DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL DAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA
ANISA NURAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Anisa Nuraini NRP. H151104364
ii
iii
ABSTRACT
ANISA NURAINI. Effects of External and Domestic Shocks on the Indonesian Macroeconomy. Under direction of HERMANTO SIREGAR and NUNUNG NURYARTONO. As a small open economy country, Indonesia is exposed to various external and domestic events that can potentially interfere its domestic macroeconomic stability. Hence, it is necessary to have appropriate policies in order to reduce the excessive fluctuations in economy. The aim of this study is to assess the main shocks affecting the domestic economy and also to find out domestic macroeconomic responses when shocks happen. To achieve aforementioned objectives we use a SVECM method with a set of short run restrictions based on the New Keynesian framework. This study finds that the domestic shocks hold an important role for the fluctuations of the domestic macroeconomy, meanwhile the external shocks including world oil price shock have less important role. Demand shock, ultimately real exchange rate shock, evidently become as important as supply shock, which is permanently responded by GDP and the real exchange rate. Moreover, this study also find that money neutrality occurs both in the shortrun and long-run. Keywords: business cycle, Indonesian macroeconomy, agregrat demand shocks, oil price shock, SVECM
iv
v
RINGKASAN
ANISA NURAINI. Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NUNUNG NURYARTONO. Visi Indonesia 2025 adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 6 besar dunia pada tahun 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam rangka mencapai visi Indonesia tersebut diperlukan stabilitas dalam perekonomian. Namun fluktuasi ekonomi, ekspansi dan kontraksi output, senantiasa mengikuti perjalanan perekonomian suatu negara. Kontraksi perekonomian kadang berlangsung lama, namun tidak berlangsung selamanya. Meski demikian ternyata kontraksi perekonomian menyebabkan penurunan output dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, sehingga diperlukan upaya untuk meredam dampak negatif dari krisis yang terjadi. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak hanya terpapar oleh peristiwa domestik seperti kebijakan ekonomi pemerintah namun juga berbagai peristiwa dunia seperti krisis dan fluktuasi tajam harga minyak dunia, yang bersifat mengganggu stabilitas ekonomi. Studi fluktuasi perekonomian dengan pendekatan business cycle masih sedikit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia meskipun pada level nasional. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dinamika respon variabel makroekonomi akibat guncangan tertentu.; dan (2) mengkaji guncangan yang paling berperan terhadap business cycle Indonesia. Cakupan penelitian ini adalah kajian dampak berbagai guncangan terhadap business cycle nasional. Identifikasi guncangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja New Keynesian. Guncangan eksternal dari sisi penawaran adalah guncangan harga minyak dunia, sedangkan guncangan eksternal dari sisi permintaan berupa guncangan suku bunga Amerika Serikat (AS). Guncangan domestik dari sisi penawaran diidentifikasi sebagai guncangan output, sedangkan guncangan domestik dari sisi permintaan meliputi guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta guncangan kebijakan moneter domestik. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai sumber antara lain BPS, BI dan The Federal Reserve. Data yang digunakan untuk analisis berupa data triwulanan mulai periode 1990:1 hingga 2012:2. Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah analisis IRF yang dihasilkan model SVEC, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua digunakan analisis FEVD. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model Siregar dan Ward (2000) yang dimodifikasi dengan menambahkan guncangan baru berupa guncangan harga minyak dunia yang belum dicakup pada penelitian sebelumnya. Berdasarkan model tersebut variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi PDB, kurs riil, permintaan uang riil, suku bunga domestik, suku bunga AS dan harga minyak dunia. Berdasarkan hasil pengujian asumsi time series diperoleh bahwa model memenuhi asumsi stasioneritas, ditemukan satu rank kointegrasi serta model yang dibangun adalah stabil. Karena seluruh variabel stasioner pada first difference
vi
kecuali suku bunga domestik yang stasioner dalam level dan ditemui adanya hubungan kointegrasi maka digunakan VECM yang dilanjutkan dengan menerapkan restriksi jangka pendek berdasarkan kerangka kerja New Keynesian sehingga menjadi SVECM. Berdasarkan hasil IRF ditemukan bahwa respon makroekonomi domestik terhadap guncangan eksternal berupa guncangan harga minyak dunia ternyata tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dengan meningkatkan subsidi harga BBM domestik, sehingga harga BBM domestik belum mengikuti harga keekonomiannya. Guncangan eksternal lain yaitu guncangan suku bunga AS hanya direspon secara signifikan oleh suku bunga domestik, sedangkan PDB dan variabel makroekonomi lainnya tidak merespon guncangan ini secara signifikan. Guncangan output direspon secara permanen oleh PDB dan permintaan uang riil. Guncangan kurs riil menyebabkan perubahan permanen dalam PDB dan kurs riil, sedangkan guncangan permintaan uang hanya direspon secara signifikan oleh permintaan uang riil. Guncangan kebijakan moneter penting dalam fluktuasi jangka pendek suku bunga domestik namun PDB tidak merespon guncangan ini secara signifikan. Analisis FEVD membuktikan bahwa guncangan domestik tidak mampu menjelaskan fluktuasi variabel eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara small open economy, sehingga perekonomian Indonesia terpapar oleh berbagai peristiwa dunia. Namun berdasarkan hasil FEVD ditemukan bahwa peristiwa eksternal yang dicakup dalam penelitian ini yaitu guncangan harga minyak dunia dan guncangan suku bunga AS ditemukan tidak berperan penting bagi fluktuasi perekonomian domestik. Guncangan domestik ditemukan lebih penting bagi fluktuasi makroekonomi Indonesia. Guncangan domestik dari sisi permintaan ternyata sama pentingnya seperti guncangan domestik dari sisi penawaran. Guncangan sisi permintaan yang utama adalah guncangan kurs riil. Guncangan kebijakan moneter domestik tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek maupun di jangka panjang, mengindikasikan money neutrality di seluruh horizon waktu. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka yang dapat disarankan yaitu: (1) Meski pengaruh harga minyak dunia bagi perekonomian domestik tidak signifikan karena harga BBM domestik masih disubsidi, namun arah respon PDB adalah negatif. Oleh karena itu pemerintah direkomendasikan untuk mulai mengurangi subsidi BBM dengan cara pembatasan BBM bersubsidi dengan aturan berbentuk undang-undang atau meningkatkan harga BBM domestik secara bertahap hingga sesuai harga keekonomiannya disertai realokasi dana subsidi BBM ke sektor produktif. (2) Guncangan kurs riil perlu diwaspadai karena menyebabkan PDB terkontraksi secara permanen. Ketika kurs riil berfluktuasi maka kebijakan fiskal adalah salah satu kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk menstabilkannya. (3) Kebijakan moneter efektif dipakai untuk stabilisasi fluktuasi permintaan uang riil dan fluktuasi suku bunga domestik. Kata Kunci:
business cycle, makroekonomi Indonesia, guncangan permintaan, guncangan harga minyak, SVECM
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
ix
DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL DAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA
ANISA NURAINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S
xi
Judul Penelitian Nama NRP Program Studi
: Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia : Anisa Nuraini : H151104364 : Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 13 September 2012
Tanggal Lulus:
xii
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala ridho dan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat selesai. Tesis ini berjudul “Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia”. Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Neraca Pengeluaran, dan Kepala Subdirektorat Neraca Pemerintah dan Badan Usaha yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada suamiku Brata Sanjaya serta anak-anakku Qiifa dan Ema, berkat dukungan kalian penulis mampu melewati saat-saat sulit dalam penyelesaian tesis ini. Selain itu ucapan terima kasih tak terkira untuk Mamah, Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan do’a dan dukungan sejak awal perkuliahan. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Alloh SWT. Semoga Alloh SWT memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Bogor, September 2012 Anisa Nuraini
xiv
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang (Jawa Tengah) pada tanggal 24 Juli 1981 dari pasangan (alm) Bapak Samsudin dan Ibu Kemini. Penulis menikah dengan Brata Sanjaya dan dianugerahi dua putri yaitu Tsaqiifa Nazhmaa ‘Ushaiyyah Sanjaya dan Azema Rasyiiqah Sanjaya. Setelah menamatkan pendidikan dasar hingga jenjang SMA di Semarang, pada tahun 1999 penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2003. Kemudian penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara di Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun 2006, penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik dan dipercaya menjadi Kepala Seksi Neraca Produksi pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik RI pada Subdirektorat Neraca Pemerintah dan Badan Usaha, Direktorat Neraca Pengeluaran. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB melalui penyelenggaraan khusus, setelah sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB. Program Penyelenggaraan Khusus ini merupakan kerjasama BPS dan IPB.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xx DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxiii DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xxv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xxvii I.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
1 1 9 10 11 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Definisi Business Cycle .................................................................. 2.2 Teori Business Cycle ....................................................................... 2.3 Model Business Cycle New Keynesian Indonesia .......................... 2.3.1 Sisi Permintaan ..................................................................... 2.3.1.1 Suku Bunga Amerika Serikat ..................................... 2.3.1.2 Permintaan Uang Riil ................................................. 2.3.1.3 Kurs Riil ..................................................................... 2.3.1.4 Suka Bunga Domestik ................................................ 2.3.2 Sisi Penawaran ..................................................................... 2.4 Studi Empiris ................................................................................. 2.4.1 Studi Business Cycle ............................................................. 2.4.2 Studi Fluktuasi Harga Minyak Dunia ................................... 2.5 Kerangka Pemikiran .......................................................................
13 13 14 16 17 19 21 21 22 22 23 23 29 30
III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 3.2 Analisis Deskriptif .......................................................................... 3.3 Prosedur Analisis Business Cycle ................................................... 3.4 Pengujian Time Series ..................................................................... 3.4.1 Uji Stasioneritas ..................................................................... 3.4.2 Uji Stabilitas Model VAR/VEC .............................................. 3.4.3 Uji Ordo Optimal VAR/VECM ............................................... 3.4.4 Uji Kointegrasi ....................................................................... 3.5 Model Vector Auto Regressive (VAR) ............................................. 3.6 Model Vector Error Correction (VEC) ........................................... 3.7 Model Structural VAR (SVAR) ....................................................... 3.8 Model Structural VEC (SVEC)........................................................ 3.9 Analisis Dinamika Respon Business Cycle Indonesia ..................... 3.10 Analisis Sumber Guncangan Utama Business Cycle Indonesia ......
33 33 37 37 38 38 40 40 41 42 43 44 45 46 47
xviii
IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA .................................. 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) ......................................................... 4.2 Kurs Riil ........................................................................................... 4.3 Permintaan Uang Riil ........................................................................ 4.4 Suku Bunga Domestik .......................................................................
49 49 53 55 57
V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS... 5.1 Pengujian Asumsi Time Series ......................................................... 5.1.1 Uji Stasioneritas ........................................................................ 5.1.2 Penetuan Lag Optimal ............................................................... 5.1.3 Uji Kointegrasi .......................................................................... 5.1.4 Uji Stabilitas Model VEC .......................................................... 5.2 Model VEC ......................................................................................... 5.3 Restriksi Struktural Model SVEC ...................................................... 5.4 Hubungan Contemporaneous Makroekonomi Domestik ..................
59 59 59 60 61 61 62 64 65
VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA ......................................................... 6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Eksternal .......................................................................... 6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia) ..................... 6.1.2 Guncangan Permintaan (Guncangan Suku Bunga Amerika Serikat) .................................................................................. 6.2 Peran Guncangan Eksternal terhadap Fluktuasi Makroekonomi Indonesia ........................................................................................... 6.3 Implikasi Kebijakan ........................................................................... TERHADAP VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK MAKROEKONOMI INDONESIA .......................................................... 7.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Domestik ......................................................................... 7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) ............................................ 7.1.2 Guncangan Permintaan .......................................................... 7.1.2.1Guncangan Kurs Riil ................................................... 7.1.2.2Guncangan Permintaan Uang ...................................... 7.1.2.3Guncangan Kebijakan Moneter Domestik .................. 7.2 Peran Guncangan Domestik terhadap Fluktuasi Makroekonomi Indonesia ........................................................................................... 7.3 Implikasi Kebijakan ...........................................................................
69 69 69 79 80 83
87 87 87 88 88 90 91 93 96
VIII.KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 99 8.1 Kesimpulan ....................................................................................... 99 8.2 Saran .................................................................................................. 100 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 103 LAMPIRAN .................................................................................................... 107
xix
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Perkembangan produksi minyak mentah dunia menurut kawasan ...........
4
2
Perkembangan konsumsi minyak dunia menurut kawasan ......................
5
3
Data dan sumbernya .................................................................................
33
4
Hasil uji unit root......................................................................................
59
5
Uji kointegrasi dengan Saikkonen & Lütkepohl-test ................................
61
6
Hubungan contemporaneous antar variabel ............................................
65
7
Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi variabel eksternal ............
81
8
Peran guncangan eksternal terhadap fluktuasi makroekonomi domestik .
82
9
Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi makroekonomi domestik
93
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ..........................
3
2
Perkembangan pertumbuhan supply dan demand minyak dunia ..............
6
3
Perkembangan harga minyak dunia .........................................................
7
4
Business Cycle...........................................................................................
14
5
Kerangka pemikiran penelitian ................................................................
31
6
Perbandingan suku bunga SBI 3 bulan dan suku bunga deposito Bank Umum 3 bulan ...........................................................................................
35
7
Regresi suku bunga deposito 3 bulan dan suku bunga SBI 3 bulan .........
35
8
Uji structural break ..................................................................................
36
9
Tahapan prosedur analisis penelitian .......................................................
37
10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan, 1990-2011 .........
49
11 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil Indonesia triwulanan .......
52
12 Perkembangan kurs nominal Rp/US$ dan kurs riil ..................................
53
13 Persentase perubahan kurs riil ..................................................................
55
14 Perkembangan permintaan uang M1 dan IHK .........................................
56
15 Perkembangan permintaan uang riil ........................................................
57
16 Perkembangan suku bunga SBI 3 bulan ..................................................
57
17 Perkembangan suku bunga AS Treasury Bill Rate 3 Months ...................
58
18 Uji stabilitas dari VAR(4) dengan CUSUM ..............................................
60
19 Uji stabilitas model VEC(3) dan 1 rank kointegrasi 1 dengan Recursive Eigenvalue .................................................................................................
61
20 Uji stabilitas model VEC(3) dan 1 rank kointegrasi 1 dengan Tau_t Statistics ....................................................................................................
62
xxi
21 Uji kausalitas suku bunga AS dan harga minyak dunia ...........................
64
22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri ............
69
23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak dunia .........................................................................................................
70
24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN .......................................
71
25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran .......
72
26 Pekembangan subsidi BBM dan subsidi non-energi ................................
74
27 Pekembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk pertanian ...................................................................................................
75
28 Respon suku bunga AS terhadap guncangan dirinya sendiri ...................
79
29 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan suku bunga AS ...
80
30 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan output .................
87
31 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan kurs riil ...............
89
32 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan permintaan uang
90
33 Respon makroekonomi domestik atas guncangan kebijakan moneter .....
92
xxii
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Uji unit root dengan ADF-test ..................................................................
108
2
Pemilihan panjang lag dalam sistem VECM ............................................
114
3
Uji kointegrasi dengan Saikkonen Lütkepohl-test ....................................
115
4
Model VEC ...............................................................................................
116
5
Representasi VAR dari model VEC ...........................................................
118
6a Uji autokorelasi dengan ACF dan PACF residual (uji diagnostik) ..........
120
6b Uji kenormalan residual (uji diagnostik VECM (3)) ................................
123
6c Plot standardized residual (uji diagnostik VECM (3)) .............................
124
7
Estimasi koefisien contemporaneous SVECM .........................................
125
8a Impulse Response Function atas guncangan harga minyak dunia ............
126
8b Impulse Response Function atas guncangan suku bunga Amerika Serikat ...................................................................................................... 129 8c Impulse Response Function atas guncangan output ................................
132
8d Impulse Response Function atas guncangan kurs riil ...............................
135
8e Impulse Response Function atas guncangan permintaan uang ................
138
8f
Impulse Response Function atas guncangan kebijakan moneter domestik ................................................................................................... 141
9a FEVD PDB ..............................................................................................
144
9b FEVD kurs riil...........................................................................................
145
9c FEVD permintaan uang riil.......................................................................
146
9d FEVD suku bunga domestik .....................................................................
147
9e FEVD suku bunga Amerika Serikat .........................................................
148
9f
149
FEVD harga minyak dunia .......................................................................
xxiv
xxv
DAFTAR ISTILAH Boom dan bust Booming Business Cycle
Comovement Contagion effect Credit crunch Ekspansi
Foot loose industry Full employment Inflasi Kontraksi
Kurs Kurs riil Laisses faire M1 Menu cost Natural Rate Hypothesis New Keynesian
Nominal rigidities Offset Output natural Overheating PDB
: karakteristik dari periode kemakmuran ekonomi yang diikuti dengan depresi : sebuah periode kenaikan output yang signifikan : fluktuasi yang terjadi pada kegiatan perekonomian agregat suatu negara, berulang tapi tidak terjadi secara periodik : pergerakan yang sama pada beberapa variabel : efek penularan : penurunan ketersediaan pinjaman (atau kredit) dari Bank : perkembangan ekonomi dalam pola konjungtur yang ditandai oleh kenaikan harga, peningkatan jumlah uang beredar, produksi, dan konsumsi : industri yang sedikit kandungan bahan baku lokal : tingkat pengangguran alami : kenaikan harga barang dan jasa secara umum : kemerosotan ekonomi dalam pola konjungtur, ditandai oleh menurunnya harga, berkurangnya jumlah uang beredar, produksi, dan konsumsi : harga dari suatu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya : nilai uang yang diukur dengan kemampuan uang tersebut untuk ditukar dengan barang atau jasa. : doktrin ekonomi yang tidak menginginkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian : jumlah uang dalam arti sempit yaitu uang kertas, uang logam dan uang giral : biaya kecil atas perubahan harga : tingkat pengangguran yang kembali ke tingkat alamiahnya : sebuah teori dalam ekonomi dimana guncangan nominal dapat memengaruhi variabel riil akibat dari adanya kekakuan harga dan upah nominal serta adanya kegagalan pasar : kekakuan harga dan upah nominal : menghilangkan : output alamiah : pemulihan ekonomi yang terlalu kuat : nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu
xxvi
Permintaan uang
Recovery Resesi
Sertifikat Bank Indonesia
Shock Stagflasi
Steady State Sub- prime mortgage
Surat Utang Negara
Treasury Bill rate
Turning Point Variabilitas
: jumlah uang yang diminta masyarakat untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga dan untuk spekulasi dalam sebuah perekonomian. : pemulihan perekonomian : keadaan dimana kegiatan ekonomi tidak berjalan dengan baik, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada : surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem bunga. : guncangan dalam ekonomi : suatu kondisi suatu perekonomian dimana terjadi inflasi dan stagnasi dalam waktu yang bersamaan : kondisi keseimbangan perekonomian di jangka panjang : praktek pemberian kredit pada debitur yang tidak memenuhi persyaratan kredit untuk diberikan pinjaman : surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai masa berlakunya. : nota jangka pendek (biasanya kurang dari satu tahun, biasanya tiga bulan) jatuh tempo yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai alat utama untuk mengatur pasokan uang dan penggalangan dana melalui operasi pasar terbuka. : titik balik : derajad penyebaran nilai variabel dari suatu tendensi sentral tertentu. Untuk mengetahui homogenitas dan heterogenitas data.
xxvii
DAFTAR SINGKATAN ACF AD ADF AIC APBN AS BBM CUSUM FEVD FPE HQ IHK IHSG IRF IS IS-LM LM NER OPEC PACF PDB RER RMB ROW SBC SBI SVAR SVECM TBill The Fed UIP VECM WTI
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Autocorrelation Function Aggregat Demand Augmented Dickey Fuller Akaike Information Criterion Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Aggregat Supply Bahan Bakar Minyak Cumulative of Sum Square Forecast Error Variance Decompositions Final Prediction Error Hannan-Quinn Information Criterion Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Saham Gabungan Impulse Response Functions Investment equal Saving Investment equal Saving- Liquidity Preference equal Money Liquidity Preference equal Money Nominal Exchange Rate Organization of Petroleum Exporting Countries Partial Autocorrelation Function Produk Domestik Bruto Real Exchange Rate Real Money Balance Rest of The World Schwarz Bayesian Information Criterion Sertifikat Bank Indonesia Structural Vector Auto Regressive Structural Vector Error Correction Model Treasury Bill rate The Federal Reserve Uncover Interest Parity Vector Error Correction Model West Texas Intermediate
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia
dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17 besar perekonomian dunia sehingga menjadi salah satu anggota G-20 (Kemenko Perekonomian 2011). Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia pada tahun 2011 tercatat sekitar 7.427 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi 6,46% (BPS 2012). Visi Indonesia 2025 adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan ekonomi 12 besar dunia di tahun 2025 dan 6 besar dunia pada tahun 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Berkaitan dengan itu, Kementrian Koordinator Perekonomian dan Bappenas menyatakan bahwa perekonomian Indonesia mampu mencapai visi tersebut dengan asumsi pertumbuhan riil sekitar 7% - 8% per tahun. Lembaga keuangan internasional seperti Goldmann Sachs juga memproyeksikan bahwa pada puncaknya Indonesia akan mencapai 6 besar dunia pada tahun 2050 dengan PDB nominal sebesar US$ 26.670 miliar dan pendapatan perkapita sebesar US$ 78.478 (Kemenko Perekonomian 2011). Dalam rangka mencapai visi Indonesia tersebut diperlukan stabilitas dalam perekonomian. Namun fluktuasi ekonomi, ekspansi dan kontraksi output, senantiasa
mengikuti
perjalanan
perekonomian
suatu
negara.
Kontraksi
perekonomian kadang berlangsung lama, namun tidak berlangsung selamanya. Meski demikian ternyata kontraksi perekonomian menyebabkan penurunan output dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, sehingga diperlukan upaya untuk meredam dampak negatif dari krisis yang terjadi. Indonesia mengalami beberapa periode kontraksi dan ekspansi. Periode emas perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1990 – 1996, hingga Indonesia dijuluki salah satu macan Asia selain Malaysia, Korea Selatan dan Singapura. Perekonomian Indonesia tumbuh pesat rata-rata sekitar 7% per tahun, depresiasi Rupiah terhadap US$ mampu dijaga stabil pada kisaran 3% - 5% serta pertumbuhan ekspor maupun impor yang tinggi. Namun booming ekonomi
2
tersebut tidak ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat. Industrialisasi yang dikembangkan sebagai jembatan transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan baku impor. Kolapsnya perekonomian bermula dari krisis mata uang tahun 1997 yang kemudian memicu terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, perekonomian terkontraksi sangat dalam hingga mencapai tingkat terendah yaitu sebesar minus 13%. Setelah itu perekonomian Indonesia berangsur membaik secara perlahan meski belum sepenuhnya pulih dan mencapai kondisi sebelum krisis ekonomi terjadi. Dalam perjalanannya, pemulihan ekonomi Indonesia dapat dikatakan lebih lambat bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia dan Korea yang juga mengalami krisis serupa. Membaiknya kinerja ekonomimakro Indonesia antara lain diindikasikan dengan terus meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan yang positif, stabilnya kurs rupiah serta terkendalinya inflasi. Namun fluktuasi perekonomian, boom dan bust, bisa terjadi setiap saat dan berbagai peristiwa yang terjadi dapat mengganggu kestabilan perekonomian di jangka pendek. Krisis keuangan global melanda dunia pada tahun 2008 sebagai akibat dari krisis perumahan yang melanda Amerika Serikat dan bangkrutnya lembagalembaga keuangan dunia seperti Lehman Brothers dan Goldmann Sachs. Keruntuhan perekonomian Amerika Serikat bermula dari krisis sub prime mortgage dan segera menjalar ke beberapa negara di dunia termasuk negaranegara di wilayah Asia. Indonesia pun tidak luput dari dampak krisis keuangan global tersebut meski tidak separah seperti krisis di penghujung tahun 1990-an. Dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia pertama kali dirasakan di pasar saham. Harga saham Bursa Efek Jakarta (BEJ) terkoreksi cukup dalam, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level terendah di tahun 2008 pada bulan Oktober yaitu 1.111,39 (Bloomberg 2012). Terlihat dari Gambar 1 bahwa resesi Amerika Serikat mulai direspon pasar saham domestik pada tahun 2008 pada bulan Juni, diindikasikan dengan mulai menurunnya IHSG.
3
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Sumber: Bloomberg 2012 Gambar 1 Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Selain itu juga terjadi penurunan kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kurs rupiah terdepresiasi hingga Rp 10.650 per US$. Pasar obligasi pemerintah dan swasta tertekan sehingga merugikan perbankan dan institusi pemegang obligasi (BI 2012). Meski dampaknya terasa di pasar saham, krisis keuangan global ternyata tidak begitu besar pengaruhnya ke sektor riil. PDB pada tahun 2009 tetap meningkat secara riil meski pertumbuhannya sempat melambat dari 6,01% di tahun 2008 menjadi 4,63% di tahun 2009. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi mampu mencapai angka 6,20% di tahun 2010 (BPS 2012). Disamping menghadapi krisis keuangan global yang sedikit banyak memengaruhi perekonomian domestik, Indonesia juga terpapar oleh berbagai peristiwa eksternal antara lain fenomena kenaikan harga minyak dunia di pasar komoditas
internasional.
Minyak
merupakan
komoditi
strategis
dimana
keberadaannya sampai saat ini masih sangat vital sebagai input dalam proses produksi. Namun sepanjang sejarah, harga minyak dunia mengalami beberapa kali guncangan. Pada era 1970-an, harga minyak bumi meningkat karena penurunan supply akibat berbagai konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah yang saat itu menjadi ladang utama minyak bumi dunia. Diantaranya adalah embargo OPEC tahun 1972-1973, Revolusi Iran di tahun 1978, Perang Irak-Iran pada tahun 1980 dan Perang Teluk Persia di tahun 1990. Berbagai peristiwa ini meningkatkan harga minyak dunia secara tajam dan menyebabkan resesi perekonomian global
4
(Hamilton, 2009). Sehingga pada era 1970-an tersebut, fluktuasi harga minyak sangat berperan dalam fluktuasi perekonomian global. Tabel 1 Perkembangan produksi minyak mentah dunia menurut kawasan Kawasan Amerika Utara
Produksi minyak mentah (juta barel per hari) 1990
1995
2000
2005
2008
2011
14,71 14,93 15,27 15,20 15,05 16,73
Amerika Tengah & Selatan
4,70
6,12
7,31
7,24
7,41
7,80
Eropa
4,82
6,87
7,16
6,11
5,21
4,27
Eurasia
11,30
7,14
8,18 11,76 12,55 13,31
Timur Tengah
17,45 20,42 23,48 25,55 25,84 26,87
Afrika
6,72
7,32
7,99 10,10 10,64
9,36
Asia & Oceania
6,74
7,50
8,31
8,76
Dunia
8,45
8,61
66,44 70,30 77,71 84,42 85,31 87,11
Sumber: US EIA 2012 Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi minyak dunia. Setelah tahun 1990, frekuensi konflik seperti perang semakin berkurang. Hal ini menyebabkan produksi minyak utamanya yang berasal dari kawasan Timur Tengah, kawasan yang berperan dalam menyediakan pasokan sebagian besar minyak mentah dunia, menjadi lebih stabil bila dibandingkan dengan era 1970an. Pada tahun 1990, produksi minyak mentah dari kawasan Timur Tengah mencapai 17,45 juta barel per hari dan memiliki share produksi terbesar dibanding pasokan dari kawasankawasan lainnya. Kawasan Amerika Utara juga berperan penting dalam pasokan minyak mentah dunia dimana pada tahun 1990 mampu memproduksi sekitar 14,71 juta barel per hari. Pada waktu yang sama kawasan Eurasia mampu memproduksi minyak mentah sekitar 11,30 juta barel per hari. Share ketiga kawasan ini bagi total produksi dunia sekitar 65,42%. Secara agregat, produksi minyak mentah dunia mencapai 66,44 juta barel per hari pada tahun 1990. Percepatan produksi terjadi dalam kurun waktu 1995 hingga 2005 dimana produksi minyak mentah meningkat tajam yaitu dari 70,30 juta barel per hari pada tahun 1995 menjadi 77,71 juta barel per hari pada tahun 2000 atau terjadi peningkatan sebesar 7 juta barel per hari dalam kurun waktu tersebut. Kenaikan
5
produksi ini terus berlanjut hingga tahun 2005 yang meningkat menjadi 84,42 juta barel per hari dari tahun 2000. Namun produksi minyak mentah mulai melambat setelah tahun 2005. Meski sebagian besar kawasan terus meningkat produksinya, namun kawasan Amerika Utara dan Eropa mengalami penurunan produksi minyak mentah. Selain membahas sisi penawaran minyak mentah, untuk mendapatkan gambaran mengenai pasar minyak bumi secara lengkap maka perlu diulas sisi permintaan minyak dunia yang didekati oleh konsumsi dunia. Tabel 2 menyajikan perkembangan konsumsi minyak dunia dari periode 1990 hingga 2011. Tabel 2 Perkembangan konsumsi minyak dunia menurut kawasan Konsumsi minyak dunia (juta barel per hari) Kawasan 1990 Amerika Utara Amerika Tengah & Selatan Eropa
1995
2000
2005
2008
2011
20,32 21,33 23,82 25,24 23,90 23,16 3,76
4,46
5,21
5,50
6,10
6,41
14,69 15,38 15,91 16,42 16,14 15,03
Eurasia
8,39
4,60
3,72
4,15
4,21
4,60
Timur Tengah
3,47
4,13
4,79
5,83
6,55
7,38
Afrika
2,07
2,25
2,50
2,97
3,19
3,51
Asia & Oceania
13,82 17,94 20,83 23,97 25,35 27,90
Dunia
66,52 70,10 76,79 84,11 85,46 87,42
Sumber: US EIA 2012 Pada tahun 1990, permintaan dunia mencapai 66,52 juta barel per hari. Tiga kawasan yang memiliki permintaan tertinggi adalah Amerika Utara (20,32 juta barel per hari), Eropa (14,69 juta barel per hari) dan Asia & Oceania (13,82 juta barel per hari). Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka aktivitas perekonomian juga meningkat dan membutuhkan sumber energi lebih banyak. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun permintaan minyak juga meningkat. Pada tahun 2000, total konsumsi minyak dunia mencapai 76,79 juta barel per hari atau meningkat sekitar 10 juta barel per hari bila dibandingkan dengan konsumsi dunia pada tahun 1990. Hingga tahun 2005, seluruh kawasan mengalami kenaikan konsumsi minyak.
6
Resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat sebagai konsumen utama minyak serta adanya krisis zona Euro di Eropa menyebabkan perlambatan permintaan minyak dunia secara total pada tahun 2008. Permintaan dunia hanya sedikit meningkat dari 84,11 juta barel per hari pada tahun 2005 menjadi 85,46 juta barel per hari pada tahun 2008. Dominasi konsumsi minyak beralih dari kawasan Amerika Utara ke kawasan Asia & Oceania, disebabkan oleh pesatnya perekonomian China dan India. Hingga tahun 2011, dampak krisis di Amerika Serikat dan Eropa menyebabkan perekonomian di kedua kawasan tersebut masih melambat sehingga permintaan minyak dari kawasan itu masih menurun. Secara agregat, permintaan minyak dunia di tahun 2011 mencapai 87,42 juta barel per hari. 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
(1.00)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
-
(2.00) pertumbuhan supply
pertumbuhan demand
Sumber: US EIA 2012 Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan supply dan demand minyak dunia Gambar 2 menunjukkan perkembangan pertumbuhan penawaran dan permintaan dunia atas komoditi minyak. Pertumbuhan permintaan minyak yang tidak mampu diikuti oleh pertumbuhan penawaran jarang terjadi pada era 1990an. Oleh karena itu harga minyak dunia tidak banyak bergejolak pada periode 19902000 dan berada di kisaran 15-40 US$ per barel (Gambar 3). Pada tahun 1991, 1999 dan 2002, terjadi penurunan penawaran ketika permintaan minyak tinggi. Penurunan penawaran pada periode-periode tersebut berkaitan dengan penurunan produksi minyak karena Perang Teluk Persia pada tahun 1990, krisis keuangan di Asia Timur atau Asia Financial Crisis (AFC) pada tahun 1998-1999 serta
7
turunnya produksi minyak dari Venezuela dan invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2002 (Hamilton, 2011). Setelah tahun 2002, secara umum pertumbuhan penawaran dan permintaan minyak relatif sama, namun harga minyak mentah mengalami fluktuasi yang tajam. Di tahun 2005, harga minyak mencapai 59,80 US$ per barel. Banyak kalangan memperkirakan bahwa harga minyak dunia akan terus meningkat. Pada tahun 2008, penawaran minyak tumbuh pesat sekitar 1,25%, sedangkan pertumbuhan permintaan minus 0,45%. Pesatnya perekonomian China dan India yang meningkatkan permintaan energi diimbangi oleh melemahnya perekonomian Amerika Serikat dan Eropa sehingga hasil akhir bagi permintaan dunia adalah tidak ada kenaikan yang berarti atas permintaan minyak. Namun jika dilihat dari harganya, pada periode 2008:2 terjadi kenaikan tajam dari harga minyak dunia hingga mencapai level tertinggi sejak tahun 1990 yaitu sekitar 139,96 US$ per barel. 160 140 120 US$/barel
100 80 60 40 20 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: US Department of Energy 2012 Gambar 3 Perkembangan harga minyak dunia Kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak berlangsung lama, segera terjadi penurunan harga minyak dunia hingga mencapai 49,64 US$ per barel pada tahun 2009 triwulan pertama. Dalam perkembangannya, harga minyak dunia kembali meningkat bahkan kembali mencapai diatas 100 US$ per barel pada tahun 2011 triwulan pertama. Dilihat dari perkembangan pertumbuhan
8
penawaran dan permintaan minyak ternyata juga tidak dijumpai indikasi penurunan penawaran atau kenaikan permintaan. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, kenaikan harga terjadi ketika permintaan meningkat dengan asumsi tidak ada kenaikan penawaran atau terjadi penurunan produksi ketika permintaan tetap atau meningkat. Bila dibandingkan antara pertumbuhan produksi dan konsumsi pada tahun 2008 dan 2011, ternyata tidak ada peningkatan permintaan secara drastis dibandingkan penawaran, yang dapat memicu kenaikan harga minyak dunia secara tajam. Begitu pula dari sisi penawaran, tidak terjadi penurunan produksi. Sisi penawaran minyak relatif memiliki pertumbuhan yang sama dengan sisi permintaan. Namun bila melihat perkembangan harga minyak dunia, ternyata pada tahun 2008 dan 2011 terjadi fluktuasi harga yang tajam. Realita bahwa kenaikan harga minyak tidak menyeimbangkan supply dan demand pada tahun 2008 dan 2011, memunculkan dugaan ada faktor lain yang menggerakkan harga minyak diluar hukum permintaan dan penawaran. Seiring dengan lesunya investasi di pasar saham dan rendahnya suku bunga deposito maka banyak investor ingin menempatkan dananya di pasar yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu investor memilih menempatkan dananya di pasar komoditas dimana minyak dunia diperdagangkan tidak secara fisik melainkan melalui transfer hak kepemilikan. Minyak mentah menjadi salah satu objek spekulasi. Ketika banyak investor membeli minyak mentah dengan harga diatas 100 US$ maka harga minyak dunia langsung meningkat, padahal dari basis permintaan dan penawaran tidak ada perubahan yang berarti. Bagi Indonesia, minyak masih menjadi sumber energi utama dalam proses produksi sehingga kenaikan aktivitas ekonomi di Indonesia berarti kenaikan permintaan minyak. Selain mengandalkan produksi minyak sendiri, Indonesia juga mengimpor minyak sekitar 456,7 ribu barel per hari di tahun 2009 untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini menjadikan Indonesia merupakan negara pengimpor minyak terbesar di dunia urutan ke-26. Dari sisi konsumsi minyak, Indonesia mengkonsumsi 1.292 ribu barel per hari di tahun 2010 dan menjadi negara yang mengkonsumsi minyak urutan 17 besar dunia. Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga minyak dunia ini akan berdampak negatif
9
terhadap perekonomian domestik yang menggantungkan sumber energi utamanya dari minyak. 1.2
Perumusan Masalah Stabilitas ekonomimakro sangat penting bagi kelancaran pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Stabilitas diperlukan untuk dapat meningkatkan standar hidup masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia beresiko terkena dampak dari berbagai peristiwa dunia. Berbagai krisis dan kenaikan harga minyak dunia bersifat mengganggu stabilitas. Krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990-an yang bermula dari krisis keuangan menyebabkan dampak serius bagi stabilitas perekonomian Indonesia, bahkan credit crunch sempat terjadi sehingga sektor riil kehilangan salah satu sumber pembiayaan. Namun berbeda dengan krisis keuangan global tahun 2008 lalu, ternyata dampaknya bagi perekonomian Indonesia tidak separah dampak krisis 1997-1998. Meskipun begitu, krisis keuangan global yang melumpuhkan sistem keuangan dunia tersebut akan berdampak negatif bagi Indonesia jika terjadi berlarut-larut. Selain peristiwa eksternal yang telah diuraikan sebelumnya, berbagai intervensi pemerintah domestik seperti kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta guncangan yang meningkatkan output juga dapat menyebabkan PDB ekspansi atau terkontraksi. Peran pemerintah dalam perekonomian misalnya menaikkan atau menurunkan pengeluaran pemerintah akan menyebabkan PDB menyimpang dari trend jangka panjangnya. Begitu juga ketika otoritas moneter menambah atau mengurangi jumlah uang beredar maka akan berdampak pada perubahan level PDB. Masyarakat modern berusaha mengendalikan business cycle dengan kebijakan ekonomi yang tepat yaitu bagaimana kebijakan fiskal dan kebijakan moneter memengaruhi business cycle. Namun perilaku harga adalah berbeda menurut horizon waktu. Di jangka pendek, harga adalah kaku, yaitu sulit menyesuaikan berbagai perubahan dalam perekonomian. Di jangka panjang, harga adalah fleksibel, dapat menyesuaikan dengan cepat berbagai perubahan kondisi ekonomi. Oleh karena itu kebijakan ekonomi, baik kebijakan fiskal maupun
10
kebijakan
moneter,
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
memengaruhi
perekonomian memiliki dampak yang berbeda menurut horizon waktu yang berbeda. Sehingga ekonom memerlukan model yang berbeda untuk horizon waktu yang berbeda. Selama horizon waktu harga adalah kaku maka variabel nominal mampu memengaruhi variabel riil sehingga perekonomian bisa menyimpang dari keseimbangan yang diprediksi model Klasik (Mankiw, 1993). Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka Indonesia dituntut untuk melakukan upaya lebih keras dalam menjaga stabilitas makroekonominya dan mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Berbagai gangguan terhadap stabilitas ekonomi dapat diredam dengan melakukan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti guncanganguncangan apa saja yang berperan besar dalam fluktuasi perekonomian Indonesia melalui kajian business cycle. Model business cycle yang dibangun tersebut harus mempertimbangkan perilaku harga yang kaku di jangka pendek, sehingga kajian business cycle dalam penelitian ini dilakukan dalam kerangka kerja New Keynesian. Studi fluktuasi perekonomian dengan pendekatan business cycle masih sedikit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia meskipun pada level nasional, diantaranya oleh Siregar dan Ward (2000) serta Supriana (2004). Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian business cycle Indonesia terkini dilakukan oleh Supriana pada tahun 2004 dengan menggunakan series data hingga tahun 2001. Selama kurun waktu lebih dari 10 tahun berselang, muncul guncangan-guncangan baru seperti shock harga minyak yang tidak tercakup dalam penelitian business cycle sebelumnya. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika respon variabel makoekonomi Indonesia terhadap beberapa guncangan? 2. Guncangan apa yang paling berperan dalam business cycle Indonesia? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
11
1. Menganalisis dinamika respon variabel makroekonomi akibat guncangan tertentu. 2. Mengkaji guncangan yang paling berperan terhadap business cycle Indonesia. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk mengidentifikasi business cycle Indonesia
sehingga dapat diketahui guncangan mana yang paling berperan dalam fluktuasi makroekonomi nasional. Ketika perekonomian Indonesia berada dalam krisis, dapat diketahui variabel kunci untuk memonitor dan memulihkan perekonomian secara cepat, sehingga kebijakan yang tepat dapat diambil untuk meredam fluktuasi ekonomi. Selain itu juga dapat diketahui apakah guncangan eksternal berperan penting dalam fluktuasi perekonomian domestik. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dampak berbagai guncangan
terhadap business cycle nasional. Identifikasi guncangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja New Keynesian. Guncangan eksternal yang dicakup dalam penelitian ini adalah guncangan dari sisi penawaran yaitu guncangan harga minyak dunia dan guncangan dari sisi permintaan yaitu guncangan suku bunga Amerika Serikat. Guncangan harga minyak dunia diasumsikan berasal dari guncangan terhadap dirinya sendiri. Guncangan domestik yang dicakup meliputi guncangan dari sisi penawaran dan guncangan dari sisi permintaan. Guncangan penawaran diidentifikasi sebagai guncangan output secara umum, tidak dirinci apakah berasal dari guncangan tenaga kerja, guncangan kapital atau guncangan teknologi. Guncangan permintaan berupa guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta guncangan kebijakan moneter domestik. Analisis business cycle menggunakan data time series pada periode 1990:1 hingga 2012:2.
