DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
1
INTRODUKSI
INTEGRATED CONSERVATION & DEVELOPMENT PROGRAM DI TN.KERINCI SEBLAT LAP.
UTAMA
SEJARAH TERBENTUKNYA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
VOLUME I - NO: 2/ SEPTEMBER 2001
PHOTONEWS
PHOTO EKSKLUSIF ALAIN COMPOST DI TNKS
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
2
Susunan Redaksi
Dari Redaksi
Penanggung Jawab Rudi Syaf
Sidang pembaca, Editor Erdi Taufik Pelaksana Tim WARSI Artistik Aulia Erlangga Distribusi Aswandi
K
etika buletin ini sampai ke tangan Anda, mungkin terbesit sebuah pertanyaan — bisa juga pernyataan: “Alam Sumatera masih terbit?” Logis saja, memang. Terakhir kali Alam Sumatera muncul ke tangan Anda, sekitar enam bulan lalu. Alhamdulilah, kami masih bisa hadir, meski terlambat. Untuk itu, sepatutnya kami mohon maaf. Pada edisi ini —dan seterusnya- redaksi mengajak lembaga lain berpartisipasi, mengisi laporan utama. Kali ini, kerjasama dilakukan dengan Komponen A (Park Management) ICDP-TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat). Hasilnya, laporan utama Alam Sumatera tidak melulu mengupas soal Taman Nasional Bukit Duabelas, atau Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang selama ini menjadi konsentrasi kegiatan kami. Mengapa TNKS? Taman nasional dengan luas hampir 1,4 juta ha ini menyimpan banyak persoalan, sekalipun di kawasan ini banyak kegiatan yang dilakukan, di antaranya ICDP, yang sudah dimulai sejak 1990, dan berakhir tahun depan. Berbagai kegiatan yang berlangsung di TNKS juga menyerap dana cukup besar (US$ 19 juta pinjaman, US$ 15 hibah dan US$ 13 dana pendamping Pemerintah). Agar tampilan Alam Sumatera dapat menangkap sejumlah isu yang berkembang, Komponen A —dikoordinasi langsung oleh Raleigh A. Blouch (team leader) dan Adam— menghubungi pihak-pihak yang selama ini terlibat mengelola dan melestarikan TNKS, untuk menyumbang tulisan. Hasilnya?
Foto Cover: Alain Compost
Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh WARSI (Warung Informasi Konservasi)
Jl. Teuku Umar No.24 RT.09/RW03 - P.O.BOX 28 BKO 37312, Jambi Telp : (0746) 21508 Fax : (0746) 322178 E-mail :
[email protected] Website: http:\\www.warsi.or.id
Tulisan Listya Kusumawardhani, Pimpinan Proyek TNKS, yang juga Kasubdit Konservasi Ekosistem Esensial-Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, memberikan gambaran tentang proyek ICDP di TNKS. Lalu, Arthur H. Mitchell, team leader Komponen B, menyoroti hambatan pelaksanaan ICDP selama ini. WWF ID 0094 —yang sudah aktif di TNKS sejak 1992- menyumbangkan beberapa tulisan, termasuk Dudi Rufendi, deputi team leader yang menyoroti soal ancaman dan tekanan yang dihadapi TNKS. Tentu juga sumbangan tulisan dari kawan-kawan di Balai TNKS, yang ikut memberi warna. Atas kerja keras Raleigh A. Blouch dan Adam dari Komponen A, serta pihak-pihak lain, berbagai tulisan yang dibutuhkan dapat tersaji dalam buletin edisi ini. Bagaimana pun, tiada gading yang tak retak, memang. Dengan segala kekurangan dan kelemahan, serta juga keterlambatan buletin ini, sekali lagi redaksi mohon maaf.
Salam lestari
KONSEP
Model ICDP
S
aat ini pengelolaan taman nasional dan kawasan lindung dilakukan dengan memberi kontribusi pada tujuan pembangunan sebuah negara. Tapi ide bahwa konservasi dapat berjalan seiring dengan pembangunan belum dikenal secara luas. Proyek Pembangunan dan Konservasi Terpadu (Integrated Conservation Development Project - ICDP) baru mendominasi pengelolaan kawasan lindung sejak lima belas tahun yang lalu. Sebelum akhir tahun 1970 usaha untuk melindungi perwakilan contoh ekosistem alami di negara berkembang, sering dianggap sebagai hambatan terhadap pembangunan. Pada banyak negara berkembang —dengan mayoritas penduduk hidup di bawah garis kemiskinan-telah dibuat sebuah sistem nasional untuk taman nasional dan kawasan lindung. Namun ide ini dianggap sebagai kemewahan yang tidak dapat dinikmati. Dalam pandangan banyak pemimpin negara dan pembuat kebijakan, sumberdaya alam perlu dieksploitasi secara maksimal untuk meningkatkan standar hidup penduduk. Padahal tidak semuanya tersimpan di taman nasional. Sangat sering pengelola kawasan lindung menguatkan persepsi ini, dengan membuat kebijakan pelestarian yang ketat di lahan di bawah pengawasan mereka. Konservasi dan pembangunan menjadi terlihat sebagai tujuan yang saling tidak cocok—apakah sebuah ekosistem dilindungi secara kaku dalam kondisi alaminya, atau ekosistem dibuka untuk pembangunan dan rusak. Sekitar tahun 1980 aktifis konservasi secara luas menyadari bahwa tanpa dukungan politik mereka tidak akan pernah mencapai tujuan untuk menjaga keragaman hayati, dengan mengkonservasikan sampel ekosistem alami. Mereka, jelas, kalah bersaing dengan pembangunan, dan perlu mengimplementasikan strategi baru yang menjadikan konservasi terlihat sebagai bagian penting dari pembangunan, ketimbang menjadi penghambat. Maka lahirlah ide menggandengkan konservasi dan pembangunan menjadi sebuah paket tunggal yang secara umum dikenal sebagai ICDP.
Sejak awal, ICDP memiliki tujuan luhur: memberi keuntungan pembangunan berkelanjutan kepada penduduk yang tinggal di sekitar kawasan lindung. Bantuan internasional untuk pengelolaan kawasan lindung dan konservasi keragaman hayati, dilakukan dalam konteks pembangunan, khususnya pada tingkat lokal. Namun sekarang masih terlalu dini untuk mengatakan seberapa sukses konsep ICDP tersebut. Kegagalan utama dari banyak upaya ICDP, proyek ini terpaku pada asumsi bahwa konservasi sebuah kawasan lindung akan secara otomatis dicapai dengan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Faktanya tidak demikian. Sekadar menjamin bahwa penduduk dapat memenuhi kebutuhan pangan pokok, sebagai contoh, hal itu tidak akan menghentikan mereka dari usaha meningkatkan pendapatan untuk membeli barang-barang kebutuhan, atau menyediakan pendidikan yang lebih tinggi bagi putra-putri mereka. Karena itu, pilihan yang diambil adalah mengeksploitasi secara berlebihan kawasan yang dirancang untuk konservasi keragaman hayati. Di Indonesia saat ini, persoalan makin parah. Dengan datangnya otonomi daerah, penduduk yang tinggal di dekat kawasan hutan merasa berhak mengekploitasi hutan guna memperoleh pendapatan ekonomi yang cepat. Mereka ingin mendapatkan semua, tanpa berpikir perlu dilestarikan. Sebelumnya, mereka haram memanfaatkan, meski pemerintah pusat telah meraup keuntungan besar dari eksploitasi itu. Sayangnya, banyak sisa hutan yang kini hendak dieksploitasi, berada dalam kawasan yang sudah diperuntukan sebagai konservasi keragaman hayati. Ide memadukan konservasi dengan pembangunan jangka panjang mungkin telah diterima di tingkat nasional, tapi sering masih asing bagi penduduk yang tinggal di dekat kawasan lindung, kepada siapa kekuasaan dipindahkan. Namun demikian, inisiatif ICDP, paling tidak, memperlihatkan fungsi yang berharga dalam menyadarkan pengelola kawasan lindung dan setuju dengan tuntutan penduduk lokal untuk dilibatkan dalam pengelolaan bersama ekosistem alami. Tanpa keterlibatan ini, upaya melestarikan keragaman hayati demi pembangunan jangka panjang, dapat dipastikan akan mempunyai masa depan yang suram. (Raleigh A. Blouch, Team Leader Park Management Componen ICDP-TNKS)
3
INTRODUKSI 4
Sebuah Catatan Singkat
Tantangan KS - ICDP
I
Melalui kajian atas 21 kawasan konservasi di Indonesia, Wells menyimpulkan, ICDP menghadapi beberapa kendala, antara lain, lemahnya perencanaan. Misalnya, ICDP seringkali memfokuskan kegiatan pada pembinaan masyarakat sekitar kawasan, walaupun ironisnya— ancaman lebih besar terhadap pelestarian kawasan konservasi berasal dari sektor swasta dan masyarakat yang tidak berdiam di sekitar kawasan. Masalah lain, keterbatasan kapasitas institusi pengelola (Ditjen PHKA) dan lemahnya penegakan hukum. Langkah tindak lanjut yang diusulkan, antara lain, memperkuat kapasitas PHKA melalui kemitraan dengan LSM dan sektor swasta serta penyerahan sebagian wewenang dari PHKA pusat ke Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA di daerah. I. Bagaimana dengan KS-ICDP? KS-ICDP (Kerinci Seblat-Integrated Conservation and Development Project) merupakan satu proyek terbesar yang pernah ada dalam sejarah konservasi di Indonesia. Proyek ini tidak hanya besar dari jumlah dana (US$ 19 juta pinjaman, US$ 15 hibah dan US$ 13 dana pendamping Pemerintah), juga dari kompleksnya kegiatan yang dilaksanakan untuk menyelamatkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Proyek ICDP terdiri dari 4 Komponen; Komponen A: Park Management yang dilaksanakan Ditjen PHKA, Komponen B: Area/Village Development, dilaksanakan Ditjen Bina Bangda, Komponen C: Integrating Biodiversity in Concession Management dilaksanakan Ditjen Bina Produksi Kehutanan (BPK) dan Komponen D: Monitoring and Evaluation dilaksanakan Ditjen Bina Bangda. KS-ICDP merupakan proyek paling intensif dalam perencanaan. Walaupun naskah loan dan grant agreement KS-ICDP baru ditandatangani di Washington, Juni 1996, studi dan persiapan pelaksanaan KS-ICDP telah dimulai sejak tahun 1990. Kegiatan fasilitasi
ALAIN COMPOST
CDP adalah strategi untuk mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi dengan pembangunan sosial ekonomi setempat (Wells dan kawan kawan, 1999). Menurut sumber yang sama pendekatan ICDP dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia telah dimulai sekitar tahun 1980.
terhadap 10 desa penyangga pertama dimulai tahun 1995, dan kegiatan persiapan ini sering dikatakatan sebagai kegiatan ”pra-implementasi” (WWF, 2001). 2. Kekuatan KS-ICDP KS-ICDP berlangsung selama 6 tahun, mulai Juni 1996 dan akan berakhir 30 September 2002. Dipenghujung pelaksanaan proyek ini dapat dicatat beberapa hal yang menjadi kekuatan KS-ICDP yaitu: a. Perencanaan yang Matang. Sebagaimana telah disebutkan, persiapan KS-ICDP telah berlangsung sangat lama. Hal ini menguntungkan, khususnya bagi kegiatan fasilitasi di 10 desa. Pembinaan desa relatif cukup lama sehingga ada waktu bagi fasilitator di desa untuk menggali aspirasi masyarakat dan mencapai kesepakatan yang diperoleh antara masyarakat desa dan pemerintah (antara lain pengelola TNKS). Adanya fasilitator konservasi desa (FKD) yang tinggal di desa, dibantu seorang organisator masyarakat lokal (OML) yang merupakan penduduk desa yang bersangkutan, keduanya merupakan pendukung utama yang
A
memperkuat institusi desa, khususnya kelompok kerja ICDP yang dibentuk dalam rangka mengatur pemanfaatan dana hibah konservasi desa (HKD).
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
Membangun Desa dari Hasil Lubuk Larangan
5
L
ubuklarangan—sebuahcekunganagakdalamyangterdapat disungai— sudahmenjadi“wilayahadat”yangdilindungidi sejumlahdesa. Lubukinimerupakanhabitattempatberkumpulnya ikan untuk berkembang biak dan berlindung dari upaya penangkapan. Ia disebut lubuk larangan karena tidak bisa dimanfaatkanleluasadanperorangan,tetapimelaluimusyawarah danuntukkepentinganpembangunandesa.
Dalam KS-ICDP, adanya bantuan kepada masyarakat desa melalui HKD (total jumlahnya sekitar Rp. 250.000.0000 untuk tiap desa) mempersyaratkan adanya kondisi-kondisi yang terkait dengan pelestarian TNKS. Misalnya kesepakatan agar masyarakat tidak merambah, ikut menjaga pal batas kawasan dan tidak melakukan perburuan liar.
Pemanfaatannyadilakukanpadawaktutertentu,saatikandidalam lubuk layak dipanen. Umumnya rentang waktu panen lubuk laranganadalahsekalisetahun Jadwalnyaditetapkansesuai kesepakatan,dansetiapwargamemilikikesempatanuntukikut serta.Sementara,mekanismenyaadadua,pelelangandanbagi hasil. Yangseringdilakukanadalahsistempelelangan. Darihasil lelangitulahkemudiandesamembangunprasaranadidesanya.
Perencanaan administrasi keproyekan KS-ICDP relatif lebih baik. Sejak awal dimulai, dana KS-ICDP telah dialokasikan pada masing-masing instansi yang bertanggung jawab terhadap bidang tugas terkait. Misalnya dana Komponen A pada Ditjen PHKA/Balai TNKS, dana Komponen C pada Ditjen BPK, serta dana Komponen B dan D pada Ditjen Bina Bangda/ Bappeda. Distribusi anggaran ini penting untuk memberikan rasa memiliki (sense of ownership) dan tanggung jawab akan keberhasilan proyek. Di samping itu, beban kegiatan pelaksanaan proyek tidak bertumpu pada satu instansi.
Dalampemanenan,peralatanyangdigunakandibatasipadabenda/ alatyangdapatmenjaminkelestarianikan. Jikadilakukansiang hari,peralatannyaadalahlukah,jala,pancing,danalatbantuilau (anyaman yang terbuat dari daun enau yang digunakan untuk memburuikankearahlukah). Sedangkandimalamhari,digunakan serampang (tombak bermata banyak). Namun serampang tidak digunakanpadasaatpemanenanbersamaandenganpenggunaan jala,karenaberisikoterhadapkeselamatanpemanen.
Pelaksanaan KS-ICDP juga didukung organisasiorganisasi di tingkat nasional dan daerah, seperti WWF Indonesia dan Warsi sebagai pelaksana fasilitasi desa, Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) sebagai koordinator pelaksanaan hibah penelitian. Keterlibatan organisasi-organisasi tersebut sangat berarti, khususnya sebagai pendamping masyarakat dan sebagai jembatan menjalin kemitraan antara TNKS dan masyarakat dan perguruan tinggi setempat.
DesaNgaol,salahsatudesaICDP,yangberadadiKecamatan Tabir,KabupatenMerangin, sudahmemanfaatkanlubuklarangan sejaktahun1975.LubukiniterdapatdiMuaraBatangNgaol, yangberhulukeTNKS. Sejakditetapkansebagailubuklarangan, potensiikandariMuaraBatangNgaolinisudahdimanfaatkan untukmembangunmesjiddanjalandesa. Saatinimasyarakat DesaNgaoltengahmembangunjalansecaragotongroyong,yang bahannyadibelidarihasilpanenlubuklarangan
b. Kegiatan yang Beragam Kegiatan yang beragam dalam KS-ICDP dimaksudkan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam ALAIN COMPOST
Sayangnya, lubuk larangan Muara Batang Ngaol ini kurang potensiallagisebagaisumberpendapatandesatigatahunterakhir. Jumlahikanyangdipanenmakinjauhberkurang,sehinggamasa panendiperpanjangmenjadisekaliduatahun.Tahun1998,warga NgaoldariDusunTanjungPauhmenambahsatulubuklarangan, berlokasiDASBatangTabir. Tahunini,duadusun(Bukitdan Muara Berembang), menambah lagi lubuk larangan, bernama LubukPesong, yangberadadiBatangTabiragakjauhdarimilik DusunTanjungPauh. Agarlubuklaranganiniamandaripemanfaatanperorangan,ada sangsibagipelanggar,yakniberupadendauangyangbesarnya setara dengan seekor kambing dewasa dan dua puluh gantang beras. Sangsi ini juga berlaku untuk pengambilan yang menggunakanracun,putas,setrum,danbahanpeledak. Agar diketahuikhalayak,lubukiniditandaidenganrentangankawat, dan plang bertuliskan “lubuk larangan”. (Ali Hayat/Ade Chandra, FKD WWF) WWF).
INTRODUKSI pengelolaan TNKS dan wilayah di sekitarnya. Adanya berbagai kegiatan memberi peluang adanya hal-hal baru yang merupakan terobosan dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu, dalam KS-ICDP, rencana tidak hanya menghasilkan suatu dokumen, tetapi — yang lebih penting— juga mencakup implementasi di lapangan. Misalnya penyusunan management plan TNKS diikuti dengan penerapan ZPT (Zona Pemanfaatan Tradisional) dan ZPK (Zona Pemanfaatan Khusus) di desa-desa prioritas. KS-ICDP juga mengalokasikan anggaran untuk pelatihan, kampanye konservasi, pengadaan sarana kerja, infrastuktur dan penelitian oleh para peneliti di 4 provinsi (Sumbar, Jambi, Bengkulu dan Sumsel). III. Kendala KS-ICDP Di samping banyak hal positif, dalam pelaksanaan kegiatannya, ada kendala yang dapat mengancam keberhasilan proyek KS-ICDP, di antaranya:
ALAIN COMPOST
a. Penegakan Hukum Lemah Kendala terbesar yang harus dihadapi dalam KS-ICDP adalah penegakan hukum yang masih lemah. Kegiatankegiatan yang membutuhkan komitmen masyarakat desa, misalnya, seakan-akan menjadi sia-sia. Ketika masyarakat desa disyaratkan untuk tidak merambah TNKS, tidak melakukan pencurian kayu, mereka justru menyaksikan kegiatan para penebang liar dan pencurian kayu yang merajalela, tanpa dapat berbuat apa-apa. Ironisnya kegiatan melawan hukum, khususnya penebangan liar di sekitar TNKS, terus terjadi bahkan meningkat, walaupun di tiap kabupaten telah dibentuk tim terpadu, khusus untuk menanggulangi masalah itu. Sawmill (liar) yang selalu disuarakan sebagai pendorong terjadinya penebangan haram, masih belum ditindak. Proses penyidikan terhadap cukong-cukong atau oknum aparat yang diduga terlibat, nampaknya juga masih belum terlaksana.
b. Rekomendasi tidak Ditindaklanjuti Kurangnya kesadaran akan pentingnya konservasi menyebabkan rendahnya komitmen untuk melaksanakan rekomendasi dalam KS-ICDP, sehingga hasil ICDP hanya sebagai laporan untuk disimpan dan belum menjadi salah satu acuan dalam pengembangan daerah. Hal ini terlihat jelas pada rencana pembukaan hutan di Kec. Sutra Kab. Pesisir Selatan untuk kegiatan pertambangan batubara. Pembahasan yang dilakukan lebih menyoroti kemungkinan tumpang tindih dengan kawasan TNKS, tetapi masalah yang kurang disadari ialah ancaman kegiatan tersebut terhadap pelestarian lingkungan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kabupaten yang diselesaikan Ditjen Bangda pada tahun 1999, disebutkan bahwa wilayah yang akan dibuka tersebut adalah daerah rawan bencana. Oleh karena itu walaupun ijin telah diterbitkan pemerintah daerah, ijin itu harus ditinjau ulang. Demikian pula dengan hasil audit atas 9 HPH disekitar TNKS, perlu ditindaklanjuti oleh Ditjen BPK Departemen Kehutanan. IV. Tantangan KS-ICDP KS-ICDP akan berakhir September 2002. Tantangan terbesar yang dihadapi Pemerintah Indonesia adalah melanjutkan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam KS-ICDP. Instansi terkait dan organisasi yang terlibat dalam KS-ICDP tentu bertanya, apakah kegiatan yang dilaksanakan saat ini terus berlanjut? Apakah ancaman terhadap TNKS akan berkurang atau terus meningkat? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu terletak pada komitmen Pemerintah Indonesia di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten. Penyelamatan TNKS hanya dapat dilakukan apabila seluruhnya sepakat bahwa pelestarian kawasan ini penting, sebagai sumber air, pemberi kesuburan tanah, serta pelindung terhadap bencana banjir. Selain itu, pemerintah juga harus mengakui manfaat ekonomi yang telah diberikan TNKS melalui kedatangan wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung untuk menikmati keindahan kawasan ini. Kesepakatan ini tentunya bukan terbatas pada deklarasi atau pernyataan yang dihasilkan dalam seminar atau lokakarya dan pertemuan-pertemuan lain, tetapi benar-benar diaplikasikan di lapangan. (Listya Kusumawardhani, Kasubdit Konservasi Ekosistem Esensial Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, dan Pimpro TNKS) Sumber: Michael Wells et.al, Investing in Biodiversity: A Review of Indonesia’s Integrated Conservation and Development Projects. The World Bank, East Asia Region. 1999.
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
ALAIN COMPOST
A
LAPORAN UTAMA
Sejarah Terbentuknya TN Kerinci Seblat
P
ada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda menetapkan hutan yang ada wilayah Sumatera bagian tengah yang berada di sisi barat sebagai kawasan lindung. Masyarakat setempat lalu mengenalnya sebagai hutan batas Bosswesen (BW). Cerita dari kalangan tetua menyebutkan, Belanda saat itu peduli dengan kawasan hutan batas BW dan ada sangsi bagi para pelanggar. Sampai setengah abad kemudian, kawasan hutan di pulau Sumatera digolongkan ke dalam berbagai status. Beberapa propinsi juga tengah menyiapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dari penetapan RTRW, kawasan yang berada di gugusan Bukit Barisan: mulai Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan hingga Bengkulu, mengalokasikan kawasan hutannya dengan berbagai status. Pola pengelolaan kawasan yang dikembangkan kemudian berbeda satu sama lain, sesuai status dan peruntukannya. Yang patut dicatat, kawasan hutan itu diketahui menyimpan keragaman hayati yang melimpah, sehingga mendapat perhatian sejumlah badan dunia. Hal ini seiring dengan perkembangan ilmu konservasi yang mulai diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat. Periode 1977-1980, disponsori FAO (Food and Agriculture Organization), Ditjen Perlindungan dan Pelestarian Alam serta WWF, melakukan penelitian di empat propinsi. Fokusnya diarahkan pada sejumlah potensi yang ada, di antaranya floristik, faunistik, gemorphologis dan geografis. Hasilnya kemudian menjadi dasar masukan bagi kawasan konservasi, yang direncanakan memanjang dari Gunung Kerinci hingga Gunung Seblat. Dasar masukan ini tertuang dalam usulan rencana pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat (Proposed Management Plan Kerinci Seblat Nasional Park) tahun 1980. Usulan ini diharapkan akan menjadi suatu kawasan konservasi dengan sistem pengelolaan modern —sebagai kawasan penyeimbang ekologis lokal, regional dan nasional, bahkan internasional.
LAPORAN UTAMA
Gagasan ini kemudian mendapat tanggapan. Sejumlah departemen: Pertanian (yang saat itu masih membidangi sektor kehutanan), Penerangan, Menteri Negara PPLH dan Meneg Ristek, 6 Maret 1980, mengeluarkan pernyataan bersama, dengan melahirkan konsep yang dituangkan dalam bentuk “Strategi Konservasi Alam di Indonesia”, dan hingga kini masih digunakan. Kongres Taman Nasional Sedunia III di Bali, tahun 1982, adalah titik awal pembahasan TNKS secara lebih nyata. Pada kongres itu pemerintah menetapkan rencana taman nasional untuk 11 kawasan konservasi, termasuk Kerinci Seblat. Surat Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 1.484.660 hektar. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan gabungan dari beberapa peruntukan hutan: cagar alam (299.970 ha), suaka margasatwa (368.185 ha), hutan lindung (657.629 ha), serta hutan produksi dan hutan peruntukan lain (165.866 ha). Taman nasional ini membentang di empat propinsi: Sumatera Barat (375.930 ha), Jambi (588.460 ha), Bengkulu (310.580 ha) dan Sumatera Selatan (209.680 ha). Kawasan TNKS ini berasal dari 17 kelompok hutan yang merupakan bagian hutan lindung register tahun 1921-1926, cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan pada kurun waktu 1978-1981, ditambah dengan beberapa kawasan hutan produksi. Kawasan konservasi ini kemudian disatukan agar tidak terputusputus, yang secara ekologis akan lebih utuh dan mendukung kehidupan satwa-satwa besar. Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan tata guna hutan kesepakatan, sebagian kawasan hutan di dataran rendah ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan
produksi terbatas. Hal ini ternyata mengurangi luas kawasan TNKS menjadi 1,25 juta ha. Karena terjadi penyusutan, lalu dilakukan revisi dengan melakukan tata batas, dimulai tahun 1992. Setelah pemancangan pal batas dan rekonstruksi rampung, Menteri Kehutanan, melalui Surat Keputusan No. 901/KptsII/1999 tentang penetapan kawasan TNKS di empat propinsi dengan luas 1.375.349 ha. Selama proses menuju penetapan taman nasional, pemerintah sebetulnya telah membentuk badan pengelola, melalui proyek pembangunan TNKS, di bawah koordinasi Balai KSDA II Lampung, tahun 1984. Delapan tahun kemudian, ditingkatkan menjadi unit pelaksana teknis (UPT) TNKS. UPT ini, tahun 1997, ditingkatkan lagi menjadi Balai TNKS. Kelahiran TNKS akhirnya mendapat perhatian banyak lembaga internasional: GEF (Global Environment Facility), UNDP (United Nations Development Program), Bank Dunia dan JGF (Japan Grant Facility). GEF, bekerjasama dengan UNDP, menawarkan proyek pelestarian keragaman hayati. Bank Dunia, dengan mengontrak konsultan, melaksanakan kajian investasi untuk komponen program ICDP (Integrated Conservation and Development Project). Implementasi kegiatan ICDP, yang dirancang sebagai proyek pengelolaan TNKS, melibatkan semua pihak. Karena itu, kerangka kerjanya difokuskan pada empat komponen: komponen A pada pengelolaan taman; komponen B pada pengembangan desa-desa --yang tingkat interaksi dan ketergantungan pada TNKS relatif tinggi; komponen C menfokuskan diri pada pengelolaan wilayah konsesi hutan di kawasan penyangga taman; dan komponen D melakukan evaluasi dan monitoring terhadap ketiga komponen.
ALAIN COMPOST
ALAIN COMPOST
8
A
Selain kerjasama internasional dengan koordinasi Bank Dunia dan pemerintah Indonesia, WWF Indonesia, melalui WWF ID 0094, sejak tahun 1991 membantu pengelolaan TNKS sebelum terbentuk UPT dan balai. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, penguatan nilai-nilai tradisional masyarakat tentang konservasi dengan membentuk hutan adat, pendampingan ekowisata dan pemanfaatan lahan terlantar. Tahun 1995, Flora Fauna International melalui dukungan lembaga internasional dan bekerjasama dengan Ditjen PHKA Dephut, melakukan beberapa kegiatan di TNKS. Di antaranya proyek orang pendek, yang sempat dikabarkan menjadi “penjaga” hutan TNKS, dan perlindungan pelestarian mamalia besar seperti harimau Sumatera, badak Sumatera, gajah dan tapir, yang populasinya mulai langka. Setahun kemudian, Bank Dunia membantu pengelolaan, bersama UPT TNKS, dengan memberikan dana kepada WWF ID 0094. Kegiatan yang dirancang adalah melalukan praimplementasi ICDP di 10 desa, dengan fokus kegiatan pada pengembangan wilayah perdesaan. Sepuluh desa ini diambil dari desa yang sebelumnya melaksanakan kegiatan paket C dan D. Kendati demikian, keberadaan taman masih menyimpan sejumlah persoalan: 1) Pembangunan Jalan. Kendati komitmen pemerintah dengan pemberi bantuan sudah disepakati, ternyata ada indikasi penanganan proyek ICDP kurang serius disosialisasikan. Contohnya, pembangunan jalan yang membelah atau memotong taman nasional.
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
9
ALAIN COMPOST
Konsultan ini membentuk tim spesialis, yang berasal dari berbagai pihak: pemerintah, LSM (nasional dan internasional-WWF) dan juga kalangan swasta. Mereka mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan TNKS. Untuk menjembatani tahap persiapan ke implementasi, JGF melalui Bank Dunia, membantu kegiatan melalui Paket C dan D. Paket C untuk survei bentang alam dan kondisi sosial ekonomi desadesa perbatasan TNKS, dan Paket D untuk penguatan LSM lokal —diserahkan pada Warsi (Warung Informasi Konservasi)— dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKS.
L
PLTA, TNKS dan US$ 500 Juta
P
embangkitListrikTenagaAir(PLTA)bernilai$US500jutaakandibangundi Kerinci. PLTAinimemanfaatkankekuatanarussungaiDASBatangMerangin, untukmemutarturbinyangakanmenghasilkanlistrikberkekuatan380megawatt, danhendakdidistribusikanuntukmenambahkebutuhanlistrikdiwilayahSumatera bagianSelatan. PLTAyangdikelolaKerinciTirtaSaktiinimerupakanproyekkerjasamaantara Pemerintah Norwegia dan Indonesia. Pemerintah Kabupaten Kerinci akan memperolehsaham15%,ditambahretribusipemakaianairuntukmemutarturbin. Pembangunan pembangkit itu, beserta operasionalnya, akan memanfaatkan pengusahalokalsebagaimitrakerja,bahanbakulokal (pasirdanbatu),serta tenagakerja. DASBatangMeranginsebagaisumbertenagaPLTA,merupakanmuaradarisejumlah subDASberhulukeTamanNasionalKerinciSeblat. Karenaitu,prospekproyek ratusanjutadolarinisangattergantungpadadebitairyangakanmemutarturbin. Masalahnya,seberapajauhdebitairinibisamenjaminPLTAsetelahberoperasi. KondisihutanTNKS,sebagaidaerahtangkapanair,saatinitengahmenghadapi tekanandariberbagaipenjuru. Adaratusansawmilldisekelilingtaman,yangsiap menampunghasilpenebangantanpaizin. Tidakbisajugadiabaikanperambahan untukperladanganyangdilakukanmasyarakat. Akibatyangbisadiperkirakandaritekananiniadalahjaminandebitairketika kekeringanmengancamDASBatangMerangin. Sebaliknya,dikalamusimhujan, banjiradalahancamanyangtidakbisadihindarkan. Banjiryangmelandasebagian wilayahKerinciakhirtahunlalu,merupakansalahsatuindikasibahwahutandi TNKSsudahmengalamidegradasi. Adabaiknya,sebelumproyekratusanjutadolarinidihabiskanuntukmembangun pembangkitlistrik,perludilakukantindakanprevensimelaluipemeliharaandan pengamanan TNKS, sehingga hutan yang menjaga debit air, akan terjamin kelestariannya. Karenaitu,PemerintahKerincijangan“tergiur”duludengan penambahan PAD -melalui proyek “menjual” air dan bahan baku lokal- serta penyerapan tenaga kerja. (Syamsul Bahri, staf BTNKS)
LAPORAN UTAMA 10
Tercatat ada beberapa proyek pembangunan jalan yang akan merusak ekosistem taman, baik antarkabupaten dalam propinsi maupun antarpropinsi. Di antaranya: jalan Kambang (Pesisir Selatan) -Muara Labuh (Solok), keduanya di Sumatera Barat. Juga jalan Sungai Penuh (Kerinci, Jambi) - Muara Labuh, Renah Pemetik (Kerinci) - Tanah Tumbuh (Muaro Bungo) keduanya di Propinsi Jambi.
ditetapkan, serta semua pihak mengetahui dan menerima penataan batas.
Rencana pembangunan jalan bukan hanya sebatas wacana tapi sempat diekspos besar-besaran di media massa, dan kemudian menjadi kontroversi. Gubernur Sumatera Barat beberapa kali mengumumkan rencana itu. Begitu juga dengan Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin, yang mengumumkan di awal jabatannya. Meski rencana itu kemudian gagal —karena Bank Dunia mengancam akan menghentikan pinjamannya— tidak berarti rencana pembangunan jalan distop.
Kenyataan di lapangan, sewaktu pemancangan pal batas —dengan penanggung jawab Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan— terjadi berbagai penyimpangan yang cenderung merugikan masyarakat di sekitar kawasan. Akibatnya, meski pemancangan pal batas dianggap selesai tahun 1999, muncul berbagai persoalan. Ada kasus pal batas tidak ditemukan karena hilang, dihilangkan, atau tidak dipasang sama sekali. Tidak heran jika sebagian warga lebih mengenal dan menghargai batas hutan register tahun 1921-1926, yang mengakomodasi kepentingan mereka. Pemancangan batas juga tidak tepat pada titik koordinat yang ditentukan, sehingga beberapa lahan milik masyarakat seperti sawah, kebun dan pemanfaatan hasil hutan nonkayu secara tradisional, masuk dalam kawasan taman nasional.
