Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
PENYULUHAN HUKUM RESOLUSI KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI KABUPATEN BATANGHARI Hafrida, Haryadi, Taufik Yahya, Retno Kusniati, Isran Idris Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas ABSTRAK Ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan atas ruang telah memicu konflik perebutan sumber daya alam termasuk di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Karena itu diperlukan kegiatan penyuluhan hukum tentang resolusi konflik yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dan pihak terkait dalam penanganan konflik sosial sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20012 tentang Penanganan Konflik Sosial.Mitra dalam kegiatan pengabdian ini adalah Kepala Desa Lopak Aur Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari dan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Batanghari. Hasil penyuluhan hukum mengenai resolusi konflik sumber daya alam menunjukan bahwa: 1) potensi konflik yang tidak diredam dapat meluas dan merugikan masyarakat serta perusahaan yang bergerak di industri sumber daya alam; 2) model resolusi konflik dialog dan damai yang diselesaikan oleh Tim Terpadu Kabupaten Batanghari dengan melakukan pencadangan lahan bagi Suku Anak Dalam berikut seritifatnya diharapkan dapatdicapai penyelesaian konflik secara menyeluruh dan masyarakat dapat terlindungi.Ke depan, Pemerintah Daerah dalam penanganan konflik sumber daya alam perlu: 1) mengacu pada ketentuan dan tujuan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu sumber daya alam Indonesia diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui pengaturan pemanfaatan ruang yang lebih berpihak pada pemenuhan hak masyarakat; 2) model resolusi konflik berupa melalui pranata adat dan perlibatan masyarakat sebagai modal sosial penyelesaian konflik dan pendidikan karakter dapat dipertimbangkan sebagai solusi konflik jangka panjang dan; 3)perlu disusun suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) resolusi konflik agar penanganan konflik memiliki alur dan prosedur baku sebagai pedoman dalam setiap penyelesaian konflik dalam masyarakat. Kata Kunci: konflik sumber daya alam, model resolusi konflik, kebijakan pemerintah daerah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 33ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) ini melahirkan konsepsi hak penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran lebih lanjut amanah Pasal 33 UUD 1945 dibentuklah UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Menurut Maria SW Sumardjono berkenaan dengan hubungan
antara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan UUPA menyatakan: Harus diakui, UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun 1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA) berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
59
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 Pasal UUPA, 53 Pasal mengatur tentang tanah. Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui berbagai undang-undang sektoral. Undangundang itu terutama diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai undang-undang sektoral itu UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairandirevisi dengan UU No. 7 Tahun 2004, dan undang-undang lainnya menyusul. Pembentukan UU sektoral tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena karakteristik peraturan perundangundangan sektoral: (1) orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara; (2) lebih berpihak pada pemodal besar; (3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang lemah; (5) tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara proporsional. Akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
serta antardaerah, kerusakan dan kemunduran kualitas SDA, ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA (petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.Kenyataan ini mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001 yang meletakkan prinsip pembaruan agraria, mendorong pengkajian ulang dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral melalui pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan UU sektoral. Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang makin terbatas dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan maupun, kelemahan dalam sistempengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat maupun karena penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan danpranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci,antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambatterwujudnya kesejahteraan umum. Tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Keterkaitan antara tujuan negara dan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara untuk: 1. Segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam dan hasilnya harus secara nyata
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
60
