PENGATURAN HUKUM PIDANA PADA PERATURAN DAERAH DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM HUTAN DI KABUPATEN PINRANG
THE ARRANGEMENT OF CRIMINAL LAW AT THE LOCAL REGULATION IN PROTECTING THE FORESTRY RESOURCES IN PINRANG REGENCY
M. Zakir, M. Sukri Yakub, Andi Sofyan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi: M. Zakir, SH Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081342907132 Email:
[email protected]
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pengaturan hukum pidana pada peraturan daerah dalam rangka perlindungan sumber daya alam hutan, (2) penegakkan hukum pidana pada peraturan daerah dalam rangka perlindungan sumber daya alam hutan. Penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum pidana pada peraturan daerah dalam rangka perlindungan sumber daya alam hutan kurang optimal. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang dilahirkan yaitu Peraturan Daerah tentang Pengelolahan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang. Substansi pengaturannya belum menerapkan asas-asas hukum pidana khusus dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya. Penegakkan hukum peraturan daerah yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya alam hutan belum diterapkan sebagaimana mestinya, khususnya pada proses peradilan terhadap pelanggaran Perda tentang Pengelolahan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang. Hal ini terjadi karena tidak diaturnya ketentuan mengenai hukum acara di dalam perda tersebut, kemudian mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menerapkan halhal teknis berkenaan dengan hukum acara penegakan perda. Kata Kunci : Hukum pidana, sumber daya alam hutan
Abstract This research aims at find out the arrangement and the enforcement of criminal law in local regulation in order to protect forest recources in Pinrang regency. This study was conducted as a normative research by using ligislation and conseptual approaches. The next step was to identifylegal material according to its case category, make the interpretation, and do the descriptive analysis. The result reveals that the arrangement of criminal law has not been optimum. This can be seen in the analysis of related local regulation, the local government regulation about the arrangement of civil forest in Pinrang regency. The regulation content has not generally applied the principles of regulation formation, and particularly the principles of criminal law. The enforcement of local regulation in relation to the protection of forest recources in Pinrang regency has not been implemented as it is expected, espescially if we observethe judical process of violation of the Local Regulation on Civil Forest in Pinrang Regency. This is due to the absence of arrangement of law of procedure in the local regulation, which then influences law officers in applying technical arrangement related to the law of procedure of the local regulation enforcement. Keywords : Criminal law, forestry resources
2
PENDAHULUAN Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensial yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan.Potensi yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ke-3 di dunia setelah Saire dan Brasil.Hutan Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi, sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove).Indonesia juga merupakan salah satu dari 10 negara pemilik hutan terluas di dunia. Agung Nugroho (Supriadi) berpendapat bahwa selama hampir 4 dasawarsa, sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi proses pembangunan nasional. Berbagai ketentuan perundang-undangan telah dilahirkan untuk mewujudkan harapan perlindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan, misalnya dalam lingkup yang lebih luas, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang di dalamnya mengatur materi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam hutan. Demikian juga ketika berbicara pada tataran lebih khusus bidang kehutanan sendiri, telah dikeluarkan serangkaian kebijakan terkait hal itu, antara lain Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Kehutanan, dan beberapa ketentuan lainnya terkait dengan bidang kehutanan. Upaya pelembagaan kebijakan yang bersifat integral serta berkelanjutan atas perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam hutan juga berimbas pada tingkatan daerah.Pemerintah daerah melalui desentralisasi kewenangan, dipacu melahirkan prakarsa dan kreatifitas untuk mengatasi semua masalah sehubungan bidang kehutanan di daerahnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaskan bahwa “dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.”Pelimpahan wewenang tersebut dilakukan dengan harapan pemerintah daerah dapat melakukan pengawasan yang di dalamnya meliputi tindakan mencermati, menelusuri, dan menilai 3
pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.Meskipun pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah telah dituangkan dalam kebijakan kehutanan nasional, akan tetapi pada tataran operasional, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, konsep ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa Kata pemerintahan dalam arti penyelenggaraan pemerintahan dibedakan dari kata pemerintah yang merupakan subjek penyelenggaranya.Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota beserta perangkat daerah.Philipus M. Hadjon dkk.berpandangan, bahwa“Penyerahan kepada atau membiarkan satuan pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu dapat bersifat penuh atau tidak penuh. Penuh, jika penyerahan atau membiarkan mencakup wewenang untuk mengatur dan mengurus baik mengenai asas-asas maupun cara menjalankannya (wewenang mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankannya). Tidak penuh, jika terbatas pada wewenang untuk mengatur dan mengurus cara menjalankannya. Penyerahan atau membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankan (penuh) disebut sebagai otonomi.Sedangkan terbatas pada cara menjalankan (tidak penuh) adalah tugas pembantuan (medebewind). Dekonsentrasi sendiri dengan mengutip rumusan yang diberikan Instituut voor Besturrswetenschappen ialah penugasan kepada pejabat atau dinasdinas yang mempunyai hubungan hirarkis dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan.Dalam dekonsentrasi, terdapat dua hal yang ditegaskan yakni, pertama, penugasan itu disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan untuk masalah-masalah tertentu dan kedua, ialah pertanggungjawaban terakhir ada pada badan administrasi yang bersangkutan. Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kekuasaan bidang eksekutif di daerah, menurut Rozali Abdullah memiliki fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan terutama dalam pelaksanaan otonomi.Terkait dengan ini, Syaukani dkk.berpendapat, bahwa fungsi penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif di manapun pada umumnya mempunyai dua tugas atau kewenangan utama, yaitu kewenangan administratif, dan kedua kewenangan politik. Tugas kewenangan administratif melekat pada jabatan seorang eksekutif yang sehariharinya harus mengendalikan roda pemerintahannya.Hal ini justru didorong oleh paradigma 4
desentralisasi sendiri yang ditunjukkan dengan penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah termasuk urusan kehutanan, dan ironisnya justru mendorong terjadinya tindakan-tindakan yang cenderung merugikan sumber daya alam hutan.Sehingga yang terjadi, adalah hampir 80 persen perizinan telah beralih ke daerah.Pada akhirnya, gubernur, bupati, atau walikota dengan longgar memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengelola hutan yang ada di daerahnya, dengan motif menambah pendapatan asli daerahnya (PAD). Hal ini kemudian menjadi persoalan, disebabkan para kepala daerah kurang serius melakukan pengawasan terhadap perizinan yang dikeluarkannya, khususnya di bidang kehutanan, karena kesibukan mengurusi hal-hal yang sifatnya rutin saja.Supriadi menyatakan bahwa “Kurang tanggapnya Kepala Dinas Kehutanan di daerah untuk melakukan evaluasi berkala terhadap semua pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan, sehingga pemegang izin kehutanan merasa tidak serius melaksanakan semua persyaratan yang telah disepakati sebelumnya”.Demikian juga dalam hal tidak adanya pembatasan pembelian atau penggunaan alat penebang pohon yang telah beredar di pelosok desa juga menjadi pemicu terjadinya penyusutan hutan.Disebabkan, di desa atau di pelosok sudah jarang masyarakat menggunakan kampak dan gergaji kayu dalam memotong atau menebang pohon, baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan komersial. Persoalan-persoalan di atas hanya sebagian kecil dari masalah yang melingkupi keberadaan dan kelestarian sumber daya alam hutan.Kekhawatirannya lagi, ialah peran dari petugas dan aparat penegak hukum sendiri yang terlibat dalam modus pengerusakan hutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Koran Kompas 5 Maret 2006 Supriadi bahwa dalam praktik illegal logging para pengusaha dan petugas kehutanan hingga aparat penegak hukum, baik di tingkat pusat maupun di daerah terlibat dalam modus yang sangat terorganisir, dan pelaksanaannya hampir sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Gejala-gejala sehubungan perlindungan dan pengurusan hutan juga menghinggapi aspek kehutanan di Kabupaten Pinrang. Fenomena ini dapat ditunjukkan, misalnya dalam kasus kebakaran hutan, pada rentang waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, telah terjadi pada areal hutan seluas 635 (enam ratus tiga puluh lima) Hektar, di 3 (tiga) kecamatan, yakni Patampanua, Lembang, dan Duampanua.Kasus tindak pidana penyelundupan kayu, dalam rentang waktu tahun 2005 sampai dengan 2010, jumlah kayu dari hasil hutan yang diselundupkan adalah 869. 618 (delapan ratus enam puluh sembilan ribu enam ratus delapan belas) Meter3, yang terjadi di 6 (enam) kecamatan, yaitu Kecamatan Suppa, Kecamatan Mattiro Sompe, Kecamatan Watang Sawitto, Kecamatan Lanrisang, Kecamatan Lembang, 5
