DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ALAM
DISERTASI
SATRIA ASTANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ALAM Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Satria Astana NRP. A161040081
ABSTRACT SATRIA ASTANA. Macroeconomic Policy and External Factors Impact on Natural Forest Degradation and Deforestation. (BONAR M. SINAGA, as Chairman, SUDARSONO SOEDOMO and BINTANG C. H. SIMANGUNSONG as Members of the Advisory Committee). Through the framework of REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) in 2009 Indonesia declared a target of reducing CO2 emission by 26% until 2020, and assigned scores for forestry subsector to contribute 14% lower emission. In forestry subsector, reducing CO2 emission can be conducted by maintaining and conserving the remaining natural forest area and/or increasing the existing plantation forest area through reforestating the degraded forest areas. The natural forest maintenance and conservation policy will reduce the areal expansion, including of agricultural sectors such as for food and estate crops and forestry as well and hence their economic contribution to economic growth. Macroeconomic policy and external factor affect natural forest degradation and deforestation. The objectives of this research are: (1) to construct and estimate the econometric model of macroeconomic policy and external factor impact on natural forest degradation and deforestation, and (2) to evaluate the natural forest degradation and deforestation impact of the macroeconomic policy and external factor. The model is estimated using 2SLS method and tested using relevant statistical tests. The estimated parameters have signs as theoretically predicted, and the evaluation of the macroeconomic policy and external factor impact reflect that maintaining and conserving the remaining natural forest is ineffective if a new permit of its utilization is recognized. In order to reduce the deforestation of natural forest, it is necessarily to set up policy permitting areal expansion only within degraded natural forest areas selectively and facilitating interest rate subsidy as a part of incentive-disincentive system in controlling deforestation and forest degradation. Keywords: Econometric Model. Macroeconomic Policy, External Factor, Natural Forest, Degradation, Deforestation.
RINGKASAN SATRIA ASTANA. Dampak Kebijakan Makroekonomi dan Faktor Eksternal terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam. (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, SUDARSONO SOEDOMO dan BINTANG C. H. SIMANGUNSONG sebagai anggota Komisi Pembimbing). Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia. Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan keuangan serta perdagangan secara global. Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan harga minyak mentah dunia (MMD). Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya mempelajari bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga mempelajari dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Melalui kerangka REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries), Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan target pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya memahami bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Melalui kerangka REDD Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan target pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal.
Berkaitan dengan faktor eksternal hutan, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan. Berbeda dengan pandangan tersebut, penelitian ini lebih mendasarkan pada pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan (2) faktor eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkonstruksi dan menduga model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam, dan (2) mengevaluasi dampak deforestasi dan degradasi hutan alam kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Model diduga menggunakan metode 2SLS dan diuji menggunakan uji statistik yang relevan. Parameter dugaan yang diperoleh memiliki tanda sesuai dengan yang diprediksi teori, dan hasil evaluasi kebijakan dan faktor eksternal mengindikasikan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa tidak efektif jika izin baru pemanfaatannya diperbolehkan. Kata kunci: Model Ekonometrika, Kebijakan Makroekonomi, Faktor Eksternal, Hutan Alam, Deforestasi, Degradasi.
vi
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ALAM
SATRIA ASTANA
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Muhammad Buce Saleh, MSc Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrohmat, MSc.F. Trop Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Boen Purnama, MSc Staf Khusus Bidang Hukum dan Politik Ekonomi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2. Dr. Ir. Kirsfianti Linda Ginoga, MSc Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Kementrian Kehutanan Republik Indonesia
x
KATA PENGANTAR Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, disertasi dengan judul “Dampak Kebijakan Makroekonomi dan Faktor Eksternal terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam” dapat penulis selesaikan. Selama proses penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis memperoleh bimbingan, masukan, dan dukungan dari berbagai pihak. Atas bimbingan, masukan dan dukungan, terutama dari Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai Ketua, dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS serta Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, sebagai Anggota, penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Tachir Fathoni, dan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Dr. Kirsfianti L. Ginoga, selaku pimpinan lembaga tempat penulis bekerja. Kepada Dr. Erwidodo (Duta Besar Indonesia untuk WTO), Dr. Iman Santoso (Dirjen Bina Usaha Kehutanan), Dr. Hadi Daryanto (Sekjen Kementerian Kehutanan), Dr. Hadi Pasaribu (Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kementerian Kehutanan), Bapak Budi Santoso (Dirut PT. Inhutani II), Bapak Is Mugiono (Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), Bapak Awria Ibrahim (Direktur Bina Usaha Hutan Alam, Ditjen Bina Usaha Kehutanan), Bapak Zulfikar Adil (Direktur Eksekutif Badan Revitalisasi Industri Kehutanan), Dr. Ruandha Agung S. (Staf Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), dan Bapak Bambang Murdiono, atas dukungan moril dan materiel secara langsung maupun tidak langsung, penulis juga menyampaikan terima kasih. Atas dukungan moril dan materiel teman-teman sekerja di Badan Litbang Kehutanan, Dr. Titiek Setyowati, Deden Djaenudin MSi, Handoyo MSi, Bayu Subekti, MSi, Rahman Effendi MSc, Sulistyo Siran, MSc, Tigor Butarbutar, MSc, dan Ibu Indarwati, teman-teman peserta Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Yan Purba, Dr. Rustam AR, Dr. Roni W dan Soegiono, MSi, teman-teman auditor Rainforest Alliance, Indu Sapkota, MSc, Langlang Tata Buana, MSc, dan Wahyu Riva MSi, serta Saudara Kunkun, yang membantu pengetikan dan pencetakan, penulis juga menyampaikan terima kasih. Tak lupa kepada istri dan putra-putri tercinta, atas segala dukungan dan pengorbanannya, penulis juga menyampaikan terima kasih. Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Kendati demikian, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat sebagai bahan masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Bogor, Januari 2012 Satria Astana
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambulu, Jember, Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 1958 sebagai putra ke enam dari delapan bersaudara Keluarga H. Muhamad Yamin (Ayah, Almarhum) dan Hj. Sutriati (Ibu). Penulis menikah dengan Nursyamsinar Febriani, S.E., pada tahun 1990 dan dikaruniai dua putri dan satu putra, yaitu: Siti Nursari Ismarini (Riri, 20 tahun, mahasiswi S1 Program Studi Akuntansi, Universitas Indonesia), Greaty Fitraharani (Hani, 18 tahun, mahasiswi S1 Program Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran), dan Reda Yusuf Nurmadani (Reda, 13 tahun, kelas dua SMP). Setelah lulus Sarjana Managemen Hutan dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1983, penulis langsung bekerja pada Bagian Penelitian Pemasaran dan Sosial Ekonomi Balai Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Tahun 1988-1989, penulis mengikuti Forest Survey Courses Programme di ITC, Belanda. Tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi International Agricultural Marketing, University of Newcastle Upon Tyne, Inggris dan lulus tahun 1994. Tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana IPB dan lulus tahun 2003. Tahun 2004, penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor, dan tahun yang sama terdaftar sebagai mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Tahun 2006 penulis dinyatakan lulus prakualifikasi I, dan prakualifikasi II tahun 2011. Tahun 2007-2009 penulis menjalankan tugas sebagai Kepala Subdirektorat Industri Pengolahan Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Tahun 2009 sampai sekarang, penulis sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Bogor.
DAFTAR ISI Halaman
I.
II.
III.
DAFTAR TABEL .........................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
xxv
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................
15
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................
15
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ...........................................
15
1.6. Kebaruan Penelitian ................................................................
17
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
19
2.1. Perekonomian Indonesia .........................................................
19
2.2. Peranan Sumberdaya Hutan ....................................................
26
2.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ......................................
33
2.4. Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional ....................
38
2.5. Penelitian Terdahulu Kasus Indonesia ...................................
39
KERANGKA PEMIKIRAN............................................................
41
3.1. Deforestasi ..............................................................................
41
3.2. Degradasi Hutan .....................................................................
47
3.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ......................................
50
3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal ...........................................
50
3.3.1.1. Pengaruh Penerimaaan Negara ........................
51
3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara .........................
52
3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter .......................................
54
3.4. Pengaruh Faktor Eksternal ......................................................
56
3.5. Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
58
3.5.1. Blok Makroekonomi .....................................................
58
3.5.2. Blok Deforestasi ...........................................................
64
3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI ..................................................................
68
3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit ............
71
3.5.2.3. Tingkat Deforestas untuk Areal Karet ..............
73
3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi ..............
75
3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI,
IV.
V.
VI.
Sawit, Karet, dan Padi .....................................
76
3.5.3. Blok Degradasi Hutan ...................................................
77
METODE PENELITIAN ...............................................................
81
4.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
81
4.2. Spesifikasi Model ....................................................................
84
4.3. Identifikasi Model ...................................................................
88
4.4. Pendugaan dan Pengujian Model ............................................
88
4.5. Validasi Model ........................................................................
89
4.6. Simulasi Model .......................................................................
92
EVALUASI MODEL ...................................................................
93
5.1. Pendugaan dan Pengujan Model ............................................
93
5.1.1. Blok Makroekonomi ....................................................
93
5.1.2. Blok Deforestasi ...........................................................
95
5.1.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
100
5.2. Validasi Model .......................................................................
103
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL ................................................................................
109
6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi .......................................
109
6.1.1. Blok Makroekonomi ....................................................
110
6.1.2. Blok Deforestasi ...........................................................
111
6.1.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
114
6.2. Dampak Faktor Eksternal .......................................................
115
6.2.1. Blok Makroekonomi ....................................................
116
6.2.2. Blok Deforestasi ...........................................................
120
6.2.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
123
xviii
VII. SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
127
7.1. Simpulan ................................................................................
127
7.2. Implikasi Kebijakan ...............................................................
128
7.3. Penelitian Lanjutan ................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
131
LAMPIRAN .................................................................................
139
xix
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman
Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain di Indonesia Tahun 2006 ..............................................................................
3
2.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1996 – 2000 ................................
24
3.
Jenis dan Sumber Data Blok Makroekonomi ..............................................
81
4.
Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal HTI, Sawit, dan Karet ......
82
5
Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal Padi ...................................
83
6.
Jenis dan Sumber Data Blok Degradasi Hutan ............................................
83
7.
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Konsumsi Rumah Tangga, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Swasta .................................................................
94
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Ekspor Bersih, Suku Bunga Nominal, Tingkat Harga Umum, Nilai Tukar Nominal dan Permintaan Tenaga Kerja ...................................
95
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal HTI .....................................................
97
10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Model Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Sawit ...................................................
98
11. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Karet ...................................................
99
12. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Padi .....................................................
100
13. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Degradasi Hutan Persamaan Degradasi Hutan Areal HPH .....................................................
102
14. Nilai Root Mean Square Percent Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan .................................................................
104
15. Proporsi Dekomposisi Mean Square Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan .................................................................
107
8.
9.
16. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian ...............................................................................................
111
17. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Deforestasi ...................................................................................................
113
18. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Degradasi Hutan ...........................................................................................
115
19. Skenarion Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Perekonomian ................................................................................................
119
20. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Perekonomian ................................................................................
120
21. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Deforestasi Hutan Alam ...............................................................................
122
22. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Deforestasi Hutan Alam ................................................................
123
23. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Degradasi Hutan Alam Areal HPH ..............................................................
124
xxii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia Tahun 1970 – 2008 .............
7
2.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1990 – 2006 ........
9
3.
Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia 1990 – 2006 ........................
10
4.
Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia 1990 – 2006 .................................................................................................
12
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan, dan Industri Kayu, dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000 Periode 2002 – 2007
13
6.
Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ....................
20
7.
Perkembangan Produksi Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ................
20
8.
Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia Tahun 1980 - 1996
22
9.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2001 – 2011 ...............................
25
10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Tahun 2001 – 2010 ..................
25
11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu, dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional Tahun 1966 – 1978 ..........................................................
29
12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis, dan Kayu Olahan Tahun 1980 – 1990 ......................................................................................
30
13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet, dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional Tahun 2001 – 2009 ............................................
31
14. Prosed Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam ..................................
43
15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan Pulp dengan Deforestasi ..............................................................................
46
16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan ..............................................................................
49
17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara ..............................................
52
5.
18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara .............................................
54
19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara .....................................................
55
20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi ...
56
21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga
62
22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam ....................................................
67
23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI ..................................................................
70
24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit ................................................................
73
25. Keseimbangan Pasar Karet ..........................................................................
75
26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling ..............
77
27. Keseimbangan Pasar Kayu Hutan Alam .....................................................
80
28. Diagram Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian .......
109
29. Diagram Dampak Faktor Eksternal terhadap Perekonomian ......................
116
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
2.
3.
4
5
6
7
8
9
Halaman
Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan ...........................................................................................
139
Program Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Sofware SAS versi 9.0 .......................................................................................................
151
Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Software SAS versi 9.0
157
Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS dan AR(1), Software EViews versi 6..............
189
Program Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0 ..................................................................................................................
221
Hasil Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0...................................................................................................................
231
Program Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0...................................................................................................................
241
Hasil Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0...................................................................................................................
251
Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data ..............................
261
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian
banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia. Menghindari deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu bagian untuk mengurangi emisi CO2. Hal ini karena hutan memiliki pengaruh penting pada iklim (Contreras-Hermosilla et al, 2007). Berkurangnya tutupan hutan secara langsung mempengaruhi tingkat CO2 (carbon dioxide) di atmosfir, yang diatur melalui penyerapan alamiah tanaman dan pepohonan. Jika jumlah tanaman dan pepohonan yang hidup berkurang (akibat deforestasi), maka jumlah CO2 yang diserap akan berkurang (Ross, 1998 dalam Alimov, 2002). Berdasarkan
Forest
Resources
Assessment,
Food
and
Agriculture
Organisation (2005), total luas hutan dunia pada tahun 2005 ditaksir berada di bawah 4 miliar hektar atau 30% dari total luas lahan dunia atau 0.6 ha hutan per kapita. Deforestasi, terutama akibat konversi hutan untuk lahan pertanian berlanjut dengan laju yang sangat tinggi sebesar 13 juta ha per tahun. Pada waktu yang bersamaan, penanaman hutan, restorasi lanskap (landscape restoration) dan ekspansi alamiah hutan secara signifikan menurunkan kehilangan hutan bersih (net
2 loss of forest area). Kehilangan hutan global pada periode 2000-2005 ditaksir sebesar 7.3 juta ha per tahun, menurun dari 8.9 juta ha per tahun pada periode 19902000. Amerika Selatan menderita kehilangan hutan terbesar, yang pada periode tahun 2000-2005 sekitar 4.3 juta ha per tahun, diikuti oleh Afrika, yang kehilangan sebesar 4.0 ha per tahun. Negara-negara Amerika Utara, Amerika Tengah dan Oceania masing-masing kehilangan hutan sekitar 350 000 ha per tahun, sementara Asia, yang kehilangan hutan sebesar 800 000 ha per ha tahun 1990an, dilaporkan mengalami penambahan hutan sebanyak 1 juta ha per tahun pada periode 2000 – 2005, terutama akibat aforestasi skala besar di Cina. Luas hutan di Eropa terus meningkat meskipun pada tingkat yang lebih rendah dibanding tahun 1990an. Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Brasilia dan Zaire dalam kekayaan hutan tropis, yakni memiliki 10% dari hutan tropis yang tersisa di dunia (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat liputan 2005/2006 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia adalah 98.5 juta ha atau 52.4 %, dan luas lahan tidak berhutan adalah 85.8 juta ha atau 45.7%; tidak tersedia data (karena tertutup awan) adalah 3.6 juta ha (1.9%). Dari total luas lahan berhutan tersebut, luas lahan berhutan yang terbesar berada di Papua seluas 33.2 juta ha, kemudian disusul di Kalimantan 30.4 juta ha, dan Sumatra 15.8 juta ha. Sedangkan luas lahan berhutan terkecil berada di Bali-Nusa seluas 2.5 juta ha, kemudian disusul di Jawa 3.1 juta ha, Maluku 4.7 juta ha, dan Sulawesi 8.7 juta ha (Tabel 1). Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat diketahui bahwa laju deforestasi pada periode 1990 – 1996 mencapai 1.9 juta ha namun kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 – 2000. Pada
3 periode 2000 – 2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta ha namun kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha pada periode 2003 – 2006 (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Perhitungan laju deforestasi periode 2006 - 2009 sedang dalam penyelesaian namun diperkirakan tidak banyak berubah jika tidak terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan. Panayotou (1993) menyatakan permasalahannya adalah pembuat kebijakan biasanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek (shortterm benefits) dari konversi hutan dan bukan biaya jangka panjang (long-term costs). Permasalahan yang diidentidikasi dan diatasi hanya merupakan symptoms masalah bukan akar masalah (underlying causes) dan pengabaian biaya dan manfaat jangka panjang mencegah upaya perumusan kebijakan yang efektif. Tabel 1. Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain di Indonesia, 2006 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pulau/Kepulauan
Sumatra Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Maluku Papua Total
Kawasan Hutan (juta ha) 14.3 2.2 27.4 7.8 1.4 4.5 32.6 90.2
Luas Lahan Berhutan Areal Total Penggunaan Lain (juta ha) (juta ha) 1.5 15.8 1.0 3.2 3.1 30.5 1.0 8.7 1.0 2.5 0.2 4.7 0.6 33.2 8.4 98.6
(%) 16.1 3.2 30.9 8.8 2.5 4.8 33.7 100.0
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008
Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap perubahan iklim global merupakan eksternalitas lintas batas (transboundary externality). Perbedaan utama antara eksternalitas domestik dan lintas batas adalah eksternalitas domestik dapat diinternalkan oleh pemerintah yang bersangkutan, karena bukan merupakan kasus rembesan global (Hanley et al, 1997 dalam Alimov, 2002). Sedangkan eksternalitas
4 lintas batas, sebaliknya, pemerintah dari negara pencemar tidak memiliki insentif untuk menanggung seluruh biaya pengurangan pencemaran, karena hanya menikmati sebagian dari manfaat global yang dihasilkan. Jika dilakukan, maka negara-negara lain akan menjadi free-rider, menikmati manfaat pengurangan pencemaran oleh pencemar tanpa kontribusi menurunkan. Solusi yang didasarkan pada prinsip membayar (polluter pays principle) tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan supranasional (Alimov, 2002). Implikasinya, masalah deforestasi dan degradasi hutan harus diatasi melalui komunitas internasional. Sebagai upaya komunitas internasional, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Konferensi ini berhasil mengidentifikasi deforestation, desertification, ozone depletion, atmospheric CO2 emissions dan biodiversity sebagai isu lingkungan global serta menghasilkan kerangka kelembagaan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Pada 1995, konferensi UNFCCC ke 3 diselenggarakan di Kyoto, Jepang. Terkait dengan isu atmospheric CO2 emissions, dalam konferensi ini COP (Convention on Parties) negara-negara maju (annex 1) menghasilkan Kyoto Protocol antara lain menetapkan target pengurangan emisi karbon bagi negara-negara maju melalui CDM (Clean Development Mechanism). Pada tahun 2007, konferensi UNFCCCC ke 13 diselenggarakan di Bali, Indonesia. Terkait dengan isu deforestation dan desertification, dalam konferensi ini COP negara-negara berkembang (non-annex 1) mengusulkan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries). Pada tahun 2009, konferensi ke 15 diselenggarakan di Kopenhagen (Denmark). Dalam konferensi ini, Indonesia melalui kerangka REDD mendeklarasikan target
5 pengurangan emisi CO2 sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi sebesar 14%. Upaya mewujudkan target tersebut akan berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian, khususnya produksi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Kenyataan menunjukkan peningkatan produksi tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan pada umumnya masih bergantung pada perluasan areal dibanding peningkatan produktivitas lahan per ha. Khususnya tanaman pangan (padi), hasil penelitian menunjukkan selama 20 tahun terakhir produktivitasnya hampir tidak mengalami peningkatan sehingga menjustifikasi bahwa kenaikan produksi padi disebabkan oleh penambahan areal (Jayawinata, 2005). Sedangkan areal pertambangan yang potensial umumnya berada dalam kawasan hutan primer, bahkan merupakan kawasan hutan yang dilindungi.
1.2.
Perumusan Masalah Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni
melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan keuangan serta perdagangan global. Perubahan kondisi moneter internasional (international monetary changes) ditransmisikan ke dalam perekonomian suatu negara melalui sistem finansial dan perdagangan internasional. Dalam kasus yang ekstrim, hubungan ketergantungan tersebut ditunjukkan oleh adanya krisis di suatu negara merembet ke negara lain. Krisis European Exchange Rate Mechanism (ERM) tahun 1992-1993, yang dipicu oleh penarikan mata uang Inggris (Poundsterling) dan Italia (Lira) dari sistem mata uang Euro, diikuti oleh krisis mata uang dan perbankan di Swedia, Norwegia dan Finlandia (Sugema, 2000).
6 Krisis hutang menjadi krisis mata uang dan kemudian menjadi krisis perbankan di Meksiko merembat ke Argentina dan Brasilia. Krisis mata uang Thailand, Baht, merambat menjadi krisis mata uang Rupiah (Indonesia), Ringgit (Malaysia), Won (Korea Selatan), dan pada tingkat tertentu, peso (Filipina) (Sugema, 2000). Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat menyebabkan krisis keuangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif (kecuali Cina, India dan Indonesia). Krisis ekonomi yang terjadi di Yunani tahun 2010 telah merambat ke Portugal, dan diperkirakan akan menyusul ke Spanyol. Krisis yang terjadi di negara-negara lain dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia jika krisis yang terjadi berpengaruh signifikan di negara-negara partner utama dagang Indonesia seperti Uni Eropa, dan pengaruhnya akan semakin besar jika krisis juga merambat ke Amerika Serikat dan Jepang, yang juga merupakan partner utama dagang Indonesia. Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan harga minyak mentah dunia (MMD). Lompatan kenaikan harga MMD disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa harga MMD terus mengalami lompatan kenaikan. Lompatan kenaikan harga MMD yang pertama terjadi pada pertengahan tahun 1970-an dari sekitar USD 3 per barrel menjadi sekitar USD 10 per barrel. Lompatan kenaikan harga MMD yang kedua terjadi pada awal tahun 1980-an dari sekitar USD 15 per barrel menjadi sekitar USD 40 per barrel. Pada pertengahan tahun 1980-an, harga MMD mengalami penurunan menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum meningkat kembali pada awal tahun 1990-an menjadi sekitar USD 30 per barrel dan menurun menjadi sekitar USD 10 per barrel menjelang akhir tahun 1990-an. Lompatan ketiga mulai terjadi tahun 2000-an. Sejak tahun 2000 harga MMD cenderung terus meningkat. Pada awal tahun 2000
7 harga MMD meningkat kembali menjadi sekitar USD 30 per barrel dan sempat menurun menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum akhirnya terus meningkat hingga menjadi sekitar USD 90 per barrel pada akhir tahun 2000-an.
Sumber: Energy Information Administration Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia, 1970 - 2008
Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Isu perubahan iklim dicirikan oleh empat tuntutan peubahan, yaitu: (1) perbaikan teknologi yang ramah lingkungan, (2) peningkatan produktivitas lahan, (3) pembatasan pemanfaatan hutan alam, khususnya di negara-negara berkembang, dan (4) peningkatan perluasan areal hutan tanaman pada areal-areal yang terdegradasi, atau bahkan konversi lahan nonhutan menjadi hutan. Tuntutan perbaikan teknologi ramah lingkungan ditekankan untuk seluruh aktivitas ekonomi. Dalam kasus energi muncul teknologi pemrosesan nabati sebagai energi pengganti (fosil), intensifikasi pengembangan teknologi pemanfaatan
8 aliran air dan sinar matahari sebagai penghasil energi alternatif. Dalam kasus pengelolaan hutan alam muncul teknologi ramah lingkungan, RIL (Reduced Impact Logging). Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya memahami bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Kinerja makroekonomi Indonesia periode 1990 – 2006 dengan krisis ekonomi yang terjadi pada periode 1997 – 1999 memberikan bukti empiris adanya keterkaitan antara perubahan faktor eksternal, kinerja makroekonomi, dan deforestasi dan degradasi hutan.
Gambar 2 menyajikan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) periode 1990 – 2006. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada periode 1990 – 1996 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tinggi yaitu di atas 7% per tahun. Namun pada pertengahan tahun 1997 (Juli), krisis moneter regional menguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 menurun drastis menjadi 4.7%. Setahun kemudian yakni tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar
9 13.1%. Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dan tumbuh sebesar 0.8% yang kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.9%. Pada tahun 2003, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4.7% dan kemudian meningkat menjadi 5.5% tahun 2006.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, 1990-2006
Diketahui bahwa pada periode 1990 – 1996 di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 7% (Gambar 2), laju deforestasi mencapai 1.9 juta ha (Gambar 3). Laju deforestasi kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 – 2000 (Gambar 3), yang merupakan periode tahun di mana krisis ekonomi terjadi (1997 – 1999) (Gambar 2). Namun laju deforestasi kemudian menurun tajam menjadi 1.1 juta pada periode 2000 – 2003 (Gambar 3). Pada periode 2000 – 2003, kinerja makroekonomi mengalami perbaikan dan PDB mengalami pertumbuhan sekitar 4% (Gambar 2). Pada periode 2003 – 2006, laju deforestasi kembali meningkat menjadi 1.2 juta ha (Gambar 3) dan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut mencapai sekitar 5% (Gambar 2).
10
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Gambar 3. Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia, 1990 - 2006
Perkembangan degradasi hutan akibat tebang pilih ditunjukkan oleh luas logged over area (LOA) hutan primer. Luas LOA hutan primer bergantung pada luas konsesi hutan alam yang diusahakan. Semakin luas konsesi hutan alam yang diusahakan semakin luas LOA yang akan ditimbulkan. Logged over area hutan primer terdegradasi dengan kategori berat dalam arti potensi hutannya tidak layak lagi diusahakan umumnya ditinggalkan oleh pemegang konsensi. Pada umumnya perusahaan hutan alam tidak meninggalkan areal kosensi hutannya selama potensi hutannya masih layak diusahakan kecuali izinnya dicabut pemerintah karena melanggar peraturtan. Dari Gambar 4 diketahui bahwa pada tahun 1990, luas konsesi hutan alam mencapai 58.8 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.8 juta m3 tapi tahun 1996 menurun menjadi 54.0 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.3 juta m3. Pada tahun 2000 luas konsensi hutan alam menurun tajam menjadi 39.1 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 3.4 juta m3. Penurunan produksi kayu bulat pada tahun 2000 di samping disebabkan oleh penurunan luas konsesi juga disebabkan oleh kebijakan softlanding, yang berlaku hingga sekarang. Pada tahun
11 2003 luas konsensi hutan alam kemudian menurun lagi menjadi 27.8 juta dengan produksi kayu bulat sebesar 3.7 juta m3. Pada tahun 2006 luas konsesi hutan alam meningkat sedikit dari tahun 2003 menjadi 28.7 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 5.4 juta m3. Peningkatan luas konsesi ini menunjukkan terdapat areal konsesi tidak terkelola yang masih produktif yang kemudian dialihkan kepada pemegang konsesi yang bersedia mengambilalih pengelolaan hutannya. Penurunan luas konsesi hutan alam berarti peningkatan luas konsesi tidak terkelola. Peningkatan luas konsesi tidak terkelola menyebabkan hutan menjadi open access, yang pada gilirannya menyebabkan hutan semakin terdegradasi. Luas konsesi tidak terkelola dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) luas konsesi tidak terkelola yang masih produktif, dan (2) luas konsesi tidak terkelola yang tidak produktif atau LOA yang terdegradasi berat. Dengan menggunakan nilai dasar tahun 1990, dari Gambar 4 diketahui bahwa luas konsesi tidak terkelola tahun 1996 mencapai 4.8 juta ha tapi kemudian meningkat menjadi 19.7 juta ha tahun 2000. Periode 1996 – 2000 merupakan periode terjadinya krisis (1997 1999). Pada tahun 2003 luas konsesi tidak terkelola meningkat lagi menjadi 31.0 juta ha dan kemudian menurun menjadi 30.1 juta ha tahun 2006 (Gambar 4). Selama periode krisis (1997 – 1999) (Gambar 2), terlihat bahwa luas konsesi hutan menurun tajam atau luas konsensi hutan tidak terkelola meningkat tajam (Gambar 4). Peningkatan luas konsesi hutan tidak terkelola menyebabkan luas hutan open access semakin meningkat. Peningkatan luas hutan open access mendorong peningkatan laju deforestasi (Gambar 3) dan degradasi hutan. Dengan kata lain, kondisi krisis menurunkan output konsesi hutan dan penurunan outputnya berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tinggi jika tanpa PDB
12 (Produk Domestik Bruto) kehutanan dan industri kayu dan hasil hutan lainnya (HHL), karena keduanya mengalami pertumbuhan yang negatif, terutama setelah tahun 2004 (Gambar 5).
Sumber: Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam Gambar 4. Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia, 1990 – 2006 Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi.
Target
pengurangan
CO2
dengan
mempertahankan
dan
mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan 1 , dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan terdapat kesepakatan yang luas bahwa ekspansi areal penananam (cropped area) serta penggembalaan (pasture) merupakan sumber utama deforestasi. Ekspansi penggembalaan, terutama 1
Sesuai INPRES No. 10/2011, moratorium izin baru pemanfaatan hutan alam (primer) dikecualikan untuk permohonan yang telah menperoleh persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; pelaksanaan pembangunan nasional yang vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; perpanjangan izin sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan restorasi ekosistem.
13 penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan (logging), meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan dan Industri Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000, 2002 – 2007
Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Berkaitan dengan faktor
14 eksternal hutan, Wunder dan Verbist (2003) menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan. Secara tersirat pandangan Wunder dan Verbist ini lebih menonjolkan besarnya pengaruh luar sehingga praktek pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dapat dipraktekkan secara konsisten (atau berdampak kecil). Berbeda dengan Wunder dan Verbist, penelitian ini mendasarkan pada pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan (2) faktor eksternal. Perumusan masalah penelitian secara rinci dinyatakan dalam bentuk dua pertanyaan: 1. Bagaimana dan seberapa besar kebijakan makroekonomi mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan, serta kebijakan mana yang signifikan mempengaruhi? 2. Bagaimana dan seberapa besar perubahan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan, serta faktor eksternal mana yang signifikan mempengaruhi?
15 1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membangun
model
ekonometrika
sistem
persamaan
simultan
yang
mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan. 2. Menganalisis dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
1.4.
Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan: 1. Kebijakan mitigasi dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. 2. Pengembangan model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari
kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan (2008). Namun hutan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hutan alam, sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan ke dalam kategori deforestasi. Dengan demikian areal deforestasi yang dianalisis terdiri dari: (1) areal HTI, (2)
16 areal tanaman padi, yang mewakili perluasan areal tanaman pangan, (3) areal tanaman karet, dan (4) areal tanaman sawit, yang mewakili areal tanaman perkebunan. Degradasi hutan (primer) didefinisikan sebagai perubahan tutupan hutan alam yang menyebabkan terjadinya pengurangan daya serap CO2, peningkatan erosi, dan struktur tegakan hutan alam yang (tanpa penataan kembali) tidak dapat dipanen secara lestari. Degradasi hutan dapat terjadi di semua areal kategori fungsi hutan, yaitu: hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Areal degradasi hutan yang dianalisis adalah areal degradasi hutan yang terjadi di hutan alam produksi areal HPH. Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Data untuk pendugaan model adalah data deret waktu periode 1980 – 2008. Model diduga menggunakan metode 2SLS. Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan agregat. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis meliputi: (1) kebijakan moneter, yakni penawaran uang, dan (2) kebijakan fiskal, yakni pengeluaran pemerintah. Faktor eksternal yang dianalisis meliputi: (1) perubahan harga minyak mentah dunia, dan (2) suku bunga dunia (suku bunga rujukan Amerika Serikat, Federal Fund Rate). Pendapatan dibelanjakan diasumsikan eksogen. Kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal menentukan keseimbangan suku bunga dalam blok makroekonomi. Perubahan suku bunga akibat perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal secara langsung mempengaruhi tingkat deforestasi dan degradasi hutan, serta secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap harga komoditas dalam blok deforestasi dan blok degradasi hutan, yang mana nilai tukar dan inflasi diasumsikan eksogen.
17 1.6.
Kebaruan Penelitian Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian
antara lain pernah dilakukan oleh Sipayung (2000) menggunakan model ekonometrika persamaan simultan makroekonomi, dan dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan oleh Jayawinata (2005) menggunakan model ekonometrika yang mengintegrasikan faktor-faktor mikroekonomi dan makroekoenomi. Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan degradasi hutan umumnya menggunakan analisis deskriptif, seperti Sedjo (2005), Strand (2004), dan Sunderlin et al (2003). Wunder (2005) menganalisis dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi menggunakan persamaan tunggal dan menganalisis dampaknya secara tidak langsung melalui produksi kayu. Kaimovitz
dan Angelsen (1998) mengklasifikasi model ekonomi
deforestasi yang menggunakan suatu negara sebagai unit analisis ke dalam empat grup utama, yaitu: (1) model analitis yakni model yang tidak menyebutkan secara spesifik wilayah atau negara yang dianalisis, (2) model CGE (Computable General Equilibrium), (3) model komoditas dan perdagangan, dan (4) model regresi multinegara. Dengan demikian, model yang khusus menganalisis kasus suatu negara, seperti model yang dikembangkan dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan. Penggunaan model CGE untuk menganalisis deforestasi, menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998) memiliki banyak keterbatasan, dan menyarankan penggunaannya yang terbaik diperlukan ketika alternatif pendekatan tidak dapat ditemukan untuk menganalisis isunya. Selaras dengan Kaimovitz dan Angelsen (1998), model yang dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat mengisi upaya mencari alternatif pendekatan tersebut.
18 Menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998), terdapat empat aspek yang mendorong deforestasi, yaitu: (1) sumber deforestasi (ekspansi areal untuk penanaman dan penggembalaan), (2) agen deforestasi (a.l. rumah tangga), (3) parameter keputusan agen (a.l. harga input dan ouput pertanian, upah, dan harga kayu), dan (4) underlying factors ( a.l. populasi, pendapatan, hutang luar negeri, perdagangan, dan politik). Rumah tangga paling sering diteliti namun perusahaan dan pemerintah (birokrasi) sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai agen deforestasi. Model yang dibangun dalam penelitian ini berkontribusi dalam menjelaskan keterkaitan empat aspek tersebut. Model yang dibangun merupakan model ekonometrika persamaan simultan yang mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal (underlying factors) ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan (sumber dan perilaku agen deforestasi dan degradasi hutan). Dengan model yang dibangun dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal dapat dianalisis secara simultan. Perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal
mempengaruhi
keseimbangan
suku
bunga.
Perubahan
keseimbangan suku bunga selanjutnya mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan, serta keseimbangan harga pasar komoditas, dan akhirnya menentukan tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perekonomian Indonesia Sebelum tahun 1966, perekonomian Indonesia pada prinsipnya menganut
sistem perekonomian terpimpim.
Dalam pengertian bahwa negara melakukan
pengendalian atas alat-alat produksi, pembatasan kuantitif dan multiple exchange rates untuk mengatasi masalah neraca pembayaran (balance of payments), dan mencetak uang untuk membiayai difisit anggaran (Woo et al 1994 dalam Sunaryo, 1996). Kebijakan-kebijakan tersebut, terutama kebijakan pencetakan uang untuk pembiayaan difisit anggaran menyebabkan laju inflasi mencapai 650% tahun 1965. Belajar dari pengalaman sebelum tahun 1966, pemerintah mulai tahun 1966 berusaha menstabilkan perekonomian, terutama mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1971, program stablilisasi perekonomian berhasil menekan laju inflasi menjadi
hanya
satu
digit.
Sejak
saat
itu
pemerintah
terus
berusaha
mempertahankan inflasi rendah dengan mengadopsi kebijakan anggaran belanja berimbang, yakni kebijakan yang melarang praktek pembiayaan domestik untuk mengatasi defisit anggaran dan menggantikan dengan pembiayaan luar negeri. Gambar 6 menyajikan perkembangan harga minyak mentah Indonesia periode 1969-1983. Pada Gambar 6 terlihat selama periode 1969 – 1983, harga minyak mentah Indonesia cenderung meningkat, dan mengalami dua kali lompatan kenaikan. Lompatan kenaikan harga minyak mentah yang pertama adalah dari USD 3.8 per barrel tahun 1973 menjadi USD 12.8 per barrel tahun 1974. Sedangkan lompatan kenaikan harga minyak yang kedua adalah dari USD 18.4 per barrel tahun 1979 menjadi USD 31.3 per barrel tahun 1980.
20
Sumber: Pangestu, 1986 Gambar 6. Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983
Perkembangan produksi minyak mentah Indonesia periode 1969-1983 disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada periode 1969-1979, produksi minyak mentah cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1969, produksinya mencapai 270.9 juta barrel, kemudian tahun 1973 meningkat menjadi 488.5 juta barrel. Tahun 1974 produksinya meningkat menjadi 501.8 juta barrel dan tahun 1979 meningkat menjadi 580.4 juta barrel. Pada periode tahun 19791983, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 1980 produksinya menurun menjadi 577.0 juta barrel dan tahun 1983 menurun lagi menjadi 490.5 juta barrel (Gambar 7).
Sumber : Pangestu, 1986 Gambar 7. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983
21 Dua kali lompatan kenaikan harga minyak (1974 dan 1980) memberikan kesempatan pemerintah meningkatkan perekonomian 2 , dan dari penerimaan minyak memungkinkan pemerintah mempertahankan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Sunaryo, 1996). Namun di sisi lain, karena harga minyak mentah meningkat relatif terhadap harga ekspor nonmigas, neraca perdagangan minyak mentah menjadi surplus. Hal ini menyebabkan kombinasi: apresiasi nilai tukar nominal Rupiah dan tambahan cadangan devisa (reserve inflows) sehingga karena hal yang belakangan tidak disterilisasi, menyebabkan inflasi dan penurunan daya saing ekspor nonmigas 3 (Nasution, 1983). Peningkatan ekspor nonmigas ditempuh salah satunya melalui kebijakan devaluasi Rupiah 50% pada Nopember 1978. Harga minyak mentah kemudian mengalami penurunan tahun 1983 dan mencapai titik terendah tahun 1986. Menurut Sunaryo (1996), penurunan penerimaan minyak memaksa pemerintah mengadopsi strategi diversifikasi ekspor (diversified export oriented strategy), dan mempertahankan nilai tukar yang kompetitif (managed floating exchange rate system) untuk menjamin penerimaan ekspor. Hal ini kemudian diikuti oleh kebijakan mempertahankan inflasi rendah untuk mempertahankan daya saing, dan sejak tahun 1987 pemerintah menetapkan target inflasi (Sunaryo, 1996). Menurut Nasution (1983), kebijakan inflasi rendah tidak dilakukan dengan cara mengatasi secara langsung sumber inflasi, tetapi dengan cara pemberian subsidi langsung terhadap beragam barang konsumsi dan jasa
serta subsidi secara tidak
langsung melalui kebijakan harga perusahaan-perusahaan pemerintah, termasuk suku bunga pinjaman bank-bank pemerintah. Kebijakan ini menurut Nasution (1983) telah
2
Menurut Pangestu (1986), hal ini dapat terwujud hanya jika kenaikan penerimaan minyak mentah dibelanjakan di dalam negeri, sebaliknya tidak dapat meningkatkan perekonomian jika dibelanjakan di luar negeri untuk impor atau pembayaran utang atau didepositokan pemerintah. 3 Hilangnya daya saing internasional ekspor nonmigas yang berasosiasi dengan oil boom sering disebut “Dutch disease”. Dalam pengertian yang luas “ the disease” menurunkan terms of trade barang tradable relatif terhadap barang nontradable, terutama karena peningkatan penawaran agregat dibelanjakan sebagian besar untuk barang nontradable (Nasution, 1983).
22 menurunkan laju inflasi tetapi dengan korbanan beban biaya tinggi untuk subsidi dalam anggaran pemerintah. Strategi diversifikasi ekspor berhasil mendorong ekspor nonmigas. Gambar 8 menyajikan perkembangan ekspor migas dan non-migas Indonesia periode 1980-1996. Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada periode 1980 - 1986 ekspor migas cenderung menurun, dan ekspor nonmigas cenderung meningkat. Pada tahun 1980, nilai ekspor migas mencapai USD 17.3 miliar tapi tahun 1983 menurun menjadi USD 14.9 miliar dan tahun 1986 menurun lagi menjadi USD 7.0 miliar. Sedangkan ekspor nonmigas pada tahun 1980 mencapai USD 5.6 miliar dan tahun 1983 menurun menjadi USD 5.4 miliar tapi tahun 1986 kemudian meningkat menjadi USD 6.7 miliar. Pada Gambar 8 terlihat sejak tahun 1987, nilai ekspor nonmigas melampaui ekspor migas. Tahun 1987 nilai ekspor migas adalah USD 8.8 miliar, dan ekspor nonmigas, USD 9.5 miliar.
Sumber: BI Gambar 8. Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia, 1980-1996
Pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1969-1996 mencapai rataan per tahun sebesar 6.9%. Pertumbuhan ekonomi ini merupakan kontribusi pertumbuhan dari sektor pertanian dan sektor nonpertanian (industri dan jasa) berturut-turut 3.8% dan
23 8.9% per tahun. Pertumbuhan sektor pertanian yang kurang dari separuh dari pertumbuhan sektor nonpertanian mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur perekonomian Indonesia. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) menurun dramatis dari 40.2% tahun 1969 menjadi hanya 15.8% tahun 1996, sebaliknya pangsa sektor nonpertanian meningkat dramatis dari 58.8% menjadi 84.2% (Sipayung, 2000). Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi hingga tahun 1996 ternyata tidak berlanjut. Hasil analisis Sugema (2000) menyimpulkan bahwa perekonomian Indonesia sebelum krisis telah berorientasi pada pasar dan berkontribusi terhadap peningkatan keterbukaan dan kinerja perekonomian, tetapi menghadapi tiga persoalan, yaitu: (1) defisit neraca berjalan (current account) yang terus menerus, (2) akumulasi dan struktur hutang luar negeri, dan (3) sektor perbankan yang relatif lemah. Menurut Sugema, dua masalah yang pertama saling berkaitan dalam pengertian defisit neraca berjalan yang teus menerus sebagian besar disebabkan oleh pembayaran bunga hutang luar negeri. Aliran kapital jangka panjang tidak cukup untuk menutupi defisit sehingga aliran kapital jangka pendek diperlukan. Hal ini, menurut Sugema, menyebabkan neraca pembayaran (balance of payment) rentan terhadap penarikan kapital asing jangka pendek. Dengan kata lain, Indonesia sebelum krisis telah rentan terhadap krisis kembar (twin crisises): dua masalah yang pertama di satu sisi dapat dipandang sebagai syarat keharusan dalam arti bahwa berkurangnya kepercayaan sebagian pemberi pinjaman dan investor asing dapat menekan pasar nilai tukar (foreign exhange market), dan lemahnya sektor perbankan di sisi lain dapat dipandang sebagai syarat kecukupan dalam arti peningkatan suku bunga tidak akan efektif atau kredibel karena dapat mempersulit sektor perbankan (Sugema, 2000).
24 Pada pertengahan bulan Juli 1997 perekonomian Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dramatis. Tabel 2 menyajikan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1996-2000. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan tahun 1993, pertumbuhan ekonomi menurun dari 7.6% tahun 1996 menjadi 4.7% tahun 1997, dan tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif 13.1%. Perekonoman Indonesia mulai membaik tahun 2000 dengan pertumbuhan 4.9%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis periode 2001-2011 dapat diperiksa pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan tahun 2000, pertumbuhan ekonomi periode 2001-2006 masih berada di bawah 6%, dan mulai tahun 2007 baru berada di atas 6%. Penurunan pertumbuhan tahun 2009 menjadi 4.6% disebabkan oleh krisis ekonomi global, yang bersumber dari krisis finansial di Amerika Serikat. Sejak tahun 2004, pertumbuhan ekonomi tidak lagi didukung oleh surplus neraca perdagangan minyak. Perkembangan ekspor dan impor minyak 2001-2010 disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan sejak tahun 2004, Indonesia telah menjadi net importer minyak. Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1996 – 2000 Tahun
Produk Domestik Bruto* Nilai (miliar Rupiah) Pertumbuhan (%) 413 798 7.6 433 246 4.7 376 375 -13.1 379 353 0.8 397 934 4.9
1996 1997 1998 1999 2000 Sumber: BPS Keterangan: * berdasarkan harga konstan tahun 1993
25
Sumber: BPS Gambar 9. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2001-2011
Sumber: BI Gambar 10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak, 2001-2010
John Hwaksworth (2006), Head of Macroeconomics, PriceWaterHouse Coopers, memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 perekonomian Indonesia akan termasuk ke dalam kelompok 17 negara terbesar dunia. Gross Domestic Product Indonesia yang pada tahun 2005 dalam nilai riel mendekati USD 20 000 miliar, pada tahun 2050 mendekati USD 120 000 miliar atau meningkat sekitar 6 kali lipat. Pada tahun 2005 hingga 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam USD oleh
26 Hwaksworth diproyeksikan sebesar 7.3%. Namun Hwaksworth menyadari bahwa proyeksi jangka panjangnya subject to uncertainties. Hasil analisis sensitivitas menyarankan bahwa proyeksi GDP jangka panjang untuk emerging market economies termasuk Indonesia, menurut Hwaksworth, sensitif terhadap asumsi trend tingkat pendidikan, net investment rate dan catch-up speeds, yang bergantung pada beragam kebijakan dan faktor-faktor kelembagaan (broad range of policy and institutional factors).
2.2.
