MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK
SUDHIANI PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 5 Maret 2008
Sudhiani Pratiwi NIM P 062050011
ABSTRACT SUDHIANI PRATIWI, 2007. Ecotourism Institutional Development Model for Conflict Resolution in Gunung Halimun-Salak National Park. Supervised by HADI S. ALIKODRA as a Principal Advisor, SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI and HARIADI KARTODIHARDJO as Co-Advisor. The establishment process of Gunung Halimun-Salak National Park resulted in tenurial insecurity for local people, farmers, and hunters. This condition leads to the open conflict between locals and the government. The aims of this study are 1) to identify the sources and the types of conflict as well as the factors that influence the conflict; 2) to analyze the conflict from institutional aspect, and 3) to evaluate the existing ecotourism development, its performance in implementing the ideal criteria of ecotourism concept and its implication to the existing conflict. Using a qualitative study research method, this study employs two conceptual approach. They are institutionalist tenure security and ecotourism concepts. Three main analytical methods that used to achieve the aims of this study are: 1) conflict analysis; 2) institutional analysis (consist of stakeholder’s analysis, policy analysis, and need analysis); and 3) performance analysis of the existing ecotourism development. The results of the study indicated that rights and access have been the main sources of conflict. Rights, access, or both have caused the same type of conflict, open conflict. From institutional aspect, it can be identified that the conflict rises due to the establishment process of the national park. It does not base on collective perception of the stakeholders. The existing institution could not resolve the conflict because the stakeholders have failed to reach a decision on what kind of property regime they should agree on. Moreover, implementation process of the existing policies does not provide sufficient mechanism for Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak to get support from the stakeholders due to lack of knowledge on related policies, resources, and administrative matters. It is proved empirically that ecotourism has the role in resolving conflict on access by providing job opportunity and additional income for the locals. Furthermore, as an operational concept of sustainable development, ecotourism has become one the ways for national park to achieve their conservation program. In addition, through the development process of ecotourism, stakeholders could build constructive communication and collaboration. Hence, it is also proved empirically that ecotourism can be used as a media for conflict resolution. Unfortunately, this role could not be achieved properly because the ecotourism development in the case study does not fulfill the ideal criteria of ecotourism concept. To improve the implication of ecotourism development on the conflict of access, the existing condition of institution should be enhanced. This study recommend 1) to increase the role and the capacity of stakeholders and 2) to reconstruct and establish the rule of game as well as the division of rights and responsibilities among the stakeholders to manage the natural resources. ___________________ Keywords: institution, ecotourism, conflict, and national park
RINGKASAN SUDHIANI PRATIWI. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA sebagai ketua, SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI dan HARIADI KARTODIHARDJO sebagai anggota. Penetapan kawasan konservasi merupakan salah satu langkah pemerintah dalam menangani persoalan degradasi keanekaragaman hayati. Dari luas kawasan konservasi sebesar 28.2 juta Ha yang terdapat di Indonesia, 58% diantaranya ialah taman nasional. Dalam pelaksanaannya, proses penetapan dan pengelolaan kawasan taman nasional ini menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Untuk merespon persoalan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan analisis konflik terhadap proses penetapan taman nasional dengan mengidentifikasi penyebab dan tipe konflik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk mendapat pemahaman lebih lanjut, dilakukan analisis terhadap penyebab konflik ditinjau dari aspek institusi. Selain itu, sebagai salah satu konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, penelitian ini juga melakukan identifikasi dan analisis mengenai implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik yang ada. Ada dua konsep pendekatan yang digunakan. Pertama, konsep Institutionalist Tenure Security yang digunakan sebagai pendekatan dalam analisis institusi. Konsep ini merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran (school of thought) yang biasa digunakan untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat. Kedua, konsep ekowisata digunakan untuk mengidentifikasi kriteria kecukupan pengembangan ekowisata yang ada dan implikasinya terhadap konflik. Kriteria yang digunakan mengacu pada konsep ekowisata yang sudah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya termasuk definisi ekowisata yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (sekarang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia) pada tahun 2004. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan memfokuskan pada sebuah studi kasus. Lokasi penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Untuk pengambilan data, empat lokasi dipilih yaitu Desa Cisarua dan Desa Malasari di Kabupaten Bogor, Desa Sirnarasa di Kabupaten Sukabumi, dan Desa Citorek di Kabupaten Lebak. Baik data primer maupun sekunder digunakan dalam analisis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan observasi untuk verifikasi data dan informasi yang diperoleh dari data sekunder. Kedua, melakukan survei dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner. Responden dipilih dengan menggunakan metode snowball. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan non-propability sampling design yaitu convenience dan purposive sampling. Convinience sampling digunakan karena populasi dokumen yang terkait dengan penelitian tidak dapat diidentifikasi. Sedangkan purposive sampling design digunakan untuk menemukan dokumen yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis pemetaan konflik, analisis institusi (terdiri dari analisis stakeholders, analisis kebijakan dan analisis kebutuhan) dan
analisis kriteria kecukupan ekowisata. Ada empat tes validitas data untuk menguji keakuratan data yang dikumpulkan. Keempat tes validitas tersebut ialah face validity, triangulasi, feedback, dan rich data. Hasil Analisis menunjukan bahwa ada empat penyebab konflik di lokasi studi yaitu perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas serta konflik ketidakpastian akses. Penyebab konflik tersebut mengindikasikan bahwa konflik di lokasi studi adalah persoalan hak dan akses. Berdasarkan pengamatan di empat lokasi studi, konflik hak, akses atau keduanya menimbulkan tipe konflik yang sama yaitu konflik terbuka. Hal ini disebabkan karena baik persoalan hak maupun akses mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Dari aspek institusi, hasil analisis mengindikasikan bahwa penunjukan kawasan TNGHS tidak ditentukan oleh persepsi kolektif sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik disebabkan oleh kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rejim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, proses implementasi peraturan perundangan yang ada tidak memungkinkan Balai TNGHS untuk mendapat dukungan dari para pihak. Hal ini disebabkan diantaranya karena kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumberdaya serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi. Secara empiris, ekowisata dapat berperan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik ketidakpastian akses. Hal ini dapat diidentifikasi dari adanya dampak positif pengembangan ekowisata terhadap perekonomian lokal melalui peningkatan pendapatan dan diversifikasi lapangan pekerjaan. Dalam proses pengembangannya, ekowisata dapat menjadi salah satu media untuk membangun komunikasi dan hubungan antar stakeholders yang konstruktif. Selain itu, ekowisata juga berperan dalam menjembatani kebutuhan para pihak yang berkonflik. Misalnya, kebutuhan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan kegiatan konservasi bagi BTNGHS. Namun, peran ini belum optimal karena konsep ekowisata yang digunakan di lokasi studi belum memenuhi kriteria kecukupan ekowisata yang ideal. Agar pengembangan ekowisata di lokasi studi dapat berkontribusi terhadap konflik yang ada, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan seperti yang diindikasikan pada analisis. Untuk itu, dalam disertasi ini dibangun suatu model pengembangan institusi ekowisata yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya. Salah satu langkah yang perlu dilakukan ialah perubahan atau perbaikan terhadap institusi yang ada. Dari aspek institusi, dua faktor yang perlu diperbaiki. Pertama, peran dan kapasitas stakeholder. Kedua, perubahan dalam aturan main mengenai pengaturan ruang serta representasi dalam hal pembagian hak dan kewenangan. _____________________ Kata kunci: institusi, ekowisata, konflik, dan taman nasional
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK
SUDHIANI PRATIWI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Sudi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji luar Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Penguji luar Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. I Gde Pitana, MSc 2. Dr. Ir. Moch. Ikhwanuddin Mawardi, MSc
Judul Disertasi : Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Nama : Sudhiani Pratiwi NRP : P 062050011 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Dr.Ir. Soehartini Sekartjakrarini, MSc Anggota
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Dekan Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodipuro, MS
PRAKATA Seperti meniti jalan menuju Cibedug dan Leuwijamang yang terjal dan berlumpur, proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak hanya menuntut penguasaan ilmu tapi juga kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Alhamdulillah atas perkenanNYA proses tersebut dapat terselesaikan juga. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada: •
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS., Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, MSc., dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan komitmennya dalam memberikan arahan, kritik, dan saran;
•
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS beserta staf pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberikan pendampingan selama masa studi;
•
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS sebagai penguji luar prelim dan ujian tertutup yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan;
•
Prof. Dr. I Gde Pitana, MSc dan Dr. Ir. Moch. Ikhwanuddin Mawardi, MSc selaku penguji luar sidang terbuka yang telah memberikan kritik dan saran;
•
Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana-BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa;
•
Para narasumber dari BTNGH, JICA, RMI, LATIN, ABSOLUT, YEH, Pemda (Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak) dan masyarakat di lokasi studi yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membantu terlaksananya survai lapangan, wawancara dan telaah pustaka. Osi, Pak Dedi (YEH), dan Pak Darso yang mendampingi selama masa-masa sulit di lapangan; dan
•
Keluarga besar Sukarno di Bandung dan Mamih di Malang serta yang terkasih (mas Hari, Imun dan Hana) atas dukungan dan pengertiannya yang tiada batas.
Disertasi ini didedikasikan kepada mereka yang hidup dan karyanya telah memberikan inspirasi bagi orang lain untuk hidup dan berbuat lebih baik.
Bogor, 5 Maret 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 28 Oktober 1968 dari ayah Drs. H. Sukarno dan ibu H. Rochana, BA. Menikah dengan Ir. Harijanto Suwarno dan memiliki buah hati Halimun Purnama Kasih dan Raihana Nadia Kasih. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1992 di Jurusan Planologi, Intitut Teknologi Indonesia dengan meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan terbaik. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 2000 di Department of Park, Recreation and Tourism Resources Management, College of Agriculture and Natural Resources, Michigan State University, USA dengan beasiswa Fresh S1 dari pemerintah Indonesia. Pada tahun 2005, penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengikuti program Doktor (S3) pada Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB. Sejak tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Bappenas dan ditempatkan di Direktorat Pengendalian SDA dan Lingkungan Hidup, Kedeputian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sebelumnya pernah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengkajian Strategi Pembangunan, Departemen Pekerjaan Umum (1991-1995) dan konsultan perencana di World Wildlife Fund for NatureIndonesia Program /WWF-IP (1995-1996) serta PT. Gubah Laras (1990-1991). Beberapa organisasi profesi yang sedang/pernah diikuti diantaranya Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia sebagai pengurus (2003-sekarang), Ecotourism Society-USA sebagai anggota (1999-2000), dan American Planning Association sebagai anggota (1998-1999). Beberapa artikel telah diterbitkan dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika dan Jurnal Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota “JENDELA KOTA”. Artikel
lain
berjudul
Analisis
Ekowisata
dan
Analisis
Stakeholders
Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun akan diterbitkan Jurnal Forum Pasca, IPB dan Jurnal Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Pakuan pada tahun 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Bogor, 5 Maret 2008 Sudhiani Pratiwi NIM P 062050011
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
i iv vii viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Kerangka Pemikiran 1.3 Perumusan Masalah 1.4 Tujuan Penelitian 1.5 Kebaruan (Novelty) 1.6 Manfaat Penelitian
1 4 6 12 13 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional 2.1.1 Sejarah Konservasi 2.1.2 Tata Nilai yang Mempengaruhi Konservasi 2.1.3 Definisi Konservasi 2.1.4 Konsep Kawasan Konservasi di Indonesia 2.1.5 Konsep Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 2.1.6 Institusi Pengelolaan Taman Nasional 2.2 Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 2.2.1 Definisi Konflik 2.2.2 Tipe atau Jenis-jenis Konflik 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik 2.2.4 Tahapan Konflik 2.2.5 Metode Penanganan Konflik 2.2.6 Metode Analisis Konflik 2.2.7 Konflik Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional 2.3 Institusi: Definisi, Fungsi, dan Konsep 2.3.1 Definisi Institusi 2.3.2 Fungsi dan Tujuan Institusi 2.3.3 Kinerja Institusi 2.3.4 Pengembangan, Penguatan dan Perubahan Institusi 2.3.5 Konsep Institutionalist Tenure Security 2.4 Ekowisata 2.4.1 Sejarah Perkembangan Ekowisata 2.4.2 Definisi dan Konsep Ekowisata 2.4.3 Kriteria Kecukupan Ekowisata 2.4.4 Hasil Penelitian Mengenai Ekowisata 2.5 Teori 2.5.1 Teori Konflik 2.5.2 Teori Institusi 2.5.3 Teori Akses
i
14 14 15 16 17 19 20 21 21 22 23 24 26 27
30 31 31 32 34 37 39 43 47 49 51 53
ii
2.5.4 Teori Partisipasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Rancangan Penelitian 3.2.1 Paradigma Penelitian 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.3 Validitas Data 3.2.4 Metode Analisis 3.2.4.1 Analisis Konflik 3.2.4.2 Analisis Institusi 3.2.4.3 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak, Luas dan Batas Administratif 4.2 Aksesibilitas 4.3 Status, Penggunaan Lahan dan Sistem Tenurial 4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGH 4.5 Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat 4.6 Kelembagaan BTNGH dan Lokal 4.7 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Konflik di Lokasi Studi 5.1.1 Penyebab Konflik 5.1.2 Faktor-faktor Penyebab Konflik 5.1.3 Tipe Konflik 5.1.4 Penanganan Konflik 5.2 Analisis Institusi Penetapan TNGH 5.2.1 Analisis Stakeholder 5.2.2 Analisis Kebijakan 5.2.3 Analisis Kebutuhan 5.2.4 Implikasi Eksisting Institusi Terhadap Konflik 5.3 Analisis Ekowisata 5.3.1 Kondisi Eksisting Pengembangan Ekowisata 5.3.2 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata 5.3.3 Analisis Institusi Pengembangan Ekowisata 5.3.3.1 Analisis Stakeholder Ekowisata 5.3.3.2 Analisis Kebijakan Ekowisata 5.3.3.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan Ekowisata 5.3.4 Implikasi Pengembangan Ekowisata Terhadap Konflik BAB VI MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA 6.1 Peningkatan Peran Stakeholders 6.2 Peningkatan Kapasitas Stakeholder 6.3 Pengaturan Ruang dan Kewenangan
53
55 58 58 59 69 72 72 73 82
89 89 91 95 98 99 102
105 113 116 118 122 140 150 160 164 170 187 187 189 197 205
209 215 217
iii
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
227 228
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
230 248
DAFTAR TABEL Halaman
1 Karakteristik perbedaan konsep penguasaan atas SDA
29
2 Lokasi studi
57
3 Jadwal penelitian
57
4 Jumlah responden dalam penelitian
61
5 Reliabilitas data dalam content analysis
65
6 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R-R1
67
7 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R-R2
68
8 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R1-R2
68
9 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R-R1
68
10 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R-R2
69
11 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R1-R2
69
12 Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi
90
13 Aksesibilitas untuk mencapai lokasi studi
92
14 Enclave di TNGH
93
15 Status dan penggunaan lahan di lokasi studi
93
16 Sistem tenurial di lokasi studi
95
17 Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi
96
18 Tingkat pendidikan di lokasi studi
97
19 Jenis mata pencaharian penduduk
97
20 Karakteristik budaya masyarakat di lokasi studi
100
21 Kelembagaan lokal
101
22 Sejarah perubahan status dan pengelola kawasan TNGH
103
23 Penyebab konflik menurut dokumen dan responden (%)
106
24 Karakteristik gangguan di setiap resort TNGH tahun 2002
112
25 Penyebab konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
116
26 Pembinaan daerah penyangga TNGH
119
27 Karakteristik konflik di lokasi studi
123
28 Stakeholder utama penetapan TNGH di lokasi studi
125
29 Stakeholder kunci penetapan TNGH
132
iv
v
30 Stakeholder pendukung di lokasi studi
138
31 Hubungan keterkaitan antar stakeholders
141
32 Distribusi peran stakeholder dalam pengurusan hutan
142
33 Analisis peran stakeholders dalam penetapan taman nasional (normatif)
145
34 Analisis peran stakeholders dalam penetapan taman nasional (implementasi)
149
35 Hasil analisis asumsi kebijakan penetapan TNGH
151
36 Analisis kebutuhan penyelesaian konflik penetapan TNGH
161
37 Fasilitas ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun
169
38 Jumlah dan kategori pengunjung 1998-2002
170
39 Tujuan wisatawan ke TNGH tahun 1997-2000
170
40 Rata-rata kunjungan dan tujuan wisatawan ke lokasi studi
171
41 Definisi ekowisata
173
42 Tujuan ekowisata
174
43 Persentase pembagian hasil KSM
176
44 Karakteristik partisipasi masyarakat
177
45 Level partisipasi
178
46 Produk wisata
179
47 Dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal
181
48 Rata-rata pendapatan dari ekowisata
183
49 Hubungan stakeholders dalam pengembangan ekowisata
190
50 Jumlah peraturan perundangan yang terkait dengan ekowisata
191
51 Jumlah peraturan perundangan yang mengatur kriteria kecukupan ekowisata
191
52 Distribusi dan jumlah peran stakeholder dalam pengembangan ekowisata
192
53 Distribusi dan jumlah peran stakeholders dalam kriteria kecukupan ekowisata
192
54 Peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata (normatif)
194
55 Peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata di TNGH (implementasi)
195
vi
56 Analisis asumsi peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata di TNGH
196
57 Analisis kebutuhan stakeholder utama dalam pengembangan ekowisata
202
58 Analisis kebutuhan stakeholder kunci dalam pengembangan ekowisata
206
59 Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik di TNGH
208
60 Model peningkatan peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata
216
61 Model peningkatan kapasitas stakeholder dalam ekowisata
218
62 Konsep pembagian ruang berdasarkan peraturan perundangan versus masyarakat kasepuhan
220
63 Model pengaturan ruang di lokasi studi
223
64 Model pembagian kewenangan dalam setiap kategori ruang
226
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Latar belakang
5
2 Kerangka pemikiran
7
3 Perumusan masalah
11
4 Latar belakang perkembangan konsep ekowisata
40
5 Letak geografis dan administratif TNGH
56
6 Metode penelitian
88
7 Pemetaan konflik
120
8 Penutupan hutan TNGH di kawasan Lebak tahun 1989-2004
154
9 Penggunaan lahan di dalam kawasan TNGH, Kabupaten Lebak 2004
155
10 Konsep pengembangan model institusi ekowisata
208
11 Konsep pengembangan kebutuhan ruang untuk ekowisata
219
12 Konsep pembagian ekowisata
224
kewenangan
vii
dalam
pengembangan
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Observasi dan pengambilan data lapangan
248
2 Daftar dokumen untuk data sekunder
250
3 Daftar peraturan perundangan dan kebijakan terkait
257
4 Daftar dokumen untuk analisis ekowisata
260
5 Analisis kebijakan proses penetapan taman nasional
264
6 Analisis penilaian kriteria kecukupan ekowisata di TNGH
265
7 Sejarah pengelolaan di TNGH dan lokasi studi
273
8 Sejarah pengembangan ekowisata di TNGH
283
9 Analisis stakeholder dalam pengembangan ekowisata
289
viii
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia, dengan luas 1,3% dari luas total daratan dunia, menduduki peringkat ke -2 dalam sepuluh negara yang memiliki keragaman hayati1 yang tinggi,
atau
disebut
sebagai
negara
megadiversity
(Primack
1998).
Keanekaragaman hayati (KH) ini tersebar pada 90 tipe ekosistem darat dan bahari yang dimiliki Indonesia (Bappenas 2003). Sebagian besar dari ekosistem ini adalah ekosistem hutan (Mardiastuti 2004; Hardjasoemantri 1993). Permasalahan yang dihadapi KH dan ekosistem hutan di Indonesia saat ini ialah kerusakan dan penyusutan sumberdaya tersebut. Degradasi KH dan ekosistem hutan saat ini sudah menjadi isu global. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit ) di Rio de Janeiro tahun 1992, para pemimpin dunia menyetujui sebuah strategi yang komprehensif bagi pembangunan berkelanjutan. Konvensi internasional yang dihasilkan pasca KTT Bumi ini diantaranya ialah Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH). Salah satu kewajiban dalam KKH (pasal 8) bagi negara-negara anggotanya ialah untuk menyusun strategi, rencana atau program konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Salah satu bentuk kegiatan konservasi yang dimaksud dalam KKH ialah konservasi in situ, yaitu konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi spesies-spesies dalam lingkungan alaminya. Taman nasional2 merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi untuk kegiatan konservasi in situ3 ini. Dari luas kawasan konservasi sebesar 28,167 juta ha yang terdapat di Indonesia, 58% diantaranya ialah taman nasional (Dephut 2005). Landasan kebijakan pengelolaan sekitar 50 taman nasional di Indonesia diantaranya adalah UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, 1 Keanekaragaman Hayati adalah ”keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem (Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNCBD). 2 Taman Nasional adalah “kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi” (UU No. 5/1990 Pasal 1). 3 Bentuk kegiatan konservasi in situ: cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman nasional, taman hutan raya, dan taman buru (Mardiastuti 2004).
2
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam pelaksanaannya, banyak proses penetapan kawasan taman nasional ini menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini ditimbulkan diantaranya karena adanya gap antara kebijakan normatif dan kondisi empiris di lapangan. Gap ini diantaranya berupa perbedaan kepentingan dan tata nilai (Mardiastuti 2004; Wulan et al. 2004; dan Lynch dan Harwell 2002). Salah satu sumber konflik adalah tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8). Pemerintah, disatu sisi, membuat kebijakan dengan tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun menggunakan pendekatan ekonomi dan sistem pasar4 sebagai dasar. Sumberdaya alam dilihat sebagai aset ekonomi (Malik et al. 2003; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Di sisi lain, masyarakat membangun aturan main berdasarkan kesepakatan sosial dimana hubungan masyarakat dan sumberdaya bersifat sosial, kultural, spiritual, ekonomi dan politik (Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Perbedaan pandangan atau persepsi5 dalam menetapkan aturan main tersebut berimplikasi pada timbulnya konflik lain dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya bentuk kelembagaan. Dalam masyarakat Indonesia, dengan kultur budaya dan kondisi geografis yang sangat beragam, tumbuh kelembagaan adat dan kearifan tradisional6 sebagai aturan main yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat setempat (Bappenas 2003; KLH 2001). Dalam kehidupan bernegara sayangnya institusi lokal seperti ini tidak diberdayakan. Untuk kemudahan birokrasi, pemerintah membuat penyeragaman. Selain ditentukan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat, institusi ini menjadi 4 Konsep ekonomi dan sistem pasar merubah sistem penguasaan dan akses pada SDA dari milik bersama (common sense) menjadi milik negara (state property) atau milik pribadi (private property). Posisi sumberdaya alam menjadi komoditas (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:187). 5 Perception “is an awareness of environment through physical sensation” atau sebuah bentuk kesadaran terhadap lingkungan yang diwujudkan melalui sensasi fisik (The Merriam Webster Dictionary, Woolf et al. 1976). 6 Kearifan tradisional ialah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006:175).
3
satu-satunya sumber yang harus dirujuk (Lynch dan Harwell 2002). Karena pembentukan institusi baru ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat lokal maka timbulah konflik sebagai bentuk penolakan masyarakat disatu sisi dan sebagai bentuk supremasi dan dominasi pemerintah disisi lainnya. Untuk
merespon
persoalan
tersebut,
penelitian
ini
mencoba
mengidentifikasi sumber penyebab dan tipe konflik yang ada dalam proses penetapan
taman
nasional
serta
menganalisisnya
dengan
menggunakan
pendekatan institusi. Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya ialah siapa saja yang mempunyai hak dan kewenangan dalam proses penetapan taman nasional? Bagaimana hak dan kewenangan ini diatur dalam
kebijakan
normatif?
Bagaimana
hak
dan
kewenangan
ini
diimplementasikan di lokasi studi? dan apa implikasinya terhadap konflik yang ada? Setelah jenis konflik dan sumbernya teridentifikasi, langkah selanjutnya yang ingin dijawab dalam penelitian ini ialah bagaimana konflik tersebut diatasi. Dalam bentuk program atau kegiatan konservasi banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut. Mengembangkan kegiatan ekowisata merupakan salah satunya. Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam
pelaksanaannya,
kegiatan
ekowisata
harus
mempertimbangkan daya dukung lingkungan (environmentally acceptable); melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya (socially and culturally acceptable); mempromosikan pendidikan lingkungan (environmental education); serta memberikan manfaat ekonomi bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Wall 1998; Sekartjakrarini 2003). Jadi secara konseptual, ekowisata merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Persoalannya sekarang, apakah ekowisata yang dikembangkan saat ini sudah memberikan kontribusi terhadap konflik pengelolaan taman nasional yang ada? Agrawal dan Redford (2006) melakukan identifikasi terhadap 12 (duabelas) penelitian empiris mengenai ekowisata di negara berkembang, termasuk
4
Indonesia. Mereka mengidentifikasi peran ekowisata dalam isu konservasi dan kemiskinan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penelitian ekowisata lebih banyak terfokus pada program ekowisata tapi tidak pada pengaruhnya terhadap kondisi nyata di lapangan. Dari 12 penelitian empiris, hanya 4 penelitian mengindikasikan adanya pengaruh ekowisata terhadap isu konservasi dan kemiskinan. Dari keempat studi ini, dua studi menunjukan pengaruh yang terbatas sedangkan dua studi lainnya menunjukan pengaruh yang nyata. Ekowisata berperan setidaknya terhadap empat indikator konservasi, yaitu: pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumberdaya. Sedangkan untuk isu kemiskinan, kontribusi ekowisata diantaranya peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah yang bekerja, perbaikan infrastruktur, dan partisipasi lokal. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai pengaruh institusi terhadap konflik penetapan taman nasional sangat diperlukan. Selanjutnya, sebagai salah satu pendekatan operasional dari pembangunan berkelanjutan, penelitian mengenai pengaruh pengembangan ekowisata terhadap kondisi empiris di lapangan sangat dibutuhkan. Secara ringkas latar belakang ini disajikan pada Gambar 1.
1.2. Kerangka Pemikiran Langkah pertama yang dilakukan untuk memahami konflik penetapan taman nasional adalah melakukan analisis konflik. Analisis ini merupakan proses identifikasi karakteristik konflik yang meliputi sumber penyebab dan tipe konflik serta langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk menanganinya. Selanjutnya, dilakukan analisis institusi untuk mengidentifikasi sumber konflik dari aspek institusi. Analisis ini meliputi identifikasi para pihak yang terkait, analisis kebutuhannya dan analisis kebijakan yang mengikat dan mengatur relasi antar para pihak tersebut. Untuk menganalisis institusi akan digunakan pendekatan Institutionalist Tenure7 Security8 (ITS). Pendekatan ini dipilih karena 7 Tenure adalah suatu aksi atau fakta mengenai kepemilikan atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi (diterjemahkan dari Ellsworth 2002:5); adalah hubungan sosial (hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan antar rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:64); adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228). Dalam aliran resorce tenure, properti dibagi kedalam empat kategori umum kepemilikan yaitu kepemilikan privat, komunal, open access dan kepemilikan publik atau negara (FAO 2002 dalam Afiff 2005).
5
persoalan utama terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal di taman nasional ialah kondisi ketidakamanan hak dan akses9 atas sumberdaya alam (tenurial insecurity). Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat membantu memahami bagaimana seharusnya suatu institusi dapat menjamin keamanan hubungan atau relasi sosial antar para pihak dalam pemanfaatan SDA di taman nasional.
Degradasi Keanekaragaman Hayati Penetapan Kawasan Konservasi 58% Taman Nasional
Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional
Kebijakan Pemerintah
Kebutuhan Masyarakat GAP KONFLIK
Bagaimana Konflik Ditinjau Dari Aspek Institusi?
Bagaimana Implikasi Pengembangan Ekowisata terhadap Konflik?
Gambar 1 Latar belakang
Sebagai
bentuk
operasional
konsep
pembangunan
pariwisata
berkelanjutan, ekowisata banyak digunakan sebagai salah satu konsep pengelolaan di kawasan konservasi yang dapat menyatukan tujuan konservasi dan tujuan pembangunan ekonomi lokal (Furze et al. 1997; Ceballos-Lascurain 1996; Stewart dan Sekartjakrarini 1994; Wigth 1993; Boo 1990). Namun, agar dapat disebut sebagai ekowisata suatu kegiatan harus memenuhi beberapa kriteria.
8 Berkembang sejak 50 tahun yang lalu, konsep ini merupakan salah satu dari 4 aliran tenure security (Property Rights, Agrarian Structure Traditions, Common Property Advocates, dan Institutionalist Tenure Security). Aliran ini berpendapat bahwa jenis kepemilikan yang terbaik, efisien dan ideal ditentukan oleh kondisi relasi kelompok, budaya dan sumberdaya (Affif 2005). 9 Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu sedangkan property adalah hak untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (Ribot dan Peluso 2003).
6
Di Indonesia, kriteria kecukupan ekowisata sudah ditetapkan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2004 (Sekartjakrarini dan Legoh 2004) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001). Dengan merujuk pada kedua dokumen tersebut, prinsip-prinsip universal pariwisata yang berkelanjutan (dituangkan dalam Quebec Declaration on Ecotourism pada tahun 2002) dan telaah literatur terkait, studi ini menggunakan lima kriteria kecukupan ekowisata. Kelima kriteria tersebut yaitu: (a) tujuan ekowisata untuk pemanfaatan dan perlindungan kawasan; (b) keterlibatan aktif masyarakat lokal; (c) dampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal; (d) produk wisata yang mengandung unsur pendidikan lingkungan; dan (e) memberikan dampak lingkungan yang minimal . Dalam penelitian ini, ada dua tahap analisis ekowisata. Pertama ialah analisis institusi ekowisata. Tujuan dari analisis institusi ekowisata ialah untuk mengidentifikasi para pihak yang terkait dengan pengembangan ekowisata, analisis kebutuhannya serta analisis kebijakan yang mengikat dan mengatur relasi antar para pihak tersebut. Tahap selanjutnya ialah analisis kriteria kecukupan ekowisata. Tujuan dari analisis ini ialah untuk mengidentifikasi apakah konsep pengembangan ekowisata di lokasi studi sudah menggunakan konsep ekowisata yang ideal atau tidak. Hasil dari penelitian ini ialah tersusunnya model institusi ekowisata yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lokasi studi. Kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, ada tiga analisis pokok yang dilakukan dalam studi ini yaitu analisis konflik, analisis institusi (pengurusan hutan dan ekowisata), dan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Untuk melakukan analisis konflik digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Malik et al (2003). Berdasarkan pendekatan ini, ada 5 faktor yang mempengaruhi konflik yang digunakan dalam penelitian ini. Kelima faktor tersebut yaitu:
Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Konsep Ekowisata Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata
Kebijakan Pemerintah
Penetapan Taman Nasional
GAP
Analisis Konflik
Penyebab Konflik
Analisis Institusi Penetapan TN
Implikasi pengembangan ekowisata terhadap Konflik
Analisis Ekowisata
Kebutuhan Masyarakat
Model Pengembangan Institusi Ekowisata
Analisis Institusi Ekowisata Konsep Institutionalist Tenure Security
Feedback
Gambar 2 Kerangka pemikiran
7
8
a. hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi10, budaya (tingkah laku), dan cara berkomunikasi; b. masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya fisik, dan waktu); tata cara (sikap); dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan); c. perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi, dan menyajikan data; d. pemaksaan nilai11 dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut; dan e. masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. Faktor lain yang mempengaruhi masalah struktural ialah faktor geografis, sejarah, dan waktu. Konsep Institutionalist Tenure Security digunakan sebagai pendekatan dalam analisis institusi. Konsep ini merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran (school of thought) yang digunakan oleh para akademisi untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat.
Menurut konsep ini,
status kepemilikan sumberdaya dipandang sebagai interaksi/hubungan sosial antara 3 aktor seperti aktor yang memiliki berbagai bentuk hak, aktor yang dilarang untuk melanggar hak tersebut, dan aktor yang menjamin hak serta melarang pelanggaran (Affif 2005). Faktor –faktor yang mempengaruhi relasi ketiga aktor ini diantaranya (Affif 2005; Elssworth 2004): a. faktor sejarah kekuasaan: untuk mengetahui perubahan status kawasan dalam konteks jenis kepemilikan (property right), peran dan fungsi aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan SDA; b. faktor demografi12: untuk melihat cakupan area dimana institusi yang dibangun akan memberikan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung; 10 Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (Woolf et al. 1976). 11 Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya (Malik et al. 2003:150); atau merupakan suatu kepercayaan terhadap realitas alam semesta (Capra 2000); penilaian atau perkiraan (rate), ukuran (measured), jumlah numerik yang terukur secara kuantitatif (a numerical quantity measured), ukuran kualitas yang membuat sesuatu menjadi diinginkan (the quality that renders something desirable), penghargaan atau respect (wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses 17 Desember 2005 06:47 AM).
9
c. faktor budaya13 : untuk mengetahui sejauh mana unsur–unsur budaya mempengaruhi proses pembentukan institusi pengelolaan SDA yang ada; d. faktor sistem nilai14: untuk mengidentifikasi perbedaan cara pandang para pihak menilai suatu SDA; e. faktor organisasi15 yang ada di masyarakat: ada dua jenis organisasi yang ada di masyarakat yaitu organisasi formal dan informal. Menurut Vink (1999 dalam Sumarga 2006), organisasi merupakan pelaksana aturan main dalam institusi; dan f. faktor rejim hukum yang berlaku: institusi formal yang mengatur hubungan antar para pihak di masyarakat. Dari rejim hukum ini dapat diketahui siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005). Kepastian hukum tenurial bagi aliran ini ditentukan oleh kemampuan memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakan atau mempertahankan klaim. Kekuasaan politik dan distribusi sumberdaya juga jauh lebih penting diperhatikan daripada jenis kepemilikan karena dari dua faktor tersebut dapat ditentukan siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005). Ada tiga sub-analisis yang akan dilakukan untuk melakukan analisis institusi. Ketiga sub-analisis tersebut ialah analisis stakeholders, analisis kebutuhan, dan analisis kebijakan. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005). Analisis kebutuhan diperlukan untuk mengeksplorasi tentang kondisi saat ini dan tentang bagaimana kondisi seharusnya atau kondisi yang diharapkan (Rouda dan Kusy 1995). Sedangkan analisis kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi aturan main dan
distribusi
peran
antar
stakeholder
baik
secara
normatif
maupun
implementasinya. Dalam analisis kebijakan digunakan pendekatan analisis 12
Demografi ialah ilmu kependudukan atau ilmu yang memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk (Depdiknas 2005: 249). 13 Budaya atau adat istiadat ialah 1)pikiran; akal budi; hasil; 2) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang; 3) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (Depdiknas 2005:169). Tujuh unsur budaya: religi, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem matapencaharian, sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat 1992). 14 Sistem ialah 1)perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; 2)susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dsb (Depdiknas 2005:1076); Nilai ialah sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusian. Sedangkan Nilai dalam kebudayaan ialah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia (Depdiknas 2005:783); Sistem nilai adalah konsepsi mengenai apa yang bernilai menurut masyarakat (Koentjaraningrat 1992). 15 Organisasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen, dimana manusia merupakan elemen terpenting, yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu (Winardi 2003); struktur dan peran yang dipahami dan diterima baik secara formal maupun informal (Uphoff 1986 dalam Uphoff 1997).
10
asumsi,
menurut
Dunn
(2003)
gap
antara
kebijakan
normatif
dan
implementasinya dapat merupakan sumber konflik yang terdapat dalam kebijakan-kebijakan yang terkait. Ekowisata merupakan konsep operasional dari pendekatan pariwisata yang berkelanjutan16. Berkaitan dengan isu konflik dalam penetapan dan pengelolaan taman nasional, pengembangan ekowisata dipandang sebagai salah satu bagian dari institusi pengelolaan taman nasional. Karena itu, proses analisis institusi ekowisata sama dengan tahapan analisis institusi pengurusan hutan dengan tiga sub analisis yang juga sama. Untuk mengidentifikasi implikasi eksisting institusi ekowisata terhadap konflik yang ada maka perlu diketahui kinerja institusi tersebut. Untuk mengetahui kinerja institusi ekowisata ini dilakukan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Kriteria kecukupan ekowisata yang digunakan dalam studi ini mengacu pada definisi ekowisata yang digunakan yaitu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan. Definisi ini merupakan intisari dari konsep-konsep ekowisata yang ada dalam literatur (pembahasan lebih mendalam disajikan pada Sub-bab 2.4.2. Berdasarkan definisi ekowisata tersebut, ada lima kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kecukupan ekowisata. Kelima kriteria ini adalah (1) ekowisata bertujuan pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan atau dikenal dengan istilah konservasi; (2) melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal; (3) produk ekowisata yang mengandung pendidikan dan pembelajaran; (4) dampak lingkungan yang minimal; dan (5) kontribusi yang positif terhadap ekonomi lokal. Kerangka perumusan masalah dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Gambar 3.
16 Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah suatu jenis pembangunan yang menghubungkan wisatawan dan penyedia jasa pariwisata dengan tujuan melindungi sumberdaya melalui kampanye perlindungan sumberdaya serta memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas lokal (Gartner 1996 dan McIntyre 1993).
11 Konsep Pendekatan
Faktor-faktor
Konsep Pendekatan
Faktor-faktor
Pengolahan Data dan Analisis
Hasil
Sejarah Pengelolaan
Analisis Institusi TN
Hubungan antar Manusia
Demografi
Budaya
Stakeholder Analysis
Analisis Kebutuhan
Sistem Nilai Kepentingan
Penetapan Taman Nasional
Analisis Konflik
Perbedaan Data
Analisis Institusi Ekowisata
Organisasi
Kebijakan
Karakteritik Konflik
Analisis Asumsi Implikasi Ekowisata terhadap Konflik
Model Pengembangan Institusi Ekowisata
Sistem Nilai Tujuan Ekowisata Struktural
Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata
Partisipasi Masyarakat Produk Ekowisata Dampak LH
Gambar 3 Perumusan masalah Ekonomi Lokal
Feedback 11
12
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan ialah: •
Apa sumber penyebab dan tipe konflik yang ada di lokasi studi dan faktor apa yang mempengaruhi konflik tersebut?
•
Bagaimana peran institusi yang ada dalam proses penetapan TNGH dan pengembangan ekowisata? Siapa saja yang mempunyai hak dan kewenangan? Bagaimana hak dan kewenangan ini diatur dalam peraturan perundangan yang ada? Bagaimana hak dan kewenangan ini diimplementasikan di lokasi studi? dan apa implikasinya terhadap konflik yang ada?
•
Apakah kegiatan ekowisata yang ada dikembangkan sesuai dengan konsep ekowisata yang ideal? Kriteria ideal ekowisata apa saja yang dipenuhi? Apa implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik yang ada?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. mengidentifikasi penyebab dan tipe konflik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; b. menganalisis konflik dari aspek institusi dengan menggunakan pendekatan Institutionalist Tenure Security. c. mengevaluasi pengembangan ekowisata yang ada, dari aspek institusi dan pemenuhan kriteria kecukupannya serta implikasinya terhadap konflik. Hasil dari penelitian ini ialah tersusunnya suatu model institusi ekowisata yang ideal dan dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik.
1.5. Novelty Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) yaitu: fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama, fokus penelitian ini ialah mengenai implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan konservasi (taman nasional). Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Ecotourism (2002-2006), Journal of Conflict Resolution (2002-2006),
13
penelusuran online pada website Science Direct17 serta perpustakaan IPB, belum ada penelitian mengenai ekowisata dalam konteks pengaruh dan kontribusinya terhadap konflik sumberdaya alam. Selain itu, penelitian dengan dengan menggabungkan konsep Institutionalist Tenure Security dan ekowisata juga baru dilakukan oleh penelitian ini. Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu memahami fenomena sosial.
1.6. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, para pihak yang terlibat di lokasi studi, dan masyarakat pada umumnya. Manfaat bagi ilmu pengetahuan dari penelitian ini diantaranya merupakan
pengembangan
studi-studi
mengenai
penyelesaia
konflik,
pengembangan ekowisata, dan pengembangan institusi pengelolaan sumberdaya alam yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah untuk mengembangkan ekowisata tidak saja sebagai produk tapi juga sebagai media untuk menyelesaikan konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kontribusi lain yang diharapkan ialah hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai masukan oleh pengambil kebijakan dan masyarakat di lokasi studi.
17
Diakses pada hari Kamis 16-11-2006 pukul 11:59 dengan keywords: ecotourism, conflict resolution, dan tenure security.
II.
2.1
Taman Nasional
2.1.1
Sejarah Konservasi
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan data yang terekam oleh sejarah, konsep kawasan pelestarian berawal pada masa Raja Asoka (252 S.M) dari India yang mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan. Pada masa itu, konsep kawasan pelestarian merupakan tempat suci atau taman buru yang eksklusif (MacKinnon et al. 1990). Pada masa Raja William I (1084 Masehi) di Inggris, ditetapkan kebijakan untuk menginvetarisasi tanah baik yang berupa hutan maupun pertanian milik kerajaan. Produk inventarisasi yang dikenal sebagai The Doomsday Book ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan sumberdaya tanah milik kerajaan tersebut. Konsep konservasi pada abad 18 berkembang sejak dicetuskannya teori pertumbuhan penduduk oleh Thomas Malthus pada tahun 1798 (Burton et al. 1965). Para ilmuwan pada masa itu tidak hanya melihat teori ini dari persamaan matematisnya saja tapi lebih dari itu mereka mengkaji makna dibalik dari estimasi jumlah penduduk tersebut (Dorn 1965), dan dampak yang mungkin terjadi terhadap ketersediaan cadangan makanan (Sukhatme 1965). Respon terhadap fenomena pertumbuhan penduduk dan implikasinya terhadap sumberdaya melahirkan berbagai perspektif yang berbeda (Fisher 1965). Skala perspektif mulai dari yang menganggap bahwa perhitungan Malthus berlebihan (over estimate), pertumbuhan penduduk dapat disiasati dengan program KB dan transmigrasi, sampai perspektif yang berpendapat bahwa harus segera melakukan rasionalisasi penggunaan sumberdaya. Perbedaan juga ditemukan dalam konteks bagaimana manusia mengacu pada nilai-nilai sosial dan budayanya untuk mengelola sumberdaya alam (Spoehr 1965).
Pada masyarakat yang masih tradisional seperti komunitas Maori
sumberdaya alam diambil jika hanya dibutuhkan saja. Sementara itu, pada masyarakat yang modern, sumberdaya alam dieksploitasi untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi.
14
15
Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dan cadangan sumberdaya alam serta beragam perspektif dalam meresponnya menumbuhkan pemikiran bahwa terjadi perubahan pola hubungan antara manusia dengan alam. Pemikiran ini merupakan awal dari tumbuhnya filosofi konservasi (Glacken 1965). Pada tahun 1872, di Amerika ditetapkan taman nasional pertama yaitu Yellowstone National Park. Konsep pengelolaan taman nasional yang digunakan pada saat itu ialah taman untuk rakyat. Perkembangannya saat ini menunjukkan bahwa konsep pengelolaan taman nasional berevolusi kembali menjadi “tempat yang dilindungi oleh sekelompok kaum elit” seperti yang pernah terjadi pada masa Raja Asoka dulu (Everhart 1983; Runte 1987). 2.1.2
Tata Nilai yang Mempengaruhi Konsep Konservasi Ada dua tata nilai yang mempengaruhi perubahan interaksi manusia
dengan alam adalah nilai spiritual dan sosial (Price 1965). Dalam konsep spiritual, alam dipandang sebagai sesuatu yang yang indah dan berguna. Manusia dapat menggunakan, merubah dan memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan. Namun pada akhir abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas ketika terjadi revolusi industri, manusia mulai harus membatasi diri agar sumberdaya terjaga untuk generasi yang akan datang. Nilai konservasi pada aspek sosial dapat dilihat sejak kehidupan primitif manusia. Pada saat itu manusia sudah memiliki nilai untuk melakukan konservasi dalam konteks menyimpan makanan untuk cadangan. Sementara itu, pada masa industrialisasi, penanaman kembali bahan baku secara ekspansif juga mencirikan bahwa manusia melakukan usaha untuk menyelamatkan kebutuhannya di masa yang akan datang. Dalam konteks sosial, permasalahan konservasi adalah perbedaan bagaimana manusia memaknai kata “masa depan” (future) seperti misalnya pada self-identification dengan kehidupan di masa datang, dan jumlah populasi di masa datang. Perbedaan pandangan ini menentukan tujuan yang ditetapkan oleh suatu komunitas yang berimplikasi terhadap konsep kebijakan pemanfaat sumberdayanya. Beberapa kondisi yang mempengaruhi konsep konservasi diantaranya (Price 1965): •
Filosofi mengenai kesamaan kesempatan untuk semua generasi akan
16
menyebabkan pola pemanfaatan sumberdaya yang mampu memulihkan dirinya secara alami (even use over all time); •
Ide mengalokasi sumberdaya yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang tidak terjamah untuk generasi yang akan datang. Konservasi digunakan sebagai alat untuk memaksimalkan fungsi dari sumberdaya tersebut dan melindung sumberdaya yang potensial (preference for present);
•
Pandangan lainnya menyebutkan bahwa sumberdaya sebaiknya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk generasi masa kini, konservasi berperan sebagai alat untuk mencegah limbah (prevention of waste); dan
•
Adanya kelompok yang mempunyai perilaku merusak dan mengeksploitasi alam (depleters). Karakteristik kelompok ini umum agresif, memiliki power dan kontrol yang kuat terhadap sumberdaya. Kelompok konservasi diharapkan sebagai penyeimbang kelompok depleters ini.
2.1.3
Definisi Konservasi Konservasi secara umum memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
•
penggunaan sumberdaya alam untuk sebanyak mungkin manfaat bagi sebanyak mungkin orang untuk jangka waktu yang terlama (Gifford Pinchot dalam Herfindahl 1965:229).
•
pemeliharaan dan pemanfaatan
sumberdaya bumi secara bijaksana
(MacKinnon et al. 1990:1). •
perlindungan, perbaikan, dan pemanfaatan secara bijak terhadap SDA, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dapat memastikan pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial18 ; Di Indonesia, pengertian konservasi dituangkan dalam beberapa undang-
undang terkait seperti uraian berikut ini:
Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Bab I Ketentuan Umum UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
18
www.forestinvest.com/glossary.html dalam Mardiastuti (2004).
17
Hidup);
Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Pasal 1 UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU No. 41/1999 tentang Kehutanan); dan
Mengacu pada makna yang dikandung dalam pengertian konservasi diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa kawasan konservasi ialah suatu area atau kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan perlindungan, pengawetan, pengelolaan, pemanfaatan, dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan bijak sesuai dengan kaidah-kaidah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dengan mempertimbangkan kebutuhan di masa kini dan masa yang akan datang. 2.1.4
Konsep Kawasan Konservasi di Indonesia Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, di Indonesia konsep konservasi
tercantum dalam beberapa peraturan perundangan 19 . Menurut kebijakan tersebut tujuan dari konservasi adalah agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup agar tercapai keseimbangan ekosistem yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sedangkan tanggung jawab dan kewajiban dalam melaksanakan konservasi ada pada pemerintah serta masyarakat. Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan konservasi diantaranya perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1, Bab 4, dan Bab 7, kawasan 19
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
18
konservasi dibagi menjadi dua kategori yaitu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Adapun bentuk-bentuk kawasan konservasi yang tercakup kedalam kedua kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) ialah kawasan dengan fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di KPA diantaranya penelitian, untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Jenis/ bentuk KPA ialah Taman Nasional 20 , Taman Wisata Alam 21 , dan Taman Hutan Raya 22 . 2. Kawasan Suaka Alam (KSA) ialah kawasan dengan fungsi kawasan pengawetan dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini ialah kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Kawasan yang masuk kedalam kategori KSA yaitu: Suaka Margasatwa 23 , Cagar Alam 24 , dan Cagar Biosfer 25 . Ada lima kriteria (MacKinnon et al. 1990) yang dipertimbangkan dalam melakukan kategorisasi kawasan konservasi tersebut diantaranya ialah: (1) ciriciri kawasan: misalnya ciri biologi, geofisik, nilai budaya/historis, dan fungsi kawasan; (2) tujuan pelestarian; (3) kadar toleransi atau kerapuhan ekosistem atau spesies; (4) tipe pemanfaat yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan; dan (5) tingkat permintaan akan penggunaan dan kepraktisan pengelolaan.
20
Taman Nasional: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 21 Taman Wisata Alam: kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 22 Taman Hutan Raya: kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 23 Suaka Margasatwa: kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 24 Cagar Alam: kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami (Undangundang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 25 Cagar Biosfer: suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).
19
2.1.5
Konsep Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik Taman nasional digambarkan sebagai kawasan
yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol, kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, aksesibilitas baik, dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah (MacKinnon et al. 1990). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pengertian taman nasional yang digunakan di Indonesia ialah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata 26 , dan rekreasi 27 . Tujuan dibentuknya kawasan taman nasional diantaranya untuk:
melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1990); dan
terwujudnya kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (UU No. 5/1990 pasal 3). Pasal 32-34 dalam UU No. 5/1990 menyebutkan bahwa
pengelolaan
Taman Nasional dilakukan dengan Sistem Zonasi yang dibagi menjadi:
Zona inti: adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Zona pemanfaatan: yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata
Zona lainnya: yaitu zona diluar kedua zona inti dan pemanfaatan karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya Di
Indonesia,
kewenangan
penetapan
kriteria,
standar
dan
penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai didalamnnya diserahkan kepada
26 Pariwisata atau Tourism adalah fenomena dan hubungan keterkaitan yang timbul dari interaksi antara empat elemen pariwisata yaitu wisatawan, pelaku bisnis, pemerintah di berbagai level sebagai pemberi jaminan dan kontrol, serta masyarakat lokal yang menjadi tuan rumah bagi para wisatawan (Gartner 1996:6). 27 Rekreasi adalah suatu kegiatan atau usaha untuk memulihkan kembali kekuatan atau semangat setelah bekerja (Woolf et al. 1976);
20
pemerintah pusat (PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, pasal 2). Sedangkan pemerintah daerah dapat membantu sebagian urusan pelaksanaan konservasi seperti penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan, tata batas, dan penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis (UU No. 5/1990 Bab 10 dan PP No. 25/2000 pasal 3). Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan di ketiga bentuk KPA (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam) dengan mengikutsertakan masyarakat. Sarana pariwisata dapat dibangun dalam zona pemanfaatan. 2.1.6
Institusi Pengelolaan Taman Nasional Ciri sistem kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid (dalam Suhaeri
1994:18) ada 3, yaitu: hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan, dan aturan keterwakilan. Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional, ketiga unsur tersebut diatur oleh undang-undang. Hak kepemilikan taman nasional, menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan, adalah tanah milik Negara atau state property. Karenanya, menurut Pasal 34 Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (KSHE), pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Dasar penentuan batas wilayah kewenangan taman nasional juga diatur diantaranya oleh lima peraturan perundangan setingkat undang-undang yang secara teknis dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri (Kepmen) 28 . Dalam peraturan perundangan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.
28
UU No. 5 tahun 1990 mengenai KSHE, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestaria Alam, PP No. 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar Pengukuhan Kawasan Hutan.
21
2.2 Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 2.2.1
Definisi Konflik Perbedaan pengalaman, pemahaman, dan pandangan tentang berbagai
aspek kehidupan menyebabkan manusia yang satu dan lainnya berbeda, bersengketa, dan berkonflik yang dapat berujung pada kekerasan. Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher et al. 2001:4). Berbeda adalah situasi alamiah yang terjadi karena kodrat manusia (Malik et al. 2003). Sedangkan bersengketa adalah suatu situasi persaingan antara dua atau lebih orang/kelompok yang ingin meletakkan haknya atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003:148). Sementara, pengertian konflik dapat dilihat dari definisi berikut ini:
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001:4).
Konflik adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003).
Konflik organisasi adalah perselisihan yang terjadi ketika kelompok tertentu mengejar
kepentingannya
sendiri
dengan
mengorbankan
kepentingan
kelompok-kelompok lainnya (Gareth R. Jones dalam Winardi 2003: 253).
Konflik adalah suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004)
Konflik adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal
sosial
masyarakat
yang
tumbuh
ditengah-tengah
masyarakat
(Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). 2.2.2
Tipe atau Jenis-jenis Konflik Ada empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan
tantangannya sendiri, yaitu (Malik et al. 2003; Winardi 2003): •
Tanpa Konflik: ada pada setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup
22
bersemangat dan dinamis serta memanfaatkan dan mengelola konflik secara kreatif. •
Konflik Laten : konflik ini sifatnya tersembunyi. Dapat ditangani jika konflik diangkat ke permukaan.
•
Konflik Terbuka: konflik ini berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
•
Konflik di Permukaan: konflik muncul karena kesalahpahaman sehingga konflik hanya memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar. Dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
2.2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Menurut Malik et al (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
diantaranya:
Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi 29 , budaya (tingkah laku), dan cara berkomunikasi;
Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya fisik, dan waktu); tata cara (sikap); dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan);
Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi, dan menyajikan data;
Pemaksaan nilai 30 dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut;
Masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. Faktor lain yang mempengaruhi masalah struktural ialah faktor geografis, sejarah, dan waktu. Sedangkan dalam berorganisasi, ada lima macam sumber yang potensial
menimbulkan konflik, yaitu (Winardi 2003): interdependensi sub-unit yang ada, tujuan sub-unit yang berbeda, faktor-faktor birokratik, kriteria kinerja yang tidak 29 Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (Woolf et al. 1976). 30 Nilai adalah kepercayaau yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya (Malik et al.. 2003:150); atau merupakan suatu kepercayaan terhadap realitas alam semesta (Capra. 2000); penilaian atau perkiraan (rate), ukuran (measured), jumlah numerik yang terukur secara kuantitatif (a numerical quantity measured), ukuran kualitas yang membuat sesuatu menjadi diinginkan (the quality that renders something desirable), penghargaan atau respect (wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses 17 Desember 2005 06:47 AM)
23
sesuai, persaingan untuk mendapatkan sumberdaya. Dalam masalah kehutanan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research (CIFOR) terhadap berita koran dan pengamatan lapangan, ada lima jenis kegiatan kehutanan yang dapat memicu terjadinya konflik. Kelima jenis kegiatan ini yaitu: perambahan hutan, pencurian kayu, penataan batas, perusakan lingkungan, dan alih fungsi atau status kawasan (Wulan et al. 2004).
2.2.4
Tahapan Konflik Louis R. Pondy (Winardi 2003:255-262) mengembangkan suatu model
untuk memahami dan menangani konflik dalam keorganisasian. Ia memandang konflik sebagai proses yang terdiri dari lima tahap. Kelima tahap tersebut ialah: a) Tahap 1 konflik laten 31 : tahap dimana organisasi memiliki potensi konflik yang disebabkan karena berbagai faktor perbedaan yang sifatnya vertikal dan horisontal. b) Tahapan 2 konflik yang dipersepsi: tahap dimana suatu kelompok atau subunit merasa kepentingannya terbengkalai karena kelompok lain. Pada tahap ini mulai dianalisis sumber penyebab konflik. Masing-masing kelompok harus dapat mengidentifikasi problem apa yang dihadapi mereka sehingga menimbulkan konflik. c) Tahap 3 konflik yang dirasakan: tahap dimana masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi serta mentalitas dalam wujud ”kita-mereka”. Pada tahap ini kerjasama dan efektifitas organisasi mulai menyusut. d) Tahap 4 konflik termanifestasikan 32 : tahap dimana kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok lawannya. Bentuk aksi dapat berupa agresi terbuka atau tertutup. Agresi tertutup diantaranya dengan tidak melakukan suatu tindakan sehingga pencapaian tujuan kelompok lain jadi tertunda atau terhambat. e) Tahap 5 Setelah konflik usai (conflict aftermath): muncul kembali atau 31
Konflik laten menyediakan kondisi anteseden bagi konflik dalam bentuk : persaingang untuk mendapatkan sumbersumberdaya yang langka; konflik peranan; dan divergensi pada tujuan-tujuan kelompok (Winardi 2003). 32 Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi terbuka, apati, penarikan diri, dan kinerja yang minimal (Winardi 2003).
24
tidaknya suatu konflik tergantung pada bagaimana pertama kali konflik diselesaikan. Jika konflik diselesaikan sebelum mencapai tahap 4, maka hubungan kerjasama kedepan akan lebih baik.
2.2.5
Metode Penanganan Konflik Menurut Stoner dan Freeman (1989 dalam Winardi 2003) konflik dapat
dikurangi ataupun diselesaikan. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik diantaranya : pemberian informasi yang setara, peningkatan komunikasi, dan negosiasi di level pemimpin kelompok. Sedangkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik diantaranya: dominasi atau supresi, kompromi, pemecahan problem secara terintegrasi (konsensus, konfrontasi atau penggunaan tujuan superordinat). Malik et al (2003) menyebutkan ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menangani konflik. Pertama dengan menempuh jalur pengadilan, dan kedua melalui jalur di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit. Karena itu dibuatlah mekanisme penyelesaian di luar pengadilan 33 . Ada tiga bentuk penyelesaian konflik melalui jalur di luar pengadilan yaitu arbitrase, mediasi dan negosiasi. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa 34 . Lembaga arbitrase hanya dapat digunakan sebagai lembaga penyelesaian sengketa jika para pihak yang melakukan perjanjian telah menyepakatinya. Ada dua cara untuk melakukan arbitrase yaitu dengan membuat pactum de compromittendo 35 dan akta kompromi 36 .
Jika para pihak tidak
mencapai kesepakatan tentang sang arbiter, atas permintaan pihak yang berkonflik, arbiter diangkat oleh hakim yang berwenang. Karena penyelesaian sengketa melalui lembaga ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian 33
Dasar hukum penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan: Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ; Pasal 6 ayat (1) UU No 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah ; dan Pasal 30, 31, dan 33 UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 34 Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah. 35 pactum de compromittendo [Pasal 615 ayat 3 Rv]: merupakan klausul dalam perjanjian yang menentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis wasit. Pada waktu pembuatannya perselisihan belum terjadi (Malik et al. 2003). 36 Akta kompromi: merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur serta mengajukan perselisihan yang terjadi itu kepada seorang wasit untuk diselesaikan. Di dalam akta kompromi ditentukan batas waktu untuk memutuskan sengketa oleh wasit. Kalau tidak ditentukan, batas waktunya adalah enam bulan (Malik et al. 2003).
25
sengketa dan putusan arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak putusan arbitrase tidak dapat digugat lagi (Pasal 60 UU No. 30/1999). Pada praktiknya lembaga arbitrase hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa yang menyangkut bantuan dari pihak ketiga yang netral dalam upaya negosiasi dan penyelesaian sengketa. (Hardjasoemantri 1999:381 dalam Malik et al. 2003). Namun, menurut Hadimulyo (1997 dalam Malik et al. 2003), pihak ketiga atau mediator tersebut tidak ikut serta mengambil keputusan. Beberapa kemungkinan dalam mediasi : •
mediasi di antara para pihak yang setara, sejajar, seimbang dimana mediator tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan;
•
mediasi di antara para pihak yang bersifat vertikal, yang satu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang lainnya. Mediator di sini juga tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan;
•
mediator yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan para pihak yang bersengketa namun mediator di sini dituntut untuk mengendalikan diri agar tidak menggunakan kekuasaan atau wewenang untuk pengambilan keputusan. Negosiasi atau berunding merupakan proses diskusi, dialog dalam
perundingan-perundingan yang berhubungan dengan ide, informasi dan pilihanpilihan dari para pihak yang terlibat konflik. Menurut Bangert dan Pirzada (Malik et al. 2003) ada tiga tahap dalam negosiasi yaitu: faktor-faktor pra-penerimaan, proses dan hasil. Pada tahap pertama, kondisi yang harus ada untuk semua pihak untuk masuk kepada ruang negosiasi
tanpa kekerasan dan harus memiliki
kemauan untuk menyelesaikan konflik. Tahap kedua, proses, adalah melakukan komunikasi berulang-ulang tentang bentuk inti dari negosiasi. Banyak faktor penentu dalam proses ini termasuk: komposisi tim negosiasi, persepsi pihak lawan berkaitan dengan pihak lainnya, sifat dasar dan saluran-saluran komunikasi, kepentingan relatif manusia versus isu, struktur negosiasi, gaya penawaran, dan manfaat pihak ketiga. Tahap terakhir, hasil, ditentukan oleh dua faktor yaitu (1) masukan menuju pengambilan keputusan (decision making) oleh kedua belah
26
pihak; dan (2) format yang digunakan untuk membuat persetujuan (form of agreement). Pada faktor pertama, proses pengambilan keputusan adalah ciri dasar dari kegiatan negosiasi; proses ini harus menjawab bagaimana keputusan itu dibuat secara partisipatif. Sedangkan pada faktor kedua, ketika sebuah kesepakatan dihasilkan, satu pertanyaan penting adalah apakah kesepakatan tersebut berbentuk formal atau informal, karena kebanyakan kesepakatan dibuat secara formal dan tertulis. Dalam situasi tertentu, suatu kesepakatan tertulis mungkin ditambahkan melalui suatu kesepahaman informal. 2.2.6
Metode Analisis Konflik Analisis konflik merupakan suatu proses praktis untuk mengkaji dan
memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Pemahaman ini merupakan dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan. Beberapa alasan mengapa kita perlu menganalisis konflik diantaranya ialah: •
memahami latar belakang dan sejarah;
•
mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat;
•
memahami pandangan semua kelompok;
•
mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari konflik; dan
•
belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
Analisis konflik dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah alat bantu yang sederhana, praktis dan yang sesuai. Beberapa alat bantu untuk menganalisis konflik diantaranya (Wulan et al. 2004 dan Fisher et al. 2001): penahapan konflik, pemetaan konflik, Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks), analogi bawang bombai, pohon konflik, dan analisis kekutatn konflik. Dalam studi ini akan digunakan teknik pemetaan konflik. Teknik ini digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihakpihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Tujuan analisis ini untuk menjelaskan dan memahami pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah konflik, hubungan antar pihak yang berkonflik, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan oleh masing-masing pihak. Analisis ini digunakan pada awal untuk memahami sejarah konflik, atau akhir proses konflik untuk menyusun strategi. Beberapa contoh pertanyaan yang dapat memandu dalam memetakan konflik diantaranya: Siapa pihak-pihak utama dalam konflik ini? Pihak-pihak lain mana
27
yang terlibat atau berkaitan dengan konflik ini (termasuk kelompok-kelompok kecil dan pihak-pihak eksternal)? Apa hubungan di antara semua pihak itu dan bagaimana caranya pihak-pihak itu terwakili dalam peta konflik? Aliansi apa saja yang terbentuk? Adakah hubungan-hubungan yang retak? Pihak-pihak yang berkonfrontasi? Apakah ada isu-isu pokok di antara pihak-pihak yang harus disebutkan dalam peta? Apa hubungan antara organisasi dengan pihak-pihak ini? Apakah ada hubungan khusus yang mungkin mempunyai peluang untuk mengatasi situasi konflik ini? 2.2.7
Konflik Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional Kebijakan penetapan dan pengelolaan taman nasional sampai saat ini
cenderung menyebabkan kondisi tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat lokal yang hidup baik di dalam maupun luar kawasan. Kondisi ini disebabkan diantaranya karena tidak optimalnya implementasi peraturan perundangan yang ada dalam menyeimbangkan ketiga fungsi kawasan yaitu pelestarian, pengawetan, dan pemanfataan. Hal ini dapat dilihat dari diabaikannya eksistensi dan kebutuhan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup mereka kepada sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan taman nasional tersebut (Hendarti 2004; Hidayati 2004; Santosa 2006; Galudra 2003; Santos dan de Jesus 2003;dan Adimihardja 1992). Faktor lain yang menyebabkan kondisi ketidakpastian tenurial ialah adanya perbedaan dalam menyepakati aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8). Pemerintah, disatu sisi, membuat kebijakan dengan tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun menggunakan pendekatan ekonomi dan sistem pasar 37 sebagai dasar. Sumberdaya alam dilihat sebagai aset ekonomi (Malik et al. 2003; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Di sisi lain, masyarakat membangun aturan main berdasarkan kesepakatan sosial dimana hubungan masyarakat dan sumberdaya bersifat sosial, kultural, spiritual, ekonomi dan politik (Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006, Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Sistem ekonomi yang digunakan masyarakat lokal di sekitar 37 Konsep ekonomi dan sistem pasar merubah sistem penguasaan dan akses pada SDA dari milik bersama (common sense) menjadi milik negara (state property) atau milik pribadi (private property). Posisi sumberdaya alam menjadi komoditas (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:187).
28
hutan, terutama di Jawa, dalam memanfaatkan sumberdaya alam umumnya ialah ekonomi pertanian subsistence 38 . Masyarakat hanya memanfaatkan alam untuk menyambung hidupnya atau memenuhi kebutuhan dasar saja. Karakteristik perbedaan ini dirangkum dalam Tabel 1. Perbedaan pandangan atau persepsi 39
dalam menetapkan aturan main
tersebut berimplikasi pada timbulnya konflik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Contoh konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah bentuk kelembagaan. Dalam masyarakat Indonesia, dengan kultur budaya dan kondisi geografis yang sangat beragam, tumbuh kelembagaan adat dan kearifan tradisional 40 sebagai aturan main yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat setempat (Bappenas 2003; KLH 2001). Dalam kehidupan bernegara sayangnya institusi lokal seperti ini tidak diberdayakan. Untuk kemudahan birokrasi, pemerintah membuat penyeragaman dan sentralisasi. Karena pembentukan institusi baru ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat lokal maka timbulah konflik sebagai bentuk penolakan masyarakat disatu sisi dan sebagai bentuk supremasi dan dominasi pemerintah disisi lainnya. Contoh konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilihat pada konflik pemanfaatan tanah dan hutan. Konflik tanah umumnya dipicu oleh adanya perbedaan kepentingan dalam peruntukan kawasan antara masyarakat dengan pemerintah, militer, perusahaan negara, dan swasta (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 198-199). Sedangkan konflik kehutanan diantaranya karena kebijakan penetapan tata batas (Wulan et al. 2004), pengurangan akses dan kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan (Wulan et al. 2004; Santosa 2006; Galudra 2003; Peluso 1994), dan kegagalan pemerintah baik secara struktural, administrastif maupun kualitas sumberdaya manusia (Peluso 1994). Amerika memiliki beberapa contoh kasus suksesnya penyelesaian konflik pengelolaan SDA yang dibangun berdasarkan konsensus, dispute resolution dan negosiasi (Wondolleck dan Yaffee 2000). Pada tahun 1980an, negara ini mengalami banyak konflik dalam pengelolaan hutan negaranya seperti di Mill
38
Subsistence farming adalah pertanian untuk penyambung hidup (Echols dan Shadily 1992:565) Perception “is an awareness of environment through physical sensation” atau sebuah bentuk kesadaran terhadap lingkungan yang diwujudkan melalui sensasi fisik ( Woolf et al. 1976). 40 Kearifan tradisional ialah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006:175). 39
29
Creek Canyon, di Salt Lake County, dan Utah; The Deerlodge National forest di Montana, dan Huron-Manistee National Forest di Lower Peninsula, Michigan. Permasalahan dapat diredam dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) yang disepakati para pihak.
Tabel 1 Karakteristik perbedaan konsep penguasaan atas sumberdaya alam Masyarakat Adat Konsep Penguasaan atas SDA
Resource Tenure
Dasar relasi
• •
Syarat kepemilikan
41
Pemerintah Property Rights 42
antara anggota masyarakat konsep sosial, kultural, spiritual, ekonomi (subsistence) dan politik
•
Ditentukan oleh masyarakat berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekan oleh masyarakat. Diantaranya :
1.
•
2. 3.
4.
antara individu dengan negara konsep ekonomi dan sistem pasar Dapat diperjual belikan (tradable). Dapat dipindah tangankan (transferable). Dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable). Dapat ditegakkan hakhaknya (enforceable).
Bentuk aturan
Tertulis dan lisan
Tertulis
Dasar hukum
Hukum legal formal dan norma yang berkembang
Hukum legal formal
Status hukum
de facto
de jure
Cara membuktikan klaim
cerita, tanda-tanda alam dan bukti fisik
Kontrak legal formal (contoh: sertifikat, dokumen kontrak)
Lingkup aturan main
Kelompok
Negara
Sumber: Kartodiharjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8; Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006.
Pelajaran penting dalam kasus penyelesaian konflik melalui negosiasi dan konsensus building antara pemerintah dengan suku-suku asli juga dilihat pada 41
Tenure adalah suatu aksi atau fakta mengenai kepemilikan atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi (diterjemahkan dari Ellsworth 2002:5); adalah hubungan sosial (hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan antar rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo &Jhamtani 2006:64); adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228). Dalam aliran resorce tenure, properti dibagi kedalam empat kategori umum kepemilikan yaitu kepemilikan privat, komunal, open access dan kepemilikan publik atau negara (FAO 2002 dalam Afiff 2005). 42 “property” ialah relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu obyek atau benda (Bruce 1993 dalam Affif 2005). Dalam aliran Property Rights, property dibagi kedalam empat tipe yaitu: private, commons, state, dan open access (Lynch & Harwell 2002:8).
30
proses perjuangan panjang suku-suku asli di Alaska. Negosiasi ini menghasilkan 2 kesepakatan penting yaitu the Alaska Native Claims Settlement Act pada tahun 1971 dan the Alaska Lands Bill pada tahun 1980 (Everhart 1983; Runte 1992). Contoh lainnya ialah suku Massai dalam membangun kegiatan ekowisata di Taman Nasional Serengeti, Kenya (Gakahu 1992; Olindo 1991). 2.3
Institusi : Definisi, Fungsi, dan Konsep
2.3.1
Definisi Institusi Institusi atau kelembagaan dalam literatur didefinisikan dengan sangat
beragam. Berikut ini beberapa pengertian institusi tersebut: •
Institusi adalah sekumpulan perilaku dalam bentuk aturan dan regulasi serta moral, etika dan norma yang terdapat di masyarakat (North 1984 dalam Keefer dan Shirley 2000: 89);
•
Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif (Uphoff 1986 dalam Uphoff 1997: 6);
•
Institusi adalah prinsip dan aturan yang ada dalam kebijakan dan organisasi yang stabil dan mengatur proses interaksi antara orang-orang di dalamnya dan lingkungannya dimana prinsip dan aturan tersebut ditemukan (Manig 1992 dalam Sumarga 2006:3);
•
Institusi sebagai konsolidasi perilaku baik formal maupun informal, termasuk kesepakatan sosial dan berbagai organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia (Opschoor 1994 dalam Alikodra 2005);
•
Institusi atau kelembagaan sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu (Suhaeri 1994:17);
•
Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997:2);
•
Institusi adalah aturan-aturan dan keseimbangan dari sebuah kompetisi atau “an equilibrium of the game” (Aoki 2000: 13);
•
Institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan /atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan (Kartodihardjo
31
dan Jhamtani 2006: 277); dan •
Institusi adalah kerangka aturan main (the rules of the game) untuk mencapai tujuan tertentu dimana organisasi bertindak sebagai the team playing of the game (Vink 1999 dalam Sumarga 2006:4). Berdasarkan pengertian institusi di atas dapat disimpulkan bahwa institusi
ialah: sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, yang mengikat dan mengatur dan membatasi perilaku atau hubungan antar manusia yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Berdasarkan definisi tersebut, maka unsurunsur dari institusi ialah: aturan main dan organisasi/jaringan.
2.3.2
Fungsi dan Tujuan Institusi Menurut literatur, institusi mempunyai berbagai fungsi. Berikut fungsi
institusi yang teridentifkasi dalam literatur tersebut, diantaranya: •
Fungsi institusi adalah untuk memberikan pedoman untuk berperilaku dan menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan tujuan dari institusi adalah untuk mengurangi derajat ketidakpastian karena hak dan kewajiban seseorang sudah diatur berdasarkan kesepakatan yang diakui (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Suhaeri 1994).
•
Peran utama dari institusi ialah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakpastian melalui perancangan struktur yang stabil yang mendukung interaksi ekonomi dan sosial (Gordillo de Anda 1997).
•
Intitusi bermanfaat untuk mengurangi ketidakpastian dalam kehidupan seharihari masyarakat (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997).
2.3.3
Kinerja Institusi Institusi dibangun dari suatu proses kesepakatan dan fasilitasi organisasi
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kinerja institusi untuk mencapai tujuan tersebut dapat diukur melalui beberapa pendekatan. Berikut ini diantaranya: •
Hammergren (1998) menyebutkan bahwa kinerja institusi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya penempatan lokasi kantor, pelaksanaan aksi secara mandiri/otonomi, dan
kepemimpinan.
Sedangkan faktor internal terkait dengan prosedur dan metode operasional
32
organisasi; standar dan aturan main; penggajian, rekrutmen, dan kondisi pegawai; staf pendukung, infrastuktur, dan peralatan. •
Uphoff (1997:8-9) menyatakan bahwa kinerja suatu institusi diukur dari bagaimana institusi ini menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok tersebut ialah: pengambilan keputusan (termasuk perencanaan dan evaluasi), mobilisasi dan manajemen sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan penyelesaian konflik.
•
Sumarga (2006: 7-10) menyebutkan bahwa kinerja institusi dilihat dari kemampuan struktural dan kultural aspeknya untuk beradaptasi pada perubahan.
Struktural
aspek
diantaranya
diukur
dari:
management
(accountabilitas, transparansi, demokrasi dan rasional); tipe organisasi (dari sederhana ke tipe yang lebih kompleks dan terstruktur); pembagian peran dan tugas (sesuai kompetensi anggotanya). Sedangkan aspek kultural diukur dari: pemenuhan kebutuhan dasar, SDM yang kompeten (tingkat pendidikan dan memiliki pengalaman di bidangnya), kepemimpinan (dari dominasi ke demokratis), grup dinamik (kurang partisipasi ke partisipasi), sistem nilai. •
Schmid (1987: 23, 242-247) menjelaskan bahwa kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa? dan biaya (costs) siapa yang dipertimbangkan ? Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupannya secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan (bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total nilai dari produksi) dan efiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan). Berdasarkan tinjauan literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
institusi diukur melalui pencapaian tujuan kolektif (diantaranya pemenuhan kebutuhan anggotanya), dan berjalan atau tidaknya fungsi dan tugas institusi melalui wadah pelaksananya yaitu organisasi, formal atau informal.
