38
BAB V INDIKATOR DAN KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Pada Bab ini akan dideskripsikan hasil pengukuran dan penilaian indikator kinerja kelestarian fungsi sosial budaya TNGHS, validitas indikator dan capaian kinerja pengelolaan pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam. Ada sembilan indikator yang akan dinilai, yaitu: (1) zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual, (3) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (4) terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (5) terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (6) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (7) tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (8) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya, dan (9) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya. Kesembilan indikator tersebut mewakili aspek manajemen kawasan, manajemen sumberdaya alam dan manajemen kelembagaan.
5.1 Pengukuran Verifier Indikator 1: Zonasi telah mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual Indikator ini mengandung pengertian bahwa akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi harus dipertimbangkan dalam penetapan zonasi taman nasional. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik sosial dan mempertahankan budaya/ritual yang telah berjalan di masyarakat secara lintas generasi.
39
Verifier 1: Keberadaan Situs/benda/ruang di dalam kawasan untuk kegiatan Budaya/ritual oleh masyarakat Berdasarkan lampiran zonasi indikatif pada Buku Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026, kemudian hasil wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian Kasepuhan Ciptagelar, diketahui sejumlah lokasi situs/benda/ruang di dalam kawasan TNGHS yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan budaya/ritual (Tabel 11). Situs/benda/ruang tersebut dihormati masyarakat karena memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat lokal yang masih bertahan hingga saat ini dan dimanfaatkan untuk kegiatan budaya atau ritual terkait bidang keagamaan (religi) dan penyelenggaraan upacara adat terkait siklus pertanian dan siklus kehidupan manusia. Tabel 11 Jenis situs/benda/ruang untuk kegiatan budaya/ritual dalam kawasan TNGHS Situs*/Benda/Ruang
Kegiatan Ritual Budaya terkait ritual pertanian/seren taun (Lepas Nadzar, ziarah, Jiwa Usik, Carek)
Lokasi Desa Citorek
Status Pengelolaan Mandiri oleh Kasepuhan Cibedug & pemkab Lebak
Sumber Informasi Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Situs Kosala
Situs megalitik ini memiliki ikatan tradisi dengan masyarakat Baduy.
Desa Lebak Gedong
Mandiri oleh masyarakat Baduy
Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Makam di Puncak Gunung Salak
terkait ritual pertanian/seren taun (Ziarah) dan mitos sejarah kekuasaan Sunda Kuno
Puncak Salak I
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan Giri Jaya
Rencana Pengelolaan TNGHS 2007 dan berbagai sumber
Makam bekas Sesepuh Girang (Abah Anom)
Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan
Kampung Ciptagelar
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan
Wawancara dan pengamatan di lapangan
Kampung Gede Ciptagelar
Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan
Kampung Ciptagelar
Mandiri oleh masyarakat Kasepuhan
Wawancara dan pengamatan di lapangan
Situs Cibedug
40
Verifier 2: Situs/benda/ruang yang diakomodir dalam zonasi TNGHS Akses masyarakat atas berbagai pemanfaatan ruang di dalam kawasan taman nasional diakomodir dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Untuk menjamin akses dan hak masyarakat dalam kegiatan ritual budaya, pengelola telah menetapkan 3 situs di dalam kawasan ke dalam zona religi, budaya dan sejarah, yaitu situs Cibedug (Kasepuhan Cibedug), situs Kosala di Desa Lebak Gedong (Baduy) dan makam keramat di puncak Gunung Salak (Kasepuhan Giri Jaya). Bentuk kegiatan dan pemanfaatan di zona religi, budaya dan sosial berdasarkan Pasal 7 ayat 5 Permenhut No. 56 tahun 2006 meliputi: (1) perlindungan dan pengamanan, (2) pemanfaatan pariwisata, penelitian, pendidikan dan religi, (3) penyelenggaraan upacara adat dan (4) pemeliharaan situs, budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada. Berdasarkan teori hak kepemilikan (property right) menurut Schlager dan Ostrom (1992), masyarakat dapat mengimplementasikan hak mereka dalam zona religi, budaya dan sejarah pada tingkatan hak mengakses dan memanfaatkan (access and withdrawal) hingga hak kelola (management) melalui kegiatan perlindungan dan pemeliharaan. Hak milik atau property rights merupakan hak yang
dimiliki
oleh
individu,
masyarakat,
negara
atas
sumberdaya
(asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Property right merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North and Douglas 1990). Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Fakta di lokasi penelitian menunjukkan, bahwa selain 3 situs di atas, Kampung Gede Ciptagelar adalah central point penyelenggaraan berbagai upacara adat, baik terkait siklus pertanian, keagamaan, atau pun terkait siklus kehidupan. Di pusat Kampung Gede Ciptagelar terdapat benda/bangunan budaya yang
41
menjadi elemen penting dalam rangkaian upacara adat seperti imah rurukan, imah gede, leuit si jimat (lumbung keramat), saung lisung, ajeng wayang Golek, ajeng jipeng/topeng, ajeng siaran, dan pasanggrahan. Kegiatan budaya/ritual ini dilaksanakan pada berbagai landskap seperti pemukiman, sawah, dan makam. Untuk mengakomodir aktifitas sosial budaya dan ritualnya, Kampung Ciptagelar beserta lahan garapan ditetapkan sebagai zona tradisional yang menurut pasal 1 ayat 7 Permenhut 56 tahun 2006 didefinisikan sebagai bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Penetapan ini menjamin keberlangsung budaya Kasepuhan Ciptagelar, utamanya yang terkait dengan siklus pertanian yaitu bercocok tanam padi. Bagi masyarakat Kasepuhan, padi memiliki nilai sakral karena dipercaya sebagai jelmaan Dewi Padi atau Nyai Pohaci. Dari kesakralan tersebut, kegiatan bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan.
Gambar 6 Zonasi indikatif Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Sumber: Balai TNGHS 2008)
42
Verifier 3: Partisipasi masyarakat dalam penetapan benda/situs/ruang dalam zonasi Partisipasi masyarakat dalam zonasi diakomodasi oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 Pasal 19 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyebutkan ―Dalam rangka zonasi taman nasional, Pemerintah menumbuh kembangkan peranserta masyarakat”. Lebih lanjut, pada pasal 2 menyebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional dapat diwujudkan dalam bentuk, yaitu: (a) memberi saran, informasi dan pertimbangan; (b) memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi; (c) melakukan pengawasan kegiatan zonasi; dan (d) ikut menjaga dan memelihara zonasi. Menurut Pratiwi (2008), ada tiga variabel untuk mengukur partisipasi masyarakat, yaitu: (1) karakteristik masyarakat, (2) level keterlibatan masyarakat, dan (3) inisiatif partisipasi. Secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan semua unsur masyarakat pada semua level partisipasi dan inisiatif partisipasi sebaiknya berasal dari masyarakat. Menurut pengelola, penetapan zona telah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat. Berdasarkan verifikasi kepada masyarakat, diketahui sebanyak 67% responden mengaku pernah terlibat dalam penetapan zonasi TNGHS yang hingga saat ini prosesnya masih berjalan. Adapun bentuk partisipasinya adalah mengikuti rapat sosialisasi zonasi di tingkat kampong (52%), terlibat dalam validasi/groundcheck di lapangan (10%) dan menghadiri konsultasi publik di Balai TNGHS (5%). Pasal 19 ayat 1 Permenhut No. 56 tahun 2006, secara tersirat mengatur partisipasi masyarakat dalam proses penetapan hanya sebatas memberi saran, berbagi informasi, pertimbangan, proses nominal (sebagai pekerja/buruh) dan konsultasi (ikut dalam
berbagai konsultasi publik, FGD, lokakarya dan
sebagainya). Idealnya partisipasi masyarakat mencapai level pengambilan keputusan, sehingga partisipasi lebih lanjut oleh masyarakat akan dilandasi ikatan emosional yang kuat dengan taman nasional. Verifier 4: Perlindungan unit manajemen terhadap situs/benda/ruang untuk ritual/budaya Lokasi-lokasi yang ditetapkan dalam zona religi, budaya dan sosial belum seluruhnya mendapat pengelolaan yang intensif. Perlindungan dan pemeliharaan
43
situs oleh BTNGHS baru sebatas monitoring atau pengecekan lokasi dan kondisi situs. Pengecekan situs dilakukan setiap bulannya sebagai salah satu aktivitas survey partisipatif yang dilakukan oleh setiap resort. Pengecekan lokasi situs juga dilakukan ketika petugas melakukan patroli dan kegiatan pengaman hutan swakarsa (Pamhut Swakarsa) bersama masyarakat. Pengelolaan situs (perlindungan dan pemeliharaan) telah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dan menjadi tugas juru Kemit Kasepuhan atau pun atas fasilitasi oleh pemerintah daerah sebagaimana halnya Candi Cibedug yang berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depertemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Kabupaten
Lebak
No.
2999/101.3.12/J/1986 telah ditetapkan sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak. Pengelolaan situs untuk ritual budaya berpedoman pada ketentuan tentang penanganan benda cagar budaya sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pada Bab V, pasal 18, ayat 3 yang berbunyi: ―Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah‖. Dari ketentuan dan peraturan tersebut maka dalam pengolahan perlindungan dan pemeliharaan situs beserta benda cagar budayanya secara teknis dilakukan berdasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 pasal 23 ayat (1) ―perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran; ayat (2) ―Untuk kepentingan perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan; ayat (3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistim pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan‖. Untuk lokasi situs yang pengelolaannya telah menjadi kewenangan Pemerintah daerah, hal penting yang harus dilakukan pengelola taman nasional adalah mensinergikan pengelolaannya dengan instansi terkait berdasarkan kewenangan masing-masing. Sinergi dalam pengelolaan ini penting mengingat kewenangan ini akan berdampak langsung atau pun tidak langsung terhadap
44
kawasan taman nasional termasuk masyarakat Kasepuhan yang bermukim di dalamnya (Tabel 12). Tabel 12 Kewenangan instansi pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan situs cagar budaya di TNGHS No.
1.
Instansi terkait Pusat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
2.
Propinsi Dinas Pariwisata
3.
Kabupaten Dinas Pariwisata
Regulasi
Kepentingan
Dampak terhadap TN
Keppres No. 101 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan susunan organisasi dan tata kerja menteri negara
Berwenang dalam menetapkan kawasan pariwisata, obyek dan daya tarik wisata, persyaratan zoning, pencarian, pemanfaatan, system pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya persyaratan penelitian arkeologi
Tidak Langsung
Keppres No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depdikbud, Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J/1986 yang menetapkan Candi Cibedug sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak
Pembinaan dan pengelolaan obyek wisata daerah (contoh candi Cibedug dan kampung Ciptarasa, Ciptagelar yang masuk dalam peta kawasan wisata unggulan di Kabupaten Sukabumi)
Langsung
Keppres No. 101 tahun 2001 dan SK Kepala Depdikbud, Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J/1986 yang menetapkan Candi Cibedug sebagai cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementrian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Lebak
Pembinaan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata daerah; PAD
Langsung
Sumber: dimodifikasi dari Pratiwi (2008)
Indikator 2: Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual Indikator ini mengandung pengertian bahwa perencanaan dan implementasi pemanfaatan kawasan harus dirancang dengan memperoleh kesepakatan para pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang akan mengganggu kelestarian kawasan beserta ekologis taman nasional pada masa yang akan datang.
45
Untuk itu semua hal yang berkaitan dengan yang diperbolehkan maupun yang dilarang untuk dimanfaatkan harus ditetapkan secara jelas. Selanjutnya juga harus ada mekanisme penyelesaian konflik yang timbul (manajemen konflik) dari penggunaan kawasan oleh masyarakat untuk kegiatan budaya/ritual.