2) Tata Batas. Pemancangan pal batas definitif dilakukan selama tiga tahun (1992-1995) dan disusul dengan rekonstruksi di beberapa daerah tahun 19992000. Penataan batas ini juga melibatkan pemerintah daerah di tingkat kabupaten. Tujuannya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, yang sudah bermukim di perbatasan sebelum taman nasional
3) Tumpang Tindih. Akibat pemancangan pal batas dan sistem penetapan kawasan yang tidak tepat sasaran dan penyimpangan yang terjadi, ada beberapa permukiman penduduk yang tumpang tindih dengan kawasan. Persoalan ini diupayakan dengan dengan menyiapan konsep zona pemanfaatan khusus dan zona pemanfaatan tradisional. Konsep ini bertujuan untuk
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
11
Hutan Adat “Setengah Hati”
T
ahun1993,BalaiTamanNasionalKerinciSeblat(TNKS) menyerahkan 754 ha kawasan hutannya kepada masyarakatadatDesaBaruPangkalanJambu,Kec.SeiManau. PenyerahanitudisetujuiBupatiSarolangun-Bangko(kini Kabupaten Merangin), melalui SK Bupati Sarko No. 225 Tahuyn1993.
Hutanini,sesuaikesepakatanawal,dikelolasecaraadat. Masyarakatmengeloladanmengawasidariberbagaiancaman, termasuk penebangan ilegal. Pemanfaatannya pun bukan bersifat komersial, tapi untuk kepentingan anggota masyarakat:membangunrumah,sumberbakuobattradisional, membangunmasjidataukeperluanlain,yangpengambilannya berdasarkanmusyawarah. Hutanadatyangmenjadihulusejumlahsubdaerahaliran sungai(DAS)inimerupakansalahsatuhabitatsatwalangka yangdilindungi:diantaranyaharimau,rusa,kijang,kambing hutan,jugaanekajenisburung,reptiliadanbeberajajenis insekta. Surveitahun1993menemukan81jenisburjng,14 jenismamaliadan52vegetasi,mulaijenislumut,pakis, lianahinggaanekajenispohon:diantaranyameranti,sibayang, kelukupdantembesu.
batasdefinitifTNKSyangdikeluarkanJuni1995,dariluas hutan adat 792 ha, seluas 745 ha masuk dalam kawasan tamannasional,danhanya47haberadadiluartaman. Karena“kelalaian”dalamtatabatas(zonasi),pengelolaan danpengamananhutanadatmenjadidilematis: yangberada dalam taman merupakan kewenangan balai TNKS, dan yang diluartamanolehmasyarakatadat. Sudahmenjadirahasia umum,pihakbalaipunyaketerbatasandalammengamankan hutandarikegiatanpenebanganilegal. Akibatkelalaianini,sebagianbesarhutanadatditebangisecara ilegal,terutama olehmasyarakatdariluaryangdibekingi aparatkeamanan. “Kamitidakbisamempertahankanhutan adatkami,karenapengamananyangberadadidalamtaman merupakankewenanganpihakbalaiTNKS,”ungkapseorang tokohmasyarakatDesaBaruPangkalanJambu. Sayang, niat yang tulus -menyerahkan hutan kepada masyarakatuntukdikelolasecarapartisipatif—akhirnya ternodai,karenadalampenataanbatastidakmelibatkan masyarakat. (Yudha Priyatna/Amsurya W.A.,WWF Sungai Penuh)
Sayang, penyerahan hutan adat yang memiliki potensi keragamaanhayatiitu,masihsetengahhati. Sebab,tidak semua hutan adat yang diserahkan, menjadi kewenangan masyarakatadatuntukmengeloladanmengawasi.Sesuaitata
Keseriusan dalam pengelolaan dan upaya pelestarian TNKS dengan luas hampir 1,4 juta ha, patut dihargai. Berbagai lembaga dengan aneka kegiatan sudah dilakukan sejak taman ini baru dalam tahap perencanaan. Bahkan, untuk mengakomodasi berbagai kepentingan, penetapan taman nasional dilakukan melalui prosedur yang cukup panjang dan sempat direvisi ulang. Perjuangan panjang sebelum taman nasional terbentuk, tampaknya belum banyak berarti sepanjang tekanan yang dihadapi TNKS dari berbagai aktifitas yang bersifat eksploitatif, tidak segera dihentikan. (Untung Wantoro, Balai TNKS/ Adam, Komponen A ICDP-TNKS)
ALAIN COMPOST
mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal, termasuk pembukaan lahan yang terlanjut berada dalam TNKS, sebelum pemancangan pal batas dilaksanakan.
ALAIN COMPOST
12
LAPORAN UTAMA
Beberapa Isu & Hambatan Pelaksanaan ICDP
I
su-isu dan hambatan-hambatan yang ditangkap selama pelaksanaan TNKS-ICDP adalah membingungkan dan saling tidak berhubungan. Satu isu atau hambatan (contoh: proses fasilitasi desa yang menuju kepada kesepakatan konservasi desa KKD— antara TNKS dan masyarakat desa) tidak dapat dipisahkan dengan mudah dari isu-isu eksternal dan internal Contohnya penebangan liar, tidak memadainya dukungan pemerintah daerah, ketidakjelasan batas TNKS, kurangnya sistem zonasi, ketidaksesuaian kebijakan, desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, dan perubahan politik. Dari proses fasilitasi desa dan KKD, hambatan itu berkaitan dengan persiapan rencana pengembangan ekonomi desa yang menggunakan dana dari hibah konservasi desa (HKD). Semua permasalahan yang ditangkap selama pelaksanaan adalah perlunya sebuah strategi dan pendekatan terpadu di semua tingkatan dan di semua sektor. Solusi yang ditangkap untuk mengatasi hambatan masa lalu dan saat ini —selama pelaksanaan ICDP, termasuk proses HKD dan KKD— adalah tidak mudah untuk mengembangkan atau melaksanakan.
Salah satu tujuan TNKS-ICDP adalah meningkatkan pengelolaan dan perlindungan TNKS, termasuk melibatan masyarakat setempat (Bank Dunia 1996). Hal ini menandakan pentingnya pengelolaan bersama yang berkelanjutan. Lebih lanjut, dituliskan dalam laporan yang sama bahwa pendekatan ICDP di Indonesia adalah mencari pengembangan yang sistematis atas tanggung jawab pengelolaan bagi kehidupan masyarakat di sekitar daerah yang dilindungi. Ini memerlukan suatu desentralisasi wewenang pengelolaan bagi instansi setempat, termasuk pendanaan untuk daerah-daerah yang dilindungi. Namun demikian, masyarakat maupun pengelola TNKS sendiri diharapkan memiliki kemampuan untuk melindungi TNKS. Penempatan staf lapangan Balai TNKS di desa sekarang ini merupakan suatu kesempatan untuk mencapai tujuan itu. Dalam kaitan ini susunan dan peran Balai TNKS perlu diklarifikasi, dipertimbangkan kembali, dan diperkuat. Lembaga ini perlu mendapat kewenangan oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasui Alam (PHKA) Departemen Kehutanan untuk menangani secara leluasa keadaan-keadaan setempat dan diberi
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
13 danaituuntukbeberapakegiatan.Untuktahappertamadana itudimanfaatkanuntukbudidayatanamancabeunggul,yang diikuti18keluarga. Penanamancabedisekitarpermukiman penduduk,rata-ratacukupmenguntungkan. Untuklahan0,1 ha,produksinyamendapaihampir1tonuntuksekalimasa tanam. Ada pula ternak kambing yang dikembangkan di 37 keluarga,laluusahaayamburasuntuk24kk,sertapenanaman pinabnsebanyak2.500batang.
Kompensasi bagi yang Peduli
T
alangLindung,KecamatanSungaiPenuh,sejakJuni1998 menjadidesaICDP. Desainiberbatasanlangsungdengan TNKS. Awalnya,wargayangberjumlah685jiwa(170kk)ini memanfaatkanhasilhutanyangadadisekitarnyasebagai sumber ekonomi, serta dari hasil perladangan mereka. Misalnya pengambilan bambu untuk dijual, berburu dan menjeratburung. Adapulakegiatanpengambilanbatudari dalamsungaidandaerahtebingbukityangbersebelahan dengan TNKS.
Tentudengananekakegiatanini,ekonomiwargabisameningkat dankeinginanuntukberladangdiTNKSmenjadiberkurang. Masalahnya, sebagaimana diinformasikan warga, proses pencairandanatahapkeduamengalamihambatanbirokrasi, hanyakarenapimpinanproyekmengalamipergantian. Semoga wargatetapbergairahmeskidanayangmerekaharapkanmasih Sriyanto, FKD WWF Sungai Penuh ditunggu-tunggu. (Sriyanto, Penuh)
KetikaprogramICDPinidimulaidandiperkenalkan,saatitu hanya ada tujuh bidang ladang warga yang masuk dalam kawasanTNKS. Rendahnyaketergantunganpadahutan,tidak menyulitkan bagi pengelola ICDP untuk melalukan upaya perlindungan dan pelestarian taman nasional. Dengan kompensasiberupapemberiandanahibah,wargapunbersedia menandatanganikesepakatankonservasidesa. Kesepakatan ituantaralainmenyangkutlaranganberladangdanmenebang kayudidalamtamannasional,termasukberburuhewan,serta menginformasikan kepada pengelola TNKS jika terjadi pembukaan lahan dan penebangan dalam taman. Dengan kesepakatan ini, ICDP mengucurkan dana hibah sebesarRp250juta. Danaini,dimanfaatkanwargauntuk mengembangkan ekonomi warga sesuai potensi yang ada. WargaTalangLindung,melaluikesepakatan,memanfaatkan
DOK.WWF TNKS
Desainihanyaberjarak3kmdariSungaiPenuh. Ketikaibukota Kabupaten Kerinci ini mulai berkembang, warga Talang Lindungjugabanyakyangmengambilbagiandisektorjasa, terutama sebagai buruh harian lepas. Sejak itu ketergantunganmerekapadahasilhutanmulaiberkurang. Kegiatanperladanganhanyadilakukanpunrelatifterbatas.
Kebun Cabe Masyarakat
desentralisasi tanggung jawab lebih banyak untuk membuat keputusan yang bersifat lokal dan pengambilan resiko-resiko atas kebijakan setempat.
konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia melalui ICDP, tidak meyakinkan dan tidak mungkin berhasil pada situasi saat ini”.
Seperti dikemukakan Wells dkk. (1999), sangat sedikit ICDP di Indonesia dapat secara realistis menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati telah atau sepertinya ditingkatkan secara berarti sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan proyek saat ini ataupun terencana”. Lebih lanjut Wells mengatakan, jelas terlihat bahwa paling banyak percobaan untuk meningkatkan
Analisa oleh Barber dkk (1995) mengenai beberapa ICDP di Indonesia, memberikan banyak rekomendasi terhadap keberlanjutan ICDP TNKS. Barber berpendapat, kebijakan mengenai daerah yang dilindungi harus diubah dalam beberapa cara untuk memfasilitasi usaha-usaha model ICDP. Pertama, kenyataan akan pemanfaatan manusia dan pemakaian
ALAIN COMPOST
14
Berladang nun Sampai ke Puncak Bukit
B
BatuRuncingbukanhanyahamparantanamankopidankulit manis. Wilayahperbukitaninijugadiramaikandenganpondokpondok tinggal. Masing-masing pondok membedakan kepemilikankebun. Pondokiniditinggalisewaktupengarapan kebununtukbeberapahari. Selamaitupulamerekasesekali keluar,untukberbelanjakebutuhanpokok. MenyaksikankebunmilikmasyarakatMuaraHematdiBatu Runcing, yang sebagian berada di dalam kawasan TNKS, memang bukan pemandangan baru. Menurut penuturan Edi Jalo,seorangmitraBalaiTNKS,wilayahBatuRuncingsudah sejaktigatahunlaludibukawargamenjadiarealkebun. Meskipun sudah diberitahu untuk tidak membuka kebun, masyarakattetaptidakpeduli. Alasannya,sepertidikutipEdi Jalo, hanya dengan membuka kebunlah kebutuhan ekonomi merekaterpenuhi. Karenalemahnyapengawasan,pembukaan kebunbukanhanyadilakukanwargaMuaraHemattapijuga pendatangdariluar
atu Runcing merupakan daerah perbukitan yang menjadi bagian dari Desa Muara Hemat. Sebagian wilayahnyaberadadalamkawasanTNKS. Iamenjaditerkenal bukan hanya karena di sini terdapat sebuah batu besar berbentukruncingdiatasbukit. Diwilayahyangberadapada keleranganyangcukupterjalini,masyarakatmasihmembuka kebun.
TopografiDesaMuaraHematmemangberadapadakelerengan diatas40persen(dari45derajat),danberadadiantara celahperbukitan. Kendatidemikian,tidakadahalanganbagi warga memanfaatkan lahan yang curam itu untuk membuka kebun. Padahal,menurutaturanyangada,kawasandengan kelerenganyangcukupterjalituharusnyaberstatuslindung.
Tanamanyangadadikebunjugacukupmenggiurkan:kopidan kulitmanisyangmerupakankomoditiandalanuntukdiekspor. Saatinisebagiantanamankopisudahmulaibisadipanen, meskikulitmanismasihperlumenungguduatigatahunlagi. Adaratusanhektarkebunyangsudahditanami,milikpuluhan penduduk. Mereka berasal dari Muara Hemat, desa-desa sekitardanjugapendatangdariluarkecamatan.
Sebagianwargamengakuijikapembukaankebundikelerengan sepertiituberisikotinggi,termasukbahayaerosi,yang sewaktu-waktubisaterjadilongsor. Tapi,denganmembuka hutan —di kawasan lindung sekalipun— mereka mendapat dua keuntungan sekaligus: memperoleh kayu dari hasil perambahan(yangbisadijual),danpunyakebunditanami kopidankulitmanis.(Adam,ParkPlanningOfficer,Park Management Component ICDP-TNKS)
lahan dan sumberdaya daerah yang dilindungi harus dipahami dan kebijakan dirancang untuk meminimalkan dampak, mengamankan penghidupan setempat, dan memasukkan penduduk lokal untuk mengawasi akses ke dalam taman dan eksploitasi sumberdaya. Kedua, kebijakan baru mengenai pengaturan batas di daerah yang dilindungi dan pengawasan sangat diperlukan untuk mendukung tujuan pertama. Ketiga, struktur dan mandat dari instansi pemerintah (Ditjen PHKA) harus diperkuat. Pernyataan di atas berasal dari pengalaman dan tujuan ICDP TNKS. Bahwa pelibatan masyarakat setempat secara nyata dalam pengelolaan TNKS dan ketepatan akan penguatan institusi PKA, masih tidak jelas.
Jaringan Balai TNKS, berupa staf lapangan, yang bermarkas di desa adalah satu langkah terhadap klarifikasi atas prioritas-prioritas akan kebutuhan pengelolaan lokal dan penguatan kemampuan. Penegakan hukum yang efektif, khususnya pada pengaruh luar yang teroganisir, harus dipertimbangkan sebagai dasar untuk mencapai tujuan ICDP secara optimal, termasuk titik berat saat ini pada fasilitasi dan pembangunan desa, seperti menciptakan pendapatan alternatif, peningkatan produktifitas pertanian, identifikasi sumberdaya desa dan perencanaan penggunaan lahan). Bagaimanapun, penegakan hukum di desa sekitar TNKS memerlukan kehadiran staf Balai
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
TNKS setiap hari,dan bukan pada pos-pos terpencil yang ditempatkan jauh dari desa atau Balai TNKS.
Asumsi yang berkembang selama ini -meski pemikiran ini banyak yang gagal-adalah bahwa konservasi melalui pembangunan ekonomi harus menjadi fokus utama dalam pengelolaan TNKS. Akan tetapi, pemberian dana hibah (HKD) kepada sejumlah desa sebagai hasil kesepakatan (KKD) untuk melindungi TNKS juga tidak menghentikan perambahan untuk kepentingan pertanian pada tingkat yang dibutuhkan.
Pelajaran yang dipetik dari berbagai ICDP dan proyekproyek pembangunan masyarakat selama ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan kerjasama antara masyarakat desa dan pemerintah. Penolakan terhadap hubungan ini akan membuang waktu, tenaga dan uang. Hubungan harus menjadi salah satu pendukung, bukan konfrontasi yang berkepanjangan, kebijakan yang membingungkan, dan kadang-kadang penegakan hukum yang tidak sesuai.
Penduduk desa melihat proses ini sebagai sesuatu kesepakatan (KKD) untuk memperoleh hasil hibah (HKD). Tapi tindak lanjut dari kesepakatan yang sudah ditandatangani juga patut dipertanyakan, kecuali apabila beberapa perubahan dibuat. Banyak faktor yang mempengaruhi “pelanggaran” kesepakatan itu, termasuk yang dari luar —biasanya tidak dapat dikontrol oleh proyek ini, seperti penebangan liar, perburuan dan pengambilan sumberdaya lain, ketidakmampuan untuk menghentikan perambah dari luar desa). Ada juga faktor dari dalam sendiri, seperti penerima HKD yang terbatas, hanya kepada beberapa warga desa serta kurangnya pengertian dan komitmen yang serius terhadap konservasi TNKS.
Fokus dari TNKS-ICDP adalah lebih banyak pada penduduk desa di zona penyangga. Mereka bukan meruipakan komponen yang memiliki dampak terbesar terhadap perlindungan TNKS dalam jangka panjang. Pengaruh luar yang terorganisir dan ketidakseriusan penegakan hukum untuk mengontrol pengaruhpengaruh ini, harus menjadi perhatian ICDP. Masalahnya, fokus utama saat ini masih pada penegakan hukum yang lebih ditujukan langsung terhadap penduduk desa; ini tidak menemukamn akar masalah yang pasti, melainkan hanya gejala. Penduduk desa membutuhkan kepastian dan jaminan lahan untuk mempertahankan kehidupan mereka, sementara TNKS membutuhkan dukungan melalui kesadaran publik dan pencapaian konsensus setempat untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya dan integritasnya.
Dalam hal ini, titik berat terbesar dari stakeholder untuk bekerjasama mengelola TNKS adalah staf lapangan BTNKS dan kelompok-kelompok desa, baik di desadesa yang saat ini difasilitasi oleh ICDP, maupun yang tidak. Dukungan pemerintah daerah juga akan sangat dibutuhkan sebagai tambahan stakeholder kunci bagi kelanjutan tujuan kerjasama pengelolaan TNKS.
ALAIN COMPOST
Salah satu pelajaran yang diambil dari pelaksanaan program pengelolaan sumberdaya alam yang didanai USAID di Indonesia adalah melalui proyek NRM/ EPIQ/USAID tahun 1998. Proyek ini menegaskan, pengelolaan taman nasional berkaitan dengan pengelolaan dan pemberdayaan manusia. Pengalaman NRM menunjukkan, perlu mengetahui berapa banyak pihak atau stakeholder yang berasosiasi dengan taman nasional. Untuk mengembangkan proses perencanaan, multi-stakeholder dilibatkan secara aktif dalam membuat keputusan. Stakeholder mewakili sebuah komunitas taman, terdiri kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan.
15
dengan kebudayaan, didukung secara politik dan secara sosial (dan moral). Kesusksesan konservasi alam akan tergantung kepada kemampuan untuk menegosiasikan legitimasi dan kesepakatan pengelolaan dilaksanakan. Ini membutuhkan penguatan kelembagaan yang telah ada dan penyusunan organisasi. Sebuah langkah awal terhadap pengelolaan TNKS adalah meminta berapa kelompok lokal dioganisir dan bagaimana kelompokkelompok ini boleh atau tidak boleh menghargai pelarangan pengelolaan TNKS. Sebagai kesimpulan, peningkatan pengelolaan TNKS dengan masyarakat lokal perlu dibangun berdasarkan pengalaman yang lalu bersama komponen ICDP lainnya, dengan menegosiasikan kesepakatan secara ekologis dan membantu program-program yang sesuai secara politis dan secara sosial. Program-program ini perlu diadopsi untuk kondisi desa yang spesifik, berdasarkan legitimasi penegakan hukum melalui kesepakatan yang kuat dengan semua stakeholders. Mereka secara khusus akan dipengaruhi oleh masyarakat yang masih bergantung kepada sumberdaya yang diperoleh dari mempertahankan keberlanjutan dari tutup hutan TNKS dan keanekaragaman hayatinya.(Dr. Arthur H. Mitchell, Team Leader Komponen B ICDP TNKS)
ALAIN COMPOST
16
LAPORAN UTAMA
Referensi Perlindungan alam, menurut Brechin dkk, adalah sebuah proses sosial dan politik yang harus difokuskan pada organisasi manusia dan tindakan bersama. Ada lima konsep utama dari proses ini: (i.) martabat manusia (pembentukan sebuah fondasi moral yang kuat untuk proses social tersebut), (ii.) legitimasi (pembangunan wewenang atau kekuasaan legitimasi), (iii.) kekuasaan (pembentukan cara membuat keputusan dan pembagian kekuasaan), (iv.) pertanggungjawaban (jaminan tanggung jawab dan penampilan), dan (v.) adaptasi dan belajar (pelembagaan refleksi dan koreksi diri sendiri). Jika kosep-konsep ini digunakan dalam rencana ke depan untuk pengelolaan TNKS, keberhasilan yang lebih besar untuk tujuan ganda dari konservasi keanekaragaman hayati dan keadilan sosial, dapat dicapai. Suatu pendekatan baru, lebih dari sekedar konservasi dan pembangunan, mungkin melalui konservasi alam dan keadilan sosial. Kita perlu menemukan cara untuk menunjukan bagaimana perlindungan alam bukan sekadar kepentingan lingkungan/ekologis, tapi sesuai
Barber, C.V., S. Afiff and A. Purnomo (1995). Tiger by the Tail? Reorienting Biodiversity Conservation and Development in Indonesia. World Resources Institute, Washington D.C., with WALHI and PELANGI, Jakarta. Brechin, S.R., P.R. Wilshusen, C.L. Fortwangler and P.C. West (unpublished). Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process. University of Michigan. NRM/EPIQ/USAID (1998). Decentralized Multi-Stakeholder Natural Resources Management: Lessons Learned from the Natural Resources Management Program (NRMP) in Indonesia. (Second Draft, edited by A.H. Mitchell) BAPPENAS/Ministry of Forestry and Estate Crops / United States Agency for International Development, Jakarta. Wells, M., S. Guggenheim, A. Khan, W. Wardojo and P. Jepson (1999). Investing in Biodiversity: A Review of Indonesia’s Integrated Conservation and Development Projects. The World Bank, East Asia Region, Washington, D.C. World Bank (1996). Staff Appraisal Report (SAR) Indonesia: Kerinci Seblat Integrated Conservation and Development Project. Agriculture Operations Division, Country Department III, East Asia and Pacific Region, The World Bank, Washington, D.C.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
A
ALAIN COMPOST
TNKS dan Kekayaan Keragaman Hayati
K
eragaman hayati atau biodiversity (berasal dari biological diversity) sudah menjadi isu global dalam satu dekade terakhir. Isu ini malah sudah menjadi pembahasan dunia internasional, melalui Konvensi Keragaman Hayati yang dihasilkan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro. Tahun 1992. Keragaman hayati merupakan sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, sehingga bisa menjadi sumber pengahasilan yang tidak akan pernah habis dan dapat diandalkan sebagai tulang punggung pengembangan bio industri seperti biopestisida, pupuk bio, pengelolaan limbah dan sebagainya. Keragaman hayati yang lengkap juga diperlukan guna menciptakan lingkungan hidup yang mampu memenuhi kebutuhan manusia, baik dari segi fisik (udara dan air bersih), keperluan estetika dan juga kebutuhan spiritual. Karena itu pula, Kerinci Seblat, dengan luasan hampir 1,4 juta ha ditetapkan sebagai taman nasional. Masalahnya, masyarakat hanya mengenal taman nasional itu sebagai kawasan hutan lindung, tanpa memahami tentang potensi keragaman hayati yang ada di dalamnya. Keanekaragaman Hayati Penetapan TNKS sebagai kawasan pelestarian alam terutama didasarkan atas tingginya keragaman ekosistem serta flora dan fauna yang terkandung di dalamnya. Secara ekologis bentang alam TNKS merupakan kawasan ekosistem asli yang cukup
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
lengkap, mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Penelitian Loumonier (1994) mengklasifikasikan hutan TNKS menjadi beberapa bagian: hutan dataran rendah (lowland forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane forest), hutan montane rendah (lower montane forest), hutan montane sedang (mid-montane forest), hutan montane tinggi (upper montane forest), dan padang rumput sub-alpine (subalpine thicket). Dari klasifikasi hutan itu, Loummonier menjelaskan potensi keragaman hayati yang ada di dalamnya, yakni: Hutan montane sedang (mid-montane forest) Hutan montane sedang ada pada ketinggian 19002400 m dari permukaan laut (dpl). Proporsi tanaman microphylus pada kanopi cukup banyak dan hutannya menjadi kurang lebat. Padocarpus merupakan species yang menonjol yang dapat mencapai ketinggian 25 m. Spesies-spesies dengan ketinggian kanopi 15-20 m meliputi Quercus oidcarva, Vernonia arborea, Arnodia puncata, Symingtonia populnea, Drypetes subsymetrica, Gordonia buxifolia, Weinmania blumet dan Polysma integrifolia. Batang-batang pohon ditutupi lumut dan tanaman epipit. Kanopi yang lebih rendah ditandai dengan spesies Ole javanica, Archidendron clypearia, Platea excelsa, Lithocarpus pseudomoluccus dan Myrsine hasseltii. Hutan montane tinggi (Upper-montane forest) Symplocos, Myrsine dan Ardisia merupakan genus dominan di hutan montana tinggi dengan ketinggian antara 2400-2900 m dpl. Spesies utama pada kanopi tertinggi (10-15 m) adalah Sympolocos cochinchinensis var. sessilifolia dan Ilex pletobrachiata, sementara pada lapisan yang lebih rendah didominasi oleh Arsdisia laevigata, Meliosma lanceolata dan Cyathea trahypoda. Padang rumput Sub-alpine (Subalpine thicket) Pada ketinggian 2900 m ke atas, kita menemukan padang rumput Sub-alpine dengan tinggi 3-6 m yang didominasi oleh Ericaceae (Rhododendron retusum, Vacinum miquelii dan Gaultherianummlaroids), dan Symplocaceae (Symplocos cohinchinensis). Beberapa lahan basah yang ditemukan di TNKS, ditulis Giesen dan Sukotjo (1991). Salah satu yang patut dicatat adalah Rawa Bento, yang terletak pada ketinggian 1.375 m dpl. Danau dan rawa ini merupakan lahan basah dengan luas sekitar 1.000 ha yang terdiri dari hutan rawa dengan tanaman kerdil, beberapa rawa gambut sempit dan danau-danau kecil.
17
A
18 Rempah Organik untuk Ekspor
R
empah organik merupakan produk rempah-rempah yang diproduksi secaraalamidanbebasbahankimiawi,baikmelaluiunsurpupukmaupun racunhama.Sistempengelolaandanpemeliharanyangdilakukanadalah ramahlingkungandanberkelanjutan.
PerdaganganrempahinididukungForest Trade (FT) Incorporation. Lembaga internasional yang berkedudukandiAmerikaSerikatini, selain aktif memasarkan rempahrempahyangdiproduksisecaraalami, jugamendukungpengembangansosial ekonomiparapetaninya. Produkyang diperdagangkan, lebih dulu diakreditasi lembaga sertifikasi internasional,dilengkapidokumensah daripetugasyangditunjuk
ALAIN COMPOST
Rempahorganiktermasukprodukyang kini semakin diminati konsumen di seluruhdunia. Produkrempahyang sudah dikembangkan dan menjadi pilihan konsumen, di antaranya cengkeh,ladaputihdanladamerah, temulawak,vanili dankulitmanis (cassiavera).
Menjemur Kayu Manis
Rempahorganiksudahdikembangkansejaklamadibeberapanegara. Mulai tahun 1994, pengembangan dan perdagangan rempah organik, khususnya kayumanis,sudahdilakukandibeberapadesadisekitarkawasanTNKerinci Seblat.SaatiniForestTrade(FT)telahmendampingi1.124petanikayu yangberadadidesasekitarTNKS. Pendampinganinisekaligusmemberimotivasidandukunganpadapetani yangpedulilingkungan. Ribuanpetanitelahmengembangkankayumanis organikdilahanseluas2.661ha. Meskiberadadisekitartamannasional, merekadilarangmemanfaatkanhutan,karenaberfungsimengaturtataguna air(hidroorologi). KeberadaanFTadalahmemberibantuanteknispertanianorganik,baikberupa perawatanladang,panenhinggapengelolaanuntukmendapatkanproduk dengankualitasterbaik. Hasilyangkemudiandidapatkanpetani,mereka memperolehhargajualyangsedikitdiatashargapasar. Parapetani,pedagang pengumpul,sertalembagaadatlokal,jugamemperolehinsentifberupadana perawatanlingkungan. Danaperawataninisudahdimanfaatkan,diantaranyamembangungedung lembagaAdat,senilaiRp60juta,yangberfungsisebagaigedungserbaguna, dan menyelesaikan pembangunan masjid di Renah Kayu Embun. Tapi juga adasanksi. Jikamenggunakanbahankimia,sertamerusaktamannasional, merekadikeluarkandarijaringanperdagangandanproduknyatidakdibeli. (Gunaryadi, Koordinator FT Sungai Penuh)
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
Hutan rawa ini terdiri dari pohon-pohon dengan ketinggian 5-6 m dengan diameter yang bervariasi antara 2-6 cm. Batang pohon tersebut ditutupi oleh lumut yang mengering dan dihiasi dengan pakuanpakuan yang merambat. Rawa Bento tergolong unik di Sumatera karena habitat dan vegetasinya saat ini terancam oleh manusia yang mengkonversi rawa menjadi sawah. Hutan rawa penting lainnya adalah rawa Ladeh Panjang. Luasnya sekitar 150 ha, terletak di ketinggian 1950 m dpl dan seluruhnya terdiri dari hutan rawa dengan tanaman kerdil, serta beberapa kawasan semak dan belukar. Daerah ini merupakan habitat mamalia besar, seperti rusa sambar (Cervus Unicolor), muntjak (Muntiacus muntjak), harimau Sumatera (Pantera tigris Sumatrae) sun-bear (Helarctos malayanus), clouded leopard (Neofelis nebolusa), porcupine (Hystrtix sp), wild pig (Sus scrofa) siamang (Symphalagus syndactylus) dan tapir (Tapirus indicus). Ladeh Panjang merupakan hutan rawa tertinggi di Sumatera. Selain itu TNKS juga memiliki beberapa danau, anatara lain Danau Gunung Tujuh, Depati Empat, dan Belibis. Dalam kawasan TNKS terdapat lebih dari 4.000 jenis tumbuhan baik yang berbentuk pohon perdu maupun liana, termasuk 300 spesies anggrek. Di beberapa lokasi tumbuh jenis-jenis pohon khas yang hanya terdapat di daerah Kerinci antara lain; kayu sigi atau pinus Kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci) dan kayu pacat (Harpulia arborea). Jenis-jenis tumbuhan khas lain di antaranya pembuluh (Histiopteris incisca), bunga bangkai (Amorphophalus titanum), dan bunga raflesia (Rafflesia arnoldi). Penelitian Biological Science Club (BScC) tahun 1993 menemukan, di perbatasan TNKS juga tumbuh setidaknya 115 jenis tumbuhan obat yang digunakan untuk obat tradisional, kosmetik, bumbu dan obat anti nyamuk. Selain itu juga terkandung berbagai macam satwa, antara lain 352 jenis burung dan 144 jenis mamalia, sehingga juga dikenal sebagai “sorga’ atau “kerajaan satwa” Sumatera. Jenis burung langka yang hidup dalam kawasan ini antara lain rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang/kangkareng (Anthrococeros convexus), elang hitam (Ichtinaetus malayensis) dan kuau (Argusianus argus). Selain itu juga terdapat jenis burung yang hanya hidup di TNKS, seperti ayam hutan perut merah (Arborophylla rubirostrys), burung daun sayap hijau (Chloropsis venusta), kokoa Sumatera (Cochoa beccarii), paok kepala besar (Pitta schnideri), dan merak Sumatera (Polypectron chalcurun).
Manfaat kawasan Manfaat tidak langsung kawasan TNKS adalah sebagai penyangga sistem kehidupan yang akhirnya bermuara kepada pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Contoh manfaat tidak langsung adalah rencana pembangunan PLTA Kerinci yang nantinya akan sangat membutuhkan jasa air yang berasal dari kawasan taman. Sedang manfaat langsung, yaitu pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, melalui kegiatan: (1) pemanfaatan kondisi lingkungan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa serta peninggalan budaya yang dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, dan (2) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensial, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan langsung kawasan TNKS masih dibatasi pada pemanfaatan yang tidak bersifat ekstraktif, seperti kepentingan pariwisata dan rekreasi pada zona tertentu. Potensi wisata di kawasan dan sekitar taman sangat mendukung, mengingat data Inter Provincial Spatial Plan dalam draf Final Report tahun 1999, menunjukan bahwa di dalam dan sekitar TNKS terdapat 92 objek wisata, dan diperkirakan sekitar 46 objek berada dalam atau di pinggir kawasan dan sangat potensil untuk
ALAIN COMPOST
Jenis-jenis satwa yang juga merupakan jenis satwa kharismatik atau “flagship” (unggulan) antara lain harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Jenis satwa lain yang juga dilindungi di antaranya siamang (Sympalangus syndactylus), tapir (Tapirus indicus), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), napu/kancil (Tragulus napu), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), dan kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri).
