DAMPAK GUNCANGAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA TERHADAP HARGA BERAS DOMESTIK (Suatu Analisis Kointegrasi)
SANTI CHINTIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik (Suatu Analisis Kointegrasi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013 Santi Chintia NRP H353090171
ABSTRACT
SANTI CHINTIA. Impact of World Oil Price Shock on Domestic Rice Price (Cointegration Analysis). Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and HENY K. DARYANTO.
Rice is a substantial strategic and food comodity in Indonesia and also in some countries in the world, particularly in Asia. Therefore, the stability of rice price and the availability should be maintained, especially rice is also known as unstable commodity. Starting in 1994, Indonesia became a net importer of rice commodity, then, Indonesia‟s rice market is allegedly integrated with the world‟s rice market. Consequently, any changes or shock in the world‟s rice market, which is one of its shocks caused by world oil price shock, will affect the domestic rice market. The objectives of this study are: (1) to analyze factors that influence the domestic rice price, (2) to analyze the effect of changes on the world oil price shocks to the domestic rice price. The applicable method for this study is vector error correction model (VECM) with analysis tools are IRF, FEVD, and pass-through. The estimation results indicate that there is a cointegration in the models studied. In the short-term, factors (variables) that affect the domestic rice price are the price of imported rice, domestic rice price, and the price of crude oil. Besides, in the long run, factors (variables) that affect the domestic rice price are the price of imported rice, world rice price, and production rice. The variables that largely influence the domestic rice price are world rice price and price of imported rice. On the other hand, a variable that slightly affect is the total factor productivity (TFP). Key words: rice, rice price, world oil price shock, TFP, VECM, pass through
iv
RINGKASAN SANTI CHINTIA. Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik (Suatu Analisis Kointegrasi) (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Ketua dan HENY K. DARYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Beras merupakan salah satu komoditas tanaman pangan strategis baik di Indonesia maupun di sebagian besar negara-negara di dunia. Oleh karena itu, beras sering digunakan sebagai instrumen pengatur baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Di Indonesia beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Karena beras merupakan komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak maka pemeintah harus terus menjaga kestabilan beras baik dari sisi harga maupun ketersediaannya. Tetapi karena Indonesia termasuk net importir beras, maka diduga pasar beras domestik terintegrasi dengan pasar beras dunia. Situasi ini menyebabkan kejadian atau shocks yang terjadi di pasar beras dunia akan mempengaruhi kondisi pasar beras domestik yang pada akhirnya akan mempengaruhi fluktuasi harga beras domestik. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji pola dan karakteristik pergerakan harga beras domestik (2) menganalisis dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap dinamika harga beras domestik. (3) mengukur besar pengaruh guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik. Penelitian ini menggunakan data sekunder deret waktu (time series) sejak tahun 1969-2011. Analisis menggunakan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil analisis menunjukkan harga beras domestik memiliki pola berfluktuatif dan memiliki tren yang terus meningkat, tetapi harga beras domestik selalu berfluktuatif pada trennya. Karakteristik menarik dari harga beras domestik adalah selalu berada diatas harga beras dunia. Hal ini terjadi karena beras merupakan komoditi yang banyak diintervensi oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan harga beras domestik untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai konsumen dan petani sebagai produsen. Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa pada jangka pendek harga beras domestik dipengaruhi oleh harga beras domestik itu sendiri, harga beras impor, dan harga minyak mentah dunia. Pada jangka panjang harga beras domestik dipengaruhi oleh harga beras dunia, harga beras impor, dan produksi beras. Hasil analisis IRF memberikan simpulan bahwa harga beras domestik memberikan respon yang fluktuatif dengan shock dari semua variabel. Hal ini membuktikan bahwa variabel harga beras adalah variabel yang volatil. Artinya, harga beras akan selalu berfluktuasi pada trennya dari waktu ke waktu.
Berdasarkan hasil analisis FEVD harga beras domestik paling besar dipengaruhi oleh harga beras domestik itu sendiri yaitu rata-rata sebesar 77.03 persen, harga beras impor sebesar 10.18 persen, harga beras dunia sebesar 6.79 persen, harga minyak mentah dunia sebesar 2.72 persen, produksi beras dan nilai tukar masing-masing sebesar 1.67 dan 0.97 persen, sedangkan total faktor produktivitas hanya berpengaruh sebesar 0.61 persen terhadap perubahan harga beras domestik. Berdasarkan hasil analisis pass through yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok pengaruh. Pertama, kelompok “faktor harga” yang terdiri dari harga beras dunia, harga beras impor, dan harga minyak mentah dunia. Kedua, adalah kelompok “faktor non harga” yang terdiri dari variabel produksi beras, total faktor produktivitas, nilai tukar. Dilihat dari besaran koefisien hasil analisis pass through, maka kelompok faktor harga memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding faktor non harga. Kata kunci: beras, harga beras, harga minyak mentah dunia, total faktor produktivitas (TFP), VECM, pass through
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK GUNCANGAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA TERHADAP HARGA BERAS DOMESTIK (Suatu Analisis Kointegrasi)
SANTI CHINTIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
viii
Penguji Luar Komisi : Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr Meti Ekayani, SHut, MSc
Judul Tesis
Nama NRP
: Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik (Suatu Analisis Kointegrasi) : Santi Chintia : H353090171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua
Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 Februari 2013
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah perdagangan, dengan judul Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik (Suatu Analisis Kointegrasi). Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian hingga tersusunnya laporan penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc dan Ibu Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. 3. Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku Penguji mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang yang telah memberikan kritik dan saran pada ujian tesis ini. 4. Seluruh staf Mayor EPN yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi. 5. Teman-teman EPN angkatan 2009 untuk kebersamaan dalam suka dan duka serta semangat selama perkuliahan dan proses penulisan tesis. Secara khusus dan dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada Ibunda Entri Satriah. dan Ayahanda Lukman S.Pd, adik-adikku Ari Rudiyana, SP dan Resa Novita serta Dedi Arif Yanuar, SP yang selalu mendorong dan mendoakan untuk keberhasilan penulis. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini memberi manfaat bagi kita semua dan khususnya bagi penulis sebagai proses pembelajaran. Terima kasih.
Bogor, Maret 2013 Santi Chintia
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 22 Januari 1985. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Lukman S.Pd dan Ibu Entri Satriah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Tasikmalaya. Pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada Tahun 2008, penulis menyelesaikan program sarjana tersebut. Pada tahun 2009, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Pascasarjana di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana, penulis juga berkesempatan bekerja di Center for International Forestry Research (CIFOR) sebagai Research Assistant sampai saat ini.
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
xii xii xiii 1 1 2 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi Transmisi Harga Model Kointegrasi Teori Residual Solow Total Faktor Produktivitas Analisis Pass Through Effect Tinjauan Studi Terdahulu Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian
5 5 6 7 12 13 15 16 18 23
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis dan Pengolahan Data Perhitungan Total Faktor Produktivitas Analisis Vector Autoregression (VAR) Uji Granger Causality Vector Error Correction Model (VECM) Innovation Accounting Impulse Response Function (IRF) Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Derajat Pass Through
23 23 23 24 25 27 27 27 27 28 28
4 GAMBARAN UMUM SITUASI DAN KONDISI PERDAGANGAN KOMODITAS BERAS Kondisi Pasar Beras Dunia Kondisi Pasar Beras Domestik
29 30 30
DAFTAR ISI (lanjutan)
5 ANALISIS GUNCANGAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA TERHADAP HARGA BERAS DOMESTIK Pengujian Pra-Estimasi Uji Stasioneritas Data Penentuan Selang Optimal Pengujian Stabilitas VAR Pengujian Kointegrasi Uji Bivariate Granger Causality Hasil Penelitian Hasil Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Impulse Response Function Analisis Forecast Error Decomposition Analisis Pass Through Effect
33 33 33 34 35 35 36 38 38 41 42 44
6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan
45 45 46 46
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
46 50
xiv
DAFTAR TABEL 1 Jumlah impor minyak mentah Indonesia periode 2003-2011 2 Perkembangan harga minyak mentah dunia, harga urea, dan subsidi pupuk periode 2002-2011 3 Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian 4 Hasil pengujian akar unit 5 Hasil pengujian lag optimal 6 Hasil uji stabilitas 7 Hasil uji kointegrasi 8 Hasil analisis uji bivariate granger causality model guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik, periode 1969-2011 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras domestik pada jangka pendek 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras domestik pada jangka panjang 11 Derajat pass-through harga beras domestik
20 21 23 33 34 35 36
36 39 40 44
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Grafik fluktuasi harga beras dunia, domestik, dan harga gabah tingkat petani tahun 1990-2011 Produktivitas padi tahun 1983-2011 (ton/ha) Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar
Kurva kemungkinan produksi Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras dunia menurut Mondi et al Alur kerangka operasional penelitian Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1996-2011 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras domestik Perkembangan luas lahan panen, produksi padi, dan produktivitas periode 1969-2011 Perkembangan harga dan volume impor beras periode 1969-2011 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1969-2011 Hubungan antar variabel berdasarkan uji granger causality Fluktuasi harga beras dunia dan harga beras impor Hasil analisis impulse response function (IRF) FEVD harga beras domestik
2 3 11 13 18 19 22 22 31 32 33 37 40 42 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Unit root test tingkat level Unit root test first difference Uji selang optimal Uji stabilitas Uji kointegrasi Uji granger causality Hasil estimasi VECM Analisis IRF Analisis FEVD
50 51 53 54 54 56 57 59 60
xvi
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan salah satu komoditas tanaman pangan strategis baik di Indonesia maupun di sebagian besar negara-negara di dunia. Di Indonesia beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Konsumsi beras per kapita di Indonesia merupakan tertinggi di dunia yaitu sebesar 139,15 kg (BPS, 2011). Karena beras merupakan bagian yang dominan dari masyarakat Indonesia, maka pasar beras diduga memiliki keterkaitan erat baik dalam hal mendorong pertumbuhan ekonomi maupun penciptaan lapangan kerja. Di tingkat dunia beras dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat dunia yaitu sebesar 437,9 juta ton pada tahun 2010, naik 0,2 persen dibandingkan tahun 2009 (USDA, 2011). Keberadaan pasar beras dunia telah mengalami fluktuasi terutama dari segi harga. Pasar beras dunia terus dipandang sebagai pasar yang terdistorsi, lemah, dan berubah-ubah (Kang, 2009). Selain itu, di pasar dunia beras dikenal dengan istilah thin market, artinya beras adalah komoditi yang sedikit diperdagangkan. Hal inilah yang menyebabkan pasar beras dunia bersifat labil. Sama halnya dengan pasar beras dunia, pasar beras domestik pun merupakan pasar yang bersifat labil dan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Simatupang et.al. (2004) menyebutkan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi harga gabah dan beras di tingkat petani, salahsatunya adalah pengaruh integrasi pasar beras dunia dan domestik. Sehingga kejadian atau shocks yang terjadi di pasar dunia akan mempengaruhi kondisi pasar beras domestik. Terdapat dua komoditi yang banyak mempengaruhi perdagangan dunia atau dikenal dengan “komoditi shocks”. Dua komoditi tersebut adalah emas dan minyak mentah. Minyak mentah dunia sering dijadikan sebagai tolok ukur dalam analisis penelitian berbagai komoditi yang diperdagangkan terutama penelitian mengenai pangan. Diikutsertakannya minyak mentah dunia sebagai salahsatu faktor yang paling berpengaruh mempengaruhi perubahan berbagai permintaan dan penawaran berbagai komoditi yang diperdagangkan karena perannya yang begitu vital. Fluktuasi harga diantara dua komoditas ini sering dijadikan tolok ukur bagi kestabilan kondisi perdagangan dunia. Tetapi semenjak ditandatanganinya persetujuan Bretton Woods tahun 1944, sistem moneter internasional (SMI) didasarkan pada sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Artinya mata uang Dollar AS (USD) dapat ditukar dan dijamin sepenuhnya dengan emas, dengan ketentuan USD 35 ekuivalen dengan 1 troy once emas. Semenjak nilai tukar USD tidak lagi dikaitkan dengan emas, maka harga minyak mentah dunia dihubungkan dengan pergerakan mata uang. Amerika Serikat (AS) yang dikenal sebagai negara yang membutuhkan konsumsi minyak cukup besar di dunia, sehingga US dollar sering disebut dengan Petro Dollar. Naiknya harga minyak mentah dunia secara tidak langsung akan berdampak pada naiknya harga-harga produksi dan harga barang-barang konsumsi di AS. Naiknya harga barang-barang dapat memicu naiknya tingkat inflasi yang lebih lanjut membuat nilai tukar US dollar cenderung tertekan di pasar. Oleh sebab itu para pelaku pasar selalu memantau pergerakan harga minyak mentah dunia dan persediaan minyak mentah AS. Karena perubahan kecil di kedua hal tersebut
2
dapat berpengaruh cukup besar pada nilai tukar USD yang nantinya akan berimbas terhadap komoditi-komoditi yang diperdagangkan di dunia termasuk perdagangan beras. Berdasarkan pemaparan mengenai besarnya peranan beras baik di Indonesia maupun di sebagian besar negara-negara di dunia serta adanya minyak mentah dunia yang sering dijadikan tolok ukur perdagangan komoditi dunia, maka analisis mengenai dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik menjadi menarik dan penting untuk dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah Harga beras dunia dalam tiga puluh tahun terakhir sangat tidak stabil dan kemungkinan besar terjadinya volatilitas harga beras di pasar internasional tidak hanya didorong oleh penawaran dan permintaan tetapi juga oleh kekuatankekuatan ekonomi eksternal lainnya (Mondi, 2010). Menurut Mondi salahsatu kekuatan ekonomi eksternal yang besar mempengaruhi pasokan dan harga beras dunia adalah fluktuatifnya harga minyak mentah dunia. Minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras melalui lima saluran kemungkinan utama, yaitu : 1 Harga pupuk. 2 Biaya transportasi. 3 Ekspektasi pasar dan permintaan pencegahan. 4 Spekulasi di pasar berjangka. 5 Efek substitusi produksi beras dengan biji-bijian lainnya yang digunakan dalam pembuatan biofuel. Rp/kg 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
P.Domestik
P.GTP
P.Dunia
Sumber : BPS 1990 – 2011 Gambar 1 Grafik fluktuasi harga beras dunia, domestik, dan harga gabah kering panen tahun 1990-2011 (rp/kg) Gambar 1 menunjukkan, baik harga beras dunia maupun harga beras domestik selain berfluktuasi juga terus memiliki tren harga yang meningkat. Kenaikan harga beras dunia diprediksi akan terus terjadi mengikuti kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Syahputra (2009) memprediksikan masih akan terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia dalam lima tahun ke depan. Lima tahun ke depan harga minyak mentah dunia akan
3
meningkat hampir dua kali lipat dari harga saat ini. Harga minyak mentah dunia yang akan ditransmisikan terhadap harga beras dunia yang kemudian dilanjutkan ditransmisikan terhadap harga beras domestik akan menjadikan tingginya harga beras domestik. Dengan dimulainya harga beras yang tinggi dan sangat berfluktuasi, telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan jutaan rakyat miskin di Indonesia. Selain itu, dari gambar 1 juga dapat dilihat bahwa setelah krisis ekonomi terjadi yaitu setelah tahun 1998, harga beras domestik terus meningkat dan peningkatannya telah melebihi harga beras dunia. Hal ini mengindikasikan, bahwa kenaikan yang dialami oleh harga beras domestik setelah krisis ekonomi lebih dipengaruhi oleh supply dan demand di pasar domestik. Kenaikan harga beras pada tahun 1998 sangat drastis bila dibandingkan dengan kenaikan harga gabah kering panen (GKP) setelah itu tampak fluktuasi harga beras lebih besar daripada harga gabah. Pada Tahun 2006, harga rata-rata beras kualitas medium di seluruh Indonesia adalah Rp 3615/kg dengan kisaran harga antara Rp 3500/kg sampai dengan Rp 4200/kg. Harga gabah rata-rata di seluruh Indonesia adalah Rp 1978/kg dengan kisaran harga antara Rp 1837/kg sampai dengan Rp 2066/kg. Sementara harga beras dunia rata-rata adalah Rp 1418/kg dengan kisaran harga antara Rp 539/kg sampai dengan Rp 2363/kg (Bulog, 2006). Kondisi harga beras di tahun 2011 sudah jauh mengalami perubahan. Harga beras domestik, yaitu harga beras kualitas medium telah mengalami peningkatan menjadi Rp 7231/kg, naik dua kali lipatnya atau naik sebesar 100 persen. Harga gabah meningkat sebesar 71 persen menjadi Rp 3378/kg sementara harga beras dunia naik menjadi Rp 4795/kg. Range antara harga gabah dengan harga beras domestik terus semakin meningkat dan diprediksi akan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi produktivitas (Gambar 2), produktivitas padi dari tahun 19832011 terus berfluktuasi dan memiliki tren yang terus meningkat meskipun peningkatannya relatif stabil, berkisar antara angka 4-5 ton per hektar padahal peningkatan produktivitas merupakan kunci utama peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain produktivitas, penyerapan tenaga kerja juga merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Penyerapan tenaga kerja pada usahatani padi Ton/Ha
1983_Q1 1984_Q1 1985_Q1 1986_Q1 1987_Q1 1988_Q1 1989_Q1 1990_Q1 1991_Q1 1992_Q1 1993_Q1 1994_Q1 1995_Q1 1996_Q1 1997_Q1 1998_Q1 1999_Q1 2000_Q1 2001_Q1 2002_Q1 2003_Q1 2004_Q1 2005_Q1 2006_Q1 2007_Q1 2008_Q1 2009_Q1 2010_Q1
6 5 4 3 2 1 0
Produktivitas Padi
Sumber : BPS, 1983 - 2011 Gambar 2 Produktivitas padi tahun 1983-2011 (ton/ha)
4
merupakan sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah rumah tangga petani padi sebesar 65 persen dari total rumah tangga usahatani. Berdasarkan beberapa alasan seperti yang telah diuraikan di latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 Bagaimana pola dan karakteristik pergerakan harga beras domestik? 2 Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh guncangan harga minyak mentah dunia terhadap dinamika harga beras domestik? 3 Berapa besar pengaruh guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik. Secara khusus tujuannya adalah : 1. Mengkaji pola dan karakteristik pergerakan harga beras domestik 2. Menganalisis dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap dinamika harga beras domestik. 3. Mengukur besar pengaruh guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik. Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak. Bagi akademisi penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk pengembangan penelitian lanjutan yang sejenis. Bagi pengambil kebijakan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan alokasi dana bagi investasi serta perencanaan pembangunan bagi pemerintah.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Data yang dipergunakan dalam penelitian merupakan data deret waktu (time series) tahunan, yaitu dari periode 1969-2011. Data yang dipergunakan merupakan data resmi pemerintah dan tidak mencakup data yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat atau penyelundupan. Harga beras domestik yang digunakan adalah harga beras eceran dengan kualitas medium karena merupakan beras yang banyak dikonsumsi masyarakat. Harga beras dunia menggunakan harga FOB Thailand karena Thailand merupakan eksportir terbesar beras di dunia. Analisis yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan metode Vector Error Correctin Model (VECM) yang terlebih dahulu menggunakan metode Total Faktor Produktivitas (TFP)
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan atau pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Terjadinya ketidakstabilan harga beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik. Kedua, ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan. Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil. Menurut Irawan (2004) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock
6
yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas pangan atau pertanian akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. Hasil estimasi yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito (1996) dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) dan rolling regression menyimpulkan bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan inflasi, walaupun koefisiennya mengalami penurunan. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Cody dan Mills (1991) sehingga mereka percaya bahwa peningkatan harga komoditas yang menjadi sinyal peningkatan inflasi harus diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter. Namun, hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa respon bank sentral melalui fed funds rate terhadap perubahan harga komoditas tidak signifikan sehingga inflasi yang terjadi lebih tinggi dari level inflasi optimalnya. Dapat diyakini bahwa laju inflasi dapat ditekan dan diturunkan, jika bank sentral memberi respon yang lebih memadai terhadap kenaikan harga komoditas tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa harga komoditas memiliki kandungan informasi yang baik terhadap inflasi.
