MENCARI BENTUK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MODEL SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF PRAKTEK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI INDONESIA 1)
Oleh Ir. Hartono, M.Sc 2)
1)
Sebuah Kerangka Pemikiran dipresentasikan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi dengan tema “Mengembangkan Kemandirian TN Alas Purwo Melalui Pengelolaan Berbasis Ekosistem, Hotel Ketapang Indah, 24 April 2008
2)
Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo
1
I.
PENDAHULUAN
Baik di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 maupun di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan konservasi atau biasa disebut sebagai kawasan konservasi didifinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) serta ekosistemnya. Selanjutnya di dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1990 tentang Kehutanan, kawasan konservasi dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Kelesatrian Alam (KPA), dan Taman Buru (TB). Dalam sistem peraturan perundangan di Indonesia, taman nasional adalah salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, disamping 2 bentuk KPA lainnya, yaitu
Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya
(TAHURA). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009, salah satu target yang hendak dicapai adalah terwujudnya 20 Taman Nasional Model sebagai
Taman
Nasional
Mandiri.
Selanjutnya,
berdasarkan
Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor : SK.69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang Penunjukan 20 Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model, Taman Nasional Alas Purwo telah ditetapkan sebagai salah satu dari 20 Taman Nasional Model dimaksud. Meskipun penetapan taman nasional model tersebut (konon) telah dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu, namun sampai dengan saat ini belum ada pedoman/arahan lebih lanjut tentang apa dan bagaimana taman nasional model harus dikelola (tujuan spesifiknya, apa yang menjadi fokus pengelolaan, bagaimana 2
mengelola, serta kriteria dan indikator keberhasilan pengelolaannya). Oleh karena itu, di dalam paper ini akan diuraikan prinsip-prinsip pengelolaan taman nasional, termasuk kriteria dan indikator yang diusulkan untuk dipakai dalam menilai kinerja pengelolaan, serta implikasi kemungkinan adopsinya di dalam pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) sebagai taman nasional model.
3
II.
KAWASAN KONSERVASI DAN PROTECTED AREAS
Untuk mengawali diskusi yang lebih mendalam tentang bagaimana upaya mewujudkan pengelolaan suatu Taman Nasional Model, terlebih dahulu perlu dipaparkan asal usul konservasi serta perkembangannya sampai dengan tipe-tipe kawasan konservasi serta tujuan pengelolaan masingmasing kawasan.
A. Asal Usul Konservasi Terminologi “conservation” atau konservasi pada awalnya berasal dari praktek
pengelolaan
di
dunia
kehutanan,
yaitu
sejak
mulai
diperkenalkannya prinsip kelestarian hasil (sustained yield principle) oleh para foresters Jerman dan Swiss pada abad ke 19 dalam melakukan pemanenan hutan (Grove, 1992). Konservasi berasal dari kata ‘to conserve’ yang berarti memperlakukan sesuatu untuk tujuan pemanfaatan dalam jangka panjang sesuai sesuai dengan slogan Giffort Pinchot (dianggap bapak Kehutanan Amerika) yang populer pada waktu itu, yaitu “the greatest good for the greatest number for
the longest time”. Secara sederhana, aplikasi dari prinsip tersebut adalah agar hutan dapat memberikan manfaat secara lestari maka pemanenan kayu pada suatu kawasan hutan tidak boleh melebihi riap yang tumbuh selama jangka waktu tertentu pada hutan tersebut, sebagaimana
diajarkan
oleh
Dietrich
Brandis
dan
Berthold
Ribbenthrop. Menurut Barton (2001), prinsip ini dilandasi oleh filsafat utilitarian yang sekaligus dapat dianggap sebagai tonggak pertama lahirnya
filsafat
utilitarian conservation. Bagi penganut faham
utilitarian seperti Giffort Pinchot, sesuatu baru dianggap penting apabila mempunyai nilai kegunaan (utility) sehingga dapat dinilai harganya. Saat itu, hutan dianggap berguna semata-mata hanya karena hutan dapat menghasilkan kayu yang mempunyai nilai
4
ekonomi di pasar. Penganut faham ini selanjutnya disebut para
conservationist. Seiring
dengan
semakin
berkembangnya
pemahaman
manusia
tentang fungsi dan manfaat hutan, faham konservasi utilitarian tersebut juga mengalami perkembangan. Hutan ternyata bukan sekadar kumpulan pohon yang tumbuh pada kawasan tertentu, tetapi merupakan asosiasi tumbuhan dan hewan serta elemen-elemen abiotik pada suatu kawasan yang didominasi oleh pohon-pohonan dan terbentuk berdasarkan interaksi faktor biotis dan abiotis sehingga membentuk ekosistem yang khas. Menilai manfaat hutan hanya berdasarkan jenis/komoditas yang mempunyai nilai kegunaannya saja akan membawa konsekuensi kepunahan pada jenis-jenis tertentu yang tidak/belum diketahui manfaatnya (Grove, 1997). Selain itu, saat itu juga mulai berkembang filsafat konservasi yang bersumber dari kesadaran moral manusia (romantic transcendental conservation), bahwa sebagai khalifattul fil ardh, manusia diwajibkan Tuhan untuk berbuat adil bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sejak saat itu, timbul kesadaran untuk menyisihkan beberapa kawasan hutan untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, keindahan, dan rekreasi. Penganut faham ini selanjutnya disebut para preservationist. Perkembangan filsafat konservasi tersebut selanjutnya juga diikuti dengan aplikasinya di dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Di banyak negara, kawasan hutan mulai ditata dan dikelola guna mengakomodasikan 2 prinsip konservasi tersebut. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi dikelola berdasarkan kaidah-kaidah konservasionis, sedangkan kawasan-kawasan hutan tertentu di luar kawasan hutan lindung dan produksi dikelola berdasarkan kaidah preservasionis. Bagi kaum preservasionis, perlindungan kawasan sebagai suatu entitas jauh lebih penting daripada perlindungan jenis
5
secara individual. Mulai saat itu terdapat banyak kawasan hutan yang dikelola sebagai cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, monumen alam dsb.