2.3.4
Pengembangan, Penguatan dan Perubahan Institusi Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh
masyarakat. Namun ketika intitusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan
33
maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi yaitu melalui: pengembangan institusi
(institutional
development),
penguatan
institusi
(institutional
strengthening) atau perubahan institusi (institutional change). Pengembangan institusi merupakan suatu proses kesepakatan dan fasilitasi dari suatu
organisasi
untuk membangun dan meningkatkan kapasitas serta
kemampuannya sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan 43 . Pengembangan institusi didefinisikan sebagai proses dimana individu, organisasi dan norma-norma sosial meningkatkan kemampuan dan kinerjanya yang berkaitan dengan pencapaian tujuan, sumberdaya dan lingkungan (CWPD 2005; Alikodra 2005). Dalam pengertian ini pengembangan institusi memiliki tiga elemen, yaitu: pengembangan sumberdaya manusia, penguatan organisasi, dan pembangunan sistem atau mekanisme operasional. Tujuan utama dari pengembangan institusi adalah untuk menciptakan atau menguatkan institusi yang sudah ada dalam masyarakat 44 . Penguatan institusi (institutional strengthening) merupakan suatu usaha untuk mengorganisasi ulang (reorganize) atau melakukan orientasi ulang (reorient) institusi agar dapat berfungsi kembali secara efektif (Hammergren 1998:1,8). Prasyarat dari penguatan institusi ialah adanya keputusan bersama mengenai apa yang seharusnya institusi lakukan (should do). Prasyarat ini dapat diawali dengan menyusun prakondisi untuk perubahan sebagai tolok ukur yang dijabarkan dalam strategi. Ada tiga pilihan pendekatan fundamental untuk melakukan penguatan institusi yaitu: 1) perubahan institusi yang ditentukan dari atas, 2) perubahan yang dilakukan dari bawah untuk lingkup tugas institusi yang lebih kecil, dan 3) pendekatan mass based reorientation dari setiap individu anggota. Perubahan institusi diperlukan karena lingkungan yang mempengaruhinya juga terus berubah (Shaw 2005). Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik institusi harus berada dalam kondisi stabil (Ruttan 1999). Kondisi stabil dapat diperoleh jika institusi dapat melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang
43 44
www.undp.org/rbec/nhdr/1996/georgia/glossary.htm diakses 11/11/2005 www.polity.org.za/html/govdocs/white _papers/sosial97gloss.html diakses 11/11/2005
34
terjadi pada faktor-faktor yang mempengaruhi institusi. Faktor-faktor tersebut diantaranya dukungan (endowments), produk yang dibutuhkan (product demand),dan teknologi (Ruttan 1999). Perubahan institusi (institutional change) dapat merubah property rights dan pasar melalui modifikasi kontrak (contractual relations) atau adanya pergantian batasan antara aktivitas pasar dan bukan pasar (Davis and North 1971:9 dalam Ruttan 1999:9). Perubahan institusi dapat dilihat dari sisi persediaan (supply) dan kebutuhan (demand) (Ruttan 1999:8-10). Dari sisi persediaan, perubahan institusi dipengaruhi oleh adanya biaya dalam memperoleh konsensus sosial. Besarnya biaya ini tergantung pada struktur kekuatan dari para pihak yang berkepentingan serta kultur dan ideologi yang ada. Pengetahuan mengenai ilmu sosial seperti hukum, manajemen, dan perencanaan
dapat membuat perubahan pada sisi
persediaan dan mengurangi biaya transaksi. Sedangkan dari sisi permintaan, perubahan institusi disebabkan karena adanya ketidakseimbangan alokasi sumberdaya.
2.3.5
Konsep Institutionalist Tenure Security Institusi dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji aturan, baik
formal maupun informal, yang mengatur perilaku atau hubungan antar manusia dalam penetapan dan pengurusan sumberdaya alam di taman nasional. Menurut literatur, akar konflik antara pemerintah dan masyarakat dalam isu tersebut adalah ketidaksepakatan pengaturan hak dan akses atas tanah dan sumberdaya didalamnya (Harsono 2005; Affif 2005; Lynch & Harwell 2002). Dalam masyarakat Indonesia, dikenal dua sistem pengaturan terhadap kepemilikan atau penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam. Kedua sistem tersebut ialah sistem resource tenure dan property (Harsono 2005; Affif 2005). Tenure adalah konsep sosial yang mengatur hak akses dan kontrol individu dan/atau kelompok atas tanah dan sumberdaya (Affif 2005: 228). Dalam literatur, terminologi tenure telah didefinisikan dengan sangat beragam. Definisi tenure berikut ini adalah beberapa diantaranya: •
Tenure adalah hubungan sosial, yaitu hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan
35
antara rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:64). •
Tenure seperti juga property ialah relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu obyek atau benda (Bruce 1993 dalam Affif 2005).
•
Tenure adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228).
•
Tenure adalah hak untuk mengakses sumberdaya secara terbatas baik dari segi durasi waktu maupun generasi yang mendapat hak atas akses tersebut (Ellsworth 2002:5).
•
Tenure adalah suatu aksi atau fakta dalam menguasai (holding) atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi (OED dalam Ellsworth 2002:5).
•
Tenure adalah bentuk pemberian hak menguasai atas tanah kepada tenant namun ia tidak dapat memiliki tanah tersebut (Michael Harwood dalam Harsono 2005:47).
Seperti sistem property, dalam sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam juga dikenal empat kategori kepemilikan yaitu (FAO 2002 dalam Affif 2005): kepemilikan privat 45 , kepemilikan komunal 46 , open access 47 , dan kepemilikan publik atau negara 48 . Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tenure adalah institusi sosial. Institusi ini dibangun berdasarkan norma yang ada, hukum legal formal dan kesepakatan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat dimana kepemilikannya dapat bersifat individu, komunal atau open access. Sistem property ialah sistem yang mengatur hak penuh individu atau privat mengenai kepemilikan, akses dan kontrol atas sesuatu (Affif 2005: 228). Definisi properti menurut James Madison ialah hak ekslusif untuk mengelola, menggunakan atau melakukan hal lainnya terhadap apapun yang dimilikinya (Ellsworth 2004:5). Properti juga didefinisikan secara praktis sebagai instrumen sosial (Bromley 2000 dalam Ellsworth 2004). Kepemilikan dalam sistem property 45
Kepemilikan privat ialah pemberian hak kepada individu, sekelompok orang atau lembaga untuk kepentingan mereka (FAO 2002 dalam Affif 2005). 46 Kepemilikan komunal ialah pemilikan tanah secara komunal dimana pemanfaatan /penggunaan tanah hanya dapat digunakan oleh anggota masyarakat tersebut (FAO 2002 dalam Affif 2005). 47 Oppen access ialah tidak ada kepemilikan atas tanah atau sumberdaya sehingga siapa saja dapat mengambil manfaat darinya (FAO 2002 dalam Affif 2005). 48 Kepemilikan publik ialah hak-hak atas tanah atau sumberdaya yang diklaim oleh negara dimana tanggung jawab pengurusannya diserahkan pada sektor tertentu (FAO 2002 dalam Affif 2005).
36
umumnya dibuktikan dengan adanya kontrak legal formal. Secara de facto, konsep tenure banyak dianut oleh masyarakat, terutama masyarakat adat. Di sisi lain, pemerintah Indonesia secara de jure menggunakan konsep property dimana tanah adat yang tidak memiliki bukti kepemilikan diklaim sebagai vrij lands domein atau tanah negara yang bebas (Harsono 2005:44-48). Kondisi ini menyebabkan tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat yang umumnya menggantungkan kebutuhan hidupnya pada tanah dan sumberdaya alam. Konsep Institutionalist Tenure Security merupakan salah satu dari empat 49 aliran pemikiran (school of thought) yang digunakan oleh para akademisi 50 untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat. Aliran ini menganalisis keterkaitan institusi dan politik ekonomi akses dari tenure security serta kontrol diantara aktor-aktor sosial (Mearns 2001 dalam Ellsworth 2004). Bagi penganut aliran ini, semua aktor memiliki hak untuk mendefinisikan Tenure Security karena, menurut mereka, tidak ada satu jenis kepemilikan yang terbaik, lebih efisien atau ideal terkait dengan kondisi sebuah kelompok, budaya atau sumberdaya. Rejim properti sebagai hasil proses perubahan lingkungan dari negosiasi atau lobi antara aktor-aktor sosial yang dapat memiliki perbedaanperbedaan kepentingan (Mearns 2001 dalam Ellsworth 2004:20). Agenda penelitian aliran ini adalah bagaimana masyarakat memutuskan bahwa sesuatu adalah commons, state, private, open-access property, atau kombinasi dari ke-empat jenis kepemilikan atas sumberdaya tersebut. Status kepemilikan sumberdaya dipandang sebagai interaksi/hubungan sosial antara 3 aktor seperti aktor yang memiliki berbagai bentuk hak, aktor yang dilarang untuk melanggar hak tersebut, dan pihak ketiga, aktor yang menjamin hak serta melarang pelanggaran (Affif 2005). Faktor –faktor yang mempengaruhi relasi ketiga aktor ini diantaranya sejarah kekuasaan, demografi, budaya, organisasi sosial, sistem nilai dan rejim hukum yang berlaku (Affif 2005; Elssworth 2004). Kepastian hukum tenurial bagi aliran ini ditentukan oleh kemampuan
49
Keempat aliran pemikiran ini adalah : property rights, agrarian structure traditions, common property advocates, dan aliran institutionalist (Affif 2005; Ellsworth 2002). 50 Penganut aliran ini diantaranya Bromley yang dokumentasi studinya diterbitkan pada tahun 1989, 1994, dan 2000; Thompson yang melakukan studi pada tahun 1991; Jacob, Bebbington, dan Douglas North yang membuat dokumentasi penelitian pada tahun 1999; Southgate, Singer dan Sen pada tahun 2000; dan Olsen pada tahun 2001 (Elsworth 2004).
37
memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakkan atau mempertahankan klaim. Kekuasaan politik dan distribusi sumberdaya juga jauh lebih penting diperhatikan daripada jenis kepemilikan karena dari dua faktor tersebut dapat ditentukan siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005). Aliran ini mendefinisikan properti sebagai instrumen sosial, dalam konteks ini, institusi dibentuk untuk menyepakati rejim properti (Bromley 2001 dalam Ellsworth 2004). Ada tiga hal yang diperlukan untuk mempertahankan property right yaitu: pemerintah yang berjalan, tidak adanya predator baik itu dari pemerintah atau pihak swasta, dan tidak adanya lobi dari kelompok yang memiliki kepentingan diluar kepentingan institusi (Ellsworth 2004).
2.4 Ekowisata 2.4.1
Sejarah Perkembangan Ekowisata Dalam pembangunan pariwisata dikenal dua konsep pendekatan yaitu
pembangunan pariwisata secara masal (mass tourism) dan pembangunan pariwisata secara berkelanjutan atau dikenal dengan istilah sustainable tourism development (Butler 1990; Gartner 1996). Pembangunan pariwisata secara masal mempunyai ciri diantaranya cepat;
berorientasi
pembangunan fasilitas wisata yang banyak dan
keuntungan
ekonomi
yang
sebesar-besarnya;
tidak
mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Pembangunan pariwisata seperti ini kemudian disebut sebagai pembangunan pariwisata yang tidak terkontrol, tidak terorganisasi dan tidak terencana. Keprihatinan akan dampak negatif terhadap lingkungan fisik dan sosial akibat pembangunan pariwisata yang menggunakan konsep pariwisata masal menimbulkan tumbuhnya pendekatan pariwisata secara berkelanjutan. Konsep ini merupakan respond terhadap konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama kali dicetuskan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development – WCED) pada tahun 1987 (Brundtland et al. 1987). Komisi ini mendeskripsikan pembangunan berkelanjutan sebagai proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, tujuan dari investasi, orientasi dari pengembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat secara konsisten dengan kebutuhan masa datang dan masa kini.
38
Sementara itu, Gartner (1996) mendefinisikan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai sebuah konsep yang mempunyai tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap keuntungan jangka pendek dan merubahnya kepada keuntungan jangka panjang dengan cara melindungi sumberdaya yang dapat menarik wisatawan. Konsep ini juga diterjemahkan sebagai suatu jenis pembangunan yang menghubungkan wisatawan dan penyedia jasa pariwisata yang mengkampanyekan perlindungan sumberdaya dan komunitas lokalnya yang menginginkan kualitas hidup yang lebih baik (McIntyre 1993). Konsep ini selanjutnya memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan konsep ekowisata. Ide yang terkandung dalam ekowisata sebetulnya telah lama dilakukan orang, dan muncul dalam bentuk tertulisnya di akhir 1960-an atau awal 1970an (Fennell,1999). Namun, terminologi ekowisata mulai berkembang pada awal tahun 1980an. Pada saat itu terminologi ekowisata digunakan untuk menjelaskan adanya minat baru dari wisatawan untuk mendatangi daerah-daerah yang alami dan belum tersentuh pembangunan serta memiliki kekayaan budaya yang unik dengan tujuan menikmati, mengagumi dan mempelajari sesuatu (diadopsi dari definisi yang dikeluarkan oleh Ceballos Lascurain pada tahun 1988 dalam Mitchel 1998; Furze et al. 1987; Wall &Ross 1998). Pada pertengahan tahun 1990an, setidaknya ada empat pihak yang memberikan kontribusi pada perkembangan konsep ekowisata berdasarkan kepetingannya masing-masing (Linberg et al. 1998). Pertama, pihak industri pariwisata
yang
memandang
ekowisata
sebagai
alat
pemasaran
untuk
mendatangkan wisatawan ke daerah-daerah yang mempunyai obyek wisata alam dan budaya. Kedua, pihak yang bergerak dalam pengembangan ekonomi pembangunan yang memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk menyediakan lapangan kerja di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh sarana dan prasarana pembangunan. Ketiga, pihak manajer sumberdaya dan konservasi yang melihat ekowisata sebagai peluang untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai program-program konservasi. Pihak ini juga menganggap bahwa ekowisata sebagai alat pendidikan untuk mempromosikan program-program konservasi. Pihak yang terakhir ialah kalangan yang peduli terhadap dampak
39
lingkungan akibat dari berbagai kegiatan pariwisata. Mereka memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk mempromosikan keberlanjutan sumberdaya dan pembangunan di kawasan wisata. Secara ringkas latar belakang timbulnya ekowisata disajikan pada Gambar 4.
2.4.2
Definisi dan Konsep Ekowisata
a. Perkembangan Konsep Ekowisata di dunia Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Ceballos-Lascurain pada akhir tahun 1980an. Terminologi ekowisata digunakan untuk menggambarkan perjalanan ke lokasi-lokasi alami yang terpencil
untuk tujuan menikmati dan mempelajari alam dan budaya
penduduk setempat (Mitchel 1998; Furze et al. 1987; Wall dan Ross 1998). Pada tahun 1996, Ceballos-Lascurain menambahkan penggunaan konsep teknologi yang ramah lingkungan dalam menjelaskan pembangunan ekowisata (Ceballos-Lascurain 1996). Perkembangan konsep wisata ini dipengaruhi oleh kepedulian terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan akibat pembangunan sarana dan prasarana wisata. Pada awal tahun 1990an, the Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem alamnya; menghasilkan peluang untuk keuntungan ekonomi yang membuat konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991). Definisi senada juga dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources-IUCN (Ceballos-Lascurain 1996). Jika pada tahap awal ekowisata diartikan lebih kepada daerah tujuan wisata, kecilnya dampak terhadap lingkungan serta manfaat yang positif terhadap komunitas lokal, The Federation of Nature and National Park of Europe pada tahun 1993 memandang ekowisata dari sisi operasionalisasinya. Ekowisata di definisikan sebagai segala bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas, yang dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997).
40
Perubahan orientasi tujuan wisatawan
Banyaknya wisatawan yang mulai mencari daerah wisata yang masih alami
Eksploitasi sumberdaya alam
Latar Belakang timbulnya Ekowisata
Pengabaian masyarakat lokal
Kegagalan pembangunan dengan konsep Pariwisata Masal (Mass Tourism)
Dampak negatip terhadap lingkungan
Pembangunan fasilitas wisata yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan Perubahan paradigma pembangunan
Eksploitasi sumberdaya alam
Kebutuhan pembiayaan kawasan konservasi
Eksploitasi sumberdaya alam
Sumber: dirangkum dari Boo 1990; Ceballos-lascurain 1996; Fennel 1999; Furze et al. 1997.
Gambar 4 Latar belakang perkembangan konsep ekowisata
Adanya
berbagai
definisi
tersebut
menunjukkan
masih
terus
berkembangnya konsep ekowisata yang mengarah kepada pematangan disiplin ilmu ekowisata. Dari berbagai definisi tersebut tampak adanya benang merah yang dapat menuntun kepada bentuk praktek ekowisata yang ideal, yang secara umum dapat diterima, yaitu: konsep kegiatan wisata yang memanfaatkan lingkungan yang alami, dan berbasiskan partisipasi aktif masyarakat dengan tujuan perlindungan, pendidikan dan pengembangan ekonomi lokal. Sampai saat ini, posisi definisi-definisi ekowisata yang telah diuraikan sebelumnya tersebut masih sangat lemah karena belum adanya bukti dari kegiatan yang nyata. Selain itu, masih belum adanya konsensus dari para penggiatnya.
41
Kondisi ini menyebabkan istilah atau terminologi ekowisata diterjemahkan dan diterapkan dalam kegiatan nyata dengan berbagai cara (Lindberg et al. 1998). Sebagai contoh, istilah ekowisata digunakan sebagai jargon pemasaran. Hal ini tidak hanya meningkatkan minat konsumen dan hasil penjualan tapi juga mengeksploitasi sumberdaya (Wight 1993). Stewart dan Sekartjakrarini (1994) merumuskan fenomena perkembangan konsep ekowisata kedalam dua perspektif. Seperti konsep pariwisata, ekowisata dapat dilihat sebagai sekumpulan perilaku (behaviour) atau sebagai industri. Sebagai sekumpulan perilaku atau aktivitas, ekowisata dilihat dari apa yang dilakukan oleh wisatawan (actually do by tourists). Contoh perspektif ini dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ceballos-Lascurain (1987) dan Boo (1991). Dalam konteks ini, hal yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya ialah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Sekartjakrarini 2003). Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). Dalam hal ini, ekowisata dilihat dari sisi penyediaan (supply side perspective) yang mengintegrasikan tujuan konservasi dan ekonomi melalui pariwisata (Stewart & Sekartjakrarini 1994). Syarat tercapainya tujuan ini dalam ekowisata ialah dengan melibatkan secara aktif masyarakat lokal (Fennel 1990). Dalam konteks inilah ekowisata akan dilihat dalam penelitian ini.
b. Perkembangan Konsep Ekowisata di Indonesia Di Indonesia, terminologi ecotourism diterjemahkan kedalam berbagai istilah (Sproule & Suhandi 1998:223; Sudarto 1999). Misalnya, The Indonesian Ecotourism Network (Indecon) menggunakan istilah ekowisata, sedangkan Kementrian lingkungan hidup menterjemahkannya sebagai wisata ekologis. Disisi lain, dalam dokumen-dokumen pengembangan wisata di kawasan konservasi, Departemen Kehutanan menggunakan istilah ekowisata dan wisata alam untuk merujuk hal yang sama. Dalam penelitian ini ecotourism akan diterjemahkan
42
dengan menggunakan istilah ekowisata. Ekowisata di Indonesia mulai dikenal pada pertengahan tahun 1995. Saat itu PACT-Indonesia dan WALHI mengadakan semiloka di Wisma Kinasih, Bogor. Pertemuan ini menyimpulkan arti pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata (Sudarto 1999). Pertemuan ekowisata dilanjutkan pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indecon sebagai lokakarya nasional ekowisata kedua. Pada pertemuan kedua ini lahirlah forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI). Rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan ini ialah (Sudarto 1999:13): “kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE)”. Dari hasil rumusan tersebut, Indecon mendefinisikan ekowisata sebagai “responsible travel to protected natural areas, as well as to unprotected natural areas, which conserves the environment (natural and cultural) and improves the welfare of local people” (Sproule dan Suhandi 1998: 223-224). Kedua rumusan ini merupakan pengembangan dari definisi ekowisata yang digunakan oleh The Ecotourism Society. Pada tahun 2004, batasan konsep ekowisata lainnya juga dituangkan didalam Rencana Strategi Ekowisata Nasional yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (sekarang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata). Ekowisata dalam dokumen tersebut diuraikan sebagai: “konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya” (Kembudpar 2004). Definisi ini disusun merujuk pada prinsip-prinsip universal pariwisata yang berkelanjutan (dituangkan dalam Quebec Declaration on Ecotourism pada tahun
43
2002), rekomendasi forum diskusi, hasil kajian institusi terkait, dan tuntutan objektif di lapangan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ekowisata ialah: konsep
pengembangan
dan
penyelenggaraan
kegiatan
pariwisata
yang
memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan. Selanjutnya terminologi ekowisata tersebut yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini.
2.4.3 Kriteria Kecukupan Ekowisata Berdasarkan kajian literatur terhadap perkembangan konsep dan definisi ekowisata di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi kecukupan suatu kegiatan pariwisata disebut sebagai ekowisata. Kelima faktor tersebut ialah: (a) tujuan pengelolaan; (b) partisipasi aktif masyarakat lokal; (c) dampak terhadap pengembangan ekonomi lokal; (d) produk wisata; dan (e) dampak minimal terhadap lingkungan. Berikut ini uraian masing-masing aspek penyelenggaraan ekowisata tersebut: a. Tujuan Pengelolaan : pemanfaatan untuk perlindungan Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi, termasuk taman nasional, ialah untuk mewujudkan misi konservasi (Boo 1990a; Sekartjakrarini 2003). Dalam pengembangan ekowisata, tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan
program-program
konservasi
dalam
produk
wisata
dan
pengelolaannya. Sekartjakrarini (2003) menyebutkan bahwa kegiatan interpretasi lingkungan
dalam
ekowisata
merupakan
media
yang
efektif
untuk
mengkampanyekan program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun
masyarakat
lokal.
Boo
(1990a)
juga
mengindikasikan
bahwa
pemanfaatkan bahan lokal untuk penyediaan sarana prasarana ekowisata merupakan salah satu upaya mengurangi dampak lingkungan. Sedangkan Wall dan Ross (1998) berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dapat dimanfaatkan sebagai sebagai agen konservasi yang dapat diandalkan.
44
b. Partisipasi Aktif Masyarakat Lokal Sejarah pembangunan pariwisata secara masal memberikan pengalaman mengenai pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam semua tahapan pembangunan. Pengabaian mereka akan menyebabkan konflik dan merugikan kedua belah pihak. Masyarakat akan dirugikan dengan tertutupnya akses terhadap sumberdaya. Disisi lain, karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya maka kegiatan ekowisata akan sulit untuk bertahan (Gurung 1995). Keterlibatan masyarakat lokal dalam pembangunan ekowisata sudah menjadi isu yang sangat penting (Furze et al. 1997; Wall & Ross 1998). Masyarakat lokal selain sering dituduh sebagai perusak alam, mereka juga ratarata merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian, para penggiat ekowisata percaya bahwa masyarakat lokal dapat berperan sangat besar dalam pencapai tujuan ekowisata. Masyarakat lokal tidak hanya dapat dilibatkan dalam inventarisasi kawasan tapi juga dalam konsultasi, insiasi aksi sampai pengambilan keputusan (Furze et al. 1997; Saunier &Meganck 1995). Beberapa contoh sukses dalam melibatkan masyaralat lokal sebagai bagian dari pengelola di kegiatan pengembangan ekowisata ialah Annapurna Conservation Area, Nepal (Weaver 1998; Lama 1995; Gurung dan De Coursey 1994), Huatulco, Oaxaca, Mexico (Ishida 1999), dan Masai Mara/Serengeti Ecosystem, Kenya (Gakahu 1992). c. Pengembangan Ekonomi Lokal Secara konseptual pembangunan ekowisata di suatu kawasan harus membawa manfaat ekonomi bagi kawasan tersebut. Menurut Linberg (1998) ada tiga aspek ekonomi dalam ekowisata yaitu: bagi hasil dalam keuntungan dan biaya perawatan kawasan; biaya masuk dan pemasukan lainnya untuk mendukung program perlindungan; dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata. Dampak ekonomi kegiatan wisata terhadap kawasan sekitar dapat diidentifikasi melalui empat faktor. Keempat faktor tersebut yaitu (Loomis &Walsh 1997): pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak (sales and tax revenue), peluang pekerjaan, dan penghasilan (income) yang diperoleh masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata.
45
Jika peluang kerja dan income merupakan dampak ekonomi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat lokal, maka tax dan hasil penjualan tiket merupakan pendapatan yang masuk kepada pemilik obyek wisata seperti taman nasional atau pemerintah daerah. Untuk penghasilan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak, ada lima jenis biaya yang dapat dipungut dari wisatawan (Loomis &Walsh 1997; Linberg 1998). Pertama, biaya masuk (entrance fee) ialah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki kawasan. Kedua, admission fee yaitu biaya yang dipungut saat wisatawan menggunakan fasilitas tertentu. Ketiga, User fee adalah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki obyek wisata tertentu. Keempat, License and Permit Fee yaitu biaya yang dikenakan pada wisatawan untuk
melakukan kegiatan tertentu seperti
berburu atau memancing misalnya. Kelima, sales and concessions fee adalah biaya yang dikenakan pada partner kerja seperti untuk jasa pemasaran, penggunaan logo dan trademarks. Pengembangan ekowisata di Galapagos National Park, Equador dan Monteverde Cloud Forest Reserve, Costa Rica merupakan contoh sukses ekowisata yang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi lokal (Boo 1990b). Pendapatan yang diperoleh dari entrance fee di kedua lokasi tersebut mampu menutupi
biaya operasional pengelolaan kawasan. Sementara bagi
masyarakat, pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekowisata merupakan sumber pendapatan kedua terbesar setelah pertanian.
d. Produk Ekowisata yang edukatif Seperti yang sudah diuraikan dalam batasan ekowisata, produk ekowisata harus bermuatan pendidikan dan pembelajaran baik mengenai alam dimana obyek wisata berada maupun budaya masyarakat sekitarnya. Kegiatan wisata yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya ialah interpretasi lingkungan, seperti pengamatan flora dan fauna, wisata kanopi, dan penyajian multi media di pusat informasi (Dephut 1998; Lindberg et al. 1998; Sekartjakrarini &Legoh, 2003). Interpretasi adalah suatu produk dan proses (Sekartjakrarini &Legoh, 2003; Ceballos-Lascurain 1996). Dalam pengertian produk wisata, interpretasi adalah suatu produk dengan muatan nilai-nilai substantif sumber-sumber alam/budaya,
46
pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini &Legoh. 2003). Dalam pengertian proses, kegiatan interpretasi seperti ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, dengan pemahaman akan ada apresiasi, dan dari apresiasi menimbulkan kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap alam (Sudarto 1999; Lindberg et al. 1998). Pengembangan kegiatan interpretasi di Kanah National Park, India merupakan salah satu contoh sukses kegiatan interpretasi yang dapat mengubah persepsi dan kepedulian pengunjung dan pegawai terhadap lingkungan (Ceballos-Lascurain 1996).
e. Dampak Lingkungan Ceballos-Lascurain (1996) mengidentifikasi setidaknya ada delapan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan wisata. Kedelapan dampak tersebut yaitu: dampak terhadap formasi bebatuan, tanah, air, tumbuhan, hidupan liar, sistem sanitasi, lansekap, dan lingkungan sosial budaya. Secara garis besar, dampak yang ditimbulkan dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu dampak terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya. Untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan fisik, faktor daya dukung lingkungan merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam pembangunan sarana dan prasarana ekowisata. Daya dukung lingkungan untuk ekowisata adalah kapasitas maksimum dari penggunaan suatu area yang dapat memenuhi kepuasan pengunjung secara optimum, dan seminimum mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya (Boo 1990). Daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu karakteristik wisatawan dan faktor lingkungan biofisik kawasan (Soemarwoto 1986). Bentuk
dampak
kegiatan
wisata
terhadap
kondisi
sosial-budaya
masyarakat setidaknya dapat ditemukan dalam dua literatur yaitu Gartner (1996), Ceballos-Lascurain (1996), dan Barrow (2000). Menurut literatur tersebut bentuk dampak yang dapat diidentifikasi diantaranya: a) ketakutan masyarakat akan perubahan, b) perubahan struktur sosial dan mata pencaharian, c) perubahan nilai lahan, d) perubahan standard hidup, e) perubahan sistem ekonomi, f) perubahan sistem nilai, g)budaya sebagai komoditas komersial, h) kriminalitas terhadap wisatawan, i) kesehatan, dan lainnya.
47
2.4.4
Hasil-hasil Penelitian Mengenai Ekowisata Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memahami sejauh mana konsep
ekowisata dapat diimplementasikan. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Jones (1997) telah memberikan kontribusi dengan membuat suatu konseptual model perencanaan ekowisata bersama masyarakat lokal di Calakmul Region, Mexico. Penelitian yang dilakukan oleh Reimer (1994) memberikan kontribusi dalam pengembangan metodologi penelitian partisipatif. Studi mengenai kesetaraan, kekuasaan dan proses dalam partisipasi masyarakat juga telah dilakukan oleh Peter (1997).
Indikasi adanya gap atau kesenjangan antara teori
dan kenyataan dalam penyusunan rencana aksi bersama masyarakat dapat dilihat pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Tasosa (1993).
Menurut hasil
penelitian tersebut, keterbatasan dalam berpartisipasi dapat menimbulkan masalah terutama jika hal tersebut disebabkan karena kurangnya representasi atau keterwakilan para pihak. Penelitian mengenai partisipasi masyarakat juga dilakukan oleh Pratiwi (2000). Hasil penelitian ini menunjukan adanya gap antara level partisipasi masyarakat yang dikonseptualisasikan dalam literatur dengan fakta empiris dilapangan. Agrawal dan Redford (2006) melakukan identifikasi terhadap 12 (duabelas) penelitian empiris mengenai ekowisata di negara berkembang, termasuk Indonesia. Mereka mengidentifikasi peran ekowisata dalam isu konservasi dan kemiskinan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penelitian ekowisata lebih banyak terfokus pada program ekowisata tidak pada pengaruhnya terhadap kondisi nyata di lapangan. Dari 12 penelitian empiris, hanya 4 penelitian mengindikasikan adanya pengaruh ekowisata terhadap isu konservasi dan kemiskinan. Dua studi menunjukan pengaruh yang terbatas sedangkan dua studi lainnya menunjukan pengaruh yang nyata. Ekowisata berperan setidaknya terhadap empat indikator konservasi, yaitu: pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumberdaya. Sedangkan untuk isu kemiskinan, kontribusi ekowisata diantaranya peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah yang bekerja, perbaikan infrastruktur, partisipasi lokal, dan pembagian keuntungan yang adil. Di kawasan TNGH sudah ada beberapa penelitian mengenai ekowisata.
48
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (1994) memberikan kontribusi dalam hal metode pengembangan wisata alam melalui pemahaman akan keterkaitan antara ketersediaan sumberdaya dan potensi permintaan. Hasil dan kesimpulan yang diperoleh diantaranya menyebutkan bahwa potensi wisata di TNGH cukup besar, karena letaknya yang strategis namun kurang didukung oleh sarana perhubungan dan fasilitas wisata, sehingga umumnya belum berfungsi sebagai tempat wisata. Pada tahun 2002, Nugraheni melakukan penelitian lanjutan mengenai sistem pengelolaan ekowisata yang berbasis masyarakat di TNGH. Hasil analisis yang dilakukan ialah : 1) Proses pengembangan ekowisata di TNGH dilakukan dengan
perencanaan
yang
didasarkan
pada
konsep
ekowisata
yang
menggabungkan wisata alam, konservasi alam dan lingkungan, partisipasi dan manfaat terhadap masyarakat lokal; dan 2) persepsi masyarakat sebagian besar positif terhadap pengembangan kegiatan ekowisata; dan 3) partisipasi masyarakat sudah terbentuk sejak dimulainya kegiatan ekowisata melalui pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM), namun partisipasi yang ada masih bersifat fungsional. Ambinari (2003) mengkaji strategi promosi kegiatan wisata di TNGH. Kajian ini dilakukan melalui evaluasi terhadap kegiatan promosi yang telah dilaksanakan. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa promosi telah dilakukan oleh Balai TNGH adalah dengan media iklan, humas, kunjungan, dan promosi penjualan, namun belum optimal karena masih bersifat umum dan tidak secara aktif dan langsung kepada sasaran ekowisata TNGH dengan strategi bauran promosi. Widada (2004) melakukan penelitian mengenai nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan TNGH, termasuk diantaranya pemanfaatan untuk ekowisata. Dengan menggunakan Analisis Nilai Ekonomi Total (NET) diperoleh hasil bahwa diasumsikan ekowisata dapat menyumbang 12,7% atau Rp. 1,27 milyar dari total nilai manfaat TNGH per tahun. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pengembangan ekowisata ialah promosi, pemeliharaan sarana dan prasarana, kerjasama antar lembaga, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia staf BTNGH.
49
2.5 Teori Teori, menurut Babbie (1998), adalah penjelasan yang sistematis untuk observasi-observasi yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan. Teori dalam penelitian ini digunakan untuk membantu peneliti dalam memahami fenomena yang terjadi dilokasi studi. Mengacu pada Alwasilah (2002), Moleong (2002), dan Babbie (1998), posisi teori seperti ini dalam penelitian dimungkinkan. Jadi selama teori tersebut dapat membantu peneliti dalam memahami fenomena maka teori tersebut yang akan digunakan sebagai referensi. Beberapa teori yang dianggap relevan diantaranya teori konflik, teori institusi, teori akses, dan teori partisipasi. Berikut penjelasan masing-masing teori tersebut. 2.5.1
Teori Konflik Ada tiga aliran dalam teori konflik yaitu teori yang dikembangkan oleh
Dahendorf pada tahun 1958, Lewis Coser pada tahun 1956, dan Randal Collins pada tahun 1975 (Ritzer &Goodman. 2005). Dahendorf melalui karyanya yang berjudul “Class and Class Conflict in Industrial Society” berpendapat bahwa masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Perubahan, pertikaian dan konflik dalam sistem sosial merupakan sumbangan dari berbagai elemen kemasyarakatan. Sedangkan, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas. Aliran ini menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Aliran kedua teori konflik dikembangkan oleh Lewis Coser. Melalui karyanya yang berjudul “The Function Of Sosial Conflict”, Coser berpendapat bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar atau dapat membangun kohesi dengan kelompok lain melalui aliansi. Konflik juga dapat mengaktifkan peran individu yang tadinya terisolasi dan membantu fungsi komunikasi yang sebelumnya macet. Aliran ketiga teori konflik dikembangkan oleh Randall Collins. Dia berasumsi bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial dan mudah berkonflik dalam kehidupan sosialnya. Manusia juga berupaya mengoptimalkan "status subyektifnya”. Hal ini tergantung pada sumberdaya mereka maupun sumberdaya orang lain dengan siapa mereka berurusan. Stratifikasi sosial dipandang sebagai
50
institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan dan penyebab timbulnya konflik. Prinsip teori konflik Collins: •
orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif seorang individu; dan
•
orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Setidaknya ada enam (6) teori yang menjelaskan apa saja sumber dan
penyebab konflik. Teori-teori tersebut adalah (Malik et al. 2003; van der Merwe 1997 dalam Fisher et al. 2001): a. Teori Hubungan Masyarakat : teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Penyelesaian konflik yang disarankan ialah meningkatkan komunikasi, saling pengertian dan toleransi antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik. b. Teori Negosiasi Prinsip : menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihakpihak yang mengalami konflik. Menurut teori ini konflik dapat diselesaikan dengan memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu. Untuk melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak,
perlu ditingkatkan kemampuan pihak-pihak yang berkonflik
untuk melakukan negosiasi. c. Teori Kebutuhan Manusia : berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang dapat dicapai dari konflik menurut teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. d. Teori Identitas : berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Konflik dapat diselesaikan melalui fasilitasi
51
lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi ancaman-ancaman yang dirasakan. Forum dialog ini juga dapat digunakan untuk membangun empati, rekonsiliasi dan kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. e. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya: berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Penyelesaian konfllik yang disarankan ialah dengan menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain; mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain; dan meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. f. Teori Transformasi Konflik: asumsi yang digunakan teori ini ialah konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Penyelesaian konflik yang ditawarkan menurut teori ini adalah mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang; dan mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, rekonsiliasi, dan pengakuan.
2.5.2
Teori Institusi North (2000) menjelaskan bahwa ada tiga hal yang diperlukan untuk
memahami institusi, yaitu: teori institusi, kondisi empiris, dan perubahan ekonomi. Secara teoritis, institusi merupakan suatu gabungan yang kompleks dari aturan, norma dan keyakinan yang membentuk suatu cara bagaimana masyarakat beroperasi dan mendefinisikan pencapaian tujuannya. Asumsi dari teori ini adalah 1) tidak ada pasar yang efisien tanpa distrukturkan oleh pelakunya dan 2) pasar yang efisien tidak dapat diperoleh tanpa keterlibatan pemerintah dan organisasi sukarela dalam menghasilkan struktur sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Ada empat aspek yang diperlukan untuk memahami struktur dalam institusi, yaitu: bagaimana pilihan diagregatkan dalam politik pasar, kendala internal51 , proses 51
Kendala internal biasanya disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap bagaimana norma, perilaku, kesepakatan, dan etika
52
pelaksanaan, dan bagaimana kebijakan formal berubah 52 . Ada empat pendekatan yang biasa digunakan dalam memahami institusi. Keempat pendekatan tersebut ialah (Peters 2000): pendekatan normatif, pilihan rasional (rational choice), sejarah, dan empiris. Pendekatan normatif melihat institusi dari tiga aspek yaitu nilai yang dianut, budaya yang dikembangkan dan proses bagaimana budaya tersebut dibuat dan dipertahankan. Sedangkan pendekatan pilihan rasional mendefinisikan institusi sebagai sekumpulan aturan dan insentif. Anggota dari suatu institusi berlaku sebagai respon terhadap aturan dan insentif ini. Namun demikian, pada dasarnya individuindividu ini sudah memiliki seperangkat preferensi yang tidak dapat diubah oleh keterlibatannya dalam sebuah institusi. Pendekatan sejarah (historical institutions) berpendapat bahwa "the policy and structural choices made at the inception of the institution will have a persistent influence over its behavior for the reminder of its existence" atau pilihan kebijakan dan struktur yang dibuat pada awal dari suatu institusi akan memiliki pengaruh yang terus menerus terhadap perilaku selama institusi tersebut ada (Steinmo, Thelen and Longstreth, 1992 dalam Peters, 2000). Ide dari model ketergantungan (path dependency) merupakan sentral dari teori pendekatan sejarah ini. Pendekatan empiris (empirical institutionalism) mendefinisikan institusi sebagai sebuah formal struktur dari kepemerintahan. Pendekatan ini mengkaji apakah institusi membuat perubahan dalam melakukan pilihan kebijakan atau stabilitas politik. Pendekatan ini memfokuskan pada perbedaan antara struktur presidential atau parlemen. Ada tiga hal yang menjadi benang merah dari keempat pendekatan diatas. Pertama, semua pendekatan menganggap bahwa struktur institusi penting. Kedua, struktur organisasi akan tetap bertahan meskipun anggota baru datang dan pergi. Ketiga, struktur menyebabkan regularitas dalam perilaku manusia.
berkembang dan berpengaruh terhadap masyarakat (North 2000:8). 52 Kebijakan formal merupakan satu-satunya faktor yang dapat dikontrol secara langsung untuk melakukan perubahan terhadap masyarakat. Hal yang sama sulit dilakukan pada norma-norma informal (North 2000:8).
53
2.5.3
Teori Akses Teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai
kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things). Gagasan ini merujuk pada adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan bukannya pada ikatan hak (bundle of rights). Konsep akses menjelaskan bagaimana aktor dapat memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya melalui suatu hubungan sosial yang luas dan bukannya pada hubungan properti semata. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa ada seseorang atau beberapa orang ataupun lembaga yang dapat memperoleh keuntungan dari memanfaatkan sumberdaya, tidak peduli apakah memiliki hak atas sumberdaya tersebut atau tidak. Konsep akses seperti ini memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan (dan tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi seperti apa). Analisis
akses
dengan
demikian
adalah
suatu
proses
untuk
mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Ribot dan Peluso menemukan 8 mekanisme akses sumberdaya yang tidak berbasis hak: akses teknologi, akses kapital/modal, akses pasar, akses buruh dan peluang buruh, akses pengetahuan, akses kewenangan, akses identitas sosial, dan akses hubungan sosial. Dua hipotesis dari teori ini yaitu: (1) seseorang dan institusi akan diposisi berbeda dalam kaitannya dengan sumberdaya pada berbagai momen sejarah dan skala geografi; (2) tesis pada no 1 berubah setiap saat. 2.5.4
Teori Partisipasi Ada tiga teori yang digunakan dalam menganalisis partisipasi yaitu
democratic theory, social mobilization theory and social exchange theory (Howell et al.1987). Dibangun pada abad ke-18 oleh para filsuf yang mendalami masalah politik. Asumsi dasar dari democratic theory menyebutkan bahwa semua anggota komunitas harus memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan keprihatinan mereka terhadap isu publik yang berdampak terhadap mereka. Untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus terlibat dan kesempatan untuk terlibat harus disediakan oleh pihak otoritas (Pateman 1970 dalam Howell et al. 1987).
54
Asumsi dasar dari teori partisipasi publik ke-2, social mobilization theory, ialah masyarakat yang terlibat dalam organisasi atau aktivitas kemasyarakatan cenderung lebih memiliki informasi atau kepedulian terhadap permasalahan publik (Olsen 1982 dalam Howell et al. 1987). Teori ini menyarankan bahwa suatu program pembangunan akan mendapat dukungan dari masyarakat jika melibatkan organisasi masyarakat yang sudah ada. Teori partisipasi publik yang terakhir, social exchange theory, menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Homans 1961 &Blau 1964 dalam Howell et al. 1987). Argumen ini dibuat dengan asumsi jika suatu kegiatan tidak memberikan manfaat yang jelas maka masyarakat sangat kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi, kecuali adanya pengaruh loyalitas atau kepedulian terhadap persoalan publik (Howell et al. 1987). Teori ini menyaran tiga faktor penting yang perlu ditetapkan atau dibangun untuk memulai partisipasi. Ketiga faktor ini ialah meminimisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa saling percaya antara para pihak yang terlibat (Howell et al. 1987).
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Secara administratif TNGHS termasuk ke dalam wilayah 2 provinsi dan 3 kabupaten, yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bogor dan Sukabumi, dan Provinsi Banten yang meliputi Kabupaten Lebak (Gambar 5). Pada tahun 1992, kawasan seluas 40.000 hektar ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992. Pada tahun 2003, melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003, kawasan ini diperluas menjadi ± 113.357 (seratus tiga belas ribu tiga ratus lima puluh tujuh) hektar dan berubah namanya menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Kedua SK Menteri Kehutanan tersebut masih bersifat penunjukan atau penetapan sementara. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, untuk ditetapkan sebagai kawasan taman nasional ada dua tahapan lagi yang harus dilakukan yaitu penataan batas dan pemetaan. Berdasarkan pertimbangan status kawasan, proses penataan batas dan ketersediaan data, untuk penelitian ini batas administrasi yang akan digunakan ialah batas TNGH. Namun demikian karena SK penunjukan TNGHS juga merupakan salah satu sumber konflik, maka dalam pengumpulan
data
maupun
analisis,
isu
perluasan
kawasan
ini
tetap
dipertimbangkan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kawasan TNGH dipilih sebagai lokasi studi. Pertama, lokasi ini memiliki kelembagaan terkait yang kompleks baik lembaga formal (Pusat, 2 Provinsi, dan 3 Kabupaten) maupun lembaga nonformalnya seperti Kasepuhan (Adimihardja 1992; Adimihardja et al. 1994; Nijima 1997; Ambinari 2004). Kedua, memiliki potensi ekowisata yang sudah dikembangkan di tiga lokasi yang berpusat di Kampung Leuwijamang di Utara, Kampung Citalahab di bagian Barat, dan Kampung Pangguyangan di Selatan (Ambinari 2004; Nugraheni 2002; Keiji 2001; Rosdiana 1994). Ketiga, fakta adanya konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah (Adimihardja 1992; Hendarti 2004; Hidayati 2004 dan Hanafi et al. 2004; dan Galudra 2003).
55
Gambar 5. Letak geografis dan administratif THGHS
Sumber: hasil pengolahan data oleh RMI tahun 2003 dari berbagai sumber
56
57
Untuk pengambilan sampel, empat lokasi dipilih secara purposive sampling. Kriteria pemilihan lokasi studi ini adalah: keterwakilan dua karakteristik komunitas di kawasan TNGHS (Kasepuhan dan non-Kasepuhan); merupakan daerah tujuan ekowisata dan/atau memiliki obyek wisata; dan lokasi studi berada di dalam dan/atau luar kawasan TNGH. Lokasi yang dipilih berdasarkan kriteria ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Lokasi studi Kriteria Di dalam kawasan TNGH
Di luar kawasan TNGH
Masyarakat Kasepuhan Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak
Masyarakat Non-Kasepuhan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Adapun waktu penelitian dilakukan selama 4 semester terdiri dari persiapan, pengambilan data lapangan, analisis data
dan penulisan disertasi.
Alokasi untuk masing-masing kegiatan disajikan pada Tabel 3. Observasi dan pengambilan data lapangan pada empat lokasi dilakukan mulai Juni 2006-April 2007 (Lampiran 1).
Tabel 3 Jadwal penelitian 2006 KEGIATAN 1 Studi Literature Observasi lapangan Penulisan proposal Prelim Kolokium Penelitian Pengolahan Data dan Analisis Penulisan Seminar
Semester 2 2 3 4 5
6
1
2007 Semester 3 2 3 4 5
6
1
Semester 4 2 3 4 5
6
7
8
Semester5 9 10 11
12
58
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua konsep pendekatan yaitu konsep Institutionalist Tenure Security (ITS) dan konsep ekowisata. Kedua konsep ini kemudian digunakan untuk melakukan identifikasi karakteristik konflik di lokasi studi. Konsep ITS digunakan untuk melakukan analisis institusi yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Sedangkan konsep ekowisata digunakan untuk mengevaluasi kegiatan ekowisata yang sudah ada apakah sudah memenuhi kriteria kecukupan konsep ekowisata yang ideal atau tidak. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu model institusi ekowisata yang dapat mengurangi konflik. 3.2.1
Paradigma Penelitian Paradigma 53 penelitian yang akan digunakan ialah kualitatif 54 yang
menekankan pada penggambaran dan pemahaman fenomena55 yang kompleks pada hubungan antar faktor yang berpengaruh. Alwasilah (2002) menyebutkan ada empat asumsi yang mendasari penelitian kualitatif: 1) realitas (pengetahuan) dibangun secara sosial sehingga dapat ada relitas jamak; 2) realitas dibentuk secara kognitif (dalam pikiran kita), maka tidak dapat terlepas dari peneliti; 3) seluruh entitas selalu dalam keadaan saling mempengaruhi dalam proses pembentukan serentak sehingga tidak mungkin dapat dibedakan secara jelas sebab dari akibat; 4) peneliti tidak dapat dipisahkan dari yang diteliti maka penelitian itu terikat nilai. Dalam penelitian ini beberapa hal yang mendasari pemilihan paradigma kualitatif ini diantaranya: 1) tujuan dari penelitian untuk memahami fenomena sosial (konflik) dari perspektif para aktor yang terkait; dan 2) teknik penelitian dalam paradigma kualitatif membantu memahami definisi situasi yang diteliti dengan menggambarkan fenomena yang dikemas secara deskriptif.
53 Dalam metodologi penelitian, paradigma merujuk pada seperangkat pranata kepercayaan bersama metode-metode yang menyertainya (Alwasilah AC 2002:78). 54 Karakteristik paradigma kualitatif diantaranya: tempat dan waktu yang alamiah; manusia sebagai instrumen pengumpul data primer; menggunakan pengetahuan yang tidak eksplisit; menggunakan metode kualitatif; analisis data secara induktif; hasil penelitian yang disepakati oleh peneliti dan responden; pemilihan sample secara purposive; cara pelaporan penelitian studi kasus; tafsir idiografik atau kontekstual; mengikuti kriteria khusus untuk menentukan keterpecayaan (Lincoln & Guba 1985 dalam Alwasilah 2002). 55 Fenomena ialah sebuah terminologi filosofi mengenai pemahaman baik yang bersifat subyektif maupun obyektif terhadap apa yang terjadi dan/atau dialami oleh seseorang (Babbie 1998: 281).
59
Mengacu pada lima tradisi penelitian kualitatif56 dalam Creswell (1998), penelitian ini memfokuskan pada sebuah studi kasus. Analisis secara mendalam akan dilakukan pada berbagai sumber data baik yang diperoleh secara primer maupun sekunder.
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data Baik data primer maupun sekunder, dikumpulkan dengan menggunakan sample. Menurut Miles & Huberman (1992), Alwasilah (2002), dan Babbie (1998), sample dalam penelitian kualitatif dimungkinkan. Karakteristik teknik pengambilan sample yang biasanya digunakan penelitian kualitatif diantaranya non-probability sampling, purposive sampling dan snowballl sampling. Data
kemudian
diolah
dengan
menggunakan
statistik
deskriptif
(diantaranya dalam bentuk persentase). Hal ini membantu dalam menggambarkan hasil kategorisasi data yang diberikan responden (depth interview/questionaire) maupun yang teridentifikasi dari dokumen(content analysis). Dalam penelitian sosial yang menggunakan metode kualitatif (Alwasilah 2002, Moleong 2002, Babbie 1998, dan Creswell 1998) dan teknik content analysis (Sebo 1996, Henderson 1991, dan Krippendorf 1980) hal ini dimungkinkan. A. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan dua tahap. Pertama dengan melakukan observasi 57 . Observasi lapangan dilakukan untuk verifikasi data dan informasi yang diperoleh dari hasil analisis data sekunder. Tahap kedua ialah dengan melakukan survei 58 . Survei dilakukan dengan teknik wawancara 59 dan kuesioner 60 . Kedua teknik digunakan untuk menggali informasi lebih mendalam dari responden.
56
Lima tradisi penelitian kualitatif Biography, Phenomenology, Grounded Theory, Ethnography, dan studi kasusu (Case Study). 57 Observasi merupakan kegiatan /aktivitas yang pasif yang biasa digunakan peneliti dengan tujuan untuk menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut-atributnya (Babbie 1998). 58 Survei adalah cara untuk mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk meneliti populasi secara langsung. Ada tiga teknik survei yaitu self administered quessionaires, wawancara, dan telephone survei (Babbie 1998). 59 Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden (Babbie 1998). 60 Kuesioner adalah sebuah dokumen yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan bentuk-bentuk lainnya yang dirancang untuk memperoleh informasi yang layak untuk dianalisis (Babbie 1998).
60
Responden dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling dan metode snowball. Metode purposive sampling digunakan untuk memilih lokasi penelitian dengan kriteria sebagai berikut: mewakili masyarakat adat atau kasepuhan; terletak di dalam atau di luar kawasan TNGH; sudah dikembangkan kegiatan ekowisata dan/atau memiliki obyek ekowisata. Populasi dalam setiap lokasi studi yang terpilih dikelompokkan berdasarkan kategori stakeholders: utama, kunci, dan pendukung 61 . Kemudian, untuk mendapatkan responden yang memahami isu yang sedang diteliti maka metode snowball digunakan untuk menentukan responden yang dianggap relevan pada setiap kelompok stakeholders. Dengan metode snowball, responden diperoleh berdasarkan informasi dari responden sebelumnya (responden kunci). Pada pengumpulan data primer ini, content analysis digunakan untuk mengekstrak informasi dari hasil wawancara. Total jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 60 responden, selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Survey dan observasi lapangan dilakukan selain mengunjungi lokasi studi dan mengikuti beberapa pertemuan seperti seminar, diskusi terfokus, lokakarya, dan konsultasi publik yang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan ekowisata di TNGH. Survey dan observasi ke empat lokasi studi dilakukan antara bulan Desember 2006 sampai dengan April 2007 (Lampiran 1 bagian C). Sampai dengan bulan April 2007, ada delapan pertemuan yang diikuti (Lampiran 1 bagian A). Di luar pertemuan tersebut, penulis mengumpulkan dokumentasi 6 pertemuan lainnya yang terkait dengan pengelolaan TNGH (Lampiran 1 bagian B). Pertemuan tersebut diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah, LSM maupun institusi pendidikan.
B. Data sekunder Data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh institusi terkait. Dokumen ini berupa buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan (diskusi, workshop, seminar) dan lain sebagainya. Sampai dengan Juli 2007, diperoleh sekitar 155 dokumen yang terkait dengan kegiatan ekowisata, taman nasional dan TNGH sebagai lokasi studi. Dokumen ini terdiri dari 84 61
Pembahasan mengenai kategori stakeholders dapat dilihat pada Bab III Metode Penelitian Sub Bab 3.2.4.2.
61
berupa dokumen penelitian, makalah, buku dan leaflet (Lampiran 2). Sedangkan 71 (Tujuh puluh satu) dokumen lainnya berupa dokumen peraturan perundangan (Lampiran 3).
Tabel 4 Jumlah responden dalam penelitian No Stakeholders 1. Masyarakat Lokal 2. Pemerintah Desa 3. Pemerintah Kecamatan 4. Pemerintah Daerah Kabupaten 5. Pemda Provinsi
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pemerintah Pusat Perum Perhutani LSM Swasta Lembaga Donor Akademisi/Peneliti Total
Jumlah 7 12 6 3
Keterangan Masy. Kasepuhan Cibedug & Ciptarasa Masy. Non-Kasepuhan Kepala Desa, Sekretaris Desa dan BPD Camat dan Aparat Keamanan
9 DPRD, Dinas Kehutanan, Tata Ruang, Dinas Pariwisata dan Bapemdes 3 BAPPEDA Prov. Jawa Barat, Dinas Tata Ruang Prov. Jawa Barat , Dinas Sosial Prov. Jawa Barat 7 Ditjen PHKA, Kepala Wilayah BTNGH 2 Perum Perhutani Jawa Barat 7 RMI, LATIN, YEH, Absolut 1 PT. Nirmala Agung 2 JICA 1 IPB 60
Dokumen tersebut dikumpulkan dengan menggunakan non-propability sampling design yaitu convenience dan purposive sampling 62 . Convinience sampling karena populasi dokumen yang terkait dengan penelitian tidak dapat diidentifikasi.
Sedangkan
purposive
sampling
design
digunakan
untuk
menemukan dokumen yang sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu dengan membangun kriteria. Adapun kriteria pemilihan dokumen diantaranya adalah: memiliki substansi terkait dengan topik penelitian (ekowisata, kebijakan, konflik); dokumen cetak atau digital ; tahun publikasi sampai dengan April 2007; dan dapat berupa artikel jurnal, buku, laporan hasil penelitian atau seminar yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris atau keduanya (bilingual). Setelah
dokumen
terkumpul
kemudian
dikategorisasikan
dengan
menggunakan kriteria: 1) jenis dokumen (laporan, hasil penelitian, artikel jurnal,
62
Non-probability sampling design:merupakan rancangan pengambilan sample jika sampling frame tidak diketahui. Ada dua teknik yang dapat digunakan jika sampling frame tidak diketahui yaitu 1) Convenience sampling : sample diambil dimana dan kapan saja sample itu diperoleh, dan 2) Purposive sampling ialah teknik pengambilan sample dengan menggunakan / membangun kriteria (Riffe et al. 1998).
62
makalah seminar atau bahan presentasi, notulensi atau hasil rumusan workshop, buku, leaflet, atau lainnya) ;2) jenis publikasikan (dipublikasikan, terbatas, atau tidak); 3)bentuk dokumen :cetak, atau digital; dan 4) ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris atau keduanya (bi-lingual). Berdasarkan kriteria tersebut, berikut ini hasil kategorisasi terhadap 84 dokumen yang terkumpul: •
Jenis dokumen: 31,2% berupa makalah yang dipresentasikan di seminar atau workshop. 29,9%
dokumen hasil penelitian dan 22,1% berupa dokumen
laporan instansi atau proyek. Selebihnya jenis dokumen yang terkumpul berupa notulensi/rumusan worshop (1,3%), buku (9,1%), dan leaflet (6,5%). •
Jenis publikasi: 79,2% dokumen merupakan dokumen yang dipublikasikan secara terbatas seperti dalam seminar dan workshop. 13% merupakan dokumen yang dipublikasikan seperti buku ataupun dokumen online. Sedangkan selebihnya (7,8%) merupakan dokumen yang tidak dipublikasikan seperti laporan proyek.
•
Bentuk dokumen: cetak sebanyak 88,3%, dan digital sebanyak 11,7%.
•
Bahasa: Indonesia 79,2%, Inggris 19,5%, dan bilingual 1,3%. Seluruh dokumen yang diperoleh digunakan untuk menyusun profil atau
gambaran umum daerah studi yang disajikan pada bab IV. Dokumen ini juga digunakan untuk mengidentifikasi stakeholders dan kebutuhannya yang merupakan bagian dari analisis institusi (hasil disajikan pada bab V Hasil Analisis). Dari 71 dokumen kebijakan, 47 diantaranya digunakan untuk analisis asumsi sebagai kebijakan yang harus diikuti oleh semua stakeholder. Dokumen tersebut terdiri dari 9 buah Undang-undang, 20 buah Peraturan Pemerintah dan Surat Keputusan/Instruksi Presiden, 14 buah Peraturan /Keputusan atau Surat Edaran Menteri dan 4 buah dokumen kebijakan seperti buku pedoman (guideline) dari departemen terkait. 24 dokumen kebijakan lainnya digunakan pada analisis asumsi untuk mengidentifikasi bagaimana kebijakan diatasnya direalisasikan di tingkat Provinsi, Kabupaten dan TNGH/S (Lampiran 3 nomor 48 s/d 71). Dokumen tersebut terdiri dari dua buah Surat Keputusan Menteri untuk lokasi studi di
63
TNGH/S, 3 buah Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi, dan 19 buah Peraturan Daerah. Untuk analisis ekowisata, dari 84 dokumen, terdapat 43 dokumen yang terkait langsung dengan kegiatan ekowisata di TNGH. 38 (tiga puluh delapan) diantaranya memberikan informasi yang mencukupi dan digunakan dalam analisis kriteria kecukupan ekowisata. Daftar dokumen tersedia pada Lampiran 4. Dokumen yang diperoleh kemudian dikategorikan sebagi berikut: •
Jenis dokumen: 36,8% berupa makalah yang dipresentasikan di seminar atau workshop. 15,8%
dokumen hasil penelitian dan 21,1% berupa dokumen
laporan instansi atau proyek. Selebihnya jenis dokumen yang terkumpul berupa notulensi/rumusan worshop (2,6%), buku (13,2%), dan leaflet (10,5%). •
Jenis publikasi: 89,5% dokumen merupakan dokumen yang dipublikasikan secara terbatas seperti dalam seminar dan workshop. 5,3% merupakan dokumen yang dipublikasikan seperti buku ataupun dokumen online. Sedangkan selebihnya (5,2%) merupakan dokumen yang tidak dipublikasikan seperti laporan proyek.
•
Bentuk dokumen: cetak sebanyak 89,5%, dan digital sebanyak 10,5%.
•
Bahasa: Indonesia 68,4%, Inggris 29%, dan bilingual 2,6%. Dari dokumen yang terpilih, data diidentifikasi dengan menggunakan
content analysis. Jenis data yang dianalisis adalah kata-kata, kalimat, paragraph, bagian atau bab dari suatu dokumen tertulis (Borg et al. 1989 dan Henderson 1991).
Informasi dikumpulkan baik berdasarkan manifest 63 maupun latent
content 64 dari sumber data (Fraenkel et al. 1996). Proses content analysis ini dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab berikut ini.
C. Content Analysis Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Henderson 1991 dan Krippendorf 63
Manifest content adalah arti dari kata-kata, kalimat, paragraph, bagian atau bab yang dapat dipahami secara langsung tanpa memerlukan suatu inferensi (Fraenkel et al. 1996). 64 Latent content adalah arti dari kata-kata, kalimat, paragraph, bagian atau bab yang dapat dipahami melalui suatu inferensi atau kesimpulan (Fraenkel et al. 1996); mengacu pada arti dibalik kata yang diucapkan atau yang tertulis (Sebo 1996).
64
1980). Teknik penelitian ini dapat berupa teknik kuantitatif yang sistematis dan dapat direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al. 1996). Jenis data yang dikumpulkan untuk teknik analisis ini adalah kata, kalimat, paragraph, sub-bagian, bagian dan buku (Borg et al. 1989; Henderson 1991). Dari data tersebut ada dua jenis content yang dianalisis yaitu manifest dan latent content (Fraenkel et al. 1996). Dalam melakukan analisis manifest content, sumber data diidentifikasi berdasarkan arti yang dapat dipahami secara langsung tanpa ada inferensi. Sedangkan dalam melakukan analisis latent content, dilakukan inferensi terhadap sumber data yang dilihat berdasarkan komposisi, maner dan ordernya. Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, dapat direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al. 1996; Pratiwi 2000). Ada 13 (tiga belas) tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis. Adapun tahapan tersebut adalah identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, buat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, proses data dan laporkan hasil (Borg et al. 1989; Riffe et al. 1998; Fraenkel et al. 1996, dan Krippendorff 1980).
D. Reliabilitas Data dalam Content Analysis Ada tiga jenis reliabilitas 65 dalam melakukan content analysis, yaitu stabilitas, pengulangan, dan akurasi (Babbie 1998; Kripendorf 1980). Stabilitas
65
Reliabilitas adalah istilah yang menjelaskan tahap sejauh mana analisis/pengukuran yang dilakukan memberikan hasil yang konsisten (diterjemahkan dari Ritchie & Goeldner 1994).
65
adalah suatu tahap dimana proses pengumpulan data berubah dari waktu ke waktu. Pengulangan (reproducibility) adalah tahap dimana proses pengumpulan data dapat dibuat ulang dengan kondisi dan observer atau penilai (rater) yang berbeda. Akurasi ialah tahap dimana proses pengumpulan data sesuai dengan standard umum yang sudah diketahui atau berkembang sesuai dengan yang diinginkan. Perbedaan ketiga jenis desain test reliabilitas ini dapat dilihat pada Tabel 5. Untuk penelitian ini akan digunakan test-test desain. Dalam test-test design, nilai realiabilitas ditentukan dengan menggunakan The Holsti formula (Kiah 1976). Adapun rumus The Holsti formula tersebut adalah sebagai berikut : R=
2(C 1, 2)
dimana,
C1+C2
R
= nilai reliabilitas (the reliability rate)
2
= jumlah observer atau penilai ( dua atau lebih)
C 1, 2 = jumlah variabel yang disepakati oleh kedua penilai C1+C2 = Jumlah semua variabel yang dinilai Nilai reliabilitas dalam penelitian 80% sebagai minimum level yang diterima dari kesepakatan antar raters (Riffe et al. 1998).
Nilai reliabilitas ini juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi face validity 66 data yang dikumpulkan.
Table 5 Reliabilitas data dalam content analysis Jenis Reliabilitas Stabilitas
Desain Reliabilitas Test-retest
Kekuatan Relatif Uji konsistensi sebagai observer Lemah (Intra-observer inconsistencies)
Pengulangan
Test-test
Konsistensi sebagai observer (Intra- Cukup observer inconsistencies) dan kesepakatan antar observer (inter observer disagreements)
Akurasi
Test-standard
Jenis Kesalahan
Konsistensi sebagai observer (Intra- Kuat observer inconsistencies) dan kesepakatan antar observer (inter observer disagreements) dan systematic deviations from a norm Sumber: Babbie 1998; Krippendorff 1980. 66
Face validity atau logical validity menggambarkan ukuran berdasarkan kondisi empiris yang dapat diterima sebagai pemahaman umum dan pemahaman individu terhadap konsep yang diteliti (Babbie 1998: 133, 170).
66
Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan pada 2 analisis yang sebagian besar data dan informasinya menggunakan data sekunder berupa dokumen tertulis. Kedua analisis tersebut ialah analisis kebijakan dan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Dalam analisis kebijakan, uji reliabilitas dilakukan pada 3 dokumen dari 47 dokumen kebijakan yang dianalisis untuk kebijakan pengurusan hutan di Taman Nasional. Ketiga dokumen ini dipilih mewakili batasan hirarki kebijakan yang dianalisis dalam penelitian ini: a. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Hayati berserta ekosistemnya; b. Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; dan c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 32/Kpts-II/2001 Tentang : Kriteria Dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Sedangkan untuk analisis kriteria kecukupan ekowisata, dari 38 dokumen yang digunakan dalam analisis, tiga dokumen dipilih untuk diuji. Ketiga dokumen tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan: kesamaan dan kecukupan substansi yang disajikan dalam dokumen; ditulis oleh penulis yang berbeda; dokumen yang dipublikasikan dengan rentang waktu publikasi antara 1998-2007; dan mewakili bahasa dari dokumen yang dianalisis yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Adapun dokumen yang terpilih ialah: 1. Hartono, T. 1999. Ringkasan Pengalaman Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. dalam Sudarto, G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bekasi: Yayasan Kalpataru Bahari. Hal 78-84. 2. Hasibuan, G. 2003. Pengembangan Ekowisata di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Dept. Kehutanan dan BCP, JICA. 3. Sproule, KW., A.S. Suhandi. 1998. Guidelines for Community-Based Ecotourism Programs: Lessons From Indonesia. Dalam Lindberg, K., M.E.
67
Wood, D. Engledrum (editors). 1998. Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington, Vermont: The Ecotourism Society. Dokumen yang digunakan dalam uji reliabilitas dinilai oleh tiga penilai atau observer yang terdiri dari penilai utama dan dua penilai pembanding. Penilai utama ialah peneliti sendiri sedangkan penilai pembanding dipilih berdasarkan dua kriteria. Kedua kriteria tersebut ialah 1) penilai harus mempunyai latar belakang pendidikan dan/atau pengalaman bekerja dibidang ekowisata dan/atau pengelolaan sumberdaya alam, dan 2) penilai minimal berpendidikan sarjana dan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dan Inggris yang baik. Penilaian dokumen dilakukan dengan menggunakan tabel analisis dan protokol pengkodean yang sudah dibangun peneliti. Untuk uji reliabilitas sample dokumen yang digunakan pada analisis kebijakan tabel analisis disajikan pada Lampiran 5. Sedangkan tabel yang digunakan untuk uji reliabilitas pada analisis kriteria kecukupan ekowisata disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil perbandingan penilaian dengan kedua penilai tersebut, diperoleh rata-rata persentase hasil tes reliabilitas untuk dokumen yang digunakan pada analisis kebijakan adalah: •
rata-rata persentase kesepakatan antara peneliti (R) dengan penilai pertama (R1) adalah 86,1% ;
•
rata-rata persentase kesepakatan antara antara peneliti (R) dengan penilai kedua (R2) adalah 87,5%;
•
rata-rata persentase kesepakatan antara antara penilai pertama (R1) dengan penilai kedua (R2) adalah 84,7%;
hasil perhitungan rata-rata dari ketiga penilaian tersebut ialah 86,1%. Hasil penilaian disajikan pada Tabel 6, 7, dan 8 berikut ini.
Tabel 6 Tes reliabilitas dokumen kebijakan antara R-R1
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 20 21 21
Catatan: R= peneliti; R1=penilai 1
Variabel Tidak Disepakati 4 3 3
Jumlah
%
24 24 24
83,3 87,5 87,5 86,1
68
Tabel 7 Tes reliabilitas dokumen kebijakan antara R-R2
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 20 22 21
Variabel Tidak Disepakati 4 2 3
Jumlah
%
24 24 24
83,3 91,7 87,5 87,5
Catatan: R= peneliti; R2= penilai 2
Tabel 8 Tes reliabilitas dokumen kebijakan antara R1-R2
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 20 22 19
Variabel Tidak Disepakati 4 2 5
Jumlah
%
24 24 24
83,3 91,7 79,2 84,7
Catatan: R1= penilai 1; R2= penilai 2
Sedangkan untuk dokumen yang digunakan pada analisis ekowisata rata-rata persentase hasil tes reliabilitas adalah: •
82,1% untuk kesepakatan antara peneliti (R) dengan penilai pertama (R1);
•
85,9% untuk kesepakatan antara peneliti (R) dengan penilai kedua (R2); dan
•
80,8% untuk kesepakatan antara penilai pertama (R1) dengan penilai kedua (R2).
Hasil perhitungan rata-rata dari ketiga penilaian tersebut ialah 82,9%. Hasil penilaian disajikan pada Tabel 9, 10, dan 11 berikut ini.
Tabel 9 Tes reliabilitas dokumen ekowisata antara R-R1
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 21 22 21
Catatan: R= peneliti; R1= penilai 1
Variabel Tidak Disepakati 5 4 5
Jumlah
%
26 26 26
80,8 84,6 80,8 82,1
69
Tabel 10 Tes reliabilitas dokumen ekowisata antara R-R2
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 23 22 22
Variabel Tidak Disepakati 3 4 4
Jumlah
%
26 26 26
88,5 84,6 84,6 85,9
Catatan: R= peneliti; R2= penilai 2
Tabel 11 Tes reliabilitas dokumen ekowisata antara R1-R2
Dokumen 1 Dokumen 2 Dokumen 3 Rata-tata
Variabel Disepakati 21 21 21
Variabel Tidak Disepakati 5 5 5
Jumlah
%
26 26 26
80,8 80,8 80,8 80,8
Catatan: R1= penilai 1; R2= penilai 2
3.2.3 Validitas Data Validitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan ukuran yang secara akurat menggambarkan konsep yang diteliti (Babbie 1998:133). Dalam penelitian kualitatif, menurut Alwasilah (2002:169), validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran, dan segala jenis laporan. Dalam konteks ini, validitas merupakan tujuan bukan hasil dari penelitian. Validitas penelitian dilihat dari bagaimana proses peneliti untuk mendapatkan data dan informasi. Untuk menjaga validitas penelitiannya, tugas peneliti adalah menyajikan bukti dan landasan yang kuat. Ada empat aspek validitas yang perlu diperhatikan peneliti, yaitu: nilai kebenaran, penerapan, konsistensi dan kenetralan (Alwasilah 2002: 169). Aspek validitas
dalam
penelitian
kualitatif
adalah:
kredibilitas
(credibility),
transferabilitas (transferability), kehandalan (dependability / reliability), dan terkukuhkan (confirmability). Uji validitas dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan 14 teknik (Alwasilah 2002:175-185).
Keempat belas teknik
tersebut yaitu: 1) pendekatan modus operandi; 2) mencari bukti yang menyimpang dan kasus negatif; 3) triangulasi; 4) feedback; 5) member checks; 6) data yang melimpah (rich data); 7) quasi-statistics; 8) perbandingan; 9) audit; 10) observasi
70
jangka panjang; 11) partisipatori; 12) bias peneliti; 13) jurnal refleksi; dan 14) decision trail. Dalam penelitian ini, untuk memenuhi keempat aspek validitas, digunakan empat teknik uji validitas. Keempat teknik uji validitas tersebut ialah face validity, triangulasi, feedback, dan rich data. Teknik face validity digunakan untuk data yang diperoleh dari dokumen dengan content analysis. Sedangkan tiga teknik lainnya yaitu teknik triangulasi, feedback, dan rich data digunakan untuk validasi baik data primer maupun sekunder. Face validity atau logical validity menggambarkan ukuran berdasarkan kondisi empiris yang dapat diterima sebagai pemahaman umum dan pemahaman individu terhadap konsep yang diteliti (Babbie 1998: 133, 170). Menurut Riffe et al. (1998), face validity adalah kriteria minimum yang harus dipenuhi. Validitas ini dapat ditetapkan jika intersubjective agreement antar penilai cukup tinggi atau diatas minimum level agreement, yaitu 80%. Untuk melakukan uji face validity dapat digunakan hasil perhitungan tes reliabilitas sebagai tolok ukur. Pada penelitian ini, tes inter-rater reliabilitas dengan dua penilai lain diperoleh rata-rata nilai intersubjective agreement sebesar 86,1% untuk dokumen kebijakan dan 82,9% untuk dokumen yang berkaitan dengan ekowisata. Nilai ini secara tidak langsung menunjukan nilai uji face validity data. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa berdasarkan uji face validitas data dalam penelitian ini dianggap cukup valid. Triangulasi merupakan teknik uji validitas dimana data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian menggunakan metode yang berbeda (Alwasilah 2002) atau dari tiga sisi (Sitorus 1998). Pengumpulan data dengan metode dari tiga sisi menurut Sitorus (1998) ialah: 1) data dan informasi diperoleh melalui pengumpulan data primer hasil observasi lapangan dan penyebaran kuesioner; 2) data dan informasi diperoleh melalui studi literatur, dan 3) data dan informasi diperoleh berdasarkan metode analisis data yang telah dipilih oleh peneliti. Penggunaan ketiga metode ini diharapkan dapat saling menutupi kelemahan dan melengkapi data / informasi yang dibutuhkan sehingga dalam menangkap realitas masalah menjadi lebih dapat diandalkan/valid (Alwasilah 2002; Sitorus 1998). Syarat metode yang digunakan: tidak memiliki bias yang
71
sama dan tidak digunakan dengan tujuan mendukung kesimpulan yang sudah ada. Pada penelitian ini, teknik triangulasi diterapkan dengan menggunakan metode survei, observasi, dan wawancara untuk pengumpulan data primer. Sedangkan metode content analysis digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam metode triangulasi, keempat metode pengumpulan data dipilih karena memiliki bias yang berbeda. Perbedaan bias tersebut diuraikan sebagai berikut: a. survai merupakan teknik yang digunakan untuk mengukur eksistensi, distribusi dan hubungan antara fenomena yang menjadi perhatian peneliti (Alwasilah 2002). Kelemahan metode ini ialah minat responden dalam mengisi kuesioner yang diberikan; b. observasi merupakan teknik pengumpulan data yang memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan dari sudut pandang responden yang tidak terucapkan (Alwasilah 2002). Misalnya dari ekspresi, gestur tubuh ketika berbicara atau intonasi. Kelemahan metode observasi adalah tergantung pada ketepatan memilih waktu dan suasana serta kepercayaan yang dapat dibangun antara peneliti dan responden; c. wawancara atau interviu digunakan untuk mengumpulkan data yang lebih mendalam yang tidak dapat diperoleh melalui metode survai maupun observasi (Alwasilah 2002). Kelemahan metode ini adalah kesiapan peneliti dalam membuat daftar pertanyaan berikut penjelasannya jika diperlukan. Disisi lain, kejujuran responden juga sangat menentukan bias tidaknya data yang diperoleh; dan d. content analysis merupakan teknik pengumpulan data sekunder melalui analisis dokumen (Henderson 1991; Kripendorf 1980). Kelebihan teknik ini ialah tidak terikat ruang dan waktu, tidak mengganggu obyek yang diteliti, dan dapat direplikasi. Kelemahan teknik ini sumber data yang terbatas dan sulit menentukan kesepakatan antar penilai (Fraenkel et al. 1996). Teknik feedback
merupakan cara dimana peneliti meminta masukan,
saran, kritik, dan komentar dari orang lain (Alwasilah 2002).
Teknik ini
digunakan untuk mengidentifikasi bias, asumsi dan kelemahan logika penelitian. Pada penelitian ini teknik feedback digunakan dengan melakukan verifikasi
72
informasi kepada narasumber serta meminta masukan, saran, kritik, dan komentar melalui kegiatan seminar ataupun forum diskusi terbatas dengan mahasiswa dan/atau peneliti lainnya. Teknik Rich Data atau data yang melimpah merujuk pada data yang lengkap dan rinci yang diperoleh dari berbagai sumber (Alwasilah 2002). Fungsi data dalam teknik ini adalah untuk memperkaya dan menguatkan interpretasi terhadap fenomena penelitian. Teknik Triangulasi dan Feedback secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan data yang melimpah bagi penelitian ini.
3.2.4 Metode Analisis Ada tiga analisis pokok yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama ialah analisis konflik dengan menggunakan metode pemetaan konflik 67 yang dianggap relevan dengan tujuan studi ini. Kedua ialah analisis institusi pengurusan hutan dan institusi ekowisata yang dilakukan melalui tiga sub-analisis yaitu analisis stakeholders, analisis kebutuhan, dan analisis kebijakan (asumsi). Ketiga, untuk menguji kelayakan penggunaan konsep ekowisata dilakukan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Berikut uraian dan tahapan masing-masing metode analisis tersebut.
