II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Manajemen Strategis Strategi menurut Gasperz (2006) adalah suatu pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh organisasi untuk bertindak dari satu titik referensi ke referensi yang lain. Strategi merupakan sekumpulan tindakan terintegrasi yang konsisten dengan visi jangka panjang organisasi yang memberikan nilai kepada pelanggan dengan suatu struktur biaya yang memungkinkan pencapaian keunggulan hasil berkelanjutan. Menurut David (2006), strategi adalah alat untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis dapat mencakup ekspansi geografis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, pengurangan bisnis, divestasi, likuidasi dan joint venture. Strategi juga dapat berarti sebagai tindakan potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumberdaya perusahaan dalam jumlah yang besar. Selain itu, strategi mempengaruhi kemakmuran perusahaan dalam jangka panjang, khususnya untuk lima tahun, dan berorientasi ke masa depan. Strategi memiliki konsekuensi yang multifungsi dan multidimensi serta perlu mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dan internal yang dihadapi perusahaan. Menurut Mangkuprawira (2003), strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Ia merpuakan sebuah rencana permanen untuk sebuah kegiatan, di dalamnya biasanya termasuk formulasi tujuan dan kumpulan rencana kegiatan. Menurut Mulyadi (2007), strategi digunakan untuk menyediakan customer value terbaik guna mewujudkan visi perusahaan. Di masa lalu, strategi perusahaan lebih dipacu untuk menghadapi pesaing, sehingga perhatian manajemen tidak difokuskan untuk menghasilkan value terbaik bagi customers. Suatu lingkungan bisnis yang didalamnya customers memegang kendali, akan membuat lingkungan tersebut menjadi kompetitif, kompleks dan bergolak. Manajemen perusahaan perlu memfokuskan
strateginya ke penyediaan value terbaik bagi pemuasan kebutuhan customers. Untuk mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan harus mampu berbeda dari pesaing. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu menghasilkan value terbaik bagi customers, agar produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan dipilih oleh customers. Menurut David (2006), manajemen strategis (strategic management) adalah seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai
tujuannya.
Tujuan
manajemen
strategis
adalah
untuk
mengeksploitasi dan menciptakan peluang baru yang berbeda untuk masa mendatang
(perencanaan
jangka
panjang)
dan
mencoba
untuk
mengoptimalkan tren sekarang untuk masa datang. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2. Proses manajemen strategis terdiri atas tiga tahap: 1.
Tahap
formulasi
strategi:
formulasi
strategi
adalah
tahapan
mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan. 2.
Tahap implementasi strategi:
implementasi strategi mensyaratkan
perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. 3.
Evaluasi strategi: evaluasi strategi adalah tahap final dalam manajemen strategis yang mencakup tiga aktivitas utama yaitu (1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan (3) mengambil tindakan korektif.
2.2. Konsep Pengukuran Kinerja Menurut Mulyadi (2007), pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagan organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. pengukuran kinerja merupakan suatu bagian dari proses
manajemen strategis yang dapat memberikan informasi strategi yang menyeluruh bagi para pembuat keputusan. Mengembangkan Pernyataan Visidan Misi
Menjalankan Audit internal
Menjalankan Audit eksternal menetapkan tujuan jangka panjang
Formulasi strategi
Merumuskan, mengevaluasi, dan memilih strategi
Implementasi strategi –isu manajemen
Implementasi Strategi Isu-Isu Pemasaran, Keuangan, Akutansi, Penelitian Dan Pengembangan, Sistem Informasi Manajemen
Implementasi strategi
Mengukur dan mengevaluasi kinerja
Evaluasi strategi
Gambar 2.Model Komprehensif Proses Manajemen Strategis (David,2006) Pengukuran kinerja berada pada tahap implementasi, sedangkan hasil pengukurannya
berda
pada
tahap
pemantauan,
yang
kemudian
dikomunikasikan untuk memberi umpan balik dalam pengambilan keputusan. Pengukuran kinerja berkaitan dengan penentuan strategi dan langkah yang akan diambil oleh perusahaan, sehingga bila dasar pengukuran
yang dipakai tidak kuat maka strategi pengambilan keputusan akan menimbulkan berbagai kesalahan dan kerugian. Menurut David (2006), keputusan strategis yang salah bisa mengakibatkan kerugian dan untuk memperbaiki kesalahan tersebut adalah hal yang sulit, bila tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hampir semua penyusun strategi sepakat bahwa evaluasi strategi sangat vital bagi kelangsungan organisasi; evaluasi antarwaktu dapat memberi peringatan dini kepada manajemen terhadap masalah atau potensi masalah sebelum situasi menjadi lebih parah. Evaluasi strategi meliputi tiga aktivitas dasar yaitu: 1. Memeriksa dasar strategi perusahaan 2. Membandingkan hasil yang diharapkan dengan hasil aktual 3. Mengambil tindakan korektif untuk memastikan kinerja sejalan dengan rencana. Aktivitas evaluasi strategi lainnya yang juga penting adalah mengukur kinerja organisasi. Aktivitas ini berguna untuk membandingkan antara hasil yang diharapkan dengan hasil sesungguhnya, menyelidiki deviasi dalam rencana, mengevaluasi kinerja individu, dan menilai perkembangan yang terjadi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kriteria untuk mengevaluasi strategi harus bisa diukur dan mudah diverifikasi. Kriteria kuantitatif yang umum digunakan dalam evaluasi strategi adalah rasio keuangan, yang digunakan oleh para penyusun strategi untuk melakukan tiga perbandingan : 1. Membandingkan kinerja perusahaan dalam periode waktu yang berbeda 2. Membandingkan kinerja perusahaan dengan pesaing 3. Membandingkan kinerja perusahaan dengan rata-rata industri. Beberapa rasio keuangan utama yang biasa digunakan sebagai kriteria untuk melakukan evaluasi strategi adalah sebagai berikut: 1. Pengembalian atas investasi (return on investment-ROI) 2. Pengembalian atas ekuitas (return on equity-ROE) 3. Margin laba 4. Pangsa pasar
5. Utang terhadap ekuitas 6. Laba per saham (earnings per share) 7. Pertumbuha penjualan 8. Pertumbuhan aset Terdapat
beberapa
potensi
masalah
yang
berkaitan
dengan
penggunaan kriteria kuantitatif untuk mengevaluasi strategi (1) sebagian besar kriteria kuantitatif lebih mengacu pada tujuan tahunan daripada tujuan jangka panjang. (2) Metode akutansi yang berbeda bisa menghasilkan hasil yang berbeda dalam berbagai kriteria kuantitatif. (3) Penilaian secara intuitif hampir selalu dilakukan dalam penjabaran krtiteria kuantitatif. Karena alasan-alasan tersebut dan alasan lainnya, kriteria kualitatif juga dibutuhkan dalam mengevaluasi strategi (David,2006). 2.3. Konsep Balanced Scorecard Menurut Gasperz (2006) Balanced Scorecard merupakan suatu konsep manajemen yang membantu menerjemahkan strategi ke dalam tindakan.
Balanced Scorecard
adalah lebih dari sekedar suatu sistem
pengukuran operasional atau taktis. Perusahaan- perusahaan yang inovatif menggunakannya sebagai suatu sistem manajemen strategis yang mengelola strategi perusahaan sepanjang waktu (Gambar 3). Perusahaan-perusahaan inovatif itu menggunakan fokus pengukuran Balanced Scorecard untuk melaksanakan proses-proses manajemen kritis, sebagai berikut : 1. Mengklarifikasi dan menerjemahkan visi dan strategi perusahaan. 2. Mengkomunikasikan dan mengaitkan tujuan-tujuan strategis dengan ukuran-ukuran kinerja. 3. Merencanakan, menetapkan target, dan menyelaraskan inisiatif-inisiatif (program-progam) strategis. 4. Mengembangkan
umpan-balik
dan
pembelajaran
strategis
untuk
peningkatan terus-menerus di masa yang akan datang. 2.3.1 Sejarah Balanced Scorecard Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S.Kaplan, seorang profesor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan publik KPMG. Ide tentang Balanced Scorecard
pertama kali
dipublikasikan dalam artikel Robert S. Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review tahun 1992 dalam sebuah artikel berjudul Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance.