ALAIN COMPOST
ALAIN COMPOST
19
dikembangkan menjadi objek ekowisata yang mendukung pelestarian kawasan TNKS. Sampai saat ini sudah ada beberapa lokasi yang berkembang menjadi tujuan wisata, antara lain Gunung Kerinci, Danau Gunung Tujuh, Telun Berasap, Danau Duo dan lain-lain. (Adam, Wiryono dan Raleigh A. Blouch, Park Management Component-ICDP TNKS)
20
PHOTONEWS BY ALAIN COMPOST
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
21
TNKS dan Kekayaan Keragaman Hayati foto-foto: Alain Compost
LAPORAN UTAMA
ALAIN COMPOST
22
Tekanan Desa-desa Sekitar Terhadap Kawasan TN Kerinci Seblat
S
ebelum Kerinci Seblat ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat yang berada di desa- desa sekitarnya sudah terbiasa memanfaatkan kawasan itu untuk berbagai kepentingan, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan pada saat itu juga tidak menghadapi banyak persoalan, karena sudah berlangsung turun temurun. Persoalan baru muncul tatkala ada rencana untuk menjadikan hutan alam yang ada di sepanjang bukit barisan bagian barat itu menjadi kawasan lindung. Sebab, hal itu diiringi dengan munculnya berbagai aturan dan kebijakan baru, baik yang datang di tingkat lokal maupun nasional. Inti aturan itu juga mengatur interaksi antara masyarakat sekitar dan hutan, yang sudah berlangsung turun temurun. Tentu saja muncul reaksi dari masyarakat, tatkala interaksi yang sudah berlangsung selama ini mengalami gangguan. Sebab mereka tidak leluasa lagi memanfaatkan hutan yang selama ini tempat
menggantungkan hidup, baik secara sosial maupun ekonomi. Reaksi yang bisa kita lihat adalah, betapa kuatnya tarik ulur penetapan kawasan hutan dengan peruntukkan lain -yakni Taman Nasional Kerinci Seblat— antara instansi bidang kehutanan serta pihak terkait lain dan anggota masyarakat. Implikasi dari semua itu bisa dikaitkan dengan tekanan yang dihadapi taman nasional dengan luas sekitar 1,4 juta ha ini, terutama dari masyarakat sekitar. Tekanan terhadap kawa-san TNKS sangat beragam: mulai dari perambahan untuk perla-dangan, penebangan ilegal, perburuan satwa langka, sampai ke penambangan tradisional. Perambahan hutan untuk perladangan, bagaimana pun sudah berlangsung sejak masyarakat bermukim di kawasan yang sekarang berstatus taman nasional, meski luas bukaannya relatif terbatas dan cenderung dilakukan masyarakat sekitar. Data Balai TNKS menyebutkan, saat ini terdapat sekitar 270 desa yang bersinggungan dan masyarakatnya sudah lama
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
23
Sawmill
P
encuriankayu(illegallogging)sudahmenjaditrenddiduniakehutanansejaktigatahunbelakangan. Parapengelola hutantidakmerasa“kren”kalaudaerahnyatidakadapencuriankayu,baikdikawasankonservasimaupunnonkonservasi yangdilindungi. TidakheranjikaCGIperlumencantumkanpersyaratan,yangsatudiantaranyamemintapemerintah segeramemberantaspencuriankayuini.
Tidakadaasapkalautidakadaapi. Begitulahadagiumuntukmensejajarkanantarapencuriankayudankehadiransawmill tanpaizin. Salahsatusumberpenerimakayu-kayucurianituadalahsawmill,yangtentusajaillegal. Sebab,syarat mendirikansawmilladalahadasumberbahanbakunya. TapidisekitarkawasanTNKShinggaakhirtahunlalu ada seratusansawmillbodongyangmunculhanyadalamduatahunterakhir(lihattabel). Keberadaansawmillilegalini,betapapun,mendorongmasyarakatsekitarmemanfaatkankawasanTNKSuntukmemperoleh uangtunai.Masalahnya,porsiuntungyangbesarmasihdinikmatiparacukong. Sementara,operatornya,yaknimasyarakat lokal,hanyamendapatupahyangbesarannyatentusajasangatkecil. Padahalmerekainilahyangmenanggungrisiko: tidakjarangyangmeninggatertimpakayu,atauterkenalongsordanbanjirdikalamusimhujan. Keberadaansawmilldanpenebanganliarsudahmenyerupaimafiauntukduniaperkayuan.Tanpasawmillkayutebangan liartentutidakakanlancar,atausebaliknya.Lalu,bagaimanasikapparaaparatyangbertanggungjawabterhadap kerusakanhutan:mulaidariinstansikehutanan,kepolisian,kejaksaandaninstansiterkaitlainnya? Janganlahterlalu banyakberharap. Ditengarai,justrudiantaramerekaadayangmenjadipemain,sehinggasudahtentu merasatidak berdaya menghukum diri sendiri. (Soleh Soleh Sukmana, Komponen D/Adam, Komponen A ICDP TNKS)
LAPORAN UTAMA (c) masyarakat mengetahui adanya batas TNKS namun dengan sengaja melanggarnya karena desakan ekonomi atau lemahnya penegakan hukum, (d) kehadiran pihak luar baik yang langsung merambah hutan atau pemilik modal dalam artian luas, baik dalam bentuk uang tunai maupun bentuk lain yang pada gilirannya mendorong masyarakat sekitarnya untuk merambah ke TNKS.
ALAIN COMPOST
24
berinteraksi dengan kawasan TNKS (peta terlampir). Sebaliknya percepatan luas pembukaan lahan tidak hanya dilakukan masyarakat sekitar. Para pendatang dari luar juga ikut melakukan perambahan dan bersifat ilegal, sehingga sulit dikontrol pihak terkait, termasuk pemerintahan setempat.
Perambahan merupakan masalah yang cukup rumit saat ini, mengingat masih lemahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat serta penegakan hukum oleh berbagai pihak terkait. Namun hal ini harus segera diantisipati mengingat pelestarian TNKS merupakan salah satu wujud dari komitmen bangsa kita terhadap konservasi. Tentunya harus didukung dengan komitmen yang kuat oleh semua pihak (tidak hanya Balai TNKS), seperti pemerintah daerah beserta jajaran teknis lainnya, LSM dan masyarakat secara luas. Karena tanpa dukungan semua pihak mustahil persoalan yang sedemikian rumit dapat terselesaikan.
Perambahan yang dilakukan setelah pemancangan pal batas taman nasional disebabkan beberapa hal: (a) Batas TNKS tidak diketahui masyarakat, (b) Masyarakat berpura-pura tidak mengetahui batas yang sebenarnya, sehingga punya dalih merambah ke dalam kawasan,
Selain itu, bersamaan dengan tekanan akibat perambahan, kegiatan illegal logging juga berlangsung dalam intensitas yang sudah mengganggu upaya pelestarian TNKS. Hampir di semua wilayah terjadi pengambilan kayu tanpa ada izin. Anehnya, seringkali
Pemukulan Polhut dan Tragedi Pengamanan TNKS
S
uatu sore di kaki Gunung Tujuh, Desa Ulu Jernih, KecamatanKayuAro,KabupatenKerinci. DelfiAndra (30), tengah melaksanakan shalat Ashar. Saat menjalankanibadahwajibumatIslamitu,tanpadisangka bagian belakang tubuhnya dipukuli dengan kayu. Ia bergeming dan tetap menyelesaikan raka’at terakhir. Akhirnyashalatempatraka’atiturampung,meskidengan tubuhterhuyung. Sadarakanancaman,selesaimembaca salampenutupshalat,ialangsungbangkitdanlari. Tapi pukulanbertubi-tubimasihterusmenghantamtubuhnya.
KenapabegitusadisperlakuanterhadapDelfi,23Juni 2001 itu? Apakah tidak bisa menunggu sampai yang bersangkutan menyelesaikan shalatnya? Apakah Delfi seorangterorissehinggaperlusegeradihabisi?Atau, ada perang antarumat beragama di sana, sehingga musuh umat Islam memukuli korban saat beribadah?
Tidak ada teroris atau perang antarumat beragama, memang. DelfiAndra,bersamadelapankawannyadaripolisi kehutanan(Polhut)BalaiTNKS,barusajamenunaikantugas: patrolidisekelilingTNKS. Saatpatroli,timinimemergoki lima warga yang tengah membawa kayu ilegal dari dalam taman. Karenakepergok,tigaorangdiantaranyamelarikan diridansisanyaditahan. SisayangduaorangkepadaPolhut mengaku, mereka hanya operator. Karena bukan pelaku, dua operator ini diajak istirahat sambil makan disebuah warung,tidakjauhdaripospengamananTNKSdiUluJernih. Tapisiapanyanakalautigaorangyangmelarikandiritadi justu memberi informasi yang berbeda kepada warga Ulu Jernih. Merekamemberitahukanpadawarga, duakawannya ditangkapdandianiayaPolhutdidalamhutan. Tragisnya, informasi yang sama juga disampaikan lewat mikrofon mesjid. Tentusajainformasiituditanggapiemosional.Warga pun berbondong-bondong mencari tahu siapa pelaku penganiayaanitu. Tidakheranjikaseratusanwarga--laki-perempuandantuamuda-- dengan berbagai jenis senjata pemukul, sore itu
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
25
Data Pencurian Kayu Tahun 2000
ALAIN COMPOST
para pencuri tidak dikenai sangsi hukum, kendati aparat terkait sudah sering menyaksikan langsung aktivitas itu. Tidak heran jika tahun lalu saja, Balai TNKS mendata ada 2.645 meter kubik kayu yang keluar dari TNKS (lihat tabel pencurian kayu)
Interaksi negatif terhadap kawasan TNKS yang sangat mengkhawatirkan dan sampai saat ini masih berlangsung serta cenderung meningkat adalah perambahan dan pengambilan kayu. Kedua bentuk aktivtas tersebut secara langsung berdampak terhadap kualitas habitat kawasan. Terutama aktivitas perambahan, dimana terjadi konversi tutupan hutan menjadi areal peruntukan lain. Diperkirakan kurang lebih 23.000 KK telah melakukan perambahan terhadap kawasan TNKS dengan luas kurang lebih 70.000 Ha dan diperkirakan angka tersebut akan terus bertambah apabila tidak ada penanganan yang serius.
DOK. WARSI
segeramencariduawarganyayangdituduhdianiaya. Ternyata keduanya tengah makan sambil bercengkerama dengan rombonganPolhut. Meskisudahdijelaskanolehduawargadan Polhut bahwa mereka tidak mengalami penganiayaan, hal itu tidak menyurutkan emosi massa satu desa untuk membalas tindakanpengawasTNKStadi. Makaterjadilahmalapetakaitu. DelfiAndradankawan-kawandipukuliberamai-ramai,tanpaada penjelasan terlebihdulu.
Tragediinitidakhanyaberakhirsetelahmengeroyok rombongan Polhut. Sebanyak dua homestay, yang selamainidimanfaatkanuntukmenampungwisatawan (lokal,nasionaldaninternasional),jugaikutdibakar. Padahal penginapan itu mampu menampung dua ribuanoranguntukkurunwaktuApril-Desember2000, yang berarti memberi pemasukan buat homestay dan juga buat warga Ulu Jernih, dari uang yang dibelanjakan mereka selama ada di sana. ItulahfaktayangterjadidiDesaUluJernih. Penduduk desa, yang mayoritas Islam, bagai kehilangan rasa persaudaraan, sehingga tega memukul saudaranya yangtengahmelaksanakanshalat. Atau,kitamemang sudahtidakmemilikirasakemanusiaansedikitpun, apapun penyebab dan latar belakangnya. Sebuah pelajaranyangpatutmenjadirenungan. Hanyakeledai yang mau masuk lobang yang sama untuk kedua kali. R.T. Nugraha (R.T. Nugraha)
LAPORAN UTAMA Padahal, komitmen di tingkat masyarakat desa yang telah mulai tumbuh untuk melestarikan, atau paling tidak mengurangi tekanan terhadap taman nasional, tidaklah efektif apabila penegakan hukum tidak dilaksanakan dengan baik. Pengalaman menunjukkan bahwa komitmen yang telah dibentuk masyarakat akan hancur akibat tidak adanya tindakan hukum bagi para pelanggar. Di sisi lain komitmen tersebut hanya berlaku bagi masyarakat desa dan hanya untuk wilayah desa yang bersangkutan.
ALAIN COMPOST
26
Kondisi lain akibat tidak berjalannya penegakan hukum, masyarakat menafsirkan secara keliru makna reformasi yang disuarakan sejak kekuasaan Orde Baru bubar. Reformasi ditandai dengan tindakan “balas dendam”, yakni ikut ambil bagian dalam memanfaatkan kayu dari dalam hutan, yang selama ini hanya dinikmati para pengusaha. Apalagi dengan alasan kirisis ekonomi dan buruknya kondisi ekonomi, kegiatan pengambilan kayu secara illegal berlangsung sedemikian rupa. Di samping melakukan perambahan untuk membuka ladang baru, warga yang memiliki modal juga melihat peluang untuk membuka industri penggergajian kayu (sawmill).
Kendati demikian, pengalaman yang telah dilakukan melalui program tersebut, nampaknya kurang membuahkan hasil. Hal ini disebabkan antara lain begitu kompleksnya pengelolaan program yang melibatkan banyak pihak serta rumitnya birokrasi dalam pengambilan keputusan. Juga berkaitan dengan kondisi politik dan ekonomi yang tidak menentu, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum untuk para pelanggar di kawasan taman nasional. Belum lagi pemahaman yang keliru di tingkat masyarakat mengenai reformasi, sehingga seolah tidak ada hukum yang berjalan.
ALAIN COMPOST
Telah banyak upaya yang telah dilakukan untuk menyelamatkan keutuhan ekosistem TNKS, baik yang dilakukan pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah. Upaya-upaya tersebut patut dihargai dalam membantu pengelolan taman nasional untuk mengurangi tekanan yagn dihadapi.
Dari pengalaman ini nampak bahwa perlu pendekatan lain untuk memperkuat komitmen di tingkat desa. Dengan perubahan regulasi dan politik, di mana kabupaten memiliki otoritas yang lebih luas, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam, pendekatan dan pembangunan komitmen juga harus dilakukan di tingkat kabupaten, yakni bupati dan DPRD. Komitmen ini tentu harus mengikat secara hukum dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, seperti melalui peraturan daerah (Perda) yang mengakomodasi kepentingan konservasi sumber daya alam termasuk kawasan taman nasional. (Dudi Rufendi, Deputy Team Leader WWF ID0094 KS-ICDP)
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
akan habis, karena luasnya tidak pernah bertambah. “Kalau berladang dalam taman, banjir mudah datang di musim hujan, dan air akan sulit waktu musim panas. Kalau hutan di Kerinci gundul, semakin cepat pula Gunung Kerinci meletus,” paparnya dengan lugu. Kecemasan itu bukan hanya milik lelaki kelahiran Desa Sungai Tanduk, Kayu Aro ini. Akhir tahun lalu, Kerinci memang dilanda banjir -terbesar dalam satu dekade terakhir. Beberapa daerah di Sungai Penuh, yang berada di enklaf TNKS sudah merasakan akibatnya: sawah terendam, jembatan ambrul dan jalan rusak terkelupas siraman air. Aktivitas ekonomi pun terganggu. Tentu Subandi, atau siapapun warga Kerinci, tidak mau bencana itu terulang lagi.
DOK. PRIBADI
Pak Bandi sadar akan ancaman itu dan memberi tahu para peladang yang ada di taman nasional. Tidak semuanya, memang, yang bisa menerima kekhawatiran ayah lima anak ini. Ia tidak putus asa. Pada setiap kesempatan, ia selalu mengingatkan tentang risiko berladang di dalam taman.
PROFIL
Subandi, Bekas Peladang yang menjadi Pemandu Ekowisata
B
ahasa Inggrisnya tidak terlalu bagus, memang. Tapi sejumlah orang asing yang ia ditemani cukup puas dan paham dengan penjelasannya tentang berbagai obyek yang disaksikan selama menikmati keindahan alam Kerinci. Meski hanya lulusan SD, hal itu bukan halangan baginya untuk menjadi memandu ekowisata yang datang dari berbagai negara.
Subandi pada awalnya adalah petani ladang yang berlokasi di dalam TNKS. Kehidupan ekonominya cukup berat, karena hasil ladang tidak mampu menyangga kehidupan keluarga dengan enam kepala. Tidak jarang ia terpaksa menjual ladang yang sudah ditanami —untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak— dan kemudian membuka ladang baru. Ia juga masuk hutan, mencari hasil hutan nonkayu, meski tidak banyak didapat. Hanya itulah aktivitasnya sehari-hari. Sampai pada suatu hari, Subandi diminta mengantar beberapa turis asing yang ingin menikmati keindahan alam Kerinci. Lelaki yang tidak pernah mengenyam sekolah menengah ini, awalnya agak risi, karena tidak bisa berbahasa Inggris. Untungnya, ada turis yang bisa berbahasa Indonesia, sehingga tawaran itu akhirnya diterima.