Verifier 1. Konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan Budaya/Ritual Konflik antara masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan TNGHS berawal dari penguasaan lahan di dalam kawasan TNGHS oleh masyarakat Kasepuhan yang dianggap sebagai bentuk perambahan (encroachment) dan pemukiman liar dmengingat kawasan TNGHS adalah kawasan milik Negara (state property). Perbedaan sistem nilai dalam mengelola sumberdaya hutan ini kemudian berdampak pada munculnya berbagai konflik budaya. Bagi masyarakat Kasepuhan, hutan dipandang milik bersama (common goods) dimana semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses sumberdaya alam seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Di sisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan (property right). Dasar klaim pemerintah atas wilayah adat didasari pada kebijakan agraria yang menyebutkan bahwa lahan yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya maka lahan tersebut menjadi domain negara (Harsono 2005). Meskipun pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, namun hak tersebut hanya diberikan jika ada pengakuan dari pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Asumsi hukum seperti ini jelas bertentangan dengan kesadaran hukum yang dimengerti masyarakat. Wilayah
adat bagi masyarakat Kasepuhan adalah lahan milik yang dikelola
bersama dimana statusnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kolektif anggota masyarakat (resources tenure). Dengan status hutan ulayat (wewengkon) yang masih menjadi domain Negara maka konflik ritual budaya akan terus berlangsung (Tabel 13). Budaya perpindahan kampung gede misalnya. Perpindahan kampung gede, secara aturan legal formal adalah bentuk perambahan (encroachment), namun dalam sistem
46
nilai masyarakat Kasepuhan adalah bagian dari budaya dan perintah (tatali paranti karuhun). Secara harfiah tatali paranti karuhun adalah filosofi hidup yang bermakna mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun. Perpindahan lokasi akan terus berlangsung hingga mereka berhasil menemukan suatu tempat yang dalam mitologi mereka disebut lebak sampayan atau lebak ngampar yang apabila hal itu terjadi mereka akan mencapai kehidupan yang makmur (Wahyuni, 2004). Tabel 13 Jenis konflik ritual budaya antara masyarakat Kasepuhan dan TNGHS Kegiatan ritual budaya Perpindahan kampung gege
Sistem nilai masyarakat
Perburuan kijang/Mencek (Muntiacus muntjak) di hutan titipan
Ritual penting dalam rangkaian upacara Seren Taun . wajib dilakukan karena dulu dilakukan juga oleh leluhur. Saat ini lebih bersifat simbolik karena dapat digantikan kerbau
Ziarah ke makam karuhun/ leluhur di hutan titipan/zona rimba
Ritual ziarah adalah manifestasi kesadaran bahwa dalam kehidupan saat ini mereka tetap merupakan bagian dari arwah nenek moyangnya Ritual adat terkait siklus pertanian, siklus hidup dan keagamaan sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta.
Penyelenggaraan berbagai ritual adat di Kampung Gede Ciptagelar yang diakomodir dalam zona tradisional
Perintah leluhur (tatali paranti karuhun) dalam bentuk wangsit, sampai ditemukannya lokasi lebak sampayan atau lebak ngampar
Aturan legal formal Negara Pembukaan kampung adalah kegiatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merupakan bentuk perambahan, sehingga melanggar UU 41/1999 Pasal 50 ayat 3 Perburuan di taman nasional tidak dibenarkan menurut PP No.13 tahun 94, meskipun untuk keperluan adat dan menggunakan senjata tradisional.
Gap Kebijakan
Berdasarkan Permenhut No. 56 tahun 2006 penyelenggaraan upacara religi dilakukan pada zona ritual budaya. Berdasarkan Permenhut No. 56 tahun 2006 penyelenggaraan upacara religi dilakukan pada zona ritual budaya.
Sda
Belum ada kejelasan status wewengkon Kasepuhan Ciptagelar. PEMDA belum menerbitkan PERDA pengakuan masyarakat hukum adat.
Sda
Sda
Jika merujuk pada tahapan konflik yang dikembangkan oleh Fuad dan Maskanah (2000), model konflik BTNGHS dengan masyarakat Kasepuhan dalam pemanfaatan kawasan dapat dijelaskan berdasarkan tiga tahapan konflik, yaitu: konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik
47
laten adalah konflik yang sifatnya tersembunyi (tidak muncul ke permukaan) dan dicirikan oleh tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke permukaan. Konflik laten antara pemerintah dan masyarakat kasepuhan dapat dilihat dari konflik kepentingan dan perbedaan sistem nilai dalam mengelola hutan (Pratiwi, 2008). Lebih lanjut menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik mencuat adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan dan permasalahannya telah jelas tapi penyelesaiannya belum berkembang. Sedangkan, konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin telah bernegosiasi atau mungkin pula buntu. Konflik pemanfaatan kawasan antara TNGHS dan masyarakat Kasepuhan telah menuju tahapan konflik yang terbuka (termanifestasikan). Hal ini dapat teridentifikasi dalam wawancara dengan pihak TNGHS dan masyarakat yang kerap mengasosiasikan dirinya dengan istilah ―kita‖ dan ―mereka‖. Sementara aliansi yang dilakukan masyarakat dapat dilihat dengan terbentuknya Persatuan Adat Banten Kidul dan Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa BaratBanten (FKMHJJB) yang difasilitasi LSM. Sementara BTNGHS mecoba mencari dukungan dari tenaga ahli, akademisi dan praktisi untuk menyelesaikan persoalan budaya perpindahan kampung gede ke hutan cadangan karena alasan ―wangsit‖.
Verifier 2:
Mekanisme penyelesaian konflik terkait dengan penggunaan ruang untuk kegiatan budaya/ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara lintas generasi.
Kepala Balai TNGHS dalam rapat pembahasan zonasi dengan NGO/LSM pada tanggal 23 Desember 2009, menyatakan bahwa kebijakan TNGHS sebagai mekanisme penyelesaian konflik keruangan adalah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) zona secara partisipatif, beserta regulasi zonanya. Regulasi zona pada intinya berisi aturan mengenai berbagai aktivitas yang diizinkan dan dilarang, termasuk pengaturan akses, pemanfaatan dan kontrol pada di setiap zona. Regulasi zonasi akan disusun secara partisipatif oleh Balai TNGHS dan para pihak dan diwujudkan dalam kontrak sosial/MoU. Penetapan RTRK merupakan kebijakan transisi mengenai eksistensi masyarakat adat sampai dengan terbitnya peraturan daerah (Perda), mengingat
48
selama ini pemerintah daerah bersikap pasif terhadap status masyarakat adat Kasepuhan, padahal masalah kejelasan status ini merupakan kewenangan Pemda. Berdasarkan wawancara dan penelurusan literatur, BTGHS berharap pemda segera memberikan sikap dalam hal pengakuan masyarakat adat di wilayahnya, hal ini diperlukan untuk memperjelas status lahan yang akan berimplikasi pada penyelesaian konflik lainnya seperti tata batas dan akses masyarakat. Meskipun RTRK ini masih dalam proses penetapan, berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa secara umum TNGHS telah memberikan akses untuk berbagai kegiatan budaya/upacara adat/ritual di dalam kawasan. Kegiatan budaya/ritual dapat dilaksanakan oleh masyarakat tanpa hambatan, baik yang dilaksanakan pada areal situs yang ditetapkan pada zona religi, budaya dan sosial, ataupun yang diselenggarakan di Kampung Kasepuhan yang ditetapkan pada zona tradisional (Tabel 14). Tabel 14 Aktivitas budaya/ritual yang dilakukan Kasepuhan Ciptagelar Jenis Upacara
Nama Upacara
Keterangan
Upacara yang berhubungan dengan siklus pertanian
Ngaseuk Sapangjadian Mapak Pare Beukah Prah-Prahan Mipit Nyimur/nyebor Nganyaran Tengah Bulan Ngasah Seren taun
Saat penanaman benih padi Saat padi baru tumbuh Saat bulir padi mulai berisi Saat sebelum panen Saat sebelum panen Saat setelah panen Saat memakan nasi hasil penen terbaru Setiap pertengahan bulan Bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Puncak dari siklus pertanian yang merupakan upacara adat terbesar
Upacara yang berhubungan dengan siklus hidup
Nurunkeun
Saat usia kehamilan mencapai 3, 5, dan 9 bulan Upacara menurunkan anak ke tanah pada usia 3 hari Upacara sunatan untuk anak perempuan ketika berusia 2 tahun dan untuk anak lakilaki ketika dianggap telah besar
Mahinum Nyepitan/Nyundatan
Upacara yang berhubungan dengan keagamaan
Nikahan Pindahan Sidkah Mulud Sidkah Ruwah Lebaran puasa Lebaran haji
Sumber: Nurjanah (2006)
Saat pernikahan Saat akan menempati rumah baru Saat Maulud Nabi Muhammad SAW Bertepatan dengan Isra‘ Mi‘raj Muhammad SAW Hari Raya Idul Fitri Hari Raya Idul Adha
Nabi
49
Menurut Adiwibowo et al (2008), kesepakatan pemberian akses dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu: pertama, memberikan pengakuan kepada kemampuan masyarakat untuk ―mengatur diri sendiri‖ (self control) termasuk mengelola sumber daya alam di sekitarnya (termasuk dalam kawasan Taman Nasional) yang secara tradisi telah melembaga. Kedua, ―mengatur dan mengendalikan‖ (command and control) akses masyarakat kepada kawasan Taman Nasional (Adiwibowo et al, 2008). Berdasarkan kedua opsi tersebut disarankan agar BTNGHS menggunakan opsi kesepakatan yang kedua, mengingat wilayah kelola adat Kasepuhan Ciptagelar belum ditetapkan berdasarkan Perda dan model kesepakatan dengan mengakui akses masyarakat ke taman nasional tidak dapat diterapkan sepenuhnya di taman nasional karena secara implisit dipandang melanggar UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Mengingat semakin banyak kunjungan masyarakat luar ke Kampung Ciptagelar dengan tujuan wisata budaya dan religi (seren taun, ziarah), pendidikan, penelitian, photography dan sebagainya, maka tindakan command and control atas akses perlu dilakukan, misalnya melalui kesepakatan pengaturan jalur akses agar lalu-lalang manusia terkonsentrasi pada jalur tertentu. Selain itu penting untuk memastikan bahwa pengunjung mematuhi aturan yang ditentukan dalam arti tidak merusak/mencemari lingkunagn sekitarnya dan tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan perubahan prilaku pada satwa yang hidup di dalam kawasan. Indikator 3: Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika kelembagaan adat mendukung upaya perlindungan ekosis-tem-ekosistem alam, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat.
50
Verifier 1: Pemanfaatan aturan adat, hukum adat dan lembaga adat dalam perlindungan ekosistem alam Berdasarkan wawancara dan studi literatur, diketahui bahwa terdapat sejumlah aturan adat, hukum adat dan lembaga adat di Kasepuhan yang dapat dimanfaatkan dalam perlindungan alam TNGHS (Tabel 15). Misalkan saja aturan adat terkait larangan untuk menebang pohon di dekat sumber mata air (sirah cai) dan larangan untuk membuka hutan tutupan untuk lahan garapan dan lembur/pemukiman atau pun untuk kepentingan lainnya. Tabel 15 Pemanfaatan aturan adat, hukum adat dam lembaga adat dalam perlindungan ekosistem alam TNGHS Kelembaga an adat 1. Pola ruang Hutan tutupan (Leuweung Kolot)
Hutan titipan (Leuweung Titipan/ Cadangan)
Hutan Garapan (Leuweung sampalan)
Uraian aturan adat, hukum adat dan lembaga adat
Pemanfataan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan
Untuk masuk ke hutan tutupan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Tidak boleh dibuka untuk kepentingan lahan garapan dan embur/pemukiman. Tidak boleh menebang pohon, apalagi di dekat sumber mata air (sirah cai) Hanya boleh mengambil hasil hutan bukan kayu seperti buah, daun dan akar
Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat Sesuai aturan umum (UU, PP)
-
-
-
Untuk masuk ke hutan titipan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Tidak boleh memanfaatkan kayu untuk diperjualbelikan, kecuali untuk membuat rumah dan pembangunan sarana kepentingan umum Pemanfaatan hutan titipan harus melalui musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan atau jika ada wangsit/ Ilapat
Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
-
Tidak sesuai PP 6/2007, PP 68/98
Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
Pemanfaatan lahan garapan berdasarkan hasil musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan Tidak boleh menggarap pada lahan yang terdapat sumber mata air
Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat Sesuai aturan umum (UU, PP)
-
Dilarang menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama maupun pemerintah
-
-
Ket.
51
Lanjutan Tabel 15 Kelembaga an adat
Uraian aturan adat, hukum adat dan lembaga adat
2. Hukum Adat Sanksi atas Sanksi pribadi: Kabendon (kualat) perusakan ekosistem alam Sanksi umum: teguran, pengusiran, hukum Negara
Pemanfataan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan Sepanjang menyangkut komunitas adat Sepanjang menyangkut komunitas adat
-
Pasukan Pamhut
-
Ket.