Gambar 3. Sistem manajemen strategis Balanced Scorecard (Gaspersz,2006) Artikel tersebut merupakan laporan dari serangkaian riset dan eksperimen terhadap beberapa perusahaan di Amerika serta diskusi rutin dua bulanan dengan wakil dari berbagai bidang perusahaan sepanjang tahun itu untuk mengembangkan suatu model pengukuran kinerja baru. Balanced Scorecard dikembangkan sebagai sistem pengukuran kinerja yang memungkinkan para eksekutif memandang perusahaan dari berbagai perspektif secara simultan. (Yuwono dkk, 2007). Menurut Mulyadi (2007) Balanced Scorecard merupakan alat manajemen kontemporer yang didesain untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam melipatgandakan kinerja keuangan luar biasa secara berkesinambungan (sustainable outstanding financial performance). Oleh karena perusahaan pada dasarnya merupakan institusi pencipta kekayaan, pemanfaatan
Balanced
Scorecard
dalam
pengelolaan
menjanjikan
peningkatan signifikan kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan.
Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Pada tahap eksperimen awal, Balanced Scorecard merupakan kartu skor yang dimanfaatkan untuk mencatat skor kinerja hasil eksekutif. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan eksekutif dimasa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi atas kinerja eksekutif. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukan bahwa kinerja eksekutif diukur secara berimbang dari dua perspektif: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Oleh karena eksekutif akan dinilai kinerja mereka berdasarkan kartu skor yang dirumuskan secara berimbang, eksekutif diharapkan akan memusatkan perhatian dan usaha mereka pada ukuran kinerja nonkeuangan dan ukuran jangka panjang. Setelah mencatat keberhasilan penerapan Balanced Scorecard sebagai perluasan kinerja eksekutif, Balanced Scorecard kemudian diterapkan ke tahap manajemen yang lebih strategis dalam penilaian kinerja. Dalam sistem perencanaan, pengukuran kinerja terjadi pada tahap pengimplementasian rencana. Personel tidak akan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kinerjanya
jika
pada
tahap
perencanaan,
personel
tersebut
tidak
merencanakan kinerja yang akan diwujudkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, menyusul keberhasilan penerapan Balanced Scorecard di tahun 1992, pendekatan Balanced Scorecard kemudian diterapkan dalam proses perencanaan strategis. Mulai pertengahan tahun 1993, Renaissance Solutions, Inc. (RSI) sebuah perusahaan konsultasi yang dipimpin oleh David P. Norton (yang semula menjadi CEO Nolan Norton Institute) menerapkan Balanced Scorecard
sebagai
pendekatan
untuk
menerjemahkan
dan
mengimplementasikan strategi di berbagai perusahaan kliennya. Mulai saat itu, Balanced Scorecard tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat pengukur kinerja eksekutif, namun berkembang menjadi inti sistem manajemen strategis. Keberhasilan pemanfaatan Balanced Scorecard dalam sistem manajemen strategis di berbagai perusahaan tersebut dilaporkan dalam
artikel yang ditulis oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review (Januari-Febuari 1996) berjudul Using Balanced Scorecard as a Strategic Management System. (Mulyadi, 2007) 2.3.2 Perspektif Balanced Scorecard Terdapat empat perspektif dalam Balanced Scorecard yang dikaitkan dengan
visi
dan
strategi
finansial(shareholders-pemegang
organisasi, saham),
yaitu: (2)
(1)
perspektif
perspektif
pelanggan
(customers), (3) perspektif proses bisnis internal (internal-business-process), (4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan karyawan, manajemen, dan organisasi (learning and growth). Balanced Scorecard sebagai suatu sistem manajemen kinerja ditunjukan dalam Gambar 4.
Gambar 4. BSC Sebagai Suatu Sistem Manajemen Kinerja (Gaspersz,2006)
1. Perspektif Keuangan Ukuran keuangan merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan konsekuensi tindakan ekonomis yang sudah diambil. Ukuran kinerja finansial memberikan petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan. Secara garis besar pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest. Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannyapun berbeda pula (Kaplan dan Norton 1996).
Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memilki produk atau jasa yang yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik. Disini, manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/ jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan Selama dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolak ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingakat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan. Sustain adalah tahapan kedua dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalia terbaik. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika mungkin. Investasi yang dilakukan
umumnya
diarahkan
untuk
menghilangakn
bottleneck,
mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misal, ROI, ROCE dan EVA Harvest adalah tahapan ketiga dimana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja. 2. Perspektif Pelanggan Menurut Budiarti (2007), dalam perspektif pelanggan Balanced Scorecard, manajemen perusahaan harus mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar di mana unit bisnis tersebut akan bersaing dan berbagai
ukuran kinerja unit bisnis di dalam segmen sasaran. Perspektif ini biasanya terdiri atas beberapa ukuran utama atau ukuran generik keberhasilan perusahaan dari strategi yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik. Ukuran utama tersebut terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain, perspektif pelanggan seharusnya juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menjelaskan tentang proposisi nilai yang akan diberikan perusahaan kepada pelanggan segmen pasar tertentu merupakan faktor yang penting, yang dapat mempengaruhi keputusan pelanggan untuk berpindah atau tetap loyal kepada pemasoknya. Sebagai contoh, pelanggan mungkin menghargai kecepatan (lead time) dan ketepatan waktu pengiriman atau produk dan jasa inovatif yang konstan atau pemasok yang mampu mengantisipasi kebutuhan dan kapabilitas yang berkembang terus dalam pengembangan produk dan pendekatan baru yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Menurut Norton dan Kaplan (1996), perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran yaitu: customer core measurement dan customer value propositions (Gambar 5).
Gambar 5. Tolak ukur utama dalam perspektif pelanggan (Norton dan Kaplan,2006) 1. Customer Core Measurement Customer core measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: a. Market Share; pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi antara lain: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
b. Customer Retention; mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen. c. Customer Acqusition; mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru. d. Customer Profitability; mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut. 2. Customer Value Proposition Customer value proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut: a. Product /service attributes; meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya, pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut. b. Customer relationship; menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan, konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi keuasan mereka. c. Image and reputation; menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangu image dan reputasi dapat dilakukan melauli iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan. 3. Perspektif Proses Bisnis Internal Menurut Luis dan Biromo (2007), proses bisnis intenal adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam bisnis perusahaan secara internal
Yang kerap disebut dengan rantai nilai (Value Chain). Dalam perusahaan yang menghasilkan barang maupun jasa, pada umumnya rantai nilai terdiri dari pengembangan produk baru, produksi, penjualan dan marketing, distribusi (product delivery), layanan purna jual (after sales service), serta keamanan dan kesehatan lingkungan (environmen safetty and health).
develop new product
product manufacturing
sell and marketing
deliver and distribution
After sales service
Envitonment safety & health
Gambar 6. Generic Value Chain (Luis dan Biromo,2007) Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga proses yaitu: a. Proses inovasi, dalam proses ini unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. b. Proses operasi, adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/ jasa. Aktivitas di dalam proses terbagi ke dalam dua bagian, yaitu proses pembuatan produk dan proses penyampaian produk kepada pelanggan. c. Proses pelayanan purna jual, proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan.
Gambar 7. Model rantai nilai genetik pada proses bisnis internal (Kaplan dan Norton ,1996)
4.
Perspektif pembelajaran dan Pertumbuhan Menurut Budiarti (2007) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan mengidentifikasi infra struktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Sumber utama pembelajaran dan pertumbuhan perusahaan adalah manusia, sistem, dan prosedur perusahaan (Gambar 8). Untuk mencapai tujuan perspektif finansial, pelanggan, dan proses bisnis internal, maka perusahaan harus melakukan investasi dengan memberikan pelatihan kepada karyawannya,
meningkatkan teknologi dan sistem informasi, serta menyelaraskan berbagai prosedur dan kegiatan operasional perusahaan yang merupakan sumber utama perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Gambar 8. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan dan Norton ,1996)
Menurut Kaplan dan Norton (1996). Pada perspektif ini terdapat tolak ukur dalam perusahaan, yaitu : 1. Employee capabilities, dimana kemampuan karyawan dalam organisasi dengan perencanaan dan upaya implementasi pelatihan pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Information system capabilities. Diperlukan informasi-informasi terbaik untuk
pencapaian tujuan perusahaan pada
karyawan.
Dengan
kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. 3. Motivation, empowerment, and alignment. Tingkat motivasi karyawan dapat diukur melalui banyaknya sasaran yang diberikan per pekerja, jumlah sasaran yang dilaksanakan, serta mutu saran yang diajukan. Jumlah saran yang berhasil diimplementasikan merupakan indikator tercapainya keselarasan tujuan perusahaan maupun perorangan. 2.3.3 Keunggulan Balanced Scorecard Menurut Mulyadi (2007) Balanced Scorecard memiliki keunggulan di dua aspek yakni, meningkatkan secara signifikan kualitas perencanaan, dan meningkatkan kualitas pengolahan kinerja personel. Balanced Scorecard
dapat meningkatkan kualitas perencanaan dengan menjadikan perencanaan yang bersifat strategis yang terdiri dari tiga tahap terpisah yang terpadu yakni: 1. Sistem perumusan strategi, berfungsi sebagai alat trendwatching, SWOT, analysis, envisioning dan pemilihan strategi. 2. Sistem perencanaan strategis, berfungsi sebagai alat penerjemah misi, visi, keyakinan dasar dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategis yang komprehensif, koheren, berimbang dan terukur. 3. Sistem penyusunan program, merupakan alat penjabaran inisiatif strategis ke dalam program. Balanced Scorecard dapat meningkatkan kualitas pengolahan kinerja personal, hal ini ditujukan untuk dapat meningkatkan akuntabilitas personel dalam memanfaatkan berbagai sumber daya dalam mewujudkan visi perusahaan melalui misi pilihan. Pengelolaan kinerja personel terdiri dari lima tahap terpadu yakni : 1. Perencanaan kinerja yang hendak dicapai perusahaan. 2. Penetapan peran dan kompetensi inti personel dalam mewujudkan kinerja perusahaan. 3. Pendesainan dan penilaian kinerja personel. 4. Pengukuran dan penilaian kinerja personel. 5. Pendistribusian penghargaan berbasis hasil pengukuran dan penilaian kinerja personel. Keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam sistem perencanaan strategis adalah pada kemampuan Balanced Scorecard dalam menghasilkan rencana strategis yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Komprehensif Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategis, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif yang lain : customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan
2. Koheren Balanced Scorecard mewajibkan personal untuk membangun hubungan sebab-akibat di antara berbagai sasaran strategis yang dihasilkan dalam perencanaan strategis. Setiap sasaran strategis yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Berimbang Keseimbangan
sasaran
strategis
yang
dihasilkan
oleh
sistem
perencanaan strategsis penting untuk menghasilkan kinerja keuangan jangka panjang. Keseimbangan pengukuran pemusatan ke dalam internal perusahaan (internal focus) dan pemusatan keluar (external focus). Ukuran pemusatan ke dalam internal, melalui perspektif proses bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelajaran. Sedangkan fokus pengukuran luar melibatkan perspektif pelanggan dan keuangan. 4. Terukur Balanced Scorecard dapat mengukur sasaran-sasaran strategis yang sulit untuk diukur. Sasaran-sasaran strategis di perspektif customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan Balanced Scorecard, sasaran di ketiga perspektif nonkeuangan tersebut ditentukan ukurannya agar dapat dikelola sehingga dapat diwujudkan. 2.3.4 Penyalarasan Ukuran Balanced Scorecard dengan Strategi Menurut Kaplan dan Norton (1996) terdapat tiga prinsip yang memungkinkan Balance Scorecard dikaitkan dengan strategi perusahaan. 1. Cause and Effect Relationship Prinsip ini sangat penting karena dapat menjabarkan tujuan dan pengukuran masing-masing perspektif kedalam satu kesatuan yang terpadu. Konsep Balance Scorecard harus bisa menjelaskan strategi bisnis melalui hubungan sebab akibat, agar hubungan antara berbagai tujuan dan ukuran pada semua perspektif dapat dinyatakan secara eksplisit dan mudah dikelola. Setiap ukuran yang dipilih harus menjadi
unsur suatu rantai hubungan sebab akibat yang mengkomunikasikan arti strategi kepada seluruh perusahaan. Return On Capital Employed (ROCE) dapat dicapai bila tingkat penjualan tinggi yang merupakan hasil dari loyalitas pelanggan. Dengan demikian,
loyalitas pelanggan dimasukan ke kategori perspektif
pelanggan karena mempunyai pengaruh yang kuat terhadap besarnya ROCE. Pada proses internal bisnis, perusahaan berusaha mewujudkan pengiriman tepat waktu melalui siklus produksi yang singkat dan kualitas proses internal yang sangat tinggi. Kedua faktor tersebut dapat diperoleh dengan melatih dan meningkatkan kemampuan karyawan sehingga faktor pelatihan dan peningkatan kemampuan karyawan dimasukkan dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Berikut ini adalah contoh hubungan sebab akibat yang diaplikasikan oleh perusahaan melalui penetapan ROCE sebagai tujuan perspektif keuangan.
Gambar 9. Model hubungan sebab akibat(Kaplan dan Norton,1996) 2. Performance driver Sebuah Balance Scorecard yang baik harus memiliki bauran ukuran hasil dan faktor pendorong kinerja. Ukuran hasil merupakan lag indicator yang mencerminkan tujuan bersama sebagai strategi dan struktur dalam perusahaan, seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan, proses bisnis internal yang efektif, dan keahlian pekerjaan. Sedangkan faktor pendorong kinerja (Performance driver) atau lead indicator adalah faktor-faktor khusus yang terdapat pada perusahaan dan
mencerminkan keunikan strategi guna mendukung tercapainya tujuan bersama. 3. Linkage to Financial Sebuah Balance Scorecard harus tetap menitikberatkan kepada hasil yang bersifat keuangan, sehingga sebab akibat semua ukuran dalam semua Balance Scorecard harus terkait dengan tujuan keuangan perusahaan. Keberhasilan perusahaan dalam pencapaian berbagai tujuan nonkeuangan, seperti kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan karyawan tidak akan memberikan perbaikan apabila hanya dianggap sebagai tujuan akhir perusahaan. Dengan demikian, ukuran keuangan dapat digunakan untuk menguji hasil dari faktor kinerja dalam memberikan hasil. 2.4. Konsep Kepuasan dan Motivasi Analisis kepuasan karyawan digunakan untuk mengetahui tolak ukur pencapaian
strategi
tingkat
komitmen
karyawan
pada
perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran. Menurut Herzberg dalam Robbins (2001), yaitu teori motivasi- higine menyatakan bahwa faktor intrisik dihubungkan dengan kepuasan kerja, sementara faktor-faktor ekstrinsik dikaitkan dengan ketidakpuasan. Karakteristik kepuasan sebagai faktor- faktor higiene (ekstrinsik) yaitu kebijakan dan administrasi perusahaa, penyeliaan, hubungan antar-pribadi, kondisi kerja dan gaji. Faktor pengukuran motivasi (intrisik) berkaitan dengan penekanan prestasi, pengakuan, kerja itu sendiri, tanggung jawab dan pertumbuhan. Kepuasan Pasien diukur berdasarkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh karyawan RS Pelabuhan Jakarta. Suatu perusahaan dituntut untuk memiliki pelayanan yang berkualitas dan prima kepada pelanggannya agar memiliki nilai tambah bagi perusahaan tersebut. Kepuasan Pasien adalah salah satu indikator dalam pengukuran kinerja sebuah perusahaan. Menurut Rangkuti (2003), ciri-ciri mutu jasa dapat dievaluasi dalam lima dimensi, yaitu : 1.
Reliability
(keandalan)
yaitu
kemampuan
memberikan jasa yang tepat dan dapat diandalkan.
perusahaan
dalam
2.
Responsiveness (cepat tanggap) yaitu kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan cepat.
3.
Assurance (jaminan)
yaitu kemampuan dan kesopanan karyawan
serta sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh karyawan. 4.
Emphaty (empati) yaitu pemahaman karyawan terhadap kebutuhan konsumen serta perhatian yang diberikan oleh karyawan.
5.
Tangible (kasat mata) yaitu penampilan fasilitas fisik seperti peralatan, karyawan dan sarana komunikasi.
2.5. Penelitian Terdahulu Puspita (2007) melakukan penelitian pada PT Unitex, Tbk dengan merancang Balanced Scorecard sebagai alat ukur untuk penilaian kinerja perusahaan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan sekunder. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis SWOT, BSC, AHP, analisis kepuasan kerja dan motivasi karyawan. Hasil dari penelitian ini menunjukan indikator yang digunakan PT Unitex, Tbk dalam melakukan pengukuran kinerja adalah penjualan, analisis neraca, analisis rugi laba, likuiditas dan profitabilitas. Rancangan peta strategi Balance Scorecard pada PT Unitex, Tbk diawali dengan perumusan sasaran strategis pada perspektif Balance Scorecard. Sasaran strategis perspektif keuangan yang akan dicapai adalah pertumbuhan profitabilitas, melalui pertumbuhan penjualan dan keunggulan biaya. Sasaran strategis dalam perspektif pelanggan dengan meningkatkan kepuasan dan kepercayaan konsumen serta menjalin hubungan berkualitas dengan konsumen. Sasaran
strategis
perspektif
proses
bisnis
internal
adalah
pengembangan produk difrensiasi, efisiensi dan efektivitas produksi, serta peningkatan proses layanan pada pelanggan. Sasaran strategis dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yaitu peningkatan kualitas dan kapabilitas karyawan, serta komitmen karyawan. Penentuan ukuran hasil dalam perspektif Balanced Scorecard ditunjukan dengan ROI, COGS per sales, tingkat pertumbuhan penjualan, market share dan customer retention, jumlah pengembangan produk difrensiasi, jumlah karyawan yang mengikuti
pelatihan, indeks kepuasan dan motivasi karyawan dan turnover rate. Secara keseluruhan, hasil pencapaian kinerja perusahaan dalam Balance Scorecard diperoleh skor sebesar 58,13 persen dari pencapaian target. Kondisi ini menunjukan kinerja perusahaan masih belum optimal. Dewi (2009) melakukan penelitian pada Bank Tabungan Negara (BTN) untuk mengukur evaluasi kinerja PT Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Bogor. Penelitian ini mengevaluasi kinerja PT BTN (Persero) Cabang Bogor, dengan menggunakan pendekatan Balance Scorecard. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan uji validitas dan realibilitas, Balance Scorecard dan Analytical Hierarcy Process (AHP) dengan bantuan software Microsoft excel dan SPSS 11,5. Metode AHP dilakukan untuk pembobotan sasaran strategis dan ukuran hasil Balance Scorecard. Berdasarkan hasil pembobotan dengan AHP maka diperoleh skor kinerja PT BTN (Persero) Cabang Bogor, yaitu perspektif pelanggan 35,85%, perspektif proses bisnis internal 19,97%, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan sebesar 19,1%, serta perspektif penilaian kinerja BTN Cabang Bogor sebesar 93,29% menunjukan bahwa kinerja secara keseluruhan sangat baik. Listyani (2006) melakukan penelitian pada sub direktorat Property and Facilities Management PT Indosat, Tbk. penelitian ini berjudul Analisis dan perancangan Alat Pengukur Kinerja dengan Metode Balance Scorecard pada sub direktorat Property and Facilities Management PT Indosat, Tbk. penelitian ini bertujuan (1) menganalisis Critical Success Factor (CSF) pada Sub Direktorat Property and Facilities Management PT Indosat, Tbk. dan keterkaitannya pada tiap perspektif Balanced Scorecard, (2) mengetahui tolak ukur strategik dari tiap-tiap perspektif, (3) mengidentifikasi kesesuaian alat ukur kinerja sub direktorat saat ini dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan dan (4) Merancang alat ukur kinerja Sub Direktorat Property and Facilities Management. Pengolahaan data dilakukan dengan metode AHP, yang dilakukan secara manuak dan perhitungannya dengan software Microsoft Excel 2002. Hasil pembobotan menunjukan bahwa perspektif pelanggan memiliki bobot terbesar (50,18%), dengan CSF kepuasan
pelanggan (53,66%) dan tolak ukur strategis tingkat kepuasan pelanggan (53,19%). Analisa yang dilakukan terhadap KPI sub direktorat periode triwulan I tahun 2006 mengindikasikan bahwa persentase bobot tingkat kepentingan tiap perspektif tidak sesuai dengan elaborasi Startegic Mapping untuk sub direktorat berorientasi non-profit center, yang menyatakan bahwa perspektif pelanggan harus memiliki bobot terbesar, tetapi pada KPI sub direktorat periode triwulan I tahun 2006 perspektif keuangan yang memiliki bobot terbesar (60%).