KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
WINDRA KURNIAWAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukkannya dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk meraih gelar pada program sejenisnya dan Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012 Windra Kurniawan NRP. P062034281
ABSTRACT WINDRA KURNIAWAN. Concept of Community Empowerment as Land Conflict Resolution at The National Park of Mount of Halimun-Salak. Under Supervision of CECEP KUSMANA, SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR and HIKMAT RAMDAN. Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS) is a conservation area in West Java and Banten Provinces, has an important role in supporting community life and protecting surrounding ecosystems. One of crucial issues in the management of sustainable TNGHS are land use conflicts associated with spatial policies of the surrounding regencies and community land uses within the national park. The purpose of this research are : (a) to analyze problems of spatial planning of surrounding regencies with the national park zones; (b) to analyse institutions of management and use of TNGHS’s resources; and (c) to formulate the concept of community empowerment in resolving land use conflicts in the region of TNGHS. The discrepancy between the spatial plan of Lebak, Bogor, and Sukabumi as regencies surrounding the national park and the TNGHS zones has potential conflicts in landuses. Due to unsyncronized landuse between the TNGHS and the spatial plan of surrounding regencies has impacts to communities who live in the TNGHS. The local regencies legally are not be budgeted to supports their communities although the area which people lived is still pointed as economic regions according to the regency spatial planning. Recommendation to resolve land conflicts in the TNGHS are : (a) to harmonize TNGHS zone with the regencie spatial plan around the park; and (b) to perform community empowerment that will encourage the development potential of national parks in accordance with its function as a conservation area.The concept of community empowerment is the empowerment of communities that can be developed collaboratively conducted in zones that allow limited economic activity. The pattern of collaboration will be effective if conflict spatial policy between the Ministry of Forestry and the three regencies could be solved. . Keywords: National park, landuse conflict, collaborative empowerment
RINGKASAN WINDRA KURNIAWAN. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di bawah bimbingan CECEP KUSMANA, SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR dan HIKMAT RAMDAN. Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang berada di Provinsi Jawa Barat merupakan taman nasional yang memberikan nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat dan perlindungan ekosistem di sekitarnya. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan TNGHS adalah masih adanya potensi konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kebijakan tata ruang kabupaten di sekitar TNGHS dengan zonasi kawasan TNGHS. Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS; (b) menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS; serta (c) merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS. Analisis spasial konflik ruang dan pemanfaatan lahan dalam kawasan TNGHS yang dilakukan difokuskan untuk menganalisis seberapa luas ketidaksesuaian antara tata ruang Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi dengan batas dan zonasi TNGHS. Kebijakan tata ruang Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi yang ditetapkan menurut RTRWK masing-masing kabupaten dengan kebijakan ruang dalam wilayah kelola TNGHS berpotensi menjadi konflik lahan dalam TNGHS. Tentu saja kondisi ini akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang ada di dalam TNGHS yang telah lama mendiami kawasan tersebut sebelum kawasan konservasi tersebut ditetapkan dan diperluas. Upaya mengatasi konflik lahan tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara represif karena dapat memicu konflik sosial yang lebih besar, di sisi lain upaya pengelola TNGHS untuk mengelola kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi yang berkelanjutan harus tetap dijalankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonominya dengan tetap memperhatikan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi. Hasil analisi spasial yang dilakukan menunjukkan bahwa dari Kawasan TNGHS seluas 113.357 Ha, tingkat kesesuaian antara rencana tata ruang di wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan sistem kelola wilayah TNGHS menunjukkan seluas 62.489,7 Ha termasuk dalam kategori sesuai dan 50.869,3 Ha termasuk dalam kategori tidak sesuai. Lahan yang termasuk ke dalam kategori tidak sesuai yang merupakan sumber konflik lahan yang tersebar di Kabupaten Bogor seluas 1.395,3 Ha, Kabupaten Sukabumi seluas 3.023,7 Ha, dan Kabupaten Lebak seluas 46.450,2 Ha. Zona Kawasan Lindung pada RTRW Kabupaten Bogor seluas 1.322,5 Ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Wilayah yang diperuntukkan sebagai zona perkebunan atau tanaman tahunan seluas 72,9
Ha termasuk kategori tidak sesuai dengan zonasi Kawasan TNGHS. Zona yang diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas merupakan zona terluas pada RTRW Kabupaten Sukabumi yang tidak sesuai dengan zonasi TNGHS, yaitu seluas 1.292,1 Ha. Begitu juga dengan wilayah yang telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung pada RTRW Kabupaten Sukabumi seluas 558,7 Ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Zona-zona RTRW Kabupaten Sukabumi yang lainnya yang tidak sesuai dengan TNGHS seluruhnya mencapai luas 386,6 Ha di luar lahan enclave. Ketidaksesuaian zonasi terluas terdapat pada Zona Rimba pada Kawasan TNGHS dengan Zona Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas pada zona tata ruang wilayah Kabupaten Sukabumi, yaitu seluas 1.017,6 Ha, sedangkan zonasi tataruang wilayah Kabupaten Lebak dan zonasi TNGHS terdapat ketidaksesuaian pada Zona Kawasan Tambang seluas 6.445,8 Ha. Penunjukkan dan perluasan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai taman nasional dinilai kurang memperhatikan kebijakan tata ruang Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak, sehingga berpotensi konflik pemanfaatan ruang dan lahan. Akibat konflik kebijakan ruang tersebut menyebabkan masyarakat menjadi korban. Pihak TNGHS menilai bahwa keberadaan masyarakat dan lahan garapannya ilegal karena berada di kawasan hutan konservasi. Namun, masyarakat merasa bahwa keberadaannya tidak ilegal karena sudah tinggal jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional dan merasa memiliki hak untuk mengakses sumberdaya alam yang ada di dalam TNGHS. Sikap masyarakat tersebut secara implisit didukung oleh kebijakan pemerintah kabupaten berdasarkan kebijakan tata ruang yang ditetapkannya. Permasalahan konflik lahan di TNGHS menjadi kendala bagi pengelola TNGHS dan pemerintah kabupaten. Bagi pengelola TNGHS adanya berbagai aktifitas masyarakat dan pembangunan di kawasan tersebut menjadi kendala besar dalam mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Bagi pemerintah kabupaten menilai bahwa dengan ditetapkannya wilayah yang didiami masyarakat menjadi taman nasional tidak memungkinkan untuk mengalokasikan kegiatan pembangunan daerahnya di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dikelola UPT Pusat (Kementerian Kehutanan) karena akan dinilai melanggar ketentuan perencanaan pembangunan dan sistem anggaran daerah yang tidak memperbolehkan mengalokasikan kegiatan dan anggaran di wilayah kerja yang dibiayai APBN. Akibat tidak sinkronnya kebijakan ruang tersebut menyebabkan kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut sangat kecil karena tidak dapat dianggarkan walaupun kebijakan tata ruangnya masih menunjuk kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Untuk menyelesaikan konflik lahan di TNGHS perlu langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut: (1) Melakukan proses paduserasi ruang antara Kementerian Kehutanan dengan Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak untuk mendapatkan kepastian hukum kawasan dan tata ruang kabupaten yang tidak tumpang tindih, (2) Melakukan pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk mendorong pengembangan potensi taman nasional sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan konservasi. Konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif yang dilakukan pada zona-zona yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas. Pola kolaborasi akan efektif
apabila penyelesaian konflik kebijakan tata ruang antara Kementerian Kehutanan dengan pemerintah ketiga kabupaten dapat diselesaikan melalui paduserasi secara baik. Kegiatan kolaborasi sebelum dicapainya paduserasi tata ruang, hanya mungkin dapat dilakukan antara pengelola TNGHS dengan masyarakat, adapun pemerintah kabupaten karena terkendala dengan aturan penganggaran tidak bisa terlibat secara langsung. Kata Kunci : Taman nasional, konflik pemanfaatan lahan, pemberdayaan kolaboratif
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
WINDRA KURNIAWAN
DISERTASI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji luar komisi pada: Ujian Tertutup Tanggal
: 12 Januari 2012 1. 1. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.FCF. Staf pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). 2. Dr. Ir. Omo Rusdina, M.Sc. Staf pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
Ujian Terbuka Tanggal
: 19 Januari 2012 Dr. Ir. Rinekso Sukmadi, M.Sc. Staf pengajar di Fakultas Pertanian Pertanian Bogor (IPB).
Institut
2. Dr. Ir. Herwarsono Sudidjo, M.Si. Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa
:
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Windra Kurniawan
Nomor Pokok
:
P.062034281
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS Anggota
Dr. Ir. H. Aris Munandar, MS Anggota
Dr. Ir. Hikmat Ramdan, MSi Anggota
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Januari 2012
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional yang berada di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai penting dalam menyangga kehidupan masyarakat dan perlindungan ekosistem di sekitarnya. Namun demikian di dalam pengelolaannya permasalahan konflik pemanfaatan lahan menjadi masalah penting yang dapat menghambat tujuan pengelolaan TNGHS sebagai kawasan hutan konservasi yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan : (a) menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS; (b) menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS; serta (c) merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS. Dengan terselesaikannnya disertasi yang berjudul Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini, maka dengan penuh kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS., Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS., Dr. Ir. H. Aris Munandar, MS., dan Dr. Ir. Hikmat Ramdan, MSi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam menyelesaikan Disertasi ini. 2. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staff yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi. 3. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS., sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, serta para staf dan dosen di Program Studi PSL dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bekal ilmu, arahan dan segala masukkan yang diberikan guna menyusun Disertasi ini. 4. Dr. Ir. Omo Rosdiana dan Dr. Ir. Agus Hikmat, selaku penguji ujian tertutup, atas saran dan kritik dalam perbaikan sehingga Disertasi ini menjadi lebih baik.
ii
5. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. dan Dr. Ir. Herwasono Sudidjo, M.Si., selaku penguji ujian terbuka, atas saran dan kritik dalam perbaikan sehingga Disertasi ini menjadi lebih baik. 6. Ayahanda Drs. K. Sabur dan Ibunda tercinta Ade Ruchyati serta seluruh keluarga atas motivasi, do’a dan kasih sayangnya. 7. Ananda Ahura Danish Sulaiman yang paling saya sayangi atas perhatian, pengertian, pengorbanan yang tulus serta semangat dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. 8. Semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya yang telah banyak membantu memberikan dukungan dan bantuan baik moril maupun meterial dalam penyelesaian studi ini. Penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga pengorbanan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis diberkati oleh-Nya serta semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Bogor, Januari 2012 Windra Kurniawan
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Agustus 1973 dari Ayah Drs. K. Sabur dan Ibu Ade Ruchyati. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1980 di Sekolah Dasar Pengadilan Negeri II Bogor, dan lulus tahun 1986. Lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bogor pada tahun 1989, lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Bogor pada tahun 1992. Pada tahun 1998 memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Trisakti di Jakarta, dan pada tahun 2001 memperoleh gelar Magister Management Agiribisnis (MM) dari Intitut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam
dan Lingkungan (PSL) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Pertanian pada tahun 2001 sampai tahun 2011. Pada pertengahan tahun 2011 sampai sekarang, penulis bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bogor.
Bogor, Januari 2012 Windra Kurniawan
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar belakang ..................................................................................... 1 1.2. Kerangka Pemikiran............................................................................. 5 1.3. Perumusan Masalah ............................................................................. 7 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 9 1.6. Novelty (Kebaruan) .............................................................................. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 10 2.1. Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan .............................. 10 2.2. Pemberdayaan Masyarakat................................................................. 19 2.2.1. Dimensi dan Permasalahan dalam Pemberdayaan........................................................................... 22 2.2.2. Sasaran Pemberdayaan.............................................................. 23 2.2.3. Metoda dan Strategi Pemberdayaan .......................................... 25 2.2.4. Bentuk Pemberdayaan yang Pernah Dilakukan di Daerah Penyangga TNGHS .................................................. 27 2.3. Analisis Manajemen Kelembagaan...................................................... 32 2.3.1. Model Analisis Oakerson.......................................................... 32 2.3.2. Model Analisis Kelembagaan dari Wade, Ostrom serta Baldand dan Platteau............................................ 34 2.4. Konflik Pemanfaatan Lahan............................................................... 49 III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 52 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 52 3.1.1. Lokasi Penelitian ...................................................................... 52 3.1.2. Waktu Penelitian....................................................................... 52 3.2. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya ............................. 52 3.3. Metode Pengumpulan Data dan Pengukuran Peubah .......................... 53 3.4. Metode Analisis ................................................................................. 57 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 59 4.1. Kondisi Umum TNGHS..................................................................... 59 4.2. Sistem Tenurial.................................................................................. 60 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGHS ........................ 61 4.3.1. Karakteristik Penduduk............................................................. 61 4.3.2. Ketenagakerjaan ....................................................................... 64 4.3.3. Pendidikan................................................................................ 65 4.3.4. Kondisi Ekonomi ...................................................................... 66
v
4.3.5. Penggunaan Lahan.................................................................... 68 4.3.6. Aktivitas Masyarakat terhadap TNGHS .................................... 69 4.4. Persepsi Masyarakat terhadap Taman Nasional .................................. 71 4.5. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya................................ 72 4.6. Sistem Kelembagaan.......................................................................... 73 4.6.1. Karakteristik Sistem Sumberdaya ............................................. 73 4.6.2. Karakteristik Organisasi............................................................ 75 4.6.3. Pengaturan Kelembagaan.......................................................... 81 4.6.4. Lingkungan Eksternal ............................................................... 83 4.7. Perbandingan Karakteristik Responden antara Lokasi Penelitian ..................................................................... 86 4.8. Hubungan antara Karakteristik Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ................................................................................... 87 4.9. Hubungan antara Pendapatan Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ................................................................................................. 88 4.10. Hubungan antara Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ................................................................................................. 89 4.11. Analisis Spasial Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan Wilayah Kelola TNGHS....................... 91 4.12. Konflik Pemanfaatan Lahan............................................................. 102 4.13. Konsep Pemberdayaan Masyarakat .................................................. 104 VII. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 114 7.1. Kesimpulan...................................................................................... 114 7.2. Saran ............................................................................................... 115 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 117 LAMPIRAN .................................................................................................... 122
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Penyebaran Taman Nasional di Indonesia ........................................ 10
Tabel 2.
Penelitian Pemberdayaan Masyarakat yang Pernah Dilakukan ......... 21
Tabel 3.
Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya ........................... 53
Tabel 4.
Peubah, Indikator dan Satuan Pengukuran ....................................... 54
Tabel 5.
Jumlah Responden Pakar ................................................................. 57
Tabel 6.
Sistem Tenurial di Lokasi Studi ....................................................... 61
Tabel 7.
Sebaran Responden Berdasarkan Kegiatan, Kesadaran Pelestarian dan Pengelolaan TNGHS ............................................... 70
Tabel 8.
Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Responden terhadap Taman Nasional............................................................................... 71
Tabel 9.
Analisis Deskriptif Karakteristik Sumberdaya Lahan ....................... 75
Tabel 10. Analisis Deskriptif Komponen Kelembagaan................................... 77 Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Aturan..................... 78 Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Kelembagaan........................ 80 Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan ............. 83 Tabel 14. Analisis Deskriptif Komponen Lingkungan Eskternal...................... 85 Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Kendala dan Penerapan Teknologi ........................................................................................ 86 Tabel 16. Hasil Uji Beda Karakteristik Responden .......................................... 87 Tabel 17. Hubungan antara Umur dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional............................................................................... 88 Tabel 18. Hubungan antara Pendapatan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional ................................................................ 89 Tabel 19. Hubungan antara Lama Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional.............................................. 90 Tabel 20. Hubungan antara Luas Penguasaan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional.............................................. 90 Tabel 21. Luas Zona Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menurut TNGHS ............................................................................. 91 Tabel 22. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor di dalam Kawasan TNGHS ............................................................................ 93 Tabel 23. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi di dalam Kawasan TNGHS ............................................................................ 94
vii
Tabel 24. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak di dalam Kawasan TNGHS ............................................................................ 95 Tabel 25. Tingkat Kesesuaian Zonasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang)............................................................................................. 98 Tabel 26. Kategori Kesesuaian Zonasi Pengelolaan Kawasan TNGHS dengan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak Menurut Kecamatan...................................... 99 Tabel 27. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) ............................................ 100 Tabel 28. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) ....................................................... 101 Tabel 29. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Berpotensi Konflik yang diusulkan di TNGHS ................................................ 111
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................................ 7 Gambar 2. Model Oakerson untuk Analisis Kelembagaan ................................ 33 Gambar 3. Kerangka Penarikan Lokasi dan Sampel Penelitian ......................... 56 Gambar 4. Ilustrasi Proses Analisis SIG dengan Metode Clips ......................... 58 Gambar 5. Peta Lokasi Studi ............................................................................ 60 Gambar 6. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian ............................................ 62 Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Usia .............................. 63 Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga............ 63 Gambar 9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Pokok .......................... 64 Gambar 10. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................... 66 Gambar 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Pendapatan..... 67 Gambar 12. Sebaran Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan ..................... 68 Gambar 13. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya ........................... 72 Gambar 14. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Sistem Sumberdaya .................................................................................. 73 Gambar 15. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Sumberdaya/ Lahan yang Digunakan............................................. 74 Gambar 16. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Kelembagaan........ 77 Gambar 17. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Organisasi ..... 79 Gambar 18. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan........... 82 Gambar 19. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Teknologi ...................................................................................... 84 Gambar 20. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Negara........................................................................................... 85 Gambar 21. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ...................................................................................... 92 Gambar 22. Peta Potensi Konflik di Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ................................................. 96 Gambar 23. Grafik Luas Tingkat Kesesuaian Tataruang Wilayah Tiga Kabupaten dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak............................................................................... 97
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian.................................................................. 123 Lampiran 2. Peta Wilayah Administrasi di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak ............................................................. 129 Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor ...................................................................... 130 Lampiran 4. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi ................................................................ 131 Lampiran 5. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lebak ...................................................................... 132 Lampiran 6. Peta RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak di Dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) .................................................................................. 133 Lampiran 7. Peta Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS ................................ 134 Lampiran 8. Peta Kesesuaian Tata Ruang Wilayah Kabupaten dengan Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak ............................................................. 135
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang memiliki beragam
nilai manfaat sebagai penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya. Nilai manfaat tersebut tidak hanya berupa nilai manfaat ekonomi yang menunjang langsung kehidupan ekonomi masyarakat dan usaha ekonomi lainnya, tetapi memiliki nilai ekologis dalam menyediakan jasa lingkungan seperti penyediaan air, pengatur iklim, penyerapan karbon, habitat hidupan liar, dan sebagainya. Salah satu kawasan hutan yang berperan penting dalam menyediakan manfaat jasa lingkungan tersebut adalah kawasan hutan konservasi, yaitu kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Di dalam kategori kawasan hutan konservasi terdapat taman nasional (TN) yang merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Taman nasional yang dikelola dengan baik memberikan manfaat lainnya, seperti peningkatan nilai ekonomi masyarakat seperti dari wisata alam, menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah sekitarnya, serta menjadi jaminan masa depan keanekaragaman sumberdaya hayati untuk dimanfaatkan saat ini dan masa depan. Pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius dalam pengelolaan hutan konservasi, bahkan sejak tahun 1889 Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan Cagar Alam Cibodas di Provinsi Jawa Barat untuk melindungi salah satu hutan pegunungan di Pulau Jawa. Sampai tahun 2011 jumlah taman nasional di Indonesia mencapai 50 buah, yaitu 12 TN berada di Pulau Sumatera, 12 TN berada di Pulau Jawa, 8 TN berada di Pulau Kalimantan, 8 TN berada di Pulau Sulawesi, 6 TN berada di Bali dan Nusa Tenggara, serta 5 TN berada di Maluku dan Papua. Salah satu TN yang berada di Pulau Jawa adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
2
Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memiliki luas 113.357 ha berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 memiliki peranan penting dalam perlindungan hutan hujan dataran rendah dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Wilayah TNGHS dengan kondisi yang bergunung-gunung, dua puncaknya yang tertinggi adalah Gunung Halimun (1.929 m dpl) dan Gunung Salak (2.211 m dpl) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan keberadaan beberapa jenis fauna penting yang dilindungi seperti elang jawa (Spizaetus bartelsii), macan tutul jawa (Panthera pardus javanensis), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata) dan lain-lain. Kawasan TNGHS dan sekitarnya ini juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya,
Cicarucub,
Cisungsang,
Sirnaresmi,
Ciptagelar
dan
Cisitu.
Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (Desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah
berhutan
berdasarkan
intensitas
pemanfaatan
dan
tingkat
perlindungannya, yaitu: leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal (Balai TNGHS, 2006). Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditunjuk tanggal 26 Februari 1992 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 luasnya 40.000 Ha yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun yang dilanjutkan dengan penetapan organisasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun terdiri dari tiga seksi wilayah yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997.
3
Pada tahun 2003, Pemerintah menetapkan penambahan luas Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi seluas 113.357 Ha berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 juni 2003, yaitu dengan memasukkan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor, Sukabumi dan Lebak. Wilayah kerja Balai TNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya merupakan kawasan TNGHS. Berdasarkan data Balai TNGHS (2006), jumlah penduduk dari 108 desadesa TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS. Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS relatif rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga miskin (RTM). Degradasi ekosistem hutan banyak terjadi di dalam dan sekitar kawasan TNGHS dan diduga terkait erat dengan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat (Balai TNGHS, 2006). Secara umum jumlah RTM di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi berjumlah 15.699 RTM atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), sementara di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RTM atau10 % dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RTM atau 15 % dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk desa Wangun Jaya). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena), pembangunan infrastruktur (jaringan listrik, jalan kabupaten dan provinsi, serta pusat
4
pemerintahan desa) dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai TNGHS, 2006). Balai TNGHS (2006) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem di TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal yang terjadi adalah penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar, perburuan satwaliar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan terkait perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan pertanian, dan kebutuhan lainnya. Menurut Balai TNGHS (2006), beberapa kasus longsor dan banjir di kawasan
TNGHS dilaporkan
mempunyai
kaitan
erat
dengan aktivitas
penambangan emas dan penebangan liar. Selain kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat, di dalam kawasan TNGHS terdapat dua perusahaan tambang yang beroperasi yaitu PT. Aneka Tambang dan PT. Chevron Geothermal Salak. PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), sedangkan PT. Chevron Geothermal Salak melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak. Kedua perusahaan pertambangan tersebut mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan sebelum alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi (TNGHS). Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan yaitu PT. Nirmala Agung, PTPN VIII Cianten, PTPN VIII Cisalak Baru, PT. Jayanegara, PT. Intan Hepta, PT. Yanita Indonesia, PT Salak Utama, PT. Baros Cicareuh, PT. Hevea Indonesia (HEVINDO) dan PT Pasir Madang. Selain itu, di sekitar kawasan TNGHS juga terdapat banyak perusahaan pengguna air, yaitu: industri air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan-minuman, pertambangan, perkebunan, peternakan, industri garmen, industri elektronik dan berbagai industri lainnya yang sumber mata airnya sangat dipengaruhi oleh keadaan ekosistem di dalam kawasan TNGHS (Balai TNGHS, 2006). Pengelolaan kawasan konservasi tidak akan terlepas dari masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu masyarakat sangat penting untuk dilibatkan di dalam suatu sistem pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan kawasan konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi fungsi, dengan memperhatikan aspek
5
lingkungan, ekonomi, sosial dan ekologi, serta melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Konflik antara pemanfaatan lahan oleh masyarakat dengan sistem pengelolaan taman nasional sebagai kawasan konservasi dengan pemanfaatan yang terbatas merupakan permasalahan utama di dalam pengelolaan TNGHS. Dengan tingginya kegiatan masyarakat dalam kawasan TNGHS yang sudah berlangsung sejak kawasan konservasi tersebut belum ditetapkan sebagai taman nasional,
maka
konsep
pemberdayaan
masyarakat
yang
sesuai
untuk
menyelesaikan masalah tersebut perlu dikaji. 1.2.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai kawasan konservasi dalam pengelolaannya dibagi ke dalam sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Kawasan TNGHS secara administratif berada di tiga kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Masing-masing kabupaten tersebut di dalam pengaturan ruangnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) yang secara hukum dipayungi oleh peraturan daerah masing-masing kabupaten. Di dalam RTRWK tersebut diatur berbagai rencana penggunaan lahan baik yang mengatur kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pola dan struktur ruang di dalam RTRWK idealnya sama dengan sistem zonasi TNGHS yang telah ditetapkan Pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya berada di bawah Kementerian Kehutanan. Namun di dalam kenyataannya batas kawasan konservasi TNGHS berikut zonasi pengelolaannya ternyata tidak semuanya sesuai, sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang atau lahan antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten dimana kawasan TNGHS tersebut secara administratif berada. Di sisi lain, di dalam kawasan TNGHS terdapat masyarakat yang telah lama menetap dan menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan lahan di dalam dan sekitar TNGHS jauh sebelum kawasan hutan konservasi tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Berbagai kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam wilayah kelola TNGHS yang tidak
6
sesuai dengan rencana zonasi TNGHS akan menyebabkan terganggunya ekosistem hutan. Akibat ketidaksesuaian alokasi pemanfaatan lahan antara kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang secara ekonomi umumnya termasuk dalam kelompok masyarakat miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah. Konflik pemanfaatan lahan yang bersifat tiga pihak yaitu pengelola TNGHS, pemerintah daerah, dan masyarakat membutuhkan solusi yang komprehensif untuk memecahkannya, sehingga tujuan pengelolaan TNGHS sebagai taman nasional akan sejalan dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS, diantaranya dengan mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai solusi atas konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS tersebut. Oleh karena itu di dalam penelitian ini ada beberapa analisis yang akan dilaksanakan yaitu (a) analisis spasial untuk memetakan wilayah yang secara tidak sesuai antara zonasi TNGHS dengan RTRWK masing-masing kabupaten; serta (b) analisis kelembagaan masyarakat terkait dengan pengelolaan TNGHS sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi termasuk di dalamnya pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional. Hasil dari analisis spasial yang dilakukan akan menunjukkan wilayah-wilayah mana yang diatur dalam RTRWK yang sesuai dan tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai antara kebijakan RTRWK dengan zonasi TNGHS dikaji lebih lanjut untuk dirumuskan konsep pemberdayaan masyarakatnya. Sintesis dari analisis spasial dan analisis kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan menjadi bahan dalam merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam penyelesaian konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS. Konsep pemberdayaan masyarakat yang dihasilkan disesuaikan dengan karakteristik sosial dan ekonomi masyarakat serta kelembagaannya dengan tetap memperhatikan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi. .
7
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
PEMANFATAN LAHAN OLEH MASYARAKAT
TATA RUANG KABUPATEN
ZONASI TAMAN NASIONAL (ZONA INTI, ZONA RIMBA, ZONA PEMANFAATAN)
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI
ALOKASI RUANG / PEMANFAATAN LAHAN DALAM TNGHS
KETIDAKSESUAIAN ZONASI TNGHS DENGAN ALOKASI RUANG DAN PEMANFAATAN LAHAN
KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN DALAM TNGHS
ANALISIS SPASIAL KONFLIK RUANG / PEMANFAATAN LAHAN DALAM KAWASAN TNGHS
SESUAI
KESESUAIAN ZONASI DAN TATA RUANG
TIDAK SESUAI
ANALISIS KELEMBAGAAN
KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 1.3.
Perumusan Masalah Wilayah TNGHS pada jaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan
sebagai kawasan konservasi dengan status cagar alam. Dinas Kehutanan pemerintah kolonial Belanda dan Residen Belanda di Banten memiliki persepsi berbeda tentang status kawasan tersebut. Kehutanan menilai kawasan tersebut merupakan kawasan hutan, tetapi Residen Belanda di Banten menilai kawasan tersebut bukan kawasan hutan sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sampai penjajahan pemerintahan Belanda di Indonesia berakhir.