dan Kecamatan Duamppanua (data diperoleh dari Sistem Informasi Pembangunan Daerah Tahun 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang). Data tersebut tentunya menunjukkan gambaran yang kurang mengembirakan terkait pengurusan dan perlindungan sumber daya alam hutan di Kabupaten Pinrang.Mencermati persoalan-persoalan di atas, peran dan perhatian pemerintah sangat dibutuhkan dengan melahirkan kebijakan untuk setidaknya meminimalisir upaya-upaya yang mengancam kelestarian sumber daya alam hutan.Mencermati fenomena yang menghinggapi aspek kehutanan di Kabupaten Pinrang, yang mana kecenderungannya menunjukkan gambaran yang kurang mengembirakan, menjadi indikasi kurangnya perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang dalam upaya melindungi kelestarian sumber daya alam hutan.Hal inilah yang mendorong untuk dilakukannya pengkajian mengenai kebijakan yang diambil khususnya di bidang hukum pidana pada pemerintah daerah di Kabupaten Pinrang, dalam upaya melindungi sumber daya alam hutan.
METODE PENELITIAN Bentuk dan Pendekatan Penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach)serta pendekatan konseptual (conceptual approach).Selain itu, juga digunakan pendekatan empiris untuk menganalisis objek penelitian pada tataran implementasi. Bahan Hukum Data diperoleh dari bahan hukum primer, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan;serta dari bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukandengan teknik wawancara (interview) dengan ahli hukum, khususnya pada lapangan hukum pidana dan hukum tata negara. Selain itu, juga dilakukan wawancara terhadap pihak penyelenggara pemerintahan daerah di Kabupaten Pinrang, dalam hal ini Kepala Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Pinrang, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Pinrang, serta Anggota DPRD Kabupaten Pinrang. Data juga dikumpulkan melalui studi dokumentasi tertentu dengan mempelajari dokumen dalam hal pemerintah daerah mengambil kebijakan, antara lain sejumlah perundang6
undangan, buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang dianggap relevan dengan objek penelitian. Teknik Analisis Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teknik yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis terhadap bahanbahan tersebut, selanjutnya mengidentifikasi bahan hukum sesuai dengan kelompok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.Kemudian dicari intrerpretasi, selanjutnya dianalisis secara deskriptif. HASIL PENELITIAN Pengaturan hukum pidana pada peraturan daerah dalam rangka perlindungan sumber daya alam hutan di Kabupaten Pinrang Adapun upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang tersebut telah dituangkan dalam beberapa bentuk ketentuan perundang-undangan, yaitu dalam wujud peraturan daerah. Keberadaan ketentuan perundang-undangan tersebut hendaknya dikualifikasi ke dalam dua rentang waktu, yaitu periode Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2011, dan periode Tahun 2011 sampai sekarang. Disebabkan, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, beberapa Perda Retribusi Daerah di bidang kehutanan telah dicabut keberlakuannya berdasarkan amanah ketentuan undang-undang tersebut. Adapun keberadaan produk hukum daerah yang berkenaan dengan kehutanan di Kabupaten Pinrangyang mengatur bidang kehutanan di Kabupaten Pinrang, ialah Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan, Perda Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, Perda Nomor 11 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Pengangkutan Hasil Bumi dan Kekayaan Alam Kabupaten Pinrang. Perda tentang Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan dan Perda tentang Retribusi Izin Pengangkutan Hasil Bumi dan Kekayaan Alam Kabupaten Pinrang, keberlakuannya telah dicabut berdasarkan amanah Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mana di dalam ketentuan undang-undang ini, memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan atau melakukan pungutan retribusi selain objek dan jenis retribusi yang telah ditentukan, sedangkan aspek kehutanan berdasarkan pengaturan undang-undang ini, bukanlah merupakan objek yang dapat diberlakukan retribusi oleh pemerintah daerah.
