I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitian ini memfokuskan pada konflik sumber daya alam berbasis lahan di kawasan Gunung Merapi. Konflik sumber daya alam berbasis lahan di kawasan Gunung Merapi ini tidak terlepas dari adanya dinamika kebijakan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Hal itu terlihat dalam catatan penelitian terdahulu bahwa sejarah konflik sumber daya alam berbasis lahan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan perluasan hutan lindung telah memaksa memindahkan penduduk ke wilayah lainnya, mengubah pola pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan mengakibatkan persoalan-persoalan yang menyangkut klaim hak tanah garapan masyarakat yang tak jarang meninggalkan konflik yang terus berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga kini. Pada masa pengelolaan hutan Gunung Merapi oleh Jawatan Kehutanan, konflik menyangkut lahan terjadi dengan masyarakat. Masing-masing pihak mengklaim kepemilikan terhadap suatu obyek lahan, konflik tersebut tidak terselesaikan. Pada masa pengelolaan hutan Gunung Merapi oleh Perum Perhutani, konflik dengan masyarakat pengelola lahan tersebut terangkat kembali hingga sampai pada taraf eskalasinya. Proses penyelesaian konflik yang sampai pada jalur pengadilan tidak memberikan suatu kepastian terhadap status lahan tersebut. Di masa pengelolaan TNGM konflik lahan tersebut yang kemudian disebut „tanah vonis‟ mencuat kembali dan menjadi persoalan dalam proses pengukuhan TNGM dimana mensyaratkan adanya kepastian tata batas kawasan
1
2
dan terbebasnya dari persoalan hak-hak pihak lain/pihak ketiga dalam kawasan hutan yang akan dikukuhkan. „Tanah vonis‟ yang terletak di wilayah Resort Srumbung TNGM-Desa Ngablak Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang dengan luas areal sekitar 35 ha tersebut berdasarkan peta wilayah pengelolaan TNGM terletak di zona tradisional TNGM, namun secara de facto areal tersebut dalam penguasaan masyarakat. Konflik „tanah vonis‟ ini menjadi menarik untuk diteliti karena disamping memiliki sejarah yang panjang, dianggap usai (kemenangan) versi masyarakat oleh karena adanya surat Pengadilan Negeri Magelang tahun 1982 („vonis‟), lalu mencuat kembali seiring pembentukan TNGM. Untuk mengetahui konflik „tanah vonis‟ tersebut lebih jauh, maka melalui studi ini Penulis uraikan analisis konflik lingkup sejarah/proses dan faktor-faktor penyebab konflik, serta rumusan alternatif resolusi konfliknya. 1.2 Perumusan Masalah Konflik pengelolaan sumber daya alam berbasis lahan yang terletak di wilayah TNGM-blok Ngablak yang kemudian disebut konflik „tanah vonis‟ ini adalah perebutan penguasaan lahan antara pihak pengelola hutan dan masyarakat pengelola lahan „tanah vonis‟. Dalam hal ini masing-masing pihak merasa memiliki alasan yang kuat untuk mengklaim hak atas areal tersebut. Bertolak dari latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana sejarah/proses konflik „tanah vonis‟ tersebut? 2) Mengapa konflik „tanah vonis‟ belum terselesaikan hingga kini?
3
3) Bagaimana resolusi konflik „tanah vonis‟ yang efektif? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui sejarah/proses konflik „tanah vonis‟ yang hingga kini masih menjadi „tanah konflik‟. 2) Mengetahui faktor penyebab terjadinya konflik „tanah vonis‟. 3) Menghasilkan alternatif resolusi konflik „tanah vonis‟ yang efektif. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah secara akademis mampu menyajikan hasil kajian konflik sumber daya alam di kawasan hutan Gunung
Merapi.
Manfaat
praktis diharapkan sebagai
bahan masukan/
pertimbangan bagi pengelola kawasan TNGM dalam menyusun kebijakan sumber daya yang peka konflik. Hasil studi ini juga diharapkan dapat menambah khazanah studi konflik kehutanan di Indonesia. 1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 1.5.1 Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan konflik sumber daya alam berbasis lahan di kawasan Gunung Merapi tidak lepas dari adanya dinamika kebijakan pengelolaan kawasan oleh pemerintah selaku pengelola hutan. Hal itu terlihat dalam catatan para peneliti bahwa konflik sumber daya alam berbasis lahan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda yang membuat kebijakan perluasan hutan lindung telah memaksa memindahkan penduduk ke wilayah lainnya, mengubah
4
pola pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan menyangkut pemakaian tanah garapan masyarakat yang berarti pula mengakibatkan terancamnya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Pada masa pengelolaan hutan Gunung Merapi oleh Jawatan Kehutanan konflik menyangkut lahan terjadi dengan masyarakat. Masing-masing pihak mengklaim kepemilikan terhadap suatu obyek lahan, konflik tersebut tidak terselesaikan. Pada masa pengelolaan hutan Gunung Merapi oleh Perum Perhutani konflik dengan masyarakat pengelola lahan tersebut terangkat kembali hingga sampai pada taraf eskalasinya. Proses penyelesaian konflik yang sampai pada jalur pengadilan tidak memberikan suatu kepastian terhadap status lahan tersebut. Di era pengelolaan TNGM konflik „tanah vonis‟ mencuat kembali dan menjadi persoalan dalam proses pengukuhan TNGM dimana mensyaratkan adanya kepastian tata batas kawasan dan terbebasnya dari persoalan hak-hak pihak lain/pihak ketiga dalam kawasan hutan yang akan dikukuhkan. Studi Pranowo (1985:47-53) menyebutkan bahwa adanya kebijakan perluasan hutan lindung di kawasan Gunung Merapi yang serta-merta melakukan pelarangan dan pemindahan paksa terhadap masyarakat pengelola lahan di kawasan Gunung Merapi tersebut dengan alasan aktivitas masyarakat tersebut telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan orang banyak, terutama bagi orang-orang yang bermukim di Yogyakarta, Solo, dan Magelang. Sistem perladangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dianggap mendatangkan banjir dan erosi tanah. Dengan pembentukan status hutan lindung ini pemerintah waktu itu mengharapkan pola banjir maupun erosi tanah dapat terkendali. Respons
5
dari masyarakat menunjukan kurang senang terhadap kebijakan tersebut, dikarenakan dengan adanya perluasan hutan lindung akan menyangkut pemakaian tanah mereka dan berarti pula mengakibatkan pendapatan dari pertanian akan semakin
berkurang.