3.2.4.1 Analisis Pemetaan Konflik Analisis pemetaan konflik adalah suatu analisis yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Analisis ini digunakan pada awal untuk memahami sejarah konflik, atau akhir proses konflik untuk menyusun strategi (Wulan et al. 2004 dan Fisher et al. 2001). Tujuan analisis dalam penelitian ini ialah untuk memahami situasi, mengidentifikasi konflik dan apa yang sudah dilakukan. Selain itu untuk menjelaskan dan memahami pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah konflik, hubungan antar pihak yang berkonflik, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan oleh masing-masing pihak.
67
9 metode analisis konflik: penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik, SPK (Sikap-Perilaku-Konteks), Analogi Bawang Bombai, Pohon Konflik, Kekuatan Konflik, Analogi Pilar, dan Piramida (Fisher et al. 2001)
73
Definisi Konflik Pengertian konflik dapat dilihat dari tiga definisi berikut ini:
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001);
Konflik adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003);
Konflik adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal
sosial
masyarakat
yang
tumbuh
ditengah-tengah
masyarakat
(Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).
Tahapan Analisis Tahapan analisis konflik yang dilakukan dalam penelitian ini disusun berdasarkan tahapan analisis pemetaan konflik dalam Wulan et al. (2004) dan Fisher et al. (2001). Berikut ini tahapan analisis pemetaan konflik tersebut : 1) menentukan siapa pihak-pihak utama dalam konflik; 2) mengidentifikasi pihakpihak lain yang terlibat atau berkaitan dengan konflik; 3) menganalisis hubungan di antara semua pihak (aliansi; konfrontasi; struktural; dll); 4) mengidentifikasi isu-isu pokok di antara pihak-pihak; dan 5) menganalisis apakah ada hubungan yang mempunyai peluang untuk mengatasi konflik.
3.2.4.2 Analisis Institusi A. Analisis Stakeholders Analisis stakeholders adalah teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tokoh, kelompok atau institusi kunci yang berpengaruh terhadap sukses tidaknya suatu program (MSH dan UNICEF 1998; ODA 1995). Tujuan dari analisis ini diantaranya membantu peneliti untuk mengidentifikasi para pihak yang relevan; memahami sifat hubungannya; mengidentifikasi potensi kerjasama yang mungkin dapat dibangun; dan sebagai dasar penyusunan strategi penyelesaian konflik (Maryono et al. 2005; UNICEF 1998; ODA 1995).
74
Definisi Stakeholders Istilah stakeholders atau parapihak sudah banyak digunakan dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan. Pengertian stakeholders tidak sama dengan publik karena publik mengandung arti semua warga negara umum yang bukan pemerintah (Diknas 2005:902). Sedangkan stakeholders mengandung semua pihak, termasuk instansi pemerintah didalamnya, yang terkait dengan persoalan atau rencana tertentu (Maryono et al. 2005:52).
Menurut
Healey (1997 dalam Ladkin dan Bertramini 2002) secara umum konsep stakeholder menggambarkan antara yang vokal vs yang tidak mampu bersuara, yang memiliki kekuatan versus pihak yang lemah, tokoh elit politik versus masyarakat umum. Stakeholders, menurut Maryono et al. (2005:48), bukan hanya kumpulan para pihak tapi “pelaku yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan”. Sementara Dick (1997) dan Freeman (1984 dalam Maryono et al. 2005) mendeskripsikan stakeholders sebagai “kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu”. Gray (1985 dalam Ladkin & Bertramini 2002) menyebutkan bahwa stakeholders adalah siapapun yang mempunyai hak dan kemampuan untuk berpartisipasi karena terkena dampak oleh aksi yang dilakukan oleh stakeholder lainnya. Perlunya stakeholder memiliki kemampuan berpartisipasi kembali ditekankan oleh Ladkin dan Bertramini (2002).
Lebih jauh Overseas
Development Administration – ODA (dalam Maryono et al. 1995) menegaskan bahwa stakeholder dapat individu, kelompok atau lembaga. Berdasarkan uraian diatas, maka definisi stakeholder yang digunakan dalam penelitian ini ialah: semua pihak, baik masyarakat maupun lembaga pemerintah, yang mempunyai hak, kemampuan, kewenangan, dan kepentingan untuk berpartisipasi, termasuk dalam pengambilan keputusan, karena terkena dampak oleh aksi yang dilakukan oleh stakeholder lainnya.
Definisi ini
merupakan gabungan dari konsep-konsep stakeholder yang dikemukakan sebelumnya.
75
Kategorisasi Stakeholders Menurut Freeman (1984) dan Grimble dan Wellard (1996), keduanya dalam Maryono et al. 2005, stakeholders dapat diidentifikasikan berdasarkan kepentingan, kekuatan/ pengaruh terhadap keputusan, cara kerja, asal usul sosial dan relasi antar stakeholders. Berdasarkan karakteristik ini stakeholders dibagi menjadi 3 kategori yaitu stakeholder utama (primer), pendukung (sekunder), dan kunci (ODA dalam Maryono et al. 2005). Adapun penjelasan mengenai ke-3 kategori tersebut ialah (Maryono et al. 2005): 1. Stakeholders utama (primer) : merupakan stakeholders yang terkena dampak langsung baik positif maupun negatif oleh suatu rencana atau proyek serta mempunyai
kaitan
kepentingan
langsung
dengan
kegiatan
tersebut.
Stakeholders kategori ini karenanya harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan. Contoh: masyarakat lokal, tokoh masyarakat. 2. Stakeholders pendukung (sekunder) : merupakan stakeholders yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap proyek tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Contoh: LSM, perguruan tinggi, peneliti. 3. Stakeholders kunci : merupakan stakeholders yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Contoh: pemerintah dan DPR.
Tahapan Analisis Stakeholders Berikut tahapan analisis stakeholder: 1. Identifikasi isu atau persoalan yang ingin diselesaikan dan menetapkan batasan lokasi; 2. Membuat tabel identifikasi yang terdiri dari kolom yang berisi: a) daftar stakeholder : sumber data yang dapat digunakan untuk membuat list stakeholders diantaranya: daftar keanggotaan; kehadiran dalam konsultasi publik sebelumnya; pengamatan; berbagai sumber masyarakat; dan hasil survai (Maryono et al. 2005).
76
b) dampak kegiatan terhadap stakeholder : parameter yang dapat digunakan diantaranya : langsung, tidak langsung atau tidak tahu (Dick 1997;ODA 1995 dalam Maryono et al. 2005). c) kepentingan : kepentingan dapat diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan atau manfaat yang dapat diperoleh stakeholder (ODA 1995 dalam Maryono et al. 2005). d) pengaruh stakeholder terhadap sukses tidaknya kegiatan yang diukur dengan menggunakan parameter berikut ini
(Dick 1997): tinggi (jika
stakeholder punya kemampuan memveto keputusan), sedang (jika pengaruh stakeholder masih dapat ditangani melalui negosiasi), dan kecil (jika stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan). e) estimasi mengenai perilaku stakeholder terhadap program yang diusulkan dengan range estimasi mulai dari mendukung sampai tidak mendukung atau oposisi (Dick 1997). 3. Hasil analisis stakeholders berupa strategi pelibatan stakeholder dengan menentukan tipe partisipasi yang sesuai. Dick (1997) merekomendasikan bentuk partisipasi mulai dari dilibatkan cukup hanya sebagai informan, dikonsultasi, langsung terlibat dalam pengambilan keputusan, dan/atau diposisikan sebagai mitra kerja. Strategi ini dapat ditempatkan pada kolom terakhir dalam tabel analisis stakeholders.
Keterwakilan dalam Analisis Stakeholder Masalah keterwakilan dalam analisis stakeholder sangat penting. Hal ini sering menjadi alasan bagi beberapa pihak untuk mempertanyakan masalah sah tidaknya proses yang sudah dilakukan. Untuk menghindari hal tersebut, Maryono et al. (2005) menyarankan beberapa teknik menjaga keterwakilan yang dapat digunakan diantaranya: a) mempelajari jumlah anggota kelompok yang harus diwakili melalui daftar keanggotaan; b) mengidentifikasi jumlah orang yang hadir mewakili pada konsultasi publik; c) mempelajari proses perwakilan yang umumnya berlaku dalam masyarakat;
77
d) mengamati bagaimana keanggotaan dan kehadiran bertahan dalam rangkaian pertemuan; e) menggunakan prosedur pengambilan keputusan yang demokratis, transparan dan terbuka; f) memperhatikan dan mendokumentasikan surat menyurat yang disampaikan oleh masyarakat; g) memperhatikan komentar dan keberatan yang disampaikan pada berbagai media; dan h) mempertimbangkan hasil survai. Disisi lain, Ladkin dan Bertramini (2002) menyebutkan ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi siapa saja yang menjadi stakeholders. Keempat faktor tersebut ialah kekuatan ekonomi dan politik; keterkaitannya dengan klaim yang diajukan; penting tidaknya klaim; dan kemauan untuk dilibatkan. B. Analisis Kebijakan (Analisis Asumsi) Analisis kebijakan adalah aktivitas untuk dapat memahami proses kebijakan melalui penelitian terhadap sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik (Dunn 2003: 1). Ada lima prosedur yang digunakan dalam analisis kebijakan yaitu (Dunn 2003: 21): 1) perumusan masalah (definisi): menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.; 2) peramalan (prediksi) memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan; 3) rekomendasi (preskripsi)
menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan relatif dari konsekuensi di masa mendatang dari pemecahan masalah; 4) pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi
tentang konsekuensi
sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan; dan 5) evaluasi : menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Sesuai dengan tujuan penelitian untuk memahami dan mengidentifikasi sumber permasalahan yang menimbulkan konflik maka perumusan masalah
78
adalah prosedur analisis kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini. Mengacu pada delapan teknik perumusan masalah 68 menurut William Dunn (2003), analisis asumsi merupakan teknik yang dianggap paling relevan dengan tujuan studi. Teknik ini merupakan satu-satunya teknik perumusan masalah yang menggunakan konflik sebagai kriteria kinerja kebijakan.
Secara eksplisit analisis asumsi
menganalisis gambaran positif maupun negatif dari konflik dan komitmen. Konflik digunakan untuk menunjukan keberadaan asumsi yang bertentangan dengan kebijakan yang dibuat. Di sisi lain, komitmen digunakan sebagai bukti untuk mendukung pokok pandangan pihak yang bertentangan. Analisis asumsi meliputi lima tahap prosedur sebagai berikut: 1) identifikasi pelaku kebijakan : pelaku kebijakan diidentifikasi,diurutkan, dan diprioritaskan didasarkan pada penilaian tentang seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses kebijakan. Pada penelitian ini, identifikasi pelaku menggunakan hasil analisis stakeholder. 2) memunculkan asumsi : seleksi data yang mendukung dan mendasari asumsiasumsi para pihak. 3) mempertentangkan asumsi: membandingkan dan mengevaluasi asumsiasumsi. Asumsi diuji untuk menentukan kemungkinan untuk dipakai sebagai landasan bagi konseptualisasi baru terhadap masalah dan solusinya secara menyeluruh. 4) mengelompokkan asumsi : disini asumsi-asumsi (lebih dari rekomendasi) diurutkan berdasarkan prioritaskan asumsi-asumsi dari segi kepastian dan kepentingannya bagi para pelaku kebijakan yang berbeda. 5) sintesis asumsi : suatu satuan gabungan asumsi yang diterima dapat menjadi basis untuk menciptakan konseptualiasi baru dari masalah. Ketika isu-isu seputar konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya telah mencapai titik ini, aktivitas-aktivitas dari para pembuat kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara kumulatif produktif. Secara praktikal, analisis asumsi dilakukan oleh Dewar et al. (1993 dan 1996). Dalam studi tersebut, analisis asumsi atau assumption based planning
68
Delapan teknik analisis perumusan masalah kebijakan : analisis batas, analisis klasifikasi, analisis hirarki, synecties, brainstorming, analisis perspektif berganda, analisis asumsi, dan pemetaan argumentasi (Dunn 2003: 247-277).
79
(ABP) digunakan untuk mengevaluasi kinerja organisasi angkatan bersenjata di Amerikan
(Army’s
Force
XXI).
Tujuan
dari
ABP
diantaranya
untuk
mengidentifikasi asumsi-asumsi yang dapat menjadi landasan bagi sebuah organisasi untuk memperbaiki rencana maupun program kerjanya (Dewar et al. 1993). Dalam literature tersebut dijelaskan bahwa asumsi adalah sebuah pernyataan mengenai karakteristik dari masa depan yang dihasilkan atau berdasarkan pada perencanaan atau pelaksanaan organisasi saat ini (diterjemahkan dari Dewar et al. 1993:5). Pernyataan tersebut dapat berupa fakta atau penilaian. Asumsi juga dapat bersifat deskriptif, evaluatif, prediksi, atau penjelasan yang dinyatakan secara eksplisit ataupun implisit. Asumsi dapat diidentifikasi dari berbagai sumber. Salah satu contoh dimana asumsi dapat diperoleh secara eksplisit ialah dari dokumen arahan (guideline) dari organisasi yang membawahi organisasi lainnya. Selain itu, asumsi juga dapat diperoleh dengan cara wawancara, dan/atau catatan proses pertemuan (Dewar et al. 1993). Dari berbagai sumber informasi tersebut, Dewar et al. (1993) menyarankan untuk mengidentifikasi hanya asumsi yang penting saja. Untuk dapat dikategorikan penting, asumsi harus merupakan pernyataan yang dapat membawa kepada perubahan yang lebih baik. Salah satu contoh asumsi yang penting tersebut adalah bagaimana tugas dan kewajiban dibagi dalam sebuah organisasi (Dewar et al. 1993). Ada lima tahap dalam melakukan ABP (Dewar et al. 1993; 1996). Pertama ialah mengidentifikasi asumsi. Kedua mengidentifikasi asumsi yang rapuh/tidak kuat (vulnerable). Ketiga adalah menentukan peristiwa yang dapat menjadi indikasi perubahan dari asumsi yang lemah. Dalam literatur, tahap ini disebut signposts. Tahap keempat ialah shaping action atau langkah-langkah yang perlu dilakukan organisasi untuk mengontrol asumsi-asumsi yang lemah. Tahap terakhir adalah
hedging action atau aksi penguatan program yang dilakukan oleh
organisasi. Berdasarkan kedua literatur di atas, tahapan analisis asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
80
1) Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan kebijakan penetapan taman nasional dan pengembangan ekowisata di TNGH/S; 2) asumsi penting diidentifikasi dari peraturan perundangan yang mengatur pembagian peran para pelaku dalam penetapan taman nasional dan pengembangan ekowisata; 3) asumsi yang dipertentangkan ialah asumsi yang tertulis dalam peraturan perundangan yang sifatnya umum dengan asumsi pelaksanaan peraturan perundangan di lokasi studi. Sumber data yang digunakan untuk asumsi yang tertulis ialah dokumen peraturan perundangan dengan hirarki peraturan perundangan yang dapat diacu oleh semua lokasi. Sedangkan sumber data untuk asumsi pelaksanaan kebijakannya digunakan berasal dari dokumen peraturan perundangan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah daerah dan BTNGH serta dari hasil pengumpulan data primer; 4) kedua asumsi dikelompok dan dianalisis sejauh mana gap antara keduanya; 5) sintesis masalah dirumuskan berdasarkan tahapan sebelumnya.
C. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan adalah seperangkat prosedur yang sistematis yang digunakan untuk menentukan prioritas dan pengambilan keputusan sebuah organisasi atau program dan alokasi sumberdaya. Prioritas ditentukan oleh kebutuhan yang teridentifikasi (Witkin & Altschuld 1995 dalam Grayson 2002). Analisis kebutuhan juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengidentifikasikan ada tidaknya faktor, kondisi, sumberdaya dan peluang untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan misi dari sebuah institusi (Upcraft dan Schuh 1996 dalam Grayson 2002). Sementara sumber lain menyebutkan bahwa Analisis kebutuhan (need assessment) merupakan sebuah proses atau cara yang sistematis untuk mengeksplorasi dan mengidentifkasi gap antara kondisi saat ini dan kondisi yang seharusnya (Rouda dan Kusy 1995; Palacios 2003).
Tujuan dan Manfaat Analisis Kebutuhan Tujuan dan
manfaat dari analisis kebutuhan dalam penelitian ini
diantaranya untuk mengetahui karakteritik kesenjangan antara kondisi aktual dan
81
kondisi yang diharapkan (Palacios 2003). Analisis kebutuhan juga digunakan untuk tujuan mendapatkan informasi yang dapat mendukung atau memilih berbagai alternatif dalam pengambilan keputusan yang sesuai (Grayson 2002).
Definisi Kebutuhan (Need) Menurut Grayson (2002) kebutuhan dapat dilihat sebagai kata benda atau kata kerja. Kebutuhan sebagai kata benda dilihat dari definisi kebutuhan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan harus dipenuhi (Depdikbud 2005:182). Sedangkan kebutuhan sebagai kata kerja dapat dilihat dari pengertian bahwa kebutuhan adalah kondisi yang diperlukan atau harus dilakukan untuk mengisi kekosongan tersebut (Grayson 2002). Definisi lainnya menguraikan bahwa kebutuhan ialah sebuah gap 69 antara kondisi saat ini dan kondisi seharusnya (Witkin & Altschuld 1995 dalam Grayson 2002) atau suatu kondisi yang memerlukan masukan untuk bertahan hidup 70 . Kebutuhan menurut Teori Maslow ada lima. Berikut ini kebutuhan menurut Maslow dari hirarki yang terendah: psikis, keamanan, kepemilikan dan kasih
sayang,
kepercayaan
diri
dan
aktualisasi
diri.
Brenner
(2007)
menganalogikan hirarki kebutuhan Maslow ini kedalam kebutuhan suatu proyek atau program. Menurut Brenner dalam suatu program juga terdapat lima kebutuhan yaitu: sumberdaya, stabilitas, tujuan yang terkait dengan program lainnya, perencanaan yang meyakinkan; dan pelaksanaan yang berjalan dengan baik Hal yang penting diperhatikan dalam analisis kebutuhan adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai kelompok sasaran yang dikehendaki. Data dan informasi dapat diperoleh dengan cara meyebarkan kuesioner, atau melakukan observasi, wawancara, fokus grup dan survey (Grayson 2002; Palacios 2003). Sedangkan kelompok sasaran ditentukan berdasarkan kelompok yang memiliki interaksi. Kelompok ini juga menentukan level dari kebutuhan (Grayson 2002): a) Level pertama : adalah kelompok penerima jasa;
69 70
Gap adalah perbedaan antara yang ada/sudah terjadi dengan apa yang diharapkan (Grayson 2002) Sumber: http://www.meriam-webster.com/dictionary/need diakses tanggal 2 February 2007 jam 7:40 AM
82
b) Level kedua ialah penyedia jasa dan pembuat kebijakan; dan c) Level ketiga ialah kelompok yang dapat memberikan sumberdaya dan solusi
Tahap analisis kebutuhan (Rouda dan Kusy 1995; Grayson 2002): Ada lima tahap analisis kebutuhan yaitu: a) identifikasi para pihak yang terkait; b) tahap eksplorasi dengan mengidentifikasi kondisi aktual saat ini dan kondisi yang diinginkan (gap analisis); c) identifkasi kondisi yang dibutuhkan para pihak untuk mengurangi gap; d) menentukan prioritas dan tingkat kepentingan (importance) berdasarkan efektifitas biaya, peluang pelaksanaannya dari segi hukum, penerimaan dari stakeholders, keterlibatan dari stakeholders, dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan keseluruhan; dan e) identifikasi sumber permasalahan berdasarkan prioritas yang telah disusun. Hal ini penting untuk menentukan aksi yang paling tepat sasaran. Mengidentifikasi peluang penyelesaiannya: berdasarkan hasil investigasi terhadap sumber permasalahan secara detail, maka peluang penyelesaian akan disusun. Hasil
ketiga
sub-analisis
institusi
kemudian
digunakan
untuk
mensintesiskan analisis institusi dengan menggunakan konsep ITS. Konsep ini menyarankan peneliti untuk menganalisis keterkaitan antara institusi dan politik dari tenure security, seperti politik akses terhadap sumberdaya, serta kontrol diantara aktor-aktor sosialnya. Pertimbangan yang diacu oleh aliran ini ialah proses perubahan lingkungan sebagai hasil dari negosiasi atau lobi antara aktoraktor sosial yang dapat memiliki perbedaan-perbedaan prioritas dalam pengelolaan sumberdaya alam.
3.2.4.3 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata Analisis Ekowisata (ecotourism assessment) adalah suatu prosedur analisis terhadap kawasan wisata yang sudah berjalan yang dapat menghasilkan informasi yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan (Moyini 2006; Lee & Snepenger 1991). Definisi lain menyebutkan bahwa analisis penilaian ekowisata ialah alat
83
yang dapat membantu untuk identifikasi kawasan wisata prioritas (Lash & Austin 2003). Analisis ekowisata dilakukan untuk beragam tujuan. Misalnya, analisis yang dilakukan oleh Lee and Snepenger (1991) bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan wisata. Analisis yang dilakukan di Uganda oleh Moyini (2006) bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum permasalahan ekowisata ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknis. Untuk tujuan yang sama, analisis penilaian kecukupan ekowisata juga dilakukan oleh McLaughlin et al. (2002) di Bolivia pada empat taman nasional yaitu Chako/Kaa-Iya del Gran Chco National Park, Amboro National Park, Chapare/Carraco National Park, dan The Yungas Regions. Dalam penelitian ini, ada dua tujuan analisis ekowisata. Pertama ialah untuk mengidentifikasi sejauh mana konsep ekowisata yang digunakan di lokasi studi memenuhi kriteria ideal dalam literatur dan kebijakan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang. Tujuan kedua ialah untuk mengetahui implikasi pengembangan ekowisata dalam konflik di lokasi studi. Berdasarkan kedua tujuan tersebut analisis ekowisata dalam penelitian ini disebut sebagai analisis kriteria kecukupan ekowisata.
Definisi Ekowisata Definisi ekowisata yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan analisis kecukupan ekowisata. Dalam penelitian ini, definisi ekowisata yang digunakan merupakan intisari dari hasil penelusuran pustaka yang disajikan pada Bab 2. Sebagai bagian dari industri wisata, analisis ekowisata dalam penelitian ini ditinjau juga dari aspek atau sisi penyedia (supply). Adapun definisi ekowisata yang dimaksud ialah: konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan.
84
Tahapan Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Moyini (2006), Lash & Austin (2003), McLaughlin et al. (2002), Lee & Snepenger (1991), analisis kriteria kecukupan ekowisata dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. Berikut ini tahapan analisis ekowisata yang dilakukan dalam penelitian ini: 1. melakukan telaah literatur untuk menentukan faktor dan/atau variabel ekowisata yang akan dianalisis ; 2. menetapkan parameter analisis untuk setiap faktor dan variabel yang diteliti; 3. menentukan target group; 4. mengumpulkan data primer dan sekunder. 5. melakukan analisis data; dan 6. membandingkan antara kondisi yang ada dengan kondisi ideal menurut kajian literatur.
Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan studi yang sudah dilakukan sebelumnya (Moyini 2006; Lash & Austin 2003; Lee & Snepenger 1991; McLaughlin et al. 2002; Moyini 2006), setidaknya ada empat teknik pengumpulan data yang dapat digunakan dalam analisis ekowisata. Keempat teknik tersebut ialah analisis dokumen, survai, diskusi terfokus atau observasi langsung.
Faktor dan Variabel yang diamati Berdasarkan definisi ekowisata yang dikemukakan sebelumnya, ada lima faktor yang akan diteliti dalam analisis kriteria kecukupan ekowisata. Kelima faktor tersebut ialah: (1) tujuan pengelolaan; (2) partisipasi masyarakat; (3) pengembangan ekonomi lokal; (4) produk wisata;dan (5) Dampak Lingkungan. Faktor pertama, secara ideal tujuan dari pengembangan ekowisata adalah pemanfaatan sumberdaya alam untuk mendukung usaha konservasi kawasan dengan melindung dan menjaga keberlanjutan sumberdaya alam yang merupakan aset atau obyek wisatanya (Ceballos-Lascurain 1996; Wall dan Ross 1998). Ada dua variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi tujuan pengelolaan yang digunakan dalam pengembangan ekowisata. Pertama, definisi ekowisata yang
85
digunakan dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh instansi terkait dengan TNGH; dan yang dipahami stakeholders (masyarakat lokal, LSM pendamping, aparat pemerintah, narasumber seperti akademisi dan peneliti). Kedua, tujuan pengembangan ekowisata yang tercantum dalam dokumendokumen resmi dan yang dipahami stakeholders. Faktor kedua, partisipasi masyarakat adalah suatu usaha untuk memberdayakan masyarakat agar mampu memobilisasi kapasitas mereka sendiri, menjadikannya aktor sosial daripada subyek pembangunan yang pasif, mengelola sumberdaya, membuat keputusan, dan mengontrol aktifitas yang berdampak terhadap mereka (Cernea 1985; Drake 1991). Untuk mengetahui sejauh mana masyarakat dilibatkan dalam kegiatan ekowisata di lokasi studi diperlukan identifikasi level partisipasi keterlibatan masyarakat. Menurut Perez (1997) serta Kraus dan Allen (1997), ada lima level partisipasi masyarakat. Berikut ini urutan kelima level partisipasi tersebut dimulai dari level terendah: berbagi informasi, proses nominal, konsultasi, pengambilan keputusan, dan inisiasi aksi. Untuk mengidentifikasi level keterlibatan masyarakat, diperlukan dua parameter lain yaitu: bentuk keterlibatan dalam kegiatan ekowisata dan inisiatif partisipasi. Bentuk keterlibatan dalam ekowisata diidentifikasi selain untuk memastikan apakah dilibatkan atau tidaknya masyarakat, juga mencerminkan level partisipasi yang ikuti oleh masyarakat. Sedangkan,
variabel inisiatif
partisipasi, diidentifikasi untuk mengetahui siapakah yang berinisiatif untuk berpartisipasi. Hal ini dapat digunakan sebagai indikasi apakah program yang dijalankan murni dari masyarakat atau dorongan dari pihak luar. Parameter lain yang digunakan untuk mengidentifikasi partisipasi masyarakat ialah representasi yang masyarakat yang dilibatkan. Menurut Pratiwi (2000), Chambers (1995), Peters (1994), dan Rahnema (1992), partisipasi masyarakat dapat berhasil jika melibatkan representasi dari semua unsur masyarakat.
Sesuai dengan karakteristik lokasi studi, variabel yang akan
diidentifikasi untuk mengetahui representasi masyarakat yang dilibatkan ialah : karakteristik masyarakat dan siapa saja yang terlibat/dilibatkan. Karakteristik masyarakat diidentifikasikan melalui dua sub-variabel yaitu: kategori masyarakat
86
(adat atau non-adat) dan karakteristik lokasi pemukimannya (di dalam atau di luar kawasan TNGH). Sedangkan sub-variabel untuk mengidentifikasi variabel siapa saja yang dilibatkan ada empat sub-variabel yang digunakan. Pertama, karakteristik intitusi lokal yang dilibatkan seperti lingkup wilayahnya (kampung atau desa) dan jenis institusi yang diwakili (organisasi, pemuda, institusi pendidikan, pemerintahan desa, atau lainnya). Sub-variabel kedua adalah status ekonomi masyarakat yang dilibatkan apakah berasal dari masyarakat berpendapatan tinggi, menengah, atau rendah. Sub-variabel ketiga ialah gender. Sub-variabel yang terakhir ialah lokasi dimana masyarakat yang terlibat bermukim. Faktor ketiga ialah produk wisata. Secara ideal produk ekowisata ialah kegiatan yang mengandung unsur pendidikan dan pembelajaran. Menurut Lindberg et al. (1998) serta Sekartjakrarini dan Legoh (2003), interpretasi adalah produk wisata yang memiliki kriteria tersebut. Interpretasi dapat dilihat sebagai suatu produk atau proses (Sekartjakrarini &Legoh, 2003; Ceballos-Lascurain 1996). Sebagai produk wisata, interpretasi adalah suatu produk dengan muatan nilai-nilai substantif sumber-sumber alam/budaya, pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini &Legoh. 2003). Sebagai proses, kegiatan interpretasi seperti ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, dengan pemahaman akan ada apresiasi, dan dari apresiasi menimbulkan kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap alam (Sudarto 1999; Lindberg et al. 1998). Hal ini dapat diidentifikasikan melalui aktivitas wisata yang ditawarkan dan tujuan kedatangan wiatawan ke lokasi studi. Faktor keempat, pengembangan ekonomi lokal. Mengacu pada Loomish dan Walsh (1997) serta Linberg (1998), ada dua dampak pengembangan ekowisata terhadap pengembangan ekonomi lokal. Kedua dampak tersebut yaitu dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung diidentifikasi dari adanya 1) peluang kerja; 2) peningkatan pendapatan; dan 3) pendapatan daerah. Sedangkan dampak tidak langsung dilihat dari ada tidaknya diversifikasi kegiatan ekonomi serta pemasukan terhadap BTNGH dan Pemda (Desa dan Kabupaten).
87
Faktor kelima yaitu dampak Lingkungan. Dampak yang diobservasi ialah dampak terhadap bio-fisik dan sosial budaya. Ada tujuh dampak bio-fisik yang di identifikasi yaitu: formasi geologi dan batuan, tanah, air, vegetasi, hidupan liar dan ekosistemnya, sistem sanitasi, dan estetika lansekap (Sekartjakrarini & Legoh 2004; Barrow 2000; Gartner 1996; Ceballos-Lascurain 1996). Sedangkan dampak sosial budaya dilihat apakah ada perubahan terhadap beberapa parameter sosial budaya misalnya sistem nilai, standard hidup, pola migrasi, dan lain sebagainya (Sekartjakrarini dan Legoh 2004; Ceballos-Lascurain 1996).
Secara ringkas metode penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Konsep Pendekatan
Konsep Pendekatan
Faktor-faktor
Faktor-faktor
Pengolahan Data dan Analisis
Hasil
Sejarah Pengelolaan Teori Institusi
Teori Konflik & Dilema Sosial
Analisis Institusi TN
Hubungan antar Manusia
Analisis Konflik
Budaya
Stakeholder Analysis
Analisis Kebutuhan
Sistem Nilai Kepentingan
Penetapan Taman Nasional
Demografi
Data Sekunder & Primer
Perbedaan Data
Analisis Institusi Ekowisata
Organisasi
Kebijakan
Karakteritik Konflik
Data Sekunder & Primer
Analisis Asumsi
Analisis Data
Implikasi Ekowisata terhadap konflik
Model Institusi Ekowisata Berkelanjutan
Sistem Nilai Tujuan Ekowisata Struktural
Teori Akses & Teori Partisipasi
Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata
Partisipasi Masyarakat Produk Ekowisata
Data Sekunder & Primer
Dampak LH
Gambar 6 Metode penelitian Ekonomi Lokal
Feedback 88
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1
Letak, Luas dan Batas Administratif Seperti yang dijelaskan pada Bab III Metode Penelitian, berdasarkan
pertimbangan status kawasan, proses penataan batas dan ketersediaan data, untuk penelitian ini batas administrasi yang akan digunakan ialah batas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Kawasan ini terletak antara 106o21’-106o38’BT dan 6o37’-6o51’LS dengan ketinggian bervariasi mulai 500 m dpl sampai dengan 1.929 m dpl. Dengan luas kawasan 40.000 ha, secara administratif TNGH masuk kedalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan 46 desa, 13 kecamatan dan 3 kabupaten. Masing-masing 13 desa dan 5 kecamatan di Kabupaten Bogor, 14 desa dan 4 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, dan 19 desa dan 4 kecamatan di Kabupaten Lebak. Daerah studi meliputi empat desa yang berada di dalam dan di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Keempat daerah studi tersebut yaitu: 1) Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten; 2) Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; 3) Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat; dan 4) Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 12.
4.2
Aksesibilitas Kawasan TNGH mempunyai 6 gerbang masuk yang dapat diakses dari
kota Sukabumi, Bogor dan Rangkasbitung. Berikut ini penjelasan mengenai kondisi keenam pintu masuk tersebut mencakup jarak, waktu dan kantor resort yang terdekat: 1.
Gerbang Cisalimar dapat dicapai dari Kota Sukabumi yang dapat dicapai melalui Parungkuda dengan jarak sekitar 20 Km dan waktu tempuh selama 30 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cipeuteuy.
2.
Gerbang Cisuren dapat dicapai dari Kota Sukabumi yang dapat dicapai melalui Pelabuhan Ratu dengan jarak sekitar 60 Km dan waktu tempuh
89
90
selama 2 jam berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cikelat. 3.
Malasari dapat dicapai dari Kota Bogor melalui Leuwiliang-Nanggung dengan jarak sekitar 35 Km dan waktu tempuh selama 50 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cisangku. Tabel 12 Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi
No
Lokasi Studi
Luas Wilayah (Ha) 4.296, 83
Batas Administrasi - Utara: Kampung Calebang, Desa Calebang dan Kampung Pasir Eurih, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Sobang. - Selatan: Kampung Sinagar, Desa Sinagar, Kecamatan Pangarangan - Barat: Kampung Jamrut dan Parung Gedong (Desa Cikate), Kecamatan Cikaju dan Desa Kanekes (Baduy), Kecamatan Leuwidamar - Timur: Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber.
1.
Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
2.
Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
4.028,00
- Utara: Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cikakak - Selatan: Desa Margalaksana, Kecamatan Cikakak - Barat: Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok - Timur: Desa Cileungsing, Kecamatan Cikakak dan Desa Mekarnangka, Kecamatan Cikidang
8.262,22
- Utara: Desa Cisarua dan Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor - Selatan: Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi dan Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak - Barat: Desa Kiarasari dan Desa Cisarua, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor - Timur: Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
5.610,60
- Utara: Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor dan Desa Banjarsari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak - Selatan: Kawasan TNGH dan Desa Kiarasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor - Barat: Desa Lebaksitu, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak - Timur: Desa Pasir Madang dan Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
3.
4.
Sumber : 1. Hanafi et al. 2004; Peta Kawasan TNGHS Skala 1:50.000 Tahun 2005 (JICA & Dephut). 2. BPMD Kabupaten Sukabumi, 2006; Peta Kawasan TNGHS Skala 1:50.000 Tahun 2004 (JICA & Dephut). 3. Monografi Desa Malasari 2006. 4. Hanafi et al. 2004; Sirait 2004; Saputro 2006.
91
4.
Cibuluh dapat dicapai dari Kota Bogor melalui Cigudeg dengan jarak sekitar 28 Km (30 menit berkendaraan). Kantor resort terdekat berada di Juga.
5.
Citorek dapat dicapai dari Kota Rangkasbitung melalui Bayah dengan jarak sekitar 150 Km dan waktu tempuh selama 3 jam berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cicarucub.
6.
Cigaru dapat dicapai dari Kota Rangkasbitung melalui Cipanas-Banjarsari dengan jarak sekitar 48 Km dan waktu tempuh selama 75 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Muhara. Sedangkan untuk mencapai keempat lokasi studi dapat menggunakan
angkutan umum dan kendaraan pribadi. Akses ke lokasi studi dan sarana yang dapat digunakan disajikan pada Tabel 13. 4.3
Status Lahan, Penggunaan Lahan dan Sistem Tenurial Dari luas 40.000 Ha, penggunaan lahan kawasan TNGH meliputi
perkebunan 971 ha; pertanian dan permukiman 1.029 ha; dan kawasan konservasi 38.000 ha (Harada et al. 2001; Widada 2004:47). Kawasan ini juga berbatasan dengan lahan-lahan dengan penggunaan :
kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani (2000b:I-1);
lahan pertanian rakyat yang dikelola oleh penduduk desa (2000b:I-1);
perkebunan teh yang dikelola oleh beberapa perusahaan besar (Widada 2004: 61);
9 enclave 71 yaitu 3 di bagian Timur, 4 di bagian Utara, dan 2 di bagian Timur Laut (2000b:I-1). Nama, letak, luas dan keterangan lainnya mengenai enclave ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Rencana Pengelolaan TNGH tahun 2000-2024, kawasan
TNGH akan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem ini diperlukan untuk memenuhi fungsi 72 taman nasional. Zonasi ditentukan berdasarkan penilaian aspek (BTNGH, 2000a: V5-11): ekologis seperti kekayaan spesies dan
71
Enclave yaitu areal yang berada di dalam kawasan TNGH namun secara hukum tidak termasuk kawasan TNGH (BTNGH 2000b:I-1). Fungsi taman nasional mengacu pada UU No. 5 /1990 adalah untuk : perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan; pengawetan keaneka ragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; pemanfaatan secara lestari SD alam hayati dan ekosistemnya dalam bentuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya dan pariwisata alam. 72
92
sensitifitas; peraturan perundangan;
dan pemanfaatan seperti kebutuhan
masyarakat dan pengembangan pariwisata alam. Sampai dengan Februari 2007, status zonasi di TNGH belum selesai karena belum adanya penetapan zonasi yang disetujui oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Bupati terkait (BTNGHS 2007). Tabel 13 Aksesibilitas untuk mencapai lokasi studi No 1.
Lokasi Studi Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Aksesibilitas Dari Bogor : Terminal Bubulak menggunakan angkutan umum jurusan Cipanas sampai Gajruk (2,5 jam) dengan biaya Rp 13.000/orang. Dari Gajruk sampai dengan Desa Citorek dapat menggunakan kendaraan roda empat jenis elf selama kurang lebih 1 jam 30 menit dengan biaya Rp. 20.000/orang.
2.
Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
Dari Pelabuhan Ratu: 1)menggunakan kendaraan pribadi menuju Barat Laut sepanjang 33 km dan waktu tempuh 1 jam; 2) kendaraan umum hanya ada dua jadwal pemberangkatan setiap harinya dengan biaya Rp. 2000-5000/orang. Berangkat dari Desa Sirnarasa menuju Desa Cileungsi pada pukul 07.00 dan 10.00 WIB. Jalur kembali dari Desa Cileungsi-Desa Sirnarasa sampai pukul 10.00 dan 13.00 WIB; atau 3) kendaraan roda dua (ojeg), biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp. 25.000.
3.
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Dari Bogor : 1) menuju pusat Desa Malasari berjarak ± 65 km dari arah barat daya Cibinong (ibukota Kabupaten Bogor) dan ± 15 km dari pusat Kecamatan Nanggung dengan menggunakan kendaraan umum dapat ditempuh + sekitar 3 jam; atau 2) menuju Nirmala/Talahab melalui Parung Kuda dengan kendaraan pribadi dari kota Bogor dapat ditempuh + 4 jam.
4.
Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Dari Bogor melalui Terminal Bubulak menggunakan angkutan umum Bogor-Leuwiliang-Cigudeg atau dengan kendaraan pribadi selama 0,5-1 jam dengan kondisi jalan cukup bagus. Dari Cigudeg menuju Kampung Leuwijamang ada dua alternatif rute. Pertama rute Cigudeg - Cipatat - Cisarua harus ditempuh dengan kendaraan lapangan (jeep, truk, sepeda motor) selama 2 jam kondisi jalan berbatu dan berlumpur. Cisarua ke Leuwijamang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejarak 5 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 –2 jam. Rute Cigudeg – Cipatat dapat juga ditempuh dengan mobil pribadi atau umum (Rp. 5000/orang) untuk 1 -1,5 jam perjalanan. Dari Cipatat – Cisarua diteruskan dengan ojeg Rp. 20.000/ojeg selama 1 -1,5 jam perjalanan. Cisarua –Leuwijamang ditempuh dengan berjalan kaki. Alternatif kedua yaitu melalui Cigudeg – Cibarani dengan mobil pribadi atau ojeg. Biaya yang dikeluarkan jika menggunakan ojeg sebesar Rp. 25.000/orang dengan waktu tempuh selama 1 -1,5 jam perjalanan. Kondisi jalan berbatu. Dari Cibarani menuju Kampung Leuwijamang ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3-4 jam. Kondisi jalan tanah dan berlumpur jika hujan Sumber : Hasil observasi lapangan tahun 2006 dan 2007.
93
Tabel 14 Enclave yang berada di TNGH No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama Nirmala Sarongge Leuwijamang Ciparengpeng Ciear Cilanggar/Garung Ciwalen Cibatu Ciguha/Gn Perang Jumlah
Posisi Timur Utara Utara Utara Utara Timur Timur Timur Laut Timur Laut
Luas (Ha) 971 50 100 100 200 200 25 125 150 2000
Populasi 570 Kywn 55 kk 120 Kk
1 kk 1 kk
Keterangan PT. Nirmala Agung Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Belum dipetakan Pertanian Pertanian
Sumber : BTNGH, 2000b: I-2
Berdasarkan batas administrasi TNGH, keempat lokasi studi memiliki status lahan yang berbeda. Misalnya, lokasi Kampung Cibedug berstatus encroachment 73 karena pemukiman penduduk dianggap secara ilegal berdiri di dalam kawasan TNGH, sedangkan dua kampung lainnya yaitu Kampung Citalahab Central dan Kampung Leuwijamang berstatus enclave. Status satu kampung lainnya yaitu Kampung Pangguyangan berada di luar kawasan TNGH. Selengkapnya status dan penggunaan lahan di lokasi studi disajikan pada Tabel 15 berikut ini.
Tabel 15 Status dan penggunaan lahan di lokasi studi No. 1.
Lokasi Studi Kampung Cibedug
Status encroachment
Jenis Pengunaan Lahan pemukiman, lahan pertanian (reuma, sawah, kebun sayuran, dll), sarana dan prasarana
2.
Kampung Pangguyangan
di luar
sawah, pemukiman, perkebunan, fasilitas umum dan hutan lindung
3.
Kampung Leuwijamang
enclave
pertanian, kebun dan pemukiman
4.
Kampung Citalahab Central
enclave
pemukiman, lahan pertanian, perkebunan, hutan lindung dan hutan konservasi Sumber : Harada et al. 2004; BPMD Kabupaten Sukabumi, 2006; Martono dan Suwartapradja, 2006; Rencana Pengelolaan TNGH tahun 2000-2024, Potensi Desa Cisarua 2002 dalam Widada 2004
73
Status dimana masyarakat menempati suatu lokasi, namun tidak diakui keberadaannya (Saputro 2006:27)
94
Di kawasan TNGH dikenal beberapa sistem tenurial (sistem kepemilikan lahan) yang digunakan oleh masyarakat. Dalam penelitiannya Harada, et al. (2001) mendokumentasi sembilan sistem tenurial yang berlaku pada masyarakat di sekitar kawasan TNGH. Adapun kesembilan sistem tenurial tersebut adalah: 1. Warisan (inheritance) ialah tanah yang dikelola secara turun temurun. Hak pengelolaan dialihkan kepada ahli waris (anak) dengan membagi sama luas lahan baik untuk anak laki-laki maupun perempuan; 2. Mulung (Reclamation) atau memungut ialah menggunakan lahan yang sebelumnya pernah digarap orang lain tapi kemudian ditinggalkan. Tidak diperlukan ijin dari pengelola sebelumnya; 3. Ngaluaran tanaga (sale based on labor) ialah membeli hak atas tanah dengan membayar buruh untuk menggarap lahan atau menukarnya dengan ternak, tidak dengan uang; 4. Pamasihanan/pamere (alienation) atau pemberian ialah hak atas lahan berdasarkan hadiah dari pengelola sebelumnya; 5. Jual beli (sale) ialah sistem untuk mendapatkan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang bersifat permanen atau semi permanen. Jual beli ini biasanya dilakukan harus dengan ijin dari pemilik awal; 6. Gade (security) atau gadai ialah memberikan hak atas lahan yang dimiliki untuk mendapatkan pinjaman. Hak harus dikembalikan jika pinjaman sudah dibayar. Lahan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang lain. Jangka waktu pengembalian pinjaman biasanya tidak diberlakukan namun peminjam dapat mengelola lahan sesuai dengan keinginannya dan jangka waktu sampai hutang terbayar; 7. Maparo / maro / marteln / nengah (rent with compasation) atau menyewa dengan kompensasi ialah sistem pengelolaan atas lahan dengan cara bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap. Jumlah atau besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak; 8. Nginjeum / numpang garap (rent without compensation) atau meminjam lahan garapan ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain tanpa kompensasi. Pengguna tidak boleh menanam atau menebang pohon; dan
95
9. Sewa (contract) atau kontrak ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain dengan kompensasi. Pembayaran dapat dalam bentuk bagi hasil panen atau uang Mengacu pada ke 9 jenis sistem tenurial ini dan berdasarkan hasil observasi lapangan, sistem tenurial yang dapat diidentifikasi di lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Sistem tenurial di lokasi studi No Lokasi Studi 1. Kampung Cibedug
Sistem Tenurial Warisan (inheritance), meminjam, dan mulung (reclamation)
2. Kampung Pangguyangan
Warisan,mulung, ngaluaran tanaga, pamasihanan/pamere, jual beli, gade, maparo, nginjeum / numpang garap, dan sewa
3. Kampung Leuwijamang
Warisan, mulung, ngaluaran tanaga, pamasihanan/pamere, maro, jual beli, sewa
4. Kampung Citalahab
Warisan, jual beli, gade, maro, sewa
Sumber: Harada et al., 2001; hasil observasi lapangan
4.4
Kondisi Sosial 74 Ekonomi 75 Masyarakat Sekitar TNGH Sampai dengan tahun 2002, jumlah desa di kawasan penyangga TNGH
yaitu 51 desa (Widada 2004:60). Pada tahun tersebut, total jumlah penduduk sebanyak 219.723 jiwa (Tabel 14). Sedangkan jumlah penduduk di kawasan penyangga pada tahun 1999 berjumlah 195.432 jiwa di 46 desa (BTNGH 2000b: III-13). Antara tahun 1999-2002, terjadi pertambahan jumlah penduduk sebanyak 12,4%. Berdasarkan data penduduk tahun 2006, kepadatan rata-rata disekitar TNGH ialah 267,13 jiwa/km3.
Sedangkan pertumbuhan penduduk di 13
kecamatan berkisar 0,34% sampai 3,27% dengan rata-rata 2,29% (rata-rata pertumbuhan nasional saat itu 1,98%). Pertumbuhan penduduk terbesar terjadi di Kabupaten Bogor (BTNGH 2000b: III-13). Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi disajikan pada Tabel 17. 74
Sosial ialah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2000:1085). Ekonomi ialah 1) ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan 2)pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dsb yang berharga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2000:287).
75
96
Tabel 17 Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi No
Lokasi
Jumlah Penduduk Tahun 2006 (jiwa) 5.950
Persentase Pertambahan Penduduk 6,4 %
Keterangan
1.
Desa Citorek
2.
Desa Sirnarasa
5.409
14,7 %
Persentase pertumbuhan tertinggi tahun 2004-2006, sebesar 26,5%
3.
Desa Malasari
7.658
6,3 %
Persentase pertumbuhan tertinggi tahun 2002-2004, sebesar 19,2%
Desa Cisarua
2.900*
2,8 %
4. Ket :
Persentase pertumbuhan tertinggi tahun 2005-2006, sebesar 22,3%
1. Diolah dari data tahun 2002-2006 (Laporan Kependudukan Desa Citorek untuk Kecamatan 2002-2005; Profil Desa Citorek, Depdagri 2006) 2. Diolah dari data tahun 1994, 1996, 1999, 2004 & 2006 (Kantor Desa Sirnarasa 1996 dalam Asep 2000; BPS 1999 dalam Hanafi et al. 2004; BPKMD Kabupaten Sukabumi 2006; Potensi Desa 1994 dalam Martono dan Suwartapradja 2006) 3. Diolah dari data tahun 2000, 2002, 2004-2006 (Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004; Monografi Desa, 2000, 2005-2006) 4. Diolah dari data tahun 1999 dan (*) tahun 2002 (Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004; BPS 1999 dalam Hanafi et al. 2004)
Sampai dengan tahun 2006, diantara tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan TNGH, Kabupaten Lebak merupakan kabupaten yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan terendah. Sekitar 54,2% penduduknya tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan 43,7% hanya selesai pendidikan dasar. Kabupaten Bogor menempati urutan kedua dengan 33,8% penduduknya tidak menyelesaikan SD. Sedangkan penduduk yang menyelesaikan SD sebanyak 45,8%, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 12,9%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 7,4% dan Perguruan Tinggi sebanyak 0,14%. Sedangkan Kabupaten Sukabumi memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi yaitu penduduk yang menyelesaikan SD sebanyak 62,1 %, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 14,9%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 2,48% dan Perguruan Tinggi sebanyak 0,10%. Informasi mengenai tingkat pendidikan di lokasi studi disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widada (2004), dari 13 desa sampel sekitar 90,34% penduduknya bekerja sebagai petani dengan padi sebagai komoditas utama, jagung, ketela pohon dan pisang. Rata-rata pendapatan penduduk perbulannya sekitar Rp. 388.573,- per keluarga Widada (2004:63). Menurut data yang dikeluarkan BTNGH (2000a), penduduk sekitar kawasan TNGH rata-rata mengolah lahan sekitar 0,23 ha/KK.
97
Tabel 18 Tingkat pendidikan di lokasi studi Lokasi Studi Desa No Desa Citorek Desa Malasari Desa Cisarua Sirnarasa Tahun 20061 Tahun 20063 Tahun 20024 2 Thn 2006 1. Buta huruf 1568 45 130 2. Belum sekolah 872 1006 3. Tak lulus SD 600 46 430 890 4. SD 1300 4399 4403 100 5. SLTP 145 46 420 60 6. SLTA 55 25 66 30 7. Sarjana Muda (D3) 5 11 5 6 8. Sarjana 1 JUMLAH 3687 5445 6460 1086 1 2 Sumber : Profil Desa Citorek (Depdagri 2006); BPKMD Kabupaten Sukabumi, 2006; 3 Monografi Desa 2006; 4Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004 Tingkat Pendidikan
Mata pencaharian lainnya yang dapat dilakukan penduduk lokal diantaranya bekerja sebagai buruh di Perkebunan Teh, Perum Perhutani, dan PT Aneka Tambang di Gunung Pongkor, di bagian timur laut dan selatan taman nasional (BTNGH, 2000a). Jenis matapencaharian di lokasi studi dirangkum dalam Tabel 19. Tabel 19 Jenis mata pencaharian penduduk di lokasi studi No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Mata Pencaharian
Ds. Citorek1 2006 1582 40 15 47 200 55 453 2392 5950
Lokasi Studi Ds.Sirnarasa2 Ds. Malasari3 2006 2006 476 4756 1017 1770 31 10 14 3 25 51 258 2 1616 6797 5409 7658
Petani Buruh /Buruh Tani Swasta Pegawai Negeri Sipil Pengrajin Pedagang Peternak Total Jumlah Penduduk 2006 % yang bekerja 40,20 Sumber : 1 Profil Desa Citorek (Depdagri 2006) 2 BPKMD Kabupaten Sukabumi 2006 3 Monografi Desa 2006 4 Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004
29,88
88,76
Ds. Cisarua4 2002 657 60 2 7 15 741 2900 25,55
98
4.5
Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat Di kawasan TNGH dikenal dua kelompok masyarakat berdasarkan adat
istiadat dan budayanya (Hanafi et al. 2004; Saputro 2006; Nugraheni 2002). Kedua golongan masyarakat ini ialah masyarakat adat kasepuhan dan masyarakat Non-Kasepuhan. Masyarakat kasepuhan adalah suatu kelompok masyarakat yang berasal dari satu garis keturunan yang mengaku sebagai Warga Kesatuan Adat Banten Kidul. Menurut sejarah pengelolaan kawasan TNGH (Lampiran 7), cara hidup masyarakat kasepuhan berpindah-pindah dan pada umumnya tinggal di bukit-bukit dan gunung-gunung.
Di TNGH ada empat kelompok kasepuhan
besar yaitu Citorek, Cisungsang, Sirnarasa, dan Cisitu (BTNGH 2000b: I-31 s/d32). Sumber lainnya menyebutkan bahwa terdapat 3 kasepuhan yang dipercaya oleh 9 komunitas untuk menjaga Halimun yaitu: Kasepuhan Urug, Kasepuhan Ciptagelar (dulu di Ciptarasa), dan Kasepuhan Citorek (Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004). Masyarakat Kasepuhan umumnya memiliki hubungan kekeluargaan yang masih erat dan patuh pada pemimpin adat yang disebut dengan sesepuh/kokolot (BTNGH 2000a). Pola kepemimpinan dalam masyarakat adat bersifat monarkhi dimana kepala adat dan perangkatnya dipilih berdasarkan garis keturunan (Adimihardja 1992; Saputro 2005; hasil interview dan observasi lapangan). Meskipun
umumnya
beragama
islam,
masyarakat
ini
memiliki
karakteristik budaya Sunda abad 16 yang masih terpelihara dengan baik (Adimihardja 1992). Hal ini ditunjukkan dalam setiap kegiatan, mereka masih melakukan upacara ritual yang diwariskan nenek moyangnya. Upacara ritual tersebut umumnya dilakukan untuk kegiatan yang berhubungan dengan pertanian 76 , kehidupan 77 dan ritual keagamaan 78 (Saputro 2006). Masyarakat Kasepuhan umumnya bekerja sebagai petani. Mereka memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Mereka membagi tiga jenis hutan menjadi Leuweung Kolot 79 , Leuweung Titipan 80 dan Leuweung Cadangan 81
76 Ada 9 jenis upacara adat yang berhubungan dengan pertanian: ngaseuk, sapangjadian, mapag pare berkah, prah-prahan, mipit, nyimur, nganyaran, tengah bulan dan serentaun (Saputro 2006). 77 Ada 6 jenis upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan: 3,5,dan 9 bulanan; nurunkeun; opat puluheun; nyepitan; nikahan; dan pindahan (Saputro 2006). 78 Ada 5 jenis upacara adat yang berhubungan dengan ritual keagamaan: syirkah mulud, syirkah rewah, raya agung, hari raya korban, dan cebor/penyucian benda pusaka (Saputro 2006). 79 Leuweng Kolot : berupa hutan yang masih alami, merupakan daerah resapan air (hulu sungai), dan biasanya memiliki
99
(Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni 2002; Kurniawan 2002; Saputro 2006). Pembagian jenis hutan ini turut menentukan jenis pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat kasepuhan pada beberapa kampung membaur dengan masyarakat non-kasepuhan. Mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat desa umumnya. Sikap keterbukaan ini membedakan mereka dengan masyarakat Baduy yang tinggal tidak jauh dari kawasan Gunung Halimun. Warga non-kasepuhan diperkirakan mulai bermukim di kawasan TNGH pada abad ke-17 ketika kawasan ini dibuka untuk perkebunan-perkebunan oleh pemerintahan penjajah Belanda (Lampiran 7). Lokasi pemukiman mereka umumnya dekat jalan akses menuju pusat pelayanan atau pemerintahan. Karena interaksi yang cukup baik dengan masyarakat di luar desa dan masuknya media telekomunikasi seperti TV, dan radio, selain menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar mereka juga fasih berbahasa Indonesia. Seperti warga Kasepuhan, umumnya masyarakat non-kasepuhan juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Banyaknya lahan tidur yang ditelantarkan oleh perkebunan-perkebunan besar dan lahan bekas garapan PERHUTANI, membuat masyarakat mengambil alih pengelolaan lahan tersebut (mulung). Dengan biaya yang relatif murah mereka dapat mendapatkan sertifikat hak guna usaha yang diurus oleh kantor desa 82 . Karakteristik budaya masyarakat di Lokasi studi disajikan dalam Tabel 20.
4.6
Kelembagaan BTNGH dan Lokal
a. Kelembagaan BTNGH Balai TNGH adalah aparat pemerintah pusat yang wilayah kerjanya berada di daerah. Aparat ini tergabung dalam sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT)
kelerengan yang curam. Kawasan hutan ini tidak boleh diganggu tetapi sumber airnya dapat dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingannya sehari-hari. 80 Leuweung Titipan : berupa hutan yang melindungi mata air atau kawasan hutan yang memiliki nilai sejarah yang dikeramatkan seperti hutan di sekitar Situs Cibedug. Kawasan ini biasanya mengelilingi leuweung kolot. Dapat dimanfaatkan hanya dengan ijin sesepuh. 81 Kawasan leuweng cadangan atau sampalan : terletak di sekitar atau di dalam leuweng titipan, dan berfungsi sebagai lahan cadangan untuk dimanfaatkan dimasa yang akan datang. Dengan kesepakatan adat, lahan ini kelak dapat dimanfaatkan untuk huma, sawah, kebun, talun, menggembala ternak, dan mengambil kayu bakar. 82 Interview dengan salah satu mantan lurah Desa Cisarua (31 Januari 2007 )dan nara sumber di Desa Sirnarasa (18 Februari 2007).
100
Taman Nasional Gunung Halimun. UPT ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan (BTNGH 2000a).
Tabel 20 Karakteristik budaya masyarakat di lokasi studi No Lokasi 1. Desa Citorek
Keterangan Masyarakat Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Cibedug dan Non-Kasepuhan
2. Desa Sirnarasa
Masyarakat Kasepuhan Ciptarasa dan NonKasepuhan
3. Desa Malasari
Non-Kasepuhan
4. Desa Cisarua
Non-Kasepuhan
Sumber: hasil observasi lapangan
Struktur organisasi BTNGH berdasarkan SK menteri tersebut terdiri atas: 1 orang Kepala Balai, 1 orang Sub-Bagian Tata Usaha dan 1 orang Seksi Konservasi yang membawahi 3 Sub Seksi Wilayah Konservasi (Wilayah Konservasi I Bayah di Kabupaten Lebak, Wilayah Konservasi II Cigudeg di Kabupaten Bogor, dan Wilayah Konservasi III Cikidang di Kabupaten Sukabumi). Masing-masing Sub-seksi dibantu oleh Jagawana dan Teknisi Kehutanan (Bidang Kawasan Hutan, Konservasi Jenis Sumberdaya Alam, dan Bidang Bina Wisata Alam). Status jagawana dan teknisi hutan ini ialah pegawai fungsional. b. Kelembagaan Lokal Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, kawasan TNGH berbatasan langsung dengan kawasan pedesaan di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Kondisi ini menimbulkan adanya kebutuhan untuk bekerjasama antara BTNGH dengan institusi lokal. Berdasarkan hasil penelusuran dokumen dan observasi lapangan, di lokasi studi
terdapat dua struktur lembaga yang berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat setempat. Lembaga tersebut ialah lembaga formal seperti kantor desa, kecamatan sampai dengan kabupaten. Lembaga lainnya ialah lembaga non-formal seperti lembaga adat atau biasa disebut sebagai kasepuhan.
101
Lembaga desa dipimpin oleh kepala desa. Kepala desa dan perangkatnya dipilih secara demokratis oleh masyarakat. Disisi lain, lembaga adat dipimpin oleh seorang sesepuh yang dibantu oleh perangkat lembaga adat yang biasa disebut baris kolot. Pemimpin adat berikut dengan perangkatnya dipilih secara garis keturunan. Kedua lembaga formal dan non-formal ini memiliki fungsi yang berbeda di tingkat lokal. Kelembagaan desa mengatur hal-hal yang bersifat administratif kepemerintahan seperti pencatatan kependudukan dan hubungan dengan lembaga pemerintah di atasnya. Sementara kasepuhan mengatur tata cara kehidupan keseharian warganya yang terkait dengan cara bertani, ritual budaya, pengaturan dan pemanfaatan ruang serta interaksi antar warga dengan anggota masyarakat lainnya. Lembaga lain yang ada di desa umumnya lembaga formal seperti Lembaga Komunikasi Masyarakat Desa (LKMD), lembaga pendidikan dan kesehatan. Sedangkan lembaga non-formal lainnya yang ada bersifat pengembangan profesi seperti misalnya kelompok tani, PKK, dan karang taruna. Jenis kelembagaan lokal di empat lokasi studi disajikan pada Tabel 21 berikut ini.
Tabel 21 Kelembagaan lokal No Lokasi Studi 1. Kampung Cibedug
• •
2.
Kampung Pangguyangan •
3.
Kampung Citalahab Central
4.
Kampung Leuwijamang
• • • • •
Kelembagaan Lokal Lembaga Formal: Kantor Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Lembaga Non-formal : Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek Lembaga Formal: Kantor Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi Lembaga Non-formal: Kasepuhan Ciptarasa 83 Lembaga Formal: Kantor Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Lembaga Non-formal : Lembaga Formal: Kantor Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor Lembaga Non-formal : -
Sumber: Hasil observasi lapangan
83
Sejak tahun 2000 pusat kasepuhan berpindah ke Ciptagelar (Dedi & Andianto 2003)
102
4.7
Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH Kawasan TNGH mulai dikelola pada sekitar tahun 1916 ketika ditemukan
bijih emas oleh jawatan geologi pada masa itu (BTNGH 200b:I-7). Pada tahun 1924 penambangan mulai dilakukan di daerah Cikotok oleh WF Oppennorth (BTNGH 200b:I-7). Pada tahun yang sama, dibawah pemerintahan Belanda, kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha (BTNGH 2000b:I-33s/d34; Widada 2004:46). Selama rentang waktu 19242003, Kawasan Gunung Halimun dengan status kawasan yang berbeda sudah mengalami delapan kali pergantian lembaga pengelola. Latar belakang pengelola kawasan ini sangat bervariasi mulai pemerintah pusat (seperti pemerintah Belanda, Dirjen PPA dan UPT BTN), pemerintah daerah (Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat), dan Badan Usaha Milik Negara (Perum Perhutani). Selain latar belakang pengelola, status kawasan juga berubah sebanyak tiga kali yaitu mulai status kawasan sebagai hutan lindung, cagar alam, sampai dengan taman nasional. Sejarah perubahan status dan pengelola kawasan ini disajikan pada Tabel 22. Selain aktivitas konservasi di kawasan Gunung Halimun, sejak tahun 1936 sampai sekarang, aktivitas penambangan di kawasan tersebut terus berlanjut dengan pengelola yang juga berganti-ganti. Pada 1936 NV Mijnbow Maatschapay Zuid Bautam, sebuah perusahaan swasta mulai menambang di bagian timur dan timur laut dalam kawasan TNGH (BTNGH 2000b:I-7). Selama masa Perang Dunia II, tahun 1942-1945 pertambangan Cikotok mulai dikelola oleh orang Jawa (BTNGH 2000b:I-7). Pada tahun 1950, penambangan dibuka kembali oleh NV Tambang Emas Cikotok (BTNGH 2000b:I-7). Pada tahun 1968 nama perusahaan ini diubah menjadi PT Aneka Tambang (BTNGH 2000b:I-7). Implikasi dari adanya kegiatan penambangan ini ialah tumbuhan pemukiman penduduk disekitar kawasan sebagai dampak dari kebutuhan masuknya tenaga kerja. Selain aktivitas penambangan, di kawasan Gunung Halimun juga dibuka beberapa perkebunan. Di Sukabumi dan Bogor, pembukaan tanah-tanah perkebunan dimulai sejak tahun 1700an (Galudra 2006). Pada tahun 1913, tanahtanah perkebunan di Kabupaten Bogor diberikan hak kepemilikannya kepada masyarakat oleh pemerintahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang (sekitar
103
Tabel 22 Sejarah perubahan status dan pengelola Kawasan Gunung Halimun No. 1. 2. 3.
Tahun 1924 1936-1961 1961-1978
4.
1979
5.
1979-1990
6.
1990-1992
7.
1992
8.
1997
9.
2003
Status Kawasan Hutan Lindung 84 Cagar Alam 85 Cagar Alam Gunung Halimun Cagar Alam Gunung Halimun 86
Cagar Alam Halimun Cagar Alam Halimun Taman Nasional Halimun 87 Taman Nasional Halimun Taman Nasional Halimun Salak 89
Pengelola Pemerintah Penjajah Belanda Djawatan Kehutanan Jawa Barat Perum Perhutani
Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) diawasi oleh dari kantor Pelestarian SDA Jawa Barat Gunung Balai KSDA III Gunung Balai TN Gede Pangrango Gunung Balai TN Gede Pangrango Gunung UPT BTNGH 88 Gunung UPT BTNGH
Sumber: Harada et al. 2001; Widada 2004:46; situs resmi TNGH www.tnhalimun.go.id; BTNGH 2000a: V35; BTNGH 2000b:I-31s/d41.
tahun 1944), terjadi pembukaan hutan oleh masyarakat diseluruh Kawasan Gunung Halimun (Galudra 2006). Selain karena tidak adanya kepastian hukum, kondisi ini dimanfaatkan penjajah Jepang pada saat itu untuk mengambil hati rakyat dengan menyebutkan bahwa hutan bukan lagi milik penjajah Belanda. Sejarah perkebunan ini diduga merupakan cikal bakal pemukiman yang berada di Kampung Leuwijamang dan Citalahab. Selain pemukiman penduduk yang berasal dari pekerja pertambangan dan perkebunan, di kawasan Gunung Halimun juga bermukim masyarakat Kasepuhan. 84 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha (BTNGH 2000b:I-33s/d34; Widada 2004:46). 85 Status hutan lindung ini kemudian berubah menjadi Cagar Alam pada tahun 1935-1961 dibawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia Cq. Djawatan Kehutanan Jawa Barat (BTNGH 2000b:I-33; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46). 86 atas usulan instansi PPA dan persetujuan Gubernur Jawa Barat, kawasan Cagar Alam Gunung Halimun diperluas menjadi 40.000 Ha. Tambahan ini berasal dari semua hutan lindung yang ada di Provinsi Jawa Barat. Usulan ini berdasarkan peta Brigade Planologi pada masa Pemerintahan Penjajahan Belanda (BTNGH 2000b:I-33). 87 26 Pebruari 1992 TNGH ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK MenHut No. 282/Kpts-II/1992. Tanggung jawab pengelolaan berada di bawah TN Gunung Gede Pangrango SK Dirjen PHPA No. 1544/DJ-VI/TN/1992 (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34). 88 26 Pebruari 1997 melalui SK MenHut No. 185/Kpts-II/1997 ditetapkan organisasi unit pelaksana teknis (UPT) Balai TNGH setingkat eselon III dengan 3 sub-seksi: Cikidang (Kabupaten Sukabumi), Cigudeg (Kabupaten Bogor), dan Bayah, Kabupaten Lebak (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46). 89 Pada tahun 2003, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/2003 kawasan TNGH diperluas menjadi ± 113.357 Ha dengan nama TNGHS. Alasan perubahan diantaranya hasil studi Hutan Lindung Ciusul, Gunung Salak dan Gunung Endut (BTNGH 2000a: V3-5).
104
Ada dua kasepuhan yang masuk dalam lokasi studi yaitu kasepuhan Ciptarasa di bagian Selatan dan Kasepuhan Cibedug di bagian Barat. Berdasarkan penelusuran literatur, Kasepuhan Ciptarasa sudah bermukim di Kawasan Gunung Halimun sejak sebelum tahun 1381 (Catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004). Sedangkan mengenai keberadaan Kasepuhan Cibedug tercatat mulai awal tahun 1930an (Galudra 2006; Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Moniaga 2004; dan van der Hoop 1932). Sejarah pengelolaan di kawasan Gunung Halimun, termasuk di empat lokasi studi, disajikan secara lebih rinci pada lampiran 7. Tata Batas Cagar Alam Gunung Halimun mulai dilakukan sejak tahun 1985. Pal batas merupakan tanda fisik di lapangan yang belakangan hilang atau rusak. Pada Tahun Anggaran 1994-1996 dilakukan kembali pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi tata batas terutama dengan enclave Nirmala. Pada tahun 1999 pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan namun proses penataan tata batasnya sendiri belum dilaksanakan (BTNGH 2000a: V-2). Tahun 2000, Rencana Pengelolaan TNGH merekomendasikan untuk membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi (BTNGH 2000a; Widada 2004:47). Namun demikian, sampai Desember 2003, TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif (Harada et al. 2001; Widada 2004:47).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Karakteristik Konflik di Lokasi Studi Tujuan dari analisis konflik ialah untuk memahami penyebab, tipe, dan
faktor yang mempengaruhi konflik di lokasi studi. Tujuan selanjutnya ialah memetakan intensitas konflik berdasarkan hubungan antar para pihak dan mengidentifikasi usaha apa saja yang sudah dilakukan untuk merespon konflik tersebut. Berikut ini uraian dari hasil analisis konflik tersebut.
5.1.1 Penyebab Konflik Berdasarkan penelusuran literatur terhadap 84 dokumen dan data primer dari 60 responden, adanya konflik diindikasi oleh 81,7% responden dan 50% dokumen. Mengacu pada definisi konflik90 yang disebutkan oleh Fisher et al. (2001), Malik et al. (2003), serta Kartodiharjo dan Jhamtani (2006), konflik yang terjadi dilokasi studi adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran atau kepentingan yang tidak sejalan sehingga menimbulkan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau kelompok atas sesuatu (lahan dan akses terhadap sumberdaya alam). Ada empat penyebab konflik. Pertama, konflik mengenai perbedaan sistem nilai. Konflik ini diindikasikan oleh 25% dokumen dan 41,7% responden. Kedua, konflik mengenai ketidaksepakatan status lahan. Konflik ini diindikasikan oleh 33,3% dokumen dan 75% responden. Ketiga, konflik mengenai ketidaksepakatan tata batas. Konflik ini diindikasikan oleh 27,4% dokumen dan 66,7% responden. Keempat,
konflik
mengenai
ketidakpastian
akses
masyarakat
terhadap
sumberdaya alam di kawasan TNGH. Konflik ini diindikasikan oleh 42,9% dokumen dan 78,3% responden. Informasi ini dirangkum dan disajikan pada tabel 23.
90 Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001:4); adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003); adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal sosial masyarakat yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).
105
106
Tabel 23 Penyebab konflik menurut dokumen dan responden (%) VARIABEL
SUMBER DOKUMEN1 RESPONDEN2 (%)
KONFLIK JENIS KONFLIK Sistem Nilai Lahan Tata Batas Akses
(%)
50,0
81,7
25,0 33,3 27,4 42,9
41,7 75,0 66,7 78,3
Keterangan: 1 hasil identifikasi dari 84 dokumen (Lampiran 2). 2 hasil survei terhadap 60 responden (Tabel 4).
A. Konflik Perbedaan Sistem Nilai dalam Mengelola SDA Menurut Koentjaraningrat (1992), sistem nilai ialah konsepsi mengenai apa yang bernilai bagi kelompok masyarakat tertentu. Di lokasi studi, terutama di Desa Sirnarasa (Kasepuhan Ciptarasa) dan Desa Citorek (Kasepuhan Cibedug) sudut pandang antara masyarakat lokal dan pemerintah dalam memberi nilai terhadap SDA yang berada di kawasan TNGH berbeda (Harada 2003; Widada 2004). Bagi masyarakat relasi mereka dengan hutan merupakan relasi yang bersifat sosial, ekonomi dan spiritual (Admihardja 1992; Adimihardja et al. 1994; Asep 2000; dan Saputro 2006). Hutan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar namun juga tempat dimana mereka melakukan aktivitas sosial budaya dan ritual kepercayaan. Hutan dipandang sebagai milik bersama (common goods). Semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses SDA seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Akses terhadap hutan bukan barang yang dapat diperdagangkan (common property91) dan pelestarian hutan merupakan bagian dari praktek kehidupan sosial budaya. Disisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan (property right). Hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundangan mengenai pengurusan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hutan yang tidak jelas kepemilikannya dapat diklaim menjadi hutan negara atau state property 91 Commons adalah lahan yang utuh (tidak dibagi) yang dimiliki oleh anggota dari komunitas lokal dan common property adalah lahan yang memiliki peraturan pengelolaan yang mengatur penggunaan atau pemanfaatannya (Ellsworth 2004).
107
(Harsono 2005). Sumberdaya hutan dipandang sebagai aset ekonomi yang dapat diperdagangkan (tradable title). Sebagai contoh, beberapa areal di kawasan ekosistem Halimun saat ini diberikan hak pengelolaannya kepada perusahaan tambang emas (ANTAM) dan panas bumi (CHEVRON), perkebunan teh dan karet, dan BUMN, PERHUTANI (BTNGHS 2007; Hanafi et al. 2004). Disisi lain, ketika pemerintah memandang hutan sebagai aset yang harus dilestarikan, hutan di kawasan taman nasional harus steril dari aktivitas manusia selain yang ditentukan oleh undang-undang92. Penetapan kawasan TNGH juga mengabaikan faktor budaya, eksistensi organisasi lokal, serta sistem nilai93 yang sudah ada dan mengakar pada masyarakat lokal. Kawasan yang semula dikelola oleh lembaga adat94, setelah ditunjuk sebagai kawasan TN berdasarkan UU No. 5/1990 Bab 10 dan PP No. 25/2000 pasal 3, kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat. Akibatnya, posisi lembaga adat yang tadinya pengelola kawasan yang diakui masyarakat lokal bergeser menjadi pengguna bahkan menjadi perambah atau encroacment. Kondisi ini terjadi pada masyarakat Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek. Selain karena perbedaan sistem nilai, konflik antara masyarakat dan pemerintah timbul karena selama ini sistem nilai yang diacu hanya peraturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sistem nilai masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan meskipun diakui dalam peraturan perundangan95 namun pada prakteknya dilapangan sulit diterapkan seperti contohnya dalam proses penetapan TNGH. Berdasarkan penelusuran literatur dan observasi lapangan, setidaknya ada dua kondisi yang menyebabkan implementasi kebijakan pengakuan hak masyarakat adat tersebut sulit dilakukan. Pertama, peraturan perundangan menetapkan bahwa hukum adat dapat diakui keberadaannya jika mendapat pengakuan dari pemerintah lokal melalui Peraturan Daerah (Perda). Padahal, 92 Kegiatan yang boleh di lakukan di taman nasional ialah kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam (Pasal 31 (1) UU No. 5/1990). 93 Nilai adalah penghargaan terhadap sesuatu seperti harga pasar, kemampuan membeli, atau perkiraan harga (Woolf et al. 1976: 762) 94 Misalnya lembaga adat Kasepuhan dan Kanekes yang merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya dan sejarah masyarakat penduduk asli sekitar TNGH, yang tersebar di wilayah Kabupaten Sukabumi Selatan, Banten Selatan (Lebak) dan Bogor Selatan (Adimihardja 1992; Hidayati 2004; Saputro 2006; dan Suhaeri 1994). 95 Undang-undang Dasar 19 45 hasil amandemen kedua Tahun 2000 Pasal 18 dan 28 (Abdurrahman 2006); Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; dan Undang-undang No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan Pasal 1 (6), dan 67.
108
proses untuk mendapat perda ini pada kenyataannya merupakan proses politik yang panjang. Membutuhkan waktu, dana dan kemampuan negosiasi yang umumnya tidak dimiliki masyarakat adat. Kedua, untuk mendapat pengakuan, diperlukan dokumentasi hukum adat sebagai alat bukti. Padahal, hukum adat umumnya disampaikan turun temurun secara lisan.
B. Konflik Ketidaksepakatan Status Lahan Implikasi dari perbedaan sistem nilai dalam mengelola SDA dan penetapan sepihak kawasan TNGH adalah masuknya beberapa wilayah adat masyarakat kasepuhan kedalam wilayah TNGH. Sebagai contoh di Desa Citorek, seluruh wilayah adat Kasepuhan Cibedug masuk kedalam wilayah TNGH. Sedangkan di Desa Sirnarasa, sebagian wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa menjadi bagian TNGH. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, dasar klaim pemerintah atas wilayah adat ini didasari oleh kebijakan agraria yang menyebutkan bahwa lahan yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya maka lahan tersebut menjadi domain negara (Harsono 2005:44-46). Kebijakan ini diperkuat oleh Undang-undang Pokok Kehutanan No.5/1967 yang meskipun mengakui keberadaan hak ulayat namun menyebutkan hutan negara pada hutan yang bukan hak milik. Meskipun kemudian pada Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 mengenai Kehutanan Pasal 67 menyebutkan bahwa pengelolaan hutan adat diakui keberadaannya namun hak tersebut dapat diberikan jika ada pengakuan dari Pemerintah Daerah (PEMDA). Selain faktor pengakuan PEMDA yang sampai saat ini belum ada, asumsi hukum yang digunakan pemerintah tersebut juga bertentangan dengan kesadaran hukum yang dimengerti masyarakat. Wilayah adat bagi mereka adalah common property atau lahan milik yang dikelola secara bersama. Status tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan kolektif anggota masyarakatnya (resource tenure). Sampai saat ini status masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan TNGH ini menjadi encroachment atau pemukim liar. Status yang menurut masyarakat lokal sangat diskriminatif dan berimplikasi pada kurangnya tingkat
109
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah96. Sementara
konflik
lahan
antara
masyarakat
non-Kasepuhan
dan
pemerintah ditemukan di Desa Malasari. Konflik disebabkan oleh status lahan garapan yang tidak jelas. Masyarakat merasa sudah menggarap secara turun temurun dan memberikan pajak penghasilan melalui petugas lapangan PERHUTANI tetapi secara sepihak sebagian lahan sengketa ini diberikan hak guna usahanya kepada perkebunan teh.
C. Konflik Ketidaksepakatan Tata Batas Penataan batas di kawasan Gunung Halimun sudah dilakukan sejak kawasan ini berstatus Cagar Alam Gunung Halimun. Kegiatan ini mulai dilakukan pada tahun 1985. Pal batas merupakan tanda fisik di lapangan yang belakangan hilang atau rusak. Pada Tahun Anggaran 1994-1996 dilakukan kembali pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi tata
batas terutama dengan enclave
Nirmala. Pada tahun 1999 pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan namun proses penataan tata batasnya sendiri belum dilaksanakan (BTNGH, 2000a: V-2). Ketidakjelasan tata batas ini berimplikasi pada ketidakpastian jumlah desa di kawasan penyangga. BTNGH (2000a) menyebutkan ada sekitar 46 desa di kawasan penyangga yang tersebar di 13 kecamatan dan 3 kabupaten. Sedangkan survei yang dilakukan Widada (2004) mengidentifikasi sekitar 5197 desa penyangga dengan total jumlah penduduk sebesar 219.723 jiwa. Pada tahun 2003, kawasan taman nasional ini diperluas melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Luas TNGH yang semula 40.000 ha menjadi +113.357 ha. Dari luas kawasan ini sekitar 83,07 ha diantaranya merupakan kawasan permukiman dan perkebunan (Evy 2003). Hal ini diperkirakan karena masuknya beberapa wilayah administratif desa penyangga yang tadinya berstatus diluar kawasan TNGH. Kondisi ini menunjukan bahwa penetapan dan perluasan kawasan ini tidak melalui proses inventarisasi kawasan yang lengkap. Penetapan ini disinyalir ditentukan secara sepihak oleh pemerintah (Santosa 2006 dan observasi lapangan). Selain itu, tidak diperoleh 96 97
informasi apakah sebelum
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat di Kasepuhan Cibedug. Keempat lokasi studi dalam penelitian ini masuk kedalam kategori desa penyangga ini.
110
menunjuk kawasan tersebut sebagai taman nasiona, pemerintah mendapatkan surat pernyataan bebas pihak ketiga dari badan hukum yang berkepentingan terlebih dahulu atau tidak. Berdasarkan Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria standar dan pengukuhan kawasan hutan Pasal 7(2) dan PP No. 69/1996 tentang partisipasi masyarakat dalam tata ruang Pasal 12, 15, dan 18, hal ini merupakan salah satu tahapan proses yang harus dilakukan. Karena itu, meskipun pada tahun 2007, BTNGH mengklaim bahwa 91,4% (1170 Km dari 1280 Km) panjang batas TNGHS sudah ditatabatas98 kenyataan dilapangan menunjukan masih rendahnya pengakuan dari masyarakat dan pemerintah daerah (hasil observasi lapangan). Implikasi dari belum selesainya penataan batas dan rekonstruksinya bagi BTNGH sendiri adalah sulitnya melakukan pembagian zona. Pada tahun 2000, dalam Rencana Pengelolaan–TNGH (RPTNGH)
direkomendasikan untuk
membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi (BTNGH 2000a; Widada 2004:47). Namun demikian, sampai Desember 2003, TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif (Harada et al. 2001; Widada 2004:47). Kondisi ini masih berlanjut sampai penelitian ini dilakukan.
D. Konflik Ketidakpastian Akses terhadap Sumberdaya Alam Menurut Ribot dan Peluso (2003), akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu. Dalam studi ini, yang dimaksud dengan akses ialah kemampuan individu atau kelompok masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di kawasan TNGH. Sebelum ditetapkannya kawasan Gunung Halimun menjadi kawasan taman nasional pada tahun 1992, ada sekitar 11 jenis pemanfaatan yang biasanya dilakukan masyarakat (Galudra 2003; Adimihardja et al. 1994). Ke-11 jenis pemanfaatan tersebut ialah pengambilan kayu (untuk bangunan dan kayu bakar), tanaman (untuk obat, konsumsi sehari-hari, keperluan ritual budaya, pakan ternak, dan dijual), satwa (burung dan babi hutan), bahan baku kerajinan tangan, lahan pertanian, dan emas. 98
BTNGHS, 2007: 6.
111
Namun sejak ditetapkan menjadi taman nasional melalui Keputusan Menteri
Kehutanan
Nomor
282/Kpts-II/1992,
akses
masyarakat
untuk
memanfaatkan SDA di kawasan tersebut menjadi terbatas. Menurut Undangundang (UU) No. 5/1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68/199899, kawasan taman nasional hanya dapat dimanfaatkan untuk aktivitas penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan wisata alam. Kondisi
ini
tentu
meresahkan
masyarakat
karena
menimbulkan
ketidakpastian akses mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kasepuhan Cibedug misalnya, dengan status seluruh wilayah adatnya masuk kedalam kawasan TNGH maka secara legal otomatis tidak dapat memanfaatkan SDA untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kondisi yang hampir sama dirasakan sebagian warga Kasepuhan Ciptarasa. Sedangkan untuk warga Desa Malasari, mereka kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil ladang/lahan garapan yang sekarang sudah diklaim sebagai bagian TNGH. Sementara untuk warga Kampung Leuwijamang, Desa Sukajaya, dengan status enclave kebutuhan mereka untuk memanfaatkan sumberdaya hutan menjadi terbatas. Dari sudut BTNGH, konflik akses ini disebut sebagai gangguan atau aktifitas yang mengancam tujuan konservasi dan kelestarian kawasan. Mereka membuat tujuh kategori aktifitas yang termasuk ancaman dan tiga kelompok pelaku yang disebut perambah. Ketujuh kategori aktivitas tersebut adalah 1) penambangan Emas Tanpa Izin (PETI); 2) pencemaran air oleh merkuri dari pengolahan emas; 3) pembangunan jalan terutama ke Perkebunan Nirmala; 4) tumpang tindih kawasan karena tata batas yang tidak jelas; 5) perburuan ilegal; 6) pemukiman; dan 7) pencurian kayu (BTNGH 2000b: I-48, BTNGH 2000a, : V36; Sudarmadi 2000 dalam Widada 2004:5, 59; BTNGHS 2007). Konflik antara BTNGH dengan masyarakat dapat dilihat dari karakteristik gangguan di masingmasing resort yang disajikan pada Tabel 24. Sedangkan tiga kelompok pelaku yang disebut perambah ialah (BTNGH, 2000a: V-44):
Kelompok A: petani yang tidak memiliki lahan dan hanya menggarap lahan dalam kawasan TNGH;
99 Undang-undang No. 5/1990 mengenai Konservasi Keanekaragaman Hayati berserta ekosistemnya dan PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
112
Kelompok B: petani yang disamping merambah kawasan juga memiliki atau menggarap lahan di luar kawasan (<= 0,75 ha/KK); dan
Kelompok C: keluarga petani yang sebenarnya memiliki atau menggarap lahan >0,75 ha dan juga merambah kawasan TNGH.
Tabel 24 Karakteristik gangguan di setiap resort TNGH tahun 2002 No
Seksi/Resort
1
Seksi Wilayah Kabupaten Lebak Seksi Wilayah II 3.79 Kabupaten Bogor Seksi Wilayah III 22.37 Kabupaten Sukabumi Jumlah 30.60
2 3.
Pencurian Kayu M3 Btg I 4.44
Jenis Gangguan Perambahan Ha KK 256.68 371
12
147.99
769
-
19.90
76
12
524.57
1,216
PETI Ha 36.55
orang 100
29.25
180
65.80
280
Sumber: Laporan Balai TNGH tahun 2002 dalam Widada 2004: 59
BTNGH mengakui bahwa konflik pengelolaan tersebut tidak terlepas dari permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh BTNGH. Permasalahan internal misalnya: terbatasnya jumlah dan kapasitas personil untuk menangani medan yang sulit dan kawasan yang relatif luas. Selain itu, belum adanya sistem informasi kawasan yang
baik dan efesien untuk mendukung
pengelolaan (BTNGH 2000a: V-37; BTNGHS 2007:6-10). Sedangkan permasalahan eksternal yang dihadapi diantaranya kondisi desa-desa penyangga TNGH yang relatif masih terbelakang dengan karakteristik masyarakat yang memiliki pendidikan dan pendapatan yang rendah (Tabel 18, Tabel 19 dan pembahasan pada sub bab 4.4). Selain itu, ketergantungan masyarakat desa-desa penyangga terhadap SDA di TNGH yang tinggi (Adimihardja 1992; Adimihardja et al. 1994; Harada et al. 2001; Widada 2004:5). Kondisi ini menyebabkan sulitnya membangun kesamaan persepsi yang berkaitan dengan keberadaan dan fungsi kawasan (Widada 2004:5). Hal ini juga dapat dilihat dari rendahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi kawasan. Berdasarkan penelusuran literatur dan sejarah penguasaan (Lampiran 7), konflik akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam di kawasan Gunung Halimun sudah berlangsung jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional
113
(Adimihardja 1992; Alikodra 1992, Galudra 2006; Suharyono 2007; dan hasil observasi lapangan). Di bawah pemerintahan Republik Indonesia, konflik berawal ketika pada tahun 1961 Kawasan Gunung Halimun dan sekitarnya ditetapkan sebagai Cagar Alam dan dikelola oleh Perum Perhutani (Harada et al. 2001; Widada 2004:46).
5.1.2 Faktor-faktor Penyebab Konflik Ada tiga teori yang dapat membantu untuk menjelaskan faktor penyebab konflik di TNGH. Ketiga teori ini ialah teori kebutuhan manusia, teori hubungan masyarakat, dan teori transformasi konflik (Malik et al. 2003; van der Merwe 1997 dalam Fisher et al. 2001). Berikut uraian masing-masing teori tersebut. a. Teori Kebutuhan Manusia membantu menjelaskan fenomena konflik ketidaksepakatan status lahan dan ketidakpastian akses di TNGH. Berdasarkan asumsi dasar teori ini, konflik kepentingan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kondisi ini dirasakan oleh hampir semua responden di lokasi studi. Keamanan, identitas, pengakuan, dan partisipasi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang dapat dicapai dari konflik menurut teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. b. Teori Hubungan Masyarakat membantu menjelaskan konflik perbedaan sistem nilai dan ketidaksepakatan tata batas. Berdasarkan asumsi dasar teori ini, konflik yang berasal dari perbedaan informasi dan hubungan manusia disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Di lokasi studi, perbedaan informasi dapat diketahui dari perbedaan dokumentasi sejarah dan pemetaan kawasan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat lokal. Klaim hak atas lahan dan tata batas ditetapkan berdasarkan sudut pandang masing-masing pihak. Sulit mencapai titik temu. Polarisasi persoalan semakin diperlebar dengan hadirnya pihak ketiga, LSM. Dengan
114
keterbatasan kapasitas personilnya dalam memahami konflik dan proses penanganannya, pihak ketiga mencoba menyelesaikan persoalan dengan memberikan solusi yang tidak tepat sasaran. Sebagai contoh ialah
kasus
sertifikasi lahan milik adat di Desa Citorek untuk menghindari masuknya lahan adat tersebut kedalam wilayah TNGH. Padahal, jika mengacu pada syarat pengakuan status masyarakat adat dalam peraturan perundangan, solusi ini dapat mengancam pengakuan status adat kasepuhan tersebut. Penyelesaian konflik yang disarankan oleh teori hubungan masyarakat ialah meningkatkan komunikasi, saling pengertian dan toleransi antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik. c. Konflik perbedaan sistem nilai juga dapat dipahami dengan pendekatan Teori Transformasi Konflik. Menurut teori ini konflik yang bersumber dari masalah struktural disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Di lokasi studi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Berdasarkan observasi pada beberapa pertemuan untuk menyusun kebijakan pengelolaan TNGH/S (Lampiran 1), BTNGH hanya mengundang perwakilan dari institusi akademis, Pemda, dan LSM. Masyarakat lokal direpresentasikan oleh LSM100. Mereka hanya dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengumpulan informasi. Penyelesaian konflik yang ditawarkan menurut teori ini adalah mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan
dan
ketidakadilan,
meningkatkan
jalinan
hubungan
termasuk dan
sikap
kesenjangan jangka
ekonomi;
panjang;
dan
mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi, dan pengakuan. Selain ketiga teori mengenai faktor penyebab konflik tersebut, fenomena konflik di TNGH dapat dilihat berdasarkan teori mengenai hubungan antar stakeholdernya. Teori konflik yang dikembangkan oleh Lewis Coser menyebutkan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok atau dapat membangun kohesi dengan kelompok lain melalui aliansi. Di TNGH fenomena ini dapat dilihat dari terbentuknya aliansi antar kelompok masyarakat dan aliansi 100
hasil wawancara dengan staf BTNGH dan JICA (7-08-2006 dan 21-02-2007).
115
antara kelompok masyarakat dengan kelompok pendukung (LSM)101. Teori Coser ini juga menyebutkan bahwa konflik dapat mengaktifkan peran individu yang tadinya terisolasi dan membantu fungsi komunikasi yang sebelumnya macet. Fenomena ini dapat ditemukan disemua lokasi studi. Melalui observasi pada pertemuan formal maupun non-formal yang diadakan para pihak, masyarakat lokal, baik warga Kasepuhan maupun yang Non-Kasepuhan, memiliki tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam proses penyelesaian konflik. Secara umum, konflik di TNGH juga mendukung teori konflik yang dikembangkan oleh Randall Collins. Asumsi dasar dari teori ini menyebutkan bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial dan mudah berkonflik dalam kehidupan
sosialnya.
Manusia
juga
berupaya
mengoptimalkan
"status
subyektifnya”. Hal ini tergantung pada sumberdaya mereka maupun sumberdaya orang lain dan dengan siapa mereka berurusan. Stratifikasi sosial dipandang sebagai institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan dan penyebab timbulnya konflik. Kondisi ini dapat dilihat di lokasi studi. Dalam proses negosiasi,
baik
BTNGH
maupun
masyarakat
lokal
selalu
berusaha
mengoptimalkan kepentingannya. BTNGH dengan program sterilisasi kawasan dari aktifitas manusia. Disisi lain, masyarakat lokal dengan kebutuhan mengenai lahan garapannya. Berdasarkan hasil identifikasi jenis konflik serta pembahasan teori konflik, faktor-faktor yang diasumsikan mempengaruhi konflik di TNGH diantaranya: 1) hubungan antar manusia yang dapat dilihat dari perbedaan persepsi102 terhadap nilai SDA. Faktor ini juga dapat dilihat dari kurangnya kualitas dan kuantitas komunikasi serta koordinasi antara BTNGH dengan stakeholder lainnya103. 2) masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. 3) perbedaan informasi karena metode pengumpulan dan cara menterjemahkan data yang berbeda. Kondisi ini dapat dilihat dari bagaimana masing-masing pihak mendokumetasi sejarah pengelolaan kawasan. Misalnya dokumen yang 101
Contohnya Persatuan Adat Banten Kidul dan Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB). Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (diterjemahkan dari The Merriam-Webster Dictionary oleh Woolf et al. 1976). 103 Hasil observasi lapangan dan wawancara dengan narasumber baik dari masyarakat, LSM maupun staf BTNGH. 102
116
dikeluarkan BTNGH hanya mencantumkan sejarah pengelolaan oleh pemerintah tanpa menyajikan rentang waktu dimana masyarakat lokal sudah berada
dilokasi
yang
sama.
Contoh
lainnya
dapat
dilihat
pada
ketidaksepakatan mengenai tata batas di Desa Citorek dan Malasari. Di kedua lokasi tersebut, ada dua versi tata batas yaitu versi BTNGH versus versi Pemerintahan Desa/Kecamatan. 4) masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar yaitu pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat lokal versus kepentingan konservasi dan pelestarian alam untuk Dephut/BTNGH. Rangkuman mengenai penyebab konflik dan faktor yang mempengaruhinya ini disajikan pada Tabel 25.
5.1.3 Tipe Konflik Kebijakan penunjukan kawasan Gunung Halimun menjadi taman nasional bukannya tidak mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Jika mengacu model penahapan konflik yang dikembangkan Louis R. Pondy (Winardi 2003), maka konflik di lokasi studi sudah mencapai tahapan konflik yang termanifestasikan. Pada tahap ini masing-masing kelompok yang berkonflik sudah saling memberikan reaksi sehingga menghambat pencapaian kepentingan pihak lainnya.
Tabel 25 Penyebab konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya GAP Perbedaan pendekatan Kebijakan Pengelolaan SDA: Pemerintah (Property Right) versus Masyarakat (Common Property) Perbedaan sistem nilai dan informasi Perbedaan informasi Kepentingan: Pemerintah (Konservasi) versus Masyarakat (Pertanian Subsistence) Sumber: Hasil analisis
PENYEBAB KONFLIK 1. Perbedaan Sistem Nilai
a. b. c. d.
2. Status Lahan 3. Ketidaksepakatan Tata Batas 4. Ketidakpastian Akses
FAKTOR BERPENGARUH hubungan para pihak yang tidak harmonis perbedaan struktural perbedaan informasi perbedaan kepentingan
117
Berikut ini uraian konflik pada setiap tahapannya: a) Konflik laten104 terjadi disemua lokasi studi baik pada konflik dengan masyarakat maupun pada konflik antar institusi pemerintah. Pada tahap ini konflik disebabkan karena berbagai faktor perbedaan yang sifatnya vertikal dalam memperebutkan sumberdaya. Konflik laten antar pemerintah dan masyarakat dapat dilihat dari konflik kepentingan dan perbedaan sistem nilai dalam mengelola lahan. Menurut Malik et al. (2003), konflik seperti ini perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; b) Konflik yang dipersepsi105 terjadi di semua lokasi studi. Walaupun masyarakat mendukung usaha konservasi (Harada 2003 dan Widada 2004), namun mereka merasa bahwa ada kepentingan mereka yang terganggu dengan penetapan taman nasional (Hidayati 2004; Galudra 2003; Hendarti 2004 dan hasil observasi lapangan). Demikian juga sebaliknya, BTNGH merasa masyarakat tidak cukup kooperatif mendukung usaha konservasi kawasan. Kondisi ini membuat masing-masing kelompok merasa kepentingannya terhambat karena kelompok lainnya. c) Konflik yang dirasakan106 dapat diidentifikasi pada beberapa pertemuan (Lampiran 1).
Hal ini dapat dilihat ketika masing-masing kelompok
mengemukakan pendapatnya tentang pihak lainnya, istilah ”kita dan mereka” kerap
digunakan
untuk
mengasosiasikan
kelompok
yang
memiliki
kepentingan yang berbeda. Pada tahap ini, masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi107. Aliansi yang dilakukan masyarakat dapat dilihat dengan terbentuknya Persatuan Adat Banten Kidul dan Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat – Banten (FKMHJBB) yang difasilitasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara BTNGH mencoba mencari dukungan dari tenaga ahli, akademisi maupun praktisi melalui pembentukan kelompok kerja atau forum diskusi terbatas, worskhop, seminar, dan lainnya. 104
Konflik laten menyediakan kondisi anteseden bagi konflik dalam bentuk : persaingan untuk mendapatkan sumbersumberdaya yang langka; konflik peranan; dan divergensi pada tujuan-tujuan kelompok (Winardi 2003). 105 Konflik yang dipersepsi ialah tahap dimana suatu kelompok atau sub-unit merasa kepentingannya terbengkalai karena kelompok lain (Winardi 2003). 106 Konflik yang dirasakan ialah tahap dimana masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi serta mentalitas dalam wujud ”kita-mereka” (Winardi 2003). 107 Aliansi ialah ikatan antara dua kelompok atau lebih dengan tujuan pencapaian tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:29).
118
d) Konflik
di
lokasi
studi
juga
sudah
sampai
tahap
konflik
yang
108
termanifestasikan . Pada tahap ini kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok lawannya. Bentuk aksi dapat berupa agresi109 terbuka maupun tertutup. Menurut BTNGH (2000a: V-37 s/d 44) agresi terbuka pernah terjadi sekitar tahun 1997-1998, dimana situasi kawasan TNGH sempat tidak aman sehingga memerlukan bantuan operasi gabungan antara ABRI dan Pemda setempat. Berdasarkan wawancara
dengan
narasumber
dan
observasi lapangan, agresi ini
kemungkinan terjadi akibat perlawanan masyarakat Desa Malasari110 yang menuntut lahan garapan yang kini dikuasai perkebunan teh dan warga Desa Cisarua111 yang tidak menerima perilaku polisi hutan.
Sedangkan agresi
tertutup umumnya dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan. Salah satunya dengan tetap bertahan untuk bermukim dan berladang di wilayah adatnya. Intensitas konflik ini dipetakan dalam bentuk hubungan antar aktor, utama dan pendukung. Berdasarkan pemetaan tersebut, ada enam tipe hubungan antar stakeholder. Keenam tipe hubungan tersebut ialah hubungan: dengan konflik, aliansi112, kerjasama113, struktural formal/koordinasi, koordinasi114 yang tidak optimal, dan komunikasi115 yang tidak optimal (Gambar 7).
5.1.4 Penanganan Konflik Dalam merespon ”gangguan”116 atau konflik, BTNGH sudah melakukan beberapa pendekatan diantaranya dengan melakukan pembinaan daerah penyangga. Sampai dengan tahun 2004, program pembinaan daerah penyangga ini 108 Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi terbuka, apatis, penarikan diri, dan kinerja yang minimal (Winardi 2003). 109 Agresi : perbuatan bermusuhan yang bersifat penyerangan fisik atau psikis terhadap pihak lainnya (Depdiknas 2005: 13). 110 Hasil interview dengan narasumber dari BTNGH, PT Perkebunan Nirmalasari, RMI, dan masyarakat Desa Malasari menyebutkan bahwa pada waktu itu masyarakat berusaha untuk mengambil alih kembali lahan hak guna usaha mereka dari PT Perkebunan Nirmala. Sementara kaum perempuannya melakukan perlawanan dengan tetap bercocok tanaman (Hendarti 2004 dan Hidayati 2004). 111 Hasil interview dengan narasumber dari masyarakat Desa Cisarua dan BTNGH menyebutkan bahwa konflik di Desa Cisarua, dipicu oleh perilaku Polisi Hutan yang mereka anggap tidak manusiawi dan semena-mena. 112 Aliansi ialah ikatan antara dua kelompok atau lebih dengan tujuan pencapaian tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:29). 113 Kerjasama ialah hubungan dua kelompok atau lebih dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai tujuan bersama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:554). 114 Koordinasi ialah hubungan yang mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan atau kegiatan tersebut tidak saling bertentangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:593). 115 Komunikasi ialah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2005:585). 116 Gangguan ialah hal yang menyebabkan ketidaklancaran, halangan atau rintangan (Depdiknas 2005:332)
119
sudah mencakup 7 Desa di
Kabupaten Sukabumi117, 4 Desa di Kabupaten
Bogor118, dan 13 Desa di Kabupaten Lebak119 (Tabel 26). Berkaitan dengan program pembinaan daerah penyangga ini, kecuali Kampung Cibedug, tiga lokasi studi lainnya dijadikan lokasi pengembangan ekowisata. Tabel 26 Pembinaan daerah penyangga TNGH No 1.
2.
Tujuan Memberikan dan meningkatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang pentingnya konservasi Meningkatkan ketrampilan dalam berwirausaha
a) b) c) d) a) b) c) d)
Program Kegiatan Pelatihan pemanduan ekowisata Pelatihan budidaya pertanian Pelatihan budidaya ulat sutra Pelatihan beternak kambing dan domba potong Pembentukan Koperasi Usaha Konservasi Bantuan ternak dengan sistem bergulir Bantuan bibit tanaman pertanian Bantuan bibit tanaman keras
3.
Pendekatan sosial-budaya
a) Turut dalam acara sarasehan masyarakat Kasepuhan b) Membina dan mendukung upaya pelestarian budaya masyarakat kasepuhan di sekitar kawasan TNGH.
4.
Menjalin kemitraan
a) Pembentukan kader konservasi b) Pembentukan pengamanan swakarsa
Sumber: diolah dari Widada, 2004: 65-67
Selain pembinaan daerah penyangga, usaha lain yang dilakukan BTNGH ialah menawarkan opsi transmigrasi atau resetlement kepada warga kasepuhan Cibedug dan Ciptarasa. Namun tawaran ini ditolak. Sedangkan untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi, BTNGH mengundang perwakilan instansi pemerintah pusat dan daerah terkait pada acara workshop, seminar, Focus Group Discussion (FGD) dan konsultasi publik. Usaha penyelesaian konflik juga dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat Kasepuhan
Cibedug
di
Desa
Citorek,
misalnya,
sejak
tahun
2000
120
memperjuangkan status adat dengan difasilitasi oleh LSM, RMI . Selain membuat dokumentasi hukum adat dan beraliansi dengan masyarakat kasepuhan lainnya dalam forum Kasepuhan Banten Kidul, mereka juga melobi pemerintah daerah. Sampai studi ini dilakukan, proses untuk mendapat pengakuan dari PEMDA masih berlangsung. 117
Desa Kabandungan, Cipeuteuy, hamerang, Sampora, Cikelat, Cicadas, dan Sirnaresmi. Cileuksa, Pasirmadang, Purasari, dan Purabakti. 119 Sirnagalih, Situmulya, Kujangsasi, Citorek, Cikate, Cilebang, Cirompang, Sukamaju, Cituja, Majasari, Lebakgedok, dan Lebaksitu. 120 Berdasarkan wawancara dengan narasumber dari warga kasepuhan dan RMI. 118
Keterangan: Komunikasi tidak optimal SWASTA INSTANSI PUSAT TERKAIT
Koordinasi tidak optimal
DEPHUT
Hubungan struktural DONOR
Kerjasama Konflik
PT
BTNGH
Aliansi
PEMDA TK I & II & Dinas Terkait
YEH LATIN PEKA RMI
Masyarakat Kecamatan dan Desa
LSM Adat
NonAdat
Gambar 7 Pemetaan konflik
120
121
Selain persoalan teknis seperti kapasitas masyarakat dan pendanaan, faktor yang menjadi hambatan untuk mendapat pengakuan ini ialah perilaku elit politik yang menjadikan perjuangan masyarakat ini menjadi komoditas politik. Misalnya untuk meraih suara dalam pencalonan bupati. Di Desa Sirnarasa, masyarakat kasepuhan bekerja sama dengan para peneliti dari perguruan tinggi dan instansi pemerintah untuk mendokumentasikan hukum adat dan sejarah mereka. Seperti Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Ciptarasa beraliansi dengan kelompok Kasepuhan Banten Kidul lainnya untuk memperoleh pengakuan dari Pemda. Disisi lain, sebagai bentuk kompromi dengan BTNGH, kasepuhan Ciptarasa membentuk PAMSWAKARSA untuk membantu menjaga hutan. Dengan difasilitasi oleh LSM, LATIN, mereka juga mengusulkan program kemitraan melalui program PHBM. Namun, sampai studi ini dilakukan usulan belum mendapat kepastian dari pihak PERHUTANI. Padahal Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi sudah menerbitkan PERDA No. 13/2003 mengenai Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Surat Keputusan Bupati Sukabumi No. 407/2004 tentang Prosedur tetap PHBM di Kabupaten Sukabumi untuk mendukung program tersebut. Di Desa Malasari, untuk menghindari terulangnya klaim tanah dari pihak luar, masyarakat mengembangkan konsep Kampung dengan tujuan konservasi (KDTK) dan membuat pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI. Namun sayangnya hasil pemetaan partisipatif ini malah tidak digunakan warga karena setelah dihitung, luas wilayah desa bedasarkan pemetaan partisipatif ternyata lebih kecil yaitu
4.750 Ha (Hanafi et al. 2004:64) dari luas wilayah desa versi
pemerintah seluas 8.262,22 Ha (Monografi Desa Malasari 2006). Menurut Malik et al. (2003) dan Winardi (2003), secara teoritis konflik dengan karakteristik seperti yang diuraikan sebelumnya dapat diselesaikan dengan cara: •
mengangkat kepermukaan konflik laten agar dapat ditangani lebih lanjut;
•
meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi agar perbedaan persepsi dan informasi dapat diselesaikan; dan
•
mengidentifikasi dan mengatasi akar/sumber penyebab konflik yang termanifestasikan atau konflik terbuka.
122
Karakteristik konflik di masing-masing lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 27.
5.2 Analisis Institusi Penetapan TNGH Tujuan dari analisis institusi adalah 1) untuk mengidentifikasi individu atau organisasi yang terkait dengan proses penetapan taman nasional; 2) mengidentifikasi aturan formal (peraturan perundangan) yang mengatur peran para pihak tersebut serta menganalisis pelaksanaan atau implementasi kebijakan tersebut di lokasi studi; dan 3) menganalisis kebutuhan para pihak dalam menyelesaikan konflik. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga teknik analisis yaitu analisis stakeholders, analisis asumsi untuk kebijakan, dan analisis kebutuhan. Berikut uraian hasil dari ketiga analisis tersebut.
5.2.1 Analisis Stakeholder Tujuan dari analisis stakeholders adalah untuk untuk mengidentifikasi individu atau organisasi yang terkait dengan persoalan pengurusan hutan di TNGH. Hasil dari analisis ini adalah daftar stakeholder yang terkait berikut kategorinya, hubungan antar stakeholder dan pengaruhnya terhadap proses penetapan TNGH. Dengan menggunakan definisi dan tahapan analisis stakeholders yang telah diuraikan pada Bab III, tahap pertama analisis ini ialah melakukan identifikasi stakeholder. Berikut uraian hasil analisis stakeholder: 1. Stakeholder Utama Stakeholders utama (primer) merupakan stakeholders yang terkena dampak langsung baik positif maupun negatif oleh suatu rencana atau proyek serta mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut (Maryono et al. 2005). Berdasarkan definisi tersebut, keempat kelompok masyarakat lokal di lokasi studi masuk dalam kategori stakeholder utama. Dalam kelompok masyarakat ini terdapat unsur-unsur masyarakat seperti masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Non-Kasepuhan. Dampak utama penunjukan kawasan Gunung Halimun menjadi taman nasional bagi masyarakat lokal ialah terjadinya perubahan status lahan. Bagi
Tabel 27 Karakteristik konflik di lokasi studi LOKASI STUDI Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak
PENYEBAB KONFLIK a. b.
c. d.
Perbedaan sistem nilai Status lahan : seluruh wilayah adat (status saat ini sebagai encroachment). Ketidaksepakatan tata batas Ketidakpastian akses terhadap SDA Perbedaan sistem nilai Status Lahan: sebagian wilayah adat Ketidaksepakatan tata batas Ketidakpastian akses
Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
a. b.
Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Ketidakpastian akses terhadap SDA
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
c. d.
a. b. c.
Status lahan : pemukiman, ladang dan sawah Ketidaksepakatan tata batas1, Ketidakpastian akses terhadap SDA
LANGKAH YANG SUDAH DILAKUKAN MASYARAKAT BTNGH Beraliansi dengan stakeholder Memberikan opsi untuk lainnya untuk pengakuan transmigrasi; mengikuti proses PEMDA; inventarisasi dan PERDA dokumentasi sejarah serta kearifan lokal
TIPE KONFLIK a. b. c. d.
Beraliansi dengan stakeholder lainnya untuk pengakuan PEMDA; inventarisasi & dokumentasi sejarah serta kearifan lokal; bermitra dengan BTNGH
Menjalin kemitraan (Ekowisata, PAMSWAKARSA); Pendekatan sosial budaya dengan menghadiri acara budaya
a. b.
Membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
Penghancuran sekitar 500 lubang-lubang PETI pada tahun 1996-1997, penyuluhan, pelatihan kader konservasi dan pengembangan kegiatan ekowisata.
a. b.
Kader konservasi, penyuluhan, pengembangan ekowisata
a. b.
Membuat pemetaan partisipatif dan menerapkan konsep kampung konservasi
c. d.
c.
c. d.
Konflik laten (vertikal) Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat Konflik yang dirasakan : kita vs mereka Konflik yang termanifestasikan : reaksi masyarakat mencari dukungan (aliansi) Konflik laten (vertikal) Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat Konflik yang dirasakan : kita vs mereka Konflik yang termanifestasikan : reaksi masyarakat mencari dukungan (aliansi) Konflik laten (vertikal) Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat Konflik yang termanifestasikan : konfrontasi terbuka terhadap POLHUT.
Konflik laten (vertikal) Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat Konflik yang dirasakan : kita vs mereka Konflik yang termanifestasikan : reaksi masyarakat mencari dukungan (aliansi) dan konfrontasi terbuka dengan PT Nirmala (1997-1998)
Sumber: Hasil penelusuran literatur (Lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan. Keterangan: 1 Sebagian wilayah desa Malasari masuk kedalam kawasan TNGH yaitu Kampung Hanjawar, Garung, Citalahab, dan Legok Jeruk. Sebagian wilayah lainnya dikuasai oleh PERHUTANI (Kampung Nyungcung I dan II) dan PT Nirmala Agung (Kampung Citalahab I, Citalahab Central, Legok Jeruk dan Ciwalen).
123
124
masyarakat Kasepuhan Cibedug dan Ciptarasa, perubahan ini terjadi pada status wilayah kasepuhan mereka. Sementara bagi masyarakat non-kasepuhan, seperti di Desa Malasari dan Desa Cisarua, ialah perubahan status lahan garapan. Perubahan status ini merubah tatanan kelembagaan dan aturan main pengelolaan yang sebelumnya ditingkat lokal/komunitas menjadi nasional. Padahal bagi masyarakat ini, lahan merupakan sumber kehidupan yang memenuhi kebutuhan primer. Untuk masyarakat kasepuhan lahan juga merupakan mandat leluhur yang harus dijaga secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka. Mengingat bukti sejarah keberadaan mereka di kawasan tersebut (Adimihardja 1992; Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004; Rahayu 2004; Galudra 2006), pengaruh masyarakat terhadap proses penetapan TNGH seharusnya cukup tinggi. Namun demikian, beberapa keterbatasan teknis yang dimiliki masyarakat untuk berdialog dan bernegosiasi dengan pihak yang berkepentingan seperti bahasa, tingkat pendidikan, kesamaan data dan informasi serta hal teknis lainnya menyebabkan posisi tawar mereka menjadi rendah. Bagi kelompok masyarakat yang sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat luar dan mendapat dukungan seperti Kasepuhan Ciptarasa dan Desa Malasari, posisi tawar mereka untuk mempengaruhi proses penetapan kawasan menjadi cukup kuat. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, masyarakat lokal umumnya mendukung konservasi kawasan Gunung Halimun. Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Harada et al. (2001), Harada (2003), dan Widada (2004: 133). Namun mereka menolak pembatasan untuk memanfaatkan sumberdaya alam di dalamnya. Hasil observasi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2002:107). Ada dua opsi penyelesaian sengketa lahan yang dituntut oleh masyarakat. Opsi pertama ialah menuntut dikeluarkannya lahan adat dan garapan mereka dari kawasan TNGH agar dapat dikelola secara mandiri oleh mereka. Opsi ini terutama dikemukakan oleh masyarakat kasepuhan. Opsi kedua ialah bekerjasama dengan BTNGH untuk mengelola
lahan tersebut terutama lahan yang masih berupa
hutan121. Penyelesaian opsi pertama, bagi masyarakat kasepuhan, dapat diselesaikan 121 Berdasarkan hasil pertemuan Sesepuh Banten Kidul tanggal 24 April 2007 di Citorek, posisi masyarakat sepakat untuk mengelola bersama BTNGH wilayah adat yang masih berupa hutan (leuweng kolot dan cadangan)
125
jika Pemerintah Daerah setempat sudah mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat kasepuhan. Sedangkan bagi masyarakat Non-Kasepuhan, penyelesaian dapat dilakukan jika mereka dapat menunjukan bukti kepemilikan atas lahan tersebut. Untuk opsi kedua, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh BTNGH. Pertama yaitu dengan memberikan ruang dalam kawasan TNGH untuk dikelola bersama. Misalnya dalam zona pemanfaatan, zona khusus dan zona tradisional seperti yang dimungkinkan oleh peraturan perundangan yang ada. Misalnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 3 dan 6. Cara yang kedua ialah dengan melakukan kerjasama formal dengan perangkat desa/kecamatan atau badan usaha milik desa. Landasan hukum yang dapat digunakan ialah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 & 214. Dalam undang-undang tersebut Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dan/atau melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Rangkuman hasil analisis terhadap stakeholder utama ini disajikan pada Tabel 28 berikut ini.
Tabel 28 Stakeholder utama penetapan TNGH KELOMPOK STAKEHOLDERS
DAMPAK PENUNJUKAN
PENGARUH1
ESTIMASI SIKAP
Desa Citorek
Seluruh wilayah adat masuk kedalam TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA
Rendah
Mendukung dengan syarat
Desa Sirnarasa
Sebagian wilayah adat masuk TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA
Sedang
Mendukung dengan syarat
Desa Cisarua
Akses terhadap SDA terbatas
Rendah
Mendukung dengan syarat
Desa Malasari
lahan garapan Sedang berada di dalam kawasan TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA Sumber: Hasil Analisis Keterangan: 1Pengaruh terhadap proses penetapan TNGH
Mendukung dengan syarat
OPSI PENYELESAIAN
Seluruh wilayah adat dikeluarkan dari TNGH; Pemanfaatan SDA yang lestari; Kerjasama untuk wilayah adat yang masih berbentuk hutan.
Lahan garapan dikeluarkan dari TNGH; Pemanfaatan SDA yang lestari; Kerjasama dengan BTNGH
126
2. Stakeholder Kunci Stakeholders kunci merupakan stakeholders yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005). Dalam penelitian ini, stakeholders kunci diidentifikasi berdasarkan kewenangannya dalam mengambil keputusan terkait dengan proses penetapan kawasan taman nasional. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 10, proses penetapan kawasan atau pengukuhan kawasan terdiri dari empat tahapan yaitu tahap penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Tahap penunjukan dapat dilakukan setelah kegiatan inventarisasi kawasan selesai dilaksanakan. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, sebagai kawasan taman nasional kewenangan pengurusan TNGH berada di Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Sedangkan Balai Taman Nasional Gunung Halimun merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Kehutanan. Namun secara administratif TNGH masuk ke dalam wilayah 2 provinsi dan 3 kabupaten yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bogor dan Sukabumi, dan Provinsi Banten yang meliputi Kabupaten Lebak.
Karena itu, konflik yang
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat seperti lahan, tata batas dan akses terhadap SDA menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam studi ini, untuk identifikasi kewenangan dari peraturan perundangan, pemerintah daerah akan dilihat sebagai entitas tunggal tidak per lokasi. Berikut uraian masing-masing stakeholders kunci tersebut: A. Pemerintah Pusat Berdasarkan analisis terhadap 47 peraturan perundangan (Lampiran 3), ada tiga instansi pemerintah pusat yang terkait dengan pesoalan penetapan taman nasional. Ketiga instansi tersebut ialah : Departemen Kehutanan (C.q. Dirjen PHKA, BAPLAN, Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Lahan dan BTNGH)122; Departemen Dalam Negeri123, serta Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional124. 122
berdasarkan Keppres 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen; UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Hayati berserta ekosistemnya; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 123 Departemen Dalam Negeri, berdasarkan Keppres 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, memiliki kewenangan dalam hal menetapkan kebijakan administrasi kependudukan, perencanaan daerah, pembentukan daerah dan kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah. Banyaknya pemekaran dan pembentukan desa di dalam dan sekitar kawasan TNGH semestinya merupakan bagian dari wewenang dan tanggung jawab departemen ini beserta jajaran instansi pelaksana di bawahnya. 124 UU No. 24/1992 tentang Tata Ruang Pasal 19; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35.
127
Departemen Kehutanan berkepentingan untuk melaksanakan tugasnya dalam pengurusan kawasan hutan. Demikian juga dengan Dirjen PHKA, BAPLAN, serta Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Lahan yang bertugas melaksanakan pengaturan tata batas dan pengelolaan KPA. Sedangkan BTNGH merupakan unit pelaksana teknis dari Departemen Kehutanan yang melaksanakan pengelolaan KPA di lapangan. Peran Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dalam proses penetapan TNGH terutama pada tahap penataan batas. Menurut Permendagri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 126/2742/SJ/2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, tugas Depdagri diantaranya ialah Membentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah (PPBD) Tingkat Pusat dan menandatangani peta batas daerah. Berdasarkan UU No. 24/1992 mengenai Penataan Ruang Pasal 19; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35, diketahui bahwa dalam proses penetapan taman nasional Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional
dapat
berperan dalam proses penunjukan, penataan batas, dan pemetaan. Stakeholder ini juga dapat berperan sebagai mediator konflik dan koordinator pelaksanaan jika penataan ruangnya meliputi lebih dari satu provinsi. Berdasarkan kewenangan yang ditetapkan secara legal formal, pengaruh ketiga instansi pemerintah pusat terhadap kebijakan TNGH cukup tinggi. Namun demikian, mengingat kebijakan penetapan konservasi kawasan merupakan kebijakan pemerintah pusat diperkirakan semua instansi tersebut bersikap mendukung sejauh komunikasi dan koordinasi antar instansi yang dilakukan Departemen Kehutanan berjalan dengan baik.
B. Pemerintah Daerah Penetapan TNGH berdampak langsung terhadap pemerintah daerah mulai dari tingkat Desa, Kabupaten sampai Provinsi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wilayah administrasi Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Sedangkan wilayah administrasi
128
Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Dampak langsung yang dirasakan ialah perubahan fungsi lahan, tata batas wilayah, status pemukiman warga, dan status aset obyek wisata daerah. Bagi daerah, kedua dampak tersebut membawa konsekuensi terhadap penataan kembali tata ruang daerah, penduduk berserta penyediaan sarana dan prasarana sosialnya. Menurut peraturan perundangan yang ada, PEMDA dalam proses penetapan taman nasional berperan mulai dari tahap inventarisasi, penunjukan, penataan batas, pemetaan, sampai dengan penetapan. Dalam tahap inventarisasi, menurut PP Np. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Pasal 3 (5), Pemerintah Provinsi berwenang membuat pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan kawasan hutan. Dalam tahap penunjukan taman nasional, Menteri Kehutanan menunjuk kawasan tertentu sebagai kawasan pelestarian alam (taman nasional) harus berdasarkan pertimbangan Gubernur (PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 10) dan usulan Pemda Kabupaten (Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 11). Dalam tahap penataan batas, menurut UU No. 24/1992 Penataan Ruang Pasal 8; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 189; PP No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Pasal 2, peran Pemerintah Provinsi ialah mengkoordinasikan penataan ruang yang meliputi lebih dari satu kabupaten dan membuat pedoman penyelenggaraan rekonstruksi dan penataan batas hutan. Sedangkan Pemerintah Kabupaten, menurut Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan (Pasal 8,9, 12,14 dan 16), mempunyai peran dalam membentuk panitia tata batas, menjadi anggota panitia, memberikan pengakuan bebas hak-hak pihak ketiga terhadap areal yang ditata batas, menyetujui dan menandatangani berita acara tata batas (BATB). Sementara Pemerintah Desa menurut kebijakan yang sama juga mempunyai peran dalam hal persetujuan dan penandatanganan BATB. Dalam posisi peran dan kewenangan tersebut, seharusnya pengaruh PEMDA dalam pengambilan keputusan cukup tinggi.
129
Berdasarkan observasi lapangan, sikap perangkat PEMDA terhadap keberadaan TNGH sangat ditentukan oleh Kepala Daerah masing-masing wilayah yaitu Gubernur untuk PEMDA TK I dan Bupati untuk PEMDA TK II. Sikap ini dapat dinegosiasikan jika BTNGH dapat membangun komunikasi, koordinasi, dan kerjasama yang baik dengan jajaran dinas-dinas terkait dibawahnya seperti Dinas Kehutanan, Pariwisata, dan Sosial. Masukan dari dinas terkait kepada pimpinan daerah inilah yang kemudian dapat mempengaruhi keputusan akhir Kepala Daerah. Sampai dengan penelitian dilakukan, berdasarkan rekaman proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) I di Sukabumi pada 79 Agustus 2006, pemerintah daerah Lebak belum menentukan sikap karena belum ada kejelasan tata batas. Demikian juga hasil wawancara dengan narasumber di Dinas Kehutanan dan Dinas Pariwisata di Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Hasil wawancara dengan kepala BTNGH125 diperoleh informasi bahwa BTNGH akan membuat nota kesepahaman (MoU) dengan tiap-tiap kepala daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, responden dari instansi pemerintah umumnya menunggu hasil kesepakatan tersebut baru akan menyusun program-program yang diperlukan. Sikap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap keberadaan TNGH sebenarnya dapat dilihat dalam Perda No. 2/1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Provinsi Jawa Barat. Dalam Perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan sekitar 30% luas wilayahnya untuk kawasan lindung. Hal ini secara tidak langsung
mengakui perlunya keberadaan TNGH. Namun
demikian, alokasi ruang dan tata batas perlu direkonstruksi ulang sehingga sesuai dengan perencanaan tata ruang provinsi126.
C. DPRD Menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 dan 40, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. DPRD memiliki fungsi
125 Wawancara dengan Bapak Bambang, Kepala BTNGH, dilakukan di Kabandungan tanggal 19 Februari 2007 pukul 16.00-18.00. 126 pernyataan wakil Provinsi Jawa Barat pada acara konsultasi publik RPTNGHS tanggal 21/02/2007 di Bogor.
130
legislasi, anggaran dan pengawasan (Pasal 41). Dalam konteks persoalan dengan penetapan TNGH dan konflik masyarakat lokal, setidaknya ada dua tugas dan kewenangan DPRD yang relevan sesuai dengan Pasal 42 UU No. 32/2004. Tugas dan wewenang dan kewenangan tersebut ialah: 1) membahas rancangan, menyetujui dan mengawasi pelaksanaan Perda bersama dengan kepala daerah; dan 2) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Jika kedua tugas dan kewenangan ini dilaksanakan, semestinya konflik di TNGH tidak berlarut-larut dan masyarakat tidak perlu berhadapan langsung dengan BTNGH sebagai unit pelaksana teknis pemerintah pusat. Sampai saat survei dilakukan, hanya DPRD Lebak yang terlihat ikut aktif dalam pembahasan Perda pengakuan masyarakat Kasepuhan untuk Kasepuhan Cibedug dan Citorek. Walaupun kemajuannya sampai saat ini baru dukungan secara politis saja. Sebagai stakeholder yang sesungguhnya memegang peranan kunci, DPRD sebaiknya dilibatkan dalam proses penetapan TNGH dalam hal berbagi informasi, konsultasi dan kontrol. Berdasarkan analisis diatas, seluruh stakeholders kunci harus dilibatkan dalam semua tipe partisipasi. Khusus untuk instansi yang wilayah kerja dan/atau substansi kewenangannya terkait langsung dengan TNGH sebaiknya dilibatkan sebagai mitra pengelolaan TNGH seperti amanat Pasal 17 UU No. 32/2004 yang mewajibkan pemerintah pusat untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam hal penyerasian lingkungan dan tata ruang serta perizinan dan pembagian hasil dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Daftar stakeholder kunci berikut kewenangan, pengaruh dan estimasi sikap masing-masing stakeholder dirangkum dan disajikan pada Tabel 29.
3. Stakeholder Pendukung Stakeholders pendukung merupakan stakeholders yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap proyek tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Ada enam kelompok yang masuk dalam kategori stakeholders pendukung untuk TNGH. Keenam kelompok ini ialah :
131
Lembaga Swadaya Masyarakat, Institusi Pendidikan dan Lembaga Penelitian, Swasta, Lembaga Donor, Individu, dan Forum Komunikasi atau Organisasi Masyarakat. A. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Berdasarkan hasil observasi dan penelusuran literatur (Lampiran 2), setidaknya ada enam LSM yang beraktivitas di lokasi studi. Keenam LSM tersebut yaitu RMI, LATIN, PEKA, ABSOLUT, dan Yayasan Ekowsisata Halimun. RMI mulai melakukan kegiatan di TNGH pada tahun 1992 di Desa Malasari dan Curug Bitung, mereka mengembangkan program kebun energi. Pada tahun 2003, RMI mulai menjalin kerjasama dengan masyarakat Kasepuhan di Desa Citorek untuk memperjuangkan pengakuan adat dari pemerintah daerah. LATIN mulai melakukan kegiatannya di TNGH pada tahun 2000. Desa Sirnarasa merupakan salah satu desa sasaran dalam mengembangkan kegiatan hutan kemasyarakatan di kawasan lindung/konservasi. Program utama yang dikembangkan di desa ini ialah penguatan kelembagaan. Kegiatan pengembangan ekowisata merupakan salah satu agenda program penguatan kelembagaan ini. Dalam melaksanakan kegiatannya, LATIN bekerjasama dengan Perhutani dan Dinas Kehutanan setempat (Hasil wawancara dengan staf LATIN-Sukabumi: Bapak Ahmad Suwarno dan Denni pada 19 Februari 2007. Hasil wawancara dilengkapi dengan hasil dokumentasi catatan lapangan LATIN di lokasi studi. PEKA mulai beraktivitas di kawasan TNGH pada tahun 1997. Program yang dikembangkan diantaranya mengenai pendidikan lingkungan hidup melalui pendirian perpustakaan dan penguatan organisasi masyarakat melalui kelompok tani di Desa Cisarua, Sirnarasa dan Cipeuteuy. ABSOLUT awalnya adalah kelompok pemuda dan pemudi yang berasal dari Desa Cipeteuy dan sekitarnya dengan tujuan membuat kegiatan yang dapat mengisi waktu. Tujuan ini berkembang sejalan dengan banyaknya LSM yang beraktivitas di desa mereka dan dikembangkannya ekowisata di Citalahab. LSM ini mulai mengembangkan kapasitas anggota dengan berpartisipasi dalam berbagai pelatihan seperti: guide dan interpreter.
132
Tabel 29 Stakeholders kunci dalam proses penetapan taman nasional STAKEHOLDERS
1. a.
Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan127
b.
KEWENANGAN1
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
Koordinator, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan, Mediator Konflik, Fasilitator, dan Evaluator
Tinggi
Mendukung
Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional128
Koordinator tata ruang dalam proses penunjukan dan Penataan Batas; membuat peta tata ruang nasional; Mediator konflik
Tinggi
Mendukung
c.
Departemen Dalam Negeri129
Membentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah (PPBD) Tingkat Pusat dan menandatangani peta batas daerah
Tinggi
Mendukung
2.
Pemerintah Provinsi130
Membuat pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan tata batas; memberikan pertimbangan dalam penunjukan kawasan; membuat peta tata ruang daerah; menetapkan kawasan lindung melalui PERDA
Tinggi
Mendukung
3.
Pemerintah Kabupaten131
Membentuk panitia, menyelenggarakan dan menandatangani persetujuan dalam proses penataan batas;membuat peta tata ruang daerah dan menjabarkan penetapan kawasan lindung kedalam peta skala 1:100.000
Tinggi
Mendukung
4.
DPRD
Memberikan persetujuan dan mengawasi rencana pemerintah daerah
Tinggi
Mendukung
5.
Kepala Desa/Kecamatan
Memberikan pengakuan bebas hak- Sedang hak pihak ketiga dan 132 menandatangani persetujuan dalam proses penataan batas Keterangan: 1diidentifikasi dari 47 kebijakan terkait (Lampiran 3).
Mendukung
127 UU No. 5/1967 Pasal 1(5), 7, 9, 10(2), 11(2); UU No.41/1999 Pasal 5, 8, 13(2), 14, 68(2c); UU No.5/1990 Pasal 8, 29; UU No. 24/1992 Pasal 8, 10, 12, 19, 29;PP No. 33/1970 Pasal 3(1-3), 5, 8; PP No. 68/1998 Pasal 10; PP No. 69/1996 Pasal 12(b,c), 15(a,b,d) dan 18a; PP No.25/2000 Pasal 2(3), 3(5); Keppres No. 102/2001 Pasal 29 b, j dan o; Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 Pasal 7, 11, 20, 21; Kepmenhut No. 282/Kpts-II/1992 No. 3; Kepmenhut No. 175/Kpts-II/2003 Pasal 3,4. 128 UU No. 24/1992 Pasal 19; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35. 129 Permendagri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah; Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 126/2742/SJ/2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah. 130 Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Landasan hukum UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; UU No. 24/1992 Pasal 8, 19, 27; PP No.25/2000 Pasal 3(5); PP No. 68/1998 Pasal 10; PP No.62/1998 Pasal 2; PP No.25/2000 Pasal 3; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 34, 36, 40 ;Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 Pasal 11. 131 Pemerintah Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Landasan hukum: UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1, 14; UU No. 24/1992 Pasal 19; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 36, 40 ;Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 8, 9, 12, 14, 16. 132 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 8, 9, 12, 14.
133
Yayasan Ekowisata Halimun (YEH) didirikan oleh beberapa staf yang terlibat
dalam
Konsorsium
Program
Pengembangan
Ekowisata
TNGH
(KPPETNGH). Yayasan ini didirikan setelah aktivitas KPPETNGH berakhir seiring dengan berakhirnya proyek yang didanai oleh BSP/BCN pada tahun 1998. Tujuan didirikannya YEH adalah untuk menjaga komitmen dan hubungan moril yang sudah dibangun dengan anggota KSM di Desa Cisarua, Desa Malasari dan Desa Sirnarasa. Kepentingan lembaga ini di TNGH umumnya untuk melaksanakan program pendampingan dan pengembangan masyarakat lokal. Dalam melakukan pendampingan masyarakat, LSM umumnya berkolaborasi dengan lembaga lain seperti lembaga penelitian/pendidikan (CIFOR, ICRAF, dan IPB), LSM lainnya, dan lembaga donor (Yayasan KEHATI, Yayasan Kemala, dan JICA). LSM juga berkonsultasi dengan beberapa narasumber dari instansi pemerintah, swasta dan masyarakat sendiri. Namun demikian, LSM yang beraktifitas di lokasi studi walaupun mempunyai lokasi kerja yang sama namun karena tema program yang berbeda maka mereka bekerja sendiri-sendiri. Berbeda dengan institusi pemerintah, keberadaan LSM di TNGH tidak diikat oleh suatu kewajiban baik untuk jangka panjang maupun pendek. Lembaga ini secara legal formal tidak mempunyai kewenangan maupun hak veto dalam pengambilan keputusan. Namun demikian, karena kedekatan dan keterlibatannya secara langsung dengan persoalan masyarakat, mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mempengaruhi pendapat masyarakat dan merubah keputusan. Salah satunya dengan memobilisasi masyarakat lokal. Terbentuknya Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB) merupakan salah satu contoh yang diinisiasi RMI dan beberapa LSM lainnya. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya tersebut, stakeholder ini perlu dilibatkan setidaknya dalam pengumpulan informasi, dan konsultasi. Lembaga ini dapat dilibatkan sebagai mitra kerja dan pada tahap evaluasi (kontrol) jika LSM tersebut cukup mengakar di masyarakat.
B. Institusi Pendidikan atau Penelitian TNGH sudah menjadi lokasi penelitian bagi mahasiswa, peneliti dan
134
pendidik dari tujuh instansi yang masuk dalam kategori Institusi Pendidikan dan lembaga penelitian.
Ketujuh instansi ini adalah institusi pendidikan seperti
Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (UNPAD)/ Indonesian Resource Center for Indigenous Knowledge INRIK, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ICRAF, dan Organisasi kemahasiwaan seperti Biological Science Club (BScC) dari Universitas Nasional (UNAS). Hampir semua lokasi studi pernah menjadi obyek penelitian dari instansi ini. Sebagai pengguna kawasan TNGH baik untuk penelitian maupun pendidikan, stakeholder ini tidak memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan. Penetapan TNGH juga berdampak tidak langsung terhadap mereka. Namun demikian, pemahaman dan kontribusi hasil penelitian mereka dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki proses perencanaan dan kinerja pengelolaan kawasan. Karena itu stakeholder ini sebaiknya dilibatkan minimal pada tahap informasi dan konsultasi.
C. Swasta Ada tiga perusahan swasta yang cukup besar yang beraktivitas di lokasi studi. Ketiga perusahan tersebut ialah PERUM PERHUTANI133, PT Perkebunan Nirmala Agung, dan PT Aneka Tambang (ANTAM). Sebagai lembaga BUMN milik Departemen Kehutanan, Perhutani tidak memiliki hak veto terhadap kebijakan yang dibuat oleh negara. Namun demikian, mengingat kapasitas personil dan modal yang dimiliki, Perhutani dapat menggunakan jalur lobi untuk mempengaruhi keputusan. Disisi lain, berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di empat lokasi studi134, citra Perhutani sangat buruk di mata masyarakat. Selain dipandang tidak melakukan tugasnya menjaga Cagar Alam dan membina masyarakat disekitarnya, oknum perhutani dilaporkan sering memungut hasil panen masyarakat secara paksa. Mereka mewajibkan masyarakat
133 PERUM PERHUTANI adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam UU No.9/1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan Menteri, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham (PP No.30/2003 Pasal 1 ayat 1); Tugas dan kewenangan PERUM adalah menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan yang mengacu pada RPH berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya (PP No.30/2003 Pasal 3 ayat 1, 29 ayat 2). Pada rentang waktu tahun 1961-1978, Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani (Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46). 134 wawancara dilakukan dalam rentang waktu Januari-April 2007.
135
yang menggarap lahan yang diasumsikan135 lahan Perum untuk menyerahkan sebagian hasil panennya (Hanafi et al. 2004; hasil wawancara). Sikap arogan petugas
lapangannya
semakin
memperburuk
hubungan
mereka
dengan
masyarakat. Perlu waktu bagi Perhutani untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Berada di enclave TNGH dan berbatasan langsung dengan Desa Malasari, PT. Nirmala Agung adalah perkebunan di Kawasan TNGH yang sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sejak dikembangkannya kegiatan ekowisata di TNGH, tahun 1997, perkebunan mulai membuka diri untuk menjadi salah satu obyek wisata. Program yang dikembangkan ialah pengenalan proses pengolahan dan pembuatan teh. Kerjasama juga dibangun dengan pemandu yang berasal dari masyarakat lokal. Kondisi ini merupakan peluang untuk menjadikan perkebunan teh sebagai mitra TNGH. PT ANTAM merupakan perusahaan yang sebagian besar sahamnya (65%) dimiliki pemerintah Indonesia (Hanafi et al. 2004). Sejarah dimulainya penambangan bijih emas di Kawasan Ekosistem Halimun dimulai sejak tahun 1916 di Cikotok dan beberapa lokasi lainnya (Lampiran 7 Sejarah Pengelolaan TNGH). Pada 20 April 1992, PT ANTAM mendapat Kontrak Karya baru untuk waktu 30 tahun136. Wilayah kontrak kerja penambangan ini terdapat di Ciguha, Desa Malasari; Kubang Cicau di bagian tengah, dan Ciurug, bagian Selatan kawasan TNGH. Lokasi ini berada diantara Gn. Pongkor dan Gn. Butak di SubDAS Cikaniki yang merupakan kawasan TNGH (Hanafi et al. 2004). Hubungan PT ANTAM dengan masyarakat sekitarnya relatif cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa program kemasyarakatan PT ANTAM seperti penyuluhan, pengobatan masal, pembentukan KUD dan pendidikan bagi 65 pengusaha kecil (Hanafi et al. 2004). Pola hubungan yang sudah terbangun seperti ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan BTNGH untuk menjadikan PT ANTAM sebagai mitra kerja.
135 “diasumsikan” karena sebagian masyarakat, seperti di Cibedug, tidak sepakat bahwa lahan yang mereka garap adalah lahan Perum. Mereka beranggapan bahwa lahan tersebut adalah lahan warisan. 136 Menurut UU No. 11/1967 tentang Pertambangan, Kuasa ini diberikan oleh Menteri Pertambangan (Pasal 2 dan 15).
136
D. Lembaga Donor Ada tiga lembaga donor yang mendukung berbagai aktivitas lembaga terkait di lokasi studi. Mereka adalah United State Aid for International Development (USAID), Japan International Corporation Agency (JICA), dan Yayasan KEHATI. USAID merupakan donor pada tahun 1995 yaitu tahap inisiasi pengembangan ekowisata. Dana dari USAID disalurkan kepada KPPETNGH. JICA merupakan lembaga yang menyalurkan dana hibah dari pemerintah Jepang untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Untuk TNGH, bantuan ini disalurkan melalui proyek Biodiversity Conservation Program (BCP) yang dimulai pada bulan Juli 1995 di TNGH atas kerjasama dengan Departemen Kehutanan dan LIPI. Yayasan KEHATI merupakan lembaga yang dibentuk oleh tokoh Pemerintah dan LSM untuk mengelola dan menyalurkan dana hibah. Hibah tersebut
digunakan
untuk
kegiatan
yang
berkaitan
dengan
konservasi
keanekaragaman hayati. Di TNGH, yayasan ini pernah membiayai dana operasional pendampingan masyarakat untuk kegiatan ekowisata selama kurang lebih satu tahun. Penetapan TNGH tidak berdampak terhadap keberadaan lembaga donor. Kepentingan lembaga ini adalah menyalurkan dana hibah untuk kegiatan yang sesuai dengan misinya. Meskipun memiliki pengaruh terhadap keberadaan dana operasional, namun penggunaan dan pemanfaatan dana harus berdasarkan kebutuhan dan kepentingan kedua belah pihak (TNGH dan lembaga donor). Karena itu, stakeholder ini sebaiknya cukup dilibatkan pada tahap informasi, konsultasi dan mitra kerja.
E. Individu (Peneliti dan Wisatawan) Penetapan TNGH tidak berdampak langsung baik kepada wisatawan maupun peneliti. Namun mereka memiliki kepentingan sebagai pengguna TNGH. Sebagai pengguna kawasan TNGH baik untuk penelitian maupun rekreasi, stakeholder ini tidak memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan. Penetapan TNGH juga berdampak tidak langsung terhadap mereka. Namun demikian, hasil penelitian dan
keberadaan mereka merupakan parameter sukses tidaknya
pengelolaan kawasan. Karena itu stakeholder ini sebaiknya dilibatkan minimal
137
pada tahap informasi dan konsultasi.
F. Forum Komunikasi atau Organisasi Masyarakat Berdasarkan hasil penelusuran literatur dan wawancara, ada lima forum komunikasi dan organisasi masyarakat yang pernah atau masih beraktivitas di lokasi studi. Kelima organisasi tersebut ialah Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB), Persatuan Adat Banten Kidul (PABK), Konsorsium Program Pengembangan Ekowisata TNGH (KPPETNGH), KSM dan Himpunan Pemandu Indonesia (HPI). Sebagai contoh berdirinya FKMHJBB dan PABK yang merupakan forum komunikasi antar masyarakat untuk menyuarakan posisi mereka terhadap setiap kebijakan yang berdampak terhadap kehidupan mereka. Pengaruh forum ini terhadap pengambilan keputusan di TNGH cukup tinggi. Selain merupakan representasi dari masyarakat lokal keberadaan aliansi masyarakat ini tidak terlepas dari dukungan berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti RMI, AMAN, KEMALA, HUMA, dan Sawit Watch. Karena itu stakeholder ini sebaiknya dilibatkan pada semua tipe partisipasi. Disisi lain, potensi ekowisata di TNGH telah menarik berbagai pihak untuk membentuk memberikan kontribusi. Misalnya, KPPETNGH, KSM, dan HPI. Kedua kelompok stakeholder ini mempunyai misi yang sama yaitu menjadikan kawasan TNGH sebagai salah satu daerah tujuan wisata. Sayangnya, sejak tahun 1998 KPPTENGH tidak beraktivitas lagi di TNGH. Sementara HPI masih berkomunikasi dengan anggota KSM meskipun tidak rutin. Walaupun tidak memiliki kepentingan secara langsung, namun kedua bentuk organisasi ini memiliki kapasitas dan jaringan kerjasama dengan cakupan wilayah yang luas. Karena itu, kedua organisasi ini merupakan stakeholder yang berpotensi untuk dijadikan sebagai mitra kerja. Karakteristik stakeholder pendukung di lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 30.
4. Hubungan Keterkaitan Antar Stakeholders Selain mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pengurusan hutan di TNGH, pada bagian ini dianalisis juga hubungan antar stakeholder. Tujuan dari
138
Tabel 30 Stakeholder pendukung di lokasi studi LOKASI STUDI
Desa Citorek
Desa Sirnarasa
STAKEHOLDER PENDUKUNG
Kategori 1. LSM
Nama Kelompok RMI
2. Peneliti
IPB, UI
3. Forum Komunikasi
FKMHJBB; PABK
1. LSM
LATIN YEH
2. Institusi Pendidikan/ Penelitian 3. Forum Komunikasi Desa Cisarua
1. LSM
2. Institusi Pendidikan/ Penelitian Desa Malasari
1. LSM
dan
YEH KSM LIPI, IPB
RMI
KSM LIPI, IPB
PT Nirmala Agung dan ANTAM JICA Peneliti wisatawan FKMHJBB
Advokasi pengakuan adat
Pendidikan kritis, pemetaan partisipatif, Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata Kampanye kesadaran lingkungan, peningkatan kapasitas masyarakat lokal Pengembangan ekowisata Penelitian Keanekaragaman Hayati, Lansekap, Ekowisata
ABSOLUT
4. Lembaga Donor 5. Individu
Penguatan organisasi petani Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata Peningkatan kapasitas masyarakat Pengembangan ekowisata Inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta budaya lokal
Pendampingan masyarakat dalam mengembangkan ekowisata Pengembangan ekowisata Penelitian sosial budaya dan keanekaragaman hayati
YEH
2. Institusi Pendidikan/ Penelitian 3. Swasta
Fasilitasi PERDA pengakuan masyarakat Kasepuhan, peningkatan kapasitas masyarakat, dokumentasi Inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta budaya lokal Advokasi pengakuan adat
PEKA KSM UNPAD/INRIK dan UI FKMHJBB, PABK
PERAN DALAM PROSES PENETAPAN TNGH/S
dan
-
Membantu pelaksanaan proses penetapan dan pengelolaan TNGH Wisata alam
6. Forum Advokasi penyelesaian konflik Komunikasi Sumber: Hasil penelusuran literatur dan observasi lapangan
139
analisis ini adalah untuk mengidentifikasi konflik hubungan stakeholders dalam pengurusan hutan. Sifat hubungan
yang diidentifikasi dibagi kedalam enam
kategori yaitu: 1) kerjasama; 2) hubungan struktural; 3) koordinasi yang tidak optimal; 4) konflik; 5) komunikasi yang tidak optimal; dan 6) aliansi. Sifat hubungan ini digali berdasarkan penelusuran literatur dan fakta di lapangan. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat diidentifikasi bahwa konflik dalam pengurusan hutan di TNGH disebabkan oleh hubungan antar stakeholder sebagai berikut: •
Konflik antara masyarakat dengan BTNGH karena ada ketidaksepakatan masalah status dan akses terhadap lahan. Hal ini dipicu oleh klaim BTNGH dengan menetapkan peraturan dan perundangan yang dianggap sepihak dan membuat pemetaan kawasan tanpa melakukan verifikasi lapangan;
•
Kurang optimalnya komunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah selaku stakeholders kunci dan pasifnya peran PEMDA dalam menyikapi persoalan di lapangan
menyebabkan masyarakat berkonfrontasi langsung
dengan BTNGH. Situasi ini diperuncing oleh peran beberapa LSM yang tidak netral atau tidak jelas posisinya dalam membantu penyelesaian konflik sehingga komunikasi para pihak semakin tidak kondusif; •
Kurangnya
optimalnya
koordinasi
yang
dilakukan
BTNGH
dengan
stakeholders kunci lainnya. Komunikasi dan koordinasi yang sudah ada selama ini baru sebatas saling berbagi pandangan dalam forum diskusi, seminar, konsultasi publik atau lokakarya yang diselenggarakan BTNGH. Di sisi lain, Pemerintah Daerah di Tingkat Kabupaten dan Provinsi selama ini juga bersikap pasif
tidak proaktif dalam melakukan komunikasi dan
koordinasi. Kondisi ini menyebabkan banyaknya persoalan di lapangan yang tidak terselesaikan dan menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat; •
Secara struktural dan legal formal, pemerintah kabupaten, provinsi dan DPRD memiliki hubungan kerjasama. Demikian juga dengan pemerintah pusat. Namun tidak diperoleh informasi mengenai kerjasama dan koordinasi untuk isu konflik dalam pengurusan hutan di TNGH.
•
Konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (terutama PERUM PERHUTANI) menimbulkan trauma. Karena terbatasnya pengetahuan,
140
masyarakat menganggap posisi BTNGH, sebagai pengelola kawasan yang baru, sama dengan PERHUTANI. Kondisi ini membuat rasa saling percaya sulit dibangun. Matriks hubungan keterkaitan antar stakeholder dalam pengurusan hutan di TNGH disajikan pada Tabel 31.
5.2.2 Analisis Kebijakan (Analisis Asumsi) Tujuan dari analisis kebijakan ini adalah untuk 1) mengidentifikasi peran pelaku kebijakan dalam proses penetapan taman nasional dari aspek legal formal; dan 2) mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi. Dalam studi ini, asumsi peran pelaku diidentifikasi dari 47 (empat puluh tujuh) peraturan perundangan yang dapat menjadi pedoman pemerintah
pusat dan
daerah dalam proses penetapan taman nasional (Lampiran 3 nomor 1 sampai dengan 47). Sedangkan untuk mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi data yang digunakan berasal dari hasil content analysis terhadap 24 dokumen kebijakan ditingkat lokal (Lampiran 3 nomor 42 sampai dengan 71), serta hasil observasi lapangan dan wawancara. Variabel yang digunakan untuk mengidentikasi peran stakeholder dalam proses penetapan taman nasional diambil dari pengertian dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Bab III Pasal 10. Berdasarkan undang-undang tersebut, kegiatan penetapan atau pengukuhan137 taman nasional ada lima sub kegiatan yang harus dijalankan secara tahap demi tahap. Kelima sub-kegiatan tersebut ialah kegiatan inventarisasi138, penunjukan139, penataan Batas140, pemetaan141, dan penetapan142. Berdasarkan kegiatan pengukuhan tersebut, diidentifikasi siapa 137
Pengukuhan kawasan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum (Pasal 14 ayat 2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan); Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan (Pasal 1 ayat 3 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 138 Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang SDA, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap mulai tingka nasional, wilayah, DAS sampai unit pengelolaan (Pasal 13 ayat 1 dan 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan). 139 Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah provinsi atau partial/kelompok hutan (Pasal 1 ayat 4 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 140 Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif (Pasal 1 ayat 5 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 141 Pemetaan kawasan hutan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Berita Acara Tata Batas. (Pasal 1 ayat 6 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 142 Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri (Pasal 1 ayat 7 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001).
Tabel 31 Hubungan antar stakeholder dalam penetapan TNGH STAKEHOLDER
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
STAKEHOLDERS UTAMA 1. Masyarakat Desa Citorek 1,6 1,6 1,6 1,5 3,5 2,5 3,5 3,5 2,5 2,5 1,6 1 3 3 1 2. Masyarakat Desa Sirnarasa 1,6 1,6 1,5 1,5 1,5 1,5 2,5 1,2,5 2,5 1,6 1 3 1 1 3. Masyarakat Desa Malasari 1,6 1,5 1,5 2,5 3,5 2,5 1,4,5 2,5 1,6 1 4 2 1 4. Masyarakat Desa Cisarua 2,5 3,5 3,5 3,5 3,5 1,4,5 3,5 1,6 2,5 3 2 2 STAKEHOLDERS KUNCI 5. Pemerintah Desa 2,1 2,1 2,1 3,5 2,4 5 1 2 2,1 3 1 6. Kecamatan 1 1 3,5 2 5 1 5 2,1 3 2,5 7. Pemerintah Kabupaten 1 5 2 1 2,1 5 5 2,5 2,5 8. Pemerintah Provinsi 1 2,5 5 2,5 2,1 5 2,5 2,5 9. Pemerintah Pusat 1 5 2,4 2 1 1 2,4 10. BTNGH 2 2,1,4 1 1 1 2,4 11. DPRD 1 3 5 5 2,1 STAKEHOLDERS PENDUKUNG 12. LSM 1 2 1,2 1 13. Institusi Pendidikan/Penelitian/individu 5 1 3 14. Swasta 3 3 15. Lembaga Donor 3 16. Forum Komunikasi Sumber: hasil penelusuran dokumen, observasi lapangan, dan kuesioner Keterangan: (1) Bekerja sama = jika stakeholder melakukan kegiatan atau usaha secara bersama untuk mencapai tujuan yang sama (Depdiknas 2005:554). (2) Berkoordinasi = jika stakeholder melakukan upaya dengan stakeholder lainnya agar kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak saling bertentangan (Depdiknas 2005:593). (3) Koordinasi tidak optimal (4) Konflik = gejala yang terlihat di permukaan dari suatu hubungan antara dua atau lebih stakeholders yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaransasaran yang tidak sejalan (Kartodiharjo & Jhamtani 2006; Fisher et al. 2001:4) (5) Komunikasi tidak optimal (6) Aliansi = ikatan antara dua kelompok atau lebih dengan tujuan pencapaian tujuan politik (Depdiknas 205:29).
141
142
sajakah stakeholders terkait dan apa perannya. Ada empat kata kunci yang membantu proses identifikasi ini, yaitu taman nasional, kawasan pelestarian alam, kawasan konservasi, dan kawasan lindung. Kata kunci ini dipilih berdasarkan definisi dan kategori kawasan dimana taman nasional didalamnya. Alasan lain, karena umumnya peraturan perundangan yang terkait dengan kehutanan disusun tidak hanya untuk kepentingan kawasan taman nasional saja.
A. Peran Stakeholders dalam Proses Penetapan Taman Nasional (Normatif) Berdasarkan identifikasi variabel pengurusan hutan terhadap 47 dokumen kebijakan, diperoleh distribusi dokumen yang membahas masing-masing variabel tersebut yang disajikan pada Tabel 32. Dari tabel tersebut terlihat bahwa total peran dalam proses penetapan taman nasional ada sekitar 130. Stakeholder yang paling banyak mendapatkan peran ialah pemerintah pusat sebanyak 42,3% atau 55 peran. Sedangkan stakeholder yang paling sedikit mendapat peran ialah pemerintah desa yaitu sebanyak 3,8% atau 5 peran. Persentase jumlah peran ini mencerminkan besarnya kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholders.