2.2 Transmisi Harga Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga. Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion, 1986). Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatu negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang
7
berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia. Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan. Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price) memberikan pengertian bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksikan bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial. Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah : P1t = P2t + C (1) Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut diidentifikasikan sebagai berikut: P2t – P1t = λC (2) Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga, bentuk yang kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
2.3 Model Kointegrasi Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh Engle dan Granger (1987), dimana analisis formalnya dimulai dengan mendasarkan pada himpunan peubah ekonomi yang berada pada keseimbangan jangka panjang. β 1x1t + β 2x2t + ... + β nxnt = 0 atau β‟xt = 0 penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang disebut galat ekuilibrium (et), sehingga εt = β‟xt dimana εt pada kondisi stasioner. Menurut Engle dan Granger komponen suatu vektor xt „ = ( x1t, x2t, ..., xnt)‟ dikatakan berkointegrasi orde (d,b) dan dinyatakan dengan CI (d,b), jika : a Semua komponen x berintegrasi orde d (Vd xt : stasioner)
8
b Ada vektor β‟ = (β1 β2 ... βn) sehingga kobinasi linear β‟xt berintegrasi orde d-b, dimana b > 0 dan β disebut vektor kointegrasi. Prinsip dari peubah kointegrasi adalah data deret waktunya dipengaruhi oleh penyimpangan keseimbangan jangka panjang. Jika sistem berada pada keseimbangan jangka panjang gerakan suatu peubah harus merespon besarnya ketidakseimbangan tersebut. Integrasi Pasar Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda. Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (2005) yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin (2005) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : 1 Segmentansi pasar. Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan. 2 Integrasi Jangka Pendek. Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang. Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan. Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditransmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005). Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang
9
berhubungan dengan perdagangan (Bernal et.al., 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya-biaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Bernal et.al., 2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya. Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu: 1 Integrasi Pasar Spasial Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Perilaku harga spasial dalam pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance. Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien. Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (The Law of One Price atau sering disingkat LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2002). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua hargaharga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas. Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi defisit dalam hal pemenuhan beras untuk dikonsumsi yang menyebabkan terjadinya impor beras. Sedangkan di negara lain, misalnya Thailand berpotensi surplus yang menjadikan Thailand sebagai salahsatu negara pengekspor beras terbesar di dunia. Gambar 3 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PI yakni di pasar Indonesia (I) dan PT di pasar Thailand (T) dimana PT < PI. Pada harga diatas PT, pasar Thailand akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah PT. Selanjutnya informasi dari kurva ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat
10
perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c. Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar T (PT). Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar I (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (gambar 4). Grafik juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga. Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar I (PI). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar I (titik d dikurang titik c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PE jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar ab=cd) dapat dijual dari pasar T ke pasar I harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar T ke Pasar I melebihi atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PI menjadi PI1 pada pasar I (Indonesia) dan menaikkan harga dari PT menjadi PT1 pada pasar T (Thailand). Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri (independence).
11
a. Pasar T (Surplus)
b. Pasar I (Defisit)
c. Keseimbangan excess supply dan excess demand Harga (P) Transfer Cost (t)
SI
EST
PI
PI ST
PT‟
a
EST
PEI1
b
E
PE c
d
PT
EDI
PET1
DI
PT EDI
Pt DT
t
x y
QT
QI
0
QE1 QE2
Komoditi (Q)
Sumber : Tomek dan Robinson, 1972 Gambar 3 Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar
11
12
2 Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien. Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga disimpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik atau simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972).
2.4 Teori Residual Solow Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output tahunan selama selang waktu t. Solow menyatakan bahwa jumlah output akan ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Solow menduga produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi : Y = F(K, A(t). L) (3) Dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu , dimana A > 0 dan dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade. Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap. Teori produktivitas ini disebut sebagai residual karena menjelaskan produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari pengembangan teknologi. Berdasarkan Gambar 4 yang mengilustrasikan kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan
13
kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke kanan atas dari A ke B dan B ke C. K (unit)
C B A
0
L (jam)
Sumber : Nicholson, 2000 Gambar 4 Kurva kemungkinan produksi
2.5 Total Faktor Produktivitas Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2002). Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan demikian, konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis). Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio input-output atau produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis). Pendekatan pertumbuhan berdasarkan produktivitas akan lebih tepat bila menggunakan acuan pekerja dibandingkan populasi. Konsep terakhir ini disebut sebagai growth of employment value added ratio. Namun demikian, definisi terakhir ini masih mengacu pada konsep produktivitas parsial, yakni tenaga kerja. Konsep total faktor produktivitas (TFP) akan lebih tepat untuk menggambarkan kondisi perusahaan, sektor, maupun agregat ekonomi yang memiliki lebih dari satu input peubah. Sumber-sumber pertumbuhan umumnya dibagi dua kelompok, yakni (1) pertumbuhan yang berasal dari sisi permintaan dan (2) pertumbuhan yang berasal dari sisi penawaran. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber-sumber pertumbuhan berasal dari pasar, yakni konsumsi masyarakat, investasi swasta, government expenditure, dan ekspor. Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari : (1) kontribusi modal fisik (physical capital), (2) modal manusia (human capital), (3) pertumbuhan
14
penduduk atau tenaga kerja, serta (4) inovasi dan kemajuan teknologi. Pada kelompok kedua ini, analisis sumber-sumber pertumbuhan yang umum digunakan adalah Total Factor Productivity Growth (Kogel, 2003) Konsep pertumbuhan yang digunakan umumnya relatif sama (PDB per kapita), namun yang berbeda adalah sumber-sumber pertumbuhan, yakni dapat berasal dari sisi penawaran atau permintaan. Jika analisis sumber pertumbuhan bersifat sektoral umumnya digunakan pendekatan sisi penawaran, sedangkan pada makroekonomi secara agregat umumnya digunakan analisis sumber pertumbuhan dari sisi permintaan. Oleh karena itu, analisis sumber pertumbuhan dipengaruhi atau tergantung dari ketersediaan data dan tujuan analisis dari studi empiris yang dilakukan. Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut. Produktivitas merupakan suatu ukuran efisiensi produksi yang mengacu pada perbandingan antara besar output yang dapat dihasilkan dalam satu proses produksi terhadap jumlah penggunaan input. Produktivitas dapat dibagi atas dua konsep pengukuran yaitu : partial factor productivity dan total factor productivity. Konsep partial factor productivity mengacu kepada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output pada satu periode produksi tertentu. Partial factor productivity hanya mengukur dari satu faktor produksi terhadap output dengan mengabaikan pengaruh dari input lain yang digunakan dalam proses produksi. Kelemahan yang mencolok dari pendekatan partial factor productivity adalah, konsep ini tidak mengukur seluruh kontribusi produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi padahal dalam proses pengukuran efisiensi proses produksi diperlukan suatu analisis yang komprehensif untuk mengukur pengaruh dari keseluruhan input yang digunakan. Atas dasar inilah dalam konsep pengukuran produktivitas yang lebih komprehensif diperkenalkan konsep Total Factor Productivity (TFP) yang digunakan untuk mengukur dampak input agregat terhadap output agregat. Metode penghitungan TFP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu the growth accounting framework dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lainnya. Pendekatan growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan ekonometrik tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan antara lain : pendekatan ini hanya dapat menghitung efisiensi teknis; menggunakan asumsi constant return to scale; tidak dapat menghitung efisiensi harga dan tidak dapat menghitung elastisitas baik elastisitas permintaan input maupun penawaran. Sementara itu, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, kelemahan dari growth accounting dapat dihilangkan sebab dengan pendekatan ekonometrika akan dapat ditangkap semua komponen efisiensi (efisiensi teknis dan harga), dapat menentukan besaran elastisitas permintaan dan penawaran output. Menurut konsep neoklasik, pertumbuhan output bersumber dari faktor akumulasi penggunaan input kapital dan input tenaga kerja serta dari produktivitas, tetapi juga disebabkan oleh kemajuan teknologi. Mengingat betapa pentingnya kemajuan teknologi sebagai sumber dari pertumbuhan output maka tidaklah mengherankan jika peningkatan produktivitas lebih banyak dilakukan melalui pengembangan teknologi.
15
Pengukuran TFP dengan pendekatan accounting growth mengasumsikan bahwa fungsi produksi bersifat constant return to scale dan neutral technical progress. Secara umum, fungsi produksi neo classical mengasumsikan proses produksi menggunakan input kapital (K) dan input tenaga kerja (L) yang dapat diformulasikan sebagai berikut : Q = f (K, L) (4) Dengan menggunakan variabel waktu (t) sebagai proksi atas technical progress yang diduga juga berpengaruh terhadap jumlah output yang dapat dihasilkan.
2.6 Analisis Pass-Through Effect Analisis efek perubahan (pass-through effect analysis) umumnya digunakan untuk mengetahui efek perubahan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga, baik harga ekspor-impor maupun harga di tingkat konsumen. Pass-through effect akan menimbulkan efek langsung dan tidak langsung (direct and indirect pass through effect). Svensson (2000) mengembangkan model pengaruh lintasan kurs terhadap perekonomian. Analisis yang dilakukan oleh Svensson menyatakan bahwa pengaruh lintasan kurs terhadap perekonomian data melalui efek langsung maupun tidak langsung. Perubahan nilai tukar akan berpengaruh langsung terhadap inflasi melalui perubahan harga barang-barang impor merupakan jalur yang terjadi pada efek langsung (direct pass through), sedangkan jalur yang terjadi pada efek tidak langsung, perubahan nilai tukar akan mempengaruhi melalui jalur output, yaitu melalui perubahan permintaan agregat dan penawaran agregat. Dampak langsung lintasan nilai tukar terhadap inflasi adalah melalui perubahan harga barang-barang impor. Depresiasi mata uang akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor. Barang-barang impor yang dapat mengalami kenaikan harga dapat berupa bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi. Hartati (2004) menyatakan bahwa dampak langsung perubahan nilai tukar mempengaruhi inflasi melalui perubahan indeks harga barang domestik yang berasal dari impor barang-barang konsumsi (final goods). Majardi (2000) menyatakan bahwa dampak perubahan nilai tukar yang langsung mempengaruhi inflasi dapat digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, first direct pass through, yaitu dampak melalui barang konsumsi. Barang konsumsi terpengaruh karena perubahan harga barang impor dapat langsung mempengaruhi harga jual produk di dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki nilai elastisitas yang tinggi terhadap perubahan kurs. Kedua, dampak tidak langsung (second direct pass-through), yaitu dampak melalui impor bahan baku dan barang modal. Dampak tidak langsung lintasan kurs dapat dilihat dari pergerakan nilai tukar. Nilai tukar akan mempengaruhi tingkat harga domestik melalui guncangan permintaan dan penawaran agregat. Secara teoritis, jalur tidak langsung biasanya melalui transmisi demand pull, yaitu ketika kenaikan harga luar negeri ataupun kenaikan mata uang asing terhadap rupiah mengakibatkan kenaikan pendapatan eksportir dalam negeri. Hasil akhirnya adalah akan meningkatkan permintaan eksportir terhadap barang dan jasa di dalam negeri.
