TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Ketahanan Pangan mempakan kondisi terpenuhinya pangan bagi mmah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata clan terjangkau. Menurut Suryana (2001a) dengan pengetian tersebut mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut : a. Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan d a l m arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, temak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi petumbuhal kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang m a n , diartikan bebas dari cemaran bioligis, kimia dan benda zat lain yang dapat mengganggu, memgikan dan membahayakan kesehatan manusia serta m a n dari kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan hams tersedia setiap saat dan merata diseluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi tejangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap mmah tangga dengan harga terjangkau. Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu ditingkat wilayah hingga keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana, 2004a). Selanjutnya dikatakan, bahwa keberhasilan pembangunan ketiga sub sistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input bempa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu didukung oleh faktor-i8ktor penunjang seperti
kebijakan, peraturan, pembiiaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku (stakeholder) seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai institusi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azazi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Akses penduduk terhadap pangan terkait dengan kemampuan produksi pangan tingkat rumah tangga, kesempatan kerja dan pendapatan keluarga. Dalam kaitan ini, pangan bukan hanya beras dan komoditas tanaman pangan, tetapi mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian pangan tidak hanya dihasilkan oleh pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan, tetapi juga industri pengolahan pangan. Selanjutnya pangan yang cukup tidak hanya daIam jumlah tetapi juga keragamannya, sebagai sumber asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral),untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik, kecerdasan dan produktifitas manusia (Suryana, 2004a). Konsep Ketahanan Pangan
Istilah ketahanan pangan ljbod security) mulai populer sejak krisis pangan dan kelapamn pada awal dekade 70-an (Maxwell ad Frankerberger, 1997). Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh
PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan Asia. Menurut Setiawan (2004) definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah setiap orang pada setiap saat memiliki akseptabilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi pangan agar hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan diindikasikan oleh terpenuhinya pangan bagi rumah tangga secara kualitas maupun kuantitas, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan rumah tangga (household food s e c u r i ~ )adalah kemampuan m a h tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari (Rumusan Intemasional Congress of Nutrition di Roma 1992). Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan W t a s , agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan tersebut berarti rumah tangga harus memiliki akses mempemleh pangan baik dari pmduksi sendiri maupun membeli dari pasar. Ini berarti bahwa tiap m a h tangga harus ditingkatkan daya belinya. Pada mulanya pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberapa ha1 mungkin berkaitan. United Nation (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. Word Bank (1994) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua m a h tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi @la pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan(kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara
berkesinambungan)(Hardinsyah dan Martianto, 2001). Ketersediaan Pangan Wilayah Ketersediaan pangan disuatu wilayah mempakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Ketersediaan pangan hams dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai, maka ketahanan pangan flood security) akan berada pada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan Vood availability) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kemsakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, clan tingkat impor/ekspor pangan.
Ketersediaan pangan mempakan kondisi penyediaan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan mempakan suatu sistem yang berjenjang mulai nasional, propinsi (regional), lokal (kabupatedkota), dan rumah tangga. Ketersedian pangan dapat diukur baik pada tingkat makro (nasional, propinsi, kabupatenlkota) maupun mikro (rumah tangga) (Baliwati dan Roosita, 2004). Dalam mendukung pembangunan pangan, informasi tentang situasi ketersediaan pangan m e ~ p a k a nsalah satu bahan pertimbangan dalam melakukan evaluasi dan perencanaan pangan, instrumen utama dalam penilaian terhadap ketersediaan pangan diantaranya Neraca Bahan Makanan (NBM). Neraca Bahan Makanan
yang
baik
harus
memberikan
informasi
tentang
situasi
pengadaan/penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, impor/ekspor dan stock serta penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk suatu wilaydnegara dalam kurun waktu tertentu (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Penyediaan Pangan dengan Pendekatsn Pola Pangan Harapan Ketahanan Pangan dikembangkan antara lain dengan bertumpu pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Sejak diperkenalkannya kocsep PPH dan skor PPH pada awal pada awal dekade 90-an di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi simbang pada tingkat makro. Menurut FAO-RAPA (1989), PPH sangat berguna untuk menunuskan kebijaksanaan pangan dan perencanaan pertanian disuatu wilayah. Dengan PPH, perencanaan pertanian dan pangan akan mengetahui berapa kecukupan gizi penduduk. PPH juga dapat memberikan patokan bagi perencana di bidang pangan dan pertanian untuk mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya dan atau keragaman sumber daya pangan sesuai dengan keadaan ekologi dan ekonomi suatu wilayah.
