II.
2.1
Taman Nasional
2.1.1
Sejarah Konservasi
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan data yang terekam oleh sejarah, konsep kawasan pelestarian berawal pada masa Raja Asoka (252 S.M) dari India yang mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan. Pada masa itu, konsep kawasan pelestarian merupakan tempat suci atau taman buru yang eksklusif (MacKinnon et al. 1990). Pada masa Raja William I (1084 Masehi) di Inggris, ditetapkan kebijakan untuk menginvetarisasi tanah baik yang berupa hutan maupun pertanian milik kerajaan. Produk inventarisasi yang dikenal sebagai The Doomsday Book ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan sumberdaya tanah milik kerajaan tersebut. Konsep konservasi pada abad 18 berkembang sejak dicetuskannya teori pertumbuhan penduduk oleh Thomas Malthus pada tahun 1798 (Burton et al. 1965). Para ilmuwan pada masa itu tidak hanya melihat teori ini dari persamaan matematisnya saja tapi lebih dari itu mereka mengkaji makna dibalik dari estimasi jumlah penduduk tersebut (Dorn 1965), dan dampak yang mungkin terjadi terhadap ketersediaan cadangan makanan (Sukhatme 1965). Respon terhadap fenomena pertumbuhan penduduk dan implikasinya terhadap sumberdaya melahirkan berbagai perspektif yang berbeda (Fisher 1965). Skala perspektif mulai dari yang menganggap bahwa perhitungan Malthus berlebihan (over estimate), pertumbuhan penduduk dapat disiasati dengan program KB dan transmigrasi, sampai perspektif yang berpendapat bahwa harus segera melakukan rasionalisasi penggunaan sumberdaya. Perbedaan juga ditemukan dalam konteks bagaimana manusia mengacu pada nilai-nilai sosial dan budayanya untuk mengelola sumberdaya alam (Spoehr 1965).
Pada masyarakat yang masih tradisional seperti komunitas Maori
sumberdaya alam diambil jika hanya dibutuhkan saja. Sementara itu, pada masyarakat yang modern, sumberdaya alam dieksploitasi untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi.
14
15
Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dan cadangan sumberdaya alam serta beragam perspektif dalam meresponnya menumbuhkan pemikiran bahwa terjadi perubahan pola hubungan antara manusia dengan alam. Pemikiran ini merupakan awal dari tumbuhnya filosofi konservasi (Glacken 1965). Pada tahun 1872, di Amerika ditetapkan taman nasional pertama yaitu Yellowstone National Park. Konsep pengelolaan taman nasional yang digunakan pada saat itu ialah taman untuk rakyat. Perkembangannya saat ini menunjukkan bahwa konsep pengelolaan taman nasional berevolusi kembali menjadi “tempat yang dilindungi oleh sekelompok kaum elit” seperti yang pernah terjadi pada masa Raja Asoka dulu (Everhart 1983; Runte 1987). 2.1.2
Tata Nilai yang Mempengaruhi Konsep Konservasi Ada dua tata nilai yang mempengaruhi perubahan interaksi manusia
dengan alam adalah nilai spiritual dan sosial (Price 1965). Dalam konsep spiritual, alam dipandang sebagai sesuatu yang yang indah dan berguna. Manusia dapat menggunakan, merubah dan memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan. Namun pada akhir abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas ketika terjadi revolusi industri, manusia mulai harus membatasi diri agar sumberdaya terjaga untuk generasi yang akan datang. Nilai konservasi pada aspek sosial dapat dilihat sejak kehidupan primitif manusia. Pada saat itu manusia sudah memiliki nilai untuk melakukan konservasi dalam konteks menyimpan makanan untuk cadangan. Sementara itu, pada masa industrialisasi, penanaman kembali bahan baku secara ekspansif juga mencirikan bahwa manusia melakukan usaha untuk menyelamatkan kebutuhannya di masa yang akan datang. Dalam konteks sosial, permasalahan konservasi adalah perbedaan bagaimana manusia memaknai kata “masa depan” (future) seperti misalnya pada self-identification dengan kehidupan di masa datang, dan jumlah populasi di masa datang. Perbedaan pandangan ini menentukan tujuan yang ditetapkan oleh suatu komunitas yang berimplikasi terhadap konsep kebijakan pemanfaat sumberdayanya. Beberapa kondisi yang mempengaruhi konsep konservasi diantaranya (Price 1965): •
Filosofi mengenai kesamaan kesempatan untuk semua generasi akan
16
menyebabkan pola pemanfaatan sumberdaya yang mampu memulihkan dirinya secara alami (even use over all time); •
Ide mengalokasi sumberdaya yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang tidak terjamah untuk generasi yang akan datang. Konservasi digunakan sebagai alat untuk memaksimalkan fungsi dari sumberdaya tersebut dan melindung sumberdaya yang potensial (preference for present);
•
Pandangan lainnya menyebutkan bahwa sumberdaya sebaiknya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk generasi masa kini, konservasi berperan sebagai alat untuk mencegah limbah (prevention of waste); dan
•
Adanya kelompok yang mempunyai perilaku merusak dan mengeksploitasi alam (depleters). Karakteristik kelompok ini umum agresif, memiliki power dan kontrol yang kuat terhadap sumberdaya. Kelompok konservasi diharapkan sebagai penyeimbang kelompok depleters ini.
2.1.3
Definisi Konservasi Konservasi secara umum memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
•
penggunaan sumberdaya alam untuk sebanyak mungkin manfaat bagi sebanyak mungkin orang untuk jangka waktu yang terlama (Gifford Pinchot dalam Herfindahl 1965:229).
•
pemeliharaan dan pemanfaatan
sumberdaya bumi secara bijaksana
(MacKinnon et al. 1990:1). •
perlindungan, perbaikan, dan pemanfaatan secara bijak terhadap SDA, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dapat memastikan pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial18 ; Di Indonesia, pengertian konservasi dituangkan dalam beberapa undang-
undang terkait seperti uraian berikut ini:
Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Bab I Ketentuan Umum UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
18
www.forestinvest.com/glossary.html dalam Mardiastuti (2004).
17
Hidup);
Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Pasal 1 UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU No. 41/1999 tentang Kehutanan); dan
Mengacu pada makna yang dikandung dalam pengertian konservasi diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa kawasan konservasi ialah suatu area atau kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan perlindungan, pengawetan, pengelolaan, pemanfaatan, dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan bijak sesuai dengan kaidah-kaidah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dengan mempertimbangkan kebutuhan di masa kini dan masa yang akan datang. 2.1.4
Konsep Kawasan Konservasi di Indonesia Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, di Indonesia konsep konservasi
tercantum dalam beberapa peraturan perundangan 19 . Menurut kebijakan tersebut tujuan dari konservasi adalah agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup agar tercapai keseimbangan ekosistem yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sedangkan tanggung jawab dan kewajiban dalam melaksanakan konservasi ada pada pemerintah serta masyarakat. Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan konservasi diantaranya perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1, Bab 4, dan Bab 7, kawasan 19
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
18
konservasi dibagi menjadi dua kategori yaitu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Adapun bentuk-bentuk kawasan konservasi yang tercakup kedalam kedua kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) ialah kawasan dengan fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di KPA diantaranya penelitian, untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Jenis/ bentuk KPA ialah Taman Nasional 20 , Taman Wisata Alam 21 , dan Taman Hutan Raya 22 . 2. Kawasan Suaka Alam (KSA) ialah kawasan dengan fungsi kawasan pengawetan dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini ialah kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Kawasan yang masuk kedalam kategori KSA yaitu: Suaka Margasatwa 23 , Cagar Alam 24 , dan Cagar Biosfer 25 . Ada lima kriteria (MacKinnon et al. 1990) yang dipertimbangkan dalam melakukan kategorisasi kawasan konservasi tersebut diantaranya ialah: (1) ciriciri kawasan: misalnya ciri biologi, geofisik, nilai budaya/historis, dan fungsi kawasan; (2) tujuan pelestarian; (3) kadar toleransi atau kerapuhan ekosistem atau spesies; (4) tipe pemanfaat yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan; dan (5) tingkat permintaan akan penggunaan dan kepraktisan pengelolaan.
20
Taman Nasional: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 21 Taman Wisata Alam: kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 22 Taman Hutan Raya: kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 23 Suaka Margasatwa: kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 24 Cagar Alam: kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami (Undangundang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya). 25 Cagar Biosfer: suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).
19
2.1.5
Konsep Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik Taman nasional digambarkan sebagai kawasan
yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol, kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, aksesibilitas baik, dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah (MacKinnon et al. 1990). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pengertian taman nasional yang digunakan di Indonesia ialah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata 26 , dan rekreasi 27 . Tujuan dibentuknya kawasan taman nasional diantaranya untuk:
melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1990); dan
terwujudnya kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (UU No. 5/1990 pasal 3). Pasal 32-34 dalam UU No. 5/1990 menyebutkan bahwa
pengelolaan
Taman Nasional dilakukan dengan Sistem Zonasi yang dibagi menjadi:
Zona inti: adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Zona pemanfaatan: yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata
Zona lainnya: yaitu zona diluar kedua zona inti dan pemanfaatan karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya Di
Indonesia,
kewenangan
penetapan
kriteria,
standar
dan
penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai didalamnnya diserahkan kepada
26 Pariwisata atau Tourism adalah fenomena dan hubungan keterkaitan yang timbul dari interaksi antara empat elemen pariwisata yaitu wisatawan, pelaku bisnis, pemerintah di berbagai level sebagai pemberi jaminan dan kontrol, serta masyarakat lokal yang menjadi tuan rumah bagi para wisatawan (Gartner 1996:6). 27 Rekreasi adalah suatu kegiatan atau usaha untuk memulihkan kembali kekuatan atau semangat setelah bekerja (Woolf et al. 1976);
20
pemerintah pusat (PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, pasal 2). Sedangkan pemerintah daerah dapat membantu sebagian urusan pelaksanaan konservasi seperti penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan, tata batas, dan penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis (UU No. 5/1990 Bab 10 dan PP No. 25/2000 pasal 3). Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan di ketiga bentuk KPA (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam) dengan mengikutsertakan masyarakat. Sarana pariwisata dapat dibangun dalam zona pemanfaatan. 2.1.6
Institusi Pengelolaan Taman Nasional Ciri sistem kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid (dalam Suhaeri
1994:18) ada 3, yaitu: hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan, dan aturan keterwakilan. Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional, ketiga unsur tersebut diatur oleh undang-undang. Hak kepemilikan taman nasional, menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan, adalah tanah milik Negara atau state property. Karenanya, menurut Pasal 34 Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (KSHE), pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Dasar penentuan batas wilayah kewenangan taman nasional juga diatur diantaranya oleh lima peraturan perundangan setingkat undang-undang yang secara teknis dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri (Kepmen) 28 . Dalam peraturan perundangan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.