Di dalam perkembangannya, terminologi utilitarian conservation dan
romantic transcendental conservation/preservation semakin melebur dan hilang, sementara terminologi conservation semakin populer dan dapat digunakan untuk mewakili keduanya. Saat ini, terminologi konservasi bisa digunakan untuk merujuk aktivitas maupun kawasan. Konservasi yang merujuk pada aktivitas merupakan metamorfosa dari penganut faham utilitarian conservation, seperti : sustained yield
timber production, water conservation, soil conservation, genetic conservation, species conservation dll), sedangkan konservasi yang merujuk pada kawasan mewakili paham para preservationonist, dalam bentuk : nature reserves, wildlife sanctuary, national park, nature
monument dll B. Kesamaan dan Perbedaan Kawasan Konservasi dan Protected Areas Dalam konvensi konservasi global, kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan di Indonesia lazim disebut ‘protected area’. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnya penulis sengaja tetap menggunakan terminologi aslinya, yaitu protected area untuk menghindari salah pengertian (yang terjadi akibat penterjemahan) dengan pengertian di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu ‘kawasan lindung’ yang apabila dibahasa-inggriskan secara
letterlijk berarti protected area. Padahal, pengertian kawasan lindung di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia mengacu kepada kawasan (termasuk hutan) yang dikelola sedemikian rupa untuk keperluan perlindungan erosi dan pengaturan tata air.
6
Terdapat kemiripan, namun juga ada beberapa perbedaan tentang definisi dan pengertian antara apa yang dimaksud kawasan konservasi di Indonesia dengan apa yang disepakati secara global tentang
protected area. Secara umum persamaan tersebut terletak kepada tujuan utama dalam pengelolaan, yaitu untuk melindungi dan mengawetkan (to protect and preserve) keanekaragaman hayati, Sedangkan
perbedaannya,
kawasan
konservasi
di
Indonesia
memberikan kelonggaran untuk mengintroduksi flora dan fauna yang bukan asli (exotic species) di dalam pengelolaannya, yaitu pada kawasan tahura, serta pemanfaatan fauna secara lestari pada kawasan taman buru. Banyak kawasan yang sebelumnya telah dideklarasikan sebagai kawasan konservasi, tetapi tidak semuanya memenuhi syarat untuk dimasukkan sebagai protected area. Menurut IUCN, protected area didefinisikan sebagai : ‘An area of land and/or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and associated cultural resources, and managed through legal or other effective means (IUCN, 1994)’ Berdasarkan definisi terebut, IUCN telah membuat pengklasifikasian
protected area berdasarkan tujuan pengelolaannya ke dalam kategorikategori sebagai berikut : Tabel 1. : Kategori Protected Area dan Tujuan Pengelolaannya menurut IUCN Kategori
Nama
Ia
Strict Nature Reserve
Ib
Wilderness
II
National Park
Diskripsi Protected area managed mainly for science Protected area managed mainly for wilderness protection Protected area managed mainly for ecosystem protection and tourism
7
III
Natural Monument
IV
Habitat/Species Management Area
V
Protected Landscape/Seascape
VI
Managed Resources Protected Area
Protected area managed mainly for conservation of specific natural features Protected area managed mainly for conservation through management intervention Protected area managed mainly for landscape/seascape conservation and recreation Protected area managed mainly for sustainable use of natural ecosystems
Menurut Dudley dan Phillips (2006) pendifinisian dan pengkategorian protected areas dimaksudkan untuk memberikan basis pengertian yang sama tentang apa yang dimaksud dengan protected area. Dengan demikian pengelolaan masing-masing kategori protected area tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten guna mencapai tujuan yang jangka panjang yang telah disepakati dan dipahami, melalui kaidah-kaidah pengelolaan yang ditetapkan IUCN beserta seluruh anggotanya.
