Strategi Optimasi Kolaborasi Pengelolaan Zona Khusus Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Babul Maros, Sulawesi Selatan) Collaboration Optimisation Strategy in the Management of Specific Zone of National Park (a Case Study of Babul Maros National Park of South Sulawesi) Adrayanti Sabar, Supratman dan Mas’ud Junus
ABSTRACT The study is devoted to describing the utilization of an existing specific zone in the National Parkland of Babul, Maros; investigating the compatibility of each land utilisation in the special zone, and formulating the strategy for optimizing the collaboration of utilizing the special zone in the Babul National Park. The study was carried out in Tallasa region of Samangki Village, Simbang District of Maros Regency, from December 2010 to June 2011. The data were gathered through observation, interviews, focus group discussion, and documentation review. The data were analysed with land use, compatibility, and field strength analyses to achieve the objectives. The study identifies seven forms of land utilisation which are compatible with seven objectives of special zone management of the National Park that is rice field and plantation with very low compatibility, teak plantation with very low compatibility, areca palm tree plantation with low compatibility, and pine plantation (resin) with medium compatibility. The important action formulation to optimize the collaboration of the national park special zone management are to improve the capacity of the community to produce areca palm trees, rehabilitate shrubs and bushes organize and set poles and borders, establish rules and regulation to utilise the area of the national park, and create a compensation system. Also, it is necessary to enrich the varieties of plants under the teak stands of the community plants and cultivate rice field intensively using organic fertiliser. Keyword: optimization, compatibility, collaboration, special zone
ABSTRAK Penelitian bertujuan mengidentifikasi pemanfaatan lahan (existing land use) zona khusus; menganalisis kompatibilitas masing-masing pemanfaatan lahan (existing land use); merumuskan strategi optimasi kolaborasi pemanfaatan lahan (existing land use) zona khusus Taman Nasional Babul. Penelitian dilaksanakan di Dusun Tallasa, Desa Samangki, Kecamatan Simbang Kabupaten Maros, pada Bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011. Data dikumpul melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi serta FGD. Analisis existing land use, analisis kompatibilitas dan analisis kekuatan medan dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian ditemukan tujuh bentuk pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan zona khusus taman nasional yaitu sawah dan ladang dengan kompatibilitas sangat rendah, pemanfaatan jati dengan kompatibilitas rendah, pemanfaatan aren dengan kompatibilitas sedang, serta pemungutan kayu dan pemanfaatan aren dan getah pinus dengan tingkat kompatibilitas cukup. Rumusan aksi terpenting untuk optimasi kolaborasi pengelolaan zona khusus taman nasional adalah meningkatkan kapasitas masyarakat memproduksi produk-produk tanaman aren; merehabilitasi semak belukar; menata dan memberi pal batas; membangun aturan pemanfaatan areal taman nasional oleh masyarakat; membangun sistem kompensasi; melakukan pengayaan tanaman di bawah tegakan jati tanaman masyarakat; mengelola sawah secara intensif dengan menggunakan pupuk organik. Kata kunci: optimasi; kompatibilitas; kolaborasi; zona khusus
PENDAHULUAN Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk tetap mempertahankan atau melestarikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga secara terus-menerus dapat memberikan manfaatnya dalam mendukung kehidupan umat manusia. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan menetapkan beberapa bagian dari wilayah Republik Indonesia sebagai kawasan konservasi. Salah satu diantaranya adalah kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN-Babul) di Provinsi Sulawesi Selatan. Areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN-Babul) seluas 43.750 ha, yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004, tanggal 18 Oktober 2004. Areal taman nasional tersebut terdiri atas Taman Wisata Alam Bantimurung seluas 1.624,25 ha, Cagar Alam Karaenta seluas 1.226 ha, Cagar Alam Bantimurung seluas 1000 ha, Cagar Alam Bulusaraung seluas 8.056,65 ha, serta sebagian hutan lindung dan hutan produksi.