16
2.7 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian yang membahas mengenai pasar beras maupun perdagangan beras telah banyak dilakukan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Harianto (2001). Harianto berfokus pada impor beras. Menurut Harianto, impor beras merugikan produsen, disisi lain menguntungkan konsumen beras. Penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang ada di pedesaan. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi akan menghadapi dilema. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2002), menyatakan bahwa harga beras dunia selain dipengaruhi oleh jumlah ekspor dan impor beras dunia, juga dipengaruhi oleh jumlah produksi beras dunia. Dalam hasil penelitiannya, harga beras dunia tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap jumlah impor beras dunia, dan responnya juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh jumlah ekspor beras dunia, tetapi arahnya berlawanan. Respon harga beras dunia terhadap perubahan jumlah ekspor beras dunia juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya peningkatan jumlah ekspor beras dunia sebesar satu persen, cateris paribus, akan mengurangi harga beras dunia sebesar 0.06 persen dalam jangka pendek dan 0.08 persen dalam jangka panjang. Disamping kedua faktor tersebut, harga beras dunia dipengaruhi secara nyata oleh produksi beras dunia, bahkan responnya elastis baik jangka pendek (-1.91) maupun jangka panjang (-2.73). Artinya, peningkatan volume produksi beras dunia sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga beras dunia akan berkurang sebesar 1.19 persen pada jangka pendek dan 2.73 persen pada jangka panjang. Sitepu juga memasukkan faktor bedakala dalam penelitiannya. Faktor peubah bedakala menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap harga beras dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa, harga beras dunia relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali pada titik keseimbangannnya dalam merespon situasi perubahan ekonomi yang berkaitan dengan perberasan dunia. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2009) yang menganalisis pasar beras di tiga negara yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi integrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah antara pasar beras Indonesia, Thailand, dan Filipina. Artinya apabila terjadi perubahan di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini disebabkan masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi beras dan gula. Penelitian lain mengenai integrasi pasar beas dilakukan oleh Hidayat (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras dunia dengan derajat yang sangat lemah. Perubahan di pasar dunia ditransmisikan ke pasar beras domestik namun tidak sempurna. Peningkatan harga
17
beras dunia dapat menyebabkan kesejahteraan petani beras meningkat, sedangkan kesejahteraan konsumen mengalami penurunan. Penelitian yang berkaitan dengan pengendalian harga beras pernah dilakukan oleh Firdaus et. al. (2008). Dalam bukunya yang berjudul Swasembada Beras dari Masa ke Masa, Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan harga beras domestik. Kebijakan pengendalian harga beras ditujukan untuk melindungi petani dan konsumen beras melalui mekanisme stabilisasi harga. Untuk melindungi petani, sejak tahun 1970 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga dasar (floor price) untuk gabah dan beras. Untuk melindungi konsumen pemerintah menetapkan harga maksimum (ceiling price). Bentuk kebijakan harga lain pada beras yang masih berlaku sampai saat ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM adalah bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat adanya excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara peotogan harga 10 sampai 15 persen dibawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. Penelitian mengenai harga minyak mentah dunia diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Aji (2010). Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit”, Aji menemukan terdapat adanya integrasi antara harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik, dan TBS kelapa sawit. Pengaruh minyak bumi atau minyak mentah dunia terhadap harga-harga minyak lainnya tidak terlalu besar, hal ini menunjukkan bahwa konversi energi dari minyak bumi ke minyak nabati belum begitu besar. Dalam penelitiannya, Aji menggunakan Granger Causality, kointegrasi multivariat, kointegrasi bivariat, dan vector error correction model (VECM). Studi yang dilakukan para peneliti dibidang total faktor produktivitas selama ini dapat dibedakan ke dalam kategori berdasarkan ruang lingkup penelitian yaitu TFP untuk aspek agregate dan TFP untuk aspek mikro (perusahaan). Penelitian dengan data agregat banyak dilakukan untuk menunjukkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara dan dekomposisi TFP. Cororaton (2002) untuk kasus Philippina, Jantan dan Sahlan (2002) untuk kasus Malaysia, Felipe (1997) untuk kasus Asia Tenggara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cororaton dengan pengamatan selama kurun waktu 1967-2000, menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Philippina adalah keterbukaan terhadap perdagangan luar negeri dan investasi, kestabilan harga, dan kondisi makroekonomi Philippina. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sahlan dan Jantan 2002 dengan mengambil sampel salahsatu kabupaten di Semenanjung Malaysia adalah menganalisis mengenai kemajuan teknis di sektor manufaktur. Analisis menggunakan kerangka perhitungan pertumbuhan dengan periode analisis antara tahun 1991-1996. Kemajuan teknis atau total faktor produktivitas merupakan faktor sisa setelah kontribusi pertumbuhan modal dan tenaga kerja diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi modal dan tenaga
18
kerja berkontribusi lebih dari tiga-perempat dari output total manufaktur, sementara kemajuan teknis menyumbang kurang dari seperempat pertumbuhan total di sektor manufaktur. Studi lanjutan adalah studi yang dilakukan oleh Felipe 1997. Felipe menganalisis faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Studi lain mengenai TFP adalah studi yang dilakukan Supriyanto (2002). Hasil studi Supriyanto yang menggunakan pendugaan stochastic translog frontier production function pada industri makanan, tekstil, dan kayu menyatakan bahwa untuk mendorong pertumbuhan (industri kecil rumah tangga) IKRT perlu conducive business environment melalui perbaikan layanan usaha (birokrasi dan perijinan), pengurangan transaction cost, ketenangan dan keamanan berusaha, pengembangan infrastruktur, serta peningkatan akses pasar, modal, informasi, dan teknologi. Disisi lain, Supriyanto mengungkapkan perlunya peningkatan kualitas tenaga kerja pada sektor makanan, kualitas bahan baku pada sektor tekstil, dan peningkatan kualitas kapital pada sektor kayu. Kesimpulan hasil penelitian Supriyanto adalah ketiga sektor usaha berada pada kondisi decreasing cost industry (increasing return to scale).
2.8 Kerangka Pemikiran Operasional Minyak mentah merupakan salahsatu sumber energi utama bagi kehidupan manusia. Menipisnya persediaan minyak mentah dunia akan menyebabkan lonjakan harga ketika pasokan di pasar dunia lebih rendah dibandingkan permintaan. Lonjakan harga yang terjadi menurut Mondi et.al. (2010) mempengaruhi harga beras dunia melalui lima saluran utama, yaitu : kenaikan harga pupuk, biaya transportasi, ekspektasi pasar, spekulasi di pasar berjangka, dan efek substitusi produksi beras dengan biji-bijian lainnya yang digunakan dalam pembuatan biofuel. Berikut merupakan grafik hasil penelitian Mondi et. al. yang menjelaskan hubungan antara harga mnyak mentah dunia dengan harga beras dunia. Harga Pupuk Biaya Transportasi HMMD
Ekspektasi Pasar
HBD
Spekulasi di Pasar Berjangka Efek Substitusi Gambar 5 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras dunia menurut mondi at.al. Indonesia yang mengalami perubahan peran, yaitu awalnya swasembada beras tetapi beberapa tahun sebagai net importir beras, dan kemudian tiga tahun terakhir (2008-2011) telah kembali dapat mengekspor walaupun dengan jumlah
19
sedikit, maka diduga kondisi pasar beras Indonesia tergantung atau dipengaruhi oleh pasar beras dunia termasuk pergerakan harga berasnya melalui harga impor beras yang di impor Indonesia. Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa harga beras domestik terintegrasi dengan harga beras dunia, dalam hal ini harga beras Thailand sebagai negara pengekspor beras utama di dunia. Terkait dengan hubungan harga antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik, maka akan melibatkan nilai tukar baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan penelitian Anwar (2005) nilai tukar akan mempengaruhi harga komoditi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung setiap perubahan nilai tukar akan mempengaruhi harga di negara pembeli jika tanpa perubahan di negara produsen. Harga dapat naik atau turun dalam jangka pendek tergantung pergerakan mata uang, perubahan ini hanya dalam efek nominal, yaitu tidak ada efek cepat terhadap permintaan dan penawaran. Secara arbitrase harga antarpasar relatif sama dan hanya berbeda karena biaya transportasi. Kenyataan di lapangan harga bervariasi antarpasar jika dikonversi dalam mata uang yang sama, akan tetapi dalam jangka panjang perubahan nilai tukar akan mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi. Berkaitan dengan beras sebagai komoditi pokok di Indonesia, maka beras memiliki peran yang sangat vital. Diantaranya usahatani beras diduga sebagai
Analisis VECM
Pajak
Input Ustan Ket Padi:
TFP Prod. Beras
Nilai Tukar
Pasar Valas
Harga Minyak Mentah Dunia
Pasar Minyak Mentah Dunia
Harga Beras Dunia
Pasar Beras Dunia Beras Impor
Harga Beras Impor
Pasar Beras Domestik
Harga Beras Domestik
Implikasi Kebijakan = tidak dianalisis Gambar 6 Alur kerangka operasional penelitian
20
salahsatu penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena beras melibatkan banyak tenaga kerja dan dikonsumsi oleh jutaan masyarakat Indonesia. Menangkap fenomena tersebut, maka kajian lain dalam penelitian ini adalah dengan melibatkan analisis Total Faktor Produktivitas (TFP). Analisis TFP digunakan untuk menganalisis pengaruh teknologi (efisiensi). Sesuai dengan tujuan penelitian maka akan dianalisis apakah antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, dan harga beras domestik saling terintegrasi atau tidak. Jika terintegrasi maka bisa menganalisis variasi harga beras di Indonesia, seberapa besar perubahan berasal dari beras domestik itu sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh harga minyak mentah dunia dan harga beras dunia. Hasil analisis dapat dijasikan landasan dalam mengidentifikasi implikasiimplikasi kebijakan perdagangan beras di Indonesia. Kondisi di Indonesia Gejolak harga energi dunia terutama yang berbahan fosil seperti minyak mentah yang dimulai sejak awal tahun 2002 menimbulkan banyak ketertarikan peneliti untuk menganalisa hubungan harga minyak mentah dan pasar komoditi baik di negara-negara eksportir maupun di negara-negara importir. Guncangan harga minyak mentah dunia ini tentunya akan berimbas pada aktivitas perekonomian hampir di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia yang dijadikan negara kajian dalam penelitian ini. Peranan energi yang cukup besar di Indonesia membuat perekonomian menjadi cukup sensitif terhadap gejolak harga minyak mentah dunia yang tentunya akan berimbas pada harga minyak mentah dalam negeri dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja perekonomian di negara tersebut. Guncangan harga minyak mentah dunia memberikan dampak besar di Indonesia karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Walaupun Indonesia termasuk negara yang mampu memproduksi minyak sendiri, tetapi sebagian diekspor karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan kilang dalam negeri. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri Tabel 1 Harga dan jumlah impor minyak mentah serta nilai subsidi bahan bakar minyak Indonesia periode 2003-2012 Harga Minyak Impor Minyak Jumlah Subsidi Tahun Mentah (US$/barel) Mentah (juta barel) (triliun rupiah) 2003 137.12 2004 36.39 148.49 2005 53.66 118.30 2006 64.27 116.23 59.50 2007 72.31 115.81 76.27 2008 96.13 97.01 134.20 2009 61.58 120.12 34.90 2010 79.40 101.09 61.07 2011 111.55 96.04 142.92 2012 117.28 Sumber : esdm.go.id
21
dilakukan impor yang sesuai dengan spesifikasi kilang dalam negeri. (Ditjen MIGAS, 2011). Dampak dari naiknya harga minyak mentah dunia antara lain pengurangan subsidi terhadap bahan bakar minyak yang pada akhirnya menimbulkan peningkatan harga-harga komoditi lain termasuk pupuk yang menjadi salah satu input utama pada usahatani padi. Tetapi untuk kasus di Indonesia, kenaikan harga minyak mentah dunia tidak diiringi oleh penurunan subsidi bahan bakar. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, subsidi BBM tidak berkurang saat harga minyak mentah dunia terus meningkat. Subsidi BBM diskemakan mengikuti kenaikan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia naik, maka subsidi terhadap bahan bakar juga ikut naik. Tabel 2 Perkembangan harga minyak mentah dunia, harga urea, dan subsidi pupuk periode 2002-2011 Tahun Harga Minyak Mentah Harga Urea Subsidi Pupuk Dunia (US$/barel) (Rp/kg) (Triliun) 2002 30.32 1400.32 1.200 2003 34.17 1596.87 1.315 2004 36.39 1626.77 1.353 2005 53.66 1758.06 1.833 2006 64.27 1511.92 3.004 2007 72.31 1582.54 8.000 2008 96.13 1653.17 15.001 2009 61.58 1726.94 16.460 2010 79.40 1804.01 2011 111.55 1884.51 Rata-rata kenaikan 63.98 3.74 53.63 Sumber : Depkeu, BPS, dan ditjen Migas (2012) Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mondi at.al diantaranya : Pertama, harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras domestik lewat harga pupuk ternyata untuk kasus Indonesia tidak sama dengan hasil penelitian Mondi at.al karena berdasarkan Tabel 2. rata-rata kenaikan harga minyak mentah dunia jauh diatas rata-rata kenaikan harga pupuk urea yang hanya mencapai 3.74 persen. Sementara hasil penenlitian Mondi et.al. pupuk merupakan salahsatu jalur yang menyebabkan kenaikan harga beras sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Mondi et.al menemukan bahwa semenjak harga minyak mentah dunia naik dalam satu dekade terakhir, maka harga pupuk ikut naik sebesar empat kali lipat. Hal ini terjadi karena di Indonesia pupuk merupakan salah satu komoditi yang mendapat subsidi besar juga dari pemerintah. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kenaikkan harga pupuk urea bisa ditekan hanya sebesar 3.74 persen sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia dengan rata-rata 63.98 persen karena didukung oleh kenaikkan subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah yaitu dengan rata-rata 53.63 persen. Kedua, biaya transportasi. Biaya transpotasi yang disebutkan oleh Mondi at.al. sebagai salah satu jalur yang mempengaruhi harga beras domestik sesuai dengan kondisi di Indonesia. Kenaikan harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras domestik melalui kenaikan harga impor. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan harga beras impor yang seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Seperti
22
terlihat dalam Gambar 7, semenjak tahun 2002 yaitu saat dimulainya gejolak harga 10000.00 9000.00 8000.00 7000.00 6000.00 5000.00 4000.00 3000.00 2000.00 1000.00 0.00
HBD HBI
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
HBDom
Gambar 7 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1996-2011 minyak mentah dunia harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik meningkat drastis. Hal ini menunjukkan adanya transmisi harga dari kenaikan harga minyak mentah dunia melalui harga beras dunia dan harga beras impor.