-
3. Lembaga Adat Rorokan Kepamukan
Bertugas menjaga rumah Sesepuh Girang, keamanan lingkungan
Ket: *Pengakuan aturan adat oleh unit manajemen didasarkan pada peraturan formal pemanfaatan ruang di zona inti, rimba dan tradisional yang menjadi analogi masing-masing leuweung
Tabel 15 menunjukkan bahwa pemanfaatan aturan adat Kasepuhan diadopsi oleh pengelola sepanjang menyangkut komunitas adat dan aturan tersebut sesuai dengan aturan umum perundang-undangan. Ada beberapa aturan adat yang tidak diadopsi oleh TNGHS karena sistem nilai dalam pengelolaan SDA yang masih berbeda dimana Kasepuhan menetapkan aturan adat berdasarkan perintah leluhur dan kesepakatan kolektif sementara TNGHS mengacu kepada aturan formal perundang-undangan, namun secara umum aturan yang dibuat oleh Balai TNGHS dan Kasepuhan mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan ekosistem alam. Sangat baik jika ke depan TNGHS dan Kasepuhan dapat membuat kesepakatan tertulis mengenai kerjasama perlindungan ekosistem alam, misalnya melalui kegiatan: (1) monitoring bersama penerapan aturan/ hukum adat tentang perlindungan alam, dan (2) memperkuat kapasitas Kasepuhan dalam mendukung kebijakan TNGHS meminimisasi kesempatan prilaku eksploitasi hutan dari luar komunitas yang tidak bertanggungjawab (free rider). Hukum adat Kasepuhan juga dimanfaatkan oleh pengelola dalam
mendukung perlindungan ekosistem alam. Ada dua jenis hukum bagi warga Kasepuhan yang merusak ekosistem alam, yaitu hukum yang menyangkut dengan pribadi dan hukum yang menyangkut kepentingan umum. Hukum yang menyangkut pribadi menggunakan mekanisme sanksi ‗kabendon‘. Yaitu setiap kesalahan yang dilakukan oleh individu ditanggung oleh dirinya sendiri. Segala
52
bentuk pelanggaran terhadap peraturan-peraturan adat diterima sebagai kesalahan pribadi dengan mekanisme hukum tanpa melibatkan peradilan adat, melainkan diserahkan pada individu. Dalam hal ini mereka percaya bahwa bila seseorang melanggar peraturan adat maka kemalangan akan menimpa mereka sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggarannya. Kemalangan tersebut dapat berupa sakit parah, terkena gigitan ular atau diterkam harimau. Selain itu juga ada sanksi sosial berupa pengucilan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Adapun dalam hal pelanggaran yang merugikan kepentingan umum diselesaikan melalui peradilan adat yang dipimpin langsung oleh sesepuh. Penentuan mekanisme sanksi ini disesuaikan dengan intensitas pelanggaran yang dilakukan seperti terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Mekanisme hukum adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran dalam pemanfaatan ekosistem alam No
Intensitas Pelanggaran
Sanksi
1. 2. 3.
1 kali 2 kali 3 kali
4.
Lebih dari 3 kali
Pemberian teguran I Pemberian teguran II Pengusiran dan pencabutan hak dan kewajiban sebagai Incu Putu Diserahkan kepada institusi hukum (kepolisian
Sumber: Wawancara dengan juru kemit Kasepuhan Ciptagelar
Selain memanfaatkan aturan-aturan adat dan hukum adat Kasepuhan, BTNGHS telah memanfaatkan salah satu perangkat adat Kesepuhan, yaitu Rorokan Kepamukan/Bebenteng/Pangkemit atau sering disebut sebagai Pasukan Kemit sebagai pasukan pengamanan hutan swakarsa (Pamhut Swakarsa). Pasukan Kemit mempunyai tugas khusus menjaga hutan adat dan seluruh hutan di Gunung Halimun secara umum beranggotakan warga kasepuhan yang tersebar di berbagai daerah. Pelaksanaan pengamanan hutan dilaksanakan secara rutin setiap minggunya, yaitu pada hari jum‘at dan hari minggu, melibatkan 200 sampai dengan 300 orang dari warga kasepuhan yang tersebar di berbagai kampung yang ditunjuk oleh Sesepuh Girang.
53
Tabel 17 Pembagian wilayah pengamanan hutan berdasarkan Blok Nama Blok Blok Ciptagelar Blok Ciptarasa Blok Cisuren Blok Cicadas
Wilayah Hutan Cikarancang, Ciptagelar, Cipulus, Situmurni, Pondok Injuk, Situpangumisan Datar Ciawitali, Datar Gombong, Datar Manggu Pasir Ipis, Gunung Bodas, Gunung Batu, Kawung Gintung Batu Mangit, Batu Munaral, Cisodong
Sumber: Wawancara dengan juru kemit Kasepuhan Ciptagelar Operasional Pamhut swakarsa ini menurut Ki Karma (Juru Kemit Kasepuhan Ciptagelar) secara umum bersifat mandiri meskipun terkadang ada bantuan pendanaan dari Balai TNGHS. Pendanaan Pamhut Swakarsa TNGHS bersumber dari anggaran DIPA 29 dengan bentuk kegiatan berupa operasi Pamhut Swakarsa dan pembinaan Pamhut Swakarsa.
Verifier 2: Tingkat kerusakan ekosistem alam Pemanfaatan sebagian besar aspek kelembagaan adat pada kenyataannya tidak berbanding lurus dengan terlindunginya ekosistem alam TNGHS. Selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2004 terjadi penurunan tutupan hutan alam di Desa Sirnaresmi yaitu 3.581,31 ha pada tahun 1989 menjadi 2.804,09 ha pada tahun 1994 atau terjadi penurunan 21,7% (Prasetyo dan Setiawan 2006). Sebagian aturan adat Kasepuhan turut berkontribusi atas kerusakan SDA di dalam kawasan TNGHS karena memperkenankan perpindahan kampung gede dengan membuka hutan titipan/cadangan meskipun hanya didasarkan wangsit atau ilapat yang diterima oleh Sesepuh Girang. Aturan adat juga memperbolehkan pengambilan kayu untuk rumah dan sarana kepentingan umum di hutan titipan. Fenomena ini seolah menegaskan pernyataan Owen et al. (2002) bahwa tidak semua masyarakat lokal dan masyarakat adat handal dalam mengelola lingkungannya. Gangguan kawasan sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7, disebabkan oleh aktivitas masyarakat baik dalam bentuk pemanfaatan tradisional seperti pengambilan kayu bakar, kayu bangunan, dan hasil hutan lainnya atau pun karena kegiatan pembalakan liar, perambahan dan penambangan emas.
54
Penurunan hutan alam Desa Sirnaresmi 21,7% (Prasetyo dan Setiawan, 2006).
Gambar 7 Peta gangguan kawasan TNGHS (Sumber: Data base Balai TNGHS tahun 2009) Berdasarkan data statistik TNGHS sampai dengan bulan desember tahun 2008, kerusakan ekosistem alam di wilayah Resort Gunung Bodas sebagian besar disebabkan oleh perambahan yang mencapai luasan 2415,47 hektar (Tabel 18). Gangguan lainnya adalah kegiatan penebangan liar dan penambangan emas tanpa ijin dengan skala relatif kecil. Tabel 18. Gangguan Kawasan di Resort Gunung Bodas, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sukabumi s/d Desember 2008 Jenis gangguan Penebangan liar Penambangan emas tanpa ijin Perambahan
Ha
Volume Batang
M3
Ket.
0,2
197 -
5,67 -
2415,47
-
-
Sumber: Buku Statistik Balai TNGHS tahun 2008 (data diolah)
Kayu olahan Pelaku sudah keluar
55
Indikator 4:
Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika hukum adat dan kelembagaan lokal mendukung upaya perlindungan ekosistem-ekosistem unik, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara terminologi unik berarti tersendiri dalam bentuk dan jenisnya, lain daripada yang lain, tidak punya persamaan dengan yang lain, khusus dan tidak umum. Pengertian-pengertian di atas senada
dengan Poerwadarminta (1976) yang mengartikan unik sebagai hanya satusatunya; tidak ada duanya; tidak ada bandingannya; dan tidak ada yang menyamainya. Ratcliffe (1997) dalam MacKinnon (1990) memberikan pengertian bahwa suatu kawasan mungkin unik karena bioma yang diwakilinya tidak cukup terwakili dalam sistem nasional atau memperlihatkan proses alam yang khas. Contohnya Danau Malawi Unik karena mempunyai endemik ikan ―Cichlidae‖ sebagai akibat spesiasi yang cepat. Contoh lain ekosistem unik sebagaimana dikutip dari Tomascik dan A.J Mah (1994) adalah pulau karang Kakaban dekat Derawan Kalimantan Timur, yang membentuk laguna berukuran kecil (390 ha), kedalaman sekitar 11 meter, dengan ekologi serta proses yang tidak lazim (Indrawan et al. 2007). Fakta
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
pengelola
tidak
dapat
menunjukkan adanya ekosistem unik TNGHS berdasarkan pada dokumen akademik hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan tidak pernah ada program identifikasi ekosistem unik dalam rencana pengelolaan TNGHS. Indikator 5: Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa ketika hukum adat dan kelembagaan lokal mendukung upaya perlindungan spesies-spesies penting
56
(spesies flagship/endemik/dilindungi/langka), pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan dalam hal hukum adat dan kelembagaan lokal bertentangan dengan prinsip/kaidah pengelolaan taman nasional, maka harus dilakukan penyesuaian melalui mekanisme kelembagaan adat. Verifier 1: Pemanfaatan aturan adat dan hukum adat dalam perlindungan spesies penting Merujuk pada Buku Rencana Pengelolaan TNGHS 2007—2026, spesies penting TNGHS didefinisikan sebagai: (1) spesies kunci selain memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem juga merupakan indikator untuk menilai kondisi ekosistem hutan; dan (2) spesies yang terancam punah. Mclaren dan Peterson (1994) dalam Indrawan et al. (2007) mengartikan spesies kunci sebagai spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik melalui aktivitasnya. Spesies kunci dapat menentukan kemampuan sejumlah besar spesies untuk bertahan hidup. Sedangkan spesies (satwa dan tumbuhan) yang terancam punah adalah spesies yang populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena pengaruh dan ekosistemnya (Pasal 20 ayat 2 UU No. 5 tahun 1990). Berpedoman pada dokumen laporan tahunan Balai TNGHS tahun 2006, 2007 dan 2008, terindikasi tiga spesies yang mendapat prioritas pengelolaan melalui kegiatan monitoring populasi dan habitat, yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch) dan macan tutul (Panthera pardus). Elang Jawa merupakan spesies kunci bagi TNGHS yang dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990, PP No. 7 dan PP No 8. Tahun 1999 dan termasuk kategori CITES lampiran 2. Elang Jawa berdasarkan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993 merupakan lambang satwa terancam punah (Balai TNGHS 2008). Owa Jawa tergolong primata endemik yang langka dan terancam punah serta penyebarannya sangat terbatas hanya di Pulau Jawa, yaitu di daerah Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah bagian Barat. Berdasarkan hasil survey antara tahun 1994—2002, Nijman (2006) memperkirakan bahwa jumlah total owa jawa yang menyebar di alam berkisar 4100—4500 individu. Populasi owa jawa
57
tersebut tersebar pada 29 areal hutan yang terletak di wilayah propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Propinsi Banten. Gunung Halimun yang terletak dalam TNGHS merupakan salah satu dari empat lokasi owa jawa dengan ukuran populasi terbesar yaitu lebih dari 800 individu. Tiga wilayah penyebarannya yaitu Gunung Simpang, Gununung Dieng dan TN Ujung Kulon memiliki populasi berkisar antara 500—600 individu. Menurut Rinaldi (2003), jumlah individu owa jawa di TNGHS berkisar antara 456—1149 individu.
Sementara Iskandar (2007)
memperkirakan ukuran populasi owa jawa di TNGHS sebesar 2318 hingga 2695 individu. Dengan ukuran populasi relatif kecil (< 5000 individu) tersebut, owa jawa telah dimasukkan dalam red list IUCN dengan status Critically Endangered. Selain itu owa jawa juga masuk dalam Appendix 1 CITES. Macan tutul merupakan jenis mamalia penting yang menjadi spesies kunci (Suyanto 2002; Harahap dan Sakaguci 2002). Macan Tutul telah ditetapkan sebagai simbol fauna propinsi Jawa Barat (BPLHD Propinsi Jawa Barat, 2006 dalam Balai TNGHS 2008). Kasepuhan tidak memiliki aturan adat yang secara khusus mengatur perlindungan ketiga spesies penting TNGHS. Warga Kasepuhan hanya mengetahui aturan adat tentang pelarangan menggunakan spesies pohon Rasamala (Altingia excelsa) yang bukan termasuk spesies penting TNGHS. Menurut pengelola, mereka telah melibatkan masyarakat adat dalam monitoring spesies penting yaitu dengan merekrut perangkat adat Kasepuhan (Pasukan Kemit) sebagai Pasukan Pengamanan Hutan Swakarsa (Pamhut Swakarsa) yang salah satu tugasnya memantau tindakan ilegal di dalam kawasan termasuk kegiatan perburuan liar. Masyarakat adat Kasepuhan juga dilibatkan dalam kegiatan monitoring khusus spesies Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul di sepanjang jalur Ciptarasa dan Ciptagelar. Verifier 2: Tingkat gangguan terhadap spesies penting TNGHS Disebutkan dalam beberapa dokumen perencanaan TNGHS terjadi gangguan terhadap spesies pentingnya yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch) dan macan tutul (Panthera pardus) akibat aktivitas manusia di dalam kawasan, seperti pengambilan kayu bakar, pembalakan liar dan perambahan. Berdasarkan peta sebaran spesies penting TNGHS (Gambar 8), owa
58
jawa (Hylobates moloch) adalah spesies penting yang banyak dijumpai di sepanjang jalur Ciptarasa-Ciptagelar yang termasuk dalam wilayah ulayat adat Kasepuhan Ciptagelar.