Penetapan areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diharapkan akan berdampak ekologis dan juga sosial ekonomi yang positif kepada masyarakat. Meskipun demikian, pada tahap awal pengelolaan taman nasional masyarakat lebih banyak merasakan dampak negatif sebagai akibat dari terbatasnya atau bahkan hilangnya akses mereka terhadap areal yang telah dikelola secara turun temurun yang pada saat ini berada di dalam areal taman nasional. Hal ini menyebabkan munculnya konflik pengelolaan taman nasional. Departemen Kehutanan sebenarnya telah mengeluarkan dua aturan khusus untuk menghindari konflik di dalam areal taman nasional yaitu Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Permenhut nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Kedua Permenhut tersebut, memungkinkan keterlibatan pihak lain, termasuk masyarakat. Berdasarkan kedua aturan tersebut, untuk mengakomodasi tujuan konservasi pengelolaan taman nasional pada suatu sisi dan tujuan mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan pada sisi yang lain, areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung telah ditata menjadi 4 zona pengelolaan yaitu: (1) zona inti dan zona rimba untuk tujuan utama konservasi, (2) zona khusus dan zona tradisional untuk tujuan utama mensejahterakan masyarakat di sekitar tanpa melupakan tujuan konservasi taman nasional. Pengelolaan setiap zona tersebut di atas memerlukan suatu konsep yang dapat mengakomodasi kepentingan parapihak secara proporsional. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa di Taman Nasional Babul memiliki potensi konflik yang tinggi antara masyarakat dengan pengelola taman nasional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, sebagian areal tersebut di atas telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas, seperti usahatani tanaman semusim, ladang berpindah, kebun, hutan rakyat pola agroforestry, dan bahkan telah dimanfaatkan sebagai areal permukiman. Selain itu, di dalam areal taman nasional terdapat pula areal Pilot Project Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) bantuan OECF seluas 500 ha yang dibangun pada tahun 1999. Dua desa yang masyarakatnya memiliki potensi konflik yang tinggi dengan pengelola taman nasional, yaitu Desa Samangki dan Desa Labuaja. Di Desa Samangki, terdapat sekelompok lahan bersertifikat milik masyarakat berada di dalam areal taman nasional, sedangkan di Desa Labuaja terdapat areal Pilot Project HKm bantuan OECF seluas 500 ha yang telah dikelola oleh kelompok masyarakat secara legal sesuai mekanisme pengelolaan HKm. Masyarakat di kedua desa tersebut tidak dapat mengakses lahannya secara legal setelah penetapan areal yang mereka kelola sebagai areal TNBabul. Konflik antar pihak, sesungguhnya menjadi fakta yang banyak dijumpai di hampir seluruh kawasan taman nasional di Indonesia. Konflik, pada gilirannya mendorong terjadinya pelanggaran dan perambahan yang pada akhirnya menyebabkan banyak Taman Nasional mengalami degradasi dan kerusakan. Padahal keberadaan taman nasional dibutuhkan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan konservasi demi masa depan. Selain itu, taman nasional menjadi tempat bergantung bagi sebagian masyarakat Indonesia termasuk masyarakat sekitar taman nasional Babul. Oleh karena itu, taman nasional membutuhkan strategi pengelolaan kolaborasi yang tepat dan melibatkan multipihak. Pengelolaan hutan secara kolaboratif telah banyak dikembangkan di negara-negara berkembang pada kurun waktu tiga dekade terakhir, tetapi pengelolaan hutan masih memiliki beberapa kelemahan terutama belum dipertimbangkannya aspek optimasi pemanfaatan hasil hutan dalam menunjang
pendapatan masyarakat. Zonasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan kolaboratif, namun demikian, tujuan pengelolaan pada setiap zona, terutama zona tradisional dan zona khusus belum mencerminkan philosofi pengelolaan kolaboratif karena masih cenderung memisahkan tujuan konservasi dengan tujuan ekonomi sosial masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan tujuan pengelolaan hutan tersebut maka diperlukan model pengelolaan hutan yang mampu mengkolaborasikan semua aspek pengelolaan hutan. Untuk mengoptimalkan pengelolaan kolaboratif tersebut diperlukan strategi pengelolaan terutama pada zona khusus taman nasional. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Dusun Tallasa, Desa Samangki, Kecamatan Simbang Kabupaten Maros. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa desa tersebut termasuk dalam penunjukan zona khusus TN-Babul. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut: 1. Penelitian pendahuluan, pada Bulan Desember 2010 – Februari 2011. Pada penelitian ini dilakukan FGD dan pemetaan pemanfaatan lahan (existing land use) 2. Analisis overlay peta, analisis kompatibilitas, dan force field analysis (analisis kekuatan medan), dilakukan pada Bulan Maret – Juni 2011 Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal pemanfaatan lahan (existing land use), wawancara serta data-data yang diperoleh melalui focus group discussion (FGD) dengan melibatkan beberapa tokoh masyarakat serta stakeholder TN-Babul. Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan berupa kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari luas lahan yang dikelola dalam areal TN-Babul, bentuk pemanfaatan lahan, jumlah keluarga petani, luas lahan serta potensi areal pemanfaatan. Data primer pada penelitian ini juga berupa peta sebaran masyarakat (pemukiman dan penggunaan lahan) di wilayah Dusun Tallasa, Desa Samangki dan interaksinya dengan kawasan TNBabul serta konflik kompatibilitas sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan masyarakat di dalam dan sekitar areal TN-Babul. Selanjutnya, data sekunder diperoleh dari laporan hasil penelitian, literatur, karya ilmiah, dokumentasi, data-data dari instansi yang terkait, serta informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder yang dibutuhkan berupa gambaran umum wilayah penelitian meliputi: sejarah kawasan, fungsi kawasan, serta informasi atau data lainnya yang mendukung penelitian dan bahan pustaka yang menjadi landasan teori. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dokumentasi serta dengan cara Focus Discussion Group (FGD). Metode observasi dilakukan dengan pengamatan empirik atas kondisi bio-fisik lahan, aktivitas pemanfaatan lahan, dan batas-batas kepemilikan lahan yang menjadi objek konflik antara masyarakat Dusun Tallasa dengan pihak TNBabul. Metode wawancara ditunjukkan pada pertanyaan tentang potensi serta proses budidaya pada areal pemanfaatan kepada masyarakat yang melakukan aktivitas pemanfaatan lahan pada areal TN-Babul dengan melibatkan 13 pemilik bentuk pemanfaatan lahan masyarakat serta 2 pemerintah desa. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang bagaimana kondisi sosial ekonomi
masyarakat serta informasi mengenai konflik sumber daya hayati pada areal pemanfaatan lahan masyarakat. Selanjutnya diperlukan pula dokumentasi untuk pencatatan hasil dan pengambilan gambar hasil observasi melalui pemotretan dan fotocopy data sekunder dari instansi terkait. Metode ini dilakukan agar hasil observasi di lapangan dapat disimpan serta untuk menyimpan data-data sekunder dari instansi terkait. Selanjutnya untuk memperoleh data lebih mendalam tentang pengelolaan taman nasional maka dilakukan Focus Discussion Group (FGD) dengan melibatkan beberapa tokoh masyarakat. Metode ini dilakukan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan pengelolaan TN-Babul berupa faktor pendukung dan penghambat kegiatan pemanfaatan lahan masyarakat di areal TN-Babul. Penentuan responden dengan menggunakan purposive sampling. Adapun jumlah sampel yang digunakan dari masing-masing aktivitas pemanfaatan lahan adalah 1 pemilik lahan/kegiatan pemanfaatan lahan. Alasan pemilihan berdasarkan atas jarak areal kelola dengan zona rimba dan zona inti taman nasional. Data-data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif, melalui metode analisis overlay peta, analisis kompatibilitas dan analisis kekuatan medan (Force Field Analysis). 1.
Analisis Land Use
Analisis land use di sini yaitu hasil overlay peta zonasi taman nasional dan peta pemanfaatan lahan (existing land use) masyarakat, sehingga dapat diidenfikasi aktivitas-aktivitas masyarakat yang berada di dalam zona khusus taman nasional. Alat yang digunakan untuk melakukan analisis ini adalah peta pencadangan zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan peta pemanfaatan aktivitas masyarakat di Dusun Tallasa, Desa Samangki, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Hasil overlay peta ini akan diperoleh sebaran pemanfaatan lahan oleh masyarakat dalam areal taman nasional. 2. Analisis Kompatibilitas Hasil analisis overlay peta zonasi dengan sebaran pemanfaatan existing land use, selanjutnya dilakukan analisis kompatibilitas menggunakan matriks Hagget (1960). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecocokan (kompatibilitas) antara pemanfaatan lahan (existing land use) oleh masyarakat dengan tujuan pengelolaan zona khusus taman nasional. Analisis ini menggunakan pendekatan multiple use forest management sebagai patokan. Pada pendekatan ini zona khusus taman nasional akan dikelola untuk tujuan utama (primary product) perlindungan keanekaragaman hayati dan tujuan sekunder (secondary product) untuk memproduksi barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Matriks kompatibilitas Hagget (1960) sebagai berikut: Secondary
Urban
Recreation
Agriculture
Forestry
Grazing
Transport
Water
Wildlife
Mineral
7 0 0 0 0 0
0 7 1 6 6 0
0 0 7 0 0 0
0 2-4 0 7 1 0
0 0-1 0 0-5 7 0
1 1 0 0 0 7
0 2 1 0 2-6 0
1 5 2-4 6 6 0
1 1 2 2-4 2-6 0
Primary
Urban Recreation Agriculture Forestry Grazing Transport
Water Wildlife Mineral
0 0 0
2-6 6 2
1 1 2
1 4 3
2-4 4 3-4
0 0 3
7 2 2
2-6 7 2-3
1 1 7
0 = None ; 1 = Very Poor; 2 = Poor; 3 = Fair; 4 = Moderate; 5 = Fairly High; 6 = High Sumber: after M. Clawson et al, Land for the Future (Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1960). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan pada masing-masing pemanfaatan lahan (existing land use) dan mengacu kepada matriks kompatibilitas Hagget maka ditetapkan tingkat kompatibilitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat. 3.