12
Halaman ini sengaja dikosongkan
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Business Cycle Sepanjang sejarah, pertumbuhan ekonomi kerap diganggu oleh penurunan
output. Meski berlangsung dalam periode yang relatif singkat, penurunan PDB biasanya diiringi oleh peningkatan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu pemerintah mencoba untuk menstabilisasi perilaku makroekonomi melalui kebijakan ekonomi. Burns dan Mitchell (1946) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi yang terjadi pada kegiatan perekonomian agregat suatu negara, berulang tapi tidak terjadi secara periodik, lebih rincinya sebagai berikut: “Business cycles are a type of fluctuation found in the aggregate economic activity of nations that organize their work mainly in business enterprises: a cycle consists of expansions occurring at about the same time in many economic activities, followed by similarly general recessions, contractions, and revivals which merge into the expansion phase of the next cycle; this sequence of changes is recurrent but not periodic; in duration business cycles vary from more than one year to ten or twelve years …”.
Lucas (1976) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi berulang output dan pengangguran disekitar trend. Menurut Prescott (1998), kuncinya adalah pada comovement diantara time series ekonomi. Menurut Diebold dan Rudebusch (1994), definisi Burns dan Mitchell diatas mencakup dua unsur. Pertama adalah peran comovement diantara variabelvariabel ekonomi dalam penentuan titik balik atau turning point dari business cycle. Hal ini menjadi isu utama dalam metodologi mereka. Burns dan Mitchell menggunakan ratusan series seperti output, suku bunga dan sebagainya. Mereka mengelompokkan turning point series tersebut sehingga dapat ditentukan tanggal titik balik keseluruhan business cycle. Dari metode tersebut dapat diketahui indeks komposit leading, coincident dan lagging. Kedua adalah membagi business cycles menjadi fase-fase yang berbeda yaitu memperlakukan ekspansi berbeda dengan kontraksi.
14
Dalam jangka panjang PDB cenderung terus meningkat. Namun dalam jangka pendek PDB fluktuatif, naik dan turun, karena ada kekauan dalam harga dan upah (Makin 2002).
Sumber: Makin, 2002 Gambar 4 Business Cycle Gambar 4 menunjukkan hubungan antara business cycle dengan trend PDB. Pola puncak atau peak dan lembah atau trough dalam kegiatan makroekonomi disebut sebagai business cycle. Ketika PDB turun yaitu ketika PDB bergerak dari peak menuju ke trough, maka perekonomian mengalami resesi atau kontraksi. Untuk praktisnya, perekonomian dikatakan dalam kondisi resesi jika PDB turun lebih dari dua triwulan berturut-turut. Ketika PDB bergerak dari trough menuju ke peak maka perekonomian berada dalam fase pemulihan atau recovery atau dalam periode ekspansi. Pemulihan yang terlalu kuat dikatakan sebagai overheating. Satu siklus penuh dalam aktivitas perekonomian agregat bisa diukur dari satu lembah ke lembah berikutnya atau dari satu puncak ke puncak lainnya (Makin 2002). Jarak antara puncak dan garis trend yang bersesuaian merupakan deviasi siklus dari trend jangka panjangnya. 2.2
Teori Business Cycle Studi business cycle dikelompokkan menjadi tiga teori yaitu Real Business
Cycle, New Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Menurut Saphiro dan Watson (1988), esensi dari teori Keynesian bahwa dalam jangka pendek, kesediaan agen untuk menyerap output dalam perekonomian menentukan kuantitas output yang diproduksi. Dalam teori ini, guncangan terhadap aggregat demand akan menggerakkan perekonomian menjauh dari level output naturalnya
15
secara sementara dimana level output natural ditentukan oleh stok kapital, tenaga kerja dan teknologi dalam keseimbangan jangka panjangnya. Dilain pihak, teori klasik dan neo klasik tidak membenarkan kemungkinan bahwa output bisa terdeviasi dari keseimbangan jangka panjangnya kecuali dalam periode yang sangat singkat. Dalam teori ini harga dan tingkat pengembalian menyesuaikan dengan cepat sehingga perubahan dalam aggregat demand tidak menyebabkan perubahan output. Teori ini menjadi landasan kajian Real Business Cycle (RBC) dimana variabel nominal tidak bisa memengaruhi variabel riil. Sedangkan kaum monetaris berpendapat bahwa satu-satunya faktor yang dapat memengaruhi output adalah faktor moneter. Dalam penelitian ini digunakan teori New Keynesian. Mazhab New Keynesian berkembang sebagai respon atas kritik New Classical terhadap Keynesian tradisional. New Keynesian menambahkan pondasi mikroekonomi dalam teori ekonomi Keynesian tradisional. Asumsi mazhab New Keynesian adalah rumahtangga dan perusahaan berekspektasi secara rasional. Selain itu, terjadi kegagalan pasar bahwa terjadi persaingan tidak sempurna dalam harga dan penentuan upah sehingga menjelaskan mengapa harga-harga dan upah menjadi kaku yang artinya tidak menyesuaikan secara cepat perubahan dalam kondisi perekonomian. Kegagalan pasar dan kekakuan upah tersebut menyebabkan makroekonomi tidak dapat mencapai tingkat full employment. Oleh karena itu perlu intervensi pemerintah berupa kebijakan fiskal dan intervensi melalui kebijakan moneter oleh bank sentral agar tercapai kinerja ekonomi yang lebih efisien dibandingkan yang dicapai ketika perekonomian diserahkan semua kepada pasar atau laisses faire. Nominal rigidities atau kekakuan harga dan upah ini yang menjadi fokus model New Keynesian. Harga lambat menyesuaikan karena ada menu cost yaitu biaya kecil yang harus dibayar untuk menyesuaikan harga nominal seperti biaya membuat katalog, daftar harga atau harga menu. Nominal rigidities inilah yang menyebabkan fluktuasi jangka pendek dari variabel-variabel riil. Ketika harga output kaku dalam jangka pendek maka guncangan nominal seperti ekspansi moneter yaitu peningkatan jumlah uang beredar akan meningkatkan harga output dengan proporsi yang relatif lebih kecil dibandingkan perubahan uang beredar.
16
Hal ini menyebabkan upah riil turun akibatnya permintaan tenaga kerja meningkat sehingga lebih banyak output yang dihasilkan. Oleh karena itu, intervensi otoritas moneter dengan ekspansi moneter dapat menimbulkan fluktuasi jangka pendek pada variabel riil seperti output dan tenaga kerja. Teori New Keynesian menyatakan bahwa fluktuasi ekonomi makro disebabkan oleh fluktuasi pada permintaan agregat dan penawaran agregat. Intinya bahwa guncangan nominal dapat memengaruhi variabel riil akibat adanya kekakuan harga dan upah nominal serta kegagalan pasar. Pemerintah maupun otoritas moneter membuat suatu kebijakan dengan tujuan meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Ketika perekonomian menghadapi masa resesi maka diperlukan kebijakan yang ekspansif yang mampu membawa perekonomian keluar dari resesi. Sedangkan ketika perekonomian sedang overheating maka perlu dilakukan kebijakan yang kontraktif untuk meredam inflasi. Agar berdampak pada level mikro, maka kebijakan makro yang dibuat haruslah mempertimbangkan kondisi mikro yang sesuai dengan realita. Kondisi mikro dengan asumsi pasar persaingan sempurna, harga yang sangat fleksibel, pergerakan sumber daya yang sempurna dan tidak terjadi eksternalitas, tidak sesuai dengan realita. Sehingga yang cocok dengan realita adalah mazhab New Keynesian (Siregar 2009). Oleh karena itu, kajian business cycle pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka New Keynesian. Selain itu, hasil penelitian sebelumnya seperti Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) juga membuktikan bahwa fluktuasi ekonomi atau business cycle dapat dijelaskan secara lebih baik oleh model yang berlandaskan teori New Keynesian. 2.3
Model Business Cycle New Keynesian Indonesia IS-LM merupakan salah satu model makroekonomi dasar (Blanchard &
Fisher 1993). Model IS-LM Keynesian menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi yaitu deviasi PDB dari trend-nya disebabkan oleh berbagai penyebab potensial seperti guncangan terhadap konsumsi rumahtangga, perubahan kebijakan fiskal dan moneter, guncangan terhadap permintaan investasi dan perubahan fungsi permintaan uang. Menurut teori New Keynesian, selain permintaan agregat, penawaran agregat juga menjadi penyebab fluktuasi.
17
Dalam perekonomian terbuka, model IS-LM Keynesian disebut Model Mundell-Flemming, dikembangkan oleh Robert Mundell dan Marcus Fleming pada awal tahun 1960-an. Model ini mengasumsikan tingkat harga domestik dan asing adalah tetap, barang domestik dan asing tidak bersubstitusi sempurna tetapi aset domestik dan asing bersubstitusi sempurna serta menghasilkan ekspektasi return yang sama. Negara adalah small open economy sehingga variabel luar negeri adalah given dan tidak terpengaruh oleh tindakannya (Mankiw 1993). 2.3.1 Sisi Permintaan Kurva IS atau investment equal saving menunjukkan hubungan antara suku bunga domestik dengan pendapatan nasional. Kondisi dasar agar ekuilibrium di pasar barang dan jasa di perekonomian yaitu: total pengeluaran (C + I + G + NX) = total pendapatan nasional (Y) sehingga dapat ditulis menjadi: Y = C + I + G + NX
(1)
dimana: C
=
I
=
Konsumsi, merupakan fungsi dari pendapatan atau 𝐶 = 𝑐(𝑌)
r
=
Suku bunga riil, dimana r = suku bunga nominal (𝑖) - ekspektasi
Investasi, merupakan fungsi dari suku bunga riil atau 𝐼 = 𝐼(𝑟)
inflasi (𝜋 𝑒 ) atau ditulis menjadi: 𝑟 = 𝑖 − 𝜋 𝑒 . Diasumsikan di
G
=
jangka pendek 𝜋 𝑒 = 0 maka: 𝑟 = 𝑖
Kebijakan fiskal atau pengeluaran pemerintah, merupakan variabel eksogen
NX
=
Net ekspor, merupakan selisih antara ekspor dan impor. Menurut Makin (2002), dalam model Mundell-Fleming dasar, perubahan kurs nominal menyebabkan perubahan yang ekuivalen dengan kurs riil karena ada asumsi bahwa harga domestik (𝑃) dan harga asing (𝑃′ ) adalah fixed dalam jangka pendek. Perubahan daya saing ini akan memengaruhi aliran ekspor dan impor. Membaiknya daya saing akan meningkatkan ekspor dan menurunkan impor sehingga meningkatkan net ekspor. Oleh karena itu fungsi net ekspor menjadi:
18
𝑆𝑃 ′
𝑁𝑋 = 𝑁𝑋( 𝑃 , 𝑌 ∗ )
dimana
𝑆
adalah
kurs
nominal,
yang
didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang domestik. Diasumsikan pendapatan dunia (𝑌 ∗ ) tetap dan tidak masuk dalam model.
Persamaan (1) dapat ditulis kembali menjadi: 𝑆𝑃 ′
𝑌 = 𝐶(𝑌𝑖 ) + 𝐼(𝑖) + 𝐺̅ + 𝑁𝑋 � 𝑃 � 𝑌 = 𝐴 �𝑖, 𝑌𝑖 ,
𝑆𝑃 ′ 𝑃
, 𝐺̅ �
Equilibrium condition menyatakan bahwa pendapatan sama dengan output maka: 𝑌𝑖 = 𝑌, maka selanjutnya digunakan notasi 𝑌. Persamaan diatas ditulis sebagai
berikut:
𝑌 = 𝐴 �𝑖, dimana: 𝜕𝐴 𝜕𝑖
𝑆𝑃 ′ 𝑃
, 𝐺̅ �
(2)
< 0. Kenaikan suku bunga menyebabkan penurunan investasi sehingga
menurunkan output. 𝜕𝐴
𝑆𝑃′ ) 𝑃
𝜕(
> 0 . Depresiasi kurs riil menyebabkan kenaikan net ekspor sehingga
meningkatkan output.
Keseimbangan di pasar uang ditunjukkan oleh kurva LM atau liquidity preference equals money. Diasumsikan tidak ada substitusi mata uang, maka permintaan uang riil atau preferensi likuiditas residen dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: 𝑀 𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌)
(3)
dimana: 𝑀
= permintaan uang riil agregat
𝑃
i
= suku bunga nominal
Y
= output riil atau pendapatan Jumlah uang yang diminta dalam perekonomian tergantung dari suku bunga
nominal dan pendapatan. Makin tinggi suku bunga nominal maka makin besar opportunity cost memegang aset dalam bentuk uang yang tidak menghasilkan
19
bunga sehingga
𝜕𝐿 𝜕𝑖
< 0. Makin tinggi pendapatan maka makin besar belanja dalam
perekonomian sehingga kebutuhan uang untuk melakukan transaksi sehari-hari 𝜕𝐿
makin meningkat sehingga 𝜕𝑌 > 0.
Money supply, 𝑀 𝑠 , ditentukan secara independen oleh bank sentral. Suku
bunga keseimbangan ditentukan dari keseimbangan di pasar uang yaitu antara permintaan uang dan penawaran uang. Dalam perekonomian terbuka untuk small economy, suku bunga domestik sama dengan suku bunga dunia (𝑖 ∗ ) atau ditulis sebagai 𝑖 = 𝑖 ∗ . Tindakan domestik
tidak dapat memengaruhi perekonomian dunia sehingga suku bunga dunia given atau ditetapkan sebagai eksogenous dalam model. Suku bunga domestik tidak lagi menyeimbangkan tabungan domestik dan investasi domestik. Karena asumsi perfect capital mobility, maka residen domestik selalu memiliki akses penuh pada pasar keuangan dunia. Oleh karena itu, ketika tabungan domestik lebih rendah dari investasi domestik, residen suatu negara dapat meminjam dari Rest of the World (ROW) dengan suku bunga sebesar 𝑖 ∗ . Begitu juga ketika investasi
domestik lebih rendah dari tabungan domestik maka residen domestik dapat menginvestasikan dananya di luar negeri atau meminjamkannya ke ROW dengan suku bunga sebesar 𝑖 ∗ .
Perekonomian dalam keseimbangan jika IS = LM. Permintaan barang dan
jasa tergantung oleh pendapatan, kurs riil dan kebijakan fiskal. Depresiasi riil diasumsikan meningkatkan permintaan agregat. Dengan tingkat harga tetap maka ekspektasi inflasi 𝜋 𝑒 = 0. Penentuan kurs dalam keseimbangan statis ketika kurs
konstan (𝑑𝑆/𝑑𝑡) = (𝑑𝑆/𝑑𝑡)∗ = 0. Jika kurs konstan maka suku bunga domestik harus sama dengan suku bunga asing. Sehingga keseimbangan perekonomian dicirikan oleh: 𝑀 𝑃
= 𝐿(𝑖 ∗ , 𝑌) dan 𝑌 = 𝐴 �𝑖 ∗ ,
𝑆𝑃 ′ 𝑃
, 𝐺̅ �
2.3.1.1 Suku Bunga Amerika Serikat Aliran modal sensitif terhadap perubahan ekspektasi investor termasuk perubahan ekspektasi kurs. Jika investor berekspektasi di masa depan suatu mata uang akan jatuh maka mereka akan segera menjual aset finansial dengan
20
denominasi mata uang tersebut untuk menghindari kerugian modal (Makin 2002). Hubungan antara ekspektasi kurs dengan suku bunga domestik dan suku bunga asing dikenal dengan Uncover Interest Parity (UIP) yang dirumuskan sebagai: 𝑖 − 𝑖∗ = dimana:
𝑆𝑒 𝑆
𝜕𝑆
𝑆 𝑒 = ( 𝜕𝑡 )𝑒 , merupakan ekspektasi depresiasi kurs di masa akan datang, yang
ekspektasinya dibentuk saat ini. 𝑆′ =
𝑆𝑒 𝑆
.
Pada kondisi ekuilibrium, perbedaan suku bunga nominal kedua negara
sama dengan ekspektasi depresiasi kurs oleh investor. Ketika UIP terjadi, investor residen indifferent antara memegang bond domestik atau bond asing meski suku bunga asing lebih tinggi dari suku domestik. Implikasi penting lainnya dari adanya UIP ini adalah perbedaan suku bunga domestik dan asing yang terobservasi merupakan ukuran ekspektasi apresiasi atau depresiasi kurs nominal. Akibatnya, jika suku bunga domestik lebih tinggi dari suku bunga asing, tidak menyatakan bahwa kondisi ini akan menguntungkan bagi perekonomian domestik dalam arti biaya pinjaman asing lebih rendah sehingga akan meningkatkan pinjaman dengan denominasi mata uang asing. Oleh karena itu terjadi depresiasi setelah pelarian pinjaman ke asing terjadi dan menghilangkan manfaat rendahnya suku bunga pinjaman dengan denominasi mata uang asing (Makin 2002). Karena Indonesia merupakan small open economy maka suku bunga dunia given dan diasumsikan ditentukan hanya oleh guncangan eksogen seperti kebijakan moneter dunia sehingga 𝑖 ∗ = ℎ(𝜀𝑖 ∗ ). Dimana 𝜀𝑖 ∗ adalah shock kebijakan
moneter dunia. Apabila kebijakan moneter dunia kontraksi maka suku bunga dunia meningkat sehingga
𝜕ℎ
𝜕𝜀𝑖∗
> 0.
Besarnya peran perekonomian Amerika Serikat terhadap perekonomian dunia maka suku bunga dunia didekati dengan suku bunga Amerika Serikat yang berubah karena kebijakan moneter The Fed. Sehingga fungsi suku bunga AS adalah sebagai berikut: 𝑖 ∗ = ℎ(𝜀𝑖 ∗ )
(4)
21
2.3.1.2 Permintaan Uang Riil Dengan asumsi UIP terpenuhi maka untuk menghitung substitusi mata uang, maka kita dapat memasukkan 𝑖 ∗ atau 𝑆 ′ . Karena 𝑆 ′ tidak diketahui maka
yang dimasukkan dalam persamaan money demand adalah S. Persamaan money demand menjadi
𝑀 𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌, 𝑆).
Depresiasi mata uang domestik akan menurunkan permintaan akan mata uang domestik sehingga
𝜕𝐿
𝜕𝑆
< 0. Diasumsikan bahwa perubahan preferensi yang
berkaitan dengan resiko memegang mata uang adalah konstan di jangka pendek. Menurut Blanchard dan Fisher (1989), harga adalah fixed. Mengkonstankan harga di jangka pendek berimplikasi bahwa
𝜕𝐿
𝜕𝑆
𝜕𝐿
= 𝜕𝑄, sehingga suku bunga domestik
sama dengan suku bunga asing. 𝑄 merupakan kurs riil. Sehingga fungsi money demand menjadi
𝑀 𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌, 𝑄).
Selain itu diasumsikan juga bahwa fluktuasi money demand disebabkan oleh guncangan variabel itu sendiri (𝜀𝑚/𝑝 ) dimana
money demand jangka pendek: 𝑀 𝑃
𝜕𝐿
𝜕𝜀𝑚/𝑝
= 𝐿′(𝑖, 𝑌, 𝑄, 𝜀𝑚/𝑝 )
> 0. Oleh karena itu, fungsi
(5)
2.3.1.3 Kurs Riil
Persamaan IS (2) dinyatakan dalam kurs riil: 𝑄 = 𝑞(𝑌, 𝑖 ∗ )
Hubungan output dengan kurs bisa positif maupun negatif tergantung sumber kenaikan output dari investasi atau net ekspor. Jika kenaikan output berasal dari kenaikan investasi maka kenaikan investasi tersebut akan meningkatkan suku bunga domestik sehingga dengan UIP maka akan terjadi apresiasi mata uang domestik sehingga
𝜕𝑞
𝜕𝑌
< 0. Jika kenaikan output berasal dari kenaikan net ekspor 𝜕𝑞
maka mata uang akan terdepresiasi sehingga 𝜕𝑌 > 0.
Hubungan suku bunga dunia dengan kurs riil adalah positif. Yaitu jika suku
bunga dunia meningkat maka akan terjadi penurunan investasi sehingga supply 𝜕𝑞
mata uang domestik meningkat dan kursnya terdepresiasi sehingga 𝜕𝑖 ∗ > 0.
22
Selain itu, fluktuasi kurs juga disebabkan oleh guncangan pada spending balance dimana guncangan yang memperburuk spending balance berarti mendepresiasi kurs atau ditulis pendek menjadi:
𝜕𝑞
𝜕𝜀𝑄
> 0. Oleh karena itu, persamaan kurs jangka
𝑄 = 𝑞′(𝑌, 𝑖 ∗ , 𝜀𝑄 )
(6)
2.3.1.4 Suku Bunga Domestik Persamaan LM (3) dinyatakan dalam suku bunga maka: 𝑀
𝑖 = 𝑖( 𝑃 , 𝑌)
Karena harga adalah kaku di jangka pendek, maka untuk membedakan guncangan permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik terhadap suku bunga 𝑀
domestik maka permintaan uang riil ( 𝑃 ) tidak dimasukkan dalam persamaan suku
bunga domestik.
Berdasarkan relasi UIP, maka suku bunga domestik dipengaruhi oleh suku bunga Amerika Serikat dan apresiasi atau depresiasi kurs, sehingga suku bunga Amerika Serikat dan kurs dimasukkan dalam persamaan suku bunga domestik. Oleh karena itu, persamaan suku bunga domestik menjadi: 𝑖 = 𝑖(𝑖 ∗ , 𝑌, 𝑄, 𝜀𝑖 )
(7)
dimana: 𝜕𝑖
𝜕𝑖 ∗
> 0, kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan memicu kenaikan suku
bunga domestik. 𝜕𝑖
𝜕𝑌
> 0 𝑎𝑡𝑎𝑢 < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi kenaikan
real money balance akibat kenaikan output atau tidak. 𝜕𝑖
𝜕𝑄
> 0 𝑎𝑡𝑎𝑢 < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi apresiasi
atau depresiasi kurs riil atau tidak. 𝜕𝑖
𝜕𝜀𝑖
> 0 adalah kebijakan moneter kontraksi yang menyebabkan kenaikan suku
bunga domestik.
2.3.2 Sisi Penawaran Sisi penawaran ditunjukkan oleh fungsi agregat supply (AS). Menurut Mankiw (1999), kenaikan harga minyak dunia (𝑃𝑜 ∗ ) merupakan salah satu
23
guncangan penawaran. Selain itu, guncangan terhadap penawaran agregat disebabkan oleh guncangannya sendiri atau disebut sebagai supply shock (𝜀𝑦 ). Sehingga persamaan output jangka pendek: 𝑌 = 𝑦(𝑃𝑜 ∗ , 𝜀𝑦 )
(8)
dimana: 𝜕𝑦
𝜕𝑃𝑜 ∗
< 0, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan biaya input
perusahaan sehingga menjadi disinsentif bagi pengusaha untuk menaikkan output. 𝜕𝑦
𝜕𝜀𝑦
2.4
> 0, guncangan output yang favorable akan meningkatkan output. Studi Empiris
2.4.1 Studi Business Cycle Kajian-kajian business cycle modern menelaah pengaruh relatif dari setiap guncangan eksogen misalnya mana yang lebih penting pengaruh guncangan moneter atau guncangan fiskal lalu bagaimana respon dinamis variabel-variabel endogen terhadap setiap guncangan eksogen (Siregar 2009). Shapiro dan Watson (1988) meneliti sumber-sumber fluktuasi business cycle Amerika Serikat. Mereka mengidentifikasi bahwa hanya guncangan penawaran yang dapat memengaruhi output di jangka panjang seperti guncangan teknologi, harga minyak dan tenaga kerja. Modelnya dibangun berdasarkan model pertumbuhan neoklasik dimana pergerakan jangka panjang dalam output seluruhnya disebabkan oleh perubahan secara eksogen dalam input tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Dalam jangka pendek, output mungkin terdeviasi dari nilai steady state jangka panjangnya. Deviasi tersebut mungkin berasal dari guncangan terhadap level permanen input tenaga kerja dan teknologi yang memicu transisi dari satu steady state ke steady state lainnya atau juga bisa berasal dari guncangan permintaan. Sehingga pergerakan output bisa disebabkan oleh tiga sumber yaitu guncangan penawaran berupa guncangan tenaga kerja dan guncangan teknologi serta guncangan permintaan. Guncangan penawaran tenaga kerja dan teknologi dalam penelitian Shapiro dan Watson
didefinisikan sebagai guncangan penawaran dan memiliki efek
permanen terhadap level output sedangkan guncangan permintaan memiliki efek
24
sementara. Variabel yang digunakan dalam model adalah total jam kerja, output, inflasi, suku bunga nominal dan harga minyak riil. Berdasarkan hasil Forecast Error Variance Decompositions (FEVD) ditemukan bahwa fluktuasi output utamanya banyak dijelaskan oleh guncangan penawaran tenaga kerja, selain juga dijelaskan oleh guncangan teknologi di seluruh horizon waktu. Guncangan permintaan hanya mampu menjelaskan variabilitas output di jangka pendek. Sedangkan guncangan penawaran lainnya yaitu harga minyak tidak berperan penting dalam fluktuasi output dan variabel makroekonomi lainnya di seluruh horizon waktu. Guncangan permintaan dominan dalam menjelaskan fluktuasi suku bunga nominal dan riil, harga serta inflasi. Rapach (1998) menilai relatif pentingnya guncangan pada Aggregat Demand (AD) dan guncangan pada Aggregat Supply (AS) terhadap fluktuasi output Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah real spending, PDB dan money supply. Rapach menggunakan metode SVAR dimana guncangan diidentifikasi melalui restriksi struktural jangka panjang berdasar Natural Rate Hypothesis. Rapach menemukan bahwa guncangan permintaan dan guncangan penawaran paling berperan terhadap fluktuasi PDB, sedangkan guncangan moneter sedikit peranannya. Berdasarkan
analisis
Impulse
Response
Functions
(IRF),
Rapach
menemukan bahwa guncangan penawaran mampu meningkatkan output di jangka pendek dan jangka panjang. Temuan ini sesuai dengan restriksi yang dibangun bahwa guncangan penawaran adalah satu-satunya guncangan yang memengaruhi output di jangka panjang. Respon variabel lainnya atas guncangan penawaran ditemukan tidak signifikan. Guncangan permintaan (IS) hanya meningkatkan output di jangka pendek, sesuai dengan restriksi bahwa output kembali ke level naturalnya di jangka panjang. Suku bunga nominal dan suku bunga riil merespon guncangan tersebut lebih tinggi dibanding tingkat sebelum guncangan sehingga menurunkan permintaan uang riil. Bank sentral meresponnya dengan menurunkan money supply di jangka pendek untuk mengendalikan inflasi. Guncangan money demand meningkatkan money supply dan permintaan uang riil. Dari hasil penelitiannya, Rapach menemukan bahwa respon terhadap guncangan money supply sesuai dengan transmisi moneter yaitu kenaikan money
25
supply menyebabkan kenaikan ekspektasi inflasi, sedangkan respon suku bunga nominal tidak signifikan sehingga suku bunga riil menjadi lebih rendah dibanding tingkat sebelum guncangan. Hal ini mendorong peningkatan output. Namun sejalan dengan waktu, suku bunga riil meningkat untuk kembali ke level sebelum guncangan begitu pula output yang menurun responnya menuju level sebelum guncangan (sesuai dengan restriksi). Hal ini menurunkan permintaan uang riil karena meningkatnya opportunity cost memegang uang. Berdasarkan analisis FEVD ditemukan bahwa fluktuasi output dominan dijelaskan oleh guncangan IS di jangka pendek dan guncangan penawaran di jangka panjang. Sedangkan guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting dalam variabilitas output. Temuan Rapach menolak pandangan monetaris yang mengklaim bahwa guncangan kebijakan moneter menggerakkan fluktuasi output, sekaligus mendukung Keynesian dalam hal peran guncangan IS. Blanchard
dan
Quah
(1988)
mempelajari
dinamika
output
dan
pengangguran atas guncangan aggregate demand dan aggregate supply. Menurut mereka, level output di jangka panjang ditentukan oleh guncangan penawaran seperti guncangan teknologi dan guncangan penawaran tenaga kerja. Variabel yang digunakan yaitu PDB, pengangguran, tingkat produktivitas, harga, upah nominal dan money supply. Mereka berpendapat bahwa fluktuasi dalam GNP diakibatkan oleh dua jenis guncangan yaitu guncangan yang memiliki pengaruh permanen terhadap output disebut guncangan penawaran dan guncangan yang memiliki pengaruh tidak permanen terhadap output disebut guncangan permintaan. Karena ada nominal rigidities, guncangan permintaan memiliki efek jangka pendek atau sementara terhadap output dan pengangguran. Efek ini akan menghilang sejalan dengan waktu. Dalam jangka panjang, hanya guncangan penawaran yang memengaruhi output atau memiliki dampak yang permanen. Berkembangnya
debat
mengenai
apakah
model
Keynesian
dapat
menjelaskan perekonomian direspon Gali (1992) dengan mengevaluasi validitas model IS-LM dan Kurva Phillips dalam menjelaskan perekonomian Amerika Serikat setelah Perang Dunia. Gali menggunakan variabel PDB, money supply, suku bunga Amerika Serikat jangka pendek yaitu T-Bills 3 months dan IHK. Dalam studinya, Gali mengkombinasikan restriksi jangka pendek dan jangka
26
panjang. Guncangan permintaan direstriksi tidak punya efek pada PDB di jangka panjang sama halnya dengan restriksi yang dibangun oleh Blanchard dan Quah (1988). Restriksi jangka pendek digunakan untuk memisahkan guncangan IS dari guncangan moneter dimana guncangan moneter direstriksi tidak memiliki efek contemporaneous terhadap output. Artinya output tidak merespon guncangan moneter dalam triwulan yang sama atau ada lag respon. Berdasarkan analisis FEVD, Gali menemukan bahwa selain guncangan penawaran yang mendominasi fluktuasi PDB di seluruh horizon waktu, ternyata guncangan IS mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek. Sedangkan guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting bagi fluktuasi output di jangka pendek dan jangka panjang. Hasil IRF mengungkap bahwa guncangan IS yang positif hanya sementara efeknya bagi PDB, namun permanen bagi permintaan uang riil, suku bunga nominal (positif), inflasi (positif) dan pertumbuhan uang. Guncangan money supply awalnya menaikkan permintaan uang riil karena harga sulit menyesuaikan. Dengan output yang tetap (karena direstriksi tidak langsung merespon) maka likuiditas yang tinggi menurunkan suku bunga baik nominal maupun riil. Setelah itu output baru merespon rendahnya suku bunga dengan peningkatan output. Seiring dengan kenaikan output maka inflasi dan suku bunga nominal ikut naik (sesuai dengan kurva Phillips dan kurva LM). Di jangka panjang, output dan suku bunga riil turun kembali ke level sebelum guncangan tapi suku bunga nominal, inflasi dan pertumbuhan uang merespon permanen dan mencapai level steady state baru yang lebih tinggi sehingga permintaan uang riil menjadi lebih rendah di jangka panjang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada bukti empiris yang mendukung model IS-LM-Kurva Phillips dapat menjelaskan perekonomian AS setelah perang dunia, dimana respon dinamis perekonomian terhadap berbagai tipe guncangan sesuai dengan prediksi kerangka kerja IS-LM-Kurva Phillips. Siregar (2001) melakukan penelitian business cycle di New Zealand dengan membandingkan ketiga teori dalam business cycle yaitu Real Business Cycle, New Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Siregar menggunakan SVAR terkointegrasi dan menemukan bahwa New Keynesian Business Cycle adalah yang paling sesuai bagi perekonomian New Zealand, dimana seluruh
27
estimasi parameternya sesuai dengan arah yang diharapkan dan dinamika respon IRF konsisten dengan teori New Keynesian. Selain itu, restriksi jangka pendek yang diterapkan ternyata didukung oleh data. Temuan penelitian ini yaitu guncangan
permintaan
ditemukan
sama
pentingnya
dengan
guncangan
penawaran. Guncangan permintaan terpenting adalah guncangan kurs riil yang didefinisikan sebagai guncangan kebijakan fiskal. Selain penting bagi fluktuasi kurs riil, guncangan kebijakan fiskal juga berperan penting dalam fluktuasi permintaan uang dan suku bunga domestik. Guncangan penawaran berupa guncangan teknologi mampu menjelaskan fluktuasi output, kurs riil, suku bunga domestik, jam kerja dan permintaan uang. Temuan lain dari penelitian Siregar yaitu guncangan permintaan uang hanya penting bagi fluktuasi permintaan uang, sedangkan guncangan kebijakan moneter (suku bunga domestik) penting dalam fluktuasi suku bunga domestik dan permintaan uang. Guncangan eksternal khususnya suku bunga dunia ditemukan penting dalam menjelaskan fluktuasi pengangguran, permintaan uang, kurs riil dan output. Cheng (2003) mempelajari dampak fluktuasi money supply sebagai ukuran kebijakan moneter, defisit anggaran sebagai ukuran kebijakan fiskal dan pembentukan modal domestik terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia Dalam penelitiannya
tersebut,
Cheng
menggunakan
metode
VECM.
