" "
SINKRONISASI UNDANG-UNDANG SEKTORAL DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM
Oleh: Pusat Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Jambi
Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dengan Universitas Jambi
Jambi 2011 ! i" "
Halaman Pengesahan Laporan Penelitian
1. Judul Penelitian
: Sinkronisasi Undang-Undang Sektoral dalam Rangka Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam
2. Peneliti
: Pusat Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Jambi
3. Lokasi Penelitian
: Provinsi Jambi
4. Jangka Waktu
: 8 April 2011 s.d 8 Agustus 2011
5. Mitra Kerja
: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
6. Sumber Dana
: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
7. Jumlah dana
: Rp. 100.000.000.- (Seratus juta rupiah)
Jambi, 8 Agustus 2011 Mengetahui, Rektor Universitas Jambi
Ketua Peneliti
H. Kemas Arsyad Somad, S.H., M.H. NIP. 19470412 197112 1 001
Retno Kusniati, S.H., M.H. NIP. 19680819 199403 2 002
ii" "
IDENTITAS PENELITIAN
I. Identitas Peneliti 1. Judul Penelitian
: Sinkronisasi Undang-Undang Sektoral dalam Rangka Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam
2. Aspek Penelitian
: Integrasi Bangsa
3. Peneliti
: Pusat Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Jambi : Retno Kusniati, S.H., M.H. : Fakultas Hukum Universitas Jambi : Jl. Raya Jambi-Ma Bulian Kampus Pinang Masak Universitas Jambi Mendalo Jambi : 0741583454 : 074164200/08192586655/
[email protected]
4. Ketua Peneliti 5. Unit Kerja 6. Alamat Unit kerja 7. Tel/Fax Unit kerja 8. Tel/Fax/email II. Personalia Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Retno Kusniati, S.H., M.H. Taufik Yahya, S.H., M.H. Dr. Husin Ilyas, S.H., M.H. Hafrida, S.H., M.H. Ansorullah, S.H., M.H. Rosmidah, S.H., M.H. Usman, S.H., M.H.
Kedudukan Ketua Anggota Anggota Sekretaris/Anggota Anggota Anggota Anggota
iii" "
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur tim peneliti haturkan kehadirat Allah atas limpahan rahmat serta karuniaNya hingga penelitian Sinkronisasi Undang-Undang Sektoral dalam Rangka Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam, dapat diselesaikan. Masyarakat hukum adat di Indonesia masih menjadi bagian dari masyarakat yang rentan terhadap dampak pembangunan. Ketidakadilan ini bermuara dari tersingkirnya masyarakat adat dalam proses-proses politik pembuatan kebijakan publik yang bersangkut paut dengan eksistensi dan hak-hak tradisionalnya. Padahal pengakuan atas hak-hak tradisonal masyarakat adat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai wujud dari hak konstitusional dan HAM serta sebagai perwujudan dari otonomi dalam mengurus diri dan wilayahnya termasuk hak atas sumber daya alam, telah diatur dalam berbagai undang-undang. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat sendiri terbentang dalam spektrum yang luas, sebagai bagian dari hak negara, sebagai hak privat atas tanah dan sumber daya alam serta sebagai hak berpartisipasi dalam proses pembangunan. Namun, pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat itu teryata dibatasi sejumlah persyaratan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sektor sumber daya alam itu sendiri, yang dalam implementasinya menyulitkan masyarakat hukum adat dalam pemenuhan hak-hak atas sumber daya alam. Karena itu, pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat memerlukan kebijakan afirmatif yang diformulasikan dalam kerangka hukum yang substansinya tidak saja menghapuskan persyaratan bagi pengakuan hak-hak tradisional masyarakat adat, lebih lagi pada pengaturan hak-hak masyarakat hukum adat yang sudah selayaknya dapat dinikmati oleh masyarakat hukum adat. Penelitian ini merupakan kerjasama DPD RI dengan Universitas Jambi, pelaksana penelitian adalah Pusat Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Jambi. Untuk dapat mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, penelitian ini disusun dalam beberapa kajian yang bertalian dengan sinkronisasi undang-undang sektoral sumber daya alam yang bermuara pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam sebagai derivasi makna hak penguasaan negara atas sumber daya alam sebesar-besaranya untuk kemakmuran rakyat. Topik-topik kajian tersebut disusun dengan sistimatika yang diawali dengan kajian tentang disharmonisasi undang-undang sektoral di bidang kehutanan, pertanahan, wilayah iv" "
pesisir dan pulau-pulau kecil, sumber daya air, dan sumber daya kelautan. Topik-topik tersebut kemudian dijabarkan menjadi deskripsi lebih lanjut terkait pengakuan negara atas hak-hak masyarakat hukum adat. Topik kajian diakhir dengan ulasan kebijakan afirmatif bagi pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam sesuai dan selaras dengan cita hukum Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tentang pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang diatur dalam undang-undang, serta ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak penguasaan negara atas sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam kesempatan ini, dari lubuk hati yang dalam peneliti menghaturkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan akhir, yaitu: 1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, atas kepercayaan, kesempatan dan kerjasamanya, semoga dapat berlanjut dimasa-masa yang akan datang; 2.
H. Kemas Arsyad Somad, S.H., M.H., selaku Rektor Universitas Jambi, yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian;
3.
Taufik Yahya, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang telah mendukung dan memberikan akses bagi pelaksanaan penelitian;
4.
PPUU DPD RI beserta seluruh staf, yang telah memberikan dukungan dan bantuan serta mengiformasikan hal-hal yang diperlukan bagi terlaksananya penelitian;
5.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus dan kebaikan hati telah membantu tim peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Tim Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kesempurnaan hanya milikNya. Untuk itu,
saran dan kritikyang konstruktif
dalam rangka memperkaya dan perbaikan substansi
penelitian ini sangat peneliti harapkan. " "
"
"
"
"
"
"
"
Jambi, 6 Agustus 2011
Tim Peneliti
v" "
ABSTRAK Adanya aturan hukum yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan jaminan konstitusional atas hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, rumusan persyaratan masyarakat hukum adat dan syarat pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sektor sumber daya alam, menyebabkan masyarakat hukum adat tidak dapat menikmati konstitusional hak-hak tersebut. Apalagi Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan mengukuhkan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam suatu peraturan daerah tidak responsif mengakomodir keberagaman dan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, kerangka hukum dalam bentuk undang-undang perlindungan masyarakat hukum adat belum ada. Kewajiban negara memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam tersebut dalam tataran peraturan perundang-undangan dan implementasi. Kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam terkait dengan persoalan sinkronisasi hukum seharusnya diwujudkan dengan: 1) mereview dan mengkoreksi inkonsitensi undang-undang sektor sumber daya alam menuju sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dan selaras dengan jaminan Konstitusi atas pengakuan hakhak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 2) merekontruksi ulang politik hukum pengakuan bersyarat yang diatur dalam undang-undang sektor sumber daya alam menuju pengakuan yang lebih berpihak pada eksistensi masyarakat hukum adat; 3) memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat melalui pengaturan dalam bentuk undang-undang sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai perwujudan kebijakan afirmatif sesuai dan selaras dengan tujuan dan jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang substansinya menuju pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang lebih berkeadilan. Kata Kunci: Masyarakat hukum adat, sinkronisasi hukum, hak atas sumber daya alam.
vi" "
ABSTRACT The existence of laws which is inconsistent and incompatible with the constitutional guarantees of traditional rights of indigenous peoples and the formulation of requirements in recognition of the indigenous peoples set out in legislation of natural resource sector make indigenous people can not enjoy the constitutional guarantee of their human rights. Moreover, the local governments that have the authority to recognize the existence of the indigenous people did not responsive to accommodate diversity and values of local wisdom, eventhough The constitutional guarantees the traditional rights of indigenous peoples has been formulated in the Constitution. In addition, the legal framework which was initiated in the form of laws to protect the rights of indigenous people has not been realized yet. There are State's obligation to ensure the rights of indigenous people over natural resources be implemented. Obligations of the state in fulfilling the rights of indigenous peoples over natural resources issues related to synchronization are realized by: 1) reviewing and correcting inconsistent laws of the natural resource sector to the synchronization and consistent with the Constitution guarantees on the recognition of the rights of indigenous peoples in the management of natural resources for the greatest prosperit of the people; 2) reconstructing the political law of legal recognition provided towards the recognition that favor recognition of the existence of indigenous people; 3) realizing the rights of indigenous people through the settings in the form of law as mandated by Article 18B subsection (2) of the 1945 Constitution. Design the future legal framework for the fulfillment of the rights of indigenous peoples over natural resources need to be arranged in an affirmative policy that is consistent with the constitutional guarantee of the rights of indigenous people in accordance and harmony with the purpose and spirit of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution and Article 18B paragraph (2) 1945 jo Article 28 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the substance towards the fulfillment of the rights of indigenous peoples over natural resources for justice. Keywords: The Indigenous people, synchronization of law, the rights of the natural resource
vii" "
SUMMARY Penelitian ini dilatarbelakangi: 1) inkonsistensi dan tumpang tindih undang-undang sektoral terkait pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya tidak sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat karena: (a) berorientasi pada eksploitasi dan lebih berpihak pada pemodal besar; (b) penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terpusat pada negara melalui pemberian izin dan konsesi pada swasta; (c) pengingkaran hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam melalui model politik hukum pengakuan bersyarat dan berlapis; 2) adanya kekosongan norma sebagai akibat belum diaturnya hak-hak masyarakat hukum adat dalam suatu kerangka hukum sebagai implikasi ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” Melalui penelitian normatif (legal research), penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi, menginventarisir, dan menganalisis, undang-undang sektoral sumber daya alam terkait dengan permasalahan hak penguasaan negara atas sumber daya alam dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat. Selanjutnya, mereview undang-undang sektoral agar berkesesuaian dan harmoni dengan tujuan dan cita hukum UUD 1945 untuk dituangkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam berdimensi pemenuhan hak masyarakat hukum adat; 2) merumuskan hak-hak masyarakat hukum adat melalui formulasi kebijakan berbasis pemenuhan hak masyarakat hukum adat Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik norma (sinkronisasi dan konsistensi) yang mengatur mengenai sumber daya alam merupakan turunan dari kekeliruan menafsirkan jiwa dan cita hukum yang terkandung pada sumber hukum tertinggi, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang sektor sumber daya alam dan undang-undang pemerintah daerah era Orde Baru, yang perumusannya tidak sejalan dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan membatasi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat atas sumber daya alam melalui pengakuan bersyarat. Selanjutnya, analisis sinkronisasi undang-undang sektoral memperlihatkan bahwa: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pokok-Pokok Agraria. Adanya sikap mendua politik hukum agraria terhadap hukum adat dan masyarakat hukum adat. Konsideran UUPA meneguhkan bahwa hukum adat adalah sumber dari hukum agraria nasional. Namun, pada sisi lain eksistensi masyarakat hukum adat tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat atau lambat membuka peluang untuk disingkirkannya masyarakat hukum adat. 2. Perumusan pasal-pasal UUPA terkait pengakuan hak masyarakat hukum adat tidak konsiten. Ketentuan Pasal 3 UUPA menentukan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya viii" "
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Seterusnya, ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUPA “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Kemudian Pasal 5 menentukan bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dalam kenyataannya hak penguasaan negara itu telah dialihkan kepada swasta dibanding masyarakat hukum adat. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Undang-Undang ini sama sekali tidak mengatur mengenai pengakuan hak masyarakat hukum adat maupun peran masyarakat adat dalam konservasi sumber daya alam, walaupun masyarakat adat telah lama dikenal memiliki kearifan lokal dalam memelihara sumber daya alam. Peran masyarakat hukum adat dapat dikatakan bagian dari peran serta rakyat sebagimana ditentukan dalam Pasal 37 yang mengatur peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya hayati dan ekosistem. 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan jo UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Ketentuan Pasal 1 angka 4 menentukan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Pasal 1 angka 6 menentukan bahwa “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (1) menegaskan pula bahwa “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat (2) “Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan”. Ayat (3) “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. 5. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) bahwa “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. Ayat (2) “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”. Ayat (3) “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Ayat (4) “Apabila dalam perkembangannya ix" "
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah”. 6. Pasal 17 ayat (2) “Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. 7. Ketentuan Pasal 67 ayat (1) menentukan bahwa “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat (2) “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”. Ayat (2) “Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait”. Ayat (3) Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain: a. b. c. d.
tata cara penelitian, pihak-pihak yang diikutsertakan, materi penelitian, dan kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adatnya digantungkan dengan sejumlah persyaratan dan seberapa ‘mau’ negara bersedia menyerahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat. Padahal Pada bagian Penjelasan Umum dicantumkan bahwa yang dimaksud dengan hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. “Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undangundang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutanhutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, x" "
hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 10. Sebagai penjabaran dari pedahulunya UUPA, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga menganut politik mendua terhadap pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam hutan. Di satu sisi, Undang-Undang tidak mengakui keberadaan hutan adat (obyek hak), karena status hutan adat adalah hutan negara sebagai konsekuensi hak penguasaan negara atas sumber daya alam. Akan tetapi, di sisi lain mengatur tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (subyek hak), yang realitasnya di lapangan tidak akan mudah untuk menetapkan eksistensi masyarakat hukum adat. 11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak dan Gas Pasal 33 ayat (3) huruf a menentukan bahwa “kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat. Bertumpu pada substansi Pasal 33 ayat (3) maka tersirat pengakuan tanah milik masyarakat hukum adat tidak dapat dijadikan lokasi pertambangan migas. Akan tetapi, sebagaimana biasanya, ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian dibatasi oleh ketentuan ayat (4) yang menentukan: “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan b setelah terlebih dahulu memperoleh ijin dari instansi pemerintah”. Dengan demikian perlindungan tanah hak milik masyarakat hukum adat tetap terbuka untuk digunakan untuk Wilayah Kerja Pertambangan dengan ketentuan dengan izin dari pemerintah, namun tidak ada mekanisme free and prior informed consent sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan negara atas tanah milik masyarakat hukum adat. 12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA). Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak atas sumber daya air dalam Ketentuan dalam UUSDA tidak jauh berbeda dengan pendahulunya UUPA dan UUPK. Pengakuan bersyarat negara ini tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3). Ayat (2) menentukan: ”Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak serupa dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 6 ayat (3) menentukan: ”Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. 13. UUSDA melalui Pasal 6 di atas memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap MHA beserta hak ulayat yang dipunyai. Ketentuan pengakuan dan perlindungan tersebut sama dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA. Pengakuan disertai dengan syarat yaitu: (a) sepanjang kenyataannya masih ada sehingga jika kenyataannya sudah tidak ada lagi karena tidak memenuhi kriteria maka hak ulayat masyarakat hukum adat tidak boleh dihidupkan lagi; (b) keberadaannya harus dikukuhkan oleh Pemda melalui Perda, hal yang mana dapat dimaknai dan mencerminkan semangat desentralistis karena Pemdalah yang memahami keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya; (c) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, (d) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan xi" "
yang berlaku. Syarat peraturan perundang-undangan tersebut dapat mengandung maksud menegasikan keberadaan hak ulayat dan berpotensi ke arah pelanggaran hak masyarakat hukum adat. 14. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penelusuran atas undang-undang ini memperlihatkan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan haknya tidak diatur. Namun, terdapat keharusan pengelolaan perikanan memperhatikan hukum adat dan nilai kearifan lokal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Walaupun ketentuan ini tidak bermakna sebagai bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya, setidaknya ketentuan hukum adat dan nilai kearifan lokal harus ditempatkan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan perikanan dan pembudidayaan ikan. Melalui perumusan ini sesungguhnya ada pengakuan negara atas praktek-praktek masyarakat hukum adat yang perlu dijaga. 15. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Penegasan bahwa masyarakat adat mempunyai otonomi untuk mengatur diri dan wilayahnya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 2 ayat (9) menentukan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks pembinaan dan pengawasan Pemerintah Desa, ketentuan Pasal 100 dan 101 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten memfasilitasi keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, nilai adat istiadat, lembaga adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam pelaksanaan pemerintahan desa. 16. Era otnomi daerah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tatanan lokal dan pranata kultural lokal menguat. Penguatan tersebut muncul dalam kebijakan penyusunan produk hukum daerah yang menyerap asas, prinsip, konsepsi, substansi dan lembaga-lembaga masyarakat hukum adat. Penyerapan itu sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 1 (12) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah bahwa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 17. Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 203 ayat (3) menegaskan bahwa: “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Dearah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota untuk xii" "
merumuskan dan membuat kebijakan daerah yang memberi ruang yang lebih besar untuk melestarikan nilai-nilai adat dan memperkuat partisipasi masyarakat hukum adat. 18. Berinteraksinya hukum adat dengan hukum nasional dalam perumusan peraturan daerah selain sebagai implementasi ketentuan pemerintahan desa, juga berkenaan pengakuan dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat adat, antara lain mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagaimana terbaca dari judul produk hukum daerah berikut: 1. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang PokokPokok Pemerintahan Nagari; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Provinsi Riau Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Masyarakat Adat; 3. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat; 6. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; 7. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi 8. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 Kabupaten Bungo tentang Penyebutan Kepala Desa menjadi Rio, Desa menjadi Dusun, dan Dusun menjadi Kampung sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 . 9. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun 2010 tentang Marga; Bentuk lain dari kebijakan daerah selain peraturan daerah adalah Keputusan Bupati mengenai diakui dan dilindunginya hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya hutan, yaitu: 1. SK Bupati Kepala Daerah TK II Kerinci No 96 tahun 1994 tentang Pengukuhan Pengelolaan Kawasan Hutan Milik Desa dan Hutan Adat di Daerah Hutan Hulu Air Lempur, Kecamatan Gunung RayaKabupaten Daerah TK II Kerinci. 2. Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/362/B.II/HK/96 tentang 76 kesatuan masyarakat Hukum Adat yang disebut Marga; 3. Keputusan Bupati Bungo Provinsi Jambi Nomor 1246 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Pelepat Kabupaten Bungo; 4. SK Bupati Kepala Daerah TK II Sarolangun Bangko Nomor 225 tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu di Desa Baru Pangkalan Jambu Sungai Manau, Kabupaten Daerah TK II Sarolangun Bangko, yang menetapkan lokasi Hutan Adat Desadi Desa Baru Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Daerah TK II Sarolangun Bangko sebagai Kawasan Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu 5. Keputusan Bupati Merangin Provinsi Jambi Nomor 95 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Pulau Tengah Kecamatan Jangkat.
xiii" "
6. Keputusan Gubernur Jambi Nomor 124 Tahun 2009 tentang pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin kepada kelompok Ndendang Hulu Sako Batang Buat (kelompok pengelola hutan desa) 7. Bupati Bungo melalui surat Nomor 522/B312/Hutbun/2008 mengajukan pengukuhan Hutan Lindung Desa Lubuk Beringin menjadi hutan desa 19. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dibentuknya kebijakan yang mengakomodir pengakuan dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam penyusunan produk hukum mengambil dua bentuk yaitu Perda dan Keputusan Bupati. Adakah pilihan dua bentuk produk hukum ini mencerminkan derajat pengakuan Pemerintah Daerah?. Karena persyaratan pengakuan menentukan bentuknya adalah Perda. Namun, setidaknya walaupun bentuknya Keputusan Bupati ada keinginan pemerintah daerah untuk melindungi keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam kerangka pelestarian praktek-praktek kearifan masyarakat hukum adat dalam memelihara ekosistemnya. 20. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penata Ruang Bentuk pengakuan lain atas masyarakat Hukum Adat dapat ditemui pada ketentuan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yaitu hak masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam bagian penjelasannya Undangundang ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang perlu menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaran penataan ruang. Dalam hal penataan ruang menimbulkan kerugian maka masyarakat dalam hal ini dapat ditafsirkan meliputi pula masyarakat hukum adat dapat menggugat melalui pengadilan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) 21. Undang-Undang Nomo 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Berkenaan dengan Prinsip dan Standar HAM dapat dilihat dari lima (5) prinsip yaitu 1) Menunjukan kaitan langsung dengan HAM; 2) Akutabilitas; 3) Pemberdayaan; 4) Partisipasi; 5) Non Disriminatif. Mengenai hubungan Hak Dalam UU PWP3K, dapat dipilah dari sisi hak warga negara dan hak negara. Hubungan orang dan WP3K menurut UU ini disebut dengan “hak” yaitu HP-3. (Pasal 1 Angka 18). Secara khusus, nomenklatur Hp-3 sebagai hak (hak kebendaan) dan bukan ijin P3 (hak perorangan) adalah suatu kekeliruan mendasar dengan segala implikasinya sehingga untuk penyusunan PP sebagai pelaksanaannya, mengalami kendala konseptual maupun operasional. 22. Dari sisi hubungan negara dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil UU ini menyebut hubungan Negara dan WP3K dengan istilah “dikuasai oleh Negara”, dengan demikian UU ini sebetulnya juga menggunakan konsep Hak Menguasai Negara. Mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengelolaan Pesisir (HP-3). HP-3 dapat diberikan kepada (Pasal 18): a.Orang perseorangan warga negara Indonesia; b.Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c.Masyarakat Adat. 23. Akuntabilitas merupakan salah satu asas PWP3K. Prinsip akuntabilitas lebih lanjut diatur dalam Pasal 66 dan 67. Akuntabilitas dalam undang-undang ini tidak saja xiv" "
terbatas pada pihak yang diberikan HP-3, namun juga kepada masyarakat (Pasal 60). Pemberdayaan tidak saja ditujukan terhadap masyarakat umum dalam meningkatkan kesejahteraannya, namum juga ditujukan kepada berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam pengelolaan pesisir (Pasal 63). 24. Legal sprit dari pembentukan UU ini sebagaimana terlihat dalam konsideran salah satunya adalah dalam rangka penjamin aspirasi dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya Pasal 3 pengelolaan Wilayah Pesisir peran serta masyarakat. Dalam rumusan batang tubuh prinsip partisipasi itu terlihat dalam Pasal 21 yang Persyaratan untuk pemberian HP-3 adanya hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 25. Keberpihakan kebijakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada bagian awal; konsiderans, ketentuan umum, asas dan tujuan; UU ini tampaknya memihak kepada rakyat (pro-rakyat). Pasal 18 yang mengatur tentang HP-3 juga memberikan perhatian kepada rakyat, khususnya masyarakat hukum adat, tetapi pada bagian isi, terutama terkait dengan pemanfaatan WP3K; justru pengusaha yang lebih diutamakan (pro-kapital). Keberpihakan UU ini terhadap pengusaha juga terlihat dari Pasal 23 ayat (5) dan (6) terkait pemberian HP-3. 26. Berkanaan dengan Hak Konstitusional Masyarakat Adat dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, dari paparan di atas menunjukan bahwa UU PWP3K telah banyak mengatur hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Bahkan pengakuan hak-hak masyarkat hukum adat ini merupakan salah satu semangat pembentukan undang-undang ini. Kendati demikian dalam kenyataannya kebijakan tersebut belum mampu menjamin eksistensi hak masyawarakat hukum adat terhadap sumber daya pesisir. Hal ini lebih disebabkan oleh makin pudarnya eksistensi masyarkat adat akibat proses pengabaian yang berlangsung lama, sehingga praktek serta batas-batas hak-hak adat pun semakin pudar. Oleh karena ke depan perlu kebijakan yang lebih konkrit untuk menjamin hakhak masyarkat hukum adat tersebut. 27. Berkenaan dengan prinsip otonomi, semangat otonomi luas dalam UU PWP3K, terlihat dari sejumlah pasal yang menegaskan kewenangan daerah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya pembagian wewenang antara Pemerintah dan Pemda, maka PWP3K dalam UU ini dapat dikatakan bersifat desentralistik. Pengelolaan yang desentralistik tersebut dapat pula ditelusuri dalam asas dan tujuan PWP3K (Pasal 3 dan 4). Dari 11 asas PWP3K yang dinyatakan Pasal 3, desentralisasi merupakan salah satu asas tersebut. Begitu juga dengan Pasal 4, salah satu tujuan PWP3K adalah menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemda dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 4 huruf b). Kebijakan desentralisasi juga dapat dilihat pada Pasal 50-55 yang mengatur tentang kewenangan. Pembagian kewenangan pemberian HP-3 dalam UU ini mengikuti ketentuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
xv" "
28. Satu dari 11 asas pengelolaan WP-3K, menurut Pasal 3 ini, adalah “keterpaduan”, yang menempati urutan ketiga. Menurut Penjelasan Pasal 3 huruf c itu, asas keterpaduan dikembangkan dengan mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horisontal dan secara vertikal antara pemerintah dan Pemda serta mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam PWP3K. 29. Dari perspektif keselarasan dengan prinsip HAM, dapat dikatakan bahwa UU PWP3K telah selaras denga prinsip-prinsip HAM yang mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat. Meskipun adanya kelemahan, seperti materi aturan yang mengisyaratkan adanya pemihakan terhadap kepentingan pemodal kuat dibanding masyarakat pemodal kecil dan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan hak-hak masyarakat yang lebih konkrit. Berkenaan dengan jaminan hak masyarkat adat, pada satu sisi, pencantuman persyaratan berupa “pemberdayaan masyarakat” dan “pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat” memang positif bagi pengakuan masyarakat adat. Pada sisi lain, pernyataan seperti itu justru semakin menyiratkan bahwa UU ini hanya hendak memberikan HP-3 itu kepada pengusaha saja (pro-kapital), bukan kepada masyarakat hukum adat. Sementara Posisi masyarakat hukum adat cukup hanya diakui saja oleh pengusaha yang bersangkutan. 30. Mengenai prinsip-prinsip otonomi luas dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, dengan adanya pembagian wewenang antara Pemerintah dan Pemda, maka PWP3K dalam UU ini dapat dikatakan bersifat desentralistik, walaupun demikian, posisi Menteri (Pemerintah) dalam UU ini tetap menentukan. Demikian juga dalam pelaksanaan prinsip keterpaduan dan koordinasi. 31. Undang-undang ini sejatinya undang-undangan bersifat payung. Karena sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa konsep pesisir menunjuk pada konsep kewilayahan yang di dalamnya terdapat beragam aktifitas sektor pembangunan. Oleh karena itu pada akhirnya harus ada pula telaah bagaimana berbagai undang-undang sektoral tersebut dapat mengimplementasikan prinsip dan norma UU PWP3K. Selain itu dalam undang-undang ini diperintahkan untuk pengaturan lebih lanjut, meliputi dua Peraturan Pemerintah, dua Peraturan Presiden, dan tiga Peraturan Menteri. Namun sampai saat in sebagai besar peraturan pelaksanaan tersebut belum dapat diwujudkan. 32. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba. Dari aspek pemenuhan hak asasi manusia utamanya dari segi hak masyarakat hukum adat, undang-undang ini tidak mengacu pada substansi HAM yang terdapat dalam Konstitusi. Telaah atas UU Minerba memperlihatkan bahwa undangundang ini tidak mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. Dalam BAB XIII tentang Hak dan Kewajiban, yang diatur hanya Hak dan kewajiban yang diatur bagi pemegang izin pertambangan (Pasal 90-112). 33. Kompromi lemah UU Minerba mengenai hak masyarakat (termasuk hak masyarakat adat:peneliti), diatur dalam ketentuan pasal 145 mengenai perlindungan rakyat yang menentukan bahwa Ayat (1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari xvi" "
kegiatan usaha pertambangan berhak: a.memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan; b.mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Pasal 145 ayat (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 34. Dapat dikatakan bahwa Politik hukum UU Minerba belum memuat dan tidak berdimensi HAM. Selain tidak mengatur pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam juga mengabaikan hak Free and Prior Inform Consent, yang dijamin dalam instrumen HAM internasiona bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak untuk membuat persetujuan mengenai ekploitasi tambang di tanah atau diwilayah-wilayah mereka, terlebih jika berpotensi mengancam sumber-sumber kehidupan dan penghidupan. Rakyat dihadapkan pada posisi lemah karena model perlindungan hak rakyat yang dianut UU Minerba adalah ganti rugi yang layak dan gugat ke pengadilan, dimana keduanya dalam kenyataan jauh dari pemenuhan keadilan. Alternatif yang dapat ditempuh dalam rangka pemenuhan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam meliputi: 1. Memaknai ketentuan Pasal 33 ayat (3) bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam mengandung kewajiban negara untuk mengatur peruntukannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk memenuhi hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam dengan mengatur relasi yang berkeadilan negara, msayarakat hukum adat dan swasta. 2. Merumuskan ulang pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat menjadi politik pengakuan lebih berpihak pada masyarakat hukum adat. 3. Mensegerakan melakukan reforma agraria serta merevisi undang-undang sektoral terkait dengan politik hukum pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas sumber daya alam selaras dan sejiwa dengan ketentuan yang mendasarinya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 4. Perumusan kebijakan legislasi tentang pengaturan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam kerangka hukum yang sesuai dan selaras dengan tujuan dan jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang muatan pengaturannya perlu meliputi hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dan sumber daya alam, hak atas kekayaan intelektual pengetahuan tardisional masyarakat hukum adat, hak penentuan model pembangunan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat hukum adat serta hak atas free and prior informed consent atas pengelolaan sumber daya alam oleh pihak ketiga di wilayah kelola masyarakat hukum adat. 5. Acuan kerangka hukum hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang akan dibentuk bagi pemenuhan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat tersebut juga perlu mengacu pada instrumen hukum HAM Konvensi ILO 169 Tahun 1989
xvii" "
tentang Hak Masyarakat Hukum Adat serta Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Tahun 2007. 6. Rekomendasi Kebijakan berupa pengaturan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dan aksesibilitas masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. Akses SDA merupakan dasar dari penghidupan MHA secara ekonomi, guna memastikan kelangsungan hidup masyarakat hukum adat, maka penting untuk melindungi sumber daya alam mereka dan praktik-praktik tradisional mereka dalam menggunakan, mengelola, dan memelihara sumber daya alam. 7. Hak atas sumber daya alam adalah Masyarakat hukum adat memiliki hak atas sumber
daya alam di wilayah mereka, termasuk: a. hak untuk berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian berbagai sumber daya tersebut; b. hak untuk ditanyakan pendapatnya sebelum sumber daya alam di tanah mereka dieksplorasi atau dieksploitasi; c. hak untuk mempelajari kajian-kajian mengenai dampak eksplorasi dan eksploitasi tersebut; d. hak manfaat atas keuntungan yang dihasilkan dari eksploitasi dan penggunaan sumber daya alam apapun; e. hak untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah atas semua kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas seperti itu. 8. Diadopsinya prinsip konsultasi bahwa pemerintah memiliki hak eksklusif atas penguasaan sumber daya di bawah permukaan tanah. Dalam kasus dimana pemerintah telah memberikan konsesi hak untuk mendayagunakan sumber daya ini ke swasta atau perusahaan, pemerintah masih memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip konvensi ini diterapkan. Konsultasi ini harus dilakukan bahkan sebelum sebuah perusahaan mulai melakukan eksplorasi untuk sumber daya tersebut, karena eksplorasi ini bisa juga berdampak merusak lingkungan, ketidakseimbangan sosial, masalah kesehatan yang parah, polusi. 9. Masyarakat hukum adat dapat menggunakan hak-hak mereka sebagai alat untuk melakukan tawar-menawar dalam negosiasi dengan perusahaan. Melalui negosiasinegosiasi ini, masyarakat hukum adat dapat membujuk perusahaan untuk mengadaptasi teknik mereka guna meminimalkan kerusakan lingkungan, dan untuk memulihkan lingkungan tersebut setelahnya. Dalam beberapa kasus, pengaturan yang dibuat mungkin tidak memberikan manfaat bersama, dan proyek ditinggalkan begitu saja. Ini dapat diartikan bahwa komunitas tidak mendapatkan keuntungan. Hak-hak ini meliputi hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penggunaan, manajemen dan pemeliharaan berbagai sumber daya alam.
xviii" "
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN IDENTITAS PENELITIAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
i ii iii iv vi xix xxi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup D. Tujuan Penelitian E. Out Put/Luaran Penelitian F. Metode Penelitian 1. Bentuk (Design) Penelitian 2. Metode Pendekatan 3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 5.Teknik Analisis Bahan Hukum
1 1 10 11 12 13 13 13 13 16 17 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Konsepsi Hak Penguasaan Negara dalam Kaitannya dengan Hak Masyarakat Hukum Adat B.Harmonisasi Hukum Bidang Sumber Daya Alam Masyarakat Adat C.Hak Atas Sumber Daya Alam Sebagai HAM D. Kebijakan Afirmatif Bagi Masyarakat Hukum Adat
19 19
BAB III ANALISIS HUKUM SUMBER DAYA PERTANAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A.Pendahuluan B.Perumusan Masalah C. Pembahasan 1.Landasan Hukum Hak Penguasaan Negara atas Tanah Kaitannya dengan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah 2.Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat pada Sektor Pertanahan 3.Harmonisasi Hukum Kaitannya dengan Hak Masyarakat Hukum Adat BAB IV ANALISIS HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KEHUTANAN DALAM KAITANNYA DNEGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT A.Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan 1.Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan xix" "
23 25 31
34 34 38 38 38 44 59 62 62 62
2.Instrumen Hukum Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan B.Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-Undang Sektoral Bidang Kehutanan dalam Rangka Pemenuhan Hak Sumber Daya Alam C.Harmonisasi Hukum Peraturan Perundang-undangan Bidang Sumber Daya Hutan D.Kesimpulan dan Saran BAB V ANALISIS SINKRONISASI HUKUM SUMBER DAYA KELAUTAN DALAM KAITANNYA DENGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA KELAUTAN A.Pendahuluan 1.Latar Belakang 2.Perumusan Masalah B.Konsepsi Harmonisasi Hukum 1.Instrumen Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan 2.Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan 3.Upaya Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan C.Kesimpulan dan Saran
94 98 102 102 102 102 103 105 106 111 113
BAB VI ANALISIS HUKUM STANDAR HAM DALAM UU NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL A.Pendahuluan B.Prinsip dan Standar HAM dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1.Menunjukan Kaitan Langsung dengan HAM 2.Akuntabilitas 3.Pemberdayaan 4.Partisipasi 5.Non Diskriminatif C.Hak Masyarakat Hukum Adat dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1.Prinsip Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 2.Harmonisasi Kepentingan Sektoral D.Penutup
115
BAB VII ANALISIS HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM UU SUMBER DAYA AIR DAN UU MINERBA A.Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Air 1.Konsepsi Hak atas Air Sebagai HAM 2.Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Air B.Hak Masyarakat Hukum Adat atas sumber daya Minerba
144
BAB VIII SINKRONISASI UNDANG-UNDANG SEKTORAL DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A.Makna Hak Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam 1.Konsepsi Hak Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam 2.Konsepsi Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber Daya Alam B.Rekontruksi Pengakuan Bersyarat Masyarakat Hukum Adat
152
xx" "
64 74
117 122 124 126 126 127 129 130 136 139 142
144 144 148 151
152 152 158 161
C. Sinkronisasi Undang-Undang Sektoral dalam Rangka Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam D. Kebijakan Afirmatif bagi Masyarakat Hukum Adat
168
BAB IX PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Daftar Riwayat Hidup Peneliti
178 179
xxi" "
173
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 2. 3. 4.
Uraian Perbedaan Rumusan Pasal 33 UUD 1945 Sebelum dan Setelah Amademen Pembatasan Kewenangan dan Hubungan Negara dengan Rakyat Peraturan Perundang-undangan Kewenangan Memberikan Hak Pengelolaan (HP) di Wilayah Pesisir
xxii" "
Hal 43 53 89
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kondisi masyarakat hukum adat mengalami ketertinggalan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.1 Walaupun masyarakat hukum adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara bangsa (nationstate) dan kelahiranyapun mendahului dari kelahiran negara,2 namun dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, eksistensi komunitas ini belum menjadi prioritas. Kerangka hukum yang digagas
melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Masyarakat Adat dalam mewujudkan jaminan konstitusional pengakuan dan penghormatan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sampai sekarang juga belum terealisasi. Pada tanggal 9 Agutus 2006, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutannya pada upacara memperingati Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, meneguhkan bahwa: ...masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang lemah, dalam mempertahankan hak-hak tradisional mereka, di tengah-tengah kekuatan modal dalam mengekploitasi lahan dan sumber daya alam. Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 yang mengatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dengan UU, adalah rumusan yang tepat. Oleh karena itu kesatuan hukum adat diakui dan dihormati sepanjang masih hidup. Artinya hukum adat itu masih berlaku dan masih 1
Konsideran RUU Perlindungan Masyarakat Adat. Istilah masyarakat hukum adat dipergunakan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemrintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan istilah masyarakat adat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Istilah masyarakat asli dipergunakan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Adapun istilah komunitas adat terpencil/KAT dipakai oleh Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Untuk kepentingan penelitian ini dipergunakan istilah masyarakat hukum adat. 2 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Gramedia, Jakarta, 2010, hal.12. Keberadaan sumber daya alam telah ada sebelum lahir negara. Artinya, keberadaan sumber daya alam dimaksud diyakini telah lahir mendahului kelahiran negara, demikian pula masyarakat telah ada sebelum negara berdiri. Dengan demikian, praktik pengelolaan sumber daya alam telah dilakukan oleh masyarakat hukum adat berdasarkan kearifan lokal sebelum negara berdiri.