Melalui pendifinisian dan pengkategorian tersebut, terbukti kawasankawasan yang sebelumnya diberi label ‘national park’ ternyata tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai protected area, karena berdasarkan survey yang dilakukan, kawasan-kawasan tersebut sebenarnya hanya : kebun raya, taman wisata alam, taman safari, old
growth forest, ancient forest dsb. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, tidak seluruh kawasan konservasi di Indonesia otomatis bisa dikategorikan sebagai protected area. Berdasarkan pengklasifikasian/pengakategorian protected area versi IUCN tersebut, maka kawasan konservasi di Indonesia dapat disejajarkan dengan protected area sebagai berikut :
8
Tabel 2 : Penyetaraan Klasifikasi Kawasan Konservasi di Indonesia dengan Kategori Protected Area versi IUCN Fungsi/ Jenis
Definisi
Kategori Versi IUCN
Kawasan Suaka Alam (KSA)
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan maupun perairan, yang berfungsi sebagai kawasan pengawetan kenekaragaman flora dan fauna serta ekosistemnya serta sebagai wilayah penyangga kehidupan
• Cagar Alam (CA)
Kawasan suaka alam yang karena Protected keadaan alamnya mempunyai Areas kekhasan tumbuhan, satwa, dan Category Ia ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Fungsi/ Jenis
•
Suaka Margasatwa (SM)
Definisi
Kategori Versi IUCN
Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Protected Areas Category IV
Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan maupun perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengewetan kenekaragaman flora dan fauna, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
•
Taman Nasional (TN)
Kawasan pelestarian alam yang Protected Areas mempunyai ekosistem asli, dikelola melalui sistem zonasi, dan Category II dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, serta pariwisata dan rekreasi
•
Taman Wisata Alam (TWA)
Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Bukan termasuk
Protected Areas
9
•
Kawasan pelestarian alam untuk Taman Hutan Raya tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis (TAHURA) asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Taman buru (TB)
Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru atau tempat diselenggarakan perburuan secara teratur.
Bukan termasuk
Protected Areas
Bukan termasuk
Protected Areas
C. Implikasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Berdasarkan pengkategorian protected areas versi IUCN tersebut, maka kawasan konservasi di Indonesia dengan label Taman Nasional sebenarnya perlu ditinjau ulang, paling tidak untuk kepentingan pemaduserasian upaya konservasi keaneka ragaman hayati dalam tataran global. Apabila dilakukan penelaahan lebih lanjut, seluruh taman nasional di Indonesia memang memenuhi syarat untuk disebut sebagai protected area. Namun demikian harus dipahami bahwa tidak semua taman nasional di Indonesia sesuai dengan definisi National Park sebagaimana dimaksud protected area kategori II IUCN. Penelaahan lebih lanjut terhadap features fisik kawasan dan tujuan pengelolaannya, sangat dimungkinkan taman nasional yang ada di Indonesia dimasukkan ke dalam kategori-kategori protected area yang berbeda, mulai dari Ib, II,
III,
IV,
atau
bahkan
V.
Hal
ini
bisa
dirunut
sejarah
pembentukannya, mayoritas taman nasional di Indonesia sebelumnya sudah berstatus suaka alam atau suaka margasatwa.
10
Peninjauan ulang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan tujuan pengelolaan yang mencerminkan ciri-ciri (features) utama kawasan serta aktivitas manusia yang telah berlangsung selama ini. Dengan demikian penetapan tujuan dan implementasi pengelolaannya dapat dilakukan secara lebih optimal. Lebih penting lagi, melalui peninjauan ulang tersebut diharapkan agar para penentu kebijakan dapat berpikir dengan lebih jernih dan selektif dalam menentukan arah dan kebijakan pengelolaan taman nasional ke depan, termasuk memahami dengan benar apa yang : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram dilakukan dalam pengelolaan taman nasional. Masih belum banyak, bahkan mereka yang sejak pertama kali sampai pensiun bekerja di lingkungan PPA/PHKA, yang belum memahami dan menyadari bahwa mengubah tujuan pengelolaan, serta implementasi pengelolaannya dapat mengubah kategori dan status kawasannya sendiri.
Taman
pemanfaatan
nasional
(wisata,
yang
lebih
pendidikan,
mengedepankan
kultural,
sampai
aspek dengan
pemanfaatan sumberdaya lestari) dan melupakan aspek perlindungan
biodiversity dapat dengan mudah terpeleset menjadi sekedar ‘taman wisata alam’ atau ‘hutan lindung plus’. Bisa jadi, ketidakjelasan kebijakan pengelolaan taman nasional yang terjadi selama ini sebagai ekses dari seringnya para pejabat melakukan ‘studi banding’ pengelolaan taman nasional ke luar negeri, dimana obyek studi banding yang dikunjungi sebenarnya bukan termasuk ke dalam ‘the true national park’ sebagaimana dimaksudkan di dalam kategori II IUCN. ‘Salah banding’ inilah yang dapat menimbulkan impresi yang keliru tentang bagaimana taman nasional harus dikelola. Lebih gawat lagi, apabila impresi yang keliru tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan pengembangan taman nasional di Indonesia.
11
III.
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Sebagaimana dipaparkan di atas, taman nasional merupakan salah satu bentuk protected area yang ditetapkan untuk tujuan perlindungan ekosistem dan pengembangan wisata. Karena taman nasional merupakan salah satu bentuk protected area, maka selain perlindungan ekosistem dan pemanfaatannya, satu hal yang harus dipegang dan senantiasa diingat sebagai misi pokok oleh pengelola taman nasional adalah peengelolaan biodiversity (keaneka ragaman hayati) dan ekosistemnya. Di dalam upaya pengelolaan taman nasional, hal pertama yang harus diketahui dan dipertimbangkan adalah : sejauh mana aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak, baik yang sudah dan sedang terjadi pada saat ini maupun yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dapat menimbulkan
dampak
terhadap
atribut-atribut
biodiversity
yang
dicerminkan di dalam ‘key features biodiversity’ (Tucker, 2005). Oleh karena itu, agar pengelola taman nasional dapat mengelola taman nasional dengan baik dan benar, paling tidak harus harus memahami 4 hal, yaitu : a) apa yang harus dikelola; b) apa tujuan pengelolaan; c) bagaimana mengelola secara efektif dan efisien; dan d) apa kriteria dan indikator kinerja pengelolaan.