Itulah, antara lain, sosok Subandi —akrab disapa Pak Bandi— (45), seorang pria yang gigih akan profesinya: pemandu ekowisata mampu menghidupi keluarga, satu istri lima anak Ia sudah membuktikan selama 9 tahun, tanpa tergantung lagi pada hasil ladang dalam taman nasional untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pertama kali, ia hanya mengantar ke mana diminta. Setelah tahu selera yang dipandu, ia.l. menawarkan beberapa lokasi untuk dikunjungi. Pengalaman sebagai peladang membuatnya hapal sejumlah lokasi yang disukai. Ternyata ia tidak salah. Ditambah keramahan dan menguasai lokasi, sering membuat turis bule puas dengan layanannya.
Sebagai pemandu, ia malah makin sadar jika terus menerus membuka ladang, suatu saat taman nasional
Beberapa turis asing yang datang kemudian, sering memesan Pak Bandi sebagai pemandu. Ia pun merasa
27
tidak enak, karena sudah ada beberapa temannya yang juga menjadi pemandu. “Karena ia hanya mau dengan saya. Ya, akhirnya saya dampingi,” tuturnya.
Dengan penghasilan itu, Pak Bandi mampu menyekolahkan lima anaknya. Yang tertua, lulus diploma komputer di Yogyakarta dan sudah berkeluarga, dan kini ia sudah dikarunai satu orang cucu. Empat lainnya, ikut membantu mengelola penginapan, yang jarang sepi dari pengunjung, terutama di akhir pekan atau libur panjang.
Subandi beralih profesi? Belum, memang. Tapi, upaya memberi layanan maksimal, menjadi titik awal mengurangi aktivitasnya berladang. Hal ini seiring dengan banyaknya permintaan pemandu ekowisata waktu itu. Lagipula, beberapa temannya dari Kayu Aro, juga mengikuti jejaknya. Pernah, katanya, Kerinci memiliki 16 pemandu wisata. Jumlah yang sebetulnya sudak cukup banyak dibanding arus turis yang datang.
Selain menuai rupiah, profesi baru ini juga menambah pengetahuan Subandi. Selain Bahasa Inggrisnya mulai fasih, beberapa tamu yang didampingi sering mengajaknya mengamati burung endemik, yang awalnya ia anggap biasa-biasa saja. Lama-lama ia ingin tahu dan belajar pada tamu yang bermalam di penginapannya. Kini ia malah ikut mengamati delapan jenis burung endemik yang dinilai unik. Di antaranya ayam hutan perut merah (Arborophylla rubirostris), burung daun sayap hijau (Chloropsis venusta) dan kokoa Sumatera (Cochoa beccarii)
Satu persatu pemandu tidak meneruskan profesinya. Kebanyakan turis lebih menyukai suami Rusminah ini. Alasannya, beberapa pemandu sering mematok tarif jauh lebih tinggi dibanding Pak Bandi, yang juga memiliki nilai tambah, keramahan. “Mereka hanya tidak sabar saja,” ia merendah. Karena ketekunannya pula, Subandi memperoleh berbagai keuntungan. Setiap ada turis mancanegara yang hendak menjajal Kerinci, nama yang pertama kali diminta sebagai pemandu adalah Subandi. Ia juga memperoleh penghargaan dari Menteri Pariwisata. Lalu, kesempatan mengikuti pelatihan sebagai pemandu ekowisata di Yogyakarta, juga didapatkannya beberapa waktu lalu.
Sayang, keberadaan burung-burung endemik dan yang langka itu mulai terancam, baik karena habitatnya terganggu, juga karena menjadi incaran para kolektor. Beberapa wisatawan yang sering berkunjung mengeluhkan berkurangnya jenis burung yang sempat diidentifikasi sekitar 250 jenis. “Kini paling hanya 150 ekor,” jelas Subandi. “Kenyamanan” wisatawan yang didampingi, keselamatan burung-burung endemik, mencemaskan hati Subandi. Perambahan hutan pun tidak pernah berhenti, dan malah makin merajalela, karena juga dilakukan warga yang datang dari luar Kerinci.
Profesi pemandu wisata yang dilakoni Pak Bandi, berangsur-angsur mengubah garis hidupnya dari petani ladang. Penghasilan yang diterima cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga ia tidak perlu membuka ladang baru. Rata-rata, satu bulan ia bisa memandu 4-5 kunjungan. Honor sebagai pemandu yang diterima sekitar Rp 100.000 perhari untuk turis asing dan Rp 80.000 untuk turis lokal. Waktu yang digunakan untuk satu kali kunjungan, biasanya tiga hari. Setidaknya, Pak Bandi meraup rupiah Rp 1,2 juta perbulan. Itu baru dari hasil pemandu. Di dampingi isterinya, Rusminah --yang selalu memotivasinya-- juga mengelola satu home stay, dengan enam kamar tidur. Satu kamar dikenai sewa Rp 20.000 permalam, ditambah biaya makan rata-rata Rp 10.000 sekali makan. Penginapan ini menjadi pilihan turis asing yang didampingi. Selain dirawat dan dalam kondisi bersih, ia menyajikan masakan khas Kerinci, yang memang disukai tamu-tamunya.
Ironis memang. Tindakan hukum terhadap para perambah sangat lemah. Pelaku maupun bekingnya, justru oknum aparat yang seharusnya melindungi taman nasional, dari berbagai gangguan. Ini pula yang mengganggu harapan Pak Bandi, pemandu ekowisata lainnya, yang sudah mengganti profesi, dari sebelumnya menjadi peladang di TNKS. (Teguh Hartono, Kompenen A- ICDP TNKS)
DOK. PRIBADI
28
PROFIL
WAWANCARA
29
Alberto Lucida, “Saya Dituduh Gila karena Ungkap Kolusi”
Benarkah ayah satu anak, hasil perkawinan dengan Marlinayetti —seorang guru MAN Model, Jambi— ini menderita gangguan jiwa? “Itu hanya fitnah. Tuduhan itu untuk menggagalkan kasus yang saya ungkap,” tuturnya. Keberanian Alberto patut dihargai. Kasus-kasus yang berkaitan dengan kerusakan hutan dan pencurian kayu di Jambi, tidak pernah terungkap. Untuk menelusuri modus “main kayu” di instansi kehutanan Propinsi Jambi itu, Alam Sumatera mewawancarai Alberto Lucida. Petikannya: Bagaimana ceritanya sehingga Anda dituduh menderita gangguan jiwa? Awalnya, tahun 1999, sewaktu bertugas sebagai P3KB (Petugas Pengawas Penguji Kayu Bulat) di PT Gaya Wana Timber (GWT) milik Aleng, pengusaha kayu terkenal di Jambi. Waktu itu saya menemukan kayu sekitar 9 ribu kubik, yang masuk tanpa dokumen ke GWT. Temuan ini kemudian saya laporkan. Kepada siapa Anda laporkan? Semua. Korwil Pemangkuan Hutan Batanghari sebagai atasan langsung. Juga Dinas Kehutanan Jambi, Polda dan DPRD Jambi, hingga ke Menteri Kehutanan. Apa tanggapan mereka? Menteri Kehutanan, waktu itu masih Pak Muslimin, langsung menanggapi, dengan menyurati Dinas Kehutanan agar menindak-lanjuti laporan itu. Malah beliau meminta Kepala Dinas Kehutanan mempromosikan saya sebagai KRPH.
DOK. WARSI
I
a bukan Soeripto, mantan Sekjen Departemen Kehutanan yang terkenal dengan berbagai gebrakan: mengantar Bob Hassan ke penjara, membuat cemas Prayogo Pangestu dan sejumlah pengusaha di bidang kehutanan. Alberto Lucida hanyalah pegawai biasa, golongan II c di Kantor Kordinator Wilayah Pemangkuan Hutan BatanghariJambi. Tapi, keberanian mengungkap aib di instansinya, dan pengusaha kayu terkenal di Jambi, cukup menggegerkan, sehingga seorang Wakil Gubernur pun perlu ikut campur dengan menyatakan Alberto menderita gangguan jiwa.
Dari instansi lain? Tidak ada sama sekali. Malah Kepala Dinas Kehutanan mengecam tindakan saya. Begitu juga dengan instansi lain. Sampai sekarang kasus itu tidak sampai ke pengadilan. Laporannya tidak ditanggapi dan, malah, saya yang dituduh sakit jiwa. Tapi ada dokumen yang menyebut Anda menderita gangguan jiwa? Itu fitnah sama sekali. Saya heran, setelah melaporkan kayu illegal dan pemalsuan dokumen, ada keterangan dokter yang menyatakan saya sakit jiwa. Tapi surat itu palsu dan dokter yang disebut ikut menandatangani, membantahnya. Siapa yang menfitnah, menurut Anda? Sumbernya, ya pengusaha yang saya laporkan. Bayangkan, laporan saya ditanggapi orang penting Jambi. Wagub mengeluarkan surat bantahan (Aberto memperlihatkan fotokopi surat berkop Gubernur Jambi yang ditandatangani Wagub Hasip Kalimuddin. Isinya, a.l. Alberto mengalami gangguan jiwa). Apa mereka kurang kerja’an sehingga perlu membuat surat, yang menduduh saya sakit jiwa. Apa ada pengaruh tuduhan sakit jiwa terhadap laporan Anda? Sangat berpengaruh. Laporan ke Polda Jambi tentang pemalsuan dokumen kayu liar tidak ada kelanjutan. Perusahaan yang menampungnya, hingga kini, tidak diapa-apakan.
30
WAWANCARA Bagaimana sikap Anda dengan fitnah itu? Saya melapor lagi ke Polda (Alberto memperlihatkan surat No.Pol: LP/B-39/IV/2001 Ditserse, tanggal 18 April 2001) tentang pencemaran nama baik, surat palsu dan penyalahgunaan jabatan. Tapi setelah berkali-kali dicek, berkasnya belum diserahkan ke kejaksaan. Malah pihak GWT mendatangi saya dan mengajak damai, dengan menawarkan saya macammacam. Tapi saya tolak, karena niat saya hanya ingin membongkar kolusi yang merugikan negara. Sikap atasan Anda sendiri setelah laporan itu? Saya sempat dipanggil dengan alasan pembinaan staf. Yang hadir berjumlah 30 orang. Ada dari Korwil dan Dinas Kehutanan Propinsi. Panggilan itu menekan dan mengancam agar saya mencabut laporan ke gubernur dan membuat surat bantahan. Karena takut, saya bersedia. Saya disuruh membeli kertas segel. Dalam perjalanan, saya tidak kembali, tapi menuju kantor DPRD Propinsi Jambi dan melaporkan ke Komisi B tentang kejadian itu. Saya disarankan tidak mencabut laporan. Laporan Alberto ternyata “berbuah” penderitaan. Sejak membuka aib itu, kehidupan putra pasangan Chaidir Alfajri dan Harli H. Tahir ini bertaburan ancaman, intimidasi dan teror fisik. Bahkan kawan sekantor ikut mengucilkan. Tidak tahan, Alberto berkirim surat ke Gubernur Jambi (dua kali). Isinya, melaporkan berbagai penyelewengan itu, sekaligus minta mutasi ke instansi lain. “Saya tidak tahan lagi melihat penyelewengan sehingga ingin pindah,” begitu alasannya. Seperti apa “permainan kayu” yang sering Anda temui? Saya melihat praktik kolusi antara pegawai kehutanan dengan pengusaha kayu sudah sangat parah dan merugikan negara miliaran rupiah. Misalnya? Permainan kubikasi. Contoh: ada kayu yang masuk ke perusahaan 10 ribu kubik, tapi dalam dokumen hanya tertulis 3 ribu kubik. Ada 7 ribu kubik yang digelapkan. Coba hitung berapa kerugian negara jika iuran PSDH (Provisi Sumberdaya Hutan, red) Rp 100 ribu perkubik, ditambah denda 10 kali. Malah permainan ini juga dilakukan PT Inhutani V. Waktu memeriksa kayunya yang akan dikirim ke PT Tanjung Johor, dokumennya menyebut membawa 900 kubik. Setelah dihitung ternyata 1400-an kubik. Apalagi? Pemalsuan dokumen. Sewaktu menjadi P3KB saya menangkap kayu tanpa dokumen yang akan masuk ke
perusahaan. Saya sudah tahan, tapi besok paginya pihak perusahan sudah punya dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Dokumen itu palsu. Seharusnya dokumen itu tidak disusul, tapi dibawa sewaktu kayu dikirim ke pabrik. Kalau tanpa dokumen, berarti kayunya liar dong? Kalau tidak memiliki dokumen, ya, kayu liar. Setahu Anda, dari mana asal kayu itu? Kemungkinan besar dari Berbak (Taman Nasional Berbak, red) juga Tungkal Ulu (TN Bukit 30, red). Siapa yang memberi dokumen SKSHH? Dulu, dokumen SKSHH itu diperoleh dari KRPH (Kepala Resor Pemangkuan Hutan) yang meminta ke bagian tata usaha kayu (TUK) Dinas Kehutanan. Sekarang, bukan lagi dari KRPH tapi dari penerbit. Penerbit ini adalah petugas khusus yang mengurus SKSHH ke TUK. Petugas ini pula yang akan mengecek jumlah kayu yang dilaporkan dalam dokumen. Menurut prosedur, jika jumlah kayu yang tercatat di dokumen berbeda dengan yang dibawa, berarti dokumen itu batal demi hukum. Mengapa kayu ilegal bisa masuk ke perusahaan, meski tanpa dokumen? Dugaan saya, sekali lagi dugaan ya, bukan fitnah (Alberto sempat mengulang beberapa kali) pihak perusahaan bekerja sama dengan petugas kehutanan, baik yang di lapangan maupun di kantor. Seringkali, ketika ribuan kayu liar ditangkap, pihak perusahaan mengajak damai. Banyak petugas lapangan tidak berani menolak, karena akan dimarahi atasan dan nasibnya akan seperti saya. Kalau berdamai, mereka bisa dapat jutaan rupiah, tergantung negosiasi. Untuk mengeceknya, silakan lihat kondisi ekonomi sebagian besar pegawai kehutanan. Sebagian besar berlimpah materi. Anda membeberkan semua itu karena sakit hati tidak dapat bagian? Fitnah seperti itu juga sudah sering saya dengar. Terus terang saya melakukannya bukan karena sakit hati. Penyelewengan itu bertolak belakang dengan nurani saya. Saya hanya ingin mengamalkan ajaran Islam, dengan memerangi kebathilan. Tidak ada niat lain. Anda menyesal menjadi pegawai di kehutanan? Awalnya saya tidak menyangka kalau kolusi dan penyelewengan yang terjadi di sini begitu parahnya. Saya baru tahu setelah empat bulan bertugas di lapangan. Sebelumnya, karena banyak bertugas di kantor, saya tidak tahu. Daripada ikut terlibat dan itu perbuatan dosa, lebih baik saya pindah ke instansi lain. (Erdi Taufik)
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
OYVIND SANDBUKT
31
AKTUAL
Menunggu Terwujudnya Rasionalisi TN Bukit Tigapuluh
T
ahun 1995, Bukit Tigapuluh dikukuhkan menjadi taman nasional, dengan luas 127.698 ha. TNBT berada di dua propinsi: Riau dengan luas 96.698 ha, dan sisanya di Jambi, 33.000 ha. Secara ekologis TNBT merupakan kawasan dengan tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah (low land tropical rainforest), sehingga memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi. Hampir seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di Pulau Sumatera, ada di kawasan ini. Pengukuhan taman nasional yang berada di antara gugusan Bukit Barisan dan daerah rawa di bagian timur, sempat alot. Semula, TNBT diusulkan dari 2 kawasan konservasi yang berdampingan di Bukit Tigapuluh, dengan luas 320.000 ha. Propinsi Riau menyerahkan Cagar Alam Seberida, seluas 120.000 ha, dan Jambi dengan kawasan Margasatwa Bukit Besar, seluas 200.000 ha. Usulan ini sesuai rencana nasional koservasi, yang dibuat atas dukungan FAO. Sayangnya, proses perencanaan dengan mengembangkan kawasan lindung secara maksimal, sempat diminimalisir sebuah perusahaan HPH yang berkuasa waktu itu, sehingga luas taman jauh lebih
kecil dari usulan. Karena itu, bentuk taman nasional menjadi kurang rasional. Di Riau berkelok-kelok, menjari, dengan keliling (perimeter) yang sangat panjang. Di Propinsi Jambi malah mirip gagang pistol, sehingga menyulitkan pengelolaan dan tidak optimal dari segi pengawasan. Di Propinsi Jambi, bentuk TNBT yang mirip gagang pistol dikelilingi kawasan penyangga dengan status hutan produksi terbatas (HPT). Kawasan ini berada di bawah pengelolaan dua perusahaan HPH: PT Dalek Hutani Esa (DHE) seluas 50.000 ha di sisi kiri, dan PT Hatma Hutani (HH) seluas 42.000 ha di sisi kanan taman. Keduanya berada dalam naungan grup PT Sumatera Timber Utama Damai (STUD). Forum Penyelamat Hutan Jambi (FPHJ) —aliansi belasan LSM peduli masalah hutan-- sudah mengusulkan rasionalisasi TNBT yang berada di wilayah Jambi sejak tahun lalu. Rasionalisasi dilakukan dengan memanfaatkan areal perbukitan dan berstatus HPT, seluas 25.270 ha. Kawasan HPT itu berada di areal PT DHE seluas 13.170 ha dan PT HH seluas 12.100 ha. Jika rasionalisasi disetujui, luas TNBT di wilayah Jambi menjadi 58.270 ha.