Analisis Kekuatan Medan (Force Field Analysis)
Analisis ini bertujuan untuk merumuskan strategi optimasi kolaborasi pemanfaatan (existing land use) zona khusus taman nasional berdasarkan tingkat kompatibilitasnya. Langkah-langkah analisis: 1) Hasil analisis kompatibilitas pemanfaatan lahan (existing land use) oleh masyarakat dianalisis kembali dengan melakukan FGD untuk mengidentifikasi yang akan menjadi faktor penghambat (restraining forces) dan faktor pendorong (driving forces) dalam pengelolaan kompatibilitas. terutama terhadap masalah zonasi taman nasional dengan bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. 2) Menganalisis setiap faktor penghambat dan faktor pendorong untuk menunjukkan seberapa besar kekuatannya dalam pengelolaan kompatibilitas. 3) Bersama dengan peserta FGD (stakeholder) menganalisis seberapa besar kemampuan untuk melemahkan faktor penghambat dan menguatkan faktor pendorong dengan memberi nilai yang menunjukkan seberapa besar kemampuan peserta FGD (stakeholder) untuk mengubah faktor tersebut. 4) Dengan mengetahui faktor pendorong yang paling lemah dan faktor penghambat yang tinggi, maka faktor tersebutlah yang paling pertama diintervensi sebelum mengintervensi faktor-faktor yang lain. Adapun hasil yang dicapai dari FFA adalah berupa strategi-strategi optimasi pengelolaan TN-Babul yang dicapai dengan melihat faktor pendukung dan faktor penghambat dari masing-masing aktivitas pemanfaatan lahan (existing land use).
HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk-Bentuk Existing Land Use oleh Masyarakat Hasil overlay peta existing land use (TLKM, 2010) dengan peta zonasi TN-Babul (2010) diketahui luas areal TN-Babul yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Tallasa 764,62 ha, terdiri atas 7 (tujuh) bentuk pemanfaatan. Jumlah unit dan luas masing-masing bentuk pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Bentuk-Bentuk Pemanfaatan Lahan (Existing Land Use) oleh Masyarakat pada Areal TN-Babul di Dusun Tallasa No. 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Pemanfaatan Hutan (Existing Land Use) Pemanfaatan Kawasan untuk Tanaman Aren Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan bukan Kayu pada Hutan Alam Hutan Tanaman Pinus Hutan Tanaman Jati Masyarakat Pemanfaatan Sawah Pemanfaatan Ladang
7.
Komoditi Air Nira
Jumlah (Unit) 49
Luas (ha) 50,84
Kayu, Aren
302
352,62
Getah, Kayu
9
11,05
Kayu Padi, Jagung Jagung, Kacangkacangan -
29 199 5
16,89 192,29 8,86
140
132,07
Semak belukar Total Luas Pemanfaatan Masyarakat : 764,62 ha Sumber: Hasil Overlay Peta Zonasi TN-Babul dengan Peta Pemanfaatan Lahan Masyarakat Dusun Tallasa, 2011 Tabel 1 menunjukkan bahwa banyaknya aktivitas masyarakat yang sangat tergantung pada zona khusus TN-Babul. Kegiatan pemanfaatan masyarakat diharapkan sesuai dan tidak mengganggu dengan peruntukan zona khusus taman nasional pada areal tersebut. Aktivitas masyarakat merupakan aktivitas yang intens/selalu dilakukan demi kebutuhan yang secukupnya pada areal tersebut. Tabel di atas menunjukkan bahwa hutan alam lebih luas dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan masyarakat yang lainnya. Hal ini mengambarkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang masuk ke dalam areal taman nasional sangat tinggi. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang berada di dalam wilayah mereka sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan sehingga jika akses terhadap hutan yang berada di sekitar mereka hilang, maka dapat menyebabkan tidak terpenuhinya lagi kebutuhan hidup masyarakat. Posisi dan Sebaran Existing Land Use terhadap Areal Taman Nasional Potensi gangguan pada areal zona inti/tingkat sensitifitas yang tinggi diidentifikasi dengan melihat jarak antara zona khusus tersebut dengan zona rimba dan zona inti TN-Babul. Posisi pemanfaatan hutan masyarakat pada zona
khusus di Dusun Tallasa terhadap zona inti yang terdekat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jarak antara Existing Land Use Zona Khusus dengan Zona Rimba dan Zona Inti TN-Babul Jarak Zona Khusus dalam Zona TN-Babul No.