Indonesia importir minyak mentah
HMMD naik
Depresiasi Nilai tukar
HBD naik
Imported inflation dan cosh push inflation
Subsidi BBM naik Harga BBM naik
Domestic inflation Harga pupuk&input lain naik termasuk upah
Biaya transportasi naik
HBI naik Impor HBDom naik Kebutuhan Beras Domestik naik PB naik mengikuti kenaikan jumlah penduduk
Subsidi pupuk naik TFP Gambar 8 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras domestik
23
2.9 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut : 1 Terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia. 2 Terdapat keterkaitan harga antara harga beras domestik dengan harga beras dunia dan harga beras impor. 3 Variabel lain yang mempengaruhi harga beras domestik adalah produksi beras, total faktor produktivitas dan nilai tukar. 4 Guncangan harga minyak mentah dunia berpengaruh negatif (menaikkan harga beras domestik). 5 Terdapat hubungan positif antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor dan harga beras domestik.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan merupakan data deret waktu atau time series. Rentang waktu penelitian dari tahun 1969 sampai 2011. Penelitian dilaksanakan di Bogor dengan lokasi pengumpulan data dan informasi di Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan mulai dari bulan Februari 2012 – Juni 2012. Tabel 3 Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian No. Nama Variabel Satuan Simbol Sumber 1. Harga Beras Domestik US dollar/kg HBDom Kemendag 2. Harga Minyak Mentah Dunia US dollar/kg HMMD OPEC 3. Harga Beras Dunia US dollar/kg HBD Kemendag 4. Harga Beras Impor US dollar/kg HBI BPS 5. Nilai tukar US$/Rupiah NT BI Produksi Beras Domestik Ton PB Deptan US 6 7. TFP Rp TFP BPS Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Departemen Pertanian, Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Departemen Keuangan (Depkeu), Bank Indonesia (BI), Center for Alleviation of Poverty through Sustainable Agriculture (CAPSA). Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan pengumpulan data dari beberapa publikasi seperti FAO (Food Agricultural Organization), IRRI (International Rice Research Institute) dan IMF (International Monetary Fund), World Bank serta publikasi-publikasi lainnya. 3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data Analisis akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengolahan data program Excel 2007 dan program komputer EViews 6. Tujuan penelitian pertama akan dijawab dengan menggunakan analisis deskriptif. Tujuan penelitian kedua
24
dan ketiga yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras domestik pada jangka pendek dan jangka panjang serta untuk mengukur besar pengaruh guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik adalah menggunakan model vector error correction model (VECM) dengan program komputer EViews 6. 3.2.1 Perhitungan Total Faktor Produktivitas Perhitungan total faktor produktivitas (TFP) menurut pendekatan GrowthAccounting neo klasik menggunakan kemajuan teknologi yang merupakan residual dari sebuah fungsi produksi yang bersifat constant return to scale sebagai proksi atas TFP. Tahapan penghitungan TFP dilakukan sebagai berikut. Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan sebagai fungsi produksi dengan menggunakan faktor produksi tenaga kerja dan kapital : Y = A* Dimana A > 0 menunjukkan tingkat teknologi, Xi adalah faktor produksi yaitu tenaga kerja dan kapital, α adalah konstanta yang menyatakan elastisitas input dengan nilai 0 < α < 1. Dengan asumsi constant return to scale maka =1 maka fungsi produksi dapat dituliskan menjadi : Y = AKαL1-α (5) dengan mengasumsikan bahwa pasar tenaga kerja dan kapital adalah pasar bersaing sempurna, β = 1- α dan model produksi dalam bentuk logaritmik serta menurunkan fungsi produksi terhadap waktu (t) maka akan diperoleh laju pertumbuhan output : (6) gy = α gk +β gl + λ Indeks Total Factor Productivity dihitung dengan menggunakan metode akuntansi (Simatupang, 1996). Langkah pertama dilakukan dengan penghitungan indeks total faktor produksi dengan menggunakan indeks Tornqvist-Theil (Christensen, 1975; Diewert, 1980; Caves et al., 1982) : ln (Xti / Xti-1) = Σ j ½ (Sjti + Sjti-1) ln (Xjti / Xjti-1) (7) Sjti = Rjti Xjti / Σj Rjti Xjti (8) Dimana : Xti = total faktor produksi pada tahun ke t dan musim ke i Xjti = faktor produksi j pada tahun ke t dan musim ke i Sjti = pangsa pengeluaran untuk faktor dalam total biaya Rjti = harga faktor produksi j pada tahun ke t dan musim ke i Sumber pertumbuhan ekonomi bersumber dari akumulasi input (gk + gl) dan perubahan teknologi (perubahan λ), dengan menetapkan angka indeks pada tahun dasar adalah 100, maka persamaan dugaan ekonometrika dari persamaan di atas dapat dituliskan menjadi : TFP = λ = gy - α gk - β gl (9) Dimana : gy = laju pertumbuhan output pada periode t gk = laju pertumbuhan input kapital pada periode t gl = laju pertumbuhan input tenaga kerja pada periode t λ = laju pertumbuhan A atau total faktor produktivitas Berdasarkan konsep di atas maka tahapan penghitungan TFP dilakukan sebagai berikut :
25
1
2
3
Menduga capital’s share dan labor’s share melalui pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana masing-masing elastisitas faktor produksi menunjukan input’s share Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas yang diduga maka didapatkan parameter α dan β yang digunakan untuk menduga indeks pertumbuhan kemajuan teknologi yang merupakan residual dari fungsi produksi yang diduga. Secara matematis, residual dihitung melalui persamaan berikut ini : = – (10)
3.2.2 Analisis Vector Autoregression (VAR) Data time series pada umumnya tidak stasioner pada level. Jika data tidak stasioner di tingkat level namun stasioner pada proses diferensi data, maka harus diuji apakah data yang digunakan dalam model mempunyai hubungan jangka panjang atau tidak. Adanya tidaknya hubungan jangka panjang dapat diketahui dengan melakukan uji kointegrasi. Apabila terdapat kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM). Model VECM merupakan model VAR yang terestriksi (restricted VAR). Adanya kointegrasi menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR. Salahsatu tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel dalam model. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis VECM. VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap perubahan sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) hanya variabel endogen yang masuk dalam analisis. Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate time series. Model VAR menjadikan semua variabel bersifat endogen. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan Sims (1972), variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh (Enders, 2004) : Xt = µt + (11) Xt adalah vektor variabel-variabel endogen berdimensi (n x 1), µt adalah vektor dari variabel-variabel eksogen termasuk di dalamnya konstanta (intersep) dan tren. Ai adalah matriks-matriks koefisien berdimensi (n x n), dan µt adalah vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan diatas. Sebelum melakukan estimasi VAR maka ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut antara lain uji stasioneritas data, penentuan lag optimal, uji stabilitas, dan uji kointegrasi.
26
Uji Stasioneritas Data Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik atau memiliki tren yang tidak stasioner artinya data tersebut mengandung akar unit. Untuk dapat mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut maka langkah pertama yang harus dilakukan masalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Uji akar unit akan dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Sedangkan model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Δyt = k + α yt-1 + c1 Δyt-2 + ... + cp Δyt-p + trend + εt (12) Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil daripada τ tabel MacKinnon maka keputusannya adalah tolak H0 yang berarti bahwa tidak terdapat unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut stasioner. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Penentuan Lag Optimal Tahap kedua yang harus dilakukan dalam membentuk model VAR yang baik adalah menentukan panjang lag (ordo) optimal. Dalam penelitian ini akan digunakan kriteria Schwarz Information Criterion (SIC). Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki kriteria SIC terkecil sebagai berikut : SIC = AIC (q) + (q/T)(logT-1) (13) Dimana q merupakan jumlah variabel, T adalah jumlah observasi. Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena variabel endogen dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders, 2004). Pengujian panjang lag optimal ini berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Dalam penelitian digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil. Uji Stabilitas Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh, hasil estimasi sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui VAR stability condition check yang berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masing-masing VAR. Stabilitas VAR perlu diuji karena jika hasil estimasi stabilitas VAR tidak stabil maka analisis IRF dan FEVD menjadi tidak valid. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar atau roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabelvariabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai fenomena dimana kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Untuk menguji apakah kombinasi variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi dapat diuji dengan menggunakan uji kointegrasi EngleGranger, uji Johansen maupun uji kointegrasi regresi durbin-watson. Suatu data time series dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah di-difference sebanyak d kali. Uji kointegrasi Johansen dapat ditunjukkan oleh persamaan :
27
(14) Komponen dari vektor Yt dapat dikatakan terkointegrasi bila ada vektor β = ( ) sehingga kombinasi linier βYt bersifat stasioner. Γ adalah fungsi dari Ai. Vektor β disebut vektor kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor Yt adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas, rank kointegrasi ini dapat diketahui melalui uji Johansen. Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan selang optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya. Sementara penentuan asumsi deterministik yang melandasi pembentukan persamaan kointegrasi didasarkan pada nilai kriteria informasi AIC. Berdasarkan asumsi deterministik tersebut akan diperoleh informasi mengenai banyaknya hubungan kointegrasi antar variabel sesuai dengan metode Trac dan Max. 3.2.3 Uji Granger Causality Uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dilakukan untuk melihat apakah dua variabel memiliki hubungan timbal balik atau tidak. Dengan kata lain, apakah satu variabel memiliki hubungan sebab akibat dengan variabel lainnya secara signifikan, karena setiap variabel dalam penelitian mempunyai kesempatan untuk menjadi variabel endogen maupun eksogen. Uji kausalitas bivariate pada penelitian ini menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test dan menggunakan taraf nyata lima persen. 3.2.4 Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terrestriksi. Restriksi tambahan harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuian jangka pendek. VECM standar didapat dari model VAR dikurangi dengan Xt-1. Persamaan matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut : △Xt-1 = µt + П Xt-1 + + µt (15) П dan Γ adalah fungsi dari Ai, matriks П bisa didekomposisi ke dalam 2 matriks berdimensi (n x r) α dan β; П = αβT, dimana α disebut matriks penyesuaian dan β sebagai vektor kointegrasi dan r adalah rank kointegrasi. Hal ini bisa diuji dengan menggunakan uji akar unit. Saat tidak bisa ditemukan akar unit maka metode ekonometrik tradisional dapat diterapkan.
3.3 Innovation Accounting 3.3.1 Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap gejolak variabel tertentu (Amisano dan Gianinni,
28
1997). IRF juga digunakan untuk melihat pengaruh gejolak satu variabel terhadap variabel yang lain dan berapa lama (periode) pengaruh tersebut berlangsung. Hasil IRF sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang. Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah pengaruh shock dari harga beras domestik, harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor, nilai tukar, produksi beras, dan total faktor produktivitas. 3.3.2 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis FEVD digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh gejolak acak (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen (Amisano dan Gianinni, 1997). FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya dalam model VECM . 3.3.3 Derajat Pass Through Metode perhitungan derajat pass-through pada penelitian ini mengacu pada model McCarthy dalam Achsani dan Nababan (2008) dimana Cholesky Decomposition digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impuls respon. Koefisien (derajat) pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impuls respon dari guncangan perubahan harga internasional terhadap harga domestik dan guncangan harga internasional terhadap harga internasional itu sendiri. Derajat Pass Through Harga Minyak Mentah Dunia
(16)
Derajat Pass Through Harga Beras Dunia
(17)
Derajat Pass Through Harga Beras Impor
(18)
Derajat Pass Through Produksi Beras
(19)
Derajat Pass Through Total Faktor Produktivitas
(20)
Derajat Pass Through Nilai Tukar
(21)
Keterangan : : kumulatif respon harga beras domestik terhadap masing-masing shock harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor, produksi beras, total faktor produktivitas dan nilai tukar.
29
: kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock harga minyak mentah dunia dari horizon pertama sampai ke-n : kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock harga beras dunia dari horizon pertama sampai ke-n : kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock harga beras impor dari horizon pertama sampai ke-n : kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock produksi beras pertama sampai ke-n : Kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock total faktor produktivitas dari horizon pertama sampai ke-n : Kumulatif respon harga beras domestik terhadap shock nilai tukar dari horizon pertama sampai ke-n Kriteria pass-through menurut Sahminan dalam Achsani dan Nababan (2008) 1) Completely pass-through, jika derajat pass-through = 1 2) Incompletely pass-through, jika derajat pass-through antara 0 – 1 3) Zero pass-through, jika derajat pass-through = 0
4
GAMBARAN UMUM SITUASI DAN KONDISI PERDAGANGAN KOMODITAS BERAS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasar beras dunia sangat tipis dan rapuh. Pertama, pasar beras dunia sangat tipis yang ditunjukkan oleh rasio ekspor terhadap produksi yaitu antara 2-4 persen. Kedua, ekspor beras dunia didominasi oleh empat negara (Thailand, Vietnam, India, dan AS) sedangkan impor beras tersebar di banyak negara. Thailand menurut Falcon dan Monke (1991) merupakan market leader yang mampu mempraktekkan kekuatan monopolistik walaupun tidak memanfaatkannya. Ketiga, pasar beras dunia tersegmentasi secara geografis dengan Asia sebagai pasar dominannya (Imoka, 1977 dalam Simatupang, 2000). Keempat, negara konsumen utama pada umumnya mengisolasi pasar domestiknya dari pasar dunia sehingga ekspor atau impor merupakan surplus saja. Kelima, swasembada beras menjadi tujuan kebijakan yang penting di Asia. Ekspor beras dilakukan setelah kebutuhan domestik terpenuhi karena beras merupakan bahan pangan pokok, kebutuhan utama, produk upah, dan komoditas politik bagi masyarakat Asia. Akibatnya adalah tidak digantungkannya kebutuhan beras pada pasar dunia, pengendalian harga domestik, dan swasembada beras di banyak negara Asia. Keenam, padi merupakan tanaman yang sangat rentan terhadap
30
perubahan iklim dan hama penyakit. Implikasinya adalah bahwa produksi beras sangat fluktuasi dan harga beras pun berfluktuasi serta tidak stabil. Semua negara di dunia memiliki berbagai perbedaan, baik dalam hal jumlah penduduk, pendapatan penduduk per kapita dan distribusinya. Adanya perbedaan ini menyebabkan timbulnya saling ketergantungan antar negara karena tidak ada satupun negara di dunia yang dapat memenuhi sendiri seluruh kebutuhan penduduknya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan perdagangan antarnegara semakin lama cenderung semakin besar dan semakin menentukan kemajuan perekonomian seluruh negara di dunia. Adanya perbedaan antar negara tersebut juga mengakibatkan tidak samanya permintaan pasar terhadap suatu komoditi tertentu karena perbedaan kondisi dan karakteristik sosial ekonomi masingmasing negara. 4.1 Kondisi Pasar Beras Dunia Kenaikan harga pangan yang terjadi merata secara internasional diperkirakan akan berlangsung permanen. Hal itu karena pertumbuhan penduduk yang begitu cepat tidak disertai dengan peningkatan supply. Secara umum, harga rata-rata beras Vietnam pada April 2011 mengalami peningkatan dibandingkan dengan bulan Maret 2011. Hal ini disebabkan antara lain: 1 Meningkatnya permintaan beras Vietnam yang dinyatakan melalui berita Kementerian Pertanian Vietnam bahwa ekspor beras Vietnam meningkat menjadi 7,4 juta ton dari estimasi sebelumnya, yaitu 7,1 juta ton untuk pengiriman kuartal pertama tahun 2011; 2 Permintaan tertinggi beras Vietnam berasal dari Filipina sebesar 860.000 ton dan Bangladesh sebesar 1 juta ton. Selain itu Bangladesh juga membeli 200.000 ton beras dari Thailand; 3 Data Asosiasi Pangan Vietnam menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga ekspor rata-rata sebesar 2,4 persen dari periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 477,8 per ton. Isu terkait mengenai kenaikan harga pangan dunia adalah bahwa harga pangan dunia diprediksi akan meningkat 4,4 persen dan mencapai titik tertingginya di penghujung tahun 2011. Hal tersebut disebabkan antara lain cuaca buruk di negara-negara utama eksportir gandum, pembatasan ekspor, meningkatnya penggunaan hasil produksi biofuel, dan rendahnya harga saham global dan tingginya inflasi di Amerika Serikat dan China. Kenaikan harga pangan juga ada kaitannya dengan tingginya harga bahan bakar, minyak mentah meningkat 21 persen pada kuartal pertama di tahun 2011 sebagai akibat konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara.