D. Apa yang Dikelola Alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi Taman Nasional pasti karena faktor biodiversity dan ekosistemnya, disamping faktorfaktor alamiah dan keunikan lainnya. Alasan lain yang juga sering dipertimbangkan adalah karena kawasan tersebut mempunyai peran penting dalam perlindungan DAS, pengawetan tanah, perlindungan pantai, serta perlindungan terhadap masyarakat asli (indigenous
people) yang hidup didalamnya.
12
Mengingat alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi sebuah Taman
Nasional
adalah
fakor
keanekaragaman
hayati
dan
ekosistemnya, maka hal pertama yang harus dilakukan dalam mengelola kawasan taman nasional adalah melakukan asesmen terhadap status biodiversity kawasan yang bersangkutan. Asesmen ini meliputi kegiatan inventarisasi flora-fauna secara menyeluruh untuk mengetahui : tipe ekosistem, formasi, jenis, kelimpahan, kelangkaan, kerentanan, asosiasi, serta atribut-atribut biodiversity lainnya. Pada saat yang sama juga perlu dilakukan asesmen terhadap kondisi edafis, geologis, fisiografis, dan klimatologis untuk mengetahui interaksi antara faktor-faktor biotis dan abiotis.
Key features biodiversity
yang
merupakan
gambaran
penting
biodiversity dari suatu kawasan dapat diperoleh melalui asesmen interaksi manusia (terutama yang bersifat ancaman) terhadap kawasan tersebut. Dengan demikian, di dalam melakukan asesmen
features sosio-ekonomi dan kultural masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan juga perlu dilakukan analisa yang cukup mendalam. Pentingnya mendapatkan gambaran key feature biodiversity dalam pengelolaan taman nasional dapat diibaratkan membuat sketsa dalam memproduksi sebuah lukisan. Semakin jelas sketsa semakin mudah menafsirkan bentuk obyek yang akan dilukis. Sketsa yang kabur dan ruwet akan menimbulkan multi-interpretasi dan kekeliruan yang fatal di dalam meneruskan pembuatan lukisan. Apalagi kalau pembuat sketsa dan pelukis adalah 2 orang yang berbeda. Jendela bisa ditafsirkan pintu, kamar mandi bisa ditafsirkan sebagai kamar tidur dan seterusnya, yang terjadi kemudian bukan sebuah gambar rumah, tetapi gambar puing rumah.
13
Key features biodiversity inilah yang merupakan base line bagi pengelola
kawasan
taman
nasional
dalam
menyusun
rencana
pengelolaan dan melakukan pengelolaan ke depan. Tanpa mengetahui dan memahami key features biodiversity, pengelolaan taman nasional tidak akan pernah mencapai tujuan pengelolaan atau bahkan dapat mengarah kepada kerusakan yang tak terpulihkan (irreversible
damages).
E. Tujuan Pengelolaan Secara umum tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta untuk memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan aktivitas rekreasi, wisata, penelitian, pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat spiritual dan inspirasional. Dalam konteks pengelolaan pada level unit pengelolaan, pengelola taman nasional harus berani membuat target-target yang spesifik yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Target-target yang harus dicapai mencakup hal-hal yang terkait dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati, pengembangan wisata alam, serta tujuan lain yang sesuai fungsi taman nasional. Dengan tujuan dan target pengelolaan yang jelas, pengelola diharuskan
menemukan
cara
dengan
mengerahkan
semua
sumberdaya, baik yang sudah tersedia maupun yang masih bersifat potensi, untuk mencapai target tersebut. Upaya pengelola taman nasional untuk mencapai tujuan dan target-target tersebut perlu dituangkan ke dalam management plan.
F. Bagaimana Mengelola Taman Nasional Mengelola taman nasional tidak jauh berbeda dengan mengelola apa saja, termasuk mengelola hutan produksi atau mengelola kebun
14
sekalipun. Prinsip atau kaidah dasar pengelolaan adalah bagaimana mengalokasikan dan memobilisir sumberdaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Yang membedakan adalah tentang apa yang dikelola dan tujuan pengelolaan.
Key features biodiversity dan tujuan pengelolaan merupakan 2 hal yang harus selalu harus dipegang dan selalu diingat pengelola taman nasional di dalam menyusun management plan taman nasional dan mengoperasionalkannya sebagaimana gambar berikut :
Gambar 1 : Skematis Alur Pengelolaan Taman Nasional
Sumber : Hockings,M. (2000)
Dalam upaya pengelolaan taman nasional direkomendasikan untuk menggunakan pendekatan management by objective (MBO) yang berorientasi kepada hasil, dimana penekanan lebih difokuskan kepada
15
pencapaian output dan outcome (Thomas and Middleton, 2003). MBO lebih bersifat proaktif daripada reaktif, dan pendekatan manajemen ini telah banyak digunakan oleh berbagai institusi yang selama ini menangani pengelolaan protected area di banyak negara. Kelebihan dari MBO diantaranya adalah : 1. Formulasi tujuan yang jelas dan tegas; 2. Memungkinkan action plans yang realistis dengan selalu mempertimbangkan kendala dalam mencapai tujuan; 3. Memungkinkan dilakukan monitoring dan pengukuran kinerja secara sistematis; 4. Memungkinkan dilakukan corrective actions untuk mencapai hasil yang direncanakan. Banyak referens yang bersifat guidelines maupun lesson learned yang bisa digunakan sebagai acuan di dalam mengelola taman nasional berdasarkan pendekatan MBO. Namun demikian harus diingat tidak ada formula manajemen yang bersifat generik dan bisa langsung diaplikasikan pada semua taman nasional. Yang bisa dipelajari adalah identifikasi elemen-elemennya, formulasi langkah-langkahnya, serta proses implementasinya. Satu catatan penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam melaksanakan monitoring pengelolaan taman nasional. Monitoring tidak cukup hanya dilakukan terhadap kemajuan aktivitas pengelolaan dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam management plan, monitoring juga harus selalu dilakukan terhadap key features biodiversity untuk mengetahui dampak dari aktivitas pengelolaan. Sejauh ini, aktivitas dalam bentuk monitoring dan asesmen key
features biodiversity ini jarang sekali atau hampir tidak pernah dilakukan oleh para pengelola taman nasional.
16
D. Kriteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Taman Nasional Di berbagai forum rapat kerja dan seminar sering didiskusikan bagaimana menilai kinerja pengelolaan taman nasional. Menurut catatan penulis, Ditjen PHKA sudah pernah melakukan studi tentang penyusunan
kriteria
dan
indikator
untuk
mengukur
kinerja
pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Belum tuntas mendiskusikan dan menetapkan kriteria dan indikator kinerja pengelolaan, Ditjen PHKA justru memunculkan diskursus untuk menyusun kriteria dan indikator kinerja para Kepala Balai sebagai pimpinan unit kerja pengelola kawasan konservasi. Seolah-oleh menilai kinerja Kepala Balai jauh lebih penting daripada menilai kinerja pengelolaan kawasan. Diskursus ini dapat menimbulkan tafsir miring bahwa Ditjen PHKA akan mengambil oper peran Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) dan Biro Kepegawaian. Institusi yang gemar melakukan segala sesuatu yang bukan tugas pokok dan fungsinya sering disebut institusi super yang ‘doing everything but its main tasks’. Untuk dipahami, kinerja pengelolaan kawasan konservasi merupakan resultante dari : potensi kawasan, arahan dan kebijakan, fasilitasi dan supervisi, mobilisasi sumberdaya yang ada, kepemimpinan unit pengelola, sampai dengan faktor eksternal yang berada di luar kontrol pengelola kawasan. Pencapaian kinerja pengelolaan kawasan secara okuler dapat dilihat dengan mudah melalui pengamatan lapangan. Tetapi apakah hasil pengamatan okuler tersebut dapat langsung digunakan sebagai indikator kinerja pengelola kawasan ? atau lebih sempit lagi kinerja Kepala Balai ? Sederhananya dapat dilihat pada gambar berikut :
17
Gambar 2 : Skematis kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi
Oleh karena itu, langkah pertama untuk melakukan penilaian kinerja pengelolaan taman nasional adalah menentukan komponen apa saja yang akan dinilai. Selanjutnya perlu disepakati tentang kriteria dan indikator penilaian, dan yang terakhir adalah kesepakatan tentang siapa yang menilai dan periodisitas penilaian.
Mengingat menilai kinerja pengelolaan hanya berdasarkan outcome bisa menimbulkan bias, maka komponen yang dinilai harus utuh dan menyeluruh : mulai dari status potensi, perencanaan, sumberdaya, proses, output, sampai dengan outcomenya. Kriteria yang dipilih untuk setiap komponen merupakan features kunci dari komponen dimaksud.
Indikator
penyederhanaan
bisa
penilaian disusun
bisa suatu
debatable,
tetapi
untuk
indikator
yang
dapat
menggambarkan upaya-upaya yang telah dilakukan, misalnya mulai dari : sedang dipikirkan, sudah direncanakan, sedang dilaksanakan, sampai dengan hasil yang telah dicapai. Gambar 3 : Skematis Penilaian Kinerja dan Komponen-komponen yang Dinilai
18
Sebagaimana penyusunan management plan, sebenarnya IUCN sudah banyak menerbitkan guidelines maupun best practices tentang
management
effectiveness
pada
protected
areas.
Beberapa
metodologi yang bisa digunakan, diantaranya adalah : Tabel 3 : Beberapa metodologi yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja pengelolaan kawasan konservasi No
1.
Metodologi
RAPPAM
Organisasi Pengguna
WWF
Rapid Asessment and Prioritization of Protected Areas Management 2
METT (Management Effectiveness Tracking Tool)
3
MES of Finland
Penggunaan
•
•
Prioritasi dan pengalokasian sumberdaya Public support
World Bank/WWF Allliance
Adaptive Management
Finland
Adaptive
19
(Management Effectivness Study of Finland 4
Management
KRITIN KAKO (Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Konservasi)
TNAP
Prioritasi dan pengalokasian sumberdaya Adaptive Management
•
•
Penilaian kinerja pengelolaan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
progress
pengelolaan
taman
nasional
sudah
dilakukan
dibandingkan dengan tujuan jangka panjang pengelolaan taman nasional.
Penilaian
kinerja
pengelolaan
sama
sekali
bukan
dimaksudkan untuk menilai kinerja Kepala Balai (meskipun hasilnya juga dapat digunakan untuk tujuan dimaksud). Output dari penilaian kinerja
dapat
digunakan
untuk
berbagai
macam
keperluan,
diantaranya : I.
Pada level unit kerja pengelolaan : penyesuaian implementasi pengelolaan, perbaikan sistem perencanaan, dan sebagai informasi
untuk
penggunaan
meningkatkan
sumberdaya,
serta
efektivitas bahan
dan
untuk
efisiensi menyusun
akuntabilitas II.