Peranan Sumberdaya Hutan Statistik Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2009) menyebutkan bahwa luas
kawasan hutan di Indonesia berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hasil Kesepakatan adalah 137 773 370 ha. Luas kawasan hutan tersebut dibedakan ke dalam kawasan pelestarian dan hutan lindung seluas 55 388 920 ha (40.2%), dan kawasan hutan produksi seluas 82 384 450 ha (59.8%). Kawasan pelestarian dan hutan lindung terdiri dari: (1) kawasan suaka margasatwa dan pelestarian alam seluas 23 510 176 ha (17.1%), (2) taman buru 109 351 ha (0.1%) dan (3) hutan lindung 31 769 393 ha (23.1%). Kawasan hutan produksi terdiri dari: (1) hutan produksi (tetap) seluas 37 167 028 ha (45.1%), (2) hutan produksi terbatas 22 449 152 ha (27.3%) dan (3) hutan produksi dapat dikonversi 22 768 270 ha (27.6%). Sesuai UUD 1945 pasal 33, sumberdaya hutan tersebut harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (secara berkelanjutan). Sumberdaya hutan memiliki tiga fungsi. Pertama adalah sebagai penghasil barang dan jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem hutan mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim mikro, penyerapan CO2 dan pemandangan alam yang unik. Sebagian kalangan kini
27 mulai
memandang
jasa
penyerapan
CO2
sebagai
komoditas
yang
dapat
diperdagangkan. Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan (Colfer, et al, 2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu. Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsifungsi ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna) dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat berfungsi sebagai penjaga siklus rantai makanan beragam makhluk hidup, penata aliran air, pengendali erosi, pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, pemelihara kesuburan tanah, dan pembentuk kondisi udara bersih. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang berkembang hingga kini adalah fungsi dalam konteks ekonomi, yaitu hutan sebagai penghasil barang. Fungsi-fungsi yang lain relatif terabaikan namun belakangan fungsi sebagai penghasil jasa, seperti air dan karbon mulai diperhatikan. Perhatian masyarakat yang lebih menekankan pada hutan sebagai penghasil barang telah mendorong pemanfaatan hutan alam di luar Jawa. Pada tahun 1970-an, hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran dimanfaatkan tanpa mengetahui bagaimana teknik meregenerasi hutan kecuali pengetahuan sistem silvikultur TPI (Tebang Pilih Indonesia), yang hingga kini sulit diterapkan secara konsisten di lapangan.
28 Kini pemberian izin konsesi berubah dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi Izin Pemungutan Hasil Hutan (IUPHHK). Pemanfaatan kawasan hutan produksi melalui IUPHHK dibedakan ke dalam tiga bentuk izin usaha: (1) Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA), (2) Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), dan (3) Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK). Dari kawasan hutan produksi seluas 82.4 ha, pemanfaatan dalam bentuk IUPHHK kini mencapai 35 377 895.7 ha atau sekitar 49.9 %. Luas areal masingmasing bentuk pemanfaatan adalah (Ditjen BPK, 2009): 1. Areal IUPHHK-HA seluas 25 641 167 ha untuk 306 unit pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa. 2. Areal IUPHHK-HTI (SK Definitif dan SK Sementara) 9 208 506 ha untuk 230 unit pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa. 3. Areal IUPHH-BK seluas 21 620 ha untuk 1 unit pemegang izin yang berada di Provinsi Riau. 4. Areal pencadangan IUPHHK-HTR seluas
383 402.7 ha yang tersebar di 20
provinsi. Sejak hutan alam di luar Jawa dimanfaatkan secara besar-besaran tahun
1970-an,
peranan
sektor
kehutanan
dalam
perekonomian
pada mulai
dipertimbangkan. Gambar 11 menyajikan kontribusi nilai ekspor migas, karet, kayu dan minyak sawit terhadap ekspor nasional. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada tahun 1970 kontribusi ekspor kayu (bulat) mencapai 9.4 % dari ekspor nasional, menempati urutan ketiga setelah migas (40.3%) dan karet (22.9%). Pada tahun 1972, kontribusi ekspor kayu terhadap ekspor nasional meningkat menjadi 12.9%, dan menggantikan posisi karet. Setelah peningkatan tahun 1972, pada tahun-tahun
29 berikutnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 1978, kontribusi ekspor kayu menurun menjadi 8.5% namun posisinya tetap berada di atas karet, karena ekspor karet (periode 1966-1978) cenderung menurun.
Sumber : Nasution, 1983 Gambar 11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional, 1966 - 1978
Gambar 12 menyajikan perekembangan ekspor produk kayu periode 19801990. Pada Gambar 12 terlihat bahwa ekspor kayu bulat menjadi primadona hanya sampai tahun 1982 dengan nilai USD 0.3 miliar, tetapi kemudian terus menurun. Penurunan ekspor kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor sebagai bagian dari kebijakan pengembangan industri kayu yang berintikan industri kayu lapis. Oleh karenanya ekspor kayu lapis terus meningkat. Sebagai terlihat pada Gambar 12, sejak tahun 1983 ekspor kayu didominasi oleh ekspor kayu lapis.
30
Sumber : BI Gambar 12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis dan Kayu Olahan, 1980-1990
Menurut Mangunsong (2004), sejak tahun 1987 kontribusi nilai ekspor subsektor kehutanan terhadap total ekspor selalu lebih tinggi dibanding kontribusi nilai ekspor subsektor pertanian. Tetapi posisi tersebut tidak berkelanjutan, karena kontribusi nilai ekspor pertanian, terutama minyak sawit dan karet cenderung meningkat. Gambar 13 menyajikan kontribusi nilai ekspor produk kayu, pulp, minyak sawit dan karet terhadap ekspor nasional periode 2001-2009, yang menunjukkan kontribusi nilai ekspor produk kayu (tanpa pulp) terus menurun, dan posisinya digantikan oleh minyak sawit sejak tahun 2004, dan diduduki kembali oleh karet sejak tahun 2006. Jika kontribusi ekspor produk kayu ditambah pulp, posisinya berada di bawah minyak sawit sejak tahun 2007, dan tahun 2009 kembali di atas karet.
31
Sumber : BI, Kementan, FAO Gambar 13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional, 2001 - 2009
Kontribusi subsektor kehutanan (kayu bulat) terhadap PDB relatif kecil sekitar 1.0% dan jika ditambah dengan nilai tambah industri pengolahan kayu meningkat menjadi sekitar 2.0%. Rendahnya kontribusi sektor kehutanan di antaranya karena harga kayu bulat yang terdistorsi, banyaknya produksi yang tidak tercatat karena illegal logging dan illegal log trading. Namun kontribusi subsektor kehutanan cenderung menurun, merefleksikan produksi kayu dipanen secara tidak lestari. Sejak pemanfaatan hutan alam di luar Jawa dimulai pada tahun 1970an, laju kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat. Kenyataan menunjukkan laju kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan di Indonesia lebih tinggi dibanding laju pemulihan dan penambahan hutan 4 . Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga fungsi pokok sumberdaya hutan. Fungsi sebagai penghasil barang terganggu yang ditunjukkan oleh menurunnya output atau produksi hasil 4
hutan kayu dan hasil
Sebagai ilustrasi, berdasarkan data yang tercatat di Direktorat Bina Pengusahaan Hutan Alam, Ditjen Bina Usaha Kehutanan, sampai dengan tahun 2009, jumlah pohon yang ditanam oleh IUPHHK-HA dengan ststus Badan Usaha Milik Swasta sebanyak 192 771 pohon, sedangkan oleh IUPHHK-HA dengan status Badan Usaha Milik Negara sebanyak 881 300 pohon.
32 hutan bukan kayu 5 . Fungsi sebagai penghasil jasa terganggu yang ditunjukkan oleh menurunnya potensi output atau produksi jasa hutan, khususnya dalam penyediaan air dan wisata serta penyerapan CO2 6 . Fungsi sebagai sumber penghidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya taraf hidup, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan 7 . Fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin berkurangnya jenis flora dan fauna dan bahkan terdapat jenis flora dan fauna yang mulai punah 8 . Pertumbuhan ekonomi model Solow, sebagaimana digunakan oleh Hwaksworth, menjelaskan bahwa net investment rate berasal dari saving rate yang bergantung pada peningkatan dan depresiasi akumulasi kapital. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia memasukkan peranan industri hasil hutan, maka akumulasi kapital dapat terus berlangsung selama tersedia sumberdaya hutan yang memadai (layak diusahakan). Ketika sumberdaya hutan yang tersedia berkurang tentunya menyebabkan proses akumulasi kapital dari sektor kehutanan akan mengalami penurunan. Hwaksworth mengasumsikan depresiasi kapital sebesar 6% per tahun, yang dapat dipandang relatif rendah. Umumnya negara-negara di dunia termasuk Amerika Serikat menggunakan angka depresiasi sebesar 10% (Mankiw, 2000). Dengan nilai depresiasi yang relatif rendah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Hwaksworth sebesar 7.3% per tahun mungkin lebih mudah dicapai meskipun sumberdaya hutan menurun. Jika benar demikian, hasil proyeksi Hwaksworth pada
5
Sebagai ilustrasi, produksi aktual akyu bulat hutan alam tahun 1990 adalah 39.2 juta m3 tapi tahun 2000 menurun menjadi 22.7 juta m3, dan tahun 2009 menurun lagi menjadi 8.1 juta m3, dan konsekuensi produksi hasil hutan bukan kayu juga menurun. 6 Deforestasi dan degradasi hutan meningkat antara lain untuk perluasan areal HTI, tanaman sawit, karet, dan pangan. 7 Kehidupan masyarakat desa hutan umumnya masih di bawah garis kemiskinan. 8 Di antaranya jenis ramin telah dimasukkan ke dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dan sejumlah home range satwa liar musnah akibat konvesi hutan alam.
33 dasarnya dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter untuk menahan dan/atau meningkatkan pemulihan dan penambahan sumberdaya hutan cenderung dipandang kurang dan bahkan tidak signifikan.
2.3.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Munashinghe (2004) menjelaskan terdapat tiga evolusi pemikiran yang
mendasari hubungan antara makroekonomi dan lingkungan. Pertama adalah pemikiran bahwa aktivitas ekonomi memerlukan sumberdaya alam, di antaranya pemikiran Malthus (1798) yang menekankan pemiskinan karena kendala pertanian dan pertumbuhan penduduk yang eksponensial, dan Ricardo (1817) yang menjelaskan bagaimana dimisnishing returns to land memerlukan perlindungan pada kekayaan dan penduduk, serta Hotelling (1931) yang mengembangkan lebih jauh teori exhaustible resource. Dalam perkembangannya, menurut Munashinghe, termasuk di antaranya pemikiran Stiglitz (1974) yang mengembangkan model dengan peubah kapital, tenaga kerja dan sumberdaya alam sebagai substitusi dalam produksi untuk menunjukkan bahwa tingkat konsumsi yang lebih tinggi dapat berkelanjutan jika terdapat peningkatan kemajuan teknologi untuk mengkompensasi penurunan stok sumberdaya alam; Daly (1991) yang menyatakan bahwa kebijakan makroekonomi yang tepat dapat menjamin alokasi sumberdaya yang optimal namun tidak dapat menyelesaikan isu-isu berskala (scale issues) karena ekonomi tumbuh melebihi daya dukung lingkungan; dan Solow (1993) yang mendefinisikan net national product (NNP) sebagai ukuran konsumsi maksimum yang dapat berkelanjutan. Pemikiran kedua adalah pemikiran yang berkaitan dengan analisis Input-Output (I-O) yang dikembangkan tahun 1930-an oleh Leontieff dan tahun 1970 Leontieff mendeskripsikan kerangka untuk menganalisis polluting output sektor-sektor
34 produktif, dan dampak kebijakan penurunan eksternalitas dalam sektor-sektor pengurang polusi. Pemikiran ketiga adalah pemikiran yang telah memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam model makroekonomi konvensional yang digunakan untuk penetapan kebijakan mulai dari ekstensi tipe Keynesian IS-LM dalam analisis comparative statics, sampai ke model yang lebih kompleks, Computable General Equilibrium (CGE) yang memasukkan peubah lingkungan. Penelitian pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan degradasi hutan, khususnya di negara-negara berkembang awalnya dilakukan berkaitan dengan kebijakan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia ketika membantu negara-negara yang mengalami krisis moneter dan ekonomi melalui sebuah program yang dikenal dengan Structural Adjustment Programme (SAP). Menurut Sedjo (2005), SAP dirancang untuk memperbaiki kinerja makroekonomi negaranegara yang mengalami masalah serius dalam perdagangan, balance of payment, dan defisit anggaran (fiscal deficit). Kebijakan-kebijakan yang tipikal direkomendasikan dalam kerangka SAP adalah memotong anggaran pemerintah, menaikkan pajak, meliberalisasi pasar dan perdagangan, memberikan bantuan darurat pinjaman dari sumber asing (diantaranya dari Dana Moneter Internasional), dan memberikan dukungan anggaran. Menanggapi kritik dampak lingkungan dari SAP, Young dan Bishop (1995) menyimpulkan bahwa tidak terdapat jawaban yang sederhana atas pertanyaan apakah SAP berdampak baik atau buruk pada lingkungan, kompleksitas penyesuaian itu sendiri menyebabkan tidak mungkin melakukan generalisasi, karena kondisi beragam dari negara-negara yang melakukan penyesuaian. Sedjo (2005) menyimpulkan dua hal: (1) meskipun dalam banyak kasus SAP dapat mempengaruhi sektor kehutanan, dalam kasus yang lain, tidak mempengaruhi, dan (2) ketika SAP berdampak pada
35 sektor kehutanan, dampaknya tidak harus negatif pada nilai-nilai ekosistem dan lingkungan. Kaimowitz et al (1999) menyimpulkan bahwa kebijakan penyesuaian (SAP) di Bolivia berkontribusi terhadap konversi hutan secara besar-besaran untuk memproduksi soybean yang berorientasi ekspor, dan pada tingkat tertentu, terhadap degradasi hutan oleh perusahaan pembalakan hutan. Hasil penelitian Sunderlin et al (2003) di Kamerun menyimpulkan: 1.
Laju deforestasi meningkat signifikan pada dekade setelah krisis dibanding sebelum krisis.
2.
Main proximate causes adalah pertumbuhan mendadak penduduk pedesaan dan pergeseran produksi dari cokelat dan kopi ke plantain dan tanaman pangan lain.
3. Main underlying causes or driving forces adalah guncangan makroekonomi (macroeconomic shocks) dan kebijakan penyesuaian (SAP) yang menyebabkan pertumbuhan penduduk pedesaan dan perubahan sistem pertanian. Menggunakan model SVAR (Structural Vector Auto Regression), Soedomo (2003) menganalisis pengaruh guncangan moneter terhadap dinamika harga tegakan dan pemanenan kayu di wilayah Pacific Northwest, Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guncangan (shocks) peubah makroekonomi mempengaruhi dinamika harga tegakan dan pemanenan kayu. Guncangan aggregate price dan aggregate output menaikkan pemanenan kayu, sementara guncangan money demand menurunkan pemanenan kayu. Kaimowitz dan Angelsen (1998) menelaah 150 model ekonomi deforestasi dan mensintesakan hasil-hasil analisis dari model yang ditelaah. Keduanya menyatakan terdapat kesepakatan yang luas bahwa ekspansi areal penananam (cropped area) serta penggembalaan (pasture) merupakan sumber utama deforestasi.
36 Ekspansi penggembalaan, terutama penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan (logging), meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain. Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan bahwa model-model analisis yang dikembangkan belum banyak yang menganalisis bagaimana karakteristik agen deforestasi mempengaruhi perilakunya dan menyajikan bukti empiris yang lemah dan bertentangan.
Sebagai contoh, keluarga miskin dapat mendeforestasi lebih besar,
karena memiliki bentang waktu yang pendek (higher discount rate), tapi keluarga miskin juga dapat mendeforestasi lebih kecil, karena kekurangan kapital untuk membeli lahan tambahan sebagai input produksi. Dilaporkan bahwa kurva Kuznets (Kuznets curve) mungkin eksis pada tingkat rumah tangga, yang berarti keluarga miskin awalnya menebang lebih banyak sehingga pendapatannya meningkat tetapi kecenderungan ini belum diketahui apakah akan berlanjut atau berbalik arah ketika mulai mencari waktu luang (leisure) yang lebih. Kaimowitz dan Angelsen (1998) mengidentifikasi 8 parameter atau peubah yang sering digunakan untuk menjelaskan keputusan agen deforestasi. Empat parameter yang pertama adalah: (1) lingkungan fisik, (2) harga komoditas pertanian, (3) harga komoditas kayu, dan (4) upah dan lapangan kerja luar pertanian (off-farm employment). Empat parameter yang terakhir adalah: (5) harga input pertanian, (6) perubahan teknologi pertanian, (7) aksesibilitas, dan (8) regim kepemilikan dan perilaku strategis. Keputusan agen deforestasi dipengaruhi oleh akar masalah, dan Kaimowitz dan Angelsen (1998) mengidentifikasi terdapat empat akar masalah yang sering digunakan untuk menjelaskan deforestasi. Keempat akar masalah tersebut adalah: (1) tekanan penduduk, (2) pendapatan per kapita, (3) hutang luar negeri,
37 perdagangan dan penyesuaian struktural (structural adjustment), dan (4) masalah politik. Strand (2004) mengulas beberapa hasil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi pada sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Strand, hubungan antara kebijakan dan kondisi makroekonomi di satu sisi dan di sisi lain, lingkungan, sumberdaya alam dan kesejahteraan penduduk di negara-negara berkembang dan negara-negara maju baru (new emerging countries), merupakan persoalan yang luas dan kompleks. Strand menyimpulkan: 1.
Subsidi pada sumberdaya tidak terbarukan, terutama sumberdaya fosil, umumnya tidak bermanfaat dan dapat menambah tekanan terhadap lingkungan serta menyebabkan ekstraksi sumberdaya yang terlalu cepat. Namun demikian, pemberian subsidi dapat distruktur sehingga lingkungan, efisiensi sumberdaya dan pemeliharaan dapat dipromosikan.
2.
Krisis moneter sering memiliki konsekuensi bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan, karena pengaruh pemburukan krisis (worsening effect) dalam banyak kasus menjadi menggantikan pengaruh pengurangan krisis (dampening effect).
3. Perubahan kebijakan moneter, yang melemahkan nilai tukar (exchange rate) dan menaikkan suku bunga (interest rate) dapat berimplikasi secara substansial bagi penggunaan sumberdaya, terutama karena mempromosikan ekspor jangka pendek (short-run exports) dan ekstraksi berlebihan ketika kepastian penguasaan lahan tidak terjamin. 4. Investasi pemerintah memiliki potensi untuk memperbaiki secara signifikan lingkungan dan penggunaan sumberdaya, namun perlu dilakukan dengan cermat. Satu bidang yang memerlukan investasi adalah pembangunan jalan di areal yang sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas), yang dapat menyebabkan
38 tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian. 5.
Foreign direct
investment yang meningkat akibat liberalisasi pasar kapital
(capital markets) dapat menambah tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan, namun bukti impiris kurang jelas, terutama ketika perusahaan internasional (international cooperations) mulai memperhatikan masalah lingkungan dengan semakin serius.
2.4.
Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional Menurut Sedjo (2005), penelitian pengaruh kebijakan perdagangan pada hasil
hutan umumnya melihat dari sisi pengaruh secara umum pada perdagangan hasil hutan apabila kebijakan liberalisasi perdagangan hasil hutan diberlakukan. Sedjo dan Simson (1999) menyatakan bahwa penurunan tarif yang lebih rendah pada perdagangan hasil hutan hanya meningkatkan produksi dan perdagangan hasil hutan dunia yang relatif kecil. Namun hutan tetap mendapat tekanan deforestasi akibat konversi hutan untuk penambahan lahan pertanian. Brooks
et
al
(2001)
melaporkan
bahwa
ATL
(Accelerated
Tariff
Liberalization) menaikkan perdagangan hasil hutan dunia maksimum 2 %, pemanenan kayu dunia sekitar 0.5%, serta produksi dan konsumsi hasil hutan dunia kurang dari 1%. Sedangkan Earley dan Earley (2006) menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan pada komoditas gula menyebabkan loss of biodiversity: banyak negara-negara penghasil gula (tebu) menggunakan porsi yang besar dari total areal lahannya untuk memproduksi gula, dan ekspansi produksi dilakukan dengan mengkonversi hutan tropis yang kaya biodiversity.
39 Ferreira (2004) menunjukkan perdagangan internasional yang semakin terbuka berasosiasi dengan deforestasi yang semakin rendah di negara-negara dengan kualitas kelembagaan tinggi (negara-negara maju), tetapi sebaliknya, deforestasi yang semakin tinggi di negara-negara dengan kualitas kelembagaan rendah (negara-negara berkembang). Kebanyakan negara-negara berkembang memiliki
kelemahan
kelembagaan
(institutional
weakness),
terutama
hak
kepemilikan (property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law). Dalam kondisi hutan open access, agen bertindak tidak mempertimbangkan eksternalitas negatif (negative externalities) yang mengenai individu lain. Dalam kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan, misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan ke dalam discount rates yang tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan pada hutan yang terbangun (Ferreira (2004).
2.5.
Penelitian Terhahulu Kasus Indonesia Berdasarkan pada hasil observasi deforestasi oleh petani di Taman Nasional
Kerinci Seblat, Jambi, Wibowo (1999) membangun model deforestasi dengan persamaan
Fokker-Planck
dan
stochastic
differential
menggunakan
teori
intertemporal consumption. Model yang dibangun bertujuan untuk menunjukkan secara analitis bagaimana deforestasi dihubungkan (linked) terhadap perilaku akumulasi kapital (capital accumulation behavior). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ketika ketidakpastian (uncertainty) tidak cukup besar, akumulasi kapital menyebabkan petani memiliki kemampuan finansial untuk menebang hutan. Terlepas dari tingkat ketidakpastian, tanpa akumulasi kapital, petani tidak memiliki kapital tunai yang cukup untuk menebang hutan.
40 Untuk
menganalisis
bagaimana
optimasi
konsumsi
(consumption
optimization) mempengaruhi perilaku deforestasi, Wibowo mengembangkan stochastic control model yang dipecahkan dengan Hamilton-Jacobian equation. Hasilnya menunjukkan bahwa akumulasi kapital tidak selalu menyebabkan petani memiliki kapasitas finansial untuk menebang hutan. Dalam kasus yang risk-averting, petani cenderung menabung dan penebangan hutan tidak dilakukan. Dalam kasus yang risk-taking, petani bersedia mengorbankan konsumsi untuk investasi dalam penebangan hutan. Dengan demikian, petani yang risk-taking dapat menjadi ancaman terhadap hutan dibanding petani yang risk-averting. Optimasi konsumsi ditunjukkan untuk mengurangi kapasitas keuangan petani untuk menebang hutan. Hal ini karena optimasi meningkatkan konsumsi petani di atas subsisten, sehingga kekurangan uang untuk biaya penebangan hutan. Penelitian dampak realokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi dan degradasi dilakukan oleh Novra (2007) juga di Taman Nasional Kerinci Seblat. Hasil penelitian di antaranya menunjukkan bahwa realokasi pengeluaran rutin untuk sektor sumberdaya manusia memenuhi kiteria pembangunan berkelanjutan di antaranya aspek ekologi: mampu mengurangi tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Penelitian dampak perdagangan produk berbasis kayu terhadap deforestasi potensial dilakukan oleh Adi (2007). Dengan menggunakan disagregasi data wilayah (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua), hasil penelitian menunjukkan bahwa perdagangan produk berbasis kayu cenderung meningkatkan deforestasi potensial, dan laju deforestasi potensial antara lain dipengaruhi oleh suku bunga dan produk domestik regional bruto.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
BAB III menjelaskan kerangka pemikiran membangun model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Kerangka pemikirannya meliputi: (1) identifikasi deforestasi dan degradasi hutan, (2) identifikasi transmisi kebijakan dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan, dan (3) konstruksi model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan.
3.1.
Deforestasi Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas
penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan). Nonhutan atau areal tidak berhutan didefinisikan sebagai bentuk penutupan lahan berupa: (1) semak/belukar, (2) belukar rawa, (3) savanna/padang rumput, (4) perkebunan, (5) pertanian lahan kering, (6) pertanian lahan kering campur semak, (7) transmigrasi, (8) sawah, (9) tambak, (10) tanah terbuka, (11) pertambangan, (12) pemukiman,
(13) rawa,
dan (14) pelabuhan
udara/laut (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Dari ke 14 kategori deforestasi tersebut, savanna/padang rumput (3) dan (rawa (13) tidak dapat dikategorikan sebagai hasil konversi hutan primer (deforestasi) selama savanna/padang rumput dan rawa merupakan suatu ekosistem tersendiri yang berbeda dengan ekosistem hutan primer. Sebaliknya semak/belukar (1), belukar rawa (2) dan tanah terbuka (10) dapat dikategorikan sebagai deforestasi selama semak/belukar, belukar rawa dan tanah terbuka merupakan bekas pembalakan hutan berlebihan, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan namun alih fungsi lahan
42 belum jelas. Demikian pula dengan areal transmigrasi dapat dibedakan ke dalam lahan pertanian, perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman, sehingga alih fungsi lahan areal transmigrasi juga belum struktur penggunaan yang jelas. Dengan demikian, areal deforestasi yang memiliki alih fungsi hutan secara jelas adalah: perkebunan (4), pertanian lahan kering (5), pertanian lahan kering campur semak (6), sawah (8), tambak (9), pertambangan (11), pemukiman (12), dan pelabuhan udara/laut (14). Delapan komponen nonhutan ini dapat disederhanakan ke dalam 6 komponen, yaitu: (1) perkebunan, (2) pertanian, yang mencakup pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan sawah, (3) perikanan (tambak), (4) pertambangan, (5) pemukiman, dan (6) pelabuhan (udara/laut). Dalam penelitian pengertian hutan merujuk pada hutan alam sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan sebagai komponen deforestasi, karena merupakan hasil konversi hutan alam. Dengan memasukkan areal HTI, terdapat 7 komponen deforestasi yang memiliki pengertian alih fungsi hutan secara jelas. Dari tujuh komponen deforestasi tersebut, komponen yang paling sering didiskusikan adalah komponen pertanian, perkebunan, HTI, dan pertambangan. Komponen pertanian, khususnya tanaman pangan, dan komponen perkebunan, terutama karet dan sawit. Untuk penyederhanaan, areal deforestasi yang dianalisis meliputi: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) tanaman sawit, dan (4) HTI (Gambar 14). Total luas keempat komponen deforestasi tersebut adalah 31.8 juta ha. Komponen terluas adalah areal tanaman padi (11.5 juta ha), kemudian disusul oleh HTI (9.0 juta ha), dan sawit (7.8 juta ha). Luas tanaman karet adalah 3.5 juta ha. Deforestasi yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi. Dalam pengertian pemerintah bertindak sebagai agen yang
43
menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar. Hal ini juga tercermin dalam kebijakan yang membagi kawasan hutan (70.5 % dari luas daratan Indonesia) di samping ditetapkan sebagai hutan konservasi, dan hutan produksi tetap dan terbatas, ditetapkan juga sebagai hutan produksi konversi.
Pembalakan Hutan Alam Primer
Logged Over Area (LOA)
Reboisasi
Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi
Tanaman Pangan
Tanaman Karet
Tanaman Sawit
Hutan Tanaman Industri
Gambar 14. Proses Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam Penetapan hutan produksi konversi bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pengembangan sektor-sektor lain yang membutuhkan areal pengembangan. Kebutuhan areal untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan mendorong pemerintah perlu mencetak areal persawahan, kebijakan makroekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan mendorong pentingnya peningkatan produksi semua sektor, termasuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Dalam kasus konversi hutan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri), hasil penelitian Kartodihardjo dan Supriono (2000) menemukan: (1)
44 kebijakan pembangunan HTI melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam; (2) subsidi bagi pembangunan HTI sebenarnya tidak diperlukan; (3) pembangunan perkebunan telah mengkonversi lebih banyak lahan daripada yang dibutuhkan untuk mendapatkan tambahan keuntungan dari kayu hasil pembukaan lahan; (4) sistem klasifikasi penggunaan lahan hutan yang tumpang tindih dan tidak kunjung dapat diselesaikan telah menjadi sumber keuntungan bagi para pengembang melalui lepasnya hak-hak masyarakat dan semakin memburuknya kehidupan mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan; dan (5) pemecahan masalah ini dihambat oleh kaku dan kuatnya pendekatan top-down serta tidak adanya pengakuan bagi hak-hak masyarakat adat terhadap lahan hutan. Sedjo (1992) dan Vincent (1990) dalam Soedomo (2003) menyimpulkan bahwa kinerja finansial yang inferior dalam pengelolaan hutan telah dipercayai menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Kenyataan menunjukkan konversi hutan (deforestasi) awalnya dimungkinkan pada hutan primer (virgin forest) namun dalam perkembangannya hanya boleh pada logged over area (LOA). Dalam kasus konversi hutan dilakukan pada hutan primer, proses menuju areal penggunaan lain (deforestasi) selalu melalui kondisi LOA (Gambar 14), karena hutan harus ditebang agar dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lain, meskipun tidak jarang terjadi setelah penebangan selesai kegiatan penggunaan lain tidak pernah direalisasikan dan areal LOA ditinggalkan tanpa pengelolaan. Berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah, LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) LOA akibat penebangan dengan tujuan komersial yang dilakukan oleh pemegang konsesi berdasarkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH), dan (2) LOA akibat penebangan dengan tujuan alih fungsi hutan yang dilakukan oleh kontraktor penebangan
45
berdasarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penebangan dengan dasar IPK pada LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) penebangan pada LOA untuk tujuan alih fungsi ke areal penggunaan lain, dan (2) penebangan atau pembalakan pada LOA untuk tujuan konversi menjadi hutan tanaman. Meskipun pemerintah bertindak sebagai agen yang menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar, keputusan pemerintah untuk merespon tekanan pelepasan areal bergantung pada kinerja sektor-sektor ekonomi yang bersangkutan. Kinerja sektor-sektor ekonomi dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan pasar komoditas masing-masing sektor. Komoditas pangan lebih berorientasi pada permintaan dalam negeri dibanding ekspor, sementara komoditas karet, sawit dan pulp lebih berotientasi ekspor. Oleh karenanya peningkatan kebutuhan areal untuk meningkatkan produksi sebagai upaya memenuhi permintaan komoditas pangan lebih ditentukan oleh perkembangan permintaan dalam negeri, sementara untuk komoditas karet, sawit dan pulp lebih ditentukan oleh permintaan ekspor. Gambar 15 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar komoditas pangan, karet, sawit dan pulp dengan deforestasi. Pada Gambar 15 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi dan peningkatan produksi akan meningkatkan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan akhirnya akan meningkatkan deforestasi.
46
Logged Over Area (LOA) Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi
ATPN
ATKR
ATSW
AHTI
QPN
QKR
QBSW
QKHTI
QMSWW
QWC QWP
DPN
DKR
DMSW
DWP
Keterangan: A = Luas Areal; Q = Produksi; D = Permintaan; TPN = Tanaman Pangan; PN=Pangan; TKR = Tanaman Karet; KR = Karet; TSW = Tanaman Sawit; BSW = Buah Sawit; MSW = Minyak Sawit; HTI = Hutan Tanaman Industri; KHTI = Kayu HTI; WC = Serpih Kayu; WP = Pulp.
Gambar 15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan Pulp dengan Deforestasi Menurut Ferreira (2004) kebanyakan negara-negara berkembang memiliki kelemahan kelembagaan (institutional weakness), terutama hak kepemilikan (property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law). Bahkan dalam kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan, misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan menjadi discount rates tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan hutan.
47
3.2.
Degradasi Hutan Pada Gambar 14 terlihat bahwa deforestasi dimulai dari pembalakan hutan
primer (virgin forest). Pembalakan hutan primer menyebabkan hutan tidak menjadi virgin lagi. Areal bekas tebangan dinamakan logged over area (LOA). Apakah areal LOA termasuk ke dalam hutan yang terdegradasi atau tidak bergantung pada definisi yang digunakan. Bagi kalangan yang hanya tertarik pada peranan hutan, khususnya hutan alam sebagai penyerap karbondioksida, LOA dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi, karena berkurangnya jumlah pohon menyebabkan berkurangnya fungsi daya serap hutan terhadap CO2. Jika hutannya dikelola secara berkelanjutan, maka fungsi penyerap CO2 dapat stabil atau berkelanjutan, karena jumlah pohon yang ditebang tiap tahun selalu tergantikan. Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPPC), termasuk kalangan yang lebih menekankan fungsi hutan sebagai pemroses CO2. Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008) mendefinisikan degradasi hutan sebagai “kehilangan setidaknya Y% stok karbon (dan nilai hutan) dalam jangka waktu lama (selama setdaknya X tahun) sejak waktu T yang disebabkan kegiatan manusia dan tidak dianggap sebagai deforestasi (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008). Menurut GOFC-GOLD (2008) dalam Murdiyarso et al 2008, kegiatan yang biasa menjadi penyebab degradasi hutan di daerah tropis meliputi: (1) tebang pilih, (2) kebakaran hutan terbuka dan dalam skala luas, (3) pengumpulan hasil hutan nonkayu dan kayu bakar, dan (4) produksi arang, pengembalaan, kebakaran tegakan bawah dan perladangan berpindah. Namun dua dari 4 faktor tersebut, yaitu faktor penyebab (1) dan (3) kurang dapat diterima oleh kalangan yang tertarik dengan fungsi hutan sebagai penghasil barang dan jasa untuk kesejahteraan.
48 Definisi IPPC tersebut lebih menekankan peranan hutan sebagai penyerap karbondioksida. Terdapat definisi lain yang lebih mengartikan degradasi hutan dari sisi fungsi hutan sebagai pencegah erosi. Dengan menekankan pada aspek erosi, maka kondisi LOA yang menimbulkan erosi tinggi dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi. Selain kedua definisi tersebut, terdapat definisi lain, yaitu yang lebih menekankan pada aspek kelayakan finansial usaha. Dengan menekankan pada aspek kelayakan usaha, LOA akan dikategorikan terdegradasi jika potensi hutannya dinilai terlalu rendah atau tidak memenuhi standar kelayakan finansial usaha. Terkait dengan definisi ini, terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa hutan dikatakan terdegrasi jika struktur tegakan hutannya tidak dapat dipanen secara lestari. Pemanenan secara lestari membutuhkan managemen untuk menata struktur tegakannya agar kembali lestari. Mengacu pada beberapa definisi atau pengertian tersebut, definisi degradasi hutan di sini lebih membatasi pengertian degradasi hutan yang terjadi pada hutan alam produksi, bukan pada hutan tanaman, hutan lindung atau hutan konservasi. Degradasi hutan diartikan sebagai perubahan kondisi hutan primer akibat penebangan yang melebihi potensi lestari hutan. Dengan pengertian ini, areal bekas penebangan (LOA) dikategorikan sebagai hutan terdegradasi, karena kenyataan menunjukkan best practice pengelolaan hutan alam produksi belum terwujud di lapangan. Hasil penelitian Ismanto (2010) dengan pendekatan S-P-K (struktur-perilakukinerja) menunjukkan fenomena tersebut. Sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan; kurang dari 10 persen perusahaan penerima IUPPHHK (HPH) yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal tergolong cukup tinggi, yang disebabkan oleh perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak
49
sesuai dengan aturan dan rencana; 77.5% perusahaan mempunyai rentabilitas tidak baik, yang berarti sebagian besar perusahaan melaporkan perusahaannya mengalami kerugian.
DKL
DKG
DWP
QKL
QKG
QWP
DKHA
DKHA
DKHA
QKHA AHPH
Reboisasi
Logged Over Area (LOA) Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi Keterangan: A = Luas Areal ; HPH = Hak Pengusahaan Hutan; Q = Produksi; D = Permintaan; KHA = Kayu Hutan Alam; KL = Kayu Lapis; KG = Kayu Gergajian; WP = Pulp
Gambar 16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan Gambar 16 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar kayu lapis, kayu olahan dan pulp dengan degradasi hutan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dan peningkatan produksi kayu bulat akan meningkatkan luas tebangan hutan alam. Peningkatan luas tebangan hutan alam akhirnya akan meningkatkan LOA, yang berarti meningkatkan degradasi hutan.
50 3.3.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter) mempengaruhi pertumbuhan sektor– sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pertumbuhan produksi dan perdagangan hasil tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan tanaman selanjutnya mempengaruhi deforestasi (Gambar 15) dan hasil hutan alam selanjutnya mempengaruhi degradasi hutan (Gambar 16). Konsekuensinya, sumberdaya hutan (primer) mendapatkan dua tekanan, yaitu: (1) tekanan permintaan pasar komoditas kehutanan (kayu lapis, kayu gergajian, pulp), dan tekanan permintaan pasar komoditas pangan dan perkebunan (karet, sawit), serta komoditas yang lain (pertambangan) (tidak tercantum dalam gambar).
3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal Dari sisi fiskal, pemerintah mempengaruhi kinerja makroekonomi dengan instrumen kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Kebijakan fiskal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap produksi dan perdagangan sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Untuk penyederhanaan analisis dilakukan untuk tanaman pangan: padi; perkebunan: karet dan sawit; dan kehutanan: HTI dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan Alam). Pengenaan pajak dan bukan pajak di satu sisi, dan pemberian subsidi di sisi lain, terhadap sektor-sektor ekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan fiskal mempengaruhi harga input: suku bunga, harga BBM (bahan bakar minyak), harga pupuk, dan upah tenaga kerja, serta mempengaruhi harga output melalui pajak pada harga ekspor dan tarif impor pangan, karet, sawit, dan kayu.
51
3.3.1.1. Pengaruh Penerimaan Negara Struktur penerimaan negara disajikan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan melalui instrumen pajak dan bukan pajak. Instrumen pajak dan bukan pajak dapat dikenakan pada kegiatan produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional (ekspor dan impor). Pengenaan pajak dan bukan pajak akan menekan kinerja sektor-sektor ekonomi, dan sebaliknya membebaskan pengenaan pajak dan bukan pajak akan merangsang kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pengaruh penerimaan negara terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Pengaruh penerimaan yang mungkin dapat diananalisis adalah pengaruh penerimaan pajak dalam negeri, yaitu: pajak perdagangan internasional, yang meliputi: pajak ekspor dan tarif impor, dan penerimaan bukan pajak, yang meliputi: PSDH (untuk hutan tanaman dan hutan alam) dan DR (Dana Reboisasi). Pengaruh penerimaannya dapat dianalisis melalui pengaruhnya terhadap kegiatan produksi dan perdagangan pangan, karet, sawit, kayu, dan produk-produk turunannya.
52
Penerimaan Negara
Penerimaan Bukan Pajak
Penerimaan Pajak Pajak Dalam Negeri PPh
Pajak Perdagangan Internasional
Bea Masuk
PSDA
Bea Masuk
PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lain
Nonmigas Perikanan
Kehutanan
Bagian Laba BUMN Pendapatan BLU PNBP Lain
Migas Migas Gas Alam
Pertambangan Umum Panas Bumi
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara
3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara Struktur pengeluaran negara disajikan pada Gambar 18. Pada Gambar 18 terlihat bahwa dari sisi pengeluaran negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan melalui kebijakan pengeluaran negara. Pengeluaran yang lebih pada pembayaran hutang dapat menurunkan subsidi dan/atau belanja pemerintah. Demikian pula pengeluaran yang lebih pada subsidi dapat mengurangi pembayaran hutang dan/atau belanja pemerintah. Pengeluaran yang lebih pada belanja pemerintah akan mnurunkan kemampuan pembayaran hutang dan/atau subsidi. Pemerintah mengatur sedemikian
53
rupa sehingga dicapai sasaran-sasaran pembangunan, yaitu terdapat keseimbangan yang berarti bagi masing-masing pengeluaran sesuai tujuan pembangunan. Kebijakan pengeluaran negara secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam melalui pengaruhnya terhadap pemberian subsidi dan belanja pemerintah. Pemberian subsidi BBM berpengaruh pada harga BBM yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi dan transportasi, sedangkan belanja modal antara lain untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Dengan demikian pengaruh kebijakan fiskal dapat dianalisis melalui beragam instrumen, termasuk instrumen subsidi. Struktur dan komponen subsidi pemerintah disajikan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa subsidi energi meliputi: (1) subsidi BBM dan (2) subsidi listrik. Subsidi nonenergi memiliki 9 komponen. Empat komponen yang pertama meliputi: (1) pangan, ( 2) pupuk, (3) benih, dan (4) kredit program. Lima komponen yang terakhir meliputi: (1) PSO (Public Service Obligation), (2) minyak goreng, (3) pajak, (4) kedelai, dan (5) subsidi lain. Subsidi pangan, kedelai, minyak goreng dan pajak akan menaikkan konsumsi, khususnya konsumsi pangan. Subsidi BBM dan listrik serta pupuk mempengaruhi produksi tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Sedangkan subsidi benih dan kredit program mempengaruhi produksi, khususnya produksi pangan dan perkebunan, karena keduanya yang menerima subsidi tersebut. Komponen subsidi yang sering mendapatkan perhatian publik adalah: (1) subsidi BBM, (3) harga pupuk, (3) suku bunga (kredit program), dan (4) HPP gabah kering giling.
54
Pengeluaran Negara
Pembayaran Bunga Hutang Hutang DN
Hutang LN
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal
Subsidi
Energi
Nonenergi
Belanja Hibah Bantuan Sosial ¾ Bencana ¾ Bantuan K/L Belanja Lain
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara
3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter Dari sisi moneter, otoritas moneter (Bank Sentral Indonesia) mempengaruhi kinerja makroekonomi melalui instrumen kebijakan pengendalian money supply (MS). Ketika uang yang beredar di masyarakat untuk bertransaksi (money demand) berlebihan, yang dikhawatirkan menyebabkan inflasi, Bank Sentral Indonesia (BI) mengabsorbsi uang beredar yang berlebihan, sehingga kembali sama dengan money supply dengan menaikkan suku bunga. Sebaliknya ketika masyarakat diperkirakan membutuhkan uang yang lebih untuk bertransaksi, BI menurunkan suku bunga dengan meningkatkan money supply.
55
Subsidi
Energi
Nonenergi PSO
Subsidi BBM
Subsidi Listrik Pangan
Minyak Goreng
Pupuk
Pajak
Benih
Kdelai
Kredit Program
Lainnya
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara Menurut Bank Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas
kegiatan
perekonomian
dengan
tujuan
akhir
pencapaian
target
inflasi. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi (Gambar 20). Guna memahami pengaruh kebijakan moneter terhadap deforestasi dan degradasi hutan, jalur suku bunga dan jalur nilai tukar yang lebih ditekankan, karena akan langsung mempengaruhi suku bunga sebagai harga kapital, dan harga ekspor dan impor pangan, karet, sawit, pulp dan kayu.
56
Suku Bunga Deposito & Kredit Kredit yang Disalurkan
BI Rate
Konsumsi Investasi
Harga Aset (Obligasi & Saham Nilai Tukar Ekspekatasi
PDB Ekspor Inflasi
Feedback
Sumber: Bank Indonesia Gambar 20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi Dampak kebijakan moneter terhadap deforestasi, khususnya untuk perluasan areal tanaman pangan, karet, dan sawit, melalui saluran suku bunga dihipotesiskan lebih kecil dibanding dampak kebijakan fiskal melalui subsidi kredit program; subsidi kredit program mengisolasi diri dari pengaruh kebijakan moneter. Namun dampaknya terhadap deforestasi oleh HTI, dan degradasi hutan mungkin lebih besar. Dampaknya melalui saluran nilai tukar bergantung pada pengaruhnya terhadap harga ekspor dan impor.
3.4.
Pengaruh Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dapat dianalisis meliputi: suku bunga dunia, dan harga
minyak mentah dunia.
Pengaruh harga minyak terhadap perekonomian dapat
dianalisis dari dua sisi, yaitu: sisi supply, dan sisi demand. Dari sisi supply, hasil analisis antara lain Estrada dan de Cos (2009) menunjukkan bahwa kenaikan
57
(permanen) harga minyak dapat secara signifikan mengurangi output potensial. Dari sisi demand, antara lain Aliyu (2009) menunjukkan bahwa harga minyak dunia mempengaruhi PDB (Produk Domestik Bruto) riil di Nigeria. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi kondisi makroekonomi melalui beberapa saluran antara lain neraca pembayaran, dan defisit anggaran. Bagi negara pengimpor, kenaikan harga minyak mentah dunia akan menyebabkan neraca pembayaran mengalami penurunan, yang pada gilirannya menyebabkan tekanan pada nilai tukar. Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan impor menjadi lebih mahal, dan ekspor menjadi lebih murah. Penurunan impor di satu sisi dan kenaikan ekspor di sisi lain, pada akhirnya memperbaiki neraca pembayaran kembali jika negara yang bersangkutan mengadopsi sistem nilai tukar mengambang (floatimg exchange rate). Melalui saluran defisit anggaran, karena kenaikan harga minyak (BBM) akan menambah tambahan biaya subsidi BBM bagi negara yang mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Indonesia telah sebagai net importir minyak sejak tahun 2004 (Surjadi, 2006). Sebagai net importer Indonesia masih mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Pengaruh harga minyak dunia terhadap defisit anggaran dapat ditangkap dengan peubah subsidi BBM pada pengeluaran negara. Pemberian subsidi, termasuk BBM ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan keputusan politik berdasarkan kemampuan penerimaan negara dan aspirasi politik dalam masyarakat. Pengaruh harga minyak dunia melalui saluran ekspor dan impor dapat ditangkap dengan memasukkan harga minyak dunia ke dalam perilaku ekspor dan impor pada tingkat makro, dan pada tingkat mikro pada perilaku ekspor dan impor sektor deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan pengaruh suku bunga dunia dapat
58 ditangkap dengan memasukkan suku bunga dunia sebagai faktor eksogen yang mempengaruhi suku bunga pasar dan nilai tukar.
3.5.
Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Untuk
menghindari
kompleksitas
permasalahan
dan
memudahkan
pemahaman, maka model yang dibangun dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
3.5.1. Blok Makroekonomi Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan output agregat. Dari sisi pengeluaran, output agregat atau Produk Domestik Bruto (Yt) 9 dituliskan: Yt = Ct + It + Gt + NXt ..………...………….……………………………… (1) di mana Yt = output agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB) Ct = Konsumsi rumah tangga It = Investasi swasta Gt = Pengeluaran pemerintah NXt = Ekspor bersih (ekspor minus impor) Merujuk teori, konsumsi dipengaruhi secara positif oleh pendapatan dibelanjakan (YDt; YDt=Yt-Tt; Tt=penerimaan pajak), dan negatif oleh suku bunga riel (Rt), serta positif konsumsi satu tahun sebelumnya (Ct-1). Sedangkan investasi (It)
9
Melalui hubungan secara negatif antara pengeluaran (pendapatan) agregat (Yt) dan suku bunga dapat diturunkan kurva IS, yang menggambarkan pasar barang. Pada tingkat pendapatan tertentu, suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan barang, dan dalam hampir semua formulasi model, menurut Romer (2000), suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan investasi, dan dalam banyak kasus juga menurunkan konsumsi, serta dalam perekonomian terbuka dengan nilai tukar mengambang menyebabkan apresiasi nilai tukar sehingga menurunkan ekspor bersih.