Temuan
penelitiannya adalah fluktuasi PDB riil selain dominan dijelaskan oleh guncangannya sendiri juga banyak dijelaskan oleh guncangan kebijakan moneter yang makin mendominasi di jangka panjang. Guncangan kebijakan fiskal ikut berperan dalam menjelaskan fluktuasi PDB namun dengan peran yang lebih kecil, sedangkan guncangan pembentukan modal tetap bruto tidak penting bagi fluktuasi PDB riil Malaysia. Sehingga kebijakan pemerintah utamanya otoritas moneter memainkan peran sangat penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi Malaysia. Dari hasil IRF diketahui bahwa guncangan money supply dan pembentukan modal direspon positif oleh pertumbuhan ekonomi sedangkan guncangan defisit anggaran direspon negatif. Siregar dan Ward (2000) meneliti peran guncangan Aggregat Demand dalam menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Mereka menggunakan
28
metode SVAR yang dikombinasikan dengan kointegrasi dan menerapkan restriksi jangka pendek dan jangka panjang. Variabel yang digunakan adalah money supply, kurs nominal, suku bunga jangka pendek domestik, PDB, IHK Indonesia, IHK Amerika Serikat serta suku bunga jangka pendek Amerika Serikat. Berdasarkan hasil FEVD ditemukan bahwa guncangan kurs tidak hanya menjadi penentu utama fluktuasi kurs di seluruh horizon waktu namun juga variabilitas output baik di jangka pendek maupun jangka panjang, serta juga dominan dalam menjelaskan fluktuasi suku bunga domestik dan permintaan uang riil. Sedangkan guncangan penawaran memainkan peran penting dalam variabilitas output di jangka pendek dan jangka panjang serta fluktuasi jangka pendek real money balance. Selain itu ditemukan bahwa guncangan suku bunga dunia hanya berperan penting dalam menjelaskan variabilitas jangka panjang permintaan uang riil. Guncangan money supply dan money demand tidak mampu menjelaskan fluktuasi output di seluruh horizon waktu, namun hanya berperan bagi fluktuasi dirinya sendiri masing-masing. Hasil IRF dalam penelitian Siregar dan Ward menemukan bahwa guncangan eksternal berupa guncangan suku bunga AS tidak berdampak signifikan bagi perekonomian domestik. Guncangan penawaran hanya direspon permanen oleh output. Guncangan yang memperburuk spending balance berdampak permanen bagi turunnya output dan terdepresiasinya kurs riil. Respon permintaan uang riil atas guncangan permintaan uang hanya signifikan dalam jangka pendek sedangkan makroekonomi domestik lainnya tidak merespon guncangan ini secara signifikan. Respon yang sama ditunjukkan oleh makroekonomi domestik atas guncangan suku bunga domestik dimana respon signifikan hanya oleh suku bunga domestik di jangka pendek. Supriana (2004) mengkaji business cycle Indonesia dari sisi permintaan menggunakan variabel suku bunga jangka pendek Amerika Serikat, PDB, kurs, permintaan uang, defisit anggaran, suku bunga domestik serta investasi. Metode yang digunakan adalah VECM. Supriana menemukan bahwa guncangan yang dapat menjelaskan dinamika business cycle Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah guncangan kurs, sedangkan guncangan output hanya dapat menjelaskan fluktuasi jangka pendek. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa
29
guncangan fiskal dan moneter tidak mampu menjelaskan variabilitas PDB dan kurs Indonesia. 2.4.2 Studi Fluktuasi Harga Minyak Dunia Nordhaus (2007) menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia setelah tahun 2000 direspon berbeda oleh perekonomian dibanding respon pada tahun 1970-an. Invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2002 dipercaya mampu menurunkan supply minyak dunia sehingga memicu kenaikan harga minyak dunia. Namun kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak banyak mengkontraksi perekonomian dimana PDB tetap mampu tumbuh positif dan inflasi moderat. Pada era 1970-an, guncangan harga minyak dunia disebabkan oleh konflik di Timur Tengah seperti perang Arab Israel tahun 1973, revolusi Iran di tahun 1978, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Guncangan-guncangan tersebut mampu
memicu
resesi
perekonomian
global,
berbeda
dengan
respon
makroekonomi pada era 2000-an. Hamilton (2009) meneliti kesamaan dan perbedaan guncangan harga minyak pada tahun 2007-2008 dibandingkan dengan guncangan harga minyak era 1970-an dengan melihat penyebab dan dampaknya bagi perekonomian. Guncangan harga minyak era 1970-an lebih banyak dikontribusi oleh gangguan fisik seperti penurunan supply, sedangkan kenaikan harga minyak di tahun 20072008 lebih karena kenaikan permintaan padahal produksi tetap. Dampak bagi perekonomian atas guncangan harga minyak pada era 1970-an ternyata buruk yaitu inflasi yang tinggi dan PDB terkontraksi dalam. Namun bagi perekonomian saat ini, guncangan harga minyak pada tahun 2007-2008 lalu tidak menyebabkan resesi perekonomian, dimana inflasi moderat dan pertumbuhan ekonomi tetap positif. Blanchard dan Gali (2010) berusaha mengungkap alasan mengapa guncangan harga minyak dunia berbeda efeknya bagi perekonomian pada era 1970-an dan 2000-an. Pada era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan stagflasi dan tingginya angka pengangguran, sedangkan pada era 2000-an, gucangan harga minyak dunia tidak banyak menjelaskan fluktuasi perekonomian
dimana
inflasi
dan
pertumbuhan
ekonomi
tetap
terjaga
kestabilannya. Mereka membagi periode penelitian menjadi dua periode waktu
30
yaitu sebelum tahun 1984 dan setelah tahun 1984. Metode SVAR digunakan untuk mengidentifikasi guncangan harga minyak. Analisis IRF sebelum periode 1984 pada penelitian Blanchard dan Gali menunjukkan
bahwa
dampak
guncangan
harga
minyak
dunia
adalah
terkontraksinya PDB yang mencapai minus 75% dibanding level sebelum guncangan setelah triwulan ke-11, begitu juga dengan respon tertinggi inflasi yang mencapai 75% melebihi tingkat sebelum ada guncangan. IRF pada periode setelah 1984 menunjukkan bahwa dampak bagi PDB masih negatif namun jauh lebih kecil dibanding respon sebelum 1984. PDB terkontraksi 25% dan stabil setelah triwulan ke-7 setelah guncangan, sedangkan inflasi hanya meningkat 25%. Hal ini disebabkan oleh penurunan kekakuan upah riil sepanjang waktu, meningkatnya kredibilitas otoritas moneter dalam menjaga inflasi serta turunnya kontribusi minyak dalam PDB. Purwanti (2011) melakukan studi mengenai dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3. Metode analisis yang digunakan adalah First Difference-Generalized Method of Moments (FD-GMM). Temuannya yaitu
kenaikan laju perubahan
harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi karena umumnya negara-negara ASEAN+3 tidak melakukan subsidi harga bahan bakar. Selain itu, ternyata kenaikan laju perubahan harga minyak juga signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 2.5
Kerangka Pemikiran Untuk mencapai visi Indonesia di tahun 2025, dimana Indonesia diharapkan
menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia, maka diperlukan stabilitas dalam perekonomian. Namun berbagai peristiwa baik eksternal maupun domestik dapat mengganggu
kestabilan
perekonomian
sehingga
dapat
mempertinggi
pengangguran dan kemiskinan. Peristiwa ekternal yang dicakup adalah fluktuasi harga minyak dunia serta fluktuasi suku bunga Amerika Serikat, sedangkan peristiwa domestik adalah kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral, guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta favorable shock dalam penawaran. Ketika terjadi guncangan yang memperburuk perekonomian maka kebijakan yang tepat
31
diperlukan untuk membawa perekonomian keluar dari resesi serta mampu meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Untuk mencapai Visi Indonesia 2025 diperlukan stabilitas perekonomian Kondisi eksternal: Krisis moneter 1998, krisis keuangan global, kenaikan harga minyak dunia
Kondisi internal: Intervensi pemerintah melalui kebijakan ekonomi
Guncangan eksternal: - Penawaran: harga minyak dunia - Permintaan: suku bunga Amerika Serikat
Guncangan domestik: - Penawaran: output - Permintaan: kurs riil, permintaan uang dan kebijakan moneter domestik
Masalah: Berbagai peristiwa (eksternal dan domestik) dapat mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
Perlu diketahui sumber guncangan utama bagi fluktuasi makroekonomi Indonesia Kerangka kerja New Keynesian (harga kaku di jangka pendek)
Kajian Business Cycle New Keynesian
Implikasi Kebijakan Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian Namun perilaku harga adalah berbeda menurut horizon waktu. Harga dan upah nominal di jangka pendek adalah kaku sedangkan di jangka panjang fleksibel, sehingga kebijakan ekonomi bisa memiliki dampak yang berbeda menurut horizon waktu ini. Oleh karena itu dilakukan penelitian business cycle yang mempertimbangkan kekakuan harga di jangka pendek. Model business cycle
32
yang dibangun dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka kerja New Keynesian. Diharapkan sumber guncangan utama bagi perekonomian Indonesia dapat teridentifikasi serta diketahui bagaimana dinamika respon makroekonomi Indonesia atas berbagai guncangan yang terjadi. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 5.
33
III. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berasal dari berbagai sumber dan dirinci dalam Tabel 3. Data tersebut berupa data triwulanan mulai periode 1990:1 hingga 2012:2, sehingga terdapat observasi sebanyak 90 triwulan. Selain itu juga dikumpulkan berbagai data pendukung seperti subsidi BBM dan APBN dari Kementrian Keuangan. Tabel 3 Data dan sumbernya Data PDB atas dasar harga konstan 2000 IHK Indonesia Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan Kurs nominal (Rp/US$) M1 Suku bunga Amerika Serikat (Treasury Bills rate 3 months) IHK Amerika Serikat Harga minyak dunia WTI
Sumber Badan Pusat Statistik (BPS) BPS Bank Indonesia (BI) BI BI The Federal Reserve US Bureau of Labor Statistics US Department of Energy
Series data PDB atas dasar harga konstan yang diperoleh dari BPS adalah dalam bentuk triwulanan dengan tahun dasar yang berbeda-beda. Series PDB riil pada periode 1990:1-1992:4 diperoleh atas dasar harga konstan 1983, sedangkan untuk series PDB riil pada periode 1993:1-1999:4 adalah atas dasar harga konstan 1993. Series data PDB riil untuk periode 2000:1-2012:2 adalah atas dasar harga konstan 2000. Oleh karena itu data PDB perlu disamakan tahun dasarnya dimana untuk series PDB riil sebelum tahun 2000:1 dirubah tahun dasarnya ke tahun dasar 2000. Kurs riil diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 𝐼𝐻𝐾 𝐴𝑆
𝑅𝐸𝑅 = 𝑁𝐸𝑅 × 𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑 dimana: 𝑅𝐸𝑅
=
𝑁𝐸𝑅 =
real exchange rate atau kurs riil nominal exchange rate atau kurs nominal, merupakan data pada akhir triwulan (maret, juni, september dan desember). Kurs nominal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang domestik (Rp/US$). Ketika kurs riil turun menunjukkan
34
apresiasi mata uang domestik dan ketika kurs riil meningkat menunjukkan depresiasi mata uang domestik. 𝐼𝐻𝐾 𝐴𝑆 = Indeks Harga Konsumen Amerika Serikat
𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑 = Indeks Harga Konsumen Indonesia
IHK diperoleh dalam frekuensi bulanan. Data IHK triwulanan diperoleh dari IHK akhir triwulan (IHK pada bulan maret, juni, september dan desember). Agar sesuai dengan tahun dasar PDB maka IHK Indonesia dan IHK Amerika Serikat dirubah tahun dasarnya ke tahun 2000. Real money atau permintaan uang riil dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑀1
𝑅𝑀𝐵 = 𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑 dimana: 𝑅𝑀𝐵 𝑀1
= real money balance atau permintaan uang riil = jumlah uang beredar, merupakan data akhir triwulan (maret, juni, september, desember). M1 adalah ukuran jumlah uang beredar yang meliputi uang kertas, uang logam dan uang giral. Suku bunga jangka pendek Amerika Serikat menggunakan US Treasury
Bills rate 3 months dari secondary market dalam satuan persen per tahun, diperoleh dalam bentuk bulanan. Series data suku bunga AS dalam bentuk triwulanan diperoleh dengan menghitung rata-rata suku bunga AS bulanan. Suku bunga domestik yang digunakan seharusnya sesuai dengan US Treasury Bills rate 3 months, namun karena tidak tersedia data suku bunga obligasi pemerintah 3 bulan untuk Indonesia dengan series yang cukup panjang, maka dalam penelitian ini digunakan series suku bunga SBI 3 bulan. Pada periode 1993:1, 1994:3 s/d 1996:3 serta 2010:4 s/d 2012:1, tidak tersedia data suku bunga SBI 3 bulan. Untuk mengisi datanya, dilakukan dengan interpolasi dan ekstrapolasi dengan meregresikan suku bunga deposito 3 bulan terhadap suku bunga SBI 3 bulan. Gambar 6 menunjukkan perbandingan suku bunga SBI 3 bulan dengan suku bunga deposito Bank Umum 3 bulan. Hasil regresi suku bunga deposito terhadap suku bunga SBI menggunakan Eviews 6 disajikan pada Gambar 7.
35
SBI
deposito
60
persen
50 40 30 20 10 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: BI, 2012 Gambar 6 Perbandingan suku bunga SBI 3 bulan dan suku bunga deposito Bank Umum 3 bulan Gambar 6 memperlihatkan pergerakan suku bunga deposito Bank Umum untuk jangka pendek 3 bulan ternyata sangat mirip dengan pergerakan suku bunga SBI 3 bulan. Oleh karena itu dicoba untuk meregresikan kedua suku bunga tersebut untuk interpolasi dan ekstrapolasi suku bunga SBI. Dependent Variable: DEPO Method: Least Squares Sample (adjusted): 1990Q1 2010Q3 Included observations: 73 after adjustments DEPO=C(1)+C(2)*SBI
C(1) C(2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
0.777865 1.018329
0.538379 0.032817
1.444829 31.03075
0.931328 0.930361 2.333812 386.7141 -164.4363 962.9073 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.1529 0.0000 15.17425 8.843829 4.559898 4.622650 4.584906 1.132643
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 7 Regresi suku bunga deposito 3 bulan dan suku bunga SBI 3 bulan Berdasarkan Gambar 7 diperoleh bahwa R-squared regresi suku bunga deposito Bank Umum 3 bulan terhadap suku bunga SBI 3 bulan sangat tinggi yaitu 93%. Estimasi konstanta ditemukan tidak signifikan dengan p-value sebesar 0,1529, sedangkan estimasi slope signifikan. Untuk mengisi data SBI yang kosong dalam rentang waktu penelitian digunakan koefisien slope tersebut.
36
Data harga minyak mentah dunia West Texas Intermediate (WTI) diperoleh dari US Department of Energy dalam bentuk data triwulanan. Series data harga tersebut merupakan spot price dan masih berupa harga nominal. Oleh karena itu harga nominal tersebut dibuat menjadi harga riil dengan membagi harga nominal minyak mentah dengan IHK Amerika Serikat. Selain memasukkan enam variabel diatas, model juga diperkaya dengan dua variabel dummy. Krisis moneter tahun 1998 mengakibatkan terjadinya structural break sehingga dibuat variabel dummy krisis 1998. Penentuan periode break dilakukan berdasarkan uji structural break pada PDB dalam unit root with structural break-test. Dihasilkan bahwa periode 1998:1 adalah awal terjadinya structural break. Oleh karena itu dalam model dimasukkan shift dummy dengan nilai 0 untuk periode sebelum 1998:1 dan minus 1 untuk periode 1998:1 hingga 2012:2. Gambar 8 menyajikan hasil uji structural break menggunakan JMulTi 4.24. Break date search for series:
lpdb
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
searched range:
[1991 Q3, 2011 Q4], T = 82
number of lags (1st diff):
1
suggested break date:
1998 Q1
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 8 Uji structural break Variabel dummy kedua adalah dummy net impor. Dummy ini dimasukkan dalam model karena ketika Indonesia masih menjadi net eksportir minyak, maka guncangan kenaikan harga minyak dunia akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Namun mulai tahun 2004:1, Indonesia menjadi net importir minyak sehingga kenaikan harga minyak dunia akan membawa dampak negatif bagi perekonomian domestik. Oleh karena itu dibuat dummy net impor dengan nilai 0 untuk periode sebelum 2004:1 dan nilai minus 1 untuk periode 2004:1 hingga 2012:2. Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan Microsoft Excel 2007, Eviews 6 dan JMulTi 4.24. Eviews 6 digunakan untuk interpolasi dan ekstrapolasi suku bunga SBI 3 bulan serta untuk uji kausalitas suku bunga AS dan harga
37
minyak dunia. JMulTi 4.24 digunakan untuk menguji asumsi-asumsi time series dan menganalisis business cycle Indonesia. 3.2
Analisis Deskriptif Analisis
deskriptif
menyajikan
analisis
tabel
dan
gambar
untuk
memudahkan pemahaman dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran fluktuasi makroekonomi Indonesia meliputi PDB, kurs riil, permintaan uang riil dan suku bunga domestik selama periode penelitian. 3.3
Prosedur Analisis Business Cycle Gambar 9 menunjukkan pilihan metode yang akan digunakan dalam
penelitian, apakah SVAR atau SVECM berdasarkan stasioneritas variabel dalam model dan kehadiran rank kointegrasi. Data (level) Uji Stasioneritas
Stasioner
Tidak Stasioner Uji Kointegrasi Tidak ada kointegrasi
Ada kointegrasi
Uji stasioneritas dalam difference hingga stasioner VAR
VAR Difference restriksi struktural
restriksi struktural
SVAR
Rank Kointegrasi VECM
SVECM IRF
Innovation Accounting FEVD
Gambar 9 Tahapan prosedur analisis penelitian
38
Apabila seluruh variabel stasioner dalam level maka akan digunakan VAR. Bila model tidak stasioner dalam level namun ditemui terkointegrasi maka digunakan VECM. Bila variabel tidak stasioner dalam level dan setelah diuji kointegrasinya ternyata tidak ditemui adanya hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel tersebut maka digunakan VAR difference. Analisis
berikutnya
setelah
model
VAR/VECM
ditentukan
adalah
memperkaya model dengan teori business cycle dalam kerangka kerja New Keynesian sehingga menjadi Structural VAR/Structural VECM. Selanjutnya menganalisis hasil IRF dengan melakukan bootstrap terlebih dahulu untuk memperoleh selang kepercayaan bagi IRF. Teknik bootstrap ini bermanfaat untuk sampel yang relatif kecil sehingga IRF yang dihasilkan menjadi lebih reliable (Lütkepohl dan Kratzig, 2004). Dalam penelitian ini dilakukan bootstrap dengan replikasi sebanyak 1000 kali. Langkah berikutnya adalah menganalisis FEVD. 3.4
Pengujian Time Series
3.4.1 Uji Stasioneritas Umumnya data series ekonomi makro adalah tidak stasioner. Syarat stasioneritas ini harus dipenuhi agar tidak memperoleh hasil regresi semu atau spurious. Regresi semu ditandai dengan t statistik dan F statistik yang signifikan dan 𝑅 2 yang tinggi, namun terjadi autokorelasi. Beberapa metode time series
mensyaratkan data yang stasioner. Suatu variabel disebut stasioner jika memiliki rata-rata, varians dan kovarians yang konstan atau time invariant, sedangkan errornya bersifat white noise memiliki rata-rata nol, varians yang konstan dan tidak ada autokorelasi. Hubungan signifikan yang terjadi antar variabel tidak memiliki arti ekonomi namun lebih disebabkan adanya common trend pada variabel-variabel tersebut. 𝑦𝑡 = 𝑎1 𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
(9)
dimana {𝜀𝑡 } adalah white noise.
Menurut Enders (2004), jika 𝑎1 = 0 maka variabel tersebut mengikuti
model Random Walk. Jika 𝑎1 ≥ 1 maka variabel 𝑦 bersifat memiliki unit root atau tidak stasioner sehingga nilai variabel 𝑦 akan cenderung divergen dari mean
39
tertentu. Jika 𝑎1 < 1 maka variabel 𝑦 tidak memiliki unit root atau stasioner. Oleh
karena itu perlu diuji apakah 𝑎1 ≥ 1 atau tidak.
Dickey-Fuller (DF) memodifikasi persamaan (9) dengan mengurangkan kedua sisi
dengan 𝑦𝑡−1 : 𝑦𝑡 − 𝑦𝑡−1 = 𝑎1 𝑦𝑡−1 − 𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
∆𝑦𝑡 = (𝑎1 − 1)𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡 ∆𝑦𝑡 = 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
(10)
dimana 𝛾 = 𝑎1 − 1.
Menguji 𝛾 = 0 ekuivalen dengan menguji 𝑎1 = 1.
Dari persamaan (10) maka dapat dibuat hipotesis: H0: 𝛾 = 0 atau ada unit root
H1: 𝛾 < 0 atau tidak ada unit root Statistik uji: 𝑡ℎ𝑖𝑡 =
� −𝛾 𝛾 𝜎𝛾�
Kriteria keputusannya yaitu jika 𝑡ℎ𝑖𝑡 lebih besar dari nilai kritis MacKinnon
maka tidak ada cukup bukti untuk menolak H0 berarti {𝑦𝑡 } mengandung unit root atau tidak stasioner. Jika 𝑡ℎ𝑖𝑡 lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon maka H0 ditolak berarti {𝑦𝑡 } tidak mengandung unit root atau dikatakan stasioner.
Untuk menguji kehadiran unit root, selain persamaan (10) terdapat
persamaan regresi lain yang dapat digunakan yaitu: ∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝑎2 𝑡 + 𝜀𝑡
(11) (12)
Perbedaan ketiga persamaan diatas terletak pada apakah konstanta 𝑎0 dan time trend 𝑎2 𝑡 dimasukkan dalam persamaan. Persamaan (10) adalah model pure random walk, persamaan (11) adalah model random walk plus drift, sedangkan persamaan (12) merupakan model random walk plus drift and time trend. Karena terdapat 3 model persamaan maka DF juga menyediakan nilai kritis yang berbeda sesuai model yang digunakan tergantung dari bentuk regresi dan jumlah sampel. t statistik dari persamaan (10), (11) dan (12) masing-masing dibandingkan dengan 𝜏,𝜏𝜇 dan 𝜏 𝑇 . Jika dari hasil pengujian stasioneritas DF
ternyata ada unit root maka common trend harus dibuang dengan cara differencing atau detrending. Differencing dilakukan dengan meregresikan selisih variabel
40
kemudian diuji dengan DF-test jika dihasilkan tolak H0 maka variabel bersangkutan stasioner pada first difference. Augmented Dickey Fuller (ADF) mengatasi masalah pengujian unit root dengan DF-test yang tidak mempertimbangkan lag dalam persamaan. 𝑝
∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + ∑𝑖=2 𝛽𝑖 ∆𝑦𝑡−𝑖+1 + 𝜀𝑡 𝑝
dimana 𝛾 = −(1 − ∑𝑖=1 𝑎𝑖 ) 𝑝
𝛽𝑖 = − ∑𝑗=1 𝑎𝑗
Jika ∑ 𝑎𝑖 , 𝛾 = 0 maka sistem memiliki unit root. Kehadiran unit root diuji dengan cara yang sama seperti diatas.
3.4.2 Uji Stabilitas Model VAR/VEC Sebelum hasil estimasi VAR dianalisis, terlebih dahulu dilakukan pengujian stabilitas model. Hal ini penting karena hasil analisis IRF dan FEVD yang dihasilkan tidak akan valid jika model VAR/VEC yang diestimasi tidak stabil. Pengujian stabilitas model VAR dapat dilakukan dengan CUSUM sedangkan untuk VECM menggunakan recursive eigen value dan tau_t statistics (Lütkepohl & Kratzig 2004). 3.4.3 Uji Ordo Optimal VAR/VECM Untuk menentukan panjang lag optimal digunakan kriteria informasi seperti AIC (Akaike Information Criterion), HQ (Hannan-Quinn Information Criterion), SBC (Schwarz Bayesian Information Criterion) dan FPE (Final Prediction Error). Lütkepohl dan Kratzig (2004) menyatakan bahwa kriteria informasi dihitung dari reduced form VAR/VECM. Panjang lag optimal dipilih dengan meminimisasi salah satu kriteria informasi berikut: 2
𝐴𝐼𝐶(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� + 𝑇 𝑛𝐾 2
2𝑙𝑜𝑔𝑙𝑜𝑔𝑇 𝐻𝑄(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� + 𝑛𝐾 2 𝑇 𝑙𝑜𝑔𝑇 𝑆𝐶(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� + 𝑇 𝑛𝐾 2 ∗
𝐾
𝑇+𝑛 𝐹𝑃𝐸(𝑛) = �𝑇−𝑛∗ � det �Σ�𝑢 (𝑛)�
dimana:
41
Σ�𝑢 (𝑛) diestimasi dengan 𝑇 −1 ∑𝑇𝑡−1 𝑢�𝑡 𝑢�𝑡′
𝑛∗ adalah total parameter setiap persamaan dari model
𝑛 adalah ordo lag dari variabel endogen
Panjang lag yang meminimumkan tiap kriteria informasi diatas adalah yang disajikan dalam output JMulTi. 3.4.4 Uji Kointegrasi Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang tidak stasioner dalam level. Keberadaan hubungan kointegrasi memberikan peluang bagi data yang secara individual tidak stasioner untuk menghasilkan sebuah kombinasi linier diantara mereka sehingga tercipta kondisi yang stasioner. Secara sederhana, dua variabel disebut terkointegrasi jika hubungan kedua variabel tersebut dalam jangka panjang akan mendekati atau mencapai kondisi ekuilibriumnya. Adanya kointegrasi diketahui dengan kehadiran rank kointegrasi. Untuk menguji adanya kointegrasi dari enam variabel yang digunakan dalam penelitian ini digunakan Saikkonen & Lütkepohl-test. Uji kointegrasi dalam JMulTi dilakukan berdasarkan model umum sebagai berikut: 𝑦𝑡 = 𝐷𝑡 + 𝑥𝑡 dimana:
𝑦𝑡 adalah vektor K variabel
𝐷𝑡 adalah deterministic term, misalnya 𝐷𝑡 = 𝜇0 + 𝜇1 𝑡 𝑥𝑡 adalah VAR(p) dengan representasi VECM: 𝑝−1
Δ𝑥𝑡 = Π𝑥𝑡−1 + ∑𝑗=1 Γ𝑗 Δ𝑦𝑡−𝑗 + 𝑢𝑡
𝑢𝑡 adalah vektor proses white noise dengan 𝑢𝑡 ∼ (0, ∑ 𝑢). Rank Π adalah rank
kointegrasi dari 𝑥𝑡 , sehingga merupakan rank kointegrasi dari 𝑦𝑡 . Rank kointegrasi diuji berdasarkan hipotesis: 𝐻0 (𝑟0 ): 𝑟𝑘(Π) = 𝑟0 𝐻1 (𝑟0 ): 𝑟𝑘(Π) > 𝑟0 dimana:
𝑟0 = 0, … , 𝐾 − 1
42
3.5
Model Vector Autoregressive (VAR) Model VAR digunakan jika seluruh variabel stasioner dalam level. Namun
jika variabel tidak stasioner dalam level dan tidak terkointegrasi maka digunakan VAR difference. Menurut Sims (1980) dalam Lütkepohl (2005), model VAR merupakan alternatif dari model persamaan simultan yang banyak digunakan sebelum tahun 1980. Persamaan simultan tidak memperhitungkan struktur dinamika data time series dengan frekuensi bulanan atau triwulanan. Sims juga mengkritisi model persamaan simultan klasik mengenai identifikasi dan asumsi exogeneity untuk beberapa variabel, bahwa sulit untuk menemukan variabel yang betul-betul eksogen. Enders (2004) menyatakan bahwa VAR merupakan sistem persamaan dimana tiap variabel endogen merupakan fungsi dari konstanta dan lag seluruh variabel endogen dalam sistem. Bentuk standar model VAR dalam JMulTi adalah sebagai berikut (Lütkepohl & Kratzig 2004): 𝑦𝑡 = 𝐴1 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞 𝑥𝑡−𝑞 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
(13)
dimana:
𝑦𝑡 = (𝑦1𝑡 , … , 𝑦𝐾𝑡 )′ adalah vektor dari K variabel endogen
𝑥𝑡 = (𝑥1𝑡 , … , 𝑥𝑀𝑡 )′ adalah vektor dari M variabel eksogen
𝐷𝑡 = variabel deterministik, meliputi konstanta, trend linier, seasonal dummy dan variabel dummy lainnya.
𝑢𝑡 = proses white noise dengan rata-rata nol dan matriks kovarians yang positif, berdimensi K
𝐴𝑖 , 𝐵𝑗 , 𝐶 = matriks parameter
Jika tidak ada variabel eksogen maka model VAR menjadi: 𝑦𝑡 = 𝐴1 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
Estimasi dapat dilakukan dengan Generalized Least Squares (GLS). Untuk
itu setiap persamaan dalam sistem diestimasi dahulu menggunakan Ordinary Least Squares (OLS). Residual digunakan untuk mengestimasi matriks kovarian yang bersifat white noise, Σ𝑢 , sebagai Σ�𝑢 = 𝑇 −1 ∑𝑇𝑡−1 u� t u� ′t . Estimator ini kemudian digunakan dalam tahap selanjutnya untuk menghitung estimator GLS.
43
3.6
Model Vector Error Correction (VEC) Sebagian besar data makroekonomi adalah tidak stasioner dalam level.
Untuk menghindari hasil yang spurious, maka data harus distasionerkan dahulu, salah satu caranya dengan melakukan differencing. Namun memaksa variabel menjadi stasioner dengan differencing menyebabkan hilangnya informasi jangka panjang. Oleh karena itu berkembang metode analisis VECM yang dapat mengakomodir data yang tidak stasioner dalam level dengan tetap memperoleh hasil yang tidak spurious. Menurut Enders (2004), VECM adalah VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang tidak stasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan maka persamaan kointegrasi dimasukkan dalam model VAR yang digunakan. Memasukkan matriks kointegrasi dalam model VAR akan dihasilkan model VAR terkointegrasi yang disebut VECM. Dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang. Model umum VEC dalam JMulTi (Lütkepohl & Kratzig 2004) adalah sebagai berikut: 𝑦𝑡−1 Γ0 Δ𝑦𝑡 = 𝛼[𝛽 ′ : 𝜂′ ] �𝐷∞ � + Γ1 Δ𝑦𝑡−1 + ⋯ + Γ𝑝 Δ𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞 𝑥𝑡−𝑞 + dimana
𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
𝑡−1
(14)
𝑦𝑡 = (𝑦1𝑡 , … , 𝑦𝐾𝑡 )′ adalah vektor K variabel endogen 𝑥𝑡 = (𝑥1𝑡 , … , 𝑥𝑀𝑡 )′ adalah vector M variabel eksogen
𝐷𝑡∞ = mengandung seluruh deterministic term yang dimasukkan dalam hubungan
kointegrasi. Deterministic terms meliputi konstanta, linear trend, seasonal
dummy dan variabel dummy lainnya. 𝐷𝑡
= mengandung seluruh deterministic terms yang tidak dimasukkan dalam hubungan kointegrasi
𝑢𝑡 = vektor residual diasumsikan zero mean white noise berdimensi K
𝛼
𝛽
= matriks loading coefficient berdimensi K x r
= matriks yang mengandung hubungan kointegrasi berdimensi K x r Rank kointegrasi (r) berada dalam range: 1 ≤ 𝑟 ≤ 𝐾 − 1
44
Γ𝑖 , 𝐵𝑗 , 𝐶 = matriks parameter
∞ 𝜂 memiliki dimensi kolom r dan dimensi baris sesuai dimensi 𝐷𝑡−1
Persamaan (14) merupakan bentuk struktural yang hanya diestimasi jika
identifikasi restriksi diterapkan. Jika Γ0 dispesifikasi menjadi matriks identitas maka model tersebut menjadi reduced form. Dimungkinkan untuk menspesifikasi model tanpa memasukkan variabel eksogen. Estimasi dengan Johansen dapat dilakukan pada model dalam bentuk: 𝑦𝑡−1 Δ𝑌𝑡 = 𝛼𝛽 ∗′ �𝐷∞ � + Γ1 Δ𝑌𝑡−1 + ⋯ + Γ𝑝 Δ𝑌𝑡−𝑝 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡 dimana:
𝑡−1
𝛽 𝛽 ∗ = � � dimana dimensi baris dari 𝛽 ∗ adalah 𝐾 ∗ , sehingga 𝛽 ∗ adalah matriks 𝜂
berdimensi 𝐾 ∗ x 𝑟.