Dampak
dari
kebijakan
perluasan
hutan
lindung
menguntungkan pada salah satu pihak, namun merugikan di pihak lain. Di salah satu pihak kebijakan pemerintah kolonial Belanda sangat bermanfaat bagi kehidupan orang kota (Yogyakarta, Solo, dan Magelang) karena dapat mengurangi bahaya banjir maupun pengendapan lumpur, tetapi di pihak lain kebijakan tersebut akan merugikan bagi kehidupan masyarakat lereng Merapi. Hal ini karena tanah perladangan yang merupakan komponen pokok dan sumber kehidupan rakyat, telah diambil alih oleh pemerintah yang jelas membawa pengaruh dalam bidang ekonomi rakyat setempat. Solusi yang diberikan terkait kebijakan masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut adalah program pemukiman kembali penduduk yang terkena perluasan areal hutan lindung dan memberikan uang ganti rugi sebesar nilai harga tanaman palawija yang mereka tanam. Sedangkan luas tanah yang dimiliki oleh peladang tidak mendapat ganti rugi. Atas adanya kekhawatiran pemerintah terhadap eksploitasi hutan oleh penduduk lokal yang akan membawa bahaya bagi kehidupan orang yang tinggal di perkotaan, maka pemerintah selanjutnya mengeluarkan kebijakan pemindahan penduduk secara transmigrasi. Program transmigrasi seperti ini selain alasan yang telah disebutkan, semakin digalakkan sehubungan dengan adanya bencana letusan Gunung Merapi (Pranowo, 1985:50-52). Alternatif solusi program transmigrasi
6
yang dikeluarkan oleh pemerintah belum banyak mendapat sambutan baik dari penduduk. Hal ini menurut Singarimbun (1980) dalam Pranowo (1985:50-51) dikarenakan selain penduduk mempunyai persepsi tersendiri terhadap bahaya Gunung Merapi, juga yang sebenarnya merupakan masalah pokok seperti ganti rugi dari tanah pertanian sering diabaikan. Beberapa kasus persoalan ganti rugi tanah petanian yang dijanjikan pemerintah karena daerahnya dihutankan ini banyak diantara penduduk yang belum memperolehnya. Dengan adanya persoalan ganti rugi tanah yang tidak segera dapat diselesaikan itu, membuat kekecewaan pihak keluarga yang berangkat ke luar Jawa. Persoalan lainnya yaitu ada diantara mereka yang ditransmigrasikan sengaja kembali ke daerah asalnya untuk mengurus uang ganti rugi tanah pertaniannya tersebut. Ditambah lagi rasa kecewa dan tidak betah di daerah transmigrasi yang mereka alami. Dalam studi Kuswijayanti, dkk (2007:53-54), diuraikan bahwa pola pengelolan di kawasan Gunung Merapi berdasarkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan tradisi yaitu sebagai petani dan peternak. Dalam pola pertanian mereka menggunakan teknologi irigasi yang sederhana dengan mengambil air dari mata air di Gunung Merapi. Selama bertahun-tahun penduduk setempat mampu mengakses hutan tanpa kesulitan. Mencari rumput adalah aktivitas „ritual‟ mencari nafkah keseharian penduduk peternak sapi. Perubahan fungsi kawasan Gunung Merapi menjadi TNGM sangat meresahkan petani yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini disebabkan akses ke hutan menjadi semakin sempit. Kekhawatiran mereka adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak terutama pada musim kemarau dimana
7
rumput hanya tersedia di kawasan puncak Gunung Merapi. Kegelisahan lainnya yang dirasakan oleh para petani hutan yang selama ini mengakses lahan dengan gratis, disebutkan dalam Rencana Pengelolaan (RP) TNGM 2005-2025, mereka diberi kesempatan untuk meneruskan budidaya di hutan hingga lima tahun ke depan sejak SK Menteri Kehutanan tentang TNGM ditetapkan. Dalam studi Kuswijayanti dkk (2007:63) tersebut disebutkan bahwa konflik yang terjadi berkaitan dengan adanya pembentukan taman nasional yang mendapat reaksi kontra dari Ornop-L disebabkan diantara kedua belah pihak bersengketa tidak mencapai kata sepakat tentang pendekatannya, sehingga konsep TNGM terus menerus menjadi sasaran persengketaan yang tiada habisnya. Dalam studi Hudayana dkk (2012:56-57) mengungkapkan bahwa secara tradisional orang Merapi biasa memanfaatkan lahan di lereng Merapi bagian atas untuk kebutuhan subsistennya tanpa merusak ekosistem alami Gunung Merapi. Pemanfaatan hutan oleh orang Merapi