Tabel 32 Distribusi peran stakeholders dalam penetapan taman nasional STAKEHOLDER
Inventarisasi
Penunjukan
PERAN Penataan Batas 7 4 9
Pemetaan
Penetapan
JML
%
Masyarakat 6 2 1 4 20 Pemerintah Desa 1 5 Pemerintah 1 5 15 Kabupaten Pemerintah 4 6 5 2 8 25 Provinsi Pemerintah Pusat 9 8 14 3 21 55 Lain-lain 6 4 10 TOTAL 26 16 43 6 39 130 Sumber : Hasil analisis dari 47 dokumen peraturan perundangan (Lampiran 3 no 1 s/d 47).
15,4 3,8 11,5 19,2 42,3 7,7 100
Berikut ini uraian peran stakeholder secara normatif dalam setiap tahapan penetapan taman nasional: (1) Inventarisasi Pada tahap inventarisasi semua stakeholders kecuali Pemerintah Desa
143
mempunyai peran. Masyarakat berperan dalam hal memberikan saran, identifikasi masalah, dan melaporkan keberadaan komunitas adat terpencil. Pemerintah Kabupaten berperan dalam hal menyelenggarakan kegiatan inventarisasi. Pemerintah Provinsi berperan menyusun pedoman, menetapkan kriteria dan standar, dan menyelenggarakan inventarisasi kawasan. Pemerintah Pusat berperan dalam membuat kebijakan, menetapkan kriteria dan standar, menyelenggarakan kegiatan inventarisasi, dan mengatur sistem informasi. Sedangkan stakeholder pendukung berperan dalam menyelenggarakan dan melaksanakan kegiatan.
(2) Penunjukan Pada tahap penunjukkan hanya masyarakat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat yang mempunyai peran. Masyarakat berperan dalam mengusulkan lokasi kawasan. Jika mengalami kerugian, pada tahap ini, masyarakat berhak memperoleh ganti rugi. Pemerintah Provinsi memberikan pertimbangan, mengusulkan, memutuskan dan menetapkan penunjukan kawasan. Dalam menjalankan perannya, Pemerintah Provinsi berkewajiban berkoordinasi dengan Tim Tata Ruang Nasional. Pemerintah Pusat berperan dalam menetapkan kriteria dan standar, menyusun perencanaan, melakukan penunjukan kawasan, memutuskan penunjukan kawasan dan menetapkan peta penunjukan.
(3) Penataan Batas Pada tahap penataan batas semua stakeholders mempunyai peran. Masyarakat berperan dalam hal memberikan masukan, pengakuan bebas hak pihak ketiga, dan menjadi anggota panitia tata batas. Masyarakat juga berhak mendapat informasi pelaksanaan tata batas. Pemerintah Desa berperan sebagai anggota panitia penataan batas dan menandatangani berita acara tata batas (BATB). Pemerintah Kabupaten berperan dalam membentuk dan menetapkan tim panitia tata batas, menyusun dan menetapkan pelaksanaan teknis, dan menyetujui BATB. Pemerintah Provinsi berperan dalam menetapkan tim penataan batas, berkoordinasi, menyusun pedoman penyelenggaraan, dan menjadi fasilitator. Pemerintah Pusat berperan dalam membuat kebijakan; menyusun pedoman; menetapkan kriteria dan standar; membentuk dan menetapkan tim/panitia tata
144
batas; membiayai dan menyelenggarakan kegiatan; serta menandatangani, menyetujui dan mensahkan BATB. Stakeholders pendukung dapat berperan sebagai pelaksana penataan batas.
(4) Pemetaan Pada tahap pemetaan hanya masyarakat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat yang mempunyai peran. Masyarakat berperan dalam hal memberikan informasi. Pemerintah Provinsi berperan dalam membuat pedoman pemetaan. Sementara, Pemerintah Pusat berperan dalam membuat peta kawasan.
(5) Penetapan Pada tahap penetapan semua stakeholders kecuali stakeholders pendukung (lain-lain) yang mempunyai peran. Masyarakat berhak memberikan pandangan, memperoleh informasi dan mendapat kompensasi. Pemerintah Desa berperan dalam mengusulkan peserta kegiatan penetapan. Pemerintah Kabupaten berhak dalam memperoleh informasi serta berperan dalam hal memberikan rekomendasi, menjabarkan penetapan kawasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat. Pemerintah Provinsi berperan mendapatkan informasi, memberikan rekomendasi, membuat peraturan daerah, dan meneruskan informasi kepada masyarakat. Pemerintah Pusat berperan dalam menetapkan kriteria, standar dan status kawasan serta membantu penyelesaian konflik. Hasil identifikasi peran stakeholder dalam peraturan perundangan ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 33.
B. Realitas Peran Stakeholders dalam Pengurusan Hutan di TNGH Berdasarkan
identifikasi
peran
masing-masing
stakeholder
dalam
dokumen peraturan perundangan, langkah analisis kebijakan selanjutnya ialah melakukan identifikasi implementasi pelaksanaan peran tersebut di lokasi studi. Dengan menggunakan metode analisis asumsi, realisasi peran stakeholder dalam pengukuhan hutan di TNGH diidentifikasi dari hasil observasi lapangan, wawancara dan analisis 24 dokumen kebijakan yang berlaku di tingkat lokal dan TNGH (Lampiran 3 no 48 -71). Berikut uraian hasil analisis tersebut : (1) Inventarisasi
Tabel 33 Analisis peran stakeholders dalam proses penetapan taman nasional (Normatif) 1
PROSES PENETAPAN
1. Inventarisasi hutan
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PROVINSI
Pelaksana, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan
Pelaksana, Pembuat kebijakan/pedoman teknis
Pelaksana, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan
Rekomendasi, Koordinator, Pengambil Keputusan
b. Penataan batas
Pelaksana, Pembuat Kebijakan/Pedoman Teknis, Pengambil Keputusan, Koordinator
Pembuat pedoman teknis, Pengambil Keputusan, Koordinator, fasilitator
c. Pemetaan
Pelaksana
Pelaksana, Pembuat Pedoman Teknis
d. Penetapan
Pelaksana, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan, Mediator Konflik
Rekomendasi, Koordinator, Pengambil Keputusan
2. Pengukuhan kawasan hutan a. Penunjukan
PERAN STAKEHOLDERS2 PEMERINTAH PEMERINTAH DESA KABUPATEN Pelaksana
MASYARAKAT Rekomendasi
PENDUKUNG (LAIN-LAIN) Pelaksana
Rekomendasi Penerima Kompensasi Pelaksana, Pembuat Pedoman Teknis, Persetujuan, Pengambil Keputusan
Pelaksana, Persetujuan
Pelaksana, Persetujuan
Pelaksana, Persetujuan,
Rekomendasi
Rekomendasi, Pelaksana
Rekomendasi
Rekomendasi, Penerima Kompensasi & Informasi
Keterangan: 1 Disusun berdasarkan pengertian kegiatan pengurusan hutan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Bab III Pasal 10. 2 Diidentifikasi dari 47 peraturan perundangan terkait (Lampiran 3 nomor 1 s/d 47).
145
146
Pada kegiatan invetarisasi, BTNGH belum melakukan inventarisasi kawasan secara lengkap. Inventarisasi baru sebatas keanekaragaman hayati di dalam kawasan (BTNGH 2000a; 2000b; BTNGHS 2007). Dokumentasi penelitian mengenai masyarakat disekitar kawasan TNGH yang dilakukan JICA baru mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi dan budaya pada beberapa desa sample saja (Harada et al. 2001). Masyarakat dibeberapa lokasi sudah berperan dalam hal memberikan saran, identifikasi masalah, dan melaporkan keberadaan komunitas adat terpencil. Sementara peran serta Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dalam penyelenggaraan kegiatan inventarisasi hanya dapat diidentifikasi melalui dokumen-dokumen administrasi kemasyarakatan yang tidak secara langsung diperuntukan untuk kepentingan penetapan TNGH. Sedangkan stakeholder pendukung seperti LSM dan Lembaga penelitian (LIPI) sudah berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan inventarisasi. (2) Penunjukan Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, pada tahap penunjukkan, masyarakat tidak berperan dalam mengusulkan lokasi kawasan. Berdasarkan analisis pada teks kedua Keputusan Menteri Kehutanan mengenai TNGH dan TNGHS, pada bagian paragraf menimbang, dapat disimpulkan bahwa penunjukan kawasan tersebut murni berdasarkan pertimbangan perlindungan KH dan ekosistemnya143. Tidak ada informasi yang mengindikasikan peran Pemerintah Provinsi dalam mengusulkan, memutuskan dan menetapkan penunjukan kawasan. Menurut peraturan perundangan penunjukan kawasan sebagai KSA atau KPA harus berdasarkan pertimbangan dan usulan Gubernur yang didukung oleh DPRD144. Kondisi ini menimbulkan rendahnya dukungan PEMDA terhadap keberadaan TNGH. Padahal hampir semua Kabupaten dan Provinsi di lokasi studi sudah menetapkan persentase kawasan lindung berikut menyebutkan TNGH
143 Teks paragraf menimbang dalam Kepmenhut Nomor :282/Kpts-II/92 Tentang Perubahan Fungsi Dan Penunjukan Cagar Alam Gunung Halimun Yang Terletak Di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor Dan Kabupaten Derah Tingkat II Lebak Provinsi Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 40.000 (Empat Puluh Ribu) Hektar Menjadi Taman. Nasional Dengan Nama Taman Nasional Gunung Halimun dan Kepmenhut No. 175/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 113.357 Hektar Di Provinsi Jawa Barat Dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; Masukan dari Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Jawa Barat dalam Konsultasi publik RPTNGHS di Bogor 21 Februari 2007 dan pembahasan di Bab IV mengenai sejarah kawasan TNGH dalam disertasi ini yang juga disajikan pada Lampiran 7. 144 PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Pasal 10(1); Kepmenhut No. 32/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Hutan (Pasal 11 ayat 1).
147
sebagai salah satu taman nasional yang berada di wilayah mereka145. Pemerintah Pusat berperan dalam menetapkan kriteria dan standar, menyusun
perencanaan,
melakukan
penunjukan
kawasan,
memutuskan
penunjukan kawasan dan menetapkan peta penunjukan. Semua peran tersebut sudah dilakukan Pemerintah Pusat. (3) Penataan Batas Seperti diakui BTNGH dalam beberapa dokumen laporannya, penataan batas TNGH sampai saat ini belum selesai dilakukan (BTNGH 2000a; BTNGHS 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, diakui bahwa hampir semua stakeholders dilibatkan dalam pelaksanaan penataan batas. Namun, demikian ada indikasi bahwa proses persetujuan bebas pihak ketiga dari masyarakat dan persetujuan BATB tidak melalui proses partisipasi masyarakat yang benar. Kondisi ini menimbulkan konflik ketidaksepakatan atas tata batas. Dalam merespon persoalan ini, Pemerintah Provinsi dan Pusat tidak berperan sebagai fasilitator dan mediator. Pera ini diamanatkan dalam peraturan perundangan. (4) Pemetaan Berdasarkan penelusuran literatur dan observasi lapangan, pada tahap pemetaan, hanya pemerintah pusat dan stakeholders pendukung (JICA) yang berperan. Pada proses ini, sebagai stakeholder pendukung JICA sudah berperan melebihi mandatnya. Sebagai contoh keluarnya peta kawasan TNGHS pada tahun 2005 yang dibuat oleh Departemen Kehutanan dan JICA. Pemetaan ini dilakukan belum mempertimbangkan informasi dari hasil inventarisasi yang menyeluruh, penataan ruang wilayah (3 kabupaten dan 2 provinsi) dan verifikasi lapangan dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada sumber peta ini yang dicantumkan pada kolom legenda. Disana disebutkan bahwa sumber peta berasal dari: 1) Peta Rupabumi skala 1:25.000 tahun 1999, BAKOSURTANAL; 2) Batas TN berdasarkan SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003; 3) Mesh map skala 1:50.000 tahun 1999 Biodiversity Conservation Project.
145
Pasal 37 Perda No.2/.2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi JABAR 2010 dan RPJM 2007-2012 status taman nasional yang diacu masih TNGH bukan TNGHS; Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor melalui Perda No. 17/2000; Perda No. 13/1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak; Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi 2006-2010 (Draft Laporan Akhir).
148
(5) Penetapan Belum ada penetapan penuh terhadap status TNGH. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu persoalan belum adanya penetapan status ini karena belum tuntasnya tahap inventarisasi, penataan batas dan pemetaan. Namun demikian, pada tahun 2003 keluar Kepmenhut No. 175/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 113.357 Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Dapat diperkirakan bahwa persoalan dalam proses penetapan akan semakin meluas. Hasil identifikasi realisasi peran stakeholders dalam penetapan TNGH ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 34. Berdasarkan hasil identifikasi pada Tabel 33 dan 34, dapat disimpulkan bahwa hampir semua stakeholders belum menjalankan perannya secara optimal. Sebagai contoh: a. Pemerintah Pusat meskipun berperan sebagai pembuat kebijakan. Namun dalam pelaksanaannya. Pemerintah Pusat melakukan
penyimpangan atas
kebijakan yang dibuatnya sendiri. Contohnya dalam proses penetapan di TNGH, proses yang seharusnya dilakukan secara bertahap146 pada kenyataannya dilakukan secara hampir bersamaan (paralel) dimana tahapan berikutnya dilakukan meskipun tahapan sebelumnya belum selesai atau tuntas diselesaikan. Padahal ada beberapa tugas mendasar seperti inventarisasi dan tata batas belum dilaksanakan sampai tuntas. Proses ini menimbulkan konflik dimana pemerintah secara normatif juga seharusnya berperan sebagai mediator dan fasilitator. Namun pada kenyataannya peran ini juga tidak dapat dilakukan. b. Pemerintah Provinsi secara normatif berperan sebagai fasilitator pelaksanaan penetapan dan inventarisasi kawasan. Di lokasi studi kedua peran ini tidak dijalankan oleh Pemerintah Provinsi. PEMDA hanya berperan sebagai pelaksana/koordinator pada beberapa kegiatan penataan batas walaupun sampai studi ini dilakukan, proses ini belum selesai.
146
Mengacu pada PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan hasil wawancara dengan staf BTNGH (21/8/2007).
Tabel 34 Analisis peran stakeholders penetapan Taman Nasional Gunung Halimun (Implementasi) 1
PROSES PENETAPAN
1. Inventarisasi hutan
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PROVINSI
Pelaksana (belum selesai dan baru data KH)
-
Pelaksana, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan
Rekomendasi TNGH
b. Penataan batas
Pelaksana (belum selesai), Koordinator
Koordinator Pelaksana (belum selesai) untuk TNGH; belum ada pengakuan untuk TNGHS
c. Pemetaan
Pelaksana
-
d. Penetapan
Belum ada penetapan
-
2. Pengukuhan kawasan hutan a. Penunjukan
PERAN STAKEHOLDERS2 PEMERINTAH PEMERINTAH DESA KABUPATEN
-
Pemberian informasi
PENDUKUNG (LAIN-LAIN)
MASYARAKAT
Pemberian informasi
Dilaksanakan oleh konsultan JICA bekerjasama dengan PIKA dan LIPI
-
Koordinator Pelaksana (belum selesai) untuk TNGH; belum ada pengakuan untuk TNGHS
-
Membantu pelaksanaan untuk TNGH; tidak mengakui untuk TNGHS
-
Sebagian membantu pelaksanaan untuk TNGH; tidak mengakui untuk TNGHS
Pelaksana, Persetujuan
-
Pelaksana, Pembuat Kebijakan (JICA) 3
-
-
Keterangan: 1 Disusun berdasarkan pengertian kegiatan pengurusan hutan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Bab III Pasal 10. 2 Diidentifikasi dari 24 kebijakan terkait di tingkat lokal (Lampiran 3 no 48 s/d 71); penelusuran literatur, wawancara dan observasi lapangan. 3 Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal PHKA memproduksi Peta Kawasan TNGHS pada tahun 2005
149
150
c. Pemerintah Kabupaten belum berperan sebagai pelaksana inventarisasi dan pengambil keputusan dalam pelaksanaan penetapan TNGH. d. Pemerintah Desa meskipun diberikan
peran yang relatif kecil dalam
penetapan kawasan, namun hampir semua peran sudah dijalankannya. Peran sebagai pemberi persetujuan dalam penataan batas baru dilaksanakan sebagian kecil perangkat desa. e. Masyarakat meskipun mendapat porsi peran lebih besar dalam proses penetapan taman nasional dibandingkan pemerintah desa. Namun kebanyakan perannya bersifat pasif (penerima). Peran ini tidak dapat dilakukan dengan optimal jika tidak ada media atau mekanisme untuk melakukannya. Berdasarkan observasi, masyarakat biasanya tidak diundang dalam proses pengambilan keputusan. Mereka hanya dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengumpulan informasi. Perannya dianggap cukup diwakili oleh LSM. Selain itu, sampai saat ini belum ada mekanisme kompensasi atau ganti rugi bagi masyarakat yang terkena dampak atas penunjukan kawasan TNGH. f. Di TNGH, stakeholder pendukung yang cukup menonjol perannya ialah JICA sebagai Donor, konsultan JICA, dan LSM. Berdasarkan hasil observasi dan penelusuran literatur, stakeholder ini sudah berperan melebihi kapasitas kewenangannya yaitu terlibat dalam pembuatan kebijakan dan proses pengambilan keputusan. Mereka merumuskan kebijakan dengan terlibat dalam penyusunan rencana pengelolaan. Dalam kondisi ini LSM dianggap merepresentasikan masyarakat. Sementara, JICA menulis dan menerbitkan beberapa dokumen kebijakan seperti Ecotourism Action Plan dan peta kawasan TNGHS. Hasil analisis asumsi kebijakan ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 35.
5.2.3 Hasil Analisis Kebutuhan Tujuan dari analisis kebutuhan adalah untuk mengidentifikasi gap antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan serta kondisi seharusnya dilakukan pada konflik penetapan TNGH. Hasil yang diharapkan dari analisis ini adalah tersusunnya alternatif penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan para pihak. Dalam studi ini, target grup dipilih berdasarkan pihak yang terkena dampak
Tabel 35 Analisis asumsi kebijakan proses penetapan TNGH ASUMSI
PEMERINTAH PUSAT Pelaksana/ Koordinator, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan, Mediator Konflik, Fasilitator,
PEMERINTAH PROVINSI Rekomendasi, Pelaksana/Koordina tor, Pembuat Kebijakan/Pedoman Teknis, Pengambil Keputusan, Fasilitator
IMPLEMENTASI Pelaksana (belum DI TNGH2 selesai, dilakukan secara paralel), Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan
Rekomendasi dan Koordinator Pelaksana untuk TNGH (bukan TNGHS), Pembuat Kebijakan/Pedoman Teknis, Pengambil Keputusan
KEBIJAKAN NORMATIF1
PERAN STAKEHOLDERS PEMERINTAH PEMERINTAH KABUPATEN DESA Rekomendasi, Rekomendasi, Pelaksana, Pelaksana, Persetujuan, Persetujuan Pembuat Kebijakan/Pedoman Teknis, Pengambil Keputusan
Rekomendasi, Pelaksana & Persetujuan untuk TNGH
Pemberian informasi, Rekomendasi, Pelaksana (sebagian TNGH)
MASYARAKAT Rekomendasi, Pelaksana, Penerima manfaat/ kompensasi, Persetujuan
Pemberian informasi, Rekomendasi, Pelaksana (sebagian TNGH)
PENDUKUNG (LAIN-LAIN) Pelaksana dan Persetujuan
Rekomendasi,Fasili tator, Pelaksana, Pembuat Kebijakan, Pengambil Keputusan
Sumber: Hasil analisis Keterangan: 1 Diidentifikasi dari 47 peraturan perundangan terkait (Lampiran 3 no 1 s/d 47). 2 Diidentifikasi dari 24 dokumen kebijakan terkait (Lampiran 3 no 47 s/d 71).
151
152
langsung dan pihak yang memberikan dampak yaitu stakeholder utama dan stakeholder kunci. Data dan informasi untuk mengidentifikasi gap antara kondisi saat ini dan yang diharapkan diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan penelusuran literatur. Berikut ini intisari hasil analisis kebutuhan: 1. Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak Ada empat jenis konflik di Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek yaitu perbedaan sistem nilai, status lahan status saat ini sebagai ketidaksepakatan tata batas, dan
encroachment,
ketidakpastian akses. Kondisi saat ini di
lapangan menunjukan bahwa walaupun secara de jure peraturan perundangan menjadi satu-satunya acuan dalam mengelola kawasan tetapi secara de facto sistem nilai adat masih dijalankan. Karena belum adanya langkah penyelesaian baik dari BTNGH maupun PEMDA setempat encroachment.
Status
ini
berimplikasi
status lahan masih sebagai pada
masih
berlangsungnya
ketidaksepakatan atas tata batas yang ada. Status lahan ini juga berimplikasi pada ketidakpastian akses terhadap SDA. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, harapan masyarakat terhadap persoalan yang dihadapinya ialah melalui pelestarian hukum adatnya mereka dapat mengontrol pengelolaan wilayah adatnya. Mengenai status lahan, masyarakat menginginkan status wilayah adat berada di luar BTNGH. Mereka juga menginginkan rekonstruksi tata batas dan dapat mengakses SDA dengan aman. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dan penelusuran literatur, harapan BTNGH dalam merespon persoalan status lahan ialah PEMDA memberikan kepastian sikap dalam hal pengakuan terhadap masyarakat adat di wilayahnya. Hal ini diperlukan karena akan berimplikasi pada penyelesaian konflik lainnya seperti tata batas dan akses masyarakat. Mengenai keinginan masyarakat untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap SDA, BTNGH menyebutkan beberapa fakta di lapangan. Misalnya, akses yang dilakukan masyarakat terhadap SDA selama ini bersifat ekspansif (pembukaan lahan untuk pemukiman, pertanian dan kebun) dan eksploitatif seperti penebangan kayu dan penambangan emas. Kebutuhan seperti ini tidak dapat dipenuhi oleh kawasan Taman Nasional. Aktivitas pemenuhan kebutuhan
153
seperti ini seharusnya diakomodasi di luar kawasan konservasi. Disisi lain, fakta terjadinya degradasi lingkungan dan pencemaran lingkungan di kawasan TNGH di wilayah Kabupaten Lebak menjadi bukti bahwa kearifan lokal yang ada di masyarakat tidak dapat mengontrol degradasi SDA yang ada (Gambar 8 dan 9). Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat kebutuhan yang perlu dilakukan di lokasi studi untuk menyelesaikan konflik. Pertama, memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Kedua, menyelesaikan status lahan melalui proses negosiasi dengan PEMDA. Ketiga, melakukan rekonstruksi tata batas. Selanjutnya, baik masyarakat maupun BTNGH melakukan pengembangan akses terhadap SDA yang lestari dan mendukung fungsi kawasan.
2. Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi Seperti di Kasepuhan Cibedug, ada empat jenis konflik di Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa yaitu perbedaan sistem nilai, status lahan status saat ini sebagai encroachment, ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses. Kondisi saat ini di lapangan menunjukan bahwa walaupun secara de jure peraturan perundangan menjadi satu-satunya acuan pengelolaan SDA, tetapi secara de facto sistem nilai adat masih dijalankan. Untuk status lahan, sebagian wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa masih berstatus sebagai bagian dari kawasan TNGH. Hal ini di sebabkan karena belum adanya langkah penyelesaian baik dari BTNGH maupun PEMDA. Status ini berimplikasi pada masih berlangsungnya ketidaksepakatan atas tata batas yang ada. Status lahan ini juga berimplikasi pada ketidakpastian akses terhadap SDA. Namun, karena longgarnya pengawasan, masyarakat masih dapat mengakses SDA di kawasan TNGH. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan (lampiran 1), harapan masyarakat terhadap
persoalan
yang
dihadapinya
ialah
adanya
kepastian status mereka. Selama ini status perambah dan pemukim liar (encroachment) melekat pada sebagian masyarakat Kasepuhan yang bermukim di dalam kawasan TNGH. Status tersebut harapannya dapat di cabut. Persoalannya terdapat dua kebijakan yang saling bertentangan. Pada satu
1989
2004
Sumber: BTNGHS, 2006
Gambar 8 Penutupan hutan di TNGH, Kabupaten Lebak Tahun 1989 dan 2004
154
Sumber: BTNGHS, 2006
Gambar 9 Penggunaan lahan di dalam TNGH, Kabupaten Lebak Tahun 2004
155
156
sisi, PEMDA memberikan status kependudukan resmi dan peluang untuk pemekaran desa tapi disisi lain wilayah administratif desa diklaim pemerintahan yang sama sebagai kawasan taman nasional. Dalam merespon persoalan ini, pihak PEMDA bersikap pasif. Selama ini,
masyarakat dibiarkan berkonfrontasi
langsung dengan BTNGH padahal masalah kejelasan status ini merupakan kewenangan PEMDA. Selain itu, LSM sebagai lembaga pendamping, karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusianya, sering memberikan informasi yang tidak sesuai, bahkan cenderung provokatif147. Berkaitan dengan hal tersebut, pihak BTNGH berharap adanya kepastian sikap PEMDA mengenai pengakuan status kelompok adat dan jaminan dari kelompok adat untuk menjaga kelestarian kawasan. Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat hal yang perlu dilakukan di lokasi studi untuk menyelesaikan konflik. Pertama, memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Kedua, menyelesaikan status lahan melalui proses negosiasi dengan PEMDA dan masyarakat. Ketiga, melakukan rekonstruksi tata batas.
Keempat,
baik
masyarakat
maupun
BTNGH
perlu
melakukan
pengembangan pemanfaatan SDA yang lestari dan mendukung fungsi kawasan. Kerjasama dengan para pihak, terutama PEMDA, dibutuhkan agar program pengembangan dapat berjalan dengan optimal.
3. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor Hanya ada satu jenis konflik di Desa Cisarua yaitu masalah akses terhadap SDA di TNGH. Kondisi saat ini di lapangan masih menunjukan adanya aktivitas penebangan kayu dan penambangan liar. Menurut responden, tidak semua aktivitas, yang menurut BTNGH liar tersebut, dilakukan masyarakat lokal. Pelakunya kebanyakan berasal dari orang luar yang memanfaatkan keterbatasan sumberdaya BTNGH untuk melakukan pengawasan dan pengamanan. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat berharap aktivitas tersebut dapat dikurangi karena selain mencemari dan merusak lingkungan juga meresahkan warga yang biasanya dianggap sebagai pelaku utama. Dalam 147
Wawancara dengan staf BTNGH dan hasil observasi lapangan. Salah satu contoh bias informasi yang dilakukan LSM ialah menganjurkan sertifikasi pada lahan garapan eks PERHUTANI di Citorek, yang diklaim juga sebagai wilayah adat.
157
merespon persolan ini, BTNGH sendiri berupaya untuk mengembangkan kegiatan alternatif pemanfaatan SDA seperti pengembangan ekowisata. Selain dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal juga secara tidak langsung melibatkan masyarakat untuk menjaga kawasan. Namun demikian masih dibutuhkan kerjasama dengan pihak lain agar dapat berkembang dengan optimal. Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, langkah penyelesaian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik ialah mengoptimalkan pengembangan ekowisata dengan membuka kerjasama dengan para pihak, terutama PEMDA. Selain dapat meningkatkan aksesibilitas dan ketersediaan sarana prasarana, kerjasama ini juga dapat membangun komunikasi antara PEMDA dan BTNGH.
4. Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Di lokasi Desa Malasari, terdapat tiga jenis konflik yaitu status lahan ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses terhadap SDA. Ada dua lahan yang disengketakan, yaitu lahan garapan masyarakat pada lahan bekas eks PERHUTANI dan beberapa kampung yang diklaim BTNGH ada di wilayahnya. Konflik lahan ini berimplikasi kepada konflik tata batas, dan akses. Sampai saat ini, meskipun intensitas konflik sudah sampai pada konflik terbuka pada tahun 1998 namun belum ada penyelesaian. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat menginginkan kedua status lahan tersebut kembali dapat dikelola oleh mereka. Persoalannya, terdapat perbedaan persepsi mengenai hak kepemilikan/pengusahaan atas tanah yang di petakan. BTNGH belum melakukan proses inventarisasi termasuk memastikan status bebas hak-hak pihak ketiga atas lahan tersebut pada badan hukum. Sementara itu, PEMDA juga tidak berperan untuk membantu menjadi mediator persoalan ini. Dalam
merespon
persolan
ini,
BTNGH
sudah
berupaya
untuk
mengembangkan kegiatan alternatif pemanfaatan SDA seperti pengembangan ekowisata di Kampung Citalahab Central. Selain dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal juga secara tidak langsung melibatkan masyarakat untuk menjaga kawasan. Namun demikian, masih dibutuhkan
158
kerjasama dengan pihak lain agar dapat berkembang dengan optimal. Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat langkah penyelesaian yang dibutuhkan di lokasi ini. Keempat langkah ini ialah penyelesaian status lahan, rekonstruksi tata batas, mengoptimalkan pengembangan ekowisata yang sudah ada, dan membangun kerjasama dengan para pihak. Berdasarkan analisis tersebut, kebutuhan stakeholder utama masih berkisar dalam pemenuhan dasar fisiologis dan keamanan. Pemenuhan dasar fisiologis tidak dapat terpenuhi jika sengketa lahan dengan BTNGH belum terselesaikan. Karena itu prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi adalah penyelesaian status lahan dan penataan batas wilayah. Tuntasnya persoalan tersebut akan memperjelas instansi mana yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menangani permasalahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Masyarakat juga dapat memiliki kejelasan di zona atau kawasan yang mana mereka dapat mengakses SDA untuk kebutuhan tersebut. Disisi lain, sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengurusan hutan dan pengelolaan TNGH, ada empat kebutuhan yang harus dipenuhi oleh Departemen Kehutanan dan BTNGH. Keempat kebutuhan tersebut ialah 1) ketersediaan sumberdaya, 2) stabilitas Kawasan, 3) dukungan dan kerjasama para pihak, dan 4) tuntasnya proses pengukuhan kawasan dan berjalannya rencana pengelolaan TNGH/S. BTNGH
dalam
menjalankan
tugasnya
mengalami
keterbatasan
sumberdaya seperti keterbatasan dana, sumberdaya manusia (SDM), sarana dan prasarana. Dibandingkan dengan luas kawasan yang harus dikelola dan diawasi sumberdaya yang tersedia saat ini tidak mencukupi. Pemanfaatan kawasan, seperti ekowisata, belum memberikan kontribusi dana swadaya yang signifikan walaupun cukup menarik bagi beberapa lembaga donor untuk berkontribusi. Persoalan yang lain
adalah
belum
terbangunnya
kerjasama
yang
optimal
dan
saling
menguntungkan antara BTNGH dan para pihak seperti PEMDA dan LSM. Stabilitas kawasan dibutuhkan agar tujuan dan fungsi kawasan tercapai. Namun kondisi saat ini menunjukan terjadinya aktivitas yang dilarang seperti perambahan hutan untuk ladang dan pemukiman,
PETI, dan penebangan kayu
159
ilegal. Sumber persoalan terjadinya ketidakstabilan kawasan diantaranya karena kurangnya sumberdaya untuk menjaga kawasan. Persoalan lain adalah adanya fakta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Selain itu kurangnya dukungan para pihak karena tidak terbangunnya komunikasi, dan lemah tingkat kepercayaan antar stakeholder. Eksistensi TNGH membutuhkan dukungan dan kerjasama dari para pihak. Sayangnya kondisi saat ini menunjukan adanya penolakan perluasan TNGH dan rendahnya dukungan para pihak terhadap berbagai program TNGH. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kuantitas dan kualitas kerjasama yang terbangun dan tidak adanya koordinasi program dengan PEMDA, LSM dan pihak lainnya. Hal ini disebabkan karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu, belum terbangunnya rasa saling percaya antar para pihak. Kebutuhan lain dari BTNGH/Dephut adalah tuntasnya proses pengukuhan kawasan dan berjalannya rencana pengelolaan TNGH/S. Namun fakta di lapangan menunjukan belum selesainya proses pengukuhan kawasan terutama proses penataan batas. Salah satu indikasinya ialah adanya penolakan dari masyarakat dan pemerintah daerah terhadap draft RPTNGHS. Persoalan ini bersumber pada ketidaksepahaman para pihak mengenai alasan kebutuhan perluasan kawasan TNGH. Kebijakan pengukuhan juga dianggap top down dan tidak berdasarkan inventarisasi kawasan yang baik. Sama halnya dengan penunjukan kawasan, proses penyusunan RPTNGHS juga dianggap top down karena tidak melibatkan stakeholder utama dan hanya melibatkan sebagian kecil instansi PEMDA. Dalam proses tersebut, legitimasi LSM yang dianggap sebagai wakil masyarakat dipertanyakan. Berdasarkan uraian diatas, dukungan dan kerjasama para pihak merupakan sesuatu yang paling prioritas harus diperoleh BTNGH/Dephut. Jika komunikasi dan kepercayaan sudah terbangun, maka dapat dirintis kerjasama dengan para pihak untuk mengisi kekurangan sumberdaya yang dihadapi oleh BTNGH. Kerjasama ini dapat diarahkan untuk menyelesaikan proses pengukuhan kawasan. Jika proses ini berjalan dengan baik dan kerjasama dengan para pihak tetap berlangsung secara berkelanjutan maka dapat diharapkan stabilitas kawasan. Kerjasama
harus
dibangun
berdasarkan
kondisi
yang
saling
160
menguntungkan. Berdasarkan wawancara dan hasil observasi, kebutuhan Pemerintah Daerah yang teridentifikasi yang terkait dengan kawasan TNGH ada dua yaitu manfaat nyata kawasan TNGH untuk PAD dan sinkronisasi program di kawasan yang saling berbatasan. Keberadaan TNGH/S selama ini dianggap tidak memberikan kontribusi nyata kepada PEMDA. Sehingga belum ada program daerah yang secara khusus dan langsung terkait untuk mendukung kawasan TNGH/S. Padahal tujuan kawasan TNGH dikelola pemerintah pusat selain untuk kepentingan nasional juga untuk melindungi kawasan bawahannya. Karena itu, BTNGH harus mampu meyakinkan PEMDA keuntungan apa yang akan diperoleh jika kerjasama disepakati. Analisis kebutuhan stakeholders dalam penetapan kawasan TNGH selengkapnya dirangkum dan disajikan pada Tabel 36.
5.2.4 Implikasi Eksisting Institusi Terhadap Konflik Menurut tinjauan literatur fungsi dan tujuan institusi diantaranya yaitu memberikan pedoman untuk berperilaku (Hayami & Kikuchi 1981 dalam Suhaeri 1994); meningkatkan efisiensi (Gordillo de Anda 1997); dan mengurangi ketidakpastian (Gordillo de Anda 1997). Fungsi dan tujuan tersebut dicapai melalui pengaturan hak dan kewajiban seseorang berdasarkan kesepakatan yang diakui. Berdasarkan analisis stakeholder, analisis kebijakan dan analisis kebutuhan, dapat disimpulkan bahwa institusi penetapan taman nasional di TNGH tidak berfungsi dengan baik karena tidak dapat mengatasi konflik di lokasi studi. Aturan formal yang dibuat walaupun memberikan pedoman untuk berperilaku tapi dalam pelaksanaannya tidak cukup efisien untuk mengurangi derajat ketidakpastian hak bagi stakeholder utama. Mengacu pada kriteria kinerja institusi148 menurut Uphoff (1997) dan faktor yang mempengaruhinya (Hammergren 1998; dan Sumarga 2006: 7-10), maka tidak berfungsinya kinerja institusi penetapan taman nasional di TNGH disebabkan oleh: 1. pengambilan keputusan yang tidak partisipatif karena faktor kepemimpinan; 148 Kinerja suatu institusi diukur dari bagaimana institusi ini menyelesaikan empat tugasnya yaitu pengambilan keputusan, mobilisasi dan manajemen sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan penyelesaian konflik (Uphoff 1997:8-9).
Tabel 36 Analisis kebutuhan penyelesaian konflik dalam proses penetapan TNGH JENIS KONFLIK1
LOKASI STUDI
Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak
a. b.
c. d.
Perbedaan sistem nilai Status lahan : seluruh wilayah adat (status saat ini sebagai encroachment). Ketidaksepakatan tata batas Ketidakpastian akses terhadap SDA (kayu, PETI)
KONDISI SAAT INI
a.
b. c. d.
Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
a. b. c. d.
Perbedaan sistem nilai Status lahan: sebagian wilayah adat Ketidaksepakatan tata batas Ketidakpastian akses (kayu)
a.
b. c. d.
GAP2 KONDISI YANG DIHARAPKAN
LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN3
Secara de facto sistem nilai adat masih dijalankan status lahan sebagai encroachment. Ketidaksepakatan tata batas akses terhadap SDA terbatas
Masyarakat: masyarakat dapat mengontrol pengelolaan wilayah adat, status lahan milik adat, rekonstruksi tata batas, dan mengakses SDA dgn aman.
a.
BTNGH: Kepastian sikap PEMDA dalam hal pengakuan adat kelompok adat, dan jaminan dari kelompok adat untuk menjaga kelestarian kawasan.
c.
Secara de facto sistem nilai adat masih dijalankan Sebagian status lahan sebagai encroachment. Ketidaksepakatan tata batas akses terhadap SDA terbatas
Masyarakat: masyarakat dapat mengontrol pengelolaan wilayah adat, status lahan milik adat, rekonstruksi tata batas, dan mengakses SDA dgn aman.
a.
BTNGH: Kepastian sikap PEMDA dalam hal pengakuan adat kelompok adat, dan jaminan dari kelompok adat untuk menjaga kelestarian kawasan.
c.
Keterangan: 1Hasil analisis konflik; 2 penelusuran literatur, wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1); (lampiran 1).
3
b.
d.
b.
d.
Memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Penyelesaian status lahan dan tata batas. Pengembangan akses terhadap SDA yang lestari. Bekerjasama dengan PEMDA untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat.
Memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Penyelesaian status lahan dan tata batas. Pengembangan akses terhadap SDA yang lestari (ekowisata). Bekerjasama dengan PEMDA untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat.
penelusuran literatur (lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan
161
Tabel 36. Analisis kebutuhan di lokasi studi (lanjutan...) GAP2 LOKASI STUDI Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
JENIS KONFLIK
1
Ketidakpastian akses terhadap SDA (kayu, & PETI)
a. b. c.
Status Lahan : pemukiman, ladang dan sawah Ketidaksepakatan Tata batas, Ketidakpastian akses terhadap SDA (kayu, PETI)
KONDISI SAAT INI Masyarakat masih dapat mengakses karena Pembatasan akses tidak didukung sumberdaya untuk menegakan hukum. Banyak Free rider yang memanfaatkan kondisi.
Konflik mengenai status lahan belum menemukan jalan keluar. Hal ini berimplikasi pada keberlanjutan konflik tata batas dan akses.
KONDISI YANG DIHARAPKAN Masyarakat: adanya alternatif lapangan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN3 • Mengoptimalkan pengembangan ekowisata yang sudah ada. • Bekerjasama dengan PEMDA untuk pengembangan kesejahteraan masyararakat.
BTNGH: memberikan alternatif kegiatan yang dapat mendukung tujuan konservasi, kerjasam dengan para pihak terutama PEMDA. Masyarakat: kampung didalam kawasan dan lahan garapan kembali dikelola masyarakat; rekonstruksi tata batas, kerjasama antara Desa dan BTNGH untuk pengelolaan SDA serta mengembangkan alternatif lapangan kerja baru
a. b. c. d.
Penyelesaian status Lahan Rekonstruksi Tata batas Mengoptimalkan pengembangan ekowisata yang sudah ada Membangun kerjasama dengan para pihak
BTNGH: bermitra dengan masyarakat untuk mengamankan kawasan, rekonstruksi tata batas, dan mengembangkan pemanfaatan SDA yang sesuai dengan fungsi kawasan Keterangan: 1Hasil analisis konflik; 2 penelusuran literatur, wawancara, dan observasi lapangan ((lampiran 1); (lampiran 1).
3
penelusuran literatur (lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan
162
163
kapasitas SDM; serta ketersediaan standar operasional, sarana prasarana dan pendanaan. Pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh kebijakan dan pembagian peran yang tidak sesuai. Kebijakan penetapan taman nasional didominasi oleh peran didominasi oleh pemerintah pusat. 2. mobilisasi dan manajemen sumberdaya yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang masih rendah. 3. mekanisme komunikasi dan koordinasi yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari analisis hubungan stakeholders dan pemetaan konflik. Walaupun hak, tugas, dan kewenangan sudah diatur dalam kebijakan formal untuk masing-masing stakeholder pada kenyataannya banyak yang tidak dilaksanakan atau tidak dipatuhi. Beberapa alasan yang diperkirakan melatarbelakanginya ialah: ketidaktahuan, ketidakpedulian atau adanya persoalan administrasi pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. 4. penyelesaian konflik melalui program-program yang tidak tepat sasaran dalam menjawab persoalan dilapangan sehingga konflik berkelanjutan. Dari empat penyebab konflik, program BTNGH yang ada selama ini baru menjawab persoalan dalam konflik akses. Itu pun belum dilakukan disemua lokasi yang terkena dampak (Tabel 26). 5. tidak terpadunya program kemasyarakatan yang dilakukan baik oleh instansi di tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun LSM. Hal ini membuktikan teori pilihan rasional (Peters 2000) yang menyebutkan bahwa individu-individu atau kelompok sudah memiliki preferensi yang tidak dapat diubah oleh keterlibatannya dalam institusi.
5.3 Analisis Ekowisata Pengembangan ekowisata merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan SDA yang lestari, mendukung tujuan konservasi, dan melibatkan para pihak. Kegiatan ini sudah dikembangkan di TNGH sejak tahun 1997. Untuk mengetahui sejauh mana implikasi kegiatan terhadap konflik yang ada maka dalam penelitian ini akan dilakukan dua analisis. Pertama, analisis kriteria kecukupan ekowisata
164
untuk mengidentifikasi apakah konsep ekowisata yang digunakan di lokasi studi sesuai dengan kriteria ideal dalam literatur atau tidak. Kedua, analisis institusi untuk mengetahui para pihak yang terlibat, kebijakan yang terkait dan langkah yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan kegiatan yang sudah ada.
5.3.1 Kondisi Eksisting Pengembangan Ekowisata A. Tujuan Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan Taman Nasional tahun 20002024, tujuan dari pengembangan ekowisata diantaranya untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDA bagi kesejahteraan masyarakat. Ekowisata juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap konservasi TNGH khususnya dan SDA pada umumnya (BTNGH 2000a: III-1-2). Sementara, Hartono (1999) dalam artikelnya mengenai proses pengembangan ekowisata TNGH menyebutkan bahwa pengembangan ekowisata
yang diinisiasi oleh
sebuah konsorsium dan KSM lokal bertujuan untuk pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, membuka peluang usaha-usaha konservasi yang berbasis masyarakat lokal, peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan kapasitas KSM dan LSM (Hartono 1999).
B. Sejarah Pengembangan Ekowisata Di TNGH Sejarah pengembangan Ekowisata di TNGH berawal ketika beberapa kawasan, yang sekarang menjadi lokasi pengembangan ekowisata, menjadi daerah ekspedisi dan studi lapangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi149. Atas masukan dari hasil ekspedisi dan studi lapangan inilah BTNGH berencana mengembangkan kegiatan ekowisata. Beberapa alasan yang melatarbelakangi dikembangkannya ekowisata di TNGH diantaranya (Sproule dan Suhandi 1998):
pada tahun 1993 kegiatan wisata menyumbang 6,6% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia;
golongan ekonomi menengah merupakan penduduk terbanyak di Indonesia yang membutuhkan kegiatan wisata terutama wisata alam;
149
Pada tahun 1994 kawasan Cikaniki, di Kampung Citalahab Central menjadi daerah ekspedisi dan lokasi kegiatan lapangan UNAS, UI, IPB, dan Pencinta Alam. Sementara Kampung Ciptarasa dan Ciusul-Citorek menjadi daerah tujuan studi mahasiswa antropologi dan INRIK, UNPAD, Bandung, dan BScC dari UNAS, Jakarta (Hartono 2005; Hartono 1999).
165
adanya 2 hari libur diakhir pekan sejak bulan April 1995 memberikan kesempatan pada golongan ekonomi menengah untuk lebih lama berlibur;
dapat diakses dari Jakarta hanya dengan waktu tiga jam; dan
tidak adanya kompetisi untuk mendatangi TNGH bagi orang Jakarta, mengingat TN Gunung Gede Pangrango akan dipadati oleh sekitar 10.000 pengunjung pada waktu yang sama. Untuk tujuan tersebut, pada tahun 1995, dibentuklah sebuah Konsorsium
Program Pengembangan Ekowisata TNGH (KPPETNGH). Konsorsium ini beranggotakan institusi pemerintah C.q. BTNGH/PHKA; LSM nasional (BScC); LSM Internasional (Wildlife Protection Trust International-WPTI); Pusat Konservasi Biologi–UI; dan Swasta, McDonald (Sproule dan Suhandi 1998; Hartono 1999; Hartono 2005; Widada 2004). Bekerjasama dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) lokal, konsorsium ini memperoleh dana dari Biodiversity Support Program (BSP) melalui USAID selama empat tahun. Dibawah pengelolaan konsorsium, dana berasal dari USAID yang digunakan diantaranya untuk (Widada 2004:52-54): pengembangan obyek ekowisata di tiga lokasi (Kampung Leuwijamang, Kampung Citalahab, dan Kampung Pangguyangan); pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana ekowisata penguatan kelembagaan di tiga lokasi yang difasilitasi BScC pelatihan tentang ekowisata bagi masyarakat lokal promosi dan publikasi ekowisata Namun aktivitas konsorsium ini berhenti sejalan dengan selesai pendanaan proyek yang disponsori oleh USAID. Sebagai bentuk komitmen terhadap anggota KSM di tiga lokasi pengembangan, pada tahun 1999, beberapa anggota konsorsium membentuk Yayasan Ekowisata Halimun (YEH).
Pada tahun yang sama yayasan ini
bekerjasama dengan BTNGH, Kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Yayasan Kehati untuk melakukan pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan ekowisata di tiga lokasi (Hartono 2005). Pada saat itu, Yayasan Kehati hanya memberikan dana operasional selama 1 tahun. Sejak tahun 2000- sekarang, YEH dan KSM berswadaya untuk menjalankan kegiatan
166
ekowisata
(Hartono 2005). Padahal pada tahun 2000, kegiatan ekowisata di
TNGH sudah masuk kedalam link Community Based Ecotourism (CBE) Sustainable Tourism dari organisasi World Tourism Organization (WTO). Disisi lain, BTNGH mendapat dana dari proyek Biodiversity Conservation Project Phase II -JICA untuk kurun waktu tahun 1998-2003. Dana yang dikelola oleh JICA ini digunakan antara lain untuk penguatan sumberdaya manusia TNGH, pembangunan sarana dan prasarana ekowisata, dan penyusunan materi informasi ekowisata seperti leaflet, guide book, CD, dan peta ekowisata (Widada 2004: 53). Pada tahun 1999, BTNGH bekerjasama dengan JICA mengadakan Lokakarya Pengembangan Ekowisata di TNGH. Kegiatan ini dilanjutkan pada 2001 dengan menyusun dan menerbitkan dokumen Ecotourism Action Plan (Rencana Aksi Ekowisata) di TNGH dalam versi Bahasa Inggris (Widada 2004:146). Penerbitan rencana aksi ini diikuti dengan kegiatan survei dan identifikasi potensi ekowisata di tiga lokasi pengembangan yaitu Citalahab, Leuwijamang, dan Pangguyangan (Widada 2004:146). Pada tahun 2002 beberapa kegiatan yang didanai JICA diantaranya (Widada 2004:146): pembuatan peta trail ekowisata di masing-masing wilayah; peningkatan sarana dan prasarana ekowisata dan media informasi; pelatihan 12 orang counterpart National Park Management di Jepang; pelatihan interpretasi bagi petugas dan pemandu lokal; dan pelatihan staf yang akan melatih pemandu lokal. Persoalannya, meskipun kegiatan yang didanai JICA ini seperti meneruskan kegiatan pengembangan ekowisata sebelumnya yang dirintis KPPETNGH namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara menunjukan bahwa masyarakat pelaku ekowisata di lapangan hanya dilibatkan secara pasif. Mereka terlibat jika konsultan proyek JICA membutuhkan informasi saja. Beberapa narasumber bahkan tidak memahami dan mengetahui keberadaan Ecotourism Action Plan yang diterbitkan oleh JICA. Demikian juga dengan bukubuku petunjuk yang seluruhnya dibuat dalam bahasa Inggris. Persoalan lainnya ialah obyek eks wisata yang selama ini diklaim menjadi obyek dan daya tarik TNGH yang beberapa diantaranya berada di wilayah administrasi desa atau wilayah adat penduduk sekitar TNGH. Situs Cibedug,
167
misalnya, diklaim BTNGH sebagai obyek dan daya tarik ekowisata TNGH150. Padahal situs ini dipelihara secara swadaya dan diakui oleh masyarakat kasepuhan Cibedug sebagai peninggalan leluhur mereka. Kunjungan wisatawan ke Kampung Cibedug juga sudah berjalan jauh sebelum proyek pengembangan ekowisata dimulai di TNGH. Bahkan sampai sekarang, meskipun masyarakat kasepuhan ini tidak dilibatkan dalam pengembangan ekowisata di TNGH, kampung ini masih terus menerima kunjungan wisatawan dan berkembang tanpa ada intervensi luar dan pengaruh krisis moneter. Sejarah pengembangan ekowisata di TNGH secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 8.
C. Potensi dan Fasilitas Wisata Menurut buku Rencana Pengelolaan TNGH 2000-2024, “program ekoturisme” merupakan program yang akan dikembangkan baik di dalam maupun di sekitar kawasan TNGH dan direncanakan secara insidental di zona rimba dan zona pemanfaatan intensif (BTNGH 2000a: V-57; BTNGH 2000b: I-36). TNGH sangat kaya dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya. Di kawasan ini terdapat sekitar 53 jenis mamalia, 147 jenis burung, dan 1000 jenis tumbuhan (BTNGH 2000b:I-13s/d14). Sampai dengan tahun 2003 telah ditemukan 275 jenis anggrek dan 13 jenis rotan (Widada 2004:48). Keanekaragaman sumberdaya hayati ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke kawasan ini. Selain sumberdaya hayati, TNGH juga memiliki beberapa gejala alam yang potensial sebagai obyek wisata alam. Sebagai contoh, TNGH memiliki 11 air terjun, 4 puncak gunung, 2 danau, 2 lembah, dan 2 situs/candi. Obyek wisata yang potensial untuk dikembangkan di sekitar TNGH adalah 8 buah sumber air panas di Kampung Cipanas, 1 situs di Kampung Ciarsa, olahraga arus deras (rafting) di Cikidang, perkebunan teh serta lokasi bekas tambang emas di Cikotok. Beberapa gejala alam yang potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata diantaranya (Ambinari 2003) : a) Air terjun: Terdapat 11 air terjun yang beberapa diantaranya sudah dikembangkan seperti Cikudapaeh, Walet, Piit, Cimacan, Ciarnisah dan 150
Wijaya 2007; Keiji et al. 2001.
168
Cipamulaan. b) Danau: Terdapat 2 danau, yaitu Danau Ciarnisah dan Danau Pasir Cubluk. c) Puncak gunung: enam puncak gunung, yaitu Gn. Halimun Utara (1929 m dpl), Gn. Halimun Selatan (1744 m dpl), Gn. Sanggabuana (1919 m dpl), Gn. Andam (1463 m dpl), Gn. Botol (1720 m dpl) dan Gn. Kendeng (1400 m dpl). d) Lembah: terdapat dua lembah, yaitu lembah Cikaniki dan Citalahab. Saat ini, hutan Cikaniki dan Citalahab sudah dikembangkan cukup intensif dimana di dalamnya sudah tersedia trail dan shelter yang akan mendukung aktivitas pengunjung seperti trekking, foto hunting, birdwatching, penelitian ataupun sekedar menikmati suasana hutan. Disini juga terdapat canopy trail yang berupa jembatan gantung sepanjang 100 m yang dipasang setingi 25-30 m di atas tanah diantara tajuk-tajuk pohon besar. Fungsi canopy trail ini terutama sebagai fasilitas penelitian yang dapat digunakan juga sebagai sarana wisata (Ambinari 2003). Untuk mendukung kegiatan ekowisata di dalam kawasan TNGH, saat ini dibangun berbagai jenis fasilitas ekowisata seperti wisma tamu, stasiun penelitian, jalur tracking, dan area perkemahan. Mengenai lokasi dan aksesibilitas untuk mencapai fasilitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 37. Berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan penulis pada bulan Desember 2006-Februari 2007. Fasilitas wisma tamu di Leuwijamang sudah tidak ada karena sejak awal tahun 2000 tidak terpakai sehingga mengalami kerusakan. Sementara, kondisi wisma tamu lainnya seperti di Kampung Pangguyangan dan Citalahab perlu mendapat perhatian untuk perbaikan dan renovasi. Berdasarkan potensi obyek wisata yang dimiliki, produk wisata151 yang ditawarkan TNGH antara lain (Hartono 1999) : 1) atraksi wisata alam (pengamatan flora dan fauna), wisata budaya (mengunjung kampung-kampung adat dan mempelajari budaya, sistem nilai serta gaya hidup), dan wisata pendidikan (mengunjungi pabrik teh, penelitian, pelatihan outbond); 2) fasilitas wisata seperti pondok wisata, tenda, alat-alat lapangan; dan 3) wisata kuliner: makanan tradisional; dan 4) jasa : transportasi, pemandu, porter, pijat, dan lainlain. 151 Produk wisata ialah segala aspek wisata yang dialami oleh wisatawan selama mengadakan suatu perjalanan wisata, meliputi atraksi wisata, fasilitas wisata, dan kemudahan-kemudahan yang didapatkannya ( Ngafenan 1991:222-223)
169
Tabel 37 Fasilitas ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun No. 1
Nama Guesthouse
Lokasi Kampung Leuwimajang Kampung Citalahab Sentral Kampung Paguyangan
Aksesibilitas Mobil CigudegCisarua. Jalan kaki sampai lokasi Mobil dari Kabandungan Mobil, Pelabuhan Ratu- Ciptarasa
Keterangan Akomodasi untuk 10 orang Akomodasi untuk 10 orang Akomodasi untuk 10 orang
2
Bumi Perkemahan Citalahab
Kampung Citalahab Sentral
Mobil dari Kabandungan
Luas 1 Ha
3
Loop trail
Cikaniki-Nirmala
Mobil sampai Kabandungan Mobil CigudegCisarua. Jalan kaki sampai lokasi
Merupakan jalur interpretasi
Mobil dari Kabandungan – Cikaniki
Tinggi 20-30 m Panjang 100 m. Dana dari JICA
Kampung CisaruaLeuwijamang dan air terjun Ciberang 4
Canopy Trail
Cikaniki
5
Papan Informasi
Di dalam dan batas taman nasional (Cikaniki)
6
Pintu gerbang
Jalan antara KabandunganNirmala Jalan masuk CigudegLeuwijamang
Mobil, Kabandungan Nirmala Mobil CigudegCisarua. Jalan kaki sampai lokasi Mobil, Kabandungan Cikaniki
7
Stasiun Penelitian Cikaniki
Cikaniki
8
Kantor TNGH
Kabandungan
Bahasa Indonesia dan Inggris; Jalan masuk utama dari timur. Jalam masuk utama dari Utara.
Akomodasi untuk 10 orang. Dana dari JICA
Sumber : Horiuchi (1998), BTNGH (2000b:I-16 s/d17), hasil observasi lapangan
D. Karakteristik Wisatawan152 Persentase jumlah pengunjung TNGH 90,9% adalah wisatawan lokal dan 9,1% wisatawan mancanegara (Tabel 38).
Daerah asal wisatawan nusantara
diantaranya berasal dari Jakarta (45%), Bogor (30%), Sukabumi, Bekasi, Tangerang, Bandung dan Cianjur (Widada 2004:74-79). Sedangkan, Wisatawan Mancanegara (Wisman) umumnya berasal dari Belanda (44,65%), Jepang (12,92%), dan selebihnya berasal dari Perancis, Inggris, Jerman dan Australia 152 Profil atau karakteristik wisatawan adalah ciri-ciri wisatawan yang perlu dikenal untuk memudahkan memberikan pelayanan yang memuaskan (Ngafenan 1991:223)
170
(Widada 2004:75, 77). Besarnya kunjungan turis Belanda dan Jepang ke TNGH diduga karena adanya ikatan sejarah dan kerjasama bilateral yang terjalin selama 8 tahun terakhir (Widada 2004:75). Usia wisatawan yang datang berkunjung ke TNGH berkisar 11 sampai >51 tahun. Berikut ini persentase usia wisatawan berdasarkan hasil penelitian Widada (2004:76): 11-20thn (19%), 21-30 thn (33%), 31-40 thn (23%), 41-50 thn (23%), >51 thn (2%). Tujuan wisatawan terbesar ke TNGH yaitu untuk berekreasi. Tujuan lainnya ialah untuk pendidikan, penelitian dan pendakian (Tabel 39). Lebih dari 90% pengunjung/wisatawan TNGH berada di Cikaniki-Citalahab (Widada 2004:147). Berdasarkan penelusuran literatur dan observasi lapangan, karakteristik wisatawan yang mengunjungi lokasi studi hampir sama dengan karakteristik wisatawan TNGH pada umumnya. Namun demikian jumlah dan tujuan wisatawan ke masing-masing lokasi studi cukup bervariasi. Berdasarkan rata-rata kunjungan pertahun, lokasi ekowisata di Citalahab Central dan Kampung Cibedug merupakan lokasi yang terbanyak dikunjungi wisatawan (Tabel 40).
Tabel 38 Jumlah dan kategori pengunjung tahun 1998-2002 No 1. 2. 3. 4. 5.
TA (April-Maret) 1998 1999 2000 2001 2002 Total
Wisman
Wisnu 146 115 209 249 271 990
Jumlah 1132 1621 1506 2282 2892
986 1506 1297 2033 2621 8443
Sumber: Laporan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Tahun 2002 dalam Widada, 2004:54-55
Tabel 39 Tujuan wisatawan ke TNGH tahun 1997-2000 TA (April-Maret) 1997/1998 1998/1999 1999/2000 Total
Riset 49 123 135 307
Sumber: BTNGH 2000b: I-18.
Rekreasi 176 607 723 1506
Tujuan Pendakian Pendidikan 73 53 91 505 86 382 250 940
Lainnya 0 0 55 55
Jumlah 351 1326 1381 3058
171
Tabel 40. Rata-rata kunjungan dan tujuan wisatawan ke lokasi studi No.
Lokasi
1.
Kampung Cibedug
2. 3.
Kampung Pangguyangan Kampung Citalahab Central Kampung Leuwijamang
4.
Rata-rata /Tahun 178 orang 83 orang 511 orang 39 orang
Tujuan Wisatawan Kunjungan sejarah (pendidikan), jiarah, dll Mendaki gunung, silahturahmi, rekreasi Rekreasi, pendidikan, dan penelitian Rekreasi, penelitian, dan tugas
Keterangan: 1. Diolah dari data tahun 1999 s/d 2006 buku tamu Kampung Cibedug (hasil survei bulan Januari 2007). 2. Diolah dari data tahun 1999 s/d 2006 buku pengunjung ke kampung Ciptarasa (Rosdiana 1994); buku tamu Pondok Wisata (hasil survei Januari 2007); buku tamu Pondok Wisata dalam Nugraheni 2002; YEH dalam Ambinari 2003. 3. Diolah dari data tahun 1999 s/d 2006 catatan petugas TNGH di Pos Cipeuteuy dalam Rosdiana 1994; buku tamu Pondok Wisata dalam Nugraheni 2002; dokumentasi YEH dalam Ambinari 2003; buku tamu Pondok Wisata (hasil survei bulan Februari 2007). 4. Diolah dari data tahun 1996 s/d 2006 buku tamu mantan Lurah Ujang (hasil observasi lapangan Februari 2007).
5.3.2 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata Berdasarkan pengertian ekowisata yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya, faktor yang akan diteliti dalam analisis penilaian kriteria kecukupan ekowisata ada lima faktor. Kelima faktor tersebut ialah: (1) tujuan pengelolaan; (2) partisipasi masyarakat; (3) pengembangan ekonomi lokal; (4) produk wisata;dan (5) dampak lingkungan. Data yang digunakan dalam analisis kriteria kecukupan ekowisata ini ialah data sekunder dan primer. Untuk data sekunder, dari penelusuran kepustakaan, diperoleh 43 dokumen yang terkait pengembangan ekowisata di TNGH. Tigapuluh delapan (38) diantaranya terpilih sebagai dokumen yang akan analisis karena memenuhi kriteria yang ditetapkan pada bab III Metodologi Penelitian (Lampiran 4). Berikut uraian mengenai karakteristik dokumen ini ialah :
jenis dokumen terdiri dari 21,1 % laporan instansi;15,8% hasil penelitian; 36,8% berupa makalah, artikel atau bahan presentasi di seminar, lokakarya atau forum diskusi lainnya; 2,6 % berupa notulensi atau hasil rumusan di seminar, lokakarya atau forum diskusi lainnya; 13,2% buku; dan 10,5% leaflet;
bentuk dokumen yaitu 89,5% berupa dokumen cetak dam 10,5% berupa digital (CD atau elektronik file);
172
bahasa yang digunakan dalam dokumen 68,4% bahasa Indonesia, 29,0% bahasa Inggris, dan 2,6% dua bahasa; dan
jenis publikasi dokumen 89,5% merupakan publikasi terbatas (makalah seminar atau dokumen yang didistribusikan pada kalangan terbatas); 5,3% dipublikasikan seperti buku yang dijual umum; dan 5,3% dokumen yang tidak dipublikasikan. Data primer diperoleh dengan dua cara yaitu melalui kuesioner dan
wawancara mendalam (depth interview). Kriteria responden untuk kuesioner ialah masyarakat lokal yang terlibat atau tahu mengenai aktivitas pengembangan ekowisata di lokasi studi. Sedangkan kriteria responden untuk wawancara ialah pengambil keputusan (seperti kepala BTNGH), tokoh masyarakat (tokoh adat dan kepala desa), LSM lokal atau yang memiliki kelompok binaan di lokasi studi (LATIN, RMI, ABSOLUT), Swasta (PT Nirmala Agung) dan pemerintah daerah (Dinas Pariwisata dan Dinas Kehutanan). Berdasarkan kriteria tersebut, selama penelitian lapangan dilakukan diperoleh 60 responden. Baik data sekunder maupun primer dianalisis dengan menggunakan metode content analysis153. Tabel analisis disajikan pada Lampiran 6. Adapun hasil analisis tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Tujuan Pengelolaan Ada dua variabel yang digunakan untuk mengetahui tujuan pengelolaan ekowisata di TNGH. Variabel pertama ialah definisi ekowisata. Variabel kedua ialah tujuan pengembangan ekowisata. Berikut uraian hasil analisis: a. Definisi Ekowisata Dirangkum dari beberapa literatur, secara ideal definisi ekowisata ialah konsep
pengembangan
dan
penyelenggaraan
kegiatan
pariwisata
yang
memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan (Fennel 1990; Stewart & Sekartjakrarini 1994; Furze et al. 1997; Sproule & Suhandi 1998; Kembudpar 2004; Quebec
153 Catatan: Untuk perhitungan dalam analisis, hanya responden yang mengisi kuesioner yang dihitung. Sementara hasil wawancara digunakan sebagai informasi tambahan untuk menguatkan ataupun sebaliknya. Uraian dan tahapan mengenai metode content analysis sudah dijelaskan pada Bab III Metode Penelitian.
173
Declaration on Ecotourism pada tahun 2002). Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari 90% dokumen dan responden menyebutkan atau mengenal istilah ekowisata atau wisata alam. Jika sekitar 50% dokumen mendefinisikan ekowisata sebagai aktifitas wisata alam, tidak demikian dengan pemahaman yang diperoleh responden. Sebanyak 41,2% responden mendefinisikan ekowisata sebagai pengembangan wisata yang memberi manfaat ekonomi bagi kawasan konservasi dan masyarakat lokal.
Sekitar 23,5% responden juga secara praktis
mendefinisikan bahwa ekowisata adalah kegiatan membawa turis ke obyek wisata. Selengkapnya tabulasi hasil analisis ini disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41 Definisi ekowisata Definisi Ekowisata a.
Aktivitas Wisata alam
b. c. d. e.
Aktivitas Wisata budaya Aktivitas wisata agro Aktivitas penelitian Pengembangan wisata yang memberi manfaat ekonomi bagi kawasan konservasi dan masyarakat lokal Kegiatan membawa turis ke obyek wisata Pendidikan lingkungan untuk masyarakat Wisata lingkungan Kegiatan alternatif untuk mengurangi tekanan Penduduk Pilihan a, b, dan c Pilihan a dan d Tidak tahu/ Tidak ada informasi
f. g. h. i. j. k. h.
Hasil Analisis (%) Dokumen1 50,0
Responden2 11,8
2,6 0,0 0,0 10,5
0,0 0,0 0,0 41,2
2,6 2,6 10,5 7,9 5,3 5,3 2,6
23,5 5,9 0,0 0,0 17,6 41,2 11,8
Sumber: hasil analisis Keterangan: 1dari 38 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
b. Tujuan Pengembangan Ekowisata Secara ideal, tujuan ekowisata ialah pemanfaatan sumberdaya alam untuk pelestarian dan perlindungannya (Ceballos-Lascurain 1996; Wall & Ross 1998; Fennel 2001; Stewart & Sekartjakrarini 1994; Kembudpar 2004). Hasil analisis menunjukan bahwa sekitar 31,6% dokumen mengindikasikan bahwa tujuan pengembangan ekowisata di TNGH adalah untuk konservasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Sedangkan tujuan ekowisata menurut 52,9% responden adalah untuk pemicu pertumbuhan ekonomi kawasan sekitar. Selengkapnya tabulasi tujuan ekowisata menurut dokumen dan responden disajikan pada Tabel 42.
174
Tabel 42 Tujuan ekowisata Tujuan Ekowisata di TNGH a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Pengenalan alam dan pendidikan LH bagi wisatawan Konservasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar Meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat Sumber income bagi kawasan konservasi Konservasi/pelestarian Penelitian Pemicu pertumbuhan ekonomi kawasan sekitar Mengurangi tekanan penduduk terhadap TNGH Tidak ada informasi
Hasil Analisis (%) Responden2 Dokumen1 13,2 0,0 31,6 10,5
0,0 0,0
0 7,9 5,3 2,6 18,4 10,5
0,0 23,5 52,9 23,5
Sumber: hasil analisis Keterangan: 1dari 38 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
Dari hasil analisis dua parameter tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesamaan persepsi mengenai konsep ekowisata antara dokumen, yang kebanyakan ditulis oleh instansi pemerintah atau tenaga ahli, dengan konsep yang dipahami oleh masyarakat. Hasil interview dengan narasumber juga menunjukan hanya 8,3% responden (LSM dan Diparda Bogor) yang dapat menjelaskan konsep ekowisata.
2. Partisipasi Masyarakat Ada tiga variabel yang digunakan untuk mengukur partisipasi masyarakat. Ketiga variabel tersebut ialah karakteristik masyarakat, level keterlibatan masyarakat, dan inisiatif partisipasi dalam pengembangan ekowisata (Pratiwi 2000; Furze et al. 1997, Reimer 1994; Rahmena1992; Gakahu 1992). Secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan semua unsur masyarakat pada semua level partisipasi (dari inisiasi sampai pengambilan keputusan). Inisiatif partisipasi sebaiknya berasal dari masyarakat. Partisipasi masyarakat di tiga lokasi pengembangan ekowisata sebenarnya cukup baik. Mereka dilibatkan sebagai: pengelola guest house, dan dilatih sebagai pemandu wisata, porter dan kader konservasi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pendekatan yang dilakukan awalnya dengan membentuk Kelompokkelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
175
Struktur KSM terdiri dari Badan Pengawas (Penasehat) dan Badan Pelaksana. Badan Pengawas/Penasehat terdiri dari wakil-wakil Kampung, PEMDA, Pemerintah Desa, LSM dan BTNGH. Sedangkan Badan Pelaksana terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, manager pondok wisata, manager dapur, manager pemandu, dan manager kerajinan. Kelompok ini diarahkan untuk menjadi cikal bakal koperasi wisata alam (Hartono 1999). Jumlah anggota KSM di masing-masing lokasi berbeda yaitu: 15 orang di KSM Sinar Wangi (Pangguyangan), 30 orang di KSM Warga Saluyu (Citalahab), dan 55 orang di KSM Pada Asih (Leuwijamang). Masyarakat dilibatkan mulai proses perencanaan, pelaksanaan dan penentuan kebijakan atau aturan main. Sebagai contoh, dalam proses perencanaan KSM turut menentukan siapa saja yang duduk menjadi di Badan Pelaksana sampai dengan penentuan lokasi pembangunan wisma tamu. Pelaksanaan pembangunan wisma tamu berikut pengaturan pengurusannya juga ditentukan oleh masyarakat. KSM melalui musyawarah kemudian membuat aturan pembagian hasil. Komponen dan rincian persentasenya pada masing-masing KSM dapat dilihat pada Tabel 43. YEH, KSM dan TNGH juga membuat surat kesepakatan saling pengertian dan kerjasama. Isi kesepakatan tersebut diantaranya menyebutkan bahwa (Hartono 1999): -
BTNGH
selaku
wakil
pemerintah
tetap
memberikan
komitmennya
mendukung usaha-usaha ekowisata yang berbasis masyarakat agar terus berjalan; -
KSM-KSM sebagai salah satu ujung tombak yang ada di lapangan akan berkomitmen untuk terus mendukung konservasi di TNGH dan menjalankan usaha ekowisata;
-
YEH sebagai LSM yang mengkhususkan diri dalam pengembangan ekowisata di TNGH akan tetap berupaya menjadi fasilitator, mediator, dan komunikator dengan pihak luar agar program ekowisata tetap berjalan.
176
Tabel 43 Persentase pembagian hasil KSM Komponen Retribusi/Pajak Perawatan Konservasi Pemilik Tanah Gaji Sosial Pendidikan Kas
KSM Pada Asih (Desa Cisarua) 5,0% 15,0% 10,0% 6,7% 30,0% 13,3% 10,0% 10,0%
KSM Warga Saluyu (Desa Malasari) 5,0% 15,0% 15,0% 30,0% 15,0% 10,0% 10,0%
KSM Sirna Wangi (Desa Sirnarasa) 5,0% 15,0% 10,0% 12,5% 30,0% 10,0% 7,5% 10,0%
Sumber: Hartono 1999; Sproule & Suhandi 1998. Keterangan: Retribusi/pajak adalah anggaran yang disisihkan untuk kepentingan pajak/retribusi ke PEMDA/Desa. Perawatan adalah anggaran untuk memperbaiki sarana yang dimiliki KSM. Konservasi adalah anggaran yang disisihkan KSM untuk monitoring kondisi biologi, kebersihan, dan perbaikan jalur jalan setapak. Pemilik tanah ialah anggaran yang dialokasikan untuk membayar sewa tanah dimana Guesthouse didirikan seperti di Pangguyangan dan Leuwijamang. Gaji adalah hak bonus bagi penasehat, ketua, sekretaris, bendahara, manager dan anggota aktif KSM yang dibayarkan setiap setahun sekali atau sebulan sekali tergantung kesepakatan. Sosial adalah anggaran yang disisihkan untuk kepentingan sosial masyarakat, setiap tahun, dimusyawarahkan kampung mana yang mendapat giliran untuk dibantu misalnya untuk perbaikan jembatan, masjid atau turbin listrik. Pendidikan adalah anggaran yang disisihkan untuk mengikuti atau melakukan pelatihan-pelatihan. Hasil bersih adalah pendapatan KSM setelah dikurangi biaya-biaya produksi per kunjungan, disimpan di bank terdekat.
Untuk mengukur kriteria kecukupan partisipasi masyarakat di lokasi studi, ada empat parameter yang digunakan untuk menilai partisipasi masyarakat. Keempat parameter tersebut ialah: karakteristik masyarakat, level keterlibatan masyarakat, dan inisiatif partisipasi.
Rangkuman hasil analisis partisipasi
masyarakat disajikan pada Tabel 44 dan 45. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat secara konsisten diindikasikan baik oleh dokumen (76,3%) maupun responden (64,7%). Namun demikian, sebagian besar informasi yang disampaikan dalam dokumen tidak membahas karakteristik masyarakat yang terlibat atau dilibatkan. Sementara informasi yang diperoleh dari responden menyebutkan bahwa karakteristik masyarakat yang terlibat menurut responden adalah kebanyakan masyarakat Non-Kasepuhan (82,4%) yang bermukim di daerah enclave (58,8%) maupun di dalam dan luar kawasan TNGH (41,2%). Sekitar 47,1% responden sepakat bahwa semua unsur masyarakat terlibat namun 29,4% menyebutkan hanya tokoh masyarakat saja yang dilibatkan. Sebanyak 58,8% responden juga menyebutkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki dilibatkan.
177
Tabel 44 Karakteristik partisipasi masyarakat Hasil Analisis (%) Parameter Partisipasi 1. Keterlibatan Masyarakat 2. Inisiatif partisipasi a. BTNGH b. Masyarakat dan LSM 3. Karakteristik masyarakat a. Lokasi pemukiman
Dokumen1 76,3
• Tidak ada informasi • Enclave b. status sosial • Semua unsur masyarakat • Tidak ada informasi c. status ekonomi • Tidak ada informasi • Menengah d. Gender • •
Tidak ada informasi Laki-laki dan perempuan
Responden2 64,7
42,1 64,7
50,0 58,8 47,1 68,8 92,1 76,5 92,1 58,8
Sumber: hasil analisis Keterangan: 1dari 38 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
Sementara pada variabel level partisipasi dimana masyarakat dilibatkan (Tabel 45), terjadi inkonsistensi antara informasi dari dokumen dengan responden. Sekitar 34,2% dokumen mengindikasikan masyarakat terlibat hanya pada proses nominal sementara sekitar 47,1% responden percaya bahwa mereka dilibatkan sampai pada level pengambilan keputusan. Jika 42,1% dokumen tidak memberikan informasi mengenai level dimana masyarakat dilibatkan, sekitar 35,3% responden tidak yakin atau tidak tahu level keterlibatan mereka dalam pengembangan ekowisata. Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan walaupun masyarakat dilibatkan dalam proses pengembangan ekowisata namun beberapa indikator keberhasilan pelaksanaan partisipasi seperti karakteristik masyarakat yang dilibatkan belum menjadi perhatian. Hasil wawancara dengan narasumber mengindikasikan adanya bias dalam pelaksanaan partisipasi. Dimana hanya sekelompok masyarakat tertentu saja, kelompok elit (elit bias )dan kelompok yang berada dekat lokasi obyek wisata (by the road bias) saja yang dilibatkan. Karena
178
itu, pengembangan ekowisata walaupun partisipatif masih menimbulkan konflik horisontal. Tabel 45 Level partisipasi Level Partisipasi a. b. c. d. e. f. g. h.