1
dianut oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan dan penghormatan perlu diukur dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, serta diatur dengan UU agar segala sesuatunya menjadi lebih jelas. “UU lah yang akan mengatur apa saja yang menjadi hak tradisional masyarakat hukum adat. Hingga kini kita belum memiliki UU tersebut. Saya berharap kita dapat menyusun rancangan UU itu dalam waktu yang tidak terlalu lama, kata Presiden disambut tepuk tangan lebih kurang 650 undangan yang hadir.3 Konstitusi pasca amandemen, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” Seterusnya, ketentuan Pasal 28I ayat (3) mengukuhkan kembali bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat ini terkait erat dengan hak atas sumber daya alam. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, hak penguasaan atas sumber daya alam, ada pada negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa:“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penjabaran lebih lanjut amanah Pasal 33 UUD 1945 dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Menurut Maria SW Sumardjono berkenaan dengan hubungan antara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan UUPA menyatakan:4 Harus diakui, UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun 1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA) berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 Pasal UUPA, 53 Pasal mengatur tentang tanah. Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui berbagai undang-undang sektoral. Undang-undang itu terutama diterbitkan 3
SBY: Perlu Disusun RUU tentang Hak Adat, diakses pada http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/08/09/882.html, tanggal 12 Mei 2011 Pukul 21:46 WIB. 4 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 95.
2
dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai undang-undang sektoral itu UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan direvisi dengan UU No. 7 Tahun 2004, dan undang-undang lainnya menyusul. Pembentukan UU sektoral tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral: (1) orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara; (2) lebih berpihak pada pemodal besar; (3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antar sektor yang lemah; (5) tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara proporsional.5 Akibat keberadaan berbagai UU sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah serta antar daerah, kerusakan dan kemunduran kualitas SDA, ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA (petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA. Kenyataan ini mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001 yang meletakkan prinsip pembaruan agraria, mendorong pengkajian ulang dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral melalui pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan UU sektoral.6 Relevansi antara hak penguasaan negara atas sumber daya alam dengan hak masyarakat hukum adat selanjutnya dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang UUPA. Konsideran UUPA bahkan meneguhkan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Lebih lengkap mengenai perumusan pasal dimaksud dicantumkan berikut ini: Pasal 2. 5
Maria SW Sumarjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, dalam http://els.bappenas.go.id/upload/other/Penyempurnaan%20UUPA%20dan%20Sinkronisasi%20Kebijakan.ht m, hal. 1, diakses pada tanggal 25 Maret 2011 pukul 21:18 WIB. 6 Ibid.
3
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 3. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Melalui perumusan yang demikian, UUPA menerapkan pengakuan bersyarat. Kedudukan masyarakat hukum adat dan hak ulayat digantungkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bertalian dengan itu, ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 juga dimaknai eksistensi masyarakat hukum adat diakui dan dijamin namun kondisional, karena terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi yaitu: 1. Syarat pertama “sepanjang masih hidup” 2. Syarat kedua “sesuai dengan perkembangan masyarakat” 3. Syarat ketiga “prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” 4. Syarat keempat “yang diatur dalam undang-undang”.
4
Berkaitan dengan pengakuan bersyarat ini, Koesnoe berpendapat bahwa: Pembuat undang-undang
berpandangan negatif terhadap hukum adat, sebagai peryataan yang
timbul dari penglihatan bahwa hukum adat tidak selalu akan sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Dalam hal bertentangan dengan kepentingan tersebut, maka hukum adat harus dikesampingkan. 7 Seturut dengan itu, beberapa kalangan menilai bahwa hukum adat di dalam UUPA bukan lagi hukum adat yang selama ini diperkenalkan oleh Van Vollenoven dan Ter Haar. hukum adat dalam UUPA disebut “hukum adat baru” (Saleh Adiwinata), “hukum adat yang sudah disaneer” (Budi Harsono), “hukum adat yang sudah disempurnakan” (Sudargo Gautama), “hukum adat yang sudah tambah dan berubah” (Ko Tjay Sing), “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional” (Suhardi). Karena itu, menurut Sunaryati Hartono sekalipun di dalam konsiderans dan Pasal 2, dan Pasal 3 UUPA berdasarkan hukum adat, namun jika ditilik teryata UUPA baik dalam undangundangannya maupun dalam pelaksanaannya, justru menunjukan
penyimpangan-
penyimpangan.8 Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa pada satu sisi, UUPA secara tegas menyatakan bahwa hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat, yang merupakan konteks sosiol kultural lahirnya hukum adat tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas yang sulit dipenuhi masyarakat hukum adat. Terlebih apabila peraturan perundang-undangan terkait hak atas sumber daya alam ini satu sama lain tidak sinkron dan selaras dengan tujuan dari peraturan perundangan yang mendasarinya. Ketidaksinkronan undang-undang sektoral tentang pengaturan hak memanfaatkan sumber daya hutan antara lain ditemukan pada ketentuan Pasal 17 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang menyebutkan bahwa “Pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini”.
7 8
Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 95. Ibid.
5
Saat ini undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 telah diganti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada pasal 1 ayat 6 dalam ketentuan umum dikatakan bahwa: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyatakat Hukum Adat”. Artinya, walaupun hutan adat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara tetapi sebenarnya, negara mengakui adanya wilayah masyarakat Hukum Adat. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan konsep yang tajam antara pemerintah dengan masyarakat adat yang mengakui tanah adatnya merupakan wilayah privat yang tidak boleh diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara. Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengakui tanah adat sebagai wilayah Privat sedangkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengakui sebagai wilayah Publik. Apa yang dicantumkan pada Undang Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 mengenai hak ulayat dan hak-hak perseorangan atas tanah dan sumber daya alamnya belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang terdapat di dalam UUPA yang sudah berlaku sebelumnya. UUPA pada dasarnya memberikan pengakuan hutan adat (tanah ulayat) sebagai bagian dari Kawasan Hutan Negara dengan syarat keberadaan hak ulayat tersebut memang menurut kenyataannya masih ada dan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan dalam UUPA, tanah ulayat merupakan hak milik yang tidak berada dalam kawasan hutan negara. Hak milik ini dikenal dengan hak lama yang berasal dari hak adat dengan pengakuan pemerintah. Sementara itu, unsur-unsur untuk dikukuhkannya suatu komunitas sebagai masyarakat hukum adat dibebani persyaratan. Ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah:9 1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) 9
Asep Yunan Firdaus, Masih Eksiskah Masyarakat Hukum Adat, Makalah Pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, Diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal.3.
6
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Memperhatikan unsur-unsur tersebut dan membandingkannya dengan kondisi sekarang, sulit untuk menemukan siapa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat. Ada beberapa komunitas adat yang sebenarnya eksis, namun tak bisa diakui sebagai masyarakat hukum adat, karena tak memenuhi salah satu unsur apabila unsurnya kumulatif. Kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat hukum adat adalah kewenangan pemerintah daerah, melalui pengukuhan dalam peraturan daerah. Ketentuan Pasal 67 ayat (2) menentukan bahwa: ”Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal ini menjelaskan bahwa Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan demikian pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat menjadi tidak hanya bersyarat tapi juga berlapis.10 Menurut Maria Sumardjono dalam Ade Saptomo (2010:15), kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan eksistensi masyarakat hukum adat adalah:11 a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;
10
Rikardo Simarmata, Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat dalam Peraturan Perundangundangan: Catatan Kritis, Makalah Pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, Diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal.7. 11 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, Op cit, hal. 15.
7
c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatanperbuatan hukum. Persyaratan tersebut diatas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatu komunitas dikatakan bukan masyarakat hukum adat, tapi membantu para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat beserta hak-haknya. Sementara itu, studi lain meneguhkan pula bahwa sejumlah pelanggaran hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang bersifat struktural dan sistemik berakar pada kesalahan konseptual dan kesalahan tentang posisi struktural masyarakat adat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesalahan konseptual tersebut kemudian tertuang dalam sejumlah undang-undang organik yang satu sama lain tidak sinkron, yang memerlukan koreksi untuk mewujudkan jaminan konstitusional hak-hak tradisional masyarakat adat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) jo Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.12 Sedangkan dari aspek ius constituendum terjadi kekosongan hukum karena belum adanya instrumen hukum perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini semua berdampak merugikan masyarakat hukum adat terutama karena alam tempat mereka mengantungkan hidup dan penghidupanya telah dialihkan melalui kebijakan pemberian hak kepada swasta. Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada badan-badan swasta karena negara membutuhkan modal untuk membangun.13
Dengan banyaknya jumlah
masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan dan sumber daya alam, maka penerapan undang-undang sektoral mengenai sumber daya alam, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat, yang lambat laun terpinggirkan. Beberapa catataan menunjukan bahwa akibat berkurangnya ruang masyarakat adat atas sumber daya alam telah menimbulkan beragam konflik dan berdampak secara ekologis serta merugikan masyarakat hukum adat.14 Misalnya, 1400 kasus konflik agraria
12
Komnas HAM, Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnas HAM, Jakarta, 2005, hal. 12. Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, Op cit, hal. 13. 14 Dalam tiga dasawarsa terakhir, sejak Januari 1970 hingga Mei 2007 konflik tanah dan sumber daya alam yang bersifat struktural berjumlah 1877 kasus, terjadi di 2804 desa, memperebutkan kurang lebih 10.892.203 Ha, yang mengakibatkan 1.189.482 KK dipelosok nusantara, telah mengikutsertakan berbagai bentuk 13
8
yang melibatkan masyarakat tak satupun dimenangkan mereka. Hak ulayat nagari menghilang ketika 100 hektar tanah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan serta fenomena kemiskinan yang menimpa 40-60 juta masyarakat adat di kawasan hutan.15 Sumber daya mineral, hutan, air dan laut yang menjadi kekayaan masyarakat hukum adat dialihkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah tanpa ganti rugi yang memadai.16 Sebagai akibat dari keterpurukan hidup, masyarakat hukum adat mencari kehidupan di daerah lain, sehingga ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah. Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama ini, lama kelamaan menjadi memudar. Dengan kondisi yang demikian persyaratan bagi pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya alam juga semakin jauh dari jangkauan. Hak atas sumberdaya alam merupakan bagian dari hak atas hidup sejahtera lahir dan batin yang menjadi substansi dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Adapun kewajiban negara atas HAM dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28I ayat (1) bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama negara.” Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa “(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah; (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.” Sejalan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4), ketentuan Pasal 8 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan,
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) (terjadi di wilayah perkebunan, kawasan konservasi, kehutanan, pembangunan, Dam, sarana umum dan fasilitas perkotaan, kawasan industri atau pabrik, perumahan, kawasan parawisata, pertambakan, trasmigrasi) yang secara umum telah menghilangkan akses dan hak-hak kolektif masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam. (M. Ridha Saleh, Hak-Hak Masyarakat Adat, Makalah Pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, Diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal. 17. 15 Suarakarya Online, UU Perlindungan Hak Adat Lindungi Masyarakat Adat, http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=194008, diakses pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:41 WIB. 16 Kompas, Hapuskan Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat, 17 Maret 2009, hal. 14.
9
penegakan dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah di samping juga masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan. Pemerintah telah mengambil langkah institusionalisasi prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka perlindungan HAM, termasuk pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui peraturan perundang-undangannya. Meskipun demikian, kebijakan tersebut tidak serta merta jaminan membaiknya pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat. Disamping karena inkonsitensi dan tumpang tindihnya undang-undang sektoral juga karena masyarakat hukum adat tidak dalam posisi yang dapat membela diri dan mempunyai akses pada kekuasaan dan proses-proses kebijakan publik. Sudah saatnya memperkuat dan mendorong pemenuhan hak-hak masyarakat dalam suatu kebijakan yang mengadopsi prinsip keseimbangan, berkelanjutan dan berkeadilan dalam mewujudkan jaminan konstitusional hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Berdasarkan paparan tersebut diatas sinkronisasi undang-undang sektoral menuju harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya alam merupakan sebuah kebutuhan penting ditengah kondisi peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah yang yang menunjukkan gejala overlap, tumpang tindih dan tidak sensitif terhadap upaya pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mendalami permasalahan sinkronisasi undang-undang sektoral dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan.
B. PERUMUSAN MASALAH Bertitik tolak dari paparan pada latar belakang maka penelitian ini akan menelaah pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. Pertanyaan yang akan didalami dan dianalisis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hak penguasaan sumber daya alam oleh negara dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat dimaknai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? 2. Upaya apakah yang perlu dilakukan dalam rangka harmonisasi hukum undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam?
10
3. Bagaimana politik hukum
ke depan yang perlu dirumuskan terkait kewajiban,
tanggung jawab, hak dan relasi antara negara, masyarakat hukum adat, dan swasta dalam upaya pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dan selaras dengan tujuan dan cita hukum negara Indonesia?
4. Bagaimanakah model kebijakan negara ke depan yang perlu diformulasikan guna mewujudkan jaminan konstitusional hak pengelolaan sumber daya alam masyarakat hukum adat yang sesuai dan selaras dengan tujuan dan cita hukum negara serta prinsipprinsip dan standar hak asasi manusia?
C. DESKRIPSI PENELITIAN/RUANG LINGKUP Beranjak dari permasalahan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini disusun dalam beberapa kajian yang bertalian dengan sinkronisasi undang-undang sektoral dan permasalahan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada akhirnya akan bermuara pada harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya alam guna mewujudkan pengakuan, penghormatan dan pemenuhan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Topik-topik kajian disusun meliputi sebagai berikut:
1. Analisis hukum sumber daya kehutanan dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam 2. Analisis hukum sumber daya pertanahan dalam Kaitannya dengan hak masyarakat hukum Adat atas sumber daya alam. 3. Analisis hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dan selaras dengan prinsip dan standar HAM terhadap masyarakat hukum adat. 4. Analisis hukum sumber daya kelautan dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. 5. Analisis hukum sumber daya air, dan mineral dan batu bara dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. 6. Deskripsi lebih lanjut sinkronisasi undang-undang sektoral dalam rangka pemenuhan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam.
11
7. Analisis pengaturan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan tujuan dan cita hukum UUD 1945 serta selaras nilai-nilai HAM.
D. TUJUAN PENELITIAN
Harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya alam merupakan sebuah kebutuhan penting ditengah kondisi peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah yang yang menunjukkan gejala overlap, tumpang tindih dan
tidak sensitif terhadap upaya
pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Berdasarkan perumusan masalah, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mendeskripsi konsepsi penguasaan dan landasan filosofi hak penguasaan sumber daya alam oleh Negara dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat. 2. Menginventarisir dan mereview undang-undang sektoral
bidang pengelolaan
sumber daya alam yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan 3. Merekontruksikan politik hukum dalam rangka harmonisasi hukum undang-undang sektoral yang mencakup kewajiban, tanggung jawab, hak dan relasi antara negara, masyarakat hukum adat dan swasta sesuai dan selaras dengan prinsip-prinsip HAM; 4. Menganalisis Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan cita dan prinsip penguasaan sumber daya lama sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dalam kerangka otonomi yang luas yang akan meliputi: a. Analisis hukum pengelolaan sumber daya alam sektor kehutanan; b. Analisis hukum pengelolaan sumber daya alam sektor pertanahan; c. Analisis hukum pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; d. Analisis hukum pengelolaan sumber daya kelautan; e. Analisis hukum pengelolaan sumber daya air, minerba dan perkebunan;
5. Memformulasikan kebijakan pengaturan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam sesuai dan selaras dengan tujuan dan cita hukum UUD 1945 sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat dan nilai-nilai HAM.
12
E. OUTPUT/LUARAN PENELITIAN Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan harmonisasi hukum serta mendorong kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis HAM terhadap kelompok rentan utamanya masyarakat hukum adat. Rekomendasi kebijakan utamanya ditujukan bagi Dewan Perwkilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
F. METODE PENELITIAN
1. Bentuk (Disain) Penelitian Berdasarkan
tujuan penelitian hukum, penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif (legal research). Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis, mereview, mengevaluasi, memverifikasi dan memformulasikan bahan hukum yang berkaitan sinkronisasi undang-undang sektoral dalam rangka pemenuhan hakhak masyarakat hukum adat atas pengelolaan sumber daya alam.
2. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.17
17
Berkaitan dengan penelitian hukum ini, menurut Ronny Hanitijo Soemitro dikemukakan bahwa: Pada hakekatnya bila orang menyebut penelitian hukum, maka biasanya yang dimaksud adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap hukum dengan mempergunakan metode pendekatan, teori/konsep dan metode analisis yang termasuk dalam disiplin hukum normatif. (Ronny Hanitijo Soemitro, Peran Metodologi Dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Masalah-Masalah Hukum, Majalah FH Undip No. 5-1992, ISSN No. 0126-1389, hlm. 35) Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam penelitian hukum normatif terdapat 5 tipe penelitian normatif yaitu: (1) penelitian inventarisasi hukum positif; (2) penelitian untuk menemukan asas-asas hukum serta penelitian asas-asas hukum; (3) penelitian hukum klinis atau penelitian untuk menemukan hukum in-concreto; (4) penelitian terhadap sistematis intern dari perundang-undangan hukum positif; (5) penelitian terhadap tahap sinkronisasi vertikal dan horisontal dari peraturan perundang-undangan hukum positif. Sesuai dengan pandangan tersebut, menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dikemukakan bahwa “Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup: (1) penelitian terhadap asasasas hukum; (2) penelitian terhadap sistematika hukum; (3) penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum.” (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 15.) Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian normatif adalah penelitian khas hukum yang meneliti isu hukum terkait kekosongan hukum, konflik norma dan norma yang kabur atau multitafsir (Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 95.
13
Dalam penelitian ini terhadap bahan hukum akan diawali dengan melakukan penelitian terhadap konsepsi-konsepsi, prinsip-prinsip atau asas-asas hukum tentang hak penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut dilakukan penelitian terhadap identifikasi terhadap seluruh ketentuan peraturan perundang-uandang yang mengatur pengelolaan sumber daya alam sebagai turunan dari ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Seterusnya, dilakukan penelitian terhadap sistematika hukum undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam. Penelitian sistematika hukum dimaksudkan untuk mengkaji ketentuan-ketentuan umum berupa pengertian-pengertian pokok atau dasar dari undang-undang sektoral berkaitan dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya alam. Tujuannya adalah untuk menelaah indikasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama terutama terhadap undang-undang bidang sektoral yang tidak sejalan dengan konsepsi, prinsip atau asas-asas hukum pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan sesuai dan selaras dengan tujuan dan cita hukum UUD 1945.
Berikutnya dilakukan inventarisasi hukum positif bidang pengelolaan sumber daya alam. Kemudian dilakukan penelitian taraf sinkronisasi vertikal dari peraturan perundangundangan hukum positif, yaitu dengan menganalisis isi kaidah hukum dari UUPA, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, untuk dibandingan dengan UUD 1945, utamanya kandungan isi dan makna dari ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Selanjutnya dilakukan penelitian taraf sinkronisasi horizontal dengan melakukan analisis dan review atas substansi hukum dari UUPA, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara untuk dibandingkan dengan Undang-Undang terkait 14
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal dilakukan untuk menganalisis kesesuaian dan keserasian isi kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam terhadap ketentuan yang mendasarinya. Apaun penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah keserasian peraturan perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk mengkaji kesesuaian dan keselarasan peraturan perundangundangan yang sederajat yang mengatur substansi materi yang sama.
Di samping itu, dalam penelitian normatif ini digunakan pula pendekatan yuridis historis yaitu untuk mengkaji atau menganalisis legal spirit dari ketentuan-ketentuan Pasal 18B ayat (2) jo Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait pengakuan negara atas hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Lebih lanjut digunakan pula pendekatan yuridis komparatif untuk membandingkan konsepsi, prinsip, asas dan isi kaidah hukum bidang pengelolaan sumber daya alam dengan ketentuan undang-undang sektoral dengan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dalam instrumen hukum HAM internasional yaitu Deklarasi Universal HAM, Konvensi ILO 1989 Nomor 169 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Kovenan Hak ekonomi (diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), Kovenan Hak Sipil dan Politik (diratifikasi Oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik), Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat (United Nation Declaration on the Rights of The Indigeunos Peoples 2007). Kesemua instrumen hukum HAM internasional terkait dengan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut seterusnya dibandingkan dengan UU 1945 terkait dengan HAM dan undang-undang sektoral yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan hak-hak masyarakat hukum adat.
15
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian ini sinkronisasi undang-undang sektoral dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dititikberatkan pada studi kepustakaan untuk menggali bahanbahan hukum, yang meliputi: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 c. Konvensi ILO 1989 tentang Hak-hak Masyarakat Adat d. Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 11 Tahun 2005 e. Kovenan Hak Sipil dan Politik diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005 f. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 2007
2.
Bahan hukum sekunder yaitu: a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Pokok Agraria b. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya d. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan e. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM f. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air g. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan h. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
16
i. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. j. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui dua cara yaitu: a. studi kepustakaan b. studi dokumen Selanjutnya dalam penelitian ini, prinsip dan standar HAM, pandangan-pandangan serta isi kaidah hukum HAM mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat adat diperoleh melalui dua referensi utama yaitu: bersifat umum yaitu bukubuku yang membahas standar pemenuhan HAM pendidikan, bersifat khusus, yaitu jurnal, laporan tahunan, hasil penelitian, terbitan berkala dan lain-lain. Adapun studi dokumen sebagai sarana pengumpulan bahan hukum ditujukan pada dokumen yang bersifat publik berkaitan dengan kebijakan negara dalam rangka perlindungan hak-hak tradisional masyarakat adat.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang terkumpul yang bersifat prinsip, standar dan norma HAM hukum pengaturan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat akan dianalisis secara kualitatif. Analsis kualitatif tersebut lalu diuraikan secara deskritif dan perspektif. Analisis deskriftif perspektif ini bertitik tolak dari analisis yuridis historis, analisis sistematis dan komparatif terkait perumusan politik hukum negara dalam pengelolaan sumber daya alam yang selaras dan serasi dengan tujuan dan cita hukum negara Indonesia. Bahan hukum yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan pakar hukum, serta isi kaidah hukum nasional maupun hukum internasional mengenai persoalan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM masyarakat hukum adat akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif tersebut lalu diuraikan secara deskritif dan perspektif. Analisis deskritif dan perspektif ini bertitik 17
tolak dari analisis yuridis sistematis
yang pendalamannya dikaitkan dengan analisis
yuridis historis dan analisis yuridis komparatif. Analisis yuridis historis digunakan untuk mengkaji secara historis mengenai kebijakan pengelolaan sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai dasar penegakan hukum bagi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan berkeadilan antara hak penguasaan negara, swasta dan hak masyarakat hukum adat. Sedangkan analisis yuridis komparatif digunakan untuk membandingkan kebijakan negara dalam sektor pertanahan, kehutanan, sumber daya air, mineral dan batu bara dan kelautan dan wilayah pesisir dalam kaitanya dengan pengakuan hak masyarakat untuk mengelolaan sumber daya alam. Kajian ini juga akan membandingkan instrumen HAM nasional dengan instrumen HAM internasional terkait objek penelitian hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEPSI HAK PENGUASAAN NEGARA DALAM KAITANNYA DENGAN TUJUAN NEGARA Hak penguasaan negara atas sumber daya alam berasal dari konsepsi kekuasaan negara. Studi kepustakaan mengenai teori kekuasaan negara yang dilakukan oleh J.J. Rousseau menunjukan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu organisasi politik berasal dari suatu perjanjian rakyat (contract social) yang merupakan suatu bentuk kesatuan yang melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.18 Dalam kontrak sosial objek dari kekuasaan negara itu menurut Montesquieu adalah orang dan benda. Dalam hubungannya dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam, maka objek kekuasaan negara yang relevan adalah kekayaan alam karena merupakan sumber ekonomi negara dan pokok-pokok kemakmuran rakyat. Studi kepustakaan mencatat pula bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam pada negara liberal sesuai dengan ajaran Adam Smith menunjukan bahwa negara dikonstruksikan sebagai subyek hukum yang dapat memiliki hak atas sumber daya alam. Namun jaminan pemilikan individu secara luas juga dijamin. Sedangkan berdasarkan paham Karl Marx dan Frederich Engels keburukan-keburukan sosial ekonomi yang timbul dalam sistem kapitalis, bersumber dari dibenarkannya hak milik individu atas sumber daya alam yang menyebabkan kebebasan tanpa batas dalam mengejar kepentingan pribadi. Karena itu, menurut paham sosialis semua sumber daya alam harus dikuasai oleh negara untuk menjamin distribusi. Sedangkan berdasarkan konsep negara kesejahteraan, selain mengharuskan tindakan negara berdasarkan atas hukum, pemerintah juga memikul tanggung jawab yang luas untuk mensejahterakan rakyat yang menurut Bagir Manan memuat tiga aspek utama yaitu aspek politik, konsep hukum itu sendiri dan aspek sosial ekonomi. Dari aspek politik kemudian diturunkan pembatasan kekuasaan negara, dari aspek hukum kemudian dilahirkan supremasi hukum, asas legalitas dan the rule of law. Sedangkan dari aspek
18
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2007, hal.8.
19
sosial ekonomi adalah keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Titik tolak dari ketiganya adalah HAM dan kesejahteraan umum.19 Berbeda dengan negara konsepsi negara hukum klasik, dalam negara hukum modern HAM meliputi hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Karena itu, negara memikul tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Pengertian yang demikian melahirkan paham demokrasi ekonomi atau kerakyatan di bidang ekonomi dan faktor yang sangat menonjol adalah kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan pengaturan penguasaan negara dalam peraturan perundangundangan, idealnya suatu aturan hukum dibentuk berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu masyarakat, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai. Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan di dalam tujuan, dasar dan cita hukum negara maka diperlukan satu sistem hukum nasional yang dapat dijadikan pijakan dan kerangka politik hukum nasional.20 Ketika Pancasila dijadikan dasar atau basis filosofis/ideologis dari praktik kenegaraan, mestinya struktur (baca: peraturan perundang-undangan) ketatanegaraan dimaksud berisikan nilai-nilai Pancasila. Artinya, setiap hukum dan peraturan perundangundangan merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila.21 Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara selain berpijak pada Pancasila juga berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtidee) yaitu:22 1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan(integrasi) 2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan 3. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dari negara hukum 4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keadaban dalam hidup beragama. Dalam konteks politik hukum maka peraturan-perundangan bidang sumber daya alam yang dibentuk untuk mencapai tujuan dan cita hukum Negara Indonesia bagi 19
Ibid, hal.15. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional Nomor 2 Tahun 2007, BPHN, Jakarta, hal. 45. 21 Ade Saptomo, dalam Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implemntasi, Editor Satya Arinanto&Ninuk Triyanti, Rajawali press, Jakarta, 2009, hal. 39. 22 Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Op cit, hal. 50. 20
20
kemakmuran rakyat yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 yang mengandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Lebih jauh, Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 tersebut terkandung nilai-nilai khas budaya Bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. Sumber daya alam yang ada dalam wilayah NKRI berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa:“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya penguasaan negara atas sumber daya alam wajib dipergunakan kesejahteraan rakyat. Negara yang dipersonifikasikan sebagai pemerintah merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan negara. Dalam kaitan antara hukum dan kekuasaan negara, John Austin mengemukakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dan hakekat hukum itu terletak pada unsur perintah tersebut.23 Lebih lanjut, hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan tertutup, oleh karena itu hukum dimaknai tidak lain kecuali perintah yang diberikan oleh penguasa (Law is a command of Lawgivers).24 Berbeda dengan John Austin, dalam pandangan realisme hukum, hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum merupakan hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatan. Politik hukum seringkali melakukan intervensi hukum sehingga banyak peraturan hukum tidak mampu menegakan keadilan dan menampilkan
dirinya sebagai faktor penyeimbang diantara dua kekuatan yang tidak
seimbang. Karena itu, perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya konfigurasi politik tertentu teryata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karakter produk hukum yang dilahirkannya
23
Shidarta Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal. 128. 24 Ibid.
21
cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi yang otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/elitis.25 Dengan demikian setiap produk hukum akan ditentukan oleh visi politik kelompok penguasa. Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan produk hukum berkarakter responsif harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Namun, dalam perkembanganya hampir setiap undang-undang memberikan porsi kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Kenyataan ini memberi peluang timbulnya undang-undang yang secara hirarkhis bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Ada kemungkinan bahwa sebuah undang-undang tidak sesuai dengan jiwa peraturan perundangan yang mendasarinya. Begitu juga ada kemungkinan sebuah undang-undang memuat materi yang tidak sejalan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. UUPA merupakan produk hukum yang berkarakter responsif karena berasal dari warisan demokrasi liberal dan memuat materi yang membalik dasar-dasar kolonialisme, materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan dan UUPA tidak hanya memuat aspek publik juga hukum privat.26 Sebagai turunan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dasar penguasaan negara atas sumber daya alam adalah keadilan sosial dan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Keterkaitan antara hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara: 1. Segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam dan hasilnya harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam
25 26
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal.363. Ibid, hal. 367.
22
Ketiga kewajiban di atas, sebagai jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan betuursdaad dan beheersdaad dan tidak melakukan eigensdaad. Artinya secara a contrario, apabila hak penguasaan negara diartikan sebagai iegensdaad maka tidak ada akan ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.27 Setiap masyarakat memiliki karakter yang unik. Dalam hubungannya dengan pembentukan sistem hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity). Dengan demikian bahan untuk membentuk hukum suatu masyarakat yang diatur dalam suatu produk hukum dapat dilacak dari semanggat dan jiwa masyarakat itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, hukum adat yang berlaku dan hidup di wilayah nusantara, diperlukan sebagai bagian dari upaya mengenali serta memahami identitas suatu masyarakat dan bangsa yang diliputi keberagaman. Selain itu, hukum adat dengan kontekstualisasi terhadap penyusunan produk hukum nasional dan daerah terkait pengelolaan sumber daya alam akan mendekatkan suatu
produk hukum
terhadap
konsepsi-konsepsi dan pranata-pranata masyarakat.
B. HARMONISASI HUKUM BIDANG SUMBER DAYA ALAM Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stammler yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat. Istilah harmonisasi sesungguhnya adalah istilah dalam ilmu musik untuk menunjukan adanya keselarasan dalam nada-nada yang menyusun suatu ritme musik sehingga menjadikan musik itu indah. Istilah ini relevan diterapkan terhadap bidang 27
Abrar Saleng, Op cit, hal.17.
23
hukum, karena hukum memerlukan adanya keselarasan dalam pelaksanaanya dan keserasian antara berbagai kepentingan dalam masyarakat.28 L.M. Gandhi mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:29 1. Perbedaan antara berbagai peraturan perundang-undangan dan jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenali semua peraturan tersebut. 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah 4.
Perbedaan peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran Mahkamah Agung.
5. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang saling bertentangan 6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan dan fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat.30 Prinsip-prinsip hukum yang adil yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan masyarakat umum. Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah pusat maupun pusat dan daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya 28
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991, hal. 30. 29 L.M. Gandhi, L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, UI .Jakarta. 1995, hal. 10. 30 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Jakarta,1982.hal.150.
24
amandemen UUD 1945, politik desentralisasi dan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang belum berbasis HAM. Harmonisasi hukum bidang sumber daya alam dengan pendekatan sistem, yakni dengan konotasi sistem sebagai entitas, dan memandang bahwa harmonisasi hukum undang-undang
sektoral
merupakan
upaya
menyelaraskan,
menyesuaikan,
menyeimbangkan, menyerasikan dan konsistensi unsur-unsur pembentukan undangundang sektoral terhadap tata urutan dan materi undang-undang yang akan disusun. Dengan demikian, upaya harmonisasi ini merupakan “conditio sine qua non” bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.
C.HAK ATAS SUMBER DAYA ALAM SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia makhluk ciptaanNya. Asal usul gagasan mengenai HAM dengan demikian berasal dari teori hak kodrati (natural rights theory). Dalam pandangan John Locke salah satu pemuka teori hak kodrati bahwa semua individu dikarunia oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. Melalui suatu kontrak sosial, perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan penguasa dan mengantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hakhak teresebut. Melalui teori hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra positif mendapat pengakuan kuat.31 Undang-undang dasar suatu negaralah yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan, termasuk menjamin HAM. Berkaitan dengan hak atas sumber daya alam, merupakan bagian dari hak atas hidup sejahtera lahir dan batin yang
31
Rhona K Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, hal.12.
25
menjadi substansi dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Kebijakan berbasis HAM (human based approach) bagi pengakuan, perlindungan dan pemenuhan HAM masyarakat hukum adat sudah seharusnya menjadi prioritas tinggi setiap Negara. Kebijakan negara sebagai pelaksanaan tanggung jawab negara dalam rangka melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat mengandung makna bahwa segala sumber daya yang ada ditujukan untuk merealisasikan pemenuhan HAM tersebut, termasuk merumuskan kebijakan pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Integrasi Bangsa Indonesia tidak akan dapat diraih apabila terdapat salah satu komponen bangsa yaitu masyarakat adat tercerabut dari akarnya. Sejumlah pelanggaran hak-hak tradisional masyarakat adat yang bersifat struktural dan sistemik berakar pada kesalahan konseptual dan kesalahan tentang posisi struktural masyarakat adat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesalahan konseptual tersebut kemudian tertuang dalam sejumlah undang-undang sektoral yang memerlukan koreksi untuk mewujudkan jaminan konstitusional hak-hak tradisional masyarakat adat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang. Seterusnya, ketentuan Pasal 28I ayat (3) menentukan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat digantungkan dengan kenyataan yang ada serta tidak menganggu tercapainya tujuan undang-undang yang mengakuinya. Model-model pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat semacam ini, selain bermakna sebagai pengakuan bersyarat juga bermaksud memberikan batasan-batasan atas hak-hak masyarakat adat. Sejatinya, kebijakan berbasis HAM atau Human Rights Based
26
Approach menekankan pentingnya HAM menjadi aspek utama pada kebijakan awal dalam kerangka hukum, utamanya bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat.32 Ketentuan Pasal 8 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah di samping juga masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai instrumen hukum HAM internasional, seperti Konvensi ILO 1986 tentang Hak-hak Masyarakat Adat, Konvenan Hak Ekonomi Sosial melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Budaya serta Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui Undang Undang Nomor 12 tahun 2005. Philip Alston dalam Bulletin of Human Rights (Rachel Hodgkin&Peter Newell, 1998:22) menyatakan dalam perspektif hukum internasional, kewajiban untuk menghargai (to respect) mensyaratkan Negara pihak untuk menahan diri dari setiap tindakan yang dapat melanggar setiap HAM warga Negaranya. Kewajiban melindungi (to protect) mensyaratkan Negara membentuk kebijakan legislasi yang melindungi keberadaan masyarakat hukum adat. Sedangkan kewajiban untuk memastikan (to ensure) menyiratkan kewajiban afirmatif (afirmative obligation) dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak-hak masyarakat adat yang relevan. Untuk itu, Negara perlu menetapkan pendekatan khusus bagi perlindungan hak-hak masyarakat agar masyarakat adat sebagai kelompok rentan dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi mereka.(Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia: 2002:2). Seterusnya, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”. Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free and Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme ini bila dikaitkan dengan doktrin tanggung jawab Negara dalam pemenuhan hak asasi manusia maka ia meliputi
32
Nicola Colbran. 2008. Seminar Hasil Penelitian Hak Ekosob Status dan Kondisi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Tiga Wilayah (Aceh, Yogyakarta dan Kalimantan Timur), Makalah pada Workshop Hak Ekosob diselenggarakan oleh Pusham UII kerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 16-18 Desember 2008), hal. 4
27
penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat terhadap sumber daya alamnya terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara kumulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut: Free: berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat. Prior: artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerntah, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari masyarakat. Informed: artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya Consent: artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri. Seyogyanya, posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu Negara nasional, khususnya oleh karena negara nasional lazimnya didasarkan pada faham kebangsaan dan integrasi bangsa. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Salah satu faktor penyebabnya adalah berbagai kebijakan negara yang sektoral, selain karena munculnya berbagai kepentingan dalam Negara nasional tersebut, untuk menguasai sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Dalam keadaan yang demikian, eksistensi masyarakat adat tersebut cepat atau lambat membuka peluang untuk dinafikannya masyarakat hukum adat tersebut. Tuntutan global mendesak negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan pembangunan
berbasis
HAM
(right-based
development)
sebagai
suatu
standar
internasional HAM yang diarahkan untuk mendukung dan melindungi HAM. Pembangunan berbasis HAM itu sendiri pada hakikatnya memadukan norma-norma dan standar-standar (perjanjian, konvensi dan deklarasi) serta prinsip-prinsip (kesetaraan, keadilan, pemberdayaan, akuntabilitas dan partisipasi) sistem internasional HAM ke dalam perencanaan, kebijakan dan proses-proses pembangunan. Karena itu, strategi ini mengandung elemen-elemen: a) menunjukkan kaitan langsung dengan HAM, b) akuntabilitas, c) pemberdayaan, d) partisipasi, dan e) tidak diskriminatif dan memberi perhatian kepada kelompok-kelompok rentan. Perjuangan untuk perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat tidak hanya berlangsung pada tataran
nasional, tetapi juga pada tataran 28
internasional. International Labour Organization (ILO), termasuk lembaga yang berhasil mengesahkan Konvensi tentang perlindungan dan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat. Pengkakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat mengalami perkembangan yang besar pada saat Sidang Umum PBB berhasil mengesahkan UN Declaration on the of the Indigenous Peoples.33 Di dalam Deklarasi tersebut dimuat konsep Free and Prior Informed Consent (FPIC). FPIC sebenarnya, bukanlah konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu. Pengadopsian mekanisme FPIC dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi telah diinisiasi oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2007 mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya adalah ketentuan Pasal 18 yang menentukan bahwa masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hakhak tradisional mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri. Selanjutnya, Pasal 19 menentukan bahwa Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat berdampak terhadap mereka. Perundang-undangan di Indonesia memang belum banyak yang mengadopsi mekanisme ini. Baru Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengadopsi beberapa konsep FPIC dalam ketentuan 33
Maria SW Sumarjono, Op cit, hal 156.