seperti mencari kayu bakar dari ranting atau kayu kering bukan melakukan penebangan hutan sebagai bentuk pencurian. Walaupun memang masih ada saja oknum yang mencuri, tapi itu bukan berarti seluruh warga melakukan hal yang sama. Pemanfaatan hutan lain oleh masyarakat yaitu secara tradisional masyarakat selalu memanfaatkan ilalang untuk pakan ternaknya. Peternakan sapi yang menjadi strategi subsisten yang penting di Merapi karena didukung oleh adanya suplai pakan ilalang. Perumputan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak bagi peternakan masyarakat yang berkembang sangat pesat, dimana lahan pribadi yang mereka miliki tidak mencukupi sebagai sumber rumput peternakan mereka. Pola
8
perumputan dilakukan secara menyebar (di wilayah-wilayah dengan sumber rumput banyak), di tanah komunal, maupun dengan menggunakan/memanfaatkan kawasan Gunung Merapi untuk ditanami rumput pakan ternak. Wilayah perumputan tanah komunal merupakan padang rumput yang letaknya di sekitar 1 hingga 2 km dari puncak gunung, tebing, dan bantaran sungai. Wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung (saat ini kawasan hutan konservasi) yang secara tradisional merupakan padang rumput milik komunal. Dengan kata lain, wilayah tersebut menjadi sumber pakan komunal walaupun diklaim sebagai milik pemerintah. Pola pengelolaan perumputan di lahan komunal bisa diperebutkan para peternak secara bebas atau diserahkan kepada komunitas dusun yang dialokasikan sebagai sumber pendapatan, dan sudah ada yang dikapling-kapling oleh generasi tua. Pola pengelolaan tanah komunal lainnya dilakukan oleh organisasi komunitas dusun. Pihak dusun lalu menyewakan tanah tersebut ke warga dan uangnya dipakai sebagai dana pembangunan RT (Hudayana dkk., 2012:175-176)1. Ketika dibentuknya taman nasional dimana secara tidak langsung mendorong warga agar mengurangi aktivitas merumput di lereng Merapi, maka warga keberatan jika mereka pindah keluar desanya. Dari hasil telaahan pustaka di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa studi yang dilakukan terkait aktivitas masyarakat terhadap sumber daya alam di kawasan Gunung Merapi adalah suatu situasi konflik ketika dihadapkan antara pemenuhan kebutuhan dasar manusia (survival) dengan kepentingan konservasi
1
Data dan istilah yang disebutkan di atas diperoleh dari Laporan Penelitian oleh Hudayana dkk (2012), tentang Komunitas Lereng Merapi serta Respon Terhadap Erupsi Merapi 2010, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Yogyakarta.
9
pemerintah. Pada dasarnya masyarakat lokal tunduk dan mengakui akan kewenangan pemerintah. Masyarakat tunduk pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah termasuk ketika solusi yang ditawarkan mengharuskannya untuk keluar dari lahan pengelolaannya. Masyarakat pun mengakui bahwa lahan garapannya adalah kawasan hutan negara dan tidak mengklaim hak kepemilikan pribadinya. Berbeda dengan studi terdahulu tersebut di atas, kasus yang menjadi obyek penelitian penulis adalah konflik pengelolaan sumber daya alam berbasis lahan di kawasan Gunung Merapi atas adanya klaim hak kepemilikan dari masing-masing pihak (komunitas masyarakat dan pemerintah/pengelola hutan) terhadap obyek konflik yang kemudian dikenal dengan sebutan „tanah vonis‟. Dalam hal klaim hak kepemilikan lahan tersebut, masing-masing pihak merasa memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankannya. 1.5.2 Landasan Teori Sehubungan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di bagian terdahulu, terlihat adanya dua kepentingan terhadap obyek yang sama yaitu „tanah vonis‟. Pihak pengelola hutan Gunung Merapi menganggap bahwa areal „tanah vonis‟ sebagai bagian kawasan hutan Gunung Merapi. Di pihak lain, masyarakat komunitas pengelola „tanah vonis‟ dengan sudut pandangnya merasa memiliki alasan yang kuat untuk mengklaim areal „tanah vonis tersebut. Sebagai landasan untuk menguraikan fenomena konflik pengelolaan sumber daya alam berbasis lahan „tanah vonis‟ tersebut, maka penulis akan menggunakan teori konflik, analisis konflik, dan resolusi konflik sebagai berikut.