𝛽 ∗ adalah matrik kointegrasi yang otomatis dinormalisasi sebagai berikut:
𝐼𝑟 𝛽 ∗ = �𝛽 ∗ ∗ � (𝐾 −𝑟)
Estimasi dengan metode Johansen dapat dilakukan jika: 1. Γ0 = 𝐼
2. Tidak ada restriksi nol pada matriks Γ𝑖 (𝑗 = 1, … , 𝑝)
3. Tidak ada variabel eksogen
sehingga reduced form dispesifikasi tanpa variabel eksogen dan tiap persamaan memiliki variabel penjelas yang sama. 3.7
Model Structural VAR (SVAR) Menurut Keating (1992), IRF dan FEVD yang menjadi alat analisis utama
dalam model VAR merupakan indikator dinamika model empiris yang diperoleh dari teknik yang tidak ada hubungannya dengan teori ekonomi, yaitu melalui dekomposisi Choleski pada matriks kovarian residual VAR. Kritik mengenai tidak diakomodasinya teori ekonomi dalam model VAR menyebabkan pengembangan model VAR menjadi Structural VAR (SVAR). Kelebihan SVAR dibandingkan dengan model VAR adalah diakomodasinya teori ekonomi dalam model VAR. Metode SVAR memungkinkan peneliti untuk
45
menggunakan teori ekonomi dalam mentransformasi reduced form VAR ke sistem persamaan struktural. Parameter diestimasi dengan menerapkan restriksi struktural contemporaneous. Perbedaan utama antara atheoritical VAR dengan structural VAR adalah pada IRF dan FEVD. IRF dan FEVD pada SVAR dapat memberikan interpretasi struktural sehingga banyak ekonom percaya bahwa SVAR dapat membuka informasi yang terkandung dalam model time series berbentuk reduced form (Keating, 1992). Model SVAR dapat digunakan untuk mengidentifikasi guncangan yang akan dilacak dalam IRF dengan menerapkan restriksi pada matriks A dan B dalam model struktural sebagai berikut: 𝐴𝑦𝑡 = 𝐴1∗ 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴∗𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0∗ 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞∗ 𝑥𝑡−𝑞 + 𝐶 ∗ 𝐷𝑡 + 𝐵𝜀𝑡
(15)
𝜀𝑡 adalah structural error, diasumsikan white noise berukuran (0, 𝐼𝐾 ). Koefisien matriks pada persamaan (15) berbeda dengan koefisien reduced form pada
persamaan (13). Residual reduced form, 𝑢𝑡 , diperoleh dari model struktural yaitu: 𝑢𝑡 = 𝐴−1 𝐵𝜀𝑡 sehingga Σ𝑢 = 𝐴−1 𝐵𝐵′𝐴−1 ′. 3.8
Model Structural VEC (SVEC)
Restriksi jangka pendek sesuai dengan teori ekonomi juga dapat diterapkan pada model VEC apabila variabel ditemukan tidak stasioner dalam level namun terkointegrasi. VECM diperkaya dengan teori ekonomi sehingga menjadi Structural VECM. Menurut Lütkepohl dan Kratzig (2004), model SVEC dapat digunakan untuk mengidentifikasi guncangan agar dapat terlacak dalam analisis IRF dengan menerapkan restriksi pada matriks B yaitu: 𝐵 𝜀𝑡 = 𝑢𝑡
dimana:
𝐵 adalah matriks efek contemporaneous dari guncangan. Estimasi dilakukan oleh maximum likelihood.
Untuk mengidentifikasi guncangan struktural dalam penelitian ini maka diterapkan restriksi struktural contemporaneous terhadap matriks B yang menggambarkan struktur hubungan jangka pendek antar variabel sebagai berikut:
46
dimana:
1 ⎡ 𝑏 ⎢ 21 ⎢𝑏31 ⎢𝑏41 ⎢ 0 ⎣ 0
0 1 𝑏32 𝑏42 0 0
0 0 1 0 0 0
0 0 𝑏16 𝜀 𝑌 𝑢𝑌 ⎤⎡ 𝑄 ⎤ ⎡ 𝑄 ⎤ 0 𝑏25 0 𝜀 𝑢 ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ 𝑏34 0 0⎥ ⎢𝜀 𝑀/𝑃 ⎥ ⎢𝑢𝑀/𝑃 ⎥ = 1 𝑏45 0⎥ ⎢ 𝜀 𝑖 ⎥ ⎢ 𝑢𝑖 ⎥ ∗ ∗ 0 1 𝑏56 ⎥ ⎢ 𝜀 𝑖 ⎥ ⎢ 𝑢𝑖 ⎥ ∗ ∗ 0 0 1 ⎦ ⎣ 𝜀 𝑃𝑜 ⎦ ⎣ 𝑢𝑃𝑜 ⎦
𝑏16 = efek contemporaneous harga minyak dunia (𝑃𝑜∗ ) terhadap PDB (𝑌) 𝑏21 = efek contemporaneous PDB terhadap kurs riil (𝑄)
𝑏25 = efek contemporaneous suku bunga AS (𝑖 ∗ ) terhadap kurs riil
𝑏31 = efek contemporaneous PDB terhadap permintaan uang riil (𝑀/𝑃)
𝑏32 = efek contemporaneous kurs riil terhadap permintaan uang riil
𝑏34 = efek contemporaneous suku bunga domestik (𝑖) terhadap permintaan uang riil
𝑏41 = efek contemporaneous PDB terhadap suku bunga domestik
𝑏42 = efek contemporaneous kurs riil terhadap suku bunga domestik
𝑏45 = efek contemporaneous suku bunga AS terhadap suku bunga domestik 𝑏56 = efek contemporaneous harga minyak dunia terhadap suku bunga 3.9
Analisis Dinamika Respon Business Cycle Indonesia
Untuk mengetahui dinamika respon masing-masing variabel dalam penelitian terhadap guncangan pada salah satu variabel digunakan analisis Impulse Response Functions (IRF). IRF merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat respon dinamis setiap variabel endogen terhadap suatu guncangan variabel tertentu. Hal ini disebabkan karena guncangan variabel ke-i tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i saja namun ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR. Sehingga IRF mengukur pengaruh suatu guncangan pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui dampak guncangan eksternal dan domestik dari sisi permintaan dan penawaran bersifat sementara atau permanen, serta apakah respon yang ditunjukkan tiap variabel signifikan secara statistik.
47
3.10 Analisis Sumber Guncangan Utama Business Cycle Indonesia Untuk mengetahui guncangan mana yang paling berperan dalam menjelaskan setiap variabel makroekonomi dalam model digunakan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). FEVD merupakan metode yang digunakan untuk melihat besarnya peran guncangan variabel tertentu dalam persentase terhadap variabilitas tiap variabel dalam model. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR. Melalui metode ini dapat diketahui kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam kurun waktu yang panjang. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi variabel tertentu. Berdasarkan analisis ini dapat disimpulkan bagaimana peran guncangan-guncangan permintaan dan penawaran baik eksternal dan domestik terhadap business cycle Indonesia.
48
Halaman ini sengaja dikosongkan
49
IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1
Produk Domestik Bruto (PDB) PDB
atas
dasar
harga
konstan
merupakan
salah
satu
indikator
makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara secara riil untuk periode waktu tertentu. Penurunan pertumbuhan PDB menunjukkan perlambatan perekonomian bahkan kontraksi perekonomian, sedangkan pertumbuhan PDB yang cepat menunjukkan perekonomian dalam masa ekspansi. Berbagai perubahan PDB tersebut bisa dijadikan indikasi membaik atau memburuknya perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, fluktuasi PDB penting dan menarik untuk dikaji. Perkembangan PDB riil Indonesia selama periode 1990 hingga 2011 serta pertumbuhannya dapat dilihat
15.00
2,500
10.00
2,000
5.00
1,500
0.00
1,000
-5.00
persen
3,000
500
-10.00
0
-15.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
triliun rupiah
pada Gambar 10.
PDB riil
Pertumbuhan riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah) Gambar 10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan 1990-2011 Selama kurun waktu 1990-1996, perekonomian Indonesia tumbuh pesat ditunjukkan oleh meningkatnya PDB secara riil dari hanya sekitar 918,73 triliun rupiah pada tahun 1990 menjadi 1.444,07 triliun rupiah pada tahun 1996. Dalam kurun waktu yang sama rata-rata pertumbuhan hampir mencapai 8% per tahun. Kondisi ini didukung oleh berhasilnya program industrialisasi yang dibangun pemerintah saat itu. Sektor industri pengolahan menjadi tumpuan transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder. Sektor tersebut tumbuh cepat namun
50
dengan basis foot loose industry. Bahan baku yang melimpah dari dalam negeri seperti produk-produk pertanian tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru industri yang dikembangkan lebih banyak menggunakan bahan baku impor, sehingga industrialisasi seperti ini sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Kerentanan industri yang dibangun pemerintah tersebut mulai terbukti ketika perekonomian Indonesia melambat menuju resesi setelah tahun 1996. Pada akhir tahun 1997 perekonomian domestik terkena contagion effect dari krisis Baht yang melanda Thailand, negara satu kawasan dengan Indonesia. Peristiwa eksternal ini menyeret perekonomian domestik yang sedang booming memasuki masa kontraksi. Mata uang Rupiah terdepresiasi tajam, memukul sektor industri yang sedang ekspansif. Dampak dari krisis mata uang Rupiah yang terjadi pada penghujung tahun 1997 dan berlangsung sepanjang tahun 1998 tersebut ternyata sangat buruk bagi Indonesia. Tajamnya depresiasi Rupiah mempersulit dunia usaha khususnya industri dalam rangka membiayai pembelian bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor yang berdenominasi US$. Bagi penciptaan nilai tambah nasional, kontribusi industri merupakan yang terbesar, diatas sektor pertanian. Oleh karena itu, ketika sektor industri ini kolaps maka akan sangat memukul perekonomian domestik. Perekonomian di tahun 1998 terkontraksi sangat dalam bahkan hingga minus 13%. Disisi lain, sektor pertanian terbukti mampu bertahan dari krisis hebat tersebut. Bukti empiris ini memperkuat argumentasi bahwa agroindustri lebih tepat untuk menjadi jembatan kuat dalam proses transformasi struktur perekonomian dari primer ke sekunder. Pada tahun 1999 perekonomian mulai pulih dimana pertumbuhan mampu positif meski sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,79%. Pada tahun 2000, perekonomian sudah mampu tumbuh hampir mencapai tingkat 5%. Selanjutnya perekonomian terus tumbuh positif meski belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum krisis ekonomi terjadi. Pada tahun 2000 hingga 2005, pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,64% - 5,69%. Membaiknya performa ekonomi setelah krisis hebat pada tahun 1998 tersebut tidak menjamin kondisi perekonomian selanjutnya terus membaik. Berbagai peristiwa dapat mengganggu perjalanan ekonomi Indonesia pada masa
51
setelah krisis moneter 1998. Harga minyak dunia mengalami beberapa kenaikan tajam setelah tahun 2000 yaitu yang terjadi pada tahun 2005, 2008 serta 2011 dan masih terus berlangsung hingga triwulan pertama 2012. Fenomena kenaikan harga minyak dunia tersebut bisa berakibat positif atau negatif. Ketika Indonesia masih menjadi negara net eksportir minyak dan tergabung dalam OPEC, kenaikan harga minyak dunia akan memberi keuntungan bagi Indonesia. Namun, sejak tahun 2004, Indonesia menjadi negara net importir minyak sehingga fluktuasi harga minyak dunia akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Subsidi minyak membengkak dan mempersulit keuangan negara serta mengurangi alokasi pengeluaran pemerintah bagi sektor produktif. Fluktuasi harga minyak dunia dapat memengaruhi perekonomian Indonesia karena sumber energi utama Indonesia masih bergantung pada minyak. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 dan 2008 direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya dan ternyata berdampak buruk bagi perekonomian domestik. Inflasi pada tahun 2005 mencapai 17,11% sedangkan inflasi pada tahun 2008 mencapai 11,06%. Setelah inflasi tinggi di tahun 2005 dan 2008, pertumbuhan PDB pada tahun 2006 dan 2009 melambat. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi tercatat mengalami sedikit penurunan dari 5,69% di tahun 2005 menjadi 5,60% di tahun 2006. Sedangkan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 lebih dalam yaitu turun menjadi 4,63% dari sekitar 6,01% pada tahun 2008. Mulai tahun 2007, perekonomian Indonesia mampu tumbuh antara 5% hingga 6%
kecuali pada tahun 2009. Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, berbagai gejolak eksternal dapat memengaruhi perekonomian domestik. Meski secara riil, PDB tahun 2009 tetap meningkat dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 2.082,46 triliun rupiah menjadi 2.178,85 triliun rupiah, namun pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 tercatat melambat. Selain disebabkan oleh dampak kenaikan harga BBM domestik yang memicu inflasi, perlambatan di tahun 2009 kemungkinan juga disebabkan oleh imbas krisis keuangan global tahun 2008. Krisis ini bermula dari krisis sub prime mortgage di Amerika Serikat dan membangkrutkan lembaga keuangan dunia seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers, yang kemudian menjalar ke
52
berbagai negara di dunia. Selain itu, Uni Eropa juga mengalami krisis hutang. Transmisi krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut ke Indonesia dapat melalui jalur ekspor. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2009 mengalami. Pada tahun 2008, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat 12,87 miliar US$ kemudian turun menjadi 10,80 miliar US$ pada tahun 2009. Sedangkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2008 sekitar 15,28 miliar US$ turun menjadi 13,60 miliar US$ (BI 2012). Meski terimbas krisis keuangan global, dampak bagi makroekonomi Indonesia tidak seperti krisis moneter 1998. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 tetap positif meski lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 perekonomian kembali mampu tumbuh positif sebesar 6,20% dan 6,46% pada tahun 2011. PDB riil di tahun 2010 dan 2011 masingmasing sekitar 2.313,84 triliun rupiah dan 2.463,24 triliun rupiah. Selain itu, Indonesia juga termasuk salah satu anggota G-20 dengan posisi 17 besar perekonomian dunia (Menko Perekonomian 2011). Hal ini merupakan indikasi
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 (2.00) (4.00) (6.00) (8.00) (10.00)
700 600
triliun rupiah
500 400 300 200 100 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
-
persen
makin besarnya peran Indonesia dalam perekonomian global.
PDB Riil
Pertumbuhan Riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah) Gambar 11 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil Indonesia triwulanan Selama periode krisis, ekonomi tumbuh dengan angka minus selama tiga triwulan berturut-turut yaitu pada 1997:4, 1998:1 dan 1998:2, masing-masing tercatat sekitar minus 2,06%, minus 8,52% dan minus 8,75%. Mulai 1998:3,
53
perekonomian mampu tumbuh positif sebesar 2,74%. Jika dilihat secara triwulanan, pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini menunjukkan pola yang sama mulai tahun 2001 dimana pada tiga triwulan pertama pertumbuhannya positif kemudian negatif pada triwulan keempat. Gambar 11 menunjukkan perkembangan PDB jika dilihat dalam jangka pendek yaitu dalam periode triwulanan. Dalam jangka panjang, PDB cenderung meningkat secara riil meski dalam jangka pendek terlihat fluktuasi naik dan turun. Dapat diamati bahwa fluktuasi pertumbuhan secara triwulanan sebelum periode krisis 1998 ternyata sangat tajam, terjadi dalam range yang besar yaitu plus minus 10%. Setelah periode krisis 1998, fluktuasi pertumbuhan cenderung lebih stabil berkisar antara plus minus 4%. Meski guncangan eksternal makin sering terjadi pada era 2000an dan berpotensi
memperburuk
perekonomian
domestik,
ternyata
fluktuasi
perekonomian Indonesia dalam periode triwulanan terlihat lebih stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa fundamental makroekonomi Indonesia sudah lebih kuat sehingga berbagai guncangan
yang terjadi tidak sampai menyebabkan
perekonomian terkontraksi. 4.2
Kurs Riil Sebelum krisis moneter tahun 1998 terjadi, Indonesia menganut rezim fixed
exchange rate dimana kurs Rupiah terhadap US$ dijaga fixed oleh pemerintah.
1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
kurs nominal
kurs riil
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah) Gambar 12 Perkembangan kurs nominal Rp/US$ dan kurs riil
54
Pada periode 1990:1 hingga periode 1997:2, kurs nominal Rupiah Indonesia terhadap Dollar Amerika Serikat terlihat stabil pada kisaran 1.823 Rp/US$ - 2.450 Rp/US$. Gambar 12 menunjukkan perkembangan kurs nominal dan kurs riil. Sebelum tahun 2000, kurs nominal masih dibawah kurs riil namun setelah tahun 2000 terlihat kurs nominal melampaui kurs riil. Krisis mata uang yang terjadi di Thailand ternyata meluas menjadi krisis finansial Asia. Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang terkena dampaknya. Kurs Rupiah terhadap US$ yang stabil dengan rata-rata sekitar Rp 2.126,93/US$ selama periode 1990:1 hingga 1997:2 langsung melemah bahkan mencapai Rp 14.900/US$ pada 1998:2, Rupiah terdepresiasi tajam secara nominal. Sejak terjadinya krisis Rupiah ini, pemerintah tidak lagi mampu menjaga Rupiah fixed sehingga terjadi perubahan rezim kurs dari fixed exchange rate menjadi floating exchange rate dengan band tertentu. Sejak Indonesia menganut rezim kurs mengambang, kurs menjadi fluktuatif menyesuaikan berbagai perubahan kondisi perekonomian. Gambar 13 menunjukkan persentase perubahan kurs riil. Kurs riil menunjukkan daya saing barang domestik. Ketika krisis moneter 1998 menerpa Indonesia dan mendepresiasikan kurs nominal, maka daya saing barang domestik meningkat tajam hingga hampir mencapai 60%. Namun kenaikan daya saing akibat terdepresiasinya kurs nominal ternyata tidak meningkatkan PDB dari jalur ekspor. Justru PDB terkontraksi dalam dan perekonomian Indonesia mengalami resesi. Depresiasi riil ini menurunkan daya beli Rupiah relatif terhadap daya beli asing. Kenaikan ekspor akibat kenaikan daya saing produk domestik ini di offset oleh tingginya biaya impor bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan sektor produksi khususnya industri pengolahan. Akibatnya harga bahan input meningkat dan memicu kenaikan harga output. Dengan segera kenaikan daya saing tersebut langsung diikuti oleh penurunan tajam yang hampir mencapai minus 40% pada 1998:3. Setelah krisis moneter terjadi, kurs riil berfluktuasi naik dan turun mengindikasikan kenaikan dan penurunan daya saing produk domestik.
55
80.00 60.00 40.00 20.00
(20.00)
1990:2 1991:2 1992:2 1993:2 1994:2 1995:2 1996:2 1997:2 1998:2 1999:2 2000:2 2001:2 2002:2 2003:2 2004:2 2005:2 2006:2 2007:2 2008:2 2009:2 2010:2 2011:2 2012:2
-
(40.00) (60.00)
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah) Gambar 13 Persentase perubahan kurs riil 4.3
Permintaan Uang Riil Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah uang yang beredar (M1) masih
dibawah 100 triliun rupiah. Pada periode yang sama IHK bergerak meningkat dengan slope yang relatif sama dengan slope jumlah uang beredar. Seiring dengan jatuhnya kurs Rupiah terhadap US$ pada tahun 1998, terjadi lonjakan Indeks Harga Konsumen (Gambar 14) dimana slopenya berubah menjadi lebih curam dibanding sebelum ada depresiasi tajam dari kurs riil. 300
800,000
miliar rupiah
700,000
250
600,000 200
500,000
150
400,000 300,000
100
200,000 50
100,000 0 1990:1 1991:2 1992:3 1993:4 1995:1 1996:2 1997:3 1998:4 2000:1 2001:2 2002:3 2003:4 2005:1 2006:2 2007:3 2008:4 2010:1 2011:2
0
M1
IHK (sumbu kanan)
Sumber: BI dan BPS 2012 Gambar 14 Perkembangan permintaan uang M1 dan IHK
56
Kurs riil yang terdepresiasi tajam menyebabkan biaya produksi barangbarang tersebut meningkat tajam. Jatuhnya kurs Rupiah menyebabkan lebih banyak Rupiah yang digunakan untuk membeli barang impor yang harganya dalam US$ atau terjadi penurunan daya beli Rupiah atas barang asing. Terdepresiasinya Rupiah menyebabkan harga barang menjadi sangat mahal. Padahal industrialisasi yang dikembangkan pemerintah pada era 1990-1996 adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan baku impor dan sedikit kandungan lokal. Kenaikan harga ini direspon masyarakat dengan meningkatkan permintaan uang lebih banyak untuk membiayai transaksi sehari-hari. Sehingga slope jumlah uang beredar juga menjadi lebih curam dibanding sebelum krisis. Namun peningkatan permintaan uang tersebut tidak sebanding dengan lonjakan harga yang terjadi sehingga terjadi penurunan drastis dalam permintaan uang riil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Setelah krisis 1998 berlalu, permintaan uang riil cenderung fluktuatif di jangka pendek namun dengan trend yang meningkat. Seiring dengan terus meningkatnya PDB maka kebutuhan uang untuk transaksi sehari-hari ikut meningkat. Selain itu inflasi lebih terkendali di era 2000-an sehingga permintaan uang riil pada periode 2012:2 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat bila dibandingkan dengan periode 2000:1. 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: BI dan BPS 2012 (diolah) Gambar 15 Perkembangan permintaan uang riil
57
4.4
Suku Bunga Domestik Sepanjang tahun 1990-1997, suku bunga domestik yang diwakili oleh suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan berada dalam kisaran 10% hingga 25%. 60 50
persen
40 30 20 10 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: BI 2012 (diolah) Gambar 16 Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan Pada tahun 1998 Indonesia terkena krisis mata uang yang mengakibatkan buruknya berbagai indikator makroekonomi. Kondisi ini menyebabkan suku bunga SBI yang tinggi sepanjang tahun 1998. Pada periode 1998:4, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 49,04%. Gambar 16 menunjukkan perkembangan suku bunga SBI. Akhir tahun 1999, suku bunga domestik kembali normal pada level sekitar 10%. Selanjutnya suku bunga domestik berfluktuasi hingga 2012 menuju tingkat dibawah 10%. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh suku bunga AS yang diwakili oleh Treasury Bill Rate 3 months. Pergerakan suku bunga AS tersebut ditunjukkan oleh Gambar 17. Dalam kurun waktu 1990 hingga 2012, suku bunga AS tertinggi terjadi pada periode 1990 yang mencapai tingkat sekitar 8%. Hingga tahun 1992, suku bunga AS mengalami penurunan hingga mencapai tingkat 3%. Selanjutnya suku bunga AS kembali meningkat hingga tahun 2000. Pada 2003:4, suku bunga AS hanya sekitar 1% namun diikuti oleh peingkatan hingga mencapai 5% akibat dari krisis sub prime mortgage yang menimpa Amerika Serikat dan membangkrutkan
58
lembaga keuangan dunia seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers. Setelah tahun 2008, suku bunga AS mendekati nol persen. 9.00 8.00 7.00
persen
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
-
Sumber: The Federal Reserve 2012 Gambar 17 Perkembangan suku bunga AS Treasury Bill Rate 3 Months
59
V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS 5.1
Pengujian Asumsi Time Series
5.1.1 Uji Stasioneritas Uji Stasioneritas merupakan uji awal untuk setiap data time series yang masuk dalam model dalam penelitian. Stasioneritas menentukan metode analisis yang akan digunakan, apakah menggunakan model VAR atau VEC. Pengujian stasioneritas tiap variabel dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test dengan taraf nyata 5%. Hasil pengujian unit root pada level hingga first difference ditampilkan pada Tabel 4. Hipotesis nol dalam pengujian adalah ada unit root atau variabel tidak stasioner. Kriteria keputusannya yaitu jika nilai t-ADF lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon maka variabel yang diuji stasioner. Tabel 4 Hasil Uji Unit Root Variabel Level First Difference Level RER First Difference Level RMB First Difference Level SBI First Difference Level TBILL First Difference Level POIL First Difference Keterangan: * = signifikan pada taraf 5% PDB
Nilai ADF -1,6869 -6,9732* -2,2116 -6,0980* -2,4069 -6,7632* -4,7225* -5,3045* -3,1081 -3,5302* -2,8429 -9,7689*
Nilai Kritis MacKinnon 5% -3,41 -3,41 -3,41 -3,41 -3.41 -3,41 -3,41 -3,41 -3,41 -3,41 -3,41 -3,41
Berdasarkan ADF test, level suku bunga domestik (SBI) memiliki nilai ADF yang lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5%. Oleh karena itu, hipotesis nol bagi suku hunga domestik dapat ditolak, artinya berdasarkan ADF-test, suku bunga domestik stasioner dalam level. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar variabel tidak stasioner dalam level. Hasil uji stasioneritas pada variabel Produk Domestik Bruto (PDB), Real Exchange Rate (RER), Real Money Balance (RMB), suku bunga Amerika Serikat
60
(TBILL) dan harga minyak dunia (POIL) menunjukkan bahwa hipotesis nol yaitu masing-masing variabel tidak stasioner ternyata tidak dapat ditolak. Artinya kelima variabel tersebut tidak stasioner pada level. Untuk menghindari hasil yang spurious maka kelima variabel yang tidak stasioner ini di-difference-kan. Pada first difference terlihat bahwa nilai ADF kelima variabel ini lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon. Oleh karena itu PDB, RER, RMB, TBILL dan POIL stasioner pada first difference. 5.1.2 Penentuan Lag Optimal Setelah diketahui stasioneritas setiap variabel maka langkah selanjutnya adalah menentukan lag optimal dari model VAR yang membuat model tersebut stabil berdasarkan kriteria informasi. AIC, HQ dan SC sama-sama menyarankan panjang lag optimal 4. Atas dasar informasi ini maka dipilih lag optimal 4. Stabilitas model dengan lag 4 ini ditunjukkan dengan CUSUM pada level signifikansi 1% dari tiap persamaan yang masih berada dalam rentang batas atas dan batas bawah (Gambar 18).
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 18 Uji Stabilitas dari VAR (4) dengan CUSUM Untuk menentukan lag difference yang akan digunakan dalam VECM maka panjang lag optimal dari VAR(4) yang sudah teruji kestabilannya tersebut dikurangi satu. Oleh karena itu, dalam model VEC akan digunakan panjang lag 3. Untuk memperkuat pilihan lag ini, maka dalam sistem VECM juga dilakukan
61
pemilihan panjang lag optimal menggunakan kriteria informasi dan diperoleh hasil bahwa FPE dan HQ sama-sama menyarankan panjang lag optimal 3. 5.1.3 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk menemukan kemungkinan variabel yang tidak stasioner dalam level dari hasil pengujian unit root apakah memiliki hubungan jangka panjang. Dalam penelitian ini, uji kointegrasi dilakukan dengan Saikkonen & Lütkepohl-test. Tabel 5 Uji Kointegrasi dengan Saikkonen & Lütkepohl-test r0
LR
p-value
90%
95%
99%
0
115,97
0,0002
86,64
90,95
99,40
1
59,54
0,1624
62,45
66,13
73,42
2
36,00
0,3145
42,25
45,32
51,45
3
21,70
0,2836
26,07
28,52
33,50
4
5,67
0,8086
13,88
15,76
19,71
5
0,11
0,9922
5,47
6,79
9,73
Sumber: Hasil pengolahan Dari Tabel 5 diperoleh bahwa tidak ada cukup bukti untuk menolak bahwa H0 : r=1 dengan p-value sebesar 0,1624. Artinya ditemukan rank kointegrasi sebanyak 1. 5.1.4 Uji Stabilitas Model VEC Berdasarkan panjang lag optimal sebanyak 3 dan kehadiran 1 rank kointegrasi maka dibangun model VEC.
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 19 Uji stabilitas VECM (3) dan rank kointegrasi 1 dengan recursive eigenvalue
62
VECM yang dibangun tersebut diuji kelayakannya dengan pengujian stabilitas model. Gambar 19 menunjukkan uji stabilitas VECM menggunakan recursive eigen value. Berdasarkan recursive eigenvalue dibuktikan bahwa VECM yang dibangun adalah stabil. Selain itu, uji stabilitas model juga dilakukan dengan menggunakan tau_t statistics. Gambar 20 menyajikan hasil uji stabilitas untuk eigenvalue 1 menggunakan tau_t statistics dan kembali dibuktikan bahwa VECM yang dibangun memenuhi kondisi stabilitas dimana nilai tau_t statistics masih berada dibawah nilai kritis.
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 20 Uji Stabilitas Model VEC(3) dengan 1 rank kointegrasi menggunakan tau_t statistics 5.2
Model VEC Setelah diketahui bahwa model VEC yang dibangun stabil, maka langkah
selanjutnya adalah menyusun model VEC business cycle Indonesia dengan spesifikasi sebagai berikut: 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡) ⎡ ⎤ ⎡ −0,099 ⎤ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡) ⎢ ⎥ ⎢ −0,389 ⎥ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡) ⎢ ⎥ = ⎢ −0,116 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡) ⎥ ⎢−14,004⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡) ⎥ ⎢ 0,732 ⎥ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡)⎦ ⎣ 0,207 ⎦
63
𝑙𝑝𝑑𝑏(𝑡 − 1) ⎡ ⎤ 𝑙𝑟𝑒𝑟(𝑡 − 1) ⎢ ⎥ 𝑙𝑟𝑚𝑏(𝑡 − 1) ⎥ ⎢ [1,000 0,403 −0,743 0,028 −0,042 0,023] + ⎢ 𝑠𝑏𝑖(𝑡 − 1) ⎥ ⎢ 𝑡𝑏𝑖𝑙(𝑡 − 1) ⎥ ⎣𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟(𝑡 − 1)⎦
−0,541 −0,053 −0,059 0,001 −0,008 −0,005 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 1) ⎤ ⎡ 0,035 0,343 −0,820 −0,007 0,025 −0,075⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 1) ⎥ ⎢ ⎥ 0,081 −0,781 −0,006 0,011 −0,031⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 1) ⎥ ⎢ 0,821 + ⎢−40,792 10,307 −7,545 −0,069 −0,113 2,795 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 1) ⎥ 0,517 −1,922 −0,017 0,570 0,096 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 1) ⎥ ⎢ 0,716 ⎣ −0,870 −0,195 −0,034 −0,000 −0,046 0,040 ⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 1)⎦
−0,645 −0,126 −0,088 −0,001 −0,005 −0,006 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 2) ⎤ ⎡ 0,601 0,136 −0,277 −0,009 0,076 −0,065⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 2) ⎥ ⎢ ⎥ 0,031 −0,412 −0,007 −0,010 −0,004⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 2) ⎥ ⎢ 0,224 + 1,712 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 2) ⎥ ⎢−29,532 13,541 −11,423 −0,347 0,162 −0,119 −1,334 −0,041 0,176 −0,399⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 2) ⎥ ⎢ 2,756 ⎣ 0,332 −0,563 0,265 −0,013 0,015 −0,396⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 2)⎦ −0,673 −0,107 0,055 −0,000 0,006 −0,024 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 3) ⎤ ⎡−0,584 0,205 −0,253 0,016 −0,076 0,069 ⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 3) ⎥ ⎢ ⎥ −0,332 0,001 0,036 −0,038⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 3) ⎥ ⎢−0,194 0,077 + ⎢−1,822 10,075 −22,824 0,082 −0,573 2,493 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 3) ⎥ 1,814 0,001 0,050 0,245 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 3) ⎥ ⎢ 0,047 −0,103 ⎣−0,440 0,024 0,534 −0,008 0,094 −0,078⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 3)⎦
dimana:
𝑢1(𝑡) 0,003 −0,005 0,473 −0,000 ⎡ ⎤ ⎡ 0,085 𝑢2(𝑡) 1,681 −0,000⎤ 𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡98(𝑡) 0,090 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ 𝑢3(𝑡)⎥ 0,001 ⎥ 𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡𝑛𝑚(𝑡) 0,505 0,044 ⎢ 0,016 +⎢ � � ⎢−1,657 2,260 60,955 0,005 ⎥ 𝐶𝑂𝑁𝑆𝑇 ⎢𝑢4(𝑡)⎥ ⎢ 0,339 −0,169 −3,172 0,003 ⎥ 𝑇𝑅𝐸𝑁𝐷(𝑡) ⎢𝑢5(𝑡)⎥ ⎣−0,030 −0,094 −0,857 −0,002⎦ ⎣𝑢6(𝑡)⎦
𝑙𝑝𝑑𝑏𝑡
= produk domestik bruto
𝑙𝑟𝑒𝑟𝑡
= kurs riil
𝑠𝑏𝑖𝑡
= suku bunga domestik
𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟𝑡
= harga minyak dunia
𝑙𝑟𝑚𝑏𝑡 𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙𝑡
= permintaan uang riil
= suku bunga Amerika Serikat
𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡98(𝑡)
= dummy krisis 1998
𝐶𝑂𝑁𝑆𝑇
= konstanta
𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡𝑛𝑚(𝑡)
= dummy net impor
𝑇𝑅𝐸𝑁𝐷(𝑡)
= trend waktu linier
64
5.3
Restriksi Struktural Model SVEC Restriksi yang dibangun berdasarkan kerangka kerja New Keynesian di Bab
3 mengalami modifikasi. Ketika guncangan suku bunga AS diidentifikasi hanya dari guncangan terhadap dirinya sendiri, ternyata menghasilkan restriksi sistem menjadi tidak valid dan tidak didukung oleh data. Setelah diuji kausalitas suku bunga AS dan harga minyak dunia menggunakan Granger Causality ternyata ditemukan bahwa harga minyak dunia granger cause suku bunga AS. Artinya harga minyak dunia ikut memengaruhi suku bunga AS dalam arah positif yang signifikan pada taraf nyata 5% dengan p-value sebesar 0,0283. Ketika harga minyak dunia meningkat maka akan meningkatkan suku bunga AS. Gambar 21 menunjukkan hasil uji kausalitas antara harga minyak dunia dan suku bunga AS menggunakan Granger Causality dalam Eviews 6. Pairwise Granger Causality Tests Sample: 1990Q1 2012Q2 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
TBILL2 does not Granger Cause LPOILR1 LPOILR1 does not Granger Cause TBILL2
88
F-Statistic 0,60789 3,72363
Prob. 0,5469 0,0283
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 21 Uji kausalitas suku bunga AS dan harga minyak dunia Namun hubungan tersebut tidak berlaku sebaliknya dimana suku bunga AS tidak granger cause harga minyak dunia sehingga guncangan harga minyak dunia tetap berasal dari guncangannya sendiri. Berdasarkan hubungan kausalitas ini, restriksi bagi persamaan suku bunga AS memasukkan efek contemporaneous harga minyak dunia. Selanjutnya restriksi model secara keseluruhan diuji kevalidannya dan diperoleh hasil bahwa restriksi tersebut valid. Pada model SVEC diterapkan restriksi yang membuat model overidentified dengan derajad bebas 5. Restriksi struktural tersebut perlu diuji apakah restriksi yang diterapkan valid dan didukung oleh data. Dengan hipotesis nol bahwa restriksi adalah valid, dihasilkan LR stastistik sebesar 6,1449 dengan p-value sebesar 0,2924. Artinya tidak ada cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa model
adalah
valid.
Oleh
karena
itu
diperoleh
hasil
bahwa
model
65
contemporaneous yang diimplikasikan oleh restriksi overidentifikasi adalah valid dan didukung oleh data. 5.4
Hubungan Contemporaneous Makroekonomi Domestik Sebelum menganalisis dinamika business cycle Indonesia melalui IRF dan
FEVD, terlebih dahulu dipelajari efek contemporaneous suatu variabel terhadap variabel lain dalam model. Hubungan contemporaneous ini disusun berdasarkan restriksi jangka pendek yang diterapkan pada model VEC dalam kerangka kerja New Keynesian pada Bab 3. Tabel 6 Hubungan contemporaneous antar variabel Koefisien Std. error bootstrap t-statistik bootstrap 0,0009 0,0012 0,7089 𝑏16 -0,0383 0,0129 -2,9774 𝑏21 * -0,0073 0,0086 -0,8572 𝑏25 -0,0032 0,0037 -0,8593 𝑏31 0,0098 0,0048 2,0352 𝑏32 * -0,0157 0,0047 -3,3390 𝑏34 * -0,5213 0,2076 -2,5111 𝑏41 * -0,1538 0,2323 -0,6622 𝑏42 0,3775 0,1709 2,2087 𝑏45 * 0,0713 0,0301 2,3641 𝑏56 * Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: * = signifikan pada 𝛼 = 5% **= signifikan pada 𝛼 = 10%
Efek contemporaneous berarti apakah ketika suatu variabel makroekonomi
berubah maka memiliki efek seketika terhadap variabel lainnya, ditunjukkan oleh signifikan atau tidaknya koefisien contemporaneous pada Tabel 6. Bagi perekonomian domestik, kenaikan harga minyak dunia ternyata tidak memiliki efek contemporaneous yang signifikan terhadap PDB Indonesia, ditunjukkan oleh koefisien 𝑏16 . Artinya ketika harga minyak dunia meningkat
maka PDB tidak langsung meresponnya pada triwulan yang sama. Ketika hubungan contemporaneous ini tidak signifikan maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu respon PDB yang memang tidak signifikan atau PDB membutuhkan lag dalam merespon perubahan harga minyak dunia. Hasil IRF akan menjawab manakah dari dua kemungkinan tersebut yang didukung oleh data. Oleh karena itu, analisis pengaruh harga minyak dunia bagi PDB akan dilakukan di sub bab selanjutnya.
