II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Perkembangan Bisnis Waralaba Restoran Mie Perkembangan bisnis waralaba (franchise) di Indonesia termasuk sangat prospektif karena potensi pasarnya sangat besar. Hal tersebut dilihat dari (1) besarnya jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2010 telah mencapai 238 juta jiwa dengan pendapatan perkapita mencapai 3000 dollar AS pada akhir tahun, (2) Kondisi perekonomian secara makro di Indonesia juga tergolong baik dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai enam persen dan pada tahun 2011 diperkirakan dapat tumbuh 6 - 6,5 persen, dan (3) Cadangan devisa Indonesia pada tahun 2010 mencapai 93 miliar dollar AS dan tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 100 miliar dolar AS2. Menurut Hariyani dan Serfianto (2011), omzet waralaba di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 total omzet waralaba di Indonesia telah mencapai angka Rp. 81 triliun dan terus meningkat sebanyak 15 persen pada tahun 2008 menjadi Rp. 93 triliun. Pada tahun 2009, omzet waralaba meningkat sebanyak lima persen menjadi Rp 95 triliun. Hingga akhir tahun 2010, omzet waralaba di Indonesia baik lokal maupun asing yang berbentuk franchise dan business opportunity diperkirakan mencapai Rp 114,64 triliun. Jumlah tersebut diperkirakan naik sebanyak 20 persen dibandingkan perolehan tahun 2009. Saat ini jumlah waralaba di Indonesia mencapai 1.010 perusahaan yang omzetnya sebanyak 60 persen dikuasai waralaba lokal sedangkan 40 persen dikuasai oleh waralaba asing3. Peningkatan omzet waralaba di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
2
Laporan Keuangan BI. 2009. Memperkuat Ketahanan, Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional. (Ringkasan Eksekutif). www.bi.go.id. [24 Maret 2011] 3
Dharmadi W. 2010. Pertumbuhan Omzet Waralaba diperkirakan Rp 15 Triliun tahun 2011. Berita Kota Kategori Ekonomi. http://bataviase.co.id/node/327322. [25 Maret 2011]
8
Tabel 5. Data Perkembangan Omzet Bisnis Waralaba di Indonesia pada Tahun 2007-2010. No
Tahun
1.
2007
81,00
-
2.
2008
93,00
15
3.
2009
95,00
5
4.
2010
114,64*
20*
Omzet Waralaba (Rp triliun)
Persentase (%)
Sumber : Asosiasi Franchise Inodesia (AFI), 2010 dalam Hariyani dan Serfianto (2011)
Jaringan waralaba (franchisee) Indonesia saat ini masih didominasi oleh bisnis waralaba produk makanan dan minuman dalam bentuk usaha restoran. Hal ini karena makanan dan minuman merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Selain itu mengkonsumsi makanan dan minuman lebih dijadikan sebagai gaya hidup masyarakat. Adanya perubahan gaya hidup masyarakat tersebut menuntut sebuah restoran untuk menyediakan fasilitas yang lebih baik dengan menyajikan makanan yang enak, kenyamanan tempat dan suasana restoran yang menarik. Makan di restoran juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul, bersosialisasi, acara-acara rapat dan pertemuan. Menurut Soekresno (2001), restoran adalah suatu tempat atau bagian yang diorganisasikan secara komersial untuk menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya dan produknya berupa makanan dan minuman. Jenis pelayanan yang diberikan oleh sebuah restoran memiliki pilihan makanan yang beragam sehingga konsumen dapat leluasa memilih dan menikmati sesuai dengan yang dikehendakinya. Restoran dalam pengertian luas adalah menyajikan aneka makanan lengkap