28
UU No. 5 tahun 1990 mengenai KSHE, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestaria Alam, PP No. 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar Pengukuhan Kawasan Hutan.
21
2.2 Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 2.2.1
Definisi Konflik Perbedaan pengalaman, pemahaman, dan pandangan tentang berbagai
aspek kehidupan menyebabkan manusia yang satu dan lainnya berbeda, bersengketa, dan berkonflik yang dapat berujung pada kekerasan. Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher et al. 2001:4). Berbeda adalah situasi alamiah yang terjadi karena kodrat manusia (Malik et al. 2003). Sedangkan bersengketa adalah suatu situasi persaingan antara dua atau lebih orang/kelompok yang ingin meletakkan haknya atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003:148). Sementara, pengertian konflik dapat dilihat dari definisi berikut ini:
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001:4).
Konflik adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003).
Konflik organisasi adalah perselisihan yang terjadi ketika kelompok tertentu mengejar
kepentingannya
sendiri
dengan
mengorbankan
kepentingan
kelompok-kelompok lainnya (Gareth R. Jones dalam Winardi 2003: 253).
Konflik adalah suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004)
Konflik adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal
sosial
masyarakat
yang
tumbuh
ditengah-tengah
masyarakat
(Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). 2.2.2
Tipe atau Jenis-jenis Konflik Ada empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan
tantangannya sendiri, yaitu (Malik et al. 2003; Winardi 2003): •
Tanpa Konflik: ada pada setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup
22
bersemangat dan dinamis serta memanfaatkan dan mengelola konflik secara kreatif. •
Konflik Laten : konflik ini sifatnya tersembunyi. Dapat ditangani jika konflik diangkat ke permukaan.
•
Konflik Terbuka: konflik ini berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
•
Konflik di Permukaan: konflik muncul karena kesalahpahaman sehingga konflik hanya memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar. Dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
2.2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Menurut Malik et al (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
diantaranya:
Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi 29 , budaya (tingkah laku), dan cara berkomunikasi;
Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya fisik, dan waktu); tata cara (sikap); dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan);
Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi, dan menyajikan data;
Pemaksaan nilai 30 dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut;
Masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. Faktor lain yang mempengaruhi masalah struktural ialah faktor geografis, sejarah, dan waktu. Sedangkan dalam berorganisasi, ada lima macam sumber yang potensial
menimbulkan konflik, yaitu (Winardi 2003): interdependensi sub-unit yang ada, tujuan sub-unit yang berbeda, faktor-faktor birokratik, kriteria kinerja yang tidak 29 Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (Woolf et al. 1976). 30 Nilai adalah kepercayaau yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya (Malik et al.. 2003:150); atau merupakan suatu kepercayaan terhadap realitas alam semesta (Capra. 2000); penilaian atau perkiraan (rate), ukuran (measured), jumlah numerik yang terukur secara kuantitatif (a numerical quantity measured), ukuran kualitas yang membuat sesuatu menjadi diinginkan (the quality that renders something desirable), penghargaan atau respect (wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses 17 Desember 2005 06:47 AM)
23
sesuai, persaingan untuk mendapatkan sumberdaya. Dalam masalah kehutanan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research (CIFOR) terhadap berita koran dan pengamatan lapangan, ada lima jenis kegiatan kehutanan yang dapat memicu terjadinya konflik. Kelima jenis kegiatan ini yaitu: perambahan hutan, pencurian kayu, penataan batas, perusakan lingkungan, dan alih fungsi atau status kawasan (Wulan et al. 2004).
2.2.4
Tahapan Konflik Louis R. Pondy (Winardi 2003:255-262) mengembangkan suatu model
untuk memahami dan menangani konflik dalam keorganisasian. Ia memandang konflik sebagai proses yang terdiri dari lima tahap. Kelima tahap tersebut ialah: a) Tahap 1 konflik laten 31 : tahap dimana organisasi memiliki potensi konflik yang disebabkan karena berbagai faktor perbedaan yang sifatnya vertikal dan horisontal. b) Tahapan 2 konflik yang dipersepsi: tahap dimana suatu kelompok atau subunit merasa kepentingannya terbengkalai karena kelompok lain. Pada tahap ini mulai dianalisis sumber penyebab konflik. Masing-masing kelompok harus dapat mengidentifikasi problem apa yang dihadapi mereka sehingga menimbulkan konflik. c) Tahap 3 konflik yang dirasakan: tahap dimana masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi serta mentalitas dalam wujud ”kita-mereka”. Pada tahap ini kerjasama dan efektifitas organisasi mulai menyusut. d) Tahap 4 konflik termanifestasikan 32 : tahap dimana kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok lawannya. Bentuk aksi dapat berupa agresi terbuka atau tertutup. Agresi tertutup diantaranya dengan tidak melakukan suatu tindakan sehingga pencapaian tujuan kelompok lain jadi tertunda atau terhambat. e) Tahap 5 Setelah konflik usai (conflict aftermath): muncul kembali atau 31
Konflik laten menyediakan kondisi anteseden bagi konflik dalam bentuk : persaingang untuk mendapatkan sumbersumberdaya yang langka; konflik peranan; dan divergensi pada tujuan-tujuan kelompok (Winardi 2003). 32 Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi terbuka, apati, penarikan diri, dan kinerja yang minimal (Winardi 2003).
24
tidaknya suatu konflik tergantung pada bagaimana pertama kali konflik diselesaikan. Jika konflik diselesaikan sebelum mencapai tahap 4, maka hubungan kerjasama kedepan akan lebih baik.
2.2.5
Metode Penanganan Konflik Menurut Stoner dan Freeman (1989 dalam Winardi 2003) konflik dapat
dikurangi ataupun diselesaikan. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik diantaranya : pemberian informasi yang setara, peningkatan komunikasi, dan negosiasi di level pemimpin kelompok. Sedangkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik diantaranya: dominasi atau supresi, kompromi, pemecahan problem secara terintegrasi (konsensus, konfrontasi atau penggunaan tujuan superordinat). Malik et al (2003) menyebutkan ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menangani konflik. Pertama dengan menempuh jalur pengadilan, dan kedua melalui jalur di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit. Karena itu dibuatlah mekanisme penyelesaian di luar pengadilan 33 . Ada tiga bentuk penyelesaian konflik melalui jalur di luar pengadilan yaitu arbitrase, mediasi dan negosiasi. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa 34 . Lembaga arbitrase hanya dapat digunakan sebagai lembaga penyelesaian sengketa jika para pihak yang melakukan perjanjian telah menyepakatinya. Ada dua cara untuk melakukan arbitrase yaitu dengan membuat pactum de compromittendo 35 dan akta kompromi 36 .
Jika para pihak tidak
mencapai kesepakatan tentang sang arbiter, atas permintaan pihak yang berkonflik, arbiter diangkat oleh hakim yang berwenang. Karena penyelesaian sengketa melalui lembaga ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian 33
Dasar hukum penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan: Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ; Pasal 6 ayat (1) UU No 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah ; dan Pasal 30, 31, dan 33 UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 34 Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah. 35 pactum de compromittendo [Pasal 615 ayat 3 Rv]: merupakan klausul dalam perjanjian yang menentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis wasit. Pada waktu pembuatannya perselisihan belum terjadi (Malik et al. 2003). 36 Akta kompromi: merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur serta mengajukan perselisihan yang terjadi itu kepada seorang wasit untuk diselesaikan. Di dalam akta kompromi ditentukan batas waktu untuk memutuskan sengketa oleh wasit. Kalau tidak ditentukan, batas waktunya adalah enam bulan (Malik et al. 2003).