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hakhak rakyat yang terdapat di 3. dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat 4. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menkmati kekayaan alam Ketiga kewajiban di atas, sebagai jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan betuursdaad dan beheersdaad dan tidak melakukan eigensdaad. Artinya secara a contrario, apabila hak penguasaan negara diartikan sebagai iegensdaad maka tidak ada akan ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan kewajiban tersebut negara wajib melakukan pengaturan agar pemanfaatan sumber daya alam sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dibentuk oleh Pemerintah sebagai personifikasi negara yaitu: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 11 Tahun 2005 c. Kovenan Hak Sipil dan Politik diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005 d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Pokok Agraria e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya f. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan g. Undantg-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
h. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM i. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air j. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal k. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam perkembangannya penguasaan negara terhadap sumber daya alam teryata lebih banyak dialihkan kepada korporasi dibandingkan kepada rakyat. Hal ini ditandai dengan banyaknya konflik perebutan sumber daya alam. Dalam tiga dasawarsa terakhir, sejak Januari 1970 hingga Mei 2007 konflik tanah dan sumber daya alam yang bersifat struktural berjumlah 1877 kasus, terjadi di 2804 desa, memperebutkan kurang lebih 10.892.203 Ha, yang mengakibatkan 1.189.482 KK dipelosok nusantara, telah mengikutsertakan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) (terjadi di wilayah perkebunan, kawasan konservasi, kehutanan, pembangunan, Dam, sarana umum dan fasilitas perkotaan, kawasan industri atau pabrik, perumahan, kawasan parawisata, pertambakan, trasmigrasi) yang secara umum telah menghilangkan akses dan hak-hak kolektif masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam.7 (M. Ridha Saleh, Hak-Hak Masyarakat Adat, Makalah Pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, Diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal. 17. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Jambikasus perebutan sumber daya alam meningkat sebagai akibat semakin terbukanya Pemerintah Daerah kepada investor sebagimana dikutip sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jambi yang mengandalkan sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan dengan mengundang korporasi besar telah
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
61
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
mengakibatkan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan atas ruang. Sehingga menimbulkan perebutan ruang antara perusahaan dengan perusahaan, perusahaan dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat, yang memicu menimbulkan konflik ruang.Pengguasaan ruang yang tidak adil tersebut dapat dilihat dengan pembagian peruntukan ruang saat ini. Dari total luas Propinsi Jambi 5,1 juta hektar, untuk sektor kehutanan yang mencapai 2,1 juta hektar, perkebunan kelapa sawit sekitar 600.000, pertambangan sekitar 1.1 juta hektar dan peruntukan pemukiman sekitar 1,1 juta hektar, serta sekitar 300 ribu ha kawasan perairan/laut. Pengguasaan ruang yang terbagi di dalam beberapa sektor tersebut sebagian besar dikuasai oleh koorporasi besar skala internasional seperti Sinar Mas Group, Wilmar Group dan Astra.Dalam rentang tahun 20012010, terdapat 70 konflik di sektor kehutanan dan perkebunan, yang sampai akhir tahun 2010 belum ada penyelesaiannya. Di tahun 2011, tercatat 44 konflik diberbagai sektor berbasis tanah dan sumber kekayaan alam, dengan luasan lahan konflik 222,688 hektar. Sementara itu sebagaimana dikutip dari website Provinsi Jambi menyebutkan bahwa:9 ... dari 29 kasus konflik lahan yang ada, terdapat beberapa kasus yang proses penyelesaiannya difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi, kasus dimaksud adalah; pertama, konflik lahan antara PT Asiatic Persada dengan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD), di Kabupaten Muaro Jambi, kedua, konflik penggusuran oleh PT Asiatic Persada terhadap masyarakat SAD di Desa Tanjung Lebar, Kabupetn Batanghari, ketiga, konflik lahan antara PT Wirakarya Saksi (WKS) dengan Persatuan Petani
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