Gambar 8
Peta sebaran spesies penting TNGHS (Sumber: Data base Balai TNGHS tahun 2009
Balai TNGHS telah secara rutin melakukan monitoring umum dan monitoring khusus spesies penting di jalur Ciptarasa-Ciptagelar. Monitoring umum dilakukan melalui patroli rutin oleh petugas resort minimal 2 minggu sekali, sedangkan patroli khusus dilakukan setiap tahun pada 3 lokasi yaitu jalur Ciptarasa-Ciptagelar, Cisoka dan Cikaniki. Menurut pengelola, monitoring umum dan khusus dilakukan dengan melibatkan masyarakat Kasepuhan. Selama kegiatan monitoring didapatkan data jumlah spesies, struktur umur, aktivitas spesies, data spesies lain yang dijumpai dan deskripsi kondisi habitat.
59
Monitoring Khusus
Monitoring Khusus Owa Jawa Struktur Umur Owa Jawa (Pengamatan di Jalur Ciptarasa-Ciptagelar)
.
2009
Tahun
2008
Anak Rem
2007
Dew
2006 0
10
20
30
40
50
Jumlah Individu
Gambar 9 Grafik struktur umur Owa Jawa di jalur Ciptarasa-Ciptagelar (Sumber: Diolah dari laporan hasil monitoring khusus Owa Jawa 2006—2009) Grafik pada Gambar 9 menunjukkan, struktur umur populasi owa jawa di sepanjang jalur Ciptarasa-Ciptagelar yang termasuk dalam wilayah ulayat Kasepuhan
Ciptagelar
belum
mampu
menggambarkan
dugaan
tingkat
keterlindungan spesies penting TNGHS (khususnya owa jawa) sebagai dampak dari pemanfaatan kelembagaan adat. Data kegiatan monitoring khusus Owa Jawa di jalur pengamatan Ciptarasa-Ciptagelar, wilayah kerja Resort gunung Bodas sangat berfluktuasi sehingga sulit disimpulkan. Diduga kualitas data monitoring umum dan khusus ini disebabkan karena kurangnya intensitas sampling. Data hasil monitoring umum kurang dapat dipertanggungjawabkan untuk menduga populasi dan lebih tepat digunakan sebagai informasi habitat indikatif dari tiga spesies penting. Selain data series dugaan populasi ini, tidak ada data lain yang dapat menunjukkan tingkat gangguan spesies penting seperti catatan perburuan liar dan konflik antara manusia dengan spesies penting TNGHS. Hasil verifikasi di lapangan menunjukkan bahwa 57% responden mengaku pernah melakukan
60
perburuan di dalam kawasan TNGHS, namun bukan untuk berburu ketiga spesies penting dimaksud. Kegiatan perburuan mereka lakukan hanya untuk kepentingan upacara adat (seren taun) dan berburu satwa untuk dikonsumsi atau sekadar untuk kesenangan. Menurut salah seorang staf TNGHS, masyarakat pernah menangkap owa jawa dan elang jawa dengan maksud dipelihara untuk kesenangan, namun kemudian dikembalikan setelah mendapat penyuluhan dari petugas. Indikator 6: Berkembangnya pemanfaatan SDA berbasis kearifan lokal Indikator ini mengandung pengertian bahwa kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam taman nasional sejauh dapat diidentifikasi dan di verifikasi keberhasilannya, pihak manajemen berkewajiban untuk mengadopsinya dalam pengelolaan taman nasional. Verifier 1: Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan sebagai hasil interaksi dan pengamatan secara terus-menerus terhadap fenomena alam dalam waktu yang panjang (Mitchel et al. 2000; Zakaria 1994). Kearifan lokal biasanya terkait dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat dan didukung oleh pranata yang lahir dari kesepakatan komunitas (Reichel-Dolmatoff 1996 dalam Indrawan et al. 2007). Menurut Arman (2006), kearifan lokal mempunyai 5 prinsip pokok, yaitu: (1) sebuah cara terbaik (menurut kriteria lokal dan kriteria ilmiah), (2) asli (berkembang sejak lama di lokasi tersebut), (3) unik (berbeda dengan tempat lain), (4) essensial (bernilai penting) dan (5) berkaitan dengan kegiatan tertentu. Cara terbaik tersebut adalah cara yang hemat bahan, hemat tenaga, hasil optimal dan menimbulkan dampak negatif yang minimum. Berdasarkan teori di atas dan merujuk pada sejumlah penelitian tentang Kasepuhan
Ciptagelar
seperti
penelitian
bidang
anthropologi
(Kusnaka
Adimihardja 1992), penelitian etika lingkungan (Ichsan 2009), dan penelitian kearifan tradisional (Nugraheni dan Adiwinata 2002) serta wawancara dan pengamatan di lapangan, diidentifikasi sejumlah kearifan lokal masyarakat sebagai berikut:
61
1. Pemanfaatan lahan berdasarkan klasifikasi tata guna lahan Kasepuhan mengklasifikasikan tata guna lahan hutan menjadi 3, yaitu: (1) leuweung tutupan (hutan alam, hutan tua, hutan primer); (2) leuweung titipan (hutan cadangan, hutan sekunder); dan (3) leuweung sampalan (lahan garapan, kawasan budidaya). Ichsan (2009), menggambarkan cara pandang masyarakat dalam mempersepsikan hutan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor pertimbangan, yaitu: faktor biofisik lingkungan, faktor pengaruh ketua adat dalam mempersepsi dan mengkategori peruntukan tata guna lahan, dan faktor dorongan adaptasi terhadap kebutuhan hidup dan keselarasan lingkungan.
Pemanfaatan SDA di hutan tutupan Leuweung tutupan dikalangan masyarakat dikenal juga dengan istilah leuweung kolot atau leuweung geledegan yang diyakini sangat angker dan akan berdampak negatif terhadap pengganggunya. Secara etimologi leuweung berarti hutan dan tutupan mengandung 2 makna, yaitu: (1) bermakna tertutup tidak boleh dijamah, didatangi apalagi dieksploitasi; dan (2) bermakna penyangga, pelindung dan pendukung. Leuweung tutupan dipersepsi oleh masyarakat adat sebagai hutan primer yang lebat, ditumbuhi berbagai jenis tanaman, baik pohon besar atau pun kecil, pepohonannya rimbun, kerapatan pohon sangat tinggi dan terdapat berbagai jenis satwa liar, serta merupakan sumber mata air (Sirah Cai) yang tidak boleh dijamah, didatangi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Leuweung kolot dan leuweung titipan merupakan kawasan yang telah diamanatkan oleh para sesepuh untuk tidak diganggu. Untuk masuk ke kawasan tersebut anggota msyarakat adat Kasepuhan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Bila diketahui maksud dan tujuannya baik, restu akan diberikan oleh sesepuh. Restu itu sangat penting bagi mereka karena mereka percaya dengan restu dari sesepuh keselamatan lahir batin dapat terjamin selama melakukan aktifitas di hutan. Sebelum mereka ke hutan biasanya sesepuh akan memberikan panglay dan membakar kemenyan. Di Leuweung Kolot terdapat beberapa mata air yang mengalir dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan sehari-harinya. Keberadaan mata air ini juga yang menjadikan kawasan ini sangat diminimalisir
62
pemanfaatannya, bahkan cenderung tidak bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan hanya berupa pengambilan hasil hutan bukan kayu secara terbatas seperti buah, daun dan akar. Hutan tutupan sama sekali tidak boleh dibuka untuk kepentingan lahan garapan dan lembur/ pemukiman.
Pemanfaatan SDA di hutan titipan Leuweung titipa/ leuweung cadangan adalah klasifikasi ruang berupa hutan alam, hutan sekunder, talun, atau kebun yang digunakan sangat terbatas dengan ijin dari sesepuh girang atau ketua adat. Adat kasepuhan mengatur pemanfaatan hutan ini dan melembagakan kepada masyarakat bahwa hutan titipan harus dipertahankan kelestariannya. Penggunaan hutan ini diperkenankan jika sesepuh girang telah menerima wangsit atau ilapat dari karuhun (nenek moyang). Penggunaan leuweung titipan apabila lahan di leuweung sampalan sudah tidak mencukupi kehidupannya. Leuweung titipan ini mempunyai batas-batas yang jelas, dengan begitu daerah leuweung titipan tidak akan bertambah luas. Incu putu tidak dapat menentukan tempat dan luasan leuweung cadangan dengan semena-mena. Setiap ada incu-putu yang membutuhkan lahan akan senantiasa berhubungan dengan perangkat adat. Perangkat adat memutuskan segala sesuatunya dengan musyawarah. Dalam penentuan luasan bagi anggota kelompoknya mereka mempunyai pedoman ”saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa” (sedikit harus cukup, banyak harus bersisa). Hal ini mengandung pengertian bahwa tidak ada patokan tertentu dalam penentuan luasan, namun prinsip yang digunakan berdasarkan kebutuhan. Di leuweung titipan ini kayu bisa dimanfaatkan dengan batasanbatasan tertentu. Diantaranya adalah bahwa pemanfaatan kayu hanya untuk kepentingan umum saja, tidak untuk kepentingan pribadi. Selain itu juga adanya pembatasan dalam kuantitas pemanfaatan kayu. Bilamana ada mata air di sekitar Leuweung cadangan maka pohon-pohon di sekitar kawasan mata air tersebut terlarang untuk dimanfaatkan. Begitu juga lahan di sekitar kawasan tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk garapan maupun pemukiman.