7
Perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, hanya sebagian ketentuannya yang dicabut, disebabkan ketentuan di dalam perda tersebut mengatur mengenai retribusi hasil hutan, yang mana tidak dimungkinkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Secara formal, pencabutan keberlakuan produk hukum daerah tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian, didasarkan atas ketentuan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang tentang Retribusi Daerah.Periode selanjutnya, yakni fase Tahun 2011 hingga sekarang, maka produk hukum daerah Kabupaten Pinrang yang mengatur bidang kehutanan, dari segi kuantitas, dapat dikatakan sangat kurang, disebabkan pencabutan beberapa ketentuan berkenaan perda tentang retribusi tersebut. Praktis, instrumen hukum daerah di bidang kehutanan pada Kabupaten Pinrang hanya menyisakan Perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang.
PEMBAHASAN Pembentukan peraturan Berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan yang kemudian diakhiri dengan tahap pengundangan. Artinya, pembentukan peraturan perundang-undangan ini merupakan proses sistematis yang pada asasnya dimulai tahap perencanaan sampai kepada tahap penetapan. Dalam hal teknis penyusunandraf rancangan peraturan daerah yang diinisiasi oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) teknis di Kabupaten Pinrang, dalam hal ini dinas yang terkait, pada prakteknya menunjukkan bahwa penyusunan peratuaran daerah pada dasarnya dimulai dengan pengajuan draf rancangan peraturan daerah yang mana disertai dengan naskah akademik atau penjelasan-penjelasan yang kemudian dikoordinasikan ke Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Pinrang untuk diasistensi berkenaan dengan sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan undang-undang. Setelah melampaui proses asistensi pada bagian hukum, ketika ditemukan bahwa draf rancangan peraturan daerah tersebut memiliki kerancuan yang mengakibatkan multitafsir maupun dari sisi teknis penulisan tidak konsisten, makadikembalikan ke dinas terkait untuk diberikan perbaikan sebagaimana petunjuk yang diberikan. Hasil perbaikan tersebut kemudian diusulkan kembali oleh Dinas yang terkait mengirim kembali ke bagian hukum untuk
8
ditindaklanjuti dengan diajukannya ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas di tingkat Badan Legislasi Daerah (Balegda). Pembahasan pada tingkat Balegda, draf yang diajukan ini kembali dianalisis, harmonisasi
dan
sinkronisasinya
sebagai
ketentuan
perundang-undangan
yang
mengejewantahkan ketentuan undang-undang di daerah. Tatkala dalam pertimbangan Balegda legal drafting-nya dianggap telah memadai, dan semuanya telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kemudian ketua Balegda mengusulkan ke Ketua DPRD untuk dilaksanakan sidang paripurna penerimaan draf ranperda hasil analisis pembahasan dan pengujian ditingkat Balegda. Sebagai hasil dari pembahasan ditingkat Balegda, Ketua DPRD kemudian mengundang pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan unsur muspida, camat, lurah, kepala dinas, para asisten dan para kepala bagian untuk hadir dan mendegarkan hasil pandangan akhir dari ketua-ketua fraksi. Setelah selesai membacakan Pandangan Akhir Fraksi, kemudian Ketua DPRD dan Bupati menandatangani Persetujuan Hasil Paripurna untuk dibahas ditingkat Pansus yang kemudian dibagi Perpansus untuk dibahas Draf Rancangan Peraturan Daerah, poin per poin, Pasal per Pasal dan Bab per Bab. Setelah selesai pembahasan di tingkat pansus, barulah dijadwalkan kembali untuk di usulkan dan di bahas pada Komisi Gabungan Pansus.Setelah hasil persetujuan dari Komisi Gabungan Pansus, kemudian dikonsultasikan pada Biro Hukum Provinsi Sulawesi Selatan untuk di asistensi untuk memeroleh rekomendasi asistensi dan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian lainnya terkait dengan bidang tertentu yang diatur dalam ranperda tersebut.Rancangan peraturan daerah kabupaten/kota yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 hari kerja terhitung sejaktanggal persetujuan dimaksud. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, dan/atau Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Kriminalisasi Dalam perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Pinrang seharusnya perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana, ialah perbuatan yang dilakukan oleh 9
setiap orang baik itu pemilik lahan hutan rakyat, pemilik, atau pengelola, atau pedagang industri kayu hasil hutan rakyat yang mengangkut kayu keluar dari wilayah desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten Pinrang tanpa disertai bukti laporan pengangkutan dari pejabat yang berwenang.Kualifikasi perbuatan ini layak untuk memeroleh pengaturan, disebabkan pada ketentuan sebelumnya dalam perda pengelolaan hutan rakyat Kabupaten Pinrang, telah diatur mengenai aspek peredaran kayu rakyat, yang mana pada Pasal 8 ayat (2) secara tegas diatur, bahwa pemilik lahan hutan rakyat, pemilik, atau pengelola, atau pedagang industri kayu hasil hutan rakyat yang mengangkut kayu keluar dari wilayah desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten Pinrang, diharuskan melaporkan kegiatan pengangkutan tersebut kepada instansi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang. Dihubungkan dengan persoalan kriminalisasi, maka terdapat beberapa perbuatan yang layak untuk dikategorikan tindak pidana dalam perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, diantaranya adalah perbuatan mengangkut kayu yang tidak sesuai dengan jenis dari kayu, volume/berat beserta jumlah kayu. Pengaturan perbuatan demikian menjadi penting, disebabkan berkaitan dengan aspek pemanfaatan hasil hutan. Ketika peredaran kayu tanpa kontrol yang memadai khususnya pada sisi jumlah, jenis, maupun volume kayu tentunya berpengaruh terhadap coast dari hasil hutan berupa kayu tersebut, yang mana pada akhirnya mengancam aspek kehutanan maupun kerugian terhadap keuangan daerah. Pada ranah pemanfaatan hasil hutan, ketentuan undang-undang tentunya secara teknis tidak mengatur secara terperinci berkenaan dengan kontrol terhadap peredaran hasil hutan, baik itu kayu maupun bukan kayu. Olehnya berdasarkan pelimpahan wewenang oleh UU Kehutanan kepada pemerintah daerah, maka melalui perda pengelolaan ini, pemerintah daerah dapat menerapakan hukum pidana, sebagai instrumen pengaturan dan pengendalian terhadap peredaran hasil hutan, yang mana dalam hal ini pemerintah daerah dapat menentukan jenis, volume/berat, dan jumlahnya yang disesuaikan dengan karakteristik areal hutan yang dimilikinya serta berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerahnya. Sanksi Hukum pidana mengenal beberapa sistem perumusan sanksi pidana, yaitu sistem tunggal, alternatif, kumulasi serta gabungan antara kumulasi-alternatif. Sistem perumusan sanksi pidana yang dapat digunakan dalam Perda telah digariskan pula dalam Pasal 15 ayat (2) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur, bahwa ketentuan pidana yang dapat dimuat di dalam perda berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak 50 juta rupiah. Berdasarkan pengaturan tersebut, dapat diketahui bahwa sistem perumusan pidana di dalam perda berdasarkan 10