Jambi (PPJ) di lima Kabupaten (Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tebo), keempat, konflik lahan antara PT WKS dengan PPJ di Desa Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kelima, konflik lahan LU II antara PT Sari Adtya Loka (SAL) dengan masyarakat di Kabupaten Tebo, Bungo dan Merangin, keenam, konflik lahan antara PT Brama Bina Bakti/PT Kirana Sekernan dengan masyarakat desa Tanjung Lanjut Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi.Dalam upaya menyelesaikan konflik ini Pemerintah Provinsi Jambi telah membentuk Tim penyelesaian kasus tanah, tim ini terdiri dari jajaran Pemerintah Provinsi Jambi, Muspida, LSM, termasuk dari pers. Berdasarkan paparan tersebut resolusi konflik atau penanangan konflik urgen untuk dipahami semua elemen masyarakat terlebih masyarakat. Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi sudah seharusnya dapat bermanfaat secara nyata dalam masyarakat. Fakultas Hukum sebagai bagian dari civil society perlu berperan aktif dalam resolusi konflik di tingkat lokal dalam kerangka integrasi bangsa.Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai.Karena itu, penting diinisiasi kegiatan pengabdian masyarakat untuk diseminasi dan peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang resolusi konflik. B. Gambaran Umum Kendati konflik terus meningkat, upaya-upaya serius pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang ada masih belum menunjukkan langkah yang memenuhi keadilan masyarakat. Masyarakat yang menjadi korbankonflik tidak memiliki pijakan dan mekanisme yang mendukung mereka dalam penyelesaian konflik sumberdaya alam. Hal ini disebabkan
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
62
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
karena Pemerintah sendiri selama ini belum memiliki instrumen hukum yang secara komprehensif mengatur mengenai penanganan konflik. Di Kabupaten Batanghari sebagaimana telah dipaparkan di latar belakang bahwa saat ini terdapat konflik yang melibatkan PT Asiatic Persada terhadap masyarakat SAD di Desa Tanjung Lebar, Kabupetn Batanghari, ketiga, konflik lahan antara PT Wirakarya Saksi (WKS) dengan Persatuan Petani Jambi (PPJ) di lima Kabupaten (Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tebo). Konflik ini perlu ditangani secara komprehensif sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sejak dibentuk UndangUndang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sesungguhnya semua pihak yang terkait yaitu masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah dapat mempedomani undang-undang ini. Namun karena peraturan perundangundangan ini relatif baru perlu diseminasi mengenai kelembagaan, penanganan maupun mekanisme dan prosedurnya. Ketentuan Pasal 1 angka 1 mendefinisikan bahwa konflik sosial adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggustabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Sementara itu ketentuan Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa “Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalamsituasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakuppencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 3 Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 2012
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
tentang Penanganan Konflik bertujuan sebagai berikut: a. menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera; b. memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; c. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; d. memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; e. melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum; f. memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; dan g. memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum. Adapun ruang lingkup penanganan konflik berdasarkan ketentuan Pasal 4 menentukan bahwa: a. Pencegahan Konflik; b. Penghentian Konflik; dan c. Pemulihan Pascakonflik. Masyarakat yang pluralistik yang memiliki berbagai kepentingan yang bersaing akan cenderung saling bersaing dan berkonflik. Karena itu, potensi ketidakseimbangan yang ada di didalam masyarakat perlu ditangani agar tidak menjadi melebar. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) bahwa pencegahan konflik dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat perlu diadakan kegiatan penyuluhan hukum yang menitikberatkan pada resolusi konflik. Kegiatan ini penyuluhan akan mencakup aspek sturktural yaitu instrumen hukum terkait dengan peraturan perundang-undang sumber daya alam dan secara khusus menyangkut substansi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
63
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
C. Perumusan Masalah Untuk kepentingan kegiatan penyuluhan ini maka dirumuskan permasalahan berikut: 1. Resolusi konflik model apakah yang perlu dirumuskan dalam mencegah konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari? 2. Bagaimakah kebijakan pemerintah daerah ke depan yang perlu diformulasikan dalam penanganan konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari?. Adapun ruang lingkup dari kegiatan Penyuluhanhukum adalah: 1. Diseminasi pengetahuan tentang instrumen hukum yang mengatur mengenai sumber daya alam, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, hak dan kewajiban negara dalam penguasaan sumber daya alam sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, spentingnyaresolusi konflik yang meliputi tahapan pencegahan, penyelesaian dan pemulihan konflik 2. Peningkatan pemahaman tentang sumber konflik sumber daya alam, kelembagaan penyelesaian konflik sumber daya alam serta dan perubahan persepsi ke arah pilihan resolusi konflik yang lebih berkeadilan terkait konflik sumber daya alam. D. Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan Penyuluhan Hukum tentang Resolusi Konflik Sumber Daya Aalam bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai resolusi konflik sumber daya alam agar terwujud tata kehidupan yang aman, tentram dan berkeadilan. 2. Mendorong Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan resolusi konflik sumber daya alam berbasis dialogis dan damai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