66
Sesuai dengan teori maka efek contemporaneous dari PDB dan suku bunga AS terhadap kurs riil juga ingin dilihat. Koefisien 𝑏21 menunjukkan bahwa PDB signifikan memiliki efek contemporaneous dengan arah yang negatif terhadap kurs riil. Artinya ketika PDB meningkat maka kurs riil terapresiasi. Kenaikan PDB menyebabkan kenaikan dalam permintaan uang. Dengan asumsi bank sentral tidak merespon dengan perubahan money supply maka suku bunga domestik meningkat. Ketika suku bunga AS tetap maka suku bunga domestik lebih tinggi dari suku bunga AS dan hal ini memicu terjadinya capital inflow yang mengakibatkan kurs riil terapresiasi. Koefisien 𝑏25 yang merupakan efek contemporaneous suku bunga AS
terhadap kurs riil ditemukan tidak signifikan. Hasil ini sesuai dengan temuan Siregar dan Ward (2000).
Bagi permintaan uang riil, kurs riil dan suku bunga domestik sama-sama signifikan berdampak contemporaneous. Permintaan uang riil signifikan dipengaruhi oleh kurs riil secara contemporaneous dalam arah positif. Artinya ketika kurs terdepresiasi (meningkat) maka permintaan uang riil Rupiah akan meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Siregar dan Ward (2000) juga menemukan kondisi yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya motif spekulasi memegang aset dalam bentuk uang. Misalnya ketika krisis moneter tahun 1998 kurs Rupiah terdepresiasi tajam dan banyak pihak mencoba memegang lebih banyak Rupiah dengan berspekulasi bahwa Rupiah akan segera membaik sehingga mereka mendapatkan keuntungan. Koefisien 𝑏34 yang signifikan menunjukkan bahwa permintaan uang riil
signifikan dipengaruhi secara contemporaneous oleh suku bunga domestik dalam
arah negatif, sesuai dengan teori. Ketika suku bunga domestik meningkat maka akan menyebabkan penurunan permintaan uang karena suku bunga merupakan opportunity cost memegang uang. Sehingga ketika terjadi peningkatan suku bunga maka masyarakat akan lebih memilih aset yang menghasilkan bunga dibanding memegang uang. Arah hubungan tersebut sesuai dengan temuan Siregar dan Ward (2000) meski secara statistik tidak signifikan. Berdasarkan hasil hubungan contemporaneous pada Tabel 6 tenyata ditemui bahwa PDB tidak signifikan berdampak contemporaneous bagi permintaan uang
67
riil. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien 𝑏31 yang tidak signifikan pada taraf nyata 5% dan 10%.
PDB signifikan memengaruhi suku bunga domestik dalam arah negatif, dinyatakan dalam koefisien 𝑏41 . Artinya ketika PDB meningkat maka suku bunga menurun. Temuan ini menunjukkan bahwa bank sentral mengakomodasi kenaikan
PDB. Kenaikan PDB yang memicu kenaikan money demand diakomodasi oleh bank sentral dengan menaikkan money supply lebih besar sehingga suku bunga menjadi lebih rendah. Arah koefisien 𝑏45 ditemukan sesuai dengan yang diharapkan, dimana suku
bunga jangka pendek domestik signifikan dipengaruhi secara contemporaneous oleh suku bunga AS dalam arah positif pada taraf nyata 10% dimana kenaikan suku bunga AS akan menyebabkan kenaikan suku bunga domestik. Kurs riil tidak signifikan memengaruhi suku bunga domestik secara contemporaneous.
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
69
VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 6.1
Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Eksternal Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis respon
dinamis setiap variabel dalam model terhadap guncangan sebesar 1 standar deviasi pada variabel endogen lain. 6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia) Shock harga minyak dunia sebesar 1 standar deviasi menyebabkan harga minyak dunia langsung meningkat sekitar 13% pada periode impact. Selanjutnya harga minyak dunia menurun dan mencapai respon terendah pada triwulan ke-3. Respon harga minyak dunia mencapai keseimbangan jangka panjangnya pada triwulan ke-8 atau sekitar 2 tahun setelah guncangan, dengan level baru yang lebih tinggi dibanding level sebelum ada guncangan. Guncangan 1 standar deviasi atas harga minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia lebih tinggi 10% di keseimbangan jangka panjangnya (Gambar 22).
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri Bagi perekonomian domestik, ternyata guncangan harga minyak ini tidak direspon secara signifikan. Gambar 23 menunjukkan selang kepercayaan dari IRF masih mengandung nol artinya respon dari makroekonomi domestik tidak berbeda nyata dari nol.
70
Respon PDB
Respon kurs riil
Respon permintaan uang riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak dunia Respon suku bunga domestik sedikit berbeda dengan respon makroekonomi domestik lainnya. IRF suku bunga domestik pada beberapa periode terlihat signifikan terutama di triwulan pertama hingga triwulan ke-3 dimana suku bunga domestik meningkat hingga 0,6%. Bank sentral menanggapi guncangan kenaikan harga minyak dunia dengan tight money policy sehingga meningkatkan suku bunga dalam rangka stabilisasi inflasi. Di jangka panjang, suku bunga domestik lebih tinggi 0,4% dibanding tingkat sebelum ada guncangan. Meski PDB merespon negatif atas kenaikan harga minyak dunia, namun respon tersebut tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil hubungan contemporaneous
pada
bab
sebelumnya
disampaikan
bahwa
ada
dua
kemungkinan atas tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia terhadap PDB, dimana ketika harga minyak dunia meningkat tidak langsung direspon oleh PDB secara signifikan pada triwulan yang sama. Kemungkinan
71
pertama adalah PDB memerlukan lag dalam merespon perubahan harga minyak dunia atau kemungkinan kedua yaitu memang perubahan harga minyak dunia tidak memiliki efek pada PDB. Hasil IRF pada sub bab ini memperjelas temuan tidak signifikannya hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia terhadap PDB di sub bab sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa guncangan harga minyak dunia memang tidak berdampak signifikan terhadap PDB. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah terus mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan subsidi BBM. Hal ini dilakukan agar harga BBM domestik tidak ikut mengalami kenaikan atau setidaknya harga BBM domestik naik namun tidak sampai pada harga keekonomiannya, sehingga masih terjangkau oleh masyarakat domestik.
0
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
-0.5 -1 -1.5 -2
% thd PDB
triliun rupiah
Realita ini ditunjukkan oleh perkembangan subsidi BBM pada Gambar 24.
-2.5 -3 2005
2006 2007 subsidi BBM
2008 2009 2010 2011 defisit APBN (sumbu kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah Gambar 24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN Besaran subsidi BBM mengalami kenaikan yang sekaligus memperbesar defisit fiskal ketika harga minyak dunia meningkat tajam pada tahun 2008 dan 2011. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005, juga direspon pemerintah dengan kenaikan subsidi BBM. Ketika harga minyak dunia meningkat hingga mencapai rata-rata 60 US$/barel pada tahun 2005 (dari sekitar 40 US$/barel pada tahun 2004), subsidi juga ikut meningkat menjadi 95,6 triliun rupiah (dari sekitar 69 triliun di tahun 2004. Tambahan subsidi BBM untuk tahun 2005 dari tahun sebelumnya sekitar 26,58 triliun rupiah.
72
Dilihat dari perkembangan penerimaan negara (Gambar 25), ternyata ada kenaikan penerimaan negara berupa pajak, yang mengalami peningkatan pertumbuhan dari 16,89% di tahun 2004 menjadi 23,48% di tahun 2005. Tingginya penerimaan pajak memungkinkan pemerintah dapat membiayai belanjanya termasuk subsidi yang lebih besar tanpa meningkatkan defisit anggaran. Sehingga kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 relatif tidak terlalu membebani APBN mengingat besarnya penerimaan pajak pada tahun bersangkutan. Selain pemerintah tetap mensubsidi harga BBM domestik atas kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 2005, pemerintah juga menaikkan harga BBM domestik meski tidak sampai pada harga keekonomian. Akibatnya terjadi inflasi tinggi pada tahun 2005 yaitu sekitar 17,11%. Untuk mengurangi dampak negatif bagi perekonomian, pemerintah memberikan kompensasi bagi masyarakat tidak mampu melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program pemberdayaan usaha rakyat misalnya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta berbagai stimulus fiskal. Oleh karena itu, dampak kenaikan harga minyak dunia yang direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM domestik tidak terlalu mengkontraksi perekonomian domestik karena pemerintah melakukan ekspansi fiskal.
900
140
800
120
700
100
600
80
500
60
400
40
300
20
200
0
100
-20
0
-40 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
penerimaan pajak triliun rupiah
160
triliun rupiah
1,000
pembiayaan DN (sumbu kanan)
pembiayaan LN neto (sumbu kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah Gambar 25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran
73
Kenaikan harga minyak dunia juga terjadi pada tahun 2008 dan 2011. Hal ini juga direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi yang berdampak pada membesarnya defisit fiskal. Minyak dunia mencapai harga tertinggi pada tahun 2008 sekitar 139,96 US$/barel (dari harga tertinggi tahun 2007 sebesar 95,95 US$/barel). Agar tidak menyebabkan kontraksi perekonomian, pemerintah menaikkan subsidi BBM domestik menjadi 139,11 triliun rupiah dari 83,79 triliun rupiah di tahun 2007. Sehingga tambahan subsidi untuk tahun 2008 dibanding tahun sebelumnya sekitar 55,31 triliun rupiah. Bila dibandingkan dengan tambahan subsidi pada tahun 2005, maka tambahan subsidi pada tahun 2008 adalah sebesar dua kali lipatnya. Penerimaan pajak di tahun 2008 yang tumbuh 34,15% tidak mampu menutupi membengkaknya subsidi tersebut sehingga defisit fiskal meningkat dari 1,5% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun 2008. Untuk membiayai defisit fiskal tersebut, pemerintah mengutamakan perolehan tambahan dana dari pinjaman dalam negeri yang resikonya lebih rendah, dalam rangka menurunkan ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Respon pemerintah dengan meningkatkan subsidi tetap disertai dengan kenaikan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya. Akibatnya terjadi inflasi karena peningkatan biaya produksi sehingga harga output juga ikut meningkat. Inflasi pada tahun 2008 tercatat 11,06%, meningkat dari sekitar 6,59% pada tahun 2007. Ketika pendapatan tetap maka terjadi penurunan daya beli masyarakat. Hal ini menjadi disinsentif bagi produsen untuk meningkatkan output di periode selanjutnya. Selain itu, terjadi krisis keuangan global yang bermula dari krisis perumahan di AS serta krisis hutang di zona Euro, yang sedikit banyak berdampak bagi perekonomian domestik pada tahun 2009 (misalnya melalui jalur penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa). Faktor-faktor ini berkontribusi pada perlambatan PDB di tahun 2009 dan akhirnya berpengaruh pada turunnya penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu terjadi defisit fiskal yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang tahun 2000 yaitu sekitar minus 2,4% terhadap PDB pada tahun 2009. Setelah sempat melambat di tahun 2009, perekonomian mulai membaik sehingga penerimaan negara dari pajak pada tahun 2010 ikut meningkat yaitu
74
mampu tumbuh sekitar 21,48% dibanding penerimaan pajak tahun sebelumnya. Harga minyak pun sempat turun bahkan mencapai 44,60 US$/barel. Namun pada tahun 2011, harga minyak dunia kembali meningkat. Pemerintah kembali meresponnya dengan meningkatkan subsidi BBM dalam jumlah yang sangat besar. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi atas harga BBM domestik ternyata tidak dilakukan dengan menurunkan subsidi non energi seperti subsidi pupuk, subsidi pangan dan lainnya (Gambar 26). Subsidi non energi ikut meningkat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi seluruh sektor tetap baik meski harga minyak dunia meningkat. Konsekuensi dari hal ini adalah pada membesarnya subsidi yang memperbesar defisit anggaran. Meski demikian, besaran defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas wajar yaitu masih dibawah 3%. Oleh karena itu perekonomian domestik tidak terlalu terimbas dampak kenaikan harga minyak dunia yang negatif. 2011 2010 2009 2008
subsidi non energi
2007
subsidi BBM
2006 2005 -
50.00
100.00
150.00
200.00
triliun rupiah
Sumber: Kementrian Keuangan 2012 (diolah) Gambar 26 Perkembangan subsidi BBM dan subsidi non energi Wangke (2012) menemukan bahwa dampak kenaikan subsidi BBM adalah pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Subsidi tersebut menjaga harga BBM domestik tetap terjangkau masyarakat sehingga tidak menekan inflasi dan akhirnya dapat menurunkan kemiskinan. Penurunan subsidi BBM dan realokasi
75
dana subsidi BBM ke sektor produktif mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2011 yang menembus angka diatas 100 US$/barel ternyata banyak menyedot anggaran pemerintah sehingga alokasi subsidi non energi menjadi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk membiayai defisit anggaran utamanya pada tahun 2008 dan 2011, pemerintah memperoleh pinjaman dari dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah memperolah penerimaan dari pajak yang melonjak tinggi akibat membaiknya perekonomian dan reformasi di bidang perpajakan dalam hal transparansi dan akuntabilitas administrasi perpajakan. Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah maka sumber energi alternatif seperti biofuel mulai diminati. Hal ini menjadi pemicu naiknya harga produk pertanian seperti minyak sawit di pasar komoditas internasional. Indonesia merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian ini sehingga ikut memperoleh keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan dari peningkatan pajak ekspor, sehingga bisa dipergunakan untuk membiayai impor minyak mentah dan produk-produk olahannya. 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 2001:1 2001:3 2002:1 2002:3 2003:1 2003:3 2004:1 2004:3 2005:1 2005:3 2006:1 2006:3 2007:1 2007:3 2008:1 2008:3 2009:1 2009:3 2010:1 2010:3 2011:1 2011:3 2012:1
0.00
minyak mentah
karet
kopi
minyak sawit
Sumber: IFS 2012 (diolah) Keterangan: indeks harga terhadap base year 2000=100 Gambar 27 Perkembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk pertanian Gambar 27 menunjukkan bahwa pergerakan indeks harga karet, kopi dan minyak sawit mengikuti pergerakan indeks harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga minyak dunia utamanya pada tahun 2008 dan 2011 memicu kenaikan harga
76
ekspor produk pertanian Indonesia di pasar komoditas internasional, sehingga pendapatan pemerintah dari pajak ekspor ikut meningkat. Meski tidak signifikan, namun efek kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia adalah negatif. Ketika pemerintah tetap menjaga harga BBM domestik dibawah harga keekonomiannya atas kenaikan harga minyak dunia, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang dapat memperbesar defisit anggaran dan menyebabkan postur belanja APBN menjadi tidak sehat. Selain itu, peningkatan penerimaan dari pajak ekspor ini seharusnya bisa dialokasikan ke belanja yang lebih produktif seandainya tidak ada kenaikan subsidi BBM. Dijadikannya minyak mentah sebagai salah satu komoditas spekulasi sepertinya dapat menjawab penyebab kenaikan harga minyak dunia yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti ulasan di Bab 4 bahwa kenaikan harga minyak dunia pada era 2000an ternyata tidak disebabkan oleh penawaran dan permintaan secara riil. Temuan dalam penelitian ini bahwa dampak guncangan harga minyak dunia ternyata tidak signifikan bagi perekonomian didukung oleh temuan Nordhaus (2007). Nordhaus menyatakan bahwa invasi AS ke Irak tahun 2002 yang diperkirakan akan menurunkan supply minyak dunia ternyata memang menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Namun dampak negatif dari kenaikan harga minyak ini pada perekonomian tidak terjadi dimana pertumbuhan ekonomi tetap positif dengan inflasi yang moderat. Kemungkinan
penyebab
respon
perekonomian
yang
moderat
atas
guncangan harga minyak tahun 2003 menurut Nordhaus adalah penurunan volatilitas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi ini disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, guncangan di era 2000-an lebih kecil dibanding era 1970-an untuk dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua, mekanisme transmisi harga energi terhadap output telah berubah dari negatif menjadi netral selama 3 dekade terakhir. Ada bukti bahwa The Fed bereaksi lebih sensitif terhadap harga energi di tahun 2000-an, lebih memperhatikan core inflation dibanding total inflasi. Selain itu adanya ingatan tentang sejarah tingginya inflasi dan memutuskan untuk berusaha agar tidak terulang kembali. Ketiga, adanya faktor lain misalnya variabel lain yang mungkin memperkuat
77
dampak kontraksi atas guncangan di tahun 1970-an sedangkan di tahun 2000-an variabel lain tersebut cenderung meminimalisir dampak negatif guncangan. Faktor lain tersebut diantaranya adalah ekspektasi perilaku ekonomi yaitu konsumen, pelaku bisnis dan pekerja yang memandang bahwa pergerakan harga minyak di tahun 2000-an adalah fluktuatif dan hanya sementara dibandingkan kenaikan harga yang sangat mengguncang di tahun 1970-an. Oleh karena itu, rumahtangga menganggap guncangan harga minyak seperti guncangan pajak, sehingga reaksi mereka tidak seperti reaksi pada era 1970-an. Bagi pelaku bisnis, saat ini mereka sudah memperhitungkan perubahan harga minyak yang besar dalam perencanaan dan investasi mereka sehingga perubahan besar dalam harga minyak tidak merubah operasi bisnis mereka. Sedangkan pekerja dan serikat pekerja tidak banyak menuntut kenaikan upah karena ternyata upah menjadi lebih fleksibel dalam merespon guncangan harga minyak dunia dibanding pada era 1970-an. Dampak guncangan harga minyak dunia yang tidak memperburuk perekonomian juga ditemukan oleh Blanchard dan Gali (2010). Mereka menyatakan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap makroekonomi berbeda antara era 1970-an dibandingkan era 2000-an. Ketika era 1970-an berbagai konflik seperti perang Yom Kippur dan revolusi Iran menyebabkan produksi atau supply minyak mentah dunia menurun dan memicu kenaikan harga minyak mentah dunia. Dampaknya bagi perekonomian adalah terjadinya stagflasi, yaitu inflasi tinggi disertai kontraksi perekonomian, dan tingginya pengangguran. Sehingga guncangan harga minyak dunia pada era tersebut sangat signifikan memiliki efek negatif bagi perekonomian. Di akhir era 1990-an, dunia juga menghadapi guncangan harga minyak dunia dengan besar guncangan relatif sama dengan era 1970-an namun dampaknya pada makroekonomi ternyata berbeda dimana inflasi dan PDB di negara-negara industri ternyata relatif stabil. Blanchard dan Gali menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi meningkat setelah era 1970-an, sehingga mampu membatasi ekspektasi inflasi. Purwanti (2011) menemukan bahwa guncangan harga minyak dunia justru berpengaruh positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena ada peningkatan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahannya,
78
pendapatan ekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, peningkatan permintaan agregat dan pemberian subsidi bahan bakar. Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas mengenai alasan-alasan tidak signifikannya dampak guncangan harga minyak bagi perekonomian domestik adalah sebagai berikut: 1. Harga BBM domestik masih disubsidi atas setiap kenaikan harga minyak dunia. Meski subsidi tersebut memperbesar defisit anggaran namun tingkat defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas sehat yaitu masih dibawah 3%. Dalam pembiayaan defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan penerimaan pajak dan pinjaman dalam negeri yang beresiko rendah serta menurunkan pinjaman luar negeri untuk mengurangi ketergantungan dengan asing. 2. Adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari pajak ekspor yang mampu membiayai pengeluaran pemerintah untuk impor minyak. Kenaikan pendapatan ini bersumber dari kenaikan harga ekspor produk pertanian unggulan Indonesia serta kenaikan harga ekspor batu bara dan gas alam, yang ikut meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. 3. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia serius menjaga stabilitas inflasi. Temuan Nordhaus (2007) serta Blanchard dan Gali (2010), bahwa bank sentral makin sensitif dalam menanggapi guncangan harga minyak dunia, mendukung respon suku bunga domestik atas guncangan harga minyak dunia hasil IRF dalam penelitian ini. Satu-satunya makroekonomi domestik yang merespon signifikan atas guncangan ini adalah suku bunga domestik. Sedangkan bagi pelaku ekonomi seperti rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja, kenaikan harga minyak dunia dianggap hanya sementara dan reaksi mereka tidak berlebihan. 4. Adanya penurunan volatilitas perekonomian domestik. Analisis deskriptif pada Bab 4 menemukan bahwa fluktuasi pertumbuhan triwulanan PDB sebelum krisis masih dalam rentang plus minus 10%, namun rentang tersebut menjadi makin pendek di era 2000-an yang menjadi plus minus 4%. Kondisi ini merupakan representasi fundamental makroekonomi domestik yang bertambah baik sehingga berbagai guncangan yang terjadi pada era 2000-an tidak sampai mengkontraksi perekonomian.
79
Selain itu ada fenomena kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2000-an lebih disebabkan ulah spekulasi, bukan faktor penawaran dan permintaan. Berbagai faktor ini yang cenderung mengurangi dampak guncangan harga minyak dunia terhadap makroekonomi Indonesia setelah tahun 2000-an meski Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak. 6.1.2 Guncangan Permintaan (Guncangan Suku Bunga Amerika Serikat) Ketika ada guncangan 1 standar deviasi pada suku bunga AS (T-bill) maka suku bunga AS langsung meningkat sekitar 0,3% pada periode impact. Respon ini terus meningkat hingga stabil pada level jangka panjangnya setelah triwulan ke-8 yang 0,8% lebih tinggi dibanding level sebelum guncangan (Gambar 28).
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 28 Respon suku bunga AS terhadap guncangan dirinya sendiri Guncangan eksternal ini belum direspon oleh PDB pada periode impact. Respon PDB selanjunya atas guncangan suku bunga AS juga tidak signifikan, begitu pula respon kurs riil dan permintaan uang riil yang tidak signifikan. Satusatunya variabel domestik yang merespon guncangan suku bunga AS dengan signifikan adalah suku bunga domestik. Meningkatnya suku bunga AS ternyata mampu meningkatkan suku bunga domestik secara permanen. Sesuai dengan teori UIP, maka ketika ekspektasi inflasi sama dengan nol, maka ekspektasi depresiasi kurs juga sama dengan nol. Oleh karena itu suku bunga domestik sama dengan suku bunga AS. Respon terbesar suku bunga domestik terjadi pada triwulan ke-6 setelah guncangan yang hampir mencapai 1,4%. Selanjutnya keseimbangan
80
jangka panjang suku bunga domestik dicapai setelah triwulan ke-16 atau 4 tahun setelah guncangan dengan level yang lebih tinggi 1,2% dibanding level sebelum guncangan. Respon tersebut ditunjukkan oleh Gambar 29.
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 29 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan suku bunga AS Respon yang ditunjukkan oleh makroekonomi domestik seperti PDB, kurs riil dan permintaan uang riil dalam penelitian ini sama dengan temuan Siregar dan Ward (2000) yaitu tidak signifikan. 6.2
Peran Guncangan Eksternal terhadap Fluktuasi Makroekonomi Indonesia Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk
menganalisa peran setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi setiap variabel dalam model. Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa variabilitas harga minyak dunia ditentukan oleh guncangannya sendiri dalam jangka pendek. Pada triwulan pertama, 100% fluktuasi harga minyak dunia dijelaskan oleh guncangannya sendiri dan pada triwulan kedua menjelaskan sekitar 99%. Peran guncangan harga
81
minyak dunia terhadap dirinya sendiri perlahan makin menurun, namun dalam jangka panjang (triwulan ke-30) perannya tetap dominan sekitar 86%. Selain itu juga ditemukan bahwa guncangan makroekonomi domestik yaitu guncangan output, guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta guncangan kebijakan moneter domestik ternyata tidak ada yang mampu menjelaskan variabilitas harga minyak dunia baik di jangka pendek dan jangka panjang. Tabel 7 Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi variabel eksternal Guncangan Variabel
Harga Minyak Dunia
Suku Bunga AS
Triwulan kedepan 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30
Harga Minyak Dunia 100 99 91 90 86 86 7 8 6 6 6 6
Suku Bunga AS 0 0 1 1 1 2 93 88 88 80 67 66
Output Kurs Riil 0 0 1 1 3 3 0 0 0 1 4 4
0 0 5 4 5 5 0 1 2 5 15 16
Money Demand 0 0 1 1 1 1 0 2 3 4 5 5
Kebijakan Moneter Domestik 0 0 0 3 3 3 0 1 1 3 3 3
Sumber: Hasil pengolahan Fluktuasi suku bunga AS banyak disumbang dari guncangannya sendiri di seluruh horizon waktu. Di jangka pertama 93% fluktuasi suku bunga AS mampu dijelaskan oleh guncangannya sendiri dan di jangka panjang perannya sekitar 66%. Guncangan makroekonomi domestik juga tidak mampu berperan dalam fluktuasi suku bunga AS. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) dimana variabel ekonomi makro domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas indikator eksternal seperti suku bunga AS. Temuan penelitian ini, bahwa makroekonomi domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas variabel eksternal seperti harga minyak dunia dan suku bunga AS, sesuai dengan teori small open economy. Indonesia merupakan negara kecil terbuka yang tidak mampu memengaruhi perekonomian dunia. Meski posisi
82
Indonesia saat ini menjadi salah satu anggota G-20 pada urutan ke-17, namun kebijakan
makroekonomi
nasional
masih
belum
mampu
memengaruhi
perekonomian dunia. Tabel 8 Peran guncangan eksternal terhadap fluktuasi makroekonomi domestik Variabel
PDB
Kurs Riil
Permintaan Uang Riil
Suku Bunga Domestik
Triwulan kedepan 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30
Guncangan Eksternal Harga Minyak Dunia Suku Bunga AS 0 0 0 0 1 0 1 3 1 4 0 4 0 1 0 0 1 3 2 4 2 4 2 4 0 0 0 0 3 2 3 2 2 5 2 6 0 5 2 5 4 6 3 26 4 37 5 51
Sumber: Hasil pengolahan Guncangan eksternal yaitu guncangan harga minyak dunia tidak penting dalam menjelaskan fluktuasi PDB di semua horizon waktu. Hal ini mendukung temuan IRF dan hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia terhadap PDB di bab sebelumnya. Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nordhaus (2007), Blanchard dan Gali (2010) dan Purwanti (2011) bahwa guncangan harga minyak pada era 2000an tidak menyebabkan resesi dalam perekonomian. Selain itu, guncangan harga minyak dunia juga tidak berperan penting dalam fluktuasi makroekonomi domestik seperti kurs riil, permintaan uang riil dan suku bunga domestik di seluruh horizon waktu. Guncangan eksternal berupa guncangan suku bunga AS juga ditemukan tidak berperan penting dalam fluktuasi PDB. Temuan ini sama dengan temuan
83
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004). Bagi makroekonomi domestik lainnya seperti kurs riil dan permintaan uang riil, ternyata guncangan suku bunga AS juga tidak berperan banyak. Peran guncangan suku bunga AS hanya penting bagi fluktuasi suku bunga domestik. 6.3
Implikasi Kebijakan Temuan penelitian mengenai hubungan harga minyak dunia dan PDB
berdasarkan pengujian hubungan contemporaneous, IRF dan FEVD masingmasing adalah tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia terhadap PDB, respon PDB atas guncangan harga minyak dunia tidak signifikan serta guncangan harga minyak dunia tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB dan indikator makroekonomi Indonesia lainnya. Temuan tersebut saling mendukung satu sama lain, memperkuat bukti empiris bahwa guncangan harga minyak dunia tidak memengaruhi fluktuasi makroekonomi Indonesia. Berbagai hal yang menjadi penyebab tidak signifikannya hubungan tersebut telah diulas pada sub bab sebelumnya. Diantaranya terkait dengan masih disubsidinya harga BBM domestik. Selama ini pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan subsidi harga BBM domestik. Temuan tersebut tidak menjadi dasar bagi penelitian ini untuk kemudian merekomendasikan bahwa pemerintah terus mensubsidi harga BBM domestik atas kenaikan harga minyak dunia dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian domestik. Karena meski dampaknya tidak signifikan secara statistik, namun arah respon PDB terhadap guncangan harga minyak dunia adalah negatif. Oleh karena itu pelaksanaan subsidi harga BBM domestik yang memperbesar defisit anggaran harus dilakukan secara hati-hati. Bila subsidi BBM terus meningkat maka dapat menyebabkan rasio defisit APBN terhadap PDB melebihi batas aman 3%. Dampak guncangan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia yang awalnya negatif dan tidak signifikan berpotensi untuk berubah menjadi negatif dan signifikan dikemudian hari. Berdasarkan uraian diatas, subsidi harga BBM domestik sebaiknya mulai dikurangi. Hal ini bisa dicapai dengan dua cara yaitu pertama melalui pembatasan BBM bersubsidi dan kedua melalui peningkatan harga BBM domestik secara bertahap hingga sesuai dengan harga keekonomiannya.
84
Cara pertama yaitu mengatur pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini sudah dilakukan pemerintah sejak lama dan diatur dalam Instruksi Presiden. Namun sampai saat ini belum efektif. Kuota volume BBM bersubsidi selalu tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu disarankan agar aturan pembatasan BBM bersubsidi dibuat dalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang berarti memuat sanksi tegas bagi pelanggar (orang/sektor produksi yang tidak berhak menerima BBM bersubsidi namun mengkonsumsinya) sehingga menimbulkan efek jera bagi pelanggar. Dengan cara ini kebijakan aturan pembatasan BBM dapat efektif dilaksanakan dan tercapai volume BBM bersubsidi sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan. Cara kedua yaitu menaikkan harga BBM secara bertahap hingga sesuai dengan harga keekonomiannya. Selain mengeliminir tindakan spekulasi akibat disparitas harga BBM subsidi dan BBM industri, cara ini juga tidak membebani APBN. Dana yang tadinya untuk subsidi BBM dapat dialokasikan ke sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur jalan, infrastruktur energi alternatif seperti gas, infrastruktur sarana transportasi massal seperti Mass Rapid Transportation (MRT) yang diharapkan dapat mengurangi penggunaaan BBM bagi kendaraan pribadi, subsidi pendidikan dan kesehatan, kompensasi bagi masyarakat tidak mampu serta pengembangan sumber energi alternatif. Berdasarkan hasil penelitian Wangke (2012), penurunan subsidi BBM dan realokasi anggaran dari penghematan subsidi BBM ke sektor produktif ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan jumlah penduduk miskin. Temuan
penelitian
Nordhaus
(2007)
bahwa
reaksi
dan
perilaku
rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja atas guncangan harga minyak ikut menentukan signifikan atau tidaknya guncangan harga minyak dunia bagi perekonomian domestik. Oleh karena itu, dalam menyikapi guncangan harga minyak dunia, pemerintah sebaiknya lebih mengkhawatirkan ekspektasi dan reaksi pelaku ekonomi seperti konsumen, pelaku bisnis dan pekerja. Otoritas moneter diharapkan tetap sensitif dalam menjaga stabilitas inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia serta fokus pada core inflation dibanding total inflasi.
85
Hasil penelitian ini mengenai kurang pentingnya guncangan harga minyak dunia dan guncangan suku bunga AS bagi perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa fundamental makroekonomi Indonesia cukup kuat. Sehingga meski berbagai guncangan eksternal semakin sering terjadi pada era 2000an, perekonomian Indonesia tetap mampu bertahan dan tidak sampai terjadi resesi. Namun guncangan suku bunga AS perlu diwaspadai karena mampu memengaruhi fluktuasi suku bunga domestik. Kebijakan moneter domestik dapat berperan menjadi stabilisator jika terjadi fluktuasi suku bunga domestik yang berlebihan.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
87
VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 7.1
Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Domestik
7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) Guncangan penawaran dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai guncangan output. Favorable shock sebesar satu standar deviasi terhadap output menyebabkan PDB langsung meningkat 1,3% pada periode impact. Selanjutnya PDB berfluktuasi menuju keseimbangan jangka panjangnya dengan level baru yang 1% lebih tinggi dibanding level sebelum ada guncangan (Gambar 30).
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 30 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan output Peningkatan PDB tersebut menyebabkan kenaikan transaksi sehari-hari sehingga permintaan uang riil juga meningkat. Meningkatnya PDB secara
88
permanen mengakibatkan peningkatan permintaan uang riil secara permanen juga. Di jangka panjang, permintaan uang riil lebih tinggi 0,8% dibanding level sebelum ada guncangan. Pada periode impact, kurs riil terapresiasi 4% dibanding kondisi sebelum ada guncangan. Respon kurs signifikan hanya pada triwulan kedua hingga keempat setelah guncangan. Selanjutnya kurs riil kembali ke level sebelum ada guncangan sehingga dampak guncangan output bagi kurs riil hanya sementara. Otoritas moneter mengakomodasi kenaikan permintaan uang riil dengan ekspansi moneter yaitu dengan meningkatkan money supply sehingga suku bunga domestik menjadi lebih rendah dari tingkat sebelum ada guncangan. Pada triwulan ke-2, suku bunga domestik lebih rendah 1,4%. Seiring dengan menghilangnya respon kurs riil, respon suku bunga domestik setelah triwulan ke-4 juga menghilang dimana suku bunga domestik cenderung kembali ke tingkat sebelum ada guncangan. Dampak guncangan output juga hanya sementara bagi suku bunga domestik. 7.1.2 Guncangan Permintaan 7.1.2.1 Guncangan Kurs Riil Gambar 31 menunjukkan respon makroekonomi domestik atas guncangan kurs riil yang menyebabkan kurs riil terdepresiasi. Guncangan ini mengakibatkan kurs riil langsung terdepresiasi 8% pada periode impact. Respon terbesar kurs riil terjadi pada triwulan ke-2 setelah guncangan yaitu terdepresiasi hingga 9%. Selanjutnya kurs riil merespon dengan makin menguat sehingga setelah triwulan ke-14, depresiasinya tinggal 5% dibanding level sebelum guncangan. Respon kurs riil adalah permanen. Terdepresiasinya kurs riil belum direspon oleh otoritas moneter pada periode impact. Setidaknya dibutuhkan lag 1 triwulan bagi otoritas moneter untuk menstabilkan dengan melakukan kebijakan moneter kontraksi yaitu menurunkan money supply sehingga suku bunga domestik meningkat agar kurs riil menguat. Pada triwulan ke-3, suku bunga domestik lebih tinggi 1,9% dalam rangka merespon depresiasi kurs riil yang meningkat pada triwulan ke-2. Setelah kurs riil mulai menguat, suku bunga domestik menurun untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya yang dicapai setelah triwulan ke-4.
89
Guncangan 1 standar deviasi pada kurs riil juga belum direspon oleh PDB pada periode impact. Dibutuhkan lag 1 triwulan dimana PDB mengalami kontraksi 0,7% akibat terdepresiasinya kurs riil. Pada triwulan ke-3 PDB mencapai level terendah yaitu terkontraksi sekitar 2%. Guncangan 1 standar deviasi pada kurs riil menyebabkan PDB terkontraksi 1,3% di jangka panjang.