29
tentang hak-hak masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa ketentuan dalam Pasal 60 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk: a. Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan; b. Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan c. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; d. ... Dalam penegakan hak asasi manusia, pemerintah adalah pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holderr) dan masyarakat, secara individu dan kolektif, adalah pemegang hak (right holder). Relasi ini menjadi jelas karena pemerintah mempunyai kewenangan melalui kebijakan, regulasi, program, dan anggaran untuk merealisasikan kewajiban dan tanggung jawabnya, untuk memenuhi hak warga Negara. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menegakkan hak asasi manusia (no execuse). Pemerintah berkewajiban mendayagunakan sumber dayanya untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak asasi manusia, utamanya hak-hak kelompok rentan karena secara sumber daya ekonomi, sosial dan budaya kelompok ini lemah pada saat berhadapan dengan kelompok masyarakat lainnya, pemodal bahkan Negara. Pelanggaran hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dapat terjadi melalui tiga bentuk, yaitu: 1. Pelanggaran HAM dengan tindakan (by commission), dimana pemerintah dengan sengaja bertindak melalui kebijakan dan regulasi sehingga melanggar hak-hak masyarakat adat. 2. Pelanggaran HAM dengan pembiaran (by omission), dimana pemerintah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia padahal mempuyai kemampuan untuk mencegah dan menindak pelanggaran tersebut. 3. Pelanggaran HAM berupa ketidakpatuhan (non compliance), dimana pemerintah tidak mematuhi aturan hak asasi manusia di tingkat nasional maupun internasional yang telah diratifikasinya. 30
Konsekuensi dari institusionalisasi prinsip dan norma HAM internasional ke dalam hukum nasional melalui tindak ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional adalah Negara terikat untuk menjalankan obligasinya. Pada tanggal 13 September 2007 yang lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa telah
mensahkan The U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples, yang juga didukung oleh perutusan Republik Indonesia di badan dunia tersebut.
D. KEBIJAKAN AFIRMATIF BAGI MASYARAKAT ADAT Kebijakan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Rights Based Approach menekankan pentingnya HAM menjadi aspek utama pada kebijakan awal dalam kerangka hukum, terutama bagi kelompok rentan. Masalah akan muncul ketika seseorang yang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan menjadi terus menerus walaupunn standar HAM telah ditingkatkan. Karena itulah penting mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Tindakan afirmatif mengizinkan Negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang rentan. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women. Hukum dan keadilan masih belum terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Akses pada proses-proses kebijakan publik masih didominasi oleh mereka yang terdidik dan memiliki
sumber
daya
ekonomi
(Hikmahanto
Juwana:Kompas:25-03-2009:48).
Keterbatasan akses masyarakat pada hukum dapat berujung pada ketidakadilan. Keadilan dalam terminologi hukum diterjemahkan sebagai keadaan yang dapat diterima akal sehat secara umum pada waktu tertentu tentang apa yang benar. 31
Sementara itu John Rawls mengemukakan dalam A Theory of Justice, keadilan adalah fairness, yaitu kondisi yang dibangun di atas dasar pandangan setiap individu memiliki kebebasan, status quo awal yang menegaskan kesepakatan fundamental dalam kontrak sosial. Gagasan utama keadilan lembaga utama
dalam pandangan Rawls adalah bagaimana
masyarakat mengatur hak dan kewajiban dasar serta menentukan
pembagian kesejahteraan kerja sama sosial yang dibangun.34 Selanjutnya, keadilan pada dasarnya adalah sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus, dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya hubungan timbal balik di antara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana perilakunya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang adil. Namun, apakah yang dimaksud sebenarnya ketika mengatakan
bahwa sebuah
tatanan sosial itu adil, bagaimana hubungannya dengan hukum? Maksudnya adalah bahwa peraturan menuntun perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua manusia. Dengan kata lain supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam peraturan tersebut.35 Kerinduan akan keadilan itu sama dengan kerinduan abadi manusia akan kebahagian. Kebahagian yang tidak pernah dapat diperoleh manusia jika hanya sendiri, sebagai seorang individu yang terisolasi, dan oleh karena itu harus dicari di dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan adalah kebahagian sosial, merupakan kebahagian yang hanya dapat diperoleh dalam tatanan sosial yang tanpa diskriminasi dan keberpihakan pada piahk-pihak tertentu dengan mengabaikan keadilan bagi pihak lain. Karena itu, akses atas kebijakan publik merupakan aspek penting dalam suatu tatanan sosial. Dalam suatu kontrak sosial keberadaan negara justru bertugas memastikan terpenuhinya akses orang perorang dan kelompok masyarakat. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap 34 35
John Raws, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, 2006, hal.12. Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 2.
32
mempunyai hak-hak tersebut. Dalam perkembangannya HAM teryata juga dimaknai sebagai hak-hak yang melekat pada kelompok masyarakat adat. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable) dan siapapun wajib menghormatinya termasuk Negara.36 Keberadaan negara adalah menjamin HAM dalam peraturan perundangundangannya serta memastikan terpenuhinya HAM tersebut dalam tataran implementasi. Karena itu, desain kerangka hukum dan model perlindungan hak-hak tradisional masyarakat adat atas sumber daya alam perlu aturan payung melalui kebijakan Negara yang partisipatoris dan memberdayakan masyarakat adat sesuai prinsip dan norma HAM nasional dan internasional. Masyarakat hukum adat merupakan unsur utama untuk membangun negara ini. Karena itu, hukum yang dibangun oleh negara harus hukum yang mengayomi kepentingan negara dan masyarakat hukum adat.
36
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, University Press, Ithaca, London, 2003, hal. 7-12.
33
BAB III ANALISIS HUKUM SUMBER DAYA PERTANAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A. PENDAHULUAN Berlakunya aturan hukum suatu Negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor, yaitu pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa Negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipasif terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali tidak berjalan parallel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal). Hukum Agraria
yang berlaku di Indonesia sebelum UUPA adalah
bersifat
dualisme, yang bersumber pada BW dan Hukum Adat, maka atas dasar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dikeluarkanlah Undang-Undang
maka
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disingkat UUPA) yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 No. 104 dan Tambahan lembaran Negara No. 2043. Yang tujuannya adalah: 1. Meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional
yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran 2. Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dari tujuan UUPA tersebut tergambar adanya keinginan diantaranya untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah baik itu hak pribadi maupun hak bersama yang lazim disebut hak ulayat masyarakat hukum adat. Pertanyaan yang muncul mengapa perlu diperhatikan hak-hak rakyat atas tanah?. Indonesia adalah Negara yang berdasaarkan hukum, maka konsep Negara yang berdasarkan hukum salah satunya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat, termasuk hak atas tanah, baik yang dikuasai secara pribadi maupun secara bersama. 34
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam UUD 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya). Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek social, ekonomi, budaya, politik, pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Heru Nugroho, menyebutkan tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional: a. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. b. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. c. Ketiga, sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi randahnya status social pemiliknya. d. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah-masalah transendental. Pengaturan tentang tanah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kesadaran akan arti pentingnya fungsi tanah terkait dengan Hak Asasi Manusia mulai dirasakan semenjak era reformasi dengan terbitnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Arti penting hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan (Pasal 9 ayat (1). Itu memerlukan ketersediaan tanah untuk pemenuhan hak atas kesejahteraan berupa milik, yang dapat dipunyai bagi diri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain untuk pengembangan dirinya bersama-sama dengan masyarakat. Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis kearah kebijakan yang cenderung prokapitalis, yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi: yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser kearah pertumbuhan ekonomi. Akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan politik.
35
Dalam konteks pengelolaan sumber daya, dasar atau cita-cita ideal UUPA adalah mengubah karakter Negara colonial menuju Negara nasional yang merdeka serta menghapus segala bentuk pengaruh kolonialisme yang menghambat kemajuan rakyat melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian, Namun tujuan ini diselewengkan dengan menempatkan konsep Hak menguasai Negara (HMN) sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa dilekatkan atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dijadikan dasar legitimasi berbagai unjuk kekuasaan dalam pengadaan tanah untuk proyek pembangunan walaupun beresiko hilangnya “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.37 Konsepsi Hak menguasai Negara ini memarginalkan posisi UUPA 1960. Konsepsi ini memberikan keleluasaan kepada Negara untuk menguasai seluruh struktur agrarian yang berada di wilayah Indonesia. Padahal pengertian HMN dalam UUPA adalah member hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara kemudian mendistribusikan sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak merugikan rakyat sesuai dengan kewenangan yang diberikan yaitu: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbutan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat 2 UUPA). Persoalan lain adalah pembentukan UU sektoral tidak berlandaskan prinsip-prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral: (1) orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara;
37
Subekti Mahanani, Kedudukan UUPA 1960 dan pengelolaan Sumber Daya Agraria di tengah kapitalis Negara, Jurnal Analisis Sosial, Vol 6 No. 2 Juli 2001, hal 25.
36
(2) lebih berpihak pada pemodal besar; (3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antar sektor yang lemah; (5) tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara proporsional.38 Permasalahan lain yang terjadi dikarenakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara sangat terbatas, sehingga tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih luas merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanah bagi pembangunan disektor pertanian dan perkebunan terutama untuk pemberian hak Guna Usaha (HGU). Akibatnya muncul issu tentang pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Ada dua pandangan/sikap mengenai issu tersebut, yakni disatu pihak terdapat kekhawatiran bahwa hak ulayat yang semula sudah tidak ada, kemudian dinyatakan hidup lagi. Dan dilain pihak, ada kekhawatiran, bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat.39 Sementara itu, studi lain meneguhkan pula bahwa sejumlah pelanggaran hakhak tradisional masyarakat hukum adat yang bersifat structural dan sistemik berakar pada kesalahan konseptual dan kesalahan tentang posisi structural masyarakat adat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesalahan konseptual tersebut kemudian tertuang dalam sejumlah undang-undang organic yang satu sama lain
tidak sinkron, yang
memerlukan koreksi untuk mewujudkan jaminan konstitusional hak-hak tradisional masyarakat adat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) jo Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut Demitrius Christodoulou (Mantan Fakar FAO), bahwa akar konflik agraria, yang paling mendasar adalah adanya sejumlah ketidakserasian. Di Indonesia sedikitnya ada empat ketidakserasian atau ketimpangan yaitu: 1. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agrarian, khususnya tanah, yang berkaitan dengan tata guna tanah. 2. Ketimpangan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. 3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agrarian.
38
Maria SW Sumarjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, dalam http://els.bappenas.go.id/upload/other/Penyempurnaan%20UUPA%20dan%20Sinkronisasi%20Kebijakan.ht m, hal. 1, diakses pada tanggal 25 Maret 2011 pukul 21:18 WIB. 39 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, hal. 54.
37
4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum sebagai akibat kebijaka sektoral. Sedangkan dari aspek ius constituendum terjadi kekosongan hukum karena belum adanya instrumen hukum perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini semua berdampak merugikan masyarakat hukum adat terutama karena alam tempat mereka menggantungkan hidup dan penghidupannya telah dialihkan melalui kebijakan pemberian hak kepada swasta. Padahal ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah di samping juga masyarakat. Berbagai peraturan telah dikeluarkan Pemerintah akan tetapi hal itu tidak menjamin malahan terjadi tumpang tindihnya undang-undang sektoral. Berdasarkan paparan tersebut diatas sinkronisasi undang-undang sektoral menuju harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya alam sektor pertanahan merupakan sebuah kebutuhan penting ditengah kondisi peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah yang
menunjukkan gejala overlap, tumpang tindih dan tidak sensitif terhadap
upaya pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya alam berupa tanah. Karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mendalami permasalahan sinkronisasi undang-undang sektoral dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam sektor pertanahan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah Landasan hukum hak penguasaan Negara atas tanah kaitannya dengan hak-hak masyarakat adat atas sektor pertanahan? 2. Bagaimanakah Sinkronisasi UU sektoral pertanahan dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat? 3. Bagaimanakah rekonstruksi politik hukum dalam rangka harmonisasi hukum pertanahan dalam rangka pemenuhan hak masyarakat hukum adat atas tanah? C. PEMBAHASAN 1. Landasan hukum hak penguasaan Negara atas tanah kaitannya dengan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah.
38
Hak penguasaan Negara atas sumber daya alam berasal dari konsepsi kekuasaan Negara. Studi kepustakaan mengenai teori kekuasaan Negara yang dilakukan oleh J.J. Rousseau menunjukkan bahwa kekuasaan Negara sebagai suatu organisasi politik berasal dari suatu perjanjian rakyat (contract social) yang merupakan suatu bentuk kesatuan yang melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.40 Negara yang dipersonifikasikan sebagai pemerintah merupakan pelaksanaan kehendak Negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan Negara. Dalam kaitan antara hukum dan kekuasaan Negara, John Austin mengemukakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dan hakekat hukum itu terletak pada unsur perintah tersebut.41 Sebenarnya pandangan tentang hubungan antara hukum dan kekuasaan itu tidaklah tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat hukum sebagai das sein memberikan pandangan yang berbeda. Walaupun demikian, pengamat kedua pandangan itu sama-sama sependapat, bahwa; seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika melihat teori yang ditawarkan oleh Roscoe Pound bahwa “law as tool of social engineering,42 (hukum adalah alat untuk memperbaharui/merekayasa masyarakat), maka akan terlihat bahwa hukum harus memengaruhi kehidupan masyarakat termasuk sub sistem politiknya. Tetapi manakala mengacu kepada pandangan Von Savigny yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika masyarakatnya berubah, maka meskipun itu dimaksudkan agar hukum mampu mengikuti perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat, sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum itu dipengaruhi oleh kekuatankekuatan di luarnya termasuk oleh sub sistem politiknya. UUPA merupakan produk hukum yang berkarakter responsif karena berasal dari warisan demokrasi liberal dan memuat materi mengenai dasar-dasar kolonialisme. Materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan dan UUPA tidak hanya memuat aspek public juga aspek privat.43 Sebagai turunan dari ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dasar penguasaan Negara atas sumber daya alam adalah keadilan sosial dan sebesar-besar
40
Abrar Saleng, Op Cit, hal. 8. Shidarta Darji Darmodiharjo, hal. 128. 42 Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, maka Roscoe Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum yakni kepentingan umum, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. 43 Mohd. Mahfud MD, Op Cit, hal. 363. 41
39
untuk kemakmuran rakyat. Kekuasaan Negara dalam hukum agraria lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 2 UUPA bahwa: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk: a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pelaksanaan hak menguasai Negara tersebut ternyata menurut Pasal 2 ayat (4) UUPA dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Penguasaan kepada Negara ini adalah bentuk tugas kewajiban Negara yang dibebankan oleh Bangsa Indonesia. Karena Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat 1 UUPA). Dalam hubungannya dengan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, Negara bertindak dalam
kedudukannya sebagai kuasa dan petugas Bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Negara merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi. Yang terlibat sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif saja, tetapi juga penguasa yudikatif. Hubungan hukum yang di dalam UUD 1945 dirumuskan dengan istilah “dikuasai” itu ditegaskan sifatnya sebagai hubungan hukum public oleh UUPA dalam Pasal 2. Hubungan hukum tersebut dinamakan Hak Menguasai Negara (HMN). Hak ini tidak memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah lain, karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik. Pasal 2 ayat (2) 40
diberikan rincian kewenangan Hak menguasai dari Negara dalam bentuk: mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pertanahan. Hak Menguasai Negara (HMN) adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah Indonesia. Subyek hak menguasai dari Negara adalah Negara RI sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari Negara meliputi semua tanah dalam wilayah RI, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perseorangan.Tanahtanah yang belum dihaki dengan hak-hak perorangan oleh UUPA ini disebut tanah-anah yang dikuasai langsung oleh Negara. Ketentuan Pasal 2 UUPA ini memberikan penegasan tentang dua hal yaitu : 1. Memberikan kekuasaan kepada Negara untuk menguasai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sehingga Negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia. 2. Membebaskan serta kewajiban kepada Negara untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian sebesarbesar kemakmuran rakyat menunjukkan bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia. Hak atas sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang. Sesuatu yang menjadi hak setiap orang, merupakan kewajiban/tanggung jawab bagi Negara/pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya (Pasal 69 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu perlu penyempurnaan Pasal 33 ayat (3), karena pasal ini merupakan landasan bagi hubungan antara negara dengan sumber daya alam dan antara Negara dengan rakyat. Penyempurnaan rumusan Pasal 33 ayat (3) didukung oleh perlunya klarifikasi tentang makna “dikuasai oleh Negara” dari segi normative, yang meliputi 4 hal yakni: a. Kalau Negara “menguasai” sumber daya alam, maka siapa sebenarnya yang berhak atas sumber daya alam itu? b. Apakah makna “dikuasai” oleh Negara itu? c. Seberapa luas kewenangan menguasai oleh Negara itu?
41
d. Bagaimana hubungan antara Negara dengan yang berhak atas sumber daya alam itu? Dari segi empiris, rumusan Pasal 33 ayat (3) diterjemahkan secara longgar dalam berbagai UU termasuk dalam UUPA sehingga terjadi apa yang disebut “negaraisasi” sumber daya alam dengan segala implikasinya, antara lain penafikan hak-hak masyarakat adat. Konsep hak menguasai Negara atas tanah yang telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam belum mempunyai pengertian, serta makna yang jelas dan tegas untuk dapat diterima oleh semua pihak. Akibatnya, sering terjadi benturan antara kepentingan dan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Bahkan dengan hak menguasai, pemerintah telah mengorbankan dan menghilangkan hak-hak masyarakat tradisional. Hal ini tentu disebabkan karena hak menguasai yang bersumber pada Pasal 33 UUD 1945 tidak secara jelas memberikan rumusan mengenai makna, substansi, batas-batas kekuasaan dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Implikasi dari perbedaan penafsiran, pada tataran implementasi banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dan pemerintah maupun masyarakat hukum adat dan pendatang. Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya tanah yang dikuasai sejak nenek moyang menjadi berkurang dan hilang, akibat pembatasan dari hak menguasai Negara. Bahkan, sering disimpulkan bahwa hak menguasai Negara yang diterjemahkan secara sepihak oleh pemerintah merupakan salah satu penyebab dari lemahnya pengakuan dan perlindungan Negara terhadap masyarakat hukum adat. Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan penguasa. Kata “dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, namun merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari bumi, air dan ruang angkasa itu, menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum yang mengenai bumi dan ruang angkasa. Semuanya itu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
42
Dengan rincian kewenangan mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam Pasal 2 tersebut, oleh UUPA diberikan suatu interpretasi autentik mengenai hak menguasai dari Negara yang dimaksudkan oleh UUD 1945 sebagai hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam Pasal 33 UUD tersebut. Tabel 1: Perbedaan Rumusan Pasal 33 UUD 1945 Sebelum dan Setelah Amaademen Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Setelah Amandemen Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam undang-undang.
Demi menjamin terwujudnya idealisme tersebut, maka dalam pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip antara lain: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. c. Menghormati supermasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum. d. Mensejahterahkan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 43
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi masyarakat. f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan,
pemanfaatan
dan
pemeliharaan
sumber
daya
agrarian/sumber daya alam. g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memerhatikan daya tamping dan daya dukung lingkungan. h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi social budaya setempat. i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sector pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan dan pengelolaan sumber daya agrarian. j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam. k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu. l. Melaksanakan disentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agrarian. 2.Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat pada Sektor Pertanahan. Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 mewajibkan agar pemerintah menghormati kepentingan khusus dari nilai-nilai budaya dan spiritual yang berlaku di kalangan bangsa pribumi dan masyarakat adat, berkenaan dengan hubungan mereka dengan tanah. Berdasarkan pada prinsip yang harus dihormati pemerintah tersebut, konvensi kemudian menegaskan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak bangsa pribumi dan masyarakat hukum adat atas tanah. Untuk mengetahui apakah UUPA telah memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, maka harus didasarkan pada landasan peraturan perundangyaitu: Pertama: Landasan filosofis (filosofische grondslag, filosofische gelding). Suatu 44
peraturan
perundang-undangan
dikatakan
mempunyai
landasan
filosofis
apabila
rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran apabila dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alas an yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam, khususnya filsafat terhadap pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Secara universal harus didasarkan pada peradaban, cita-cita kemanusiaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sesuai pula dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan cita-cita kesusilaan. Kedua; Landasan sosiologis. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasasan sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran masyarakat. Ketiga: Landasan yuridis. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai dasar hukum atau legalitas terutama pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga peraturan perundang-undangan itu lahir.44 Menilik ketentuan dalam UUPA ternyata Hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam: a. Penjelasan Umum angka III (I) b. Pasal 5 UUPA dan penjelasannya Dalam penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa: Dengan sendirinya hukum agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungan dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh partai politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal Selanjutnya dengan penjelasan umum angka III (1) UUPA di atas, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
44
I Gde Fantja Astawa dan Suprin Na”a, Dinamika Hukum da Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2008, hal.78.
45
persatuan bangsa, dengan, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama. Pembangunan hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, sehingga segala bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan hukum tanah nasional sumbernya tetap mengacu kepada hukum adat, baik berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya maupun sistem hukum adat. Pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat, mengindikasikan bahwa terdapat penghargaan Negara atas sifat kodrat manusia sebagai mahluk monodualis. Penetapan hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum tanah nasional, di satu sisi ada pengakuan keberadaan hukum adat yang berlaku sebagai suatu norma yang lahir dan tumbuh dari masyarakat, sekaligus memenuhi perkembangan modernisasi suatu masyarakat. Namun di sisi lain justru terdapat pembatasan oleh hukum pertanahan, karena lebih mewakili kepentingan penguasa dan pengusaha. Secara terminologi, “pengakuan” (erkenning) berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata mengakui berarti menyatakan berhak. Dalam buku General theory of Law and State, Hans Kelsen, menguraikan terminologi pengakuan dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara. Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum. Tindakan politik mengakui suatu Negara. Berarti Negara mengakui berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah prosedur yang dikemukakan di atas yang ditetapkan oleh hukum internasional untuk menetapkan fakta Negara dalam suatu kasus konkrit. Relevansi antara hak penguasaan negara atas sumber daya alam dengan hak masyarakat hukum adat selanjutnya dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UUPA. Konsideran UUPA bahkan meneguhkan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Lebih lengkap mengenai perumusan pasal dimaksud dicantumkan berikut ini: Pasal 2. (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk 46
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 3. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pasal 4 Atas Dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum 47
Melalui perumusan yang demikian, UUPA menerapkan pengakuan bersyarat. Kedudukan masyarakat hukum adat dan hak ulayat digantungkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bertalian dengan itu, ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 juga dimaknai eksistensi masyarakat hukum adat diakui dan dijamin namun kondisional, karena terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi yaitu; syarat pertama “sepanjang masih hidup”, syarat kedua, “sesuai dengan perkembangan masyarakat”, syarat ketiga “prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, syarat keempat “yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa hak ulayat harus benar-benar masih ada dan tidak diberikan peluang untuk menimbulkan kembali hak-hak tersebut, jika secara faktual dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Keberadaan hak ulayat harus diikuti dengan hubungan antara tanah dan masyarakat. Dengan demikian, selama tanah ulayat tersebut ada harus dimanfaatkan oleh warga masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dan mempunyai hubungan erat antara tanah dengan masyarakat hukum adat. Sedangkan yang dimaksud masyarakat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau karena keturunan yang dikenal dengan berbagai nama setiap daerah. Berkaitan dengan pengakuan bersyarat ini, Koesnoe berpendapat bahwa: Pembuat undang-undang
berpandangan negatif terhadap hukum adat, sebagai peryataan yang
timbul dari penglihatan bahwa hukum adat tidak selalu akan sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Dalam hal bertentangan dengan kepentingan tersebut, maka hukum adat harus dikesampingkan. 45 Seturut dengan itu, beberapa kalangan menilai bahwa hukum adat di dalam UUPA bukan lagi hukum adat yang selama ini diperkenalkan oleh Van Vollenoven dan Ter Haar. hukum adat dalam UUPA disebut “hukum adat baru” (Saleh Adiwinata), “hukum adat yang sudah disaneer” (Budi Harsono), “hukum adat yang sudah disempurnakan” (Sudargo Gautama), “hukum adat yang sudah tambah dan berubah” (Ko Tjay Sing), “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional” (Suhardi). Karena itu, menurut Sunaryati Hartono sekalipun di dalam konsiderans dan Pasal 2, dan Pasal 3 45
Iman Sudiyat, Op Cit, hal. 95.
48
UUPA berdasarkan hukum adat, namun jika ditilik teryata UUPA baik dalam undangundangannya maupun dalam pelaksanaannya, justru menunjukan
penyimpangan-
penyimpangan.”46 Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa pada satu sisi, UUPA secara tegas menyatakan bahwa hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat, yang merupakan konteks sosiol kultural lahirnya hukum adat tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas yang sulit dipenuhi masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Masyarakat hukum adat ini mempunyai kewenangan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah atas suatu wilayah tertentu yang disebut hak ulayat.
Hak ulayat dalam kepustakaan disebut beschikkingsrecht,
adalah konsep yang bersumber pada aspek kebudayaan pada masyarakat melayu. Menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecendrungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Tokoh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat
sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideology, ekonomi politik, budaya dan social yang khas. Pengertian tersebut selaras dengan isi Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 yang merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di Negaranegara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarkat lai dinegara tersebut, dan statusnya diatur, baik
46
Ibid.
49
seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi hukum adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.47 Wujud konkrit kepedulian pemerintah terhadap masyarakat hukum adat, bahwa dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 2 ayat (9) yang mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan RI. Pengakuan ini juga diatur dalam bagian pemerintahan desa Pasal 203 ayat (3) bahwa pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan pemerintah. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat harus dilakukan oleh pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan itu harus dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi. Menurut Maria Sumardjono dalam Ade Saptomo (2010:15), kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan eksistensi masyarakat hukum adat adalah:48 1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; 2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat; 3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatanperbuatan hukum. Persyaratan tersebut diatas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatu komunitas 47
Husen Alting, Dinamika hukum dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat atas tanah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal. 31. 48 Ade Saptomo, Op Cit, hal. 15.
50
dikatakan bukan masyarakat hukum adat, tapi membantu para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat beserta hak-haknya. Persoalan empiris yang berkepanjangan menjadikan masyarakat hukum adat menjadi perhatian dalam konstitusi pasca amandemen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” Seterusnya, ketentuan Pasal 28I ayat (3) mengukuhkan kembali menentukan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat selama ini terkendala oleh kriteria yang sangat sulit diterapkan pada kelompok-kelompok masyarakat hukum adat yang sebagian besar sudah mengalami perubahan sosial budayanya. Selain itu penentuan batas antara tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lain berpotensi menyulut konflik.49. Tata cara penetapan keberadaan masyarakat hukum adat diatur melalui Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999, namun masih sangat sedikit peraturan Daerah yang terbit dalam rangka mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya. Dalam perjalanan waktu (52 tahun UUPA) ternyata masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru bertambah dalam kompleksitasnya. Dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang merupakan pelaksanaan UUPA ataupun peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksanaanya. Sebagaimana dimaklumi, UUPA sebagai satu karya yang terbit tahun 1960 untuk kebutuhan yang mendesak , baru mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Hal ini adalah kekurangan UUPA, karena ruang lingkup pengaturan UUPA tidak sesuai dengan judulnya, bahwa istilah agraris seharusnya menunjuk pada obyek pengaturan yang lebih luas yakni segala sesuatu yang meliputi/berkenan dengan bumi,
inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
struktur pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
49
Iman Santoso, Bagaimana sebenarnya kita menghormati Hak Masyarakat Hukum Adat, Buletin triwulan Kabar Sanggabuana, Edisi khusus, 2007, hal. 23.
51
Pengamatan terhadap berbagai kebijakan yang diterbitkan dalam dasawarsa terakhir semakin memperlihatkan adanya kecendrungan untuk memberikan berbagai kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian kecil masyarakat yang belum diimbangi dengan perlakuan yang sama bagi kelompok masyarakat yang terbanyak. Perwujudan keadilan sosial di bidang pertanahan sebenarnya dapat dilihat pada prinsip-prinsip UUPA yakni: prinsip Negara menguasai, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya dan prinsip nasionalitas. Pasal 9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan yang menyatakan bahwa tiap WNI baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya. Masalahnya adalah apakah kemauan politik pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA telah dipahami secara benar dan dilaksanakan secara bertanggung jawab? Sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat, dan dalam pengertian hak bersama itu terdapat dua hak yang diakui, yaitu hak kelompok (hak bersama) dan hak perorangan. Kewenangan Negara terhadap sumber daya tanah terbatas pada kewenangan pengaturan. Pengaturan oleh Negara diperlukan ketika terdapat kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan Negara akan terjadi ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya tanah oleh masyarakat. Negara tidak perlu melakukan intervensi bila masyarakat telah dapat menyelesaikan masalah atau kepentingannya sendiri dan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan atau pihak lain. Kewenangan mengatur oleh Negara tidak tak terbatas, tetapi dibatasi oleh dua hal yaitu: 1. Pembatasan oleh UUD. Pada prinsipnya hak-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD. 2. pembatasan oleh tujuannya, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial. Hubungan antara Negara dengan rakyat bukan hubungan subordinasi, tetapi hubungan yang setara karena Negara memperoleh hak menguasai dalam kedudukannya sebagai wakil dari seluruh rakyat. Dan sesuai dengan prinsip HAM, maka apa yang menjadi hak setiap
52
orang merupakan kewajiban bagi Negara untuk memenuhinya, sebagaimana ditampilkan pada tabel 2. Tabel 2: Pembatasan kewenangan, hubungan negara dengan rakyat dan kewajiban negara atas sumber daya tanah No. 1
2
Pembatasan kewenangan
Hubungan Negara dengan Rakyat
Kewajiban Negara
UUD 1945 Pada prinsipnya hak-hak yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD. Tujuan yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial.
setara
imperatif
Penjamin hak perseorangan dan kelompok
Pemenuhan hak
Kebijakan umum pengelolaan pertanahan merupakan penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara tersebut memberi wewenang kepada Negara, yang dilandaskan oleh Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan. UUPA yang sejak awal berciri populis sebagaimana tampak dalam prinsip-prinsip dasarnya, dalam perjalanan waktu mengalami berbagai tantangan seiring dengan pergeseran kebijakan pertanahan yang terwujud dalam berbagai peraturan pelaksanaan UUPA atau sebaliknya karena belum terbitnya peraturan pelaksanaan
terkait karena
berbagai pertimbangan atau hambatan. Sebagaimana dimaklumi, kebijakan agraria sekarang ini yang berorientasi pada pertumbuhan ekonbomi telah berakibat pada terjadinya perubahan persepsi terhadap fungsi tanah. Hal ini didukung dengan perubahan kebijakan pertanahan (prorakyat menjadi prokapital) yang terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemerataan hasil pembangunan, dalam hal ini berarti bahwa semakin sulit untuk mewujudkan keadilan sosial. Berbagai fenomena yang mendukung konstatasi tersebut adalah: a. Tanah difungsikan sebagai mekanisme akumulasi modal yang berakibat terhadap terpinggirkannya hak-hak pemilik tanah pertanian. 53
b. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, nilai tanah hanya dilihat berdasarkan nilai ekonomisnya (tanah sebagai komoditas), nilai-nilai non ekonomis menjadi diterabaikan. c. Perubahan fungsi tanah: tanah sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi dan alat spekulasi/akumulasi modal. d. Globalisasi ekonomi mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat hukum adat/tradisional/local terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah. e. Tanah tidak diperhitungkan sebagai strategi pembangunan, akan tetapi hanya dijadikan obyek untuk berlangsungnya berbagai kegiatan pembangunan, hal ini dapt diamati dari
ekses keluarnya Keppres 15 tahun 1993 yang telah diubah
dengan Perpres 65 tahun 2006. Dari
tahun ke tahun, mulai tanggal 24 September 1960 bersamaan dengan
terbitnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, pengakuan tentang
eksistensi hak ulayat yang termuat dalam Pasal 3 UUPA masih disikapi dengan sikap pembuat kebijakan yang ambivalen. Di satu pihak, peraturan perundang-undangan nasional mengakui eksistensi hak ulayat, di lain pihak ada semacam keraguan yang menghambat diwujudkannya kehendak politik yang tersurat dalam Pasal 3 UUPA tersebut dalam suatu peraturan pelaksanaan. Sikap ambivalen itu didasari pada interpretasi historis Pasal 3 UUPA. Menurut sejarah pembentukan UUPA, UUPA memang tidak bermaksud untuk mengatur lebih lanjut tentang hak ulayat karena hal itu dapat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya (Boedi harsono, 1997). Padahal, hak ulayat akan semakin melemah melalui proses alamiah, yakni dengan menjadi semakin kuatnya hak-hak perseorangan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan. Pemikiran dengan dasar historis tersebut di atas patut dipertanyakan validitasnya dikaitkan dengan perkembangan keadaan dan kenyataan empiris selama ini. Apakah bila pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat dituangkan dalam suatu peraturan perundangundangan, secara otomatis akan berakibat terhadap timbulnya tuntutan/klaim terhadap keberadaan berbagai hak ulayat? Apakah tidak seharusnya disikapi bahwa pada saat timbul tuntutan/klaim, apapun alasan pendorongnya, bila terdapat tolok ukur berdasarkan 54
peraturan perundang-undangan tentang pengakuan hak ulayat, maka tuntutan itu dapat dicarikan jalan keluarnya secara adil karena ada kepastian hukum yang menjadi dasarnya. Di samping itu suasana reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang cukup berarti, minimal pada tataran konstitusi dan paradigma baru dalam memposisikan masyarakat hukum adat yang selama ini dimarjinalkan. Perubahan tersebut diawali dengan ketentuan pengakuan terhadap kearifan lokal dalam ketentuan UUD 1945, yaitu melalui perubahan UUD 1945. Pada Perubahan UUD 1945 ditentukan bahwa Negara mengakui dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat
hukum
adat
beserta
hak-hak
tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan bangsa, masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 perubahan ke dua. Penghormatan dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat sebagai hak asasi manusia secara implicit juga diatur dalam Pasal 281 ayat (3) UUD 1945 (hasil perubahan ke dua UUD) bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Sedangkan pada hasil perubahan ke empat UUD 1945, dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharan dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 di atas, pengakuan hak masyarakat adat dan akses terhadap sumberdaya alam (tanah) juga dapat dilihat pada Konvensi internasional. Hasil Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 169 mengenai bangsa Pribumi dan masyarakat Aadat di Negara-negara merdeka (indigenous and Tribal People Concention), yang mulai berlaku tanggal 5 September
2001, menetapkan bahwa pemerintah wajib menghormati
kebudayaan dan nilai-nilai spiritual masyarakat asli yang mereka tempati atau gunakan. Bagian lain konvemsi tersebut menetakan: 1. Pengakuan hak kepemilikan dan barang milik masyarakat yang peduli terhadap tanah yang bekerja secra tradisional dan juga akan diambil langkah tepat untuk melidungi hak masyarakat yang peduli penggunaan tanah yang merupakan akses bagi kehidupan dan aktivitas tradisional mereka. Perhatian khusus akan diberikan pada keadaan dimana masyarakat dan petani yang berpindah-pindah. 55
2. Pemerintah akan mengambil langkah untuk mengidentifikasi lahan yang dikerjakan masyarakat dan menjamin perlindungan yang efektif bagi hak kepemilikan. 3. Ditetapkan prosedur yang memadai dalam sistem hukum warga Negara, untuk menyelesaikan klaim warga atas tanah. Rekomendasi International Convention on The Elimination of All Forms Discrimination (CEDAW) menentukan bahwa “setiap pihak wajib mengakui dan melindungi hak penduduk asli untuk memiliki dan menggunakan lahan komunal mereka……” pertimbangan dari hasil konvensi tersebut bahwa masyarakat asli yang dengan cara-cara tradisional telah menghuni suatu kawasan dan memanfaatkannya, berhak untuk melanjutkan hubungan mereka dengan lahan dan sumber daya yang ada di dalamnya. Untuk menjamin pelaksanaan isi konvensi ini, tanggung jawab dibebankan kepada pemerintah (anggota ILO peratifikasi Konvensi), yakni untuk mengembangkan, mengkoordinasi dan mengambil tindakan sistematis dalam rangka melindungi hak-hak bangsa pribumi dan masyarakat adat, dan menjamin pengakuan terhadap integritas mereka (Pasal 2). Tindakan yang dimaksud hendaknya mencakup langkah-langkah berikut:50 a.Memastikan bahwa anggota-anggota bangsa pribumi dan masyarakat adat mendapatkan keuntungan berdasarkan hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama dengan anggota penduduk lainnya sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan nasional. b. Memajukan realisasi sepenuhnya atas hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya bangsa pribumi dan masyarakat adat berdasarkan identitas budaya dan sosial, adat dan tradisi serta lembaga-lembaga mereka; dan c. Membantu anggota masyarakat yang bersangkutan untuk menghapuskan kesenjangan social-ekonomi yang mungkin terjadi diantara masyarakat adat dan penduduk lainnya yang juga tinggal di satu Negara, dengan cara yang sesuai dengan aspirasi dan cara hidup mereka (Pasal 2) Berkaitan dengan pengaturan mengenai tanah, konvensi mewajibkan agar pemerintah menghormati kepentingan khusus dari nilai-nilai budaya dan spiritual yang 50
Husin Alting, Op Cit, hal. 10.