25
sengketa dan putusan arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak putusan arbitrase tidak dapat digugat lagi (Pasal 60 UU No. 30/1999). Pada praktiknya lembaga arbitrase hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa yang menyangkut bantuan dari pihak ketiga yang netral dalam upaya negosiasi dan penyelesaian sengketa. (Hardjasoemantri 1999:381 dalam Malik et al. 2003). Namun, menurut Hadimulyo (1997 dalam Malik et al. 2003), pihak ketiga atau mediator tersebut tidak ikut serta mengambil keputusan. Beberapa kemungkinan dalam mediasi : •
mediasi di antara para pihak yang setara, sejajar, seimbang dimana mediator tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan;
•
mediasi di antara para pihak yang bersifat vertikal, yang satu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang lainnya. Mediator di sini juga tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan;
•
mediator yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan para pihak yang bersengketa namun mediator di sini dituntut untuk mengendalikan diri agar tidak menggunakan kekuasaan atau wewenang untuk pengambilan keputusan. Negosiasi atau berunding merupakan proses diskusi, dialog dalam
perundingan-perundingan yang berhubungan dengan ide, informasi dan pilihanpilihan dari para pihak yang terlibat konflik. Menurut Bangert dan Pirzada (Malik et al. 2003) ada tiga tahap dalam negosiasi yaitu: faktor-faktor pra-penerimaan, proses dan hasil. Pada tahap pertama, kondisi yang harus ada untuk semua pihak untuk masuk kepada ruang negosiasi
tanpa kekerasan dan harus memiliki
kemauan untuk menyelesaikan konflik. Tahap kedua, proses, adalah melakukan komunikasi berulang-ulang tentang bentuk inti dari negosiasi. Banyak faktor penentu dalam proses ini termasuk: komposisi tim negosiasi, persepsi pihak lawan berkaitan dengan pihak lainnya, sifat dasar dan saluran-saluran komunikasi, kepentingan relatif manusia versus isu, struktur negosiasi, gaya penawaran, dan manfaat pihak ketiga. Tahap terakhir, hasil, ditentukan oleh dua faktor yaitu (1) masukan menuju pengambilan keputusan (decision making) oleh kedua belah
26
pihak; dan (2) format yang digunakan untuk membuat persetujuan (form of agreement). Pada faktor pertama, proses pengambilan keputusan adalah ciri dasar dari kegiatan negosiasi; proses ini harus menjawab bagaimana keputusan itu dibuat secara partisipatif. Sedangkan pada faktor kedua, ketika sebuah kesepakatan dihasilkan, satu pertanyaan penting adalah apakah kesepakatan tersebut berbentuk formal atau informal, karena kebanyakan kesepakatan dibuat secara formal dan tertulis. Dalam situasi tertentu, suatu kesepakatan tertulis mungkin ditambahkan melalui suatu kesepahaman informal. 2.2.6
Metode Analisis Konflik Analisis konflik merupakan suatu proses praktis untuk mengkaji dan
memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Pemahaman ini merupakan dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan. Beberapa alasan mengapa kita perlu menganalisis konflik diantaranya ialah: •
memahami latar belakang dan sejarah;
•
mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat;
•
memahami pandangan semua kelompok;
•
mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari konflik; dan
•
belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
Analisis konflik dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah alat bantu yang sederhana, praktis dan yang sesuai. Beberapa alat bantu untuk menganalisis konflik diantaranya (Wulan et al. 2004 dan Fisher et al. 2001): penahapan konflik, pemetaan konflik, Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks), analogi bawang bombai, pohon konflik, dan analisis kekutatn konflik. Dalam studi ini akan digunakan teknik pemetaan konflik. Teknik ini digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihakpihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Tujuan analisis ini untuk menjelaskan dan memahami pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah konflik, hubungan antar pihak yang berkonflik, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan oleh masing-masing pihak. Analisis ini digunakan pada awal untuk memahami sejarah konflik, atau akhir proses konflik untuk menyusun strategi. Beberapa contoh pertanyaan yang dapat memandu dalam memetakan konflik diantaranya: Siapa pihak-pihak utama dalam konflik ini? Pihak-pihak lain mana
27
yang terlibat atau berkaitan dengan konflik ini (termasuk kelompok-kelompok kecil dan pihak-pihak eksternal)? Apa hubungan di antara semua pihak itu dan bagaimana caranya pihak-pihak itu terwakili dalam peta konflik? Aliansi apa saja yang terbentuk? Adakah hubungan-hubungan yang retak? Pihak-pihak yang berkonfrontasi? Apakah ada isu-isu pokok di antara pihak-pihak yang harus disebutkan dalam peta? Apa hubungan antara organisasi dengan pihak-pihak ini? Apakah ada hubungan khusus yang mungkin mempunyai peluang untuk mengatasi situasi konflik ini? 2.2.7
Konflik Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional Kebijakan penetapan dan pengelolaan taman nasional sampai saat ini
cenderung menyebabkan kondisi tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat lokal yang hidup baik di dalam maupun luar kawasan. Kondisi ini disebabkan diantaranya karena tidak optimalnya implementasi peraturan perundangan yang ada dalam menyeimbangkan ketiga fungsi kawasan yaitu pelestarian, pengawetan, dan pemanfataan. Hal ini dapat dilihat dari diabaikannya eksistensi dan kebutuhan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup mereka kepada sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan taman nasional tersebut (Hendarti 2004; Hidayati 2004; Santosa 2006; Galudra 2003; Santos dan de Jesus 2003;dan Adimihardja 1992). Faktor lain yang menyebabkan kondisi ketidakpastian tenurial ialah adanya perbedaan dalam menyepakati aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8). Pemerintah, disatu sisi, membuat kebijakan dengan tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun menggunakan pendekatan ekonomi dan sistem pasar 37 sebagai dasar. Sumberdaya alam dilihat sebagai aset ekonomi (Malik et al. 2003; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Di sisi lain, masyarakat membangun aturan main berdasarkan kesepakatan sosial dimana hubungan masyarakat dan sumberdaya bersifat sosial, kultural, spiritual, ekonomi dan politik (Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006, Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Sistem ekonomi yang digunakan masyarakat lokal di sekitar 37 Konsep ekonomi dan sistem pasar merubah sistem penguasaan dan akses pada SDA dari milik bersama (common sense) menjadi milik negara (state property) atau milik pribadi (private property). Posisi sumberdaya alam menjadi komoditas (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:187).
28
hutan, terutama di Jawa, dalam memanfaatkan sumberdaya alam umumnya ialah ekonomi pertanian subsistence 38 . Masyarakat hanya memanfaatkan alam untuk menyambung hidupnya atau memenuhi kebutuhan dasar saja. Karakteristik perbedaan ini dirangkum dalam Tabel 1. Perbedaan pandangan atau persepsi 39
dalam menetapkan aturan main
tersebut berimplikasi pada timbulnya konflik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Contoh konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah bentuk kelembagaan. Dalam masyarakat Indonesia, dengan kultur budaya dan kondisi geografis yang sangat beragam, tumbuh kelembagaan adat dan kearifan tradisional 40 sebagai aturan main yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat setempat (Bappenas 2003; KLH 2001). Dalam kehidupan bernegara sayangnya institusi lokal seperti ini tidak diberdayakan. Untuk kemudahan birokrasi, pemerintah membuat penyeragaman dan sentralisasi. Karena pembentukan institusi baru ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat lokal maka timbulah konflik sebagai bentuk penolakan masyarakat disatu sisi dan sebagai bentuk supremasi dan dominasi pemerintah disisi lainnya. Contoh konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilihat pada konflik pemanfaatan tanah dan hutan. Konflik tanah umumnya dipicu oleh adanya perbedaan kepentingan dalam peruntukan kawasan antara masyarakat dengan pemerintah, militer, perusahaan negara, dan swasta (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 198-199). Sedangkan konflik kehutanan diantaranya karena kebijakan penetapan tata batas (Wulan et al. 2004), pengurangan akses dan kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan (Wulan et al. 2004; Santosa 2006; Galudra 2003; Peluso 1994), dan kegagalan pemerintah baik secara struktural, administrastif maupun kualitas sumberdaya manusia (Peluso 1994). Amerika memiliki beberapa contoh kasus suksesnya penyelesaian konflik pengelolaan SDA yang dibangun berdasarkan konsensus, dispute resolution dan negosiasi (Wondolleck dan Yaffee 2000). Pada tahun 1980an, negara ini mengalami banyak konflik dalam pengelolaan hutan negaranya seperti di Mill
38
Subsistence farming adalah pertanian untuk penyambung hidup (Echols dan Shadily 1992:565) Perception “is an awareness of environment through physical sensation” atau sebuah bentuk kesadaran terhadap lingkungan yang diwujudkan melalui sensasi fisik ( Woolf et al. 1976). 40 Kearifan tradisional ialah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006:175). 39
29
Creek Canyon, di Salt Lake County, dan Utah; The Deerlodge National forest di Montana, dan Huron-Manistee National Forest di Lower Peninsula, Michigan. Permasalahan dapat diredam dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) yang disepakati para pihak.
Tabel 1 Karakteristik perbedaan konsep penguasaan atas sumberdaya alam Masyarakat Adat Konsep Penguasaan atas SDA
Resource Tenure
Dasar relasi
• •
Syarat kepemilikan
41
antara anggota masyarakat konsep sosial, kultural, spiritual, ekonomi (subsistence) dan politik
Ditentukan oleh masyarakat berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekan oleh masyarakat. Diantaranya :
Pemerintah Property Rights 42 • •
1. 2. 3.
4.
antara individu dengan negara konsep ekonomi dan sistem pasar Dapat diperjual belikan (tradable). Dapat dipindah tangankan (transferable). Dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable). Dapat ditegakkan hakhaknya (enforceable).
Bentuk aturan
Tertulis dan lisan
Tertulis
Dasar hukum
Hukum legal formal dan norma yang berkembang
Hukum legal formal
Status hukum
de facto
de jure
Cara membuktikan klaim
cerita, tanda-tanda alam dan bukti fisik
Kontrak legal formal (contoh: sertifikat, dokumen kontrak)
Lingkup aturan main
Kelompok
Negara
Sumber: Kartodiharjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8; Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006.
Pelajaran penting dalam kasus penyelesaian konflik melalui negosiasi dan konsensus building antara pemerintah dengan suku-suku asli juga dilihat pada 41
Tenure adalah suatu aksi atau fakta mengenai kepemilikan atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi (diterjemahkan dari Ellsworth 2002:5); adalah hubungan sosial (hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan antar rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo &Jhamtani 2006:64); adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228). Dalam aliran resorce tenure, properti dibagi kedalam empat kategori umum kepemilikan yaitu kepemilikan privat, komunal, open access dan kepemilikan publik atau negara (FAO 2002 dalam Afiff 2005). 42 “property” ialah relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu obyek atau benda (Bruce 1993 dalam Affif 2005). Dalam aliran Property Rights, property dibagi kedalam empat tipe yaitu: private, commons, state, dan open access (Lynch & Harwell 2002:8).