10
1.5.2.1 Teori Konflik Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Lederach, 1997 dalam Fisher dkk., 2001:4). Berbagai hal dapat melatarbelakangi suatu konflik. Fisher dkk (2001:3) menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda ketika melihat satu situasi, yang dipengaruhi oleh sejarah, jenis kelamin, cara hidup, nilai-nilai, dan status, yang mengarahkan pada konflik. Konflik sebagai kenyataan hidup, tidak terhindarkan, sering bersifat kreatif. Konflik sering terjadi jika tujuan masyarakat tidak sejalan. Tinjauan kesejarahan suatu proses konflik dalam suatu penelitian adalah hal penting. Hal ini mengingat konflik yang terjadi memiliki sejarah panjang yang berkaitan dan berlanjut hingga kini. Wiradi dalam Shohibuddin (2009:208) menyebutkan bahwa dalam suatu studi agraria, tinjauan kesejarahan tidak boleh ditinggalkan. Hal ini untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai isu yang diteliti. Penyebab konflik meliputi berbagai dimensi. Untuk mendapatkan gambaran tentang penyebab konflik yang terjadi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sebagaimana yang dikemukakan oleh Fisher dkk (2001:8-9) yaitu: pertama teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik ini disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Kedua teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
11
perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Ketiga teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia: fisik, mental, dan sosial, yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Keempat teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima teori kesalahpahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Keenam teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Dari keenam dimensi penyebab konflik yang dikemukakan di atas, faktor penyebab utama konflik yang menjadi fokus penelitian adalah bersumber dari adanya kebutuhan manusia dan negosiasi prinsip oleh karena posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Berkaitan dengan teori kebutuhan manusia, perspektif teori kebutuhan manusia memandang adanya hirarki kebutuhan manusia. Seturut hirarki kebutuhan manusia yang digambarkan oleh Maslow dalam Mas‟oed (2013) bahwa manusia pada dasarnya memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (physiological), keamanan (safety & security), kasih sayang (love & belonging), penghargaan (esteem), dan aktualisasi diri (self actualization). Terpenuhinya kebutuhan dasar akan mendorong manusia untuk
12
mencari kebutuhan yang lebih tinggi seturut tingkat hirarki. Melalui teori kebutuhan manusia ini, dapat dipahami jenis-jenis kebutuhan yang sedang diperjuangkan oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan konflik. Konflik terjadi kalau ada dua atau lebih pihak yang memandang dan yakin bahwa mereka memiliki tujuan‐tujuan yang tak selaras. Dalam prosesnya, konflik memiliki tahap-tahap yang bergerak secara dinamis. Dalam pandangan teori siklus konflik (Kriesberg, 1982 & 1988 dalam Arfani, 2013:317-319) disebutkan bahwa setiap konflik memiliki „biografi‟, memiliki suatu siklus. Tahap-tahap siklus tersebut meliputi: sumber, kemunculan, pemicu awal, eskalasi, deeskalasi, terminasi, hasil, dan konsekuensi, yang perlu dimengerti sebagai tahapan yang dinamis dan oleh karenanya membentuk sebuah siklus. Berikut adalah uraian masing-masing tahap siklus. Sumber konflik adalah kondisi‐kondisi laten dan aktual yang memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan‐tujuan yang tak selaras. Ia adalah suatu konstruk teoretik atau asumsi dasar tentang sifat manusia dan proses sosial. Secara internal, ia bisa berupa instink agresif dan frustasi. Secara interaksional, ia dapat mengejawantah dalam bentuk disintegrasi sistem atau proses sosial. Kemunculan konflik, konflik dapat mulai dikenali dan muncul menjadi sesuatu yang secara fisik nyata ketika ada rasa atau kesadaran kolektif berupa ketidakpuasan relatif terhadap pihak lain atau pihak‐pihak lain, yang kemudian memunculkan tujuan‐tujuan yang saling berlawanan. Pada tahap inilah kita mulai mengenali manifestasi dari konflik melalui situasi, sikap dan perilaku para pihaknya yang mulai mengarah pada adanya ketidakpuasan relatif dan tujuan‐tujuan yang saling bertentangan. Pemicu awal adalah provokasi para pihak yang terlibat yang berakibat pada digunakannya cara‐cara yang lebih keras dalam konflik. Ini menandai dimulainya tahap penggunaan kekerasan atau cara‐cara lain yang mengarah pada kekerasan dalam suatu konflik yang nantinya berujung pada tahap eskalasi. Provokasi berupa „persuasi‟,
13
„koersi‟ (coercion), „balas jasa‟ (reward) atau „iming‐iming‟ (material/non‐material). Eskalasi dalam suatu konflik adalah perubahan dalam unit konflik. Secara sosio‐psikologis, ia berupa loyalitas dan komitmen (yang seringkali berlebihan) pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan, serta sense of crisis terhadapnya. Secara organisasional (yaitu yang mengubah komposisi kelompok, pola kompetisi dalam kepemimpinan), eskalasi adalah perubahan dalam hubungan‐hubungan antar‐pihak yang bertikai berupa aksi sepihak atau bersama yang saling menyakiti. Deeskalasi adalah proses yang serupa tetapi berkebalikan dari eskalasi, yaitu perubahan dalam unit konflik. Secara sosio‐psikologis, para pihak dalam konflik pada tahap ini mulai menimbang kembali „ongkos‟ atau „biaya‟ untuk mempertahankan tujuan atau posisi semula, dan kemudiaan melakukan devaluasi terhadap tujuan atau posisi semula. Secara organisasional, proses deeskalasi dilakukan melalui aksi‐aksi kelompok moderat, dan munculnya heterogenitas dalam kelompok. Perubahan dalam hubungan‐hubungan antar‐pihak yang bertikai dalam proses deeskalasi dapat berupa: „emerging ties‟ (hubungan yang terbentuk secara „baru‟), kontraksi tujuan atau posisi (yaitu ketika kapasitas untuk mempertahankannya berkurang atau hilang sama sekali), dan „intervensi‟ (berupa aturan atau norma baru, mediasi, serta konteks sosial lainnya). Proses terminasi atau penghentian konflik dapat terjadi secara implisit, eksplisit (misalnya melalui negosiasi), atau ketika tercapainya kesepakatan atau penyelesaian. Untuk menentukan sebuah konflik berhenti, kita bisa mengenalinya ketika sejumlah orang menyepakati bahwa ia selesai (baik pihak yang terlibat maupun bahkan para pengamatnya). Terminasi konflik dapat pula dilakukan secara arbitrer, misalnya dengan periodisasi menurut waktunya. Tahap terminasi bisa merupakan awal dari konflik atau pertikaian baru, yaitu jika tidak terkelola dengan baik atau hasil kesepakatannya tidak lagi memenuhi harapan para pihaknya. Hasil, tahap ini merupakan kelanjutan dari proses terminasi, yaitu ketika para pihak mencapai penyelesaian dan menghasilkan kesepakatan. Yang mempengaruhi hasil (outcomes) suatu konflik adalah, pertama, determinan konfliknya (yaitu tujuan, model eskalasi konfliknya (persuasi, koersi atau rewards), perbedaan kekuatan atau kekuasaan para pihak), dan kedua, determinan non‐konflik, yaitu berkenaan dengan sumberdaya, serta konteks sosial alternatifnya. Jenis‐jenis hasil dari suatu
14
konflik adalah: distributif [menang/kalah, kompromi, kalah/menang] atau integratif (joint) [menang/menang, kalah/kalah]. Konsekuensi, tahap ini menandai redefinisi atas tujuan atau posisi para pihak yang berkonflik di masa‐masa mendatang, serta kapasitas mereka untuk mencapai tujuan dan posisi itu. Pada tahap ini, konflik internal dan efek‐efek lain yang mungkin muncul perlu dikenali lebih lanjut mengingat redefinisi atas tujuan atau posisi dapat berujung pula pada ketidakselarasan atau ketidakpuasan baru. Sehingga, tahap konsekuensi konflik dapat pula mengarah pada terbentuknya sumber‐sumber konflik baru. Selanjutnya disebutkan, sebagai sebuah siklus kita dapat memahami konflik dapat berawal dan dikenali dari tahap-tahap manapun, bergantung pada keperluan kita untuk memahami dan mengenalinya. Berikut ini adalah skema dari siklus konflik Kriesberg. Gambar 1.1 Skema Siklus Konflik Kriesberg
Sumber
Konsekuensi
Kemunculan
Siklus Konflik
Hasil Akhir
Terminasi
Pemicu Awal
Eskalasi
Deeskalasi
(Sumber: Arfani, 2013)
15
1.5.2.2 Alat Bantu Analisis Konflik Untuk menggambarkan sejarah/proses dan faktor penyebab konflik yang terjadi dipergunakan alat bantu analisis konflik dari Fisher dkk (2001), yaitu: 1) Penahapan konflik, untuk melihat siklus peningkatan dan penurunan konflik (prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan pascakonflik) yang digambarkan dalam skala waktu tertentu dalam bentuk grafik; 2) Urutan kejadian, untuk mengurutkan kejadian-kejadian dan sejarah terkait berdasarkan pandangan masing-masing
pihak;
3)
Sigitiga
Sikap-Prilaku-Konteks
(SPK),
untuk
menganalisis hubungan saling mempengaruhi dari ketiga faktor dan motivasi masing-masing pihak pada situasi konflik, dan untuk mengenali kemunculan dari konflik; 4) Pohon konflik, untuk mengidentifikasi isu-isu pokok konflik, yang meliputi masalah inti, sebab awal, dan efek yang muncul sebagai akibat dari masalah yang terjadi; dan 5) Analogi bawang bombay, untuk mengetahui perbedaan pandangan dan memahami berbagai kepentingan, kebutuhan, dan titik persamaan masing-masing pihak. Hal ini sebagai bagian dari proses mediasi atau negosiasi. 1.5.2.3 Resolusi Konflik Jika selalu ada dan sebagai kenyataan hidup, tidak terhindarkan, dan sering bersifat kreatif, maka konflik sebenarnya dibutuhkan dan bermanfaat. Dari segi kemanfaatan konflik, optimisme bahwa konflik itu sendiri justru bisa menjadi bagian solusi suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas menekan konflik tetapi lebih kepada meresolusi konflik agar menjadi produktif. Resolusi konflik dimaksudkan sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha
16
membangun hubungan baru dan yang tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan (Fisher dkk., 2001:4-7). Terkait upaya resolusi konflik, Furlong (2005:89-108) menyebutkan bahwa ketika konflik terjadi harus ada suatu intervensi dalam rangka memecahkan masalahnya untuk mencegah terjadinya menuju taraf krisis atau ketika krisis itu terjadi. Intervensi yang dilakukan harus memiliki tujuan utama membangun kembali dan memperjelas dari elemen-elemen utama batas (boundary). Elemenelemen utama batas dimaksud yaitu: standar yang ditetapkan untuk prilaku (defined standards for behaviour), yurisdiksi atau legitimasi (jurisdiction or legitimacy), otoritas atau kewenangan (authority or enforcement), dan norma (norm) yang disepakati. Untuk upaya resolusi konflik, dipergunakan arahan model batas (boundary model) dari Furlong (2005). Dalam model batas (boundary model) ini disebutkan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh batas (boundary) yaitu berupa aturan dan norma yang ditantang, terancam, atau dielakkan/diabaikan. Jika normanorma yang ada telah dilampaui dan pihak yang mempunyai yurisdiksi atau otoritas terhadap batas ini gagal untuk menghalangi (campur tangan), yang terjadi selanjutnya adalah terancamnya keberadaan batas (boundary) tersebut. Konflik memerlukan suatu intervensi dalam rangka memecahkan masalahnya untuk mencegah terjadinya menuju taraf krisis. Yaitu suatu situasi ketika batas (boundary) terancam, dilanggar, atau diabaikan hingga terus berlanjut dengan ketiadaan intervensi atau penanganannya, yang mengakibatkan batas (boundary)
17
itu runtuh sama sekali, atau disebut tidak ada kepatuhan terhadap batas (boundary). Furlong (2005:89-108) menyebutkan bahwa konflik terjadi berkaitan hubungan orang-orang dalam berinteraksi dengan batasan-batasan (boundaries) yang ada. Batasan-batasan (boundaries) tersebut bisa berupa undang-undang, kesepakatan, perjanjian, aturan, prosedur, konvensi, tatanan (order), keputusan, norma, dan lain-lain. Konflik terjadi ketika batas (boundary) dan norma (norm) telah ditentang, terancam, dan dielakkan atau diabaikan. Model batas (boundary model) menyebutkan bahwa sebagian besar konflik disebabkan oleh empat alasan yang berkaitan langsung dengan interaksi manusia ketika menghadapi batas-batas (boundaries) yang ada. Keempat alasan utama penyebab konflik melalui model batas (boundary model) ini yaitu: pertama, kurangnya kejelasan mengenai batas (boundary) tersebut (a lack of clarity around what the boundary is). Kedua, kurangnya dukungan pemilik otoritas untuk menegakkan batas (boundary) (lack of acceptance of who has authority to enforce a boundary). Ketiga, kurangnya penerimaan terhadap yurisdiksi batas (boundary) tersebut (lack of acceptance of who has jurisdiction over a boundary). Dan keempat, pelebaran dengan sengaja sehingga melewati batas dari norma-norma yang disepakati (a deliberate expansion of a boundary past acceptable). Konflik memerlukan suatu intervensi dalam memecahkan masalahnya, dan untuk mencegah terjadinya konflik ke taraf krisis. Krisis atau eskalasi merupakan suatu situasi ketika batas (boundary) terancam, dilanggar, dielakkan atau diabaikan hingga terus berlanjut dengan ketiadaan intervensi atau penanganannya, yang mengakibatkan batas (boundary)
18
menjadi runtuh sama sekali, atau disebut tidak ada kepatuhan lagi terhadap batas (boundary). Berdasarkan resolusi konflik model batas (boundary model) berikut ini adalah panduan sederhana yang dapat dikembangkan dengan diagnosis penyebab konflik dan pilihan intervensi strategis yang dapat dilakukan. Tabel 1.1 Panduan Praktis Resolusi Konflik Model Batas (Boundary Model) Diagnosis Pelanggaran batas karena kurangnya kejelasan atau harapan yang berbeda-beda: Pelanggaran batas karena ekspansi sengaja norma-norma: Kurangnya penerimaan yurisdiksi:
Kurangnya penerimaan otoritas:
Pilihan intervensi strategis Memperjelas batas; mendiskusikan harapan para pihak. Memperjelas konsekuensi dari pelanggaran batas. Membangun kembali dan memperjelas batas. Mendapatkan penerimaan dari yurisdiksi; membangun kembali legitimasi bagi yurisdiksi. Membawa otoritas yang lebih tinggi untuk memperjelas dan menentukan yurisdiksi jika diperlukan. Bernegosiasi yurisiksi baru jika perlu. Mendapatkan penerimaan dari yang berwenang; membangun kembali legitimasi bagi otoritas. Membawa otoritas yang lebih tinggi untuk mengklarifikasi dan mendefinisikan masalah otoritas jika diperlukan. Menegakkan batas jika diperlukan. Negosiasikan tingkat baru otoritas jika sesuai.
Sumber: Furlong (2005)
Secara strategis, model ini menunjukkan bahwa ketika ada konflik atau krisis terjadi harus ada intervensi. Intervensi yang dilakukan harus memiliki tujuan utama pembangunan kembali dari unsur-unsur batas (boundary). Teori resolusi konflik lainnya adalah dengan mengacu pada teori Zartman (1997) dalam Arfani (2005:310) yaitu “governing is conflict management” bahwa esensi dasar dari governance adalah pengelolaan konflik, yaitu fungsi utama pemerintahan pada dasarnya adalah mengelola konflik di antara berbagai kelompok-kelompok politik, sosial, ekonomi yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, kegiatan atau proses memerintah sesungguhnya
19
adalah kegiatan mengelola perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan antar berbagai kelompok, golongan dalam masyarakat. Seturut dengan praktik governance sebagai manajemen konflik, langkah partisipatif melalui skema fasilitasi dan mediasi dalam hal merumuskan resolusi konflik „tanah vonis‟ adalah hal yang relevan sebagai suatu mekanisme pengelolaan konflik secara kolaboratif. Dilihat dari teori siklus konflik Kriesberg sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, namun melalui serangkaian tahapan atau proses yaitu mulai dari sumber konflik, kemunculan, pemicu awal,
eskalasi,
deeskalasi, terminasi,
dan hasil konflik,
serta
konsekuensinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Arfani (2005:317) dan Arfani (2013:16) menyebutkan bahwa resolusi konflik pada
dasarnya adalah setiap
upaya intervensi untuk menyelesaikan konflik, yaitu upaya untuk mencegah aktualisasi, eskalasi atau penggunaan cara‐cara kekerasan, mendeeskalasi, menghentikan dan akhirnya menyelesaikan konflik. Ia bisa berupa negosiasi, fasilitasi, mediasi, pencarian fakta (fact‐finding), arbitrase tak mengikat, arbitrase mengikat, maupun adjudication (ajudikasi, litigasi atau peradilan legal). Terkait dengan resolusi konflik kawasan Gunung Merapi yang melibatkan pihak pemerintah/pengelola hutan dan komunitas masyarakat, maka pendekatan penyelesaian konflik seyogianya lebih mengedepankan untuk menemukan alternatif yang dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak, memuaskan kedua belah pihak, dan hasil yang didukung penuh oleh semua pihak yang berkepentingan. Pendekatan yang bersifat represif yang terbukti tidak efektif harus mulai diubah dengan pendekatan yang lebih partisipatif. Upaya-upaya
20
penyelesaian konflik hendaknya dilakukan dengan secara bersama-sama membangun kerjasama (kolaborasi) yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan (problem solving). Pruitt dan Rubin (2011:78-79) menyebutkan bahwa dalam strategi penyelesaian konflik problem solving, pemilihan suatu strategi penyelesaian konflik tergantung pada persepsi fisibilitas (kemungkinan untuk terjadi), memperluas strategi yang tampaknya mampu untuk mencapai kepedulian. Strategi problem solving lebih mungkin bila "persepsi alasan bersama" (perceiped common ground) semakin besar. "Persepsi alasan bersama" (perceiped common ground) adalah penilaian suatu pihak atas kemungkinan untuk menemukan alternatif yang memuaskan kedua belah pihak. Bila kemungkinan ditemukannya alternatif semacam itu lebih besar, maka problem solving juga akan dianggap lebih fisibel. Terkait dengan penerapan strategi problem solving, Pruitt dan Rubin (2011:81-86) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan penerapan dan keberhasilan strategi problem solving yang dilakukan. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) Keyakinan terhadap kemampuannya sendiri untuk melakukan problem solving; (2) Momentum; (3) Adanya mediator; (4) Persepsi mengenai kesiapan pihak lain untuk melakukan problem solving. 1.5.2.4 Hipotesis Sehubungan dengan konteks permasalahan seperti telah diuraikan di atas, peneliti ingin mengetahui sampai seberapa jauh proses konflik lahan „tanah vonis‟ yang terjadi. Dalam hal itu, penulis juga akan melihat hal-hal yang
21
melatarbelakangi yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Kemudian suatu solusi yang efektif atas permasalahan tersebut dapat dirumuskan. Untuk menelaah ketiga hal itu sebagai permasalahan pokok yang diteliti, akan penulis rumuskan dalam hipotesis sebagai berikut. Hipotesis pertama, masing-masing pihak yang terlibat konflik memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan kepentingannya di lokasi tersebut. Dengan kata lain, apa yang dilakukan pemerintah/pengelola hutan terkait hak atas lahan „tanah vonis‟ sehingga mendapat perlawanan oleh karena adanya pandangan yang berbeda dengan masyarakat lokal yang juga mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Dalam pandangan pemerintah/ pengelola hutan, areal „tanah vonis‟ adalah bagian dari wilayah pengelolaannya sebagaimana kriteria-kriteria yang ada. Demikian juga bagi pihak masyarakat lokal, areal „tanah vonis‟ tersebut adalah milik masyarakat sebagaimana buktibukti yang dimilikinya. Dari perbedaan-perbedaan di atas memunculkan kebutuhan yang menyertainya yaitu adanya perbedaan tujuan pengelolaan „tanah vonis‟ tersebut. Tujuan pemerintah/pengelola hutan dalam hal ini adalah mewujudkan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan konservasi. Bertolak belakang dengan tujuan pengelolaan masyarakat yaitu sebagai lahan pertanian. Hipotesis kedua, konflik yang terjadi saat ini adalah sebagai perulangan konflik di masa lalu akibat resolusi konflik yang tidak efektif, yaitu adanya pola koersif dengan penanganan konflik yang represif, sehingga tidak terakomodasinya kepentingan masing-masing pihak. Hipotesis ketiga, dengan menganalisis konflik yang terjadi mulai dari sejarah, sumber, dan faktor penyebabnya, dapat diperoleh rumusan alternatif resolusi konflik „tanah vonis‟ yang efektif, yaitu menghasilkan
22
solusi integratif dan didukung semua pihak (legitimate). Untuk itu, alternatif resolusi konflik yang dianggap efektif dalam konflik „tanah vonis‟ tersebut adalah dengan menawarkan resolusi konflik model batas (boundary model) dan governance sebagai manajemen konflik. 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Menurut Moleong (2009:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Tujuan penelitian dalam hal ini adalah untuk memahami fenomena yang terjadi oleh subyek penelitian seperti prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik yang kemudian dideskripsikan menggunakan kata-kata atau bahasa pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Adapun jenis-jenis informasi data kualitatif menurut Wiradi dalam Shohibuddin (2009:58-59), meliputi: (1) Informasi mengenai gambaran suatu kejadian, suatu peristiwa, ataupun suatu proses; (2) Informasi mengenai adatistiadat, mengenai nilai budaya, mengenai norma-norma, yang berlaku di lokasi yang menjadi obyek studi; (3) Informasi mengenai sejarah. Selanjutnya Wiradi dalam Shohibuddin (2009:60) menjelaskan, terhadap jenis informasi nomor (1), yaitu kejadian, peristiwa, ataupun suatu proses, sumbernya adalah kita sendiri sebagai peneliti. Artinya, jika peristiwa itu terjadi pada saat kita di lapangan, maka secara langsung kita mengamati sendiri kejadian tersebut, ditambah dengan informasi yang diperlukan dari informan atau
23
dokumen. Tetapi bagi suatu peristiwa yang telah berlalu, yang kita sendiri tidak menyaksikannya secara langsung, maka sumbernya adalah informan, ataupun arsip-arsip. Adapun, bagi jenis data (2) dan (3), sumber datanya adalah informan dan dokumen. Berikut ini adalah tabel untuk menjelaskan jenis-jenis data berikut sumber dan metode untuk pengumpulannya. Tabel 1.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Primer Jenis Data
Peristiwa/Kejadian, Proses Nilai Budaya, AdatIstiadat Data Historis
Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Survey
Responden
Informan
Dokumen
Participant Observation
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Wiradi dalam Shohibuddin (2009:61)
Berdasarkan pengelompokan data yang dikumpulkan dibagi menjadi data primer dan sekunder. Menurut Wiradi dalam Shohibuddin (2009:59) data primer adalah data yang pengumpulannya kita lakukan sendiri. Data tersebut merupakan hasil dari pengamatan langsung, hasil wawancara, dan hasil dari pengukuran yang langsung kita lakukan sendiri. Adapun data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber sekunder antara lain dari perpustakaan, berupa buku-buku, dari hasil karya penelitian orang lain, dari kantor-kantor instansi pemerintah yang terkait, dari arsip-arsip kantor kelurahan, kecamatan, dan sebagainya. Dengan pendekatan kualitatif, studi ini diharapkan dapat mendeskripsikan fakta-fakta secara komprehensif terkait konflik „tanah vonis‟ di Blok Ngablak-TNGM.