63
Pemanfaatan SDA di hutan garapan 1. Pertanian padi sawah Pola pertanian sawah merupakan adaptasi dari perladangan berpindah, mengingat ada pembatasan bahkan larangan pembukaan hutan untuk perladangan. Tanah bekas ladang yang biasanya dibiarkan dan ditinggalkan agar terjadi suksesi secara alamiah, sekarang dicetak menjadi sawah tadah hujan atau pun sawah pengairan apabila didekatnya ada aliran air yang dapat dimanfaatkan. Adapun patokan untuk menggarap sawah dan upacara adatnya masih didasarkan pada pola perhitungan waktu bagi pertanian ladang (Nugraheni dan Winata 2002). Masyarakat kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam padi. Ketergantungan ini tidak hanya dalam konteks dalam pemenuhan pangan, lebih dari itu bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan. Padi diyakini masyarakat Kasepuhan memiliki nilai sakral karena merupakan personifikasi dari Dewi Sri/Dewi Padi atau Nyai Pohaci, sehingga cara pemeliharaan dan penanganannya harus hati-hati sejak menanam, panen dan menjadi nasi lengkap dengan berbagai upacara adat yang menyertainya yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT dan penghormatan kepada Nyai Pohaci. Padi bagi masyarakat adalah terlarang untuk dijual, hanya untuk kebutuhan subsisten ataupun dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Menanam padi merupakan kegiatan yang sangat penting dan suci sifatnya Dalam melakukan proses bercocok tanam, Kasepuhan memiliki patokan waktu musim tanam yang dihitung berdasarkan pedoman astronomi, yaitu berdasarkan rasi bintang atau planet tertentu dan peredaran bulan mengelilingi bumi seperti terlihat pada Tabel 19. Perhitungan ini berbeda dengan kalender masehi yang lazim digunakan sehari-hari. Di Kasepuhan terdapat pembantu Sesepuh Girang yang menjabat sebagai dukun tani yang tugasnya menghitung waktu yang sesuai tahapan dalam bertani. Kearifan dalam pengelolaan lahan sawah terlihat dari pola penanaman padi yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Menurut warga, selain untuk memutus siklus hama, pola tanam ini dimaksudkan agar tidak ada eksploitasi berlebihan terhadap tanah sebagai sumber daya alam utama. Selain aturan pola
64
tanam, warga Kasepuhan juga tidak diperkenankan untuk menggarap sawah pada lahan yang diketahui terdapat sumber mata air. Tabel 19 Kalender pertanian Kasepuhan Simbol
Gejala Astronomi
Kegiatan pertanian
Tanggal Kerti kana beusi tanggal kidang turun kujang
Bintang Kerti atau Bintang Tujuh mulai muncul di ufuk barat
Kidang ngarangsang ti wetan, Kerti ngarangsang ti kulon atau kidang kerti pahaurephaeurep Kerti mudun, Kidang matang mencreng di tengah langit Kidang medang turun Kungkang
Bintang Kidang merembang dari arah timur dan bintang Kerti dari arah barat, sehingga posisi kedua bintang berhadapan
Mempersiapkan alat untuk bertani, misalnya mempertajam kujang (seperti sabit) Tanda musim kemarau panjang, tanda saatnya membakar ranting dan daun (Ngahuru)
Kidang Kerti ka kulon
Kalender Islam Bulan Haji/ Dzul Hijjah
Kalender Masehi Maret
Bulan Muharram
April
Kedua bintang menjadi sangat terang
Saat mulai menanam padi (ngaseuk) tiba
Bulan Muharram/ Syafar
Mei
Kalau kedua bintang mulai surut, hilang dari pandangan kita
Saat datang hama walang sangit (Kungkang)
Bulan Rajab/ Syaban
Oktober/ November
Kedua bintang bergerak kearah barat
Tanda datangnya musim hujan
Bulan Hapit/ Rayagung
Februari/ Maret
Sumber: Nugraheni dan winata (2002)
2. Pengelolaan kebun dan talun Kebun adalah perkembangan lebih lanjut dari tanah bekas ladang yang dekat dengan pemukiman. Di lahan kebun, ditanami dengan tanaman untuk kepentingan dapur (sayuran), tanaman obat, dan tanaman keras yang buah atau daunnya dapat dijadikan makanan pohon pisang dan rambutan. Pemeliharaan kebun biasanya dilakukan para wanita dewasa dan anak-anak. Sementara talun adalah kebun yang terletak agak jauh dari perkampungan, biasanya di bukit-bukit. Jenis tanamannya biasanya tanaman musiman dan tanaman tahunan seperti duren, petai, cengkeh sehingga membentuk hutan buatan. Di talun ini biasanya tumbuh juga belukar dan tumbuhan liar lainnya sehingga membentuk system agroforestry tradisional. Kodir (2009) menemukan setidaknya 99 spesies tumbuhan yang terdapat di berbagai talun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diantaranya kelapa, aren, jengkol, jawerkotok dan kapol, durian, dadap, papaya, jeruk, cengkeh, petai,
65
alpukat, melinjo dan nangka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, tanaman keras di kebun dan talun dimanfaatkan juga untuk kayu bakar dan konstruksi rumah. Aturan umum yang ditetapkan Kasepuhan dalam pengelolaan lahan kebun dan talun ini adalah larangan untuk menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama maupun pemerintah.
2. Pelarangan Penggunaan Pohon Rasamala (Altingia excelsa) Aturan adat melarang penggunaan pohon Rasamala (Altingia excelsa) untuk bahan bangunan baik rumah penduduk atau rumah adat. Pohon rasamala dominan hidup pada ekosistem hutan dataran tinggi di kawasan TNGHS yaitu zona sub-montana (1.000 – 1.500 m dpl.) dan zona montana (1.500 – 1.800 Tipe m.dpl.). Pohon ini hanya diperkenankan diambil kayunya untuk membuat tempat peristirahatan (saung), diambil daunnya untuk lalapan dan diambil bibitnya untuk ditanam. Meskipun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kayu Rasamala kerap digunakan warga sebagai bahan bangunan rumah, kandang, kayu bakar, mereka beralasan bahwa pengambilannya dilakukan di kebun atau talun yang ditanami sendiri. Kabendon/kualat didapat jika kayu Rasamala tersebut diambil dari hutan tutupan atau hutan adat yang dikeramatkan untuk diperjualbelikan. Sesuai keterangan dari sesepuh adat dan masyarakat, tidak diketahui dengan pasti sejarah atau legenda yang dapat menjelaskan alasan pelarangan tersebut.
Larangan ini hanya diyakini masyarakat sebagai perintah karuhun
(leluhur) yang harus dijalankan, karena menurut leluhur belum saatnya bagi masyarakat kasepuhan untuk menggunakan kayu dari pohon rasamala. Pelanggaran atas perintah ini akan memberikan dampak berat kepada pelakunya seperti kebakaran dan kerusakan bangunan. Hal ini tentu berdampak positif bagi kelestarian spesies ini.
Dengan tajuk tinggi yang dapat mencapai 30-45 m,
Rasamala akan membantu melindungi tanah di dalam hutan dari erosi dan juga menjadi tempat hidup bagi satwa seperti Owa Jawa, Surili, dan berbagai jenis burung. 3. Pelarangan Menjual Hasil Hutan Aturan adat kasepuhan melarang warganya untuk menjual hasil hutan seperti rotan, kayu, bambu dan sebagainya yang diambil dari hutan titipan. Izin
66
dari sesepuh girang untuk mengambil hasil hutan dari hutan titipan hanya untuk kepentingan adat atau pun untuk kebutuhan rumah tangga yang tidak dapat dipenuhi dari hutan sampalan, seperti untuk keperluan bahan bangunan, alat-alat memasak, kerajinan tangan, pagar dan sebagainya. Warga masih meyakini bahwa pelanggaran terhadap larangan ini akan mendatangkan kabendon (kualat) berupa kerugian yang cukup besar dan tidak akan mendatangkan keuntungan apa-apa. Verifier 2: Peluang yang diberikan oleh unit manajemen dalam pemanfaatan SDA berbasiskan kearifan lokal Sesuai dengan pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, taman nasional dikelola dengan sistem zonasi, maka pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan berdasarkan penataan zonasi. Guna mendukung kepentingan pemanfaatan oleh masyarakat setempat akan hasil hutan non kayu dikembangkan adanya zona tradisional dan zona khusus. Dalam peta zonasi indikatif TNGHS, zona tradisional ini adalah kampung kasepuhan yang ada di TNGHS. Asumsinya kasepuhan merupakan masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam (Balai TNGHS 2008). Bentuk-bentuk pemanfaatan taman nasional oleh masyarakat dapat berupa: (1) pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi tanpa merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti pemanfaatan wisata alam, pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan, dan lain-lain (PP No. 68 tahun 1998 pasal 50); (2) pemanfaatan kawasan sebagai sumber plasma nutfah dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, dimana selanjutnya plasma nutfah tersebut dimanfaatkan, dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan konservasi, seperti antara lain untuk budidaya tanaman, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias dan lain-lain. Namun demikian pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar harus dilakukan dengan menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya (UU No. 5 tahun 1990, penjelasan pasal 36 ayat 1); (3) Kegiatan penelitian dan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998; dan (4) pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan konservasi, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah, dan lain-lain.
67
Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi (Penjelasan umum PP No. 68 tahun 1998). Pengelola TNGHS memberikan peluang pemanfaatan tradisional (Tabel 20) hanyalah untuk pemanfaatan SDA dalam kawasan berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau mempertahankan kebutuhan hidup atau pemenuhan kebutuhan ritual/spiritual masyarakat yang terkait dengan tradisi masyarakat seperti rempah-rempah, madu, getah, nira, jamur, pakis, buah saninten, buah canar, daun patat, daun tepus, reundeu lalapan, dan sebagainya, namun kegiatan ini hanya boleh dilakukan penduduk setempat dengan tidak menebang, memotong, dan membakar, dan memusnahkan pohon. Hal ini sejalan dengan kriteria zona tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 Permenhut Nomor 56 tahun 2006, yaitu zona tradisional ditetapkan pada kawasan yang memiliki potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 dalam penjelasan umumnya menggarisbawahi bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu dilakukan dengan tidak merusak fungsi utama kawasan konservasi. Tabel 20 Peluang pemanfaatan SDA di dalam kawasan TNGHS No.
Jenis pemanfaatan tradisional SDA berbasis kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar
1.
Kegiatan budidaya padi sawah di leuweng sampalan
√
-
2.
Budidaya kebun dan talun di leuweung sampalan untuk kebutuhan subsisten Pengumpulan buah, daun, nira, umbi untuk keperluan konsumsi di kebun/talun Pengumpulan kulit kayu, daun, bunga, akar untuk obat di kebun/talun yang ditanami sendiri Pengumpulan buah, biji, daun, tunas, bunga untuk ritual budaya di kebun/talun yang ditanami sendiri Pengumpulan buah, umbi untuk keperluan konsumsi di hutan tutupan/titipan Pengumpulan daun, tunas, akar untuk obat di hutan tutupan/titipan
√
-
√
-
√
-
√
-
-
√
-
√
3. 4. 5. 6. 7.
Kebijakan TN Boleh Tidak
68
Lanjutan Tabel 20. No.
Jenis pemanfaatan tradisional SDA berbasis kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar
8.
Pengumpulan daun, tunas, akar untuk ritual budaya di hutan tutupan/titipan Pemungutan kayu mati untuk kayu bakar di kebun/talun dan hutan tutupan/titipan Penggembalaan satwa di leuweung sampalan
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18.
19. 20.
Pembakaran lahan sebagai bagian dari proses ―ngahuma‖ di leuweung sampalan Pemotongan rumput/ijuk/ kirey sebagai bahan atap di kebun/talun dan hutan Pengumpulan tanaman hias (paku-pakuan, anggrek dan lainlain) di hutan Pengumpulan hasil bambu dan rotan di hutan Penebangan pohon untuk kayu bakar dengan golok dan alat sejenis di hutan kebun/talun Penebangan pohon untuk kayu bakar dengan golok dan alat sejenis di hutan titipan Penebangan pohon secara selektif dengan golok atau alat sejenis untuk kepentingan membuat rumah dan sarana kepentingan umum di kebun/talun Penebangan pohon secara selektif dengan golok atau alat sejenis untuk kepentingan membuat rumah dan sarana kepentingan umum di hutan titipan Perburuan satwa untuk keperluan ritual budaya di hutan Pembukaan areal baru dari hutan titipan untuk lembur, sawah, huma, kebon/ dudukuhan dengan ijin sesepuh adat
Kebijakan TN Boleh Tidak -
√
√
-
-
√
-
√
-
√
-
√
-
√ √
-
√
-
√
-
√
-
√ √
Keterangan: 1. Kebijakan boleh dan tidak boleh dari pengelola TNGHS didasarkan pada aturan normatif (PP 68/1998, UU 41/1999, UU 5/1990 dan permenhut 56/2006). Boleh dengan teknik pemanfaatan sesuai perundangan yang berlaku, yaitu tidak menebang, memotong, dan membakar, dan memusnahkan pohon. 2. Budidaya di leuweng garapan seperti butir 1 dan 2 dibolehkan pada zona tradisional dengan regulasi yang akan disepakati bersama
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan masyarakat dan petugas TNGHS. Indikator 7: Sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional Indikator ini mengandung pengertian bahwa untuk menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional dibutuhkan sistem manajemen yang kredibel.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesinambungan
antara kebijakan dan tindakan operasional, serta monitoring dan evaluasi dalam oganisasi yang menangani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional.