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 31 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan kurs riil Seiring dengan tingginya suku bunga domestik, maka terjadi penurunan permintaan uang riil. Ketika suku bunga domestik mencapai respon tertinggi pada triwulan ke-3, hal ini menjadi opportunity cost terbesar untuk memegang aset dalam bentuk uang. Kondisi ini direspon dengan penurunan permintaan uang riil terbesar pada triwulan ke-4 yang mencapai minus 1,9%. Seiring dengan menghilangnya respon suku bunga domestik mulai triwulan ke-6, respon permintaan uang riil juga menghilang. Menurunnya suku bunga domestik kembali ke level sebelum ada guncangan diikuti oleh meningkatnya respon permintaan
90
uang riil menuju keseimbangan jangka panjangnya. Guncangan 1 standar deviasi atas kurs riil menyebabkan respon yang permanen oleh PDB dan kurs riil, dimana di jangka panjang PDB terkontraksi 1,3% dan kurs riil terdepresiasi 5%. 7.1.2.2 Guncangan Permintaan Uang Guncangan 1 standar deviasi pada permintaan uang menyebabkan permintaan uang riil langsung meningkat sekitar 3%. Namun pada triwulan pertama setelah guncangan, respon permintaan uang riil menurun tajam. Selanjutnya respon permintaan uang riil berfluktuasi menuju keseimbangan jangka panjangnya, dengan level permintaan uang riil baru yang lebih tinggi 1,2% dibanding level sebelum adanya guncangan. Respon permintaan uang riil atas guncangan permintaan uang adalah permanen (Gambar 32).
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 32 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan permintaan uang
91
Variabel makroekonomi lainnya seperti PDB, kurs riil dan suku bunga domestik tidak merespon guncangan ini pada periode impact. Setelah triwulan pertama, PDB merespon guncangan money demand dengan arah positif, namun respon tersebut tidak signifikan. Respon kurs riil dan suku bunga domestik juga ditemukan tidak signifikan. Sehingga guncangan permintaan uang hanya direspon secara permanen oleh permintaan uang riil sendiri. 7.1.2.3 Guncangan Kebijakan Moneter Domestik Guncangan kebijakan moneter domestik yaitu kebijakan moneter kontraksi dengan menurunkan money supply menyebabkan suku bunga domestik langsung meningkat 1,6% di periode impact. Respon suku bunga domestik menurun seiring dengan waktu. Guncangan kebijakan moneter domestik hanya direspon suku bunga domestik secara signifikan hingga triwulan ke-4. Selanjutnya suku bunga domestik cenderung kembali ke level sebelum ada guncangan, sehingga respon suku bunga domestik atas guncangan kebijakan moneter domestik hanya sementara (Gambar 33). PDB membutuhkan lag 1 triwulan dalam merespon guncangan kebijakan moneter domestik. Tingginya suku bunga domestik di awal periode menyebabkan penurunan investasi sehingga PDB terkontraksi. Level PDB menjadi lebih rendah sekitar 0,4% dibanding level sebelum ada guncangan yang signifikan hingga triwulan kedua setelah guncangan. Selanjutnya PDB kembali meningkat menuju level sebelum guncangan. Pada waktu yang sama, tingginya suku bunga domestik berarti membesarnya opportunity cost memegang aset dalam bentuk uang. Permintaan uang riil langsung menurun hingga 1,6% pada triwulan yang sama. Respon terbesar permintaan uang riil terjadi pada triwulan ke-2 setelah guncangan, dimana permintaan uang riil lebih rendah 2,2% dibanding level sebelum guncangan. Pada keseimbangan jangka panjangnya, permintaan uang riil lebih rendah 1% dibanding level sebelum ada guncangan. Artinya dampak guncangan kebijakan moneter domestik bagi permintaan uang riil adalah permanen.
92
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan Gambar 33 Respon makroekonomi domestik atas guncangan kebijakan moneter Sama dengan respon PDB, kurs riil juga membutuhkan lag dalam merespon guncangan kebijakan moneter domestik. Tingginya suku bunga domestik menyebabkan capital inflow. Karena Indonesia adalah small open economy maka perubahan ekonomi domestik tidak berdampak bagi perekonomian dunia, termasuk dalam hal ini perubahan suku bunga domestik tidak mampu memengaruhi suku bunga AS sehingga diasumsikan suku bunga AS tetap. Capital inflow memicu terapresiasinya kurs riil. Respon terbesar kurs riil terjadi pada triwulan ke-4 setelah guncangan dengan apresiasi 4,5%. Selanjutnya respon kurs riil permanen dalam jangka panjang yang terapresiasi sekitar 3% dibanding level sebelum guncangan.
93
7.2
Peran Guncangan Domestik terhadap Fluktuasi Makroekonomi Indonesia Tabel 9 menunjukkan peran berbagai guncangan domestik terhadap
variabilitas makroekonomi Indonesia. Berdasarkan analisis FEVD, fluktuasi PDB di jangka pendek dominan disebabkan oleh guncangan output. Pada triwulan pertama 100% fluktuasi PDB dijelaskan oleh guncangannya sendiri. Perlahan kontribusi peran guncangan output makin menurun dan dalam jangka panjang (triwulan ke-30) perannya tinggal 36%. Temuan ini sama dengan temuan Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004). Tabel 9 Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi makroekonomi domestik Guncangan Domestik Variabel
PDB
Kurs Riil
Permintaan Uang Riil
Suku Bunga Domestik
Triwulan kedepan
Output
Kurs Riil
Money Demand
1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30 1 2 4 8 16 30
100 82 37 35 36 36 19 16 9 7 5 4 1 8 14 17 15 14 9 31 31 21 17 13
0 16 56 57 56 57 80 79 79 72 72 72 8 8 9 15 13 9 1 2 28 31 26 18
0 0 4 3 3 3 0 1 2 1 1 1 71 51 34 34 36 38 0 0 3 2 2 2
Kebijakan Moneter Domestik 0 2 2 1 1 0 0 2 6 15 16 17 20 33 38 29 30 31 85 59 29 16 14 11
Sumber: Hasil pengolahan Selain guncangan output, ternyata guncangan kurs riil mendominasi fluktuasi PDB mulai triwulan ke-3. Di jangka panjang (triwulan ke-30) peran guncangan kurs riil terhadap fluktuasi PDB sekitar 57%. Hasil ini sesuai dengan
94
temuan Siregar dan Ward (2000) dimana guncangan kurs riil mulai mendominasi pada triwulan ke-4 hingga di jangka panjang. Supriana (2004) juga menemukan pentingnya peran guncangan kurs dalam menjelaskan fluktuasi PDB. Rapach (1998) menemukan bahwa guncangan penawaran berperan di seluruh horizon waktu fluktuasi PDB sedangkan guncangan permintaan hanya pada fluktuasi jangka pendek. Guncangan kebijakan moneter domestik maupun guncangan permintaan uang tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB baik di jangka pendek maupun di jangka panjang. Berdasarkan hasil FEVD ada indikasi terjadi money neutrality baik di jangka pendek maupun jangka panjang dimana kebijakan moneter tidak mampu memengaruhi output di kedua horizon waktu tersebut. Temuan ini sesuai dengan temuan Gali (1992) dan Rapach (1998) untuk kasus Amerika Serikat serta Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) di Indonesia. Namun berbeda dengan temuan Cheng (2003) untuk PDB Malaysia dimana guncangan money supply berperan sangat penting. Guncangan kurs riil yang mendepresiasi kurs riil memiliki kontribusi dominan bagi fluktuasi kurs riil itu sendiri sekitar 80% pada triwulan pertama, sedangkan 19% lainnya diterangkan oleh guncangan output. Pada triwulan ke-30, guncangan kurs riil masih penting menerangkan sekitar 72%, mirip dengan hasil FEVD Siregar dan Ward (2000) yang menghasilkan peran 68%. Namun hasil FEVD bahwa guncangan permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas kurs riil di semua horizon waktu ternyata berbeda dengan Supriana (2004). Supriana justru menemukan guncangan permintaan uang penting bagi fluktuasi kurs riil. Variabilitas permintaan uang riil di jangka pendek banyak dijelaskan oleh guncangannya sendiri yaitu sekitar 71%, sedangkan 20% lainnya dijelaskan oleh guncangan kebijakan moneter domestik. Di jangka panjang, guncangan permintaan uang berperan sekitar 38% dan guncangan kebijakan moneter domestik sekitar 31%. Guncangan kebijakan moneter penting bagi fluktuasi permintaan uang riil baik di jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu kebijakan moneter dapat diimplementasikan untuk stabilisasi permintaan uang riil. Hasil penelitian Rapach (1998) sama dengan temuan penelitian ini dimana
95
yang berperan dalam menjelaskan fluktuasi permintaan uang riil adalah guncangan permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik. Sedangkan penelitian Siregar dan Ward (2000) berbeda bahwa guncangan kebijakan moneter domestik tidak mampu berperan di seluruh horizon waktu dalam fluktuasi permintaan uang riil. Baik guncangan output maupun guncangan kurs riil ternyata kurang mampu berperan dalam menjelaskan variabilitas permintaan uang riil disemua horizon waktu. Temuan ini berbeda dengan hasil Siregar dan Ward (2000) yang menemukan bahwa guncangan kurs riil mampu menjelaskan fluktuasi permintaan uang riil di jangka panjang. Sedangkan Gali (1992) menemukan bahwa guncangan penawaran hanya berperan di triwulan pertama, guncangan money demand hanya berperan di jangka pendek, guncangan money supply di jangka panjang dan guncangan IS mendominasi seluruh horizon waktu. Fluktuasi suku bunga domestik di triwulan pertama 85% diterangkan oleh guncangan kebijakan moneter domestik. Mulai triwulan ke-2, guncangan output mampu berperan sekitar 31%. Kedua guncangan tersebut ternyata hanya penting bagi fluktuasi jangka pendek suku bunga domestik, dimana pada jangka panjang, peran guncangan kebijakan moneter domestik tinggal 11% dan guncangan output hanya 13%. Peran guncangan kurs riil mulai penting di triwulan ke-4 dimana sekitar 28% fluktuasi suku bunga domestik mampu dijelaskan oleh guncangan ini. Di jangka panjang, fluktuasi suku bunga domestik lebih banyak dijelaskan oleh guncangan kurs riil. Temuan ini sama dengan hasil FEVD Siregar dan Ward (2000) yang menunjukkan bahwa guncangan kurs riil berperan penting mulai triwulan ke-4 hingga jangka panjang. Gali (1992) menemukan bahwa hanya guncangan money supply yang bisa menjelaskan fluktuasi suku bunga domestik di seluruh horizon waktu, sedangkan guncangan penawaran, permintaan uang dan IS tidak berperan. Rapach (1998) justru menemukan bahwa guncangan money demand dan money supply tidak penting bagi fluktuasi suku bunga domestik, tetapi yang penting peranannya adalah guncangan IS untuk fluktuasi seluruh horizon waktu suku bunga domestik dan guncangan penawaran untuk fluktuasi suku bunga domestik di triwulan pertama.
96
Guncangan domestik memiliki peran sangat penting dalam fluktuasi makroekonomi domestik baik di jangka pendek maupun jangka panjang. Guncangan dari sisi permintaan ditemukan sama pentingnya dengan guncangan dari sisi penawaran. Guncangan permintaan yang utama adalah guncangan kurs riil yang ditemukan dapat menjelaskan seluruh fluktuasi makroekonomi domestik kecuali permintaan uang riil. 7.3
Implikasi Kebijakan Penelitian ini menemukan bahwa guncangan penawaran berupa favorable
shock pada output dapat menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, untuk menstimulasi perekonomian dapat dilakukan dengan mengelola guncangan dari sisi penawaran utamanya guncangan output dengan baik. Guncangan output ini bisa berasal dari guncangan tenaga kerja, guncangan kapital dan guncangan teknologi. Temuan bahwa guncangan kurs riil berperan sebagai sumber utama fluktuasi makroekonomi domestik menjadi bukti empiris bahwa stabilisasi kurs riil menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dampak guncangan ini bagi perekonomian adalah terkontraksinya PDB secara permanen sehingga pengelolaan kurs riil yang tepat diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian. Menurut Ickes (2004), kurs riil merepresentasikan relatif harga barang domestik dan harga barang asing sehingga memengaruhi daya saing barang tradable. Apresiasi kurs riil berarti kenaikan harga asing atas satu bundel barang relatif terhadap harga domestik. Atau bisa dikatakan bahwa nilai riil mata uang asing terdepresiasi sehingga menurunkan daya beli mata uang asing secara relatif. Salah satu faktor yang dapat merubah kurs riil ini adalah perubahan demand baik yang berasal dari domestik maupun luar negeri terhadap barang domestik. Ketika terjadi penurunan permintaan domestik untuk barang domestik, maka pada rasio harga awal terjadi ketidakseimbangan supply dan demand yaitu terjadi excess supply. Hal ini memicu penurunan harga barang domestik sehingga rasio harga asing terhadap harga domestik meningkat. Artinya terjadi depresiasi riil yaitu penurunan daya beli Rupiah terhadap barang asing. Berdasarkan uraian diatas maka faktor-faktor yang memengaruhi perubahan demand domestik terhadap barang domestik dapat memengaruhi kurs riil.
97
Permintaan domestik antara lain berasal dari konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah. Perubahan pengeluaran pemerintah baik untuk konsumsi maupun investasi dapat menjadi sumber fluktuasi daya saing atau fluktuasi kurs riil. Penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan agregat demand. Dengan asumsi agregat supply tetap maka penurunan agregat demand ini akan menurunkan harga domestik relatif terhadap harga asing. Hal ini menyebabkan rasio harga asing terhadap harga domestik meningkat sehingga terjadi depresiasi riil. Artinya daya beli Rupiah relatif turun terhadap barang asing. Siregar (2001) menyatakan kurs riil sebagai relatif harga barang tradable dan non-tradable. Apresiasi kurs riil bisa diinterpretasikan sebagai kenaikan harga barang non-tradable relatif terhadap harga barang tradable. Monacelli dan Perotti (2010) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah adalah lebih intensif pada sektor non-tradable. Sehingga ketika terjadi kenaikan belanja pemerintah maka akan meningkatkan harga output di sektor non-tradable relatif terhadap harga output sektor tradable dan memicu apresiasi kurs riil. Dari sisi produksi, output sektor pemerintah termasuk dalam sektor non-tradable yaitu pada sub sektor Jasa Pemerintahan Umum dalam PDB sektoral (meliputi jasa administrasi pemerintah dan pertahanan keamanan). Kenaikan atau penurunan output pemerintah dapat memengaruhi relatif harga barang non-tradable dan tradable sehingga dapat memengaruhi kurs riil. Berdasarkan uraian diatas bahwa ekspansi atau kontraksi output dan belanja pemerintah dapat merubah daya saing barang domestik atau merubah kurs riil, maka kebijakan fiskal dapat diimplementasikan untuk stabilisasi fluktuasi daya saing barang domestik terhadap asing atau yang disebut sebagai kurs riil. Ravn et al. (2007), Caporale et al. (2008), Monacelli dan Perotti (2010) serta Chatterjee dan Mursagulov (2011) juga menemukan pentingnya pengeluaran pemerintah atas fluktuasi kurs riil. Selain kebijakan fiskal, konsumsi rumahtangga juga penting dalam fluktuasi kurs riil. Oleh karena itu, faktor-faktor yang memengaruhi perubahan konsumsi rumahtangga juga dapat memengaruhi kurs riil, termasuk kebijakan fiskal berupa kenaikan atau penurunan pajak. Keputusan rumahtangga untuk lebih banyak membelanjakan pendapatannya atau ditabung serta pilihan barang untuk
98
dikonsumsi apakah barang domestik dan barang asing (impor) ikut berkontribusi pada daya saing barang domestik sehingga memengaruhi fluktuasi kurs riil. Fluktuasi permintaan uang riil di jangka pendek dapat dijelaskan oleh guncangan kebijakan moneter domestik. Oleh karena itu, kebijakan tersebut dapat diimplementasikan untuk meredam fluktuasi yang berlebihan dalam permintaan uang riil. Selain itu, kebijakan moneter juga berperan penting dalam stabilisasi fluktuasi suku bunga domestik.
99
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
1.
Respon perekonomian domestik terhadap berbagai guncangan: a. Respon makroekonomi domestik atas guncangan eksternal berupa guncangan harga minyak dunia ditemukan tidak signifikan, kecuali respon suku bunga domestik. -
Tidak signifikannya respon PDB atas guncangan harga minyak dunia disebabkan masih disubsidinya harga BBM domestik sehingga belum mengikuti harga keekonomiannya. Kenaikan harga minyak dunia direspon pemerintah dengan meningkatkan subsidi harga BBM domestik agar tetap mampu dijangkau masyarakat. Selain itu, ada kenaikan pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak ekspor produk batubara, gas alam serta produk pertanian yang mengikuti kenaikan harga minyak dunia, sehingga sedikit banyak dapat mengimbangi pengeluaran pemerintah untuk impor minyak.
-
Signifikannya respon suku bunga domestik mengindikasikan bahwa otoritas moneter konsisten dalam menjaga stabilitas inflasi yang berpotensi terganggu akibat kenaikan harga minyak dunia.
b. PDB, kurs riil dan permintaan uang riil tidak merespon secara signifikan atas guncangan suku bunga Amerika Serikat. Hanya suku bunga domestik yang memiliki respon signifikan dimana kenaikan suku bunga Amerika Serikat diikuti oleh kenaikan suku bunga domestik. c. Respon makroekonomi Indonesia atas guncangan domestik ditemukan lebih signifikan dan permanen. Favorable shock terhadap output direspon secara permanen dan positif oleh PDB dan permintaan uang riil. Guncangan kurs riil menyebabkan perubahan permanen yang negatif dalam PDB dan kurs riil. Guncangan permintaan uang hanya direspon secara signifikan oleh permintaan uang riil. Guncangan kebijakan moneter domestik penting dalam fluktuasi jangka pendek suku bunga domestik namun PDB tidak merespon guncangan ini secara signifikan.
100
2.
Guncangan yang berperan penting dalam business cycle Indonesia: a. Guncangan domestik ditemukan tidak mampu menjelaskan fluktuasi variabel eksternal, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara perekonomian terbuka yang kecil. Sebagai negara small open economy, perekonomian Indonesia terpapar oleh berbagai peristiwa dunia. Peristiwa eksternal yang dicakup dalam penelitian ini yaitu guncangan harga minyak dunia dan guncangan suku bunga Amerika Serikat ternyata ditemukan tidak berperan penting bagi fluktuasi perekonomian domestik. Guncangan suku bunga Amerika Serikat hanya penting bagi fluktuasi suku bunga domestik. b. Guncangan domestik mampu menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia dengan baik. Guncangan domestik dari sisi permintaan ditemukan sama pentingnya seperti guncangan domestik dari sisi penawaran. Guncangan permintaan yang utama adalah guncangan kurs riil. Meski penting bagi fluktuasi suku bunga domestik, namun guncangan kebijakan moneter tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek maupun di jangka panjang sehingga mengindikasikan money neutrality baik di jangka pendek maupun di jangka panjang. c. Sumber guncangan utama dalam business cycle Indonesia adalah guncangan domestik. Guncangan eksternal tidak mampu menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia.
8.2
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran dalam penelitian ini yaitu:
1.
Terkait dengan guncangan harga minyak dunia yang tidak dapat memengaruhi perekonomian domestik antara lain karena harga BBM domestik yang masih disubsidi, maka pelaksanaan subsidi BBM perlu dilakukan secara hati-hati. Karena meski pengaruhnya tidak signifikan, namun arahnya negatif. Subsidi BBM yang membengkak selain membuat postur belanja APBN menjadi tidak sehat, juga memperbesar defisit anggaran dan berpotensi memperburuk dampak guncangan harga minyak dunia bagi makroekonomi Indonesia. Untuk itu direkomendasikan agar pemerintah mulai mengurangi subsidi BBM dengan cara pembatasan BBM
101
bersubsidi yang aturannya dimuat dalam undang-undang agar dapat memenuhi kuota volume BBM bersubsidi yang ditargetkan. Selain itu harga BBM domestik dinaikkan secara bertahap hingga sesuai dengan harga keekonomiannya disertai realokasi dana subsidi BBM ke sektor produktif. 2.
Guncangan suku bunga Amerika Serikat perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan fluktuasi suku bunga domestik. Meski demikian, fluktuasi dalam suku bunga domestik ini dapat distabilisasi dengan kebijakan moneter.
3.
Guncangan kurs riil mencerminkan perubahan daya saing barang ekspor Indonesia. Guncangan ini perlu diwaspadai karena merupakan sumber fluktuasi makroekonomi utama bagi Indonesia dari sisi permintaan dan menyebabkan PDB terkontraksi secara permanen. Oleh karena itu fluktuasi yang berlebihan dalam kurs riil perlu diminimalisir. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan yang dapat menstabilisasi fluktuasi daya saing produk ekspor Indonesia melalui perubahan pengeluaran pemerintah atau perubahan pajak.
4.
Kebijakan moneter efektif untuk diimplementasikan dalam stabilisasi fluktuasi permintaan uang riil. Saran untuk penelitian lanjutan berkaitan dengan temuan mengenai tidak
signifikannya dampak fluktuasi harga minyak dunia bagi makroekonomi domestik adalah memasukkan variabel inflasi serta subsidi BBM atau defisit anggaran sebagai ukuran kebijakan fiskal, yang kemungkinan dapat memperkuat dampak fluktuasi harga minyak dunia bagi perekonomian domestik. Temuan bahwa guncangan dari sisi penawaran berperan penting bagi fluktuasi makroekonomi domestik, maka saran untuk penelitian selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi guncangan penawaran secara lebih spesifik. Misalnya dengan memasukkan guncangan tenaga kerja, guncangan kapital atau guncangan teknologi.
102
Halaman ini sengaja dikosongkan
103
DAFTAR PUSTAKA [BI] Bank Indonesia. 2012. http://www.bi.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. http://www.bps.go.id. Baxter, M., King RG. 1995. Measuring Business Cycles Approximate Band-Pass Filters for Economic Time Series. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 5022:1-53. Bernanke, BS., Gertler M., Watson M. 1997. Systematic Monetary Policy and The Effects of oil Price Shocks. Brookings Papers on Economic Activity 1: 91142. Blanchard, O. 2009. Macroeconomics. Ed ke-5. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Blanchard, OJ., Quah D. 1988. The Dynamic Effects of Aggregate Demand and Supply Disturbances. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 2737:1-24 Blanchard, OJ., Gali J. 2010. The Macroeconomic Effects of Oil Price Shocks: Why are the 2000s so different from 1970s?. National Bureau of Economic Research:373-421. Blanchard, OJ., Fischer S. 1993. Lectures on Macroeconomics. Massachusetts: The MIT Press. Burns, AF., Mitchell WC. 1946. Measuring Business Cycles. National Bureau of Economic Research. Caporale, GM., Ciferri D., Girardi A., 2008. Fiscal Shocks and the Real Exchange Rate Dynamics: Some Evidence for Latin America. CESifo Working Paper 2338:1-36. Carlstrom, CT., Fuerst TS. 2005. Oil Prices, Monetary Policy, and The Macroeconomy. Federal Reserve Bank of Cleveland Policy Discussion Paper No.10:1-4. Chatterjee, S., Mursagulov, A. 2012. Fiscal Policy and the Real Exchange Rate. IMF Working Paper 52:1-39. Cheng, M.Y. 2003. Economic Fluctuations and Growth: An Empirical Study of the Malaysian Economy. The Journal of Business in Developing Nations 7:51-74.
104
Diebold, FX., Rudebusch GD. 1994. Measuring Business Cycles: A Modern Perspective. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 4643:1-33. Dornbusch, R., Fischer S., Startz R. 1998. Macroeconomics. Ed ke-7. New York: McGraw-Hill. . Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2. New York: John Willey and Sons, Inc. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Funke, M. 1998. Aggregate Demand and Aggregate Supply in Germany and the United Kingdom. Discussion Paper No. 01-98:1-17. Gali, J. 1992. How Well Does the IS-LM Model Fit Postwar U.S. Data?. The Quarterly Journal of Economics 107(2):709-738. Gottschalk, J. 2001. An Introduction into the SVAR Methodology: Identification, Interpretation and Limitations of SVAR Models. Kiel Working Paper No. 1072:1-42. Hamilton, JD., Herrera AM. 2001. Oil Shocks and Aggregate Macroeconomic Behavior: The Role of Monetary Policy. Journal of Money, Credit, and Banking 36:1-31. Hamilton, JD. 2005. Oil and The Macroeconomy. Prepared for Palgrave Dictionary Economics. Hamilton, JD. 2009. Causes and Consequences of the Oil Shock of 2007-08. Brookings Papers on Economic Activity:215-283. Hamilton, JD. 2011. Historical Oil Shocks. Prepared for the Handbook of Major Events in Economic History. Ickes,
BW. 2004. Lecture Note econ.la.psu.edu/~bickes/realex.pdf.
on
the
Real
Exchange
Rate.
Keating, JW. 1992. Structural Approaches to Vector Autoregressions. Federal Reserve Bank of St. Louis Review 74 (5): 37–57. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: . [Kemenkeu] Kementrian Keuangan. 2012. http://www.kemenkeu.go.id.
105
[Kemenko Perekonomian] Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Khelil, C. 1995. Fiscal Systems for Oil: The Government Take and Competition for Exploration Investment. Public policy for the Private Sector. The World Bank No. 46. Kilian, L. 2007. The Economic Effects of Energy Price Shocks. CEPR Discussion Paper DP6559:1-59. Krugman, PR., Obstfeld M. 2003. International Economics Theory and Policy. Ed ke-6. Boston: Addison Wesley. Lucas, RE. 1976. Understanding Business Cycles. Paper for Kiel Conference on Growth without Inflation:1-23. Lütkepohl, H., Kratzig M. 2004. Applied Time Series Econometrics. Cambridge: Cambridge University Press. Lütkepohl, H. 2005. Structural Vector Autoregressive Analysis for Cointegrated Variables. EUI Working Paper ECO No. 2:1-15. Makin, AJ. 2002. International Macroeconomics. New York: Prentice Hall. Mankiw, N.G. 1993. Teori Makroekonomi. Ed ke-4. Jakarta: Erlangga. Monacelli, T., Perotti, R. 2009. Fiscal Policy, the Real Exchange Rate, and Traded Goods. The Economic Journal 120(544):437-461. Nordhaus, W. 2007. Who’s Afraid of a Big Bad Oil Shock?. Brookings Panel on Economic Activity:1-26. Nugroho, HT. 2010. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Prescott, EC. 1998. Business Cycle Research:Methods and Problems. Working Paper of Federal Reserve bank of Minneapolis 590:1-28. Purwanti, D. 2011. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Rapach, DE. 1998. Macro Shocks and Fluctuations. Journal of Economics and Business 50:23-38.
106
Ravn, MO., Grohe, SS., Uribe, M. 2007. Explaining the Effects of Government Spending Shocks on Consumption and the Real Exchange Rate. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 13328:1-38. Shapiro, MD., Watson MW. 1988. Sources of Business Cycle Fluctuations. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 2589:1-52. Siregar, H. 2001. Empirical Evaluation of Rival Theories of The Business Cycle: Application of Structural VAR Models to The New Zealand Economy [Disertasi]. Canterbury. Lincoln University. Siregar, H., Ward BD. 2000. The Role of Aggregate Demand Shocks in Explaining Indonesian Macro-Economic Fluctuations. Commerce Division Discussion Paper of Lincoln University Canterbury 86:1-47. Siregar, H. 2009. Kebijakan Makroekonomi Berbasis Mikro. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB Dalam Rangka Dies Natalies IPB ke-46. Siregar, H., Hasanah H., Achsani NA. 2012. Impact of Global Financial Crisis on the Indonesian Economy: Further Analysis using Export and Investment Channels. European Journal of Social Sciences Vol. 30 No. 3:438-450. Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle dari Sisi Permintaan [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Unalmis, D., Unalmis I., Unsal DF. 2008. Oil Price Shocks, Macroeconomic Stability and Welfare in a Small Open Economy. Discussion papers in Economics The University of York No. 13:1-32. US Department of Energy. 2012. http:/www.energy.gov. [US EIA] US Energy Information Administration. 2012. http://www.eia.gov. _____. 2012. International Energy Outlook 2011. International Energy Agency. Verbeek, M. 2008. Modern Econometrics. Ed ke-3. Chichester: John Wiley and Sons Ltd. Wangke, F. 2012. Dampak Kebijakan Subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB.