30
proses perjuangan panjang suku-suku asli di Alaska. Negosiasi ini menghasilkan 2 kesepakatan penting yaitu the Alaska Native Claims Settlement Act pada tahun 1971 dan the Alaska Lands Bill pada tahun 1980 (Everhart 1983; Runte 1992). Contoh lainnya ialah suku Massai dalam membangun kegiatan ekowisata di Taman Nasional Serengeti, Kenya (Gakahu 1992; Olindo 1991). 2.3
Institusi : Definisi, Fungsi, dan Konsep
2.3.1
Definisi Institusi Institusi atau kelembagaan dalam literatur didefinisikan dengan sangat
beragam. Berikut ini beberapa pengertian institusi tersebut: •
Institusi adalah sekumpulan perilaku dalam bentuk aturan dan regulasi serta moral, etika dan norma yang terdapat di masyarakat (North 1984 dalam Keefer dan Shirley 2000: 89);
•
Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif (Uphoff 1986 dalam Uphoff 1997: 6);
•
Institusi adalah prinsip dan aturan yang ada dalam kebijakan dan organisasi yang stabil dan mengatur proses interaksi antara orang-orang di dalamnya dan lingkungannya dimana prinsip dan aturan tersebut ditemukan (Manig 1992 dalam Sumarga 2006:3);
•
Institusi sebagai konsolidasi perilaku baik formal maupun informal, termasuk kesepakatan sosial dan berbagai organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia (Opschoor 1994 dalam Alikodra 2005);
•
Institusi atau kelembagaan sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu (Suhaeri 1994:17);
•
Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997:2);
•
Institusi adalah aturan-aturan dan keseimbangan dari sebuah kompetisi atau “an equilibrium of the game” (Aoki 2000: 13);
•
Institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan /atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan (Kartodihardjo
31
dan Jhamtani 2006: 277); dan •
Institusi adalah kerangka aturan main (the rules of the game) untuk mencapai tujuan tertentu dimana organisasi bertindak sebagai the team playing of the game (Vink 1999 dalam Sumarga 2006:4). Berdasarkan pengertian institusi di atas dapat disimpulkan bahwa institusi
ialah: sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, yang mengikat dan mengatur dan membatasi perilaku atau hubungan antar manusia yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Berdasarkan definisi tersebut, maka unsurunsur dari institusi ialah: aturan main dan organisasi/jaringan.
2.3.2
Fungsi dan Tujuan Institusi Menurut literatur, institusi mempunyai berbagai fungsi. Berikut fungsi
institusi yang teridentifkasi dalam literatur tersebut, diantaranya: •
Fungsi institusi adalah untuk memberikan pedoman untuk berperilaku dan menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan tujuan dari institusi adalah untuk mengurangi derajat ketidakpastian karena hak dan kewajiban seseorang sudah diatur berdasarkan kesepakatan yang diakui (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Suhaeri 1994).
•
Peran utama dari institusi ialah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakpastian melalui perancangan struktur yang stabil yang mendukung interaksi ekonomi dan sosial (Gordillo de Anda 1997).
•
Intitusi bermanfaat untuk mengurangi ketidakpastian dalam kehidupan seharihari masyarakat (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997).
2.3.3
Kinerja Institusi Institusi dibangun dari suatu proses kesepakatan dan fasilitasi organisasi
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kinerja institusi untuk mencapai tujuan tersebut dapat diukur melalui beberapa pendekatan. Berikut ini diantaranya: •
Hammergren (1998) menyebutkan bahwa kinerja institusi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya penempatan lokasi kantor, pelaksanaan aksi secara mandiri/otonomi, dan
kepemimpinan.
Sedangkan faktor internal terkait dengan prosedur dan metode operasional
32
organisasi; standar dan aturan main; penggajian, rekrutmen, dan kondisi pegawai; staf pendukung, infrastuktur, dan peralatan. •
Uphoff (1997:8-9) menyatakan bahwa kinerja suatu institusi diukur dari bagaimana institusi ini menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok tersebut ialah: pengambilan keputusan (termasuk perencanaan dan evaluasi), mobilisasi dan manajemen sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan penyelesaian konflik.
•
Sumarga (2006: 7-10) menyebutkan bahwa kinerja institusi dilihat dari kemampuan struktural dan kultural aspeknya untuk beradaptasi pada perubahan.
Struktural
aspek
diantaranya
diukur
dari:
management
(accountabilitas, transparansi, demokrasi dan rasional); tipe organisasi (dari sederhana ke tipe yang lebih kompleks dan terstruktur); pembagian peran dan tugas (sesuai kompetensi anggotanya). Sedangkan aspek kultural diukur dari: pemenuhan kebutuhan dasar, SDM yang kompeten (tingkat pendidikan dan memiliki pengalaman di bidangnya), kepemimpinan (dari dominasi ke demokratis), grup dinamik (kurang partisipasi ke partisipasi), sistem nilai. •
Schmid (1987: 23, 242-247) menjelaskan bahwa kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa? dan biaya (costs) siapa yang dipertimbangkan ? Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupannya secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan (bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total nilai dari produksi) dan efiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan). Berdasarkan tinjauan literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
institusi diukur melalui pencapaian tujuan kolektif (diantaranya pemenuhan kebutuhan anggotanya), dan berjalan atau tidaknya fungsi dan tugas institusi melalui wadah pelaksananya yaitu organisasi, formal atau informal.
2.3.4
Pengembangan, Penguatan dan Perubahan Institusi Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh
masyarakat. Namun ketika intitusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan
33
maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi yaitu melalui: pengembangan institusi
(institutional
development),
penguatan
institusi
(institutional
strengthening) atau perubahan institusi (institutional change). Pengembangan institusi merupakan suatu proses kesepakatan dan fasilitasi dari suatu
organisasi
untuk membangun dan meningkatkan kapasitas serta
kemampuannya sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan 43 . Pengembangan institusi didefinisikan sebagai proses dimana individu, organisasi dan norma-norma sosial meningkatkan kemampuan dan kinerjanya yang berkaitan dengan pencapaian tujuan, sumberdaya dan lingkungan (CWPD 2005; Alikodra 2005). Dalam pengertian ini pengembangan institusi memiliki tiga elemen, yaitu: pengembangan sumberdaya manusia, penguatan organisasi, dan pembangunan sistem atau mekanisme operasional. Tujuan utama dari pengembangan institusi adalah untuk menciptakan atau menguatkan institusi yang sudah ada dalam masyarakat 44 . Penguatan institusi (institutional strengthening) merupakan suatu usaha untuk mengorganisasi ulang (reorganize) atau melakukan orientasi ulang (reorient) institusi agar dapat berfungsi kembali secara efektif (Hammergren 1998:1,8). Prasyarat dari penguatan institusi ialah adanya keputusan bersama mengenai apa yang seharusnya institusi lakukan (should do). Prasyarat ini dapat diawali dengan menyusun prakondisi untuk perubahan sebagai tolok ukur yang dijabarkan dalam strategi. Ada tiga pilihan pendekatan fundamental untuk melakukan penguatan institusi yaitu: 1) perubahan institusi yang ditentukan dari atas, 2) perubahan yang dilakukan dari bawah untuk lingkup tugas institusi yang lebih kecil, dan 3) pendekatan mass based reorientation dari setiap individu anggota. Perubahan institusi diperlukan karena lingkungan yang mempengaruhinya juga terus berubah (Shaw 2005). Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik institusi harus berada dalam kondisi stabil (Ruttan 1999). Kondisi stabil dapat diperoleh jika institusi dapat melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang
43 44
www.undp.org/rbec/nhdr/1996/georgia/glossary.htm diakses 11/11/2005 www.polity.org.za/html/govdocs/white _papers/sosial97gloss.html diakses 11/11/2005
34
terjadi pada faktor-faktor yang mempengaruhi institusi. Faktor-faktor tersebut diantaranya dukungan (endowments), produk yang dibutuhkan (product demand),dan teknologi (Ruttan 1999). Perubahan institusi (institutional change) dapat merubah property rights dan pasar melalui modifikasi kontrak (contractual relations) atau adanya pergantian batasan antara aktivitas pasar dan bukan pasar (Davis and North 1971:9 dalam Ruttan 1999:9). Perubahan institusi dapat dilihat dari sisi persediaan (supply) dan kebutuhan (demand) (Ruttan 1999:8-10). Dari sisi persediaan, perubahan institusi dipengaruhi oleh adanya biaya dalam memperoleh konsensus sosial. Besarnya biaya ini tergantung pada struktur kekuatan dari para pihak yang berkepentingan serta kultur dan ideologi yang ada. Pengetahuan mengenai ilmu sosial seperti hukum, manajemen, dan perencanaan
dapat membuat perubahan pada sisi
persediaan dan mengurangi biaya transaksi. Sedangkan dari sisi permintaan, perubahan institusi disebabkan karena adanya ketidakseimbangan alokasi sumberdaya.
2.3.5
Konsep Institutionalist Tenure Security Institusi dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji aturan, baik
formal maupun informal, yang mengatur perilaku atau hubungan antar manusia dalam penetapan dan pengurusan sumberdaya alam di taman nasional. Menurut literatur, akar konflik antara pemerintah dan masyarakat dalam isu tersebut adalah ketidaksepakatan pengaturan hak dan akses atas tanah dan sumberdaya didalamnya (Harsono 2005; Affif 2005; Lynch & Harwell 2002). Dalam masyarakat Indonesia, dikenal dua sistem pengaturan terhadap kepemilikan atau penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam. Kedua sistem tersebut ialah sistem resource tenure dan property (Harsono 2005; Affif 2005). Tenure adalah konsep sosial yang mengatur hak akses dan kontrol individu dan/atau kelompok atas tanah dan sumberdaya (Affif 2005: 228). Dalam literatur, terminologi tenure telah didefinisikan dengan sangat beragam. Definisi tenure berikut ini adalah beberapa diantaranya: •
Tenure adalah hubungan sosial, yaitu hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan
35
antara rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:64). •
Tenure seperti juga property ialah relasi sosial yang terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu obyek atau benda (Bruce 1993 dalam Affif 2005).