24
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang kemudian dianalisis secara simultan. Pengamatan (observasi) dilakukan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai konflik yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan Gunung Merapi khususnya antara masyarakat lokal dan pihak pengelolan hutan Gunung Merapi. Wawancara dilakukan dengan cara peneliti bertanya langsung pada informan yang meliputi warga masyarakat, pegawai dan pejabat di kantor Balai TNGM dan yang bertugas di wilayah yang menjadi obyek penelitian. Pemilihan informan kunci dipastikan dari pihak yang tepat. Informan dipilih berdasarkan informasi dari informan-informan sebelumnya. Sebagian informan dipilih secara sengaja. Wawancara dilakukan dengan suasana yang memungkinkan informan mengeluarkan jawaban apa adanya. Wawancara juga digunakan untuk mengoreksi validitas data yang didapatkan dari pengamatan (observasi) dan untuk menjaring data yang tidak tertulis. Wawancara dilakukan secara mendalam dan bersifat terbuka,
untuk memberikan kesempatan menyampaikan pandangan dan
pendapatnya tentang fenomena penelitian. Materi yang ditanyakan tidak dibuat dalam daftar pertanyaan yang membatasi narasumber. Namun untuk membantu, peneliti membuat pedoman wawancaranya yang kemudian dikembangkan selama wawancara.
Secara umum pertanyaan dalam wawancara
meliputi:
(1)
Sejarah/Proses konflik yang terjadi, (2) Hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya
25
konflik (faktor-faktor penyebab konflik), dan (3) Bentuk-bentuk pengelolaan konflik yang dilakukan (intervensi konflik). Dokumentasi diperoleh atau dihimpun dari berbagai data, dokumen, pelaporan instansi, laporan hasil penelitian, dan lain-lain yang terkait dengan penelitian ini. Terhadap semua data (primer dan sekunder) yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya dilakukan analisis. Dalam menganalisis data, pengumpulan dan analisis dilakukan secara serentak. Tahapannya adalah pengumpulan data, analisis data, dan penafsiran data. Pada tahap ini dilakukan kegiatan untuk dapat dicapai tujuan penelitian yaitu hasil analisis mengenai konflik yang terjadi dan dapat diperoleh alternatif resolusi konflik tersebut. Selanjutnya dilakukan tahap penyelesaian untuk penyusunan dan penyempurnaan dengan bimbingan Dosen Pembimbing Penelitian, untuk menjadikannya laporan hasil penelitian atau tesis. 1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini tersusun ke dalam lima bab. Bab I mengantarkan pentingnya penelitian konflik sumber daya alam berbasis lahan yang terjadi di kawasan Gunung Merapi agar dapat ditemukan gambaran sejarah/proses konflik yang terjadi, faktor-faktor penyebab, dan terumuskannya resolusi konflik yang efektif dalam menangani konflik tersebut kedepannya. Bab ini menggarisbawahi adanya persoalan klaim atas kepemilikan lahan yang kemudian disebut „tanah vonis‟ antara pihak komunitas masyarakat dan pengelola hutan Gunung Merapi. Memuat uraian sistematis tentang hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu dan hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Adanya
26
permasalahan yang belum terjawab oleh peneliti terdahulu yang belum terpecahkan secara memuaskan dan posisi penelitian diantara penelitian-peneiltian terdahulu. Sumber-sumber yang dijadikan studi berasal dari jurnal dan laporan penelitian. Selain itu juga memberikan uraian tentang metode dan teknik pengumpulan data, serta metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Bab II deskripsi mengenai gambaran lokasi kaitannya dengan konteks sosio-geografi kawasan Gunung Merapi. Dalam bab ini juga diuraikan nilai-nilai penting kawasan Gunung Merapi baik itu sebagai fungsi lindung atau konservasi dan berdasarkan nilai-nilai lokal sehubungan dengan keterkaitan oleh kondisi masyararakat sekitar. Memberikan juga deskripsi mengenai sejarah pengelolaan dan konflik yang terjadi di kawasan Gunung Merapi. Selain itu, juga memberikan gambaran persoalan pengelolaan kawasan hutan Gunung Merapi oleh TNGM oleh karena adanya pemanfaatan kawasan oleh masyarakat sekitar dan secara khusus sehubungan dengan konflik „tanah vonis‟ yang sedang dihadapi. Bab III memberikan deskripsi mengenai hasil penelitian tentang konflik yang terjadi, berbagai hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik, penyebab konflik, melalui bantuan berbagai alat analisis yang dipilih, dan penanganan konflik yang telah dilakukan oleh pihak pengelola hutan. Bab IV memberikan alternatif resolusi konflik dan strategi penanganan konflik „tanah vonis. Beberapa alternatif resolusi konflik yang dirumuskan adalah bertolak dari strategi model batas (boundary model) dan governance sebagai manajemen konflik, melalui skema pengelolaan konflik kolaboratif, yaitu dengan
27
mekanisme penataan batas partisipatif, fasilitasi dan mediasi, zona khusus, serta APL/enclave. Bab V mengetengahkan kesimpulan yang menegaskan permasalahan konflik yaitu lingkup sejarah/proses dan penyebab konflik. Pada bab ini juga disampaikan alternatif resolusi konflik yang dapat diusulkan.