4.2 Kondisi Pasar Beras Domestik Perkembangan Produksi Beras Secara umum perkembangan produksi beras selama periode 1969-2011 (43 tahun) memperlihatkan kecenderungan meningkat baik untuk luas lahan, volume produksi padi, maupun produktivitas. Luas lahan panen dan produksi menunjukkan tren yang meningkat. Luas lahan padi menjadi
31
hampir dua kali lipat, yaitu 7.7 juta Ha pada Tahun 1969 menjadi 13.6 juta Ha di Tahun 2011. Sedangkan dari sisi produksi mengalami peningkatan hampir empat kali lipat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 11, produksi padi pada tahun 1969 sebesar 17.4 juta ton dan menjadi 68.1 juta ton pada tahun 2011. Dilihat dari sisi produktivitas juga terus mengalami peningkatan, yaitu dari 2.24 ton per ha pada tahun 1969 menjadi 5.02 ton ha pada tahun 2011. Dalam rangka mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi beras nasional melalui berbagai kebijakan produksi sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan. Kebijakan ini dilakukan melalui dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman (IP). Indeks pertanaman adalah jumlah intensitas penanaman padi dalam satu tahun pada luasan lahan tertentu. Ekstensifikasi lebih ditekankan pada peningkatan luas areal panen terutama pada wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Melalui Departemen Pertanian pemerintah terus menginisiasi berbagai program peningkatan produksi beras. Program peningkatan produksi padi nasional (P4) sendiri diawali dengan dikeluarkannya program padi sentra 1959. Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard technology) dan pendekatan sosial individu (soft technology). Akan tetapi program ini kurang berhasil sehingga pemerintah terus melakukan perubahan kebijakan dalam upaya meningkatkan produksi padi. Tahun 1965, pemerintah atas prakarsa Institut Pertanian Bogor mengeluarkan program bimbingan masal (Bimas) dan program intensifikasi khusus (insus) melalui SK menteri pertanian No. 003 tahun 1979. Hingga akhirnya Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. jt ton jt Ha ton/Ha
Prod.Padi
L.Lahan Panen
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
1979
1977
1975
1973
1971
1969
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Produktivitas
Sumber : BPS diolah Gambar 9 Perkembangan luas lahan panen, produksi padi, dan produktivitas padi periode 1969-2011 Kebijakan produksi yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan program peningkatan beras nasional (P2BN) yang dimulai sejak awal tahun 2007. Target dari program ini adalah peningkatan produksi 2 juta ton beras atau tumbuh sekitar 5 persen untuk memenuhi pengadan beras dalam negeri. Tujuan lain dari program
32
P2Bn adalah untuk menurunkan ketergantungan impor dalam rangka mencapai target swasembada beras pada tahun 2015. Perkembangan Harga Beras Domestik Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kestabilan harga beras domestik untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1969-2011 cenderung meningkat dengan kenaikan yang sangat tajam terjadi pada tahun 1997 saat dimulainya krisis ekonomi. Pada tahun 1997/1998 Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 160 persen. Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia. Pada periode ini harga beras naik sebesar 70 persen. Rp/kg ribu ton 10000.00 8000.00 6000.00 4000.00 2000.00
Harga Impor
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
1979
1977
1975
1973
1971
1969
0.00
Volume Impor
Sumber : BPS, diolah Gambar 10 Perkembangan harga dan volume impor beras periode 1969-2011 Kebijakan impor beras merupakan salahsatu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 10 menunjukkan perkembangan harga dan impor beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan volume impor beras diikuti oleh penurunan harga beras eceran di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 343 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik. Akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga. Hasil perhitungan indeks spesialisasi produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras, Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai netimportir, harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 11 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 20072008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar
33
domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras. Rp/kg
HBD
HBI
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
1979
1977
1975
1973
1971
1969
10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
HBDom
Sumber : BPS, FAO diolah Gambar 11 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1969-2011
5 ANALISIS GUNCANGAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA TERHADAP HARGA BERAS DOMESTIK 5.1 Pengujian Pra-Estimasi 5.1.1 Uji Stasioneritas Data Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data adalah uji ADF (Augmenteed Dicky Fuller) dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan data yang digunakan adalah stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Hasil uji stasioneritas data dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian akar unit Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5% Level 1st Difference Level 1st Difference HBDom - 2.13 - 5.67 - 2.93 - 2.94 HMMD - 2.09 - 5.69 - 2.93 - 2.94 PB - 1.62 - 6.55 -2.93 - 2.94 HBD - 10.01 - 7.95 -2.93 - 2.94 HBI - 1.51 - 6.12 -2.93 - 2.94 NT - 0.35 - 5.74 - 2.93 - 2.94 TFP -7.79 -8.56 -2.93 - 2.94
34
Sumber : Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian akar unit pada level menunjukkan bahwa semua variabel belum stasioner pada taraf nyata yang digunakan yaitu lima persen. Hanya variabel harga beras dunia yang stasioner pada uji unit root tingkat level. Penelitian yang menggunakan data yang belum stasioner akan menghasilkan regresi lancung (spurious regression). Regresi lancung adalah regresi yang menggambarkan hubungan antara dua variabel atau lebih yang nampak signifikan secara statistik tapi kenyataannya tidak atau tidak sebesar yang nampak dari regresi yang dihasilkan. Akibatnya terjadi misleading dalam penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi. Oleh karena itu, pengujian akar unit dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Setelah dilakukan pengujian akar unit ke tingkat first difference, semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat integrasi satu I(1). Penggunaan data first difference memiliki kekurangan yaitu akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi VECM. 5.1.2 Penentuan Selang Optimal Langkah selanjutnya untuk mengestimasi model VAR, harus terlebih dahulu menentukan lag optimal yang akan digunakan dalam estimasi VAR. Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR yang digunakan sebagai analisis stabilitas VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat lag yang terpilih adalah panjang lag menurut kriteria Likehood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Crition (AIC), Schwarz Information Crition (SC), dan Hannan-Quin Crition (HQ). Penentuan lag optimal dalam penelitian ini berdasarkan kriteria sequential modified LR test statistik (LR). Tabel 5 Hasil pengujian lag optimal Lag LogL LR FPE 0 -1233.55 NA 3.30e+18 1 -1177.65 85.32 5.44e+18 2 -1071.52 117.30* 9.50e+17 3 -953.54 80.72 2.62e+17* 4 -1233.55 NA 3.30e+18 Sumber : Lampiran 3 Keterangan : optimum lag pada lag ke-2
AIC 65.34 65.77 63.55 60.71* 65.34
SC 65.69* 68.87 69.41 69.33 65.69*
HQ 65.47 66.87 65.64 63.78* 65.47
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa untuk model Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik berdasarkan kriteria informasi yang tersedia yaitu dalam hal ini sequential modified LR test statistik (LR), maka lag yang optimum adalah pada lag ke-2. Implikasinya dari sisi ekonomi, penggunaan lag 2 sebagai lag optimal artinya semua variabel yang ada dalam
35
persamaan saling mempengaruhi satu sama lain bukan saja pada periode yang sama namun variabel-variabel tersebut saling terkait dua periode sebelumnya. 5.1.3 Pengujian Stabilitas VAR Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh, hasil estimasi sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui VAR stability condition check yang berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masing-masing VAR. Stabilitas VAR perlu diuji karena jika hasil estimasi stabilitas VAR tidak stabil maka analisis IRF dan FEVD menjadi tidak valid. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar atau roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Pada penelitian ini, berdasarkan uji stabilitas VAR yang ditunjukkan pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa estimasi stabilitas VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD telah stabil karena kisaran modulus ada diantara (0.27– 0.84) < 1. Tabel 6 Hasil uji stabilitas Root -0.459221 - 0.670913i -0.459221 + 0.670913i -0.084808 - 0.680541i -0.084808 + 0.680541i 0.243382 - 0.612406i 0.243382 + 0.612406i 0.087174 - 0.612518i 0.087174 + 0.612518i -0.318630 - 0.520840i -0.318630 + 0.520840i 0.544808 -0.480892 0.372439 -0.046362 0.045290 - 0.263132i 0.045290 + 0.263132i Sumber : Lampiran 4
Modulus 0.84 0.84 0.83 0.83 0.77 0.75 0.75 0.74 0.74 0.71 0.71 0.68 0.62 0.51 0.27 0.27
5.1.4 Pengujian Kointegrasi Tujuan dari uji kointegrasi pada penelitian ini yaitu menentukan apakah grup dari variabel yang tidak stasioner pada tingkat level tersebut memenuhi persyaratan proses integrasi, yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat 1, I(1). Berdasarkan hasil yang terlihat pada Tabel 7 maka pengujian kointegrasi pada penelitian ini menggunakan metode uji kointegrasi dari Johansen Trace Statistic test. Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Kriteria pengujian kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistic. Jika nilai trace statistic lebih besar daripada critical value 5 persen maka hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah
36
kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah persamaan yang terkointegrasi dalam sistem. Tabel 7 Hasil uji kointegrasi Hypothesized Trace 0.05 Eigenvalue Prob.** No. of CE(s) Statistic Critical Value None 0.96 413.66 175.17 0.00 At most 1 0.91 283.34 139.28 0.00 At most 2 0.86 191.27 107.35 0.00 At most 3 0.73 115.84 79.34 0.00 At most 4 0.54 65.13 55.25 0.01 At most 5 0.40 34.82 35.01 0.05 At most 6 0.32 15.21 18.40 0.13 Sumber : Lampiran 5 Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa hasil uji Johansen terdapat minimal lima hubungan kointegrasi yaitu saat nilai Trace Statistic lebih besar daripada nilai kritisnya. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antar variabel dalam model, sehingga model VAR dapat dikombinasikan dengan ECM menjadi VECM. 5.1.5 Uji Bivariate Granger Causality Uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dilakukan untuk melihat apakah dua variabel memiliki hubungan timbal balik atau tidak. Dengan kata lain, apakah satu variabel memiliki hubungan sebab akibat dengan variabel lainnya secara signifikan, karena setiap variabel dalam penelitian mempunyai kesempatan untuk menjadi variabel endogen maupun eksogen. Uji kausalitas bivariate pada penelitian ini menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test dan menggunakan taraf nyata lima persen. Tabel 8 berikut menyajikan hasil analisis uji Bivariate Granger Causality. Tabel 8 Hasil analisis uji bivariate granger causality model guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik, periode 19692011 Hipotesis nol Obs F-Stat Prob Kausalitas DHBI tidak menyebabkan DHBDOM 39 3.29 0.05 Ya DHBDOM tidak menyebabkan DHBI 39 7.93 0.00 Ya DHBDOM tidak menyebabkan DPB 39 4.68 0.02 Tidak DHBDOM tidak menyebabkan DHMMD 39 6.78 0.00 Tidak DHBD tidak menyebabkan DHBI 39 4.52 0.02 Tidak DHMMD tidak menyebabkan DHBD 39 5.74 0.01 Tidak DTFP tidak menyebabkan DPB 39 3.91 0.03 Tidak Sumber : Lampiran 6, diolah Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa terdapat enam hubungan yang signifikan (menolak Ho). Hubungan yang terjadi terdiri dari lima hubungan searah dan satu hubungan dua arah (bolak balik). Kelima hubungan searah tersebut diantaranya adalah hubungan antara : (1) Produksi beras (PB) dengan total faktor produktivitas (TFP), (2) Harga beras domestik (HBDOM) dengan produksi beras (PB), (3) Harga minyak mentah dunia (HMMD) dengan harga beras dunia (HBD), (4) Harga beras impor (HBI) dengan harga beras dunia (HBD), dan (5) Harga
37
beras domestik (HBDOM) dengan harga minyak mentah dunia (HMMD). Sedangkan hubungan dua arah terjadi antara harga beras impor (HBI) dengan harga beras domestik (HBDOM). Pembahasan hasil uji Granger Causality dibatasi hanya pada hubungan harga dan produksi beras yaitu hubungan antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik. Hubungan dua arah yang terjadi antara harga beras dunia (HBDOM) dan harga beras impor (HBI) memiliki arti bahwa diantara kedua variabel tersebut terjadi saling mempengaruhi satu sama lain atau terjadi kausalitas dua arah. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan harga pada beras impor dapat berpengaruh pada perubahan harga beras domestik. Oleh karena itu, jika terjadi shock pada harga beras dunia, maka harga beras impor akan terkena imbasnya. Demikian pula jika terjadi sebaliknya, perubahan harga beras domestik akan berpengaruh pada harga beras impor. HMMD
HBD
HBI
TFP
PB
HBDom
Sumber : Lampiran 6, diolah Gambar 12 Hubungan antar variabel berdasarkan uji granger causality Hubungan searah terjadi antara harga minyak mentah dunia (HMMD) dengan harga beras dunia (HBD). Artinya, perubahan harga minyak mentah dunia dapat mempengaruhi harga beras dunia, tetapi perubahan harga beras dunia tidak dapat mempengaruhi harga minyak mentah dunia. Hal ini dapat dijelaskan karena di pasar dunia, beras memiliki skala pasar yang sempit (thin market). Artinya, hanya sedikit volume beras yang diperdagangkan oleh setiap negara produsen beras di pasar dunia. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya, komoditi beras merupakan komoditi pokok di negara-negara pengekspor, sehingga tujuan utama setiap negara adalah untuk memenuhi kebutuhan negaranya terlebih dahulu baru kemudian sisanya di ekspor. Kondisi “thin market” ini menyebabkan jika terjadi sedikit saja shock di pasar dunia, contohnya shock dari kenaikan harga minyak mentah dunia maka akan mempengaruhi harga beras dunia. Hubungan searah juga terjadi antara harga beras dunia (HBD) dan harga beras impor (HBI). Artinya, perubahan harga beras dunia mempengaruhi harga beras impor, tetapi perubahan harga beras impor tidak mempengaruhi harga beras dunia. Kondisi ini dapat dijelaskan karena Indonesia merupakan negara peringkat ketiga terbesar dalam mengimpor beras setelah Filipina dan Nigeria. Impor beras Indonesia terbesar dari Thailand sedangkan yang dimaksud dengan harga beras dunia dalam penelitian ini adalah harga beras Thailand. Digunakannya harga beras Thailand sebagai acuan harga beras dunia karena Thailand termasuk negara utama pengekspor beras dunia disamping Vietnam dan Pakistan. Share masingmasing negara terhadap komoditas beras yang di ekspornya adalah 28.94 persen, 21.54 persen, dan 13 persen sedangkan sisanya 36.73 persen merupakan rest of
38
the world (ROW) (USDA, 2010). Kondisi inilah yang menyebabkan harga beras dunia dalam penelitian ini mempengaruhi harga beras impor. Hubungan searah lainnya terjadi antara harga beras domestik (HBDom) dengan produksi beras (PB). Artinya, perubahan harga beras domestik dapat mempengaruhi produksi beras, tetapi perubahan produksi beras tidak dapat mempengaruhi harga beras domestik. Hal ini membuktikan bahwa harga merupakan sinyal atau variabel “stimulus” bagi produsen. Ketika harga beras domestik meningkat maka peningkatan harga beras tersebut akan menstimulasi para produsen untuk meningkatkan produksi beras, begitu pula sebaliknya. Hubungan searah terakhir adalah hubungan antara total faktor produktivitas (TFP) dengan produksi beras (PB). Hasil analisis menunjukkan TFP mempengaruhi PB tetapi PB tidak mempengaruhi TFP. Hal ini sesuai dengan teori fungsi produksi Cobb-Douglas yang dirumuskan diawal, bahwa salahsatu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya atau naiknya turunnya produksi padi selain capital (K) dan tenaga kerja (L) adalah total faktor produktivitas (A). Hubungan searah antara total faktor produktivitas (A) dan output padi (Y) mengandung arti bahwa ketika A meningkat maka Y pun akan meningkat. Hubungan kausalitas antar variabel dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 12.