•
Tenure adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228).
•
Tenure adalah hak untuk mengakses sumberdaya secara terbatas baik dari segi durasi waktu maupun generasi yang mendapat hak atas akses tersebut (Ellsworth 2002:5).
•
Tenure adalah suatu aksi atau fakta dalam menguasai (holding) atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi (OED dalam Ellsworth 2002:5).
•
Tenure adalah bentuk pemberian hak menguasai atas tanah kepada tenant namun ia tidak dapat memiliki tanah tersebut (Michael Harwood dalam Harsono 2005:47).
Seperti sistem property, dalam sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam juga dikenal empat kategori kepemilikan yaitu (FAO 2002 dalam Affif 2005): kepemilikan privat 45 , kepemilikan komunal 46 , open access 47 , dan kepemilikan publik atau negara 48 . Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tenure adalah institusi sosial. Institusi ini dibangun berdasarkan norma yang ada, hukum legal formal dan kesepakatan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat dimana kepemilikannya dapat bersifat individu, komunal atau open access. Sistem property ialah sistem yang mengatur hak penuh individu atau privat mengenai kepemilikan, akses dan kontrol atas sesuatu (Affif 2005: 228). Definisi properti menurut James Madison ialah hak ekslusif untuk mengelola, menggunakan atau melakukan hal lainnya terhadap apapun yang dimilikinya (Ellsworth 2004:5). Properti juga didefinisikan secara praktis sebagai instrumen sosial (Bromley 2000 dalam Ellsworth 2004). Kepemilikan dalam sistem property 45
Kepemilikan privat ialah pemberian hak kepada individu, sekelompok orang atau lembaga untuk kepentingan mereka (FAO 2002 dalam Affif 2005). 46 Kepemilikan komunal ialah pemilikan tanah secara komunal dimana pemanfaatan /penggunaan tanah hanya dapat digunakan oleh anggota masyarakat tersebut (FAO 2002 dalam Affif 2005). 47 Oppen access ialah tidak ada kepemilikan atas tanah atau sumberdaya sehingga siapa saja dapat mengambil manfaat darinya (FAO 2002 dalam Affif 2005). 48 Kepemilikan publik ialah hak-hak atas tanah atau sumberdaya yang diklaim oleh negara dimana tanggung jawab pengurusannya diserahkan pada sektor tertentu (FAO 2002 dalam Affif 2005).
36
umumnya dibuktikan dengan adanya kontrak legal formal. Secara de facto, konsep tenure banyak dianut oleh masyarakat, terutama masyarakat adat. Di sisi lain, pemerintah Indonesia secara de jure menggunakan konsep property dimana tanah adat yang tidak memiliki bukti kepemilikan diklaim sebagai vrij lands domein atau tanah negara yang bebas (Harsono 2005:44-48). Kondisi ini menyebabkan tenurial insecurity atau ketidakpastian tenurial bagi masyarakat yang umumnya menggantungkan kebutuhan hidupnya pada tanah dan sumberdaya alam. Konsep Institutionalist Tenure Security merupakan salah satu dari empat 49 aliran pemikiran (school of thought) yang digunakan oleh para akademisi 50 untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat. Aliran ini menganalisis keterkaitan institusi dan politik ekonomi akses dari tenure security serta kontrol diantara aktor-aktor sosial (Mearns 2001 dalam Ellsworth 2004). Bagi penganut aliran ini, semua aktor memiliki hak untuk mendefinisikan Tenure Security karena, menurut mereka, tidak ada satu jenis kepemilikan yang terbaik, lebih efisien atau ideal terkait dengan kondisi sebuah kelompok, budaya atau sumberdaya. Rejim properti sebagai hasil proses perubahan lingkungan dari negosiasi atau lobi antara aktor-aktor sosial yang dapat memiliki perbedaanperbedaan kepentingan (Mearns 2001 dalam Ellsworth 2004:20). Agenda penelitian aliran ini adalah bagaimana masyarakat memutuskan bahwa sesuatu adalah commons, state, private, open-access property, atau kombinasi dari ke-empat jenis kepemilikan atas sumberdaya tersebut. Status kepemilikan sumberdaya dipandang sebagai interaksi/hubungan sosial antara 3 aktor seperti aktor yang memiliki berbagai bentuk hak, aktor yang dilarang untuk melanggar hak tersebut, dan pihak ketiga, aktor yang menjamin hak serta melarang pelanggaran (Affif 2005). Faktor –faktor yang mempengaruhi relasi ketiga aktor ini diantaranya sejarah kekuasaan, demografi, budaya, organisasi sosial, sistem nilai dan rejim hukum yang berlaku (Affif 2005; Elssworth 2004). Kepastian hukum tenurial bagi aliran ini ditentukan oleh kemampuan
49
Keempat aliran pemikiran ini adalah : property rights, agrarian structure traditions, common property advocates, dan aliran institutionalist (Affif 2005; Ellsworth 2002). 50 Penganut aliran ini diantaranya Bromley yang dokumentasi studinya diterbitkan pada tahun 1989, 1994, dan 2000; Thompson yang melakukan studi pada tahun 1991; Jacob, Bebbington, dan Douglas North yang membuat dokumentasi penelitian pada tahun 1999; Southgate, Singer dan Sen pada tahun 2000; dan Olsen pada tahun 2001 (Elsworth 2004).
37
memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakkan atau mempertahankan klaim. Kekuasaan politik dan distribusi sumberdaya juga jauh lebih penting diperhatikan daripada jenis kepemilikan karena dari dua faktor tersebut dapat ditentukan siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005). Aliran ini mendefinisikan properti sebagai instrumen sosial, dalam konteks ini, institusi dibentuk untuk menyepakati rejim properti (Bromley 2001 dalam Ellsworth 2004). Ada tiga hal yang diperlukan untuk mempertahankan property right yaitu: pemerintah yang berjalan, tidak adanya predator baik itu dari pemerintah atau pihak swasta, dan tidak adanya lobi dari kelompok yang memiliki kepentingan diluar kepentingan institusi (Ellsworth 2004).
2.4 Ekowisata 2.4.1
Sejarah Perkembangan Ekowisata Dalam pembangunan pariwisata dikenal dua konsep pendekatan yaitu
pembangunan pariwisata secara masal (mass tourism) dan pembangunan pariwisata secara berkelanjutan atau dikenal dengan istilah sustainable tourism development (Butler 1990; Gartner 1996). Pembangunan pariwisata secara masal mempunyai ciri diantaranya cepat;
berorientasi
pembangunan fasilitas wisata yang banyak dan
keuntungan
ekonomi
yang
sebesar-besarnya;
tidak
mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Pembangunan pariwisata seperti ini kemudian disebut sebagai pembangunan pariwisata yang tidak terkontrol, tidak terorganisasi dan tidak terencana. Keprihatinan akan dampak negatif terhadap lingkungan fisik dan sosial akibat pembangunan pariwisata yang menggunakan konsep pariwisata masal menimbulkan tumbuhnya pendekatan pariwisata secara berkelanjutan. Konsep ini merupakan respond terhadap konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama kali dicetuskan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development – WCED) pada tahun 1987 (Brundtland et al. 1987). Komisi ini mendeskripsikan pembangunan berkelanjutan sebagai proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, tujuan dari investasi, orientasi dari pengembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat secara konsisten dengan kebutuhan masa datang dan masa kini.
38
Sementara itu, Gartner (1996) mendefinisikan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai sebuah konsep yang mempunyai tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap keuntungan jangka pendek dan merubahnya kepada keuntungan jangka panjang dengan cara melindungi sumberdaya yang dapat menarik wisatawan. Konsep ini juga diterjemahkan sebagai suatu jenis pembangunan yang menghubungkan wisatawan dan penyedia jasa pariwisata yang mengkampanyekan perlindungan sumberdaya dan komunitas lokalnya yang menginginkan kualitas hidup yang lebih baik (McIntyre 1993). Konsep ini selanjutnya memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan konsep ekowisata. Ide yang terkandung dalam ekowisata sebetulnya telah lama dilakukan orang, dan muncul dalam bentuk tertulisnya di akhir 1960-an atau awal 1970an (Fennell,1999). Namun, terminologi ekowisata mulai berkembang pada awal tahun 1980an. Pada saat itu terminologi ekowisata digunakan untuk menjelaskan adanya minat baru dari wisatawan untuk mendatangi daerah-daerah yang alami dan belum tersentuh pembangunan serta memiliki kekayaan budaya yang unik dengan tujuan menikmati, mengagumi dan mempelajari sesuatu (diadopsi dari definisi yang dikeluarkan oleh Ceballos Lascurain pada tahun 1988 dalam Mitchel 1998; Furze et al. 1987; Wall &Ross 1998). Pada pertengahan tahun 1990an, setidaknya ada empat pihak yang memberikan kontribusi pada perkembangan konsep ekowisata berdasarkan kepetingannya masing-masing (Linberg et al. 1998). Pertama, pihak industri pariwisata
yang
memandang
ekowisata
sebagai
alat
pemasaran
untuk
mendatangkan wisatawan ke daerah-daerah yang mempunyai obyek wisata alam dan budaya. Kedua, pihak yang bergerak dalam pengembangan ekonomi pembangunan yang memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk menyediakan lapangan kerja di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh sarana dan prasarana pembangunan. Ketiga, pihak manajer sumberdaya dan konservasi yang melihat ekowisata sebagai peluang untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai program-program konservasi. Pihak ini juga menganggap bahwa ekowisata sebagai alat pendidikan untuk mempromosikan program-program konservasi. Pihak yang terakhir ialah kalangan yang peduli terhadap dampak
39
lingkungan akibat dari berbagai kegiatan pariwisata. Mereka memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk mempromosikan keberlanjutan sumberdaya dan pembangunan di kawasan wisata. Secara ringkas latar belakang timbulnya ekowisata disajikan pada Gambar 4.