56
berlaku dikalangan bangsa pribumi dan masyarakat adat, berkenaan dengan hubungan mereka dengan tanah atau wilayah kekuasaan mereka (Pasal 13 ayat (1)). Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang harus dihormati pemerintah tersebut, konvensi kemudian menegaskan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak bangsa pribumi dan masyarakat adat atas tanah (Pemilikan dan penguasaan kolektif), sumber daya alam, dan keharusan adanya persetujuan dari masyarakat adat apabila akan dilakukan pemindahan terhadap mereka. Pengaturan hak-hak masyarakat adat dengan segala rencana implementasinya dalam UUD 1945 dan Konvensi Internasional dapat menghapus kekhawatiran tentang adanya upaya pembatasan penghidupan kembali hak masyarakat adat. Menurut Boedi Harsono, walaupun demikian, dalam konteks Indonesia, pengakuan hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat), terlebih dahulu harus dilakukan pengkajian mendalam terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Sebagai implementasi dari ketentuan dalam UUD 1945 dan konvensi ILO, dan dalam rangka melakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini membelenggu penguasaan tanah, agar dapat memberikan penghidupan dan keadilan agraria bagi masyarakat, maka MPR pada tanggal 9 November 2001 mengeluarkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan agraria dan pengelolaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan
dengan
penataan
kembali
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Secara idiologis, UUPA merupakan pencerminan tekad dan kemauan bangsa Indonesia yang sepenuhnya untuk melindungi hak masyarakat atas tanah, secara normative telah memberikan pengaturan meskipun dengan persyaratan, namun tataran implementasi mengalami banyak hambatan secara poltik, ekonomi maupun social. Telah banyak peraturan yang secara hierarkhis ada di bawah UU yang diterbitkan, namun belum terlihat keberhasilan dari harapan tersebut secara utuh. Bahkan peraturan pelaksana tentang keagrariaan selama ini belum memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya. Konsepsi hukum tanah 57
adat adalah konsepsi asli Indonesia yang tertitik tolak dari keseimbangan antara kepentingan bersama dan kepentingan perseorangan. Sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-tanah di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan, dusun) yang meliputi tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanah-tanah yang belum dikuasai dan dipergunakan oleh warga setempat. Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-tanah hak secara yuridis dikonversi menjadi salah satu hak bab menurut UUPA, sedangkan terhadap tanah-tanah ulayat termasuk tanah Negara yang tercakup dalam lingkup hak bangsa Indonesia atas tanah. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat, bukan orang-perorangan. Hak ulayat ini disertai wewenang dan kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dalam kepustakaan hukum adat, hak ulayat disebut dengan nama “beschikkingsrecht”. Menurut Maria SW Sumardjono, dengan semakin meningkatnya kebutuhgan akan tanah untuk keperluan pembangunan, sementara tanah Negara dapat dikatakan hampir tidak tersedia lagi, isu tentang eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Paling tidak dapat dikatakan ada dua pandangan/sikap mengenai isu tersebut, yakni di satu pihak terdapat kekhawatiran bahwa hak ulayat yang semula sudah tidak ada kemudian dinyatakan hidup lagi. Dan di pihak lain, ada kekhawatiran bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak, hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh Pasal 3 UUPA.51 Berdasarkan Pasal 3 UUPA terhadap hak ulayat yang masih ada diakui eksistensinya oleh UUPA sepanjang hak ulayat itu masih hidup. Sementara itu, pelaksanaannya dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta kepentingan pembangunan yang diselenggarakan dewasa ini. Selain diatur dalam UUPA, beberapa peraturan yang juga mengatur masalah hak ulayat antara lain terdapat dalam undang-
51
Maria Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Kompas, 2006, hal 54.
58
undang tentang kehutanan, Keputusan Presiden tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum,, instruksi presiden tentang sinkronisasi pelaksanaan bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi, dan pekerjaan umum, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat hukum adat. Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut bermaksud untuk melindungi hak ualayt/hak masyarakat hukum adat termasuk hak ulayat/tanah adat. Akan tetapi apabila ditelaah kembali, terdapat ketidakjelasan dalam perngaturan-pengaturan mengenai hak ulayat yang menimbulkan berbagai
penafsiran yang tidak memadai dengan tujuan
perlindungan tanah-tanah hak tersebut. Bahkan, dalam implementasinya, seringkali kelemahan atas ketidakjelasan tersebut digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
3.Harmonisasi hukum masyarakat hukum adat
dan Kebijakan pertanahan kaitannya dengan hak
Untuk mewujudkan tujuan hukum (kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran) dan tujuan dibentuknya UUPA, maka hendaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan sektor pertanahan memiliki harmonisasi hukum guna menghindari saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah pusat maupun pusat dan daerah. Hal ini diperlukan mengingat peraturan perundangundangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945, politik desentralisasi dan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang belum berbasis HAM. Munculnya
konflik
pertanahan
selama
ini
tidak
lain
karena
terjadi
ketidakharmonisan diantara peraturan perundang-undangan. Cukup banyak undang-undang sektoral yang mengatur komersialisasi sumber-sumber agraria. Peraturan Perundangundangan sektoral tersebut secara substansial bertentangan jiwanya dengan UUPA. Jadi secara bersamaan telah dikonstruksikan bangunan hukum baru yang berfungsi sebagai buldoser eksploitasi sumber-sumber agrarian, sementara UUPA tetap dibiarkan hidup tanpa eksistensi dan kekuatan.
59
Faktor kebijakan lain yang membuat konfigurasi kebijakan sumber daya agrarian bertambah kompleks adalah rujukan kebijakan sumber daya agrarian tidak lagi pada undang-undang di atas tetapi lebih banyak pada kebijakan yang lebih rendah berupa Surat Keputusan Menteri, Surat edaran, maupun Peraturan pemerintah yang kerap tumpang tindih. Misalnya izin lokasi yang dikeluarkan pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) dengan sandaran keputusan menteri Dalam Negeri/Kepala BPN Np. 2/ 1999, ternyata merupalan salah satu titik rawan konflik pertanahan yang bersifat massal belakangan ini. Izin lokasi, yang secara normatif, seharusnya tidak bertentangan dengan rencana tata ruang daerah, ternyata sangat mudah diperjualbelikan. Bahkan izin lokasi dapat dikeluarkan untuk lokasi yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam tata ruang sebagai daerah hunian. Dalam perjalanan waktu, berbagai peraturan perudang-undangan sektoral yang terbit setelah UUPA juga memuat ketentuan tentang hak ulayat, namun esensi pengakuannya berbeda. Dalam konsep hukum pertanahan nasional, tanah ulayat dipandang sebagai satu entitas tersendiri berdampingan dengan tanah Negara dan tanah hak (tanak yang dilekati dengan sesuatu hak atas tanah oleh orang perorangan atau badan hukum), sebaliknya menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adat dimasukkan sebagai bagian dari hutan Negara. Dalam era reformasi, perkembangan adopsi pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak adat dalam peraturan perundang-undangan antara lain: UUD 1945 perubahan Kedua (Tahun 2000), TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentan pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas 2000-2004), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di samping berbagai undang-undang tersebut di atas, perlu diperhatikan bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala BPN Nomor 5 Tahun 60
1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat hukum adat yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan menteri ini secara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat hukum adat berdasarkan keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya.
61
BAB IV ANALISIS HUKUM SUMBER DAYA KEHUTANAN DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A. Analisis hukum pengelolaan sumber daya alam sektor kehutanan dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat 1. Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber Daya Hutan Pasal 18B ayat (2) (Amandemen Kedua) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindunginya. Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat dan upaya-upaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di NegeraNegara Merdeka. Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga belum menjadi hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). Instrumen kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional (walaupun tidak 62
secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi "ruang hidup" bagi masyarakat adat, misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya. Yang paling penting dari semua itu bahwa saat ini PBB sedang merumuskan (masih draft) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples). Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan maraknya konflik atas sumber daya hutan antara masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat pemerintah. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 (tiga) dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Kawasan hutan yang saat ini dalam kondisi yang rusak berat ternyata dari aspek sosial ekonomi (Social Economy) belum dapat dirasakan manfaatnya bagi sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat khususnya masyarakat sekitar hutan yang telah secara turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan. Di sisi lain masyarakat yang masih tetap miskin dan yang tidak memiliki hak baik secara yuridis maupun ekonomis ini masih dituntut peran sertanya untuk berkorban dalam menyelematkan hutan.
63
Kebijakan tentang kehutanan saat ini tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal kehutanan. Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis melalui analisis hukum tentang sinkronisasi undang-undang dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat di Sektor Kehutanan. Dalam rangka analisis hukum tentang sinkronisasi undangundang dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat adat di sektor kehutanan dilakukan melalui tahapan: 1. Landasan Hukum Hak-hak masyarakat adat sektor Kehutanan atas Sumber daya alam. 2. Sinskronisasi undang-undang sektor kehutanan dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat adat. 3. Rekonstruksi politik hukum harmonisasi hukum peraturan perundang-undangan bidang sumber daya alam sektor kehutanan yang mencakup aspek kewajiban, tanggung jawab, hak dan relasi negara, masyarakat hukum adat dan swasta atas pengelolaan sumber daya alam berbasis HAM.
2.Landasan Hukum Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. Pasal ini merupakan hasil amandemen kedua dari UUD 1945. b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 (Lembaran Negara 1999 Nomor 167) Tentang Kehutanan Undang-undang ini diundangkan pada
30 September 1999 dan merupakan 64
pengganti atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan. Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam undang-undang ini adalah bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat; bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) ditetapkan bahwa Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Dalam Pasal 37 disebutkan ayat (1), pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya, ayat (2), pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) dijelaskan bahwa terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan. Sedangkan dalam Pasal 67, ayat (1) ditetapkan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut 65
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak; pertama, melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; kedua
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan ketiga mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diakui apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dijelaskan pada penjelasan ketentuan Pasal 67 ayat (1) yaitu: pertama masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); kedua ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ketiga
ada
wilayah
hukum
adat yang jelas; keempa tada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan kelima masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan dalam penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat
c. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 86) Dalam bagian menimbang pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut.
Bahwa hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam
berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakuknya undang-undang tersebut.
d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini merupakan Pembaruan terhadap undang-undang pengelolaan lingkunan hidup sebelumnya yaitu undang-undang nomor: 23 tahun 1997 tentang Pengelolaaan Lingkungan hidup. Dari aspek penamaan undang-undang ini yang semula 66
“Pengelolaan
Lingkungan
Hidup”
menjadi
Undang-undang
“Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan hidup” terkandung suatu semangat untuk lebih mengutamakan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia. Hal ini tergambar dari konsideran dalam undang-undang ini yaitu otonomi
daerah
Republik
Indonesia
dalam telah
Pemerintah dan pemerintah
penyelenggaraan
membawa daerah,
pemerintahan
semangat
Negara
Kesatuan
perubahan hubungan dan kewenangan antara termasuk
di
bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam
kelangsungan perikehidupan
manusia
dan
makhluk
hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan dan pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan
perubahan
sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena dilakukan
perlindungan
itu
iklim perlu
dan pengelolaan lingkungan hidup.
e.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034). Dalam Pasal 2 ayat 4 (UUPA), Hak menguasai dari negara tersebut di
atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan – ketentuan peraturan pemerintah. Dengan demikian hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari pendelegasian wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Walaupun dalam masyarakat hukum adat diposisikan sebagai bagian subordinat dari negara, dengan pernyataan Pasal 2 ayat 4 ini membuktikan bahwa keberadaan masyarakat adat tetap tidak dapat dihilangkan. Sedangkan Pasal 3, menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Lebih lanjut dalam Pasal 5 UUPA menentukan hukum adat menjadi dasar bagi pembuatan hukum agraria.
67
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity) Dalam ketentuan Pasal 8 mengenai konservasi ini dalam huruf j dikatakan bahwa ;…
menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan
praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya Dalam pasal 15 butir 4 dikatakan; adapaun Akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).
g.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Repulbik Indonesia Nomor 3886). Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk
melindungi dan
menghormati masyarakat hukum adat beserta aturan- aturan yang ada dan wilayah hukumnya.
h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Repblik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 butir 5 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Sementara menurut Butir 12 disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara 68
Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dengan dikeluarkannya Undang-undang ini maka Pemerintah Daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dalam rangka pengelolaan hutan adat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah Derah untuk mendukung keberadaan hutan adat antara lain: 1. Inventarisasi daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat. 2. Melakukan pengkajiann dan penelitian. 3. Menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). 4.
Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan wilayah masyarakat hukum adat sebagai hutan adat.
5. Pengaturan tentang masyarakat hukum adat dalam kerangka hukum yang sekarang ada pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Pengaturan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk Perda bagi wilayah yang memiliki masyarakat hukum adat dan adanya hak-hak ulayat yang melekat di dalamnya.
i. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa dalam rangka kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, keserasian,
penataan
keselarasan,
dan
ruang
diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan;
keseimbangan;
keberlanjutan;
keberdayaangunaan
dankeberhasilgunaan; keterbukaan;kebersamaan dan kemitraan; perlindngan kepentingan umum; kepastian hukum dan keadilan; dan akuntabilitas. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 2 yang dimaksud dengan: Pertama
”keterpaduan”
adalah
bahwa
penataan
ruang
diselenggarakan
dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kedua ”keserasian, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang dislenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotan dan kawasan pedesaan. Ketiga ”keberlanjutan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan 69
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepetingan generasi mendatang. Keempat ”keberdayagunaan dan keberhasilgunaan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalammnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas. Kelima”keterbukaan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
penataan ruang.
Keenam
”kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ketujuh ”kepastian ukum dan keadilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandasklan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruangdilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan
jaminan
kepastian
hukum. ruang
dapat
Kedelapan
”akuntabilitas”
dipertanggungjawabkan,
adalah baik
bahwa
penyelenggaraan
penataan
prosesnya,
pembiayaannya,
mapun hasilnya. Dalam Pasal 3, disebutkan bahwa penyelenggaran
penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: pertama terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; kedua terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
ketiga
terwujudnya
perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 3, disebutkan yang dimaksud dengan : Pertama
”aman adalah ituasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas
kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Kedua
”nyaman” adalah
keadaan masyarakat daoat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. Ketiga ”produktif” adalah proses produksidan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat,
sekaligus
meningkatka
daya
saing.
Keempat
”keberlanmjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. j. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaaan Kawasan Hutan 70
Peraturan Pemerintah ini diadakan dalam rangka Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang
Nomor
41
Tahun 1999 tentang
Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-ndang
Nomor
1
tentang
Tahun
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
2004
Kehutanan
Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Penggunaan kawasan Hutan menurut Peraturan ini adalah
penggunaan atas
sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Penggunaan Kawasan Hutan bisa bersifat komersial dan non komersial. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat nonkomersial adalah penggunaan kawasan hutan yang bertujuan tidak mencari keuntungan. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat komersial adalah
penggunaan
kawasan hutan yang bertujuan mencari keuntungan.
k. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah ini dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Menurut peraturan ini Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Selain itu disebutkan juga tentang Tukar menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan
71
adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan. l. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 dan diubah dengan Pertauran Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan pemerintah ini merupakan Peraturan pelaksana dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yaitu Pasal 22, 39, pasal 66, pasal 80. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. Izin usaha pemanfaatan kawasan adalah izin usaha memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan atau hutan produksi. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Hutan Desa adalah hutan Negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
m.Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Peraturan Pemerintah ini dibentuk dalam rangka untuk
melaksanakan ketentuan
Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah
tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. 72
Pasal 42
ayat (1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi
spesifik biofisik ayat (2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. (2) Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 45
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah. (2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. (3) Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. (4) Ketentuan lebih lanjut ebsagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
n. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Kota. Menurut Peraturan Perundang-undangan ini, Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon ang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengatur ayat (1) Untuk kepentingan Pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, 73
di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
o. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Permen ini merupakan peraturan pelaksanaan atas PP No. 6 tahun 2007 yang telah diubah dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan serta pemanfaatan hutan.
Permen ini dibuat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan Negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui hutan desa. Dalam Permen ini disebutkan bahwa masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau disekitar hutan, yang bermukim di kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Adapun, Hutan desa adalah hutan Negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani oleh hak.
B. EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM UNDANG-UNDANG SEKTORAL BIDANG KEHUTANAN DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK ATAS SUMBER DAYA ALAM Dalam Pola hubungan Peraturan Perundang-undangan
terjadi interaksi yang
dinamis antara perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan lainnya dan dalam proses interaksinya tersebut terikat dalam suatu hierarki (sistem pertingkatan) peraturan perundang-undangan. Membicarakan tentang konflik suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya baik secara vertikal maupun horizontal, maka kita terlebih dahulu harus memperhatikan
tentang hierarki perundang-undangan itu sendiri.
Salah satu instrumen hukum yang penting dalam rangka memberikan landasan tertib perundang-undangan adalah “Pengujian Peraturan Perundang-undangan” yang diharapkan nantinya akan memberikan arah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan itu sendiri”. Instrumen pengujian peraturan perundang-undangan ini dikenal dengan istilah Toetsingrecht dan Judicial Review. 74
Istilah Toetsingsrecht yang oleh Kleintjes sebagaimana dikutip oleh Sri Sumantri disebutkan ada 2 (dua) macam pengujian perundang-undangan yaitu: (1) hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan (2) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht)52 Hak menguji Formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti perundang-undangan telah dibentuk melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana yang telah ditentukan oleh Perundangan-undangan atau tidak. Sedangkan Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki adau menilai suatu perundangundangan telah sesuai atau bertentangan dengan peratutan yang lebih tinggi . Menurut Budiono Kusumohamidjoyo dalam Subaidi menyebutkan, dalam studi mengenai fungsi hukum maka hukum sekurang-kurangnya berfungsi untuk mencapai dua target utama yaitu “Ketertiban Umum” dan “Keadilan” Ketertiban sering digambarkan sebagai suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Ketertiban umum menyiratkan suatu kepantasan minimal yang diperlukan agar kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Ketertiban umum juga sering disebut “Keadaan damai, Kepastian hukum yang menggambarkan suatu keadaan masyarakat yang secara umum adalah tertib atau bukan sebaliknya. Hukum juga berfungsi untuk mencapai keadilan atau sebagai sarana untuk menegakan keadilan.53 Dalam menganalisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan maka peneliti akan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Penelitian tentang penguasaan dan pendayagunaan atas tanah kawasan hutan mengandung dimensi filsafat yaitu terletak pada peranan idea-idea (the role of ideas) yang mengandung nilai-nilai “kebenaran” dan “keadilan” yaitu peran Negara dalam meperjuangkan dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan social. Di sisi lain fungsi atau peranan hukum sebagai sarana untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat masih perlu adanya penjelasan secara teoritis dan perlu dikaji secara ilmiah. Kajian secara yuridis akan diawali dengan definisi Hukum Kehutanan. Hukum Kehutanan menurut Idris Al Mar dalam Salim Hs adalah serangkaian kaidah-kaidah dan norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan perundang-undangan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan. Sementara menurut Salim Hs Hukum Kehutanan adalah kumpulan kaedah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara
52 53
Sri Sumantri, Hak Menguji Materiial di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 27. Subadi, Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, Prestasi Pustaka Karya. hal. 16.
75
Negara dengan hutan dan kehutanan dan hubungan antara individu dengan hutan dan kehutanan.54 Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka hukum kehutanan bukan hanya secara tertulis tetapi juga yang tidak tertulis. Mengenai hukum kehutanan yang tidak tertulis ini menurut Salim Hs, disebut juga sebagai hukum adat mengenai hutan yaitu aturan-aturan hukum yang tidak tertulis yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat yang meliputi: (1) hak membuka tanah dihutan, (2) hak untuk menebang kayu, (3) hak untuk memungut hasil hutan, (4) hak untuk menggembalakan terak dan sebagainya.55 Pasal 1 Angka (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun jika kita perhatikan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, justru menyebutkan bahwa Pasal 1 huruf f disebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat adat. Dan hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 4 ayat (3) bahwa Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selanjunya dalam Pasal 5 ayat (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Jika kita telaah aturan-aturan dalam pasal–pasal tersebut dimanakah sebenarnya keberadaan hutan adat?. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 huruf f). Pernyataan dalam pasal ini jelas merupakan suatu pernyataan yang tidak mengakui status hukum hutan adat dan ini diperkuat lagi
54 55
Salim Hs. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan , Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 6 Ibid. hal 7
76
dengan Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Kehutanan yang menyatakan hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Walaupun dalam Pasal 37 Undang-undang Kehutanan yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pernyataan dalam pasal ini seolah memberikan hak pada masyarakat hukum adat untuk melakukan pemanfaatan hutan
namun jika kita kaji secara lebih
mendalam bahwa hutan yang dimaksud tetap saja merupakan hutan Negara sehingga pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat tersebut dianggap sebagai hutan negara bukan sebagai hutan adat. Kondisi ini menunjukkan bahwa seolah-olah Negara merupakan pemilik semua hutan dan adanya hutan adat hanya merupakan semacam “kebaikan hati” Negara terhadap masyarakat hukum adat. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 “(3) menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan UUPA. Pasal 1 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Artinya, bangsa Indonesialah yang menjadi pemilik dan sumber hak atas seluruh sumber daya agraria, termasuk hutan. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan Secara konstitusional, Undang-undang Kehutanan sebetulnya juga bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang- undang. Di samping itu, Undang-undang Kehutanan juga kurang memperhatikan Pasal 28 I Ayat (3) UUD, bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang merupakan hak asasi harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Konsepsi Undang-undang Kehutanan, status hutan hanya dibagi menjadi 2 (dua) yakni hutan negara dan hutan hak. Dengan perkataan lain, konsepsi ”hak ulayat” tidak dimasukkan ke dalam UUK, tetapi diistilahkan dengan ”hutan adat”, hutan adat tersebut, dimasukkan ke dalam bagian kategori ”hutan negara”. Konsekuensi dari hal tersebut adalah, tidak adanya pengakuan dari hutan adat di dalam Undang-undang Kehutanan, yang ada adalah hutan 77
hak dan hutan negara. Selain itu, disimpulkan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih ada, tetapi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat (hak ulayat), tidak diakui. Hal ini karena, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa, ”…hutan adat adalah hutan negara yang berada pada wilayah hukum adat…”. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, mencerminkan bahwa Undang-undang Kehutanan menganut paradigma pengelolaan hutan oleh negara yang sangat kental. Hal ini tercermin dari tidak adanya pengakuan terhadap hutan adat, sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang Kehutanan hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai statusnya. Sedangkan hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat. Ketentuan seperti ini memperlihatkan ketentuan ini sebagai ketentuan yang bersifatnya birokratik ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self determination). Selain itu, aspek lain yang terkait dengan masyarakat adat, yakni pengaturan mengenai kelembagaan pengelolaan hutan. Menurut Undang-undang Kehutanan, maka hanya Koperasi sebagai lembaga satu-satunya untuk dipilih oleh masyarakat dalam rangka mengembangkan perekonomiannnya melalui pengelolaan hutan. Tentunya peraturan seperti ini secara nyata mengabaikan keberadaan instutusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat adat/ lokal. Ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan ini menimbulkan dampak terjadinya ketidakadilan kepada rakyat. Pembangunan yang bermodalkan eksploitasi sumber daya alam tidak disertai dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat dan hak-hak masyarakat hukum adat. Pola relasi kekuasaan yang tidak setara dan seringkali disertai dengan intervensi pihak luar, telah meminggirkan masyarakat hukum adat dari prosesproses yang menentukan masa depan dan eksistensinya di negara ini. Pada banyak konflik penguasaan dan pengelolaan SDA yang ditemukan dalam komunitas-komunitas masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat dipaksa menghadapi lapisan tekanan 78
terhadap eksistensi dan relasinya dengan alam. Pertama, masyarakat adat harus berhadapan dengan tekanan dari pihak luar yang mengambil alih wilayah-wilayah dan hutan-hutan adat. Kedua, komunitas-komunitas masyarakat adat juga harus dihadapkan pada ketidakadilan dari kebijakan negara. Kebijakan-kebijakan negara yang ada sekarang ini tidak mengakui hak-hak masyarakat hukun adat atas kepemilikan wilayah, akses, pengelolaan dan kontrol terhadap sumber daya alam. Berbagai kebijakan yang ada justru memicu penghancuran secara besar-besaran, wilayah-wilayah masyarakat adat, kearifankearifan tradisional serta hutan-hutan adat. Pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 dan diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan penyusuanan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemnfaatan Hutan. Secara substansi Peraturan Pemerintah ini bertentangan peraturan perundangan yang lebih tinggi yakni peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah maupun UU No. 41 Tahun 1999. Karena semangat PP tersebut adalah eksploitasi, sehingga PP ini juga bertentangan dengan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf a Tap MPR ini menyatakan bahwa: “arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah melakukan pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.” Seharusnya sebelum mengeluarkan PP ini Pemerintah terlebih dahulu melakukan pengkajian ulang dan sinkronisasi terhadap peraturan sumber daya alam
dengan
mempelajari ulang ketentuan pokoknya, yakni UUPK, baru kemudian membuat aturanaturan pelaksanaannya. Pertentangan antara PP ini dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 dapat dikaji sebagai berikut: 1. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. (1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. (2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
79
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. (4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu. 2. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 mengatur tentang Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Kemudian kita perhatikan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 bahwa: Pasal 3 (1) Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Pasal 4 Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolalan hutan sebagaimana dimaksud pasal 2 kepada badan Usaha Milik Negara bidang kehutanan. Dari ketentuan tersebut maka Kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dapat dilimpahkan pada Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kehutanan dan memberikan kewenangan pada BUMN. Hal ini bertentangan dengan Ketentuan Pasal 21 dan 22 serta 23 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Seharusnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat(3) bahwa dalam PP ini harus memberikan akses pada masyarakat hukum adat untuk turut serta dalam Pengelolaaan dan Pemanfaatan Hutan. Dalam hal ini Hukum telah disalahgunakan menjadi hanya sebagai instrumen untuk mengambilalih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Begitu Juga dalam Pengaturan dalam Pasal tentang Subyek Pemegang Izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 bahwa:
80
(1) IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan) dapat diberikan kepada: a. perorangan; dan b. koperasi. (2) IUPJL (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan )dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi; c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia; d. Badan Usaha Milik Negara e. Badan Usaha Milik Daerah. (3) IUPHHK (Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu) dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia; d. Usaha Milik Negara e. Badan Usaha Milik Daerah. (4) IUPHHK
pada HTI dalam Hutan tanaman dapat diberikan kepada:
a.
perorangan; b. koperasi; c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia; d. Badan Usaha Milik Negara e. Badan Usaha Milik Daerah. (5) IUPHHK
pada HTR dalam Hutan tanaman dapat diberikan kepada:
a.
perorangan; b. koperasi; (6) IUPHHK pada HTHR dalam Hutan tanaman dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi; c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia; d. Badan Usaha Milik Negara e. Badan Usaha Milik Daerah. (7) IUPHHBK dalam Hutan Alam atau Hutan tanaman pada hutan produksi dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi; c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia; d. Badan Usaha Milik Negara e. Badan Usaha Milik Daerah. (8) IPHHK dalam Hutan alam pada hutan produksi dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi; (9) IPHHBK dalam hutan alam pada hutan produksi dapat diberikan kepada: a. perorangan; b. koperasi; (10) IPHHBK dalam Hutan tanaman pada hutan produksi dapat diberikan kepada : a. perorangan; b. koperasi; Dalam aturan tersebut dapat dilihat bahwa aturan ini tidak memberikan akses bagi masyarakat hukum adat untu turut serta dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Dari aturan tersebut maka tidaklah mengherankan jika negara beranggapan bahwa hutan-hutan adat merupakan milik negara sehingga dapat digunakan (dieksploitasi) sebesar- sebesarnya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Sementara, Departemen Kehutanan 81
telah gagal memenuhi harapan masyarakat adat untuk menjadi pelindung bagi hutan-hutan adat yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat hukum adat dan rakyat Indonesia umumnya. Selain itu, ancaman besar berikutnya terhadap keberlanjutan hutan-hutan adat di Indonesia di masa datang adalah issue-issue perubahan iklim yang sedang menggelisahkan dunia. Pembangunan yang bermodalkan eksploitasi Sumber Daya Alam tidak disertai dengan pengakuan terhadap Hak-Hak Rakyat dan Hak-Hak Masyarakat Adat. Pola relasi kekuasaan yang tidak setara dan seringkali disertai dengan intervensi pihak luar, telah meminggirkan Masyarakat Adat dari proses-proses yang menentukan masa depan dan eksistensinya di negara ini. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat secara jelas menyebutkan tentang berbagai hak kolektif yang dimiliki Masyarakat Adat. Tetapi Dekalarasi PBB ini menghadapi tantangan besar dalam penerapannya di Indonesia, selama model pengelolaan negara terhadap sumber-sumber daya masih seperti yang ada saat ini. Dalam aturan tersebut tidak memberikan akses terhadap hak masyarakat hukum adat untuk turut serta dalam usaha pemanfaatan kawasan hutan seharusnya dalam pasal tersebut pada setiap ayat ditambahkan masyarakat hukum adat sebagai subyek pemegang izin pemanfaatan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan. Sementara menurut Charles V. Barber dalam Subadi menyebutkan bahwa hak menguasai dari Negara pada dasarnya merupakan cerminan dari artikulasi nilai, norma dan konfigurasi hukum Negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.56 Sementara menurut Nancy L. Peluso masih dalam Subadi menyebutkan bahwa “hak menguasai dari Negara merupakan suatu ekspresi dari ideologi yang memberi otoritas dan legitimasi kepada Negara untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam wilayah kedaulatan Negara.57 Dan hak Menguasai dari Negara ini sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dalam pasal 33 ayat 3 harus semata-mata demi kemakmuran Rakyat. Ternyata kawasan hutan yang secara yuridis dikuasai oleh Negara yang harus dilaksanakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat ini secara fisik hak penguasan hutan ini kemudian dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dikuasai oleh pihak-pihak lain (BUMN, BUMD, dsb.) tanpa
56
Op.cit. hal. 74 Ibid.
57
82
menyertakan atau memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat yang ada atau bermukim secara turun temurun di kawasan hutan. Menurut teori tentang kekuasaan Negara dalam Miriam Budiardjo menyebutkan sebagai organisasi yang memiliki wilayah, Negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menentapkan tujuantujuan dari kehidupan bersama. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh Negara itu sendiri, sehingga Negara mempunyai tugas: 1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asocial yakni yang bertentangan satu dengan lainnya supaya tidak terjadi antagonism yang membahayakan; 2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara yang akan menentukan bagaimana kegiatan asosial-asosial kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.58 Selanjutnya masih dalam Miriam Budiardjo dijelaskan bahwa Negara memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada Negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya dan sifat tersebut adalah: 1. Sifat memaksa; agar peraturan perundang-undangan dapat ditaati dan penertiban dalam masyarakat dapat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah maka Negara memiliki sifat memaksa, dapat menggunakan kekuatan fisik secara legal; 2. Sifat monopoli; Negara memonopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat; 3. Sifat mencakup semuanya; Peraturan perundang-undanga berlaku untuk semua orang tanpa kecuali dan setiap orang tidak dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas Negara, karena usaha kearah masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.59 Bahwa dalam persfektif konsep hak asasi manusia, dalam hal hubungan negara dengan warganya, rakyat berposisi sebagai pemegang hak (right holder), sementara di sisi 58 59
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Jakarta, 1983, hal. 38-39. Ibid, hal. 40-41
83
lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder). Dimana kewajiban negara yang mendasar adalah melindungi dan menjamin hak asasi warganya (rakyat). mengupayakan pemenuhan secara positif atau menjamin akses masyarakat hukum adat atas hutan adat untuk segala kebutuhan hidupnya. Artinya rakyat dalam hal ini masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak. Jadi secara konstitusional, sama sekali tidak beralasan bagi Negara untuk memberikan pelimpahan pengelolaan hutan kepada sektor privat dengan mengabaikan hak masyarakat hukum adat.(Pasal 27 UU No.41 Tahun 1999 dan Pasal 67 PP No. 6 tahun 2007). Bahwa hak asasi manusia dalam disiplin hak asasi manusia diberi posisi sebagai "guaranted constitusional right". Hak asasi menjadi hak konstitusional. Karenanya, hak asasi bukanlah "regulated rights", yang pemenuhannya undang atau
tergantung
pada
Undang-
Peraturan Pemerintah belaka. Hak asasi mengandung nilai-nilai universal,
tidak boleh diderogasi, dilimitasi, dihilangkan sebagian dan/atau seluruhnya, termasuk lewat perundang-undangan yang berlaku di sebuah Negara, apalagi jika hak tersebut dipersyaratkan melalui Perda (Pasal 67 UU No.41 Tahun 1999)60. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat aturan pokok tentang Kehutanan yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 1 Butir f bahwa hutan adat adalah hutan Negara berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Maka Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 dan PP beserta Permennya ini menjadi modal dasar pengerukan wilayah-wilayah dan hutan-hutan adat di Indonesia. Negara beranggapan bahwa hutan-hutan adat merupakan milik negara sehingga dapat digunakan (dieksploitasi) sebesar-sebesarnya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Sementara, Departemen Kehutanan telah gagal memenuhi harapan masyarakat hukum adat untuk menjadi pelindung bagi hutan-hutan adat yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat dan rakyat Indonesia umumnya. Berbagai bentuk praktek perijinan yang dikeluarkan ternyata tidak menguntungkan negara, justru sebaliknya negara mengalami kerugian yang begitu besar sebagai akibat dari dikeluarkannya izin-izin ini. Terjadi berbagai penyelewengan dalam penggunaan izin60
Pasal 67 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: ayat (1) masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannnya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat bersangkutan . b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang beraku dan tidak bertentangan dengan undang undang dan. ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan PERDA.
84
izin ini yang memperparah kerusakan hutan dan memicu terjadinya berbagai bentuk bencana ekologi. Sementara, dana-dana yang dianggarkan untuk rehabilitasi hutan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi pengrusakan hutan ini, masyarakat hukum adat terus menjadi pihak yang dipinggirkan dan dimiskinkan, manakala wilayahwilayah dan hutan-hutan adat sumber kehidupan mereka dijarah habis bagi kepentingan negara dan pihak lain. Selain itu, ancaman besar berikutnya terhadap keberlanjutan hutan-hutan adat di Indonesia datang issue-issue perubahan iklim yang sedang menggelisahkan dunia. Tawaran-tawaran solusi dunia serta upaya-upaya mitigasi dan adaptasi melalui Market Based Approach, menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hutan adat. Adanya kampanye-kampanye besar untuk menggantikan penggunaan minyak bumi dengan biofuels/agrofuels, permintaan bahan dasar minyak sawit besar-besaran dari Pasar Eropa, telah mendorong peningkatan jumlah ekspansi perkebunan skala besar. Eksplorasi terhadap sumber-sumber energi baru semakin meningkat, sehingga mendorong semakin banyaknya pertambangan. Perkembangan-perkembangan ini menyebabkan ancaman terhadap wilayah dan hutan-hutan adat di Indonesia semakin meningkat. Ekspansi perkebunan dan pertambangan, akan merampas wilayah-wilayah Masyarakat Adat dan menghancurkan hutan-hutan adat. Berbagai konflik perundang-undangan baik secara harisontal maupun vertikal ini menimbulkan suatu kondisi: 1.
Sulitnya akses bagi
rekonstruksi masyarakat hukum adat. Karena dengan
rekonstruksi terhadap masyarakat hukum adat tentang keberadaannya maka kita baru dapat mengharapkan peran mereka dalam pengelolaan, pengurusan dan pemanfaatan hutan adat. 2. Hampir tidak ada kawasan hutan yang tidak ada konsesinya dimana di setiap kawasan hutan yang ada konsesinya tersebut terdapat klaim dari masyarakat hukum adat. Atau wilayah klaim masyarakat hukum adat terletak di wilayahwilayah yang ada konsesinya. 3. Pemberian konsesi terhadap kawasan-kawasan hutan
mengabaikan hak-hak
masyarakat hukum adat yang ada dikawasan tersebut. Kondisi-kondisi ini memperlihatkan bahwa hukum tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi sebagaimana dalam hak menguasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagaimana disebutkan 85
bentham bahwa hukum harus dapat menjamin alokasi kesejahteraan sosial.61 Berdasarkan teori tentang Negara maka Negara memiliki sifat “memaksa”, “Monopoli” dan “mencakup semuanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan dasar hak menguasai dari negara. Termasuk penguasaan kawasan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Dengan
diundangkannya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dalam rangka pengelolaan hutan adat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan otonomi daerah seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah, menurut Penjelasan Umum angka 1 huruf a UU No. 32/2004 didasarkan alasan fundamental, yaitu: ”...pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan unutuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui meningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, Di samping itu pemeberian otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Di dalam ketentuan UUPK Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara. Di dalam ayat (2) hak menguasai dari negara yang tersebut pada ayat (1) diatur dengan memberi wewenang kepada negara untuk: 1. menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara; dan 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan, dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah dapat mengatur pemberian hak-hak atas hutan kepada subyek hukum, apakah perorangan atau badan hukum. Landasan ideal ini, memandang hutan sebagai karunia Tuhan mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 61
Op.cit. hal 16
86
Hutan mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Mengenai konsep menguasai dari Negara ini Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai sentral yang mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai cita-cita ini prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat, karena akan menjadi pusat dari segala hal.