E. Manfaat Kegiatan Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan Penyuluhan adalah sebagai berikut: 1. Manfaatnya bagi masyarakat adalah meningkatnya pengetahuan dan pemahaman pentingnya resolusi konflik dalam mencegah, menyelesaikan dan memulihkan konflik sumber daya alam. 2. Meningkatnya kapasitas Pemerintah Daerah dan aparatnya dalam merumuskan kebijakan resolusi konflik sumber daya alam guna mewujudkan kehidupan masyarkat yang aman, tertib dan sejahtera. II. KONSEPSI TENTANG RESOLUSI KONFLIK Pada era tahun 1960 sampai dengan 1970 mulai bermunculan teoriteori yang melihat, dan menjelaskan konflik pada tingkat kelompok10. Yang paling klasik, dan siginifikan pengaruhnya adalah, Realistic Conflict Theory dari Muzafer Sherif. Selama puluhan tahun ia melakukan eksperimen tentang proses kerjasama, dan terjadinya konflik antar kelompok, yang solusi untuk menyelesaikan konfliknya adalah menciptakan goal bersama yang menyangkut kepentingan bersama (superordinate goal). RCT menyatakan bahwa dalam hubungan antar dua kelompok selalu terdapat kepentingan yang berbeda, akan terjadi upaya dari satu kelompok meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lainnya. Persaingan terjadi karena ada keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya yang diperebutkan oleh kelompok. Kelangkaan tersebut pada sumberdaya alam misalnya minyak, sumber daya tanah, hutan, tambang, air, dan sebagainya. Teori selanjutnya adalah Social Identity Theory ( Hogg. 2003. b), dipelopori oleh Henri Tajfel dan John C Turner. Mereka berdua menggariskan bahwa hubungan antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok dan
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
64
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
bukan dari perspektif individu. Setiap individu dalam masyarakat dapat dikelompokkan atau di katagorisasi ke dalam berbagai kelompok, misal jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan etnis. Maka terbentuklah identitas, Identitas individu akan mengental menjadi identitas kelompok, setiap kelompok merasa lebih unggul dibanding kelompok lainnya, maka terjadi kecendrungan in-group dan out-group. Dengan masuknya prasangka dan stereotip , maka in-group akan melihat out-group sebagai lawan. Sehingga pada akhirnya terjadi konflik. Menurut pemuka teori ini, identitas sosial dapat menimbulkan konflik, maka solusi untuk menyelesaikan konfliknya dengan mencairkan polarisasi antara dua kutub yang berkonflik, melalui cara pembauran kedua kelompok. Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhankebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahanperubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik, konflik dapat bersumber dari: a. permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; b. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis; c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi; d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat. Sumber-sumber konflik ini perlu dicermati agar dalam penanganan konflik dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 6 mengamanahkan bahwa: (1) Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya:
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat; b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c. meredam potensi Konflik; dand. membangun sistem peringatan dini. (2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menghendaki bahwa: (1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai; (2) Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan musyawarah untuk mufakat; (3) Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikat para pihak. Adapun kewajiban untuk meredam konflik dirumuskan dalam ketentuan Pasal 9 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan: a. melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat; b. menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; c. melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; d. mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat; e. menegakkan hukum tanpa diskriminasi; f. membangun karakter bangsa; g. melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan h. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan denganpelaku usaha di daerah setempat. Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
65