59
dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga riel (Rt), positif oleh PDB (Yt), negatif oleh kondisi krisis (KRISISt) 10 , dan positif oleh investasi satu tahun sebelumnya (It-1). Fungsi konsumsi dan investasi dituliskan: Ct = C(YDt, Rt, Ct-1 ) ..………..………..…..………………….………..…… (2) It = I(Rt, Yt, KRISISt, It-1) .......……………………….……….…..………... (3) Merujuk Fisher equation, suku bunga riel adalah suku bunga nominal (rt) dikurangi inflasi (π) dituliskan: Rt = rt - πt ……………………………………………………………….……(4) Pengeluaran pemerintah (Gt) dipengaruhi secara positif oleh penerimaan pajak (Tt) dan pengeluaran pemerintah satu tahun sebelumnya (Gt-1). Untuk menangkap pengaruh faktor eksternal, harga minyak dunia (oilPt), terhadap pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dihipotesiskan berpengaruh secara positif, karena kenaikannya membebani pengeluaran pemerintah. Sedangkan penerimaan pajak (Tt) dipengaruhi secara positif oleh PDB (Yt), dan negatif oleh suku bunga riel (Rt), serta positif oleh penerimaan pajak satu tahun sebelumnya (Tt-1). Fungsi Gt dan Tt dituliskan: Gt = G(Tt, oilPt, Gt-1) …………………………………………...…………… (5) Tt = T(Yt, Rt, Tt-1) ……………………………………………………………(6) Blok makroekonomi bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap degradasi dan deforestasi hutan alam dapat melalui beberapa saluran. Terdapat empat saluran transmisi yang umum dipahami, yaitu: (1) saluran suku bunga (interest rate channel), (2) saluran kredit (credit channels), (3) saluran harga asset (asset channel), dan (4)
10
Peubah dummy di mana 0=tahun-tahun tidak krisis, dan 1=tahun-tahun krisis.
60 saluran nilai tukar (exchange rate channels) (Norrbin, 2000; Ireland, 2006). Dalam penelitian ini, dua saluran yang dianalisis, yaitu saluran suku bunga, dan saluran nilai tukar. Suku bunga mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap harga kapital, sedangkan nilai tukar secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap suku bunga, dan harga input dan output tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar dianalisis dari pengaruhnya terhadap keseimbangan suku bunga. Perubahan nilai tukar mempengaruhi ekspor bersih, dan ekspor bersih mempengaruhi PDB, yang akhirnya mempengaruhi suku bunga. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Pengaruh penawaran uang terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dianalisis berdasarkan persamaan suku bunga. Merujuk teori, keseimbangan suku bunga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan uang. Penawaran uang dikendalikan oleh ototritas moneter (Bank Indonesia), sehingga pada Gambar 21, penawaran uang digambarkan sebagai kurva tegak lurus 11 . Sedangkan permintaan uang (untuk bertransaksi) dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga sehingga pada Gambar 21 digambarkan sebagai kurva yang downward sloping. Titik potong antara kurva penawaran dan permintaan uang menunjukkan suku bunga keseimbangan (Gambar 21). Pada Gambar 21, peningkatan penawaran uang ditunjukan oleh bergesernya kurva MS/P ke kanan dari MS0/P menjadi MS1/P.
Jika permintaan uang tidak
berubah, maka suku bunga (r) akan menurun dari r0 ke r1. Merujuk teori, selain 11
Dengan mengkaitkan dengan high-powered money (H), perilaku penawaran uang (MS) dapat diturunkan. Fungsi penawaran uang: MS = u(r;k,cr)H (McCallum, 1989) di mana r=suku bunga, k= faktor proporsi terhadap deposit (k*deposit= required reserve), dan cr=rasio currency terhadap checkable deposit. Dari fungsi tersebut, kurva MS adalah upward sloping terhadap r. Fungsi tersebut mendeskripsikan berapa besar uang akan “dipasok” untuk besaran tertentu H, R, k, dan cr (McCallum, 1989). Untuk menghindari kompleksitas model, dalam penelitian ini penawaran uang diasumsikan eksogen.
61
dipengaruhi oleh suku bunga, permintaan uang juga dipengaruhi oleh pendapatan atau PDB (Yt). Pada Gambar 21, peningkatan PDB ditunjukkan oleh bergesernya kurva permintaan uang ke atas dari L(r0, Y0) menjadi L(r0, Y1). Ketika Y meningkat dari Y0 [L(r0, Y0)] ke Y1 [L(r0, Y1)], maka pada suku bunga r0 akan terjadi excess money demand, karena MS/P tidak berubah. Keseimbangan suku bunga yang baru [MS/P = L(r2, Y1)] akan terbentuk pada suku bunga yang lebih tinggi, r2. Dengan kata lain, kenaikan PDB akan menaikkan suku bunga (dari r0 ke r2) 12 . Dengan demikian, peningkatan MS/P menurunkan dan peningkatan Yt menaikkan suku bunga. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap Yt 13 . Perilaku suku bunga nominal (rt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh penawaran uang (MSt), tingkat harga (IHKt), ekspektasi inflasi (πEt), kondisi krisis (KRISISt), regim nilai tukar (FERt) 14 , suku bunga satu tahun sebelumnya (rt-1). Sedangkan tingkat harga umum (IHKt) dipengaruhi secara positif oleh produk domestik bruto(Yt), dan tingkat harga satu tahun sebelumnya (IHKt-1). Fungsi suku bunga dan tingkat harga dituliskan: rt = r(MSt ,IHKt, πEt, rt-1) ..………………..……………....…………….…. (7) IHKt = IHK (Yt, IHKt-1) …………………………………………………… (8)
12
Melalui hubungan secara positif antara suku bunga dan pendapatan agregat (PDB) dapat diturunkan kurva LM, yang menggambarkan pasar uang (Romer, 2000). 13 Pengaruh pengeluaran pemerintah secara langsung tidak dianalisis. Pengaruh langsung Gt dapat melalui beragam program pembangunan. Strand (2004) menyatakan bahwa pembangunan jalan di areal yang sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas) dapat menyebabkan tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian. 14 Peubah dummy di mana 0 = periode tahun dengan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan 1 = periode tahun dengan regim nilai tukar mengambang (floating exchange rate) atau mengambang terkendali.
62
r
MS0/P
MS1/P
r2 r0 r1 L(r2,Y1) L(r0,Y0) Nilai Riel Uang
Sumber: Modifikasi dari Suranovic, 2008 Gambar 21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga
Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia (oilP), dan suku bunga riel rujukan Amerika Serikat, real Fedrate (Federal Fund Rate) (RUS). Pengaruh perubahan faktor eksternal harga MMD terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor dan impor. Nilai bersih ekspor (ekspor minus impor) mempengaruhi pertumbuhan eksonomi, dan pertumbuhan ekonomi kemudian mempengaruhi rt. Perubahan rt (atau Rt) selanjutnya mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam. Harga komoditas tradable, termasuk harga MMD (oilPt) mempengaruhi nilai ekspor bersih (NXt). Selain dipengaruhi oleh harga MMD, ekspor bersih juga dipengaruhi oleh nilai tukar (et). Sedangkan nilai tukar dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga riel di dalam negeri (Rt) dan luar negeri (RUSt) 15 , serta ekspor bersih 16 . Dengan demikian pengaruh secara tidak langsung perubahan faktor eksternal Fedrate
15 16
RUSt = rUSt – πUSt. Huang dan Tseng (2010) menyatakan bahwa pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar belum banyak diinvestigasi. Hasil analisis keduanya menunjukkan terdapat indikasi bahwa harga minyak dunia mempengaruhi nilai tukar mata uang, terutama yang dikaitkan dengan mata uang USD (dolar Amerika Serikat). Dalam penelitian ini, pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor bersih.
63
terhadap deforestasi dan degradasi hutan dapat ditangkap melalui saluran nilai tukar. Ekspor bersih dihipotesiskan dipengaruhi positif oleh nilai tukar riel (Et) 17 , negatif oleh Produk Domestik Bruto (Yt), , dan negatif oleh harga MMD (oilPt) 18 , serta positif oleh ekspor bersih satu tahun sebelumnya. Sedangkan nilai tukar (et) dihipotesiskan dipengaruhi negatif oleh uncovered interest rate parity (UIPt), negatif oleh nilai ekspor bersih (NXt), positif oleh kondisi krisis (KRISISt) dan penawaran uang (RMSt), serta positif oleh nilai tukar satu tahun sebelumnya. Fungsi NXt dan et, serta persamaan identitas UIPt dituliskan: NXt = NX (Et,Yt, oilPt, NXt-1) .........................................………..……....... (9) et = e( UIPt , NXt , KRISISt, MSt, et-1) ....…………….…………..….….. (10) UIPt = Rt - RUSt …………………………………………………………… (11) Dengan model yang demikian, dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat dianalisis. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal dapat diananlisis dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap suku bunga dan nilai tukar. Peubah suku bunga mempengaruhi secara langsung tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan peubah makroekonomi yang lain, termasuk nilai tukar dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam secara tidak langsung. Pengaruh nilai tukar terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat melalui saluran suku bunga dan dapat juga melalui saluran harga input dan/atau output tradable yang dihasilkan oleh agen deforestasi dan degradasi hutan 19 .
17
Et = et*IHKt/USCPIt; IHKt = Indeks Harga Konsumen; USCPIt = Indeks Harga Konsumen Amerika Serikat. 18 Sejak tahun 2004 Indonesia sebagai net impoter minyak. 19 Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar hanya dianalisis berdasarkan pengaruhnya pada suku bunga; nilai tukar dalam blok deforestasi dan degradasi hutan diasumsikan eksogen dengan mengkonversi peubah harga komoditas dalam bentuk Rupiah. Pengaruh nilai tukar secara tidak langsung terhadap deforestasi dan degradasi hutan disisakan untuk penelitian lanjutan.
64 Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap jumlah pengangguran tidak dianalisis dan disisakan untuk penelitian lanjutan namun dampak kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap jumlah pengangguran dianalisis melalui saluran output (Yt). Penawaran tenaga kerja (LSt) atau jumlah angkatan kerja secara empiris diasumsikan eksogen. Sedangkan permintaan tenaga kerja (LDt) secara empiris dihipotesiskan dipengaruhi secara negatif oleh upah riel pekerja (Wt), dan positif oleh PDB (Yt), serta permintaan tenaga kerja satu tahun sebelumnya (LDt-1). Kenaikan atau penurunan Yt akibat perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal akan menaikkan atau menurunkan jumlah pengangguran (ULt). Fungsi LDt, dan hubungan identitas ULt dituliskan: LDt = LD (Wt, Yt, LDt-1) …………...………….……..….……………… (12) ULt = LSt – LDt ………………....………………..……………………… (13)
3.5.2. Blok Deforestasi Pengertian hutan di sini adalah pengertian hutan alam bukan hutan buatan (hutan tanaman). Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Namun batasan deforestasi di sini lebih spesifik, yaitu merujuk pada hutan alam, sehingga areal HTI (Hutan Tanaman Industri) digolongkan ke dalam areal deforestasi (hutan alam). Selain HTI, tiga komponen deforestasi lain juga dikaji, yaitu: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) dan tanaman sawit. Dengan batasan tersebut dan teori permintaan input lahan, model permintaan lahan hutan alam dapat dibangun. Gambar 22 mengilustrasikan keseimbangan pasar lahan hutan alam. Pada Gambar 22 terlihat bahwa keseimbangan pasar dalam jangka
65
pendek terjadi di titik P dan dalam jangka panjang 20 di titik K. Dalam jangka pendek penawaran lahan hutan (SLH) diasumsikan eksogen sehingga hanya faktor-faktor selain harganya yang menggeser kurva permintaan lahan (DLHPD) ke kiri atau ke kanan menuju keseimbangan 21 . Pergeseran kurva DLHPD ke kiri menunjukkan penurunan luas areal produksi suatu komoditas dan sebaliknya pergeseran kurva DLHPD ke kanan menunjukkan peningkatan deforestasi. Jika kegiatan produksi yang diusahakan adalah produksi kayu hutan alam (melalui HPH), maka pergeseran kurva DLHPD ke kiri menunjukan degradasi hutan 22 . Dengan pemikiran tersebut spesifikasi model ekonomi deforestasi perubahan areal HTI, sawit, karet, dan padi, serta degradasi hutan alam areal HPH dibangun dan diestimasi. Jika luas penggunaan lahan (deforestasi dan degradasi hutan) dapat dipandang sebagai persoalan permintaan input produksi, maka persoalan deforestasi dan degradasi hutan dapat dianalisis menggunakan perilaku ekonomi. Permintaan input dapat diturunkan dari perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Silberberg dan Suen (2001) menjelaskan bahwa jika fungsi produksi (untuk penyederhanaan menggunakan dua input produksi) dituliskan: y = f( x1, x2) diinterpretasikan sebagai teknologi yang menghasilkan output maksimum dari penggunaan dua input produksi x1 seharga w1 dan x2 seharga w2, serta jika harga
20
Keseimbangan jangka panjang menunjukkan suatu kondisi di mana lahan telah dimanfaatkan seluruhnya untuk kegiatan produksi sehingga perluasan lahan untuk produksi tidak dimungkinkan. Dalam jangka panjang, penawaran lahan hutan alam (primer) tidak dipengaruhi oleh harga lahan atau konstan sehingga berbentuk kurva tegak lurus (kurva SLH (Gambar 2). Sebaliknya keseimbangan jangka pendek menunjukkan belum seluruh lahan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga perluasan areal untuk produksi masih dimungkinkan. Permintaan lahan (DLH) merupakan permintaan input produksi suatu komoditas. 21 Harga atau sewa lahan hutan dicerminkan (diturunkan) berdasarkani harga output yang dihasilkan dari lahan yang diusahakan. Harga output di sini bergantung pada empirical evidence apakah harga output di tingkat farm gate (dalam kasus non-vertical integrated industry) atau di tingkat mill gate (dalam kasus vertical integrated industry). 22 Keseimbangan pasar kayu hutan alam lestari mensyaratkan dua asumsi: (1) property rights areal dan tegakan hutan alam ditegakkan, dan (2) harga kayu hutan alam mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang digunakan.
66 output adalah p dan fungsi tujuannya adalah total penerimaan dikurangi total biaya, maka pemaksimalan fungsi tujuannya adalah: π = p f(x1, x2) – w1x1 – w2x2 ….…………………………………………. (a) First order condition (FOC): π1
π/ x1 = p f1 – w1 = 0 ..…………………………………………… (b)
π2 = π/ x2 = p f2 – w2 = 0 ..……..……………………………………… (c) Second order condition (SOC): f11 < 0; f22 < 0 …………………………………………………….….……(d) f11 f22 – f212 > 0 …….…………………………………….……….……….(e) di mana π = Keuntungan f1 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x1 (marginal product x1) f11 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x1 f2 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x2 (marginal product x2) f22 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x2 f12= Turunan pertama dari f1 terhadap x2 (perubahan input x1 mempengaruhi marginal product x1 dan marginal product x2) f21= Turunan pertama dari f2 terhadap x1 (perubahan input x2 mempengaruhi marginal product x2 dan marginal product x1)
67 SLH
PLH
K
PLHPJ P
PLHPD
DLHPJ DLHPD ALHPD
ALHPJ
ALH
Gambar 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam Kondisi (a dan b) menyatakan bahwa keuntungan maksimum akan diperoleh ketika penggunaan input produksi mencapai titik di mana nilai marginal product-nya (pfi) sama dengan biaya untuk memperoleh tambahan unit input produksi yang digunakan (wi). Kondisi (c) merupakan kondisi law of dimisnishing return, yang menyatakan marginal product penggunaan suatu input akan menurun jika jumlah input yang digunakan bertambah. Kondisi (d) diperlukan, karena kondisi (c) sendiri tidak cukup untuk menjamin pencapaian posisi keuntungan maksimal; pengaruh lintas input perlu dipertimbangkan. Secara lengkap FOC dapat dituliskan: p f1(x1, x2) – w1 = 0 .………………………………………………..……… (f) p f2(x1, x2) – w2 = 0 ….…....………………………….…………………… (g) Persamaan (f) dan (g) merupakan dua persamaan implisit yang memiliki lima peubah yang tidak diketahui, yaitu: x1, x2, w1, w2, dan p. Berdasarkan kondisi tersebut, dua dari lima peubah dapat diselesaikan. Hasil penyelesaiannya dituliskan: x1 = f1*(w1, w2, p) ..………...………….………………………………… (h) x2 = f2*(w1, w2, p) .. ……...……….……………………………………… (i)
68 Persamaan (h) dan (i) menunjukkan persamaan permintaan input produksi, yang menyatakan bahwa permintaan input dipengaruhi oleh harganya, harga input lain dan harga outputnya. Berdasarkan teori permintaan input diturunkan permintaan lahan hutan yang dinyatakan sebagai tingkat (laju) deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet, dan padi.
3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI Permintaan lahan untuk areal HTI lebih dari 50% digunakan untuk memproduksi pulp. Oleh karenanya fungsi permintaan input lahan yang digunakan adalah fungsi permintaan lahan oleh industri terintegrasi (integrated industry). Sebagai ouput adalah pulp, dan kayu HTI yang dihasilkan merupakan input bagi industri. Atas dasar fakta ini, tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI (DFHTIt) dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga (ekspor) pulp (PXPULPt), dan P
secara negatif oleh harga kayu HTI (PKHTIt), suku bunga riel (Rt), upah riel (Wt), harga riel bahan bakar minyak (PBBMt). Fakta lain menunjukkan bahwa lahan hutan alam diperebutkan, terutama untuk areal sawit, karet, dan areal konsesi hutan alam 23 . Oleh karena itu tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI dihipotesiskan dipengaruhi juga oleh harga ekspor karet (PXKRt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan harga ekspor kayu lapis (PXKLt). Harga ekspor minyak sawit dan kayu lapis dihipotesiskan berpengaruh dengan hubungan fungsional yang negatif, tetapi harga ekspor karet berhubungan 23
Areal hutan alam produksi dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan dapat dikonversi. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan persaingan penggunaannya tidak hanya terjadi di masing-masing kategori, tapi juga antar kategori. Dalam areal hutan produksi tetap dapat ditemukan areal sawit dan/atau karet, yang seharusnya hanya berlokasi di areal hutan dapat dikonversi, dan sebaliknya areal HPH dapat berada di areal yang dapat dikonversi yang memiliki potensi kayu per ha yang tinggi. Informasi lahan hutan alam yang terbatas serta property rights dan penegakan hukum yang lemah merupakan pemicu terjadinya konflik lahan hutan alam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persaingan penggunaan lahan hutan alam, terutama untuk areal HPH, HTI, sawit, dan karet di lapangan.
69
positif, karena sejak tahun 1990an, pemerintah mengembangkan HTI-karet. Kebijakan pemerintah mempercepat pembangunan HTI dari tahun 2004 – 2009 (GPHTIt) juga dihipotesikan mempengaruhi secara positif tingkat deforestasi untuk areal HTI. Dihipotesiskan luas areal HTI satu tahun sebelumnya (AHTIt-1) akan mempengaruhi tingkat deforestasi secara negatif atau semakin luas areal HTI satu tahun sebelumnya semakin kecil tingkat deforestasi yang terjadi dan sebaliknya. Fungsi DFHTIt dituliskan: DFHTIt = DF (PXPULPt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKRt , PXMSWt , PXKLt, GPHTIt, AHTIt-1) ...…………………………..…………….…………… (14) Dalam penelitian ini, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal HTI) dibatasi hanya sampai harga kayu HTI, yang diperlakukan sebagai peubah endogen. Harga output turunannya (pulp dan kertas) diasumsikan eksogen. Merujuk teori, harga kayu HTI dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya24 . Penawarannya (SKHTIt) dipengaruhi secara positif oleh harganya (PKHTIt), P
negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas HTI (qHTIt), luas areal HTI (AHTIt), dan penawaran kayu HTI satu tahun sebelumnya (SKHTIt-1) 25 . Fungsi penawaran kayu HTI (SKHTIt) dituliskan: SKHTIt = S(PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, qHTIt, AHTIt, QKHTIt-1) .......…….….……… (15) Sebagai derived demand, permintaan kayu HTI oleh industri pulp (DKHTIt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh harganya, harga ekspor pulp (PXPULPt), suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt), dan PDB (Yt), serta permintaan satu tahun 24
Persamaan (h) dan (i) juga berlaku untuk permintaan input industri pengolahan (pulp, kayu lapis, kayu gergajian, minyak sawit, dan karet). Dengan memasukan permintaan input ke dalam fungsi produksi [y = f(x1, x2) ] dapat diturunkan fungsi penawaran output, yang menyatakan penawaran dipengaruhi oleh harga output, harga input, dan faktor-faktor lainnya). 25 Deforestasi berarti peningkatan produksi, sehingga pengaruh deforestasi sebenarnya dapat dideteksi dengan memasukkan atau menggantikan peubah produkstivitas dan luas areal dengan tingkat deforestasi, misalnya jika HTI akan ditebang setelah umur 5 tahun, maka dengan asumsi tiap tahun terjadi deforestasi, pengaruh deforestasi 5 tahun sebelumnya dapat dihipotesiskan akan berpengaruh secara positif terhadap penawaran kayu HTI. Untuk itu memerlukan data deret waktu yang cukup panjang.
70 sebelumnya (DKHTIt-1). Faktor-faktor kecuali harga ekspor pulp dan PDB berhubungan negatif dengan permintaan kayu HTI, sedangkan harga ekspor pulp dan PDB berhubungan positif. Fungsi permintaan kayu HTI dituliskan: DKHTIt = D(PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXPULPt, Yt, DKHTIt-1) ………..…………… (16) P
Harga kayu HTI dipengaruhi oleh harga ekspor pulp (PXPULPt), harga kayu hutan alam (PKHAt), dan penawaran kayu HTI (SKHTIt), serta harga kayu HTI satu tahun sebelumnya. Keseimbangan pasar kayu HTI (Gambar 23) dan fungsi harga kayu HTI dituliskan: SKHTIt = DKHTIt ……………………..…………….…..…………………….. (17) PKHTIt = P(PXPULPt, PKHAt, SKHTIt, PKHTIt-1) …………………………………. (18) P
PKHTI SKHTI
PKHTI0 DKHTI
QKHTI0
QKHTI
Gambar 23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI
3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit Indonesia merupakan produsen sawit terbesar setelah Malaysia. Produksi sawit Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, dan impor minyak sawit sangat kecil.
71
Seperti kasus pulp, permintaan lahan hutan alam untuk areal sawit diasumsikan merupakan permintaan industri terintegrasi minyak sawit26 . Dengan demikian tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit (DFSWt) dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan negatif oleh harga buah sawit (PBSWt), suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal sawit satu tahun sebelumnya (ATSWt-1). Selain itu DFSWt juga dipengaruhi oleh harga kayu HTI (PKHTIt) dan harga kayu hutan alam (PKHAt). Harga kayu HTI mempengaruhi secara negatif, karena fakta persaingan permintaan lahan hutan alam, tetapi harga kayu hutan alam secara positif. Dalam kondisi property rights yang belum clear and clean serta penegakan hukum yang lemah, PKHAt yang lebih tinggi memberikan insentif
terhadap rent seeker
pengembangan areal sawit, yaitu: (1) windfall profit atas penebangan kayu, dan (2) pengurangan biaya landclearing karena penebangan kayu yang dilakukan. Fakta ini menyebabkan PKHAt berpengaruh positif terhadap tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit 27 .
Fungsi DFSWt dituliskan: DFSWt = DF(PXMSWt, PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PKHTIt , PKHAt, ATSWt-1) ………… (19) Seperti kayu HTI, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal sawit) dibatasi hanya sampai harga buah sawit, yang diperlakukan sebagai peubah 26 27
Pada tahun 2008, luas areal sawit perkebunan besar adalah 60.9% dari total areal sawit 7.4 juta ha. Manurung (2001) menyatakan “konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta hektar). Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi. Dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, sebagai contoh, di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dibangun dua perkebunan kelapa sawit dengan luas masing-masing 8.000 ha dan 4.000 ha, juga pada kawasan hutan lindung Register 40 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, paling sedikit 6000 ha telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit”
72 endogen. Harga output turunannya (minyak sawit dan minyak goreng) diasumsikan eksogen. Merujuk teori, harga buah sawit dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya. Penawaran buah sawit SBSWt dipengaruhi secara positif oleh harganya (PBSWt), dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas sawit (qBSWt), luas areal (ATSWt), dan penawaran satu tahun sebelumnya (SBSWt-1). Fungsi penawaran buah sawit dituliskan: SBSWt = S(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, qBSWt, ATSWt, SBSWt-1) ………..…………. (20) Sebagai derived demand seperti permintaan lahan, permintaan buah sawit dipengaruhi negatif oleh harganya (PBSWt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), dan secara positif oleh harga dalam negeri minyak sawit (PDMSWt) dan PDB (Yt) serta permintaan buah sawit satu tahun sebelumnya (DBSWt-1). Fungsi permintaan buah sawit dituliskan: DBSWt = D(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PDMSWt, Yt, DBSWt-1) ...……..…………… (21) Harga buah sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak sawit, permintaan buah sawit, dan harga buah sawit satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar buah sawit (Gambar 24) dan fungsi harga buah sawit dituliskan: SBSWt = DBSWt ...……..……….………………………..………………..….. (22) PBSWt = P(PXMSWt, DBSWt, PBSWt-1) …………………………………….……. (23) P
73
PBSW SBSW
PBSW0 DBSW QBSW0
QBSW
Gambar 24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit
3.5.2.3. Tingkat Deforestasi untuk Areal Karet Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua setelah Thailand. Produksi karet Indonesia berorientasi pada pasar ekspor. Dari total produksi karet, 93% diekspor dan sisanya diserap oleh industri domestik barang jadi karet (Anwar, 2005). Pelabuhan ekspor karet alam Indonesia yang utama adalah Belawan (Sumatra Utara) dengan ekspor sebesar 40% dari total, Palembang (Sumatra Selatan) 25%, Padang (Sumatra Barat) 10%, Pontianak (Kalimantan Barat) 8%, Jambi 6%, dan Surabaya (Jawa Timur) 5% (Anwar, 2005). Produksi karet lebih dari 60 % berasal dari produksi karet rakyat. Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal karet (DFKRt) dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga dalam negeri karet (PDKRt), dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal karet satu tahun sebelumnya (ATKRt-1). Dihipotesiskan harga kayu hutan alam (PKHAt) dan harga ekspor minyak sawit (PXMSWt) mempengaruhi DFKRt secara negatif, sedangkan harga ekspor karet (PXKRt) secara positif. Fungsi DFKRt dituliskan:
74 DFKRt = DF(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, PKHAt, PXMSWt, PXKRt, ATSWt-1) ………….. (24) P
Penawaran karet (SKRt) dipengaruhi secara positif oleh harga karet dalam negeri (PDKRt), dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah pekerja (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas sawit (qKRt), luas areal (ATKRt) dan penawaran karet satu tahun sebelumnya (SKRt-1). Fungsi penawaran karet dituliskan: SKRt = S(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, qKRt, ATKRt, SKRt-1) ..……….…………….… (25) Permintaan karet dalam negeri (DDKRt) dipengaruhi negatif oleh harganya (PDKRt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), dan secara positif oleh PDB (Yt) serta permintaan karet satu tahun sebelumnya (DDKRt-1). Sedangkan penawaran ekspor karet (SXKRt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh secara positif oleh harga ekspor karet (PXKRt), negatif oleh harga dalam negeri karet, positif oleh PDB Amerika Serikat (USGDBt), dan positif oleh penawaran ekspor karet satu tahun sebelumnya (SXKRt-1). Fungsi permintaan karet dalam negeri dan penawaran ekspor karet masingmasing dituliskan: DDKRt = D(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, Yt, DDKRt-1) .…………..…………………(26) SXKRt = S(PXKRt, PDKRt, USGDBt, SXKRt-1) .………………….……………… (27) Harga dalam negeri karet (PDKRt) dipengaruhi oleh harga ekspor karet, penawaran ekspor karet, penawaran karet, dan harga karet dalam negeri satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar karet (Gambar 25) dan fungsi harga karet dituliskan: SKRt = DDKRt + SXKRt ..…………………………………..…………………. (28) PDKRt = P(PXKRt, SXKRt, SKRt, PDKRt-1) ……………………………………… (29) P
75
PKR
QKR
QXKR
PXKR PDKR0 DDKR QDKR QDKR0 QXKR
QKR
QXKR
Gambar 25. Keseimbangan Pasar Karet
3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal padi (DFPDt) dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga gabah kering giling (PGKGt) dan harga pembelian pemerintah (PHPPt), serta negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal padi satu tahun sebelumnya (ATPDt-1). Dihipotesiskan juga bahwa harga kayu hutan alam (PKHAt) mempengaruhi secara negatif DFPDt (karena adanya persaingan penggunaan lahan hutan), harga kayu HTI (PKHTIt) mempengaruhi secara positif (karena adanya kebijakan program HTI-Trans), dan jumlah penduduk (POPt) juga mempengaruhi secara positif. Fungsi DFPDt dituliskan: DFPDt = DF(PGKGt, PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PKHAt, PKHTIt, POPt, ATPDt-1) ..…… (30) Penawaran gabah kering giling (SGKGt) dipengaruhi secara positif oleh harganya (PGKGt) 28 , dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas padi (qPDt), luas areal (ATPDt) dan
28
Karena petani menjual berdasarkan harga gabah kering giling yang berlaku di pasar.
76 penawaran padi satu tahun sebelumnya (SGKGt-1). Fungsi penawaran gabah kering giling dituliskan: SGKGt = S(PGKGt, Rt, Wt, PBBMt, qPDt, ATPDt, SGKGt-1)
.…………………… (31)
Permintaan gabah kering giling (DGKGt) dipengaruhi negatif oleh harga pembelian pemerintah (PHPPt) 29 , suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), dan secara positif oleh harga dalam negeri beras (PDBRt) dan PDB (Yt) serta permintaan gabah kering giling satu tahun sebelumnya (DGKGt-1).
Fungsi DGKGt
dituliskan: DGKGt = D(PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PDBRt, Yt, DGKGt-1) ....…………………… (32) Jika tidak terdapat intervensi pemerintah melalui instrumen kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), harga gabah kering giling ditentukan oleh keseimbangan pasar. Dengan intervensi harga, pemerintah mengharapkan harga penjualan petani (PGKGt) sama dengan harga pembelian pemerintah (PHPPt). oleh karenanya harga gabah kering giling dipengaruhi oleh harga pembelian pemerintah, penawaran gabah kering giling, dan harga gabah kering giling satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar gabah kering giling (Gambar 26), dan fungsi harga gabah kering giling berturut-turut dituliskan: SGKGt = DGKGt ...……………………………………………………………. (33) PGKGt = P(PHPPt , SGKGt, PGKGt-1) ……………………………………..……. (34) P
3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet dan Padi Total tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI, sawit, karet dan padi dituliskan: TDFt = DFHTIt + DFSWt + DFKRt + DFPDt ………………………..………… (35)
29
Karena pembelian gabah kering giling merujuk pada harga pembelian pemerintah (HPPt).
77
PGKG
SGKG
PHPP PGKG0
DGKG QGKG0
QHPP
QGKG
Gambar 26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling
3.5.3. Blok Degradasi Hutan Degradasi hutan alam didefinisikan sebagai hutan alam yang mengalami degradasi sehingga dari sisi finansial hutan alam (yakni HPH) tidak layak diusahakan, dari sisi tata air menimbulkan erosi tinggi, dan dari sisi efek gas rumah kaca (greenhouse effect), menyebabkan penyerapan karbon dioksida banyak berkurang. Dalam penelitian ini, terjadinya degradasi hutan ditunjukkan oleh pergeseran kurva DLHP ke kiri (Gambar 22). Dengan kata lain penurunan areal HPH (tanda negatif) menunjukkan peningkatan degradasi hutan dan sebaliknya peningkatan areal HPH (tanda positif) menunjukkan penurunan degradasi hutan. Mengacu teori permintaan input lahan, tingkat degradasi hutan areal HPH (DGHPHt) dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt), dan negatif oleh harga kayu hutan alam (PKHAt) 30 , suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal HPH satu tahun sebelumnya (AHPHt-1). Tingkat degradasi hutan areal HPH dihipotesiskan juga dipengaruhi secara negatif oleh penawaran (produksi)
30
Asumsi permintaan lahan hutan alam oleh industri kayu lapis terintegrasi.
78 kayu ilegal (QILLt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt) dan kebijakan pencabutan izin HPH (GPHPHt). Fungsi DGHPHt dituliskan: DGHPHt = DG (PXKLt, PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, QILLt, PXMSWt, GPHPHt, AHPHt-1) ……………………………………………. (36) Penawaran kayu ilegal (SILLt) dipengaruhi secara positif oleh PKHAt dan penawaran kayu ilegal satu tahun sebelumnya (SILLt-1), dan negatif oleh Rt, Wt, PBBMt dan pungutan dana reboisasi (DRt). Penawaran kayu ilegal juga dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam (qHAt), dan secara negatif oleh penegakan hukum (GPKUMt) (jika tidak terjadi kolusi antara aparat penegak hukum dengan pelaku illegal logging) atau secara positif (jika terjadi kolusi antara aparat penegak hukum dengan pelaku illegal logging). Fungsi penawaran kayu ilegal dituliskan: SKILLt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, DRt, qHAt, GPKUMt, SKILLt-1) ..…………… (37) Penawaran kayu hutan alam (legal) (SKHAt) dipengaruhi secara positif oleh PKHAt dan penawaran kayu hutan alam satu tahun sebelumnya (SKHAt-1), dan negatif P
oleh Rt, Wt, PBBMt dan Provisi Sumberdaya Alam (PSDHt). Penawaran kayu hutan alam dihipotesiskan juga dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam (qHAt) dan luas areal HPH (AHPHt). Fungsi penawaran kayu hutan alam dituliskan: SKHAt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, PSDHt, qHAt, AHPHt, SKHAt-1) ……………. (38) Permintaan kayu bulat hutan alam diasumsikan hanya oleh industri kayu gergajian dan kayu lapis. Industri kayu lapis berorientasi pada pasar ekspor dan menyerap 55 % dari total produksi kayu hutan alam. Industri kayu gergajian berorientasi pasar dalam negeri, karena dilarang diekspor dan menyerap 45%. Industri kayu olahan, yang berorientasi ekspor menggunakan bahan baku kayu gergajian.
79
Kayu bulat hutan alam dilarang untuk diekspor dan ekspor hanya dimungkinkan untuk kepentingan bantuan sosial kepada negara lain, yang biasanya dalam jumlah yang kecil, sehingga dalam penelitian ini ekspor kayu bulat diasumsikan eksogen. Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu gergajian (DKHAKGt) dipengaruhi secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga kayu HTI (PKHTIt) 31 , harga dalam negeri kayu gergajian (PDKGt) dan PDB (Yt), serta permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian satu tahun sebelumnya (DKHAKGt-1). Fungsi DKHAKGt dituliskan: DKHAKGt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PDKGt, Yt, DKHAKGt-1)……..…… (39) Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis (DKHAKLt) dipengaruhi secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga kayu HTI (PKHTIt). Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis juga dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt) dan PDB (Yt), serta permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis satu tahun sebelumnya (DKHAKLt-1). Fungsi DKHAKLt dituliskan: DKHAKLt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKLt, Yt, DKHAKLt-1) ..…….……. (40) Harga kayu hutan alam (PKHAt) dipengaruhi oleh harga ekspor kayu lapis, penawaran kayu legal dan ilegal, dan harga kayu hutan alam satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar kayu hutan alam (Gambar 27) dan fungsi harga kayu hutan alam dituliskan: SKHAt + SKILLt = DKHAKGt + DKHAKLt + SXKBt ..………………..…….….…... (41) PKHAt = P(PXKLt, SKILLt, SKHAt, PKHAt) ……………………………………… (42) P
31
Untuk menguji hipotesis apakah antara kayu hutan alam dan kayu HTI terjadi peran susbstitusi.
80
PKHA
SKHA SKHA + ILL
PKHA0 PKHA+ILL0
DKHAKL + KHAKG QKHA0
QKHA+ILL0
QKHA
Gambar 27. Keseimbangan Pasar Kayu Hutan Alam
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan merupakan data deret waktu periode 1980-2008.
Jenis dan sumber data digolongkan ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Tabel 3 menyajikan jenis dan sumber data blok makroekonomi, Tabel 4 dan Tabel 5, jenis dan sumber data blok deforestasi, dan Tabel 6, jenis dan sumber data blok degradasi hutan. Data disajikan pada Lampiran 1. Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Blok Makroekonomi No. Jenis Data 1 Yt = Produk domestik bruto (PDB) (Rp miliar) 2 Ct = Konsumsi (Rp miliar) 3 It = Investasi (Rp miliar) 4 Gt = Pengeluaran pemerintah (Rp miliar) 5 Tt = Penerimaan pajak (Rp miliat) 6 Xt = Nilai ekspor (Rp miliar ) 7 Mt = Nilai impor (Rp miliar) 8 NXt = Ekspor bersih (Rp miliar)
9 10 11 12 13 14 15
MSt = Penawaran uang (Rp miliar) rt = Suku bunga (%) et = Nilai tukar (Rp/USD) Rt = rt - πt (%) πt = Inflasi (%); diperoleh dari data IHKt IHKt = Indek Harga Konsumen (tahun 2000 =100) πEt = Ekspektasi inflasi; diperoleh dari πt
16 DEFt = GDP Deflator (tahun 2000 = 100)
17 18 19 20 21
US
UIPt = Rt - R t RUSt = rUSt - πUSt rUSt = US Federal Fund Rate (%) πUSt (%) diperoleh dari USCPIt USCPIt = IHK Amerika Serikat (tahun 2000 = 100)
22 USGDPt = PDB Amerika Serikat (USD miliar) P
Sumber Data BI BI BI BI BPS BI BI Hasil Olahan
BI BI BI Hasil Oahan Hasil Olahan BPS Hasil Olahan BI dan BPS
Hasil Olahan Hasil Olahan BEA-USGOV Hasil Olahan BEA-USGOV IFS
22 oil t = Harga minyak mentah dunia (USD/barrel) 23 LDt = Permintaan tenaga kerja (juta orang) 24 LSt = Penawaran tenaga kerja (juta orang)
IEA BPS BPS
25 ULt = Jumlah pengangguran (juta orang)
BPS
26 Wt = Upah tenaga kerja (Rp/bulan)
BPS
Keterangan: BI= Bank Indonesia; BPS=Badan Pusat Statistik; BEA-USGOV=Bureau of Economic Analysis US Government; IFS=International Financial Statistics; IEA=International Egergy Agency.
82
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal HTI, Sawit dan Karet No. Jenis Data Deforestasi untuk Areal HTI 1 DFHTIt = Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI (ribu ha) DFHTIt = AHTIt – AHTIt-1 2 AHTIt = Luas areal HTI (ribu ha) 3 Produksi kayu HTI (ribu m3) 4 qHTIt = Produktivitas HTI (m3/ha) qHTIt = (AHTIt/Umur Tebang)/ Produksi Kayu HTI 5 SKHTIt = Penawaran Kayu HTI (ribu m3) 6 DKHTIt = Permintaan Kayu HTI (ribu m3) 7 PKHTIt = Harga kayu HTI (Rp/m3) P
XPULP
8 P t = Harga ekspor pulp (Rp/m3) 9 PBBMt = Harga BBM (Rp/liter) Deforestasi untuk Areal Sawit 10 DFSWt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit (ribu ha) DFSWt = ATSWt – ATSWt-1 11 ATSWt = Luas areal sawit (ribu ha) 12 qSWt = Produktivitas tanaman sawit (ton/ha) qSWt = ATSWt/Produksi Buah Sawit (ribu ton) 13 Produksi buah sawit (ribu ton) 14 SBSWt = Penawaran buah sawit (ribu ton) 15 DBSWt = Permintaan buah sawit (ribu ton) 16 PBSWt = Harga buah sawit (Rp/kg) 17 PDMSWt = Harga dalam negeri minyak sawit (Rp/ton) 18 PXMSWt = Harga ekspor minyak sawit (Rp/ton) Deforestasi untuk Areal Karet 19 DFKRt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Karet (ribu ha) DFKRt = ATKRt – ATKRt-1 20 ATKRt = Luas areal karet (ribu ha) 21 qKRt =Produktivitas karet (ton/ha) qKRt = ATKRt/ Produksi karet 22 Produksi karet (ribu ton) 23 DDKRt = Permintaan karet dalam negeri (ribu ton) DDKRt = Produksi karet minus Ekspor karet 24 SXKRt = Ekspor karet (ribu ton) 25 PDKRt = Harga dalam negeri karet (Rp/ton) 26 PXKRt = Harga ekspor karet (Rp/ton) P
P
P
P
P
P
P
Sumber Data Hasil Olahan KEMENHUT KEMENHUT Hasil Olahan Hasil Olahan Hasil Olahan INHUTANI II, Widyantoro (2005)
FAOSTAT BPS Hasil Olahan KEMENTAN Hasil Olahan KEMENTAN Hasil Olahan Hasil Olahan KEMENTAN KEMENTAN KEMENTAN Hasil Olahan KEMENTAN Hasil Olahan KEMENTAN Hasil Olahan KEMENTAN KEMENTAN KEMENTAN
83
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal Padi No. Jenis Data Sumber Data 1 DFPDt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi (ribu ha) Hasil Olahan DFPDt = ATPDt – ATPDt-1 2 ATPDt = Luas areal padi (ribu ha) BPS/KEMENTAN 3 qPDt =Produktivitas padi (ton/ha) Hasil Olahan PD TPDt q t = A / Produksi Gabah Kering Giling (GKG) 4 Produksi GKG (ribu ton) BPS GKG 5 S t = Penawaran GKG dalam negeri (ribu ton) Hasil Olahan 6 DGKGt = Permintaan GKG (ribu ton) Hasil Olahan 7 PGKGt = Harga GKG (Rp/kg) BPS HPP 8 P t = Harga pembelian pemerintah (Rp/kg) BPS 9 PDBRt = Harga dalam negeri beras (Rp/kg) BPS 10 POPt = Jumlah penduduk (juta jiwa) BPS P
P
P
Tabel 6. Jenis dan Sumber Data Blok Degradasi Hutan No. Jenis Data HPH 1 DG t= Degradasi Hutan Areal HPH (ribu ha) DGHPHt = AHPHt – AHPHt-1 2 AHPHt = Luas areal HPH (ribu ha) 3 qHAt =Produktivitas Areal HPH (m3/ha) qHAt = (AHPHt/Siklus Tebang)/ Produksi KHA 4 Produksi KHA (ribu m3) 5 SKILLt = Penawaran kayu “ilegal” (ribu m3) SKILLt = Produksi aktual minus produksi ofisial 6 Produksi ofisial (ribu m3) 7 Produksi aktual (ribu m3) 8 SKHAt = Penawaran KHA (ribu m3) 9 DKHAKGt = Permintaan KHA oleh IKG (ribu m3) DKHAKGt = (1/0.50)*Produksi kayu gergajian 10 Produksi kayu gergajian (ribu m3) 11 DKHAKLt = Permintaan KHA oleh IKL (ribu m3) DKHAKLt = (1/0.45)*Produksi kayu lapis 12 Produksi kayu lapis (ribu m3) 13 Ekspor KHA (ribu m3) 14 PKHAt = Harga kayu hutan alam (Rp/m3) P
15 PDKGt = Harga dalam negeri kayu gergajian (Rp/m3) P
16 PXKLt = Harga ekspor kayu lapis (Rp/m3) P
Sumber Data Hasil Olahan KEMENHUT KEMENHUT Hasil Olahan KEMENHUT Hasil Olahan KEMENHUT Hasil Olahan Hasil Olahan Hasil Olahan KEMENHUT Hasil Olahan KEMENHUT KEMENHUT KEMENHUT/ ITTO KEMENHUT/ ITTO KEMENHUT/ ITTO KEMENHUT KEMENHUT
17 DRt = Dana Reboisasi (Rp/m3) 18 PSDHt = Provisi Sumberdaya Hutan (Rp/m3) Keterangan: HPH = Hak Pengusahaan Hutan; KHA = Kayu Hutan Alam; IKG = Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
84
4.2.
Spesifikasi Model Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok
deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Hubungan antara blok makroekonomi dengan blok deforestasi dan degradasi hutan melalui saluran transmisi suku bunga. Perubahan keseimbangan suku bunga di blok makroekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan antara blok deforestasi dengan blok degradasi hutan melalui saluran harga komoditas. Harga kayu hutan alam merupakan saluran transmisi pengaruh perubahan keseimbangan pasar kayu hutan alam di blok degradasi hutan terhadap deforestasi, sedangkan harga komoditas yang dihasilkan lahan deforestasi merupakan saluran transmisi pengaruh perubahan keseimbangan pasar komoditas di blok deforestasi terhadap degradasi hutan. I. Blok Makroekonomi Ct = a0 + a1(YDt) + a2Rt +
1t .......................................................................