Namun demikian dalam tataran pelaksanaan atas konsep menguasai dari
Negara ini tetap harus memperhatikan karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama Indonesia. Dengan demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat termasuk hak-hak masyarakat hukum adat
atas sumber daya alam sektor kehutanan
bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan Indonesia . Sebagaimana diatur Dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan menyebutkan
bahwa
“Dalam
rangka
menyerahkan sebagian kewenangan
penyelenggaraan
kehutanan,
kepada pemerintah Daerah,
dan
Pemerintah Pelaksanaan
Penyerahan sebagian kewenangan tersebut bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Dalam konteks ini kawasan hutan memiliki potensi besar sosial ekonomis yang harus diotonomikan sehingga harus didayagunakan dan berhasil guna bagi pemerntah daerah dan sekaligus juga merupakan target dari setiap daerah otonom. Pendayagunaan secara efektif dan efisien ditengah semangat meningkatkan Pendapatan asli daerah (PAD). dikatakan
Sehingga dapat
pada tataran operasional undang-undang ini juga membuka peluang bagi
keterlibatan Pemda dalam pengurusan hutan. Hal itu tampak dengan dimasukkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku saat itu ke dalam konsiderans “Mengingat” Angka 7. Hal ini juga tergambar dari Penjelasan Umum alinea keenam, bahwa sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada Pemda tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah (pusat).& Salah satu kewenangan Pemerintah Daerah dalam kaitannnya dengan keberadaan 87
masyarakat hukum adat terhadap pengelolaan sumber daya alam sektor kehutanan yang diamanatkan oleh undang-undang ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 menyebutkan bahwa Pengukuhan Keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan “Perda”. Peraturan daerah tentang Pengukuhan Keberadaan masyarakat hukum adat ini sangat diperlukan karena menurut ayat (1) Pasal 67 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan “masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharisehari masyarakat adat yang bersangkutan b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukan adanya keterbatasan bagi masyarakat hukum adat baik dari aspek hak mendapatkan manfaat dari hutan mereka sendiri tetapi juga ada pembatasan dari aspek keberadaannya yang diharuskan memenuhi syarat-syarat tertentu seperti diakui keberadaannya. Dimana hak-hak masyarakat hukum adat yang diperkenankan hanyalah hak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dan melakukan kegiatan pengelolaan hutan adat mereka sangat ditentukan dengan pengakuan terhadap keberadaan mereka berdasarkan perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Oleh sebab itu keberadaan masyarakat hukum adat sangat dipengaruhi oleh kemauan dan niat baik dari Pemerintah Daerah. Masyarakat hukum adat diakui keberadaaanya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain: 1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap) 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara menurut penjelasan Pasal 67 ayat (2) menyatakan: Peraturan Daerah 88
disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian
para pakar hukum adat, aspirasi
masyarakat setempat, dan tokoh masyarkat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Pelaksanaan suatu undang-undang harus dijabarkan dalam Peraturan Pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah (PP). Salah satu PP dari undang-undang Kehutanan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 dan diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan penyusuanan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemnfaatan Hutan.
Dalam PP ini
khususnya dalam Pasal 67 tentang Subyek Pemegang izin hanya menyebutkan bahwa pihak yang dapat diberikan izin untuk usaha kawasan hutan, usaha pemanfaatan jasa lingkungan, usaha pemanfatan hasil hutan kayu, usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, usaha pemungutan hasil hutan kayu dan usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu hanya dapat diberikan pada perorangan, koperasi Badan usaha Milik Swasta Indonesia, Badan usaha Milik Negara dan Milik daerah. Dalam Pasal ini tidak memberikan akses bagi masyarakat hukum Adat sebagai subyek pemegang izin dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. sementara menurut Pasal 51 disebutkan ayat(1) pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau disekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfataan hutan,
Ayat (2) untuk
meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan dan difasilitas oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. Sehingga pasal 36 PP ini bertentangan dengan Pasal 51. Selain itu Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 67 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Jadi meskipun jika Pemerintah Daerah telah mengukuhkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat melalui Perda tetap saja masyarakat Hukum adat tidak memiliki akses untuk turut serta dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan hutan, sebagaimana digambarkan dalam tabel 3. Tabel 3: Peraturan Perundangan-undangan Sektor Kehutanan dalam Kaitannya dengan Hak masyarakat Hukum Adat No, Peraturan Perundang-undangan
Permasalahan
Analisis rekomendasi
1
Definisi mengenai hutan adat telah diarahkan oleh pembentuk UU sebagai hutan Negara.
Hutan adat adalah Hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat dan diakui keberadaannya.
UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 1 butir 6: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
dan
Rumusan ini sesuai dg ketentuan Pasal 5 ayat (4) apabila dalam perkembangananya masyarakat hukum adat tidak
89
ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Namun demikian dalam tataran pelaksanaan atas konsep menguasai dari Negara ini tetap harus memperhatikan karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama 102 Indonesia . Dengan demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat termasuk hakhak masyarakat adat atas sumber daya alam sektor kehutanan bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan Indonesia . Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 27-29 tentang izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan..
Dalam Ketentuan ini tidak memberikan akses pada masyarakat hukum adat sebagai subyek pemegang izin. Izin hanya untuk perseorangan, koperasi, BUMS, BUMN dan BUMD. Masyarakat Hukum adat hanya diberikan hak pengelolaan terhadap kawasan hutan untuk tujuan khusus seperti dalam Pasal 8
Pasal 48 ayat (5) yang mengatur bahwa untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan
Dalam ketentuan ini semakin menegaskan ketidakadilan bagi masyarakat termasuk masyarakat hukum adat. Karena pada Pasal-pasal terdahulu pada bagian subyek pemegang izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan tidak muncul masyarakat hukum adat sebagai subyek pemegang izin, tetapi ketika pada bagian upaya perlindungan masyarakat harus dikutsertakan.
Pasal 52 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam
Ketentuan mengenai kewajiban untuk memperhatikan ilmu
Memasukkan Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek pemegang izin terhadap segala izin usaha dibidang pengelolaan maupun pemanfaatan hutan. Sehingga masyarakat Hukum adat yang berada disekitar kawasan hutan dapat terhindar dari ketentuan Pasal 50 ayat (3) tentang tindak pidana dibidang kehutanan.
Dalam Setiap pasal mengenai Pemanfaatan hutan Penggunaan Kawasan hutan
90
2
PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
penyelenggaran penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial masyarakat
pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial masyarakat kurang tepat jika hanya dimasukan pada BAB VI mengenai Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan tetapi harus selalu dimasukan dalam setiap pasal mengenai Pengelolaan dan Pemanfaatan hutan.
harus selalu dimasukan ketentuan ini. Sehingga setiap usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan harus senantiasa memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial masyarakat
Pasal 67 Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang
Ketentuan pada pasal ini menunjukan pengakuan dan pemberian hak pada masyarakat hukum adat yang setengah hati. Karena masyarakat hukum adat hanya diberikan hak untuk pemanfaatan hasil hutan hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. sementara BUMD, BUMS dan Perseorangan diberi hak untuk pengusahaan hutan. Sehingga hak yang point b faktanya tidak akan dapat dilaksanakan arena faktanya masyarakat hukum adat berada dikawasan hutan yang telah memiliki konsesi.
Masyarakat hukum adat dimasukkan sebagai subyek pemegang izin bagi Pengelolaan dan Pemanfaatan kawasan hutan.
Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1-32.
Dalam Pengertian umum kita tidak menjumpai rumusan tentang Hutan Adat dan masyarakat adat..
Butir 23 : hutan kemasyarakatan adalah hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat.
Seharusnya selain ketentuan tentang hutan kemasyarakatan dan hutan desa harus dimasukan hutan adat. Karena dengan tidak dimasukkannya tentang hutan adat akan mengakibatkan tarabaikannya hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk
Butir 24: Hutan Desa adalah hutan Negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan
Pengaturan mengenai hutan desa dan hutan kemasyarakatan bukan dengan sepenuh hati dimaksudkan untuk memberikan hak-hak bagi masyarakat setempat. Pasal ini hanya sebagai upaya untuk menghindari konflik antara pemegang izin pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan dengan masyarakat sekitarnya. Sekali
91
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
kesejahteraan masyarakat adat.
lagi pengaturan dalam pasal ini tidak sungguh-sungguh sepenuh hati memberikan peluang bagi masyarakat apalagi masyarakat adat sebagai subyek dalam pengelolaan,pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
Bagian Keenam Subyek Pemegang Izin Pasal 67
Karena peraturan ini merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 41 tentang Kehutanan yang tidak memberikan akses bagi masyaraat hukum adat sebagai pemegang izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan
Masyarakat Hukum Adat adalah subyek dalam pengelolaan hutan baik hutan adat maupun hutan Negara. Sehingga mereka memiliki hak untuk juga mendapatkan izin usaha dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Karena masyarakat hukum adat lebih memahami tatacara pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara seimbang tanpa merusak fungsi hutan.
Pasal 83-99 tentang penjabaran mengenai Hutan Desa dan Hutan kemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
2
Kesimpulan dan Usulan
pasal 7 ayat b
tidak secara tegas mengatur kontrol atas kepala daerah yang mengeluarkan izin pinjam pakai hutan
pasal 12 ayat b, yaitu tentang dispensasi penggunaan kawasan hutan dalam kondisi mendesak yang jika ditunda mengakibatkan kerugian negara.
"Disini kondisi mendesak dan kerugian negara itu definisinya tidak jelas. Sehingga akan memberi ruang yang besar untuk dispensasi,”
Harus diberikan definisi yang jelas sehingga meminimalisasi penyalahgunaan terhadap suatu peraturan perundangundangan.
UU No.41 Tahun 1999 belum memuat prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 serta jaminan yang dimuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan standard dan norma internasional tentang hak asasi manusia lainnya. UU No.41 Tahun1999 ini juga bersifat diskriminatif. Peran Negara sbg penguasa sumber daya alam demikian perintah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha. UU kehutanan diharapakan menjadi suatu UU yang memiliki keberpihakan pada rakyat termasuk masyarakat hukum adat (prorakyat) dalam pengelolaan sumber daya hutan.
92
Dalam alam era desentralisasi sekarang ini, pemerintah hendaknya
mampu
menciptakan iklim demokrasi yang kondusif Demokrasi memerlukan kepastian hukum. Dengan demikian pemerintah daerah
harus mampu menciptakan produk hukum yang
dapat mendukung fungsi hutan adat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat secara lestari dalam rangka peningkatan kesejahteraannya62. Pendekatan yang tepat harus dijadikan pedoman dalam penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada kondisi sekarang Pendekatan partisipatif adalah pilihan ideal. Pendekatan ini yaitu suatu pendekatan yang mengutamakan kegiatan secara bersama antara Pemerintah, masyarakat dan Organisasi Non Pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksana, monitoring dan evaluasi sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan pada bagian menimbang disebutkan “bahwa pengurusan hutan yang berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat budaya serta tatanilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional”. Pelayanan publik dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam untuk kemakmuran rakyat tersebut harus dimanfaatkan untuk jangka panjang baik untuk saat ini maupun untuk generasi yang akan datang, maka pemanfaatannya harus dilaksanakan dengan tetap mendasarkan kepada pemanfaatan yang lestari, hal ini sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Disamping itu, pemanfaatan sumber daya alam tersebut juga harus tetap
menghormati hak-hak masyarakat hukum adat,
sehingga pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, dapat dikelola oleh masyakarat hukum adat, namun dengan ketentuan masih dalam konstruksi kepentingan nasional. Sebagaimana disebutkan oleh Soedarto ada 3 (tiga) pandangan hukum, pertama Legalistik, kedua fungsional, dan ketiga kritis. Pandangan legalistik hanya menitik beratkan pada kepastian hukum. Pandangan Fungsional menitik beratkan hanya pada keguanaan dan kemanfaatan
hukum
(utility atau doelmatigheid), sedangkan pandangan kritis
menitikberatkan pada keadilan (justice atau gerechtigheid).63 Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke 4 mengenai “Cita Hukum Bangsa Indonesia” mengedepankan cita hukum bangsa yang berorientasi melindungi dan mensejahterakan masyarakat. Oleh sebab itu maka perpaduan antara Hukum yang legalistik, fungsional dan kritis harus senantiasa 62
Budi Riyanto, 2004, Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor. 63 Soedarto, Hukum dan hukum Pidana, 1986, hal. 141-142.
93
dikedepankan dalam rangka mencapai cita hukum bangsa Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan dan mensejahterakan masyarakat Pada sektor kehutanan dalam rangka mewujudkan cita hukum yang mengedepankan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat maka langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah Daerah untuk mendukung keberadaan hutan adat antara lain: 1. Inventarisasi daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat; 2. Melakukan pengkajian dan penelitian. Pengkajian dan penelitian tentang keberadaan masyarakat hukum adat perlu berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang struktur kemasyarakatan, suatu masyarakat hukum adat yang secara faktual yang mendukung dioperasionalkannya kriteria/persyaratan tentang eksistensi keberadaan hak masyarakat adat. Bagi yang terlibat dalam penentuan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak yang melekat di dalamnya; 3. Menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda); 4.
Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan wilayah masyarakat hukum adat sebagai hutan adat;
5.
Pengaturan tentang masyarakat hukum adat dalam kerangka hukum yang sekarang ada pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Pengaturan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk Perda bagi wilayah yang memiliki masyarakat hukum adat dan adanya hak-hak masyarakat adat yang melekat di dalamnya.
Jika langkah-langkah ini telah dilakukan maka diharapkan kepastian hukum tentang hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alamnya akan dapat lebih terlindungi.
C. HARMONISASI HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG SUMBER DAYA HUTAN Dari analisis pada bagian terdahulu maka Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini terdapat berbagai hal yang kontradiktif. Jika dilihat dari konsiderans dan Penjelasan Umum, UU ini menunjukkan
keberpihakan kepada rakyat (prorakyat), tetapi
apabila ditelusuri dalam pasal-pasalnya (misalnya Pasal 23–39), UU ini justru lebih cenderung
memperhatikan
kepentingan
pengusaha
(propengusaha).
Ketentuan 94
“Menimbang” huruf a, menyatakan bahwa hutan wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang mau pun generasi mendatang.
Sementara itu,
“Menimbang” huruf c membuka peluang bagi peran serta masyarakat, bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Penjelasan Umum alinea keenam kembali mengingatkan, bahwa dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktik-praktik pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat hukum adat. Kemudian, dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Namun, dalam ketentuan pasal-pasalnya UU ini justru lebih memihak kepada pengusaha kehutanan, misalnya melalui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 – 39 yang mengatur tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pada prinsipnya, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24). Tidak hanya hutan produksi, hutan lindung pun dapat dimanfaatkan dalam bentuk pemanfaatan kawasan,pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 26 ayat (1)). Pemanfaatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian ijin usaha sesuai bentuk pemanfaatannya (Pasal 26 ayat (2)). Bentuk ijin usahanya juga menentukan siapa yang berhak memperoleh ijin tersebut (Pasal 27) dan dari situ tergambar keperpihakan UU ini kepada pengusaha bahkan dalam ketentuan PPnya pada bagian ketentuan tentang subyek pemegang izin tidak memasukkkan masyarakat hukum adat sebagai subyek yang dapat memiliki hak untuk memanfaatkan hutan. Dalam hal ini suadah saatnya kita kembali ke tujuan hukum berdasarkan teori hukum timur
64
bahwa tujuan
hukum adalah Keadilan, keadian adalah keharmonisan dan keharmonisan adalah kedamaian. Dan teori tujuan hukum timur ini berbeda dengan teori tujuan hukum barat 64
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 212-213
95
dimana tujuan hukum yang utama diletakkan pada kepastian hukum. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat disekitar kawasan hutan dalam PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta pemanfaatan hutan. dalam Bab I Bagian Ketentuan Umum butir 23 memberikan definisi mengenai hutan kemasyarakatan yaitu: Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Butir 24 memberikan definisi mengenai Hutan Desa yaitu: Hutan Negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Seharusnya selain pengertian tentang Hutan kemasyarakatan dan Hutan desa juga ada definisi mengenai hutan adat, yaitu hutan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat hukum adat. Pemberdayaan masyarakat setempat dalam tataran prakteknya dimaksudkan untuk menghindari komplain atau protes dari masyarakat sekitar kawasan hutan. Jadi pemberdayaan
masyarakat
yang
dimaksud
bukanlah
bersungguh-sungguh
untuk
memberikan hak-hak masyarakat atas pemanfaatan hutan dan pengelolaan hutan. Ketentuan-ketentuan mengenai hutan kemasyarakatan dan hutan desa
dalam PP
ini
dijabarkan dalam Pasal 83-99 PP No. 6 Tahun 2007. Hutan Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Pemberdayaan Masyarakat setempat adalah: upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang Kehutanan. Dari uraian tersebut dapat dipastikan kawasan hutan kemasyarakatan akan sangat sulit keberadaannya karena hampir semua kawasan hutan telah ada konsesinya. Sehingga aturan ini hampir dapat dipastikan akan sulit untuk direalisasikan. 96
Pada Tahun 2010 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini makin menegaskan semangat eksploitasi yang dilakukan Negara terhadap hutan. PP ini memberikan peluang yang semakin besar untuk eksploitasi hutan secara besar-besaran. WALHI menentang terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Walhi menilai, aturan tersebut sama dengan melegalkan eksploitasi hutan di Indonesia. PP ini seolaholah membatasi padahal membuka akses eksploitasi. Misalnya PP itu terutama pasal 7 ayat b tidak secara tegas mengatur kontrol atas kepala daerah yang mengeluarkan izin pinjam pakai hutan, meskipun pada pasal 8 disebutkan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan harus ada izin dari Dewan Perwakilan Rakyat. “Implikasinya, akan terjadi kongkalikong antara legislatif dan eksekutif untuk eksploitasi hutan,” pasal 12 ayat b, yaitu tentang dispensasi penggunaan kawasan hutan dalam kondisi mendesak yang jika ditunda mengakibatkan kerugian negara. "Disini kondisi mendesak dan kerugian negara itu definisinya tidak jelas. Sehingga akan memberi ruang yang besar untuk dispensasi. Berbagai Peraturan perundang-undang di Indonesia di Bidang Kehutanan hanya sebatas memperhatikan hutan melalui pendekatan fisik semata. Menurut Hariadi Kartodihardjo dalam Supriadi65 Pemisahan hutan antara hutan sebagai bentuk fisik yang dapat dimiliki secara ekslusif dan hutan dalam bentuk non fisik yang memiliki fungsi tertentu yang tidak dapat dimiliki secara ekslusif oleh pihak-pihak tertentu. Hutan secara fisik dapat ditentukan batas-batasnya kemudian dapat dibagi-bagi luasnya dan dapat hak penguasaaannya pada pihak lain. Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah dll. Sebaliknya manfaat hutan tidak langsung seperti pengendalian erosi, penjagaan kesuburan tanah,
penyerap karbon dll. Akan terus
berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan pengelolaan hutan. Manfaat tidak langsung dari hutan ini senantiasa keluar dari batas-batas fisik hutan dan manfaat inilah yang senanyiasa diinginkan keberlanjutannya
oleh masyarakat luas, dalam hal ini
merupakan pihak-pihak yang tidak mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Oleh sebab itu maka
Pengelolaan kehutanan
atau izin
kedepan harus
senantiasa mempertimbangkan tidak hanya pada manfaat hutan dalam bentuk fisik semata tetapi harus menjangkau pada manfaat hutan dalam bentuk non fisik. Berdasarkan hal tersebut Harmonisasi hukum peraturan perundang-undangan sektor 65
Ibid. Hal. 114.
97
kehutanan harus segera dilakukan. Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bagian terdahulu beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka terciptanya harmonisasi hukum di sektor kehutanan adalah: a. Agenda besar adalah membangkitkan peran serta masyarakat dengan membuka akses masyarakat untuk mendapatkan manfaat hutan tesebut. Yang bertujuan demi kelestarian sumber daya hutan berkeadilan serta pemberdayaan masyaraat sekitar kawasan hutan. b. Dalam rangka pengelolaan hutan lebih dikedepankan konsep hutan kemasyarakatan dimana sumber daya hutan dikelola oleh masyarakat sendiri dengan fasilitator Pemerintah daerah. c. Mengikis monopoli pengelolaan hutan oleh Pemerintah, melalui BUMN atau BUMD. Dalam rangka mewujudkan hal-hal tersebut perlu adanya perumusan yang jelas dan tegas tentang hal-hal tersebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan disektor kehutanan, mulai dari undang-undang sampai ke PP dan Kepmennya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
D. KESIMPULAN DAN SARAN 1.Kesimpulan Dari hasil analisis dapat disimpulkan masih terjadinya konflik norma seperti: 1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa Pasal 1 huruf f disebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat adat. Dan hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selanjunya dalam pasal 5 ayat (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Ayat (4) 98
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pernyataan dalam pasal ini seolah memberikan pengakuan atas keberadaan hutan adat dan memberikan hak pada masyarakat hukum adat untuk melakukan pemanfaatan hutan
namun jika kita kaji secara lebih mendalam bahwa hutan yang
dimaksud tetap saja merupakan hutan Negara sehingga pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat tersebut dianggap sebagai hutan negara bukan sebagai hutan adat. Kondisi ini menunjukkan bahwa seolah-olah Negara merupakan pemilik semua hutan dan adanya hutan adat hanya merupakan semacam “kebaikan hati” Negara terhadap masyarakat hukum adat. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 “(3) menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. dan Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria 5/1960. Pasal 1 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Artinya, bangsa Indonesialah yang menjadi pemilik dan sumber hak atas seluruh sumberdaya agraria, termasuk hutan. Dan Pasal 5 menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia. 2. PP Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyususnan Rencana Pengelolaan hutan serta Pemanfaatan Hutan Secara substansi Peraturan Pemerintah ini bertentangan peraturan perundangan yang lebih tinggi yakni peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah maupun UU No. 41 Tahun 1999. Karena semangat PP tersebut adalah eksploitasi, sehingga PP ini juga bertentangan dengan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pasal 5 ayat (2) huruf a Tap MPR ini menyatakan bahwa: “arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah melakukan pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.” Seharusnya sebelum mengeluarkan PP ini Pemerintah terlebih dahulu melakukan pengkajian ulang dan sinkronisasi terhadap peraturan Sumber Daya Alam dengan mempelajari ulang ketentuan pokoknya, yakni UU No. 41 Tahun 1999, baru 99
kemudian membuat aturan-aturan pelaksanaannya. 3. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat. Agar pelaksanaan pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat dapat mencapai tujuan dan sasaran, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib segera melakukan pengaturan mengenai Hutan Adat dan Masyarakat Hukum
Adat yang diberi hak untuk melakukan
pengelolaan hutan dan pemanfaatan
hasil hutan, yang menyangkut mengenai,
prosedur, tata cara atau dasar penetapan hutan adat, dan masyarakat hukum adat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, sehingga diperoleh kepastian hukum pengelolaan hutan Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Bagaimana pun, kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpusat di tangan pemerintah dan telah terbukti menimbulkan pengrusakan hutan dan memarjinalisasi ekonomi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta habitatnya. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam. 4. Undang-undang ini tidak mengakui pluralisme hukum dalam hukum kehutanan. Hutan adat tidak diakui sebagai entitas sendiri. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari ketentuan Pasal 5 yang mengatur status hutan seperti telah dikemukakan di atas. Berdasarkan statusnya, hutan hanya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu hutan negara dan hutan hak. hutan adat merupakan bagian dari atau termasuk ke dalam kategori hutan Negara. 5. Undang-undang ini dalam hal implementasi
pengelolaan kehutanan secara sektoral
oleh Departemen Kehutanan. Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa penguasaan hutan oleh Negara itu dilaksanakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehutanan 100
(sektoral). Pengurusan hutan mulai dari perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, sampai kepadapengawasan, semuanya dilaksanakan oleh Menteri Kehutanan.
2. Saran 1. Perlu segera memperbaharui UU No. 41 tentang Kehutanan yang nyata-nyata melanggar UUD 1945 dan amandemennya. UU Kehutanan harus mematuhi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk perubahan PP dan Permennya. Dalam UU yang baru nanti, posisi dan peran masyarakat adat harus ditempatkan sebagai pelaku utama pengelolaan hutan, baik untuk menjaga dan memelihara fungsi lindung dan konservasi hutan, memanfaatkan hutan untuk fungsi produksi dan juga melakukan rehabilitasi terhadap
kawasan-kawasan
yang
sudah
dirusak
selama
ini,
maupun
untuk
mengamankan hutan dari perngrusakan. 2. Kebijakan tentang otonomi daerah harus ditinjau kembali agar memprioritaskan terjadinya devolusi, yaitu mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan dan wewenang yang lebih besar ke tingkat komunitas adat (otonomi asli komunitas masyarakat adat)
101
BAB V ANALISIS SINKRONISASI HUKUM SUMBER DAYA KELAUTAN DALAM KAITANNYA DENGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA KELAUTAN A.PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelago Statei) terbesar di dunia.66 Hal ini dibuktikan dengan luasnya wilayah perairan laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km persegi, terdiri dari zona ekonomi eksklusive seluas 2,7 km persegi, dan laut teritorial seluas 3,1 km persegi. Selain itu, tersebar di dalamnya sekitar 17.508 pulau. Potensi sumber daya kelautan tersebut sampai kini belum dikelola dengan baik sehingga belum dapat mensejahterakan masyarakat perikanan, khususnya nelayan, termasuk nelayan tradisional yaitu masyrakat hukum adat. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan sampai saat ini belum optimal. Padahal cepat atau lambat potensi sumber daya yang terkandung di laut pada akhirnya akan menjadi pengganti dari sumber-sumber daya daratan untuk berbagai pemanfaatan, mulai dari pemenuhan kebutuhan pangan, bahan tambang, mineral, energi, bahkan wisata.67 Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan sumber daya kelautan antar lain karena selama ini sejumlah lembaga dan instansi yang berwenang, sebagian besar dari lembaga tersebut sesungguhnya bukan di bidang kelautan seperti pertambangan, perhubungan, pertanian, kehutanan, pertanahan, pertahanan dan pariwisata. Karena terlalu banyak lembaga dan kepentingan maka arah kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan menjadi tidak jelas, terutama dari aspek regulasinya. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan mempelihatkan ketidaksesuaian satu sama lain dalam pengelolaan sumber daya kelauatan. Beberapa contoh ketidakharmonisan dalam penerapan peraturan perundangundangan yang terkait dengan sumber daya kelautan misalnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusive memerlukan harmonisasi dengan Undang-undang 17 tahun 1985 66
Mochtar Kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 7 67 Hasyim Djalal, Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, hal. 4.
102
tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai ketentuan positif dalam hukum laut internasional. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Thaun 2009, dalam kaitannya dengan perbedaan masalah konservasi. Kemudian, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitanya dengan persoalan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pemberian kewenangan wilayah perairan atau laut telah ditafsirkan sebagai bentuk pengkaplingan laut yang teryata kemudian mendatangkan penafsiran lain. Termasuk di dalamnya penafsiran bahwa otonomi daerah adalah pemberian kewenangan dan kewenangan adalah uang justru yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry point bagi ditetapkannya sistem pemanfaatan wilayah laut tersebut meskipun dalam undang-undang ini pelaksanaannya belum diatur secara rinci. Di samping itu, pengaturan sumber daya kelautan Indonesia belum memberikan ruang pada pluralisme hukum, padahal persoalan kelautan di Indonesia berbeda dengan negara maritim lainnya. Di Indonesia, pengaturan pemanfaatan sumber daya kelautan tidak hanya di dalam bentuk undang-undang dan peraturan tertulis lainnya, akan tetapi di beberapa tempat masih berlaku tradisi lokal berupa hukum adat kelautan yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Ketika mendesain kebijakan pada tingkat nasional, nilai-nilai dan kearifan lokal ini perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari bahan hukum yang akan menjadi isi kaidah hukum dari pengaturan pengelolaan sumber daya kelautan. Karena itu, perlu ditelaah harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya kelautan agar tidak terjadi tumpang tindih dan benturan kepentingan sehingga tercapai konsitensi dan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya kelautan. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan di latar belakang, penelitian ini akan memusatkan persoalan sebagai berikut: 1. Peraturan Perundang-undangan apa saja yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya kelautan yang belum harmoni satu sama lain? 2. Upaya apa yang perlu dirumuskan dalam rangka melakukan harmonisasi hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya kelautan terkait dengan pemenuhan hak masyarakat hukum 103
B. KONSEPSI HARMONISASI HUKUM Kebijakan kelautan (ocean policy) sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan peranan hukum dalam menjamin dan mengawal rangkaian proses perubahan yang berlangsung dalam kaitan pembangunan yang dicita-citakan itu dapat terlaksana.68 Ketertiban dan keteraturan proses pembangunan tersebut hanya akan terwujud apabila didukung oleh adanya aturan-aturan hukum yang responsif terhadap pembangunan, yang dapat menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara berbagai aspek dan kepentingan dalam masyarakat. Dalam menjalankann peranannya ini, hukum bukan berarti tidak menghadapi kendala. Kemajemukan sistem hukum di Indonesia sangat potensial menimbulkan kondisi yang dapat dikategorikan sebagai ketidakharmonisan. Sebabnya antara lain
adalah karena terdapat demikian
banyaknya peraturan perundang-undangan yang satu sama lain belum tentu menunjukan kesesuaian, keselarasan atau harmonis karena peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan oleh berbagai instansi yang belum terkoordinasi dengan baik. Dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kelautan masih ada kendala yang berkaitan dengan luasnya wilayah perairan yurisdiksi nasional dan letaknya yang berbeda pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Masalah yang dihadapi dalam menerapkan UNCLOS 1982 adalah masih belum tuntasnya Indonesia memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam konvensi tersebut, yakni berupa penerapan titik pangkal, koordinat laut wilayah, ketentuan pelayaran, penyesuaian Undan-Undang Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, batas Zona Ekonomi Eklusive dan perbatasan dengan negara tetangga. 1. Instrumen Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Pembagian laut menjadi zona-zona dan kawasan-kawasan sangat menentukan bagaimana berbagai kegiatan itu diatur. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar kewenangan yang dimiliki negara pantai terhadap suatu zona tertentu, semakin kecil ruang yang tersedia utnuk pengaturan internasional, walaupun tentu saja negara pantai
68
Sunaryati Hartono, Op Cit, hal.30.
104
memperoleh kewenangan dari hukum internasional. Jadi setiap kegiatan di laut teritorial pada prinsipnya tunduk pada yurisdiksi negara pantai.69 Begitu juga sebaliknya. Indonesia sebagai salah satu
negara kepulauan terbesar di dunia menetapkan
bahwa hakekat pembangunan sektor kelautan Indonesia adalah upaya pemanfaatan kekayaan yang terkandung di kawasan ini secara lestari dan berkelanjutan yang ditujukan bagi kemakmuran rakyat Indonesia yang merupakan perwujudan dari amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selama ini potensi sumber daya kelautan masih dianggap sebagai aset sektoral. Padahal Konstitusi mengisyaratkan aset tersebut merupakan aset bangsa yang tunduk pada otoritas negara yang selayaknya dikelola secara terpadu untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pengelolaan sumber daya kelautan, kedudukan negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan sumber daya kelautan. Acuannya adalah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam dikuasi oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, secara historis sesungguhnya sudah dicanangkan pada tahun 1957. Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui Deklarasi Juanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional.70 Deklarasi Juanda, secara substansial memberikan dorongan terciptanya wawasan nusantara yang mencakup komponen kesatuan ekonomi, kesatuan wilayah, dan kesatuan politik. Deklarasi Juanda merupakan tindakan politik namun membawa dampak pada perombakan radikal terhadap hukum laut internasional. Setelah deklarasi Juanda muncul berbagai kebijakan dan pengaturan yang berkaitan dengan kelauatan, antara lain Undangundang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia, Pengumunan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia 1969, yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1973 tantng Landas Kontinen.. Pada periode berikutnya keluar Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang ZEE dan Undang-undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982. Selanjuntnya Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan itu mengukuhkan yurisdiksi perairan Indonesia. Namun, sampai saat ini kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya 69 70
Albert Koers, Konvensi Hukum Laut 1982, 1991, hal.14. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Laut Internasional, Alumni, Bandung, 1982, hal. 57.
105
kelautan belum muncul sebagai sebuah kebijakan politik dan ekonomi. Dalam konteks wawasan dan kebijakan kelautan ini, otonomi daerah termasuk wilayah laut merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah dan memiliki wawasan yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya kelautan. 2. Peraturan Perundangan-undangan tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Pengelolaan sumber daya kelautan memasuki babak baru dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Hal ini memerlukan langkah-langkah hukum yang menyeluruh dan terpadu oleh Indonesia dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan laut, serta pengelolaan wilayah laut nasional secara serasi, efektif, dan efisien. Sebelumnya, pada masa awal kemerdekaan Indonesia,
kewenangan terhadap
perairan hanya seluas 3 mil laut berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939. Dalam perkembangannya, wilayah teritorial ini berubah dengan lahirnya beberapa peraturan perundangan yang diawali langkah politik dikeluarkannya Deklarasi Juanda pada tahun 1957, diteruskan dengan pembentukan Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia, UndangUndang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. Peraturan perundang-undangan ini
terkait erat dengan penetapan lebar laut
teritorial Indonesia yaitu 12 mil. Sedangkan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan kemudian ditentukan pulan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan selanjutnya. Apabila ditelusuri, secara historis, Deklarasi Djuanda 1957 telah meletakkan cikal bagi pemanfaatan dan pengelolaan kelautan. Melalui Deklarasi tersebut Indonesia memandang dirinya sebagai sebuah negara kepulauan dimana laut diantara pulau dianggap sebagai bagian integral dari daratan. Deklarasi Djuanda dimaksud lebih lengkapnya sebagai berikut: Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia, dengan tidak memadang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian perairan nasional yang berda di bawah kedaulatan mutlak dari Republik Indonesia. Lalu lintas damai melalui perairan pedalaman bagi kapal asing tetap dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. 106
Penentuan batas laut terotorial yang lebarnya 12 mil diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pada pulau-pulau negara Repbulik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang. Walaupun Deklarasi ini merupakan Uniteral Act atau tindakan sepihak Indonesia, namun pengaruhnya terhadap posisi dan sikap Indonesia di forum internasional sangat berarti. Setelah Deklarasi Djuanda Tahun 1957, pada tahun 1958 diadakan Konfrensi Hukum Laut Internasional di Jenewa, sayangnya konsepsi negara nusantara dan konsepsi lebar laut teritorial 12 mil belum mendapat respon internasional. Indonesia dihadapkan untuk meneruskan langkah politik dari dikeluarkannya Deklarasi atau kembali kepada kebijakan kelautan peninggalan Kolonial Belanda yaitu lebar laut teritorial 3 mil. Indonesia memilih untuk tetap meneruskan kebijakan kelautannya karena apabila kembali pada pengaturan TZMKO dimana lebar laut teritorial Indonesia adalah 3 mil. Apabila kebijakan tersebut dipertahankan maka laut-laut diantara pulau akan menjadi jalur bebas. Hal tersebut tentu sangat merugikan dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan pertanahan keamanan. Selanjutnya peraturan perundang-undangan kelautan dibentuk yaitu UndangUndang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Kemudian ketentuan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusive, Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Potensi sumber daya kelauatn yang dapat dikelola Indonesia sesungguhnya sangat besar karena Indonesia terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautan itu meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total teritorial Indonesia. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut lebih luas darat, potensi sumber daya alam yang melimpah tersebut teryata belum dikelola optimal untuk kemakmuran rakyat. Belum padunya pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia telah menyebabkan insiden terjadi antara lain di perbatasan seperti masalah Sipadan Ligitan, Ambalat, Pulau Jemur hingga yang terbaru adalah insiden penangkapan aparat pengawas perikanan Indonesia di Perairan Pulau Bintan Riau. Konflik demi konflik dengan tetangga terus bermunculan karena belum tuntasnya batas wilayah dengan negara tetangga dan lemahnya 107
pengamanan wilayah laut. Selain itu, kerugian ekonomis yang ditimbulkan juga sangat besar, di sektor perikanan saja kerugian akibat illegal fishing mencapai sekitar Rp. 20 Triliun per tahun, belum lagi illegal logging, illegal mining, illegal migrant, human trafficking dan aktifitas lainnya yang dilakukan di laut.71 Selama ini potensi sumber daya alam keluatan masih dilihat sebagai aset sektoral. Padahal Konstitusi mengamanahkan bahwa sumber daya alam sejatinya dikelola untuk kemakmuran rakyat. Karena itu, diperlukan pengaturan melalui kerangka hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sekaligus guna pelestarian lingkungan. Hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah juga memiliki keterkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Pemberian wewenang otonomi termasuk pengelolaan sumber daya kelautan kepada daerah diarahkan untuk pencapaian efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat daerah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Namun, pengelolaan sumber daya kelautan oleh daerah juga ternyata menimbulkan banyak konflik di daerah, terutama konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang di kawasan pesisir. Selain itu, desentralisasi kewenangan yang diberikan pada daerah dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Dikhawatirkan menjadi ajang pengkaplingan laut, sebab setiap daerah merasa memiliki kedaulatan. Wewenang daerah dalam eksplorasi dan eksploitasi laut hanya terbatas pada 4 mil laut dihitung dari garis dasar. Kemungkinan terjadinya disharmonisasi hukum pengelolaan sumber daya kelautan pasca otonomi daerah semakin terbuka karena tidak padunya penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan. Sebagaimana ditemukan pada pengaturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan Undang-Undang.. Sebaliknya, di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil laut merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota. Kemudian, ketidaksinkronan antara norma positif dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan sumber daya alam di wilayah pesisir. Di dalam Undang71
(http://www.dkp.go.id.archive/c, Atasi Masalah di Perbatasan, DEKIP Siapkan Kebijakan Kelautan, diakses pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul 17.03 Wib).
108
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) karena Undang-Undang Pokok Agraria mengakui adanya hak ulayat.
Namun, pengakuannya terbatas jika masih ada ataupun tidak
berentangan dengan kepentingan negara. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan mengakui adanya hak yuridis nelayan tadisional untuk melakukan penangkapan ikan lintas daerah. Meskipun sampai sekarang secara yuridis belum ditetapkan kriteria nelayan tradisional. Selanjutnya, terdapat Peraturan Pemerintahan Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusive memberikan kewenangan kepada Menteri Pertanian (sekarang Menteri Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis atau kelompok jenis sumber daya alam hayati di sebagian atau seluruh Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut didasarkan kepada data hasil penelitian, survei, evaluasi dan/atau hasil kegiatan penangkapan ikan. Selanjutnya, Menteri juga menetapkan alokasi jumlah unit kapal perikanan dan jenis alat penangkap ikan dari masing-masing kapal dengan memperhatikan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Kewenangan pemerintah daerah Dalam PP ini terlihat bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE merupakan kewenangan pusat dalam hal ini dijalankan oleh Menteri Pertanian. Untuk pengendalian terhadap sumber daya perikanan digunakan mekanisme kontrol berupa penijauan kembali penetapan penangkapan ikan dan atau jenis penangkap ikan oleh pemberi izin. Kewenangan pemerintah daerah ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 141 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, yaitu: 1.