5.2 Hasil Penelitian 5.2.1 Hasil Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Hasil estimasi VECM akan didapat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara harga beras domestik (HBDom), produksi beras (PB), harga minyak mentah dunia (HMMD), harga beras dunia (HBD), harga beras impor (HBI), nilai tukar (NT), dan total faktor produtivitas (TFP). Pada estimasi ini, harga beras domestik (HBDOM) merupakan variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah produksi beras (PB) pada lag 1 dan 2, harga minyak mentah dunia (HMMD) pada lag 1 dan 2, harga beras dunia (HBD) pada lag 1 dan 2, harga beras impor (HBI) pada lag 1 dan 2, nilai tukar (NT) pada lag 1 dan 2, dan total faktor produtivitas (TFP) pada lag 1 dan 2. Hasil estimasi VECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang pengaruh variabel dependen terhadap variabel independen dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 9, pada jangka pendek terdapat enam variabel signifikan pada taraf nyata lima persen ditambah satu variabel error correction. Keenam variabel yang signifikan pada taraf nyata lima persen adalah harga beras domestik (HBDOM) pada lag 1 dan 2, harga minyak mentah dunia pada lag 1 dan 2 (HMMD(-1)) dan (HMMD(-2)), dan harga beras impor pada lag 1 dan 2 (HBI(-1)) dan (HBI(-2)). Adanya dugaan parameter error correction yang signifikan membuktikan adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Besaran penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yaitu sebesar 0.76 persen. Hasil estimasi jangka pendek menunjukkan bahwa variabel harga beras domestik pada lag pertama dan kedua berpengaruh negatif pada taraf nyata lima persen masing-masing sebesar 0.90 dan 0.78. Artinya, jika terjadi kenaikan 1 persen harga beras domestik pada 2 tahun sebelumnya, maka akan menurunkan harga harga beras domestik sebesar 0.78 persen pada tahun sekarang. Dan jika
39
terjadi kenaikan harga beras domestik sebesar 1 persen pada 1 tahun sebelumnya, maka akan menyebabkan harga beras domestik turun sebesar 0.90 persen pada tahun sekarang. Kondisi ini menunjukkan bahwa variabel harga beras domestik dalam hal ini harga beras eceran di tingkat konsumen untuk komoditas beras merupakan variabel yang banyak diintervensi atau dipengaruhi oleh berbagai variabel lain, contohnya harga pokok pembelian (HPP). Hal ini terkait dengan beras sebagai komoditas pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia, sehingga variabel harga selalu dijaga kestabilannya. Oleh karena itu, jika terjadi kenaikan harga pada waktu sekarang, maka hal itu merupakan sinyal bagi pemerintah untuk menurunkan harga beras di periode berikutnya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan sehingga harga beras di tingkat pengecer relatif stabil dari tahun ke tahun. Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras domestik pada jangka pendek Variabel Koefisien t-statistik CointEq1 0.76 5.82 D(HBDOM(-1)) -0.90 -4.66 D(HBDOM(-2)) -0.78 -4.83 D(HBD(-1)) -0.55 -0.73 D(HBD(-2)) 0.19 0.48 D(HBI(-1)) 2.94 4.20 D(HBI(-2)) 2.46 4.53 D(PB(-1)) 0.00 -1.52 D(PB(-2)) 0.00 -1.95 D(HMMD(-1)) 0.01 3.40 D(HMMD(-2)) 0.01 2.08 D(NT(-1)) 0.00 -0.81 D(NT(-2)) 0.00 1.89 D(TFP(-1)) 0.02 1.83 D(TFP(-2)) 0.01 0.97 C -0.18 -1.87 Sumber : Lampiran 7, diolah Ket. : signifikan pada taraf
5%
= 1.96
Variabel harga minyak mentah dunia signifikan pada lag pertama dan kedua serta berpengaruh positif sebesar 0.01 persen. Artinya jika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar satu persen pada satu tahun sebelumnya, maka akan menyebabkan kenaikan harga beras domestik pada tahun sekarang sebesar 0.01 persen. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi harga dari harga minyak mentah dunia ke harga beras domestik melalui harga beras impor. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang nyata antara harga beras impor dengan harga beras domestik. Dilihat dari Tabel 9 harga beras impor berhubungan positif sebesar 2. 46 persen pada lag ke-2. Artinya jika terjadi kenaikan harga beras impor sebesar 1 persen pada dua tahun sebelumnya, maka akan menyebabkan kenaikan harga beras domestik sebesar 2.46 persen pada tahun sekarang. Begitu pula untuk lag pertama, harga beras impor berpengaruh positif sebesar 2.94 persen. Artinya jika terjadi kenaikan harga beras impor sebesar satu persen pada satu tahun sebelumnya maka menyebabkan kenaikan harga beras domestik sebesar 2.94 persen pada tahun sekarang.
40
Pada jangka panjang hanya variabel harga beras dunia (HBD), harga beras impor (HBI) dan produksi beras (PB) signifikan pada taraf nyata lima persen yang mempengaruhi harga beras domestik. Variabel produksi beras mempunyai pengaruh negatif yang sangat kecil terhadap harga beras domestik yaitu sebesar 0.0001 persen. Artinya, jika terjadi kenaikan produksi beras maka akan menyebabkan harga beras domestik turun sebesar 0.0001 persen. Kondisi ini sesuai dengan hukum penawaran yang menyatakan bahwa ketika terjadi kenaikan produk yang ditawarkan sebagai akibat kenaikan produksi dari komoditi tersebut, maka akan menyebabkan harga komoditi tersebut turun. Tabel 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras domestik pada jangka panjang Ket.Variabel Variabel Koefisien T-Statistik Harga Beras Dunia HBD(-1) -1.13 2.77 Harga Beras Impor HBI(-1) 6.46 -21.34 Produksi Beras PB(-1) -0.00 2.10 Harga Minyak Mentah Dunia HMMD(-1) 0.00 -1.23 Nilai Tukar NT(-1) 0.00 -0.94 Total Faktor Produktivitas TFP(-1) 0.01 -0.72 Sumber : Lampiran 7, diolah Ket. : signifikan pada taraf
5%
= 1.96
Harga beras impor berhubungan positif dengan harga beras domestik. Artinya, ketika harga beras impor mengalami kenaikan sebesar satu persen maka akan mengakibatkan kenaikan harga beras domestik sebesar 6.46 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan adanya hubungan searah antara harga minyak metah dunia, harga beras dunia dan harga beras impor dengan harga beras domestik. 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15
HBD HBI
0.10 0.05 0.00
Sumber : BPS, diolah Gambar 13 Fluktuasi harga beras dunia dan harga beras impor Variabel harga beras dunia dalam penelitian ini berhubungan negatif dengan harga beras domestik. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal. Hal ini dapat dijelaskan karena terbentuknya harga beras dunia lebih disebabkan oleh jumlah beras yang di ekspor dan di impor di pasar beras dunia. Sementara fluktuasi harga
41
beras domestik lebih banyak dipengaruhi oleh harga beras impor. Berdasarkan data pada Gambar 13 antara harga beras dunia dengan harga beras impor tidak memiliki pola yang sama. Sebagai contoh harga beras dunia pada tahun 2001 harga beras dunia mengalami penurunan tetapi harga beras impor tidak mengalami penurunan bahkan sebaliknya harga beras impor pada tahun 2001 meningkat. Pada tahun 2006 harga beras dunia mengalami kenaikan tetapi harga beras impor tidak mengalami perubahan. Tahun 2008 menuju tahun 2009 harga beras dunia mengalami penurunan menuju ke kondisi awal, tetapi penurunan harga beras dunia diikuti oleh harga beras impor, harga beras impor terus mengalami peningkatan. 5.2.2 Impulse Response Function Analisis IRF akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel terhadap variabel lain, dimana dalam analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan sebagai infomasi jangka panjang. Pada analisis ini dapat melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar eror pada setiap persamaan. Analisis impulse response function juga berfungsi untuk melihat berapa lama pengaruh tersebut terjadi. Sumbu horisontal merupakan periode dalam tahun, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam persentase. Pada subbab ini dilihat respon dinamik harga beras domestik terhadap guncangan harga beras domestik itu sendiri selama 5 periode ke depan. Visualisasi yang terdapat pada Gambar 14. variabel harga beras domestik memiliki respon positif dan berfluktuatif. Periode ke-2 merupakan periode yang memiliki respon tertingggi yaitu sebesar 37.51 persen. Selanjutnya menurun sampai periode ke-5. Harga beras domestik berfluktuasi di kisaran 17-37 persen. Respon yang diberikan oleh harga beras domestik dengan adanya guncangan harga beras dunia direspon dengan fluktuatif positif. Titik respon tertinggi terjadi pada periode ke-4 dengan nilai respon sebesar 21.63 persen. Setelah periode ke-4 terus memiliki respon yang menurun hingga mencapai titik respon 18.59 persen pada periode ke-5. Respon harga beras domestik terhadap guncangan yang diberikan oleh harga beras impor (HBI) direspon mulai dari periode ke-2. HBI langsung direspon secara ekstrim menurun mencapai titik terendah pada periode ke-5 yaitu pada nilai respon sebesar -41.04 persen. Lain halnya jika terjadi guncangan yang disebabkan oleh produksi beras. Harga beras domestik mengalami respon berfluktuasi negatif. Seperti yang terlihat di gambar 14, respon awal harga beras domestik adalah negatif menurun hingga periode ke-3. Kemudian selama dua periode selanjutnya yaitu periode ke-4 dan 5 memiliki respon negatif meningkat. Guncangan yang disebabkan oleh harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik selama lima periode ke depan dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil analisis respon harga beras domestik terhadap harga minyak mentah dunia adalah meningkat sampai periode ke-3 dengan mencapai titik respon pada 12.24 persen yang merupakan titik respon tertinggi. Setelah periode ke-3, respon harga beras domestik yang disebabkan oleh guncangan harga minyak mentah dunia terus memberikan respon menurun hingga periode terakhir.
42
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of HBDOM to HBDOM
Response of HBDOM to HBD
Response of HBDOM to HBI
.4
.4
.4
.2
.2
.2
.0
.0
.0
-.2
-.2
-.2
-.4
-.4
-.4
-.6
-.6 1
2
3
4
5
-.6 1
Response of HBDOM to PB
2
3
4
5
1
Response of HBDOM to HMMD .4
.4
.2
.2
.2
.0
.0
.0
-.2
-.2
-.2
-.4
-.4
-.4
-.6 1
2
3
4
5
3
4
5
Response of HBDOM to NT
.4
-.6
2
-.6 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Response of HBDOM to TFP .4 .2
.0
-.2
-.4
-.6 1
2
3
4
5
Sumber : Lampiran 8 Gambar 14 Hasil analisis impulse response function (IRF) Beda halnya dengan respon yang disebabkan oleh guncangan nilai tukar. Guncangan nilai tukar terlihat sangat fluktuatif setiap dua periode sekali. Sebagai contoh, respon negatif terjadi pada periode ke-2. Pada tahap pertama ini terdapat titik terendah respon yaitu sebesar -5.83 persen pada periode ke-2. Tahap ke-2 yaitu selama periode 3-4 memiliki respon positif dengan titik respon tertinggi sebesar 6.2 persen pada periode ke-3. Mulai periode ketiga sampai akhir, harga beras domestik terus memberikan respon yang menurun hingga memiliki respon negatif pada akhir periode. Respon terakhir adalah respon yang diberikan oleh guncangan total faktor produktivitas (TFP). Guncangan TFP memiliki pola yang sama dengan guncangan variabel-variabel lain yaitu berfluktuatif. 5.2.3 Analisis Forecast Error Decomposition Analisis FEVD sangat penting digunakan untuk mengetahui struktur dinamis antar variabel dalam VECM. Analisis FEVD digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel endogen. FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi acak atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya dalam model VECM dan VAR first difference, menelaah sumber-sumber fluktuasi pada suatu variabel tertentu.
43
Simulasi FEVD ini diproyeksikan selama 5 periode (5 tahun) agar dapat dianalisis efek jangka panjangnya. Analisi FEVD dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar peranan perubahan produksi beras (PB), harga minyak mentah dunia (HMMD), harga beras dunia (HBD), harga beras impor (HBI), nilai tukar (NT), dan total faktor produktivitas (TFP) dalam menjelaskan perubahan harga beras domestik (HBDom). Berdasarkan pada gambar 15 variabilitas harga beras domestik (HBDom) secara dominan dipengaruhi HBDom itu sendiri pada satu tahun sebelumnya. Pada periode pertama pengaruh dari HBDom sebesar 100 persen. Kemampuan harga beras domestik dalam mempengaruhi dirinya sendiri pada periode selanjutnya terus mengalami penurunan namun tetap mendominasi. Pengaruh terakhir yaitu pada periode ke-5 adalah sebesar 48.53 persen. 100% 90% 80%
TFP
70%
NT
60%
HMMD
50%
PB
40%
HBI
30% 20%
HBD
10%
HBDOM
0% 1
2
3
4
5
Sumber : lampiran 9 Gambar 15 FEVD harga beras domestik Kontribusi yang cukup besar terhadap variabilitas harga beras domestik dipengaruhi oleh harga beras impor yaitu sebesar 0.90 persen pada periode kedua dan terus meningkat mencapai 30.86 persen pada periode kelima. Kemudian pengaruh harga beras dunia juga cukup memberikan kontribusi besar terhadap variabilitas harga beras domestik. Pada periode kedua, harga beras dunia mempengaruhi sebesar 1.95 persen dan terus meningkat hingga mencapai 12.35 persen pada periode kelima. Sama halnya dengan harga beras impor dan harga beras dunia, harga minyak mentah dunia juga memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu sebesar 1.61 persen pada periode kedua dan terus meningkat sampai periode ketiga. Tetapi pada pengaruh harga minyak mentah dunia ini berbeda dengan pengaruh yang ditunjukkan oleh harga beras impor dan harga beras dunia. Pada HBI dan HBD respon terus meningkat sedangkan pada HMMD, setelah periode ketiga terus mengalami penurunan mencapai 3.32 persen pada periode kelima. Produksi beras dengan kontribusi sebesar 0.11 persen pada periode kedua dan terus meningkat hingga periode kelima mencapai angka 3.41 persen. Sedangkan untuk variabel nilai tukar (NT) dan total faktor produktivitas (TFP) berkebalikan. Variabel nilai tukar mempengaruhi sebesar 1.45 persen pada periode kedua,
44
meningkat sampai periode ketiga dan kemudian terus menurun hingga periode akhir mencapai 0.91 persen. Sedangkan variabel TFP mempengaruhi harga beras domestik sebesar 0.80 persen pada periode kedua dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 0.89 persen pada periode ketiga, kemudian terus menurun hingga periode kelima mencapai 0.61 persen. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis FEVD yang telah dilakukan adalah berdasarkan variabel-variabel yang ada di dalam model, maka dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Pertama, variabel harga yang terdiri dari harga beras domestik (HBDom), harga minyak mentah dunia (HMMD), harga beras dunia (HBD), dan harga beras impor (HBI). Kedua, adalah variabel non harga yaitu variabel nilai tukar (NT), produksi beras (PB), dan total faktor produktivitas (TFP). Berdasarkan pengelompokkan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama yaitu kelompok harga adalah kelompok dengan variabel-variabel yang berkontribusi besar terhadap variabilitas harga beras domestik (0-30 persen). Sedangkan untuk kelompok kedua yaitu kelompok non harga hanya variabel nilai tukar, produksi beras, dan total faktor produktivitas yang kurang berpengaruh terhadap variabilitas harga beras domestik (0-3 persen). 5.2.4 Analisis Pass Through Effect Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa derajat pass through harga beras domestik terhadap variabel-variabel yang diteliti adalah lebih kecil dari satu. Nilai derajat pass through yang kurang dari satu ( < 1 ) mengindikasikan adanya incomplete pass-through. Berdasarkan derajat pass-through pada harga beras domestik, pengaruh negatif berasal dari variabel harga beras impor, harga minyak mentah dunia, dan total faktor produktivitas. Tabel 11 Derajat pass-through harga beras domestik No. Variabel Shock Derajat pass-through 1 Harga Beras Dunia 2 Harga Beras Impor 3 Produksi Beras 4 Harga Minyak Mentah Dunia 5 Nilai Tukar 6 Total Faktor Produktivitas Sumber : Lampiran 8, diolah
0.444 -0.591 -0.222 0.226 0.014 -0.001
Pengaruh terkecil berasal dari variabel total faktor produktivitas (TFP) yaitu sebesar 0.001 persen. Artinya, perubahan pada TFP sebesar 1 persen direspon oleh variabel harga beras domestik sebesar 0.001 persen. Sedangkan pengaruh terbesar berasal dari variabel harga beras dunia yaitu sebesar 0.21 persen. Artinya, harga beras impor merupakan variabel yang paling besar mempengaruhi perubahan harga beras domestik. Setiap kenaikan 1 persen harga beras impor, maka akan direspon sebesar 0.591 persen oleh harga beras domestik. Berdasarkan Tabel 11, maka variabel kedua yang paling besar mempengaruhi harga beras domestik adalah harga beras dunia sebesar 0.444 persen kemudian disusul harga minyak mentah dunia dan produksi beras masing-masing sebesar 0.226 dan 0.222 persen. Urutan berikutnya variabel yang mempengaruhi harga beras domestik adalah variabel nilai tukar, yaitu sebesar 0.14 persen.