69
Verifier 1: kebijakan dalam menggalang hubungan yang harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam Berdasarkan pasal 36 PP No. 68/1998, Kawasan Taman Nasional dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan. Rencana pengelolaan kawasan Taman Nasional tersebut disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Kajian aspek sosial budaya salah satunya dapat didekati melalui pengklasifikasian tipologi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Pembagian tipologi masyarakat dapat dilakukan melalui penelurusan sejarah sebagai landasan penentuan zonasi dan mempertimbangkan akses masyarakat atas kawasan. Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Manfaat tersebut dapat bersifat legal dan ilegal. Legal akses terbentuk ketika kemampuan para aktor dalam mengakses manfaat atas sumberdaya berkesesuaian dengan peraturan, kesepakatan, dan adat kebiasaan yang pada saat ini disebut sebagai milik (property) (MacPherson, 1978 dalam Peluso 2003). Secara umum, taman nasional membagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dalam 2 tipologi besar, yaitu masyarakat adat dan non adat. Namun karakteristik masyarakat non adat ini tentu dapat diperluas. Sebagai contoh, TNGHS membagi masyarakat dalam 4 tipologi, yaitu: (1) masyarakat adat Kasepuhan yang bertumpu pada ekoreligi padi, (2) masyarakat non adat, yaitu masyarakat eks buruh perkebunan belanda, (3) masyarakat non adat, yaitu masyarakat PHBM eks perum perhutani, dan (4) masyarakat pendatang baru (euphoria reformasi 1998—2000) dan pendatang musiman pelaku pembalakan liar dan pertambangan liar (free rider). Perbedaan kriteria masyarakat berdasarkan kriteria keberadaan tokoh, wilayah, hukum, komunitas dan pengakuan TNGHS atas eksistensi masyarakat ditunjukkan pada Tabel 21. Perbedaan antara masyarakat kasepuhan dan non-kasepuhan terletak pada tiga hal, yaitu sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial dan religi. Masyarakat kasepuhan mengembangkan sistem pertanian yang ―dual‖, yaitu sawah dan ladang (ngahuma) sekaligus, tetapi hanya diperbolehkan melakukan penanaman padi-sawah setahun sekali. Sementara masyarakat non-kasepuhan
70
boleh melakukan penanaman padi-sawah lebih dari sekali. Dari segi organisasi sosial, masyarakat kasepuhan mengenal suatu sistem politik lokal yang menempatkan suatu kelompok elit turun-temurun untuk memimpin kasepuhan dengan pembagian hak dan kewajiban yang cukup kompleks. Sedangkan dari sisi religi, walaupun secara legal menganut agama Islam, tetapi unsur sinkretik dengan ―agama lokal‖ yang pre-Hindu masih cukup kuat. Hal ini berpengaruh terhadap sistem waris dan sistem hukum Islam lainnya yang dipahami oleh masyarakat kasepuhan. Tabel 21 Perbedaan kriteria masyarakat di TNGHS berdasar tipologinya No.
1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria
Tokoh Wilayah Hukum Komunitas Pengakuan TNGHS atas eksistensi masyarakat
Masyarakat Kasepuhan √ √ Adat √ √
Masyarakat Non Kasepuhan √ √ Desa/Negara √ √
Masyarakat pendatang (free rider) -
Sumber: Supriyanto dan Ekariyono (2007)
Berdasarkan keempat tipologi tersebut, TNGHS menerapkan kebijakan yang berbeda untuk setiap tipologinya. Pertama, tipologi masyarakat adat Kasepuhan yang memiliki kesejarahan yang panjang dan interaksi sosial budaya yang kuat dengan kawasan diperkenankan tetap berada di dalam kawasan dengan tetap mempertahankan aspek kelestarian hutan dan selanjutnya keberadaannya akan diperkuat dengan mendorong terbitnya peraturan daerah (PERDA) tentang masyarakat hukum adat. Kedua, tipologi masyarakat buruh perkebunan belanda diperkenankan berada di sekitar kawasan hutan sampai dengan izin usahanya habis. Ketiga, tipologi masyarakat PHBM eks perum perhutani diperkenankan berada di sekitar kawasan hingga periode tertentu, artinya setelah sosial ekonominya kuat dan tidak lagi bergantung pada kawasan TNGHS, mereka harus keluar dari kawasan, dan keempat, masyarakat pendatang dan free rider tidak diperkenankan masuk dan berada di dalam kawasan TNGHS (Presentasi Kepala Balai pada kuliah umum pada tanggal 28 Oktober 2008).
71
Kepala Balai TNGHS dalam bukunya Strategi Rekonstruksi Sosial dan konservasi (2007), menuliskan bahwa kebijakan yang akan diterapkan pada tipologi masyarakat adat dan masyarakat non adat yang telah hidup turun temurun di dalam kawasan adalah kebijakan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, dengan tiga strategi, yaitu: (1) penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan; (2) pemulihan kawasan bersama masyarakat; dan (3) pengembangan ekonomi masyarakat. Verifier 2: Implementasi Program Kerja untuk mewujudkan Kebijakan Kebijakan dan strategi menggalang hubungan yang harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam diimplementasikan dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lima Tahunan (RPTNL) serta dirincikan lagi dalam program kerja TNGHS. Strategi pertama, penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, pada RPTNL TNGHS 2007— 2011 dituangkan dalam program: (1) penetapan zonasi, dan sosialisasi RTRK serta regulasinya; dan (2) penyusunan, validasi dan penetapan regulasi zona. Program dalam RPTNL ini telah diimplementasikan dalam rencana kinerja tahunan (RKA-KL), dalam bentuk kegiatan penataan zonasi (penyusunan rencana zonasi dan regulasinya serta validasi/groundcheck zonasi) dan telah terlaksana pada tahun 2007 dan 2008 (LAKIP TNGHS tahun 2007 dan 2008). Ditargetkan pada tahun 2009, 2010 dan 2011 zonasi TNGHS telah ditetapkan dan rencana tata ruang kesepakatan disosialisasikan. Strategi kedua, pemulihan kawasan bersama masyarakat, pada RPTNL TNGHS 2007—2011 dituangkan dalam program pemulihan ekosistem secara berkelanjutan. Program ini telah diimplementasikan dalam bentuk kegiatan reahabilitasi/restorasi di areal terdegradasi bersama multipihak, dengan sumber pendanaan DIPA tahun 2007, pendanaan JICA, dan sebagian besar merupakan swadaya masyarakat. Kegiatan Restorasi/rehabilitasi di TNGHS sampai dengan tahun 2008 telah dilaksanakan di 12 lokasi di 3 Resort dengan total Areal yang telah direhabilitasi/restorasi seluas 20 ha di seksi wilayah Lebak, 29 ha di wilayah Bogor dan 171 ha di wilayah Sukabumi, dengan jenis puspa, huru, pasang, aren, rasamala, sungkai, dan Gemini (Laporan Tahunan BTNGHS tahun 2008).
72
Strategi ketiga, pengembangan ekonomi masyarakat, pada RPTNL TNGHS 2007—2011 dituangkan dalam program pengembangan kampung konservasi. Program ini diimplementasikan dalam RKAKL berupa kegiatan Model Kampung Konservasi (MKK), yaitu peningkatan pendapatan masyarakat kampung konservasi bersama pemerintah daerah dan lembaga lain. Pada DIPA tahun 2007, kegiatan MKK berupa peningkatan income generate berupa bantuan usaha ekonomi konstruksi di 9 desa di 3 wilayah seksi pengelolaan taman nasional. Insentif untuk pemberdayaan masyarakat dalam program MKK ini digalang TNGHS dengan program sistem dukungan untuk masyarakat hulu (SISDUK) yang pendanaannya bersumber dari mitra dan pemerintah daerah (70%) dan masyarakat (30%). SISDUK adalah bagian dari program MKK TNGHS. Pada tahun 2008 sebagai pilot project penyandang dana adalah JICA diberikan kepada 3 desa. Rencana tahun 2009 dan 2010 mendapat pendanaan dari pemkab Sukabumi melalui MoU No. 0660/PS.28.A-Huk/2007 dan No. 0888/IVT.13/KH/2007. Verifier 3: kesesuaian struktur organisasi Struktur organisasi taman nasional diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, yaitu terdiri atas Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Tipe A dan B, serta Struktur organisasi Balai Taman Nasional Tipe A dan B. Balai TNGHS termasuk Balai Taman Nasional dengan klasifikasi Tipe A yang di pimpin oleh 1 orang Kepala Balai Eselon III dan membawahi 4 Jabatan Eselon IV yaitu : Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala SPTN Wilayah I Lebak, Kepala SPTN Wilayah II Bogor, dan Kepala SPTN Wilayah III Sukabumi Struktur organisasi Balai TNGHS (Lihat di Lampiran 1) menunjukkan bahwa formasi jabatan yang tersedia dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya terdiri atas: (1) Pejabat struktural, (2) Pejabat non struktural, dan (3) Pejabat fungsional (PEH dan Polhut). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, taman nasional mempunyai tugas pokok melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan
73
ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Sedangkan dalam melaksanakan tugas pokoknya, Balai Taman Nasional menyelenggarakan fungsi : 1. Penataan zonasi, Penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan Taman Nasional; 2. Pengelolaan kawasan Taman Nasional; 3. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional; 4. Pengendalian kebakaran hutan; 5. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; 6. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 7. Kerjasama
pengembangan
konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya serta pengembangan kemitraan 8. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional 9. Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam 10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Struktur organisasi Balai TNGHS saat ini belum memadai untuk mengatasi seluruh permasalahan yang dihadapi (LAKIP Balai TNGHS 2008 2009). Perubahan struktur organisasi dibutuhkan untuk mewadahi peran para pihak (lembaga kemitraan) yang secara spesifik mampu menjalankan program yang direncanakan dalam RPTN 2007—2026, termasuk di bidang sosial budaya. Kebutuhan struktural Balai TNGHS antara lain Kepala Bagian Koordinasi, Kepala Bidang Perencanaan, dan Kepala Bidang Kerjasama dan Hubungan masyarakat. Verifier 4: prosedur Kerja/Standard Operational Procedure (SOP) Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI)-nya para staf Balai TNGHS dibekali dengan pedoman kerja berupa SOP (Standard Operasional Prosedur) atau prosedur tetap. SOP adalah standar pedoman kerja yang mendukung implementasi kebijakan. Sampai dengan penelitian dilaksanakan, Balai TNGHS telah memiliki 11 (sebelas) SOP, yaitu: (1) SOP kegiatan perlindungan hutan dan penanggulangan kebakaran hutan; (2) SOP penggunaan dan pengamanan senjata api; (3) SOP penggunaan alat komunikasi; (4) SOP patroli; (5) SOP izin memasuki kawasan taman nasional; (6) SOP izin
74
pengambilan atau penangkapan specimen tumbuhan dan satwaliar; (7) SOP pendakian; (8) SOP protokol dan pengelolaan data dan informasi; (9) SOP penyusunan rancangan dan laporan kegiatan; (10) SOP tata persuratan dinas; dan (11) SOP penggunaan dan pengembalian kendaraan dinas (Balai TNGHS 2008). Memperhatikan sejumlah SOP di atas, kiranya BTNGHS masih membutuhkan beberapa pedoman kerja (SOP) untuk memperkuat implementasi kebijakan dan strategi TNGHS dalam menggalang hubungan harmonis antara budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam, misalnya SOP
terkait
pemberdayaan masyarakat, SOP terkait penyelesaian konflik dengan masyarakat, SOP rehabilitasi/restorasi, dan SOP kerjasama antar lembaga. Indikator 8. Tersedianya tenaga professional di bidang sosial budaya Indikator ini mengandung pengertian bahwa Sistem manajemen di bidang sosial budaya akan berfungsi dengan baik apabila didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Verifier 1: jumlah staf pengelola yang menangani bidang sosial budaya Untuk memenuhi kebutuhan SDM profesional di bidang sosial budaya, diperlukan perencanaan dan analisis kebutuhan jabatan yang tepat. Sistem penentuan sumberdaya manusia di taman nasional belum mengacu kepada perencanaan dan analisis jabatan, namun hanya mendasarkan usulan pengelola taman nasional (Riyanto, 2005). Berdasarkan analisis terhadap tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) pegawai TNGHS pada masing-masing jabatan, disimpulkan bahwa staf pada kelompok jabatan fungsional (Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Polisi Kehutanan (POLHUT) dan Penyuluh kehutanan) mempunyai keterkaitan langsung dengan tugas-tugas di bidang sosial budaya. Namun, berdasarkan wawancara dengan Koordinator PEH dan Koordinator Polisi Kehutanan Balai TNGHS, tidak ada pejabat fungsional yang secara khusus ditunjuk langsung untuk menangani permasalahan sosial budaya melalui SK Kepala Balai, peran ini lebih banyak dijalankan oleh staf fungsional yang berada di resort-resort. Aspek sosial budaya sedikit banyak melekat pada uraian tugas pejabat fungsional.
Memperhatikan lampiran
Keputusan Menteri Pendayagunaan
75
Aparatur Negara No. 54/KEP/M.PAN/ 7/2003 tanggal 2 Juli 2003 tentang Jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka kreditnya, terdapat beberapa uraian tugas yang akan terkait dengan aspek sosial budaya, antara lain pembinaan daerah penyangga, pendidikan lingkungan, atraksi wisata/ecotourism, dan penataan zonasi. Kemudian diperkuat oleh uraian tugas POLHUT terkait penyuluhan dalam bidang perlindungan dan pengamanan dan pembinaan kelembagaan pengamanan hutan di tingkat komunitas. Sedangkan uraian tugas penyuluh kehutanan yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tanggal 3 Desember 2002 tentang Jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya, terkait dengan penyadartahuan dan pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan statistik BTNGHS tahun 2008, jumlah pejabat fungsional PEH, Polhut dan penyuluh sampai dengan akhir tahun 2008 berjumlah 64 orang, masing-masing 18 orang PEH, 45 orang POLHUT, dan 2 orang penyuluh. Seluruh staf fungsional ini didistribusikan di kantor balai (diperbantukan untuk pekerjaan non struktural) sebanyak 12 orang, Stasiun Penelitian Cikaniki 2 orang, dan sisanya sebanyak 50 orang tersebar pada 3 kantor seksi dan 14 resort. Jumlah pegawai fungsional pada masing-masing resort berkisar 2-3 orang, sementara kebutuhan Balai TNGHS untuk mengelola kawasan secara optimal, menurut analisis kebutuhan pegawai BTNGHS adalah minimal 5-6 staf di setiap resort.