Existing Land Use Zona Khusus
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aren Hutan Alam Pinus Jati Sawah Ladang Semak Belukar
Zona Rimba (meter) 337,28 111 102,76 159,79 191,19 143 268,41
Zona Inti (meter) 444 232 500 268 302 232 358
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2011 Zona Inti Zona inti taman nasional sangat dekat dan bahkan bersinggungan langsung dengan areal milik masyarakat Dusun Tallasa. Potensi zona inti TNBabul sangat berlimpah ruah yaitu flora dan fauna endemik, mineral berupa batuan karst dan air. Menurut pengelola taman nasional, keberadaan zona inti tersebut memiliki tujuan utama untuk menjaga keanekaragaman hayati yang di dalamnya terdapat batuan karst serta habitat satwa dan jenis kayu-kayuan yang dilindungi. Potensi TN-Babul berupa karst merupakan kawasan karst terbaik kedua di dunia sehingga perlu untuk dilindungi. Begitu pula dengan flora fauna pada areal tersebut sangat khas (endemik) sehingga memerlukan perlindungan. Potensi tersebut sangat memungkinkan terganggu apabila tidak ada kesepahaman antara pengelola taman nasional dengan masyarakat. Analisis Kompatibilitas Existing Land Use Analisis kompatibilitas existing land use menganalisis antara produk primer dengan produk sekunder pada suatu unit manajemen. Analisis ini menggambarkan potensi gangguan yang akan diberikan kepada produk primer pada saat memproduksi produk sekunder. Hasil analisis dengan menggunakan Tabel kompatibilitas Hagget dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel
3 Tingkat Kesesuaian Pemanfaatan Lahan (Existing Land Use) dari Tujuan Pengelolaan TN-Babul Primer
Keanekaragaman Hayati
Sekunder Aren Hutan Alam Sawah Pinus Jati Ladang Semak Belukar
3 4 1 4 2 1 4
Keterangan: 0 : Tidak Kompatibel 1: Sangat Rendah 2 : Rendah
3 :Sedang 4: Cukup Kompatibel
Hasil analisis TN-Babul tahun 2010 menyimpulkan bahwa zona khusus pada Dusun Tallasa memiliki tingkat sensitifitas yang kurang sensitif dan sebagian kecil areal mereka berada di areal yang tingkat sensitifitasnya sedang dan tinggi, dilihat dari tingkat kelerengan, ketinggian, vegetasi, dan sebaran fauna, sedangkan zona inti sekitar zona khusus memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi. Tingkat sensitifitas areal TN-Babul yang dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Tallasa dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Sensitifitas pada Areal Pemanfaatan Masyarakat Dusun Tallasa Berdasarkan Variabel Pembentuk Zona TN-Babul No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pemanfaatan Hutan (Existing Land Use)
Aren Hutan Alam Pinus Jati Sawah Ladang Lahan Kosong
Land Use Interpretasi TN-Babul Kelerengan (%)
< 30 > 45 < 30 >45 < 30 >45 >45
Sebaran Fauna
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Vegetasi
HS HS HS HS HS HS HS
Ketinggian (m)
Tingkat Sensitifitas
<1000 <1000 <1000 <1000 <1000 <1000 <1000
Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang Sedang Sedang
Keterangan : HP : Hutan Primer HS : Hutan Sekunder Strategi Optimasi Kolaborasi Kegiatan masyarakat yang mereka lakukan harus tetap berorientasi terhadap terjaganya sumber daya hutan pada areal tersebut serta areal sekitarnya. Terciptanya kolaborasi pengelolaan yang baik dapat tercapai dengan memperhatikan faktor pendorong serta faktor penghambat pengelolaan existing land use masyarakat yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan taman
nasional. Adapun faktor-faktor pendorong dan penghambat pengelolaan zona khusus dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Pengelolaan Zona Khusus Taman Nasional No. 1.
Existing Land Use Aren
2.
Hutan Alam
Faktor Pendorong (Driving Forces) Pemanfaatan berupa hasil hutan bukan kayu Kelerengan < 30% (TN-Babul) Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul) Sensitifitas rendah (TN-Babul) Kompatibel (Hagget) Masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu Kompatibel (Hagget) Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul)
3.
Pinus
4.
Jati
5.
Sawah
Diakui masyarakat sebagai kawasan hutan Sensitifitas rendah (TN-Babul) Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul) Kompatibel (Hagget)
Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul) Masyarakat paham teknik budidaya Masyarakat telah mengelola tanaman jati
Terasering Kelerengan < 30% (TN-Babul) Sensitifitas rendah (TN-Babul)
6.
Ladang
Sebagian telah dikonversi menjadi Jati Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul)
7.