mulai dari pembuka, makanan utama dan pencuci mulut dengan fasilitas tempat yang nyaman. Menurut Fardiaz (1994), restoran termasuk dalam kategori usaha jasa boga. Walaupun prosesnya terkait dengan produk fisik namun kinerjanya pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan atas faktor-faktor produksi. Kotler (1981), mendefinisikan bahwa restoran terkait dengan orang, bukti fisik dan proses karena sebagian besar jasa diberikan oleh orang, seleksi, pelatihan dan motivasi pegawai dapat membuat perbedaan yang besar dalam 9
kepuasan pelanggan. Bisnis restoran dapat dikatakan bisnis yang unik karena menggabungkan antara penjualan produk berupa makanan dan minuman dengan usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada konsumennya. Menurut Bartono dan Novianto (2005), restoran yang merupakan penyedia produk makanan dan minuman serta jasa pelayanan memiliki beberapa peranan antara lain : (1) sebagai petunjuk bahwa bisnis di wilayah tersebut berkembang baik, karena restoran memerlukan hasil pertanian dan peternakan yang menjadi pelaku dalam perputaran uang bank dan potensial untuk jasa-jasa perbankan; (2) sebagai penampung tenaga kerja setempat; (3) sebagai sarana penunjang pariwisata; (4) berperan sebagai promosi daerah ke luar negeri karena wisatawan asing dapat menginformasikan kepada rekanannya; dan (5) sebagai tempat rapatrapat dan ajang pertemuan penting. Usaha restoran terbagi ke dalam beberapa jenis yang disesuaikan dengan target pasar sasaran, tujuan utamanya, lokasi, dekorasi tempat serta jenis menu dan makanan yang disediakan. Terdapat 10 jenis restoran menurut Soekresno (2001) yang terdapat saat ini antara lain : 1. Family Conventional Restoran ini menawarkan pelayanan dan dekorasi yang sederhana. Prioritas utama adalah dengan menyediakan makanan dan minuman yang enak dengan harga yang standar serta menyediakan suasana lokasi yang nyaman. 2. Fast Food Restoran ini memfokuskan pada kecepatan penyajiannya. Pemesanan makanan dan minuman akan tersedia dengan cepat sesuai permintaan konsumen. Namun variasi menunya relatif terbatas dengan harga yang relatif murah. Dekorasi tempat restoran ini dibuat dengan warna cerah dan pencahayaannya cukup terang dengan tujuan untuk berusaha menguatkan selera makan. Restoran Fast Food ini lebih mengutamakan banyaknya pelanggan dari pada wisatawan yang berkunjung waktu tertentu. Sehingga penerimaan keuntungan terbesar di restoran ini adalah dari pelangganya. 3. Speciality Restaurants
10
Restauran ini menyajikan menu yang khas, berkualitas dan menarik perhatian konsumen. Harga makanan yang dijual pada restauran ini relatif mahal dan lokasinya berjauhan dari keramaian karena tujuan utamanya adalah para wisatawan, kegiatan rapat bisnis dan keluarga yang membutuhkan suasana yang nyaman serta unik. 4. Cafetaria Restoran ini menyajikan variasi menu yang terbatas, harga yang murah dan selalu melakukan penggantian dalam penyajian menu makanannya setiap hari. Menu yang disediakan adalah menu makanan yang biasa terdapat didalam rumah (menu keluarga). Lokasi restoran terlihat jelas dari tempat keramaian seperti di tempat pusat perbelanjaan, perkantoran, sekitar sekolahan dan pabrik-pabrik. 5. Coffee Shop Ciri khas dari restoran ini adalah posisi tempat duduknya mudah untuk dapat dipindahkan sehingga terkesan tidak formal. Pelayanan pesanan makanan yang cepat menjadi daya tarik restoran ini. Menu utama restoran ini adalah coffee break yang berlokasikan di sekitar gedung perkantoran, pabrik-pabrik dan pusat perbelanjaan. 