8
Konflik akibat pemanfaatan lahan di TNGHS terus berkembang sejalan dengan diperluasnya kawasan tersebut pada tahun 2003 berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 juni 2003 tentang perluasan dan perubahan status TNGHS. Hal ini dikarenakan masih terdapat ratusan ribu orang yang berada di dalam kawasan TNGHS dan berdasarkan data TNGHS (2006) terdiri dari 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005) yang mendiami 348 kampung. Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya lahan di kawasan TNGHS tersebut sangatlah tinggi yang dicirikan oleh beragamnya pola pemanfaatan lahan di dalam TNGHS tersebut, seperti pertanian lahan kering, sawah, pertambangan, permukiman, dan sebagainya dengan berbagai fasilitas fisik wilayah yang telah berkembang sejak lama. Perkembangan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut berkaitan dengan kebijakan tata ruang Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak yang belum seluruhnya sesuai dengan wilayah kelola TNGHS. Selain itu kondisi masyarakat di dalam TNGHS secara ekonomi umumnya tergolong miskin, sehingga perlu upaya-upaya peningkatan ekonominya. Namun dengan masih tidak sinkronnya antara tata ruang kabupaten dengan TNGHS menjadi kendala terkait program peningkatan ekonomi masyarakat, dimana program pembangunan masyarakat pemerintah kabupaten sulit dilakukan di wilayah yang pengelolaannya dilakukan oleh UPT Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana permasalahan ruang antara tata ruang wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan kawasan kelola TNGHS ? 2) Bagaimana konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat dirumuskan untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS tersebut ? 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS;
9
2) Menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS; 3) Merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS. 1.5.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah :
1) Memberikan solusi bagi pengelola TNGHS, pemerintah kabupaten, serta masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS berbasis pemberdayaan masyarakat; 2) Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama penyelesaian konflik lahan melalui pendekatan analisis spasial yang terintegrasi dengan kebijakan tata ruang dan pemberdayaan masyarakat. 1.6.
Novelty (Kebaruan) Kebaruan dalam penelitian ini adalah dari aspek hasil penelitian bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dan dasar solusi konflik pemanfaatan lahan di dalam kawasan konservasi TNGHS.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan Taman nasional (TN) merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian
alam (KPA) selain taman wisata alam (TWA) dan taman hutan raya (TAHURA). Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2011), bahwa sampai tahun 2011, jumlah taman nasional di Indonesia mencapai 50 buah, yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran Taman Nasional di Indonesia Lokasi Taman Nasional Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Taman Nasional Gunung Leuser (Cagar Biosfir dan World Heritage Sites) Siberut (Cagar Biosfir) Kerinci Seblat ((World Heritage Sites) Bukit Tigapuluh Bukit Duabelas Berbak (Ramsar Sites) Sembilang Bukit Barisan Selatan (World Heritage Sites) Way Kambas Batang Gadis Tesso Nilo Ujung Kulon (World Heritage Sites) Kepulauan Seribu Gunung Halimun Salak Gunung Gede Pangrango Karimunjawa Bromo Tengger Semeru Meru Betiri Baluran Alas Purwo Gunung Merapi Gunung Merbabu Gunung Ciremai Bali Barat Gunung Rinjani Komodo ( Cagar Biosfir dan World Heritage Sites) Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti
11
Lokasi Taman Nasional Bali dan Nusa Tenggara Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Maluku dan Papua
6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Taman Nasional Kelimutu Gunung Palung Danau Sentarum (Ramsar Sites) Betung Kerihun Bukit Baka-Bukit Raya Tanjung Puting (Cagar Biosfir) Kutai Kayan Mentarang Sebangau Bunaken Bogani Nani Wartabone Lore Lindu (Cagar Biosfir) Taka Bonerate Rawa Aopa Watumohai Wakatobi Kepulauan Togean Bantimurung-Bulusaraung Manusela Aketajawe-Lolobata Teluk Cendrawasih Lorentz (World Heritage Sites) Wasur
Pembentukan taman nasional pada awalnya dimulai dengan tujuan sebagai penyangga kawasan produktif sehingga keseimbangan ekologis dalam suatu wilayah regional tetap terjaga (Abbas, 2005). MacKinnon et.al (1992) menyebutkan beberapa prinsip dasar yang sering digunakan dalam menetapkan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah (a) karakteristik atau keunikan ekosistem, (b) memiliki keanekaragaman spesies atau spesies khusus yang bernilai, (c) memiliki lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang bernilai; (d) berfungsi untuk melindungi hidroorologis; (e) memiliki sarana untuk kegiatan wisata atau rekreasi alam, (f) memiliki tempat peninggalan sejarah budaya yang tinggi. Widada (2004) menyebutkan bahwa taman nasional secara umum memiliki peranaan sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, wahana pendidikan lingkungan, mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa, wahana kegiatan wisata alam, sumber plasma nutfah dan perlindungan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa, serta pelestarian ekosistem hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan sumber air bagi masyarakat di sekitar kawasan. Hartono (2008) menyebutkan kegiatan operasional pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut:
12
1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan Kegiatan ini merupakan semua upaya yang ditujukan agar semua prosesproses alami pada kawasan tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya, dengan mengeliminir sampai tingkat seminimal mungkin aktivitas manusia yang dapat menimbulkan dampak, meliputi : a)
Pemberantasan penebangan liar dan perambahan kawasan;
b) Pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan; c)
Pencegahan kegiatan perburuan;
d) Pencegahan berbagai aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan; e)
Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
2) Mempertahankan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya Kegiatan ini meliputi semua upaya yang ditujukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada kawasan yang bersangkutan. Kegiatan ini meliputi kegiatan : a) Identifikasi dan inventarisasi flora dan fauna di dalam kawasan secara menyeluruh; b) Identifkasi key features kawasan; c) Monitoring dinamika key features kawasan; d) Monitoring dan evaluasi dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; e) Melakukan tindakan konservasi yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya over populasi key features flora dan fauna (rehabilitasi, pembinaan habitat, pembinaan populasi, pembangunan koridor, dan lain-lain). 3) Pemanfaatan secara lestari Kegiatan ini meliputi semua upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan potensi kawasan dan ekosistemnya dengan dampak yang terukur dan terkendali. Kegiatan pokok ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a)
Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan wisata alam secara berkelanjutan;
b) Identifikasi, budidaya, dan pemanfaatan plasma nutfah; c)
Identifikasi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada zona-zona tertentu;
d) Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan jasa lingkungan;
13
e)
Media pendidikan, penelitian, bina cinta alam, dan pembinaan generasi muda. Lebih lanjut Hartono (2008) menyebutkan bahwa selain tiga tugas pokok
tersebut, masing-masing pengelola taman nasional juga wajib melaksanakan tugas-tugas lain yang merupakan prasyarat (prerequisite) agar tiga tugas pokok tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Kegiatan yang bersifat prerequisite tersebut adalah sebagai berikut : 1) Kegiatan pemantapan kelembagaan Kegiatan ini meliputi semua kegiatan yang perlu dilakukan guna memperkuat kapasitas lembaga pengelola taman nasional sehingga mampu melaksanakan tugas pokok yang dibebankan yang meliputi : a)
Penyusunan pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan konservasi;
b) Pengaturan kesiapan, penempatan, dan pendayagunaan sumberdaya manusia; c)
Sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundangan;
d) Penyuluhan masyarakat; e)
Pembangunan/pengadaan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengelolaan, termasuk infrastruktur wisata alam, pendidikan, dan penelitian;
f)
Pengaturan dan administrasi keuangan.
2) Kegiatan pengelolaan kawasan Kegiatan ini meliputi seluruh upaya yang dimaksudkan untuk memantapkan prakondisi pengelolaan di lapangan sehingga memungkinkan pengelola dapat melakukan tugas pokok secara sistematis dan berkesinambungan yang meliputi : a)
Penataan dan pemeliharaan batas kawasan;
b) Penetapan dan penataan batas zonasi; c)
Penyusunan rencana-rencana pengelolaan kawasan;
d) Monitoring dan evaluasi pengelolaan zonasi; e)
Pemasangan dan pemeliharaan rambu dan tanda-tanda. Pengelolaan taman nasional menurut pemerintah berdasarkan Peraturan
menteri Kehutanan No. P56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Naional, bahwa zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari : 1.
Zona inti;
2.
Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan
14
3.
Zona pemanfaatan;
4.
Zona lain, antara lain: a.
Zona tradisional;
b.
Zona rehabilitasi;
c.
Zona religi, budaya dan sejarah;
d.
Zona khusus. Peruntukan masing-masing zona meliputi :
1.
Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.
2.
Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
3.
Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya.
4.
Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
5.
Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
6.
Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilainilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
7.
Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjukjditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.
15
Taman nasional memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung. Kelompok yang menerima manfaat langsung dari keberadaan taman nasional adalah petani, nelayan, pelancong, dan sebagainya. Adapun kelompok yang mengambil manfaat dari keberadaan taman nasional umumnya berupa manfaatmanfaat pilihan (option benefits) di masa mendatang (Effendi, 1998). Lebih lanjut Effendi (1998) menyebutkan bahwa nilai ekonomi taman nasional sangat bergantung pada preferensi, kebudayaan dan nilai etika yang sangat bervariasi tergantung dari distribusi pendapatan dan aset yang ada di masyarakat. Misalnya, masyarakat kaya akan bersedia membayar lebih besar daripada masyarakat miskin untuk kelestarian suatu taman nasional. Kegiatan pembangunan pun banyak memperoleh manfaat dari taman nasional berupa manfaat ekologis, diantaranya udara yang bersih, penyerapan karbon, pengendalian cuaca, dan sebagainya. Taman nasional mengandung manfaat yang tak ternilai manfaatnya melalui multiplier effects (efek ganda) yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Suatu studi penilaian ekonomi yang dapat menunjukkan peranan “induced benefit” (manfaat pendorong) serta efek penggandanya perlu dilakukan, sehingga dapat dijadikan alat kebijakan yang dapat menunjukkan kepada para pengambil keputusan bahwa pengelolaan taman nasional bukan merupakan cost-center, tapi lebih merupakan komponen penting dalam meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi secara luas (Effendi, 1998). Widada (2004) menyebutkan bahwa nilai manfaat ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berdasarkan analisis nilai ekonomi total (NET) mencapai Rp 439,75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerap karbon Rp 429,77 milyar (97,73%), nilai ekowisata Rp 1.27 milyar (0,29%, nilai air (domestik dan pertanian) Rp 6,64 rnilyar (1 ,5%), nilai pelestarian Rp 0,67 rnilyar (0,15%), nilai pilihan Rp 0,76 milyar (0,17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0,64 milyar (0,15%). Apabila nilai penyerap karbon tidak diperhitungkan, maka NET TNGH sebesar Rp 9,57 milyar, dengan nilai ekonomi air (domestik dan pertanian) menunjukkan proporsi yang tertinggi (66,58%), kemudian nilai ekowisata (12,70%), nilai pilihan (7,63%), nilai pelestarian (6,70%), dan nilai keberadaan (6,40%). Nilai manfaat dari taman nasional tersebut tentunya tidak
16
akan memberikan hasil yang optimal dan berkelanjutan apabila di dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan, terutama terkait konflik akibat interaksi kawasan taman nasional dengan masyarakat. Wulan et.al. (2004) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang sering memicu konflik di sektor kehutanan berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional. Sebagai contoh konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan laut. Adanya konflik tersebut menimbulkan malapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lain yang tidak terlibat langsung. Individu-individu tertentu mendapat ancaman dan sumberdaya alam menjadi rusak, bahkan menelan korban fisik dan kematian (Wulan et.al. 2004). Wulan et.al (2004) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Taman Nasional Kutai diakibatkan oleh adanya perambahan lahan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Pembatasan
akses
masyarakat
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya hutan sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional memicu konflik karena masyarakat merasa sudah lama tinggal di dalam kawasan tersebut
sebelum
kawasan
tersebut
menjadi
taman
nasional,
sehingga
pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya dianggap tidak melanggar dari sudut pandang masyarakat. Masyarakat merasa bahwa lahan yang dibuka untuk kegiatan pertanian dan hasil hutan lainnya berasal dari wilayah adat atau wilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan konflik (Yuliana et.al., 2004). Kawasan TNGHS merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Konflik pemanfaatan lahan seperti halnya di Taman Nasional Kutai terjadi juga di TNGHS. Gamma (2006) menyebutkan bahwa pada tahun 2003, Pemerintah (Menteri Kehutanan RI) menerbitkan SK No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi 113.359 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut
17
merupakan Kawasan Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910. Gamma (2006) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara Tata Batas (BATB), terdapat 18 kelompok hutan di Lebak yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, tiga diantaranya yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan hukum bagi penunjukan TNGHS. Dari hasil penelusuran dokumen tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut. Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Banten tahun 1934 (Staat der op 31 December 1934 in de Residentie Bantam Aanwezige Boschreserve), dua kelompok hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok, bersengketa dengan tanah-tanah huma garapan masyarakat. Catatan statistik ini diselesaikan sebelum tahun 1924 menunjukkan bahwa walaupun hutan-hutan tersebut telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat atas tanah garapannya. Sengketa tanah ini berasal dari pengakuan tanah-tanah huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten tahun 1912, sesuai dengan ketentuan Gouverment Besluit van 8 November 1919 No.8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma tersebut diakui keberadaannya melalui Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 No 10453/7, Residen bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Di lain pihak, Dinas Kehutanan (Dienst van het Boschewzen) tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan Residen Banten dan memasukkan tanahtanah tersebut ke dalam Kawasan Hutan Negara dengan alasan bahwa proses penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah diselesaikan sebelum tahun 1924. Dinas Kehutanan menilai bahwa bentuk pengakuan dari Residen Banten atas tanah-tanah huma garapan masyarakat sebagai cacat hukum. Upaya Gubernur
18
Jenderal Hindia Belanda untuk menengahi konflik tersebut sampai akhir penjajahan Belanda tahun 1942 tidak membuahkan penyelesaian hukum atas sengketa tanah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan konflik lahan di TNGHS disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat sejak jaman kolonial Hindia Belanda yang berlanjut sampai saat ini. Gamma (2006) menyarankan perlunya penyelesaian konflik lahan agar pengelolaan TNGHS tidak terganggu dengan tanpa mengabaikan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahannya yang saat ini menjadi bagian dari kawasan TNGHS. Penolakan terhadap perluasan TNGHS masih berlangsung. DPR (2011) menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Lebak menolak perluasan TNGHS yang awalnya seluas 40 ribu hektar menjadi 113 ribu ribu hektar karena dianggap akan meningkatkan angka kemiskinan masyarakat Kabupaten Lebak. Akibat rencana tersebut, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal ataupun kehilangan berbagai sarana dan prasarana untuk kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya yang sebelumnya sudah ada. Di areal yang masuk dalam rencana perluasan lahan saat ini terdapat sekitar 176 unit lembaga pendidikan, 312 unit sarana keagamaan, 21 unit sarana kesehatan dan 44 unit sarana pemerintahan yang berada di 1.180,50 ha kawasan permukiman, serta kawasan pertanian berupa kebun, ladang, dan sawah, sekitar 11.015,50 ha. Pemerintah Kabupaten Lebak sangat mengkhawatirkan dengan adanya perluasan TNGHS karena kegiatan perekomian masyarakat sekitar TNGHS yang masih memprihatinkan makin terpuruk. Kondisi masyarakat sekitar TNGHS sebagaimana riset Widada (2004) menunjukkan bahwa pada umumnya (90,34%)
adalah
petani
dan
kondisi
sosial
ekonomi
mereka
sangat
memprihatinkan, yaitu: 93,18% hanya berpendidikan SD ke bawah, dan pendapatan per kapita rata-rata sebesar Rp 93.210 per bulan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka masih melakukan aktivitas yang sifatnya negatif (contohnya: pencurian kayu, perambahan hutan, dan penambangan emas tanpa ijin), sehingga hal tersebut akan mengancam kelestarian TNGHS.
19
Konflik antara masyarakat dengan TNGHS sebagaimana diuraikan sebelumnya bermuara pada permasalahan konflik pemanfaatan lahan dan relatif masih rendahnya tingkat perekonomian masyarakat sekitar TNGHS. Oleh karena itu kajian tentang permasalahan tata ruang terkait dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat merupakan masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikaji sebagai prasarat penyelesaian konflik lahan di kawasan TNGHS dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi di kawasan tersebut dapat berjalan dengan baik dan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS dapat terjamin dengan baik. 2.2.
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat telah menjadi sebuah konsep yang paling
banyak diwacanakan baik dalam tingkat pemerintahan desa hingga ke tingkat pemerintahan negara. Gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural masyarakat yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses terhadap sumberdaya (Sutoro, 2002). Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka (Ife 1995). Untuk dapat memahami konsep pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa definisi dari berbagai penulis diantaranya : 1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995). 2) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987). 3) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas
diarahkan
agar mampu
kehidupannya (Rappaport, 1984).
menguasai
(atau
berkuasa) atas
20
4) Pemberdayaan adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi, berbagi pengontrolan, dan mempengaruhi terhadap kejadiankejadian
serta
Pemberdayaan
lembaga-lembaga menekankan
yang
bahwa
mempengaruhi
orang
memperoleh
kehidupannya. keterampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et al., 1994:). Berdasarkan pengertian dan definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak ada sebuah pengertian maupun model tunggal pemberdayaan. Karena makna pemberdayaan yang dipahami oleh banyak pihak sangatlah berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaankelembagaan politik dan sosial budaya. Konteks lain menyatakan bahwa pemberdayaan dapat dilihat sebagai perluasan kebebasan akan pilihan dan tindakan dari masyarakat. Ini berarti peningkatan kekuasaan masyarakat, pengendalian sumberdaya dan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Sutoro, 2002). Dengan cara pandang kelembagaan, Bank Dunia memaknai pemberdayaan adalah perluasan modal dan kemampuan (assets and capabilities)
masyarakat
untuk
mengambil
bagian,
berunding
dengan,
mempengaruhi, mengawasi, dan menguasai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab yang mempengaruhi hidup mereka (Narayan, 2002). Menurut Narayan (2002) modal mengacu pada modal materi, fisik, keuangan dan sosial. Modal mencakup lahan, perumahan, peternakan, tabungan dan perhiasan yang memungkinkan orang untuk menahan goncangan dan meningkatkan pilihan mereka akan kebutuhan hidup. Kemampuan pada sisi lain sudah menjadi sifat, melekat dalam diri masyarakat dan memungkinkan mereka menggunakan modalnya dengan cara berbeda untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kemampuan manusia meliputi : kesehatan yang baik, pendidikan, dan produksi atau peningkatan keterampilan hidup lainnya. Kemampuan sosial meliputi, kepemilikan sosial, kepemimpinan, hubungan kepercayaan, suatu perasaan identitas, nilai nilai yang memberi arti hidup dan kemampuan untuk berorganisasi. Kemampuan politik meliputi: kemampuan untuk mewakili diri sendiri atau orang lain, mengakses informasi, membentuk perkumpulan, dan mengambil bagian dalam kehidupan politik bangsa atau negara.
21
Dalam konteks tingkat pemberdayaan, maka pendekatan kelembagaan, merupakan arena pemberdayaan yang paling krusial, karena pemberdayaan tidak hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat (Sutoro, 2002), realitas obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya di masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran, dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan yakni perubahan kondisi sosial. Untuk dapat melihat penelitian pemberdayaan masyarakat yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penelitian Pemberdayaan Masyarakat yang Pernah Dilakukan 1
No
Peneliti Basuni S. 2003.
Judul Inovasi Institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi
Gambaran Umum Penelitian mendeskripsikan pengelolaan daerah penyangga merupakan bagian integral dari perlindungan kawasan konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengelolaan lahan merupakan peubah kunci yang menentukan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi
2
Simanjuntak, S. 2003.
Penelitian ini untuk menjabarkan kelembagaan masyarakat yang telah dipengaruhi oleh proyek pengembangan hutan kemasyarakatan pemerintah dan sejauh mana perubahan sosial budaya masyarakat Dayak akibat pembangunan
3
Sulistyowati, L. 2003.
Respon masyakarat terhadap perubahan kelembagaan dalam pembangunan masyarakat (studi kasus pada proyek pengembangan hutan kemasyarakatan di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat) Analisis kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam gugus kepulauan
4
Santosa, I. 2004.
Pemberdayaan petani tepian hutan melalui pembaharuan perilaku adaptif
Penelitian ini melihat tekanan terhadap sumberdaya pada daerah gugus kepulauan disebabkan oleh ketidakpahaman penduduk terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam. Sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan Penelitian pemberdayaan ini diarahkan untuk melihat faktor-faktor eksternal pada daerah tepi hutan. Penelitian ini hanya melihat pola perilaku petani dengan membedakan antara perilaku adaptif dan tidak adaptif dalam pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah.
22
Menurut Heller (1994) setiap individu tidak bisa mengembangkan kemampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif,
dan ketimpangan sosial. Pemberdayaan yang
menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukup memadai untuk memfasilitasi pengembangan kondisi sosial alternatif. 2.2.1. Dimensi dan Permasalahan dalam Pemberdayaan Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan berdasarkan kompetensinya, yakni : 1) Kompetensi kerakyatan Kompetensi kerakyatan adalah kompetensi yang berhubungan dengan relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat, dimana relasi tersebut merupakan hubungan timbal balik yang memberikan rakyat sebuah kemampuan untuk dapat mengelola dirinya, sementara pemerintah hanya bersifat memfasilitasi untuk dapat meningkatkan kemampuan tersebut. 2) Kemampuan sosiopolitik Kemampuan sosial politik adalah kemampuan masyarakat untuk dapat ambil bagian dalam kehidupan sosialnya, mempunyai kemampuan dan kemandirian untuk dapat menyatakan pendapat, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan relasi politik yang dipergunakan dalam pengambilan keputusan. 3) Kompetensi partisipatif Kompetensi
partisipatif
merupakan
sebuah
kompetensi
keikutsertaan
masyarakat ikut mengambil bagian dalam mendukung dan mengsukseskan program diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri. Kompetensi ini merupakan relasi antar kekuasaan, ekonomi politik Menurut Parsons et al. (1994), pemberdayaan menurut prosesnya sedikitnya mencakup tiga dimensi: 1) Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar. 2) Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
23
3) Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upayaupaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan. Dari berbagai dimensi pemberdayaan di atas, maka terdapat permasalahan yang dihadapi dalam konteks memberdayakan masyarakat, dimana oleh sebagian dari pengambil kebijakan menggunakan nilai uang sebagai alat pemberdayaan. Sebagai contoh, banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan sebaliknya menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan. Pola pemberdayaan dengan hanya memberikan bantuan uang atau bantuan proyek kepada masyarakat desa tidak akan merangsang peran serta masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan (JICA, 2006). Dalam kasus tertentu, di dalam konsep pembangunan masyarakat, bantuan material
memang
diperlukan,
akan
tetapi
yang
lebih
penting
adalah
pengembangan swadaya-self help-masyarakat untuk membangun diri sendiri. Ciri khas dari suatu kegiatan swadaya adalah adanya sumbangan dalam jumlah besar yang diambil dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat baik yang dimiliki individu maupun kelompok di dalam masyarakat. 2.2.2. Sasaran Pemberdayaan Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan sasaran pemberdayaan. Parsons et al. (1994) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif, dimana proses pemberdayaan terjadi dalam hubungan antara pekerja sosial dan masing-masing individu. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri individu, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi LSM dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektifitas, dalam arti mengkaitkan masyarakat dengan sumber atau sistem lain
24
di luar dirinya. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro. 1) Pendekatan Mikro Pemberdayaan dilakukan secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach). 2) Pendekatan Mezzo Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikapsikap masyarakat agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3) Pendekatan Makro Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik, merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan makro memandang sekelompok masyarakat sebagai kelompok yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Menurut Ife (1995), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan masyarakat atas: 1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
25
2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya. 3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Lembaga-lembaga:
kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan. 5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. 6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa. 7) Re-produksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses pendidikan dan sosialisasi. 2.2.3. Metoda dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat yang kehilangan daya tidak dapat dibiarkan secara terusmenerus, mereka perlu diberdayakan, karena mereka dalam keadaan tereksploitasi dan terpinggirkan. Keadaan mereka masih mencerminkan adanya kelemahan dan kekurangan dalam: keswadayaan, kemandirian, partisipasi, solidaritas sosial, keterampilan, sikap kritis, wawasan transformatif, rendahnya mutu dan taraf hidup. Hal ini sebagai akibat sempitnya ruang gerak yang diberikan pemerintah terhadap rakyat kecil dalam melakukan pembangunan. Untuk membangun keberdayaan yang lemah dikemukakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu (Kartasasmita, 1996): 1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Asumsi dasar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang adalah bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi. 2) Memperkuat aset atau sumberdaya yang dimiliki oleh rakyat. Untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki maka perlu diterapkan langkah nyata dengan menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan
26
sarana baik fisik (irigasi, jalan, listrik) maupun sosial (pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses oleh lapisan masyarakat paling bawah. 3) Kemampuan melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat (Priyono dan Pranaka 1996). Ife (1995) menyatakan bahwa metode pemberdayaan tidak terlepas dari kondisi dan posisi kekuasaan dalam masyarakat. Metode yang dikembangkan didasarkan pada perspektif mengenai kekuasaan yaitu: (1) perspektif pluralis, dengan
perspektif
ini
mengisyaratkan
pemberdayaan
dilakukan
dengan
memberikan kemampuan pelajaran kepada individu-individu atau kelompokkelompok tentang bagaimana mereka berkompetisi sesuai aturan; (2) perspektif elite, yakni kegiatan pemberdayaan dilaksanakan dengan mengembangkan kemampuan untuk dapat kerjasama dan memberikan pengaruh pada elite, membentuk aliansi dengan elite, melakukan perlawanan dan mencari untuk merubah elite; (3) menurut strukturalis, kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan mengembangkan liberalisasi, melakukan perubahan pada landasan struktur, dan menolak adanya struktur yang tertindas; dan (4) menurut perspektif poststrukturalis yakni pemberdayaan dilakukan dengan melakukan perubahan wacana, mengembangkan pemahaman subyektif baru dan pendidikan kebebasan. Keadaan
tersebut
melahirkan
berbagai
pandangan
mengenai
pemberdayaan, yaitu : (1) suatu bentuk penghancuran kekuasaan atau power to no body. Didasari pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya, maka untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan kekuasaan harus dihapuskan; (2) pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to every body). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat menimbulkan pengingkaran kekuasaan dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh karena itu, kekuasaan harus didistribusikan kepada semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri; dan (3) pemberdayaan adalah
27
penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang moderat dari dua pandangan sebelumnya. Pandangan ini merupakan antitesis dari pandangan power to no body dan pandangan power to every body. Menurut pandangan ini, power to no body adalah kemustahilan dan power to every body adalah chaos dan anarkhi. Oleh sebab itu, menurut pandangan ini, yang paling realistis adalah power to powerless. Rose (1990) menyatakan bahwa prinsip-prinsip pemberdayaan itu terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu: (1) kontekstualisme, yakni kegiatan pemberdayaan harus difokuskan pada pemahaman individu/kelompok sendiri terhadap kesejahteraan dirinya. Walaupun pemahaman itu sudah diserahkan kepada individu/kelompok, namun pihak yang diberdayakan tetap mempunyai peluang untuk dialog sehingga individu/kelompok ini dapat memahami realitasnya sendiri; (2) empowerment, yaitu proses dimana pemberdayaan akan mendukung individu/kelompok, untuk mengidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan
kebutuhannya.
Pekerjaan
ini
dipusatkan untuk membantu individu/kelompok membuat keputusan tindakan yang perlu dilakukan; dan (3) collectivity yaitu memfokuskan pada pengurangan perasaan terisolasi dan membuat hubungan dengan individu/kelompok yang lain (Payne, 1991). 2.2.4. Bentuk Pemberdayaan yang Pernah Dilakukan di Daerah Penyangga TNGHS Bentuk pemberdayaan yang telah ada di daerah penyangga di Kabupaten Bogor adalah model pembangunan partisipatif melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan dimantapkan dalam program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT). Kemudian program tersebut disempurnakan melalui pelaksanaan program pengembangan kecamatan (PPK) dan program pemberdayaan daerah mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) dan dilanjutkan dengan program jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu terdapat juga program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan oleh lembaga peneliti dari Jepang. Untuk dapat melihat penjabarannya dapat dilihat sebagai berikut :
28
1) Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) (Gunawan, 1999) Program
pemberdayaan
masyarakat
di
daerah
penyangga
mulai
dilaksanakan sejak tahun 1994/95, melalui program Inpres Desa Tertinggal. Program IDT pada awalnya bersifat pembangunan ekonomi sosial. Program IDT menekankan aspek kebersamaan masyarakat lokal untuk menumbuhkan peran aktif masyarakat lokal dalam mengatasi masalah mereka sendiri. Wadah kebersamaan tersebut diwujudkan dalam pembentukan kelompok masyarakat sebagai wadah kegiatan sosial ekonomi produktif yang dapat memberikan tambahan penghasilan yang berkelanjutan. Bantuan langsung kepada masyarakat diberikan dalam bentuk bantuan modal bergulir dan bantuan pendampingan melalui penyediaan tenaga pendamping dari berbagai komponen pembangunan, antara lain pendampingan khusus oleh sarjana pendamping purna waktu (Gunawan, 1999). 2) Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal Program pembangunan sosial ekonomi yang menekankan pendekatan wilayah dikembangkan berdasarkan pengalaman pelaksanaan program IDT. Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi ini diwujudkan dalam penentuan sasaran lokasi dalam satu cluster, dimana masingmasing unit lokasi dalam satu cluster dapat saling melengkapi upaya pengembangan wilayah. Pengembangan IDT diimplementasikan dalam program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung
program
dioperasionalkan
mulai
IDT
(Gunawan,
tahun
anggaran
1999).
Program
1995/96
P3DT
menekankan
yang bantuan
pembangunan prasarana dan sarana dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembangunan
di
tingkat
lokal.
penguatan
kelembagaan-kelembagaan,
pembangunan di tingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan. Prinsip penguatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi dasar pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana dasar sosial ekonomi, melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian pelaksanaan kegiatan hasil
29
pembangunan dan dampaknya dapat diketahui guna meningkatkan kapasitas masyarakat (Gunawan, 1999). 3) PPK (Program Pemberdayaan Kecamatan) atau (Program Pengembangan Kecamatan Fase Kedua Laporan Tahunan III 2004) Program Pemberdayaan Kecamatan merupakan penyempurnaan program P3DT. Program Pemberdayaan Kecamatan menekankan pentingnya mekanisme perguliran dana bantuan langsung melalui lembaga keuangan milik masyaraat yang disebut unit pengelola keuangan (UPK). Penggunaan dana bantuan melalui PPK ini dibatasi oleh persyaratan ketat. Dana bantuan yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat hanya boleh digunakan untuk membiayai investasi sosial dan ekonomi produktif. Program pengembangan kecamatan merupakan model kelembagaan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan yang menerapkan prinsip pembangunan partisipatif. Model partisipatif mengutamakan pembangunan yang mengutamakan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal khususnya di pedesaan dalam wadah musyawarah pembangunan tingkat kecamatan. Setiap kecamatan mengkoordinasi 5 (lima) desa dengan kriteria tertentu. Setiap kecamatan menerima 3 (tiga) kali dengan nilai antara Rp 500 juta hingga Rp 750 juta setiap tahun. Bantuan kepada desa yang dikoordinasi di kecamatan ini dapat digunakan untuk membiayai investasi sosial berupa pembangunan prasarana umum, investasi ekonomi yang menghasilkan dana bergulir, dan peningkatan kemampuan masyarakat. Dalam tahun anggaran 1988/99, bantuan langsung telah diprogramkan untuk 1500 kecamatan yang meliputi 7500 desa. Unit pengelola di tingkat desa dan kecamatan perlu dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan dana bantuan. Pengelolaan dilakukan sendiri oleh masyarakat. Unit Pengelola Keuangan berperan sebagai lembaga keuangan yang dapat menampung dan mengelola berbagai bantuan dan dana yang berputar di masyarakat. Unit Pengelola Keuangan dapat berkembang menjadi lembaga keuangan alternatif (LKM) milik masyarakat, dimana LKM ini merupakan embrio lembaga keuangan dengan prinsip-prinsip perbankan yang menyelenggarakan dan menerapkan prinsip kebersamaan. Dalam perkembangan selanjutnya dapat berbadan hukum koperasi atau berbadan hukum bank.
30
Prinsip-prinsip dalam menjalankan program PPK adalah transparansi, keberpihakan pada orang sejahtera, kompetisi yang sehat dan desentralisasi pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Transparansi adalah: Kegiatan PPK dilakukan secara terbuka diketahui oleh masyarakat luas, dapat diikuti dan dipertanggungjawabkan. b) Partisipasi yang dilakukan pada setiap tahap kegiatan melibatkan semua unsur masyarakat secara aktif, terutama kelompok masyarakat sejahtera dan perempuan, mereka memiliki hak penuh dalam menentukan kegiatan, pengelolaan dana, serta pengelolaan kegiatan. c) Keberpihakan pada orang sejahtera; dimana orientasi setiap kegiatan ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang kurang mampu. Setiap kegiatan selalu mempertimbangkan keberadaan orang kurang mampu mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemeliharaan hasil kegiatan. d) Kompetisi sehat; semua warga berhak menentukan sendiri program yang terbaik untuk wilayahnya. penentuan ini berdasarkan hasil kajian atau telaah dari berbagai alternatif pilihan. Karena keterbatasan jumlah dana, maka pengalokasian dana PPK ditentukan melalui perengkingan dan kompetisi sehat. Program ini telah sukses pada beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dimana tingkat pengembalian modal ke unit usaha kecamatan telah mencapai lebih dari 98% pada tahun 2004, dan 97% pada tahun 2005. 4) Beras untuk Keluarga Miskin, Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan dan Bantuan Langsung Tunai (Gunawan, 1999) Program Jaring Pengaman Sosial yang sering kali diberikan melalui aparatur desa dan Badan Pemberdayan Masyarakat desa, merupakan pemberian bantuan langsung terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan hidup masyarakat. seperti pemberian bantuan langsung Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN) untuk masyarakat sejahtera. Program ini didasarkan atas tekanan ekonomi sebagai akibat dari meningkatnya harga bahan bakar dan beras.
31
Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRLH) bantuan lainnya dilakukan oleh sektor pertanian dan kehutanan dengan memberikan bantuan bibit dan pemberdayaan masyarakat untuk menanam tanaman ekonomis seperti durian, mangga disamping untuk merehabilitasi lahan kritis, program ini juga diharapkan memberikan pengaruh ekonomi pada masyarakat. Disamping itu terdapat juga Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang merupakan kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar kepada masyarakat langsung. Walaupun dalam kenyataannya bantuan tersebut banyak yang tidak mencapai sasaran yang diinginkan. 5) Program pemberdayaan yang dilakukan oleh Perusahaan Geothermal CEVRON Program pemberdayaan yang diberikan oleh perusahaan Geothermal Chevron yang dahulunya UNOCAL merupakan bantuan langsung terhadap desa yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan masyarakat desa dalam konteks pendidikan. Bantuan tersebut disesuaikan dengan permintaan dari desa yang berada di sekitar perusahaan Geothermal tersebut. Sayangnya program ini tidak memperlihatkan unsur pemberdayaan masyarakat dalam kegiatannya. karena pihak perusahaan memberikan bantuan ini hanya kepada pihak yang sangat terbatas dan tidak memberikan insentif langsung kepada masyarakat (Gunawan, 1999). 6) Model Kampung Konservasi (MMK) Model ini awalnya dirancang melalui fasilitasi yang dilakukan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk memperbaiki perencanaan tata guna lahan, hak atas lahan, dan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat yang berada di sekitar wilayah taman nasional ini. Proses perencanaan ini akan dilakukan secara partisipatif dan interaktif yang meliputi empat tahap: penilaian situasi, merancang rencana pembangunan desa, pelaksanaan dan pemantuan, serta pengkajian dan evaluasi yang mengarah kepada penyempurnaan rancangan awal (JICA, 2006). Komponen ini terutama bertujuan untuk mencapai suatu Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), yang secara legal akan mengatur semua akses desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam taman nasional dan di daerah penyangganya, dan menjamin adanya bantuan dana pembangunan sebagai
32
imbalan atas kerjasama masyarakat dalam perlindungan taman nasional dan pelestarian keragaman hayati di lahan-lahan desa. Proses ini, yang memerlukan persiapan dan pelaksanaannya, akan segera dimulai dan tetap dilakukan dalam setiap desa yang menjadi target di bawah pimpinan fasilitator desa bekerjasama dengan para pemimpin formal desa dan kelompok-kelompok desa lainnya. Sementara sasaran utama kegiatan ini adalah masyarakat di sekitar taman nasional yang hidupnya sebagian besar mengandalkan sumberdaya dari dalam taman nasional, masyarakat desa secara keseluruhan merupakan anggota KKD. Di desadesa letaknya berbatasan dengan Taman Nasional, kegiatannya terutama adalah menggalakkan pengelolaan hutan oleh masyarakat (JICA, 2006). Tujuan umum model ini adalah untuk mencapai kesepakatan konservasi antara masyarakat desa yang tinggal di daerah penyangga TNGHS, Pihak Pengelola TNGHS, dan Pemerintah Daerah. Kesepakatan ini akan: a) Secara resmi menyebutkan akses warga desa terhadap sumberdaya yang ada di daerah penyangga, yang dilakukan secara lestari dan ramah lingkungan. b) Menyediakan manfaat sosial dan ekonomi bagi desa-desa sebagai imbalan atas kerjasama mereka dalam menghormati dan memelihara batas-batas resmi TNKS, melestarikan keragaman hayati di lahan-lahan desa dan di dalam wilayah pengusahaan hutan. 2.3. Analisis Manajemen Kelembagaan 2.3.1. Model Analisis Oakerson Oakerson (1992) mengemukakan suatu model dinamis mengenai hubungan kepemilikan umum yang dapat digunakan untuk membandingkan permasalahan dan penyelesaian antara berbagai kisaran situasi kepemilikan umum.
Dalam modelnya, Oakerson menetapkan 4 (empat) komponen utama
seperti yang disajikan pada Gambar 2. Selanjutnya disusun suatu model teoritis umum yang digunakan untuk mengakses sumberdaya sebagai milik umum. Permasalahan
utama
bahasannya
adalah
bagaimana
mengkoordinasikan
penggunaan bersama oleh masyarakat pengguna untuk mendapatkan tingkat penggunaan (atau aliran sumberdaya) optimal.
33
Hubungan antara atribut fisik, karakteristik sosio-ekonomi dan pengaturan pembuatan keputusan menghasilkan suatu pemahaman mengenai bagaimana sumberdaya alam milik umum dikelola. Analisis ini mengkaitkan 5 (lima) atribut untuk memahami kepemilikan umum, yaitu : Atribut teknis dan fisik sumberdaya Ciri-ciri Komunitas
Pola interaksi
Konsekuensi dan Outcome
Pengaturan pembuatan keputusan
(Sumber: Oakerson 1992 : 236) Gambar 2. Model Oakerson untuk Analisis Kelembagaan 1) Atribut Fisik dan Teknis Variabel atribut fisik dan teknis mengindikasikan penggunaan bersama dari barang publik. Pada saat yang sama, milik umum akan dikurangkan dari penggunaan individual baik berupa aliran sumberdaya atau ekstraksi dari panen total milik umum per satuan waktu. Atribut fisik lainnya adalah sumberdaya yang tidak dapat dibagi yang tergantung pada skala yang ditetapkan melalui batasan fisik seperti ukuran komunitas/masyarakat yang menggunakan sumberdaya alam. 2) Pengaturan Pembuatan Keputusan Karakteristik pembuatan keputusan (decision-making) mengindikasikan beberapa komponen seperti manajemen resolusi konflik, sistem seremonial, untuk menunjukkan bagaimana masyarakat mengelola milik umum dalam hubungannya dengan mata pencahariannya. Pengaturan pembuatan keputusan secara luas didefinisikan sebagai pengaturan kelembagaan dan organisasional
34
dalam masyarakat.
Pengaturan ini berisi aturan yang mengatur perilaku
individual dan kolektif dalam menggunakan sumberdaya tertentu. 3) Ciri-Ciri Komunitas Ciri-ciri komunitas masyarakat dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pola kehidupan dalam masyarakat tersebut yang tidak terdapat pada masyarakat lainnya. Ciri-ciri tersebut menjadi suatu keunikan terutama yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, serta perilakunya dan lingkungan disekitarnya. Ciri ini merupakan kehidupan sehari-harinya yang tidak hanya berhubungan dengan budaya akan tetapi lebih pada kelembagaan. 4) Pola Interaksi Pola interaksi antar karaktaristik akan menunjukkan bagaimana milik umum dikelola oleh masyarakat. Pola ini juga mengilustrasikan isu masyarakat dalam mengelola sumberdaya umum. Penelitian ini akan menjelaskan konsep efisiensi dalam masyarakat tersebut. Efisiensi dalam hal ini terkait dengan keseluruhan tingkatan penggunaan sumberdaya alam yang fokusnya adalah pada atribut fisik dan teknis yang mengindikasikan penggunaan optimal pada wilayah konflik. 5) Outcome atau Konsekuensi dari Pengaturan Kelembagaan Masalah ketimpangan dalam penggunaan milik umum erat kaitannya dengan inefisiensi. Adanya ketimpangan dapat mengakibatkan penggunaan sumberdaya secara tidak efektif. Pembagian yang adil dan wajar dari sumberdaya alam tergantung pada konstribusi tindakan kolektif setiap anggota (Chusac, 1996). Dalam penelitian ini, keadilan diukur dari sudut pandang kepuasan individual terkait dengan pembagian yang adil dalam menggunakan sumberdaya alam. Di sisi lain, komponen outcome dan konsekuensi melibatkan konsep nilai kemanusiaan yang merupakan subyek dari penilaian manusia (Oakerson, 1992:). 2.3.2. Model Analisis Kelembagaan dari Wade, Ostrom serta Baldand dan Platteau Dari beberapa studi komparatif mengenai sumberdaya milik umum, berikut disajikan hasil studi Wade (1988, 1994), Ostrom (1990), dan Baldand-
35
Platteau (1996). Studi Wade (1988, 1994) dan Ostrom (1990) terjadi lebih dari dua dekade yang lalu, dan dapat dipandang sebagai awal tulisan-tulisan baru mengenai sumberdaya milik umum dengan catatan akhir bahwa hak milik umum adalah suatu warisan sejarah. Pelajaran positif utama yang dapat ditarik dengan membandingkan penulis-penulis ini adalah dengan kombinasi dari kondisikondisi yang sering terjadi, anggota dapat mendisain pengaturan kelembagaan untuk membantu manajemen sumberdaya berkelanjutan. Mereka membahas lebih lanjut dan mengidentifikasikan kondisi-kondisi spesifik yang dapat mendorong potensi manajemen sumberdaya lokal. Bukan hanya itu, mereka juga menggunakan kajian teoritis untuk mempertahankan dan menjelaskan regularitas empiris. Ketiga penulis tersebut secara hati-hati mengkaitkan antara teori dan studi empiris karena perhatiannya pada perkembangan teoritis, upaya untuk menghubungkan teori dengan kasus yang dipelajarinya, dan kontribusinya terhadap teori-teori hak milik umum. Mereka semua menggunakan bahan-bahan empiris untuk menguji validitas teoritisnya. Meskipun ketiga penulis tersebut memberikan pendekatan yang sangat berbeda terhadap riset komparatif empirisnya, dan mendasarkan pada jenis data yang berbeda, perhatiannya agar relevan secara empiris dan teoritis terhadap data adalah terbukti. Dalam hal ini, para penulis tersebut sampai pada suatu set ringkasan kondisi dan kesimpulan yang mereka yakini penting bagi keberlanjutan kelembagaan. Kesimpulannya analisis faktor-faktor yang dipertimbangkan merupakan faktor keberlanjutan pengaturan kelembagaan-kelembagaan untuk mengelola sumberdaya milik umum. Tetapi pembahasan mengenai kesimpulan dan implikasinya menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan mereka mengenai keberlanjutan atas sumberdaya milik umum masih harus disesuaikan dalam kondisi lokal pada masing-masing lokasi penelitian. Tulisan Wade (1994) mengenai sistem irigasi yang dikelola umum di South India menggunakan data terhadap 31 desa untuk menguji kapan institusi desa tersebut lahir dan faktor-faktor apa yang dipertimbangkan untuk keberhasilannya dalam menyelesaikan dilema kepemilikan umum. Argumennya mengenai asal kelembagaan untuk resiko lingkungan adalah suatu faktor penting.
36
Tetapi ia juga menyediakan seperangkat pertimbangan mengenai keberhasilan manajemen sumberdaya umum. Menurut Wade, aturan pembatasan yang efektif terhadap akses dan penggunaan sumberdaya umum tidak mungkin terselesaikan jika terdapat beberapa pengguna, jika batasan-batasan sumberdaya umum tidak jelas, jika pengguna yang bergabung dalam kelompok tersebut menyebar lokasinya, jika deteksi pelanggar aturan sulit dilakukan, dan sebagainya (Wade 1988: 215). Wade (1988) menspesifikasikan kesimpulannya secara lebih detil dengan mengklasifikasikan
berbagai
variabel;
sumberdaya,
teknologi,
kelompok
pengguna, noticeability, hubungan antara sumberdaya dan kelompok pengguna, dan hubungan antara pengguna dan negaranya (1988: 215-216). Seluruh set kondisi yang digunakan Wade adalah penting untuk pengaturan keberlanjutan. Kondisi pendukung yang diidentifikasikan oleh Wade adalah sebagai berikut (Agrawal, 2001): (1). Karakteristik sistem sumberdaya a. Ukuran kecil; b. Batasan yang jelas. (2). Karakteristik kelompok a. Ukuran kecil; b. Batasan yang jelas; c. Pengalaman keberhasilan masa lalu – modal sosial; d. Saling ketergantungan antara anggota kelompok. Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok (1dan 2): Overlap antara lokasi residensial kelompok pengguna dan lokasi sumberdaya; Level ketergantungan yang tinggi oleh anggota kelompok terhadap sistem sumberdaya. (3). Pengaturan kelembagaan-kelembagaan a. Akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal; b. Kemudahan dalam melaksanakan aturan; c. Sangsi bertingkat.
37
Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaankelembagaan (1 dan 3). (4). Lingkungan eksternal a. Teknologi : teknologi berbiaya rendah; b. Negara : pemerintah pusat harus tidak mengabaikan otoritas lokal. Secara keseluruhan, Wade (1988) menemukan 14 kondisi penting untuk memfasilitasi keberhasilan manajemen sumberdaya milik umum. Sebagian besar kondisi tersebut adalah pernyataan umum mengenai konteks lokal, kelompok pengguna, dan sistem sumberdaya, tetapi beberapa diantaranya adalah hubungan antara pengguna dan sumberdaya. Hanya satu kondisi yang menunjukkan hubungan eksternal dari kelompok atau faktor lokal lainnya. Beberapa diantaranya adalah ukuran kelompok kecil, batasan sumberdaya yang jelas dan keanggotaan kelompok pengguna, kemudahan monitoring dan pelaksanaan, serta kedekatan antara lokasi pengguna dan sumberdaya. Prinsipprinsip yang dikemukakan Ostrom (1990) dalam studinya mengenai pengaturan sumberdaya level masyarakat berdasarkan pelajaran dari 14 sampel kasus dimana pengguna dengan beragam tingkat keberhasilan, menciptakan, mengadaptasikan, dan menjaga keberlanjutan institusi untuk mengelola sumberdaya milik umum. Kondisi pendukung yang diidentifikasikan oleh Wade adalah sebagai berikut (Agrawal, 2001): (1). Karakteristik sistem sumberdaya
Batasan yang dibuat jelas
(2). Karakteristik kelompok
Batasan yang didefinisikan jelas
(3). Pengaturan kelembagaan-kelembagaan a. Akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal; b. Kemudahan dalam melaksanakan aturan; c. Sangsi bertingkat; d. Ketersediaan pengadilan berbiaya rendah ; e. Akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna. Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaankelembagaan (1 dan 3).
38
(4). Lingkungan eksternal a. Teknologi : tidak satupun penting; b. Negara: pemerintah pusat harus tidak mengabaikan otoritas lokal; level alokasi, provisi, pelaksanaan, dan pengaturan yang kuat. Sebagian besar prinsip Ostrom (1990) terfokus pada institusi lokal, dua diantaranya mengenai pemahaman hukum dari institusi dengan level otoritas yang lebih
tinggi
dan
mengenai
jaringan
institusi
yang
dapat
dipandang
mengekspresikan hubungan suatu kelompok tertentu dengan kelompok atau otoritas lainnya. Baland dan Platteau (1996), dalam tinjauan komprehensif dan sintesis terhadap sumberdaya milik umum, mengikuti strategi serupa yang digunakan oleh Ostrom (1990). Dimulai dengan pengujian teori dari berbagai ahli, yang menyatakan bahwa inti argumen privatisasi terletak pada perbandingan antara sistem kepemilikan privat yang benar-benar efisien dan situasi anarkis yang diciptakan oleh akses terbuka. Kajian ini lebih menekankan pada pembedaan antara akses terbuka (open access) dan pengaturan hak milik umum dan menunjukkan bahwa jika regim kepemilikan privat dibandingkan dengan sistem hak milik umum (dan jika informasinya adalah sempurna dan tidak ada biaya transaksi), maka "hak milik umum yang teregulasi dan kepemilikan privat adalah sama dari sudut pandang efisiensi penggunaan sumberdaya" (Baland dan Platteau,
1996).
Lebih
lanjut,
mereka
mengargumentasikan,
privatisasi
sumberdaya umum atau alokasi dan regulasinya oleh otoritas pusat, cenderung menghilangkan kesatuan implisit dan hubungan antar individu yang merupakan karakteristik dari pengaturan hak milik umum. Setelah melakukan kajian empiris yang luas terhadap manajemen sumberdaya umum, dan memfokuskan pada beberapa variabel yang penting bagi institusi level masyarakat, Baland dan Platteau (1996) sampai pada kesimpulan yang tumpang tindih dengan kesimpulan Wade (1988) dan Ostrom (1990). Ukuran kecil dari suatu kelompok pengguna, lokasi yang berdekatan dengan sumberdaya, homogenitas antar anggota kelompok, mekanisme pelaksanaan yang efektif, dan pengalaman kerjasama masa lalu adalah beberapa tema yang
39
ditekankan penting dalam mencapai kerjasama (Baland dan Platteau, 1996). Di sisi lain, mereka menyoroti arti penting bantuan eksternal dan kepemimpinan yang kuat. Kesimpulan yang dicapai oleh Baland dan Platteau (1996) lebih dinyatakan sebagai pernyataan umum mengenai pengguna, sumberdaya, dan institusi dibandingkan mengenai hubungan antara karakteristik dari unit-unit analitisnya. Hanya satu dari kesimpulannya yang relasional : kedekatan lokasi tempat tinggal dari anggota kelompok dan dari sistem sumberdaya. Baland dan Platteau (1996) memberikan perhatian lebih besar terhadap kekuatan eksternal, seperti
pembahasannya
mengenai
bantuan
eksternal,
pelaksanaan
dan
kepemimpinan dengan pengalaman yang luas. Kesimpulan yang Dikemukakan Baland dan Platteu sebagai kondisi pendukung untuk keberhasilan pengaturan sumberdaya milik umum adalah sebagai berikut (Agrawal, 2001): (1). Karakteristik sistem sumberdaya Tidak satupun yang dianggap penting (2). Karakteristik kelompok a. Ukuran kecil; b. Norma bersama; c. Pengalaman keberhasilan masa lalu – modal sosial; d. Kepemimpinan yang kuat – muda, terbiasa dengan tantangan lingkungan eksternal, dihubungkan dengan elit tradisional lokal; e. Saling ketergantungan antara anggota kelompok; f. Heterogenitas sumberdaya, homogenitas identitas dan kepentingan. Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok (1 dan 2): a. Overlap antara lokasi tinggal kelompok pengguna dan lokasi sumberdaya; b. Keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya umum. (3). Pengaturan kelembagaan-kelembagaan a. Aturannya sederhana dan mudah dipahami; b. Akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal; c. Kemudahan dalam melaksanakan aturan; d. Akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna.
40
Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaankelembagaan) (1 dan 3): Tidak satupun yang dianggap penting (4). Lingkungan eksternal a. Teknologi : tidak satupun penting b. Negara: Institusi sangsi eksternal yang mendukung; Level yang tepat dari bantuan eksternal untuk mengkompensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi. Baland dan Platteau (1996) mengidentifikasikan bahwa penting untuk mendorong penggunaan sumberdaya umum berkelanjutan. Sementara Ostrom (1990)
terutama
memfokuskan
pada
pengaturan
spesifik
kelembagaan-
kelembagaan dalam memperhitungkan keberhasilan pengelolaan sumberdaya milik umum. Wade (1988) dan Baland dan Platteau (1996) menggabungkan variabel non kelembagaan dalam kesimpulannya. Regularitas pada keberhasilan manajemen yang mereka temukan terdiri dari satu sampai empat variabel, yaitu: (1) karakteristik sumberdaya, (2) karakteristik kelompok yang menggantungkan diri pada sumberdaya, (3) kekhususan regim kelembagaan dimana sumberdaya tersebut dikelola, dan (4) karakteristik hubungan antara suatu group dan faktor eksternal serta otoritas seperti pasar,
negara, dan teknologi.
Sementara itu sintesis kondisi yang
memfasilitasi dari Wade, Ostrom dan Baland dan Platteu adalah sebagai berikut (Agrawal, 2001): (1). Karakteristik sistem sumberdaya a. Ukuran kecil; b. Batasan yang baik. (2). Karakteristik kelompok a. Ukuran kecil; b. Batasan yang baik; c. Norma bersama; d. Pengalaman keberhasilan masa lalu – modal sosial; e. Kepemimpinan yang kuat – muda, terbiasa dengan tantangan lingkungan
41
eksternal, dihubungkan dengan elit tradisional lokal; f. Saling ketergantungan antara anggota kelompok; g. Heterogenitas sumberdaya, homogenitas identitas dan kepentingan. Hubungan antara karakteristik sumberdaya dan karakteristik kelompok (1 dan 2): a. Overlap antara lokasi tinggal kelompok pengguna dan lokasi sumberdaya; b. Tingginya
level
ketergantungan
anggota
kelompok
pada
sistem
sumberdaya; c. Keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya umum. (3). Pengaturan kelembagaan-kelembagaan a. Aturannya sederhana dan mudah dipahami; b. Akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal; c. Kemudahan dalam melaksanakan aturan; d. Sangsi bertahap; e. Akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna. Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaankelembagaan (1 dan 3): menyesuaikan batasan pemanenan dan regenerasi sumberdaya (4). Lingkungan eksternal a. Teknologi eksklusi berbiaya rendah; b. Negara: Kontrol pemerintah harus tidak mengurangi arti penting otoritas lokal; Institusi sangsi eksternal yang mendukung; Level yang tepat dari bantuan eksternal untuk mengkompensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi; Level
terstruktur
dari
penyerahan,
penyediaan,
pelaksanaan,
pengaturan. Karakteristik kelompok berhubungan dengan ukuran, level kesejahteraan dan pendapatan, berbagai tipe heterogenitas, hubungan kekuasaan antar subkelompok, dan pengalaman. Karakteristik sumberdaya mencakup batasan sumberdaya, resiko dan aliran sumberdaya yang tidak dapat diprediksi, serta mobilitas sumberdaya.
Kekhususan regim kelembagaan mencakup beragam
42
kemungkinan, tetapi beberapa aspek kritis dari pengaturan kelembagaan mencakup sangsi dan monitoring, mediasi, dan akuntabilitas.
Beberapa
karakteristik berlaku untuk hubungan kelompok dengan situasi lokal, sistem sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan dengan lingkungan eksternal dalam bentuk perubahan demografis, teknologi, pasar, dan pemerintah. Kondisi tersebut juga mengubah hubungan kekuasaan lokal karena beragam sub-kelompok di dalam suatu kelompok yang menggunakan sumberdaya umum mendapatkan tipe akses yang berbeda dan manuver untuk menjamin perolehannya (Fernandes et al., 1988; Jessup dan Peluso, 1986; Peluso, 1992). Dalam beberapa hal, ketika pelaku pasar baru mendapatkan akses ke sumberdaya milik umum tertentu, mereka dapat bekerjasama dengan pelaku pemerintahan, dalam usaha untuk memprivatisasi sumberdaya umum (Ascher dan Healy, 1990; Azhar, 1993). Bahkan, orang pemerintah sendiri dapat terlibat dalam privatisasi sumberdaya umum dan menjual produk sumberdaya tersebut yang sebelumnya di bawah pengaturan hak-hak milik umum (Rangarajan, 1996; Sivaramakrishnan, 1999; Skaria, 1999). Sebagai penjamin langsung dari pengaturan hak-hak milik, peran pemerintah dan struktur administratifnya adalah penting dalam sejarah pengaturan sumberdaya milik umum.
Memang benar bahwa beberapa masyarakat dan
kelompok pengguna lokal memiliki hak untuk menjalankan pengaturan baru kelembagaan-kelembagaan. Tetapi hak-hak yang tidak spesifik dan penyelesaian konflik-konflik utama seringkali tidak dapat diselesaikan tanpa intervensi pemerintah (Rangan, 1997). Meksipun ketiga penulis tersebut lebih memberikan perhatian pada peran potensial dari pemerintah pusat pada sumberdaya lokal dibandingkan pada isu populasi dan tekanan pasar, karakteristik hubungan lokal-nasional membutuhkan eksplorasi secara hati-hati. Dengan semakin besarnya kecenderungan pemerintah untuk mendesentralisasikan kontrol atas sumberdaya alam pada kelompok pengguna lokal, pertanyaan mengenai alasan-alasan yang mendasari hilangnya kontrol dan pengaruhnya pada berbagai organisasi otoritas antar level pemerintahan menjadi sangat penting.
43
Banyak studi yang sudah berusaha mengeksplorasi isu-isu ini, baik dengan memfokuskan pada desentralisasi manajemen sumberdaya secara umum atau dengan mengkaji peran hukum dan kebijakan nasional yang berhubungan dengan manajemen sumberdaya. Namun demikian, sampai saat ini masih belum memiliki pengujian secara sitematis atau pemahaman yang jelas mengenai keragaman hubungan
tersebut
dan
bagaimana
keragaman
tersebut
mempengaruhi
karakteristik dan outcome dari manajemen sumberdaya umum. Menurut banyak literatur mengenai sumberdaya milik umum dan tindakan kolektif, sebagian dari Olson (1965), kelompok yang lebih kecil nampak lebih berhasil dalam melakukan tindakan kolektif. Kesimpulan ini didukung oleh Baland dan Platteau (1999), yang mengulang kembali Olson: "semakin kecil suatu kelompok, semakin kuat kemampuannya untuk bertindak secara kolektif." Tetapi ahli lainnya menyatakan ambiguitas dari argumen Olson dan menyatakan bahwa hubungan antara ukuran kelompok dan tindakan kolektif adalah tidak selalu jelas. Misalnya, Marwell dan Oliver (1993) secara empati mengklaim, "banyak riset empiris menemukan bahwa ukuran suatu kelompok secara positif berhubungan dengan level tindakan kolektif." Agrawal dan Goyal (2001) menggunakan dua fitur analitik dari sumberdaya milik umum yaitu eksklusi tidak sempurna dan kecerobohan monitoring pihak ketiga untuk menghipotesiskan hubungan kurva linier antara ukuran kelompok dan keberhasilan tindakan kolektif. Mereka menguji hipotesisnya menggunakan sampel 28 kasus dari Kumaon Himalaya. Pernyataan Ostrom (1997), yang mengatakan bahwa dampak ukuran kelompok terhadap tindakan kolektif umumnya dijembatani oleh variabel lain. Variabel tersebut mencakup teknologi produksi dari barang kolektif, degree of excludability, suplai bersama, dan level heterogenitas dalam kelompok (Hardin, 1982). Setelah lebih dari 30 tahun riset mengenai ukuran kelompok dan tindakan kolektif, masih ada kebutuhan untuk bertindak hati-hati terhadap hubungan antara ukuran kelompok dan keberhasilan tindakan kolektif. Akumulasi pengetahuan ke dalam teori dan empiris terbukti lebih sulit dalam hubungannya dengan heterogenitas kelompok. Dapat diargumentasikan bahwa sebagian besar sumberdaya adalah dikelola oleh kelompok yang terbagi
44
menjadi beberapa sumbu, diantaranya etnis, gender, agama, kekayaan, dan kasta (Agrawal dan Gibson, 1999). Karaktersitik heterogenitas di dalam kelompok dapat memiliki pengaruh beragam dan kontradiktif. Wade dan Baland dan Platteau menyoroti arti penting lebih besarnya saling ketergantungan diantara anggota kelompok sebagai suatu dasar
pembentukan
institusi
yang
mendorong
manajemen
sumberdaya
berkelanjutan. Baland dan Platteau juga menyajikan penilaian awal terhadap karakteristik heterogenitas dengan mengklasifikasikannya menjadi tiga tipe dan berhipotesis bahwa heterogenitas sumberdaya mempunyai pengaruh positif terhadap manajemen sumberdaya sedangkan heterogenitas identitas dan kepentingan menciptakan penghambat untuk tindakan kolektif. Kategorisasi heterogenitas tidak selalu eksklusif. Misalnya, heterogenitas kepentingan dapat menghasilkan beragam tipe spesialisasi ekonomi dan beragam level sumberdaya, yang pada gilirannya menghasilkan pertukaran yang menguntungkan. Lebih lanjut, bukti empiris mengenai bagaimana heterogenitas mempengaruhi tindakan kolektif masih sangat bermakna ganda.
Jadi ada
kemungkinan bahwa meskipun dalam kelompok terdapat level heterogenitas kepentingan yang tinggi, untuk menjamin tindakan kolektif, beberapa subkelompok dapat memaksakan menjalankan institusi konservatif (Agrawal 1999a; Jodha 1986; Peluso 1993; Libecap 1989, 1990). Di sisi lain, peran heterogenitas antar kelompok dalam distribusi dapat lebih dipertanggungjawabkan definisinya. Riset-riset penting terhadap pengaruh proyek-proyek pembangunan dan terhadap sumberdaya umum menunjukkan bahwa anggota kelompok seringkali mendapatkan bagian manfaat yang lebih besar dari suatu sumberdaya (Agrawal, 2001). Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tindakan kolektif selalu menghasilkan ketidaksetaraan dalam kelompok, tetapi menyatakan bahwa ketidaksetaraan di dalam suatu kelompok tidak selalu tereduksi karena anggota kelompok mau bekerjasama dalam mencapai tujuan kolektif. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan lokalitas yang penting untuk outcome adalah hubungan kesejahteraan pengguna terhadap level eksploitasi sumberdaya milik umum. Apakah kesejahteraan menyebabkan lebih besarnya
45
ketergantungan pada sumberdaya milik umum (Jodha, 1986) dan degradasinya, atau apakah meningkatnya level kesejahteraan menyebabkan lebih besarnya penggunaan
sumberdaya
tersebut
oleh
pengguna
adalah
masih
perlu
dipertanyakan. Tetapi dalam hal tertentu, intervensi pemerintah pada bidang ini seringkali didasarkan pada informasi yang terbatas. Untuk masing-masing faktor ukuran, heterogenitas, dan kesejahteraan, riset yang ada dalam menjawab pertanyaan pengaruh faktor tersebut terhadap keberlanjutan kelembagaan adalah masih bermakna ganda. Apakah hubungan antara keberlanjutan dan variabel tersebut negatif, positif atau linier nampak sebagai subyek dari faktor kontekstual dan mediasi lainnya, yang tidak semuanya dipahami dengan baik. Kondisi kritikal untuk keberlanjutan sumberdaya umum adalah sebagai berikut (Agrawal, 2001): (1). Karakteristik sistem sumberdaya a. Ukuran kecil; b. Batasan yang baik; c. Level mobilitas rendah; d. Kemungkinan penyimpanan manfaat dari sumberdaya; e. Kemampuan dapat diprediksi (predictability). (2). Karakteristik grup a. Ukuran kecil; b. Batasan yang baik; c. Norma bersama; d. Pengalaman keberhasilan masa lalu – modal sosial; e. Kepemimpinan yang kuat – muda, terbiasa dengan tantangan lingkungan eksternal, dihubungkan dengan elit tradisional lokal; f. Saling ketergantungan antara anggota grup; g. Heterogenitas sumberdaya, homogenitas identitas dan kepentingan; h. Level kemiskinan rendah. Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik grup (1 dan 2) : a. Overlap antara lokasi tinggal grup pengguna dan lokasi sumberdaya; b. Tingginya level ketergantungan anggota grup pada sistem sumberdaya;
46
c. Keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya umum; d. Level permintaan pengguna rendah; e. Perubahan perlahan pada level permintaan. (3). Pengaturan kelembagaan-kelembagaan a. Aturannya sederhana dan mudah dipahami; b. Akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal; c. Kemudahan dalam melaksanakan aturan; d. Sangsi bertahap; e. Akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna. Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaankelembagaan (1 dan 3):
Menyesuaikan batasan pemanenan dan regenerasi sumberdaya
(4). Lingkungan eksternal a. Teknologi : Teknologi eksklusi berbiaya rendah; Waktu utnuk adaptasi dengan teknologi baru; Rendahnya level artikulasi dengan pasar eksternal; Perubahan perlahan pada level artikulasi dengan pasar eksternal. b. Negara ; Kontrol pemerintah harus tidak mengurangi arti penting otoritas lokal; Institusi sangsi eksternal yang mendukung; Level yang tepat dari bantuan eksternal untuk mengkompensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi; Level
terstruktur
dari
penyerahan,
penyediaan,
pelaksanaan,
pengaturan. Kondisi kritikal untuk keberlanjutan sumberdaya umum tersebut menyoroti variabel-variabel terpenting yang telah diidentifikasi oleh ahli-ahli sumberdaya umum sebagai kritikal untuk berjalannya keberlanjutan institusi umum. Variabel-variabel di atas dapat diuji secara mendalam dalam kaitannya dengan studi independen dan kesimpulan dari ahli sumberdaya milik umum (McKean, 1992).
47
McKean (1992) mengkaji pengalaman historis dari masyarakat dalam mengelola hutan di Jepang dan mengidentifikasikan sembilan kondisi. Kesembilan kondisi tersebut adalah sebagai berikut : (1) pemilik bersama dari sumberdaya milik umum harus memiliki otonomi dalam manajemen; (2) distribusi hak-hak harus jelas (2a) keadilan, (2b) efisiensi ekonomi, dan (2c) spesifitas produk; (3) sub kelompok kaya dan sejahtera diantara suatu masyarakat pengguna harus mendukung insitusi sumberdaya milik umum; (4) harus terdapat insentif yang rendah untuk memanen sumberdaya milik umum; (5) aturan harus mudah dilaksanakan; dan (6) monitoring dan sangsi dilakukan dengan hat-hati (6a) harus dilakukan oleh kelompok itu sendiri dan (6b) harus menggunakan sangsi bertingkat. McKean (1992) menyatakan bahwa sub kelompok kaya dan sejahtera diantara suatu masyarakat pengguna harus mendukung institusi sumberdaya milik umum adalah diulang dengan cara berbeda oleh dua variabel terpisah yaitu norma bersama dan saling ketergantungan antara pengguna. Kondisi variabel di atas memperjelas bahwa inovasi kebijakan dapat mempengaruhi dan mengubah kondisinya dari beberapa variabel yang dipandang oleh para ahli sumberdaya umum penting dalam manajemen sumberdaya. Eksperimen kebijakan terbaru, yang bertujuan memperbaiki manajemen lokal sumberdaya milik umum, harus memberikan perhatian terhadap konsep yang digunakan bersama yang dihasilkan oleh studi sumberdaya milik umum. Diantara pelajaran tersebut adalah keadilan alokasi manfaat dari sumberdaya milik umum; otonomi lokal untuk membuat, melaksanakan pengaturan kelembagaankelembagaan yang diyakini pengguna kritikal dalam mengelola sumberdayanya; mekanisme penyelesaian perselisihan berbiaya rendah dan akuntabilitas terhadap pengguna; dan insentif lokal untuk membentuk substitusinya. Faktor-faktor kondisi kritikal di atas, berhubungan dengan karakteristik sumberdaya, karakteristik kelompok, pengaturan kelembagaan-kelembagaan, dan lingkungan eksternal adalah aspek substantif dari analisis hati-hati yang dilakukan ahli hak milik umum. Keberlanjutan keberhasilan riset terhadap sumberdaya milik umum akan tergantung pada kemampuan mereka yang tertarik pada sumberdaya milik umum untuk menyelesaikan hambatan metodologis yang menghasilkan daftar faktor-faktor tersebut.
48
Salah satu masalah penting seperti yang dibuktikan dari faktor-faktor tersebut adalah fakta bahwa kondisi yang memfasilitasi keberhasilan penggunaan sumberdaya milik bersama adalah umum. Kondisi tersebut diduga berlaku untuk semua sumberdaya dan institusi, dibandingkan terkait dengan tergantung pada aspek situasi. Sebagai ilustrasi, perhatikan dua kondisi pertama dalam kondisi kritikal di atas dalam kelas karakteristik sistem sumberdaya : ukuran kecil dan batasan yang didefinisikan dengan baik. Menurut Wade, sistem sumberdaya yang relatif kecil kemungkinan dapat dikelola lebih baik dalam pengaturan hak milik umum, dan menurut Ostrom dan Wade, sumberdaya yang batasannya didefinisikan dengan baik dapat dikelola lebih baik sebagai hak milik umum. Meskipun kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai pernyataan umum untuk semua sumberdaya, namun pada prinsipnya adalah memungkinkan dan lebih dapat dipertahankan untuk memikirkan pertanyaan mengenai ukuran sumberdaya atau batasan definisi sebagai suatu ketergantungan, dimana pengaruh satu variabel tergantung pada kondisi variabel lainnya. Pengaruh ukuran sumberdaya dapat diargumentasikan dengan cara yang sama, juga tergantung pada variabel lainnya, dibandingkan selalu mengalir pada arah yang sama. Dibandingkan menerima pendapat bahwa sistem sumberdaya yang kecil kemungkinan lebih memiliki hubungan positif dengan keberlanjutan institusional, mungkin akan lebih kuat jika menghipotesiskan bahwa "ukuran sistem sumberdaya bervariasi menurut ukuran kelompok, dan untuk sumberdaya yang lebih besar, hubungan otoritas di dalam suatu kelompok harus diatur". Tidak semua faktor adalah independen satu sama lain.
Beberapa
diantaranya berkorelasi secara empiris, misalnya, ukuran kelompok dan ukuran sumberdaya, atau norma bersama, saling ketergantungan antara anggota kelompok, dan keadilan dalam aturan alokasi, atau kemudahan pelaksanaan dan institusi sangsi eksternal yang suportif. Namun belum ada cara yang meyakinkan dalam menilai derajat korelasi antar faktor. Lebih lanjut, karena pengaruh dari beberapa variabel tergantung pada kondisi variabel lainnya maka pengaruh interaksional antar variabel dapat berpengaruh terhadap outcome-nya. Jika terdapat banyak variabel, tidak adanya disain riset yang mengontrol faktor-faktor yang bukan merupakan subyek
49
investigasi maka hampir tidak memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang baik. Jika peneliti tidak secara jelas memperhitungkan variabel yang relevan yang mempengaruhi keberhasilannya, maka jumlah kasus yang dipilih akan jauh lebih besar dibandingkan jumlah variabel. Tetapi tidak ada studi sumberdaya milik umum yang membentuk disain riset dengan secara jelas memperhitungkan variabel lain yang dipandang penting untuk keberhasilan manajemen. Faktor-faktor pada pernyataan kondisi kritikal di atas dapat membantu sebagai titik awal untuk mempostulasikan hubungan sebab akibat. Misalnya, beragam riset sumberdaya milik umum menunjukkan bahwa karakteristik monitoring dan pelaksanaan adalah variabel penting dalam menentukan apakah pengaturan kelembagaan-kelembagaan yang ada untuk mengelola sumberdaya milik umum akan bertahan. Hal ini diharapkan karena institusi hak milik umum secara tipikal bertujuan membatasi penggunaan sumberdaya, dan oleh karenanya membutuhkan pelaksanaan. Rantai sebab akibat yang komplek untuk menguji temuan ini dapat dibuat melalui tiga hipotesis yang menghubungkan beberapa faktor pada kondisi kritikal di atas dalam rantai sebab akibat, yaitu: 1. Ukuran yang kecil dari sumberdaya dan kelompok, rendahnya level mobilitas dari sumberdaya, dan rendahnya level artikulasi dengan pasar akan mendorong tingginya level saling ketergantungan antara anggota kelompok; 2. Saling ketergantungan, modal sosial, dan rendahnya level kesejahteraan mendorong batasan yang jelas untuk kelompok dan sumberdayanya; dan 3. Batasan yang jelas, kemudahan pelaksanaan, dan pengakuan hak-hak kelompok oleh pemerintah eksternal akan menghasilkan keberlanjutan kinerja institusional. 2.4.
Konflik Pemanfaatan Lahan Konflik pemanfaatan lahan dalam pengelolaan TNGHS yang disebabkan
oleh pemanfaatan lahan oleh masyarakat berkaitan juga dengan terjadinya tumpang tindih antara Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dengan batas kawasan TNGHS. Belum terjadinya harmonisasi antara RTRWK dengan kawasan TNGHS menjadi sumber konflik dalam pengelolaan TNGHS.
50
Oleh karena itu analisis spasial menjadi instrumen penelitian penting yang perlu dilakukan dalam penelitian ini. Lahan merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya (Juhadi, 2010). Ada tiga aspek kepentingan pokok dalam pemanfaatan sumberdaya lahan, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, beternak, memelihara ikan, dan sebagainya; (2) lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa; dan (3) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia (Soerianegara, 1977 dalam Juhadi, 2010). Pemanfaatan lahan merupakan bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebuuhan hidupnya, baik material maupun spiritual (Arsyad, 2000). Campur tangan manusia ini sangat nyata terutama dalam memanipulasi kondisi ataupun proses-proses ekologi yang berlangsung pada suatu areal. Manusia berperan sebagai pengatur ekosistem dalam pemanfaatan lahan, terutama dengan meniadakan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang pemanfaatan lahan (Juhadi, 2010). Di dalam pemanfaatan lahan tersebut sering terjadi benturan kepentingan dalam pemanfaatannya yang memicu konflik (lahan). Di dalam lahan yang sama terdapat beberapa potensi sumberdaya lahan yang memicu konflik lahan diantara para pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Wulan et.al. (2008) menyebutkan bahwa konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan paling sering dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat serta karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal. Konflik pemanfaatan lahan yang terjadi di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dianalisis dengan analisis spasial (spatial analysis). Dalam analisis spasial penggunaan teknologi sistem informasi geografis (SIG) digunakan untuk mengetahui tumpang-tindih kawasan hutan dengan tata ruang wilayah atau
51
pemanfaatan lahan di dalamnya. Handayani et al., (2005) menyebutkan bahwa SIG memiliki kemampuan analisa overlay yaitu dengan meng-overlay dua peta yang kemudian menghasilkan peta baru hasil analisis. Kemampuan untuk mengintegrasikan data dari dua sumber menggunakan peta merupakan kunci dari fungsi-fungsi analisis SIG (Handayani et al., 2005). Dengan analisis ini dapat diketahui kondisi suatu wilayah berdasarkan data dan informasi yang ada. Overlay spasial dikerjakan dengan melakukan operasi join dan menampilkan secara bersama sekumpulan data yang dipakai secara bersama atau berada di bagian area yang sama. Hasil kombinasi merupakan sekumpulan data yang baru yang mengidentifikasikan hubungan spasial baru. Merupakan proses dua peta tematik dengan area yang sama dan menghamparkan satu dengan yang lain untuk membentuk satu layer peta baru. Prosedur analisis overlay adalah sebagai berikut (Suryanto, 2007) : 1) Membuat peta dasar dari wilayah studi. 2) Membuat peta-peta lain sesuai kebutuhan dalam studi. 3) Menentukan kriteria sesuai dengan kebutuhan studi. 4) Melakukan overlay antar peta yang satu dengan yang lain sesuai kebutuhan.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di TNGHS yang secara administratif terletak di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di Provinsi Banten. 3.1.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2006 sampai Februari 2007. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi. 3.2.
Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder yang diperoleh dari pengamatan langsung dan tidak langsung dengan aspek penelitian meliputi karakteristik reponden, sosial-ekonomi dan sistem kelembagaan. Kegunaan data penelitian ini untuk keperluan analisis (data primer) dan sebagai rujukan atau penunjang (data sekunder). Sumber data, aspek penelitian dan kegunaannya dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.
53
Tabel 3. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya Kegunaan dalam penelitian Pokok (Analisis) Penunjang (Rujukan) Data umur responden dan pendidikan Lama kepemilikan lahan, jarak tempat tinggal dari hutan, luas lahan, frekuensi ke kawasan hutan, sikap terhadap taman nasional dan pendapatan Sistem Karakteristik sistem Model analisis kelembagaan sumberdaya, karakteristik kelembagaan oleh Wade, organisasi/kelompok, Ostrom, Baldan dan hubungan karakteristik Platteau sistem sumberdaya dan karakteristik organisasi, pengaturan kelembagaan, lingkungan eksternal Sekunder (pada Karakteristik Data panjang batas kawasan Luas dan penggunaan umumnya telah populasi dan dan geografis lokasi lahan diketahui dan karenanya lokasi penelitian dapat dikumpulkan dari Sosial-ekonomi Tingkat pendidikan, Jumlah dan struktur berbagai sumber) ekonomi, potensi pertanian umur penduduk, mata masyarakat di lokasi pencaharian penduduk penelitian Sistem Peraturan perundangPeraturan perundangkelembagaan undangan mengenai daerah undangan lain yang penyangga, organisasi dan relevan, dan Propeda pengorganisasian Konflik lahan Peta RTRW kabupaten dan Peta Zonasi TNGHS Tipe/sumber data dan Aspek informasi Penelitian Primer (tidak diketahui Karakteristik dan karenanya responden dikumpulkan langsung Sosial-ekonomi di lapangan)
3.3.
Metode Pengumpulan Data dan Pengukuran Peubah Data primer dikumpulkan melalui metode survei lapang, wawancara
secara mendalam (in-depth interview) dan pengisian kuesioner. Sementara data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh institusi terkait. Dokumen ini berupa buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan (diskusi, workshop, seminar) dan peta-peta. Dalam penelitian ini diukur diukur 5 (lima) peubah utama yaitu: (1) karakteristik sistem sumberdaya (KS), (2) karakteristik kelembagaan/organisasi (KG), (3) sistem/pengaturan kelembagaan (PK), (4) lingkungan eksternal (LE), dan (5) ketidaksesuaian RTRW kabupaten dengan wilayah kelola TNGHS, dengan indikator dan unit ukurannya seperti disajikan dalam Tabel 4.
54
Tabel 4. Peubah, Indikator dan Satuan Pengukuran No Peubah Indikator 1 Karakteristik Ukuran sumberdaya/lahan (A) sistem Kepemilikan SDA sumberdaya Intensitas pengolahan lahan 2
3
4
5
Unit Contoh Unit Ukuran Desa Rata rata luas lahan Desa Persentase kepemilikan lahan menurut status Desa Frekuensi penggunaan lahan Karakteristik Jumlah anggota organisasi (A) Desa KK Kelembagaan Batasan keanggotaan Desa Skala Likert / Organisasi Aturan yang dipergunakan Desa Peraturan Desa Pengalaman keberhasilan masa lalu Desa Sertifikat/Piagam (C) penghargaan Pola kepemimpinan (I) Desa Persen persepsi anggota Saling ketergantungan antara anggota Desa Persen persepsi anggota Homogenitas identitas dan Desa Persen persepsi anggota kepentingan Kemampuan mendapatkan Desa Rp pembiayaan untuk melakukan kegiatan bersama Tingkat pendapatan anggota (A) KK Rp/kapita/bulan Hubungan Tingkat ketergantungan anggota pada Desa Skala Likert karakteristik sistem sumberdaya sistem Persepsi atas keadilan dalam alokasi KK Skala Likert sumberdaya manfaat dari sumberdaya dan Sikap dan tingkat tuntutan anggota KK Skala Likert karakteristik (C) organisasi Perubahan sikap dan perilaku KK Skala Likert terhadap perubahan penggunaan lahan Pengaturan Adanya aturan yang sederhana dan Kelompok Persen Persepsi kelembagaan mudah dipahami (I) anggota kelompok Adanya akses dan aturan manajemen Kelompok Persen Persepsi yang dibuat secara lokal anggota kelompok Adanya kemudahan dalam Kelompok Persen Persepsi melaksanakan aturan anggota kelompok Adanya sanksi bertahap (I) Kelompok Persen Persepsi anggota kelompok Akuntabilitas staf yang melakukan Kelompok Persen Persepsi monitoring bagi pengguna anggota kelompok Hubungan antara sistem sumberdaya Desa Persen dan pengaturan kelembagaan Lingkungan Teknologi : eksternal (a) Ketersediaan teknologi tepat KK Persen guna berbiaya rendah (A) (b) Kebutuhan waktu untuk adaptasi KK Jumlah waktu dengan teknologi baru (c) Kendala dari penerapan KK Persepsi teknologi Anggota Pemerintah (a) Adanya kontrol pemerintah KK Peraturan yang terhadap otoritas lokal (I) berhubungan dengan desa (b) Adanya sangsi peraturan Desa Tindakan sanksi kepada pemerintah dalam penggunaan anggota dalam satu lahan kelompok desa
55
No
6
Peubah
Indikator Unit Contoh (c) Adanya bantuan finansial dan KK sosial dari pemerintah mengkompensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi (d) Adanya penyerahan kewenangan Desa dari pemerintah pada tingkat desa
Ketidaksesuai Perbedaan legalitas ruang an RTRW kabupaten dengan wilayah kelola TNGHS
Sumber :
-
Unit Ukuran Jumlah bantuan pemerintah Tugas pokok dan fungsi kewenangan yang diserahkan ke desa Luas wilayah yang tidak sesuai
Diadopsi dan dimodifikasi dari kondisi kritikal untuk keberlanjutan sumberdaya milik bersama Wade (1988), Ostrom (1999), Baland dan Platteau (1999)
Teknik penarikan sampel untuk penentuan lokasi menggunakan teknik purposive sampling (secara sengaja). Dari masing-masing kabupaten dipilih satu kecamatan yang memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Kecamatan berada di daerah penyangga TNGHS; 2) Mempunyai kriteria tipologi pra-sejahtera. Berdasarkan 2 (dua) kriteria tersebut terpilih Kecamatan Sukajaya, Lebak Gedong dan Cisolok. Selanjutnya dari ketiga kecamatan terpilih tersebut dipilih masing-masing satu desa dengan kriteria sebagai berikut : 1) Berada di daerah penyangga TNGHS; 2) Pernah mendapatkan bantuan pendampingan program pemberdayaan baik dari pemerintah maupun LSM. Dengan mempertimbangkan kedua kriteria tersebut terpilih 3 (tiga) desa yakni Desa Pasir Madang (Kecamatan Sukajaya), Desa Lebak Sangkar (Kecamatan Lebak Gedong) dan Desa Sinaresmi (Kecamatan Cisolok). Sementara pemilihan responden yaitu kepala keluarga (KK) yang tergabung dalam suatu lembaga masyarakat (kelompok tani, pengajian, karang taruna, LSM, LPM, BPD dan PPS) sebagai bagian utama dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Ukuran sampel yang diambil menggunakan rumus Al Rasyid (Riduan, 2005) yaitu:
56
2
Z n0 a 2 BE n0 n n 1 (1 0 ) N
dengan: Za BE N n
: nilai pada tabel sebaran Z : bound of error (batas kesalahan pengambilan sampel) : Populasi sampel (N=2115). : ukuran sampel
Dengan menggunakan rumus di atas didapat ukuran sampel sebanyak 90 responden. Dari 3 (tiga) desa dalam 3 (tiga) kabupaten diambil sebanyak 30 responden (kepala keluarga). Kondisi sampel yang diambil merupakan bagian komunitas kunci pada masyarakat. Teknik penentuan lokasi dan sampel penelitian digambarkan secara rinci dalam kerangka sampling di bawah ini (Gambar 3).
Daerah Penyangga TNGHS Kab. Bogor
Kab. Lebak
Di pil ih 1 Kec amatan se cara purposif dengan krite ria pra se jahtera dan berbatasan dengan TNGHS
Kec.Sukajaya
Kab. Sukabumi
D ipi lih 1 Kec amatan secara purposif dengan krite ria pra se jahtera dan berbatasan dengan TNGHS
Kec.Lebak Gedong
Di pi lih 1 desa sec ara purposif dan pernah me ndapat bant uan pe ndampingan
D ipilih 1 Kec am atan secara purposif dengan krite ria pra se jahte ra dan berbat asan dengan TNGH S
Kec.Cisolok
Di pil ih 1 desa sec ara purposif dan pernah me ndapat bantuan pendam pi ngan
Dipilih 1 desa secara purposif dan pe rnah mendapat bantuan pendampingan
Desa Pasir Madang
Desa Lebak Sangkar
Desa Sinaresmi
KK ya ng menjadi anggota lembaga/or ganisasi (Purposive Sampling) n=30
KK ya ng menjadi anggota lembaga/organisasi (Purposive Sampling) n=30
KK yang menjadi anggota lembaga/organisasi (Purposive Sampling) n=30
Lembaga/organisasi : kelompok tani, pengajian, karang taruna, LSM, LPM, BPD dan PPS
Gambar 3. Kerangka Penarikan Lokasi dan Sampel Penelitian
57
Untuk responden pakar adalah aktor utama (main stakeholders) yang terdiri dari pemerintah pusat yang diwakili oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pemerintah daerah yang diwakili oleh Pemda Kabupaten Bogor, swasta yang diwakili oleh pengusaha daerah, peneliti/pendidik kemudian institusi masyarakat lokal yang diwakili oleh kelompok-kelompok keagamaan dan kepemudaan (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah Responden Pakar No Responden Pakar 1 KK yang menjadi anggota lembaga/organisasi (tokoh agama, kepemudaan,LSM,BPM,LPM) 2 Pemda Dinas Pertanian dan Kehutanan 3 Japan International Cooperation Agency (JICA) 4 Balai Taman Nasional GHS 5 Peneliti / Pendidik
3.4.
Jumlah 90 sampel mencakup 3 desa 3 orang 1 orang 1 orang 1 orang
Metode Analisis Data dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan informasi tentang
karakteristik
sistem
sumberdaya,
karakteristik
kelompok,
pengaturan
kelembagaan, lingkungan eksternal, dan analisis spasial (keruangan). Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui sikap dan karakteristik responden adalah menggunakan Chi-Square dan Indeks. Kebutuhan manusia pada umumnya dibatasi oleh ruang dan waktu, demikian pula setiap aktivitas yang dilakukan dalam membangun membutuhkan ruang. Kegiatan pembangunan sangat dibatasi oleh ruang dan waktu dalam mengimbangi meningkatnya laju pertumbuhan. Dalam upaya mengatasi konflik pemanfaatan ruang, perlu dilakukan perencanaan penataan ruang. Hal lainnya yang mendasari, adalah ketersediaan data kondisi fisik dan sosial ekonomi dari sumberdaya yang ada. Perencanaan pembangunan dapat dilakukan dengan didukung oleh analisis kesesuaian secara komprehensif untuk menetapkan rancangan program yang akan diakomodasikan dalam pembangunan wilayah. Tahap analisis spasial pada penelitian ini yaitu meng-overlay peta RTRW 3 (tiga) wilayah Kabupaten Bogor, Lebak dan Sukabumi dengan peta zonasi
58
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Data peta dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis ArcView dengan memanfaatkan tools Clips. Proses analisis data peta yaitu dengan cara menyusun peta poligon gabungan (merge) 3 (tiga) RTRW dengan peta poligon zonasi TNGHS dengan Metode Clips dihasilkan peta hasil analisis sinkronisasi dan kesesuaian batas kawasan TNGHS dengan tataruang 3 (tiga) Kabupaten. Ilustrasi metode SIG dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi Proses Analisis SIG dengan Metode Clips Tahap selanjutnya setelah proses overlay peta spasial yaitu menganalisis data atribut peta hasil analisis atau peta hasil sinkronisasi tataruang wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan wilayah kelola TNGHS.
59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Umum TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) merupakan salah satu Taman
Nasional yang ada di Indonesia, ditunjuk tanggal 26 Februari 1992 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 luasnya 40.000 Ha yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun yang dilanjutkan dengan penetapan organisasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun terdiri dari tiga seksi wilayah yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak melalui SK No. 185/Kpts-II/1997. Secara administratif TNGH masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan 46 desa, 13 kecamatan dan 3 (tiga) kabupaten. Masing-masing 13 desa dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Bogor, 14 desa dan 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Sukabumi, dan 19 desa dan 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Lebak. Daerah studi meliputi 3 (tiga) desa yang berada di wilayah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. ketiga daerah studi tersebut yaitu: 1) Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat; 2) Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan 3) Desa Lebak Sangka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Luas wilayah dan batas administrasi lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5.
60
Gambar 5. Peta Lokasi Studi 4.2.
Sistem Tenurial Di kawasan TNGH dikenal beberapa sistem tenurial (sistem kepemilikan
lahan) yang digunakan oleh masyarakat. Dalam penelitiannya Harada et al. (2001) mendokumentasi 9 (Sembilan) sistem tenurial yang berlaku pada masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Adapun kesembilan sistem tenurial tersebut adalah: 1) Warisan (inheritance) ialah tanah yang dikelola secara turun temurun. Hak pengelolaan dialihkan kepada ahli waris (anak) dengan membagi sama luas lahan baik untuk anak laki-laki maupun perempuan; 2) Mulung (Reclamation) atau memungut ialah menggunakan lahan yang sebelumnya pernah digarap orang lain tapi kemudian ditinggalkan. Tidak diperlukan ijin dari pengelola sebelumnya; 3) Ngaluaran tanaga (sale based on labor) ialah membeli hak atas tanah dengan membayar buruh untuk menggarap lahan atau menukarnya dengan ternak, tidak dengan uang; 4) Pamasihanan/pamere (alienation) atau pemberian ialah hak atas lahan berdasarkan hadiah dari pengelola sebelumnya; 5) Jual beli (sale) ialah sistem untuk mendapatkan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang bersifat permanen atau semi permanen. Jual beli ini biasanya dilakukan harus dengan ijin dari pemilik awal;
61
6) Gade (security) atau gadai ialah memberikan hak atas lahan yang dimiliki untuk mendapatkan pinjaman. Hak harus dikembalikan jika pinjaman sudah dibayar. Lahan tidak boleh dipindahtangankan kepada orang lain. Jangka waktu pengembalian pinjaman biasanya tidak diberlakukan namun peminjam dapat mengelola lahan sesuai dengan keinginannya dan jangka waktu sampai hutang terbayar; 7) Maparo / maro / nengah (rent with compensation) atau menyewa dengan kompensasi ialah sistem pengelolaan atas lahan dengan cara bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap. Jumlah atau besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak; 8) Nginjeum / numpang garap (rent without compensation) atau meminjam lahan garapan ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain tanpa kompensasi. Pengguna tidak boleh menanam atau menebang pohon; dan 9) Sewa (contract) atau kontrak ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain dengan kompensasi. Mengacu pada ke-9 jenis sistem tenurial ini dan berdasarkan hasil observasi lapangan, sistem tenurial yang dapat diidentifikasi di lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sistem Tenurial di Lokasi Studi No 1.
Lokasi Penelitian Desa Pasir Madang
2.
Desa Sinaresmi
3.
Desa Lebak Sangka
4.3.
Sistem Tenurial Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, jual beli, pamasihanan, sewa Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, pamasihanan, maparo Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, jual beli, sewa, maparo
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGHS
4.3.1. Karakteristik Penduduk Berdasarkan data penduduk tahun 2006, jumlah penduduk dari 3 (tiga) desa yang dijadikan obyek penelitian adalah 12.976 jiwa dengan proporsi laki-laki sebesar 49,00% dan perempuan 51,00%, sementara jumlah kepala keluarga sekitar 3.463 jiwa. Jumlah penduduk di lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 6.
62
Jumlah penduduk (jiwa)
3,000 2,500
2,693 2,210 2,029
2,000
2,745
1,818
1,672 1,627 Laki-laki laki (jiwa)
1,500 1,000
Perempuan (jiwa)
891
754
Kepala Keluarga (KK)
500 0 Desa Pasir Madang
Desa Sinaresmi
Desa Lebak Sangka
Gambar 6. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian Jumlah perempuan lebih banyak ditunjukkan oleh Desa Pasir Madang dan Sinaresmi dengan masing masing-masing proporsi sebesar 52,13% dan 50,48%, sedangkan proporsi jumlah penduduk laki-laki laki laki yang lebih banyak ditunjukkan oleh Desa Lebak Sangka sebesar 50,68%.
Sementara jumlah KK terbanyak
ditunjukkan oleh Desa Sinaresmi yaitu sebesar 52,49% dari total KK ketiga desa tersebut. Karakteristik penduduk dianalisa berdasarkan ukuran jumlah sampel responden yang digunakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, rata rata-rata umur responden adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 24 tahun hingga 70 tahun. Persentase terbanyak responden berada pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebesar 27,80%, diikuti oleh kelompok umur 31-50 tahun dengan persentase yang tidak berbeda jauh yakni sebesar 26,70%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa rata-rata responden merupakan angkatan kerja yang dapat bekerja secara optimum dalam mencari nafkah hidup keluarganya. Sebaran data responden dari sampel yang diambil berdasarkan kategori umur ini berbeda dibandingkan sebaran populasi penduduk untuk wilayah kabupaten, provinsi maupun nasional. Sebaran an responden berdasarkan kategori usia berikut sebaran populasi tingkat kabupaten, provinsi dan nasional selengkapnya disajikan pada Gambar 7.
63
Persentase Jumlah Jumlah (%) Penduduk (%)
29.5 32.1 29.2 28.4
35 30 25 20 15 10 5 0
26.7
27.7
25.8 20 20.2
27.8 19.6
12.5
23.3
15.6
10.7
10.7
9.2 6.7
20-30
31 31-40
41-50
12.1
12.2
51-60
Nasional Propinsi Kabupaten Sampel
> 60
Umur(tahun)
Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Usia Hasil sil analisa menunjukkan bahwa hanya nya kelompok umur 31-40 31 tahun dan kelompok umur >60 tahun saja yang mendekati persentase populasi. Untuk kelompok umur 20-30 30 tahun masih berada dii bawah persentase populasi (29, (29,232,1%) yaitu sebesar 15,6%, 15, sementara untuk kelompok umur 41-50 50 tahun dan 51-60 60 tahun berada di atas persentase populasi. Sementara jumlah anggota keluarga yang teridentifikasi di lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 8.
60
51.1
Jumlah (%)
50
38.9
40 30 20
10
10 0 ≤4
5-6
≥7
Jumlah KK (jiwa)
Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
64
Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa rata-rata rata jumlah anggota keluarga responden adalah 4,58 4 58 orang dengan persentase terbesar berada pada kategori kurang dari atau sama dengan 4 (empat) anggota keluarga yaitu sebesar 51,10%. Hanya 10,00% 00% saja keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 7 (tujuh) orang.
Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak
memiliki peluang untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya potensial dalam membantu mencari pendapatan untuk keluarganya seperti mengolah la lahan, dan lain-lain. 4.3.2. Ketenagakerjaan Hasil sil penelusuran di lapangan teridentifikasi bahwa masyarakat yang ada di wilayah obyek penelitian memiliki beragam profesi pekerjaan pokok sebagai mata pencaharian rian utama. Besaran nilai yang diperoleh dari hasil sil sampling responden kemudian dibandingkan dengan kondisi pekerjaan pokok pada tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan pokok selengkapnya disajikan pada Gambar 9.
47.8 60
58.9 41.2
50
31.4
29.4 23.9
%
40
19.4 14
30
14.2
14.4 25.5 19.7 19.1 30
20
Nasional
7.7
10
Propinsi
3.3
Kabupaten Sampel
0 Petani
PNS
Buruh
Pedagang
Pekerjaan
Gambar 9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Pokok Berdasarkan Gambar 9, 9 terlihatt bahwa pekerjaan pokok sebagai petani merupakan jenis pekerjaan yang paling dominan yaitu sebesar 58,90% 58 90%. Kondisi
65
tersebut di atas persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional yang hanya sebesar 31,40-47,80%. Kondisi tersebut juga ditunjukkan pada skala kabupaten, provinsi maupun nasional bahwa sebagian besar kecenderungan pekerjaan utama atau pokok masyarakat adalah petani. Untuk pekerjaan pokok wiraswasta/pedagang, sampel yang didapat sekitar 30%, kondisi ini juga sedikit di atas persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional yang hanya sebesar 23,5-29.4%. Kondisi yang sama juga ditunjukkan pada skala kabupaten, provinsi maupun nasional bahwa porsi pekerjaan utama atau pokok masyarakat terbesar kedua adalah sebagai pedagang atau wiraswasta. Sementara untuk pekerjaan pokok kelompok swasta dan PNS/Guru/KepalaDesa/LPM persentase sampel yang diambil berada di bawah persentase populasi penduduk wilayah kabupaten, provinsi dan nasional. Namun jika dilihat berdasarkan populasi tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional, pekerjaan pokok terbesar ketiga adalah buruh. 4.3.3. Pendidikan Secara umum tingkat pendidikan berdasarkan sampel di lapangan kondisinya menunjukkan berada di bawah rata-rata pendidikan penduduk provinsi. Rendahnya tingkat pendidikan formal tersebut tidak terlepas dari masih rendahnya kesadartahuan masyarakat akan pentingnya manfaat pendidikan. Umumnya masih beranggapan bahwa percuma saja sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya nanti kembali lagi bekerja di sawah. Pendidikan rendah menyebabkan kemampuan menganalisis dan memanfaatkan informasi mengenai peluang meningkatkan penghasilan
menjadi rendah. Sebaran responden
berdasarkan tingkat pendidikan selengkapnya disajikan pada Gambar 10.
66
69.7
%
75.2 80 70 60 50 40 30 20 10 0
54.7
70
22.7
32.1
13.1
21.8 20 10
7.6 Nasional Propinsi
3
Kabupaten Sampel
SD dan SLTP
SLTA
Diploma/Sarjana
Pendidikan
Gambar 10. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dari Gambar 10, 10 terlihat bahwa persentase ersentase terbanyak tingkat pendidikan responden adalah SD dan SLTP (70,00%) (70 00%) yang termasuk dalam kategori pendidikan rendah, kondisi ini di bawah persentase populasi ulasi kabupaten yang sebesar 75,2% 2% dan populasi provinsi sebesar 32,1%. kecenderungan kondisi tersebut di atas sebenarnya sama dengan kondisi pada tingkat kabupaten dan nasional, hanya nya pada tingkat provinsi, pendidikan tamatan SD dan SLTP menempati urutan kedua kedua, yang lebih banyak adalah pendidikan tamatan SLTA. Sementara untuk tamatan SLTA sampel yang didapat sebesar 20%, ha hampir sama dengan populasi kabupaten (21,8%) (21 dan nasional (22,7%). 7%). Sedangkan untuk tamatan diploma/sarjana sampel yang didapat sebesar 10%, di atas populasi kabupaten (3%) dan nasional (7,6%).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
proporsi tamatan tingkat pendidikan diploma/sarjana sampai tingkat nasional memiliki nilai paling sedikit. 4.3.4. Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi di wilayah kajian umumnya masih tergolong rendah jika dilihat dari nilai pendapatan per kapita per bulan, bulan, namun dalam skala provinsi menunjukkan nilai yang relatif kecil. Hall ini mengindikasikan bahwa masyarakat di wilayah kajian masih tergolong miskin, dalam artian memiliki peng penghasilan
67
yang masih rendah dari rata rata-rata penghasilan silan penduduk yang tersebar di wilayah kabupaten lainnya. Sebaran responden berdasarkan kategori tingkat pendapatan selengkapnya disajikan pada Gambar 11.
46.7
50
32.3
40 27.8
19.6
20.1
13.3
%
30
14.7
20
13.3
11.1
10
1.1
0 <100
100-200
200-300
300-400
Propinsi sampel
> 400
Pendapatan (ribu rupiah/ kapita /bulan)
Gambar 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Pendapatan Rata-rata rata tingkat pendapatan responden ttergolong ergolong kecil yakni Rp 172.758,60/kapita/bulan. 60/kapita/bulan. Jika dili dilihatt berdasarkan kategorinya, ternyata sebanyak 46,7% responden tergolong dalam kategori pendapatan Rp 100.001 100.001-200.000,/kapita/bulan.
Selanjutnya
tingkat
pendapatan pendapatan
responden
tersebut
jika
dibandingkan dengan garis kemiskinan Indonesia (Bappenas, 2006), yakni sebesar Rp. 152.847/kapita/bulan, 152.847/kapita/bulan ternyata sebanyak 55,6% responden masih berada di bawah garis kemiskinan. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat tersebut tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi sarana dan prasarana yang tersedia, terutama kondisi aksesibilitas jalan jelek yang tentunya sangat berpengaruh dalam kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Jalan yang ada sebagian besar masih berupa jalan tanah dan sempit yang hanya nya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua (ojek), sehingga masyarakat merasa sa kesulitan dalam mendistribusikan hasil-hasil sil pertanian dan hal tersebut banyak dimanfaatkan oleh para tengkulak yang datang dari kota dengan membeli hasil-hasil sil pertanian masyarakat dengan harga murah.
68
4.3.5. Penggunaan Lahan La Penguasaan laha han yang sempit mengakibatkan terbatasnya kesempatan menanam jenis komoditas yang dibutuhkan, sehingga sumberdaya tersedia dalam jumlah sedikit. Penguasaan la lahann sedang memungkinkan kesempatan men menanam sumberdaya yang dibutuhkan relatif lebih besar. Sebaran luas penguasaan la lahan di
Jumlah (jiwa)
lokasi penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 12.
60 50 40 30 20 10 0 Sempit (< 0.25 ha) Sedang (0.25-0.5 ha)
Luas (> 0.5 ha)
Luas penguasaan lahan
Gambar 12. Sebaran Responden Berdasarkan Penguasaan Laha han Berdasarkan Gambar 12, menunjukkan bahwa persentase ersentase terbanyak penguasaan lahann responden adalah tergolong sempit (< 0,25 ha), yaitu sebesar 57,80%.. Berikutnya kepemilikan lahan la n terbanyak kedua adalah tergolong sedang (0,25-0.5 ha) yaitu sebesar 28,90%. Alih fungsi lahann sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya. Alih fungsi la lahann ini akan berdampak terhadap dap menurunnya aktivitas ekonomi yang berbasis pada pemanfaatan la lahan. Sempitnya luas lahan yang dikuasai untuk diolah oleh masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hasil pertanian yang diperolehnya tidak dapat memenuhi kebutuhan kebutu hidup minimum sehari-hari. Dengan kata lain, penduduk yang memiliki lahan la sempit (<0,5 ha) atau sama sekali tidak memiliki tanah, mereka ereka adalah penduduk miskin karena tidak mampu memenuhi kesejahteraan
keluarga
(Sayogyo,
1996). 19
Dimana
Menurut nurut
kriterianya,
berdasarkan Kriteria Sayogyo bahwa lahan la minimal yang harus diusaha hakan untuk mendapat hidup layak adalah 0.51-2,28 0.51 ha. Dengan luas lahann tersebut masyarakat dapat mengusahakaannya mengusa sehingga menghasilkan silkan pendapatan (income) yang minimal setara se dengan 320 kg beras/kapita/tahun. Hasil sil penelitian
69
Gunawan (1999) mengindikasikan adanya kecenderungan yang menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang sempit (< 0,25 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong rendah terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS, kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang sedang (0,25-0,5 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong sedang terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS, dan kelompok masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang luas (> 0,5 ha) cenderung memiliki perilaku sosial ekonomi yang tergolong tinggi terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan di TNGHS. Kegiatan pemanfaatan/pengambilan sumberdaya hutan tersebut seringkali menimbulkan kerusakan fisik pada sumberdaya hutan yang diambil yang lama kelamaan apabila hal tersebut terus terjadi dapat menimbulkan kerusakan pada fungsi hutan tersebut. Pada masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang tergolong luas (> 0,5 ha), sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi dari hasil pertanian dan kebun, sehingga pemanfaatan/ pengambilan sumberdaya hutan, baik di hutan produksi milik Perum Perhutani ataupun di hutan TNGHS jarang dilakukan oleh masyarakat golongan ini. Sedangkan pada masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan yang tergolong sedang (0,25-0,5 ha), kebutuhan hidup sehari-harinya memang tidak semuanya dapat terpenuhi dari hasil pertanian dan kebun yang diolahnya, tetapi pemanfaatan/pengambilan sumberdaya hutan, baik dari hutan produksi milik Perum Perhutani ataupun hutan TNGHS tidak sebanyak dan sesering seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang tergolong menguasai lahan sempit (<0,25 ha). 4.3.6. Aktivitas Masyarakat terhadap TNGHS Sebagian besar responden termasuk jarang hingga tidak pernah pergi ke kawasan hutan (40,4%), karena responden beranggapan terlalu berbahaya jika sering-sering pergi ke hutan. Berbagai kegiatan dilakukan oleh responden ketika mengunjungi kawasan hutan, diantaranya adalah mengambil hasil hutan (37,3%), membetulkan saluran irigasi (30,5%) atau pun hanya sekedar melintas ke kampung lain (28,8%). Sementara itu sebagian besar (74,4%) responden
70
menyatakan menyadari dampak akibat kegiatannya, sementara sisanya yakni sebanyak 25,6% belum menyadari dampak akibat kegiatan di TNGHS. Sebaran responden mengenai kegiatan, kesadaran akan pelestarian dan pengelolaan TNGHS selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kegiatan, Kesadaran Pelestarian dan Pengelolaan TNGHS Jumlah (n)
Kegiatan
Frekuensi ke kawasan hutan (TNGHS) Sering (minimal 2x sebulan) Jarang (<2x sebulan) Tidak pernah Kegiatan yang dilakukan di TNGHS (jawaban lebih dari satu) Mengambil hasil hutan Rekreasi memandu wisata Melintas ke kampung lain Membetulkan saluran irigasi Kesadaran tentang kegiatan di TNGHS Menyadari dampak Belum menyadari dampak Kegiatan yang pernah dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendukung pelestarian SDH TNGHS (jawaban dapat lebih dari satu) Mengikuti kegiatan penghijauan di sekitar /luar TNGH Mengikuti penyuluhan/ sarasehan tentang TNGHS Menyebarluaskan informasi keberadaan TNGHS dan aturan-aturannya serta mengajak masyarakat untuk turut serta melestarikan hutan TNGHS Bentuk pengelolaan TNGHS yang diinginkan masyarakat Melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya Tidak tahu
Persentase (%) 14 40 36
15,6 44,4 40,0
22 2 17 18
37,3 3,4 28,8 30,5
67 23
74,4 25,6
33 7 12
63,5 13,4 23,1
69 21
76,7 23,3
Dalam upaya mendukung pelestarian sumberdaya taman nasional, ada berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat diantaranya mengikuti kegiatan penghijauan di sekitar/luar TNGH (63,5%), menyebarluaskan informasi keberadaan TNGHS dan aturan-aturannya serta mengajak masyarakat lainnya untuk turut serta melestarikan hutan TNGHS (23,1%) dan mengikuti penyuluhan/ sarasehan tentang TNGHS (13,4%). Bentuk
pengelolaan
yang
diinginkan
masyarakat
dalalm
upaya
mempertahankan kelestarian kawasan hutan TNGHS, adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya (76,7%). Meskipun demikian, ada segelintir responden (23,3%) yang menyatakan tidak tahu bentuk pengelolaan TNGHS yang diinginkannya, ini dikarenakan tidak pedulinya masyarakat
71
terhadap pengelolaan TNGHS. Dengan kondisi tersebut di atas sebaiknya secara intensif pihak pengelola melakukan sosialisasi program pengelolaan kepada masyarakat sekitar kawasan TNGHS sampai saat memahami dan mampu mentransformasikan informasi yang diperoleh dari hasil sosialisasi tersebut. 4.4.
Persepsi Masyarakat terhadap Taman Nasional Berdasarkan hasil analisa di lapangan (Tabel 8) terlihat bahwa sebanyak
67,8% responden menyatakan sebaiknya masyarakat diperbolehkan mengambil kayu bakar dengan bebas dari dalam kawasan Taman Nasional dan setuju bahwa masyarakat diperbolehkan mengambil/memanfaatkan buah-buahan, pakis, atau bambu dari dalam kawasan Taman Nasional (64,4%). Sementara itu, masingmasing di atas 90% responden setuju bahwa masyarakat ikut dalam kegiatan pelestarian TNGHS (misalnya penanaman pohon) dan berkembangnya kegiatan wisata di Taman Nasional. Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Responden terhadap Taman Nasional Sikap Responden terhadap Taman Nasional 1.
Masyarakat diperbolehkan mengambil kayu bakar dengan bebas dari dalam kawasan Taman Nasional 2. Masyarakat diperbolehkan mengambil/memanfaatkan buah-buahan, pakis, bambu, dari dalam kawasan Taman Nasional 3. Masyarakat dapat dengan bebas berburu satwa di dalam kawasan Taman Nasional 4. Masyarakat dapat menggunakan/menyerobot lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian 5. Masyarakat melakukan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional 6. Masyarakat menggembalakan ternaknya di dalam kawasan Taman Nasional 7. Masyarakat ikut dalam kegiatan pelestarian TNGHS (misalnya penanaman pohon) 8. Berkembangnya kegiatan wisata di Taman Nasional 9. Pengunjung melakukan kegiatan yang merusak TNGHS (misalnya membuang sampah sembarangan, vandalisme, berburu) 10. Taman Nasional adalah hutan milik negara yang memberikan keuntungan kepada masyarakat
Setuju n % 61 67,8
Tidak setuju n % 28 31,1
Tidak peduli n % 1 1,1
58
64,4
31
34,4
1
1,1
20
22,2
70
77,8
0
0,0
8
8,9
80
88,9
2
2,2
2
2,2
86
95,6
2
2,2
21
23,3
64
71,1
5
5,6
85
94,4
5
5,6
0
0,0
87
96,7
2
2,2
1
1,1
2
2,2
88
97,8
0
0,0
76
84,4
13
14,4
1
1,1
72
Bila dicermati satu persatu, persatu secara umum sikap lebih dari 70% % responden terhadap dap taman nasional sudah cukup baik. Responden tidak menyetujui berburu satwa dengan bebas (77 (77,8%), menggunakan/menyerobot lahann yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan la n pertanian (88,9%), (88 melakukan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional (95,6%), menggembalakan embalakan ternaknya di dalam kawasan Taman Nasional (71 (71,1%), dan pengunjung yang melakukan kegiatan yang merusak TNGHS sebesar 97,8% (misalnya membuang sampah sembarangan, vandalisme, berburu). 4.5.
Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya Berbagai jenis sumberdaya hutan TNGHS yang dimanfaatkan oleh para
responden selengkapnya disajikan pada Gambar 13.
700
673
600 500 400 300 200
5
100
66
6
37
4 8
17
0 Kayu bakar (batang)
Bambu (batang)
Bahan Emas (karung)
Intensitas(kali/tahun) Jumlah (per tahun)
Rumput (karung)
Sumber daya hutan
Gambar 13. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya Rata-rata rata kayu bakar yang dimanfaatkan setiap tahunnya adalah 673 batang dengan intensitas pengambilan 5 kali per tahun.. Sedangkan bambu dimanfaatkan dengan kuantitas 66 batang per tahun dengan intensitas pengambilan 6 kali per tahun. tahun Bahan emas dan rumput dimanfaatkan faatkan dengan ratarata rata yang tidak begitu besar setiap tahunnya yakni berturut-turut 8 karung dan 17 karung dengan intensitas pemanfaatan masing-masing masing 4 dan 37 kali per tahun. Bila dilihatt secara keseluruhan keseluru n intensitas dan jumlah yang per tahun, sebenarnya
73
dampak gangguan yang terjadi terhadap sumberdaya TNGHS tidak terlalu tinggi. Meskipun rata-rata nilai yang dihasilkan relatif kecil, namun kegiatan tersebut tetap menjadi perhatian pihak taman nasional, mengingat lokasi kegiatan berada di kawasan konservasi. Sekecil apapun dampaknya terhadap ekosistem, akan lebih bijak jika dilakukan antisipasi sejak dini. 4.6.
Sistem Kelembagaan
4.6.1. Karakteristik Sistem Sumberdaya Secara umum, sebagian besar responden menyatakan bahwa ukuran sumberdaya/lahan, kepemilikan sumberdaya lahan dan intensitas pengolahan lahan adalah penting. Sementara Wade dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa barang milik umum untuk resiko lingkungan adalah suatu faktor penting dengan menyediakan
set-set
pertimbangan
mengenai
keberhasilan
manajemen
sumberdaya umum. Menurut Wade (1988, 1994), aturan pembatasan yang efektif terhadap akses dan penggunaan sumberdaya umum tidak mungkin terselesaikan jika terdapat banyak pengguna dan batasan-batasan sumberdaya umum yang tidak jelas. Berkaitan dengan penelitian Wade yang lebih menekankan pada kuantitas pengguna dan batasan sumberdaya umum, maka karakteristik sistem sumberdaya yang penting dalam penelitian ini adalah besarnya ukuran sumberdaya, status kepemilikan sumberdaya, intensitas pengolahan lahan dan penyimpangan manfaat dari sumberdaya. Persentase tingkat kepentingan responden mengenai persepsi terhadap karakteristik sistem sumberdaya disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Sistem Sumberdaya
74
Status kepemilikan sumberdaya/lahan yang digunakan oleh sebagian besar (83,3%) responden adalah milik sendiri. Sisanya merupakan sewa (12,,2%), milik negara (3,3%) ataupun menggarap lahan orang lain (1,1%).
Konsekuensi
terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap ter sumberdaya aya hutan adalah kurangnya rasa kepemilikan kepemil masyarakat terhadap sumberdaya hutan, terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendapatan, ketidakpastian pengelolaan hutan oleh masyarakat, rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya daya hutan oleh masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, sehingga unsur-unsur unsur yang timbul terhadap dap karakteristik sistem sumberdaya (Gambar ( 14)) tersebut adalah penting
bagi
masyarakat.
Jumlah
dan
persentase
status
kepemilikan
Jumlah (%)
sumberdaya/lahann yang digunakan disajikan pada Gambar 15.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
83.3
12.2
Milik Sendiri
Sewa
3.3 Milik Negara
1.1 Lahan orang lain
Kepemilikan lahan
Gambar 15. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Sumberdaya/ Lahan yang Digunakan Adapun rata-rata rata luas lahan yang digunakan responden untuk bekerja adalah 0,37 hektar dengan kisaran 0 hingga 3 hektar. Intensitas pengola engolahan lahan berkisar antara 1 sampai 4 kali setahun dengan rata-rata 1,83 kali setahun. Sementara itu, persentase penyimpangan manfaat dari sumberdaya la lahan yang digunakan responden adalah 56,01% dengan kisaran 10-100%. Analisa deskriptif karakteristik sumberdaya lahan la selengkapnya disajikan pada Tabel 9.
75
Tabel 9. Analisis Deskriptif Karakteristik Sumberdaya Lahan Karakteristik Sumberdaya Lahan Luas lahan yang digunakan untuk bekerja(ha) Intensitas pengolahan lahan (kali/tahun)
Rata-Rata 0,37
SD 0,49
Minimum 0,00
Maksimum 3,00
1,83
0,62
1,00
4,00
Pemanfaatan lahan yang ada di kawasan TNGHS untuk lahan pertanian ataupun oleh masyarakat di luar responden yang membangun vila-vila atau gubuk-gubuk liar yang seharusnya tidak boleh dilakukan di kawasan tersebut. Dengan kondisi luas lahan yang digunakan untuk bekerja dan intensitas pengolahan lahan yang dilakukan menimbulkan dampak pengembangan potensi masyarakat menjadi tidak optimal dan masyarakat semakin tidak berdaya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Akibatnya masyarakat sekitar hutan tetap miskin dan muncul kecemburuan sosial di antara anggota masyarakat, yang bermuara pada semakin tidak harmonisnya hubungan masyarakat dan sumberdaya hutan. 4.6.2. Karakteristik Organisasi Persepsi responden terhadap karakteristik kelembagaan yang berkaitan dengan jumlah anggota organisasi (50,0%), adanya batasan keanggotaan (71,1%), aturan
yang
dipergunakan
(64,4%),
pola
kepemimpinan
dalam
organisasi/kelompok (68,9%), mengindikasikan bahwa eksistensi kelembagaan menjadi penting bagi masyarakat dan masyarakat siap untuk berorganisasi. Kesuksesan program pemberdayaan masyarakat juga sangat ditentukan oleh seberapa besar kekuatan sosial capital yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat. Melemahnya sosial capital (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan akan berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan tidak efektifnya
berbagai
program.
Ketika
masyarakat
beranggapan
bahwa
kelembagaan tidak terlalu penting, yang mungkin terjadi adalah program pemberdayaan masyarakat menjadi kehilangan arah dan berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Selain itu rendahnya sosial capital juga dapat
menjadi faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap program pemberdayaan dari pemerintah dan kurang optimalnya internalisasi kebijakan di tingkat masyarakat.
76
Menurut Oslon (1965), organisasi yang lebih kecil cenderung lebih berhasil dalam melakukan tindakan kolektif. Ini didukung oleh Baland dan Platteau (1999) yang menyatakan semakin kecil ukuran suatu organisasi semakin kuat kemampuannya untuk betindak kolektif. Sementara Marweel dan Oliver (1993) mempunyai pendapat yang ambiguitas dengan Oslon, yaitu ukuran suatu organisasi secara positif berhubungan dengan level tindakan kolektif. Berkaitan dengan hasil persepsi di atas, maka ukuran organisasi dengan batasan keanggotaan yang jelas serta adanya aturan-aturan yang dipergunakan dalam organisasi dengan saling ketergantungannya antara anggota akan cenderung membawa pada tindakan kolektif. Sebanyak 51,1% responden menyatakan bahwa saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok tergolong cukup tinggi. Homogenitas identitas dan kepentingan dalam organisasi/kelompok bagi sebagian besar (54,4%) responden tergolong dalam kategori cukup sering. Wade, Baland dan Palttaeu (1999) menyatakan karakteristik heterogenitas di dalam organisasi dapat memiliki pengaruh yang beragam dan kontradiktif. Lebih besarnya saling ketergantungan diantara anggota organisasi akan mendorong suatu dasar pembentukan institusi yang mendorong manajemen sumberdaya berkelanjutan. Di sisi lain, Baland dan Platteau juga menyajikan penilaian awal terhadap karakteristik heterogenitas dengan mengklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe dan berhipotesis bahwa heterogenitas sumberdaya mempunyai pengaruh positif terhadap manajemen sumberdaya sedangkan heterogenitas identitas dan kepentingan menciptakan penghambat untuk tindakan kolektif. Poin pertamanya mengenai heterogenitas sumberdaya meningkatkan kemungkinan tindakan kolektif adalah sama dengan yang dinyatakan oleh Olson (1965). Tetapi kategori dimana mereka mengklasifikasikan heterogenitas tidak selalu eksklusif. Misalnya, heterogenitas kepentingan dapat menghasilkan beragam tipe spesialisasi ekonomi dan beragam level sumberdaya, yang pada gilirannya menghasilkan pertukaran yang menguntungkan. Lebih lanjut, bukti empiris mengenai bagaimana heterogenitas mempengaruhi tindakan kolektif masih sangat bermakna ganda. Jadi ada kemungkinan bahwa meskipun dalam kelompok terdapat level heterogenitas kepentingan yang tinggi, untuk menjamin tindakan kolektif, beberapa sub-
77
kelompok dapat memaksakan menjalankan institusi/organisasi. Persentase tingkat kepentingan mengenai persepsi terhadap ter dap karakteristik kelembagaan selengkapnya
Persepsi (%)
disajikan pada Gambar 16. 16 100
1.1
80
41.1
60 40 20 0
0
0
10
21.2
0
0
1.1
25.5
18.9
17.7
1.1 14.5
0 13.3
61.1
66.7
23.3
20
48.9 71.1
51.1
64.4
50 7.8
1.1
47.8 18.9
14.4
75.6
68.9
2.2
30 5.6
5.6
Organisasi/ kelembagaan Sangat penting
Penting
Cukup penting
Tidak Penting
Gambar 16. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Kelembagaan Rata-rata jumlah anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti adalah 35 orang dengan kisaran antara 10 hingga 89 orang. Sementara itu, pengalaman keberhasilan masa lalu yang pernah diperoleh organisasi/kelompok rata-rata 2 (dua) buah dengan kisaran 1 hingga 3 prestasi. Rata-rata pendapatan anggota organisasi/kelompok adalah Rp 412.500,-/kelompok dengan kisaran Rp 100.000,hingga Rp 1.000.000,,-. Hasil sil analisis deskriptif komponen kelembagaan selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Analisis Deskriptif Komponen Kelembagaan Kelembagaan 1. Jumlah anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti (jiwa) 2. Pengalaman keberhasilan masa lalu (jumlah) 3. Pendapatan rata-rata anggota organisasi/kelompok (Rp/kelompok)
Rata-Rata
SD
Minimum Maksimum
34,70
21,34
10
89
1,83
1,33
1
4
412.500 189.738
100.000
1.000.000
Sebanyak 50% % responden menyatakan bahwa aturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok yang diikutinya sudah baik. Batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok dianggap oleh sebagian besar (65,60%) responden sudah cukup baik. Namun demikian, terdapat 3,30% responden yang
78
menyatakan batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok masih tidak baik. Menurut setengah dari jumlah responden, saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok tergolong cukup tinggi. Bahkan sebanyak 43,30% responden menyatakan saling ketergantungan antara anggota dalam organisasi/kelompok yang diikuti tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Hanya 6,70% responden yang menganggap ketergantungan antar anggota organisasi tidak tinggi. Homogenitas identitas dan kepentingan dalam organisasi/kelompok bagi sebagian besar (54,40%) responden tergolong dalam kategori cukup sering. Dengan proporsi yang hampir berimbang yakni sekitar 40,00%, kemampuan mendapatkan pembiayaan dari organisasi/kelompok dinilai masing-masing cukup baik dan tidak baik. Dengan demikian, pembiayaan dari organisasi/kelompok masih belum memuaskan bagi 36% dari jumlah responden. Sebaran responden berdasarkan karakteristik aturan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Aturan Karakteristik Kelembagaan Jumlah (n) Aturan yang dipergunakan 1 Sangat baik 45 Baik 44 Cukup baik Batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok 28 Baik 59 Cukup baik 3 Tidak baik Saling ketergantungan antara anggota 2 Sangat Tinggi 37 Tinggi 45 Cukup Tinggi 6 Tidak Tinggi Homogenitas identitas dan kepentingan 3 Sangat Sering 30 Sering 49 Cukup Sering 8 Tidak Sering Kemampuan mendapatkan pembiayaan dari organisasi/kelompok 3 Sangat Sering 30 Sering 49 Cukup Sering 8 Tidak Sering
Persentase (%) 1,1 50,0 48,9 31,1 65,6 3,3 2,2 41,1 50,0 6,7 3,3 33,3 54,4 8,9 3,3 33,3 54,4 8,9
79
Pada Gambar 17 Menunjukkan bahwa ketika kurangnya urangnya keterlibatan kelembagaan masyarakat (anggota) dalam pengelolaan pelestarian sumber sumberdaya hutan menyebabkan tidak adanya rasa memiliki sumberdaya hutan dan sulit mencapai pengelolaan hutan lestari. Kurangnya keterlibatan anggota juga dapat memicu konflik dalam pengelolaan pengelo sumberdaya daya hutan atau sebaliknya anggota justru apatis dalam pengelolaan sumberdaya sumber hutan dan anggota semakin tidak berdaya.
Sehingga harapan ha anggota tidak terpenuhi dan pada akhirnya
pengelolaan hutan kurang bermanfaat bagi anggota di dalam dan sekitar hutan. Karena itu persepsi responden terhadap tingkat ketergantungan anggota pada sistem sumberdaya, persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat manfaa dari sumberdaya, sikap dan tingkat tuntutan anggota dan perubahan sikap dan perilaku terhadap perubahan penggunaan lahan dianggap penting.
Persepsi (%)
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
0
0
1.1
11.1
12.2 31.1
31.1
70
74.4 60
64.4
4.4 Tingkat ketergantungan Sangat penting
13.3 Persepsi atas keadilan Penting
18.9
7.8 Sikap anggota
Cukup penting
Perubahan sikap
Tidak Penting
Gambar 17. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara ntara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Organisasi Tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya dari sebagian besar (66,70%) %) responden tergolong cukup tinggi. Sementara itu, sebanyak 7,80% responden menyatakan bahwa tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya tergolong tidak tinggi/sangat tidak tinggi. Tingginya ingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan mengakibatkan engakibatkan eksploitasi sumberdaya daya hutan semakin besar dan hutan semakin rusak. Oleh karena itu, kesempatan diversifikasi usaha non kehutanan semakin sempit.
80
Namun di sisi lain, dengan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan maka (diharapkan) kesadaran masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumberdaya hutan juga semakin besar.
Sebaran
responden berdasarkan hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelembagaan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Kelembagaan Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan Jumlah karakteristik kelembagaan (n) Tingkat ketergantungan antara anggota pada sistem sumberdaya 23 Tinggi 60 Cukup Tinggi 6 Tidak Tinggi 1 Sangat tidak Tinggi Persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya 37 Adil 52 Cukup Adil 1 Tidak Adil Sikap dan tingkat tuntutan anggota 9 Sangat Tinggi 46 Tinggi 32 Cukup Tinggi 3 Tidak Tinggi Sikap dan tingkat tuntutan anggota 4 Sangat Tinggi 24 Tinggi 59 Cukup Tinggi 3 Tidak Tinggi
Persentase (%) 25,6 66,7 6,7 1,1 41,1 57,8 1,1 10,0 51,1 35,6 3,3 4,4 26,7 65,6 3,3
Persepsi atas keadilan dalam alokasi manfaat dari sumberdaya dianggap oleh 98,0% responden termasuk cukup adil/adil. Sebanyak 51,10% responden menyatakan bahwa sikap dan tingkat tuntutan anggota adalah termasuk kategori cukup tinggi. Persentase terbesar (65,60%) responden menyatakan bahwa perubahan sikap dan perilaku terhadap perubahan penggunaan lahan adalah tergolong cukup tinggi. Persepsi atas alokasi manfaat dari sumberdaya hutan, meskipun sebagian besar responden menyatakan cukup adil, namun kenyataan yang ada masih kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini memicu timbulnya tindakan yang bertentangan dengan kaidah kelestarian hutan. Akibat selanjutnya adalah tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat akan mencari alternatif usaha lain. Kondisi seperti ini akan
81
menimbulkan kecemburuan sosial terhadap kelompok lain yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan.
Karena harapan masyarakat pedesaan
memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan tidak terpenuhi. 4.6.3. Pengaturan Kelembagaan Secara keseluruhan, pada semua item persepsi terhadap sistem kelembagaan berkaitan dengan adanya aturan yang sederhana dan mudah dipahami, adanya akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal, adanya kemudahan dalam melaksanakan aturan, adanya sangsi bertahap, akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna dan hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan dianggap oleh sebagian besar responden adalah penting. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sudah menyadari arti pentingnya sebuah pengaturan kelembagaan, sehingga dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat menjadi lebih terkontrol dan tertib administrasi serta tertib pelaksanaan. Peran dan sinergitas diantara anggota kelompok masyarakat diharapkan menjadi efektif dan efesien. Hal ini juga berakibat pada kemudahan dalam menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumberdaya hutan secara optimal yang bermuara pada optimalnya kegiatan pemberdayaaan masyarakat. Sehingga dengan adanya pengaturan kelembagaan yang mudah dijalankan oleh seluruh anggota kelompok, maka peran dan sinergitas diantara para pihak serta laju pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi optimal. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat Agrawal (2001), keefektifan kelembagaan dalam manajemen dan alokasi sumberdaya sangat ditentukan oleh besar kecilnya kelompok dan aturan anggota dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. North (1990) menyatakan bahwa keberhasilan dari sebuah institusi sebagai interaksi ditentukan oleh kemampuan untuk dapat mengukur dan melindungi seluruh sumber sosial budaya, politik dan ekonomi dari sebuah institusi. Institusi merupakan sebuah penunjuk arah untuk melihat sebuah interaksi sosial budaya dan kehidupan masyarakat yang merupakan bagian dari upaya untuk memberikan nilai keamanan dalam mengatur tata kehidupan (the rule of the game) masyarakat tersebut. Hal ini tentunya akan meningkatkan keuntungan
82
(benefit) dalam sebuah organisasi kemasyarakatan terutama yang berhubungan dengan fungsi-fungsi ekonomi yang dikoordinasikan dari hasil interaksi individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Jika sebuah institusi mempunyai kemampuan interaksi yang dapat mengurangi batasan yang dimilikinya dengan memberikan definisi yang pasti terhadap setiap tata aturan yang dimilikinya akan menghasilkan institusi yang efektif dalam menjalankan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Akan tetapi ha harus tetap diperhatikan bahwa institusi tersebut tidak harus meningkatkan perekonomian dari setiap anggotanya. Akan tetapi institusi lebih pada sifat untuk menjaga stabilitas sosial budaya masyarakat, institusi juga memberikan rasa aman secara formal dan informal terhadap setiap anggotanya. Sebaran responden berdasarkan pengaturan
Persepsi (%)
kelembagaan disajikan pada Gambar 18. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
4.5
11.1
17.8
3.3 30
43.3 53.4
63.3 70 74.4
67.8
46.7 43.3
32.2 10 Aturan sederhana
18.9
7.8
2.2
Aturan Kemudahan manajemen dalam lokal pelaksanaan
Sangat penting
Penting
Sanksi bertahap
Cukup penting
Akuntabilitas Hubungan staf antara sistem
Tidak Penting
Gambar 18. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan Rata-rata tingkat akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal adalah 76,43% dengan kisaran 45 sampai 99%. Sementara itu rata-rata rata tingkat kemudahan dalam melaksanakan aturan adalah sebesar 68,98% dengan kisaran 25 sampai 90%. Rata-rata rata tingkat sangsi bertahap adalah 67,75% dengan kisaran 40 sampai 100%. Tingkat akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna adalah 64,97 97% dengan kisaran 30 sampai 90%. Sedangkan rata-rata tingkat hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan adalah
83
sebesar 63,85% dengan kisaran 30 sampai 80%. Dengan demikian, dalam sistem kelembagaan yang ada di lokasi penelitian, komponen yang paling perlu untuk ditingkatkan adalah tingkat hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan.
Sebaran
responden
berdasarkan
pengaturan
kelembagaan
selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan 1. 2. 3. 4. 5.
Pengaturan kelembagaan Persentase tingkat akses dan aturan manajemen yang dibuat secara lokal Persentase tingkat kemudahan dalam melaksanakan aturan Persentase tingkat sangsi bertahap Persentase tingkat akuntabilitas staf yang melakukan monitoring bagi pengguna Persentase tingkat hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan
Rata-Rata 76,43
SD Minimum Maksimum 11,61 45,00 99,00
68,98
10,59
25,00
90,00
67,75 64,97
10,99 9,97
40,00 30,00
100,00 90,00
63,85
10,53
30,00
80,00
4.6.4. Lingkungan Eksternal Persepsi responden terhadap faktor lingkungan eksternal teknologi menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan penting untuk semua item-nya yakni kebutuhan waktu untuk adaptasi dengan teknologi baru, ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah dan penyelesaian kendala dari penerapan teknologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat umumnya tidak resisten terhadap ketersediaan teknologi dan masyarakat adaptif terhadap teknologi selama bentuk teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, dan ekosistem setempat. Sebaran responden berdasarkan lingkungan eksternal teknologi selengkapnya disajikan pada Gambar 19.
84
Persepsi (%)
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1.1
2.2
20
17.8 34.4
63.3
71.1
58.9
16.7
8.9 Ketersediaan teknologi Sangat penting
Waktu untuk adaptasi Penting
Cukup penting
5.6 Kendala penerapan Tidak Penting
Gambar 19. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Teknologi Rata-rata rata persentase tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah adalah 36,05% dengan kisaran antara 10 hingga 90%. 90 . Sementara itu, ratarata rata waktu yang diperlukan lukan untuk beradaptasi dengan teknologi baru adalah 1, 1,91 bulan dengan kisaran antara 0 hingga 12 bulan. Pada Gambar 20 disajikan persepsi responden terhadap dap indikator lingkungan eksternal negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya kontrol pemerintah terha hadap otoritas lokal, adanya bantuan finansial dan sosial dari pemerintah untuk mengkompensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi serta adanya penyerahan kewenangan dari pemerintah pada tingkat desa yang dinilai penting oleh sebagian besar responden. Peran pemerintah dalam monitoring kelembagaan sudah ada, namun dalam hall kewenangan kelembagaan ditangani di tingkat desa secara sungguh sungguh-sungguh sungguh sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam program pemberdayaan pemberdayaa masyarakat. Sementara itu, adanya sangsi peraturan pemerintah dalam penggunaan lahan disikapi beragam oleh sebagian besar responden mulai dari cukup penting hingga sangat penting. Adanya sebagian masyarakat yang beranggapan peran pemerintah tidak terlalu penting terhadap kewenangan otoritas desa dimungkinkan ketidakinginan terkungkung dalam birokrasi yang rumit.
85
Persepsi (%)
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
0
0
6.6
15.6
21.1 41.1
37.8
67.7
66.7
30 53.3 25.6
Kontrol pemerintah
Sanksi peraturan
Sangat penting
Penting
16.7
12.2
5.6
Bantuan finansial dan sosial Cukup penting
Kewenangan
Tidak Penting
Gambar 20. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Negara Rata-rata persentase tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah adalah 36.05% dengan kisaran antara 10 hingga 90 %. Sementara itu, ratarata waktu yang diperlukan untuk beradaptasi dengan teknologi baru adalah 1.91 bulan dengan kisaran antara 0 hingga 12 bulan. Rata-rata jumlah bantuan pemerintah pada organisasi/kelompok Rp 14.5 juta dengan kisaran antara Rp 500 ribu hingga Rp 50 juta. juta
Analisis deskriptif komponen lingkungan eksternal
selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Analisis Deskriptif Komponen Kom Lingkungan Eskternal 1. 2. 3.
Lingkungan Eksternal Persen tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah (%) Lama waktu beradaptasi dengan teknologi baru (bulan) Jumlah bantuan pemerintah pada organisasi/kelompok (Rp. Rp. juta/Kelompok)
Rata-Rata 36,05
SD 22,84
Minimum 10
Maksimum 90
1,91
2,09
0
12
14,5
16,4
0,5
50
Teknologi sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi kelembagaan dianggap oleh sebagian besar (62,2%) responden adalah cukup besar kendala dan penerapannya. Sementara itu, sebanyak 57,8% responden menyatakan bahwa kontrol pemerintah terha hadap otoritas lokal masih cukup besar. Sedangkan tingkat sanksi terhadap anggota dalam organisasi kelompok oleh sebagian besar (60,0%)
86
responden termasuk tidak sering.
Sebaran responden berdasarkan kendala dan
penerapan teknologi selengkapnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Kendala dan Penerapan Teknologi Lingkungan Eksternal Kendala dan penerapan teknologi Sangat Besar Besar Cukup Besar Tidak Besar Sangat Tidak Besar Kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal Sangat Besar Besar Cukup Besar Tidak Besar Sangat Tidak Besar Tingkat sanksi terhadap anggota dalam organisasi kelompok Sangat Sering Sering Cukup Sering Tidak Sering Sangat Tidak Sering
4.7.
Jumlah (n)
Persentase (%)
9 19 56 5 1
10,0 21,1 62,2 5,6 1,1
0 11 52 22 5
0,0 12,2 57,8 24,4 5,6
0 7 28 54 1
0,0 7,8 31,1 60,0 1,1
Perbandingan Karakteristik Responden antara Lokasi Penelitian Hasil uji beda (Tabel 16) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga dan lama tinggal responden yang signifikan diantara lokasi penelitian. Umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga dan lama tinggal responden di tiap-tiap lokasi penelitian (Bogor, Sukabumi, Lebak) dari responden yang dijadikan sampel hampir tidak berbeda nyata.
87
Tabel 16. Hasil Uji Beda Karakteristik Responden Karakteristik Umur (tahun) Pendidikan Pendapatan (Rp) Jumlah keluarga (orang) Lama tinggal (tahun)
4.8.
Bogor 43,17 0,161 4,47 38,20
Rata-rata F hitung Peluang Lebak Sukabumi 43,73 44,77 0,156 0,856 0,295 0,745 0,176 0,180 0,287 0,751 4,53 4,73 0,230 0,795 40,63 41,83 0,483 0,618
Hubungan antara Karakteristik Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk karakteristik umur, terdapat hubungan yang signifikan antara umur
dengan kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui kebebasan berburu satwa di dalam kawasan taman nasional. Hasil pengujian juga didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Hal ini dimungkinkan terkait dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah yang diperoleh masyarakat sekitar Taman Nasional, sehingga pola pikir yang didapat hanya kepentingan sesaat tidak melihat dampak ke depan atas tindakan yang mereka lakukan. Berdasarkan data tahun 2007 dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak perambahan kawasan untuk daerah Kabupaten Lebak mencapai sekitar 2.585 ha, sementara untuk Kabupaten Bogor mencapai sekitar 1609 ha sedangkan daerah Kabupaten Sukabumi sekitar 3.202 ha. Akibat dari perambahan itu kawasan TNGHS telah mengalami penurunan kualitas dan degradasi hutan sekitar 6,5%. Untuk menanggulangi masalah ini TNGHS melakukan kerjasama dengan Pemerintah kabupaten terkait, dan lembaga terkait lainnya seperti JICA, LSM
88
PEKA dan ABSOLUTE serta CHEVRON dan PT. PLN untuk mengadakan kegiatan restorasi di koridor yang dapat dipandang sebagai langkah awal yang sangat strategis dan mempunyai manfaat seperti dua sisi mata uang yang seimbang yaitu kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu TNGHS juga akan melakukan perekrutan tenaga kerja bagian polisi hutan yang saat ini masih kekurangan sekitar 100 tenaga polisi hutan. Hasil pengujian lain didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang berumur 30 tahun ke bawah cenderung menyetujui pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional, sedangkan yang berumur di atas 30 tahun cenderung tidak menyetujui pengembangan ternak dalam kawasan taman nasional.
Hubungan antara umur dengan sikap masyarakat terhadap taman
nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hubungan antara Umur dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional
1.
Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional Kebebasan berburu satwa di dalam kawasan Taman Nasional
2.
Penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional
3.
Pengembangan ternak di dalam kawasan Taman Nasional
Umur 20-30 31-40 41-50 51-60 61> 20-30 31-40 41-50 51-60 61> 20-30 31-40 41-50 51-60 61>
Indeks Chi-Square Hubungan 0,86 18,522* 0,78 0,71 0,68 0,67 0,71 16,338* 0,67 0,64 0,67 0,67 0,81 15,712* 0,76 0,71 0,68 0,61
Peluang 0,001
0,038
0,047
* = signifikan pada selang kepercayaan 95 % 4.9.
Hubungan antara Pendapatan Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk karakteristik pendapatan masyarakat, hasil pengujian menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendapatan masyarakat dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang
89
berpendapatan Rp 152.847,- ke bawah (kategori miskin) cenderung menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Untuk penguasaan lahan, terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Untuk kasus penyerobotan lahan sebenarnya bukan hanya milik orang-orang miskin saja, banyak kasus penyerobotan lahan di kawasan TNGHS melibatkan orang-orang kaya yang memiliki vila-vila di daerah kawasan tersebut. Hubungan antara pendapatan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hubungan antara Pendapatan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional 1. Penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian 2.
Penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional
Level
Indeks Hubungan
ChiSquare
Peluang
Miskin
0,70
11,262*
0,024
Tidak miskin
0,67
Miskin
0,68
11,990*
0,017
Tidak miskin
0,64
* = signifikan pada selang kepercayaan 95 %
4.10. Hubungan antara Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak Untuk lama kepemilikan lahan yang dikuasai masyarakat, terdapat hubungan yang signifikan antara lama kepemilikan lahan dengan sikap masyarakat terhadap keuntungan yang diberikan taman nasional kepada masyarakat. Masyarakat yang lama kepemilikan lahannya lebih dari 10 tahun cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui terhadap keuntungan yang diberikan taman nasional kepada masyarakat lebih besar dibandingkan yang lama kepemilikan lahannya di bawah 10 tahun.
Hubungan antara lama kepemilikan
lahan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 19.
90
Tabel 19. Hubungan antara Lama Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional 1. Taman Nasional memberikan keuntungan kepada masyarakat
Level
> 10 tahun 5-10 tahun 3-5 tahun 1-3 tahun < 1 tahun * = signifikan pada selang kepercayaan 95 %
Indeks Hubungan 0,96 0,83 1,00 0,67 1,00
ChiSquare 16,130*
Peluang 0,041
Untuk penguasaan lahan, terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan taman nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian lebih kecil dibandingkan yang penguasaan lahannya luas. Hasil pengujian yang lain juga didapat bahwa ada hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan dengan keikutsertaan dalam kegiatan pelestarian kawasan taman nasional. Masyarakat yang penguasaan lahannya sempit cenderung proporsi menyetujui dan tidak menyetujui keikutsertaan dalam kegiatan pelestarian kawasan taman nasional lebih besar dibandingkan yang penguasaan lahannya luas. Hubungan antara luas penguasaan lahan dengan sikap masyarakat terhadap taman nasional selengkapnya disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Hubungan antara Luas Penguasaan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional
1.
2.
Sikap masyarakat terhadap Taman Nasional Penyerobotan lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian Ikut serta dalam kegiatan pelestarian TNGHSS (misalnya penanaman pohon)
* = signifikan pada selang kepercayaan 95 %
Level Sempit Sedang
Indeks Chi-Square Hubungan 0,68 10,390* 0,68
Luas Sempit
0,73 0,98
Sedang Luas
1,00 0,93
8,147*
Peluang 0,034
0,017
91
4.11. Analisis Spasial Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan Wilayah Kelola TNGHS Analisis spasial tata ruang wilayah tiga kabupaten di sekitar TNGHS diuraikan berikut ini. Zonasi TNGHS disajikan pada Gambar 21 dan Tabel 21 Hasil perhitungan luas Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu 113.357 Hektar. Tabel 21. Luas Zona Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menurut TNGHS NO 1 2 3 4 5 6 7
ZONASI TNGHS Budaya Enclave Khusus Pemanfaatan Rehabilitasi Zona Inti Zona Rimba Total
Luas Total (ha) 6,6 6.840,9 16.076,2 833,6 32.025,0 30.015,3 27.559,4 113.357,0
Berdasarkan Perda Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, Kabupaten Bogor dibagi menjadi 18 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Hutan Konservasi 2. Hutan Lindung 3. Hutan Produksi 4. Hutan Produksi Terbatas 5. Kawasan Industri 6. Kawasan Lindung 7. Zona Industri 8. Lahan Basah 9. Lahan Kering 10. Tanaman Tahunan 11. Perkebunan 12. Permukiman Perdesaan 1 13. Permukiman Perdesaan 2 14. Permukiman Perkotaan 1 15. Permukiman Perkotaan 2
92
Gambar 21. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
93
16. Permukiman Perkotaan 3 17. Danau/Setu 18. Waduk Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Bogor dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 3 (tiga) zona tataruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas 35.209,9 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 22 berikut ini. Tabel 22. NO
Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor di dalam Kawasan TNGHS RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS
1 2 3
Hutan Konservasi Hutan Lindung Tanaman Tahunan Total
Luas Total (Ha) 33.814,5 1.322,5 72,9 35.209,9
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2007-2017, Kabupaten Sukabumi dibagi menjadi 12 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Hutan Konservasi 2. Hutan Lindung 3. KB-Hutan Produksi Terbatas 4. KB-Hutan Produksi 5. KB-Hutan Cadangan 6. KB-Enclave 7. KB-Kaw Peruntukan Pertanian Lahan Kering 8. KB-Kaw. Permukiman Perdesaan 9. KB-Kaw. Peruntukan Perkebunan 10. KB-Kaw. Peruntukan Pertanian Lahan Basah 11. KB-Permukiman Perkotaan 12. KB-Tubuh Air Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Sukabumi dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 9 (sembilan) zona tataruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas 29.193,3 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 23.
94
Tabel 23. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi di dalam Kawasan TNGHS NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS Hutan Lindung Enclave Hutan Konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Permukiman Perdesaan Peruntukan Perkebunan Peruntukan Pertanian Lahan Basah Peruntukan Pertanian Lahan Kering Total
Luas Total (Ha) 558,7 784,3 26.171,6 49,5 1.292,1 18,6 115,9 151,7 50,9 29.193,3
Berdasarkan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Lebak dibagi menjadi 13 zona tataruang yaitu sebagai berikut: 1. Taman Nasional 2. Hutan Lindung 3. Daerah Rawan Bencana 4. Daerah Resapan Air 5. Pertanian Lahan Kering dan Peternakan 6. Pertanian Lahan Basah 7. Kawasan Baduy 8. Kawasan Industri 9. Kawasan Pemerintahan 10. Kawasan Pengembangan Perkotaan 11. Kawasan Tambang 12. Kawasan Zona Khusus Militer 13. Waduk/DAM Hasil overlay GIS peta RTRW Kabupaten Lebak dengan peta Kawasan TNGHS dihasilkan sebanyak 5 (lima) zona tata ruang yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional seluas 48.953,8 Hektar dengan rincian diuraikan dalam Tabel 24.
95
Tabel 24. NO 1 2 3 4 5
Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak di dalam Kawasan TNGHS RTRW DALAM LINGKUP KAWASAN TNGHS
Daerah Resapan Air Hutan Lindung Kawasan Tambang Pertanian Lahan Kering dan Peternakan Taman Nasional Total
Luas Total (Ha) 13.331,6 26.249,4 6.445,8 423,5 2.503,6 48.953,8
Berdasarkan uraian di atas, luasan ketidaksesuaian antara zonasi tataruang 3 (tiga) wilayah kabupaten dengan zonasi Kawasan TNGHS dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 23. Wilayah administratif Kabupaten Lebak merupakan wilayah yang terluas yang termasuk dalam lingkup kawasan TNGHS, namun juga merupakan wilayah yang terluas terdapat ketidaksesuaian zonasi antara zonasi tataruang wilayah dengan zonasi Kawasan TNGHS. Luas ketidaksesuaian zonasi di wilayah administratif Kabupaten Lebak adalah seluas 46.450,2 ha atau sekitar 43,30% dari luas Kawasan TNGHS di wilayah administratif Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Luas ketidaksesuaian zonasi di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor masing-masing seluas 1.395,3 ha (1,2%) dan 3.023,7 ha (2,7%).
96
Gambar 22. Peta Potensi Konflik di Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
97
Gambar 23. Grafik Luas Tingkat Kesesuaian Tataruang Wilayah Tiga Kabupaten dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tingkat kesesuaian sistem pengelolaan rencana tataruang di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan sistem pengelolaan Kawasan TNGHS menunjukkan seluas 62.489,7 ha termasuk dalam kategori sesuai dan 50.869,3 ha termasuk dalam kategori tidak sesuai. Lahan yang termasuk ke dalam kategori tidak sesuai yang merupakan sumber konflik tersebar di Kabupaten Bogor seluas 1.395,3 ha, di Kabupaten Sukabumi seluas 3.023,7 Ha, dan di Kabupaten Lebak seluas 46.450,2 ha. Tingkat Kesesuaian Sistem Pengelolaan Rencana Tataruang tiga Wilayah Kabupaten dengan Pengelolaan Kawasan TNGHS selengkapnya disajikan pada Tabel 25. Permasalahan penting yang harus segera diatasi adalah rendahnya aksetabilitas (pengakuan) terhadap eksistensi tata ruang kawasan hutan. Akibatnya perubahan fungsi dan status kawasan hutan menjadi tidak terkendali tumpang tindih pemanfaatan lahan di kawasan hutan, dan terjadi ketidakpastian dalam pengelolaan hutan. Rendahnya pengakuan terhadap eksistensi tata ruang kawasan hutan juga menyebabkan secara faktual kawasan hutan menjadi kurang diakui dan memicu terjadinya akses terbuka (open access) kawasan hutan yang pada gilirannya menyebabkan terjadi bencana alam (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran).
Kurang kuatnya eksistensi tata ruang kawasan hutan juga
mengakibatkan tidak adanya kepastian usaha dan lebih dari itu, juga rawan terhadap konflik antar sektor.
Pada akhirnya rendahnya pengakuan terhadap
eksistensi tata ruang kawasan hutan dapat mengancam kelestarian sumberdaya hutan secara keseluruhan.
98 Tabel 25. Tingkat Kesesuaian Zonasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) No Kabupaten 1 Lebak
Subtotal 2 Bogor
Subtotal 3 Sukabumi
Subtotal Total
Tingkat Kesesuaian Zonasi Luas Total Sesuai Tidak Sesuai (Ha) (Ha) (Ha) Daerah Resapan Air 13.331,6 13.331,6 Hutan Lindung 26.249,4 26.249,4 Kawasan Tambang 6.445,8 6.445,8 Pertanian Lahan Kering dan Peternakan 423,5 423,5 Taman Nasional 2.503,6 2.503,6 2.503,6 46.450,2 48.953,8 Hutan Konservasi 33.814,5 33.814,5 Hutan Lindung 1.322,5 1.322,5 Perkebunan dan Tanaman Tahunan 72,9 72,9 33.814,5 1.395,3 35.209,9 Hutan Lindung 558,7 558,7 Enclave 784,3 784,3 Hutan Konservasi 26.171,6 26.171,6 Hutan Produksi 49,5 49,5 Hutan Produksi Terbatas 1.292,1 1.292,1 Permukiman Perdesaan 18,6 18,6 Peruntukan Perkebunan 115,9 115,9 Peruntukan Pertanian Lahan Basah 151,7 151,7 Peruntukan Pertanian Lahan Kering 50,9 50,9 26.171,6 3.023,7 29.193,3 62.489,7 50.869,3 113.357,0 Zonasi RTRW
Zona Kawasan Lindung pada RTRW Kabupaten Bogor seluas 1.322,5 ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Wilayah yang diperuntukkan sebagai zona perkebunan atau tanaman tahunan seluas 72,9 ha termasuk kategori tidak sesuai dengan zonasi Kawasan TNGHS. Zona yang diperuntukan sebagai Kawasan Budidaya (KB) Hutan Produksi Terbatas merupakan zona terluas pada RTRW Kabupaten Sukabumi yang tidak sesuai dengan zonasi TNGHS, yaitu seluas 1.292,1 ha. Begitu juga dengan wilayah yang telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung pada RTRW Kabupaten Sukabumi seluas 558,7 ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Zona-zona RTRW Kabupaten Sukabumi yang lainnya yang tidak sesuai dengan TNGHS seluruhnya mencapai luas 386,6 ha di luar luas lahan enclave. Bila dilihat dari aspek fungsinya, maka yang sesuai dalam wilayah administratif Kabupaten Lebak seluas 42.084,6 ha (86%), Kabupaten Bogor seluas 35.137 ha (99,8%), dan Kabupaten Sukabumi seluas 26.730,3 ha (91,6%). Sehingga kondisi ideal berdasarkan fungsi adalah bahwa seluruh wilayah taman
99 nasional – dalam RTRWK dimasukkan dalam kawasan lindung dengan status kawasan pelestarian alam (KPA). Kategori kesesuaian zonasi pengelolaan Kawasan TNGHS dengan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak menurut kecamatan disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Kategori Kesesuaian Zonasi Pengelolaan Kawasan TNGHS dengan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak Menurut Kecamatan No
Kabupaten
Kecamatan
1 Lebak
Bayah Cibeber Cijaku Cipanas Muncang Panggarangan Sajira
2 Bogor
Cigombong Cigudeg Cijeruk Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Sukajaya Tamansari Tenjolaya
3 Sukabumi
Cicurug Cidahu Cikidang Cisolok Kabandungan Kalapanunggal Parakansalak Pelabuhanratu
Total
Tingkat Kesesuaian Zonasi (Ha) Sesuai (Ha) Tidak Sesuai (Ha) 31,4 634,1 26.321,9 1.125,6 1.831,4 7.724,0 38,1 8.463,1 2.717,5 66,6 2.503,6 46.450,2 319,3 72,9 278,2 884,8 1.297,2 3.218,8 9.154,9 981,7 6.354,3 10.029,3 340,7 1.091,2 1.186,7 33.814,5 1.395,3 761,4 1.111,6 113,6 2.980,1 1.245,9 10.505,1 1.403,2 8.681,4 900,8 1.231,3 261,0 26.171,6 3.023,7 62.489,7 50.869,3
Luas Total (Ha) 31,4 26.956,0 1.125,6 9.555,5 8.501,2 2.717,5 66,6 48.953,8 392,2 278,2 884,8 1.297,2 3.218,8 10.136,6 6.354,3 10.370,0 1.091,2 1.184,7 35.209,9 761,4 1.225,2 4.226,0 11.908,3 8.681,4 900,8 1.231,3 261,0 29.193,3 113.357,0
Kecamatan Cibeber menunjukkan ketidaksesuaian antara zonasi kawasan TNGHS dengan zona tataruang wilayah Kabupaten Lebak yang terluas, yaitu 26.321,9 ha atau sebesar 97,48% dari luasan total zonasi kawasan TNGHS yang masuk dalam wilayah Kecamatan Cibeber, sementara itu ketidaksesuaian zonasi yang terendah berada di Kecamatan Bayah. Wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor ketidaksesuaian zonasi terluas ditunjukkan pada wilayah Kecamatan
100 Nanggung dengan luas 981,7 ha atau sebesar 1,38% dari luasan total zonasi kawasan TNGHS yang masuk dalam wilayah Kecamatan Nanggung. Sedangkan Wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi ketidaksesuaian zonasi terluas ditunjukkan pada wilayah Kecamatan Cisolok dengan luas 1.403,2,7 ha atau sebesar 11,78% dari luasan total zonasi kawasan TNGHS yang masuk dalam wilayah Kecamatan Cisolok. Kawasan Budidaya (KB) Hutan Produksi Terbatas, KB-Enclave, KBKawasan Peruntukan Pertanian Lahan Basah, KB-Kawasan Peruntukan Pertanian Lahan Kering, KB-Kawasan Peruntukan Perkebunan, KB-Hutan Produksi, dan KB-Kawasan Permukiman Perdesaan merupakan zona tataruang wilayah Kabupaten Sukabumi yang mengalami ketidaksesuaian dengan zonasi Kawasan TNGH. Ketidaksesuaian antara Zonasi Kawasan TNGHS dengan Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi selengkapnya disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) NO A B
Kategori SESUAI TIDAK SESUAI
Total
ZONASI RTRW
ZONASI TNGHS
Hutan Lindung
Zona Rimba Rehabilitasi
Enclave
Zona Rimba Khusus Rehabilitasi Enclave
Hutan Produksi
Zona Rimba Rehabilitasi
Hutan Produksi Terbatas
Zona Rimba Rehabilitasi
Permukiman Perdesaan
Rehabilitasi
Peruntukan Perkebunan
Khusus Rehabilitasi
Peruntukan Pertanian Lahan Basah
Khusus Rehabilitasi
Peruntukan Pertanian Lahan Kering
Rehabilitasi
Luas (ha) 26.169,6 386,8 171,9 558,7 59,2 618,8 1,0 107,3 786,3 27,6 21,9 49,5 1.017,6 272,5 1.292,1 18,6 18,6 24,2 91,7 115,9 6,3 145,4 151,7 50,9 3.023,7 29.193,3
101 Ketidaksesuaian zonasi terluas terdapat pada Zona Rimba pada Kawasan TNGHS dengan Zona Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas pada zona tata ruang wilayah Kabupaten Sukabumi, yaitu seluas 1.017,6 ha. Zonasi Kawasan TNGHS pada kategori tidak sesuai zona tataruang wilayah Kabupaten Lebak selengkapnya disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) NO
Kategori
A SESUAI B TIDAK SESUAI
ZONASI RTRW
ZONASI TNGHS
Daerah Resapan Air
Zona Inti Zona Rimba Khusus Rehabilitasi Budaya Enclave
Hutan Lindung
Zona Inti Zona Rimba Khusus Rehabilitasi Budaya Enclave
Kawasan Tambang
Zona Rimba Khusus Rehabilitasi Enclave
Pertanian Lahan Kering dan Peternakan
Khusus Rehabilitasi
Total
Luas (ha) 2.503,6 251,0 1.835,1 4.341,3 3.567,9 1,9 3.334,4 13.331,6 7.998,1 8.648,7 4.339,4 5.015,4 0,3 247,5 26.249,4
727,0 1.641,2 4.069,5 8,1 6.445,8 263,8 159,7 423,5 46.450,2 48.953,8
Zonasi tataruang wilayah Kabupaten Lebak dan zonasi TNGHS terdapat ketidaksesuaian seluas 46.450,2 ha atau sekitar 94,88% dari luas 48.953,8 ha. Ketidaksesuaian Zona Kawasan Tambang terhadap zonasi TNGHS teridentifikasi seluas 6.445,8 ha.
102 4.12. Konflik Pemanfaatan Lahan Konflik pemanfaatan lahan yang terjadi di kawasan TNGHS sudah berjalan sejak jaman Hindia Belanda yang sampai kini belum dapat diselesaikan dengan baik. Dua permasalahan konflik lahan yang terjadi di TNGHS, yaitu (a) tidak sinkronnya antara sistem zonasi kawasan hutan TNGHS dengan tata ruang Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi; serta (b) kegiatan masyarakat dan perusahaan yang menggunakan lahan untuk kepentingan ekonominya. Belum paduserasinya tata ruang kabupaten dengan zonasi kawasan TNGHS berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan TNGHS. Pemerintah kabupaten dengan kebijakan tata ruangnya menilai bahwa sebagian kawasan hutan TNGHS menjadi kewenangannya sehingga memungkinkan kegiatan pemanfaatan lahan dilakukan sesuai kebijakan tata ruangnya, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dengan zonasi TNGHS sebagai kawasan hutan konservasi. Di beberapa zonasi TNGHS terdapat kegiatan pemanfaatan lahan yang dinilai mengganggu ekosistem TNGHS seperti pertanian lahan kering dan kegiatan pertambangan. Masyarakat merasa bahwa kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan tata ruang kabupatennya, sehingga bersikeras untuk tetap melanjutkan kegiatannya. Di sisi lain, kebijakan tata ruang kabupaten umumnya telah ditetapkan sebelum wilayah TNGHS ditetapkan dan diperluas sebagai taman nasional. Oleh karenanya akar konflik lahan di TNGHS tidak hanya terkait dengan pemanfaatan lahan oleh masyarakat, tetapi konflik yang dipicu oleh ketidaksesuaian kebijakan antara tata ruang kabupaten dengan zonasi kawasan TNGHS. Penunjukkan Gunung Halimun Salak sebagai taman nasional yang dilanjutkan dengan perluasannya dinilai kurang memperhatikan kebijakan tata ruang Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi, sehingga konflik pemanfaatan ruang dan lahan terjadi sampai kini. Akibat dari konflik kebijakan ruang tersebut menyebabkan masyarakat menjadi korban, dimana dari pandangan manajemen TNGHS keberadaannya dinilai ilegal karena berada di kawasan hutan konservasi. Namun, masyarakat merasa bahwa keberadaannya
103 tidak ilegal karena sudah tinggal sejak lama jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional dan merasa memiliki hak untuk tinggal dan mengakses sumberdaya alam yang ada di dalam dan sekitar TNGHS. Sikap masyarakat tersebut secara implisit didukung oleh kebijakan pemerintah kabupaten berdasarkan kebijakan tata ruang yang ditetapkannya. Permasalahan konflik lahan di TNGHS tersebut menjadi kendala bagi pengelola TNGHS dan pemerintah kabupaten. Bagi pengelola TNGHS adanya berbagai aktifitas masyarakat dan pembangunan di kawasan tersebut menjadi kendala besar dalam mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Adapun bagi pemerintah kabupaten menilai bahwa dengan ditetapkannya wilayah yang didiami masyarakat menjadi taman nasional tidak memungkinkan untuk mengalokasikan kegiatan pembangunan daerahnya di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dikelola UPT Pusat (Kementerian Kehutanan) karena akan dinilai melanggar ketentuan perencanaan pembangunan dan sistem anggaran daerah yang tidak memperbolehkan untuk mengalokasikan kegiatan dan anggaran di wilayah kerja yang dibiayai APBN. Akibat dari tidak sinkronnya kebijakan ruang tersebut menyebabkan kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut sangat kecil atau hampir tidak ada karena tidak dapat dianggarkan walaupun kebijakan tata ruangnya masih menunjuk kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Oleh karena itu untuk menyelesaikan konflik lahan di TNGHS perlu dilakukan strategi penyelesaian sebagai berikut : 1) Melakukan proses paduserasi ruang antara Kementerian Kehutanan dengan 3 (tiga) kabupaten di sekitar TNGHS untuk mendapatkan kepastian hukum kawasan dan tata ruang kabupaten yang tidak tumpang tindih sehingga kewenangan masing-masing pihak dapat ditentukan dengan jelas. 2) Mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk mendorong pengembangan potensi taman nasional sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan konservasi.
104 4.13. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan hasil analisis konflik lahan di TNGHS yang menunjukkan bahwa konflik tersebut berasal dari ketidaksesuaian kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan kebijakan zonasi TNGHS, pemanfaatan lahan oleh masyarakat, maka konsep pemberdayaan masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan di TNGHS adalah konsep pemberdayaan secara kolaboratif. Konsep pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif dalam pengelolaan TNGHS dapat dilakukan pada zona-zona yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas dapat dilakukan. Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama (Borrini-Feyerabend et al., 2000). Ciri khas kolaborasi adalah proses-proses saling belajar (sharing), terutama berbagi informasi. Dalam proses mencapai tujuan seringkali dilakukan penyesuaian terus menerus atau adaptif (Carlsson and Berkes 2005). Pembentukan pengelolaan kolaboratif dapat dimulai dari proses-proses kooperasi, kemitraan, dan akhirnya kolaborasi. Untuk mencapai kesetaraan dalam kolaborasi diperlukan waktu yang sangat panjang, dan jika telah tercapai kolaborasi, maka diharapkan tercapai tata kelola mandiri (self governance). Proses kolaborasi dengan masyarakat di TNGHS menjadi alternatif penyelesaian konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat di kawasan TNGHS dengan tujuan bagaimana pola kehidupan masyarakat akan selaras dengan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi. Pola kolaborasi akan efektif apabila penyelesaian konflik kebijakan tata ruang antara Kementerian Kehutanan dengan tiga kabupaten dapat diselesaikan melalui padu serasi secara baik. Oleh karenanya kegiatan kolaborasi sebelum dicapainya padu serasi tata ruang tersebut hanya mungkin dapat dilakukan oleh pengelola TNGHS dengan masyarakat, adapun pemerintah kabupaten karena terkendala dengan aturan penganggaran tidak bisa terlibat secara langsung.
105 Pemberdayaan masyarakat dengan sistem kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Meningkatnya akses dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi; 2) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan pembangunan daerah; 3) Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat; 4) Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan kawasan konservasi. Sementara sasaran pemberdayaan masyarakat yang notabene sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGHS adalah sebagai berikut: 1) Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan; 2) Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang baik; 3) Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu; 4) Adanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki pasar yang jelas (market-based), dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based); 5) Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungan ekonomi; Adapun indikator keberhasilan kegiatan kolaborasi di kawasan konservasi adalah : 1) Apresiasi stakeholders terhadap peraturan perundang-undangan atau aturanaturan konservasi alam; 2) Pemahaman yang sama terhadap visi dan misi pengelolaan;
106 3) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan kawasan; 4) Hilangnya/menurunnya konflik/pengelolaan kawasan; 5) Terpeliharanya/meningkatnya fungsi kawasan. Kegiatan kolaborasi yang mungkin dilakukan di TNGHS adalah: 1) Pengembangan potensi sumberdaya hutan berupa hasil hutan non kayu, sumber genetik dan penunjang budidaya lainnya sepanjang tidak menganggu fungsinya sebagai hutan konservasi; 2) Pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam TNGHS. Pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan keharusan yang menjadi tanggung jawab pengelola hutan itu sendiri yaitu TNGHS, dengan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan, untuk mencapai kondisi yang diharapkan yaitu peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam kerangka pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sisi: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungi/memihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan saling menguntungkan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini perlu diperkuat dan dimasyarakatkan lewat usaha-usaha nyata. Salah satu program aksi implementasi pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi adalah pengembangan kapasitas masyarakat terhadap kegiatan ekowisata (jasa lingkungan). Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata membutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari kalangan LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Masingmasing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu
107 dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Peran-peran tersebut saling menguatkan satu sama lain. Proses ini adalah proses yang berkelanjutan dan tidak dapat terjadi secara instan. Para pihak yang terlibat harus memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat, dan tidak hanya setengah-setengah. Ekowisata merupakan salah satu bentuk perluasan dari pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, lebih mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002). Ekowisata menekankan pentingnya konservasi ekologi tanpa meninggalkan kepentingan sosial ekonomi masyarakat lokal. Selain itu ekowisata dikembangkan
berdasarkan
pada
pengetahuan
lokal,
ekowisata
mampu
menyediakan pendapatan untuk masyarakat lokal, dan mendorong komunitas untuk lebih menghargai kehidupan liar di sekelilingnya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi konservasi. Ekowisata adalah sebuah kesempatan untuk melindungi ekosistem dan keragaman biologi yang mungkin akan hilang. Ekowisata juga membuka jalan bagi pemasukan dana untuk usaha-usaha penelitian. Pemasukan dana yang didapat dari atraksi-atraksi ekowisata dapat diteruskan ke program-program yang menggali lebih dalam pengetahuan tentang ekologi area tersebut, mendukung usaha pengawinan spesies asli, rehabilitasi atau penghutanan kembali, memonitor dampak kedatangan pengunjung untuk memastikan bahwa kunjungan-kunjungan tersebut tidak merusak lingkungan(Conservation International dalam Linsday, 2003). Prinsip-prinsip partisipasi masyarakat lokal, menuju arah pemberdayaan komunitas
adalah
(http://www.lppm.itb.ac.id/organisasi.html?menu_parent=5
2004) : 1.
Menciptakan suasana atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi komunitas dengan mendorong, memotivasi, menyadarkan akan potensi yang dimilikinya untuk berkembang.
2.
Memberdayakan komunitas dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagi informasi, serta peluang pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
108 3.
Memelihara keberlanjutan suasana/ iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen komunitas. Prinsip-prinsip partisipasi tersebut adalah jiwa dalam setiap proses
pemberdayaan masyarakat, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata.
Pemberdayaan dapat dilakukan dalam berbagai
bidang, pengembangan ekowisata merupakan salah satu bidang yang dapat dikembangkan sebagai jalan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini beberapa kondisi lokalitas yang menjadi dasar sebelum ekowisata dipilih sebagai jalan untuk memberdayakan masyarakat (WWF International, 2001): 1.
Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman.
2.
Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan dari wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.
3.
Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada di dalam komunitas lokal.
4.
Keamanan pengunjung terjamin.
5.
Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah ke pelayanan medis dan persediaan air bersih.
6.
Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut. Sedangkan syarat-syarat awal yang harus terdapat di tempat tersebut untuk
pengembangan ekowisata adalah: 1.
Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para spesialis atau bagi pengunjung yang lebih umum.
2.
Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah pengunjung tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.
3.
Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi, serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung.
4.
Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.
5.
Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.
109 6.
Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata, dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata. Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang
berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat ditentukan sesuai dengan faktor pendukung, penghambat dan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pelibatan mereka secara aktif dalam berbagai elemen pelayanan pengunjung. Pelayanan pengunjung yang dimaksud di sini bukan hanya dilihat dari segi kepentingan pengunjung saja tetapi juga dilihat dari kepentingan penduduk. Jika kebutuhan penduduk dan kebutuhan pengunjung dapat dipertemukan sehingga pengelolaan elemen ini memberikan keuntungan dua belah pihak secara seimbang, maka pengembangan ekowisata yang berpihak kepada masyarakat dimungkinkan. Pendampingan dari para pihak dibutuhkan masyarakat sehingga mereka mampu untuk mengelola elemen-elemen ekowisata tersebut. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pengunjung, tetapi juga dalam rangka memberikan akses kepada masyarakat terhadap manfaat yang mungkin mereka dapat dalam pengembangan ekowisata. Pengelolaan elemen-elemen ekowisata oleh masyarakat memungkinkan
masyarakat
untuk
mengembangkan
potensi
sekaligus
mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan program, perencanaan konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus memperhatikan tipologi hutan, tipologi sosial dan tipologi otoritas sehingga dapat ditentukan prioritas strategi yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penetapan prioritas strategi dimaksudkan agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat lebih terfokus dan tepat sasaran, namun bukan berarti mengabaikan strategi yang lain. Strategi kelola kawasan, strategi kelola usaha, dan strategi kelola kelembagaan harus dapat dirumuskan secara terpadu dan menyeluruh di dalam perencanaan program pemberdayaan
masyarakat
(Nurrochmat, 2005).
dengan
memperhatikan
karakteristik
lokal
110 Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dapat diimplementasikan dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Disamping itu kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yang di dalam kawasan tersebut terdapat kegiatan bisnis non-kehutanan, dapat pula diimplementasikan dalam pola-pola kemitraan di bawah “payung” Corporate Sosial Responsibility (CSR) dan Community Development. Perumusan konsep pemberdayaan masyarakat diangkat dari isu konflik lahan yang teridentifikasi di beberapa kawasan menurut kesesuaian ruang wilayah RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan wilayah kelola TNGHS, yaitu: (1) Kabupaten Bogor (Kawasan Lindung, Perkebunan dan Tanaman Tahunan), (2) Kabupaten Sukabumi (Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas, serta lainnya (permukiman, enclave, dan lain-lain), (3) Kabupaten Lebak (Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Tambang). Konsep pemberdayaan masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pola kemitraan dalam rangka meminimalisir terjadinya konflik lahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 29.
111
Tabel 29. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Berpotensi Konflik yang diusulkan di TNGHS No.
Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut RTRW
1
Bogor
Hutan Lindung
Zonasi TNGHS - Zona Rimba
Jenis Pemanfaatan Pemanfaatan Kawasan
- Zona Rehabilitasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Kelembagaan
Perkebunan dan Tanaman Tahunan
Zona Rimba
Pemanfaatan Kawasan Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Kelembagaan
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur; 2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi SDH berbasis komunitas; 3. Kemitraan pengembangan wisata alam. 1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.. 1. Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif 2. Menyediakan ruang kelola dan memberikan kemudahan akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan SDH. 1. Kemitraan pengembangan bibit tanaman kehutanan; 2. Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. 1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan pengembangan wisata alam; 3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. 1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; 2. Menciptakan kondisi terbentuknya kelembagaan usaha produktif masyarakat; 3. Membangun dan memperkuat jejaring kelembagaan masyarakat.
112
No.
Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut RTRW
2
Sukabumi
Hutan Lindung
Zonasi TNGHS - Zona Rimba
Jenis Pemanfaatan Pemanfaatan Kawasan
- Zona Rehabilitasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kelembagaan
Hutan Produksi Terbatas
- Zona Rimba
Pemanfaatan Kawasan
- Zona Rehabilitasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Lainnya (pemukiman, lahan kering / basah, dan lainlain)
- Zona Rehabilitasi - Zona Khusus
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Desa / HKm / Kemitraan
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur; 2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi SDH berbasis komunitas; 3. Kemitraan pengembangan wisata alam rehabilitasi lahan kritis di dalam hutan lindung; 1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Program kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Program kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. 1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa Hutan ; 2. Pendidikan dan pelatihan; 3. Membentuk dan menguatkan “sentra-sentra” pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM; 4. Model lain yang tidak menyalahi ketentuan. 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat; 2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa; 3. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman hias; 4. Kemitraan pengembangan budidaya jamur; 5. Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. 1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan pengembangan wisata alam (ekowisata); 3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1. Wisata Kampung / Desa atau kampung wisata hutan; 2. Usaha desa untuk penyaluran air dan MCK; 3. Kemitraan dengan perusahaan air minum (PAM) dan perusahaan air dalam kemasan; 4. Kemitraan pengusahaan ekowisata.
113
No.
Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut RTRW
Zonasi TNGHS - Zona Rimba - Zona Rehabilitaasi - Zona Khusus - Enclave
Kawasan Tambang
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
Jenis Pemanfaatan Pemanfaatan Kawasan
1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat; 2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa.
Pemanfaatan Jasa Lingkungan
1. 2. 3. 4.
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Perlindungan eks tambang Kelembagaan
Pemanfaatan jasa aliran air; Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan; Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan sekitar areal kegiatan pertambangan.
1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa sekitar kawasan tambang; 2. Pendidikan dan pelatihan konservasi dan pertambangan;
114
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan
hutan konservasi di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya. Salah satu masalah penting dalam Pengelolaan TNGHS adalah konflik lahan yang berkaitan dengan kebijakan tata ruang tiga kabupaten di sekitarnya (Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor). Kondisi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS umumnya tergolong masyarakat yang marjinal secara ekonomi. Dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah, serta sempitnya lahan pertanian yang digarap menyebabkan ketergantungan untuk memperluas lahan di dalam TNGHS cukup tinggi. Namun di sisi lain, unsur-unsur kelembagaan masyarakat terhadap keberadaan TNGHS cukup baik, sehingga dapat dijadikan modal penting dalam membangun kelembagaan yang mendukung kelestarian TNGHS. Hal ini ditunjukkan oleh dipahaminya kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan TNGHS oleh masyarakat serta banyaknya anggota masyarakat yang sudah terlibat aktif dalam kegiatan rehabilitasi lahan di dalam TNGHS. Masyarakat umumnya tidak resisten terhadap ketersediaan teknologi dan masyarakat adaptif terhadap teknologi selama bentuk teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, dan ekosistem setempat. Peran pemerintah dalam monitoring kelembagaan sudah ada, namun dalam hal kewenangan kelembagaan ditangani di tingkat desa secara sungguh-sungguh sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil analisis konflik lahan di TNGHS yang menunjukkan bahwa konflik tersebut berasal dari ketidaksesuaian kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan kebijakan zonasi TNGHS serta pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang telah lama tinggal sebelum kawasan Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai taman nasional,
115 maka konsep pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif menjadi alternatif dalam penyelesaian konflik lahan di kawasan TNGHS. Konsep pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif dalam pengelolaan TNGHS dapat dilakukan pada zona-zona yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas dapat dilakukan. Pengelolaan kolaboratif tersebut dibangun atas kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama di dalam mewujudkan sistem pengelolaan TNGHS berkelanjutan. Konsep pemberdayaan masyarakat terkait penyelesaian konflik lahan difokuskan pada kawasan-kawasan yang tidak sesuai dan berpotensi konflik (dilihat dari aspek kebijakan antara tata ruang).
Dengan demikian, walaupun di dalam
kawasan TNGHS atas dasar kebijakan tata ruang masih terjadi konflik, tetapi tidak boleh merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS, sehingga konsep pemberdayaan masyarakat dinilai menjadi alternatif penyelesaian konflik lahan yang terjadi di kawasan TNGHS. 7.2.
Saran
1) Proses paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor dengan zonasi TNGHS perlu dilakukan secara intensif, sehingga alokasi ruang yang ditetapkan dengan RTRWK yang belum sesuai dengan rencana zonasi Pengelolaan TNGHS secara legal dapat diselesaikan. Tercapainya paduserasi tersebut akan memberikan jaminan hukum bagi para pihak untuk melakukan aktifitas sosial ekonominya di dalam dan sekitar TNGHS; 2) Selama proses paduserasi dilakukan, program pemberdayaan masyarakat harus tetap dilaksanakan, sehingga konflik kebijakan ruang antara RTRWK dengan batas kawasan TNGHS tidak merugikan kehidupan masyarakat yang selama ini telah tinggal jauh sebelum kawasan hutan Gunung Halimun Salak ditetapkan
sebagai
taman
nasional.
Pemberdayaan
masyarakat
direkomendasikan sebagai solusi untuk mengurangi konflik sumberdaya lahan
116 di TNGHS. Konsep pemberdayaan masyarakat yang disarankan adalah dalam bentuk kolaborasi berupa pengembangan potensi sumberdaya hutan sepanjang tidak menganggu fungsinya sebagai kawasan hutan konservasi, dimana peran pemerintah daerah dan pengelola TNGHS selaku fasilitator kegiatan pemberdayaan sangat dibutuhkan.
117
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Susenal Panel Maret 1006. BPS. Jakarta. Agrawal, A. 1999a. Greener Pastures : politics, markets and community aming a migrant pastoral people. Duke University Press. Durham, ND Ascher, W., and R. Healy. 1990. Natural resources policy making in developing countries : Environtment, economic growth and income distribution. Duke University Press. Durham, NC. Azhar, R. 1993. Commons, regulation and rent-seeking behaviour. The dilemma of Pakistan’s Guzara forest. Economic development and cultural change 42(1) :115128. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2006. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah). Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Baland, J., and J. Platteau. 1996. Halting degradation of natural resources : is there a role for rural communities ? Clarendon Press. Oxford, Eng. Barzel, Y. 1991. Economic analysis of property right. Cambridge University Press. Sydney. Basuni, S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Binswanger, Hans.P., and V.W. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Black, J.A., and D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Refika Aditama. Bandung. Chambers, R. 1994. The origins and practice participatory rural appraisal. World Development 22: 953-969. Champion, D. 1999. Basic Statistic for Sosial Research. Macmillan Publishing Co, Inc. Chusak, W. 1996. Local institutions in common property resources: case study community based management watershed management in Northern Thailand, Phd Thesis, UMI Dissertation, Cambridge. Conservation Finance Specialist, NRM Program Handayani D., U.N, R.Soelistijadi dan Sunardi. 2005.Pemanfaatan Analisis Spasial untuk Pengolahan Data Spasial Sistem Informasi Geografi Studi Kasus : Kabupaten Pemalang. Jurnal Teknologi Informasi Dinamik Volume X, No.2 Mei 2005 : 108116 DPR [Dewan Perwakilan Rakyat]. 2011. Komisi IV DPR Minta Konflik TNGHS Dituntaskan.Http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi4/2011/apr /28/2731/ komisi-ivdpr-minta-konflik-tnghs-dituntaskan. Effendi, E. 1998. Peranan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Dalam Mendukung Pengelolaan Taman Nasional. Fernandes, W.M.G., and P. Viegas. 1988. Forests, Environtment and Tribal Economy. Indian Sosial Institute. New Delhi.
118 Fructher, B. 1954. Introduction to Factor Analysis. New York-Toronto: D. Van Nostrand Company Inc. Godet, M. 2004. Skenarios and Strategies a Toolbox for Problem Solving. Paris, France. Gunawan, S. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Gunawan, W. 2003. Persepsi dan Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sirnasari terhadap Pelestarian Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hardin, G. 1982. Collective action. John Hopkins University Press. Baltimore, MD. Hartono, 2008. Taman Nasional Mandiri : Telaah Singkat Kemungkinan Pembentukannya. Makalah Reuni Akbar dan Seminar Lustrum IX 2008 di Fakultas Kehutanan UGM pada tanggal 6-8 Nopember 2008 di Yogyakarta. Heller, A. 1994. Beyond-Justice. Brazil Blackwell. New York. Horton, P.B., and C.L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraw-Hill Book Company. Sidney, Tokyo. Huntington, S.P. 1965. Political Development and Politic Decay. World Politics 17 (3). Ife, J. 1995. Community Development. Creating Community Alternatives-Vision, Analisys and Practice. Longman Australia Pty. Ltd. Melbourne. Japan International Cooperation Agency. 2006. Laporan JICA Tahun 2006, Bogor. Jessup, T.C., and N.L. Peluso. 1986. Minor forest products as common property resources in East Kalimantan, Indonesia. Pp.501-531 in National Research Council, Proceeding of the Conference on Common Property Resource Mangement. National Academy Press. Washington, DC. Jodha, N.S. 1986. Common property resources and rural poor in dry regions of India. Economic and Political Weekly 21(27) : 1169-1182. Juhadi. 2010. Analisis Spasial Tipologi Pemanfaatan Lahan Pertanian Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) Di DAS Serang Bagian Hulu, Kulon Progo, Yogyakarta. Jurnal Geografi Volume 7 No. 1 Januari 2010. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. 1985. Strategi Konservasi Alam Indonesia dan Strategi Konservasi Alam Sedunia, Kantor Menteri KLH, Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Bappenas. Jakarta. Kerlinger, F.N.1993. Asas-Asas Penelitian Behavioral. (Edisi Ketiga. Alih Bahasa Landung R. Simatupang). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kieffer, C. 1981. Citizen Empowerment: A Development Perspective. Human Service, No. 3 Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Libecap, G. 1989. Distributional Issues in Contracting for Property Rights. Journal of Institutional and Theoritical Economics 145 : 6-24. Linsday, Heather 2003, ‘Ecotourism: the Promise and Perils of Environmentally-Oriented Travel’
119 MacKinnon, J.K., G.C. MacKinnon, and T. Thorsell. 1993. Managing of Protected Areas in the Tropics. Hari Harsono Amir, penerjemah : Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Dearah Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Marwell, G., and P. Oliver. 1993. The critical mass in collective action : A micro-Sosial theory. Cambridge University Press. Cambridge Eng. McKean, M. 1992b. Success on the Commons : A comparative Examination of Institutions for Common Property Resource Management. Journal of Theoritical Politics 4(3) : 247-281. Menteri Negara Kependidikan dan Lingkungan Hidup. 1986. Penelitian Pengembangan Wilayah Penyangga Kawasan Hutan Konservasi. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-Sumber Kehutanan. Mitchell, D.G. ed. 1968. A Dictionary of Sociology. Routledge and Kegan Paul, London. Narayan, D. 2002. Empowerman and Property : A Source Book. World Bank.Washington D.C. North, D.C. 1993. Prize Lecture: Lecture to the memory of Alfred Nobel. December 9 1993. (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html., 27 April 2005). Nugraheni, Endang 2002. Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun). Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurrochmat, D.R., 2005. Strategi Pengelolaan Hutan: Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Oakerson, R.J. 1992. Analysing the Commons: a framework in W. Bromley (ed.), Making the Commons Work, Institute for Contemporary Studies, San Francisco, California: 4159. Olson, M. 1965. The logic of collective action : public goods and the theory of groups. Harvard University Press. Cambridge, MA. Ostrom, E. 1990. Self-Governance of Common-Pool resources. W97-2. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. IndianaUniversity, Bloomington. Parsons, T.R.M., Takahasi, and B. Hargrave. 1994. Biological Oceanography Processes Perdamon Press, Oxford-New York-Toronto-Sidney-Paris. Payne, M. 1991. Modern Sosial Work Theory. Macmillan Press Ltd. London. Peluso, N.L. 1992. Rich Forests, Poor People. University of California Press. Berkeley. Priyono, O.S., and A.V.W. Pranaka. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta. Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work : Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press. Princeton, NJ. Putnam, R.D. 2000. Bowling alone : The Collpase and Revival of American Community. Simon & Schuster. New York. Rangan, H. 1997. Property vs control. The State and Forest Management in the Indian Himalaya. Development and Change 2891 : 71-94.
120 Rangarajan, M. 1996. Fencing Forest : Conservation and Ecological Change in India’s Central Provinces, 1860-1914. Oxford University Press. New Delhi. Rappaport, J. 1984. Therms of Empowerman : Toward a Theory For Community Psychology, No. 15, 1987. Robbins, L. 2005 Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change.(http://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/events/200 4/ 20031222t0946z001.htm., Diakses 27 April 2005). Rose, L.E. 1990. Nordic Free-Commune Experiments: Increased Local Autonomy or Continued Central Control in D.S.King and J.Pierre (eds) Challenges to Local Government. Sage. London. Runge, C.F. 1984. Institutions and the Free Rider. The Assurance Problem in Collective Action. Journal of Politics 46 : 154-181. Sahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Santosa, I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. [tesis] Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sayogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Gramedia. Jakarta. Sekretariat Pembinaan PPK. 2004. 2004. Program Pengembangan Kecamatan Fase Kedua Laporan Tahunan ke III 2004. Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD). Jakarta. Simanjuntak, S. 2003. Respon Masyarakat terhadap Perubahan Kelembagaan dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (Studi Kasus pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Kapupaten Sanggau, Kalimantan Barat. [tesis] Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sivaramakrishnan, K. 1999. Modern Forest: Statemaking and environtmental Change in Colonial Eastern India. Stanford University Press. Stanford CA. Skaria, A. 1999. Hybrid Histories : Forest, Frontier and Wildness in Western India. Oxford University Press. New Delhi. Soemardjan dan Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sulistyowati, L. 2003. Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Gugus Kepualauan (Studi Kasus Kelurahan Pulau Kelapa dan Kelurahan Pulau Harapan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu). Sumardja, E.A. 2002. Pemanfaatan Sumber Hayati secara Berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Aktivitas Penelitian Program Konservasi Keanekaragaman Hayati. Kerjasama antara Pusat Penelitian Biologi LIPI, BCP-JICA dan Direktorat Jendral PHKA-Departemen Kehutanan di Bogor tanggal 26-27 Juni 2002. Suryanto. 2007. Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai Untuk Pengembangan Kawasan Permukiman (Studi Kasus Das Beringin Kota Semarang). Tesis Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan.
121 Sutoro, E. 2002. Pemberdayaan Kaum Marginal. APMD Press, Yogyakarta. Swift, M.J., and P.A. Levin. 1987. Tropical Soil Biology and Fertility (TSBF) : Inter Regionall Research Planning Workshop. Biology international. Special Issue 9. 24 pp Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. dalam Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta. Uphoff, N.T. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. New York. Wade, E. 1988, 1994. Village Republic : Economic Conditions for Collective Action in South India. ICS Press. San Francisco, CA. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institur Pertanian Bogor. Bogor. Wulan, Y.C., Y.Yasmi, C.Purba, dan E.Wollenberg. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Cifor (Centre for International Forestry Research). Bogor. WWF International 2001, Guidelines For Community-Based Ecotourism Development. Yunus, H. S. 2008. “Konsep Dan Pendekatan Geografi: Memaknai Hakekat Keilmuannya”. Makalah Seminar dan Sarasehan: Substansi dan Kompetensi Geografi 18 dan 19 Januari 2008 Di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
122
LAMPIRAN
123 Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHA HAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN LIMUN SALAK (Studi Kasus Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) 200 2006
© 2006. WINDRA KURNIAWAN Kuesioner Penelitian (DISERTASI) Sekolah Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor (IPB) Dosen Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. 2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS. 3. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. Perkenankan kami mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini sebagai ba bahan untuk melakukan penelitian tian dalam rangka menyelesaikan studi (S3) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Nama : Windra Kurniawan NIM : P.062034281 Judul Penelitian : Strategi Pemberdayaan Masyarakat pada Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. 2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS. 3. Dr. r. Ir. Sambas Basuni, MS. Kami haturkan turkan terima kasih atas bantuan Bapak/Ibu/Sdr memberikan jawaban dengan baik terhadap daftar pertanyaan ini.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PENELITIAN KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LA LAHAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Studi Kasus Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) Tanggal Wawancara Lokasi Pewawancara No. Responden
:................................ ........................................................ : ....................................................... ................................ : ....................................................... ................................ : ....................................................... ................................
I.
Karakteristik Responden
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Responden Desa/Kelurahan Umur Jenis kelamin Jumlah keluarga Pekerjaan pokok
: : : : : :
.……………………………………………………(bisa tdk diisi) ……………………………………………………. .………… Tahun Laki-laki Laki / Perempuan …………. Orang .…………………………………………………...
124 7. Pendidikan
: a. SD dan SLTP b. SLTA c. Diploma/Sarjana
8.
Berapa Penghasilan keluarga (Bapak/ib) rata-rata per bulan ? Rp. ……………..
9.
Lama tinggal di daerah sekarang : ……………….tahun
10. Status Tempat Tinggal : a. Milik Sediri b. Sewa/kontrak c. Menumpang 11. Sudah berapa lama Bapak/Ibu/Saudara memiliki lahan tersebut ? a. Lebih dari 10 tahun b. >5 – 10 tahun c. > 3 – 5 tahun d. 1 – 3 tahun e. Kurang dari 1 tahun f. Tepatnya ..........tahun 12. Luas Penguasaan Lahan : a. Sempit (< 0,25 ha)
b. Sedang (0,25-0,5 ha)
13. Frekuensi ke kawasan hutan (TGHS) : a. Sering (minimal 2 x sebulan) b. Jarang (< 2 x sebulan)
c. Luas (> 0,5 ha) c. Tidak pernah
14. Kegiatan yang dilakukan di TNGH : a. Mengambil hasil hutan b. Rekreasi memandu wisata c. Melintas ke kampung lain d. Membetulkan salurtan irigasi e. Tidak pernah 15. Kesadaran tentang kegiatannya di TNGH : a. Menyadari dampak akibat kegiatannya b. Belum menyadari dampak akibat kegiatannya 16. Kegiatan yang pernah dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendukung pelestarian SDH TNGHS : a. Mengikuti kegiatan penghijauan di sekitar /luar TNGH b. Mengikuti penyuluhan/ sarasehan tentang TNGHS c. Menyebarluaskan informasi keberadaan TNGHS dan aturan-aturannya serta mengajak masyarakat untuk turut serta melestarikan hutan TNGHS d. Mengikuti kegiatan penataan batas TNGHS/PA e. Tidak pernah 17. Bentuk pengelolaan TNGHS yang diinginkan masyarakat : a. Melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya b. Tidak perlu melibatkan masyarakat sekitar c. Tidak tahu II. Sikap Responden Terhadap Taman Nasional 1.
Masyarakat diperbolehkan mengambil kayu bakar dengan bebas dari dalam kawasan Taman Nasional. a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
2.
Masyarakat diperbolehkan mengambil/memanfaatkan buah-buahan, pakis, bambu, dari dalam kawasan Taman Nasional. a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
3.
Masyarakat dapat dengan bebas berburu satwa di dalam kawasan Taman Nasional
125 a.
Setuju
b. Tidak setuju
c. Tidak peduli
4.
Masyarakat dapat menggunakan/menyerobot lahan yang berada dalam kawasan Taman Nasional untuk digunakan sebagai lahan pertanian a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
5.
Masyarakat melakukan penebangan pohon yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
6.
Masyarakat menggembalakan ternaknya di dalam kawasan Taman Nasional a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
7.
Masyarakat ikut dalam kegiatan pelestarian TNGHSS (misalnya penanaman pohon) a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
8.
Berkembangnya kegiatan wisata di Taman Nasional a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
9.
Pengunjung melakukan kegiatan yang merusak TNGHSS (misalnya membuang sampah sembarangan, vandalisme, berburu) a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli
10. Taman Nasional adalah hutan milik negara yang memberikan keuntungan kepada masyarakat a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak peduli III. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Sumberdaya Hutan yang Dimanfaatkan
Jumlah (per bulan)
Intensitas Pemanfaatan (kali/bulan)
Kayu bakar Bambu Puspa Bahan Emas Rumput Rasamala Aren Terubuk Burung Babi Hutan Kerasiulang
IV. Analisis Kelembagaan IV.1. Karakteristik system sumberdaya 1. Berapa Luas lahan yang anda gunakan untuk bekerja ?………………… 2. Bagaimana status Kepemilikan sumberdaya/ Lahan yang anda pakai ? a. Milik sendiri b .Sewa c .Milik negara d. Lain-lain 3. Berapa kali setahun anda mengolah lahan? ………x setahun 4. Berapa persen perubahan penggunaan lahan yang anda gunakan?………%
126 IV.2. Karakteristik kelembagaan 1. Berapa jumlah anggota dalam organisasi/kelompok yang anda ikuti?……orang 2. Bagaimana peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok anda? a. Sangat Baik b .Baik c .Cukup Baik d. Tidak Baik e. Sangat Tidak Baik 3. Bagaimana batasan peraturan yang digunakan dalam organisasi/kelompok anda? a. Sangat Baik b .Baik c .Cukup Baik d. Tidak Baik e. Sangat Tidak Baik 4. Berapa banyak prestasi yang diperoleh organisasi/kelompok yang anda ikuti? 5. Bagaimana pola kepemimpinan dalam organisasi/ kelompok anda? a. Sangat Baik b .Baik c .Cukup Baik d. Tidak Baik e. Sangat Tidak Baik 6. Bagaimana tingkat ketergantungan antara anggota organisasi/ kelompok anda? a. Sangat Tinggi b .Tinggi c .Cukup Tinggi d. Tidak Tinggi e. Sangat Tidak Tinggi 7. Bagaimana kesamaan kepentingan anggota dalam organisasi/ kelompok anda? a. Sangat Sering b .Sering c .Cukup Sering d. Tidak Sering e. Sangat Tidak Sering 8. Bagaimana kemampuan mendapatkan pembiayaan dari organisasi/ kelompok anda? a. Sangat Baik b .Baik c .Cukup Baik d. Tidak Baik e. Sangat Tidak Baik 9. Berapa pendapatan rata-rata anggota organisasi/kelompok?Rp……………….. IV.1&2. Hubungan antara Karakteristik system sumberdaya dan karakteristik kelembagaan 1. Bagaimana tingkat ketergantungan antara anggota grup pada system sumberdaya? a. Sangat Tinggi b .Tinggi c .Cukup Tinggi d. Tidak Tinggi e. Sangat Tidak Tinggi 2. Bagaimana tingkat keadilan dalam alokasi manfaat sumberdaya?
127 a. Sangat Adil b .Adil c .Cukup Adil d. Tidak Adil e. Sangat Tidak Adil 3. Bagaimana Sikap dan tingkat permintaan anggota? a. Sangat Tinggi b .Tinggi c .Cukup Tinggi d. Tidak Tinggi e. Sangat Tidak Tinggi 4. Bagaimana perubahaan sikap dan perilaku terhadap tingkat penggunaan lahan? a. Sangat Tinggi b .Tinggi c .Cukup Tinggi d. Tidak Tinggi e. Sangat Tidak Tinggi IV.3. Sistem kelembagaan 1. Berapa persen tingkat kespakatan/komitmen bersama dalam pembuatan aturan?………………..persen 2. Berapa persen tingkat penyesuaian terhadap aturan secara bertahap terhadap anggota?………………..persen 3. Berapa persen tingkat tata cara menyelesaikan perselisihan?……..persen 4. Berapa persen tingkat kemempuan pengawasan bagi penggunaan sumberdaya?………………..persen 5. Berapa persen tingkat hubungan antara system sumberdaya dan pengaturan kelembagaan?………………..persen IV.4. Lingkungan Eksternal 1. Berapa persen tingkat ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah?………………..persen 2. Berapa lama waktu untuk beradaptasi dengan teknologi baru? ………hari/ minggu/ bulan 3. Bagaimana kendala dari penerapan teknologi? a. Sangat Besar b .Besar c .Cukup Besar d. Tidak Besar e. Sangat Tidak Besar
4. Bagaimana kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal? a. Sangat Besar b .Besar c .Cukup Besar d. Tidak Besar e. Sangat Tidak Besar
5. Bagaimana tingkat sanksi kepada anggota dalam organisasi/ kelompok anda? a. Sangat Sering b .Sering c .Cukup Sering d. Tidak Sering e. Sangat Tidak Sering
6. Berapa jumlah bantuan pemerintah pada organisasi/kelompok anda? Rp………………..
128 V.Persepsi Responden Terhadap Kelembagaan
SP P CP TP STP
= = = = =
Sangat Penting Penting Cukup Penting Tidak Penting Sangat Tidak Penting
Berilah tanda pada jawaban yang anda pilih Indikator
SP 5
P 4
Karakteristik sistem sumberdaya 1 Ukuran Sumberdaya/ Lahan 5 4 2 Kepemilikan sumberdaya/ Lahan 5 4 3 Intensitas Pengolahan lahan 5 4 Karakteristik kelembagaan 1 Banyaknya keanggotaan organisasi/kelompok 5 4 2 Adanya Peraturan organisasi/kelompok 5 4 3 Adanya batasan peraturan organisasi/ kelompok 5 4 4 Prestasi masa lalu dari organisasi/kelompok 5 4 5 Pola kepemimpinan dalam organisasi/ kelompok 5 4 6 Saling ketergantungan antara anggota organisasi/ kelompok 5 4 7 Kesamaan kepentingan organisasi/ kelompok 5 4 8 Kemampuan mendapatkan pembiayaan dalam melakukan kegiatan bersama 5 4 9 Pendapatan anggota yang memadai 5 4 Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelembagaan 1 Tingkat ketergantungan anggota grup pada sisitem sumberdaya 5 4 2 Keadilan dalam alokasi manfaat sumberdaya 5 4 3 Tingkat permintaan anggota 5 4 4 Perubahan sikap dan perilaku terhadap penggunaan lahan 5 4 Sistem kelembagaan 1 Adanya kesepakatan, komitmen bersama dalam pembuatan aturan 5 4 2 Penyesuaian terhadap aturan dengan bertahap terhadap anggota 5 4 3 Adanya tata cara penyelesaian perselisihan 5 4 4 Kemampuan pengawasan bagi pengguna sumberdaya 5 4 5 Hubungan antara sistem sumberdaya dan pengaturan kelembagaan 5 4 Lingkungan eksternal Teknologi 1 Ketersediaan teknologi tepat guna berbiaya rendah 5 4 2 Kebutuhan waktu untuk adaptasi dengan teknologi baru 5 4 3 Penyelesaian kendala dari penerapan teknologi 5 4 Negara 1 Adanya kontrol pemerintah terhadap otoritas lokal 5 4 2 Adanya sangsi peraturan pemerintah dalam penggunaan lahan 5 4 3 Adanya bantuan finansial dan sosial dari pemerintah mengkonpensasi pengguna lokal untuk aktivitas konservasi 5 4 4 Adanya penyerahan kewenangan dari pemerintah pada tingkat desa 5 4
CP TP STP 3 2 1 3 3 3
2 2 2
1 1 1
3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1
3 3
2 2
1 1
3 3 3 3
2 2 2 2
1 1 1 1
3 3 3 3
2 2 2 2
1 1 1 1
3
2
1
3 3 3
2 2 2
1 1 1
3 3
2 2
1 1
3
2
1
3
2
1
129 Lampiran 2. Peta Wilayah Administrasi di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak
130
Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor
131
Lampiran 4. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi
132
Lampiran 5. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lebak
133
Lampiran 6. Peta RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak di Dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
134
Lampiran 7. Peta Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS
135
Lampiran 8. Peta Kesesuaian Tata Ruang Wilayah Kabupaten dengan Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak