II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan didefenisikan sebagai usaha
memberi sebagian daya atau
kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberiaan daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimihardja dan Hikmat, 2004). Payne dalam Adi (2001) mengemukakan bahwa pada intinya suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan, yang dilakukan dengan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang
ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas
bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengotrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Dari beberapa konsep pemberdayaan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pada intinya proses pemberdayaan meliputi aspek-aspek : (a) Pemberian daya kepada individu, kelompok atau komunitas yang dianggap kurang Berdaya; (b) Dengan pemberian daya tersebut, individu, kelompok atau komunitas sehingga (c) Pada akhirnya mereka dapat menentukan apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri tanpa campur tangan pihak luar. Pemberdayaan masyarakat dan partisipasi merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu pada rakyat (people centered development). Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan control internal
atas
9
sumberdaya material dan non-material yang penting melalui retribusi kekuasaan (modal maupun kepemilikan) (Korten dalam Adimihardja dan Hikmat, 2004). Selanjutnya ESCAP dalam Adimihardja dan Hikmat (2004), mengemukakan bahwa permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya akibat dari adanya penyimpangan perilaku atau masalah keperibadian, tetapi juga karena masalah structural, kebijakan yang keliru, implimentasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003).
Pertama, kecenderungan primer, yaitu
kecenderungan proses yang memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangu aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi.
Kedua,
kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Agusta dalam Laporan Bappenas (2003), merumuskan bahwa program pemberdayaan mencakup lima hal, yaitu : a. Asumsi bahwa suatu tindakan individu dilakukan untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang pemberdayaan dari struktur yang ada. b. Partisipasi merupakan tindakan sukarela. Tindakan pemberdayaan atau pembebasan diri baru berarti ketika digerakkan oleh olahan persepsi, pemikiran dan sikap individu sendiri. c. Karena merupakan tindakan sukarela, maka partisipasi mengarah kepada suatu tindakan rasional. Tindakan rasional disini diartikan sebagai pilihan atas sarana dalam hubungan dengan tujuan. d. Asumsi bahwa program atau proyek adalah sumberdaya yang langka, padahal proses pemberdayaan masyarakat memiliki dimensi yang luas dan saling
10
berkaitan dalam waktu yang relatif lama. Oleh karenanya suatu program secara sendirian sulit membangun argument mengenai kemampuan membangun masyarakat. e. Asumsi bahwa kelompok dilihat sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus.
2.2. Partisipasi dan Pemberdayaan Partisipasi masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi penting dalam konteks pemberdayaan. Sumardjo dan Saharuddin (2004) mengemukakan 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat menjadi penting, karena : (a) Melalui partisipasi masyarakat dapat diperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya kehadiran suatu program akan gagal. (b) Bahwa masyarakat lebih mempercayai program pembangunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk program tersebut dan akan menimbulkan rasa memiliki terhadap kegiatan dalam program tersebut; dan (c) Adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan (empowerment)
sebenarnya
jalan
untuk
mewujudkan
partisipasi,
karena
pemberdayaan sangat menjunjung tinggi prinsip partisipasi itu sendiri. Partisipasi merupakan bentuk prilaku dasar, karenanya unsur utama partisipasi adalah adanya kesadaran dan kesukarelaan
dalam berprilaku sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan partisipan (Sumardjo dan Saharuddin, 2004). Selanjutnya menurut Widyatmadja dalam Sugiyanto (2002) mengemukakan pandangan partisipasi dari prespektif rakyat sebagai praktek dari keadilan. Oleh karenanya pemahaman partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat (empowering people) terdiri dari praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin dapat
11
menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan. partisipatif dalam pembangunan
Implementasi
adalah penerapan prinsip pembangunan yang
berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat menjadi pelaku utama dalam pembangunan (Sumardjo dan Saharuddin, 2004). Seorang akan berpartisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddin (2004) apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi yang meliputi 3 (tiga) hal yaitu : (1) adanya kesempatan, yaitu suasana atau kondisi lingkungan yang didasari oleh orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berartisipasi, (2) kemauan, yaitu sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, dan (3) kemampuan, yaitu kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai
kemampuan
untuk
berpartisipasi,
yang
dapat
berupa
pikiran,
tenaga/waktu atau sarana dan material lainnya. Hal ini diperkuat oleh pandangan Agusta dalam Laporan Bappenas (2003) yang menyatakan tindakan partisipasi yang tumbuh dari dalam diri seseorang minimal menandakan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan serta bersedia menanggung resiko. Meskipun demikian terdapat pandangan mengenai kesulitan menumbuhkan pola partisipasi yang hakiki secara terencana atau bentuk rekayasa sosial. Disamping itu ada kesulitan lain untuk melepaskan partisipasi dari mobilisasi. Fenomena program pemberdayaan akhir-akhir ini menunjukkan batas antara mobilisasi dan partisipasi yang semakin kabur, yang bersumber dari kehalusan pesan yang melekat pada program itu sendiri, yang tidak mudah disadari oleh pembawa dan pemanfaat program pemberdayaan (Bappenas, 2003).
2.3. Konsep Komunitas Komunitas diartikan sebagai kumpulan warga yang tinggal dalam suatu wilayah yang terbatas luasnya dan mempunyai kepentingan yang sama berkenaan dengan wilayah tempat tinggalnya itu (Sumarti dan Tonny, 2002; Adi dalam Gunardi, dkk, 2004).
Selanjutnya Park dalam Tonny dan Kolopaking (2004), memberikan
pengertian yang dianggap sangat relevan mengenai komintas sebagai “bukan hanya
12
kumpulan dari orang, tetapi kumpulan dari institusi (“A community is not only a collection of people, but is a collection of institutions. Not people, but institutions, are final
and decisive in distinguishing the community from other social
constellations”.
Ife dalam Tonny dan Kolopaking (2004), berpandangan bahwa
komunitas (community) dalam prespektif Sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama atau tingkat interaksi yang tinggi, dimana anggota komunitas yang mempunyai kebutuhan yang sama (common needs) dan jika tidak ada kebutuhan bersama tersebut maka itu bukan suatu komunitas. Tonny dan Kolopaking (2004), mengemukakan tentang unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) yang terdiri dari seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan.
Ketika unsur tersebut
merupakan suatu dasar dari adanya komunitas sesuai konsep komunitas yang ada. Adi (2001), mengemukakan bahwa dalam intervensi komunitas, maka pengertian komunitas dapat pula mengacu pada komunitas fungsional, yaitu komunitas yang disatukan oleh bidang pekerjaan mereka bukan sekedar pada lokalitasnya saja.
2.4. Komunitas Nelayan Berangkat dari defenisi komunitas di atas, maka secara umum komunitas nelayan diartikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (terutama pesisir), yang bermata pencaharian sebagai penangkap ikan atau pekerjaan yang berhubungan dengan perikanan lainnya (Ditjen P3K, DKP, 2003) Komunitas nelayan sangat berbeda dengan komunitas lain, karena adanya sistem kekerabatan, system pengelolaan ekonomi lokal, tipe lapisan sosial yang relaitf berbeda dengan komunitas yang ada di sekitarnya (Kusnadi, 2000). Kondisi ini diperkuat oleh Pollnack dalam Satria (2001) yang mengemukakan bahwa komunitas nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open access sehingga nelayan harus berpindah-pindah dan memikul elemen resiko yang lebih besar dibandingkan komunitas lain, misalnya
13
petani. Selain itu nelayan harus juga berhadapan dengan kehidupan laut yang keras, sehingga mereka umumnya bersikap tegas, keras dan terbuka untuk membedakannya dengan petani.
Tindjabate (2002), mengemukakan secara singkat perbedaan
karakteristik pekerjaan nelayan dan petani Tabel 1. Table 1. Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan NELAYAN 1. Lebih tergantung pada alam 2. Luas lahan dan hak garapan tidak jelas 3. Perencanaan dan periode produksi lebih singkat 4. Produksi per periode tidak menentu dan sulit diatur 5. Semakin maju cenderung untuk berpindah-pindah (mempunyai home base lebih dari satu) 6. Istri nelayan tidak ikut ke laut (tidak turut bekerja)
PETANI 1. Beberapa alam telah dapat ditanggulangi sendiri atau secara bersama-sama oleh petani 2. Luas dan hak garapan lebih jelas 3. Perencanaan dan periode produksi relative lebih lama 4. Produksi per periode relative dapat diukur 5. Semakin maju, cenderung untuk menetap 6. Istri petani ikut ke lahan (turut bekerja)
Komunitas nelayan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan komunitas lainnya. Komunitas secara sosiologis memiliki arti yang berbeda dengan masyarakat, karena komunitas yang bersifat homogen dengan diferensiasi sosial yang rendah, serta memiliki ikatan kesadaran kolektif yang masih besar yang biasanya berbentuk itakatan tradisi, agama, suku, ras, dan sebagainya.
Nelayan sebagai
komunitas berarti membicarakan kesadaran kolektif apa yang mengikat para nelayan dalam komunitas tersebut. Komunitas nelayan terbentuk karena ikatan kesadaran kolektif dalam bentuk kesamaan sejarah dan orientasi nilai budaya, serta status sosial selaku nelayan. Sebagai elayan mereka berciri sama yaitu mandiri (independent), percaya diri (self-reliance), bebas dari aturan yang kaku (freedom for regimentation), mobil (baik secara geografis dan kadang-kadang secara ekonomi) dan kuat secara fisik. Itu semua adalah konsekwensi dari pekerjaan nelayan yang memang sangat menantang dan beresiko tinggi (Satria, 2001)
14
Menurut Satria (2001), mengemukakan pandangan bahwa dalam mengkaji nelayan dan permasalahannya, penting sekali untuk membedakan sejelas mungkin antara (1) nelayan sebagai status pekerjaan (occupational status) dan (2) nelayan sebagai komunitas. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dimaksudkan dengan komunitas nelayan adalah sebagai berikut : a. Tinggal secara mengelompok di pinggiran pantai/wilayah pesisir. b. Memiliki sistem kekerabatan, sistem pengelolaan ekonomi lokal dan tipe pelapisan sosial yang berbeda dari kebanyakan komunitas yang ada. c. Pada umumnya bersifat lebih terbuka disbanding dengan komunitas lainnya. d. Beban resiko atas pekerjaannya relatif lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. e. Memiliki aturan bersama mengenai pengelolaan dan pemanfaatan wilayah penangkapan yang biasanya tidak tertulis tetapi disepakati bersama.
2.5. Pemberdayaan Komunitas Nelayan Sesuai dengan pandangan Giddens (2002), yang berpendapat bahwa programprogram pengentasan kemiskinan konvensional perlu diganti dengan pendekatan yang berfokus pada komunitas, yang memberi lebih banyak kesempatan partisipasi, demokratis sekaligus lebih efektif. Pembangunan komunitas menerangkan jaringanjaringan pendukung, upaya menolong diri sendiri dan pengolahan modal sosial sebagai sarana untuk membangkitkan pembaharuan ekonomi dalam lingkungan yang berpenghasilan rendah.
