5
TINJAUAN PUSTAKA Agroforestri
Agroforestri adalah sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu) dan tanaman pangan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu (De Foresta et al. 2000). Sebagai hutan buatan yang dikelola dengan cermat untuk juga memproduksi kayu seperti hutan alam, agroforestri merupakan tempat memetik hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan cara demikian agroforestri dapat menggantikan fungsi hutan alam. Dengan berkembangnya agroforestri
peran
hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin lama semakin menghilang. Apabila tuntutan yang lain terhadap hutan alam, yaitu sebagai cadangan lahan untuk perluasan pertanian, juga berkurang maka upaya perlindungan terhadap hutan alam bisa menjadi lebih efisien (De Foresta et al. 2000). Pola agroforestri banyak ditemukan di Indonesia, dimana dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Kedua tipe ini berasal dari dua konsep yang berbeda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. a. Sistem agroforestri sederhana (pepohonan dan tanaman pangan) Perpaduan tanaman pohon yang memiliki peran ekonomi penting (karet, jati) dan unsur tanaman semusim (misalnya padi, jagung, sayur-sayuran). Bentuk agroforestri yang sederhana yang paling banyak dibahas adalah tumpangsari di Pulau Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam perhutanan sosial Perum Perhutani. b. Sistem agroforestri kompleks (hutan dan kebun) Sistem agroforestri kompleks adalah sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik mirip dengan hutan alam sekunder.
6
Local Ecological Knowledge (LEK)
Menurut Sunaryo dan Joshi (2003) menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan konsep yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun. Ada kalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi external ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumberdaya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani mapun keterampilan mereka dalam mengelola sumberdaya alam. Pengetahuan indigeneus tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman, persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan metereologis. Ciri-ciri pengetahuan ekologi lokal (Sunaryo dan Joshi 2003), bersifat kualitatif, evolusioner, dapat dijelaskan dengan logika ekologis, bersifat interdisiplin
dan
holistik,
Tingkat
kecanggihannya
beragam
tergantung
pengalaman, kemungkinan detail tapi masih ada celah dan kadang-kadang bertentangan, keteraturan prinsip dan konsep dasar lintas agroekosistem yang serupa dan komplemen terhadap pengetahuan ilmiah.
Deskripsi Tanaman Mindi (M. azedarach L.)
Mindi atau sering disebut geringging merupakan tumbuhan berhabitus pohon, termasuk dalam kelompok suku Meliaceae (Wardani 2001). Sifat tumbuhan ini diantaranya selalu hijau di daerah tropis basah tetapi menggugurkan daunnya selama musim dingin di daerah beriklim sedang (temperate), suka
7
cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan suhu di bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif
terhadap api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah
dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian 0-1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -50C suhu maksimum 390 C dengan curah hujan rata-rata pertahun 600-2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Wardani 2001). Pohon mindi dapat digunakan sebagai peneduh di kebun kopi, dan tanaman reboisasi di lahan kritis (Hendromono 2001). Pada umur l0 tahun dapat mencapai tinggi bebas cabang 8 meter dan diameter ± 40 cm. Pohon mindi termasuk jenis yang tumbuh cepat, dengan batang lurus, bertajuk ringan, berakar tunggang dalam dan berakar cabang banyak. Pohon mindi di kebun rakyat Cimahpar, Bogor umur 10 tahun mempunyai tinggi bebas cabang sekitar 10 m dan diameter 38,20 cm. Tinggi pohon mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8 - 20 m, diameter sampai 60 cm (Irwanto 2007). Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Ekstrak daun mindi dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang. Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit mindi telah dilaporkan sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun dan akar tanaman mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang. Glycopeptide yang disebut meliacin diisolasi dari daun dan akar tanaman mindi berperan dalam menghambat perkembangan beberapa DNA dan RNA dari beberapa virus misalnya virus folio (Sulastiningsih et al. 2001).
