atas ketidaktahuan/ kesalahan mereka. Untuk mengkaji konflik lahan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser yang tidak hanya berpusat pada aspek kelestaraian tapi juga aspek penghidupan manusia. 5.6 Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi Pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) 5.6.1
Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat Meski BBTNGL telah melaksanakan temu gelang pada tahun 2009
(BBTNGL 2010), namun banyak masyarakat yang tidak mengetahui batasan yang jelas antara taman nasional dan lahan hak milik pribadi. Kondisi inilah yang mengakibatkan tetap ditemukan aktifitas pemanfaatan lahan taman nasional oleh oknum masyarakat. Dalam rangka mengurangi permasalahan ini maka sebagai pihak pengelola sebaiknya lakukan tata batas ulang yang melibatkan masyarakat. Sebelum melakukan pembatasan ulang harus dipastikan setiap masyarakat desa
mengetahui tentang pelaksanaan pembatasan ulang beserta kompensasi dan aturan yang harus disepakati. Jika pembatasan ulang tidak mungkin untuk dilaksanakan maka BBTNGL sebaiknya membangun patok-patok yang kokoh dengan jarak yang teratur sehingga batasan areal taman nasional jelas sehingga masyarakat mengetahui batas nyata di lapangan. 5.6.2
Tingkatkan Peran Para Ketua Adat dan Pemuka Agama Pendekatan dengan menggunakan peran para tokoh adat dan pemuka
agama didasarkan karakter masyarakat Alas yang bukan terkatagori sebagai masyarakat perantu, maka bukan hal yang asing jika pada saat ini Aceh Tenggara dikelola oleh masyarakat yang masih memiliki pertalian darah, meski memudahkan namun sangat dekat dengan prilaku nepotisme. Kondisi ini membuat sulit menciptakan supermasi hukum dalam pentelesaian setiap konflik atau sengketa
yang terjadi. Meskipun demikian masyarakat Aceh Tenggara
merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan agama. Dua karakteristik ini sangat baik digunakan dalam pelestarian dan pengendalian bagi oknum masyarakat yang memiliki inisiatif untuk memanfaatkan lahan di Kawasan Gunung leuser secara illegal. Peran tokoh adat dan tokoh agama sangat diperlukan sebagai media penyadaran sikap bagi masyarakat. BBTBGL dapat bekerjasama dengan pemuka adat agar membuat suatu kesepakatan dengan masyarakat adat bahwa keradaan hutan Gunung Leuser merupakan warisan nenek moyang yang wajib untuk dilindungi dan bagi siapa saja yang merusak dan memanfaatkan lahan tanpa ijin maka diberi sanksi secara adat. Sedangkan untuk tokoh agama dapat menyiarkan/memberitahukan dalam bentuk ceramah kepada masyarakat bahwa pengambilan lahan secara illlegal adalah tindakan yang dilarang oleh ajaran agama karena merugikan orang lain. Sehingga dengan pendekatan kedua tokoh penyampaian informasi kepada masyarakat lebih pasti.
5.6.3
Kerjasama Intensif Dengan Aparat Penegak Hukum Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Desa
Lawe Mamas Kecamatan Darullhasanah dan Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe bahwa pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik selama ini 77% melibatkan peran aparat keamanan. Hal ini kerena masyarakat
berpandangan aparat keamanan memiliki ketegasan dalam pengambilan keputusan.
Kerja sama dengan aparat penegak hukum bukan hanya untuk
memberikan efek jera pada pelaku penyebab konflik tetapi juga dalam segi pengamanan kawasan. Adanya penegakan hukum secara nyata, akan mendidik masyarakat untuk bertindak dalam koridor hukum yang berlaku, sehingga keamanan akan tercipta. Pendidikan hukum bagi masyarakat dan pihak pengelola sangatlah penting agar tidak ada hak-hak masyarakat yang hilang sehingga unsur keadilan tercipta. Kerjasama antara BBTNGL dengan penegak hukum dapat dilakukan dengan membuat forum resmi dan terorganisasi, sehingga permasalah yang ada dapat cepat diatasi.
