BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistim asli, dikelola dengan sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan kawasan konservasi dengan luas 1.389.509.867 hektar. TNKS merupakan taman nasional terestrial terluas kedua di Indonesia yang mencakup 4 (empat) wilayah pengelolaan DAS. Kawasan ini menyangga berbagai tumbuhan dan satwa serta masyarakat pada kurang lebih 350 desa yang secara administrasi termasuk dalam 13 wilayah kabupaten, 2 kota, dan 4 propinsi di Pulau Sumatera. Eksistensi kawasan konservasi ini telah diakui secara nasional, regional, maupun internasional dengan ditetapkannya TNKS sebagai Kawasan Strategis Nasional, ASEAN Heritage Site, dan World Heritage Site. TNKS adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki tiga fungsi utama yaitu melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan keanekaragaman jenis satwa, tumbuhan dan ekosistem, serta menyediakan sumberdaya hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan. Dalam kawasan konservasi ini terdapat 8 tipe ekosistem yang menjadi habitat bagi ± 604 jenis tumbuhan dari ± 63 famili, ± 85 jenis mamalia dari 199 jenis mamalia Pulau Sumatera, serta 371 jenis burung. Kawasan TNKS juga memiliki berbagai objek data tarik wisata alam yang 1
potensial untuk dikembangkan antara lain gunung, bukit, danau dan air terjun. Selain itu hampir seluruh kawasan TNKS merupakan daerah tangkapan air (catchment areas) sehingga keberadaan dan kelestariannya semakin hari kian terasa penting. Dalam rangka menjaga dan mempertahankan kelestarian fungsi sesuai yang diamanatkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemya, dan untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat di sekeliling dan sekitar kawasan, pengelolaan kawasan TNKS diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan fungsi-fungsi taman nasional. Salah satu bentuk pemanfaatan tersebut adalah kegiatan pariwisata alam pada zona pemanfaatan TNKS dengan mengembangkan potensi kegiatan pariwisata alam untuk menekan laju ancaman yang dapat mengganggu kelestarian kawasan konservasi. Pariwisata alam adalah bagian dari upaya pemanfaatan yang umum dilakukan di berbagai tipe kawasan konservasi, khususnya di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional (Hermawan et al., 2014). Menurut
Peraturan
Pemerintah
Nomor
36
Tahun 2010
tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, disebutkan bahwa wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala
keunikan
dan
keindahan alam di kawasan suaka marga satwa, taman nasional, taman hutan raya,
dan
taman
wisata
alam. Fandeli (2000) menyebutkan bahwa
kepariwisataan alam saat ini telah berkembang ke arah wisata ekologis 2
(ecotourism) atau dengan istilah ekowisata, ekowisata pada hakikatnya adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian alam, dapat memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Adapun Muttaqin (2012) menyebutkan bahwa pendekatan ekowisata dapat digunakan sebagai alat dalam kegiatan konservasi disuatu daerah. Ekowisata berupaya mengandalkan motif ekonomi ke arah pelestaraian sumber daya alam yang dapat menciptakan nilai tambah bagi masyarakat. Ekowisata merupakan bagian dari kegiatan Pariwisata Alam. Menurut Hakim (2004), ekowisata merupakan salah satu cara mengintegrasikan kebijakan lingkungan dan ekonomi dalam pembangunan wilayah. Jika dikelola dengan baik, ekowisata dapat menjaga keanekaragaman hayati, menghasilkan dana untuk konservasi lingkungan, menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan asli daerah dan mengurangi kemiskinan. Menurut Wiratno (2012) pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi pada Kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Desa Namo Sialang dan Desa Sungai Serdang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara telah berhasil menyelesaikan konflik sosial antara masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi. Setelah lima tahun difasilitasi oleh berbagai pihak, kelompok masyarakat yang semula mengambil kayu dalam kawasan taman nasional, berubah menjadi kelompok yang terorganisir rapi dan solid di bawah Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang justru melestarikan kelompok hutan taman nasional di sekitar desanya seluas 17.000 hektar karena masyarakat sekitar telah merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata yang dikembangkan. 3
Fandeli (2000) menjelaskan bahwa pengembangan ekowisata dalam kawasan hutan akan mampu menjamin tetap terpeliharanya hutan disamping pendapatan ekonomi. Balai Besar TNKS selaku pengelola kawasan TNKS telah mengembangkan kegiatan ekowisata pada kawasan wisata Danau Gunung Tujuh. 1.2. Rumusan Masalah Kawasan wisata Danau Gunung Tujuh adalah kawasan wisata alam yang berada di kawasan konservasi TNKS. Kawasan Wisata Danau Gunung Tujuh terdiri atas area bumi perkemahan, jalur trekking pendakian berupa jalan setapak yang masih alami, dan Danau Gunung Tujuh. Atraksi Alam Danau Gunung Tujuh merupakan daya tarik utama bagi pengunjung kawasan wisata ini karena Danau Gunung Tujuh memiliki keunikan sebagai danau vulkanik air tawar tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian 1.996 mdpl. Berdasarkan data kunjungan wisatawan TNKS Tahun