Pada level nasional : untuk mengevaluasi kebijakan, informasi pengalokasian sumberdaya (sdm, dana, sarpras dll), menyusun guidelines, melaksanakan supervisi dll
III.
Untuk donor dan NGOs : sebagai informasi awal untuk get
involved pada fokus-fokus kegiatan tertentu dan area tertentu. Untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, penilaian kinerja sebaiknya
dilakukan
oleh
pihak
independen.
Penilaian
kinerja
pengelolaan tidak bisa dilakukan oleh Tim Internal karena akan menimbulkan bias yang disebabkan oleh kendala psikologis. Penilaian juga tidak dapat dilakukan oleh Tim dari Ditjen PHKA Pusat karena
20
banyak hal yang menyangkut kinerja pengelolaan juga sangat dipengaruhi oleh arahan, kualitas kebijakan, dan berbagai bentuk fasilitasi dari Pusat.
21
IV.
TAMAN NASIONAL MODEL
Pemaparan pengertian umum tentang kawasan konservasi, protected
area, dan pengelolaan taman nasional telah mengantarkan pada bagian pokok dari paper ini, yaitu tentang implementasi taman nasional model. Beberapa issue yang perlu didiskusikan lebih lanjut diantaranya adalah : pengertian taman nasional model, kaitan antara taman nasional model dan taman nasional mandiri, serta upaya yang akan ditempuh Taman Nasional Alas Purwo sebagai Taman Nasional Model. A. KONSEP MODEL Ide untuk menetapkan taman nasional model sebenarnya berawal dari ketidak jelasan arah pengelolaan taman nasional di Indonesia. Dalam rapat pembahasan anggaran dan seminar sering dipertanyakan : seandainya seluruh kebutuhan anggaran taman nasional selalu dipenuhi, pada akhir masa pembangunan akan menjadi seperti apa taman nasional tersebut ?
Pertanyaan sederhana dari otoritas
anggaran tersebut seringkali tidak bisa dijawab oleh para pengelola taman nasional. Pada saat yang sama keinginan untuk menambah jumlah taman nasional juga semakin besar, sehingga dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun, Indonesia telah mempunyai 50 taman nasional, yang terdiri dari 8 Balai Besar Taman Nasional dan 42 Balai Taman Nasional. Sementara masih banyak lagi kawasan-kawasan yang sedang atau akan diusulkan menjadi taman nasional. Penambahan anggaran sampai dengan 3 kali lipat terbukti tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap progres pembangunan taman nasional, hanya karena organisasinya yang terus membengkak.
22
Semakin banyaknya taman nasional yang dibentuk, ternyata tidak otomatis diikuti dengan kemajuan/progress yang signifikan di dalam pengelolaan kawasan konservasi di tingkat nasional. Pada tingkat unit pengelolaan, taman nasional masih dikelola seperti biasanya (as
usual), atau maksimum beberapa taman nasional melakukan pembangunan sarana-prasarana secara besar-besaran yang, banyak diantarany, out of context dari tujuan pengelolaannya. Dengan latar belakang
seperti
itulah
selanjutnya
dipertimbangkan
untuk
membentuk Taman Nasional Model. Melalui pembentukan taman nasional model tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang bagaimana seharusnya taman nasional dikelola, sehingga sumberdaya yang sangat terbatas dapat lebih difokuskan untuk menjadikan Taman Nasional Model sebagai ‘the true
national park’. Oleh karena itu Ditjen PHKA menetapkan beberapa taman nasional sebagai Taman Nasional Model dengan harapan agar nantinya dapat direplikasi dan digunakan sebagai referensi di dalam pengelolaan taman nasional lainnya. Pada awalnya, pemilihan taman nasional sebagai Taman Nasional Model didasarkan kepada features utama kawasan dan tujuan pengelolaan, yaitu Taman Nasional yang mempunyai potensi wisata tinggi, Taman Nasional yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, serta Taman Nasional yang sudah lama mempunyai interaksi positif dengan masyarakat di sekitarnya. Setelah Taman Nasional Model ditetapkan melalui Keputusan Dirjen, selanjutnya tidak ada arahan dan pedoman lebih lanjut untuk operasionalisasinya. Masingmasing
pengelola
Taman
Nasional
Model
dibebaskan
untuk
menterjemahkan keputusan Dirjen tersebut sesuai dengan selera masing-masing. Tanpa pedoman, tanpa kriteria dan indikator, tanpa, supevisi, tanpa monitoring, dan penilaian kinerja. Sementara waktu yang tersisa kurang dari 2 tahun, tanpa harus menunggu sampai
23
dengan tahun 2009, satu hal yang sudah pasti : salah satu target Renstra Dephut telah gagal untuk direalisasikan. B. KEMUNGKINAN MENGELOLA TAMAN NASIONAL SECARA MANDIRI Ada tafsir informal yang berkembang, bahwa Taman Nasional Model adalah taman nasional yang dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat dapat dikelola secara mandiri. Istilah mandiri dapat merujuk
kepada
kapasitas/kapabilitas
4
hal,
yaitu
:
pengelola; kedua,
pertama, dari
dari
aspek
aspek kemampuan