Program melawan kemiskinan membutuhkan suntikan
sumber-sumber daya ekonomis, yang diterapkan dalam rangka mendukung prakarsa lokal. Kusnadi (2002) merefleksikan pandangannya atas masalah-masalah nelayan dalam strategi pengolahan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dalam kaitannya dengan kebutuhan pembangunan untuk mempertimbangkan hal-hal sebagi berikut :
15
(a) Mencegah munculnya kebijakan-kebijakan pembangunan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan pesisir yang tidak bersandar pada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan; (b) Membentuk forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah untuk menyepakati penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaat sumberdaya perikanan lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah dan disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara pandang yang sama ; (c) Melakukan identifikasi seluruh pranata yang dimiliki oleh masyarakat nelayan/pesisir
untuk
selanjutnya
memilih
pranata-pranata
yang
bisa
didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan ; (d) Mengembangkan penguatan kedudukan dan fungsi pranata lokal serta mengembangkan pranata-pranata baru sesuai dengan kebutuhan aktual sebagai sarana dalam pengelolaan sumberdaya lokal ; dan (e) Penguatan organisasi masyarakat nelayan dan jaringan kerjasamanya, yang diperlukan terutama untuk menghubungkan masyarakat lokal dengan masyarakat luar. Selanjutnya Fattah (2002) mengemukakan dua hal dalam kaitan meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga masyrakat pesisir (nelayan) yaitu : (1) Pemenuhan kebutuhan informasi, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan peningkatan usahanya. Kebutuhan ini sebenarnya berhubungan erat dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia masyarakat pesisir (nelayan), yaitu dengan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap hal-hal yang berhubungan dengan usahanya, misalnya kondisi laut dan pesisir pantai, kondisi iklim, jenis alat tangkap yang cocok, cara penggunaan alat tangkap secara benar, jenis hasil laut yang diminati konsumen, cara penanganan pasca panen, kondisi harga, cara memperoleh kredit usaha atau bantuan yang disediakan pemerintah atau lembaga kredit lainnya ; dan (2) Pemenuhan kesempatan berusaha, yaitu tersedianya fasilitas yang dapat
16
mendukung perkembangan usahanya. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan ketersediaan fasilitas
produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir
(nelayan) untuk mulai atau mengembangkan usahanya, seperti : fasilitas penghubung, fasilitas pemasaran produksi dan faktor-faktor produksi, fasilitas kredit yang mudah dan murah, fasilitas peralatan penanganan pasca produksi, dan penyediaan sarana dan prasarana usaha.
2.6. Perairan 2.6.1. Pencemaran Perairan Keputusan
Menteri
Negara
Kependudukan
dan
Lingkungan
Hidup
No.51/MENKLH/I/2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa), b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Soedharma dkk, 2005 ). Sanitasi lingkungan khususnya lingkungan perairan bila tercemar akan menimbulkan atau memudahkan terjadinya penularan penyakit, kesehatan menjadi tidak higienis dan pola hidup yang menjadi kurang baik. Salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran di lingkungan perairan diakibatkan oleh metode perlakuan pembuangan limbah domestik yang tidak sesuai dengan aturan (Izumino, 2009)
17
2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut Kualitas suatu perairan pantai sangat ditentukan oleh aktifitas manusia dan alam dari wilayah di sekitarnya. Bahan-bahan pencemar masuk ke perairan pantai selalu mengikuti arus pasang surut bolak-balik yang terjadi dua kali sehari. Bahanbahan ini seolah-olah terperangkap dalam suatu jarak tertentu di perairan pantai dan terakumulasi, yang dapat mengakibatkan terlampauinya daya pulih diri (self purification) perairan pantai. Apabila hal ini terjadi, maka terjadinya penurunan kualitas perairan, karena penggunaan suatu badan air harus sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi suatu peruntukan. Persyaratanpersyaratan tersebut antara lain, dimilikinya ukuran-ukuran minimum bagi senyawasenyawa yang membahayakan (Soedharma et al, 2005 ). Kualitas air perlu dijaga dengan mengadakan pemantauan secara intensif. Untuk dapat mengetahui kualitas air laut yang baik, maka perlu dilakukan Program Kali Bersih (PROKASIH) secara berkala, sehingga kualitas perairan dapat dimonitor setiap saat,agar tidak menimbulkan dampak pada sistem ekologi, ekonomi dan sosial. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (Kepmen RI KLH No. 02 tahun 1998). Tujuan dari pengembangan baku mutu air laut adalah melindungi laut dari berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran melalui kajian baku mutu air laut sehingga dapat diterapkan dalam upaya pemantauan serta penegakan hukum. Arti penting menjaga dan melestarikan laut yang telah banyak menyediakan jasa dan sumberdaya;
seperti makanan, rekreasi, perlindungan tempat
perkembangbiakan dan tempat daur ulang limbah. Menjadi nilai tersendiri dari pesisir pantai yang begitu penting untuk dipertimbangkan dan dilindungi sekaligus bahan bagi para pembuat kebijakan (Goteborg dan Sweden, 2009).