Verifier 2: Latar belakang Pendidikan staf terkait dengan bidang sosial budaya Berdasarkan statistik BTNGHS tahun 2008, diketahui sebagian besar staf fungsional TNGHS yaitu sebanyak 50 orang (78%) berpendidikan SLTA, 2 orang sarjana muda (3%) dan sisanya 12 orang atau 19% berlatar belakang pendidikan sarjana, yaitu sarjana kehutanan, pertanian, hukum dan sains. Jika merujuk pada standar kompetensi staf pada kawasan konservasi yang dirumuskan ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation (ARCBC) tahun 2003, kualifikasi pendidikan staf TNGHS tergolong cukup memadai. ARCBC mensyaratkan pendidikan minimal untuk staf pada level 2 (setara untuk POLHUT, PEH,
76
Penyuluh) adalah SLTP dan SLTA. Sedangkan untuk level 3 (setara dengan Kepala Seksi) minimum berpendidikan SLTA dan Sarjana Muda (D3).
Verifier 3: Kesesuaian jenis pendidikan dan pelatihan di bidang sosial budaya yang diikuti oleh Staf Berdasarkan rumusan standar kompetensi bagi staf pada kawasan konservasi oleh ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation (ARCBC) pada tahun 2003, ditetapkan beberapa jenis keahlian umum dan khusus yang harus dimiliki staf pada setiap levelnya (Tabel 22). Tabel 22
Kompetensi pengelola dalam bidang sosial budaya berdasarkan rumusan standar kompetensi ARCBC (2003)
Jenis Keahlian
Keahlian Umum 1. Melakukan supervisi masyarakat berbasis sosial budaya dan pemanfaatan sumberdaya dan survey lapangan menggunakan teknikteknik dasar 2. Melakukan stakeholder analysis 3. Melakukan perencanaan dan supervisi dan fasilitasi kegiatan pengumpulan informasi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Keahlian Khusus 1. Melakukan Penilaian ethnografi dan warisan budaya dan Monitoring program 2. Mengembangkan penelitian sosial ekonomi budaya dan monitoring program 3. Mengembangkan metodologi survey sosial ekonomi budaya dan monitoring program 4. Melaksanakan analisis ekonomi
Petugas lapangan (PEH/ POLHUT/ Penyuluh)
Level Kepala Seksi/
Kepala Bidang Perlindungan
√
√ √
√ √
√ √
√ √ √ √
Untuk meningkatkan kompetensi staf dalam bidang sosial budaya, setiap tahun Balai TNGHS mengirimkan pegawai untuk mengikuti beragam pendidikan dan pelatihan, training dan sejenisnya, baik di dalam atau pun luar negeri. Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta
77
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Menurut Appleton et al (2003) kompetensi seseorang lebih ditentukan dan dibentuk oleh pembelajaran dan pelatihan yang dialaminya. Berdasarkan analisis dokumen statistik Balai TNGHS sampai dengan tahun 2008 terdapat sejumlah pendidikan dan pelatihan yang pernah diiukuti oleh staf Balai TNGHS dan beberapa diantaranya terkait dengan peningkatan kapasitas staf pada aspek pengelolaan sosial budaya masyarakat, seperti PRA/RRA, penyuluhan kehutanan, komunikasi, pendidikan lingkungan, pengembangan kelembagaan
masyarakat
sekitar
hutan
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Kesesuaian jenis-jenis pendidikan dan pelatihan yang diikuti staf BTNGHS dengan standar kompetensi yang dirumuskan ARCBC khususnya di bidang sosial budaya ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Kesesuaian jenis diklat staf BTNGHS dengan Kompetensi yang dibutuhkan di bidang sosial budaya No. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi kompetensi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Pengetahuan tentang kearifan tradisional, adat istiadat dan kepemimpinan masyarakat lokal Keterampilan dasar wawancara Pengumpulan dan pencatatan data Penyadartahuan gender dan kebudayaan Teknik Analisis Stakeholder Teknik dan Metodologi penelitian Teknik partisipasi (PRA/RRA) Teknik pengumpulan informasi dari masyarakat Teknik Komunikasi dan hubungan masyarakat Penyadartahuan terkait isu gender, kebudayaan dan sensitivitas etnis Statistika dan teknik penyajiannya Teknik dan pendekatan penelitian* Pengetahuan tahap lanjut tentang pembangunan sosial dan pedesaan* Ilmu ekonomi* Teknik analisis data* Jumlah
Pengetahuan Pernah diperoleh Staf TNGHS dari Diklat yang diikuti Ya Tidak √ √
-
√ √ √ -
√ √ √ √
√ -
√ √
√ -
√
6
8
Catatan: * Keahlian khusus pada level 4 (Kepala Seksi Pengelolaan TN)
Sumber: Dianalisis dari statistik BTNGHS 2008 dan wawancara
78
Tabel 23 menunjukkan, bahwa sebagian pengetahuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan keahlian staf di bidang sosial budaya belum terakomodir dalam berbagai jenis diklat yang pernah diikuti oleh staf TNGHS. Hal tersebut disebabkan masih sedikit jenis pendidikan dan pelatihan yang khusus terkait dengan bidang sosial budaya masyarakat lokal. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pilihan yang mungkin dilakukan oleh BTNGHS adalah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan secara mandiri khususnya terkait masalah sosial budaya atau mengusulkan penambahan sarjana di bidang sosial seperti sarjana Sosiologi dan Antropologi Budaya. Menurut Wiratno et al. (2004), disiplin ilmu antropologi, sosiologi, etnologi, agrologi, perencanaan rural dan lokal, fasilitator komunitas, organisator komunitas, spesialis komunikasi, dan psikologi dibutuhkan oleh taman nasional dalam menyusun perencanaan lintas disiplin di bidang sosial budaya/sosiologi konservasi berbasis komunitas. Verifier 4: Jumlah masyarakat setempat yang menjadi staf taman nasional Mekanisme perekrutan pegawai (PNS) taman nasional sepenuhnya menjadi wewenang Departemen Kehutanan, namun unit manajemen taman nasional dapat merekrut masyarakat setempat sebagai tenaga honor/kontrak/upah atau petugas lapangan. Menurut catatan dalam Laporan Bulanan Balai TNGHS tahun 2008, sampai dengan tahun 2008, Balai TNGHS memiliki 7 orang pegawai yang direkrut dari masyarakat setempat, namun bukan sebagai staf yang berstatus PNS, masing-masing 3 orang pegawai honor dan 4 orang pegawai upah atau kontrak. Alternatif pemberdayaan masyarakat lokal yang dilakukan Balai TNGHS adalah dengan merekrut dan membina sebanyak mungkin kader konservasi di setiap kampung. Sampai dengan bulan desember 2008, kader konservasi TNGHS berjumlah 131 orang. Berdasarkan kerangka pengembangan kelembagaan taman nasional (Institutional Development Framework/IDF) yang dirumuskan oleh Natural Resources Management Program, idealnya taman nasional memiliki staf lokal lebih dari 70% dan lebih dari 25% nya merupakan suku asli. Menurut pendapat MacKinnon (1993) sebaiknya penjaga taman nasional diambil dari penduduk setempat, karena ancaman terhadap keutuhan taman nasional sebagian besar datang dari luar. Penggunaan staf dari luar untuk mengawasi penduduk asli tidak
79
efektif, karena tidak akan cukup mempunyai kekuatan atau jasa baik penduduk untuk mengusir pelanggar dari luar. Verifier 5: Pengalaman menangani bidang sosial budaya Analisis laporan triwulan kepegawaian Balai TNGHS tahun 2009, menunjukkan bahwa rata-rata petugas lapangan (PEH dan POLHUT) yang bertugas di Resort mempunyai pengalaman kerja di atas 7 tahun, ini menunjukkan mereka cukup berpengalaman di bidang sosial budaya. Petugas lapangan ini bahkan telah mendampingi pemberdayaan masyarakat sejak Balai TNGHS belum mengalami perluasan dan saat itu masih bernama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) pada tahun 1997. Sebagian besar masyarakat Kasepuhan Ciptagelar (82% responden) mengenal petugas TNGHS karena kerap melakukan kegiatan bersama seperti pengembangan
usaha
ekonomi
masyarakat,
PAM
swakarsa,
patroli,
rehabilitasi/restorasi, dan fasilitasi Model Kampung Konservasi (MKK) sebagai Field Officer (FO). Namun umumnya tidak mengetahui dengan pasti tugas staf TNGHS di lapangan. Verifier 6: kemampuan staf dalam berkomunikasi dengan masyarakat Komunikasi merupakan aspek terpenting dalam aktivitas manajerial. Tanpa komunikasi yang baik, lingkungan organisasi menjadi beku dan statis dan dengan pihak luar akan terpencil. Menurut Lewis (1987), komunikasi merupakan pertukaran pesan yang menghasilkan derajat kesamaan makna antara si pengirim dan si penerima. Jadi seseorang akan merubah sikap pendapatnya atau perilaku orang lain apabila komunikasinya memang komunikatif dengan syarat keduanya mengerti bahasa yang digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Untuk memverifikasi kemampuan petugas Balai TNGHS dalam berkomunikasi dengan masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah dengan melihat pemahaman masyarakat terhadap pesan atau makna yang disampaikan oleh petugas TNGHS ketika menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat. Sebanyak 68% responden menyatakan mengerti pesan yang disampaikan petugas TNGHS 17% responden tidak mengerti dan 15% menyatakan tidak tau. Menurut
80
responden, 78% petugas TNGHS menggunakan bahasa daerah setempat ketika berkomunikasi dengan masyarakat, 17% menggunakan campuran bahasa daerah dan bahasa Indonesia, sedangkan sisanya 5% petugas TNGHS berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Hasil tersebut dapat dimaklumi, mengingat sebagian besar (90%) petugas TNGHS, berdasarkan analisis dokumen laporan triwulan kepegawaian 2009, berasal dari Propinsi Jawa Barat dan sekitarnya, sehingga dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah setempat.
Indikator 9: Tersedianya Alokasi Dana untuk Menangani Permasalahan Sosbud Verifier 1. Kompensasi yang terkait dengan masalah-masalah sosial budaya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pada pasal 68 ayat 3 menegaskan bahwa masyarakat sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya, kompensasi ini diwujudkan unit pengelola taman nasional dalam bentuk bantuan ekonomi pembinaan daerah penyangga. Secara rutin dianggarkan dana pemberdayaan masyarakat berupa bantuan usaha ekonomi untuk pembinaan daerah penyangga dan program MKK. sejak tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun 2007 telah diberikan bantuan kepada 34 kampung di 3 seksi wilayah Banten, Bogor dan Sukabumi. Untuk mengidentifikasi Kebutuhan pendanaan BTNGHS di bidang sosial budaya, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengacu pada kebutuhan biaya untuk mengimplementasikan kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi 4 tipologi masyarakat di dalam dan sekitar TNGHS, yaitu: (1) kebijakan konservasi dan membangun kesejahteraan masyarakat; dan (2) kebijakan meminimisasi kesempatan perilaku free riding. Kebijakan pertama dapat diturunkan menjadi 3 strategi: pertama, penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan; kedua, pemulihan kawasan bersama masyarakat; dan ketiga, pengembangan ekonomi masyarakat. Sementara, kebijakan kedua diturunkan dengan 3 strategi, yaitu: pertama, peningkatan kapasitas masyarakat; kedua, aksi kolektif menolak free rider; dan ketiga, penyelesaian konflik. Mengutip tulisan
81
Kepala Balai TNGHS, Bambang Supriyanto, dan Willy Ekariyono (2007), untuk mengimplementasikan kebijakan dan strategi tersebut selama 5 tahun (2007-2011) diproyeksikan dana sebesar 9,415 milyar (Tabel 24) atau kurang lebih 1,88 Milyar per tahunnya. Tabel 24 Prediksi kebutuhan biaya pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGHS (2007—2011) No.
Strategi/kegiatan
I.
Kebijakan membangun ksejahteraan masyarakat Strategi penyelesaian konflik (Rencana Tata Ruang Kesepakatan) dan penguatan kelembagaan 1.1 Rencana tata ruang kesepakatan - Penetapan zona untuk tujuan sosial budaya 1.2 Pemanfaatan ruang - Penyusunan, validasi dan penetapan regulasi zona untuk tujuan sosial budaya yang didukung para pihak - Sosialisasi RTRK dan regulasinya yang didukung para pihak Strategi pemulihan kawasan bersama masyarakat Strategi pengembangan ekonomi masyarakat
1
2. 3. II. 1. 2.
Kebijakan minimisasi prilaku free riding Strategi peningkatan kapasitas masyarakat Strategi aksi kolektif menolak free rider
Sumber dana
Unit
Jumlah Dana
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
100 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
100 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort
200 juta
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort 3 Seksi, 14 Resort
1,875 milyar
BTNGHS, Pemda, LSM, Donor BTNGHS, Pemda, LSM, Donor
3 Seksi, 14 Resort 3 Seksi, 14 Resort
920 juta
Jumlah total
5,8 milyar
420 juta 9,415 Milyar
Kebutuhan rata-rata per tahun
1,88 Milyar
Sumber: Dimodifikasi dari Supriyanto dan Ekariyono (2007) Untuk membandingkan prediksi kebutuhan anggaran/tahun di bidang sosial budaya tersebut dengan ketersediaannya pada Balai TNGHS, penelitian ini akan menganalisis alokasi anggaran yang bersumber dari DIPA 29 pada tahun anggaran 2008 sebesar Rp 7.859.434.000,-.
Berdasarkan struktur pendanaan
BTNGHS yang berasal dari DIPA 29 tahun anggaran 2008, alokasi pendanaan
82
terbesar ada pada pos gaji, operasional perkantoran, pengadaan sarana prasarana, dan perencanaan program yang mencapai Rp 4.403.299.000,- (56,03%), pengamanan kawasan hutan Rp 1.140.000.000,- (14,5%), pengelolaan taman nasional model Rp 1.747.140.000,- (22,22%), pengendalian kebakaran hutan Rp 241.300.000,- (3,07%), pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya Rp 219.000.000,- (2,79%), dan pengembangan jasa lingkungan dan pariwisata alam Rp 108.695.000,- (1,38%). Dengan
mengikuti
kerangka
prediksi
alokasi
dana
sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 24, teridentifikasi alokasi anggaran untuk mengatasi permasalahan sosial budaya TNGHS sebesar Rp 834.075.000,-. Angka ini dialokasikan pada kegiatan
pemberdayaan masyarakat, penataan zonasi,
pengembangan pemanfaatan wisata alam, penyuluhan/pendidikan lingkungan dan pengamanan hutan bersama masyarakat (PAMHUT Swakarsa, pembinaan PAMHUT Swakarsa, patroli bersama masyarakat, survey partisipatif). Ini berarti BTNGHS hanya mampu memenuhi 44,37% saja dari kebutuhan anggaran 1,88 Milyar per tahunnya untuk mengatasi permasalahan di bidang sosial budaya. Verifier 2. Alokasi dana untuk mempertahankan nilai warisan budaya Balai
TNGHS
tidak
pernah
mengalokasikan
anggaran
untuk
mempertahankan nilai warisan budaya, meskipun zonasi mengakomodir pemanfaatan untuk kegiatan religi, penyelenggaraan upacara adat, dan pemeliharaan situs, budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada, mengingat peran ini secara lintas generasi telah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat adat atau pun atas fasilitasi pemerintah daerah melalui kebijakan pengembangan pelestarian kebudayaan daerah/cagar budaya, termasuk yang berada di dalam dan sekitar TNGHS. Contohnya Situs Cibedug ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan pengelolaannya diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Lebak berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 101 tahun 2001 dan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak No. 2999/101.3.12/J /1986.
83
5.2 Penilaian Indikator Aktual Berdasarkan hasil pengukuran verifier pada setiap indikator dapat disimpulkan Nilai Indikator Aktual untuk setiap indikator (Tabel 25). Tabel 25 menunjukkan bahwa satu indikator mempunyai Nilai Indikator Aktual (NIA) baik, yaitu indikator zonasi telah mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual. Empat indikator lainnya mempunyai NIA sedang, yaitu: (1) indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (2) indikator tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dan taman nasional, (3) indikator tersedianya tenaga professional di bidang sosial budaya dan (4) indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan di bidang sosial budaya. Tabel 25 Nilai Indikator Aktual setiap indikator pada prinsip kelestarian sosial budaya Indikator
Norma
Indikator 1
zonasi taman nasional agak sangat mengakomodasi akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi. Unit manajemen taman nasional agak mengakomodasikan perkembangan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal Sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP agak sesuai bagi kepentingan operasional bidang sosial budaya yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN Unit manajemen bidang sosial budaya dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang agak sesuai. untuk menangani permasalahan sosial budaya, unit manajemen didukung oleh dana yang agak memadai
Indikator 2 Indikator 3 Indikator 4 Indikator 5 Indikator 6
Indikator 7
Indikator 8 Indikator 9
Nilai Indikator Aktual Baik
Tidak dinilai Tidak dinilai Tidak dinilai Tidak dinilai Sedang
Sedang
Sedang Sedang
Tabel 25 juga menunjukkan bahwa terdapat empat indikator yang tidak dinilai yaitu indikator 2, 3, 4 dan 5, yaitu masing-masing indikator terkendalinya konflik
penggunaan
kawasan
untuk
kegiatan
budaya/ritual,
indikator
terlindunginya ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, indikator terlindunginya ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan
84
kelembagaan lokal dan indikator terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal. Indikator-indikator tersebut tidak dinilai karena berdasarkan pengujian di lapangan ditemui fakta adanya penggunaan istilah yang tidak tepat, kesulitan dalam menyimpulkan norma, dan ketersediaan data pengelolaan yang belum mampu memenuhi kebutuhan data untuk melakukan penilaian kinerja. 5.3 Validitas Indikator Validitas menunjukkan sejauhmana suatu alat atau metode dapat mengukur apa yang ingin diukurnya (Singarimbun dan Efendi 1989; Sugiyono 2009). Validitas setiap indikator yang dirumuskan pada standar pengelolaan taman nasional dalam penelitian ini dikonstruksikan berdasarkan empat kategori kesesuaian yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, yaitu kategori pertama: indikator dapat digunakan sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan dan mencerminkan hubungan; kategori kedua: indikator sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan namun tidak mencerminkan hubungan; kategori ketiga: indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya namun mencerminkan hubungan; dan kategori keempat, indikator tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya dan tidak mencerminkan hubungan. Berdasarkan hasil pengukuran dan penilaian terhadap 9 indikator kinerja kelestarian fungsi sosial budaya TNGHS (Tabel 26), disimpulkan bahwa sebanyak 8 indikator dapat dinyatakan valid karena masuk pada kategori pertama (sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan dan mencerminkan hubungan dengan kriteria) dan hanya 1 indikator yang tidak valid karena masuk pada kategori ketiga (tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan meskipun mencerminkan hubungan dengan kriteria). Delapan indikator yang valid tersebut masing-masing yaitu: (1) zonasi telah
mengakomodasikan
akses
masyarakat
untuk
melakukan
kegiatan
budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (3) terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal, (4) terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan
85
hukum adat dan kelembagaan lokal, (5) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (6) Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (7) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya, dan (8) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya. Adapun satu indikator yang disimpulkan tidak valid, yaitu indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan dinyatakan tidak valid karena tidak sesuai dengan kondisi obyektifnya di lapangan akibat penggunaan istilah yang tidak tepat. Kemudian diketahui pula adanya inkonsistensi penggunaan istilah. Indikator memakai istilah penggunaan kawasan, sedangkan verifiernya memakai istilah penggunaan ruang dan pengertian indikator menggunakan istilah pemanfaatan kawasan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 Pasal 1 ayat 18, penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan diluar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2006 Pasal 1 ayat 5, pemanfaatan kawasan didefinisikan sebagai kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Di sisi lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/2006 menggunakan istilah pemanfaatan ruang dan bukan penggunaan ruang sebagaimana disebutkan dalam verifier. Penggunaan kawasan hutan menurut pasal 38 ayat 1 dan 2 UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 72 ayat 2 UU No. 34 tahun 2002 hanya dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi (tidak termasuk taman nasional) sehingga tidak tepat digunakan. Pemanfaatan kawasan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional (PP No. 6 tahun 2007 pasal 18). Pemanfaatan ruang adalah istilah yang paling tepat digunakan dalam indikator ini dan konsisten dengan indikator pertama dalam konteks zonasi.
Ketidaktepatan penggunaan istilah akan memberikan
implikasi yang berbeda terhadap jenis konflik dan skala intensitas konflik dalam kegiatan budaya/ritual.
86
Tabel 26
Validitas setiap indikator berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi obyektif TNGHS
Indikator
Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui pemanfaatan kelembagaan adat Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui pemanfaatan kelembagaan adat Terlindunginya spesiesspesies penting melalui pemanfaatan kelembagaan adat Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Analisis validitas Indikator Sesuai kondisi obyektif Mendi TNGHS cerminkan hubungan Ya Tidak Ya Tidak Ada Situs/benda/ √ ruang di TNGHS untuk kegiatan ritual/budaya
-
Ada kelembagaan adat (aturan adat, hukum adat dan organisasi adat) Ekosistem unik diduga ada, namun pengelola tidak dapat menunjukkan keberadaannya Ada kelembagaan adat (aturan adat, hukum adat dan organisasi adat) Ada kearifan tradisional masyarakat Kasepuhan TNGHS memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan SOP) Ada staf dengan tugas terkait dengan permasalahan sosial budaya Ada alokasi anggaran yang terkait dengan permasalahan sosial budaya)
KeSimpulan
Indikator Valid
√
-
-
√
-
-
√
-
Indikator valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
-
√
-
Indikator Valid
Penggunaan istilah tidak tepat
Indikator tidak valid untuk digunakan Indikator Valid
5.4 Capaian Kinerja Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan kinerja bertujuan untuk mendapatkan efek perubahan positif dalam budaya, proses dan sistem organisasi. Pengelolaan kinerja menyediakan
87
kerangka untuk: (1) menolong manajer menetapkan kebersetujuan dalam menilai kinerja pencapaian tujuan, (2) membuat alokasi dan prioritas sumberdaya yang dimiliki, (3) memberikan keterangan yang diperlukan bagi manajer mengenai kebutuhan akan perlunya perubahan dalam kebijakan atau arah program yang sesuai dengan tujuan dan (4) mendistribusikan hasil penilaian kinerja dalam mencapai tujuan. Pengukuran atau penilaian kinerja pengelolaan taman nasional adalah proses penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, termasuk informasi mengenai efisiensi sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan barang/jasa, kualitas output yang dihasilkan, outcomes, dan efektifitas pelaksanaan dalam arti besar kontribusi setiap kegiatan terhadap hasil tujuan yang tercapai (Ditjen PHKA 2004). Rivai dan Basri (2005) mendefinisikan kinerja sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja juga berarti serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut (Wibowo 2007). Pengukuran capaian kinerja setiap indikator kelestarian fungsi sosial budaya dilakukan untuk mengetahui apakah setiap indikator telah memenuhi standar minimal kinerjanya dengan membandingkan antara Nilai Indikator Aktual dan Nilai Baku Minimumnya sebagaimana terlihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27 diketahui bahwa lima indikator pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan telah memenuhi Nilai Baku Minimumnya dengan kata lain telah mencapai standar minimal kinerjanya, yaitu: (1) zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi, (2) berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal, (3) tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan taman nasional, (4) tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya dan (5) tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya.
88
Empat indikator lainnya tidak diketahui capaian kinerjanya karena tidak dinilai, yaitu: (1) Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual indikator, (2) terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal,
(3) indikator terlindunginya
spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal dan (4) Indikator terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal. Tabel 27 Capaian Kinerja indikator pengelolaan TNGHS pada kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan sumberdaya alam di dalam kawasan (Tipologi D) No Indikator
Nilai Indikator Aktual
Nilai Baku Minimu m*
1
Zonasi telah mengakomodasikan akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual
Baik
Baik
Standar minimal kinerja terpenuhi (ya/tidak) Ya
2
Terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual
Tidak dinilai
Baik
-
3
Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
4
Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
5
Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal
Tidak dinilai
Sedang
-
6
Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
Sedang
Sedang
Ya
7
Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan TN
Sedang
Sedang
Ya
8
Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya
Sedang
Sedang
Ya
9
Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya
Sedang
Sedang
Ya
Keterangan: *Nilai Baku Minimum diadaptasi dari Laporan Analisa Standar Minimal Pengelolaan Kawasan Konservasi (Ditjen PHKA, 2004).