Tt = b0 + b1Yt + b2Rt + b3Tt-1 +
2t
Gt = c0 + c1Tt + c2oilPt + c3Gt-1 +
(1)
..............................................................(2) ......................................................... (3)
3t
It = d0 + d1Rt-2 + d2Yt + d3KRISISt + d4It-1 +
4t
.......................................... (4)
NXt = e0 + e1(et*IHKt/USCPIt) + e2Yt + e3oilPt + c4NXt-1 +
5t
.................... (5)
rt = f0 + f1MSt-1 + f2(IHKt - IHKt-1) + f3πEt + f4KRISISt + f5FERt + f6rt-1 +
6t
.......................................................................... (6)
IHKt = g0 + g1Yt-1 + g2IHKt-1+
7t
.............................................................. (7)
et = h0 + h1UIPt + h2NXt-1 + hg3 MSt + h4KRISISt + h5et-1 + LDt = i0 + i1Wt-1 + i2Yt + i3LDt-1 +
9t
8t
................. (8)
....................................................... (9)
Yt = Ct + It + Gt + NXt ................................................................................ (10) Rt = rt - πt .................................................................................................... (11) UIPt = Rt - RUSt .......................................................................................... (12)
85
ULt = LSt – LDt .......................................................................................... (13)
II. Blok Deforestasi A. Deforestasi untuk Areal HTI DFHTIt = j0 + j1PXPULPt-2 + j2PKHTJt + j3(Rt-Rt-2) + j4Wt + j5PBBMt + j6PXKRt P
P
P
+ j7PXMSWt + j8PXKLt + j9GPHTJt + j10AHTIt-1 + P
P
10t
P
...................(14)
SKHTIt = k0 + k1PKHTIt + k2Rt + k3qHTIt + k4AHTIt + i5SKHTIt-1 +
11t
P
....... (15)
DKHTIt = l0 + l1PLHTIt + l2Rt + l3Wt + l4(PPULPt - PPULPt -1) P
+ l5(Yt-Yt-1) + l6DKHTIt-1 +
12t
................................................ (16)
SKHTIt = DKHTIt ........................................................................................... (17) PKHTIt = m0 + m1(PXPULPt-PXPULPt-1) + m2PKHAt + m3SKHTIt-1 P
P
+ m4PKHTIt-1 + P
13t
...................................................................... (18)
B. Deforestasi untuk Areal Sawit DFSWt = n0 + n1PXMSWt-2 + n2PBSWt + n3Rt-3 + n4Wt + n5PKHTIt-1 + n6PKHAt-1 P
+ n7ATSWt-1 +
P
14t
P
P
...................................................................... (19)
SBSWt = o0 + o1PBSWt + o2Rt + o3qBSWt + o4ATSWt + o5SBSWt-1 + P
15t
..... (20)
DBSWt = p0 + p1PBSWt + p2Rt + p3Wt + p4PDMSWt + p5Yt P
+ p6DBSWt-1 +
P
16t
.......................................................................(21)
SBSWt = DBSWt ............................................................................................ (22) PBSWt = q0 + q1PXMSWt + q2DBSWt + q3PBSWt-1 + P
P
P
17t
................................. (23)
C. Deforestasi untuk Areal Karet DFKRt = r0 + r1PDKRt + r2Rt + r3PKHAt + r4PXMSWt + r5PXKRt P
+ r6ATKRt-1 +
P
18t
P
P
......................................................................... (24)
SKRt = s0 + s1PDKRt + s2Rt + s3qKRt + s4ATKRt + s5SKRt-1 + P
DDKRt = t0 + t1PDKRt + t2Rt-1 + t3Wt-1 + t4(Yt – Yt-1) P
19t
................ (25)
86
+ t6DDKRt-1 +
20t
........................................................................ (26)
SXKRt = u0 + u1PXKRt-1 + u2PDKRt-2 + u3USGDPt-1 + u4SXKRt-1 + P
21t
P
SKRt = DDKRt + SXKRt
.......... (27)
.............................................................................. (28)
PDKRt = v0 + v1(PXKRt-PXKRt-1) + v2SXKRt + v3SKRt + v4PtDKRt-1 +
22t
P
...... (29)
D. Deforestasi untuk Areal Padi DFPDt = w0 + w1PGKGt + w2PHPPt + w3Rt + w4PBBMt + w5PKHAt P
P
P
+ w6PKHTIt + w7POPt + w8ATPDt-1 +
23t
P
P
.................................... (30)
SGKGt = x0 + x1PGKGt + x2Rt + x3PBBMt + x4qPDt + x5SPDt-1 + P
P
24t
............. (31)
DGKGt = y0 + y1PHPPt-1 + y2Rt + y3PBBMt + y4PDBRt + y5Yt P
P
+ y6DGKGt-1 +
25t
P
....................................................................... (32)
SGKGt = DGKGt............................................................................................... (33) PGKGt = z0 + z1(PHPPt - PHPPt-1) +z2SGKGt + z3PGKGt-1 + P
26t
P
................. (34)
E. Total Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet dan Padi TDFt = DFHTIt + DFSWt + DFKRt + DFPDt .................................................... (35) III. Blok Degradasi Hutan DGHPHt = aa0 + aa1PXKLt + aa2PKHAt + aa3Rt + aa4SKILLt-2 + aa5PXMSWt-1 P
P
P
+ aa6PXKRt-1 + aa7GPHPHt + aa8AHPHt-1 + P
27t
.......................... (36)
SKILLt = bb0 + bb1PKHAt + bb2Rt + bb3PBBMt + bb4DRt + bb5qHAt P
P
+ bb6GPKUMt + bb7SILLt-1 +
28t
.................................................. (37)
SKHAt = cc0 + cc1PKHAt-1 + cc2Rt-1 + cc3PSDHt + cc4qHAt P
+ cc5AHPHt + cc6SKHAt-1 +
29t
.................................................... (38)
DKHAKGt = dd0 + dd1PKHAt + dd2PKHTIt + dd3Rt + dd4Wt + dd5Yt P
+ dd6DKHAKGt-1 +
P
30t
................................................................. (39)
DKHAKLt = ee0 + ee1PKHAt + ee2PKHTIt + ee3Rt-1 + ee4Wt + ee5PXKLt P
+ ee6(Yt-Yt-1)+ ee6DKHAKLt-1 +
P
31t
P
........................................................... (40)
87
SKHAt + SKILLt = DKHAKGt + DKHAKLt + SXKHAt .......................................... (41) PKHAt = ff0 + ff1PXKLt + ff2(SKILLt+SKHAt) + ff3PKHAt-1 + P
P
P
32t
................ (42)
di mana ε = error terms a0, b0, c0, .... , ff0 = intercept ai, bi, ci, ......., ffi = parameter dugaan; i =1, 2, 3, ...., 32 KRISISt adalah peubah dummy krisis ekonomi: 0=tahun-tahun tidak terjadi krisis ekonomi dan 1=tahun-tahun terjadi krisis ekonomi. FERt adalah peubah dummy regim nilai tukar: 0=tahun-tahun dengan sistem nilai tukar tetap (fixed exhange rate) dan 1 = tahun-tahun dengan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). GPHTIt adalah peubah dummy kebijakan percepatan pembangunan HTI: 0=tahun-tahun kebijakan yang diberlakukan dan 1=tahun-tahun kebijakan tidak diberlakukan. GPHPHt adalah peubah dummy kebijakan pencabutan izin HPH: 0=tahuntahun
kebijakan
diberlakukan
dan
1=tahun-tahun
kebijakan
tidak
diberlakukan. GPKUMt adalah peubah dummy kebijakan pemberantasan illegal logging: 0=tahun-tahun kebijakan diberlakukan dan 1=tahun-tahun kebijakan tidak diberlakukan. Notasi peubah telah dijelaskan dalam Subbab 4.1, dan tanda parameter dugaan yang diharapkan telah dijelaskan dalam Subbab 3.5. Tetapi untuk memudahkan dalam pengolahan data dengan software SAS dan Eviews, notasi peubah yang disajikan dalam spesifikasi model dimodifikasi dengan tetap menggunakan sebagian notasinya (periksa Lampiran 9).
88
4.3.
Identifikasi Model Dua syarat yang harus dipenuhi agar model dapat diidentifikasi, yaitu: order
condition dan rank condition (Koutsoyiannis, 1977). Order condition diketahui menggunakan rumus: K - M ≥ G - 1. Notasi K adalah total variabel dalam model (endogen dan predetermined). Notasi M adalah total variabel (endogen dan eksogen) dalam sebuah persamaan yang diidentifikasi. Notasi G adalah total persamaan atau variabel endogen. Suatu persamaan dalam model dikatakan exactly identified bila K - M = G - 1. Bila K - M > G - 1, maka persamaan yang bersangkutan adalah overidentified. Bila K - M < G - 1, maka persamaan bersangkutan adalah unidentified. Setiap persamaan dalam model tidak boleh unidentified. Total variabel dalam model yang dibangun (K) adalah 104 (37 variabel endogen, dan 67 predetermined variables yang terdiri dari: 25 variabel lagged endogenous dan 42 variabel eksogen), sedangkan jumlah persamaan atau variabel endogen (G) adalah 37 (32 struktural, dan 5 identitas). Ini berarti bahwa seluruh persamaan dalam model adalah overidentified, karena K (104) – M (yang terbanyak 10) > G – 1 (31). Sedangkan rank condition dipenuhi jika dan hanya jika suatu persamaan dalam sistem persamaan G dapat disusun sekurang-kurangnya satu nonzero determinant order (G-1) dari koefisien peubah yang keluar dari persamaan bersangkutan dan masuk ke dalam persamaan lain dalam model (Koutsoyiannis, 1977).
4.4.
Pendugaan dan Pengujian Model Hasil identifikasi model menunjukkan model adalah overidentified, sehingga
pendugaan parameter model yang tepat adalah menggunakan metode 2SLS (twostage least squares). Pengaruh bersama-sama dari peubah penjelas dari setiap
89
persamaan dalam model diuji menggunakan uji F, dan pengaruh individual peubah penjelasnya diuji menggunakan uji t. Untuk memastikan model terbebas dari korelasi serial diuji menggunakan Durbin-Watson Statistics dan Durbin-h. Model diduga menggunakan software SAS versi 9, dan koreksi korelasi serial error menggunakan software EViews versi 6. Tahap pendugaannya dilakukan dengan cara: (1) melakukan pendugaan menggunakan software SAS dan (2) apabila ditemukan serial serial error yang relatif tinggi, yang diketahui dari nilai Durbin Watson atau Durbin-h, kemudian diduga kembali menggunakan software EViews dengan memasukan peubah AR(1) (autoregressive). Hasil pendugaannya kemudian digunakan untuk simulasi setelah model divalidasi. Model divalidasi menggunakan software SAS, metode Newton, dan prosedur SYSNLIN (system nonlinear procedure).
4.5.
Validasi Model Pindyck dan Rubinfeld (1991) menyatakan bahwa dalam model simulasi
multi-equation, model secara utuh akan memiliki struktur dinamis yang lebih kaya dibanding individu persamaan. Miskipun seluruh individu persamaan telah fit dengan data dan secara statistik signifikan, dalam model secara utuh, ketika disimulasikan, belum tentu mampu menelusur kembali data dengan baik. Agar model secara utuh mampu menelusur kembali data dengan baik, persamaanpersamaan dengan taraf nyata yang tinggi harus diseimbangkan dengan persamaanpersamaan dengan taraf nyata yang lebih rendah. Validasi model bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh model (secara utuh) mampu menelusur kembali data dengan baik sehingga model menjadi valid digunakan untuk simulasi historis atau peramalan (forecasting). Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991) beberapa kriteria dapat dipakai untuk evaluasi, yaitu: (1)
90
hasil uji statistik terhadap individu persamaan, dan (2) kesesuaian individu peubah dalam konteks simulasi. Kriteria pertama telah disajikan sebelumnya, sedangkan kriteria kedua membutuhkan indikator untuk menyimpulkan bahwa model telah valid untuk simulasi. Dua indikator yang umum dipakai untuk evaluasi adalah RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan
Theil’s Inequality Coefficient (koefisien
ketidaksamaan Theils), dituliskan U. Kriteria RMSPE mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang secara relatif dari nilainilai aktual (%). Sedangkan kriteria U mengukur penyimpangan nilai-nilai dugaan yang bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model dalam analisis simulasi peramalan. Kriteria RMSPE dan U berturut-turut dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991): T RMSPE = [ (1/T ∑ ((Ys-Ya)/Ya)2]0.5 t=1 di mana Ys = nilai simulasi Yt Ya = nilai aktual T = periode tahun observasi dalam simulasi T [ (1/T ∑ ((Ys-Ya)2]0.5 t=1 U = -----------------------------------------------------T T [ (1/T ∑ ((Ys)2]0.5 + [ (1/T ∑ ((Ys)2]0.5 t=1 t=1
91
Nilai RMSPE dan U yang rendah menunjukkan hasil pendugaan model yang baik. Nilai U berkisar antara nol dan satu. Tetapi jika model memiliki U=0, maka model adalah naif. Nilai U dapat diurai ke dalam komponen, yaitu: UM, US dan UC, yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991): (Ys - Ya)2 U = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2 M
(σs - σa)2 U = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2 S
2(1-ρ)σs σa UC = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2 _ _ s a ρ = (1/(σs σa T)) ∑ (Yt -Yt ) (Yt -Yta) s
UM + US + UC =1 di mana UM= Proporsi bias menunjukkan kesalahan sistematik selama UM mengukur penyimpangan nilai rata-rata simulasi dan aktual; berapapun nilai U, nilai UM diharapkan mendekati nol, dan nilai UM yang besar (diatas 0.1 atau 0.2) akan menimbulkan masalah karena ada bias sistematik, dan revisi model diperlukan. US= Proporsi variance menunjukkan kemampuan model mengulangi derajat variabilitas variabel yang menjadi perhatian; jika US besar berarti nilai aktual memiliki fluktuasi besar sementara nilai simulasi menunjukkan fluktuasi kecil atau sebaliknya; karena hal ini merupakan masalah, maka model perlu direvisi.
92
UC= Proporsi covariance mengukur kesalahan tidak sistematik, yaitu kesalahan sisa setelah deviasi nilai rata-rata dipertimbangkan; karena tidak rasional mengharapkan prediksi berkorelasi sempurna dengan nilai aktual, maka kesalahan ini tidak perlu dikuatirkan. Untuk nilai U > 0, maka ketidaksamaan distribusi yang ideal atas ketiga sumber penyimpangan adalah: UM = US = 0, UC = 1.
4. 6.
Simulasi Model Sesuai tujuan penelitian, simulasi model dilakukan untuk menganalisis
dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan makroekonomi yang disimulasikan adalah: (1) kebijakan moneter, yaitu penawaran uang (MSt), dan (2) kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah (Gt). Faktor eksternal yang disimulasikan adalah: (1) harga minyak mentah dunia (oilPt), dan (2) suku bunga rujukan Amerika Serikat (RUSt). Perubahan penawaran uang yang disimulasikan adalah pertumbuhan rataan per tahun sebesar 23.12%, dan pengeluaran pemerintah adalah pertumbuhan rataan per tahun sebesar 17.96%. Sedangkan perubahan harga minyak yang disimulasikan adalah laju kenaikan harganya rataan per tahun sebesar 7.1% dan rataan lompatan kenaikan harganya sebesar 200% (tahun 1970-an: 233.3%; USD 3.0 ke USD 10 per barel; 1980-an: 166.7%; USD 15 ke USD 40 per barel, dan tahun 2000-an: 200%; USD 30 ke USD 90 per barel). Perubahan suku bunga rujukan Amerika Serikat yang disimulaisikan adalah perubahan sebesar 1% (ditetapkan), dan perubahan rataan per tahun sebesar 5%.
V. EVALUASI MODEL
BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model. Pembahasan dibedakan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
5.1.
Pendugaan dan Pengujian Model
5.1.1. Blok Makroekonomi Blok makroekonomi memiliki sembilan persamaan perilaku. Empat persamaan yang pertama adalah: (1) konsumsi rumah tangga (Ct), (2) penerimaan pajak (Tt), (3) pengeluaran pemerintah (Gt), dan (4) investasi swasta (Tt). Sedangkan lima persamaan yang terakhir adalah: (5) ekspor bersih (NXt), (6) suku bunga nominal (rt), (7) tingkat harga umum (Indeks Harga Konsumen), (8) nilai tukar nominal (et), dan (9) permintaan tenaga kerja (LDt). Hasil pendugaan dan pengujian parameternya disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Dari kedua tabel tersebut diketahui bahwa seluruh parameter dugaan memiliki tanda sesuai dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5). Nilai F-stat dan AdjR2 relatif tinggi, dan nilai DW tidak terlalu jauh dari 2.0 atau Durbin h tidak melebihi 1.96 (Tabel z: Standardized Normal Distribution). Nilai DW yang terlalu jauh dari 2.0 atau Durbin-h yang > 1.96 mengindikasikan adanya error serial correlation, dan jika tidak dikoreksi akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak efisien (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Sebagian besar parameter dugaan memiliki nilai t-stat di atas 2.0 atau nyata pada taraf 1- 5%. Pada Tabel 7 terlihat dari 16 parameter dugaan termasuk intercept dan peubah lag endogen, sebanyak 7 parameter memiliki t-stat di atas 2.0. Sedangkan
94
pada Tabel 8 terlihat dari 25 parameter dugaan termasuk intercept dan peubah lag endogen, sebanyak 10 parameter memiliki t-stat di atas 2.0, dan 7 parameter dengan tstat antara 1.5-2.0, serta 3 parameter dengan t-stat antara 1.3-1.5. Sisanya memiliki tstat di bawah 1.3. Tabel 7.
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Konsumsi Rumah Tangga, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Swasta
Blok Makroekonomi Hasil Pengujian Parm Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho Ct a0 -56417.51 -0.92 374.98 0.978 1.78 NA 0.53 a1 0.75 14.40 a2 -1421.59 -1.02 Tt 478.96 0.987 2.03 1.11 0.79 b0 -58992.19 -2.53 b1 0.15 5.21 b2 -156.84 -0.63 b3 0.04 0.22 Gt 139.97 0.957 1.88 NA 0.38 c0 10143.62 0.99 c1 0.42 3.59 c2 127.51 2.09 c3 0.27 1.12 It 12.72 0.701 1.89 NA 0.62 d0 74462.03 0.62 d1 -1654.39 -0.69 d2 0.22 2.16 d3 -183634.0 -2.64 d4 0.04 0.17 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2.
95
Tabel 8. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Ekspor Bersih, Suku Bunga Nominal, Tingkat Harga Umum, Nilai Tukar Nominal dan Permintaan Tenaga Kerja Blok Makroekonomi Hasil Pengujian Parm Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho NXt e0 170114.6 2.72 5.65 0.482 2.04 NA -0.13 e1 13.57 3.53 e2 -0.18 -3.12 e3 -311.65 -1.38 e4 0.07 0.25 rt 9.90 0.714 1.70 1.22 0.22 f0 12.01 2.59 f1 -1.67E-05 -1.32 f2 1.36 6.81 f3 0.21 1.88 f4 10.89 1.97 f5 -11.67 -1.80 f6 0.11 0.74 IHKt 639.73 0.987 2.01 -0.03 -0.23 g0 -10.81 -1.99 g1 1.82E-05 2.30 g2 0.96 15.93 et 46.35 0.916 1.98 0.11 0.06 h0 274.61 0.34 h1 -84.17 -1.33 h2 -0.01 -1.57 h3 0.001 0.53 h4 1732.82 1.64 h5 0.92 5.54 LDt 334.26 0.982 2.03 -0.08 -0.43 i0 9.57 2.97 i1 -4.01E-07 -0.29 i2 3.66E-06 1.93 i3 0.85 12.74 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2.
5.1.2. Blok Deforestasi Blok deforestasi memiliki 17 persamaan perilaku. Tiga persamaan yang pertama adalah: (1) tingkat deforestasi untuk areal HTI (DFHTIt), (2) penawaran kayu HTI (SKHTIt), dan (3) permintaan kayu HTI (DKHTIt). Tiga persamaan yang
96
kedua adalah: (4) tingkat deforestasi untuk areal sawit (DFSWt), (5) penawaran buah sawit (SBSWt), dan (6) permintaan buah sawit (DBSWt). Sedangkan empat persamaan yang ketiga adalah: (7) tingkat deforestasi untuk areal karet (DFKRt), (8) penawaran karet (SKRt), (9) permintaan karet dalam negeri (DDKRt), dan (10) penawaran ekspor karet (SXKRt). Tiga persamaan yang terakhir adalah: (11) tingkat deforestasi untuk areal padi (DFPDt), (12) penawaran gabah kering giling (SGKGt), dan (13) permintaan gabah kering giling (DGKGt). Sedangkan empat persamaan yang terakhir adalah: (14) harga kayu HTI, (15) harga buah sawit, (16) harga karet dalam negeri, dan (17) harga gabah kering giling. Hasil pendugaan dan pengujian parameter disajikan pada Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12.
Dari
keempat tabel tersebut diketahui: (1) seluruh
parameter dugaan memiliki tanda sesuai dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5), (2) sebagian besar persamaan memiliki nilai F-stat (5.30 – 9014.82) dan AdjR2 (0.589 – 0.998) yang relatif tinggi kecuali persamaan harga karet, (3) sebagian besar parameter dugaan nyata pada taraf 1-10%, dan (4) sebagian besar mengindikasikan terbebas dari error serial correlation (nilai DW mendekati 2.0 atau Durbin h di bawah 1.96). Dari keempat tabel tersebut juga diketahui persamaan dengan F-stat dan AdjR2 yang relatif rendah adalah persamaan harga karet dalam negeri dan tingkat deforestasi untuk areal karet (DFKRt) dan untuk areal padi (DFPDt). Persamaan DFKRt memiliki Fstat sebesar 2.35, AdjR2 sebesar 0.274, dan DW sebesar 2.08. Parameter dugaan persamaan DFPDt memiliki t-stat di atas 2.0 (o2 dan o6) dan antara 1.5 – 2.0 ( o3 dan o5). Sedangkan persamaan DFPDt memiliki nilai F-stat sebesar 2.18 dan AdjR2 sebesar 0.298. Persamaan DFPDt memiliki nilai DW relatif lebih tinggi (2.30), yang mengindikasikan parameter dugaannya relatif kurang efisien di banding DFKRt. Empat
97
parameter dugaan persamaan DFPDt memiliki t-stat di atas 2.0 (s1, s5, s6, s7) dan 1.92 (s3). Tabel 9. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal HTI Blok Deforestasi Hasil Pengujian Parm Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho HTI DF t 6.44 0.705 2.25 NA -0.50 j0 6016.618 2.62 j1 0.000108 1.67 j2 -5.292850 -1.81 j3 -20.05732 -1.73 j4 -0.004082 -3.07 j5 -0.778556 -3.76 j6 0.000131 5.36 j7 -0.000199 -1.71 j8 -0.000330 -3.63 j9 1237.097 3.68 j10 -0.532633 -2.32 SKHTIt 117.62 0.966 2.06 -0.17 -0.12 k0 -6381.58 -2.73 k1 12.87 2.74 k2 -71.09 -1.19 k3 3093.36 5.23 k4 0.84 2.65 k5 0.54 5.63 KHTI D 48.53 0.930 1.89 0.39 0.06 t l0 3607.39 1.67 l1 -2.35 -0.62 l2 -274.69 -2.71 l3 -0.004 -1.55 l4 0.0005 1.61 l5 0.026 2.61 l6 0.82 6.49 PKHTIt 122.79 0.961 2.09 -0.28 0.15 m0 18.83 0.32 m1 7.96E-06 1.74 m2 -1.28E-05 -0.35 m3 -0.0008 -0.51 m4 0.94 9.40 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2 P
98
Tabel 10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Sawit Blok Deforestasi Hasil Pengujian Parm Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho DFSWt 5.30 0.589 2.21 NA -0.76 n0 609.79 1.37 n1 0.0001 2.83 n2 -0.64 -1.14 n3 -16.22 -2.19 n4 -0.0002 -1.29 n5 -1.47 -2.15 n6 0.001 6.05 n7 -0.22 -3.13 SBSWt 902.90 0.995 2.03 -0.09 0.44 o0 -439 -8.50 o1 0.05 0.009 o2 -4.37 -0.08 o3 4507.69 9.13 o4 9.77 13.40 o5 0.03 0.43 DBSWt 121.86 0.971 2.12 NA -0.21 p0 -2240.86 -0.20 p1 -23.34 -1.87 p2 -290.57 -1.44 p3 -0.01 -1.57 p4 1.37 0.51 p5 0.02 1.77 p6 0.66 2.75 BSW P t 8.39 0.542 1.92 NA -0.06 q0 81.58 1.32 q1 4.08E-05 3.15 q2 0.002 2.58 q3 0.12 0.42 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2. P
99
Tabel 11. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Karet Blok Deforestasi Hasil Pengujian Par Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho m DFKRt 2.35 0.274 2.08 NA -0.16 r0 606.93 3.47 r1 0.001 0.10 r2 -8.23 -2.49 r3 -9.18E-05 -1.64 r4 -1.15E-05 -0.58 r5 6.06E-06 1.74 r6 -0.16 -2.90 SKRt 9014.82 0.998 2.11 -0.30 0.46 s0 -1304.82 -15.72 s1 0.003 1.39 s2 -0.77 -1.96 s3 3139.82 32.42 s4 0.38 14.83 s5 0.07 2.52 DDKRt 10.72 0.660 2.00 -0.002 -0.28 t0 106.61 1.66 t1 -0.01 -1.04 t2 -5.83 -2.05 t3 0.0004 1.57 t4 0.85 5.71 XKR S t 132.57 0.963 1.57 NA 0.87 u0 2.39 0.005 u1 1.29E-05 4.20 u2 -0.02 -1.48 u3 0.04 2.57 u4 0.08 0.42 PDKRt v0 4283.56 1.24 1.11 0.022 1.99 NA -0.01 v1 7.43E-05 1.39 v2 3.67 0.72 v3 -2.37 -0.59 v4 0.20 0.33 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2. P
100
Tabel 12. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Padi Blok Deforestasi Hasil Pengujian Parm Hasil Dugaan t-stat F-stat AdjR2 DW D-h Rho DFPDt 2.18 0.298 2.30 NA -0.50 w0 -8932.42 -2.91 w1 0.35 2.23 w2 0.50 1.02 w3 -29.89 -1.92 w4 -0.17 -0.96 w5 -0.0009 -2.50 w6 3.95 2.37 w7 48.56 2.66 w8 -0.18 -1.11 SGKGt 76.92 0.948 2.25 -0.71 -0.24 x0 -14874.88 -1.64 x1 0.51 0.69 x2 -60.47 -0.92 x3 -0.30 -0.40 x4 4012.33 1.81 x5 0.95 16.35 DGKGt 73.79 0.953 1.98 NA 0.41 y0 27606.61 2.21 y1 -0.65 -0.26 y2 -49.54 -0.98 y3 -2.14 -1.94 y4 0.10 0.80 y5 0.01 2.47 y6 0.17 0.47 GKG P t 8.28 0.538 1.74 NA 0.38 z0 2081.03 0.57 z1 0.18 0.45 z2 -0.03 -0.56 z3 0.39 0.37 Keterangan: Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2. P
5.1.3. Blok Degradasi Hutan Blok degradasi hutan memiliki lima persamaan perilaku. Tiga persamaan yang pertama adalah: (1) tingkat degradasi hutan areal HPH (DGHPHt), (2) penawaran kayu ilegal (SKILLt), dan (3) penawaran kayu kayu hutan alam (SKHAt). Sedangkan dua persamaan yang terakhir adalah: (4) permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu
101
gergajian (DKHAKGt), dan (5) permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis (DKHAKLt). Hasil pendugaan dan pengujian parameternya disajikan pada Tabel 13. Dari Tabel 13 diketahui seluruh parameter dugaan memiliki tanda sesuai dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5). Kecuali persamaan DGHPHt, nilai F-stat dan Adj R2 relatif tinggi. Nilai F-stat adalah 8.91 – 80.54, nilai Adj R2, 0.717 – 0.962, dan nilai DW, 1.71 – 2.60. Persamaan dengan nilai DW 2.60 adalah persamaan DKHAKLt, yang mengindikasikan parameter dugaannya relatif kurang efisien, sedangkan persamaan dengan nilai DW yang mendekati 2.0 adalah persamaan DKHAKGt ((2.08). Persamaan DGHPHt meskipun memiliki nilai F-stat (3.48) dan Adj R2 (0.443) relatif rendah, memiliki nilai DW mendekati 2.0. Dari Tabel 13 diketahui sebagian besar parameter dugaan nyata pada taraf 110%, yang ditunjukkan oleh nilai t-stat di atas 2.0 dan antara 1.5 - 2.0. Sebagai contoh pada Tabel 13 terlihat persamaan DGHPHt memiliki lima parameter dugaan dengan nilai t-stat di atas 2.0, yaitu: v1, v2, v3, v4, dan v5, sedangkan persamaan SKILLt memiliki satu parameter dugaan dengan t-stat di atas 2.53, yaitu w5, dan tiga parameter dugaan dengan t-stat 1.50 – 1.70, yaitu w2, w3, dan w4. Persamaan SKHAt memiliki empat parameter dugaan dengan t-stat di atas 2.0, yaitu: x2, x3, x4 dan x5, sedangkan persamaan DKHAKGt memiliki satu parameter dugaan dengan t-stat sebesar 1.54 (y2) dan 2.14 (y3). Persamaan DKHAKLt memiliki empat parameter dugaan dengan t-stat di atas 2.0, yaitu: z1, z2, z4 dan z6, serta satu parameter dugaan dengan tstat sebesar 1.68, yaitu z5.
102 Tabel
13. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Degradasi Hutan Persamaan Degradasi Hutan Areal HPH
Blok Degradasi Hutan Parm Hasil Dugaan DGHPHt aa0 15298.41 aa1 0.004 aa2 -0.01 aa3 -540.09 aa4 -0.43 aa5 -0.002 aa6 -0.0002 aa7 -1108.18 aa8 -0.14 SKILLt bb0 3297.06 bb1 0.0008 bb2 -131.76 bb3 -2.98 bb4 -0.02 bb5 435.84 bb6 419.67 bb7 0.40 KHA S t cc0 -10537.70 cc1 0.003 cc2 -209.71 cc3 -0.49 cc4 765.91 cc5 0.37 cc6 0.28 DKHAKGt dd0 -2237.48 dd1 -0.002 dd2 16.07 dd3 -208.46 dd4 -0.0009 dd5 0.001 dd6 0.74 KHAKL D t ee0 897.31 ee1 -0.003 ee2 5.52 ee3 -33.40 ee4 -0.004 ee5 0.0006 ee6 0.01 ee7 0.96
t-stat
Hasil Pengujian F-stat AdjR2 DW 3.23 0.445 2.03
D-h NA
Rho 0.03
1.91 3.62 -2.11 -3.44 -2.10 -1.56 -0.98 -0.52 -1.03 8.91
0.717
1.71
NA
0.23
59.77
0.943
1.77
NA
0.34
41.63
0.907
2.02
-0.30
NA
80.54
0.962
2.60
-1.71
-0.50
0.67 0.35 -1.55 -1.65 -1.70 2.53 0.16 1.68 -1.37 0.90 -2.28 -3.29 3.91 2.69 1.42 -0.33 -0.66 1.54 -2.14 -0.20 0.29 3.99 0.51 -2.66 2.07 -0.65 -2.63 1.68 3.26 13.62
103
Tabel 13. Lanjutan PKHAt 309719.4 0.13 -15.46 0.55
37.63 0.854 1.94 0.28 ff0 1.54 ff1 4.00 ff2 -3.03 ff3 3.62 Keterangan: Peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2 P
5.2.
0.08
Validasi Model Untuk validasi model, pembahasan dilakukan terhadap seluruh blok, yang
terdiri dari: (1) blok makroekonmi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Berdasarkan hasil pengujian model, yang disajikan sebelumnya terlihat bahwa secara individu masing-masing persamaan umumnya memiliki nilai F, t dan R2 yang relatif tinggi. Tetapi bagaimana masing-masing persamaan dan peubah-peubah di dalamnya berinteraksi satu sama lain sehingga model secara utuh mampu menelusur kembali data, masih perlu diuji. Respesifikasi persamaan harus dilakukan jika belum memenuhi indikator yang diperlukan. Hasil yang disajikan telah merupakan hasil respesifikasi. Sedangkan indikator yang digunakan, sebagaimana telah dijelaskan (Subbab 4.5), terdiri dari: (1) nilai RMSPE, dan (2) koefisien ketidaksamaan Theil. Nilai RMSPE masing-masing persamaan atau peubah endogen disajikan pada Tabel 14. Dari Tabel 14 diketahui bahwa dalam blok makroekonomi, terdapat lima peubah yang memiliki nilai RMSPE yang tinggi, yaitu: (1) peubah suku bunga riel (R),
(2) paritas suku bunga (UIP),
dan (3) peubah ekspor bersih (NX). Nilai
ketiganya secara berurutan adalah 1464.20%, 3619.60%, dan 205.40%. Sedangkan dalam blok deforestasi, terdapat lima peubah yang memiliki nilai RMSPE yang juga tinggi, yaitu: (1) DFSW, (2) DFKR, (3) DDKR, (4) DFPD, dan (5) total deforestasi (TDF). Nilai
kelimanya
secara
berurutan
adalah
2383.40%,
250.80%,
188.00%,
104
1495803.00%, dan 3224.70%. Dalam blok degradasi hutan terdapat satu peubah dengan nilai RMSPE yang relatif tinggi, yaitu DKHAKG sebesar 274.30%. Tabel 14. Nilai Root Mean Square Percent Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan I. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Blok Makroekonomi Peubah Endogen r R UIP e T G I NX C Y IHK LD UL
II. 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Blok Deforestasi DFHTI SKHTI DKHTI PKHTI DFSW SBSW DBSW PBSW DFKR SKR DDKR SXKR PDKR DFPD SGKG DGKG PGKG TDF
III. 32 33 34
Blok Degradasi Hutan DGHPH SKILL SKHA
P
P
P
P
Root Mean Square Percent Error 50.26 1464.20 3619.60 33.08 14.75 13.83 29.43 205.40 6.47 5.55 9.13 2.22 77.15
NA NA NA 19.94 2383.40 31.73 31.73 15.89 250.80 15.10 188.00 13.95 17.36 1495803.00 4.57 4.57 23.72 3224.70
NA 27.40 58.71
105
Tabel 14. Lanjutan III 35 36 37
Blok Degradasi Hutan DKHAKG DKHAKL PKHA P
274.30 23.21 13.65
Nilai RMSPE yang tinggi menyarankan pentingnya perlu kehati-hatian dalam penggunaan peubah-peubah tersebut. Sebagai pertimbangan, dari rumus RMSPE diketahui bahwa nilai RMSPE yang tinggi menunjukkan adanya penyimpangan nilai simulasi dari nilai aktualnya yang tinggi. Model yang berisi persamaan atau peubah endogen dengan nilai RMSPE yang rendah mampu menelusur kembali data dengan lebih baik dibanding yang memiliki nilai RMSPE yang lebih tinggi. Melalui rumus RMSPE (Pindyck dan Rubinfeld, 1991): T RMSPE = [ (1/T ∑ ((Ys-Ya)/Ya)2]0.5 t=1 di mana Ys = nilai simulasi tahun t Ya = nilai aktual tahun t T = jumlah observasi diketahui bahwa selisih nilai Ys dan Ya tidak mungkin, tidak dapat diakarkan karena untuk nilai hasil pengurangan yang negatif telah distandarkan menjadi nilai positif melalui kuadrat. Namun dari Tabel 14 diketahui bahwa nilai RMSPE untuk tiga peubah endogen dalam blok deforestasi, yaitu: (1) tingkat deforestasi untuk areal HTI (DFHTI), (2) penawaran kayu HTI (SKHTI), dan (3) permintaan kayu HTI (DKHTI), dan satu peubah dalam blok degradasi yakni tingkat degradasi hutan alam areal HPH (DGHPH) tidak muncul dalam hasil pengolahan (menggunakan SAS versi 9.0) atau hanya berupa titik.
106
Menurut catatan pada hasil pengolahan disebutkan bahwa percent error statistics untuk peubah-peubah tersebut ditetapkan sebagai missing values karena nilai aktualnya sangat kecil atau mendekati nol untuk menghitung percent error pada satu atau lebih observasi. Dalam kasus HTI hal tersebut dapat dipahami karena data luas areal HTI tersedia mulai tahun 1989 dan data produksi tersedia enam tahun kemudian yakni mulai tahun 1995. Sedangkan dalam kasus DGHPH karena konsisten dengan teori permintaan input lahan, data degradasi hutan menggunakan data tingkat perubahan areal HPH yang cenderung menurun, sehingga pada tahun tertentu dapat menghasilkan nilai yang terlalu kecil. Dijelaskan sebelumnya bahwa dalam model simulasi multi-equation, model secara utuh akan memiliki struktur dinamis yang lebih kaya dibanding individu persamaan. Miskipun seluruh individu persamaan telah fit dengan data dan secara statistik signifikan, dalam model secara utuh, ketika disimulasikan, belum tentu mampu menelusur kembali data dengan baik (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Indikator lain yang perlu dipertimbangkan adalah koefisien ketidaksamaan Theil (U). Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), nilai koefisien ketidaksamaan Theil harus mendekati nol. Dari rumus U diketahui bahwa nilai U akan besar jika nilai simulasi terlalu menyimpang dari nilai aktual. Nilai simulasi akan menyimpang jauh dari nilai aktual jika peubah yang bersangkutan kurang mampu menelusur kembali dirinya sendiri given faktor-faktor yang mempengaruhi. Namun syarat U mendekati nol tidak berlaku jika proporsi biasnya (UM) di atas 0.1 atau 0.2. Nilai UM mengukur deviasi antara rataan nilai simulasi dan nilai aktual. Nilai UM di atas 0.1 atau 0.2 mengindikasikan terdapat bias sistematik, sehingga revisi model perlu dilakukan.
107
Nilai koefisien ketidaksamaan Theil hasil simulasi model disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 diketahui bahwa peubah dalam blok makroekonomi, blok deforestasi, dan blok degradasi hutan seluruhnya memiliki nilai UM yang relatif rendah atau mendekatai nol. Selain nilai UM perlu juga mempertimbangkan nilai US. Nilai US adalah nilai yang mengukur kemampuan model mengulangi derajat variabilitas variabel aktual. Dari Tabel 15 juga diketahui bahwa nilai US dalam blok makroekonomi, blok deforestasi, dan blok degradasi hutan juga sebagian besar tergolong rendah. Dengan demikian, model secara utuh dapat digunakan untuk simulasi kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Tabel 15. I. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 lI. 14 15 16 17 18 19 20
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Blok Makroekonomi Peubah r R UIP e T G I NX C Y IHK LD UL Blok Deforestasi DFHTI SKHTI DKHTI PKHTI DFSW SBSW DBSW P
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error UM US UC U 0 0 0 0 0 0 0
0.39 0.63 0.73 0.01 0.04 0.07 0
0.61 0.37 0.27 0.99 0.95 0.93 1
0.3142 0.5101 0.5384 0.0933 0.0941 0.0542 0.0548
0.01
0.01
0.98
0.1425
0 0 0.01 0 0
0.25 0.12 0 0 0.01
0.75 0.87 0.99 1 0.99
0.372 0.0302 0.0243 0.0352 0.0102
0 0 0 0.01 0 0.01 0.01
0.07 0.03 0.03 0.58 0 0 0
0.93 0.97 0.97 0.41 1 0.99 0.99
0.4058 0.1508 0.1508 0.0741 0.3852 0.0792 0.0792
108
Table 15. Lanjutan
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 III. 32 33 34 35 36 37
PBSW DFKR SKR DDKR SXKR PDKR DFPD SGKG DGKG PGKG TDF P
P
P
Blok Degradasi Hutan DGHPH SKILL SKHA DKHAKG DKHAKL PKHA P
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error 0 0.16 0.84 0.0733 0 0.13 0.87 0.5088 0 0.06 0.94 0.0683 0.09 0.04 0.87 0.3265 0.06 0.09 0.86 0.0563 0.02 0.26 0.72 0.0847 0 0.03 0.97 0.5908 0.02 0.02 0.96 0.0213 0.02 0.02 0.96 0.0213 0 0.22 0.78 0.111 0 0.22 0.78 0.3554
0 0 0 0 0.09 0.02
0.17 0 0.02 0.15 0.39 0.2
0.83 1 0.98 0.85 0.52 0.78
0.6136 0.1102 0.0918 0.2595 0.1057 0.086
VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL
6.1.
Dampak Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Dampak penawaran uang dan pengeluaran pemerintah disajikan pada Gambar 28. Gambar 28 menunjukkan peningkatan penawaran uang akan menurunkan suku bunga, sebaliknya peningkatan pengeluaran pemerintah meningkatkan melalui produk domestik bruto dan tingkat harga umum (indeks harga). Perubahan suku bunga selanjutnya mempengaruhi perekonomian, deforestasi dan degradasi hutan. Hasil simulasi dampaknya disajikan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. (-)
Penawaran Uang
(+)
Suku Bunga Nominal
Indeks Harga
(+)
(+) (-)
Penerimaan Pajak
(-)
Suku Bunga Riel
Rp/USD
(+) (+)
(-)
Pengeluaran Pemerintah
Investasi
(+)
(+)
(+)
(-) Konsumsi
Ekspor Bersih
(-)
(+)
(+)
(+)
Produk Domestik Bruto
(+)
Gambar 28. Diagram Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian
110
6.1.1. Blok Makroekonomi Hasil simulasi skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi disajikan pada Tabel 16. Dari Tabel 16 diketahui bahwa secara empiris model memprediksi kenaikan penawaran uang (MS) sebesar 23.12% menurunkan suku bunga nominal (r) sebesar 10.47% 32 , suku bunga riil (R) 53.637%, dan paritas suku bunga (UIP=R-RUS), 251.76%. Model memprediksi penurunan R menyebabkan nilai tukar (e) meningkat (terdepresiasi) sebesar 20.30%. Simulasi model menunjukkan bahwa hasil akhir peningkatan penawaran uang sebesar 23.12% adalah meningkatkan penerimaan pajak (T), pengeluaran pemerintah (G) dan investasi (I) berturut-turut sebesar 3.57%, 2.63% dan 2.63%, serta ekspor bersih (NX) 33 , konsumsi ( C) dan produk domestik bruto (PDB) berturut-turut 45.16%, 0.28% dan 2.29%. Peningkatan PDB sebesar 2.29% menyebabkan permintaan tenaga kerja meningkat 0.51%, indeks harga meningkat 0,61%, dan jumlah pengangguran menurun 8.16%. Sebaliknya sesuai teori peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 17.56% menaikkan suku bunga nominal (r ) sebesar 3.03%, suku bunga riel (R) 15.53%, dan paritas suku bunga (UIP), 72.92%. Peningkatan R menyebabkan nilai tukar Rupiah (e) menurun (terapresiasi) sebesar 0.60%. Hasil akhir peningkatan pengeluaran pemerintah 17.56% adalah meningkatkan T dan I berturut-turut sebesar 2.01% dan 1.0%, dan sebaliknya menurunkan NX dan C berturut-turut sebesar 10.89% dan 0.08%. Nilai PDB meningkat 1.39%, yang menyebabkan permintaan tenaga kerja meningkat 0.36%, indeks harga meningkat 0.37%, dan jumlah pengangguran menurun 5.74%. 32
Jika output riel tetap, ekspansi moneter jangka pendek menurunkan suku bunga dan nilai tukar overshoot depresiasi jangka panjangnya, sebaliknya jika output riel merespon permintaan agregat, perubahan suku bunga dan nilai tukar akan tertekan (Dornbusch,1976). Namun depresiasi mata uang tidak selalu menyebabkan ekspansi output (Amato et al, 2005). 33 Penurunan suku bunga mendepresiasi nilai tukar. Baek et al (2006) menunjukkan tidak terdapat bukti yang kuat berlakunya teori kurva J dari perdagangan produk pertanian Amerika Serikat dengan Jepang, Kanada dan Meksiko tapi terdapat bukti yang kuat dari perdagangan produk nonpertanian dengan negara maju (Jepang dan Kanada) dan dari perdagangan dengan negara berkembang (Meksiko). Rey (2006) menunjukkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap ekspor: empat negara (Algeria, Egypt, Tunisia, and Turkey) berhubungan negatif dan dua negara (Israel and Morocco) berhubungan positif. Mckenzie (1998) menyatakan dampak volatilitas nilai tukar berbeda antar sektor barang yang diperdagangkan. Kasus ekspor hasil hutan Amerika Serikat menunjukkan kebijakan mata uang yang stabil dalam jangka panjang mempromosikan ekspor hasil hutan meskipun dalam jangka pendek beberapa hasil hutan memperoleh manfaat dari volatilitas nilai tukar jangka pendek (Sun dan Zhang, 2003). Klein dan Shambaugh (2006) menunjukkan pengaruh signifikan nilai tukar tetap dalam perdagangan bilateral antara a base country dan a pegging country. Dengan kata lain, bukti empiris menunjukkan nilai tukar mempengaruhi ekspor, yang berarti juga ekspor bersih. Penelitian ini menunjukkan ekspor bersih juga dipengaruhi oleh PDB dan harga minyak mentah.
111
Tabel 16. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi Perekonomian
Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi
Blok Makroekonomi No.
terhadap
Peubah Endogen
1 Suku Bunga Nominal (%) 2 Suku Bunga Riil ( %) 3 Paritas Suku Bunga ( %) 4 Nilai Tukar (Rp/USD) 5 Penerimaan Pajak (Rp miliar) 6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar) 7 Investasi Swasta (Rp miliar) 8 Ekspor Bersih (Rp miliar) 9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar) 10 PDB ( Rp miliar) 11 Indeks Harga Konsumen 12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa) 13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa) Keterangan:
Nilai Dasar
MS
G
Naik 23.12%
Naik 17.96%
14.0 2.7 0.6 6720.1 129024.0 98336.6 330995.0 31354.4 740155.0 1200841.0 75.2 82.3 5.2
(%) -10.47 -53.63 -251.76 20.30 3.57 2.63 2.63 45.16 0.28 2.29 0.61 0.51 -8.16
(%) 3.03 15.53 72.92 -0.60 2.01 17.96 1.00 -10.89 -0.08 1.39 0.37 0.36 -5.74
MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah ; PDB = Produk Domestik Bruto
6.1.2. Blok Deforestasi Dampak
peningkatan
penawaran
uang
(23.12%)
dan
pengeluaran
pemerintah (17.96%) mempengaruhi deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet dan padi. Pengaruh keduanya dapat melalui saluran suku bunga dan saluran nilai tukar. Saluran suku bunga dapat mempengaruhi secara langsung sebagai harga input kapital, sedangkan pengaruh nilai tukar secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap harga input dan output tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar dianalisis hanya dalam kaitannya dengan suku bunga 34 dan peubah makroekonomi yang lain. 34
Menurut Frankel (1986), penurunan penawaran uang nominal adalah penurunan penawaran uang riel jangka pendek, yang menyebabkan kenaikan suku bunga riel sehingga menurunkan harga riel komoditas, dan hasil penelitian Reziti (2005) menunjukan variabilitas harga produk pertanian berkaitan dengan fluktuasi produk domestik bruto (PDB) riel. Penelitian ini menganalisis pengaruh langsung perubahan suku bunga riel terhadap penawaran dan permintaan komoditas serta pengaruh
112
Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa peningkatan penawaran uang sebesar 23.12% menurunkan suku bunga riel sebesar 53.63%. Sedangkan peningkatan pengeluaran pemerintah 17.96% meningkatkan suku bunga riel sebesar 15.53%. Bagaimana dampaknya terhadap tingkat deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet dan padi disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 diketahui bahwa secara keseluruhan dampak penurunan suku bunga menyebabkan total deforestasi (untuk areal HTI, sawit, karet dan padi) meningkat sebesar 9.08%, terutama untuk areal karet (35.70%) dan padi (35.54%), sedangkan untuk areal HTI dan sawit menurun. Tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit berturut-turut menurun sebesar 0.03 % dan 1.83%. Dari model diketahui bahwa penurunan tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit menunjukkan pengaruh penurunan suku bunga lebih lemah dibanding pengaruh kenaikan harga input kayu HTI untuk kasus areal HTI, dan harga buah sawit untuk kasus areal sawit. Dalam model, kayu HTI diperlakukan sebagai input produksi pulp, dan buah sawit sebagai input produksi minyak sawit. Penurunan suku bunga menyebabkan harga kayu HTI dan sawit meningkat berturut-turut sebesar 0.17% dan 1.39%. Karena pengaruh penurunan suku bunga terhadap deforestasi areal HTI dan sawit lebih lemah dibanding pengaruh kenaikan harga input kayu HTI dan sawit, sebagai konsekuensinya tingkat deforestasi keduanya menurun.