6. Gaurmet Restoran ini merupakan restoran yang berkelas atas yang ditujukan untuk konsumen yang menuntut standar penyajian yang tinggi dan bergengsi. Suasana lokasinya sangat nyaman dengan dekorasi tempat yang sangat berseni. Target pasar yang dicapai restoran ini adalah kalangan atas dengan standar prestise yang tinggi. 7. Ethnic Restoran ini dicirikan dengan menyajikan menu makanan yang berasal dari daerah tertentu yang spesifik. Memiliki seragam pakaian yang disesuaikan dengan asal daerah yang disediakan. Selain itu lokasi dan dekorasi ruangannya sangat mencerminkan khas dari daerah tertentu. 8. Snack Bar
11
Restoran ini banyak menawarkan jajanan makanan daerah dan makanan ringan. Dekorasi tempatnya sederhana yang disesuaikan dengan jumlah pengunjungnya. Prioritas restoran ini adalah untuk pesanan (take out). 9. Buffet Restoran ini menyediakan minuman berupa wine, linquor dan bir yang dapat dipesan dengan khusus. Makanan tersedia bersamaan dengan minumannya sehingga ciri utama restoran buffet ini adalah berlaku satu harga (paket). Penampilan makanan merupakan peranan penting untuk dijadikan sarana promosi pada restoran ini. 10. Drive In Drive Thru Or Parking Restoran ini melayani pembelian pesan antar hingga sampai ke pelanggan. Pelayanan makanannya dilakukan dengan membuat kemasan yang menarik, praktis dan kecepatan pengirimannya. Restoran waralaba Mie Jogja Cabang Bogor termasuk dalam kategori restoran cafeteria karena menu yang disajikan oleh restoran Mie Jogja terbatas dan merupakan menu yang sering ditemukan didalam rumah (keluarga). Menu yang ditawarkan berupa aneka olahan mie, nasi goreng dan ayam penyet Surabaya. Selain menu, lokasi restoran Mie Jogja terlihat jelas keberadaannya di keramaian kota. Pemilihan lokasi dikeramaian tersebut bertujuan juga sebagai media promosi. Restoran waralaba Mie Jogja menyajikan menu mie dengan aneka olahan bercita rasa khas dari daerah Jogjakarta. Mie yang disajikan merupakan mie olahan sendiri yang dilengkapi dengan pilihan rasa daging ayam atau sapi. Aneka olahan mie ini disajikan dalam bentuk menu yang berupa mie godhok, mie goreng dan bihun godhok. Mie pertama kali dibuat pada masa Dinasti Han pada 1900 tahun lalu. Bahan baku yang digunakan untuk membuat mie pada masa itu terdiri dari dua jenis padi - padian asli Cina yang telah dibudidayakan sekitar 7000 tahun lalu4. Bahan pembuatan mie pada Dinasti Han tersebut membedakan dengan mie yang dibuat pada masa kini. Mie yang ada saat ini menggunakan bahan baku gandum sebagai bahan utama. 12
Mie merupakan produk olahan tepung terigu. Menurut Khomsan, dkk (2003), diantara berbagai produk turunan terigu peranan mie dalam pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia lebih tinggi. Gandum atau terigu dan produk olahannya seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi terus meningkat dan lebih tinggi dari tingkat partisipasi konsumsi jagung serta ubi kayu. Menurut Sajdad (2007), mie memiliki fungsi yang sama dengan nasi yaitu sebagai sumber karbohidrat dan energi. Walaupun banyak masyarakat yang masih memegang 4 alternatif gaplek singkong danPerang”. beras jagung atau yang lebih sedikit lagi sagu dan “Semangkuk Mie Redakan http://www.repoblika.co.id/artikel.html.