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik serta ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Keadaan ini rawan konflik karena itu perlu suatu sistem penanganan konflik yang melibatkan semua elemen masyarakat. Berkaitan dengan pengaturan penguasaan negara dalam peraturan perundang-undangan, idealnya suatu aturan hukum dibentuk berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu masyarakat, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai. Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan di dalam tujuan, dasar dan cita hukum negara maka diperlukan satu sistem hukum nasional yang dapat dijadikan pijakan dan kerangka politik hukum nasional. Ketika Pancasila dijadikan dasar atau basis filosofis/ideologis dari praktik kenegaraan, mestinya struktur (baca: peraturan perundang-undangan) ketatanegaraan dimaksud berisikan nilainilai Pancasila. Artinya, setiap hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila.12 Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara selain berpijak pada Pancasila juga berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtidee) yaitu:13 1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan(integrasi) 2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan 3. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dari negara hukum 4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keadaban dalam hidup beragama. Dalam konteks politik hukum maka peraturan-perundangan bidang sumber daya alam yang dibentuk untuk
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
mencapai tujuan dan cita hukum Negara Indonesia bagi kemakmuran rakyat yang bersumber pada Pembukaan dan pasalpasal UUD 1945 yang mengandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Lebih jauh, Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 tersebut terkandung nilai-nilai khas budaya Bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. Sumber daya alam yang ada dalam wilayah NKRI berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa:“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya penguasaan negara atas sumber daya alam wajib dipergunakan kesejahteraan rakyat. III. METODE DAN MATERI PENGABDIAN A. Materi Kegiatan Materi kegiatan penyuluhan hukum resolusi konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari meliputi: 1. Sumber konflik sumber daya alam Konflik sumber daya alam dapat terjdi karena: 1) ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sumber daya alam; 2)struktur penguasaan sumber daya alam yang tidak seimbang antara penguasa-pengusaha-masyarakat hukum adat/komunitas lokal; 3) kepentingan para pihak dalam praktik di lapangan yang dipicu oleh kebijakan negara karena tumpang tindah aturan mengenai sumber daya alam; 4) belum tersedianya suatu kelembagaan yang diterima semua pihak yang berkonflik yang bertugas menyelesaikan konflik di luar pengadilan. 2. Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi:Pencegahan Konflik; Penghentian Konflik; dan Pemulihan Pascakonflik. 3. Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya: a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
66
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c. meredam potensi Konflik; dan d. membangun sistem peringatan dini. 4. Kelembagaan Pencegahan dan penyelesaian konflik dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. 5. Penanganan Konflik mencerminkan asas: a. kemanusiaan; b. hak asasi manusia; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kebhinneka-tunggal-ikaan; f. keadilan; g. kesetaraan gender; h. ketertiban dan kepastian hukum; i. keberlanjutan; j. kearifan lokal; k. tanggung jawab negara; l. partisipatif; m. tidak memihak; dan n. tidak membeda-bedakan. B. Khalayak Sasaran Keberhasilan Penyuluhan hukum tentang resolusi konflik sumber daya alam akan ditentukan oleh meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan kapasitas stake holder terkait aspek-aspek pencegahan, penyelesaian dan pemulihan konflik sumber daya alam. Khalayak sasaran kegiatan Penyuluhan ini adalah stake holder, masyarakat luas, Badan Permusyawaratan Desa, Lembagalembaga Desa, Organisasi Sipil Masyarakat, unsur perempuan, unsur pemuda, unsur petani, lembaga adat dan aparat pemerintah daerah terkait dengan tugas dan fungsi dalam penanganan konflik sosial. C. Metode Penerapan Program pengabdian pada masyarakat ini berupa penyuluhan hukum dilaksanakan secara bertahap, tahap-tahap kegiatan adalah sebagai berikut: Penyuluhan dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada seluruh
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
anggota masyrakat di daerah konflik sumber daya alam dengan mitra pengadian yaitu di Desa Lopak Aur Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari. Selanjutnya dilakukan inisisasi resolusi konflik sumber daya alam yang terjadi di Kabupaten Batanghari yang dilaksanakan di ruang Pola Kantor Bupati Batanghari bekerjasama dengan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Batanghari (Kesbangpol). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Model Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Salah satu upaya penanganan konflik yang dilakukan oleh Pemerintah melalui pembentukan instrumen hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial merumuskan bahwa konflik sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Sementara itu Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Tujuan resolusi konflik yaitu:
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