Semak Belukar
Sebaran flora fauna rendah (TN-Babul) Kompatibel (Hagget)
Faktor Penghambat (Restrining Forces) Dekat dengan hutan alam membutuhkan bahan bakar berupa kayu
Sensitifitas sedang Pemungutan hasil hutan kayu oleh masyarakat Areal yang diklaim masyarakat sebagian berada di zona inti Tata batas tidak jelas Kelerengan > 45% (TNBabul) Pemungutan kayu oleh masyarakat Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pemungutan getah pinus
Pemanfaatan berupa hasil hutan kayu Pola monokultur Sensitifitas sedang (TNBabul) Kurang Kompatibel (Hagget) Penggunaan pupuk kimia Konversi menjadi lahan pemukiman Tingkat kompatibilitas sangat rendah (Hagget) Sensitifitas sedang (TNBabul) Kelerengan > 45% (TNBabul) Penggunaan pupuk Kimia Belum dimanfaatkan Hutan sekunder (TNBabul) Sensitiftas sedang Kelerengan >45% (TNBabul) Areal cocok untuk pemukiman Dekat dengan hutan alam (TN-Babul)
Tabel 5 menjelaskan bahwa faktor pendorong serta faktor penghambat pengelolaan existing land use yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan Taman Nasional sangat beragam. Faktor tersebut pada Tabel 5 diidentifikasi berdasarkan bentuk existing land use serta hal yang dapat menjadi pendukung dan kendala dalam mencapai tujuan. Optimasi Kolaborasi Pemanfaatan Zona Khusus Taman Nasional Optimasi kolaborasi taman nasional dalam pengelolaan zona khusus merupakan langkah-langkah taktis dalam menciptakan kolaborasi yang menghasilkan produk utama taman nasional dengan tetap mensejahterakan masyarakat yang berada di zona khusus. Langkah-langkah tersebut dicapai melalui identifikasi kegiatan taktis yang dapat ditempuh untuk meningkatkan faktor pendorong serta melemahkan faktor penghambat. Faktor pendukung pada pemanfaatan lahan masyarakat perlu ditingkatkan dan dipertahankan agar pengelolaan zona khusus dapat terkelola lebih baik. Faktor pendukung tersebut ditunjang melalui cara-cara yang efektif agar faktor pendukung yang lemah lebih diperkuat melalui cara atau langkah yang tepat. Identifikasi cara-cara peningkatan faktor pendorong disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Cara Penguatan Faktor Pendorong Pemanfaatan Lahan Masyarakat No. 1.
Existing Land Use Aren
Ways to strengthening, maximi the driving forces
Mengembangkan usaha aren sebagai unit usaha kelompok bukan individu rumah tangga
2.
Hutan Alam
Mengembangkan pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang kompatibel dengan tujuan konservasi TN-Babul Membangun sistem kompensasi atas investasi masyarakat di dalam zona inti yang tidak dapat dipanen lagi setelah ditetapkan sebagai zona inti Menetapkan areal hutan pinus sebagai areal penyangga zona khusus Meningkatkan kapasitas masyarakat mengelola tegakan tanaman jati sesuai silvikultur jenis jati Membangun sistem hak atas tanaman jati masyarakat yang berada di areal TN-Babul Mengelola sawah secara intensif tetapi tetap kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN-Babul Membangun sistem perladangan menetap yang bersifat sequential untuk membangun pola agroforestry Mengelola areal semak belukar yang dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat
3.
Pinus
4.
Jati
5.
Sawah
6
Ladang
7.
Semak Belukar
Faktor penghambat yang telah diidentifikasi berdasarkan pengaruh dan kendala yang diberikan terhadap pencapaian tujuan pengelolaan zona khusus kemudian direduksi berdasarkan faktor penghambat yang paling tingggi. Faktorfaktor penghambat tersebut dilemahkan melalui cara-cara yang efektif. Cara mereduksi faktor penghambat dari bentuk pemanfaatan lahan masyarakat disajikan pada Tabel 7.
Tabel .7 Cara Melemahkan Faktor Penghambat Pemanfaatan Lahan Masyarakat No. 1.
Existing Land Use Aren
2.
Hutan Alam
3.
Pinus
4.
Jati
5. 6 7.