Sebaliknya dari Tabel 17 diketahui bahwa kenaikan suku bunga (15.53%) sebagai dampak peningkatan pengeluaran pemerintah (17.96%) menurunkan secara keseluruhan tingkat deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet dan padi sebesar 3.27%. Tingkat deforestasi untuk areal HTI yang menurun menunjukkan pengaruh kenaikan suku bunga lebih kuat dibanding pengaruh penurunan harga kayu HTI (0.06). Tingkat deforestasi untuk areal sawit yang menurun menunjukkan langsung PDB riel terhadap permintaan, di samping menganalisis pengaruh langsung suku bunga terhadap tingkat deforestasi. Pengaruh suku bunga terhadap harga komoditas bergantung pada respon permintaan dan penawaran, sedangkan pengaruh PDB cenderung secara positif terhadap harga komoditas.
113
penurunannya lebih disebabkan oleh kenaikan suku bunga, dan harga buah sawit yang meningkat (0.33%). Sedangkan penurunan tingkat deforestasi untuk areal karet lebih disebabkan oleh pengaruh kenaikan suku bunga, karena harganya meningkat (0.34%). Tingkat deforestasi padi lebih disebabkan oleh kenaikan suku bunga dan penurunan harganya (0.40%). Tabel 17. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Deforestasi Blok Deforestasi No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi MS G Nilai Dasar Naik Naik 23.1%
18.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI (%) (%) 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 291.3 -0.03 -0.17 2 Penawaran Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 5.79 -1.64 3 Permintaan Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 5.79 -1.64 4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3) 345.4 0.17 -0.06 B Deforestasi untuk Areal Sawit 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 257.3 -1.83 -0.04 2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 8.16 1.95 3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 8.16 1.95 4 Harga Buah Sawit (Rp/kg) 330.3 1.39 0.33 C Deforestasi untuk Areal Karet 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 38.6 35.70 -10.29 2 Penawaran Karet (ribu ton) 1606.3 3.11 -0.67 3 Permintaan Karet DN (ribu ton) 205.1 23.60 -5.07 4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton) 1401.2 0.11 -0.03 5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg) 7098.9 -1.58 0.34 D Deforestasi untuk Areal Padi 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 167.4 35.54 -12.01 2 Penawaran GKG (ribu ton) 48295.8 0.96 0.42 3 Permintaan GKG (ribu ton) 48295.8 0.96 0.42 4 Harga GKG (Rp/kg) 1339.3 -0.91 -0.40 E Total Deforestasi (ribu ha) 754.6 9.08 -3.27 Keterangan: MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah ; DN = Dalam Negeri; GKG = Gabah Kering Giling
114
6.1.3. Blok Degradasi Hutan Degradasi hutan alam areal HPH disebabkan oleh prasyarat dan prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dipraktekkan di lapangan. Prasyarat yang dimaksudkan yaitu kejelasan property rights atas hutan yang dikelola, dan penegakan hukum atas property rights. Prasyarat yang lainnya yaitu harga kayu hutan alam tidak terdistorsi, dalam pengertian mencerminkan harga keekonomian kayu. Sedangkan prinsip yang dimaksudkan adalah bagaimana pengelolaan dilakukan sehingga ekosistem hutan tidak terdegradasi sempurna, misalnya menerapkan reduce impact logging dalam penebangan. Biaya yang dikeluarkan untuk mempraktekkan prasyarat dan prinsip pengelolaan tersebut umumnya diabaikan salah satunya karena suku bunga yang relatif tinggi 35 . Penurunan suku bunga dihipotesiskan akan menurunkan degradasi hutan areal HPH. Tabel 18 menyajikan skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi terhadap degradasi hutan alam areal HPH. Dari Tabel 18 diketahui bahwa penurunan suku bunga riel dapat menurunkan degradasi. Model memprediksi penurunan suku bunga riel sebesar 53.637% dapat menurunkan tingkat deforestasi areal HPH sebesar 109.73% (dari rataan per tahun berkurang 801.0 ribu ha menjadi rataan per tahun bertambah 77.9 ribu ha). Di sisi lain, penurunan suku bunga akan menaikkan penawaran kayu ilegal sebesar 2.71%, dan kayu legal 2.10%. Permintaan kayu oleh industri kayu gergajian meningkat sebesar 102.57%, dan industri kayu lapis 7.93%. Model memprediksi kenaikan penawaran kayu (legal dan ilegal) menyebabkan harga kayu hutan alam menurun sebesar 2.84%. Sebaliknya dari Tabel 18 diketahui bahwa model memprediksi dampak peningkatan pengeluaran pemerintah (17.96%) yang menyebabkan kenaikan suku 35
Aspek kelembagaan dapat juga berpengaruh namun dalam penelitian ini diasumsikan eksogen. Mendelsohn (1994): poorlydefined property rights menjadi pendorong terjadinya deforestrasi; umumnya dimulai dari degradasi hutan sebelum deforestasi terjadi. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong perambahan hutan yang menyebabkan deforestrasi (Prasetyo et.al, 2008). Harga nonrenewable resources dapat tidak meningkat jika terdapat inovasi teknologi di sisi permintaan dan penawaran yang dapat mengkompensasi pengaruh stok (Lin dan Wagner, 2007). Tidak terdapat hubungan jangka panjang antara harga kayu dan stok (Huhtala et al, 2000). Renewable resources memiliki peran terbatas dalam model-model pertumbuhan ekonomi (Brown, 2000). Dengan kata lain, biaya untuk pemanfaatan sumberdaya alam cenderung tertekan.
115
bunga sebesar 15.53% dapat menaikkan tingkat degradasi hutan areal HPH sebesar 31.74% (dari rataan per tahun berkurang 801.0 ribu ha meningkat menjadi 1055.20 ribu ha). Di lain pihak, kenaikan suku bunga menurunkan penawaran kayu ilegal sebesar 0.77%, dan kayu legal 0.58%. Sedangkan permintaan kayu oleh industri kayu gergajian menurun sebesar 2.80%, dan industri kayu lapis 1.15%. Model memprediksi penurunan penawaran kayu (legal dan ilegal) menyebabkan harga kayu hutan alam meningkat sebesar 0.78%.
Tabel 18. Sekenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Degradasi Hutan Blok Degradasi No.
Peubah Endogen
1 2 3
Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi MS G Nilai Dasar Naik Naik 23.12%
17.96%
(%) -109.73 2.71 2.10
(%) 31.74 -0.77 -0.58
Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha) -801.0 Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3) 10601.2 Penawaran Kayu HA (ribu m3) 15488.9 Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu 4 m3) 10040.6 12.57 5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3) 14677.0 7.93 6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3) 698428.0 -2.84 Keterangan: MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah; HA=Hutan Alam ; Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis.
6.2.
-2.80 -1.15 0.78 IKG =
Dampak Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia, dan
suku bunga rujukan Amerika Serikat. Dampak faktor eksternal terhadap perekonomian disajikan pada Gambar 29. Gambar 29 menunjukkan peningkatan harga minyak mentah dunia akan menaikkan pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran pemerintah selanjutnya mempengaruhi produk domestik bruto (PDB). Selain mempengaruhi pengeluaran pemerintah, harga minyak mentah dunia juga
116
mempengaruhi
ekspor
bersih.
Sedangkan
suku
bunga
Amerika
Serikat
mempengaruhi perekonomian melalui paritas suku bunga (UIP)36 . Pariras suku bunga selanjutnya mempengaruhi nilai tukar, dan nilai tukar mempengaruhi ekspor bersih, yang akhirnya mempengaruhi PDB. Hasil simulasi dampaknya disajikan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
Suku Bunga Amerika Serikat
Suku Bunga Nominal
(+)
Indeks Harga
(+)
(+) Suku Bunga Riel
Harga Minyak Dunia
(-)
(-)
(+)
(+) Paritas Suku Bunga (-)
Pengeluaran Pemerintah
Rp/USD
(+) Ekspor Bersih
(-) (+)
Produk Domestik Bruto
(+)
Gambar 29. Diagram Dampak Faktor Eksternal terhadap Perekonomian 6.2.1.
Blok Makroekonomi Simulasi terhadap harga minyak mentah dunia (oilP) dilakukan untuk
menganalisis dampak kenaikan harganya rataan per tahun (1980-2008) sebesar 7.0%, dan rataan lompatan kenaikan harganya sebesar 200% (tahun 1970-an, 233.3%; 1980an, 166.7%, dan 2000an, 200%. Sedangkan simulasi terhadap suku bunga rujukan Amerika Serikat (RUS) dilakukan untuk menganalisis dampak 36
Koefisien dugaan UIP sering di bawah -3 (Andrews et al, 2004 dalam Amato et al (2005), dan penelitian ini adalah -1.33. Bukti empiris menunjukkan kontraksi moneter menyebabkan apresiasi, peningkatan risk premium menyebabkan depresiasi nilai riel (Amato et al, 2005). Selaras Amato et al, penelitian ini menunjukkan ekspansi moneter menyebabkan depresiasi.
117
kenaikannya sebesar 1%, dan kenaikannya berdasarkan rataan per tahun periode 1980-2008 sebesar 5.0%. Dampak kenaikan harga minyak dan suku bunga Amerika Serikat secara berurutan disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Dari Tabel 19 diketahui bahwa model memprediksi kenaikan oilP sesuai dengan hipotesis akan menaikan pengeluaran pemerintah dan menurunkan ekspor bersih. Dengan kenaikan oilP sebesar 7%, pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 0.80% , dan ekspor bersih menurun sebesar 2.63%. Sedangkan lompatan kenaikan harga minyak sebesar 200%, model memprediksi pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 22.99%, dan ekspor bersih menurun sebesar 75.30%. Dampak kenaikan oilP cenderung menurunkan suku bunga. Kenaikan harga minyak sebesar 7% menurunkan suku bunga riel sebesar 0.05%, dan kenaikannya sebesar 200% menurunkan 1.35%. Hal ini menunjukkan bahwa net effect antara kenaikan pengeluaran pemerintah dan penurunan ekspor bersih cenderung menurunkan PDB. Dampak kenaikan harga minyak sebesar 7% terhadap PDB belum terlihat, namun dampak lompatan kenaikan hanganya sebesar 200% menyebabkan PDB menurun sebesar 0.09%. Konsekuensinya,
kenaikan
harga
minyak
mentah
dunia
cenderung
menimbulkan jumlah pengangguran bertambah. Dari Tabel 19 diketahui bahwa model memprediksi kenaikan harga minyak sebesar 7% menyebabkan jumlah pengangguran bertambah sebesar 0.05%, dan kenaikannya sebesar 200% menyebabkan jumlah pengangguran bertambah sebesar 1.51%. Sedangkan dari Tabel 20 diketahui bahwa model memprediksi kenaikan suku bunga Amerika Serikat menurunkan paritas suku bunga, dan konsekuensinya nilai tukar Rupiah meningkat (terdepresiasi). Kenaikannya sebesar 1% menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 0.16%, dan kenaikannya sebesar 5%
118
menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 0.78%. Depresiasi nilai tukar rupiah tersebut menyebabkan ekspor bersih meningkat berturut-turut sebesar 0.23% dan 1.15%. Suku bunga riel dalam negeri meningkat sebesar 0.09% jika suku bunga Amerikat Serikat meningkat 1%, dan meningkat 0.47% jika suku bunga Amerikat Serikat meningkat 5%. Model memprediksi hasil akhir kenaikan suku bunga Amerika Serikat adalah penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, investasi, dan
PDB meningkat.
Kenaikan suku bunga rujukan Amerika Serikat sebesar 1% menyebabkan penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah meningkat sekitar 0.01%, sedangkan investasi dan PDB juga meningkat sekitar 0.01%. Kenaikan suku bunga rujukan Amerika Serikat sebesar 5% menyebabkan penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah meningkat lebih tinggi berturut-turut sekitar 0.06% dan 0.04%, sedangkan investasi dan PDB meningkat berturut-turut sekitar 0.03% dan 0.04%. Konsumsi menurun karena pengaruh kenaikan suku bunga lebih kuat dibanding kenaikan sebagai konsekuensi asumsi pendapatan dibelanjakan yang eksogen. Indeks harga meningkat sebesar 0.002% jika kenaikan suku bunga Amerika Serikat meningkat sebesar 1%, dan jika meningkat 5%, indeks harga meningkat sebesar 0.01%. Permintaan tenaga kerja meningkat sebesar 0.002% jika kenaikan suku bunga Amerika Serikat meningkat sebesar 1%, dan jika meningkat sebesar 5%, permintaan tenaga kerja meningkat sebesar 0.01%, yang menyebabkan jumlah pengangguran berkurang berturut-turut sebesar 0.04% dan 0.18%.
119
Tabel 19. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Perekonomian Blok Makroekonomi
Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Dunia oilP
No.
Peubah Endogen
Nilai Dasar
Naik* 7.0%
(%) -0.01 -0.05 -0.22 1.26 0.00 0.80 0.00 -2.63 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05
Naik** 200.0%
(%) -0.27 -1.36 -6.40 35.94 -0.13 22.99 -0.05 -75.30 0.01 -0.09 -0.03 -0.09 1.51
1 Suku Bunga Nominal (%) 14.0 2 Suku Bunga Riil ( %) 2.7 3 Paritas Suku Bunga ( %) 0.6 4 Nilai Tukar (Rp/USD) 6720.1 5 Penerimaan Pajak (Rp miliar) 129024.0 6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar) 98336.6 7 Investasi Swasta (Rp miliar) 330995.0 8 Ekspor Bersih (Rp miliar) 31354.4 9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar) 740155.0 10 PDB ( Rp miliar) 1200841.0 11 Indeks Harga Konsumen 75.2 12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa) 82.3 13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa) 5.2 Keterangan: * Rataan kenaikan periode 1980-2008; ** Rataan lompatan kenaikan tahun 1970an (233.3% ; USD 3 ke USD 10 per barel), 1980an (166.7%; USD 15 ke USD 40 per barel) dan 2000an (200%; dari USD 30 ke USD 90 per barel). oilP = Harga Minyak Mentah Dunia
120
Tabel 20. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Perekonomian Blok Makroekonomi
Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat RUS
No.
Peubah Endogen
Nilai Dasar
Naik 1.0%
Naik 5.0%
(%) 0.019 0.091 -3.258 0.156 0.011 0.009 0.005 0.229 0.000 0.008 0.002 0.002 -0.037
(%) 0.092 0.471 -16.258 0.780 0.057 0.043 0.027 1.146 -0.002 0.039 0.011 0.011 -0.180
1 Suku Bunga Nominal (%) 14.0 2 Suku Bunga Riil ( %) 2.7 3 Paritas Suku Bunga ( %) 0.6 4 Nilai Tukar (Rp/USD) 6720.1 5 Penerimaan Pajak (Rp miliar) 129024.0 6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar) 98336.6 7 Investasi Swasta (Rp miliar) 330995.0 8 Ekspor Bersih (Rp miliar) 31354.4 9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar) 740155.0 10 PDB ( Rp miliar) 1200841.0 11 Indeks Harga Konsumen 75.2 12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa) 82.3 13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa) 5.2 Keterangan: RUS = Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat (Federal Fund Rate)
6.2.2. Blok Deforestasi Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa kenaikan harga minyak sebesar 7.0% menurunkan suku bunga riel dalam negeri sebesar 0.05%, dan jika kenaikannya 200%, menurunkan 1.35%. Sedangkan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% menaikkan suku bunga riil dalam negeri sebesar 0.09%, dan jika kenaikannya 5% menaikkan 0.47% . Bagaimana dampaknya terhadap deforestasi disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22. Dari Tabel 21 dan Tabel 22 dapat diketahui bahwa perubahan suku bunga riel dalam negeri karena perubahan harga minyak mentah dunia maupun suku bunga rujukan Amerika Serikat lebih berdampak terhadap tingkat deforestasi untuk
121
areal karet dan padi dibanding untuk areal HTI dan sawit. Sebagai contoh, kenaikan harga minyak sebesar 7.0% menyebabkan tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit meningkat sangat kecil sehingga dapat diabaikan, sementara
tingkat
deforestasi untuk areal karet meningkat sebesar 0.03%, dan padi sebesar 0.06%. Lompatan kenaikan harga minyak sebesar 200% menyebabkan tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit menurun berturut-turut 0.24% dan 0.08%, sementara untuk areal karet dan padi meningkat berturut-turut 0.94% dan 1.37%. Penurunan tingkat deforestasi untuk areal HTI disebabkan oleh pengaruh kenaikan harga kayu HTI (0.03%), sedangkan penurunan untuk areal sawit lebih disebabkan oleh kenaikan harga kayu HTI (persaingan lahan); sementara harga buah sawit menurun (0.03%). Peningkatan tingkat deforestasi untuk areal karet lebih disebabkan oleh pengaruh penurunan suku bunga riel; sementara harganya menurun (0.2%). Sedangkan peningkatan tingkat deforestasi untuk areal padi karena penurunan suku bunga riel dan kenaikan harganya (0.03%). Dari Tabel 22 diketahui bahwa kenaikan suku bunga riel akibat kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% menyebabkan tingkat deforestasi untuk areal karet dan padi menurun sekitar 0.06%, dan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 5% berturut-turut menurunkan sebesar 0.32% dan 0.36%. Kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% tidak menyebabkan tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit berubah, dan kenaikannya sebesar 5% hanya meningkatkan tingkat deforestasi untuk areal HTI yakni 0.03%, karena harganya tidak meningkat.
122
Tabel 21. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Deforestasi Hutan Alam Blok Deforestasi No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia oilP Nilai Dasar Naik* Naik** 7.0%
200.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI (%) 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 291.3 0.000 2 Penawaran Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 0.010 3 Permintaan Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 0.010 4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3) 345.4 0.000 B Deforestasi untuk Areal Sawit 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 257.3 0.000 2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 -0.006 3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 -0.006 4 Harga Buah Sawit (Rp/kg) 330.3 0.000 C Deforestasi untuk Areal Karet 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 38.6 0.032 2 Penawaran Karet (ribu ton) 1606.3 0.019 3 Permintaan Karet DN (ribu ton) 205.1 0.146 4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton) 1401.2 0.000 5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg) 7098.9 -0.007 D Deforestasi untuk Areal Padi 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 167.4 0.060 2 Penawaran GKG (ribu ton) 48295.8 -0.001 3 Permintaan GKG (ribu ton) 48295.8 -0.001 4 Harga GKG (Rp/kg) 1339.3 0.000 E Total Deforestasi (ribu ha) 754.6 0.000 Keterangan: * dan ** periksa tabel sebelumnya; oilP = Harga Minyak Mentah Dunia Dalam Negeri; GKG = Gabah Kering Giling
(%) -0.240 0.259 0.259 0.029 -0.078 -0.176 -0.176 -0.030 0.941 0.411 3.072 0.021 -0.204 1.374 -0.029 -0.029 0.030 0.225 ; DN =
123
Tabel 22. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Deforestasi Hutan Alam Blok Deforestasi No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Amerika Serikat RUS Nilai Dasar Naik* Naik** 1.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI (%) 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 291.3 0.000 2 Penawaran Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 -0.010 3 Permintaan Kayu HTI (ribu m3) 3972.5 -0.010 4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3) 345.4 0.000 B Deforestasi untuk Areal Sawit 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 257.3 0.000 2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 0.012 3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton) 29153.6 0.012 4 Harga Buah Sawit (Rp/kg) 330.3 0.000 C Deforestasi untuk Areal Karet 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 38.6 -0.063 2 Penawaran Karet (ribu ton) 1606.3 0.000 3 Permintaan Karet DN (ribu ton) 205.1 0.000 4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton) 1401.2 0.000 5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg) 7098.9 0.001 D Deforestasi untuk Areal Padi 1 Tingkat Deforestasi (ribu ha) 167.4 -0.060 2 Penawaran GKG (ribu ton) 48295.8 0.002 3 Permintaan GKG (ribu ton) 48295.8 0.002 4 Harga GKG (Rp/kg) 1339.3 0.000 E Total Deforestasi (ribu ha) 754.6 -0.027 Keterangan: * dan ** periksa tabel sebelumnya; oilP = Harga Minyak Mentah Dunia Dalam Negeri; GKG = Gabah Kering Giling
5.0%
(%) 0.034 -0.053 -0.053 0.000 0.000 0.058 0.058 0.030 -0.317 -0.019 -0.146 0.000 0.011 -0.358 0.012 0.012 -0.015 -0.106 ; DN =
6.2.3. Blok Degradasi Hutan Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa kenaikan harga minyak sebesar 7.0% menurunkan suku bunga riel sebesar 0.05%, dan jika kenaikannya 200%, menurunkan 1.36%. Sedangkan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% menaikkan suku bunga riil sebesar 0.09%, dan jika kenaikannya 5%
124
menaikkan 0.47% . Bagaimana dampaknya terhadap degradasi hutan areal HPH disajikan pada Tabel 23 dan Tabel 24. Dari Tabel 23 dan Tabel 24 diketahui bahwa model memprediksi, kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar 7.0% dan 200% menurunkan tingkat degradasi areal HPH berturut-turut sebesar 0.1 dan 2.9%, sedangkan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% dan 5% menaikkan tingkat degradasi areal HPH berturut-turut sebesar 0.2% dan 1.0%. Selain suku bunga, hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa sertifikasi hutan yang diminta oleh pasar internasional mendorong perusahaan HPH menerapkan prasyarat dan prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan, terutama yang terintegrasi dengan industri kayu lapis. Saat ini luas areal hutan di Indonesia (sebagian besar areal HPH) yang telah tersertifikasi dengan skema internasional mencapai 904.1 ribu ha. Tabel 23. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Degradasi Hutan Alam Areal HPH Blok Degradasi No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia oilP Nilai Dasar Naik Naik 7.0%
(%) -0.100 0.002 0.002 0.022 0.058 -0.004
200.0%
(%) -2.896 0.076 0.063 0.653 1.679 -0.112
1 Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha) -801.0 2 Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3) 10601.2 3 Penawaran Kayu HA (ribu m3) 15488.9 4 Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu m3) 10040.6 5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3) 14677.0 6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3) 698428.0 Keterangan: oilP =Harga Minyak Mentah Dunia; HA=Hutan Alam ; IKG = Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
125
Tabel 24. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Degradasi Hutan Alam Areal HPH Blok Degradasi No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Amerika Serikat RUS Nilai Dasar Naik Naik 1.0%
5.0%
(%) 0.187 -0.005 -0.004 -0.019 -0.007 0.005
(%) 0.961 -0.025 -0.019 -0.093 -0.037 0.026
1 Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha) -801.0 2 Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3) 10601.2 3 Penawaran Kayu HA (ribu m3) 15488.9 4 Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu m3) 10040.6 5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3) 14677.0 6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3) 698428.0 Keterangan: RUS =Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat (Federal Fund Rate); HA=Hutan Alam ; IKG = Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
VII.
7.1.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan: 1. Hasil pendugaan dan pengujian model menunjukkan bahwa secara statistik parameter dugaan model secara umum nyata pada taraf 1-10% sehingga model ekonometrika yang dibangun dapat digunakan untuk analisis. Sedangkan hasil validasi model menunjukkan seluruh persamaan memiliki proporsi bias (UM) yang mendekati nol, dan hanya beberapa peubah yang memiliki nilai RMSPE relatif tinggi. Secara keseluruhan, model dapat digunakan untuk analisis simulasi kebijakan, khususnya dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. 2. Hasil simulasi skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal mengindikasikan bahwa suku bunga merupakan saluran signifikan dalam mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam, sehingga peubahpeubah makroekonomi dan faktor eksternal yang mempengaruhi suku bunga secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam yang pengaruhnya tidak dapat dihindari dan dikendalikan. 3. Selain suku bunga, tingkat perubahan deforestasi dan degradasi hutan alam juga dipengaruhi oleh upah, harga BBM dan harga komoditas yang dihasilkan, khususnya untuk areal padi juga oleh jumlah penduduk. Penurunan suku bunga dapat meningkatkan dan kenaikan suku bunga dapat menurunkan tingkat deforestasi hutan alam. Sebaliknya penurunan suku bunga dapat menurunkan dan kenaikan suku bunga dapat meningkatkan degradasi hutan areal HPH.
128 7.2. Implikasi Kebijakan 1.
Pengaruh faktor makroekonomi (suku bunga, nilai tukar, pengeluaran pemerintah, penawaran uang), dan faktor mikroekonomi
(upah, harga BBM, dan harga
komoditas), serta faktor eksternal (harga minyak mentah dunia dan suku bunga dunia) tidak dapat dihindari dan dikendalikan, sehingga pengendalian tingkat perubahan deforestasi dan degradasi hutan alam agar efektif perlu peningkatan yang lebih intensif terhadap penegakan prasyarat-prasyarat dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan. 2.
Upaya mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam (primer) yang tersisa agar efektif perlu pemberhentian izin baru pemanfaatannya, dan untuk meningkatkan daya serap hutan terhadap CO2 perlu pengembangan hutan “campuran” dalam areal-areal yang terdeforestasi, serta pelaksanaan reboisasi dalam areal-areal yang terdegradasi. Upaya menekan deforestasi hutan alam perlu menetapkan kebijakan pemberian izin perluasan areal hanya pada areal hutan alam yang terdegradasi secara selektif dan fasilitas subsidi suku bunga sebagai bagian dari sistem insentif-disinsentif pengendalian deforestasi dan degradasi hutan.
7.3. Penelitian Lanjutan 1.
Model ekonometrika yang dibangun menggunakan pendekatan sisi permintaan agregat (demand side approach) sehingga pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal bergerak satu arah dalam mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Dampak deforestasi dan degradasi hutan alam terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak dapat secara langsung dianalisis dalam model. Untuk mengetahui kausalitas peubah makroekonomi dan faktor
129 eksternal dengan deforestasi dan degradasi hutan alam secara simultan perlu pendekatan sisi permintaan dan penawaran agregat. 2.
Khusus tingkat deforestasi untuk areal HTI, penelitian ini menggunakan data areal secara agregat dan diasumsikan didominasi oleh output kayu pulp. Penggunaan data disagregasi areal HTI akan mampu melihat respon masing-masing areal penggunaan menyadari bahwa HTI dapat diklasifikasikan ke dalam tiga komoditas, yaitu: (1) kayu pulp, (2) kayu pertukangan, dan (3) karet. Selain itu, konteks degradasi hutan yang dianalisis juga hanya degradasi hutan areal HPH, sehingga model masih perlu dikembangkan dengan memasukkan degradasi hutan areal hutan lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional).
3.
Model ekonometrika yang dibangun belum memainkan peranan nilai tukar dan inflasi selain suku bunga sebagai saluran transmisi kebijakan dan faktor eksternal dalam mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pasar input dan output tradable. Pengembangan model ekonometrika yang dapat mendeteksi pengaruh nilai tukar dan inflasi melalui pengaruhnya pada harga input dan output akan dapat menjelaskan lebih lengkap dampak deforestasi dan degradasi hutan alam kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal, termasuk di dalamnya mengendogenkan pendapatan dibelanjakan.
DAFTAR PUSTAKA Amato, J., A. Filardo, G. Galati, G. von Peter and Feng Zhu. 2005. Research on Exchange Rates and Monetary Policy: an Overview. BIS Working Papers No 178. Monetary and Economic Department, Bank for International Settlements, Basel. Aliyu, S. U. R. 2009. Impact of Oil Price Shock and Exchange Rate Volatility on Economic Growth in Nigeria: An Empirical Investigation. Research Journal of Internatıonal Studıes - Issue 11 (July, 2009). Department of the Central Bank of Nigeria. Abuja. Adi, I.S.S. 2007. Analisis Perdagangan Produk Berbasis Kayu Indonesia dan Dampaknya Terhadap Deforestasi Potensial di Beberapa Wilayah. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alimov, B.S. 2002. Effects of International Trade and Corruption on Tropical Deforestation. PhD Dissertation. Univ. of Connecticut, UMI, Ann Arbor. Baek, J., K. Mulik and W. W. Koo. 2006. The Role of the U.S. Dollar in International Trade. Agribusiness & Applied Economics Report 585, August 2006. Center for Agricultural Policy and Trade Studies, Department of Agribusiness and Applied Economics, North Dakota State University, Fargo. Brooks, D.J. J.A Ferrante, J. Haverkamp, I. Bowles, W. Lange, and D. Darr. 2001. Economic and Environmental Effects of Accelerated Tariff Liberalization in the Forest Products Sector. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-517. U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station, Portland. Brown, G.M. 2000. Renewable Natural Resource Management and Use without Markets. Journal of Economic Literature 38 (December 2000): 875-914. Contreras-Hermosilla, A., R. Doornbosch and M. Lodge. 2007. The Economics of Illegal Logging and Associated Trade. Round Table on Sustainable Development, OECD, Paris. Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron. Resources for The Future and CIFOR, Washington, DC.
132
Dornbusch, R. 1976. Expectation and Exchange Rate Dynamics. The Journal of Political Economy 84 (6): 1161-1176 Ditjen BPK, 2009. Statistik Direktoral Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009. Direktoral Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Estrada, A. and Pablo. H. de Cos. 2009. Oil Prices and Their Effect on Potential Ouput. The Occasional Paper Series, Banco de Espana, Madrid. Earley, J. and T. Earley. 2006. Specific Environmental Effects of Trade Liberalization: Sugar. International Food & Agricultural Trade Policy Council. IPC Issue Brief 20, October 2006, Washington DC. FAO. 2005. Global Forest Resources Assessment 2005. Progress Towards Sustainable Forest Management. FAO, Rome. Ferreira, S. 2004. Deforestation, Property Rights, and International Trade. Land Economics 80 (2): 174 - 193. Frankel, J. A. 1986. Expectations and Commodity Price Dynamics: the Overshooting Model. American Journal of Agricultural Economics 68 (2): 344-348. Huang, A. Y and Tseng, Y.H. 2010. Is Crude Oil Price Affected by The US Dollar Exchange Rate? International Research Journal of Finance and Economics Issue 58 (2010): 109-120.a Huhtala, A., A. Toppinen and M. Boman. 2000. An Environmental Accountant’s Dilemma: Can Market Prices Indicate Anything about Scarcity of Resources? Paper prepared for the European Association of Environmental and Resource Economists Tenth Annual Conference, June 30 -July 2, Rethymnon, Crete Haksworth, John. 2006. The World in 2050: How Big Will the Major Emerging Market Economies Get and How Can the OECD Compete? PriceWaterHouseCoopers. Hall, R. E. and J. B. Taylor. Macro-Economics: Theory, Performance, and Policy. Second Edition. W.W. Norton & Company, New York. Ismanto, A. D. 2010. Permasalahan Institusi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ireland, N.P. 2005. The Monetary Transmission Mechanism. Working Papers in Economics. Economic Department, Boston College, Boston.
133
Jayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Ketahanan Pangan Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kartodihardjo, H. dan A. Supriono. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper No. 26 (I), CIFOR, Bogor. Kaimowitz, D., G. Thiele and P. Pacheco. 1999. The Effects of Structural Adjustment on Deforestation and Forest Degradation in Lowland Bolivia. World Development 27 (3): 505 - 520. Kaimovitz, D. and Angelsen, A. 1998. Economic Model of Tropical Deforestation: A Review. CIFOR. Bogor. Klein, M. and J. Shambaugh. 2006. “Fixed Exchange Rates and Trade.” Journal of International Economics 70 (2006): 359-383. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. Macmillan, London. Lin, C.Y.C and G. Wagner. 2007. Steady-State Growth in A otelling Model of Resource Extraction. Journal of Environmental Economics and Management 54 (2007): 68-83. Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publishers, New York. Manurung, E. G. T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Laporan Teknis, Natural Resources Management Program, Jakarta. Mckenzie, M. D. 1998. The Impact of Exchange Rate Volatility on Australian Trade Flows. Journal of International Financial Markets, Institutions and Money 8 (1998) 21-38. McCallum, B. T. 1989. Monetary Economics: Theory and Policy. Macmillan Publishing Company, New York Mendelsohn, R. 1994. Property Rights and Tropical Deforestation. Oxford Economic Papers 46 (1994): 750-756. Murdiyarso, D., M. Skutsch, M. Guariguara, M. Kanninen, C. Luttrell, P. Verweij and O. S. Martins. 2008. Moving Ahead with REDD Issues, Options and Implications: How Do We Measure and Monitor Forest Degradation? CIFOR, Bogor.
134
Munasinghe, M. 2004. Environmental Macroeconomics: Basic Priciples. International, Society for Ecological Economics, Munasinghe Institute for Development, Colombo. Novra, A. 2007. Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Deforestasi Kawasan dan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak Diterbitkan. Norrbin, S. 2000. What Have We Learned From Empirical Tests of The Monetary Transmission Effect? Paper presented at Swedish Central Bank. Department of Economics, Florida State University, Tallahassee. Nasution, A. 1983. Financial Institutions and Policies in Indonesia. Institutes of Asian Studies, Singapore Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan. 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. -----------------------------------------------------------.2008. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. -----------------------------------------------------------.2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia Tahun 2008. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Pusat Data dan Informasi, Deperin. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Pusat Data dan Informasi, Departemen Perindustrian, Jakarta. Romer, D. 2000. Keynesian Macroeconomics without the LM Curve. The Journal of Economic Perspectives 14 (2): 149 – 169. Panayotou, T. 1993. Green Markets: The Economics of Sustainable Development. ICS Press, San Francisco. Pindyck, R.S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, New York. Pangestu, M. E. 1986. The Effects of an Oil Boom on a Small Oil Exporting Country: The Case of Indonesia. Dissertation. Univ. of California, Davis. Prasetyo, L.B., S.A. Wibowo, H. Kartodihardjo, F. Tonny, Haryanto, R. Sonaji and Y. Setiawan. 2008. Land Use and Land-cover Changes of
135
Conservation Area during Transition to Regional Autonomy: Case Study of Balairaja Wildlife Reserve in Riau Province, Indonesia. Tropics 17 (2): 99-108. Rey, S. 2006. Effective Exchange Rate Volatility and MENA Countries’ Exports to the EU. Journal of Economic Development 31 (2): 23-54. Reziti, I. 2005. The Relationship between Macroeconomic Variables and Relative Price Variability in Greek Agriculture. International Advance in Economic Research 11 (2005): 111-119. Suranovic, S.M. 2008. International Finance: Theory and Policy Analysis. http://internationalecon.com/Finance/F-overview.php Sedjo, R.A. 2005. Macroeconomics and Forest Sustainability in the Developing World. RFF DP 05-47. Resources for the Future. Washington, DC. Simangunsong, B.C.H. 2004. The Economic Performance of Indonesia’s Forest Sector in the Period 1980-2002. Briefing Paper. A paper prepared for GTZ-SMCP in July 2004. Sipayung, T. 2004. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Strand, J. 2004. Macroeconomic Policies, the Environment, Natural Resources, and Welfare in Developing Countries. Version: September 2004 Department of Economics, University of Oslo, Oslo.
[email protected]. Soedomo, S. 2003. Effects of Monetary Shocks on The Dynamics of Stumpage Price and Timber Harvest. PhD Dissertation. University of Missouri, Columbia. Sunderlin, W. D., O. Ndoye, H. Bikie, N. Laporte, B. Mertens, and J. Pokam. 2003. Economic Crisis, Small Scale Agriculture, and Forest Cover Changes in Southern Cameroon.Environmental Conservation, 27 (3): 284290. Silberberg, E. and W. Suen. 2001. The Structure of Economics A Mathematical Analysis. Third Edition. Irwin McGraw-Hill, Boston. Sugema, I. 2000. Indonesia’s Deep Economic Crisis: The Role of The Banking Sector in Its Origins and Propagation. PhD Thesis. The Australian National University, Canberra.
136
Sedjo, R. A. and R. D. Simpson. 1999. Tariff Liberalization,Wood Trade Flows, and Global Forests. Discussion Paper 00-05, December 1999. Resources for the future. Washington, DC. Sunaryo, T. 1996. The Credibility of the Indonesian Monetery Policy. Dissertation. School of Economics Univ of the Philippines, Quezon City. Sunderlin, W. D. and I. A. P. Resosudarmo. 1996. Rate and Causes of Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities. Occasional paper No. 9. CIFOR, Bogor. Sun, C.Y and D.W. Zhang. 2003. The Effects of Exchange Rate Volatility on U.S. Forest Commodities Exports. Forest Science 49 (5) 807-814. Sinaga, B. M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD Dissertation. University of the Philippines, Los Banos. Wunder, S. 2005. Macroeconomic Change, Competitiveness and Timber Production: A Five-Country Comparison. World Development, 33 (1): 65 - 86. Wunder, S. and B. Verbist. 2003. The Impact of Trade and Macroeconomic Policies on Frontier Deforestation. ASB Lecture Note 13, World Agroforestry Centre, ICRAF, Bogor. Wibowo, H.D. 1999. An Economic Analysis of Deforestation Mechanisms in Indonesia: Empirics and Theory Based on Stochastic Diffential and Fokker-Planck Equations. PhD Thesis. The University of Quensland, Brisbane. Young, C.E.F and J. Bishop. 1995. Adjustment Policies and the Environment: A Critical Review of the Literature. CREED Working Paper Series No 1, July 1995. International Institute for Environment and Development, London.