67
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
1. menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera; 2. memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; 3. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; 4. memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum; 5. memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat. Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial mengatur mengenai Penanganan Konflik Sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan: 1. Pencegahan Konflik; 2. Penghentian Konflik; dan 3. Pemulihan Pascakonflik. Pencegahan Konflik dilakukan antara lain melalui upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi Konflik, dan membangun sistem peringatan dini. Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik dilakukan melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan Status Keadaan Konflik tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban. dan/atau pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Status Keadaan Konflik berada pada keadaan tertib sipil sampai dengan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Selanjutnya, Penanganan Konflik pada pascakonflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai peran serta masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
Kegiatan pengabdian masyarakat mengenai resolusi konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari berlandaskan instrumen hukumUndangUndang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam Negeri. Surat Keputusan Gubernur Jambi Nomor 154/Kep.Gub/Setda.PEM-3.1/2013 tentang tim terpadu penanganan gangguan keamanan tahun 2013. Sebagai penjabaran instrumen hukum tersebut telah dibentuk Tim terpadu berdasarkan SK Bupati No. 158 Tahun 2013. Struktur organisasi tim terpadu adalah Bupati sebagai ketua tim, Sekretaris Daerah sebagai Wakil Ketua I, Kepala Polisi resort Batanghari Wakil Ketua II, dan Ketua Pengadilan Negeri Wakil Ketua III, serta Kepala Kejaksaan Negeri Wakil ketua IV, Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Perlindungan Masyrakat sebagai sekretaris Tim. Kegiatan pengabdian mencatat bahwa terdapat konflik lahan antara mayarakat dengan sejumlah perusahaan swasta. Setidaknya, data yang tercatat di tim terpadu hingga Juli 13 konflik sosial yang masih dalam penyelesaian sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Batanghari selaku sekretaris Tim Terpadu yang dibentuk berdasarkan SK Bupati Batanghari Hal tersebut dikatakan Kakan Kesbangpolinmas, Farizal, SH, MH, yang juga selaku sekretaris tim terpadu penyelesaian konflik lahan di kabupaten Batanghari.Dikatakan Farizal bahwa, ke 13 penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dengan sejumlah perusahaan tersebut telah mulai dilaksanakan penyelesaiannya pada bulan Maret hingga sekarang, dan rencananya hingga akhir tahun 2013 ini sejumlah konflik yang ada di wilayah kabupaten Batanghari harus bisa diselesaikan dengan baik. (terlampir). Adapun sumber konflik sumber daya alam yang terjadi di Kabupaten
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
68
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
Batanghari yang menjadi fokus kegiatan penyuluhan adalah sebagai berikut: 1. Obyek sengketa: Tanah adat seluas 3.550 Ha yang berada dalam kawasan HGU PT. Asiatic Persada di Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kabupaten Batang Hari, Jambi; 2. Para pihak: Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 dengan PT. Asiatic Persada (dahulu bernama PT. Bangun Desa Utama) 3. Dasar Masalah: Tanah dan perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 tiga dusun (Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak) yang berada di areal HGU PT. Asiatic Persada belum dibebaskan. B. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam di Kabupaten Batanghari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam penyelesaian konflik sumber daya alam adalam membentuk Tim terpadu penanganan gangguan keamanan yang dibentuk Bupati Batanghari melalui SK No 158 tahun 2013, akan menginventarisir ulang konflik sosial yang ada di Batanghari. Pendataan ulang ini melibatkan 19 institusi yang ada di Batanghari.Hal tersebut disampaikan Kepala Kantor Kesbangpol Linmas Batanghari, Farizal, yang juga sekretaris tim terpadu penanganan gangguan keamanan dalam wilayah Batanghari. Lebih jauh dikatakan bahwa langkah itu mengingat banyaknya konflik sosial di Kabupaten Batanghari. Apabila dicermati konflik sosial yang umumnya terjadi di Kabupaten Batanghari adalah persoalan lahan. Terutama konflik antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan maupun masyarakat dengan pihak perusahaan.Tim terpadu yang dibentuk berdasarkan SK Bupati No 158 tahun 2013, Bupati sebagai ketua tim, Sekda sebagai Wakil Ketua I, Kapolres Batanghari Wakil Ketua II, dan Ketua PN Wakil Ketua III, serta Kajari Wakil ketua
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