Sawah Ladang Semak Belukar
Ways to Reduce Restraining Forces Mengalokasikan areal TN yang potensial untuk dikelola sebagai areal untuk tujuan produksi kayu bakar Mengembangkan produk-produk aren yang tidak menggunakan kayu bakar Mengembangkan bahan bakar alternatif (biofuel) Menata batas-batas areal TN secara partisipatif Membangun sistem hak penggunaan areal TN yang diklaim oleh masyarakat sebagai lahan milik Memungut getah pinus sebagai sumber pendapatan masyarakat Mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh tegakan tanaman jati Membangun sistem pengelolaan tegakan jati yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN Menggunakan pupuk organik Melakukan transformasi ladang menjadi agroforestry Melakukan rehabilitasi pola agroforestry
Rencana Aksi (Clear Action) Pengelolaan Zona Khusus Rencana aksi pengelolaan zona khusus taman nasional merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan secara real pada pemanfaatan lahan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh semua pihak. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang diharapkan dapat mencapai tujuan konservasi kawasan taman nasional tanpa mengabaikan kesejahteraan masyarakat yang berada di zona khusus. Rencana aksi pengelolaan zona khusus diperoleh melalui hasil dari peningkatan faktor pendukung yang dikaitkan dengan cara yang dilakukan untuk melemahkan faktor penghambat. Adapun rencana aksi pengelolaan zona khusus taman nasional disajikan pada Tabel 8 berikut:
Tabel 8. Rencana Aksi (Clear Action) Pengelolaan Zona Khusus No.
Existing Land Use
.
Aren
2.
Hutan Alam
3.
Pinus
Ways to strengthening, maximi the driving forces Mengembangkan budidaya aren pada lahan-lahan di luar kawasan hutan Mengembangkan usaha aren sebagai unit usaha kelompok bukan individu rumah tangga
Mengembangkan pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang kompatibel dengan tujuan konservasi TNBabul
Membangun sistem kompensasi atas investasi masyarakat di dalam zona inti yang tidak dapat dipanen lagi setelah ditetapkan sebagai zona inti Menetapkan areal tersebut sebagai areal penyangga
Ways to Reduce Restraining Forces
Clear Action
Mengalokasikan areal TN yang potensial untuk dikelola sebagai areal untuk tujuan produksi kayu bakar Mengembangkan produk-produk aren yang tidak menggunakan kayu bakar
Meningkatkan kapasitas masyarakat memproduksi produk-produk tanaman aren Menanam jenis kayu untuk kayu bakar pada arealareal semak belukar Pembuatan tungku bakar yang efisien Menanam jenis kayu yang berenergi tinggi untuk kayu bakar
Menata batas Menata dan batas areal TN memberi pal secara partisipatif batas pada areal TN yang diklaim Membangun oleh masyarakat sistem hak penggunaan Membangun areal TN yang aturan-aturan diklaim oleh pemanfaatan masyarakat areal TN yang sebagai lahan diklaim milik masyarakat Membangun sistem kompensasi
Memungut getah pinus sebagai sumber pendapatan masyarakat
Melatih masyarakat menyadap getah pinus Memberikan hak pemungutan getah pinus
4.
Jati
Meningkatkan Mengoptimalkan kapasitas pemanfaatan masyarakat ruang tumbuh mengelola tegakan tegakan tanaman tanaman jati sesuai jati silvikultur jenis jati Membangun sistem Membangun sistem hak atas pengelolaan tanaman jati tegakan jati yang masyarakat yang kompatibel berada di areal TNdengan tujuan Babul pengelolaan TN
5.
Sawah
6.
Ladang
7.
Semak Belukar
Meningkatkan Menggunakan intensitas pupuk organik pengelolaan sawah Tidak menambah yang kompatibel luas areal sawah dengan tujuan yang ada pengelolaan TNsekarang Babul
Membangun sistem perladangan menetap yang bersifat sequential untuk membangun pola agroforestry Mengelola areal semak belukar yang dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat
Melakukan transformasi ladang menjadi agroforestry Menggunakan pupuk organik
Melakukan rehabilitasi pola agroforestry
kepada masyarakat Membuat aturan pemungutan kayu jati tanaman masyarakat yang berada di dalam areal TN Membuat aturan kompensasi atas tanaman jati masyarakat yang tidak bisa dipungut/ dipanen Melakukan pengayaan tanaman di bawah tegakan jati tanaman masyarakat Mengelola sawah secara intensif dengan menggunakan pupuk organik Menetapkan existing land use sawah sebagai tata guna lahan permanen zona khusus Melatih masyarakat untuk melakukan transformasi pola ladang menjadi pola-pola agroforestry Merehabilitasi areal semak dengan tanaman yang mendukung kebutuhan kayu bakar, buah, dan hasil hutan bukan kayu
Rencana aksi di atas merupakan rencana aksi yang tepat dilakukan di zona khusus taman nasional demi terciptanya konservasi sumber daya hayati dan kesejahteraan masyarakat. Rencana aksi tersebut merupakan langkah-langkah kegiatan yang dapat menekan faktor penghambat serta meningkatkan faktor pendukung pengelolaan zona khusus.