Berbagi informasi Proses nominal Konsultasi Pilihan gabungan jawaban a&b Pilihan gabungan jawaban a&c Inisiasi aksi (gabungan a,b,&c,) Pengambilan keputusan (a,b,c,&d) Tidak tahu/ tidak ada informasi
Hasil Analisis (%) Dokumen1 Responden2 0,0 0,0 34,2 17,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 10,5 0,0 13,2 47,1 42,1 35,3
Sumber: hasil analisis Keterangan: 138 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
Indikator lain dari partisipasi masyarakat ialah level dimana masyarakat harus dilibatkan. Indikator ini juga tidak menjadi perhatian yang dibahas dalam dokumen. Disisi lain, masyarakat, meskipun dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaannya ditingkat lokal saja, namun memiliki persepsi bahwa mereka sudah dilibatkan pada level yang lebih tinggi. Padahal seharusnya mereka dilibatkan dalam proses perencanaan yang lebih makro serta proses evaluasinya. Dokumentasi sejarah pengembangan ekowisata (Lampiran 8) menunjukan bahwa BTNGH tidak melibatkan masyarakat pada level tersebut. Sebagai contoh, dalam hal penyusunan dokumen ecotourism action plan dan workshop masterplan ekowisata yang baru, tidak ada perwakilan dari masyarakat. Masyarakat diposisikan hanya sebagai narasumber yang pasif pada level berbagi informasi. Informasi dari dokumen, responden dan narasumber mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata di TNGH didasari oleh adanya kondisi yang saling menguntungkan. Hal ini mendukung salah satu teori partisipasi yaitu social exchange theory yang menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Homans 1961 and Blau 1964 dalam Howell et al. 1987). Supaya partisipasi dapat bertahan, teori ini menyarankan tiga faktor penting yang perlu dibangun yaitu meminimalisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa saling percaya antar para pihak yang terlibat (Howell et al. 1987). Namun, berdasarkan observasi dan wawancara dengan narasumber, mekanisme untuk
179
penghargaan dan membangun rasa saling percaya di lokasi studi tidak ditemukan. Padahal ‘ongkos’ yang sudah dikeluarkan masyarakat baik berupa tenaga, pikiran, waktu dan dana sudah sangat besar.
3. Produk Wisata Ada tiga parameter yang digunakan untuk mengetahui apakah produk ekowisata yang ditawarkan di lokasi studi mengandung unsur pembelajaran atau tidak. Ketiga parameter tersebut ialah: jenis aktivitas, persepsi responden/penulis dokumen, dan tujuan wisatawan. Rangkuman hasil analisis ketiganya disajikan pada Tabel 46 berikut ini: Tabel 46 Produk ekowisata Produk Ekowisata 1. Jenis Aktivitas • Wisata alam • Wisata alam, agro, sejarah &budaya 2. Produk wisata mengandung unsur pembelajaran dan rekreasi 3. Tujuan wisatawan • •
Rekreasi Pendidikan, rekreasi, penelitian, dll
Hasil Analisis (%) Dokumen1 Responden2 30,0 23,7 60,5
58,8 29,4 41,2
23,7 49,7
11,8 64,6
Sumber: hasil analisis Keterangan: 138 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
Berdasarkan informasi dari Tabel 46 tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya konsistensi antara informasi yang diperoleh dari dokumen dan responden untuk ketiga variabel produk wisata. Untuk jenis aktivitas wisata, baik dokumen maupun responden mengindikasikan bahwa produk yang ditawarkan tidak hanya aktivitas wisata alam tapi banyak aktivitas lainnya seperti wisata agro, budaya dan sejarah yang dapat dikembangkan. Dari beragamnya potensi produk ekowisata tersebut baik dokumen (60,5%) maupun responden (41,2%) mengindikasikan bahwa produk yang dikembangkan diyakini mengandung unsur pendidikan dan rekreasi. Asumsi ini diperkuat dengan data mengenai tujuan kedatangan wisatawan untuk tujuan pendidikan (49,7% dokumen dan 64,6% responden) maupun data sekunder yang disajikan pada Tabel 39. Berdasarkan observasi
180
lapangan dan wawancara juga diketahui bahwa aktivitas wisatawan umumnya didampingi oleh seorang guide yang juga berperan sebagai interpreter.
4. Pengembangan Ekonomi Lokal Dalam studi ini, dampak ekowisata terhadap pengembangan ekonomi lokal dilihat dari dua aspek yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung diidentifikasi dari tiga parameter yaitu peluang kerja, peningkatan pendapatan, dan masukan untuk pendapatan daerah. Dampak tidak langsung diidentifikasi berdasarkan ada tidaknya diversifikasi kegiatan ekonomi yang baru. Berdasarkan hasil analisis data primer dan sekunder diperoleh informasi bahwa pengembangan ekowisata memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Kesimpulan ini diindikasikan oleh 60,5% dokumen dan 60,9% responden. Adapun peluang kerja tersebut diantaranya sebagai pemandu, pengangkut barang, petugas kebersihan, dan pengelola usaha jasa (transportasi, akomodasi, cindera mata atau konsumsi). Peningkatan pendapatan diukur melalui dua sub-parameter yaitu peningkatan pendapatan terhadap masyarakat lokal serta peningkatan pendapatan terhadap BTNGH dan Daerah (desa, kecamatan, dan kabupaten). Untuk peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat, hasilnya menunjukkan hanya 31,6% dokumen yang mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan dari ekowisata. Sedangkan 64,7 % responden memberikan informasi adanya peningkatan pendapatan dari peluang kerja tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa pendapatan yang diperoleh masih dibawah pendapatan pokok dari bertani dan tidak tentu. Informasi ini diperkuat oleh hasil studi sebelumnya yang disajikan pada Tabel 48. Untuk dampak ekonomi terhadap BTNGH dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hasilnya menunjukan hanya sekitar 23,5% responden menyebutkan bahwa sebagian keuntungan dari ekowisata disetorkan untuk kas desa (komponen sosial Tabel 43). Meskipun sebanyak 64,5% responden menyebutkan tidak ada keuntungan yang dapat dibagikan kepada kas desa. Baik responden maupun dokumen tidak memberikan indikasi adanya kontribusi ekonomi dari ekowisata
181
terhadap kecamatan.
Sedangkan kontribusi ekonomi untuk Kabupaten hanya
diindikasikan oleh 5,3% dokumen. Responden sama sekali tidak tahu. Selanjutnya, sekitar 23,7% dokumen dan 76,5% responden sepakat menyebutkan bahwa BTNGH menerima pembagian keuntungan dari kegiatan ekowisata (komponen konservasi Tabel 43). Dampak tidak langsung dari ekowisata dapat dilihat dari ada tidaknya peluang kerja baru akibat dikembangkannya ekowisata di lokasi studi. Hasil analisis menunjukkan sebanyak 57,9% dokumen dan 94,1% responden sepakat bahwa pengembangan ekowisata memberikan peluang kerja baru bagi masyarakat lokal. Sekitar 26,3% dokumen dan 64,7% responden menyebutkan bahwa peluang kerja yang diberikan berupa pekerjaan di bidang jasa dan produksi. Hasil analisis dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal ini dirangkum dan disajikan pada tabel 47. Tabel 47 Dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal Dampak Ekonomi
Hasil Analisis (%) Dokumen1
1. Dampak Langsung a. Peluang kerja • Ya • Tidak /tidak ada informasi b. Peningkatan pendapatan • Ya • Tidak/tidak ada informasi c. Masukan untuk PAD • Desa •
Kecamatan
•
Kabupaten
•
BTNGH
Responden2
60,5 39,5
60,9
31,6 68,4
64,7 29,4
7,9
23,5
5,3 23,7
76,5
57,9
94,1
26,3 50,0
64,7
2. Dampak tidak Langsung Diversifikasi lapangan kerja a. Peluang kerja b. Jenis pekerjaan • Jasa dan produksi • Tidak ada informasi Sumber: hasil analisis Keterangan: 1dari 38 dokumen (Lampiran 4); 260 responden.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai berapa pendapatan yang diperoleh penduduk dari ekowisata dibandingkan dengan pendapatan dari
182
kegiatan lainnya maka dilakukan studi terhadap beberapa hasil penelitian sebelumnya dan wawancara mendalam dengan responden. Hasilnya menunjukan bahwa pendapatan rata-rata penduduk dari ekowisata di empat lokasi tidak sama. Di Kampung Cibedug, berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang mengelola obyek wisata situs Cibedug dan LSM pendamping, diketahui bahwa sumber penghidupan utama di kampung ini ialah bertani. Hasil pertanian ini secara formal tidak diperjual belikan. Namun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun tidak mendapat pendampingan dari YEH maupun BTNGH untuk pengembangan ekowisata, sejak tahun 1980an penduduk sudah mendokumentasikan kedatangan wisatawan yang mengunjungi situs Cibedug. Pada saat survei dilakukan, untuk dapat masuk ke dalam situs wisatawan dipungut Rp. 1000/orang. Dengan rata-rata kunjungan 15 orang perbulan (Tabel 2), maka penghasilan dari kegiatan wisata rata-rata per bulan Rp. 15.000. Pendapatan ini dapat bertambah dari pengunjung yang memberikan biaya penginapan dan konsumsi. Nugraheni pada tahun 2002 melakukan studi kepada 30 responden di Kampung Pangguyangan, Citalahab Central, dan Leuwijamang. Hasilnya menunjukan bahwa, dengan rata-rata kunjungan wisatawan sebanyak 83 orang/tahun (Tabel 40), rata-rata pendapatan anggota KSM di Pangguyangan sebesar Rp. 22.500/bulan. Jika dibandingkan dengan pendapatan penduduk dari penghasilan lainnya yang rata-rata Rp. 125.000/bulan maka pendapatan dari ekowisata sekitar 17,6% dari penghasil tetap lainnya. Untuk Kampung Citalahab Central, dengan rata-rata kunjungan wisatawan 511 orang/tahun (Tabel 40), rata-rata pendapatan anggota KSM sebesar Rp. 78.333/bulan. Jika dibandingkan dengan pendapatan penduduk dari penghasilan lainnya yang rata-rata Rp. 167.000/bulan maka pendapatan dari ekowisata sekitar 46,9% dari penghasil tetap tersebut. Sedangkan untuk Kampung Leuwijamang, dengan rata-rata kunjungan wisatawan 39 orang/tahun (Tabel 40), rata-rata pendapatan anggota KSM sebesar Rp. 9.235/bulan. Jika dibandingkan dengan pendapatan penduduk dari penghasilan lainnya yang rata-rata Rp. 105.000/bulan maka pendapatan dari
183
ekowisata sekitar 8,8% dari penghasil tetap tersebut. Hasil identifikasi ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48. Rata-rata pendapatan dari ekowisata No.
Ekowisata
Keterangan
Sumber lainnya1
Harga tiket masuk situs x rata-rata kunjungan per bulan = Rp. 1000 x 15 orang = Rp. 15.000/bulan Rp. 22.500/bulan
Hasil observasi lapangan dan wawancara.
Hasil pertanian yang tidak diperjual belikan dan pembayaran sukarela dari pengunjung situs
Hasil kuesioner dari 90 responden atau 30 ditiap lokasi (Nugraheni 2002). Hasil kuesioner dari 90 responden atau 30 ditiap lokasi (Nugraheni 2002). Hasil kuesioner dari 90 responden atau 30 ditiap lokasi (Nugraheni 2002). Dihitung dengan menggunakan metode willingness to pay dari 113 responden (Widada 2004).
Rp. 125.000/bln
Lokasi
1.
Kampung Cibedug
2.
Kampung Pangguyangan
3.
Kampung Citalahab Central
Rp. 78.333/bulan
4.
Kampung Leuwijamang
Rp. 9.235/bulan
5.
TNGH
Rp. 1,27 milyar/tahun
Rp. 167.000/bln
Rp. 105.000/bln
Rp. 388.573/bln
Sumber: Nugraheni 2002: 116; Widada 2004:63, 78-90, 121; hasil wawancara dan observasi. 1 Keterangan : sekitar 90,4% penduduk bekerja sebagai petani (Widada 2004).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ekowisata memberikan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Peluang kerja ini secara tidak langsung memberikan diversifikasi pekerjaan bagi masyarakat lokal yang tadinya kebanyakan bekerja sebagai petani. Namun demikian, tingkat pendapatan dari ekowisata masih tidak tentu dan dibawah pendapatan rata-rata hasil bertani. Lebih lanjut, keuntungan ini baru dapat dirasakan sebagian kecil penduduk desa (anggota KSM atau pengurus obyek wisata). 5. Dampak Lingkungan Mengacu beberapa literatur mengenai dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh ekowisata (Sekartjakrarini dan Legoh 2004; Ceballos-Lascurain 1996; Boo 1990; Soemarwoto 1986), faktor dan variabel dampak lingkungan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah biofisik (tanah, air, vegetasi dan
184
hidupan liar), dan sosial budaya. Data untuk analisis ini diperoleh dari hasil identifikasi data sekunder dan observasi lapangan secara langsung. Untuk data sekunder, tidak semua variabel diperoleh informasinya dari hasil content analysis. Hal ini karena terbatasnya jumlah dokumen yang membahas variabel tersebut. Berikut hasil analisis dampak lingkungan pengembangan ekowisata di TNGH: A. Dampak Bio-fisik Untuk mengantisipasi dampak terhadap bio-fisik kawasan akibat kedatangan pengunjung, pihak BTNGH sudah menyiapkan beberapa aturan untuk memasuki kawasan TNGH154. Peraturan tersebut diantaranya tidak boleh membawa hewan peliharaan atau binatang lainnya; tidak diperkenankan membawa radio atau barang elektronik; pejalan kaki hanya diperbolehkan melintas dijalur yang sudah disediakan dan tidak diperbolehkan membuka jalur baru; beristirahat hanya ditempat yang sudah ditentukan; dan membawa kembali semua sampah ke Stasiun Penelitian Cikaniki. Namun demikian, sampai dengan penelitian lapangan dilakukan (Maret 2007) ditemukan beberapa indikasi dampak lingkungan baik di dalam maupun disekitar obyek wisata sebagai berikut: 1) Tanah Dampak terhadap tanah yang dapat terlihat langsung akibat aktifitas manusia (dimana ekowisata salah satunya) terhadap tanah ialah pemampatan tanah di beberapa jalur lintas alam dan pencemaran. Pemampatan tanah dapat disebabkan banyaknya pemanfaatan jalur baik segi kualitas (frekuensi) maupun kuantitas (jumlah pemakai jalur). Persoalannya apakah hal tersebut disebabkan oleh aktifitas ekowisata atau aktivitas lainnya mengingat dari data jumlah kunjungan yang relatif sedikit ke lokasi studi (Tabel 40). Pencemaran tanah adalah dampak lain yang dapat diamati langsung di lokasi studi terutama di Kampung Cibedug, Jalur menuju Kampung Ciptarasa (Pangguyangan), dan Kampung Citalahab Central, Desa Malasari. Pencemaran tanah disebabkan baik oleh limbah padat seperti plastik dan kaleng bekas pembungkus makanan, maupun limbah cair seperti sabun, shampo dan odol. Hasil pengamatan ini didukung oleh dua penelitian sebelum yaitu Widada (2004) dan Naibaho (2002). Namun demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut apakah 154
Informasi diperoleh dari situs resmi TNGH: www.tnhalimun.go.id dan Triono et al. 2002
185
dampak ini sepenuhnya berasal dari aktifitas wisata atau aktifitas lainnya mengingat jalur lintas alam juga merupakan jalur lintas penduduk dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari.
2) Air Seperti juga tanah, pencemaran air disebabkan oleh limbah padat dan cair. Sampah padat dan cair yang mencemari sungai dapat dilihat di Kampung Cibedug, Desa Citorek, Kampung Pangguyangan, Desa Sirnarasa dan Kampung Citalahab Central. Menurut Naibaho (2002) kondisi ini disebabkan belum adanya sistem sanitasi yang memadai. Sedangkan di Leuwijamang, walaupun air sungai terlihat sangat bersih menurut informasi dari beberapa narasumber sungai tersebut tercemar limbah olahan emas dari aktifitas PETI.
3) Vegetasi dan Hidupan Liar Studi yang dilakukan Widada (2004: 159-160) menyebutkan terjadi degradasi keanekaragaman hayati seperti rusaknya tanaman perdu dan anggrek hutan disepanjang jalur lintas alam. Studi ini juga menyebutkan adanya gangguan terhadap hidupan liar. Hal ini dapat diidentifikasi dari jalur lintas satwa yang menjauh dari jalur lintas alam.
B. Dampak Sosial Budaya Pengembangan ekowisata dapat berdampat positif maupun negatif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat (Sekartjakrarini dan Legoh 2004 dan Ceballos-Lascurain 1996). Berdasarkan hasil observasi dan penelusuran literatur berikut perkiraan dampak ekowisata terhadap sosial budaya masyarakat di lokasi studi: 1) Dampak positif Sekitar 57,9% literatur menyebutkan bahwa pengembangan ekowisata dilokasi studi menimbulkan peluang kerja baru. Kesimpulan ini juga didukung oleh 94,1% responden yang menyebutkan hal yang sama. Salah satu peluang kerja tersebut ialah sektor jasa. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan mata pencaharian terutama disektor jasa. Sebagian besar penduduk yang tadinya hanya
186
sebagai buruh tani kini merperoleh peluang pekerjaan baru seperti porter, penunjuk jalan (guide), kebersihan, keamanan dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diperkirakan ada perubahan sistem ekonomi masyarakat. Pada awalnya, jasa pelayanan wisata dibayar dengan sistem pembayaran sukarela dari pengunjung. Namun kini sistem pembayaran lebih terukur karena sudah ditentukan oleh KSM. Masyarakat belajar dari LSM pendamping untuk menyepakati dan menetapkan biaya pelayanan sehingga lebih terukur bagi kedua belah pihak (penyedia dan pengguna).
Perubahan juga terjadi
pada sistem nilai dalam memandang orang baru atau pengunjung. Sebelum ekowisata dikembangkan, masyarakat awalnya takut bertemu dengan orang luar, kini berani bahkan mau berkomunikasi. Selain itu, perubahan juga terjadi pada gaya hidup masyarakat. Tuntutan pengunjung untuk tersedianya sistem sanitasi yang lebih permanen dan terjaga kebersihannya dapat merubah kebiasaan sebagian masyarakat untuk hidup lebih sehat dengan memperbaiki sistem sanitasi.
2) Dampak negatif Pengembangan ekowisata di TNGH saat ini baru melibatkan sebagian kecil masyarakat di lokasi studi. Masyarakat di Kampung Cibedug, dimana salah satu obyek ekowisata unggulan berada, bahkan tidak pernah dilibatkan sama sekali. Jadi, manfaat ekonomi dari ekowisata baru dapat dirasakan oleh sekelompok masyarakat saja. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan sosial sehingga menimbulkan konflik horisontal di masyarakat. Kesimpulan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Widada (2004: 160). Dampak negatif wisata lainnya yang teridentifikasi ialah adanya perubahan tata nilai dan kebudayaan. Sebagai contoh, kebutuhan atraksi wisata untuk menarik pengunjung menyebabkan beberapa ritual budaya dijadikan sebagai komoditas komersial. Namun disisi lain, kondisi ini juga dapat dijadikan sebagai jalan untuk menghidupkan kembali budaya yang hampir punah. Kedatangan pengunjung yang dapat memberikan keuntungan finansial juga menimbulkan kriminalitas terhadap wisatawan. Sebagai contoh, modus kriminalitas terhadap pengunjung yang ditemukan penulis selama observasi
187
berupa penyesatan informasi jalur jalan untuk mencapai lokasi. Pengunjung digiring untuk menggunakan jasa transportasi lokal dan jalur jalan tertentu dengan biaya yang ditetapkan sepihak. Berdasarkan uraian mengenai analisis kriteria kecukupan ekowisata, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ekowisata di lokasi studi saat ini belum memenuhi kriteria kecukupan idealnya. Dari lima kriteria, hanya kriteria produk wisata yang cukup relevan dengan kriteria ekowisata. Sedangkan kriteria dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal sebenar cukup positif namun belum optimal. Namun demikian perlu penelitian lebih lanjut mengenai sejauh mana produk ini dapat mengubah persepsi dan perilaku (behaviour) pengunjung maupun masyarakat terhadap program konservasi di TNGH.
5.3.3 Institusi Pengembangan Ekowisata Selain menganalisis kriteria kecukupannya, untuk memahami kontribusi ekowisata terhadap konflik diperlukan juga pemahaman terhadap institusi ekowisata yang berlaku. Tujuan dari analisis ekowisata ialah 1) untuk mengetahui para pihak yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengembangan ekowisata; 2) mengidentifikasi peran stakeholders yang diatur dalam peraturan perundangan dan implementasinya; dan 3) mengidentifikasi gap antara kondisi saat ini dan yang diharapkan serta menganalisis langkah yang diperlukan.
5.3.3.1 Analisis Stakeholders Pengembangan Ekowisata di TNGH Dengan menggunakan definisi dan tahapan analisis stakeholders yang telah diuraikan sebelumnya, teridentifikasi 32 stakeholder yang relevan dengan pengembangan ekowisata. Stakeholders ini terdiri dari : stakeholders utama (6), stakeholder kunci (15) dan stakeholders pendukung (12).
Stakeholders
utama
dan kunci yang terkait dengan pengembangan ekowisata sama dengan stakeholders yang terkait dengan pengurusan hutan di TNGH. Sedangkan untuk kategori stakeholder pendukung, dari 24 stakeholder yang terkait dengan pengurusan hutan di TNGH, 12 diantaranya juga merupakan stakeholder dalam pengembangan ekowisata di TNGH.
188
Berdasarkan penelusuran sejarah pengembangan ekowisata di TNGH (Lampiran 8), interaksi antar stakeholders dalam pengembangan ekowisata dibagi pada dua tahap yaitu: 1) tahap inisiasi program dimana stakeholders bekerjasama dalam menggalang pendanaan, partisipasi masyarakat dan pembangunan fasilitas; dan 2) tahap pelaksanaan ialah tahap dimana stakeholders bekerjasama untuk melakukan promosi dan pemberian pelayanan kepada wisatawan. Pada tahap inisiasi program, hubungan antar stakeholder diwarnai dengan kerjasama dan koordinasi. Hubungan ini ditandai dengan terbentuknya Konsorsium Pengembangan Program Ekowisata di TNGH (KPPETNGH). Selama menjalankan program inisiasi, konsorsium mendapat dana hibah dari USAID yang dikelola oleh secara maniri oleh konsorsium. Tahap pelaksanaan merupakan tahap setelah tahap inisiasi program yang ditandai dengan terbentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan terbangunnya fasilitas penginapan di 3 lokasi. Tahap ini ditandai juga dengan berakhirnya proyek KPPETNGH yang berarti KSM harus mampu secara mandiri mengembangkan kegiatan ekowisata. Pada tahap ini ada 2 konflik yaitu konflik horisontal dan vertikal. Konflik horisontal terjadi antar anggota KSM atau dengan anggota masyarakat lainnya. Konflik muncul secara cukup terbuka dan umumnya dikarenakan kesempatan kerja dan bagi hasil yang dianggap belum merata. Sementara konflik vertikal terjadi antara instansi PEMDA dengan BTNGH. Konflik muncul secara laten dengan penyebabnya antara lain masalah klaim obyek wisata yang masuk kawasan TNGH. Pada tahap pelaksanaan pula hubungan masyarakat dengan stakeholder kunci yang umumnya didominasi oleh terbatasnya komunikasi sampai tidak ada sama sekali. Berdasarkan hasil observasi dan kuesioner, masyarakat merasa ’ditinggalkan’ padahal apa yang mereka lakukan untuk kepentingan bersama. Kurang optimalnya kerjasama dan koordinasi juga mewarnai hubungan antar stakeholder kunci. Hubungan yang ada hanyalah komunikasi seperti saling berbagi pandangan dalam forum diskusi, seminar, konsultasi publik ataupun lokakarya yang diselenggarakan BTNGH.
189
Hasil analisis stakeholder dalam pengembangan ekowisata di TNGH selengkapnya disajikan pada Lampiran 9. Sedangkan hubungan keterkaitan antar stakeholder dalam pengembangan ekowisata di TNGH disajikan pada Tabel 49.
5.3.3.2 Analisis Kebijakan Pengembangan Ekowisata Tujuan dari analisis kebijakan dalam pengembangan ekowisata adalah untuk mengidentifikasi peran para stakeholders dalam peraturan perundangan yang ada berikut pelaksanaannya di lapangan. Berikut hasil dan pembahasannya: A. Kebijakan Pengembangan Ekowisata Dokumen yang digunakan sebagai obyek analisis ini merupakan dokumen kebijakan yang sama dengan dokumen yang digunakan dalam analisis kebijakan pengukuhan taman nasional (Lampiran 3 nomor 1 sampai dengan 47). Untuk membantu mengidentifikasi peraturan perundangan mana saja yang relevan dengan pengembangan ekowisata digunakan beberapa kata kunci. Kata kunci tersebut ialah: ekowisata, pariwisata, pariwisata alam, rekreasi, wisata, wisata agro, wisata alam, wisata budaya, wisata buru, wisata ilmiah, wisata lingkungan, wisata minat khusus, dan wisata petualangan alam.
Kata kunci ini dipilih
berdasarkan terminologi yang biasa diasosiasikan dengan kegiatan ekowisata atau pengembangan pariwisata secara umum. Rangkuman hasil analisis disajikan pada Tabel 50. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa hanya 4,3% atau 2 dokumen peraturan perundangan yang mengatur tentang ekowisata secara khusus.Wisata umum merupakan terminologi yang dominan diatur dalam kebijakan (40,4%) diikuti oleh terminologi pariwisata (34,8%), wisata alam (32,6%), serta pariwisata alam dan rekreasi (26,1). Dari dokumen yang sama, diidentifikasi juga kebijakan yang mengatur kriteria kecukupan ekowisata. Hasil identifikasi menunjukan bahwa penetapan tujuan terdapat pada 34% dokumen. Kriteria partisipasi masyarakat diatur dalam 25,5% dokumen kebijakan. Sekitar 14,9% menyebutkan dampak ekonomi dari kegiatan wisata.
Sedangkan dampak lingkungan dan produk wisata masing-
masing dibahas oleh 21,3% dan 4,3% dokumen kebijakan. Rangkuman hasil identifikasi ini didajikan pada Tabel 51.
Tabel 49 Hubungan stakeholder dalam pengembangan ekowisata di TNGH STAKEHOLDER STAKEHOLDER UTAMA 1. Masyarakat Desa Citorek 2. Masyarakat Desa Sirnarasa 3. Masyarakat Desa Malasari 4. Masyarakat Desa Cisarua 5. Pemerintah Desa 6. Kecamatan STAKEHOLDER KUNCI 7. Pemerintah Kabupaten 8. Pemerintah Provinsi 9. Pemerintah Pusat 10. BTNGH 11. DPRD STAKEHOLDER PENDUKUNG 12. LSM 13. Institusi Pendidikan/Penelitian 14. Swasta 15. Lembaga Donor 16. Konsorsium
1
2
3
4
3 3 3 1,4 3 3 1,4 3 1,4
5
6
7
3 2,4 2,4 2,4
3 1,3 2 2 2,5 3 2,5 3 5 3 3
8
9
10
11
12
13
14
15
16
3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3
3 1,3 1,3 1,3 3,4 3,4
3 3 3 3 3 3
3 1 1 1 3 3
3 1 1 1 3 3
3 3 3 3 3 3
3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3
3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3
2
2 2
2,4 2,4 2,5
3 3 3 3
2,3 2,3 1,3 1,3 3
2,3 2,3 1,3 1,3 3
3 3 3 1 3
1,3 1,3 1,3 1 3
1,3 1,3 1,3 1,3 3
1,3
3 3
1,3 1,3 3
1,3 1,3 1,3 1,3
Sumber: hasil penelusuran dokumen, observasi lapangan, dan kuesioner Keterangan: (1) Bekerja sama = jika stakeholder melakukan kegiatan atau usaha secara bersama untuk mencapai tujuan yang sama (Depdiknas 2005:554) (2) Berkoordinasi = jika stakeholder melakukan upaya dengan stakeholder lainnya agar kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak saling bertentangan (Depdiknas 2005:593) (3) Koordinasi kurang optimal (4) Konflik = gejala yang terlihat di permukaan dari suatu hubungan antara dua atau lebih stakeholders yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006; Fisher et al. 2001:4) (5) Tidak ada informasi
190
191
Tabel 50 Jumlah peraturan perundangan yang terkait dengan ekowisata Kata Kunci Ekowisata Pariwisata Pariwisata alam Rekreasi Wisata Wisata agro Wisata alam Wisata budaya Wisata buru Wisata ilmiah Wisata lingkungan Wisata minat khusus Wisata petualangan alam
Jumlah Dokumen 2 16 12 12 14 2 15 3 4 1 1 2 2
% 4,3 34,8 26,1 26,1 40,4 4,3 32,6 6,5 8,7 2,2 2,2 4,3 4,3
Sumber: Hasil analisis Keterangan: % = persentase dari 47 dokumen yang dianalisis (lampiran 3 no. 1 s/d 47).
Tabel 51 Jumlah peraturan perundangan yang mengatur kriteria kecukupan Kriteria Kecukupan Ekowisata Dampak Ekonomi Lokal Dampak Lingkungan Partisipasi Masyarakat Penetapan Tujuan Produk Ekowisata TOTAL
Jumlah % Dokumen 7 14,9 10 21,3 12 25,5 16 34,0 2 4,3 47 100,0
Sumber: Hasil analisis Keterangan: % = persentase dari 47 dokumen yang dianalisis (lampiran 2).
Berdasarkan data pada Tabel 50 dan 51 di atas, dapat disimpulkan bahwa masih kurangnya kebijakan yang mengatur pengembangan ekowisata secara khusus. Pengembangan ekowisata selama ini harus mengacu pada aturan pengembangan pariwisata umum lainnya. Demikian juga dengan kebijakan yang mengatur kriteria kecukupannya.
B. Peran Stakeholder Ada dua peran stakeholders yang diidentifikasi dalam dokumen kebijakan. Pertama, peran stakeholders dalam pengembangan ekowisata. Informasi ini diidentifikasi dengan menggunakan kata kunci (keywords). Distribusi dan jumlah peran stakehoder disajikan pada Tabel 52. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa peran pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata
192
sangat dominan (63,5%). Sementara pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, hanya mendapat porsi masing-masing 7,8% dan 6,1%. Peran yang cukup besar diberikan kepada stakeholders pendukung yaitu sebesar 19,1%.
Tabel 52 Distribusi dan jumlah peran stakeholders dalam pengembangan ekowisata
KATA KUNCI Ekowisata Pariwisata Pariwisata alam Wisata wisata alam Grand Total %
Pendukung 2 9 9 2 22 19,1
STAKEHOLDERS Pemerintah Pemerintah Masyarakat Kabupaten Provinsi 6 6 3 1 1 1 4 3,5
1 7 6,1
1 9 7,8
Pemerintah Pusat 17 7 21 18 10 73 63,5
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan tabulasi pembagian peran yang disajikan pada Tabel 52, dapat diidentifikasi peran masing-masing stakeholder dalam tiap-tiap kriteria kecukupan ekowisata. Hasil identifikasi ini disajikan pada Tabel 53. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat merupakan kriteria yang paling banyak diatur dalam dokumen kebijakan (44%). Sementara, Pemerintah Pusat (40%) dan stakeholder pendukung (18,4%) diberikan peran yang besar dalam pemenuhan kecukupan ekowisata. Tabel 53 Distribusi dan jumlah peran stakeholders dalam kriteria kecukupan ekowisata KRITERIA KECUKUPAN EKOWISATA Dampak Ekonomi Lokal Dampak Lingkungan Partisipasi Masyarakat Penetapan Tujuan Produk Ekowisata Grand Total % 1 2
Pendukung 3
PERAN STAKEHOLDERS1 Pemerintah Pemerintah Masyarakat Kabupaten Provinsi 4
3 12 4 1 23 18,4
13 3 20 16
Pemerintah Pusat
1
1
7
3
8
10
8 2 1 15 12
6 1 1 17 13,6
16 13 4 50 40
Diidentifikasi dari 47 peraturan perundangan yang terkait (Lampiran 3 no. 1 s/d 47). Kembudpar 2004.
193
Jenis peran masing-masing stakeholders dalam pemenuhan tiap-tiap kriteria kecukupan ekowisata diidentifikasi dari dokumen kebijakan yang sama. Hasil identifikasi ini disajikan pada Tabel 54. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut dapat diketahui bahwa peran : a. Pemerintah Pusat berperan sebagai fasilitator, survei dan inventarisasi, pelaksana,membuat kebijakan, pengambil keputusan, dan koordinator. b. Pemerintah Provinsi berperan sebagai pelaksana, membuat kebijakan, mengambil keputusan, monitoring dan evaluator. c. Pemerintah Kabupaten berperan sebagai pemberi rekomendasi, informasi, monitoring, penerima manfaat, dan pengambil keputusan. d. Masyarakat berperan sebagai pemberi rekomendasi, informasi, monitoring, penerima manfaat, dan pengambil keputusan. Stakeholders lain-lain (pendukung) berperan sebagai pelaksana dan monitoring. Tahap selanjutnya ialah melakukan
identifikasi realisasi peran
stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan yang disajikan pada Tabel 54 di TNGH. Hasil identifikasi disajikan pada Tabel 55. Berdasarkan hasil identifikasi ini diketahui bahwa untuk memenuhi kriteria kecukupan ekowisata : a. Pemerintah Pusat berperan dengan melakukan inventarisasi potensi ekowisata dan peluang pengembangan ekonomi lokal155, fasilitator dalam pengembangan ekonomi lokal, pelaksana dalam monitoring dampak lingkungan dan partisipasi masyarakat, membuat kebijakan dan mengambil keputusan dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat, penetapan tujuan dan produk wisata. b. Pemerintah Provinsi berperan memberikan rekomendasi namun pelaksanaan peran lainnya tidak teridentifikasi. c. Pemerintah Kabupaten
berperan memberikan rekomendasi namun peran
lainnya tidak teridentifikasi. d. Masyarakat berperan sebagai pemberi rekomendasi, informasi, monitoring, dampak lingkungan, penerima manfaat, serta membuat dan mengambil keputusan di tingkat lokal dan operasional. Stakeholders pendukung berperan sebagai pemberi rekomendasi (peneliti dan LSM), fasilitator dan pelaksana dihampir semua kriteria kecukupan ekowisata 155
Kerjasama dengan JICA
194
(YEH), melakukan penelitian dan monitoring dampak lingkungan dan pelaksanaan partisipasi masyarakat (peneliti dan LSM). JICA sebagai salah satu stakeholders pendukung membuat kebijakan dalam penetapan tujuan, produk wisata dan proses partisipasi masyarakat. Tabel 54 Jenis peran stakeholders dalam kriteria kecukupan ekowisata (normatif) KRITERIA KECUKUPAN EKOWISATA2 1. Dampak Ekonomi Lokal
1 2
Pendukung
STAKEHOLDERS1 Pemerintah Pemerintah Kabupaten Provinsi Masyarakat
Pemerintah Pusat
Pelaksana, rekomendasi
Pelaksanan dan penerima manfaat
Pelaksana
-
Survei& Inventarisasi, membuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan Membuat kebijakan, Pelaksana, Monitoring
2. Dampak Lingkungan
Pelaksana
-
Pelaksana, Pengawas, evaluator
3. Partisipasi Masyarakat
Pelaksana, Monitoring
Pelaksana, Fasilitator
4. Penetapan Tujuan
Pelaksana
Rekomendasi , informasi, monitoring, penerima manfaat Pelaksana dan penerima manfaat
Pelaksana, membuat kebijakan, mengambil keputusan, monitoring dan evaluator Pelaksana, fasilitator, persetujuan,
Pelaksana, Pengambil Keputusan
Pelaksana
Pelaksana, membuat kebijakan, Pengambil keputusan, Koordinator
5. Produk Ekowisata
Pelaksana
-
Pelaksana
Pelaksana
Pelaksana, membuat kebijakan,
Fasilitator, membuat kebijakan, Pelaksana
Diidentifikasi dari 47 peraturan perundangan yang terkait (Lampiran 3 no. 1 s/d 47). Kembudpar 2004
Hasil identifikasi dari Tabel 54 dan 55 ini kemudian dianalisis untuk mengetahui gap antara kebijakan/ aturan main yang bersifat normatif dengan implementasinya. Hasil analisis ini disajikan pada Tabel 56. Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahui bahwa peran pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata dilokasi studi sangat kecil (rekomendasi). Sementara pemerintah pusat sudah melakukan sebagian besar perannya kecuali fungsi koordinator dalam penetapan tujuan. Masyarakat dan stakeholders pendukung ternyata mampu berperan lebih dari yang diamanatkan dalam peraturan perundangan.
195
Tabel 55 Implementasi peran stakeholders dalam pengembangan ekowisata di TNGH KRITERIA KECUKUPAN EKOWISATA2 1. Dampak Ekonomi Lokal
Masyarakat
-
Survei& Inventarisasi, fasilitator
-
Monitoring
Penelitian dan Monitoring Fasilitator, Rekomendasi , informasi, monitoring, Pelaksana, membuat kebijakan
Monitoring
-
Rekomendasi, informasi, monitoring, penerima manfaat, pelaksana, membuat kebijakan, mengambil keputusan
Rekomendasi
4. Penetapan Tujuan
Fasilitator, Pelaksana, membuat kebijakan
Pelaksana dan penerima manfaat, pengambil keputusan
-
5. Produk Ekowisata
Survei dan Inventarisasi,Pelaksana, membuat kebijakan
Pelaksana
Rekomendasi
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Pusat
Pemerintah Kabupaten -
Pelaksana, penerima manfaat, membuat kebijakan, mengambil keputusan
3. Partisipasi Masyarakat
2
Pendukung Fasilitator, Pelaksana, Inventarisasi peluang
2. Dampak Lingkungan
1
STAKEHOLDERS1
Pelaksana, membuat kebijakan dan mengambil keputusan
-
Pelaksana, membuat kebijakan dan mengambil keputusan
Pelaksana, membuat kebijakan, dan mengambil keputusan
Diidentifikasi dari 24 kebijakan terkait (Lampiran 3 no. 48 s/d 71), penelusuran literatur, hasil observasi dan wanwancara. Kembudpar 2004
C. Institusi Ekowisata di TNGH Berdasarkan hasil analisis kriteria kecukupan ekowisata, analisis stakeholders, dan analisis kebijakan ekowisata dapat disimpulkan bahwa: •
Organisasi: belum ada mekanisme yang jelas di TNGH yang mengatur pelaksanaan peran dan keterkaitan antar stakeholders. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kerjasama yang nyata antara BTNGH156 dengan PEMDA157.
156 BTNGH sudah memeiliki Ecotourism Action Plan Keiji et al. 2001) dan guide book (Triono et al. 2002; Dedi et al. 2002), RPTNGH 2004-2024, dan draft RPTNGHS 2007. 157 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor melalui Perda No. 17/2000; Perda No. 13/1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak; Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi 2006-2010 (Draft Laporan Akhir); Perda No.2/.2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi JABAR 2010; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Banten (RPJM) 2007-2012
196
Padahal kedua instansi ini sudah beberapa kali melakukan rapat koordinasi158 dan masing-masing sudah memiliki dokumen perencanaan tata ruang dan pengembangan pariwisata. Salah satu mekanisme kerjasama yang pernah disarankan Bapeda Jawa Barat (1999) ialah membentuk forum koordinasi pariwisata yang disebut Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam (KKPO-WA) untuk di tingkat nasional. Sedangkan untuk ditingkat lokal, disarankan untuk membentuk Komisi Koordinasi Pemanfaatan Wisata Daerah (KKPOD). KKPO-WA dibentuk dan ditetapkan oleh Surat Keputusan Bersama antara Departemen Kehutanan (saat itu Dephutbun) dan Departemen Pariwisata. Sedangkan KKPOD ditetapkan oleh Gubernur melalui kantor wilayah masing-masing. Persoalannya komisi ini sudah tidak aktif lagi sejak tahun 1999 karena kesulitan anggotanya untuk melakukan evaluasi program yang sudah dijalankan. Ditingkat lokal, masyarakat dan LSM sudah membentuk KSM yang siap menjadi operator lapangan. Peluang ini tidak ditangkap baik oleh BTNGH maupun PEMDA.
Tabel 56 Analisis asumsi peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata di TNGH KRITERIA KECUKUPAN EKOWISATA2 Normatif
Implementasi
Lain-lain Rekomenda si,Pelaksana , monitoring
Rekomenda si, inventarisasi, fasilitator,monitoring,pelaksana, membuat kebijakan
PERAN STAKEHOLDERS1 Pemerintah Pemerintah Masyarakat Kabupaten Provinsi Rekomendasi , informasi, monitoring, penerima manfaat
Fasilitator, Pelaksana, membuat kebijakan, mengambil keputusan, monitoring dan evaluator
Rekomendasi , informasi, monitoring, penerima manfaat, membuat kebijakan dan mengambil keputusan
Rekomendasi
Pelaksana, membuat kebijakan, mengambil keputusan, monitoring dan evaluator
Pemerintah Pusat Fasilitator, Survei dan inventarisasi, Pelaksana, membuat kebijakan, Pengambil keputusan, Koordinator Fasilitator, Survei dan inventarisasi, Pelaksana, membuat kebijakan, Pengambil keputusan,
1 Diidentifikasi dari peraturan perundangan terkait (Lampiran 3), penelusuran literatur, hasil observasi lapangan dan wawancara. 2 Kembudpar 2004
158
Lampiran 1 bagian B.
197
•
Aturan main: masih terbatasnya peraturan perundangan yang secara khusus memberikan arahan umum dan teknis/operasional. Hal ini menyebabkan masih biasnya pemahaman stakeholders mengenai perbedaan antara ekowisata dengan konsep pengembangan pariwisata lainnya. Persoalan lainnya ialah faktor para pihak yang masih rendah kesadaran hukumnya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, pengetahuan stakeholders mengenai hak dan kewajibannya yang di atur dalam peratura perundangan sangat rendah. Dalam hal pembagian peran, aturan main yang ada belum memberikan peran optimal kepada masyarakat dan Pemda. Kewenangan dan peran terbesar masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Padahal lokasi pengembangan ekowisata umumnya berada di daerah terpencil yang dekat dengan masyarakat lokal dan membutuhkan pemantauan yang ketat dari instansi pemerintah. Dari sisi masyarakat, peran yang diberikan masih bersifat pasif dan tidak mendorong mereka untuk lebih proaktif. Sehingga masing-masing stakeholders belum menjalankan fungsinya secara optimal.
•
Kinerja intitusi pengembangan ekowisata: persoalan yang terdapat dalam organisasi dan pelaksanaan aturan main mempengaruhi kinerja institusi pengembangan ekowisata. Di TNGH, hal ini dapat dilihat diantaranya dari tidak berfungsinya dokumen Ecotourism Action Plan yang disusun JICA dan BTNGH. Selain itu, hal ini juga dapat dilihat dari obyek wisata yang tidak terkelola dengan baik akibat dari kurangnya komunikasi dan koordinasi dengan instansi terkait. Persoalan lain adalah belum terbangunnya mekanisme penyelesaian konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Selama ini, konflik horisontal yang ada dalam masyarakat diselesaikan sendiri oleh mereka atau dibiarkan berlanjut karena tidak adanya mediator dari instansi yang berwenang159.
5.3.3.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan Ekowisata Tujuan dari analisis kebutuhan adalah untuk mengidentifikasi gap antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan serta kondisi seharusnya dilakukan pada konflik pengembangan ekowisata. Hasil yang diharapkan dari 159
Hasil wawancara dengan narasumber di empat lokasi studi.
198
analisis ini adalah tersusunnya alternatif penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan para pihak. Dalam studi ini, target grup dipilih berdasarkan pihak yang terkena dampak langsung dan pihak yang memberikan dampak yaitu stakeholder utama dan stakeholder kunci. Data dan informasi untuk mengidentifikasi gap antara kondisi saat ini dan yang diharapkan diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan penelusuran literatur. Berikut ini intisari hasil analisis kebutuhan: A. Stakeholder Utama 1. Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak Meskipun memiliki obyek wisata unggulan yaitu Situs Cibedug, masyarakat Desa Citorek, terutama masyarakat Kasepuhan Cibedug, tidak dilibatkan dalam program pengembangan ekowisata di TNGH. Mereka juga tidak mendapat
pendampingan baik dari LSM, Pemda maupun BTNGH untuk
mengelola situs dan melayani wisatawan. Selain itu, stakeholders kunci hampir tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi ke lokasi ini. Masyarakat mengharapkan bimbingan dan kerjasama dengan pihak lain untuk mengembangkan ekowisata. Namun, status yang masih encroachment dapat menjadi penghambat BTNGH untuk melakukan pembinaan. Disisi lain, PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD. Ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan ekowisata di lokasi ini. Pertama, status kawasan harus diselesaikan sehingga ada kejelasan instansi mana yang memiliki kewenangan dan bentuk pemanfaatan seperti apa yang dapat dilakukan di lokasi studi. Kedua, peningkatan kapasitas masyarakat dalam semua aspek pengembangan ekowisata. Ketiga, membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi.
2. Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi Di Desa Sirnarasa, sudah dibentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk mengelola kegiatan ekowisata. Karena karakteristik penduduk Desa Sirnarasa terdiri dari masyarakat Kasepuhan dan Non-Kasepuhan maka anggota KSM juga mewakili karakteristik tersebut. Namun, jumlah anggota masyarakat
199
yang terlibat masih rendah. Anggota KSM Sinar Wangi, Pangguyangan hanya 15 orang atau 0,28% dari jumlah penduduk tahun 2006160. Dalam menjalankan program pengembangan ekowisata, setelah tahap inisiasi pada tahun 1998, masyarakat hanya didampingi oleh YEH. LSM ini membantu masyarakat dalam promosi dan pemasaran kegiatan ekowisata dan mendampingi mereka jika ada persoalan internal KSM. Pendampingan, monitoring, dan evaluasi dari Pemerintah Daerah maupun BTNGH praktis tidak ada. Padahal masyarakat mengharapkan peran mereka dalam hal promosi, pembinaan, pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana. Persoalannya, berdasarkan wawancara dengan narasumber, PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD dalam mendukung kegiatan ekowisata di TNGH. Disisi lain, BNGH juga menangani program pengembangan ekowisata sebagai kegiatan yang bersifat proyek, bukan rutin. Kondisi Guesthouse yang dibangun atas kerjasama KPPETNGH sudah tidak terawat. Hal ini dikarenakan jumlah wisatawan yang meminta jasa KSM sangat sedikit. Wisatawan kebanyakan langsung berhubungan ke Kasepuhan di Ciptarasa. Disisi lain, anggota KSM juga belum cukup kuat untuk mengorganisasi diri
dan
mengelola
keuangan.
Sebagai
contoh,
di
KSM
Sinarwangi,
Pangguyangan, isu ini menjadi konflik laten antara anggotanya. Sementara itu, dana dari lembaga donor yang dikelola BTNGH untuk pengembangan ekowisata belum menyentuh kebutuhan pembinaan dan pendampingan KSM di lokasi studi serta pemeliharaan fasilitas yang diberikan oleh lembaga donor sebelumnya. Selain konflik internal, beberapa hal yang menjadi sumber persoalan diantaranya ialah adanya bias pemahaman antara masyarakat dan staf BTNGH mengenai konsep ekowisata. Selain itu, karena kurangnya promosi KSM juga kurang dikenal dibandingkan Kasepuhan. Hal lain yang menjadi sumber persoalan ialah tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat TNGH. Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja pengembangan ekowisata di lokasi ini. Pertama, melakukan program penguatan 160
Anggota KSM Sinar Wangi, Pangguyangan 15 orang (0,28% dari jumlah penduduk Desa Sirnarasa tahun 2006), KSM Warga Saluyu, Citalahab 30 orang (0,39% dari jumlah penduduk Desa Malasari tahun 2006), dan KSM Pada Asih, Leuwijamang 55 orang (1,9% dari jumlah penduduk Desa Cisarua tahun 2002). Rata-rata melibatkan 0,85% dari jumlah penduduk.
200
institusi (KSM) yang sudah ada melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Kedua, membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. Ketiga, membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi.
3. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor Saat penelitian ini dilakukan, kegiatan pengembangan ekowisata di lokasi studi praktis sudah tidak ada. Bangunan Guesthouse yang dibangun pada tahun 1997 sudah rata dengan tanah. Kondisi ini terjadi diantaranya karena jumlah pengunjung yang menurun drastis sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk gaji anggota KSM161 dan biaya perawatan fasilitas ekowisata. Selain itu, tidak adanya pendampingan, monitoring dan evaluasi dari BTNGH dan PEMDA. Selama ini, KSM hanya mendapat pendampingan dari YEH. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, masyarakat masih sangat antusias untuk mengembangkan kembali kegiatan ekowisata. Namun untuk merevitalisasi kembali KSM diperlukan peningkatan kapasitas mengenai konsep ekowisata dan kriteria kecukupannya. Selain itu, perlu membangun mekanisme kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi baik di tingkal lokal, regional dan nasional.
4. Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Lokasi pengembangan ekowisata di Kampung Citalahab Central, Desa Malasari merupakan lokasi ekowisata dengan jumlah pengunjung terbanyak. Kondisi pengembangan ekowisata di lokasi studi saat ini diwarnai oleh adanya konflik horisontal. Hal ini diantaranya disebabkan diantaranya oleh bagi hasil yang tidak transparan untuk kas desa. Selain itu, jumlah
masyarakat yang
mendapat manfaat masih dangat sedikit dan diwarnai isu nepotisme. Anggota KSM Warga Saluyu berjumlah saat terbentuk ada 30 orang atau hanya 0,39% dari jumlah penduduk Desa Malasari tahun 2006.
161
Jumlah anggota KSM Pada Asih, Leuwijamang 55 orang (1,9% dari jumlah penduduk tahun 2002).
201
Selama melakukan kegiatan operasionalnya, KSM ini hanya didampingi oleh YEH. Namun KSM ini mampu membangun kerjasama yang baik dengan LSM Absolut dan PT Perkebunan Nirmala. Selama ini KSM sanggup mendanai pemeliharaan fasilitas dan gaji anggota KSM secara swadaya dari kontribusi pengunjung yang datang. Meskipun merupakan lokasi yang mendapat pengunjung terbanyak, namun penghasilan tidak memadai
untuk
membiayai
pemeliharaan
Guesthouse
yang
dibangun
KPPETNGH. Karena itu, untuk pengunjung skala kecil ditampung di homestay milik anggota KSM. Masyarakat berharap agar anggota KSM maupun anggota masyarakat desa lainnya mendapat kesempatan yang sama. Persoalannya, instansi pemerintah yang bertugas melakukan pembinaan masyarakat luput melihat program pengembangan ekowisata di lokasi studi sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Selain itu, masyarakat juga berharap agar jumlah masyarakat yang terlibat meningkat dan kegiatan Ekowisata serta KSM dapat menjadi bagian dari program pembangunan desa sehingga mendapat dukungan dari semua warganya. Persoalannya, keterbatasan pengetahuan mengenai konsep ekowisata dan kesamaan persepsi
semua anggota masyarakat maupun aparat desa terhadap
prospek pengembangan ekowisata belum ada. Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja pengembangan ekowisata di lokasi studi. Pertama, melakukan penguatan institusi yang ada melalui peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat yang lebih luas. Kedua, membangun mekanisme kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi di tingkal lokal, regional dan nasional. Hasil analisis kebutuhan stakeholder utama dalam pengembangan ekowisata dirangkum dan disajikan pada Tabel 57.
B. Stakeholder Kunci Seperti dalam pengurusan hutan di TNGH, stakeholder kunci yang dianalisis ada dua kelompok yaitu instansi yang berwenang dalam pengembangan ekowisata di TNGH. Kedua instansi tersebut ialah PEMDA sebagai instansi yang
Tabel 57 Analisis kebutuhan stakeholders utama dalam pengembangan institusi ekowisata GAP1
LOKASI STUDI
Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
KONDISI SAAT INI
a. b.
c. d. e.
Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
a. b. c. d. e.
Masyarakat tidak dilibatkan Tidak ada pendampingan baik dari LSM, Pemda maupun BTNGH Pengelolaan situs dan wisatawan terbatas Fasilitas untuk wisatawan terbatas Tidak ada monitoring dan evaluasi dari stakeholders kunci
Masyarakat mendapat bimbingan dan dapat bekerjasama dengan pihak lain untuk mengembangkan ekowisata
Jumlah masyarakat yang terlibat masih rendah Hanya didampingi oleh YEH Pendanaan swadaya tapi tidak cukup Guesthouse sudah tidak terawat Wisatawan langsung ke Kasepuhan tidak ke KSM
a.
a. b.
c.
b. c.
Adanya peningkatan partisipasi dan kerjasama antara masyarakat kasepuhan dan non kasepuhan Pembinaan dari instansi Pemda dan BTNGH Kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan dan penyediaan sarana dan prasarana
LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN2
SUMBER PERSOALAN
KONDISI YANG DIHARAPKAN
a. b. c.
d. e.
Status encroachment dari BTNGH BTNGH tidak melibatkan masyarakat pada tahap perencanaan dan pengelolaan PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD
a.
Adanya bias pemahaman konsep ekowisata. KSM kurang dikenal dibandingkan Kasepuhan Tidak ada monitoring dan evaluasi dari stakeholders kunci PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD; BTNGH tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat TNGH.
a.
b. c.
b.
c.
d.
Penyelesaian status kawasan sehingga ada kejelasan kewenangan dan bentuk pengelolaan. Peningkatan kapasitas masyarakat. Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi. Penguatan eksisting institusi (KSM) Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi.
Keterangan: 1hasil wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1); 2 hasil penelusuran literatur (lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1).
202
Tabel 57 Analisis kebutuhan stakeholders utama dalam pengembangan ekowisata (lanjutan...) GAP1 LOKASI STUDI Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
KONDISI SAAT INI a. b. c.
d.
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
a. b. c. d.
e.
Jumlah masyarakat yang terlibat masih rendah Hanya didampingi oleh YEH Pendanaan swadaya tapi tidak cukup dan akhirnya KSM bubar Guesthouse sudah tidak ada
a.
Jumlah masyarakat yang terlibat masih rendah Konflik horisontal Hanya didampingi oleh YEH Kerjasama dengan Absolut dan PT Perkebunan Nirmala Guesthouse tidak terawat beralih ke homestay
a.
b. c.
b. c.
KONDISI YANG DIHARAPKAN Pembinaan dari instansi Pemda dan BTNGH Revitalisasi KSM Kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan dan penyediaan sarana dan prasarana
Adanya kerjasama dengan kelompok masyarakat yang lain dan Pemerintah Desa Pembinaan dari instansi Pemda dan BTNGH Kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan dan penyediaan sarana dan prasarana
LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN2
SUMBER PERSOALAN a.
b. c.
a. b.
c. d.
Tidak ada monitoring dan evaluasi dari stakeholders kunci PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD; BTNGH tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat TNGH.
a. b.
Adanya bias pemahaman konsep ekowisata. Tidak ada monitoring dan evaluasi dari stakeholders kunci PEMDA tidak melihat adanya keuntungan PAD; BTNGH tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat TNGH.
a.
c.
b.
c.
Revitalisasi KSM Peningkatan kapasitas para pihak dalam pengembangan ekowisata. Membangun mekanisme kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi di tingkal lokal, regional dan nasional. Penguatan eksisting institusi (KSM) Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Membangun mekanisme kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi di tingkal lokal, regional dan nasional.
Keterangan: 1hasil wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1); 2 hasil penelusuran literatur (lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1).
203
204
memiliki tugas dan kewenangan dalam hal pembinaan masyarakat dan pengelolaan obyek wisata, dan BTNGH. Berdasarkan analisis kebutuhan, baik PEMDA maupun BTNGH memiliki dua kebutuhan untuk dipenuhi agar dapat berkontribusi optimal terhadap pengembangan ekowisata. PEMDA membutuhkan kejelasan manfaat yang dapat diperoleh daerah untuk mendukung pengembangan ekowisata di TNGH mengingat pengelolaan taman nasional merupakan kewenangan pusat. Kejelasan manfaat ini sebenarnya dapat diwujudkan dalam mekanisme pembagian peran dan hasil yang saling menguntungkan. Jika mekanisme ini sudah disepakati, maka dapat disusun program pembangunan dan kerjasama. Persoalannya, sampai saat ini komunikasi antara PEMDA dan BTNGH belum terbangun dengan baik sehingga menumbuhkan kesepahaman dan saling percaya. PEMDA juga selama ini bersikap pasif. Padahal menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah162, PEMDA bertugas melakukan pelayanan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan BTNGH dalam pengembangan ekowisata yang teridentifikasi adalah kebutuhan akan sumberdaya dan kerjasama dengan para pihak. Seperti dalam isu pengurusan hutan, kendala BTNGH dalam mengembangkan ekowisata adalah keterbatasan sumberdaya manusia, dana, serta sarana dan prasarana. Masih terbatasnya pengetahuan personil BTNGH terhadap konsep ekowisata dan implementasinya membuat program pengembangan ekowisata tidak terarah. Kondisi ini kadang dimanfaatkan oleh lembaga donor untuk mengintervensi penggunaan dana hibah untuk kegiatan yang sesungguhnya bukan kebutuhan prioritas di lapangan. Sebagai contoh, penyusunan dokumen Ecotourism Action Plan dan buku panduan dalam bahasa Inggris misalnya. Dokumen ini tidak dapat digunakan oleh para pihak yang saat itu sudah menjalankan roda kegiatan ekowisata di TNGH. Selain kendala bahasa, program aksi yang disusun tidak sesuai dengan arahan kebijakan pengembangan pariwisata di atasnya. Sebagai contoh, program aksi yang disusun dalam dokumen Ecotourism Action Plan hanya mengandalkan peran LSM, peneliti, masyarakat dan BTNGH sendiri. Tidak ada opsi program maupun peran yang melibatkan pihak PEMDA dan swasta. 162
Pasal yang menyebutkan tugas dan kewenangan PEMDA ini diantaranya pasal 1,2, 13, 14, 22, 27,126, dan 127.
205
Isi dari dokumen tersebut tidak mencerminkan kebutuhan BTNGH yang sangat membutuhkan dukungan dan kerjasama dari PEMDA maupun swasta. Banyak aspek-aspek pengembangan ekowisata yang tidak tertangani karena terbatasnya personil dan dana BTNGH. Persoalannya, kualitas dan kuantitas komunikasi yang selama ini dibangun tidak berjalan dengan baik. Juga tidak terbangunnya rasa saling percaya diantara para pihak terutama pembagian retribusi kawasan. Karena itu perlu dibuat mekanisme kerjasama yang disepakati dan menguntungkan para pihak. Analisis kebutuhan stakeholders kunci dalam pengembangan ekowisata di TNGH dirangkum dan disajikan pada Tabel 58.
5.3.4 Implikasi Pengembangan Ekowisata Terhadap Konflik di TNGH Mengacu pada karakteristik konflik yang disajikan pada Tabel 27, ada empat penyebab konflik di TNGH. Keempat konflik tersebut ialah perbedaan sistem nilai, ketidaksepakatan status lahan, ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses terhadap SDA. Berdasarkan karakteristik konflik tersebut dan penjelasan konsep ekowisata serta implementasinya di TNGH, dapat disimpulkan bahwa ekowisata memberikan implikasi terhadap penyelesaian konflik di TNGH baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan ekowisata memberikan implikasi secara langsung terhadap konflik keterbatasan akses. Sedangkan terhadap ketiga konflik lainnya, ekowisata memberikan implikasi secara tidak langsung. Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik ketidakpastian akses yaitu dengan terjembataninya pencapaian kebutuhan dasar bagi masyarakat (lapangan kerja dan penghasilan tambahan) dan kebutuhan organisasi bagi BTNGH (konservasi). Dari sisi masyarakat, hal yang mendasar dari konflik ini adalah tuntutan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dan pengakuan terhadap eksistensi/perannya dalam pengelolaan SDA. Sedangkan dari sisi BTNGH, masyarakat dapat
mengakses SDA di TNGH
hanya untuk kegiatan yang
mendukung konservasi yang ditetapkan undang-undang. Sementara kewenangan tetap berada di tangan pemerintah.
Tabel 58 Analisis kebutuhan stakeholders kunci dalam pengembangan ekowisata GAP1 STAKEHOLDER BTNGH
KONDISI SAAT INI Terbatasnya SDM, dana, sarana dan prasarana
Rendahnya dukungan para pihak
KONDISI YANG DIHARAPKAN Personil yang memahami konsep dan implementasi ekowisata Tersusunnya program pengembangan ekowisata yang lebih terarah untuk mencapai tujuan konservasi dan ekonomi Terbangunnya kesepahaman para pihak
-
-
PEMDA
Pengembangan ekowisata di TNGH dianggap tidak memberikan kontribusi PAD kepada PEMDA Belum ada program pembangunan PEMDA yang diarahkan untuk mendukung pengembangan ekowisata di TNGH
Keterbatasan pengetahuan personil BTNGH mengenai konsep ekowisata Program pengembangan ekowisata tidak terarah dan kuatnya intervensi lembaga donor Terbatasnya lembaga donor dan pihak swasta yang mau berinvestasi
-
-
Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan dengan para pihak
LANGKAH PENYELESAIAN YANG DIBUTUHKAN2
SUMBER PERSOALAN
-
Kualitas dan kuantitas komunikasi yang tidak berjalan dengan baik Tidak terbangunnya rasa saling percaya diantara para pihak Belum ada mekanisme kerjasama yang saling menguntungkan para pihak
Perlu dibangun mekanisme yang menguntungkan semua pihak
-
Belum terbangunnya rasa saling percaya dan kesepahaman yang saling menguntungkan
-
-
Para pihak tidak memahami posisi dan peran yang harus dan dapat dikontribusikan pada pihak lain
-
-
Dipahaminya konsep ekowisata oleh PEMDA Perlu melakukan rapat kerja untuk menyelaraskan program pembangunan
-
Peningkatan kapasitas mengenai konsep ekowisata Penguatan eksisting institusi (KSM) Membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi.
Peningkatan kapasitas mengenai konsep Membangun mekanisme kerjasama di tingkal lokal, regional dan nasional. Membangun kerjasama dengan pihak lain untuk promosi, pendanaan, penyediaan sarana prasarana, monitoring dan evaluasi.
Keterangan: 1hasil wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1); 2 hasil penelusuran literatur (lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan (lampiran 1).
206
207
Sebagai konsep operasional dari pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan akses masyarakat dapat diakomodasikan dengan melibatkan mereka secara aktif dalam setiap tahap pengembangannya. Masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai penonton atau obyek tontonan/wisata, tetapi sebagai operator/pelaksana, pemilik dan pengambil keputusan. Sebagai operator dan pemilik, jasa yang diberikan masyarakat kepada wisatawan dapat menghasilkan pendapatan (income) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan sebagai bagian dari pengambil keputusan, masyarakat dapat menjalankan fungsi kontrolnya. Untuk kasus pengembangan ekowisata di TNGH, pada tahun pertama ekowisata
dapat memberikan peluang lapangan kerja yang baru, pendapatan
tambahan, dan peningkatan kapasitas masyarakat yang terlibat aktif di KSM. Namun pada tahun-tahun selanjutnya, proses pengembangan ekowisata ini seperti menuju ke titik nol. Berdasarkan analisis kriteria kecukupan ekowisata, ditemukan indikasi bahwa pemenuhan kriteria kecukupan pengembangan ekowisata di lokasi studi tidak optimal. Sedangkan hasil analisis institusi dalam studi ini menunjukkan 3 hal yang menyebabkan pengembangan ekowisata tidak berjalan dengan baik. Ketiga hal tersebut ialah hubungan antar stakeholder yang tidak berjalan dengan baik,
peraturan perundangan yang secara khusus dapat diacu untuk
mengembangan ekowisata sangat terbatas dan belum memadai, dan tidak optimalnya peran stakeholders dalam mendukung pengembangan ekowisata di lokasi studi. Pengembangan ekowisata memberikan implikasi secara tidak langsung terhadap penyelesaian konflik perbedaan sistem nilai, ketidaksepakatan status lahan dan tata batas. Untuk konflik perbedaan sistem nilai, dalam pengembangan ekowisata adanya apresiasi terhadap kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam lestari. Pengetahuan ini dapat digunakan sebagai materi pembelajaran bagi wisatawan dan staf BTNGH. Selain itu, dengan pemahaman terhadap kearifan lokal ini, BTNGH dapat membangun kerjasama dengan masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang sesuai dengan tujuan konservasi kawasan.
208
Untuk konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas, pengembangan ekowisata membutuhkan kepastian ruang. Kepastian ruang ini dibutuhkan untuk memberikan kejelasan pembagian kewenangan dalam mengelola, penyediaan lokasi sarana prasarana dan investasi. Di TNGH, kebutuhan akan kepastian ruang ini dapat dipenuhi jika konflik status lahan dan tata batas dengan masyarakat sudah diselesaikan. Implikasi lain dari pengembangan ekowisata terhadap penyelesaian konflik ialah sebagai salah satu media untuk membangun komunikasi & hubungan antar stakeholders yang konstruktif. Implikasi pengembangan ekowisata terhadap penyelesaian konflik di TNGH dirangkum dan disajikan pada Tabel 59.
Tabel 59 Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik KONFLIK 1. Perbedaan sistem nilai
IMPLIKASI Mendukung pelestarian sistem nilai lokal sebagai materi pembelajaran bagi wisatawan
2. Ketidaksepakatan status lahan 3. Ketidaksepakatan tata batas
Mendorong penyelesaian status lahan untuk kepastian pembagian kewenangan, manajemen pengelolaan, dan investasi.
4. Ketidakpastian akses
Menjembatani pencapaian kebutuhan dasar bagi masyarakat (lapangan kerja dan penghasilan tambahan) dan kebutuhan organisasi bagi BTNGH (konservasi).
Sumber: Hasil analisis
Agar pengembangan ekowisata di lokasi studi dapat berkontribusi terhadap konflik yang ada, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan seperti yang diindikasikan pada analisis kebutuhan. Untuk itu, dalam disertasi ini dibangun suatu model pengembangan institusi ekowisata yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya. Sebagai bagian dan hasil dari penelitian ini, penyusunan model pengembangan ekowisata disajikan secara khusus pada Bab VI.
VI. MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, konflik di TNGH ditinjau dari aspek institusi disebabkan oleh kurangnya peran dan kapasitas stakeholders dalam penyelesaian konflik. Selain itu, peraturan perundangan yang ada tidak dapat menjawab persoalan konflik hak dan akses. Untuk itu dibutuhkan suatu model163 pengembangan dan penguatan institusi yang sudah ada agar intensitas konflik dapat berkurang. Ekowisata merupakan bagian dari institusi pengelolaan taman nasional yang sudah ada di lokasi studi. Secara empiris pengembangan ekowisata terbukti dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik akses. Untuk itu, model institusi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini ialah model pengembangan institusi ekowisata. Secara konseptual, model yang akan dibangun seperti yang digambar pada Gambar 10. Dalam konsep tersebut digambarkan bahwa ada dua faktor yang membentuk institusi yaitu stakeholders dan aturan main. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh situasi atau kondisi yang ada. Sebaliknya, institusi ini juga dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan menghasilkan kinerja diantaranya berupa konflik(A). Untuk memperbaiki kinerja institusi tersebut, diperlukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi yang ada sehingga diperoleh kinerja yang lebih baik seperti berkurangnya konflik atau bahkan terselesaikannya konflik yang ada (A’). Perubahan yang perlu dilakukan dari stakeholder ialah
persoalan
peningkatan peran dan kapasitas. Sedangkan dari faktor aturan main, perbaikan yang perlu dilakukan ialah persoalan ruang dan pembagian kewenangan.
6. 1 Peningkatan Peran Stakeholders Sejak
tahap
inisiasi
program,
partisipasi
stakeholders
dalam
pengembangan ekowisata di TNGH selama ini sangat terbatas164. Di Kasepuhan
163
Model adalah suatu deskripsi yang mengekspresikan alternatif-alternatif mengenai representasi beberapa aspek dalam kondisi nyata yang disederhanakan. (Hokey & Zeckhauser 1978;22-23) 164 Pada tahun 1995 terbentuk sebuah Konsorsium Program Pengembangan Ekowisata TNGH. Anggotanya terdiri dari LSM (BSCc, WPTI), BTNGHS, Institusi Pendidikan (UI) dan swasta, McDonald (Sproule dan Suhandi, 1998:229-231).
209
210
Cibedug, masyarakat lokal dan pemerintah daerah tidak dilibatkan dalam pengembangan ekowisata. Sedangkan ditiga lokasi lainnya,
tidak adanya
partisipasi PEMDA dan instansi pemerintah pusat berimplikasi pada keberlanjutan program ekowisata yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat pada rusaknya fasilitas ekowisata dan tidak berjalannya organisasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang dibangun pada tahap inisiasi. Kondisi ini terjadi disemua lokasi studi.
KONDISI INSTITUSI
A
ATURAN MAIN (Ruang & Kewenangan)
A
A’
A’ A
PERILAKU STAKEHOLDERS A’
A’
KINERJA INSTITUSI A
A
STAKEHOLDERS
A’
(Peran & Kapasitas)
LOKASI STUDI
A’
A’
A
A’ Feed back
Keterangan: A = kondisi institusi saat penelitian dilakukan A’= kondisi institusi ekowisata setelah dikembangkan A Æ A’ Æ Konflik berkurang/menurun/tidak ada
Gambar 10 Konsep pengembangan model institusi ekowisata
Sebagai sebuah konsep operasional dari pariwisata yang berkelanjutan, pengembangan ekowisata membutuhkan keterlibatan semua pihak baik di tingkat pusat maupun lokal. Berdasarkan hasil analisis stakeholder diketahui bahwa keterlibatan
para
pihak
yang
memiliki
hak
dan
kewenangan
dengan
pengembangan ekowisata masih sangat terbatas. Untuk mengetahui siapa saja yang kemudian perlu dilibatkan maka dilakukan identifikasi terhadap peraturan perundangan yang ada dan observasi lapangan. Dalam model ini stakeholder
Pada saat pelaksanaan hanya LSM, BTNGHS dan beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat yang terlibat. Lembaga Donor seperti JICA hanya bekerja dengan BTNGHS atau LSM.
211
diidentifikasi berdasarkan peran dan kewenangannya dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata. Berikut uraian masing-masing kategori stakeholders: 1. Masyarakat lokal Berdasarkan peraturan perundangan, umumnya peran yang diberikan kepada masyarakat didominasi peran yang bersifat pasif. Misalnya pemberian saran, informasi, atau obyek dalam program yang diinisiasi pihak luar. Hasil analisis asumsi (Tabel 56) mengindikasikan bahwa masyarakat mampu untuk bersikap proaktif. Misalnya menjadi fasilitator diantara anggotanya, membuat kebijakan dan mengambil keputusan ditingkat lokal. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan telaah literatur, ada lima unsur masyarakat yang dapat berperan dalam pengembangan ekowisata. Kelima unsur tersebut ialah individu, aparat desa, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), perwakilan lembaga adat, dan perwakilan organisasi lokal. Unsur-unsur masyarakat ini dapat dilibatkan dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata berikut ini: a. Kriteria 1 penetapan tujuan : semua unsur masyarakat dapat terlibat dalam penetapan tujuan pengembangan ekowisata di wilayahnya. Berdasarkan peraturan
perundangan,
kelembagaan
desa
dapat
merepresentasikan
masyarakat. Namun peran lembaga ini tidak cukup berpengaruh bagi komunitas adat kasepuhan di Cibedug dan Ciptarasa. Karena itu lembaga adat perlu diberi ruang dalam proses pengambilan keputusan dalam menentukan tujuan. b. Kriteria 2 partisipasi masyarakat : semua unsur masyarakat dapat berperan aktif di semua level partisipasi. Keterlibatan ini dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap program yang sedang dikembangkan. c. Kriteria 3 produk ekowisata: perwakilan BPD, aparat desa, dan lembaga adat dapat berperan dalam menegosiasikan produk wisata apa saja diwilayahnya yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Hasil negosiasi sebaiknya disertai dengan rumusan pembagian hasil dan kewenangan pengelolaan yang sesuai para pihak. d. Kriteria 4 dampak terhadap ekonomi lokal: semua unsur masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berperan aktif dalam menyediakan fasilitas,
212
produk maupun jasa untuk mendukung kegiatan ekowisata. Perlu ada kesepakatan ditingkat lokal agar pendapatan yang diperoleh dapat dirasakan secara merata oleh semua unsur masyarakat. Namun demikian, masyarakat juga perlu memiliki standar minimum kualitas pelayanan yang sama untuk diberikan kepada wisatawan. e. Kriteria 5 dampak lingkungan : semua unsur masyarakat dapat dan harus berperan aktif dalam menjaga kualitas lingkungan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan TNGH. Selain untuk mendukung program konservasi, dalam kegiatan ekowisata, lingkungan yang bersih dan alami merupakan daya tarik utama para wisatawan ekowisata (ecoturists).
2. Pemerintah Kabupaten/Propinsi Berdasarkan peraturan perundangan, tugas pokok Pemerintah Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten, adalah mendorong pengembangan kawasan pariwisata. Tugas ini dilakukan diantaranya dengan melakukan sosialisasi program pemerintah, penegakan hukum, pembinaan, monitoring dan evaluasi serta rekomendasi izin pariwisata. Selain peran-peran tersebut, PEMDA dapat dijadikan sebagai partner dalam pengembangan ekowisata. Misalnya, dengan bekerjasama membangun sarana prasarana daerah di daerah tujuan wisata sekitar TNGH. Namun faktanya sebagian besar peran PEMDA ini tidak dilakukan. Karena itu perlu dilakukan revitalisasi peran PEMDA tersebut. Berdasarkan observasi dan telaah literatur, ada sepuluh unsur PEMDA yang dapat berperan. Kesepuluh unsur ini ialah; 1) Kepala Daerah (Bupati/Gubernur), 2) Sekretariat Daerah, 3) Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA), 4) Dinas Pariwisata, 5) Dinas Kehutanan, 6) Dinas Sosial, 7) Dinas Lingkungan, 8) Badan Pengenali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), 9) Aparat keamanan (TNI dan POLRI), dan 10) Lembaga Legislatif (DPRD). Berikut peran masing-masing unsur PEMDA tersebut dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata: a. Kriteria 1 penetapan tujuan : Bupati/Gubernur sebagai pengambil keputusan, Sekretariat Daerah sebagai lembaga koordinasi ditingkat daerah, BAPPEDA sebagai lembaga perencana dan penyusun kebijakan pembangunan daerah,
213
serta lembaga legislatif (DPRD) sebagai lembaga yang memberikan persetujuan atas usulan program pembangunan daerah. b. Kriteria 2 partisipasi masyarakat: semua unsur instansi daerah yang terkait, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, dapat melibatkan masyarakat dalam program yang relevan dengan kegiatan ekowisata. c. Kriteria 3 produk ekowisata: karena produk ekowisata di lokasi studi berupa wisata alam, wisata agro, wisata budaya dan sejarah maka Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Dinas Sosial merupakan instansi daerah yang relevan untuk dilibatkan. Kerjasama antar dinas terkait ini dapat dilakukan dengan membentuk Komisi Kerjasama Pengembangan Obyek Wisata Alam/Daerah (KKPOWA/D). Bupati/Gubernur dilibatkan sebagai pengambilan keputusan tertinggi di daerah. d. Kriteria 4 dampak terhadap ekonomi lokal : berdasarkan peraturan perundangan Bupati/Gubernur, Sekretariat Daerah, dan BAPEDA merupakan pejabat dan instansi daerah yang memiliki kewenangan dalam menentukan arah pengembangan ekonomi daerah. Dinas yang terkait dengan kegiatan pariwisata dapat memberikan masukan kepada pejabat dan instansi tersebut. e. Kriteria 5 dampak lingkungan: ada tiga unsur PEMDA yang bidang kerjanya relevan dengan isu dampak lingkungan yaitu Dinas Lingkungan Hidup, BAPEDALDA, Dinas Sosial dan parat keamanan. Selain itu diperlukan keterlibatan Sekretariat Daerah sebagai lembaga yang mengkoordinasikan peran ketiga instansi tersebut. Untuk mendukung pemenuhan kriteria ini perlu juga ditetapkan tim monitoring dan evaluasi yang dapat bekerja secara rutin.