Mengeluarkan Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Penangkapan Ikan (SPI) kepada perusahaan perikanan yang berdomisili dan berpangkalan di wilayah administrasinya dengan ketentuan tertentu.
2. Mengeluarkan IUP dan SPI kepada perusahan perikanan yang melakukan pembudidayaan ikan di air tawar, di air payau dan dilaut yang tidak menggunakan modal dan atau tenaga asing.
109
3. Mendapatkan pungutan sebesar 2,5 % dari harga jual seluruh ikan yang ditangkap dan 1% dari harga jual seluruh ikan yang dibudidayakan dari perusahaan perikanan yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah daerah. 4. mendapatkan 30% pendapatan dari pendapatan pemerintah pusat yang berasal dari pungutan perikanan pemerintah pusat. Batasan yang diberikan yaitu : kapal perikanan tidak bermotor, kapal perikanan bermotor luar, dan kapal perikanan bermotor yang berukuran tidak lebih dari 30 GT dan atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 90 Daya Kuda serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga asing Berkaitan dengan persoalan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundnagan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan dapatlah dikatakan bahwa Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diharapkan dapat menjadi acuan pengelolaan sumber daya kelautan. Namun UndangUndang ini dirasa belum memadai. Lingkup wilayah yang diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah kawasan pesisir, mulai dari kecamatan pesisir sampai ke wilayah perairan sejauh 12 mil. Padahal ruang laut nasional pada dasarnya tidak hanya sampai pada batas wilayah teritorial saja (sejauh 12 mil dari garis pantai), akan tetapi meliputi juga kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Di luar 12 mil inilah sering terjadi aktivitas manusia yang memiliki sumber daya bernilai tinggi. Di wilayah ZEE dan landas kontinen ini pula muncul masalah pertahanan dan keamanan terkait masalah batas administrasi. Sehingga, untuk menjamin sinkronisasi dan harmonisasi data kelautan dan perikanan, pertahanan dan keamanan, batas wilayah laut dan pengembangan teknologi kelautan, diperlukan suatu kerangka hukum terpadu berupa Undang-undang yang mengatur secara integral mengatur mengenai kebijakan laut Indonesia.. Sementara itu dari sisi kewenangan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah diberi mandat untuk menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karateristik topographi, biofisik, hidro-oceanografi, kebutuhan ekonomi dan budaya serta ketentuan lain.
110
2. Gubernur berwenang menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi kewenangannya kepada pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman yang ada. 3. Bupati/walikota berwenang menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi kewenangannya kepada pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman yang ada. 4. Gubernur berwenang memberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut. 5. Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir 1/3 (satu pertiga) di wilayah kewenangan provinsi. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan oleh pemerintah bersama pemerintah daerah. Kemudian dari sisi pengakuan terhadap hak pengelolaan masyarakat berdasarkan hukum adat yang diatur dalam undang-undang ini antara lain secara umum undang-undang ini ingin membuka ruang dan akses bagi masyarakat adat, lokal dan tradisional yang di pesisir untuk tetap bisa mengelola wilayah pesisir dan laut sesuai dengan sistem adat yang sudah turun temurun dipertahankan dapat dimaknai sebagai pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat. ! klusif I 3. Upaya Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Istilah harmonisasi sesungguhnya adalah istilah dalam ilmu musik untuk menunjukan adanya keselarasan dalam nada-nada yang menyusun suatu ritme musik sehingga menjadikan musik itu indah. Istilah ini relevan diterapkan terhadap bidang hukum, karena hukum memerlukan adanya keselarasan dalam pelaksanaanya dan keserasian antara berbagai kepentingan dalam masyarakat.72 L.M. Gandhi mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalamm praktek hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:73 1. Perbedaan antara berbagai peraturan perundang-undangan dan jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenali semua peraturan tersebut. 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah 72 73
Sunaryati Hartono, Op Cit, hal. 30. L.M. Gandhi, Op Cit, hal. 10
111
4.
Perbedaan peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran Mahkamah Agung.
5. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang saling bertentangan 6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan dan fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat.74 Prinsip-prinsip hukum yang adil yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan masyarakat umum. Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghidarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah pusat maupun pusat dan daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945, politik desentralisasi dan pengelolaan sumber daya kelautan yang tetap mengacu pada ketentuan hukum internasional yaitu Konvensi Hukum Laut 1982. Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yaknimembatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang menekankan 74
Theo Huijbers, Op Cit, hal. 150.
112
penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumber daya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantaipesisir serta kepentingan. Berkaitan
dengan
banyaknya
peraturan
perundang-undangan
yang
telah
dikeluarkan oleh berbagai institusi tidak serta merta mengakibatkan efektifnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan. Kelemahan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis adalah peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya kelautan seperti pengelolaan kawasan konservasi yang hampir seluruhnya tidak tertulis. Setiap peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman-pedoman untuk melaksanakan strategi tersebut, dimana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan yang dimaksud mungkin bisa berbentuk kebijakan tetap yang diterapkan dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya, juga dapat berupa kebijakan tidak tetap yaitu yang mudah diubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam kaitan kebijakan-kebijakan tersebut, harmonisasi hukum diharapkan akan menyelaraskan dan menserasikan tujuan, strategi dan pedoman masing-masing peraturan perundang-undangan dengan mengacu kepada hukum dasar UUD 1945 dan ketentuan payung. Potensi ketidakharmonisan pengaturan pengelolaan sumber daya kelautan dapat dieliminir jika seluruh peraturan yang berlaku saling harmoni dan tidak bertentangan satu sama lain dan disusun dalam suatu kerangka hukum yang menjadi acuan bersama. ndonesia C. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Disharmonisasi
hukum
pengelolaan
sumber
daya
kelautan
menyebabkan
pengelolaan sumber daya keluatan tumpang tindih dan tidak sinkron satu sama lain sehingga pengelolaan sumber daya kelautan belum optimal dalam mewujudkan amanah Kontitusi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 113
2. Saran Upaya harmonisasi hukum peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan dapat dilakukan dengan membentuk kebijakan kelautan yang terpadu sehingga jelas koordinasi dan pembagian wewenang lembaga yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya kelautan termasuk antara pusat dan daerah..
114
BAB VI ANALISIS HUKUM STANDAR HAM, HAK-HAK KONSTITUSIONAL MASYARKAT HUKUM ADAT DAN OTONOMI LUAS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL A.PENDAHULUAN Dua pertiga dari wilayah Indonesia terdiri dari laut dengan garis pantai sepanjang 81.290 km yang terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 17.506 pulau. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia merupakan negara kepulauan. Kondisi wilayah pesisir dan laut yang demikian luas mengandung sumber daya alam yang sangat besar,75 yang dapat pulih dan memiliki potensi ekonomi yang besar karena mampu menghasilkan produk dan jasa dengan daya saing tinggi jika dikelola secara tepat dan efisien. Secara umum, sumber daya pesisir dan laut memiliki arti strategis, karena: (1) meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk diikuti oleh berkurangnya sumber daya alam di daratan, maka sumber daya pesisir dan laut akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang; (2) dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan laut termasuk prioritas utama sebagai pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis,
agroindustri, pemukiman,
transportasi dan pelabuhan; dan (3) pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global (semula poros Eropa-Atlantik menjadi
Poros
Asia-Pasifik) dan memasuki era
perdagangan bebas dunia, maka kekayaan sumber daya kelautan Indonesia akan menjadi aset nasional dengan keunggulan komparatif yang harus dimanfaatkan secara optimal. Pada era reformasi saat ini, ada tiga faktor penting yang dinamis untuk dipertimbangkan dalam pengembangan pengelolaan kawasan pesisir dan laut serta pulau-
75.Berdasarkan
Pasal 1 Angka 4 UU 27 Tahun 2007 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
115
pulau kecil yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi. Demokratisasi menyangkut pengembangan aspek pembangunan yang yang membutuhkan adanya partisipasi yang luas dari masyarakat.
Sehubungan dengan itu, perencanaan pembangunan dituntut untuk
disusun secara terbuka dan melibatkan semua sektor dan unsur masyarakat dalam semua proses pembangunan, mulai dari perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi. Dalam kaitan ini masyarakat sebagai ‘the main stakeholder’
yang akan memperoleh
manfaat sosial ekonomi terbesar dalam pembangunan menjadi sangat penting.
Pada
daerah-daerah yang masih mempertahankan kearifan lokal seperti hak-hak kepemilikan, hak adat dan hak-hak perolehan rakyat perlu mendapatkan perhatian. Desentralisasi menyangkut pemberdayaan wilayah dan masyarakat, penumbuhan prakarsa dan inisiatif serta kreatifitas yang merupakan kebutuhan dasar penunjang nilai demokratisasi seperti yang dijelaskan diatas. Dengan demikian daerah-daerah mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Tuntutan ini memerlukan perubahan yang mendasar pada
kelembagaan pemerintah, peraturan-peraturan yang diperlukan, dan pembagian keuangan antara pusat dan daerah. Perubahan ini harus diikuti dengan kesiapan dan sikap sumber daya manusia, baik dipusat maupun di daerah.
Dalam hal pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan laut harus dapat menyesuaikan dengan tuntutan yang dimaksud di atas. Era otonomi daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk menggali potensi ekonomi secara optimal untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Namun harus diwaspadai agar kebijakan pemanfaatan potensi sumber daya pesisir tetap bersandar pada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan. Dua hal yang terlihat kontradiktif ini harus dapat disinergikan secara terpadu. Berkaitan dengan hal ini, maka prinsip pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara terpadu dapat difokuskan pada empat aspek yaitu: a. Keterpaduan antara berbagai sektor swasta yang berasosiasi; b. Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota, kecamatan dan desa; c. Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; dan d. Integrasi antara sain/teknologi dan manajemen.
116
Dengan
semakin
mencuatnya
paradigma
pembangunan
kelautan
serta
dilaksanakannya otonomi daerah, maka semakin mengemuka beberapa persoalan yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan sumber daya pesisir yaitu: a. Kondisi sumber daya pesisir dan laut yang bersifat common property dengan akses yang bersifat quasi open acces. Istilah common property ini lebih mengarah pada sifat sumber daya yang merupakan public domain, sehingga sifat sumber daya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumber daya tersebut tidak mendefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan gejala yang disebut dissipated resource rent yaitu hilangnya rente sumber daya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan optimal. b. Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif. Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumber daya pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumber daya pesisir dan laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumber daya serta terdegradasinya sumber daya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang bersangkutan. c. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Degradasi lingkungan pesisir dan laut yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih berlanjut misalnya pencemaran lingkungan perairan. Di samping itu, harus pula ada komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari terjadinya konflik-konflik sosial dan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat diakomodir sebagai salah satu peranata hukum. Pada saat ini terdapat kecenderungan pelaksanaan otonomi daerah merupakan replikasi dari pendekatan sektor yang cenderung untuk mengeksploitasi sumber dayanya. Undang-undang yang ada dan peraturan daerah lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya dan regulasi lain sehingga menimbulkan kerusakan fisik. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat relatif kurang. Selain itu, hak masyarakat adat/lokal (MHA), dalam pengelolaan sumber daya laut seperti sasi, seke, panglima laot juga masih kurang dihargai sehingga ruang untuk berpartisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir pun masih terbatas. 117
Berkenaan dengan regulasi yang terkait dengan pengelolaan pesisir dan laut terdapat beragam peraturan perundang-undangan dengan, tidak kurang dari 20 undangundang; 5 (lima) konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Disamping itu terdapat 14 (empat belas) sektor pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga tidak jarang kewenangan instansi yang didukung perundang-undangan masing-masing saling tumpang tindih. Dampak pengaturan secara sektoral selama ini dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial yaitu: a. Konflik antar undang-undang; b. Konflik antara undang-undang dengan hukum adat; c. Kekosongan hukum. Pengaturan umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada ekspoitasi sumber daya pesisir tertentu. Di samping itu perundang-undangan terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumber daya pesisir di darat saja atau di perairan laut saja. Kondisinya sekarang visi sektoral pengelolaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir telah mendorong departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir sesuai dengan kepentingannya. Di samping itu ada juga kecenderungan pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Kekosongan hukum terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam undangudang ini, tetapi baru sekedar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya. Padahal seiring dengan perkembangan pembangunan kewilayahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kelautan, muncul pula tuntutan baru di tengah masyarakat untuk memperoleh kepastian hak atas wilayah laut pesisir. Permasalahan di atas semakin meyakinkan pentingnya pendekatan integratif dalam pengelolaan
pesisir. Terlebih lagi begitu kompleksnya kepentingan bindang-bidang
118
76
pembangunan yang bersifat sektoral,
dalam wilayah tersebut sehingga tanpa keterpaduan
pengelolaan wilayah pesisir akan sulit diwujudkan tata kelola yang baik dalam pembangunan pesisir. Oleh karena itu, hal ini menjadi pemikiran bersama di antara bangsabangasa di dunia, terbukti dari hasil United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992.
77
UNCED merumuskan tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal management) dalam Agenda 21 Chapter 17, sebagai rencana aksi di Abad 21 dengan judul: “Protection of Oceans, All Kinds of Seas, including Enclosed and Semi-enclosed Seas, and Coastal Areas, and the Protection, Rational use and Development of Their Living Resources”. Kecenderungan rusaknya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selain akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam, juga merupakan akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir. Di sisi lain, peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Menyadari akan kondisi tersebut maka pada tahun 2007 pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yang dirancang untuk dapat mengatasi berbagai persoalan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Sebagai negara hukum,78 perspektif HAM merupakan hal yang penting dalam pembentukan suatu kebijakan negara. Selain itu kebijakan yang dibentuk juga harus selaras Pesisir merupakan konsep kewilyahan, yaitu daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sehingga beragam sektor kepentingan tercakup di dalamnya, antara lain sektor pertanahan, kehutanan, pertambangan, perikanan, kelautan, pelayaran, perhubungan. 76
77
UNCED dikenal juga dengan nama Earth Summit, menghasilkan: a) Convention on Biological Diversity; b) Convention on Climate Change; c) Agenda 21; d) The Forrest principles; dan e) Rio Declaration on Environment and Development. 78
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 4. Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara
119
dengan konstitusi negara. Sehingga kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dibentuk tidak bertentangan dengan
prinsip dan cita hukum79.
Oleh karena itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional penting untuk dicermati bagaimana keselarasan80 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) dengan konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan tujuan dan cita hukum penguasaan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dalam kerangka otonomi yang luas serta Prinsip dan Standar HAM. Sejalan dengan hal tersebut bagaimana pula keselarasan undang-undang tersebut dengan hak masyarakat hukum adat/MHA atas sumber daya pesisir.
Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu: 1. Supremacy of Law. 2. Equality before the law. 3. Due Process of Law. Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciriciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah: 1. Negara harus tunduk pada hukum. 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Jimly Assiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, trial:http///www.docudesk.com, diakses pada tanggal 19 Mei 2009, pukul 14:51 Wib. 79
Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara selain berpijak pada Pancasila juga berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtidee) yaitu: 1. 2. 3.
Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan(integrasi) Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dari negara hukum
4.
Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keadaban dalam hidup beragama.
80
Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stammler yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsipprinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat. Istilah harmonisasi sesungguhnya adalah istilah dalam ilmu musik untuk menunjukan adanya keselarasan dalam nada-nada yang menyusun suatu ritme musik sehingga menjadikan musik itu indah. Istilah ini relevan diterapkan terhadap bidang hukum, karena hukum memerlukan adanya keselarasan dalam pelaksanaanya dan keserasian antara berbagai kepentingan dalam masyarakat.
120
B. PRINSIP DAN STANDAR HAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL (UU PWP3K) Mencermati kajian tersebut di atas, maka penjelasan yang diperlukan adalah, pertama prinsip dan standar HAM81 yang digunakan?; kedua bagaimana Prinsip dan Standar HAM Dalam UU PWP3K dalam kaitannya dengan hak masyarakat hukum adat? Tuntutan global mendesak negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan pembangunan
berbasis
HAM
(right-based
development)
sebagai
suatu
standar
internasional HAM yang diarahkan untuk mendukung dan melindungi HAM. Pembangunan berbasis HAM itu sendiri pada hakikatnya memadukan norma-norma dan standar-standar (perjanjian, konvensi dan deklarasi) serta prinsip-prinsip (kesetaraan, keadilan, pemberdayaan, akuntabilitas dan partisipasi) sistem internasional HAM ke dalam perencanaan, kebijakan dan proses-proses pembangunan. Karena itu, strategi ini mengandung elemen-elemen: a) menunjukkan kaitan langsung dengan HAM, b) akuntabilitas, c) pemberdayaan, d) partisipasi, dan e) tidak diskriminatif dan memberi perhatian kepada kelompok-kelompok rentan.82 Berkenaan dengan hal tersebut dalam kajian ini digunakan lima (5) prinsip HAM yang akandijadikan indikator dalam menelaah apakah
UU PWP3K selaras83 dengan
81
HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, p. 7. Dalam UU No. 39 Hak Asasi Manusia dimaknai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 82
Nicola Colbran. 2008. Seminar Hasil Penelitian Hak Ekosob Status dan KondisiPemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Tiga Wilayah (Aceh, Yogyakarta dan Kalimantan Timur), Makalah pada Workshop Hak Ekosob diselenggarakan oleh Pusham UII kerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 16-18 Desember 2008), hlm. 6. 83
L.M. Gandhi mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:83 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perbedaan antara berbagai peraturan perundang-undangan dan jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenali semua peraturan tersebut. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. Perbedaan peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran Mahkamah Agung. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang saling bertentangan. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.
121
prinsip-prinsip tersebut, yaitu 1) Menunjukan kaitan langsung dengan HAM; 2) Akutabilitas; 3) Pemberdayaan; 4) Partisipasi; 5) Non Disriminatif. 1.Menunjukan Kaitan Langsung dengan HAM84 Berkenaan hubungan Hak Dalam UU PWP3K, dapat dipilah dari sisi hak warga negara dan hak negara. Hubungan orang dan WP3K menurut UU ini disebut dengan “hak” yaitu HP-3. Pasal 1 Angka 18 menyatakan, bahwa HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Penjelasan Umum Angka 3 huruf b memang mengenal juga istilah “ijin”. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui
pemberian
ijin
pemanfaatan dan HP-3. Namun, “ijin” pemanfaatan hanya
diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait, bukan berdasarkan undang-undang ini. Dengan demikian, sekali lagi dikatakan bahwa hubungan antara orang dan WP3K menurut undang-undang ini disebut dengan “hak” (HP-3), bukan ijin. Secara khusus, nomenklatur Hp-3 sebagai hak (hak kebendaan) P3
(hak
dan
bukan
ijin
perorangan) adalah suatu kekeliruan mendasar dengan segala implikasinya
sehingga untuk penyusunan PP sebagai pelaksanaannya, mengalami kendala konseptual maupun operasional. Dari sisi hubungan negara dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil undangundang ini menyebut hubungan Negara dan WP3K dengan istilah “dikuasai oleh Negara”,
84
HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, p. 7. Inti paham HAM adalah Pertama bahwa HAM secara kodrati inheren atau melekat, universal mengacu bahwa HAM itu tanpa pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa, atau status sosial lainnya dan tidak dapat dicabut; hak-hak itu dimiliki oleh individu semata-mata karena mereka adalah manusia ciptaanNya bukan karena mereka adalah warga negara suatu negara. Kedua, perlindungan efektif terhadap HAM terdapat dalam kerangka batas-batas legitimasi yang demokratis. Ketiga, batas-batas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undangundang sebagai bagian dari konsep negara hukum yang bermakna bahwa hak harus dilindungi oleh undangundang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional. Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Konsepsi Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi tgl 24 Mei 2011, hal. 7-8.
122
dengan demikian undang-undang ini sebetulnya juga menggunakan konsep HMN. Hal ini dapat dilihat dalam konsiderans “Menimbang” huruf a, bahwa WP3K merupakan bagian
dari
SDA yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang mau pun bagi generasi yang akan datang. Mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, lebih lanjut
Pasal 16 mengatur
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengelolaan Pesisir (HP-3). HP3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Hal mendasar diatur dalam Pasal 17, bahwa HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pemberian HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. Selanjutnya mengenai pihak yang dapat diberikan HP-3, Pasal Pasal 18 HP-3 dapat diberikan kepada: a. Orang perseorangan warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c. Masyarakat Adat. Dari ketentuan Pasal 17 dan 18 UU PWP3K, prinsip HAM terlihat dengan jelas telah diterapkan dalam undang-undangan ini. Termasuk juga jaminan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat adat. Berkenaan dengan hak masyarkat, Pasal 60 mengatur bahwa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk: a.
memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
b.
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.
melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d.
memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
123
Selanjutnya Pasal 62 ayat (1) menjamin bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di sisi lain undang-undang ini juga menetapkan kewajiban Pemerintah, khususnya aterhadap pemenuhan hak masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 61, bahwa: (1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, masyarakat tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. (2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. 2. Akuntabilitas Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan Pasal 3 huruf j menentukan bahwa “akuntabilitas” merupakan salah satu asas PWP3K. Asas akuntabilitas dimaksudkan untuk
mendorong
agar
PWP3K
dilakukan
secara
terbuka
dan
dapat
dipertanggungjawabkan (Penjelasan Pasal 3 huruf j). Prinsip akuntabilitas lebih lanjut diatur dalam Pasal 66 dan 67. Selan itu dalam UU PWP3K Prinsip akuntabilitas terlihat dari ketentuan Pasal 21. Dalam pasal ini dirumuskan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga diharapkan dengan dipenuhinya syarat tersebut pengelolaan wilayah pesisir tidak kontra produktif dan berakibat buruk. Persyaratan untuk pemberian HP-3 meliputi persyaratan teknis, administratif, dan operasional. Persyaratan teknis meliputi: a.
kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.
hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta
c.
pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sedangkan persyaratan administratif meliputi: 124
a.
penyediaan dokumen administratif;
b.
penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;
c.
pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d.
dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.
Adapun persyaratan operasional mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk: a.
memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
b.
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c.
memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d.
melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3. Akuntabilitas
dalam undang-undang ini tidak saja terbatas pada pihak yang
diberikan HP-3, namun juga kepada masyarakat. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 60, bahwa
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berkewajiban: a.
memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil;
b.
menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.
menyampaikan
laporan
terjadinya
bahaya,
pencemaran,
dan/atau
perusakan
lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; d.
memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa. Dengan rumusan demikian dapat dikatakan bahwa UU PWP3K telah menerapkan
prisnip-prinsip akuntabilitas yang menyeluruh, baik oleh pemerintah, pemegang
HP-3
maupun masyarakat secara umum. 3. Pemberdayaan Prinsip pemberdayaan dalam UU PWP3K dimaknai sebagai
upaya pemberian
fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar mampu menentukan 125
pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestar (Pasal 1-23). Selanjutnya dalam Pasal 63 Pemberdayaan tidak saja ditujukan terhadap masyarakat umum dalam meningkatkan kesejahteraannya, namum juga ditujukan kepada berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam: a.
pengambilan keputusan;
b.
pelaksanaan pengelolaan;
c.
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah;
d.
pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.
pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g.
penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h.
pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
4.Partisipasi Secara eksplisit tidak terdapat aturan khusus dalam UU PWP3K yang mengatur tentang partisipasi masyarkat. Namun demikian tidak berarti undang-undang ini tidak mengadopsi prinsip tersebut. Justru legal sprit dari pembentukan undang-undang ini sebagaimana terlihat dalam konsideran
salah satunya adalah dalam rangka penjamin
aspirasi dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya Pasal 3 mengatur mengenai
pengelolaan
Wilayah Pesisir
asas peran serta masyarakat. Asas peran serta masyarakat
dimaksudkan: 1. agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; 2. memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil; 3. menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut; 4. memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil. 126
Dalam rumusan batang tubuh prinsip partisipasi itu terlihat dalam Pasal 21 yang Persyaratan untuk pemberian HP-3 adanya hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 5.Non Diskriminatif Konsep non diskriminasi terkait juga dangan keberpihakan dari suatu kebijakan. Terkait dengan keberpihakan,85 kebijakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada bagian
awal;
konsiderans,
ketentuan
umum, asas dan tujuan; Undang-undang ini
tampaknya memihak kepada rakyat (pro-rakyat), tetapi pada bagian isi, terutama terkait dengan pemanfaatan WP3K; justru pengusaha yang lebih diutamakan (pro-kapital). Hal ini dapat dilihat dalam konsiderans
“Menimbang” huruf a dan b sebagaimana telah
disebutkan di atas. Begitu juga dengan pengertian PWP3K dalam Pasal 1 Angka 1 undangundang ini. Beberapa persoalan yang diatur dalam UU ini terlihat pula dari beberapa istilah berkaitan dengan masyarakat (rakyat) yang terdapat pada ketentuan umum Pasal 1, antara lain masyarakat adat, masyarakat lokal, masyarakat tradisional, termasuk kearifan lokal. Yang dimaksud dengan masyarakat dalam undang-undang ini terdiri atas masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di WP3K (Angka 32). Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum (Angka 33). Kemudian, masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari- hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya
bergantung
pada
(Angka 34). Di samping itu,
sumber daya
terdapat
pula
pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu istilah
masyarakat
tradisional adalah
masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional (Angka 35).
85
Maria S Sumardjono et al, Kajian Kritis Undang-Undang Terkait Penataan Ruang & Sumberdaya Alam, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 – DANIDA, hal. 66.
127
Akhirnya, Pasal 1 undang-undang ini juga melengkapinya dengan istilah “kearifan lokal” yaitu nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat (Angka 36). Pasal 18 yang mengatur tentang HP-3 juga memberikan perhatian kepada rakyat, khususnya MHA. Menurut Pasal 18, di samping orang perseorangan WNI dan badan hukum Indonesia, masyarakat adat juga dapat memegang atau dapat diberikan HP-3. Kemudian, Pasal 21 ayat (4), menyatakan bahwa pemberian HP-3 di samping harus memenuhi syarat teknis dan administratif, wajib pula memenuhi syarat operasional. Persyaratan operasional dimaksud mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk: a. Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan. b. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal. c. Memperhatikan
hak
masyarakat
untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai
dan muara sungai. d. Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP3. Pasal 28 ayat (3) menyatakan, kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem diselenggarakan untuk melindungi, salah satunya, adalah wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu. Kemudian, Pasal 60-63 mengatur tentang hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat. Walaupun menunjukkan perhatian terhadap masyarakat (terkesan pro-rakyat), seperti dikemukakan di atas, namun keberpihakan UU ini kepada kepentingan pengusaha juga terlihat. Pasal 14 ayat (1), yang mengatur mekanisme penyusunan rencana PWP3K, sudah memberikan “kedudukan” istimewa terhadap dunia usaha. Usulan penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RAPWP3K) dilakukan oleh Pemda serta dunia usaha. Keberpihakan kepada pengusaha terlihat menonjol pada pengaturan pemanfaatan perairan pesisir melalui HP-3 (Pasal 16). Menurut Pasal 16 ayat (2), HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 diberikan untuk luasan dan waktu tertentu yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 19). Pemberiannya wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan 128
pulau-pulau kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 17). Kemudian, Pasal 18 memang memberikan kesempatan masyarakat adat untuk memperoleh HP-3, namun posisinya terkesan hanya sebagai “pelengkap” saja. Pengusaha, baik berupa orang perseorangan WNI mau pun badan hukum Indonesia tetap yang lebih diutamakan dalam pemberian HP-3. Lagi pula, proses pengurusan dan syaratsyarat
yang
diwajibkan
dalam
pemberian HP-3 itu belum tentu mudah bagi
masyarakat hukum adat untuk memenuhinya. Lantas, apakah dengan undang-undang ini pemanfaatan perairan pesisir oleh mayarakat adat harus dilakukan berdasarkan HP-3. Mekanisme HP-3 memang mendorong komersialisasi perairan pesisir dan Pasal 20 mendukung ke arah itu. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan (bahkan) dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan, untuk itu HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3 (Pasal 20 ayat (1) dan (2). Kemudian, Pasal 21 memuat persyaratan wajib
dipenuhi
untuk
yang
pemberian HP-3 yaitu persyaratan teknis, administratif, dan
operasional (ayat (1)), yang tidak mudah dipenuhi oleh masyarakat hukum adat. Kembali dikemukakan, bahwa Pasal 21 ayat (4) memuat persyaratan
operasional untuk HP-3.
Persyaratan operasional mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk: a. Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan. b. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal. c. Memperhatikan
hak
masyarakat
untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai
dan muara sungai. d. Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP3. Pada satu sisi, pencantuman persyaratan
berupa “pemberdayaan masyarakat” dan
“pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat” memang positif bagi pengakuan masyarakat adat. Pada sisi lain, pernyataan seperti itu justru semakin membuktikan bahwa undang-undang ini hanya hendak memberikan HP-3 itu kepada pengusaha saja (prokapital), bukan kepada masyarakat adat. Posisi masyarakat adat cukup hanya diakui saja oleh pengusaha yang bersangkutan. Di samping untuk pemanfaatan perairan pesisir, HP-3 juga digunakan untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Pasal 23 ayat (4) menyatakan,
pemanfaatan
pulau-pulau
kecil
dan perairan di
sekitarnya wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemda sesuai dengan kewenangannya. 129
Keberpihakan UU ini terhadap pengusaha juga terlihat dari Pasal 23 ayat (5) dan (6). Pemberian HP-3 kepada pengusaha tidak terhalangi walaupun masyarakat telah menggunakan kawasan tersebut untuk kepentingan kehidupan atau Pemda tetap akan mengeluarkan HP-3 setelah melakukan masyarakat
yang
mereka. Pemerintah
musyawarah
dengan
bersangkutan. Untuk itu bupati/walikota (wajib) memfasilitasi
musyawarah dimaksud. Ketentuan ini rancu karena dalam Pasal 23 ayat (5) mengesankan bahwa Pemerintah atau Pemda yang melakukan musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan, tetapi dalam Pasal 23 ayat (6) disebutkan bahwa Bupati/Walikota lah yang memfasilitasi musyawarah tersebut. Dengan demikian menjadi tidak jelas apakah yang melakukan musyawarah itu Pemerintah/Pemda dengan masyarakat yang bersangkutan, atau (calon) perusahaan dengan masyarakat yang bersangkutan dengan difasilitasi Bupati/Walikota. Dalam Pasal 3 pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
diantaranya berasaskan pemerataan. Asas pemerataan ditujukan pada manfaat ekonomi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan prinsip HAM, kelihatannya UU PWP3K telah mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut. Kendati demikian perlu dipahami, bahwa undang-undang ini sejatinya undang-undangan bersifat payung. Karena sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa konsep pesisir menunjuk pada konsep kewilayahan yang di dalamnya beragam aktifitas sektor pembangunan. Oleh karena itu, pada akhirnya harus pula menelaah bagaimana berbagai undang-undangan sektoral tersebut dapat mengimplementasikan prinsip dan norma UU PWP3K . Dari analisis lima (5) prinsip HAM di atas, UU PWP3K menunjukan idealismenya dalam pemenuhan prinsis-prinsip HAM tersebut. Sebagai suatu produk kebijakan undangundang ini sudah cukup baik. Kendati demikian
masih pula didapati kekurangannya
karena tersirat adanya pemihakan terhadap pemodal besar dibanding masyarakat kecil. C. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM UNDAG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL Terkait dengan hak masyarakat adat terhadap sumber daya pesisir, konsep hak ulayat perairan umum merupakan “hak kepemilikan bersama” terhadap penggunaan suatu wlayah perairan umum. Dengan demikian, kepemilikan atau pemegang hak diatur dalam 130
kelompok kekerabatan atau komunitas dusun/desa sebagai institusi pemilikan bersama yang tidak lepas dari sosial order, dan kesadaran kolektif suatu komunitas.
Hak
kepemilikan (property rights) mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces) dan memanfaatkan (to use). Konotasi memiliki, memasuki dan memanfaatkan suatu wilayah kepemilikan bersama akan menghasilkan tindakan kolektif yang seiring dengan tindakan itu dan akan melahirkan interaksi sosial. Sehingga hak ulayat perairan umum mempunyai keterikatan yang tegas dalam membangun dan membentuk pranata kehidupan masayarakat yang lebih sosial. Konsep hak ulayat laut merupakan seperangkat aturan atau praktek pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Konsep ini akan bermuara pada aturan yang meliputi manajemen wilayah laut. Dengan demikian, akan tercipta suatu bentuk penguasaan terhadap laut, dan penguasaan ini akan mendorong terbentuknya komunitas kepemilikan sebagian atau seluruh wilayah laut. Penguasaan akan melegimitasi sistem untuk menerapkan aturan bagi lingkungan sesuai dengan kepentingan komunitas kepemilikan wilayah laut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah hak ulayat laut di sini meliputi hak memiliki laut seluruh atau sebagiannya?. Untuk sementara ini hak tersebut masih terbatas pada hak mengambil kekayaan laut dan hak memakai laut. Pengakuan terhadap hak ulayat dirasakan amat penting karena pada kenyataanya hak tersebut masih dipelihara dan ditaati pada sebagaian masyarakat. Pada era penjajahan Belanda, sungguhpun pada kenyataanya hak ulayat itu ada dan berlaku dan diperhatikan pula dalam putusan hakim namun hak tersebut belum pernah diakui secara resmi dalam undang-undang. Akibatnya dalam pelaksanaan peraturan-peraturan hukum agraria (pertanahan) keberadaan hak ulayat sering diabaikan. Dalam kajian hak Ulayat perairan Umum, beberapa variabel penting yang akan dijadikan wilayah kajian meliputi: 1.
Wilayah kepemilikan bersama;
2.
Keputusan adat;
3.
Komunitas masyarakat pemilik wilayah;
4.
Kepercayaan, dan
5.
Aturan hukum, sampah dan sanksi adat. Berkaitan dengan pengakuan hak masyarkat adat, dalam UU PWP3K mengenal 3
(tiga) istilah terkait dengan MHA, masyarakat adat, masyarakat lokal dan masyarakat 131
tradisional. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum (Pasal 1 Angka(33)). Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu (Pasal 1 Angka (34)). Sementara itu, masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional (Pasal 1 Angka (35)). Seterusnyan dari rumusan Pasal 17, undang-undang ini mengakui keberadaan hak masyarakat
adat dalam
pertimbangan pemberian HP-3 (Pasal 17 ayat (2)). HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu (Pasal 1 Angka (18)). Dalam PWP3K UU ini pengakuan hak masyarakat adat terkait dengan Pemberian HP-3 yang
mewajibkan untuk mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. Demikian pula dengan hak pengelolaan pesisir, secara tegas dalam Pasal 18, bahwa selain orang perseorangan warga negara Indonesia; Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia HP-3 dapat pula diberikan kepada MHA. Selain itu hak-hak masyarakat adat juga eksis,
terkait dengan persyaratan
pemberian HP-3, dalam Pasal 21 ditegaskan Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional. Persyaratan operasional
mencakup kewajiban
pemegang HP-3 untuk: a. memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan; b. mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal; c. memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta 132
d. melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3. Hak masyarakat adat juga diberikan terkait dengan Konservasi pesisir dan pulaupulau kecil. Dalam Pasal 28 Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk: a. menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; b. melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; c. melindungi habitat biota laut; dan d. melindungi situs budaya tradisional. Selanjutnya Kawasan konservasi juga untuk melindungi: a. sumber daya ikan; b. tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; c.
wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan
d. ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Terkait dengan hak masyarakat dan masyarakat hukum adat, ketentuan Pasal 60 merinci hak tersebut sebagai berikut: a.
memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
b.