45
Berdasarkan hasil analisis pass through yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok pengaruh. Pertama, kelompok “faktor harga” yang terdiri dari harga beras dunia, harga beras impor, dan harga minyak mentah dunia. Kedua, adalah kelompok “faktor non harga” yang terdiri dari variabel produksi beras, total faktor produktivitas, dan nilai tukar. Dilihat dari besaran koefisien hasil analisis pass through, maka kelompok faktor harga memiliki pengaruh yang lebih besar yaitu berada di kisaran 0.226 - 0.591 persen. Artinya, fluktuasi harga beras domestik lebih banyak dipengaruhi oleh faktor harga dibandingkan faktor non harga.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga beras domestik, dapat disimpulkan : 1. Harga beras domestik memiliki pola berfluktuatif dan memiliki tren yang terus meningkat, tetapi harga beras domestik selalu berfluktuatif pada trennya. Karakteristik menarik dari harga beras domestik adalah selalu berada diatas harga beras dunia. 2. Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa pada jangka pendek harga beras domestik dipengaruhi oleh harga beras domestik itu sendiri, harga beras impor, dan harga minyak mentah dunia. Pada jangka panjang harga beras domestik dipengaruhi oleh harga beras dunia, harga beras impor, dan produksi beras. 3. a Hasil analisis IRF memberikan simpulan bahwa harga beras domestik memberikan respon yang fluktuatif dengan shock dari semua variabel. Hal ini membuktikan bahwa variabel harga beras adalah variabel yang volatil. Artinya, harga beras akan selalu berfluktuasi pada trennya dari waktu ke waktu. b Berdasarkan hasil analisis FEVD harga beras domestik paling besar dipengaruhi oleh harga beras domestik itu sendiri yaitu rata-rata sebesar 77.03 persen, harga beras impor sebesar 10.18 persen, harga beras dunia sebesar 6.79 persen, harga minyak mentah dunia sebesar 2.72 persen, produksi beras dan nilai tukar masing-masing sebesar 1.67 dan 0.97 persen, sedangkan total faktor produktivitas hanya berpengaruh sebesar 0.61 persen terhadap perubahan harga beras domestik. c Berdasarkan hasil analisis pass through yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok pengaruh. Pertama, kelompok “faktor harga” yang terdiri dari harga beras dunia, harga beras impor, dan harga minyak mentah dunia. Kedua, adalah kelompok “faktor non harga” yang terdiri dari variabel produksi beras, total faktor produktivitas, dan nilai tukar. Dilihat dari besaran koefisien hasil analisis pass through, maka kelompok faktor harga memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding faktor non harga.
46
6.2 Implikasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diantaranya : 1. Berdasarkan hasil analisis pass through, faktor harga lebih besar dalam mempengaruhi harga beras domestik dibanding faktor non harga. Oleh sebab itu, maka pemerintah harus lebih mengutamakan harga sebagai alat untuk mengendalikan harga beras domestik dibanding faktor non harga. 2. Pemerintah dalam mengendalikan harga beras domestik diharapkan terus meningkatkan teknologi di bidang usahatani padi. Peningkatan teknologi yang dimaksud adalah pengelolaan usahatani padi yaitu berupa manajemen pengelolaan. Dengan meningkatnya manajemen pengelolaan diharapkan biaya usahatani padi lebih efisien sehingga harga beras domestik dapat bersaing dengan harga beras internasional. 3. Pemerintah diharapkan terus memberikan dukungan terhadap para petani melalui pelatihan-pelatihan untuk membantu petani dalam adopsi teknologi. Pemerintah juga diharapkan memberikan pelatihan yang merata di seluruh lokasi wilayah panen agar produktivitas padi merata di seluruh wilayah lokasi panen di Indonesia.
6.3 Saran Penelitian Lanjutan 1 Untuk penelitian lanjutan sebaiknya meluaskan cakupan penelitian dengan memasukkan beberapa variabel kebijakan ke dalam model seperti variabel subsidi dan tarif impor. 2 Jika sudah tersedia data produksi padi per musim, untuk penelitian lanjutan lebih disarankan untuk memakai data tersebut karena akan lebih dapat menjelaskan variasi harga yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Achsani NA, Nababan HF. 2008. Dampak perubahan kurs (pass-through effect) terhadap tujuh kelompok indeks harga konsumen di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 9(1) : 1-15. Aji BWP. 2010. Analisis integrasi harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik, dan tandan buah segar kelapa sawit [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amisano G, Giannini C. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Ed ke-2. New York : Springer Verlag. Anwar C. 2005. Prospek karet alam Indonesia di pasar internasional : suatu analisis integrasi pasar dan keragaan ekspor [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aryani D. 2009. Integrasi pasar beras dan gula di Thailand, Filipina, dan Indonesia [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
47
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1969-2011. Struktur Ongkos Usahatani Tanaman Pangan 1969. Jakarta : BPS. _________________. 2009. Indikator Pembangunan Pertanian dan PerdesaanKarakteristik Sosial Ekonomi Petani Padi [Proposal RPTP TA. 2010]. Jakarta : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. _________________. 2011. Pendekatan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia [Katalog BPS 3101015]. Jakarta : BPS. _________________. 2011. Tanaman pangan : tabel luas panen, produktivitas, produksi tanaman padi Provinsi Indonesia tahun 1983-2011. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3 [7 Jan 2012]. Baffes J, Bruce G. 2003. The transmission of world commodity prices to domestic markets under policy reforms in developing countries. Journal of Economic Policy Return 6(3) : 159-180. Barrett CB. 2005. Spatial Market Integration, The New Palgrave Dictionnary of Economics. Ed ke-2. London : Palgrave Macmillan, Forthcoming. Bernal L, Dawn DT, Maria LL. 2003. An empirical analysis of market integration and efficiency for U.S. fresh tomato markets. Journal of Agricultural Resource of Economics 28(3) : 435-450. Blanchard OJ, Jordi G. 2008. The Macroeconimic Effects of Oil Price Shocks : Why are The 2000’s Show Different from The 1970’s? [Economic Working Papers 1045]. Universitat Pompeu Fabra, Department of Economics and Business. Borensztein et al. 1998. How does foreign direct investment accelerate economic growth?. Journal of International Economics 45(1) : 114-135. Brown SPA, Yucel MK, Balke NS. 2002. Oil Price Shocks and U.S. Economic Activity. An International Perspective [Discussion Paper, July 2010]. Washington, DC. 20036. [Bulog] Badan Urusan Logistik. 2006. Statistik Perkembangan Harga Beras Medium Domestik dan Dunia. Biro Analisa Harga dan Pasar. Jakarta : Bulog. Caves DW, Christensen LR, Diewert WE. 1982. Multilateral comparisons of output, input and productivity using superlative index numbers. Economics Journal 92(365) : 73-87. Chambers MJ, Bailey RE. 1996. A theory of commodity price fluctuations. The Journal of Political Economy 104(5) : 924-957. Christensen LR. 1975. Concept and measurement of agricultural productivity. American Journal of Agricultural Economics 57(5) : 910-915. Cody BJ, Mills LO. 1991. The role of commodity prices in formulating monetary policy. The Review of Economics and Statistics 73(2) : 358-365. Cororaton CB. 2002. Total Factor Productivity in The Philippines [Discussion Paper]. No.2002-1. Dawe D. 2001. How far down the path to free trade? the importance of rice price stabilization in developing Asia. Food Policy 26(2) : 163-175. Deaton A, Laroque G. 1992. On the behavior of commodity prices. Review of Economic Studies 59(1) : 1-23. Diewert WE. 1980. Capital and the theory of productivity measurement. American Economic Review 70(2) : 259-268.
48
[Ditjen MIGAS] Direktorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas. 2011. Statistik minyak bumi. http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik%20Minyak%20Bumi.pdf
[15 Des 2012]. Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. J. Wiley. Engle RF, Granger CWJ. 1987. Co-integration and error correction : representation, estimation, and testing, econometrica 55(2) : 251-276. Fackler P, B Goodwin. 2002. Spatial price analysis. Di dalam: B Gardner, G Rausser, editor. Handbook of Agricultural Economics. Vol. 1B. Amsterdam: Elsevier. Falcon WC, Monke E. 1991. International trade in rice. Food Research Institute Studies 17(3): 271-306. Favero CA. 2001. Applied macroeconometrics. Di dalam: Banka MP, notulen. Siena SpA 31(3)-2002: 559-563. Felipe J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia : a Critical Survey. Manila, Philippines: Asian Development Bank. Firdaus et al. 2008. Swasembada Beras dari Masa ke Masa : Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. Bogor: IPB Press. Furlong F, Ingenito R. 1996. Commodity prices and inflation. Federal Reserve Bank of San Francisco (FRBSF) Economic Review No. 2 : 27-47. Harianto. 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Jakarta : LPEM, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hartati ES. 2004. Analisis dampak pergerakan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia : pendekatan exchange rate pass-through [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [IEA] International Energy Agency. 2005. IEA Geothermal Energy Annual Report 2005. Implementing Agreement for Cooperation in Geothermal Research and Technology. Irawan A. 2004. Integrasi Pasar Beras Indonesia. Jakarta : Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, bagian Studi Sektor riil Bank Indonesia. Jantan MD, Sahlan R. Total factor productivity an empirical study of selected districts in Malaysia [Tesis]. Malaysia : Faculty of Economics, Universiti Utara Malaysia. Kang PL, Brian. Structure and Conduct of The World Rice Market [Selected Paper Prepared for Presentation at The Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting January 31-February 3, 2009]. Georgia, Atlanta Kogel T. 2003. Youth Dependency and Total Factor Productivity. Rostock, Germany: Konrad-Zuse-Srasse 1, D-18057. Hidayat NK. 2012. Dampak perubahan harga beras dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia pada berbagai kondisi transmisi harga dan kebijakan domestik [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Majardi F. 2000. Dampak Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap Laju Inflasi di Indonesia [Makalah Bank Indonesia]. Jakarta: Bank Indonesia. McCallum. 1989. Real Business Cycle Models in Modern Business Cycle Theory. RJ Barro, editor. Cambridge, MA: Harvard University Press. Meyer J, Taubadel. 2004. Asymmetric price transmission: a survey. Journal of Agricultural Economics 55(3): 581-611.
49
Mondi A, Chung MK, Won JK. 2010. Oil shocks and the world rice market. puzzle : a structural VAR analysis. Korea and The World Economy. 12(2) : 281-325. Muwanga GS, DL Snyder. 1997. Market intergration and the law of one price: case study of selected feeder cattle markets. Economic Research Institute Study Paper 97-11. Utah: Utah State University. Nicholson W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Ed ke-8. Jakarta : Penerbit Erlangga. Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics. 68(1):102-109. Rifin A. 2005. The export tax and Indonesia‟s crude palm oil export [Tesis]. Japan: International University of Japan. Simatupang P. 1996. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas total faktor produksi usahatani padi sawah di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Pertanian 1996, Kerjasama Departemen pertanian dengan Dewan Produktivitas Nasional. Jakarta: Departemen Pertanian. Simatupang P. 2000. Pandangan skeptis terhadap kebijakan harga dasar gabah. Makalah disampaikan pada Diskusi Round Table “Kebijakan Harga Gabah di Era Perdagangan Bebas”. Jakarta: Badan Urusan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Sims C. 1972. "Money, income and causality". American Economic Review 62(4): 540-552. Siregar H. 2002. Empirical evaluation of rival theories of the business cycle aplicaton of structural VAR models to New Zealand economy. Ph.D. [Tesis]. Canterbury: Lincoln University. Sitepu RK. 2002. Dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supriyanto H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia : Analisis “Total Factor Productivity”. Svensson LEO. 2000. Open economy inflation targetting. Journal of Internasional Economics 50(1) : 155-3. Syahputra HD. 2009. Prediksi harga minyak mentah dunia untuk lima tahun mendatang dan dampaknya terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara Indonesia [Tesis]. Bandung: Departemen Administrasi Bisnis, Institut Teknologi Bandung. Tomek WG. 2000. Commodity prices revisited. Staff Paper 2000-05. New York: Department of Applied Economics and Management, Cornell University. [USDA] The U.S. Departments of Agriculture. 2011. Regional Rice Imports, Production, Consumption, and Stocks. United States: United States Department of Agriculture, Foreign Agricultural Service. Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley and Sons. [WTRG Economics]. 2011. Oil Price History and Analysis. http://www.wtrg.com/prices.htm [2 Juli 2012].