8 Tabel 1 Susunan pola pangan harapan (PPH) nasional dan PPH FAO-RAO
,' ,,
DDU
No
Kelompok Pangan
PPH FA0
Nasional Kisaran 2020 m"% \
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Padi-padian Umbi-umbian PanganHewani Kacang-kacangan Sayur dan Buah Biji Berminyak Lemak dan Minyak Gula Lainnya Jumlah
3 40.0 5.0 20.0 6.0 5.0 3.0 10.0 8.0 3.0 100.0
(%)
Energi Kons m i )
,
4 50.0 6.0 12.0 5.0 6.0 3.0 10.0 5.0 3.0 100.0
Konsumsi Bahan pangan ( m a p
Skor
Mali)
5 40-60 0-8 5-20 2-10 3-8 0-3 5-15 2-8 0-5 100.0
6 1100 132 264 110 132 66 220 110 66 2200
7
8
9
300 100 150 35 250 10 25 30
0,5 0,5 2,O 2,o 5,O 0,5 0,5 0.5
25,O 2,s 24,O 10,o 30,O 1 ,o 5,O 2.5
-
O;O
O;O 100 - ~
Sumber : Hardinsyah et al, (2004) Peranan dan Wewenang Pemerintah dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Dalam rangka melaksanakan startegilpendekatan kebijakan dan pencapaian sarana pembangunan ketahanan pangan, pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berkiprah dalam pembangunan ketahanan pangan. Menurut Suryana (2001b) upaya penciptaan tersebut dapat dilaksanakan melalui : a. Penerapan kebijakan makro ekonomi yang kondusif, menyangkut suku bunga, nilai tukar, perpajakan, investasi prasarana publik, peraturan perundangan, dan intervensi kegagalan pasar. b. Peningkatm kapasitas produksi nasional melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berbasis kepada komoditas pertanian bahan pangan, dengan mengoptimalkan sunberdaya alam nasional, efisiensi teknologi spesifik lokasi, dan mengembangkan manajemen serta prasarana ekonomi untuk menghasilkan produk-produk pangan yang berdaya saing. c. Penanganan simpul-simpul kritis dalam pelayanan publik, seperti : sistem mutu, dan informasi pasar agribisnis, ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan,transportasi, pendidikan dan pelatihan manajemen, kemitraan
usaha agribisnis, pemupukan cadangan pangan masyarakat d m pemerintah, pendidikan gizi dn pengelolaan konsumsi, penerapan sistem mutu dan perlindungan konsumen dari bahaya akibat mengkonsumsi pangan.
.
d. Peningkatan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat agar mampu dan mandiri untuk mengenali potensi dan kemampuan,alternatif peluangnya, dan mampu mengambil keputusan terbaik untuk mengembangkan usahanya secara berkelanjutan dalam suatu perekonomian yang mengikuti azas mekanisme pasar yang berkeadilan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undargundng Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menetapkan kewenangan daerah yang luas dan bertanggungjawab untvk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan mengurus kepentingan masyaakat di daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kemampuan wilayah. Dalam kerangka mematuhi azas-azas desentralisasi, pemerintah pusat dan propinsi membagi perannya sesuai peraturan yang berlaku, khususnya pada urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, serta rnembantu pemerintah daerah sesuai permintaan. Pemerintah kabupaten melaksanakan perannya sesuai kewenangan otonominya, namun tetap dalam kerangka sistem yang lebih luas. Menurut Suryana (2001b), berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembengunan ketahanan pangan di pusat dan daerah dijabarkan dalam p r o m pembengunan sistem ketahanan pangan, diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah, yang lebih memberikan peluang pada partisifasi aktif masyarakat. Adapun kewenangan pemerintah kabupatedkota dalam rangka operasional bidang ketahanan pangan dilakukan melalui : 1) Pemantapan produksi dan ketersediaanlcadangan pangan strategis nabati dan hewani, 2) pemantauan, pengkajian, dan pengembangan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat;3) koordinasi lintas wilayah dalam rangdaka kecukupan pangan dan cadangan pangan ~emerintahdan masyarakat; 4) fasilitasi pelaksanaan, norma, dan standar teknis distribusi pangan; 5) pemntauan, pengkajian, dan pengawasan penerapan standm teknis distribusi pangan; 6 ) pemantauan dan pengawasan distribusi pangan di wilayah kabupatenlkota; 7) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan sistem pangan; 8) kebijakan pelaksanaan kewaspadaan pangan; 9) pelaksanaan pengawasan mutu dan keamanan pangan;
10) pengawasan sistem jaringan mutupangan; 11) pembinaan perbaikan mutu pangan masyarakat;
12) koordimasi penangulangan
masyarakat di pedesaan dan perkotaan;
kerawanan parngan
13) perurnusan iangkah-langkah
pencegahan dan penanggulangan gejala kekurangan pangan serta keadaan darurat pangan; 14) pengembangan peran serta koperasi dan swasta dalam menanggulangi kerawanan pangan; 15) pengembangan sumber daya manusia di bidang kewaspadaan dan pengembangan mutu pangan; 16) pengkajian, perekayasaan, dan pengembangan kelembagaan ketahanan pangan
di pedesaan; 17)
penggalangan partisipasi masyarakat dalam mengelola cadangan pangan; 18) spelaksanaan promosi bahan pangan lokal; 20) gerakan pengembangan lumbung pangan masyarakat; 21) pemberdayaan kelembagaan tani dalam rangka ketahanan pangan masyarakat; 22) penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat tentang ketahanan pangan; 23 ) pengembangan kemitraan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan masyaraakat.
Pembangunan Pangan di Era Otonomi Daerah Salah satu ha1 penting dari sasaran pembangunan pangan, adalah bahwa oreintasi penyediaan pangan tidak lagi semata berorintasi pada penigkatan kuantitas, tetapi juga berorientasi pada kualitas, khususnya dinilai dari aspek kompsisikeragaman penyedian pangan serta mutu gizi pangan dengan menitik beratkan pada ptensi sumberdaya setempat. Pada masa lalu petimbangan perencanaan pangan lebih mengacu pada upaya produksi dan permintaan pangan. Pada masa datang, selain memperhatikan kedua ha1 tersebut, pertimbangan yang juga penting adalah bahwa pangan yang disediakan dan diionsumsi hams memenuhi kecukupan gizi dan kualitas tertentu, serta sedapat mungkin penyediaannya dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal (Hardinsyah, et al, 2001 ). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 disebutkan bahwa revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok yaitu : 1) peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya;
2) pengamanan ketahana pangan, peningkatan produktifitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian clan perikanan; 3)serta pemanfaatan hutan
untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan
tetap
memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMI)) Kabupaten Lampung Barat tahun 2007-20012, agenda pembangunan Ketahanan Pangan sebagai berikut : Revitalisasi Pertanian Daerah. Sektor pertanian yang mencakup tanaman
pangan dan hortikutura, petemakan, perkebunan, kehutanan, dan
perikanan
berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan daerah. Pembangunan Sektor Pertanian diarahkan untuk tujuan meningkatkan produksi dan produktifitas, meningkatkan penghasilan dalam upaya meningkatkan taraf hidup petani. Dalam upaya pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Lampung Barat
, kebijakan yang dilakukan pada dasamya juga
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas tenaga keja, disertai dengan penataan dan pengembangan kelembagaan. Melalui upaya tersebut diharapkan adanya partisipasi aktif dan kesejahteraan secara efisien dan diiamis serta diikuti dengan pembagian surplus ekonomi antar berbagai pelaku ekonorni secara lebih adil melalui pengembangan agribisnis yang efisien. Sektor peternakan di Kabupaten Lampung Barat memiliki potensi untuk dikembangkan apabila kondisi sekarang dapat diatasi, seperti rendahnya produksi dan produktifitas, rendahnya efisiensi usaha, keterbatasan sarana dan prasarana serta terbatasnya kredit dan permodalan. Kondisi ini disebabkan antara lain : 1) rendahnya pengetahuan dan SDM petani dibidang usaha petemakan ; 2) keterbatasan akses petani kesumber pembiayaan, keterbatasan modal k-g mendorong petani untuk menerapkan teknologi baru dalam rangka peningkatan pmduktifitas, membatasi peningkatan nilai tambah dan pada akhirnya mengakibatkan ketergantungan pada penyediaan modal informal (pengijon) ; 3) penguasaan teknologi masih rendah, kondisi ini tidak dapat dihindari karena ratarata tingkat pendidikannya masih rendah bahkan tidak tamat SD sehingga berakibat rendahnya produktifitas dan nilai tambah produk peternakan. Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan. Program ini berbasis pada
kemampuan produksi, keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan budaya lokal yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan
budaya lokal yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan pangan daemh. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini meliputi :
1. Pe~ngkatanproduksi dan produktifitas ternak 2. Pembentukan kawasan sentra pengembangan kom~ditasternak
3. Pembangunan dan pendayagunaan kawasan sentra produksi 4. Melakukan pemberdayaan dan pengembangan sistem pola kejasama
kemitraan. Pengembangan Agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha dibidang agribisnis huly on farm, hilir dan usaha jasa pendukungnya. Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dalam program ini meliputi :
1. Pengembangan diversifikasi usaha tani 2. Peningkatan mutu temak dan penerapan sistem agribisnis
3. Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan. 4. Peningkatan sarana prasarana produksi ternak/sapronak dan mesin
5. Penyebaran dan peningkatan mutu bibit sapi dan teknologi Inseminasi Buatan.
Pengembangan Usaha Tani Partisipatif. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak mampu menjangkau akses terhadap sumberdaya usaha petemakan. Kegiatan pokonya antara lain :
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perkebunan dan kehutanan, petemakan dan perikanan.
2. Penurnbuhan dan penguatan kelembagaan masyarakat tani guna meningkatkan posisi tawar petani 3. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan
Kemandirian Pangan Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga mempakan sasaran utarna dalam pembangunan ekonomi setiap negara di dunia. Bagi negara industri yang miskin sumberdaya pertanian, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan kemampuan ekonomi negaranya.