8
Silvikultur Mindi
Sebagian besar benih yang digunakan petani dikumpulkan dari pohonpohon di lahan petani. Kelebihan proses ini adalah benih segera tersedia, proses pengumpulan tidak mahal dan pohon-pohon tidak memerlukan pengelolaan khusus. Pengalaman menunjukkan bahwa 75 – 100 % pohon-pohon benih tersebut terdapat di lahan petani. Pada awal penanaman, benih dari sumber benih seperti ini seringkali dikumpulkan dari sedikit pohon (l s.d 5), asalnya tidak diketahui, dan keragaman genetiknya sempit. Selain itu, kriteria pemilihan benih yang utama adalah melimpahnya panen benih, dan bukan kualitas pohon seperti kelurusan, umur, kesehatan, kecepatan tumbuh, dsb. Benih pun sering dikumpulkan dari pohon terisolir yang merupakan hasil penyerbukan sendiri. Semua faktor tersebut menghasilkan benih yang mutu fisiologik dan genetiknya di bawah optimal (Roshetko et al. 2004). Penanganan benih dimulai dari saat pengunduhan, mengeluarkan benih dari buah (ekstraksi), memilih dan memilah benih (seleksi dan sortasi), penyimpanan hingga perkecambahan (Bramasto 2008). Mungkin tidak seluruh kegiatan tersebut akan dilakukan oleh setiap petani, Lembaga Swadaya Masyarakat atau pihak lain yang terlibat dalam penanaman pohon, tetapi perlu diketahui bahwa seluruh kegiatan tersebut merupakan suatu rangkaian yang mempengaruhi keberhasilan penanaman pohon yang dilakukan (Mulawarman et al. 2002). Untuk menentukan waktu pengumpulan buah yang tepat diperlukan informasi mengenai masak fisiologis yang dicirikan oleh perubahan warna kulit buah, dari hijau, hijau kekuningan dan kuning (Suita dan Nurhasby 2008). Selain perubahan warna, kriteria masak fisiologis buah ditandai dengan bau buah, kekerasan kulit, buah pecah atau rontok dan penurunanan kadar air serta perubahan biokimia buah. Saat pengunduhan sebaiknya dilakukan apabila hampir seluruh buah (±75%) yang terdapat dalam satu pohon yang mencirikan masak.
9
Perbanyakan Tanaman
Pengadaan bibit mindi biasanya secara generatif, yaitu menggunakan biji. Karena adanya dormansi di kulit embrio pada biji mindi maka perlu dilakukan pembuangan kulit dalam dari buah untuk mempercepat perkecambahan. Cara lain adalah dengan merendam biji pada suhu 800 selama 30 menit. Penaburan biji dilakukan di persemaian. Biji-biji ditutup tanah atau serasah tipis saja. Setelah kecambah mencapai tinggi 2-4 cm dapat dipindahkan ke kantong plastik yang berisi tanah. Bibit dipelihara di persemaian sampai tingginya mencapai 20-30 cm. Ukuran bibit siap tanam dicapai pada umur 4 bulan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan membuat stek batang, mengambil anakan yang muncul dari akar atau mencangkok tanaman (Hendromono 2001).
Pengelolaan Lahan
Menurut Hilmanto (2009) masyarakat dalam mengelola lahan akan melakukan kegiatan-kegiatan antara lain: pengolahan tanah, penanaman, pergiliran tanaman, pemupukan, pembuatan sistem drainase dan pengendalian hama dan penyakit. a. Pengolahan tanah Menurut Hilmanto (2009) pengolahan tanah dimaksudkan untuk menggemburkan tanah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Selain itu, untuk tanaman semusim yang baru ditanam sangat penting agar tanaman dapat menyerap air dan unsur hara dengan baik. Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menggunakan cangkul, atau alat sederhana lainnya. Pengolahan tanah bertujuan menekan pertumbuhan gulma seperti alangalang, rumput, pencekik, hama, serta memperbaiki erosi tanah dan mengurangi keasaman tanah. Kegiatan pengolahan tanah termasuk pembongkaran tunggak dan akar-akar, membalik dan menghancurkan bongkahan tanah (Kosasih et al. 2006). b. Penanaman Penanaman adalah kegiatan paling kritis dalam pembangunan tanaman, faktor musim dan cuaca yaitu terjadinya hutan pada hari-hari dilaksanakan
10
penanaman sangat berperan pada keberhasilan tumbuhnya tanaman. Oleh karena itu rangkaian kegiatan penanaman harus diatur sedemikan rupa, sehingga pada saat perencanaan bibit telah siap tanam dan hujan sudah merata (Kosasih 2006). Tanaman mindi termasuk jenis yang suka cahaya. Penanaman bibit tidak boleh terlalu dangkal dan terlalu dalam, tetapi sebatas leher akar. Bibit dibuka dari wadahnya, tidak boleh ada akar yang terlipat apabila ada akar yang terlalu panjang dapat dipotong sebagian. Penanaman mindi dapat dilakukan dengan tumpang sari dengan tanaman semusim. Tanaman mindi di Thailand ditumpangsarikan dengan ketela pohon, jagung, sorgum, kopi, jambu mete, pisang nanas dan lainnya (Hendromono 2001). c. Pemeliharaan Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman pohon meliputi penyiangan, penyulaman, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, pengendalian hama penyakit, gulma, dan perlindungan terhadap kebakaran (Sukandi et al. 2002). Penyiangan gulma dilakukan beberapa kali pada tahun pertama dan kedua. Penyiangan di sekeliling tanaman pokok dilakukan setelah gulma menutupi tanaman pokok. Untuk tujuan produksi kayu maka dan menghindarkan tanaman dari resiko kebakaran, perlu adanya pemangkasan cabang setelah tanaman mencapai tinggi 6 meter. Penjarangan dilakukan setelah tanaman berumur 3 tahun dengan meninggalkan batang 400 batang per hektar, kemudian pada umur 6 tahun penjarangan tanaman dilakukan lagi sampai jumlah pohon tiap hektar menjadi 200 batang (Hendromono 2001). d. Pergiliran tanaman Pergiliran tanaman, khususnya untuk penanaman tanaman pertanian semusim perlu dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Bila lahan terus menerus dikelola dengan teknik monokultur, maka tingkat kesuburan tanah akan menurun. e. Pemupukan Pemupukan bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang digunakan pada lahan agroforestri adalah pupuk kandang dan pupuk organik.
11
Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkan dapat memperkecil ketergantungan terhadap pupuk anorganik. Di lain pihak pemanfaatan limbah pertanian dapat menciptakan efisiensi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga kelestarian lingkungan. Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung unsur hara yang diperlukan bagi perturnbuhan tanaman (Afrizon 2009). f. Pembuatan sistem drainase Kegiatan ini bertujuan untuk memperlancar pemasukan dan pengeluaran air, serta untuk menghindari penggenangan. Pembuatan sistem drainase dapat dilakukan dengan membuat gulud dan parit saluran air. g. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara (teknik kultur dan non teknik kultur (manual, kimia dan biologi). Pengendalian secara kultur dapat dilakukan dengan cara: l. Pemilihan jenis tanaman yang memiki kekerabatan yang berbeda atau pergiliran tanaman. Dengan mengkombinasikan berbagai tanaman yang berbeda kekerabatannya, diharapkan siklus hidup hama dan penyakit yang biasa menyerang tanaman dapat dihentikan. 2. Pengaturan jarak tanam 3. Pengendalian hama secara terpadu, yaitu dengan melakukan satu atau lebih cara pengendalian secara berurutan atau bersama yang bertujuan menghasilkan efek yang saling membantu secara berkesinambungan. 4. Pengendalian secara non teknik kultur adalah dengan pembuangan hama secara manual atau dengan menggunakan pestisida yang ramah lingkungan. 5. Pengendalian hama secara biologis yaitu dengan cara membiarkan predator alami.
12
Metode AKT 5
Menurut Dixon et al. (2001) Agroecological Knowledge Toolkit 5 (AKT 5) adalah sebuah program komputer yang digunakan untuk meyimpan pengetahuan dasar (knowledge base) yang berguna bagi proses pengambilan keputusan dalam penelitian sistem agroforestri dan penyuluhan. Masing-masing pengetahuan dasar dibuat dengan AKT yang mencakup informasi berikut ini: -
Pernyataan-pernyataan sederhana
-
Sumberdaya terperinci untuk masing-masing pernyataan
-
Daftar proses formal, pernyataan mereka dan persamaannya
-
Catatan dari sumberdaya individu, pernyataan individu dan pengetahuan dasar
-
Perekaman setiap hirarki obyek yang dikembangkan
-
Perekaman setiap topik dan hirarki topik yang dikembangkan
-
Informasi penuh tentang struktur dan isi dari setiap diagram pengetahuan dasar. Pengetahuan dasar diperoleh dari hasil wawancara dan observasi di
lapangan yang kemudian disusun menjadi pernyataan-pernyataan sederhana (unitary statement) tersebut disusun berdasarkan rumus (grammer) yang telah ditetapkan dalam program AKT 5. Unitary statement dan diagram itu dianalisis secara deskriptif untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Dixon et al. dalam Hilmanto (2009), ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam menggunakan sistem KBS. Kelebihan-kelebihan dalam KBS adalah: (1) Memberikan pengambilan keputusan yang lebih baik, karena pertimbangan informasi yang relevan, (memberikan solusi yang tepat waktu, karena informasi yang tersimpan relevan, (2) memberikan solusi yang tepat waktu, karena informasi yang tersimpan dalam base system, sehingga jawaban yang diambil dalam keputusan selalu tersedia setiap saat yang dibutuhkan dan (3) menyimpan pengetahuan di organisasi, karena dengan base system ini disimpan dan tersedia terus selama dibutuhkan. Sedangkan kelemahan-kelemahan dalam sistem KBS adalah: (1) system base ini hanya dapat menangani pengetahuan yang
13
konsisten sesuai alur diagram tanamannya. Pengetahuan yang cepat berubahberubah dari waktu ke waktu, maka knowledge di sistem base harus selalu diubah (perbarui), (2) format knowledge base terbatas. Knowledge pada system base berisi aturan-aturan (rules) yang ditulis dalam bentuk statemen grammer yang ada. Penanda Genetik
Penanda genetik, biasa juga disebut dengan marker, marka atau markah merupakan ekspresi dari individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Penanda genetik yang baik memiliki sifat polimorfik, multiallel, kodominan, non-epistatik, netral dan tidak sensitif terhadap pengaruh lingkungan (de Vienne 2003 dalam Kholik 2008). Aplikasi penanda genetik sangat luas seperti pada bidang kedokteran, pertanian, ilmu pangan, lingkungan, antroporlogi, sejarah, hukum menggunakannya sebagai alat analisis atau alat pembuktian beberapa penanda genetik sangat dipercaya karena bersifat tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan. Sifat tanaman dapat diidentifikasi berdasarkan sifat fenotipe dan genotipe. Identifikasi tanaman berdasarkan sifat fenotipe yaitu dengan mengamati morfologi tanaman, bentuk batang, panjang daun. Namun cara ini memiliki kelemahan yaitu karena adanya pengaruh lingkungan di sekitarnya. Sifat fenotipe dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genotipe dan lingkungan. Alternatif lainnya adalah penelusuran sifat tanaman dari segi genotipe tanaman adalah dengan analisis DNA (Siregar et al. 2008). Analisis keanekaragaman genetik dan hubungan di antara individu dalam satu spesies dan populasi yang berbeda adalah suatu peran penting untuk beberapa disiplin ilmu pengetahuan biologi. Selama tiga dasawarsa terakhir, strategi klasik untuk evolusi dengan variabilitas genetik seperti anatomi komparatif, morfologi, embriologi dan fisiologi sudah dilengkapi dengan teknik molekuler yang semakin berkembang. Hal ini meliputi antara lain dengan analisis dari unsur kimia (yang disebut metabolomik), tetapi yang paling penting adalah hubungan perkembangan di antara marker molekuler. Teknologi marker yang berdasarkan pada
14
polimorfisme protein atau DNA telah mengkatalisasi penelitian diberbagai disiplin ilmu seperti phylogeni, taksonomi, ekologi, genetik dan pemuliaan hewan dan tumbuhan. Salah satu penanda genetik yang sedang berkembang adalah mikrosatelit (Weising et al. 2005).
Mikrosatelit
DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berurutan. Mikrosatelit biasanya digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif, dan forensik (Ottewel et al. 2005 dalam Yunanto 2010). DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan sepasang primer mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi dengan menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak nitrat. Mikrosatelit juga dikenal sebagai Simple Sequence Repeat (SSR), terdiri dari dua pengulangan pernyataan, motif urutan DNA yang pendek, berukuran polimorpik pada suatu populasi (Weising et al. 2005). Mikrosatelit
mempunyai
karakteristik
sebagai
berikut:
tingkat
polimorfisme yang tinggi, kodominan, dan diwariskan mengikuti hukum Mendel. Bila satu primer spesifik sudah didesain, Lokus SSR dapat diamplifikasi dari sedikit sampel DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998 dalam Zulfahmi 2006). Mikrosatelit telah diaplikasikan untuk: (1) identifikasi forensik, bertujuan untuk mengkaitkan sampel darah, sperma, jaringan rambut atau daging dari kasus kriminal, (2) diagnosis dan identifikasi penyakit, seperti deteksi kanker, (3) studi populasi genetika, untuk mengamati variasi dan membuat kesimpulan tentang struktur populasi, hanyutan genetik (genetic drift) dan genetic bottlenecks, dan (4) konservasi biologi untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi yang berbeda serta untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk. Ada beberapa permasalahan dalam menggunakan penanda mikrosatelit. Permasalahan ini dapat dikelompokkan ke dalam problem praktik dan problem data. Problem praktik meliputi: (1) pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak
15
jenis primer yang didisain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman. Primerprimer itu perlu diskrining dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain, (2) slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat slip sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya dan (3) ukuran
produk
amplifikasi
berbeda
dari
produk
ukuran
sebenarnya.
Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan oleh Taq polymerase yang menambah nukleotida adenosin sampai ujung 3’ produk amplifikasi. Ginot et al. 1996 dalam Zulfahmi 2006 menyatakan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menambah polymerase DNA T4 setelah PCR.