3. Pemerintah Pusat Menurut
INPRES
No.16/2005
tentang
Kebijakan
Pembangunan
Kebudayaan dan Pariwisata, semua unsur di pemerintahan pusat mempunyai peran dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan observasi dan analisis kebijakan terhadap peraturan perundangan yang terkait, ada sembilan unsur pemerintah pusat yang dapat berperan dalam pengembangan ekowisata. Kesembilan unsur ini ialah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Debudpar), Departemen Kehutanan/BTNGHS, Departemen
Dalam Negeri (Depdagri),
214
Departemen Sosial (Depsos), Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Keuangan
(Depkeu),
Kementerian
Pemukiman
dan
Prasarana
Wilayah
(Kimpraswil), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Aparat Keamanan (TNI dan POLRI). Peran instansi Pemerintah Pusat dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata: a. Kriteria 1 penetapan tujuan : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk penetapan tujuan ekowisata secara umum, Departemen Kehutanan untuk penetapan tujuan ekowisata di taman nasional, Departemen Dalam Negeri untuk sosialisasi penetapan tujuan ini kepada Pemerintah Daerah, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai lembaga koordinasi ditingkat pusat. b. Kriteria 2 partisipasi masyarakat: semua unsur instansi pusat yang relevan. c. Kriteria 3 produk ekowisata: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk penetapan produk ekowisata secara umum, Departemen Kehutanan untuk penetapan produk ekowisata di taman nasional, Departemen Dalam Negeri untuk sosialisasi produk ekowisata kepada Pemerintah Daerah, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai lembaga koordinasi ditingkat pusat. d. Kriteria 4 dampak terhadap ekonomi lokal : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk pengembangan sistem pengelolaan ekowisata, Departemen Kehutanan untuk penetapan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk ekowisata, Departemen Keuangan untuk kebijakan insentif bagi pengembang, dan Departemen Dalam Negeri untuk sosialisasi dampak ekonomi ekowisata kepada Daerah. e. Kriteria 5 dampak lingkungan: Aparat keamanan (TNI/POLRI) untuk penegakan
hukum,
Departemen
Kebudayaan
dan
Pariwisata
untuk
pengembangan protokol pengelolaan, Departemen Kehutanan untuk penetapan zonasi dan daya dukung lingkungan, Kementerian Prasarana dan Sarana Wilayah (Kimpraswil) untuk pedoman pemintakatan/zonasi kawasan, Kementerian Lingkungan Hidup untuk indikator dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri untuk sosialisasi kepada Pemerintah Daerah, dan
215
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai lembaga koordinasi ditingkat pusat.
4. Stakeholder Pendukung (Lainnya) Pada kategori ini ada enam kelompok yang dapat dilibat dalam pengembangan ekowisata. Keenam kelompok tersebut ialah : individu (peneliti, atau praktisi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Swasta atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), lembaga donor atau keuangan (Bank), Institusi Pendidikan. Peran yang dimandatkan kepada kelompok diantaranya sebagai pelaksana, pemberian modal usaha, jasa konsultasi, fasilitasi dan pengembangan program pelatihan. Berikut unsur stakeholder pendukung yang dapat dilibatkan dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata berdasarkan analisis kebijakan normatif dan observasi lapangan: a. Kriteria 1 penetapan tujuan : LSM, Swasta atau Asosiasi dapat memberikan masukan. b. Kriteria 2 partisipasi masyarakat: semua pihak c. Kriteria 3 produk ekowisata: LSM dan Asosiasi d. Kriteria 4 dampak terhadap ekonomi lokal : semua pihak e. Kriteria 5 dampak lingkungan: semua pihak. Model peningkatan partisipasi dan peran stakholders ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 60.
6.2 Peningkatan Kapasitas Stakeholder Hasil analisis institusi dan kecukupan ekowisata mengindikasikan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tidak optimalnya institusi yang ada ialah lemahnya kapasitas sumberdaya manusia. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai hak, kewajiban dan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada merupakan hal yang cukup menonjol. Hal lain yang perlu diperhatikan pemahaman mengenai pentingnya mempelajari koneksitas atau keterkaitan antar kebijakan sektoral yang ada sehingga sumber konflik akibat pengetahuan yang tidak sama dapat dikurangi.
Tabel 60 Peningkatan partisipasi dan peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata STAKEHOLDERS 1. Masyarakat
2. Pemerintah Kabupaten/ Provinsi
3. Pemerintah Pusat
4. Lainnya
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Individu/ semua unsur masyarakat Aparat Desa Badan Perwakilan Desa Lembaga Adat Organisasi Lokal Bupati/Gubernur Sekretariat Daerah Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Dinas Pariwisata Dinas Kehutanan Dinas Sosial Dinas Lingkungan Badan Pengenali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Aparat Keamanan (TNI dan POLRI) Lembaga Legislatif (DPRD) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kehutanan/BTNGH Departemen Dalam Negeri Departemen Sosial Kementerian Lingkungan Hidup Departemen Keuangan Kimpraswil Aparat Keamanan (TNI dan POLRI) Individu (peneliti, praktisi) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Swasta atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah Lembaga Donor atau Keuangan (Bank) Institusi Pendidikan Asosiasi
1 * o o o * o o *
o o * * *
KRITERIA KECUKUPAN 2 3 4 5 * o * o o o o o o o o o o o o o o o * * * o o o o * o o o o o o o * o * *
*
* * * o *
*
*
* *
*
* * * o o *
o * * o
* *
KETERANGAN Kriteria 1 = Penetapan Tujuan Kriteria 2 = Partisipasi Masyarakat Kriteria 3 = Produk Ekowisata Kriterai 4 = Dampak terhadap Ekonomi Lokal Kriteria 5 = Dampak Lingkungan * = berdasarkan kebijakan normatif o = berdasarkan kondisi di lokasi studi
o * * o *
* o
*
o
* * * * o
* * o o * o o o
216
217
Dalam konteks pengembangan ekowisata, berdasarkan analisis kriteria kecukupan
ekowisata,
dapat
disimpulkan bahwa
ada
bias pemahaman
mengenai ekowisata. Hal ini dapat dilihat dari adanya gap informasi yang diberikan oleh responden dengan informasi yang diperoleh dari dokumen. Berdasarkan hasil analisis tersebut, untuk peningkatan kapasitas ada tiga substansi pokok yang perlu dipahami oleh para stakesholders. Ketiga hal tersebut ialah pemahaman mengenai peraturan perundangan yang terkait baik ditingkat pusat maupun lokal, pemahaman terhadap konsep ekowisata beserta implementasinya, dan pemahaman tentang teknik pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata. Program peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pembinaan. Kegiatan ini dapat dilakukan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh LSM atau lembaga pendidikan. Sumber pendanaan kegiatan ini dapat diperoleh baik dari APBN, APBD maupun donor. Berdasarkan analisis kebijakan mengenai peran dan kewenangan stakeholders dalam pemenuhan kriteria ekowisata, ada enam instansi pemerintah daerah dan delapan instansi pemerintah pusat. yang dapat menjadi penanggung jawab peningkatan kapasitas stakeholders. Keenam instansi pemerintah daerah tersebut ialah Sekda, Bapeda, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup, dan Bapedalda. Sedangkan kedelapan instansi pemerintah pusat ialah Dephut/BTNGHSS, Debudpar, Depdagri, KLH, Bappenas, Depsos, Kimpraswil, dan Depkeu. Rekomendasi ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 61.
6.3 Pengaturan Ruang dan Kewenangan Pengaturan ruang dan kewenangan dibutuhkan dalam pengembangan ekowisata. Selain untuk mengatur pergerakan aktivitas wisatawan dan penyediaan sarana prasarananya juga untuk keamanan investasi pengembangan ekowisata. Di TNGH, kejelasan ruang dan kewenangan untuk pengembangan ekowisata belum tercapai karena fakta masih adanya konflik lahan dan tata batas dengan masyarakat lokal. Selain itu, kejelasan status kepemilikan obyek wisata antara BTNGH versus Pemerintah Daerah juga perlu diselesaikan. Berdasarkan hasil observasi lapangan, kegiatan ekowisata membutuhkan ruang baik di dalam kawasan TNGH maupun di kawasan sekitarnya. Kedua
218
kawasan ini secara normatif berada dibawah kewenangan instansi pemerintah yang berbeda (Gambar 11). Kawasan TNGH merupakan kawasan yang kewenangannya berada di Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Balai Taman Nasional Gunung Halimun (sekarang BTNGHS) merupakan unit pelaksana teknis dari departemen tersebut. Sedangkan kawasan sekitar TNGH kewenangannya berada dimasing-masing kepala daerah.
Tabel 61 Model pengembangan kapasitas stakeholder SUBSTANSI
PENANGGUNG JAWAB1 PEMDA PEMERINTAH PUSAT
1. Kebijakan a. Kebijakan Taman Nasional
b. Kebijakan Pariwisata
Departemen Kehutanan BAPEDA, Dinas Pariwisata
2. Konsep Ekowisata dan Implementasinya
3. Pemenuhan Kriteria Kecukupan Ekowisata a. Penetapan Tujuan • Konservasi SDA • Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan b. Partisipasi Masyarakat • Metode dan model partisipasi • Penguatan Organisasi, dll
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Kehutanan
Sekda, BAPEDA, Dinas Pariwisata
Debudpar, Dephut, Depdagri, KLH, Bappenas
BAPEDA, Dinas terkait
Debudpar, Dephut, Depdagri, KLH, Depsos, Kimpraswil
Sekda, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial
Debudpar, Dephut, Bappenas
d. Dampak Ekonomi Lokal • Jenis usaha dan teknik pemasaran pariwisata • Valuasi ekonomi SDA • Sistem pengelolaan usaha pariwisata skala kecil
Sekda, Bapeda
Debudpar, Dephut, Bappenas, Depkeu, Kimpraswil
e.
Sekda, Dinas Sosial, Debudpar, Dephut, Dinas LH, Bapedalda, Depsos, Bappenas, KLH, Kimpraswil
c.
1
Produk Ekowisata • Teknik interpretasi • Pendidikan lingkungan hidup
Dampak Lingkungan • Analisis dampak lingkungan • Variabel dan indikator dampak
Berdasarkan hasil analisis kebijakan normatif mengenai peran dan kewenangan stakeholders
219
Lokasi pengembangan ekowisata Lokasi obyek wisata dan fasilitas terbatas
TNGH (Kawasan Konservasi)
Kawasan Budidaya
Lokasi obyek wisata serta pembangunan sarana dan prasarana
Gambar 11 Konsep pengembangan kebutuhan ruang untuk ekowisata
A. Pengaturan Ruang Tata cara pengaturan ruang diidentifikasi dari hasil analisis kebijakan, literatur pendukung serta observasi lapangan. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, diketahui bahwa kawasan taman nasional dapat dibagi kedalam empat kategori zonasi. Tiga zona diantaranya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan ekowisata. Ketiga zona tersebut ialah zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Di dalam zona lainnya ada tiga sub-zona yaitu zona tradisional, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Sedangkan di luar kawasan taman nasional, ada kawasan penyangga. Persoalannya di TNGH, sampai dengan saat studi ini dilakukan, belum memiliki zonasi. Disisi lain, masyarakat adat kasepuhan sudah memiliki konsep pengelolaan hutan. Kawasan hutan milik adat dibagi menjadi 3 yaitu: leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Masing-masing dibagi dengan kriteria dan ketentuan yang hampir serupa dengan pembagian zonasi di taman nasional. Hal ini dapat dilihat pada uraian di halaman 98. Karena itu, langkah pertama untuk menyusun model pengaturan ruang ialah dengan membuat konsep pembagian ruang berdasarkan pendekatan normatif dan budaya. Konsep ini disajikan pada Tabel 62.
220
Tabel 62 Konsep pembagian ruang berdasarkan peraturan perundangan versus masyarakat kasepuhan KONSEP RUANG NORMATIF1 1. Zona Inti168 2. Zona Rimba169 3. Zona Pemanfaatan170 4. Zona lainnya171 a. Zona Tradisional b. Zona Religi, budaya dan sejarah c. Zona Khusus
Leuweung Kolot165 X
KONSEP RUANG MENURUT MASYARAKAT KASEPUHAN Leuweung Leuweung Titipan166 Sampalan167
Zona Permukiman
X X X X X
X
1
berdasarkan Pasal 32-34 UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Berdasarkan konsep pembagian ruang pada Gambar 11 dan Tabel 62, maka pengaturan ruang yang dapat direkomendasikan pada masing-masing lokasi studi ialah sebagai berikut: 1) Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Ada dua opsi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa lahan dan tata batas di lokasi ini. Pertama, jika lahan dipertahankan tetap diwilayah TNGH. Maka inisiatif penyelesaian dan kewenangan pengaturannya berada dibawah tanggung jawab BTNGHS. Rekomendasi pengaturan ruangnya ialah dengan membagi wilayah adat Kasepuhan Cibedug kedalam 3 zona, yaitu: 1) zona
165 Leuweng Kolot : berupa hutan yang masih alami, merupakan daerah resapan air (hulu sungai), dan biasanya memiliki kelerengan yang curam. Kawasan hutan ini tidak boleh diganggu tetapi sumber airnya dapat dimanfaatkan oleh warga (Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni 2002; Kurniawan 2002; Saputro 2006). 166 Leuweung Titipan : berupa hutan yang melindungi mata air atau kawasan hutan yang memiliki nilai sejarah yang dikeramatkan. Kawasan ini biasanya mengelilingi leuweung kolot. Dapat dimanfaatkan hanya dengan ijin sesepuh (Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni. 2002; Kurniawan. 2002; Saputro. 2006). 167 Kawasan leuweng cadangan atau sampalan : terletak di sekitar atau di dalam leuweng titipan, dan berfungsi sebagai lahan cadangan untuk dimanfaatkan dimasa yang akan datang. (Adimihardja. 1992; Rosdiana. 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni. 2002; Kurniawan. 2002; Saputro. 2006). 168 Zona inti adalah zona yang memiliki kondisi fisik yag masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, berfungsi untuk perlindungan (Permenhut No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 (4)). 169 Zona rimba adalah zona yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan pemanfaatan (Permenhut No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 (5)). 170 Zona pemanfaatan adalah zona yang letak, kondisi dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya (Permenhut No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 1 (6)). 171 Zona lainnya adalah zona diluar kedua zona inti dan pemanfaatan karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu (Penjelasan Pasal 32 UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).
221
khusus untuk kawasan pemukiman; 2) zona religi, budaya, dan sejarah untuk situs cibedug; dan 3) zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan. Implikasi dari penyelesaian ini adalah 1) keharusan membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHS; dan 2) bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus dan religi. Opsi yang kedua ialah jika Pemda Kabupaten Lebak mau mengakui status masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Seluruh wilayah adat Kasepuhan Cibedug dikeluarkan dari kawasan TNGH. Langkah yang harus dilakukan Pemda, sesuai dengan UU No.41/1999 pasal 67, adalah mengeluarkan PERDA dan melakukan rekonstruksi tata batas dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak Departemen Kehutanan. Proses ini dapat difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan Tim Tata Ruang Nasional. Pemda juga akan memerlukan data berupa dokumentasi hukum adat dari masyarakat. Proses ini dapat difasilitasi oleh LSM. 2) Desa Sirnarasa, Kec. Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Untuk Kasepuhan Ciptarasa di Desa Sirnarasa, jika lahan adat tetap dipertahankan tetap diwilayah TNGH. Maka inisiatif penyelesaian dan kewenangan pengaturannya berada dibawah tanggung jawab BTNGHS. Rekomendasi pengaturan ruang ialah membagi wilayah adat kedalam 2 zona, yaitu: zona khusus untuk kawasan pemukiman (Ciptagelar) dan zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan. Implikasi dari penyelesaian ini ialah BTNGHS membuat kesepakatan dengan masyarakat lokal untuk menjamin kelestarian fungsi kawasan. Selain itu, bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus. Namun jika Pemda Kabupaten Sukabumi mau mengakui status masyarakat adat Kasepuhan Ciptarasa maka seluruh wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa dikeluarkan dari kawasan TNGH. Implikasinya Pemda Sukabumi harus mengeluarkan PERDA pengakuan masyarakat adat dan melakukan rekonstruksi tata batas dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak Departemen Kehutanan. Proses ini dapat difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan Tim Tata Ruang Nasional. Pemda juga akan memerlukan
222
data berupa dokumentasi hukum adat dari masyarakat. Proses ini dapat difasilitasi oleh LSM dan lembaga pendidikan seperti UNPAD/INRIK. 3) Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor Untuk Desa Cisarua, karena tidak ada sengketa lahan maka opsi yang dapat diberikan menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam mengelola zona pemanfaatan. Implikasinya, BTNGHS membuat kesepakatan antara masyarakat lokal untuk menjamin kelestarian fungsi kawasanan dan bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona pemanfaatan tersebut. 4) Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Persoalan konflik lahan di lokasi ini ialah keberadaan kampung-kampung dan lahan garapan di dalam kawasan TNGH. Jika BTNGHS mempertahankan keberadaan kampung-kampung yang berada didalam kawasan TNGH, maka kampung tersebut sebaiknya diberikan status zona khusus. Sedangkan untuk lahan garapan diberikan status zona tradisional. Implikasinya BTNGHS harus membuat kesepakatan
antara
masyarakat
lokal.
Selain
itu,
BTNGHS
sebaiknya
bekerjasama dengan PEMDA untuk pengelolaan zona khusus. Sementara, jika masyarakat tetap ingin lahan tersebut berstatus di luar kawasan TNGH maka diperlukan rekonstruksi penegasan tata batas wilayah administrasi desa. Untuk tujuan ini maka peran Pemda sangat penting. Langkah pertama yang perlu dilakukan ialah melakukan inventarisasi dan dokumentasi kawasan. Proses ini sebaiknya dilakukan bersama oleh BTNGHS, Pemda dan LSM yang selama ini sudah mendampingi masyarakat, RMI. Jika terjadi konflik maka dapat melibatkan atau bekerjasama dengan Tim Penegasan Tata Batas Daerah di Tingkat Pusat dan Daerah yang dibentuk oleh Departemen Dalam Negeri. Rekomendasi model pengaturan ruang di lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 63.
B. Pengaturan Kewenangan Secara konseptual pembagian kewenangan dalam setiap ruang yang digunakan untuk pengembangan ekowisata diilustrasikan pada Gambar 12. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan bahwa lokasi pengembangan ekowisata terdapat
223
pada ruang yang membutuhkan intervensi kewenangan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Tabel 63 Model pengaturan ruang di lokasi studi LOKASI STUDI
STAKEHOLDER KUNCI DEPHUT/BTNGHS PEMDA PENYELESAIAN1 IMPLIKASI PENYELESAIAN1 IMPLIKASI Desa Citorek Menjadikan wilayah Membuat kesepakatan Mengakui status Mengeluarkan adat kedalam 3 zona, antara masyarakat masyarakat adat PERDA yaitu: lokal dan sehingga seluruh pengakuan adat wilayah adat berdasarkan data • ·zona khusus untuk BTNGHS/S. Kasepuhan dari masyarakat. kawasan pemukiman Bekerjasama dengan Cibedug • zona religi, budaya, PEMDA untuk dikeluarkan dari Fasilitasi dan sejarah untuk pengelolaan zona kawasan TNGH/S. penetapan tata situs cibedug khusus dan religi. batas wilayah • zona tradisional adat. untuk wilayah adat yang masih berupa hutan Desa Sirnarasa
Menjadikan wilayah adat kedalam 2 zona, yaitu: • zona khusus untuk kawasan pemukiman (Ciptagelar) • zona tradisional untuk wilayah adat yang masih berupa hutan
Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHS/S.
Mengakui status masyarakat adat berikut pengakuan terhadap seluruh wilayah adatnya.
Bekerjasama dengan PEMDA untuk zona khusus.
Mengeluarkan PERDA pengakuan adat berdasarkan data dari masyarakat. Fasilitasi penetapan tata batas wilayah adat.
Desa Cisarua Masyarakat menjadi Membuat kesepakatan Mendukung mitra dalam mengelola antara masyarakat pengembangan zona pemanfaatan. lokal dan bekerjasama ekowisata dengan PEMDA untuk zona pemanfaatan.
Bekerjasama dengan BTNGHS untuk membangun dan menaga keamanan kawasan.
Desa Malasari Kampung yang masuk dalam kawasan TNGH diberi status zona khusus dan untuk lahan garapan diberikan status zona tradisional.
Inventarisasi kawasan dan bekerjasama dengan Tim Penegasan Tata Batas Daerah di Tingkat Pusat dan Daerah.
Membuat kesepakatan antara masyarakat lokal dan BTNGHS/S dan bekerjasama dengan PEMDA untuk zona khusus.
Rekonstruksi penegasan tata batas wilayah administrasi desa.
Sumber: 1MacKinnon et al, 1990: 214-222; Pasal 32-34 UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
224
Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah Departemen Kehutanan dan BTNGH
TNGH (Kawasan Konservasi)
Wilayah administrasi desa/kabupaten/provinsi Pemerintah Daerah
Gambar 12 Konsep pembagian kewenangan dalam pengembangan ekowisata
Berdasarkan analisa ruang di setiap lokasi studi ada dua kategori zonasi di dalam taman nasional yang relevan yaitu zona pemanfaatan dan zona lainnya. Sedangkan di luar kawasan taman nasional ada kawasan penyangga. Berikut ini uraian peran dan kewenangan dalam setiap zonasi yang dapat diidentifikasi dari peraturan perundangan yang ada ditambah hasil verifikasi di lapangan. 1. Zona Pemanfaatan Hampir semua stakeholder dapat berperan sebagai pemanfaat di kawasan ini. Namun karena terletak di dalam kawasan TN maka kewenangan pengambilan keputusan tetap berada di bawah pemerintah pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Jika dalam zona ini
terdapat leuweung cadangan masyarakat lokal, maka
pengambilan keputusan harus berdasarkan hasil kesepakatan dengan lembaga adat setempat. Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata serta penyediaan sarana dan prasarana terbatas untuk kegiatan ekowisata.
2. Zona Lainnya a. Zona Tradisional : merupakan bagian dari taman nasional dimana masyarakat dapat memanfaatkan SDA-nya secara lestari. Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan berperan sebagai pengambil keputusan. Lembaga adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan jika leuweung cadangan mereka
225
berada di dalam zona ini. Kawasan ini dapat dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata alam, dan penyediaan sarana wisata terbatas seperti shelter atau lokasi perkemahan. b. Zona Religi, budaya dan sejarah: zona dimana didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya, dan/atau sejarah. Di lokasi studi kawasan seperti ini terdapat di Kampung Cibedug. Karena itu, meskipun berada di dalam kawasan TNGH namun karena situs atau peninggalan budaya tersebut merupakan bagian sejarah kelompok masyarakat tersebut maka pengambilan keputusan di zona ini harus melibatkan lembaga adat setempat. Zona ini dapat dimanfaatkan untuk obyek wisata budaya, religi dan sejarah serta pembangunan sarana dan prasarana terbatas juga pintu masuk kawasan TNGH. c. Zona khusus: merupakan bagian dari taman nasional yang digunakan untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupan. Meskipun berada di dalam kawasan TNGH namun karena terdapat kelompok masyarakat yang sudah bermukim sebelum ada TNGH maka pengambilan keputusan di zona ini harus melibatkan kelompok masyarakat tersebut dan PEMDA. Kondisi ini ditemukan di Kampung Cibedug dan Ciptarasa. Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya dan wisata agro. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana wisata serta pintu masuk kawasan TNGH juga dapat dibangun di lokasi ini.
3. Kawasan Penyangga Kawasan ini berfungsi untuk mengurangi benturan antara penggunaan tanah yang tidak sesuai antara kawasan konservasi dan kawasan yang berdekatan. Kawasan ini dibawah kewenangan PEMDA. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini diantaranya pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas akomodasi dan transportasi, pintu masuk dan kantor Balai. Model pembagian peran dan kewenangan ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 64.
Tabel 64 Model pembagian kewenangan dalam setiap kategori ruang ZONASI1 I. Taman Nasional 1. Zona Pemanfaatan
MASYARAKAT
KATEGORI RUANG DAN PERAN STAKEHOLDERS PEMERINTAH PEMERINTAH PUSAT DAERAH
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
2. Zona Tradisional
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
3. Zona Religi, budaya dan sejarah
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
4. Zona Khusus
II. Kawasan Budidaya Kawasan penyangga
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Pelaksana/Pemanfaat, Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Konsultasi, Pengambil Keputusan Keputusan
PENDUKUNG
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi, Pengambil Keputusan
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi Pelaksana/Pemanfaat, Konsultasi
Keterangan: 1MacKinnon et al. 1990: 214-222; UU No. 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang; Pasal 32-34 UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Menteri Kehutanan No. .56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
226
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Seperti yang diuraikan pada Bab I , ada tiga tujuan penelitian ini. Pertama, mengidentifikasi penyebab konflik, tipe konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kedua, menganalisis konflik dari aspek institusi. Ketiga, mengevaluasi eksisting pengembangan ekowisata serta implikasinya terhadap konflik di lokasi studi. Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. ada empat penyebab konflik di lokasi studi yaitu perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada ketidaksepakatan status lahan dan tata batas serta ketidakpastian akses. Penyebab konflik tersebut mengindikasikan bahwa konflik di lokasi studi adalah persoalan hak dan akses. 2. berdasarkan pengamatan di empat lokasi studi, konflik hak dan akses baik keduanya menimbulkan tipe konflik yang sama yaitu sudah sampai pada tahap konflik terbuka. Hal ini disebabkan karena baik persoalan hak maupun akses mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. 3. mengacu pada teori kebutuhan manusia, teori hubungan komunikasi masyarakat, dan teori perbedaan sistem nilai, fenomena konflik di lokasi studi dipengaruhi oleh empat faktor. Keempat faktor tersebut yaitu hubungan para pihak yang tidak harmonis, perbedaan struktural dalam pengambilan keputusan, perbedaan informasi dan referensi yang digunakan serta perbedaan kepentingan antara individu versus organisasi. 4. mengacu pada teori konflik yang dikembangkan oleh Randall Collins, secara empiris konflik di lokasi studi terjadi karena masing-masing pihak berupaya mengoptimalkan “status subyektifnya” sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan. Studi ini juga mendukung teori konflik oleh Lewis Coser yang menyebutkan bahwa konflik dapat mengaktifkan peran individu atau kelompok di masyarakat yang tadinya tidak berfungsi. 5. dari aspek institusi, penunjukan kawasan TNGH tidak ditentukan oleh persepsi kolektif sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Selain itu, peraturan perundangan penetapan taman nasional dan implementasinya tidak
227
228
dapat menjamin kepastian hak dan akses bagi masyarakat lokal. Hal ini disebabkan diantaranya karena kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan itu sendiri, keterbatasan sumberdaya serta persoalan administrasi dan birokrasi pembangunan. 6. mengacu pada konsep Institutionalist Tenure Security, konflik terjadi karena institusi yang ada gagal menyepakati aturan main mengenai status kepemilikan atas lahan (regime property) yang sesuai dengan masing-masing lokasi. Hal ini disebabkan oleh karena faktor pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik (kurang optimalnya koordinasi dan komunikasi) dan hubungan antar aktor yang berkonflik. Dari enam faktor yang mempengaruhi relasi antar aktor, faktor sejarah kekuasaan, sistem nilai, dan rejim hukum yang berlaku (peraturan perundangan) merupakan faktor yang cukup berpengaruh. 7. secara empiris, ekowisata terbukti dapat berperan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik ketidakpastian akses. Peran ini belum optimal karena konsep ekowisata yang digunakan di lokasi studi belum memenuhi kriteria kecukupan ekowisata yang ideal. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh institusi ekowisata yang ada belum dapat mendukung pemenuhan kriteria ekowisata tersebut karena faktor kebijakan yang belum lengkap dan kapasitas stakeholder yang masih rendah. 8. pengembangan ekowisata dapat menjadi stimulan untuk penyelesaian konflik lainnya. Pentingnya kepastian status lahan dan tata batas untuk kejelasan manajemen pengelolaan dan keamanan investasi pengembangan ekowisata dapat mendorong penyelesaian konflik lahan dan tata batas.
6.2 Saran 1. Konflik perlu diselesaikan dengan membangun kepercayaan antar para pihak, meningkatkan komunikasi agar perbedaan persepsi dapat dikurangi, dan melakukan negosiasi dengan melibatkan mediator yang independen. 2. Penunjukkan taman nasional perlu ditetapkan berdasarkan persepsi kolektif para pihak dan proses penetapannya dilakukan sesuai dengan tahapan dalam peraturan perundangan. Dengan melibatkan secara aktif para pihak, terutama stakeholders utama dan kunci, mulai di tingkat lokal sampai nasional baik
229
dalam penetapan dan pengelolaan taman nasional akan mendapat dukungan dari para pihak tersebut. 3. Melakukan evaluasi terhadap program pengembangan ekowisata yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat menjadi penghambat atau pendukung dalam proses pengembangan ekowisata selanjutnya. 4. Menambahkan ketersediaan dan kesiapan institusi
(organisasi dan aturan
main) sebagai salah satu kriteria kecukupan ekowisata. 5. Studi ini mengindikasikan perlunya peningkatkan peran serta stakeholder yang lebih luas untuk membantu pengembangan ekowisata di lokasi studi. Peran stakeholder yang diharapkan terutama dalam hal penyediaan sarana prasarana, promosi, manajemen pengelolaan, fasilitasi konflik dan peningkatan kapasitas pelaku wisata. Peningkatan peran ini perlu didukung dengan membuat pengaturan ruang untuk kejelasan manajemen pengelolaan, optimalisasi pembagian peran dan kewenangan untuk para pihak yang terlibat. 6. Kurang optimalnya koordinasi dan komunikasi para pihak dalam merespon persoalan di lapangan mengindikasikan perlunya penguatan organisasi dengan membentuk komisi / forum untuk komunikasi, koordinasi, dan penyelesaian konflik baik ditingkat lokal, regional maupun nasional. 7. Adanya perbedaan karakteristik budaya di masyarakat sekitar kawasan TNGH mengindikasikan perlunya membuat kesepakatan-kesepakatan di tingkat lokal untuk merealisasikan program pengembangan ekowisata yang sesuai dengan karakteristik budaya tersebut. 8. Penelitian lanjutan yang diperlukan diantaranya mengenai bentuk aturan main dan organisasi (institusi) yang dapat menjembatani para pihak di tingkat lokal dengan para pihak di tingkat nasional. Topik penelitian lainnya yang direkomendasikan ialah pengaruh faktor budaya, dan dampak produk ekowisata dalam mengubah persepsi dan perilaku pengunjung maupun masyarakat terhadap program konservasi di TNGH. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan fondasi dalam mendukung pengembangan ekowisata selanjutnya serta memberikan implikasi yang positif terhadap penyelesaian konflik dan program konservasi di TNGH.
DAFTAR PUSTAKA [...........]. 2006. Buku Registrasi Kelembagaan Masyarakat Desa Hutan (KMDH) "Karya Asih". Kampung Cihangasa: Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Abdurrahman. 2006. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari ”Menengok Wacana Kebijakan dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (Adat dan Lokal) di Kawasan Ekosistem Halimun”. Bogor, 26 Juni 2006. RMI. The Institute for Forest and Environment. Ackerman, E.A. 1965. Population and Natural Resources. Di dalam Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Adimihardja, K. 1992. Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh. Bandung: Tarsito. Adimihardja K, A.M. Kramadibrata, dan O.S. Abdullah. 1994. Penelitian Hubungan Timbal Balik Masyarakat Pedesaan dengan Hutan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: BAPPEDA Provinsi Tk 1 Jawa Barat dan INRIK, Universitas Padjajaran. Affif, S. 2005. Tinjauan atas Konsep “Tenure Security” dengan Beberapa Rujukan pada Kasus-kasus di Indonesia. Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 20 Tahun VI 2005: 227-249. Yogyakarta: INSIST Press. Agrawal, A., K. Redford. 2006. Poverty, Development, and Biodiversity Conservation: Shooting in the Dark. WCS Working Paper No. 26. New York: Wildlife Conservation Society. available at http://www.wcs.org/science Alikodra, HS. 2005. Pengembangan Institusi Lingkungan Hidup. [Diktat Kuliah KSH 701]. Bpgpr : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Institut Pertanian Bogor. Alikodra, HS. 1992. Pengembangan Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Ryadisoetrisno, B. [Editor]. Konservasi dan Masyarakat: rumusan workshop Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biological Science Club (BSsC). Hal 11-19, 28-42 Alwasilah, A.C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Ambinari, M. 2003. Pengkajian Terhadap Strategi Promosi Kegiatan Ekowisata di
230
231
Taman Nasional Gunung Halimun [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Aridka, I.G. 1999. Aspek Kelembagaan Dalam Pengembangan dan Pengelolaan Potensi Ecotourism. Makalah yang disampaikan pada Seminar Prospek dan Manajemen Ekoturisme Memasuki Milenium Ketiga yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan pada tanggal 25 Maret 1999 di Hotel Salak, Bogor. Asep. 2000. Kesatuan Adat Banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aoki, M. 2000. Institutional Evolution as Punctuated Equilibria. Di dalam Menard, C. [Editor]. Institutions, Contracts, and Organizations: Perspectives from New Institutional Economic. Northampton: Edward Elgar. [BAPEDAL] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2001. Laporan pelaksanaan proyek : kriteria pengembangan ekowisata dalam rangka pengendalian kerusakan kawasan konservasi dan hutan lindung. Jakarta: Proyek pengelolaan dan pemulihan kerusakan lingkungan, Bapedal. [BAPPEDA] Badan Penelitian dan Perencanaan Daerah Kabupaten Sukabumi. 2003. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sukabumi 2006-2010. Sukabumi: BAPPEDA. [BAPEDA] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat. 1999. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pengembangan Wisata Alam di TNGH. Makalah dipresentasikan pada acara Worskhop on Ecotourism Development in Gunung Halimun National Park, Caringin-Bogor, 9-10 Maret 1999. [BAPEDA] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat. 2005. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat. Bandung: BAPEDA. [BAPEDA] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 2010. Laporan Utama. Bandung: BAPEDA Jawa Barat. [BPMD] Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2006. Profil Desa / Kelurahan: Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sukabumi: Pemerintah Daerah Sukabumi [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Banten (RPJM) 20072012. www.bantenprov.go.id diakses tanggal 20 Agustus 2007.
232
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020. Dokumen Nasional. Jakarta: Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia: Antara Krisis dan Peluang. Jakarta: Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.2000a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku I Rencana Kegiatan Pengelolaan. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.2000b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku II Data Umum dan Proyeksi Analisis. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.2000c. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku III Rencana Umum Tata Ruang. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2007. Pengelolaan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Balai TNGHS, Direktorat Jenderal Perlindungan Alam dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Dipresentasikan pada Semiloka Pengakuan Masyarakat Adat Kasepuhan Kabupaten Lebak di dalam dan sekitar Kawasan TNGHS di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak pada tanggal 13 Desember 2008 yang diselenggarakan RMI. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2006. Dipresentasikan pada konsultasi publik tanggal 21 Februari 2007 di Hotel Brajamustika. Bogor Babbie, E. 1998. The practice of social research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. Banana, A.Y., W. Gombya-Seembajjwe. 2000. Successful Forest Management: The Importance of Security of Tenure and Rule Enforcement in Ugandan Forest. Artikel dalam Gibson, C.G., M.A. McKean. 2000. People and Forest: Community, Institutions, and Governance. Massachusetts: The MIT Press. Barrow, C.J. 2000. Social Impact Assessment: An Introduction. London: Arnold.
233
Benham, A., L. Benham. 2000. Measuring the Costs of Exchange. Di dalam Menard, C. [Editor]. Institutions, Contracts, and Organizations: Perspectives from New Institutional Economic. Northampton: Edward Elgar. Boo, E. 1990a. Ecotourism: The Potentials and Pitfalls. Volume 1. Washington, D.C.: World Wildlife Fund. Boo, E. 1990b. Ecotourism: The Potentials and Pitfalls. Volume 2. Washington, D.C.: World Wildlife Fund. Brenner, R. 2007. The Hierarchy of Needs for Project Organizations. Cambridge: Chaco Canyon Consulting. www.chacoCanyon.com diakses tanggal 31 Januari 2007. Brundtland, G.H., M. Khalid, S. Agneli, S.A. Al-athel, B. Chidzero, L.M. Fadika, V. Hauff, I. Lang, M. Shijun, M.M. de Botero, N. Singh, P.N. Neto, S. Okita, S.S. Ramphal, W.D. Ruckeshaus, M. Sahnoun, E. Salim, B. Shaib, V. Sokolov, J. Stanovnik, M. Strong [World Commission on Environment and Development]. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press. Butler, R.W. 1990. Alternative tourism: Pious hope or Trojan horse?”. Journal of Travel Research, Vol. 28 (3) , 40-45. Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors] 1965. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Boyce, J.K., and M. Pastor. 2001. Building Natural Assets: New Strategies for Poverty Reduction and Environmental Protection. Amherst : Political Economy Research Institute and The Center for Popular Economics, University of Massachusetts-Amherst. Boyce, J.K., and B.G. Shelley. 2003. Natural Assets: Democratizing Environmental Ownership. Washington: Island Press. Borg WR, and M.D. Gall. 1989. Educational research: An introduction. New York: Longman. [CWPD] Center for Water Policy and Development. 2005. Institutional Development - Netherlands Support to the Water Sector 1988-1998. Leeds: School of Geography, University of Leeds. Diakses pada tanggal 11 November 2005. Capra, F. 2000. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Peradaban. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya. Ceballos-Lascurain, H. 1996. Tourism, ecotourism and protected area. Switzerland: IUCN.
234
Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among five traditions. Thousand Oaks: Sage Publications. Cernea, M. 1985. Putting people first: Sociological variables in rural development. Washington, D.C.: Oxford University Press. Chambers, R. 1995. Rural development: Putting the last first. England: Longman Group Limited. [DEPDAGRI] Departemen Dalam Negeri. 2006. Profil Desa/Kelurahan: Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Daerah Tingkat I Banten. [DEPDIKNAS] Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 1998. Buku Petunjuk Pariwisata Alam di Hutan Lindung, Taman Buru dan Suaka Margasatwa. Bogor: Direktorat Bina Kawasan Pelestarian Alam, Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2000. Studi Awal: Pengembangan Ecotourism di Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta: Kerjasama Direktorat Pengembangan Wisata Alam, Hutan dan Kebun, Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam, Dephut dengan JICA dan RAKATA. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2005. Kawasan Konservasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Dedi, R., dan Andianto. 2003. Ecotourism Guide Book Gunung Halimun National Park: Ciptarasa Village. Setyono, D., K. Hiroshi, A. Muzakir, T. Hartono, G. Mulcahy, and O. Seiji [Editors]. Kabandungan: BCP-JICA. Dewar, J., C.H. Builder, W.M. Hix, and M.H. Levin. 1993. Assumption-Based Planning: A Planning Tool for Very Uncertain Times. Santa Monica, CA: RAND. Dewar,J., J.A.Isaacson, and M.Leed. 1996. Assumption-Based Planning and Force XXI. Arroyo Center. Dick,B.1997. Stakeholder Analysis [on line]. Available at www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/stake.html diakses tanggal 12 Desember 2004. Dinas Sosial-Provinsi Jawa Barat. 2005. Profil Komunitas Adat Terpencil di Jawa Barat. Cimahi: Sub Dinas Pengembangan Sosial, Dinas Sosial-Provinsi Jawa Barat.
235
Djubiantono, T. 2005. Geo-arkeologi Kawasan Lebak Cibeduk. Siddhayatra, Jurnal Balai Arkeologi Palembang, Volume 10 Nomor 1 Mei 2005. Palembang: Balai Arkeologi. www.balarpalembang.go.id diakses tanggal 14 Desember 2006 jam 7:00 AM. Dorn, H.F. 1965. Pitfalls in Population Forecasts and Projections. Di dalam Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Drake. 1991. Local participation in eco-tourism projects. In T.Whelan. (Ed.). Nature tourism: Managing for the environment. (pp. 133 – 163). Washington D.C.: Island Press. Dunn, W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogya: Gadjah Mada University Press. Echols, J. H. Shadily. 1992. Kamus Inggris- Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Ellsworth, L. 2004. A Place in the World: A Review of the Global Debate on Tenure Security. New York: Ford Foundation. Everhart, W.C. 1983. The National Park Service. Boulder: Westview Press. Evy, O. 15 Nopember 2003. TN Gunung Halimun – Salak, Permata Hijau Khatulistiwa. Kompas. www.kompas.com diakses pada tanggal 23 Februari 2006 jam 09:43 WIB. Fennel, D.A. 1999. Ecotourism: An Introduction. New York: Routledge. Fennel, D.A. 2001. A Content Analysis of Ecotourism Definitions. Current Issues in Tourism Vol. 4(5):403-421. Fisher, S., J. Ludin , S. Williams, D.I Abdi, R. Smith, and S. Williams. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk bertindak. Kartikasari, S.N., M.D. Tapilatu, R. Maharani, dan D. N. Rini [Penerjemah]; S.N. Kartikasari [Editor]. Jakarta: The British Council, Indonesia. Fisher, J.L. 1965. Perspectives on Population and Resources. Di dalam Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors). Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Furze, B., T. De Lacy, J. Birckhead. 1997. Culture, conservation and biodiversity. Chichester: John Wiley & Sons. Fraenkel, J.R., E.W. Norman. 1996. How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill.
236
Galudra, G. 2003. Conservation policies versus reality: Case study of flora, fauna, and land utilization by local community in Gunung Halimun-Salak National Park. Bogor: ICRAF Souteast Asia Working Paper, No. 2003_4. Gakahu, C.G. 1992. Participation of local communities in ecotourism : Rights, roles and socio-economic benefits (Masai Mara/Serengeti Ecosystem). Gakahu, C.G., and B.E. Goode [Editors]. Ecotourism and Sustainable Development in Kenya. Pp. 117-123. The Proceeding of the Kenya Ecotourism Workshop. September 13-17th, 1992. Lake Nakuru National Park, Kenya: Wildlife Conservation International. Gartner, W.C. 1996. Tourism Development: Principles, Processes, and Policies. New York: Van Nostrand Reinhold. Glacken, C.J. 1965. The origins of the Conservation Philosophy. Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Gordillo de Anda, G. 1997. The Reconstruction of Rural Institutions. Rome: FAO. Grayson, T.E. 2002. Needs Assessment. A Mini Workshop on Needs Assessment. Februari 8th, 2002. Illinois: Champaign Gurung, C.P. 1995. People and Their Participation: New Approaches to Resolving Conflicts and Promoting Cooperation. J.A. McNeely [Editors]. Expanding Partnership in Conservation. Washington DC: Island Press. Gurung, C.P., M. De Coursey. 1994. Chapter 11: The Annapurna Conservation Area Project: A pioneering example of sustainable tourism? In Carter, E., and Lowman, G (Editors). Ecotourism: A sustainable Option? (pp. 176194). Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Hammergren, L. 1998. Institutional Strengthening and Justice Reform. Washington, DC: Center for Democracy and Governance, Bureau for Global Programs, Field Support, and Research, U.S Agency for International Development. Hanafi, I., N. Ramdhaniaty, B. Nurzaman. 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang : Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun Jawa Barat-Banten. Hidayati, U., dan L. Hendarti [Editor] . Bogor: RMI Harada, K., A. Muzakir, M. Rahayu, Widada. 2001. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume VII : Traditional People and Biodiversity Conservation in Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI, PHPA, JICA. Harada, K. 2003. Attitudes of Local People Towards Conservation and Gunung Halimun National Park in West Java, Indonesia. Journal Forestry Research (2003) 8: 271-282. Tokyo: The Japanese Forestry Society and Springer-
237
Verlag. Hardjasoemantri, K. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Harsono, B. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan kesepuluh. Jakarta: Djambatan. Hartono, T. 2005. Catatan Proses Perkembangan Aktivitas Wisata Alam di TNGH. Bogor: Yayasan Ekowisata Halimun Hartono, T. 1999. Ringkasan Pengalaman Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Sudarto, G. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bekasi: Yayasan Kalpataru Bahari. Hal 78-84. Hasibuan, G. 2003. Pengembangan Ekowisata di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Dept. Kehutanan dan BCP, JICA. Hendarti, L. 2004. No Land No Foods. SPARK News Letter Issue No. 17, June 2004 English version: 3-4. Quezon City: Voluntary Service Overseas Philippines (VSO) and Environmental Science for Social Change (ESSC). Henderson, K.A. 1991. Dimensions of choice: A qualitative approach to recreation, parks, and leisure research. PA: Venture Publishing, Inc. Herfindahl, O.C. 1965. What is Conservation? Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors] 1965. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Hidayati, U. 2004. Non-existence within existence : a case study of the excessive burden placed on women peasants in two villages in the Halimun Ecosystem. Down To Earth (DTE) No. 63, November 2004: 5-7. London: The AsiaPacific Peoples’ Environment Network. Home, R. 2000. Negotiating Security of Tenure for Peri-urban Settlement: Traveller Gypsies and the Planning System in the United Kingdom. Habitat International volume 26 page 335-346. Elsevier Science Ltd. Horiuchi, H. 1997. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park dalam Nijima, K. H. Horiuchi, N. Sukigara, K. Harada [Editors]. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume I: General Review of the Project. Bogor: LIPI-JICA-PHPA
238
Horiuchi, H. 1998. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park-2-. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [Editors]. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA Hornby, A.S, E.V. Gatenby, H. Wakefield. 1958. The Advance Learner’s Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Howell, R.E, M.E. Olsen, D. Olsen. 1987. Designing a citizen involvement program: A guidebook for involving citizens in the resolution of environmental issues. Corvallis: the Western Rural Development Center, Oregon State University. Idea. 2000. Kumpulan Makalah: Lokakarya Pengembangan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi, Bogor 24-27 Juli 2000. Diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan dengan New Zealand Official Development Assistance (NZODA), dan Forum Mitra Wisata Alam. Institute of Development Studies (IDS). 2006. Understanding Policy Processes : A review of IDS research on the environment. Brighton : Knowledge, Technology and Society Team, Institute of Development Studies at the University of Sussex. Jones, L.G. 1997. A participatory design process to prepare a conceptual ecotourism plan for the Calakmul Biosphere Reserve, state of Camphece, Mexico [Thesis]. College of Environmental Science and Forestry, Syracuse, State University of New York. [Kembudpar] Kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Rencana Strategis Nasional Ekowisata. disusun oleh Sekartjakrarini, S., dan N. Legoh. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. [KLH] Kantor Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2001. Bunga Rampai Kearifan Lingkungan. Jakarta: Asisten Deputi Urusan Sosial Budaya, Deputi II Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kartodiharjo, H., dan H. Jhamtani [Editor]. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox. Keefer, P., M.M. Shirley. 2000. Formal versus Informal Institutions in Economic Development. Di dalam Menard, C. [Editor]. 2000. Institutions, Contracts, and Organizations: Perspectives from New Institutional Economic. Northampton: Edward Elgar. Keiji, N., O. Seiji, Sudarmadji, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, L.W. Muslihat, Genman, E. Wahyuningsih, D. Purwanto dan Glen. 2001. Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National Park. Keiji, N.
239
[Editor]. Bogor: Biodiversity Conservation Project-Japan International Cooperation Agency (BCP-JICA). Kiah, R.B. 1976. A content analysis of children’s contemporary realistic fiction about black people in the United States to determine if and how a sampling of these stories portray selected salient shared experiences of black people [Doctoral dissertation], Dept. of Elementary and Special Education College of Education, Michigan State University, East Lansing, Michigan. Koentjaraningrat. 1992. Bunga Rampai Kebudayaan, Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mentalitas
dan
Krippendorff, K. 1980. Content analysis : An introduction to its methodology. Beverly Hills: Sage Publications. Kusler, J. [Editor]. 1991. Ecotourism and Resources Conservation. Selected Papers from the 2nd International Symposium: Ecotourism and Resource Conservation. Madison: Omnipress. Kurniawan, I. 2002. Sistem Pengelolaan Lahan oleh Masyarakat Kasepuhan di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kraus, R., L.R. Allen. 1997. Research and evaluation in research, parks and leisure studies. Arizona: Gorsuch Scarisbick. Ladkin A., AM Bertramini. 2002. Collaborative Tourism Planning: A Case Study of Cusco, Peru. Current Issues in Tourism. Volume 5 (2) pp. 71-93. Lama, M.T.T. 1995. Annapurna Conservation Area Project. Annual progress report, 15th July 1994 – 14th July, 1995. Nepal: King Mahendra Trust for Nature Conservation. Lash, G.Y.B., A.D. Austin. 2003. Rural Ecotourism Assessment Program (REAP): A Guide to Community Assessment of Ecotourism as a Tool for Sustainable Development. EplerWood International. Available at http://www.eplerwood.com Lee, D.N.B., D.J. Snepenger. 1991. An Ecotourism Assessment of Tortuguero, Costa Rica. Research Notes and Reports. Annal of Tourism Science. P.367370 Linberg, K. 1998. Economic Aspect of Ecotourism. K. Linberg, M.E. Wood, and D. Engledrum [Editors]. Ecotourism : A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington: The Ecotourism Society. Linberg, K., B. Furze, M. Staff, R. Black. 1998. Ecotourism in the Asia Pacific Region : Issues and outlook. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and
240
the Pacific. Lindberg, K., M.E. Wood, D. Engledrum (Editors). 1998. Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington, Vermont: The Ecotourism Society. Loomis, J.B., R.G. Walsh. 1997. Recreation Economic Decisions: Comparing Benefits and Costs. Second Edition. Pennsylvania: Venture Publishing, Inc. Lynch, O.J., E. Harwell. 2002. Whose Natural Resources? Whose Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. [MSH &UNICEF]. 1998. Stakeholder Analysis [on line]. A Joint Effort of Management Science for Health and United Nations Children’s Fund. Available at .http://erc.msh.org/quality/ittools/itstkan.cfm diakses tanggal 12 Desember 2004. MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. H.H. Amir [Penerjemah]. Terjemahan dari : Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Malik, I., B. Wijardjo, N. Fauzi, A. Royo. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala. Mardiastuti, A. 2004. Arah dan Skenario Pengembangan Konservasi Sumberdaya Hutan. IPB: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Maryono, E., S.A. Kuswanto, M. Getteng, T. Ahmad, S. Mulyasari. 2005. Pelibatan Publik dalam Pengambilan Keputusan. Jakarta: LP3ES. Martono, S., O. Suwartapradja. 2006. The Sociography of Sirnarasa Village, District of Sukabumi, West Java, Indonesia. Http://www.geocities.com/inrik/sosio.htm diakses tanggal 14 Desember 2006. McIntyre, G. 1993. Sustainable Tourism Development: Guide for Local Planners. Madrid: World Tourism Organization. McLaughlin, W.J., A. Abastaflor, J. Courrau, A. Drumm, S. Edwards, P. McFarren, B. Rossmiller, R. Taylor. 2002. Bolivia Ecotourism Assessment. Final Report. International Resources Group. Miles, M.B., A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. T.R. Rohidi dan
241
Mulyarto [Penerjemah]. Terjemahan dari: Qualitative Data Analize. Jakarta: UI-Press. Mitchell, E.G.R. 1998. Community Integration in Ecotourism: A Comparative Case Study of Two Communities in Peru [Thesis]. The University of Guelph, Canada Moleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosdakarya.
Bandung: PT Remaja
Moniaga, S. 2004. The National Park is Their Homelands: A Study of the Reconciliation Possibilities of the Conflicting Laws on Land Tenure System in Lebak District of Banten Province, Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Congress on Folk Law and Legal Pluralism ke XIV, Fredericton, Canada, Agustus 2004. Moyini, Y. 2006. Uganda Ecotourism Assessment. Kampala: Ministry of Tourism & Industry-UNCTAD Export Development Program – Uganda Export Promotion Board (UEPB). Naibaho, HA. 2002. Studi Perilaku Pengunjung Dalam Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Ngafenan, M. 1991. Kamus Pariwisata. Semarang: Dahara Prize. Nijima, K. 1997. Summary of Draft of Gunung Halimun National Park Management Plan Book II. Di dalam Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume I: General Review of the Project. 1997. Bogor: LIPI, JICA dan PHPA. Nugraheni, E. 2002. Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional: Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Noertjahyo, L.I., M.A. Safitri. 2000. Anotasi Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan Akses Masyarakat Adat pada Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). North, D. 2000. Understanding Institutions. Di dalam Menard, C. [Editor]. Institutions, Contracts, and Organizations: Perspectives from New Institutional Economic. Northampton: Edward Elgar. [ODA] Overseas Development Administration. 1995. Guidance Note on How to Do Stakeholder Analysis of Aid Projects and Programmes [on line]. Social Development Department, Overseas Development Administration. Available at http://www.euforic.org/gb/stake1.htm diakses tanggal 12 Desember 2004.
242
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Samingan, T, B. Srigandono [Penerjemah]. Terjemahan dari: Basic of Ecology. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Olindo, P. 1991. The Old man of nature tourism: Kenya (Masai Mara/Serengeti Ecosystem). Di dalam Whelan T, [Editor]. Nature Tourism: Managing for the environment. Halaman 23-38. Washington DC: Island Press. Owen, J.L., E. Harwell. 2002. Whose Natural Resources? Whose Common Good?: Towards a new paradigm of environmental justice and national interest in Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). [PEMDA] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2000. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. [PERDA] Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Palacios, K. 2003. Developing A Comprehensive Needs Assessment Model for Implementation in Continue Education [Thesis]. The Department of Political Science, Southwets Texas State University. Peluso, N.L. 1994. Rich Forests, Poor People: Resources Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Peters, B.G. 2000. Institutional Theory: Problems and Prospects. Viena: Institute for Advance Studies. Peters, W.J. 1997. Local participation in conservation of The Ranomafana National Park, Madagascar. Journal of World Forest Resource Management 8: 109-135. Perez, C.A. 1997. Negotiating beneficiary involvement in agricultural development projects: Experiences from care. Practicing Anthropology. Vol. 19 (3), 31-35. Perman, R., Yue Ma, & McGilvray, J. 1996. Natural Resource & Environmental Economics. New York: Longman. Pratiwi, S. 2000. Community Participation in Ecotourism Development: A Critical Analysis of Select Published Literature [Thesis]. East Lansing, Michigan : Michigan State University. Primack, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Price, E.T. 1965. Values and Concepts in Conservation. Burton, I., R.W. Kates, L.
243
Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Purwanto, D., M. Pakpahan, N. Keiji, A. Mujakir. 2001. Ecotourism Guide Book Gunung Halimun National Park: Leuwijamang Village. Sudarmadi, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, E. Wahyuningsih, K. Hiroshi, dan O. Seiji [Editor]. Kabandungan: BCP-JICA. Putro, H.R. 2006. Analisis Para Pihak (Stakeholders Analysis) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Draft 18 Mei 2006. Bogor: kerjasama BTNGHSJICA. Rahayu, SS. 2004. Makna Hutan Bagi Masyarakat Adat: Studi Kasus Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahmena, M. 1992. Participation. In Sachs, W. (Editor.). The development dictionary: A guide to knowledge as power. London: Zed Books Ltd. Reimer, G.D. 1994. Community participation in research and development: A case study from Pangnirtung, Northwest Territories. Master thesis , McMaster University, Canada. Reksohadiprodjo, Sukanto, Pradono. 1998. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi (Edisi 2). Yogyakarta: BPFE. Ribot, J.C, N.L Peluso. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68(2): 153181. Ricthie, J.R.B., C.R Goeldner. 1994. Analyzing Media Messages: using quantitative content analysis in Research. Mahwah: Lawrence Erbaum Associates. Riffe, D., S. Lacy, F.G. Fico. 1998. Analyzing media messages: Using quantitative content analysis in research. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates Ritzer, G., D.J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-enam. Alimandan [Penerjemah]; T.B. Santoso [Editor]. Terjemahan dari : Modern Sociological Theory. 6th Edition. McGraw-Hill. Jakarta: Prenada Media Riyanto, B. 2004. Pokok-Pokok Masalah Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Rouda, R.H., M.E. Kusy JR. 1995. Development of Human Resources Part 2: Needs Assessment-the first step. Tappi Journal, Volume 78 (6): 255-257.
244
Rosdiana, E. 1994. Pengembangan Wisata Alam di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Runte, A. 1987. National Park: The American Experience. Lincoln: University of Nebraska Press. Ruttan, V.W. 1999. Induced Institutional Innovation. paper presented at a conference on “Induced Technology Change and The Environment,” International Institute for Applied Systems Analysis, Laxenberg, Austria, June 21-22, 1999. Santos, R., M. de Jesus [Editors]. 2003. Proceedings of the SPARK "rural livelihoods" workshop. October 15 to 17, 2003, Bali, Indonesia. Denpasar: VSO, LATIN, ESSC dan DFID. Santosa, A. 2006. Kampung Nyungcung Melanjutkan Hidup. Bogor: RMI.http://www.kpshk.org. diakses pada tanggal 23 Februari 2006 jam 04:40WIB Saunier RE, R.A. Meganck, editor. 1995. Conservation of biodiversity and the new regional planning. Washington, D.C. : Dept. of Regional Development and Environment, Executive Secretariat for Economic and Social Affairs, General Secretariat, Organization of American States. Saputro GE. 2006. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Schmid, A. 1987. Property, Power, and Public Choice. New York: Praeger. Sebo, R.E. 1996. Introduction to tourism texbooks: A descriptive content analysis [Disertasi]. University of Connecticut. Sekartjakrarini, S. 2003. Pengelolaan dan Pengembangan Eco-tourism di Taman Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun” , Hotel Kinasih, Caringin, Bogor, 18-19 Februari 2003. LIPI-JICA-BTNGH. Sekartjakrarini, S., dan N. Legoh. 2003. Teknik Interpretasi. Jakarta: Idea. Shaw, K.A. 2005. Institutional Change: The Why and The How. Paper presented at the TIAA-CREF Institute Conference: The New Balancing Act in the Business of Higher Education. New York City, November 3-4, 2005. Sirait, M. 2004. Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Ekosistem Halimun. Rangkuman Semiloka.
245
Bogor 23 Desember 2004, RMI-FKKM-Dep. Kehutanan-EU-FLB Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan, Jurusan Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Soemarwoto, O. 1986. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Spoehr, A. 1965. Cultural Differences in the Interpretation of Natural Resources. Di dalam Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Sproule, KW., A.S. Suhandi. 1998. Guidelines for Community-Based Ecotourism Programs: Lessons From Indonesia. Di dalam Lindberg, K., M.E. Wood, D. Engledrum (Editors). Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington, Vermont: The Ecotourism Society. Stewart, W.P., S. Sekartjakrarini. 1994. Disentangling Ecotourism. Annals of Tourism Research Journal. Volume 21(4) page 840-843. Stokey,E., R. Zechauser. 1978. A Primer for Policy Analysis. New York: W.W. Norton & Company Sudarto, G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bekasi: Yayasan Kalpataru Bahari. Suhaeri. 1994. Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suharyono, D. 2007. Dilema, Mengamankan Hutan: Konservasi TNGHS Wilayah Sukabumi. Catatan Lapangan Staf LSM LATIN. Sukathme, P.V. 1965. The World’s Hunger and Future Needs in Food Supplies. Di dalam Burton, I., R.W. Kates, and L. Burton [Editors]. Readings in Resource Management and Conservation. Chicago: The University of Chicago Press. Sumarga, A. 2006. The Transformation of Farmer Institutions in Rural Areas: A Case Study on Farmer Groups Development in West Java Province [Thesis]. Gottingen: The George-August University. Sutton, R.1999. The Policy Process: An Overview. Working Paper 118. London: Overseas Development Institute.
246
Suwarno, A. 2003. Narasi Kegiatan Lapangan April 2003. Sukabumi : LSM LATIN Triono, T., N. Keiji, G.N.S. Mulcahy, O. Seiji, A. Muzakkir, A. Supriatna, Sopian. 2002. A Guide to Cikaniki-Citalahab Looptrail Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Sudarmadi, Abdurrozak, Widada, E. Wahyuningsih, G.N.S. Mulcahy, K. Hiroshi, and O. Seiji [Editors]. Kabandungan: BCP-JICA. Tasosa, M.S. 1993. Evaluating community participation in tourism planning : The case of Ascroft and Lytton, RC [Thesis]. Canada: Dept. of Geography, Simon Fraser University. Uphoff, N. 1997. Institutional Capacity and Decentralization for Rural Development. Rome: FAO Van Vught, M. 2002. Central, Individual, or Collective Control? Social Dilemma Strategies for Natural Resource Management. American Behavioral Scientist (2002) vol. 45, pp. 783-800. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press. Wall G, and S. Ross. 1998. Ecotourism towards congruence between theory and practice. Waterloo, Canada: Faculty of Environmental Studies, University of Waterloo . Paper was presented at 7th International Symposium Society and Resource Management, May 27-31, 1998. University of Missouri-Columbia. Weaver, D.B. 1998. Ecotourism in less Developed World. Wallingford: CAB International. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Wight, P. 1993. Ecotourism: Ethics or eco-sell? Journal of Travel Research, 31(3), 3-9. Wight, P. 1993. Sustainable Ecotourism: Balancing Economic, Environmental, and Social Goals within an Ethical Framework. Journal of Tourism Studies, 4, 2, pp. 54-66. Wijaya, H. 2007. Kondisi, Potensi dan Kendala Pengembangan Ekowisata di TNGHS. Counterpart GHSNP-MP. Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA. Winardi, J. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja
247
Grafindo Persada. Wondolleck, J.M., S.L. Yafee. 2000. Making Collaboration Work: Lessons from Innovation in Natural Resource Management. Washington, DC.: Island Press. Wood, M.E. 1998. Meeting the global challenge of community participation in ecotourism: case studies and lessons from Ecuador. Arlington: The Nature Conservancy. Wood, M.E, F. Gatz, K. Lindberg. 1991. The Ecotourism Society: An Action Agenda. J. Kusler [Editor]. Ecotourism and Resources Conservation. Selected Papers from the 2nd International Symposium: Ecotourism and Resource Conservation. Madison: Omnipress. Woolf HB, Artin E, Crawford FS, Gilman EW, Kay MW, Pease Jr RW (Editors). 1976. The Merriam-Webster Dictionary. New York: Pocket Books. Wulan, Y.C., Y. Yasmi, C. Purba C, E. Wollenberg. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses tanggal 17 Desember 2005 www.polity.org.2ce/html/govdocs/white tanggal 11 November 2005
papers/social97gloss.html
www.undp.org/rnec/nhds/1996/georgia/glossary.htm 11 November 2005
diakses
diakses
tanggal
www.meriam-webster.com/dictionary/need diakses tanggal 27 Februari 2007 www.tnhalimun.go.id. diakses tanggal 14 Desember 2006
LAMPIRAN
Lampiran 1 Observasi dan pengambilan data lapangan
A. Pertemuan yang diikuti No. 1
WAKTU 23-25/04/2’07
TEMPAT Citorek, Kabupaten Lebak
ACARA Pertemuan (Riungan) Kasepuhan Banten Kidul ke IX
2
21/02/2007
Brajamustika, Bogor
Konsultasi Publik RPTNGHS
3
14/02/2007
Bogor
4
3-6/10/2006
5
28/11/2006
Gadog, Kab. Bogor Curug Bitung, Kab. Bogor
Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS Pertemuan Tim Kecil, LFA RPTN-TNGHS
6
7-9/08/2006
7
3/08/2006
Selabintana, Sukabumi IPB
8
26/06/2006
Bogor
Diskusi Membangun Kesepakatan antar Desa Dalam Menata Kawasan Konservasi dengan Mengakar Pada Budaya dan Pengetahuan Setempat Lokakarya Logical Framework Approach (LFA) Rencana Pengelolaan TNGHS Semiloka Perencanaan Komunitas: Upaya Masyarakat Kawasan Ekosistem Halimun Menata Ruang Untuk Keberlanjutan Hidupnya Seminar: Menengok Wacana Kebijakan dalam Konteks Pengelolaan SD hutan Berbasis Masyarakat (Adat dan Lokal) di Kawasan Ekosistem Halimun
PENYELENGGARA Kasepuhan atas dukungan LSM: RMI, Huma, WG Tenure, Sawit Watch, Kemala BTNGHS-JICA BTNGHS dan JICA
BTNGHS-JICA RMI
BTNGH-JICA-LIPI RMI dan Departemen Arsitektur Lanskap IPB
RMI
B. Dokumentasi pertemuan No. 1.
WAKTU 13/12/2006
TEMPAT Rangkasbitun, Kabupaten Lebak Cisarua, Bogor Wisma Kinasih, Bogor Caringin, Kab Bogor
ACARA Semiloka: Pengakuan Masyarakat Adat Kasepuhan Kabupaten Lebak di dalam dan sekitar Kawasan TNGHS Lokakarya LFA RPTNGHS III Lokakarya LFA RPTNGHS II
Working Group on Forest Land Tenure Seminar dan Lokakarya: ”Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun” Lokakarya: ”Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun”
2. 3.
13-14/09/2006 24-25/08/2006
4.
8-10/08/2006
5. 6.
7/10/2003 18-19/02/2003
Bogor Caringin, Bogor
7.
9-10/03/1999
Caringin, Bogor
Lokalatih Ekowisata
248
PENYELENGGARA RMI
BTNGHS-JICA BTNGHS-JICA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor WG Tenure BTNGH-JICA-LIPI
BTNGH-JICA-LIPI
249
C. Observasi lapangan No. WAKTU 1 6-8 Januari 2007
2
22 Februari 2007 16-18 Februari 2007
3
18-20 Februari 2007
4
9 Desember 2006 28-29 Januari 2007 22 Februari 2007 30-31 Januari 2007
KETERANGAN Kampung Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak Kampung Pangguyangan, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Kampung Citalahab Central, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Kampung Malasari, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor Kecamatan Naggung, Kabupaten Bogor Kampung Leuwijamang, Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
D. List wawancara WAKTU
LOKASI
-Nov 2007 s/d Sept 2007 6-9/01/2007 22/03/2007 22/02/2007 14/03/2007
Bogor Bogor Cibedug Citorek Kantor Seksi Wilayah Lebak Rangkas
17-18/02/2007
Pangguyangan/ Desa Sirnarasa, Kabupaten Sukabumi
19/02/2007 21/02/2007 19/02/2007
Kabupaten Sukabumi
7/08/2006 29/01/07 30/01/2007 14/02/2007 19/02/2007
Acara LFA, Sukabumi Citalahab/ Desa Malasari Leuwijamang/ Desa Cisarua Bogor Cipeteuy, Citalahab Sentral
22/02/2007 19/02/2007
Kantor Seksi Kantor BTNGH, Kabandungan 3 Kecamatan Bandung, Konsultasi Publik Bogor
-21/2/2007
INSTITUSI
ISSUE
RMI YEH Masyarakat adat Masyarakat adat BTNGH Dinas INKOSBUDPAR, Kab. Lebak Masyarakat Adat & Non-Adat LSM/LATIN Diparda Kab. Sukabumi Dishutbun Ka. Sukabumi BTNGH, JICA Non-Adat Non-Adat Diparda Kab. Bogor LSM/ABSOLUT & PT Nirmala BTNGH BTNGH Kecamatan Bappeda Propinsi Jabar
Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik Ekowisata, Konflik
Lampiran 2 Daftar dokumen untuk data sekunder 1. [...........]. 2006. Buku Registrasi Kelembagaan Masyarakat Desa Hutan (KMDH) "Karya Asih". Kampung Cihangasa: Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. 2. [BPMD] Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2006. Profil Desa / Kelurahan: Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sukabumi: Pemerintah Daerah Sukabumi. 3. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.2000a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku I Rencana Kegiatan Pengelolaan. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 4. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku II Data Umum dan Proyeksi Analisis. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 5. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000c. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku III Rencana Umum Tata Ruang. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 6. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.[Tanpa Tahun]. Upaya Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Kabandungan: kerjasama Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA. 7. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. [Tanpa Tahun]. Taman Nasional Gunung Halimun. Kabandungan: kerjasama Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA. 8. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2005. Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 9. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 2007-2026 : Ringkasan. Balai TNGHS, Direktorat Jenderal Perlindungan Alam dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Dipresentasikan pada konsultasi publik tanggal 21 Februari 2007 di Hotel Brajamustika Bogor. 10. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. [Tanpa Tahun]. Tantangan Pengelolaan Kolaborasi di Taman Nasional Gunung HalimunSalak. Bogor: GHSNP-MP JICA Project Office. 11. [DEPDIKBUD] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Laporan Penilaian Teknis Arkeologis Megalitik Lebak Cibedug Sub Direktorat Pemugaran, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, DepDikBud 12. [DEPDAGRI] Departemen Dalam Negeri. 2006. Profil Desa/Kelurahan: Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Daerah Tingkat I Banten.
250
251
13. [FKMHJBB] Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat dan Banten. 2003. Pernyataan Sikap 31 Desa di Kawasan Halimun dalam Mensikapi Status Pengelolaan Kawasan Halimun di Provinsi Jawa Barat dan Banten. www.rmibogor.org diakses tanggal 14 Desember 2006. 14. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. [Tanpa Tahun]. Visitor Information of Cikaniki Research Station in Gunung Halimun National Park. Jakarta:kerjasama Biro Kerjasama IPTEK, LIPI dengan BTNGH-JICA. 15. Adimihardja K, A.M. Kramadibrata, OS Abdullah. 1994. Penelitian Hubungan Timbal Balik Masyarakat Pedesaan dengan Hutan di Kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat. BAPPEDA Provinsi DT I Jawa Barat dan Indonesia Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), UNPAD.B10 16. Adimihardja, K. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: TARSITO. 17. Alikodra, HS. 1992. Pengembangan Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Ryadisoetrisno, B [editor]. 1992. Konservasi dan Masyarakat: rumusan workshop Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biological Science Club (BSsC). Halaman 12-19. 18. Ambinari, M. 2003.Pengkajian Terhadap Strategi Promosi Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 19. Asep. 2000. Kesatuan Adat Banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 20. Bari, A. 1992. Pengembangan Masyarakat di Cagar Alam Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Ryadisoetrisno, B [editor]. 1992. Konservasi dan Masyarakat: rumusan workshop Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biological Science Club (BSsC). Halaman 44-51. 21. Dedi, R., Andianto. 2003. Ecotourism Guidebook Gunung Halimun National Park: Ciptarasa Village. Setyono, D., K. Hiroshi, A. Muzakir, S. Ozawa, T. Hartono, G. Mulcahy (editors). Sukabumi: kerjasama BTNGH dan YEH. 22. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. 2005. Profil Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Jawa Barat. Bandung: Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. 23. Djubiantono T. 2005 Geo-arkeologi Kawasan Lebak Cibeduk. Siddhayatra, Jurnal Balai Arkeologi Palembang, Volume 10 Nomor 1 Mei 2005. Palembang: Balai Arkeologi. www.balarpalembang.go.id diakses tanggal 14 Desember 2006 jam 7:00 AM 24. Galudra, G. 2003. Conservation policies versus reality: Case study of flora, fauna, and land utilization by local community in Gunung Halimun-Salak National Park. Bogor: ICRAF Souteast Asia Working Paper, No. 2003_4. 25. Hamami, M. 2006. Visi dan Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Sukabumi. Makalah disampaikan pada acara Saresehan Ekowisata di Hotel Semeru, 7 Februari 2006. 26. Hanafi I, N. Ramdhaniaty, B. Nurzaman. 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang : Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun Jawa Barat-Banten. U. Hidayati, L. Hendarti, editor. Bogor: RMI.
252
27. Harada, K. 2003. Attitudes of Local People Towards Conservation and Gunung Halimun National Park in West Java, Indonesia. J for Res (2003) 8: 271-282. 28. Harada, K., A.Mulyana. 1998. A Preliminary Survey on Participatory Management of Gunung Halimun National Park.dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 145-170. 29. Harada, K., A. Muzakir, M. Rahayu, Widada. 2001 Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume VII : Traditional People and Biodiversity Conservation in Gunung Halimun National Park Bogor: LIPI, PHPA, JICA. 30. Hartono, T. 2005. Catatan Proses Perkembangan Aktivitas Wisata Alam di TNGH. Bogor: Yayasan Ekowisata Halimun. 31. Hartono, T. 1999. Ringkasan Pengalaman Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Sudarto, G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bekasi: Yayasan Kalpataru Bahari. Hal 78-84. 32. Hasibuan, G. 2003. Pengembangan Ekowisata di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen. Kehutanan dan BCP, JICA. 33. Herawan, H. 2006. Visi dan Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Bogor. Makalah disampaikan pada acara Saresehan Ekowisata di Hotel Semeru, 7 Februari 2006. 34. Horiuchi, H. 1997. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park Di dalam Nijima, K. H. Horiuchi, N. Sukigara, K. Harada [editor]. 1997. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume I: General Review of the Project. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 136-158. 35. Horiuchi, H. 1998. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park-2-. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 94-114. 36. Horiuchi, H. 1999. Developing an Action Plan for Eco-tourism in Gunung Hallimun National Park by JICA Project. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPIJICA-PHPA. Halaman 81-85. 37. Joy, R. 1999. Strategi Pengembangan Kegiatan /Usaha Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal di Taman Nasional Gunung Halimun. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 86-96. 38. Keiji, N., O. Seiji, Sudarmadji, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, L.W. Muslihat, Genman, E. Wahyuningsih, D. Purwanto dan Glen.2001. Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National Park. Keiji, N. [editor]. Bogor: Biodiversity Conservation Project-Japan International Cooperation Agency (BCP-JICA).
