media penyuluhan, frekuensi interaksi petani dengan penyuluh, dan kemampuan penyuluh. (9)
Faktor internal petani adalah sifat-sifat atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Dalam penelitian ini faktor internal petani dilihat dari: pendidikan formal, pendidikan non formal, etos kerja, tingkat kekosmopolitan, dan pengalaman usaha.
(10) Strategi penyuluhan diartikan sebagai ilmu dan seni menggunakan semua sumberdaya untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan, guna mendukung pencapaian tujuan yang ditetapkan, yaitu perubahan perilaku petani agar produktivitasnya meningkat, sehingga pendapatan dan kesejahteraannya meningkat.
Dalam penelitian ini strategi penyuluhan digunakan untuk
kegiatan penyuluhan dengan tujuan mengubah perilaku klien menjadi mandiri.
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kemandirian Weber menyatakan bahwa manusia dibentuk oleh nilai-nilai budaya disekitarnya khususnya nilai-nilai agama, sehingga berdasarkan kepercayaan tersebut membuat orang-orang penganut agama Protestan Calvin bekerja keras untuk meraih sukses (Budiman,1996:20-21).
Selanjutnya, Rogers (Good dan
Brophy, 1990:465) menyatakan bahwa manusia mempunyai potensi alami untuk belajar.
Mengacu pada dua pendapat tersebut maka untuk mencapai sukses
manusia harus bekerja keras dan harus belajar. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi petani dengan lingkungannya (Sadiman, dkk. 1986:1). Menurut Rogers (Good dan Brophy, 1990:465), pelajaran secara nyata berlangsung ketika petani merasa apa yang dipelajari relevan dengan tujuan usahataninya.
Dengan demikian, petani baru memahami apa yang
dipelajari ketika materi yang dipelajari dapat menjawab kebutuhan informasi usahataninya. Agar proses belajar dapat menjawab kebutuhan informasi usahatani petani, Berlo (Asngari, 2001:18) mengemukakan tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam penyajian materi penyuluhan (pelajaran) yakni materi penyuluhan haruslah (1) informatif, yakni materi penyuluhan disampaikan kepada petani haruslah informatif dalam arti diinginkan dan dibutuhkan oleh petani, (2) persuasif, yakni mampu menggerakkan petani mau mempelajari dan belajar materi yang bersangkutan, dan (3) enak diterima atau menyenangkan (entertainment). Harefah (2005:42-43) menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat membuat manusia/petani bertumbuh dan berkembang sehingga berkemampuan, menjadi dewasa dan mandiri.
Dari proses pembelajaran petani memungkinkan
dirinya mengalami transformasi diri, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau, dan dari tidak mampu menjadi mampu.
Konsep pembelajaran
Harefah ini sejalan dengan makna memberdayakan petani. Asngari (2001:33) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, makna dan tujuan penyuluhan pembangunan dalam rangka memberdayakan SDM-klien adalah mengubah perilaku SDM-klien meliputi: (1) pengetahuan (kawasan kognitif), (2) sikap mental (kawasan afektif), dan (3) keterampilan (kawasan psikomotorik) seperti terlihat pada Gambar 1. Tujuan jangka pendek
Penyuluhan Pembangunan
Mengubah Perilaku: 1. Penge tahuan 2. Sikap mental 3 K t
SDM-Klien
Tahu Æ Mau Æ Mampu memanfaatkan IPTEK, dll
SDM-Klien
Ditunjang
Bertani lebih baik (Better Farming)
Sarana usaha yang memadai(Agro Support) Iklim Usaha yang kondusif (Agro Climate)
Berusahatani lebih baik (Better Bussiness)
Pendapatan meningkat Tujuan jangka panjang
Hidup lebih baik
Hidup lebih sejahtera
Masyarakat lebih makmur
Gambar 1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001:34)
Orientasi penyuluhan tersebut adalah mengubah perilaku SDM-klien yakni terjadinya perilaku baru sesuai dengan yang direncanakan/ dikehendaki. Perilaku baru ini sebagai dasar untuk memperbaiki usahataninya. Ilmu-ilmu, ide-ide. teknologi,
konsep-konsep, pengalaman baru, dan lain-lain diperkenalkan dan
diajarkan kepada petani agar dia tahu, mau, dan mampu menguasainya untuk dimanfaatkan dalam usahataninya.
Orientasi mengubah perilaku petani pada
ketiga kawasan, sebagaimana dikemukakan tersebut, adalah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas pengelolaan usahataninya sehingga usahatani tersebut menguntungkan, dan pada akhirnya petani dapat hidup sejahtera. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran, artinya inti dari kegiatan penyuluhan pertanian adalah timbulnya proses belajar dari petani agar dapat memecahkan masalah sendiri (Padmowihardjo, 2004:32). Selanjutnya, Slamet (2003c:45) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan: (1) memberdayakan petani, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, dan (3) membangun masyarakat madani. Berdasarkan pada pendapat Slamet tersebut, penyuluhan pertanian jika dilakukan dengan benar maka petani akan dapat melaksanakan usahataninya secara mandiri tanpa tergantung kepada pihak-pihak lain. Pengertian dan Dimensi Kemandirian Kemandirian secara harfiah diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Konsep kemandirian menurut Saragih (2005:1)
adalah
mampu
berusaha
sendiri,
kreatif,
kerja
keras,
dan
competitiveness. Masyarakat mandiri dalam era globalisasi akan dapat tercapai jika didukung oleh transformasi sosial-budaya menuju masyarakat modern. Rasionalitas, kreatifitas, keberanian bersanding, etos kerja yang tinggi, efisiensi dalam berproduksi merupakan nilai-nilai penting, yang secara tekun dan terusmenerus perlu ditumbuh-kembangkan dalam masyarakat (Ginting, 2004:68). Menurut Supriyanto dan Subejo (2004:34), pemberdayaan atau pemandirian masyarakat memiliki titik fokus sebagai upaya fasilitasi warga masyarakat agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan
ekologinya.
Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
(Kartasasmita,
1996:60).
Kemandirian
merupakan
perwujudan
kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Soesarsono dan Sarma (2004:31), secara sederhana kemandirian seseorang itu banyak ditentukan oleh tingkat kepercayaan dirinya atas apa yang harus dihadapi. Kemandirian untuk mampu bekerja mandiri (self employment) akan sulit dilakukan jika tidak terbiasa belajar, berlatih dan kerja mandiri yang memberikan pengalaman sukses. Kemandirian adalah upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan kemampuan diri dan pada sumberdaya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan. Faktor-faktor swadaya adalah: ulet, kerja keras, jiwa kewirausahaan (Rahardjo, 1992). Kemandirian menekankan pada aspirasi, kreativitas, berani mengambil resiko, prakarsa, sering bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (Slamet, 1995:12). Kemandirian adalah suatu kondisi ketika suatu individu mampu meminimalkan ketergantungannya pada individu. Kemandirian disebut pula dengan kesejajaran atau bahkan keunggulan jika dibandingkan dengan pihak lain (Mukhtar, 2003:105). Dimensi dan indikator kemandirian seseorang dapat ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Dimensi dan Indikator Kemandirian Dimensi Indikator 1. Mantap dan kuat (a) Percaya diri (b) Memiliki karakter (c) Bertanggungjawab (d) Memiliki semangat (e) Berfikir strategis (f) bersikap waspada (g) Selektif / prioritas (h) Efektif (i) Puas diri (j) Memiliki tujuan (k) Menyadari (l) Progresif (m) Tidak tergantung (n) Berakar budi (o) Matang 2. Utuh dan harmonis (a) Mampu berkembang (b) Memiliki prestasi
(c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j)
Memiliki pengaruh Berani tampil Loyal Kompromis Memiliki misi beragam kreatif Bebas merefleksikan keinginannya Mampu berkomunikasi.
Sumber : Mukhtar (2003:108)
Menumbuhkan Kemandirian Kemandirian dapat ditumbuhkan melalui penyuluhan dengan memposisikan sasaran sebagai subjek dan mitra belajar dari penyuluh. Sasaran perlu diaktifkan dalam proses belajar berinteraksi dengan alat, bahan dan usaha ekonominya sehingga mampu dan mau (1) memilih dan menentukan sendiri sumberdaya secara tepat untuk perbaikan usaha dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya, (2) memanfaatkan peluang untuk meningkatkan produktivitas, dan efisiensi usaha yang berorientasi pada pasar, dan (3) kerjasama dengan pihak-pihak yang dapat memperlancar terwujudnya harapan individu/kelompok (Walker, 1992:67). Untuk menumbuhkan dan membina kemandirian maka petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama untuk mencapai yang diinginkan dan dibutuhkan. Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam pengertian sosial atau pergaulan antar manusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (sef-organization) atau manajemen diri (self-management) (Ismawan, 2003:1). Pengambilan Keputusan Hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan melaksanakannya. Hal ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam
pikirannya, sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam membuat keputusan (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1987:2). Pengambilan keputusan merupakan fungsi utama seorang manajer atau administrator. Kegiatan pembuatan keputusan meliputi pengidentifikasian masalah, pencarian alternatif penyelesaian masalah, evaluasi dari alternatifalternatif tersebut dan pemilihan alternatif keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang manajer dalam membuat keputusan dapat meningkat apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan teknik pembuatan keputusan (Kasim, 1995:1). Menurut Rivai (2003:234), Handoko (2003:129), dan Bildridge (Liliweri, 1997:152) pengambilan keputusan adalah seperangkat langkah yang diambil individu atau kelompok dalam memecahkan masalah atau pengambilan keputusan terjadi sebagai reaksi terhadap suatu masalah. Agar individu mencapai hasil yang maksimal maka proses pengambilan keputusan harus rasional. Melalui proses pengambilan keputusan maka individu membuat pilihan memaksimalkan nilai yang konsisten dalam batas-batas tertentu. Model pengambilan keputusan rasional melalui enam langkah, yaitu: (1) menetapkan masalah, (2) mengidentifikasi kriteria keputusan, (3) mengalokasikan bobot pada kriteria, (4) mengembangkan alternatif, (5) mengevaluasi alternatif, dan (6) memilih alternatif terbaik. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Rogers dan Shoemaker, 1981:35). Konsep Usahatani Usahatani secara harfiah diartikan sebagai kegiatan usaha yang dilakukan di bidang pertanian.
Menurut Ibrahim dkk. (2003:22), dan Su’ud, (2004:22),
pengelolaan usahatani membahas cara meningkatkan efisiensi usahatani, sebab dalam rumah tangga petani sulit dipisahkan antara kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan.
Manajemen usahatani ini meliputi kegiatan
inventarisasi sumberdaya, penetapan tujuan, termasuk skala prioritas, membuat alternatif-alternatif
usahatani
dan
menentukan
usahatani
yang
paling
menguntungkan, perencanaan anggaran dan evaluasi keberhasilan usahatani.
Dalam usahatani modern, peranan manajemen menjadi sangat penting dan strategis. Manajemen dapat diartikan sebagai ’seri’ dalam merencanakan, mengorganisasi, dan melaksanakan serta mengevaluasi suatu proses produksi. Karena proses produksi ini melibatkan sejumlah orang (tenaga kerja) dari berbagai tingkatan, maka manajemen berarti pula bagaimana mengelola orangorang tersebut dalam tingkatan atau dalam tahapan proses produksi (Soekartawi, 2003:13). Keputusan yang diambil oleh setiap petani selaku pengelola antara lain mencakup: menentukan pilihan dari antara berbagai tanaman yang mungkin ditanam pada setiap bidang tanah, menentukan macam ternak yang sebaiknya dipelihara dan menentukan cara membagi waktu kerja di antara berbagai tugas, teristimewa pada saat-saat berbagai pekerjaan itu dilakukan serentak. Termasuk pula didalamnya menentukan pilihan tentang jenis dan jumlah ternak kerja yang harus dipelihara untuk pekerjaan di lapangan (Mosher, 1983:35). Kemandirian dalam pengambilan keputusan usahatani dalam penelitian ini adalah kemandirian petani untuk memutuskan melaksanakan kegiatan usaha dalam agribisnis sayuran, dibatasi pada kemandirian petani dalam pemenuhan sarana produksi, kemandirian petani dalam pengambilan keputusan budidaya, kemandirian petani dalam pengambilan keputusan penanganan hasil, dan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan pemasaran. Penyuluhan Konsep penyuluhan pertanian yang ada di Indonesia tidak terlepas dari konsep-konsep penyuluhan yang tersebar dalam berbagai perspektif seperti pendidikan penyuluhan (extension education), pendidikan non formal (non formal education), penyuluhan (extension), alih teknologi (technnology transfer), penyuluhan
pembangunan
(development
pertanian sendiri (agricultural extension).
extension),
maupun
penyuluhan
Berbagai perspektif penyuluhan
pertanian ini memperkaya konsep penyuluhan pertanian dan memberikan sumbangan terhadap kemajuan pelaksanaan penyuluhan pertanian. Menurut Mardikanto (1993:12), penyuluhan adalah proses penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusaha-tani demi
tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan perbaikan kesejahteraan
keluarga/masyarakat
yang
diupayakan
melalui
kegiatan
pembangunan pertanian. Slamet (2003a:15), Pusat Penyuluhan Pertanian (1996a:6), Soedarmanto (1994:15), dan Wiriaatmadja (1983:7) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian. Jadi penyuluhan pertanian itu adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan sasaran (petani dan keluarganya). Karena sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasa juga disebut pendidikan nonformal. Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19/Kep/MK.WASPAN/5/1999 tentang jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya menyebut bahwa penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian (ada kesan petani bertambah pandai untuk menunjang pembangunan pertanian). Pendidikan penyuluhan merupakan ilmu terapan yang terdiri dari berbagai hal dari hasil penelitian yang bersifat fisik, biologi, dan ilmu psikologi, selanjutnya disintesis ke dalam suatu konsep, prinsip-prinsip, dan prosedurprosedur yang ditujukan pada pelaksanaan pendidikan luar sekolah orang dewasa. Pendidikan penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan untuk menyediakan pengetahuan kepada penduduk desa mengenai praktek-praktek meningkatkan kesejahteraan dan membantu penduduk desa dalam mengambil keputusan yang spesifik lokasi (Dahama dan Bhatnagar, 1980:13).
Lionberger dan Gwin (1991:45) menyatakan bahwa penyuluhan adalah suatu proses alih teknologi dari para peneliti kepada para pemakai. Hasil-hasil penelitian perlu disebarkan kepada anggota masyarakat luas. Untuk menyebarkan inovasi hasil penelitian tersebut perlu berbagai penyesuaian agar dapat diterima oleh pemakai. Penyuluhan menjadi sub sistem yang menghubungkan penelitian dengan pemakai.
Konsep yang ditawarkan oleh Lionberger dan Gwin ini
cenderung memandang sasaran penyuluhan sebagai sasaran penyebaran teknologi hasil penemuan para peneliti. van den Ban dan Hawkins (1998:25) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya, memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Rogers (1983:159-160) mengemukakan bahwa penyuluhan pertanian merupakan usaha melakukan difusi inovasi kepada para petani.
Penyuluhan
pertanian dipandang sebagai suatu proses komunikasi yakni penyuluh memberikan informasi yang berguna kepada petani dan kemudian para penyuluh membantu petani untuk mengubah pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar efektif menggunakan informasi atau teknologi yang telah diberikan. Asngari (2003:183) menyatakan bahwa penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Tujuan jangka pendeknya adalah mengubah perilaku SDM-klien, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap mentalnya. Tujuan jangka panjangnya adalah meningkatkan pendapatan SDM-klien pengelola bisnis pertanian (agribisnis), baik on-farm maupun off-farm. Dengan pendapatan yang meningkat SDM-klien dapat hidup lebih baik dan lebih sejahtera (Asngari, 2001:35). Kegiatan Penyuluhan Secara harfiah, kegiatan diartikan sebagai aktivitas atau usaha. Penyuluhan diartikan
sebagai
proses
perubahan
perilaku
(pengetahuan,
sikap,
dan
keterampilan) petani, agar mereka tahu, mau, dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarganya. Jadi kegiatan penyuluhan
adalah aktivitas atau usaha mengubah perilaku petani, agar mereka tahu, mau, dan mampu
melaksanakan
perubahan-perubahan
dalam
usahataninya
demi
tercapainya peningkatan produksi, keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarganya. Menurut Ibrahim dkk. (2003:3), kegiatan penyuluhan diarahkan pada: (1) menimbulkan perubahan dalam hal pengetahuan, kecakapan, sikap dan motif tindakan kepada petani kearah tujuan yang telah ditentukan, (2) menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan kelakuan para petani kearah mencapai taraf dan tingkat kehidupan yang lebih baik, (3) menimbulkan dan memelihara semangat para petani agar selalu giat memperbaiki usahataninya, dan (4) membantu para petani agar mereka mampu memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Penyuluhan pertanian merupakan suatu bentuk pendidikan yang cara (metode), bahan (materi), dan sasarannya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan-kepentingan baik sasaran, waktu, dan tempat (Kartasapoetra, 1991:3). Dalam penelitian ini, kegiatan penyuluhan diukur berdasarkan kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan usahatani, kesesuaian metode penyuluhan, kesesuian media yang digunakan dalam penyuluhan, frekuensi interaksi petani dengan penyuluh dan Kemampuan penyuluh dalam memberikan materi penyuluhan. Materi Penyuluhan Untuk keberhasilan dalam pelaksanaan penyuluhan, disamping individu orang yang disuluh yang diperhatikan, juga harus diperhatikan penyuluhnya. Kualitas penyuluhan dipengaruhi oleh sasaran, penyuluh, materi, metode, media, dan lainnya. Semakin baik karakteristik sasaran maka akan semakin baik kualitas penyuluhan yang dilakukan, demikian pula terhadap penyuluhnya, semakin berpengalaman penyuluh maka semakin baik kualitas penyuluhan yang dilakukan. Menurut Mardikanto (1993:95), materi penyuluhan adalah segala sesuatu yang di informasikan ke petani pada saat penyuluhan. Materi penyuluhan, pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penyuluh kepada masyarakat sasarannya.
Materi yang disampaikan dalam
penyuluhan pertanian sangat luas, dimana materi tersebut dapat berupa ilmu maupun teknologi baru, sehingga dalam penyampaiannya materi penyuluhan dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) teknik pertanian, (2) ekonomi pertanian, (3) manajemen usahatani, (4) dinamika kelompok, dan (5) politik pertanian (Ibrahim dkk., 2003:21). Menurut Vademecum Bimas (Mardikanto, 1993:100), ragam materi yang perlu disiapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan mencakup: (1) kebijakan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan pertanian (baik dari tingkat pusat maupun sampai di tingkat lokalitas usahatani), seperti: pola kebijakan umum pembangunan pertanian, kebijakan harga dasar, penyaluran kredit usahatani, distribusi sarana produksi, pengelolaan air dan sebagainya; (2) hasil-hasil penelitian/pengujian dan rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; (3) pengalaman petani yang telah berhasil; (4) informasi pasar, seperti: harga barang, penawaran dan permintaan produk usahatani, dan lain-lain; (5) petunjuk teknis tentang penggunaan alat dan sarana produksi; (6) informasi tentang kelembagaan dan kemudahan-kemudahan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian, misalnya informasi tentang pusat-pusat informasi pertanian, lembaga-lembaga penelitian, lembaga keuangan dan perbankan, lembaga-lembaga pemasaran sarana produksi, perlengkapan pertanian, dan produk usahatani, dan lain-lain; dan (7) dorongan dan rangsangan untuk terciptanya swakarsa, swakarya, dan swasembada masyarakat. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, pasal 1 ayat 22, menyatakan bahwa “materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian lingkungan. Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan petani dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan. Materi penyuluhan tersebut berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan”.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan materi penyuluhan dibatasi pada bahan penyuluhan yang di informasikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama/ke petani pada saat penyuluhan. Metode Penyuluhan Salah satu tugas yang menjadi tanggungjawab setiap penyuluh adalah mengkomunikasikan inovasi, dalam arti mengubah perilaku masyarakat sasaran agar tahu, mau, dan mampu menerapkan inovasi demi tercapainya perbaikan mutu hidupnya. Keberhasilan penyuluhan, juga bisa disebabkan oleh metode penyuluhan yang dipergunakan, karena sebaik apapun dan selengkap apapun materi penyuluhan yang disampaikan tidak akan mampu mengubah perilaku sasaran yang diinginkan jika metode penyuluhan yang digunakan kurang tepat. Metode penyuluhan merupakan cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis hingga materi penyuluhan dapat dimengerti dan diterima petani sasaran (Ibrahim dkk., 2003:24). Sasaran penyuluhan sangat beragam, baik beragam mengenai karakteristik individunya, baragam lingkungan fisik dan sosialnya, dan beragam pula kebutuhan-kebutuhannya, motivasi, serta tujuan yang diinginkannya. Dengan demikian, tepatlah jika Kang dan Song (Mardikanto, 1993:109) menyimpulkan tentang tidak adanya satupun metode yang selalu efektif untuk diterapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan menerapkan beragam metode sekaligus yang saling menunjang dan melengkapi. Terdapat banyak metode yang dapat dipergunakan dalam penyuluhan pertanian, diantaranya ialah: metode ceramah, metode diskusi, metode praktikum, metode demonstrasi cara, metode kunjungan lapang, magang, studi banding, dan temu lapang. Di dalam setiap pelaksanaan penyuluhan, setiap penyuluh harus memahami dan mampu memilih metode penyuluhan yang paling baik. Metode penyuluhan dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis hingga materi penyuluhan dapat dimengerti dan diterima petani sasaran.
Media Penyuluhan Hal lainnya yang dapat menentukan keberhasilan penyuluhan ialah penggunaan media penyuluhan. Alat bantu penyuluhan/media penyuluhan adalah alat-alat atau perlengkapan penyuluhan yang diperlukan oleh seorang penyuluh guna memperlancar proses mengajarnya selama kegiatan penyuluhan itu dilaksanakan (Mardikanto, 1993:145). Selanjutnya Sadiman dkk. (1986:7) menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang fikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian petani sedemikian rupa sehingga proses belajar tewrjadi.
Media penyuluhan adalah alat bantu yang dapat
memperjelas penyampaian materi penyuluhan. Hamalik (1986:50-51) membagi media menjadi lima golongan, yaitu: (1) Bahan-bahan cetakan atau bacaan (suplementary materials) Berupa bahan bacaan seperti: buku, komik, Koran, majalah, bulletin, folder, pamflet, dan lain-lain.
Bahan-bahan ini lebih mengutamakan kegiatan
membaca atau menggunakan simbol-simbol kata dan visual. (2) Alat-alat audio visual: Media tanpa proyeksi, seperti papan tulis, papan planel, bagan, diagram, grafik, poster, kartun, komik, papan peragaan, gambar. Media tiga dimensi, alat-alat yang tergolong kedalam kategori ini terdiri dari: model, benda asli, contoh, benda tiruan, diorama, boneka, flipchart, peta, globe, pameran, museum, dan lain-lain. Media yang menggunakan teknik atau masinal, alat-alat yang tergolong ke dalam kategori ini adalah: slide film, film strip, film, rekaman, radio, televisi, laboratorium elektronika, perkakas oto-instruktif, system interkomunikasi, mikro film, dan komputer. (3) Sumber-sumber masyarakat. Berupa obyek-obyek, peninggalan sejarah, dokumentasi, bahan-bahan masalah-masalah, dsb, dari berbagai bidang yang meliputi: daerah, penduduk, sejarah, jenis-jenis kehidupan, mata pencaharian, industri, perbankan, perdagangan, pemerintahan, kebudayaan dan politik, dan lain-lain. Untuk mempelajari
hal-hal
tersebut
diperlukan
berbagai
metode,
seperti:
karyawisata, manusia sumber, survei, berkemah, pengabdian social, kerja pengalaman, dan lain-lain. (4) Kumpulan benda-benda (material collections) Berupa benda-benda atau barang-barang yang dibawa dari masyarakat kelingkungan tempat belajar untuk dipelajari, seperti: daun cengkeh yang terserang penyakit, bibit unggul, bahan kimia, dan lain-lain. (5) Contoh-contoh kelakuan yang dicontohkan oleh penyuluh. Meliputi semua contoh kelakuan yang dipertunjukkan oleh penyuluh sewaktu mengadakan penyuluhan, misalnya dengan tangan, dengan kaki, gerakan badan, mimik, dan lain-lain. Keperagaan yang tergolong ke dalam kategori ini tidak mungkin kita sebutkan satu persatu, oleh karena sangat banyak macamnya dan sangat bergantung kepada kreasi penyuluh sendiri. Tetapi pada pokoknya jenis media ini hanya dapat dilihat, didengar dan ditiru oleh sasaran. Media penyuluhan diperlukan karena beberapa alasan, yaitu: pertama, media penyuluhan dapat menyampaikan pesan-pesan yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan kata-kata; kedua, media penyuluhan diperlukan untuk memperkuat penjelasan-penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh; dan ketiga, pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan media pada umumnya tidak mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan (Ibrahim dkk., 2003:60). Media penyuluhan dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai alat bantu yang dapat memperjelas penyampaian materi penyuluhan. Interaksi Petani dengan Penyuluh Menurut Gerungan (1996:57-58), interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Departemen Agama Republik Indonesia (2001:53) mengartikan interaksi sosial sebagai hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang dengan orang, antara kelompok dengan kelompok masyarakat, atau antara orang
dan kelompok masyarakat.
Proses berlangsungnya interaksi sosial ini,
dipengaruhi oleh proses yang kompleks, yaitu: (1) faktor imitasi, mendorong orang untuk mengikuti dan mematuhi kaedah atau nilai-nilai tertentu, terutama nilai yang baik,
(2) faktor sugesti, berlangsung apabila seseorang memberi
pandangan atau sikap, kemudian diterima oleh pihak lain, (3) faktor identifikasi, merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri orang untuk menjadi sama dengan pihak lain, dan (4) faktor simpati, menunjukkan adanya daya tarik dari yang bersimpati dengan pihak objeknya. Frekuensi interaksi antara petani dengan penyuluh dalam penelitian ini, adalah tingkat intensitas bertemunya petani dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahataninya. Kemampuan Penyuluh Secara harfiah, mampu diartikan kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedang kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Kemampuan atau kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai, kewenangan untuk melakukan suatu tugas atau terampil, cakap sesuai yang disyaratkan (Suparno, 2002:27). Robbins (2001:45-48) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seorang individu tersusun dari dua faktor, yaitu: (1) kemampuan intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Dimensi dari kemampuan intelektual tersebut adalah: kecerdasan numeric, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan, dan (2) kemampuan fisik, yaitu kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang menuntut keterampilan dan yang lebih terbakukan dengan sukses. Menurut Mardikanto (1993:48), salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan penyuluh dalam berkomunikasi meliputi: (1) kemampuan memilih inovasi, (2) kemampuan memilih dan menggunakan saluran komunikasi yang efektif, (3) kemampuan memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang efektif dan efisien, (4)
kemampuan memilih dan menggunakan alat bantu dan alat peraga yang efektif dan murah, dan (5) kemampuan serta keterampilan penyuluh untuk beremphati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya. Hidayat (2006:200) melaporkan bahwa peranan penyuluh sebagai pelatih dan penghubung sangat menentukan kemandirian petani, namun peranan tersebut belum berjalan sesuai yang diharapkan, hal tersebut antara lain disebabkan oleh PPL dan petani. PPL berkunjung ke petani pada saat siang hari, sedang pertemuan kelompok petani dilakukan pada malam hari. Petani anggota kelompok menganggap kunjungan penyuluh kurang bermanfaat, karena: (1) PPL tidak memberikan
informasi
baru
tentang
inovasi
yang
dapat
mendukung
pengembangan usaha petani anggota kelompok, dan (2) kehadiran PPL terkait dengan penagihan/pengembalian kredit dari petani anggota kelompok. Penetapan kemampuan penyuluh dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan dalam teknis pertanian, kemampuan memberikan informasi yang diperlukan petani. Strategi Penyuluhan Secara harfiah, strategi diartikan sebagai ilmu dan seni menggunakan semua sumberdaya untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu, untuk mendukung pencapaian tujuan yang ditetapkan, baik dimasa damai maupun dimasa perang. Strategi dalam bidang penyuluhan diartikan sebagai ilmu dan seni menggunakan semua sumberdaya untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan, guna mendukung pencapaian tujuan yang ditetapkan, yaitu perubahan perilaku petani agar produktivitasnya
meningkat,
sehingga
pendapatan
dan
kesejahteraannya
meningkat. Mardikanto (1993:248) menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian adalah suatu kegiatan yang memiliki tujuan yang jelas dan harus dicapai. Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh strategi kerja tertentu demi keberhasilannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi penyuluhan perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) pemetaan wilayah penyuluhan yang akan dilayani, khususnya pemetaan wilayah berdasarkan keragaman keadaan ekologi pertaniannya, (2) upaya melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, baik yang berkaitan dengan kategori petani berdasarkan keinovatifannya, kemampuannya menyediakan sumberdaya, jenis kelamin, dan umurnya dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dan (3) pengembangan rekomendasi teknologi yang tepat guna. Individu Petani Pengertian Faktor Internal Petani Faktor internal adalah faktor atau pengaruh yang datang dari dalam diri petani itu sendiri. Faktor internal merupakan sifat-sifat atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Faktor internal individu yang patut diperhatikan untuk menerangkan komunikasi seseorang meliputi: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama, dan lain-lain (Newcomb, dkk. 1985:30). Lionberger (1968:96-99) menyebutkan bahwa faktor individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan ialah: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis.
Termasuk
dalam
karakteristik
psikologis
ialah
rasionalitas,
fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi pada usahatani sebagai bisnis dan kemudahan
menerima
inovasi.
Perbedaan-perbedaan
individuil
yang
mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi, menurut Slamet (1978:12) adalah: (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial, (4) kekosmopolitan, (5) keberanian mengambil resiko, (6)
sikap terhadap perubahan, (7) motivasi berkarya, (8)
aspirasi, (9) fatalisme, dan (10) diagnotisme. Dalam penelitian ini, faktor internal petani dibatasi pada pendidikan formal, pendidikan non formal, etos kerja, tingkat kekosmopolitan, dan pengalaman usaha. Pendidikan Formal Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas sumberdaya manusia pertanian.
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan/atau
latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia baik individu maupun sosial (Prijono dan Pranarka, 1996:71). Sidi dan Setiadi (2005:16) menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat (Padmowihardjo, 1978:6). Pendidikan mengantarkan orang selalu menjadi modern sebagaimana yag dinyatakan oleh Alex Inkeles (Asngari, 2001:2) yang menyebutkan bahwa salah satu ciri orang modern menempatkan pendidikan formal, ditunjang pendidikan nonformal dan pendidikan informal, sebagai sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Hal ini tiada lain karena adanya kepercayaan bahwa orang mampu menguasai lingkungan dan dunianya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Slamet
(2003:20)
mendifinisikan
pendidikan
sebagai
usaha
untuk
menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Untuk menguji bahwa suatu kegiatan itu pendidikan atau bukan adalah dengan melihat kegiatan itu menghasilkan perubahan perilaku pada diri orang-orang yang menjadi atau terkena sasaran kegiatan. Perubahan perilaku yang dimaksud disebabkan oleh kegiatan pendidikan biasanya berupa: (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui; (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu; dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Supriatna (1997:80) menyebutkan bahwa pendidikan juga berfungsi sebagai pelestari eksistensi manusia dan bangsa untuk bisa bersaing dalam mencapai keunggulan penguasaan iman, takwa (”imtak”), dan budaya. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki keunggulan iman-takwa dan ”iptek” sesuai dengan tingkat peradabannya. Keunggulan ”imtak” dan ”iptek” ini dipandang sebagai peran yang sangat penting bagi peningkatan kehidupan masyarakat.
Pendidikan diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar dia mencapai kedewasaan (Winkel, 1987:19).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pendidikan ada dua, yaitu: (1)
pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal) dan (2) pendidikan sekolah (pendidikan formal). Sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal, karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan terencana dan terorganisir, termasuk kegiatan dalam rangka proses belajar-mengajar di dalam kelas.
Pendidikan
formal menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Pendidikan formal dalam penelitian ini, dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani. Pendidikan Non Formal Tampubolon (2001:10) menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas.
Pendidikan non formal
merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat guna meningkatkan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh peserta didik dari lingkungan pendidikan formal ke dalam lingkungan pekerjaan praktis di masyarakat. Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua sektor masyarakat (Prijono dan Pranarka, 1996:74), Blanckenburg (1988:17) menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasi dan sistematis, yang dilaksanakan di luar jaringan sistem formal untuk menyediakan tipe pelajaran yang dipilih untuk sub-kelompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa maupun anakanak. Dengan definisi tersebut, penyuluhan pertanian dan program latihan petani, latihan keterampilan pekerja di luar sistem formal, kelompok belajar pemuda dengan
tujuan
pendidikan
pokok,
dan
berbagai
program
pengajaran
kemasyarakatan. Senada dengan Blanckenburg, Supriatna (1997:91) menyebutkan pendidikan non formal ini bisa berupa penyuluhan, penataran, kursus, maupun bentuk keterampilan teknis lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan kaum petani.
Pendidikan non formal dalam penelitian ini adalah pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh petani, seperti: pelatihan, kursus, penataran, dan latihan keterampilan pertanian. Etos Kerja Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) memberi pengertian etos kerja sebagai cara pandang atau semangat kerja yang menjadi ciri khas individu atau kelompok orang. Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekpresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak (Tasmara, 2004:20). Konsep etos kerja mengandung dua kata yaitu: etos dan kerja. Pengertian kerja dikaitkan dengan konsep etos kerja. Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Suseno (Puspadi, 2003:119) mendefinisikan etos kerja sebagai sikap dasar seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan pekerjaan. Etos kerja sama dengan etika kerja.
Harriman (Puspadi, 2003:119)
mendefinisikan etos sebagai pandangan atau semangat karakteristik suatu masyarakat, sistem nilai yang menjadi latar belakang (adat istiadat, tata cara suatu kelompok). Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu umat terhadap kerja. Kalau pandangan dan sikap itu melihat kerja sebagai hal yang luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja itu akan tinggi; sebaliknya, kalau melihat kerja sebagai suatu hal tak berarti untuk kehidupan manusia maka etos kerja menjadi rendah. Orang-orang yang mempunyai etos kerja tinggi, cenderung menyukai pekerjaan dan memperoleh kepuasan darinya (Anoraga, 1992:11). Weber mengatakan bahwa ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap masyarakat itu terhadap makna kerja (Mubyarto dkk., 1993:2). Menurut Puspadi (2003:120), etos kerja merupakan penentu konsep profesional, dan etos kerja individu atau kelompok, tidak dominan ditentukan oleh faktor budaya yang dianut oleh individu bersangkutan tetapi juga ditentukan oleh
struktur ekonomi, sosial dan politik yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian etos kerja yang tinggi dapat dibentuk melalui proses-proses tertentu, dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh. Salah satu faktor penentu dalam peningkatan pendapatan dan produktivitas adalah etos kerja dari individu yang berperan dalam usaha produksi. Sebagai contoh, seorang petani akan berhasil dalam usahataninya jika ia rajin merawat tanamannya, membersihkan gulma, menjaga tanamannya dari hama, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu dikaji beberapa karakteristik tenaga kerja yang bergerak dalam usaha produksi, yang meliputi aspek semangat kerja dan keuletan (Rusli dkk. 1995:101). Menurut Soesarsono dan Sarma (2004:18), ”etos kerja lebih” adalah: (1) tiba dan memulai kerja lebih awal, (2) bekerja dengan lebih tertib dan seksama, (3) bekerja dengan lebih bersemangat dan gairah, (4) bekerja dengan lebih cekatan dan cepat selesai, (5) bekerja dengan waktu (durasi) lebih lama dari jam kerja, dan (6) hasil kerja lebih banyak dan lebih bermutu. Etos kerja dalam penelitian ini didefinisikan sebagai waktu yang dicurahkan petani dalam melakukan pekerjaan usahataninya. Tingkat Kekosmopolitan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:597), kosmopolitan diartikan orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas; terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai dunia. Kekosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa.
Bagi warga
masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat, tetapi bagi yang lebih ”localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih ”baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993:75).
Tingkat kekosmopolitan dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri dan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh informasi. Pengalaman Usaha Secara harfiah pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya). Sedang usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud. Jadi pengalaman usaha dalam kaitannya dengan petani adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani, yaitu memperoleh produksi yang tinggi. Menurut
Padmowihardjo
(1999:19-20),
pengalaman
adalah
suatu
kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Dalam otak manusia dapat digambarkan adanya pengaturan
pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya. Dalam proses belajar, seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak mempergunakan pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain dan juga mempergunakan perasaannya atau feelingnya (Tohir, 1983:180).
van den Ban dan Hawkins
(1999:79) menyatakan bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktik. Pengalaman usaha dalam penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh petani untuk berusahatani. Akses Informasi Akses secara harfiah diartikan sebagai jalan masuk, sedang informasi diartikan sebagai penerangan; pemberitahuan. Jadi akses informasi adalah jalan
masuknya penerangan atau pemberitahuan. Dalam konteks usahatani, akses informasi adalah usaha petani untuk mencari informasi yang ada kaitannya dengan usahataninya. Masyarakat di banyak negara sedang berkembang mempunyai akses yang terbatas terhadap media massa, karena sebagian besar penduduknya terutama wanita, masih buta huruf, padahal informasi merupakan sumberdaya penting di dalam pertanian modern. Informasi adalah hasil proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah/memroses stimulus, yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus itu dapat dimengerti sebagai informasi (Wiryanto, 2004:29). Informasi juga diartikan sebagai suatu hal yang memberikan pengetahuan. Informasi dapat berbentuk benda fisik, warna, suhu, kelakuan, dan lain-lain (Soemarwoto, 1989:31). Menurut Slamet (2001:6), informasi adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan itu sangat diperlukan untuk bisa mempertahankan hidupnya, apalagi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dunia petani tidak lagi sebatas desanya, tetapi sudah meluas ke semua daerah di negaranya bahkan ke manca negara. Oleh karena itu, para petani juga semakin memerlukan informasi tentang dunianya yang semakin luas. Informasi yang diperlukan oleh petani adalah informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya, seperti: informasi baru tentang teknologi budidaya pertanian, tentang sarana produksi, permintaan pasar, cuaca, serangan hama dan penyakit, dan berbagai alternatif usahatani lainnya. Wiryanto (2004:29) menyatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan, tepat waktu, dan relevansi. Sementara itu ahli-ahli komunikasi dalam dasawarsa 1950 dan 1960 menaruh harapan besar pada potensi media massa untuk menimbulkan pembangunan sosial ekonomi di daerah pedesaan di Dunia Ketiga. Media massa memiliki kemampuan yang besar untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada banyak orang, yang tinggal di tempat terpisah dan tersebar, secara serentak dan dengan kecepatan tinggi (Jahi, 1988:109).
Akses informasi dalam penelitian ini adalah usaha petani untuk mencari informasi yang ada kaitannya dengan usahataninya, yang meliputi usaha petani mencari informasi kepada sesama petani, ke tokoh masyarakat, agen sarana produksi, dan melalui media massa. Interpersonal Sumber informasi yang paling dekat dengan petani adalah petani lain yang telah berhasil menerapkan teknologi dan atau memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Petani yang berhasil tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi petani lain karena kedekatan, keakraban, dan kesama-an cara pandang mereka terhadap sesuatu masalah (Tjitropranoto, 2003:100-101). Disamping itu petani juga mencari teknologi dan atau informasi yang dibutuhkan dari petugas, pedagang, dan tokoh-tokoh lain yang sering datang ke desanya, dan telah banyak memberikan bantuan dalam pelaksanaan usaha pertaniannya (Tjitropranoto, 2003:100-101). Salah satu akses informasi yang digunakan oleh petani untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan usahataninya ialah sesama petani. Tokoh Masyarakat Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah-laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Pemimpin ada yang bersifat resmi yaitu pemimpin yang tersimpul di dalam suatu jabatan, ada pula pemimpin informal karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Pemimpin informal adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul, maka dapat mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat (Soekanto, 1996:318-319). Pemimpin informal tidak menduduki suatu tempat tertentu dalam struktur kemasyarakatan. Menurut
Mangunhardjana (Ginting, 1999:22), mereka tidak mempunyai nama jabatan serta tidak dibebani tugas dan tanggung jawab yang jelas. Kalaupun mereka dibebani tugas hanya karena ia memiliki kualifikasi tertentu, seperti di bidang agama, adat dan sebagainya Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain. Seseorang bisa menjadi pemimpin karena ditunjuk atau karena keinginan kelompok (Rivai, 2003:25). Pemimpin informal adalah pemimpin yang muncul karena pengakuan masyarakat terhadap kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Menurut Mardikanto (1993:72), sifat kelompok masyarakat yang masih tertutup sering mencurigai setiap tindakan orang-orang yang berasal dan berada di luar sistem sosialnya berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Oleh karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat, sebab di dalam masyarakat sasaran seperti itu, mereka akan cepat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mereka kenal, dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan. Jangkauan petani terhadap informasi yang dibutuhkan dalam memperbaiki kinerja pengelolaan usahatani beragam, baik antar individu, antar kelompok ataupun antar daerah. Oleh sebab itu kapabilitas petani dalam mengakumulasikan, memilah dan mengolah informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dalam mengelola usahataninya tentu saja bervariasi (Sumaryanto, 2001:66). Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam penyuluhan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat yakni informasi yang bermakna: “(1) informasi tersebut secara ekonomis menguntungkan, (2) informasi tersebut secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) informasi tersebut secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakkat, dan (4) informasi tersebut sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah (Asngari, 2001:13).” Pengertian tokoh masyarakat dalam tulisan ini adalah orang-orang yang dalam kehidupan di desa mampu mempengaruhi penduduk berkat pengakuan atas kepemimpinannya yang banyak dilandasi oleh kharisma, sifat pribadi, kepeduli-
annya terhadap desa dan penduduknya serta memiliki kualifikasi dalam bidang tertentu. Agen Sarana Produksi dan Media Massa van den Ban dan Hawkins (1999:43-45) menyatakan bahwa petani menggunakan sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan untuk mengelola usahatani mereka, dan pengetahuan baru itu dikembangkan tidak hanya oleh lembaga penelitian, tetapi juga oleh banyak pelaku yang berbeda. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mengelola usahataninya dengan baik, petani memanfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, yang meliputi: (1) petani-petani lain; (2) organisasi penyuluhan milik pemerintah; (3) perusahaan swasta yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli hasil pertanian; (4) agen pemerintah yang lain, lembaga pemasaran dan politisi; (5) organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya; (6) jurnal usahatani, radio, televisi, dan media massa lainnya; dan (7) konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan. Senada dengan van den Ban dan Hawkins, Mulyana (2001:5) mengatakan bahwa beberapa media yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi antara lain: surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, dan sejenisnya. Media tersebut selain digunakan untuk menyampaikan informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada orang lain. Sumber informasi yang juga sering dituju oleh petani dalam penelitian ini ialah agen sarana produksi dan media massa. Faktor Lingkungan Lingkungan Sosial Lingkungan secara harfiah diartikan sebagai daerah (kawasan) yang termasuk di dalamnya; golongan; kalangan, sedang sosial diartikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Jadi lingkungan sosial adalah daerah atau kawasan dimana masyarakat tinggal dan berinteraksi. Menurut Soekanto
(1996:432), lingkungan sosial terdiri dari orang-orang baik individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia. Senada dengan Soekanto, Slamet (2001:66) menyatakan bahwa lingkungan sosial budaya adalah segala kondisi sosial budaya yang berada di sekitar lingkungan organisasi yang dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi sebagai hasil interaksi antara organisasi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial budaya dapat berupa nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat di lingkungan sosial tersebut. Masyarakat membentuk keyakinan, nilai, dan norma kita. Manusia menyerap, hampir secara tidak sadar, pandangan dunia yang merumuskan hubungan mereka dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dengan organisasi, dengan masyarakkat, dengan alam sekitar, dan dengan alam semesta (Kotler, 2005:194). Menurut Sarwono (2001:170), norma adalah aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma dapat tertulis dan resmi atau formal, dapat tertulis tetapi tidak resmi, dan dapat tidak tertulus dan tidak resmi (norma adat, norma susila). Menurut teori Parsons, perubahan masyarakat dapat terjadi karena beberapa unsur saling berinteraksi satu dengan lainnya. Hasil interaksi ini dikenal sebagai suatu sistem sosial. Interaksi antar unsur oleh sejumlah individu ini dapat terjadi dengan baik dalam suatu lingkungan fisik dan sosial masyarakat (Slamet, 1986:32). Petani sebagai pelaksana usahatani (baik sebagai juru-tani maupun sebagai pengelola) adalah manusia, yang di setiap pengambilan keputusan untuk usahatani tidak selalu dapat dengan bebas dilakukannya sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan disekelilingnya. Dengan demikian, jika ia ingin melakukan
perubahan-perubahan
untuk
usahataninya,
dia
juga
harus
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya (Mardikanto, 1993:31). Lebih lanjut dikatakan, bahwa lingkungan sosial yang mempengaruhi perubahan-perubahan itu adalah: kebudayaan, opini publik, pengambil keputusan dalam keluarga, kekuatan lembaga sosial, dan kekuatankekuatan ekonomi.
Menurut Tonny (2003:33), adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istadat dilanggar, secara moral, pelanggar akan merasa berdosa. Kemudian masyarakat akan mengeluarkan pelakunya dari komunitasnya. Dengan kata lain sanksinya berwujud suatu penderitaan bagi pelanggarnya. Sumarti (2003:9) menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu peristiwa sosial. Interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan,
antara kelompok-kelompok
manusia,
maupun
antara
orang
perorangan dengan kelompok manusia. Lingkungan sosial dalam penelitian ini dibatasi pada: kesesuaian norma masyarakat dengan usahatani yang dilakukan. Pelatihan Yang dimaksud dengan latihan adalah kegiatan untuk memperbaiki kemampuan karyawan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu pekerjaan (Soeprihanto, 2000:85). Pelatihan merupakan upaya untuk meningkatkan kecakapan pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan tertentu, dan pelatihan itu sendiri harus dapat menimbulkan perubahan diri yang dilatihnya. Latihan dan pengembangan pegawai merupakan merupakan langkah akhir dalam upaya menjamin pegawai memiliki pengetahuan, keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaannya (Departemen Pertanian, 2006:7).
Menurut Maalouf (1993:1),
pelatihan adalah suatu proses pendidikan yang memerlukan lebih dari informasi yang memberi atau pengembangan keterampilan. Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau suatu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitasaktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan, yaitu untuk mencapai tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga
mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan (Gomes, 2002:197). Selanjutnya dinyatakan bahwa, pelatihan hanya bermanfaat dalam situasi di mana para pegawai kekurangan kecakapan dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan petani
untuk
memperbaiki
kemampuannya
dengan
cara
meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu pekerjaan melalui pelatihan. Keberadaan petani dalam Kegiatan Kelompoktani Kelompoktani secara harfiah diartikan sebagai kelompok petani yang menghimpun diri dalam suatu kelompok karena mempunyai keserasian mengenai tujuan, motif, dan minatnya. Para petani bisa berpartisipasi dalam kelompoktani atau pengenalan teknologi pertanian atau kegiatan-kegiatan lainnya hanya sekedar ikut karena adanya undangan dan yang lain juga ikut (partisipasi pasif) atau mereka berpartisipasi karena memang ingin memperkuat dan mengembangkan usahanya. Masing-masing tingkatan partisipasi akan menghasilkan manfaat yang berbeda dari upaya berpartisipasi. Makin tinggi tingkat partisipasi, akan makin tinggi pula manfaat yang diperoleh oleh kelompok maupun anggota kelompok dari partisipasi (Tjitropranoto, 2005:8). Keberadaan petani dalam kegiatan kelompok dalam penelitian ini adalah keikut sertaan petani dalam kegiatan kelompok sebagai wahana belajar. Insentif Produksi Insentif secara harfiah diartikan sebagai tambahan penghasilan (uang, barang) yang diberikan untuk meningkatkan gairah kerja; uang perangsang, sedang produksi diartikan sebagai proses mengeluarkan hasil; penghasilan. Jadi insentif produksi adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada produsen agar bergairah untuk bekerja atau berproduksi. Insentif produksi dalam bidang pertanian, diberikan agar petani bergairah dalam menghasilkan produksi pertanian. Termasuk dalam insentif produksi ini
adalah: (1) permintaan suatu komoditi pertanian, (2) harga, (3) iklim usaha, dan (4) bunga bank. Permintaan suatu komoditi pertanian adalah banyaknya komoditi pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen. Winardi (Soekartawi, 2002:114), menyatakan bahwa pengertian permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Faktor yang mempengaruhi besar-kecilnya permintaan komoditi pertanian, antara lain adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang substitusi atau harga komplemennya, selera dan keinginan, jumlah konsumen dan pendapatan konsumen yang bersangkutan (Soekartawi, 2002:127). Insentif produksi dalam penelitian ini, dibatasi pada permintaan suatu komoditi pertanian, harga, iklim usaha, dan bunga bank. Kapasitas Petani Pengertian kapasitas berasal dari bahasa Belanda yaitu capaciteit yang berarti: (1) daya tampung, daya serap, (2) ruang atau fasilitas yang tersedia, dan (3) kemampuan (maksimal). Penggunaan kata kapasitas sering diidentikkan dengan istilah posisi kemampuan atau kekuatan seseorang yang ditampilkan dalam bentuk tindakan. Mardikanto (1993:92) mendefinisikan kapasitas belajar sebagai kemampuan atau daya tampung seseorang untuk menerima rangsangan-rangsangan atau pengalaman-pengalaman baru. Kapasitas belajar seseorang dipengaruhi oleh keadaan fisik (jenis kelamin), keadaan psikis (umur, tingkat pendidikan), maupun lingkungan (sosial budaya masyarakat) Kapasitas atau kemampuan individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan tidak sama satu sama lainnya. Setiap manusia mempunyai kemampuan berpikir. Seluruh kemampuan individu pada hakikatnya tersusun dari dua faktor, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual memainkan peran yang lebih besar dalam pekerjaan rumit yang menuntut persyaratan untuk pemrosesan informasi, sedang kemampuan fisik memiliki makna penting khusus untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang menuntut keterampilan (Rivai, 2003:225-228).
PKPD (2004:1) menyatakan bahwa kapasitas adalah kemampuan seorang individu, sebuah organisasi atau sebuah sistem untuk melaksanakan tugas atau fungsi-fungsi dan mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien. Hal ini harus didasari pada suatu tinjauan yang terus-menerus terhadap kondisi-kondisi kerangka kerja, dan pada penyesuaian dinamis dari fungsi-fungsi dan tujuan. Peningkatan kapasitas adalah upaya penguatan suatu komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan juga prioritas kebutuhan mereka dan mengorganisasikan mereka untuk melakukan sendiri (Syahyuti, 2006:34). Menurut Bryant dan White (1989:22-23), pengembangan kapasitas seseorang meliputi faktor-faktor ekonomi seperti fasilitas-fasilitas produksi. Kapasitas meliputi perhatian terhadap harga diri orang, kemampuannya untuk melarutkan diri dalam memikirkan dan membentuk hari depannya sendiri. Kapasitas diri adalah daya yang ada pada diri seseorang untuk menetapkan langkah dan tujuan serta usaha yang akan dilakukan untuk menetapkan usahanya guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Bila kapasitas diri petani rendah, maka produktivitas dirinyapun rendah. Demikian juga pemanfaatan kapasitas sumberdaya pertanian yang ada disekitarnya, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap modal dan kredit untuk usaha pertaniannya, penerapan teknologi dan akses terhadap pasarpun termasuk rendah pula. Sebagai akibat akhir ialah produktivitasnya yang rendah dan dengan sendirinya pendapatanpun akan rendah pula (Tjitropranoto, 2005a:4-6). Selanjutnya indikator kapasitas diri petani dikatakan rendah ialah bila: (1) pendidikan rendah, (2) motivasi rendah, (3) apatis, (4) kemauan rendah, dan (5) percaya diri rendah. Kapasitas diri petani dalam penelitian ini, dibatasi pada: pengetahuan, keterampilan, sikap mental, percaya diri, komitmen, dan kewirausahaan. Pengetahuan Pengetahuan adalah aspek perilaku yang terutama berhubungan dengan kemampuan
mengingat
materi
yang
telah
dipelajari
mengembang-kan intelegensia (Padmowihardjo, 1978:83).
dan
kemampuan
Menurut Soekanto
(1996:6), yang dimaksud pengetahuan adalah kesan di dalam fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefs) takhyul (superstitions) dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformations). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani berkenaan dengan hal usahataninya. Menurut Winkel (1987:150-151), pengetahuan mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan, mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari, mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus/problem yang konkret dan baru, mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik, mencakup kemampuan untuk membentuk saatu kesatuan atau pola baru, dan mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggung-jawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. Selanjunya Purwanto (2002:158) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang di miliki seseorang, dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Pengetahuan petani dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani berkenaan dengan cara-cara budidaya dalam usahataninya. Keterampilan Keterampilan adalah aspek perilaku yang berhubungan dengan kemampuan menggerakkan otot-otot tubuh atau kemampuan gerak fisik (Padmowihardjo, 1978:91).
Spencer dan Spencer (1993:11) menyatakan bahwa keterampilan
adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Skill (keterampilan), merupakan kemampuan untuk melakukan tugas fisik maupun mental. Keterampilan seseorang dalam mengerjakan sesuatu sangat mempengaruhi bagaimana cara orang itu bereaksi terhadap situasi-situasi tertentu (Purwanto, 2002:158). Menurut Rivai (2003:254), kemampuan (ability) merujuk pada kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, sedang keterampilan adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas seperti
keterampil-an mengoperasikan komputer, atau keterampilan berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan dan misi kelompok. Keterampilan teknis yang dibutuhkan penduduk miskin sesuai dengan klasifikasi dan sektor kegiatannya, seperti keterampilan industri berupa industri kecil, kerajinan rumah tangga, keterampilan pertanian baik manajerial maupun teknis pertanian, dan sebagainya (Supriatna, 1997:91). Sedangkan menurut Yukl (1994:213), keterampilan (skill) menunjuk kepada kemampuan dari seseorang untuk melakukan berbagai jenis kegiatan kognitif atau keperilakuan (behavioral) dengan suatu cara yang efektif.
Katz dan Mann (Yukl, 1994:214) membagi
kategori keterampilan sebagai berikut: (1) Keterampilan teknis (technical skills). Pengetahuan mengenai metode, proses, prosedur, dan teknik untuk melakukan sebuah kegiatan khusus, dan kemampuan untuk menggunakan alat-alat dan peralatan yang relevan bagi kegiatan tersebut. (2) Keterampilan untuk melakukan hubungan antar pribadi (interpersonal skills). Pengetahuan tentang perilaku manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakan dan lakukan (emphaty), sensitivitas sosial, kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif (kemahiran berbicara, kemampuan meyakinkan orang/persuasiveness), serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif (kebijaksanaan, diplomasi, keterampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai perilaku sosial yang dapat diterima). (3) Keterampilan konseptual (conceptual skills). Kemampuan analitis umum, berpikir nalar, kepandaian dalam membentuk konsep, serta konseptualisasi hubungan yang kompleks dan berarti dua, kreativitas dalam mengembangkan ide dan pemecahan masalah, kemampuan untuk menganalisis peristiwaperistiwa dan kecenderungan-kecenderungan yang dirasakan, mengantisipasi perubahan-perubahan, dan melihat peluang serta masalah-masalah potensial (berpikir secara induktif dan deduktif).
Keterampilan petani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kecakapan yang
dimiliki
oleh
seseorang
untuk
menyelesaikan
tugas-tugas
dalam
usahataninya. Sikap Mental Wiriaatmadja (Padmowihardjo, 1978:86) mengartikan sikap mental sebagai kecenderungan untuk bertindak seperti tidak berprasangka terhadap hal-hal yang belum dikenal, ingin mencoba sesuatu yang baru, mau bergotong-royong dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan swadaya dan swadana sedapat mungkin.
Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:106), sikap didefinisikan
sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen. Komponen-komponen sikap adalah pengetahuan, perasaanperasaan, dan kecenderungan untuk bertindak.
Sikap adalah kecenderungan
bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap (Rakhmat, 2000:39). Menurut Koentjaraningrat (1985:26), sikap mental adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berprilaku dalam cara yang tertententu yang dipilihnya (Walgito, 1991:109).
Sementara itu
menurut Thurstone (Mueller, 1992:4), sikap adalah: (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka, atau (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi berupa ”pre-disposisi” tingkah laku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut (Mar’at, 1984:12). Menurut Rivai (2003:246), sikap adalah suatu kesiapan untuk menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan atau
pendapat yang khas serta sikap juga pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Berkowitz (Azwar, 2003:5) menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sikap mental dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian petani terhadap teknologi yang ada, dan penolakan atau penerimaan petani terhadap teknologi barat. Percaya Diri Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:856), percaya diri diartikan dengan mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau dirinya memang benar. Meredith et al. (2000:5) menyatakan bahwa percaya diri didefinisikan sebagai
keyakinan,
ketidak-tergantungan,
individualitas,
dan
optimisme.
Kepercayaan diri sangat menentukan keberanian seseorang untuk bertindak atau mengambil resiko karena faktor keyakinan atas kemampuan diri sangat tergantung pada seberapa tinggi kepercayaan dirinya untuk berhasil (Soesarsono dan Sarma, 2004:32). Rasa percaya diri berhubungan secara positif dengan efektivitas dan kemajuan diri sendiri. Tanpa adanya rasa percaya diri yang kuat maka seorang manajer lebih kecil kemungkinannya berhasil dalam usaha-usaha mempengaruhi dan setiap usaha untuk mempengaruhi lebih kecil kemungkinannya untuk berhasil (Rivai, 2003:31). Menurut Bandura (Baron dan Byrne, 2003:183), self eficacy (percaya pada diri sendiri) adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang
diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri (Rini, 2002:1). Menurut Ubaydillah (2003:1), pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan 'pede' merupakan kualitas personal yang dibutuhkan. Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan hidup yang berlandaskan pada keunggulan diri, arah kiblat (direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan kemudian membuat kita merasa punya hak untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk diselesaikan. Percaya diri dalam penelitian ini dibatasi pada sikap positif seseorang terhadap dirinya sendiri yang meliputi: keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas, dan optimisme dalam melaksanakan usahataninya. Komitmen Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:584), komitmen adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu.
Komitmen merupakan
ikatan psikologi yang melibatkan sikap serta identifikasi seorang individu dengan sebuah organisasi. Ia bersifat khusus dan tidak mudah untuk diingat. Aspek komitmen adalah penting dalam sebuah organisasi
atau institusi (Kechot,
2004:1). Porter (Kuntjoro, 2002:1) mendefinisikan komitment organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu: (1) Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2) Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, dan (3) Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi).
Komitmen seseorang dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan petani untuk memenuhi perjanjian atau keterikatan dengan orang lain. Kewirausahaan Kewirausahaan berasal dari istilah Bahasa Inggris ”entrepreneurship”. Secara umum, kewirausahaan adalah kemampuan untuk melihat dan menilai peluang-peluang bisnis, kemampuan mengoptimalisasikan sumberdaya yang dikuasai, serta mengambil tindakan dan bermotivasi tinggi dalam mengambil risiko untuk mencapai tujuan bisnisnya (Syahyuti, 2006:126). Menurut Meredith et al. (2000:3), wirausahawan adalah kemampuan menemukan dan mengevaluasi peluang-peluang, mengumpulkan sumber-sumber daya yang diper-lukan dan bertindak untuk memperoleh keuntungan dari peluangpeluang itu. Soesarsono dan Sarma (2004:28), wirausahawan adalah orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai peluang bisnis, mengumpulkan sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan darinya dan bertindak tepat untuk memastikan sukses.
Drucker (Widodo, 2005:5) menyatakan bahwa
wirausahawan atau entrepreneur ialah seseorang yang selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya menjadi peluang usaha (bisnis). Kewirausahaan kewiraswastaan.
memiliki
pengertian
yang
lebih
luas
ketimbang
Kewirausahaan bukan sekadar sifat dan sikap gagah berani
untuk berdiri dengan kekuatan sendiri, memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri, tetapi juga mampu melihat peluang-peluang bisnis yang ada, kemudian mengelola dan mengembangkan dengan gagasan-gagasan baru, serta melembagakannya dalam perusahaan untuk mem-peroleh nilai tambah dan kesejahteraan. Jiwa kewirausahaan merupakan modal dasar bagi para pengusaha untuk menuju kemandirian (Suparta, 2004:30). Kewirausahaan dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kemampuan petani untuk mencari dan mengambil peluang usahatani yang menguntungkannya, dan tingkat kemampuan petani untuk mengoptimalisasikan sumberdaya yang dikuasai untuk mencapai tujuan usahataninya.
Lahan Pada masyarakat pedesaan yang agraris, lahan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Lahan merupakan sumber mata pencaharian untuk mempertahankan hidup, bahkan di luar itu lahan merupakan tempat tinggal, sehingga dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman manusia dalam hidup bermasyarakat. Soekartawi (2003:4;2002:14-15) menyatakan bahwa lahan, khususnya lahan pertanian diartikan sebagai tanah yang disiapkan untuk diusahakan usahatani. Ukuran lahan pertanian sering dinyatakan dengan hektar. Pengusahaan pertanian selalu didasarkan atau dikembangkan pada luasan lahan pertanian tertentu. Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Pentingnya faktor lahan, bukan saja dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan, tetapi juga dilihat dari aspek kesuburan lahan, macam penggunaan lahan (lahan sawah, tegalan, dan sebagainya), dan topografi (lahan dataran rendah dan dataran tinggi). Sumaryanto dkk. (2003:79) memberikan pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status kepemilikan maupun penggarapan. Lahan sebagai sumberdaya alam dengan fungsinya yang jamak adalah unsur dan tumpuan harapan utama bagi kehidupan maupun kelangsungan hidup umat manusia. Penelitian Suryana (Malian dkk., 2004:120) menunjukkan bahwa rata-rata skala penguasaan lahan dalam usahatani padi adalah 0,30 ha. Menurut Rusli dkk. (1995:98), masalah distribusi penguasaan lahan menjadi petunjuk terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan dalam sektor pertanian. Hal ini karena usaha di sektor pertanian sangat tergantung pada keadaan lahan, baik itu kesuburannya maupun luasannya. Secara umum, kedudukan lahan pertanian di Indonesia dicirikan oleh: lahan sempit, sangat terpecah-pecah, dan dikerjakan sendiri. Tanah sebagai harta produktif adalah bagian organis rumah tangga tani. Luas lahan usahatani menentukan pendapatan, taraf hidup, dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani (Hernanto, 1995:32).
Hernanto (1995:46)
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh usahatani adalah: (1) semakin besarnya lokasi pertanian dan usahatani menjauhi pemusatan penduduk
dan pusat pengembangan, (2) semakin banyaknya lahan pertanian lepas dari petani kecil baik itu keluar dari usahatani atau akan beralih ke petani besar, (3) adanya pergeseran dari petani menjadi buruh tani atau keprofesi lain, dan (4) semakin sempitnya penguasaan/pemilikan lahan yang dikuasai oleh petani atau disebut makin sempitnya skala usahatani. Lahan dalam penelitian ini dibatasi pada penggunaan lahan untuk usahatani. Penerapan Teknologi Kemajuan dan pembangunan dalam bidang apapun tidak dapat dilepaskan dari kemajuan tekonologi. Revolusi pertanian didorong oleh penemuan mesinmesin dan cara-cara baru dalam bidang pertanian. Demikian pula “revolusi hijau” mulai tahun 1969/1970 disebabkan oleh penemuan teknologi baru dalam bibit padi dan gandum yang lebih unggul (Mubyarto, 1989:234). Teknologi adalah segala daya upaya yang dapat dilaksanakan oleh manusia untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik (Gumbira Said dkk., 2004:19). Menurut Mangunwidjaja dan Sailah (2005:13), teknologi merupakan seluruh kemampuan, peralatan, dan tata kerja serta kelembagaan yang diciptakan untuk bekerja secara lebih efektif dan lebih efisien. Teknologi pertanian adalah piranti teknis pertanian yang dikembangkan dari ilmu pengetahuan untuk mempermudah, mempercepat, meningkatkan, mengarahkan, membina dan membimbing usahatani sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai. Sedangkan penerapan teknologi adalah proses kegiatan penggunaan teknologi dalam kegiatan usaha dibidang pertanian (Ibrahim dkk. 2003:13). Menurut Mosher (1983:96), peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan pemakaian teknik-teknik atau metoda-metoda di dalam usahatani. Soekartawi (1995b:58) menyebutkan bahwa teknologi dalam usaha pertanian selalu berubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalnya varietas tanaman selalu berganti disesuaikan pada daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit, selera, dan rasa. Pada situasi tenaga kerja pertanian yang berlebihan maka teknologi yang dianjurkan adalah lebih baik pada teknologi padat tenaga kerja.
Mosher (1983:96) menyatakan bahwa penguasaan teknologi
pertanian yang senantiasa berubah ini, merupakan syarat mutlak dalam
keberhasilan pembangunan pertanian. Oleh karena itu proses adopsi inovasi terhadap teknologi baru sangat penting dan karenanya, maka peranan penyuluh pertanian menjadi amat strategis. Mardikanto dan Sutarni (1985:63) menyebutkan bahwa sumber teknologi baru umumnya berasal dari lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan sumber (informasi) yang lain yang dapat diperoleh dengan komunikasi langsung atau dapat dibaca dalam brosur, bulletin, majalah profesi, dan lain-lain. Adopsi teknologi baru adalah suatu proses yang terjadi pada diri manusia. Keputusan untuk menerima atau menolak inovasi ini juga merupakan proses mental yang terjadi pada diri individu, melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) tahap pengetahuan (knowledge) yaitu terjadi ketika seseorang individu atau pembuat keputusan lainnya membuka diri pada keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengertian mengenai fungsi inovasi, (2) tahap persuasi (persuasion) yaitu terjadi ketika individu (unit pembuat keputusan lainnya) membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap inovasi, (3) tahap keputusan (decesion), yaitu ketika seseorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya sedang dalam situasi menentukan pilihan apakah akan mengadopsi atau menolak inovasi tersebut, (4) tahap pelaksanaan (implementation), terjadi ketika seseorang individu ata unit pembuat keputusan lainnya menentukan suatu inovasi untuk digunakan, dan (5) tahap konfirmasi (confirmation), terjadi ketika seseorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya mencoba memperkuat mengenai sesuatu keputusan inovasi yang sudah dibuat, tetapi mereka juga bisa menarik keputusan yang sudah dibuatnya, ketika mereka berhadapan dengan isi pesan yang bertentangan dengan inovasi (Rogers, 1983). Menurut Roger dan Shoemaker (1987:146), teknologi atau cara baru dapat diterima atau digunakan oleh petani bila teknologi tersebut: (1) memberikan keuntungan relatif, (2) mempunyai kesesuaian dengan nilai-nilai setempat, (3) sederhana, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati.
Tjitropranoto (2005b:62)
menyatakan bahwa petani menerapkan teknologi yang dianjurkan melalui suatu proyek, sehingga begitu proyek selesai petani kembali ke teknologi tradisionalnya. Umumnya kekurangan yang dapat dilihat ialah bahwa penyediaan teknologi
kurang memperhatikan umpan balik dan kebutuhan serta peluang petani untuk menerapkan teknologi. Penerapan teknologi pada penelitian ini dibatasi pada teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Sarana dan Prasarana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:999), sarana secara harfiah diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.
van den Ban dan Hawkins (1999:67), sarana usahatani
meliputi: tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian, dan subsidi produksi. Senada dengan van den Ban dan Hawkins, Mosher (1983:115) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian, memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus oleh petani, diantaranya adalah: bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak, serta perkakas. Prasana secara harfiah diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses. Slamet (2001:2) menyebutkan bahwa prasarana fisik untuk pertanian meliputi: jaringan jalan, jaringan irigasi, telekomunikasi, tenaga listrik, radio, dan televisi. Sarana usaha dalam penelitian ini dibatasi pada sarana yang dimiliki oleh petani dan yang digunakan untuk kegiatan proses produksi. Modal Usaha Secara harfiah modal diartikan dengan uang yang dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang; harta benda (uang, barang) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan. Di dalam bukunya, Mistery of The Capital, Hernando de Soto (Pambudy, 2003:229) menyebutkan bahwa modal adalah komponen yang sangat esensial bagi negara-negara barat, tetapi mendapat perhatian yang sangat sedikit dari negaranegara berkembang. Penduduk miskin dari negara-negara dunia ketiga dan bekas komunis sebenarnya memiliki harta benda tetapi mereka kesulitan dalam proses
untuk merepresentasikan kepemilikannya agar dapat dijadikan modal. Manusia bagaimanapun miskinnya, sebenarnya masih memiliki kemauan, pikiran, tenaga, yang semuanya dapat dikonversikan dalam bentuk modal bagi pembangunan. Semangat dan tenaga kerja produktif sebenarnya juga merupakan modal dasar bagi kegiatan pembangunan yang pada akhirnya bisa menghasilkan barang dan jasa jika kita pintar mengelolanya. Pembentukan modal manusia meru-pakan cara yang efektif dan efisien dalam pembentukan kerangka pembangunan nasional. Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam pemahaman ekonomi konvensional, modal adalah uang (Pambudy, 2003:230). Kalaupun bukan dalam bentuk uang tunai (cash money), modal juga berarti aset yang bernilai ekonomi (mulai dari yang berbentuk fisik seperti lahan, rumah, bangunan, harta benda lainnya seperti emas, intan berlian hingga modal yang berbentuk surat-surat berharga seperti sertifikat, obligasi, saham, dan surat piutang). Soekartawi dkk. (1986:229) menyebutkan bahwa modal usahatani terdiri dari berbagai macam masukan. Berbagai penggolongan modal pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) Barang-barang yang tidak habis dalam sekali proses produksi, misalnya peralatan pertanian dan bangunan, dan (2) Barang-barang yang langsung habis dalam sekali proses produksi, misalnya pupuk dan insektisida. Modal merupakan unsur pokok usahatani yang penting. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian (Hernanto, 1995:80). Pada usahatani, yang dimaksud modal adalah: (1) tanah, (2) bangunan-bangunan (gudang, kandang, lantai jemur, pabrik, dan lain-lain), (3) alat-alat pertanian (traktor, luku, garu, sprayer, cangkul, parang), (4) bahan-bahan pertanian (pupuk, bibit, obat-obatan), (5) tanaman, ternak, dan ikan, (6) piutang di bank, dan (7) uang tunai. Sedangkan menurut Mubyarto (1989:106), modal adalah barang atau uang yang bersamasama faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, yaitu hasil pertanian. Modal merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Secara umum telah diketahui bahwa modal petani untuk
menjalankan usahataninya terbatas (lemah), sehingga mereka
perlu akses
terhadap permodalan lainnya (kredit). Pemerataan akses terhadap modal bagi petani diyakini sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan modal (kredit) yang cukup petani dapat mengoptimalkan sumberdaya usahataninya guna meningkatkan keuntungan usahanya yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto dan Agustian, 2003:264-265). Dalam kegiatan proses produksi pertanian, maka modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu modal tetap dan tidak tetap. Modal tetap didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi tersebut, contohnya adalah faktor produksi berupa tanah, bangunan dan mesin-mesin. Sedang modal tidak tetap atau modal variabel adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses produksi tersebut, misalnya biaya produksi yang dikeluarkan untuk membeli benih, pupuk, obat-obatan, atau yang dibayarkan untuk pembayaran tenaga kerja (Soekartawi, 2003:11). Modal usaha dalam penelitian ini dibatasi pada uang yang dipakai dalam proses produksi dan sumber modal yang digunakan oleh petani. Peluang Usaha Secara harfiah, peluang diartikan sebagai kesempatan, sedang usaha diartikan sebagai kegiatan dengan mengerahkan tenaga, fikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu. Jadi peluang usaha adalah kesempatan untuk mencapai suatu maksud dengan mengerahkan tenaga, fikiran, atau badan. Pemasaran Menurut Stanton et al. (Tjiptono, 2005:59), pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, barang atau jasa yang ditawarkan untuk dijual, dan terjadinya perpindahan kepemilikan. Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memuaskan kebutuhannya, uang untuk belanja dan kemauan untuk membelanjakannya (Bishop dan Toussaint, 1979:67). Kotler (1993:35)
menyatakan bahwa pasar terdiri dari semua pelanggan potensial yang mempunyai kebutuhan atau keinginan tertentu yang mungkin mampu melibatkan diri dalam suatu pertukaran guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Pemasaran merupakan fungsi ekonomi yang banyak mendapat perhatian (Uchrowi, 2005:37). Mubyarto (1989:167) mengakui adanya anggapan bahwa dalam pertanian, aspek pemasaranlah yang
paling menarik perhatian para
ekonom. Pemasaran adalah proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2005:10). Pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen (Soekartawi, 2002:149). Said dan Intan (2001:59) mendifinisikan pemasaran sebagai sejumlah kegiatan yang ditujukan untuk memberi kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan kepada konsumen atau pemakai. Pengertian senada disampaikan oleh Assauri (2004:5) yang menyatakan bahwa pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran. Tersedianya sarana transportasi dan komunikasi akan memudahkan persentuhan petani dengan dunia luar seperti pasar, informasi yang menyangkut kebijaksanaan pemerintah, yang dapat mereka gunakan sebagai bahan pertimbangan dalam berusahatani (Hernanto, 1995:95). Menurut Mosher (1983:80), didalam pembangunan pertanian, disamping meningkatkan produksi hasil usahatani, juga diperlukan pasar untuk hasil-hasil usahatani serta harga yang cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya upaya yang telah dikeluarkan petani sewaktu memproduksikannya. Senada dengan pendapat Mosher, Rachbini
(2001:89) menyatakan bahwa pasar yang diperlukan oleh
petani ialah pasar yang memihak pada petani dan melindungi kejatuhan harga pada saat-saat panen.