2014,
kawasan
wisata Danau Gunung Tujuh tercatat mempunyai jumlah kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan ODTW TNKS lainnya yakni sebanyak 4.045 orang wisatawan. Walaupun wisatawan yang berkunjung di kawasan wisata ini didominasi oleh ecotraveler pemula namun jika pengelolaan ekowisata kawasan ini berjalan optimal, seharusnya kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Danau Gunung Tujuh TNKS dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dan kelestarian kawasan. Pengelolaan ekowisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh yang telah berjalan kenyataannya belum berhasil memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat 4
ketergantungan masyarakat sekitar terhadap lahan pertanian masih tinggi, hal ini ditandai oleh masih adanya ancaman kelestarian kawasan Danau Gunung Tujuh akibat perambahan. Berdasarkan data Laporan Tahunan Bidang Pengelolaan Wilayah I Jambi Balai Besar TNKS Tahun 2013 disebutkan bahwa luas perambahan kawasan TNKS di Wilayah Resort Pengelolaan Gunung Tujuh seluas ± 4.457,82 Ha, tempat dimana kawasan wisata Danau Gunung Tujuh berada. Masalah sosial yang paling populer dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah persoalan interaksi masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi yang sering dimaknai sebagai ancaman terhadap kawasan seperti tekanan terhadap lahan dan sumber daya hayati yang terdapat di di dalam kawasan (Hermawan et al., 2014). Fenomena ini menunjukkan bahwa manfaat pengelolaan ekowisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh TNKS belum berjalan optimal karena menurut Sudarto (1990) pada prinsipnya kegiatan ekowisata semestinya dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada masyarakat lokal dan turut memberikan andil dalam pelestarian lingkungan. Suwantoro (2002) menyebutkan bahwa pengembangan adalah upaya memajukan atau memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Oleh karena itu untuk optimalnya pengelolaan ekowisata yang telah berjalan dibutuhkan upaya strategi pengembangan ekowisata pada kawasan wisata Danau Gunung Tujuh TNKS. Permasalahannya adalah saat ini kawasan Danau gunung Tujuh belum memiliki strategi pengembangan ekowisata.
5
Berangkat dari permasalahan tersebut maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menyusun strategi pengembangan ekowisata Danau Gunung Tujuh TNKS. Adapun menurut Masruri (2014) strategi pengembangan adalah usaha-usaha terencana yang disusun secara sistematis yang dilakukan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam usaha meningkatkan dan memperbaiki kualitas daya tarik wisata sehingga keberadaaan daya tarik wisata itu lebih diminati oleh wisatawan. Untuk menyusun sebuah strategi pengembangan ekowisata di Kawasan Wisata Danau Gunung Tujuh dibutuhkan data terkait produk wisata kawasan yang terdiri dari 3 komponen utama (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas) dan persepsi wisatawan, pihak pengelola dan masyarakat sekitar. Kedua data tersebut adalah dasar dari rumusan isu-isu strategis pengembangan yang dihasilkan dari pendapat ahli/ narasumber yang dikelompokan ke dalam 3 (tiga) aspek keberlanjutan pembangunan pariwisata alam yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi (Siswantoro, 2012). Batasan dari masalah ini adalah berupa pertanyaan permasalahan dari penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Apakah produk wisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh? 2. Bagaimanakah persepsi wisatawan, pihak pengelola dan masyarakat sekitar terhadap pengelolaan ekowisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh? 3. Bagaimana strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata Danau Gunung Tujuh?
6
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui produk wisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh. 2. Mengetahui persepsi wisatawan, pihak pengelola dan masyarakat sekitar terhadap pengelolaan ekowisata kawasan wisata Danau Gunung Tujuh. 3. Menyusun strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata Danau Gunung Tujuh. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi/ masukan bagi Balai Besar TNKS sebagai pihak pengelola kawasan dalam membuat sebuah strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata Danau Gunung Tujuh dan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam menambah ragam pemikiran dan konsep baru dalam bidang strategi pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi.
7