107
LAMPIRAN
108
Lampiran 1 Uji unit root dengan ADF-test ADF Test for series: lpdb sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -1.6869 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.0828 -1.6869 dx(-1) -0.1438 -1.3227 constant 0.5063 1.7340 trend 0.0008 1.6672 RSS 0.0761
ADF Test for series: lpdb_d1 sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -6.9732 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -1.1741 -6.9732 dx(-1) -0.0086 -0.0790 constant 0.0137 3.5483 trend 0.0000 0.1422 RSS 0.0787
109
ADF Test for series: lrer sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -2.2116 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.1013 -2.2116 dx(-1) 0.1652 1.5187 constant 0.8827 2.2118 trend -0.0001 -0.2007 RSS 1.0767
ADF Test for series: lrer_d1 sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -6.0980 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.8930 -6.0980 dx(-1) 0.0053 0.0484 constant 0.0005 0.0408 trend -0.0003 -0.5901 RSS 1.1402
110
ADF Test for series: lrmb sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -2.4069 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.1871 -2.4069 dx(-1) -0.1575 -1.4276 constant 1.3766 2.4418 trend 0.0027 2.4748 RSS 0.2805
ADF Test for series: lrmb_d1 sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -6.7632 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -1.1710 -6.7632 dx(-1) -0.0667 -0.6079 constant 0.0185 2.6757 trend 0.0001 0.5132 RSS 0.2988
111
ADF Test for series: sbi sample range: [1991 Q1, 2012 Q2], T = 86 lagged differences: 2 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -4.7225 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.2403 -4.7225 dx(-1) 0.3014 3.1005 dx(-2) 0.3800 3.7062 constant 3.2262 4.1749 trend -0.0370 -2.4667 RSS 721.3714
ADF Test for series: sbi_d1 sample range: [1991 Q1, 2012 Q2], T = 86 lagged differences: 2 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -5.3045 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.7201 -5.3045 dx(-1) 0.0172 0.1310 dx(-2) 0.2977 2.8383 constant -0.0923 -0.2662 trend -0.0032 -0.2279 RSS 836.7658
112
ADF Test for series: tbill sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -3.1081 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.0752 -3.1081 dx(-1) 0.6599 8.1210 constant 0.2215 2.5105 trend -0.0040 -2.0462 RSS 8.7967
ADF Test for series: tbill_d1 sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -3.5302 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.3316 -3.5302 dx(-1) -0.1048 -0.9623 constant -0.0259 -0.6877 trend 0.0003 0.1729 RSS 9.7122
113
ADF Test for series: lpoilr sample range: [1990 Q3, 2012 Q2], T = 88 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -2.8429 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -0.1865 -2.8429 dx(-1) -0.0128 -0.1185 constant -0.1922 -2.5669 trend 0.0031 2.4348 RSS 2.8716
ADF Test for series: lpoilr_d1 sample range: [1990 Q4, 2012 Q2], T = 87 lagged differences: 1 intercept, time trend asymptotic critical values reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993), "Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1, Oxford University Press, London 1% 5% 10% -3.96 -3.41 -3.13 value of test statistic: -9.7689 regression results: --------------------------------------variable coefficient t-statistic --------------------------------------x(-1) -1.3511 -9.7689 dx(-1) 0.2697 2.9024 constant 0.0068 0.3848 trend 0.0010 1.4519 RSS 2.2452
114
Lampiran 2 Pemilihan panjang lag dalam sistem VECM OPTIMAL ENDOGENOUS LAGS FROM INFORMATION CRITERIA
endogenous variables:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr
deterministic variables:
shift98 shiftnm CONST TREND
sample range:
[1991 Q2, 2012 Q2], T = 85
optimal number of lags (searched up to 4 lags of 1. differences): Akaike Info Criterion:
4
Final Prediction Error:
3
Hannan-Quinn Criterion:
3
Schwarz Criterion:
0
115
Lampiran 3 Uji kointegrasi dengan Saikkonen Lütkepohl-test user specified dummies [break dates] shift(s): [1998 Q1] [2004 Q1]
S&L Test for:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr
included dummy variables: shift98 shiftnm sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
included lags (levels):
3
dimension of the process: 6 trend and intercept included response surface computed: ----------------------------------------------r0
LR
pval
90%
95%
99%
----------------------------------------------0
115.97
0.0002
86.64
90.95
99.40
1
59.54
0.1624
62.45
66.13
73.42
2
36.00
0.3145
42.25
45.32
51.45
3
21.70
0.2836
26.07
28.52
33.50
4
5.67
0.8086
13.88
15.76
19.71
5
0.11
0.9922
5.47
6.79
9.73
116
Lampiran 4 Model VEC VEC REPRESENTATION endogenous variables: exogenous variables: deterministic variables: endogenous lags (diffs): exogenous lags: sample range: estimation procedure:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr shift98 shiftnm CONST TREND 3 0 [1991 Q1, 2012 Q2], T = 86 One stage. Johansen approach
Lagged endogenous term: ======================= d(lpdb) d(lrer) d(lrmb) d(sbi) d(tbill) d(lpoilr) ----------------------------------------------------------------------------d(lpdb) (t-1)| -0.541 0.035 0.821 -40.792 0.716 -0.870 | (0.069) (0.458) (0.183) (8.955) (1.399) (0.663) | {0.000} {0.940} {0.000} {0.000} {0.609} {0.190} | [-7.884] [0.075] [4.487] [-4.555] [0.512] [-1.312] d(lrer) (t-1)| -0.053 0.343 0.081 10.307 0.517 -0.195 | (0.017) (0.113) (0.045) (2.204) (0.344) (0.163) | {0.002} {0.002} {0.072} {0.000} {0.133} {0.233} | [-3.128] [3.047] [1.798] [4.677] [1.502] [-1.193] d(lrmb) (t-1)| -0.059 -0.820 -0.781 -7.545 -1.922 0.034 | (0.042) (0.280) (0.112) (5.479) (0.856) (0.406) | {0.162} {0.003} {0.000} {0.169} {0.025} {0.934} | [-1.398] [-2.927] [-6.981] [-1.377] [-2.245] [0.083] d(sbi) (t-1)| 0.001 -0.007 -0.006 -0.069 -0.017 0.000 | (0.001) (0.004) (0.002) (0.085) (0.013) (0.006) | {0.031} {0.094} {0.001} {0.418} {0.206} {0.964} | [2.151] [-1.677] [-3.255] [-0.810] [-1.266] [0.046] d(tbill) (t-1)| -0.008 0.025 0.011 0.113 0.570 -0.046 | (0.005) (0.036) (0.014) (0.696) (0.109) (0.052) | {0.134} {0.479} {0.435} {0.871} {0.000} {0.374} | [-1.499] [0.708] [0.780] [0.163] [5.244] [-0.889] d(lpoilr)(t-1)| -0.005 -0.075 -0.031 2.795 0.096 0.040 | (0.011) (0.076) (0.030) (1.486) (0.232) (0.110) | {0.682} {0.321} {0.307} {0.060} {0.679} {0.718} | [-0.410] [-0.992] [-1.022] [1.880] [0.414] [0.362] d(lpdb) (t-2)| -0.645 0.601 0.224 -29.532 2.756 0.332 | (0.080) (0.537) (0.214) (10.495) (1.640) (0.778) | {0.000} {0.263} {0.296} {0.005} {0.093} {0.670} | [-8.026] [1.120] [1.044] [-2.814] [1.681] [0.427] d(lrer) (t-2)| -0.126 0.136 0.031 13.541 -0.119 -0.563 | (0.017) (0.115) (0.046) (2.254) (0.352) (0.167) | {0.000} {0.238} {0.506} {0.000} {0.736} {0.001} | [-7.317] [1.180] [0.665] [6.006] [-0.337] [-3.369] d(lrmb) (t-2)| -0.088 -0.277 -0.412 -11.423 -1.334 0.265 | (0.049) (0.327) (0.131) (6.402) (1.000) (0.474) | {0.071} {0.398} {0.002} {0.074} {0.182} {0.577} | [-1.804] [-0.846] [-3.150] [-1.784] [-1.334] [0.558] d(sbi) (t-2)| -0.001 -0.009 -0.007 0.347 -0.041 -0.013 | (0.001) (0.004) (0.002) (0.074) (0.012) (0.005) | {0.028} {0.013} {0.000} {0.000} {0.000} {0.018} | [-2.200] [-2.483] [-4.375] [4.704] [-3.581] [-2.375] d(tbill) (t-2)| -0.005 0.076 -0.010 0.162 0.176 0.015 | (0.006) (0.038) (0.015) (0.737) (0.115) (0.055) | {0.396} {0.044} {0.517} {0.826} {0.127} {0.787} | [-0.849] [2.010] [-0.648] [0.219] [1.524] [0.270] d(lpoilr)(t-2)| -0.006 -0.065 -0.004 1.712 -0.399 -0.396 | (0.009) (0.058) (0.023) (1.144) (0.179) (0.085) | {0.500} {0.267} {0.880} {0.134} {0.025} {0.000} | [-0.674] [-1.109] [-0.151] [1.497] [-2.234] [-4.679] d(lpdb) (t-3)| -0.673 -0.584 -0.194 -1.822 0.047 -0.440 | (0.081) (0.542) (0.217) (10.605) (1.657) (0.786) | {0.000} {0.281} {0.370} {0.864} {0.978} {0.575} | [-8.279] [-1.077] [-0.896] [-0.172] [0.028] [-0.560] d(lrer) (t-3)| -0.107 0.205 0.077 10.075 -0.103 0.024 | (0.017) (0.113) (0.045) (2.204) (0.344) (0.163) | {0.000} {0.070} {0.087} {0.000} {0.765} {0.881} | [-6.340] [1.815] [1.709] [4.572] [-0.300] [0.150] d(lrmb) (t-3)| 0.055 -0.253 -0.332 -22.824 1.814 0.534 | (0.043) (0.287) (0.115) (5.610) (0.877) (0.416)
117
| {0.203} {0.378} {0.004} {0.000} {0.038} {0.199} | [1.274] [-0.882] [-2.901] [-4.069] [2.070] [1.286] d(sbi) (t-3)| 0.000 0.016 0.001 0.082 0.001 -0.008 | (0.001) (0.005) (0.002) (0.093) (0.015) (0.007) | {0.532} {0.001} {0.539} {0.376} {0.968} {0.273} | [-0.625] [3.266] [0.614] [0.885] [0.040] [-1.095] d(tbill) (t-3)| 0.006 -0.076 0.036 -0.573 0.050 0.094 | (0.005) (0.034) (0.013) (0.657) (0.103) (0.049) | {0.270} {0.023} {0.007} {0.384} {0.629} {0.054} | [1.102] [-2.268] [2.674] [-0.871] [0.483] [1.924] d(lpoilr)(t-3)| -0.024 0.069 -0.038 2.493 0.245 -0.078 | (0.010) (0.066) (0.026) (1.289) (0.201) (0.096) | {0.014} {0.293} {0.153} {0.053} {0.223} {0.416} | [-2.452] [1.051] [-1.430] [1.934] [1.218] [-0.814] -----------------------------------------------------------------------------Deterministic term: =================== d(lpdb) d(lrer) d(lrmb) d(sbi) d(tbill) d(lpoilr) -----------------------------------------------------------------------------shift98(t)| 0.003 -0.085 0.016 -1.657 0.339 -0.030 | (0.008) (0.056) (0.022) (1.086) (0.170) (0.080) | {0.736} {0.124} {0.457} {0.127} {0.046} {0.705} | [0.337] [-1.538] [0.744] [-1.526] [1.998] [-0.379] shiftnm(t)| -0.005 0.090 0.044 2.260 -0.169 -0.094 | (0.007) (0.044) (0.017) (0.852) (0.133) (0.063) | {0.419} {0.038} {0.011} {0.008} {0.205} {0.137} | [-0.808] [2.076] [2.548] [2.652] [-1.266] [-1.488] CONST (t)| 0.473 1.681 0.505 60.955 -3.172 -0.857 | (0.065) (0.432) (0.173) (8.447) (1.320) (0.626) | {0.000} {0.000} {0.003} {0.000} {0.016} {0.171} | [7.314] [3.891] [2.928] [7.216] [-2.403] [-1.369] TREND (t)| 0.000 0.000 0.001 0.005 0.003 -0.002 | (0.000) (0.001) (0.001) (0.025) (0.004) (0.002) | {0.154} {0.895} {0.025} {0.846} {0.400} {0.415} | [-1.424] [-0.131] [2.238] [0.194] [0.841] [-0.815] -----------------------------------------------------------------------------Loading coefficients: ===================== d(lpdb) d(lrer) d(lrmb) d(sbi) d(tbill) d(lpoilr) ----------------------------------------------------------------------------ec1(t-1)| -0.099 -0.389 -0.116 -14.004 0.732 0.207 | (0.015) (0.098) (0.039) (1.911) (0.299) (0.142) | {0.000} {0.000} {0.003} {0.000} {0.014} {0.145} | [-6.763] [-3.984] [-2.978] [-7.328] [2.451] [1.459] ----------------------------------------------------------------------------Estimated cointegration relation(s): ==================================== ec1(t-1) ----------------------lpdb (t-1)| 1.000 | (0.000) | {0.000} | [0.000] lrer (t-1)| 0.403 | (0.090) | {0.000} | [4.483] lrmb (t-1)| -0.743 | (0.204) | {0.000} | [-3.647] sbi (t-1)| 0.028 | (0.002) | {0.000} | [14.378] tbill (t-1)| -0.042 | (0.008) | {0.000} | [-5.619] lpoilr(t-1)| 0.023 | (0.054) | {0.677} | [0.417] -----------------------
118
Lampiran 5 Representasi VAR dari model VEC VAR REPRESENTATION Legend: ======= Equation 1 Equation 2 ... -----------------------------------------Variable 1 | Coefficient ... | (Std. Dev.) | {p - Value} | [t - Value] Variable 2 | ... ... -----------------------------------------Lagged endogenous term: ======================= lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr ------------------------------------------------------------------------lpdb (t-1)| 0.360 -0.355 0.704 -54.796 1.448 -0.664 | (0.070) (0.468) (0.187) (9.157) (1.431) (0.678) | {0.000} {0.449} {0.000} {0.000} {0.311} {0.328} | [5.134] [-0.758] [3.767] [-5.984] [1.012] [-0.979] lrer (t-1)| -0.093 1.186 0.034 4.661 0.813 -0.112 | (0.018) (0.119) (0.048) (2.335) (0.365) (0.173) | {0.000} {0.000} {0.475} {0.046} {0.026} {0.519} | [-5.184] [9.935] [0.714] [1.996] [2.227] [-0.645] lrmb (t-1)| 0.015 -0.531 0.305 2.864 -2.466 -0.120 | (0.043) (0.290) (0.116) (5.660) (0.885) (0.419) | {0.731} {0.067} {0.008} {0.613} {0.005} {0.775} | [0.344] [-1.834] [2.640] [0.506] [-2.788] [-0.286] sbi (t-1)| -0.001 -0.018 -0.009 0.537 0.004 0.006 | (0.001) (0.005) (0.002) (0.101) (0.016) (0.007) | {0.072} {0.000} {0.000} {0.000} {0.810} {0.413} | [-1.798] [-3.547] [-4.343] [5.344] [0.241] [0.819] tbill (t-1)| -0.004 0.042 0.016 0.704 1.540 -0.055 | (0.005) (0.036) (0.014) (0.701) (0.110) (0.052) | {0.477} {0.246} {0.264} {0.315} {0.000} {0.293} | [-0.712] [1.161] [1.117] [1.004] [14.059] [-1.051] lpoilr(t-1)| -0.007 -0.084 -0.034 2.477 0.113 1.045 | (0.011) (0.076) (0.030) (1.487) (0.232) (0.110) | {0.544} {0.268} {0.268} {0.096} {0.627} {0.000} | [-0.607] [-1.108] [-1.108] [1.666] [0.485] [9.483] lpdb (t-2)| -0.104 0.566 -0.597 11.259 2.040 1.202 | (0.087) (0.580) (0.231) (11.333) (1.771) (0.840) | {0.229} {0.328} {0.010} {0.320} {0.249} {0.152} | [-1.202] [0.977] [-2.579] [0.993] [1.152] [1.432] lrer (t-2)| -0.074 -0.207 -0.050 3.233 -0.636 -0.368 | (0.024) (0.158) (0.063) (3.090) (0.483) (0.229) | {0.002} {0.189} {0.425} {0.295} {0.188} {0.108} | [-3.108] [-1.312] [-0.797] [1.046] [-1.317] [-1.607] lrmb (t-2)| -0.030 0.543 0.369 -3.878 0.588 0.231 | (0.046) (0.305) (0.122) (5.966) (0.932) (0.442) | {0.514} {0.075} {0.002} {0.516} {0.528} {0.601} | [-0.652] [1.781] [3.031] [-0.650] [0.630] [0.523] sbi (t-2)| -0.003 -0.002 -0.001 0.416 -0.024 -0.013 | (0.001) (0.006) (0.002) (0.109) (0.017) (0.008) | {0.002} {0.709} {0.671} {0.000} {0.150} {0.100} | [-3.169] [-0.374] [-0.425] [3.818] [-1.439] [-1.645] tbill (t-2)| 0.003 0.051 -0.021 0.049 -0.395 0.061 | (0.010) (0.064) (0.026) (1.251) (0.196) (0.093) | {0.739} {0.429} {0.415} {0.969} {0.043} {0.513} | [0.333] [0.791] [-0.816] [0.039] [-2.019] [0.654] lpoilr(t-2)| -0.001 0.011 0.027 -1.082 -0.495 -0.436 | (0.014) (0.093) (0.037) (1.828) (0.286) (0.135) | {0.930} {0.910} {0.461} {0.554} {0.083} {0.001} | [-0.088] [0.113] [0.737] [-0.592] [-1.734] [-3.222] lpdb (t-3)| -0.027 -1.185 -0.418 27.711 -2.709 -0.772 | (0.082) (0.551) (0.220) (10.769) (1.683) (0.798) | {0.740} {0.031} {0.057} {0.010} {0.107} {0.333} | [-0.331] [-2.152] [-1.900] [2.573] [-1.610] [-0.967] lrer (t-3)| 0.019 0.069 0.046 -3.466 0.016 0.587 | (0.021) (0.142) (0.057) (2.782) (0.435) (0.206)
119
| {0.364} {0.630} {0.415} {0.213} {0.972} {0.004} | [0.907] [0.482] [0.815] [-1.246] [0.036] [2.848] lrmb (t-3)| 0.143 0.024 0.080 -11.400 3.149 0.270 | (0.041) (0.274) (0.109) (5.356) (0.837) (0.397) | {0.000} {0.931} {0.467} {0.033} {0.000} {0.497} | [3.491] [0.087] [0.727] [-2.128] [3.762] [0.680] sbi (t-3)| 0.001 0.025 0.008 -0.265 0.042 0.005 | (0.001) (0.006) (0.002) (0.118) (0.018) (0.009) | {0.379} {0.000} {0.001} {0.025} {0.023} {0.536} | [0.880] [4.124] [3.215] [-2.238] [2.267] [0.619] tbill (t-3)| 0.010 -0.152 0.046 -0.734 -0.126 0.079 | (0.009) (0.060) (0.024) (1.169) (0.183) (0.087) | {0.248} {0.011} {0.056} {0.530} {0.490} {0.362} | [1.156] [-2.544] [1.913] [-0.628] [-0.690] [0.912] lpoilr(t-3)| -0.018 0.134 -0.034 0.780 0.645 0.319 | (0.012) (0.083) (0.033) (1.616) (0.253) (0.120) | {0.139} {0.105} {0.301} {0.629} {0.011} {0.008} | [-1.478] [1.623] [-1.034] [0.483] [2.552] [2.661] lpdb (t-4)| 0.673 0.584 0.194 1.822 -0.047 0.440 | (0.081) (0.542) (0.217) (10.605) (1.657) (0.786) | {0.000} {0.281} {0.370} {0.864} {0.978} {0.575} | [8.279] [1.077] [0.896] [0.172] [-0.028] [0.560] lrer (t-4)| 0.107 -0.205 -0.077 -10.075 0.103 -0.024 | (0.017) (0.113) (0.045) (2.204) (0.344) (0.163) | {0.000} {0.070} {0.087} {0.000} {0.765} {0.881} | [6.340] [-1.815] [-1.709] [-4.572] [0.300] [-0.150] lrmb (t-4)| -0.055 0.253 0.332 22.824 -1.814 -0.534 | (0.043) (0.287) (0.115) (5.610) (0.877) (0.416) | {0.203} {0.378} {0.004} {0.000} {0.038} {0.199} | [-1.274] [0.882] [2.901] [4.069] [-2.070] [-1.286] sbi (t-4)| 0.000 -0.016 -0.001 -0.082 -0.001 0.008 | (0.001) (0.005) (0.002) (0.093) (0.015) (0.007) | {0.532} {0.001} {0.539} {0.376} {0.968} {0.273} | [0.625] [-3.266] [-0.614] [-0.885] [-0.040] [1.095] tbill (t-4)| -0.006 0.076 -0.036 0.573 -0.050 -0.094 | (0.005) (0.034) (0.013) (0.657) (0.103) (0.049) | {0.270} {0.023} {0.007} {0.384} {0.629} {0.054} | [-1.102] [2.268] [-2.674] [0.871] [-0.483] [-1.924] lpoilr(t-4)| 0.024 -0.069 0.038 -2.493 -0.245 0.078 | (0.010) (0.066) (0.026) (1.289) (0.201) (0.096) | {0.014} {0.293} {0.153} {0.053} {0.223} {0.416} | [2.452] [-1.051] [1.430] [-1.934] [-1.218] [0.814] ------------------------------------------------------------------------Deterministic term: =================== lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr ---------------------------------------------------------------------shift98(t)| 0.003 -0.085 0.016 -1.657 0.339 -0.030 | (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) | {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} | [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] shiftnm(t)| -0.005 0.090 0.044 2.260 -0.169 -0.094 | (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) | {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} | [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] CONST (t)| 0.473 1.681 0.505 60.955 -3.172 -0.857 | (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) | {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} | [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] TREND (t)| 0.000 0.000 0.001 0.005 0.003 -0.002 | (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) | {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} {0.000} | [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] [0.000] ----------------------------------------------------------------------
120
Lampiran 6a Uji Autokorelasi dengan ACF dan PACF Residual (Uji Diagnostik) Persamaan PDB
Persamaan Kurs Riil
121
Persamaan Permintaan Uang Riil
Persamaan Suku Bunga Domestik
122
Persamaan Suku Bunga Amerika Serikat
Persamaan Harga Minyak Dunia
123
Lampiran 6b Uji Kenormalan Residual (Uji Diagnostik VECM (3))
TESTS FOR NONNORMALITY Reference: Lütkepohl (1993), Introduction to Multiple Time Series Analysis, 2ed, p. 153 joint test statistic: p-value:
12.0673 0.4403
degrees of freedom:
12.0000
skewness only:
6.6038
p-value:
0.3590
kurtosis only:
5.4635
p-value:
0.4859
JARQUE-BERA TEST
variable
teststat
p-Value(Chi^2)
skewness
kurtosis
u1
0.3128
0.8552
0.0887
2.7637
u2
33.7888
0.0000
0.9633
5.3912
u3
2.6565
0.2649
-0.2101
3.7515
u4
1.7797
0.4107
0.1772
3.6092
u5
6.4966
0.0388
-0.3189
4.1859
u6
7.1778
0.0276
-0.1814
4.3680
124
Lampiran 6c Plot Standardized Residual (Uji Diagnostik VECM (3))
125
Lampiran 7 Estimasi Koefisien Contemporaneous SVECM This is a B-model with long run restrictions
Long run restrictions provide(s) 0 independent restriction(s). Contemporaneous
restrictions
provide(s)
20
additional
restriction(s). Structural VAR Estimation Results ML Estimation, Scoring Algorithm (see Amisano & Giannini (1992)) Convergence after 16 iterations Log Likelihood: 890.2266 Structural
VAR
is
over-identified
with
5.0000
freedom LR Test: Chi^2(
5.0000 ):
6.1449 , Prob:
0.2924
Estimated B matrix 0.0131
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0009
-0.0383
0.0787
0.0000
0.0000
-0.0073
0.0000
-0.0032
0.0098
0.0296
-0.0157
0.0000
0.0000
-0.5213
-0.1538
0.0000
1.5889
0.3775
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2586
0.0713
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.1271
Bootstrap standard errors: 0.0022
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0012
0.0129
0.0144
0.0000
0.0000
0.0086
0.0000
0.0037
0.0048
0.0056
0.0047
0.0000
0.0000
0.2076
0.2323
0.0000
0.3047
0.1709
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0458
0.0301
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0224
Bootstrap t-values: 6.0084
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.7089
-2.9774
5.4519
0.0000
0.0000
-0.8572
0.0000
-0.8593
2.0352
5.2622
-3.3390
0.0000
0.0000
-2.5111
-0.6622
0.0000
5.2138
2.2087
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5.6405
2.3641
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5.6783
degrees
of
126
Lampiran 8a Impulse Response Function atas guncangan harga minyak dunia SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30) Selected
point estimate CI a)
Impulse Responses: "impulse variable -> response variable" lpoilr_1 lpoilr_1 lpoilr_1 lpoilr_1 ->lpdb_2 ->lrer_1 ->lrmb_1 ->sbi 0.0009 0.0000 0.0000 0.0000 [ -0.0015, 0.0034] [ 0.0000, 0.0000] [ 0.0000, 0.0000] [ 0.0000, 0.0000] [
lpoilr_1 ->tbill_2 0.0713 0.0275, 0.1356] [
lpoilr_1 ->lpoilr_1 0.1271 0.1236, 0.1701]
1 point estimate CI a)
-0.0008 -0.0080 -0.0025 0.3177 [ -0.0038, 0.0019] [ -0.0268, 0.0099] [ -0.0099, 0.0043] [ -0.0191, 0.7447] [
0.1253 0.0462, 0.2481] [
0.1283 0.1205, 0.1889]
2 point estimate CI a)
-0.0014 -0.0139 -0.0053 [ -0.0051, 0.0017] [ -0.0426, 0.0111] [ -0.0138, 0.0010] [
0.4537 0.1322, 1.0014] [
0.1177 0.0059, 0.2825] [
0.0808 0.0646, 0.1332]
3 point estimate CI a)
-0.0024 -0.0113 -0.0088 [ -0.0082, 0.0024] [ -0.0428, 0.0211] [ -0.0193, -0.0014] [
0.5691 0.1435 0.1209, 1.3358] [ -0.0007, 0.3551] [
0.0781 0.0575, 0.1311]
4 point estimate CI a)
0.0005 -0.0102 -0.0053 0.4034 [ -0.0062, 0.0065] [ -0.0392, 0.0185] [ -0.0152, 0.0015] [ -0.1959, 1.2229] [
0.1859 0.0329, 0.4329] [
0.1005 0.0847, 0.1512]
5 point estimate CI a)
-0.0003 -0.0134 -0.0030 0.3073 [ -0.0067, 0.0051] [ -0.0367, 0.0103] [ -0.0133, 0.0059] [ -0.2526, 1.1555] [
0.2015 0.0454, 0.4695] [
0.0958 0.0814, 0.1441]
6 point estimate CI a)
-0.0021 -0.0086 -0.0022 0.2762 [ -0.0082, 0.0029] [ -0.0283, 0.0106] [ -0.0117, 0.0062] [ -0.2158, 1.0328] [
0.2065 0.0531, 0.4834] [
0.0916 0.0740, 0.1389]
7 point estimate CI a)
-0.0025 -0.0118 -0.0051 0.2807 [ -0.0088, 0.0024] [ -0.0297, 0.0055] [ -0.0143, 0.0022] [ -0.1718, 0.9359] [
0.2247 0.0655, 0.5133] [
0.1009 0.0844, 0.1511]
8 point estimate CI a)
-0.0001 -0.0131 -0.0038 0.3329 [ -0.0058, 0.0048] [ -0.0310, 0.0015] [ -0.0117, 0.0018] [ -0.0580, 0.9194] [
0.2389 0.0701, 0.5439] [
0.1039 0.0915, 0.1566]
9 point estimate CI a)
0.0003 -0.0129 -0.0015 0.2685 [ -0.0052, 0.0051] [ -0.0313, 0.0012] [ -0.0084, 0.0038] [ -0.0879, 0.8668] [
0.2469 0.0709, 0.5636] [
0.1011 0.0845, 0.1533]
10 point estimate CI a)
-0.0011 -0.0112 -0.0014 0.2661 [ -0.0058, 0.0030] [ -0.0288, 0.0023] [ -0.0079, 0.0038] [ -0.1055, 0.8365] [
0.2476 0.0554, 0.5776] [
0.0992 0.0819, 0.1508]
time
127
11 point estimate CI a)
-0.0018 -0.0096 -0.0028 0.3049 [ -0.0063, 0.0022] [ -0.0281, 0.0045] [ -0.0095, 0.0020] [ -0.0666, 0.8198] [
0.2506 0.0465, 0.5891] [
0.1018 0.0836, 0.1543]
12 point estimate CI a)
-0.0004 -0.0100 -0.0028 [ -0.0048, 0.0038] [ -0.0296, 0.0060] [ -0.0090, 0.0021] [
0.4001 0.0388, 0.8984] [
0.2533 0.0530, 0.5993] [
0.1033 0.0878, 0.1570]
13 point estimate CI a)
0.0000 -0.0103 -0.0017 [ -0.0045, 0.0043] [ -0.0308, 0.0065] [ -0.0077, 0.0034] [
0.4164 0.0208, 0.9372] [
0.2520 0.0495, 0.5954] [
0.1002 0.0854, 0.1530]
14 point estimate CI a)
-0.0011 -0.0098 -0.0019 [ -0.0053, 0.0031] [ -0.0302, 0.0084] [ -0.0075, 0.0034] [
0.4190 0.0124, 0.9752] [
0.2468 0.0487, 0.5795] [
0.0983 0.0828, 0.1503]
15 point estimate CI a)
-0.0017 -0.0092 -0.0032 [ -0.0064, 0.0026] [ -0.0296, 0.0093] [ -0.0095, 0.0022] [
0.4394 0.0282, 1.0508] [
0.2442 0.0394, 0.5706] [
0.0997 0.0859, 0.1503]
16 point estimate CI a)
-0.0008 -0.0100 -0.0035 [ -0.0057, 0.0034] [ -0.0309, 0.0093] [ -0.0103, 0.0014] [
0.4698 0.0760, 1.0946] [
0.2440 0.0390, 0.5643] [
0.1009 0.0882, 0.1518]
17 point estimate CI a)
-0.0004 -0.0108 -0.0027 [ -0.0051, 0.0042] [ -0.0319, 0.0077] [ -0.0097, 0.0027] [
0.4493 0.0362, 1.0605] [
0.2433 0.0427, 0.5579] [
0.0992 0.0860, 0.1495]
18 point estimate CI a)
-0.0011 -0.0106 -0.0025 [ -0.0058, 0.0036] [ -0.0312, 0.0064] [ -0.0094, 0.0031] [
0.4096 0.0362, 1.0027] [
0.2416 0.0460, 0.5544] [
0.0982 0.0840, 0.1484]
19 point estimate CI a)
-0.0016 -0.0103 -0.0033 [ -0.0066, 0.0030] [ -0.0308, 0.0059] [ -0.0098, 0.0018] [
0.3957 0.0376, 0.9356] [
0.2421 0.0392, 0.5557] [
0.0997 0.0854, 0.1493]
20 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0107 -0.0033 [ -0.0059, 0.0037] [ -0.0312, 0.0050] [ -0.0099, 0.0016] [
0.4022 0.0804, 0.9361] [
0.2446 0.0336, 0.5630] [
0.1011 0.0878, 0.1519]
21 point estimate CI a)
-0.0005 -0.0112 -0.0026 [ -0.0053, 0.0042] [ -0.0319, 0.0040] [ -0.0095, 0.0022] [
0.3888 0.0685, 0.9120] [
0.2464 0.0365, 0.5668] [
0.1003 0.0860, 0.1511]
22 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0109 -0.0023 [ -0.0056, 0.0036] [ -0.0311, 0.0042] [ -0.0087, 0.0023] [
0.3678 0.0465, 0.8695] [
0.2466 0.0358, 0.5694] [
0.0996 0.0834, 0.1509]
23 point estimate CI a)
-0.0013 -0.0104 -0.0028 [ -0.0061, 0.0030] [ -0.0303, 0.0056] [ -0.0088, 0.0018] [
0.3700 0.0384, 0.8622] [
0.2471 0.0317, 0.5697] [
0.1004 0.0839, 0.1507]
24 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0104 -0.0029 [ -0.0056, 0.0035] [ -0.0306, 0.0066] [ -0.0091, 0.0017] [
0.3910 0.0526, 0.9001] [
0.2484 0.0324, 0.5663] [
0.1013 0.0854, 0.1528]
128
25 point estimate CI a)
-0.0006 -0.0107 -0.0025 [ -0.0051, 0.0041] [ -0.0310, 0.0063] [ -0.0088, 0.0023] [
0.3982 0.0712, 0.9071] [
0.2488 0.0305, 0.5730] [
0.1006 0.0849, 0.1522]
26 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0105 -0.0023 [ -0.0053, 0.0037] [ -0.0308, 0.0059] [ -0.0083, 0.0022] [
0.3937 0.0514, 0.8922] [
0.2477 0.0294, 0.5718] [
0.0997 0.0831, 0.1505]
27 point estimate CI a)
-0.0012 -0.0101 -0.0027 [ -0.0058, 0.0033] [ -0.0303, 0.0066] [ -0.0089, 0.0020] [
0.3989 0.0572, 0.9131] [
0.2468 0.0274, 0.5707] [
0.1000 0.0843, 0.1501]
28 point estimate CI a)
-0.0010 -0.0102 -0.0030 [ -0.0056, 0.0035] [ -0.0304, 0.0068] [ -0.0091, 0.0018] [
0.4135 0.0824, 0.9329] [
0.2468 0.0296, 0.5731] [
0.1006 0.0864, 0.1512]
29 point estimate CI a)
-0.0007 -0.0105 -0.0027 [ -0.0052, 0.0039] [ -0.0303, 0.0061] [ -0.0093, 0.0020] [
0.4159 0.0915, 0.9314] [
0.2467 0.0321, 0.5715] [
0.1002 0.0860, 0.1505]
30 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0105 -0.0026 [ -0.0054, 0.0037] [ -0.0305, 0.0057] [ -0.0089, 0.0020] [
0.4061 0.0751, 0.9179] [
0.2458 0.0346, 0.5682] [
0.0996 0.0847, 0.1496]
129
Lampiran 8b Impulse Response Function atas guncangan suku bunga Amerika Serikat SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30) Selected time
point estimate CI a)
Impulse
tbill_2 ->lpdb_2
Responses: "impulse variable -> response variable" tbill_2 ->lrer_1
tbill_2 ->sbi
tbill_2 ->tbill_2
tbill_2 ->lpoilr_1
0.0000 0.0000, 0.0000] [
0.3775 0.1170, 0.7517] [
0.2586 0.2542, 0.3412] [
1 point estimate CI a)
-0.0008 -0.0048 0.0005 [ -0.0038, 0.0018] [ -0.0319, 0.0209] [ -0.0065, 0.0086] [
0.3506 0.0385, 0.8271] [
0.3936 -0.0110 0.3805, 0.5485] [ -0.0358, 0.0151]
2 point estimate CI a)
-0.0014 0.0190 -0.0024 [ -0.0067, 0.0031] [ -0.0120, 0.0564] [ -0.0117, 0.0060] [
0.6083 0.1803, 1.2974] [
0.4930 -0.0164 0.4624, 0.7238] [ -0.0513, 0.0187]
3 point estimate CI a)
-0.0013 0.0246 0.0084 [ -0.0085, 0.0048] [ -0.0044, 0.0693] [ -0.0008, 0.0193] [
0.6762 0.1660, 1.6136] [
0.6052 0.0018 0.5718, 0.9086] [ -0.0348, 0.0385]
4 point estimate CI a)
-0.0046 0.0188 0.0058 [ -0.0137, 0.0013] [ -0.0100, 0.0662] [ -0.0050, 0.0173] [
1.1423 0.5969, 2.3505] [
0.6620 -0.0039 0.6223, 1.0273] [ -0.0436, 0.0357]
5 point estimate CI a)
-0.0066 0.0227 0.0037 [ -0.0170, -0.0008] [ -0.0022, 0.0710] [ -0.0079, 0.0153] [
1.4361 0.9436, 2.7287] [
0.6784 -0.0018 0.6333, 1.0778] [ -0.0430, 0.0344]
6 point estimate CI a)
-0.0041 0.0097 -0.0021 [ -0.0151, 0.0020] [ -0.0153, 0.0541] [ -0.0159, 0.0086] [
1.4054 1.0473, 2.7261] [
0.7135 0.0140 0.6571, 1.1515] [ -0.0266, 0.0550]