ketentuan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menganut sistem alternatif.Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem perumusan pidana di dalam perda menganut sistem alternatif yang mana pilihan pidana yang dapat diancamkan adalah pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah. Sedangkan jenis pidana yang dapat diancamkan dibatasi hanya dapat berupa pidana kurungan serta pidana denda. Adapun pidana denda sebagaimana diatur dalam KUHP, berkenaan dengan berat ringannya denda yang dapat dijatuhkan secara minimal telah diatur dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP bahwa pidana denda paling sedikit 3 rupiah 75 sen. Mengenai batas maksimalnya, KUHP tidak memberikan pengaturan berkenaan dengan hal tersebut. Dihubungkan dengan jumlah maksimal pidana denda yang diatur dalam Perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, yakni 5 juta rupiah, menurut peneliti telah tepat. Pendapat tersebut didukung oleh argumentasi bahwa kemampuan pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun hasil bukan kayu oleh pihak pemilik hak berkisar pada nilai 5 juta rupiah untuk diangkut dan diedarkan. Argumentasi ini didasarkan pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang, yang membatasi pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu baik itu dari volume, dan jumlah yang diukur secara nominal sebesar 5 juta rupiah untuk sekali pengangkutan. Implementasi Pengaturan Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti akan menguraikan penegakan hukum pidana dalam Perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, yang mana orientasi penelitiannya pada pelaksanaan hukum acara dalam hal ini berfokus proses penyidikan, penuntutan dan penyelesaian melalui sidang pengadilan. Awal pembahasan dimulai pada proses penyidikan sebagai berikut: Proses penyidikan Suatu permasalahan besar yang peneliti temui dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum acara dalam rangka penegakan hukum pidana dalam perda tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang, adalah tidak ditemui sama sekali pengaturan berkenaan hukum acara di dalam perda bersangkutan. Sehingga dapat ditebak, penyelenggaraan penegakan ketentuan pidana di dalamnya berjalan secara amburadul bahkan telah cenderung terjadi kesewenang-wenangan. Kecenderungan tersebut timbul disebabkan, ketiadaan suatu dasar dan batasan terhadap wewenang yang dimiliki oleh aparat baik itu pejabat pegawai negeri sipil yang diberikan wewenang khusus untuk hal bersangkutan, maupun bagi pihak penegak hukum lainnya seperti pihak kepolisian dan kejaksaan. 11
Penuntutan, penyelesaian melalui sidang pengadilan Akan tetapi, menilik ancaman pidana yang dicantumkan dalam Perda tentang Pengelolahan Hutan Rakyat di Kabupaten Pinrang, yaitu kurungan maksimal 6 bulan dan denda maksimal 5 Juta Rupiah, maka tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana ringan.Karena hal ini ditegaskan dalam KUHAP yang diatur dalam Pasal 205 ayat (1), bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan. KUHAP memberikan pengaturan, bahwa perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat, adalah perkara tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas. Sehingga, perkara di luar dari kedua perkara tersebut tidak dapat diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat, melainkan diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa. Secara substansial, perbedaan antara acara pemeriksaan cepat dengan acara pemeriksaan biasa, adalah terletak pada aspek pelimpahan perkara, yang mana dalam acara pemeriksaan cepat perkara dilimpahkan langsung oleh penyidik ke pengadilan tanpa melalui penuntut umum. Kewenangan penyidik ini dilaksanakan atas kuasa penuntut umum yang mana diatur dalam Pasal 205 ayat (2) KUHAP. Menurut Yahya Harahap , bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam pemeriksaan tindak pidana ringan penyidik mengambil alih wewenang penuntut umum berdasarkan perintah undang-undang. Dengan pelimpahan wewenang ini, maka penyidik melimpahkan berkas secara langsung ke pengadilan tanpa melalui aparat