IV. Kakan Kesbangpol Linmas ditunjuk sebagai sekretaris Tim. Langkah tim terpadu untuk mempermudah proses inventarisir tersebut, telah dilayangkan surat kepada 19 institusi, yang isinya meminta agar menyampaikan data konflik sosial dan konflik lainnya yang belum di selesaikan di masing-masing SKPD ke Bupati Batanghari selaku ketua tim terpadu.Terhitung sejak tanggal 6 Maret 2013 hingga hari ini, tim terpadu sudah melakukan upaya penanganan konflik yang ada di Batanghari sebanyak 11 kasus. Beberapa diantaranya bahkan sudah dikeluarkan keputusan oleh tim terpadu dan sebagian lainnya masih dalam proses. Tim pengabdian melaksanakan pengabdian dengan melakukan penyuluhan hukum tentang resolusi konflik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Titikberat materi meliputi bahwa Penanganan Konflik mencerminkan dan perlu diwujudkan melalui pendekatan dan parameter asas-asa penanganan konflik berikut: a. kemanusiaan; b. hak asasi manusia; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kebhinneka-tunggal-ikaan; f. keadilan; g. kesetaraan gender; h. ketertiban dan kepastian hukum; i. keberlanjutan; j. kearifan lokal; k. tanggung jawab negara; l. partisipatif; m. tidak memihak; dan n. tidak membeda-bedakan. Melalui metode dialog serta berdasarkan pertanyaan masyarakat pada saat melakukan pengabdian di Kecamatan Pemayung Desa Lopak Aur dan di ruang pola Kantor Bupati Kabupaten Batanghari diperoleh gambaran bahwa adanya masalah kultur, struktur, dan proses pembagian struktur ruang yang tidak
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
69
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
mengindahkan pranata dan kearifan lokal menjadi salah satu faktor pemicu konflik. Perbedaan-perbedaan ini pula yang perlu diperhatikan guna penyelesaian konflik ke depan agar konflik dapat diminimalisir dan diantisipasi sejak awal sehingga tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Indonesia dengan keragamannya termasuk di Kabupaten Batanghari dalam upaya penyelesaikan konflik juga perlu dipahami oleh semua pihak yang terlibat konflik. Mediator dalam penyelesaian konflik, khususnya konflik sumber daya alam sangat perlu memandang perbedaanperbedaan ini. Karena itu di dalam pengabdian ini juga dilakukan penyuluhan hukum yang materinya berupa empat pilar berbangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.Pancasila dan Empat pilar yang terdiri dari UUD 1945, Proklamasi 17 Agusrus, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya menjadi dasar hukum penanganan konflik yang terjadi.Sehingga, untuk menangani konflik pemerintah perlu membuat gerakan pelatihan berskala nasional dan lokal kepada pemimpin pusat maupun daerah tentang penangan konflik sosial. Berdasarkan pelaksananaan pengabdian dilakukan pada tanggal 19 November 2013 di ruang Pola Kantor Bupati bekerjasama dengan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Batanghari dalam acara rapat koordinasi Tim Terpadu Penyelesaian Konflik di Kabupaten Batanghari diperoleh gambaran perlu adanya pembentukan badan mediasi yang menjalankan fungsifungsi memetakan konflik, pelatihan resolusi konflik, pencegahan konflik, dan penyelesaian konflik yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat lokal, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat yang tidak bersifat ad hoc. Konflik yang awalnya kecil dapat polarisasi dan berpotensi disusupi oleh pihak ketiga yang sesungguhnya tidak memiliki keterkaitan dengan konflik namun memiliki kepentingan terhadap
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
konflik agar terus terjadi. Kondisi ini , dapat menyebakankan ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Karena itu berdasarkan pertanyaan yang muncul pada saat pelaksanaan pengadian Tim Pengabdian menyarankan meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik serta mengupayakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima perbedaan yang ada. Karena itu gugus tugas penanganan konflik dalam masyarakat sejak awal juga seharusnya sudah dapat dibentuk guna memediasi kelompok yang berkonflik karena perebutan sumber daya alam dengan sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) menambah pengetahuan pihak-pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, ini bisa dilakukan dengan mengedepankan aspek pendidikan multikultural yang lebih konfrehensif; (2) mengurangi steriotif negatif suatu pihak dengan pihak lain; dan (3) meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. Selanjutnya, dialog sebagai resolusi konflik melalui pranata adat sebagai modal sosial penyelesaian konflikdan pendidikan karakter solusi konflik jangka panjang perlu dipikirkan dan dipertimbangan menjadi kebijakan yang dapat ditempuh dalam upaya menghasilkan insan-insan yang memiliki peradaban yang tinggi. Sementara itu resolusi konflik yang dicapai dalam konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari khususnya mengenai konflik Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada telah dicapai melalui dialog dan pencadangan lahan bagi Suku Anak Dalam berikut seritifatnya disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Batanghari agar penyelesaian konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari dapat dicapai secara menyeluruh dan masyarakat dapat terlindungi.