2.4.2
Definisi dan Konsep Ekowisata
a. Perkembangan Konsep Ekowisata di dunia Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Ceballos-Lascurain pada akhir tahun 1980an. Terminologi ekowisata digunakan untuk menggambarkan perjalanan ke lokasi-lokasi alami yang terpencil
untuk tujuan menikmati dan mempelajari alam dan budaya
penduduk setempat (Mitchel 1998; Furze et al. 1987; Wall dan Ross 1998). Pada tahun 1996, Ceballos-Lascurain menambahkan penggunaan konsep teknologi yang ramah lingkungan dalam menjelaskan pembangunan ekowisata (Ceballos-Lascurain 1996). Perkembangan konsep wisata ini dipengaruhi oleh kepedulian terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan akibat pembangunan sarana dan prasarana wisata. Pada awal tahun 1990an, the Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem alamnya; menghasilkan peluang untuk keuntungan ekonomi yang membuat konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991). Definisi senada juga dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources-IUCN (Ceballos-Lascurain 1996). Jika pada tahap awal ekowisata diartikan lebih kepada daerah tujuan wisata, kecilnya dampak terhadap lingkungan serta manfaat yang positif terhadap komunitas lokal, The Federation of Nature and National Park of Europe pada tahun 1993 memandang ekowisata dari sisi operasionalisasinya. Ekowisata di definisikan sebagai segala bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas, yang dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997).
40
Perubahan orientasi tujuan wisatawan
Banyaknya wisatawan yang mulai mencari daerah wisata yang masih alami
Eksploitasi sumberdaya alam
Latar Belakang timbulnya Ekowisata
Pengabaian masyarakat lokal
Kegagalan pembangunan dengan konsep Pariwisata Masal (Mass Tourism)
Dampak negatip terhadap lingkungan
Pembangunan fasilitas wisata yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan Perubahan paradigma pembangunan
Eksploitasi sumberdaya alam
Kebutuhan pembiayaan kawasan konservasi
Eksploitasi sumberdaya alam
Sumber: dirangkum dari Boo 1990; Ceballos-lascurain 1996; Fennel 1999; Furze et al. 1997.
Gambar 4 Latar belakang perkembangan konsep ekowisata
Adanya
berbagai
definisi
tersebut
menunjukkan
masih
terus
berkembangnya konsep ekowisata yang mengarah kepada pematangan disiplin ilmu ekowisata. Dari berbagai definisi tersebut tampak adanya benang merah yang dapat menuntun kepada bentuk praktek ekowisata yang ideal, yang secara umum dapat diterima, yaitu: konsep kegiatan wisata yang memanfaatkan lingkungan yang alami, dan berbasiskan partisipasi aktif masyarakat dengan tujuan perlindungan, pendidikan dan pengembangan ekonomi lokal. Sampai saat ini, posisi definisi-definisi ekowisata yang telah diuraikan sebelumnya tersebut masih sangat lemah karena belum adanya bukti dari kegiatan yang nyata. Selain itu, masih belum adanya konsensus dari para penggiatnya.
41
Kondisi ini menyebabkan istilah atau terminologi ekowisata diterjemahkan dan diterapkan dalam kegiatan nyata dengan berbagai cara (Lindberg et al. 1998). Sebagai contoh, istilah ekowisata digunakan sebagai jargon pemasaran. Hal ini tidak hanya meningkatkan minat konsumen dan hasil penjualan tapi juga mengeksploitasi sumberdaya (Wight 1993). Stewart dan Sekartjakrarini (1994) merumuskan fenomena perkembangan konsep ekowisata kedalam dua perspektif. Seperti konsep pariwisata, ekowisata dapat dilihat sebagai sekumpulan perilaku (behaviour) atau sebagai industri. Sebagai sekumpulan perilaku atau aktivitas, ekowisata dilihat dari apa yang dilakukan oleh wisatawan (actually do by tourists). Contoh perspektif ini dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ceballos-Lascurain (1987) dan Boo (1991). Dalam konteks ini, hal yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya ialah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Sekartjakrarini 2003). Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). Dalam hal ini, ekowisata dilihat dari sisi penyediaan (supply side perspective) yang mengintegrasikan tujuan konservasi dan ekonomi melalui pariwisata (Stewart & Sekartjakrarini 1994). Syarat tercapainya tujuan ini dalam ekowisata ialah dengan melibatkan secara aktif masyarakat lokal (Fennel 1990). Dalam konteks inilah ekowisata akan dilihat dalam penelitian ini.
b. Perkembangan Konsep Ekowisata di Indonesia Di Indonesia, terminologi ecotourism diterjemahkan kedalam berbagai istilah (Sproule & Suhandi 1998:223; Sudarto 1999). Misalnya, The Indonesian Ecotourism Network (Indecon) menggunakan istilah ekowisata, sedangkan Kementrian lingkungan hidup menterjemahkannya sebagai wisata ekologis. Disisi lain, dalam dokumen-dokumen pengembangan wisata di kawasan konservasi, Departemen Kehutanan menggunakan istilah ekowisata dan wisata alam untuk merujuk hal yang sama. Dalam penelitian ini ecotourism akan diterjemahkan
42
dengan menggunakan istilah ekowisata. Ekowisata di Indonesia mulai dikenal pada pertengahan tahun 1995. Saat itu PACT-Indonesia dan WALHI mengadakan semiloka di Wisma Kinasih, Bogor. Pertemuan ini menyimpulkan arti pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata (Sudarto 1999). Pertemuan ekowisata dilanjutkan pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indecon sebagai lokakarya nasional ekowisata kedua. Pada pertemuan kedua ini lahirlah forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI). Rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan ini ialah (Sudarto 1999:13): “kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE)”. Dari hasil rumusan tersebut, Indecon mendefinisikan ekowisata sebagai “responsible travel to protected natural areas, as well as to unprotected natural areas, which conserves the environment (natural and cultural) and improves the welfare of local people” (Sproule dan Suhandi 1998: 223-224). Kedua rumusan ini merupakan pengembangan dari definisi ekowisata yang digunakan oleh The Ecotourism Society. Pada tahun 2004, batasan konsep ekowisata lainnya juga dituangkan didalam Rencana Strategi Ekowisata Nasional yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (sekarang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata). Ekowisata dalam dokumen tersebut diuraikan sebagai: “konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya” (Kembudpar 2004). Definisi ini disusun merujuk pada prinsip-prinsip universal pariwisata yang berkelanjutan (dituangkan dalam Quebec Declaration on Ecotourism pada tahun
43
2002), rekomendasi forum diskusi, hasil kajian institusi terkait, dan tuntutan objektif di lapangan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ekowisata ialah: konsep
pengembangan
dan
penyelenggaraan
kegiatan
pariwisata
yang
memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan. Selanjutnya terminologi ekowisata tersebut yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini.
2.4.3 Kriteria Kecukupan Ekowisata Berdasarkan kajian literatur terhadap perkembangan konsep dan definisi ekowisata di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi kecukupan suatu kegiatan pariwisata disebut sebagai ekowisata. Kelima faktor tersebut ialah: (a) tujuan pengelolaan; (b) partisipasi aktif masyarakat lokal; (c) dampak terhadap pengembangan ekonomi lokal; (d) produk wisata; dan (e) dampak minimal terhadap lingkungan. Berikut ini uraian masing-masing aspek penyelenggaraan ekowisata tersebut: a. Tujuan Pengelolaan : pemanfaatan untuk perlindungan Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi, termasuk taman nasional, ialah untuk mewujudkan misi konservasi (Boo 1990a; Sekartjakrarini 2003). Dalam pengembangan ekowisata, tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan
program-program
konservasi
dalam
produk
wisata
dan
pengelolaannya. Sekartjakrarini (2003) menyebutkan bahwa kegiatan interpretasi lingkungan
dalam
ekowisata
merupakan
media
yang
efektif
untuk
mengkampanyekan program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun
masyarakat
lokal.
Boo
(1990a)
juga
mengindikasikan
bahwa
pemanfaatkan bahan lokal untuk penyediaan sarana prasarana ekowisata merupakan salah satu upaya mengurangi dampak lingkungan. Sedangkan Wall dan Ross (1998) berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dapat dimanfaatkan sebagai sebagai agen konservasi yang dapat diandalkan.
44
b. Partisipasi Aktif Masyarakat Lokal Sejarah pembangunan pariwisata secara masal memberikan pengalaman mengenai pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam semua tahapan pembangunan. Pengabaian mereka akan menyebabkan konflik dan merugikan kedua belah pihak. Masyarakat akan dirugikan dengan tertutupnya akses terhadap sumberdaya. Disisi lain, karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya maka kegiatan ekowisata akan sulit untuk bertahan (Gurung 1995). Keterlibatan masyarakat lokal dalam pembangunan ekowisata sudah menjadi isu yang sangat penting (Furze et al. 1997; Wall & Ross 1998). Masyarakat lokal selain sering dituduh sebagai perusak alam, mereka juga ratarata merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian, para penggiat ekowisata percaya bahwa masyarakat lokal dapat berperan sangat besar dalam pencapai tujuan ekowisata. Masyarakat lokal tidak hanya dapat dilibatkan dalam inventarisasi kawasan tapi juga dalam konsultasi, insiasi aksi sampai pengambilan keputusan (Furze et al. 1997; Saunier &Meganck 1995). Beberapa contoh sukses dalam melibatkan masyaralat lokal sebagai bagian dari pengelola di kegiatan pengembangan ekowisata ialah Annapurna Conservation Area, Nepal (Weaver 1998; Lama 1995; Gurung dan De Coursey 1994), Huatulco, Oaxaca, Mexico (Ishida 1999), dan Masai Mara/Serengeti Ecosystem, Kenya (Gakahu 1992). c. Pengembangan Ekonomi Lokal Secara konseptual pembangunan ekowisata di suatu kawasan harus membawa manfaat ekonomi bagi kawasan tersebut. Menurut Linberg (1998) ada tiga aspek ekonomi dalam ekowisata yaitu: bagi hasil dalam keuntungan dan biaya perawatan kawasan; biaya masuk dan pemasukan lainnya untuk mendukung program perlindungan; dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata. Dampak ekonomi kegiatan wisata terhadap kawasan sekitar dapat diidentifikasi melalui empat faktor. Keempat faktor tersebut yaitu (Loomis &Walsh 1997): pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak (sales and tax revenue), peluang pekerjaan, dan penghasilan (income) yang diperoleh masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata.
45
Jika peluang kerja dan income merupakan dampak ekonomi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat lokal, maka tax dan hasil penjualan tiket merupakan pendapatan yang masuk kepada pemilik obyek wisata seperti taman nasional atau pemerintah daerah. Untuk penghasilan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak, ada lima jenis biaya yang dapat dipungut dari wisatawan (Loomis &Walsh 1997; Linberg 1998). Pertama, biaya masuk (entrance fee) ialah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki kawasan. Kedua, admission fee yaitu biaya yang dipungut saat wisatawan menggunakan fasilitas tertentu. Ketiga, User fee adalah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki obyek wisata tertentu. Keempat, License and Permit Fee yaitu biaya yang dikenakan pada wisatawan untuk
melakukan kegiatan tertentu seperti
berburu atau memancing misalnya. Kelima, sales and concessions fee adalah biaya yang dikenakan pada partner kerja seperti untuk jasa pemasaran, penggunaan logo dan trademarks. Pengembangan ekowisata di Galapagos National Park, Equador dan Monteverde Cloud Forest Reserve, Costa Rica merupakan contoh sukses ekowisata yang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi lokal (Boo 1990b). Pendapatan yang diperoleh dari entrance fee di kedua lokasi tersebut mampu menutupi
biaya operasional pengelolaan kawasan. Sementara bagi
masyarakat, pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekowisata merupakan sumber pendapatan kedua terbesar setelah pertanian.
d. Produk Ekowisata yang edukatif Seperti yang sudah diuraikan dalam batasan ekowisata, produk ekowisata harus bermuatan pendidikan dan pembelajaran baik mengenai alam dimana obyek wisata berada maupun budaya masyarakat sekitarnya. Kegiatan wisata yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya ialah interpretasi lingkungan, seperti pengamatan flora dan fauna, wisata kanopi, dan penyajian multi media di pusat informasi (Dephut 1998; Lindberg et al. 1998; Sekartjakrarini &Legoh, 2003). Interpretasi adalah suatu produk dan proses (Sekartjakrarini &Legoh, 2003; Ceballos-Lascurain 1996). Dalam pengertian produk wisata, interpretasi adalah suatu produk dengan muatan nilai-nilai substantif sumber-sumber alam/budaya,
46
pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini &Legoh. 2003). Dalam pengertian proses, kegiatan interpretasi seperti ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, dengan pemahaman akan ada apresiasi, dan dari apresiasi menimbulkan kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap alam (Sudarto 1999; Lindberg et al. 1998). Pengembangan kegiatan interpretasi di Kanah National Park, India merupakan salah satu contoh sukses kegiatan interpretasi yang dapat mengubah persepsi dan kepedulian pengunjung dan pegawai terhadap lingkungan (Ceballos-Lascurain 1996).
e. Dampak Lingkungan Ceballos-Lascurain (1996) mengidentifikasi setidaknya ada delapan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan wisata. Kedelapan dampak tersebut yaitu: dampak terhadap formasi bebatuan, tanah, air, tumbuhan, hidupan liar, sistem sanitasi, lansekap, dan lingkungan sosial budaya. Secara garis besar, dampak yang ditimbulkan dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu dampak terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya. Untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan fisik, faktor daya dukung lingkungan merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam pembangunan sarana dan prasarana ekowisata. Daya dukung lingkungan untuk ekowisata adalah kapasitas maksimum dari penggunaan suatu area yang dapat memenuhi kepuasan pengunjung secara optimum, dan seminimum mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya (Boo 1990). Daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu karakteristik wisatawan dan faktor lingkungan biofisik kawasan (Soemarwoto 1986). Bentuk
dampak
kegiatan
wisata
terhadap
kondisi
sosial-budaya
masyarakat setidaknya dapat ditemukan dalam dua literatur yaitu Gartner (1996), Ceballos-Lascurain (1996), dan Barrow (2000). Menurut literatur tersebut bentuk dampak yang dapat diidentifikasi diantaranya: a) ketakutan masyarakat akan perubahan, b) perubahan struktur sosial dan mata pencaharian, c) perubahan nilai lahan, d) perubahan standard hidup, e) perubahan sistem ekonomi, f) perubahan sistem nilai, g)budaya sebagai komoditas komersial, h) kriminalitas terhadap wisatawan, i) kesehatan, dan lainnya.
47
2.4.4
Hasil-hasil Penelitian Mengenai Ekowisata Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memahami sejauh mana konsep
ekowisata dapat diimplementasikan. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Jones (1997) telah memberikan kontribusi dengan membuat suatu konseptual model perencanaan ekowisata bersama masyarakat lokal di Calakmul Region, Mexico. Penelitian yang dilakukan oleh Reimer (1994) memberikan kontribusi dalam pengembangan metodologi penelitian partisipatif. Studi mengenai kesetaraan, kekuasaan dan proses dalam partisipasi masyarakat juga telah dilakukan oleh Peter (1997).
Indikasi adanya gap atau kesenjangan antara teori
dan kenyataan dalam penyusunan rencana aksi bersama masyarakat dapat dilihat pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Tasosa (1993).
Menurut hasil
penelitian tersebut, keterbatasan dalam berpartisipasi dapat menimbulkan masalah terutama jika hal tersebut disebabkan karena kurangnya representasi atau keterwakilan para pihak. Penelitian mengenai partisipasi masyarakat juga dilakukan oleh Pratiwi (2000). Hasil penelitian ini menunjukan adanya gap antara level partisipasi masyarakat yang dikonseptualisasikan dalam literatur dengan fakta empiris dilapangan. Agrawal dan Redford (2006) melakukan identifikasi terhadap 12 (duabelas) penelitian empiris mengenai ekowisata di negara berkembang, termasuk Indonesia. Mereka mengidentifikasi peran ekowisata dalam isu konservasi dan kemiskinan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penelitian ekowisata lebih banyak terfokus pada program ekowisata tidak pada pengaruhnya terhadap kondisi nyata di lapangan. Dari 12 penelitian empiris, hanya 4 penelitian mengindikasikan adanya pengaruh ekowisata terhadap isu konservasi dan kemiskinan. Dua studi menunjukan pengaruh yang terbatas sedangkan dua studi lainnya menunjukan pengaruh yang nyata. Ekowisata berperan setidaknya terhadap empat indikator konservasi, yaitu: pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumberdaya. Sedangkan untuk isu kemiskinan, kontribusi ekowisata diantaranya peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah yang bekerja, perbaikan infrastruktur, partisipasi lokal, dan pembagian keuntungan yang adil. Di kawasan TNGH sudah ada beberapa penelitian mengenai ekowisata.
48
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (1994) memberikan kontribusi dalam hal metode pengembangan wisata alam melalui pemahaman akan keterkaitan antara ketersediaan sumberdaya dan potensi permintaan. Hasil dan kesimpulan yang diperoleh diantaranya menyebutkan bahwa potensi wisata di TNGH cukup besar, karena letaknya yang strategis namun kurang didukung oleh sarana perhubungan dan fasilitas wisata, sehingga umumnya belum berfungsi sebagai tempat wisata. Pada tahun 2002, Nugraheni melakukan penelitian lanjutan mengenai sistem pengelolaan ekowisata yang berbasis masyarakat di TNGH. Hasil analisis yang dilakukan ialah : 1) Proses pengembangan ekowisata di TNGH dilakukan dengan
perencanaan
yang
didasarkan
pada
konsep
ekowisata
yang
menggabungkan wisata alam, konservasi alam dan lingkungan, partisipasi dan manfaat terhadap masyarakat lokal; dan 2) persepsi masyarakat sebagian besar positif terhadap pengembangan kegiatan ekowisata; dan 3) partisipasi masyarakat sudah terbentuk sejak dimulainya kegiatan ekowisata melalui pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM), namun partisipasi yang ada masih bersifat fungsional. Ambinari (2003) mengkaji strategi promosi kegiatan wisata di TNGH. Kajian ini dilakukan melalui evaluasi terhadap kegiatan promosi yang telah dilaksanakan. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa promosi telah dilakukan oleh Balai TNGH adalah dengan media iklan, humas, kunjungan, dan promosi penjualan, namun belum optimal karena masih bersifat umum dan tidak secara aktif dan langsung kepada sasaran ekowisata TNGH dengan strategi bauran promosi. Widada (2004) melakukan penelitian mengenai nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan TNGH, termasuk diantaranya pemanfaatan untuk ekowisata. Dengan menggunakan Analisis Nilai Ekonomi Total (NET) diperoleh hasil bahwa diasumsikan ekowisata dapat menyumbang 12,7% atau Rp. 1,27 milyar dari total nilai manfaat TNGH per tahun. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pengembangan ekowisata ialah promosi, pemeliharaan sarana dan prasarana, kerjasama antar lembaga, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia staf BTNGH.