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.
melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; Sedangkan Pasal 61 menjamin bahwa Pemerintah mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak Masyarakat Adat, masyarakat tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Penetapan wilayah yang diatur oleh adat tertentu sebagai kawasan konservasi, justru berpotensi menafikankeberadaan hak ulayat laut MHA karena pengelolaan kawasan konservasi itu dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda (Pasal 28 ayat (5)). Pertanyaanya, masih adakah hak MHA untuk melaksanakan praktik hak ulayat lautnya seperti sedia kala jika wilayah hak ulayat lautnya menjadi kawasan konservasi?. MHA juga dilibatkan dalam penyelesaian sengketa dalam PWP3K berdasarkan adat istiadat/kearifan lokal mereka (Pasal 64 ayat (2)). (2) Pengakuan
terhadap
hak 133
masyarakat
adat yang akan terkena kegiatan usaha HP-3. Proses pemberian HP-3 harus
mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan/ atau masyarakat lokal
(Pasal
21
ayat
(4)
huruf b). Di samping itu, pemberian HP-3 juga harus
memperhatikan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai (Pasal 21 ayat (4) huruf c). Ketentuan masyarakat hukum adat dapat menjadi subyek HP-3 juga berpeluang menafikan hak-hak masyarakat hukum adat. MHA harus memenuhi persyaratan dan mengikuti ketentuan undang-undang ini dalam pengusahaan WP3K. masyarakat
adat
Bagaimana
kalau
tidak menjadi pemegang HP-3? Apakah mereka masih dapat
mempraktikkan hak ulayat lautnya?. Kedua, jika MHA keberatan terhadap permohonan HP-3 perorangan/badan hukum, apakah permohonan HP-3 tersebut dikalahkan atau sebaliknya?. UU WP3K ini menegaskan, bahwa dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah (Pasal 21 ayat (3) huruf d). Dengan demikian, pemohon harus mengikuti cara perolehan hak atas tanah menurut UUPA yang mengakui hak tanah MHA. Ketentuan ini juga berpotensi tumpang tindih antara HP-3 dengan pemberian hak atas tanah yang selama ini sudah dilaksanakan menurut ketentuan hukum tanah nasional. Sedangkan konsistensi dengan pengakuan hak masyarakat adat atas WP3K, maka dalam PWP3K, masyarakat, termasuk MHA, mempunyai hak untuk (Pasal 60 ayat (1)): a. memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3; b. memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan; d. memperoleh manfaat atas pelaksanaan PWP3K; e.
memperoleh
informasi
berkenaan
dengan PWP3K;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan PWP3K; h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu; 134
i. melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan WP3K yang merugikan kehidupannya; j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta k. memperoleh ganti kerugian. Disamping hak masyarakat (masyarakat adat) juga mempunyai beberapa kewajiban seperti yang dicantumkan dalam Pasal 60 ayat (2), yaitu: a.
memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil;
b.
menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.
menyampaikan
laporan
terjadinya
bahaya,
pencemaran,
dan/atau
perusakan
lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; d.
memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa. Pengakuan terhadap MHA dalam undang-undang ini juga terlihat dari ketentuan
Pasal 64 berkenaan dengan penyelesaian sengketa, diatur bahwa penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan: 1. Setiap sengketa yang berkaitan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diupayakan untuk diselesaikan di luar pengadilan. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian
ahli,
negosiasi,
mediasi,
konsiliasi,
arbitrase
atau
melalui
adat
istiadat/kebiasaan/kearifan lokal. Dari paparan di atas mencerminkan bahwa UU PWP3K telah banyak mengatur hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.
Bahkan pengakuan hak-hak
masyarakat adat ini merupakan salah satu semanggat pembentukan undang-undang ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum bahwa
kurang dihargainya hak
masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan 135
bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Kendati demikian dalam kenyataannya kebijakan tersebut belum mampu menjamin eksistensi hak masyarakat hukum adat terhadap sumber daya pesisir. Hal ini lebih disebabkan oleh makin pudarnya eksistensi masyarkat hukum adat akibat proses pengabaian yang berlangsung lama, sehingga batas-batas hak-hak adat pun semakin pudar. Oleh karena ke depan perlu kebijakan yang lebih konkrit untuk menjamin hak-hak masyarkat adat tersebut.
1.Prinsip Otonomi Luas dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Desentralisasi menjadi wacana yang menarik
di dalam penyelenggaraan
pemerintahan dewasa ini. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi menjadi acuan penting, tidak saja karena alasan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, namun juga terkait dengan semanagat demokratisasi untuk mendekatkan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.86
Pentingnya desentralisasi bagi negara-negara moderen, merupakan sebagai kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari dalam rangka efisiensi-efektivitas, pendidikan politik, stabilitas politik, kesetaraan politik, dan akuntabilitas publik87. Semangat desentralisasi di Indonesia semakin kokoh sejak dilakukan perubahan UUD 1945. Perubahan kedua (tahun 2000) menghasilkan rumusan baru pasal-pasal yang mengatur pemerintahan daerah, yakni Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B.88 Dalam Pasal
86
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averoes Pres, Malang, 2005, hal. 1.
87
Syaukani HR, et.al., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 21-31. 88
Dengan perubahan Pasal 18 tersebut, memperlihatkan sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagir Manan menyebutkan Paradigma yang dimaksud adalah:88 1.
Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Di masa depan, tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah;
2.
Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas-luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara (administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh Pemerintahan daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat;
3.
Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan rumah tangga tidak perlu seragam. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.
136
18 ayat (2) ditegaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian Pasal 18 ayat (5) mengamanatkan bahwa Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Terkait dengan kewenangan
pembentukan peraturan, Selanjutnya dalam ayat (6) dirumsukan bahwa Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Semangat otonomi luas dalam UU PWP3K Kecil terlihat dari sejumlah pasal yang menegaskan kewenangan daerah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya pembagian wewenang antara Pemerintah dan Pemda, maka PWP3K dalam UU ini dapat dikatakan bersifat desentralistik. Pengelolaan yang desentralistik tersebut dapat pula ditelusuri dalam asas dan tujuan PWP3K (Pasal 3 dan 4). Dari 11 asas PWP3K yang dinyatakan Pasal 3, desentralisasi merupakan salah satu asas tersebut. Begitu juga dengan Pasal 4, salah satu tujuan PWP3K adalah menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemda dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 4 huruf b). Tidak hanya desentralistik, undang-undang ini juga mendorong adanya integrasi kegiatan sebagai berikut (Pasal 6). a. Antara Pemerintah dan Pemda. b. Antar-Pemda. c. Antar sektor. d. Antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
4.
Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap) dan berbagai hak tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat;
5.
Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara), kesejahteraan (seperti D.I Yogyakarta), atau karena keadaan sosial kultural (seperti D.I Aceh);
6.
Anggota DPRD dipilih langsung dalam satu pemilihan umum. Di masa depan tidak ada lagi anggota DPRD (begitu juga anggota DPR) yang diangkat;
7.
Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan secara selaras dan adil.
(Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hal.229.)
137
e. Antara ekosistem darat dan ekosistem laut; dan f.
Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Terkait dengan desentralisasi dalam perencanaan PWP3K juga dapat dilihat pada
salah satu kedudukan Pemda dalam pengelolaan itu. Pasal 7 ayat (4) menyatakan, Pemda menyusun rencana pengelolaan WP-3K dengan melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman dari peraturan menteri. Kemudian, ayat (5) lebih merinci lagi, Pemda kabupaten/kota menyusun rencana zonasi rinci di setiap zona kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu dalam wilayahnya. Peran Pemda juga terdapat dalam mekanisme penyusunan rencana PWP3K. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa usulan penyusunan semua jenis rencana, baik rencana strategis, rencana zonasi dan rencana PWP3K mau pun rencana aksi pengelolaannya dilakukan oleh Pemda serta dunia usaha. Kebijakan desentralisasi juga dapat dilihat pada Pasal 50-55 yang mengatur tentang kewenangan. Pembagian kewenangan pemberian HP3 dalam UU ini mengikuti ketentuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini bisa dilihat antara lain dalam Pasal 50 yang menyatakan bahwa: a. Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu. b. Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan kepulauan, dan perairan pesisir lintas kabupaten/kota. c.
Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir 1/3 (satu
pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. Tabel 4:Kewenangan Memberikan Hak Pengelolaan(HP) di Wilayah Perairan Pesisir Menteri
Gubernur
Bupati/Walikota
memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
menetapkan: a. HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu, b. Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
138
yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan, dan c. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional.
&
Untuk melihat secara detail pembagian kewenangan antara Menteri, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota, dapat dilihat dalam Pasal 51-55. Walaupun bersifat desentralistik, pluralisme hukum dalam PWP3K tidak disinggung. Namun demikian, perhatian dan sikap UU ini terhadap pluralisme hukum secara tidak langsung dapat juga dilihat dalam uraian No. 5 tentang pengakuan HAM khusus tentang “pengakuan terhadap masyarakat hukum adat”. Bahkan dalam undang-undang ini menjadikan desentralisasi dan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai salah satu asas dan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4. masing-masing antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah berdsarkan Pasal 50 dan 51 adalah Pasal 52 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Mengenai kewenangan sebagai berikut: Sejalan dengan otonomi pengelolaan wilayah pesisir, meskipun tidak ada peruntah langsung dari UU PWP3K , bermodal dari kewenangan yang diberikan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta undang-undang sektoral yang terkait pengelolaan sumberdaya pesisir sebagian daerah
peraturan daerah tentang pengelolaan
wilayah pesisir.89 2. Harmonisasi Kepentingan Sektoral Sebagaiaman dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa
regulasi yang terkait
dengan pengelolaan pesisir dan laut terdapat beragam peraturan perundang-undangan dengan,
tidak kurang dari 20 undang-undang;
5 konvensi internasional yang telah
diratifikasi Indonesia. Di samping itu terdapat 14 sektor pembangunan dalam pemanfaatan 89
Di Provinsi Jambi kebijakan daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dituangkan dalam Perda Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Di Kabuoaten Tanjung Jabu Barat kebijakan daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut.
139
sumber daya pesisir baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga tidak jarang kewenangan instansi yang didukung perundang-undangan masing-masing saling tumpang tindih. Dampak pengaturan secara sektoral selama ini dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial yaitu konflik antar undang-undang; konflik antara UU dengan hukum adat; dan bahkan kekosongan hukum. Oleh karena itu dalam implementasi kebijakan pesisir diperlukan pendekatan integratif dan koordinatif. Dalam merespon persoalan tersebut UU ini tampaknya mendorong implementasi PWP3K untuk dilakukan secara terkoordinasi. Hal ini sudah tergambar dalam Ketentuan Umum khususnya Pasal 1 Angka 1 yang memberi penafsiran otentik terhadap pengelolaan WP-3 adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemda, antara ekosistem darat dan laut. Pentingnya koordinasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan juga ditunjukkan oleh Pasal 3 yang menentukan asas PWP3K. Satu dari 11 asas pengelolaan WP-3K, menurut Pasal 3 ini, adalah “keterpaduan”, yang menempati urutan ketiga. Menurut Penjelasan Pasal 3 huruf c itu, asas keterpaduan dikembangkan dengan: a.
Mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horisontal dan secara vertikal antara pemerintah dan Pemda.
b. Mengintegrasikan
ekosistem
darat
dengan ekosistem laut berdasarkan masukan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam PWP3K. Hal serupa juga tergambar dari pengaturan proses PWP3K (Pasal 5-6). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pasal 6 menekankan pentingnya koordinasi dalam pengelolaan WP-3, bahwa pengelolaan WP-3 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan, tidak saja antara Pemerintah dan Pemda, tetapi juga antar-Pemda dan antarsektor. Oleh karena itu, Penjelasan Umum Angka 4 kembali menginformasikan, bahwa UU ini memerlukan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang lain seperti: 1. UU yang mengatur perikanan; 2. UU yang mengatur pemerintahan daerah; 3. UU yang mengatur kehutanan; 4. UU yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi; 140
5. UU yang mengatur penataan ruang; 6. UU yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup; 7. UU yang mengatur pelayaran; 8. UU yang mengatur konservasi SDA dan ekosistem; 9. UU yang mengatur peraturan dasar pokok agraria; 10. UU yang mengatur perairan; 11. UU yang mengatur kepariwisataan; 12. UU
yang
mengatur
perindustrian
dan perdagangan;
13. UU yang mengatur sumber daya air; 14. UU
yang
mengatur
sistem
perencanaan pembangunan nasional; dan
15. UU yang mengatur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa. Penjelasan Umum ini mengharapkan bahwa UU ini dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan WP-3 yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Walaupun demikian, posisi Menteri (Kelautan dan Perikanan) dalam UU ini tetap menentukan, misalnya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2). Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan PWP3K diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 53-55 mengatur lebih lanjut tentang koordinasi. Koordinasi
dalam
PWP3K
dilakukan
dilakukan
sesuai tingkat pemerintahannya. Pasal 53 mengatur koordinasi di tingkat nasional yang dilaksanakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Jenis kegiatan yang dikoordinasikan dalam hal ini meliputi (Pasal 53 ayat (2): a. penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap- tiap sektor sesuai dengan perencanaan PWP3K terpadu; b. perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu; c. program akreditasi nasional; d. rekomendasi
ijin
kegiatan
sesuai
dengan
e. kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta f. penyediaan data dan informasi bagi PWP3K yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu yang bertujuan strategis. Untuk menjamin terlaksananya koordinasi tersebut berdasarkan Pasal 53 ayat (3), pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Presiden, tidak dengan Peraturan Menteri. 141
Koordinasi PWP3K pada tingkat provinsi digariskan dalam Pasal 54, bahwa PWP3K pada tingkat provinsi dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan (ayat1). Jenis
kegiatan yang
dikoordinasikan itu meliputi (Pasal 54 ayat (2)): a.
penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap- tiap dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan PWP3K terpadu provinsi;
b. perencanaan
tiap-tiap
instansi daerah, antarkabupaten/kota, dan dunia usaha;
c. program akreditasi skala provinsi; d. rekomendasi
ijin
kegiatan
sesuai
dengan kewenangan instansi vertikal di
daerah, dinas otonom, atau badan daerah; e. penyediaan data dan informasi bagi PWP3K di provinsi. Selanjutnya Pasal 54 ayat (3) menegaskan pula, bahwa pelaksanaan kegiatan koordinasi tersebut diatur oleh gubernur. Koordinasi PWP3K juga ditentukan pada tingkat kabupaten/kota dan ketentuannya terdapat dalam Pasal 55. Pasal 55 ayat (1) menyatakan, PWP3K pada tingkat kabupaten/kota dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan, meliput jenis kegiatan: a. penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan PWP3K terpadu; b. perencanaan antarinstansi, dunia usaha, dan masyarakat; c. program akreditasi skala kabupaten/kota; d. rekomendasi
ijin
kegiatan
sesuai
dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom
atau badan daerah; serta e. penyediaan data dan informasi bagi PWP3K skala kabupaten/kota. Walaupun pelaksanaan
koordinasi tersebut dilakukan oleh dinas terkait, namun
pengaturannya diatur oleh bupati/walikota, bukan oleh dinas yang bersangkutan (ayat 3).
D. PENUTUP Dari perspektif keselarasan dengan prinsip HAM, memperlihatkan bahwa UU PWP3K dipungkiri
telah selaras denga prinsip-prinsip HAM adanya
tersebut. Meskipun tidak bisa
kelemahan seperti materi aturan
yang mengisaratkan adanya 142
pemihakan terhadap kepentingan pemodal kuat dibanding masyarakat pemodal kecil dan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu, diperlukan adanya jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat termasuk masyarkat hukum adat. Berkenaan dengan jaminan hak masyarkat adat, persyaratan
pada satu sisi, pencantuman
berupa “pemberdayaan masyarakat” dan “pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat adat” memang positif bagi pengakuan masyarakat adat. Pada sisi lain, dapat dimaknai bahwa UU ini hanya hendak memberikan HP-3 itu kepada pengusaha saja (prokapital), bukan kepada masyarakat hukum adat. Sementara Posisi masyarakat hukum adat cukup hanya diakui saja oleh pengusaha yang bersangkutan. Mengenai prinsip-prinsip otonomi luas dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pula kecil, dengan adanya pembagian wewenang antara Pemerintah dan Pemda, maka PWP3K dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini dapat dikatakan bersifat desentralistik, walaupun demikian, posisi Menteri (Pemerintah) dalam undang-undang ini tetap menentukan. Demikian juga dalam pelaksanaan prinsip keterpaduan dan koordinasi. Kendati demikian perlu difahami, bahwa undang-undang ini sejatinya undang-undangan bersifat payung. Karena sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa konsep pesisir menunjuk pada konsep kewulayahan yang di dalamnya beragam aktifitas sektor pembangunan. Oleh karena itu pada akhirnya harus pula menelaah bagaimana berbagai undang-undangan sektoral tersebut dapat mengimplementasikan prinsip dan norma UU PWP3K. Selain itu dalam undang-undang ini diperintahkan untuk pengaturan lebih lanjut, meliputi dua Peraturan Pemerintah, dua Peraturan Presiden, dan tiga Peraturan Menteri. Namun sampai saat ini sebagian besar peratura pelaksanaan tersebut belum dapat diwujudkan.
143
BAB VII ANALISIS HUKUM UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR DAN UNDANG-UNDANG MINERAL DAN BATUBARA (MINERBA) DALAM KAITANNYA DENGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A. HAK MASYAKARAT HUKUM ADAT ATAS SUMBER DAYA AIR 1.Konsepsi Air Sebagai HAM Air adalah sumber kehidupan, tanpa air tak mungkin ada kehidupan. Air yang semula tiada yang memiliki (res nullius), kemudian menjadi milik bersama umat manusia (res commune), bahkan milik bersama seluruh makhluk Tuhan, tak seorang pun boleh memonopolinya. Air yang semakin langka, perlu pengaturan oleh negara agar air dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water) yang secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Aqua vitae, life water, ma’ul hayat,90 bahwa air sebagai sumber kehidupan merupakan kebutuhan dasar manusia. Meskipun air bisa dimanfaatkan, tetapi harus disadari ia bisa berkurang dan menipis. Selain Air sebagai sumber kehidupan, air juga menjadi komoditas sentra ekonomi, meminjam istilah Bronwen Morgan, keduanya bertentangan secara radikal, water as an economic goods and water as a human right.91 Sebagai kebutuhan hak asasi manusia yang fundamanetal, pengakuan air sebagai HAM ditemukan dalam perumusan Pasal 14 The Convention on the Elimination all of Forms Discrimination Against Women-CEDAW 1979), yang menentukan bahwa perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap penyediaan air sebagai hak perempuan. Hal serupa terdapat juga dalam Pasal 24 The Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas air minum yang bersih. Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam Komentar Umum No.15 memberikan penafsiran
90
Putusan MKRI No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005, tanggal 13 Juli 2005, hal. 7. Majda El Muhtaj, Air Sebagai HAM, Makalah Peserta pada Studi Visit Hak Atas Air dan Perumahan, Pusham UII Yogyakarta, 15-17 Juni 2009, hal. 7. Lihat lebih lanjut Bronwen Morgan, “The Regulatory Face of the Human Right to Water,” dalam Journal of Water Law, vol. 15, 2004, halaman 179-187. 91
144
yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.92 Dalam Konstitusi, hak dasar warga Negara diatur dan dijamin dalam pasal 28 H (1) bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan “, pasal 28 I (4) “ Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak asasi manusia adalah tanggung Jawab Negara, terutama pemerintah. Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air di kategorikan sebagai essential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air dimana negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada tanggal 19 juli 2005 menyatakan Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air. Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa tanggung jawab penyediaan air minum diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN/BUMD. Sedangkan dalam Konstitusi UUD 1945, hanya terdapat satu pasal dan satu ayat yang secara tegas mengatur perihal lingkungan hidup yang sehat, yakni Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dari ketentuan inilah bisa ditarik pemaknaan yang luas ke dalam pemenuhan hak atas air. Benar bahwa right to a healthy environment mempunyai relasi positif ke dalam upaya to enforce the right to water. Pengaturan yang eksplisit bisa ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.93 UU Sumber Daya Air (Selanjutnya disebut UUSDA) ini 92
Sunny Ummul Firdaus, Implementasi UUD 1945 Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara atas Air dan Perumahan, Makalah Peserta pada Studi Visit Hak Atas Air dan Perumahan, Pusham UII Yogyakarta, 15-17 Juni 2009, hal.1. 93 UU ini terdiri dari 18 bab dan 100 pasal. UU ini disahkan pada 18 Maret 2004, LNRI Tahun 2004 Nomor 32, TLNRI Nomor 4377. Dapat juga dibandingkan dengan ketentuan pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (selanjutnya
145
tidak dengan tegas menyuarakan tiga aspek penting dari pemenuhan hak atas air, sebagaimana diterangkan di atas, justru, yang menjadi penekanan utama dalam UUSDA ini adalah pengelolaan air dalam perspektif sumber daya, bukan dalam kewajiban pemerintah memberikan pelayanan prima bagi rakyat.94 Penekanan yang terakhir ini sulit ditemukan kecuali hanya dimuat dalam Pasal 5 UUSDA yang bisa dijadikan entrypoint melihat relevansi UUSDA dengan HAM, yang berbunyi, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Dalam Putusannya, MKRI menyatakan sebagai berikut: Meskipun jaminan Negara dalam Pasal 5 UU SDA tersebut tidak dirumuskan kembali dalam bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah provinsi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14, Pasal 15 UU SDA, namun tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah provinsi, sebagaimana dirinci dalam kedua pasal tersebut harus didasari atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi atas air. Ketentuan Pasal 16 huruf h UU SDA yang menentukan bahwa Pemerintah kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya tidak boleh diartikan sebagai tanggung jawab eksklusif bahwa hanya Pemerintah kabupaten/kota saja yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air. Pemerintah dan Pemerintah provinsi melalui programprogramnya juga berkewajiban untuk menjamin agar hak asasi atas air dapat terpenuhi. Hal demikian harus tercerminkan dalam peraturan pelaksanaan UU SDA.95
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa politik HAM UUSDA lebih pada konteks water rights ketimbang right to water. Celine Dubreuil memberikan pembedaan tentang kedua hal tersebut yang dikutip dari Majda El Muhtaj bahwa: The ‘right to water’ should be distinguished from ‘water rights’ which generally refers to accessing or using water for specific purposes. Law concerning water rights may define who can use water and under which circumstances. Individuals can be allocated water rights which may consist of a predefined amount of water for specific purposes under specific conditions (e.g. farmers have water rights for irrigation purposes). However, these two types of right are interlinked. The HRTW (pen, Human Rights to Water) focuses on the amount of water necessary for basic human needs (about 50 litres per person per day), which is a small amount in comparison to the large quantities used for economic development (1500 litres per person per day in France). The right to drinking water does not broach general issues linked to environmental protection or integrated management of resources. In most cases, the taking of water to implement the human right to water does not affect the other 96 uses which are subjected to general water rights.
disebut PP Pengembangan SPAM). PP Pengembangan SPAM ini disahkan pada 21 Maret 2005 terdiri atas 13 bab dan 79 pasal, LNRI Tahun 2005 Nomor 33, TLNRI Nomor 4490. 94 Pasal 1 angka 1 menyatakan, “Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung didalamnya.” Yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat ditegaskan pada Pasal 82 sampai dengan 84. 95
Putusan MKRI, Op Cit, hal 490-491. Majda El Muhtaj, Op Cit., hal. 5.
96
146
Negara dalam melaksanakan hak penguasaan atas air meliputi kegiatan: (1) merumuskan kebijaksanaan (beleid), (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) melakukan pengaturan (regelendaad), (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad); Ada pandangan yang menganggap bahwa air adalah res commune, dan oleh karenanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga pengaturan tentang air harus masuk ke dalam sistem hukum publik yang terhadapnya tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata. Oleh karena itu, satu-satunya konsep hak yang sesuai dengan hakikat pengaturan tersebut adalah hak atas air sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Mahkamah berpendapat konsep Hak Guna Pakai Air sebagaimana telah dirumuskan dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ” dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. “Rakyat secara kolektif itu dikontsruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie)”. Timbul pertanyaan, apakah dengan tafsir konsep penguasaan demikian, dapat dengan tegas ditentukan siapa yang menjadi pemilik air tersebut? Konsepsi tersebut jelas menegaskan bahwa rakyat adalah pemilik bumi dan air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya, sehingga oleh karenannya manusia sebagai individu yang memiliki hak yang bersifat azasi untuk memperoleh akses terhadap air, yang harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi Pemerintah sebagai kewajiban konstitusional, memperoleh garis keutamaan dalam skala prioritas yang disusun dalam peraturan perundang-undangan tentang sumber daya air. Bahkan sistem hukum dan negara yang tidak mengenal ketentuan seperti Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, juga menganut doktrin bahwa air adalah merupakan res communes. 147
Konsekuensi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, air merupakan milik umum rakyat Indonesia dan seluruh kewenangan yang lahir dari penguasaan negara dalam bentuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan dan pengurusan atas air dan sumber daya air harus menempatkan hak rakyat Indonesia yang bersifat asasi demikian, sebagai hak yang utama, dan seluruh pengaturan yang dilakukan haruslah terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan warga Negara untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, baru pada giliran berikut skala prioritas lainnya memperoleh tempat.
2.Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Air Perumusan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya air dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) UUSDA yang meneguhkan bahwa “Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. Pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat dengan peraturan daerah (Perda) inkonstitusional, karena menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dengan ukuran “sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ”. Padahal, hingga saat ini belum ada satu pun Undang-undang yang di dalamnya memuat penjabaran ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut. Tanpa ukuran-ukuran seragam yang bersifat nasional, justru akan melahirkan Perda yang beragam dan bisa menggoyahkan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia.97 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU SDA yang menyatakan hak ulayat masyarakat adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah, dapatlah dikatakan telah melemahkan posisi dari masyarakat hukum adat yang ada karena perlu pengukuhan peraturan daerah, sehingga merugikan hak konstitusional masyarakat hukum adat. Perumusan pengakuan ini dapat dimaknai bahwa karena penguasaan sumber air oleh swasta dapat merugikan masyarakat hukum adat melalui swastanisasi sumber daya air. Di sisi ini atau sebaliknya, ketentuan pasal ini juga dapat dibaca sebagai bentuk perwujudkan pengakuan dan penghormatan negara atas keberadaan masyarakat hukum adat. 97
Mahkamah Konstitusi, Putusan, hal.508.
148
Adanya kekhawatiran bahwa penguasaan sumber air oleh masyarakat hukum adat akan diambilalih oleh swasta tidaklah akan terjadi karena swasta untuk melakukan pengusahaan atas sumber daya air dilakukan dengan mekanisme perizinan baik untuk mendapatkan Hak Guna Usaha Air maupun untuk mendapatkan hak pengusahaan air. Izin yang diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah harus selalu didasarkan pada pola pengelolaan sumber daya air yang disusun oleh Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah. Swasta tidak dapat melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan.98 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA) memang mengadopsi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak atas sumber daya air. Ketentuan dalam UUSDA tidak jauh berbeda dengan pendahulunya UUPA dan UUPK. Pengakuan bersyarat negara ini tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3). Ayat (2) menentukan: ”Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak serupa dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 6 ayat (3) menentukan: ”Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. UUSDA melalui Pasal 6 di atas memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap MHA beserta hak ulayat yang dipunyai. Ketentuan pengakuan dan perlindungan tersebut sama dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA. Pengakuan disertai dengan syarat yaitu: (a) sepanjang kenyataannya masih ada sehingga jika kenyataannya sudah tidak ada lagi karena tidak memenuhi kriteria maka hak ulayat masyarakat hukum adat tidak boleh dihidupkan lagi; (b) keberadaannya harus dikukuhkan oleh Pemda melalui Perda, hal yang mana dapat dimaknai dan mencerminkan semangat desentralistis karena Pemdalah yang memahami keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya; (c) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, (d) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat peraturan perundang-undangan tersebut dapat mengandung maksud menegasikan keberadaan hak ulayat dan berpotensi ke arah pelanggaran hak masyarakat hukum adat. 98
Mahkamah Konstitusi, Ibid.
149
Eksistensi masyarakat hukum adat yang masih mempunyai hak ulayat atas sumber daya air sudah seharusnya oleh Pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah provinsi, maupun Pemerintah pusat dikukuhkan
dengan peraturan daerah yang dimaknai tidak bersifat
konstitutif melainkan bersifat deklaratif belaka terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan zaman, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang sehingga masyarakat hukum adat dapat menikmati politik hukum pengakuan negara atas hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas sumber daya air.
B. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. Namun, undang-undang tersebut dirasakan bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang, dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan perlu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat karena itu dibentuklah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
150
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba, ditelaah dari aspek pemenuhan hak asasi manusia utamanya dari segi hak masyarakat hukum adat, undang-undang ini tidak mengacu pada substansi HAM yang terdapat dalam Konstitusi. Telaah atas UU Minerba memperlihatkan bahwa undangundang ini tidak mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam BAB XIII tentang Hak dan Kewajiban, yang diatur hanya Hak dan kewajiban yang diatur bagi pemegang izin pertambangan (Pasal 90-112). Kompromi lemah UU Minerba mengenai hak masyarakat (termasuk hak masyarakat adat:peneliti), diatur dalam ketentuan pasal 145 mengenai perlindungan rakyat yang menentukan bahwa Ayat (1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: a.memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan; b.mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Pasal 145 ayat (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangundangan. Dapat dikatakan bahwa Politik hukum UU Minerba belum memuat dan tidak berdimensi HAM. Selain tidak mengatur pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam juga mengabaikan hak Free and Prior Inform Consent, yang dijamin dalam instrumen HAM internasiona bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak untuk membuat persetujuan mengenai ekploitasi tambang di tanah atau diwilayah-wilayah mereka, terlebih jika berpotensi mengancam sumber-sumber kehidupan. Rakyat dihadapkan pada posisi lemah karena model perlindungan hak rakyat yang dianut UU Minerba adalah ganti rugi yang layak dan gugat ke pengadilan, dimana keduanya dalam kenyataan jauh dari pemenuhan keadilan.
151
BAB VIII SINKRONISASI UNDANG-UNDANG SEKTORAL DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT ATAS SUMBER DAYA ALAM A.Makna Hak Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam 1. Konsepsi Hak Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam Bagaimanakah seharusnya hak penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu dimaknai?. Pertanyaan ini layak diajukan karena adanya perbedaan penafsiran yang berimplikasi pada perwujudan hak ini di tataran empirik. Penelusuran ini penting, tidak saja untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran yang mendasari lahirnya konsep hukum penguasaan negara atas sumber daya alam, lebih lagi untuk memahami dan menafsirkan hak penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan jiwa dan cita negara Indonesia. Penelusuran terhadap makna hak penguasaan negara atas sumber daya alam ditemukan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA merumuskan pengertian mengenai hak penguasaan negara. Namun hal itu secara khusus mengenai bumi, air dan ruang angkasa, lebih khusus lagi mengenai tanah. Selanjutnya, dalam memori penjelasan UUPA pada angka II/2 diberikan penegasan bahwa perkataan dikuasai oleh negara dalam Pasal 2 UUPA, bukanlah dimiliki, akan tetapi pengertian yang memberi kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia. Seterusnya, organisasi yang melaksanakan kewenangan atau tugas penguasaan negara tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia. Pengertian berbeda, mengenai hak penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana ditafsirkan dalam UUPA adalah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menyebutkan bahwa “Negara menguasai semua bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut merupakan kekayaan nasional”. Dari kata “Negara menguasai ... sepenuh-penuhnya” tersebut hingga kini masih ditafsirkan sebagai “negara memiliki”.99
99
Abrar Saleng, Op Cit, hal.3.
152
Perbedaan penafsiran makna hak penguasaan negara dari ke dua undang-undang di atas yang sama-sama bersumber dari Pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan semakin pentingnya kajian terhadap hak penguasaan negara atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan kajian terhadap konstitusi khususnya ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang tidak memberikan rumusan yang jelas, terutama mengenai makna, substansi, batasbatas kekuasaan dan keterlibatan negara/pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagir Manan mengemukakan apabila pengertian hak penguasaan negara dipahami secara umum, termasuk hal-hal di luar bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka unsur utama penguasaan negara adalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Dalam kerangka pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa dalam penguasaan itu, negara hanya melakukan bestuurdaad dan tidak melakukan eigensdaad. Mengenai negara melakukan bestuursdaad tidak dijelaskan lebih lanjut, sebab itu adalah hal yang menarik untuk dikaji dalam upaya menemukan makna dan substansi konsep hak penguasaan negara.100 Jaminan konstitusional mengenai penguasaan sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dirumuskan dalam ketentuan Pasal 33 UUD ayat (3) 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata-kata dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas merupakan dasar bagi konsep hak penguasaan negara. Hak penguasaan negara sebagai konsep sampai saat ini belum mempunyai pengertian serta makna yang jelas dan tegas yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional, sehingga mengundang banyak penafsiran yang berimplikasi kepada implementasinya. Perbedaan implementasi
ini
baik
dalam
peraturan
perundang-undangan 101
pelaksanaannya oleh departemen/instansi pemerintah terkait.
maupun
dalam
Akibatnya sering terjadi
benturan atau konflik kepentingan dan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional. Studi mengenai
hak penguasaan negara atas sumber daya alam senantiasa
berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Prinsip keadilan dan keberlanjutan seharusnya mendasari setiap pembuatan dan penyusunan materi peraturan 100
Abrar Saleng, Ibid. Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Bagian Pertama), Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannnya, Djambatan, Jakarta, 1975, hal. 180-182. 101
153
perundang-undangan di bidang sumber daya alam agar penguasaan negara bermuara pada sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai tujuan Konstitusi dari hak penguasaan negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih
lanjut,
pembuatan
dan
penyususan
peraturan
perundang-undangan
seharusnya dapat menjadi instrumen dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan Bangsa Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia ke empat Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pernyataan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia.102 Konsepsi "dikuasai oleh negara" sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD l945 tersebut, telah ditafsirkan oleh Mahkamah konstitusi dalam perkara nomor 01021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember Tahun 2004, yang merumuskan bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi dari pemilikan. Dinyatakan bahwa: “….pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum
publik yang
berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Selanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan negara mengelola sumber daya alam (SDA) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang harus dinikmati generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan ini dapat dipahami 102
Koesnardi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta, Cet. XIV, 1999, hlm. 66. Dalam hal ini, beliau menyatakan bahwa kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Sehingga ketentuan tersebut, menurut beliau memberikan “hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesar'besar kemakmuran rakyat.
154
bahwa, asas pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dewasa ini telah ditempatkan sebagai standar kebijakan pembangunan nasional. Berkaitan dengan kebijakan pembangunan sumber daya alam, Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu, diperlukan penataan kembali penguasaan dan pengelolaannya secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mengedepankan prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal yang memuat tentang prinsip demokrasi ekonomi yang menjamin keadilan dan kesejahteraan social rakyat Indonesia ayat (1) dan (4) dan menempatkan negara sebagai pemegang kewajiban untuk mewujudkannya ayat (2) dan (3). Jadi Pasal 33 UUD 1945 harus dilihat sebagai satu kesatuan yang lengkap dan utuh. Karena itu, untuk memahami tujuan hukum suatu norma dalam perundang-undangan perlu melihat suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) saat UUD 1945 dibentuk dan ditetapkan. “….. terhadap tidak adanya perubahan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) ….. yang tidak mengutak-atik dan mengubah susunan dan rumusan sebagai upaya dalam menghormati kepada founding fathers karena sebetulnya ayat (1), (2), (3) itu berbasis kepada ekonomi kerakyatan ….. yang dimakmurkan adalah masyarakat yang diutamakan, rakyatnya yang diutamakan bukan orang per orang yang sementara ini mendapatkan special treatment oleh negara. ….. berbicara tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan nasional tidak bisa dilepaskan dari cita negara hukum atau recht staats dan fox surfinite atau kedaulatan rakyat ….., disamping hak-hak sipil dan politik masih ditambah dengan hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, yaitu dalam arti bahwa masalah ini menyangkut masalah demokrasi ekonomi sosial dan kulturil. Dengan demikian maka jelas bahwa bicara Pasal 33 ….. adalah satu kaitannya dengan masalah negara hukum ….. menyangkut kesejahteraan sosial service state ….. jadi dia tidak turun dari langit begitu saja Pasal ….. sehingga dengan demikian apabila ini menjadi negara demokrasi yang dibidangi ekonomi, sosial dan kultural maka dia adalah semangat negara kesejahteraan ….. “. “….. berbicara tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan nasional tidak bisa dilepaskan dari cita negara hukum atau recht staats dan fox surfinite atau kedaulatan rakyat ….., disamping hak-hak sipil dan politik masih ditambah dengan hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, yaitu dalam arti bahwa masalah ini menyangkut masalah demokrasi ekonomi sosial dan kulturil. Dengan demikian maka jelas bahwa bicara Pasal 33 ….. adalah satu kaitannya dengan masalah negara hukum ….. menyangkut kesejahteraan social service state ….. jadi dia tidak turun dari langit begitu saja Pasal ….. sehingga dengan demikian apabila ini menjadi negara demokrasi yang dibidangi ekonomi, sosial dan kultural maka dia adalah semangat negara kesejahteraan ….. “. “….. kita 155
menganggap bahwa ayat (1), (2) dan (3) itu adalah ayat yang monumental, sebab yang disusun oleh founding fathers kita. Dan pada pokoknya Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) menekankan adanya demokrasi ekonomi, yakni kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia ….. namun demikian fraksi kami berpendapat bahwa tidak semua serba dikuasai oleh negara dan bukan pula sepenuhnya diserahkan kepada ekonomi pasar … .103 Bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan para pendiri negara (founding fathers) yang terlibat dalam penyusunan teks UUD 1945. Prof. Dr. Mr. Soepomo, dalam salah satu bukunya memberi pengertian “dikuasai” sebagai berikut: “ ….. termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi …..”. Selanjutnya, Dr. Mohammad Hatta, menyatakan: “….. Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besarbesar seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, ….., menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggris “public utilities” diusahakan oleh Pemerintah. Milik perusahaan besar tersebut sebaik-baiknya ditangan Pemerintah …..” (Tulisan Dr. Mohammad Hatta dalam Majalah Gema Angkatan 45 terbitan tahun 1977, dengan judul: “Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33”. Bahwa keputusan Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, yang disetujui oleh Dr. Mohammad Hatta, dalam Majalah Gema Angkatan 45 terbitan tahun 1977 antara lain menyatakan: “kekayaan bumi, air, udara dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan demikian pula cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus dikuasai mutlak oleh negara”. Bahwa Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ”. Selanjutnya Pasal 28I ayat (3) menyatakan: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
103
Putusan MKRI, Op Cit.
156
Berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengelolaannya harus dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan serta sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam; g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; j. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam; k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, Pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam.
157
Kebijakan pembaharuan agraria dan sumber daya alam tersebut dilaksanakan antara lain dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undang an yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor serta menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud di atas.