18
2. 7. Mangrove 2.7.1. Definisi Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Adapun menurut Aksornkoae dalam Nasihin (2007), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Macnae dalam Snedaker (1974) menyarankan agar kata “Mangrove” digunakan untuk satuan pohon dan semak sedangkan kata “mangal” berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Meskipun demikian, FAO (1994) melihat bahwa konteksnya biasanya jelas apa yang dimaksud dengan pohon atau hutan mangrove. Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
19
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. 2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia Iklim Indonesia secara ekologi cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove dan hutan mangrove. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun terdapat variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha (Dehut, 2004). Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 seluas 3.765.250 ha, total luas areal berhutan mangrove berkurang sekitar 1,3 % dalam kurun waktu 6 tahun (1993 sampai 1999). Angka penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu antara tahun 1993 – 1999 ini jauh lebih kecil dibandingkan dalam kurun waktu 1982 – 1993. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1996) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun (Dephut, dll, 2004).
2.7.3. Fungsi Mangrove Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi-misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah
penghasilan petani tambak dan nelayan,
khususnya di bidang perikanan dan garam (Subing, 1995). Menurut Sudarmadji (2001), hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah
pasang surut, kehadirannya sangat
ekosistem lain di
daerah tersebut.
berpengaruh terhadap ekosistem-
Pada daerah ini
akan terdapat ekosistem
terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuary yang saling
20
berpengaruh antara ekosistem yang
satu
dengan
lainnya.
Dengan demikian,
terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya seperti diuraikan di atas keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.
2.8. Pembangunan Berwawasan Lingkungan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi keijaksanaan penataan, pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup adalah agar manusia hidup lebih nyaman, sehat, tenteram dan bebas beraktivitas. Hal serupa juga dikemukakan oleh Sudarmadji (2002), bahwa dengan melakukan konservasi akan dapat mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia. Sumberdaya alam sering dieksploitasi secara berlebihan, sehingga muncul ketidak seimbangan lingkungan. Salim dalam Handono (2009) mengatakan bahwa hal yang dapat menggangu keseimbangan lingkungan hidup adalah: (1) perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia, dan (2) adanya pertambahan jumlah penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran maka pertambahan relatif tidak mengganggu keseimbangan lingkungan. Soemarwoto dalam Handono (2009) mengemukakan bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya merupakan permasalahan ekologi antara pembangunan dan lingkungan. UU No. 23 tahun 1997 menyatakan bahwa salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terjaminnya kepentingan antara generasi masa kini dan generasi masa depan. Wawasan lingkungan yang
21
berkelanjutan merupakan suatu pandangan, dalam arti pandangan terhadap lingkungan yang merupakan suatu usaha tentang pendayagunaan lingkungan dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga dapat menunjang prinsip keadilan antar generasi sekarang dan generasi masa datang. Selain itu Soemarwoto dalam Handono (2009) juga mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahnya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Menurut Susilo dalam Handono (2009) mengemukakan laju pembangunan harus dikendalikan sebab jika tidak, pembangunan tidak lagi sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun justru memproduksi kerusakan-kerusakan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
2.9. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade dalam Dunn, 2003). Menurut Anderson, kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan (Winarno dalam Tangkilisan, 2005) Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, yaitu kebijakan pemerintah tidaklah mudah, banyak faktor berpengaruh terhadap proses pembuatannya. Proses pembentukan kebijakan pemerintah yang rumit dan sulit harus diantisipasikan sehingga akan mudah dan berhasil saat diimplementasikan (Tangkilisan, 2004). Dalam hal ini para pembuat kebijakan harus menentukan identitas permasalahan kebijakan.