LAMPIRAN
139
Lampiran 1. Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Yt 45446.00 58127.00 62476.00 73698.00 89750.30 96996.80 102682.60 124816.90 142104.80 167184.70 195597.20 227450.20 259884.50 329775.80 382219.70 454514.10 532568.00 672625.40 955753.50 1099731.60 1264918.70 1684280.50 1863274.80 2036351.90 2295826.00 2774281.00 3339217.00 3950893.00 4948688.00
Ct 27503.00 32293.00 37924.00 44739.00 54063.50 57201.40 63355.30 71988.90 81045.30 88752.30 106312.30 125035.80 135880.30 192258.40 228119.30 279876.40 332094.40 387170.70 647823.60 813183.30 850818.70 1039655.00 1231964.50 1372078.00 1532888.00 1785596.00 2092656.00 2510504.00 2999957.00
Gt 4688.00 6452.00 7229.00 8077.00 9121.50 10893.90 11328.70 11763.50 12755.80 15697.60 17572.60 20784.60 24731.30 29756.70 31014.00 35584.20 40299.20 42952.00 54415.90 72631.30 90779.70 113416.10 132218.80 163701.40 191056.00 224981.00 288080.00 329760.00 416867.00
Tt It 2691.00 9485.00 3248.00 17324.00 3813.00 17406.00 4394.00 21669.00 4793.70 23407.70 6329.50 27202.80 8482.30 29033.90 9930.50 39146.00 12344.60 44809.50 16084.40 58830.80 22010.90 70704.90 24919.30 80741.70 30091.50 93225.10 36645.10 97912.80 44565.00 118707.10 49664.00 145117.90 60974.00 263453.10 70040.00 244231.21 91919.00 160327.30 100274.00 125010.90 115800.00 203645.80 179892.00 395041.10 219627.50 384392.80 248469.80 349792.60 280559.00 464619.00 346997.00 648665.00 409055.00 777753.00 491835.00 950926.00 641008.70 1479647.00
140
Lampiran 1. Lanjutan Xt 13850.00 16177.00 15103.00 20448.00 22998.10 21533.90 20000.90 29874.30 34665.60 42505.00 51953.10 62263.80 76384.40 88230.90 101331.90 119592.50 37533.30 174871.30 506244.80 390560.10 542992.40 642594.60 595514.00 613720.80 739639.00 945122.00 1036316.00 1162974.00 1475119.00
Mt 10080.00 14119.00 15186.00 21235.00 19840.50 19835.20 21036.20 27955.80 31171.40 38601.00 50945.70 61375.70 70336.60 78383.00 96952.60 125656.90 140812.00 176599.80 413058.10 301654.00 423317.90 506426.30 480815.30 462940.90 632376.00 830083.00 855588.00 1003271.00 1422902.00
MSt 7691.00 9716.00 11075.00 14663.00 17937.00 23153.00 27661.00 33885.00 41998.00 58705.00 84630.00 99059.00 119053.00 145202.00 174512.00 222638.00 288632.00 355643.00 577381.00 646205.00 747028.00 844054.00 883908.00 944366.00 1033528.00 1202762.00 1382493.00 1649662.00 1895839.00
DEFt 9.45 11.20 11.77 13.33 14.43 15.20 15.20 17.60 18.95 20.74 22.63 24.61 26.41 31.47 33.91 37.26 40.50 48.85 79.90 91.22 100.00 116.72 123.71 129.11 138.59 158.46 180.78 201.13 237.64
IHKt 12.24 13.74 15.04 16.81 18.18 19.05 20.15 22.02 23.80 25.32 27.30 29.87 32.12 35.23 38.23 41.84 45.17 50.50 89.66 91.45 100.00 112.55 122.68 132.49 138.93 153.46 173.56 184.69 210.29
πt 14.04 12.24 9.48 11.79 8.16 4.75 5.81 9.28 8.06 6.42 7.80 9.42 7.53 9.69 8.51 9.44 7.97 11.79 77.54 2.01 9.35 12.55 9.00 8.00 4.86 10.46 13.10 6.41 13.86
πEt 12.24 9.48 11.79 8.16 4.75 5.81 9.28 8.06 6.42 7.80 9.42 7.53 9.69 8.51 9.44 7.97 11.79 77.54 2.01 9.35 12.55 9.00 8.00 4.86 10.46 13.10 6.41 13.86 2.78
141
Lampiran 1. Lanjutan Wt 70138.80 73552.50 63847.00 62026.30 48206.50 56030.00 67483.50 78024.50 86961.00 103264.00 138585.00 175480.50 193044.50 215987.00 286660.00 323415.50 334818.00 339826.67 365252.90 390679.13 416105.36 441531.59 488563.21 520813.40 459894.25 510120.03 611385.03 677641.00 761506.06
rt 12.91 16.31 17.29 12.90 19.39 9.95 13.26 14.50 14.93 12.40 14.94 12.64 8.72 9.79 13.64 13.64 13.96 26.98 64.08 7.61 10.58 14.56 14.20 8.95 6.20 7.11 9.26 6.25 8.52
et 799.36 749.59 763.90 1040.67 1052.75 1235.72 2007.25 2340.79 2329.41 2361.55 2704.48 2849.42 2835.25 2898.21 3211.67 3430.82 3426.66 6274.01 11299.40 9724.23 12501.40 13070.00 12154.10 12578.70 14427.50 14049.70 13569.70 9136.20 9679.55
PBBMt 52.50 64.25 85.00 145.00 220.00 242.00 200.00 198.93 201.82 200.78 245.00 300.00 249.54 380.00 380.00 380.00 380.00 380.00 600.00 480.88 550.00 1056.50 1318.75 1668.46 1650.00 2876.92 4300.00 4300.00 5400.00 P
POPt 150.07 153.30 156.54 159.78 161.58 162.66 165.87 169.15 172.49 175.90 179.38 182.35 185.38 188.45 191.58 194.75 197.00 199.28 201.58 203.91 206.26 208.65 211.06 216.95 220.08 218.87 224.00 225.64 228.52
LSt 52.42 56.01 59.60 63.19 61.36 63.83 70.19 72.25 74.60 75.51 77.80 78.46 80.70 81.45 85.78 86.36 90.11 89.60 92.74 94.85 95.65 98.81 100.78 102.32 103.97 105.80 106.30 109.94 112.80
LDt 51.53 54.67 57.80 60.94 60.08 62.46 68.34 70.40 72.52 73.43 75.85 76.42 78.52 79.20 82.04 80.11 85.70 85.41 87.67 88.82 89.84 90.81 91.65 92.22 93.72 94.95 95.18 99.93 102.55
142
Lampiran 1. Lanjutan ULt 0.89 1.34 1.80 2.25 1.28 1.37 1.86 1.84 2.08 2.08 1.95 2.03 2.19 2.25 3.74 6.25 4.41 4.20 5.06 6.03 5.86 8.01 9.13 10.10 10.25 10.85 11.10 10.01 9.39
AHPHt 49407.00 50789.00 52632.00 60974.00 53374.00 53375.00 55468.00 55468.00 57656.00 57656.00 58881.00 60480.00 61380.00 61700.00 61030.00 56170.00 54090.00 52280.00 51580.00 41840.00 39160.00 36420.00 28080.00 27800.00 27820.00 27270.00 28700.00 23569.00 26160.00
qHAt 19.97 14.43 14.57 13.01 15.60 16.47 17.94 22.15 22.64 24.42 23.31 21.73 22.13 21.97 20.38 21.43 23.26 17.78 15.52 18.20 20.28 17.16 22.47 19.07 16.51 19.56 11.99 13.14 11.39
DGHPHt 4477.50 1382.00 1843.00 8342.00 -7600.00 1.00 2093.00 0.00 2188.00 0.00 1225.00 1599.00 900.00 320.00 -670.00 -4860.00 -2080.00 -1810.00 -700.00 -9740.00 -2680.00 -2740.00 -8340.00 -280.00 20.00 -550.00 1430.00 -5131.00 2591.00
SKHAt 27797.23 15954.43 13376.51 15208.57 15957.64 14551.95 19758.29 27500.00 26310.00 26030.00 25770.00 23810.00 26050.00 25190.00 22250.00 22930.00 25290.00 19720.00 14330.00 10370.00 3400.00 1809.10 3019.84 4104.91 3510.76 5720.52 5586.72 6437.69 4629.02
SKILLt 393.94 4991.69 8538.64 7455.63 7829.85 10572.14 8672.54 7606.93 10991.57 14204.10 13441.92 13739.94 12768.42 13539.33 13284.08 11457.01 10663.98 6840.24 8537.78 11382.22 19295.59 16045.70 15004.93 11039.31 9609.38 9519.93 4242.42 2413.45 3884.53
PKHAt 48760.96 46474.58 44306.20 43708.14 45268.25 50664.52 60217.50 84268.44 100164.63 99185.10 116292.64 131073.32 133256.75 136215.87 160583.50 202418.38 222732.90 392183.97 752736.65 691465.68 949851.37 1061724.46 1055824.24 1006296.00 1514887.50 2388449.00 2849637.00 2165279.79 2255335.05 P
143
Lampiran 1. Lanjutan SXKHAt 16314.00 6957.00 3524.00 3494.00 2059.00 479.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 298.56 449.84 282.84 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
DRt 2528.00 2546.32 2665.60 3577.16 4120.32 4459.32 5131.40 6610.40 7106.00 26582.10 27749.85 29880.00 30930.00 31650.00 33000.00 34620.00 35745.00 69750.00 120375.00 106500.00 20525.48 22326.90 20961.45 201259.20 230840.00 224795.20 217115.20 146179.23 154872.79
PSDHt 1939.67 1993.73 2175.99 2503.69 2759.46 2756.18 2923.88 3606.19 4507.79 4508.36 4869.88 5524.09 5838.32 5985.01 6621.84 8875.11 8875.11 8823.75 16111.90 32385.49 34209.13 37211.51 34935.76 35875.00 36525.00 36125.00 36125.00 42350.00 42350.00
DKHAKLt 2246.67 3451.11 4755.56 6540.00 8488.89 10408.89 13333.33 15333.33 16666.67 19520.00 20922.22 20274.44 21942.22 22053.33 21857.78 21111.11 21277.78 21333.33 17333.33 17333.33 16666.67 16222.22 16777.78 13579.01 12254.20 12297.22 8470.65 7676.33 7452.18
PXKLt 163868.80 155165.13 163474.60 231028.74 215813.75 249615.44 427544.25 690533.05 761717.07 767503.75 878956.00 940308.60 963985.00 1272314.19 1381018.10 1406636.20 1432343.88 2888415.55 3333323.00 3500722.80 3312871.00 2614000.00 2856213.50 3144675.00 5049625.00 5760377.00 6242062.00 4421921.60 4481631.46 P
DKHAKGt GPHPHt 9630.50 0.00 10538.00 0.00 13635.60 0.00 12630.20 0.00 13239.60 0.00 14236.20 0.00 15097.50 0.00 19773.60 0.00 20634.90 0.00 20714.10 0.00 18289.70 1.00 17275.50 1.00 16876.20 1.00 16676.00 1.00 13676.30 1.00 13275.90 1.00 14676.20 0.00 5226.90 0.00 5534.44 0.00 4120.33 0.00 5579.09 0.00 1349.74 0.00 1246.99 0.00 1565.21 0.00 865.93 0.00 2943.23 0.00 1358.49 0.00 1174.80 0.00 1061.38 0.00
144
Lampiran 1. Lanjutan AHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.00 30.00 30.00 235.62 235.62 235.62 296.55 2043.24 3179.24 4301.75 4452.61 4557.25 4647.74 4673.25 4751.59 6103.79 6169.09 6521.74 7089.44 7150.20
qHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.74 0.23 0.13 0.11 0.04 0.83 1.20 0.91 1.12 1.20 2.08 3.37 2.91 3.12
DFHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.00 0.00 0.00 205.62 0.00 0.00 60.93 1746.69 1136.00 1122.52 150.86 104.63 90.49 25.51 78.34 1352.20 65.30 352.65 567.70 60.76
SKHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 514.69 474.27 428.89 480.21 187.83 3783.60 5567.28 4242.53 5325.77 7329.03 12818.20 21981.82 20614.21 22318.89
DKHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 514.69 474.27 428.89 480.21 187.83 3783.60 5567.28 4242.53 5325.77 7329.03 12818.20 21981.82 20614.21 22318.89
PKHTIt 50.00 55.00 63.00 72.00 83.65 84.60 88.40 93.16 97.91 103.61 108.37 115.02 118.82 119.77 128.33 139.73 142.59 155.89 212.93 180.61 223.38 250.94 233.36 226.42 302.98 323.14 332.46 242.11 290.39 P
PPULPt 233885.79 219323.52 223510.50 304491.00 308025.50 361560.94 587303.91 684894.82 681565.13 1251350.06 1488656.12 1352826.90 1246335.79 1002612.69 1826987.67 1307375.43 1312184.51 2601006.00 4666894.38 3914029.49 6670375.33 4330132.08 3823030.23 4186493.75 5068083.47 5063191.91 5357001.96 3828909.07 5263726.48 P
145
Lampiran 1. Lanjutan GPHTIt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
ATSWt 294.56 318.97 329.90 405.65 512.02 597.36 606.78 728.66 862.86 973.53 1126.68 1311.00 1467.47 1613.19 1804.15 2024.99 2249.51 2922.30 3560.20 3901.80 4158.08 4713.44 5067.06 5283.56 5284.72 5453.82 6594.91 6766.84 7363.85
qSWt 11.13 11.40 12.22 11.01 10.18 9.46 10.12 9.39 9.03 9.17 9.73 9.21 10.12 9.64 10.10 10.06 9.90 8.47 7.57 7.52 7.65 8.10 8.63 8.98 9.32 9.89 11.96 11.87 10.83
DFSWt 33.62 24.41 10.93 75.75 106.38 85.34 9.42 121.88 134.20 110.67 153.15 184.32 156.47 145.72 190.96 220.84 224.53 672.78 637.90 341.61 256.28 555.36 353.62 216.50 1.17 169.09 1141.10 171.92 597.01
SBSWt 3278.05 3636.64 4031.00 4468.12 5214.50 5651.95 6139.68 6845.70 7787.89 8931.61 10966.42 12080.00 14846.59 15552.04 18218.46 20362.14 22266.63 24765.95 26956.43 29343.59 31820.49 38165.78 43737.93 47458.34 49229.04 53916.43 78867.49 80294.20 79726.31
DBSWt 3278.05 3636.64 4031.00 4468.12 5214.50 5651.95 6139.68 6845.70 7787.89 8931.61 10966.42 12080.00 14846.59 15552.04 18218.46 20362.14 22266.63 24765.95 26956.43 29343.59 31820.49 38165.78 43737.93 47458.34 49229.04 53916.43 78867.49 80294.20 79726.31
PBSWt 25.18 31.25 23.08 32.04 46.22 37.98 38.93 48.64 61.01 53.38 62.26 78.55 79.19 63.24 90.50 145.93 143.51 147.33 462.24 357.52 349.88 295.33 385.88 488.42 573.13 499.20 551.19 889.77 1180.71 P
146
Lampiran 1. Lanjutan PDMSWt 313255.83 344601.48 241042.10 291852.23 295688.44 415524.00 404214.49 648151.93 937425.43 753623.23 570644.56 892042.30 1055366.05 1052794.78 875092.51 1220505.77 1083088.20 1887703.34 2328137.20 2773123.32 3359615.61 2836365.86 3915261.34 4708731.65 5770598.35 5184791.72 4710246.29 5334666.11 6775952.51 P
PXMSWt 377416.66 405413.50 283578.94 335462.33 469346.74 477613.80 404214.49 648151.93 937425.43 753623.23 570644.56 892042.30 1055366.05 1052794.78 1458487.52 2034176.28 1805147.01 3146172.23 5820343.01 3648846.48 3536437.48 2924088.51 4036351.90 4854362.53 5949070.46 5345146.10 4781975.92 6131800.12 7528836.12 P
ATKRt 2383.81 2440.12 2483.92 2578.00 2711.22 2775.26 2873.58 2849.96 2944.32 3055.96 3141.61 3173.92 3289.22 3405.02 3472.38 3495.90 3518.44 3474.40 3607.30 3595.06 3372.42 3344.77 3318.36 3290.11 3262.27 3279.39 3346.43 3413.72 3424.22
qKR
t
0.43 0.39 0.36 0.39 0.38 0.38 0.39 0.40 0.40 0.40 0.41 0.42 0.43 0.43 0.43 0.45 0.45 0.45 0.46 0.45 0.45 0.48 0.49 0.54 0.63 0.69 0.79 0.81 0.80
DFKRt -0.22 56.32 43.80 94.08 133.22 64.05 98.32 -23.63 94.37 111.64 85.65 32.31 115.30 115.80 67.36 23.52 22.54 -44.04 132.89 -12.23 -222.64 -27.65 -26.41 -28.25 -27.84 17.12 67.04 67.29 10.50
QKRt 1020.00 963.24 899.21 1006.98 1032.60 1054.97 1113.13 1130.35 1173.30 1209.04 1275.30 1328.17 1398.45 1475.44 1499.42 1573.30 1574.03 1552.59 1661.90 1604.36 1501.43 1607.46 1630.36 1792.35 2065.82 2270.89 2637.23 2755.17 2751.29
DDKRt 43.87 154.51 97.81 68.98 23.00 54.07 154.43 37.55 41.30 57.24 198.00 108.17 130.35 261.14 254.62 249.50 139.73 148.79 20.70 109.82 121.82 154.08 134.37 130.14 191.56 246.30 350.33 347.20 468.13
147
Lampiran 1. Lanjutan SXKRt 976.13 808.73 801.40 938.00 1009.60 1000.90 958.70 1092.80 1132.00 1151.80 1077.30 1220.00 1268.10 1214.30 1244.80 1323.80 1434.30 1403.80 1641.20 1494.54 1379.61 1453.38 1495.99 1662.21 1874.26 2024.59 2286.90 2407.97 2283.15
PDKRt 780.00 615.70 506.70 865.30 952.30 773.10 1219.20 1479.50 1796.80 1494.40 1402.60 1490.20 1635.10 1635.70 2452.10 3461.60 3093.00 3135.50 6256.00 4579.17 5251.67 10550.00 10750.00 10300.00 10430.00 10750.00 15850.00 16950.00 18550.00 P
PXKRt 407196.38 371015.21 300990.68 548560.85 640326.84 593232.91 1069614.61 1609909.47 2169004.76 1862290.06 2126018.77 2620683.33 3051365.98 3234545.97 5061341.86 8962305.23 8567932.20 16994053.42 16386896.29 5525311.83 8052286.85 7070126.64 8429640.30 11311915.54 16781210.51 17923908.11 25642518.13 18472567.35 25536075.23 P
ATPDt 7824.04 8191.02 7872.60 7986.91 8547.12 8755.72 8888.31 8796.32 8925.38 9364.95 10502.51 10282.51 11103.11 11013.91 10734.97 11439.22 11569.84 11141.59 11613.33 11963.20 11793.48 11499.99 11500.00 11521.17 11922.97 11839.06 11786.43 12147.64 12327.43
qPDt 3.79 4.00 4.27 4.42 4.46 4.46 4.47 4.55 4.67 4.77 4.30 4.35 4.34 4.38 4.35 4.35 4.41 4.43 4.17 4.25 4.40 4.39 4.47 4.54 4.54 4.57 4.62 4.71 4.89
DFPDt 148.93 366.98 -318.42 114.31 560.21 208.60 132.59 -91.99 129.06 439.57 1137.56 -220.00 820.60 -89.20 -278.94 704.25 130.62 -428.25 471.74 349.87 -169.72 -293.49 0.01 21.17 401.81 -83.91 -52.63 361.21 179.79
SGKGt 29653.11 32764.08 33616.00 35302.14 38120.16 39050.51 39730.75 40023.26 41681.52 44670.81 45160.79 44728.92 48187.50 48129.32 46598.38 49697.44 51048.90 49339.09 49236.69 50866.39 51898.85 50460.78 51489.69 52137.60 54088.47 54151.10 54454.94 57157.44 60325.93
148
Lampiran 1. Lanjutan DGKGt 29653.11 32764.08 33616.00 35302.14 38120.16 39050.51 39730.75 40023.26 41681.52 44670.81 45160.79 44728.92 48187.50 48129.32 46598.38 49697.44 51048.90 49339.09 49236.69 50866.39 51898.85 50460.78 51489.69 52137.60 54088.47 54151.10 54454.94 57157.44 60325.93
PHPPt 105.00 120.00 135.00 145.00 165.00 175.00 175.00 190.00 210.00 250.00 270.00 295.00 330.00 340.00 360.00 400.00 450.00 525.00 800.00 1400.00 1400.00 1500.00 1519.00 1725.00 1740.00 2250.00 2250.00 2250.00 2200.00 P
PGKGt 189.82 212.16 229.61 274.69 284.81 288.59 167.27 184.73 381.62 475.48 466.68 517.47 303.70 284.05 325.83 419.81 432.75 498.27 933.01 1159.43 964.72 1141.22 1255.46 1249.33 1258.31 1567.67 2509.72 2654.51 2767.66 P
PDBRt 198.39 226.19 254.92 304.24 330.97 322.07 345.24 386.86 469.20 469.56 525.17 557.84 603.68 592.25 660.37 776.38 880.00 1064.03 2099.71 2665.58 2424.22 2537.09 2826.06 2785.85 2850.96 3478.87 5500.00 6147.00 6504.00 P
oilPt 31.32 36.00 36.15 32.88 28.87 27.00 14.32 18.05 14.62 13.58 18.91 24.72 16.22 16.77 12.37 16.63 19.61 18.28 11.71 17.13 27.07 22.73 23.57 27.09 34.62 49.87 60.32 69.19 95.62
rUSt 13.36 16.38 12.26 9.09 10.23 8.10 6.81 6.66 7.57 9.22 8.21 5.69 3.52 3.02 3.02 5.84 5.30 5.46 5.35 4.97 6.24 3.89 1.75 1.04 1.29 3.10 4.98 5.08 2.21
USCPIt 47.85 52.79 56.04 57.84 60.34 62.49 63.65 66.03 68.67 71.99 75.88 79.09 81.48 83.89 86.08 88.49 91.09 93.22 94.66 96.73 100.00 102.83 104.46 106.83 109.69 113.41 117.07 120.41 125.03
πUSt 13.50 10.32 6.16 3.21 4.32 3.56 1.86 3.65 4.14 4.82 5.40 4.21 3.01 2.99 2.56 2.83 2.95 2.29 1.56 2.21 3.36 2.85 1.58 2.28 2.66 3.39 3.23 2.83 3.86
Lampiran 1. Lanjutan USGDPt 12243.00 13594.00 14009.00 15084.00 16629.00 17683.00 18531.00 19504.00 20813.00 22160.00 23185.00 23635.00 24686.00 25616.00 26893.00 27813.00 29062.00 30526.00 31843.00 33486.00 35237.00 36049.00 36935.00 38310.00 40386.00 42612.00 44732.00 46449.00 46883.00
KRISISt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FERt 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
149
151
Lampiran 2. Program Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Sofware SAS versi 9.0
DATA OLAH; SET AST.MIMA1; “BLOK MAKROEKONOMI” RY=(Y/DFLA)*100; LRY=LAG(RY); PRY=RY-LRY; RPPJK=(PPJK/DFLA)*100; LRPPJK=LAG(RPPJK); RC=(C/DFLA)*100; RYD=RY-RPPJK; RG=(G/DFLA)*100; LRG=LAG(RG); RI=(I/DFLA)*100; LRI=LAG(RI); NX = X - M; RNX = (NX/DFLA)*100; LRNX=LAG(RNX); LR=LAG(R); RMS=(MS/DFLA)*100; LRMS=LAG(RMS); LIHK=LAG(IHK); PIHK= IHK-LIHK; LEXR=LAG(EXR); RR=R-DINF; LRR=LAG(RR); L2RR=LAG2(RR); P2RR=RR-L2RR; L3RR=LAG3(RR); REXR = EXR*IHK/USCPI; LUSCPI=LAG(USCPI); RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100); UIP = RR – RFRATE; OILP=(WOIL/DFLA)*100; RW=(W/DFLA)*100; LRW=LAG(RW); LEMP=LAG(EMP); UNEMP=LF-EMP; LUSGDP=LAG(USGDP);
152
Lampiran 2. Lanjutan “BLOK DEFORESTASI” “HTI” RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100; L2RHEPU=LAG2(RHEPU); Lampiran 2. Lanjutan PRHEPU=RHEPU-LRHEPU); RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100; LRHKHTI=LAG(RHKHTI); RHBBM=(HBBM/DFLA)*100; LAHTI=LAG(AHTI); LQKHTI=LAG(QKHTI); LDKHTI=LAG(DKHTI); LRHEPU=LAG(RHEPU); PRHEPU=RHEPU-LRHEPU; “SAWIT” RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100; LRHEMSW=LAG(RHEMSW); RHBSW=(HBSW/DFLA)*100; LRHBSW=LAG(RHBSW); LATSW=LAG(ATSW); LQBSW=LAG(QBSW); LRHDMSW=LAG(RHDMSW); LDBSW=LAG(DBSW); “KARET” RHDKR=(HDKR/DFLA)*100; L2RHDKR=LAG2(RHDKR); RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100; LRHEKR=LAG(RHEKR); PRHEKR=RHEKR-LRHEKR; LATKR=LAG(ATKR); LQKR=LAG(QKR); LDDKR=LAG(DDKR); LQXKR=LAG(QXKR); “PADI” RHGKG=(HGKG/DFLA)*100; LRHGKG=LAG(RHGKG); RHPP=(HPP/DFLA)*100; LRHPP=LAG(RHPP); PRHPP=RHPP-LRHPP; POP=JUMLAH PENDUDUK;
Lampiran 2. Lanjutan LATPD=LAG(ATPD); LQGKG=LAG(QGKG); RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100; LDGKG=LAG(DGKG); TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; “BLOK DEGRADASI HUTAN” RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100; RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100; Lampiran 2. Lanjutan LRHKHA=LAG(RHKHA); L2QILL=LAG2(QILL); LQILL=LAG(QILL); LAHPH=LAG(AHPH); RDR=(DR/DFLA)*100; RPSDH=(PSDH/DFLA)*100; LQKBHA=LAG(QKBHA); LDKBKG=LAG(DKBKG); LDKBKL=LAG(DKBKL); Q=QILL+QKBHA; RUN; /* PERINTAH PENDUGAAN MODEL */ PROC syslin 2sls DATA=OLAH outest=a; ENDOGENOUS R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI TDFSW QBSW DBSW RHBSW TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR TDFPD QGKG DGKG RHGKG TTDF TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA ; INSTRUMENTS OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD
153
154
Lampiran 2. Lanjutan RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB ; “ Blok Makroekonomi” Model RC = RYD RR/DW ; Model RPPJK = RY RR LRPPJK/DW ; Model RG = RPPJK OILP LRG/DW; Model RI = L2RR RY KRISIS LRI/DW ; Model RNX = REXR RY OILP LRNX; Model R = LRMS PIHK EXPINF KRISIS FER LR/DW ; Model IHK = LRY LIHK/DW ; Model EXR = UIP LRNX RMS KRISIS LEXR/DW ; Model EMP = LRW RY LEMP ; Identity RY = RC + RI + RG + RNX ; Identity RR = R-DINF; Identity UIP = RR -RFRATE ; Identity UNEMP = LF - EMP; “ Blok Deforestasi” Model TDFHTI = L2RHEPU RHKHTI P2RR RW RHBBM RHEKR RHEMSW RHEKL PPHTI LAHTI/DW; Model QKHTI = RHKHTI RR PRODHTI AHTI LQKHTI/DW; Model DKHTI = RHKHTI RR RW PRHEPU PRY LDKHTI/DW; Model RHKHTI = PRHEPU RHKHA LQKHTI LRHKHTI/DW; Identity DKHTI = QKHTI; Model TDFSW = RHEMSW RHBSW L3RR RW LRHKHTI LRHKHA LATSW/DW ; Model QBSW = LRHBSW RR PRODSW ATSW LQBSW/DW ; Model DBSW = RHBSW RR RW RHDMSW RY LDBSW/DW; Model RHBSW = RHEMSW DBSW LRHBSW/DW; Identity QBSW = DBSW; Model TDFKR = RHDKR RR RHKHA RHEMSW RHEKR LATKR/DW ; Model QKR = RHDKR RR PRODKR ATKR LQKR/DW; Model DDKR = RHDKR LRR (RY-LRY) LDDKR/DW; Model QXKR = LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR/DW; Model RHDKR = PRHEKR QXKR QKR LRHDKR/DW; Identity QKR = DDKR + QXKR; Model TDFPD = RHGKG RHPP RR RHBBM RHKHA RHKHTI POP LATPD; Model QGKG = RHGKG RR RHBBM PRODPD LQGKG/DW;
155
Lampiran 2. Lanjutan Model DGKG = LRHPP RR RHBBM RHDBR RY LDGKG/DW; Model RHGKG = PRHPP QGKG LRHGKG/DW; Identity QGKG = DGKG; Identity TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; “Blok Degradasi Hutan” Model TDGHPH = RHEKL RHKHA RR L2QILL LRHEMSW LRHEKR KPIHPH LAHPH/DW; Model QILL = RHKHA RR RHBBM RDR PRODHA PKUM LQILL/DW ; Model QKBHA = LRHKHA LRR RPSDH PRODHA AHPH LQKBHA/DW; Model DKBKG = RHKHA RHKHTI RR RW RY LDKBKG/DW; Model DKBKL = RHKHA RHKHTI LRR RW RHEKL PRY LDKBKL/DW; Model RHKHA = RHEKL Q LRHKHA/DW; Identity QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ; RUN ;
157
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Software SAS versi 9.0 The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RC Dependent Variable RC Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 2.212E12 1.106E12 457.77 <.0001 Error 23 5.557E10 2.4162E9 Corrected Total 25 2.268E12 Root MSE 49154.4390 R‐Square 0.97549 Dependent Mean 742744.166 Adj R‐Sq 0.97336 Coeff Var 6.61795 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐85438.2 35822.04 ‐2.39 0.0257 RYD 1 0.781288 0.029515 26.47 <.0001 RR 1 ‐1760.78 1984.191 ‐0.89 0.3840 Durbin‐Watson 1.052469 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.416751
158
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RPPJK Dependent Variable RPPJK Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1.078E11 3.595E10 355.85 <.0001 Error 22 2.2224E9 1.0102E8 Corrected Total 25 1.101E11 Root MSE 10050.7067 R‐Square 0.97981 Dependent Mean 129890.758 Adj R‐Sq 0.97705 Coeff Var 7.73782 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐30515.6 9745.479 ‐3.13 0.0049 RY 1 0.088386 0.024595 3.59 0.0016 RR 1 297.9840 434.6253 0.69 0.5001 LRPPJK 1 0.445448 0.178907 2.49 0.0208 Durbin‐Watson 0.874376 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.545132
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RG Dependent Variable RG Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.576E10 8.5863E9 170.68 <.0001 Error 22 1.1068E9 50307889 Corrected Total 25 2.687E10 Root MSE 7092.80546 R‐Square 0.95880 Dependent Mean 98172.7635 Adj R‐Sq 0.95319 Coeff Var 7.22482 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 4609.400 6998.157 0.66 0.5169 RPPJK 1 0.339781 0.100765 3.37 0.0027 OILP 1 100.5573 41.08604 2.45 0.0228 LRG 1 0.456354 0.192320 2.37 0.0268 Durbin‐Watson 1.463183 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.239173
159
160
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RI Dependent Variable RI Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 3.339E11 8.348E10 14.85 <.0001 Error 21 1.181E11 5.6221E9 Corrected Total 25 4.52E11 Root MSE 74980.4695 R‐Square 0.73879 Dependent Mean 321683.099 Adj R‐Sq 0.68904 Coeff Var 23.30880 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 67056.85 55317.95 1.21 0.2389 L2RR 1 ‐2666.80 3195.097 ‐0.83 0.4133 RY 1 0.110685 0.047499 2.33 0.0298 KRISIS 1 ‐152416 46348.84 ‐3.29 0.0035 LRI 1 0.492063 0.152838 3.22 0.0041 Durbin‐Watson 1.705528 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.115386
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RNX Dependent Variable RNX Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 8.135E10 2.034E10 7.28 0.0008 Error 21 5.869E10 2.7947E9 Corrected Total 25 1.4E11 Root MSE 52864.8775 R‐Square 0.58090 Dependent Mean 33849.8970 Adj R‐Sq 0.50107 Coeff Var 156.17441 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 173633.9 66164.33 2.62 0.0158 REXR 1 14.09883 3.541466 3.98 0.0007 RY 1 ‐0.18107 0.058541 ‐3.09 0.0055 OILP 1 ‐321.596 254.7716 ‐1.26 0.2207 LRNX 1 ‐0.00045 0.185294 ‐0.00 0.9981 Durbin‐Watson 2.153832 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.07775
161
162
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model R Dependent Variable R Label R Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2427.876 404.6460 11.89 <.0001 Error 19 646.4055 34.02134 Corrected Total 25 3074.281 Root MSE 5.83278 R‐Square 0.78974 Dependent Mean 14.19077 Adj R‐Sq 0.72334 Coeff Var 41.10265 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 11.01951 3.739373 2.95 0.0083 LRMS 1 ‐0.00001 0.000010 ‐1.45 0.1622 PIHK 1 1.328117 0.194529 6.83 <.0001 EXPINF 1 0.223206 0.106271 2.10 0.0493 KRISIS 1 10.84997 5.355263 2.03 0.0570 FER 1 ‐12.1245 5.232919 ‐2.32 0.0318 LR 1 0.140253 0.145632 0.96 0.3476 Durbin‐Watson 1.502834 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.093567
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EXR Dependent Variable EXR Label EXR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 5.7197E8 1.1439E8 58.50 <.0001 Error 20 39109777 1955489 Corrected Total 25 6.1108E8 Root MSE 1398.38795 R‐Square 0.93600 Dependent Mean 6622.65928 Adj R‐Sq 0.92000 Coeff Var 21.11520 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 284.3159 732.1621 0.39 0.7019 UIP 1 ‐73.2820 62.23908 ‐1.18 0.2528 LRNX 1 ‐0.00964 0.005849 ‐1.65 0.1151 RMS 1 0.001234 0.002313 0.53 0.5995 KRISIS 1 1801.065 994.2221 1.81 0.0851 LEXR 1 0.931677 0.138832 6.71 <.0001 Durbin‐Watson 1.964423 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.013272
163
164
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EMP Dependent Variable EMP Label EMP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3478.275 1159.425 385.58 <.0001 Error 22 66.15400 3.007000 Corrected Total 25 3544.429 Root MSE 1.73407 R‐Square 0.98134 Dependent Mean 82.26003 Adj R‐Sq 0.97879 Coeff Var 2.10804 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 12.12663 4.838827 2.51 0.0201 LRW 1 ‐4.32E‐7 2.088E‐6 ‐0.21 0.8381 RY 1 5.007E‐6 2.742E‐6 1.83 0.0814 LEMP 1 0.799167 0.098480 8.12 <.0001 Durbin‐Watson 2.765881 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.3836
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFHTI Dependent Variable TDFHTI Label TDFHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 4803280 480328.0 5.95 0.0011 Error 15 1210446 80696.38 Corrected Total 25 6013725 Root MSE 284.07108 R‐Square 0.79872 Dependent Mean 275.00754 Adj R‐Sq 0.66453 Coeff Var 103.29574 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 6935.613 2028.373 3.42 0.0038 L2RHEPU 1 0.000130 0.000071 1.83 0.0879 RHKHTI 1 ‐6.72131 2.680177 ‐2.51 0.0241 PRR2 1 ‐18.0749 10.28242 ‐1.76 0.0992 RW 1 ‐0.00443 0.001322 ‐3.35 0.0044 RHBBM 1 ‐0.79518 0.263443 ‐3.02 0.0086 RHEKR 1 0.000124 0.000028 4.47 0.0004 RHEMSW 1 ‐0.00019 0.000115 ‐1.61 0.1272 RHEKL 1 ‐0.00034 0.000110 ‐3.11 0.0072 PPHTI 1 1430.859 361.3547 3.96 0.0013 LAHTI 1 ‐0.65035 0.207582 ‐3.13 0.0068 Durbin‐Watson 2.571377 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.30352
165
166
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKHTI Dependent Variable QKHTI Label QKHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.2503E9 2.5006E8 147.39 <.0001 Error 20 33930929 1696546 Corrected Total 25 1.2842E9 Root MSE 1302.51542 R‐Square 0.97358 Dependent Mean 4079.50873 Adj R‐Sq 0.96697 Coeff Var 31.92824 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐6539.66 2443.775 ‐2.68 0.0145 RHKHTI 1 13.02495 4.914103 2.65 0.0153 RR 1 ‐58.1816 55.17475 ‐1.05 0.3042 PRODHTI 1 3064.270 573.6662 5.34 <.0001 AHTI 1 0.873631 0.316879 2.76 0.0122 LQKHTI 1 0.539577 0.096994 5.56 <.0001 Durbin‐Watson 2.169606 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.08754
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKHTI Dependent Variable DKHTI Label DKHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.2194E9 2.0324E8 59.60 <.0001 Error 19 64793732 3410196 Corrected Total 25 1.2842E9 Root MSE 1846.67171 R‐Square 0.94955 Dependent Mean 4079.50873 Adj R‐Sq 0.93361 Coeff Var 45.26701 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 3508.862 1929.397 1.82 0.0848 RHKHTI 1 ‐2.15949 3.422643 ‐0.63 0.5356 RR 1 ‐279.684 100.4655 ‐2.78 0.0118 RW 1 ‐0.00406 0.002448 ‐1.66 0.1136 PRHEPU1 1 0.000498 0.000304 1.64 0.1177 EGROWTH 1 0.025414 0.009037 2.81 0.0111 LDKHTI 1 0.827561 0.104093 7.95 <.0001 Durbin‐Watson 1.822172 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.068915
167
168
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHKHTI Dependent Variable RHKHTI Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 583563.0 145890.7 157.53 <.0001 Error 21 19449.00 926.1427 Corrected Total 25 603012.0 Root MSE 30.43259 R‐Square 0.96775 Dependent Mean 350.81152 Adj R‐Sq 0.96160 Coeff Var 8.67491 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 12.87728 47.06403 0.27 0.7871 PRHEPU1 1 7.366E‐6 4.627E‐6 1.59 0.1263 RHKHA 1 ‐0.00001 0.000032 ‐0.44 0.6678 LQKHTI 1 ‐0.00050 0.001360 ‐0.37 0.7162 LRHKHTI 1 0.953077 0.074089 12.86 <.0001 Durbin‐Watson 1.814317 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.076987
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFSW Dependent Variable TDFSW Label TDFSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 915131.7 130733.1 3.23 0.0212 Error 18 729203.3 40511.29 Corrected Total 25 1644335 Root MSE 201.27418 R‐Square 0.55654 Dependent Mean 270.53638 Adj R‐Sq 0.38408 Coeff Var 74.39819 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 803.3888 811.9403 0.99 0.3355 RHEMSW 1 0.000089 0.000057 1.56 0.1358 RHBSW 1 ‐0.64083 0.816883 ‐0.78 0.4430 L3RR 1 ‐10.6158 8.379574 ‐1.27 0.2214 RW 1 ‐0.00023 0.000320 ‐0.70 0.4902 LRHKHTI 1 ‐1.66153 1.259095 ‐1.32 0.2035 LRHKHA 1 0.000877 0.000298 2.95 0.0086 LATSW 1 ‐0.18746 0.121500 ‐1.54 0.1403 Durbin‐Watson 2.716435 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.46754
169
170
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QBSW Dependent Variable QBSW Label QBSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.412E10 2.8239E9 729.60 <.0001 Error 20 77408544 3870427 Corrected Total 25 1.42E10 Root MSE 1967.34014 R‐Square 0.99455 Dependent Mean 28600.5276 Adj R‐Sq 0.99318 Coeff Var 6.87868 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐42682.3 6222.119 ‐6.86 <.0001 LRHBSW 1 3.688968 6.469994 0.57 0.5749 RR 1 ‐5.91076 83.53211 ‐0.07 0.9443 PRODSW 1 4225.291 538.0842 7.85 <.0001 ATSW 1 9.052626 0.882347 10.26 <.0001 LQBSW 1 0.113077 0.094343 1.20 0.2447 Durbin‐Watson 1.234089 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.263544
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DBSW Dependent Variable DBSW Label DBSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.389E10 2.3155E9 145.00 <.0001 Error 19 3.0341E8 15968873 Corrected Total 25 1.42E10 Root MSE 3996.10727 R‐Square 0.97863 Dependent Mean 28600.5276 Adj R‐Sq 0.97188 Coeff Var 13.97215 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐3278.60 11346.38 ‐0.29 0.7757 RHBSW 1 ‐22.1345 12.97036 ‐1.71 0.1042 RR 1 ‐265.628 181.6144 ‐1.46 0.1599 RW 1 ‐0.01186 0.006736 ‐1.76 0.0945 RHDMSW 1 1.239352 2.776737 0.45 0.6604 RY 1 0.024577 0.011312 2.17 0.0427 LDBSW 1 0.599280 0.204810 2.93 0.0087 Durbin‐Watson 2.273608 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.15467
171
172
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHBSW Dependent Variable RHBSW Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 111080.2 37026.75 11.66 <.0001 Error 22 69858.48 3175.385 Corrected Total 25 180938.7 Root MSE 56.35056 R‐Square 0.61391 Dependent Mean 329.55246 Adj R‐Sq 0.56126 Coeff Var 17.09912 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 82.20102 55.77476 1.47 0.1547 RHEMSW 1 0.000042 9.851E‐6 4.25 0.0003 DBSW 1 0.001973 0.000530 3.72 0.0012 LRHBSW 1 0.099541 0.153600 0.65 0.5237 Durbin‐Watson 1.966142 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.03386
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFKR Dependent Variable TDFKR Label TDFKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 71229.74 11871.62 2.84 0.0382 Error 19 79517.88 4185.152 Corrected Total 25 150747.6 Root MSE 64.69275 R‐Square 0.47251 Dependent Mean 36.16519 Adj R‐Sq 0.30593 Coeff Var 178.88125 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 564.9602 193.1292 2.93 0.0087 RHDKR 1 0.003186 0.010399 0.31 0.7626 RR 1 ‐6.79734 3.046732 ‐2.23 0.0379 RHKHA 1 ‐0.00008 0.000057 ‐1.46 0.1614 RHEMSW 1 ‐7.43E‐6 0.000020 ‐0.38 0.7091 RHEKR 1 4.76E‐6 3.557E‐6 1.34 0.1967 LATKR 1 ‐0.15620 0.058559 ‐2.67 0.0152 Durbin‐Watson 2.148629 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.11068
173
174
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKR Dependent Variable QKR Label QKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 6465169 1293034 18546.4 <.0001 Error 20 1394.380 69.71899 Corrected Total 25 6466564 Root MSE 8.34979 R‐Square 0.99978 Dependent Mean 1602.89631 Adj R‐Sq 0.99973 Coeff Var 0.52092 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐1193.11 37.81030 ‐31.56 <.0001 RHDKR 1 0.001453 0.001356 1.07 0.2966 RR 1 ‐0.54461 0.372185 ‐1.46 0.1589 PRODKR 1 3047.342 64.60167 47.17 <.0001 ATKR 1 0.350690 0.012196 28.75 <.0001 LQKR 1 0.101694 0.020668 4.92 <.0001 Durbin‐Watson 1.393567 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.29248
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DDKR Dependent Variable DDKR Label DDKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 220230.7 55057.68 12.84 <.0001 Error 21 90018.65 4286.603 Corrected Total 25 310249.4 Root MSE 65.47215 R‐Square 0.70985 Dependent Mean 161.58819 Adj R‐Sq 0.65458 Coeff Var 40.51791 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 105.5490 72.63240 1.45 0.1610 RHDKR 1 ‐0.00910 0.010847 ‐0.84 0.4111 LRR 1 ‐5.18891 2.820674 ‐1.84 0.0800 EGROWTH 1 0.000370 0.000262 1.41 0.1728 LDDKR 1 0.798310 0.162361 4.92 <.0001 Durbin‐Watson 2.324106 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.23458
175
176
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QXKR Dependent Variable QXKR Label QXKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 4216424 1054106 87.72 <.0001 Error 21 252337.5 12016.07 Corrected Total 25 4468762 Root MSE 109.61784 R‐Square 0.94353 Dependent Mean 1441.30812 Adj R‐Sq 0.93278 Coeff Var 7.60544 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 102.2860 114.5276 0.89 0.3819 LRHEKR 1 2.688E‐6 3.212E‐6 0.84 0.4120 L2RHDKR 1 ‐0.00872 0.016459 ‐0.53 0.6020 LUSGDP 1 0.013080 0.007101 1.84 0.0796 LQXKR 1 0.720029 0.168488 4.27 0.0003 Durbin‐Watson 1.334647 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.282351
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHDKR Dependent Variable RHDKR Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 9753260 2438315 1.46 0.2501 Error 21 35100421 1671449 Corrected Total 25 44853681 Root MSE 1292.84516 R‐Square 0.21745 Dependent Mean 7255.06265 Adj R‐Sq 0.06839 Coeff Var 17.81990 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 4314.834 1394.392 3.09 0.0055 PRHEKR 1 0.000073 0.000052 1.41 0.1729 QXKR 1 3.696375 4.773756 0.77 0.4474 QKR 1 ‐2.37874 3.876247 ‐0.61 0.5460 LRHDKR 1 0.196950 0.200018 0.98 0.3360 Durbin‐Watson 1.991743 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.003387
177
178
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFPD Dependent Variable TDFPD Label TDFPD Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 1614942 201867.7 1.89 0.1294 Error 17 1820519 107089.3 Corrected Total 25 3435461 Root MSE 327.24508 R‐Square 0.47008 Dependent Mean 171.33942 Adj R‐Sq 0.22071 Coeff Var 190.99228 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐9198.99 4421.778 ‐2.08 0.0529 RHGKG 1 0.174284 0.207334 0.84 0.4122 RHPP 1 0.601135 0.629978 0.95 0.3533 RR 1 ‐23.3406 15.09199 ‐1.55 0.1404 RHBBM 1 ‐0.29953 0.208340 ‐1.44 0.1687 RHKHA 1 ‐0.00089 0.000462 ‐1.92 0.0713 RHKHTI 1 4.219849 2.283638 1.85 0.0821 POP 1 63.54466 21.98855 2.89 0.0102 LATPD 1 ‐0.40994 0.175085 ‐2.34 0.0317 Durbin‐Watson 2.478531 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.25845
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QGKG Dependent Variable QGKG Label QGKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 9.2887E8 1.8577E8 91.77 <.0001 Error 20 40488240 2024412 Corrected Total 25 9.6936E8 Root MSE 1422.81832 R‐Square 0.95823 Dependent Mean 47989.8984 Adj R‐Sq 0.94779 Coeff Var 2.96483 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐16166.6 10033.07 ‐1.61 0.1228 RHGKG 1 0.351790 0.849424 0.41 0.6832 RR 1 ‐55.8235 60.40343 ‐0.92 0.3664 RHBBM 1 ‐0.44924 0.857686 ‐0.52 0.6062 PRODPD 1 4504.244 2416.344 1.86 0.0771 LQGKG 1 0.942387 0.067185 14.03 <.0001 Durbin‐Watson 2.403813 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.21291
179
180
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DGKG Dependent Variable DGKG Label DGKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 9.3519E8 1.5587E8 86.67 <.0001 Error 19 34168492 1798342 Corrected Total 25 9.6936E8 Root MSE 1341.02263 R‐Square 0.96475 Dependent Mean 47989.8984 Adj R‐Sq 0.95362 Coeff Var 2.79439 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 15550.00 6964.717 2.23 0.0378 LRHPP 1 ‐1.78842 2.358771 ‐0.76 0.4576 RR 1 ‐27.4545 56.96717 ‐0.48 0.6354 RHBBM 1 ‐0.85523 0.856707 ‐1.00 0.3307 RHDBR 1 0.968472 1.024794 0.95 0.3565 RY 1 0.006241 0.002750 2.27 0.0351 LDGKG 1 0.552955 0.176764 3.13 0.0055 Durbin‐Watson 1.966136 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.0409
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHGKG Dependent Variable RHGKG Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3044215 1014738 9.78 0.0003 Error 22 2282598 103754.4 Corrected Total 25 5326813 Root MSE 322.10937 R‐Square 0.57149 Dependent Mean 1342.98301 Adj R‐Sq 0.51306 Coeff Var 23.98462 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1439.380 752.5141 1.91 0.0689 PRHPP 1 0.219112 0.455779 0.48 0.6354 QGKG 1 ‐0.01812 0.012543 ‐1.44 0.1627 LRHGKG 1 0.564356 0.163599 3.45 0.0023 Durbin‐Watson 1.471632 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.254676
181
182
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDGHPH Dependent Variable TDGHPH Label TDGHPH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2.2432E8 32045725 4.21 0.0065 Error 18 1.3695E8 7608610 Corrected Total 25 3.6128E8 Root MSE 2758.37093 R‐Square 0.62091 Dependent Mean ‐1018.1538 Adj R‐Sq 0.47349 Coeff Var ‐270.91887 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 18545.02 6923.911 2.68 0.0153 RHEKL 1 0.003265 0.000915 3.57 0.0022 RHKHA 1 ‐0.01044 0.004276 ‐2.44 0.0252 RR 1 ‐462.195 136.9469 ‐3.37 0.0034 L2QILL 1 ‐0.48485 0.186867 ‐2.59 0.0183 LRHEMSW 1 ‐0.00211 0.000643 ‐3.29 0.0041 KPIHPH 1 ‐506.236 1948.073 ‐0.26 0.7979 LAHPH 1 ‐0.16942 0.119323 ‐1.42 0.1728 Durbin‐Watson 2.006376 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.09452
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QILL Dependent Variable QILL Label QILL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 3.0452E8 43502769 10.23 <.0001 Error 18 76535160 4251953 Corrected Total 25 3.8105E8 Root MSE 2062.02652 R‐Square 0.79915 Dependent Mean 10540.1125 Adj R‐Sq 0.72104 Coeff Var 19.56361 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 3450.205 4001.590 0.86 0.3999 RHKHA 1 0.000506 0.001996 0.25 0.8028 RR 1 ‐152.881 91.51140 ‐1.67 0.1121 RHBBM 1 ‐3.01272 1.534406 ‐1.96 0.0652 RDR 1 ‐0.02144 0.010638 ‐2.02 0.0590 PRODHA 1 408.9038 159.4463 2.56 0.0195 PKUM 1 411.1423 2215.215 0.19 0.8548 LQILL 1 0.459784 0.142001 3.24 0.0046 Durbin‐Watson 1.583423 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.186333
183
184
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKBHA Dependent Variable QKBHA Label QKBHA Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2.075E9 3.4583E8 69.31 <.0001 Error 19 94800826 4989517 Corrected Total 25 2.1698E9 Root MSE 2233.72271 R‐Square 0.95631 Dependent Mean 15355.5772 Adj R‐Sq 0.94251 Coeff Var 14.54665 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐5429.13 7336.647 ‐0.74 0.4683 LRHKHA 1 0.001499 0.003024 0.50 0.6258 LRR 1 ‐196.699 104.7373 ‐1.88 0.0758 RPSDH 1 ‐0.58191 0.126943 ‐4.58 0.0002 PRODHA 1 800.2421 188.2378 4.25 0.0004 AHPH 1 0.280795 0.121106 2.32 0.0317 LQKBHA 1 0.351669 0.150212 2.34 0.0303 Durbin‐Watson 1.645031 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.176983
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKBKG Dependent Variable DKBKG Label DKBKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.2355E9 2.0591E8 41.63 <.0001 Error 19 93986195 4946642 Corrected Total 25 1.3295E9 Root MSE 2224.10473 R‐Square 0.92930 Dependent Mean 9965.32410 Adj R‐Sq 0.90698 Coeff Var 22.31844 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐2234.08 6728.256 ‐0.33 0.7435 RHKHA 1 ‐0.00186 0.002824 ‐0.66 0.5172 RHKHTI 1 16.06287 10.42745 1.54 0.1399 RR 1 ‐208.443 97.54792 ‐2.14 0.0458 RW 1 ‐0.00085 0.004281 ‐0.20 0.8444 RY 1 0.000963 0.003307 0.29 0.7741 LDKBKG 1 0.744575 0.186695 3.99 0.0008 Durbin‐Watson 2.018001 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.06749
185
186
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKBKL Dependent Variable DKBKL Label DKBKL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 6.4086E8 91551983 74.39 <.0001 Error 18 22152102 1230672 Corrected Total 25 6.6302E8 Root MSE 1109.35671 R‐Square 0.96659 Dependent Mean 15658.7026 Adj R‐Sq 0.95360 Coeff Var 7.08460 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1246.330 2304.044 0.54 0.5952 RHKHA 1 ‐0.00333 0.001588 ‐2.10 0.0503 RHKHTI 1 4.793018 3.437488 1.39 0.1802 LRR 1 ‐30.6317 55.55324 ‐0.55 0.5881 RW 1 ‐0.00315 0.002623 ‐1.20 0.2455 RHEKL 1 0.000613 0.000432 1.42 0.1729 EGROWTH 1 0.010330 0.004766 2.17 0.0439 LDKBKL 1 0.911707 0.098259 9.28 <.0001 Durbin‐Watson 2.871075 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.43969
Lampiran 3. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHKHA Dependent Variable RHKHA Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.537E12 8.455E11 52.21 <.0001 Error 22 3.562E11 1.619E10 Corrected Total 25 2.893E12 Root MSE 127252.432 R‐Square 0.87685 Dependent Mean 715581.100 Adj R‐Sq 0.86006 Coeff Var 17.78309 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 305432.0 168867.6 1.81 0.0842 RHEKL 1 0.130992 0.030631 4.28 0.0003 QL 1 ‐15.6081 4.590326 ‐3.40 0.0026 LRHKHA 1 0.555619 0.125418 4.43 0.0002 Durbin‐Watson 1.833888 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.071401
187
189
Lampiran 4. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS dan AR(1), Software EViews versi 6 Dependent Variable: RC Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:26 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 12 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RYD RR AR(1)
-56417.51 0.750511 -1421.586 0.530577
61107.14 0.052134 1392.704 0.204816
-0.923256 14.39593 -1.020737 2.590507
0.3659 0.0000 0.3185 0.0167
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.980819 0.978203 44466.70 374.9822 0.000000
Inverted AR Roots
.53
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
742738.1 301187.2 4.35E+10 1.784833 4.35E+10
190
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RPPJK Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:34 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 18 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RY RR RPPJK(-1) AR(1)
-58992.19 0.153017 -156.8430 0.039132 0.790514
23359.39 0.029391 249.8787 0.178372 0.156965
-2.525417 5.206330 -0.627677 0.219386 5.036250
0.0197 0.0000 0.5370 0.8285 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.989158 0.987092 7538.419 478.9633 0.000000
Inverted AR Roots
.79
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
129889.8 66352.70 1.19E+09 1.860860 1.19E+09
191
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RG Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:37 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 8 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RPPJK OILP RG(-1) AR(1)
10154.85 0.424375 127.4504 0.265881 0.377229
10280.38 0.118110 61.08260 0.236871 0.214909
0.987789 3.593056 2.086526 1.122474 1.755297
0.3345 0.0017 0.0493 0.2743 0.0938
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.963854 0.956969 6800.408 139.9929 0.000000
Inverted AR Roots
.38
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
98171.33 32782.52 9.71E+08 1.879237 9.71E+08
192
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RI Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:39 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 16 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RR(-1) RY KRISIS RI(-1) AR(1)
8822.436 2202.201 0.297151 -185378.4 -0.080172 0.704682
158018.0 2472.776 0.139217 67147.78 0.250542 0.220303
0.055832 0.890578 2.134454 -2.760752 -0.319993 3.198698
0.9560 0.3837 0.0454 0.0121 0.7523 0.0045
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.762951 0.703689 73192.71 12.87417 0.000011
Inverted AR Roots
.70
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
321678.7 134460.3 1.07E+11 1.866472 1.07E+11
193
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RNX Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:41 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 20 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C REXR RY OILP RNX(-1) AR(1)
170114.6 13.56636 -0.177489 -311.6503 0.069802 -0.134133
62445.35 3.843080 0.056799 226.5882 0.274017 0.334634
2.724216 3.530075 -3.124839 -1.375404 0.254734 -0.400834
0.0131 0.0021 0.0053 0.1842 0.8015 0.6928
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.585477 0.481847 53872.14 5.649654 0.002093
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.13
33850.78 74840.23 5.80E+10 2.037577 5.80E+10
194
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: R Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:43 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 19 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RMS(-1) IHK-IHK(-1) EXPINF KRISIS FER R(-1) AR(1)
12.01211 -1.67E-05 1.357908 0.206645 10.88883 -11.67211 0.112403 0.215784
4.639409 1.27E-05 0.199437 0.109854 5.533044 6.478519 0.152622 0.336409
2.589147 -1.318049 6.808720 1.881090 1.967964 -1.801664 0.736479 0.641436
0.0185 0.2040 0.0000 0.0762 0.0647 0.0884 0.4709 0.5293
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.793854 0.713686 5.933662 9.902404 0.000046
Inverted AR Roots
.22
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
14.19077 11.08924 633.7503 1.698624 633.7503
195
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: IHK Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:45 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 8 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RY(-1) IHK(-1) AR(1)
-10.80683 1.82E-05 0.963797 -0.226708
5.429008 7.92E-06 0.060507 0.229715
-1.990572 2.302910 15.92877 -0.986912
0.0591 0.0311 0.0000 0.3344
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.988667 0.987121 6.836047 639.7262 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.23
75.20577 60.23762 1028.094 2.011119 1028.094
196
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: EXR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 01:47 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 28 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RR-RFRATE RNX(-1) RMS KRISIS EXR(-1) AR(1)
274.6091 -84.16786 -0.009667 0.001464 1732.817 0.916711 0.056605
813.8032 63.08017 0.006165 0.002743 1055.807 0.165690 0.268634
0.337439 -1.334300 -1.567860 0.533609 1.641225 5.532698 0.210713
0.7395 0.1979 0.1334 0.5998 0.1172 0.0000 0.8354
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.936053 0.915859 1434.110 46.35366 0.000000
Inverted AR Roots
.06
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
6622.659 4944.015 39076756 1.979702 39076756
197
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: EMP Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 02:09 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 9 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RW(-1) RY EMP(-1) AR(1)
9.568721 -4.02E-07 3.66E-06 0.850661 -0.428011
3.221160 1.40E-06 1.90E-06 0.066754 0.201156
2.970583 -0.286667 1.929315 12.74316 -2.127757
0.0073 0.7772 0.0673 0.0000 0.0454
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.984535 0.981589 1.615578 334.2220 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.43
82.26000 11.90665 54.81191 2.026748 54.81191
198
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: TDFHTI Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 02:12 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 32 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEPU(-2) RHKHTI RR-RR(-2) RW RHBBM RHEKR RHEMSW RHEKL PPHTI AHTI(-1) AR(1)
6035.801 0.000108 -5.316059 -20.06286 -0.004089 -0.779607 0.000131 -0.000199 -0.000330 1238.447 -0.534241 -0.503551
2288.134 6.48E-05 2.915920 11.54696 0.001328 0.206367 2.44E-05 0.000116 9.07E-05 335.5274 0.229503 0.293967
2.637871 1.664284 -1.823116 -1.737502 -3.079988 -3.777760 5.381578 -1.714179 -3.640916 3.691045 -2.327815 -1.712952
0.0195 0.1183 0.0897 0.1042 0.0081 0.0020 0.0001 0.1085 0.0027 0.0024 0.0354 0.1088
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.835489 0.706231 265.8307 6.463713 0.000844
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.50
275.0077 490.4583 989323.6 2.246241 989323.6
199
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: QKHTI Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 02:14 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 10 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHTI RR PRODHTI AHTI QKHTI(-1) AR(1)
-6382.717 12.86902 -71.08063 3093.163 0.835182 0.543789 -0.124159
2342.127 4.691243 59.54558 591.9722 0.315076 0.096619 0.250529
-2.725180 2.743200 -1.193718 5.225184 2.650729 5.628171 -0.495587
0.0134 0.0129 0.2473 0.0000 0.0158 0.0000 0.6259
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.973782 0.965503 1331.184 117.6172 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.12
4079.508 7167.177 33668950 2.056199 33668950
200
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: DKHTI Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 02:17 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 10 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHTI RR RW RHEPU-RHEPU(-1) RY-RY(-1) DKHTI(-1) AR(1)
3608.361 -2.351334 -274.5783 -0.004144 0.000490 0.025650 0.819310 0.058621
2160.288 3.807461 101.2935 0.002681 0.000306 0.009848 0.126179 0.274227
1.670315 -0.617560 -2.710721 -1.545602 1.602454 2.604534 6.493244 0.213767
0.1122 0.5446 0.0143 0.1396 0.1265 0.0179 0.0000 0.8331
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.949656 0.930078 1895.205 48.50563 0.000000
Inverted AR Roots
.06
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
4079.508 7167.177 64652421 1.890613 64652421
201
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHKHTI Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:27 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 17 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEPU-RHEPU(-1) RHKHA QKHTI(-1) RHKHTI(-1) AR(1)
18.82905 7.96E-06 -1.28E-05 -0.000813 0.936296 0.149277
59.26048 4.57E-06 3.63E-05 0.001594 0.099634 0.251066
0.317734 1.743051 -0.351637 -0.510192 9.397306 0.594572
0.7540 0.0967 0.7288 0.6155 0.0000 0.5588
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.968453 0.960566 30.83768 122.7937 0.000000
Inverted AR Roots
.15
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
350.8008 155.2908 19019.25 2.089928 19019.25
202
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: TDFSW Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:32 Sample (adjusted): 1984 2007 Included observations: 24 after adjustments Convergence achieved after 18 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEMSW RHBSW RR(-3) RW RHKHTI(1) RHKHA(-1) ATSW(-1) AR(1)
1299.323 6.37E-05 -0.666299 -14.66318 -0.000409 -2.153504 0.000781 -0.231339 -0.615164
558.4231 4.29E-05 0.700386 7.547488 0.000185 0.715569 0.000183 0.055282 0.316925
2.326772 1.486270 -0.951330 -1.942789 -2.217470 -3.009497 4.267935 -4.184733 -1.941040
0.0344 0.1579 0.3565 0.0711 0.0425 0.0088 0.0007 0.0008 0.0713
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.782473 0.666458 147.4430 6.744615 0.000803
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.62
265.0504 255.2989 326091.4 2.383251 326091.4
203
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: QBSW Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:34 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 9 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHBSW(-1) RR PRODSW ATSW QBSW(-1) AR(1)
-43932.25 0.046127 -4.367065 4507.706 9.768781 0.031462 0.437517
5171.539 4.875256 56.90550 493.6166 0.729057 0.073341 0.128930
-8.495004 0.009462 -0.076742 9.131999 13.39920 0.428985 3.393446
0.0000 0.9925 0.9396 0.0000 0.0000 0.6728 0.0030
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.996505 0.995401 1615.982 902.9044 0.000000
Inverted AR Roots
.44
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
28600.53 23829.96 49616552 2.031650 49616552
204
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: DBSW Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:36 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 29 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHBSW RR RW RHDMSW RY DBSW(-1) AR(1)
-2244.330 -23.33792 -290.5991 -0.010632 1.368128 0.022296 0.656246 -0.210059
10964.29 12.47764 201.2895 0.006789 2.667994 0.012563 0.238436 0.320113
-0.204694 -1.870379 -1.443688 -1.566146 0.512793 1.774734 2.752291 -0.656204
0.8401 0.0778 0.1660 0.1347 0.6143 0.0929 0.0131 0.5200
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.979334 0.971298 4037.202 121.8592 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.21
28600.53 23829.96 2.93E+08 2.120663 2.93E+08
205
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHBSW Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:37 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 23 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEMSW DBSW RHBSW(-1) AR(1)
81.57648 4.08E-05 0.001926 0.117844 -0.064020
61.58372 1.30E-05 0.000748 0.282326 0.439155
1.324644 3.145477 2.575201 0.417403 -0.145780
0.1995 0.0049 0.0176 0.6806 0.8855
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.615039 0.541713 57.59829 8.387742 0.000331
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.06
329.5466 85.08261 69668.82 1.918460 69668.82
206
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFKR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:41 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 60 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHDKR RR RHKHA RHEMSW RHEKR ATKR(-1) AR(1)
606.9898 0.001071 -8.231884 -9.19E-05 -1.15E-05 6.06E-06 -0.161324 -0.156100
174.9765 0.010725 3.309290 5.59E-05 1.98E-05 3.47E-06 0.055527 0.268186
3.468978 0.099897 -2.487508 -1.643807 -0.578399 1.745424 -2.905301 -0.582058
0.0027 0.9215 0.0229 0.1176 0.5702 0.0980 0.0094 0.5677
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.477290 0.274014 66.16388 2.347990 0.068486
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.16
36.16577 77.65276 78797.87 2.084057 78797.87
207
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QKR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:42 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 15 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHDKR RR PRODKR ATKR QKR(-1) AR(1)
-1304.793 0.002636 -0.774980 3139.847 0.380739 0.074069 0.464264
83.00897 0.001899 0.394506 96.83679 0.025667 0.029389 0.183051
-15.71870 1.387992 -1.964431 32.42411 14.83394 2.520243 2.536254
0.0000 0.1812 0.0643 0.0000 0.0000 0.0208 0.0201
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999649 0.999538 10.93267 9013.983 0.000000
Inverted AR Roots
.46
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
1602.897 508.5886 2270.943 2.110848 2270.943
208
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DDKR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:44 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 8 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHDKR RR(-1) RY-RY(-1) DDKR(-1) AR(1)
106.6144 -0.010171 -5.828949 0.000375 0.846774 -0.279024
64.11936 0.009810 2.845871 0.000239 0.148328 0.232825
1.662749 -1.036825 -2.048213 1.565200 5.708803 -1.198429
0.1120 0.3122 0.0539 0.1332 0.0000 0.2448
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.728291 0.660364 64.92138 10.72165 0.000041
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.28
161.5892 111.3989 84295.72 2.000582 84295.72
209
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QXKR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:46 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 39 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEKR(-1) RHDKR(-2) USGDP(-1) QXKR(-1) AR(1)
2.446200 1.29E-05 -0.015124 0.043708 0.082290 0.868631
476.0310 3.08E-06 0.010250 0.016977 0.195526 0.123550
0.005139 4.195720 -1.475592 2.574473 0.420865 7.030623
0.9960 0.0004 0.1556 0.0181 0.6783 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.970708 0.963385 80.90096 132.5554 0.000000
Inverted AR Roots
.87
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
1441.308 422.7885 130899.3 1.572986 130899.3
210
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHDKR Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:48 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 27 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEKR-RHEKR(-1) QXKR QKR RHDKR(-1) AR(1)
4283.563 7.43E-05 3.674619 -2.365590 0.202657 -0.009185
3456.421 5.34E-05 5.096489 4.026008 0.609432 0.651133
1.239306 1.391605 0.721010 -0.587577 0.332534 -0.014106
0.2296 0.1793 0.4792 0.5634 0.7429 0.9889
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.217611 0.022014 1324.760 1.112546 0.385137
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.01
7254.963 1339.587 35099807 1.988991 35099807
211
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFPD Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:50 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 13 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGKG RHPP RR RHBBM RHKHA RHKHTI POP ATPD(-1) AR(1)
-8932.920 0.348054 0.504327 -29.88638 -0.169423 -0.000891 3.954517 48.54795 -0.174962 -0.498162
3072.219 0.156104 0.494159 15.53437 0.177441 0.000356 1.671473 18.25271 0.157464 0.243087
-2.907645 2.229633 1.020578 -1.923888 -0.954812 -2.502891 2.365888 2.659767 -1.111120 -2.049318
0.0103 0.0404 0.3226 0.0723 0.3539 0.0235 0.0309 0.0171 0.2829 0.0572
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.550498 0.297653 310.6693 2.177214 0.083660
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.50
171.3400 370.6999 1544247. 2.300249 1544247.