AKTUAL
32
Usulan rasionalisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan penyangga taman nasional yang masih berstatus kawasan lindung. Untuk itu berbagai pihak, mulai Menteri Kehutanan dan Dirjen PHKA, Gubernur hingga DPRD Propinsi Jambi, serta para bupati pun dijambangi. Gubernur Jambi menyambut baik usulan itu. Bersama pihak terkait (Kanwil dan Dinas Kehutanan, Bapedalda dan sejmumlah LSM), gubernur membentuk tim peninjauan lapangan. Tim ini bertugas melihat kelayakan penyangga TNBT untuk dirasionalisasikan. Ada dua aspek yang dilihat: kelerengan dan ujicoba sistem TPTJ yang dikelola PT DHE dan PT HH.
AULIA ERLANGGA
Dari sisi kelerengan lahan, hasil peninjauan lapangan menemukan, areal HPH PT DHE yang berada di sisi Barat TN Bukit 30, sebagian besar memiliki kelerengan di atas 18 derjat (40 persen dari 45 derjat). Kelerangan yang didominasi di atas 18 derjat ini mengindikasikan topografi kawasan di areal konsesi relatif berbukit. Studi tentang “Kemungkinan Perluasan Areal TNBT di Propinsi Jambi”, kerjasama Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor dan WWF TNBT tahun 1996 menyebutkan, dari sisi topografi, kedalaman tanah di lokasi juga bervariasi: mulai dari 30 cm sampai 150 cm. Pada kedalaman 30 cm, sangat riskan untuk dimanfaatkan selain fungsi hutan lindung. Jika vegetasi penutup di atas tanah yang dangkal sempat terbuka, dapat dipastikan erosi akan menghebat.
Kawasan TNBT dan penyangganya merupakan hulu sejumlah daerah aliran sungai (DAS). Di antaranya DAS Pengabuan, yang bermuara ke Kuala Tungkal. Karena itu taman nasional dan penyangganya, perlu diselamatkan dari kehancuran. Jika vegetasi penutup atas tanah sempat terbuka, erosi akan menghebat di saat musim hujan, sehingga daerah hilir terancam banjir yang menghebat. Dari sisi pengelolaan hutan, uji coba penerapan sistem TPTJ belum serius dilaksanakan kedua perusahaan. Tim peninjau bentukan Gubernur Jambi juga menemukan, jalur penanaman tidak mengikuti jalur penebangan. Jumlah tanaman pun ala kadar: hanya 1 hingga 5 pohon, dan umumnya ditanam beberapa hari sebelum peninjauan. Pada penanaman yang sudah setahun, jalur tanaman sudah ditumbuhi semak atau tumbuhan bawah, sehingga tanaman jalur sulit mengganti penebangan yang sudah dilakukan. Menurut ketentuan, pengelolaan hutan pada areal HPT dilakukan dengan sistem tebang pilih (TPTI): penebangan dengan diameter 60 cm ke atas. Sedang, kedua HPH tadi mengelola HPT dengan sistem TPTJ: tebang habis pada jalur tebangan. Meski mendapat keringanan, PT DHE dan PT HH, tidak mengelola hutan sesuai ketentuan.
33
Menhut Larang HTI di Penyangga TN Bukit 30
M
SaatmenerimaWarsidiruangkerjanyadiJakarta,Selasa (25/09),MenteriM.Prakosamenegaskan, HTIhanyabisadi arealyangtidakadahutannya. “JikamembukaHTIdiareal yang berhutan, berarti melanggar ketentuan. Prinsip pengelolaan yang kita kembangkan saat ini adalah menyelamatkankawasanhutantersisa. Jaditidakada izin HTIpadaarealberhutan. Kecualiarealyangtidakadalagi potensikayu,silakanmembukaHTIdisana,”tuturmenteri, yangdidampingiDirjenPerlindunganHutandanKonservasi Alam(PHKA)WahyudiWardoyodanKepalaBadanPlanologi UntungIskandar. Menteri juga meminta kepada Wahyudi dan Untung untuk mencekkembaliizinyangdiberikankepadakeduaperusahaan milikgrupPTSumateraTimberUtamaDamai(STUD). “Jika izinnya bukan untuk HTI, pengusahanya harus mentaati ketentuanyangsudahada. Kitaharussama-samamenghargai ketentuanyangberlaku,”tegasPrakosa. Kepada Menhut, Dirjen PHKA Wahyudi mengemukakan, jika PT Dalek dan Hatma Hutani hendak mengubah peruntukan dariizinHPHyangdiberikanuntukdijadikanHTI,halitutidak bisa dilakukan begitu saja. “Yang memutuskan adanya perubahanperuntukanlahanituadalahtimterpadudari berbagaiinstansiyangberwewenang. Sebelumnyatimini melakukankajian,baikdariaspekekologi,ekonomidansosial. Hasil kajian tim terpadu ini yang kemudian memberi rekomendasikepadaMenteriKehutananselakupengambil keputusan,”paparnya. Setuju Rasionalisasi Sementaraitu,GubernurJambiZulkifliNurdinmenyetujui usulan rasionalisasi TN Bukit 30, yang sebelumnya disampaikan Forum Penyelamat Hutan Jambi (FPHJ). Alasannya,untukmenyelamatkankawasanhidupSukuTalang MamakdanOrangRimbayangberadadiarealHPHPTDalek HutaniEsa(DHE),yanghutannyamasihasli(virginforest) danberstatushutanproduksiterbatas(HPT).
AULIA ERLANGGA
enteri Kehutanan M. Prakosa mengingatkan kepada PT DHE dan PT Hatma Hutani, untuk tidak mengubah peruntukanlahanyangdikelolanya,dariHPHmenjadihutan tanamanindustri(HTI). SebabizinyangdiberikanpadaarealyangberstatusHPTituadalahpengelolaanHPHdengan polatebangpilihtanamIndonesia(TPTI).
Saat menerima wakil Suku Talang Mamak dan Orang Rimba —masyarakat asli yang tinggal di areal konsesi HPH PT DHE—Rabu(26/09)diruangkerjanya,GubernurZulkifli mengemukakan, pemerintah menghargai hak hidup masyarakat,termasukSukuTalangMamakdanOrangRimba yangtinggaldihutan. “Kitaharusmenyelamatkanmereka. Jikatidaksegeradiselamatkan,merekaakanterlantardan hutanjugamakinrusak,”tambahgubernur. RasionalisasiTNBukit30yangdisampaikanFPHJituadalah denganmemperluastamannasionalyangmasukwilayahJambi dengan memanfaatkan sebagian areal konsesi PT DHE dan HatmaHutani. Arealperluasandimaksudadalahyangberada padakelerengandiatas18derjat(40persendari45derjat) danhutannyamasihasli. Darihasilkajianyangdilakukan, arealkonsesiyangbisadimasukkankedalamTNBukit30 adalah,PTDHEseluas13.170ha(daritotalluasHPH PT Dalek50.000ha)danPTHatmaHutaniseluas12.100(dari totalluasnya42.000ha). Suku Talang Mamak dan Orang Rimba berdiam di Dusun Semarantihan,KecamatanTeboTengah,KabupatenTebo. Saat ini mereka tinggal di PKMT, perumahan yang disediakan pemerintah. Sebelumnya mereka tinggal di sesudungon (pondoktinggalberatapdaundantanpadinding)dalamhutan. ErdiTaufik) (E
AKTUAL 34
Marzuki Usman saat masih Menhut menyambut baik usulan itu. Ketika berkunjung ke dalam TNBT yang masuk wilayah Jambi, awal April lalu, ia setuju rasionalisasi. Alasannya, kawasan penyangga masih didominasi hutan alam (virgin forest). Pihak DPRD Propinsi Jambi, saat dengar pendapat dengan FPHJ, pada pertengahan Juni lalu, juga memberi dukungan. Komisi B DPRD menilai, rasionalisasi sudah mendesak diwujudkan, guna menyelamatkan sisa hutan alam dan untuk kepentingan konservasi. Usulan rasionalisasi bukan hanya berdasarkan dukungan pemerintah. Berbagai kajian dan analisis sudah dilakukan. Puslitbang LIPI, bekerjasama dengan WWF Bukit 30, tahun 1996 meneliti diversitas flora di kawasan hutan yang berbatasan dengan TNBT bagian selatan. Hasilnya, keragaman hayati yang terdapat dalam TNBT memiliki jenis yang endemik, seperti Johannesteijsmannia altifrons, Aquillaria malaccensis (termasuk dalam daftar CITES appendix II), Pinanga spp., Iguanura spp., Licuala spp.. Semuanya dijumpai di Sungai Alo dan areal HPH PT DHE. Hasil koleksi spesimen herbarium mencatat 107 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat Melayu, 176 jenis oleh masyarakat Talang Mamak, 45 jenis oleh Orang Rimba dan 47 jenis berguna bagi transmigran Jawa. Jenis Rafflesia hasseltii, flora endemik, unik dan sangat langka, ditemukan di Hutan Semambu. Tumbuhan ini umumnya berkelamin tunggal dan hingga kini belum diketahui cara pembudidayaannya.
Belum cukup? Masih ada lagi kekayaan fauna yang hidup di TNBT: lebih dari 16 jenis mamalia (tidak termasuk 18 jenis kelelawar yang telah teridentifikasi), 151 jenis burung, beberapa jenis reptil, amphibia, ikan dan jenis-jenis insekta. Sedang fauna langka yang terdapat dalam kawasan ini antara lain: Panthera tigris sumatrae, Hylobates sp., Tapirus indicus, Bucerotidae, Argusianus argus.
Betapapun, usulan rasionalisasi merupakan ikhtiar mewujudkan sebuah kawasan konservasi yang terhindar dari berbagai ancaman. Saat ini TNBT memiliki hutan alam yang belum terfragmentasi berat. Hamparan hutannya memiliki arti penting bagi pelestarian hutan alam tropis dataran rendah di Pulau Sumatera. Posisinya juga strategis, karena merupakan hulu sungai dan daerah tangkapan air DAS Pengabuan —yang dimanfaatkan sebagai jalur jalur transportasi produk industri bubur kertas (pulp) PT WKS dan plywood PT STUD— yang bermuara ke Kuala Tungkal. Kerusakan hutan di TNBT dan penyangganya akan berpengaruh pada kondisi dan perilaku DAS Pengabuan. Tapi, itulah soalnya. Berbagai upaya bagai menemui jalan buntu. Menteri Kehutanan tidak mudah mengeluarkan keputusan, tanpa ada dukungan dari daerah. Sebaliknya, daerah menganggap, kawasan yang diusulkan untuk menjadi bagian dari rasionalisasi itu hanya akan mengurangi peluang dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). (Erdi Taufik) AULIA ERLANGGA
Ekspedisi Biota Medika di TNBT —kerjasama Depkes, IPB, UI dan LIPI— tahun 1998 juga menemukan potensi biota obat: sebanyak 182 jenis tumbuhan dan 8 jenis cendawan yang dimanfaatkan Suku Melayu Tradisional Riau. Sementara, yang dimanfaatkan Suku Talang Mamak berjumlah 110 jenis tumbuhan dan 22 jenis cendawan. Penelitian Norindra (NorwegianIndonesian Rainforest and Resource Management Project) juga mencatat kekayaan flora hutan basah ini, yakni sebanyak 700 nama spesies flora yang digunakan penduduk setempat, termasuk di dalamnya 79 spesies tanaman buah-buahan dan 246 tanaman obat.
Ada lagi penelitian yang dilakukan Direktorat PHPA tahun 1977. Tim mencatat, terdapat 59 spesies mamalia di kawasan ini, termasuk gajah Sumatera, harimau Sumatera dan tapir, yang sudah terancam punah. Lalu, tercatat pula 192 spesies burung, atau hampir sepertiga jumlah semua spesies burung yang ada di Sumatera yang ditemukan di Bukit 30 dan 10 spesies di antaranya sudah terancam punah.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
membuat mereka perlu mengurangi kapasitas produksi terpasang, sesuai pasokan yang tersedia. Industri mereka berjalan melenggang, sesuai target produksi yang sudah ditetapkan.
AULIA ERLANGGA
Yang makin membuat banyak orang gelenggeleng kepala, di kala kemampuan pasokan hanya menyediakan kurang dari sepertiga dari kebutuhan, eh malah kehadiran industri penggergajian kayu (sawmill) justru makin meningkat. Anehnya, keberadaan sawmill ini berdampingan dengan industri lain yang sudah ada.
AKTUAL
Jambi Bertabur Sawmill Illegal
J
ambi termasuk propinsi yang paling “beruntung” di Pulau Sumatera, bahkan juga untuk Indonesia. Di daerah ini terdapat empat taman nasional (TN). Ada Kerinci Seblat (TNKS), yang berbagi dengan empat propinsi (tiga lainnya: Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu). Juga Bukit Tigapuluh (TNBT) yang sebagian berada di Riau. Sedang Bukit Duabelas (TNBD) dan Berbak (TNB), semuanya berada di Jambi. Keberadaan taman nasional hampir mendominasi kawasan hutan di Jambi —yang luasnya sekitar 2,1 juta ha: TNKS dengan luas sekitar 1,4 juta ha, hampir 40 persen (590.000 ha) berada di sini. Lalu, TNBT dengan luas sekitar 130.000 ha, seluas 33.000 ha berada di Jambi. Juga TNBD seluas 60.500 ha, serta TNB seluas 162.700 ha. Menariknya pula, propinsi ini memiliki sejumlah industri pengolahan kayu: 9 plywood, 1 pulp dan ratusan sawmill. Kebutuhan industri ini akan bahan baku, karena itu, juga tidak sedikit. Menurut Data Dinas Kehutanan Propinsi Jambi tahun 2000, sejumlah industri itu membutuhkan pasokan bahan baku sebanyak 3,8 juta ton kayu pertahun. Mau tahu berapa kemampuan hutan di Jambi memasok kebutuhan mereka secara legal? Hanya 1,1 juta ton, atau tidak sampai sepertiga dari kebutuhan. Meski kebutuhan tidak sesuai dengan kemampuan pasokan, para pengelola industri itu ternyata tidak pernah kerepotan mengatasi. Malah, kekurangan sebesar 2,7 juta ton itu tidak
Tidaklah sulit menemukan keberadaan sawmill itu. Bahkan lokasinya seperti ingin ngeledek para pengelola hutan dan kelompok peduli konservasi Tidak percaya? Ada beberapa lokasi yang pertambahannya bak jamur di musim hujan. Yang pertama, silakan melakukan pengamatan di sepanjang jalan raya Lintas Timur Sumatera. Jika berangkat dari Kota Jambi menuju Sengeti (ibukota Kabupaten Muaro Jambi), tepatnya di Sekernan, puluhan sawmill -sebagian besar tidak memiliki izin- melenggang ria tanpa malu-malu. Sawmill-sawmill ini memperoleh bahan baku dari berbagai tempat. Dari pengamatan di lapangan, bahan bakunya didatangkan lewat jalan darat, juga lewat sungai. Sumber kayu lewat darat, ada yang berasal dari Tungkal Ulu, yang berdekatan dengan TNBT. Sebagian juga bersumber dari TN Berbak. Kayu-kayu itu dibawa dengan truk-truk yang tiap hari besiliweran di sepanjang Jalan Lintas Timur Tapi jalur sungai merupakan alur utama sumber kayu yang memasok sawmill di sini. Sekernan berada di pinggiran Sungai Batanghari. Dan kalau menelusuri aliran sungai Batanghari ke hulu, tidak sulit menebak sumber kayu. Batanghari merupakan muara sejumlah anak sungai: Tabir dan Tembesi yang menjadi muara sejumlah anak sungai yang berhulu ke Bukit 12, yang sejak Agustus 2000 lalu ditetapkan sebagai taman nasional. Taman ini merupakan sumber potensial kayu-kayu ilegal.