Dengan
cara
mengidentifikasi
problem yang
timbul
kemudian
22
merumuskannya. Dalam perumusan kebijakan pemerintah, yaitu kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan prospektif. Selanjutnya analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2003). Davis et al. (1993) mengatakan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (singel decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetapi bagian dari proses antar hubungan, sehingga kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 1). Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Gambar hubungan tiga elemen penting di dalam suatu sistem kebijakan ( Dyen dalam Dunn, 2003) dapat dilihat pada Gambar 2.
23
PELAKU KEBIJAKAN
LINGKUNGAN KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK
Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan (Dyen dalam Dunn, 2003) Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan didalam berbagai bidang, termasuk lingkungan hidup. Definisi dari masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Selanjutnya lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian disekelilingi isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Kebijakan operasional dari suatu lembaga adalah didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja. Landasan kerja inilah yang merupakan dasar dari kebijakan yang ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Menurut
Wahab
dalam Tangkilisan
(2005)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja kebijakan adalah (a) Organisasi atau kelembagaan; (b) Kemampuan politik dari penguasa; (c) Pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang; (d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; (e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; (f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; (g) Biaya untuk melakukan evaluasi; (h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan.
24
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diimplementasikan dan diberlakukan keputusan tersebut
kepada
masyarakat. Pengimplementasian penyususnan suatu kebijakan sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, (2) karakteristik dan badan eksekutif, (3) metode yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan peraturan yang digunakan untuk
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dengan adanya faktor-faktor
tersebut sehingga membuat kebijakan menjadi dinamis. Prinsip –prinsip pembuatan kebijakan yang ideal mempunyai tahapan-tahapan tersendiri seperti pada Gambar 3. Rees (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional, karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.
25
Formulasi kebijakan (Perundang-undangan dan peraturan Penetapan tujuan-tujuan secara detai
Menetapkan metode yang tepat
Sistem informasi
Membentuk oerganisasi/institusi yang tepat
Pelaksanaan rencana
Operasional rutin
Analisis hasil (Uji berdasarkan sasaran yang dicapai)
Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Ress, 1990) Pemilihan dalam pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah : 1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan lihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat. 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu.
26
3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada. 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat. 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat. 6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.
2.10. Analisis AHP Untuk mendapatkan skenario optimal dalam pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke maka digunakan pendekatan AHP. Analisis hirarki proses (AHP) merupakan metoda yang memodelkan permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial. Pada dasarnya, AHP ini didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melaui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Saaty dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa Proses Hirarki Analitik adalah model luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Menurut Saaty dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), metode AHP memasukkan faktor kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses ini dengan jelas menunjukkan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam situasi yang komplek diperlukan penetapan prioritas dan melakukan perimbangan. AHP adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi-interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan.
27
Data yang dianalisis meliputi data struktur hirarki keputusan berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner dengan pendekatan AHP yang menggunakan analisis komparasi
berpasangan.
Untuk
menggambarkan
Perbandingan
berpasangan
berpengaruh relatif atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya dilakukan perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan melakukan penilaian terhadap tingkat kepentingan antara satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala prioritas AHP. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama penting”, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut” dibandingkan dengan yang lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan nilai consisten ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Untuk menganalisis data ini digunakan computer dengan bantuan program expert choice 2000. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :
28
Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat Keterangan Kepentingan Kedua elemen sama 1 pentingnya 3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain
7
Elemen yang satu jelas lebih penting
9
Penting dari pada elemen yang lain Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen yang lain
2,4,6,8 kebalikan
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya Satu elem dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan