DAMPAK ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
ARDI NOVRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK ARDI NOVRA. Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Deforestasi Kawasan dan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, BUNASOR SANIM dan BONAR M. SINAGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Kebijakan pembangunan bidang perlindungan hutan dan pelestarian kawasan konservasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan regional. Desentralisasi fiskal dan kesepakatan pemerintah daerah sekitar, pada dasarnya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pelestarian Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penelitian secara umum bertujuan untuk menganalisis berbagai alternatif dampak kebijakan pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi TNKS. Penelitian menggunakan data pool yaitu gabungan time series tahun 1994–2003 dan cross section tiga kawasan. Model ekonometrika terdiri dari 58 persamaan yang terbagi 7 blok dan diestimasi menggunakan Seemingly Unrelated Regressions (SUR) dan Two Stage Least Squares (2SLS). Simulasi dilakukan untuk mengevaluasi dan meramalkan dampak kebijakan terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Pengolahan dan analisis data menggunakan program MS Excel dan SAS 6.12. Realokasi pengeluaran rutin yang diprioritaskan untuk peningkatan pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia memenuhi kriteria untuk pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) aspek ekonomi, mampu mendorong transformasi struktural pembangunan ekonomi, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta memperbaiki distribusi pendapatan antar sektor pertanian (pedesaan) dan non-pertanian (perkotaan), (2) aspek sosial, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka, (3) aspek ekologis, mampu mengurangi tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan dengan menurunnya laju deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga, serta peningkatan aktivitas perekonomian kawasan tidak mendorong peningkatan degradasi taman nasional. Kebijakan pembangunan sektor sumberdaya manusia akan tercapai jika didukung dengan upaya perbaikan aksesibilitas kawasan dan terciptanya iklim kondusif bagi perkembangan dunia usaha, serta dilakukan secara konsisten oleh pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan diperlukan penataan kembali alokasi pengeluaran pemerintah daerah baik antar pengeluaran rutin dan pembangunan maupun antar sektor pembangunan dengan prioritas pengembangan sumberdaya manusia. Kata Kunci: pengeluaran pemerintah, deforestasi, degradasi.
ABSTRACT ARDI NOVRA. The Impact of the Local Government Expenditure Allocation on the Regional Deforestation and Kerinci Seblat National Park Degradation (YUSMAN SYAUKAT as Chairman, BUNASOR SANIM and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee) Conservation areas protection policies have been integrated with the regional development program. This program can be support by fiscal decentralization and regional government agreement on the Kerinci Seblat National Park (KSNP). The general objective of the research was to analyze impact of the local government expenditure allocation alternatives on the regional deforestation and KSNP degradation. The research using pooling data time series (1994 – 2003) and cross section on three regions. Econometric model consist 58 equations can be divided into 7 blocks, and estimated using Seemingly Unrelated Regressions (SUR) and Two Stage Least Squares (2SLS). The model simulation was to find out the balancing allocation of the local government expenditure, is based on three aspects that is economic, social and ecological. Data processing and analyze using MS Excel and SAS 6.12 software. The regional sustainable development can be achieved by the policy combination that was reallocated from the routine expenditure to increase the human resource development sector. Fulfills the criteria of the sustainable development, that is (1) economic aspects, will be driven factor to structural economics transformation, support to increase the output growth rate, output per caput, and improving the sectors output distribution, (2) social aspects, will be supported factor to increase the rate of public participation on the regional development, that likely increase of the rate of labor force participation, and decline the rate of un-employment, (3) ecological aspects, will have to decline the pressure of land and forest resources, that is decline of the regional deforestation, and national park degradation. The supporting factors to achieve there policies targeting that is effort to improve of the regional accessibilities and business climate, and the local government consistency to applied this policy. Based on the research, we can conclude that to achieve the regional sustainable development, the local governments need to redesign the routine and development expenditure ratio, and human resources development as a priority sector. Keywords: government expenditure, deforestation, degradation.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: DAMPAK ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2007
ARDI NOVRA NRP. A161020021
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebahagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
DAMPAK ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
: DAMPAK ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH
JUDUL PENELITIAN
DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT Nama Mahasiswa
: ARDI NOVRA
Nomor Pokok
: A161020021
Program Studi
: Ekonomi Pertanian
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec. Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Anggota
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 19 Januari 2007
Tanggal Lulus: .......................................
Penulis adalah putra keempat dari delapan bersaudara pasangan H. Adlis Z dan Hj. (Alm) Baidalis, dilahirkan di Payakumbuh tanggal 26 November 1968. Pada tahun 1981 Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Payakumbuh dan tahun 1984 pendidikan Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SMP) Negeri
1 Payakumbuh serta pada tahun 1987
pendidikan Sekolah
Menengah Lanjutan Atas (SMA) Negeri 1 Payakumbuh. Pada tahun 1987 Penulis diterima melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi. Pada tahun 1994 diterima sebagai staf pengajar pada Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan tahun 1996 mendapat kesempatan mengikuti tugas belajar melalui beasiswa BPPS pada Program Magister (S-2) Ilmu Ekonomi Pertanian di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 2002 kembali mengikuti tugas belajar melalui beasiswa BPPS pada Program Doktor (S3) Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Penulis menikah dengan Evayanti dan dikarunia dua orang putra-putri yaitu Abivanny Ayutri Evardi (7 tahun) dan Abie Habibie Evardi (2 tahun).
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkah Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan disertasi program Doktor dengan judul “DAMPAK ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT”. Ucapan terima kasih atas suppor dan pengertian dari keluarga tercinta dan semua pihak yang telah ikut andil dalam memberikan berbagai saran dan kritik demi kesempurnaan laporan disertasi ini. Ucapan terima kasih diucapkan kepada: 1. Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, MEc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku anggota komisi pembimbing. Kepedulian dan rasa kekeluargaan yang telah Bapak-bapak berikan selama proses bimbingan disertasi merupakan modal utama bagi Penulis dalam menghadapi berbagai kendala mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Kuntjoro, Prof. Dr. Syafri Mangkuprawira dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc atas saran-saran selama Prelim II, serta Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MSc yang banyak memberikan masukan saat Ujian Tertutup.
3. Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah memberi kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada program Doktor (S3) Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB serta Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menuntut ilmu pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 5. Bapak/Ibuk staf pengajar khususnya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan menjadi dasar ilmiah dalam penyusunan disertasi ini. 6. Dr. Ir. Harry Santoso, MS, dan Dr. Ir. Kirsfianti Ginoga, MSc., selaku penguji luar komisi Ujian Terbuka, atas saran dan kesediaannya untuk membagi ilmu pengetahuan dan pengalaman guna perbaikan tulisan disertasi ini. 7. Direktorat Jenderal Pendidikan (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS program doktor (S-3) pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 8. Kepala dan Staf Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang telah dengan sepenuh hati membantu penyediaan data, terutama data hasil intepretasi citra landsat perkembangan tutupan hutan pada kawasan penyangga dan taman nasional. 9. Rekan-rekan Program Studi EPN khususnya angkatan 2002, Tim Hibah Pasca dan anggota IMPASJA (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana – Jambi) yang telah
memberikan bantuan dan masukan baik selama menempuh pendidikan maupun selama pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian disertasi ini. 10. Keluarga H. Saum dan Hendra Budiman sebagai tetanngga terdekat yang telah begitu banyak membantu keluarga Penulis serta pihak-pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuannya diucapkan terima kasih. Disertasi dan gelar Doktor ini Penulis persembahkan buat Ibunda Hj. Baidalis tercinta yang telah berpulang ke Rahmatullah ketika Penulis sangat membutuhkan dorongan serta kasih dan sayangnya. Illahi telah lebih dulu memanggil Bunda dan asa untuk mempersembahkan gelar tertinggi ini buat Bunda terasa sirna, tetapi Ananda sangat yakin di surga sana Bunda akan merasa bangga dan bahagia. Sekarang satu yang Ananda mohon, maafkan semua keterlambatan ini dan ketidak mampuan Ananda untuk memenuhi janji kepada Bunda guna menyaksikan Ananda menerima gelar pendidikan tertinggi ini. Buat Papa H. Adlis Z, kerja keras dan keyakinan Papa merupakan motivasi dan pendorong ketika ananda menghadapi berbagai kendala. Kerja keras Papa dan kelembutan Bunda telah menjadikan kami delapan saudara mampu meraih gelar sarjana dan bekal ilmu pengetahuan itu sekarang menjadi warisan yang paling berharga dalam kehidupan kami. Selanjutnya buat Papa (alm) H. Dinar dan Mama Hj. Lisdinar terima kasih atas doa dan pengertiannya yang telah diberikan selama ini. Buat Uni-uni (Erfi Raudhati, Yelly Hendri dan Yetma Hartati) serta
adik-adik (Yenny Adrianti, Jonmeri Akbar, Gottri Hidrayanti dan Yandi Febrinal) tercinta semoga gelar ini menjadi kebahagian kita bersama. Untuk yang teramat spesial dan selalu mendampingi Penulis dalam suka dan duka, isteri tercinta Evayanti dan ananda tersayang Abivanny Ayutri Evardi dan Abie Habibie Evardi. Ayahnda persembahkan disertasi ini untuk kalian dan semoga dengan ini kita bisa bersama memulai lagi langkah baru untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kemanjaan dan keusilan kalian dalam kebersamaan merupakan obat paling mujarab pelepas lelah dan menjadi motivasi Ayahnda untuk secepat mungkin memberikan yang terbaik bagi kalian. Semoga Allah, SWT melimpahkan berkah dan rahmahNya bagi kita semua dalam mencapai keluarga Sakinah, Mawadah dan Warrahmah, amin.
Bogor, Februari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………..………
vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………..………..
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………….……...
xiii
I. PENDAHULUAN Latar Belakang …..……………………….………………….
1
Perumusan Masalah ………………………….………………
4
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………….....…………..
9
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...........................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Taman Nasional ……………………………..
12
Perubahan Penggunaan Lahan dan Tutupan Hutan ………….
19
Faktor Penggerak Deforestasi ………………………………..
26
Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan …………………....
31
Penduduk dan Tenaga Kerja …………………………………
35
Studi Empiris Perubahan Penggunaan Lahan........................... Studi Empiris Deforestasi ........................................................
39 41
Studi Empiris Degradasi Taman Nasional dan Kawasan Lindung ....................................................................................
44
III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ....................................................................
48
Pembiayaan Pembangunan ..........................................
48
Perubahan Penggunaan Lahan .....................................
55
Penggunaan Lahan Pertanian ........................ Penggunaan Lahan Non-Pertanaian ............... Pilihan Komoditas Budidaya .......................................
57 59 60 i
Pendekatan Sub-Sistem .................................
61
Pendekatan Pasar ...........................................
62
Output dan Tenaga Kerja ..............................................
64
Degradasi Zona Penyangga dan Taman Nasional .........
66
Kerangka Operasional ……………………………..……….....
68
Sub-Model Alokasi Fiskal .............................................
68
Sub-Model Alokasi Kredit ........................................... Sub-Model Penggunaan Lahan ....................................
70 71
Sub-Model Pilihan Komoditas ......................................
73
Sub-Model Struktur Output ..........................................
74
Sub-Model Ekonomi dan Tenaga Kerja ........................
75
Sub-Model Degradasi Zona Penyangga dan Taman Nasional .......................................................... Hubungan Antara Sub-Model Penelitian .................................. Model Persamaan Struktural dan Metode Estimasi ..................
77 78 80
IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………….....
83
Jenis dan Sumber Data ……………………………………….
85
Spesifikasi Model ……………………………………………..
85
Blok Pengeluaran Pembangunan .................................. Blok Kredit ...................................................................
86 87
Blok Penggunaan Lahan ...............................................
88
Blok Pilihan Komoditas ................................................
91 94
Blok Struktur Output .................................................... Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja ................................. Blok Degradasi Zona Penyangga dan Taman Nasional
96 97
Identifikasi Model dan Metode Estimasi ……………………..
100
Validasi Model ……………………………………………....
101
Simulasi Dampak Kebijakan .....................................................
101
Simulasi Historis ..........................................................
101
Simulasi Peramalan ...................................................... ii
103 V. PERKEMBANGAN KAWASAN DAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT Perilaku Alokasi Pengeluaran Pemerintah dan Kredit Perbankan Kawasan .................................................................
106
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kawasan .................
107
Distribusi Kredit Perbankan Kawasan .........................
113
Pola Penggunaan Lahan Kawasan ...........................................
117
Pola Budidaya Komoditas Kawasan ........................................
127
Perkembangan Struktur Output Kawasan ................................
137 141
Perkembangan Ouput dan Sektor Tenaga Kerja Kawasan ...... Tingkat Degradasi Hutan Zona Penyangga dan Nasional....................................................................................
Taman 148
Ikhtisar .....................................................................................
152
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 Hasil Validasi Model ..............................................................
155
Evaluas Dampak Krisis dan Desentralisasi Fiskal .................
157
Evaluasi Dampak Kebijakan Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Prioritas .....................................
Sektor 161
Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan ...............................................................
166
Evaluasi Dampak Kombinasi Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dan Peningkatan Sektor Pembangunan Prioritas ..................................................................................
170
Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi ................
171
Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah .... ...................................................................
174
Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia ..
178
Kebijakan Kombinasi Realokasi Pengeluaran Rutin dan Sektor iii
Prioritas untuk Pembangunan Berkelanjutan ..............
181
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Berkelanjutan ........
182
Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Ekonomi ..
185
Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Sosial .......
189
Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Lingkungan .................................................................
192
Ikhtisar ....................................................................................
193
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 20072010 Ramalan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah ................
195
Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Periode Tahun 2007 – 2010 ....
198
Ramalan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan ............................
198
Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pem-bangunan Berkelanjutan pada Aspek Ekonomi..
202
Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pem-bangunan Berkelanjutan pada Aspek Sosial ......
205
Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pem-bangunan Berkelanjutan pada Aspek Lingkungan .................................................................
207
Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Tahun 2007 – 2010 ...........................
210
Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi .....................................................................
212
Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Sosial ..........................................................................
214
Ramalan
Dampak
Perubahan
Kecenderungan iv
Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Lingkungan.................................................................. Ikhtisar ...................................................................................
215 219
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan ..............................................................................
220
Implikasi Kebijakan .................................................................
221
Saran Penelitian Lanjutan .........................................................
222
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………
224
LAMPIRAN ……………………………………………………......
231
v
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perubahan Tutupan Hutan dan Laju Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat dan Zona Penyangga Tahun 1995 - 2001 .................
2
2. Penggunaan Lahan untuk Budidaya Masyarakat dalam Taman Nasional Kerinci Seblat Tahun 1992 ...............................................
3
3. Penyebaran Luas Taman Nasional Pada Masing-masing Kawasan di Indonesia ......................................................................................
16
4. Sebaran Luas TNKS untuk Masing-masing Region Berdasarkan Surat Pernyataan Mentan No. 736 Tahun 1982 dan Intepretasi Citra 2002 .........................................................................................
18
5. Pelaku Deforestasi dan Kaitannya dengan Deforestasi …………....
29
6. Pengaruh Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Laju Deforestasi ........................................................................................
29
7. Efek Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Ekspansi Penggunaan Lahan Menggunakan Pendekatan Sub-sisten dan Market ……………..........................................................................
63
8. Pengaruh Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Ekspansi Penggunaan Lahan Pertanian ………………………………….......
64
9. Metode Estimasi untuk Masing-masing Bentuk Sistem Persamaan.
82
10. Variabel Indikator dan Kriteria Umum yang Digunakan Dalam Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah .......
105
11. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah Sekitar TNKS Selama Periode Sentralisasi (1998 – 2000) dan Desentralisasi (2001 – 2003) ...................................................................................
108
12. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Sektor Pengeluaran Pembangunan ..............................................................
110
13. Perkembangan Nilai dan Alokasi Kredit pada Periode Sentralisasi dan Desentralisasi .............................................................................
114 vi
14. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Kredit Perbankan ..............................................................................
116
15. Perkembangan Penggunaan Lahan dan Laju Deforestasi Kawasan pada Periode Sentralisasi dan Desentralisasi ...................................
118
16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Kawasan ................................................................................
120
17. Hasil Estimasi Hubungan Antara Berbagai Jenis Bentuk Penggunaan Lahan ...........................................................................
126
18. Rataan dan Perkembangan Luas Areal Budidaya Tanaman Pangan (Lahan Basah dan Kering) pada Masing-masing Kawasan .............
128
19. Rataan dan Perkembangan Luas Areal Budidaya Tanaman Perkebunan pada Masing-masing Kawasan .....................................
129
20. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Pangan Kawasan ............................................................
132
21. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Perkebunan Kawasan .....................................................
133
22. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Perikanan Kawasan ........................................................
136
23. Perkembangan Nilai dan Pangsa Sub-sektor Pertanian dalam Pembentukan PDB Riel Masing-masing Kawasan ..........................
138
24. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Share SubSektor Pertanian Kawasan ................................................................
139
25. Perkembangan Indikator Ekonomi dan Tenaga Kerja Masingmasing Kawasan .....………………………………………………..
142
26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Output dan Output Perkapita Kawasan ............................................
144
27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Kawasan .................................................
146
28. Perkembangan Tutupan Hutan Zona Penyangga dan Taman Nasional Masing-masing Kawasan .................................................
149 vii
29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Degradasi Taman Nasional dan Zona Penyangga ............................................
150
30. Distribusi Indikator Kelayakan Model Berdasarkan Hasil Validasi Model Alokasi Pengeluaran Pemerintah .........................................
155
31. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Alokasi Pembiayaan Pembangunan .............…………...
158
32. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan .......................
159
33. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor Lain .....................
161
34. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Penyebaran Kredit Perbankan ..........................
162
35. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektoral Masing-masing Kawasan ..........................
163
36. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor-sektor Pembangunan ..................................................................................
167
37. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Terhadap Distribusi Kredit Perbankan ....................
168
38. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan pada Masing-masing Kawasan ................................
169
39. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan ..................................................................................
171
40. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan ..............................................................................
172
41. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan .............................................................
175
viii
42. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan ...................................................
176
43. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan .............................................................
178
44. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan ...............................................................
179
45. Perubahan dan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan ...........................................................
183
46. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Struktur Perekonomian Kawasan ..........................................................................................
186
47. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Pasar Output .....................
187
48. Hubungan Antara Struktur Output dengan Laju Pertumbuhan Output dan Output Perkapita Kawasan Pada Pembangunan Berkelanjutan ..................................................................................
188
49. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Pasar Tenaga Kerja Kawasan ..........................................................................................
190
50. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Permintaan Sumberdaya Lahan dan Hutan Kawasan .............................................................
192
51. Ramalan Perkembangan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Pada Periode Tahun 2004 – 2010 ............................................................
195
52. Ramalan Perkembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tanpa Perubahan Kebijakan Periode Tahun 2004 – 2010 .........................
197
53. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan .............................................................
198
ix
54. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tahun 2007 – 2010 .........................................................................
200
55. Ramalan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2007 – 2010 ....
201
56. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Struktur Perekonomian Kawasan Tahun 2007 – 2010 .........................................................................
203
57. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Pasar Output Kawasan Tahun 2007 – 2010 .....................................................................................
204
58. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Pasar Tenaga Kerja Kawasan Tahun 2007 – 2010 .........................................................................
206
59. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Berkelanjutan Terhadap Deforestasi Kawasan dan Degradasi Zona Penyangga Tahun 2007 – 2010 ..............................................
207
60. Ramalan Dampak Peningkatan Realokasi Rutin Terhadap Alokasi Pengeluaran Pembangunan Masing-masing Sektor ........................
211
61. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi Tahun 2007 – 2010 ..............
212
62. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Sosial Tahun 2007 – 2010 ...................
214
63. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Lingkungan Tahun 2007 – 2010 .........
216
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Bagan Alir Hipotesis Pengambilan Keputusan dalam Lembaga Pelestraian Alam ...................................................................................
17
2. Struktur Organisasi Pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat ...........
19
3. Faktor Pendorong Perubahan Penggunaan Lahan ................................
24
4. Kekuatan Penggerak Deforestasi ..........................................................
28
5. Proses Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indoensia .........................
30
6. Hubungan Antara Perekonomian dan Kondisi Lingkungan ……….....
33
7. Kerangka the Future Agricultural Resources Model …………………
34
8. Skema Keadaan Penduduk Suatu Negara Dengan Segala Potensinya Untuk Menghasilkan ………………….…………………...................
36
9. Hubungan Antara Tiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ..............
48
10. Klasifikasi Alokasi Kredit Perbankan dalam Penelitian ......................
54
11. Penentuan Total Jasa Tenaga Kerja Tersedia ………………………..
66
12. Kerangka Konseptual Penyebab Deforestasi .......................................
67
13. Klasifikasi Alokasi Pengeluaran Pembangunan dalam Penelitian .......
69
14. Kerangka Operasional Sub-model Alokasi Pengeluaran Pembangunan ………………………………………………………...
70
15. Kerangka Operasional Sub-model Alokasi Kredit …………………..
71
16. Kerangka Operasional Sub-Model Dinamika Pola Penggunaan ..........
72
17. Kerangka Operasional Sub-Model Pilihan Komoditas ........................
74
18. Kerangka Operasional Sub-Model Ekonomi dan Tenaga Kerja ..........
77
xi
19. Kerangka Operasional Sub-Model Degradasi Taman Nasional ...........
78
20. Hubungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan dan Kredit Perbankan dengan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat ..............................
79
21. Hubungan Antar Blok dan Variabel dalam Penelitian .........................
101
22. Pola Konversi Hutan dan Penggunaan Lahan ………………………..
127
23. Hubungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan dan Degradasi Hutan Taman Nasional ...................................................................................
153
24. Elastisitas Output Terhadap Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja .....................................................................................................
191
25. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Taman Nasional Tahun 2007 – 2010 ............
209
26. Ramalan Respon Degradasi Taman Nasional Terhadap Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan ...........................
211
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Jenis Variabel Pada Penelitian Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah .....................................................................................
232
2. Data Perkembangan Variabel Sosial, Ekonomi dan Lingkungan dalam Penelitian .............................................................................
236
3. Program Estimasi Blok Alokasi Pengeluaran Pembangunan Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) .
245
4. Program Estimasi Blok Alokasi Penggunaan Lahan Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR).
246
5. Program Estimasi Blok Pilihan Komoditas Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) ……………….
248
6. Program Estimasi Blok Struktur Output Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) ......................................
250
7. Program Estimasi Blok Alokasi Kredit, Ekonomi dan Tenaga Kerja serta Degradasi Taman Nasional Menggunakan Metode Two Stage Least Squares (2SLS)...................................................
252
8. Hasil Estimasi Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) dan Two Stage Least Squares (2SLS) ............................................
254
9. Program Simulasi Dampak Kebijakan Pembiayaan Pembangunan Terhadap Degradasi Taman Nasional ....................
295
10. Hasil Validasi Model Ekonometrika ..............................................
304
11. Hasil Simulasi Dampak Krisis dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perkembangan Kawasan dan Taman Nasional ..............
307
12. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Bengkulu ..........
310
13. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Jambi ................
313 xiii
14. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Sumatera Barat .
316
15. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2004 – 2010 Menggunakan Metode Stepart Trend 2 .........................................
319
16. Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2004 – 2010 Menggunakan Metode Stepart Trend 2 .........................................
322
17. Program Simulasi Peramalan Variabel Endogen Tahun 2004 – 2010 Menggunakan Prosedur SIMNLIN .......................................
326
18. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Bengkulu Tahun 2007 – 2010 ............................................................................................
333
19. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Jambi Tahun 2007 – 2010 ...............................................................................................
337
20. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Sumatera Barat Tahun 2007 – 2010 ...................................................................................
341
xiv
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Taman Nasional (National Park) merupakan kawasan lindung untuk tujuan konservasi ekosistem dan rekreasi atau secara lebih luas berarti gabungan sistem dalam pengelolaan suaka alam, taman wisata, taman laut, sampai kepada pengelolaan hutan produksi dengan manajemen yang terpadu. Taman nasional berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 bersama dengan taman hutan raya dan taman wisata alam ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya (Dirjen PHPA, 2002). Luas taman nasional di Indonesia mencapai 15 juta Ha dan berdasarkan fungsinya terbagi dua yaitu 75.49% berupa taman nasional daratan dan sisanya 24.51% berupa taman nasional laut (GOI, 1985). Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan penggabungan dari kawasan-kawasan Cagar Alam Inderapura dan Bukit Tapan, Suaka Margasatwa Rawasa Huku Lakitan-Bukit Kayu Embun dan Gedang Seblat. Hutan lindung dan produksi terbatas di sekitarnya berfungsi sebagai hidro-orologis dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi DAS Batanghari, DAS Musi dan DAS wilayah Pesisir Bagian Barat yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan air bagi hidup dan kehidupan jutaan orang. Bertepatan dengan Kongres Taman
2
Nasional Sedunia di Bali pada tanggal 4 Oktober 1982 gabungan kawasan tersebut dideklarasikan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat. TNKS ditetapkan berdasarkan SK. Menhur No. 901/Kpts-II/95 tanggal 14 Oktober 1995 dan merupakan rangkaian pegunungan Bukit Barisan Selatan. Luas taman nasional ini mencapai 1.37 juta Ha dan tersebar pada 4 provinsi yaitu Sumatera Barat 353.78 ribu Ha (25.86%), Jambi 422.19 ribu Ha (30.86%), Bengkulu 310.91 ribu Ha (22.73%), dan Sumatera Selatan 281.12 ribu Ha (20.55%). Perkembangan sosial ekonomi wilayah sekitar menyebabkan tekanan terhadap taman nasional meningkat, sehingga degradasi tidak hanya terjadi pada zona penyangga (buffer zone), tetapi juga kawasan taman nasional. Selama kurun waktu 1995 - 2001 tutupan hutan kedua areal ini berkurang sebesar 21.69 ribu Ha dengan laju degradasi 0.16% pertahun seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan Tutupan Hutan dan Laju Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat dan Zona Penyangga Tahun 1995 sampai 2001 No
Lokasi
1
Taman Nasional
2
Zona Penyangga
Total
Luas Tutupan Hutan (Ha) 1995 2001 1 268 610 1 249 390
Degradasi Pertahun Ha % 3 203 0.04
975 637
864 721
18 486
0.32
2 244 247
2 114 111
21 689
0.16
Sumber: Laporan Tahunan Balai TNKS (2003)
Areal taman nasional yang mengalami degradasi ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang sebagian besar petani tradisional untuk pemukiman dan budidaya perkebunan seperti karet, kulit manis, kopi dan cengkeh. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (1992) komoditas utama yang dibudidayakan oleh masyarakat adalah tanaman kulit manis yang mencapai 24.93 ribu Ha atau
3
sekitar 48.95% dari kawasan non-hutan di dalam kawasan TNKS. Luas lahan terdegradasi yang dimanfaatkan untuk budidaya mencapai 50.02 ribu Ha atau 3.71% dari luas TNKS dengan pola penggunaan lahan dan jenis komoditas seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Penggunaan Lahan untuk Budidaya Masyarakat di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat Tahun 1992 No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Pemukiman Sawah Kebun Campuran Tegalan Ladang Perkebunan a. Kopi b. Karet c. Kulit Manis d. Cengkeh, Jahe, Kelapa Sawit dll
Proporsi (%)
154 3 923 2 560 1 684 1 448
0.31 7.81 5.10 3.36 2.88
4 134 3 381 24 395 6 678
8.24 6.73 48.59 13.31
7 Tebangan 1 846 JUMLAH 50 203 Sumber: Badan Pertanahan Nasional (1992) dalam Balai TNKS (1995).
3.67 100.00
Kebijakan pembangunan daerah yang tidak seimbang baik antar sektor maupun wilayah, menjadi salah satu penyebab tidak terkendalinya eksploitasi sumberdaya lahan. Pertumbuhan output dengan distribusi output yang tidak merata menyebabkan konsentrasi kemiskinan pada sektor pertanian (pedesaan), kebutuhan pendidikan dasar masyarakat yang tidak terpenuhi sampai pada penegakan hukum menjadi pendorong terjadi ekspansi lahan pada kawasan sekitar taman nasional. Kebijakan alokasi sumberdaya yang bijaksana dan berimbang termasuk pengeluaran pemerintah daerah diperlukan untuk mengintegrasikan upaya-upaya penyediaan
peningkatan kesempatan
kesejahteraan, kerja,
serta
pemerataan
pelestarian
pembangunan
lingkungan.
dan
Kebijakan
4
pembangunan daerah diharapkan memperhatikan aspek efisiensi (efficiency), dampak sosial ekonomi (social and economic impact), dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Aspek efisiensi yaitu alokasi sumberdaya lahan untuk berbagai alternatif penggunaan, aspek dampak sosial dan ekonomi yaitu dampak pembangunan terhadap masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya alam dan aspek keberlanjutan ekologi yaitu keterkaitan penggunaan lahan dengan ekosistem sekitarnya (World Bank, 1997). Berdasarkan hal tersebut di atas dan didukung dengan adanya komitmen pelestarian TNKS dan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal maka perlu dilakukan suatu analisis model alokasi pembiayaan pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa menyebabkan tekanan lebih besar terhadap Taman Nasional Kerinci Seblat. Perumusan Masalah Undang-undang No. 33 tahun 2004 (revisi UU. No 22 tahun 1999) memberikan wewenang fiskal lebih besar bagi daerah. Implementasi dari kebijakan desentralisasi fiskal yang mulai efektif pada tahun 2001 memberikan perubahan berarti dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Pada sisi penerimaan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang digunakan sebagai indikator keberhasilan
pembangunan
menyebabkan
tekanan
lebih
besar
terhadap
sumberdaya lahan termasuk kawasan konservasi. Wewenang besar dalam pengelolaan hutan yang tidak diiringi perbaikan dalam manajemen pembangunan, serta lebih berorientasi pada peningkatan PAD berpotensi mendorong terjadinya eksploitasi
sumberdaya
secara
berlebihan.
Hal
ini
terinidikasi
dengan
5
meningkatnya konversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain terutama untuk budidaya dan meningkatnya degradasi berbagai kawasan konservasi. Pada sisi pengeluaran, peningkatan pengeluaran rutin yang tinggi menyebabkan semakin tidak seimbangnya rasio antara pengeluaran rutin dan pembangunan. Alokasi pengeluaran pembangunan mengalami penurunan dari 40.29% tahun 1994 menjadi 28.95% tahun 2003, dan kondisi ini mengindikasikan semakin
menurunnya
stimulus
pembangunan
oleh
pemerintah
daerah.
Perekonomian daerah tidak dapat bekerja sesuai dengan kapasitasnya sehingga pertumbuhan output tidak mampu menutupi meningkatnya pertumbuhan tenaga kerja sehingga pengangguran semakin meningkat. Tingkat kesejahteraan yang rendah dan semakin tingginya tingkat pengangguran terbuka membuka peluang terjadinya eksploitasi sumberdaya lahan yang tidak terkendali. Masalah lain pada sisi pengeluaran pemerintah daerah adalah belum responsifnya pengambil kebijakan dalam penyusunan anggaran pembangunan, karena masih mengacu pada pola anggaran semasa periode sentralisasi. Kewenangan lebih besar dalam fiskal belum dimanfaatkan untuk mengalokasikan anggaran agar lebih responsif dan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi daerah bersangkutan. Orientasi ekonomi jangka pendek dalam alokasi pengeluaran pembangunan masih dominan dibanding dengan sosial dan ekologi. Kondisi ini juga menjadi penyebab tidak optimalnya pertumbuhan output dan sering menciptakan berbagai masalah sosial dan lingkungan seperti distribusi output antar sektor dan wilayah yang tidak merata, tingginya tingkat
6
pengangguran terbuka dan ekspansi lahan yang mendorong terjadinya deforestasi atau konversi kawasan hutan. Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi serta rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk melakukan praktek eksploitasi sumberdaya hutan secara ilegal. Perilaku yang didorong oleh pihak luar sebagai pemilik modal ini tidak hanya terjadi pada zona penyangga tetapi juga dalam kawasan taman nasional berupa pembalakan dan pengumpulan hasil hutan seperti rotan dan gaharu yang dapat dilakukan secara terorganisasi dan individual. Degradasi hutan akibat aktivitas ini menyebabkan semakin menurunnya luas tutupan hutan pada kawasan TNKS dan zona penyangganya. Pada sisi lain ekspansi perkebunan skala besar akibat adanya insentif pemerintah menyebabkan semakin tingginya konversi hutan
dan
mengurangi
aksesibilitas
masyarakat
lokal
terhadap
hutan.
Berkurangnya aksesibilitas terhadap lahan, rendahnya pengetahuan dan tidak tersedianya kesempatan kerja alternatif menjadi faktor pendorong berbagai aktivitas eksploitasi sumberdaya hutan pada areal taman nasional (ICDP, 2002). Peningkatan laju degradasi kawasan konservasi ini mendorong berbagai pihak termasuk pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya merupakan kawasan TNKS untuk bekerjasama. Kerjasama ini diawali dengan ditandatangani 11 butir nota kesepakatan pelestarian TNKS tanggal 27 Pebruari 2002 di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci dengan disaksikan Menteri Negara Lingkungan Hidup, serta anggota DPRD 4 provinsi dan 9 kabupaten. Salah satu butir dalam kesepakatan adalah bahwa pelestarian TNKS harus sejalan dengan upaya peningkatan
7
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan mengurangi
ketergantungan
mereka
terhadap
sumberdaya
lahan
dan
meminimalisir pengaruh pihak luar dalam eksploitasi sumberdaya hutan seperti pembalakan liar di dalam kawasan taman nasional. Implementasi dari kesepakatan mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi ini perlu didukung dengan peningkatan peran pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan termasuk dalam alokasi sumberdaya pembangunan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah yang mampu mendorong transformasi struktural guna mengurangi ketergantungan yang tinggi terhadap lahan. Ketergantungan ini terlihat dari ratarata pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja kawasan selama periode 1994 – 2003 yang mencapai 41.56% dan 71.06%. Transformasi struktural perekonomian akan lebih efektif mendukung kebijakan pemerintah dalam pembangunan kawasan konservasi yang merupakan bagian tidak terpisah dari pembangunan regional dan implementasinya membutuhkan koordinasi dan kerjasama pihak terkait (Dirjen PHPA dalam FWI/GFW, 2001). Konsep pelestarian kawasan konservasi secara bijaksana pada hakekatnya mengandung dua prinsip utama, yaitu kebutuhan akan rencana pengelolaan berdasarkan inventarisasi yang akurat, dan kebutuhan akan upaya perlindungan guna menjamin kelestarian sumberdaya tersebut. Pemberdayaan masyarakat sekitar melalui berbagai program dan proyek pembangunan yang lebih bersifat jangka pendek baik melalui anggaran pemerintah pusat (domestik), maupun bantuan luar negeri selama ini ternyata belum efektif karena jangkauan dampak
8
kegiatan tidak luas dan berkelanjutan. Untuk itu dalam jangka panjang dibutuhkan suatu alokasi pengeluaran pemerintah yang lebih berimbang antara aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Perimbangan pengeluaran rutin dan pembangunan, serta antar sektor pengeluaran pembangunan diharapkan mampu menghasilkan pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development), sehingga pelestarian kawasan konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terintegrasi. Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hubungan antara alokasi pengeluaran pemerintah daerah dengan deforestasi kawasan dan degradasi TNKS?. 2. Bagaimanakah dampak perubahan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi TNKS?. 3. Bagaimanakah alokasi pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan kawasan yang terintegrasi dengan upaya pelestarian TNKS?. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk menganalisis dampak alternatif kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi hutan TNKS. Secara khusus penelitian bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi perilaku dan pengaruh alokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi hutan TNKS. 2. Mengevaluasi dampak perubahan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi hutan TNKS.
9
3. Memilih suatu alternatif alokasi pengeluaran pemerintah daerah yang mampu memberikan keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. 4. Meramalkan dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah yang berimbang antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan di kawasan sekitar TNKS. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan acuan bagi semua pihak terutama pemerintah daerah dalam mencegah degradasi taman nasional sebagai dampak negatif dari perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Hasil penelitian juga diharapkan mampu mendorong semakin terjalinnya koordinasi pengelolaan taman nasional baik antar pemerintah daerah, maupun
antara
pemerintah dan manajemen taman nasional serta pihak terkait lain. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup yang menjadi batasan pembahasan dalam penelitian didasarkan pada definisi istilah teknis yang digunakan, yaitu: 1. Pengeluaran Pemerintah Daerah mencakup pengeluaran rutin yang digunakan untuk belanja pegawai, barang dan lainnya, pemeliharaan dan perjalanan dinas serta bantuan keuangan dan pengeluaran lain, dan pengeluaran pembangunan yang berdasarkan Publikasi Statistik Keuangan Daerah terdiri atas 21 sektor, tetapi dalam penelitian diagregasi menjadi 10 sektor pengeluaran. 2. Deforestasi merupakan penebangan tutupan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk penggunaan lainnya, sehingga lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak
10
karena pada prinsipnya pohon-pohon masih mungkin akan tumbuh kembali (FAO, 1996 dalam FWI/GWF, 2001). Deforestasi dalam penelitian diasumsikan hanya setelah lahan dikonversi secara permanen guna kepentingan lain yang bukan hutan, sehingga digunakan data penggunaan lahan sebagai proksi luas hutan kawasan. 3. Kawasan merupakan wilayah yang berada di luar taman nasional termasuk zona penyangga, sehingga memungkinkan terjadinya deforestasi berupa konversi hutan untuk penggunaan lain (alih fungsi hutan), dan degradasi hutan berupa perubahan tutupan hutan. 4. Degradasi hutan merupakan suatu penurunan kerapatan pohon dan/atau meningkatnya kerusakan hutan yang menyebabkan hilangnya hasil-hasil hutan dan berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan (FAO, 1996 dalam FWI/GWF, 2001). Pada penelitian degradasi hutan diukur menggunakan data perkembangan luas tutupan hutan pada taman nasional dan zona penyangga hasil intepretasi citra landsat, dan tidak mencakup layanan ekologi hutan. 5. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan kawasan hutan konservasi yang dirancang untuk perlindungan hidupan liar atau habitatnya, dan secara resmi tidak dapat dikonversi secara permanen menjadi penggunaan lain. Penelitian menggunakan data pool yaitu gabungan cross section pada tiga kawasan (provinsi) hasil agregasi dua kabupaten, yaitu Provinsi Jambi (Kerinci dan Sarolangun Bangko), Sumatera Barat (Solok dan Pesisir Selatan), dan Bengkulu (Rejang Lebong dan Bengkulu Utara) dan time series dengan rentang waktu 1994 - 2003. Pemilihan kawasan didasarkan atas beberapa pertimbangan
11
seperti persepsi tentang pemanfaatan zona penyangga dan tingkat ancaman terhadap taman nasional. Pemilihan tahun didasarkan pada tiga periode yang mempengaruhi perkembangan kawasan yaitu periode sebelum krisis (1994 – 1996), krisis ekonomi dan sebelum desentralisasi (1997 – 2000) dan periode desentralisasi (2001 – 2003). Keterbatasan dalam penelitian terutama berkaitan dengan ketersediaan data antara lain: 1. Hasil interpretasi citra dengan menggunakan metode berbeda antara tahun pengamatan menyebabkan terjadi perbedaan luas tutupan hutan kawasan, dan mengatasi hal tersebut dilakukan penyesuaian data menggunakan proporsi. 2. Peta citra landsat yang ada hanya pada tahun 1985, 1995, 1998, 2000, 2001 dan 2002, sehingga untuk mengisi data tahun kosong dilakukan interpolasi data dengan menggunakan metoda trend sesuai periode penelitian. 3. Data anggaran pemerintah pusat dan lembaga donor lainnya tidak tersedia lengkap dan dapat didisagregasi perkawasan, sehingga pembahasan penelitian lebih fokus pada angaran pemerintah daerah yang pengaruhnya bersifat tidak langsung terhadap taman nasional. 4. Variabel penjelas dalam persamaan degradasi taman nasional masih terbatas pada variabel makro dan kurang mengambarkan variabel mikro, sehingga digunakan asumsi bahwa pembangunan daerah juga akan mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi masyarakat sekitar taman nasional.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perkembangan Taman Nasional Penetapan kawasan cagar alam, hutan lindung, taman nasional, dan taman
laut merupakan wujud dari upaya pelestarian sumberdaya alam hayati. Penentuan cagar alam dapat bersifat botanis, faunis dan estetis yang menonjolkan keindahan alam, tetapi pada kenyataannya tidak ada pemisahan tegas, dan biasanya dimana fauna dilindungi maka habitatnya berupa berbagai flora dan alam sekitarnya juga terlindungi dengan sendirinya. Pada saat ini terdapat lebih dari 2.6 ribu kawasan lindung di dunia yang meliputi daerah hampir seluas 4 juta km2 pada 124 negara (McKinnon et al., 1993). Selama tahun 1970an, jumlah kawasan lindung meningkat 46% dengan total luas kawasan meningkat lebih 80% yang sebahagian besar terdapat di negara-negara tropika (Harrison et al., 1984). Kawasan lindung berdasarkan kategori IUCN (World Conservation Union) dapat diklasifikasikan atas enam kategori yaitu: 1. Cagar Alam yaitu kawasan lindung yang dikelola khususnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dan Suaka Alam yaitu kawasan lindung yang dikelola khusus untuk perlindungan alam, 2. Taman Nasional yaitu kawasan lindung yang dikelola khusus untuk konservasi ekosistem dan rekreasi, 3. Monumen Alam yaitu kawasan lindung yang dikelola untuk kepentingan ciriciri alami suatu kawasan,
13
4. Kawasan Pengelolaan Habitat/Species yaitu kawasan lindung yang dikelola khususnya untuk konservasi melalui intervensi pengelolaan, 5. Kawasan Perlindungan Alam/Laut yaitu kawasan lindung yang dikelola khusus untuk konservasi dan rekreasi laut/alam dan 6. Kawasan Perlindungan Pengelolaan Sumberdaya Alam yaitu yaitu kawasan lindung yang dikelola untuk pemanfaatan ekosistem alam secara lestari. Hutan konservasi adalah hutan yang dirancang untuk perlindungan hidupan liar atau habitatnya, biasanya berada dalam taman-taman nasional dan kawasan-kawasan lindung lainnya, sedangkan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditujukan untuk menjalankan fungsi-fungsi lingkungan, khususnya untuk memelihara tutupan vegetasi dan stabilitas tanah pada lereng-lereng curam dan melindungi daerah aliran sungai (FWI/GWF, 2001). Taman nasional berarti gabungan sistem pengelolaan suaka alam, taman wisata, taman laut, sampai kepada pengelolaan hutan produksi dengan manajemen terpadu, dan berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 bersama dengan taman hutan raya dan taman wisata alam ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam. Kawasan-kawasan ini berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya. Kriteria dan batasan serta pengertian sebuah taman nasional menurut Dirjen PHPA (2002) adalah sebagai berikut: •
Suatu taman nasional harus cukup luas dan mempunyai sumberdaya alam yang khas dan unik baik flora, fauna, ekositem, maupun gejala alam yang masih murni, utuh dan asli.
14 •
Tidak terjadi perubahan, baik yang disebabkan kegiatan eksploitasi, maupun pemukiman penduduk, dengan pengelolaan dibawah kebijakan dan sistem suatu departemen berkompeten dan bertanggungjawab.
•
Memberikan kesempatan bagi pengembangan objek wisata alam, sehingga terbuka untuk umum dengan persyaratan khusus, seperti untuk tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya, bina cinta alam, dan rekreasi.
•
Wisata alam adalah bentuk kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan tata lingkungan, serta memiliki potensi dan daya tarik bagi wisatawan dan untuk upaya pembinaan cinta alam, baik dalam keadaan alami maupun setelah budidaya. Pola kegiatan yang diijinkan dalam kawasan ini adalah pariwisata, pendidikan, penelitian, kebudayaan dan cinta alam.
•
Konservasi adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara bijaksana, berdasarkan prinsip kelestarian dan jaminan kesinambungan persediaan, serta dipelihara untuk peningkatan kualitas dan keragamannya.
•
Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati dalam alam bersama-sama dengan unsur non-hayati yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Ekosistem adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non-hayati yang saling tergantung dan saling mempengaruhi.
•
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik darat maupun perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, serta satwa dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistem.
15 •
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik darat maupun perairan dengan fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistem.
•
Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas tumbuhan, satwa, dan ekosistem serta perkembangannya diserahkan kepada alam.
•
Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang kelangsungan hidupnya dapat dilakukan melalui pembinaan habitatnya.
•
Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri atas zona inti dan zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi, dan pendidikan.
•
Hutan wisata adalah kawasan hutan yang disebabkan keadaan dan sifat wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan tujuan untuk pengembangan pendidikan/penyuluhan, rekreasi, dan olah raga. Taman Nasional memiliki peran sebagai wahana pendidikan, ilmu
pengetahuan/teknologi, penelitian, budaya, penunjang budidaya, rekreasi dan pariwisata alam, dan menurut (Mc Kinnon et al, 1993) dibagi atas beberapa bagian dengan tujuan pemanfaatan berbeda, yaitu; •
Daerah inti adalah kawasan yang memiliki kemurnian flora dan fauna alamiah, sehingga tidak boleh diganggu kecuali untuk kegiatan penelitian.
•
Daerah rimba adalah kawasan hutan yang berfungsi sebagai pelindung daerah inti dari kerusakan, dan berfungsi hanya sebagai kawasan lindung.
16
Daerah pemanfaatan merupakan daerah yang dipersiapkan sebagai daerah
•
wisata. Daerah penyangga adalah kawasan hutan bagian luar taman nasional yang
•
dapat dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, atau hutan produksi. Luas total taman nasional di Indonesia sampai Agustus 2002 mencapai 15.03 juta Ha dan penyebarannya berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penyebaran Luas Taman Nasional Pada Masing-masing Kawasan di Indonesia Luas
No
Kawasan
1
Sumatera
9
3 711 517.87
24.70
2
Sulawesi
6
2 631 139.00
17.51
3
Kalimatan
7
3 177 259.00
21.14
4
Maluku dan Irian
4
4 561 910.00
30.36
5
Jawa, Bali dan Nusteng
15
946 578.18
6.30
41
15 028 404.05
100.00
Total (Indonesia)
Jumlah (unit)
Ha
%
Sumber: Hasil olahan data Departemen Kehutanan RI. 2003.
Hal-hal administratif yang berkaitan dengan kawasan yang dilindungi menurut McKinnon et al, (1993) mencakup organisasi administrasi dengan tipe organisasi yang bervariasi sesuai dengan luas, kebutuhan dan tujuan pelestarian, posisi otoritas pengelola kawasan yang dilindungi dalam pemerintahan, struktur administrasi
otorita pengelola kawasan, dan prosedur organisasi. Perluasan
peranserta dan kerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung memerlukan kerjasama antar lembaga, perluasan peranserta kelompok dari luar, kerjasama
17
dengan otorita setempat dan memperkuat hubungan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta keterlibatan masyarakat setempat. Proses pengambilan keputusan dalam upaya pelestarian alam disajikan pada Gambar 1. PEMERINTAH MENTERI
Konvensi Internasional Opini Masyarakat
DIREKTORAT
Badan Pemerintah Lain
KEPUTUSAN
Urutan Keputusan Utama (Strategis)
Keterbatasan Ekonomi
Keterbatasan Kebijakan Politik Urutan Keputusan Kedua (Koordinasi)
Urutan Keputusan Ketiga (Proteksi)
REGIONAL
Kawasan yang dilindungi
Keterangan: → = Keputusan + Arahan = Pertukaran Informasi
Sumber:
PAKAR
PENJAGA
PERMASALAHAN
→
= Tindakan + Penerapan = Rekomendasi
Bell (1983) dalam MacKinnon et al. (1993)
Gambar 1. Bagan Alir Hipotesis Pengambilan Keputusan dalam Lembaga Pelestarian Alam Secara geografis kawasan TNKS terletak pada posisi 1005’ - 3027’ Lintang Selatan, dan 100035’-102045’ Bujur Timur dan secara administratif terletak pada 4 provinsi dan 9 kabupaten. Luas TNKS mencapai 1.48 juta Ha berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/1982, ternyata
18
sangat berbeda dengan hasil intepretasi citra landsat 2003. Perbandingan luas dan proporsi untuk masing-masing provinsi/region antara SP Mentan 1982 dan intepretasi citra landsat 2002, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran Luas TNKS untuk Masing-masing Region Berdasarkan Surat Pernyataan Mentan No. 736 Tahun 1982 dan Intepretasi Citra 2002 No.
REGION
SP Mentan 1982 Luas (Ha)
Proporsi (%)
Interpretasi Citra 2002 Luas (Ha)
Proporsi (%)
1
Jambi
588 460
39.64
417 603
30.89
2
Sumatera Barat
375 930
25.32
346 356
25.62
3
Sumatera Selatan
310 580
14.12
246 079
18.20
4
Bengkulu
209 680
20.92
342 004
25.30
JUMLAH
1 484 650
100.00
1 352 042
100.00
Sumber: Balai TNKS (2005).
Perubahan strutur dalam organisasi pada Balai Taman Nasional Kerinci Seblat berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 dibagi atas empat region masing-masing dipimpin oleh kepala areal konservasi, yaitu areal konservasi I untuk Provinsi Jambi di Bangko (Merangin), areal konservasi II untuk Bengkulu di Curup (Rejang Lebong), areal konservasi III untuk Provinsi Sumatera Barat di Painan (Pesisir Selatan) dan areal konservasi IV untuk Provinsi Sumatera Selatan di Lubuk Linggau (ICDP, 2002). Masingmasing areal konservasi ini terbagi dalam rayon yang membawahi beberapa kabupaten dan pimpinan setiap rayon ditunjuk oleh Kepala Balai Taman Nasional seperti disajikan pada Gambar 2.
19
MANAJEMEN TAMAN KEPALA ADMINISTRASI
KOORDINATOR PERSONIL
KOORDINATO R HUKUM
KOORDINATOR EKOTURISME
Regional I Seksi Konservasi Provinsi Jambi
Sumber:
KOORDINATOR PROTEKSI
Regional II Seksi Konservasi Provinsi Bengkulu
KOORDINATOR PERENCANAAN & MANAJEMEN DATA
STAF FUNGSIONAL
KOORDINATOR FINANSIAL
KOORDINATOR FASILITAS DAN PERLENGKAPAN
KOORDINATOR PENDIDIKAN KONSERVASI DAN INFORMASI
Regional III Seksi Konservasi Provinsi Sumsel
Regional IV Seksi Konservasi Provinsi Sumbar
ICDP (2002)
Gambar 2. Struktur Organisasi Pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat
2.2.
Perubahan Penggunaan Lahan dan Tutupan Hutan Menurut FAO (1996) lahan (land) didefinisikan sebagai suatu areal
permukaan bumi yang secara komprehensif dan terintegrasi mengacu pada suatu kesatuan yang luas dari sumberdaya alam, yaitu berupa suatu profil atmosfir di atas permukaan sampai beberapa meter di bawah permukaan daratan. Atribut utama sumberdaya alam terdiri dari iklim, jenis lahan, tanah, air, vegetasi dan fauna (Wolman, 1987). Definisi yang lebih terinci dan holistik yang sering digunakan berasal dari dokumen Convention to Combat Desertification, yang menyatakan bahwa lahan adalah seluruh areal yang berada di atas dan bawah permukaan teresterial bumi termasuk permukaan tanah, air (danau, sungai, dan rawa), lapisan sedimentasi, dan terkait dengan cadangan sumber air tanah,
20
populasi hewan dan tumbuhan, perkampungan manusia dan hasil pengolahan fisik dan aktivitas manusia masa lalu dan sekarang (terasering, cadangan atau struktur drainase air jalan dan bangunan) (FAO 1995). Hoover and Giarratani (1984) menyatakan bahwa lahan merupakan suatu ruang dengan kualitas lahan mencakup berbagai atribut topografi, struktur, pertanian, dan kekayaan mineral yang ada di dalamnya, kemampuan menyediakan udara dan air bersih, serta sejumlah karakteristik iklim seperti kesejukan, penampilan estetika dan lain-lain. Agenda 21 Bab 10 menyatakan bahwa definisi lahan yang biasa digunakan adalah suatu entitas fisik yang terkait dengan topografi dan ruang alami yang sering berhubungan dengan nilai ekonomi dan diekspresikan dalam harga yang terbentuk pada suatu transfer kepemilikan (FAO 1995). Lahan sebagai sumberdaya merupakan faktor input yang dapat dikombinasikan dengan faktor lain guna memproduksi barang atau jasa (Hartwick dan Olewiler, 1986). Isu penting dalam pengelolaan sumberdaya lahan di Indonesia adalah hampir seluruh lahan yang cocok untuk pertanian telah dimanfaatkan untuk aktivitas usaha tani, dan areal hutan tersisa hanya pada dataran tinggi dan daerah yang ditujukan untuk konservasi. Konversi lahan hutan dan lahan sekitar aliran sungai untuk dijadikan areal budidaya pertanian terutama oleh petani yang tidak memiliki lahan (World Bank, 1994). Sumberdaya lahan di Indonesia dengan luas sekitar 202 juta Ha pada tahun 1985, terdiri dari 56.4% (114 juta Ha) merupakan
21
hutan dan sisanya 43.6% (88 juta Ha) merupakan lahan pertanian, padang rumput, rawa dan lainnya (Badan Litbang Pertanian, 1985 dalam Puslittan, 1993). Studi perubahan penggunaan lahan tidak selalu berkaitan dengan definisi kondisi lahan, perubahan penggunaan dan tutupan lahan, tetapi lebih bervariasi sesuai dengan aplikasi dan konteks yang digunakan (Briassoulis, 2004). Penggunaan lahan (land use) dan tutupan lahan (land cover) bukan dua hal yang sama (synonymous) dan berdasarkan berbagai literatur perbedaan definisi ini tergantung pada kebutuhan studi tentang perubahan penggunaan dan tutupan lahan (Briassoulis, 2004). Tutupan lahan merupakan suatu status biofisik permukaan bumi dan menjadi sub-bagian permukaan lahan (Turner et al. 1995), atau dengan kata lain dideskripsikan sebagai status fisik permukaan lahan seperti lahan pertanian, pegunungan dan hutan (Meyer, 1995 dan Moser, 1996). Selanjutnya Meyer and Turner (1994) menyatakan bahwa permukaan lahan mencakup jumlah dan jenis permukaan vegetasi, air, dan material bumi. Istilah pertama tidak hanya menunjukkan jenis vegetasi yang terdapat pada permukaan lahan, tetapi juga mencakup hal lebih luas berupa perubahan struktural oleh aktivitas manusia, seperti gedung atau bangunan, dan aspek lain yang menyangkut lingkungan fisik, seperti tanah, keragaman hayati, permukaan dan sumber air tanah (Moser 1996). Penggunaan lahan merupakan cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya (Meyer, 1995 dalam Moser, 1996). Secara ringkas penggunaan lahan menunjukkan tempat manusia bekerja (Turner dan Meyer 1994). Pengertian lahan yang lebih luas
22
menurut Skole (1994) adalah areal bekerja manusia pada suatu jenis permukaan lahan, yang berarti areal aktivitas manusia yang menghasilkan produksi primer dan selanjutnya menjadi faktor penentu sosial ekonomi yang kompleks. Penggunaan lahan berhubungan dengan fungsi atau tujuan dimana lahan tersebut digunakan oleh manusia sekitar, dan dapat didefinisikan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berkaitan dengan lahan, menggunakan sumberdaya tersebut dan memiliki dampak terhadap kehidupan manusia (FAO 1995). Menurut Briassoulis (2004) dalam analisis perubahan penggunaan dan tutupan lahan, maka yang pertama dibutuhkan secara konseptual adalah pengertian dari perubahan tersebut untuk melihat situasi pada dunia nyata. Pada tingkat sangat dasar, maka perubahan penggunaan dan tutupan lahan berarti perubahan secara kuantitatif bentuk penggunaan dan tutupan lahan pada suatu kawasan (meningkat atau menurun), dan perhitungan perubahan tergantung pada skala spasial dengan pengertian dan konsep perubahan sangat luas. Pada kasus perubahan tutupan lahan terdapat dua bentuk perubahan yang relevan, yaitu konversi dan modifikasi (Turner et al, 1995). Konversi tutupan lahan merupakan perubahan dari suatu bentuk permukaan menjadi permukaan lain, sedangkan modifikasi tutupan lahan merupakan alterasi struktur dan fungsi tanpa ada perubahan dari suatu bentuk ke bentuk lainnya seperti perubahan produktivitas, biomassa atau phenologis (Skole, 1994). Perubahan tutupan lahan dapat terjadi akibat proses alamiah seperti variasi iklim, letusan gunung berapi, perubahan aliran sungai atau permukaan laut, tetapi
23
pada masa sekarang lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan lahan untuk pertanian dan tempat tinggal (Turner et al, 1995). Secara spesifik Meyer dan Turner (1996), menyatakan bahwa penggunaan lahan (sengaja atau tidak) merupakan perubahan tutupan lahan yang dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu konversi (conversion) permukaan lahan atau perubahan secara kualitas (qualitaty), modifikasi (modifying) atau perubahan secara kuantitatif tanpa adanya konversi penuh, dan memelihara (maintaining) suatu kondisi dalam menghadapi perilaku perubahan alamiah. Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu fenomena mendasar dalam sistem bumi yang dinamis, dimana pada negara sedang berkembang ekspansi pertanian, logging kehutanan, pengembangan industri pada waktu bersamaan berlangsung sangat intensif (World Bank, 1997). Perubahan penggunaan lahan mencakup konversi dari suatu bentuk penggunaan ke penggunaan lain, seperti perubahan pola penggunaan suatu areal lahan, modifikasi bentuk penggunaan lahan tertentu seperti perubahan dalam intensitas penggunaan sehingga mengubah karakteristik
lahan
termasuk
perubahan
dari
pemukiman
masyarakat
berpendapatan rendah menjadi pemukiman masyarakat berpendapatan tinggi, perubahan dari hutan negara menjadi hutan kota untuk sarana rekreasi (Brissoulis, 2004). Pada kasus penggunaan lahan pertanian bentuk-bentuk perubahan penggunaan lahan secara kualitatif mencakup intensifikasi, ekstensifikasi, marginalisasi dan pembebasan lahan (Jones dan Clark, 1997).
24
Menurut Berger (2003) faktor pendorong perubahan penggunaan lahan sebagai predeposisi bagi proses deforestasi dapat dikelompokkan atas faktor pendorong sosial dan faktor pendorong biofisik. Hubungan antara pelaku, proses dan faktor pendorong perubahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 3. Faktor Pendorong Sosial Harga Komoditas Pembangunan Infrastruktur Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi Komersialisasi Pembangunan Organisasi Masyarakat Regim Property Teknologi
Nilai Lahan Struktur Keluarga Divisi Kerja Tingkat Upah
Sumber:
Faktor Pendorong Biofisik
PELAKU DAN PROSES REGION Jaringan Pasar, Jasa dan Proses Daerah Kota dan Desa Infrastruktur, Intensifikasi dan Ekstensifikasi, Pengurasan Air Tanah
LANDSCAPE Budaya Ekologis Pedesaan dan Batas Perairan Lokasi, Parit irigasi dan Erosi
UNIT PRODUKSI Rumah Tangga dan Perusahaan Agribisnis Pembersihan lahan dengan pembakaran, upaya peningkatan kesuburan lahan, dan pengurasan lahan
Curah Hujan Suhu Tahunan Variasi Iklim Land Form
Ketinggian Topografi Pola Drainase Tipe Tanah
Iklim Mikro Kelembaban Tanah Pola Musim Proses Geomorphis
Berger (2003)
Gambar 3. Faktor Pendorong Perubahan Penggunaan Lahan Faktor pendorong sosial internal (the on-site social drivers) perubahan penggunaan lahan mencakup nilai lahan (land values), struktur dan ukuran rumah tangga (structure and size of families), pembagian tenaga kerja (division of labour), kemampuan dan keahlian tenaga kerja (availability and skill of labour), derajat pemberdayaan (degree of empowerment), dan tingkat upah (wage rates). Faktor pendorong internal ini berinteraksi dengan faktor sosial ekonomi eksternal (external socio-economic factors) dan faktor biofisik (on-site biophysical) seperti
25
iklim mikro (micro-climate), kegemburan dan kesuburan tanah (soil moisture and fertility). Pada beberapa kasus peningkatan pertumbuhan populasi menyebabkan semakin cepatnya perubahan penggunaan lahan dan sumberdaya air, seperti di Senegal dimana migran dari daerah tetangga mempengaruhi lingkungan lokal yang berkaitan dengan keputusan penggunaan lahan (Stephene, 2000). Perubahan penggunaan dan tutupan lahan saling terkait karena dampak perubahan penggunaan lahan dan kontribusinya dalam perubahan lingkungan global melalui perubahan tutupan lahan. Analisis keterkaitan antara keduanya, membutuhkan suatu pengujian dimana penggunaan lahan terkait dengan perubahan tutupan lahan pada berbagai level spasial dan temporal yang lebih terinci. Menurut Brissoullis (2004) spesifikasi level spasial dan temporal yang terinci merupakan syarat penting yang krusial untuk analisis kedua perubahan tersebut seperti petunjuk untuk memilih bentuk penggunaan dan permukaan lahan yang akan dianalisis, menentukan penggerak dan proses perubahan yang dapat dideteksi, dan identifikasi pengaruh dan menjelaskan keterkaitan antara penggunaan dan tutupan lahan dengan suatu kerangka spasial-temporal tertentu. Perubahan penggunaan lahan pada level lokal mungkin tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan perubahan tutupan lahan dan lingkungan lokal seperti konversi lahan pertanian di perkotaan yang diakibatkan adanya keputusan individual pemilik lahan. Perubahan penggunaan lahan lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif dan pada level lebih rendah bersifat spasial dan temporal sehingga tidak mempengaruhi tutupan lahan dan lingkungan (Brissoulis, 2001).
26
2.3. Faktor Penggerak Deforestasi Perubahan tutupan lahan terjadi akibat proses alamiah seperti variasi iklim, letusan gunung berapi, perubahan aliran sungai atau permukaan laut, tetapi pada masa sekarang lebih sering disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan lahan untuk pertanian dan tempat tinggal (Turner et al., 1995). Deforestasi merupakan penebangan pohon dari suatu areal hutan dan mengkonversinya secara permanen untuk penggunaan lain terutama untuk penggunaan lahan budidaya pertanian (van Kooten, 2000 dalam Brissoullis, 2004). Menurut FWI/GFW (2001) deforestasi adalah penebangan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya. Berdasarkan definisi tataguna lahan dari FAO yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia, lahan hutan yang telah ditebang bahkan yang telah ditebang habis tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan kembali tumbuh atau ditanami kembali. Pada sisi lain degradasi hutan didefinisikan sebagai suatu penurunan kerapatan pohon dan/atau meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa ekologi hutan. Deforestasi umumnya terjadi di negara tropis yaitu dengan menyusutnya secara cepat areal hutan (Myer, 1994). Deforestasi hutan tropis merupakan isu global karena nilai dari hutan tropis dalam konservasi biodiversity dan mengatasi efek rumah kaca (Angelsen et al., 1999). Menurut Pearce dan Brown (1994) dua faktor utama yang diidentifikasi mempengaruhi deforestasi yaitu adanya kompetisi antara manusia dan spesies lain untuk memanfaatkan celah ekologi
27
pada lahan hutan, yang secara substansial terlihat melalui konversi lahan hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, infrastruktur, pembangunan perkotaan dan industri, dan gagalnya kerja suatu sistem ekonomi untuk merefleksikan nilai sebenarnya dari lingkungan seperti beberapa fungsi hutan tropis yang nonmarketed dan diabaikan dalam menyusun suatu insentif kebijakan. Kegagalan suatu sistem ekonomi menurut Panayotou dan Parasuk (1990) dapat diklasifikasikan atas tiga, yaitu: 1. Kegagalan pasar (market failure), yaitu kegagalan yang terjadi karena tidak adanya regulasi pada ekonomi pasar sehingga harga pasar yang terbentuk tidak merefleksikan biaya dan benefit sosial dari penggunaan sumberdaya, serta timbulnya kesalahan informasi tentang kelangkaan sumberdaya. 2. Kegagalan kebijakan atau distorsi pasar (policy failure or market distortion), yaitu kegagalan yang terjadi akibat dari suatu kebijakan atau intervensi pemerintah yang menyebabkan keberadaan sumberdaya menjadi lebih buruk (worse off), dan 3. Kegagalan penyesuaian global (global appropriation failure), yaitu kegagalan yang terjadi pada alokasi pasar sumberdaya seperti kurangnya kesadaran akan keuntungan dari upaya perlindungan biodiversiti hutan tropis untuk pengembangan obat-obatan dan pengendalian hama penyakit. Pelaku deforestasi dapat berupa individu, korporasi, agen pemerintah atau proyek pemerintah yang menyebabkan pembalakan hutan sebagai kekuatan untuk
28
memotivasi pelaku deforestasi. Kerangka konseptual faktor penyebab deforestasi menurut Scriecu (2001) disajikan pada Gambar 4. Kegagalan Sistem Ekonomi
Kekuatan Dasar
Faktor Spesifik
Sumber:
Kompetisi ManusiaSpesies Lain
Parameter keputusan pelaku deforestasi
DEFORESTASI
Scriecu (2001)
Gambar 4. Kekuatan Penggerak Deforestasi
Interaksi diantara pelaku deforestasi sering mempersulit untuk melakukan identifikasi faktor pendorong deforestasi sehingga Angelsen et al. (1999) membagi tiga kelompok faktor pendorong deforestasi, yaitu sumber deforestasi, penyebab deforestasi atau kerusakan hutan level lokal, dan faktor pendorong pada level makro. Sumber deforestasi adalah pelaku deforestasi seperti petani skala kecil, pengumpul hasil hutan terutama kayu, pemilik ternak dan mereka yang berkepentingan dengan perambahan hutan. Penyebab deforestasi level lokal berkaitan dengan parameter keputusan dan karakteristik pelaku dan pada level makro berupa variabel kebijakan dan faktor trend atau struktural. Pelaku deforestasi dan kaitannya dengan deforestasi serta faktor pendorong deforetasi menurut Angelsen dan Kaimowitz (1999) disajikan pada Tabel 5 dan 6.
29
Tabel 5. Pelaku Penting Deforestasi dan Kaitannya dengan Deforestasi No
Pelaku
Kaitan dengan Deforestasi
1
Peladang berpindah
Perambahan hutan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan tanaman keras
2
Petani komersial
Perambahan hutan tanaman komersial, kadang-kadang mendorong peladang berpindah untuk bergerak ke hutan
3
Ranch peternakan sapi
Perambahan hutan untuk pengembalaan, kadang-kadang mendorong peladang berpindah untuk bergeser ke hutan
4
Pengembala ternak
Intensifikasi aktivitas pengembalaan yang menyebabkan deforestasai
5
Pembalak kayu
Pengambilan kayu komersial yang membuka akses untuk perubahan penggunaan lahan lainnya.
6
Penanaman kayu komersial
Perambahan hutan untuk mendirikan perkebunan guna memenuhi supplai industri pulp and paper
7
Pengumpul kayu bakar
Intensifikasi pengumpulan kayu bakar yang mendorong terjadinya deforestasi
8
Pertambangan dan industri perminyakan
Pembukaan jalan yang membuka akses bagi penggunaan lahan lainnya serta deforestasi lokasi operasional.
9
Perencanaan izin lahan
Relokasi masyarakat ke areal hutan seperti proyek penempatan kembali masyarakat lokal ke kawasan hutan
10
Pembangunan Akses baru bagi penggunaan lain seperti pembangunan jalan raya dan infrastruktur bendungan dalam kawasan hutan Sumber: CFAN (1999)
Tabel 6. Pengaruh Peningkatan Deforestasi Pengaruh peningkatan variabel berdasarkan bentuk model Analisis Simulasi dan empirs
Variabel
Variabel Eksogen Terhadap Laju
Keterangan
Populasi
Meningkat
Meningkat
Korelasi positif deforestasi dan kepadatan penduduk
Tingkat pendapatan
Indeterminan
Meningkat
Peningkatan pendapatan mendorong permintaan produk pertanian dan hutan tropis
Pertumbuhan ekonomi
Indeterminan
Meningkat/ menurun
Peningkatan pendapatan mendorong permintaan produk pertanian dan hutan tropis
Kemajuan teknologi
Menurun
Fakta terbatas
Menurunkan tekanan terhadap harga pertanian dan meningkatkan tingkat upah
Hutang luar negeri
Indeterminan
Meningkat/ menurun
Secara teoritis dan empiris fakta lemah dan kontradiksi
Perdagangan bebas
Indeterminan
Meningkat
Harga produk pertanian dan kayu tinggi meningkatkan pembalakan.
Sumber: Angelsen and Kaimowitz (1999)
30
Penyebab tidak langsung dan langsung proses deforestasi serta pelakunya di Indonesia disajikan pada Gambar 5. Tataguna Lahan &Keputusan Alokasi Tidak Tepat
KORUPSI
Akuntabilitas Legal & Politis Yang Lemah
Kebijakan Yang Lebih Menguntungkan Kehutanan Komersial Skala Besar
Insentif & Kebijakan Dalam Penetapan Harga Kayu
Tidak Ada Pengakuan Hak Atas Lahan Hutan Tradisonal & Sumberdaya
Status Resmi Lahan Hutan Tidak Jelas
TRANSMIGRASI
Praktek Pembalakan Ilegal Oleh HPH
Pembalak Illegal Penegakan UU Kehutanan Yang Lemah Dan Tidak Konsisten
Pengembangan Perkebunan
Kapasitas Pengolahan Kayu Terlalu Tinggi
Konflik Atas Lahan Hutan & Sumberdaya
Pelaku Pembakaran Hutan
Petani Skala Kecil Kekurangan Data Akurat Tentang Type Hutan, Kondisi Dan Lokasi
Kemiskinan dan Petani Tanpa Lahan di Pedesaan
Kebutuhan Pendapatan Pemerintah Daerah
Pengembangan Pertambangan, & Infrastruktur Perambahan Flora dan Fauna
LEGENDA:
Penyebab Tak Langsung
Sumber:
Penyebab Langsung
Pelaku
FWI/GWF (2001)
Gambar 5. Proses Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
31
Gambar 5 menunjukkan bahwa penyebab langsung dan tak langsung deforestasi di Indonesia lebih banyak disebabkan lemahnya kelembagaan dan penegakan berbagai peraturan. Pada sisi lain faktor ekonomi berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan adanya upaya untuk memanfaatkan sumberdaya hutan seperti kayu sebagai sumber pendapatan daerah. Kondisi sosial, politik dan ekonomi seperti ini sering mendorong konversi hutan dan pembalakan liar yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, perkebunan skala besar dan petani skala kecil. 2.4. Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Perluasan ruang lingkup analisis ekonomi pembangunan yang dipelopori oleh Lewis tahun 1957 dalam buku “The Theory of Economics Growth” merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi maupun nonekonomi penting yang harus ada untuk mempercepat pembangunan suatu negara berkembang. Pembangunan ekonomi menurut Sukirno (1985), didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Menurut Pearce dan Warford (1993), pembangunan ekonomi mengindikasian suatu perubahan yang mengarah pada perbaikan atau kemajuan yang lebih bersifat normatif, sehingga pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu keberhasilan untuk mencapai tujuan sosial dan karena mengalami perubahan sepanjang waktu maka pembangunan ekonomi menunjukkan suatu proses. Berdasarkan pada definisi tersebut pembangunan ekonomi mengandung tiga unsur penting yaitu suatu proses perubahan secara
32
terus menerus, usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita, dan dilakukan dalam jangka panjang (Soekirno, 1985). Pembangunan ekonomi memiliki konsep lebih luas dari pertumbuhan ekonomi,
sehingga
terdapat
perbedaan
antara
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan (sustainable economic development) dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
(sustainable
economic
growth).
Pertumbuhan
ekonomi
didefinisikan sebagai peningkatan dari waktu ke waktu level GDP perkapita atau peningkatan level konsumsi riil perkapita (Pearce dan Warford, 1993). Perbedaan standar hidup yang besar berimplikasi terhadap kesejahteraan manusia, dimana perbedaan pendapatan riil menyebabkan terjadinya variasi besar dalam hal kesejahteraan manusia seperti tingkat kematian dan harapan hidup (Romer, 1996). Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan harus memenuhi persyaratan yaitu memiliki tiga tujuan yang proporsinya harus disepakati melalui public decision making, yaitu economic objective, social objective, dan ecological objective dan sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Secara harfiah, pembangunan
berkelanjutan
mengacu
pada
upaya
memelihara
kegiatan
pembangunan secara terus menerus. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat dan merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat (Sanim, 2001). Pada negara berkembang
seperti
Indonesia,
pembangunan
yang
berorientasi
untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (growth oriented) sering berdampak negatif pada lingkungan. Hubungan antara kondisi lingkungan dengan perekonomian makro nasional secara ringkas disajikan pada Gambar 6.
33
KAPASITAS TAMPUNG LINGKUNGAN
Ambient Polusi
Ambient Polusi
KERUSAKAN
SISTEM EKONOMI
NATURAL RESOURCES
PRODUKSI
KONSUMSI
AMENITY AND LIFE SUPPORTING SYSTEM
Kongesti
Deplesi
Degradasi
Degradasi
LAHAN (LOKASI MAKANAN)
Sumber:
Shin (1994) dalam Sanim (2001)
Gambar 6. Hubungan Antara Perekonomian dan Kondisi Lingkungan Masalah pembangunan pertanian dalam konteks pandangan histroris tidak lebih dari suatu transformasi sektor pertanian statik menjadi sektor modern yang dinamik, dan merupakan suatu akselerasi pertumbuhan output dan produktivitas (Hayami dan Rutton, 1985). Pada negara berkembang pembangunan pertanian merupakan hal penting terutama berkaitan dengan output, tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pada kurun waktu tahun 1950an dan 1990an, terjadi industrialisasi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara dan hal ini menjadi awal diskriminasi terhadap pembangunan pertanian (Than, 1998 dalam Berger, 2003). Pandangan pramodern, bahwa bagi masyarakat praindustri pertumbuhan output 1% pertahun masih layak, tetapi akibat kemajuan teknologi maka potensial untuk meningkatkan pertumbuhan menjadi 1.5-2.5% pertahun. Pandangan ini berubah pada pertengahan abad 20an bahwa potensi pertumbuhan
34
output pertanian 4% dapat dipertahankan pada beberapa negara berkembang seperti Mexico, Brazil, Taiwan dan Israel (Hayami dan Ruttan, 1985). Interaksi antara aktivitas ekonomi dan dampak ekologi menurut Wong dan Janaki (2003) dikembangkan dalam suatu kerangka model sumberdaya pertanian masa depan (the Future Agricultural Resources Model/FARM). Kerangka FARM secara ringkas disajikan pada Gambar 7. IKLIM Temperatur dan Curah Hujan Panjang Musim
Aliran (Run-off)
Distribusi Lahan
Supply Air KERANGKA LINGKUNGAN KERANGKA EKONOMI
Tenaga Kerja Skill dan Non-Skill, Kapital dan SDA
Kemungkinan Produksi Respon Supply
Kepemilikan Faktor Domestik Sumber Pendapatan Rumah Tangga
Tabungan Publik Populasi Penduduk
Harga dan Kuantitas Keseimbangan Permintaan Konsumen
Teknologi
Perdagangan/Investasi Dunia - Daerah 1 - ………… - Daerah n
Preferensi Konsumen Investasi
Sumber:
Darwin et al. (1996) dalam Wong dan Janaki (2003)
Gambar 7. Kerangka the Future Agricultural Resources Model
35
2.5. Penduduk dan Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa, sebagai implikasi adanya permintaan terhadap tenaga mereka dan mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut (Kusumosuwidho, 1981). Tenaga kerja merupakan setiap pengorbanan pikiran dan fisik, yang sebahagian atau seluruhnya ditujukan untuk menghasilkan barang dan jasa (Sumodiningrat dan Lanang, 1987). Tenaga kerja adalah penduduk berusia 15 - 64 tahun, tetapi kebiasaan yang dipakai di Indonesia adalah seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas (Kusumosuwidho, 1981). Kriteria penduduk di USA yang termasuk tenaga kerja potensial (age-eligible population) adalah seluruh penduduk setelah dikurangi dengan penduduk muda (<16 tahun), dan orang-orang yang tidak mampu bekerja baik karena faktor fisik maupun mental, mengurus rumah tangga, dan tidak bersedia terlibat dalam aktivitas pasar tenaga kerja (McConnel dan Brue, 1995). Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (Simanjuntak, 1985). Skema tentang keadaan penduduk suatu negara dengan segala potensinya untuk menghasilkan disajikan pada Gambar 8. Angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa (Kusumosuwidho, 1981). Angkatan kerja atau labor force merupakan penduduk dalam usia kerja yang sudah dan sedang mencari pekerjaan yang terdiri dari golongan yang bekerja, dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan.
36
PENDUDUK
PENDUDUK USIA KERJA
PENDUDUK LUAR USIA KERJA
Sekolah ANGKATAN KERJA
Menganggur (Unemployment)
NON-ANGKATAN KERJA
Lainnya: Cacat
Bekerja (Employment)
Bekerja Penuh (> 35 Jam/Minggu)
Setengah Menganggur (< 35 Jam/Minggu)
Setengah Pengganggur Kentara
Sumber:
IBU RT
Setengah Penganggur Tak Kentara
Kusumosuwidho (1981)
Gambar 8. Skema Keadaan Penduduk Suatu Negara Potensinya untuk Menghasilkan
dengan Segala
Termasuk dalam bukan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja (manpower) yang tidak bekerja ataupun mencari pekerjaan. Angkatan kerja aktual terbagai dalam bekerja (employent) dan menganggur (unemployment) (McConnel dan Brue, 1995). Penduduk yang bekerja (employment) terdiri dari kelompok bekerja penuh, yaitu penduduk yang bekerja 35 jam per minggu atau lebih, dan kelompok setengah menganggur, yaitu kelompok penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu (Kusumosuwidho, 1981). Selanjutnya dikatakan bahwa
37
kelompok setengah menganggur terdiri dari kelompok Setengah Pengangguran Kentara (bekerja kurang dari 14 jam/minggu), dan Kelompok Setengah Pengangguran Tak Kentara
(bekerja 14 sampai 35 jam/minggu). Kelompok
bukan angkatan kerja terdiri dari golongan bersekolah, mengurus rumah tangga, atau penerima pendapatan yang sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Kesempatan kerja dalam teori ekonomi menggambarkan besarnya kesediaan rumah tangga perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi dan untuk mengukur kesediaan tersebut dapat dipakai jumlah orang, jumlah jam atau intensitas pekerjaan (Soedarsono, 1983). Penawaran angkatan kerja biasanya diwakili oleh jumlah angkatan kerja (labour force) yang secara ekonomis berbeda dengan tenaga kerja (man power). Angkatan kerja diartikan sebagai bagian tenaga kerja yang bersedia menerima tawaran pekerjaan pada tingkat upah/gaji tertentu sesuai dengan keinginan mereka. Secara demografis besarnya angkatan kerja tergantung pada tingkat partisipasi angkatan kerja (labour force participation rate), yaitu persentase dari tenaga kerja yang menjadi angkatan kerja (McConnel dan Brue, 1995). Lapangan kerja akan bertambah sedikitnya 200 ribu untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi dan berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional BPS sejak tahun 1996 sampai 2003 angka pengangguran terbuka meningkat sekitar 5.5% ditengah peningkatan angkatan kerja baru per tahun yang mencapai rata-rata sebesar 1.9 juta orang (Guntur, 2005 dalam Kompas, 2005). Hal ini terjadi karena
38
pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan pertambahan lapangan kerja yang signifikan sebagai akibat pertumbuhan yang lebih didorong oleh sektor konsumsi dan peningkatan investasi bukan merupakan jenis yang mampu banyak menyerap tenaga kerja. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan investasi tidak cukup untuk mengatasi masalah pertambahan jumlah penganggur dan angkatan kerja baru tetapi harus didukung peraturan dan perhatian yang lebih besar pada aspek global termasuk perbaikan iklim investasi dan upah buruh. Persoalan tenaga kerja di Indonesia tidak hanya menyangkut tingginya pengangguran terbuka tetapi juga menyangkut persoalan inti yang lebih kompleks. Hasil studi Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa terdapat 10 persoalan ketenagakerjaan di Indonesia yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja secara keseluruhan, tingginya serta terus bertambahnya pengangguran terbuka, karakteristik penganggur yang tidak menjadi pilihan pengusaha, meluasnya tenaga kerja yang bekerja di luar kemampuannya, ekspansi sektor informal, pertumbuhan angkatan kerja perkotaan yang sangat cepat, rendahnya kesejahteraan pekerja secara keseluruhan, pertambahan upah sektor formal diluar pertumbuhan produktivitas, dan semakin tinggi atau besarnya disparitas upah antara sektor formal dan informal, antar gender dan antar kawasan, serta persoalan struktural tenaga kerja lainnya (Cua, 2005 dalam Kompas, 2005) Pada sektor pertanian besarnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, produktivitas tanah, intensitas tanam, dan teknologi yang diterapkan, sedangkan pada sektor non-pertanian kesempatan kerja antara lain
39
dipengaruhi oleh volume produksi, teknologi, dan tingkat harga komoditas (Kasryno, 1984). Off-farm migrasi tenaga kerja ditentukan secara signifikan oleh perbedaan income rata-rata antara sektor pertanian dan sektor lain, tingkat pendidikan, umur angkatan kerja (Larson, 1997). Selanjutnya dinyatakan bahwa secara hisroris migrasi akibat dorongan income cenderung sama pada negara berkembang tetapi pada beberapa negara migrasi marginal lebih besar dari migrasi alami seiring meningkatnya angkatan kerja sektor pertanian. Hasil penelitian di Nigeria kohesi sosial yang tetap kuat seperti kecenderungan sejumlah unit keluarga untuk migrasi dan mempengaruhi komunitas organisasi untuk mempertahankan jaringan kerja komunitas (Stephene, 2000). 2.6.
Studi Empiris Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu fenomena mendasar dalam
suatu sistem bumi yang dinamis, dimana pada negara sedang berkembang ekspansi pertanian, logging kehutanan, pengembangan industri pada waktu bersamaan berlangsung sangat intensif (World Bank, 1997). Pada beberapa kasus perubahan penggunaan lahan dan tutupan hutan menunjukkan suatu respon fungsi yang komplek dan secara spasial sangat kontektual (Djuweng, 1997). Masalah kerusakan sumberdaya lahan merupakan masalah yang kompleks dimana kerusakan itu terkait dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, transmigrasi, faktor ekonomi dan lainnya (Warsi, 2003). Degradasi lahan merupakan akibat dari hubungan yang saling terkait antara faktor yaitu alam, manusia dan kelembagaan serta kebijakan pemerintah (Dixon et al., 1989). Faktor alam yang mendorong degradasi lahan seperti iklim, topographi lahan dan vegetasi, sedangkan faktor
40
manusia termasuk keputusan sistem produksi dan eksploitasi penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan tanpa adanya rehabilitasi (Sanim, 2001). Perubahan penggunaan lahan tidak hanya didorong oleh pengaruh faktor ekologi dan sosial ekonomi sebagai penentu keputusan penggunaan lahan pada skala unit produksi, tetapi yang sering menjadi lebih penting adalah faktor pendorong eksternal (off-site factors driven) seperti proses industrialisasi, urbanisasi, pembangunan infrastruktur jalan, pertumbuhan populasi dan migrasi serta globalisasi pasar dan ekonomi (Smith et al., 1996 dalam Berger, 2003). Perubahan pola konsumsi masyarakat urban merupakan faktor penting dalam memperluas pengaruh lingkungan masyarakat dataran tinggi dan menciptakan permintaan untuk produk pertanian baru dan meningkatkan ekstraksi sumberdaya lahan dengan lebih cepat (Arifin, 2000). Analisis pada level pedesaan di Indonesia menunjukkan bahwa tingginya nilai tanaman pohon-pohonan, produksi makanan yang mengarah pada non-subsisten memainkan peranan utama dalam konversi hutan menjadi lahan pertanian (Chomitz dan Gray, 1997). Penelitian di Belize, Brazil, Mexico dan Afrika Tengah menunjukkan efek infrastruktur terhadap karakteristik dan pasar lahan mengindikasikan bahwa perencanaan regional yang baik dapat meningkatkan pembangunan pedesaan dan perlindungan lingkungan (Chomitz dan Gray, 1996). Peraturan agraria dalam bentuk kerangka kerja resmi oleh otoritas pengambil keputusan tingkat lokal dapat mengatasi dan menyelesaikan sejumlah isu yang berkaitan dengan kepemilikan (property right) dan konflik penggunaan lahan (Appendini, 2002). Degradasi
41
lahan juga didorong oleh faktor kebijakan pemerintah dan kelembagaan yang dapat dilihat pada sudut pandang perencanaan, pelayanan, pelaksanaan dan kontrol terhadap suatu progam (Mundita, 1999). Adopsi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya degradasi lahan seperti kredit bersubsidi untuk ekspansi pertanian, penurunan pajak penghasilan dan korporasi untuk penggunaan lahan kompetitif, pemberlakuan “tax holiday” untuk peralatan baru yang memiliki dampak negatif bagi kawasan hutan, pemberlakukan tarif impor tinggi untuk bahan bakar sehingga kayu bakar menjadi pilihan alternatif, pengembangan proyek infrastruktur dan energi yang tidak memperhitungkan kehilangan nilai sumberdaya hutan, dan skema kolonialisasi yang disponsori oleh pemerintah (Roper dan Robert 1999). 2.7.
Studi Empiris Deforestasi Faktor penyebab atau pendorong deforestasi dapat dibedakan atas dua
kelompok yaitu penyebab langsung (direct causes) dan penyebab tak langsung (indirect causes). Penyebab langsung seperti perladangan berpindah (slash and burning farming), komersialisasi pertanian (commercial agriculture), ranch dan penggembalaan ternak, eksploitasi pertambangan dan minyak, dan pembangunan infrastruktur (Roper dan Robert, 1999). Penyebab tak langsung seperti kebijakan fiskal dan pembangunan (fiscal and development policies), aksesibilitas dan perizinan lahan (land access and land tenure), tekanan pasar (market pressures), penetapam nilai hutan alam yang lebih rendah dari nilai sebenarnya (undervaluation of natural forests), lemahnya kelembagaan pemerintah (weak
42
government institutions), dan faktor sosial (social factors) seperti keputusan politik (CFAN, 1999). Kehilangan hutan merupakan hasil interaksi antara faktor geografi, karakteristik masyarakat dan harga seperti peningkatan harga komoditas pertanian jagung dan kayu menjadi insentif perambahan hutan di Mexico (Alix, 2001). Faktor penyebab kehilangan hutan menurut Berger (2003) dapat dikelompokkan atas faktor sosial dan biofisik dengan pelaku (agent) perubahan penggunaan dan tutupan lahan mulai dari skala unit produksi sampai skala regional. Menurut Chomitz et al. (1996) deforestasi atau konversi hutan didorong oleh kegiatan pemukiman kembali yang menjadi fasilitator terjadinya perambahan kayu intensif, perluasan pertanian komersial, dan pergeseran secara berkelanjutan pertanaman pada kawasan hutan, konversi hutan untuk pertanian, penanaman hutan untuk pertanian seperti kelapa sawit dan karet. Perubahan tutupan hutan antara tahun 1980 dan 1990 di Afrika menurut (Drigo, 1997 dalam Skole, 1994) lebih dominan disebabkan “land clearing” pertanian rakyat dan penggembalaan permanen serta pengambilan kayu bakar yang didorong oleh tekanan populasi penduduk pedesaan, tetapi sebaliknya di Amerika Latin pergeseran permanen akibat pertanian dan penggembalaan sering terjadi bersamaan dengan proyek pemukiman baru dan pembangunan infrastruktur. Pada jangka panjang kawasan hutan yang dikonversi terkait dengan tingkat keuntungan pertanian dan biaya pembukaan lahan, besarnya populasi sektor pertanian, panjang jaringan jalan raya (Cropper et al, 1996). Laju deforestasi pada daerah dengan penduduk miskin berlangsung lebih cepat dibanding daerah kaya dan dampak kemiskinan terhadap
43
perambahan hutan sangat terkait dengan rendahnya profitabilitas dari lahan-lahan marjinal, jauhnya jarak pasar utama dari pusat produksi, dan status kepemilikan lahan (Kerr dan Pfaff, 2003). Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya degradasi kawasan hutan adalah kesenjangan pendapatan, share output pertanian, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita dan unemployment (Sanim, 2001). Deforestasi meningkat pada kemiskinan (poverty) lahan komunal di Mexico, dan sebaliknya di Indonesia kebijakan liberalisasi harga pertanian mampu menurunkan deforestasi sehingga kebijakan kehutanan pada level makro menjadi sangat sensitif terutama berkaian dengan perdagangan. Pada kawasan lain seperti Afrika infrastruktur memainkan peranan penting dalam mendorong deforestasi hutan tropis, di Pakistan ada keterkaitan antara kelahiran (fertility) dan degradasi lingkungan diantara beberapa kawasan, sedangkan di Nepal degradasi lingkungan memberikan efek merugikan bagi pendidikan (Jimenez, 1997). Faktor pendorong lain terjadinya deforestasi adalah terjadinya kebakaran hutan seperti yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kehutanan RI pada tahun 1997 kebakaran hutan di Indonesia menghanguskan lebih dari 515 ribu Ha kawasan hutan. Kebakaran diduga akibat pembakaran lahan oleh 117 perusahaan perkebunan, 27 HTI, dan 19 lokasi transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Total lahan yang terbakar menurut Bappenas dan ADB dalam Erianto (2003) mencapai luas 9.75 juta Ha dan terbesar di Pulau Kalimantan.
44
2.8.
Studi Empiris Degradasi Taman Nasional dan Kawasan Lindung Hasil penelitian Sernell (1996) menunjukkan bahwa perubahan tutupan
hutan di kawasan lindung Serengeti Mara Ecosystem (SME) Tanzania terkait dengan terbentuknya pemukiman permanen dan pertanian subsisten akibat tidak praktisnya pertanian mekanis skala besar. Areal SME ini selama 20 tahun terakhir telah kehilangan 75% atau sekitar 30 ribu hewan liar, dan hal ini berkaitan dengan kehilangan areal penggembalaan musim basah, sedangkan di Loita Plains akibat pembangunan pertanian hanya berpengaruh pada areal penggembalaan musim kering. Pada kawasan lindung Dzangha-Sangha Afrika Tengah masalah konservasi yang dihadapi antara lain peningkatan populasi (population increase), pertambangan berlian (diamond mining), pembalakan kayu yang non-sustainable (unsustainable logging) dan perburuan hewan liar (poaching) serta aktivitas pembiayan proyek yang tidak berkelanjutan (unsustaniable financing of project activities) (Sernell, 1996). Kerusakan taman nasional di Indonesia yang kaya akan berbagai plasma nuftah spesifik diakibatkan oleh kurangnya koordinasi antara berbagai instansi atau lembaga terkait, penegakan hukum (law enforcement) yang lemah serta rendahnya kesadaran masyarakat (WFC ,1997). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 memperparah keberadaan Taman Nasional dan kawasan hutan lindung lainnya berupa timbulnya konflik pemanfaatan hutan antara masyarakat dan pengelola Taman Nasional. Beberapa contoh konflik yang terjadi pada tahun 1998 berdasarkan Newman et al. (1999) dalam FWI/GWF (2001) seperti pada Taman
45
Nasional Lore Lidu di Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Kutai di Kalimantan Timur dimana penduduk lokal telah mengambil alih ribuan hektar untuk menanam tanaman keras dan menebang kayu, pembalakan illegal yang terorganisir di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh dan Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah dan pada berbagai kawasan lain. Hampir separuh taman nasional yang terdapat di tanah air saat ini kondisinya mengalami kerusakan antara lain akibat kegiatan perambahan hutan, penggalian tambang C, dan pertambangan emas rakyat dan bahkan dua taman nasional di Kalimantan yakni Taman Nasional Kutai dan Tanjung Puting mengalami kerusakan parah (Sunaryo, 2003 dalam EIA, 2000). Hasil identifikasi ICDP (2002) kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat antara lain disebabkan oleh pembukaan hutan dan perambahan, penebangan hutan secara ilegal, pengumpulan hasil hutan, dan perkebunan, pembangunan jalan, keterbatasan sumberdaya untuk pengelolaan dan ketidakjelasan tapal batas dan pertambangan serta rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pembukaan pertambangan emas merupakan ancaman terbesar terhadap Taman Nasional Meru Betiri yang merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi besar dalam menyumbang aset ekologi guna keseimbangan paru-paru dunia (FWI/GFW, 2001). Suatu eksplorasi dan eksploitasi suatu pertambangan khususnya tambang emas, tidak hanya sekedar dilihat dari segi ekonomi, akan tetapi harus dilihat secara global (multi diplisiner science) baik dari manfaat jangka pendek maupun panjang.
46
Menurut ICDP (2002), lebih dari 80% penduduk yang tinggal di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan petani tradisional terutama yang mengusahakan lahan tanaman tua seperti kopi, kulit manis, kelapa sawit, cengkeh dan karet. Aktifitas pertanian ini menjadi faktor penyebab utama terjadinya konversi kawasan hutan dalam TNKS menjadi kawasan non-hutan. Perubahan tutupan hutan yang berlangsung terus menerus merupakan akibat adanya aktifitas seperti perambahan liar, pertambangan rakyat, dan “land clearing”. Data Balai TNKS menunjukkan selama kurun waktu 1994 – 2002 luas tutupan hutan dalam TNKS berkurang dari 1.27 juta Ha menjadi 1.25 juta Ha atau mengalami degradasi seluas 26.043 ribu Ha (2.04%). Tata batas taman nasional yang tidak jelas, dan adanya aktivitas berbagai perambahan baik yang dilakukan masyarakat maupun pemegang HPH, serta proses land-clearing yang dilakukan melalui pembakaran hutan juga menjadi faktor pendorong terjadinya degradasi hutan (ICDP, 2002). Harga input yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun mendorong terjadinya pembakaran hutan sebagai alternatif pembukaan lahan yang lebih murah. Hal ini tidak hanya dilakukan masyarakat tetapi juga oleh perusahaan perkebunan dan adanya sanksi yang tidak jelas menyebabkan proses ini tetap berlangsung sampai sekarang. Pada tahun 2001 Menteri Kehutanan meminta kepada Menteri Pertambangan dan Energi agar dilakukan pembatalan terhadap kontrak ataupun ijin yang telah dikeluarkan atas 24 perusahaan pertambangan yang arealnya tumpang tindih dengan areal TNKS seperti CV. Mineral Perd, PT Newcrest, PT Newmont dan PT. Sariagrindo Andalas. Perusahaan yang disebut terakhir
47
merupakan perusahaan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat dan pada kenyataannya mempunyai tumpang tindih dengan TNKS seluas 137 Ha (ICDP, 2002). Selanjutnya tahun 2002 Menteri Kehutanan juga meminta kepada Gubernur Sumbar dan Jambi untuk menghentikan sementara aktivitas penebangan berjarak 3 km dari batas kawasan TNKS pada 4 areal hutan konsesi (HPH), yaitu PT. Duta Maju Timber, PT. Serestra II, PT. Nusalease Timber dan PT. Rimba Karya Indah.
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis Pembiayaan Pembangunan Pada
suatu
pembangunan
berkelanjutan,
sistem
ekonomi
(untuk
memberikan kesejahteraan) tidak dapat beroperasi tanpa dukungan dari sistem ekologi (Sanim, 2004). Lingkungan hidup adalah barang publik sehingga intervensi pemerintah dalam mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas lingkungan hidup merupakan suatu keharusan. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki tiga tujuan (ekonomi, sosial dan lingkungan) dan melalui keputusan publik (public decision) harus disepakati proporsinya seperti disajikan pada Gambar 9. TUJUAN EKONOMI EFISENSI/PERTUMUHAN - Perbaikan lingkungan - Penilaian lingkungan - Internalisasi lingkungan
- Distribusi pendapatan - Ketenaga kerjaan - Target pembinaan
TUJUAN SOSIAL KEMISKINAN/PEMERATAAN
Sumber:
- Partisipasi - Konsultasi - Pluarlisme
TUJUAN EKOLOGI SUMBERDAYA ALAM
Munasinghe (1993)
Gambar 9. Hubungan Tiga Tujuan dalam Pembangunan Berkelanjutan Menurut Reynolds et al. (2003), keberlanjutan secara mendasar ditentukan oleh manusia, dan salah satu indikatornya adalah kemampuan menghasilkan
49
output sepanjang waktu. Pengambilan keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya seperti hutan mempertimbangkan tiga domain yaitu karakteristik sosial ekonomi, sikap publik dalam proses pengambilan keputusan, dan sikap masyarakat dalam merespon suatu kebijakan (Wellstead et al., 2003). Penilaian pelaku atau agen pemerintah yang tersebar pada seluruh sektor dan tingkat pemerintahan lokal akan mempengaruhi kondisi suatu sumberdaya seperti hutan (Ellefson et al., 2003). Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam belanja dan pajak yang digunakan untuk mencapai tujuan sosial yang terdiri dari tujuan alokasi (allocational), distribusi (distributional) dan stabilisasi (stabilitation). Tujuan alokasi yaitu mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam masyarakat seperti menyediakan barang publik, regulasi eksternalitas dan mempengaruhi belanja sektor swasta, tujuan distribusi yaitu mempengaruhi distribusi pendapatan dalam masyarakat, dan tujuan stabilisasi yaitu mempengaruhi pertumbuhan output, inflasi dan tingkat pengangguran (Fogiel, 1992). Berdasarkan
klasifikasi
kebijakan,
kriteria
keharusan
intervensi
pemerintah bagi kepentingan publik disebut sebagai primary option policy dan dari sisi manfaat intervensi kebijakan tersebut diklasifikasikan dalam The Second Best Policy. Intervensi pemerintah dalam mencapai keseimbangan ketiga tujuan pembangunan dapat dilakukan dengan lebih mengoptimalkan implementasi peran yang dimiliki terutama dalam alokasi sumberdaya pembiayaan pembangunan. Menggunakan asumsi pembangunan dengan dua sektor yaitu ekonomi (E) dan sektor lainnya yang terdiri dari sosial dan lingkungan (SL). Pembangunan untuk
50
masing-masing sektor ditujukan untuk memaksimumkan kesejahteraan (welfare) dengan fungsi sebagai berikut: W = ω(E, SL)
1
Tujuan pencapaian kesejahteraan (W) maksimala dihadapi pada kendala pengeluaran, yaitu penerimaan pemerintah (Gr) baik yang berasal dari pajak maupun non-pajak yang dipengaruhi oleh output (Y) dan jumlah populasi (N) maka fungsi kendala adalah: Gr = f (Y, N)
2
Pengeluaran pemerintah (Ge) terdiri dari pengeluaran rutin (Ce) dan pengeluaran pembangunan (De) dan menggunakan asumsi bahwa anggaran berimbang (balance budget) sehingga Ge = Gr maka fungsi kendala untuk pengeluaran pembangunan dapat ditulis dalam bentuk persamaan: De = f (Y, N) – Ce – eE – sSL
3
Persamaan Lagrangian maksimisasi welfare adalah: ζ
= ω(E, SL) + λ (f(Y, N) - Ce - eE - sSL)
4
Turunan pertama (First Order Condition) dari fungsi lagrangian adalah: ∂ω(E, SL) ∂ζ ∂ω(E, SL) = − λe = 0 atau λ = ∂E ∂E e∂E
5
∂ω(E, SL) ∂ω( E, SL) ∂ζ = − λs = 0 atau λ = s∂SL ∂SL ∂SL
6
∂ζ = f ( Y, N) − Ce − eE − sSL = 0 ∂λ
7
Dari persamaan 5 dan 6 diperoleh: ∂ω(E, SL) ∂ω(E, SL) ∂E atau s = e = e∂E s∂SL ∂SL
8
51
Selanjutnya masukkan persamaan 8 ke persamaan 7 diperoleh: e=
f (Y, N ) − Ce E + ∂E / ∂SL
9
Persamaan 9 menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan sektor ekonomi mengalami peningkatan jika output (Y) dan populasi (N) meningkat tetapi sebaliknya mengalami penurunan jika pengeluaran rutin (Ce) meningkat. Pembagi pada persamaan sebelah kanan bagian bawah menunjukkan adanya hubungan substitusi antara sektor pengeluaran pembangunan. Persamaan secara ringkas dapat ditulis dalam bentuk fungsi: e = f (Ce, Y, N)
10
Otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 (revisi UU. No. 22 Tahun 2000) memberi kewenangan fiskal luas bagi daerah termasuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Berdasarkan publikasi statistik keuangan pemerintah daerah maka keuangan pemerintah terdiri dari realisasi penerimaan dan pengeluaran daerah. Penerimaan pemerintah daerah mencakup sisa perhitungan tahun sebelumnya, pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan serta penerimaan lain dan pinjaman daerah. PAD bersumber dari sumber-sumber pendapatan daerah seperti pajak, restribusi, bagian laba usaha BUMD dan penerimaan lain, sedangkan dana perimbangan bersumber dari bagi hasil pajak dan non-pajak serta dana alokasi umum dan khusus. Pada sisi lain pengeluaran pemerintah daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Pengeluaran rutin digunakan untuk belanja pegawai, barang dan lainnya, biaya pemeliharaan dan perjalanan dinas serta bantuan keuangan dan lain-lain. Pengeluaran pembangunan terdiri dari 21 sektor dengan rincian sebagai berikut:
52
1. Industri yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk program bimbingan dan penyuluhan industri serta program pengembangan/pengawasan industri. 2. Pertanian dan Kehutanan yaitu pengeluaran pembangunan untuk pertanian rakyat seperti peningkatan produksi, penyuluhan dan pelestarian hutan. 3. Sumberdaya Air dan Irigasi yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pengembangan sumberdaya air dan irigasi. 4. Tenaga Kerja yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pengembangan keterampilan pekerja. 5. Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah dan Koperasi yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk program peningkatan perdagangan regional, program pengembangan usaha koperasi dan pembinaan kelembagaan. 6. Transportasi yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pembangunan dan pengembangan sarana transportasi darat, laut, sungai, danau dan udara. 7. Pertambangan dan Energi yaitu pengeluaran
pembangunan seperti untuk
pengembangan pertambangan rakyat. 8. Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pengembangan pariwisata dan jasa telekomunikasi daerah. 9. Pembangunan Daerah dan Pemukiman yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk otonomi daerah bawahan, pembangunan kota dan desa. 10. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk penyelematan hutan, tanah, air dan inventarisasi sumberdaya. 11. Pendidikan, Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pendidikan, pendidikan luar sekolah dan kedinasan. 12. Kependudukan dan Keluarga Berencana yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk program KB dan keluarga sejahtera.
53
13. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Anak dan Remaja yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk kesehatan, kesejahteraan sosial dan peranan wanita. 14. Perumahan dan Pemukiman yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk perumahan dan pemukiman, penataan kota dan bangunan. 15. Agama yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pelayanan kehidupan beragama dan pembinaan pendidikan agama. 16. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pengembangan IPTEK dan sistem informasi statistik. 17. Hukum yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pembinaan penataan perundang-undangan, tertib hukum dan pembinaan aparatur. 18. Aparatur Pemerintah dan Pengawasan yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan. 19. Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk program pendidikan berpolitik, pengembangan operasional penerangan dan pengembangan siaran TV dan media massa lain. 20. Keamanan dan Ketertiban Umum yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk program pembinaan ketertiban masyarakat. 21. Subsidi Pembangunan Kepada Pemerintah Daerah yaitu pengeluaran pembangunan seperti untuk bantuan pembangunan desa. Pembiayaan pembangunan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian juga membutuhkan peran swasta. Kredit perbankan merupakan salah satu bentuk investasi swasta dimana besarnya kredit dipengaruhi oleh suku bunga (r). Pada sisi lain salah satu peran pemerintah adalah untuk mempengaruhi alokasi sumberdaya oleh swasta sehingga investasi pemerintah dalam bentuk pengeluaran pembangunan akan mempengaruhi perilaku kredit. Berdasarkan hal tersebut maka
54
perilaku investasi swasta dalam bentuk alokasi kredit (Ci) merupakan fungsi dari suku bunga (r) dan alokasi pengeluaran pembangunan terkait (eiDe) Ci = f (r, eiDe)
11
Persamaan 11 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat suku bunga (r) maka kredit akan menurun dan sebaliknya peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah pada sektor tertentu akan diikuti dengan meningkatnya kredit pada sektor yang sama. Posisi kredit perbankan dalam publikasi Statistik Ekonomi Keuangan Daerah dapat diklasifikasikan menurut jenis penggunaan, yaitu kredit modal kerja, investasi dan konsumsi serta menurut sektor ekonomi seperti sektor pertanian, pertambangan, perindustrian dan jasa dunia usaha. Keberpihakan perbankan dalam penyaluran kredit tidak hanya berdasarkan sektor ekonomi tetapi juga dapat dilihat dari lembaga penerima kredit seperti keberpihakan pada usaha kecil dan menengah (UKM). Secara ringkas pengelompokaan kredit perbankan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 10. Kredit Perbankan
Penggunaan
Modal Kerja
Investasi
Sektor Produktif
Sektor
Kelompok Kreditor
Konsumsi
Sektor Pertanian
Kredit UKM
Sumber: Hasil olahan data Bank Indonesia (2004) Gambar 10. Klasifikasi Alokasi Kredit Perbankan dalam Penelitian
55
Perubahan Penggunaan Lahan Lahan merupakan faktor produksi (input factor) dalam berbagai aktivitas manusia termasuk pertanian (dalam arti luas), kehutanan, tempat tinggal, komersial dan industri serta pertambangan (Hartwick and Olewiler, 1986). Penggunaan lahan secara garis besar dapat dibagi atas penggunaan lahan untuk pertanian, penggunaan lainnya dan lahan hutan. Pada negara berkembang seperti Indonesia dimana perluasan pertanian (agricultural expansion), pembalakan hutan (forest logging) dan pembangunan industri pada waktu yang bersamaan mendorong semakin meningkatnya dinamika penggunaan lahan. Dampak dari setiap aktivitas penggunaan lahan secara individual lebih mudah diprediksi tetapi sulit diprediksi jika berupa kombinasi dampak variasi penggunaan lahan dalam kerangka tataguna lahan. Penggunaan lahan (land use) merupakan cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya (Meyer, 1995 dalam Moser, 1996). Secara ringkas penggunaan lahan menunjukkan tempat manusia bekerja (Turner dan Meyer 1994). Skole (1994) selanjutnya memperluas pengertian penggunaan lahan menjadi areal bekerja manusia pada suatu jenis permukaan lahan, yang berarti areal aktivitas manusia yang menghasilkan produk primer yang selanjutnya menjadi faktor penentu sosial ekonomi. Penggunaan lahan berhubungan dengan fungsi atau tujuan di mana lahan tersebut digunakan oleh populasi sekitar dan dapat didefinisikan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berkaitan dengan lahan, menggunakan sumberdaya tersebut dan memilik dampak terhadap mereka (FAO 1995).
56
Konsep dan definisi dari penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lain (World Bank, 1997) adalah: 1. Wet Land adalah lahan pertanian yang dibagi menjadi bagian dan dipisahkan oleh parit atau tanggul untuk menahan air dengan tanaman utama adalah padi sawah tanpa memperhatikan status lahan tersebut. 2. Dry Land/Garden/for Crop Cultivation adalah lahan yang tidak diairi dan ditanami dengan tanaman semusim dan terletak terpisah dengan pekarangan sekitar rumah. 3. Temporary Fallow Land adalah lahan yang untuk sementara tidak dimanfaatkan. 4. Estates Land adalah lahan yang ditanami dengan tanaman komersial seperti karet, kelapa sawit dan kopi. 5. Meadow/Grassland adalah lahan yang digunakan untuk pengembalaan ternak seperti Sapi dan Kerbau. 6. Woodland adalah lahan yang ditumbuhi dengan tanaman kayu-kayuan atau bambu baik yang tumbuh dengan sendirinya maupun yang ditanam dengan tujuan untuk produksi kayu tetapi tidak termasuk hutan alam. 7. Pond and Dyke adalah lahan yang digunakan untuk usaha perikanan secara luas termasuk kolam dan tambak.
57
8. House Compounding and Surronding adalah lahan yang digunakan untuk bangunan dimana di sekitar dipagari baik tanaman atau bukan, dan jika sekitar bangunan tidak ada jarak yang jelas maka dimasukkan sebagai halaman. Pada tingkat yang sangat dasar maka perubahan penggunaan lahan berarti perubahan kuantitatif pada skala spasial bentuk penggunaan lahan suatu kawasan. 3.1.2.1. Penggunaan Lahan Pertanian Menggunakan asumsi perekonomian dengan dua faktor produksi yaitu sumberdaya lahan (R) dan input lain yaitu tenaga kerja (L) dan kapital (K) yang digunakan untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Fungsi produksi sebagai berikut: Y = ƒ(R, LK)
12
Untuk menghasilkan sejumlah output (Y) maka produksi dibatasi dengan biaya (C) yang terdiri dari biaya lahan dan biaya lainnya. C = rR + v(LK)
13
Persamaan Lagrangian minimisasi biaya adalah: ζ
= ƒ(R, LK) + λ (C - rR - v(LK))
14
Turunan pertama (First Order Condition) dari fungsi lagrangian adalah: ∂f (R , LK ) ∂ζ ∂ f (R , LK ) = − λr = 0 atau λ = r∂R ∂R ∂R ∂ f ( R , LK) ∂f (R , LK) ∂ζ = − λv = 0 atau λ = v∂ (LK ) ∂ ( LK) ∂LK ∂ζ = C − rR − v( LK) ∂λ
Dari persamaan 15 dan 16 dapat diperoleh:
15 16 17
58
∂f (R , LK) ∂f (R , LK) r∂R = atau v = r∂R v∂ (LK) ∂ (LK )
18
kemudian masukkan persamaan 18 dalam 17 sehingga: C = rR +
r∂R (LK) r∂R (LK ) atau C − rR = ∂ (LK) ∂ (LK )
19
Persamaan C = rR + v(LK) maka v(LK) = C - rR dan substitusi ke 18 diperoleh: v(LK ) =
r∂R (LK ) ∂ (LK )
20
Untuk memperoleh persamaan perubahan penggunaan lahan (∂R) maka dengan menyusun kembali persamaan 20 diperoleh: ∂R =
∂ (LK) v(LK ) r LK
Jika diasumsikan
21
∂ ( LF) = G LF = ( n + f ) dan v( LF) = (ωL + gF) LF
Dimana GLF menunjukkan pertumbuhan input lain diluar lahan yang terdiri dari pengunaan tenaga kerja (n) dan kapital (k). Pada sisi lain v(LK) menunjukkan biaya input lain diluar lahan (biaya tenaga kerja (ωL) dan biaya kapital (πK), maka persamaan 21 juga dapat ditulis dalam bentuk: ∂R = (n + k )
(ωL + πK ) r
22
atau dalam bentuk fungsi R = ƒ(n, k, ωL, πK, r)
23
Fungsi pada persamaan 23 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja (n) dan kapital (k), biaya tenaga kerja (ωL), dan biaya kapital (πK) serta sewa lahan (r). Pertumbuhan tenaga kerja berlangsung seiring pertumbuhan penduduk, sedangkan pertumbuhan kapital berlangsung seiring pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja dan kapital
59
berkaitan dengan struktur tenaga kerja dan ekonomi serta dengan asumsi bahwa pertanian memiliki pengaruh besar terhadap penggunaan lahan maka digunakan pangsa PDB dan tenaga kerja sektor pertanian. Rent atau nilai lahan sebagai biaya oppotunitas kawasan hutan dapat menggunakan proksi nilai produksi sub-sektor pertanian dan selanjutnya model dikembangkan dengan memasukkan aspek kelembagaan dan kebijakan sehingga model pada persamaan 23 menjadi R = ƒ(n, k, ωL, πK, r, I, P)
24
Penggunaan Lahan Non-Pertanian Penggunaan lahan non-pertanian menggunakan pendekatan minimisasi biaya pengembangan bangunan dan pemukiman (Cost Minimization Approach). Pendekatan minimisasi biaya dapat digunakan dalam pengembangan model penggunaan lahan untuk pemukiman dan perumahan. Jika diasumsikan pengembangan pemukiman menggunakan tiga input yaitu bahan bangunan (B), tenaga kerja (L) dan lahan (H) sehingga fungsi produksi untuk pengembangan kawasan pemukiman adalah: Ω = ρ f (B, L, H )
25
Sedangkan fungsi biaya untuk pengembangan kawasan adalah: C = υB + ωL + σH
26
dimana Ω merupakan unit produksi fisik bangunan, ρ nilai bangunan, υ merupakan harga input bahan bangunan ω upah tenaga kerja dan σ nilai lahan dengan kendala pengembangan pemukiman adalah pendapatan keluarga ιK dimana ι pendapatan perkapita dan K jumlah anggota keluarga. Persamaan lagrangian minimisasi biaya adalah:
60
ζ = υB + ωL + σH − λ[ρf (B, L, H) − ιK ]
27
Turunan pertama dari persamaan 27 adalah: ∂ζ = υ − λρf B = 0 ∂B
28
∂ζ = ω − λρf L = 0 ∂L
29
∂ζ = σ − λρf H = 0 ∂H
30
∂ζ = ρf (B, L, H) − ιK = 0 ∂λ
31
Dari turunan pertama persamaan 28 sampai 30 diperoleh: υ ω σ = = λf B λf L λf H
32
H = f (ρ, υ, ω, σ, B, L, ιK )
33
ρ=
1/λ merupakan biaya opportunitas yang dapat diintepretasikan sebagai biaya yang harus dibayarkan karena hilangnya kesempatan untuk menghasilkan output lain dan sebagai proksi digunakan pangsa PDB sektor pertanian. Penggunaan lahan pemukiman dan perumahan merupakan fungsi dari faktor demografi, ekonomi, harga input (upah tenaga kerja dan bahan bangunan), kebijakan dan kelembagaan. Pilihan Komoditas Budidaya Perubahan penggunaan lahan pada level rumah tangga (mikro) menunjukkan pilihan komoditas budidaya yang dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal usaha tani. Keputusan rumah tangga petani dalam memilih komoditas antara usaha tani komersial dan sub-sisten berbeda sehingga digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan subsisten (Subsistence Approach) dan pendekatan pasar (Market Approach) (Scriecu, 2000).
61
3.1.3.1. Pendekatan Subsisten Pendekatan ini menggunakan asumsi tidak ada pasar dan tujuan individu adalah untuk memuaskan kebutuhan pokok melalui produksi pertanian (Angelsen et al., 1999). Problem ekonomi adalah minimisasi usaha tenaga kerja dalam mencapai target subsisten tertentu sehingga implikasinya adalah tidak ada nilai barang konsumsi atau “full belly version of clearing field” (Dvorak, 1992). Fungsi produksi untuk pertanian subsisten adalah: X = Af (L, H, F)
34
Dimana X (unit produksi fisik), A (level teknologi), L (tenaga kerja), H (luas areal) dan F (input pupuk). Fungsi produksi diasumsikan “concave” tetapi “positive decreasing marginal productivity” untuk seluruh input serta seluruh input normal komplementer. Karena tidak ada pasar maka hutan dapat ditanami melalui sistem “first come first served” (Angelsen et al., 1999). Biaya mencakup biaya pembukaan dan penanaman areal baru seperti biaya transportasi input dan output. Fungsi biaya direpresentasikan dalam bentuk fungsi yang ”convex” yaitu L + h(H) dengan kendala sN = pX – qF dimana target subsisten adalah konsumsi subsisten tertentu yaitu pendapatan perkapita (s) dikali jumlah populasi (N) dan jika p harga output dan q harga pupuk, maka problem minimisasi metode lagrangian adalah: ζ = L + h (H) − λ[pAf (L, H, F) − qF − sN ]
35
dimana λ merupakan parameter lagrangian, derivasi menghasilkan: ∂ζ = 1 − pAλf L = 0 ∂L
36
62
∂ζ = h H − pAλf H = 0 ∂H
37
∂ζ = pAλf F − q = 0 ∂L
38
∂ζ = pAf (L, H, F) − qF − sN = 0 ∂λ
39
Dari penyusunan kembali persamaan 36 sampai 38 maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: pA =
h q 1 = H = λf L λf H λf F
H = f (p, A, L, qF, sN)
40 41
1/λ pada FOC1 diintepretasikan sebagai shadow wage atau biaya opportunitas sosial dan merupakan variabel endogen dalam model. Pada saat optimum maka Marginal Cost (MC) untuk ketiga input sama dengan harga output (p) dikali dengan level teknologi (A) (Angelsen et al., 1999). Efek perubahan variabel eksogen terhadap luas areal tanam adalah: peningkatan harga output (p) atau kemajuan teknologi (A) menyebabkan petani secara atraktif memenuhi target subsistennya dengan berproduksi pada luas areal yang lebih kecil, sedangkan turunnya harga pupuk (q) akan mendorong petani lebih banyak menggunakan pupuk dan mengurangi penggunaan input lahan dan tenaga kerja. 3.1.3.2. Pendekatan Pasar Pendekatan ini menggunakan asumsi bahwa pasar tenaga kerja sempurna dimana tenaga kerja sebagai eksogenus dapat disewa pada tingkat upah tertentu (w), sehingga level populasi menjadi endogen dan kesempatan tenaga kerja memilih antara sektor pertanian dan non-pertanian menjadi lebih besar. Keputusan
63
untuk ekspansi lahan dapat ditentukan melalui suatu problem maksimum profit dimana rumah tangga memaksimalkan profit atau land rent: Maks π = pAf (L, H, F) − qF − w[L + h (H)]
42
Turunan pertama dari problem maksimisasi profit pada persamaan 42 adalah: ∂π = pAf L − w = 0 ∂L
43
∂π = pAf H − h H = 0 ∂H
44
∂π = pAf F − q = 0 ∂F
45
Penyusunan kembali persamaan 43 sampai 45 diperoleh persamaan berikut: wh H q w = = λf L λf H λf F
46
H = f (p, w , A, L, qF, sN)
47
pA =
Meskipun FOC kedua pendekatan sama (persamaan 41 dan 47) interpretasi dampak perubahan eksogen terhadap ekspansi lahan pertanian antara keduanya berbeda. Perbandingan statik kedua pendekatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Efek Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Ekspansi Penggunaan Lahan Pertanian Menggunakan Pendekatan Subsisten dan Market No 1 2 3 4 5 6
Variabel Eksogen Harga Output (p) Harga Input lain (q) Upah Tenaga Kerja (w) Produktivitas/Teknologi (A) Populasi (N) Biaya “Clearing dan Acces (h(H))
Pendekatan Subsisten Menurun Meningkat NA Menurun Meningkat Menurun
Market Meningkat Menurun Menurun Meningkat Meningkat Menurun
Keterangan: NA = tidak dapat diaplikasikan dalam model (not-applicable)
Perbedaan dampak perubahan variabel eksogen kedua pendekatan disebabkan karena pada pendekatan subsisten menggunakan asumsi variabel
64
populasi dan shadow wage sebagai endogen sedang pada pendekatan pasar tingkat upah eksogen dan populasi endogen atau dengan kata lain profitabilitas pada subsisten tidak diperlukan. Peningkatan harga output dan kemajuan teknologi akan meningkatkan profitabilitas pertanian sehingga meningkatkan luas tanam. Peningkatan harga pupuk dengan asumsi pupuk dan lahan komplementer akan menurunkan luas areal tanam, semakin baiknya aksesibilitas menuju kawasan hutan akan meningkatkan ekspansi lahan pertanian. Hubungan antara beberapa variabel dengan ekspansi komoditas pertanian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh Peningkatan Variabel Eksogen Terhadap Ekspansi Penggunaan Lahan Pertanian Variabel
Pengaruh peningkatan variabel pada bentuk model Analisis
Harga output pertanian Harga input pertanian Upah luar UT & kesempatan kerja Ketersediaan kredit Kemajuan teknologi Aksesibilitas (jalan) Kepemilikan properti Harga kayu
Keterangan
Simulasi- empiris
Meningkat
Meningkat
Indeterminan Menurun
Meningkat/ menurun Menurun
Indeterminan
Meningkat
Indeterminan
Kecil
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Kecil
Indeterminan
Meningkat
Analisis level usahatani sub-sisten menunjukkan pengaruh kuat pendapatan Peningkatan harga pupuk mendorong ekstensifikasi pertanian. Upah dan kesempatan mempengaruhi ekspansi lahan Kredit finansial mendorong ekspansi lahan pertanian. Teknologi menurunkan ekspansi lahan pertanian. Pembangunan infrastruktur jalan raya meningkatkan ekspansi lahan Klaim sewa lahan masa akan datang akan mendorong petani untuk ekspansif Secara empiris lemah tetapi cenderung berhubungan positif
Sumber: Angelsen and Kaimowitz, 1999
Output dan Tenaga Kerja Menurut Pearce dan Warford (1993) pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dari waktu ke waktu level GDP perkapita atau peningkatan level konsumsi riil perkapita. Pada negara berkembang pembangunan pertanian
65
merupakan hal yang penting terutama berkaitan dengan output, tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Terdapat enam karakteristik dari pembangunan pertanian yaitu eksploitasi sumberdaya (resources exploitation), konservasi (conservation), lokasi (location), penyebaran (diffution) dan tingginya biaya input (high-payoff input) serta model penerapan inovasi (induced innovation model) (Hayami dan Ruttan, 1985). Pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia selama kurun waktu 1960-2001 mencapai 3.75% pertahun tetapi angka tersebut belum mampu mengambarkan kinerja sektor pertanian dan perubahan dalam kebijakan makroekonomi yang menyertainya (Arifin, 2003). Penentuan GDP menggunakan pendekatan penawaran agregat dimana output (Y) merupakan fungsi dari kapital pertenaga kerja (K/L), perubahan teknologi (Tc), kapasitas produksi (KP) dan kekuatan monopoli (MS) atau dalam bentuk fungsi: Y
= f (K/L, Tc, KP, MS)
K/L = f (w/r, P, Ω, MI)
48 49
Dimana w tingkat upah, r suku bunga, P harga output, Ω elastisitas substitusi (padat modal atau padat karya) dan MI kekuatan monopsoni. Berdasarkan persamaan 47 dan 48 maka penawaran agregat adalah: Y
= f (Tc, KP, MS, w/r, P, Ω, MI)
50
Menurut Fleisher dan Kniesner (1995) tenaga kerja merupakan aspek penting dalam suatu perekonomian karena menyangkut tiga dimensi utama yaitu sebagai faktor produksi (a factor of production), sebagai sumber pendapatan (a
66
sources of income) dan sebagai sumberdaya manusia (a human resource). Ukuran dari tenaga kerja terkait dengan ukuran populasi dan fraksi yang berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Pertumbuhan populasi terjadi akibat perubahan alamiah (kelahiran dan kematian) dan net-imigrasi sehingga variasi dari pertumbuhan populasi terjadi karena adanya perubahan tingkat kelahiran dan migrasi (McConnel dan Brue, 1995). Jasa tenaga kerja yang tersedia dalam suatu perekonomian tergantung pada empat faktor yaitu ukuran dan komposisi demografis populasi, tingkat partisipasi angkatan kerja yaitu persentase penduduk umur kerja yang secara aktual bekerja, jumlah jam kerja persatuan waktu tertentu dan kualitas dari angkatan kerja. Penentuan total jasa tenaga kerja yang tersedia dapat dilihat pada Gambar 11 berikut: Kelahiran
Kematian
Net-Migrasi
Populasi TPAK Jumlah Tk Jam Kerja
Sumber:
Total Jasa TK Tersedia Kualitas TK
McConnel dan Brue (1995)
Gambar 11. Penentuan Total Jasa Tenaga Kerja Tersedia Degradasi Zona Penyangga dan Taman Nasional Pengembangan model degradasi zona penyangga dan taman nasional menggunakan pendekatan model deforestasi. Degradasi dalam penelitian berdasarkan pada perubahan tutupan lahan (land cover) yang mencakup lahan yang secara resmi merupakan bagian dari taman nasional. Menurut Andersen
67
(1996) tidak ada konsensus atau kesepakatan tentang model empiris deforestasi terutama variabel eksplanatori pada level makro. Pada teori ekonomi level rumah tangga (mikro), ekspansi lahan pertanian dapat digunakan sebagai proksi deforestasi dan perubahan dalam parameter keputusan pelakunya (Scriecu, 2001). Selanjutnya Scriecu (2000) menyatakan tidak ada model khusus tentang deforestasi tetapi perubahan penggunaan lahan dapat dijadikan sebagai proksi deforestasi dengan kerangka konseptual proses deforestasi seperti Gambar 12.
DEFORESTASI
Pelaku deforestasi: variabel pilihan
Sumber deforestasi
Parameter keputusan dan karakteristik pelaku
Kelembagaan
Infrastruktur
Pasar
Penyebab deforestasi level lokal Teknologi
Variabel kebijakan dan faktor trend atau struktural
Sumber:
Penyebab deforestasi level makro
Kaimonitz dan Angelsen (1998)
Gambar 12. Kerangka Konseptual Penyebab Deforestasi Pendekatan model deforestasi menurut Angelsen dan Kaimowitz (1999) mencakup lima bentuk variabel yaitu: -
Besaran dan lokasi deforestasi (magnitude and location of deforestation) sebagai variabel dependen.
68
-
Pelaku deforestasi (agents of deforestation) yang terdiri dari individu, rumah tangga atau perusahaan yang ikut dalam perubahan penggunaan lahan
-
Variabel pilihan (choice variables) berupa keputusan alokasi lahan yang menentukan tingkat deforestasi oleh seluruh pelaku utama dan kelompok.
-
Parameter keputusan pelaku (agents’ decision parameters) yaitu variabel yang secara langsung mempengaruhi keputusan palaku tetapi berasal dari eksternal.
-
Variabel makro ekonomi dan instrumen kebijakan (macroeconomic variables and policy instruments) yaitu variabel yang mempengaruhi secara tidak langsung terhadap pembabatan hutan. Kerangka Operasional Sub-Model Alokasi Fiskal Anggaran pembangunan sebagaimana sumberdaya lainnya bersifat
terbatas dan hubungan antara sektor pengeluaran pembangunan bersifat substitusi. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan untuk sektor tertentu akan diikuti dengan perubahan alokasi pengeluaran sektor lain. Berdasarkan karakteristik alokasi pengeluaran pembangunan yang terbatas dan saling bersubstitusi antar sektor, maka digunakan model Seemingly Unrelated Equations (SUE). Agregasi sektor pengeluaran pembangunan dalam penelitian dari 22 sektor pengeluaran menjadi 10 sektor disajikan pada Gambar 13.
69
Pertanian
Pertanian dan Kehutanan
Dunia Usaha
Industri Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah dan Koperasi
Transportasi
Transportasi Tenaga Kerja Pendidikan, Kebudayaan dan Kepercayaan, Pemuda dan Olahraga
SDM IPTEK
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kesejahteraan Sosial
Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Anak dan Remaja Kependudukan dan Keluarga Berencana
Pembangunan Wilayah
Pembangunan Daerah dan Pemukiman Perumahan dan Pemukiman
Lingkungan
Lingkungan Hidup dan Tata Ruang
Irigasi
Sumberdaya air dan irigasi Lain-lain
Lainnya
Gambar 13. Klasifikasi Penelitian
Alokasi
Variabel
untuk
eksplanatori
Pengeluaran
Pembangunan
masing-masing
sektor
dalam
pengeluaran
pembangunan terdiri dari variabel model empiris dasar dan variabel terkait lainnya seperti kelembagaan (desentralisasi), kawasan, krisis dan tahun.
(
eDe i = f GEXS, REVS, ORIF, INSTij , KRIS, YEAR eDe ij =
)
De i ∑ De i i
dimana: eDei GEXS REVS ORIFi INSTi KRIS YEAR
= Alokasi pengeluaran pembangunan sektor ke-i. = Struktur pengeluaran pemerintah = Struktur penerimaan pemerintah = Faktor orientasi pembangunan = Faktor kelembagaan ke-j pada sektor ke-i = Krisis = Tahun
51 52
70
Kerangka operasional untuk alokasi pengeluaran pembangunan dapat dilihat pada Gambar 14. Faktor Demografi - Pertumbuhan penduduk - Kepadatan penduduk - Struktur umur penduduk
Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor ke-i
Alokasi Pengeluaran Rutin
Faktor Ekonomi - Pertumbuhan output - Struktur ekonomi - Struktur tenaga kerja
Faktor lain - Kebijakan (desentralisasi) - Kelembagaan (kawasan) - Waktu (krisis dan tahun)
Gambar 14. Kerangka Operasional Sub-model Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sub-Model Alokasi Kredit Alokasi kredit perbankan sebagai sektor pembiayaan pembangunan merupakan respon dari kebijakan pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan perubahan sosial ekonomi masyarakat. Pada penelitian alokasi kredit mencakup alokasi kredit sektor pertanian, alokasi kredit untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta alokasi kredit sektor produktif yaitu investasi dan modal kerja. Seluruh alokasi kredit saling berkaitan sehingga digunakan persamaan rekursif. Bentuk persamaan rekursif dalam penelitian terdiri dari variabel endogen yang pada persamaan selanjutnya akan menjadi variabel eksplanatori. Kerangka operasional alokasi kredit perbankan disajikan pada Gambar 15.
71
Alokasi kredit pertanian
Alokasi pengeluaran
Alokasi kredit UKM
Alokasi kredit pertanian
Alokasi kredit produktif
Alokasi kredit pertanian
Suku Bunga Alokasi kredit UKM
pembangunan terkait Faktor Demografi Faktor Ekonomi Kebijakan (desentralisasi) Kelembagaan (kawasan) Waktu (krisis dan tahun)
Gambar 15. Kerangka Operasional Sub-model Alokasi Kredit
Sub-Model Penggunaan Lahan Perubahan pola penggunaan lahan dari satu alternatif penggunaan ke alternatif penggunaan lainnya berlangsung dinamis. Untuk merepresentasikan situasi pilihan digunakan modifikasi model statistik dikrit (Discrete Statistical Models atau Discrete Choice Models) (McFadden, 1978, Hensher, 1981 dan Anas,1982 dalam Brissoulis, 2003). Model penggunaan lahan didiskripsikan sebagai suatu fungsi tertentu untuk setiap bentuk pilihan penggunaan lahan. Bentuk matematika model logit dan probit (Kitamura et al., 1997 dan Morita et al., 1997) dalam analisis perubahan penggunaan lahan selanjutnya dimodifikasi menjadi porsi bentuk penggunaan lahan yaitu exp(Vij) ∑ exp(Vij)
53
⎛ ⎞ Vij = ⎜ ∑ θ ik X jk ⎟ + Ci ⎝k ⎠
54
Pij =
i
dimana: Pij Vij Xjk θik
= Porsi bentuk penggunaan lahan ke-j pada areal ke-i. = Utilitas bentuk penggunaan lahan ke-j pada areal ke-i = Variabel eksplanatori ke-k untuk bentuk penggunaan ke-j = Koefisien regresi berganda variabel ekplanatori ke-k
72
Model penggunaan lahan dalam penelitian mencakup penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian (pemukiman dan perumahan). Sumberdaya lahan sebagaimana sumberdaya lainnya bersifat terbatas sehingga peningkatan suatu alternatif penggunaan lahan akan menyebabkan turunnya penggunaan lahan untuk alternatif lainnya sehingga digunakan model Seemingly Unrelated Equations (SUE). Perubahan penggunaan lahan berlangsung dinamis yang berarti mengandung dimensi waktu sehingga tahun sebagai variabel trend dapat diintroduksi sebagai eksogen. Aspek kebijakan berupa alokasi pengeluaran pembangunan dan kredit serta aspek kelembagaan berupa kebijakan desentralisasi fiskal yang diduga menjadi pendorong eksploitasi sumberdaya guna peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kerangka operasional model alokasi penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian seperti Gambar 16.
LUAS LAHAN TOTAL TERSEDIA PORSI LAHAN TIDAK DIGUNAKAN PROKSI DEFORESTASI KAWASAN
LAHAN BUDIDAYA (MAXIMISASI OUTPUT) 3. Lahan Basah 4. Lahan Kering 5. Perkebunan rakyat 6. Padang rumput 7. Kolam dan tambak 8. Kayuan/Bambu
Porsi alternatif penggunaan lahan ke-i
LAHAN NON-PERTANIAN (MINIMISASI COST) 1. Lahan Rawa-rawa 2. Temporary Faalow Land 10. Pemukiman dan Perumahan
Gambar 16. Kerangka Operasional Penggunaan Lahan
VARIABEL EMPIRIS DASAR 1. Pertumbuhan Ekonomi 2. Pangsa sub-sektor/sektor pertanian 3. Pertumbuhan Penduduk 4. Pangsa Tenaga Kerja Pertanian 5. Harga Input Pupuk 6. Upah TK Sektor Pertanian VARIABEL TERKAIT 1. Kelembagaan (desentralisasi) 2. Kebijakan (alokasi fiskal /kredit) 3. Waktu (tahun dan krisis) VARIABEL EMPIRIS DASAR 1. Pertumbuhan penduduk 2. Pendapatan perkapita 3. Produktivitas lahan pertanian 4. Tingkat upah (UMR) 5. Harga semen/kayu
Sub-Model
Dinamika
Pola
73
Sub-Model Pilihan Komoditas Perubahan penggunaan lahan pada level rumah tangga (mikro) terjadi akibat adanya konversi lahan dari suatu jenis komoditas menjadi komoditas lainnya. Perubahan jenis komoditas menunjukkan pilihan komoditas rumah tangga dan pada penelitian dibatasi pada komoditas dengan proses produksi sangat tergantung pada lahan yaitu pangan dan perkebunan. Keputusan rumah tangga usaha tani terhadap suatu komoditas akan berpengaruh pada komoditas lainnya sehingga model pilihan komoditas juga menggunakan sistem Seemingly Unrelated Equations. Model pilihan komoditas yang diproksi melalui porsi luas areal sebagai variabel endogen dengan variabel ekplanatori terdiri dari variabel model empiris dasar dan variabel terkait (kesesuaian dan potensi lahan, alokasi pembiayaan, dummy kawasan, kelembagaan, krisis dan tahun sebagai variabel trend). PLAK i = f (Py, Px , L k , L p , ALPPi , DKAW, DESE, KRIS, YEAR ) PLAK i =
LAK i x100% LKAW
PLAKi Py Px Lk Lp ALPP KAW DESE KRIS YEAR
= Porsi luas areal komoditas ke-i. = Harga output komoditas ke-i = Harga input = Produktifitas sebagai proksi kesesuaian lahan = Potensi lahan untuk komoditas ke-i = Alokasi pembiayaan pembangunan terkait = Kawasan = Desentralisasi = Krisis = Tahun
dimana:
55 56
74
Kerangka operasional dalam sub-model pilihan komoditas budidaya pada Gambar 17. Pilihan Komoditas ke-i Komoditas Pangan ke-i Padi Sawah, Padi Ladang, Jagung, Kacang Kedele, Kacang Tanah, Ubi Jalar dan Ubi Kayu
Faktor Internal Harga output Harga Input Lain - Pupuk - Tenaga Kerja (Upah) - Kapital (Suku Bunga) - Kesesuaian dan potensi lahan
Faktor Eksternal
Komoditas Perkebunan ke-i Karet, Kelapa Sawit, Kopi, Kelapa, Kulit Manis Kebijakan Pembiayaan Pembangunan - Alokasi Kredit Pertanian - Alokasi PP. Pertanian - Alokasi PP. Sumberdaya Air - Alokasi PP. Transportasi Kelembagaan Pemerintahan - Desentralisasi Waktu - Krisis - Trend (Tahun)
Gambar 17. Kerangka Operasional Sub-Model Pilihan Komoditas Sub-Model Struktur Output Pola penggunaan lahan dan pilihan komoditas akan mempengaruhi struktur output dalam perekonomian terutama sektor pertanian sebagai pengguna lahan terbesar dalam produksi kawasan. Sektor ekonomi dibagi dalam lima subsektor yaitu pangan dan holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Penggunaan lahan baik antar bentuk penggunaan maupun antar komoditas bersubstitusi dan kompetitif satu sama lainnya sehingga hubungan antar sub-sektor dalam pertanian juga substitusi. Peningkatan penggunaan lahan untuk suatu jenis komoditas akan meningkatkan pangsa suatu sub-sektor jika biaya opportunitas lebih kecil nilai komoditas tersebut. Sebaliknya jika biaya
75
opportunitas lebih besar akibat adanya konversi dari komoditas lain, maka akan mendorong peningkatan pangsa sub-sektor. Sifat substitusi dan kompetitif antara bentuk penggunaan lahan dan antar sub-sektor tersebut, maka dalam penelitian digunakan model Seemingly Unrelated Equations (SUE). Nilai output yang dihasilkan dalam perkeonomian juga dipengaruhi oleh pasar input, kebijakan, dan kelembagaan serta untuk melihat kecenderungan digunakan tahun sebagai variabel trend. Model empiris dasar pangsa masing-masing sub-sektor dalam pertanian adalah: SSAG i = f (SSNA, LUSE i , PLAK i , ALPPi , DKAW, DESE, KRIS, YEAR ) SSAG i =
DPSS i x100% GDP
57 58
SSAG = ∑ SSAG i
59
SSNA = 100 − SSAG
60
dimana: SSAGi SSAG SSNA PUSEi PLAKi ALPP KAW DESE KRIS YEAR
= Share sub-sektor pertanian ke-i. = Share sektor pertanian (Struktur ekonomi) = Share sektor non-pertanian = Porsi penggunaan lahan ke-i = Porsi luas areal komoditas ke-i = Alokasi pembiayaan pembangunan terkait = Kawasan = Desentralisasi = Krisis = Tahun
Sub-Model Ekonomi dan Tenaga Kerja Pertumbuhan output yang dikembangkan dalam penelitian menggunakan pendekatan penawaran agregat dengan menggunakan Produk Domestik Bruto
76
(PDB) sebagai ukuran perkembangan ekonomi atas kelompok pertanian dan nonpertanian. Pertumbuhan output dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan tenaga kerja, modal, teknologi, kapasitas produksi, tingkat upah dan suku bunga. Tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja sektor pertanian (L), modal terdiri dari pengeluaran pemerintah (G) dan investasi swasta/kredit (C), dan harga pupuk (r) dan upah tenaga kerja (w), kapasitas produksi dan perubahan teknologi masingmasing menggunakan penggunaan lahan (Ri) dan produktivitas (Ti). Perkembangan tenaga kerja baik dari sisi pertumbuhan maupun struktur tidak hanya terkait dengan perkembangan penduduk tetapi juga terkait dengan perkembangan ekonomi, perubahan dalam kebijakan dan kelembagaan. Pertumbuhan tenaga kerja yang tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi menyebabkan
semakin
kecilnya
kesempatan
kerja
yang
tersedia
atau
menyebabkan semakin tingginya pengangguran. Pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan semakin banyak anggota keluarga yang ikut aktif dalam bekerja guna meningkatkan pendapatan keluarga sehingga mendorong semakin tingginya partisapasi kerja (TPAK). Motivasi untuk membuka lapangan pekerjaan tergantung ketersediaan sumberdaya manusia baik kuantitas maupun kualitas termasuk sumberdaya manusia yang memiliki jiwa wirausaha. Hal ini menyebabkan kebijakan dalam alokasi pendidikan dan pembinaan tenaga kerja akan berpengaruh dalam perubahan struktur ketenagakerjaan. Desentralisasi diharapkan mampu meningkatkan aktivitas perekonomian daerah sehingga mampu menyediakan berbagai kesempatan kerja dan mengurangi tingkat pengangguran yang relatif tinggi terutama akibat krisis. Berdasarkan hal tersebut
77
maka
variabel
eksplanatori
dalam
model
empiris
tenaga
kerja
dapat
dikelompokkan atas tiga yaitu variabel pertumbuhan dan struktur (demografi dan ekonomi), kebijakan dan kelembagaan serta waktu. Kerangka operasional yang menunjukkan hubungan variabel ekonomi dan tenaga kerja pada Gambar 18.
Kredit Perbankan
Penggunaan Lahan
Struktur Tenaga Kerja
Pengeluaran Pemerintah
Struktur Output
Dependency Ratio
Pertumbuhan Ouput
Partisipasi Kerja
KRISIS
Output Perkapita
Pengangguran Terbuka
TREND (TAHUN)
DESENTRALISASI
Gambar 18. Kerangka Operasional Sub-Model Ekonomi dan Tenaga Kerja Sub-Model Degradasi Zona Penyangga dan Taman Nasional Model empiris dasar menunjukkan bahwa penggunaan lahan dipengaruhi oleh perkembangan sosial ekonomi kawasan. Meningkatnya tekanan terhadap lahan berupa konversi hutan untuk penggunaan lain dan berkurangnya sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya peralihan pemanfaatan sumberdaya ke kawasan lindung seperti taman nasional. Hal ini menyebabkan tekanan lebih besar terhadap taman nasional yang mendorong meningkatnya kerusakan (degradasi) taman nasional. Berdasarkan hal tersebut maka analisis dalam penelitian
78
dilakukan secara bertingkat dan model persamaan simultan yang sesuai digunakan adalah model rekursif (Recursive Model). Variabel endogen dalam persamaan simultan disusun bertingkat untuk melihat keterkaitan antara degradasi hutan zona penyangga dengan basis data tahun 1985 dengan degradasi hutan TNKS. Variabel ekplanatori dikelompokkan atas variabel spesifik sesuai dengan masing-masing persamaan dalam model serta variabel agregat yang untuk setiap persamaan dalam model sama yaitu variabel trend (tahun), kelembagaan (desentralisasi), kebijakan (periode kerjasama) dan krisis. Hubungan dalam bentuk model rekursif triangular antara variabel endogen dalam blok tutupan hutan kawasan dan tingkat degradasi TNKS pada Gambar 19. Deforestasi Kawasan
Faktor Makro
Degradasi Buffer Zone Degradasi Buffer Zone
Rasio Buffer Zone-TNKS
Rasio Buffer Zone-TNKS
Degradasi TNKS
Gambar 19. Kerangka Nasional
Faktor ekonomi
Faktor demografi
Faktor mikro
Desentralisasi
Krisis
Trend (Tahun)
Operasional
Sub-Model
Degradasi
Taman
Hubungan Antara Sub Model Penelitian Hubungan antara sub-model (Gambar 20) merupakan suatu siklus dan menunjukkan hubungan alokasi pembiayaan pembangunan dengan perkembangan taman nasional.
79
Alokasi Pengeluaran Pembangunan sektor ke-i
Alokasi kredit
Pertanian
Industri & dunia usaha
Investasi & modal kerja
Sumberdaya air
SDM
Usaha kecil & menengah
Transportasi
RISTEK
Sektor Pertanian
Pembangunan wilayah
KESRA
Sektor lainnya
Lingkungan
PENGGUNAAN LAHAN 1. Lahan Budidaya - Lahan basah - Lahan kering - Perkebunan - Padang pengembalaan - Lahan tanaman kayu-kayuan - Kolam dan tambak 2. Lahan non-budidaya - Lahan sementara menganggur - Lahan rawa-rawa - Lahan pemukiman dan perumahan 3. Total penggunaan lahan 4. Luas hutan kawasan
PILIHAN KOMODITAS Porsi luas areal budidaya pangan, perkebunan dan perikanan ke-i
STRUKTUR OUTPUT 1. Share sub-sektor pangan 2. Share sub-sektor perkebunan 3. Share sub-sektor peternakan 4. Share sub-sektor perikanan 5. Share sub-sektor kehutanan 6. Share sektor pertanian 7. Share sektor non-pertanian
PERTUMBUHAN OUTPUT DAN TENAGA KERJA 1. Pertumbuhan output 2. Output perkapita 3. Dependency Ratio 4. Partisipasi Kerja 5. Struktur tenaga kerja 6. Tingkat pengangguran terbuka
DEGRADASI TNKS 1. Degradasi zona penyangga 2. Rasio tutupan hutan zona penyangga - TNKS 3. Degradasi TNKS
Gambar 20. Hubungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan dan Kredit Perbankan dengan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat
80
Alokasi pengeluaran pemerintah terutama untuk pembangunan akan mempengaruhi secara langsung perilaku kredit perbankan, penggunaan lahan dan pola budidaya serta pasar output dan tenaga kerja pada suatu kawasan. Perkembangan sosial ekonomi masyarakat kawasan sekitar selanjutnya akan mempengaruhi upaya pelestarian taman nasional, seperti kemiskinan dan pengangguran pedesaan akan menyebabkan masyarakat melakukan eksploitasi sumberdaya hutan dalam taman nasional. Kegiatan ilegal loging akan lebih marak jika tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat sekitar yang rendah dimanfaatkan oleh pihak luar terutama para pemilik modal. Model Persamaan Struktural dan Metode Estimasi Suatu sistem yang menjelaskan gabungan variabel dependen dimana variabel endogen pada suatu persamaan menjadi eksplanatori pada persamaan lain disebut dengan sistem persamaan simultan (System of Simultaneous Equations) (Koutsoyiannis, 1977). Suatu model disebut sebagai rekursif jika struktur persamaan dapat diurutkan dimana pada sisi kanan persamaan pertama hanya mengandung
variabel
predetermined
dan
sisi
kanan
persamaan
kedua
mengandung predetermined berupa varibel endogen pada persamaan pertama dan selanjutnya. y1 = f ( x 1 , x 2 K x k ; u 1 ) y 2 = f ( x 1 , x 2 K x k ; y1 ; u 2 )
61
y 3 = f ( x 1 , x 2 K x k ; y1 , y 2 ; u 3 )
Ciri-ciri utama dari model rekursif adalah dapat diestimasi menggunakan OLS tanpa menyebabkan bias persamaan simultan. Menurut Koutsoyiannis
81
(1977) sistem persamaan ini juga disebut sebagai Triangular Systems karena koefisien variabel endogen (β) berbentuk triangular (segitiga), seperti berikut: Υ1 = γ 11 X 1 + γ 12 X 2 + LL + γ n 2 X n + u 1 Υ2 = β 21 Υ1 + γ 21 X 2 + γ 22 X 2 + LL + γ 2 n X n + u 2
62
Υ3 = β 31 Υ1 + β 32 Υ2 + γ 31 X 1 + γ 12 X 2 + LL + γ 3n X n + u 3
Menurut Pindyck dan Rubinfield (1998) Seemingly Unrelated Equations (SUE) merupakan suatu sistem persamaan yang banyak dipakai dalam permodelan bisnis dan ekonomi. Sistem persamaan ini memiliki serangkaian variabel endogen yang diduga sebagai suatu kelompok dengan hubungan konseptual tertutup satu sama lainnya, seperti contoh; Q1t = α 1 + α 2 P1t + u 1t
63
Q 2 t = β1 + β 2 P2 t + u 2 t
Persamaan menjelaskan serangkaian persamaan permintaan untuk produk yang saling terkait. Jika disturbance disturbance setiap persamaan tidak berkorelasi dan tidak ada keterkaitan serta dapat menggunakan estimasi Ordinary Least Square (OLS). Jika error term berkorelasi maka estimator yang efisien dapat dihasilkan dengan menggunakan metode estimasi yang lebih rumit yaitu Seemingly Unrelated Equations (SUE). Bentuk umum model SUE dimana variabel endogen memiliki keterkaitan erat satu sama lainnya sebagai berikut: ω1 = α 0 + β1 X 1
+ δ1 X 2 + .............. + θ1 X n
+ u1
ω 2 = α1 + β 2 X1
+ δ 2 X 2 + ............. + θ 2 X n
+ u2
M
M
M
M
M
64
ω m = α m + β m X 1 + δ m X 2 + ............. + θ m X n + u m
dimana ω1... ωm menunjukkan bobot (persentase) variabel endogen persamaan kem, αm intersep persamaan ke-m, βm, δm dan θm koefisien variabel eksplanatori ke-
82
n untuk persamaan ke-m, dan Xmn variabel ekspalanatori ke-n persamaan ke-m dan um merupakan error term untuk persamaan ke-m. Secara umum metode estimasi untuk masing-masing bentuk sistem persamaan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Metode Estimasi Persamaan Metode Estimasi
untuk
Masing-masing
Bentuk
Sistem
Model Persamaan Tidak ada endogen sebagai ekplanatori
Endogen sebagai variabel ekplanatori
Persamaan tunggal dari suatu sistem persamaan
Metode kuadart terkecil (least squares) persamaan reduced form
Two-Stage Least Squares (2SLS) dan estimator kclass
Seluruh persamaan dari suatu sistem persamaan
Seemingly Unrelated Equations
Three Stage Least Squares (3SLS)
Sumber: Intriligator et al., 1996
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian berlangsung selama 6 bulan mulai April sampai Oktober 2005
dengan lokasi penelitian pada tiga provinsi yang sebagian wilayahnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pemilihan daerah menggunakan sampling kelompok dua tahap (two stage cluster sampling), yaitu: Pada tahap pertama dilakukan pemilihan provinsi dengan menggunakan berbagai kriteria tertentu. Pemilihan tiga dari empat provinsi didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut; 1.
Perbedaan persepsi pembangunan kawasan sekitar TNKS antara Provinsi Jambi dengan provinsi lainnya. Sumatera Barat dan Bengkulu ingin membangun wilayah di sekitar TNKS untuk perkebunan dengan memberikan dukungan pembangunan jalan raya melintasi dan sekitar taman nasional tetapi sebaliknya Jambi mengandalkan taman nasional sebagai daerah perlindungan resapan air.
2.
Provinsi Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat merupakan daerah dengan ancaman terhadap degradasi taman nasional terbesar, memiliki keragaman hayati cukup tinggi dan merupakan perluasan habitat dari beberapa spesies penting yang berada dalam kawasan TNKS. Hal ini terlihat dengan diterbitkannya surat dari Menteri Kehutanan pada akhir tahun 2001 kepada
84
Menteri Energi dan Sumber daya Mineral untuk membatalkan kontrak/ijin atas 24 perusahaan pertambangan karena terdapat tumpang tindih dengan areal TNKS seperti
PT. Sariagrindo Andalas di Sumatera Barat yang
tumpang tindih dengan TNKS seluas ±137ha. Pada awal Januari 2002 Menteri Kehutanan juga meminta Gubernur Sumatera Barat dan Jambi untuk menghentikan sementara aktivitas penebangan berjarak 3 km dari batas TNKS pada empat areal hutan konsesi di kedua provinsi tersebut (ICDP, 2002), dan 3.
Provinsi Sumatera Selatan tidak termasuk dalam wilayah penelitian karena adanya pemekaran provinsi menjadi Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung serta hanya terdapat satu kabupaten yang wilayahnya sebagian termasuk dalam kawasan TNKS.
Pada Tahap Kedua dilakukan pemilihan kabupaten sebagai sampel dengan menggunakan kriteria luas wilayah dan tingkat ancaman terhadap TNKS. Kerusakan hutan dalam kawasan TNKS yang disebabkan oleh perambahan hutan terjadi hampir pada seluruh wilayah kabupaten. Berdasarkan sebaran luas TNKS hasil intepretasi citra 2002 maka Kabupaten Bungo 37.02 ribu Ha (2,74%) dan Sawahlunto Sijunjung 3.56 ribu Ha (0,26%) tidak dimasukkan dalam kabupaten sampel (Dirjen PHPA, 1995) Berdasarkan pada kriteria tersebut maka kabupaten
penelitian untuk
masing-masing region adalah Kabupaten Kerinci dan Sarolangun Bangko (Jambi), Kabupaten Solok dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat) dan Kabupaten Bengkulu
85
Selatan dan Rejang Lebong (Bengkulu). Data kabupaten pada masing-masing kabupaten selanjutnya diagregasi untuk mewakili data tiga kawasan yaitu Sumatera Barat, Bengkulu dan Jambi. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang
merupakan data pool yaitu gabungan time series dari tahun 1994 sampai 2003 dan cross section tiga provinsi. Data yang dikumpulkan mencakup perkembangan sosial ekonomi kawasan, penggunaan lahan, kebijakan pembangunan dan luas tutupan hutan TNKS. Sumber data diperoleh berbagai sumber seperti Statistik Keuangan Daerah, Statistik Ekonomi-Keuangan Daerah, Survey Sosial Ekonomi (Susenas) dan Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), Kabupaten dalam Angka, Indikator Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi. Khusus data perubahan luas tutupan hutan zona penyangga dan taman nasional berasal dari hasil intepretasi citra landsat Balai TNKS. 4.3.
Spesifikasi Model Model
ekonometrika
dalam
penelitian
ini
dikembangkan
untuk
memperoleh gambaran dari fenomena yang terjadi pada kawasan sekitar TNKS terutama perkembangan sektor pertanian. Persamaan dalam model terdiri dari 58 persamaan yaitu 50 persamaan perilaku dan 8 persamaan identitas dan mencakup 58 variabel endogen dan 51 variabel eksogen. Model ekonometrika terbagi dalam tujuh blok dengan bentuk persamaan struktural berbeda satu sama lain, yaitu;
86
4.3.1. Blok Pengeluaran Pembangunan Anggaran merupakan sumber daya yang penggunaannya tergantung pada perilaku pemerintah dalam mempengaruhi perkembangan daerah. Pada penelitian pengeluaran pembangunan dibagi dalam 10 sektor dan adanya hubungan substitusi antar sektor maka digunakan sistem persamaan SUE dengan persamaan sebagai berikut: Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (PAGE)
PAGE = a1.0 + a1.1REXP + a1.2GRES + a1.3DKAW1 + a1.4DKAW2 + a1.5DESE + (1) a1.6KRIS + a1.7YEAR + e1 Parameter dugaan diharapkan: a1.2, a1.6 > 0 dan a1.1, a1.3, a1.4, a1.5, a1.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri dan Dunia Usaha (PIDE)
PIDE
= a2.0 + a2.1REXP + a2.2GRES + a2.3DKAW1 + a2.4DKAW2 + a2.5DESE + (2) a2.6KRIS + a2.7YEAR + e2
Parameter dugaan diharapkan: a2.2, a2.5, a2.6 > 0 dan a2.1, a2.3, a2.4, a2.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor Sumber daya Air/Irigasi (PWRE)
PWRE = a3.0 + a3.1REXP + a3.2GRES + a3.3DKAW1 + a3.4DKAW2 + a3.5DESE + (3) a3.6KRIS + a3.7YEAR + e3 Parameter dugaan diharapkan: a3.2, a3.6, > 0 dan a3.1, a3.3, a3.4, a3.5, a3.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor Lingkungan (PEVE)
PEVE = a4.0 + a4.1REXP + a4.2GRES + a4.3DKAW1 + a4.4DKAW2 + a4.5DESE + (4) a4.6KRIS + a4.7YEAR + e4 Parameter dugaan diharapkan: a4.2, a4.3, a4.4, a4.6, > 0 dan a4.1, a4.5, a4.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pemgembangan Wilayah (PRDE)
PRDE = a5.0 + a5.1REXP + a5.2GRES + a5.3DKAW1 + a5.4DKAW2 + a5.5DESE + a5.6KRIS + a5.7YEAR + e5 (5) Parameter dugaan diharapkan: a5.2, a5.3, a5.4, a5.5, a5.6 > 0 dan a5.1, a5.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Transportasi (PTRE)
PTRE = a6.0 + a6.1REXP + a6.2GRES + a6.3DKAW1 + a6.4DKAW2 + a6.5DESE + (6) a6.6KRIS + a6.7YEAR + e6 Parameter dugaan diharapkan: a6.2, a6.6, > 0 dan a6.1, a6.3, a6.4, a6.5, a6.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sumber daya Manusia (PHRE)
PHRE = a7.0 + a7.1REXP + a7.2GRES + a7.3DKAW1 + a7.4DKAW2 + a7.5DESE + (7) a7.6KRIS + a7.7YEAR + e7
87
Parameter dugaan diharapkan: a7.6 > 0 dan a7.1, a7.2, a7.3, a7.4, a7.5, a7.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Kesejahteraan Rakyat (PSWE)
PSWE = a8.0 + a8.1REXP + a8.2GRES + a8.3DKAW1 + a8.4DKAW2 + a8.5DESE + (8) a8.6KRIS + a8.7YEAR + e8 Parameter dugaan diharapkan: a8.6 > 0 dan a8.1, a8.2, a8.3, a8.4, a8.5, a8.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sains dan Penelitian (PSRE)
PSRE = a9.0 + a9.1REXP + a9.2GRES + a9.3DKAW1 + a9.4DKAW2 + a9.5DESE + (9) a9.6KRIS + a9.7YEAR + e9 Parameter dugaan diharapkan: a9.2, a9.6 > 0 dan a9.1, a9.3, a9.4, a9.5, a9.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektor lainnya (POTE)
POTE = a10.0 + a10.1REXP + a10.2GRES + a10.3DKAW1 + a10.4DKAW2 + (10) a10.5DESE + a10.6KRIS + a10.7YEAR + e10 Parameter dugaan diharapkan: a10.6 > 0 dan a10.1, a10.2, a10.3, a10.4, a10.5, a10.7 < 0 Alokasi Pengeluaran Pembangunan (PDEX)
PDEX = PAGE + PIDE + PWRE + PTRE + PRDE + PHRE + PEVE + PSRE + PSWE + POTE (11) Dimana: PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PEVE PSRE PSWE POTE PDEX REXP GRES DKAW1 DKAW2 KRIS DESE YEAR
= Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumber daya air (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan wilayah (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor SDM (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor lingkungan (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor R and D (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor Kesra (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor lainnya (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan (%) = Rasio pengeluaran rutin terhadap pembangunan = Rasio PAD terhadap penerimaan lain (%) = Dummy kawasan Sumatera Barat = Dummy kawasan Jambi = Dummy krisis = Dummy desentralisasi = Tahun
4.3.2. Blok Kredit Perilaku pemerintah dalam alokasi pembiayaan menunjukkan arah kebijakan pembangunan dan menjadi pedoman bagi perilaku swasta. Pada
88
penelitian alokasi kredit mencakup kredit sektor pertanian, UKM serta investasi dan modal kerja, dengan persamaan perilaku sebagai berikut Proporsi penggunaan kredit untuk investasi dan modal kerja (PROC)
PROC = b1.0 + b1.1RSKB + b1.2REPG + b1.3PDBK + b1.4ECOS + b1.5PIDE + b1.6PTRE + b1.7PRDE + b1.8DKAW1 + b1.9DKAW2 + b1.10DESE + b1.11KRIS + b1.12YEAR + e11 (12) Parameter dugaan diharapkan: b1.4, b1.5, b1.6, b1.7, b1.11 > 0 dan b1.1, b1.2, b1.3, b1.8., b1.9, b1.10, b1.12 < 0 Proporsi kredit untuk pengembangan usaha kecil dan menengah (PUKC)
PUKC = b2.0 + b2.1RSKB + b2.2PROC + b2.3REPG + b2.4ECOS + b2.5PIDE + b2.6PTRE + b2.7PRDE + b2.8DKAW1 + b2.9DKAW2 + b2.10DESE + (13) b2.11KRIS + b2.12YEAR + e12 Parameter dugaan diharapkan: b2..5, b2.7, b2.8, b2.9, b2.10, b2.11 > 0 dan b2.1, b2.2, b2.3, b2.4., b2..6, b2.12 < 0 Proporsi kredit sektor pertanian (PAGC)
PAGC = b3.0 + b3.1RSKB + b3.2PROC + b3.3PUKC + b3.4ECOS + b3.5PAGE + b3.6PTRE + b3.7PRDE + b3.8DKAW1 + b3.9DKAW2 + b3.10DESE + (14) b3.11KRIS + b3.12YEAR + e13 Parameter dugaan diharapkan: b3.2, b3..3, b3..4, b3.5, b3.7, b3.9, b3.11 > 0 dan b3.1, b3.6, b3.8., b3.10, b3.12< 0 Dimana: PAGC PUKC PROC RSKB REPG ECOS PDBK PAGE PTRE PIDE PRDE
= Proporsi kredit sektor pertanian kawasan (%) = Proporsi kredit usaha kecil dan menengah kawasan (%) = Proporsi kredit investasi dan modal kerja kawasan (%) = Tingkat suku bunga riel (%) = Rasio pertumbuhan output terhadap penduduk kawasan = Struktur ekonomi/pangsa PDB sektor pertanian kawasan (%) = Output perkapita kawasan (juta rupiah/kapita) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan wilayah (%)
4.3.3. Blok Penggunaan Lahan Perubahan pola penggunaan lahan dari satu alternatif penggunaan ke penggunaan lainnya berlangsung dinamis dan simultan sehingga pengamatan individual sulit dilakukan, maka digunakan model SUE.
89
Porsi lahan basah (PWET)
PWET = c1.0 + c1.1ECOG + c1.2POPG + c1.3POPD + c1.4SSPG + c1.5RAGWA + c1.6RPFER + c1.7RSKB + c1.8PAGE + c1.9PTRE + c1.10PAGC + c1.11DKAW1 + c1.12DKAW2 + c1.13DESE + c1.14KRIS + c1.15YEAR + e14 (15) Parameter dugaan diharapkan: c1.1, c1.2, c1.3, c1.4, c1.8, c1.9, c1.10, c1.11, c1.12, > 0 dan c1.5, c1.6, c1.7, c1.13, c1.14, c1.15 < 0 Porsi lahan kering (PDRY)
PDRY = c2.0 + c2.1ECOG + c2.2POPG + c2.3POPD + c2.4SSPG + c2.5RAGWA + c2.6RPFER + c2.7RSKB + c2.8PAGE + c2.9PTRE + c2.10PAGC + c2.11DKAW1 + c2.12DKAW2 + c2.13DESE + c2.14KRIS + c2.15YEAR + e15 (16) Parameter dugaan diharapkan: c2.1, c2.2, c2.3, c2.4, c2.8, c2.9, c2.10, c2.11, c2.12, > 0 dan c2.5, c2.6, c2.7, c2.13, c2.14, c2.15 < 0 Porsi lahan perkebunan (PEST)
PEST = c3.0 + c3.1ECOG + c3.2POPG + c3.3POPD + c3.4SSKB + c3.5RAGWA + c3.6RPFER + c3.7RSKB + c3.8PAGE + c3.9PTRE + c3.10PAGC + c3.11DKAW1 + c3.12DKAW2 + c3.13DESE + c3.14KRIS + c3.15YEAR + e16 (17) Parameter dugaan diharapkan: c3.1, c3.2, c3.3, c3.4, c3.8, c3.9, c3.10, c3.11, c3.12, > 0 dan c3.5, c3.6, c3.7, c3.13, c3.14, c3.15 < 0 Porsi lahan tambak dan kolam (PDYK)
PDYK = c4.0 + c4.1ECOG + c4.2POPG + c4.3POPD + c4.4SSIK + c4.5RAGWA + c4.6RPFER + c4.7RSKB + c4.8PAGE + c4.9PTRE + c4.10PAGC + c4.11DKAW1 + c4.12DKAW2 + c4.13DESE + c4.14KRIS + c4.15YEAR + e17 (18) Parameter dugaan diharapkan: c4.1, c4.2, c4.3, c4.4, c4.6, c4.8, c4.9, c4.10, c4.11, c4.12 > 0 dan c4.5, c4.7, c4.13, c4.14, c4.15 < 0 Porsi lahan pengembalaan/rumput-rumputan (PGRA)
PGRA = c5.0 + c5.1ECOG + c5.2POPG + c5.3POPD + c5.4SSTN + c5.5RAGWA + c5.6RPFER + c5.7RSKB + c5.8PAGE + c5.9PTRE + c5.10PAGC + c5.11DKAW1 + c5.12DKAW2 + c5.13DESE + c5.14KRIS + c5.15YEAR + e18 (19) Parameter dugaan diharapkan: c5.4, c5.5, c5.6, c5.7, c5.13, c5.14> 0 dan c5.1, c5.2, c5.3, c5.8, c5.9, c5.10, c5.11, c5.12, c5.15 < 0 Porsi lahan tanaman kayuan (PWOD)
PWOD = c6.0 + c6.1ECOG + c6.2POPG + c6.3POPD + c6.4SSHT + c6.5RAGWA + c6.6RPFER + c6.7RSKB + c6.8PAGE + c6.9PTRE + c6.10PAGC + c6.11DKAW1 + c6.12DKAW2 + c6.13DESE + c6.14KRIS + c6.15YEAR + e19 (20) Parameter dugaan diharapkan: c6.4, c6.8, c6.9, c6.10, c6.13 > 0 dan c6.1, c6.2, c6.3, c6.5, c6.6, c6.7, c6.11, c6.12, c6.14, c6.15 < 0 Porsi lahan sementara tidak dimanfaatkan/menganggur (PTEM)
PTEM = c7.0 + c7.1ECOG + c7.2POPG + c7.3POPD + c7.4ECOS + c7.5RAGWA + c7.6RPFER + c7.7RSKB + c7.8PAGE + c7.9PTRE + c7.10PAGC + c7.11DKAW1 + c7.12DKAW2 + c7.13DESE + c7.14KRIS + c7.15YEAR + e20 (21)
90
Parameter dugaan diharapkan: c7.5, c7.6, c7.7, c7.14> 0 dan c7.1, c7.2, c7.3, c7.4, c7.8, c7.9, c7.10 c7.11, c7.12, c7.13, c7.15 < 0 Porsi lahan rawa-rawa (PSWA)
PSWA = c8.0 + c8.1ECOG + c8.2POPG + c8.3POPD + c8.4ECOS + c8.5RAGWA + c8.6RPFER + c8.7RSKB + c8.8PAGE + c8.9PTRE + c8.10PAGC + c8.11DKAW1 + c8.12DKAW2 + c8.13DESE + c8.14KRIS + c8.15YEAR + e21 (22) Parameter dugaan diharapkan: c8.5, c8.6, c8.7 > 0 dan c8.1, c8.2, c8.3, c8.4, c8.8, c8.9 c8.10, c8.11, c8.12, c8.13, c8.14, c8.15 < 0 Porsi lahan perumahan dan pemukiman (PHOU)
PHOU = c9.0 + c9.1ECOG + c9.2POPG + c9.3POPD + c9.4JRTG + c9.5RPSMN + c9.6RPLOG + c9.7UMRR + c9.8RSKB + c9.9PTRE + c9.10PRDE + c9.11DKAW1 + c9.12DKAW2 + c9.13DESE + c9.14KRIS + c9.15YEAR + e22 (23) Parameter dugaan diharapkan: c9.1, c9.2, c9.3, c9.4, c9.9, c9.10, c7.11, c9.12, c9.13, c9.15 > 0 dan c9.5, c9.6, c9.7, c9.8, c9.14 < 0 Porsi lahan budidaya (PCUL)
PCUL = PWET + PDRY + PEST + PWOD + PDYK + PGRA
(24)
Porsi penggunaan lahan (PUSE)
PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU
(25)
Porsi luas hutan kawasan (PFOR)
PFOR = 100 - PUSE Dimana: PWET PDRY PEST PGRA PDYK PWOD PSWA PTEM PHOU PCUL PUSE PFOR ECOG ECOS SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT POPG POPD JRTG
= Porsi luas lahan basah kawasan (%) = Porsi luas lahan kering kawasan (%) = Porsi luas lahan kebun kawasan (%) = Porsi luas lahan pengembalaan kawasan (%) = Porsi luas lahan kolam dan tambak kawasan (%) = Porsi luas lahan tanaman kayuan kawasan (%) = Porsi luas lahan rawa-rawa kawasan (%) = Porsi luas lahan menganggur kawasan (%) = Porsi luas lahan perumahan dan pemukiman kawasan (%) = Porsi luas lahan budidaya kawasan (%) = Porsi luas lahan digunakan kawasan (%) = Porsi luas hutan kawasan (%) = Laju pertumbuhan output kawasan (%) = Pangsa PDB sektor pertanian kawasan (%) = Pangsa PDB sub-sektor pangan kawasan (%) = Pangsa PDB sub-sektor perkebunan kawasan (%) = Pangsa PDB sub-sektor peternakan kawasan (%) = Pangsa PDB sub-sektor perikanan kawasan (%) = Pangsa PDB sub-sektor kehutanan kawasan (%) = Laju pertumbuhan penduduk kawasan (%) = Kepadatan penduduk kawasan (jiwa/km2) = Jumlah rumah tangga kawasan (KK)
(26)
91
RAGWA RPFER RSKB UMRR RPLOG RPSMN PAGE PTRE PRDE PAGC
= Tingkat upah riel sektor pertanian (Rp. 000/hari) = Harga riel pupuk (Rp/kg) = Tingkat suku bunga riel (%) = Upah minimum regional riel (%) = Harga riel kayu (Rp/m3) = Harga riel semen (Rp/sak) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan wilayah (%) = Proporsi kredit sektor pertanian kawasan (%)
4.3.4. Blok Pilihan Komoditas Keputusan rumah tangga dalam memilih komoditas dapat diproksi menggunakan porsi luas areal budidaya komoditas tersebut dan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seperti disajikan pada persamaan berikut: Porsi luas areal padi sawah (PLAPS)
PLAPS
= d1.0 + d1.1ROIBR + d1.2PVPS + d1.3PWET + d1.4SKBD + d1.5RAGWA + d1.6PAGC + d1.7PAGE + d1.8PWRE + d1.9PTRE + d1.10DKAW1 + d1.11DKAW2 + d1.12DESE + d1.13KRIS + d1.14YEAR + e23 (27)
Parameter dugaan diharapkan: d1.1, d1.2, d1.3, d1.6, d1.7, d1.8, d1.9, d1.10, d1.11, d1.12, d1.14 > 0 dan d1.4, d1.5, d1.13 < 0 Porsi luas areal padi ladang (PLAPL)
PLAPL
= d2.0 + d2.1ROIBR + d2.2PVPL + d2.3PDRY + d2.4SKBD + d2.5RAGWA + d2.6PAGC + d2.7PAGE + d2.8PWRE + d2.9PTRE + d2.10DKAW1 + (28) d2.11DKAW2 + d2.12DESE + d2.13KRIS + d2.14YEAR + e24
Parameter dugaan diharapkan: d2.1, d2.2, d2.3, d2.6, d2.7, d2.8, d2.9, d2.10, d2.14 > 0 dan d2.4, d2.5, d2.11, d2.12, d2.13 < 0 Porsi luas areal jagung (PLAJG)
PLAJG
= d3.0 + d3.1ROIJG + d3.2PVJG + d3.3PDRY + d3.4SKBD + d3.5RAGWA + d3.6PAGC + d3.7PAGE + d3.8PWRE + d3.9PTRE + d3.10DKAW1 + (29) d3.11DKAW2 + d3.12DESE + d3.13KRIS + d3.14YEAR + e25
Parameter dugaan diharapkan: d3.1, d3.2, d3.3, d3.6, d3.7, d3.8, d3.9, d3.10, d3.14 > 0 dan d3.4, d3.5, d3.11, d3.12, d3.13 < 0 Porsi luas areal kacang tanah (PLAKT)
PLAKT = d4.0 + d4.1ROIKT + d4.2PVKT + d4.3PDRY + d4.4SKBD + d4.5RAGWA + d4.6PAGC + d4.7PAGE + d4.8PWRE + d4.9PTRE + d4.10DKAW1 + (30) d4.11DKAW2 + d4.12DESE + d4.13KRIS + d4.14YEAR + e26 Parameter dugaan diharapkan: d4.1, d4.2, d4.3, d4.6, d4.7, d4.8, d4.9, d4.10, d4.14 > 0 dan d4.4, d4.5, d4.11, d4.12, d4.13 < 0
92
Porsi luas areal kacang kedele (PLAKD)
PLAKD = d5.0 + d5.1ROIKD + d5.2PVKD + d5.3PDRY + d5.4SKBD + d5.5RAGWA + d5.6PAGC + d5.7PAGE + d5.8PWRE + d5.9PTRE + d5.10DKAW1 + (31) d5.11DKAW2 + d5.12DESE + d5.13KRIS + d5.14YEAR + e27 Parameter dugaan diharapkan: d5.1, d5.2, d5.3, d5.6, d5.7, d5.8, d5.9, d5.10 > 0 dan d5.4, d5.5, d5.11, d5.12, d5.13, d5.14 < 0 Porsi luas areal ubi jalar (PLAUJ)
PLAUJ
= d6.0 + d6.1ROIUJ + d6.2PVUJ + d6.3PDRY + d6.4SKBD + d6.5RAGWA + d6.6PAGC + d6.7PAGE + d6.8PWRE + d6.9PTRE + d6.10DKAW1 + d6.11DKAW2 + d6.12DESE + d6.13KRIS + d6.14YEAR + e28 (32)
Parameter dugaan diharapkan: d6.1, d6.2, d6.3, d6.6, d6.7, d6.8, d6.9, d6.10 > 0 dan d6.4, d6.5, d6.11, d6.12, d6.13, d6.14 < 0 Porsi luas areal ubi kayu (PLAUK)
PLAUK = d7.0 + d7.1ROIUK + d7.2PVUK + d7.3PDRY + d7.4SKBD + d7.5RAGWA + d7.6PAGC + d7.7PAGE + d7.8PWRE + d7.9PTRE + d7.10DKAW1 + (33) d7.11DKAW2 + d7.12DESE + d7.13KRIS + d7.14YEAR + e29 Parameter dugaan diharapkan: d7.1, d7.2, d7.3, d7.6, d7.7, d7.8, d7.9, d7.10 > 0 dan d7.4, d7.5, d7.11, d7.12, d7.13, d7.14 < 0 Porsi luas areal karet (PLAKR)
PLAKR = e1.0 + e1.1ROIKR + e1.2PVKR + e1.3PEST + e1.4SKBD + e1.5RAGWA + e1.6PAGC + e1.7PAGE + e1.8PWRE + e1.9PTRE + e1.10DKAW1 + (34) e1.11DKAW2 + e1.12DESE + e1.13KRIS + e1.14YEAR + e30 Parameter dugaan diharapkan: e1.1, e1.2, e1.3, e1.6, e1.7, e1.8, e1.9, e1.10, e1.12, e1.14 > 0 dan e1.4, e1.5, e1.11, e1.13 < 0 Porsi luas areal kelapa sawit (PLAKS)
PLAKS = e2.0 + e2.1ROIKS + e2.2PVKS + e2.3PEST + e2.4SKBD + e2.5RAGWA + e2.6PAGC + e2.7PAGE + e2.8PWRE + e2.9PTRE + e2.10DKAW1 + (35) e2.11DKAW2 + e2.12DESE + e2.13KRIS + e2.14YEAR + e31 Parameter dugaan diharapkan: e2.1, e2.2, e2.3, e2.6, e2.7, e2.8, e2.9, e2.10, e2.11, e2.14 > 0 dan e2.4, e2.5, e2.12, e2.13 < 0 Porsi luas areal kelapa (PLAKL)
PLAKL = c3.0 + e3.1ROIKL + e3.2PVKL + e3.3PEST + e3.4SKBD + e3.5RAGWA + e3.6PAGC + e3.7PAGE + e3.8PWRE + e3.9PTRE + e3.10DKAW1 + (36) e3.11DKAW2 + e3.12DESE + e3.13KRIS + e3.14YEAR + e32 Parameter dugaan diharapkan: e3.1, e3.2, e3.3, e3.6, e3.7, e3.8, e3.9, e3.10, e3.11, e3.14 > 0 dan e3.4, e3.5, e3.12, e3.13 < 0 Porsi luas areal kopi (PLAKP)
PLAKP = c4.0 + e4.1ROIKP + e4.2PVKP + e4.3PEST + e4.4SKBD + e4.5RAGWA + e4.6PAGC + e4.7PAGE + e4.8PWRE + e4.9PTRE + e4.10DKAW1 + (37) e4.11DKAW2 + e4.12DESE + e4.13KRIS + e4.14YEAR + e33
93
Parameter dugaan diharapkan: e4.1, e4.2, e4.3, e4.6, e4.7, e4.8, e4.9, e4.10, e4.14 > 0 dan e4.4, e4.5, e4.11, e4.12, e4.13 < 0 Porsi luas areal kulit manis (PLAKM)
PLAKM = c5.0 + e5.1ROIKM + e5.2PVKM + e5.3PEST + e5.4SKBD + e5.5RAGWA + e5.6PAGC + e5.7PAGE + e5.8PWRE + e5.9PTRE + e5.10DKAW1 + (38) e5.11DKAW2 + e5.12DESE + e5.13KRIS + e5.14YEAR + e34 Parameter dugaan diharapkan: e5.1, e5.2, e5.3, e5.6, e5.7, e5.8, e5.9, e5.10, e5.14 > 0 dan e5.4, e5.5, e5.11, e5.12, e5.13 < 0 Porsi luas areal ikan budidaya (PLFBD)
PLFBD = e6.0 + e6.1RPIKB + e6.2PVBD + e6.3PWET + e6.4PDYK + e6.5RSKB + e6.6RAGWA + e6.7PAGC + e6.8PAGE + e6.9PWRE + e6.10DKAW1 + (39) e6.11DKAW2 + e6.12DESE + e6.13KRIS + e6.14YEAR + e35 Parameter dugaan diharapkan: e6.1, e6.2, e6.3, e6.4, e6.7, e6.8, e5.12 > 0 dan e6.5, e6.6, e6.11, e6.12, e6.13, e6.14 < 0 Porsi luas areal perairan terbuka (PLFOW)
PLFOW = e7.0 + e7.1RPIKO+ e7.2PVOW + e7.3PSWA + e7.4RSKB + e7.5RAGWA + e7.6PAGC + e7.7PAGE + e7.8PWRE + e7.9DKAW1 + e7.12DKAW2 + (40) e7.13DESE+ e7.14KRIS + e7.15YEAR + e36 Parameter dugaan diharapkan: e7.1, e7.2, e7.3, e7.5, e7.6, e7.7, e7.9, e7.12, e5.14 > 0 dan e7.4, e7.10, e7.13, e7.14, e7.15 < 0 Porsi luas areal pangan lahan kering lainnya (PPKOT)
PPKOT = PDRY – PLAPS - PLAPL - PLAJG - PLAKT - PLAKD - PLAUJ – PLAUK (41) Porsi luas areal komoditas perkebunan lainnya (PKBOT)
PKBOT = PEST - PLAKR - PLAKS - PLAKL - PLAKP – PLAKM
(42)
Porsi luas areal komoditas lainnya (POTKM)
POTKM = PCUL – PWET - PDRY - PEST Dimana: PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PLAKR PLAKL PLAKS PLAKP PLAKM PLFBD
= Porsi luas areal budidaya padi sawah kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya padi ladang kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya jagung kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kacang tanah kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kacang kedele kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ubi jalar kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ubi kayu kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya karet kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kelapa kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kelapa sawit kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kopi kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kulit manis kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ikan kawasan (%)
(43)
94
PLFOW PPKOT PKBOT POTKM PVPS PVPL PVJG PVKT PVKD PVUJ PVUK PVKR PVKS PVKL PVKP PVKM PVBD PVOW ROIBR ROIJG ROIKT ROIKD ROIUJ ROIUK ROIKR ROIKS ROIKL ROIKP ROIKM RPIBD RPIKO PWET PDRY PEST PDYK RAGWA RSKB PAGE PWRE PAGC
= Porsi luas areal ikan perairan terbuka kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya pangan lahan kering kawasan lain (%) = Porsi luas areal budidaya perkebunan kawasan lainnya (%) = Porsi luas areal budidaya komoditas kawasan lainnya (%) = Produktivitas padi sawah kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas padi ladang kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas jagung kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kacang tanah kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kacang kedele kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas ubi jalar kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas ubi kayu kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas karet kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kelapa sawit kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kelapa kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kopi kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas kulit manis kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas ikan budidaya kawasan (Ton/Ha) = Produktivitas ikan perairan terbuka kawasan (Ton/Ha) = Rasio harga beras terhadap harga pupuk = Rasio harga jagung terhadap harga pupuk = Rasio harga kacang tanah terhadap harga pupuk = Rasio harga kacang kedele terhadap harga pupuk = Rasio harga ubi jalar terhadap harga pupuk = Rasio harga ubi kayu terhadap harga pupuk = Rasio harga karet terhadap harga pupuk = Rasio harga kelapa sawit terhadap harga pupuk = Rasio harga kelapa terhadap harga pupuk = Rasio harga kopi terhadap harga pupuk = Rasio harga kulit manis terhadap harga pupuk = Harga riel ikan budidaya (Ton/Ha) = Harga riel ikan perairan terbuka (Ton/Ha) = Porsi luas lahan basah kawasan (%) = Porsi luas lahan kering kawasan (%) = Porsi luas lahan kebun kawasan (%) = Porsi luas lahan kolam dan tambak kawasan (%) = Tingkat upah riel sektor pertanian kawasan (Rp. 000/hari) = Tingkat suku bunga riel (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumber daya air (%) = Proporsi kredit sektor pertanian kawasan (%)
4.3.5. Blok Struktur Output Kawasan Sektor pertanian dalam PDB terbagi dalam 5 sub-sektor yaitu pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan yang dipengaruhi oleh pilihan komoditas seperti pada persamaan perilaku dan identitas berikut:
95
Share Sub-sektor Pangan Kawasan (SSPG)
SSPG = f1.0 + f1.1SSNPT + f1.2PLAPS + f1.3PLAPL + f1.4PLAJG + f1.5PLAKT + f1.6PLAKD + f1.7PLAUJ + f1.8PLAUK + f1.9PPKOT + f1.10DKAW1 + (44) f1.11DKAW2 + f1.12DESE + f1.13KRIS + f1.14YEAR + e37 Parameter dugaan diharapkan: f1.2, f1.4, f1.5, f1.6, f1.5, f1.6, f1.9, f1.13 > 0 dan f1.1, f1.3, f1.7, f1.8, f1.10, f1.11, f1.12, f1.14 < 0 Share Sub-sektor Perkebunan Kawasan (SSKB)
SSKB = f2.0 + f2.1SSNPT + f2.2PLAKR + f2.3PLAKS + f2.4PLAKP + f2.5PLAKL + f2.6PLAKM + f2.7PKBOT + f2.8DKAW1 + f2.9DKAW2 + f2.10DESE + f2.11KRIS + f2.12YEAR + e38 (45) Parameter dugaan diharapkan: f2.2, f2.3, f2.4, f2.5, f2.6, f2.8, f2.9, f2.10, f2.11, f2.12 > 0 dan f2.1, f2.7 < 0 Share Sub-sektor Peternakan Kawasan (SSTN)
SSTN = f3.0 + f3.1SSNPT + f3.2PGRA + f3.3POPS + f3.4POPK + f3.5POPM + f3.6PAGE + f3.7PAGC + f3.8DKAW1 + f3.9DKAW2 + f3.10DESE + (46) f3.11KRIS + f3.12YEAR + e39 Parameter dugaan diharapkan: f3.2, f3.3, f3.4, f3.5, f3.6, f3.7, f3.10, f3.11 > 0 dan f3.1, f3.9, f3.12 < 0 Share Sub-sektor Perikanan Kawasan (SSIK)
SSIK
= f4.0 + f4.1SSNPT + f4.2PDYK + f4.3PLFOW + f4.4PLFBD + f4.5DEGTN + f4.6PAGE + f4.7PAGC + f4.8PWRE + f4.9DKAW1 + f4.10DKAW2 + (47) f4.11DESE + f4.12KRIS + f4.13YEAR + e40
Parameter dugaan diharapkan: f4.1, f4.2, f4.6 > 0 dan f4.4, f4.5, f4.7 < 0 Share Sub-sektor Kehutanan Kawasan (SSHT)
SSHT = f5.0 + f5.1SSNPT + f5.2PWOD + f5.3PFOR + f5.4PHSTN + f5.5PAGE + f5.6PAGC + f5.7DKAW1 + f5.8DKAW2 + f5.9DESE + f5.10KRIS + (48) f5.11YEAR + e41 Parameter dugaan diharapkan: f5.1, f5.2, f5.6 > 0 dan f5.4, f5.5, f5.7 < 0 Pangsa PDB Sektor Pertanian Kawasan (ECOS)
ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT
(49)
Dimana: SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT SSNPT ECOS PLAPS PLAPL PLAJG
= Share sub-sektor pangan terhadap PDB kawasan (%) = Share sub-sektor perkebunan terhadap PDB kawasan (%) = Share sub-sektor peternakan terhadap PDB kawasan (%) = Share sub-sektor perikanan terhadap PDB kawasan (%) = Share sub-sektor kehutanan terhadap PDB kawasan (%) = Pangsa sektor non-pertanian dalam pembentukan PDB kawasan (%) = Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya padi sawah kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya padi ladang kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya jagung kawasan (%)
96
PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PLAKR PLAKL PLAKS PLAKP PLAKM PLFBD PLFOW PPKOT PKBOT POTKM PGRA PWOD PAGE PWRE PAGC
= Porsi luas areal budidaya kacang tanah kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kacang kedele kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ubi jalar kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ubi kayu kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya karet kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kelapa kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kelapa sawit kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kopi kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya kulit manis kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya ikan kawasan (%) = Porsi luas areal ikan perairan terbuka kawasan (%) = Porsi luas areal budidaya pangan lahan kering kawasan lain (%) = Porsi luas areal budidaya perkebunan kawasan lainnya (%) = Porsi luas areal budidaya komoditas kawasan lainnya (%) = Porsi luas lahan pengembalaan kawasan (%) = Porsi luas lahan tanaman kayuan kawasan (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) = Alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumber daya air (%) = Proporsi kredit sektor pertanian (%)
4.3.6. Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja Perkembangan struktur output sebagai efek dari pola penggunaan lahan akan mempengaruhi pasar output dan tenaga kerja seperti disajikan pada persamaan berikut: Pertumbuhan output kawasan (ECOG)
ECOG = g1.0 + g1.1ECOS + g1.2TPAK + g1.3LABS + g1.4PPAD + g1.5PSRE + g1.6PUKC + g1.7DKAW1 + g1.8DKAW2 + g1.9DESE + g1.10KRIS + (50) g1.11YEAR + e42 Parameter dugaan diharapkan: g1.2, g1.3, g1.4, g1.5, g1.6, g1.7, g1.8, g1.10, g1.11 > 0 dan g1.1, g1.9, g1.10 < 0 Ouput perkapita kawasan (PDBK)
PDBK = g2.0 + g2.1REPG + g2.2DEPR + g2.3RWIND + g2.4PHRE + g2.5PIDE + g2.6PROC + g2.7PUKC + g2.8DKAW1 + g2.9DKAW2 + g2.10DESE + (51) g2.11KRIS + g2.12YEAR + e43 Parameter dugaan diharapkan: g2.1, g2.3, g2.4, g2.5, g2.6, g2.8, g2.9, g2.12 > 0 dan g2.2, g2.7, g2.10, g2.11 < 0 Angka beban ketergantungan/dependency ratio (DEPR)
DEPR = g3.0 + g3.1PPUK + g3.2POPG + g3.3RJAK + g3.4PSWE + g3.5PHRE + (52) g3.6DKAW1 + g3.7DKAW2 + g3.8DESE + g3.9KRIS + g3.10YEAR + e44
97
Parameter dugaan diharapkan: g3.2, g3.3, g3.4 > 0 dan g3.1, g3.4, g3.5, g3.6, g3.7, g3.8, g3.9, g3.10 <0 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
TPAK = g4.0 + g4.1DEPR + g4.2SEXR + g4.3RJAK + g4.4PSWE + g4.5PHRE + g4.6PIDE + g4.7PUKC + g4.8DKAW1 + g4.9DKAW2 + g4.10DESE + (53) g4.11KRIS + g4.12YEAR + e45 Parameter dugaan diharapkan: g4.2, g4.3, g4.4, g4.5, g4.6, g4.7, g4.10, g4.11, g4.12 > 0 dan g4.1, g4.8, g4.9 < 0 Struktur tenaga kerja (LABS)
LABS = g5.0 + g5.1ECOS + g5.2TPAK + g5.3RWIND + g5.4PAGE + g5.5PIDE + g5.6PAGC + g5.7PROC + g5.8PUKC + g5.9DKAW1 + g5.10DKAW2 + (54) g5.11DESE + g5.12KRIS + g5.13YEAR + e46 Parameter dugaan diharapkan: g5.1, g5.2, g5.4, g5.6, g5.7, g5.12 > 0 dan g5.3, g5.5, g5.8, g5.9, g5.10, g5.11, g5.13 < 0 Tingkat Pengangguran Terbuka (UNEM)
UNEM = g6.0 + g6.1UMRR + g6.2REPG + g6.3TPAK + g6.4LABS + g6.5PPUK + g6.6PDEX + g6.7PIDE + g6.8PROC + g6.9PUKC + g6.10DKAW1 + (55) g6.11DKAW2 + g6.12DESE + g6.13KRIS + g6.14YEAR + e47 Parameter dugaan diharapkan: g6.1, g6.4, g6.5, g6.13 > 0 dan g6.2, g6.3, g6.6, g6.7, g6.8, g6.9, g6.10, g6.11, g6.12 g6.13 < 0 Dimana: ECOG PDBK ECOS DEPR TPAK UNEM LABS POPG PPUK PDEX REPG RWIND RJAK SEXR
= Laju pertumbuhan output kawasan (%) = Ouput perkapita kawasan (juta rupiah) = Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB kawasan (%) = Angka beban ketergantungan/dependency ratio kawasan (%) = Tingkat partisipasi angkatan kerja kawasan (%) = Tingkat pengangguran terbuka kawasan (%) = Pangsa tenaga kerja sektor pertanian kawasan (%) = Pertumbuhan penduduk kawasan (%) = Porsi penduduk usia kerja kawasan (%) = Porsi pengeluaran pembangunan (%) = Rasio pertumbuhan output terhadap pertumbuhan populasi = Rasio upah sektoral = Rataan jumlah anggota keluarga kawasan (jiwa/KK) = Rasio jenis kelamin laki-laki terhadap wanita kawasan
4.3.7. Blok Degradasi Taman Nasional Degradasi hutan taman nasional dipengaruhi oleh perkembangan sosial ekonomi kawasan dan akan terus meningkat jika tekanan terhadap lahan semakin besar. Upaya pelestarian taman nasional harus terintegrasi dengan pembangunan
98
kawasan dan manajemen hutan pada zona penyangga, karena penurunan luas hutan kawasan dan tutupan hutan zona penyangga akan mendorong peralihan areal eksploitasi sumber daya hutan. Persamaan perilaku pada blok degradasi taman nasional terdiri dari; Degradasi zona penyangga (DEGHS)
DEGHS = h1.0 + h1.1PFOR + h1.2REPG + h1.3UNEM + h1.4RPLOG + h1.5RKBMT + h1.6LHPHS + h1.7DKAW1 + h1.8DKAW2 + h1.9DESE + h1.10KRIS + (56) h1.11YEAR + e48 Parameter dugaan diharapkan: h1.2, h1.3, h1.4, h1.5, h1.6, h1.9, h1.11, h1.10, h1.11 > 0 dan h1.1, h1.7, h1.8 < 0 Rasio luas tutupan hutan zona penyangga terhadap taman nasional (RHSTN)
RHSTN = h2.0 + h2.1DEGHS + h2.2REPG + h2.3ECOS + h2.4PEVE + h2.5RPLOG + h2.6LHPHS + h2.7DKAW1 + h2.8DKAW2 + h2.9DESE + h2.10KRIS + (57) h2.11YEAR + e49 Parameter dugaan diharaphan: h2.2, h2.7, h2.8, h2.9, h2.10 > 0 dan h2.1, h2.3, h2.4, h2.5, h2.6, h2.11 < 0
Degradasi taman nasional (DEGTN)
DEGTN = h3.0 + h3.1RHSTN + h3.2PDBK + h3.3UNEM + h3.4RPLOG + h3.5RKBMT + h3.6LHPHS + h3.7DKAW1 + h3.8DKAW2 + h3.9DESE + (58) h3.10KRIS + h3.11YEAR + e50 Parameter dugaan diharaphan: h3.3, h3.4, h3.5, h3.6, h3.7, h3.8, h3.9, h3.10 > 0 dan h3.1, h3.2 < 0 Dimana: DEGHS RHSTN DEGTN REPG UNEM PFOR LHPHS RPLOG RKBMT
= Tingkat degradasi hutan zona penyangga (%) = Rasio luas tutupan zona penyangga terhadap TNKS = Tingkat degradasi taman nasional (%) = Rasio pertumbuhan output terhadap pertumbuhan populasi = Tingkat pengangguran terbuka kawasan (%) = Porsi luas hutan kawasan (%) = Luas areal hutan konsesi sekitar TNKS (Ha) = Harga riel kayu balok (Juta rupiah/m3) = Rasio harga kayu bakar terhadap harga minyak tanah
Hubungan antara berbagai variabel dalam satu blok maupun antar blok seperti Gambar 21.
99
xi6
xi7
xi5
DEPR
SSPG
TPAK
DEGTN
xi4
xi3
PLPG
SSKB)
PWET PDRY
PPGOT RHSTN
LABS
DEGHS
UNEM
SSTN
ECOG
SSIK
PTEM PHOU
PEST
ECOS
PCUL
PLKB PGRA PKBOT
PUSE PDYK PFOR
SSHT
INCP
PSWA
PWOD
xi1 xi2 PAGC
PAGE
PIDE
PTRE
PHRE
PUKC
PWRE
PRDE
POTE
PEVE
PROC
PSRE
POTE
PSWE
Keterangan: = Variabel endogen
= Hubungan perilaku
= Variabel eksogen
= Hubungan identitas
= Beberapa endogen menjadi eksplanatori ke-i pada blok ke -j
= Blok
Gambar 21. Hubungan Antar Blok dan Variabel dalam Penelitian
100
4.4.
Identifikasi Model dan Metode Estimasi Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat
keharusan berdasarkan Koutsoyiannis (1977) dengan formula sebagai berikut: (G – g) + (K - k) ≥ (G – 1) atau (K – k) ≥ (g – 1) dimana: G g K k
= Jumlah seluruh peubah endogen dalam model = Jumlah peubah endogen yang tercakup dalam setiap persamaan = Jumlah seluruh peubah eksogen dalam model = Jumlah peubah eksogen yang tercakup dalam setiap persamaan
Identifikasi model pada persamaan simultan untuk menentukan metode estimasi menunjukkan
bahwa
model
adalah
overidentified
sehingga
parameter-
parameternya dapat diduga dan berdasarkan hal tersebut digunakan metode estimasi Two Stage Least Square (TSLS). Metode estimasi untuk bentuk persamaan rekursif triangle dan SUE masing-masing adalah TSLS dan Seemingly Unrelated Regression (SUR). Mengatasi masalah otokorelasi, maka untuk setiap persamaan digunakan variabel boneka (dummy variable) yang terdiri dari dummy kawasan dan dummy periode krisis dan desentralisasi. Deteksi otokorelasi (autocorrelation) data times series dan cross section menggunakan uji Durbin-Watson (dw) yang didefinisikan sebagai berikut: T
2 ∑ (εˆ t − εˆ t −1 )
dw = t =2
T
∑ εˆ t
2
t =2
dimana: ĕ = nilai sisa (residual)
101
Kriteria untuk uji statistik adalah nilai dw mendekati 2 maka nilai statistik dw mendekati 0 yang menunjukkan tidak ada otokorelasi. Pengolahan data, estimasi model dan simulasi kebijakan menggunakan program Excel 2000 dan SAS/ETS 6. 4.5. Validasi Model Validasi dilakukan untuk mengetahui kevalidan model yang akan digunakan untuk simulasi kebijakan. Validasi model berdasarkan Pindyck dan Rubinfield (1991) menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), dan Theil Inequality Coefficient (U-theil). Makin kecil nilai RMSE, RSMPE dan U semakin baik model penduga dengan nilai U-theil berkisar antara 0 dan 1. Indikator lain yang digunakan adalah nilai koefisien determinasi (R2) dimana semakin tinggi nilai R2 maka semakin besar variasi perubahan peubah endogen aktual mampu dijelaskan oleh peubah endogen simulasi dasar yang menunjukkan model semakin baik. 4.6. Simulasi Dampak Kebijakan Simulasi dalam penelitian terdiri dari simulasi historis (1993 – 2003) dan simulasi peramalan (2007 – 2010) untuk mengidentifikasi dampak kebijakan pada masa akan datang. 4.6.1. Simulasi Historis Simulasi historis untuk evaluasi dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah dan dilakukan secara bertahap dengan beberapa skenario kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah, yaitu:
102
Simulasi dampak desentralisasi untuk mengidentifikasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong perkembangan sosial ekonomi yang mengalami penurunan akibat krisis ekonomi. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor prioritas yang terdiri dari sektor transportasi, pengembangan wilayah dan sumber daya manusia masingmasing sebesar 5% dari pengeluaran rutin untuk mengidentifikasi dampak prioritas pembangunan tanpa adanya realokasi pengeluaran rutin terhadap indikator yang diamati. Realokasi pengeluaran rutin masing-masing sebesar 5%, 10% dan 15% untuk pengeluaran pembangunan. Simulasi dilakukan sampai rasio pengeluaran rutin dan pembangunan mendekati rata-rata alokasi pada saat sebelum krisis, yaitu pada saat alokasi pengeluaran pembangunan mendekati angka 50%. Kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor prioritas masing-masing 5% dan 10% dengan realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan sebesar 15%. Simulasi dilakukan untuk mengidentifikasi sektor prioritas terbaik dengan kriteria indikator ekonomi dan tenaga kerja serta degradasi hutan zona penyangga sesuai diharapkan dan degradasi hutan taman nasional paling kecil. Kombinasi kebijakan dilanjutkan jika hasil simulasi belum mencapai peningkatan degradasi taman nasional mendekati nol melalui peningkatan alokasi sektor pengeluaran pembangunan prioritas dan realokasi pengeluaran rutin dengan tingkat yang sama. Hasil simulasi yang diperoleh selanjutnya
103
disebut dengan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan. Pemilihan tiga sektor yang menjadi prioritas dalam simulasi dampak kebijakan didasarkan pada kecenderungan dan isu yang terjadi baik pada tingkat nasional, regional maupun lokasl, yaitu; a. Sektor transportasi (PTRE) dengan isu sentral adanya kebijakan pemerintah pusat untuk lebih mengembangkan infrastruktur transportasi dan keinginan pemerintah daerah Kabupaten Kerinci sebagai wilayah paling terkait dengan taman nasional guna membuka aksesibilitas wilayah dengan wilayah lainnnya. b. Sektor pembangunan wilayah (PRDE) dengan isu sentral adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah urban dan pedesaan yang telah mendorong terjadinya distribusi pendapatan yang tidak merata. Pembangunan wilayah seperti pembukaan areal transmigrasi menjadi salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan akan sumber daya lahan. c. Sektor sumber daya manusia (PHRE) dengan isu sentral adanya amanat UUD pasal 31 ayat 4 untuk meningkatkan alokasi anggaran pembangunan sektor pendidikan minimal 20% dari total anggaran baik pada tingkat nasional maupun daerah. 4.6.2. Simulasi Peramalan Simulasi peramalan dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan lingkungan selama periode 2007 – 2010, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
104
1. Peramalan nilai-nilai variabel eksogen menggunakan metode STEPART TREND 2 dan nilai variabel endogen = 1. 2. Simulasi peramalan nilai dasar dengan menggunakan SIMNLIN dan untuk meminimalisir dampak trend dari model ekonometrika maka variabel YEAR diseragamkan menjadi 2003 sebagai tahun dasar peramalan. 3. Simulasi peramalan dampak realokasi 25% pengeluaran rutin dengan prioritas 20% untuk sektor pengeluaran pembangunan sumber daya manusia, dan sisanya 5% terdistribusi untuk sektor-sektor pengeluaran pembangunan lainnya. Realokasi 25% merupakan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah yang berimbang antara pengeluaran rutin dan pembangunan dengan rasio mendekati 50:50. Prioritas 20% untuk mencapai alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumber daya manusia mendekati 16 – 20%. 4. Simulasi peramalan untuk perubahan kecenderungan alokasi pengeluaran pembangunan melalui peningkatan realokasi pengeluaran rutin, yaitu: a. Realokasi pengeluaran rutin sebesar 27% dengan prioritas 21% untuk sektor pengeluaran pembangunan sumber daya manusia, dan sisanya 6% terdistribusi untuk sektor-sektor pengeluaran pembangunan lainnya. b. Realokasi pengeluaran rutin sebesar 29% dengan prioritas 22% untuk sektor pengeluaran pembangunan sumber daya manusia, dan sisanya 7% terdistribusi untuk sektor-sektor pengeluaran pembangunan lainnya.. Evaluasi masing-masing skenario kebijakan untuk simulasi historis dan peramalan menggunakan indikator pada tiga aspek pembangunan berkelanjutan.
105
Tabel 10. Variabel Indikator dan Kriteria Umum yang Digunakan Dalam Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah No
Variabel
1
Ekonomi
2
3
Hasil Diharapkan
Notasi
Satuan
a. Pangsa PDB sektor pertanian kawasan
ECOS
(%)
Menurun
b. Pertumbuhan output kawasan
ECOG
(%)
Meningkat
c. Output perkapita kawasan
PDBK
(%)
Meningkat
a. Tingkat partisipasi angkatan kerja
TPAK
(%)
Meningkat
b. Pangsa tenaga kerja sektor pertanian
LABS
(%)
Menurun
c. Tingkat pengangguran terbuka
UNEM
(%)
Menurun
a. Porsi Hutan Kawasan
PFOR
(%)
Menurun/Tetap
b. Degradasi hutan zona penyangga
DEGHS
(%)
Menurun/Tetap
c. Degradasi hutan taman nasional
DEGTN
(%)
Menurun/Tetap
Sosial
Lingkungan
V.
PERKEMBANGAN KAWASAN DAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
Perkembangan sosial ekonomi kawasan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terkait dengan penggunaan sumberdaya oleh para pelaku ekonomi. Peningkatan permintaan terhadap sumberdaya lahan seiring meningkatnya aktivitas ekonomi, mendorong terjadinya konversi hutan kawasan untuk penggunaan lain. Tekanan terhadap sumberdaya lahan yang tidak terkendali akan mendorong terjadinya peralihan pemanfaatan sumberdaya hutan, sehingga degradasi hutan berupa kehilangan tutupan hutan pada kawasan konservasi akan meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa deforestasi kawasan dan degradasi hutan taman nasional terkait dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan yang mempengaruhi deforestasi kawasan dan degradasi hutan taman nasional adalah pola kebijakan anggaran pemerintah daerah. Alokasi pengeluaran pemerintah daerah secara langsung akan mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dan konversi hutan kawasan, dan secara tidak langsung mempengaruhi degradasi hutan taman nasional. 5.1.
Alokasi Pengeluaran Pemerintah dan Kredit Perbankan Kawasan Pembiayaan pembangunan suatu daerah terdiri dari pembiayaan sektor
publik (pengeluaran pemerintah) dan sektor swasta (kredit perbankan). Perilaku kedua jenis pembiayaan pembangunan ini saling terkait, dan saling melengkapi
107
satu sama lain dan dapat mempengaruhi pola pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat. Pembiayaan sektor swasta meskipun tidak dapat dikontrol secara langsung oleh pemerintah daerah, tetapi perilakunya dapat dipengaruhi melalui berbagai kebijakan termasuk dalam alokasi anggaran daerah karena perilaku pemerintah dalam alokasi pengeluaran pembangunan akan menjadi pedoman bagi sektor swasta dalam pengambilan keputusan. 5.1.1. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kawasan Pengeluaran pemerintah daerah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan dengan alokasi seperti disajikan pada Tabel 11. Nilai nominal pengeluaran pemerintah secara umum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan penerimaan, tetapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda antara pengeluaran rutin dan pembangunan. Laju pertumbuhan pengeluaran rutin yang lebih besar dibanding pembangunan menyebabkan alokasi pengeluaran pembangunan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Faktor yang diduga menjadi penyebab peningkatan alokasi pengeluaran rutin adalah peningkatan kebutuhan anggaran belanja pegawai seperti gaji dan berbagai fasilitas
lainna
serta
kemungkinan
penyalahgunaan
wewenang.
Alokasi
pengeluaran pembangunan selama periode sentralisasi (1998 – 2000) mengalami penurunan setelah implementasi desentralisasi fiskal (2001 – 2003) untuk ketiga kawasan. Penurunan yang tajam terjadi pada kawasan Bengkulu dari rata-rata 36.78% menjadi 24.18%, dan kawasan Sumatera Barat dari 39.40% menjadi 26.04%.
108
Tabel 11. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah Sekitar TNKS Selama Periode Sentralisasi (1998 – 2000) dan Desentralisasi (2001 – 2003) No
Kawasan dan sektor
Sentralisasi (1998-2000) Alokasi Nilai (Juta) (%)
Desentralisasi (2001-2003) Nilai Alokasi (Juta) (%)
Perubahan Alokasi (%)
Bengkulu 1 Pertanian 2 Industri dan dunia Usaha 3 Transportasi 4 Pengembangan wilayah 5 Sumberdaya manusia 6 Riset dan pengembangan 7 Kesejahteraan sosial 8 Lingkungan 9 Sumberdaya air 10 Lainnya Pembangunan Rutin Jumlah
2 237.92 2 347.81 12 174.03 16 063.66 6 344.19 369.31 3 170.85 2 360.62 246.01 7 198.77 52 513.18 90 253.98 142 767.17
1.57 1.64 8.53 11.25 4.44 0.26 2.22 1.65 0.17 5.04 36.78 63.22 100.00
5 139.60 5 267.30 18 228.94 11 747.86 11 551.19 1 264.40 6 407.51 1 612.94 5 008.32 29 328.15 95 556.21 299 672.10 395 228.30
1.30 1.33 4.61 2.97 2.92 0.32 1.62 0.41 1.27 7.42 24.18 75.82 100.00
-0.27 -0.31 -3.91 -8.28 -1.52 0.06 -0.60 -1.25 1.09 2.38 -12.60 12.60
Jambi 1 Pertanian 2 Industri dan dunia Usaha 3 Transportasi 4 Pengembangan wilayah 5 Sumberdaya manusia 6 Riset dan pengembangan 7 Kesejahteraan sosial 8 Lingkungan 9 Sumberdaya air 10 Lainnya Pembangunan Rutin Jumlah
2 534.35 1 883.46 10 933.20 8 691.34 6 074.26 421.69 1 543.39 2 782.96 580.45 6 536.46 41 981.56 89 466.42 131 447.99
1.93 1.43 8.32 6.61 4.62 0.32 1.17 2.12 0.44 4.97 31.94 68.06 100.00
2 368.83 7 042.30 33 418.48 14 993.90 8 159.02 1 768.69 5 541.11 2 611.64 5 647.29 18 621.07 100 172.31 246 666.01 346 838.32
0.68 2.03 9.64 4.32 2.35 0.51 1.60 0.75 1.63 5.37 28.88 71.12 100.00
-1.25 0.60 1.32 -2.29 -2.27 0.19 0.42 -1.36 1.19 0.40 -3.06 3.06
Sumbar 1 Pertanian 2 Industri dan dunia Usaha 3 Transportasi 4 Pengembangan wilayah 5 Sumberdaya manusia 6 Riset dan pengembangan 7 Kesejahteraan sosial 8 Lingkungan 9 Sumberdaya air 10 Lainnya Pembangunan Rutin Jumlah
2 032.62 1 992.32 16 014.57 13 728.44 7 617.47 282.54 1 969.17 2 924.61 95.80 4 851.22 51 508.73 79 208.72 130 717.45
1.55 1.52 12.25 10.50 5.83 0.22 1.51 2.24 0.07 3.71 39.40 60.60 100.00
3 736.41 3 838.24 31 641.30 9 247.60 12 797.89 885.25 3 607.26 2 698.59 2 204.37 18 120.94 88 777.86 252 139.81 340 917.67
1.10 1.13 9.28 2.71 3.75 0.26 1.06 0.79 0.65 5.32 26.04 73.96 100.00
-0.46 -0.40 -2.97 -7.79 -2.07 0.04 -0.45 -1.45 0.57 1.60 -13.36 13.36
109
Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan diikuti dengan menurunnya alokasi pengeluaran seluruh sektor dalam pengeluaran pembangunan, kecuali sektor industri dan dunia usaha, sektor riset dan pengembangan serta sektor transportasi (khusus kawasan Jambi). Peningkatan alokasi sektor transportasi pada kawasan Jambi mengindikasikan masih adanya kesadaran bagi pemerintah daerah setempat bahwa untuk meningkatkan aktivitas ekonomi melalui peningkatan infrastruktur jalan. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor riset dan pengembangan seluruh kawasan mengindikasikan adanya upaya peningkatan produktivitas, sedangkan peningkatan alokasi sektor industri dan dunia usaha sebagai upaya mendorong transformasi struktural pada pasar output dan tenaga kerja guna mengurangi ketergantungan terhadap sektor pertanian. Alokasi pengeluaran pembangunan antar sektor dan perubahan antar periode dipengaruhi oleh orientasi pembangunan dan kebijakan alokasi pengeluaran rutin seperti disajikan pada Tabel 12. Secara umum kecenderungan arah perubahan data aktual dan hasil estimasi menunjukkan arah yang sama kecuali beberapa sektor pengeluaran pembangunan. Perbedaan arah diduga disebabkan oleh arah perubahannya sama pada dua kawasan, tetapi secara ratarata keseluruhan selama kurun waktu penelitian arah perubahan berbeda. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab perbedaan arah perubahan adalah fluktuasi alokasi pengeluaran pembangunan seperti sektor pertanian yang sampai awal krisis masih meningkat tetapi menurun pada saat krisis dan kembali meningkat pada periode desentralisasi sehingga hasil estimasi menunjukkan kecenderungan meningkat dan secara rata-rata menurun.
110
Tabel 12. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Sektor Pengeluaran Pembangunan (%) Sektor pengeluaran pembangunan No
Variabel
1
Intersep
2
Rasio rutin – pembangunan
Pertanian
Industri dan Bisnis
Sumberdaya Air
Lingkungan
Pengembangan Wilayah
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
-60.426
0.705
-364.408
0.076
-131.057
0.241
-181.766
0.461
821.987
0.459
0.096
0.579
-0.565
0.014
-0.245
0.049
-0.064
0.809
-1.576
0.195
3
Struktur penerimaan
4.864
0.644
21.684
0.107
11.037
0.139
5.734
0.724
-41.511
0.571
4
Dummy “Jambi”
-0.206
0.280
-0.165
0.481
-0.277
0.042
0.154
0.596
0.199
0.879
5
Dummy “Sumbar”
-0.242
0.204
-0.004
0.986
0.102
0.433
0.320
0.274
-0.596
0.647
6
Desentralisasi
-0.797
0.038
-0.031
0.946
1.048
0.000
-1.491
0.014
-3.189
0.217
7
Krisis
0.046
0.886
-0.597
0.145
-0.269
0.234
0.311
0.532
6.355
0.009
8
Tahun
0.031
0.699
0.184
0.074
0.066
0.240
0.092
0.459
-0.407
0.464
Sektor pengeluaran pembangunan No
Variabel
Sumberdaya Manusia
Kesejahteraan Sosial
Koefisien
Transportasi Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Riset & Pengembangan
Sektor lain
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
1
Intersep
1697.501
0.061
434.465
0.405
115.868
0.587
-25.729
0.688
-384.226
0.456
2
Rasio rutin – pembangunan
-3.736
0.001
-0.962
0.096
-0.676
0.007
-0.105
0.139
-0.415
0.456
3
Struktur penerimaan
81.021
0.167
9.771
0.775
-4.953
0.725
0.098
0.981
-85.935
0.018
4
Dummy “Jambi”
2.295
0.034
0.473
0.442
-1.190
0.000
-0.059
0.439
-1.558
0.016
5
Dummy “Sumbar”
0.293
0.774
0.437
0.476
-0.877
0.002
0.228
0.006
-0.097
0.872
6
Desentralisasi
4.173
0.046
-0.402
0.735
0.639
0.200
0.146
0.327
1.726
0.153
7
Krisis
-4.240
0.023
0.737
0.484
0.122
0.777
-0.035
0.790
-0.612
0.556
8
Tahun
-0.840
0.063
-0.215
0.412
-0.056
0.600
0.013
0.683
0.197
0.446
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
111
Peningkatan alokasi pengeluaran rutin akan mendorong penurunan alokasi pengeluaran pembangunan hampir seluruh sektor pengeluaran pembangunan seperti sektor industri dan dunia usaha, sumberdaya air dan irigasi, transportasi, pengembangan sumberdaya manusia dan kesejahteraan sosial. Implikasi peningkatan alokasi pengeluaran rutin ini menyebabkan semakin menurunnya ransangan pemerintah pada sektor-sektor tersebut, sehingga diduga akan mempengaruhi angka beban ketergantungan, penawaran dan permintaan tenaga kerja sektoral dan pertumbuhan output, serta kesejahteraan masyarakat. Alokasi masing-masing sektor pengeluaran tidak mengalami perubahan nyata dari tahun ke tahun, kecuali sektor industri dan dunia usaha, dan sektor sumberdaya air dan irigasi yang cenderung mengalami peningkatan nyata. Perbedaan antar periode baik periode krisis maupun implementasi desentralisasi fiskal yang tidak nayat mengindikasikan belum adanya perubahan paradigma dalam alokasi pengeluaran pemerintah daerah untuk lebih menyesuaikan alokasi anggaran dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Alokasi pengeluaran pembangunan secara umum cenderung menurun dengan meningkatnya alokasi pengeluaran rutin, kecuali sektor pertanian yang tetap meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan ekonomi kawasan terhadap sektor pertanian yang relatif tinggi mendorong pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan alokasi sektor ini dan cenderung untuk menurunkan alokasi sektor pengeluaran pembangunan lainnya. Upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dilakukan dengan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri dan dunia usaha,
112
dan sumberdaya air dan irigasi. Peningkatan alokasi sektor industri dan dunia usaha dilakukan untuk menggali sumberdaya ekonomi non-pertanian dan peningkatan nilai tambah, sedangkan peningkatan alokasi sektor sumberdaya air dan irigasi adalah untuk meningkatkan produktivitas komoditas pertanian terutama pangan. Kedua kebijakan diharapkan mampu meningkatkan output sektor non-pertanian, sehingga akan meningkatkan penerimaan pemerintah daerah dari pajak dan restribusi. Pada kawasan Sumatera Barat alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi merupakan yang tertinggi dibanding kawasan lainya, sedangkan sektor sumberdaya air dan irigasi serta sektor lainnya merupakan yang terendah. Pada kawasan Jambi sektor pengeluaran riset dan pengembangan merupakan yang terbesar, sedangkan untuk kawasan Bengkulu adalah sektor kesejahteraan sosial. Hal ini sesuai dengan karakteristik masing-masing kawasan dimana mobilitas masyarakat kawasan Sumatera Barat sebagai kawasan yang lebih dahulu berkembang membutuhkan prasarana transportasi yang lebih besar untuk membuka aksesibilitas masyarakat, sedangkan kawasan Jambi dengan tingkat kesejahteraan (output perkapita) terendah dan relatif lebih lambat berkembang membutuhkan anggaran yang lebih besar untuk pembinaan keluarga dan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Perbedaan antar periode menunjukkan terjadinya penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan lingkungan, dan sebaliknya untuk pembangunan infrastruktur baik irigasi dan transportasi mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode desentralisasi upaya untuk
113
meningkatkan infrastruktur pendukung produksi pangan dengan dukungan peningkatan
infrastruktur
transportasi.
Peningkatan
juga
diduga
akibat
meningkatnya kebutuhan anggaran untuk memperbaiki berbagai fasilitas irigasi dan jalan raya yang mengalami kerusakan selama periode krisis ekonomi, dan perubahan harga-harga yang mendorong kenaikan biaya pembangunan dan pemelihaaan infrastruktur. Hal ini terlihat dengan penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi pada periode krisis yang berimplikasi menurunnya aggaran pembangunan dan pemeliharaan sarana transportasi. Perbedaan alokasi antar periode baik krisis maupun desentralisasi ternyata tidak banyak mendorong perubahan kecenderungan alokasi pengeluaran masingmasing sektor dari tahun ke tahun. Alokasi sektor pembangunan yang mengalami peningkatan nyata dari tahun hanya sektor industri dan dunia usaha, dan sebaliknya alokasi sektor transportasi mengalami penurunan. Peningkatan alokasi sektor industri dan dunia usaha terkait dengan upaya mendorong peingkatan PAD dan perubahan struktur ekonomi, sedangkan penurunan alokasi sektor transportasi terkait dengan upaya peningkatan aksesibilitas lebih dominan untuk pemeliharaan dibanding dengan pembangunan sarana transportasi. 5.1.2. Distribusi Kredit Perbankan Kawasan Alokasi pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan yang cenderung turun mengindikasikan semakin rendahnya intervensi pemerintah, sehingga dibutuhkan peran lebih besar sektor swasta. Perilaku pembiayaan sektor swasta sangat terkait dengan orientasi pembangunan daerah seperti perilaku
114
pembiayaan sektor riel berupa penyebaran kredit perbankan baik berdasarkan sektor, kelompok sasaran maupun jenis penggunaan. Perkembangan nilai kredit, pertumbuhan dan proporsinya untuk sektor pertanian, investasi dan modal kerja, serta usaha kecil dan menengah (UKM) disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Perkembangan Nilai dan Penyebaran Kredit pada Periode Sentralisasi dan Desentralisasi No 1
Jenis Kredit
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
302.54
355.87
406.91
378.91
447.41
703.22
-5.43
1.04
8.48
17.98
15.59
30.05
a. Nilai (juta)
197.23
267.48
205.11
177.01
178.19
297.24
b. Pertumbuhan
-12.45
-6.28
-12.78
3.98
2.14
53.59
65.19 Kredit Investasi dan Modal Kerja
75.16
50.41
46.72
39.83
42.27
263.21
313.35
313.57
264.33
286.85
461.87
-7.91
-2.72
0.74
9.50
5.84
34.31
87.00 Kredit Usaha Kecil dan Menengah
88.05
77.06
69.76
64.11
65.68
a. Nilai
94.81
79.03
241.75
139.94
203.20
284.75
b. Pertumbuhan
11.46
8.61
2.99
15.86
38.45
15.83
c. Proporsi
31.34
22.21
59.41
36.93
45.42
40.49
Total kredit b. Pertumbuhan Kredit sektor pertanian
c. Proporsi 3
a. Nilai b. Pertumbuhan c. Proporsi 3
Desentralisasi (2001 – 2003)
Jambi
a. Nilai (juta) 2
Sentralisasi (1998 – 2000) Bengkulu
Nilai kredit yang disalurkan sektor perbankan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun baik pada periode sentralisasi (1998 – 2000) maupun pada periode desentralisasi (2001 – 2003), kecuali kawasan Bengkulu yang mengalami penurunan selama periode sentralisasi. Berdasarkan sektor, pertumbuhan nilai kredit pada periode sentralisasi tidak diikuti oleh meningkatnya nilai kredit sektor pertanian sehingga proporsi kredit sektor pertanian menurunan, dan pada periode desentralisasi meskipun nilai kredit meningkat tetapi pertumbuhannya lebih
115
rendah dibanding nilai kredit non-pertanian, sehingga proporsi kredit sektor pertanian tetap turun. Kondisi kedua periode ini menyebabkan proporsi kredit sektor pertanian menurun dari sekitar 60% pada periode sentralisasi menjadi sekitar 50% pada periode desentralisasi. Kondisi yang sama terjadi pada penyebaran kredit berdasarkan penggunaan dimana proporsi kredit investasi dan modal kerja cenderung mengalami penurunan dari sekitar 70% menjadi sekitar 60%, sebagai implikasi laju pertumbuhan kredit produksi ini yang lebih rendah dibanding pertumbuhan kredit konsumsi. Kondisi berbeda terjadi pada penyebaran kredit berdasarkan kelompok sasaran, dimana proporsi kredit usaha kecil dan menengah (UKM) mengalami peningkatan kecuali pada kawasan Sumatera Barat. Pertumbuhan nilai kredit UKM yang lebih tinggi dibanding kredit usaha besar merupakan implikasi dari meningkatnya jenis usaha kecil dan menengah, serta adanya perhatian yang lebih besar dari pemerintah daerah pada sektor ini. Hal ini akan terlihat pada perilaku penyebaran kredit dimana peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk industri dan dunia usaha akan mendorong peningkatan proporsi kredit UKM seperti disajikan Tabel 14. Proporsi kredit produksi (investasi dan modal kerja) cenderung mengalami penurunan disebabkan oleh peningkatan kesejahteraan (rasio pertumbuhan output terhadap pertumbuhan populasi), dan alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri dan dunia usaha serta aksesibilitas masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kesejahteraan rakyat akibat berkembangnya aksesibilitas masyarakat terhadap perekonomian akan mendorong semakin
116
meningkatnya kredit konsumsi. Laju pertumbuhan kredit konsumsi yang lebih cepat dibanding kredit investasi dan modal kerja akan menyebabkan semakin kecilnya penyebaran kredit sektor industri dan dunia usaha. Peningkatan output perkapita dari tahun ke tahun termasuk setelah implementasi desentralisasi fiskal menyebabkan proporsi kredit sektor produksi semakin menurun seiring meningkatnya kredit konsumsi. Tabel 14. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Kredit Perbankan (%) No
Variabel
1 2
Intersep
3 4 5 6
Tingkat suku bunga Kredit produksi Kredit UKM Rasio pert. output - populasi Output perkapita
Proporsi kredit produksi Koefisien
Koefisien
8328.123
0.000
-0.004 -
0.954 -
16
0.319
-1408.027
0.653
0.313 -1.613
0.195 0.063
0.002 1.793
0.980 0.000
-
-
0.001
0.995
-1.516
0.303
-
-
0.794
0.481
0.961
0.801
-0.465
0.752
-
-
-
-
-1.450
0.570
0.133 0.040
6.087 -1.783
0.243 0.105
-0.111
0.785
-2.149 -0.650
14 15
8252.988
-
Alokasi PP industri Alokasi PP transportasi
13
Prob
0.038 0.314
9
12
Koefisien
-
Pangsa output pertanian
10 11
Proporsi kredit pertanian
Prob
-0.821 15.686
7 8
Alokasi PP. pertanian
Prporsi kredit UKM
Prob
Alokasi PP peng. wilayah
-0.270
0.374
1.841
0.083
-0.376
0.438
Dummy “Jambi” Dummy “Sumbar”
1.342 -1.120
0.897 0.479
24.601 -0.342
0.493 0.950
-0.271 5.275
0.985 0.023
Desentralisasi
-6.605
0.043
-2.538
0.830
4.594
0.356
Krisis 1.360 0.678 -10.410 0.356 -2.862 0.498 Tahun -4.145 0.000 -4.065 0.322 0.675 0.664 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Laju pertumbuhan kredit sektor produksi untuk UKM lebih rendah dibanding usaha besar, sehingga peningkatan proporsi kredit sektor produksi tidak diikuti dengan meningkatnya proporsi kredit UKM. Pada sisi lain peningkatan aksesibilitas melalui peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi akan mendorong perkembangan usaha besar, sehingga
117
kebutuhan pembiayaan pembangunan melalui kredit usaha besar tumbuh lebih cepat dibanding UKM. Proporsi kredit UKM akan meningkat jika sektor pengeluaran pembangunan wilayah meningkat, karena akan mampu mendorong pertumbuhan UKM pada daerah pedesaan. Ketergantungan kawasan terhadap sektor pertanian yang masih tinggi menyebabkan proporsi kredit produksi lebih banyak teralokasi untuk sektor pertanian. Hal ini terindikasi dengan peningkatan proporsi kredit investasi dan modal kerja yang diikuti dengan meningkatnya proporsi kredit sektor pertanian terutama perkebunan. Perkembangan perkebunan komersial di Provinsi Jambi yang relatif lebih cepat menyebabkan proporsi kredit sektor pertanian pada kawasan ini relatif lebih besar dibanding dengan kawasan lainnya. 5.2. Pola Penggunaan Lahan Kawasan Penggunaan lahan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi kawasan. Perkembangan penggunaan lahan dapat dijadikan sebagai proksi deforestasi yaitu terjadinya konversi hutan untuk penggunaan lainnya terutama budidaya secara permanen. Penggunaan lahan dan laju deforestasi kawasan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada kawasan Sumatera Barat yang menurun selama periode sentralisasi (1998 – 2000) seperti disajikan pada Tabel 15. Hal ini merupakan implikasi dari krisis yang mendorong ekspansi penggunaan lahan oleh masyarakat, dan berlanjut pada periode desentralisasi kecuali pada kawasan Bengkulu tetapi dengan laju deforestasi yang relatif lebih rendah.
118
Tabel 15. Perkembangan Penggunaan Lahan dan Laju Deforestasi Kawasan pada Periode Sentralisasi dan Desentralisasi
No
Kawasan dan jenis penggunaan
Sentralisasi (1998-2000) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Desentralisasi (2001-2003) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Bengkulu 1 Pemukiman 62.99 4.97 66.52 8.26 2 Lahan kering 215.87 17.03 246.99 30.68 3 Lahan rumputan 9.62 0.76 10.91 1.35 4 Kolam/Tambak 2.10 0.17 2.43 0.30 5 Lahan menganggur 85.75 6.76 101.37 12.59 6 Lahan kayuan 91.01 7.18 80.66 10.02 7 Lahan kebun 246.43 19.44 233.43 28.99 8 Lahan basah 47.33 3.73 48.56 6.03 9 Lahan rawa 16.48 1.30 14.30 1.78 Penggunaan lahan 777.58 61.34 805.17 63.52 Hutan kawasan 490.02 38.66 462.43 36.48 Total kawasan 1 267.60 100.00 1 267.60 100.00 Jambi 1 Pemukiman 38.80 2.73 36.82 3.67 2 Lahan kering 198.17 13.93 203.75 20.33 3 Lahan rumputan 12.93 0.91 5.75 0.57 4 Kolam/Tambak 0.56 0.04 0.42 0.04 5 Lahan menganggur 60.88 4.28 109.40 10.92 6 Lahan kayuan 158.07 11.11 81.04 8.09 7 Lahan kebun 449.41 31.60 499.25 49.82 8 Lahan basah 32.01 2.25 32.85 3.28 9 Lahan rawa 42.24 2.97 32.79 3.27 Penggunaan lahan 993.08 69.82 1002.07 70.45 Hutan kawasan 429.31 30.18 420.33 29.55 Total kawasan 1 422.40 100.00 1 422.40 100.00 Sumbar 1 Pemukiman 121.84 26.74 28.56 6.27 2 Lahan kering 14.30 3.14 112.42 24.68 3 Lahan rumputan 0.82 0.18 11.76 2.58 4 Kolam/Tambak 18.40 4.04 0.55 0.12 5 Lahan menganggur 137.25 30.12 30.56 6.71 6 Lahan kayuan 84.44 18.53 135.74 29.80 7 Lahan kebun 58.90 12.92 72.20 15.85 8 Lahan basah 3.28 0.72 60.54 13.29 9 Lahan rawa 16.48 3.62 3.12 0.69 Penggunaan lahan 455.71 48.75 455.46 48.72 Hutan kawasan 479.14 51.25 479.38 51.28 Total kawasan 934.84 100.00 934.84 100.00 Keterangan: Luas kawasan merupakan luas wilayah setelah dikurangi luas TNKS
Perubahan (%)
3.29 13.65 0.60 0.14 5.83 2.84 9.55 2.30 0.48 2.18 -2.18
0.95 6.40 -0.33 0.00 6.64 -3.03 18.23 1.03 0.30 0.63 -0.63
-20.47 21.54 2.40 -3.92 -23.41 11.27 2.93 12.57 -2.93 -0.03 0.03
119
Porsi luas kawasan hutan mengalami penurunan dari tahun 1994 sekitar 47.18% menjadi hanya 37.43% pada tahun 2003. Peningkatan penggunaan lahan ini didorong oleh peningkatan penggunaan lahan untuk budidaya seperti pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan yang meningkat dari 43.22% menjadi 51.83% dari total luas kawasan. Pada sisi lain pemanfaatan lahan yang tidak optimal dan konversi kawasan hutan untuk penggunaan lain telah mendorong semakin meningkatnya porsi lahan menganggur dari 5.54% menjadi 6.58%. Ekspansi lahan yang mendorong konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya terutama disebabkan oleh perkembangan perkebunan Tabel 16. Pada kawasan Bengkulu baik sebelum maupun pada periode desentralisasi, konversi hutan lebih dominan didorong oleh meningkatnya penggunaan lahan kering. Sebaliknya pada kawasan Jambi, deforestasi kawasan lebih banyak didorong melalui proses konversi hutan menjadi penggunaan untuk budidaya perkebunan. Hal ini terkait dengan struktur ekonomi masing-masing kawasan terutama dalam pembentukan PDB sektor pertanian. Pada kawasan Bengkulu pangsa sub-sektor pangan terutama pangan lahan kering relatif lebih besar dibanding sub-sektor lainnya, dan pada kawasan Jambi pangsa sub-sektor perkebunan relatif lebih besar. Hal yang berbeda terjadi pada kawasan Sumatera Barat dengan struktur tenaga kerja dan PDB pertanian pada periode sebelum desentralisasi relatif kecil sehingga deforestasi relatif rendah, tetapi implementasi desentralisasi fiskal mendorong terjadinya ekspansi penggunaan lahan terutama perkebunan.
120
Tabel 16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (%) Jenis penggunaan lahan No
Variabel
1
Intersep
2
Lahan Basah
Lahan Kering
Lahan Perkebunan
Tambak/Kolam
Lahan Rumputan
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
-266.466
0.158
5233.582
0.005
1899.348
0.458
-15.139
0.591
99.397
0.698
Pertumbuhan output
0.037
0.189
-0.451
0.085
-0.994
0.022
0.003
0.513
-0.039
0.315
3
Pertumbuhan populasi
0.104
0.120
-0.039
0.945
-0.085
0.924
-0.009
0.364
-0.082
0.369
4
Kepadatan penduduk
-0.021
0.653
1.218
0.004
-0.401
0.501
-0.001
0.908
0.114
0.028
5
Share sub-sektor pertanian ke-i
0.011
0.834
0.003
0.991
1.409
0.027
-0.008
0.428
0.443
0.150
6
Upah sektor pertanian
-0.058
0.249
1.047
0.040
1.744
0.049
-0.011
0.282
0.026
0.742
7
Harga pupuk
-0.771
0.005
0.507
0.824
-11.115
0.015
0.062
0.233
-0.727
0.093
8
Tingkat suku bunga
0.004
0.426
-0.050
0.270
0.179
0.028
-0.001
0.407
0.010
0.186
9
Alokasi PP sektor pertanian
0.103
0.231
0.122
0.878
2.095
0.154
0.016
0.287
0.013
0.927
10
Alokasi PP sektor transportasi
-0.028
0.128
-0.297
0.106
-0.449
0.159
0.005
0.143
0.000
0.995
11
Proporsi kredit sektor pertanian
-0.008
0.103
-0.090
0.069
-0.166
0.058
0.000
0.634
0.005
0.578
12
Dummy “Jambi”
3.165
0.016
-26.955
0.006
-0.555
0.961
-0.136
0.188
-1.187
0.260
13
Dummy “Sumbar”
-1.824
0.009
19.582
0.003
-9.708
0.289
-0.127
0.172
1.724
0.059
14
Desentralisasi
0.013
0.917
-1.520
0.248
-0.318
0.884
0.023
0.296
-0.153
0.468
15
Krisis
0.006
0.976
-0.821
0.685
-3.702
0.266
-0.007
0.848
-0.046
0.887
16
Tahun
0.136
0.151
-2.649
0.005
-0.923
0.473
0.008
0.588
-0.054
0.676
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
121
Tabel 16. Lanjutan (%) Jenis penggunaan lahan No
Variabel
Lahan Kayuan
Lahan Menganggur
Lahan rawa-rawa
Variabel
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
-948.287
0.339
-940.203
0.288
-213.926
0.684
Intersep
Proporsi lahan pemukiman Koefisien
Prob
-48.258
0.829
1
Intersep
2
Pertumbuhan output
0.259
0.099
0.040
0.772
-0.136
0.116
Pertumbuhan output
0.025
0.470
3
Pertumbuhan populasi
-0.133
0.700
0.424
0.182
0.015
0.934
Pertumbuhan populasi
0.031
0.703
4
Kepadatan penduduk
0.432
0.048
-0.423
0.018
-0.170
0.099
Kepadatan penduduk
0.000
0.992
5
Share sub-sektor pertanian ke-i
4.945
0.002
0.648
0.008
0.185
0.093
Jumlah rumah tangga
0.008
0.419
6
Upah sektor pertanian
-0.254
0.414
0.129
0.638
0.253
0.140
Harga semen
3.733
0.017
7
Harga pupuk
-1.969
0.237
-1.989
0.181
-2.416
0.013
Harga kayu balok
-0.064
0.000
8
Tingkat suku bunga
0.039
0.192
0.032
0.227
0.044
0.012
Upah minum regional
-0.029
0.469
9
Alokasi PP sektor pertanian
1.154
0.048
-0.170
0.730
0.638
0.046
Tingkat suku bunga
-0.007
0.303
10
Alokasi PP sektor transportasi
0.147
0.203
0.020
0.846
-0.110
0.089
Alokasi PP transportasi
-0.017
0.408
11
Proporsi kredit sektor pertanian
0.098
0.007
-0.024
0.413
-0.020
0.257
Alokasi PP pengemb. wilayah
0.006
0.636
12
Dummy “Jambi”
2.018
0.610
9.008
0.036
4.213
0.080
Dummy “Jambi”
-1.800
0.105
13
Dummy “Sumbar”
22.417
0.002
-10.873
0.002
-3.076
0.099
Dummy “Sumbar”
-1.579
0.081
14
Desentralisasi
-0.519
0.526
1.886
0.020
-0.280
0.529
Desentralisasi
0.117
0.598
15
Krisis
2.222
0.088
0.241
0.831
-0.649
0.347
Krisis
0.099
0.747
16
Tahun
0.451
0.366
0.475
0.285
0.111
0.674
Tahun
0.026
0.820
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
122
Peningkatan permintaan terhadap lahan basah didorong oleh meningkatnya kebutuhan seiring meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, tetapi sebaliknya peningkatan harga pupuk dan proporsi kredit sektor pertanian mendorong konversi lahan basah menjadi penggunaan lain. Porsi lahan basah pada kawasan Sumatera Barat lebih tinggi dibanding dengan kawasan lain, dan diikuti oleh kawasan Bengkulu. Kondisi yang sama terjadi pada lahan yang digunakan untuk pangan lahan kering, dimana peningkatan pertumbuhan populasi dan upah tenaga kerja sektor pertanian akan mendorong meningkatnya luas lahan kering. Kenaikan upah sektor pertanian akan menurunkan permintaan tenaga kerja terutama pada perkebunan komersial, dan buruh tani yang menganggur akan kembali mencurahkan tenaganya untuk melakukan budidaya pangan lahan kering guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Peningkatan proporsi kredit sektor pertanian serta aksesibilitas seiring dengan meningkatnya alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi dan kredit sektor pertanian akan mendorong konversi lahan kering menjadi penggunaan lain. Konversi lahan dari suatu bentuk penggunaan ke bentuk penggunaan lain terutama faktor budidaya tergantung profitabiltas lahan, sehingga komoditas pangan lahan kering yang lebih rendah akan dikonversi menjadi lahan untuk tanaman komersial yang lebih menguntungkan seperti perkebunan. Hal ini diduga menjadi penyebab menurunnya porsi lahan kering akibat meningkatnya aksesibilitas lahan dan kredit sektor pertanian. Perbandingan antar kawasan menunjukkan adanya perbedaan porsi lahan kering antar kawasan dengan porsi terbesar pada kawasan Jambi.
123
Porsi
penggunaan
lahan
perkebunan
berdasarkan
hasil
estimasi
menunjukkan kecenderungan yang menurun, tetapi data aktual menunjukkan terjadinya peningkatan dari 16.62% tahun 1994 menjadi 22.42% tahun 2004. Peningkatan porsi luas lahan perkebunan terjadi seiring meningkatnya peran subsektor ini dalam pembentukan output. Peningkatan penggunaan lahan perkebunan seiring meningkatkan upah tenaga kerja sektor pertanian mengindikasikan bahwa kenaikan upah akan mendorong meningkatnya supplai tenaga kerja, sehingga kelangkaan buruh tani perkebunan akan teratasi. Komoditas perkebunan secara finansial memiliki tingkat pengembalian investasi (return rate of investment) yang lebih tinggi dibanding komoditas lainnya, sehingga kenaikan suku bunga menyebabkan porsinya semakin tinggi. Pada sisi lain budidaya tanaman perkebunan yang bersifat intensif, seperti dalam penggunaan pupuk menyebabkan kenaikan harga pupuk akan mengurangi ekspansi lahan perkebunan. Nilai produktifitas yang lebih tinggi menyebabkan semakin tingginya pangsa output sektor pertanian, sehingga akan diikuti dengan penurunan porsi lahan perkebunan. Penggunaan lahan untuk sektor perikanan berupa tambak dan kolam tidak banyak mengalami perubahan dan porsinya relatif kecil dibanding penggunaan lainnya. Perbedaan nyata hanya terjadi antar kawasan, dimana porsi terbesar terdapat pada kawasan Jambi. Penggunaan lahan untuk sektor peternakan berupa padang pengembalaan menurun seiring dengan menurunnya peran sektor peternakan dalam pembentukan output kawasan, dan meningkatnya harga pupuk. Peningkatan kepadatan penduduk akan diikuti dengan meningkatnya porsi lahan
124
rumput-rumputan karena perkembangan populasi penduduk akan meningkatan permintaan terhadap produk peternakan terutama daging. Penggunaan lahan untuk tanaman kayuan meningkat seiring meningkatnya peran sub-sektor kehutanan dalam pembentukan output kawasan, dan permintaan produk kayu hasil budidaya. Alokasi pembiayaan pembangunan sektor pertanian baik berupa pengeluaran pemerintah maupun kredit juga mencakup sub-sektor kehutanan sehingga akan menjadi pendorong peningkatan budidaya kayu-kayuan baik oleh masyarakat maupun dunia usaha. Peningkatan juga terjadi selama terjadinya krisis ekonomi terutama untuk kawasan Sumatera Barat sebagai kawasan yang memiliki porsi terbesar. Lahan menganggur yang meningkat menunjukkan bahwa penggunaan sumberdaya lahan tidak optimal terutama setelah implementasi kebijakan desentralisasi. Peningkatan lahan menganggur ini didorong oleh semakin meningkatnya peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Pada sisi lain meningkatnya ekspansi lahan budidaya oleh masyarakat akibat kenaikan harga pupuk dan kepadatan penduduk menyebabkan porsi lahan menganggur semakin berkurang. Kondisi yang sama dengan lahan menganggur juga terjadi pada lahan rawa-rawa yang porsinya menurun akibat kenaikan harga pupuk dan kepadatan serta aksesibilitas terhadap lahan. Porsinya lahan rawa meningkat disamping semakin meningkatnya pangsa sektor pertanian juga akibat kenaikan upah tenaga kerja sektor pertanian dan suku bunga. Kedua jenis bentuk penggunaan lahan ini banyak terdapat pada kawasan Jambi dan Bengkulu.
125
Lahan non-budidaya lain yang mengalami peningkatan adalah lahan pemukiman, dan dipengaruhi oleh harga input untuk pembangunan rumah. Kayu merupakan input utama pembangunan pemukiman terutama pada daerah pedesaan, sehingga peningkatan harga kayu akan mengurangi ekspansi lahan pemukiman. Pada sisi lain peningkatan harga semen akan mendorong peningkatan penggunaan kayu sebagai substitusi dari semen, sehingga luas pemukiman pedesaan tetap akan meningkat, dan mendorong penurunan luas pemukiman perkotaan. Perumahan daerah perkotaan umumnya berlahan kecil dan sebaliknya perumahan pedesaan berlahan luas sehingga peningkatan harga semen tetap menyebabkan meningkatnya luas areal pemukiman. Hal ini diperkuat dari perbedaan antar kawasan dimana kawasan baru berkembang seperti Bengkulu dengan kepadatan penduduk relatif lebih rendah ternyata memiliki porsi lahan pemukiman lebih besar dibanding kawasan Sumatera Barat. Konversi lahan dari suatu penggunaan ke penggunaan lain dapat berupa konversi dari hutan menjadi budidaya, lahan budidaya menjadi pemukiman, lahan hutan dan budidaya menjadi non-budidaya (rawa-rawa atau menganggur), atau lahan non-budidaya menjadi pemukiman. Konversi antar berbagai bentuk penggunaan ini berlangsung secara dinamis, dan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, serta kebijakan pemerintah daerah. Berdasarkan data aktual dan hubungan antara berbagai bentuk penggunaan lahan hasil estimasi (Tabel 17) maka dapat diilustrasikan dinamika pola perubahan penggunaan lahan kawasan yang disajikan pada Gambar 22.
126
Tabel 17. Hasil Estimasi Hubungan Antara Berbagai Jenis Bentuk Penggunaan Lahan Jenis Penggunaan Lahan PWET
PDRY
PWET
1.00
-0.29
PDRY
-0.29
PEST
PEST
PDYK
PGRA
PWOD
PTEM
PSWA
PHOU
PFOR
-0.50
-0.20
-0.01
0.12
-0.04
0.02
0.17
0.72
1.00
0.57
-0.24
-0.12
-0.37
0.01
0.57
-0.43
0.30
-0.50
0.57
1.00
0.13
0.39
-0.28
0.17
0.53
-0.24
-0.77
PDYK
-0.20
-0.24
0.13
1.00
-0.21
0.03
0.29
-0.21
-0.35
0.77
PGRA
-0.01
-0.12
0.39
-0.21
1.00
0.07
-0.23
0.30
0.32
-0.52
PWOD
0.12
-0.37
-0.28
0.03
0.07
1.00
-0.46
0.15
0.17
0.56
PTEM
-0.04
0.01
0.17
0.29
-0.23
-0.46
1.00
-0.07
0.19
0.15
PSWA
0.02
0.57
0.53
-0.21
0.30
0.15
-0.07
1.00
-0.08
-1.22
PHOU
0.17
-0.43
-0.24
-0.35
0.32
0.17
0.19
-0.08
1.00
0.25
PFOR
0.72
0.30
-0.77
0.77
-0.52
0.56
0.15
-1.22
0.25
1.00
Penurunan luas kawasan hutan akan dikonversi menjadi perkebunan, lahan rumput-rumputan dan lahan rawa-rawa. Peningkatan luas penggunaan lahan perkebunan disamping berasal dari konversi hutan juga berasal dari konversi lahan basah dan lahan kayu-kayuan serta pemukiman. Penggunaan lahan rumputan meningkat juga dari hasil konversi lahan basah, lahan kering, lahan tambak dan kolam, serta lahan menganggur. Hal yang sama terjadi pada lahan rawa-rawa yang meningkat disamping berasal dari konversi hutan juga berasal dari lahan menganggur, tambak dan kolam serta pemukiman. Peningkatan kedua bentuk penggunaan lahan ini diduga terjadi dengan sendirinya dimana lahan basah dan kering, lahan tambak dan kolam, serta pemukiman yang ditinggalkan dengan sendirinya berubah menjadi lahan rawa dan rumputan.
127
PEMUKIMAN KAYU-KAYUAN
RAWA-RAWA
MENGANGGUR TAMBAK
HUTAN
PERKEBUNAN
RERUMPUTAN LAHAN KERING LAHAN BASAH
Keterangan: = Konversi hutan menjadi penggunaan lain = Konversi dari suatu penggunaan ke
Gambar 22. Pola Konversi Hutan dan Penggunaan Lahan 5.3.
Pola Budidaya Komoditas Kawasan Pilihan komoditas mencerminkan pola budidaya oleh masyarakat dan
dapat diproksi melalui porsi luas areal budidaya masing-masing komoditas. Perkembangan penggunaan lahan pangan masing-masing komoditas (Tabel 18) menunjukkan bahwa lahan tanaman pangan pada kawasan Bengkulu dan Jambi meningkat pada periode desentralisasi terutama lahan kering. Peningkatan pada kawasan Bengkulu tidak diikuti peningkatan luas areal budidaya pangan, dan diduga peningkatan terjadi pada luas areal tanaman sayuran dan buah-buahan. Pada kawasan Jambi peningkatan lahan pangan diikuti oleh peningkatan luas areal budidaya padi sawah dan beberapa komoditas pangan lahan kering lainnya seperti ubi kayu dan ubi jalar serta tanaman sayur-sayuran. Hal yang berbeda terjadi pada kawasan Sumatera Barat, terjadinya penurunan penggunaan lahan pangan didorong oleh penurunan luas areal beberapa komoditas pangan lahan kering.
128
Tabel 18. Rataan dan Perkembangan Luas Areal Budidaya Tanaman Pangan (Lahan Basah dan Kering) pada Masing-masing Kawasan No
Kawasan dan Jenis Komoditas
Bengkulu 1 Padi sawah 2 Padi ladang 3 Jagung 4 Kedele 5 Ubi kayu 6 Ubi jalar 7 Kacang Tanah 8 Lainnya Jumlah Jambi 1 Padi sawah 2 Padi ladang 3 Jagung 4 Kedele 5 Ubi kayu 6 Ubi jalar 7 Kacang Tanah 8 Lainnya Jumlah Sumbar 1 Padi sawah 2 Padi ladang 3 Jagung 4 Kedele 5 Ubi kayu 6 Ubi jalar 7 Kacang Tanah 8 Lainnya Jumlah
Sentralisasi (1998-2000) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Desentralisasi (2001-2003) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Perubahan (%)
27.31 18.26 26.37 5.44 9.16 8.66 5.78 162.23 263.21
10.38 6.94 10.02 2.07 3.48 3.29 2.20 61.64 100.00
26.65 11.72 16.33 1.70 7.14 5.79 4.99 221.25 295.55
9.02 3.96 5.52 0.58 2.41 1.96 1.69 74.86 100.00
-2.43 -35.82 -38.10 -68.75 -22.04 -33.15 -13.68 36.38 12.29
18.96 12.60 6.02 2.54 1.72 0.79 1.05 186.51 230.19
8.23 5.48 2.61 1.10 0.75 0.34 0.46 81.02 100.00
23.482 12.08 4.02 0.33 1.96 1.37 0.95 192.42 236.59
9.92 5.11 1.70 0.14 0.83 0.58 0.40 81.33 100.00
23.88 -4.15 -33.13 -87.12 13.61 72.95 -10.13 3.17 2.78
49.97 0.96 3.70 2.04 1.16 0.56 1.57 120.78 180.74
27.65 0.53 2.05 1.13 0.64 0.31 0.87 66.82 100.00
54.62 0.40 3.10 0.36 1.29 0.83 1.42 110.93 172.96
31.58 0.23 1.79 0.21 0.74 0.48 0.82 64.14 100.00
9.29 -57.90 -16.13 -82.18 10.94 48.78 -9.25 -8.15 -4.30
Perkembangan luas areal budidaya perkebunan sedikit berbeda dengan tanaman pangan, dimana beberapa komoditas utama mengalami peningkatan pada periode desentralisasi. Perkembangan luas areal budidaya dan proporsi masingmasing komoditas perkebunan disajikan pada Tabel 19.
129
Tabel 19. Rataan dan Perkembangan Luas Areal Budidaya Tanaman Perkebunan pada Masing-masing Kawasan No
Kawasan dan Jenis Komoditas
Bengkulu 1 Karet 2 Kelapa 3 Kopi 4 Kelapa sawit 5 Kulit manis 6 Lainnya Jumlah Jambi 1 Karet 2 Kelapa 3 Kopi 4 Kelapa sawit 5 Kulit manis 6 Lainnya Jumlah Sumbar 1 Karet 2 Kelapa 3 Kopi 4 Kelapa sawit 5 Kulit manis 6 Lainnya Jumlah
Sentralisasi (1998-2000) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Desentralisasi (2001-2003) Luas Porsi (ribu Ha) (%)
Perubahan (%)
51.97 7.42 87.03 15.39 7.42 77.20 246.43
21.09 3.01 35.32 6.24 3.01 31.33 100.00
50.87 7.78 112.89 22.77 7.38 31.73 233.43
21.79 3.33 48.36 9.75 3.16 13.59 100.00
-2.11 4.86 29.71 48.00 -0.44 -58.90 -5.27
219.70 4.45 15.85 39.26 57.94 112.21 449.41
48.89 0.99 3.53 8.74 12.89 24.97 100.00
248.41 5.49 18.15 21.73 54.45 151.03 499.25
49.76 1.10 3.63 4.35 10.91 30.25 100.00
13.07 23.34 14.48 -44.67 -6.02 34.59 11.09
15.59 10.10 12.73 7.05 11.50 27.47 84.44
18.47 11.96 15.07 8.35 13.62 32.53 100.00
18.09 9.66 19.25 9.10 15.99 0.12 72.20
25.05 13.38 26.65 12.60 22.15 0.16 100.00
15.98 -4.34 51.20 29.05 39.10 -99.57 -14.49
Penggunaan lahan perkebunan untuk kawasan Bengkulu meskipun mengalami penurunan, tetapi luas areal budidaya beberapa komoditas komersial seperti kelapa, kopi dan kelapa sawit mengalami peningkatan. Penurunan penggunaan lahan lebih banyak didorong oleh penurunan luas areal budidaya perkebunan tradisional seperti karet, kulit manis dan komoditas lainnya. Pada kawasan ini komoditas kopi merupakan komoditas perkebunan pilihan yang terlihat dari porsi luas areal yang mencapai hampir 50%. Kondisi yang sama terjadi pada kawasan Sumatera Barat, penurunan penggunaan lahan perkebunan
130
yang menurun ternyata tidak diikuti dengan menurunnya beberapa komoditas komersial seperti kopi, kelapa sawit dan kulit manis. Penurunan lebih banyak didorong oleh menurunnya luas areal budidaya komoditas perkebunan kelapa dan lainnya. Pada kawasan ini porsi luas areal budidaya beberapa komoditas perkebunan komersial relatif tersebar merata. Secara umum porsi luas areal budidaya sebagian besar komoditas pangan menurun meskipun bentuk penggunaan lahan basah dan kering meningkat, dan sebaliknya
hampir
seluruh
komoditas
perkebunan
meningkat
seiring
meningkatnya bentuk penggunaan lahan perkebunan. Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan rumah tangga petani terhadap tanaman holtikultura dan perkebunan realatif lebih tinggi. Keputusan rumah tangga petani untuk memilih komoditas pangan dan perkebunan dipengaruhi oleh faktor internal berupa karakteristik komoditas dan faktor eksternal berupa kebijakan pemerintah (Tabel 20 dan 21). Sebagian besar usaha tani pangan masih merupakan usaha tani subsisten yang terlihat dengan peningkatan harga output akan mendorong terjadinya penurunan luas areal terutama komoditas padi ladang dan ubi kayu. Hal yang sama juga terlihat dengan peningkatan produktivitas yang akan diikuti dengan menurunnya luas areal padi ladang dan kedele, tetapi sebaliknya peningkatan terjadi pada komoditas jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Peningkatan potensi lahan untuk lahan tanaman pangan terutama pangan lahan kering akan diikuti dengan menurunnya luas areal komoditas pangan dan hal ini meengindikasikan bahwa peningkatan luas lahan kering lebih dominan dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan (holtikultura). Sebaliknya peningkatan lahan basah akan diikuti dengan meningkatnya luas areal padi sawah karena komoditas padi
131
sawah merupakan tanaman monokultur lahan basah sehingga tidak memiliki komoditas pesaing. Kenaikan harga input seperti upah tenaga kerja sektor pertanian cenderung meningkatkan luas areal pangan terutama padi sawah dan ubi kayu, dan hal ini diduga karena kenaikan upah menyebabkan semakin berkurangnya permintaan tenaga kerja buruh tani sektor perkebunan. Kondisi ini akan menyebabkan rumah tangga untuk kembali secara intensif mengusahakan komoditas pangan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sebaliknya kenaikan harga kapital berupa suku bunga akan menurunkan luas areal komoditas yang secara ekonomi kurang menguntungkan seperti ubi kayu dan ubi jalar. Faktor pembiayaan pembangunan tidak begitu besar mempengaruhi perubahan pilihan komoditas pangan rumah tangga petani. Peningkatan proporsi kredit sektor pertanian mendorong semakin meningkatnya luas areal komoditas kacang kedele dan menurunkan luas areal ubi kayu, dan hal ini disebabkan karena kacang kedele secara ekonomi lebih memberikan ekspektasi keuntungan yang lebih baik dibanding dengan ubi kayu. Sebaliknya pembiayaan pertanian melalui sektor publik berupa peningkatan alokasi pengeluaran sektor pertanian menyebabkan semakin menurunnya luas areal kedele, dan peningkatan alokasi pengeluaran sumberdaya air dan irigasi akan mendorong terjadinya ekspansi komoditas ini. Pembiayaan sektor publik di luar sektor pertanian berupa peningkatan aksesibilitas transportasi akan mendorong konversi lahan ubi kayu menjadi komoditas lainnya.
132
Tabel 20. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Pangan Kawasan (%) Jenis komoditas pangan No
Variabel
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Kacang Tanah
Kacang Kedele
Ubi Jalar
Ubi Kayu
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
1
Intersep
548.823
0.186
289.139
0.472
-46.754
0.839
29.337
0.618
64.680
0.482
22.269
0.779
325.645
0.056
2
Rasio harga output–Input
-0.096
0.609
-0.239
0.089
-0.121
0.717
-0.006
0.522
0.011
0.690
-0.038
0.811
-1.188
0.003
3
Produktivitas
-0.045
0.698
-0.349
0.068
0.222
0.002
0.034
0.505
-0.400
0.004
0.016
0.059
0.035
0.095
4
Potensi lahan
0.964
0.023
-0.083
0.049
-0.060
0.007
-0.012
0.043
-0.019
0.065
-0.046
0.000
-0.029
0.062
5
Suku bunga
-0.005
0.591
-0.006
0.502
0.000
0.946
-0.001
0.608
-0.001
0.502
-0.003
0.206
-0.010
0.022
6
Upah sektor pertanian
0.223
0.061
0.095
0.343
-0.046
0.456
-0.002
0.895
0.031
0.217
0.018
0.395
0.056
0.204
7
Proporsi kredit pertanian
0.014
0.310
-0.011
0.397
-0.003
0.677
0.000
0.929
0.010
0.004
0.000
0.853
-0.010
0.085
8
Alokasi PP pertanian
-0.195
0.460
0.042
0.858
-0.193
0.218
-0.049
0.162
-0.160
0.008
-0.042
0.395
-0.074
0.461
9
Alokasi PP SD air
0.421
0.336
-0.183
0.600
0.135
0.547
0.046
0.391
0.314
0.001
0.007
0.917
-0.173
0.238
10
Alokasi PP transportasi
-0.031
0.423
-0.045
0.297
-0.030
0.221
-0.001
0.821
0.004
0.683
0.004
0.597
-0.037
0.048
11
Dummy “Jambi”
1.702
0.118
-1.515
0.000
-1.630
0.000
-0.315
0.000
0.027
0.721
-0.774
0.000
-0.587
0.000
12
Dummy “Sumbar”
0.615
0.311
-0.284
0.215
-1.407
0.000
-0.422
0.000
-0.372
0.000
-0.693
0.000
-0.166
0.108
13
Desentralisasi
-0.272
0.628
-0.282
0.562
-0.583
0.073
-0.047
0.516
-0.379
0.003
-0.065
0.523
0.199
0.323
14
Krisis
0.096
0.825
-0.489
0.196
-0.130
0.577
0.065
0.252
-0.023
0.794
0.106
0.190
-0.004
0.981
15
Tahun
-0.276
0.184
-0.142
0.479
0.025
0.826
-0.014
0.625
-0.032
0.485
-0.011
0.790
-0.162
0.057
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
133
Tabel 21. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Perkebunan Kawasan (%) Jenis komoditas perkebunan No
Variabel
Karet
Kelapa Sawit
Kelapa
Kopi
Kulit Manis
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
Koefisien
Prob
1
Intersep
304.191
0.649
-1139.597
0.036
-68.246
0.456
-142.512
0.817
-192.323
0.286
2
Rasio harga output–Input
0.351
0.003
-0.057
0.751
-0.021
0.715
0.171
0.026
-0.034
0.029
3
Produktivitas
-1.473
0.013
-0.268
0.000
-0.169
0.000
-2.817
0.032
-1.007
0.000
4
Potensi lahan
0.210
0.000
-0.069
0.034
-0.004
0.412
-0.144
0.005
-0.043
0.000
5
Suku bunga
-0.007
0.667
0.018
0.134
0.000
0.968
0.009
0.567
0.007
0.127
6
Upah sektor pertanian
0.091
0.616
-0.108
0.385
-0.010
0.671
0.051
0.751
-0.102
0.049
7
Proporsi kredit pertanian
-0.030
0.189
0.040
0.027
0.002
0.587
-0.021
0.360
-0.001
0.817
8
Alokasi PP pertanian
0.031
0.941
0.089
0.759
-0.045
0.421
-0.192
0.619
0.143
0.199
9
Alokasi PP SD air
-1.035
0.104
0.026
0.953
0.010
0.905
1.307
0.047
-0.022
0.883
10
Alokasi PP transportasi
-0.055
0.352
0.007
0.888
0.016
0.071
-0.134
0.042
-0.029
0.105
11
Dummy “Jambi”
0.298
0.595
-0.230
0.625
0.378
0.000
-6.622
0.000
0.553
0.001
12
Dummy “Sumbar”
9.362
0.000
2.727
0.000
-0.262
0.002
-5.335
0.000
4.112
0.000
13
Desentralisasi
0.672
0.435
-0.228
0.713
-0.009
0.942
-1.104
0.191
0.264
0.222
14
Krisis
0.075
0.914
-0.283
0.571
-0.014
0.882
-0.067
0.917
-0.275
0.129
15
Tahun
-0.151
0.651
0.570
0.036
0.034
0.452
0.078
0.802
0.098
0.280
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
134
Perbandingan antar kawasan mengindikasikan bahwa usaha tani pangan lahan kering menjadi pilihan rumah tangga pada kawasan Bengkulu dibanding kawasan lainnya, dan sebaliknya pangan lahan basah menjadi pilihan rumah tangga pada kawasan Sumatera Barat. Selama periode krisis ekonomi kenaikan harga-harga input seperti pupuk menyebabkan pilihan terhadap komoditas yang relatif membutuhkan sedikit pupuk seperti ubi jalar mengalami peningkatan, sedangkan selama periode desentralisasi terjadi penurunan luas areal kedele. Dampak krisis dan desentralisasi yang relatif kecil ini menyebabkan tidak terjadinya perubahan porsi luas areal budidaya masing-masing komoditas pangan kecuali ubi kayu yang mengalami penurunan. Ekspansi lahan perkebunan komersial terjadi akibat kenaikan harga output kecuali untuk komoditas kulit manis. Kenaikan harga kulit manis akan mendorong terjadinya panen secara berlebihan, dan sebagai implikasi dari sistem tebang habis maka dibutuhkan waktu relatif lebih lama untuk penanaman kembali. Pada sisi lain peningkatan produktivitas akan menurunkan luas areal, karena penanaman baru membutuhkan waktu beberapa tahun untuk produksi sehingga produksi persatuan luas tertentu menurun. Peningkatan bentuk penggunaan lahan perkebunan ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya luas areal seluruh komoditas, dan hanya terjadi pada komoditas karet. Berdasarkan kecenderungan penggunaan lahan perkebunan dari tahun ke tahun yang menurun, maka terinidikasi bahwa kondisi aktual yang terjadi adalah penurunan luas areal karet dan peningkatan luas areal komoditas lain terutama kelapa sawit, kopi dan kulit manis.
135
Faktor pembiayaan pembangunan yang berpengaruh terhadap pilihan komoditas perkebunan adalah peningkatan proporsi kredit sektor pertanian yang mendorong ekspansi areal kelapa sawit, dan alokasi pengeluaran sumberdaya air yang mendorong terjadinya konversi lahan perkebunan karet menjadi komoditas perkebunan dan tanaman kayu-kayuan. Pilihan terhadap komoditas kelapa sawit oleh sektor swasta ini diperkuat dengan peningkatan suku bunga yang juga mendorong ekspansi kelapa sawit. Faktor pembiayaan lain adalah peningkatan aksesibilitas melalui peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang mendorong peningkatan luas areal kelapa, tetapi sebaliknya mendorong konversi komoditas kopi dan kulit manis menjadi komoditas lain. Perbandingan antar kawasan mengindikasikan komoditas unggulan masing-masing kawasan, yaitu karet, kelapa sawit dan kulit manis pada kawasan Jambi, kelapa dan kulit manis pada kawasan Sumatera Barat, dan kopi pada kawasan Bengkulu. Kebijakan desentralisasi fiskal tidak memiliki dampak nyata dalam pilihan komoditas perkebunan, sedangkan krisis ekonomi hanya menyebabkan penurunan luas areal kulit manis. Hal ini menyebabkan tidak terjadi perubahan nyata dari tahun ke tahun pada luas areal sebagian besar komoditas perkebunan, kecuali komoditas kelapa sawit yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Luas areal usaha perikanan terutama perairan terbuka akan meningkat seiring dengan meningkatnya harga output, tetapi sebaliknya akan menurun dengan meningkatnya produktivitas (Tabel 22). Hal ini mengindikasikan bahwa usaha ikan budidaya dan perairan terbuka masih bersifat sub-sisten dan bertujuan
136
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Peningkatan potensi lahan budidaya akan mendorong peningkatan luas budidaya ikan, seperti peningkatan luas lahan basah yang diiringi peningkatan luas areal budidaya perikanan, tetapi sebaliknya peningkatan luas tambak/kolam akan menurunkan luas areal budidaya. Hal ini diduga karena pemanfaatan kolam/tambak lebih dominan untuk usaha perikanan tetapi dengan komoditas lain non-ikan. Peningkatan suku bunga mendorong peralihan usaha sub-sektor pertanian lain menjadi sub-sektor perikanan, terutama dengan meningkatnya luas areal penangkapan ikan perairan terbukan. Tabel 22. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Komoditas Perikanan Kawasan (%) No
Variabel
Ikan Budidaya Koefisien
Prob
Ikan Perairan Terbuka Koefisien Prob
1
Intersep
91.582
0.137
-114.131
2
Harga output
0.000
0.198
0.001
0.096 0.001
3
Produktivitas
-0.001
0.020
-0.002
0.067
4
Potensi lahan
0.176
0.035
-0.044
0.156
5
Porsi kolam dan tambak
-1.836
0.003
-
-
6
Suku bunga
0.001
0.559
0.003
0.126
7
Upah sektor pertanian
0.026
0.156
-0.046
0.036
8
Poroporsi kredit pertanian
-0.002
0.427
0.004
0.161 0.161
9
Alokasi PP sektor pertanian
0.020
0.628
-0.074
10
Alokasi PP sumberdaya air
-0.008
0.909
0.182
0.039
11
Dummy “Jambi”
-1.129
0.000
2.003
0.000
12
Dummy “Sumbar”
-0.423
0.011
1.136
0.000
13
Desentralisasi
-0.074
0.429
-0.095
0.390
14
Krisis
0.023
0.750
0.045
0.597
15
Tahun -0.046 0.139 0.057 0.096 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Perbandingan antar kawasan mengindikasikan bahwa ikan budidaya lebih dipilih masyarakat kawasan Bengkulu, dan sebaliknya masyarakat kawasan Sumatera Barat dan Jambi lebih memilih usaha ikan perairan terbuka. Kebijakan
137
pemerintah untuk
meningkatkan
ketersediaan
air
melalui pembangunan
infrastruktur seperti irigasi akan mengurangi akses masyarakat sehingga luas areal tangkap perairan terbuka akan menurun. Hal ini terlihat dengan peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya air dan irigasi akan menurunkan luas areal perairan terbuka. Perubahan dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa luas areal budidaya cenderung menurun, dan sebaliknya luas perairan terbuka cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan budidaya atau perairan terbuka bersifat substitusi dan mendorong terjadinya peralihan tenaga kerja antar kedua jenis usaha perikanan. 5.4.
Perkembangan Struktur Output Kawasan Struktur pasar output terlihat dari pangsa sektor primer (pertanian) dalam
pembentukan output kawasan, dan dalam perhitungan output sisi produksi sektor pertanian terdiri atas pangan dan holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan perikanan. Nilai dan pangsa sub-sektor pertanian (Tabel 23) menunjukkan sub-sektor pangan dan holtikultura pada ketiga kawasan memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan output yaitu sekitar 50% dari sektor pertanian atau 20 - 25% dari total. Pada kawasan Bengkulu pertumbuhan dan share output subsektor pangan relatif lebih tinggi, sedangkan pada kawasan Jambi dan Sumatera Barat share yang relatif lebih tinggi adalah sub-sektor perkebunan. Share subsektor perikanan kawasan Bengkulu dan Jambi menurun, tetapi sebaliknya kawasan Sumatera Barat meningkat, sedangkan pangsa sub-sektor kehutanan masih meningkat tetapi perannya dalam pembentukan output kawasan bervariasi.
138
Tabel 23. Perkembangan Nilai dan Pangsa Sub-sektor Pertanian dalam Pembentukan PDB Riel Masing-masing Kawasan No
Kawasan dan sektor
Bengkulu 1 Pangan 2 Perkebunan 3 Peternakan 4 Kehutanan 5 Perikanan Pertanian Non-Pertanian Total PDB Jambi 1 Pangan 2 Perkebunan 3 Peternakan 4 Kehutanan 5 Perikanan Pertanian Non-Pertanian Total PDB Sumbar 1 Pangan 2 Perkebunan 3 Peternakan 4 Kehutanan 5 Perikanan Pertanian Non-Pertanian Total PDB
Sentralisasi (1998-2000) Nilai Share (Rp milyar) (%)
Desentralisasi (2001-2003) Nilai Share (Rp milyar) (%)
Pertumbuhan (%)
252.13 94.02 36.00 34.50 29.75 446.39 555.90 1 002.29
25.16 9.38 3.59 3.44 2.97 44.54 55.46 100.00
303.11 80.82 39.71 34.87 15.04 473.56 607.58 1 081.14
28.04 7.48 3.67 3.23 1.39 43.80 56.20 100.00
20.22 -14.04 10.31 1.09 -49.43 6.09 9.30 7.87
167.20 132.63 30.11 5.55 42.88 378.37 448.93 827.30
20.21 16.03 3.64 0.67 5.18 45.74 54.26 100.00
179.57 146.17 31.86 5.83 36.12 399.54 497.71 897.25
20.01 16.29 3.55 0.65 4.03 44.53 55.47 100.00
7.40 10.21 5.81 5.03 -15.77 5.59 10.87 8.45
229.14 62.11 27.55 30.30 10.38 359.48 664.04 1 023.52
22.39 6.07 2.69 2.96 1.01 35.12 64.88 100.00
235.49 71.83 30.21 32.22 11.36 381.11 725.18 1 106.29
21.29 6.49 2.73 2.91 1.03 34.45 65.55 100.00
2.77 15.63 9.65 6.33 9.43 6.02 9.21 8.09
Pertumbuhan output sektor pertanian secara umum lebih lambat dibanding sektor non-pertanian, sehingga pangsa output sektor pertanian cenderung menurun dari tahun ke tahun meskipun realtif kecil termasuk pada periode desentralisasi. Hal ini mengindikasikan proses transformasi struktural pasar output yang lambat, dan penurunan terkait dengan penggunaan lahan dan komoditas budidaya yang diusahakan masyarakat dan perkembangan sektor non-pertanian seperti disajikan pada Tabel 24.
139
Tabel 24. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Share Sub-Sektor Pertanian Kawasan (%) No
Sub-sektor pertanian Peternakan Variabel Koefisien Prob
Variabel
Perikanan Koefisien
Prob
Variabel
Kehutanan Koefisien
Prob
Variabel
Pangan Koefisien
Prob
Variabel
Perkebunan Koefisien
Prob
1
Intersep
2.399
0.995
Intersep
-691.645
0.000
Intersep
27.063
0.707
Intersep
265.356
0.382
Intersep
-31.088
0.646
2
SSNPT
-0.172
0.493
SSNPT
-0.310
0.032
SSNPT
0.046
0.337
SSNPT
-0.251
0.253
SSNPT
-0.047
0.263
3
PLAPS
-0.485
0.215
PLAKR
0.094
0.361
PGRA
0.188
0.128
PDYK
2.880
0.727
PWOD
0.020
0.509
4
PLAPL
0.534
0.259
PLAKS
-0.448
0.019
POPS
0.004
0.498
PLFOW
0.415
0.774
PFOR
0.008
0.252
5
PLAJG
-1.207
0.136
PLAKP
-0.309
0.055
POPK
0.004
0.458
PLFBD
1.333
0.499
PHSTN
0.000
0.628
6
PLAKT
7.912
0.045
PLAKL
-2.425
0.040
POPM
0.000
0.936
DEGTN
-0.033
0.897
PAGE
0.037
0.647
7
PLAKD
3.067
0.133
PLAKM
0.801
0.066
PAGE
0.097
0.214
PAGE
0.101
0.790
PAGC
-0.002
0.618
8
PLAUJ
-4.642
0.090
PKBOT
0.053
0.313
PAGC
-0.004
0.276
PAGC
0.005
0.820
-
-
-
9
PLAUK
0.880
0.356
-
-
-
-
-
-
PWRE
-1.140
0.050
-
-
-
10
PPKOT
0.173
0.166
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11
DKAW1
-1.544
0.685
DKAW1
-0.505
0.673
DKAW1
-1.777
0.008
DKAW1
0.789
0.846
DKAW1
-0.323
0.462
12
DKAW2
-6.832
0.000
DKAW2
0.997
0.587
DKAW2
-0.043
0.879
DKAW2
3.327
0.271
DKAW2
-2.797
0.000
13
DESE
0.861
0.221
DESE
-0.969
0.010
DESE
0.046
0.722
DESE
0.986
0.218
DESE
-0.042
0.716
14
KRIS
-0.286
0.685
KRIS
-0.302
0.320
KRIS
-0.060
0.639
KRIS
0.248
0.693
KRIS
0.085
0.477
15
YEAR
0.016
0.932
YEAR
0.361
0.000
YEAR
-0.013
0.714
YEAR
-0.125
0.404
YEAR
0.018
0.588
Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Penurunan share masing-masing sub-sektor dalam perekonomian didorong oleh meningkatnya pangsa sektor non-pertanian (industri dan jasa), dan diduga terjadi akibat meningkatnya tenaga kerja terdidik. Perubahan dalam struktur output juga dipengaruhi oleh perilaku pilihan komoditas budidaya, seperti share sub-sektor pangan akan meningkat seiring dengan meningkatnya luas areal budidaya kacang tanah, dan sebaliknya menurun jika terjadi peningkatan luas areal budidaya jagung dan ubi jalar. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya opportunitas komoditas kacang tanah lebih tinggi dibanding pangan lainnya. Perbandingan antar kawasan menunjukkan bahwa peran sub-sektor pangan dalam perekonomian lebih tinggi pada kawasan Bengkulu dibanding lainnya. Share sub-sektor perkebunan meskipun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun tetapi tetap menurun seiring meningkatnya peran sektor nonpertanian. Peningkatan luas areal budidaya komoditas kulit manis menjadi faktor pendorong peningkatan share sub-sektor perkebunan, dan sebaliknya untuk kelapa sawit, karet, kopi dan kelapa. Komoditas kulit manis kurang memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) terutama dengan sektor industri pengolahan dan pemasaran masih dalam bentuk bahan mentah, sebaliknya komoditas seperti kelapa sawit, kopi dan kelapa memiliki keterkaitan ke depan terutama mendorong munculnya industri pengolahan. Nilai tambah dari produk yang memiliki keterkaitan dengan sektor industri ini dalam perhitungan output masuk dalam sektor industri. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan komoditas perkebunan harus diikuti dengan pembangunan industri pengolahan, sehingga pembangunan sektor perkebunan dapat seiring dengan pembangunan industri. Share sub-sektor yang meningkat selama periode desentralisasi menunjukkan peran sub-sektor perkebunan ini masih tetap penting.
141
Share
sub-sektor
pertanian
lain
seperti
peternakan
mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya porsi lahan rumput-rumputan sebagai sumber hijauan pakan dan areal pengembalaan ternak dan menjadi sub-sektor unggulan bagi kawasan Bengkulu. Peningkatan share sub-sektor kehutanan didorong oleh ekploitasi hutan sekitar TNKS dan terlihat dari penurunan luas tutupan hutan zona penyangga yang diikuti dengan meningkatnya share subsektor kehutanan. Keberadaan hutan konsesi (HPH) sekitar TNKS mendorong peningkatan output sektor kehutanan dan sebaliknya menyebabkan turunnya luas tutupan hutan sekitar TNKS. Sub-sektor kehutanan memiliki peran lebih besar dalam pembentukan output pada kawasan Sumatera Barat dibanding Bengkulu dan Jambi. Kebijakan pembangunan irigasi dan prasarana air bersih lainnya menyebabkan berkurangnya luas areal budidaya dan perairan terbuka sehingga share sub-sektor perikanan akan menurun.
5.5.
Perkembangan Output dan Sektor Tenaga Kerja Kawasan Perkembangan indikator ekonomi dan tenaga kerja pada masing-masing
kawasan sekitar TNKS selama periode sentralisasi dan desentralisasi disajikan pada Tabel 25. Implementasi kebijakan desentralisasi mampu mendorong semakin meningkatnya laju pertumbuhan output, dan jika lebih tinggi laju pertumbuhan populasi akan mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dengan indikator output perkapita. Tabel 25. Perkembangan Indikator Ekonomi dan Tenaga Kerja Masingmasing Kawasan No
Indikator ekonomi dan tenaga kerja
Sentralisasi
Bengkulu
Kawasan Jambi
Sumbar
142 1 Pertumbuhan output (%) 2 Pertumbuhan populasi (%) 3 Ouput perkapita (Rp. Juta) 4 Dependency ratio (%) 5 Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) 6 Tingkat pengangguran terbuka (%) 7 Pangsa tenaga kerja sektor pertanian (%) Desentralisasi 1 Pertumbuhan output (%) 2 Pertumbuhan populasi (%) 3 Ouput perkapita (Rp. Juta) 4 Dependency ratio (%) 5 Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) 6 Tingkat pengangguran terbuka (%) 7 Pangsa tenaga kerja sektor pertanian (%) Perubahan 1 Pertumbuhan output (%) 2 Pertumbuhan populasi (%) 3 Ouput perkapita (Rp. Juta) 4 Dependency ratio (%) 5 Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) 6 Tingkat pengangguran terbuka (%) 7 Pangsa tenaga kerja sektor pertanian (%)
2.05 2.85 1.16 65.18 63.03 5.44 74.49
2.41 0.12 1.15 59.16 59.58 4.00 70.25
1.89 0.78 1.25 73.27 54.35 3.61 62.88
3.42 1.82 1.17 64.24 64.48 5.46 75.58
2.97 1.39 1.21 56.38 59.05 3.17 77.03
4.44 1.43 1.31 71.24 54.82 4.81 68.72
1.37 -1.03 0.01 -0.94 1.45 0.02 1.09
0.56 1.28 0.05 -2.78 -0.53 -0.83 6.78
2.55 0.65 0.07 -2.03 0.47 1.20 5.83
Perbandingan laju pertumbuhan output antar kawasan belum menjelaskan secara keseluruhan keberhasilan perekonomian, karena belum mencerminkan tingkat kesejahteraan. Hal ini terlihat pada laju pertumbuhan output kawasan Bengkulu yang lebih dibanding kawasan Jambi, tetapi karena diiringi dengan laju pertumbuhan populasi yang juga tinggi, maka peningkatan output perkapita selama desentralisasi relatif lebih rendah. Peningkatan laju pertumbuhan output dan output perkapita antar kawasan menunjukkan bahwa kawasan Sumatera Barat relatif lebih tinggi dibanding lainnya, dan diduga terkait dengan struktur output kawasan dengan pangsa output sektor pertanian relatif lebih rendah. Pada pasar tenaga kerja, peningkatan laju pertumbuhan output pada periode desentralisasi fiskal terutama kawasan Bengkulu dan Sumatera Barat ternyata tidak diikuti dengan berkurangnya tingkat pengangguran. Peningkatan
143
permintaan tenaga kerja yang tidak mampu menutupi peningkatan supplai tenaga kerja (tingkat partisipasi angkatan kerja) menyebabkan tingkat pengangguran terbuka meningkat. Menurunnya tingkat pengangguran terbuka kawasan Jambi lebih disebabkan oleh penurunan supplai tenaga kerja, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Perbandingan kinerja perekonomian pada periode desentralisasi dan sentralisasi, secara umum mengindikasikan bahwa implementasi desentralisasi fiskal belum efektif dalam memecahkan permasalahan pembangunan pasca krisis. Indikasi ini terlihat dari stagnasi dalam proses transformasi struktural perekonomian, dimana ketergantungan pada sektor pertanian baik pada pasar output (Tabel 23) maupun tenaga kerja (Tabel 25) masih meningkat. Implikasi dari ketidakefektifan ini adalah peningkatan output perkapita relatif rendah, serta ketidakmampuan perekonomian dalam mengatasi masalah pengangguran terbuka. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa waktu pelaksanaan yang masih singkat dapat dijadikan suatu proses pembelajaran bagi daerah guna menghindari adanya keinginan kembali ke arah sistem sentralisasi, jika desentralisasi gagal menciptakan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Kinerja berbagai indikator perekonomian baik pada pasar output maupun pada pasar tenaga kerja perlu diketahui sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan seperti kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi indikator ekonomi dan tenaga kerja kawasan disajikan pada Tabel 26 dan 27.
144
Tabel 26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Output dan Output Perkapita Kawasan No
Laju pertumbuhan output kawasan (%)
Output perkapita kawasan (Rp. Juta)
Variabel
Koefisien
Prob
Variabel
Koefisien
Prob
1
Intersep
-701.109
0.324
Intersep
-65.984
0.006
2 3
Pangsa output pertanian Tkt Partisipasi Angk. Kerja
-0.825 0.754
0.140 0.037
Rasio pert. output-populasi Angka beban ketergantungan
0.007 -0.006
0.086 0.050
4
Pangsa TK sektor pertanian
0.466
0.002
Rasio upah sektoral
0.121
0.000
5
Porsi PAD terhadap PDB
75.572
0.631
Alokasi PP SDM
0.009
0.123
6 7
Alokasi PP sektor R&D
1.652
0.456
Alokasi PP Industri Proporsi kredit investasi
0.008 0.004
0.550 0.112
8
Proporsi kredit UKM
-0.018
0.558
Proporsi kredit UKM
0.000
0.633
9 10
Dummy “Jambi” Dummy “Sumbar”
3.539 4.012
0.533 0.063
Dummy “Jambi” Dummy “Sumbar”
0.160 0.005
0.000 0.828
11
Desentralisasi
-2.716
0.191
Desentralisasi
-0.010
0.779
12 13
Krisis -6.591 0.000 Krisis -0.047 0.153 Tahun 0.332 0.353 Tahun 0.034 0.005 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Transformasi struktural dalam pasar output akan berdampak positif bagi peningkatan laju pertumbuhan output, dimana penurunan pangsa output sektor pertanian akan mendorong peningkatan laju pertumbuhan output. Laju pertumbuhan output yang lebih tinggi juga dapat terjadi dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja. Pada sisi lain peningkatan laju pertumbuhan output kawasan masih didorong oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Dilema antara struktur output dan tenaga kerja ini merupakan implikasi dari ketimpangan pembangunan antar sektor, dan untuk itu dibutuhkan suatu keseimbangan pembangunan antar sektor melalui pembangunan industri berbasis sumberdaya (resources base industry) seperti agroindustri. Perbandingan antar kawasan menunjukkan laju pertumbuhan output pada kawasan Jambi relatif lebih tinggi dibanding kawasan lainnya, dan laju pertumbuhan mengalami penurunan
145
selama masa krisis ekonomi dan implementasi desentralisasi fiskal belum mampu mendorong laju pertumbuhan kembali seperti pada masa sebelum krisis. Peningkatan laju pertumbuhan output akan mendorong peningkatan output perkapita, tetapi hanya terjadi jika lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan populasi. Penurunan angka beban ketergantungan (dependency ratio) dapat mengindikasikan laju pertumbuhan populasi yang turun, sehingga laju pertumbuhan output yang terjadi akan mendorong meningkatnya output perkapita. Peningkatan output perkapita didorong oleh sektor non-pertanian yang terlihat dengan peningkatan rasio upah sektoral (non-pertanian terhadap pertanian) akan diikuti dengan meningkatnya output perkapita. Hal ini diperkuat dengan output perkapita kawasan Sumatera Barat dengan pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian relatif rendah dibanding kawasan lain, memiliki output perkapita lebih tinggi.
Peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia
untuk
mendorong
perkembangan sektor industri dan jasa menjadi faktor penting, sehingga salah satu kebijakan yang harus dilakukan pemerintah adalah peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia. Peningkatan rasio laju pertumbuhan output terhadap populasi akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Peningkatan output perkapita juga akan terjadi jika terjadi kenaikan upah sektor non-pertanian (UMR), dan sebaliknya menurun jika terjadi upah tenaga kerja sektor pertanian meningkat. Hal ini kembali mengindikasikan bahwa transformasi struktural terutama pada pasar tenaga kerja merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Struktur tenaga kerja dan kualitas sumberdaya manusia diduga menjadi
146
penyebab kawasan dengan sumberdaya manusia lebih dulu berkembang seperti Sumatera Barat memiliki output perkapita yang lebih tinggi dibanding lainnya. Tabel 27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Kawasan (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Angka Beban Ketergantungan Koefisien Prob Intersep 3990.779 0.003 Dependency Ratio Pangsa output pertanian Pangs TK pertanian Upah minimum regional Porsi penduduk usia kerja -0.562 0.018 Partisipasi angkatan kerja Pertumbuhan populasi -0.072 0.942 Rasio pert output-populasi Jumlah anggota keluarga 2.549 0.652 Rasio upah sektoral Alokasi PP Pertanian Alokasi PP Kesra -1.800 0.057 Alokasi PP SDM 0.163 0.720 Alokasi PP Industri Alokasi PP Proporsi kredit pertanian Proporsi kredit produksi Proporsi kredit UKM Dummy “Jambi” 7.260 0.009 Dummy “Sumbar” -1.010 0.793 Variabel
2.227
0.295
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Koefisien Prob 1031.467 0.157 -0.166 0.172 0.917 0.093 -0.256 0.935
0.035 0.075 1.147 -0.002 -1.078 -3.842
0.940 0.722 0.066 0.940 0.813 0.035
1.252
0.257
Pangsa Tenaga Kerja Pertanian Koefisien Prob 2888.888 0.130 0.817 0.385 -0.804 0.153 -3.026 0.187 -1.087 0.483 -2.192 0.109 0.224 0.235 -0.861 0.050 -0.027 0.606 -11.712 0.198 -7.144 0.056 -1.106
0.717
Tingkat Pengangguran Koefisien Prob -619.416 0.278 0.001 0.992 0.094 0.281 0.002 0.962 -0.177 0.216 0.041 0.461 -0.030 0.130 -0.027 -1.096 -2.635
0.723 0.105 0.456 0.019 0.026 0.518 0.002
0.717
0.378
22
Desentralisasi
23 24
Krisis 0.372 0.862 0.200 0.848 1.457 0.612 0.402 0.486 Tahun -1.946 0.003 -0.526 0.159 -1.367 0.146 0.313 0.272 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Pertumbuhan penduduk tinggi menyebabkan struktur penduduk usia muda akan meningkat, sehingga laju pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan seperti melalui pengembangan program keluarga berencana (KB). Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor kesejahteraan rakyat efektif menurunkan laju pertumbuhan penduduk, dan meningkatkan porsi penduduk usia kerja sehingga
147
angka beban ketergantungan (dependency ratio) akan menurun. Perbandingan antar kawasan menunjukkan angka beban ketergantungan kawasan Sumatera Barat lebih tinggi, sedangkan antara kawasan Bengkulu dan Jambi relatif tidak berbeda. Tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat seiring turunnya angka beban ketergantungan, dan rasio jenis kelamin (laki-laki dan wanita) meningkat karena sebagian besar wanita usia kerja terutama pada pedesaan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Peningkatan partisipasi angkatan kerja juga terjadi jika perhatian pemerintah daerah terhadap sektor industri dan jasa meningkat yang dapat diindikasikan dengan peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri dan dunia usaha. Struktur umur yang didominasi oleh penduduk usia muda, dan konsentrasi penduduk pada sektor pertanian pedesaan diduga menjadi penyebab rendahnya partisipasi angkatan kerja di kawasan Bengkulu dibanding kawasan lainnya. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri dan dunia usaha akan diikuti dengan meningkatnya kredit investasi dan modal kerja. Peningkatan ini akan mendorong migrasi tenaga kerja antar sektor, sehingga pangsa tenaga kerja sektor pertanian akan menurun, dan sebaliknya jika terjadi peningkatan proporsi kredit sektor pertanian. Perbandingan antar kawasan menunjukkan bahwa pangsa tenaga kerja sektor pertanian sebagaiman pasar output pada kawasan Bengkulu lebih tinggi dibanding kawasan lainnya. Peningkatan partisipasi angkatan kerja yang diiringi dengan peningkatan pengangguran terbuka mengindikasikan bahwa peningkatan supplai tenaga kerja
148
lebih besar dari permintaan. Kebijakan pemerintah dalam alokasi pengeluaran pembangunan sektor industri dan dunia usaha, dan peningkatan proporsi kredit investasi dan modal kerja yang lebih mengarah pada kapital intensif menyebabkan meningkatnya pengangguran terbuka. Pemecahan masalah pengangguran oleh pemerintah daerah dapat dilakukan dengan lebih berpihak pada usaha kecil dan menengah (UKM), karena peningkatan proporsi kredit UKM akan diikuti dengan peningkatan penyerapan atau permintaan tenaga kerja. Pengembangan UKM sektor jasa dan industri yang memiliki employment effect lebih besar harus lebih diperhatikan dalam upaya menurunkan tingkat pengangguran terbuka, terutama pada kawasan Bengkulu dengan pangsa tenaga kerja sektor pertanian dan peningkatan supplai tenaga kerja lebih tinggi. Pada kawasan Jambi pengembangan UKM bidang agroindustri terutama pengolah produk perkebunan dapat menjadi salah satu alternatif pilihan, sedangkan kawasan Sumatera Barat tetap mempertahankan UKM sektor jasa perdagangan sesuai karakteristik masyarakat. 5.6.
Tingkat Degradasi Hutan Zona Penyangga dan Taman Nasional Perkembangan sosial ekonomi kawasan dengan struktur ekonomi lebih
didominasi oleh sektor pertanian menyebabkan tekanan lebih besar terhadap sumberdaya lahan dan hutan termasuk taman nasional. Eksploitasi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan luas tutupan hutan baik pada zona penyangga maupun taman nasional mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Tabel 28.
149
Tabel 28. Perkembangan Tutupan Hutan Zona Penyangga dan Taman Nasional Masing-masing Kawasan No
Variabel
Zona Penyangga Bengkulu
Jambi
Taman Nasional Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Sentralisasi 1
Tutupan hutan (ribu Ha)
2
Laju degradasi (%/tahun)
468.01
629.54
748.17
145.42
241.71
430.46
0.18
0.11
0.27
0.27
0.09
0.16
463.89
622.32
746.26
139.08
240.08
426.17
0.91
0.56
1.05
2.60
1.12
1.65
Desentralisasi 1
Tutupan hutan (ribu Ha)
2
Laju degradasi (%/tahun)
Perubahan 1
Tutupan hutan (ribu Ha)
-4.12
-7.22
-1.91
-6.35
-1.63
-4.28
2
Laju degradasi (%/tahun)
0.72
0.45
0.79
2.33
1.03
1.49
Degradasi hutan yang menyebabkan penurunan luas tutupan hutan dari tahun ke tahun terjadi pada periode sentralisasi dan bahkan laju degradasi mengalami peningkatan pada periode desentralisasi. Peningkatan laju degradasi hutan seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan output (Tabel 27) mengindikasikan bahwa orientasi pembangunan ekonomi masih cenderung pada pertumbuhan (Pro-growth), sehingga eksploitasi sumberdaya lahan tidak hanya pada kawasan non-konservasi tetapi juga pada taman nasional. Tingkat degradasi hutan taman nasional dan zona penyangga dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor ekonomi, sosial maupun kelembagaan dan kebijakan pemerintah daerah seperti disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Degradasi Taman Nasional dan Zona Penyangga No
Variabel
1
Intersep
2
Porsi hutan kawasan
Degradasi hutan zona penyangga (%) Koefisien Prob
Rasio tutupan hutan terhadap TNKS Koefisien Prob
Degradasi hutan taman nasional (%) Koefisien Prob
-2377.947
0.000
3155.019
0.003
-57.908
0.890
-0.195
0.006
-
-
-
-
150 3
5
Degradasi zona penyangga Rasio tutupan hutan zona penyangga-TNKS Rasio pert. output-populasi
6
Tingkat pengangguran
7
Output perkapita
4
8
Alokasi PP Lingkungan
9
11
Harga kayu balok Rasio harga kayu bakarminyak tanah Luas HPH sekitar TNKS
12
Dummy “Jambi”
10
-
-
0.265
0.365
-
-
-
-
-
-
-0.058
0.669
0.262
0.031
-0.044
0.789
-
-
-0.232
0.389
-
-
-0.278
0.110
-
-
-
-
-2.380
0.497
-
-
-0.076
0.892
-
-
-0.215
0.002
0.109
0.195
0.021
0.472
0.035
0.857
-
-
-0.156
0.204
-0.001
0.893
-0.025
0.017
-0.003
0.575
-8.825
0.000
85.826
0.000
7.133
0.533
13
Dummy “Sumbar”
-9.001
0.000
23.663
0.000
3.577
0.218
14
Desentralisasi
-0.746
0.364
0.773
0.581
-0.810
0.147
15
Krisis
6.936
0.000
-6.886
0.013
1.169
0.203
16
Tahun 1.202 0.000 -1.557 0.003 0.035 0.867 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% (P < 0.15)
Peningkatan ketersediaan sumberdaya lahan alternatif di luar kawasan konservasi akan mengurangi tekanan terhadap hutan zona penyangga, dan terlihat dengan peningkatan luas hutan kawasan diikuti menurunnya tingkat degradasi hutan zona penyangga. Pada sisi lain peningkatan laju pertumbuhan output, dan harga kayu yang turun akan mendorong terjadinya eksploitasi hutan pada zona penyangga. Peningkatan harga kayu akan mengurangi proses perambahan hutan oleh masyarakat dan perusahaan HPH, karena pada masyarakat sub-sisten kuantitas output yang rendah sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok, dan pada sisi lain perusahaan HPH akan mengurangi dan lebih selektif dalam penebangan karena dengan kuantitas sedikit maka target pendapatan sudah tercapai. Perbandingan tingkat degradasi antar kawasan menunjukkan bahwa perbedaan persepsi pemanfaatan zona penyangga akan berpengaruh terhadap degradasi zona hutan zona penyangga. Tingkat degradasi pada kawasan Jambi yang menganggap zona penyangga memiliki fungsi hidro-ekologis penting bagi
151
sumber supplai air bagi kehidupan, memiliki tingkat degradasi relatif lebih rendah dibanding kawasan Bengkulu dan Sumatera Barat yang menginginkan zona ini dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi. Tingkat degradasi hutan zona penyangga meningkat selama periode krisis, dan diduga menjadi penyebab peningkatan nyata degradasi dari tahun ke tahun. Penurunan tingkat degradasi pada periode desentralisasi merupakan implikasi dari kesepakatan antara pemerintah daerah untuk lebih melindungi taman nasional dan zona penyangganya. Peningkatan
degradasi
hutan
zona
penyangga
selanjutnya
akan
menurunkan rasio luas tutupan hutan zona penyangga terhadap taman nasional. Pemberiaan hak konsesi kepada perusahaan HPH pada zona penyangga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya alih fungsi lahan dan relatif rendahnya rehabilitasi hutan yang dilakukan. Rasio tutupan hutan ini pada kawasan Sumatera Barat relatif lebih besar dibanding kawasan lain, meskipun degradasinya lebih tinggi dibanding kawasan Jambi. Rasio paling rendah terdapat pada kawasan Bengkulu yang disebabkan karena luas yang relatif kecil diikuti dengan tingkat degradasi hutan yang lebih besar dibanding kawasan lain. Peningkatan degradasi zona penyangga dari tahun ke tahun menyebabkan rasio mengalami penurunan dari tahun ke tahun terutama pada periode krisis. Upaya mengurangi tekanan terhadap taman nasional antara lain melalui peningkatan kesejahteraan, dan perubahan struktural dalam pasar tenaga kerja. Tingkat degradasi hutan taman nasional akan menurun seiring meningkatnya kesejahteraan yang terlihat dari peningkatan rasio pertumbuhan output terhadap populasi, dan turunnya pangsa tenaga kerja sektor pertanian. Tingkat degradasi
152
taman nasional mengalami penurunan setelah kesepakatan pemerintah kawasan pada tahun 2001 atau seiring dengan implementasi desentralisasi ternyata belum mampu mengurangi tekanan terhadap taman nasional, sehingga tingkat degradasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. 5.7.
Ikhtisar Berdasarkan perilaku pada masing-masing blok dalam penelitian, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sementara antara lain: 1. Peningkatan alokasi pengeluaran rutin menyebabkan alokasi pengeluaran hampir seluruh sektor pembangunan cenderung mengalami penurunan, sehingga perekonomian tidak bekerja sesuai dengan kapasitas sebenarnya. 2. Ketergantungan terhadap sektor pertanian baik pada pasar output maupun tenaga kerja akan berimplikasi pada laju pertumbuhan output yang rendah, sehingga akan menimbulkan masalah dalam kesejahteraan masyarakat dan tingkat pengangguran terbuka yang meningkat dari tahun ke tahun. 3. Ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian juga menyebabkan tekanan lebih besar terhadap lahan, yaitu peningkatan deforestasi kawasan, dan degradasi taman nasional dan zona penyangga dari tahun ke tahun. 4. Implementasi desentralisasi fiskal belum mampu mendorong perubahan paradigma pembangunan dari orientasi pertumbuhan menjadi pembangunan yang lebih berimbang antara berbagai aspek pembangunan. Penataan alokasi pengeluaran pemerintah perlu dilakukan guna mengintegrasikan pembangunan kawasan dan upaya pelestarian taman nasional.
153
5. Pengaruh alokasi pengeluaran pemerintah daerah bersifat tidak langsung terhadap taman nasional, tetapi melalui perkembangan sosial ekonomi kawasan, seperti disajikan pada Gambar 23. DEFO PRDE PUKC
PTRE
PIDE
PROC
PAGE
PWRE
LUSEi
PILKi
PAGC PSWE ECOS DEPR ECOG TPAK
PDBK DEGHS
LABS DEGTN UNEM
PHRE
Gambar 23. Hubungan Alokasi Pengeluaran Degradasi Hutan Taman Nasional
Pembangunan
dan
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994 - 2003
6.1.
Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator validasi untuk menentukan
kelayakan model ekonometrika dalam simulasi kebijakan pengeluaran pemerintah daerah disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Distribusi Indikator Kelayakan Model Berdasarkan Hasil Validasi Model Alokasi Pengeluaran Pemerintah No
Indikator
1
RMSE
2
3
4
RMSPE
R-Square
U-Theil
Validasi
Klasifikasi < 30 % 30 – 60 % > 60 % < 30 % 30 – 60 % > 60 % > 0.8 0.6 – 0.8 < 0.6 < 0.1 0.1 – 0.2 > 0.2
Distribusi Jumlah
Persentase (%)
58 0 0
100.00 0.00 0.00
40
68.97
10
17.24
8
13.79
38
65.52
10
17.24
10
17.24
39
67.24
17
29.31
2
3.45
model untuk mengetahui daya prediksi model yang akan
digunakan dalam simulasi kebijakan dengan menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), R-Square dan U-Theil. Pada penelitian simulasi kebijakan dan tidak untuk peramalan
155
(simulasi ex-ante) sehingga kriteria yang menjadi acuan utama adalah RMSE, RSquare dan Coefficient Theil (U-Theil) berserta dekomposisinya. Berdasarkan hasil validasi model dengan indikator RMSE menunjukkan seluruh persamaan memiliki nilai RMSE lebih kecil dari 30%. Nilai RMSPE lebih bervariasi tetapi sebagian besar masih di bawah 30% yaitu pada 40 persamaan (68.97%) sedangkan sisanya dengan nilai antara 30 – 60% pada 10 persamaan (17.24%) dan lebih besar dari 60% pada 8 persamaan (13.79%). Penyebaran nilai RMSPE yang bervariasi lebih disebabkan oleh faktor data terutama data kehutanan, pilihan komoditas pangan lahan kering dan perkebunan serta variasi antar kawasan. Kelayakan model juga terlihat dari nilai R-Square yang sebagian besar lebih besar dari 0.8 yaitu pada 38 persamaan (65.52%) dan 0.6 - 0.8 dan lebih kecil dari 0.6 masing-masing 10 persamaan (17.24%). Kedua indikator ini menunjukkan bahwa model cukup valid untuk digunakan dalam simulasi karena secara umum memiliki daya prediksi yang bagus. Kelayakan model juga didukung dengan nilai U-theil yang sebagian besar mendekati nilai 0 dimana sekitar 57 persamaan (96.55%) memiliki U-theil lebih kecil dari 0.2 dan nilai U-theil terbesar adalah 0.24 pada persamaan porsi luas areal perkebunan lainnya. Nilai U-theil yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan bahwa jika nilai mendekati 0 maka model mendekati sempurna dan sebaliknya semakin tidak sempurna jika mendekati 1. Kelayakan model juga diperkuat dengan hasil dekomposisi U-Theil (Lampiran 10) dimana bias proporsi (UM),
156
bias varian (UR) dan bias kovarian (US) sebagian besar mendekati 0 dan sebaliknya nilai kovarian (US) dan nilai kovarian (UC) mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa bias model akan semakin kecil dan nilai hasil prediksi mendekati nilai yang sebenarnya. Berdasarkan hasil validasi model dengan menggunakan berbagai indikator di atas maka secara umum dapat dinyatakan bahwa model alokasi pengeluaran pemerintah ini layak digunakan dalam simulasi kebijakan. Untuk melakukan simulasi ex-ante dimana proporsi RMSPE yang layak relatif kecil dibanding indikator lain diduga sebagai konsekuensi data pooling dimana terdapat variasi yang besar baik antar kawasan maupun antar komoditas. 6.2.
Evaluasi Dampak Krisis dan Desentralisasi Fiskal Selama rentang waktu penelitian (1994 – 2003) perekonomian kawasan
dapat digolongkan pada tiga periode, yaitu periode sentralisasi sebelum krisis (1994 –1996), sentralisasi pasca krisis (1998 – 2000) dan periode desentralisasi (2001 – 2003). Perubahan kondisi sosial ekonomi dan kebijakan nasional terutama terkait dengan implementasi otonomi daerah menyebabkan adanya perubahan dalam pola penyusunan anggaran dan orientasi pembangunan daerah untuk masing-masing periode. Perubahan alokasi anggaran tidak hanya berupa alokasi pengeluaran rutin dan pembangunan tetapi juga alokasi antar sektor dalam pengeluaran pembangunan. Dampak perubahan pengeluaran pemerintah selama periode krisis dan desentralisasi terhadap alokasi sektoral dan penyebaran kredit perbankan disajikan pada Tabel 31.
157
Tabel 31. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Alokasi Pembiayaan Pembangunan No 1
Krisis ekonomi
Jenis Pembiayaan
Bengkulu
Jambi
Desentralisasi Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Sektor Pengeluaran Pembangunan a. Transportasi
-9.13
-9.16
-7.39
-4.19
-1.34
b. Pengembangan wilayah
5.05
3.73
5.02
-7.59
-6.11
-4.47 -7.02
c. Sumberdaya manusia
-0.38
-0.58
-0.04
-2.65
-1.88
-2.62
d. Lain-lain
0.90
-0.67
0.91
-0.61
1.23
0.07
Jumlah
-3.56
-6.67
-1.49
-15.04
-8.11
-14.04
2
Pengeluaran Rutin
3.56
6.67
1.49
15.04
8.11
14.04
3
Kredit a. Investasi dan Modal Kerja
-6.13
-2.52
-3.81
-17.51
-21.53
-16.02
b. UKM
9.25
10.18
11.82
4.23
4.40
2.77
-12.16
-5.83
-8.30
-20.12
-27.80
-17.58
c. Pertanian
Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya penurunan alokasi pengeluaran pembangunan terutama didorong oleh menurunnya alokasi sektor transportasi. Pada sisi lain alokasi sektor pengembangan wilayah mengalami peningkatan sebagai implikasi menurunnya aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga mendorong terjadinya ekspansi pembangunan pemukiman baru mengikuti perkembangan sektor pertanian. Hal ini diduga akibat peran sektor pertanian yang relatif besar dalam mengatasi berbagai pengaruh sosial ekonomi negatif akibat krisis ekonomi. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan diikuti
dengan
semakin
meningkatnya
alokasi
pengeluaran
rutin
dan
kecenderungan ini tetap berlanjut pada saat implementasi otonomi daerah. Kondisi ini merupakan salah satu dampak negatif dari kebijakan desentralisasi fiskal dimana kewenangan luas dalam pengendalian anggaran cenderung dimanfaatkan untuk meningkatkan alokasi pengeluaran rutin seperti belanja dan gaji birokrasi.
158
Penurunan sebagian besar alokasi sektor pengeluaran pembangunan ini menyebabkan semakin rendahnya ekspansi ekonomi oleh pemerintah terutama pada sektor produksi. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya penyebaran kredit sektor produksi yang mencakup investasi dan modal kerja serta sektor pertanian. Peningkatan proporsi kredit UKM lebih banyak disebabkan oleh penurunan yang tajam kredit usaha besar dan perubahan paradigma pemerintah daerah untuk lebih mengembangkan UKM. Penurunan ekspansi ekonomi ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab lambatnya perekonomian kawasan untuk kembali normal seperti saat sebelum krisis. Hal ini terlihat dari dampak krisis dan implementasi desentralisasi terhadap beberapa indikator ekonomi, sosial dan ekologi disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan No
Variabel
Krisis ekonomi Bengkulu
Jambi
Desentralisasi Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -1.10 0.36 -0.54 2 Pertumbuhan output -4.92 -7.27 -6.85 3 PDB/Kapita 1.78 4.95 3.83 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja -0.32 -1.27 -0.95 2 Pengangguran terbuka 0.46 1.17 0.76 3 Pangsa TK Pertanian -0.08 -0.98 -2.30 Lingkungan 1 Laju deforestasi 11.05 22.06 9.85 2 Degradasi zona penyangga 9.96 10.19 9.18 3 Degradasi TNKS 1.77 1.24 1.58 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil evaluasi sesuai dengan diharapkan
-0.54 2.56 0.22
-1.33 2.99 3.46
-0.36 1.60 3.90
0.65 0.31 5.13
-0.06 0.03 5.55
0.30 0.75 4.23
12.47 2.29 -0.22
19.36 0.92 0.12
8.14 2.01 -0.05
Implementasi desentralisasi fiskal meskipun mampu meningkatkan kembali laju pertumbuhan output tetapi kecepatannya belum mampu menutupi
159
penurunan yang terjadi selama periode krisis ekonomi. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama periode desentralisasi tidak banyak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan bahkan laju pertumbuhan output perkapita lebih tinggi pada periode krisis kecuali kawasan Sumatera Barat. Kondisi ini menyebabkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja menjadi menurun dan tingkat pengangguran semakin meningkat. Ketergantungan output terhadap sektor pertanian yang semakin berkurang ternyata tidak diikuti dengan semakin berkurangnya ketergantungan dalam penyerapan tenaga kerja. Pangsa output sektor pertanian yang menurun tetapi tidak diikuti dengan penurunan pangsa tenaga kerja sektor ini mengindikasikan bahwa selama periode desentralisasi telah mendorong semakin meningkatnya gap kesejahteraan antara sektor pertanian (pedesaan) dan nonpertanian (urban). Kondisi ini diduga menjadi penyebab utama semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan dan terindikasi dengan menurunnya porsi hutan kawasan dan meningkatnya degradasi hutan zona penyangga. Pada kawasan Jambi peningkatan degradasi zona penyangga relatif lebih rendah dibanding kawasan lainnya karena adanya perbedaan persepsi, tetapi sebaliknya degradasi hutan taman nasional masih mengalami peningkatan selama desentralisasi. Laju degradasi taman nasional selama periode desentralisasi pada kawasan Bengkulu dan Sumatera Barat disamping karena adanya unsur trade-off antara kawasan konservasi dan non-konservasi juga akibat adanya kesepakatan antar kawasan tahun 2001 untuk lebih memperhatikan upaya pelestarian taman nasional.
160
6.3.
Evaluasi Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Prioritas
Alokasi
Sektor
Dampak peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor prioritas tanpa adanya perubahan dalam alokasi pengeluaran rutin dan pembangunan (tanpa adanya realokasi) terhadap penyebaran alokasi pengeluaran sektor-sektor pengeluaran pembangunan. Secara umum peningkatan alokasi salah satu sektor pengeluaran pembangunan akan diikuti dengan menurunnya alokasi sektor lain kecuali sektor pertanian, seperti disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor Lain No
Sektor Pengeluaran Pembangunan
Transportasi
Sektor prioritas Pengembangan Wilayah
Sumberdaya Manusia
Bengkulu Transportasi (%) Pengembangan Wilayah (%) Sumberdaya Manusia (%) Sektor lain-lain (%)
3.24 -0.46 -0.28 -0.58
-1.09 3.24 -0.28 -0.58
-1.09 -0.46 3.24 -0.58
1 Transportasi (%) 2 Pengembangan Wilayah (%) 3 Sumberdaya Manusia (%) 4 Sektor lain-lain (%) Sumbar
3.24 -0.42 -0.26 -0.52
-0.99 3.24 -0.26 -0.52
-0.99 -0.42 3.24 -0.52
1 2 3 4 Jambi
1 Transportasi (%) 3.21 -0.94 2 Pengembangan Wilayah (%) -0.40 3.21 3 Sumberdaya Manusia (%) -0.24 -0.24 4 Sektor lain-lain (%) -0.50 -0.50 Keterangan: Angka ”TEBAL” menunjukkan kenaikan alokasi sektor prioritas masing-masing kawasan
-0.94 -0.40 3.21 -0.50
Peningkatan alokasi salah satu sektor pengeluaran pembangunan prioritas akan diikuti dengan penurunan alokasi sektor prioritas lain dan sektor-sektor nonprioritas, dengan besaran bervariasi sesuai respon masing-masing sektor terhadap perubahan dalam rasio pengeluaran rutin terhadap pembangunan. Perubahan
161
alokasi sektor pengeluaran pembangunan ini selanjutnya akan mendorong perubahan struktur pembiayaan pembangunan sektor swasta, tetapi dengan dampak yang berbeda untuk masing-masing kebijakan seperti disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Penyebaran Kredit Perbankan No
Kelompok Kredit
Transportasi
Sektor prioritas Pengembangan Wilayah
Sumberdaya Manusia
Bengkulu 1 2
Investasi dan Modal Kerja (%)
-2.51
0.75
1.85
Usaha Kecil dan Menengah (%)
-4.66
6.38
-2.48
-4.49
0.25
3.49
3 Sektor Pertanian (%) Jambi 1
Investasi dan Modal Kerja (%)
-2.75
0.80
1.81
2
Usaha Kecil dan Menengah (%)
-4.52
6.53
-2.28
-4.95
0.34
3.41
3 Sektor Pertanian (%) Sumbar 1
Investasi dan Modal Kerja (%)
-2.90
0.86
1.76
2
Usaha Kecil dan Menengah (%)
-4.46
6.54
-2.19
3
Sektor Pertanian (%)
-5.22
0.46
3.31
Kebijakan
peningkatan
alokasi
pengeluaran
pembangunan
sektor
transportasi akan mendorong menurunnya proporsi kredit investasi dan modal kerja, usaha kecil dan menengah, serta sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan alokasi
pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah akan
mendorong peningkatan proporsi ketiga kelompok kredit. Dampak yang bervariasi terjadi akibat peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia yang mendorong peningkatan proporsi kredit pada sektor produksi yaitu kredit investasi dan modal kerja, serta kredit sektor pertanian, tetapi sebaliknya
162
menyebabkan menurunnya proporsi kredit usaha kecil dan menengah. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi sektor transportasi dan sumberdaya manusia akan mendorong peningkatan proporsi kredit usaha besar dan diduga menjadi faktor pendorong masuk investasi oleh usaha skala besar. Secara umum perubahan distribusi kredit perbankan ini juga didorong oleh perkembangan sosial ekonomi kawasan, seperti peningkatan output perkapita yang mendorong peningkatan kredit konsumsi, sehingga proporsi kredit investasi dan modal kerja akan mengalami penurunan. Perubahan dalam perilaku alokasi pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan ini selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan sosial, ekonomi dan lingkungan kawasan, seperti disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektoral Masing-masing Kawasan Sektor Pengeluaran Pembangunan No
Variabel
Transportasi
Pengembangan Wilayah
B
J
S
B
J
S
Sumberdaya Manusia B
J
S
Ekonomi 1
Pangsa PDB Pertanian
-0.42
-0.42
-0.41
0.43
0.40
0.38
0.17
0.15
0.14
2
Pertumbuhan output
0.87
0.92
0.94
-0.67
-0.67
-0.67
-0.31
-0.30
-0.29
3
PDB/Kapita
-1.18
-1.05
-0.89
-0.26
-0.33
-0.33
2.48
2.43
2.23
1
Partisipasi angkatan kerja
-0.26
-0.24
-0.22
-0.28
-0.26
-0.24
-0.09
-0.07
-0.06
2
Pengangguran terbuka
-0.27
-0.29
-0.31
-0.15
-0.16
-0.16
0.21
0.19
0.18
3
Pangsa TK Pertanian
1.48
1.54
1.58
0.14
0.04
-0.02
-0.20
-0.26
-0.27
Sosial
Lingkungan 1
Laju deforestasi
-4.58
-4.27
-5.44
3.80
3.37
4.22
1.19
0.96
1.17
2
Degradasi zona penyangga
-0.36
-0.28
-0.21
0.40
0.32
0.27
0.06
0.01
0.00
0.05
-0.13
-0.12
-0.12
3 Degradasi TNKS 0.11 0.12 0.12 0.04 0.05 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan B = Bengkulu, J = Jambi dan S = Sumatera Barat
163
Hasil evaluasi dampak kebijakan masing-masing skenario (pilihan sektor prioritas) bervariasi dan sebaliknya antar kawasan dalam skenario yang sama relatif sama tetapi dengan besaran yang lebih bervariasi. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor transportasi tanpa diikuti dengan realokasi pengeluaran rutin mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan output melalui perubahan struktur perekonomian. Penurunan pangsa PDB sektor pertanian tidak diikuti dengan menurunnya pangsa tenaga kerja sektor pertanian yang mengindikasikan penurunan output perkapita sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan pangsa tenaga kerja sektor pertanian yang diikuti dengan penurunan pengangguran terbuka mengindikasikan adanya migrasi tenaga kerja dari sektor non-pertanian ke sektor pertanian. Peningkatan pangsa tenaga kerja sektor pertanian dan penurunan partisipasi kerja diduga menjadi penyebab peningkatan laju pertumbuhan output tidak diikuti dengan meningkatnya output perkapita sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Pada aspek lingkungan kebijakan prioritas sektor transportasi yang mendorong penurunan partisipasi kerja ini akan mengurangi tekanan terhadap lahan yang terindikasi dengan menurunnya laju deforestasi dan degradasi zona penyangga. Pada sisi lain tekanan terhadap taman nasional semakin meningkat sebagai implikasi dari penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor pengembangan wilayah tanpa diikuti dengan realokasi pengeluaran rutin mendorong semakin meningkatnya ketergantungan perekonomian kawasan terhadap sektor pertanian. Peningkatan pangsa sektor pertanian baik dalam pembentukan output maupun dalam penyerapan tenaga kerja menyebabkan laju pertumbuhan output semakin
164
menurun. Laju pertumbuhan output yang semakin lambat dan menurunnya tingkat partisipasi kerja akan menyebabkan semakin menurunnya output perkapita. Penurunan tingkat pengangguran terbuka merupakan implikasi dari menurunnya suplai tenaga kerja (partisipasi kerja) dan penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sektor pertanian. Dampak kebijakan ini yang cenderung tidak baik bagi perkembangan sosial ekonomi kawasan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Hal ini terlihat dengan meningkatnya laju deforestasi kawasan, degradasi hutan baik pada zona penyangga maupun taman nasional. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor sumberdaya manusia akan mendorong peningkatan output perkapita tetapi akan diikuti dengan meningkatnya pengangguran terutama pada sektor non-pertanian. Hal ini terlihat dengan meningkatnya pangsa output dan penurunan pangsa tenaga sektor pertanian. Pada sisi lain penurunan suplai tenaga kerja yang diikuti dengan menurunnya tenaga kerja sektor pertanian mengindikasikan adanya peningkatan partisipasi sekolah pada daerah pedesaan dan diduga pengangguran terdidik lebih banyak berasal dari pedesaan. Pengangguran terdidik pada pedesaan ini akan memberikan tekanan terhadap kawasan non-konservasi dengan meningkatnya deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga tetapi peningkatan pengetahuan akan mengurangi tekanan terhadap taman nasional. Degradasi hutan taman nasional yang menurun diduga hanya bersifat sementara, karena dengan semakin berkurangnya sumberdaya di luar taman nasional suatu saat akan mendorong terjadinya peralihan pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional.
165
Berdasarkan
hasil
simulasi
dampak
peningkatan
alokasi
sektor
pengeluaran pembangunan prioritas yang menyebabkan penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor lainnya akan berimplikasi menurunnya kinerja beberapa indikator sosial ekonomi dan lingkungan. Untuk itu perlu upaya lain terutama dengan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan yang dapat dilakukan
melalui
dua
alternatif
yaitu
melalui
peningkatan
anggaran
pembangunan dan realokasi pengeluaran rutin. Alternatif pertama dihadapi dengan kendala keterbatasan anggaran pembangunan, sehingga akan lebih realistis menggunakan alternatif kedua karena akan mendorong keseimbangan antara pengeluaran rutin dan pembangunan. Hal ini juga terkait dengan pola kebijakan penyusunan pengeluaran pemerintah daerah pada periode desentralisasi fiskal yang cenderung untuk meningkatkan alokasi untuk pengeluaran rutin dan mengurangi alokasi untuk pengeluaran pembangunan. 6.4.
Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Pengaruh peningkatan pengeluaran rutin terhadap perkembangan sosial
ekonomi relatif kecil dan cenderung hanya akan mempengaruhi sisi konsumsi. Pada sisi lain pengeluaran pembangunan akan mampu mendorong peningkatan aktivitas ekonomi termasuk dalam mempengaruhi perilaku pembiayaan sektor swasta. Hasil simulasi dampak realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan tanpa adanya sektor yang menjadi prioritas terhadap penyebaran pengeluaran pemerintah dan kredit perbankan disajikan pada Tabel 36 dan 37.
166
Tabel 36. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor-sektor Pembangunan
No
Tingkat realokasi pengeluaran rutin
Sektor pengeluaran pembangunan
Perubahan 5%
10%
Nilai simulasi 15%
5%
10%
15%
Bengkulu Transportasi (%)
1.16
2.08
2.84
12.76
13.68
14.44
2
Pengembangan Wilayah (%)
0.49
0.88
1.20
7.05
7.44
7.76
3
Sumberdaya Manusia (%)
0.30
0.54
0.73
4.67
4.91
5.10
0.61
1.10
1.50
13.34
13.83
14.22
2.56
4.60
6.26
37.82
39.86
41.52
1
4 Sektor lain-lain (%) Pengeluaran Pembangunan Jambi Transportasi (%)
1.09
1.97
2.70
12.75
13.63
14.35
2
Pengembangan Wilayah (%)
0.46
0.83
1.14
6.73
7.10
7.41
3
Sumberdaya Manusia (%)
0.28
0.51
0.70
5.09
5.31
5.50
0.58
1.04
1.43
13.09
13.55
13.94
2.42
4.36
5.97
37.65
39.59
41.20
1
4 Sektor lain-lain (%) Pengeluaran Pembangunan Sumbar 1
Transportasi (%)
1.05
1.91
2.61
14.87
15.72
16.43
2
Pengembangan Wilayah (%)
0.44
0.80
1.10
7.59
7.95
8.25
Sumberdaya Manusia (%)
0.27
0.49
0.67
5.16
5.38
5.56
3
4 Sektor lain-lain (%) Pengeluaran Pembangunan
0.56
1.01
1.38
10.44
10.89
11.26
2.33
4.21
5.77
38.06
39.94
41.50
Realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan akan teralokasi untuk masing-masing sektor pengeluaran pembangunan dengan besaran bervariasi sesuai dengan respon masing-masing sektor pengeluaran terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan. Respon pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih besar dibanding sektor lainnya menyebabkan kebijakan realokasi akan diikuti peningkatan lebih besar alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi. Sektor pengeluaran pembangunan prioritas lainnya bervariasi tetapi
secara
umum
respon
alokasi
pengeluaran
pembangunan
sektor
pengembangan wilayah terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin terhadap
167
pembangunan lebih besar dibanding sektor sumberdaya manusia dan sektor-sektor pengeluaran lainnya. Realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan memiliki tren linear untuk setiap sektor pengeluaran pembangunan, dan realokasi 15% pengeluaran rutin
akan
menyebabkan
peningkatan
sekitar
6%
alokasi
pengeluaran
pembangunan, sehingga mendekati rata-rata alokasi pengeluaran pembangunan sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu lebih dari 41%. Peningkatan alokasi sektor-sektor dalam pengeluaran pembangunan, selanjutnya akan mempengaruhi distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 37. Tabel 37. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin Pembangunan Terhadap Distribusi Kredit Perbankan
untuk
Tingkat realokasi pengeluaran rutin No
Jenis Pembiayaan
Perubahan 5%
10%
Nilai simulasi 15%
5%
10%
15%
Bengkulu 1 Investasi dan Modal Kerja (%) 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) 3 Sektor Pertanian (%) Jambi
-1.55 1.89 -2.92
-2.78 3.40 -5.24
-3.79 4.63 -7.14
82.41 29.77 61.14
81.18 31.28 58.82
80.18 32.51 56.91
1 Investasi dan Modal Kerja (%) 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) 3 Sektor Pertanian (%) Sumbar
-1.55 1.75 -2.92
-2.79 3.16 -5.26
-3.82 4.33 -7.20
81.25 30.31 64.56
80.00 31.72 62.21
78.98 32.89 60.27
-1.54 1.67 -2.90
-2.79 3.01 -5.25
-3.83 4.13 -7.21
74.53 49.77 51.13
73.28 51.11 48.78
72.24 52.23 46.83
1 2 3
Investasi dan Modal Kerja (%) Usaha Kecil dan Menengah (%) Sektor Pertanian (%)
Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan mengindikasikan adanya ekspansi ekonomi oleh pemerintah daerah, sehingga mendorong meningkatnya tingkat pendapatan (output perkapita). Peningkatan pendapatan ini akan berpotensi mendorong peningkatan kredit konsumsi, sehingga akan mengurangi
168
proporsi kredit investasi dan modal kerja. Pada sisi lain aktivitas pembangunan dan aksesibilitas kawasan yang meningkat akan mendorong berkembangnya dunia usaha termasuk usaha kecil dan menengah sektor jasa dan perdagangan. Perkembangan perekonomian seperti ini akan berpotensi mendorong peningkatan proporsi kredit UKM sektor non-pertanian sehingga proporsi kredit sektor pertanian mengalami penurunan. Perubahan alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan ini akan mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Pembangunan pada Masing-masing Kawasan
Rutin
untuk (%)
Tingkat realokasi pengeluaran rutin No
Variabel
5%
10%
15%
B
J
S
B
J
S
B
J
S
Ekonomi 1
Pangsa PDB Pertanian
-0.23
-0.21
-0.20
-0.41
-0.38
-0.36
-0.55
-0.52
-0.49
2
Pertumbuhan output
0.36
0.35
0.35
0.64
0.64
0.64
0.87
0.87
0.87
3
PDB/Kapita
0.14
0.17
0.17
0.25
0.31
0.32
0.34
0.43
0.44
1
Partisipasi angkatan kerja
0.28
0.27
0.26
0.51
0.48
0.46
0.69
0.66
0.64
2
Pengangguran terbuka
-0.29
-0.28
-0.27
-0.52
-0.51
-0.50
-0.71
-0.69
-0.68
3
Pangsa TK Pertanian
-0.14
-0.08
-0.06
-0.24
-0.15
-0.10
-0.33
-0.21
-0.14
-1.74 -0.09
-1.52 -0.05
-1.89 -0.03
-3.12 -0.17
-2.75 -0.09
-3.41 -0.05
-4.26 -0.23
-3.76 -0.13
-4.67 -0.07
0.13
0.19
0.18
0.18
Sosial
Lingkungan 1
Laju deforestasi
2
Degradasi zona penyangga
3 Degradasi TNKS 0.08 0.07 0.07 0.14 0.13 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan B = Bengkulu, J = Jambi dan S = Sumatera Barat
Kebijakan realokasi pengeluaran rutin memberikan dampak sesuai diharapkan untuk seluruh indikator evaluasi kecuali degradasi hutan taman nasional. Peningkatan level realokasi pengeluaran rutin juga menunjukkan trend
169
linear, dimana semakin besar realokasi akan semakin besar dampaknya bagi perkembangan ekonomi, tenaga kerja dan lingkungan. masing-masing kawasan. Semakin besar penurunan ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian akan semakin meningkat laju pertumbuhan output. Laju pertumbuhan output yang semakin tinggi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja terutama sektor nonpertanian, dan meskipun supplai tenaga kerja meningkat tetapi dengan meningkatnya daya serap tenaga akan menyebabkan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Penurunan ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian dan berkembangnya dunia usaha akan mengurangi tekanan terhadap lahan. Laju deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan semakin menurun, tetapi degradasi hutan taman nasional meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan realokasi pengeluaran rutin harus diikuti dengan penataan alokasi antar sektor dalam pengeluaran pembangunan. 6.5.
Evaluasi Dampak Kombinasi Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dan Peningkatan Sektor Pembangunan Prioritas Realokasi pengeluaran rutin untuk pengeluaran pembangunan sebesar 15%
sudah mendekati rasio pada periode sebelum krisis yaitu pengeluaran pemerintah yang teralokasi ± 40% untuk pengeluaran pembangunan dan sisanya ± 60% untuk pengeluaran rutin. Alokasi ini diharapkan mampu mengembalikan kondisi sosial ekonomi seperti sebelum periode krisis melalui kombinasi realokasi pengeluaran rutin dengan kebijakan sektor prioritas. Skenario kombinasi kebijakan realokasi terdiri dari dua skenario untuk masing-masing sektor prioritas, yaitu;
170
1. Realokasi 15% pengeluaran rutin yang diprioritaskan sebesar 5% untuk sektor pengeluaran pembangunan yang menjadi prioritas, dan 2. Realokasi 15% pengeluaran rutin yang diprioritaskan sebesar 10% untuk sektor pengeluaran pembangunan yang menjadi prioritas. 6.5.1. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor transportasi melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan menyebabkan perubahan dalam alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor transportasi No
Jenis Pembiayaan dan Sektor
Pengeluaran Pembangunan
5%
10%
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
6.12
5.99
5.88
8.70
8.61
8.49
3.24
3.24
3.21
6.47
6.48
6.43
1
Sektor transportasi
2
Sektor pengembangan wilayah
1.01
0.96
0.93
0.78
0.74
0.72
3
Sektor sumberdaya manusia
0.62
0.59
0.57
0.48
0.45
0.44
4
Sektor lainnya
1.26
1.20
1.17
0.97
0.93
0.90
1
Investasi dan Modal Kerja
-3.98
-4.17
-4.27
-6.72
-7.09
-7.43
2
UKM
3.33
2.99
2.77
-0.09
-0.43
-0.68
3
Pertanian
-7.47
-7.80
-7.98
-12.43
-13.10
-13.72
Kredit
171
Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih besar akan mendorong penurunan proporsi kredit sektor produksi (investasi dan modal kerja), dan kredit sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan proprosi kredit UKM hanya terjadi pada tingkat prioritas 5%, sedangkan jika terus ditingkatkan akan mendorong proporsi kredit non-UKM atau usaha besar. Hal ini mengindikasikan bahwa menambah tingkat prioritas sektor transportasi tidak secara linear mempengaruhi proporsi kredit usaha kecil dan menengah. Perkembangan distribusi pembiayaan pembangunan sektor publik dan swasta ini akan mendorong perubahan dalam berbagai indikator sosial, ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan (%) Tingkat prioritas untuk sektor transportasi No
Variabel
5%
10%
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Ekonomi 1
Pangsa PDB Pertanian
-0.59
-0.57
-0.56
-1.04
-1.02
-0.99
2 3
Pertumbuhan output PDB/Kapita
0.97 0.09
1.02 0.15
1.04 0.20
1.86 -0.89
1.94 -0.74
2.01 -0.52
1 2
Partisipasi angkatan kerja Pengangguran terbuka
0.58 -0.71
0.56 -0.71
0.54 -0.71
0.45 -1.05
0.44 -1.06
0.42 -1.07
3
Pangsa TK Pertanian
-0.01
0.15
0.26
1.24
1.47
1.68
-4.79 -0.27
-4.45 -0.18
-5.67 -0.12
-9.40 -0.62
-8.76 -0.46
-11.11 -0.29
0.33
0.33
0.32
Sosial
Lingkungan 1 2
Laju deforestasi Degradasi zona penyangga
3 Degradasi TNKS 0.20 0.20 0.19 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan
Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin sebesar 15% dengan peningkatan sektor transportasi mampu medorong laju pertumbuhan output, tetapi
172
pada level 10% tidak diikuti dengan peningkatan output perkapita. Laju pertumbuhan output melalui perubahan struktural dengan menurunnya pangsa output sektor pertanian tetapi tidak diikuti dengan struktur tenaga kerja karena meningkatnya porsi tenaga sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan ini mendorong terjadinya ketimpangan distribusi output antara sektor pertanian dan non-pertanian. Penurunan output sektor pertanian yang diikuti dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja pada sektor ini mengindikasikan konsentrasi kemiskinan pada daerah pedesaan termasuk pada kawasan sekitar taman nasional. Kebijakan ini juga mampu meningkatkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran menurun meskipun terjadi peningkatan supplai tenaga kerja (partisipasi kerja). Penyerapan tenaga kerja masih lebih dominan pada sektor pertanian tetapi dengan produktivitas yang relatif lebih rendah, sehingga output berkembang tidak secepat sektor nonpertanian, sehingga terjadinya penurunan output perkapita pada prioritas 10% sebagai implikasi dari kemiskinan sektor pedesaan. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan alokasi sektor transportasi sebagai sektor prioritas akan mendorong semakin meningkatnya degradasi hutan taman nasional. Kemiskinan pada pedesaan juga menyebabkan menurunnya aksesibilitas masyarakat terhadap kepemilikan modal terutama untuk budidaya pertanian. Kemampuan modal untuk mengolah lahan ini akan mengurangi konversi hutan untuk budidaya sehingga laju deforestasi mengalami penurunan tetapi pada sisi lain akan mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat. Luas hutan
173
kawasan yang masih mampu menyediakan sumberdaya tersebut akan mengurangi tekanan terhadap hutan zona penyangga sehingga degradasi hutan zona ini menurun. Penurunan tekanan pada zona penyangga taman nasional ini diduga bersifat sementara karena peralihan pemanfaatan sumberdaya akan terjadi jika sumberdaya hutan kawasan mulai langka. Skenario kombinasi realokasi pengeluaran rutin dengan prioritas pengembangan aksesibilitas ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi bersifat terbatas. Unsur ”trade off” antar berbagai aspek pembangunan mengindikasikan adanya ”opportunity cost” yang harus dibayar terutama distribusi pendapatan dan kerusakan areal konservasi. Pertumbuhan output yang meningkat ternyata diikuti dengan meningkatnya ketimpangan pembangunan antar sektor dan degradasi hutan taman nasional. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pembangunan sektor transportasi guna membuka aksesibilitas kawasan harus diikuti dengan pengembangan kesempatan kerja sektor non-pertanian terutama pada daerah pedesaan. Transformasi struktural pasar tenaga kerja ini dapat dilakukan dengan keseimbangan antara alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi dengan sektor lain seperti sektor industri dan dunia usaha, sumberdaya manusia dan pengembangan wilayah. 6.5.2. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran
174
sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan menyebabkan perubahan dalam alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 41. Tabel 41. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor pengembangan wilayah No
Jenis Pembiayaan dan Sektor
Pengeluaran Pembangunan
5%
10%
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
7.51
7.31
7.15
9.77
9.63
9.48 1.71
1
Sektor transportasi
2.39
2.28
2.21
1.84
1.77
2
Sektor pengembangan wilayah
3.24
3.24
3.21
6.47
6.48
6.43
3
Sektor sumberdaya manusia
0.62
0.59
0.57
0.48
0.45
0.44
4
Sektor lainnya
1.26
1.20
1.17
0.97
0.93
0.90
1
Investasi dan Modal Kerja
-3.61
-3.61
-3.54
-3.53
-3.46
-3.32
2
UKM
8.83
8.70
8.58
15.59
15.54
15.41
3
Pertanian
-7.52
-7.52
-7.40
-8.47
-8.35
-8.07
Kredit
Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah sebagaimana sektor transportasi akan mendorong peningkatan kredit sektor konsumsi, dan terindikasi dengan menurunnya proporsi kredit sektor produksi yaitu kredit investasi dan modal kerja. Pengembangan wilayah akan mendorong peningkatan kesempatan usaha sektor non-pertanian skala kecil sampai menengah, dan diduga menjadi faktor utama meningkatnya proporsi kredit UKM dan menurunnya proporsi kredit sektor pertanian. Perbedaan kebijakan ini dengan prioritas sektor transportasi adalah peningkatan proporsi kredit UKM tetap terjadi meskipun tingkat prioritas ditingkatkan. Perubahan dalam alokasi sektor
175
pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan selanjutnya berpotensi mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tingkat prioritas untuk sektor pengembangan wilayah No
Variabel
5% Bengkulu
Jambi
10% Sumbar
Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -0.34 -0.31 -0.29 2 Pertumbuhan output 0.53 0.52 0.51 3 PDB/Kapita 0.21 0.26 0.25 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.57 0.55 0.53 2 Pengangguran terbuka -0.86 -0.85 -0.83 3 Pangsa TK Pertanian -0.27 -0.19 -0.17 Lingkungan 1 Laju deforestasi -2.28 -1.93 -2.35 2 Degradasi zona penyangga -0.01 0.06 0.09 3 Degradasi TNKS 0.23 0.23 0.22 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan
Bengkulu
Jambi
Sumbar
-0.03 0.05 0.03
-0.01 0.03 0.03
0.00 0.00 -0.01
0.43 -1.12 -0.20
0.41 -1.11 -0.18
0.39 -1.09 -0.21
0.57 0.33 0.31
0.68 0.35 0.30
0.93 0.33 0.30
Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin dan pengembangan wilayah
mampu
mendorong
terjadinya
transformasi
struktural
dalam
pembangunan ekonomi. Perkembangan dunia usaha terutama sektor non-pertanian menyebabkan semakin menurunnya pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian, serta pertumbuhan output yang didorong oleh sektor non-pertanian relatif akan lebih cepat. Laju pertumbuhan output yang lebih tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja terutama pada sektor non-pertanian, sehingga output perkapita sebagai indikator kesejahteraan rakyat juga akan meningkat.
176
Kombinasi kebijakan ini pada aspek ekonomi dan tenaga kerja mampu menghasilkan dampak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi terhadap aspek lingkungan akan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Pada peningkatan sektor pengembangan wilayah sebesar 5% masih mampu menurunkan konversi hutan untuk penggunaan lain (deforestasi) dan degradasi hutan zona penyangga khususnya pada kawasan Bengkulu tetapi pada level prioritas 10% deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor ini sebagaimana sektor transportasi relatif sangat terbatas. Kondisi ini juga terlihat dengan peningkatan degradasi hutan taman nasional yang semakin meningkat seiring meningkatnya prioritas pengeluaran pembangunan sektor ini. Peningkatan alokasi sektor prioritas dengan level yang lebih besar tanpa diiringi dengan peningkatan realokasi pengeluaran rutin malah akan menyebabkan laju pertumbuhan output dan output perkapita yang lebih rendah. Penurunan ini merupakan implikasi dari dampak peningkatan yang cenderung menurunkan pencapaian target pembangunan baik pada aspek ekonomi, tenaga kerja maupun lingkungan. Berdasarkan skenario kebijakan kombinasi ini dapat diindikasikan bahwa sektor pengembangan wilayah sebagai prioritas juga bersifat terbatas. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor ini harus dilakukan seiring dengan peningkatan alokasi sektor lain seperti sektor sumberdaya manusia.
177
6.5.3. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Peningkatan alokasi sektor prioritas diikuti dengan peningkatan sektor lain yang bervariasi, serta berpotensi mempengaruhi distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 43. Tabel 43. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor sumberdaya manusia No
Jenis Pembiayaan dan Sektor
5%
10%
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
7.90
7.69
7.51
10.07
9.92
9.76
Sektor transportasi
2.39
2.28
2.21
1.84
1.77
1.71
2
Sektor pengembangan wilayah
1.01
0.96
0.93
0.78
0.74
0.72
3
Sektor sumberdaya manusia
3.24
3.24
3.21
6.47
6.48
6.43
4
Sektor lainnya
1.26
1.20
1.17
0.97
0.93
0.90
1
Investasi dan Modal Kerja
-2.89
-2.92
-2.94
-1.77
-1.81
-1.84
2
UKM
3.38
3.12
2.96
1.82
1.63
1.50
3
Pertanian
-5.46
-5.50
-5.53
-3.35
-3.41
-3.46
Pengeluaran Pembangunan 1
Sumbar
Kredit
Dampak perubahan alokasi sektor pengeluaran pembangunan terhadap distribusi kredit relatif sama dengan prioritas sektor transportasi. Proporsi kredit sektor produksi (investasi dan modal kerja) dan kredit sektor pertanian akan mengalami penurunan, sedangkan proporsi kredit UKM mengalami peningkatan tetapi dengan kecenderungan menurun seiring peningkatan alokasi pengeluaran
178
pembangunan sektor sumberdaya manusia. Perubahan dalam alokasi pembiayaan pembangunan ini selanjutnya mendorong perkembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Level realokasi untuk sektor sumberdaya manusia No
Variabel
5%
10%
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Ekonomi 1
Pangsa PDB Pertanian
-0.50
-0.47
-0.45
-0.44
-0.41
-0.40
2
Pertumbuhan output
0.75
0.75
0.75
0.61
0.61
0.61
3
PDB/Kapita
2.24
2.32
2.19
4.68
4.74
4.41
Sosial 1
Partisipasi angkatan kerja
0.71
0.68
0.67
0.74
0.72
0.71
2
Pengangguran terbuka
-0.65
-0.63
-0.62
-0.57
-0.56
-0.56
3
Pangsa TK Pertanian
-0.53
-0.43
-0.36
-0.78
-0.71
-0.65
Lingkungan 1
Laju deforestasi
-3.92
-3.49
-4.35
-3.52
-3.17
-3.97
2
Degradasi zona penyangga
-0.22
-0.13
-0.08
-0.21
-0.14
-0.09
0.03
0.03
0.03
3 Degradasi TNKS 0.12 0.12 0.11 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan
Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin dengan sektor prioritas sumberdaya manusia mampu mendorong laju pertumbuhan output melalui perubahan struktural dalam perekonomian. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan mampu mendorong semakin meningkatnya tenaga kerja dan kesempatan kerja sektor non-pertanian, sehingga pangsa sektor non-pertanian dalam pembentukan PDB kawasan semakin meningkat. Sumberdaya manusia yang meningkat baik melalui pendidikan formal maupun non-formal seperti pelatihan tenaga kerja mampu menciptakan lapangan kerja baru yang tidak
179
tergantung pada sektor pertanian. Laju pertumbuhan output yang didorong oleh berkembangnya sektor non-pertanian ini akan mampu mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja dan pada akhirnya akan mampu mendorong semakin membaiknya kesejahteraan (output perkapita). Ketergantungan output dan tenaga kerja terhadap sektor pertanian yang semakin menurun ini, akan mengurangi tekanan terhadap lahan sehingga konversi hutan kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan berkurang. Pada sisi lain kecenderungan laju degradasi hutan taman nasional seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap kualitas sumberdaya manusia ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi sektor ini masih dapat dilakukan sampai batas tertentu. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia akan terus mendorong terjadinya peningkatan output perkapita dan penurunan degradasi taman nasional tetapi pada batas tertentu akan berdampak negatif terhadap aspek lain seperti laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran. Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa realokasi pengeluaran rutin yang dengan prioritas peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sumberdaya manusia akan memberikan hasil yang relatif lebih baik dalam menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek pembangunan. Untuk mencapai hasil yang lebih baik maka upaya peningkatan alokasi pengeluaran sektor ini sebaiknya juga diikuti dengan meningkatkan realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penurunan alokasi pengeluaran pembangunan
sektor
lain
sebagai
pendukung
kebijakan,
dan
mampu
180
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak diikuti dengan meningkatnya degradasi hutan taman nasional. 6.6.
Evaluasi Dampak Kombinasi Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dan Sektor Prioritas untuk Pembangunan Berkelanjutan Hasil
simulasi
kebijakan
pembangunan
sektoral
atau
hanya
memperhatikan salah satu aspek pembangunan saja tanpa adanya peningkatan pengeluaran pembangunan melalui realokasi pengeluaran rutin hanya akan menimbulkan opportunity cost pada aspek lain. Hal ini terjadi karena adanya unsur ”trade off” antara berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi tetapi tidak diikuti dengan pengendalian laju pertumbuhan penduduk akan memberikan dampak relatif kecil bagi tingkat kesejahteraan. Hal yang sama juga terjadi jika pertumbuhan output hanya mengandalkan salah satu sektor saja dan mengabaikan aspek keseimbangan antara sektor akan menimbulkan masalah baru seperti semakin timpangnya distribusi pendapatan. Pembangunan ekonomi kawasan yang masih bertumpu pada sektor pertanian tanpa diikuti dengan transformasi struktural akan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap lahan seperti meningkatnya konversi hutan kawasan dan degradasi hutan pada areal konservasi. Pada sisi lain perubahan struktur ouput guna mendorong peningkatan laju pertumbuhan output tanpa diikuti perubahan struktur tenaga kerja akan berdampak semakin meningkatnya ketimpangan antara sektor pertanian (pedesaan) dan industri (urban). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk miskin pada daerah pedesaan, yang potensial
181
menjadi faktor pendorong utama terjadinya eksploitasi kawasan konservasi seperti taman nasional. Untuk itu upaya perlindungan taman nasional membutuhkan kebijakan pembangunan yang terintegrasi dengan memperhatikan keseimbangan tiga aspek pembangunan atau yang lebih dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability development). Hasil simulasi sebelumnya mengindikasikan bahwa kebijakan realokasi pengeluaran rutin yang diikuti dengan prioritas pengembangan sektor sumberdaya manusia memberikan hasil yang relatif lebih baik dibanding dengan prioritas sektor prioritas lainnya (transportasi dan pengembangan wilayah). Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia melalui realokasi pengeluaran rutin menunjukkan trend yang positif bagi upaya perlindungan taman nasional. Hal ini mengindikasikan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor ini masih dapat dilakukan tetapi harus diikuti dengan peningkatan realokasi pengeluaran rutin. Berdasarkan trend ini dilakukan kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin sebesar 20% dengan alokasi sebesar 15% diprioritaskan untuk pengembangan sumberdaya manusia, dan selanjutnya disebut dengan kebijakan alokasi pengeluaran pembangunan berkelanjutan 6.6.1. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Berkelanjutan Kebijakan alokasi pengeluaran pembangunan berkelanjutan ini akan menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam alokasi pengeluaran sektor sumberdaya manusia dan diikuti dengan sektor lainnya kecuali sektor pertanian.
182
Alokasi untuk masing-masing sektor pengeluaran dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan disajikan pada Tabel 45. Tabel 45. Perubahan dan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan No
Sektor Pembiayaan
Perubahan (%) Bengkulu
Jambi
Hasil Simulasi (%) Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Pengeluaran Pembangunan 1
Transportasi
2.19
2.10
2.04
13.79
13.75
15.85
2
Pengembangan Wilayah
0.92
0.89
0.86
7.48
7.15
8.01
3
Sumberdaya Manusia
9.71
9.72
9.64
14.08
14.52
14.53
4
Lain-lain
Jumlah
1.16
1.11
1.08
13.88
13.62
10.96
13.97
13.82
13.62
50.76
50.95
50.65
-1.86
-1.92
-1.97
82.10
80.88
74.10
Kredit 1
Investasi dan Modal Kerja
2
UKM
1.75
1.53
1.39
29.63
30.10
49.49
3
Pertanian
-3.53
-3.62
-3.72
60.53
63.86
50.32
Tabel 45 menunjukkan bahwa realokasi pengeluaran rutin sebesar 20% akan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan lebih dari 13.5% dengan peningkatan terbesar sektor sumberdaya manusia yaitu lebih dari 9%. Peningkatan juga terjadi pada seluruh alokasi sektor pengeluaran lain, kecuali sektor pertanian yang mengalami penurunan tetapi relatif kecil yaitu 0.05%. Alokasi sektor pengeluaran lain yang mengalami kenaikan cukup besar adalah sektor transportasi, sedangkan sektor pengembangan wilayah dan sektor-sektor lainnya mengalami peningkatan kecil dari 1%. Hal ini sebagai implikasi dari respon pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih tinggi terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan dibanding sektor-sektor pengeluaran lainnya.
183
Realokasi menyebabkan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan mendekati 50:50 yang menunjukkan batas minimal pengeluaran pembangunan, guna mencapai peningkatan kesejahteraan tanpa adanya peningkatan tekanan terhadap taman nasional. Alokasi pengeluaran pembangunan terbesar pada masing-masing kawasan berbeda, yaitu untuk kawasan Bengkulu dan Jambi sektor sumberdaya manusia diikuti dengan sektor transportasi dan pengembangan wilayah, sedangkan untuk kawasan Sumatera Barat sektor transportasi diikuti dengan sektor sumberdaya manusia dan pengembangan wilayah. Sektor pengeluaran pembangunan lain yang cukup besar pada ketiga kawasan yaitu sektor kesejahteraan sosial dan sektor lainnya. Alokasi ini mengindikasikan bahwa pengembangan sumberdaya manusia harus diikuti dengan peningkatan aksesibilitas dan pengembangan kawasan, serta upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Pada sisi lain pengembangan industri dan dunia usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja non-pertanian lebih banyak diserahkan pada sektor swasta dan pemerintah daerah hanya berperan sebagai motivator dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan dan sumberdaya manusia. Hal yang sama terjadi untuk pengembangan sektor pertanian penurunan alokasi ditujukan untuk mengurangi ekspansi lahan yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan. Tabel 45 juga menunjukkan bahwa perubahan struktural dalam pengeluaran pemerintah daerah atau sektor publik ini diikuti dengan perubahan distribusi masing-masing kelompok kredit perbankan. Peningkatan output perkapita mendorong peningkatan kredit konsumsi yang lebih tinggi dibanding
184
kredit investasi dan modal kerja, sehingga proporsi kredit investasi dan modal kerja mengalami penurunan. Pada sisi lain peningkatan proporsi kredit UKM merupakan implikasi dari berkembangnya berbagai jenis usaha kecil akibat meningkatnya aksesibilitas dan perkembangan kawasan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan memotivasi munculnya wirausahawan baru pada sektor industri dan jasa. Usaha kecil dan menengah akan berkembang dan kebutuhan modal akan meningkat baik untuk memulai maupun pengembangan usaha sehingga proporsi kredit UKM meningkat dan pada sisi lain usaha besar akan lebih dominan berkembang melalui investasi sektor swasta yang dananya diduga berasal pemilik modal dari luar kawasan. Perkembangan UKM juga lebih didominasi oleh usaha sektor nonpertanian dan ini terindikasi dengan menurunnya proporsi kredit sektor pertanian. Penurunan proporsi kredit sektor pertanian ini disamping akibat berkembangnya UKM non-pertanian juga akibat berkurangnya aktivitas pembangunan sektor pertanian seiring berkurangnya alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian. Perubahan dalam pembiayaan pembangunan ini akan mempengaruhi berbagai indikator ekonomi, sosial dan lingkungan. 6.6.2. Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Ekonomi Kebijakan
mendorong
terjadinya
transformasi
struktural
dalam
pembangunan ekonomi, yaitu menurunnya peran sektor pertanian dalam pembentukan output dan penyerapan tenaga kerja disajikan pada Tabel 46.
185
Tabel 46. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Struktur Perekonomian Kawasan No
Kawasan
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Sumbar
Nilai Dasar Simulasi Perubahan Dasar Simulasi Perubahan Dasar Simulasi Perubahan
Pangsa output sektor pertanian (%) 44.59 44.05 -0.54 45.20 44.68 -0.52 34.90 34.40 -0.50
Indikator Pangsa tenaga kerja sektor pertanian (%) 73.23 72.10 -1.12 73.62 72.59 -1.03 66.41 65.45 -0.95
Tabel 46 menunjukkan bahwa kebijakan ini mendorong terjadinya transformasi struktural pembangunan baik pada pasar output maupun tenaga kerja. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam pembentukan output kawasan, diikuti dengan penurunan peran sektor ini dalam penyerapan tenaga. Perubahan dalam struktur output kawasan akan mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian. Perbandingan antar kawasan menunjukkan bahwa semakin besar penurunan pangsa output sektor pertanian, semakin besar migrasi tenaga kerja sehingga porsi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian semakin kecil. Hal ini terindikasi dari penurunan pangsa output sektor pertanian kawasan Bengkulu yang diikuti dengan penurunan lebih besar pangsa tenaga sektor primer ini dibanding kawasan lainnya. Penurunan pangsa output sektor pertanian kawasan Bengkulu terutama didorong oleh menurunnya pangsa sub-sektor perkebunan dan pangan, meskipun pangsa sub-sektor kehutanan meningkat sebagai implikasi peningkatan produksi kayu budidaya yang berasal
186
dari peningkatan porsi lahan kayu-kayuan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan peningkatan produksi kayu hasil budidaya dapat dijadikan sebagai substitusi produk kehutanan yang berasal dari hutan alam. Transformasi struktural dalam perekonomian akan mendorong terjadinya peningkatan laju pertumbuhan output dan tingkat kesejahteraan masyarakat masing-masing kawasan seperti disajikan pada Tabel 47. Tabel 47. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Pasar Output No
Kawasan
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Sumbar
Nilai Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%)
Indikator Pertumbuhan output Output perkapita kawasan (%) kawasan (Juta Rupiah) 3.16 1.17 3.89 1.25 0.73 7.06 3.56 1.17 4.30 1.25 0.74 7.13 3.83 1.26 4.58 1.34 0.75 6.62
Peningkatan peran sektor non-pertanian dalam pembentukan output akan mendorong laju pertumbuhan output yang lebih cepat, sehingga dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan penduduk akan menyebabkan peningkatan output perkapita. Perbandingan antar kawasan mengindikasikan bahwa semakin besar perubahan struktur output atau pangsa output sektor pertanian kawasan, maka semakin cepat laju pertumbuhan output. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan output kawasan Sumatera Barat yang lebih tinggi dibanding kawasan Jambi dan Bengkulu. Pada sisi lain, laju pertumbuhan
187
output kawasan Jambi yang lebih tinggi dibanding Bengkulu disebabkan oleh struktur output sub-sektor pembentuk sektor pertanian. Pangsa sektor pertanian yang relatif sama tetapi pada kawasan Jambi kontribusi sub-sektor perkebunan yang
cukup
besar
mengindikasikan
dibanding
bahwa
kontribusi
pengembangan
kawasan sub-sektor
Bengkulu.
Hal
perkebunan
ini
mampu
mendorong laju pertumbuhan output kawasan yang lebih tinggi dibanding subsektor tanaman pangan, seperti disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Hubungan Antara Struktur Output dengan Laju Pertumbuhan Output dan Output Perkapita Kawasan Pada Pembangunan Berkelanjutan No
Variabel
Bengkulu
Kawasan Jambi
Sumbar
26.43
20.23
22.09
Pangsa output sektor pertanian kawasan (%) 1
Pangsa sub-sektor tanaman pangan
2
Pangsa sub-sektor perkebunan
8.28
15.01
5.79
3
Pangsa sub-sektor peternakan
3.62
3.59
2.84
4
Pangsa sub-sektor perikanan
2.32
5.14
0.82
5
Pangsa sub-sektor kehutanan
3.39
0.70
2.86
44.05
44.68
34.40
Pertumbuhan output kawasan (%)
3.89
4.30
4.58
Output perkapita kawasan (juta rupiah)
1.25
1.25
1.34
Jumlah
Transformasi struktural pasar output dan laju pertumbuhan output kawasan juga akan mendorong semakin meningkatnya output perkapita sebagai indikator kesejahteraan. Sebagaimana laju pertumbuhan output, maka semakin meningkat pangsa output sektor non-pertanian, maka akan semakin tinggi output perkapita, seperti pada kawasan Sumatera Barat. Pada kawasan Jambi dan Bengkulu dengan struktur ekonomi yang relatif sama memiliki output perkapita yang juga relatif
188
sama. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin menurunnya ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian, maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Indikasi lain yang dapat diperoleh adalah penurunan pangsa output sektor pertanian yang diikuti dengan penurunan lebih besar pangsa tenaga sektor pertanian (Tabel 47) berpotensi memperbaiki distribusi output antar sektor pembangunan. Perubahan ini mengindikasikan bahwa output perkapita pada sektor pertanian (pedesaan) meningkat lebih besar dibanding sektor non-pertanian (urban). Perbaikan distribusi pendapatan antar sektor lebih baik pada kawasan Bengkulu dibanding kawasan lainnya, karena laju perubahan pangsa tenaga kerja lebih besar dibanding perubahan output. Hal ini mengindikasikan bahwa perhatian yang lebih besar pada pengembangan sumberdaya manusia akan mampu mengurangi ketimpangan dalam pembangunan yang menjadi salah satu aspek dalam pembangunan berkelanjutan. 6.6.3. Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Sosial Pilihan terhadap kebijakan kombinasi realokasi pengeluaran rutin dan prioritas sektor sumberdaya manusia dari aspek sosial juga menunjukkan dampak yang sesuai dengan diharapkan. Pada aspek sosial dalam pembangunan berkelanjutan maka salah satu aspek penting adalah semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Indikator untuk mengetahui tingkat keterlibatan masyarakat dapat dilihat dari sisi penawaran dan permintaan tenaga kerja seperti disajikan pada Tabel 49.
189
Tabel 49. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Pasar Tenaga Kerja Kawasan No
Kawasan
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Sumbar
Nilai Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%)
Indikator Tingkat Partisipasi Tingkat Pengangguran Angkatan Kerja (%) Terbuka (%) 64.30 5.06 65.28 4.34 0.98 -0.72 59.43 3.17 60.38 2.47 0.96 -0.71 54.84 4.13 55.78 3.43 0.94 -0.70
Peningkatan partisipasi kerja mengindikasikan semakin meningkatnya jumlah penduduk usia kerja untuk berpartisipasi dalam dunia kerja atau terjadi peningkatan penawaran tenaga kerja. Peningkatan laju pertumbuhan output yang lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan tenaga kerja, menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja lebih besar dibanding dengan peningkatan penawaran. Hal ini mengindikasi adanya peningkatan daya serap tenaga kerja, sehingga pengangguran terbuka mengalami penuruan. Peningkatan partisipasi penduduk usia kerja dalam pembangunan lebih banyak terjadi pada sektor nonpertanian, dan ini terlihat dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka yang diikuti dengan menurunnya pangsa tenaga kerja sektor pertanian. Penyerapan tenaga kerja merupakan selisih antara peningkatan penawaran dan permintaan tenaga kerja dan berdasarkan hal tersebut dapat diketahui kemampuan perubahan output terhadap penurunan tingkat pengangguran. Tingkat penyerapan ini dapat dilihat dari persentase perubahan pertumbuhan output
190
terhadap persentase perubahan penawaran (elastisitas penawaran) dan permintaan (elastisitas permintaan) seperti disajikan pada Gambar 24. 2.5
2.32
2.26
2.20
Elastiistas (%)
1.26
1.30
1.5
1.34
2.0
Penaw aran Permintaan Pengangguran
1.0 0.5 Kaw asan
0.0 -0.5 -1.0 -0.98
-0.94
-0.96
-1.5 Bengkulu
Jambi
Sumbar
Gambar 24. Elastisitas Output Terhadap Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Pertumbuhan output pada sektor ketenagakerjaan disamping mendorong peningkatan permintaan tetapi juga penawaran, seperti pada kawasan Bengkulu setiap persen peningkatan laju pertumbuhan output akan meningkatkan permintaan sekitar 2.32% dan pada sisi lain penawaran juga meningkat sekitar 1.34%. Peningkatan permintaan yang lebih besar dibanding dengan penawaran tenaga kerja menyebabkan tingkat pengangguran terbuka akan menurun sebesar 0.98%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan realokasi pengeluaran rutin dengan
prioritas
sektor
pembangunan
sumberdaya
manusia
berpotensi
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Indikator ini menunjukkan bahwa kebijakan ini ditinjau dari aspek sosial potensial untuk memenuhi syarat suatu pembangunan berkelanjutan.
191
6.6.4. Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Lingkungan Pertumbuhan output dan peningkatan kesejahteraan masyarakat kawasan melalui transformasi struktural perekonomian akan mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Hal ini dapat dilihat dari evaluasi dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan pada aspek lingkungan seperti disajikan pada Tabel 50. Tabel 50. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Permintaan Sumberdaya Lahan dan Hutan Kawasan (%) No
Kawasan
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Sumbar
Nilai Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%) Dasar Simulasi Perubahan (%)
Indikator Porsi hutan kawasan
Tingkat degradasi zona penyangga
39.37 42.06 2.68 35.93 38.50 2.57 50.81 53.29 2.48
17.82 17.56 -0.26 8.70 8.51 -0.19 7.32 7.19 -0.13
Tingkat degradasi TNKS
4.83 4.84 0.01 7.43 7.43 0.00 7.18 7.18 0.00
Permintaan terhadap sumberdaya lahan mengalami penurunan yang terlihat dengan peningkatan porsi luas kawasan hutan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kebijakan alokasi pengeluaran pembangunan berkelanjutan, maka proses konversi hutan kawasan secara permanen terutama untuk tujuan budidaya atau deforestasi mengalami penurunan. Peningkatan porsi atau luas hutan kawasan ini akan menyediakan sumberdaya hutan bagi masyarakat, sehingga mencegah eksploitasi sumberdaya hutan pada zona penyangga. Implikasi dari perkembangan
192
ini adalah menurunnya degradasi hutan zona penyangga, dan berkurangnya tekanan
terhadap
taman nasional.
Hal ini
mengimplikasikan bahwa
perkembangan sosial ekonomi kawasan sebagai dampak dari kebijakan berpotensi menurunkan tekanan terhadap taman nasional. Degradasi hutan taman nasional meskipun masih ada tetapi tidak mengalami peningkatan lagi kecuali untuk kawasan Bengkulu. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kawasan ini masih diperlukan upaya untuk menurunkan tingkat degradasi taman nasional dengan realokasi dan prioritas yang lebih besar. 6.7. Ikhtisar Secara umum dari evaluasi terhadap berbagai alternatif kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah, maka dapat diindikasikan bahwa: 1.
Kebijakan peningkatan salah satu sektor pengeluaran pembangunan tanpa adanya perubahan dalam alokasi pengeluaran rutin dan pembangunan, peningkatan manfaat pada salah satu aspek pembangunan akan diikuti dengan penurunan manfaat kebijakan pada apek pembangunan lainnya.
2.
Ekspansi pembangunan daerah melalui realokasi pengeluaran rutin untuk peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan tanpa adanya penataan sektor-sektor pengeluaran pembangunan berpotensi memberikan manfaat dari aspek sosial dan ekonomi, tetapi menyebabkan peningkatan tekanan terhadap taman nasional.
3.
Kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah berupa realokasi pengeluaran rutin dengan prioritas peningkatan alokasi pengeluaran
193
pembangunan sektor sumberdaya manusia merupakan kombinasi kebijakan terbaik yang dapat dilakukan. 4.
Rasio antara pengeluaran rutin dan pembangunan yang seimbang dengan prioritas
pengembangan
meningkatkan
sektor
kesejahteraan
sumberdaya
masyarakat
(output
manusia,
berpotensi
perkapita)
melalui
transformasi struktural pasar output dan tenaga kerja, serta mengurangi pengangguran terbuka dan ketergantungan terhadap sumberdaya lahan dan hutan, serta tekanan terhadap taman nasional. 5.
Kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah yang berkelanjutan mampu mengurangi konflik kepentingan terutama pada antara kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar, dan upaya pelestarian taman nasional. Upaya pelestarian taman nasional dan zona penyangga melalui aktivitas langsung pada zona penyangga dan taman nasional yang dibiayai oleh pemerintah pusat maupun lembaga donor luar negeri akan lebih efektif untuk dilaksanakan.
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 2007 - 2010
7.1.
Ramalan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Alokasi pengeluaran pembangunan cenderung mengalami penurunan dan
sebaliknya alokasi pengeluaran rutin meningkat. Variasi alokasi pengeluaran antar sektor dalam pembangunan meskipun menurun tetapi tidak mengalami perubahan dari tahun ketahun seperti disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Ramalan Perkembangan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Pada Periode Tahun 2004 – 2010 No
Sektor Pengeluaran Pembangunan
Bengkulu 1 Transportasi 2 Pembangunan Wilayah 3
Sumberdaya Manusia
4
Lain-lain
2004
Alokasi (%) 2007
2010
5.36 3.12
4.49 3.01
3.83 2.98
Perubahan/tahun (%) 2004 - 2007 2007 - 2010 -0.29 -0.04
-0.22 -0.01
2.35
2.17
2.03
-0.06
-0.04
14.02
13.86
13.80
-0.05
-0.02
Pengeluaran pembangunan
24.84
23.52
22.64
-0.44
-0.29
Pengeluaran rutin
75.16
76.48
77.36
0.44
0.29
Jambi 1
Transportasi
8.41
8.48
8.66
0.02
0.06
2
Pembangunan Wilayah
2.96
2.62
2.32
-0.11
-0.10
3
Sumberdaya Manusia
3.39
3.36
3.35
-0.01
0.00
4
Lain-lain
14.03
13.62
13.27
-0.14
-0.12
Pengeluaran pembangunan
28.80
28.07
27.59
-0.24
-0.16
Pengeluaran rutin
71.20
71.93
72.41
0.24
0.16
Sumbar 1
Transportasi
7.62
6.99
6.55
-0.21
-0.15
2
Pembangunan Wilayah
3.39
3.19
3.06
-0.07
-0.04
3
Sumberdaya Manusia
4
Lain-lain
2.83
2.68
2.57
-0.05
-0.03
10.80
10.54
10.38
-0.09
-0.05
Pengeluaran pembangunan
24.64
23.38
22.57
-0.42
-0.27
Pengeluaran rutin
75.36
76.62
77.43
0.42
0.27
195
Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan terbesar terjadi pada kawasan Bengkulu dan Sumbar terutama didorong oleh penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi. Pada sisi lain meskipun alokasi pengeluaran pembangunan pada kawasan Jambi juga mengalami penurunan tetapi alokasi pengeluaran sektor transportasi tetap mengalami peningkatan. Penurunan alokasi pengeluran pembangunan pada kawasan ini terutama disebabkan oleh menurunnya alokasi sektor sumberdaya manusia tetapi secara rata-rata tetap lebih besar dibanding sektor pengeluaran pembangunan lainnya. Perbedaan alokasi pengeluaran pemerintah daerah antar kawasan mengindikasikan adanya perbedaan pola alokasi anggaran, sehingga berdampak berbeda terhadap perkembangan kawasan. Menggunakan tahun dasar periode desentralisasi (2001 – 2003), maka perkembangan masing-masing aspek tanpa adanya perubahan dalam alokasi pengeluaran pemerintah daerah disajikan pada Tabel 52. Perubahan paradigma dalam alokasi pengeluaran pemerintah selama desentralisasi fiskal dibutuhkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena tanpa adanya perubahan dalam alokasi akan menghambat terjadinya transformasi struktural dalam perekonomian. Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian baik pada pasar output maupun pasar tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi tidak akan sustainable dan kenaikan pertumbuhan hanya terjadi pada tahun-tahun awal dan selanjutnya akan mengalami penurunan. Dampak dari kondisi ini adalah akan menyebabkan terjadinya semakin melemahnya laju peningkatan output perkapita yang mengindikasikan semakin rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
196
Tabel 52. Ramalan Perkembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tanpa Perubahan Kebijakan Periode Tahun 2004 – 2010 No
Variabel
2004-2006 Bengkulu
Jambi
2007-2010 Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
0.76 -0.17 1.84
2.27 0.93 -4.65
2.65 -0.36 1.45
3.03 -1.57 1.63
-0.18 0.35 0.18
0.93 0.30 2.79
-0.11 0.69 1.84
-0.15 1.25 0.36
-1.22 0.13 0.15
-9.87 -0.75 0.37
-13.89 -1.10 0.16
-8.45 -0.65 0.26
Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian 0.22 0.65 2 Pertumbuhan output 1.15 0.48 3 PDB/Kapita -1.03 2.03 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.41 0.13 2 Pengangguran terbuka -0.18 -0.03 3 Pangsa TK Pertanian 1.26 0.73 Lingkungan 1 Porsi hutan kawasan -1.20 -3.95 2 Degradasi zona penyangga -0.12 0.07 3 Degradasi TNKS 0.27 0.10 Keterangan: Angka ”Tebal” menunjukkan dampak sesuai diharapkan
Pada pasar tenaga kerja menurunnya kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja akan menyebabkan peningkatan pengangguran terbuka terutama pada periode 2007 - 2010. Pada aspek lingkungan, menyebabkan tekanan yang lebih besar terhadap lahan dengan meningkatnya konversi hutan dan degradasi taman nasional. Berdasarkan kepada hal tersebut maka perubahan paradigma dalam alokasi pengeluaran pemerintah sangat dibutuhkan baik antara pengeluaran rutin dan pembangunan maupun antar sektor dalam pengeluaran pembangunan. Untuk itu maka kebijakan realokasi pengeluaran rutin yang diikuti dengan pemilihan sektor prioritas menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Pada BAB VI dari berbagai alternatif kebijakan maka yang mampu memberikan dampak sesuai diharapkan baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan adalah realokasi 25% pengeluaran rutin untuk pembangunan dengan prioritas 20% untuk sektor sumberdaya manusia.
197
7.2.
Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2007 – 2010
7.2.1. Ramalan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Implementasi
kebijakan
alokasi
Pemerintah
pengeluaran
Daerah
pembangunan
untuk untuk
pembangunan berkelanjutan akan mendorong perubahan dalam alokasi antar sektor terutama sektor prioritas. Secara umum kebijakan ini akan mendorong peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan mendekati 50% dan akan teralokasi sekitar 16 – 18% untuk sektor sumberdaya manusia. Ramalan alokasi pengeluaran pemerintah daaerah untuk pembangunan pada masing-masing kawasan disajikan pada Tabel 53. Tabel 53. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan No
Sektor Pembiayaan Pembangunan
Pengeluaran Pembangunan
Perubahan (%)
Nilai Simulasi (%)
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
24.29
19.49
24.41
47.35
47.31
47.36
15.94
13.09
16.14
18.03
16.44
18.76
1
Sumberdaya manusia
2
Transportasi
4.29
3.28
4.24
8.44
11.85
11.00
3
Pengembangan wilayah
1.81
1.39
1.79
4.80
3.85
4.91
4
Lain-lain
2.26
1.73
2.24
16.09
15.18
12.69
Kredit Perbankan 1
Investasi dan modal kerja
-3.92
-3.37
-4.17
63.95
60.39
60.54
2
Usaha kecil dan menengah
4.08
2.76
3.83
41.71
41.60
58.47
3
Sektor pertanian
-7.42
-6.36
-7.88
35.31
33.88
33.03
Kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia sebagai sektor prioritas akan diikuti dengan peningkatan alokasi sektor lain.
198
Peningkatan
alokasi
pengeluaran
pembangunan
sektor
transportasi
dan
pengembangan wilayah relatif besar, merupakan implikasi dari respon kedua sektor terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan yang lebih besar dibanding sektor lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan sektor sumberdaya manusia akan diikuti dengan meningkatnya aksesibilitas kawasan, sedangkan peningkatan alokasi sektor-sektor lain dibutuhkan sebagai faktor pendukung seperti untuk pengendalian pertumbuhan penduduk. Pada sisi pembiayaan sektor swasta, maka kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah berkelanjutan secara umum akan mendorong peningkatan proporsi kredit UKM, dan sebaliknya proporsi kredit produksi (investasi dan modal kerja) termasuk sektor pertanian mengalami penurunan. Penurunan porporsi kredit produksi lebih didorong peningkatan kredit konsumsi sebagai implikasi dari peningkatan output perkapita, sedangkan penurunan proporsi kredit sektor pertanian mengikuti perubahan struktur pasar output dan tenaga kerja kawasan. Transformasi struktural juga akan mendorong terjadinya perubahan dalam perkembangan sosial, ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 54. Ramalan dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah berkelanjutan secara rata-rata berpotensi mendorong transformasi struktural berupa turunnya ketergantungan perekonomian baik terhadap pasar output maupun tenaga kerja. Implikasi dari perubahan struktural berpotensi memacu laju pertumbuhan output lebih tinggi dibanding pertumbuhan populasi sehingga output perkapita sebagai indikator kesejahteraan akan meningkat.
199
Tabel 54. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tahun 2007 – 2010 No
Variabel
Nilai Dasar
Kebijakan
Perubahan (%)
B
J
S
B
J
S
B
J
S -0.41
Ekonomi 1
Pangsa output pertanian
46.15
47.04
37.52
45.12
46.26
37.11
-1.03
-0.78
2
Pertumbuhan output
4.40
3.11
1.33
5.80
4.28
2.78
1.39
1.17
1.45
3
Output perkapita
1.12
1.23
1.33
1.25
1.34
1.47
11.98
9.19
10.37
Sosial 1
Tingkat partisipasi AK
65.59
58.89
54.62
67.35
60.29
56.38
1.76
1.39
1.76
2
Pengangguran terbuka
5.72
4.24
6.14
4.37
3.16
4.78
-1.35
-1.08
-1.36
3
Pangsa TK Pertanian
79.58
79.05
69.04
77.63
77.70
67.24
-1.95
-1.35
-1.80
27.50 21.66
17.68 11.30
39.67 10.82
28.76 21.13
21.44 11.09
43.17 10.44
1.26 -0.53
3.75 -0.22
3.50 -0.38
5.64
8.08
7.94
0.06
0.04
0.06
Lingkungan 1
Porsi hutan kawasan
2
Degradasi penyangga
3 Degradasi TNKS 5.58 8.04 7.88 Keterangan: B = Bengkulu, J = Jambi dan S = Sumatera Barat
Laju pertumbuhan ouput lebih tinggi juga akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja (tingkat partisipasi angkatan kerja), sehingga tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan. Pada aspek lingkungan, kebijakan berpotensi mengurangi permintaan terhadap sumberdaya lahan dan hutan, dan terindikasi dari meningkatnya porsi hutan kawasan dan berkurangnya degradasi hutan zona penyangga, dan peningkatan degradasi hutan taman nasional yang relatif rendah dan mendekati nol. Rata-rata dampak kebijakan secara umum berpotensi memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan. Untuk melihat apakah dampak kebijakan memenuhi syarat manfaat berkelanjutan (sustainable benefit), maka dapat dilihat dari kecenderungan
200
dampak dari tahun ketahun. Manfaat kebijakan diduga terkait dengan kecenderungan alokasi pengeluaran pemerintah daerah dari tahun ketahun seperti disajikan pada Tabel 55. Tabel 55. Ramalan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2007 - 2010 Sektor pengeluaran pembangunan NO
Kawasan
Tahun 2007
1
2
3
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Sumberdaya Manusia 18.02
Transportasi 8.68
Pegembangan wilayah 4.78
Jumlah Lain-lain 16.07
47.547
2010
18.05
8.20
4.82
16.11
47.178
Rataan
18.03
8.44
4.80
16.09
47.35
Trend
0.03
-0.49
0.04
0.04
-0.37
2007
16.48
11.71
3.98
15.33
47.506
2010
16.40
11.99
3.72
15.03
47.136
Rataan
16.44
11.85
3.85
15.18
47.31
Trend
-0.08
0.28
-0.26
-0.31
-0.37
2007
18.73
11.14
4.94
12.73
47.545
2010
18.78
10.87
4.88
12.66
47.197
Rataan
18.76
11.00
4.91
12.69
47.36
Trend
0.05
-0.27
-0.05
-0.07
-0.35
Pada kawasan Bengkulu, kecenderungan penurunan alokasi pengeluaran pembangunan didorong oleh kecenderungan penurunan alokasi sektor transportasi meskipun alokasi sektor sumberdaya manusia, pengembangan wilayah dan sektorsektor lainnya cenderung meningkat, dan sebaliknya pada kawasan Jambi kecenderungan penurunan didorong oleh hampir seluruh sektor pengeluaran kecuali sektor transportasi. Pada kawasan Sumatera Barat meskipun alokasi sektor sumberdaya manusia cenderung meningkat, tetapi karena alokasi sektor lainnya menurun, maka secara keseluruhan alokasi pengeluaran pembangunan juga
201
cenderung menurun dari tahun ketahun. Kecenderungan alokasi ini akan memberikan dampak terhadap kecenderungan nilai-nilai simulasi pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. 7.2.2. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Ekonomi Pada aspek ekonomi kebijakan pengeluaran pembangunan berkelanjutan secara rata-rata mampu mendorong terjadinya tranformasi struktural baik pada pasar output maupun tenaga kerja, serta mengurangi ketimpangan output antara sektor pertanian dan non-pertanian. Pada sisi lain, jika dilihat dari kecenderungan pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa transformasi struktural pembangunan tidak akan berkelanjutan, seperti disajikan pada Tabel 56. Tabel 56 menunjukkan bahwa dampak kebijakan pada pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan mengikuti kecenderungan nilai dasar. Hal ini terjadi pada semua kawasan, seperti pangsa output sektor pertanian pada kawasan Bengkulu pada tahun 2007 mengalami penurunan dari 45.27% menjadi 44.26% dengan adanya perubahan alokasi pengeluaran pemerintah daerah, tetapi pada tahun 2009 kembali mengalami peningkatan menjadi 45.41%. Kondisi yang sama terjadi pada pasar tenaga kerja, dimana penyerapan tenaga kerja sektor pertanian kembali mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Implikasi dari kecenderungan ini adalah
kembali
pembangunan.
meningkatnya
ketimpangan
kesejahteraan
antar
sektor
202
Tabel 56. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Struktur Perekonomian Kawasan Tahun 2007 – 2010 Indikator Kawasan
Tahun
Pangsa output pertanian (%) Nilai Dasar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Simulasi
Perubahan
Pangsa TK sektor pertanian (%) Nilai Dasar
Simulasi
Perubahan
2007
45.27
44.26
-1.01
78.93
77.00
-1.93
2008
45.85
44.83
-1.02
79.37
77.42
-1.95
2009
46.44
45.41
-1.03
79.80
77.84
-1.96
2010
47.03
45.99
-1.05
80.23
78.26
-1.97
Rataan Trend
46.15 1.76
45.12 1.73
-1.03 -0.04
79.58 1.30
77.63 1.26
-1.95 -0.04
2007
46.18
45.41
-0.77
78.59
77.22
-1.37
2008
46.76
45.98
-0.78
78.90
77.54
-1.36
2009
47.32
46.54
-0.78
79.21
77.87
-1.34
2010
47.88
47.10
-0.78
79.51
78.19
-1.32
Rataan Trend
47.04 1.70
46.26 1.69
-0.78 -0.01
79.05 0.93
77.70 0.97
-1.35 0.05
2007
36.58
36.19
-0.39
68.50
67.18
-1.32
2008
37.21
36.81
-0.40
69.01
67.22
-1.79
2009
37.84
37.42
-0.41
69.07
67.26
-1.81
2010
38.46
38.04
-0.43
69.14
67.31
-1.83
Rataan
37.52 1.89
37.11 1.85
-0.41 -0.04
68.93 0.64
67.24 0.12
-1.69 -0.52
Trend
Implikasi lain dari transformasi struktural yang tidak berkelanjutan adalah peningkatan laju pertumbuhan output dan kesejahteraan masyarakat (output perkapita) yang juga tidak berkelanjutan. Laju pertumbuhan output dan output perkapita dari tahun ke tahun juga akan cenderung menurun, seperti terlihat pada ramalan dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah pada pasar output Tabel 57
203
Tabel 57. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Pasar Output Kawasan Tahun 2007 – 2010 Indikator Kawasan
Tahun
Pertumbuhan output (%) Nilai Dasar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Simulasi
Output perkapita (juta rupiah)
Perubahan
Nilai Dasar
Simulasi
Perubahan
2007
4.49
5.85
1.37
1.14
1.27
0.13
2008
4.43
5.82
1.39
1.13
1.26
0.13
2009
4.38
5.78
1.40
1.11
1.25
0.14
2010
4.32
5.74
1.42
1.10
1.24
0.14
Rataan
4.40
5.80
1.39
1.12
1.25
0.13
Trend
-0.17
-0.11
0.05
-3.25
-2.76
1.50
2007
3.46
4.60
1.15
1.23
1.35
0.11
2008
3.22
4.38
1.16
1.23
1.34
0.11
2009
2.99
4.17
1.18
1.23
1.34
0.11
2010
2.76
3.95
1.19
1.23
1.34
0.11
Rataan
3.11
4.28
1.17
1.23
1.34
0.11
Trend
-0.70
-0.65
0.05
-0.49
-0.45
0.00
2007
1.89
3.32
1.43
1.33
1.47
0.14
2008
1.51
2.96
1.44
1.33
1.47
0.14
2009
1.14
2.60
1.46
1.33
1.47
0.14
2010
0.79
2.25
1.47
1.33
1.47
0.14
Rataan
1.33
2.78
1.45
1.33
1.47
0.14
Trend
-1.11
-1.07
0.04
-0.08
0.00
0.73
Laju pertumbuhan output akan mengalami peningkatan tetapi efektifitas kebijakan dari tahun ketahun cenderung mengalami penurunan terutama pada kawasan Jambi dan Sumatera Barat. Implikasi dari laju pertumbuhan output yang semakin lambat, maka upaya peningkatan output perkapita menjadi tidak efektif, dan bahkan untuk kawasan Bengkulu dan Jambi output perkapita cenderung mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada kawasan Sumatera Barat dengan pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian relatif lebih rendah, maka output perkapita relatif tetap dari tahun ketahun. Indikasi lain yang dapat diambil adalah meskipun kecenderungan penurunan laju pertumbuhan output dan output
204
perkapita akibat kebijakan relatif lebih rendah dibanding tanpa kebijakan, tetapi kebijakan tetap belum mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic growth), sehingga upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak efektif. 7.2.3. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Sosial Peningkatan aktivitas pembangunan dengan meningkatnya output akan mendorong peningkatan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi dalam pembangunan dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam aktivitas pembangunan dan pada pasar tenaga kerja dapat dilihat dari sisi penawaran dengan indikator tingkat partisipasi angkatan kerja, dan dari sisi permintaan dengan indikator tingkat pengangguran terbuka. Dampak kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah berkelanjutan pada pasar tenaga kerja dari tahun ketahun disajikan pada Tabel 58. Pertumbuhan output disamping meningkatkan permintaan tenaga kerja, juga berpotensi mendorong semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Kecenderungan laju pertumbuhan output yang menurun yang diikuti dengan
peningkatan
partisipasi
angkatan
kerja
dari
tahun
ketahun,
menginidkasikan bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja juga didorong oleh perubahan dalam struktur demografi. Laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya porsi penduduk usia kerja seiring menurunnya rataan jumlah anggota keluarga akan mendorong peningkatan penawaran tenaga kerja terutama untuk kawasan Bengkulu dan Jambi.
205
Tabel 58. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkelanjutan Terhadap Pasar Tenaga Kerja Kawasan Tahun 2007 – 2010 Indikator Kawasan
Tahun
Tingkat parisipasi angkatan kerja (%) Nilai Dasar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Simulasi
Perubahan
Tingkat pengangguran terbuka (%) Nilai Dasar
Simulasi
Perubahan
2007
65.35
67.09
1.74
5.52
4.20
-1.32
2008
65.51
67.26
1.76
5.65
4.31
-1.34
2009
65.66
67.44
1.77
5.78
4.43
-1.35
2010
65.83
67.61
1.79
5.91
4.54
-1.37
Rataan
65.59
67.35
1.76
5.72
4.37
-1.35
Trend
0.47
0.52
0.05
0.39
0.34
-0.04
2007
58.99
60.37
1.39
3.94
2.87
-1.06
2008
58.92
60.31
1.39
4.14
3.07
-1.07
2009
58.86
60.26
1.40
4.34
3.26
-1.08
2010
58.80
60.20
1.40
4.54
3.45
-1.09
Rataan
58.89
60.29
1.39
4.24
3.16
-1.08
Trend
-0.19
-0.17
0.02
0.61
0.58
-0.03
2007
54.60
56.34
1.74
5.77
4.43
-1.34
2008
54.61
56.36
1.76
6.02
4.66
-1.35
2009
54.62
56.40
1.77
6.26
4.89
-1.37
2010
54.64
56.43
1.79
6.50
5.12
-1.38
Rataan
54.62
56.38
1.76
6.14
4.78
-1.36
Trend
0.05
0.09
0.05
0.73
0.69
-0.04
Laju pertumbuhan output yang cenderung menurun menyebabkan permintaan tenaga lebih kecil dibanding peningkatan penawaran tenaga kerja, dan sebagai implikasinya tingkat pengangguran terbuka juga cenderung akan meningkat dari tahun ketahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kecenderungan alokasi pengeluaran pembangunan yang menurun dari tahun ketahun belum mampu memberikan dampak terhadap sektor tenaga kerja (employment effect) yang berkelanjutan, meskipun peningkatan pengangguran terbuka lebih kecil dibanding dengan tanpa adanya kebijakan.
206
7.2.4. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Lingkungan Perubahan yang terjadi sebagai dampak dari kebijakan pada pasar output dan tenaga kerja, juga akan mempengaruhi permintaan terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Transformasi struktural pada pasar output dan tenaga kerja dengan berkurangnya ketergantungan terhadap sektor pertanian, berpotensi mengurangi permintaan terhadap sumberdaya lahan. Rata-rata konversi hutan untuk penggunaan lain menurun sehingga porsi hutan kawasan meningkat tetapi cenderung menurun dari tahun ketahun seperti disajikan pada Tabel 59. Tabel 59. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Berkelanjutan Terhadap Deforestasi Kawasan dan Degradasi Zona Penyangga Tahun 2007 – 2010 Indikator Kawasan
Bengkulu
Jambi
Tahun
Tingkat degradasi zona penyangga (%)
Nilai Dasar
Simulasi
Perubahan
Nilai Dasar
Simulasi
2007
31.38
32.10
0.71
21.93
21.41
-0.51
2008 2009
28.92
30.09
1.17
21.75
21.23
-0.52
26.22 23.50
27.65 25.22
1.44 1.72
21.57 21.39
21.04 20.86
-0.53 -0.54
Rataan Trend
27.50
28.76
1.26
21.66
21.13
-0.53
-7.89
-6.88
1.01
-0.53
-0.56
-0.02
2007 2008
22.04
25.72
3.69
11.81
11.57
-0.23
19.17 16.32
22.90 20.08
3.73 3.76
11.47 11.14
11.25 10.93
-0.22 -0.21
2010 Rataan
13.21
17.04
3.84
10.80
10.60
-0.20
17.68
21.44
3.75
11.30
11.09
-0.22
Trend
-8.83
-8.68
0.15
-1.01
-0.98
0.03
2007
42.80 40.80
45.91 44.09
3.11 3.28
11.15 10.93
10.79 10.55
-0.36 -0.38
38.65
42.27
3.62
10.71
10.32
-0.39
Rataan
36.43 39.67
40.41 43.17
3.98 3.50
10.50 10.82
10.09 10.44
-0.41 -0.38
Trend
-6.38
-5.50
0.87
-0.66
-0.70
-0.04
2010
2009
2008 Sumbar
Porsi hutan kawasan (%)
2009 2010
Perubahan
207
Transformasi struktural pasar output dan tenaga kerja yang tidak berkelanjutan menyebabkan deforestasi hutan kawasan cenderung meningkat dari tahun ketahun. Deforestasi yang cenderung meningkat mengindikasikan peningkatan konversi hutan kawasan untuk penggunaan lain mengalami peningkatan dari tahun ketahun, sehingga porsi hutan kawasan cenderung menurun. Pada sisi lain degradasi hutan zona penyangga masih cenderung mengalami penurunan dari tahun ketahun dengan laju penurunan lebih besar akibat kebijakan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan dengan alokasi pengeluaran pembangunan yang cenderung menurun berdampak semakin meningkatnya deforestasi hutan kawasan dan sebaliknya masih mampu menurunkan degradasi zona penyangga. Untuk mengatasi kecenderungan ini sebagaimana pada aspek ekonomi dan sosial, maka pada aspek lingkungan juga menuntut
adanya
perubahan
paradigma
dalam
kecenderungan
alokasi
pengeluaran. Para pengambil keputusan terutama yang terkait dengan penyusunan anggaran diharapkan mampu mendorong peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang lebih besar dibanding pengeluaran rutin dari tahun ketahun. Pembangunan sosial ekonomi kawasan akan mendorong peningkatan degradasi taman nasional tetapi relatif kecil dengan laju pertumbuhan cenderung menurun seperti disajikan pada Gambar 25. Peningkatan degradasi taman nasional dengan laju pertumbuhan yang semakin menurun menyebabkan kebijakan ini masih layak dalam upaya integrasi pembangunan sosial ekonomi kawasan dan perlindungan taman nasional. Peningkatan degradasi hutan taman nasional yang rendah akan memudahkan upaya rehabilitasi hutan (reforestrasi) taman nasional,
208
dan bahkan dengan laju peningkatan yang semakin menurun maka akan memberikan waktu yang cukup untuk pemulihan hutan secara alamiah. Pelestarian taman nasional yang menjadi tanggung jawab utama Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (Balai TNKS) sebagai pengelola akan lebih efektif terutama dalam upaya pemberantasan aktivitas perambahan taman nasional oleh masyarakat sekitar. Peningkatan kesejahteraan akan mengurangi konflik vertikal antara pengelola taman nasional dan kebutuhan ekonomi masyarakat, sehingga pencegahan ilegal loging lebih mudah. 8.5
Nilai dasar Kebijakan
1.0
Nilai dasar Kebijakan
8.0 0.8
Laju Degradasi (%)
7.0
6.5
0.6
0.4
0.2
6.0
5.5
Bengkulu
Jambi
2010
2007
2010
2007
2010
2007
Tahun
Bengkulu
Jambi
2007-08 2008-09 2009-10
5.0
2007-08 2008-09 2009-10
0.0 2007-08 2008-09 2009-10
Tingkat Degradasi (%)
7.5
Tahun
Sumbar
Sumbar
a. Tingkat Degradasi
b. Laju Degradasi
Gambar 25. Ramalan Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Taman Nasional Tahun 2007 – 2010 Efektivitas
dampak
kebijakan
alokasi
pengeluaran
pembangunan
cenderung semakin menurun dari tahun ketahun mengikuti kecenderungan alokasi
209
pengeluaran pembangunan (Tabel 56 sampai 59). Kecenderungan dari tahun ketahun yang tidak menunjukkan suatu keberlanjutan manfaat dampak kebijakan sesuai diharapkan baik pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kecenderungan dari tahun ketahun ini mencakup peningkatan pengangguran terbuka, ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian baik pada pasar output maupun tenaga kerja, dan deforestasi hutan kawasan, serta penurunan laju pertumbuhan output. Kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai pembangunan keberlanjutan dari tahun ketahun, maka alokasi pengeluaran pembangunan setiap tahun harus mengalami peningkatan. 7.3. Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Tahun 2007 – 2010 Kecenderungan alokasi pengeluaran pembangunan yang meningkat dapat dilakukan dengan meningkatkan realokasi pengeluaran rutin dan sektor prioritas. Peningkatan realokasi pengeluaran rutin masing-masing sebesar 2% dengan tiga skenario kebijakan, yaitu: 1. Realokasi 25% pengeluaran rutin untuk peningkatan 20% alokasi sektor sumberdaya manusia dan 5% sektor pengeluaran pembangunan lainnya (diasumsikan sebagai nilai dasar). 2. Realokasi 27% pengeluaran rutin untuk peningkatan 21% alokasi sektor sumberdaya manusia dan 6% sektor pengeluaran pembangunan lainnya. 3. Realokasi 29% pengeluaran rutin untuk peningkatan 22% alokasi sektor sumberdaya manusia dan 7% sektor pengeluaran pembangunan lainnya.
210
Hasil simulasi ramalan dampak kebijakan menunjukkan bahwa setiap skenario peningkatan level realokasi akan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan. Peningkatan alokasi sektoral tidak hanya terjadi pada sektor prioritas tetapi diikuti dengan sektor-sektor pengeluaran lain seperti disajikan pada Tabel 60. Tabel 60. Ramalan Dampak Peningkatan Realokasi Rutin Terhadap Alokasi Pengeluaran Pembangunan Masing-masing Sektor Skenario kebijakan
Kawasan
P3_20R_25 Bengkulu
Jambi
Sumbar
Alokasi sektor pengeluaran pembangunan (%) Sumberdaya Pengemb. Sektor-sektor Transportasi Manusia Wilayah lain 18.03 8.44 4.80 16.09
P3_21R_27
18.80
P3_22R_29
19.56
Peningkatan
0.76
P3_20R_26
16.44
P3_21R_27 P3_22R_29
8.85
Jumlah (%) 47.35
4.97
16.31
48.93
9.24
5.14
16.52
50.45
0.40
0.17
0.21
1.55
11.85
3.85
15.18
47.31
17.16
12.16
3.98
15.34
48.65
17.89
12.46
4.11
15.50
49.96
Peningkatan
0.72
0.31
0.13
0.16
1.32
P3_20R_27
18.76
11.00
4.91
12.69
47.36
P3_21R_27
19.52
11.41
5.08
12.91
48.92
P3_22R_29
20.28
11.80
5.24
13.12
50.44
Peningkatan
0.76
0.40
0.17
0.21
1.54
Peningkatan realokasi pengeluaran rutin sebesar 2% akan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan yang bervariasi bagi masing-masing kawasan dengan besaran antara 1.32 - 1.55%. Peningkatan setiap persen sektor prioritas akan meningkatkan alokasi sektor sumberdaya manusia antara 0.72 – 076%, sedangkan sisanya akan terbagi pada sektor-sektor lainnya. Peningkatan alokasi semua sektor pengeluaran pembangunan ini akan mendorong terjadinya perubahan kecenderungan dampak kebijakan pada aspek ekonomi, sosial dan
211
lingkungan seperti terlihat dari hubungan alokasi pengeluaran pembangunan dengan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan. 7.3.1. Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang diikuti dengan peningkatan
alokasi
sektor-sektor
dalam
pembangunan
terutama
sektor
sumberdaya manusia menyebabkan perubahan kecenderungan pada pasar output. Penurunan pangsa output sektor pertanian akan diiringi dengan peningkatan laju pertumbuhan output, sehingga output perkapita akan mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Ekonomi Tahun 2007–2010
Sumbar
Jambi
Bengkulu
Kawasan
Alokasi Pengeluaran pembangunan 47.35
Sektor SDM 18.03
Pangsa output pertanian 45.12
Aspek ekonomi Pertumbuhan output 5.80
Output (PDB) perkapita 1.25
48.93
18.80
45.03
5.93
1.26
50.45
19.56
44.95
6.05
1.27
Trend (%)
-0.17
0.25
1.01
Elastisitas
-0.06
0.08
0.33
47.31
16.44
46.26
4.28
1.34
48.65
17.16
46.19
4.38
1.35
49.96
17.89
46.12
4.49
1.36
Trend (%)
-0.13
0.21
0.96
Elastisitas
-0.05
0.08
0.36
47.36
18.76
37.11
2.78
1.47
48.92
19.52
37.02
2.92
1.47
50.44
20.28
36.94
3.04
1.48
Trend (%)
-0.17
0.26
0.87
Elastisitas
-0.06
0.09
0.28
212
Transformasi struktural pada pasar output dengan kecenderungan menurunnya pangsa output sektor pertaniann seiring meningkatnya alokasi pengeluaran pembangunan dan sektor sumberdaya, akan berpotensi untuk meningkatkan laju pertumbuhan output yang berkelanjutan. Kecenderungan peningkatan laju pertumbuhan akan mendorong peningkatan output perkapita masyarakat, sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat akan berjalan seiring meningkatnya alokasi pengeluaran pembangunan dan sektor sumberdaya manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi pengeluaran pembangunan pemerintah yang berkelanjutan, berpotensi untuk meningkatkan laju pertumbuhan output dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Respon peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan untuk masingmasing kawasan relatif sama, dan hal ini dapat diindikasikan dari nilai elastisitas. Setiap persen peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan akan berpotensi untuk mengurangi pangsa output sektor pertanian antara 0.5–0.6%, meningkatkan laju pertumbuhan output 0.8–0.9%. Secara umum semakin cepat transformasi struktural dalam pasar output akan semakin besar peningkatan laju pertumbuhan output, tetapi tidak menjamin respon yang sama terhadap output perkapita. Hal ini terlihat respon peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan terhadap pangsa output sektor pertanian yang relatif sama antar, tetapi respon peningkatan output perkapita relatif lebih besar pada kawasan Bengkulu. Kondisi yang sama terlihat dengan respon terhadap laju pertumbuhan output yang relatif sama antara kawasan Bengkulu dan Jambi, tetapi respon terhadap output perkapita lebih besar pada kawasan Bengkulu. Variasi ini disebabkan pangsa output sektor pertanian
213
yang relatif lebih besar pada kawasan Bengkulu, sedangkan nilai output total relatif lebih kecil dibanding kawasan lainnya. 7.3.2. Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Sosial Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang diikuti dengan peningkatan
alokasi
sektor-sektor
dalam
pembangunan
terutama
sektor
sumberdaya manusia menyebabkan perubahan kecenderungan pada pasar tenaga kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja akan mengalami peningkatan, dan sebaliknya tingkat pengangguran terbuka dan pangsa tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan seperti disajikan pada Tabel 62. Tabel 62. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Sosial Tahun 2007–2010
Sumbar
Jambi
Bengkulu
Kawasan
Alokasi Pengeluaran pembangunan 47.35 48.93 50.45
Sektor SDM 18.03 18.80 19.56 Trend (%) Elastisitas
Tingkat partisipasi angkatan kerja 67.35 67.48 67.61 0.26 0.08
Aspek sosial Tingkat pengangguran 4.37 4.25 4.14 -0.23 -0.07
Pangsa TK sektor pertanian 77.63 77.52 77.40 -0.23 -0.07
47.31 48.65 49.96
16.44 17.16 17.89 Trend (%) Elastisitas
60.29 60.39 60.50 0.21 0.08
3.16 3.07 2.98 -0.18 -0.07
77.70 77.62 77.55 -0.16 -0.06
47.36 48.92 50.44
18.76 19.52 20.28 Trend (%) Elastisitas
56.38 56.51 56.64 0.26 0.08
4.78 4.66 4.55 -0.23 -0.07
67.24 67.14 67.04 -0.20 -0.06
214
Transformasi struktural seiring meningkatnya alokasi pengeluaran pembangunan dan sektor sumberdaya pada pasar output akan diikuti pasar tenaga kerja dengan kecenderungan penurunan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Peningkatan laju pertumbuhan output berkelanjutan yang didorong terutama oleh sektor non-pertanian, berpotensi mengurangi pengangguran terbuka meskipun diiringi meningkatnya partisipasi angkatan kerja atau penawaran pada pasar tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang cenderung meningkat akan diiringi dengan meningkatnya partisipasi kerja, menurunnya pangsa tenaga kerja sektor pertanian dan tingkat pengangguran terbuka. Respon peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang diikuti dengan peningkatan alokasi sektor sumberdaya manusia antar kawasan relatif sama. Setiap persen peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan akan berpotensi meningkatkan penawaran tenaga kerja sebesar 0.08%, menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.07%, serta mampu mendorong penurunan pangsa tenaga kerja sektor pertanian antara 0.06 – 0.07%. Elastisitas yang lebih besar terhadap perubahan struktural pada tenaga kerja kawasan Bengkulu sangat terkait dengan perubahan struktural yang terjadi pada pasar output. 7.3.3. Ramalan Dampak Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Lingkungan Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan yang diikuti dengan peningkatan
alokasi
sektor-sektor
dalam
pembangunan
terutama
sektor
sumberdaya manusia menyebabkan perubahan kecenderungan pada pasar input
215
terutama dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan. Porsi hutan kawasan akan mengalami peningkatan akibat berkurangnya konversi hutan untuk penggunaan lain, dan pada sisi lain degradasi hutan zona penyangga akan cenderung menurun seperti disajikan pada Tabel 63. Tabel 63. Ramalan Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Aspek Lingkungan Tahun 2007–2010
Sumbar
Jambi
Bengkulu
Kawasan
Alokasi Pengeluaran pembangunan 47.35 48.93 50.45
Sektor SDM 18.03
Porsi hutan kawasan 28.76
Aspek lingkungan Tingkat degradasi zona penyangga 21.13
Tingkat degradasi TNKS 5.64
18.80 19.56
29.07 29.26
21.09 21.05
5.66 5.68
Trend (%)
0.50
-0.08
0.03
Elastisitas
0.16
-0.03
0.01
47.31
16.44
21.44
11.09
8.08
48.65 49.96
17.16 17.89
21.77 22.08
11.07 11.06
8.09 8.10
Trend (%)
0.65
-0.03
0.02
Elastisitas
0.24
-0.01
0.01
47.36
18.76
43.17
10.44
7.94
48.92 50.44
19.52 20.28
43.40 43.59
10.41 10.38
7.96 7.98
Trend (%)
0.42
-0.06
0.03
Elastisitas
0.14
-0.02
0.01
Perubahan-perubahan pada aspek sosial dan ekonomi akibat peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan dan sektor sumberdaya manusia, selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungan pada pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan. Kecenderungan transformasi struktural pada pasar output (pangsa output sektor pertanian) dan pasar tenaga kerja (pangsa tenaga kerja sektor pertanian) akan mendorong penurunan ketergantungan terhadap sumberdaya lahan. Konversi kawasan hutan akan cenderung mengalami penurunan, sehingga porsi hutan
216
kawasan akan berpotensi untuk meningkat. Peningkatan porsi sumberdaya pada hutan kawasan akan cenderung mengurangi tekanan terhadap zona penyangga, sehingga degradasi hutan zona penyangga juga berpotensi menurun seiring peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan. Respon peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan terhadap porsi hutan kawasan dan degradasi zona penyangga antar kawasan lebih bervariasi. Respon terbesar terhadap deforestasi terjadi pada kawasan Jambi dan hal ini diduga karena kebijakan akan berpotensi menurunkan ekspansi lahan budidaya terutama perkebunan oleh masyarakat. Pada kawasan Jambi, sub-sektor perkebunan merupakan sub-sektor uatma dalam pembentukan output sektor pertanian, sehingga penurunan ketergantungan pada sektor primer ini akan memberikan dampak yang lebih besar. Pada sisi lain, respon penurunan degradasi zona penyangga pada kawasan Bengkulu yang relatif lebih besar terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pada kawasan ini yang relatif lebih rendah dibanding kawasan lain. Pada aspek lingkungan lain terutama dalam upaya perlindungan kawasan konservasi, ekspansi pembangunan melalui peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan berpotensi mendorong menurunnya tutupan hutan taman nasional. Degradasi
taman
nasional
meningkat
seiring
meningkatnya
ekspansi
pembangunan kawasan, tetapi peningkatan relatif kecil dengan laju yang semakin menurun seperti disajikan pada Gambar 26.
217
10
Bengkulu
Jambi
Sumbar
0.4
8 0.3
0.2 4
Laju (%)
Tingkat (%)
6
0.1 2
0 50.4
48.9
47.4
50.0
48.7
47.3
50.5
48.9
47.4
0.0
PDEX (%) Tingkat DEGTN Laju DEGTN
Gambar 26. Ramalan Respon Degradasi Taman Nasional Terhadap Perubahan Kecenderungan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Gambar 26 menunjukkan luas tutupan hutan taman nasional relatif tidak mengalami
perubahan
berarti
akibat
peningkatan
alokasi
pengeluaran
pembangunan. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat, serta penyediaan kesempatan kerja pada sektor pertanian melalui transformasi struktural dalam perekonomian akan berdampak relatif kecil terhadap kawasan konservasi. Peningkatan degradasi hutan taman nasional yang relatif kecil dengan laju yang cenderung menurun akan memudahkan proses reforestasi baik melalui rehabilitasi hutan maupun reboisasi kawasan lindung. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya pelestarian melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama pada zona penyangga kawasan
218
akan lebih efektif mendorong kelestarian taman nasional. Konflik antara manajemen taman nasional dengan masyarakat lokal dapat diminimalisir terutama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan untuk tujuan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. 7.4.
Ikhtisar Berdasarkan hasil simulasi peramalan dampak kebijakan alokasi
pengeluaran pemerintah daerah, maka secara umum menunjukkan bahwa; 1. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam alokasi pengeluaran pemerintah daerah adalah rasio pengeluaran rutin dan pembangunan yang lebih berimbang, serta diikuti alokasi antar sektor pengeluaran pembangunan dengan sektor sumberdaya manusia. Besaran realokasi pengeluaran rutin dalam simulasi hanya merupakan suatu proses untuk mencapai keseimbangan. 2. Manfaat kebijakan yang berkelanjutan hanya akan tercapai apabila pengambil kebijakan anggaran konsisten dalam menjaga keseimbangan antar sektor dalam pengeluaran pemerintah daerah, dan manfaat dampak kebijakan harus disadari bersifat jangka panjang dan tidak terjadi serta merta setelah dilakukan penataan alokasi pengeluaran pemerintah daerah. 3. Prinsip utama yang harus dipegang pengambil kebijakan di daerah adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat harus didahulukan, sehingga peningkatan penerimaan daerah mampu menyediakan anggaran yang cukup untuk penyediaan fasilitas birokrasi atau pengambil kebijakan sektor publik.
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1.
Permintaan terhadap sumberdaya lahan meningkat dari tahun ketahun mendorong terjadinya konversi hutan (deforestasi) kawasan merupakan implikasi ketergantungan pasar output dan tenaga kerja pada sektor pertanian.
2.
Degradasi hutan zona penyangga dan taman nasional didorong oleh tidak tersedianya kesempatan kerja alternatif di luar sektor pertanian, dan konsentrasi kemiskinan pedesaan sebagai implikasi tidak meratanya distribusi output.
3.
Kebijakan peningkatan alokasi salah satu sektor pengeluaran pembangunan tanpa diiringi dengan realokasi pengeluaran rutin berpotensi meningkatkan salah satu aspek pembangunan tetapi diiringi dampak negatif pada aspek lain.
4.
Kebijakan peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan melalui realokasi pengeluaran rutin tanpa diiringi penataan sektor pengeluaran pembangunan mampu mendorong perkembangan sosial ekonomi, tetapi menyebabkan semakin meningkatnya degradasi hutan taman nasional.
5.
Kebijakan realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan dengan prioritas sektor sumberdaya manusia merupakan kombinasi kebijakan terbaik yang mampu memberikan manfaat yang seimbang antara aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan.
221
6.
Ramalan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak hanya mencakup peningkatan manfaat sebelum dan sesudah kebijakan tetapi juga kecenderungan manfaat kebijakan yang meningkat dari tahun ketahun.
8.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan di atas maka untuk mencapai keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan kebijakan pendukung, yaitu: 1.
Perlu peningkatan implementasi kesepakatan antar pemerintah daerah guna mengintegrasikan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat kawasan sebagai salah satu faktor pendukung upaya pelestarian taman nasional.
2.
Pada kawasan Bengkulu, transformasi struktural tidak hanya dalam perubahan struktur PDB tetapi juga struktur sub-sektor pembentuk sektor pertanian dengan lebih mengembangkan sub-sektor perkebunan.
3.
Pada kawasan Jambi, peningkatan peran sub-sektor perkebunan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi perlu didukung dengan pengembangan industri pengolahan dan pemilihan komoditas pro-konservasi sehingga mampu menciptakan dampak sosial ekonomi lebih besar.
4.
Pada kawasan Sumatera Barat, dengan pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian relatif rendah maka peningkatan peran sektor non-pertanian tidak diikuti dengan penurunan nilai output sektor pertanian.
222
5.
Upaya pelestarian taman nasional secara langsung menggunakan anggaran pemerintah pusat dan lembaga donor harus tetap dilaksanakan dengan dukungan kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah berkelanjutan.
6.
Pemerintah pusat sebaiknya menyediakan dana alokasi khusus sebagai kompensasi hilangnya kesempatan pemanfaatan taman nasional untuk tujuan ekonomi guna mendorong perimbangan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan daerah sekitar taman nasional.
7.
Penataan pengeluaran pemerintah daerah melalui perimbangan pengeluaran rutin dan pembangunan, serta diprioritaskan untuk pengembangan sumberdaya manusia harus diiringi dengan perbaikan aksesibilitas, dan pengembangan dunia usaha dengan employment lingkages lebih besar.
8.
Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia terutama sektor pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tetapi dengan batas waktu tertentu guna mencapai alokasi minimal 20% seperti yang diamanatkan UUD pasal 31 ayat 4.
9.
Pemerintah pusat perlu menyusun suatu pedoman perencanaan pembangunan yang tidak hanya mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah, tetapi juga perimbangan pengeluaran rutin dan pembangunan, serta alokasi antar sektor pengeluaran pembangunan.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan Berdasarkan pada hasil penelitian dengan ruang lingkup dan berbagai keterbatasan,
maka
perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
tentang
dampak
223
perkembangan sosial ekonomi masyarakat terhadap lingkungan. Penelitian dilakukan untuk mendorong percepatan perubahan paradigma pembangunan daerah menuju pembangunan sosial, ekonomi dan ekologi yang berimbang dan berkelanjutan (sustainable development), terutama daerah yang sebagian wilayahnya merupakan kawasan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat, antara lain: 1. Membangun Social Accounting Matriks (SAM) dengan introduksi aktivitas dan nilai lingkungan dalam matrik aktivitas guna menganalisis dampak kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat sekitar zona penyangga terhadap produk domestik kawasan dan kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat. 2. Perhitungan output kawasan menggunakan Pendekatan GDP Hijau (Greening the National Income Account): Introduksi nilai lingkungan dan sumberdaya alam dalam perhitungan PDB Kawasan (Environmental and Natural Resources Account - ENRA). 3. Dampak kebijakan alokasi anggaran (pusat dan lembaga donor) terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat pada zona penyangga (buffer zone), serta peran pemerintah daerah dalam mendukung pelestarian TNKS. 4. Perhitungan nilai kompensasi hilangnya kesempatan memperoleh manfaat ekonomi sebagai dasar perhitungan dana alokasi khusus untuk Pemerintah Daerah: Suatu model evaluasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Zona Penyangga.
DAFTAR PUSTAKA
Alix, J. 2001. Deforestation in the Commons: A Village Level Approach. WP. ARE 298 The World Bank, Washington DC. Andersen, L. E. 1996. The Causes of Deforestation in the Brazilian Amazon. Journal of Environment and Development, 5(3): 9-28. Angelsen, A. and D. Kaimowitz. 1999. Rethinking the Causes of Deforestation: Lessons from Economic Models. The World Bank Research Observer, 14(1): 73-98. Angelsen, A., E. F. K. Shitindi, and J. Aaarrestad. 1999. Why Do Farmers Expand Their Land Into Forests?. Theories and Evidence from Tanzania. Journal of Environment and Development Economics, 4(3): 313-31. Angelsen, A. 2000. Agricultural Expansion and Deforestation: Modelling the Impact of Population, Market Forces and Property Rights. Journal of Development Economics, 58(1):185 - 218. Appendini, K. 2002. Land Regularization and Conflict Resolution: The Case of Mexico. Colegio de México, New Mexico. Arifin, B. 2000. Economic Incentives, Society and Land Degradation: The Case of Intensive Land-Use Practices in Lampung Province, Indonesia. Presented at "Constituting the Commons: Crafting Sustainable Commons in the New Millenium", the Eighth Conference of the International Association for the Study of Common Property, USA, May 31th - June 4th, Bloomington, Indiana. Balai TNKS (Balai Taman Nasional Kerinci Seblat). 2002. Laporan Tahunan. Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Kerinci. Bank Indonesia. 2004. Statistik Ekonomi – Keuangan Daerah Provinsi Bengkulu. 5 (1) Desember 2004 Seksi Statistik dan Kajian Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Bengkulu. Berger. 2003. Land Use, Land Degradation and Decision Making in the Rural Hinterland. Chr. Michelsen Institute, CMI Report R 2003 (2): 42 - 47. Blom, A. 2002. A Critical Analysis of Three Approach to Tropical Forest Conservation Based on Experiences in the Sangha Region. Institute for Development Policy and Management, University of Manchester, Manchester.
225
Briassoulis, H. 1995. Land Development in the Vicinity of Hazardous Facilities: A Compromise Assignment Procedure. Journal Environment and Planning, 22: 509-525. ___________. 2003. Analysis of Land Use Change: Theoretical and Modelling Approaches. The Web Book of Regional Science, Regional Research Institute, West Virginia University, Morgantown W.V. CFAN (CIDA Forestry Advisers Network). 1999. Forestry Issues Deforestation: Tropical Forests in Decline. CIDA (Canadian International Development Agency), Ottawa. Chomitz, M. K. and D. A. Gray. 1996. Roads, Lands, Markets, and Deforestation: A Spatial Model of Land Use in Belize. The World Bank Economic Review, 10 (3):487–512. _________________________. 1997. Causes and Consequences of Tropical Deforestation. Journal of Environmental Management, 32: 217-229. Cropper, M., C. Griffiths and M. Mani. 1996. Roads, Population Pressures and Deforestation in Thailand 1976-1989. The World Bank, Washington DC. Dirjen PHPA (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). 2002. Daftar Taman Nasional di Indonesia Sampai dengan Agustus 2002. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Dixon, J. A., D. E. James, and P. B. Sherman. 1989. The Economics of Dry Land Management, Erathscan Publication Ltd. London. Djuweng, S. 1997. Land Cover Land Use Changes, Indonesian Case Study. Published in The Jakarta Post October 10th, 1997, Jakarta. Dudley, R. 2000. Factors Leading to The Current Illegal Logging Situation in Indonesia. A System Dynamics View. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor. Dvorak, K. A. 1992. Resources Management by West African Farmers and the Economics of Shifting Cultivation. American Journal of Agricultural Economics, 74: 809-815. EIA (Environmental Investigation Agency). 2000. Illegal Logging in Tanjung Puting National Park: An Update on the Final Cut Report. EIA Washington D. C.
226
Ellefson P. V. , R. J. Molton and M. A. Kilgore. 2003. Public Agencies and Bureaus Responsilble for Forest Management and Protection: An Assesment of Fragmented Institutional Landscape of State Governments in the US. Journal of Forest Policy and Economics, 5 (3): 207-223. Ellis F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, New York. Erianto. 2003. Bau Hangus Asap Hutan, Wajah Negeri Terberangus. Kolom Fokus Harian Nasional Kompas, Minggu 29 Juni 2003 (36), Jakarta. FAO (Food and Agriculture Organization). 1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources, FAO Land and Water Bulletin 2. Roma. __________________________________. 1996. Guidelines of Agro-Ecological Zoning. FAO Soils Bulletin 73, Roma. Fleisher B. M., and T. J. Kniesner. 1994. Labor Economics: Theory, Evidence and Policy. Third Edition, Prentice-Hall Inc, Engelwood Cliffs, New Jersey. Fogiel, M. 1992. The Economics Problem Solver: A Complete Solution Guide to Any Textbook, Research and Education Association. 61 Ethel Road West, New Jersey. Frezailah, B., Che Yeom dan C. Chandrasekharan. 2001. Achieving Sustainable Forest Management in Indonesia, An ITTO Mission to Indonesia Identified Corruption, Illegal Logging and Illegal Trade as Major Impediments to Sustainable Forest Management and Made Sweeping Recommendation for the Reform of Indoensia Forestry Sector. ITTO, Kuala Lumpur. FWI (Forest Watch Indonesia). 2003. Kawasan Konservasi: Taman Nasional Kerinci Seblat, FWI, Bogor. FWI/GFW (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch). 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. FWI dan dan GFW, Bogor. GOI (Government of Indonesia). 1985. Forest Policies in Indonesia: The Sustainable Development of Forest Land. Government of Indonesia, Jakarta. Guntur. 2005. Lapangan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi Tak Membantu. Harian Nasional Kompas 16 November 2005, 1: 3–5, Jakarta. Hartwick, J. M. and N. D. Olewiler. 1986. The Economics of Natural Resources. Harper and Row Publishers, New York.
227
Hayami, Y. and V. W. Ruttan. 1985. Agricultural Development: An International Perspective. The John Hopkins University Press, London. Holmes, D. 2000. Deforestation in Indonesia: A View of the Situation in 1999. World Bank, Jakarta. Hoover, E.M. and F. Giarratani. 1984. An Introduction to Regional Economics. Third Edition. New York: Alfred Knopf. Reprinted in 1999 in Loveridge, S. ed. The Web Book of Regional Science. West Virginia University, Regional Research Institute, Morgantown W.V. ICDP (Integrated Conservation and Development Project). 2002. Aneka Ancaman Pada Taman Nasional, Government of Indonesia, World Bank and GEF (Global Environmental Fund), Jakarta. Intriligator, M., R. Bodkin and C. Hsiao. 1996. Econometric Models, Technique and Applications. Second Edition, Prentice-Hall International Inc., New Jersey. Jimenez, E. 1997. Social and Environmental Consequences of Growth-Oriented Policy. Policy Research Department, Poverty, and Human Resources Division. World Bank Report, Washington D. C. Jones, A. and J. Clark. 1997. Driving Forces behind European Land Use Change: An Overview In The User Needs for More Harmonized Land Use Information at the National and EU Level. Report on the CLAUDE (Coordinating Land Use and Cover Data and Analyses in Europe) Workshop May, 22 - 23, 1997, DGXII: 24 - 31, Wageningen. Kaimowitz, D. and A. Angelsen. 1998. Economic Models of Tropical Deforestation. Review Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor. Kerr, S. and A. Pfaff, 2003. Effects of Poverty on Deforestation: Distinguishing Behavior from Location?. WP. Motu Economic and Public Policy Research, Costarica. Kitamura, T., M. Kagatsume, S. Hoshino and H. Morita. 1997. A Theoretical Consideration on the Land Use Change Model for the Japan Case Study Area. International Institute for Applied Systems Analysis, Luxenburg. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition, Harper and Row Publishers, Inc. New York. _____________. 1979. Modern Economics. Second Edition, The McMillan Press Ltd, New York.
228
Kusumowidho, S. 1981. Dasar-dasar Demografi. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Larson. 1997. The Determinans of Agricultural Growth: Country and CrossCountry Analysis. Abstract of Current Studies Journal of Environmental Sustainable Development, World Bank, Washington D. C. MacKinnon J., K. MacKinnon, G. Child and J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Alih Bahasa Harry Harsono, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. McConnnel C. R. and S. L. Brue. 1995. Contemporary Labor Economics. Fourth Edition, McGraw-Hill Inc. New York. Meyer, W.B. and B.L. Turner. 1994. Changes in Land Use and Land Cover: A Global Perspective. Cambridge University Press, Cambridge. _________________________. 1996. Land-Use/Land-Cover Change: Challenges for Geographers. Geojournal, 39(3): 237-240. Morita, H., S. Hoshino, M. Kagatsume and K. Mizuno. 1997. An Application of the Land Use Change Model for the Japan Case Study Area. International Institute for Applied Systems Analysis, Luxenburg. Moser, S.C. 1996. A Partial Instructional Module on Global and Regional Land Use/Cover Change: Assessing the Data and Searching for General Relationships. Geojournal, 39(3): 241-283. Munasinghe. 1993. Environmental Economics and Natural Resources Management in the Development Countries. Committee of International Development Institutions on the Environmental (CIDIE), The World Bank, Washington D.C. Mundita, J. W. 1999. Solving Land Degradation and Effect of Drought. Awarenees Raising Seminar on the Convention to Comba T Desertifka TTON), 27 September 1999, Jakarta. Myers, N. 1994. Tropical Deforestation: Rates and Patterns. WP World Bank, Washinton D. C. Panayotou, T. and C. Parasuk. 1990. Land and Forest: Projecting Demand and Managing Encroachment. TDRI Year – end Conference, Bangkok. Pearce, D. W. and J. J. Warford. 1993. World Without End: Economics, Environment and Sustainable Development. Published for The World Bank Oxford University Press, New York.
229
Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1998. Econometric Model and Economic Forecast. Fourth Edition, Irwin/McGraw-Hill, California. Revington, J. 1992. The Causes of Tropical Deforestation. New Renaissance Magazine 3 (2). Reynolds, K. M., K. J. Norman and N. G. Sean. 2003. The Science/Policy in Logic-Based Evaluation of Forest Ecosystem Sustainability. Journal of Forest Policy and Economic, 5 (4): 433 – 446. Romer. 1996. Advanced Macroeconomics. University of California, The McGraw-Hill Company Inc., New York. Roper, J. and R. W. Roberts. 1999. Deforestation: Tropical Forest in Decline. Canadian International Development Agency (CIDA), Quebec. Sanim, B. 2001. Reformulasi Kebijakan Otonomi dalam Sektor Kehutanan: Tinjauan Ekonomi. Makalah Reformulasi Kebijakan Otonomi Bidang Kehutanan, Departemen Kehutanan, 24 Oktober 2001, Bogor. Schweitzer, J. 1990. Economics, Conservation, and Development: A Perspective From USAID. Proceeding of a Seminar Series Held February-May 1990, Special Report 29. September 1991, Michigan State University, Michigan. Scrieciu, S. S. 2001. Economic Causes of Tropical Deforestation: A Global Empirical Application. Institute for Development Policy and Management, University of Manchester, Harold Hankins Building, Oxford Road, Manchester. Sernell, S. 1996. Impact of Land-Use Policy on Environmental, Wildlife, Demography and Socio-Economic Indicators in East-African Savannahs, The Serengeti Mara Ecosytem. Journal of Environment and Development Economics, 4(1): 16-23. Sitepu, R. K. dan B. M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Skole, D. L. 1994. Data on Global Land-Cover Change: Acquisition, Assessment, and Analysis. In Changes in Land Use and Land Cover - A Global Perspective. Cambridge University Press, Cambridge. Stephene, N. 2000. A Dynamic Simulation Model of Land-Use Changes in Sudano-Sahelian Countries of Africa (SALU). PhD in Progress. Aspirant FNRS, Washington D. C.
230
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Sumodiningrat, G. dan Lanang A. I. 1987. Ekonomi Produksi. Penerbit Karunia Universitas Terbuka, Jakarta. Turner, B.L. and B.L. Meyer. 1994. Global Land Use and Land Cover Change. An Overview In Changes in Land Use and Land Cover-A Global Perspective. W.B. Meyer and B.L. Turner, 3-10, Cambridge University Press, Cambridge. Turner, B.L., D. Skole, S. Sanderson, G. Fischer, L. Fresco, and R. Leemans. 1995. Land-Use and Land-Cover Change: Science/Research Plan. IGBP Report No.35, HDP Report No.7. IGBP and HDP, Geneva. WARSI. 2001. Urbanisasi Picu Kerusakan Bumi. Siaran Pers WARSI, 23 April 2001, Jambi. Wellstead, A. M., C. S. Richard and R. P. John. 2003. Understanding the Concept of Representation within the Context of Local Forest Management Decision Making. Journal Forest Policy and Economics, 5 (3) 1 – 11. WFC (World Forestry Congress). 1997. Proceeding of the XIIth, Food and Agriculture Organization (FAO), Roma. Widodo, T. S. 1990. Indikator Ekonomi: Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Wolman, M.G. 1987. Criteria for Land Use. In Resources and World Development, eds. D.J. McLaren and B.J. Skinner, 643-657 John Wiley, New York. Wong, Y. G. and J. R, R. Alavalapati. 2003. The Land-Use Effect of a Forest Carbon Policy in the US. Journal of Forest Policy and Economics, 5(3): 249 - 263. World Bank. 1997. Land Cover and Land Use Changes: Indonesian Case Study. Abstract of Current Studies Environmental Sustainable Development, World Bank, Jakarta. __________. 2001. Forest Law Enforcement Program East Asia 2001. World Bank, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jenis Variabel Pada Penelitian Dampak Alokasi Pengeluaran Pembangunan No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NOTASI
KETERANGAN
SUMBER DATA
B
C
D
Tingkat degradasi hutan penyangga TNKS (%) Tingkat degradasi hutan taman nasional (%) Angka beban ketergantungan (%) Dummy variabel kawasan (1 Sumetera Barat dan 0 lainnya) Dummy variabel kawasan (1 Jambi dan 0 lainnya) Pertumbuhan ekonomi (%) Pangsa GDP sektor pertanian (%) Alokasi pengeluaran pembangunan terhadap total pengeluaran pemerintah (%) Struktur penerimaan pemerintah (%) Luas tutupan hutan sekitar TNKS (ribu ha) Pendapatan perkapita/rasio GDP dan jumlah penduduk (juta rupiah/kapita) Jumlah HPH sekitar TNKS (unit) Jumlah rumah tangga (KK) Luas hutan konsesi pada kawasan penyangga (ribu ha) Alokasi kredit sektor pertanian (%) Alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian (%) Porsi lahan untuk budidaya pertanian (%) Porsi luas lahan kering (%) Porsi luas lahan tambak dan kolam (%) Porsi luas lahan perkebunan (%) Alokasi pengeluaran pembangunan sektor lingkungan (%) Porsi luas hutan kawasan (%) Porsi luas lahan rumputan (%)
Intepretasi citra landsat Intepretasi citra landsat Statistik KESRA Provinsi Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Statistik Keuangan Daerah Statistik Keuangan Daerah Intepretasi citra landsat Indikator Ekonomi Daerah Statitik Kehutanan Provinsi Statistik KESRA Provinsi Statitik Kehutanan Provinsi Statistik Ekonomi - Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka
DEGHS DEGTN DEPR DKAW1 DKAW2 ECOG ECOS GEXS GRES HSTNK INCP JHPHS JRTG LHPHS PAGC PAGE PCUL PDRY PDYK PEST PEVE PFOR PGRA
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
232
Lampiran 1. Lanjutan A 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
B PHOU PHRE PIDE PKBOT PLAJG PLAKD PLAKL PLAKM PLAKP PLAKR PLAKS PLAKT PLAPL PLAPS PLAUJ PLAUJ PLAUK PLUTN POPD POPG POPK POPM POPS POTE POTK POTM POTS PPAD PPGOT
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
C Porsi luas lahan perumahan dan pemukiman (%) Alokasi pengeluaran pembangunan sumberdaya manusia (%) Alokasi pengeluaran pembangunan industri dan dunia usaha (%) Porsi luas areal budidaya perkebunan lainnya Porsi luas areal budidaya jagung (%) Porsi luas areal budidaya kacang kedele (%) Porsi luas areal budidaya kelapa (%) Porsi luas areal budidaya kulit manis (%) Porsi luas areal budidaya kopi (%) Porsi luas areal budidaya karet (%) Porsi luas areal budidaya kelapa sawit (%) Porsi luas areal budidaya kacang tanah (%) Porsi luas areal budidaya padi ladang (%) Porsi luas areal budidaya padi sawah (%) Porsi luas areal budidaya ubi jalar (%) Porsi luas areal ubi jalar (%) Porsi luas areal budidaya ubi kayu (%) Porsi luas areal taman nasional terhadap total kawasan (%) Kepadatan penduduk (jiwa/km2) Pertumbuhan penduduk (%) Populasi ternak kerbau (ribu ekor) Populasi ternak kambing/domba (ribu ekor) Populasi ternak sapi (ribu ekor) Alokasi pengeluaran pembangunan sektor lainnya. Pemotongan ternak kerbau (ribu ekor/tahun) Pemotongan ternak kambing/domba (ribu ekor/tahun) Pemotongan ternak sapi (ribu ekor/tahun) Porsi PAD terhadap GDP Porsi luas areal budidaya ubi kayu (%)
D Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Statistik KESRA Provinsi Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka
233
Lampiran 1. Lanjutan A 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
B PPUK PRDE PROC PSRE PSWA PSWE PTEM PTRE PUKC PUSE PVBD PVJG PVKD PVKL PVKM PVKP PVKR PVKS PVKT PVOW PVPL PVPS PVUJ PVUK PWET PWOD PWRE REPG RHSTN
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
C Porsi penduduk usia kerja (15- 64 tahun) (%) Alokasi pengeluaran pembangunan wilayah (%) Alokasi penggunaan kredit untuk investasi dan modal kerja (%) Alokasi pengeluaran pembangunan untuk sains dan penelitian (%) Porsi luas lahan rawa-rawa (%) Alokasi pengeluaran pembangunan kesejahteraan rakyat (%) Porsi luas lahan menganggur (%) Alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi (%) Alokasi kredit untuk pengembangan usaha kecil dan menengah (%) Porsi penggunaan lahan terhadap luas kawasan (%) Produktifitas ikan budidaya (ton/ha) Produktifitas jagung (ton/ha) Produktifitas kacang kedele (ton/ha) Produktifitas kelapa (ton/ha) Produktifitas kulit manis (ton/ha) Produktifitas kopi (ton/ha) Produktifitas karet (ton/ha) Produktifitas kelapa sawit (ton/ha) Produktifitas kacang tanah (ton/ha) Produktifitas ikan perairan terbuka (ton/ha) Produktifitas padi ladang (ton/ha) Produktifitas padi ladang (ton/ha) Produktifitas ubi jalar (ton/ha) Produktifitas ubi kayu (ton/ha) Porsi luas lahan basah (%) Porsi luas lahan kayuan (%) Alokasi pengeluaran pembangunan sumber daya air dan irigasi (%) Rasio pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk Rasio luas tutupan hutan penyangga terhadap luas taman nasional (%)
D Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Statistik Ekonomi - Keuangan Daerah Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Statistik Ekonomi - Keuangan Daerah Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Kabupaten dalam angka Statistik Keuangan Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah
234
Lampiran 1. Lanjutan A 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
B RJAK RKBMT ROIBR ROIJG ROIKD ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS ROIKT ROIUJ ROIUK RPIKB RPIOW RPLOG RPSMN RSKB RWIND SEXR SSHT SSIK SSKB SSPG SSTN TPAK UNEM YEAR
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
C Rataan jumlah anggota keluarga (jiwa/KK) Rasio harga kayu bakar terhadap minyak tanah Rasio harga beras dan pupuk Rasio harga jagung terhadapHarga pupuk Rasio harga kacang kedele terhadapHarga pupuk Rasio harga kelapa terhadapHarga pupuk Rasio harga kulit manis terhadapHarga pupuk Rasio harga kopi terhadapHarga pupuk Rasio harga karet terhadapHarga pupuk Rasio harga kelapa sawit terhadapHarga pupuk Rasio harga kacang tanah terhadapHarga pupuk Rasio harga ubi jalar terhadapHarga pupuk Rasio harga ubi kayu terhadapHarga pupuk Harga real ikan budidaya (Rp/kg) Harga real ikan perairan terbuka (Rp/kg) Harga real kayu balok (Rp/m3) Harga real input semen (Rp/kg) Tingkat suku bunga riil (%) Rasio upah non-pertanian dan pertanian Rasio jenis kelamin (%) Share produk domestik sub-sektor kehutanan (%) Share produk domestik sub-sektor perikanan (%) Share produk domestik sub-sektor perkebunan (%) Share produk domestik sub-sektor pangan (%) Share produk domestik sub-sektor peternakan (%) Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) Tingkat pengangguran terbuka (%) Tahun
D Statistik KESRA Provinsi Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Statistik Ekonomi - Keuangan Daerah Indikator Ekonomi Daerah Statistik KESRA Provinsi Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Indikator Ekonomi Daerah Statistik KESRA Provinsi Statistik KESRA Provinsi -
235
Lampiran 2. Data Perkembangan Sosial Ekonomi Kawasan dan Taman Nasional Kerinci Seblat NO
REGION
YEAR
LREG
LKAW
LTNKS
DEGHS
DEGTN
RHSTN
KRIS
DESE
DKAW1
DKAW2
CEXP
DEXP
TEXP
1
Bengkulu
1994
1609.6
1267.6
342.0
8.91
3.58
48.27
0
0
0
0
33,974
27,641
61,615
2
Bengkulu
1995
1609.6
1267.6
342.0
9.40
3.59
48.01
0
0
0
0
41,879
27,786
69,665
3
Bengkulu
1996
1609.6
1267.6
342.0
11.80
3.61
46.74
0
0
0
0
48,863
34,910
83,773
4
Bengkulu
1997
1609.6
1267.6
342.0
19.27
5.49
42.77
1
0
0
0
58,676
46,430
105,105
5
Bengkulu
1998
1609.6
1267.6
342.0
19.54
5.54
42.63
1
0
0
0
70,470
51,959
122,430
6
Bengkulu
1999
1609.6
1267.6
342.0
19.75
5.68
42.52
1
0
0
0
100,115
61,545
161,660
7
Bengkulu
2000
1609.6
1267.6
342.0
19.97
5.81
42.41
1
0
0
0
100,177
44,035
144,212
8
Bengkulu
2001
1609.6
1267.6
342.0
21.21
4.87
41.75
1
1
0
0
248,036
64,752
312,788
9
Bengkulu
2002
1609.6
1267.6
342.0
23.25
5.03
40.67
1
1
0
0
287,901
86,657
374,558
10
Bengkulu
2003
1609.6
1267.6
342.0
25.30
5.18
39.58
1
1
0
0
363,079
135,259
498,338
11
Jambi
1994
1840.0
1422.4
417.6
-0.12
6.83
65.79
0
0
0
1
36,821
27,892
64,713
12
Jambi
1995
1840.0
1422.4
417.6
0.12
6.84
65.63
0
0
0
1
44,410
34,658
79,068
13
Jambi
1996
1840.0
1422.4
417.6
2.42
6.87
64.12
0
0
0
1
53,044
39,521
92,565
14
Jambi
1997
1840.0
1422.4
417.6
11.66
7.00
58.05
1
0
0
1
61,678
45,723
107,401
15
Jambi
1998
1840.0
1422.4
417.6
11.83
7.02
57.93
1
0
0
1
70,473
40,967
111,439
16
Jambi
1999
1840.0
1422.4
417.6
11.91
7.13
57.88
1
0
0
1
99,000
47,247
146,247
17
Jambi
2000
1840.0
1422.4
417.6
11.99
7.24
57.83
1
0
0
1
98,927
37,731
136,658
18
Jambi
2001
1840.0
1422.4
417.6
11.51
8.28
58.14
1
1
0
1
195,745
50,536
246,281
19
Jambi
2002
1840.0
1422.4
417.6
12.50
8.47
57.49
1
1
0
1
251,268
108,231
359,498
20
Jambi
2003
1840.0
1422.4
417.6
13.50
8.65
56.84
1
1
0
1
292,985
141,750
434,735
21
Sumbar
1994
1281.2
934.8
346.4
0.05
5.73
137.22
0
0
1
0
35,296
24,155
59,451
22
Sumbar
1995
1281.2
934.8
346.4
0.37
5.90
136.78
0
0
1
0
38,603
24,544
63,147
23
Sumbar
1996
1281.2
934.8
346.4
2.01
5.92
134.53
0
0
1
0
47,007
32,678
79,685
24
Sumbar
1997
1281.2
934.8
346.4
9.28
7.79
124.55
1
0
1
0
54,815
39,631
94,446
25
Sumbar
1998
1281.2
934.8
346.4
9.33
7.89
124.48
1
0
1
0
63,093
48,052
111,146
26
Sumbar
1999
1281.2
934.8
346.4
9.48
8.27
124.28
1
0
1
0
89,426
52,599
142,025
27
Sumbar
2000
1281.2
934.8
346.4
9.62
8.65
124.08
1
0
1
0
85,107
53,875
138,981
28
Sumbar
2001
1281.2
934.8
346.4
9.13
6.99
124.75
1
1
1
0
227,440
89,665
317,106
29
Sumbar
2002
1281.2
934.8
346.4
10.63
7.23
122.70
1
1
1
0
276,565
99,495
376,061
30
Sumbar
2003
1281.2
934.8
346.4
12.13
7.47
120.64
1
1
1
0
419,447
112,076
531,523
236
Lampiran 2. Lanjutan NO
AGDE
IDDE
TRDE
RDDE
HRDE
SRDE
SWDE
EVDE
WRDE
OTDE
PAD
BREV
TREV
1
1,164
1,558
15,305
1,136
3,479
167
1,428
1,135
463
1,807
3,167
59,073
62,241
2
997
1,689
13,302
2,503
3,698
222
1,945
617
621
2,191
3,240
67,674
70,913
3
1,688
1,190
15,245
4,408
3,976
78
2,933
846
171
4,376
2,796
82,116
84,912
4
1,284
958
15,153
11,875
6,210
230
4,006
1,854
174
4,687
3,639
102,343
105,982
5
2,104
1,486
12,997
17,521
5,369
156
4,519
1,589
180
6,038
3,848
123,898
127,746
6
2,588
3,335
13,947
17,095
8,221
552
2,445
3,981
508
8,872
5,129
161,070
166,199
7
2,022
2,223
9,578
13,574
5,442
400
2,549
1,512
50
6,686
4,781
147,086
151,866
8
3,746
2,472
10,163
10,823
11,353
913
4,797
966
2,294
17,225
20,286
325,148
345,434
9
6,928
4,614
21,131
14,627
8,311
1,119
4,159
2,433
5,972
17,364
12,819
399,439
412,258
10
4,745
8,716
23,393
9,794
14,990
1,761
10,266
1,440
6,759
53,395
16,364
528,658
545,022
11
1,010
1,046
12,929
4,446
2,904
318
1,057
723
123
3,457
1,598
64,701
66,299
12
953
741
13,189
4,107
6,930
436
1,669
1,138
297
5,198
2,494
78,634
81,129
13
975
1,054
13,360
7,556
6,815
642
1,870
1,564
124
5,560
2,785
92,173
94,958
14
997
1,367
13,531
11,006
6,701
848
2,070
1,991
5
7,208
3,076
105,712
108,788
15
2,156
2,104
13,110
5,971
8,963
408
1,741
1,562
323
4,628
3,746
110,714
114,460
16
2,828
2,462
10,902
10,846
5,179
439
1,852
4,875
593
7,271
5,172
144,983
150,155
17
2,619
1,084
8,787
9,257
4,081
417
1,038
1,912
826
7,710
4,274
118,526
122,800
18
1,429
3,133
12,206
7,812
3,633
1,028
2,677
1,748
3,341
13,529
8,447
258,992
267,439
19
2,783
4,532
40,634
19,253
7,160
436
7,309
2,898
5,410
17,814
14,240
349,292
363,532
20
2,894
13,462
47,415
17,916
13,684
3,842
6,637
3,189
8,190
24,521
19,668
447,615
467,283
21
865
738
14,092
2,154
2,874
77
1,031
324
120
1,879
1,998
58,136
60,135
22
481
1,089
11,610
4,141
2,854
77
928
1,001
51
2,313
2,195
61,878
64,072
23
990
1,281
14,992
6,755
4,010
157
1,024
894
144
2,431
2,764
76,544
79,308
24
1,428
1,258
13,651
12,200
5,740
197
1,169
975
31
2,984
3,535
93,232
96,767
25
1,626
1,182
11,803
19,949
7,009
226
1,660
1,542
193
2,863
3,641
114,507
118,148
26
2,315
2,179
14,902
12,392
7,683
206
1,447
4,776
79
6,619
4,813
145,695
150,508
27
2,157
2,616
21,338
8,844
8,160
415
2,800
2,456
15
5,072
4,200
145,498
149,698
28
2,545
3,729
31,322
7,078
13,458
873
3,373
2,424
2,501
22,363
7,978
355,527
363,505
29
6,583
4,056
32,760
8,601
12,738
1,253
3,432
2,070
4,330
23,672
16,289
408,666
424,955
30
3,660
4,952
41,146
12,467
16,836
1,000
4,823
3,844
1,972
21,378
18,673
512,849
531,522
237
Lampiran 2. Lanjutan NO
PAGE
PIDE
PTRE
PRDE
PHRE
PSRE
PSWE
PEVE
PWRE
POTE
PDEX
GRES
REXP
PROC
PAGC
1
1.89
2.53
24.84
1.84
5.65
0.27
2.32
1.84
0.75
2.93
44.86
0.05
1.23
95.39
79.01
PUKC 9.40
2
1.43
2.43
19.09
3.59
5.31
0.32
2.79
0.89
0.89
3.14
39.88
0.05
1.51
91.23
76.06
19.67
3
2.02
1.42
18.20
5.26
4.75
0.09
3.50
1.01
0.20
5.22
41.67
0.03
1.40
90.98
74.67
20.65
4
1.22
0.91
14.42
11.30
5.91
0.22
3.81
1.76
0.17
4.46
44.17
0.04
1.26
89.55
72.44
21.77
5
1.72
1.21
10.62
14.31
4.39
0.13
3.69
1.30
0.15
4.93
42.44
0.03
1.36
91.12
73.39
22.75
6
1.60
2.06
8.63
10.57
5.09
0.34
1.51
2.46
0.31
5.49
38.07
0.03
1.63
86.03
65.67
36.43
7
1.40
1.54
6.64
9.41
3.77
0.28
1.77
1.05
0.03
4.64
30.53
0.03
2.27
83.04
54.93
36.53
8
1.20
0.79
3.25
3.46
3.63
0.29
1.53
0.31
0.73
5.51
20.70
0.06
3.83
75.84
56.29
41.63
9
1.85
1.23
5.64
3.91
2.22
0.30
1.11
0.65
1.59
4.64
23.14
0.03
3.32
72.61
46.21
30.09
10
0.95
1.75
4.69
1.97
3.01
0.35
2.06
0.29
1.36
10.71
27.14
0.03
2.68
63.30
40.94
39.91
11
1.56
1.62
19.98
6.87
4.49
0.49
1.63
1.12
0.19
5.34
43.29
0.02
1.32
91.15
79.74
19.91
12
1.21
0.94
16.68
5.19
8.76
0.55
2.11
1.44
0.38
6.57
43.83
0.03
1.28
93.56
84.40
17.31
13
1.05
1.14
14.43
8.16
7.36
0.69
2.02
1.69
0.13
6.01
42.70
0.03
1.34
91.87
81.97
26.59
14
0.93
1.27
12.60
10.25
6.24
0.79
1.93
1.85
0.00
6.71
42.57
0.03
1.35
90.90
78.79
22.59
15
1.93
1.89
11.76
5.36
8.04
0.37
1.56
1.40
0.29
4.15
36.76
0.03
1.72
92.15
82.42
21.04
16
1.93
1.68
7.45
7.42
3.54
0.30
1.27
3.33
0.41
4.97
32.31
0.04
2.10
90.37
78.93
19.49
17
1.92
0.79
6.43
6.77
2.99
0.31
0.76
1.40
0.60
5.64
27.61
0.04
2.62
82.08
64.87
25.68
18
0.58
1.27
4.96
3.17
1.48
0.42
1.09
0.71
1.36
5.49
20.52
0.03
3.87
70.64
47.21
37.96
19
0.77
1.26
11.30
5.36
1.99
0.12
2.03
0.81
1.50
4.96
30.11
0.04
2.32
67.79
40.50
39.23
20
0.67
3.10
10.91
4.12
3.15
0.88
1.53
0.73
1.88
5.64
32.61
0.04
2.07
56.57
34.23
55.71
21
1.45
1.24
23.70
3.62
4.83
0.13
1.73
0.55
0.20
3.16
40.63
0.03
1.46
88.08
72.51
31.92
22
0.76
1.72
18.39
6.56
4.52
0.12
1.47
1.59
0.08
3.66
38.87
0.04
1.57
84.14
69.10
37.19
23
1.24
1.61
18.81
8.48
5.03
0.20
1.29
1.12
0.18
3.05
41.01
0.04
1.44
78.44
54.58
55.57
24
1.51
1.33
14.45
12.92
6.08
0.21
1.24
1.03
0.03
3.16
41.96
0.04
1.38
84.60
62.94
49.31
25
1.46
1.06
10.62
17.95
6.31
0.20
1.49
1.39
0.17
2.58
43.23
0.03
1.31
86.94
66.31
54.22
26
1.63
1.53
10.49
8.73
5.41
0.14
1.02
3.36
0.06
4.66
37.04
0.03
1.70
79.35
58.68
85.95
27
1.55
1.88
15.35
6.36
5.87
0.30
2.01
1.77
0.01
3.65
38.76
0.03
1.58
67.77
32.60
47.10
28
0.80
1.18
9.88
2.23
4.24
0.28
1.06
0.76
0.79
7.05
28.28
0.02
2.54
63.27
36.60
42.25
29
1.75
1.08
8.71
2.29
3.39
0.33
0.91
0.55
1.15
6.29
26.46
0.04
2.78
63.26
41.77
46.03
30
0.69
0.93
7.74
2.35
3.17
0.19
0.91
0.72
0.37
4.02
21.09
0.04
3.74
67.54
50.20
32.78
238
Lampiran 2. Lanjutan NO
PWET
PDRY
PEST
PGRA
PDYK
PWOD
PTEM
PSWA
PHOU
PCUL
PUSE
PFOR
PLAPS
PVPS
PLAPL
PVPL
ROIBR
1
3.35
11.90
18.59
0.59
0.29
7.90
9.66
1.35
4.24
42.61
57.86
42.14
1.75
7.54
1.94
1.91
1.98
2
3.56
11.39
19.55
0.70
0.26
7.83
9.13
1.35
4.48
43.29
58.25
41.75
2.04
7.37
1.75
1.92
2.19
3
3.77
10.87
20.52
0.81
0.23
7.98
7.81
1.35
4.71
44.18
58.06
41.94
1.97
7.66
2.28
1.96
1.82
4
3.83
12.01
19.19
0.90
0.17
7.42
8.04
1.47
4.73
43.51
57.75
42.25
2.11
7.60
1.54
1.98
1.93
5
4.07
14.83
19.09
1.00
0.18
7.42
5.63
1.36
4.84
46.60
58.43
41.57
2.12
7.49
1.15
2.02
1.99
6
3.17
17.77
20.19
0.56
0.16
7.33
6.95
1.40
5.01
49.19
62.54
37.46
2.23
7.94
1.69
2.13
2.11
7
3.96
18.49
19.04
0.71
0.15
6.79
7.71
1.14
5.06
49.14
63.06
36.94
2.11
8.43
1.48
2.33
1.85
8
3.82
19.05
18.77
0.82
0.17
6.76
7.86
1.09
5.16
49.40
63.51
36.49
2.17
7.41
0.88
2.82
2.03
9
3.90
19.42
18.38
0.82
0.20
6.18
7.99
1.15
5.24
48.90
63.28
36.72
1.97
7.45
0.83
2.76
2.27
10
3.77
19.98
18.10
0.93
0.21
6.15
8.14
1.15
5.34
49.14
63.77
36.23
2.16
8.14
1.06
2.04
2.08
11
2.00
10.25
20.06
0.77
0.07
9.78
4.42
0.50
3.21
42.93
51.07
48.93
1.30
10.12
1.93
2.64
1.93
12
2.10
11.25
21.01
0.54
0.06
9.37
4.59
0.66
3.03
44.33
52.61
47.39
1.34
10.10
1.66
2.68
2.08
13
2.19
12.25
21.97
0.30
0.06
8.96
4.75
0.82
2.85
45.72
54.15
45.85
1.40
9.61
2.47
2.00
1.97
14
2.16
11.74
27.23
1.23
0.03
10.82
4.42
1.74
3.01
53.21
62.39
37.61
1.36
8.53
1.34
1.99
2.23
15
2.26
13.17
30.06
1.24
0.04
11.67
4.08
2.59
2.85
58.44
67.97
32.03
1.23
8.52
0.60
2.05
2.17
16
2.19
14.32
31.30
0.67
0.04
11.10
4.24
3.29
2.59
59.60
69.73
30.27
1.27
8.37
0.74
2.14
2.69
17
2.31
14.31
33.43
0.82
0.05
10.57
4.52
3.02
2.74
61.48
71.76
28.24
1.49
8.09
1.32
2.38
2.31
18
2.36
14.19
34.64
0.44
0.03
5.63
7.34
2.46
2.51
57.29
69.60
30.40
1.57
6.67
0.59
2.48
2.57
19
2.37
14.56
34.75
0.43
0.03
5.14
9.11
2.44
2.52
57.28
71.35
28.65
1.74
8.54
1.21
2.30
2.90
20
2.21
14.21
35.91
0.35
0.03
6.33
6.63
2.01
2.73
59.03
70.40
29.60
1.64
9.01
0.75
2.24
2.91
21
6.07
14.37
8.72
1.79
0.09
13.46
1.67
0.26
2.25
44.49
48.68
51.32
6.94
9.27
0.12
2.37
2.16
22
6.27
13.19
8.54
1.88
0.08
13.41
1.79
0.49
2.49
43.38
48.14
51.86
6.69
9.24
0.07
2.30
3.14
23
6.47
12.02
8.36
1.97
0.07
13.37
1.90
0.71
2.73
42.26
47.61
52.39
6.27
9.21
0.11
2.19
2.98
24
6.39
11.92
8.41
1.75
0.08
17.13
2.05
0.38
2.45
45.68
50.57
49.43
5.64
9.14
0.17
2.74
2.80
25
6.61
13.60
9.12
1.71
0.09
15.41
1.83
0.41
2.73
46.54
51.51
48.49
5.41
9.07
0.14
2.07
3.96
26
5.94
12.55
10.28
1.76
0.09
14.39
1.93
0.33
2.71
45.00
49.97
50.03
5.46
9.14
0.10
2.51
2.45
27
6.36
12.95
7.70
1.12
0.09
14.25
2.15
0.31
2.77
42.46
47.69
52.31
5.17
9.10
0.07
2.49
2.14
28
6.52
11.18
7.06
1.27
0.06
14.38
2.77
0.33
3.08
40.46
46.64
53.36
5.56
9.03
0.04
2.05
2.05
29
6.62
12.33
8.39
1.25
0.06
14.66
3.77
0.35
3.03
43.32
50.46
49.54
6.70
8.96
0.03
2.36
2.40
30
6.41
11.64
7.75
1.40
0.03
14.79
4.39
0.35
3.34
42.01
50.09
49.91
5.94
9.39
0.03
2.13
2.20
239
Lampiran 2. Lanjutan NO
PLAJG
PVJG
ROIJG
PLAKT
PVKT
ROIKT
PLAKD
PVKD
ROIKD
PLAUK
PVUK
ROIUK
PLAUJ
PVUJ
ROIUJ
1
1.28
1.85
0.72
0.47
0.91
2.80
0.92
0.88
2.03
0.38
11.13
0.26
0.77
9.05
0.37
2
1.99
1.88
0.88
0.49
0.95
4.19
0.94
0.98
2.32
0.58
11.33
0.32
0.72
9.15
0.46
3
2.06
1.87
0.78
0.47
0.97
3.32
0.59
1.00
3.28
0.66
11.57
0.30
0.88
10.30
0.48
4
2.20
1.91
0.71
0.69
0.96
3.40
0.69
0.87
3.27
0.73
10.30
0.27
1.05
9.35
0.44
5
2.58
4.42
0.78
0.58
1.06
4.34
0.67
0.64
2.33
0.91
15.45
0.39
0.93
16.63
0.57
6
2.07
1.76
0.75
0.42
0.99
4.35
0.38
0.87
2.62
0.63
13.80
0.37
0.59
9.33
0.48
7
1.59
1.84
0.68
0.37
0.97
5.20
0.24
0.94
2.95
0.62
10.94
0.33
0.53
9.23
0.43
8
1.21
1.91
0.67
0.36
1.00
5.45
0.11
0.91
2.97
0.55
10.43
0.35
0.45
9.68
0.42
9
1.33
1.87
0.67
0.41
0.99
5.47
0.13
0.94
3.08
0.60
10.97
0.35
0.48
9.60
0.41
10
1.33
1.88
0.73
0.42
0.98
5.13
0.17
0.91
3.39
0.53
11.52
0.38
0.43
9.50
0.45
11
0.41
1.49
0.96
0.14
1.36
4.13
0.28
1.22
2.08
0.95
11.95
0.32
0.13
5.77
0.40
12
0.50
1.47
1.11
0.15
1.09
5.28
0.38
1.11
1.93
0.88
11.70
0.29
0.15
5.62
0.48
13
0.77
1.41
1.01
0.11
1.15
3.47
0.32
1.10
2.50
0.53
11.71
0.38
0.07
7.63
0.54
14
0.47
1.50
1.04
0.08
1.24
3.51
0.20
1.06
3.49
0.33
11.17
0.45
0.05
7.64
0.53
15
0.44
2.46
0.84
0.09
1.81
5.21
0.21
0.93
1.94
0.13
10.00
0.38
0.05
10.09
0.51
16
0.43
2.08
1.12
0.07
1.39
6.46
0.26
1.13
2.56
0.13
12.65
0.40
0.06
8.85
0.59
17
0.40
1.99
1.01
0.06
1.09
6.28
0.07
1.16
2.60
0.11
13.61
0.49
0.05
9.18
0.56
18
0.32
1.81
1.12
0.08
1.05
6.41
0.03
1.30
3.61
0.16
10.95
0.65
0.07
8.33
0.58
19
0.30
1.99
1.14
0.07
1.03
5.93
0.02
1.11
3.54
0.14
10.56
0.61
0.08
8.38
0.58
20
0.23
2.62
1.22
0.04
1.06
6.18
0.01
1.26
3.48
0.12
12.32
0.71
0.14
8.41
0.68
21
0.36
2.59
1.03
0.19
1.09
7.04
0.77
1.15
1.52
0.10
12.69
0.38
0.04
11.03
0.51
22
0.34
2.50
1.20
0.20
1.09
6.48
0.66
1.16
2.21
0.10
12.65
0.50
0.04
10.70
0.66
23
0.31
2.32
1.18
0.20
1.09
6.39
0.48
1.19
1.98
0.10
12.45
0.49
0.04
10.80
0.75
24
0.25
1.99
1.07
0.22
1.10
6.23
0.21
1.35
1.81
0.10
12.09
0.49
0.05
10.59
0.78
25
0.51
2.24
1.25
0.16
0.97
6.87
0.29
1.15
2.18
0.13
12.64
0.57
0.05
10.41
0.77
26
0.36
2.31
0.81
0.19
1.01
4.76
0.31
1.23
1.64
0.13
12.43
0.35
0.06
9.89
0.51
27
0.31
2.28
0.80
0.15
1.04
4.21
0.05
1.20
3.06
0.11
12.40
0.36
0.07
10.11
0.53
28
0.31
2.65
0.85
0.16
1.12
4.42
0.05
1.18
2.87
0.10
12.27
0.41
0.08
10.35
0.58
29
0.27
2.60
0.75
0.14
1.12
4.23
0.03
1.24
2.43
0.13
12.48
0.43
0.09
11.17
0.62
30
0.43
4.58
0.79
0.17
1.75
4.65
0.02
1.56
2.45
0.21
12.38
0.40
0.11
10.26
0.63
240
Lampiran 2. Lanjutan NO
PLAKR
PVKR
ROIKR
PLAKP
PVKP
ROIKP
PLAKS
PVKS
ROIKS
PLAKM
PVKM
ROIKM
PLAKL
PVKL
ROIKL
1
2.88
0.27
2.96
6.46
0.20
9.25
0.25
0.02
1.89
0.44
0.09
4.62
0.55
1.85
0.37
2
2.35
0.42
3.40
6.89
0.29
9.59
0.43
0.02
1.81
0.44
0.17
6.50
0.47
1.91
0.36
3
3.30
0.43
4.87
4.65
0.43
5.44
0.19
0.15
1.40
0.49
0.28
7.01
0.64
0.53
0.60
4
2.55
0.51
3.86
5.27
0.42
5.15
0.38
0.20
2.41
0.47
0.11
5.50
0.57
0.39
0.87
5
3.16
0.50
4.10
6.28
0.45
9.28
0.40
0.05
3.16
0.49
0.46
3.56
0.55
0.60
0.90
6
3.76
0.51
2.85
7.18
0.36
5.51
1.64
0.04
2.11
0.53
0.37
2.51
0.57
0.45
0.92
7
5.38
0.40
3.13
7.14
0.37
1.84
1.60
0.02
1.75
0.73
0.27
2.41
0.63
0.55
0.30
8
4.06
0.92
2.92
7.84
0.40
1.81
1.72
0.04
1.57
0.66
0.46
2.08
0.68
0.70
0.31
9
4.00
0.46
3.75
8.57
0.48
1.78
1.95
0.05
1.80
0.46
0.74
1.87
0.49
1.08
0.36
10
3.98
0.52
4.72
10.31
0.29
2.50
1.72
0.02
2.17
0.63
0.55
1.75
0.67
0.18
0.37
11
12.84
0.35
4.14
1.23
0.20
12.45
1.90
0.34
2.64
4.05
0.29
9.12
0.48
0.13
0.44
12
12.92
0.35
4.81
1.21
0.12
12.30
2.24
1.57
3.09
4.12
0.29
13.79
0.48
0.13
0.46
13
15.14
0.36
6.55
1.11
0.13
7.05
3.10
1.42
2.53
4.00
0.32
12.94
0.47
0.15
1.09
14
15.89
0.35
5.77
1.13
0.13
6.95
3.21
2.04
2.97
4.03
0.32
11.66
0.46
0.16
1.07
15
15.86
0.36
4.79
1.10
0.14
10.14
3.22
2.95
3.69
4.03
0.34
12.82
0.47
0.15
0.80
16
15.14
0.37
4.48
1.09
0.30
7.68
2.60
3.20
2.93
4.07
0.38
4.14
0.25
0.11
1.27
17
15.34
0.32
2.41
1.16
0.33
5.11
2.46
5.37
2.32
4.11
0.38
3.44
0.22
0.17
0.40
18
17.20
0.32
4.89
1.20
0.30
3.71
2.67
1.88
1.99
4.19
0.37
3.53
0.20
0.23
0.40
19
17.50
0.33
5.49
1.30
0.28
3.33
1.17
4.28
2.75
3.67
0.29
3.03
0.39
0.12
0.49
20
17.70
0.33
6.55
1.33
0.28
3.71
0.75
6.78
3.04
3.62
0.35
2.81
0.56
0.07
0.52
21
1.45
0.34
1.76
1.08
0.37
8.67
0.00
0.33
1.12
0.86
0.49
6.35
1.13
0.55
0.45
22
1.54
0.33
1.77
1.13
0.36
9.46
0.00
1.50
1.13
1.03
0.43
10.60
1.08
0.51
0.54
23
1.56
0.37
3.01
0.97
0.43
5.46
0.01
1.33
1.45
1.12
0.38
10.04
1.14
0.50
0.62
24
1.56
0.27
1.90
1.14
0.30
5.06
0.06
2.03
1.37
1.09
0.34
8.49
1.15
0.37
0.50
25
1.68
0.55
2.62
1.23
0.43
5.90
0.66
1.32
2.02
1.18
0.42
7.46
1.10
0.57
0.91
26
1.64
0.74
1.22
1.35
0.58
6.63
0.73
1.61
1.48
1.26
0.39
3.58
1.07
0.75
0.64
27
1.68
0.52
1.67
1.50
0.47
4.31
0.88
1.34
2.62
1.26
0.48
2.90
1.08
0.47
0.45
28
2.03
0.37
4.13
2.55
0.19
3.10
0.32
5.12
2.27
2.17
0.23
2.95
1.02
0.59
0.45
29
2.00
0.34
2.01
2.02
0.36
2.98
0.99
4.21
2.28
1.79
0.42
2.71
1.00
0.53
0.41
30
2.02
0.34
2.47
2.16
0.40
2.98
1.70
3.81
2.49
1.63
0.26
2.26
1.03
0.56
0.43
241
Lampiran 2. Lanjutan NO
ROIKL
PLFOW
PVOW
RPIKO
PLFBD
PVBD
RPIKB
PPKOT
PKBOT
POTKM
SSPG
SSKB
SSTN
SSIK
SSHT
ECOS
SSNPT
1
0.37
0.14
82.08
388.70
0.44
57.48
720.15
6.13
8.02
8.78
27.23
8.48
3.73
3.29
3.50
46.21
53.79
2
0.36
0.14
79.19
358.25
0.45
66.78
663.75
4.92
8.96
8.79
26.81
8.83
3.70
3.02
3.47
45.83
54.17
3
0.60
0.11
107.41
469.64
0.45
64.02
757.40
3.93
11.24
9.02
25.86
8.84
3.55
2.61
3.35
44.20
55.80
4
0.87
0.15
93.33
429.71
0.43
119.16 1035.76
5.10
9.95
8.49
26.29
8.92
3.41
2.88
3.29
44.78
55.22
5
0.90
0.11
105.93
389.72
0.42
82.45
528.63
8.01
8.21
8.60
24.91
9.33
3.47
2.86
3.29
43.87
56.13
6
0.92
0.11
94.85
452.94
0.50
74.20
476.80
11.99
6.50
8.06
25.15
9.33
3.66
2.97
3.51
44.62
55.38
7
0.30
0.11
100.00
499.63
0.79
100.00
453.04
13.65
3.56
7.66
25.39
9.48
3.64
3.06
3.52
45.09
54.91
8
0.31
0.11
98.54
415.12
0.46
98.27
539.76
15.50
3.81
7.75
26.91
7.36
3.78
1.39
3.30
42.74
57.26
9
0.36
0.11
105.15
387.86
0.49
96.13
351.69
15.64
2.91
7.21
28.00
7.44
3.70
1.40
3.24
43.78
56.22
10
0.37
0.11
155.88
419.86
0.37
68.99
380.70
16.04
0.79
7.29
29.12
7.62
3.56
1.39
3.14
44.82
55.18
11
0.44
1.30
15.70
329.47
0.09
66.93
980.34
6.41
0.44
10.62
21.64
13.69
3.44
6.34
0.69
45.80
54.20
12
0.46
1.30
18.56
296.09
0.09
67.41
881.04
7.53
0.04
9.97
21.10
14.22
3.61
6.42
0.69
46.04
53.96
13
1.09
1.30
21.32
350.71
0.05
147.06
904.38
7.97
1.85
9.31
20.35
13.89
3.62
6.22
0.66
44.75
55.25
14
1.07
1.30
20.99
248.14
0.08
80.67
830.75
9.27
2.51
12.08
19.88
14.06
3.70
6.33
0.67
44.63
55.37
15
0.80
1.30
25.81
212.66
0.09
76.00
418.06
11.65
5.37
12.95
20.42
14.82
3.61
6.47
0.70
46.01
53.99
16
1.27
1.30
7.72
307.82
0.03
165.91
495.68
12.63
8.16
11.80
20.30
16.79
3.66
4.58
0.66
45.99
54.01
17
0.40
1.30
8.75
307.09
0.04
130.00
396.44
12.30
10.14
11.44
19.92
16.45
3.65
4.54
0.66
45.22
54.78
18
0.40
1.30
28.63
281.86
0.06
103.57
471.02
12.95
9.18
6.10
19.97
16.26
3.59
4.43
0.65
44.91
55.09
19
0.49
1.30
33.39
279.18
0.07
105.38
360.42
12.74
10.73
5.59
19.94
16.33
3.56
4.28
0.64
44.75
55.25
20
0.52
1.30
45.87
281.82
0.14
64.25
363.83
12.91
11.95
6.70
20.12
16.29
3.50
3.39
0.66
43.96
56.04
21
0.45
1.90
61.24
461.00
0.08
97.40
702.05
12.80
4.20
15.33
24.11
5.46
2.96
0.83
2.51
35.88
64.12
22
0.54
2.12
54.73
338.98
0.08
104.17
516.22
11.79
3.75
15.37
23.16
5.63
2.93
0.91
2.60
35.22
64.78
23
0.62
1.93
60.29
242.99
0.08
104.17
517.78
10.78
3.55
15.42
22.53
5.67
3.06
0.93
2.63
34.82
65.18
24
0.50
2.08
66.82
237.76
0.07
107.46
526.18
10.92
3.41
18.96
21.67
5.61
3.13
0.97
2.87
34.26
65.74
25
0.91
2.10
69.58
231.59
0.08
84.21
294.39
12.31
3.28
17.21
22.70
5.91
2.65
1.04
2.98
35.28
64.72
26
0.64
2.34
63.20
436.26
0.09
91.25
354.61
11.39
4.23
16.23
22.90
6.08
2.68
0.98
3.01
35.66
64.34
27
0.45
2.08
72.10
543.91
0.09
68.75
402.74
12.19
1.30
15.46
21.59
6.21
2.74
1.02
2.89
34.45
65.55
28
0.45
2.35
98.40
561.20
0.09
87.80
541.25
10.43
-1.03
15.70
21.28
6.44
2.75
1.04
2.93
34.44
65.56
29
0.41
2.08
119.30
479.74
0.08
101.32
355.23
11.64
0.57
15.97
21.22
6.63
2.73
1.04
2.94
34.57
65.43
30
0.43
2.08
127.74
531.50
0.08
77.46
393.56
10.67
-0.79
16.22
21.09
6.66
2.70
1.02
2.88
34.34
65.66
242
Lampiran 2. Lanjutan NO
DGDP
ECOG
PDBK
SEXR
PPOP
POPG
POPD
RJAK
REPG
LABS
ABA
ABT
DEPR
TPAK
UNEM
PPUK
PPAD
1
49.29
5.99
1.11
100.95
22.45
2.93
62.16
4.45
2.04
71.82
69.19
3.74
72.93
65.22
4.48
78.69
0.00
2
63.32
7.26
1.17
100.49
9.42
1.20
62.91
4.32
6.07
70.16
67.91
3.77
71.68
65.24
4.39
79.05
0.00
3
63.05
6.74
1.22
101.92
19.73
2.47
64.46
4.36
2.72
69.26
61.25
3.70
64.95
65.09
4.31
78.34
0.00
4
-3.58
-0.36
1.20
102.41
10.89
1.33
65.32
4.43
-0.27
71.05
63.96
3.65
67.61
64.94
4.71
78.65
0.00
5
-10.96
-1.10
1.17
102.16
14.61
1.76
66.47
4.46
-0.62
74.94
59.20
4.98
64.18
63.44
5.38
78.29
0.00
6
15.29
1.55
1.16
101.94
16.19
1.92
67.75
4.28
0.81
74.51
61.96
4.67
66.63
63.09
5.39
78.20
0.01
7
25.07
2.51
1.15
101.50
31.88
3.71
70.27
4.20
0.68
74.03
60.21
4.53
64.74
62.57
5.55
76.73
0.00
8
23.70
2.31
1.14
103.07
28.30
3.18
72.50
4.41
0.73
73.62
60.49
4.62
65.11
62.74
5.62
75.14
0.02
9
28.41
2.71
1.15
104.32
18.82
2.05
73.98
4.34
1.32
73.93
63.11
4.88
67.98
65.20
5.46
74.49
0.01
10
43.21
4.02
1.18
103.14
14.67
1.56
75.14
4.54
2.57
79.20
55.34
4.29
59.63
65.51
5.29
73.40
0.01
11
48.36
7.40
1.07
100.77
6.19
0.95
46.32
4.03
7.80
77.48
68.85
4.33
73.18
58.91
2.78
80.96
0.00
12
55.11
7.85
1.13
100.55
14.07
2.14
47.31
3.94
3.68
76.08
68.75
4.41
73.16
59.42
2.61
82.29
0.00
13
62.56
8.26
1.20
100.85
11.68
1.74
48.13
3.85
4.76
71.16
56.62
4.95
61.57
59.97
2.59
84.05
0.00
14
24.96
3.05
1.22
100.00
10.44
1.53
48.86
3.89
2.00
70.07
56.62
4.60
61.22
60.08
2.19
85.00
0.00
15
-34.84
-4.12
1.14
99.97
12.31
1.77
49.73
3.80
-2.33
65.58
54.68
5.90
60.58
60.67
4.42
85.68
0.00
16
13.41
1.66
1.15
100.05
10.07
1.42
50.44
3.87
1.16
70.28
55.35
6.43
61.78
59.89
4.00
85.96
0.01
17
25.65
3.12
1.17
100.05
9.03
1.26
51.07
3.83
2.48
74.89
51.24
3.89
55.13
58.16
3.58
87.82
0.01
18
22.92
2.70
1.19
99.99
7.33
1.01
51.59
3.78
2.68
76.61
51.90
5.19
57.09
59.62
3.65
85.39
0.01
19
24.65
2.83
1.21
100.04
9.44
1.29
52.25
3.74
2.20
77.23
51.25
5.13
56.39
58.56
2.86
85.14
0.02
20
27.08
3.02
1.22
98.90
11.01
1.48
53.02
3.65
2.04
77.24
49.87
5.80
55.67
58.97
3.00
83.11
0.02
21
56.94
6.98
1.11
94.68
7.74
1.00
83.99
4.72
7.01
61.85
72.07
6.48
78.54
57.41
3.63
85.02
0.00
22
61.53
7.05
1.18
94.77
7.36
0.94
84.78
4.68
7.52
67.35
70.55
7.17
77.72
54.09
3.75
85.03
0.00
23
70.12
7.51
1.25
94.01
7.83
0.99
85.62
4.62
7.60
67.89
69.55
8.55
78.09
54.89
2.61
85.00
0.00
24
45.89
4.57
1.30
94.14
8.40
1.05
86.52
4.58
4.35
66.36
65.84
8.56
74.39
54.27
5.07
85.01
0.00
25
-43.91
-4.18
1.24
93.90
5.83
0.72
87.14
4.55
-5.80
60.06
64.83
9.23
74.06
52.05
4.18
85.24
0.00
26
13.84
1.38
1.24
94.44
5.33
0.65
87.71
4.49
2.10
64.34
63.56
9.32
72.88
56.41
3.01
77.29
0.00
27
24.27
2.38
1.26
95.22
7.40
0.90
88.50
4.51
2.64
64.24
61.44
11.44
72.88
54.59
3.64
77.09
0.00
28
35.35
3.39
1.29
95.58
8.02
0.97
89.36
4.31
3.49
71.32
59.60
10.99
70.59
55.37
3.50
77.70
0.01
29
45.87 50.11
4.25 4.45
1.33 1.37
95.21 95.79
9.92 14.04
1.19 1.66
90.42 91.92
4.38 4.46
3.58 2.68
69.18 70.12
59.73 59.71
11.03 11.03
70.76 70.74
54.73 54.59
5.28 6.82
77.21 76.80
0.01 0.02
30
243
Lampiran 2. Lanjutan NO
PKYB
PMTN
RKBMT
INFL
SKBD
RSKB
RPLOG
UMR
UMRR
PFER
RPFER
RPSMN
AGWA
RAGWA
RWIND
1
2,098.6
403.1
5.21
8.83
11.25
2.42
4.36
3,000
2.74
446
0.41
0.18
1,800
1.64
1.67
2
2,039.2
425.5
4.79
8.07
15.00
6.93
5.03
3,500
3.22
469
0.43
0.19
1,812
1.67
1.93
3
1,972.9
433.1
4.56
5.18
14.00
8.82
5.85
3,850
3.65
521
0.49
0.20
1,969
1.87
1.96
4
1,972.9
442.8
4.46
9.21
19.00
9.79
6.05
5,100
4.63
573
0.52
0.20
2,038
1.85
2.50
5
2,347.2
485.9
4.83
84.10
51.00
(33.10)
1.59
5,860
0.93
1,033
0.16
0.05
3,804
0.60
1.54
6
2,980.8
497.6
5.99
0.47
13.08
12.61
16.06
6,000
5.97
1,362
1.36
0.40
5,620
5.59
1.07
7
3,146.5
489.7
6.43
8.21
13.50
5.29
18.54
6,920
6.35
1,377
1.26
0.40
6,286
5.77
1.10
8
3,544.5
577.9
6.13
10.58
17.88
7.30
18.33
9,600
8.58
1,406
1.26
0.41
7,502
6.71
1.28
9
3,814.5
858.7
4.44
10.11
13.50
3.39
18.43
11,232
10.10
1,451
1.30
0.41
8,695
7.82
1.29
10
3,625.0
1,127.6
3.21
4.14
12.75
8.61
18.93
12,800
12.27
1,453
1.39
0.57
9,355
8.97
1.37
11
2,249.5
488.3
4.61
8.52
11.25
2.73
6.01
3,000
2.74
374
0.34
0.20
2,079
1.90
1.44
12
2,684.4
521.6
5.15
7.79
15.00
7.21
7.00
3,300
3.04
413
0.38
0.22
2,512
2.32
1.31
13
2,912.4
545.7
5.34
5.00
15.00
10.00
8.06
3,600
3.42
454
0.43
0.23
2,705
2.57
1.33
14
3,009.2
551.2
5.46
9.89
26.00
16.11
8.42
4,780
4.31
479
0.43
0.23
2,811
2.53
1.70
15
3,774.3
604.4
6.24
72.31
65.00
(7.31)
4.17
5,500
1.52
1,067
0.30
0.09
3,973
1.10
1.38
16
4,212.5
585.1
7.20
0.49
25.00
24.51
22.56
6,000
5.97
1,017
1.01
0.39
5,858
5.83
1.02
17
5,412.8
621.7
8.71
8.40
13.22
4.82
26.45
6,920
6.34
1,038
0.95
0.40
6,841
6.27
1.01
18
6,025.3
879.6
6.85
10.11
17.88
7.77
28.43
9,800
8.81
1,032
0.93
0.41
8,177
7.35
1.20
19
4,846.4
1,400.5
3.46
12.62
15.48
2.86
32.76
12,160
10.63
1,034
0.90
0.44
10,593
9.26
1.15
20
6,250.0
1,489.4
4.20
3.79
7.00
3.21
31.75
15,600
15.01
1,036
1.00
0.54
12,317
11.85
1.27
21
2,634.9
411.9
6.40
8.37
11.25
2.88
7.23
2,500
2.29
369
0.34
0.17
2,014
1.85
1.24
22
2,634.9
415.8
6.34
8.36
15.00
6.64
7.41
3,250
2.98
369
0.34
0.21
2,346
2.15
1.39
23
2,634.9
406.1
6.49
7.32
14.50
7.18
8.22
3,600
3.34
414
0.38
0.22
2,570
2.38
1.40
24
2,588.3
397.2
6.52
10.72
22.50
11.78
9.17
4,760
4.25
476
0.42
0.22
2,854
2.55
1.67
25
3,306.4
480.0
6.89
87.20
58.00
(29.20)
1.86
5,480
0.70
654
0.08
0.04
3,638
0.47
1.51
26
3,594.3
507.3
7.09
4.23
19.04
14.81
17.59
6,400
6.13
1,253
1.20
0.36
4,991
4.78
1.28
27
3,031.4
574.5
5.28
10.99
13.36
2.37
16.80
8,000
7.12
1,257
1.12
0.35
6,424
5.72
1.25
28
3,594.3
830.5
4.33
9.86
17.88
8.02
18.58
10,000
9.01
1,311
1.18
0.39
7,307
6.59
1.37
29
3,031.4
1,456.2
2.08
10.22
14.49
4.27
18.51
15,400
13.83
1,385
1.24
0.43
9,386
8.43
1.64
30
3,594.3
1,305.7
2.75
5.55
9.88
4.33
22.63
17,664
16.68
1,385
1.31
0.51
11,536
10.90
1.53
244
Lampiran 3. Program Estimasi Blok Alokasi Pengeluaran Pemerintah Menggunakan Seemingly Unrelated Regressions (SUR)
OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA EXPEN; SET REKAP; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; BREV = TREV ‐ PAD; GRES = PAD/BREV; REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100; PSWE = (SWDE/TEXP)*100; PEVE = (EVDE/TEXP)*100; PWRE = (WRDE/TEXP)*100; POTE = (OTDE/TEXP)*100; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; ; run;
PROC SYSLIN SUR DATA=EXPEN; endogenous PAGE PWRE PSWE PHRE PSRE PEVE PRDE PTRE PIDE POTE PDEX ; instruments REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR ; /*Blok Alokasi Fiskal*/ model PAGE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PIDE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PWRE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PEVE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PRDE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PTRE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PHRE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PSWE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PSRE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model POTE = REXP GRES DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; identity PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; TITLE Analisis FAKTOR MEMPENGARUHI ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH; run;
245
Lampiran 4. Program Estimasi Blok Alokasi Penggunaan Lahan Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA GUNA; RPLO = PLOG ‐ (0.01*INFL*PLOG); RPLOG = RPLO/1000; RUMR = UMR ‐ (0.01*INFL*UMR); UMRR = RUMR/1000; RPFE = PFER ‐ (0.01*INFL*PFER); RPFER = RPFE/1000; RPSM = PSMN ‐ (0.01*INFL*PSMN); RPSMN = RPSM/1000; RAGW = AGWA ‐ (0.01*INFL*AGWA); RAGWA = RAGW/1000; LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100; PTEM = (TEMP/LKAW)*100; PSWA = (SWAM/LKAW)*100; PHOU = (HOUS/LKAW)*100; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PGRA + PDYK + PWOD; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100 ‐ PUSE; SSPG = (DPSP/GDP)*100; SSKB = (DPSK/GDP)*100; SSTN = (DPST/GDP)*100; SSIK = (DPSI/GDP)*100; SSHT = (DPSH/GDP)*100; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT;
DGDP = GDP‐GDP1; ECOG = (DGDP/GDP1)*100; PDBK = GDP/POP; SEXR = (PLK/PWN)*100; PPOP = POP‐POP1; POPG = (PPOP/POP1)*100; POPD = (POP/LKAW)*100; RJAK = POP/JRTG; REPG = ECOG/POPG; LABS = (LAGR/WORK)*100; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; BREV = TREV ‐ PAD; GRES = PAD/BREV; REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100; PSWE = (SWDE/TEXP)*100; PEVE = (EVDE/TEXP)*100;
Lampiran 4. Lanjutan
PWRE = (WRDE/TEXP)*100; POTE = (OTDE/TEXP)*100; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100;
246
PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; ; run; PROC SYSLIN SUR DATA=GUNA ; endogenous PWET PDRY PEST PGRA PDYK PWOD PTEM PSWA PHOU PCUL PUSE PFOR; instruments ECOG POPG POPD SSPG SSKB SSIK SSTN ECOS JRTG RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR; /*Blok Penggunaan Lahan*/ model PWET = ECOG POPG POPD SSPG RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW;
model PDRY = ECOG POPG POPD SSPG RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PEST = ECOG POPG POPD SSKB RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PDYK = ECOG POPG POPD SSIK RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PGRA = ECOG POPG POPD SSTN RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PWOD = ECOG POPG POPD SSHT RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PTEM = ECOG POPG POPD ECOS RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PSWA = ECOG POPG POPD ECOS RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model PHOU = ECOG POPG POPD JRTG RPSMN RPLOG UMRR RSKB PTRE PRDE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; identity PCUL = PWET + PDRY + PEST + PWOD + PDYK + PGRA; identity PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; identity PFOR = 100‐ PUSE; TITLE Analisis BLOK ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN; run;
247
Lampiran 5. Program Estimasi Blok Pilihan Komoditas Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR)
OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA PILIH; ROIBR = PBER/PFER; ROIKR = PKRT/PFER; ROIJG = PJGG/PFER; ROIKT = PKCT/PFER; ROIKL = PKLP/PFER; ROIKS = PMSWT/PFER; ROIUJ = PUBJ/PFER; ROIKP = PKOP/PFER; ROIKD = PKED/PFER; ROIUK = PUBK/PFER; ROIKM = PKMN/PFER; RPIKB = (PIKB/PBER)*100; RPIKO = (PIKO/PBER)*100; RKBMT = PKYB/PMTN; ROIBR = PBER/PFER; RSKB = SKBD ‐ INFL; RUMR = UMR ‐ (0.01*INFL*UMR); UMRR = RUMR/1000; RAGW = AGWA ‐ (0.01*INFL*AGWA); RAGWA = RAGW/1000; LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100; PLAPS = (LAPS/LKAW)*100; PLAPL = (LAPL/LKAW)*100; PLAJG = (LAJG/LKAW)*100; PLAKT = (LAKT/LKAW)*100;
PLAKD = (LAKD/LKAW)*100; PLAUK = (LAUK/LKAW)*100; PLAUJ = (LAUJ/LKAW)*100; PLAKR = (LAKR/LKAW)*100; PLAKP = (LAKP/LKAW)*100; PLAKS = (LAKS/LKAW)*100; PLAKM = (LAKM/LKAW)*100; PLAKL = (LAKL/LKAW)*100; PLFOW = (LFOW/LKAW)*100; PLFBD = (LFBD/LKAW)*100; PPKOT = PDRY‐PLAPL‐PLAJG‐PLAKT‐PLAKD‐PLAUJ‐PLAUK; PKBOT = PEST‐PLAKR‐PLAKS‐PLAKL‐PLAKP‐PLAKM; POTKM = PCUL‐PWET‐PDRY‐PEST; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100; PSWE = (SWDE/TEXP)*100;
Lampiran 5. Lanjutan
PEVE = (EVDE/TEXP)*100; PWRE = (WRDE/TEXP)*100; POTE = (OTDE/TEXP)*100; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE;
248
; run; PROC SYSLIN SUR DATA=PILIH ; endogenous PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW; instruments PVPS PVPL PVJG PVKT PVKD PVUK PVUJ PVKR PVKS PVKP PVKM PVKL ROIBR ROIJG ROIKT ROIKD ROIUK ROIUJ PVKR PVKS PVKP PVKM PVKL ROIKR ROIKS ROIKP ROIKL ROIKM RPIKB RPIKO PVBD PVOW PEST SKBD RAGWA RSKB PWET PDRY PDYK RHSTN DEGTN PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR; /*Blok Pilihan Komoditas*/ model PLAPS = ROIBR PVPS PWET RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAPL = ROIBR PVPL PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAJG = ROIJG PVJG PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKT = ROIKT PVKT PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKD = ROIKD PVKD PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw;
model PLAUJ = ROIUJ PVUJ PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAUK = ROIUK PVUK PDRY RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKR = ROIKR PVKR PEST RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKS = ROIKS PVKS PEST RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKL = ROIKL PVKL PEST RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKP = ROIKP PVKP PEST RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PLAKM = ROIKM PVKM PEST RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE PTRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; Model PLFBD = RPIKB PVBD PWET PDYK RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; Model PLFOW = RPIKO PVOW PSWA RSKB RAGWA PAGC PAGE PWRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; identity PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK; identity PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; TITLE Analisis BLOK PILIHAN KOMODITAS; run;
249
Lampiran 6. Program Estimasi Blok Struktur Output Kawasan Menggunakan Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA STRUKTUR; SET REKAP; LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100; PTEM = (TEMP/LKAW)*100; PSWA = (SWAM/LKAW)*100; PHOU = (HOUS/LKAW)*100; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PGRA + PDYK + PWOD; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100 ‐ PUSE; PLAPS = (LAPS/LKAW)*100; PLAPL = (LAPL/LKAW)*100; PLAJG = (LAJG/LKAW)*100; PLAKT = (LAKT/LKAW)*100; PLAKD = (LAKD/LKAW)*100; PLAUK = (LAUK/LKAW)*100; PLAUJ = (LAUJ/LKAW)*100; PLAKR = (LAKR/LKAW)*100; PLAKP = (LAKP/LKAW)*100; PLAKS = (LAKS/LKAW)*100; PLAKM = (LAKM/LKAW)*100; PLAKL = (LAKL/LKAW)*100; PLFOW = (LFOW/LKAW)*100; PLFBD = (LFBD/LKAW)*100; PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK;
PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; POTKM = PCUL ‐ PWET ‐ PDRY ‐ PEST; DEGT = LTNKS ‐ HTNK; DEGTN = (DEGT/LTNKS)*100; SSPG = (DPSP/GDP)*100; SSKB = (DPSK/GDP)*100; SSTN = (DPST/GDP)*100; SSIK = (DPSI/GDP)*100; SSHT = (DPSH/GDP)*100; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; SSNPT = 100 ‐ ECOS; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PWRE = (WRDE/TEXP)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; ; run; Lampiran 6. Lanjutan PROC SYSLIN SUR DATA=STRUKTUR; endogenous SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT SSNPT ECOS; instruments PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKP PLAKL PLAKM PKBOT PGRA POPS POPK POPM PDYK PLFOW PLFBD PFOR PWOD PRLG PRSW HSTNK PAGE PAGC DEGTN RAGWA RPFER RSKB PAGE PTRE PAGC DESE KRIS YEAR;
250
/*Struktur Output*/ model SSPG = SSNPT PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model SSKB = SSNPT PLAKR PLAKS PLAKP PLAKL PLAKM PKBOT DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model SSTN = SSNPT PGRA POPS POPK POPM PAGE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model SSIK = SSNPT PDYK PLFOW PLFBD DEGTN PAGE PAGC PWRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; model SSHT = SSNPT PWOD PFOR LHPHS PAGE PAGC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /DW; identity ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; identity SSNPT = 100 ‐ ECOS; TITLE Analisis BLOK STRUKTUR OUTPUT; run;
251
Lampiran 7. Program Estimasi Blok Alokasi Kredit, Ekonomi dan Tenaga Kerja serta Dagradasi Taman Nasional Menggunakan Metode Two Stage Least Squares (2SLS) OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA EKON; RSKB = SKBD ‐ INFL; RPLO = PLOG ‐ (0.01*INFL*PLOG); RPLOG = RPLO/1000; RUMR = UMR ‐ (0.01*INFL*UMR); UMRR = RUMR/1000; RAGW = AGWA ‐ (0.01*INFL*AGWA); RAGWA = RAGW/1000; RWIND = UMRR/RAGWA; LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100; PTEM = (TEMP/LKAW)*100; PSWA = (SWAM/LKAW)*100; PHOU = (HOUS/LKAW)*100; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PGRA + PDYK + PWOD; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100 ‐ PUSE; DEGH = HTK93‐HSTNK; DEGHS = (DEGH/HTK93)*100; DEGT = LTNKS ‐ HTNK; DEGTN = (DEGT/LTNKS)*100; RHSTN = (HSTNK/LTNKS)*100; PHSTN = (HSTNK/LKAW)*100; SSPG = (DPSP/GDP)*100; SSKB = (DPSK/GDP)*100; SSTN = (DPST/GDP)*100; SSIK = (DPSI/GDP)*100;
SSHT = (DPSH/GDP)*100; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; DGDP = GDP‐GDP1; ECOG = (DGDP/GDP1)*100; PDBK = GDP/POP; SEXR = (PLK/PWN)*100; PPOP = POP‐POP1; POPG = (PPOP/POP1)*100; POPD = (POP/LKAW)*100; RJAK = POP/JRTG; REPG = ECOG/POPG; LABS = LAGR/WORK)*100; ABA = PK15/PUPR)*100; ABT = PB65/PUPR)*100; DEPR = ABA + ABT; TPAK = (LFOR/PUK)*100; UNEM = (LFWR/LFOR)*100; PPUK = (PUK/POP)*100; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; BREV = TREV ‐ PAD; GRES = PAD/BREV;
Lampiran 7. Lanjutan
REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100; PSWE = (SWDE/TEXP)*100; PEVE = (EVDE/TEXP)*100;
252
PWRE = (WRDE/TEXP)*100; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE;
; run; PROC SYSLIN 2SLS DATA=EKON ; endogenous PAGC PUKC PROC DEPR TPAK LABS UNEM PDBK ECOG RHSTN DEGTN; instruments RSKB PCUL PFOR PDEX GRES PAGE PWRE PIDE PSWE PHRE PTRE PSRE POPG PPUK RJAK SEXR RWIND PPAD RKBMT LHPHS REPG DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR; /*Blok Kredit Perbankan*/ model PROC = RSKB REPG PDBK ECOS PIDE PTRE PRDE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PUKC = RSKB PROC REPG ECOS PIDE PTRE PRDE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PAGC = RSKB PROC PUKC ECOS PAGE PTRE PRDE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw;
/*Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja*/ model ECOG = ECOS TPAK LABS PPAD PSRE PUKC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model PDBK = REPG DEPR RWIND PHRE PIDE PROC PUKC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model DEPR = PPUK POPG RJAK PSWE PHRE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model TPAK = DEPR SEXR RJAK PSWE PHRE PIDE PUKC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model LABS = ECOS TPAK RWIND PAGE PIDE PAGC PROC PUKC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model UNEM = UMRR REPG TPAK LABS PPUK PDEX PIDE PROC PUKC DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; /*Blok Degradasi Taman Nasional*/ Model DEGHS = PFOR REPG UNEM RPLOG RKBMT LHPHS DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model RHSTN = DEGHS REPG RPLOG LHPHS PEVE DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; model DEGTN = RHSTN PDBK UNEM RPLOG RKBMT LHPHS DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR /dw; TITLE Analisis BLOK KREDIT, EKONOMI DAN TENAGA KERJA SERTA DEGRADASI TAMAN NASIONAL; run;
253
Lampiran 8. Hasil Estimasi Metode Seemingly Unrelated Regressions (SUR) dan Two-Stage Least Squares (2SLS)
233
Lampiran 9. Program Simulasi Dasar dan Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA SIMDAS; SET REKAP; ROIBR = PBER/PFER; ROIKR = PKRT/PFER; ROIJG = PJGG/PFER; ROIKT = PKCT/PFER; ROIKL = PKLP/PFER; ROIKS = PMSWT/PFER; ROIUJ = PUBJ/PFER; ROIKP = PKOP/PFER; ROIKD = PKED/PFER; ROIUK = PUBK/PFER; ROIKM = PKMN/PFER; RPIKB = (PIKB/PBER)*100; RPIKO = (PIKO/PBER)*100; RKBMT = PKYB/PMTN; RSKB = SKBD ‐ INFL; RPLO = PLOG ‐ (0.01*INFL*PLOG); RPLOG = RPLO/1000; RUMR = UMR ‐ (0.01*INFL*UMR); UMRR = RUMR/1000; RPFE = PFER ‐ (0.01*INFL*PFER); RPFER = RPFE/1000; RPSM = PSMN ‐ (0.01*INFL*PSMN); RPSMN = RPSM/1000; RAGW = AGWA ‐ (0.01*INFL*AGWA); RAGWA = RAGW/1000; RWIND = UMRR/RAGWA; LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100;
PTEM = (TEMP/LKAW)*100; PSWA = (SWAM/LKAW)*100; PHOU = (HOUS/LKAW)*100; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PGRA + PDYK + PWOD; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100 ‐ PUSE; PLAPS = (LAPS/LKAW)*100; PLAPL = (LAPL/LKAW)*100; PLAJG = (LAJG/LKAW)*100; PLAKT = (LAKT/LKAW)*100; PLAKD = (LAKD/LKAW)*100; PLAUK = (LAUK/LKAW)*100; PLAUJ = (LAUJ/LKAW)*100; PLAKR = (LAKR/LKAW)*100; PLAKP = (LAKP/LKAW)*100; PLAKS = (LAKS/LKAW)*100; PLAKM = (LAKM/LKAW)*100; PLAKL = (LAKL/LKAW)*100; PLFOW = (LFOW/LKAW)*100; PLFBD = (LFBD/LKAW)*100; PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK; PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; POTKM = PCUL ‐ PWET ‐ PDRY ‐ PEST; DEGH = HTK93‐HSTNK; DEGHS = (DEGH/HTK93)*100; DEGT = LTNKS ‐ HTNK; DEGTN = (DEGT/LTNKS)*100; RHSTN = (HSTNK/LTNKS)*100; PHSTN = (HSTNK/LKAW)*100; SSPG = (DPSP/GDP)*100; SSKB = (DPSK/GDP)*100; SSTN = (DPST/GDP)*100; SSIK = (DPSI/GDP)*100; SSHT = (DPSH/GDP)*100; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; SSNPT = 100 ‐ ECOS; DGDP = GDP‐GDP1;
234
ECOG = (DGDP/GDP1)*100; PDBK = GDP/POP; SEXR = (PLK/PWN)*100; PPOP = POP‐POP1; POPG = (PPOP/POP1)*100; POPD = (POP/LKAW)*100; RJAK = POP/JRTG; REPG = ECOG/POPG; LABS = (LAGR/WORK)*100; ABA = (PK15/PUPR)*100; ABT = (PB65/PUPR)*100; DEPR = ABA + ABT; TPAK = (LFOR/PUK)*100; UNEM = (LFWR/LFOR)*100; PPUK = (PUK/POP)*100; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; BREV = TREV ‐ PAD; GRES = PAD/BREV; REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100; PSWE = (SWDE/TEXP)*100; PEVE = (EVDE/TEXP)*100; PWRE = (WRDE/TEXP)*100; POTE = (OTDE/TEXP)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100;
/*RESPESIFIKASI*/ REPG = ECOG/POPG; RWIND = UMRR/RAGWA; REXP = CEXP/DEXP; ; /*Simulasi Kebijakan
Kebijakan prioritas tanpa realokasi 1. TRDE = TRDE + (0.05*CEXP); DEXP = DEXP – (0.05*CEXP); 2. RDDE = RDDE + (0.05*CEXP); DEXP = DEXP – (0.05*CEXP); 3. HRDE = HRDE + (0.05*CEXP); DEXP = DEXP – (0.05*CEXP); Kebijakan realokasi tanpa prioritas 1. DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.95; 2. DEXP = DEXP + (CEXP*0.10); CEXP = CEXP*0.90; 3. DEXP = DEXP + (CEXP*0.15); CEXP = CEXP*0.85; Kebijakan kombinasi realokasi dan prioritas 1. TRDE = TRDE + (CEXP*0.05); DEXP = DEXP + (CEXP*0.10); CEXP = CEXP*0.85; 2. TRDE = TRDE + (CEXP*0.10); DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.85; 3. RDDE = RDDE + (CEXP*0.05); DEXP = DEXP + (CEXP*0.10); CEXP = CEXP*0.85; 4. RDDE = RDDE + (CEXP*0.10); DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.85; 5. HRDE = HRDE + (CEXP*0.05); DEXP = DEXP + (CEXP*0.10); CEXP = CEXP*0.85; 6. HRDE = HRDE + (CEXP*0.10); DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.85; Kebijakan pembangunan terintegrasi 1. HRDE = HRDE + (CEXP*0.15); DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.80; */ RUN; PROC SIMNLIN SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=SIMSDM; endogenous PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PSRE PSWE PEVE POTE PDEX PROC PUKC PAGC PWET PDRY PEST PDYK PGRA PTEM PWOD PSWA
296
PHOU PCUL PUSE PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW POTKM SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT ECOS ECOG PDBK DEPR TPAK UNEM LABS PFOR DEGHS DEGTN RHSTN
a90 ‐384.226118 a91 ‐0.414991 a92 ‐85.935284 a93 ‐1.557892 a94 ‐0.097448 a95 1.725793 a96 ‐0.612482 a97 0.196909 /*Blok Kredit Perbankan*/ b10 8285.648422 b20 8132.294298 b30 ‐1816.105120 ; b11 ‐0.002527 b21 0.307265 b31 0.013413 instruments PCEX PVPS PVPL PVJG PVKD PVUJ PVUK PVKL PVKM PVKP PVKR b12 ‐0.824969 b22 ‐1.585831 b32 1.820792 PVKS PVKT PVOW PVBD PVOW POPK POPM POPS ROIBR ROIJG b13 14.796182 b23 ‐1.497474 b33 ‐0.006166 ROIKD ROIKT ROIUJ ROIUK ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS b14 0.782143 b24 0.871890 b34 ‐0.409477 RPDGK RPDGM RPDGS RPIKB RPIOW RPLOG RPSAW RPSLG RAGWA b15 ‐2.162626 b25 6.158450 b35 ‐1.365523 RJAK RKBMT RWIND PFERT UMRR RPSMN SSNPT REXP HSTNK b16 ‐0.643595 b26 ‐1.781929 b36 ‐0.069444 LHPHS LTNKS PERS POPD POPG PPUK SEXR RSKB DKAW1 DKAW2 b17 ‐0.264851 b27 1.792746 b37 ‐0.291766 DESE KRIS YEAR b18 1.301128 b28 23.946025 b38 0.494600 ; b19 ‐1.112045 b29 ‐0.259869 b39 5.281370 Parameters y10 ‐6.601895 y20 ‐2.656045 y30 5.216199 y11 1.326738 y21 ‐10.234430 y31 ‐3.363740 /*Blok Pengeluaran Pemerintah*/ y12 ‐4.122505 y22 ‐4.003859 y32 0.876292 a00 ‐60.425530 a20 ‐131.057338 a40 821.986502 a01 0.095529 a21 ‐0.244685 a41 ‐1.575864 /*Blok Penggunaan Lahan*/ a02 4.864368 a22 11.037219 a42 ‐41.510619 a03 ‐0.205666 a23 ‐0.277173 a43 0.198627 c10 ‐266.465840 c30 1899.347562 c50 99.396849 a04 ‐0.241888 a24 0.102072 a44 ‐0.595746 c11 0.036514 c31 ‐0.994029 c51 ‐0.039415 a05 ‐0.797103 a25 1.047745 a45 ‐3.189325 c12 0.103661 c32 ‐0.084703 c52 ‐0.082144 a06 0.046034 a26 ‐0.269145 a46 6.355222 c13 ‐0.021431 c33 ‐0.400705 c53 0.114236 a07 0.030910 a27 0.065859 a47 ‐0.407335 c14 0.010614 c34 1.408914 c54 0.443371 c15 ‐0.058198 c35 1.743827 c55 0.025942 c16 ‐0.770785 c36 ‐11.114637 c56 ‐0.726910 a10 ‐364.408307 a30 ‐181.765977 a50 1697.500584 a11 ‐0.564915 a31 ‐0.063966 a51 ‐3.736370 c17 0.003589 c37 0.178709 c57 0.010367 a12 21.683628 a32 5.734057 a52 81.020552 c18 0.103436 c38 2.095297 c58 0.012823 a13 ‐0.165321 a33 0.153853 a53 2.295093 c19 ‐0.028226 c39 ‐0.449405 c59 0.000183 a14 ‐0.004210 a34 0.319958 a54 0.292886 x10 ‐0.008320 x30 ‐0.165521 x50 0.004537 a15 ‐0.030544 a35 ‐1.490904 a55 4.172866 x11 3.165343 x31 ‐0.554723 x51 ‐1.186946 a16 ‐0.597341 a36 0.311416 a56 ‐4.240375 x12 ‐1.824486 x32 ‐9.708050 x52 1.723855 a17 0.183503 a37 0.091597 a57 ‐0.840480 x13 0.013489 x33 ‐0.318320 x53 ‐0.153208 x14 0.006325 x34 ‐3.701904 x54 ‐0.045607 x15 0.136407 x35 ‐0.923090 x55 ‐0.053760 a60 434.464938 a80 ‐25.728802 a70 115.868315 a61 ‐0.962228 a81 ‐0.104819 a71 ‐0.676223 c20 5233.582033 c40 ‐15.139242 c60 ‐948.287352 a62 9.771065 a82 0.098350 a72 ‐4.953424 c21 ‐0.451362 c41 0.002855 c61 0.258525 a63 0.473284 a83 ‐0.058891 a73 ‐1.190178 c22 ‐0.039445 c42 ‐0.008543 c62 ‐0.133496 a64 0.436734 a84 0.228242 a74 ‐0.877417 c23 1.217728 c43 ‐0.000568 c63 0.432233 a65 ‐0.402483 a85 0.145621 a75 0.638858 c24 0.003240 c44 ‐0.008107 c64 4.945145 a66 0.737095 a86 ‐0.034566 a76 0.122143 c25 1.047340 c45 ‐0.011350 c65 ‐0.253707 a67 ‐0.214611 a87 0.013100 a77 ‐0.056120 c26 0.506787 c46 0.062317 c66 ‐1.968692
297
c27 ‐0.049839 c47 ‐0.000678 c67 0.038715 d40 29.337433 d50 64.680089 d60 22.268643 d41 ‐0.006446 d51 0.010601 d61 ‐0.037547 c28 0.122066 c48 0.016339 c68 1.154352 d42 0.033893 d52 ‐0.399935 d62 0.016359 c29 ‐0.296623 c49 0.005224 c69 0.147364 d43 ‐0.011932 d53 ‐0.019379 d63 ‐0.045676 x20 ‐0.090230 x40 0.000438 x60 0.097902 d44 ‐0.000701 d54 ‐0.001474 d64 ‐0.002530 x21 ‐26.954909 x41 ‐0.135694 x61 2.017822 d45 ‐0.001906 d55 0.031432 d65 0.017660 x22 19.582326 x42 ‐0.127108 x62 22.416748 d46 0.000182 d56 0.010112 d66 0.000495 x23 ‐1.520122 x43 0.022808 x63 ‐0.518535 d47 ‐0.048528 d57 ‐0.160130 d67 ‐0.042466 x24 ‐0.821346 x44 ‐0.006544 x64 2.222221 d48 0.046407 d58 0.314231 d68 0.007346 x25 ‐2.649074 x45 0.007651 x65 0.450535 d49 ‐0.001436 d59 0.004111 d69 0.004451 w40 ‐0.314816 w50 0.026766 w60 ‐0.774472 c70 ‐940.203095 c90 ‐48.257938 c80 ‐213.926133 w41 ‐0.421526 w51 ‐0.371813 w61 ‐0.693225 c71 0.039989 c91 0.025435 c81 ‐0.136097 w42 ‐0.047069 w52 ‐0.378525 w62 ‐0.064689 c72 0.423694 c92 0.031059 c82 0.015229 w43 0.065137 w53 ‐0.022714 w63 0.106246 c73 ‐0.423143 c93 0.000489 c83 ‐0.170015 w44 ‐0.014341 w54 ‐0.032129 w64 ‐0.010592 c74 0.648023 c94 0.007693 c84 0.185331 c75 0.128577 c95 3.733254 c85 0.253064 d70 325.644941 e10 304.191111 e20 ‐1139.597112 c76 ‐1.989083 c96 ‐0.063594 c86 ‐2.415694 d71 ‐1.187750 e11 0.351097 e21 ‐0.057495 c77 0.031709 c97 ‐0.029055 c87 0.043703 d72 0.035437 e12 ‐1.472881 e22 ‐0.267960 c78 ‐0.170134 c98 ‐0.007268 c88 0.638363 d73 ‐0.028525 e13 0.210027 e23 ‐0.069377 c79 0.019896 c99 ‐0.016912 c89 ‐0.110493 d74 ‐0.010268 e14 ‐0.006951 e24 0.017960 x70 ‐0.023765 x90 0.006350 x80 ‐0.020027 d75 0.055677 e15 0.090724 e25 ‐0.108159 x71 9.008172 x91 ‐1.799713 x81 4.213314 d76 ‐0.009540 e16 ‐0.029687 e26 0.040055 x72 ‐10.872705 x92 ‐1.578738 x82 ‐3.075839 d77 ‐0.074372 e17 0.031099 e27 0.089035 x73 1.886171 x93 0.117338 x83 ‐0.279972 d78 ‐0.173117 e18 ‐1.035271 e28 0.026027 x74 0.241320 x94 0.098869 x84 ‐0.649039 d79 ‐0.036995 e19 ‐0.054602 e29 0.007207 x75 0.474768 x95 0.025660 x85 0.111035 w70 ‐0.586843 v10 0.297667 v20 ‐0.230215 w71 ‐0.165533 v11 9.361888 v21 2.726791 /*Blok Pilihan Komoditas*/ w72 0.199393 v12 0.671514 v22 ‐0.228119 d10 548.823264 d20 289.138557 d30 ‐46.754053 w73 ‐0.003625 v13 0.074852 v23 ‐0.282501 d11 ‐0.096457 d21 ‐0.239125 d31 ‐0.121084 w74 ‐0.161921 v14 ‐0.151472 v24 0.570405 d12 ‐0.044503 d22 ‐0.349131 d32 0.222278 d13 0.963815 d23 ‐0.082681 d33 ‐0.059531 e30 ‐68.246099 e40 ‐142.512340 e50 ‐192.322688 d14 ‐0.005461 d24 ‐0.006105 d34 0.000416 e31 ‐0.021226 e41 0.171085 e51 ‐0.034074 d15 0.223006 d25 0.095473 d35 ‐0.045705 e32 ‐0.169068 e42 ‐2.816845 e52 ‐1.006576 d16 0.014379 d26 ‐0.011278 d36 ‐0.003402 e33 ‐0.004442 e43 ‐0.143980 e53 ‐0.043494 d17 ‐0.194659 d27 0.042152 d37 ‐0.193307 e34 ‐0.000085918 e44 0.008993 e54 0.006645 d18 0.420817 d28 ‐0.183094 d38 0.134958 e35 ‐0.009913 e45 0.050927 e55 ‐0.102244 d19 ‐0.030655 d29 ‐0.044869 d39 ‐0.030354 e36 0.001731 e46 ‐0.020772 e56 ‐0.001341 w10 1.702057 w20 ‐1.514658 w30 ‐1.630253 e37 ‐0.044752 e47 ‐0.192032 e57 0.143016 w11 0.614840 w21 ‐0.284329 w31 ‐1.407268 e38 0.010328 e48 1.306707 e58 ‐0.022436 w12 ‐0.271877 w22 ‐0.282393 w32 ‐0.583069 e39 0.016418 e49 ‐0.134177 e59 ‐0.029306 w13 0.095543 w23 ‐0.489145 w33 ‐0.129719 v30 0.377634 v40 ‐6.622381 v50 0.553167 w14 ‐0.275832 w24 ‐0.142012 w34 0.025170
298
v31 ‐0.262019 v41 ‐5.335136 v51 4.112430 f49 0.788635 f59 ‐0.041781 v32 ‐0.008589 v42 ‐1.104339 v52 0.264243 u40 3.327206 u50 0.085141 v33 ‐0.013601 v43 ‐0.066892 v53 ‐0.274785 u41 0.986445 u51 0.018301 v34 0.034466 v44 0.077545 v54 0.097532 u42 0.247851 u43 ‐0.125242 e60 91.581745 e70 ‐114.131322 e61 ‐0.000135 e71 0.000779 /*Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja*/ e62 ‐0.001159 e72 ‐0.002067 g10 ‐701.109125 g30 3990.779392 g50 2888.888477 g11 ‐0.825436 g31 ‐0.561574 g51 0.817483 e63 0.175620 e73 ‐0.044239 g12 0.754110 g32 ‐0.071571 g52 ‐0.803925 e64 ‐1.836283 e74 0.003052 g13 0.466496 g33 2.549341 g53 ‐3.025849 e65 0.000990 e75 ‐0.045714 g14 75.572231 g34 ‐1.799915 g54 ‐1.086794 e66 0.025910 e76 0.003869 g15 1.651776 g35 0.163198 g55 ‐2.191624 e67 ‐0.001758 e77 ‐0.073582 g16 ‐0.018020 g36 7.259902 g56 0.223552 e68 0.020231 e78 0.182197 g17 3.538682 g37 ‐1.010055 g57 ‐0.861147 e69 ‐0.007570 e79 2.002525 g18 4.012445 g38 2.227129 g58 ‐0.027335 v60 ‐1.128515 v70 1.135543 g19 ‐2.715968 g39 0.371807 g59 ‐11.712169 v61 ‐0.422761 v71 ‐0.095343 t10 ‐6.590572 t30 ‐1.946084 t50 ‐7.144095 v62 ‐0.074455 v72 0.045411 t11 0.331933 t51 ‐1.105937 v63 0.023119 v73 0.057104 g40 1031.467132 t52 1.457292 v64 ‐0.045650 g20 ‐65.984204 g41 ‐0.166496 t53 ‐1.367261 /*Blok Struktur Output*/ g21 0.006921 g42 0.916714 f10 2.399494 f20 ‐691.645060 f30 27.063229 f11 ‐0.171676 f21 ‐0.310192 f31 0.046384 g22 ‐0.005542 g43 ‐0.255877 g60 ‐619.416437 g23 0.120667 g44 0.034850 g61 0.094209 f12 ‐0.485141 f22 0.093979 f32 0.188278 g24 0.009142 g45 0.075439 g62 0.040911 f13 0.534054 f23 ‐0.447584 f33 0.003765 g25 0.008352 g46 1.146881 g63 ‐0.177457 f14 ‐1.207363 f24 ‐0.309402 f34 0.003998 g26 0.003939 g47 ‐0.001773 g64 0.000718 f15 7.912402 f25 ‐2.425053 f35 ‐0.000144 g27 0.000291 g48 ‐1.077767 g65 0.002485 f16 3.066643 f26 0.800713 f36 0.097089 g28 0.159953 g49 ‐3.842111 g66 ‐0.030230 f17 ‐4.642133 f27 0.052639 f37 ‐0.004396 g29 0.005123 t40 1.252374 g67 0.460939 f18 0.879852 f28 ‐0.504561 f38 ‐1.777084 t20 ‐0.009840 t41 0.199940 g68 0.129730 f19 0.173324 f29 0.996912 f39 ‐0.043302 t21 ‐0.047018 t42 ‐0.526066 g69 ‐0.026992 u10 ‐1.544418 u20 ‐0.969343 u30 0.046178 t22 0.033506 t60 ‐1.096068 t61 ‐2.635075 u11 ‐6.831625 u21 ‐0.302292 u31 ‐0.060128 t62 0.717439 t63 0.401576 t64 0.312600 u12 0.861487 u22 0.360698 u32 ‐0.013152 u13 ‐0.286491 u14 0.015847 /*Blok Degradasi Taman Nasional*/ f40 265.355852 f50 ‐31.088346 h10 ‐2377.947491 h20 3155.019116 h30 ‐57.907645 f41 ‐0.250835 f51 ‐0.046968 h11 ‐0.195092 h21 0.265344 h31 ‐0.058056 f42 2.879570 f52 0.019959 h12 0.261778 h22 ‐0.044083 h32 ‐2.380103 f43 0.415358 f53 0.008498 h13 ‐0.232282 h23 0.108674 h33 ‐0.277642 f44 1.332571 f54 0.000398 h14 ‐0.214745 h24 ‐0.025309 h34 0.021219 f45 ‐0.033167 f55 0.036504 h15 0.035330 h25 ‐0.075715 h35 ‐0.155844 f46 0.101211 f56 ‐0.002065 h16 ‐0.000828 h26 85.826135 h36 ‐0.002638 f47 0.004694 f57 ‐0.322663 h17 ‐8.825250 h27 23.663096 h37 7.133402 f48 ‐1.140256 f58 ‐2.796905
299
h18 ‐9.000967 h28 0.772981 h38 3.576851 PWET = c10 + c11*ECOG + c12*POPG + c13*POPD + c14*SSPG + c15*RAGWA h19 ‐0.746465 h29 ‐6.886028 h39 ‐0.810157 + c16*RPFER + c17*RSKB + c18*PAGE + c19*PTRE + x10*PAGC + s10 6.936463 s20 ‐1.556620 s30 1.169472 x11*DKAW1 + x12*DKAW2 + x13*DESE + x14*KRIS + x15*YEAR; s11 1.201852 s31 0.034826 PDRY = c20 + c21*ECOG + c22*POPG + c23*POPD + c24*SSPG + c25*RAGWA ; + c26*RPFER + c27*RSKB + c28*PAGE + c29*PTRE + x20*PAGC + x21*DKAW1 + x22*DKAW2 + x23*DESE + x24*KRIS + x25*YEAR; /*Blok Pengeluaran Pembangunan*/ PEST = c30 + c31*ECOG + c32*POPG + c33*POPD + c34*SSKB + c35*RAGWA PAGE = a00 + a01*(CEXP/DEXP) + a02*(PAD/BREV) + a03*DKAW1 + + c36*RPFER + c37*RSKB + c38*PAGE + c39*PTRE + x30*PAGC + a04*DKAW2 + a05*DESE + a06*KRIS + a07*YEAR; x31*DKAW1 + x32*DKAW2 + x33*DESE + x34*KRIS + x35*YEAR; PIDE = a10 + a11*(CEXP/DEXP) + a12*(PAD/BREV) + a13*DKAW1 + a14*DKAW2 + a15*DESE + a16*KRIS + a17*YEAR; PDYK = c40 + c41*ECOG + c42*POPG + c43*POPD + c44*SSIK + c45*RAGWA PWRE = a20 + a21*(CEXP/DEXP) + a22*(PAD/BREV) + a23*DKAW1 + + c46*RPFER + c47*RSKB + c48*PAGE + c49*PTRE + x40*PAGC + a24*DKAW2 + a25*DESE + a26*KRIS + a27*YEAR; x41*DKAW1 + x42*DKAW2 + x43*DESE + x44*KRIS + x45*YEAR; PEVE = a30 + a31*(CEXP/DEXP) + a32*(PAD/BREV) + a33*DKAW1 + PGRA = c50 + c51*ECOG + c52*POPG + c53*POPD + c54*SSTN + c55*RAGWA a34*DKAW2 + a35*DESE + a36*KRIS + a37*YEAR; + c56*RPFER + c57*RSKB + c58*PAGE + c59*PTRE + x50*PAGC + x51*DKAW1 + x52*DKAW2 + x53*DESE + x54*KRIS + x55*YEAR; PRDE = a40 + a41*(CEXP/DEXP) + a42*(PAD/BREV) + a43*DKAW1 + a44*DKAW2 + a45*DESE + a46*KRIS + a47*YEAR; PWOD = c60 + c61*ECOG + c62*POPG + c63*POPD + c64*SSHT + c65*RAGWA PTRE = a50 + a51*(CEXP/DEXP) + a52*(PAD/BREV) + a53*DKAW1 + + c66*RPFER + c67*RSKB + c68*PAGE + c69*PTRE + x60*PAGC + a54*DKAW2 + a55*DESE + a56*KRIS + a57*YEAR; x61*DKAW1 + x62*DKAW2 + x63*DESE + x64*KRIS + x65*YEAR; PTEM = c70 + c71*ECOG + c72*POPG + c73*POPD + c74*ECOS + c75*RAGWA PHRE = a60 + a61*(CEXP/DEXP) + a62*(PAD/BREV) + a63*DKAW1 + + c76*RPFER + c77*RSKB + c78*PAGE + c79*PTRE + x70*PAGC + a64*DKAW2 + a65*DESE + a66*KRIS + a67*YEAR; x71*DKAW1 + x72*DKAW2 + x73*DESE + x74*KRIS + x75*YEAR; PSWE = a70 + a71*(CEXP/DEXP) + a72*(PAD/BREV) + a73*DKAW1 + a74*DKAW2 + a75*DESE + a76*KRIS + a77*YEAR; PSWA = c80 + c81*ECOG + c82*POPG + c83*POPD + c84*ECOS + c85*RAGWA PSRE = a80 + a81*(CEXP/DEXP) + a82*(PAD/BREV) + a83*DKAW1 + + c86*RPFER + c87*RSKB + c88*PAGE + c89*PTRE + x80*PAGC + x81*DKAW1 + x82*DKAW2 + x83*DESE + x84*KRIS + x85*YEAR; a84*DKAW2 + a85*DESE + a86*KRIS + a87*YEAR; PHOU = c90 + c91*ECOG + c92*POPG + c93*POPD + c94*JRTG + c95*RPSMN POTE = a90 + a91*(CEXP/DEXP) + a92*(PAD/BREV) + a93*DKAW1 + + c96*RPLOG + c97*UMRR + c98*RSKB + c99*PTRE + x90*PRDE + a94*DKAW2 + a95*DESE + a96*KRIS + a97*YEAR; x91*DKAW1 + x92*DKAW2 + x93*DESE + x94*KRIS + x95*YEAR; PDEX = PAGE + PIDE + PWRE + PEVE + PRDE + PTRE + PHRE + PSWE + PSRE + POTE; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PWOD + PDYK + PGRA; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100‐ PUSE; /*Blok Kredit Perbankan*/ PROC = b10 + b11*RSKB + b12*(ECOG/POPG) + b13*PDBK + b14*ECOS + /*Blok Pilihan Komoditas*/ b15*PIDE + b16*PTRE + b17*PRDE + b18*DKAW1 + b19*DKAW2 + PLAPS = d10 + d11*ROIBR + d12*PVPS + d13*PWET + d14*RSKB + y10*DESE + y11*KRIS + y12*YEAR; d15*RAGWA + d16*PAGC + d17*PAGE + d18*PWRE + d19*PTRE + PUKC = b20 + b21*RSKB + b22*PROC + b23*(ECOG/POPG) + b24*ECOS + b25*PIDE + b26*PTRE + b27*PRDE + b28*DKAW1 + b29*DKAW2 + w10*DKAW1 + w11*DKAW2 + w12*DESE + w13*KRIS + w14*YEAR; PLAPL = d20 + d21*ROIBR + d22*PVPL + d23*PDRY + d24*RSKB + y20*DESE + y21*KRIS + y22*YEAR; d25*RAGWA + d26*PAGC + d27*PAGE + d28*PWRE + d29*PTRE + PAGC = b30 + b31*RSKB + b32*PROC + b33*PUKC + b34*ECOS + b35*PAGE + w20*DKAW1 + w21*DKAW2 + w22*DESE + w23*KRIS + w24*YEAR; b36*PTRE + b37*PRDE + b38*DKAW1 + b39*DKAW2 + y30*DESE + PLAJG = d30 + d31*ROIJG + d32*PVJG + d33*PDRY + d34*RSKB + y31*KRIS + y32*YEAR; d35*RAGWA + d36*PAGC + d37*PAGE + d38*PWRE + d39*PTRE + /*Blok Penggunaan Lahan*/ w30*DKAW1 + w31*DKAW2 + w32*DESE + w33*KRIS + w34*YEAR;
300
PLAKT = d40 + d41*ROIKT + d42*PVKT + d43*PDRY + d44*RSKB + SSTN = f30 + f31*SSNPT + f32*PGRA + f33*POPS + f34*POPK + f35*POPM d45*RAGWA + d46*PAGC + d47*PAGE + d48*PWRE + d49*PTRE + + f36*PAGE + f37*PAGC + f38*DKAW1 + f39*DKAW2 + u30*DESE + w40*DKAW1 + w41*DKAW2 + w42*DESE + w43*KRIS + w44*YEAR; u31*KRIS + u32*YEAR; PLAKD = d50 + d51*ROIKD + d52*PVKD + d53*PDRY + d54*RSKB + SSIK = f40 + f41*SSNPT + f42*PDYK + f43*PLFOW + f44*PLFBD + f45*DEGTN + f46*PAGE + f47*PAGC + f48*PWRE + f49*DKAW1 + d55*RAGWA + d56*PAGC + d57*PAGE + d58*PWRE + d59*PTRE + w50*DKAW1 + w51*DKAW2 + w52*DESE + w53*KRIS + w54*YEAR; u40*DKAW2 + u41*DESE + u42*KRIS + u43*YEAR; PLAUJ = d60 + d61*ROIUJ + d62*PVUJ + d63*PDRY + d64*RSKB + SSHT = f50 + f51*SSNPT + f52*PWOD + f53*PFOR + f54*LHPHS + f55*PAGE d65*RAGWA + d66*PAGC + d67*PAGE + d68*PWRE + d69*PTRE + + f56*PAGC + f57*DKAW1 + f58*DKAW2 + f59*DESE + u50*KRIS + w60*DKAW1 + w61*DKAW2 + w62*DESE + w63*KRIS + w64*YEAR; u51*YEAR; PLAUK = d70 + d71*ROIUK + d72*PVUK + d73*PDRY + d74*RSKB + ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; d75*RAGWA + d76*PAGC + d77*PAGE + d78*PWRE + d79*PTRE + w70*DKAW1 + w71*DKAW2 + w72*DESE + w73*KRIS + w74*YEAR; PLAKR = e10 + e11*ROIKR + e12*PVKR + e13*PEST + e14*RSKB + /*Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja*/ e15*RAGWA + e16*PAGC + e17*PAGE + e18*PWRE + e19*PTRE + ECOG = g10 + g11*ECOS + g12*TPAK + g13*LABS + g14*PPAD + g15*PSRE v10*DKAW1 + v11*DKAW2 + v12*DESE + v13*KRIS + v14*YEAR; + g16*PUKC + g17*DKAW1 + g18*DKAW2 + g19*DESE + t10*KRIS + PLAKS = e20 + e21*ROIKS + e22*PVKS + e23*PEST + e24*RSKB + t11*YEAR; e25*RAGWA + e26*PAGC + e27*PAGE + e28*PWRE + e29*PTRE + PDBK = g20 + g21*(ECOG/POPG) + g22*DEPR + g23*RWIND + g24*PHRE + v20*DKAW1 + v21*DKAW2 + v22*DESE + v23*KRIS + v24*YEAR; g25*PIDE + g26*PROC + g27*PUKC + g28*DKAW1 + g29*DKAW2 + t20*DESE + t21*KRIS + t22*YEAR; PLAKL = e30 + e31*ROIKL + e32*PVKL + e33*PEST + e34*RSKB + DEPR = g30 + g31*PPUK + g32*POPG + g33*RJAK + g34*PSWE + g35*PHRE e35*RAGWA + e36*PAGC + e37*PAGE + e38*PWRE + e39*PTRE + v30*DKAW1 + v31*DKAW2 + v32*DESE + v33*KRIS + v34*YEAR; + g36*DKAW1 + g37*DKAW2 + g38*DESE + g39*KRIS + t30*YEAR; PLAKP = e40 + e41*ROIKP + e42*PVKP + e43*PEST + e44*RSKB + TPAK = g40 + g41*DEPR + g42*SEXR + g43*RJAK + g44*PSWE + g45*PHRE e45*RAGWA + e46*PAGC + e47*PAGE + e48*PWRE + e49*PTRE + + g46*PIDE + g47*PUKC + g48*DKAW1 + g49*DKAW2 + t40*DESE + t41*KRIS + t42*YEAR; v40*DKAW1 + v41*DKAW2 + v42*DESE + v43*KRIS + v44*YEAR; LABS = g50 + g51*ECOS + g52*TPAK + g53*RWIND + g54*PAGE + PLAKM = e50 + e51*ROIKM + e52*PVKM + e53*PEST + e54*RSKB + e55*RAGWA + e56*PAGC + e57*PAGE + e58*PWRE + e59*PTRE + g55*PIDE + g56*PAGC + g57*PROC + g58*PUKC + g59*DKAW1 + v50*DKAW1 + v51*DKAW2 + v52*DESE + v53*KRIS + v54*YEAR; t50*DKAW2 + t51*DESE + t52*KRIS + t53*YEAR; PLFBD = e60 + e61*RPIKB + e62*PVBD + e63*PWET + e64*PDYK + UNEM = g60 + g61*UMRR + g62*(ECOG/POPG) + g63*TPAK + g64*LABS + g65*PPUK + g66*PDEX + g67*PIDE + g68*PROC + g69*PUKC + e65*RSKB + e66*RAGWA + e67*PAGC + e68*PAGE + e69*PWRE + t60*DKAW1 + t61*DKAW2 + t62*DESE + t63*KRIS + t64*YEAR; v60*DKAW1 + v61*DKAW2 + v62*DESE + v63*KRIS + v64*YEAR; PLFOW = e70 + e71*RPIKO + e72*PVOW + e73*PSWA + e74*RSKB + e75*RAGWA + e76*PAGC + e77*PAGE + e78*PWRE + e79*DKAW1 + /*Blok Degradasi Taman Nasional*/ v70*DKAW2 + v71*DESE + v72*KRIS + v73*YEAR; DEGHS = h10 + h11*PFOR + h12*(ECOG/POPG) + h13*UNEM + h14*RPLOG + PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK; h15*RKBMT + h16*LHPHS + h17*DKAW1 + h18*DKAW2 + h19*DESE + PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; s10*KRIS + s11*YEAR; RHSTN = h20 + h21*DEGHS + h22*(ECOG/POPG) + h23*RPLOG + h24*LHPHS /*Blok Struktur Output*/ + h25*PEVE + h26*DKAW1 + h27*DKAW2 + h28*DESE + h29*KRIS + SSPG = f10 + f11*SSNPT + f12*PLAPS + f13*PLAPL + f14*PLAJG + s20*YEAR; f15*PLAKT + f16*PLAKD + f17*PLAUJ + f18*PLAUK + f19*PPKOT + DEGTN = h30 + h31*RHSTN + h32*PDBK + h33*UNEM + h34*RPLOG + u10*DKAW1 + u11*DKAW2 + u12*DESE + u13*KRIS + u14*YEAR; h35*RKBMT + h36*LHPHS + h37*DKAW1 + h38*DKAW2 + SSKB = f20 + f21*SSNPT + f22*PLAKR + f23*PLAKS + f24*PLAKP + h39*DESE + s30*KRIS + s31*YEAR; f25*PLAKL + f26*PLAKM + f27*PKBOT + f28*DKAW1 + f29*DKAW2 + RANGE NO = 1 TO 30; u20*DESE + u21*KRIS + u22*YEAR; RUN;
301
proc print data=SIMPOL;
RUN;
302
Lampiran 10. Hasil Validasi Model Ekonometrika No
Variabel
A
Lambang B
C
Mean
Standar Deviasi
INDIKATOR
Actual
Prediksi
Actual
Prediksi
RMSE
RMSPE
D
E
F
G
H
I
Dekomposisi U-Theil
R-Square J
U-Theil
UM
UR
UD
US
K
L
M
N
O
UC P
1
Alokasi PP Sektor Pertanian
PAGE
1.356
1.356
0.437
0.269
0.339
29.876
0.380
0.121
0.000
0.000
1.000
0.238
0.762
2
Alokasi PP Industri dan Dunia Usaha
PIDE
1.480
1.480
0.533
0.318
0.421
34.253
0.356
0.137
0.000
0.000
1.000
0.252
0.748
3
Alokasi PP Sumberdaya Air/Irigasi
PWRE
0.533
0.533
0.545
0.490
0.234
1115.000
0.809
0.159
0.000
0.000
1.000
0.053
0.947
4
Alokasi PP Transportasi
PTRE
12.356
12.357
5.699
5.381
1.846
23.359
0.892
0.068
0.000
0.000
1.000
0.029
0.971
5
Alokasi PP Pengembengan Wilayah
PRDE
6.659
6.659
3.975
3.177
2.348
58.665
0.639
0.156
0.000
0.000
1.000
0.112
0.888
6
Alokasi PP SDM and Tenaga Kerja
PHRE
4.687
4.687
1.726
1.313
1.101
28.332
0.579
0.112
0.000
0.000
1.000
0.136
0.864
7
Alokasi PP Ristek
PSRE
0.321
0.321
0.194
0.135
0.136
86.039
0.488
0.189
0.000
0.000
1.000
0.177
0.823
8
Alokasi PP Kesejahteraan Sosial
PSWE
1.772
1.772
0.794
0.647
0.452
27.930
0.664
0.119
0.000
0.000
1.000
0.102
0.898
9
Alokasi PP Lingkunga
PEVE
1.296
1.295
0.757
0.540
0.522
40.538
0.508
0.180
0.000
0.000
1.000
0.168
0.832
10
Alokasi PP Lainnya
POTE
4.948
4.948
1.627
1.190
1.091
20.608
0.535
0.106
0.000
0.000
1.000
0.155
0.845
11
Alokasi Pengeluaran Pembangunan
PDEX
35.408
35.408
7.951
7.861
1.170
3.907
0.978
0.016
0.000
0.000
1.000
0.006
0.994
12
Alokasi Kredit Investasi dan Modal
PROC
80.986
80.943
11.293
10.964
3.257
4.150
0.914
0.020
0.000
0.003
0.997
0.010
0.990
13
Alokasi Kredit UKM
PUKC
34.888
34.847
15.749
12.239
9.948
31.144
0.587
0.133
0.000
0.000
1.000
0.120
0.880
14
Alokasi Kredit Pertanian
PAGC
61.932
61.855
16.232
15.283
6.535
13.314
0.832
0.051
0.000
0.005
0.995
0.020
0.979
15
Porsi Lahan Basah
PWET
4.100
4.100
1.758
1.764
0.140
4.704
0.994
0.016
0.000
0.007
0.993
0.002
0.998
16
Porsi Lahan Kering
PDRY
13.724
13.726
2.679
2.487
1.454
11.804
0.695
0.052
0.000
0.026
0.974
0.017
0.983
17
Porsi Lahan Kebun
PEST
18.870
18.872
9.230
9.292
2.971
24.749
0.893
0.071
0.000
0.034
0.966
0.000
1.000
18
Porsi Lahan Kolam dan Tambak
PDYK
0.106
0.106
0.076
0.074
0.021
24.971
0.919
0.082
0.000
0.004
0.996
0.007
0.993
19
Porsi Lahan Rumputan
PGRA
1.018
1.018
0.491
0.465
0.177
28.237
0.866
0.079
0.000
0.002
0.998
0.022
0.978
20
Porsi Lahan Menganggur Sementara
PTEM
5.242
5.245
2.589
2.533
0.574
16.099
0.949
0.049
0.000
0.000
1.000
0.009
0.991
21
Porsi Lahan Kayu-kayuan
PWOD
10.212
10.204
3.531
3.405
1.172
13.879
0.886
0.054
0.000
0.004
0.995
0.011
0.989
303
Lampiran 10. Lanjutan A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
22
Porsi Lahan Rawa-rawa
PSWA
1.210
1.210
0.862
0.916
0.549
89.720
0.580
0.184
0.000
0.159
0.841
0.009
0.991
23
Porsi Lahan Pemukiman
PHOU
3.482
3.481
1.049
1.035
0.151
4.747
0.979
0.021
0.000
0.000
1.000
0.008
0.992
24
Porsi Lahan Pertanian
PCUL
48.029
48.025
6.197
6.242
3.697
7.981
0.632
0.038
0.000
0.098
0.902
0.000
1.000
25
Porsi Lahan Digunakan
PUSE
57.963
57.961
8.201
8.497
4.238
7.475
0.724
0.036
0.000
0.103
0.897
0.005
0.995
26
Porsi Luas Areal Padi Sawah
PLAPS
3.159
3.158
2.077
2.055
0.321
11.135
0.975
0.043
0.000
0.000
1.000
0.005
0.995
27
Porsi Luas Areal Padi Ladang
PLAPL
0.936
0.938
0.756
0.711
0.303
176.026
0.834
0.128
0.000
0.005
0.995
0.021
0.979
28
Porsi Luas Areal Jagung
PLAJG
0.845
0.845
0.718
0.706
0.171
26.207
0.941
0.078
0.000
0.003
0.997
0.005
0.995
29
Porsi Luas Areal Kacang Tanah
PLAKT
0.245
0.245
0.175
0.170
0.045
24.164
0.931
0.076
0.000
0.001
0.999
0.010
0.989
30
Porsi Luas Areal Kedele
PLAKD
0.317
0.317
0.278
0.259
0.092
164.099
0.887
0.112
0.000
0.001
0.999
0.040
0.960
31
Porsi Luas Areal Ubi Jalar
PLAUJ
0.278
0.278
0.318
0.310
0.084
81.031
0.927
0.101
0.000
0.002
0.998
0.008
0.992
32
Porsi Luas Areal Ubi Kayu
PLAUK
0.363
0.365
0.288
0.258
0.151
90.732
0.718
0.167
0.000
0.008
0.992
0.039
0.961
33
Porsi Luas Pangan Lahan Kering Lain
PPKOT
10.740
10.740
3.195
2.987
1.749
20.912
0.690
0.078
0.000
0.031
0.969
0.014
0.986
34
Porsi Luas Areal Karet
PLAKR
6.937
6.940
6.334
6.323
0.862
31.754
0.981
0.046
0.000
0.003
0.997
0.000
1.000
35
Porsi Luas Areal Kelapa Sawit
PLAKS
1.298
1.295
1.042
0.971
0.394
750.877
0.852
0.121
0.000
0.001
0.999
0.031
0.969
36
Porsi Luas Areal Kelapa
PLAKL
0.687
0.688
0.305
0.299
0.063
16.726
0.956
0.042
0.000
0.000
1.000
0.009
0.991
37
Porsi Luas Areal Kopi
PLAKP
3.253
3.253
2.901
2.868
0.590
29.281
0.957
0.068
0.000
0.002
0.998
0.003
0.997
38
Porsi Luas Areal Kulit Manis
PLAKM
1.954
1.954
1.524
1.515
0.163
13.297
0.988
0.033
0.000
0.000
1.000
0.003
0.997
39
Porsi Luas Areal Perkebunan Lainnya
PKBOT
4.740
4.741
4.070
3.965
2.983
488.761
0.444
0.242
0.000
0.121
0.879
0.001
0.999
40
Porsi Luas Areal Budidaya Ikan
PLFBD
0.211
0.211
0.204
0.198
0.065
59.653
0.895
0.112
0.000
0.007
0.993
0.006
0.994
41
Porsi Luas Areal Perairan Terbuka
PLFOW
1.175
1.174
0.834
0.832
0.072
28.546
0.992
0.025
0.000
0.000
1.000
0.001
0.999
42
Porsi Luas Areal Komoditi Lainnya
POTKM
11.336
11.328
3.909
3.799
1.169
12.679
0.908
0.049
0.000
0.004
0.996
0.009
0.991
43
Share Sub-sektor Pangan
SSPG
23.052
23.052
2.820
2.755
0.702
2.961
0.936
0.015
0.000
0.001
0.999
0.008
0.992
44
Share Sub-sektor Perkebunan
SSKB
9.957
9.957
4.063
4.038
0.500
5.642
0.984
0.023
0.000
0.000
1.000
0.003
0.997
304
Lampiran 10. Lanjutan A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
45
Share Sub-sektor Peternakan
SSTN
3.349
3.349
0.390
0.376
0.113
3.467
0.913
0.017
0.000
0.001
0.999
0.014
0.986
46
Share Sub-sektor Perikanan
SSIK
2.922
2.922
1.982
1.917
0.528
36.394
0.927
0.076
0.000
0.000
1.000
0.015
0.985
47
Share Sub-sektor Kehutanan
SSHT
2.284
2.284
1.191
1.186
0.117
6.271
0.990
0.023
0.000
0.000
1.000
0.001
0.999
48
Pangsa Sektor Pertanian
ECOS
41.564
41.564
4.866
4.909
0.623
1.464
0.983
0.007
0.000
0.018
0.982
0.005
0.995
49
Pertumbuhan Output
ECOG
3.505
3.517
3.228
2.910
2.189
112.978
0.524
0.236
0.000
0.054
0.946
0.020
0.979
50
Output Perkapita
PDBK
1.197
1.198
0.068
0.062
0.029
2.430
0.815
0.012
0.001
0.001
0.998
0.040
0.959
51
Angka Beban Ketergantungan
DEPR
67.395
67.394
6.955
6.603
2.135
3.230
0.903
0.016
0.000
0.000
1.000
0.026
0.974
52
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
TPAK
59.523
59.522
4.087
3.981
1.104
1.910
0.925
0.009
0.000
0.002
0.998
0.009
0.991
53
Tingkat Pengangguran Terbuka
UNEM
4.125
4.124
1.158
1.005
0.603
17.408
0.719
0.071
0.000
0.001
0.999
0.062
0.938
54
Pangsa TK Sektor Pertanian
LABS
71.062
71.085
4.874
4.227
2.541
3.734
0.719
0.018
0.000
0.001
0.999
0.063
0.937
55
Porsi Hutan Kawasan
PFOR
42.037
42.039
8.201
8.497
4.238
10.606
0.724
0.050
0.000
0.103
0.897
0.005
0.995
56
Degradasi Hutan Buffer Zone
DEGHS
11.259
11.278
6.995
6.939
0.758
453.178
0.988
0.029
0.001
0.000
0.999
0.005
0.994
57
Degradasi Taman Nasional
DEGTN
6.485
6.481
1.472
1.403
0.442
6.226
0.907
0.033
0.000
0.000
1.000
0.024
0.976
58
Rasio Tutupan Hutan Sekitar - TNKS
RHSTN
76.968
76.970
37.163
37.153
1.145
1.710
0.999
0.007
0.000
0.000
1.000
0.000
1.000
Keterangan: PP = Pengeluaran Pembangunan
305
Lampiran 11. Hasil Simulasi Dampak Krisis dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perkembangan Kawasan dan Taman Nasional No
Variabel
A
B
Sebelum Krisis
Krisis
Desentralisasi
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
Bengkulu
Jambi
Sumbar
C
D
E
F
G
H
I
J
K
1
PAGE
1.591
1.264
1.349
1.709
1.502
1.491
1.222
0.917
0.948
2
PIDE
1.881
1.560
1.438
1.514
1.351
1.429
1.391
1.625
1.179
3
PWRE
0.493
0.431
0.079
0.255
0.290
0.013
1.230
1.431
0.918
4
PTRE
19.252
18.464
20.329
10.122
9.308
12.940
5.928
7.964
8.471
5
PRDE
5.305
5.487
5.736
10.354
9.222
10.761
2.765
3.109
3.742
6
PHRE
5.431
5.770
5.700
5.053
5.195
5.659
2.402
3.317
3.038
7
PSRE
0.266
0.499
0.194
0.249
0.445
0.205
0.269
0.552
0.236
8
PSWE
2.753
2.000
1.536
2.570
1.474
1.471
1.853
1.344
0.882
9
PEVE
1.141
1.372
1.231
1.686
1.991
1.849
0.462
0.800
0.581
10
POTE
4.153
5.483
3.396
5.194
4.886
3.679
6.145
6.498
5.461
11
PDEX
42.265
42.328
40.988
38.706
35.663
39.497
23.666
27.555
25.456
12
PROC
93.504
91.019
83.542
87.375
88.503
79.733
69.867
66.970
63.713
13
PUKC
20.135
20.114
38.995
29.386
30.295
50.815
33.613
34.700
53.581
14
PAGC
78.608
79.894
65.120
66.445
74.066
56.816
46.321
46.266
39.234
15
PWET
3.584
2.046
6.303
3.735
2.202
6.381
3.833
2.387
6.429
16
PDRY
12.100
12.010
11.729
15.628
13.598
12.710
18.946
13.254
13.301
17
PEST
19.716
22.971
6.442
19.818
30.452
8.536
17.612
33.136
10.431
18
PDYK
0.227
0.078
0.095
0.192
0.029
0.069
0.189
0.026
0.055
19
PGRA
0.737
0.672
1.708
0.787
0.874
1.704
0.841
0.428
1.308
20
PTEM
8.665
4.456
2.132
7.159
4.733
1.525
8.083
7.239
3.985
21
PWOD
6.701
9.250
14.697
7.662
10.248
15.608
7.014
6.904
12.784
306
Lampiran 11. Lanjutan A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
22
PSWA
1.467
0.953
0.088
1.464
2.410
0.494
0.848
2.347
0.574
23
PHOU
4.549
2.887
2.560
4.843
2.814
2.718
5.260
2.709
3.014
24
PCUL
43.065
47.028
40.973
47.822
57.402
45.008
48.435
56.134
44.308
25
PUSE
57.746
55.323
45.753
61.288
67.359
49.744
62.625
68.429
51.880
26
PLAPS
2.254
1.476
6.165
1.926
1.240
5.730
2.054
1.652
6.112
27
PLAPL
2.027
1.639
0.447
1.497
1.194
0.010
0.845
0.969
0.006
28
PLAJG
1.889
0.419
0.360
1.964
0.565
0.376
1.368
0.247
0.291
29
PLAKT
0.518
0.113
0.180
0.482
0.097
0.189
0.396
0.058
0.159
30
PLAKD
0.813
0.422
0.547
0.473
0.159
0.258
0.175
0.029
0.053
31
PLAUJ
0.800
0.076
0.070
0.729
0.080
0.077
0.509
0.106
0.036
32
PLAUK
0.688
0.574
0.171
0.662
0.303
0.060
0.502
0.177
0.167
33
PPKOT
5.367
8.769
9.954
9.822
11.199
11.850
15.151
11.726
12.601
34
PLAKR
3.175
13.855
0.982
3.816
15.654
1.473
3.524
17.082
2.861
35
PLAKS
0.243
2.370
0.077
1.039
2.530
0.858
1.813
2.054
0.487
36
PLAKL
0.544
0.479
1.129
0.606
0.357
1.067
0.594
0.380
1.048
37
PLAKP
6.138
1.292
0.815
6.783
0.902
1.213
8.348
1.450
2.627
38
PLAKM
0.417
3.991
1.113
0.528
3.974
1.309
0.664
4.016
1.595
39
PKBOT
9.201
0.983
2.326
7.047
7.036
2.616
2.669
8.155
1.813
40
PLFBD
0.494
0.017
0.091
0.488
0.091
0.100
0.449
0.106
0.050
41
PLFOW
0.074
1.311
2.026
0.129
1.320
2.117
0.148
1.270
2.160
42
POTKM
7.665
10.000
16.500
8.641
11.150
17.381
8.044
7.358
14.147
43
SSPG
26.760
21.344
22.823
25.933
20.037
21.807
27.225
19.832
22.170
44
SSKB
8.805
13.975
5.458
8.838
15.734
6.191
7.930
15.955
6.433
45
SSTN
3.652
3.636
2.912
3.574
3.600
2.828
3.644
3.539
2.770
307
Lampiran 11. Lanjutan A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
46
SSIK
2.996
5.749
1.445
2.679
5.618
1.131
1.724
4.430
47
SSHT
3.308
0.639
2.753
3.401
0.718
2.890
3.360
0.625
0.305 2.810
48
ECOS
45.521
45.343
35.390
44.424
45.707
34.847
43.882
44.382
34.488
49
ECOG
5.832
7.753
8.149
0.912
0.480
1.299
3.472
3.471
2.901
50
PDBK
1.150
1.118
1.213
1.171
1.174
1.260
1.173
1.212
1.307
51
DEPR
71.085
68.313
77.875
65.231
60.431
73.356
63.751
56.363
71.202
52
TPAK
64.336
60.334
55.408
64.012
59.063
54.463
64.659
59.001
54.768
53
UNEM
4.652
2.348
3.374
5.109
3.515
4.136
5.415
3.547
4.888
54
LABS
71.743
72.638
66.748
71.663
71.661
64.449
76.796
77.211
68.681
55
PFOR
42.254
44.677
54.247
38.713
32.641
50.256
37.375
31.571
48.120
56
DEGHS
10.167
1.288
0.292
20.122
11.475
9.468
22.408
12.400
11.474
57
DEGTN
3.661
6.530
6.091
5.433
7.765
7.670
5.209
7.881
7.619
58
RHSTN
48.729
65.904
134.401
41.976
57.737
125.158
40.408
56.994
123.435
308
Lampiran 12. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Bengkulu Nilai Simulasi No
Notasi
Prioritas 5%
Nilai Dasar
C
Relokasi Pengeluaran Rutin
P1
P2
P3
5%
10%
15%
D
E
F
G
H
I
Relokasi 15% Pengeluaran rutin dengan prioritas Prioritas 5% P1 J
P2 K
Prioritas 10% P3 L
P1 M
P2 N
P3 0
Relokasi 20% dengan P3 15%
A
B
1
PAGE
1.528
1.556
1.556
1.556
1.498
1.474
1.455
1.467
1.467
1.467
1.481
1.481
1.481
P 1.472
2
PIDE
1.587
1.423
1.423
1.423
1.763
1.902
2.016
1.949
1.949
1.949
1.866
1.866
1.866
1.918
3
PWRE
0.619
0.548
0.548
0.548
0.695
0.755
0.805
0.776
0.776
0.776
0.740
0.740
0.740
0.762
4
PTRE
11.603
14.839
10.514
10.514
12.763
13.685
14.439
14.839
13.995
13.995
18.076
13.447
13.447
13.789
5
PRDE
6.563
6.104
9.799
6.104
7.052
7.441
7.759
7.572
9.799
7.572
7.341
13.036
7.341
7.485
6
PHRE
4.371
4.091
4.091
7.608
4.670
4.907
5.101
4.987
4.987
7.608
4.846
4.846
10.845
14.082
7
PSRE
0.260
0.230
0.230
0.230
0.293
0.319
0.340
0.327
0.327
0.327
0.312
0.312
0.312
0.321
8
PSWE
2.410
2.213
2.213
2.213
2.620
2.786
2.923
2.843
2.843
2.843
2.743
2.743
2.743
2.805
9
PEVE
1.155
1.136
1.136
1.136
1.175
1.191
1.204
1.196
1.196
1.196
1.187
1.187
1.187
1.192
10
POTE
5.167
5.046
5.046
5.046
5.296
5.398
5.482
5.433
5.433
5.433
5.372
5.372
5.372
5.410
11
PDEX
35.262
37.183
36.554
36.376
37.824
39.858
41.523
41.386
42.770
43.163
43.962
45.029
45.332
49.236
12
PROC
83.961
81.455
84.713
85.815
82.414
81.183
80.175
79.977
80.351
81.071
77.240
80.431
82.191
82.096
13
PUKC
27.879
23.214
34.263
25.399
29.774
31.278
32.508
31.212
36.705
31.261
27.791
43.473
29.695
29.626
14
PAGC
64.057
59.564
64.303
67.551
61.137
58.816
56.914
56.587
56.538
58.601
51.630
55.590
60.709
60.528
15
PWET
3.719
3.696
3.727
3.713
3.720
3.720
3.721
3.717
3.726
3.717
3.697
3.734
3.711
3.706
16
PDRY
15.565
14.618
16.170
15.716
15.320
15.125
14.966
14.831
15.285
15.001
13.917
15.752
15.041
14.898
17
PEST
19.126
17.392
20.659
19.469
18.542
18.078
17.699
17.481
18.516
17.770
15.760
19.714
17.848
17.492
18
PDYK
0.202
0.219
0.194
0.196
0.208
0.213
0.216
0.219
0.213
0.214
0.236
0.208
0.212
0.214
19
PGRA
0.788
0.740
0.819
0.813
0.763
0.743
0.727
0.722
0.741
0.737
0.671
0.760
0.750
0.744
20
PTEM
7.888
7.817
8.107
7.875
7.853
7.825
7.803
7.797
7.928
7.782
7.723
8.120
7.754
7.703
21
PWOD
7.180
7.693
6.768
7.260
7.193
7.203
7.211
7.306
6.966
7.275
7.759
6.587
7.359
7.445
22
PSWA
1.280
0.833
1.583
1.422
1.101
0.959
0.842
0.791
0.993
0.891
0.338
1.204
0.950
0.874
309
Lampiran 12. Lanjutan D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
23
A
PHOU
B
C 4.880
4.844
4.902
4.887
4.872
4.866
4.862
4.856
4.873
4.865
4.823
4.891
4.869
P 4.867
24
PCUL
46.579
44.358
48.337
47.167
45.744
45.082
44.540
44.275
45.447
44.714
42.041
46.755
44.919
44.499
25
PUSE
60.626
57.852
62.930
61.350
59.570
58.732
58.047
57.720
59.241
58.251
54.925
60.969
58.492
57.942
26
PLAPS
2.063
1.841
2.073
2.105
2.024
1.993
1.968
1.932
1.966
1.987
1.724
1.960
2.010
2.004
27
PLAPL
1.460
1.458
1.471
1.471
1.446
1.435
1.426
1.429
1.430
1.430
1.422
1.433
1.435
1.429
28
PLAJG
1.762
1.721
1.744
1.760
1.768
1.772
1.775
1.766
1.765
1.775
1.732
1.750
1.774
1.778
29
PLAKT
0.467
0.468
0.457
0.463
0.473
0.477
0.481
0.480
0.476
0.480
0.483
0.469
0.478
0.481
30
PLAKD
0.485
0.445
0.445
0.486
0.494
0.501
0.506
0.496
0.484
0.510
0.464
0.449
0.515
0.526
31
PLAUJ
0.684
0.738
0.650
0.672
0.701
0.714
0.725
0.732
0.708
0.722
0.785
0.683
0.718
0.726
32
PLAUK
0.622
0.582
0.652
0.634
0.602
0.587
0.575
0.571
0.590
0.579
0.530
0.611
0.583
0.573
33
PPKOT
10.084
9.206
10.752
10.230
9.836
9.638
9.477
9.357
9.834
9.506
8.502
10.358
9.539
9.387
34
PLAKR
3.536
3.203
3.985
3.638
3.357
3.215
3.099
3.071
3.336
3.118
2.718
3.684
3.140
3.028
35
PLAKS
1.032
0.997
0.929
1.141
0.964
0.909
0.864
0.869
0.789
0.924
0.814
0.665
0.999
1.019
36
PLAKL
0.584
0.635
0.558
0.568
0.603
0.617
0.630
0.636
0.617
0.624
0.687
0.600
0.617
0.625
37
PLAKP
7.059
6.869
6.881
6.985
7.153
7.228
7.289
7.233
7.199
7.263
7.100
7.070
7.232
7.272
38
PLAKM
0.535
0.527
0.506
0.553
0.525
0.516
0.509
0.510
0.489
0.519
0.499
0.457
0.532
0.536
39
PKBOT
6.380
5.161
7.802
6.583
5.941
5.593
5.309
5.162
6.085
5.321
3.943
7.239
5.328
5.012
40
PLFBD
0.478
0.451
0.494
0.482
0.471
0.466
0.461
0.457
0.470
0.462
0.431
0.482
0.462
0.457
41
PLFOW
0.118
0.105
0.091
0.110
0.131
0.141
0.149
0.144
0.135
0.147
0.137
0.114
0.145
0.153
42
POTKM
8.169
8.652
7.781
8.269
8.163
8.158
8.154
8.247
7.920
8.227
8.667
7.554
8.321
8.403
43
SSPG
26.569
26.174
26.688
26.618
26.508
26.459
26.420
26.354
26.480
26.437
25.987
26.567
26.459
26.434
44
SSKB
8.556
8.405
8.814
8.602
8.464
8.391
8.331
8.321
8.470
8.336
8.157
8.674
8.340
8.277
45
SSTN
3.618
3.632
3.626
3.610
3.623
3.628
3.631
3.633
3.636
3.627
3.646
3.646
3.621
3.620
46
SSIK
2.487
2.555
2.559
2.578
2.395
2.321
2.261
2.293
2.287
2.300
2.320
2.317
2.347
2.324
47
SSHT
3.361
3.405
3.333
3.350
3.375
3.386
3.395
3.401
3.381
3.392
3.445
3.362
3.388
3.394
310
Lampiran 12. Lanjutan A 48
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
P
ECOS
44.591
44.170
45.020
44.758
44.364
44.185
44.038
44.002
44.255
44.091
43.555
44.565
44.155
44.048
49
ECOG
3.156
4.030
2.490
2.845
3.512
3.795
4.027
4.130
3.690
3.907
5.020
3.209
3.761
3.886
50
PDBK
1.165
1.151
1.162
1.194
1.167
1.168
1.169
1.166
1.168
1.191
1.155
1.166
1.220
1.248
51
DEPR
66.543
66.852
66.852
67.426
66.214
65.952
65.738
65.865
65.865
66.292
66.020
66.020
66.999
67.416
52
TPAK
64.304
64.044
64.024
64.209
64.586
64.810
64.994
64.887
64.877
65.013
64.758
64.730
65.044
65.281
53
UNEM
5.064
4.796
4.911
5.272
4.772
4.540
4.350
4.355
4.205
4.414
4.018
3.943
4.489
4.345
54
LABS
73.227
74.705
73.367
73.022
73.090
72.983
72.895
73.220
72.953
72.698
74.468
73.024
72.442
72.103
55
PFOR
39.374
42.148
37.070
38.650
40.430
41.268
41.954
42.280
40.759
41.749
45.075
39.031
41.508
42.058
56
DEGHS
17.822
17.460
18.224
17.877
17.727
17.653
17.593
17.549
17.816
17.603
17.200
18.152
17.615
17.558
57
DEGTN
4.834
4.948
4.877
4.706
4.913
4.976
5.028
5.034
5.068
4.957
5.161
5.140
4.868
4.843
58
RHSTN
43.532
43.417
43.654
43.554
43.498
43.471
43.449
43.434
43.516
43.455
43.323
43.616
43.462
43.443
311
Lampiran 13. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Jambi Nilai Simulasi No
Notasi
Prioritas 5%
Nilai Dasar
C
Relokasi Pengeluaran Rutin
P1
P2
P3
5%
10%
15%
D
E
F
G
H
I
Relokasi 15% Pengeluaran rutin dengan prioritas Prioritas 5% P1 J
P2 K
Prioritas 10% P3 L
P1 M
P2 N
P3 0
Relokasi 20% dengan P3 15%
A
B
1
PAGE
1.255
1.280
1.280
1.280
1.227
1.205
1.186
1.197
1.197
1.197
1.210
1.210
1.210
P 1.201
2
PIDE
1.496
1.346
1.346
1.346
1.661
1.794
1.905
1.841
1.841
1.841
1.763
1.763
1.763
1.813
3
PWRE
0.674
0.610
0.610
0.610
0.746
0.804
0.851
0.824
0.824
0.824
0.790
0.790
0.790
0.812
4
PTRE
11.652
14.890
10.661
10.661
12.746
13.626
14.355
14.890
13.932
13.932
18.130
13.417
13.417
13.753
5
PRDE
6.268
5.850
9.507
5.850
6.729
7.101
7.408
7.229
9.507
7.229
7.012
12.746
7.012
7.154
6
PHRE
4.804
4.549
4.549
8.043
5.086
5.313
5.500
5.391
5.391
8.043
5.259
5.259
11.283
14.522
7
PSRE
0.493
0.465
0.465
0.465
0.524
0.549
0.569
0.557
0.557
0.557
0.543
0.543
0.543
0.552
8
PSWE
1.593
1.413
1.413
1.413
1.791
1.950
2.082
2.005
2.005
2.005
1.912
1.912
1.912
1.973
9
PEVE
1.448
1.431
1.431
1.431
1.466
1.481
1.494
1.487
1.487
1.487
1.478
1.478
1.478
1.484
10
POTE
5.549
5.439
5.439
5.439
5.670
5.768
5.849
5.802
5.802
5.802
5.745
5.745
5.745
5.782
11
PDEX
35.230
37.272
36.700
36.538
37.646
39.590
41.197
41.222
42.541
42.916
43.840
44.862
45.152
49.046
12
PROC
82.798
80.045
83.598
84.608
81.248
80.004
78.976
78.631
79.192
79.878
75.707
79.336
80.993
80.881
13
PUKC
28.562
24.042
35.089
26.283
30.314
31.724
32.890
31.548
37.263
31.685
28.133
44.100
30.188
30.097
14
PAGC
67.474
62.522
67.815
70.881
64.555
62.210
60.274
59.678
59.956
61.973
54.377
59.126
64.069
63.856
15
PWET
2.210
2.192
2.215
2.202
2.213
2.215
2.217
2.213
2.221
2.212
2.197
2.227
2.205
2.201
16
PDRY
13.019
12.092
13.586
13.143
12.794
12.613
12.463
12.294
12.777
12.491
11.394
13.229
12.521
12.381
17
PEST
29.013
27.318
30.455
29.292
28.479
28.049
27.693
27.405
28.497
27.744
25.716
29.657
27.799
27.451
18
PDYK
0.043
0.060
0.036
0.038
0.048
0.053
0.057
0.060
0.053
0.055
0.077
0.049
0.052
0.055
19
PGRA
0.680
0.628
0.711
0.703
0.655
0.635
0.618
0.611
0.633
0.629
0.558
0.652
0.641
0.635
20
PTEM
5.402
5.346
5.603
5.379
5.376
5.355
5.338
5.330
5.459
5.313
5.269
5.640
5.281
5.232
21
PWOD
8.945
9.421
8.562
9.038
8.946
8.946
8.947
9.055
8.708
9.017
9.482
8.344
9.105
9.189
22
PSWA
1.954
1.509
2.238
2.079
1.787
1.652
1.540
1.470
1.688
1.585
1.019
1.892
1.638
1.563
312
Lampiran 13. Lanjutan D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
23
A
PHOU
B
C 2.804
2.770
2.825
2.811
2.798
2.793
2.788
2.782
2.800
2.791
2.749
2.817
2.795
P 2.793
24
PCUL
53.909
51.711
55.564
54.416
53.134
52.511
51.995
51.637
52.889
52.147
49.423
54.156
52.324
51.912
25
PUSE
64.069
61.337
66.229
64.684
63.095
62.310
61.661
61.219
62.835
61.836
58.460
64.505
62.039
61.500
26
PLAPS
1.435
1.214
1.442
1.474
1.397
1.368
1.343
1.300
1.341
1.361
1.092
1.334
1.384
1.378
27
PLAPL
1.260
1.260
1.267
1.269
1.248
1.238
1.230
1.233
1.233
1.234
1.228
1.234
1.237
1.232
28
PLAJG
0.426
0.386
0.407
0.423
0.431
0.435
0.439
0.429
0.428
0.438
0.395
0.412
0.438
0.441
29
PLAKT
0.090
0.092
0.081
0.087
0.096
0.100
0.103
0.103
0.098
0.102
0.106
0.091
0.101
0.103
30
PLAKD
0.182
0.138
0.146
0.185
0.188
0.193
0.197
0.186
0.176
0.202
0.151
0.144
0.208
0.218
31
PLAUJ
0.087
0.139
0.055
0.077
0.102
0.114
0.125
0.134
0.108
0.122
0.186
0.084
0.118
0.127
32
PLAUK
0.346
0.310
0.373
0.356
0.330
0.316
0.305
0.300
0.319
0.308
0.261
0.338
0.311
0.302
33
PPKOT
10.628
9.767
11.258
10.747
10.400
10.216
10.064
9.910
10.416
10.086
9.067
10.925
10.109
9.959
34
PLAKR
15.543
15.225
15.957
15.622
15.382
15.253
15.146
15.103
15.376
15.159
14.764
15.708
15.171
15.063
35
PLAKS
2.339
2.282
2.246
2.450
2.267
2.208
2.160
2.161
2.089
2.222
2.089
1.972
2.299
2.317
36
PLAKL
0.400
0.451
0.377
0.387
0.418
0.432
0.443
0.451
0.431
0.438
0.502
0.415
0.432
0.439
37
PLAKP
1.184
1.006
1.012
1.116
1.273
1.346
1.405
1.349
1.314
1.381
1.221
1.187
1.352
1.392
38
PLAKM
3.992
3.982
3.963
4.009
3.981
3.973
3.966
3.965
3.946
3.976
3.954
3.914
3.988
3.992
39
PKBOT
5.556
4.371
6.900
5.708
5.158
4.838
4.572
4.376
5.340
4.569
3.186
6.460
4.557
4.248
40
PLFBD
0.073
0.048
0.087
0.075
0.067
0.062
0.058
0.054
0.066
0.058
0.029
0.077
0.058
0.054
41
PLFOW
1.303
1.289
1.278
1.296
1.314
1.323
1.330
1.325
1.317
1.329
1.318
1.297
1.328
1.335
42
POTKM
9.667
10.110
9.308
9.779
9.649
9.634
9.622
9.725
9.394
9.700
10.117
9.045
9.799
9.878
43
SSPG
20.367
19.974
20.484
20.413
20.308
20.261
20.221
20.143
20.283
20.238
19.774
20.370
20.259
20.234
44
SSKB
15.273
15.131
15.512
15.306
15.191
15.125
15.071
15.054
15.206
15.072
14.899
15.401
15.072
15.010
45
SSTN
3.593
3.607
3.599
3.584
3.598
3.602
3.606
3.608
3.611
3.601
3.623
3.620
3.596
3.595
46
SSIK
5.301
5.361
5.366
5.385
5.214
5.143
5.085
5.114
5.110
5.122
5.139
5.137
5.167
5.144
47
SSHT
0.667
0.711
0.641
0.657
0.680
0.691
0.700
0.707
0.686
0.696
0.750
0.667
0.693
0.699
313
Lampiran 13. Lanjutan A 48
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
P
ECOS
45.200
44.783
45.601
45.345
44.991
44.822
44.682
44.626
44.895
44.730
44.184
45.194
44.786
44.681
49
ECOG
3.559
4.478
2.892
3.260
3.913
4.198
4.433
4.577
4.082
4.313
5.503
3.590
4.169
4.298
50
PDBK
1.169
1.156
1.165
1.197
1.171
1.172
1.174
1.171
1.172
1.196
1.160
1.169
1.224
1.252
51
DEPR
61.575
61.856
61.856
62.426
61.264
61.015
60.808
60.928
60.928
61.361
61.074
61.074
62.057
62.477
52
TPAK
59.425
59.189
59.170
59.354
59.692
59.906
60.084
59.982
59.972
60.110
59.861
59.833
60.148
60.383
53
UNEM
3.174
2.881
3.012
3.364
2.893
2.667
2.481
2.465
2.329
2.540
2.113
2.067
2.610
2.466
54
LABS
73.619
75.156
73.662
73.361
73.535
73.467
73.409
73.774
73.425
73.191
75.092
73.441
72.912
72.587
55
PFOR
35.931
38.663
33.771
35.316
36.905
37.690
38.339
38.781
37.165
38.164
41.540
35.496
37.961
38.500
56
DEGHS
8.696
8.420
9.017
8.708
8.645
8.603
8.567
8.515
8.760
8.562
8.237
9.049
8.555
8.509
57
DEGTN
7.429
7.546
7.477
7.308
7.504
7.564
7.614
7.627
7.657
7.544
7.755
7.731
7.457
7.432
58
RHSTN
59.964
59.860
60.074
59.979
59.936
59.914
59.896
59.877
59.960
59.899
59.774
60.053
59.903
59.886
314
Lampiran 14. Hasil Simulasi Dampak Masing-masing Skenario Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah pada Kawasan Sumbar Nilai Simulasi No
Notasi
Prioritas 5%
Nilai Dasar
C
Relokasi Pengeluaran Rutin
P1
P2
P3
5%
10%
15%
D
E
F
G
H
I
Relokasi 15% Pengeluaran rutin dengan prioritas Prioritas 5% P1 J
P2 K
Prioritas 10% P3 L
P1 M
P2 N
P3 0
Relokasi 20% dengan P3 15%
A
B
1
PAGE
1.286
1.310
1.310
1.310
1.259
1.237
1.219
1.229
1.229
1.229
1.242
1.242
1.242
P 1.233
2
PIDE
1.357
1.214
1.214
1.214
1.516
1.645
1.752
1.690
1.690
1.690
1.616
1.616
1.616
1.665
3
PWRE
0.305
0.243
0.243
0.243
0.374
0.429
0.476
0.449
0.449
0.449
0.417
0.417
0.417
0.438
4
PTRE
13.816
17.029
12.871
12.871
14.871
15.722
16.428
17.029
16.021
16.021
20.242
15.527
15.527
15.855
5
PRDE
7.148
6.750
10.361
6.750
7.593
7.952
8.250
8.078
10.361
8.078
7.870
13.575
7.870
8.008
6
PHRE
4.885
4.642
4.642
8.098
5.157
5.376
5.558
5.453
5.453
8.098
5.326
5.326
11.312
14.525
7
PSRE
0.211
0.185
0.185
0.185
0.241
0.265
0.284
0.273
0.273
0.273
0.259
0.259
0.259
0.268
8
PSWE
1.314
1.143
1.143
1.143
1.505
1.659
1.787
1.713
1.713
1.713
1.623
1.623
1.623
1.683
9
PEVE
1.283
1.267
1.267
1.267
1.301
1.316
1.328
1.321
1.321
1.321
1.313
1.313
1.313
1.318
10
POTE
4.128
4.023
4.023
4.023
4.245
4.340
4.418
4.373
4.373
4.373
4.318
4.318
4.318
4.355
11
PDEX
35.732
37.804
37.258
37.103
38.060
39.940
41.499
41.608
42.883
43.246
44.224
45.214
45.495
49.348
12
PROC
76.070
73.174
76.926
77.827
74.528
73.279
72.241
71.799
72.527
73.134
68.640
72.753
74.231
74.098
13
PUKC
48.099
43.644
54.643
45.907
49.767
51.113
52.228
50.866
56.675
51.054
47.417
63.510
49.603
49.493
14
PAGC
54.033
48.814
54.488
57.339
51.130
48.780
46.826
46.051
46.633
48.505
40.316
45.964
50.569
50.317
15
PWET
6.372
6.357
6.374
6.363
6.376
6.379
6.381
6.377
6.383
6.376
6.367
6.386
6.369
6.366
16
PDRY
12.593
11.687
13.138
12.708
12.380
12.209
12.066
11.883
12.371
12.090
11.010
12.807
12.115
11.980
17
PEST
8.476
6.823
9.863
8.731
7.970
7.563
7.225
6.910
8.006
7.267
5.280
9.127
7.311
6.973
18
PDYK
0.073
0.090
0.066
0.068
0.078
0.083
0.086
0.089
0.083
0.084
0.107
0.079
0.082
0.084
19
PGRA
1.586
1.533
1.618
1.609
1.561
1.541
1.525
1.516
1.541
1.535
1.460
1.561
1.548
1.541
20
PTEM
2.445
2.401
2.634
2.420
2.424
2.407
2.394
2.387
2.508
2.368
2.346
2.678
2.335
2.288
21
PWOD
14.488
14.936
14.124
14.581
14.482
14.476
14.472
14.581
14.244
14.543
14.971
13.897
14.633
14.712
22
PSWA
1.286
1.310
1.310
1.310
1.259
1.237
1.219
1.229
1.229
1.229
1.242
1.242
1.242
1.233
315
Lampiran 14. Lanjutan D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
P
23
A
PHOU
B
C 0.396
0.004
0.669
0.514
0.236
0.106
0.001
0.008
0.142
0.041
0.005
0.340
0.091
0.018
24
PCUL
2.759
2.726
2.779
2.765
2.753
2.748
2.744
2.737
2.755
2.747
2.706
2.771
2.751
2.749
25
PUSE
43.587
41.426
45.182
44.061
42.847
42.250
41.755
41.356
42.627
41.895
39.193
43.857
42.057
41.655
26
PLAPS
49.188
46.510
51.264
49.761
48.260
47.512
46.892
46.400
48.032
47.050
43.722
49.646
47.234
46.710
27
PLAPL
5.975
5.757
5.982
6.013
5.939
5.910
5.886
5.839
5.884
5.904
5.632
5.876
5.926
5.920
28
PLAJG
0.092
0.094
0.097
0.100
0.082
0.073
0.066
0.068
0.067
0.069
0.067
0.067
0.072
0.067
29
PLAKT
0.346
0.307
0.327
0.343
0.351
0.355
0.358
0.348
0.348
0.358
0.315
0.332
0.358
0.361
30
PLAKD
0.177
0.178
0.168
0.174
0.182
0.186
0.189
0.189
0.185
0.188
0.192
0.178
0.187
0.189
31
PLAUJ
0.283
0.238
0.250
0.287
0.288
0.292
0.296
0.284
0.276
0.300
0.244
0.247
0.307
0.316
32
PLAUK
0.063
0.114
0.032
0.053
0.077
0.089
0.099
0.109
0.083
0.096
0.160
0.059
0.093
0.101
33
PPKOT
0.126
0.091
0.150
0.135
0.110
0.098
0.088
0.082
0.100
0.090
0.048
0.117
0.093
0.084
34
PLAKR
11.507
10.664
12.114
11.616
11.290
11.115
10.970
10.803
11.314
10.988
9.985
11.807
11.007
10.862
35
PLAKS
1.742
1.439
2.136
1.814
1.592
1.471
1.371
1.323
1.591
1.381
1.010
1.908
1.389
1.286
36
PLAKL
0.512
0.442
0.428
0.621
0.438
0.378
0.328
0.323
0.263
0.390
0.230
0.155
0.466
0.481
37
PLAKP
1.080
1.129
1.057
1.067
1.096
1.110
1.121
1.130
1.109
1.116
1.179
1.094
1.110
1.117
38
PLAKM
1.518
1.348
1.350
1.454
1.605
1.675
1.733
1.677
1.643
1.710
1.555
1.517
1.683
1.722
39
PKBOT
1.336
1.326
1.308
1.353
1.326
1.317
1.310
1.310
1.291
1.320
1.297
1.260
1.333
1.336
40
PLFBD
2.288
1.139
3.584
2.423
1.913
1.611
1.361
1.146
2.109
1.350
0.010
3.194
1.330
1.030
41
PLFOW
0.083
0.059
0.096
0.085
0.077
0.073
0.069
0.065
0.076
0.069
0.042
0.087
0.069
0.065
42
POTKM
2.103
2.089
2.079
2.097
2.113
2.121
2.128
2.123
2.116
2.127
2.114
2.097
2.126
2.133
43
SSPG
16.146
16.559
15.807
16.259
16.121
16.100
16.083
16.187
15.867
16.162
16.537
15.537
16.262
16.337
44
SSKB
22.221
21.829
22.336
22.265
22.163
22.116
22.077
21.992
22.140
22.094
21.623
22.227
22.113
22.088
45
SSTN
6.043
5.911
6.270
6.073
5.968
5.907
5.856
5.837
5.985
5.855
5.697
6.171
5.853
5.794
46
SSIK
2.836
2.851
2.842
2.828
2.841
2.846
2.850
2.852
2.854
2.845
2.868
2.862
2.840
2.839
47
SSHT
0.977
1.034
1.039
1.057
0.893
0.824
0.768
0.796
0.792
0.804
0.818
0.818
0.847
0.824
316
Lampiran 14. Lanjutan A 48
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
0
P
ECOS
34.902
34.493
35.287
35.038
34.702
34.541
34.407
34.342
34.613
34.451
33.914
34.902
34.503
34.401
49
ECOG
3.835
4.777
3.163
3.547
4.186
4.470
4.706
4.876
4.341
4.589
5.846
3.838
4.448
4.581
50
PDBK
1.260
1.249
1.256
1.288
1.262
1.264
1.266
1.262
1.263
1.288
1.253
1.260
1.316
1.343
51
DEPR
74.065
74.333
74.333
74.897
73.766
73.524
73.324
73.440
73.440
73.871
73.580
73.580
74.557
74.974
52
TPAK
54.838
54.613
54.593
54.776
55.095
55.302
55.474
55.376
55.366
55.503
55.260
55.232
55.545
55.778
53
UNEM
4.133
3.827
3.971
4.313
3.859
3.638
3.454
3.426
3.304
3.510
3.059
3.047
3.576
3.433
54
LABS
66.408
67.990
66.392
66.142
66.351
66.308
66.273
66.666
66.241
66.047
68.092
66.203
65.762
65.454
55
PFOR
50.813
53.490
48.736
50.239
51.740
52.488
53.108
53.600
51.968
52.950
56.278
50.354
52.767
53.290
56
DEGHS
7.317
7.105
7.584
7.319
7.287
7.265
7.248
7.202
7.402
7.237
7.031
7.644
7.223
7.189
57
DEGTN
7.181
7.298
7.230
7.064
7.253
7.312
7.360
7.376
7.404
7.292
7.505
7.478
7.206
7.181
58
RHSTN
127.414
127.319
127.516
127.427
127.390
127.371
127.355
127.336
127.414
127.357
127.246
127.501
127.360
127.345
317
Lampiran 15. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2004 - 2010 Menggunakan Metode STEPAR Trend 2 OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA ekso; SET REKAP; ROIBR = PBER/PFER; ROIKR = PKRT/PFER; ROIJG = PJGG/PFER; ROIKT = PKCT/PFER; ROIKL = PKLP/PFER; ROIKS = PMSWT/PFER; ROIUJ = PUBJ/PFER; ROIKP = PKOP/PFER; ROIKD = PKED/PFER; ROIUK = PUBK/PFER; ROIKM = PKMN/PFER; RPIKB = (PIKB/PBER)*100; RPIKO = (PIKO/PBER)*100; RKBMT = PKYB/PMTN; ROIBR = PBER/PFER; RSKB = SKBD ‐ INFL; RPLO = PLOG ‐ (0.01*INFL*PLOG); RPLOG = RPLO/1000; RUMR = UMR ‐ (0.01*INFL*UMR); UMRR = RUMR/1000; RPFE = PFER ‐ (0.01*INFL*PFER); RPFER = RPFE/1000; RPSM = PSMN ‐ (0.01*INFL*PSMN); RPSMN = RPSM/1000; RAGW = AGWA ‐ (0.01*INFL*AGWA); RAGWA = RAGW/1000; RWIND = UMRR/RAGWA;
LKAW = LREG ‐ LTNKS; PWET = (WETL/LKAW)*100; PDRY = (DRYL/LKAW)*100; PEST = (ESTL/LKAW)*100; PGRA = (GRAS/LKAW)*100; PDYK = (DYPO/LKAW)*100; PWOD = (WOOD/LKAW)*100; PTEM = (TEMP/LKAW)*100; PSWA = (SWAM/LKAW)*100; PHOU = (HOUS/LKAW)*100; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PGRA + PDYK + PWOD; PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; PFOR = 100 ‐ PUSE; PLAPS = (LAPS/LKAW)*100; PLAPL = (LAPL/LKAW)*100; PLAJG = (LAJG/LKAW)*100; PLAKT = (LAKT/LKAW)*100; PLAKD = (LAKD/LKAW)*100; PLAUK = (LAUK/LKAW)*100; PLAUJ = (LAUJ/LKAW)*100; PLAKR = (LAKR/LKAW)*100; PLAKP = (LAKP/LKAW)*100; PLAKS = (LAKS/LKAW)*100; PLAKM = (LAKM/LKAW)*100; PLAKL = (LAKL/LKAW)*100; PLFOW = (LFOW/LKAW)*100; PLFBD = (LFBD/LKAW)*100; PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK; PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; POTKM = PCUL ‐ PWET ‐ PDRY ‐ PEST; DEGH = HTK93‐HSTNK; DEGHS = (DEGH/HTK93)*100; DEGT = LTNKS ‐ HTNK;
318
DEGTN = (DEGT/LTNKS)*100; RHSTN = (HSTNK/LTNKS)*100; PHSTN = (HSTNK/LKAW)*100; SSPG = (DPSP/GDP)*100; SSKB = (DPSK/GDP)*100; SSTN = (DPST/GDP)*100; SSIK = (DPSI/GDP)*100; SSHT = (DPSH/GDP)*100; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; SSNPT = 100 ‐ ECOS; DGDP = GDP‐GDP1; ECOG = (DGDP/GDP1)*100; PDBK = GDP/POP; SEXR = (PLK/PWN)*100; PPOP = POP‐POP1; POPG = (PPOP/POP1)*100; POPD = (POP/LKAW)*100; RJAK = POP/JRTG; REPG = ECOG/POPG; LABS = (LAGR/WORK)*100; ABA = (PK15/PUPR)*100; ABT = (PB65/PUPR)*100; DEPR = ABA + ABT; TPAK = (LFOR/PUK)*100; UNEM = (LFWR/LFOR)*100; PPUK = (PUK/POP)*100; PPAD = (0.001*PAD)/GDP; TEXP = CEXP + DEXP; BREV = TREV ‐ PAD; GRES = PAD/BREV; REXP = CEXP/DEXP; PAGE = (AGDE/TEXP)*100; PIDE = (IDDE/TEXP)*100; PTRE = (TRDE/TEXP)*100; PRDE = (RDDE/TEXP)*100; PHRE = (HRDE/TEXP)*100; PSRE = (SRDE/TEXP)*100;
PSWE = (SWDE/TEXP)*100; PEVE = (EVDE/TEXP)*100; PWRE = (WRDE/TEXP)*100; POTE = (OTDE/TEXP)*100; PROC = (INMC/TCRE)*100; PAGC = (AGRC/TCRE)*100; PUKC = (UKMC/TCRE)*100; PDEX = PAGE + PWRE + PHRE + PSWE + PEVE + PRDE + PSRE + PTRE + PIDE + POTE; Run; data reg1; set ekso; if region = 'Bengkulu'; proc forecast data=reg1 out = regbg outdata lead=7 method=stepar trend =2; id NO; var PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PSRE PSWE PEVE POTE PDEX PROC PUKC PAGC PWET PDRY PEST PDYK PGRA PTEM PWOD PSWA PHOU PCUL PUSE PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW POTKM SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT ECOS ECOG PDBK DEPR TPAK UNEM LABS PFOR DEGHS DEGTN RHSTN AGDE TRDE RDDE IDDE WRDE EVDE HRDE SRDE SWDE OTDE CEXP DEXP PPAD GRES PVPS PVPL PVJG PVKD PVUJ PVUK PVKL PVKM PVKP PVKR PVKS PVKT PVOW PVBD PVOW POPK POPM POPS ROIBR ROIJG ROIKD ROIKT ROIUJ ROIUK ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS RPIKB RPIKO RPLOG RAGWA JRTG RJAK RKBMT PHSTN RWIND RPFER UMRR RPSMN SSNPT LHPHS POPD POPG PPUK SEXR RSKB DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR; run; data reg2; set ekso; if region = 'Jambi'; proc forecast data=reg2 out = regjb outdata lead=7 method=stepar trend =2; id NO;
319
var
PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PSRE PSWE PEVE POTE PDEX PROC PUKC PAGC PWET PDRY PEST PDYK PGRA PTEM PWOD PSWA PHOU PCUL PUSE PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW POTKM SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT ECOS ECOG PDBK DEPR TPAK UNEM LABS PFOR DEGHS DEGTN RHSTN AGDE TRDE RDDE IDDE WRDE EVDE HRDE SRDE SWDE OTDE CEXP DEXP PPAD GRES PVPS PVPL PVJG PVKD PVUJ PVUK PVKL PVKM PVKP PVKR PVKS PVKT PVOW PVBD PVOW POPK POPM POPS ROIBR ROIJG ROIKD ROIKT ROIUJ ROIUK ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS RPIKB RPIKO RPLOG RAGWA JRTG RJAK RKBMT PHSTN RWIND RPFER UMRR RPSMN SSNPT LHPHS POPD POPG PPUK SEXR RSKB DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR;
run; data reg3; set ekso; if region = 'Sumbar'; proc forecast data=reg3 out = regsb outdata lead=7 method=stepar trend =2;
id NO; var PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PSRE PSWE PEVE POTE PDEX PROC PUKC PAGC PWET PDRY PEST PDYK PGRA PTEM PWOD PSWA PHOU PCUL PUSE PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW POTKM SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT ECOS ECOG PDBK DEPR TPAK UNEM LABS PFOR DEGHS DEGTN RHSTN AGDE TRDE RDDE IDDE WRDE EVDE HRDE SRDE SWDE OTDE CEXP DEXP PPAD GRES PVPS PVPL PVJG PVKD PVUJ PVUK PVKL PVKM PVKP PVKR PVKS PVKT PVOW PVBD PVOW POPK POPM POPS ROIBR ROIJG ROIKD ROIKT ROIUJ ROIUK ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS RPIKB RPIKO RPLOG RAGWA JRTG RJAK RKBMT PHSTN RWIND RPFER UMRR RPSMN SSNPT LHPHS POPD POPG PPUK SEXR RSKB DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR; run;
320
Lampiran 16. Hasil Peramalan Nilai Variabel Exsogen Tahun 2004 – 2010 Mengunakan Metode Stepart Trend 2 NO
REGION
_TYPE_
_LEAD_
YEAR
AGDE
TRDE
RDDE
IDDE
WRDE
EVDE
HRDE
SRDE
SWDE
OTDE
11
BENGKULU
FORECAST
1
2004
5,617.6
17,901.6
16,986.9
6,055.7
5,208.9
2,217.9
12,882.3
1,416.7
7,168.7
33,716.9
12 13
BENGKULU
FORECAST
2
2005
6,143.2
18,425.3
18,196.3
6,643.3
5,843.4
2,323.5
13,932.8
1,572.5
7,762.2
37,617.4
BENGKULU
FORECAST
3
2006
6,668.8
18,949.0
19,405.6
7,230.9
6,477.9
2,429.1
14,983.2
1,728.3
8,355.7
41,517.9
14
BENGKULU
FORECAST
4
2007
7,194.5
19,472.6
20,614.9
7,818.5
7,112.4
2,534.7
16,033.6
1,884.1
8,949.1
45,418.4
15
BENGKULU
FORECAST
5
2008
7,720.1
19,996.3
21,824.3
8,406.1
7,746.9
2,640.2
17,084.1
2,039.9
9,542.6
49,318.9
16
BENGKULU
FORECAST
6
2009
8,245.7
20,520.0
23,033.6
8,993.7
8,381.4
2,745.8
18,134.5
2,195.7
10,136.1
53,219.4
17
BENGKULU
FORECAST
7
2010
8,771.4
21,043.6
24,243.0
9,581.2
9,015.9
2,851.4
19,185.0
2,351.5
10,729.6
57,119.9
21
JAMBI
FORECAST
1
2004
3,117.0
34,615.7
17,422.6
8,038.0
6,163.9
3,443.6
8,974.1
1,960.9
5,816.9
20,418.7
22
JAMBI
FORECAST
2
2005
3,344.8
37,526.5
18,805.4
8,936.1
6,935.0
3,677.0
9,404.8
2,157.1
6,366.9
22,369.5
23
JAMBI
FORECAST
3
2006
3,572.5
40,437.3
20,188.2
9,834.2
7,706.0
3,910.4
9,835.5
2,353.4
6,916.9
24,320.2
24
JAMBI
FORECAST
4
2007
3,800.3
43,348.1
21,571.0
10,732.2
8,477.1
4,143.8
10,266.3
2,549.6
7,466.9
26,271.0
25
JAMBI
FORECAST
5
2008
4,028.0
46,258.9
22,953.8
11,630.3
9,248.1
4,377.2
10,697.0
2,745.9
8,016.9
28,221.7
26
JAMBI
FORECAST
6
2009
4,255.8
49,169.6
24,336.6
12,528.4
10,019.2
4,610.5
11,127.7
2,942.1
8,566.9
30,172.5
27
JAMBI
FORECAST
7
2010
4,483.6
52,080.4
25,719.4
13,426.5
10,790.2
4,843.9
11,558.5
3,138.3
9,116.9
32,123.2
31
SUMBAR
FORECAST
1
2004
4,882.5
37,406.3
13,059.0
4,841.5
2,884.8
3,846.9
16,470.1
1,139.9
4,438.4
23,646.5
32
SUMBAR
FORECAST
2
2005
5,358.4
40,432.7
13,713.8
5,302.1
3,237.8
4,177.2
17,985.3
1,265.7
4,851.0
26,280.9
33
SUMBAR
FORECAST
3
2006
5,834.4
43,459.0
14,368.5
5,762.8
3,590.7
4,507.4
19,500.6
1,391.5
5,263.7
28,915.3
34
SUMBAR
FORECAST
4
2007
6,310.3
46,485.4
15,023.2
6,223.4
3,943.7
4,837.6
21,015.9
1,517.3
5,676.3
31,549.7
35
SUMBAR
FORECAST
5
2008
6,786.2
49,511.7
15,677.9
6,684.0
4,296.6
5,167.9
22,531.1
1,643.1
6,089.0
34,184.1
36
SUMBAR
FORECAST
6
2009
7,262.1
52,538.0
16,332.6
7,144.7
4,649.6
5,498.1
24,046.4
1,768.8
6,501.6
36,818.5
37
SUMBAR
FORECAST
7
2010
7,738.1
55,564.4
16,987.4
7,605.3
5,002.5
5,828.3
25,561.7
1,894.6
6,914.3
39,452.9
321
Lampiran 16. Lanjutan NO
OTDE
CEXP
DEXP
PPAD
GRES
PVPS
PVPL
PVJG
PVKD
PVUJ
PVUK
PVKL
PVKM
PVKP
PVKR
PVKS
PVKT
PVOW
PVBD
11
33,716.9
329,787.5
109,173.3
0.02
0.03
7.96
2.60
2.03
0.89
10.07
11.60
0.17
0.66
0.43
0.65
0.03
1.01
129.25
96.57
12
37,617.4
365,145.7
118,459.8
0.02
0.03
8.00
2.67
2.02
0.89
10.04
11.57
0.05
0.72
0.44
0.67
0.02
1.01
134.16
99.08
13
41,517.9
400,504.0
127,746.3
0.02
0.03
8.05
2.75
2.00
0.89
10.02
11.54
0.05
0.77
0.45
0.70
0.02
1.02
139.08
101.59
14
45,418.4
435,862.3
137,032.8
0.02
0.03
8.10
2.82
1.99
0.89
10.00
11.52
0.05
0.83
0.46
0.73
0.01
1.03
143.99
104.10
15
49,318.9
471,220.6
146,319.3
0.02
0.03
8.14
2.90
1.97
0.89
9.98
11.49
0.05
0.88
0.47
0.76
0.01
1.03
148.90
106.61
16
53,219.4
506,578.8
155,605.8
0.02
0.03
8.19
2.98
1.96
0.89
9.96
11.46
0.05
0.94
0.48
0.78
0.00
1.04
153.81
109.13
17
57,119.9
541,937.1
164,892.3
0.02
0.03
8.24
3.05
1.94
0.89
9.94
11.44
0.05
1.00
0.49
0.81
0.00
1.04
158.73
111.64
21
20,418.7
274,010.4
109,996.1
0.02
0.04
7.52
2.20
2.44
1.20
9.66
12.53
0.14
0.37
0.34
0.32
5.96
1.08
34.57
109.45
22
22,369.5
301,933.2
119,554.4
0.02
0.04
7.30
2.19
2.54
1.21
9.96
11.28
0.13
0.37
0.36
0.32
6.50
1.05
36.74
111.04
23
24,320.2
329,855.9
129,112.7
0.02
0.05
7.07
2.17
2.65
1.23
10.26
11.15
0.13
0.38
0.38
0.31
7.05
1.02
38.90
112.63
24
26,271.0
357,778.7
138,670.9
0.02
0.05
6.85
2.16
2.75
1.24
10.56
12.06
0.13
0.38
0.40
0.31
7.59
1.00
41.07
114.22
25
28,221.7
385,701.5
148,229.2
0.02
0.05
6.62
2.14
2.85
1.25
10.87
12.17
0.13
0.39
0.42
0.31
8.13
0.97
43.23
115.81
26
30,172.5
413,624.3
157,787.5
0.03
0.05
6.40
2.12
2.95
1.26
11.17
11.54
0.13
0.39
0.44
0.30
8.67
0.94
45.39
117.40
27
32,123.2
441,547.1
167,345.8
0.03
0.05
6.17
2.11
3.05
1.27
11.47
11.47
0.13
0.40
0.46
0.30
9.21
0.92
47.56
118.99
31
23,646.5
338,428.8
112,616.0
0.01
0.03
9.10
2.23
3.32
1.37
10.27
12.31
0.58
0.31
0.38
0.46
4.51
1.34
121.03
79.39
32
26,280.9
375,655.8
122,604.9
0.02
0.03
9.09
2.21
3.44
1.39
10.23
12.29
0.58
0.29
0.37
0.46
4.92
1.38
128.60
77.02
33
28,915.3
412,882.9
132,593.8
0.02
0.03
9.07
2.20
3.57
1.42
10.18
12.26
0.59
0.28
0.37
0.47
5.33
1.42
136.18
74.66
34
31,549.7
450,109.9
142,582.7
0.02
0.03
9.06
2.18
3.70
1.44
10.13
12.24
0.60
0.26
0.37
0.48
5.73
1.46
143.76
72.29
35
34,184.1
487,337.0
152,571.6
0.02
0.03
9.05
2.16
3.83
1.47
10.08
12.21
0.61
0.25
0.37
0.48
6.14
1.49
151.34
69.93
36
36,818.5
524,564.0
162,560.5
0.02
0.03
9.04
2.15
3.96
1.49
10.04
12.19
0.61
0.23
0.37
0.49
6.55
1.53
158.92
67.56
37
39,452.9
561,791.1
172,549.3
0.02
0.03
9.03
2.13
4.09
1.51
9.99
12.16
0.62
0.22
0.36
0.50
6.96
1.57
166.50
65.20
322
Lampiran 16. Lanjutan NO
POPK
POPM
POPS
ROIBR
ROIJG
ROIKD
ROIKT
ROIUJ
ROIUK
ROIKL
ROIKM
ROIKP
ROIKR
ROIKS
RPIKB
RPIKO
RPLOG
RAGWA
11
12.39
104.28
43.58
2.11
0.67
3.34
5.90
0.45
0.39
0.43
0.67
0.51
3.83
2.02
319.85
437.41
22.62
9.25
12
9.54
94.90
42.20
2.12
0.66
3.43
6.18
0.45
0.40
0.41
0.11
0.51
3.86
2.02
270.59
440.37
24.68
10.16
13
6.69
85.53
40.81
2.14
0.64
3.52
6.45
0.45
0.41
0.40
0.11
0.51
3.89
2.03
221.33
443.33
26.74
11.06
14
3.84
76.15
39.43
2.15
0.63
3.62
6.73
0.45
0.42
0.38
0.11
0.51
3.92
2.03
172.07
446.29
28.79
11.97
15
1.00
66.78
38.05
2.17
0.62
3.71
7.01
0.45
0.43
0.36
0.11
0.51
3.95
2.03
122.81
449.25
30.85
12.88
16
1.00
57.40
36.66
2.18
0.60
3.80
7.29
0.45
0.44
0.34
0.11
0.51
3.98
2.03
73.56
452.20
32.90
13.79
17
1.00
48.03
35.28
2.20
0.59
3.90
7.57
0.45
0.45
0.32
0.11
0.51
4.01
2.04
24.30
455.16
34.96
14.70
21
11.42
37.70
68.54
2.99
1.17
3.69
6.86
0.67
0.71
0.56
0.65
1.98
5.25
2.66
190.70
268.84
37.10
11.03
22
8.53
35.95
67.10
3.10
1.19
3.85
7.15
0.69
0.76
0.53
0.65
1.98
5.29
2.63
114.42
265.08
40.66
12.11
23
5.64
34.20
65.67
3.21
1.21
4.02
7.43
0.71
0.80
0.51
0.65
1.98
5.34
2.61
38.15
261.33
44.21
13.19
24
2.74
32.45
64.23
3.32
1.23
4.18
7.72
0.73
0.85
0.49
0.65
1.98
5.39
2.58
38.15
257.58
47.76
14.26
25
2.74
30.70
62.79
3.43
1.25
4.35
8.01
0.75
0.89
0.46
0.65
1.98
5.43
2.55
38.15
253.82
51.32
15.34
26
2.74
28.95
61.36
3.54
1.27
4.52
8.29
0.78
0.93
0.44
0.65
1.98
5.48
2.53
38.15
250.07
54.87
16.42
27
2.74
27.21
59.92
3.65
1.29
4.68
8.58
0.80
0.98
0.41
0.65
1.98
5.53
2.50
38.15
246.31
58.43
17.50
31
40.28
41.37
120.16
2.20
0.70
2.80
3.69
0.60
0.39
0.46
0.79
1.79
2.64
2.75
323.87
550.96
23.02
9.92
32
39.03
40.52
119.10
2.12
0.65
2.90
3.35
0.59
0.38
0.45
0.79
1.13
2.71
2.91
299.04
577.23
24.88
10.89
33
37.77
39.66
118.04
2.04
0.60
3.01
3.02
0.58
0.38
0.43
0.79
0.46
2.78
3.08
274.22
603.49
26.74
11.86
34
36.52
38.81
116.98
1.96
0.55
3.12
2.68
0.58
0.37
0.42
0.79
0.46
2.85
3.25
249.39
629.76
28.60
12.83
35
35.27
37.96
115.92
1.88
0.50
3.22
2.35
0.57
0.36
0.40
0.79
0.46
2.92
3.42
224.57
656.03
30.46
13.81
36
34.01
37.11
114.86
1.80
0.45
3.33
2.01
0.56
0.35
0.39
0.79
0.46
2.99
3.59
199.74
682.29
32.32
14.78
37
32.76
36.26
113.80
1.72
0.40
3.43
1.68
0.55
0.34
0.38
0.79
0.46
3.06
3.75
174.92
708.56
34.18
15.75
323
Lampiran 16. Lanjutan NO
JRTG
RJAK
RKBMT
RWIND
RPFER
UMRR
RPSMN
SSNPT
LHPHS
POPD
POPG
PPUK
SEXR
RSKB
DKAW1
DKAW2
DESE
KRIS
11
220.95
4.39
4.82
1.06
1.60
11.47
0.53
56.49
0.00
76.45
2.36
73.72
103.83
5.06
0
0
1
1
12
225.26
4.39
4.79
0.97
1.73
12.50
0.57
56.69
0.00
77.97
2.39
73.10
104.13
5.39
0
0
1
1
13
229.58
4.39
4.76
0.88
1.87
13.52
0.62
56.88
0.00
79.49
2.42
72.49
104.43
5.73
0
0
1
1
14
233.89
4.39
4.73
0.79
2.00
14.54
0.66
57.08
0.00
81.01
2.44
71.87
104.73
6.07
0
0
1
1
15
238.21
4.39
4.69
0.69
2.14
15.57
0.70
57.28
0.00
82.53
2.47
71.26
105.03
6.40
0
0
1
1
16
242.52
4.39
4.66
0.60
2.27
16.59
0.74
57.47
0.00
84.05
2.50
70.64
105.33
6.74
0
0
1
1
17
246.84
4.39
4.63
0.51
2.41
17.61
0.79
57.67
0.00
85.57
2.52
70.03
105.63
7.08
0
0
1
1
21
208.20
3.67
5.81
1.09
1.14
12.88
0.52
55.56
209.78
53.86
1.26
86.36
99.30
5.88
0
1
1
1
22
212.41
3.63
5.83
1.05
1.23
14.10
0.56
55.70
196.06
54.58
1.22
86.70
99.16
5.64
0
1
1
1
23
216.61
3.60
5.85
1.02
1.32
15.31
0.60
55.84
182.34
55.31
1.19
87.03
99.01
5.40
0
1
1
1
24
220.82
3.57
5.86
0.98
1.40
16.53
0.64
55.98
168.62
56.03
1.15
87.36
98.86
5.16
0
1
1
1
25
225.03
3.54
5.88
0.95
1.49
17.75
0.68
56.12
154.90
56.76
1.12
87.69
98.71
4.93
0
1
1
1
26
229.24
3.51
5.90
0.91
1.58
18.97
0.71
56.26
141.18
57.48
1.08
88.02
98.56
4.69
0
1
1
1
27
233.44
3.48
5.91
0.88
1.66
20.18
0.75
56.40
127.46
58.21
1.04
88.35
98.41
4.45
0
1
1
1
31
198.63
4.32
2.85
1.52
1.50
14.90
0.49
65.75
0.00
92.13
1.24
74.57
95.60
3.86
1
0
1
1
32
201.84
4.28
2.39
1.54
1.64
16.40
0.53
65.87
0.00
92.96
1.29
73.38
95.75
3.96
1
0
1
1
33
205.05
4.25
1.92
1.55
1.77
17.90
0.57
65.99
0.00
93.78
1.33
72.19
95.90
4.06
1
0
1
1
34
208.26
4.21
1.45
1.57
1.91
19.40
0.60
66.10
0.00
94.61
1.37
70.99
96.05
4.15
1
0
1
1
35
211.47
4.17
0.99
1.59
2.04
20.91
0.64
66.22
0.00
95.43
1.42
69.80
96.19
4.25
1
0
1
1
36
214.68
4.13
0.52
1.60
2.18
22.41
0.68
66.34
0.00
96.26
1.46
68.61
96.34
4.35
1
0
1
1
37
217.89
4.09
0.05
1.62
2.31
23.91
0.72
66.46
0.00
97.08
1.50
67.41
96.49
4.45
1
0
1
1
324
Lampiran 17. Program Simulasi Peramalan Variabel Endogen Tahun 2004 - 2010 Menggunakan Prosedur SIMNLIN OPTIONS NODATE NONUMBER; RUN; DATA RAMAL; SET REKAP; TEXP = CEXP + DEXP; YEAR = 2003; /*Simulasi Kebijakan 1. HRDE = HRDE + (CEXP*0.20); DEXP = DEXP + (CEXP*0.05); CEXP = CEXP*0.75; 2. HRDE = HRDE + (CEXP*0.21); DEXP = DEXP + (CEXP*0.06); CEXP = CEXP*0.73; 3. HRDE = HRDE + (CEXP*0.22); DEXP = DEXP + (CEXP*0.07); CEXP = CEXP*0.71; */
; RUN; PROC SIMNLIN SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=RAMREL3; endogenous PAGE PIDE PWRE PTRE PRDE PHRE PSRE PSWE PEVE POTE PDEX PROC PUKC PAGC PWET PDRY PEST PDYK PGRA PTEM PWOD PSWA PHOU PCUL PUSE PLAPS PLAPL PLAJG PLAKT PLAKD PLAUJ PLAUK PPKOT PLAKR PLAKS PLAKL PLAKP PLAKM PKBOT PLFBD PLFOW POTKM SSPG SSKB SSTN SSIK SSHT ECOS ECOG PDBK DEPR TPAK UNEM LABS PFOR DEGHS DEGTN RHSTN ; instruments AGDE TRDE RDDE IDDE WRDE EVDE HRDE SRDE SWDE OTDE CEXP DEXP PAD PPAD GRES BREV TREV PVPS PVPL PVJG PVKD PVUJ PVUK PVKL PVKM PVKP PVKR PVKS PVKT PVOW PVBD PVOW POPK POPM POPS ROIBR ROIJG ROIKD ROIKT ROIUJ ROIUK ROIKL ROIKM ROIKP ROIKR ROIKS RPIKB RPIKO RPLOG UMR AGWA RAGWA JRTG RJAK RKBMT PHSTN RWIND RPFER UMRR RPSMN
SSNPT LHPHS POPD POPG PPUK SEXR RSKB DKAW1 DKAW2 DESE KRIS YEAR
; Parameters /*Blok Pengeluaran Pemerintah*/ a00 ‐60.425530 a20 ‐131.057338 a40 821.986502 a01 0.095529 a21 ‐0.244685 a41 ‐1.575864 a02 4.864368 a22 11.037219 a42 ‐41.510619 a03 ‐0.205666 a23 ‐0.277173 a43 0.198627 a04 ‐0.241888 a24 0.102072 a44 ‐0.595746 a05 ‐0.797103 a25 1.047745 a45 ‐3.189325 a06 0.046034 a26 ‐0.269145 a46 6.355222 a07 0.030910 a27 0.065859 a47 ‐0.407335 a10 ‐364.408307 a30 ‐181.765977 a50 1697.500584 a11 ‐0.564915 a31 ‐0.063966 a51 ‐3.736370 a12 21.683628 a32 5.734057 a52 81.020552 a13 ‐0.165321 a33 0.153853 a53 2.295093 a14 ‐0.004210 a34 0.319958 a54 0.292886 a15 ‐0.030544 a35 ‐1.490904 a55 4.172866 a16 ‐0.597341 a36 0.311416 a56 ‐4.240375 a17 0.183503 a37 0.091597 a57 ‐0.840480 a60 434.464938 a80 ‐25.728802 a70 115.868315 a61 ‐0.962228 a81 ‐0.104819 a71 ‐0.676223 a62 9.771065 a82 0.098350 a72 ‐4.953424 a63 0.473284 a83 ‐0.058891 a73 ‐1.190178 a64 0.436734 a84 0.228242 a74 ‐0.877417 a65 ‐0.402483 a85 0.145621 a75 0.638858 a66 0.737095 a86 ‐0.034566 a76 0.122143 a67 ‐0.214611 a87 0.013100 a77 ‐0.056120 a90 ‐384.226118 a91 ‐0.414991 a92 ‐85.935284 a93 ‐1.557892 a94 ‐0.097448 a95 1.725793 a96 ‐0.612482 a97 0.196909 /*Blok Kredit Perbankan*/ b10 8285.648422 b20 8132.294298 b30 ‐1816.105120
325
b11 ‐0.002527 b21 0.307265 b31 0.013413 x22 19.582326 x42 ‐0.127108 x62 22.416748 x23 ‐1.520122 x43 0.022808 x63 ‐0.518535 b12 ‐0.824969 b22 ‐1.585831 b32 1.820792 x24 ‐0.821346 x44 ‐0.006544 x64 2.222221 b13 14.796182 b23 ‐1.497474 b33 ‐0.006166 x25 ‐2.649074 x45 0.007651 x65 0.450535 b14 0.782143 b24 0.871890 b34 ‐0.409477 b15 ‐2.162626 b25 6.158450 b35 ‐1.365523 c70 ‐940.203095 c90 ‐48.257938 c80 ‐213.926133 b16 ‐0.643595 b26 ‐1.781929 b36 ‐0.069444 c71 0.039989 c91 0.025435 c81 ‐0.136097 b17 ‐0.264851 b27 1.792746 b37 ‐0.291766 c72 0.423694 c92 0.031059 c82 0.015229 b18 1.301128 b28 23.946025 b38 0.494600 c73 ‐0.423143 c93 0.000489 c83 ‐0.170015 b19 ‐1.112045 b29 ‐0.259869 b39 5.281370 c74 0.648023 c94 0.007693 c84 0.185331 y10 ‐6.601895 y20 ‐2.656045 y30 5.216199 c75 0.128577 c95 3.733254 c85 0.253064 y11 1.326738 y21 ‐10.234430 y31 ‐3.363740 c76 ‐1.989083 c96 ‐0.063594 c86 ‐2.415694 y12 ‐4.122505 y22 ‐4.003859 y32 0.876292 c77 0.031709 c97 ‐0.029055 c87 0.043703 c78 ‐0.170134 c98 ‐0.007268 c88 0.638363 /*Blok Penggunaan Lahan*/ c79 0.019896 c99 ‐0.016912 c89 ‐0.110493 c10 ‐266.465840 c30 1899.347562 c50 99.396849 x70 ‐0.023765 x90 0.006350 x80 ‐0.020027 c11 0.036514 c31 ‐0.994029 c51 ‐0.039415 c12 0.103661 c32 ‐0.084703 c52 ‐0.082144 x71 9.008172 x91 ‐1.799713 x81 4.213314 x72 ‐10.872705 x92 ‐1.578738 x82 ‐3.075839 c13 ‐0.021431 c33 ‐0.400705 c53 0.114236 x73 1.886171 x93 0.117338 x83 ‐0.279972 c14 0.010614 c34 1.408914 c54 0.443371 x74 0.241320 x94 0.098869 x84 ‐0.649039 c15 ‐0.058198 c35 1.743827 c55 0.025942 x75 0.474768 x95 0.025660 x85 0.111035 c16 ‐0.770785 c36 ‐11.114637 c56 ‐0.726910 c17 0.003589 c37 0.178709 c57 0.010367 /*Blok Pilihan Komoditas*/ c18 0.103436 c38 2.095297 c58 0.012823 d10 548.823264 d20 289.138557 d30 ‐46.754053 c19 ‐0.028226 c39 ‐0.449405 c59 0.000183 d11 ‐0.096457 d21 ‐0.239125 d31 ‐0.121084 x10 ‐0.008320 x30 ‐0.165521 x50 0.004537 d12 ‐0.044503 d22 ‐0.349131 d32 0.222278 x11 3.165343 x31 ‐0.554723 x51 ‐1.186946 d13 0.963815 d23 ‐0.082681 d33 ‐0.059531 x12 ‐1.824486 x32 ‐9.708050 x52 1.723855 d14 ‐0.005461 d24 ‐0.006105 d34 0.000416 x13 0.013489 x33 ‐0.318320 x53 ‐0.153208 d15 0.223006 d25 0.095473 d35 ‐0.045705 x14 0.006325 x34 ‐3.701904 x54 ‐0.045607 d16 0.014379 d26 ‐0.011278 d36 ‐0.003402 x15 0.136407 x35 ‐0.923090 x55 ‐0.053760 d17 ‐0.194659 d27 0.042152 d37 ‐0.193307 d18 0.420817 d28 ‐0.183094 d38 0.134958 c20 5233.582033 c40 ‐15.139242 c60 ‐948.287352 d19 ‐0.030655 d29 ‐0.044869 d39 ‐0.030354 c21 ‐0.451362 c41 0.002855 c61 0.258525 w10 1.702057 w20 ‐1.514658 w30 ‐1.630253 c22 ‐0.039445 c42 ‐0.008543 c62 ‐0.133496 w11 0.614840 w21 ‐0.284329 w31 ‐1.407268 c23 1.217728 c43 ‐0.000568 c63 0.432233 w12 ‐0.271877 w22 ‐0.282393 w32 ‐0.583069 c24 0.003240 c44 ‐0.008107 c64 4.945145 w13 0.095543 w23 ‐0.489145 w33 ‐0.129719 c25 1.047340 c45 ‐0.011350 c65 ‐0.253707 w14 ‐0.275832 w24 ‐0.142012 w34 0.025170 c26 0.506787 c46 0.062317 c66 ‐1.968692 c27 ‐0.049839 c47 ‐0.000678 c67 0.038715 d40 29.337433 d50 64.680089 d60 22.268643 c28 0.122066 c48 0.016339 c68 1.154352 d41 ‐0.006446 d51 0.010601 d61 ‐0.037547 c29 ‐0.296623 c49 0.005224 c69 0.147364 d42 0.033893 d52 ‐0.399935 d62 0.016359 x20 ‐0.090230 x40 0.000438 x60 0.097902 d43 ‐0.011932 d53 ‐0.019379 d63 ‐0.045676 x21 ‐26.954909 x41 ‐0.135694 x61 2.017822
326
d44 ‐0.000701 d54 ‐0.001474 d64 ‐0.002530 e60 91.581745 e70 ‐114.131322 e61 ‐0.000135 e71 0.000779 d45 ‐0.001906 d55 0.031432 d65 0.017660 e62 ‐0.001159 e72 ‐0.002067 d46 0.000182 d56 0.010112 d66 0.000495 e63 0.175620 e73 ‐0.044239 d47 ‐0.048528 d57 ‐0.160130 d67 ‐0.042466 e64 ‐1.836283 e74 0.003052 d48 0.046407 d58 0.314231 d68 0.007346 e65 0.000990 e75 ‐0.045714 d49 ‐0.001436 d59 0.004111 d69 0.004451 e66 0.025910 e76 0.003869 w40 ‐0.314816 w50 0.026766 w60 ‐0.774472 e67 ‐0.001758 e77 ‐0.073582 w41 ‐0.421526 w51 ‐0.371813 w61 ‐0.693225 e68 0.020231 e78 0.182197 w42 ‐0.047069 w52 ‐0.378525 w62 ‐0.064689 e69 ‐0.007570 e79 2.002525 w43 0.065137 w53 ‐0.022714 w63 0.106246 v60 ‐1.128515 v70 1.135543 w44 ‐0.014341 w54 ‐0.032129 w64 ‐0.010592 v61 ‐0.422761 v71 ‐0.095343 v62 ‐0.074455 v72 0.045411 d70 325.644941 e10 304.191111 e20 ‐1139.597112 v63 0.023119 v73 0.057104 d71 ‐1.187750 e11 0.351097 e21 ‐0.057495 v64 ‐0.045650 d72 0.035437 e12 ‐1.472881 e22 ‐0.267960 d73 ‐0.028525 e13 0.210027 e23 ‐0.069377 /*Blok Struktur Output*/ d74 ‐0.010268 e14 ‐0.006951 e24 0.017960 d75 0.055677 e15 0.090724 e25 ‐0.108159 f10 2.399494 f20 ‐691.645060 f30 27.063229 f11 ‐0.171676 f21 ‐0.310192 f31 0.046384 d76 ‐0.009540 e16 ‐0.029687 e26 0.040055 f12 ‐0.485141 f22 0.093979 f32 0.188278 d77 ‐0.074372 e17 0.031099 e27 0.089035 f13 0.534054 f23 ‐0.447584 f33 0.003765 d78 ‐0.173117 e18 ‐1.035271 e28 0.026027 f14 ‐1.207363 f24 ‐0.309402 f34 0.003998 d79 ‐0.036995 e19 ‐0.054602 e29 0.007207 f15 7.912402 f25 ‐2.425053 f35 ‐0.000144 w70 ‐0.586843 v10 0.297667 v20 ‐0.230215 f16 3.066643 f26 0.800713 f36 0.097089 w71 ‐0.165533 v11 9.361888 v21 2.726791 f17 ‐4.642133 f27 0.052639 f37 ‐0.004396 w72 0.199393 v12 0.671514 v22 ‐0.228119 f18 0.879852 f28 ‐0.504561 f38 ‐1.777084 w73 ‐0.003625 v13 0.074852 v23 ‐0.282501 f19 0.173324 f29 0.996912 f39 ‐0.043302 w74 ‐0.161921 v14 ‐0.151472 v24 0.570405 u10 ‐1.544418 u20 ‐0.969343 u30 0.046178 u11 ‐6.831625 u21 ‐0.302292 u31 ‐0.060128 e30 ‐68.246099 e40 ‐142.512340 e50 ‐192.322688 u12 0.861487 u22 0.360698 u32 ‐0.013152 e31 ‐0.021226 e41 0.171085 e51 ‐0.034074 u13 ‐0.286491 u14 0.015847 e32 ‐0.169068 e42 ‐2.816845 e52 ‐1.006576 e33 ‐0.004442 e43 ‐0.143980 e53 ‐0.043494 f40 265.355852 f50 ‐31.088346 e34 ‐0.000085918 e44 0.008993 e54 0.006645 e35 ‐0.009913 e45 0.050927 e55 ‐0.102244 f41 ‐0.250835 f51 ‐0.046968 e36 0.001731 e46 ‐0.020772 e56 ‐0.001341 f42 2.879570 f52 0.019959 e37 ‐0.044752 e47 ‐0.192032 e57 0.143016 f43 0.415358 f53 0.008498 e38 0.010328 e48 1.306707 e58 ‐0.022436 f44 1.332571 f54 0.000398 e39 0.016418 e49 ‐0.134177 e59 ‐0.029306 f45 ‐0.033167 f55 0.036504 v30 0.377634 v40 ‐6.622381 v50 0.553167 f46 0.101211 f56 ‐0.002065 v31 ‐0.262019 v41 ‐5.335136 v51 4.112430 f47 0.004694 f57 ‐0.322663 v32 ‐0.008589 v42 ‐1.104339 v52 0.264243 f48 ‐1.140256 f58 ‐2.796905 v33 ‐0.013601 v43 ‐0.066892 v53 ‐0.274785 f49 0.788635 f59 ‐0.041781 v34 0.034466 v44 0.077545 v54 0.097532 u40 3.327206 u50 0.085141
327
u41 0.986445 u51 0.018301 s10 6.936463 s20 ‐1.556620 s30 1.169472 s11 1.201852 s31 0.034826 u42 0.247851 u43 ‐0.125242 ; /*Blok Pengeluaran Pembangunan*/ /*Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja*/ PAGE = a00 + a01*(CEXP/DEXP) + a02*(PAD/BREV) + a03*DKAW1 + g10 ‐701.109125 g30 3990.779392 g50 2888.888477 a04*DKAW2 + a05*DESE + a06*KRIS + a07*YEAR; g11 ‐0.825436 g31 ‐0.561574 g51 0.817483 PIDE = a10 + a11*(CEXP/DEXP) + a12*(PAD/BREV) + a13*DKAW1 + g12 0.754110 g32 ‐0.071571 g52 ‐0.803925 a14*DKAW2 + a15*DESE + a16*KRIS + a17*YEAR; g13 0.466496 g33 2.549341 g53 ‐3.025849 PWRE = a20 + a21*(CEXP/DEXP) + a22*(PAD/BREV) + a23*DKAW1 + g14 75.572231 g34 ‐1.799915 g54 ‐1.086794 a24*DKAW2 + a25*DESE + a26*KRIS + a27*YEAR; g15 1.651776 g35 0.163198 g55 ‐2.191624 g16 ‐0.018020 g36 7.259902 g56 0.223552 PEVE = a30 + a31*(CEXP/DEXP) + a32*(PAD/BREV) + a33*DKAW1 + g17 3.538682 g37 ‐1.010055 g57 ‐0.861147 a34*DKAW2 + a35*DESE + a36*KRIS + a37*YEAR; g18 4.012445 g38 2.227129 g58 ‐0.027335 PRDE = a40 + a41*(CEXP/DEXP) + a42*(PAD/BREV) + a43*DKAW1 + g19 ‐2.715968 g39 0.371807 g59 ‐11.712169 a44*DKAW2 + a45*DESE + a46*KRIS + a47*YEAR; t10 ‐6.590572 t30 ‐1.946084 t50 ‐7.144095 PTRE = a50 + a51*(CEXP/DEXP) + a52*(PAD/BREV) + a53*DKAW1 + t11 0.331933 t51 ‐1.105937 a54*DKAW2 + a55*DESE + a56*KRIS + a57*YEAR; /*PHRE = 60 + a61*(CEXP/DEXP) + a62*(PAD/BREV) + a63*DKAW1 + g40 1031.467132 t52 1.457292 a64*DKAW2 + a65*DESE + a66*KRIS + a67*YEAR;*/ g20 ‐65.984204 g41 ‐0.166496 t53 ‐1.367261 g21 0.006921 g42 0.916714 PHRE = (HRDE/TEXP)*100; g22 ‐0.005542 g43 ‐0.255877 g60 ‐619.416437 PSWE = a70 + a71*(CEXP/DEXP) + a72*(PAD/BREV) + a73*DKAW1 + g23 0.120667 g44 0.034850 g61 0.094209 a74*DKAW2 + a75*DESE + a76*KRIS + a77*YEAR; g24 0.009142 g45 0.075439 g62 0.040911 PSRE = a80 + a81*(CEXP/DEXP) + a82*(PAD/BREV) + a83*DKAW1 + a84*DKAW2 + a85*DESE + a86*KRIS + a87*YEAR; g25 0.008352 g46 1.146881 g63 ‐0.177457 POTE = a90 + a91*(CEXP/DEXP) + a92*(PAD/BREV) + a93*DKAW1 + g26 0.003939 g47 ‐0.001773 g64 0.000718 a94*DKAW2 + a95*DESE + a96*KRIS + a97*YEAR; g27 0.000291 g48 ‐1.077767 g65 0.002485 PDEX = PAGE + PIDE + PWRE + PEVE + PRDE + PTRE + PHRE + PSWE + PSRE g28 0.159953 g49 ‐3.842111 g66 ‐0.030230 g29 0.005123 t40 1.252374 g67 0.460939 + POTE; t20 ‐0.009840 t41 0.199940 g68 0.129730 t21 ‐0.047018 t42 ‐0.526066 g69 ‐0.026992 /*Blok Kredit Perbankan*/ t22 0.033506 t60 ‐1.096068 t61 ‐2.635075 PROC = b10 + b11*RSKB + b12*(ECOG/POPG) + b13*PDBK + b14*ECOS + b15*PIDE + b16*PTRE + b17*PRDE + b18*DKAW1 + b19*DKAW2 + t62 0.717439 t63 0.401576 t64 0.312600 y10*DESE + y11*KRIS + y12*YEAR; PUKC = b20 + b21*RSKB + b22*PROC + b23*(ECOG/POPG) + b24*ECOS + /*Blok Degradasi Taman Nasional*/ b25*PIDE + b26*PTRE + b27*PRDE + b28*DKAW1 + b29*DKAW2 + h10 ‐2377.947491 h20 3155.019116 h30 ‐57.907645 y20*DESE + y21*KRIS + y22*YEAR; h11 ‐0.195092 h21 0.265344 h31 ‐0.058056 PAGC = b30 + b31*RSKB + b32*PROC + b33*PUKC + b34*ECOS + b35*PAGE + h12 0.261778 h22 ‐0.044083 h32 ‐2.380103 h13 ‐0.232282 h23 0.108674 h33 ‐0.277642 b36*PTRE + b37*PRDE + b38*DKAW1 + b39*DKAW2 + y30*DESE + h14 ‐0.214745 h24 ‐0.025309 h34 0.021219 y31*KRIS + y32*YEAR; h15 0.035330 h25 ‐0.075715 h35 ‐0.155844 h16 ‐0.000828 h26 85.826135 h36 ‐0.002638 /*Blok Penggunaan Lahan*/ h17 ‐8.825250 h27 23.663096 h37 7.133402 PWET = c10 + c11*ECOG + c12*POPG + c13*POPD + c14*SSPG + c15*RAGWA + h18 ‐9.000967 h28 0.772981 h38 3.576851 c16*RPFER + c17*RSKB + c18*PAGE + c19*PTRE + x10*PAGC + x11*DKAW1 + x12*DKAW2 + x13*DESE + x14*KRIS + x15*YEAR; h19 ‐0.746465 h29 ‐6.886028 h39 ‐0.810157
328
PDRY = c20 + c21*ECOG + c22*POPG + c23*POPD + c24*SSPG + c25*RAGWA + PLAKD = d50 + d51*ROIKD + d52*PVKD + d53*PDRY + d54*RSKB + c26*RPFER + c27*RSKB + c28*PAGE + c29*PTRE + x20*PAGC + d55*RAGWA + d56*PAGC + d57*PAGE + d58*PWRE + d59*PTRE + x21*DKAW1 + x22*DKAW2 + x23*DESE + x24*KRIS + x25*YEAR; w50*DKAW1 + w51*DKAW2 + w52*DESE + w53*KRIS + w54*YEAR; PEST = c30 + c31*ECOG + c32*POPG + c33*POPD + c34*SSKB + c35*RAGWA + PLAUJ = d60 + d61*ROIUJ + d62*PVUJ + d63*PDRY + d64*RSKB + d65*RAGWA + d66*PAGC + d67*PAGE + d68*PWRE + d69*PTRE + c36*RPFER + c37*RSKB + c38*PAGE + c39*PTRE + x30*PAGC + x31*DKAW1 + x32*DKAW2 + x33*DESE + x34*KRIS + x35*YEAR; w60*DKAW1 + w61*DKAW2 + w62*DESE + w63*KRIS + w64*YEAR; PDYK = c40 + c41*ECOG + c42*POPG + c43*POPD + c44*SSIK + c45*RAGWA + PLAUK = d70 + d71*ROIUK + d72*PVUK + d73*PDRY + d74*RSKB + c46*RPFER + c47*RSKB + c48*PAGE + c49*PTRE + x40*PAGC + d75*RAGWA + d76*PAGC + d77*PAGE + d78*PWRE + d79*PTRE + x41*DKAW1 + x42*DKAW2 + x43*DESE + x44*KRIS + x45*YEAR; w70*DKAW1 + w71*DKAW2 + w72*DESE + w73*KRIS + w74*YEAR; PLAKR = e10 + e11*ROIKR + e12*PVKR + e13*PEST + e14*RSKB + PGRA = c50 + c51*ECOG + c52*POPG + c53*POPD + c54*SSTN + c55*RAGWA + c56*RPFER + c57*RSKB + c58*PAGE + c59*PTRE + x50*PAGC + e15*RAGWA + e16*PAGC + e17*PAGE + e18*PWRE + e19*PTRE + x51*DKAW1 + x52*DKAW2 + x53*DESE + x54*KRIS + x55*YEAR; v10*DKAW1 + v11*DKAW2 + v12*DESE + v13*KRIS + v14*YEAR; PWOD = c60 + c61*ECOG + c62*POPG + c63*POPD + c64*SSHT + c65*RAGWA + PLAKS = e20 + e21*ROIKS + e22*PVKS + e23*PEST + e24*RSKB + c66*RPFER + c67*RSKB + c68*PAGE + c69*PTRE + x60*PAGC + e25*RAGWA + e26*PAGC + e27*PAGE + e28*PWRE + e29*PTRE + x61*DKAW1 + x62*DKAW2 + x63*DESE + x64*KRIS + x65*YEAR; v20*DKAW1 + v21*DKAW2 + v22*DESE + v23*KRIS + v24*YEAR; PTEM = c70 + c71*ECOG + c72*POPG + c73*POPD + c74*ECOS + c75*RAGWA + PLAKL = e30 + e31*ROIKL + e32*PVKL + e33*PEST + e34*RSKB + c76*RPFER + c77*RSKB + c78*PAGE + c79*PTRE + x70*PAGC + e35*RAGWA + e36*PAGC + e37*PAGE + e38*PWRE + e39*PTRE + x71*DKAW1 + x72*DKAW2 + x73*DESE + x74*KRIS + x75*YEAR; v30*DKAW1 + v31*DKAW2 + v32*DESE + v33*KRIS + v34*YEAR; PSWA = c80 + c81*ECOG + c82*POPG + c83*POPD + c84*ECOS + c85*RAGWA + PLAKP = e40 + e41*ROIKP + e42*PVKP + e43*PEST + e44*RSKB + c86*RPFER + c87*RSKB + c88*PAGE + c89*PTRE + x80*PAGC + e45*RAGWA + e46*PAGC + e47*PAGE + e48*PWRE + e49*PTRE + x81*DKAW1 + x82*DKAW2 + x83*DESE + x84*KRIS + x85*YEAR; v40*DKAW1 + v41*DKAW2 + v42*DESE + v43*KRIS + v44*YEAR; PHOU = c90 + c91*ECOG + c92*POPG + c93*POPD + c94*JRTG + c95*RPSMN PLAKM = e50 + e51*ROIKM + e52*PVKM + e53*PEST + e54*RSKB + + c96*RPLOG + c97*UMRR + c98*RSKB + c99*PTRE + x90*PRDE + e55*RAGWA + e56*PAGC + e57*PAGE + e58*PWRE + e59*PTRE + x91*DKAW1 + x92*DKAW2 + x93*DESE + x94*KRIS + x95*YEAR; v50*DKAW1 + v51*DKAW2 + v52*DESE + v53*KRIS + v54*YEAR; PCUL = PWET + PDRY + PEST + PWOD + PDYK + PGRA; PLFBD = e60 + e61*RPIKB + e62*PVBD + e63*PWET + e64*PDYK + e65*RSKB PUSE = PCUL + PTEM + PSWA + PHOU; + e66*RAGWA + e67*PAGC + e68*PAGE + e69*PWRE + v60*DKAW1 + PFOR = 100‐ PUSE; v61*DKAW2 + v62*DESE + v63*KRIS + v64*YEAR; PLFOW = e70 + e71*RPIKO + e72*PVOW + e73*PSWA + e74*RSKB + e75*RAGWA + e76*PAGC + e77*PAGE + e78*PWRE + e79*DKAW1 + /*Blok Pilihan Komoditas*/ v70*DKAW2 + v71*DESE + v72*KRIS + v73*YEAR; PLAPS = d10 + d11*ROIBR + d12*PVPS + d13*PWET + d14*RSKB + d15*RAGWA + d16*PAGC + d17*PAGE + d18*PWRE + d19*PTRE + PPKOT = PDRY ‐ PLAPL ‐ PLAJG ‐ PLAKT ‐ PLAKD ‐ PLAUJ ‐ PLAUK; w10*DKAW1 + w11*DKAW2 + w12*DESE + w13*KRIS + w14*YEAR; PKBOT = PEST ‐ PLAKR ‐ PLAKS ‐ PLAKL ‐ PLAKP ‐ PLAKM; PLAPL = d20 + d21*ROIBR + d22*PVPL + d23*PDRY + d24*RSKB + d25*RAGWA + d26*PAGC + d27*PAGE + d28*PWRE + d29*PTRE + /*Blok Struktur Output*/ w20*DKAW1 + w21*DKAW2 + w22*DESE + w23*KRIS + w24*YEAR; SSPG = f10 + f11*SSNPT + f12*PLAPS + f13*PLAPL + f14*PLAJG + PLAJG = d30 + d31*ROIJG + d32*PVJG + d33*PDRY + d34*RSKB + f15*PLAKT + f16*PLAKD + f17*PLAUJ + f18*PLAUK + f19*PPKOT + d35*RAGWA + d36*PAGC + d37*PAGE + d38*PWRE + d39*PTRE + u10*DKAW1 + u11*DKAW2 + u12*DESE + u13*KRIS + u14*YEAR; w30*DKAW1 + w31*DKAW2 + w32*DESE + w33*KRIS + w34*YEAR; SSKB = f20 + f21*SSNPT + f22*PLAKR + f23*PLAKS + f24*PLAKP + PLAKT = d40 + d41*ROIKT + d42*PVKT + d43*PDRY + d44*RSKB + f25*PLAKL + f26*PLAKM + f27*PKBOT + f28*DKAW1 + f29*DKAW2 + d45*RAGWA + d46*PAGC + d47*PAGE + d48*PWRE + d49*PTRE + u20*DESE + u21*KRIS + u22*YEAR; w40*DKAW1 + w41*DKAW2 + w42*DESE + w43*KRIS + w44*YEAR; SSTN = f30 + f31*SSNPT + f32*PGRA + f33*POPS + f34*POPK + f35*POPM + f36*PAGE + f37*PAGC + f38*DKAW1 + f39*DKAW2 + u30*DESE + u31*KRIS + u32*YEAR;
329
SSIK = f40 + f41*SSNPT + f42*PDYK + f43*PLFOW + f44*PLFBD + LABS = g50 + g51*ECOS + g52*TPAK + g53*RWIND + g54*PAGE + g55*PIDE f45*DEGTN + f46*PAGE + f47*PAGC + f48*PWRE + f49*DKAW1 + + g56*PAGC + g57*PROC + g58*PUKC + g59*DKAW1 + t50*DKAW2 + u40*DKAW2 + u41*DESE + u42*KRIS + u43*YEAR; t51*DESE + t52*KRIS + t53*YEAR; SSHT = f50 + f51*SSNPT + f52*PWOD + f53*PFOR + f54*LHPHS + f55*PAGE UNEM = g60 + g61*UMRR + g62*(ECOG/POPG) + g63*TPAK + g64*LABS + g65*PPUK + g66*PDEX + g67*PIDE + g68*PROC + g69*PUKC + + f56*PAGC + f57*DKAW1 + f58*DKAW2 + f59*DESE + u50*KRIS + u51*YEAR; t60*DKAW1 + t61*DKAW2 + t62*DESE + t63*KRIS + t64*YEAR; ECOS = SSPG + SSKB + SSTN + SSIK + SSHT; /*Blok Degradasi Taman Nasional*/ DEGHS = h10 + h11*PFOR + h12*(ECOG/POPG) + h13*UNEM + h14*RPLOG + h15*RKBMT + h16*LHPHS + h17*DKAW1 + h18*DKAW2 + h19*DESE + s10*KRIS + s11*YEAR; RHSTN = h20 + h21*DEGHS + h22*(ECOG/POPG) + h23*RPLOG + h24*LHPHS + /*Blok Ekonomi dan Tenaga Kerja*/ h25*PEVE + h26*DKAW1 + h27*DKAW2 + h28*DESE + h29*KRIS + ECOG = g10 + g11*ECOS + g12*TPAK + g13*LABS + g14*PPAD + g15*PSRE s20*YEAR; + g16*PUKC + g17*DKAW1 + g18*DKAW2 + g19*DESE + t10*KRIS + DEGTN = h30 + h31*RHSTN + h32*PDBK + h33*UNEM + h34*RPLOG + t11*YEAR; h35*RKBMT + h36*LHPHS + h37*DKAW1 + h38*DKAW2 + PDBK = g20 + g21*(ECOG/POPG) + g22*DEPR + g23*RWIND + g24*PHRE + g25*PIDE + g26*PROC + g27*PUKC + g28*DKAW1 + g29*DKAW2 + h39*DESE + s30*KRIS + s31*YEAR; t20*DESE + t21*KRIS + t22*YEAR; DEPR = g30 + g31*PPUK + g32*POPG + g33*RJAK + g34*PSWE + g35*PHRE RANGE NO = 34 TO 37; + g36*DKAW1 + g37*DKAW2 + g38*DESE + g39*KRIS + t30*YEAR; RUN; TPAK = g40 + g41*DEPR + g42*SEXR + g43*RJAK + g44*PSWE + g45*PHRE + g46*PIDE + g47*PUKC + g48*DKAW1 + g49*DKAW2 + t40*DESE + t41*KRIS + t42*YEAR;
Lampiran 18. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Bengkulu Tahun 2007 - 2010
NO
YEAR
SKENARIO
_TYPE_
MODE
ERRORS
PAGE
PIDE
PWRE
PTRE
PRDE
PHRE
PSRE
PSWE
PEVE
POTE
PDEX
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.185
1.372
1.189
4.490
3.007
2.165
0.291
1.922
0.491
7.406
23.519
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.184
1.325
1.167
4.252
2.990
2.116
0.287
1.901
0.482
7.485
23.189
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.182
1.282
1.146
4.032
2.980
2.072
0.283
1.882
0.474
7.564
22.898
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.179
1.240
1.126
3.827
2.977
2.031
0.280
1.867
0.466
7.646
22.639
1.183
1.305
1.157
4.150
2.989
2.096
0.285
1.893
0.478
7.525
23.061
1.078
2.006
1.463
8.684
4.776
18.015
0.409
2.681
0.563
7.872
47.547
Nilai Dasar
Rata-rata 14
2007
P3-20R_25
PREDICT
SIMULATE
0.000
330
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.075
1.970
1.446
8.512
4.786
18.028
0.406
2.671
0.555
7.958
47.407
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.071
1.935
1.429
8.350
4.801
18.039
0.404
2.664
0.548
8.044
47.285
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.068
1.901
1.412
8.197
4.820
18.049
0.402
2.658
0.540
8.131
47.178
1.073
1.953
1.438
8.436
4.796
18.033
0.405
2.669
0.552
8.001
47.354
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.068
2.067
1.490
9.089
4.947
18.776
0.420
2.754
0.570
7.917
49.098
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.064
2.032
1.473
8.923
4.960
18.791
0.418
2.746
0.562
8.003
48.973
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.061
1.998
1.456
8.767
4.977
18.804
0.416
2.739
0.555
8.090
48.864
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.057
1.965
1.440
8.619
4.998
18.815
0.414
2.734
0.548
8.178
48.769
1.063
2.016
1.465
8.850
4.971
18.797
0.417
2.743
0.559
8.047
48.926
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.058
2.125
1.515
9.473
5.109
19.536
0.431
2.824
0.577
7.960
50.607
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.054
2.091
1.498
9.313
5.124
19.554
0.429
2.817
0.569
8.047
50.496
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.051
2.058
1.482
9.162
5.144
19.569
0.427
2.811
0.562
8.134
50.399
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.047
2.025
1.466
9.019
5.167
19.582
0.425
2.806
0.555
8.223
50.315
1.053
2.075
1.490
9.242
5.136
19.560
0.428
2.815
0.566
8.091
50.454
Rata-rata
P3-21R_27
Rata-rata
Rata-rata
P3-22R_29
331
Lampiran 18. Lanjutan YEAR
PROC
PUKC
PAGC
PWET
PDRY
PEST
PDYK
PGRA
PTEM
PWOD
PSWA
PHOU
PCUL
PUSE
PLAPS
PLAPL
2007
67.038
37.785
41.526
3.208
30.087
15.185
0.183
1.134
5.803
7.528
0.000
5.488
56.191
68.616
2.046
0.197
2008
67.605
37.668
42.348
3.030
33.031
15.077
0.179
1.245
5.382
7.616
0.000
5.520
58.933
71.080
2.081
0.020
2009
68.161
37.574
43.145
2.851
36.206
14.965
0.175
1.362
4.968
7.703
0.000
5.551
61.900
73.781
2.116
0.000
2010
68.699
37.504
43.906
2.672
39.402
14.852
0.172
1.478
4.555
7.790
0.000
5.583
64.888
76.504
2.150
0.000
Rataan
67.876
37.633
42.731
2.940
34.682
15.020
0.177
1.305
5.177
7.659
0.000
5.536
60.478
72.495
2.098
0.054
2007
63.222
41.722
34.306
3.186
28.865
14.865
0.207
1.049
5.477
7.975
0.815
5.463
55.098
67.902
1.928
0.137
2008
63.713
41.705
34.984
3.007
31.775
14.567
0.203
1.159
5.053
8.066
0.589
5.495
57.618
69.914
1.962
0.010
2009
64.202
41.701
35.654
2.828
34.915
14.444
0.200
1.274
4.637
8.156
0.366
5.526
60.542
72.345
1.994
0.008
2010
64.681
41.710
36.304
2.649
38.065
14.315
0.196
1.390
4.221
8.245
0.141
5.557
63.470
74.779
2.027
0.006
Rataan
63.955
41.710
35.312
2.918
33.405
14.548
0.202
1.218
4.847
8.111
0.478
5.510
59.182
71.235
1.978
0.040
2007
62.765
42.255
33.442
3.185
28.643
14.638
0.209
1.041
5.456
7.998
0.747
5.461
54.674
67.379
1.916
0.011
2008
63.247
42.249
34.104
3.007
31.678
14.514
0.205
1.150
5.032
8.089
0.521
5.492
57.493
69.688
1.949
0.010
2009
63.729
42.254
34.761
2.827
34.810
14.388
0.202
1.266
4.615
8.179
0.296
5.523
60.405
72.105
1.981
0.008
2010
64.202
42.272
35.399
2.648
37.959
14.263
0.198
1.381
4.199
8.268
0.071
5.554
63.336
74.541
2.014
0.006
Rataan
63.486
42.258
34.427
2.917
33.272
14.451
0.204
1.210
4.826
8.134
0.409
5.508
58.977
70.928
1.965
0.009
2007
62.335
42.752
32.631
3.184
28.667
14.588
0.211
1.033
5.435
8.021
0.683
5.458
54.671
67.280
1.904
0.126
2008
62.810
42.756
33.280
3.006
31.584
14.463
0.207
1.142
5.011
8.112
0.456
5.490
57.373
69.472
1.937
0.009
2009
63.286
42.770
33.924
2.826
34.709
14.338
2010
63.753
42.796
34.551
2.647
37.858
14.212
Rataan
63.046
42.769
33.597
2.916
33.205
14.400
0.204 0.200 0.206
1.257 1.373 1.201
4.594 4.178 4.805
8.202 8.291 8.157
0.230 0.004 0.343
5.520 5.552 5.505
60.279
71.880
63.208
74.315
58.882
70.736
1.969 2.001 1.953
0.008 0.006 0.037
332
Lampiran 18. Lanjutan YEAR
PLAJG
PLAKT
PLAKD
PLAUJ
PLAUK
PPKOT
PLAKR
PLAKS
PLAKL
PLAKP
PLAKM
PKBOT
PLFBD
PLFOW
POTKM
SSPG
2007
0.632
0.235
0.013
0.062
0.314
28.634
2.776
2.093
0.682
9.207
0.427
0.000
0.435
0.033
8.845
30.112
2008
0.420
0.196
0.000
0.000
0.271
32.124
2.685
2.083
0.674
9.317
0.318
0.000
0.437
0.000
9.041
30.952
2009
0.207
0.158
0.000
0.000
0.228
35.613
2.592
2.072
0.666
9.428
0.207
0.000
0.439
0.000
9.240
31.792
2010
0.000
0.120
0.000
0.000
0.184
39.098
2.498
2.059
0.659
9.539
0.097
0.000
0.441
0.000
9.440
32.631
Rataan
0.315
0.177
0.003
0.016
0.249
33.867
2.638
2.077
0.670
9.373
0.262
0.000
0.438
0.008
9.142
31.372
2007
0.660
0.260
0.084
0.140
0.223
27.361
1.846
2.039
0.760
9.604
0.422
0.194
0.396
0.096
9.231
29.860
2008
0.448
0.222
0.059
0.023
0.179
30.834
1.744
2.026
0.753
9.719
0.312
0.013
0.398
0.057
9.428
30.697
2009
0.236
0.184
0.034
0.009
0.135
34.309
1.641
2.013
0.746
9.835
0.202
0.007
0.399
0.019
9.630
31.534
2010
0.023
0.146
0.009
0.008
0.090
37.783
1.537
1.998
0.739
9.950
0.091
0.000
0.401
0.020
9.831
32.370
Rataan
0.342
0.203
0.047
0.045
0.157
32.572
1.692
2.019
0.750
9.777
0.257
0.053
0.399
0.048
9.530
31.115
2007
0.663
0.262
0.089
0.146
0.215
27.257
1.771
2.024
0.767
9.639
0.420
0.017
0.393
0.101
9.247
29.838
2008
0.450
0.224
0.064
0.030
0.171
30.729
1.667
2.011
0.760
9.755
0.310
0.011
0.395
0.063
9.445
30.674
2009
0.238
0.186
0.039
0.009
0.127
34.203
1.563
1.997
0.753
9.871
0.199
0.005
0.396
0.024
9.646
31.511
2010
0.026
0.148
0.014
0.008
0.082
37.675
1.459
1.982
0.746
9.987
0.089
0.000
0.398
0.014
9.847
32.347
Rataan
0.344
0.205
0.052
0.048
0.149
32.466
1.615
2.004
0.757
9.813
0.255
0.008
0.396
0.051
9.546
31.093
2007
0.665
0.264
0.094
0.152
0.208
27.158
1.698
2.010
0.773
9.673
0.418
0.016
0.390
0.106
9.264
29.816
2008
0.452
0.226
0.069
0.036
0.164
30.628
1.594
1.997
0.766
9.789
0.308
0.009
0.392
0.068
9.462
30.652
2009
0.240
0.188
0.044
0.009
0.119
34.101
1.489
1.983
0.760
9.906
0.197
0.003
0.393
0.029
9.663
31.488
2010
0.028
0.150
0.019
0.008
0.075
37.572
1.384
1.967
0.753
10.022
0.086
0.000
0.395
0.009
9.864
32.325
Rataan
0.346
0.207
0.057
0.051
0.142
32.365
1.541
1.989
0.763
9.848
0.252
0.007
0.393
0.053
9.563
31.070
333
Lampiran 18. Lanjutan YEAR
SSKB
SSTN
SSIK
SSHT
ECOS
ECOG
PDBK
DEPR
TPAK
UNEM
LABS
PFOR
DEGHS
DEGTN
RHSTN
2007
6.861
3.652
1.309
3.335
45.270
4.487
1.137
62.922
65.353
5.522
78.931
31.384
21.927
5.532
39.825
2008
6.661
3.663
1.263
3.313
45.852
4.433
1.125
63.299
65.506
5.653
79.365
28.920
21.748
5.563
40.004
2009
6.460
3.687
1.215
3.290
46.443
4.375
1.112
63.672
65.664
5.782
79.800
26.219
21.571
5.594
40.182
2010
6.259
3.711
1.165
3.268
47.034
4.321
1.100
64.040
65.825
5.908
80.234
23.496
21.393
5.626
40.361
Rataan
6.560
3.678
1.238
3.302
46.150
4.404
1.119
63.483
65.587
5.716
79.583
27.505
21.660
5.579
40.093
2007
6.354
3.658
0.992
3.397
44.261
5.853
1.270
64.142
67.092
4.199
77.000
32.098
21.413
5.591
39.659
2008
6.148
3.669
0.940
3.376
44.830
5.818
1.258
64.508
67.264
4.314
77.418
30.086
21.226
5.626
39.835
2009
5.941
3.693
0.887
3.354
45.409
5.778
1.247
64.871
67.437
4.428
77.840
27.655
21.041
5.661
40.012
2010
5.735
3.716
0.834
3.332
45.987
5.739
1.235
65.230
67.613
4.540
78.262
25.221
20.857
5.696
40.188
Rataan
6.045
3.684
0.913
3.365
45.122
5.797
1.253
64.688
67.352
4.370
77.630
28.765
21.134
5.644
39.924
2007
6.314
3.659
0.961
3.403
44.175
5.980
1.276
64.135
67.223
4.086
76.886
32.621
21.372
5.609
39.645
2008
6.107
3.670
0.908
3.381
44.740
5.947
1.265
64.499
67.396
4.199
77.304
30.312
21.184
5.644
39.821
2009
5.900
3.694
0.855
3.359
45.319
5.908
1.253
64.860
67.571
4.311
77.725
27.895
20.998
5.679
39.997
2010
5.694
3.718
0.801
3.338
45.898
5.871
1.241
65.218
67.748
4.422
78.145
25.459
20.813
5.714
40.174
Rataan
6.004
3.685
0.881
3.370
45.033
5.927
1.259
64.678
67.485
4.255
77.515
29.072
21.092
5.662
39.909
2007
6.275
3.660
0.931
3.408
44.090
6.101
1.283
64.134
67.348
3.977
76.775
32.720
21.331
5.625
39.631
2008
6.068
3.671
0.878
3.386
44.655
6.070
1.271
64.496
67.523
4.089
77.192
30.528
21.143
5.660
39.807
2009
5.861
3.695
0.824
3.365
45.233
6.032
1.259
64.856
67.699
4.200
77.612
28.120
20.956
5.696
39.983
2010
5.654
3.719
0.770
3.343
45.811
5.996
1.248
65.213
67.877
4.310
78.031
25.685
20.771
5.732
40.160
Rataan
5.965
3.686
0.851
3.376
44.947
6.050
1.265
64.675
67.612
4.144
77.403
29.264
21.050
5.678
39.895
334
Lampiran 19. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Jambi Tahun 2007 - 2010 NO
YEAR
SKENARIO
_TYPE_
MODE
ERRORS
PAGE
PIDE
PWRE
PTRE
PRDE
PHRE
PSRE
PSWE
PEVE
POTE
PDEX
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.973
2.095
1.635
8.477
2.615
3.355
0.584
1.362
0.952
6.020
28.069
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.984
2.120
1.649
8.533
2.509
3.350
0.582
1.339
0.961
5.865
27.890
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.993
2.143
1.661
8.590
2.412
3.347
0.580
1.318
0.969
5.719
27.734
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
1.003
2.170
1.676
8.664
2.315
3.347
0.578
1.298
0.977
5.566
27.596
0.988
2.132
1.655
8.566
2.463
3.350
0.581
1.329
0.965
5.793
27.822
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.890
2.584
1.847
11.713
3.980
16.481
0.675
1.948
1.008
6.379
47.506
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.900
2.614
1.863
11.803
3.889
16.451
0.674
1.931
1.017
6.228
47.368
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.909
2.642
1.878
11.890
3.804
16.425
0.673
1.915
1.025
6.086
47.246
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.918
2.673
1.894
11.990
3.718
16.402
0.672
1.900
1.034
5.936
47.136
0.904
2.628
1.871
11.849
3.848
16.440
0.674
1.924
1.021
6.157
47.314
Nilai Dasar
Rata-rata
P3-20R_25
Rata-rata 14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.883
2.631
1.867
12.023
4.110
17.202
0.684
2.004
1.013
6.414
48.831
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.892
2.661
1.883
12.116
4.021
17.173
0.682
1.987
1.022
6.263
48.702
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.901
2.690
1.898
12.206
3.938
17.149
0.681
1.972
1.031
6.121
48.587
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.910
2.722
1.915
12.309
3.852
17.127
0.681
1.958
1.040
5.971
48.484
0.897
2.676
1.891
12.164
3.980
17.163
0.682
1.980
1.027
6.192
48.651
P3-21R_27
Rata-rata 14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.875
2.676
1.887
12.320
4.235
17.923
0.692
2.058
1.018
6.447
50.130
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.884
2.707
1.903
12.416
4.147
17.896
0.691
2.042
1.027
6.296
50.008
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.893
2.736
1.918
12.509
4.065
17.872
0.690
2.027
1.036
6.155
49.901
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.902
2.768
1.935
12.614
3.981
17.852
0.689
2.013
1.045
6.005
49.803
0.889
2.722
1.911
12.465
4.107
17.886
0.691
2.035
1.032
6.226
49.961
Rata-rata
P3-22R_29
335
Lampiran 19. Lanjutan YEAR
PROC
PUKC
PAGC
PWET
PDRY
PEST
PDYK
PGRA
PTEM
PWOD
PSWA
PHOU
PCUL
PUSE
PLAPS
PLAPL
2007
63.087
39.213
39.345
1.865
21.519
36.341
0.011
0.574
7.131
5.805
2.392
2.326
65.541
77.964
1.900
0.609
2008
63.547
38.954
39.958
1.707
23.947
37.246
0.005
0.640
7.116
5.485
2.449
2.233
68.390
80.828
2.000
0.507
2009
63.982
38.713
40.532
1.549
26.395
38.135
-
0.705
7.090
5.167
2.500
2.139
71.246
83.680
2.099
0.405
2010
64.422
38.489
41.109
1.391
28.822
39.290
-
0.771
7.071
4.849
2.553
2.045
74.352
86.792
2.198
0.302
Rataan
63.760
38.842
40.236
1.628
25.171
37.753
0.004
0.673
7.102
5.327
2.474
2.186
69.882
82.316
2.049
0.456
2007
59.832
41.908
33.207
1.856
20.694
34.059
0.029
0.503
6.900
6.120
1.806
2.310
62.758
74.277
1.809
0.568
2008
60.211
41.699
33.670
1.698
23.097
34.952
0.024
0.568
6.888
5.795
1.859
2.216
65.566
77.097
1.907
0.465
2009
60.569
41.500
34.101
1.542
25.523
35.837
0.018
0.632
6.863
5.472
1.906
2.122
68.392
79.915
2.005
0.364
2010
60.935
41.311
34.539
1.384
27.929
36.955
0.012
0.696
6.847
5.149
1.955
2.028
71.429
82.955
2.103
0.262
Rataan
60.387
41.605
33.879
1.620
24.311
35.451
0.021
0.600
6.875
5.634
1.882
2.169
67.036
78.561
1.956
0.415
2007
59.459
42.274
32.505
1.856
20.610
33.871
0.031
0.496
6.885
6.136
1.754
2.308
62.504
73.947
1.800
0.564
2008
59.831
42.069
32.954
1.698
23.013
34.765
0.025
0.561
6.873
5.811
1.806
2.214
65.312
76.766
1.898
0.462
2009
60.182
41.873
33.372
1.542
25.440
35.647
0.019
0.625
6.849
5.488
1.853
2.120
68.136
79.583
1.996
0.361
2010
60.541
41.687
33.798
1.384
27.844
36.778
0.013
0.689
6.832
5.164
1.902
2.026
71.183
82.632
2.093
0.258
Rataan
60.003
41.976
33.157
1.620
24.227
35.265
0.022
0.593
6.860
5.650
1.829
2.167
66.784
78.232
1.947
0.411
2007
59.106
42.617
31.840
1.856
20.530
33.690
0.033
0.489
6.870
6.152
1.704
2.306
62.261
73.630
1.791
0.561
2008
59.471
42.416
32.276
1.698
22.932
34.583
0.027
0.554
6.858
5.827
1.755
2.212
65.067
76.446
1.888
0.458
2009
59.816
42.223
32.682
1.542
25.357
35.463
0.021
0.618
6.834
5.503
1.802
2.118
67.886
79.258
1.986
0.357
2010
60.168
42.040
33.096
1.384
27.762
36.610
0.015
0.682
6.818
5.180
1.851
2.024
70.952
82.327
2.084
0.255
Rataan
59.640
42.324
32.474
1.620
24.145
35.087
0.024
0.586
6.845
5.666
1.778
2.165
66.541
77.915
1.937
0.408
336
Lampiran 19. Lanjutan YEAR
PLAJG
PLAKT
PLAKD
PLAUJ
PLAUK
PPKOT
PLAKR
PLAKS
PLAKL
PLAKP
PLAKM
PKBOT
PLFBD
PLFOW
POTKM
SSPG
2007
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
20.910
17.933
0.754
0.350
1.059
3.525
12.720
0.153
1.086
6.390
21.419
2008
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
23.440
18.211
0.452
0.338
0.919
3.367
13.959
0.161
1.030
6.130
21.972
2009
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
25.990
18.486
0.151
0.325
0.781
3.209
15.183
0.170
0.974
5.871
22.503
2010
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
28.520
18.759
0.115
0.313
0.642
3.051
16.410
0.178
0.918
5.613
23.050
Rataan
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
24.715
18.347
0.368
0.332
0.850
3.288
14.568
0.166
1.002
6.001
22.236
2007
0.078
0.096
0.010
0.009
0.001
19.933
17.238
0.688
0.408
1.374
3.521
10.830
0.125
1.133
6.652
21.216
2008
0.062
0.093
0.010
0.008
0.001
22.458
17.513
0.381
0.396
1.236
3.362
12.064
0.134
1.077
6.387
21.766
2009
0.046
0.090
0.010
0.008
0.001
25.005
17.788
0.074
0.385
1.101
3.204
13.285
0.142
1.021
6.122
22.295
2010
0.030
0.087
0.010
0.007
0.001
27.533
18.061
0.001
0.373
0.965
3.045
14.510
0.151
0.965
5.857
22.840
Rataan
0.054
0.091
0.010
0.008
0.001
23.732
17.650
0.286
0.391
1.169
3.283
12.672
0.138
1.049
6.255
22.029
2007
0.078
0.096
0.010
0.009
0.001
19.852
17.181
0.674
0.414
1.402
3.519
10.681
0.123
1.137
6.663
21.198
2008
0.062
0.093
0.010
0.009
0.001
22.377
17.456
0.368
0.402
1.265
3.360
11.914
0.132
1.081
6.397
21.747
2009
0.046
0.090
0.010
0.008
0.001
24.924
17.731
0.060
0.390
1.130
3.202
13.134
0.140
1.025
6.132
22.277
2010
0.030
0.087
0.010
0.007
0.001
27.451
18.003
0.001
0.378
0.994
3.043
14.359
0.148
0.969
5.867
22.821
Rataan
0.054
0.091
0.010
0.008
0.001
23.651
17.593
0.276
0.396
1.198
3.281
12.522
0.136
1.053
6.265
22.011
2007
0.078
0.096
0.010
0.009
0.001
19.775
17.126
0.662
0.419
1.429
3.518
10.536
0.121
1.140
6.674
21.180
2008
0.062
0.093
0.010
0.009
0.001
22.299
17.401
0.355
0.407
1.292
3.359
11.769
0.129
1.084
6.408
21.730
2009
0.046
0.090
0.010
0.008
0.001
24.845
17.675
0.047
0.395
1.157
3.201
12.988
0.138
1.029
6.142
22.259
2010
0.030
0.087
0.010
0.007
0.001
27.372
17.948
0.002
0.383
1.022
3.042
14.213
0.146
0.973
5.877
22.803
Rataan
0.054
0.092
0.010
0.008
0.001
23.573
17.538
0.267
0.401
1.225
3.280
12.377
0.134
1.057
6.275
21.993
337
Lampiran 19. Lanjutan YEAR
SSKB
SSTN
SSIK
SSHT
ECOS
ECOG
PDBK
DEPR
TPAK
UNEM
LABS
PFOR
DEGHS
DEGTN
RHSTN
2007
16.857
3.537
3.856
0.516
46.184
3.458
1.233
52.420
58.985
3.935
78.585
22.036
11.807
8.015
58.511
2008
16.987
3.549
3.779
0.475
46.761
3.218
1.231
52.197
58.922
4.140
78.897
19.172
11.474
8.034
59.161
2009
17.115
3.561
3.703
0.434
47.316
2.994
1.229
51.970
58.859
4.341
79.207
16.320
11.136
8.054
59.809
2010
17.242
3.573
3.625
0.394
47.883
2.760
1.227
51.742
58.800
4.542
79.510
13.208
10.796
8.075
60.457
Rataan
17.050
3.555
3.741
0.455
47.036
3.108
1.230
52.082
58.892
4.240
79.050
17.684
11.303
8.045
59.485
2007
16.479
3.542
3.611
0.564
45.412
4.603
1.346
53.508
60.371
2.871
77.215
25.723
11.574
8.048
58.401
2008
16.608
3.555
3.531
0.523
45.983
4.379
1.344
53.270
60.314
3.067
77.542
22.903
11.251
8.070
59.051
2009
16.737
3.567
3.453
0.483
46.535
4.170
1.342
53.029
60.257
3.259
77.867
20.085
10.925
8.093
59.700
2010
16.864
3.580
3.372
0.443
47.099
3.952
1.340
52.789
60.203
3.451
78.189
17.045
10.597
8.115
60.350
Rataan
16.672
3.561
3.492
0.503
46.257
4.276
1.343
53.149
60.286
3.162
77.703
21.439
11.087
8.082
59.376
2007
16.449
3.543
3.587
0.568
45.345
4.709
1.352
53.525
60.478
2.779
77.134
26.053
11.556
8.059
58.392
2008
16.578
3.556
3.507
0.528
45.916
4.486
1.350
53.285
60.422
2.974
77.462
23.234
11.234
8.081
59.042
2009
16.706
3.568
3.428
0.487
46.466
4.280
1.348
53.044
60.365
3.165
77.789
20.417
10.909
8.104
59.691
2010
16.834
3.581
3.347
0.447
47.030
4.063
1.346
52.803
60.312
3.356
78.111
17.368
10.583
8.127
60.341
Rataan
16.642
3.562
3.467
0.508
46.189
4.385
1.349
53.164
60.394
3.069
77.624
21.768
11.071
8.093
59.367
2007
16.420
3.544
3.564
0.572
45.280
4.811
1.359
53.546
60.581
2.691
77.054
26.370
11.539
8.070
58.383
2008
16.549
3.557
3.484
0.532
45.852
4.590
1.357
53.306
60.526
2.884
77.383
23.554
11.218
8.092
59.033
2009
16.677
3.569
3.404
0.492
46.401
4.384
1.355
53.064
60.470
3.075
77.711
20.742
10.894
8.115
59.683
2010
16.805
3.582
3.324
0.451
46.965
4.169
1.353
52.822
60.418
3.265
78.034
17.673
10.569
8.138
60.332
Rataan
16.613
3.563
3.444
0.512
46.125
4.489
1.356
53.185
60.499
2.979
77.546
22.085
11.055
8.104
59.358
338
Lampiran 20. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar dan Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kawasan Sumatera Barat Tahun 2007 - 2010 NO
YEAR
SKENARIO
_TYPE_
MODE
ERRORS
PAGE
PIDE
PWRE
PTRE
PRDE
PHRE
PSRE
PSWE
PEVE
POTE
PDEX
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.984
1.250
0.933
6.988
3.185
2.675
0.235
0.741
0.655
5.738
23.384
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.986
1.223
0.920
6.824
3.139
2.636
0.231
0.717
0.651
5.748
23.076
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.989
1.200
0.910
6.685
3.095
2.603
0.227
0.696
0.647
5.752
22.805
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.990
1.177
0.900
6.553
3.062
2.572
0.224
0.678
0.644
5.766
22.566
0.987
1.213
0.916
6.763
3.120
2.622
0.229
0.708
0.649
5.751
22.958
14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.878
1.879
1.205
11.142
4.937
18.734
0.351
1.493
0.726
6.200
47.545
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.879
1.860
1.196
11.040
4.917
18.752
0.349
1.480
0.723
6.217
47.414
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.879
1.846
1.190
10.956
4.896
18.768
0.347
1.469
0.720
6.226
47.298
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.879
1.830
1.182
10.871
4.884
18.781
0.346
1.460
0.718
6.246
47.197
0.879
1.854
1.193
11.002
4.909
18.759
0.348
1.476
0.722
6.222
47.364
Nilai Dasar
Rata-rata
P3-20R_25
Rata-rata 14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.868
1.939
1.231
11.543
5.106
19.494
0.363
1.566
0.733
6.244
49.087
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.868
1.922
1.223
11.447
5.089
19.514
0.361
1.554
0.730
6.262
48.969
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.869
1.908
1.217
11.368
5.070
19.531
0.359
1.544
0.728
6.272
48.866
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.869
1.893
1.210
11.289
5.060
19.546
0.357
1.535
0.725
6.292
48.776
0.869
1.916
1.220
11.412
5.081
19.521
0.360
1.550
0.729
6.268
48.925
P3-21R_27
Rata-rata 14
2007
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.858
1.997
1.256
11.924
5.267
20.253
0.373
1.634
0.739
6.286
50.588
15
2008
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.858
1.980
1.248
11.833
5.251
20.276
0.371
1.624
0.736
6.305
50.484
16
2009
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.859
1.967
1.242
11.759
5.235
20.295
0.370
1.614
0.734
6.316
50.392
17
2010
PREDICT
SIMULATE
0.000
0.859
1.953
1.236
11.684
5.226
20.312
0.368
1.607
0.732
6.336
50.311
0.859
1.974
1.246
11.800
5.245
20.284
0.371
1.620
0.735
6.311
50.444
Rata-rata
P3-22R_29
339
Lampiran 20. Lanjutan YEAR
PROC
PUKC
PAGC
PWET
PDRY
PEST
PDYK
PGRA
PTEM
PWOD
PSWA
PHOU
PCUL
PUSE
PLAPS
PLAPL
2007
63.377
55.178
38.831
5.764
22.100
9.781
0.047
1.350
3.254
11.743
0.116
3.041
49.435
57.196
6.205
0.000
2008
64.296
54.806
40.272
5.577
24.581
9.907
0.042
1.389
3.140
11.466
0.060
3.035
51.573
59.197
6.269
0.000
2009
65.165
54.462
41.620
5.390
27.058
10.194
0.038
1.428
3.026
11.189
0.002
3.029
53.869
61.354
6.332
0.000
2010
66.005
54.128
42.914
5.204
29.545
10.479
0.033
1.466
2.912
10.911
0.000
3.024
56.172
63.574
6.394
0.000
Rataan
64.711
54.644
40.909
5.484
25.821
10.090
0.040
1.408
3.083
11.327
0.045
3.032
52.762
60.330
6.300
0.000
2007
59.279
58.864
31.096
5.750
20.904
7.612
0.070
1.261
2.956
12.149
0.366
3.018
46.485
54.086
6.088
0.007
2008
60.143
58.594
32.433
5.562
23.343
7.618
0.066
1.299
2.837
11.877
0.300
3.012
48.466
55.914
6.149
0.006
2009
60.966
58.340
33.693
5.374
25.797
7.602
0.061
1.337
2.719
11.603
0.233
3.006
50.436
57.731
6.211
0.005
2010
61.767
58.087
34.912
5.188
28.240
7.634
0.057
1.375
2.602
11.330
0.163
3.000
52.449
59.589
6.272
0.005
Rataan
60.539
58.471
33.034
5.469
24.571
7.616
0.064
1.318
2.779
11.740
0.266
3.009
49.459
56.830
6.180
0.006
2007
58.793
59.378
30.180
5.749
20.804
7.561
0.072
1.252
2.937
12.167
0.300
3.016
46.353
53.858
6.075
0.007
2008
59.651
59.118
31.505
5.561
23.240
7.574
0.068
1.290
2.818
11.896
0.233
3.009
48.339
55.689
6.137
0.006
2009
60.469
58.874
32.755
5.374
25.688
7.552
0.064
1.328
2.700
11.622
0.165
3.003
50.299
57.495
6.198
0.005
2010
61.266
58.629
33.966
5.188
28.129
7.581
0.060
1.365
2.582
11.349
0.094
2.997
52.307
59.345
6.259
0.005
Rataan
60.045
59.000
32.102
5.468
24.465
7.567
0.066
1.309
2.759
11.759
0.198
3.006
49.325
56.597
6.167
0.006
2007
58.336
59.857
29.319
5.749
20.706
7.521
0.074
1.244
2.919
12.186
0.237
3.013
46.236
53.649
6.063
0.007
2008
59.190
59.607
30.634
5.561
23.142
7.543
0.070
1.282
2.800
11.914
0.169
3.007
48.230
55.488
6.125
0.006
2009
60.003
59.371
31.876
5.374
25.577
7.572
0.066
1.320
2.681
11.642
0.100
3.001
50.231
57.333
6.186
0.005
2010
60.796
59.134
33.080
5.187
28.024
7.601
0.062
1.357
2.563
11.368
0.029
2.995
52.242
59.186
6.247
0.005
Rataan
59.581
59.492
31.227
5.468
24.362
7.559
0.068
1.301
2.741
11.778
0.134
3.004
49.235
56.414
6.155
0.006
340
Lampiran 20. Lanjutan YEAR
PLAJG
PLAKT
PLAKD
PLAUJ
PLAUK
PPKOT
PLAKR
PLAKS
PLAKL
PLAKP
PLAKM
PKBOT
PLFBD
PLFOW
POTKM
SSPG
2007
0.000
0.059
0.000
0.000
0.124
21.917
2.857
0.186
1.011
2.620
1.438
1.669
0.055
2.063
13.140
24.400
2008
0.000
0.034
0.000
0.000
0.118
24.429
2.965
0.011
1.000
2.633
1.352
1.946
0.060
2.029
12.898
25.071
2009
0.000
0.009
0.000
0.000
0.112
26.937
3.070
0.000
0.988
2.649
1.266
2.221
0.064
1.995
12.654
25.741
2010
0.000
0.000
0.000
0.000
0.106
29.439
3.174
0.000
0.977
2.667
1.179
2.482
0.069
1.962
12.410
26.410
Rataan
0.000
0.026
0.000
0.000
0.115
25.681
3.017
0.049
0.994
2.642
1.309
2.080
0.062
2.012
12.776
25.406
2007
0.084
0.083
0.013
0.008
0.039
20.670
1.963
0.106
1.086
3.019
1.432
0.006
0.020
2.123
13.480
24.143
2008
0.070
0.059
0.004
0.007
0.031
23.166
2.058
0.070
1.076
3.037
1.346
0.031
0.024
2.090
13.242
24.812
2009
0.056
0.035
0.010
0.006
0.024
25.660
2.152
0.012
1.066
3.057
1.259
0.056
0.027
2.058
13.002
25.480
2010
0.042
0.011
0.010
0.006
0.017
28.150
2.246
0.001
1.056
3.079
1.173
0.079
0.031
2.025
12.761
26.146
Rataan
0.063
0.047
0.009
0.007
0.028
24.412
2.105
0.047
1.071
3.048
1.303
0.043
0.026
2.074
13.121
25.145
2007
0.084
0.085
0.018
0.008
0.032
20.570
1.891
0.088
1.093
3.054
1.430
0.005
0.017
2.128
13.491
24.120
2008
0.070
0.061
0.008
0.007
0.024
23.064
1.985
0.078
1.083
3.073
1.343
0.012
0.021
2.095
13.254
24.789
2009
0.056
0.037
0.010
0.006
0.016
25.557
2.079
0.013
1.073
3.093
1.257
0.037
0.025
2.063
13.014
25.456
2010
0.042
0.013
0.010
0.006
0.009
28.045
2.171
0.002
1.063
3.115
1.170
0.060
0.029
2.030
12.774
26.122
Rataan
0.063
0.049
0.011
0.007
0.020
24.309
2.032
0.045
1.078
3.084
1.300
0.028
0.023
2.079
13.133
25.122
2007
0.085
0.087
0.022
0.008
0.025
20.473
1.823
0.072
1.100
3.088
1.428
0.010
0.014
2.133
13.503
24.099
2008
0.070
0.063
0.012
0.007
0.017
22.966
1.916
0.056
1.089
3.107
1.341
0.034
0.018
2.100
13.266
24.767
2009
0.056
0.039
0.003
0.006
0.009
25.458
2.008
0.045
1.079
3.128
1.254
0.058
0.022
2.068
13.027
25.434
2010
0.042
0.015
0.010
0.006
0.002
27.945
2.100
0.032
1.069
3.150
1.168
0.082
0.026
2.035
12.787
26.099
Rataan
0.063
0.051
0.012
0.007
0.013
24.211
1.962
0.051
1.084
3.118
1.298
0.046
0.020
2.084
13.146
25.100
341
Lampiran 20. Lanjutan YEAR
SSKB
SSTN
SSIK
SSHT
ECOS
ECOG
PDBK
DEPR
TPAK
UNEM
LABS
PFOR
DEGHS
DEGTN
RHSTN
2007
6.714
2.755
0.039
2.745
36.575
1.893
1.329
72.494
54.595
5.768
68.954
42.804
11.152
7.829
122.779
2008
6.736
2.753
0.069
2.717
37.207
1.512
1.328
73.101
54.606
6.018
69.010
40.803
10.928
7.864
122.936
2009
6.756
2.751
0.103
2.689
37.835
1.141
1.328
73.703
54.623
6.262
69.068
38.646
10.710
7.901
123.093
2010
6.776
2.749
0.136
2.661
38.460
0.786
1.328
74.301
54.642
6.501
69.138
36.426
10.496
7.938
123.250
Rataan
6.746
2.752
0.087
2.703
37.519
1.333
1.328
73.400
54.617
6.137
69.043
39.670
10.822
7.883
123.015
2007
6.228
2.762
0.246
2.806
36.185
3.322
1.466
73.762
56.335
4.429
67.184
45.914
10.789
7.883
122.632
2008
6.243
2.760
0.211
2.779
36.805
2.955
1.466
74.358
56.363
4.664
67.218
44.086
10.550
7.922
122.785
2009
6.258
2.758
0.174
2.752
37.422
2.597
1.466
74.950
56.396
4.894
67.256
42.269
10.318
7.961
122.939
2010
6.272
2.756
0.137
2.724
38.035
2.252
1.466
75.539
56.428
5.122
67.306
40.411
10.090
8.001
123.094
Rataan
6.250
2.759
0.192
2.765
37.112
2.782
1.466
74.652
56.381
4.777
67.241
43.170
10.437
7.942
122.863
2007
6.191
2.763
0.215
2.812
36.101
3.455
1.473
73.755
56.465
4.314
67.088
46.142
10.761
7.901
122.620
2008
6.205
2.761
0.179
2.784
36.718
3.090
1.472
74.349
56.494
4.548
67.120
44.311
10.521
7.939
122.773
2009
6.219
2.759
0.141
2.757
37.332
2.732
1.472
74.941
56.528
4.777
67.156
42.505
10.288
7.979
122.927
2010
6.232
2.758
0.104
2.730
37.946
2.389
1.472
75.528
56.561
5.004
67.205
40.655
10.059
8.020
123.081
Rataan
6.212
2.760
0.160
2.771
37.024
2.917
1.472
74.643
56.512
4.661
67.142
43.403
10.407
7.960
122.850
2007
6.154
2.764
0.186
2.817
36.020
3.581
1.479
73.755
56.590
4.205
66.993
46.351
10.734
7.916
122.608
2008
6.168
2.762
0.149
2.790
36.636
3.217
1.479
74.348
56.621
4.437
67.023
44.512
10.493
7.956
122.761
2009
6.181
2.761
0.111
2.762
37.249
2.861
1.479
74.938
56.656
4.665
67.058
42.667
10.258
7.996
122.915
2010
6.195
2.759
0.073
2.735
37.861
2.518
1.478
75.525
56.690
4.891
67.105
40.814
10.029
8.037
123.068
Rataan
6.175
2.762
0.130
2.776
36.942
3.044
1.479
74.642
56.639
4.550
67.045
43.586
10.379
7.976
122.838
342