finasial/pendanaan; ketiga, dari aspek pengambilan keputusan; ke empat, dari ketiga aspek sebelumnya. Pengembangan taman nasional mandiri ditinaju dari aspek kapasitas/ kapabilitas dan kemampuan finansial sebenarnya berlawanan dengan kecenderungan mainstream global dalam pengelolaan protected area, yaitu kolaborasi. Semakin meningkatnya public awareness dalam masalah konservasi, dan semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergiat dalam masalah konservasi merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dan disinergikan para pengelola taman nasional untuk mendukung dan mempercepat pencapaian tujuan pengelolaan. Pengelola kawasan taman nasional tidak harus tahu dan mengerjakan segalanya. Yang diperlukan dari pengelola taman nasional adalah menyusun framework pengelolaan beserta prioritasinya sehingga memungkinkan tersedianya slot-slot aktivitas yang dapat dilakukan secara kolaboratif. Menurut ketentuan perundangan yang berlaku, pengelolaan kawasan konservasi (kecuali TAHURA) merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah Pusat. Konsekuensinya, seluruh kawasan konservasi dikelola oleh instantusi Pusat (BKSDA dan Taman Nasional). Aturan yang lain, instansi pemerintah, kecuali yang berstatus BUMN, dilarang 24
untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkan. Ada sedikit kelonggaran, bagi instansi pemerintah yang berstatus BHMN (semisal Perguruan Tinggi) dan Badan Layanan Umum/BLU (misalnya, Rumah Sakit, Pengelola Dana Bergulir dll) dapat mengenerate income dari jasa yang dihasilkan. Apakah Taman Nasional kelak akan dapat dikelola dengan status BLU merupakan suatu kajian tersendiri. Pemberian status otonom yang memungkinkan pengelola taman nasional dapat membuat keputusan sendiri, dalam banyak hal, sudah berlaku cukup lama. Pengembangan taman nasional menuju ke arah taman nasional mandiri perlu ditelaah secara mendalam, terutama berkaitan dengan batasan dan ruang lingkup kemandirian, payung hukumnya, strategi dan langkah implementasinya, sampai dengan kriteria dan indikator penilaiannya. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pengelola taman nasional untuk melakukan trial dan error tanpa rambu-rambu yang
jelas
bukan
hanya
membahayakan,
tetapi
merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak bertanggungjawab. C. UPAYA YANG DITEMPUH BALAI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Penetapan Balai Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu taman nasional model di satu sisi memberikan kebanggaan tersendiri bagi seluruh pengelola TNAP dan masyarakat Banyuwangi, di sisi yang lain status tersebut juga merupakan beban tersendiri mengingat pengelola kesulitan menterjemahkan status tersebut ke dalam kegiatan yang konkrit. Diantara ketidakjelasan tersebut, beberapa kegiatan strategis yang lebih bersifat antisipatif yang sedang dan akan dilakukan Balai TNAP adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia
25
Seperti apapun konsep dan implementasi
taman nasional
nantinya,
manusia
pasti
memerlukan
sumberdaya
yang
qualified. Untuk itu Balai TNAP bersama dengan Fahutan UGM telah melakukan kerjasama dalam menyiapkan sdm yang dibutuhkan, mulai dari tingkat analis, supervisor, sampai dengan tingkat pelaksana. Kerjasama juga mencakup penelitian terhadap
beberapa
aspek
pengelolaan
yang
dianggap
mendesak guna peningkatan kualitas pengelolaan. b. Review ulang status biodiversity Sampai dengan saat ini status biodiversity dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo belum pernah diketahui dengan pasti. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) BTN Alas Purwo disusun berdasarkan data seadanya, sehingga kurang representatif untuk digunakan sebagai basis pengelolaan selanjutnya. didefinisikan,
biodiversity
Key
features
demikian baru
biodiversity
juga
dilakukan
monitoring secara
belum dan
sporadis
pernah asesmen
dan
belum
penilaian
kinerja
dilakukan secara periodik dan sistematis. c.
Evaluasi management effectiveness Sebagaimana
dikemukakan
sebelumnya,
pengelolaan dimaksudkan untuk mengatahui sejauh mana pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo sudah dilakukan. Untuk itu diperlukan kriteria dan indikator yang nantinya akan digunakan sebagai instrumen penilaian. Melalui penilaian tersebut diharapkan Balai TNAP dapat segera melakukan konsolidasi ke dalam guna mempercepat pencapaian tujuan pengelolaan d. Mereview dan memperbaiki Management Plan
26
Disamping belum didukung dengan data yang komprehensif, dokumen-dokumen perencanaan Balai TNAP (RPTN dan RKL) sudah out of date, terutama berkaitan dengan diserahkannya kawasan Taman Wisata Alam Ijen kepada BKSDA Jatim dan ditetapkannya zonasi TNAP oleh Dirjen PHKA pada bulan Pebruari tahun 2007 yang lalu. Perbaikan management plan akan difokuskan kepada proses penyusunan yang lebih partisipatif serta substansi yang lebih berkualitas. Peningkatan kualitas substansi dilakukan melalui pemenuhan data dasar yang lebih representatif dan benar-benar mencerminkan key
features
biodiversity
kawasan,
tujuan
dan
target-target
pengelolaan yang lebih jelas, pentahapan, sampai dengan opsiopsi kegiatan yang lebih realistis. e. Meningkatkan efektivitas pengelolaan Pengelolaan
TNAP
tidak
berangkat
dari
nol.
Capaian
sebelumnya merupakan modal dasar yang sangat berharga untuk melangkah ke depan. Untuk itu Balai TNAP telah melakukan
pengelolaan
kawasan
berbasis
resort
(LOWASBASROT) yang dilengkapi dengan sistem monitoringnya secara computerized (SILOKA – Sistem Informasi Pengelolaan Kawasan). Ide awal dilaksanakannya Lowasbasrot dan Siloka di TNAP sebenarnya terbatas untuk meningkatkan intensitas pengamanan hutan. Dalam perkembangannya Lowasbasrot dan SILOKA juga dapat digunakan untuk melakukan monitoring dan berbagai keperluan pengelolaan kawasan. Implementasi dari Lowasbasrot dan SILOKA akan terus dikembangkan dan disempurnakan
untuk
mendorong
terwujudnya
efektivitas
pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan TNAP.
27
V.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan di atas, penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu segera dilakukan peninjauan ulang status kawasan konservasi di
Indonesia,
agar
definisi,
pengertian,
dan
atribut-atribut
pengelolaan yang dilakukan dapat kompatibel dengan pengelolaan protected areas secara global. 2. Label taman nasional di Indonesia sebaiknya ditinjau ulang, agar pengelolaan masing-masing kawasan dapat dilakukan secara lebih optimal. Apabila perubahan nomenklatur agak sulit dilakukan, karena alasan yuridis, taman nasional yang ada perlu dibuat kategori-kategori khusus 3. Perlu segera disusun dan ditetapkan kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional. Selanjutnya perlu segera dilakukan penilaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi pada masing-masing taman nasional. 4. Belum ada pedoman yang jelas tentang apa dan bagaimana yang dimaksud Taman Nasional Model, sehingga implementasinya di lapangan tidak berjalan sebagaimana ide awalnya. 5. Pengelolaan taman nasional menuju Taman Nasional Mandiri hanya dapat dilakukan apabila payung hukum ke arah tersebut sudah dibuat. Selain itu juga diperlukan konsep yang jelas dalam bentuk arahan dan pedoman tentang bagaimana mengelola taman nasional menuju Taman Nasional Mandiri. Dari paparan yang sudah disampaikan, penulis juga dapat mengajukan beberapa rekomendasi kepada Ditjen PHKA Pusat sebagai berikut :
28
1. Agar segera menyusun dan menetapkan kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi, serta melaksanakan penilaian kinerja pengelolaan taman nasional. 2. Agar dapat lebih memfokuskan pelaksanaan tupoksinya untuk melakukan kegiatan yang bersifat regulatif (penyusunan peraturan Menteri & Dirjen); fasiltatif (penyusunan guidelines, training, bimbingan pengelolaan dll), serta supervisi (monitoring dan evaluasi, pengawasan dll) 3. Agar Ditjen PHKA bersama dengan Perguruan Tinggi beserta pihakpihak terkait (Departemen Keuangan, Menpan, LSM dll) dapat melakukan
kajian
yang
mendalam
tentang
kemungkinan
dibentuknya status BLU bagi Taman Nasional
29
VI.
PENUTUP
Mengingat semakin carut marutnya pengelolaan hutan produksi yang ada, keberadaan kawasan konservasi bisa dianggap sebagai benteng terakhir bagi keberadaan hutan tropis di Indonesia. Kawasan konservasi bukanlah suatu kawasan yang harus dikeloala secara eksklusif sebagai pulau yang terpisah dari lingkungan di sekitarnya, tetapi kawasan konservasi juga tidak boleh dibuka selebar-lebarnya sebagaimana kawasan hutan pada umumnya. Peningkatan intensitas pengelolaan kawasan konservasi dapat menjadi salah satu jawabannya. Mengelola sesuatu pasti membawa konsekuensi timbulnya biaya dan tenaga. Agar pengorbanan sumberdaya yang sangat terbatas tersebut tidak sia-sia, perlu segera dilakukan konsolidasi pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Konsolidasi tidak saja harus dilakukan pada level unit pengelolaan, tetapi juga pada level pembuat kebijakan. Melalui konsolidasi tersebut diharapkan pengelolaan kawasan konservasi ke depan, utamanya kawasan Taman Nasional dapat dilakukan secara lebih terfokus, sistematis, tepat guna, dan tepat sasaran.
30
DAFTAR PUSTAKA Barton, Gregory A. (2001). Empire Forestry and the Origin of Environmentalism, Cambridge. University Press Dudley, N., and Phillips, A. (2006). Forest and Forest Protected Areas. Guidance on the Use of the IUCN Protected Area Management Categories. Best Practice Protected Area Guideline Series No.12, World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN. Grove,R.H. (1992). Origin of Western Environmentalism. Sientific American 267 (1) 22-27. Grove, R.H. (1997). Ecology, Climate and Empire : Colonialism and Global Environmental History 1400-1940. Cambridge. Whitehorse Press. Hockings, M., Stuton,S., and Dudley,N. (2000). Evaluating Effectiveness. A Framework for Asessing the Management of Protected Areas. World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN. IUCN (1994). Guidelines for Protected Area Management Categories. IUCN and The World Conservation Monitoring Centre, Gland, Switzerland and Cambridge. UK. Thomas, L., and Middleton, J. (2003). Guidelines for Management Planning of Protected Area. World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN. Tucker,G. et al (2005). Guidelines Biodiversity Asessment and Monitoring for Protected Areas. KMTNC. Kathmandu, Nepal. UNEP-WCMC.
31