212
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: QGKG Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:52 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 16 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHGKG RR RHBBM PRODPD QGKG(-1) AR(1)
-14873.69 0.512769 -60.46110 -0.299252 4011.904 0.953313 -0.242427
9044.077 0.745601 65.85190 0.757509 2214.159 0.058288 0.230959
-1.644578 0.687726 -0.918138 -0.395047 1.811931 16.35531 -1.049656
0.1165 0.4999 0.3701 0.6972 0.0858 0.0000 0.3070
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.960461 0.947975 1420.301 76.92236 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.24
47989.90 6226.908 38327835 2.253956 38327835
213
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: DGKG Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:54 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 70 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHPP(-1) RR RHBBM RHDBR RY DDGKG(-1) AR(1)
25891.97 -0.844636 -46.39643 -2.003432 1.028758 0.010717 0.226863 0.388088
11312.33 2.481288 50.89384 1.102557 1.257753 0.004429 0.334167 0.298548
2.288827 -0.340402 -0.911632 -1.817078 0.817933 2.419923 0.678891 1.299920
0.0344 0.7375 0.3740 0.0859 0.4241 0.0263 0.5058 0.2100
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.966830 0.953930 1336.533 74.95107 0.000000
Inverted AR Roots
.39
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
47989.90 6226.908 32153751 1.990582 32153751
214
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RHGKG Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:55 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 28 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHPP-RHPP(-1) QGKG RHGKG(-1) AR(1)
2081.029 0.177328 -0.026394 0.389236 0.377112
3682.345 0.394348 0.046887 1.055231 1.179523
0.565137 0.449674 -0.562924 0.368863 0.319716
0.5780 0.6576 0.5794 0.7159 0.7523
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.611919 0.537998 313.7295 8.278087 0.000358
Inverted AR Roots
.38
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
1342.950 461.5658 2066951. 1.739309 2066951.
215
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: TDGHPH Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 05:59 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 17 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEKL RHKHA RR QILL(-2) RHEMSW(-1) RHEKR(-1) KPIHPH AHPH(-1) AR(1)
15298.41 0.003540 -0.009923 -540.0948 -0.427461 -0.001537 -0.000171 -1108.177 -0.138803 0.034816
8027.945 0.000979 0.004703 157.1706 0.203070 0.000986 0.000175 2115.817 0.134204 0.306848
1.905644 3.616929 -2.109959 -3.436360 -2.104991 -1.558850 -0.979889 -0.523758 -1.034263 0.113463
0.0748 0.0023 0.0510 0.0034 0.0514 0.1386 0.3417 0.6076 0.3164 0.9111
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.645071 0.445424 2830.933 3.231051 0.019734
Inverted AR Roots
.03
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-1018.154 3801.447 1.28E+08 2.026929 1.28E+08
216
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: QILL Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 06:01 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 38 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHA RR RHBBM RDR PRODHA PKUM QILL(-1) AR(1)
3299.569 0.000758 -131.7598 -2.981875 -0.021166 435.8245 421.3484 0.398807 0.234658
4913.800 0.002169 84.83008 1.806944 0.012473 171.9413 2389.805 0.237214 0.380719
0.671490 0.349344 -1.553221 -1.650231 -1.696989 2.534729 0.176311 1.681208 0.616354
0.5109 0.7311 0.1388 0.1172 0.1079 0.0214 0.8621 0.1110 0.5458
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.807518 0.716938 2077.133 8.914991 0.000090
Inverted AR Roots
.23
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
10540.11 3904.124 73346170 1.707106 73346170
217
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: QKBHA Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 06:03 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 49 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHA(-1) RR(-1) RPSDH PRODHA AHPH QKBHA(-1) AR(1)
-10534.49 0.002809 -209.6630 -0.494871 765.9956 0.368882 0.276694 0.338450
7707.395 0.003117 92.18915 0.150529 195.8429 0.137387 0.194788 0.287735
-1.366804 0.901131 -2.274270 -3.287547 3.911276 2.684988 1.420491 1.176254
0.1885 0.3794 0.0354 0.0041 0.0010 0.0151 0.1726 0.2548
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.958741 0.942695 2230.137 59.75200 0.000000
Inverted AR Roots
.34
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
15355.58 9316.146 89523218 1.775243 89523218
218
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: DKBKG Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 06:06 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 17 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHA RHKHTI RR RW RHEKL RY DKBKG(-1) AR(1)
-3460.369 -0.002447 16.68629 -204.6940 -0.002848 0.000228 0.001973 0.791207 -0.201772
6544.107 0.003871 11.03084 120.0788 0.004487 0.000782 0.003465 0.220185 0.279062
-0.528776 -0.632122 1.512695 -1.704664 -0.634741 0.291835 0.569461 3.593372 -0.723037
0.6038 0.5357 0.1487 0.1065 0.5340 0.7739 0.5765 0.0022 0.4795
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.931553 0.899343 2313.608 28.92098 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.20
9965.324 7292.350 90997295 1.924428 90997295
219
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: DKBKL Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 06:07 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 11 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHKHA RHKHTI RR(-1) RW RHEKL RY-RY(-1) DKBKL(-1) AR(1)
896.1906 -0.003400 5.521699 -33.40403 -0.004355 0.000611 0.011803 0.955339 -0.496897
1751.049 0.001277 2.660897 51.26938 0.001656 0.000364 0.003620 0.070152 0.213445
0.511802 -2.663293 2.075127 -0.651540 -2.629815 1.680755 3.260759 13.61807 -2.327986
0.6154 0.0164 0.0535 0.5234 0.0176 0.1111 0.0046 0.0000 0.0325
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
0.974294 0.962197 1001.273 80.54134 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
-.50
15658.70 5149.819 17043319 2.598196 17043319
220
Lampiran 4. Lanjutan Dependent Variable: RHKHA Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/28/12 Time: 06:09 Sample: 1983 2008 Included observations: 26 Convergence achieved after 18 iterations Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB Lagged dependent variable & regressors added to instrument list Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C RHEKL QILL+QKBHA RHKHA(-1) AR(1)
309719.4 0.129333 -15.45845 0.551386 0.078756
200654.1 0.032326 5.098633 0.152475 0.254231
1.543549 4.000831 -3.031881 3.616246 0.309783
0.1376 0.0006 0.0063 0.0016 0.7598
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.877557 0.854234 129876.0 37.62707 0.000000
Inverted AR Roots
.08
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
715576.6 340174.3 3.54E+11 1.937746 3.54E+11
221
Lampiran 5. Program Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0
DATA OLAH; SET AST.MIMA1; “BLOK MAKROEKONOMI” RY=(Y/DFLA)*100; LRY=LAG(RY); PRY=RY-LRY; RPPJK=(PPJK/DFLA)*100; LRPPJK=LAG(RPPJK); RC=(C/DFLA)*100; RYD=RY-RPPJK; RG=(G/DFLA)*100; LRG=LAG(RG); RI=(I/DFLA)*100; LRI=LAG(RI); NX = X - M; RNX = (NX/DFLA)*100; LRNX=LAG(RNX); LR=LAG(R); RMS=(MS/DFLA)*100; LRMS=LAG(RMS); LIHK=LAG(IHK); PIHK= IHK-LIHK; LEXR=LAG(EXR); RR=R-DINF; LRR=LAG(RR); L2RR=LAG2(RR); P2RR=RR-L2RR; L3RR=LAG3(RR); REXR = EXR*IHK/USCPI; LUSCPI=LAG(USCPI); RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100); UIP = RR – RFRATE; OILP=(WOIL/DFLA)*100; RW=(W/DFLA)*100; LRW=LAG(RW); LEMP=LAG(EMP); UNEMP=LF-EMP; LUSGDP=LAG(USGDP);
222
Lampiran 5.
Lanjutan
“BLOK DEFORESTASI” “HTI” RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100; L2RHEPU=LAG2(RHEPU); PRHEPU=RHEPU-LRHEPU); RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100; LRHKHTI=LAG(RHKHTI); RHBBM=(HBBM/DFLA)*100; LAHTI=LAG(AHTI); LQKHTI=LAG(QKHTI); LDKHTI=LAG(DKHTI); LRHEPU=LAG(RHEPU); PRHEPU=RHEPU-LRHEPU; “SAWIT” RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100; LRHEMSW=LAG(RHEMSW); RHBSW=(HBSW/DFLA)*100; LRHBSW=LAG(RHBSW); LATSW=LAG(ATSW); LQBSW=LAG(QBSW); LRHDMSW=LAG(RHDMSW); LDBSW=LAG(DBSW); “KARET” RHDKR=(HDKR/DFLA)*100; L2RHDKR=LAG2(RHDKR); RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100; LRHEKR=LAG(RHEKR); PRHEKR=RHEKR-LRHEKR; LATKR=LAG(ATKR); LQKR=LAG(QKR); LDDKR=LAG(DDKR); LQXKR=LAG(QXKR); “PADI” RHGKG=(HGKG/DFLA)*100; LRHGKG=LAG(RHGKG); RHPP=(HPP/DFLA)*100; LRHPP=LAG(RHPP); PRHPP=RHPP-LRHPP; LATPD=LAG(ATPD);
Lampiran 5.
Lanjutan
LQGKG=LAG(QGKG); RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100; LDGKG=LAG(DGKG); TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; “BLOK DEGRADASI HUTAN” RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100; RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100; LRHKHA=LAG(RHKHA); L2QILL=LAG2(QILL); LQILL=LAG(QILL); LAHPH=LAG(AHPH); RDR=(DR/DFLA)*100; RPSDH=(PSDH/DFLA)*100; LQKBHA=LAG(QKBHA); LDKBKG=LAG(DKBKG); LDKBKL=LAG(DKBKL); Q=QILL+QKBHA; RUN;
/* PERINTAH VALIDASI */ PROC MODEL DATA=OLAH THEIL STATS NDEC=2;
ENDOGENOUS R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP LRPPJK LRG L2RR LRI LRNX LRY LR LRMS LEXR LEMP LRW
223
224
Lampiran 5.
Lanjutan
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI L2RHEPU LAHTI LQKHTI LRHEPU LDKHTI LRHKHTI TDFSW QBSW DBSW RHBSW L3RR LRHKHTI LATSW LRHBSW LQBSW LDBSW TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR LATKR LQKR LRR LDDKR LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR LRHDKR TDFPD QGKG DGKG RHGKG LATPD LQGKG LRHPP LDGKG LRHGKG TTDF TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA L2QILL LRHEMSW LAHPH LQILL LRHKHA LQKBHA LDKBKG LDKBKL ;
Lampiran 5.
225
Lanjutan
INSTRUMENTS OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB ; PARAMETERS a0 -56417.51 a1 0.750511 a2 -1421.586 b0 -58992.19 b1 0.153017 b2 -156.8430 b3 0.039132 c0 10143.62 c1 0.424322 c2 127.5101 c3 0.266048 d0 74462.03 d1 -1654.394 d2 0.224192 d3 -183634.0 d4 0.042195 e0 170114.6 e1 13.56636 e2 -0.177489 e3 -311.6503 e4 0.069802 f0 12.01211 f1 -1.67E-05 f2 1.357908 f3 0.206645 f4 10.88883 f5 -11.67211 f6 0.112403 g0 -10.80682 g1 1.82E-05 g2 0.963798 h0 274.6091 h1 -84.16786 h2 -0.009667 h3 0.001464 h4 1732.817 h5 0.916711 i0 9.569870 i1 -4.01E-07 i2 3.66E-06 i3 0.850619 j0 6016.618 j1 0.000108 j2 -5.292850 J3 -20.05732 J4 -0.004082 J5 -0.778556 J6 0.000131 J7 -0.000199 J8-0.000330 J9 1237.097 J10 -0.532633 k0 -6381.576 k1 12.86628 k2 -71.09410 k3 3093.358 k4 0.835054 k5 0.543766 l0 3607.390 l1 -2.353228 l2 -274.6870 l3 -0.004142 l4 0.000491 l5 0.025669 l6 0.819260 m0 18.82956 m1 7.96E-06 m2 -1.28E-05 m3 -0.000813 m4 0.936295 n0 609.7858 n1 0.000102 n2 -0.639404 n3 -16.22272 n4 -0.000218 n5 1.465558 n6 0.001137 n7 -0.222924 o0 -43931.98 o1 0.045690 o2 -4.365651 o3 4507.690 o4 9.768787 o5 0.031463 p0 -2240.855 p1 -23.33913 p2 -290.5749 p3 -0.010631 p4 1.367105 p5 0.022292 p6 0.656303 q0 81.57648 q1 4.08E-05 q2 0.001926 q3 0.117844 r0 606.9273 r1 0.001077 r2 -8.230076 r3 -9.18E-05 r4 -1.15E-05 r5 6.06E-06 r6 -0.161324 s0 -1304.818 s1 0.002637 s2 -0.774956 s3 3139.824 s4 0.380744 s5 0.074075 t0 106.6144 t1 -0.010171 t2 -5.828949 t3 0.000375 t4 0.846774 u0 2.390472 u1 1.29E-05 u2 -0.015125 u3 0.043709 u4 0.082284 v0 4283.563 v1 7.43E-05 v2 3.674619 v3 -2.365590 v4 0.202657 w0 -8932.421 w1 0.348219 w2 0.503538 w3 -29.89181 w4 -0.169767 w5 0.000891 w6 3.953993 w7 48.56133 w8 -0.175141
226
Lampiran 5.
Lanjutan
x0 -14874.88 x1 0.512634 x2 -60.46712 x3 -0.299394 x4 4012.332 x5 0.953306 y0 27606.61 y1 -0.645931 y2 -49.54460 y3 -2.135224 y4 0.997525 y5 0.011510 y6 0.170233 z0 2081.029 z1 0.177328 z2 -0.026394 z3 0.389236 aa0 15298.41 aa1 0.003540 aa2 -0.009923 aa3 -540.0948 aa4 -0.427461 aa5 -0.001537 aa6 -0.000171 aa7 -1108.177 aa8 -0.138803 bb0 3297.057 bb1 0.000758 bb2 -131.7571 bb3 -2.980244 bb4 -0.021163 bb5 435.8382 bb6 419.6691 bb7 0.398822 cc0 -10537.70 cc1 0.002810 cc2 -209.7087 cc3 -0.494821 cc4 765.9082 cc5 0.369004 cc6 0.276578 dd0 -2237.476 dd1 -0.001864 dd2 16.06732 dd3 -208.4581 dd4 -0.000851 dd5 0.000965 dd6 0.744542 ee0 897.3071 ee1 -0.003402 ee2 5.518416 ee3 -33.40311 ee4 -0.004357 ee5 0.000612 ee6 0.011809 ee7 0.955296 ff0 309719.4 ff1 0.129333 ff2 -15.45845 ff3 0.551386 ; RC = a0 + a1*RYD + a2*RR ; RPPJK = b0 + b1*RY + b2*RR + b3*LRPPJK; RG = c0 + c1*RPPJK + c2*OILP + c3*LRG; RI = d0 + d1*L2RR + d2*RY + d3*KRISIS + d4*LRI ; RNX = e0 + e1*(EXR*IHK/USCPI) + e2*RY + e3*OILP + e4*LRNX; R = f0 + f1*LRMS + f2*(IHK-LIHK) + f3*EXPINF + f4*KRISIS + f5*FER + f6*LR; IHK = g0 + g1*LRY + g2*LIHK ; EXR = h0 + h1*UIP + h2*LRNX + h3*RMS + h4*KRISIS + h5*LEXR ; EMP = i0 + i1*LRW + i2*RY + i3*LEMP; RY = RC + RI + RG + RNX ; RR = R-DINF; UIP = RR -RFRATE ; UNEMP = LF - EMP; LRPPJK = LAG(RPPJK); LRG = LAG(RG); L2RR=LAG2(RR); LRI = LAG(RI);
Lampiran 5.
Lanjutan
LRNX = LAG(RNX); LRY = LAG(RY); LR = LAG(R); LRMS=LAG(RMS); LEXR = LAG(EXR); LEMP = LAG(EMP); LRW = LAG(RW); TDFHTI = j0 + j1*L2RHEPU + j2*RHKHTI + j3*(RR-L2RR) + j4*RW + j5*RHBBM + j6*RHEKR + j7*RHEMSW + j8*RHEKL + j9*PPHTI + j10*LAHTI; QKHTI = k0 + k1*RHKHTI + k2*RR + k3*PRODHTI + k4*AHTI + k5*LQKHTI; DKHTI = l0 + l1*RHKHTI + l2*RR + l3*RW + l4*(RHEPU-LRHEPU) + l5*(RY-LRY) + l6*LDKHTI; RHKHTI = m0 + m1*(RHEPU-LRHEPU) + m2*RHKHA + m3*LQKHTI + m4*LRHKHTI; DKHTI = QKHTI; TDFSW = n0 + n1*RHEMSW + n2*RHBSW + n3*L3RR + n4*RW + n5*LRHKHTI + n6*LRHKHA + n7*LATSW ; QBSW = o0 + o1*LRHBSW + o2*RR + o3*PRODSW + o4*ATSW + o5*LQBSW ; DBSW = p0 + p1*RHBSW + p2*RR + p3*RW + p4*RHDMSW + p5*RY + p6*LDBSW; RHBSW = q0 + q1*RHEMSW + q2*DBSW + q3*LRHBSW; QBSW = DBSW; L3RR = LAG3(RR); LRHKHTI = LAG(RHKHTI); LATSW=LAG(ATSW); LRHBSW=LAG(RHBSW); LQBSW=LAG(QBSW); LDBSW = LAG(DBSW); TDFKR = r0 + r1*RHDKR + r2*RR + r3*RHKHA + r4*RHEMSW + r5*RHEKR + r6*LATKR ; QKR = s0 + s1*RHDKR + s2*RR + s3*PRODKR + s4*ATKR + s5*LQKR; DDKR = t0 + t1*RHDKR + t2*LRR + t3*(RY-LRY) + t4*LDDKR; QXKR =u0 + u1*LRHEKR + u2*L2RHDKR + u3*LUSGDP + u4*LQXKR; RHDKR = v0 + v1*(RHEKR-LRHEKR) + v2*QXKR + v3*QKR + v4*LRHDKR; QKR = DDKR + QXKR;
227
228
Lampiran 5.
Lanjutan
LATKR = LAG(ATKR); LQKR = LAG(QKR); LRR=LAG(RR); LDDKR = LAG(DDKR); LRHEKR =LAG(RHEKR); L2RHDKR = LAG2(RHDKR); LUSGDP =LAG(USGDP); LQXKR = LAG(QXKR); LRHDKR=LAG(RHDKR); TDFPD = w0 + w1*RHGKG + w2*RHPP + w3*RR + w4*RHBBM + w5*RHKHA + w6*RHKHTI + w7*POP + w8*LATPD; QGKG = x0 + x1*RHGKG + x2*RR + x3*RHBBM + x4*PRODPD + x5*LQGKG; DGKG = y0 + y1*LRHPP + y2*RR + y3*RHBBM + y4*RHDBR + y5*RY + y6*LDGKG; RHGKG = z0 + z1*(RHPP-LRHPP) + z2*QGKG + z3*LRHGKG; QGKG = DGKG; TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; TDGHPH = aa0 + aa1*RHEKL + aa2*RHKHA + aa3*RR + aa4*L2QILL + aa5*LRHEMSW + aa6*LRHEKR + aa7*KPIHPH + aa8*LAHPH; QILL = bb0 + bb1*RHKHA + bb2*RR + bb3*RHBBM + bb4*RDR + bb5*PRODHA + bb6*PKUM + bb7*LQILL ; QKBHA = cc0 + cc1*LRHKHA + cc2*LRR + cc3*RPSDH + cc4*PRODHA + cc5*AHPH + cc6*LQKBHA; DKBKG = dd0 + dd1*RHKHA + dd2*RHKHTI + dd3*RR + dd4*RW + dd5*RY + dd6*LDKBKG; DKBKL = ee0 + ee1*RHKHA + ee2*RHKHTI + ee3* LRR + ee4*RW + ee5*RHEKL + ee6*(RY-LRY) + ee7*LDKBKL; RHKHA = ff0 + ff1*RHEKL + ff2*(QILL+QKBHA) + ff3*LRHKHA; QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ; L2QILL = LAG2(QILL); LRHEMSW = LAG(RHEMSW); LAHPH = LAG(AHPH); LQILL = LAG(QILL); LRHKHA = LAG(RHKHA); LQKBHA = LAG(QKBHA); LDKBKG = LAG(DKBKG); LDKBKL = LAG(DKBKL);
Lampiran 5.
Lanjutan
RANGE TAHUN = 1983 TO 2008; SOLVE R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP LRPPJK LRG L2RR LRI LRNX
LRY LR LRMS LEXR LEMP LRW TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI L2RHEPU LAHTI LQKHTI LRHEPU LDKHTI LRHKHTI TDFSW QBSW DBSW RHBSW L3RR LRHKHTI LATSW LRHBSW LQBSW LDBSW TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR LATKR LQKR LRR LDDKR LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR LRHDKR
229
230
Lampiran 5.