[1April 2011]
ubi jalar, namun kenyataannya dimasa depan tepung terigu untuk membuat mie dan roti kue lebih aditif dan adoptif dari pada pangan lokal. Menurut Astawan (2002), terdapat beberapa jenis mie yang banyak dijumpai di pasaran antara lain : 1. Mie Segar (Raw Chinesse Noodle) Mie jenis ini tidak memiliki tamabahan setelah tahap pemotongan dan mengandung air sekitar 35 persen. Kandungan air yang cukup tinggi menyebabkan mie jenis ini mudah rusak. Penyimpanan dalam lemari es dapat mempertahankan kesegaran mie sampai dengan 60 jam. Mie segar umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie ayam. 2. Mie Basah (Wet Noodle) Mie basah ini mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air dalam mie basah mencapai 52 persen. Kadar air yang sangat tinggi mengakibatkan daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Mie basah ini dikenal dengan nama mie bakso atau mie kuning. 3. Mie Kering (Dry Noodle) Mie kering adalah mie yang telah mengalami proses pengeringan sehingga kadar airnya mencapai 8 – 10 persen. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran dibawah sinar matahari atau dengan oven. Kandungan air yang rendah membuat mie jenis ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah dalam penanganannya. 4. Mie Instan (Instant Noodle)
13
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994 dalam Astawan (2002), mendifinisikan mie instan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan tambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lima empat menit dan memiliki kadar air lima persen. Mie yang disediakan oleh restoran Mie Jogja dikenal dengan mie godhok dan mie goreng. Bahan baku mie yang digunakan untuk membuat olahan mie tersebut termasuk dalam jenis mie basah. Pembuatan mie basah dilakukan sendiri oleh restoran Mie Jogja untuk menghasilkan kualitas yang baik. 2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Evaluasi Aktivitas Promosi Aktivitas promosi yang dilakukan oleh restoran Mie Jogja Cabang Bogor penting untuk dievaluasi. Evaluasi aktivitas promosi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penilaian konsumen terhadap aktivitas promosi yang dilakukan perusahaan saat ini. Karakteristik responden yang diidentifikasi oleh Sisilia (2010) dan Subangkit (2009) dalam mengevaluasi aktivitas promosi meliputi jenis kelamin, lokasi tempat tinggal, status pernikahan, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, rata-rata pendapat per bulan, cara mengetahui produk dan rata-rata pengeluaran responden untuk membeli produk. Teknik evaluasi aktivitas promosi yang terdapat dalam penelitian Sisilia (2010) dan Subangkit (2009) adalah menggunakan kuisioner yang memanfaatkan skala pengukuran berupa skala Likert dengan skor 1-5 yang menunjukkan penilaian sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan tidak sangat setuju. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis sebanyak 30 responden yang merupakan konsumen atau pelanggan produk perusahaan. Analisis yang digunakan berupa analisis deskriptif. Hasil dari evaluasi aktivitas promosi ini diharapkan dapat mendukung upaya rekomendasi prioritas alternatif strategi promosi yang tepat bagi perusahaan. 2.2.2. Faktor – Faktor yang Menentukan Alternatif Strategi Promosi 14