Bagi
sebagian besar negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan itu temtama mengandalkan kemampuan produksi domestik. Bagi Indonesia rumusam di atas mempakan definisi ketahanan pangan yang diformulasikan dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Untuk Implementasinya, GBHN 1994 - 2004 mengarahkan agar ketahanan pangan ini dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal, serta memperhatikan kesejahteraan para produsemya, yang pada umumnya adalah petani, petemak dan nelayan kecil. Dalam wacana pembangunan ketahanan pangan nasional, akhir-akhir ini muncul konsep kemandirian pangan yang dimasyarakatkan secara intensif oleh Ir. .Siswono Yudo Husodo. Dimana Kemandirian Pangan Ketua Umurn HKTI mengandung arti kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat laimya. Selanjutnya skenario mandiri, yaitu kondisi dimana kebutuhan pangan nasional minimal 90 % dipenuhi dari produksi dalam negeri. ,Dr. Pantjar Simatupang, Kepala Pusat Litbang Sosial Ekonomi Pertanian, menyimpulkan konsep kemandirian pangan mempakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan. Pengertian pertama adalah swasembada absolut, yaitu kebutuhan pangan dipenuhi seluruhnya (100%) dari produksi domestik. Varian kedua adalah "swasembada on trend", yaitu dalam beberapa tahun tertentu ada kalanya mengimpor pangan, tetapi pada tahun laimya mengekspor, sehingga rata ratanya dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada. Dengan pengertian ini, konsep kemandirian pangan sebenamya lebih longgar dari
swasembada dengan tingkat 90%. Angka kemandirian 90 persen dapat dipakai
acuan bagi pemenuhan pangan secara agregat atau dalam arti luas. Namun untuk pangan yang tidak mempunyai keunggulan kompetitif seperti gandum, apel, atau jeruk sunkist, tidak perlu dipatok seperti di atas, karena apabila dipaksakan akan muncul inefisiensi dalam alokasi sumberdaya. Sebaliknya untuk komoditas pangan pokok atau strategis, seperti beras, @la, minyak goreng, angka kemandirian itu seyogyanya ditetapkan mendekati atau bahkan 100 persen. Selanjutnya dikatakan bahwa kemandirian pangan merupakan salah satu dimensi pengukuran ketahanan pangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian pangan antara lain (1) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik, (2) ketergantungan ketersedian pangan nasional pada pangan impor dan atau net impor, dan (3) ketergantungan ketersediaan pangan terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain. Kemandirian pangan terhadap produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang atau memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan nasional merupakan penjumlahan antara produksi dornestik (bersih, setelah dikurangi untuk pengynaan bibit dan tercecer) dengan impor dan stok. Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungannya terhadap impor. Dengan pengertian di atas, gagasan kemandirian pangan yang digagas ini sejalan arahan Undang Undang tentang pangan dan GBHN, sehingga gagasan ini sejalan dengan konsep ketahanan pangan dan dapat diletakkan sebagai definisi operasional (working definition) dalam kerangka perwujudan ketahanan pangan nasional jangka menengah dan panjang. Menurut Suryana (2004), dari aspek produksi domestik, untuk rnewujudkan kemandirian pangan, ada 3 (tiga) ha1 kebijakan yang hams diimplementasikan oleh instansi terkait. Pertama, perlu adanya penataan penguasaan atau pengusahaan lahan yang dilandasi efisiensi skala ekonomi.Langkah operasional yang diusulkan antara lain (a) reformasi agraria, (b) pengaturan bahkan pembatasan alih fungsi lahan pertanian produktif, (c) dan pengembangan sistem usaha model kemitraan. Kedua, peningkatan efisiensi usaha dan produkstifitas agribisnis pangan untuk meningkatkan daya saing produk di pasar domestik dan
intemasional. Program pembangunan yang diperlukan adalah : (a) peningkatan kualitas SDM pertanian untuk mengadopsi Iptek, (b) peningkatan akses petani atas modal, teknologi, informasi dan pasar, (c) pengembangan infrastruktur ekonomi pedesaan yang dapat meningkatkan efisiensi pergerakan barang dan jasa dari dan ke desa, serta bagi pengembangan agribisnis di pedesaan, (d) pilihan pengembangan komoditas berdasarkan keunggulan komfetitif wilayah, dan (e) percepatan pengembangan industri pengolahan pangan. Ketiga, melalui keberagaman produk pangan antar daerah yang didukung oleh lancarnya pergerakan pangan antar daerah, maka ketahanan pangan daerah dapat diwujudkan bersama-sama atau seiring dengan ketahanan pangan nasional. Pentingnya Pangan Asal Ternak Agus Jaelani (2006), menyatakan tantangan utama dalam pembangunan bangsa adalah menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas, sehat, berkualitas dan produktif. Kecerdasan dan kualitas suatu bangsa sangat berkolerasi dengan seberapa besm konsumsi protein hewani di suatu negara. Hal ini mengingat peran protein hewani dalam membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, produktif dan berkualitas hampir tidak dapat digantikan oleh protein nabati. Di negara-negara maju dapat dipastikan konsumsi protein hewaninya sudah cukup tinggi. Bahkan di Amerika, konsumsi protein hewani mencapai 70% dari total konsumsi protein, atau dua kali lipat dari konsumsi protein nabati. Mereka sangat sadar esensi mengonsumsi protein hewani bagi kesehatan, produktifitas dan kecerdasan. Sementara yang tejadi di negara b t a justru sebuah ironi. Bangsa yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) dan potensi petemakan cukup bagus temyata konsumsi protein masih didominasi asupan protein nabati, dan konsumsi protein hewani secara nasional baru mencapai 5,l gram per kapita per hari. Dengan kondisi seperti ini tentunya kita patut khawatir tejadi loss generation, mengingat peran protein hewani sangat vital dalam meningkatkan
kualitas bangsa. Sehingga "PR" yang hams segera terselesaikan adalah bagaimana meningkatkan konsumsi protein hewani bangsa Indonesia Keunggulan protein hewani Protein merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Protein berperan penting dalam pembentukan sel-sel dan jaringan baru tubuh serta memeliham perhmbuhan dan perbaikan jaringan yang rusak. Protein juga bisa menjadi bahan untuk energi bila keperluan tubuh akan hidrat arang dan lemak tidak terpenuhi.
Protein sendiri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu protein
hewani dan nabati. Sumber protein hewani yaitu daging, ikan, ayam, telur dan susu. Sementara sumber protein nabati dapat diperoleh dari padi-padian, bijibijian d m kacang-kacangan. Protein nabati dapat disebut sebagai protein tidak lengkap karena senantiasa mempunyai kekurangan satu atau lebii asam amino esensial. Sementara protein hewani memiliki semua asam amino esensial, hingga disebut protein lengkap.
Pemanfaatan (utilisasi) protein oleh tubuh sangat
ditentukan oleh kelengkapan kandungan asam amino esensial yang terkandung dalam protein yang dikonsumsi. Semakin lengkap asam amino esensial dan kandungannya dapat memenuhi kebutuhan tubuh, semakin tinggi nilai utilisasi protein tersebut bagi tubuh. Selain kandungan asam amino, faktor nilai cerna dari protein juga menjadi faktor penting dari manfaat protein yang dikonsumsi. Dari hasil penelitian yang dilakukan para ahli menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa nilai cerna protein hewani selalu lebih tinggi dari protein nabati . Sementara dari segi pemanfaatannya (utilisasi) protein hewani juga jauh lebih baik dari protein nabati. Selain itu, kaitannya dengan membangun kecerdasan bangsa, peran protein hewani sangat mutlak diperlukan. Vitamin B12 yang terkandung dalam protein hewani menjadi sebuah keunggulan tersendiri. Selain manfaat vitamin B12 dalam optimalisasi fungsi syaraf, ternyata vitamin B12 juga tidak ditemui dalam protein nabati. Sehingga kalau kita ingin meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia maka konsumsi protein hewani bangsa ini harus ditingkatkan. Berbicara mengenai peningkatan konsumsi protein hewani tentunya sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat di suatu negara. Tingkat pendapatan masyarakat suatu negara memberikan pengaruh signifikan dalam tingkat konsumsi produk petemakan. Faktor ini sangat berpengaruh mengingat produk peternakan khususnya di negara kita memiliki harga yang relatif agak mahal. Pendapatan masyarakat Indonesia yang masih rendah menjadi kendala tersendiri dalam pemasaran produk petemakan. Tetapi bukan kemudian faktor ini menjadi kendala utama. Kita tidak perlu menunggu meningkatnya pendapatan
masyarakat untuk menghasillcan peningkatan konsumsi protein hewani bangsa ini. Upaya peningkatan
pendapatan masyarakat harus disinergikan dengan
peningkatan konsumsi pangan asal hewan. Justru seharusnya usaha petemakan yang dapat memacu sekaligus menjadi alternatif dalam upaya pe~ngkatan pendapatan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu mengeliminir pandangan, bahwa usaha petemakan merupakan usaha sambilan yang tidak dapat dijadikan mata pencaharian utama. Paradigma yang berkembang tentang sisi gelap petemakan harus segera kita ubah. Masyarakat petemakan harus mampu meyakinkan bangsa ini bahwa petemakan merupakan usaha yang prospektij Bahkan FA0 telah mencatat bahwa petemakan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap 70% lebii penduduk miskin di dunia.
Selain faktor
pendapatan masyarakat ada satu faktor lagi yang tidak kalah penting. Faktor tersebut adalah upaya meningkatkan kesadaran masyarakat @ublic awareness) akan manfaat dan esensi dari mengonsumsi pangan asal hewan. Meningkatkan
public awareness terhadap produk petemakan m e ~ p a k a n pekejaan besar masyarakat petemakan yang perlu penanganan cepat dan tepat. Hal ini mengingat masa depan petemakan sangat bergantung kepada seberapa berhasilnya upaya kita dalam meningkatkan public awareness bangsa ini dalam mengonsumsi pangan asal hewan sebagai sumber tunggal protein hewani. Dan sampai saat ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menyadari pentingnya mengonsumsi pangan asal hewan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat peternakan dalam meningkatkan public awareness terhadap konsumsi peternakan (daging, susv, telur). Cara-cara tersebut dapat ditempuh melalui kampanye gizi maupun kerjasama dengan instansi lain dalam mensosialisasikan dan mendukung program pentingnya mengonsumsi protein hewani. Salah satu kegiatan yang hampir dilakukan oleh semua negara dalam meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakatnya adalah dengan melakukan kampanye gizi. Hal ini memang dirasa cukup efektif, sehingga negara kita pun melakukan hal yang sama. Tetapi ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kegiatan kampanye gizi yang selama ini dilakukan di negara kita. Pertama, konsistensi dan keberlanjutan dari program tersebut. Selama ini kegiatan kampanye gizi lebih banyak dilakukan hanya pada momen-momen
tertentu saja (seperti pada hari-hari besar nasional, setelah kejadianlwabah suatu penyakit), tanpa ada keberlanjutan yang terprogram secara rapi. Sehingga yang tejadi adalah masyarakat lebih tahu momennya daripada substansi yang disampaikan selama kampanye gizi tersebut. Kegiatan ini juga terkesan tidak ada perencaman yang matang tentang urgensi dan tujuan serta target dari kegiatan tersebut. Seharusnya kegiatan ini memiliki program, arah dan target yang jelas serta berkesinambungan. Keduu, perlu adanya pemerataan dalam kegiatan serta sasaran kampanye gizi. Kegiatan kampanye gizi yang selama ini dilakukan terlihat kurang merata di semua lapisan masyarakat.
Jarang ditemui kampanye gizi di
masyarakat pedesaan. Kita lebih banyak melihat kegiatan ini dilakukan pada masyarakat perkotaan. Memang tidak salah melakukan kampanye gizi di lingkungan yang masyarakatnya tidak mampu secara finansial, dengan sasaran mereka mulai sadar dan memahami perlunya mengonsumsi pangan asal hewan. Tetapi yang perlu diperhatikan, bahwa untuk meningkatkan public awareness mengonsumsi pangan asal hewan juga diperlukan kecukupan pendidikan dan finansial. Sementara dua faktor tersebut boleh dikatakan tidak sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat yang kurang mampu. Justru kesan yang timbul ketika melakukan kampanye gizi kepada masyarakat kurang mampu adalah kesan "pembagian gratis" produk petemakan tersebut, bukan pahamnya masyarakat akan kebutuhan mengonsumsi pangan asal hewan. Pantas saja jika produk yang dibagikan selalu habis. Hal ini bukan lantaran mereka menyadari pentingnya mengonsumsi pangan asal hewan, tetapi karena mereka jarang mengonsumsi produk tersebut akibat ketidakcukupan finansial. Ada baiknya kegiatan kampanye gizi juga ditujukan kepada masyarakat perkotaan, walaupun konsumsi masyarakat perkotaan relatif sudah tinggi. Kampanye gizi di perkotaan dilakukan dalam upaya meningkatkan konsumsi masyarakat perkotaan terhadap pangan asal hewan, ataupun mempertahankan konsumsi pangan asal hewan bagi masyarakat yang tingkat konsumsinya sudah mencapai batas optimum. Dalam pembangunan petemakan kita memerlukan komponen diluar stakeholders petemakan untuk mendukung dan mengupayakan pembangunan petemakan secara utuh. Begitu juga dalam upaya meningkatkanpublic awareness terhadap produk petemakan. Masyarakat petemakan harus melakukan kejasama
dengan instansi lain yang dapat b e p r a n secara positif dalam membangun kesadaran mengonsumsi pangan asal hewan. Selain kampanye gizi, ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan public awareness terhadap produk petemakan (telur, susu dan daging). Pertama, adakan kerjasama dengan instansi pendidikan dalam menyosialisasikan pentingnya mengonsumsi protein hewani.
Pemerintah dalam ha1 ini Deptan cq. Direktorat Jenderal
Petemakan dapat menjajaki kerjasama dengan instansi pendidikan untuk membiasakan dan mewajibkan mengonsumsi pangan asal hewan (produk petemakan) bagi pelajar (siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar), tentunya pemerintah memberikan (pangan asal hewan) dengan cuma-cuma. Dengan upaya tersebut harapannya, dari kecil anak-anak akan mulai terbiasa mengonsumsi pangan asal hewan. Jika program ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan terus-menerus maka anak-anak akan terbiasa dalam mengonsumsi pangan asal hewan dan mengonsumsi pangan asal hewan akan menjadi sebuah kebutuhan. Tentunya dalam program ini pemerintah peptan) juga bisa menggandeng pihak swasta/pemsahaan dalam menyukseskan program ini. Kedua, adakan kerjasama dengan instansi kesehatan (posyandu). Setelah terjadi kasus busung lapar di NTT dan NTB pemerintah mulai serius dalam memperhatikan dan memprioritaskan perbaikan pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Bahkan pemerintah telah mengalokasikan dana ratusan milyar dalam memperbaiki pelayanan kesehatan di daerah termas.uk memperbaiki pelayanan posyandu. Ini tentunya menjadi sebuah peluang bagi kita untuk meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Dalam upaya revitalisasi posyandu, tentunya ini juga menjadi momen yang tepat dalam upaya meningkatkan pemahaman pentingnya mengonsumsi protein hewani di masyarakat. Sekarang bagaimana pemerintah (Deptan) dan
stakeholders petemakan lainnya dapat meyakinkan instansilpihak posyandu terkait dengan upaya menggalakkan peningkatan konsumsi protein hewani.
Ketiga, pemerintah hams mampu mendorong perusahaan agar secara rutin melakukan serum mengonsumsi pangan asal hewan, bukan hanya di media cetak tetapi juga di media elektronik (televisi). Selma ini promosi produk yang dilakukan perusahaan petemakan lebih kental dengan seruan mengonsumsi produknya, tetapi pesan tentang serta manfaat mengonsumsi pangan asal hewan
kurang terlihat. Sehingga masyarakat kurang tersentuh akan manfaatnya bagi kesehatan dan kecerdasan bangsa.
Sumber Daya Pangan Bidang Peternakan Keragaman sumberdaya alam dan keaneragaman hayati yang dimiliki Indonesia mempakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah, masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keaneragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsinya. Menurut Suryana (2003), ketidak cukupan konsumsi kalori dan protein erat kaitannya dengan kemiskinannya Bagian terbesar dari penduduk yang mengalami defisit kalori dan protein adalah penduduk miskin. Walaupun dari tahun ke tahun penduduk miskin secara persentase dilaporkan menurun, namun secara absolut jumlahnya masih cukup besar Dalam
tujuan
pembangunan
ketahanan
pangan,
ditujukan
untuk
memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikroltingkat rumah tangga dan individu serta di tingkat makrolnasional, salah satunya dengan meningkatkan konsumsi pangan per kapita untuk memenuhi kecukupan energi minimal 2000 kilokalorihari dan protein sebesar 52 grarnthari, meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor pola pangan harapan (PPH) minimal 80 ( padipadian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr, kacang-kacangan 35 gr, sayur dan buah 250 gr). Sektor peternakan memberikan kontribusi penyediaan protein yang luas bagi masyarakat dengan menghasilkan daging, susy telur dan berbagai produk olahannya. Daging sapi merupakan satu komoditas pangan startegis yang ingin dicapai Pemerintah swasembadanya pada tahun 2010. Menurut Victor Siagian (2007) , produk pangan hewani kita yaitu daging, susu, telur, dan ikan, belum menggembirakan. Kita menargetkan mencapai swasembada daging pada 2010.
Sementara itu, konsumsi daging per kapita pada 2004 sebesar 6,2 kg dengan total konsumsi 1,97 juta ton, dengan produksi daging 2,O juta ton, meningkat rata- rata 7,9 persen per tahun dibandingkan 2003. Dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand, tingkat konsumsi daging di Indonesia temasuk rendah. Pada 2005, produksi daging sapi 463.800 ton dengan populasi ternak sapi potong 10,4 juta ekor (Statistik Petemakan, 2006). Indonesia masih mengimpor daging sapi sekitar 3.500 ton per tahun, sedangkan jumlah sapi bakalan 350.000 ekor per tahun. Strategi yang diterapkan Departemen Pertanian untuk mencapai swasembada daging (sapi) adalah dengan meningkatkan jumlah sapi 1,5 - 2 juta ekor. Kemudian melakukan penjaringan betina produktif 150.000-200.000 ekor per tahun. Betina-betina produktif dihiidari masuk rumah potong. Tentunya tidak lupa mengintensifkan program Inseminasi Buatan (IB), dan penanganan penyakit hewan. Berdasarkan data statistik peternakan, hampir 90 persen usaha peternakan sapi di Indonesia adalah peternakan rakyat. Usaha-usaha pembibitan (breeding) ataupun pembesaran sapi potong komersial (reedlooter) sejak tejadinya krisis moneter sangat berkurang. Tidak satu pun pengusaha swasta bergerak di bidang breeding sapi. Mahalnya harga sapi bakalan impor dan rendahnya daya beli masyarakat menjadi penyebab tidak berkembangnya usaha ternak. Padahal, jika hanya mengandalkan produksi peternakan rakyat, sulit bagi kita untuk dapat swasembada daging pada 2010. Swasembada daging yang dimaksud adalah swasembada on trend dengan tingkat impor 8,5 persen. Saat ini 28 persen daging sapi masih diimpor. Dalam bidang perunggasan kita sudah swasembada, bahkan sebagian diekspor. Populasi ayam pedaging pada 2004 bejumlah 889,l juta ekor dengan produksi daging unggas 1,2 juta ton. Tingkat konsumsi daging unggas 3,65 kg per kapita pada 2003 (Rusfida A., 2005), meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama kurun waktu tiga tahun. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tingkat konsumsi kita temasuk rendah. Malaysia 36,7 kgikapita/tahun, Thailand 13,5 kgikapitdtahun, Filipina 7,5 kgikapita/tahun, Vietnam 4,6 kgkapitdtahun, dan Myanmar 4,2kg/kapitdtahun. Apalagi dengan merebaknya virus flu burung, tingkat konsumsi daging unggas menurun drastis. Perlu waktu
lama untuk meyakinkan masyarakat bahwa mengkonsumsi daging unggas aman bagi kesehatan. Untuk daging kambing dan domba kita sudah berswasembada dengan produksi masing-masing 58.900 ton dan 66.500 ton pada 2005. Demikian juga untuk daging kerbau dengan produksi mencapai 40.800 ton pada 2005. Jumlah populasi kerbau pada 2004 mencapai 2,5 juta ekor. Salah satu produk pangan hewani yang cukup penting adalah susu. Jenis pangan hewani ini masih kita impor dalam jumlah besar, yakni 1.010.000 ton pada 2004. Tingkat konsumsi susu dalam negeri pada 2004 berjumlah 1,56 juta ton dengan produksi susu 549.900 ton. Permintaan akan susu meningkat rata-rata 3 persen per tahun selama periode 2000-2004. Tingkat konsumsi per kapita mencapai 8 literltahun masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, yaitu 25 literkapitaltahun, India 45 liter/kapita/tahun, dan dunia 40 literikapitdtahun. Tahun ini kita menghadapi kenaikan harga susu impor, y a h i susu formula dan susu kental manis. Penyebabnya, naiknya harga bahan baku susu formula di negara asal, Australia dan Selandia Baru. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi susu, harga susu hams tejangkau dengan meningkatkan produksi oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) nasional. Bantuan bibit sapi perah unggul sangat dibutuhkan peternak tradisional. Pengusaha yang tejun ke bidang usaha ini harus mendapat bantuan dari pemerintah, baik dalam bentuk kredit kepemilikan sapi maupun kemudahan memperoleh kredit perbankan. Produksi pangan hcwani lainnya adalah ikan. Tingkat konsumsi ikan sampai 21,s kgkapita per 2003, sedangkan standar kecukupan ikan adalah 26,25 kglkapitdtahun. Pemerintah sudah melancarkan program Gemaprotekan (Gerakan makan protein ikan) sejak 1997 yang tujuannya untuk meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat. Masalahnya, harga ikan laut jauh lebih mahal dibandingkan dengan daging ayam ras, akibat naiknya harga BBM. Luasnya lautan kita temyata belum mampu memberikan kecukupan protein ikan bagi selumh masyarakat. Telur juga jenis makanan hewani yang penting. Konsumsi telur per kapita 4,4 kg/tahun dengan total permintaan tahun 2004 sebanyak 1,05 juta ton, sedangkan produksi 1,l juta ton. Jadi, kita sudah berswasembada telur. Permintaan akan telur meningkat setiap tahun, rata-rata 8 persen selama periode
2000
- 2004. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, tingkat konsumsi telur
per kapita kita termasuk rendah. Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg, dan Filipina 6,2 kg. Harga telur yang berkisar Rp 8.000 - 10.000 per kg sebenarnya relatif murah, namun daya beli masyarakat rendah. Populasi ayam petelur di Indonesia pada 2004 sebanyak 80,5 juta ekor. Karena rendahnya tingkat konsumsi daging, telur, dan susu maka tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, hanya 4,7 gram/oran&ari, jauh dari target 6 gram. Padahal Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 gram/orang/hari. Di negara-negara maju, seperti, Arnerika Serikat, Prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris adalah 50 - 80 gramlkapitahari. Di negara-negara berkembang laimya,
seperti Korea, Brasil,
dan Tiongkok 20 - 40
gramkapitahari. Semakin tinggi tingkat konsumsi protein hewani semakin tinggi umur harapan hidupNHH (Han dalam Rusfida, 2005). Di negara-negara maju UHHnya 75 - 85 tahun dan di negara-negara berkembang lainnya UHH 65 - 75 tahun. Sedangkan di Indonesia, Bangladesh, dan India UHH 55 - 65 tahun (Han, 1999). Mutu produk juga perlu menjadi perhatian adalah subtema tentang Mutu produk Pangan. Sebenarnya ha1 ini sudah dilakukan sejak dulu, terutama untuk produk ikan. Udang windu, misalnya, memiliki persyaratan yang tinggi agar dapat 1010s ekspor, terutama menyangkut hama penyakit. Persyaratan sanitary dan phito sanitary-nya merupakan salah satu kesepakatan GATT Uruguay, barus bebas dari bakteri Salmonella, E Colli dan bakteri pathogen. Iian tuna yang kita ekspor juga memiliki persyaratan dasar agar dapat diekspor, seperti, berat minimal 10 kg per ekor. Hal ini berkaitan dengan konservasi biota laut. Mutu daging kita juga menjadi persoalan serius belakangan ini. Ada daging unggas yang terkena virus flu burung, daging sapi dan kambing yang terkena penyakit mulut dan kuku. Juga ada daging dan ikan yang disebut-sebut menggunakan formalin. Kemudian ada daging sapi gelondongan, banyak mengandung air, sehingga mudah busuk. Semua ha1 di atas menurunkan mutu produk pangan kita. Siapa yang bertanggung jawab untuk keamanan pangan ini? Tentunya aparat dinas petemakan, Karantina Hewan, dan BadanlKantor Ketahanan Pangan setempat. Merekalah yang bertanggung jawab memeriksa dan
mengawasi produsen daging dan ikan untuk memastikan bahwa pangan tersebut aman. Sanksi berat kepada yang melanggar ketentuan tersebut hami dijatuhkan agar memberikan efekjera. Kita m e m i l i UU Pangan No 7 tahun 1996 yang menjadi payung hukumnya. Pengawasan lalu lintas ternak sangat penting untuk mencegah menyebarnya penyakit menular hewan dan ikan. Lemahnya pengawasan lalu lintas temak antarprovinsi dan pulau merupakan salah sat- penyebab merebaknya virus flu b w g . Jika kita mampu melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran keamanan pangan maka masalah mutu pangan dapat diatasi.