35
36
AKTUAL Lokasi sawmill lain berada di Desa Jati Belarik, pintu masuk ke kawasan HPH PT Dalek Hutani Esa, dan juga ke TNBT dari arah Kabupaten Tebo. Tidak sampai dua tahun, ada belasan sawmill tanpa izin yang berlokasi tidak jauh dari jalan raya propinsi. Padahal, akhir tahun 1999, hanya ada satu sawmill. Anehnya, mereka beroperasi dengan leluasa, tanpa ada teguran, atau ditutup sama sekali, karena tidak memiliki izin. Belum cukup? Lanjutkan perjalanan ke Pauh (Kabupaten Sarolangun) dari arah Tembesi. Sepanjang jalan, mulai Desa Semaran, hingga Karang Mendapo, belasan sawmill juga beroperasi dengan leluasa. Lalu di Kota Sarolangun sendiri ada pula lima sawmill. Dari ibukota kabupaten ini lanjutkan perjalanan menuju Muarobungo, melewati Jalan Lintas Sumatera. Anda bisa saksikan sejumlah sawmill di Sungai Pelakar, Kubang Ujo, hingga Rantau Panjang. Sawmill yang “hidup berdampingan” juga terdapat di Rantau Panjang (Kabupaten Merangin). Tidak kurang dari sepuluh sawmill berdiri di desa ini. Sebagian besar beroperasi sejak dua tahun belakangan. Pasokan bahan bakunya? Selain dari TNBD, daerah yang dilewati Sungai Tabir ini juga mendapat pasokan dari TNKS, yang merupakan hulu Sungai Tabir Itu baru sebaran sawmill yang gampang ditemukan lewat jalan raya atau jalan utama. Tidak sedikit pula jumlah sawmill yang berada jauh dari jangkauan jalan utama. Contohnya beberapa desa di Kecamatan Marosebo Ulu (Kabupaten Batanghari), yang berada di sisi utara TNBD. Di Sungai Ruan, Sungai Lingkar, Teluk Leban, dalam setahun saja sudah berdiri sebanyak delapan sawmill. Tidak khawatir akan terjadi “perang” rebutan bahan baku? Inilah hebatnya Propinsi Jambi. Tatkala Dinas Kehutanan sudah “berteriak” akan njomplangnya kebutuhan dibanding pasokan kayu yang dibutuhkan industri, eh, pada saat yang sama Dinas Perindustrian, dengan tersenyum-senyum, membiarkan kehadiran sawmill -yang sebagian besar tidak memiliki izin alias ilegal— yang justru ikut berebut bahan baku yang terbatas jumlahnya. Sebaran sawmill itu, jika digabungkan menjadi sebuah data yang menarik. Hingga pertengahan tahun 2001, tidak kurang dari 200 sawmill, yang sebagian besar beroperasi tanpa izin, ditemukan di Propinsi Jambi. Jumlah ini tentu sudah mengkhawatirkan, karena tidak hanya mengancam kawasan hutan produksi terbatas (HPT), tetapi juga kawasan lindung dan konservasi.
Dari data yang dikumpulkan hingga April 2001, di sekitar TNBD saja terdapat 70 sawmill. Berapa pula yang ada di sekitar TNBT yang masuk propinsi Jambi? Menurut pengakuan Kepala Balai TNBT Waldemar Sinaga, jumlahnya tidak kurang dari 50 sawmill. Jika satu sawmill rata-rata mendapat pasokan kayu dari kedua taman nasional sebesar 50 m3 (sisanya diambil dari pasokan kayu legal), maka sebanyak 120 sawmill ini membutuhkan kayu sebanyak 150.000 m3 perbulan (dengan asumsi beroperasi 25 hari), atau setahun menjadi 1,8 juta m3. Jumlah sebesar itu baru untuk memasok kebutuhan 120 sawmill. Jika ditambah dengan 80 sawmill lainnya, tidak terbayangkan jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk semua sawmill, agar bisa beroperasi secara normal. Hitung-hitungan secara matematis bahkan akan makin besar jika dihitung pula kebutuhan 9 pabrik plywood dan satu pulp, sesuai kapasitas terpasang industri yang ada di propinsi ini. Yang menjadi soal sekarang, kebijakan yang (akan) ditempuh pemerintah daerah dalam upaya membantu industri pengolahan kayu di satu sisi dan menyelamatkan hutan yang tersisa di sisi lain. Ada beberapa pilihan, yang sebetulnya, layak dipertimbangkan. Di antaranya menertibkan sawmill yang tidak punya izin. Adanya sinyalemen sejumlah anggota DPRD yang menginginkan kebijakan pemerintah untuk melakukan pemutihan terhadap sawmill yang tanpa izin itu, tentu bukan jalan keluar yang arif dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan tersisa. Tidak ada jaminan, ketika semua diberi izin, lalu pasokan bahan baku bersumber dari kayu legal. Justru yang akan muncul adalah sebaliknya; jumlah sawmill akan bertambah karena semua akan mendapat izin. Kebiajakan lain, demi menyelamatkan kawasan hutan lindung dari tekanan eksploitasi, adalah dengan menurunkan kapasitas produksi terpasang sejumlah industri. Dengan kebutuhan pasokan yang lebih besar dibanding bahan baku yang tersedia, hanya akan membuat pengelola mencari jalan lain tanpa perlu mengeluarkan dana lebih besar, yakni menjarah kawasan lindung. Tentu masih banyak alternatif, agar Jambi tetap menyimpan kebanggaan: memiliki empat taman nasional, plus mampu menjaga kelestariannya. (Erdi Taufik)
SELINGAN
Sekilas Persoalan TN Kerinci Seblat, Pengamatan melalui Ekspedisi Media Apa yang terjadi? Truk yang dikejar ternyata berisi kayu hasil tebangan liar. Petugas menghentikan truk dan menanyai sopir tentang sumber dan si pemilik kayu. Tak ada jawaban. Beberapa orang yang ada di sekitar, yang menyaksikan adegan, juga terdiam semua. Belum sempat berlangsung tanya jawab, serombongan anggota masyarakat dengan suara ribut-ribut, datang mengerumuni.
DOK. WARSI
“Tinggalkan truk, kalau tidak masyarakat akan marah. Kayu itu hanya kebutuhan makan kami,” seorang pemuda berteriak menuju ke arah Polhut yang sebagian sudah siap dengan senjata api. Berselang beberapa menit kemudian, satu rombongan lagi -termasuk anakanak belasan tahun dan ibu-ibu— ikut bergabung. Mereka juga dibekali senjata apa adanya. Suara gaduh tidak terhindarkan dan nyaris membuat kacau, jika saja Polhut tidak mengikuti kemauan warga. Sopir, berikut truknya, kemudian dilepas.
M
alam itu udara begitu sejuk dan sedikit terasa dingin. Perjalanan dari Sungai Penuh menuju Kecamatan Sungai Manau, sudah ditempuh sekitar tiga jam. Lembah perbukitan, yang mengitari Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan pemandangan yang memukau, pun sudah dilewati. Di sebuah pertigaan, satu truk berisi kayu-kayu berukuran sedang, tampak berangkat dengan tergesa. Penumpang mobil hard-top, yang berisi enam petugas penjaga hutan, alias polisi kehutanan (Polhut), melihat kejanggalan itu dan segera mengikuti. Di belakangnya, beriringan empat mobil, rombongan ekspedisi kespedisi. Iring-iringan mobil di belakang, yang sebagian besar berisi para wartawan, juga tidak melewatkan adegan menarik itu, dan mengikuti di belakang.
Adegan itu sempat membuat rombongan cemas, melihat banyaknya anggota masyarakat, yang datang dalam jumlah banyak, hanya dalam beberapa menit. Soal penangkapan adalah berita menarik, meski hanya satu truk. Tapi ancaman akan dikeroyok warga satu kampung, juga menjadi pertimbangan. Akhirnya rombongan meninggalkan kerumunan dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Pangkalan Jambu, menyaksikan pengelolaan hutan adat seluas 700 ha lebih oleh masyarakat, esok paginya. Itulah sekelumit pengalaman yang dialami rombongan ekspedisi media, yang diselenggarakan atas kerjasama Park Management-ICDP TNKS, Balai TNKS dan Warsi. Ekspedisi ini diikuti wartawan dari beberapa media: Kompas, Media Indonesia, Antara, Warta Sumatera dan Jambi Ekspres, lalu RCTI, SCTV, TPI dan TVRI. Adegan yang baru disaksikan bagai memberi pertanda, penjarahan taman nasional dengan luas sekitar 1,4 juta ha itu sudah melibatkan semua lapisan masyarakat. Taman nasional yang kaya dengan potensi keragaman hayati, juga tidak sedikit menyimpan masalah. Di antaranya, soal hutan adat yang dikelola masyarakat Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau.
37
DOK. WRASI
38
SELINGAN Edi Jalo, petugas honorer (Rp 90.000 per bulan tapi sering datang terlambat) ini mengakui agak sulit baginya untuk melarang masyarakat lokal membuka ladang. “Tapi kalau mereka dari luar desa, ya saya beritahu ke pihak Balai,” ucap Edi, yang bertugas mengawasi wilayah taman sepanjang 37 km, dan tidak memiliki kewenangan melakukan pelarangan secara langsung. Kesulitan dalam mengawasi perambahan juga sama repotnya dengan mengamankan taman nasional dari aksi penebangan liar. Sebab, aksi ini sejalan dengan kehadiran industri penggergajian (sawmill). Di daerah Pelepat, Kabupaten Bungo, yang berjarak tidak jauh dari TNKS, terdapat empat sawmill yang sumber kayunya berasal dari TNKS. Sebagaimana ditemui tim ekspedisi media di lapangan, hutan adat seluas 754 ha itu sudah diserahkan pengelola TNKS kepada masyarakat, melalui Bupati (waktu itu masih) Sarolangun-Bangko. Malah, Juni 1995, setelah ada tata batas definitif TNKS, luas hutan adat bertambah menjadi 792 ha. Meski bertambah luas, ternyata yang bisa dikelola masyarakat hanya 47 ha. Sisanya? Itulah yang lucu. Pengelola TNKS merasa berhak mengelola 745 ha hutan adat dan dimasukkan dalam taman nasional. Lho, kok bisa? Inilah salah satu sumber masalah: di satu pihak TNKS menetapkan hutan adat seluas mungkin, tapi yang boleh dikelola masyarakat adat seminim mungkin (baca juga boks “Hutan Adat ‘Setengah Hati’’”). Masalah lain adalah adalah soal perambahan. Tatkala berkunjung ke Muara Hemat, Kecamatan Batang Merangin, perambahan sudah sampai ke wilayah perbukitan, memasuki kawasan taman nasional. Para perambah bukan hanya warga desa setempat, tetapi juga dari luar, sehingga pengawasan yang dilakukan Edi Jalo (45), salah satu mitra Balai TNKS, seringkali kalah cepat dibanding para perambah. Beberapa warga desa yang sempat ditemui mengaku, pembukaan ladang di areal taman nasional dilakukan, karena sejak dulu wilayah itu merupakan areal sumber mata pencaharian. Sebelum TNKS ditetapkan, mereka sudah biasa membuka hutan untuk perladangan. Beberapa warga malah menyarankan agar pengelola Balai TNKS lebih baik menangkap oknum aparat keamanan, yang justru ikut membekingi pencurian kayu di taman nasional, daripada melarang masyarakat membuka ladang. “Kami ‘kan berladang untuk bisa hidup, bukan untuk kaya,” ungkap seorang warga yang tidak mau menyebut nama.
Yang menarik, pemilik sawmill itu antara lain adalah seorang anggota DPRD Bungo dari Golkar, dan Ketua PAC PAN setempat. Para pemilik sawmill ini malah menantang ketika dikemukakan sawmill yang mereka miliki menganggu pelestarian taman nasional. “Kalau mau diberitakan, silakan. Saya tidak takut,” tantang H. Achmad, Ketua PAC PAN Pelepat, salah seorang pemilik sawmill rombongan wartawan sewaktu. Mengungkap keruwetan dalam pengelolaan dan pengamanan TNKS memang tidak cukup hanya dengan ekspedisi media selama 4 hari. Secuil kasus yang ditemui selama ekspedisi, setidaknya memberi gambaran betapa taman nasional yang berada di empat propinsi, 9 kabupaten, dan 41 kecamatan itu sudah sejak lama mengalami tekanan. Ada memang petugas yang mengawasi di lapangan, yakni sebanyak 105 polhut. Namun, seperti dikemukakan Anwar, Kepala Balai TNKS, jumlah itu tentulah tidak cukup untuk mengawasi dan mengamankan taman seluas 1,4 juta ha. Ditambah lagi dengan makin beraninya masyarakat menantang petugas sejak dua tahun belakangan. Yang diperlukan bukan sekadar petugas pengamanan, juga law enforcment (tindakan hukum) kepada siapapun, tidak peduli petugas keamanan, anggota dewan dan juga anggota masyarakat. Menerapkan hukum hanya kepada masyarakat, tapi membiarkan para beking dengan leluasa menjarah taman nasional, tentu hanya akan membuat mereka makin frustasi, dan pada akhirnya akan menumpahkan kepada petugas yang justru mereka lihat pilih kasih. (Adam, staf Komponen Pengelolaan Taman, ICDPTNKS)
39
Surat Pembaca Alam Sumatera untuk Skripsi Sayatertarikdengan“AlamSumatera”,yangisinyasangatbagussekali. ApakahsayabolehmengutiptulisantentangSukuAnakDalamdanTN Bukit12untukbahanskripsisaya. Kiranyaredaksidapatmembantu saya. Terimahkasih. Patricio Da Costa Mahasiswa Program Ekstensi Unja Jurusan Studi Pembangunan · Redaksisejakawaltidakpernahmenggunakanistilah“Suku AnakDalam”untuksebutanOrangRimbadiBukit12. Istilah itu,sebaiknya,Andaganti,untukmenghargaikeberadaan salahsatuindigenouspeoplediJambi. · AlamSumaterabolehdikutipsiapasaja,asalmenyebut sumbernya. · Terimakasihatasrespekandaterhadapbuletinini Mau Berlangganan Saya,asliRiaudantinggaldiYogyakartaadalahsalahsatupembaca BuletinAlamSumaterayangdikelolaWarsi.Sayainginmengetahui, (1)Mengapasejakawaltahun2001buletininihanyadikelolaWarsi; (2)Berapabiayaberlanggananbuletinini; (3) Bagaimanacara mengetahuiinformasitentangkegiatanWarsi? Terimakasih Khamelia Destri A Jl. Kaliurang Km 5 Swakarya 1B Yogyakarta 1) Sejakedisi01/Januari2001,AlamSumateratidaklagi melibatkanWWFTNBTuntukmengisibuletinini,karena masakontraknyasudahhabisdiBukit30. 2) Buletininibelummengutipbiayauntukparapelanggan. 3) SilakanAndaklikhomepagekami:www.warsi.co.id
Sang Kemare Mengungkapkolusidiinstansinya,seorangpegawaiDinas Kehutanandituduhgila Biasanya, orang gila yang menuduh orang normal dengan tuduhan gila UsulanrasionalisasiTNBukit30masihterkatung-katung Parahnya, nasib negeri ini justru lebih terkatungkatung TNKerinciSeblatdijarah,Polhutnyadikeroyok Anehnya, reformasi bagi rakyat kecil masih “repotnasi” (kelaparan)
Hearing. Komisi B DPRD Propinsi Jambi, 21 Juni lalu mengundang Forum Penyelamat Hutan Jambi (FPHJ) untuk melakukan rapat dengar pendapat (hearing) berkaitan denganmasalahhutan. FPHJmerupakanaliansibelasan LSMyangpedulimasalahhutan. Anggotaforuminiantara lainWarsi,GitaBuana,NPSand,CitraBuanaMandiri,Elang Gunung,PinangSebatang,Walhi,PrakarsaMandiridanPKBI. DalamrapatyangdipimpinZainuddinZ.A.ituterungkap bahwaKomisiBmendukungupayayangdilakukanFPHJdalam memperjuangkansisahutanyangadadipropinsiiniagar tetaplestari. DPRD,kataZainuddin,jugasecarapenuh mendukungusulanrasionalisasiTNBT,sebagaimanayang dipresentasikanRudiSyaf,dalamrapatitu. Alasanwakil rakyat ini mendukung rasionalisasi, adalah rangka menyelamatkankawasankonservasidariperambahandan penjarahanyangbelakanganinimemangmarakterjadidi sejumlahkawasanlindungdansekitarnya. MaB. DuastafWarsi:RobertAritonangdanSaurMarlina, mendapat penghargaan Man and Biosphere (MaB) 2000, dariLIPI,bekerjasamadenganUnesco,danhadiahuang, masing-masingRp8,5juta. Robert,lulusanAntropologi FISIPUSU,telahmelakukanpenelitiantentangberbagaiaspek kebudayaanOrangRimbasecaraholistiksertamengkaji berbagaiperubahanyangterjadi. Sementara,SaurMarlina —akrabdipanggilButet,antropologlulusanFISIPUnpad, menerapkanpolapendidikanalternatif(berupabaca-tulishitung)bagianak-anakOrangRimbaDisampingkeduanya, MaB2000jugadiserahkankepadaDr.Ir.DamayantiBuchori (penelitidiFakultasPertanianIPB),HerryYogaswara (penelitiLIPI),danIrSadirun(DosenUniv.Haluleo).
Tandabergarisdaritapirmuda merupakan kamuflase (penyamaran)yangtepatdalam situasisinarmatahariyangsamarsamardiketeduhanhutan. Setelahberumurbeberapabulan, anaktapirmulaikehilangan lapisanbulubayinyadanmulai mendapatkanwarnabelanghitam putihyangmerupakantandadari tapirdewasa.
FOTO : AULIA ERLANGGA
40
buletin ini dipublikasikan oleh WARSI (Warung Informasi Konservasi) Website: www.warsi.or.id