Subangkit (2009), Syafriani (2009), Simorangkir (2009) dan Rentiana (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor yang menentukan prioritas alternatif strategi promosi adalah: (1) tujuan promosi; (2) dana/anggaran; (3) karakteristik produk; (4) karakteristik pasar; dan (5) pelanggan/konsumen. Sisilia (2010) menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan prioritas alternatif strategi promosi yaitu: (1) perusahaan; (2) perusahaan pesaing; (3) distribusi; (4) lembaga pendukung. (5) manajemen produksi; dan (6) sumberdaya manusia. Selain itu, faktor daur hidup produk dan pesaing juga dapat berpengaruh terhadap penentuan strategi promosi (Rentiana (2009), Subangkit (2009) dan Syavriani (2009)). Menurut Rentiana (2009), Subangkit (2009) dan Syavriani (2009), faktor karakteristik produk merupakan prioritas pertama karena perusahaan cenderung mengandalkan kualitas produk untuk menarik minat konsumen sasarannya. Simorangkir (2009), menetapkan bahwa faktor dana sebagai prioritas pertama karena dana yang tersedia sangat terbatas, sehingga merupakan kendala bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan promosinya. Sedangkan Sisilia (2010), memasukkan faktor pelanggan/konsumen sebagai prioritas pertama karena sasaran kegiatan promosinya ditujukan kepada konsumen untuk mempertahankan loyalitasnya. Dalam penentuan prioritas strategi promosi restoran waralaba Mie Jogja Cabang Bogor, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya antara lain: (1) meningkatkan image positif restoran; (2) meningkatkan penjualan; (3) memberi informasi produk; (4) memperluas pangsa pasar; dan (5) menghadapi pesaing. Pengidentifikasian tersebut berdasarkan analisis dari perumusan faktor internal dan eksternal di restoran waralaba Mie Jogja Cabang Bogor. 2.2.3. Alternatif Strategi Promosi Simorangkir (2009) dan Sisilia (2010) menggunakan beberapa alternatif strategi (bauran) promosi yang diperlukan oleh perusahaan antara lain : (1) periklanan; (2) promosi penjualan; (3) pemasaran langsung; (4) penjualan pribadi; dan (5) hubungan masyarakat (humas). Hasil penelitian Subangkit (2009), Syavriani (2009) dan Rentiana (2009), menyatakan bahwa alternatif strategi promosi yang digunakan adalah periklanan dan promosi penjualan karena 15
disesuaikan dari faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan alternatif strategi promosi pada perusahaan yang diteliti. Sisilia (2010), menyatakan bahwa fokus promosi penjualan dipilih menjadi prioritas pertama karena bauran promosi ini dinilai memberikan dampak positif dalam peningkatan penjualan produk Asambugar, terutama dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh DH Organik. Hal ini menunjukkan bahwa DH Organik memanfaatkan promosi penjualan dalam mayoritas aktivitas promosinya. Kegiatan promosi penjualan yang dilakukan oleh DH Organik saat ini adalah mengemas produk Asambugar dalam dua ukuran kemasan produk yaitu kemasan unit kecil dan kemasan jumbo atau ganda. Simorangkir (2009), juga menyatakan bahwa promosi penjualan (sales promotion) menjadi prioritas pertama dalam strategi promosi produk Curma yang dipilih PT Biofarmaka Indonesia. Kegiatan promosi penjualan seperti pemberian potongan harga pembelian (discount) untuk pembelian tertentu dapat menarik perhatian konsumen dan mitra usaha untuk melakukan pembelian. Promosi penjualan ini bertujuan untuk membujuk konsumen melakukan pembelian pada saat itu juga dalam jumlah besar. Promosi penjualan dilakukan dengan memberikan contoh produk, mengikuti pameran penjualan dan pekan raya untuk menarik konsumen melakukan pembelian saat itu juga. Rentiana (2009) menyatakan bahwa alternatif yang tepat bagi UD Kalimosodo adalah periklanan. Bentuk periklanan yang telah dilakukan oleh UD Kalimosodo adalah iklan di media cetak maupun media elektronik. Tujuan pemasangan iklan tersebut untuk menjangkau konsumen semakin luas sehingga pangsa pasar akan semakin besar. Selain itu, memberikan informasi dan meningkatkan keberadaan produk cuka apel semakin kuat dibenak konsumen. Penelitian Syavriani (2009), juga menyatakan bahwa alternatif strategi yang utama di restoran Gurih 7 menitikberatkan pada periklanan. Periklanan membawa pengaruh yang besar bagi restoran Gurih 7 dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang. Selain itu, ditujukan untuk menginformasikan menu-menu baru dan keunggulan yang dimiliki restoran Gurih 7.