49
2.5 Teori Teori, menurut Babbie (1998), adalah penjelasan yang sistematis untuk observasi-observasi yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan. Teori dalam penelitian ini digunakan untuk membantu peneliti dalam memahami fenomena yang terjadi dilokasi studi. Mengacu pada Alwasilah (2002), Moleong (2002), dan Babbie (1998), posisi teori seperti ini dalam penelitian dimungkinkan. Jadi selama teori tersebut dapat membantu peneliti dalam memahami fenomena maka teori tersebut yang akan digunakan sebagai referensi. Beberapa teori yang dianggap relevan diantaranya teori konflik, teori institusi, teori akses, dan teori partisipasi. Berikut penjelasan masing-masing teori tersebut. 2.5.1
Teori Konflik Ada tiga aliran dalam teori konflik yaitu teori yang dikembangkan oleh
Dahendorf pada tahun 1958, Lewis Coser pada tahun 1956, dan Randal Collins pada tahun 1975 (Ritzer &Goodman. 2005). Dahendorf melalui karyanya yang berjudul “Class and Class Conflict in Industrial Society” berpendapat bahwa masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Perubahan, pertikaian dan konflik dalam sistem sosial merupakan sumbangan dari berbagai elemen kemasyarakatan. Sedangkan, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas. Aliran ini menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Aliran kedua teori konflik dikembangkan oleh Lewis Coser. Melalui karyanya yang berjudul “The Function Of Sosial Conflict”, Coser berpendapat bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar atau dapat membangun kohesi dengan kelompok lain melalui aliansi. Konflik juga dapat mengaktifkan peran individu yang tadinya terisolasi dan membantu fungsi komunikasi yang sebelumnya macet. Aliran ketiga teori konflik dikembangkan oleh Randall Collins. Dia berasumsi bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial dan mudah berkonflik dalam kehidupan sosialnya. Manusia juga berupaya mengoptimalkan "status subyektifnya”. Hal ini tergantung pada sumberdaya mereka maupun sumberdaya orang lain dengan siapa mereka berurusan. Stratifikasi sosial dipandang sebagai
50
institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan dan penyebab timbulnya konflik. Prinsip teori konflik Collins: •
orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif seorang individu; dan
•
orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Setidaknya ada enam (6) teori yang menjelaskan apa saja sumber dan
penyebab konflik. Teori-teori tersebut adalah (Malik et al. 2003; van der Merwe 1997 dalam Fisher et al. 2001): a. Teori Hubungan Masyarakat : teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Penyelesaian konflik yang disarankan ialah meningkatkan komunikasi, saling pengertian dan toleransi antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik. b. Teori Negosiasi Prinsip : menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihakpihak yang mengalami konflik. Menurut teori ini konflik dapat diselesaikan dengan memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu. Untuk melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak,
perlu ditingkatkan kemampuan pihak-pihak yang berkonflik
untuk melakukan negosiasi. c. Teori Kebutuhan Manusia : berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang dapat dicapai dari konflik menurut teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. d. Teori Identitas : berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Konflik dapat diselesaikan melalui fasilitasi
51
lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi ancaman-ancaman yang dirasakan. Forum dialog ini juga dapat digunakan untuk membangun empati, rekonsiliasi dan kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. e. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya: berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Penyelesaian konfllik yang disarankan ialah dengan menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain; mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain; dan meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. f. Teori Transformasi Konflik: asumsi yang digunakan teori ini ialah konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Penyelesaian konflik yang ditawarkan menurut teori ini adalah mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang; dan mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, rekonsiliasi, dan pengakuan.
2.5.2
Teori Institusi North (2000) menjelaskan bahwa ada tiga hal yang diperlukan untuk
memahami institusi, yaitu: teori institusi, kondisi empiris, dan perubahan ekonomi. Secara teoritis, institusi merupakan suatu gabungan yang kompleks dari aturan, norma dan keyakinan yang membentuk suatu cara bagaimana masyarakat beroperasi dan mendefinisikan pencapaian tujuannya. Asumsi dari teori ini adalah 1) tidak ada pasar yang efisien tanpa distrukturkan oleh pelakunya dan 2) pasar yang efisien tidak dapat diperoleh tanpa keterlibatan pemerintah dan organisasi sukarela dalam menghasilkan struktur sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Ada empat aspek yang diperlukan untuk memahami struktur dalam institusi, yaitu: bagaimana pilihan diagregatkan dalam politik pasar, kendala internal51 , proses 51
Kendala internal biasanya disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap bagaimana norma, perilaku, kesepakatan, dan etika
52
pelaksanaan, dan bagaimana kebijakan formal berubah 52 . Ada empat pendekatan yang biasa digunakan dalam memahami institusi. Keempat pendekatan tersebut ialah (Peters 2000): pendekatan normatif, pilihan rasional (rational choice), sejarah, dan empiris. Pendekatan normatif melihat institusi dari tiga aspek yaitu nilai yang dianut, budaya yang dikembangkan dan proses bagaimana budaya tersebut dibuat dan dipertahankan. Sedangkan pendekatan pilihan rasional mendefinisikan institusi sebagai sekumpulan aturan dan insentif. Anggota dari suatu institusi berlaku sebagai respon terhadap aturan dan insentif ini. Namun demikian, pada dasarnya individuindividu ini sudah memiliki seperangkat preferensi yang tidak dapat diubah oleh keterlibatannya dalam sebuah institusi. Pendekatan sejarah (historical institutions) berpendapat bahwa "the policy and structural choices made at the inception of the institution will have a persistent influence over its behavior for the reminder of its existence" atau pilihan kebijakan dan struktur yang dibuat pada awal dari suatu institusi akan memiliki pengaruh yang terus menerus terhadap perilaku selama institusi tersebut ada (Steinmo, Thelen and Longstreth, 1992 dalam Peters, 2000). Ide dari model ketergantungan (path dependency) merupakan sentral dari teori pendekatan sejarah ini. Pendekatan empiris (empirical institutionalism) mendefinisikan institusi sebagai sebuah formal struktur dari kepemerintahan. Pendekatan ini mengkaji apakah institusi membuat perubahan dalam melakukan pilihan kebijakan atau stabilitas politik. Pendekatan ini memfokuskan pada perbedaan antara struktur presidential atau parlemen. Ada tiga hal yang menjadi benang merah dari keempat pendekatan diatas. Pertama, semua pendekatan menganggap bahwa struktur institusi penting. Kedua, struktur organisasi akan tetap bertahan meskipun anggota baru datang dan pergi. Ketiga, struktur menyebabkan regularitas dalam perilaku manusia.
berkembang dan berpengaruh terhadap masyarakat (North 2000:8). 52 Kebijakan formal merupakan satu-satunya faktor yang dapat dikontrol secara langsung untuk melakukan perubahan terhadap masyarakat. Hal yang sama sulit dilakukan pada norma-norma informal (North 2000:8).
53
2.5.3
Teori Akses Teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai
kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things). Gagasan ini merujuk pada adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan bukannya pada ikatan hak (bundle of rights). Konsep akses menjelaskan bagaimana aktor dapat memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya melalui suatu hubungan sosial yang luas dan bukannya pada hubungan properti semata. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa ada seseorang atau beberapa orang ataupun lembaga yang dapat memperoleh keuntungan dari memanfaatkan sumberdaya, tidak peduli apakah memiliki hak atas sumberdaya tersebut atau tidak. Konsep akses seperti ini memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan (dan tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi seperti apa). Analisis
akses
dengan
demikian
adalah
suatu
proses
untuk
mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Ribot dan Peluso menemukan 8 mekanisme akses sumberdaya yang tidak berbasis hak: akses teknologi, akses kapital/modal, akses pasar, akses buruh dan peluang buruh, akses pengetahuan, akses kewenangan, akses identitas sosial, dan akses hubungan sosial. Dua hipotesis dari teori ini yaitu: (1) seseorang dan institusi akan diposisi berbeda dalam kaitannya dengan sumberdaya pada berbagai momen sejarah dan skala geografi; (2) tesis pada no 1 berubah setiap saat. 2.5.4
Teori Partisipasi Ada tiga teori yang digunakan dalam menganalisis partisipasi yaitu
democratic theory, social mobilization theory and social exchange theory (Howell et al.1987). Dibangun pada abad ke-18 oleh para filsuf yang mendalami masalah politik. Asumsi dasar dari democratic theory menyebutkan bahwa semua anggota komunitas harus memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan keprihatinan mereka terhadap isu publik yang berdampak terhadap mereka. Untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus terlibat dan kesempatan untuk terlibat harus disediakan oleh pihak otoritas (Pateman 1970 dalam Howell et al. 1987).
54
Asumsi dasar dari teori partisipasi publik ke-2, social mobilization theory, ialah masyarakat yang terlibat dalam organisasi atau aktivitas kemasyarakatan cenderung lebih memiliki informasi atau kepedulian terhadap permasalahan publik (Olsen 1982 dalam Howell et al. 1987). Teori ini menyarankan bahwa suatu program pembangunan akan mendapat dukungan dari masyarakat jika melibatkan organisasi masyarakat yang sudah ada. Teori partisipasi publik yang terakhir, social exchange theory, menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Homans 1961 &Blau 1964 dalam Howell et al. 1987). Argumen ini dibuat dengan asumsi jika suatu kegiatan tidak memberikan manfaat yang jelas maka masyarakat sangat kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi, kecuali adanya pengaruh loyalitas atau kepedulian terhadap persoalan publik (Howell et al. 1987). Teori ini menyaran tiga faktor penting yang perlu ditetapkan atau dibangun untuk memulai partisipasi. Ketiga faktor ini ialah meminimisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa saling percaya antara para pihak yang terlibat (Howell et al. 1987).