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Isu konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser adalah pemantapan kawasan, perambahan kawasan, lemahnya koordinasi antar stakeholder, kesadaran dan ekonomi masyarakat yang rendah serta konflik sosial yang berkepanjangan. Wujud konflik menurut masarakat desa hutan 60% mencuat namun tetap ada konflik yang masih tertutup sedangkan penyebab konflik menurut responden 43% disebabkan oleh pembukaan lahan untuk penanaman illegal. 2. Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi 50% konflik lahan diselesaikan dengan cara mediasi meski tetap ada konflik yang dibiarkan tanpa penyelesaian. Adapun pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian 76% TNI ataupun POLRI selain dengan bantuan pemuka agama. 3. Dalam penyelesaian konflik lahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, melakukan pembatasan ulang secara mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama akan menciptakan kesepakatan. Jika pembatasan ulang sulit dilakukan maka lakukan pembangunan pal batas yang kokoh dan tertata secara teratur agar masyarakat dapat mengetahui batasan yang jelas. Melibatkan tokoh adat dan agama dalam penyelesaian, penerapan hukum adat dan penguatan ajaran agama akan membentuk sikap mental yang kuat. Selain hukum agama dan adat, penegakan hukum negara merupakan hal yang sangat penting diterapkan, sehingga kerjasama secara intensif antara BBTNGL dan aparat keamanan perlu ditingkatkan. 6.2 Saran Pelibatan masyarakat desa hutan dalam setiap kegiatan pengelolaaan TNGL perlu ditingkatkan dengan membuat pengelolaan berbasis koordinasi pada zona pemanfaatan di kawasan TNGL antara masyarakat dan pengelola. Pengenalan jenis mata pencarian baru selain bidang pertanian/perkebunan seperti industri kerajinan dan perdagangan harus menjadi wacana bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah, sehingga kerusakan TNGL dapat diredam.
DAFTAR PUSTAKA [BBTNGL] Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. 2010. Rencana pengelolaan TNGL 2010-2029. BBTNGL : Medan Fuad
FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan.Pustaka latin : Bogor
Masyhud. 2008. Mensejahterakan masyarakat pedesaan dengan hutan desa .[ 25 November 2009] Muntakin A, Pasya GK. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta Mega F. 2009. Pemetaan Substansi dan Perkembangan Kehutanan Multipihak Pasca Moratorium Logging oleh Pemerintah NAD.
[email protected] Miall
H, Woodhouse T, Ramsbottam O. 2002. Resolisi damai konflik kontemporer :menyelesaikan dan mengubah koflik bersumber politis, sosial, agama dan Ras. Penerjemah : Tri budhi satrio. PT Raja Grafido persada : Jakarta
Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta. Ngadiono. 2004. Pengelolaan Hutan Indonesia: Refleksi dan Prospek. Yayasan Andi Sanggoro : Bogor Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor. Redfield R. 1982. Masyarakat Petani Dan Kebudayaan. Dhakidae,Daniel [terjemahan ].-.Cv rajawali. Sardjono MA. 2004.Mozaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politikus dan Kelestarian Sumberdaya.Debet Pess. Jogyakarta Sitorus F.1998. Penelitian Kuatitatif suatu perkenalan. Kelompok ilmu ilmu sosial : bagor Tokede M.J, Wiliam D, Widodo, Gandhi Y, Imburi C, Patresiahadi, Marwa J, Yu Fuai MC. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua.CIFOR: Bogor Wulan YC, Yamin Y, Purba C Wollenbert F. 2004. Analisa sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003.CIFOR. Bogor
LAMPIRAN
39
Lampiran 1 Peta pembagian wilayah kerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser
Sumber : Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser 2010
Stasiun Penelitian Ketambe
Objek Wisata Lawe Gurah Ketambe
Sungai Lawe Alas batas alam TNGL
Suasana Pedesaan Desa Lawe Mamas
Kantor Keamanan Hutan
Kondisi lahan TNGL yang dibaka
Desa Lawe Mamas
Pal batas
Panorama TNGL
Kondisi Lahan di TNGL yang dirambah
Primata di kawasan TNGL
Keindahan TNGL