16
Subangkit (2009), menyatakan bahwa strategi promosi produk Natural Handmade Soap yang menjadi prioritas utama adalah penjualan pribadi (personal selling). Kegiatan promosi melalui personal selling dilakukan oleh perusahaan agar perusahaan dapat lebih mengenal pelanggan secara langsung, sehingga berdampak pada terkumpulnya informasi motif pembelian dan keinginan konsumen. Dengan demikian, hal ini memungkinkan feedback langsung dari konsumen dalam bentuk pertanyaan dan memberikan informasi yang kompleks mengenai karakteristik produk.
2.2.4. Alat Analisis yang Sesuai untuk Merumuskan dan Menganalisis Alternatif Strategi Promosi Perumusan dan analisis alternatif strategi promosi yang sesuai bagi perusahaan dilakukan dengan menggunakan alat analisis berupa Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytic Hierarchy Process (AHP) yang dipilih dengan pertimbangan mampu mengatasi permasalahan yang kompleks, melalui pengukuran skor secara kuantitatif. Skor tersebut didapatkan berdasarkan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antarfaktor yang digunakan untuk mendapatkan tingkat kepentingan relatif pada tiap faktor. Skor perbandingan
berpasangan ini menggunakan skala Likert. Penggunaan alat
analisis PHA ini terdapat dalam penelitian Subangkit (2009), Syavriani (2009), Simorangkir (2009), Rentiana (2009) dan Sisilia (2010). 2.2.5. Keunggulan dan Kelemahan Penelitian Terdahulu Keunggulan penelitian Sisilia (2010) dan Subangkit (2009), adalah menjelaskan dan menganalisis setiap bauran promosi yang terkait dengan permasalahan di perusahaan. Selain itu, mengevaluasi aktivitas-aktivitas promosi yang dapat mempengaruhi penentuan alternatif strategi promosinya. Penelitian Simorangkir (2009), Subangkit (2009), Rentiana (2009) dan Syavriani (2009), menyatakan faktor-faktor yang dipertimbangkan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan karena berbentuk strategi promosi yang aplikatif. Kelemahan penelitian Sisilia (2010) adalah identifikasi faktor-faktor yang dipertimbangkan
dalam
merumuskan
alternatif
strategi
promosi
belum 17
menjelaskan dasar alasannya yang dapat menyebabkan hasil alternatif strategi promosinya dapat menjadi bias. Sebaiknya, peneliti menjelaskan bahwa identifikasi faktor-faktor tersebut berdasarkan analisa kondisi faktor internal dan eksternal perusahaan. Penelitian Simorangkir (2009), tidak menjelaskan strategi bauran pemasaran selain promosi, sehingga informasinya tidak berhubungan dengan permasalahan penelitian. Penelitian Subangkit (2009), tidak menjelaskan teori perilaku konsumen dalam kerangka pemikiran teoritis, sedangkan pembahasan evaluasi aktivitas promosi membutuhkan teori tersebut; dan ruang lingkup penelitian dalam bab pendahuluan tidak dibahas padahal pada umumnya setiap penelitian memiliki keterbatasan tertentu. Penelitian Syavriani (2009), menyatakan bahwa dalam evaluasi kegiatan promosi penjualan peneliti menyebutkan adanya pemberian voucher kepada konsumen yang membeli lebih dari 200 ribu rupiah untuk dapat ditukarkan kembali, namun peneliti tidak menjelaskan voucher yang dimaksud seperti apa. Penelitian yang akan dilakukan di restoran waralaba Mie Jogja Cabang Bogor berkaitan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Subangkit (2009), Syavriani (2009), Simorangkir (2009), Rentiana (2009) dan Sisilia (2010). Kaitan tersebut berupa perumusan alternatif strategi (bauran) promosi dengan menggunakan alat analisis Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytic Hierarchy Process (AHP) yang tepat untuk dijalankan oleh restoran waralaba Mie Jogja Cabang Bogor. Namun, yang membedakan dari penelitian sebelumnya adalah objek atau perusahaannya. Dalam hal ini adalah salah satu restoran waralaba yang terdapat di Kota Bogor.
18