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
70
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kegiatan pengabdian pada masyarakat tentang Resolusi Konflik Sumber Daya Alam di Kabupaten Batanghari dapatlah disimpulkan sebagai berikut: 1. Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya: a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat; b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c. meredam potensi Konflik; dan d. membangun sistem peringatan dini. dengan Kelembagaan Pencegahan dan penyelesaian konflik dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. 2. Model resolusi konflik dialog dan damai melalui mediasi dan pembentukan tim terpadu oleh Pemerintah Daerah yang melibatkan pihak yang berkonflik, lembaga adat, unsur Badan Pertanahan, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Kepolisian, pemerintah daerah dan perguruan tinggi perlu dilakukan secara kelembagaan dan terus menerus agar potensi konflik-konflik tidak meluas dan dapat diselesaikan secara dialog dan damai sehingga tercipta kondisi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat. B. Saran 1. Diperlukan suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) berkaitan dengan Resolusi konflik sumber daya alam agar penanganan konflik memiliki alur dan prosedur baku yang dijadikan pedoman dalam setiap penyelesaian konflik dalam masyarakat. 2. Diperlukan kegiatan pengabdian yang terus-menerus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pihak-pihak yang berkonflik melalui: 1) Pendidikan karakter solusi konflik jangka panjang yang menghasilkan insan-insan yang
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
memiliki peradaban yang tinggi; 2) peningkatan pemahaman mengenai budaya pihak lain, ini bisa dilakukan dengan mengedepankan aspek pendidikan multikultural yang lebih komfrehensif; 3) Mengurangi steriotif negatif suatu pihak dengan pihak lain dan: 4) Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. DAFTAR PUSTAKA Ade Saptomo.2009. dalam Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi, Editor Satya Arinanto&Ninuk Triyanti, Rajawali press, Jakarta. Abrar Saleng. 2007. Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Hogg. 2003. Social Identity adn Attitude. Mahfud MD. 2007. Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional Nomor 2 Tahun 2007, BPHN, Jakarta. Moh. Mahfud MD.2010.Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2010. Maria SW Sumarjono. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas Gramedia, Jakarta, _________________, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, dalamhttp://els.bappenas.go.id/upl oad/other/Penyempurnaan%20UU PA%20dan%20Sinkronisasi%20K ebijakan.htm, hal. 1, diakses pada tanggal 25 Maret 2011 pukul 21:18 WIB. M. Ridah Saleh, Hak-Hak Masyarakat Adat, Makalah pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
71
Jurnal Pengabdian pada Masyarakat
Volume 29, Nomor 4 Agustus – Desember 2014
dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007. Pemerintah Provinsi Jambi, Komisi II diharapkan Memberi Solusi Terbaik Penyelesaian Konflik Lahan, diakses pada http://www.jambiprov.go.id/index. php?show=berita&id=2124&kateg ori=berita&title=Komisi%20II%20 diharapkan%20memberi%20solusi %20terbaik%20penyelesaian%20k onflik%20lahan, tanggal 1-012013 pukul 20:11 Wib. Priyan, RTRW Provinsi Jambi Mengeruk Sumber Daya Alam Menyisakan Konflik dan Kemiskinan, Kompasiana 12 Oktober 2012 diakses pada http://regional.kompasiana.com/20 12/10/01/rtrw-propinsi-jambi%E2%80%9Cmengeruk-sumberdaya-alam-menyisakan-konflikdan-kemiskinan%E2%80%9D497681.html, tanggal 1-01-2013 pukul 19:17 Wib. Shidarta Darji Darmodiharjo. 2002. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Penyuluhan Hukum Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Di Kabupaten Batanghari
72