2.Konsepsi Konsepsi Masyarakat Hukum Adat (Rechtgemenschap) Masyarakat hukum adat diperkirakan berjumlah antara 40-60 juta jiwa tersebar di wilayah nusantara, sebagian besar hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.104 Dalam konteks ruang keIndonesiaan, beberapa istilah komunitas ini digunakan secara bergantian dalam waktu bersamaan tanpa bermaksud membedakan artinya. Berbagai istilah tersebut adalah masyarakat adat, komunitas adat, komunitas adat terpencil, masyarakat asli, masyarakat tradisional, serta Indigineous People’s,.105 Pada saat kita mencari konsepsi masyarakat Hukum Adat, kita dapati teryata studi untuk mengenali siapakah masyarakat Hukum Adat, telah lama dilakukan oleh sarjanasarjana penekun Hukum Adat. Salah satunya Cornelis van Vollenoven, di dalam orasinya
104
Menurut Owen Lynch dan Kirk Talbott, dalam buku Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasifik, Washington: World Resource Institute, 1995, jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar 40-60 juta. Aliansi Masyarakat Adat Indonesia memperkirakan jumlah 70 juta (Tempointeraktif, Indonesia Tokak Draft Deklarasi Hak Masyarakat Adat, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/08/09, diakses pada pukul 15:23 WIB tanggal 23 September 2010). 105
Asep Yunan, Masih Eksiskah Hukum Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia, Makalah pada Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Asli bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM, Yogyakarta, 2124 Agustus 2007, diseleggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Center For Human Rights (NCHR) University of Oslo. Istilah masyarakat Hukum Adat dipergunakan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemrintah Daerah, dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan istilah masyarakat adat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Istilah masyarakat asli dipergunakan oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Adapun istilah komunitas adat terpencil/KAT dipakai oleh Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
158
tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:”bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Seterusnya, menurut Soepomo: “penguraian tentang badan dan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan”.106 Berdasarkan apa yang dikemukakan Cornelis van Vollenoven dan Soepomo dapatlah dikatakan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas Hukum Adat itu adalah persekutuan Hukum Adat (rechtgemeenschapen). Berdasarkan ciri-ciri tersebut kemudian diidentifikasi sebagai tempat-tempat, yang secara hipotetis diberi nama lingkungan Hukum Adat.107 Hasil
penelitian
Cornelis
van
Vollenhoven
menginventarisir,
sebelum
kemerdekaan di wilayah nusantara telah terdapat 19 lingkungan Hukum Adat. Studi ini kemudian diteruskan kembali oleh murid-murid Cornelis van Vollenhoven sehingga menghasilkan lingkungan-lingkungan Hukum Adat sebagai berikut:108 1. Aceh ( Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeuleu) 2. Gayo , Alas dan Batak : a. Tanah gayo : Nias (nias selatan) b. Tanah Alas c. Tanah Batak ( Tapanuli) ; Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan) 3. Tanah Minangkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci, Mentawai ) 4. Sumatra Selatan : a. Bengkulu (Rejang, Enggano) b. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedong Tataan, Tulang Bawang) c. Palembang ( Anak lakitan, Jelma daya, Kubu, Pasemah, Semende ) d. Jambi (Batin dan Penghulu) 5. Tanah Melayu ( Linnga Riau, Indra Giri, Sumatera Timur, orang Banjar) 106
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal.45. Soerjono Soekanto, Op Cit, hal. 19. 108 Soerjono Soekanto, Ibid. 107
159
6. Bangka dan Belitung 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan tenggara, Mahakam Hulu,Pasir, Dayak, Kenya ) 8. Minahasa ( Manado) 9. Gorontalo ( Bolaang, Mongondow, Boalemo) 10. Toraja ( Sulawesi Tengah, Toraja, Kepulauan Banggai) 11. Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Salaiar, Muna)) 12. Kepulauan Ternate 13. Maluku Ambon 14. Irian 15. Kepulauan Timor 16. Bali dan Lombok 17. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran) 18. Daerah Kerajaan ( Surakarta, Yogyakarta) 19. Jawa Barat (Sunda, Priangan, Jakartya, Banten ) Sedangkan Menurut Ter Haar, masyarakat Hukum Adat diartikan sebagai: 1) kesatuan manusia yang teratur, 2) menetap di suatu daerah tertentu, 3) mempunyai penguasa-penguasa, dan 4) mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu untuk selama-lamanya. Contohnya Famili di Minangkabau dan Desa di Jawa.109 Selanjutnya secara internasional Konvesi ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus. Pada bagian lain, Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki
109
Bushar Muhammad, Op Cit, hal.21.
160
asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. Setiap masyarakat Hukum Adat mempunyai suatu struktur yang sifatnya teritorial (dalam hal unsur-unsur teritorial adalah lebih kuat dari pada unsur-unsur genealogis) atau mempunyai suatu struktur yag sifatnya genealogis (dalam hal unsur-unsur geneologis adalah lebih kuat dari pada unsur-unsur teritorial)110. Namun persekutuan hukum yang sungguh-sungguh berdasarkan genealogis atau keturunan saja, saat sekarang sudah sukar untuk dijumpai. Demikian juga halnya apabila berdasarkan faktor teritorial saja, sehingga dengan perkembangan zaman kedua faktor tersebut berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Sementara itu, masyarakat Hukum Adat itu sendiri tumbuh dan berkembang, bahkan tidak mustahil juga menciut dan menghilang, karena lenyapnya ciri-ciri khasnya sebagai suatu masyarakat Hukum Adat.
B.Rekontruksi Pengakuan Bersyarat Masyarakat Hukum Adat Pengakuan negara atas masyarakat Hukum Adat dalam kerangka instrumen Hukum Nasonal terdapat dalam UUD 1945 sebelum Amademen, khususnya pada Penjelasan Pasal 18
bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli
(zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan negeri. Adapun dalam UUD 1945 hasil amademen dan peraturan perundang-undangan, ditemukan perumusan yang sama bahwa masyarakat Hukum Adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.111 Ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 lengkapnyamenentukan bahwa: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
110
Bushar Muhammad, Ibid, hal.23. Lies Sugondo, Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Nasional, Makalah pada Advanced training hak-hak masyarakat adat (Indigenous peoples rights) bagi dosen pengajar HAM di Indonesia, diselengarakan oleh Pusham UII-Noerwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta tanggal 21-24 Agustus 2007, hal. 4. 111
161
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. UUD 1945 tidak menentukan siapakah yang dimaksud dengan masyarakat Hukum Adat.112 Namun, ketentuan Pasal 18B ayat (1) ditafsirkan bahwa eksistensi masyarakat Hukum Adat diakui dan dijamin oleh Konstitusi namun pengakuan tersebut kondisional karena terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut: 1. Syarat pertama “Sepanjang masih hidup” 2. Syarat kedua “Sesuai dengan perkembangan masyarakat” 3. Syarat ketiga “Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” 4. Syarat keempat “Yang diatur dalam undang-undang”. Unsur-unsur untuk dikukuhkannya suatu komunitas sebagai masyarakat Hukum Adat justru ditemukan pada Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaskan bahwa masyarakat Hukum Adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah: 1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. ada wilayah Hukum Adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Memperhatikan unsur-unsur tersebut dan menbandingkannya dengan kondisi sekarang, sulit untuk menemukan siapa yang dimaksud dengan masyarakat Hukum Adat. Ada beberapa komunitas adat yang sebenarnya eksis, namun tak bisa diakui sebagai
112
Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang mengakui eksistensi masyarakat Hukum Adat dengan gaya perumusan yang sama, juga tidak mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan masyarakat Hukum Adat.
162
masyarakat Hukum Adat, karena tak memenuhi unsur salah satu unsur apabila unsurnya kumulatif. Kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat Hukum Adat adalah kewenangan pemerintah daerah, melalui pengukuhan dalam peraturan daerah. Ketentuan Pasal 67 ayat (2) bahwa: ”Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.” Penjelasan
Pasal
ini
menjelaskan
bahwa
Peraturan
daerah
disusun
dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar Hukum Adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan demikian pengakuan atas eksistensi masyarakat Hukum Adat menjadi tidak hanya bersyarat tapi juga berlapis. Menurut Maria Sumardjono, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan eksistensi masyarakat Hukum Adat adalah:113 a. Adanya masyarakat Hukum Adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat; c. Adanya kewenangan masyarakat Hukum Adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum. Persyaratan tersebut diatas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatu komunitas dikatakan bukan masyarakat Hukum Adat, tapi membantu para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat. Keberadaan masyarakat Hukum Adat umumnya ditandai dengan sejumlah praktek usaha perladangan dan pertanian, penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat Hukum Adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya.
113
Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010, hal.15.
163
Berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun.114 Masyarakat Hukum Adat di Indonesia merupakan masyarakat atas kesamaan tertorial (wilayah), Genealogis (keturunan), dan teritorial-genealogis (wilayah dan keturunan), sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Sedang obyek hak masyarakat atas wilayah adatnya (hak ulayat) adalah tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Wilayah mempunyai batas-batas yang jelas baik secara faktual (batas alam atau tanda-tanda di lapangan) maupun simbolis (bunyi gong yang masih terdengar). Mengatur dan menentukan hubungan dapat terlihat dengan mudah apakah transaksi-transaksi mengenai mengenai tanah dilakukan oleh aturan dan kelembagaan adat. Wewenang masyarakat adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksud umumnya mencakup: 1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dll), dan pemeliharaan tanah; 2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu); 3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll); 4) Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyekobyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis); di dalam tanah bahan-bahan galian), dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya.
114
Suhardjito, Khan, Djatmiko, et al,
164
Praktik pengelolaan sumber daya alam telah ada sebelum lahirnya negara, demikian juga dengan masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal telah dilakukan oleh masyarakat Hukum
Adat
mendahului
kelahiran negara. Praktik tersebut diformalkan melalui UUPA. Namun, apa yang terjadi ketika pembangunan negara berorientasi ekonomi, terutama
di zaman Orde Baru.
Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada badan-badan swasta dengan berbagai hak pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki tanpa disertai pengaturan pengawasan dari masyarakat selaku pemilik kultural.115 Dengan banyaknya jumlah masyarakat Hukum Adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat Hukum Adat. Seiring dengan semakin besarnya kepentingan negara atas sumber daya agraria dan alam, kehidupan masyarakat adat lambat laun terdesak. Sebagai akibat dari keterpurukan hidup, masyarakat adat mencari kehidupan di daerah lain, sehingga ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah. Akibatnya, kekuatan Hukum Adat yang menjadi dasar kehidupannya selama ini, lama kelamaan menjadi memudar. Pada masa Orde Baru, eksitensi
masyarakat Hukum Adat mengalami
kemunduran. Kebijakan pembangunan yang ada justru menimbulkan beragam konflik dan berdampak secara ekologis dan merugikan masyarakat Hukum Adat. Sumber daya mineral, hutan, air dan laut yang menjadi kekayaan masyarakat adat dialihkan melalui kebijakankebijakan pemerintah tanpa ganti rugi yang memadai.116 Akan tetapi, masih ada yang sanggup mempertahankan eksistensinya sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan Hukum Adat dalam satu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap diikat. Di berbagai tempat di Indonesia masih berlaku Hukum Adat. Menghubungkan pengaturan rumusan masyarakat Hukum Adat dan syarat pengakuannya sulit diperoleh siapa yang dimaksud sebagai masyarakat Hukum Adat. Kehidupan masyarakat Hukum Adat kini, tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional sehingga rumusan-rumusan mengenai Masyarakat Adat yang ditentukan dalam
115 116
Ade Saptomo, Op Cit, hal. 13. Kompas, Hapuskan Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat, 17 Maret 2009, hal. 14
165
peraturan perundang-undangan cenderung sulit dipenuhi. Dalam kondisi yang demikian posisi masyarakat Hukum Adat akan semakin rentan, terlebih bila Pemerintahan Daerah yang memiliki kewenangan mengukuhkan pengakuan keberadaan masyarakat Hukum Adat dalam suatu peraturan daerah tidak responsif mengakomodir keberagaman dan nilai-nilai kearifan lokal. Masyarakat Hukum Adat merupakan unsur utama untuk membangun negara ini. Karena itu, hukum yang dibangun oleh negara harus hukum yang mengayomi kepentingan negara dan masyarakat Hukum Adat. Sebenarnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hukum adat dan hukum negara bisa saling mempengaruhi dalam penyusunan produk hukum daerah, apabila adanya keterbukaan dari sistem hukum adat itu sendiri terhadap pengaruh luar, adanya pengakuan dari hukum negara terhadap eksistensi hukum adat itu, adanya kemauan atau kehendak politik dari pemerintah untuk mengakomodasi nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat Kini, setelah otnomi daerah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tatanan lokal dan pranata kultural lokal menguat. Penguatan tersebut muncul dalam kebijakan penyusunan produk hukum daerah yang menyerap asas, prinsip, konsepsi, substansi dan lembaga-lembaga masyarakat Hukum Adat. Penyerapan itu antara sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 1 (12) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah bahwa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 203 ayat (3) menegaskan bahwa: “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan Hukum Adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Dearah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota untuk merumuskan dan membuat kebijakan daerah yang memberi ruang yang lebih besar untuk melestarikan nilai-nilai adat dan memperkuat partisipasi masyarakat Hukum Adat.
166
Berinteraksinya Hukum Adat dengan Hukum Nasional dalam perumusan peraturan daerah selain sebagai implementasi ketentuan pemerintahan desa, juga berkenaan dengan pengakuan hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sebagaimana terbaca dari judul produk hukum daerah berikut: 1. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang PokokPokok Pemerintahan Nagari; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Provinsi Riau Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Masyarakat Adat; 3. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat; 6. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; 7. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi 8. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan Kepala Desa menjadi Rio, Desa menjadi Dusun, dan Dusun menjadi Kampung sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 . 9. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi Tahun 2010 tentang Marga; Bentuk lain dari kebijakan daerah selain peraturan daerah adalah Keputusan Bupati mengenai diakui dan dilindunginya hak masyarakat Hukum Adat untuk mengelola sumber daya hutan, yaitu: 1. SK Bupati Kepala Daerah TK II Kerinci no 96 tahun 1994 tentang Pengukuhan Pengelolaan Kawasan Hutan Milik Desa dan Hutan Adat di Daerah Hutan Hulu Air Lempur, Kecamatan Gunung RayaKabupaten Daerah TK II Kerinci. 2. Keputusan Gubernur Lampung Nomor
G/362/B.II/HK/96 tentang 76 kesatuan
masyarakat Hukum Adat yang disebut Marga;
167
3. Keputusan Bupati Bungo Provinsi Jambi Nomor 1246 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Pelepat Kabupaten Bungo; 4. SK Bupati Kepala Daerah TK II Sarolangun Bangko Nomor 225 tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu di Desa Baru Pangkalan Jambu Sungai Manau, Kabupaten Daerah TK II Sarolangun Bangko, yang menetapkan lokasi Hutan Adat Desadi Desa Baru Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Daerah TK II Sarolangun Bangko sebagai Kawasan Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu 5. Keputusan Bupati Merangin Provinsi Jambi Nomor 95 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Pulau Tengah Kecamatan Jangkat. 6. Keputusan Gubernur Jambi Nomor 124 Tahun 2009 tentang pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin kepada kelompok Ndendang Hulu Sako Batang Buat (kelompok pengelola hutan desa) 7. Bupati Bungo melalui surat Nomor 522/B312/Hutbun/2008 mengajukan pengukuhan Hutan Lindung Desa Lubuk Beringin menjadi hutan desa Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pasca era otonomi daerah pengakuan negara atas hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam diakomodir dalam penyusunan produk hukum daerah semata-mata bukan hanya sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi bahwa pengakuan atas eksistensi tersebut dalam bentuk peraturan daerah, namun lebih lagi dalam rangka melindungi keberadaan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak yang telah dijamin dalam konstitusi dalam kerangka integrasi bangsa dan perwujudan keadilan. C.Siknronisasi Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat
Sektoral
dalam
Rangka
Pemenuhan
Hak
Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stammler yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat.
168
Istilah harmonisasi sesungguhnya adalah istilah dalam ilmu musik untuk menunjukan adanya keselarasan dalam nada-nada yang menyusun suatu ritme musik sehingga menjadikan musik itu indah. Istilah ini relevan diterapkan terhadap bidang hukum, karena hukum memerlukan adanya keselarasan dalam pelaksanaanya dan keserasian antara berbagai kepentingan dalam masyarakat.117 L.M. Gandhi mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:118 1. Perbedaan antara berbagai peraturan perundang-undangan dan jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenali semua peraturan tersebut. 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah 4. Perbedaan peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran Mahkamah Agung. 5. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang saling bertentangan 6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan dan fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat.119 Prinsip-prinsip hukum yang adil yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan masyarakat umum. Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik 117
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991, hal. 30. 118 L.M. Gandhi, L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, UI .Jakarta. 1995, hal. 10. 119 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Jakarta,1982.hal.150.
169
antar instansi pemerintah pusat maupun pusat dan daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945, politik desentralisasi dan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang belum berbasis HAM. Harmonisasi hukum bidang sumber daya alam dengan pendekatan sistem, yakni dengan konotasi sistem sebagai entitas, dan memandang bahwa harmonisasi hukum undang-undang
sektoral
merupakan
upaya
menyelaraskan,
menyesuaikan,
menyeimbangkan, menyerasikan dan konsistensi unsur-unsur pembentukan undangundang sektoral terhadap tata urutan dan materi undang-undang yang akan disusun. Dengan demikian, upaya harmonisasi ini merupakan “conditio sine qua non” bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Inkonsistensi dan tumpang tindih undang-undang sektoral terkait pengakuan hakhak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam terjadi karena kesalahan struktural yang menempatkan posisi masyarakat hukum adat terabaikan. Pada masa Orde Lama posisi struktural masyarakat hukum adat sangat kuat sebagaimana tercermin dengan diakuinya kesatuan-kesatuan tersebut dalam Penjelasan UUD 1945. Namun era Orde Baru struktur masyarakat hukum adat mengalami kemunduran seiring dengan meningkatkan kepentingan negara atas sumber daya alam. Pada era reformasi sesungguhnya posisi struktural masyarakat hukum adat mendapat pengakuan dan jaminan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2). Presiden SBY sendiri berjanji pada masa pemerintahan periode pertamanya untuk mewujudkan perlindungan masyarakat hukum adat melalui suatu undang-undang. Namun sampai kini belum dapat diwujudkan. Selain itu, sejumlah undang-undang sektoral terkait sumber daya alam tidak sinkron satu sama lain sebagaimana dipaparan pada analisis terdahulu, karena itu jaminan konstitusional atas hak masyaarakat hukum adat tersebut masih sulit dipenuhi oleh negara sebelum diadakan rekontruksi ulang mengenai politik pengakuan bersyarat negara menjadi politik pengakuan yang lebih berpihak pada eksistensi masyarakat hukum adat. Berbagai undang-undang sektoral yang mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya tidak sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat 170
karena
(a) berorientasi pada eksploitasi dan lebih berpihak pada pemodal besar; (b)
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terpusat pada negara melalui pemberian izin dan konsesi pada swasta; (c) pengingkaran hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam melalui model politik hukum pengakuan bersyarat dan berlapis; 2) adanya kekosongan norma sebagai akibat belum diaturnya hak-hak masyarakat hukum adat dalam suatu kerangka hukum sebagai implikasi ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UndangUndang.” Berdasarkan hal tersebut perlu disusun kebijakan sinkronisasi undang-undang sektor sumber daya alam agar selaras dan sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (3) sebesarbesar untuk kemakmuran rakyat melalui kebijakan afirmatif bagi masyarakat hukum adat. D.Kebijakan Afirmatif Bagi Masyarakat Hukum Adat Kebijakan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Rights Based Approach menekankan pentingnya HAM menjadi aspek utama pada kebijakan awal dalam kerangka hukum, terutama bagi kelompok rentan (Nicola Colbran:2009:4). Masalah akan muncul ketika seseorang yang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan menjadi terus menerus walaupunn standar HAM telah ditingkatkan. Karena itulah penting mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang rentan. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights
171
Reference120 (Willem van Genugten J.M: 1994:73) disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women. Hukum dan keadilan masih belum terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Akses pada proses-proses kebijakan publik masih didominasi oleh mereka yang terdidik dan memiliki sumber daya ekonomi. Keterbatasan akses masyarakat pada hukum dapat berujung pada ketidakadilan. Keadilan dalam terminologi hukum diterjemahkan sebagai keadaan yang dapat diterima akal sehat secara umum pada waktu tertentu tentang apa yang benar. Sementara itu John Rawls mengemukakan dalam A Theory of Justice, keadilan adalah fairness, yaitu kondisi yang dibangun di atas dasar pandangan setiap individu memiliki kebebasan, status qua awal yang menegaskan kesepakatan fundamental dalam kontrak sosial. Gagasan utama keadilan lembaga utama
dalam pandangan Rawls adalah bagaimana
masyarakat mengatur hak dan kewajiban dasar serta menentukan
pembagian kesejahteraan kerja sama sosial yang dibangun.121 Selanjutnya, keadilan pada dasarnya adalah sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus, dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya hubungan timbal balik di antara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana perilakunya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang adil. Namun, apakah yang dimaksud sebenarnya ketika mengatakan
bahwa sebuah
tatanan sosial itu adil, bagaimana hubungannya dengan hukum? Maksudnya adalah bahwa peraturan menuntun perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua manusia. Dengan kata lain supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam peraturan tersebut.122 Kerinduan akan keadilan itu sama dengan kerinduan abadi manusia akan kebahagian. Kebahagian yang tidak pernah dapat diperoleh manusia jika hanya sendiri, sebagai seorang individu yang terisolasi, dan oleh karena itu harus dicari di dalam 120
Willem van Genugten J.M, Willem van Genugten J.M (ed). 1994. Human Rights Reference, The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs,1994, p.73. 121 John Rawls, Op Cit, hal. 12. 122 Hans Kelsen, Op Cit, hal. 2.
172
kehidupan bermasyarakat. Keadilan adalah kebahagian sosial, merupakan kebahagian yang hanya dapat diperoleh dalam tatanan sosial yang tanpa diskriminasi dan keberpihakan pada piahk-pihak tertentu dengan mengabaikan keadilan bagi pihak lain. Karena itu, akses atas kebijakan publik merupakan aspek penting dalam suatu tatanan sosial. Dalam suatu kontrak sosial keberadaan negara justru bertugas memastikan terpenuhinya akses orang perorang dan kelompok masyarakat. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Dalam perkembangannya HAM teryata juga dimaknai sebagai hak-hak yang melekat pada kelompok masyarakat adat. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable) dan siapapun wajib menghormatinya termasuk negara.123 Keberadaan negara adalah menjamin HAM dalam peraturan perundangundangannya serta memastikan terpenuhinya HAM tersebut dalam tataran implementasi. Dalam konteks ini memanusiakan manusia atau memperlakukan manusia sesuai dengan kodratnya merupakan suatu keharusan bagi penyelenggara negara yaitu pemerintah dan pemerintah daerah termasuk memberikan perlakuan lebih kepada kelompok khusus. Kelompok khusus seperti masyarakat adat adalah kelompok yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik rentan karena ketidakmampuan kelompok ini dalam berhadapan dengan kelompok lain dalam masyarakat. Karena itu, desain kerangka hukum dan model perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam perlu aturan payung melalui kebijakan negara yang partisipatoris dan memberdayakan masyarakat adat sesuai prinsip dan norma HAM nasional dan internasional. Jaminan hukum nasional dan hukum internasional atas hak-hak masyarakat hukum adat sesungguhnya telah jelas diatur di instrumen-instrumen HAM yang mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat adalah tanggung jawab dan kewajiban negara. Sudah seharusnya instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi selanjutnya ditindaklanjuti dengan membentuk kerangka hukum nasional yang 123
Jack Donnely, Op Cit, Hal. 7-12
173
substansinya dapat mengadopsi pada prinsip-prinsip dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Salah satu yang dapat dijadikan acuan Deklarasi Hak Masyarakat Adat PBB2007 dan Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 tentang hak masyarakat adat yang mengatur pengakuan dan perlindungan hak-hak bangsa pribumi dan masyarakat adat atas tanah (pemilikan dan pengusaan kolektif), sumber daya alam, dan keharusan persetujuan mereka apabila dilakukan pemindahan (relocation) terhadap mereka yaitu: 1. Hak-hak kepemilikan dan penguasaan bangsa pribumi dan masyarakat adat terhadap tanah yang secara tradisional mereka huni dan manfaatkan harus diakui (pasal 14 (1)); 2. Pemerintah harus menjamin perlindungan efektif terhadap hak-hak kepemilikan dan penguasaan mereka (pasal 14 (2)); 3. Prosedur-prosedur yang memadai hatus ditetapkan dalam sistem hukum nasional untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan akan tanah yang diajukan oleh bangsa pribumi dan masyarakat adat (pasal 14 (3)); 4. Hak-hak bangsa pribumi dan masyarakat adat terhadap sumberdaya alam yang berhubungan dengan tanah mereka harus secara khusus dilindungi. Hak-hak ini termasuk hak masyarakat tersebut untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumebr-sumber daya itu (pasal 15 (1); 5. Dalam kasus dimana Negara tetap menguasai pemilikan sumber daya mineral atau sumber daya sub-surface (yang berada di bawah kulit bumi) atau hak-hak terhadap sumber daya alam lainnya yang berkenaan dengan tanah, pemerintah harus melakukan perundingan dengan mereka (pasal 15 (2); 6. Apabila dilakukan pemindahan, maka pemindahan lokasi (relocation) harus dilakukan atas persetujuan yang diberikan dalam keadaan bebas dan dengan pembahasan terlebih dahulu. Apabila persetujuan tidak diperoleh, maka pemindahan hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundangan nasional (pasal 16 (1); 7. Apabila dimungkinkan, masyarakat tersebut harus mempunyai hak untuk kembali ke tanah tradisional mereka, segera setelah alasan-alasan untuk relokasi tidak tersedia lagi (pasal 16 (3); 8. Apabila kembali ke tanah tradisional tidak dimungkinkan, masyarakat tersebut dengan cara manapun yang dimungkinkan harus diberikan tanah dengan status hukum dan mutu lahan yang paling tidak sama dengan tanah yang mereka diami sebelumnya (pasal 16 (4)) Perjuangan untuk perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat tidak hanya berlangsung pada tataran
nasional, tetapi juga pada tataran
internasional. International Labour Organization (ILO), termasuk lembaga yang berhasil mengesahkan Konvensi tentang perlindungan dan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat melalui Konvensi ILO 169 Tahun 1986. Pengakuan dan penghormatan hakhak masyarakat adat mengalami perkembangan yang besar pada saat Sidang Umum PBB berhasil mengesahkan UN Declaration on the of the Indigenous Peoples. 174
Di dalam kedua instrumen hukum internasional tersebut diatur mengenai hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak atas tanah ulayat, hak atas sumber daya alam, hak atas kekayaan atas pengetahuan tradisionalnya dan hak atas persetujuan bebas atas prosesproses pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat hukum adat. Di dalam Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat tersebut salah satunya dimuat konsep Free and Prior Informed Consent (FPIC). FPIC sebenarnya, bukanlah konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu. Pengadopsian mekanisme FPIC dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi telah diinisiasi oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2007 mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya adalah ketentuan Pasal 18 yang menentukan bahwa masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hakhak tradisional mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri. Selanjutnya, Pasal 19 menentukan bahwa Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat berdampak terhadap mereka. Berdasarkan paparan tersebut di atas maka rekomendasi kebijakan ke depan selain mengkoreksi undang-undang sektoral sumber daya alam adalah penting mengadopsi pengaturan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut dalam ketentuan undang-undang perlindungan masyarakat hukum adat yang akan dibentuk. Kebijakan tersebut meliputi:
175
1. Acuan kerangka hukum hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang akan dibentuk bagi pemenuhan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat tersebut juga perlu mengacu pada instrumen hukum HAM Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang Hak Masyarakat Hukum Adat serta Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Tahun 2007. 2. Rekomendasi Kebijakan berupa pengaturan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dan aksesibilitas masyarakat hukum adat atas sumber daya alam. Akses SDA merupakan dasar dari penghidupan MHA
secara ekonomi, guna memastikan
kelangsungan hidup masyarakat hukum adat, maka penting untuk melindungi sumber daya alam mereka dan praktik-praktik tradisional mereka dalam menggunakan, mengelola, dan memelihara sumber daya alam. 3. Hak atas sumber daya alam adalah Masyarakat hukum adat memiliki hak atas sumber daya alam di wilayah mereka, termasuk: a. hak untuk berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian berbagai sumber daya tersebut; b. hak untuk ditanyakan pendapatnya sebelum sumber daya alam di tanah mereka
dieksplorasi atau dieksploitasi; c. hak untuk mempelajari kajian-kajian mengenai dampak eksplorasi dan
eksploitasi tersebut; d. hak manfaat atas keuntungan yang dihasilkan dari eksploitasi dan penggunaan
sumber daya alam apapun; e. hak untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah atas semua kerusakan yang
disebabkan oleh aktivitas-aktivitas seperti itu. 4. Diadopsinya prinsip konsultasi bahwa pemerintah memiliki hak eksklusif atas penguasaan sumber daya di bawah permukaan tanah. Dalam kasus dimana pemerintah telah memberikan konsesi hak untuk mendayagunakan sumber daya ini ke swasta atau perusahaan, pemerintah masih memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip konvensi ini diterapkan. Konsultasi ini harus dilakukan bahkan sebelum sebuah perusahaan mulai melakukan eksplorasi untuk sumber daya tersebut, karena eksplorasi ini bisa juga berdampak merusak lingkungan, ketidakseimbangan sosial, masalah kesehatan yang parah, polusi.
176
5. Masyarakat hukum adat dapat menggunakan hak-hak mereka sebagai alat untuk melakukan tawar-menawar dalam negosiasi dengan perusahaan. Melalui negosiasinegosiasi ini, masyarakat hukum adat dapat membujuk perusahaan untuk mengadaptasi teknik mereka guna meminimalkan kerusakan lingkungan, dan untuk memulihkan lingkungan tersebut setelahnya. Dalam beberapa kasus, pengaturan yang dibuat mungkin tidak memberikan manfaat bersama, dan proyek ditinggalkan begitu saja. Ini dapat diartikan bahwa komunitas tidak mendapatkan keuntungan. Hak-hak ini meliputi hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penggunaan, manajemen dan pemeliharaan berbagai sumber daya alam. Dalam penegakan hak asasi manusia, pemerintah adalah pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holderr) dan masyarakat, secara individu dan kolektif, adalah pemegang hak (right holder). Relasi ini menjadi jelas karena pemerintah mempunyai kewenangan melalui kebijakan, regulasi, program, dan anggaran untuk merealisasikan kewajiban dan tanggung jawabnya, untuk memenuhi hak warga Negara. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menegakkan hak asasi manusia (no execuse). Pemerintah berkewajiban mendayagunakan sumber dayanya untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak asasi manusia, utamanya hak-hak kelompok rentan karena secara sumber daya ekonomi, sosial dan budaya kelompok ini lemah pada saat berhadapan dengan kelompok masyarakat lainnya, pemodal bahkan negara.
177
BAB IX PENUTUP A.Kesimpulan Konflik norma (sinkronisasi dan konsistensi) peraturan perundang-undangan sektor sumber daya alam merupakan turunan dari kekeliruan menafsirkan jiwa dan cita hukum yang terkandung pada sumber hukum tertinggi, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang sektor sumber daya alam yang perumusannya tidak sejalan dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan membatasi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat atas sumber daya alam melalui model politik hukum pengakuan bersyarat yang sulit dipenuhi masyarakat hukum adat. B.Saran Upaya yang perlu dilakukan oleh negara (pemerintah dan pemerintah daerah) ke depan adalah melakukan koreksi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pengakuan bersyarat terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat menjadi suatu suatu kebijakan afirmatif dalam bentuk undang-undang perlindungan masyarakat hukum adat. Kebijakan afirmatif tersebut memuat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hakhak tradisional masyarakat hukum adat sesuai standar dan norma HAM. Koreksi tersebut diperlukan agar tidak terjadi ketidakpastian aturan karena adanya aturan yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan jaminan konstitusional atas hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
178
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdul Manan.2009. Aspek-Aspek Pengubah Hukum, KencanaPrenada Media, Jakarta. Abrar Saleng.2007. Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) , Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Ade Saptomo.2009. Akomodasi Keberagaman ke dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dalam Memahami Hukum dari Kanstruksi sampai Implemntasi, editor Satya Arinanto&Ninuk Triyanti, Rajawali Press, Jakarta. ___________, 2010. Hukum &Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Gramedia Widiasarana, Jakarta. Albert W. Koers. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, konsorsium Ilmu Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Alvi Syahrin.2009. Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan. A.P. Parlindungan. 1994. Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung. B.Arief Sidharta.2008. Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Refika Aditama, Bandung. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002. Bushar Muhammad.2003.Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta. Boedi Harsono. 1975. Hukum Agraria Indonesia, (Bagian Pertama), Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Budi Riyanto. 2004. Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor. Hadi Setia Tunggal. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Kehutanan Edisi Lengkap Tahun 2010. Harvarindo. Tanpa Tempat. Hans Kelsen. 2008. Dasar-dasar Hukum Normatif Prinsip-prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Nusa Media, Bandung. Hooker.1975. Legal Pluralism: Introduction to colonial and neo-colonial Laws, Clarendon Press, Oxford. Jack Donnely. 2003. Universal Human Rights in Theory and Practice, University Press Ithaca London. Iman Sudiyat. 1982. Asas-Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta. Hasjim Djalal. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung. ___________________.2009. Sistem Hukum: Perspektif Sosial, Nusamedia, Bandung. Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averoes Pres, Malang 2005. 179
Khudzaifah Dimyati.2010. Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan dan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta publishing, Yogyakarta. Lawrance M. Friedman.1975. The Legal Sistem: A Social Science Perspective, Russel Sage Foudation, New York. L.M. Gandhi:1995. Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, UI .Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja.1992. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Sinar Grafika, Jakarta. _____________________. 1994. Pengantar Hukum Laut, Alumni, Bandung. Maria S.W. Sumardjono.2008.Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta. ___________________ dkk, Kajian Kritis Undang-Undang Terkait Penataan Ruang & Sumberdaya Alam, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2-DANIDA, Jakarta, 2002. M. Mc.Douglas and W.T. Burke. 1962. The Public Order of the Ocean, yale University Press, Conneticutt. Miriam Budiardjo. 1983. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta. Moh. Mahfud MD.2010. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Normatif, Kencana, Jakarta, 2006. Rachel Hodgkin dan Peter Newell.1998. Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, USA. Rhona K.M. Smith et al. 2009. Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta. Rozali Abdullah. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala daerah Secara Langsung. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Salim Hs. 2008. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan , Sinar Grafika, Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih, Genta Publishing, Yogyakarta. Scott Davidson. 1994. Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Grafiti Jakarta. Shidarta Darji Darmodihardjo. 2002. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soedartto.1986. Hukum dan Hukum Pidana. Soepomo.1993. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Soerjono Soekanto.2001. Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.1985. Penelitian Hukum Normatif, Grafiti Press, Jakarta. Sri Sumantri. 1997. Hak Menguji Materiial di Indonesia, Alumni, Bandung. Subadi. 2010. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta
180
Sunaryati Hartono.1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. Supriadi. 2010. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta Syaukani HR, et.al., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Theo Huijbers.1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Jakarta. Tolib Setiady.2008. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta Jakarta. Willem van Genugten J.M (ed). 1994. Human Rights Reference, The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs.. Jurnal Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum Nasional, BPHN, Nomor 2, 2007. Ronny Hanitijo Soemitro, Peran Metodologi Dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Masalah-Masalah Hukum, Majalah FH Undip No. 5-1992, ISSN No. 0126-1389. Subekti Mahanani, Kedudukan UUPA 1960 dan Pergolakan di tengah Kapitalis Negara, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6 No. 1 Juli 2001. Makalah Asep Yunan Firdaus, Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia?, Makalah pada Advanced Training tentang Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia, Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama dengan Norwegian Centre For Human Rights NCHR Universty of Oslo. Majda El Muhtaj, Air Sebagai HAM, Makalah Peserta pada Studi Visit Hak Atas Air dan Perumahan, Pusham UII Yogyakarta, 15-17 Juni 2009 Nicola Colbran. 2008. Seminar Hasil Penelitian Hak Ekosob Status dan Kondisi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Tiga Wilayah (Aceh, Yogyakarta dan Kalimantan Timur), Makalah pada Workshop Hak Ekosob diselenggarakan oleh Pusham UII kerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 16-18 Desember 2008) Nasional Koalisi Perempuan Indonesia. 2002. Kertas Posisi :Tindakan Khusus Sementara : Menjamin Keterwakilan Perempuan, Jakarta. Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Konsepsi Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi tgl 24 Mei 2011. Rikardo Simarmata, Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat dalam Peraturan Perundang-undangan: Catatan Kritis, Makalah Pada Advanced Training bagi 181
Dosen Pengajar Hukum HAM, Diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007. Saafroedin Bahar, Kebijakan Negara Dalam Rangka Penghormatan, Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia, Makalah pada Workshop Hasil Penelitian Di Tiga Wilayah “Mendorong Pengakuan, Penghormatan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Indonesia” Lombok, 21 - 23 Oktober 2008, Pusham UII Yogyakarta. Sunny Ummul Firdaus, Implementasi UUD 1945 Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara atas Air dan Perumahan, Makalah Peserta pada Studi Visit Hak Atas Air dan Perumahan, Pusham UII Yogyakarta, 15-17 Juni 2009. Internet Jimly Assiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia, trial::http://www. docudesk.com, diakses pada tanggal 19 Mei 2009, pukul 14:51 Wib. (http://www.dkp.go.id.archive/c, Atasi Masalah di Perbatasan, DEKIP Siapkan Kebijakan Kelautan, diakses pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul 17.03 Wib). Putusan Putusan MKRI No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005, tanggal 13 Juli 2005 Surat Khabar Kompas, Hapuskan Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat, Selasa 17 Maret 2009. Kompas, Membuka Akses Masyarakat Kebanyakan Pada Hukum dan Keadilan, tanggal 30 Maret Senin, 2009.
182