Lanjutan
TDFPD QGKG DGKG RHGKG LATPD LQGKG LRHPP LDGKG LRHGKG TTDF TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA L2QILL LRHEMSW LAHPH LQILL LRHKHA LQKBHA LDKBKG LDKBKL /OUTPREDICT ; RUN ;
231
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0273 4.5906 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7375 13.8923 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5831 14.1443 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6720.1 4797.1 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6841.0 6921.6 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129024 70501.3 RG 26 26 98172.8 32781.6 98336.6 33363.8 RI 26 26 321683 134461 330995 122323 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31354.4 48829.4 RC 26 26 742744 301174 740155 283907 RY 26 26 1196450 440139 1200841 442038 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2200 60.0676 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3260 11.7369 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1799 3.6401 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120011 67090.0 LRI 26 26 303421 123769 315077 117952 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94117.1 30617.3 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30278.4 49229.6 LRY 26 26 1136763 419942 1141836 424138 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1760 4.6327 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6341.8 4866.2 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6082 11.9379 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.5 7626.5 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.5 7626.5 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.4 6720.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.4 6720.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29153.6 23992.0 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29153.6 23992.0 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.8785 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8987 13.8732 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668269 270331 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26286.9 22240.8 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26286.9 22240.8 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.5953 115.4 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.3 567.5 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.1 139.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7098.9 696.4 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.4 550.8 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.5 139.3 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6
232
Lampiran 6. Lanjutan LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.4 466.3 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.8 5927.0 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.8 5927.0 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47349.4 6235.1 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47349.4 6235.1 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.6 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐801.0 6445.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10601.2 3835.7 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15488.9 8810.3 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10040.6 4858.6 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14677.0 3034.8 RHKHA 26 26 715581 340166 698428 280021 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10915.4 3319.3 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.5 3500.3 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15948.0 8347.8 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10571.9 4433.0 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14497.0 3466.2 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS Variable N Error Error Error % Error Error R 26 ‐0.1635 19.9924 5.3969 38.2020 10.2451 RR 26 ‐0.1635 33.6425 5.3969 519.9 10.2451 UIP 26 ‐0.1635 734.9 5.3969 900.4 10.2451 EXR 26 97.4659 10.6358 1087.9 21.4302 1531.6 REXR 26 ‐115.0 10.0331 1117.4 20.8965 1847.1 RPPJK 26 ‐866.9 ‐0.5342 12639.9 11.6899 15805.2 RG 26 163.8 0.7303 9379.7 10.9507 11347.5 RI 26 9312.0 7.7681 75979.2 24.1748 99698.0 RNX 26 ‐2495.5 ‐18.5602 28409.3 107.4 51350.5 RC 26 ‐2588.8 0.8277 36597.8 5.0568 47991.8 RY 26 4391.5 0.8397 52416.1 4.8204 61968.7 IHK 26 0.0142 0.3446 3.9907 6.1430 6.7296 EMP 26 0.0660 0.1615 1.2723 1.5887 1.6880 UNEMP 26 ‐0.0348 ‐9.2247 1.3020 39.9030 1.6937 LRPPJK 26 ‐750.8 ‐0.4911 12523.7 11.6469 15794.1 LRI 26 11656.5 8.1446 73634.7 23.7983 98978.7 LRG 26 329.9 0.8249 9213.6 10.8560 11315.8 LRNX 26 ‐2699.3 ‐19.4876 28205.6 106.5 51340.0 LRY 26 5073.1 0.8724 51734.4 4.7876 61871.1 LR 26 ‐0.3521 17.7792 5.2084 35.9888 10.1999 LRMS 26 0 0 0 0 0 LEXR 26 62.0199 10.2696 1052.5 21.0640 1520.9 LEMP 26 0.0693 0.1647 1.2690 1.5855 1.6879 LRW 26 0 0 0 0 0 TDFHTI 26 16.3312 . 374.9 . 500.0 QKHTI 26 ‐107.0 . 2026.6 . 2502.3 DKHTI 26 ‐107.0 . 2026.6 . 2502.3 RHKHTI 26 ‐5.3976 4.9456 45.0776 14.8183 55.2139 L2RHEPU 26 0 0 0 0 0 LRHEPU 26 0 0 0 0 0 LAHTI 26 0 . 0 . 0 LQKHTI 26 ‐91.6961 . 2011.3 . 2501.1 LDKHTI 26 ‐91.6961 . 2011.3 . 2501.1 TDFSW 26 ‐13.2776 541.9 204.4 593.8 278.5 QBSW 26 553.1 9.0301 4903.6 25.5098 5890.1 DBSW 26 553.1 9.0301 4903.6 25.5098 5890.1
Lampiran 6. Lanjutan RHBSW 26 0.7766 2.3905 39.1631 12.3569 49.5883 L3RR 26 ‐0.7749 239.2 4.7855 314.3 10.0545 LRHKHTI 26 ‐5.7238 4.6787 44.7514 14.5514 55.1888 LRHKHA 26 ‐25282.2 0.1246 84684.4 10.3192 125801 LATSW 26 0 0 0 0 0 LQBSW 26 597.7 9.0861 4859.0 25.4538 5885.7 LDBSW 26 597.7 9.0861 4859.0 25.4538 5885.7 TDFKR 26 2.4301 ‐34.1131 69.5260 149.5 103.7 QKR 26 3.4529 ‐0.7689 190.9 12.5704 230.6 DDKR 26 43.5617 65.1492 116.9 127.3 144.2 QXKR 26 ‐40.1088 ‐4.0479 143.9 11.1116 167.5 RHDKR 26 ‐156.2 0.5596 1019.4 14.4287 1229.1 LATKR 26 0 0 0 0 0 LQKR 26 11.7127 ‐0.4687 182.6 12.2702 226.7 LDDKR 26 49.1847 66.3504 111.3 126.1 141.4 LQXKR 26 ‐37.4720 ‐3.9325 141.3 10.9961 166.9 LRHEKR 26 0 0 0 0 0 TDFPD 26 ‐3.9481 293379 402.7 293599 525.1 QGKG 26 305.9 0.8531 1738.8 3.7505 2067.4 DGKG 26 305.9 0.8531 1738.8 3.7505 2067.4 RHGKG 26 ‐3.6843 4.7171 244.0 18.5087 310.0 LATPD 26 0 0 0 0 0 LQGKG 26 386.8 0.9872 1657.9 3.6163 2025.8 LDGKG 26 386.8 0.9872 1657.9 3.6163 2025.8 TTDF 26 1.5356 ‐80.9076 591.0 1070.3 818.8 TDGHPH 26 217.2 . 3812.0 . 6280.3 QILL 26 61.0601 2.9550 1837.8 19.4000 2476.1 QKBHA 26 133.3 12.7602 2380.9 34.3268 3268.0 DKBKG 26 75.2301 108.4 5270.6 154.5 6066.9 DKBKL 26 ‐981.7 ‐0.2401 2885.7 19.1891 3322.3 RHKHA 26 ‐17152.9 0.9811 92813.7 11.1758 132454 L2QILL 26 97.1430 3.6609 1773.3 17.5162 2461.7 LRHEMSW 26 0 0 0 0 0 LAHPH 26 0 0 0 0 0 LQILL 26 111.4 4.2498 1787.5 18.1052 2462.8 LQKBHA 26 256.0 15.4101 2258.3 31.6770 3207.6 LDKBKG 26 123.0 112.9 5222.9 150.0 6062.0 LDKBKL 26 ‐1058.0 ‐1.2634 2809.5 18.1658 3299.5 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Statistics of fit RMS % Variable Error R‐Square Label R 50.2578 0.1123 R RR 1464.2 ‐2.512 UIP 3619.6 ‐3.050 EXR 33.0772 0.9002 EXR REXR 30.2444 0.9337 RPPJK 14.7545 0.9410 RG 13.8292 0.8754 RI 29.4348 0.4282 RNX 205.4 0.5104 RC 6.4702 0.9736 RY 5.5535 0.9794 IHK 9.1325 0.9870 IHK EMP 2.2150 0.9791 EMP UNEMP 77.1481 0.7558 UNEMP LRPPJK 14.7528 0.9337 LRI 29.3721 0.3349 LRG 13.8207 0.8469
233
234
Lampiran 6. Lanjutan LRNX 205.3 0.5142 LRY 5.5510 0.9774 LR 48.9744 0.1128 LRMS 0 1.0000 LEXR 33.0244 0.9050 LEMP 2.2149 0.9797 LRW 0 1.0000 TDFHTI . ‐.0809 TDFHTI QKHTI . 0.8732 QKHTI DKHTI . 0.8732 DKHTI RHKHTI 19.9409 0.8686 L2RHEPU 0 1.0000 LRHEPU 0 1.0000 LAHTI . 1.0000 LQKHTI . 0.8286 LDKHTI . 0.8286 TDFSW 2383.4 ‐.2266 TDFSW QBSW 31.7273 0.9365 QBSW DBSW 31.7273 0.9365 DBSW RHBSW 15.8882 0.6467 L3RR 1053.5 ‐2.862 LRHKHTI 19.8943 0.8630 LRHKHA 12.9282 0.8601 LATSW 0 1.0000 LQBSW 31.7260 0.9247 LDBSW 31.7260 0.9247 TDFKR 250.8 ‐.8562 TDFKR QKR 15.1035 0.7862 QKR DDKR 188.0 ‐.7436 DDKR QXKR 13.9520 0.8368 QXKR RHDKR 17.3561 0.1243 LATKR 0 1.0000 LQKR 15.0257 0.7574 LDDKR 187.9 ‐1.416 LQXKR 13.9396 0.8227 LRHEKR 0 1.0000 TDFPD 1495803 ‐1.087 TDFPD QGKG 4.5748 0.8854 QGKG DGKG 4.5748 0.8854 DGKG RHGKG 23.7177 0.5310 LATPD 0 1.0000 LQGKG 4.5234 0.8929 LDGKG 4.5234 0.8929 TTDF 3224.7 ‐.4947 TDGHPH . ‐1.839 TDGHPH QILL 27.3958 0.5817 QILL QKBHA 58.7065 0.8720 QKBHA DKBKG 274.3 0.2802 DKBKG DKBKL 23.2064 0.5671 DKBKL RHKHA 13.6460 0.8423 L2QILL 26.4182 0.4809 LRHEMSW 0 1.0000 LAHPH 0 1.0000 LQILL 26.5884 0.5361 LQKBHA 57.1305 0.8699 LDKBKG 273.4 0.2402 LDKBKL 22.6122 0.6037
Lampiran 6. Lanjutan The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Forecast Error Statistics Corr Variable N MSE (R) R 26 105.0 0.34 RR 26 105.0 0.74 UIP 26 105.0 0.80 EXR 26 2345875 0.95 REXR 26 3411948 0.97 RPPJK 26 2.498E8 0.97 RG 26 1.2877E8 0.94 RI 26 9.9397E9 0.69 RNX 26 2.6369E9 0.72 RC 26 2.3032E9 0.99 RY 26 3.8401E9 0.99 IHK 26 45.2881 0.99 EMP 26 2.8493 0.99 UNEMP 26 2.8687 0.88 LRPPJK 26 2.4945E8 0.97 LRI 26 9.7968E9 0.66 LRG 26 1.2805E8 0.93 LRNX 26 2.6358E9 0.72 LRY 26 3.828E9 0.99 LR 26 104.0 0.35 LRMS 26 0 . LEXR 26 2313209 0.95 LEMP 26 2.8490 0.99 LRW 26 0 . TDFHTI 26 250018 0.61 QKHTI 26 6261715 0.94 DKHTI 26 6261715 0.94 RHKHTI 26 3048.6 0.96 L2RHEPU 26 0 . LRHEPU 26 0 . LAHTI 26 0 . LQKHTI 26 6255628 0.93 LDKHTI 26 6255628 0.93 TDFSW 26 77574.9 0.37 QBSW 26 34693062 0.97 DBSW 26 34693062 0.97 RHBSW 26 2459.0 0.81 L3RR 26 101.1 0.80 LRHKHTI 26 3045.8 0.96 LRHKHA 26 1.583E10 0.94 LATSW 26 0 . LQBSW 26 34641224 0.96 LDBSW 26 34641224 0.96 TDFKR 26 10762.0 0.46 QKR 26 53187.4 0.91 DDKR 26 20805.8 0.40 QXKR 26 28041.8 0.94 RHDKR 26 1510679 0.39 LATKR 26 0 . LQKR 26 51413.6 0.91 LDDKR 26 19983.8 0.38 LQXKR 26 27861.0 0.93 LRHEKR 26 0 . TDFPD 26 275698 0.20 QGKG 26 4274188 0.94 DGKG 26 4274188 0.94 RHGKG 26 96080.7 0.73
235
236
Lampiran 6. Lanjutan LATPD 26 0 . LQGKG 26 4103990 0.95 LDGKG 26 4103990 0.95 TTDF 26 670472 0.63 TDGHPH 26 39441668 0.31 QILL 26 6130916 0.79 QKBHA 26 10679809 0.93 DKBKG 26 36806869 0.54 DKBKL 26 11038001 0.81 RHKHA 26 1.754E10 0.92 L2QILL 26 6059890 0.73 LRHEMSW 26 0 . LAHPH 26 0 . LQILL 26 6065143 0.76 LQKBHA 26 10288619 0.93 LDKBKG 26 36747645 0.50 LDKBKL 26 10886794 0.82 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U R 0.00 0.01 0.99 0.39 0.61 0.5731 0.3142 RR 0.00 0.87 0.13 0.63 0.37 1.6554 0.5101 UIP 0.00 0.91 0.09 0.73 0.27 1.9912 0.5384 EXR 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1866 0.0933 REXR 0.00 0.01 0.99 0.04 0.95 0.1849 0.0941 RPPJK 0.00 0.13 0.86 0.07 0.93 0.1088 0.0542 RG 0.00 0.05 0.95 0.00 1.00 0.1098 0.0548 RI 0.01 0.08 0.91 0.01 0.98 0.2868 0.1425 RNX 0.00 0.01 0.99 0.25 0.75 0.6354 0.3720 RC 0.00 0.08 0.92 0.12 0.87 0.0600 0.0302 RY 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.0487 0.0243 IHK 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0704 0.0352 EMP 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0203 0.0102 UNEMP 0.00 0.10 0.90 0.01 0.99 0.2714 0.1352 LRPPJK 0.00 0.15 0.84 0.08 0.92 0.1166 0.0580 LRI 0.01 0.13 0.85 0.00 0.98 0.3029 0.1494 LRG 0.00 0.08 0.92 0.01 0.99 0.1153 0.0575 LRNX 0.00 0.01 0.99 0.24 0.75 0.6361 0.3729 LRY 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.0512 0.0255 LR 0.00 0.01 0.99 0.38 0.62 0.5629 0.3090 LRMS . . . . . 0.0000 0.0000 LEXR 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1904 0.0955 LEMP 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0207 0.0104 LRW . . . . . 0.0000 0.0000 TDFHTI 0.00 0.41 0.59 0.07 0.93 0.9025 0.4058 QKHTI 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.3079 0.1508 DKHTI 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.3079 0.1508 RHKHTI 0.01 0.44 0.55 0.58 0.41 0.1444 0.0741 L2RHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LRHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LAHTI . . . . . 0.0000 0.0000 LQKHTI 0.00 0.16 0.84 0.05 0.95 0.3653 0.1769 LDKHTI 0.00 0.16 0.84 0.05 0.95 0.3653 0.1769 TDFSW 0.00 0.29 0.71 0.00 1.00 0.7540 0.3852 QBSW 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.1595 0.0792 DBSW 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.1595 0.0792
Lampiran 6. Lanjutan RHBSW 0.00 0.01 0.99 0.16 0.84 0.1459 0.0733 L3RR 0.01 0.90 0.10 0.71 0.28 1.5964 0.4976 LRHKHTI 0.01 0.43 0.56 0.58 0.41 0.1394 0.0715 LRHKHA 0.04 0.17 0.79 0.32 0.64 0.1632 0.0844 LATSW . . . . . 0.0000 0.0000 LQBSW 0.01 0.04 0.95 0.00 0.99 0.1759 0.0870 LDBSW 0.01 0.04 0.95 0.00 0.99 0.1759 0.0870 TDFKR 0.00 0.57 0.43 0.13 0.87 1.2307 0.5088 QKR 0.00 0.20 0.80 0.06 0.94 0.1374 0.0683 DDKR 0.09 0.42 0.48 0.04 0.87 0.7395 0.3265 QXKR 0.06 0.20 0.74 0.09 0.86 0.1117 0.0563 RHDKR 0.02 0.02 0.97 0.26 0.72 0.1667 0.0847 LATKR . . . . . 0.0000 0.0000 LQKR 0.00 0.29 0.71 0.12 0.87 0.1418 0.0701 LDDKR 0.12 0.52 0.36 0.10 0.77 0.8164 0.3427 LQXKR 0.05 0.22 0.73 0.09 0.85 0.1159 0.0584 LRHEKR . . . . . 0.0000 0.0000 TDFPD 0.00 0.54 0.46 0.03 0.97 1.3066 0.5908 QGKG 0.02 0.00 0.98 0.02 0.96 0.0427 0.0213 DGKG 0.02 0.00 0.98 0.02 0.96 0.0427 0.0213 RHGKG 0.00 0.01 0.99 0.22 0.78 0.2187 0.1110 LATPD . . . . . 0.0000 0.0000 LQGKG 0.04 0.01 0.95 0.00 0.96 0.0428 0.0213 LDGKG 0.04 0.01 0.95 0.00 0.96 0.0428 0.0213 TTDF 0.00 0.60 0.40 0.22 0.78 0.8125 0.3554 TDGHPH 0.00 0.68 0.32 0.17 0.83 1.6253 0.6136 QILL 0.00 0.09 0.91 0.00 1.00 0.2208 0.1102 QKBHA 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.1829 0.0918 DKBKG 0.00 0.02 0.98 0.15 0.85 0.4946 0.2595 DKBKL 0.09 0.11 0.80 0.39 0.52 0.2019 0.1057 RHKHA 0.02 0.07 0.92 0.20 0.78 0.1678 0.0860 L2QILL 0.00 0.10 0.90 0.00 0.99 0.2170 0.1083 LRHEMSW . . . . . 0.0000 0.0000 LAHPH . . . . . 0.0000 0.0000 LQILL 0.00 0.08 0.92 0.01 0.99 0.2177 0.1086 LQKBHA 0.01 0.00 0.99 0.05 0.95 0.1778 0.0892 LDKBKG 0.00 0.02 0.98 0.19 0.81 0.4830 0.2528 LDKBKL 0.10 0.08 0.82 0.31 0.59 0.2010 0.1054
237
238
Lampiran 6. Lanjutan The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Corr Variable N MSE (R) R 26 0.3186 0.36 RR 26 77.3196 0.83 UIP 26 409.4 1.00 EXR 26 0.1411 0.55 REXR 26 0.1345 0.67 RPPJK 26 0.0269 0.50 RG 26 0.0183 0.41 RI 26 0.1104 0.64 RNX 26 18.1767 0.85 RC 26 0.00464 0.52 RY 26 0.00346 0.70 IHK 26 0.0177 0.29 EMP 26 0.000506 0.64 UNEMP 26 0.4653 0.50 LRPPJK 26 0.0268 0.50 LRI 26 0.1098 0.65 LRG 26 0.0183 0.41 LRNX 26 18.1765 0.85 LRY 26 0.00345 0.71 LR 26 0.2949 0.34 LRMS 26 0 . LEXR 26 0.1407 0.56 LEMP 26 0.000506 0.66 LRW 26 0 . TDFHTI 26 . . QKHTI 26 . . DKHTI 26 . . RHKHTI 26 0.0323 0.36 L2RHEPU 26 0 . LRHEPU 26 0 . LAHTI 26 . . LQKHTI 26 . . LDKHTI 26 . . TDFSW 26 397.9 1.00 QBSW 26 0.1271 0.11 DBSW 26 0.1271 0.11 RHBSW 26 0.0249 0.83 L3RR 25 43.0162 0.97 LRHKHTI 26 0.0321 0.37 LRHKHA 26 0.0207 0.77 LATSW 26 0 . LQBSW 26 0.1271 0.08 LDBSW 26 0.1271 0.08 TDFKR 26 11.9242 0.56 QKR 26 0.0245 0.10 DDKR 26 6.2663 0.77 QXKR 26 0.0223 0.23 RHDKR 26 0.0368 0.69 LATKR 26 0 . LQKR 26 0.0243 0.12 LDDKR 26 6.2595 0.78 LQXKR 26 0.0223 0.21 LRHEKR 26 0 . TDFPD 26 3.2459E8 1.00
Lampiran 6. Lanjutan QGKG 26 0.00222 0.47 DGKG 26 0.00222 0.47 RHGKG 26 0.0517 0.46 LATPD 26 0 . LQGKG 26 0.00217 0.49 LDGKG 26 0.00217 0.49 TTDF 26 990.8 0.92 TDGHPH 26 . . QILL 26 0.1035 0.62 QKBHA 26 0.3998 0.56 DKBKG 26 4.5322 0.34 DKBKL 26 0.0437 0.42 RHKHA 26 0.0221 0.74 L2QILL 26 0.0919 0.99 LRHEMSW 26 0 . LAHPH 26 0 . LQILL 26 0.0922 0.70 LQKBHA 26 0.3904 0.54 LDKBKG 26 4.4893 0.34 LDKBKL 26 0.0412 0.51 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Relative Change Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U R 0.04 0.41 0.55 0.02 0.95 1.2329 0.5540 RR 0.00 0.47 0.53 0.22 0.78 0.7366 0.3160 UIP 0.05 0.94 0.01 0.93 0.01 0.6289 0.2397 EXR 0.09 0.58 0.33 0.20 0.71 1.2928 0.4799 REXR 0.05 0.10 0.85 0.01 0.94 0.7151 0.3531 RPPJK 0.00 0.62 0.38 0.18 0.81 1.1064 0.4648 RG 0.00 0.63 0.37 0.16 0.84 1.3430 0.5345 RI 0.07 0.56 0.37 0.21 0.71 1.1879 0.4519 RNX 0.00 0.14 0.86 0.41 0.59 0.5628 0.3418 RC 0.01 0.52 0.46 0.12 0.87 0.8782 0.3833 RY 0.03 0.67 0.30 0.35 0.63 0.8244 0.3378 IHK 0.00 0.05 0.95 0.24 0.76 0.7562 0.4378 EMP 0.00 0.28 0.71 0.02 0.98 0.6722 0.3207 UNEMP 0.00 0.91 0.09 0.61 0.38 2.7057 0.6679 LRPPJK 0.00 0.62 0.38 0.19 0.81 1.1034 0.4635 LRI 0.08 0.56 0.36 0.23 0.69 1.2142 0.4557 LRG 0.00 0.63 0.37 0.16 0.84 1.3434 0.5337 LRNX 0.00 0.14 0.86 0.41 0.59 0.5627 0.3417 LRY 0.03 0.67 0.30 0.35 0.62 0.8339 0.3401 LR 0.02 0.39 0.59 0.01 0.97 1.2004 0.5619 LRMS . . . . . 0.0000 0.0000 LEXR 0.08 0.58 0.33 0.20 0.71 1.2919 0.4799 LEMP 0.00 0.26 0.73 0.02 0.98 0.6441 0.3083 LRW . . . . . 0.0000 0.0000 TDFHTI . . . . . . . QKHTI . . . . . . . DKHTI . . . . . . . RHKHTI 0.05 0.62 0.34 0.15 0.80 1.4784 0.5927 L2RHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LRHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LAHTI . . . . . . . LQKHTI . . . . . . . LDKHTI . . . . . . . TDFSW 0.06 0.93 0.01 0.92 0.02 0.7024 0.2605
239
240
Lampiran 6. Lanjutan QBSW 0.08 0.86 0.06 0.51 0.42 2.3361 0.6364 DBSW 0.08 0.86 0.06 0.51 0.42 2.3361 0.6364 RHBSW 0.00 0.01 0.99 0.16 0.84 0.5415 0.3027 L3RR 0.03 0.84 0.13 0.77 0.21 0.6324 0.2467 LRHKHTI 0.04 0.61 0.35 0.14 0.82 1.4593 0.5884 LRHKHA 0.00 0.32 0.68 0.07 0.93 0.7497 0.3424 LATSW . . . . . 0.0000 0.0000 LQBSW 0.08 0.87 0.06 0.51 0.41 2.3138 0.6341 LDBSW 0.08 0.87 0.06 0.51 0.41 2.3138 0.6341 TDFKR 0.15 0.03 0.82 0.09 0.76 0.9147 0.5121 QKR 0.00 0.89 0.11 0.42 0.58 2.2956 0.6965 DDKR 0.15 0.77 0.08 0.61 0.24 2.1884 0.5608 QXKR 0.09 0.67 0.24 0.18 0.73 1.7097 0.6589 RHDKR 0.02 0.00 0.98 0.21 0.78 0.7148 0.4293 LATKR . . . . . 0.0000 0.0000 LQKR 0.00 0.88 0.12 0.39 0.61 2.2441 0.6901 LDDKR 0.16 0.77 0.08 0.61 0.24 2.1868 0.5604 LQXKR 0.09 0.68 0.23 0.19 0.73 1.7198 0.6627 LRHEKR . . . . . 0.0000 0.0000 TDFPD 0.04 0.96 0.00 0.96 0.00 30.3869 0.9382 QGKG 0.03 0.62 0.35 0.19 0.78 1.2021 0.4704 DGKG 0.03 0.62 0.35 0.19 0.78 1.2021 0.4704 RHGKG 0.00 0.04 0.96 0.16 0.84 0.9076 0.5523 LATPD . . . . . 0.0000 0.0000 LQGKG 0.05 0.62 0.33 0.20 0.75 1.2252 0.4700 LDGKG 0.05 0.62 0.33 0.20 0.75 1.2252 0.4700 TTDF 0.03 0.06 0.91 0.19 0.78 0.4081 0.2254 TDGHPH . . . . . . . QILL 0.00 0.47 0.52 0.11 0.88 1.0872 0.4593 QKBHA 0.02 0.82 0.15 0.49 0.49 2.1165 0.6041 DKBKG 0.15 0.80 0.06 0.53 0.33 3.9113 0.7635 DKBKL 0.00 0.56 0.44 0.10 0.89 1.3499 0.5574 RHKHA 0.00 0.31 0.69 0.06 0.94 0.7740 0.3542 L2QILL 0.02 0.01 0.97 0.00 0.98 0.1314 0.0654 LRHEMSW . . . . . 0.0000 0.0000 LAHPH . . . . . 0.0000 0.0000 LQILL 0.02 0.48 0.51 0.16 0.83 0.9974 0.4148 LQKBHA 0.04 0.81 0.16 0.46 0.50 2.1156 0.6076 LDKBKG 0.16 0.78 0.06 0.51 0.33 3.8734 0.7620 LDKBKL 0.01 0.49 0.49 0.09 0.89 1.1821 0.5077 NOTE: Percent error statistics for 7 variables were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
241
Lampiran 7. Program Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0
DATA OLAH; SET AST.MIMA1; “BLOK MAKROEKONOMI” RY=(Y/DFLA)*100; LRY=LAG(RY); PRY=RY-LRY; RPPJK=(PPJK/DFLA)*100; LRPPJK=LAG(RPPJK); RC=(C/DFLA)*100; RYD=RY-RPPJK; RG=(G/DFLA)*100; LRG=LAG(RG); RI=(I/DFLA)*100; LRI=LAG(RI); NX = X - M; RNX = (NX/DFLA)*100; LRNX=LAG(RNX); LR=LAG(R); RMS=(MS/DFLA)*100; LRMS=LAG(RMS); LIHK=LAG(IHK); PIHK= IHK-LIHK; LEXR=LAG(EXR); RR=R-DINF; LRR=LAG(RR); L2RR=LAG2(RR); P2RR=RR-L2RR; L3RR=LAG3(RR); REXR = EXR*IHK/USCPI; LUSCPI=LAG(USCPI); RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100); UIP = RR – RFRATE; OILP=(WOIL/DFLA)*100; RW=(W/DFLA)*100; LRW=LAG(RW); LEMP=LAG(EMP); UNEMP=LF-EMP; LUSGDP=LAG(USGDP);
242
Lampiran 7.
Lanjutan
“BLOK DEFORESTASI” “HTI” RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100; L2RHEPU=LAG2(RHEPU); PRHEPU=RHEPU-LRHEPU); RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100; LRHKHTI=LAG(RHKHTI); RHBBM=(HBBM/DFLA)*100; LAHTI=LAG(AHTI); LQKHTI=LAG(QKHTI); LDKHTI=LAG(DKHTI); LRHEPU=LAG(RHEPU); PRHEPU=RHEPU-LRHEPU; “SAWIT” RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100; LRHEMSW=LAG(RHEMSW); RHBSW=(HBSW/DFLA)*100; LRHBSW=LAG(RHBSW); LATSW=LAG(ATSW); LQBSW=LAG(QBSW); LRHDMSW=LAG(RHDMSW); LDBSW=LAG(DBSW); “KARET” RHDKR=(HDKR/DFLA)*100; L2RHDKR=LAG2(RHDKR); RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100; LRHEKR=LAG(RHEKR); PRHEKR=RHEKR-LRHEKR; LATKR=LAG(ATKR); LQKR=LAG(QKR); LDDKR=LAG(DDKR); LQXKR=LAG(QXKR); “PADI” RHGKG=(HGKG/DFLA)*100; LRHGKG=LAG(RHGKG); RHPP=(HPP/DFLA)*100; LRHPP=LAG(RHPP); PRHPP=RHPP-LRHPP; LATPD=LAG(ATPD);
Lampiran 7.
Lanjutan
LQGKG=LAG(QGKG); RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100; LDGKG=LAG(DGKG); TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; “BLOK DEGRADASI HUTAN” RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100; RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100; LRHKHA=LAG(RHKHA); L2QILL=LAG2(QILL); LQILL=LAG(QILL); LAHPH=LAG(AHPH); RDR=(DR/DFLA)*100; RPSDH=(PSDH/DFLA)*100; LQKBHA=LAG(QKBHA); LDKBKG=LAG(DKBKG); LDKBKL=LAG(DKBKL); Q=QILL+QKBHA; /* SIMULASI KEBIJAKAN & FAKTOR EKSTERNAL*/ /* RMS = RMS*(1 + 0.2312); */ /* RG = RG *(1+0.1796); */ /* OILP = OILP*(1+ 0.07); */ /* OILP = OILP *(1+2.0);*/ /* RFRATE = RFRATE*(1+0.01); */ /* RFRATE = RFRATE*(1+0.05); RUN; /* PERINTAH SIMULASI */ /* PROC MODEL DATA=OLAH STATS NDEC=2;*/ ENDOGENOUS R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP LRPPJK LRG L2RR LRI LRNX LRY LR LRMS LEXR
243
244
Lampiran 7.
Lanjutan
LEMP LRW TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI L2RHEPU LAHTI LQKHTI LRHEPU LDKHTI LRHKHTI TDFSW QBSW DBSW RHBSW L3RR LRHKHTI LATSW LRHBSW LQBSW LDBSW TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR LATKR LQKR LRR LDDKR LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR LRHDKR TDFPD QGKG DGKG RHGKG LATPD LQGKG LRHPP LDGKG LRHGKG TTDF TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA L2QILL LRHEMSW LAHPH LQILL LRHKHA LQKBHA
Lampiran 7.
245
Lanjutan
LDKBKG LDKBKL ; INSTRUMENTS OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB ; PARAMETERS a0 -56417.51 a1 0.750511 a2 -1421.586 b0 -58992.19 b1 0.153017 b2 -156.8430 b3 0.039132 c0 10143.62 c1 0.424322 c2 127.5101 c3 0.266048 d0 74462.03 d1 -1654.394 d2 0.224192 d3 -183634.0 d4 0.042195 e0 170114.6 e1 13.56636 e2 -0.177489 e3 -311.6503 e4 0.069802 f0 12.01211 f1 -1.67E-05 f2 1.357908 f3 0.206645 f4 10.88883 f5 -11.67211 f6 0.112403 g0 -10.80682 g1 1.82E-05 g2 0.963798 h0 274.6091 h1 -84.16786 h2 -0.009667 h3 0.001464 h4 1732.817 h5 0.916711 i0 9.569870 i1 -4.01E-07 i2 3.66E-06 i3 0.850619 j0 6016.618 j1 0.000108 j2 -5.292850 J3 -20.05732 J4 -0.004082 J5 -0.778556 J6 0.000131 J7 -0.000199 J8-0.000330 J9 1237.097 J10 -0.532633 k0 -6381.576 k1 12.86628 k2 -71.09410 k3 3093.358 k4 0.835054 k5 0.543766 l0 3607.390 l1 -2.353228 l2 -274.6870 l3 -0.004142 l4 0.000491 l5 0.025669 l6 0.819260 m0 18.82956 m1 7.96E-06 m2 -1.28E-05 m3 -0.000813 m4 0.936295 n0 609.7858 n1 0.000102 n2 -0.639404 n3 -16.22272 n4 -0.000218 n5 1.465558 n6 0.001137 n7 -0.222924 o0 -43931.98 o1 0.045690 o2 -4.365651 o3 4507.690 o4 9.768787 o5 0.031463 p0 -2240.855 p1 -23.33913 p2 -290.5749 p3 -0.010631 p4 1.367105 p5 0.022292 p6 0.656303 q0 81.57648 q1 4.08E-05 q2 0.001926 q3 0.117844 r0 606.9273 r1 0.001077 r2 -8.230076 r3 -9.18E-05 r4 -1.15E-05 r5 6.06E-06 r6 -0.161324 s0 -1304.818 s1 0.002637 s2 -0.774956 s3 3139.824 s4 0.380744 s5 0.074075 t0 106.6144 t1 -0.010171 t2 -5.828949 t3 0.000375 t4 0.846774 u0 2.390472 u1 1.29E-05 u2 -0.015125 u3 0.043709 u4 0.082284 v0 4283.563 v1 7.43E-05 v2 3.674619 v3 -2.365590 v4 0.202657
246
Lampiran 7.
Lanjutan
w0 -8932.421 w1 0.348219 w2 0.503538 w3 -29.89181 w4 -0.169767 w5 0.000891 w6 3.953993 w7 48.56133 w8 -0.175141
x0 -14874.88 x1 0.512634 x2 -60.46712 x3 -0.299394 x4 4012.332 x5 0.953306 y0 27606.61 y1 -0.645931 y2 -49.54460 y3 -2.135224 y4 0.997525 y5 0.011510 y6 0.170233 z0 2081.029 z1 0.177328 z2 -0.026394 z3 0.389236 aa0 15298.41 aa1 0.003540 aa2 -0.009923 aa3 -540.0948 aa4 -0.427461 aa5 -0.001537 aa6 -0.000171 aa7 -1108.177 aa8 -0.138803 bb0 3297.057 bb1 0.000758 bb2 -131.7571 bb3 -2.980244 bb4 -0.021163 bb5 435.8382 bb6 419.6691 bb7 0.398822 cc0 -10537.70 cc1 0.002810 cc2 -209.7087 cc3 -0.494821 cc4 765.9082 cc5 0.369004 cc6 0.276578 dd0 -2237.476 dd1 -0.001864 dd2 16.06732 dd3 -208.4581 dd4 -0.000851 dd5 0.000965 dd6 0.744542 ee0 897.3071 ee1 -0.003402 ee2 5.518416 ee3 -33.40311 ee4 -0.004357 ee5 0.000612 ee6 0.011809 ee7 0.955296 ff0 309719.4 ff1 0.129333 ff2 -15.45845 ff3 0.551386 ; RC = a0 + a1*RYD + a2*RR ; RPPJK = b0 + b1*RY + b2*RR + b3*LRPPJK; RG = c0 + c1*RPPJK + c2*OILP + c3*LRG; RI = d0 + d1*L2RR + d2*RY + d3*KRISIS + d4*LRI ; RNX = e0 + e1*(EXR*IHK/USCPI) + e2*RY + e3*OILP + e4*LRNX; R = f0 + f1*LRMS + f2*(IHK-LIHK) + f3*EXPINF + f4*KRISIS + f5*FER + f6*LR; IHK = g0 + g1*LRY + g2*LIHK ; EXR = h0 + h1*UIP + h2*LRNX + h3*RMS + h4*KRISIS + h5*LEXR ; EMP = i0 + i1*LRW + i2*RY + i3*LEMP; RY = RC + RI + RG + RNX ; RR = R-DINF; UIP = RR -RFRATE ; UNEMP = LF - EMP;
Lampiran 7.
Lanjutan
LRPPJK = LAG(RPPJK); LRG = LAG(RG); L2RR=LAG2(RR); LRI = LAG(RI); LRNX = LAG(RNX);
LRY = LAG(RY); LR = LAG(R); LRMS=LAG(RMS); LEXR = LAG(EXR); LEMP = LAG(EMP); LRW = LAG(RW); TDFHTI = j0 + j1*L2RHEPU + j2*RHKHTI + j3*(RR-L2RR) + j4*RW + j5*RHBBM + j6*RHEKR + j7*RHEMSW + j8*RHEKL + j9*PPHTI + j10*LAHTI; QKHTI = k0 + k1*RHKHTI + k2*RR + k3*PRODHTI + k4*AHTI + k5*LQKHTI; DKHTI = l0 + l1*RHKHTI + l2*RR + l3*RW + l4*(RHEPU-LRHEPU) + l5*(RY-LRY) + l6*LDKHTI; RHKHTI = m0 + m1*(RHEPU-LRHEPU) + m2*RHKHA + m3*LQKHTI + m4*LRHKHTI; DKHTI = QKHTI; TDFSW = n0 + n1*RHEMSW + n2*RHBSW + n3*L3RR + n4*RW + n5*LRHKHTI + n6*LRHKHA + n7*LATSW ; QBSW = o0 + o1*LRHBSW + o2*RR + o3*PRODSW + o4*ATSW + o5*LQBSW ; DBSW = p0 + p1*RHBSW + p2*RR + p3*RW + p4*RHDMSW + p5*RY + p6*LDBSW; RHBSW = q0 + q1*RHEMSW + q2*DBSW + q3*LRHBSW; QBSW = DBSW; L3RR = LAG3(RR); LRHKHTI = LAG(RHKHTI); LATSW=LAG(ATSW); LRHBSW=LAG(RHBSW); LQBSW=LAG(QBSW); LDBSW = LAG(DBSW); TDFKR = r0 + r1*RHDKR + r2*RR + r3*RHKHA + r4*RHEMSW + r5*RHEKR + r6*LATKR ; QKR = s0 + s1*RHDKR + s2*RR + s3*PRODKR + s4*ATKR + s5*LQKR; DDKR = t0 + t1*RHDKR + t2*LRR + t3*(RY-LRY) + t4*LDDKR; QXKR =u0 + u1*LRHEKR + u2*L2RHDKR + u3*LUSGDP + u4*LQXKR;
247
248
Lampiran 7.
Lanjutan
RHDKR = v0 + v1*(RHEKR-LRHEKR) + v2*QXKR + v3*QKR + v4*LRHDKR; QKR = DDKR + QXKR; LATKR = LAG(ATKR); LQKR = LAG(QKR); LRR=LAG(RR); LDDKR = LAG(DDKR); LRHEKR =LAG(RHEKR); L2RHDKR = LAG2(RHDKR);
LUSGDP =LAG(USGDP); LQXKR = LAG(QXKR); LRHDKR=LAG(RHDKR); TDFPD = w0 + w1*RHGKG + w2*RHPP + w3*RR + w4*RHBBM + w5*RHKHA + w6*RHKHTI + w7*POP + w8*LATPD; QGKG = x0 + x1*RHGKG + x2*RR + x3*RHBBM + x4*PRODPD + x5*LQGKG; DGKG = y0 + y1*LRHPP + y2*RR + y3*RHBBM + y4*RHDBR + y5*RY + y6*LDGKG; RHGKG = z0 + z1*(RHPP-LRHPP) + z2*QGKG + z3*LRHGKG; QGKG = DGKG; TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD; TDGHPH = aa0 + aa1*RHEKL + aa2*RHKHA + aa3*RR + aa4*L2QILL + aa5*LRHEMSW + aa6*LRHEKR + aa7*KPIHPH + aa8*LAHPH; QILL = bb0 + bb1*RHKHA + bb2*RR + bb3*RHBBM + bb4*RDR + bb5*PRODHA + bb6*PKUM + bb7*LQILL ; QKBHA = cc0 + cc1*LRHKHA + cc2*LRR + cc3*RPSDH + cc4*PRODHA + cc5*AHPH + cc6*LQKBHA; DKBKG = dd0 + dd1*RHKHA + dd2*RHKHTI + dd3*RR + dd4*RW + dd5*RY + dd6*LDKBKG; DKBKL = ee0 + ee1*RHKHA + ee2*RHKHTI + ee3* LRR + ee4*RW + ee5*RHEKL + ee6*(RY-LRY) + ee7*LDKBKL; RHKHA = ff0 + ff1*RHEKL + ff2*(QILL+QKBHA) + ff3*LRHKHA; QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ; L2QILL = LAG2(QILL); LRHEMSW = LAG(RHEMSW); LAHPH = LAG(AHPH); LQILL = LAG(QILL); LRHKHA = LAG(RHKHA); LQKBHA = LAG(QKBHA);
Lampiran 7.
Lanjutan
LDKBKG = LAG(DKBKG); LDKBKL = LAG(DKBKL); RANGE TAHUN = 1983 TO 2008; SOLVE R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP LRPPJK LRG L2RR LRI LRNX LRY LR LRMS LEXR LEMP LRW TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI L2RHEPU LAHTI LQKHTI LRHEPU LDKHTI LRHKHTI TDFSW QBSW DBSW RHBSW L3RR LRHKHTI LATSW LRHBSW LQBSW LDBSW TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR LATKR LQKR LRR LDDKR LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR LRHDKR
249
250
Lampiran 7.
Lanjutan
TDFPD QGKG DGKG RHGKG LATPD LQGKG LRHPP LDGKG LRHGKG TTDF TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA L2QILL LRHEMSW LAHPH LQILL LRHKHA LQKBHA LDKBKG LDKBKL /OUTPREDICT ; RUN ;
251
Lampiran 8. Hasil Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi 9.0 1.
Penawaran Uang meningkat 23.12%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 12.5592 4.5055 RR 26 26 2.9010 5.5753 1.2694 14.0715 UIP 26 26 0.7466 5.1916 ‐0.8849 14.2696 EXR 26 26 6622.7 4944.0 8084.1 5474.9 REXR 26 26 6956.0 7313.7 8178.8 8085.1 RPPJK 26 26 129891 66351.2 133634 73886.8 RG 26 26 98172.8 32781.6 100925 35248.0 RI 26 26 321683 134461 339700 126681 RNX 26 26 33849.9 74842.4 45514.9 58335.3 RC 26 26 742744 301174 742242 284588 RY 26 26 1196450 440139 1228382 462805 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.6801 60.4445 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.7487 12.1169 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 4.7573 3.2913 LRC 26 26 706578 292612 704345 271627 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 124250 70446.0 LRI 26 26 303421 123769 323133 122282 LRG 26 26 93787.1 29496.4 96492.2 32483.5 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 43148.4 58934.4 LRY 26 26 1136763 419942 1167119 444652 LR 26 26 14.5281 11.0431 12.7825 4.5931 LRMS 26 26 501474 256026 617415 315219 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 7635.5 5581.6 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.9865 12.2906 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.2 628.4 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 4202.5 7692.3 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 4202.5 7692.3 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 346.0 111.9 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 1.5726 14.0841 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3347.0 6789.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3347.0 6789.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 252.6 247.7 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 31531.9 25465.4 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 31531.9 25465.4 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 334.9 67.2981 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 1.6446 14.0646 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.5 108.9 LRHKHA 26 26 693551 342976 649488 262472 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 321.9 69.4249 LRR 26 26 3.4067 5.3912 1.6611 14.1076 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 28488.2 23716.1 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 28488.2 23716.1 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 52.3754 114.6 QKR 26 26 1602.9 508.6 1656.3 599.7
252
Lampiran 8. Lanjutan DDKR 26 26 161.6 111.4 253.5 163.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1402.8 474.1 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 6986.7 660.3 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1590.0 583.6 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 241.6 163.6 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1348.3 457.8 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 226.9 477.2 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48758.2 6251.2 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48758.2 6251.2 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1327.1 321.6 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47776.2 6552.0 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47776.2 6552.0 TTDF 26 26 753.0 683.0 823.1 1083.9 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 77.9329 6453.1 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10888.3 3856.2 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15813.7 8749.2 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 11302.6 4432.7 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 15840.3 3284.9 RHKHA 26 26 715581 340166 678613 272757 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 11174.1 3388.2 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 11103.0 3539.2 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 16256.7 8294.2 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 11758.5 4003.2 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 15564.3 3874.9
2.
Pengeluaran Pemerintah meningkat 17.96%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.4524 4.7405 RR 26 26 2.9010 5.5753 3.1626 13.9737 UIP 26 26 0.7466 5.1916 1.0083 14.2434 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6679.8 4793.1 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6824.4 6909.9 RPPJK 26 26 129891 66351.2 131612 70987.1 RI 26 26 321683 134461 334290 123748 RNX 26 26 33849.9 74842.4 27938.5 49573.8 RC 26 26 742744 301174 739551 283778 RY 26 26 1196450 440139 1217584 445418 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.5007 60.0984 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.6235 11.8285 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 4.8825 3.5735 LRC 26 26 706578 292612 701808 270744 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 122396 67499.1 LRI 26 26 303421 123769 318109 119319 LRG 26 26 93787.1 29496.4 110631 34793.9 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 27137.8 49872.4 LRY 26 26 1136763 419942 1157262 427102 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.5670 4.7728 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6303.7 4861.1 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.8858 12.0348
Lampiran 8. Lanjutan LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 290.8 624.6 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3907.4 7623.5 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3907.4 7623.5 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.2 112.4 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 3.2510 13.9440 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3069.3 6723.5 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3069.3 6723.5 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.2 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29721.5 24048.5 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29721.5 24048.5 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 331.4 64.8871 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 3.2277 13.9511 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 360.8 109.4 LRHKHA 26 26 693551 342976 673284 271217 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 319.0 67.0545 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.4456 13.9910 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26810.6 22270.0 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26810.6 22270.0 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 34.6236 116.2 QKR 26 26 1602.9 508.6 1595.5 562.4 DDKR 26 26 161.6 111.4 194.7 140.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1400.8 472.6 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7123.1 707.8 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1533.1 545.1 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 186.6 140.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.5 456.3 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 147.3 472.0 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48499.4 5942.4 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48499.4 5942.4 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1333.9 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47537.0 6252.8 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47537.0 6252.8 TTDF 26 26 753.0 683.0 729.9 1077.2 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐1055.2 6475.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10519.3 3860.0 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15398.3 8782.7 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 9759.7 4960.1 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14508.3 3002.5 RHKHA 26 26 715581 340166 703860 281028 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10846.8 3321.3 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10755.4 3516.0 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15865.9 8308.4 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10309.4 4533.3 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14338.2 3413.8
253
254
Lampiran 8. Lanjutan 3.
Harga Minyak Mentah Dunia meningkat 7.0%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0260 4.5902 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7362 13.8879 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5818 14.1424 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6804.5 4768.7 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6889.8 6925.6 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129018 70586.8 RG 26 26 98172.8 32781.6 99128.1 33027.1 RI 26 26 321683 134461 330989 122377 RNX 26 26 33849.9 74842.4 30529.1 49511.4 RC 26 26 742744 301174 740157 283884 RY 26 26 1196450 440139 1200804 442588 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2192 60.0763 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3233 11.7480 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1826 3.6286 LRC 26 26 706578 292612 702366 270831 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120004 67176.8 LRI 26 26 303421 123769 315070 118004 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94889.9 30315.7 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 29466.0 49887.0 LRY 26 26 1136763 419942 1141792 424691 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1745 4.6323 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6425.1 4844.1 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6052 11.9478 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 81.5148 80.8068 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.9 7624.6 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.9 7624.6 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8949 13.8695 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.8 6718.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.8 6718.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.6 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29151.9 24007.8 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29151.9 24007.8 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.9194 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8967 13.8689 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668237 270522 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.0 67.0781 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0531 13.9068 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26284.9 22256.9 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26284.9 22256.9 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.6076 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.6 567.2 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.4 139.5 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7098.4 696.5
Lampiran 8. Lanjutan LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.6 550.5 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.8 138.9 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.9 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.5 465.8 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.4 5935.0 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.4 5935.0 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.2 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47348.9 6242.5 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47348.9 6242.5 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.6 1075.0 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐800.2 6445.5 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10601.4 3834.4 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15489.2 8812.7 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10042.8 4866.7 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14685.5 3047.9 RHKHA 26 26 715581 340166 698401 280217 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10915.8 3317.5 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.8 3498.7 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15948.4 8350.2 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10574.5 4440.8 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14505.7 3477.9
4.
Lompatan Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia sebesar 200.0%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 13.9900 4.6446 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7002 13.7894 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5458 14.1102 EXR 26 26 6622.7 4944.0 9135.3 4105.3 REXR 26 26 6956.0 7313.7 8234.3 7053.2 RPPJK 26 26 129891 66351.2 128850 73058.1 RG 26 26 98172.8 32781.6 120948 26848.6 RI 26 26 321683 134461 330818 124030 RNX 26 26 33849.9 74842.4 7745.3 76128.6 RC 26 26 742744 301174 740208 283231 RY 26 26 1196450 440139 1199720 458526 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.1962 60.3202 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.2478 12.0566 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.2581 3.3129 LRC 26 26 706578 292612 702427 270177 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 119808 69685.2 LRI 26 26 303421 123769 314869 119628 LRG 26 26 93787.1 29496.4 116195 25986.0 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 7038.9 76118.1 LRY 26 26 1136763 419942 1140530 440734 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1316 4.6885 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 8727.9 4391.7 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.5210 12.2242 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754
255
256
Lampiran 8. Lanjutan LOILP 26 26 76.1820 75.5203 228.5 226.6 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 290.6 626.0 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3982.8 7572.8 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3982.8 7572.8 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.5 112.4 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8461 13.7705 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3141.1 6665.4 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3141.1 6665.4 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.1 248.7 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29102.4 24457.8 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29102.4 24457.8 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.2 66.0651 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8414 13.7719 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.1 109.4 LRHKHA 26 26 693551 342976 667353 275909 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 317.9 68.1261 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0102 13.8110 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26226.9 22714.7 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26226.9 22714.7 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.9584 117.1 QKR 26 26 1602.9 508.6 1612.9 557.3 DDKR 26 26 161.6 111.4 211.4 128.8 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.5 472.7 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7084.4 700.3 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1550.5 542.2 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 203.4 129.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1347.2 456.5 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 169.7 454.6 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48282.0 6163.8 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48282.0 6163.8 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.7 320.5 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47333.3 6454.4 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47333.3 6454.4 TTDF 26 26 753.0 683.0 756.3 1073.4 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐777.8 6459.0 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10609.3 3800.9 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15498.7 8880.2 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10106.2 5101.3 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14923.4 3423.1 RHKHA 26 26 715581 340166 697646 285737 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10926.3 3270.9 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10840.0 3458.2 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15959.0 8418.7 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10647.1 4666.9 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14747.8 3816.6
Lampiran 8. Lanjutan
5.
Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Meningkat 1%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0299 4.5902 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7400 13.8920 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5641 14.1484 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6730.6 4794.4 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6847.1 6922.4 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129038 70501.5 RG 26 26 98172.8 32781.6 98345.0 33363.6 RI 26 26 321683 134461 331013 122319 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31426.3 48853.4 RC 26 26 742744 301174 740152 283907 RY 26 26 1196450 440139 1200936 442039 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2217 60.0678 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3279 11.7377 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1780 3.6392 LRC 26 26 706578 292612 702360 270854 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120025 67091.9 LRI 26 26 303421 123769 315095 117949 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94125.3 30617.9 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30349.3 49255.0 LRY 26 26 1136763 419942 1141930 424150 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1785 4.6323 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6352.2 4864.4 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6099 11.9388 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.1 7626.4 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.1 7626.4 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8990 13.8735 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.0 6720.7 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.0 6720.7 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29157.0 23992.3 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29157.0 23992.3 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.8795 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.9011 13.8729 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668305 270343 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.0 67.0426 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0571 13.9107 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26290.2 22241.4 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26290.2 22241.4 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.5709 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.3 567.5 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.1 139.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9
257
258
Lampiran 8. Lanjutan RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7099.0 696.5 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.3 550.7 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.5 139.3 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.3 466.3 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48297.0 5927.1 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48297.0 5927.1 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47350.6 6235.3 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47350.6 6235.3 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.4 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐802.5 6445.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10600.7 3835.5 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15488.3 8810.4 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10038.7 4859.2 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14675.9 3034.8 RHKHA 26 26 715581 340166 698465 280030 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10914.9 3319.1 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.0 3500.1 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15947.4 8347.9 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10570.1 4433.7 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14496.1 3465.9
6. Kenaikan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Rataan per tahun sebesar 5.0% The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0402 4.5887 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7504 13.8911 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.4883 14.1647 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6772.5 4783.8 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129097 70502.6 RG 26 26 98172.8 32781.6 98378.6 33363.0 RI 26 26 321683 134461 331085 122301 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31713.8 48949.3 RC 26 26 742744 301174 740137 283904 RY 26 26 1196450 440139 1201314 442045 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2285 60.0686 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3353 11.7410 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1706 3.6359 LRC 26 26 706578 292612 702346 270851 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120083 67099.4 LRI 26 26 303421 123769 315165 117939 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94158.3 30620.4 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30633.1 49357.0 LRY 26 26 1136763 419942 1142303 424200 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1885 4.6305 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6393.9 4857.2 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6171 11.9426 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259
Lampiran 8. Lanjutan LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.4 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3970.4 7626.1 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3970.4 7626.1 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.9088 13.8725 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3127.4 6720.3 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3127.4 6720.3 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29170.5 23993.4 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29170.5 23993.4 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.4 64.8837 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.9108 13.8719 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668447 270391 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.1 67.0500 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0671 13.9096 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26303.4 22243.7 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26303.4 22243.7 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.4730 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.0 567.2 DDKR 26 26 161.6 111.4 204.8 139.7 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7099.7 696.9 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.0 550.5 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.2 139.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 166.8 466.1 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48301.6 5927.7 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48301.6 5927.7 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.1 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47355.1 6236.5 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47355.1 6236.5 TTDF 26 26 753.0 683.0 753.8 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐808.7 6445.5 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10598.6 3834.7 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15486.0 8810.8 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10031.3 4861.4 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14671.6 3034.7 RHKHA 26 26 715581 340166 698611 280067 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10913.0 3318.2 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10828.0 3499.3 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15945.1 8348.4 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10563.0 4436.2 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14492.4 3464.7
259
261
Lampiran 9. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data
Spesifikasi Model rt Rt UIPt et Tt Gt It NXt Ct Yt IHKt LDt ULt Wt NXt MSt oilPt πt DEFL πEt Rus rus πus USCPI USGDP LSt DFHTIt AHTIt qHTIt SKHTIt DKHTIt PKHTIt PXPULPt PBBMt DFSWt ATSWt qSWt SBSWt DBSWt PBSWt PDMSWt PXMSWt DFKRt ATKRt qKRt P
P
P
P
P
P
Pengolahan Data R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP RW RNX RMS OILP DINF DFLA EXPINF RFRATE FEDRATE USINF USCPI USGDP LF TDFHTI AHTI PRODHTI QKHTI DKHTI RHKHTI RHEPU RHBBM TDFSW ATSW PRODSW QBSW DBSW RHBSW RHDMSW RHEMSW TDFKR ATKR PRODKR
Keterangan Suku Bunga (%) Suku Bunga Riil (%) Paritas Suku Bunga (%) Nilai Tukar (Rp/USD) Penerimaan Pajak (Rp miliar) Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar) Investasi (Rp miliar) Ekspor Bersih (Rp miliar) Konsumsi (Rp miliar) Produk Domestik Bruto (PDB) (Rp miliar) Indeks Harga Konsumen (Tahun 2000=100) Permintaan Tenaga Kerja (juta orang) Jumlah Pengangguran (juta orang) Upah Tenaga Kerja (Rp/bulan) Nilai Ekspor (Rp miliar) Penawaran Uang (Rp miliar) Harga Minyak Mentah Dunia (USD/barel) Inflasi Dalam Negeri (%) GDP Deflator (Tahun 2000=100) Ekspektasi Inflasi (%) Suku Bunga Riil Amerika Serikat (%) Suku Bunga Nominal Amerika Serikat (%) Inflasi Amerika Seikat (%) IHK Amerika Serikat (tahun 2000=100) PDB Amerika Serikat (USD miliar) Penawaran Tenaga Kerja (juta orang) Deforestasi untuk Areal HTI (ribu ha) Luas Areal HTI (ribu ha) Produktivitas HTI (m3/ha) Penawaran Kayu HTI (ribu m3) Permintaan Kayu HTI (ribu m3) Harga Kayu HTI (Rp/m3) Harga Ekspor Pulp (Rp/ton) Harga BBM (Rp/liter) Deforestasi untuk Areal Sawit (ribu ha) Luas Areal Tanaman Sawit (ribu ha) Produktivitas Tanaman Sawit (ton/ha) Penawaran Buah Sawit (ribu ron) Permintaan Buah Sawit (ribu ton) Harga Buah Sawit (Rp/kg) Harga Minyak Sawit Dalam Negeri (Rp/ton) Harga Ekspor Minyak Sawit (Rp/ton) Deforestasi untuk Areal Karet (ribu ha) Luas Areal Tanaman Karet (ribu ha) Produktivitas Tanaman Karet (ton/ha)
262
Lampiran 9. Lanjutan No 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 56. 57. 58. 59. 60 61. 62 63. 64. 65. 66. 67. 69. 70. 71.
Spesifikasi Model DDKRt SXKRt PDKRt PXKRt DFPDt ATPDt qPDt SGKGt DGKGt PGKGt PHPPt PDBRt DGHPHt AHPHt qHAt SKILLt SKHAt P
P
P
P
P
DKHAKGt DKHAKLt PKHAt PXKLt DRt PSDHt P
P
Pengolahan Data DDKR QXKR RHDKR RHEKR TDFPD ATPD PRODPD QGKG DGKG RHGKG RHHPP RHDBR DGHPH AHPH PRODHA QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA RHEKL RDR RPSDH
Keterangan Permintaan Karet Dalam Negeri (ribu ton) Penawaran Ekspor Karet (ribu ton) Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg) Harga Ekspor Karet (Rp/ton) Deforestasi untuk Areal Padi (ribu ha) Luas Areal Tanaman Padi (ribu ha) Produktivitas Tanaman Padi (ton/ha) Penawaran Gabah Kering Giling (ribu ton) Permintaan Gabah Kering Giling (ribu ton) Harga Gabah Kering Giling (Rp/kg) Harga Pembelian Pemerintah (Rp/kg) Harga Beras Dalam Negeri (Rp/kg) Degradasi Hutan Areal HPH (ribu ha) Luas Areal HPH (ribu ha) Produktivitas Hutan Alam (m3/ha/th) Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3) Penawaran Kayu Hutan Alam (ribu m3) Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri Kayu Gergajian (ribu m3) Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri Kayu Lapis (ribu m3) Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3) Harga Ekspor Kayu Lapis (Rp/m3) Dana Reboisasi (Rp/m3) Provisi Sumberdaya Hutan (Rp/m3)