50
Lampiran 1 Unit root test tingkat level Null Hypothesis: HBDOM has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.134524 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.2327
t-Statistic
Prob.*
-1.618171 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.4646
t-Statistic
Prob.*
-2.091376 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.2490
t-Statistic
Prob.*
-10.01369 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: PB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: HMMD has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: HBD has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
51
Null Hypothesis: HBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.514812 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.5165
t-Statistic
Prob.*
-0.354653 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.9076
t-Statistic
Prob.*
-7.795568 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-5.673936 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: NT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: TFP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2 Unit root test first difference Null Hypothesis: D(HBDOM) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
52
Null Hypothesis: D(PB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.552085 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-5.698329 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-7.951440 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-6.121479 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(HMMD) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(HBD) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(HBI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
53
Null Hypothesis: D(NT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.738095 -3.600987 -2.935001 -2.605836
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-8.564531 -3.610453 -2.938987 -2.607932
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(TFP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 3 Uji selang optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(HBDOM) D(HBD) D(HBI) D(PB) D(TFP) D(HMMD) D(NT) D(M) Exogenous variables: C Date: 01/12/13 Time: 20:17 Sample: 1970 2011 Included observations: 38 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
-1233.548 -1177.646 -1071.515 -953.5382
NA 85.32465 117.3021* 80.72109
3.30e+18 5.44e+18 9.50e+17 2.62e+17*
65.34463 65.77082 63.55343 60.71253*
65.68938* 68.87362 69.41426 69.33141
65.46729 66.87477 65.63867 63.77906*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
54
Lampiran 4 Uji stabilitas Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(HBDOM) D(HBD) D(HBI) D(PB) D(TFP) D(HMMD) D(NT) D(M) Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 01/12/13 Time: 20:17 Root
Modulus
-0.127725 - 0.829495i -0.127725 + 0.829495i -0.625920 - 0.544767i -0.625920 + 0.544767i 0.773969 -0.363359 - 0.651937i -0.363359 + 0.651937i 0.353820 - 0.654374i 0.353820 + 0.654374i -0.037720 - 0.710147i -0.037720 + 0.710147i -0.679049 -0.617783 0.510652 0.045290 - 0.263132i 0.045290 + 0.263132i
0.839271 0.839271 0.829787 0.829787 0.773969 0.746359 0.746359 0.743905 0.743905 0.711149 0.711149 0.679049 0.617783 0.510652 0.267001 0.267001
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 5 Uji kointegrasi Date: 01/12/13 Time: 20:20 Sample: 1970 2011 Included observations: 39 Series: HBDOM HBD HBI PB HMMD NT TFP M Lags interval: 1 to 2 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 8 8
None Intercept No Trend 7 7
Linear Intercept No Trend 8 8
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model
Linear Intercept Trend 6 6
Quadratic Intercept Trend 5 4
55
Data Trend: Rank or No. of CEs
0 1 2 3 4 5 6 7 8
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) -1127.319 -1069.132 -1030.128 -1006.102 -985.4609 -969.0210 -957.5273 -951.8659 -949.0549
-1127.319 -1063.149 -1015.842 -985.7222 -962.9680 -946.0303 -931.2420 -919.7810 -916.3774
-1117.624 -1054.602 -1008.553 -978.8057 -956.2232 -940.1286 -926.9975 -919.7641 -916.3774
-1117.624 -1051.582 -1005.504 -967.5569 -938.2496 -920.7228 -906.8288 -898.1420 -894.5871
-1101.416 -1036.258 -990.2221 -952.5052 -927.1541 -911.9969 -902.1901 -894.5993 -894.5871
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
0 1 2 3 4 5 6 7 8
64.37533 62.21192 61.03221 60.62062 60.38261 60.36005 60.59114 61.12133 61.79769
64.37533 61.95635 60.40217 59.72934 59.43425 59.43745 59.55087 59.83492 60.53218
64.28841 61.87703 60.33606 59.63106 59.29350 59.28865 59.43577 59.88534 60.53218
64.28841 61.77344 60.28223 59.20805 58.57690 58.54989 58.70917 59.13549 59.82498
63.86748 61.34657 59.80626 58.69258 58.21303* 58.25625 58.57385 59.00509 59.82498
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 69.83522 68.35430 67.85707 68.12798 68.57245 69.23238 70.14596 71.35863 72.71747
69.83522 68.14139 67.31234 67.36466 67.79472 68.52306 69.36162 70.37081 71.79321
70.08955 68.36066 67.50218 67.47966 67.82458 68.50222 69.33183 70.46388 71.79321
70.08955 68.29972 67.53365 67.18461 67.27861 67.97674 68.86116 70.01262 71.42725
70.00986 68.17144 67.31361 66.88242* 67.08536 67.81107 68.81115 69.92488 71.42725
Date: 01/12/13 Time: 20:22 Sample (adjusted): 1973 2011 Included observations: 39 after adjustments Trend assumption: Quadratic deterministic trend Series: HBDOM HBD HBI PB HMMD NT TFP M Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized
Trace
0.05
56
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 * At most 5 At most 6 At most 7
0.964613 0.905657 0.855460 0.727484 0.540351 0.395235 0.322448 0.000629
413.6576 283.3421 191.2700 115.8363 65.13412 34.81970 15.20600 0.024528
175.1715 139.2753 107.3466 79.34145 55.24578 35.01090 18.39771 3.841466
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0053 0.0524 0.1323 0.8755
Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Lampiran 6 Uji granger causality Pairwise Granger Causality Tests Date: 01/12/13 Time: 20:29 Sample: 1970 2011 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
DHBD does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DHBD
39
0.33800 1.73265
0.7156 0.1921
DHBI does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DHBI
39
3.28754 7.93050
0.0495 0.0015
DPB does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DPB
39
0.13525 4.68122
0.8740 0.0160
DHMMD does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DHMMD
39
0.84891 6.78054
0.4367 0.0033
DNT does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DNT
39
0.01251 0.15763
0.9876 0.8548
DTFP does not Granger Cause DHBDOM DHBDOM does not Granger Cause DTFP
39
0.46759 0.49689
0.6305 0.6128
DHBI does not Granger Cause DHBD DHBD does not Granger Cause DHBI
39
2.61659 4.51505
0.0877 0.0182
DPB does not Granger Cause DHBD DHBD does not Granger Cause DPB
39
3.34584 1.03417
0.0472 0.3664
DHMMD does not Granger Cause DHBD DHBD does not Granger Cause DHMMD
39
5.74368 1.25379
0.0071 0.2983
DNT does not Granger Cause DHBD DHBD does not Granger Cause DNT
39
0.01102 0.01174
0.9890 0.9883
DTFP does not Granger Cause DHBD DHBD does not Granger Cause DTFP
39
0.80665 0.22339
0.4547 0.8010
DPB does not Granger Cause DHBI DHBI does not Granger Cause DPB
39
0.65509 1.83156
0.5258 0.1756
57
DHMMD does not Granger Cause DHBI DHBI does not Granger Cause DHMMD
39
0.38517 3.09544
0.6833 0.0582
DNT does not Granger Cause DHBI DHBI does not Granger Cause DNT
39
0.23430 1.08608
0.7924 0.3490
DTFP does not Granger Cause DHBI DHBI does not Granger Cause DTFP
39
0.42408 0.24163
0.6578 0.7867
DHMMD does not Granger Cause DPB DPB does not Granger Cause DHMMD
39
0.09636 0.60807
0.9084 0.5502
DNT does not Granger Cause DPB DPB does not Granger Cause DNT
39
0.46685 0.18522
0.6309 0.8318
DTFP does not Granger Cause DPB DPB does not Granger Cause DTFP
39
3.91307 0.29733
0.0295 0.7447
DNT does not Granger Cause DHMMD DHMMD does not Granger Cause DNT
39
0.26778 0.10296
0.7667 0.9024
DTFP does not Granger Cause DHMMD DHMMD does not Granger Cause DTFP
39
0.61780 0.00198
0.5451 0.9980
DTFP does not Granger Cause DNT DNT does not Granger Cause DTFP
39
0.35338 0.20359
0.7049 0.8168
Lampiran 7 Hasil estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 01/12/13 Time: 20:31 Sample (adjusted): 1973 2011 Included observations: 39 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
HBDOM(-1)
1.000000
HBD(-1)
1.126585 (0.40740) [ 2.76532]
HBI(-1)
-6.458455 (0.30263) [-21.3412]
PB(-1)
7.26E-05 (3.4E-05) [ 2.10426]
HMMD(-1)
-0.001303 (0.00106) [-1.22905]
NT(-1)
-1.99E-05
58
(2.1E-05) [-0.93801] TFP(-1)
-0.013564 (0.01885) [-0.71951]
C
0.435840
Error Correction: D(HBDOM)
D(HBD)
D(HBI)
D(PB)
D(HMMD)
D(NT)
D(TFP)
CointEq1
0.762663 (0.13112) [ 5.81667]
0.071987 (0.03356) [ 2.14521]
0.129605 (0.03513) [ 3.68949]
-23.56802 (310.849) [-0.07582]
-14.68627 (7.19368) [-2.04155]
-82.92917 (367.456) [-0.22568]
-1.800337 (2.58370) [-0.69681]
D(HBDOM(-1))
-0.898211 (0.19281) [-4.65847]
-0.103426 (0.04935) [-2.09589]
-0.017534 (0.05166) [-0.33942]
139.2733 (457.115) [ 0.30468]
17.36398 (10.5786) [ 1.64143]
41.14925 (540.358) [ 0.07615]
0.665113 (3.79943) [ 0.17506]
D(HBDOM(-2))
-0.784347 (0.16238) [-4.83032]
-0.051800 (0.04156) [-1.24645]
-0.005653 (0.04350) [-0.12994]
-1154.596 (384.967) [-2.99921]
-24.06003 (8.90891) [-2.70067]
125.6475 (455.071) [ 0.27611]
3.136219 (3.19975) [ 0.98015]
D(HBD(-1))
-0.547494 (0.75350) [-0.72660]
-0.148941 (0.19284) [-0.77233]
-0.035033 (0.20187) [-0.17354]
-4402.534 (1786.38) [-2.46451]
26.51228 (41.3404) [ 0.64132]
-131.6899 (2111.68) [-0.06236]
8.218586 (14.8479) [ 0.55352]
D(HBD(-2))
0.189235 (0.39411) [ 0.48016]
-0.080433 (0.10087) [-0.79743]
0.248078 (0.10559) [ 2.34949]
-1150.666 (934.349) [-1.23152]
49.49117 (21.6227) [ 2.28885]
-534.9760 (1104.50) [-0.48436]
0.780942 (7.76608) [ 0.10056]
D(HBI(-1))
2.935679 (0.69895) [ 4.20015]
-0.112306 (0.17888) [-0.62782]
0.180502 (0.18726) [ 0.96392]
2458.988 (1657.05) [ 1.48396]
-19.54508 (38.3474) [-0.50968]
924.2168 (1958.80) [ 0.47183]
-7.070810 (13.7730) [-0.51338]
D(HBI(-2))
2.455006 (0.54202) [ 4.52941]
0.037935 (0.13872) [ 0.27346]
0.211486 (0.14521) [ 1.45638]
-4402.872 (1285.00) [-3.42637]
-71.17165 (29.7375) [-2.39333]
-1365.805 (1519.00) [-0.89915]
-1.627206 (10.6806) [-0.15235]
D(PB(-1))
-0.000110 (7.3E-05) [-1.51737]
-3.92E-05 (1.9E-05) [-2.11199]
-1.61E-05 (1.9E-05) [-0.83010]
0.011334 (0.17204) [ 0.06588]
-0.003293 (0.00398) [-0.82710]
-0.061848 (0.20338) [-0.30411]
-0.000617 (0.00143) [-0.43153]
D(PB(-2))
-0.000156 (8.0E-05) [-1.95201]
-4.10E-05 (2.0E-05) [-2.01085]
-6.66E-07 (2.1E-05) [-0.03116]
-0.508254 (0.18906) [-2.68837]
-0.002679 (0.00438) [-0.61242]
-0.029184 (0.22348) [-0.13059]
0.001548 (0.00157) [ 0.98480]
D(HMMD(-1))
0.010460 (0.00307) [ 3.40191]
0.002049 (0.00079) [ 2.60342]
0.001314 (0.00082) [ 1.59530]
-1.088284 (7.28965) [-0.14929]
-0.017186 (0.16870) [-0.10188]
1.456307 (8.61713) [ 0.16900]
0.003201 (0.06059) [ 0.05282]
D(HMMD(-2))
0.006856 (0.00329) [ 2.08127]
-0.000758 (0.00084) [-0.89963]
-0.000975 (0.00088) [-1.10494]
15.57057 (7.80959) [ 1.99378]
-0.171787 (0.18073) [-0.95052]
-0.634308 (9.23175) [-0.06871]
-0.041771 (0.06491) [-0.64350]
D(NT(-1))
-6.60E-05 (8.1E-05) [-0.81438]
-2.06E-06 (2.1E-05) [-0.09918]
-5.49E-06 (2.2E-05) [-0.25283]
0.063327 (0.19207) [ 0.32971]
-0.001151 (0.00444) [-0.25898]
0.085767 (0.22705) [ 0.37775]
0.000428 (0.00160) [ 0.26813]
59
D(NT(-2))
0.000166 (8.8E-05) [ 1.89260]
-2.22E-05 (2.2E-05) [-0.99123]
-4.40E-06 (2.3E-05) [-0.18735]
-0.122619 (0.20773) [-0.59028]
-0.004224 (0.00481) [-0.87861]
-0.047829 (0.24556) [-0.19477]
0.000934 (0.00173) [ 0.54109]
D(TFP(-1))
0.019590 (0.01070) [ 1.83130]
-0.003250 (0.00274) [-1.18705]
0.002092 (0.00287) [ 0.73001]
-51.02504 (25.3613) [-2.01192]
-0.887540 (0.58691) [-1.51222]
14.61118 (29.9797) [ 0.48737]
-1.157670 (0.21080) [-5.49187]
D(TFP(-2))
0.012270 (0.01271) [ 0.96550]
-0.001124 (0.00325) [-0.34544]
0.000860 (0.00340) [ 0.25263]
-71.55049 (30.1280) [-2.37489]
-0.836290 (0.69722) [-1.19946]
12.74710 (35.6144) [ 0.35792]
-0.607739 (0.25042) [-2.42692]
C
-0.182073 (0.09754) [-1.86661]
0.002061 (0.02496) [ 0.08255]
0.009942 (0.02613) [ 0.38045]
568.4130 (231.250) [ 2.45800]
5.922589 (5.35160) [ 1.10669]
261.0652 (273.362) [ 0.95502]
-0.187079 (1.92209) [-0.09733]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.748962 0.585242 3.130962 0.368956 4.574640 -6.155290 1.136169 1.818656 -0.113333 0.572898
0.683431 0.476972 0.205083 0.094428 3.310261 46.99553 -1.589514 -0.907027 -0.018479 0.130568
0.719620 0.536763 0.224734 0.098849 3.935434 45.21116 -1.498008 -0.815522 -0.013921 0.145234
0.657749 0.434542 17597838 874.7133 2.946808 -309.2232 16.67811 17.36060 597.8718 1163.230
0.658885 0.436419 9424.597 20.24265 2.961728 -162.3452 9.145906 9.828393 1.317978 26.96430
0.111418 -0.468093 24590737 1034.003 0.192262 -315.7478 17.01271 17.69520 214.2628 853.3852
0.654941 0.429902 1215.752 7.270403 2.910347 -122.4099 7.097946 7.780433 -0.056357 9.629056
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.46E+10 3.62E+08 -771.6510 45.67441 50.75040
Lampiran 8 Analisis IRF Period
HBDOM
HBD
HBI
PB
HMMD
NT
TFP
1 2 3 4 5
0.368956 0.375126 0.296116 0.250496 0.173233
0.000000 0.075942 0.171262 0.216341 0.185900
0.000000 -0.051704 -0.063587 -0.340114 -0.410414
0.000000 -0.018205 -0.096399 -0.095048 -0.115950
0.000000 0.069119 0.122375 0.099353 0.040324
0.000000 -0.058298 0.062142 0.032215 -0.015975
0.000000 0.048750 -0.039861 -0.034648 0.023887
Choles ky Orderin g: HBDO M HBD HBI PB HMMD NT TFP
60
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of HBDOM to HBDOM
Response of HBDOM to HBD
Response of HBDOM to HBI
.4
.4
.4
.2
.2
.2
.0
.0
.0
-.2
-.2
-.2
-.4
-.4
-.4
-.6
-.6 1
2
3
4
5
-.6 1
Response of HBDOM to PB
2
3
4
5
1
Response of HBDOM to HMMD .4
.4
.2
.2
.2
.0
.0
.0
-.2
-.2
-.2
-.4
-.4
-.4
-.6 1
2
3
4
5
3
4
5
Response of HBDOM to NT
.4
-.6
2
-.6 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Response of HBDOM to TFP .4 .2
.0
-.2
-.4
-.6 1
2
3
4
5
Lampiran 9 Analisis FEVD Period
S.E.
HBDOM
HBD
HBI
PB
HMMD
NT
TFP
1 2 3 4 5
0.368956 0.544218 0.668544 0.832660 0.970684
100.0000 93.47521 81.56006 61.62802 48.53299
0.000000 1.947260 7.852726 11.81284 12.36006
0.000000 0.902612 1.502757 17.65327 30.86663
0.000000 0.111905 2.153288 2.691139 3.407099
0.000000 1.613058 4.419528 4.272778 3.316626
0.000000 1.147535 1.624407 1.196858 0.907775
0.000000 0.802423 0.887230 0.745098 0.608824
Choles ky Orderin g: HBDO M HBD HBI PB HMMD NT TFP
61
100% 90% 80%
TFP
70%
NT
60%
HMMD
50%
PB
40% 30%
HBI
20%
HBD
10%
HBDOM
0% 1
2
3
4
5