penuntut umum, dan berwenang langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke depan sidang pengadilan. Sesuai dengan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pada asasnya dalam acara pemeriksaan cepat, undang-undang memberikan wewenang penyidik untuk melimpahkan langsung hasil pemeriksaannya terhadap suatu tindak pidana ke pengadilan tanpa melalui penuntut umum, dan tentunya secara otomatis berkas pemeriksaan penyidik tersebut tanpa disertai dengan surat dakwaan. Seperti telah dikemukakan, bahwa mengacu kepada maksimum ancaman pidana yang tercantum dalam Perda tentang Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang dan tidak pula dikategorikan sebagai pelanggaran lalu lintas, maka acara pemeriksaan terhadap pelanggaran ketentuan pidana dalam perda ini tidak dapat dilaksanakan menurut acara pemeriksaan cepat. Peneliti berpendapat, bahwa kendati perkara pelanggaran perda hutan rakyat ini berdasarkan ketentuan KUHAP tidak dapat diproses dengan acara pemeriksaan cepat, bukan berarti menghilangkan efisiensi dan efektifitas dari penyelenggaraan proses peradilannya. 12
Apalagi memperhatikan kesemrawutan pelaksanaan peradilan terhadap pelanggaran tindak pidana perda ini. Terdapat beberapa hal dari ketentuan tentang acara pemeriksaan cepat yang dapat digunakan tanpa harus mengenyampingkan substansi dari ketentuan KUHAP khususnya berkenaan dengan eksistensi dari kewenangan penuntut umum, untuk diterapkan dalam proses peradilan pelanggaran perda kehutanan ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkanbahwa pengaturan hukum pidana pada peraturan daerah dalam rangka perlindungan sumber daya alam hutan di Kabupaten Pinrangkurang optimal. Begitu pun, penegakan hukum peraturan daerah terkait perlindungan sumber daya alam hutan di Kabupaten Pinrang juga belum diterapkan sebagaimana mestinya, khususnya tatkala menilik proses peradilan terhadap pelanggaran Perda Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang. Dalam rentang waktu yang secepat mungkin, hendaknya segera dibuat perda yang lebih optimal dalam upaya melindungi aspek kehutanan di Kabupaten Pinrang, menggantikan Perda tentang Hutan Rakyat Kabupaten Pinrang.Perumusan tentang ketentuan pidana di dalam perda tersebut, hendaknya dibarengi dengan perumusan tentang ketentuan hukum acara yang dijadikan pegangan oleh aparat penegak hukum tatkala memeriksa pelanggaran hukum pidana perda bersangkutan. Sehingga, Pemerintah Daerah seharusnya melibatkan akademisi yang berkompeten khususnya di lapangan hukum pidana dalam perumusan suatu peraturan daerah yang mencantumkan ketentuan pidana di dalamnya. Selain itu, Pemerintah Daerah selayaknya juga membentuk Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) diLingkup Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang. DAFTAR PUSTAKA Nawawi Arief,Barda. (2010). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Kencana: Jakarta Asshiddiqie,Jimly.(2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen. PT. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta Barat Mahfud MD., Moh.(2009). Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi). PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Muladi.(2004). Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni: Bandung _________ dan Nawawi Arief Barda. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni: Bandung Philipus M. Hadjon dkk.(2001). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Rozali ,Abdullah. (2005). Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
13
Supriadi.(2010). Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta Syaukani, HR. dkk.(2005). Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Harahap, M.Yahya (2007). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika: Jakarta
14