KESIMPULAN 1. Bentuk pemanfaatan lahan (existing land use) oleh masyarakat yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan zona khusus TN adalah pemanfaatan sawah dan ladang dengan kompatibilitas sangat rendah, pemanfaatan jati dengan kompatibilitas rendah, pemanfaatan aren dengan kompatibilitas sedang, serta pemungutan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa getah pinus dengan tingkat kompatibilitas cukup. 2. Strategi memperkuat faktor pendorong (driving forces) untuk optimasi kolaborasi pengelolaan zona khusus TN adalah mengembangkan budidaya aren pada lahan-lahan di luar kawasan hutan; mengembangkan usaha aren sebagai unit usaha kelompok bukan individu rumah tangga; mengembangkan pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang kompatibel dengan tujuan konservasi TN-Babul; membangun sistem kompensasi atas investasi masyarakat di dalam zona inti yang tidak dapat dipanen lagi setelah ditetapkan sebagai zona inti; menetapkan areal hutan pinus sebagai areal penyangga zona khusus; meningkatkan kapasitas masyarakat mengelola tegakan tanaman jati sesuai silvikultur jenis jati; membangun sistem hak atas tanaman jati masyarakat yang berada di areal TN-Babul; mengelola sawah secara intensif tetapi tetap kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN-Babul; membangun sistem perladangan menetap yang bersifat sequential untuk membangun pola agroforestry; mengelola areal semak belukar yang dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat. 3. Strategi melemahkan faktor penghambat (restrining forces) untuk optimasi kolaborasi pengelolaan zona khusus TN adalah mengalokasikan areal TN yang potensial untuk dikelola sebagai areal untuk tujuan produksi kayu bakar; mengembangkan produk-produk aren yang tidak menggunakan kayu bakar; mengembangkan bahan bakar alternatif (biofuel); menata batas-batas areal TN secara partisipatif; membangun sistem hak penggunaan areal TN yang diklaim oleh masyarakat sebagai lahan milik; memungut getah pinus sebagai sumber pendapatan masyarakat; mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh tegakan tanaman jati; membangun sistem pengelolaan tegakan jati yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN; menggunakan pupuk organik; melakukan transformasi ladang menjadi agroforestry; melakukan rehabilitasi pola agroforestry. 4. Rencana aksi untuk optimasi kolaborasi pengelolaan zona khusus TN adalah meningkatkan kapasitas masyarakat memproduksi produk-produk tanaman aren; menanam jenis kayu untuk kayu bakar pada areal-areal semak belukar; pembuatan tungku bakar yang efisien; menanam jenis kayu yang berenergi tinggi untuk kayu bakar; menata dan memberi pal batas pada areal TN yang diklaim oleh masyarakat; membangun aturan-aturan pemanfaatan areal TN yang diklaim masyarakat; membangun sistem kompensasi; melatih masyarakat menyadap getah pinus; memberikan hak pemungutan getah pinus kepada masyarakat; membuat aturan pemungutan kayu jati tanaman masyarakat yang berada di dalam areal TN; membuat aturan kompensasi atas tanaman jati masyarakat yang tidak bisa dipungut/ dipanen; melakukan pengayaan tanaman di bawah tegakan jati tanaman masyarakat; mengelola sawah secara intensif dengan menggunakan pupuk organik; menetapkan existing land use sawah sebagai tata guna lahan permanen zona khusus; melatih masyarakat untuk melakukan transformasi pola ladang menjadi polapola agroforestry; merehabilitasi areal semak dengan tanaman yang mendukung kebutuhan kayu bakar, buah, dan hasil hutan bukan kayu
DAFTAR PUSTAKA Claridge G, O’Callaghan, editor. 1995. Community Involment in Wetland Management: Lessons from the Field. Incorporating the Proceedings of Workshop 3: Wetlands, Local People and Development, of the International Conference on Wetlands and Development held in Kuala Lumpur. Malaysia. Cloke P.J., C.C. Park. 2001. Rural Resources Management. Billing and Sons Limited. Worcesher. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. _______. 1998. Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Fisher, RJ. 1995. Colaborative Management of Forest for Conservation and Development. Issues in Forest Conservation. IUCN-The World Conservation Union, World Wide Fund for Nature, Valserine-France. Gregory, RG. 1972. Forest Resource Economics. University of Michigan. The Ronald Press Company, New York. Printed in The United States of America MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di daerah Tropika Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. Penerjemah. Hari Harsono Amir. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the Tropics. Supratman. 2009. Buku Ajar manajemen Hutan. Tidak Dipublikasikan. Makassar Lewin, K., 1951. Force Field Analysis. Field Theory in Social Science, New York: Harper and Row (Online), (http:www/mindtools.com/ forcefld.html. Diakses 6 Maret 2011)