7 point estimate CI a)
-0.0025 0.0078 0.0045 [ -0.0136, 0.0041] [ -0.0175, 0.0470] [ -0.0075, 0.0150] [
1.3516 0.9996, 2.6234] [
0.7341 0.0097 0.6586, 1.2032] [ -0.0269, 0.0549]
8 point estimate CI a)
-0.0033 0.0105 0.0053 [ -0.0136, 0.0027] [ -0.0144, 0.0458] [ -0.0063, 0.0151] [
1.0946 0.6918, 2.2777] [
0.7515 0.0090 0.6558, 1.2615] [ -0.0310, 0.0562]
9 point estimate CI a)
-0.0054 0.0111 0.0051 [ -0.0152, -0.0000] [ -0.0120, 0.0420] [ -0.0051, 0.0143] [
1.0586 0.7323, 2.1798] [
0.7625 0.0113 0.6592, 1.2990] [ -0.0272, 0.0576]
10 point estimate
[
0.0000 -0.0073 0.0000, 0.0000] [ -0.0255, 0.0086] [
tbill_2 ->lrmb_1
-0.0037
0.0120
0.0039
1.0208
0.7862
0.0000 0.0000, 0.0000]
0.0190
130
CI a)
[ -0.0125,
0.0016] [ -0.0099,
0.0406] [ -0.0061,
0.0116] [
0.6453,
2.0648] [
0.6752,
1.3430] [ -0.0195,
0.0696]
11 point estimate CI a)
-0.0025 0.0113 0.0074 [ -0.0110, 0.0033] [ -0.0117, 0.0410] [ -0.0009, 0.0165] [
1.1203 0.7525, 2.0858] [
0.7995 0.0184 0.6763, 1.3820] [ -0.0197, 0.0712]
12 point estimate CI a)
-0.0026 0.0131 [ -0.0101, 0.0025] [ -0.0099, 0.0444] [
0.0075 0.0008, 0.0162] [
1.0939 0.7358, 1.9702] [
0.8048 0.0154 0.6610, 1.3939] [ -0.0228, 0.0696]
13 point estimate CI a)
-0.0047 0.0139 [ -0.0122, 0.0000] [ -0.0102, 0.0466] [
0.0071 0.0012, 0.0161] [
1.1777 0.8591, 2.0051] [
0.8025 0.0151 0.6509, 1.3926] [ -0.0228, 0.0681]
14 point estimate CI a)
-0.0036 0.0153 0.0051 [ -0.0109, 0.0012] [ -0.0092, 0.0495] [ -0.0015, 0.0139] [
1.2545 0.8933, 2.1176] [
0.8056 0.0182 0.6450, 1.3925] [ -0.0210, 0.0710]
15 point estimate CI a)
-0.0029 0.0140 0.0067 [ -0.0104, 0.0030] [ -0.0119, 0.0497] [ -0.0002, 0.0163] [
1.3456 1.0091, 2.3033] [
0.8025 0.0160 0.6319, 1.3726] [ -0.0229, 0.0675]
16 point estimate CI a)
-0.0029 0.0145 [ -0.0102, 0.0030] [ -0.0123, 0.0510] [
0.0063 0.0003, 0.0160] [
1.3207 0.9790, 2.3154] [
0.7978 0.0130 0.6234, 1.3626] [ -0.0241, 0.0623]
17 point estimate CI a)
-0.0047 0.0146 0.0062 [ -0.0125, 0.0008] [ -0.0116, 0.0499] [ -0.0006, 0.0160] [
1.3356 1.0598, 2.3692] [
0.7914 0.0123 0.6191, 1.3443] [ -0.0258, 0.0608]
18 point estimate CI a)
-0.0039 0.0148 0.0043 [ -0.0122, 0.0018] [ -0.0112, 0.0495] [ -0.0030, 0.0141] [
1.3388 1.0543, 2.3772] [
0.7917 0.0151 0.6152, 1.3343] [ -0.0238, 0.0642]
19 point estimate CI a)
-0.0035 0.0132 0.0056 [ -0.0117, 0.0028] [ -0.0128, 0.0478] [ -0.0019, 0.0154] [
1.3490 1.0789, 2.3849] [
0.7910 0.0143 0.6142, 1.3296] [ -0.0245, 0.0642]
20 point estimate CI a)
-0.0032 0.0131 0.0056 [ -0.0114, 0.0033] [ -0.0129, 0.0476] [ -0.0017, 0.0147] [
1.2837 0.9960, 2.2590] [
0.7916 0.0133 0.6055, 1.3323] [ -0.0248, 0.0627]
21 point estimate CI a)
-0.0044 0.0132 0.0060 [ -0.0132, 0.0014] [ -0.0122, 0.0473] [ -0.0012, 0.0150] [
1.2606 1.0201, 2.1915] [
0.7908 0.0132 0.6053, 1.3333] [ -0.0262, 0.0606]
22 point estimate CI a)
-0.0038 0.0136 0.0048 [ -0.0124, 0.0017] [ -0.0110, 0.0466] [ -0.0025, 0.0129] [
1.2451 0.9966, 2.1411] [
0.7946 0.0159 0.6064, 1.3401] [ -0.0227, 0.0664]
23 point estimate CI a)
-0.0035 0.0127 0.0059 [ -0.0123, 0.0025] [ -0.0120, 0.0457] [ -0.0018, 0.0142] [
1.2590 0.9795, 2.1331] [
0.7968 0.0156 0.6015, 1.3505] [ -0.0248, 0.0657]
24 point estimate CI a)
-0.0031 0.0131 0.0060 [ -0.0112, 0.0028] [ -0.0118, 0.0466] [ -0.0011, 0.0143] [
1.2293 0.9676, 2.0828] [
0.7989 0.0150 0.5981, 1.3552] [ -0.0246, 0.0647]
131
25 point estimate CI a)
-0.0041 0.0134 0.0064 [ -0.0124, 0.0015] [ -0.0118, 0.0466] [ -0.0009, 0.0150] [
1.2358 0.9648, 2.0635] [
0.7981 0.0145 0.5937, 1.3573] [ -0.0245, 0.0634]
26 point estimate CI a)
-0.0037 0.0140 0.0054 [ -0.0119, 0.0017] [ -0.0114, 0.0476] [ -0.0018, 0.0133] [
1.2461 0.9917, 2.0783] [
0.7997 0.0161 0.5938, 1.3581] [ -0.0227, 0.0649]
27 point estimate CI a)
-0.0036 0.0135 0.0061 [ -0.0119, 0.0021] [ -0.0117, 0.0465] [ -0.0012, 0.0144] [
1.2786 1.0072, 2.1269] [
0.7995 0.0156 0.6020, 1.3591] [ -0.0231, 0.0658]
28 point estimate CI a)
-0.0032 0.0137 0.0060 [ -0.0110, 0.0026] [ -0.0121, 0.0466] [ -0.0007, 0.0143] [
1.2701 0.9992, 2.1334] [
0.7993 0.0149 0.6071, 1.3586] [ -0.0227, 0.0638]
29 point estimate CI a)
-0.0040 0.0138 0.0063 [ -0.0120, 0.0019] [ -0.0114, 0.0470] [ -0.0008, 0.0152] [
1.2789 0.9664, 2.1425] [
0.7970 0.0141 0.6083, 1.3533] [ -0.0239, 0.0635]
30 point estimate CI a)
-0.0037 0.0141 0.0054 [ -0.0118, 0.0020] [ -0.0111, 0.0479] [ -0.0017, 0.0141] [
1.2809 0.9616, 2.1435] [
0.7970 0.0152 0.6123, 1.3529] [ -0.0222, 0.0650]
132
Lampiran 8c Impulse Response Function atas guncangan output SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30) Selected time
Impulse
lpdb_2 ->lpdb_2
Responses: "impulse variable -> response variable" lpdb_2 ->lrer_1
lpdb_2 ->lrmb_1
lpdb_2 ->sbi
point estimate CI a)
[
0.0131 -0.0383 -0.0032 -0.5213 0.0132, 0.0170] [ -0.0663, -0.0191] [ -0.0113, 0.0037] [ -0.9875, -0.2020]
1 point estimate CI a)
[
0.0089 -0.0389 0.0070, 0.0133] [ -0.0725, -0.0138] [
0.0116 -1.1848 0.0063, 0.0200] [ -1.7063, -0.9736]
2 point estimate CI a)
[
0.0116 -0.0188 0.0071, 0.0194] [ -0.0528, 0.0117] [
0.0126 -1.4779 0.0057, 0.0219] [ -2.2862, -1.0859]
3 point estimate CI a)
[
0.0108 -0.0175 0.0052, 0.0190] [ -0.0500, 0.0113] [
0.0144 -1.3229 0.0068, 0.0249] [ -2.2640, -0.7060]
4 point estimate CI a)
[
0.0156 -0.0090 0.0121, 0.0244] [ -0.0385, 0.0145] [
0.0142 -0.9914 0.0049, 0.0266] [ -1.8478, -0.4904]
5 point estimate CI a)
[
0.0115 -0.0023 0.0078, 0.0193] [ -0.0286, 0.0183] [
0.0180 -0.5262 0.0114, 0.0311] [ -1.2022, -0.0918]
6 point estimate CI a)
[
0.0116 0.0032 0.0072, 0.0201] [ -0.0198, 0.0222] [
0.0102 -0.1166 0.0037, 0.0213] [ -0.7371, 0.2354]
7 point estimate CI a)
[
0.0090 0.0013 0.0039, 0.0170] [ -0.0217, 0.0211] [
0.0084 0.2588 0.0015, 0.0182] [ -0.3513, 0.6585]
8 point estimate CI a)
[
0.0117 0.0000 0.0042 0.3712 0.0084, 0.0194] [ -0.0210, 0.0199] [ -0.0026, 0.0125] [ -0.2385, 0.8339]
9 point estimate CI a)
[
0.0088 -0.0044 0.0057, 0.0153] [ -0.0247, 0.0143] [
0.0058 0.3444 0.0004, 0.0146] [ -0.2487, 0.8561]
133
10 point estimate CI a)
[
0.0092 -0.0059 0.0012 0.1197 0.0058, 0.0156] [ -0.0253, 0.0133] [ -0.0047, 0.0088] [ -0.4146, 0.6212]
11 point estimate CI a)
[
0.0077 -0.0103 0.0026 -0.0441 0.0036, 0.0137] [ -0.0311, 0.0095] [ -0.0028, 0.0102] [ -0.5499, 0.4481]
12 point estimate CI a)
[
0.0107 -0.0121 0.0017 -0.3000 0.0079, 0.0169] [ -0.0336, 0.0068] [ -0.0044, 0.0074] [ -0.7700, 0.1682]
13 point estimate CI a)
[
0.0094 -0.0145 0.0065, 0.0153] [ -0.0370, 0.0026] [
14 point estimate CI a)
[
0.0103 -0.0128 0.0047 -0.6549 0.0072, 0.0166] [ -0.0355, 0.0067] [ -0.0016, 0.0114] [ -1.1916, -0.2392]
15 point estimate CI a)
[
0.0093 -0.0127 0.0061, 0.0158] [ -0.0368, 0.0060] [
16 point estimate CI a)
[
0.0116 -0.0108 0.0064 -0.6347 0.0087, 0.0185] [ -0.0349, 0.0077] [ -0.0002, 0.0130] [ -1.2385, -0.2157]
17 point estimate CI a)
[
0.0105 -0.0105 0.0078, 0.0172] [ -0.0343, 0.0080] [
0.0092 -0.5383 0.0037, 0.0170] [ -1.1366, -0.1582]
18 point estimate CI a)
[
0.0110 -0.0078 0.0081, 0.0180] [ -0.0311, 0.0117] [
0.0072 -0.4864 0.0014, 0.0152] [ -1.0768, -0.1480]
19 point estimate CI a)
[
0.0097 -0.0075 0.0060, 0.0165] [ -0.0301, 0.0125] [
0.0078 -0.3432 0.0022, 0.0156] [ -0.9403, -0.0210]
20 point estimate CI a)
[
0.0111 -0.0067 0.0079, 0.0182] [ -0.0288, 0.0129] [
0.0059 -0.2850 0.0000, 0.0134] [ -0.8730, 0.0123]
21 point estimate CI a)
[
0.0100 -0.0078 0.0071, 0.0167] [ -0.0287, 0.0123] [
0.0073 -0.2195 0.0021, 0.0150] [ -0.7608, 0.0954]
22 point estimate CI a)
[
0.0104 -0.0072 0.0073, 0.0171] [ -0.0276, 0.0123] [
0.0053 -0.2476 0.0000, 0.0124] [ -0.7795, 0.0392]
23 point estimate CI a)
[
0.0093 -0.0084 0.0058, 0.0156] [ -0.0286, 0.0106] [
0.0059 -0.2307 0.0007, 0.0131] [ -0.7282, 0.0642]
0.0060 -0.4753 0.0006, 0.0132] [ -0.9567, -0.0621]
0.0071 -0.6408 0.0013, 0.0140] [ -1.2209, -0.2306]
134
24 point estimate CI a)
[
0.0105 -0.0086 0.0046 -0.2840 0.0073, 0.0170] [ -0.0287, 0.0093] [ -0.0005, 0.0109] [ -0.7424, 0.0307]
25 point estimate CI a)
[
0.0098 -0.0100 0.0071, 0.0161] [ -0.0303, 0.0068] [
0.0062 -0.3094 0.0012, 0.0130] [ -0.7369, -0.0345]
26 point estimate CI a)
[
0.0103 -0.0095 0.0073, 0.0166] [ -0.0301, 0.0084] [
0.0052 -0.3830 0.0005, 0.0117] [ -0.7846, -0.1046]
27 point estimate CI a)
[
0.0096 -0.0101 0.0064, 0.0159] [ -0.0308, 0.0080] [
0.0063 -0.3874 0.0012, 0.0126] [ -0.7861, -0.1161]
28 point estimate CI a)
[
0.0106 -0.0096 0.0075, 0.0171] [ -0.0307, 0.0090] [
0.0055 -0.4181 0.0002, 0.0115] [ -0.8155, -0.1144]
29 point estimate CI a)
[
0.0101 -0.0100 0.0074, 0.0165] [ -0.0313, 0.0081] [
0.0069 -0.4026 0.0019, 0.0135] [ -0.8032, -0.1159]
30 point estimate CI a)
[
0.0106 -0.0091 0.0075, 0.0170] [ -0.0304, 0.0086] [
0.0061 -0.4185 0.0011, 0.0129] [ -0.8387, -0.1381]
135
Lampiran 8d Impulse Response Function atas guncangan kurs riil SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected time
point estimate CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
lrer_1 -> lpdb_2
[
0.0000 0.0000, 0.0000] [
lrer_1 -> lrer_1 0.0787 0.0783, 0.1042] [
lrer_1 -> lrmb_1
lrer_1 -> sbi
0.0098 -0.1538 0.0028, 0.0201] [ -0.6107, 0.2649]
1 point estimate CI a)
-0.0069 [ -0.0108, -0.0056] [
0.0910 0.0070 0.3123 0.0855, 0.1317] [ -0.0005, 0.0178] [ -0.0122, 0.7345]
2 point estimate CI a)
-0.0170 [ -0.0243, -0.0157] [
0.0928 -0.0016 0.0797, 0.1433] [ -0.0125, 0.0097] [
1.1453 0.7668, 1.8668]
3 point estimate CI a)
-0.0204 [ -0.0313, -0.0183] [
0.0865 -0.0131 0.0749, 0.1408] [ -0.0249, -0.0038] [
1.9051 1.5281, 2.9526]
4 point estimate CI a)
-0.0145 [ -0.0248, -0.0114] [
0.0631 -0.0190 0.0469, 0.1154] [ -0.0346, -0.0088] [
1.8772 1.4734, 3.0641]
5 point estimate CI a)
-0.0142 [ -0.0249, -0.0105] [
0.0436 -0.0132 0.0272, 0.0907] [ -0.0279, -0.0028] [
1.1292 0.6056, 2.2661]
6 point estimate CI a)
-0.0174 [ -0.0293, -0.0148] [
0.0419 -0.0105 0.2703 0.0239, 0.0857] [ -0.0259, -0.0009] [ -0.2480, 1.2485]
7 point estimate CI a)
-0.0173 [ -0.0296, -0.0146] [
0.0403 -0.0096 -0.3211 0.0251, 0.0854] [ -0.0243, -0.0007] [ -0.9152, 0.5443]
8 point estimate CI a)
-0.0118 [ -0.0224, -0.0078] [
0.0375 -0.0051 -0.6815 0.0213, 0.0778] [ -0.0186, 0.0038] [ -1.3515, 0.0950]
9 point estimate CI a)
-0.0102 [ -0.0203, -0.0061] [
0.0403 0.0040 -0.8613 0.0238, 0.0792] [ -0.0071, 0.0147] [ -1.6646, -0.1104]
136
10 point estimate CI a)
-0.0121 [ -0.0218, -0.0084] [
0.0481 0.0060 -0.8145 0.0318, 0.0868] [ -0.0039, 0.0165] [ -1.6736, -0.1734]
11 point estimate CI a)
-0.0132 [ -0.0227, -0.0103] [
0.0544 0.0045 -0.4645 0.0397, 0.0915] [ -0.0044, 0.0135] [ -1.2507, 0.1727]
12 point estimate CI a)
-0.0105 [ -0.0188, -0.0071] [
0.0576 0.0037 -0.0385 0.0430, 0.0935] [ -0.0049, 0.0128] [ -0.7012, 0.6288]
13 point estimate CI a)
-0.0102 [ -0.0182, -0.0070] [
0.0593 0.0055 0.3026 0.0447, 0.0971] [ -0.0022, 0.0156] [ -0.2967, 0.9979]
14 point estimate CI a)
-0.0125 [ -0.0207, -0.0096] [
0.0621 0.0031 0.5059 0.0491, 0.1019] [ -0.0050, 0.0135] [ -0.0758, 1.2467]
15 point estimate CI a)
-0.0145 [ -0.0236, -0.0118] [
0.0625 -0.0006 0.0519, 0.1046] [ -0.0092, 0.0091] [
0.6912 0.1798, 1.5090]
16 point estimate CI a)
-0.0131 [ -0.0219, -0.0103] [
0.0601 -0.0029 0.0497, 0.1024] [ -0.0122, 0.0074] [
0.7705 0.3168, 1.6446]
17 point estimate CI a)
-0.0127 [ -0.0215, -0.0100] [
0.0565 -0.0018 0.0465, 0.0981] [ -0.0110, 0.0078] [
0.7017 0.2579, 1.6008]
18 point estimate CI a)
-0.0138 [ -0.0231, -0.0113] [
0.0551 -0.0023 0.0444, 0.0952] [ -0.0122, 0.0072] [
0.5139 0.0397, 1.4259]
19 point estimate CI a)
-0.0149 [ -0.0249, -0.0124] [
0.0539 -0.0031 0.3706 0.0428, 0.0937] [ -0.0132, 0.0053] [ -0.0915, 1.2509]
20 point estimate CI a)
-0.0134 [ -0.0231, -0.0109] [
0.0524 -0.0031 0.2556 0.0418, 0.0915] [ -0.0136, 0.0052] [ -0.1708, 1.1757]
21 point estimate CI a)
-0.0125 [ -0.0220, -0.0096] [
0.0510 -0.0007 0.1508 0.0398, 0.0895] [ -0.0105, 0.0080] [ -0.3099, 1.0268]
22 point estimate CI a)
-0.0128 [ -0.0222, -0.0097] [
0.0519 0.0003 0.0539 0.0401, 0.0900] [ -0.0090, 0.0096] [ -0.4380, 0.8201]
23 point estimate CI a)
-0.0136 [ -0.0231, -0.0105] [
0.0533 0.0003 0.0575 0.0417, 0.0908] [ -0.0084, 0.0092] [ -0.4153, 0.7833]
24 point estimate
-0.0126
0.0542
-0.0000
0.1170
137
CI a)
[ -0.0216, -0.0091] [
0.0416,
0.0914] [ -0.0088,
0.0089] [ -0.3732,
0.7826]
25 point estimate CI a)
-0.0121 [ -0.0208, -0.0088] [
0.0544 0.0012 0.1862 0.0422, 0.0904] [ -0.0070, 0.0099] [ -0.2749, 0.8486]
26 point estimate CI a)
-0.0125 [ -0.0211, -0.0091] [
0.0555 0.0011 0.2264 0.0439, 0.0916] [ -0.0072, 0.0099] [ -0.2277, 0.8415]
27 point estimate CI a)
-0.0134 [ -0.0222, -0.0103] [
0.0564 0.0004 0.2913 0.0455, 0.0928] [ -0.0077, 0.0087] [ -0.1581, 0.9093]
28 point estimate CI a)
-0.0130 [ -0.0216, -0.0101] [
0.0565 -0.0006 0.3488 0.0459, 0.0925] [ -0.0093, 0.0079] [ -0.0543, 0.9741]
29 point estimate CI a)
-0.0127 [ -0.0212, -0.0098] [
0.0557 -0.0002 0.3763 0.0454, 0.0922] [ -0.0087, 0.0077] [ -0.0271, 1.0177]
30 point estimate CI a)
-0.0129 [ -0.0215, -0.0100] [
0.0555 -0.0004 0.3525 0.0453, 0.0920] [ -0.0090, 0.0077] [ -0.0954, 1.0138]
138
Lampiran 8e Impulse response Function atas guncangan permintaan uang
SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected time
point estimate CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
lrmb_1 ->lpdb_2
[
0.0000 0.0000, 0.0000] [
lrmb_1 ->lrer_1 0.0000 0.0000, 0.0000] [
lrmb_1 ->lrmb_1 0.0296 0.0303, 0.0390] [
lrmb_1 ->sbi 0.0000 0.0000, 0.0000]
1 point estimate CI a)
0.0004 -0.0157 [ -0.0017, 0.0027] [ -0.0329, -0.0034] [
0.0090 0.0847 0.0052, 0.0173] [ -0.1839, 0.4093]
2 point estimate CI a)
0.0011 -0.0118 [ -0.0016, 0.0041] [ -0.0356, 0.0083] [
0.0117 -0.2008 0.0075, 0.0210] [ -0.6002, 0.1603]
3 point estimate CI a)
[
0.0070 -0.0177 0.0043, 0.0122] [ -0.0437, 0.0044] [
0.0109 -0.6409 0.0056, 0.0195] [ -1.2022, -0.3135]
4 point estimate CI a)
[
0.0047 -0.0017 0.0009, 0.0105] [ -0.0238, 0.0179] [
0.0254 -0.2865 0.0226, 0.0384] [ -0.8891, 0.1522]
5 point estimate CI a)
0.0030 0.0064 [ -0.0012, 0.0089] [ -0.0132, 0.0246] [
0.0146 -0.3520 0.0090, 0.0258] [ -0.9567, 0.1099]
6 point estimate CI a)
-0.0003 0.0022 [ -0.0041, 0.0042] [ -0.0142, 0.0167] [
0.0142 0.1236 0.0097, 0.0251] [ -0.3571, 0.5801]
7 point estimate CI a)
[
0.0048 0.0054 0.0020, 0.0106] [ -0.0101, 0.0191] [
0.0107 0.2311 0.0066, 0.0192] [ -0.2315, 0.6322]
8 point estimate CI a)
0.0028 0.0003 [ -0.0004, 0.0078] [ -0.0129, 0.0130] [
0.0158 0.0135, 0.0259] [
0.4475 0.0470, 0.8694]
139
9 point estimate CI a)
0.0020 0.0018 [ -0.0014, 0.0068] [ -0.0103, 0.0156] [
0.0092 0.2153 0.0057, 0.0174] [ -0.2343, 0.5864]
10 point estimate CI a)
-0.0012 -0.0017 [ -0.0046, 0.0023] [ -0.0143, 0.0107] [
0.0103 0.2625 0.0069, 0.0182] [ -0.1089, 0.6579]
11 point estimate CI a)
[
0.0036 -0.0016 0.0010, 0.0080] [ -0.0135, 0.0120] [
0.0073 0.1139 0.0037, 0.0143] [ -0.2263, 0.4578]
12 point estimate CI a)
0.0023 -0.0063 [ -0.0006, 0.0060] [ -0.0189, 0.0062] [
0.0132 0.0354 0.0109, 0.0213] [ -0.2526, 0.4048]
13 point estimate CI a)
0.0024 -0.0038 [ -0.0005, 0.0064] [ -0.0172, 0.0104] [
0.0103 -0.2027 0.0072, 0.0174] [ -0.5457, 0.1462]
14 point estimate CI a)
-0.0001 -0.0044 [ -0.0033, 0.0029] [ -0.0188, 0.0091] [
0.0124 -0.1662 0.0093, 0.0198] [ -0.4985, 0.1995]
15 point estimate CI a)
[
0.0038 -0.0033 0.0011, 0.0080] [ -0.0176, 0.0106] [
0.0099 -0.2028 0.0066, 0.0165] [ -0.5594, 0.1846]
16 point estimate CI a)
0.0027 -0.0052 [ -0.0000, 0.0069] [ -0.0203, 0.0078] [
0.0148 -0.1481 0.0121, 0.0226] [ -0.5146, 0.2394]
17 point estimate CI a)
[
0.0031 -0.0020 0.0002, 0.0075] [ -0.0171, 0.0112] [
0.0124 -0.2084 0.0094, 0.0198] [ -0.6371, 0.1479]
18 point estimate CI a)
0.0008 -0.0018 [ -0.0026, 0.0044] [ -0.0163, 0.0110] [
0.0136 -0.0841 0.0107, 0.0213] [ -0.4856, 0.2521]
19 point estimate CI a)
[
0.0034 -0.0007 0.0009, 0.0078] [ -0.0144, 0.0120] [
0.0107 -0.0499 0.0078, 0.0178] [ -0.4173, 0.2384]
20 point estimate CI a)
0.0024 -0.0025 [ -0.0002, 0.0067] [ -0.0164, 0.0095] [
0.0140 0.0302 0.0116, 0.0219] [ -0.3135, 0.3013]
21 point estimate CI a)
0.0029 -0.0008 [ -0.0000, 0.0073] [ -0.0138, 0.0120] [
0.0116 -0.0239 0.0095, 0.0188] [ -0.3744, 0.2251]
22 point estimate CI a)
0.0008 -0.0016 [ -0.0021, 0.0046] [ -0.0142, 0.0111] [
0.0125 0.0334 0.0101, 0.0198] [ -0.2817, 0.3079]
23 point estimate
0.0029
-0.0013
0.0100
0.0070
140
CI a)
[
0.0001,
0.0071] [ -0.0134,
0.0118] [
0.0076,
0.0169] [ -0.2871,
0.2869]
24 point estimate CI a)
0.0021 -0.0032 [ -0.0005, 0.0061] [ -0.0157, 0.0096] [
0.0128 0.0242 0.0104, 0.0198] [ -0.2522, 0.3159]
25 point estimate CI a)
0.0028 -0.0022 [ -0.0003, 0.0069] [ -0.0141, 0.0110] [
0.0112 -0.0598 0.0092, 0.0180] [ -0.3555, 0.2419]
26 point estimate CI a)
0.0012 -0.0028 [ -0.0019, 0.0046] [ -0.0150, 0.0101] [
0.0124 -0.0437 0.0099, 0.0193] [ -0.3290, 0.2198]
27 point estimate CI a)
0.0028 -0.0022 [ -0.0001, 0.0067] [ -0.0146, 0.0107] [
0.0106 -0.0758 0.0083, 0.0174] [ -0.3615, 0.2148]
28 point estimate CI a)
0.0022 -0.0035 [ -0.0003, 0.0060] [ -0.0163, 0.0084] [
0.0129 -0.0517 0.0106, 0.0197] [ -0.3446, 0.2533]
29 point estimate CI a)
0.0029 -0.0024 [ -0.0001, 0.0069] [ -0.0150, 0.0103] [
0.0117 -0.0997 0.0097, 0.0187] [ -0.4080, 0.1923]
30 point estimate CI a)
0.0015 -0.0026 [ -0.0013, 0.0051] [ -0.0158, 0.0094] [
0.0127 -0.0657 0.0106, 0.0195] [ -0.3766, 0.2207]
141
Lampiran 8f Impulse Response Function atas guncangan kebijakan moneter domestik SVEC Impulse Responses Selected Confidence Interval (CI): a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected time
point estimate CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
sbi -> lpdb_2
sbi -> lrmb_1
sbi -> sbi
0.0000 -0.0157 0.0000, 0.0000] [ -0.0260, -0.0102] [
1.5889 1.6039, 2.1155]
1 point estimate CI a)
-0.0024 -0.0207 -0.0190 [ -0.0051, -0.0004] [ -0.0392, -0.0091] [ -0.0297, -0.0164] [
0.8088 0.6820, 1.3094]
2 point estimate CI a)
-0.0043 -0.0393 -0.0224 [ -0.0079, -0.0022] [ -0.0673, -0.0252] [ -0.0346, -0.0192] [
1.1990 1.0418, 1.8562]
3 point estimate CI a)
-0.0007 -0.0200 -0.0158 [ -0.0051, 0.0035] [ -0.0466, -0.0023] [ -0.0268, -0.0120] [
0.7255 0.3717, 1.3463]
4 point estimate CI a)
0.0005 -0.0447 -0.0180 0.2565 [ -0.0044, 0.0053] [ -0.0734, -0.0272] [ -0.0314, -0.0117] [ -0.1670, 0.8779]
5 point estimate CI a)
-0.0012 -0.0369 -0.0117 -0.1326 [ -0.0065, 0.0035] [ -0.0621, -0.0216] [ -0.0230, -0.0054] [ -0.6937, 0.4034]
6 point estimate CI a)
-0.0013 -0.0340 -0.0111 -0.2622 [ -0.0065, 0.0026] [ -0.0563, -0.0217] [ -0.0215, -0.0043] [ -0.7281, 0.2656]
7 point estimate CI a)
0.0016 -0.0340 -0.0103 -0.1542 [ -0.0030, 0.0064] [ -0.0547, -0.0216] [ -0.0196, -0.0049] [ -0.5588, 0.2835]
8 point estimate CI a)
0.0021 -0.0325 -0.0072 -0.1475 [ -0.0019, 0.0063] [ -0.0540, -0.0229] [ -0.0159, -0.0016] [ -0.5495, 0.2970]
9 point estimate CI a)
0.0007 -0.0280 -0.0067 0.0409 [ -0.0032, 0.0045] [ -0.0480, -0.0198] [ -0.0137, -0.0025] [ -0.3417, 0.5021]
[
0.0000 0.0000, 0.0000] [
sbi -> lrer_1
142
10 point estimate CI a)
0.0001 -0.0242 -0.0085 0.2470 [ -0.0037, 0.0034] [ -0.0422, -0.0158] [ -0.0157, -0.0045] [ -0.1222, 0.7203]
11 point estimate CI a)
0.0010 -0.0251 -0.0100 [ -0.0021, 0.0046] [ -0.0430, -0.0168] [ -0.0171, -0.0071] [
0.4649 0.1276, 0.9285]
12 point estimate CI a)
0.0010 -0.0248 -0.0096 [ -0.0020, 0.0045] [ -0.0429, -0.0161] [ -0.0167, -0.0053] [
0.5627 0.2253, 1.0206]
13 point estimate CI a)
-0.0001 -0.0250 -0.0106 [ -0.0033, 0.0032] [ -0.0438, -0.0150] [ -0.0180, -0.0068] [
0.5946 0.2624, 1.0675]
14 point estimate CI a)
-0.0009 -0.0255 -0.0124 [ -0.0042, 0.0022] [ -0.0440, -0.0149] [ -0.0203, -0.0084] [
0.5942 0.2769, 1.0968]
15 point estimate CI a)
-0.0002 -0.0274 -0.0129 [ -0.0033, 0.0032] [ -0.0470, -0.0156] [ -0.0208, -0.0092] [
0.5559 0.1953, 1.1142]
16 point estimate CI a)
0.0002 -0.0290 -0.0121 [ -0.0033, 0.0039] [ -0.0487, -0.0180] [ -0.0205, -0.0077] [
0.4710 0.1016, 1.0446]
17 point estimate CI a)
-0.0002 -0.0295 -0.0117 [ -0.0038, 0.0032] [ -0.0489, -0.0179] [ -0.0199, -0.0076] [
0.3636 0.0126, 0.9070]
18 point estimate CI a)
-0.0006 -0.0296 -0.0119 0.2961 [ -0.0043, 0.0030] [ -0.0486, -0.0196] [ -0.0203, -0.0072] [ -0.0375, 0.8302]
19 point estimate CI a)
0.0001 -0.0298 -0.0116 0.2667 [ -0.0036, 0.0038] [ -0.0487, -0.0194] [ -0.0195, -0.0082] [ -0.0224, 0.7681]
20 point estimate CI a)
0.0006 -0.0299 -0.0106 0.2500 [ -0.0031, 0.0043] [ -0.0487, -0.0202] [ -0.0185, -0.0066] [ -0.0239, 0.7131]
21 point estimate CI a)
0.0003 -0.0291 -0.0101 0.2441 [ -0.0032, 0.0041] [ -0.0489, -0.0192] [ -0.0175, -0.0063] [ -0.0455, 0.6756]
22 point estimate CI a)
-0.0000 -0.0283 -0.0104 [ -0.0036, 0.0034] [ -0.0467, -0.0189] [ -0.0179, -0.0066] [
0.2728 0.0064, 0.6774]
23 point estimate CI a)
0.0003 -0.0279 -0.0106 [ -0.0030, 0.0039] [ -0.0462, -0.0186] [ -0.0178, -0.0075] [
0.3225 0.0366, 0.7292]
-0.0278
0.3604
24 point estimate
0.0005
-0.0104
143
CI a)
[ -0.0027,
0.0041] [ -0.0462, -0.0194] [ -0.0177, -0.0069] [
0.0823,
0.7578]
25 point estimate CI a)
0.0003 -0.0276 -0.0104 [ -0.0029, 0.0037] [ -0.0460, -0.0191] [ -0.0175, -0.0072] [
0.3782 0.0904, 0.7564]
26 point estimate CI a)
-0.0001 -0.0274 -0.0109 [ -0.0034, 0.0032] [ -0.0457, -0.0188] [ -0.0183, -0.0075] [
0.3948 0.1122, 0.7734]
27 point estimate CI a)
0.0000 -0.0276 -0.0113 [ -0.0031, 0.0034] [ -0.0456, -0.0186] [ -0.0185, -0.0082] [
0.4080 0.1376, 0.7895]
28 point estimate CI a)
0.0002 -0.0281 -0.0111 [ -0.0029, 0.0036] [ -0.0463, -0.0191] [ -0.0186, -0.0078] [
0.4036 0.1398, 0.8011]
29 point estimate CI a)
0.0001 -0.0283 -0.0111 [ -0.0032, 0.0036] [ -0.0463, -0.0191] [ -0.0185, -0.0078] [
0.3821 0.1190, 0.7842]
30 point estimate CI a)
-0.0001 -0.0283 -0.0112 [ -0.0036, 0.0032] [ -0.0461, -0.0191] [ -0.0186, -0.0074] [
0.3642 0.0989, 0.7742]
144
Lampiran 9a FEVD PDB Proportions of forecast error in "lpdb_2" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 1 1.00 0.00 0.00 2 0.82 0.16 0.00 3 0.51 0.45 0.00 4 0.37 0.56 0.04 5 0.41 0.52 0.04 6 0.39 0.52 0.04 7 0.38 0.55 0.03 8 0.35 0.57 0.03 9 0.36 0.56 0.03 10 0.36 0.55 0.03 11 0.36 0.56 0.03 12 0.35 0.56 0.03 13 0.36 0.56 0.03 14 0.36 0.56 0.03 15 0.36 0.56 0.03 16 0.36 0.56 0.03 17 0.36 0.56 0.03 18 0.36 0.56 0.03 19 0.36 0.56 0.03 20 0.36 0.56 0.03 21 0.36 0.56 0.03 22 0.36 0.56 0.03 23 0.36 0.56 0.03 24 0.36 0.57 0.03 25 0.36 0.57 0.03 26 0.36 0.57 0.03 27 0.36 0.57 0.03 28 0.36 0.57 0.03 29 0.36 0.57 0.03 30 0.36 0.57 0.03
sbi 0.00 0.02 0.03 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
tbill_2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
lpoilr_1 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
145
Lampiran 9b FEVD kurs riil Proportions of forecast error in "lrer_1" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 1 0.19 0.80 0.00 2 0.16 0.79 0.01 3 0.11 0.78 0.01 4 0.09 0.79 0.02 5 0.08 0.76 0.02 6 0.08 0.74 0.02 7 0.07 0.73 0.01 8 0.07 0.72 0.01 9 0.06 0.71 0.01 10 0.06 0.70 0.01 11 0.06 0.71 0.01 12 0.06 0.71 0.01 13 0.06 0.71 0.01 14 0.06 0.71 0.01 15 0.05 0.72 0.01 16 0.05 0.72 0.01 17 0.05 0.72 0.01 18 0.05 0.72 0.01 19 0.05 0.72 0.01 20 0.05 0.72 0.01 21 0.05 0.72 0.01 22 0.04 0.72 0.01 23 0.04 0.72 0.01 24 0.04 0.72 0.01 25 0.04 0.72 0.01 26 0.04 0.72 0.01 27 0.04 0.72 0.01 28 0.04 0.72 0.01 29 0.04 0.72 0.01 30 0.04 0.72 0.01
sbi 0.00 0.02 0.07 0.06 0.10 0.12 0.13 0.15 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17
tbill_2 0.01 0.00 0.01 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
lpoilr_1 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
146
Lampiran 9c FEVD permintaan uang riil Proportions of forecast error in "lrmb_1" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 1 0.01 0.08 0.71 2 0.08 0.08 0.51 3 0.11 0.06 0.41 4 0.14 0.09 0.34 5 0.14 0.13 0.36 6 0.17 0.14 0.34 7 0.17 0.15 0.34 8 0.17 0.15 0.34 9 0.17 0.15 0.36 10 0.17 0.14 0.36 11 0.16 0.14 0.36 12 0.16 0.14 0.36 13 0.15 0.14 0.36 14 0.15 0.14 0.36 15 0.15 0.13 0.36 16 0.15 0.13 0.36 17 0.14 0.12 0.36 18 0.14 0.12 0.36 19 0.14 0.11 0.37 20 0.14 0.11 0.36 21 0.14 0.11 0.37 22 0.14 0.10 0.37 23 0.14 0.10 0.37 24 0.14 0.10 0.37 25 0.14 0.10 0.38 26 0.14 0.09 0.38 27 0.14 0.09 0.38 28 0.14 0.09 0.38 29 0.14 0.09 0.38 30 0.14 0.09 0.38
sbi 0.20 0.33 0.41 0.38 0.32 0.30 0.29 0.29 0.28 0.28 0.28 0.29 0.29 0.29 0.29 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.31 0.31 0.31 0.31 0.31 0.31 0.31
tbill_2 0.00 0.00 0.00 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
lpoilr_1 0.00 0.00 0.01 0.03 0.03 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
147
Lampiran 9d FEVD suku bunga domestik Proportions of forecast error in "sbi" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 1 0.09 0.01 0.00 2 0.31 0.02 0.00 3 0.35 0.13 0.00 4 0.31 0.28 0.03 5 0.27 0.36 0.02 6 0.25 0.35 0.02 7 0.23 0.33 0.02 8 0.21 0.31 0.02 9 0.21 0.30 0.03 10 0.20 0.31 0.03 11 0.19 0.31 0.03 12 0.18 0.30 0.03 13 0.17 0.29 0.03 14 0.17 0.28 0.02 15 0.17 0.26 0.02 16 0.17 0.26 0.02 17 0.16 0.25 0.02 18 0.16 0.25 0.02 19 0.16 0.24 0.02 20 0.15 0.24 0.02 21 0.15 0.23 0.02 22 0.15 0.22 0.02 23 0.14 0.22 0.02 24 0.14 0.21 0.02 25 0.14 0.21 0.02 26 0.14 0.20 0.02 27 0.13 0.20 0.02 28 0.13 0.19 0.02 29 0.13 0.19 0.02 30 0.13 0.18 0.02
sbi 0.85 0.59 0.42 0.29 0.22 0.19 0.18 0.16 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.13 0.13 0.13 0.12 0.12 0.12 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11
tbill_2 0.05 0.05 0.06 0.06 0.10 0.16 0.21 0.26 0.27 0.29 0.30 0.32 0.33 0.35 0.36 0.37 0.38 0.40 0.41 0.42 0.44 0.45 0.46 0.47 0.48 0.49 0.49 0.50 0.51 0.51
lpoilr_1 0.00 0.02 0.03 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
148
Lampiran 9e FEVD suku bunga Amerika Serikat Proportions of forecast error in "tbill_2" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 1 0.00 0.00 0.00 2 0.00 0.01 0.02 3 0.00 0.01 0.04 4 0.00 0.02 0.03 5 0.00 0.02 0.03 6 0.00 0.03 0.04 7 0.01 0.04 0.04 8 0.01 0.05 0.04 9 0.02 0.07 0.04 10 0.03 0.09 0.04 11 0.03 0.11 0.05 12 0.03 0.13 0.05 13 0.04 0.14 0.05 14 0.04 0.15 0.05 15 0.04 0.15 0.05 16 0.04 0.15 0.05 17 0.04 0.15 0.05 18 0.04 0.15 0.05 19 0.04 0.15 0.05 20 0.04 0.15 0.05 21 0.04 0.15 0.05 22 0.04 0.16 0.05 23 0.04 0.16 0.05 24 0.04 0.16 0.05 25 0.04 0.16 0.05 26 0.04 0.16 0.05 27 0.04 0.16 0.05 28 0.04 0.16 0.05 29 0.04 0.16 0.05 30 0.04 0.16 0.05
sbi 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
tbill_2 0.93 0.88 0.87 0.88 0.87 0.85 0.83 0.80 0.77 0.74 0.71 0.69 0.68 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 0.67 0.66 0.66 0.66 0.66 0.66 0.66 0.66 0.66
lpoilr_1 0.07 0.08 0.07 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
149
Lampiran 9f FEVD harga minyak dunia Proportions of forecast error in "lpoilr_1" accounted for by: forecast horizon lpdb_2 lrer_1 lrmb_1 sbi 1 0.00 0.00 0.00 0.00 2 0.00 0.00 0.00 0.00 3 0.01 0.05 0.00 0.00 4 0.01 0.06 0.01 0.00 5 0.01 0.05 0.01 0.01 6 0.01 0.05 0.01 0.01 7 0.01 0.04 0.01 0.02 8 0.01 0.04 0.01 0.03 9 0.02 0.04 0.01 0.03 10 0.02 0.05 0.01 0.03 11 0.03 0.05 0.01 0.03 12 0.03 0.05 0.01 0.04 13 0.03 0.06 0.01 0.03 14 0.03 0.06 0.01 0.03 15 0.03 0.06 0.01 0.03 16 0.03 0.05 0.01 0.03 17 0.03 0.05 0.01 0.03 18 0.03 0.05 0.01 0.03 19 0.03 0.05 0.01 0.03 20 0.03 0.05 0.01 0.03 21 0.03 0.05 0.01 0.03 22 0.03 0.05 0.01 0.03 23 0.03 0.05 0.01 0.03 24 0.03 0.05 0.01 0.03 25 0.03 0.05 0.01 0.03 26 0.03 0.05 0.01 0.03 27 0.03 0.05 0.01 0.03 28 0.03 0.05 0.01 0.03 29 0.03 0.05 0.01 0.03 30 0.03 0.05 0.01 0.03
tbill_2 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
lpoilr_1 1.00 0.99 0.93 0.91 0.91 0.92 0.91 0.90 0.89 0.88 0.86 0.86 0.85 0.85 0.85 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86 0.86