253
39. Kepala Bappeda Dati I Jawa Barat. 1999. Peranan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pengembangan Wisata Alam di TNGH dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 65-74. 40. Kepala Dinas Pariwisata Dati I Jawa Barat. 1999. Peranan Dinas Pariwisata dalam Mendukung Pengembangan Wisata Alam dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 75-80. 41. Kobayashi, H., S. Mulyati, Widada. 2003. Kepedulian Masyarakat untuk Konservasi di Dalam dan Sekitar TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen. Kehutanan dan BCP, JICA. 42. Kurniawan, I. 2002. Sistem Pengelolaan Lahan oleh Masyarakat Kasepuhan di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 43. Mainawati, S. 2004. Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Kawasan Taman Nasional [skripsi].Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 44. Manikam, PJ. 1998. Draft of Gunung Halimun National Park Management Plan Book I. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 115-126. 45. Martono, S., O. Suwartapradja. 2006. The Sociography of Sirnarasa Village, District of Sukabumi, West Java, Indonesia. Http://www.geocities.com/inrik/sosio.htm diakses tanggal 14 Desember 2006 46. Moniaga, S. 2004. Taman Nasional itu, Kampung Halaman Mereka. versi Indonesia makalah “The National Park is Their Homelands: A Study of the Reconciliation Possibilities of the Conflicting Laws on Land Tenure System in Lebak District of Banten Province, Indonesia” yang dipresentasikan dalam Congress on Folk Law and Legal Pluralism ke XIV, di Fredericton, Canada pada bulan Agustus 2004. 47. Mulyati, S., Widada, K. Hiroshi. 2003. Perkembangan Pendidikan Lingkungan di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen. Kehutanan dan BCP, JICA. 48. Mulyo, H. 1992. Pengembangan Masyarakat di Cagar Alam Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Ryadisoetrisno, B [editor]. 1992. Konservasi dan Masyarakat: rumusan workshop Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biological Science Club (BSsC). Halaman 52-57. 49. Naibaho, HA. 2002. Studi Perilaku Pengunjung Dalam Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 50. Nakashima, K. 2000. Ecotourism Action Plan in TNGH. Makalah dalam Lokakarya Pengembangan Ecotourism di Taman Nasional. Hotel Safari Garden, Cisarua, Bogor 1-2 November 2000. Bogor: PHPA-JICA. 51. Nijima, K. 1997. Summary of Draft of Gunung Halimun National Park Management Plan Book II. 1998. Research and Conservation of Biodiversity
254
in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 75-116. 52. Nugraheni E. 2002. Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 53. Ozawa, S., A. Muzakkir, A. Rozaq, G.S. Hasibuan, Kuswandono. 2003. Kegiatan Ekowisata di TNGH (Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati). Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen Kehutanan dan BCP, JICA. 54. Ozawa, S., A. Muzakir, A. Rozaq, G.S. Hasibuan, Kuswandono, Widada. 2002. Ecotourism in Gunung Halimun National Park. dalam Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume XII. halaman 73-84. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. 55. Pemerintah Kabupaten Lebak. 2005. Arah dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah: Tahun Anggaran 2006. Pemerintah Kabupaten Lebak. 56. Purwanto, D., M. Pakpahan, N. Keiji, A. Mujakir. 2001. Ecotourism Guide Book Gunung Halimun National Park: Leuwijamang Village. Sudarmadi, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, E. Wahyuningsih, K. Hiroshi, dan O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA. 57. Purwanto, D. 2007. Aktualisasi Ekowisata Berbasis Masyarakat di TNGHS. Bogor: Yayasan Ekowisata Halimun (YEH). Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA. 58. Putro, HR. 1999. Institution and Partnership in the Development of Ecotourism in Halimun National Park. dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPIJICA-PHPA. Halaman 97 – 103. 59. Putro, H.R. 2006. Analisis Para Pihak (Stakeholders Analysis) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Draft 18 Mei 2006. Bogor: kerjasama BTNGHS-JICA. 60. Rahayu, S.S. 2004. Makna Hutan Bagi Masyarakat Adat: Studi Kasus Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 61. Ramdhaniaty, N. A.Rachman [editor]. 2002. Prosiding Seminar dan Lokakarya: Memahami Desa dan Kawasan Halimun Melalui Pemetaan Partisipatif. Cisolok, 28 Februari 2002. 62. Rasidi, S. 1992. Pengambangan Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun, Jawa Barat. Di dalam Ryadisoetrisno, B [editor]. 1992. Konservasi dan Masyarakat: rumusan workshop Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biological Science Club (BSsC). Halaman 20 -27. 63. Rofiko. 2003.Nilai Ekonomi Total Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun: Studi Kasus di Desa Cisarua dan Desa Malasari [skripsi]. Bogor:
255
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 64. Rosdiana, E. 1994. Pengembangan Wisata Alam di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 65. Saigawa, K. 1998. Report on Study of Eco-tourism Development in Gunung Halimun National Park. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 171-181. 66. Saparjadi, K (Direktur BKPA). 1999. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kegiatan Usaha Wisata Alam dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 54-64. 67. Saputro, G.E. 2006. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 68. Setyono, D. 2003. Upaya Pengelolaan TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin-Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen Kehutanan dan BCP, JICA. 69. Setyono, D. 2006. Perkembangan Ekowisata di TNGHS. Makalah yang di presentasikan dalam acara saresehan ekowisata di Hotel Semeru, 7 Februari 2006. 70. Sirait, M. 2004. Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Ekosistem Halimun. Rangkuman Semiloka. Bogor 23 Desember 2004, RMI-FKKM-Dep. Kehutanan-EU-FLB 71. Sproule, KW., A.S. Suhandi. 1998. Guidelines for Community-Based Ecotourism Programs: Lessons From Indonesia. Dalam Lindberg, K., M.E. Wood, D. Engledrum (editor). 1998. Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington, Vermont: The Ecotourism Society. Halaman 215-236. 72. Suhaeri. 1994. Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 73. Suharyono, D. 2007. Dilema, Mengamankan Hutan: Konservasi TNGHS Wilayah Sukabumi. Catatan Lapangan Staf LSM LATIN. 74. Susmianto, A., EKSH. Muntasib, Sunaryo, R. Joy, H.R. Putero, I. Kadar [Tim perumus]. 1999. Rumusan Hasil Workshop Pengembangan Wisata Alam TNGH. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development BogorCaringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 1-7. 75. Susmianto, A. 1999. Potensi dan Peluang Usaha Wisata Alam di TNGH. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development BogorCaringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 35-45. 76. Suwarno, A. 2003. Narasi Kegiatan Lapangan April 2003. Sukabumi : LSM LATIN 77. Takashashi, S. 1998. Integrating Field-based Research and Community-based Ecotourism: Case Study of the Management of the Research Station in GunungHalimun National Park, West Java. dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma
256
[editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 132-144. 78. Tim Peneliti Pusat Kemasyarakatan dan Kebudayaan. 2001. Studi Kehidupan Sosial Budaya dan Lingkungan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Provinsi Jawa Barat. Executive Summary. Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. 79. Triono, T., N. Keiji, G.N.S. Mulcahy, O. Seiji, A. Muzakkir, A. Supriatna, Sopian. 2002. A Guide to Cikaniki-Citalahab Looptrail Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Sudarmadi, Abdurrozak, Widada, E. Wahyuningsih, G.N.S. Mulcahy, K. Hiroshi, dan O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA. 80. Van der Hoop, ANJT. 1932. Megalitics Remains in South Sumatra. Netherland: W.J Thieme & Cie, Zutphen. 81. [WGT] Working Group Tenure. 2003. Catatan Proses Diskusi Studi Kasus I: Perluasan TNGHS dan Implikasinya terhadap Pemanfaatan Tanah-tanah Desa di sekitarnya. Proceeding Roundtable Discussion I Pendalaman Kasus-kasus Tenurial di Kawasan Hutan. Bogor, 7 Oktober 2003. Kerjasama WGTFKKM-Watala-ICRAF-NRM-FF-Yayasan Kemala-Departemen Kehutanan. 82. Widada, S. Mulyati, H. Kobayashi. 2003. Strategi dan Program Pendidikan Lingkungan di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Dept. Kehutanan dan BCP, JICA. 83. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 84. Wijaya, H. 2007. Kondisi, Potensi dan Kendala Pengembangan Ekowisata di TNGHS. Counterpart GHSNP-MP. Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA.
Lampiran 3 Daftar Peraturan perundangan dan kebijakan terkait 1 Undang-undang 1. UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan 2. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Hayati berserta ekosistemnya 3. UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan 4. UU No.5 Tahun 1990 tentang Benda Cagar Budaya 5. UU No. 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang 6. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 7. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 8. UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18/1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah 9. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 3/1995 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah/Keputusan Presiden/Instruksi Presiden 10. PP No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan 11. PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan 12. Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 13. PP No. 10 Tahun 1993. Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 14. Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1993. Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional 15. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam 16. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1995 tentang : Pembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu 17. PP No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan 18. PP No. 69 Tahun 1996 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang 19. PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 20. PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 21. PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah 22. Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil 23. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom 24. PP No. 54 Tahun 2000. Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan 25. Keppres No. 102 Tahun 2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan organisasi, dan Tata Kerja Departemen 26. PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan 27. PP No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 28. INPRES No.16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata 29. PP 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencanan Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
1 Sumber: Dephut 1998; Dephut 2000; BTNGH 2000; Idea 2000; Noertjahyo dan Safitri 2000.; Riyanto 2004; BTNGHS 2007.
257
258
Peraturan Menteri/SK Menteri/KepMen 30. Kepmenhut No. 622/KPTS-II/95 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan 31. KepmenHut No. 167/Kpts-II/ 1996 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam 32. Kepmenhutbun No. 279/1999 tentang Pembinaan Wilayah di Bidang Kehutanan 33. Kepmenhut No. 348/1997 tentang Perubahan KepMenHut No. 446/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam 34. Permendagri No. 3/1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah Desa/Kelurahan 35. Kepmenhut No. 465/KPTS-II/1999 tentang Hak Pemanfaatan Hutan untuk Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian 36. Kepmenhut No.31/2000 tentang Penyelenggaran Hutan Kemasyarakatan 37. Kepmenhut No.32/Kpts-II/2001 tentang : Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan 38. Kepmenhut 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan 39. KepmenSos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 40. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 126/2742/SJ/2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah 41. PermenHut No. 19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaborasi 42. Permendagri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah 43. Permenhut No. 56/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional PEDOMAN 44. Departemen Kehutanan [Dephut]. 1998. Buku Petunjuk Pariwisata Alam di Hutan Lindung, Taman Buru dan Suaka Margasatwa. Bogor: Direktorat Bina Kawasan Pelestarian Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Dephut. 45. Departemen Kehutanan [Dephut]. 2001. Kriteria dan Standar: Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam. Bogor: Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelstarian Alam, Dephut. 46. Departemen Sosial. 2003. Pedoman Kerja Petugas Lapangan (Pendamping Sosial) Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial. 47. Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Rencana Strategis Ekowisata Nasional. Sekartjakrarini S, Legoh NK (Ed). Jakarta: Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata TNGHS: 48. Kepmenhut Nomor : 282/Kpts-II/92 Tentang Perubahan Fungsi Dan Penunjukan Cagar Alam Gunung Halimun Yang Terletak Di Kabupaten Daerah Tingkat Ii Bogor Dan Kabupaten Derah Tingkat II Lebak Provinsi Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 40.000 (Empat Puluh Ribu) Hektar Menjadi Taman. Nasional Dengan Nama Taman Nasional Gunung Halimun 49. Keiji N, editor. 2001. Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National Park. Biodiversity Conservation Project-JICA 50. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku I Rencana Kegiatan
259
Pengelolaan.Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 51. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku II Data Umum dan Proyeksi Analisis. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 52. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000c. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku III Rencana Umum Tata Ruang.Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 53. Kepmenhut No. 175/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 113.357 Hektar Di Provinsi Jawa Barat Dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak PERDA PROVINSI JAWA BARAT 54. Perda Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 2 /1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat 55. Perda Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No.32/2000 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar Pengadilan 56. Perda Provinsi Jawa Barat No. 19/ 2001 tentang Pengurusan Hutan 57. Perda Provinsi Jawa Barat No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 58. Perda Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 48/2006 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPDA) Provinsi Jawa Barat KABUPATEN BOGOR 59. Perda Kabupaten Bogor No. 2/2000 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa 60. Perda Kabupaten Bogor No. 3/2000 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 61. Perda Kabupaten Bogor No. 4/2000 tentang Badan Perwakilan Desa dan Tata Cara Pembentukannya 62. Perda Kabupaten Bogor No. 7/2000 tentang Peraturan Desa 63. Perda Kabupaten Bogor No.8/2000 tentang Sumber Pendapatan Desa 64. Perda Kabupaten Bogor No. 17/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 65. Perda Kabupaten Bogor No.22/2000 tentang Kerjasama antar Desa KABUPATEN SUKABUMI 66. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi 2006-2010 (Draft Lap. Akhir). 67. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sukabumi (RPJM) 2006-2010 PERDA PROVINSI BANTEN 68. UU No. 23/2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten 69. Perda No. 36/2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 70. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Banten (RPJM) 2007-2012 KABUPATEN LEBAK 71. Perda No. 13/1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak
Lampiran 4 Daftar dokumen untuk analisis ekowisata
1. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku I Rencana Kegiatan Pengelolaan. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun.2000b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku II Data Umum dan Proyeksi Analisis. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 3. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2000c. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2024 : Buku III Rencana Umum Tata Ruang. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 4. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. [tanpa tahun]. Upaya Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Kabandungan: kerjasama Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA. 5. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. [tanpa tahun]. Taman Nasional Gunung Halimun. Kabandungan: kerjasama Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA. 6. [BTNGH] Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2005. Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan: Balai TNGH, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 7. [BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 2007-2026 : Ringkasan. Balai TNGHS, Direktorat Jenderal Perlindungan Alam dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Dipresentasikan pada konsultasi publik tanggal 21 Februari 2007 di Hotel Brajamustika Bogor. 8. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. [tanpa tahun]. Visitor Information of Cikaniki Research Station in Gunung Halimun National Park. Jakarta:kerjasama Biro Kerjasama IPTEK, LIPI dengan BTNGH-JICA. 9. Ambinari, M. 2003. Pengkajian Terhadap Strategi Promosi Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 10. Dedi, R., Andianto. 2003. Ecotourism Guidebook Gunung Halimun National Park: Ciptarasa Village. Setyono, D., K. Hiroshi, A. Muzakir, S. Ozawa, T. Hartono, G. Mulcahy (editors). Sukabumi: kerjasama BTNGH dan YEH. 11. Hartono, T. 2005. Catatan Proses Perkembangan Aktivitas Wisata Alam di TNGH. Bogor: Yayasan Ekowisata Halimun 12. Hartono, T. 1999. Ringkasan Pengalaman Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. dalam Sudarto, G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan
260
261
Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bekasi: Yayasan Kalpataru Bahari. Hal 78-84. 13. Hasibuan, G.S. 2003. Pengembangan Ekowisata di TNGH. Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen Kehutanan dan BCP, JICA. 14. Horiuchi, H. 1997. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park. Di dalam Nijima, K. H. Horiuchi, N. Sukigara, K. Harada [editor]. 1997. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume I: General Review of the Projject. Bogor: LIPI-JICA-PHPA 15. Horiuchi, H. 1998. Study of Ecotourism in Gunung Halimun National Park-2. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA 16. Horiuchi, H. 1999. Developing an Action Plan for Eco-tourism in Gunung Hallimun National Park by JICA Project. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPIJICA-PHPA. 17. Joy, R. 1999. Strategi Pengembangan Kegiatan /Usaha Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal di Taman Nasional Gunung Halimun. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. 18. Keiji, N., O. Seiji, Sudarmadji, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, L.W. Muslihat, G.S. Hasibuan, E. Wahyuningsih, D. Purwanto dan Glen.2001. Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National Park. Keiji, N. [editor]. Bogor: Biodiversity Conservation Project-Japan International Cooperation Agency (BCP-JICA). 19. Kepala Bappeda Dati I Jawa Barat. 1999. Peranan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pengembangan Wisata Alam di TNGH. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 65-74 20. Kepala Dinas Pariwisata Dati I Jawa Barat. 1999. Peranan Dinas Pariwisata dalam Mendukung Pengembangan Wisata Alam. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. Halaman 75-80 21. Naibaho, HA. 2002. Studi Perilaku Pengunjung Dalam Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 22. Nakashima, K. 2000. Ecotourism Action Plan in TNGH. Makalah dalam Lokakarya Pengembangan Ecotourism di Taman Nasional. Hotel Safari Garden, Cisarua, Bogor 1-2 Nopember 2000. Bogor: PHPA-JICA. 23. Nugraheni, E. 2002. Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 24. Ozawa, S. A. Muzakkir, A. Rozaq, G.S. Hasibuan, Kuswandono. 2003. Kegiatan Ekowisata di TNGH (Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati). Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung
262
Halimun, Hotel Kinasih, Caringin - Bogor 18-19 Februari, 2003. Departemen Kehutanan dan BCP, JICA. 25. Ozawa, S., A. Muzakir, A. Rozaq, G.S. Hasibuan, Kuswandono, Widada. 2002. Ecotourism in Gunung Halimun National Park. Di dalam Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume XII. halaman 73-84. Bogor: LIPI-JICA-PHPA 26. Purwanto, D., M. Pakpahan, N. Keiji, A. Mujakir. 2001. Ecotourism Guide Book Gunung Halimun National Park: Leuwijamang Village. Sudarmadi, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, E. Wahyuningsih, K. Hiroshi, dan O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA. 27. Purwanto, D. 2007. Aktualisasi Ekowisata Berbasis Masyarakat di TNGHS. Bogor: Yayasan Ekowisata Halimun (YEH). Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA. 28. Putro, HR. 1999. Institution and Partnership in the Deevelopment of Ecotourism in Halimun National Park. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPIJICA-PHPA. 29. Saigawa, K. 1998. Report on Study of Eco-tourism Development in Gunung Halimun National Park. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA 30. Saparjadi, K (Direktur BKPA). 1999. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kegiatan Usaha Wisata Alam. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development Bogor-Caringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPIJICA-PHPA. 31. Setyono, D. 2006. Perkembangan Ekowisata di TNGHS. Makalah yang di presentasi dalam acara saresehan ekowisata di Hotel Semeru, 7 Februari 2006. 32. Sproule, KW., A.S. Suhandi. 1998. Guidelines for Community-Based Ecotourism Programs: Lessons From Indonesia. Di dalam Lindberg, K., M.E. Wood, D. Engledrum (editors). 1998. Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. Volume 2. North Bennington, Vermont: The Ecotourism Society. 33. Susmianto, A., EKSH. Muntasib, Sunaryo, R. Joy, H.R. Putero, I. Kadar [tim perumus]. 1999. Rumusan Hasil Workshop Pengembangan Wisata Alam TNGH. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development BogorCaringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. 34. Susmianto, A. 1999. Potensi dan Peluang Usaha Wisata Alam di TNGH. Di dalam Proceedings Workshop on Ecotourism Development BogorCaringin, 9-10 March 1999. Bogor: LIPI-JICA-PHPA. 35. Takashashi, S. 1998. Integrating Field-based Research and Community-based Ecotourism: Case Study of the Management of the Research Station in Gunung Halimun National Park, West Java. Di dalam Horiuchi, H, Y. Sakuma [editor]. 1998. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Volume III: Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park. Bogor: LIPI-JICA-PHPA
263
36. Triono, T., N. Keiji, G.N.S. Mulcahy, O. Seiji, A. Muzakkir, A. Supriatna, Sopian. 2002. A Guide to Cikaniki-Citalahab Looptrail Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Sudarmadi, Abdurrozak, Widada, E. Wahyuningsih, G.N.S. Mulcahy, K. Hiroshi, O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA. 37. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 38. Wijaya, H. 2007. Kondisi, Potensi dan Kendala Pengembangan Ekowisata di TNGHS. Counterpart GHSNP-MP. Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA.
Lampiran 5 Analisis kebijakan proses penetapan taman nasional KODE DATA RATER
: .................... : ....................
1 1. Apakah peraturan perundangan ini mengatur mengenai 1 : a. Inventarisasi hutan b. Pengukuhan kawasan hutan: (1) Penunjukan (2) Penataan Batas (3) Pemetaan (4) Penetapan 2. Apakah peran stakeholder berikut ini diatur dalam peraturan perundangan ini? a. Pemerintah Pusat b. Pemerintah Provinsi c. Pemerintah Kabupaten d. Kecamatan dan Desa e. Masyarakat f. Stakeholder lainnya 3. Jika ya, sebutkan peran stakeholder berikut ini : a. Pemerintah Pusat b. Pemerintah Provinsi c. Pemerintah Kabupaten d. Kecamatan dan Desa e. Masyarakat f. Stakeholder lainnya
2
3
Petunjuk Pengisian: 1. Gunakan kata kunci: taman nasional, kawasan pelestarian alam, kawasan konservasi, kawasan lindung untuk mencari kebijakan yang relevan dengan topik penelitian. 2. Kolom 1 = variabel yang diidentifikasi dalam kebijakan; 3. Pertanyaan nomor 1, 2, dan 3 untuk Kolom 2 = jawab 1 jika YA atau 0 jika TIDAK; 4. Pertanyaan nomor 1dan 2 untuk Kolom 3 = Jika YA sebutkan pasal dan/atau ayat yang menyebutkan variabel tersebut; dan pengisian pasal yang diacu oleh rater, digunakan untuk melakukan verifikasi apakah interpretasi jawaban berdasarkan pasal yang sama. Jika pasal yang diacu lebih > atau = 3 dan perbedaan hanya satu pasal maka interpretasi (rater) dianggap sama, Tapi jika perbedaan pasal yang diacu > atau = 2 maka variabel yang dinilai dianggap 0 atau tidak terjadinya kesepakatan antar rater. Jika Pasal yang diacu = 2 dan terdapat perbedaan 1 pasal yang diacu maka variabel yang dinilai dianggap 0 atau tidak terjadinya kesepakatan antar rater. 5. Pertanyaan nomor 3 untuk kolom 3, jika a, b,c,d,e, atau f pada nomor 2 dijawab Ya maka sebutkan peran stakeholders yang disebutkan dalam kebijakan normatif tersebut. 6. Pengukuhan kawasan ialah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan kepastian hukum (Pasal 14 ayat 2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan); Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui proses inventarisasi, penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan (Pasal 1 ayat 3 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 7. Inventarisasi kawasan ialah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang SDA (sumberdaya alam), potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap mulai tingka nasional, wilayah, DAS sampai unit pengelolaan (Pasal 13 ayat 1 dan 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan). 8. Penunjukan ialah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah provinsi atau partial/kelompok hutan (Pasal 1 ayat 4 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 9. Penataan Batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif (Pasal 1 ayat 5 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 10. Pemetaan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Berita Acara Tata Batas. (Pasal 1 ayat 6 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001). 11. Penetapan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri (Pasal 1 ayat 7 Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001).
1 Disusun berdasarkan pengertian kegiatan pengurusan hutan dalam Bab III Pasal 9 UU No.5/1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan Bab III Pasal 10 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
264
Lampiran 6 Analisis penilaian kecukupan ekowisata di TNGH Kode Data Rater FAKTOR 1. Landasan Pengelolaan
: .................... : .................... VARIABEL A. Definisi
SUB-VARIABEL 1) Pengetahuan responden terhadap konsep ekowisata
2) Definisi Ekowisata menurut responden
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
1. Apakah responden mengetahui atau pernah mendengar istilah ekowisata / pariwisata alam/wisata alam? atau apakah istilah ekowisata/pariwisata alam/wisata alam disebut dalam dokumen ini? a. Ya b. Tidak 2. Apakah definisi/pengertian ekowisata menurut responden/dokumen? a. Aktivitas Wisata alam b. Aktivitas Wisata budaya c. Aktivitas wisata agro d. Aktivitas penelitian e. Pengembangan wisata yang memberi manfaat ekonomi bagi kawasan konservasi dan masyarakat lokal f. Pemanfaatan SDA untuk mendukung konservasi g. Kegiatan membawa turis ke obyek wisata h. Pemanfaatan SDA untuk meningkatkan ekonomi masyarakat desa i. Pendidikan lingkungan untuk masyarakat j. Wisata lingkungan k. Kegiatan alternatif untuk mengurangi tekanan Penduduk l. Pilihan a, b, dan c m. Pilihan a dan d
265
FAKTOR
VARIABEL
SUB-VARIABEL
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
h. Tidak tahu/ Tidak ada informasi B. Pemanfaatan untuk Perlindungan
2. Partisipasi Masyarakat
A. Karakteristik masyarakat
1) Tujuan pengembangan
3. Dimana ekowisata diselenggarakan? a. Kawasan alami b. TNGH c. Kawasan Pedesaan sekitar TNGH d. Kawasan cagar budaya e. Kawasan Budidaya (Perkebunan Teh, sawah) f. TNGH dan sekitarnya g. Tidak tahu 4. Apa tujuan pengembangan Ekowisata? a. Pengenalan alam dan pendidikan LH bagi wisatawan b. Konservasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar c. Meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat d. Sumber income bagi kawasan konservasi e. Konservasi/pelestarian f. Penelitian g. Pemicu pertumbuhan ekonomi kawasan sekitar h. Mengurangi tekanan penduduk terhadap TNGH i. Tidak ada informasi 5. Apakah karakteristik budaya masyarakat yangmenjadi responden atau yang dibahas dalam dokumen? a. Umum/ non-adat b. Adat c. Campuran: adat dan non-adat d. Tidak ada informasi
266
FAKTOR
VARIABEL
SUB-VARIABEL
B. Keterlibatan masyarakat
C. Inisiatif partisipasi
D. Siapa saja yang dilibatkan
1) Institusi lokal
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
6. Dimana lokasi pemukiman masyarakat tersebut (no. 5)? a. di luar kawasan TNGH b. di dalam kawasan TNGH c. Enclave d. Campuran: di dalam dan di luar kawasan TNGH e. Tidak ada informasi 7. Apakah masyarakat terlibat/dilibatkan dalam pengembangan ekowisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 8. Siapakah yang berinisiatif untuk berpartisipasi mengembangkan ekowisata? a. Masyarakat b. Balai TNGH c. Pemda d. Donor e. LSM/ Konsorsium f. Masyarakat dan LSM (Konsorsium) g. Tidak ada informasi h. Investor 9.Lingkup Wilayah masyarakat yang dilibatkan? a. b. c. d.
Kampung Desa Beberapa kampung saja Lainnya: Kawasan sekitar TNGH
267
FAKTOR
VARIABEL
SUB-VARIABEL
2) Status ekonomi
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
e. Tidak ada informasi 10. Unsur masyarakat yang terlibat/dilibatkan? a. Aparat Desa/Kecamatan/Kabupaten/Propinsi b. Tokoh Masyarakat/Pemuda/sesepuh c. Organisasi Lokal d. Pilihan a&b e. Pilihan a&c f. Pilihan a,b&c g. Tidak tahu/tidak ada informasi 11. Status ekonomi masyarakat yang terlibat/dilibatkan? a.
3) Gender
4)Lokasi pemukiman masyarakat
Pendapatan tinggi (memiliki lebih dari satu sumber pendapatan) b. Menengah (PNS, aparat desa, pemilik lahan, dll) c. Rendah (Buruh upah) d. Tidak ada informasi 12. Apakah baik laki-laki maupun perempuan dilibatkan dalam kegiatan pengembangan ekowisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 13. Lingkup wilayah masyarakat yang dilibatkan/terlibat? a. b. c. d. e.
Seluruh kampung di desa Kampung disekitar obyek wisata saja Lainnya: kawasan sekitar TNGH Kampung yang berminat saja Tidak ada informasi
268
FAKTOR
VARIABEL
SUB-VARIABEL
E. Level partisipasi
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
14. Pada level partisipasi yang mana masyarakat dilibatkan? a. b. c. d. e.
Berbagi informasi Proses nominal (masyarakat hanya jadi pekerja) Konsultasi (masyarakat ikut dalam berbagai bentuk konsultasi publik: FGD, rembug desa, lokakarya, dll) Pilihan gabungan jawaban a&b Pilihan gabungan jawaban a&c
f.
3. Produk Ekowisata
A. Kegiatan Pendidikan Lingkungan
1) Jenis aktifitas wisata yang ditawarkan
Inisiasi aksi: masyarakat yang mempunyai inisiatif, melakukan perencanaan, dan melaksanakannya (gabungan a,b,&c,) g. Pengambilan keputusan : masyarakat bagian dari manajemen pengelolaan yang memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan (gabungan a,b,c,&d) h. Tidak tahu/ tidak ada informasi 15. Produk /Aktifitas wisata apa saja yang ada/ditawarkan untuk kegiatan ekowisata ? a. b. c. d. e. f. g.
Wisata alam (Pengamatan flora dan fauna, obyek wisata alam lainnya, lintas alam) Wisata agro: mengunjungi pabrik/perkebunan teh, kebun, sawah dll Wisata sejarah : mengunjungi situs/candi/dll Wisata budaya: melihat acara seperti seren taun, menikmati makanan khas, Pilihan a&b Pilihan a, b &c Pilihan a,b,c,&d
269
FAKTOR
VARIABEL
SUB-VARIABEL
2) Tujuan wisatawan
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
h. Pilihan a,b,&d i. Pilihan a & c j. Pilihan a,& d k. Pilihan b & c l. Pilihan b & d m. Pilihan c & d n. Tidak ada informasi 16. Unsur yang terkandung pada produk ekowisata (no.15)? a. Pendidikan /Pembelajaran/Pengenalan lingkungan/Penelitian b. Rekreasi c. Pilihan a&b d. Tidak ada informasi 17. Apakah tujuan kedatangan wisatawan : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Pendidikan/Pengamatan &Pengenalan alam Penelitian Rekreasi: berkemah, lintas alam, fotografi, dll Lainnya: Jiarah, silahturahmi, Pilihan a&b Pilihan a, b &c Pilihan a,b,c,&d Pilihan a & c Pilihan a,& d Pilihan b & c Pilihan b & d Pilihan c & d Tidak ada informasi
270
FAKTOR 4. Ekonomi
VARIABEL A. Dampak langsung
SUB-VARIABEL 1) Peluang Kerja
2) Peningkatan Pendapatan
3) Pendapatan Daerah
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
18. Peluang pekerjaan yang ada akibat pengembangan ekowisata ? a. Guide, Porter, Buruh atau yang dipekerjakan b. Pengelola usaha akomodasi, transportasi, konsumsi, dll c. Bagian dari manajemen pengembangan d. Pilihan a dan b e. Pilihan a,b, dan c f. Tidak ada/ Tidak ada informasi 19. Apakah ada peningkatan pendapatan selama terlibat dalam kegiatan pengembangan ekowisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 20. Jika ya, berapakah jumlah peningkatan pendapatan yang diterima dari kegiatan ekowisata? a. Di atas pendapatan pokok dari hasil sawah (Desa Malasari: + Rp. 300.000/bln/0,25 Ha) b. Di bawah pendapatan pokok dari bertani c. Tidak tentu d. Tidak ada informasi 21. Apakah pendapatan dari ekowisata diterima oleh kas desa sebagai pajak/retribusi wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 22. Apakah pendapatan dari ekowisata diterima oleh kas kecamatan sebagai pajak/retribusi wisata?
271
FAKTOR
VARIABEL
B. Dampak Tidak langsung
SUB-VARIABEL
1) Diversifikasi kegiatan ekonomi
DAFTAR PERTANYAAN
DOKUMEN Ya Tidak
RESPONDEN Ya Tidak
a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 23. Apakah pendapatan dari ekowisata diterima oleh kas Kabupaten sebagai pajak/retribusi wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 24. Apakah pendapatan dari ekowisata diterima oleh kas TNGH sebagai pajak/retribusi wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 25. Apakah kegiatan pengembangan ekowisata di lokasi studi menimbulkan peluang kerja baru ? a. Ya b. Tidak c. Tidak ada informasi 26. Bentuk peluang kerja apa saja yang mendapat manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata ? a. Jasa : tour operator/travel agent, guide, transport, wisma, guest house, dll b. Produksi: penjual makanan, cindera mata, dll c. Gabungan a, dan b d. Tidak ada informasi
272
Lampiran 7 Sejarah pengelolaan di TNGH dan di 4 lokasi studi TAHUN
<1381
1381-1556
1556-1729
1700an 1729-1797
1797-1832
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA LEUWIJAMANG CITALAHAB PANGGUYANGAN 2 Desa Cisarua, Desa Malasari Desa Sirnarasa, Kecamatan Sukajaya Kecamatan Nanggung Kecamatan Cikakak, Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor Kabupaten Sukabumi Pusat kekuasaan kasepuhan (Kampung Gede) berpindah 4 kali 3 ( catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004). Pusat kekuasaan berpindah ke Cipatat, Urug, Bogor dipimpin oleh Aki Buyut Ros (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Pusat kekuasaan berpindah ke Banten di 8 lokasi 4 (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004). Pembukaan tanah-tanah perkebunan di Sukabumi dan Bogor (Adimihardja 1992: 179; Galudra 2006) Pusat kekuasaan berpindah ke Lebak Binong, Banten. Pemimpin saat itu adalah Aki Buyut Kayon (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Pusat kekuasaan berpindah ke Pasir Talaga, Priangan. Pemimpin saat itu adalah Aki Buyut Santaiyan (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004)
1
Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu kasepuhan yang berada di Banten (Moniaga 2004: 7). Kasepuhan ini memiliki kekerabatan lebih dekat dengan Suku Baduy dibandingkan dengan Kasepuhan Citorek (hasil wawancara dengan nara sumber pada 7 Januari 2007). 2 Di kawasan Halimun terdapat 3 kasepuhan yang dipercaya oleh 9 komunitas untuk menjaga Halimun yaitu: Kasepuhan Urug, Kasepuhan Cipta Gelar (dulu di Ciptarasa), dan Kasepuhan Citorek (Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004). 3 Lokasi perpindahan Kasepuhan : Sendi dan Kaduluhur di Bogor serta Guradog Kaler dan Lebak Binong di Banten. Terakhir dipimpin oleh Sesepuh Buyut Rembang Kuning (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam (Rahayu 2004). Mengacu pada penelitian yang dilakukan ahli sejarah Sunda seperti Tubagus Roesjan (1954), Atja (1968), Danasasmita (1983), Djajadiningrat (1983), Ekadjati (1984), Moh. Amor Sutaarga (1984), dan juru pantun Ki Baju Rambeng (1908), Adimihardja (1992: 14-26) menyimpulkan bahwa cikal bakal Kasepuhan berasal dari Kerajaan Sunda-Hindu Padjajaran yang runtuh sekitar abad 16 M. 4 Pasir Gombong, Ciear, Cimanaul (Maja Leuwiruruh), Bongkok, Cibeber, Pasir Talaga (Priangan), dan Lebak Larang. Pemimpin saat itu adalah Aki Buyut Gondo (catatan pada buku milik Sesepuh Girang dalam Rahayu (2004).
273
TAHUN
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
1800an
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Kampung Leuwijamang dibuka oleh orang dari Kasepuhan Citorek untuk huma (Nugraheni 2002; Purwanto et al. 2001)
1832-1895
Pusat kekuasaan berpindah ke Tegallumbu,, Banten dan Cicadas (Priangan) dipimpin oleh Aki Buyut Arikin (catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Pusat kekuasaan berpindah ke Bojong Cisono, Banten dan Cicemet, Priangan dipimpin oleh Aki Buyut Jasiun (catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Cikal bakal kampung sudah ada di sekitar Desa Sirnarasa (Harada et al. 2001)
1895-1937
1900an
1913
Tanah-tanah perkebunan diberikan hak pemilikan kepada masyarakat (Galudra 2006)
1915
1916
penemuan bijih emas oleh geologi (BTNGH 200b:I-7)
1924
Penambangan di Cikotok oleh WF Oppennorth (BTNGH 200b:I-7) dibawah pemerintahan Belanda, kawasan Gunung Halimun
1924-1934
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
Pemerintah penjajah Belanda mengijinkan masyarakat untuk menggarap lahan didaerah Cisarua 5 . Bukti hak kepemilikan Capsinga (Adimihardja 1992; Harada et al. 2001). Penataan batas kawasan hutan di Sukabumi oleh Belanda (Suharyono 2007)
5
Saat itu, ada sekitar 5 rumah yang berdiri dan sejumlah ladang yang tersebar lokasinya. Kawasan disekitar Ciptarasa tidak diperkenankan ditempati dan dijadikan sebagai hutan lindung untuk mencegah invasi masyarakat (Harada et al. 2001).
274
TAHUN
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha (BTNGH 2000b:I-33s/d34; Widada 2004:46). 1926
Penetapan kawasan hutan (sekarang kawasan TNGH dan Perhutani) oleh Belanda (Suharyono 2007)
1930an
9 keluarga mulai bermukim di Jamang, Cisalak, dan Sarongge (Nugraheni 2002:132)
1930-40
Konflik lahan mengenai status huma antara karesidenan Banten vs Jawatan Kehutanan (Galudra 2006) Masa pemerintahan Residen Banten, F.G. Putman Craemer. Cibedug secara administratif merupakan bagian dari Desa Citorek dan tercatat dalam memori Residen Banten 24 Februari 1931 sbg daerah dengan sistem bersawah yang patut dicontoh oleh desa lainnya di Banten (Arsip Nasional Republik Indonesia 1980 dalam Moniaga 2004) Penelitian menmgenai situs Cibedug oleh Van der Hoop. Studi ini menegaskan adanya pemukiman di kawasan tersebut (Van der Hoop 1932:63-64):
1931-1940
1932
1935-1961
dibawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Indonesia Cq. Djawatan Kehutanan Jawa Barat, status kawasan Gn Halimun berubah menjadi Cagar Alam (BTNGH 2000b:I-33; Harada et al. 2001; Widada 2004:46).
275
TAHUN
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
1936
NV Mijnbow Maatschapay Zuid Bautam, sebuah perusahaan swasta mulai menambang di bagian timur dan timur laut dalam kawasan TNGH (BTNGH 2000b:I-7)
1937-1960
Pusat kekuasaan berpindah ke Cikaret, Priangan (Sukabumi). Pemimpin saat itu adalah Aki Rusdi (catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Pendudukan Jepang menyatakan bahwa Sampai dengan 1942 sudah kebijakan kehutanan yang ditetapkan mengalami 8 kali perpindahan 6 Belanda tidak berlaku lagi. Masyarakat (Hanafi et al. 2004). kemudian melakukan invasi ke kawasan hutan lindung (Harada et al. 2001) Perang Dunia II. Pertambangan 1942, setelah mengalami beberapa Selama pendudukan Jepang penduduk Cikotok mulai dikelola oleh kali perpindahan kampung, sampai kasepuhan tinggal di Cicadas dan orang Jawa (BTNGH, 2000b:I-7) di wewengkon Kasepuhan Cibedug Cicemet di tahun 1942 (Harada et al. (Hanafi et al. 2004). 2001) Pembukaan hutan di seluruh kawasan TNGH karena ketidak pastian hukum (Adimihardja 1992; Galudra 2006) Pada saat penjajahan Jepang, 3 Penduduk kasepuhan pindah ke keluarga sampai di Cibedug Sirnaresmi (Harada et al. 2001) (Harada et al..2001) Penambangan dibuka kembali Sampai Desember 2006 secara oleh NV Tambang Emas Cikotok administratif menjadi bagian Desa (BTNGH 2000b:I-7). Citorek Jumlah penduduk Cibedug Pusat kekuasaan berpindah ke Cikaret, bertambah menjadi 40 KK (Harada Priangan (Sukabumi). Pemimpin saat itu et al. 2001) adalah Abah Ardjo (catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004) Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani (Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46)
1942
1942-1945
1944 1945
1950
1960-1972
1961-1978
6
TNGH
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
siklus lokasi perpindahan sebagai berikut: Sajra, Lebak, Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, Sangiyang, Wewengkon Cibedug (Hanafi et al. 2004).
276
TAHUN
1968
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Pusat kekuasaan berpindah ke Ciganas, Sirnarasa (Sukabumi). Pemimpin saat itu adalah Abah Ardjo. Menurut Harada et al. (2001) kasepuhan pindah ke Sirnarasa pada tahun 1974.
1973
1977
Pebruari 1978
1979
1979-1990
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
NV Tambang Emas Cikotok nama perusahaan diubah menjadi PT Aneka Tambang (BTNGH 2000b:I-7)
1972-1980
1977
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
Perkebunan teh PT Ciangsana menguasai lahan di Kampung Citalahab I, Citalahab Sentral, Legok Jeruk, Legok KarangCiwalen (RMI 2001:26) Semua hutan lindung di JABAR diserahkan pengurusannya kepada Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam (BTNGH 2000b:I-33). Atas dasar peta Brigade Planologi Penjajah Belanda, Cagar alam Gn Halimun diperluas menjadi 40.000 Ha (BTNGH 2000b:I-33). Kawasan Cagar Alam Gn Halimun dan semua kawasan hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya kepada Perum Perhutani (BTNGH 2000b:I-33). Kawasan Cagar Alam Gn Halimun diperluas menjadi 40.000 ha (BTNGH 2000b:I-33) Pengelolaannya di bawah Dirjen PPA, diawasi dari kantor Pelestarian SDA Jawa Barat (BTNGH 2000b: I-41). Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Balai KSDA III
Sejak dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat diwajibkan membayar pajak hasil panen (Harada et al. 2001)
Kampung Sirnarasa berdiri sebagai bagian dari Desa Cikakak (Martono dan Suwartapradja 2006)
277
TAHUN
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
(Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46) 1980-1982
Tahun 1982 ketika pemerintah hendak melakukan tata batas, masyarakat Cibedug tidak diberi informasi (Harada et al. 2001)
1982-2000
Pusat kekuasaan berpindah ke Ciptarasa, (Sukabumi). Pemimpin saat itu adalah Abah Anom. Ditempati oleh 245 warga Kasepuhan yang tinggal dalam 60 rumah (Dedi dan Andianto 2003; Harada et al. 2001) Desa Cikakak terbagi dua menjadi Desa Sirnarasa dan Desa Margalaksana (Martono dan Suwartapradja. 2006)
1984
1985-1990
1985
1986
Pusat kekuasaan berpindah ke Linggarjati, Cisarua, (Sukabumi). Pemimpin saat itu adalah Abah Ardjo (Harada et al. 2001)
PT Aneka Tambang melakukan penelitian dan menemukan lima lokasi potensial di dalam dan di luar kawasan (BTNGH 2000b:I7) Batas Cagar Alam Gunung Halimun sudah ditetapkan. Pal batas merupakan tanda fisik dilapangan yang belakangan hilang atau rusak. Tidak ada peta tata batas (BTNGH 2000a:V-2). Salah satu anggota kasepuhan (Ahmad Astara) secara resmi menjadi sebagai juru pelihara (kuncen) yang bertugas memelihara situs cibedug 7
7
Berdasarkan surat Keterangan No. 299/101.3.12/J/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, Kantor Kecamatan Bayah, C.q Pemilik Kebudayaan. a/n Achmad Badjadji pada 15 Juni 1986. Sampai saat ini, biaya pemeliharaan situs tersebut berasal dari sumbangan sukarela pengunjung (dokumentasi Kasepuhan Cibedug dan hasil observasi).
278
TAHUN
TNGH
1987
1990-1992
1991
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Polisi hutan datang ke Cibedug dan memberitahukan bahwa wilayah yang mereka tinggali adalah kawasan hutan negara (Moniaga 2004:7) Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh TN Gede Pangrango (Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46) Pertambangan di Cikotok selesai, namun dilanjutkan dengan penambangan di Gn Pongkor dimulai dan persiapan penambangan di Cikidang (BTNGH 2000b:I-7)
Opsi transmigrasi ditawarkan pemerintah namun ditolak oleh masyarakat Cibedug (Harada et al. 2001)
1992
26 Pebruari 1992
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
Perkebunan teh PT Nirmala Agung menguasai sebagian lahan di Desa Malasari 8 . Sementara sebagian lahan Desa Malasari lainnya dinyatakan sebagai bagian dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun 9 (RMI 2001:26). TNGH ditetapkan sebagai taman nasional 10 . Tanggung jawab pengelolaan berada di bawah TN Gunung Gede Pangrango 11 (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34).
1992 Wewengkon Cibedug masuk kawasan TNGH dan berstatus encrouchment 12
8
Kampung Citalahab I, Citalahab Sentral, Legok Jeruk, Legok Karang-Ciwalen. Kampung Hanjawar, Garung, Citalahab dan Legok Jeruk. 10 Berdasarkan SK MenHUt No. 282/Kpts-II/1992. 11 Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 1544/DJ-VI/TN/1992. 12 Encrouchment ialah status dimana masyarakat menempati suatu lokasi namun tidak diakui keberadaannya (Saputro 2006:27). 9
279
TAHUN
TA 1994/1995
1996 dan 1997
26 Pebruari 1997
1998-2003
1998
TNGH
dilakukan pelaksanaan orientasi tata batas terutama dengan enclave Nirmala. 1995/1996 pelaksanaan rekonstruksi tata batas dengan enclave (BTNGH 2000a: V-2). situasi kawasan TNGH tidak aman sehingga memerlukan operasi gabungan antara ABRI dan Pemda setempat (BTNGH 2000a: V-37 s/d 44). UPT Balai TNGH 13 setingkat eselon III dengan 3 sub-seksi: Cikidang (Kabupaten Sukabumi), Cigudeg (Kabupaten Bogor), dan Bayah, Kabupaten Lebak (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46). TNGH mendapatkan bantuan dari pemerintah Jepang melalui program Biodiversity Conservation Project Phase II 14 (Widada 2004: 53): 4 dokumen hasil penelitian mengenai KH dan sistem informasi (LIPI, JICA & PHPA) merekomendasikan penyusunan managemen plan/ rencana pengelolaan kawasan.
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Kuncen Situs Cibedug diganti oleh Ki Asbaji melalui surat keterangan yang direvisi secara informal oleh nama pejabat 15 yang sama karena meninggalnya Bpk Ahmad Astara.
13
melalui SK MenHUt No. 185/Kpts-II/1997 BTNGH ditetapkan. Dimanfaatan antara lain untuk : penguatan sumberdaya manusia TNGH; pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana ekowisata; dan materi informasi ekowisata (leaflet, guide book, CD program, dan peta ekowisata). 15 Pada saat itu Bpk Achmad Badjaji mengatasnamakan sebagai koordinator kasepuhan Banten Kidul. 14
280
TAHUN
1999
1999
1999
2000
2000-2003
2001
TNGH
Laporan program kolaborasi TNGH dengan masyarakat dapat dilihat pada dokumen yang dikeluarkan oleh LIPI, JICA dan PHPA 16 . pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan. Penataan tata batas luar belum dilaksanakan (BTNGH 2000a: V-2). elang jawa, owa jawa dan macan tutul ditetapkan sebagai spesies kunci RPTNGH merekomendasikan untuk membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi (BTNGH 2000a; Widada 2004:47) Phase II Proyek BCP kerjasama BTNGH-LIPI-JICA
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Petugas kehutanan mendatangi Cibedug dan menyebutkan status masyarakat Cibedug sebagai penduduk liar atau “encroacher” dan wilayah mereka adalah bagian dari TNGH 17 (Moniaga 2004).
Pusat kekuasaan berpindah ke Ciptagelar, (Sukabumi). Pemimpin saat ini adalah Abah Anom (Dedi dan Andianto 2003)
Tahun 2000, masyarakat adat mulai terbuka mengenai siapa diri mereka dan mulai mencari ‘berjuang’ untuk mencari pengakuan
Proyek Revitalisasi Kampung Adat Ciptarasa dari Menkimpraswil (Hartono 2005)
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Laporan sosialisasi program sistem informasi TNGH dengan mitra kerja dapat dilihat pada dokumen yang dikeluarkan oleh LIPI, JICA dan PHPA 18 .
16 Harada, Widada, H. Noveriawan. 1999. Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Volume V Collaborative Management of Forest with Local People in and around Gunung Halimun National park in Indonesia 17 Terjadi penyitaan alat-alat pertanian. Masyarakat saat itu setuju untuk menyerahkan sebagian hasil pertanian mereka agar bisa tetap tinggal dan bertani (Moniaga 2004). Setelah observasi dilakukan, diperoleh informasi bahwa yang melakukan penyitaan dan memungut sebagian hasil pertanian di Kampung Cibedug ialah petugas dari Perum Perhutani. 18 Judul dokumen: Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Volume VI Nature Comservation Information Center-Information System
281
TAHUN
2001
Sampai Desember 2003
2003
2004 -
2021
TNGH
Laporan sosialisasi program sistem informasi TNGH dengan mitra kerja dapat dilihat pada dokumen yang ditulis oleh Kazuhiro HARADA et al. 2001 19 . TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif (Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:47). Berdasakan SK Menhut No. 175/2003, kawasan TNGH diperluas menjadi 103 Ha dan berganti nama menjadi TNGHS (BTNGH 2000a: V3-5) 20 Park Management TNGHS Project kerjasama BTNGHS dengan JICA (Hartono 2005)
KASEPUHAN CIBEDUG 1 Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN 2 Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Tahun 2003, RMI mulai masuk ke Kampung Cibedug dan mendapat kepercayaan dari kasepuhan untuk mendampingi mereka dalam mencari ‘pengakuan’. Perluasan Kawasan TNGH Keberadaan Wewengkon Cibedug secara legal semakin terdesak.
Kejadian pada tahun 2000 terulang lagi. ’Pemerasan” oleh oknum petugas kehutanan (Perum Perhutani) ditolak oleh masyarakat 21
penambangan di Gn Pongkor diperkirakan selesai
19
Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Volume VII Traditional People and Biodiversity Conservation in Gunung Halimun National Park Dasar perluasan kawasan TNGH adalah 1) Studi detail Gunung Salak dan Gunung Endut yang menyebutkan bahwa a) terjadi pemecahan ekosistem; b) masih adanya kawasan hutan yang cukup luas yang dikelola Perum Perhutani di luar kawasan TNGH yang dapat digunakan sebagai kawasan penyangga dari tekanan penduduk; dan c) untuk menghindari isolasi satwa, penyatuan hutan lindung Gn. Salak dan Gn. Endut dengan kawasan TNGH ini juga dianggap bisa digunakan sebagai koridor (penghubung) bagi satwa-satwa. 2) Studi Hutan Lindung Ciusul yang menyebutkan a)adanya degradasi dibagian Barat yaitu bagian Barat dan Utara Kampung Citorek. Sedangkan sisi Selatan kampung Citorek yaitu ”dekat Ciusul (diluar kawasan TNGH) cukup terjaga dan jauh lebih baik kondisinya dari bagian taman nasional tadi. Oleh karenanya untuk menyerasikan keadaan, perlu dipertimbangkan pertukaran kedua lokasi tersebut.”; b) usulan penambahan areal TNGH, konstruksi Batas Baru, dan Penyusunan Rencana Pengelolaan; dan c) berdasarkan hasil kedua studi diatas, berdasarkan evaluasi tingkat kelayakan dan sensitifitas aspek-aspek biologi, fisik, dan aspek sosial ekonomi akan diusulkan perluasan dan batas baru. 21 Sumber: Catatan lapangan RMI dalam Moniaga, 2004 dan Hasil interview penulis dengan nara sumber pada bulan Desember 2006. 20
282
Lampiran 8 Sejarah pengembangan ekowisata Tahun
>1986
1986
1986-sekarang
>1995
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak Warga Kasepuhan Cibedug memelihara Situs Cibedug sebagai amanat dari leluhur 1 . Salah satu anggota Kasepuhan Cibedug resmi diangkat menjadi Juru Pelihara Situs Cibedug 2 . Sampai dengan sekarang kedatangan pengunjung ke Situs Cibedug tercatat ratarata 100-200 orang/tahun 3 .
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Menjadi basecamp peneliti dari beberapa institusi pendidikan atau kelompok pencinta alam 4 .
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
Menjadi basecamp peneliti dari beberapa institusi pendidikan atau kelompok pencinta
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Menjadi basecamp peneliti dari beberapa institusi pendidikan atau kelompok
1
Situs selain warisan leluhur juga merupakan awisan atau tanda wilayah adat kasepuhan ini (hasil wawancara dengan Pamukul Gede Kasepuhan Cibedug pada 6-8 Januari 2007). Pada tanggal 15 Juni 1986 Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, Kantor Kecamatan Bayah, C,q, Pemilik Kebudayaan membuat surat keterangan No. 299/101.3.12/J/1986 yang menerangkan bahwa Ahmad Astara sebagai Juru Pelihara yang bertugas memelihara Situs Cibedug. Surat tersebut juga menerangkan bahwa selama menunggu anggaran pemeliharaan dari pemerintah, pengunjung diharapkan memberi sumbangan sukarela. Surat ini ditandatangani oleh apak Achmad Badjaji. 3 Diolah dari buku tamu Kasepuhan Cibedug. 4 Sumber : Hartono 2005; Hartono 1999; dan hasil wawancara dengan narasumber di lapangan dan staf YEH. 5 Sumber : Hartono 2005; Hartono 1999; dan hasil wawancara dengan narasumber di lapangan dan staf YEH. 6 Hasil wawancara dengan narasumber di lapangan dan staf YEH. 2
283
Tahun
1995
1995
1995-1998
TNGH
Konsorsium KPPETNGH dibentuk 7 (Sproule dan Suhandi 1998; Hartono 1999; Hartono 2005; Widada 2004). KPPETNGH mendapat dana hibah dari USAID 11 (Hartono 1999, 2005; Widada 2004; Purwanto 2007) BScC melakukan fasilitasi pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di tiga lokasi (Hartono 1999, 2005;Widada 2004; Purwanto 2007)
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Terpilih sebagai salah satu lokasi pengembangan ekowisata 8 .
KSM Sinar Wangi terbentuk untuk mengembangkan dan mengelola fasilitas ekowisata di lokasi studi (Hartono 1999; 2005)
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor alam 5 . Terpilih sebagai salah satu lokasi pengembangan ekowisata 9 .
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor pencinta alam 6 . Terpilih sebagai salah satu lokasi pengembangan ekowisata 10 .
KSM Pada Asih terbentuk untuk mengembangkan dan mengelola fasilitas ekowisata di lokasi studi (Nugraheni 2002; Widada 2004; Purwanto 2007)
KSM Warga Saluyu 12 terbentuk untuk mengembangkan dan mengelola fasilitas ekowisata di lokasi studi (Nugraheni 2002)
7
Konsorsium Program Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Gunung Halimun (KPPETNGH) terdiri dari perwakilan BTNGH; LSM nasional (BScC); LSM Internasional (Wildlife Protection Trust International-WPTI); Pusat Konservasi Biologi-UI; dan Swasta (McDonald). 8 Lokasi dipilih berdasarkan masukan dari LSM yang sering menjadikan ketiga lokasi tersebut sebagai lokasi studi lapangan (hasil wawancara dengan Bapak Dedi dari YEH). 9 Lokasi dipilih berdasarkan masukan dari LSM yang sering menjadikan ketiga lokasi tersebut sebagai lokasi studi lapangan (hasil wawancara dengan Bapak Dedi dari YEH). 10 Lokasi dipilih berdasarkan masukan dari LSM yang sering menjadikan ketiga lokasi tersebut sebagai lokasi studi lapangan (hasil wawancara dengan Bapak Dedi dari YEH). 11 Dana hibah ini antara lain digunakan untuk: pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana ekowisata; penguatan kelembagaan; pelatihan tekowisata untuk masyarakat lokal; dan promosi dan publikasi. 12 Anggota KSM dipilih berdasarkan pertemuan antara KPPETNGH dengan warga masyarakat yang mewakili 7 kampung yaitu: Citalahab Central, Citalahab Kampung, Garung, Cilanggar, Legok Jeruk, Hanjawar, dan Citalahab Bedeng (Nugraheni 2002).
284
Tahun
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Pembangunan Guest-house di atas lahan milik sesepuh yang didanai oleh USAID.
1997
1998-2003
1998
Studi Ekowisata dilakukan oleh shortterm expert dari Jepang dengan biaya dari JICA 13 . BTNGH mendapat bantuan dari pemerintah Jepang melalui program Biodiversity Conservation Program Phase II (Widada 2004:53) 14 . Studi ekowisata kembali dilakukan oleh short-term expert dari Jepang 15 .
Penggantian juru pelihara Situs Cibedug karena meninggalnya juru pelihara sebelumnya 16
Penurunan kunjungan wisatawan akibat krisis moneter.
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor Pembangunan Guesthouse di atas lahan milik kelompok pemuda yang didanai oleh USAID.
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Pembangunan Guesthouse di atas lahan milik desa yang didanai oleh USAID.
Penurunan kunjungan wisatawan akibat krisis moneter. Akibatnya tidak ada dana pemeliharaan
13 Hasil studi dapat dilihat pada dokumen yang ditulis oleh Hiroshi, H. 1997. Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Volume I : General Overview yang merupakan kerjasama LIPI, JICA dan Dirjen PHPA, Departemen Kehutanan. 14 Dana bantuan Jepang ini digunakan antara lain untuk kegiatan (Widada 2004:53): penguatan sumberdaya manusia, pembangunan fasilitas ekowisata, penyusunan materi informasi ekowisata (leaflet, guidebook, CD, dan peta ekowisata). 15 Hasil studi dapat dilihat pada dokumen yang ditulis oleh Kazuo Saigawa. 1998. Research and Conservation Biodiversity in Indonesia Volume III : Information System and Park Management of Gunung Halimun National Park yang merupakan kerjasama LIPI, JICA dan Dirjen PHPA, Departemen Kehutanan. 16 Sumber: dokumentasi Kasepuhan Cibedug dan wawancara dengan Pamukul Gede Kasepuhan Cibedug pada bulan Januari 2007.
285
Tahun
1999
1999-2000
2000
2001
TNGH
Lokakarya pengembangan ekowisata di TNGH yang diselenggarakan di Caringin Bogor pada 9-10 Maret 1999 (Widada 2004:146). YEH 18 mendampingi masyarakat di 3 lokasi dengan dana dari Kehati 19 . Lokakarya pemantapan Rencana Pengelolaan TNGH jangka Panjang 20002024 (Widada 2004:146) Terbitnya dokumen ‘Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
Situs Cibedug ditetapkan sebagai obyek wisata alam oleh BTNGH. Hal yang sama juga diusulkan oleh Kabupaten Lebak (BTNGH 2000b:IV-8) Berdasarkan hasil interview dengan masyarakat dokumen action plan ini tidak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor guesthouse (Purwanto 2007) 17 .
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
KSM didampingi oleh staf dari YEH
KSM didampingi oleh staf dari YEH
KSM didampingi oleh staf dari YEH
Berdasarkan hasil interview dengan masyarakat dokumen action plan ini tidak diketahui proses penyusunan maupun
Berdasarkan hasil interview dengan masyarakat dokumen action plan ini tidak
Berdasarkan hasil interview dengan masyarakat dokumen action plan ini tidak
17
Menurut wawancara dengan mantan Ketua KSM Bapak Saki yang dilakukan pada 30 Januari 2007, wisatawan yang berkunjung ke Leuwijamang kebanyakan wisatawan asing. Yayasan Ekowisata Halimun (YEH) berdiri pada tahun 1998 oleh mantan anggota KPPETNGH dan staf BScC sebagai wujud komitmen kepada masyarakat, anggota KSM, untuk mendampingi proses pelaksanaan ekowisata di 3 lokasi (hasil wawancara dengan staf YEH). 19 Hasil wawancara dengan staf YEH. 18
286
Tahun
2001
2002
2003
TNGH
Park’ yang diterbitkan oleh JICA 20 (Widada 2004:146) Survey dan identifikasi potensi ekowisata di 3 lokasi: Leuwijamang, Citalahab, dan Pengguyangan yang didanai JICA (Widada 2004:146) Aktivitas yang didanai JICA: Pembuatan peta ekowisata di 3 lokasi, peningkatan fasilitas dan media informasi, dan pelatihan untuk menjadi pemandu dan interpreter (Widada 2004:146)
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak diketahui proses penyusunan maupun isinya oleh mereka.
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
isinya oleh mereka.
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor diketahui proses penyusunan maupun isinya oleh mereka. Buku panduan ekowisata ke Leuwijamang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh BCP-JICA 21 (Purwanto et al. 2001)
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor diketahui proses penyusunan maupun isinya oleh mereka.
Buku panduan ekowisata ke Citalahab-Cikaniki diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh BCP-JICA 22 (Triono et al. 2002)
Buku panduan ekowisata ke kampung Ciptarasa diterbitkan
20
Buku ini ditulis dalam bahasa Inggris oleh Keiji, N., O. Seiji, Sudarmadji, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, L.W. Muslihat, Genman, E. Wahyuningsih, D. Purwanto dan Glen.2001. Ecotourism Action Plan of Gunung Halimun National Park. Keiji, N. [editor]. Bogor: Biodiversity Conservation Project-Japan International Cooperation Agency (BCP-JICA). 21 Purwanto, D., M. Pakpahan, N. Keiji dan A. Mujakir. 2001. Ecotourism Guide Book Gunung Halimun National Park: Leuwijamang Village. Sudarmadi, Abdurrozak, P.J. Manikam, Widada, E. Wahyuningsih, K. Hiroshi, dan O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA. 22 Triono, T., N. Keiji, G.N.S. Mulcahy, O. Seiji, A. Muzakkir, A. Supriatna, Sopian. 2002. A Guide to Cikaniki-Citalahab Looptrail Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Sudarmadi, Abdurozak, Widada, E. Wahyuningsih, G.N.S. Mulcahy, K. Hiroshi, dan O. Seiji [editor]. Kabandungan: BCP-JICA.
287
Tahun
TNGH
KASEPUHAN CIBEDUG Desa Citorek Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak
KASEPUHAN CIPTARASA PANGGUYANGAN Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
LEUWIJAMANG Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor
CITALAHAB Desa Malasari Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
dalam bahasa Inggris atas kerjasama BTNGH dan YEH 23 (Dedi et al. 2002). 2004-sekarang
2007
YEH dan KSM bekerja secara mandiri (Hartono 2005)
KSM Pada Asih dibubarkan 24
Cibedug dan Citorek diidentifikasi sebagai potensi wisata TNGH di wilayah SKW I 26 Lebak (Wiajaya 2007)
diidentifikasi sebagai potensi wisata TNGH di wilayah SKW III Lebak (Wiajaya 2007)
diidentifikasi sebagai potensi wisata TNGH di wilayah SKW II Lebak (Wiajaya 2007)
LSM lokal (ABSOLUT) membantu pengembangan ekowisata di bagian Timur TNGH 25 diidentifikasi sebagai potensi wisata TNGH di wilayah SKW II Lebak (Wiajaya 2007)
23
Dedi, R., Andianto. 2003. Ecotourism Guidebook Gunung Halimun National Park: Ciptarasa Village. Setyono, D., K. Hiroshi, A. Muzakir, S. Ozawa, T. Hartono, G. Mulcahy (editors). Sukabumi: kerjasama BTNGH dan YEH. 24 Sumber: Hartono (2005) dan hasil wawancara dengan Pak Saki pada bulan Januari 2007. 25 Hasil wawancara dengan staf Absolut pada 19/02/2007 26 Wijaya, Hendra. 2007. Kondisi, Potensi dan Kendala Pengembangan Ekowisata di TNGHS. Counterpart GHSNP-MP. Makalah dipresentasikan pada acara Diskusi dan Koordinasi Penyusunan Rencana Strategi dan Aksi Pengembangan Ekowisata TNGHS, Bogor, 14 Februari 2007. Acara ini diselenggarakan oleh BTNGHS dan JICA.
288
Lampiran 9 Analisis stakeholder : pengembangan ekowisata Studi Kasus: Desa Citorek, Desa Sirnarasa, Desa Malasari, dan Desa Malasari
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
A. STAKEHOLDER UTAMA (PRIMER) 1 1. Masyarakat Adat a. Kampung Cibedug, Langsung Desa Citorek b. Kampung Ciptarasa, Langsung: Desa Sirnarasa 2. Masyarakat Non-Adat a. Di dalam kawasan Langsung (Desa Malasari) b. Enclave : Langsung Desa Cisarua, Kampung Leuwijamang
KEPENTINGAN
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
Menjaga Situs Cibedug; Ekonomi Ekonomi dan pelestarian budaya
Rendah 2
Mendukung dengan catatan 3
1,2,3,4
Sedang 4
Mendukung dengan catatan 5
1,2,3,4
Ekonomi
Sedang 6
1,2,3,4
Ekonomi
Rendah 8
Mendukung dengan catatan 7 Mendukung
1,2,3,4
1
Stakeholders utama (primer) : merupakan stakeholders yang terkena dampak langsung baik positif maupun negatif oleh suatu rencana atau proyek. Mereka juga mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Stakeholders kategori ini karenanya harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan. Contoh: masyarakat lokal, tokoh masyarakat, institusi atau pihak yang terkait langsung dengan persoalan yang dihadapi (Maryono et al. 2005; ODA 1995). 2 Rendah karena kendala bahasa, pendidikan, pengalaman bernegosiasi, dan dukungan pihak lain yang masih terbatas (hasil penelusuran literatur dan observasi bulan Januari 2007). 3 Berdasarkan wawancara, masyarakat adat sangat mendukung pengembangan ekowisata walaupun belum memahami sepenuhnya apa itu ekowisata (Cibedug, 7 Januari 2007). 4 Sedang karena kapasitas SDM dan banyak bantuan program dari PEMDA dan pihak lainnya (hasil penelusuran literatur dan observasi Februari 2007). 5 Berdasarkan wawancara dengan Kepala Desa Sirnarasa kedatangan pengunjung ke Kampung Ciptarasa dapat memberikan alternatif penghasilan bagi penduduk. Namun demikian kegiatan ini dapat dan sudah berlangsung tanpa kerjasama dengan TNGH (17-18 Februari 2007). 6 Sedang karena adanya aksesibilitas yang cukup baik untuk mendapatkan informasi, pendidikan non-formal, pengalaman bernegosiasi, dan dukungan pihak lain (hasil penelusuran literatur dan hasil observasi pada bulan Februari 2007). 7 masyarakat sangat mendukung tujuan yang diusung oleh TNGH tapi menolak perluasan TNGH dan tetap menuntut akses terhadap lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (hasil interview dan observasi bulan Januari-Februari 2007). 8 Rendah karena kendala bahasa, pendidikan, pengalaman bernegosiasi, dan dukungan pihak lain yang masih terbatas (hasil penelusuran literatur dan hasil observasi pada bulan Januari 2007).
289
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
Langsung 3. PEMERINTAH DESA 9 4. PEMERINTAH TK KECAMATAN 10 B. STAKEHOLDER KUNCI 1. PEMDA KABUPATEN 12 a. BAPPEDA Langsung. Perubahan fungsi kawasan
b. Dinas Kehutanan
Tidak langsung
KEPENTINGAN
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
Aset dan kas desa
Sedang
Mendukung
1,2,3,4
Pembinaan
Sedang
Mendukung 11
1,2,4
Sebagian kawasan TNGH berada dalam wilayah administratif; sinkronisasi tata ruang; PAD Kawasan hutan berbatasan dengan TNGH;
Tinggi
Mendukung dengan catatan 13
1,2,3,4
Sedang
ikut keputusan Bupati
1,2,3,4
9 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara kesatuan RI (Pasal 1 no. 12 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Perangkat Pemerintahan Desa yang masuk dalam lokasi studi ialah Desa Citorek (Kabupaten Lebak), Desa Sirnarasa (Kabupaten Sukabumi), Desa Malasari dan Desa Cisarua (Kabupaten Bogor). 10 Kecamatan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan (Pasal 129 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) Perangkat Kecamatan yang masuk dalam lokasi studi ialah Kecamatan Bayah (Kabupaten Lebak), Kecamatan Cikakak (Kabupaten Sukabumi), Kecamatan Nanggung dan Kecamatan Sukajaya (Kabupaten Bogor). 11 Hasil wawancara dengan Camat Nanggung dan perwakilan Kecamatan Sukajaya pada acara Diskusi Membangun Kesepakatan antar Desa Dalam Menata Kawasan Konservasi yang difasilitasi oleh RMI pada 28 Nopember 2006 di Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggungs. 12 Pemerintah Daerah (PEMDA) adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 no. 3 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Tugas dan kewenangan Pemerintah Kabupaten tercantum dalam Pasal 14 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perangkat Pemerintah Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. 13 Dari tiga Kabupaten di lokasi studi, Kabupaten Sukabumi sudah menjadikan Kampung Ciptarasa sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata kabupaten (Peta wisata Kabupaten Sukabumi 2006) dan mengembangkan kegiatan pariwisata di zona pemanfaatan ruang TNGH (RTRW 2006-2010 bab VII). sedangkan berdasarkan wawancara dengan narasumber, Kabupaten Bogor dan Lebak meskipun mendukung pengembangan ekowisata di TNGH namun belum memiliki program khusus untuk mendukungnya. Kabupaten Bogor: dalam Perda No. 17/2000 tentang RTRW Kabupaten Bogor, kawasan pariwisata yang dikembangkan dipusatkan ke kawasan Puncak. Kabupaten Lebak: Situs Cibedug merupakan salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Lebak (www.disperindag-lebak.go.id/wisata.htm diakses tanggal 8 Agustus 2007).
290
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
c. Dinas Sosial
Tidak langsung
d. Dinas Pariwisata 15
Tidak langsung
2. PEMDA PROVINSI 17 a. BAPPEDA Langsung sebagian PROVINSI kawasan TNGH berada dalam wilayah administratif b. Tim Koordinasi Tata Tidak langsung
KEPENTINGAN Kegiatan operasional pemberdayaan KAT 14 yang terdapat di dalam dan luar kawasan TNGH Pembinaan masyarakat, pengelolaan obyek wisata daerah 16 ; PAD
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
Sedang
Ikut keputusan Bupati
Tinggi, Sedang
ikut keputusan Bupati
1,2,3,4
Sinkronisasi perencanaan tata ruang
Tinggi
Mendukung dengan catatan 18
1,2,3,4
Sinkronisasi
Sedang
Mendukung
1,2,3,4
14
Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT Pasal 11. Nama-nama Dinas Pariwisata di lokasi studi Dinas Pariwisata Daerah (Diparda), Kabupaten Sukabumi; Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan (Disparsenibud), Kabupaten Bogor; Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata (INKOSBUDPAR), Kabupaten Lebak. 16 Contoh: Kampung Ciptarasa dalam Peta Kawasan Wisata Kabupaten Sukabumi tahun 2006 merupakan Daerah Tujuan Wisata Budaya unggulan. Sedangkan, Candi Cibedug, berdasarkan Keputusan Presiden No. 101 Tahun 2001 dan SK Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, No. 2999/101.3.12/J/1986, merupakan cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementerian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan (sekarang: Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata) Kabupaten Lebak. 17 Tugas dan kewenangan Pemerintah Provinsi tercantum dalam Pasal 13 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perangkat Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. 18 Provinsi Jawa Barat, menurut dokumen RTRW 2010 pengembangan pariwisata diarahkan pada program penataan kawasan wisata di Sukabumi (wisata pantai) dan BOPUNJUR (Puncak). Kebijakan yang sama terdapat dalam dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (2005). Namun dalam dokumen ini disebutkan TNGH dan kegiatan ekowisata sebagai salah satu daya tarik untuk mengunjungi kawasan Puncak. Provinsi Banten, dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012, Kabupaten Lebak meskipun diarahkan untuk menjadi kawasan pariwisata namun diidentifikasi sebagai daerah yang didominasi kawasan tertinggal. Hal yang sama ditunjukan dalam Peta Pariwisata Provinsi Banten (www.bantenprov.go.id) . Tidak disebutkan keberadaan TNGH dalam arah kebijakan pengembangan kawasan maupun program pembangunan daerah. 15
291
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
Ruang* c. Dinas Kehutanan
Tidak langsung
d. Dinas Sosial
Tidak langsung
e. Dinas Pariwisata
Langsung
3. PEMERINTAH PUSAT 21 a. Dep. Kehutanan Cq. Langsung Dirjen PHKA dan BAPLAN
KEPENTINGAN perencanaan tata ruang Penataan batas kawasan hutan lindung dan pengurusan pemanfaatan hutan Kewenangan koordinasi perencanaan pemberdayaan KAT 19 yang terdapat di dalam dan luar kawasan TNGH Pembinaan dan pengelolaan obyek wisata daerah 20 ; PAD Berwenang dalam kebijakan pengurusan kawasan hutan 22
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
keputusan Gubernur Sedang
Mendukung keputusan Gubernur
1,2,3,4
Sedang
Mendukung keputusan Gubernur
1,2,3,4
Sedang
Mendukung keputusan Gubernur
1,2,3,4
Tinggi
Mendukung
1,2,3,4
19
Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT Pasal 10. Contoh: Kampung Ciptarasa dalam Peta Kawasan Wisata Kabupaten Sukabumi tahun 2006 merupakan Daerah Tujuan Wisata Budaya unggulan. Sedangkan, Candi Cibedug, berdasarkan Keputusan Presiden No. 101 Tahun 2001 dan SK Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, No. 2999/101.3.12/J/1986, merupakan cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementerian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan (sekarang: Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata) Kabupaten Lebak. 21 Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 no.1 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) 22 Keppres No. 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan organisasi, Dan Tata Kerja Departemen Pasal 27-29. 20
292
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
b. Departemen Dalam Negeri
Tidak langsung
c. Departemen Sosial
Tidak langsung
d. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Langsung
4. BTNGH
Langsung
KEPENTINGAN Berwenang dalam kebijakan perencanaan daerah 23 Berwenang dalam pembinaan kesejahteraan sosial KAT 24 Berwenang dalam menetapkan Kawasan Pariwisata, obyek dan daya tarik wisata 25 , persyaratan pemintakatan /zoning, pencarian, pemanfaatan, sistem pengamanan, dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi 26 . Bertanggung jawab terhadap
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
Tinggi
Mendukung
1,2,3,4
Sedang
Mendukung
1,2,3
Tinggi
Mendukung
1,2,3,4
Tinggi
Mendukung
1,2,3,4
23
Keppres No. 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Pasal 3-5. Keppres No. 111/1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Kepmensos No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Pasal 29(2); PP No. 67/1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan Pasal 40 (2). 26 Keputusan Presiden No. 101 Tahun 2001 Tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara Pasal 21. 24 25
293
STAKEHOLDERS
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
KEPENTINGAN
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
pelaksanaan Pengelolaan, perlindunganTNGH C. STAKEHOLDER PENDUKUNG 27 1. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT a. ABSOLUT Tidak langsung
LSM lokal yang bergiat di kampanye kesadaran LH melalui di radio lokal, & guide ekowisata. b. Yayasan Ekowisata Pendampingan Halimun (YEH) masyarakat untuk pengembangan ekowisata 2. INSTITUSI PENDIDIKAN DAN LEMBAGA PENELITIAN a. IPB TD Lokasi penelitian bidang pengelolaan SDA dan Sosial b. Biological Science Lokasi penelitian Club (BScC) keanekaragaman hayati 3. SWASTA PT Perkebunan Nirmala Tidak langsung Salah satu obyek Agung (Kecamatan wisata Nanggung)
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
27
Stakeholders pendukung (sekunder) : merupakan stakeholders yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap proyek tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Contoh: LSM, perguruan tinggi, peneliti. (Maryono et al. 2005; ODA 1995)
294
STAKEHOLDERS 4. LEMBAGA DONOR: a. JICA 28 b. KEHATI 29 c. USAID 30 5. INDIVIDU a. Wisatawan
DAMPAK PENGEMBANGAN EKOWISATA
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Donor Donor Donor
Daerah tujuan wisata b. Peneliti Tidak langsung Daerah Penelitian 6. FORUM KOMUNIKASI DAN ORGANISASI MASYARAKAT Inisiasi a. KPPETNGH Pengembangan Ekowisata b. HPI Daerah tujuan wisata c. KSM Langsung Organisasi Lokal pelaksana kegiatan ekowisata dan pengelola Guest House
Tidak langsung
KEPENTINGAN
PENGARUH
ESTIMASI SIKAP
STRATEGI PARTISIPASI
Kuat Sedang Kuat
Mendukung Mendukung Mendukung
1,2,3 1,2,3 1,2,3
Rendah
Mendukung
1,2
Rendah
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3
Sedang
Mendukung
1,2,3,4
Catatan: Untuk identifikasi parameter yang digunakan diantaranya : langsung, tidak langsung atau tidak ada (Dick 1997; ODA 1995). Kepentingan bisa diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan atau manfaat yang bisa diperoleh stakeholder (ODA 1995). Pengaruh: tinggi =jika mempunyai kekuatan untuk memveto keputusan; sedang =jika keputusan stakeholders masih bisa dipengaruhi / dinegosiasikan; dan rendah=jika tidak mampu atau sangat terbatas kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan (Dick 1997). Parameter estimasi sikap terhadap TNGH dan Pengembangan ekowisata: mendukung, tidak ada pendapat, atau tidak mendukung/oposisi (Dick 1997). Kategori stakeholder: primer= jika mendapatkan dampak langsung atau memepunyai kepentingan langsung dengan TNGH; sekunder =jika mempunyai kepedulian dan bisa berperan sebagai intermediaries di TNGH; kunci= jika mempunyai kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005; ODA 1995). Tipe partisipasi: (1)Informasi, (2)Konsultasi, (3) Mitra, dan (4)Pengambilan keputusan dan Kontrol (Dick 1997; ODA 1995).
28
Mendanai studi-studi pengembangan ekowisata di TNGH, penyusunan bahan promosi dan inventarisasi obyek wisata pada dalam kurun waktu tahun 1998-sekarang. Mendanai kegiatan pendampingan masyarakat setelah tahap inisiasi program selama dua tahun 1998-199. 30 Mendanai kegiatan pengembangan ekowisata di TNGH pada tahap inisiasi program selama dua tahun 1997-1998. 29
295